KAJIAN REGULER AR-RISALAH LEVEL 2 OTORITAS ‘ÂM DAN KHÂSH DALAM ISTINBÂTH HUKUM ISLAM
Disusun oleh: Aziz Nur Ikhsan Ivana Kusuma
PIMPINAN CABANG ISTIMEWA MUHAMMADIYAH MESIR PCIM MESIR 2013/ 2014
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ................................................................................................................................................. i BAB I PROLOG .......................................................................................................................................... 1 BAB II KATA UMUM (‘ÂM) .................................................................................................................... 3 A. Definisi ‘Âm ..................................................................................................................................... 3 B. Macam-macam ‘Âm ....................................................................................................................... 5 C. Lafal-lafal ‘Âm ................................................................................................................................. 7 D. Sebab Khâsh untuk Lafal ‘Âm........................................................................................................ 9 E. Beberapa Jenis Mukhâthab yang Mungkin Dianggap Tidak Terkena Khithâb Umum........ 11 F. Dalalah Lafal ‘Âm ......................................................................................................................... 15 G. Pertentangan ‘Âm dengan Khâsh ................................................................................................ 17 BAB III KATA KHUSUS (KHÂSH)........................................................................................................ 20 A. Definisi Khâsh ............................................................................................................................... 20 B. Hukum Khâsh ............................................................................................................................... 20 C. Implikasi Khâsh pada Fikih ........................................................................................................ 22 D. Macam-macam Khâsh .................................................................................................................. 24 E. Hamlu al-Muthlaq ‘ala al-Muqayyad dan Jenis-jenisnya ........................................................... 28 BAB IV EPILOG ...................................................................................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 33 Lampiran
i
Kajian Reguler ar-Risalah Level 2 Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Mesir (PCIM Mesir) Kamis, 24 Oktober 2013 M 19 Zulhijah 1434 H
OTORITAS ‘ÂM DAN KHÂSH DALAM ISTINBÂTH HUKUM ISLAM Oleh: Aziz Nur Ikhsan1 dan Ivana Kusuma2
BAB I PROLOG Latar Belakang Alhamdulillah, segala limpahan nikmat dan rahmat hanya milik-Mu Ya Allah, Tuhan yang tiada tandingan bagi-Nya. Ketika seseorang tersesat di tengah gurun pasir, kendaraan menyimpang jauh dari jalurnya dan para kafilah bingung menentukan arah, mereka akan menyeru: “Ya Allah !!” Kami bersimpuh kepada-Mu dari rasa gelisah yang menderu. Hanya kepada-Mu kami bersandar dan bertawakal. Hanya kepada-Mu kami mengadu, sungguh Engkaulah pemilik segala keagungan, kemuliaan, kekuatan dan keperkasaan. Cukuplah Engkau sebagai Pelindung kami karena Engkaulah sebaik-baik Pelindung dan Penolong. Shalawat teriring salam selalu terkucur dalam setiap untaian doa kita kepada Nabi Muhammad Saw., sang Pangeran perang yang selalu mengajarkan kita agar tetap teguh jiwa saat ujian dan cobaan menerpa secara silih berganti. Dengan kekuatan iman dan doalah manusia bisa bertahan hidup sekaligus menjadi dalih atas semua ibadah yang kita lakukan untuk mencari identitas sebagai seorang khalifah. Tak bisa dipungkiri di Era Globalisasi ini segala komunikasi antar negara bisa diakses secara efektif, efisien dan instan. Teknologi, ekonomi dan pendidikan merupakan salah satu ranah dimana efek Globalisasi mempunyai andil besar dalam intervensi dasar-dasar ranah tersebut. Pendidikan Islam merupakan salah satu sasaran empuk ketika efek Globalisasi ini terus menggerogoti pemikiran umat Islam pada khususnya. Arus Globalisasi pun kian deras
1 2
Mahasiswa Tingkat 1 Jurusan Syariah Islamiyah, Fakultas Syariah wal Qanun, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir Mahasiswa Tingkat 3 Jurusan Hadits, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
1
sehingga menelurkan dampak positif maupun negatif. Tak pelak sokongan umat Islam dalam mengatasi dampak negatif tersebut tentu sangat dibutuhkan, sekaligus sebagai tantangan dan upaya menyampaikan aspek-aspek ajaran Islam sebagai rahmatan li al-‘âlamîn. Oleh karena itu melalui makalah yang singkat ini akan dipaparkan pembahasan ‘âm dan khâsh dalam istinbâth hukum Islam sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang akan menjelaskan makna-makna lafal setiap hukum dalam suatu nash.
2
BAB II ‘ÂM
A. Definisi ‘Âm 1. ‘Âm secara bahasa ‘Âm ( )اﻟْﻌَﺎ ّمadalah bentuk fâ’il (subyek) dari kata ‘umûm ( )اﻟْﻌُﻤُﻮْمyang secara bahasa berarti merata (menyeluruh) dan mengelilingi (mengepung).3 Dalam beberapa kamus bahasa arab disebutkan: a. Al-‘Ayn: 4ﺿ َﻊ ُﻛﻠﱠﻬَﺎ ِ ﻤَﻮَا b. Ash-Shihâh: 5 َﻋ ﱠﻤ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎﻟْ َﻌ ِﻄﻴﱠﺔ:َﺎل ُ ﻳُـﻘ.َ َﺷ ِﻤ َﻞ اﻟْ َﺠﻤَﺎ َﻋﺔ:ﱠﻲءُ ﻳَـﻌُ ﱡﻢ ﻋُﻤ ُْﻮﻣًﺎ ْ َو َﻋ ﱠﻢ اﻟﺸ c. Al-Qâmûs al-Muhîth: 6 َﻋ ﱠﻤ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎﻟْ َﻌ ِﻄﻴﱠ ِﺔ:َﺎل ُ ﻳُـﻘ.َ َﺷ ِﻤ َﻞ اﻟْ َﺠﻤَﺎ َﻋﺔ: أَ ْي،ﱠﻲءُ ﻋُﻤ ُْﻮﻣًﺎ ْ َو َﻋ ﱠﻢ اﻟﺸ Dari kata ‘umûm inilah serban disebut ‘imâmah ( )اﻟْ ِﻌﻤَﺎﻣَﺔkarena ia mengelilingi kepala dan paman disebut ‘amm ( )اﻟْ َﻌ ّﻢkarena ia biasanya mengelilingi (ada di sekeliling) keponakan yang membutuhkan bantuan.7 2. ‘Âm secara istilah Menurut ulama mutaqaddimîn8 dan sebagian ulama mutaakhirîn9, ‘âm didefinisikan sebagai:
ﻣَﺎ َﻋ ﱠﻢ َﺷ ْﻴﺌَـ ْﻴ ِﻦ ﻓَﺼَﺎ ِﻋﺪًا Artinya: “Yang mencakup dua hal atau lebih.” Berdasarkan definisi ini ulama mutaqaddimîn terkadang menyebut ‘âm dengan sebutan muthlaq begitu juga menyebut muthlaq dengan sebutan ‘âm. Perbedaan Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh karya Iyadl bin Nami as-Sullami (lahir: 1373 H) hal 285 Al-’Ayn karya al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 175 H) 1/94 5 Ash-Shihâh (Tâj al-Lughah wa Shihâh al-’Arabiyyah) karya Isma’il bin Hammad al-Jawhari (w. 300-400 H) 5/1993 6 Al-Qâmûs al-Muhîth karya Muhammad bin Ya’qub al-Fayruz-Abadi (w. 817 H) hal. 1141 7 Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal 285 8 Ibid., hal. 285 9 Seperti al-Qadli Abu Ya’la (w. 458 H) dalam al-’Uddah fî Ushûl al-Fîqh 1/140 dan al-Juwayni (w. 429 H) dalam alWaraqât hal. 11 3 4
3
keduanya adalah bahwa ‘umûm (‘umum asy-syumûl) mencakup semua individunya, sedangkan ithlâq (‘umum al-badal) hanya berkaitan dengan salah satu individunya meski sebenarnya tidak menutup kemungkinan atas individu selainnya.10 Sedangkan menurut jumhur ulama ushul fikih, ‘âm didefinisikan sebagai:
َاﺣ ٍﺪ ِ ﺿ ٍﻊ و ْ ﺐ َو ِﺴ َ ﺼﻠُ ُﺢ ﻟَﻪُ ﺑِ َﺤ ْ َﻆ اﻟْ ُﻤ ْﺴﺘَـﻐْ ِﺮ ُق ﻟِ َﺠ ِﻤ ْﻴ ِﻊ ﻣَﺎ ﻳ ُ اﻟﻠﱠ ْﻔ Artinya: “Lafal yang mencakup semua individu yang layak dicakup dalam satu susunan kalimat.”11 Sebagian ada yang menghapus “dalam satu susunan kalimat”, sebagian lain menambahkan “tanpa ada batasan (individu)”, akan tetapi maksudnya sama, wallâhu a’lam.12 Penjelasan definisi jumhur: 1. ﺴﺘَـﻐْ ِﺮ ُق ْ اﻟْ ُﻤ: mencakup semua individu. Di sini dapat ditemukan perbedaan ‘âm dengan muthlaq yang hanya mencakup salah satu individu, nakirah yang tidak menentukan individu tertentu dan ‘adad (jumlah) yang hanya mencakup sebatas angka yang disebutkan. 2. َاﺣ ٍﺪ ِ ﺿ ٍﻊ و ْ ْﺐ َو ِ ﺑِ َﺤﺴ: dalam satu susunan kalimat. Dari sini dapat ditemukan perbedaan ‘âm dengan musytarak yang memang mencakup banyak individu, tetapi berdasarkan susunan kalimat yang berbeda-beda.
Irsyâd al-Fuhûl ila Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl karya asy-Syaukani (w. 1250 H), al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl alFîqh karya az-Zarkasyi (w. 794 H) 3/7 11 Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 285 Lihat: Al-Mahshûl karya ar-Razi (w. 606 H) 2/309, Minhâj al-Wushûl karya al-Baydlawi (w. 685 H) hal. 52, Irsyâd alFuhûl (1/508) –menukil dari al-Mahshûl-, Ushûl al-Fîqh karya Abu Zahrah (w. 1394 H) hal. 156, al-Jâmi’ li Masâil Ushûl al-Fîqh wa Tathbîquha ‘ala al-Mazhab ar-Râjih karya Abdul Karim an-Namlah hal. 241, al-Muhadzdzab fî ‘Ilm Ushûl al-Fîqh al-Muqâran karya Abdul Karim an-Namlah, Ushûl Fîqh al-Islâmi karya Wahbah Zuhaili 1/244 – menukil dari al-Mahshûl 12 Lihat: Qawâthi’ al-Adillah fî Ushûl al-Fîqh karya Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani (w. 489 H) 1/282, Ushûl al-Fîqh karya Muhammad al-Khudhari Bek (w. 1345 H), al-Ushûl min ‘Ilm al-Ushûl karya Muhammad bin Shalih bin Utsaimin (w. 1421 H), at-Ta`sîs fî Ushûl al-Fîqh ‘ala Dlaw` al-Kitâb wa as-Sunnah karya Abu Islam Mushthafa bin Muhammad bin Salamah (lahir: 1954 M) hal. 325, ‘Ilm Ushûl Fîqh karya Abdul Wahhab Khallaf (w. 1375 H) hal. 181, al-Bahr al-Muhîth hal. 3/5, Jam’ al-Jawâmi’ fî Ushûl al-Fîqh karya Taj ad-Din as-Subki (w. 771H) hal. 44 10
4
B. Macam-macam ‘Âm ‘Âm bentuknya ada bermacam-macam dan dibagi berdasarkan beberapa klasifikasi. Beberapa klasifikasi pembagian ‘âm tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pembagian ‘âm berdasarkan maksudnya.13 Berdasarkan maksudnya, ‘âm dibagi menjadi ‘âm yang memang dimaksudkan sebagai ‘âm dan yang dimaksudkan sebagai khâsh walau bentuk lafalnya adalah ‘âm a. ‘Âm yang memang dimaksudkan sebagai ‘âm Maksudnya adalah lafal yang berbentuk ‘âm dan digunakan dengan makna ‘umûm, terlepas apakah nanti ada takhshîsh ataupun tidak. Imam Syafii dalam arRisâlah14mencontohkan di antaranya dengan firman Allah Swt.:
(62 َﻲ ٍء َوﻛِْﻴ ٌﻞ )اﻟﺰﻣﺮ ْ ُﻮ َﻋﻠَﻰ ُﻛ ﱢﻞ ﺷ َ َﻲ ٍء َوﻫ ْ اﷲُ ﺧَﺎﻟِ ُﻖ ُﻛ ﱢﻞ ﺷ b. ‘Âm yang dimaksudkan sebagai khâsh Maksudnya adalah lafal yang berbentuk ‘âm akan tetapi ada indikator bahwa lafal tersebut maksudnya adalah khâsh. Imam Syafii dalam ar-Risâlah15 menjelaskan masalah ini dalam bab: َﺎص ُﻮ ﻳُـﺮَا ُد ﺑِ ِﻪ ُﻛﻠﱢ ِﻪ اﻟْﺨ ﱡ َ َﺎب ﻋَﺎ ﱠم اﻟﻈﱠﺎﻫ ِْﺮ َوﻫ ِ ﺑَـﻴَﺎ ُن ﻣَﺎ أُﻧْﺰ َِل ِﻣ َﻦ اﻟْ ِﻜﺘdan mencontohkan dengan firman Allah dalam surat Ali ‘Imran: َﻮ ُﻫ ْﻢ ْ ﱠﺎس ﻗ َْﺪ َﺟ َﻤ َﻊ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْﺧﺸ َ ﱠﺎس إِ ﱠن اﻟﻨ ُ َﺎل ﻟَ ُﻬ ُﻢ اﻟﻨ َ اﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ ﻗ (173 )آل ﻋﻤﺮان. Yang dimaksud dengan اﻟﻨﺎسyang pertama adalah Nu’aym bin Mas’ud atau yang lainnya dan اﻟﻨﺎسyang kedua adalah Abu Sufyan16
2. Pembagian ‘âm berdasarkan keberadaan takhshîsh17 a. ‘Âm yang tetap pada sifat ‘umûm-nya Maksudnya adalah ‘âm yang sifat ‘umûm-nya tetap berlaku dan tidak ada yang men-takhshîsh-nya. Seperti pada firman Allah: ﷲ ِرْزﻗُـﻬَﺎ )ﻫﻮد ِ ْض إﱠِﻻ َﻋﻠَﻰ ا ِ َوﻣَﺎ ِﻣ ْﻦ دَاﺑﱟِﺔ ﻓِﻲ ْاﻷَر (6
Ma’âlim fî Ushûl al-Fîqh ‘ind Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah karya Muhammad bin Husain al-Jizani hal. 419 Ar-Risâlah karya asy-Syafî’i (w. 204 H) hal. 53 15 Ibid., hal. 58 16 Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân karya al-Qurthubi (w. 611 H) 5/422-423 17 Ma’âlim fî Ushûl al-Fîqh ‘ind Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah hal. 419-420 13 14
5
b. ‘Âm yang di-takhshîsh Maksudnya adalah ‘âm yang di-takhshîsh pada sebagian individunya. Seperti ‘âm yang terdapat pada ayat: (5 ْﺟ ِﻬ ْﻢ ﺣَﺎ ِﻓﻈ ُْﻮ َن )اﻟﻤﺆﻣﻨﻮن ِ وَاﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ ﻟِ ُﻔﺮُوyang di-takhshîsh dengan ayat setelahnya (6 َﺖ أَﻳْﻤَﺎﻧُـ ُﻬ ْﻢ )اﻟﻤﺆﻣﻨﻮن ْ َاﺟ ِﻬ ْﻢ أ َْو ﻣَﺎ َﻣﻠَﻜ ِ إﱠِﻻ َﻋﻠَﻰ أَزْو.
3. Pembagian ‘âm berdasarkan penggunaan sifat ‘umûm Sebagian ulama18 ada yang seolah menggabungkan pembagian ‘âm berdasarkan maksudnya (pembagian kedua) dan berdasarkan keberadaan takhshîsh (pembagian ketiga). a. ‘Âm yang memang dimaksudkan sebagai ‘âm dan tidak menerima takhshîsh Yaitu ‘âm yang memiliki indikator untuk meniadakan kemungkinan takhshîsh. Seperti pada firman Allah: (6 ﷲ ِرْزﻗُـﻬَﺎ )ﻫﻮد ِ ْض إﱠِﻻ َﻋﻠَﻰ ا ِ َوﻣَﺎ ِﻣ ْﻦ دَاﺑﱟِﺔ ﻓِﻲ ْاﻷَر. Ayat ini berbicara tentang sunatullah yang tidak akan berubah sehingga tidak akan menerima takhshîsh.19 b. ‘Âm yang memang dimaksudkan sebagai ‘âm dan dapat menerima takhshîsh Penyebutan “dapat menerima takhshîsh” bukan berarti pasti ada yang mentakhshîsh karena ada banyak nash yang bersifat ‘umûm tanpa ada takhshîsh, seperti pada firman Allah (23 َﺖ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ أُﱠﻣﻬَﺎﺗُ ُﻜ ْﻢ )اﻟﻨﺴﺎء ْ ُﺣ ﱢﺮﻣ.20 c. ‘Âm yang dimaksudkan sebagai khâsh Yaitu lafal yang berbentuk ‘âm tetapi memiliki indikator yang menunjukkan bahwa lafal tersebut maksudnya khâsh. Seperti pada firman Allah: س إِ ﱠن ُ َﺎل ﻟَ ُﻬ ُﻢ اﻟﻨﱠﺎ َ اﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ ﻗ (173 َﻮ ُﻫ ْﻢ )آل ﻋﻤﺮان ْ ﱠﺎس ﻗ َْﺪ َﺟ َﻤﻌُﻮْا ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْﺧﺸ َ اﻟﻨ. Berdasarkan indikator berupa penjelasan ahli tafsir, diketahui bahwa maksud dari اﻟﻨﺎسyang pertama adalah Nu’aym bin Mas’ud atau yang lainnya sedangkan yang kedua adalah Abu Sufyan21. Sedangkan Manna’ Seperti Iyadl bin Nami as-Sullami dalam Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal 297-298, Wahbah Zuhaili dalam Ushûl al-Fîqh al-Islami 1/282-283 dan Abdul karim Zaidan dalam al-Wajîz fî Ushûl al-Fîqh hal. 254 19 Ushûl al-Fîqh al-Islami 1/282 20 Syarh al-Ushûl min ‘Ilm al-Ushûl hal. 244 21 Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân 5/422-423 18
6
al-Qaththan cenderung membagi ‘âm
(berdasarkan klasifikasi ini) menjadi: ‘âm
yang tetap pada sifat umumnya (walau tanpa qarînah atau mungkin saja menerima takhshîsh), ‘âm yang di-takhshîsh, dan ‘âm yang maksudnya adalah khâsh.22 C. Lafal-lafal ‘Âm Lafal-lafal yang dari segi bahasa saja sudah menunjukkan ‘umûm banyak sekali, bahkan al-Qarafi (w. 684 H) dalam al-’Aqd al-Manzhûm fî al-Khushûsh wa al-’umûm menyebutkan hingga 250 lafal23. Di antara karya lain tentang lafal-lafal ‘âm adalah Talqîh al-Fuhûm fî Tanqîh Shiyagh al-’umûm yang ditulis oleh al-‘Ala’i (w. 761 H). Di bawah ini sebagian lafal ‘âm yang paling masyhur dengan dibagi dalam beberapa kelompok: 1. Lafal-lafal yang memiliki arti ‘semua’ seperti ُﻛ ّﻞ, َﺟ ِﻤﻴْﻊ, dan ﻛَﺎﻓﱠﺔ
a. ُﻛ ّﻞ Taqiyy ad-Din as-Subki (w. 756 H) mengarang sebuah kitab khusus tentang lafal ini dengan judul Ahkâm Kull wa Ma Tadull. Lafal ini mencakup makhluk berakal ataupun tidak berakal, hewan maupun benda mati, mudzakkar maupun muannats, dan sebagainya sehingga lafal ini adalah lafal ‘âm yang paling kuat24. Dan tidak berbeda antara penggunaan lafal ini sebagai mudhâf (walau mudhâf ilayh-nya dihapus) atau sebagai taukîd25, seperti pada ayat: (185 ْت )آل ﻋﻤﺮان ِ ْﺲ ذَاﺋَِﻘﺔُ اﻟْﻤَﻮ ٍ ُﻛ ﱡﻞ ﻧَـﻔdan (30 َﻼﺋِ َﻜﺔُ ُﻛﻠﱡ ُﻬ ْﻢ أَ ْﺟ َﻤﻌ ُْﻮ َن )اﻟﺤﺠﺮ َ ﻓَ َﺴ َﺠ َﺪ اﻟْﻤ. Akan tetapi lafal ُﻛ ّﻞini apabila didahului oleh nafyu (peniadaan) tidak menunjukkan makna ‘umûm26, seperti pada kalimat: ي ﺼ ِﺮ ﱟ ْ ِﺐ ﻫ ِﺬ ِﻩ اﻟْﺠَﺎ ِﻣ َﻌ ِﺔ ﺑِ ِﻤ ِ ْﺲ ُﻛ ﱡﻞ ﻃَﺎﻟ َ ﻟَﻴyang menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa ada yang non Mesir.
Mabahits fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya Manna’ al-Qaththan hal. 229-230 Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 299 24 Talqîh al-Fuhûm fî Tanqîh Shiyagh al-’Umûm karya al-’Ala`i (w. 761 H) hal. 250, al-Muhadzdzab fî ‘Ilm Ushûl al-Fîqh al-Muqâran 4/1492-1493 25 Talqîh al-Fuhûm fî Tanqîh Shiyagh al-’Umûm karya al-’Alâ’i (w. 761 H) hal. 250 26 Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 299 22 23
7
b. َﺟ ِﻤﻴْﻊ Lafal َﺟ ِﻤﻴْﻊmenggunakan timbangan ﻓَ ِﻌ ْﻴ ٌﻞdengan makna maf’ûl (obyek), yang artinya terkumpul seluruh bagiannya.27 Lafal ini hanya di-idhâfah-kan kepada isim ma’rifah seperti pada kalimat ﺿﺮُْو َن ِ َﺟ ِﻤ ْﻴ ُﻊ ﻋُﻠَﻤَﺎ ِء اﻟْﺒَـﻠَ ِﺪ ﺣَﺎdan bila ditempatkan sebagai taukîd biasanya di-nashab-kan sebagai hâl28, seperti pada ayat: (55 ِﻲ َﺟ ِﻤ ْﻴـﻌًﺎ )ﻫﻮد ْ ُوﻧ ْ ﻓَ ِﻜ ْﻴﺪ. Dikatakan bahwa lafal-lafal yang disamakan dengan َﺟ ِﻤﻴْﻊadalah أَ ْﻛﺘَﻊ, أَﺑْﺼَﻊ, dan أَﺑْـﺘَﻊ serta berbagai pecahan katanya yang semuanya berjumlah dua puluh lafal 29 kecuali lafal َﺟ ِﻤﻴْﻊhanya bisa menjadi taukîd.30 Seperti halnya lafal ُﻛ ّﻞdan lafal َﺟ ِﻤﻴْﻊyang didahului oleh nafyu (peniadaan) tidak menunjukkan makna ‘umûm , seperti pada kalimat: ي ﺼ ِﺮ ﱟ ْ ِﺐ ﻫ ِﺬﻩِ اﻟْﺠَﺎ ِﻣ َﻌ ِﺔ ﺑِ ِﻤ ِ ْﺲ َﺟ ِﻤ ْﻴ ُﻊ ﻃَﺎﻟ َ ﻟَﻴyang menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa ada yang non Mesir.
c. ﻛﺎﻓﺔ Seperti pada firman Allah: (208 ْﻢ َﻛﺎﻓﱠﺔً )اﻟﺒﻘﺮة ِ ﻳَﺎ أَﻳﱡـﻬَﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ آ َﻣﻨـُﻮْا ا ْد ُﺧﻠُﻮْا ﻓِﻲ اﻟ ﱢﺴﻠ. Di antara lafal yang disamakan dengan lafal ini adalah ﻗَﺎ ِﻃﺒَﺔdan ﻋَﺎﻣﱠﺔ31
2. Jama’ yang di-ma’rifah-kan dengan alif lam al-istighrâqiyyah yang mencakup semua individu atau dengan idhâfah. Tidak dibedakan antara jama’ mudzakkar sâlim, jama’ muannats sâlim, dan jama’ taksîr, seperti pada ayat: (35 َﺎت )اﻷﺣﺰاب ِ إِ ﱠن اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِ ِﻤ ْﻴ َﻦ وَاﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِﻤdan (59 َﺎل ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟْ ُﺤﻠُ َﻢ )اﻟﻨﻮر ُ َوإِذَا ﺑَـﻠَ َﻎ ْاﻷَﻃْﻔ.
Talqîh al-Fuhûm fî Tanqîh Shiyagh al-’Umûm hal. 298 Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 300 29 Talqîh al-Fuhûm fî Tanqîh Shiyagh al-’Umûm hal. 298 30 Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 300 31 Talqîh al-Fuhûm fî Tanqîh Shiyagh al-’Umûm hal. 319-320 27 28
8
Begitu pula jama’ dan isim jama’ yang di-idhâfahkan kepada isim ma’rifah juga menunjukkan ‘umûm32, seperti pada ayat: (11 ِﻲ أَوَْﻻ ِد ُﻛ ْﻢ )اﻟﻨﺴﺎء ْ ﺻ ْﻴ ُﻜ ُﻢ اﷲُ ﻓ ِ ﻳـ ُْﻮdan pada firman Allah: (40 َﻚ )ﻫﻮد َ ِﻦ ُﻛ ﱟﻞ زَْو َﺟ ْﻴ ِﻦ اﺛْـﻨَـ ْﻴ ِﻦ َوأَ ْﻫﻠ ْ ﻗُـ ْﻠﻨَﺎ ا ْﺣ ِﻤ ْﻞ ﻓِ ْﻴـﻬَﺎ ﻣ 3. Isim mufrad yang di-ma’rifahkan dengan alif lam al-istighraqiyyah yang mencakup semua individu atau dengan idhâfah.33 Contohnya pada surat: (28 ﺿ ِﻌ ْﻴـﻔًﺎ )اﻟﻨﺴﺎء َ اﻹﻧْﺴَﺎ ُن ِْ َو ُﺧﻠِ َﻖdan (3 ﷲ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ )ﻓﺎﻃﺮ ِ َﺖ ا َ اذْ ُﻛﺮُوْا ﻧِ ْﻌﻤ. 4. Asmâ’ maushûlah.34 a. ُﻮﻟَﺔ ْ َﻣ ْﻦ اﻟْﻤ َْﻮﺻ 1) Dipakai untuk menyebut makhluk berakal, seperti pada ayat: ﻓَ َﻤ ْﻦ ﻛَﺎ َن ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻣ ِﺮﻳْﻀًﺎ أ َْو َﻋﻠَﻰ
184 َﺳ َﻔ ٍﺮ )اﻟﺒﻘﺮة 2) Terkadang dipakai untuk menyebut makhluk yang tidak berakal, seperti di ayat:
ْﺸ ْﻲ َﻋﻠَﻰ أَ ْرﺑَ ٍﻊ ِ َﻦ ﻳَﻤ ْ َوِﻣ ْﻨـ ُﻬ ْﻢ ﻣ35 b. َﻮﺻ ُْﻮﻟَﺔ ْ ﻣَﺎ اﻟْﻤ 1) Biasanya dipakai untuk menyebut makhluk yang tidak berakal, seperti pada
firman Allah dalam surat al-Baqarah: 29( ْض َﺟ ِﻤ ْﻴـﻌًﺎ )اﻟﺒﻘﺮة ِ ُﻮ اﻟﱠ ِﺬ ْي َﺧﻠَ َﻖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ْاﻷَر َﻫ D. Sebab Khusus untuk Lafal ‘Âm Maksudnya adalah lafal ‘âm dalam ayat maupun hadits yang turun dengan sebab khusus, seperti firman Allah: (144 َﺎت )ﻫﻮد ِ َﺎت ﻳُ ْﺬ ِﻫ ْﺒ َﻦ اﻟ ﱠﺴﻴﱢﺌ ِ إِ ﱠن اﻟْ َﺤ َﺴﻨyang turun karena seorang laki-laki yang mencium perempuan bukan mahram-nya. Pada masalah seperti ni ada dua pendapat: 1. Yang dijadikan pegangan adalah lafal ‘âm
32
Ushûl al-Fîqh al-Islâmi 1/245-247 Ushûl al-Fîqh al-Islâmi 1/247 34 Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 303-304 35 Lafal ﻣﻦpotongan ayat ke-45 dari surat an-Nur ini walaupun termasuk isim maushûl akan tetapi tidak memiliki makna ‘âmm karena bersifat ‘ahdiyyah 33
9
Ini adalah pendapat jumhur ulama. Di antara alasan yang membuat pendapat ini kuat adalah: a. Yang dijadikan hujah adalah lafal Pemilik Syariat
Seperti halnya jika seseorang –yang memiliki empat istri- diminta cerai oleh salah istrinya lalu ia menanggapi dengan, “Kalian berempat saya ceraikan.” Maka hukum talak berlaku bagi keempat istrinya. Begiu juga bila seluruh istrinya meminta cerai lalu ia tanggapi dengan, “Si A saya ceraikan.” Maka hukum talak hanya berlaku bagi si A. b. Ijmak para sahabat
Dahulu para sahabat menggeneralisir hukum-hukum yang ada karena sebab khusus dan tidak ada yang mengingkari hal ini. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak terbatas pada sebabnya. c. Ada yang menuntut diamalkannya sifat ‘umûm
Yang menuntut pengamalan sifat ‘umûm adalah lafal ‘âm itu sendiri dan tidak mengubah tuntutan ini. 2. Yang dijadikan pegangan adalah sebab khusus Pendapat ini didukung oleh Malik bin Anas dalam salah satu riwayat serta sebagian Ulama Mazhab Syafii, misalnya al-Muzani (w. 268), ad-Daqqaq (w. 313) dan al-Qaffal (w. 417 H). Syafii (w. 204) dan Abu Tsaur (w. 241) juga disebut-sebut berpendapat demikian. Alasan mereka adalah: a. Seandainya khithâb tersebut bersifat ‘âm maka mungkin sebab khithâb tersebut
dikeluarkan dari ‘umûm dengan ijtihad, misalnya dengan takhshîsh. Jawaban untuk alasan ini adalah bahwa justru dalalah lafal terhadap sebabnya bersifat qath’i. b. Seandainya khithâb tersebut bersifat ‘âm maka tidak ada gunanya periwayatan
sabab an-nuzûl maupun sabab al-wurûd. Alasan ini dijawab dengan adanya banyak manfaat periwayatan sebab hukum di antaranya adalah mempelajari kehidupan para sahabat dan lebih memahami ayat maupun hadits dengan sebabnya dan lainnya. 10
c. Seandainya sebab tidak berpengaruh terhadap hukum maka untuk apa
penjelasan hukum diakhirkan hingga terjadinya sebab? Di antara jawaban untuk alasan ini adalah bahwa perbuatan Allah tidak boleh dipermasalahkan dan sebab-akibat sudah diatur oleh-Nya. Kemudian perlu dijelaskan bahwa perbedaan pendapat ini hanyalah khilâf lafzhi. Pendapat pertama menghukumi selain sebab khithâb berdasarkan lafal ‘âm, sedangkan pendapat kedua menghukumi berdasarkan qiyâs. E. Beberapa Jenis Mukhâthab yang Mungkin Dianggap Tidak Terkena Khithâb Umum 1. Khithâb untuk laki-laki dan khithâb untuk perempuan36 a. Lafal yang dikhususkan untuk laki-laki seperti اﻟ ﱢﺮﺟَﺎلatau perempuan seperti اﻟﻨﱢﺴَﺎء. Seluruh ulama sepakat bahwa lafal khusus untuk laki-laki tidak dimasuki oleh perempuan dan begitu pula sebaliknya kecuali bila ada dalil lain seperti qiyâs. b. Lafal yang dari aturan Bahasa Arab sudah mencakup laki-laki maupun perempuan, seperti kata اﻟﻨﱠﺎسdan اﻟْﺒَﺸَﺮ. Seluruh ulama sepakat bahwa lafal semacam ini mencakup keduanya. c. Lafal yang dapat mencakup laki-laki dan perempuan tanpa indikator yang menunjukkan kepada laki-laki saja atau perempuan saja. Ada yang mengatakan bahwa perempuan tidak masuk dalam lafal semacam ini, kecuali bila ada dalil yang menunjukkannya. Tetapi yang benar adalah bahwa lafal semacam ini mencakup laki-laki maupun perempuan bahkan ar-Razi –sebagaimana dinukil oleh az-Zarkasyi- menyatakan ada ijmak atas pendapat ini. d. Lafal yang memiliki tanda untuk arti laki-laki seperti ﺴﻠِﻤُﻮْن ْ اﻟْ ُﻤdan lafal yang
memiliki tanda untuk
perempuan seperti ﺴﻠِﻤَﺎت ْ اﻟْ ُﻤ. Ulama berbeda pendapat
tentang apakah perempuan dapat dimasukkan ke dalam lafal-lafal semisal ﺴﻠِﻤُﻮْن ْ اﻟْ ُﻤ ini. Mazhab Hambali mengatakan bahwa perempuan dapat dimasukkan ke dalam lafal seperti ini, sedangkan jumhur ulama mengatakan tidak. Kemudian 36
Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fîqh 3/176-181, Irsyâd al-Fuhûl 1/562-566
11
al-Ghazali (w. 505 H) menengahi kedua pendapat ini dengan mengatakan lafal
اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِﻤُﻮْنdapat dimasuki oleh اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِﻤَﺎتdengan karena taghlîb (menggabungkan sebagian kepada sebagian lainnya), hanya saja pada asal (bahasa)nya ﺴﻠِﻤُﻮْن ْ اﻟْ ُﻤ tidak mencakup ﺴﻠِﻤَﺎت ْ اﻟْ ُﻤ37. 2. Budak laki-laki dan perempuan38 Ada tiga pendapat tentang masuknya budak ke dalam khithâb yang mengandung lafal seperti اﻟﻨﱠﺎسdan ُﺆِﻣﻨـُﻮْن ْ اﻟْﻤ: a. Budak masuk ke dalam khithâb ‘âm Jumhur ulama berpendapat bahwa budak masuk dalam khithâb ‘âm sebagaimana orang merdeka. Mereka beralasan bahwa budak termasuk اﻟﻨﱠﺎس, ْاﻷُﻣﱠﺔ,
اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِﻤُﻮْنdan semisalnya. b. Budak tidak masuk ke dalam khithâb ‘umûm Sebagian Ulama Mazhab Syafii dan sebagian Ulama Mazhab Maliki menyatakan bahwa budak tidak masuk dalam khithâb ‘âm. Mereka beralasan bahwa kebanyakan (banyak) perintah agama yang mengecualikan budak, seperti shalat jum’at, membayar zakat dan lainnya. Alasan ini tidak tepat karena orang sakit, perempuan haid dan musafir juga dikecualikan dari beberapa perintah agama. Akan tetapi mereka tetap masuk dalam khithâb yang mengandung lafal اﻟﻨﺎسdan lainnya. c. Budak masuk ke dalam khithâb ‘umûm yang berkaitan dengan hak Allah dan tidak masuk dalam khithâb yang berkaitan dengan hak manusia. Ini adalah pendapat Abu Bakr al-Jashshash al-Hanafi dan sebagian Ulama Mazhab Syafii. Mereka beralasan bahwa seorang budak tidak dapat bermuamalah dengan manusia lainnya. Alasan ini dapat dijawab dengan jawaban yang ditujukan kepada pendukung pendapat kedua. Al-Mankhûl min Ta’lîqât al-Ushûl karya al-Ghazali (w. 505) hal. 143 Ithâf Dzawi al-Bashâir bi Syarh Rawdlah an-Nâzhir karya Abdul Karim an-Namlah 6/149-155, al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fîqh karya 3/181-182, Irsyâd al-Fuhûl kary asy-Syaukani 1/566-567 37 38
12
3. Orang kafir39 Jumhur
berpendapat
bahwa
orang
kafir
terkena
khithâb
yang
bisa
mencakupnya, seperti khithâb dengan ﻳَﺎ أَﻳﱡـﻬَﺎ اﻟﻨﱠﺎس. Sedangkan sebagian Ulama Mazhab Syafii berpendapat bahwa khithâb tersebut hanya berlaku bagi kaum muslimin. 4. Khithâb untuk Ahli Kitab Khithâb yang ditujukan kepada Ahli Kitab tidak mencakup kaum muslimin kecuali bila ada dalil terpisah40. Seperti pada ayat: ﺴ ُﻜ ْﻢ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ ﺗَـ ْﺘـﻠ ُْﻮ َن َ ﱠﺎس ﺑِﺎﻟْﺒ ﱢِﺮ َوﺗَـ ْﻨﺴ َْﻮ َن أَﻧْـ ُﻔ َ أَﺗَﺄْ ُﻣﺮُْو َن اﻟﻨ (44 َﺎب أَﻓ ََﻼ ﺗَـ ْﻌ ِﻘﻠ ُْﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة َ اﻟْ ِﻜﺘ, dalil terpisah untuk kaum muslimin adalah: ﻳَﺎ أَﻳﱡـﻬَﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ آ َﻣﻨـُﻮْا ﻟِ َﻢ
(2 ﺗَـﻘ ُْﻮﻟ ُْﻮ َن ﻣَﺎ َﻻ ﺗَـ ْﻔ َﻌﻠ ُْﻮ َن )اﻟﺼﻒ. 5. Khithâb untuk seorang sahabat41 Tentang khithâb yang ditujukan kepada seorang sahabat dan disertai indikator bahwa khithâb tersebut hanya untuk sahabat yang bersangkutan. Ulama sepakat bahwa khithâb hanya berlaku untuk sahabat tersebut. Seperti pada kisah Abu Burdah Ra. yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat idulfitri dan tidak memiliki hewan lain selain jadza’ah maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:
َك َ ي َﺟ َﺬ َﻋﺔٌ َﻋ ْﻦ أَ َﺣ ٍﺪ ﺑَـ ْﻌﺪ َ ا ْذﺑَ ْﺤﻬَﺎ َوﻟَ ْﻦ ﺗَ ْﺠ ِﺰ42. Begitu pula pula tidak ada perbedaan bahwa khithâb kepada seorang sahabat – tanpa indikator yang membatasi khithâb pada sahabat tersebut- hukumnya berlaku bagi setiap mukalaf. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat apakah selain sahabat tersebut tercakup khithâb dengan jalan ‘urf (‘urf syari’at) atau dengan qiyâs. Yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan dengan jalan ‘urf syari’at, berdasarkan firman Allah Swt.: (28 ﱠﺎس )ﺳﺒﺄ ِ َﺎك إﱠِﻻ ﻛَﺎﻓﱠﺔً ﻟِﻠﻨ َ َوﻣَﺎ أَ ْر َﺳ ْﻠﻨ.
Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fîqh karya az-Zarkasyi (w. 794 H) 3/182, Irsyâd al-Fuhûl ila Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl kary asy-Syaukani 1/567-568 40 Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fîqh karya az-Zarkasyi (w. 794 H) 3/182 41 Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 292-293 42 Bukhari no. 968, Muslim no. 1960 (7) 39
13
6. Khithâb untuk Rasulullah Saw.43 Jika
khithâb
ditujukan
kepada
Rasulullah
dan
ada
indikator
yang
membatasinya hanya kepada beliau maka khithâb tersebut tidak berlaku pada umat. Seperti pada ayat: (37 ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ ﻗَﻀَﻰ َزﻳْ ٌﺪ ِﻣ ْﻨـﻬَﺎ َوﻃَﺮًا زﱠَو ْﺟﻨَﺎ َﻛﻬَﺎ )اﻷﺣﺰاب Dan bila khithâb tersebut memiliki indikator yang menunjukkan bahwa khithâb tersebut juga berlaku bagi umat Islam maka khithâb tersebut berlaku juga bagi umat beliau. Seperti pada firman Allah: (1 ﻳَﺎ أَﻳﱡـﻬَﺎ اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ إِذَا ﻃَﻠﱠ ْﻘﺘُ ُﻢ اﻟﻨﱢﺴَﺎءَ ﻓَﻄَﻠﱢﻘ ُْﻮ ُﻫ ﱠﻦ ﻟِ ِﻌ ﱠﺪﺗِ ِﻬ ﱠﻦ )اﻟﻄﻼق, indikatornya adalah kata ganti jam’ dalam ﻃﻠﻘﺘﻢdan ﻓﻄﻠﻘﻮﻫﻦ. Adapun jika khithâb tersebut tidak memiliki indikator apapun maka para ulama berbeda pendapat apakah khithâb seperti ini juga berlaku bagi umat. Pendapat pertama menyatakan bahwa khithâb tersebut juga berlaku bagi umat beliau. Mereka beralasan dengan berbagai ayat dan hadits yang memerintahkan untuk mengikuti beliau juga dengan kebiasaan Orang Arab yang menujukan khithâb mereka kepada pemuka kelompok padahal yang dimaksud adalah seluruh anggota kelompok. Sedangkan pendapat kedua menganggapnya sebagai khithâb khusus untuk beliau kecuali bila ada dalil lain seperti qiyâs. 7. Khithâb untuk umat Islam44 Para ulama sepakat bila khithâb yang ditujukan kepada umat dan memiliki indikator bahwa Rasulullah Saw. tidak termasuk dalam khithâb maka khithâb tersebut hanya berlaku bagi umat. Seperti pada firman Allah dalam surat al-Anfal: ﻳَﺎ (24 ْل إِذَا َدﻋَﺎ ُﻛ ْﻢ ﻟِﻤَﺎ ﻳُ ْﺤﻴِْﻴ ُﻜ ْﻢ )اﻷﻧﻔﺎل ِ ِﻠﺮﺳُﻮ َﺠ ْﻴﺒـُﻮْا ﻟِﻠّ ِﻪ َوﻟ ﱠ ِ أَﻳﱡـﻬَﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ آ َﻣﻨـُﻮْا ا ْﺳﺘ. Adapun jika khithâb tersebut memungkinkan untuk juga mencakup beliau seperti ﺎس ُ ﻳَﺎ أَﻳﱡـ َﻬﺎ اﻟﻨﱠ, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa secara bahasa beliau memang termasuk. Mayoritas ulama juga berpendapat bahwa –selain secara bahasa- beliau memang benar-benar masuk ke dalam khithâb semacam ini. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa beliau tidak termasuk dalam khithâb yang beliau
43 44
Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 293-295 Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fîqh karya az-Zarkasyi (w. 794 H) 3/188-189
14
sampaikan dengan alasan bahwa tidak mungkin menjadi penyampai dan sasaran penyampaian khithâb. Muhammad Khudhari Bek mengatakan bahwa alasan ini tidak tepat karena pada hakikatnya yang menyampaikan khithâb adalah malaikat Jibril.45 F. Dalalah Lafal ‘Âm Lafal-lafal ‘âm yang tidak mungkin di-takhshîsh yang dalalahnya qath’i, seperti dalam ayat-ayat tentang sunatullah. Wallâhu a’lam. Adapun khithâb ‘âm yang di-takhshîsh dengan dalil yang bersifat qath’i ats-tsubût, dalalahnya bersifat zhanni. Berbeda dengan pendapat menyatakan bahwa dalalahnya qath’i seperti sebagian mutakallimin atau ahli fikih yang pendapat mereka dalam fikih sedikit sekali yang sampai kepada kita misalnya Abu Tsaur (w. 241 H) dan ‘Isa bin Aban (w. 221) itupun kebenaran penukilan pendapat keduanya dalam hal ini dipermasalahkan. Ulama ushul fikih berbeda pendapat tentang kekuatan dalalah lafal ‘âm selain dalam dua keadaan di atas, apakah (pasti) atau hanya sekedar zhanni (persangkaan yang kuat). Mayoritas Ulama Mazhab Hanafi46 mengatakan bahwa dalalahnya qath’i, begitu pula Imam Syafii (w. 204)47 dan Imam
Malik
(179)48
disebut-sebut
juga
berpendapat demikian. Sedangkan jumhur ulama49 dan sebagian Ulama Mazhab Hanafi50 mengatakan bahwa dalalahnya hanya bersifat zhanni. Mayoritas Ulama Mazhab Hanafi beralasan dengan tiga hal: 1. Secara aturan bahasa, lafal-lafal ‘âm
bersifat qath’i dalalah terhadap setiap
individunya Alasan ini dapat dijawab dengan dua jawaban: a. Lafal-lafal tersebut secara aturan bahasa dalalahnya tidak qath’i Ushûl al-Fîqh karya Muhammad al-Khudhari Bek hal. 168-169 Ushûl al-Fîqh karya Muhammad Abu an-Nur Zuhair 2/176, Ushûl al-Fîqh karya Muhammad al-Khudhari Bek hal. 155, al-Muhadzdzab fî ‘Ilm Ushûl al-Fîqh al-Muqâran 4/1515 47 Ushûl al-Fîqh karya Muhammad Abu an-Nur Zuhair 2/176, Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fîqh 3/27 dengan menukil dari Abu Manshur al-Baghdadi (w. 429 H) 48 Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fîqh 3/27, menukil dari Abu Manshur al-Baghdadi (w. 429 H) 49 Ushûl al-Fîqh karya Muhammad al-Khudhari Bek hal. 155, al-Muhadzdzab fî ‘Ilm Ushûl al-Fîqh al-Muqâran 4/1515 50 Ushûl al-Fîqh karya Muhammad Abu an-Nur Zuhair 2/176 45 46
15
b. Lafal ‘âm mungkin di-takhshîsh sehingga dalalahnya zhanni, berbeda dengan lafal khôs.51 2. Jika lafal ‘âm hanya dimaksudkan untuk sebagian individunya saja maka akan menimbulkan kebingungan Alasan ini dapat dijawab dengan fakta bahwa lafal khâsh mungkin saja dimaksudkan sebagai majâz, tetapi tidak ada yang mengatakan bahwa fakta ini membingungkan.52 3. Kemungkinan takhshîsh hanyalah kemungkinan menurut akal yang tidak ditopang dengan dalil Alasan ini dapat dijawab dengan fakta bahwa kemungkinan ini bersumber dari dalil, yaitu bahwa begitu banyak ayat-ayat hukum yang di-takhsîsh.53 Adapun jumhur ulama yang mengatakan bahwa dalalah lafal-lafal ‘âm bersifat zhanni, mereka beralasan dengan: a. Adanya kemungkinan takhshîsh b. Mayoritas ayat-ayat hukum bertemu dengan takhshîsh c. Jika dalalah ‘âm bersifat qath’i, maka tidak mungkin men-takhshîsh lafal-lafal ‘âm dalam al-Qur’an dengan hadits ahad dan qiyâs. Padahal men-qiyâs-kan dengan hadits ahad dan qiyâs terjadi pada masa sahabat serta tabiin, juga dilakukan oleh para imam.54 Perbedaan pendapat mengenai dalalah lafal ‘âm ini menimbulkan perbedaan pendapat dalam beberapa permasalahan ushûl dan furû’, di antaranya dalam masalah kebolehan men-takhsîsh lafal ‘âm yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits mutawatir dengan
takhsîsh
yang
terdapat
dalam
membolehkannya kecuali bila lafal ‘âm
hadits
ahad.
Mazhab
Hanafi
tidak
tersebut sebelumnya sudah di-takhshîsh
Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 315-316 Ibid., hal. 315 dan hal. 317 53 Al-Muhadzdzab fî ‘Ilm Ushûl al-Fîqh al-Muqâran 4/1516, Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 316 54 Ushûl al-Fîqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh hal. 316 51 52
16
dengan al-Qur’an atau hadits mutawatir. Sedangkan jumhur ulama membolehkan takhshîsh yang semacam ini.55 Di antara perbedaan dalam masalah furû’ -yang dibangun di atas perbedaan dalam masalah ushûl- di atas adalah masalah nisab zakat pertanian. Mazhab Hanafi tidak mensyaratkan nishab sehingga mewajibkan zakat untuk hasil yang sedikit maupun banyak karena mereka hanya berpegang pada keumuman ayat: َوِﻣﻤﱠﺎ أَ ْﺧ َﺮ ْﺟﻨَﺎ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َﻦ (267 ْض )اﻟﺒﻘﺮة ِ ْاﻷَرdan hadits: اﻟْ ُﻌ ْﺸ ُﺮ
َﺖ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎءُ وَاﻟْﻌُﻴـ ُْﻮ ُن أ َْو ﻛَﺎ َن ِ ﻓِ ْﻴﻤَﺎ َﺳﻘ.56Adapun jumhur, mereka
men-takhshîsh ayat dan hadits di atas dengan hadits: ٌﺻ َﺪﻗَﺔ َ ُﻖ ٍ ْﺲ ﻓِ ْﻴﻤَﺎ أَﻗَ ﱡﻞ ِﻣ ْﻦ َﺧ ْﻤ َﺴ ِﺔ أَ ْوﺳ َ ﻟَﻴ.57
G. Pertentangan antara ‘Âm dan Khâsh58 Maksud pertentangan ‘âm dengan khâsh di sini adalah adanya lafal ‘âm dan lafal khâsh dalam masalah sama, baik dalam satu nash maupun dua nash yang terpisah. Misalnya pada masalah zakat pertanian, ada hadits: ﺸ ُﺮ ْ ُاﻟْﻌ
َﺖ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎءُ وَاﻟْﻌُﻴـ ُْﻮ ُن أ َْو ﻛَﺎ َن ِ ﻓِ ْﻴﻤَﺎ َﺳﻘ59
dan hadits: ٌﺻ َﺪﻗَﺔ َ ُﻖ ٍ ﺴ ِﺔ أ َْوﺳ َ ِﻦ َﺧ ْﻤ ْ ْﺲ ِﻓ ْﻴﻤَﺎ أَﻗَ ﱡﻞ ﻣ َ ﻟَﻴ60. 1. Pendapat Mazhab Hanafi Ada empat macam keadaan pertentangan –kecuali keadaan pertama- ‘âm dengan khôs: a. Diketahui bahwa ‘âm dan khâsh ada dalam nash yang sama maka khâsh mentakhshîsh ‘âm. b. Diketahui bahwa ‘âm
turun belakangan maka ia menasakh (menghapus)
hukum khâsh. c. Diketahui bahwa khâsh turun belakangan maka ia menasakh sebagian individu ‘âm (baca: men-takhshîsh).
Ibid., hal. 317 Shahîh al-Bukhâri, kitâb az-zakâh, bâb al-’usyur fîma yusqa min maâ’ as-samâ’ wa bi al-mâ’ al-jâri.., hadits no. 1483, hal. 361-362 57 Shahîh al-Bukhâri, kitâb az-zakâh, bâb laysa fîma dûn khamshah awsuq shadaqah, hadits no. 1484, hal. 362 58 Ushûl al-Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah hal. 166-167, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid karya Ibnu Rusyd al-Hafid (w.595 H) 1/331-332 59 Shahîh al-Bukhâri, kitâb az-zakâh, bâb al-’usyur fîma yusqa min maâ’ as-samâ’ wa bi al-mâ’ al-jâri.., hadits no. 1483, hal. 361-362 60 Shahîh al-Bukhâri, kitâb az-zakâh, bâb laysa fîma dûn khamshah awsuq shadaqah, hadits no. 1484, hal. 362 55 56
17
d. Tidak
diketahui mana yang
turun belakangan
maka yang
dipakai
(didahulukan) adalah ‘âm. 61 Kaidah mereka ini di bangun di atas dua alasan: a. Mereka memandang bahwa takhshîsh harus berdasarkan kesamaan waktu turunnya ‘âm dan khâsh. b. Mereka memandang bahwa dalalah ‘âm bersifat qath’i atas masing-masing individunya dan ‘âm maupun khâsh tidak membutuhkan penjelasan dari yang lainnya. Dengan catatan ini –kecuali pada keadaan pertama- berlaku jika kekuatan tsubût dari khâsh sama atau lebih kuat dari yang ‘âm. Jika tidak maka khâsh tidak berlaku sama sekali. Dalam kasus dua hadits di atas mereka menjadikan hadits pertama turun belakangan dan menasakh hadits kedua atau dengan me-râjihkan ‘âm (hadits pertama) atas khâsh (hadits kedua). Oleh karena itu Abu Hanifah (w. 150 H) tidak mensyaratkan nisab untuk zakat pertanian. 2. Pendapat Jumhur Ulama Jumhur ulama tidak memandang adanya pertentangan antara ‘âm dengan khâsh dalam masalah yang sama karena khâsh bersifat menjelaskan ‘âm. Mereka selain mengamalkan ‘âm, juga mengamalkan khâsh untuk sebagian individu ‘âm. Dengan kata lain –seandainya dikatakan bahwa jumhur melihat ada pertentangan antara keduanya- mereka mendahulukan khâsh atas ‘âm di semua keadaan bahkan ketika dalil khâsh lebih lemah kekuatan tsubût-nya. Sehingga dalam kasus dua hadits di atas mereka mengamalkan juga hadits kedua yang mengharuskan adanya nishab. Jumhur beralasan dengan empat pendapat: a. Mendahulukan ‘âm berarti mengamalkan dalil ‘âm dan dalil khâsh
Keadaan kedua, ketiga dan keempat mungkin maksudnya hanya untuk hadits saja dan bukan untuk al-Qur’an, wallahu a’lam 61
18
Dalil khâsh diamalkan seutuhnya, sedangkan dalil ‘âm diamalkan pada selain yang di-takhshîsh. Adapun jika mendahulukan ‘âm atas khâsh maka dalil khâsh tidak terpakai sama sekali. Mengamalkan kedua dalil sekaligus tentu lebih utama. b. Jika ada dalil ‘âm dan dalil khâsh sekaligus maka yang lebih unggul adalah dalil ‘âm selain yang di-takhshîsh Karena khâsh adalah penjelasan atas ‘âm, sehingga hadits-hadits Rasulullah tidak saling bertentangan sama lain. Kaidah ini lebih baik dari kaidah bahwa ‘âm maupun khâsh tidak membutuhkan penjelasan dari yang lainnya, sehingga meninggalkan salah satu hadits. c. Para sahabat dahulu mendahulukan khâsh atas ‘âm Dahulu para sahabat tidak memperhatikan masalah mana yang turun awal dan mana yang belakangan. d. Jumhur memandang bahwa dalalah khâsh lebih kuat dari dalalah ‘âm Menurut jumhur dalalah ‘âm bersifat zhanni sedangkan dalalah khâsh bersifat qath’i sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan dalalah ‘âm.
19
BAB III KHÂSH
A. Definisi Khâsh Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh menjelaskan bahwa khâsh ( )اﻟﺨﺎصsecara etimologi bermakna munfarid ( )اﻟﻤﻨﻔﺮدartinya meyendiri, terpisah. Dan secara terminologi berarti lafal yang dari segi bahasanya menunjukkan individu tertentu secara menyendiri.62 Sebagian ulama mendefinisikan khâsh ( )اﻟﺨﺎصdengan beberapa pengertian. Wahbah Zuhaili dalam bukunya Ushûl al-Fiqh al-Islami memaparkan bahawasanya khâsh adalah lafal yang ditetapkan untuk menunjukkan makna perseorangan atau individu secara menyendiri.63 Dalam hal ini khâsh mempunyai beberapa makna. Khâsh menunjukkan individu tertentu misalnya nama-nama orang, seperti Zaid, Burhan, dan Muhammad. Atau menunjukkan satu macam, seperti laki-laki, perempuan dan kerbau. Dan bisa juga menunjukkan jenis, seperti manusia. Dan khâsh juga berarti sesuatu yang menunjukkan satuan yang terbatas, seperti sembilan, seratus dan seribu. Definisi khâsh yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili ini serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf dalam kitab ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh.64 Dalam kitab Qurrat al-‘Aini disebutkan bahwa khâsh adalah sesuatu yang tidak mencakup dua hal atau lebih tanpa ada batas, tetapi sesuatu yang mencakup satu hal secara terbatas.65 B. Hukum Khâsh Menurut kesepakatan Imam Abu Hanifah dan mazhab yang lainnya, khâsh menunjukkan suatu makna secara qath’i (pasti) bukan bersifat zhanni (prasangka) selama tidak ada dalil yang memalingkannya ke makna yang lain. 66 Dan yang dimaksud qath’i
62
Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fî Ushûl al-Fîqh, Muassasah ar-Risalah Nasyirun, Beirut, cet. I, 2012, hal. 222 Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fîqh al-Islami, jilid 1, Dar al-Fîkr, Damaskus, cet. XIX, 2011, hal. 201 64 Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushûl al-Fîqh, Dar al-Hadits, Kairo, tc., 2003, hal. 178 65 Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abdirrahman al-Hathab ar-Ruaini, Qurrat al-‘Aini li Syarhi Waraqât al-Imam al-Haramain, ditahkik oleh Ahmad Musthafa Qasim Thahthawi, Dar al-Fadhilah, Kairo, tc., hal. 75 66 Wahbah Zuhaili, op. cit., hal. 202 63
20
disini yaitu tidak adanya kemungkinan makna lain yang timbul. Misalnya firman Allah pada surat al-Maidah tentang kafarat yamin: 67.
ﱠﺎم ٍ ﺼﻴَﺎ ُم ﺛ ََﻼﺛَِﺔ أَﻳ ِ ََﺠ ْﺪ ﻓ ِ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﻟَ ْﻢ ﻳ
Artinya: “Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian maka berpuasalah selama tiga hari.” Kesimpulan yang bisa diambil dari nash di atas menunjukkan wajibnya puasa tiga hari karena lafal tiga termasuk lafal khâsh dan menunjukkan makna secara qath’i (pasti) dan tidak ada kemungkinan untuk bertambah atau berkurang. Contoh lain firman Allah pada surat al-Baqarah tentang perintah shalat dan zakat: 68
.َﺼﻠَﻮ َة وءَاﺗُـ ْﻮا اﻟ ﱠﺰَﻛﻮة َوأَﻗِ ْﻴ ُﻤ ْﻮا اﻟ ﱠ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” Shalat dan zakat merupakan suatu perintah dan perintah itu termasuk bagian dari khâsh, maka perintah tersebut bersifat qath’i (pasti). Tetapi jika ada suatu dalil yang memalingkan lafal khâsh dari makna otentiknya maka dalalahnya tidak bersifat qath’i (pasti) dan keadaannya harus sesuai dengan apa yang dituntut oleh dalil. Seperti sabda Rasulullah Saw. dalam nisab zakat kambing. Beliau bersaba:
.ٌِﻲ ُﻛ ﱢﻞ أَ ْرﺑَ ِﻌ ْﻴ َﻦ ﺷَﺎةً ﺷَﺎة ْﻓ Artinya: “Pada setiap empat puluh kambing, zakatnya seekor kambing.” Pada hadits di atas disebutkan bahwa nisab zakat empat puluh kambing dengan seekor kambing. Lafal empat puluh ekor kambing dan seekor kambing itu termasuk lafal khâsh karena tidak adanya kemungkinan angkanya bertambah atau berkurang dan bersifat pasti. Ulama Hanafiyah berpendapat adanya qârinah yang memalingkan dari makna aslinya yaitu tentang pensyariatan zakat bukan pada jumlah atau bilangan kambing. Maksud pensyariatan nash disini untuk membantu orang fakir miskin serta memenuhi hajat mereka.69
67
QS. al-Mâidah: 89 QS. al-Baqarah: 43 69 Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 223 68
21
C. Implikasi Khâsh pada Fikih Khâsh mempunyai otoritas dalam permasalahan fikih, diantaranya sebagai berikut:70 1. Tafsir pada lafal qur`u Menurut kesepakatan para ulama bahwasanya lafal qur`u merupakan lafal musytarak, bisa berarti haid ataupun bersuci. Pernyataan ini serupa dengan apa yang disebutkan di dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith. Bahwa lafal qur`u artinya haid atau bersuci.71 Al-Qur’an telah menashkan bahwasanya idah perempuan yang ditalak adalah tiga kali quru`. Firman Allah Swt. pada surat al-Baqarah: 72
.ُﺴ ِﻬ ﱠﻦ ﺛ ََﻼﺛَﺔَ ﻗُـﺮُوٍء ِ ﺼ َﻦ ﺑِﺄَﻧْـﻔ ْ َﺎت ﻳَـﺘَـ َﺮﺑﱠ ُ وَاﻟْ ُﻤﻄَﻠﱠﻘ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`.” Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan qur`u artinya haid, karena lafal tsalâtsah ( )ﺛﻼﺗﺔmerupakan lafal khâsh. Jadi secara pasti menunjukkan kewajiban menunggu tiga kali quru` tanpa tambahan atau pengurangan. Tetapi kalau kita memaknai lafal quru` itu bersuci seperti yang dikemukakan oleh Ulama Syafiiyah dan Malikiyah maka waktu penantiannya bisa lebih dari tiga kali quru`. Dan hal ini tidak boleh karena berkontradiksi dengan maksud nash. 2. Sesuatu yang mewajibkan adanya mahar Ulama Hanafiyah mengatakan bahwasanya mahar diwajibkan karena akad pernikahan itu sendiri sesuai dengan lafal ba ( )بpada firman Allah pada surat anNisâ` yang berbunyi: 73
.َوأُ ِﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﱠﻣﺎ َوَرآءَ ذَاﻟِ ُﻜ ْﻢ أَ ْن ﺗَـ ْﺒﺘَـﻐُ ْﻮا ﺑِﺄَ ْﻣ َﻮاﻟِ ُﻜ ْﻢ
Artinya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu.”
70
Wahbah Zuhaili, op. cit., hal. 202-204 Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, Kairo, cet. V, 2011, hal. 748 72 QS. al-Baqarah: 228 73 QS. an-Nisâ`: 24 71
22
Lafal ba ( )بpada ayat diatas adalah lafal khâsh, maka secara (qath’i) pasti menunjukkan bahwasanya ibtighô (permintaan atau tuntutan) yang merupakan akad itu sendiri harus berhubungan dengan harta, karena lafal khâsh menunjukkan sesuatu secara qath’i dan tidak boleh meyelisihinya. Pada pokok permasalahan lain bahwasanya mufawwidhoh (perempuan yang dizinkan oleh walinya untuk menikah tanpa menyebutkan mahar) apabila suaminya meninggal sebelum berjimak dan sebelum adanya suatu kesepakatan ukuran mahar, maka menurut Ulama Hanafiyah wajib bagi perempuan itu untuk mendapatkan mahar mitsli karena tidak adanya harta pada akad tersebut. Akan tetapi Ulama Malikiyah berpendapat tidak diwajibkan bagi perempuan tersebut untuk mendapatkan mahar karena mahar tidak wajib dengan adanya akad tetapi mahar diwajibkan sebab adanya jimak atau adanya ucapan (kesepakatan untuk membayar mahar). 3. Syarat untuk thuma’ninah dalam shalat Thuma’ninah dalam kitab al-Imtâ’ bi Syarhi Matn Abî Syujâ’ pada bab rukun shalat adalah berdiri tegak dan berhenti dengan bertasbih.74 Maknanya juga bisa berarti tidak gelisah.75 Ulama Hanafiyah (kecuali Abu Yusuf) tidak mewajibkan adanya thuma’ninah dalam shalat, sesuai dengan firman Allah Swt. pada surat al-Hajj: 76
.ﻳَﺄَﻳﱡـ َﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ أَ َﻣﻨُـ ْﻮا ا ْرَﻛﻌُ ْﻮا َوا ْﺳ ُﺠ ُﺪ ْوا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu dan sujudlah kamu.” Ayat di atas menunjukkan dalalah khâsh. Maka cukup dilakukan dengan rukuk dan sujud dalam pelaksanaan shalat. Abu Yusuf dan Imam Syafii mengatakan thuma’ninah itu wajib dalam shalat karena statusnya menunjukkan khâsh. Pernyataan ini didukung oleh hadits sahih dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya ada Orang Arab shalat di Masjid Nabawi tanpa thuma’ninah lalu Rasulullah Saw. bersabda: 77
74
.ﺼ ﱢﻞ َ ُﻚ ﻟَ ْﻢ ﺗ َ ﻓَِﺈﻧﱠ,ﺼ ﱢﻞ َ َإِ ْرﺟ ْﻊ ﻓ
Hisyam Kamil Hamid, al-Imtâ’ bi Syarhi Matn Abî Syujâ’, Dar al-Manar, Kairo, cet. I, 2011, hal. 83 Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, op. cit., hal. 587 76 QS. al-Hajj: 77 75
23
Artinya: “Kembalilah lalu shalatlah, sesungguhnya kamu belum shalat.” Pada hadits di atas terdapat penjelasan yang gamblang bahwasanya setiap rukuk, iktidal, dan sujud harus disertai thuma’ninah. Hikmah adanya thuma’ninah agar kita senantiasa mentadaburi setiap lafal, bacaan, dan doa yang terlontar dari mulut kita dan agar selalu ingat atas kekuasaan Allah sebagai salah satu identitas muslim yang beriman dan bertakwa kepada-Nya. D. Macam-macam Khâsh Khâsh mempunyai beberapa macam. Yang paling fundamental ada empat macam, yaitu muthlaq, muqayyad, amr, dan nahyu. Pada pembahasan makalah ini akan dipaparkan dua macam saja, yaitu muthlaq dan muqayyad. 1. Muthlaq ()ﻣﻄﻠﻖ a. Definisi Muthlaq Menurut Syeikh Utsaimin muthlaq secara etimologi yaitu antonim dari muqayyad. Kemudian secara terminologi muthlaq adalah sesuatu yang menunjukkan suatu hakikat tanpa adanya limitasi.78 Seperti firman Allah Swt. pada surat alMujâdilah: 79
.ِﻦ ﻗَـﺒ ِْﻞ أَ ْن ﻳَـﺘَﻤَﺎﺳﱠﺎ ْ ﻓَـﺘَ ْﺤﺮِﻳ ُﺮ َرﻗَـﺒَ ٍﺔ ﻣ
Artinya: “Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.” Lalu
menurut
Muhammad
Khudhari
muthlaq
adalah
sesuatu
yang
menunjukkan perseorangan atau kelompok bersama tanpa batas.80 Lain halnya dengan Wahbah Zuhaili, beliau mendefinisikan muthlaq adalah lafal khâsh yang menunjukkan perseorangan atau beberapa kelompok secara bersama dan tidak terbatas oleh salah satu dari beberapa sifat misalnya seorang laki-laki, beberapa orang laki-laki, sebuah kitab, beberapa kitab, seekor burung, beberapa burung.81 77
HR. Bukhari dan Muslim Muhammad bin Shalih Utsaimin, al-Ushûl min ‘Ilmi al- Ushûl, Muassasah Zad, Kairo, cet. I, 2012, hal. 33 79 QS. al-Mujâdilah: 3 80 Muhammad Khudhari, Ushûl al-Fîqh, Dar al-Hadits, Kairo, tc., 2003, hal. 190 81 Wahbah Zuhaili, op. cit., hal. 204-205 78
24
Jadi maksud dari pernyataan di atas menunjukkan esensi serta hakikat sesuatu itu sendiri dan lafal muthlaq itu sama seperti lafal nakirah. Dengan definisi yang serupa, Abdul Karim Zaidan menjelaskan bahwasanya muthlaq adalah lafal yang menunjukkan perseorangan atau kelompok yang tidak tertentu tanpa adanya batas.82 b. Hukum Muthlaq Muthlaq berlaku sesuai dengan ke-ithlaq-kannya selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya suatu taqyîd (limitasi). Seperti firman Allah Swt. pada surat alMujâdilah:
ِﻦ ﻗَـﺒ ِْﻞ أَ ْن ﻳَـﺘَﻤَﺎﺳﱠﺎ َذﻟِ ُﻜ ْﻢ ﺗُﻮ َﻋﻈُﻮ َن ﺑِ ِﻪ وَاﻟﻠﱠﻪُ ﺑِﻤَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن ْ ِﻦ ﻧِﺴَﺎﺋِ ِﻬ ْﻢ ﺛُ ﱠﻢ ﻳَـﻌُﻮدُو َن ﻟِﻤَﺎ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻓَـﺘَ ْﺤﺮِﻳ ُﺮ َرﻗَـﺒَ ٍﺔ ﻣ ْ وَاﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻳُﻈَﺎ ِﻫﺮُو َن ﻣ 83
.َﺧﺒِﻴ ٌﺮ
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.” Ayat ini menjelaskan kafarat zhihar bagi suami yang meyerupakan istrinya dengan ibunya dengan memerdekakan budak. Kata raqabah (budak) disini merupakan lafal muthlaq karena tidak adanya sesuatu atau sifat yang membatasi kata tersebut. Jadi membebaskan budak di sini bisa meliputi budak mukmin atau kafir.84 Tetapi jika ada dalil yang yang men-taqyîd pernyataan muthlaq maka yang diamalkan adalah dalil taqyîd tersebut. Seperti firman Allah Swt.: 85
.ﺻﻴﱠ ٍﺔ ﻳُﻮﺻﻰ ﺑِﻬَﺎ أ َْو َدﻳْ ٍﻦ ِ ِﻣ ْﻦ ﺑَـ ْﻌ ِﺪ َو
Artinya: “Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya.” Kata wasiat di atas merupakan lafal muthlaq karena tidak adanya taqyîd pada ayat di atas dengan ukuran tertentu maka boleh memberikan wasiat dengan ukuran 82
Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 225 QS. al-Mujadilah: 3 84 Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 225 85 QS. an-Nisâ`: 12 83
25
tanpa batasan. Tetapi ada dalil yang men-taqyîd dengan sepertiga bagian dari wasiat, yaitu hadits masyhur dari Sa’ad bin Abi Waqqash ketika Rasulullah Saw. melarang untuk memberikan wasiat di atas sepertiga. 2. Muqayyad ()ﻣﻘﻴﺪ a. Definisi Muqayyad Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushûl al-Fiqh menjelaskan bahwasanya muqayyad adalah apa-apa yang menunjukkan suatu esensi yang dibatasi dengan sifat, keadaan, ghoyah, dan syarat.86 Contoh yang di-taqyîd dengan sifat: 87
.ﻓَـﺘَ ْﺤ ِﺮﻳْـ ُﺮ َرﻗَـﺒَ ٍﺔ ُﻣ ْﺆِﻣﻨَ ٍﺔ
Artinya: “Maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.” Contoh yang di-taqyîd dengan syarat, tentang kafarat sumpah: 88
.ﱠﺎم ٍ ﺼﻴَﺎ ُم ﺛ ََﻼﺛَِﺔ أَﻳ ِ ََﺠ ْﺪ ﻓ ِ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﻟَ ْﻢ ﻳ
Artinya: “Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari.” Puasa selama tiga hari di atas dibatasi apabila tidak bias memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Contoh yang di-taqyîd dengan ghoyah (tujuan): 89
.ﺼﻴَﺎ َم إِﻟَﻰ اﻟﱠْﻴ ِﻞ ﺛُ َﻢ أَﺗِ ﱡﻤ ْﻮا اﻟ ﱢ
Artinya: “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” Puasa di atas dibatasi oleh ghoyah (tujuan), yaitu waktu malam. Maka tidak boleh puasa wishôl. Contoh taqyîd dengan ghoyah (tujuan) menurut Syinqithi:90 86
Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fîqh, Dar al-Fîkr al-‘Arabi, Kairo, tc., hal. 157 QS. an-Nisâ`: 92 88 QS. al-Mâidah: 89 89 QS. al-Baqarah: 187 87
26
91
.َوﻻ ﺗَـ ْﻘ َﺮﺑُـ ْﻮ ُﻫ ﱠﻦ َﺣﺘﱠﻰ ﻳَﻄْ ُﻬ ْﺮ َن
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka bersuci.” Menurut Wahbah Zuhaili muqayyad adalah lafal khâsh yang menunjukkan perseorangan secara bersama yang dibatasi dengan salah satu dari beberapa sifat.92 Dengan ungkapan lain, lafal yang menunjukkan sesuatu tertentu. Misalnya pemuda mukmin, beberapa pemuda mukmin, wanita yang lembut, wanita-wanita yang lembut. Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam satu jenis yang dibatasi dengan beberapa sifat.93 b. Hukum Muqayyad Hukum muqayyad wajib diamalkan sesuai dengan apa yang telah di-taqyîd, selama tidak ada dalil yang menghapus atau membatalkan taqyîd tersebut. Misalnya hukum tentang kafarat zhihar, Allah Swt. berfirman: 94
.ﺼﻴَﺎ ُم َﺷ ْﻬ َﺮﻳْ ِﻦ ُﻣﺘَﺘَﺎﺑِ َﻌ ْﻴ ِﻦ ِﻣ ْﻦ ﻗَـﺒ ِْﻞ أَ ْن ﻳَـﺘَﻤَﺎﺳﱠﺎ ِ ََﺠ ْﺪ ﻓ ِ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﻟَ ْﻢ ﻳ
Artinya: “Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.” Perintah puasa diatas di-taqyîd dengan syarat dilakukan secara berturut-turut dan dilakukan sebelum suami istri itu kembali berhubungan.95 Seperti halnya pada kafarat pembunuhan khotho` (yang salah). Allah berfirman: 96
.ﻓَـﺘَ ْﺤ ِﺮﻳْـ ُﺮ َرﻗَـﺒَ ٍﺔ ﻣ ُْﺆِﻣﻨَ ٍﺔ
Artinya: “Maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.” Maka konklusinya tidak boleh memerdekakan seorang hamba sahaya kecuali dia orang yang beriman.
90
Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar Syinqithi, Mudzakaroh fî Ushûl al-Fîqh, Dar al-Hadits, Kairo, tc., 2011, hal. 209 91 QS. al-Baqarah: 222 92 Wahbah Zuhaili, op. cit., hal. 206 93 Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 225 94 QS. al-Mujâdilah: 4 95 Wahbah Zuhaili, op. cit., hal. 206 96 QS. an-Nisâ`: 92
27
E. Hamlu al-Muthlaq ‘ala al-Muqayyad dan Jenis-jenisnya Yang perlu kita ketahui bahwasanya dalam Mazhab jumhur lafal berkutat pada tiga marhalah (tingkatan). Marhalatu al-wadh’i, marhalatu al-isti’mal, dan marhalatu al-haml. Pada permasalahan hamlu al-muthlaq ‘ala al-muqayyad, kita berada pada marhalatu al-haml. Hamlu al-Muthlaq ‘ala al-Muqayyad terdapat dua jenis atau keadaan, yaitu sebagai berikut: 1. Apabila muthlaq dan muqayyad berada dalam satu sebab hukum. Ada perbedaan pendapat dari para ulama ushul fikih. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwasanya muthlaq tidak berlaku terhadap hukum muqayyad, tetapi hukum tersebut berlaku secara sendiri-sendiri. Jumhur ulama berpendapat selain Ulama Hanafiyah berpendapat bahwasanya muthlaq berlaku pada hukum muqayyad. Misalnya hadits dari Ibnu Umar:
ﺼ ِﻐ ْﻴ ِﺮ َواﻟْ َﻜﺒِْﻴ ِﺮ ﺻﺎ ًﻋﺎ ِﻣ ْﻦ َﺷ ِﻌ ْﻴ ٍﺮ َﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻌ ْﺒ ِﺪ َواﻟْ ُﺤ ِﺮ َواﻟ ﱠﺬﻛ ِﺮ وﻷﻧْـﺜَﻰ َواﻟ ﱠ َ ﺻﺎ ًﻋﺎ ِﻣ ْﻦ ﺗَ ْﻤ ٍﺮ أَ ْو َ ﻀﺎن َ ﷲ َزَﻛﺎةَ اﻟ ِﻔﻄْ ِﺮ ِﻣ ْﻦ َرَﻣ ِ ض َر ُﺳ ْﻮ ُل ا َ ﻓَـ َﺮ ( وﻓﻲ رواﻳﺔ أﺧﺮى ﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮ ﻓﻴﻬﺎ )ﻣﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ.ﺴﻠِ ِﻤ ْﻴ َﻦ ْ ِﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤ Jadi di dalam dua nash tersebut terdapat satu hukum, yaitu wajibnya membayar zakat fitrah. Tetapi terdapat lafal muthlaq dan muqayyad pada sebab hukum tersebut yaitu orang yang ditanggung untuk membayar zakat fitrah, karena nash yang pertama menyatakan adanya taqyîd (batasan) dengan syarat yang ditanggung untuk membayar orang zakat fitrah itu beriman, sedangkan nash yang kedua berlaku hukum muthlaq. Maka pada permasalahan ini Ulama Hanafiyah berpendapat muthlaq disini tidak berlaku terhadap hukum muqayyad. Jadi kedua hukum tersebut (muthlaq dan muqayyad) berjalan pada hukum yang semestinya. Maka seseorang tersebut diwajibkan membayar zakat fitrah baik orang yang ditanggung tersebut beriman atau orang yang kafir karena hukum muqayyad pada nash yang pertama tidak berlaku terhadap nash yang kedua. Pendapat dari jumhur ulama bahwasanya muthlaq berlaku pada hukum muqayyad. Konklusi yang dapat diambil maka tidak diwajibkan seseorang membayar zakat fitrah kecuali orang yang ditanggung tersebut muslim.
28
2. Apabila muthlaq dan muqayyad berada dalam satu hukum. Ada empat shûrah (gambaran) pada keadaan ini, yaitu sebagai berikut: a. Apabila muthlaq dan muqayyad berada dalam satu hukum dan sebab Hukumnya
yaitu
muthlaq
berlaku
pada
hukum
muqayyad
menurut
kesepakatan ulama. Maka tidak benar jika adanya perselisihan antara muthlaq dan muqayyad ketika berada dalam satu hukum dan sebab. Contohnya pada firman Allah Swt. tentang masalah tayamum: 97
.ﺴﺤُﻮا ﺑ ُِﻮﺟُﻮ ِﻫ ُﻜ ْﻢ َوأَﻳْﺪِﻳ ُﻜ ْﻢ َ ﻓَﺎ ْﻣ
◌ِ Artinya: “Maka usaplah mukamu dan tanganmu.” 98
.ُﺴﺤُﻮاْ ﺑ ُِﻮﺟُﻮ ِﻫ ُﻜ ْﻢ َوأَﻳْﺪِﻳﻜُﻢ ﱢﻣ ْﻨﻪ َ ﺻﻌِﻴﺪاً ﻃَﻴﱢﺒﺎً ﻓَﺎ ْﻣ َ ْﻓَـﺘَـﻴَ ﱠﻤﻤُﻮا
◌ِ Artinya: “Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu.” Sebab nash pada kedua ayat di atas adalah satu sebab yaitu kehendak untuk melakukan shalat, dan hukum pada ayat di atas juga satu yaitu kewajiban untuk mengusap, maka muthlaq berlaku pada hukum muqayyad. Jadi kewajiban dalam tayamum yaitu mengusap wajah dan kedua tangan dengan (debu) tanah yang tidak najis. b. Apabila hukum dan sebab berbeda Firman Allah Swt. pada surat al-Mâidah: 99
.وَاﻟﺴﱠﺎ ِر ُق وَاﻟﺴﱠﺎ ِرﻗَﺔُ ﻓَﺎﻗْﻄَﻌ ُْﻮا أَﻳْ ِﺪﻳَـ ُﻬﻤَﺎ
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” 100
97
QS. an-Nisâ`: 43 QS. al-Mâidah: 6 99 QS. al-Mâidah: 38 100 QS. al-Mâidah: 6 98
29
.ِﻖ ِ ْﺴﻠُﻮاْ ُوﺟُﻮ َﻫ ُﻜ ْﻢ َوأَﻳْ ِﺪﻳَ ُﻜ ْﻢ إِﻟَﻰ اﻟْ َﻤﺮَاﻓ ِ ﻓَﺎﻏ
Artinya: “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” Lafal ( )أﻳﺪﻳﻬﻤﺎpada ayat yang pertama merupakan muthlaq, sedangkan lafal ( )وأﻳﺪﻳﻜﻢpada ayat yang kedua adalah muqayyad. Sebab pada kedua ayat di atas berkontradiksi. Ayat yang pertama tentang pencurian dan yang kedua kehendak shalat dan adanya hadas. Begitu juga hukumnya, pada ayat yang pertama tentang potong tangan orang yang mencuri dan ayat yang kedua tentang membasuh tangan pada saat wudhu. Maka berdasarkan adanya ikhtilâf pada hukum dan sebab, muthlaq tidak berlaku terhadap hukum muqayyad sesuai kesepakatan para ulama. c. Hukumnya berbeda tetapi sebabnya sama Contohnya firman Allah Swt. tentang perintah wudhu: 101
.ِﻖ ِ ْﺴﻠُﻮاْ ُوﺟُﻮ َﻫ ُﻜ ْﻢ َوأَﻳْ ِﺪﻳَ ُﻜ ْﻢ إِﻟَﻰ اﻟْ َﻤﺮَاﻓ ِ ﻓَﺎﻏ
Dan perintah Allah tentang tentang masalah tayamum: 102
.ُﺴﺤُﻮاْ ﺑ ُِﻮﺟُﻮ ِﻫ ُﻜ ْﻢ َوأَﻳْﺪِﻳﻜُﻢ ﱢﻣ ْﻨﻪ َ ﻓَﺎ ْﻣ
Kata tangan pada perintah wudhu di-taqyîd (dibatasi) sampai dengan siku, sedangkan pada perintah tayamum lafalnya muthlaq. Hukum pada dua nash di atas berbeda yaitu tentang membasuh tangan ketika berwudhu dan mengusap tangan saat tayamum. Adapun sebab dua nash di atas adalah sama yaitu adanya hadas dan kehendak untuk melakukan shalat. Banyak dari ulama bersepakat bahwasanya muthlaq tidak berlaku terhadap hukum muqayyad pada kondisi ini kecuali ada dalil yang menunjukkan berlakunya hukum muthlaq. Maka pada kondisi yang demikian para mujtahid mencari jalan keluar dengan menggunakan sunnah. Kemudian Ulama Syafiiyah dan Hanafiyah mengatakan bahwasanya yang menjadi kewajiban yaitu membasuh kedua tangan sampai siku, sesuai dengan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan secara marfu’. Rasulullah Saw bersabda: 103
101 102
QS. al-Mâidah: 6 QS. al-Mâidah: 6
30
.اﻟﻤﺮﻓَـ َﻘ ْﻴ ِﻦ ْ ﺿ ْﺮﺑَﺔ ﻟ ْﻠﻴَ َﺪﻳْ ِﻦ إِﻟَﻰ َ َو،ﺿ ْﺮﺑَﺔ ﻟ ْﻠ َﻮ ْﺟ ِﻪ َ : ﺿ ْﺮﺑَـﺘَﺎ ِن َ اﻟﺘﱠـﻴَﻤ ُﻢ
Artinya: “Tayamum itu dua kali pukulan yaitu pukulan untuk wajah dan kedua tangan sampai siku.” Ulama Malikiyah dan Hanabilah mengatakan bahwasanya yang menjadi kewajiban yaitu membasuh kedua telapak tangan saja karena Rasulullah memerintahkan Ammar bin Yasir untuk tayamum dengan mengusap wajah dan kedua telapak tangan. Sesuai dengan hadits di bawah ini: 104
.ﺛﻢ ﺗﻤﺴﺢ ﺑﻬﺎ وﺟﻬﻚ و ﻛﻔﻴﻚ إﻟﻲ اﻟﺮﺳﻐﻴﻦ
Artinya: “Kemudian usaplah pada wajahmu dan kedua telapak tanganmu sampai pergelangan.” d. Hukumnya sama tetapi sebabnya berbeda Contohnya pada kasus kafarat zhihar dan kafarat pembunuhan khotho` (yang salah). Allah Swt. berfirman: 105
.ِﻦ ﻗَـﺒ ِْﻞ أَ ْن ﻳَـﺘَﻤَﺎﺳﱠﺎ ْ ﻓَـﺘَ ْﺤﺮِﻳ ُﺮ َرﻗَـﺒَ ٍﺔ ﻣ
Dan firman Allah tentang kafarat pembunuhan khotho`: 106
.ﻓَـﺘَ ْﺤ ِﺮﻳْـ ُﺮ َرﻗَـﺒَ ٍﺔ ﻣ ُْﺆِﻣﻨَ ٍﺔ
Lafal ( )رﻗﺒﺔpada ayat yang pertama muthlaq, sedangkan pada ayat kedua lafalnya muqayyad dengan adanya syarat bahwa budak tersebut orang yang beriman. Pada kasus ini hukum kedua ayat di atas sama tetapi sebabnya berbeda. Pada ayat pertama dijelaskan sebab adanya kafarat zhihar karena suami istri ingin berhubungan kembali, sedangkan pada ayat yang kedua sebab adanya kafarat karena pembunuhan itu sendiri. Ulama Hanafiyah dan sebagian besar Ulama Malikiyah berpendapat bahwasanya muthlaq tidak berlaku terhadap hukum muqayyad
maka
diwajibkan
dalam
kafarat
pembunuhan
khotho`
untuk
membebaskan budak yang beriman dan dalam kafarat zhihar diwajibkan untuk membebaskan budak, baik yang beriman atau kafir. 103
HR. Daruquthni, Hakim dan Baihaqi HR. Tirmidzi dan Daruquthni 105 QS. al-Mujâdilah: 3 106 QS. an-Nisâ`: 92 104
31
BAB IV EPILOG
Kesimpulan Maka konklusi yang dapat kita terima bahwa ‘âm secara global adalah lafal yang mencakup semua individu yang layak dicakup dalam satu susunan kalimat. Dan ‘âm mempunyai macam dan lafal tersendiri yang mempunyai makna khusus dalam setiap jenisnya. Sedangkan khâsh adalah lafal yang ditetapkan untuk menunjukkan makna perseorangan atau individu secara menyendiri. Dan hukum khâsh menunjukkan suatu makna secara qath’i (pasti) bukan bersifat zhanni (prasangka) selama tidak ada dalil yang memalingkannya ke makna yang lain. Demikian pemaparan makalah singkat ini kami buat. Alhamdulillah atas segala limpahan rahmat-Nya serta dukungan dari rekan-rekan makalah ini selesai, walaupun masih banyak sekali kekurangan di setiap titik tulisan. Harapan penulis semoga pembaca mampu memahami secara global otoritas ‘âm dan khâsh dalam istinbâth hukum Islam sebagai salah satu aspek ajaran Islam untuk memahami makna-makna lafal setiap hukum dalam suatu nash. Saran dan kritik yang membangun tentu sangat penulis butuhkan mengingat pembuatan makalah yang jauh dari kata sempurna. Karena kesempurnaan adalah hak prerogatif Allah Swt. Wallâhu a’lam
32
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Majid bin, Istidlâl al-Ushuliyyin bi al-Lughah al-‘Arabiyyah (Riyadh: Dar Kunuz Isybilia, 2011) Abu Sa’id, al-‘Ala`i, Talqîh al-Fuhûm fi Shiyagh al-‘Umûm (Beirut: Dar al-Arqam, 1997) al-Arabiyah, Majma’ al-Lughah, al-Mu’jam al-Wasith (Kairo: Maktabah al-Syuruq alDauliyah, 2011) Al-Ayni, Abu Muhammad, ‘Umdah al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah) Al-Baghdadi, Ibn Barhan, al-Wushûl ila al-Ushûl (Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1983) Al-Baidhawi, Abdullah bin Umar, Minhâj al-Wushûl ila ‘Ilm al-Ushûl (Beirut: Muassash arRisalah Nasyirun) Al-Baji, Abu al-Walid, Ihkâm al-Fushûl fi Ahkâm al-Ushûl (Dar al-Gharb al-Islami, 1995) Al-Bukhari, Abu Abdullah, Shahîh al-Bukhâri (Damaskus: Dar Ibn Katsir, 2002) Al-Farahidi, Ahmad bin Khalil, al-‘Ayn Al-Fayruz Abadi, Muhammad bin Ya’qub, al-Qâmûs al-Muhîth (Beirut: Muassasah arRisalah, 2005) Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mankhûl min Ta’lîqât al-Ushûl (Damaskus: Dar al-Fikr, 1980) Al-Hafid, Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid (Kairo: Dar al-‘Aqidah, 2004) Al-Hambali, Ibn Muflih, Ushûl al-Fiqh (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaykan, 1999) Al-Jauhari, Isma’il bin Hammad, ash-Shihâh (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1984)
33
Al-Jizani, Muhammad bin al-Husain, Ma’alim Ushûl al-Fiqh ‘ind Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (ad-Dammam: Ibn al-Jauzi, 1996) Al-Juwaini, Abu al-Ma’ali, al-Waraqât (Riyadh: Dar ash-Shami’i, 1996) Al-Ma’afiri, Abu Muhammad bin Abdulmalik bin Hisyam, as-Sîrah an-Nabawiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah) Al-Mardawi, Abu al-Hasan, at-Tabîr Syarh at-Tahrîr fi Ushûl al-Fiqh (Riyadh: Maktabah arRusyd) Al-Qadhi, Abu Ya’la, al-‘Uddah fi Ushûl al-Fiqh (Riyadh: 1990) Al-Qurthubi, Abu Abdillah, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2006) An-Namlah, Abdul Karim, al-Jâmi’ li Masâil Ushûl al-Fiqh wa Tathbîquha ‘ala al-Madzhab arRâjih (Riyadh: Makatabah ar-Rusyd, 2000) An-Namlah, Abdul Karim, al-Muhadzdzab fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muqâran (Riyadh: Makatabah ar-Rusyd, 1999) An-Namlah, Abdul Karim, Ithâf Dzawi al-Bashâir bi Syarh rawdlah an-Nâzhir (Riyadh: Dar al‘Ashimah, 1996) An-Nasai, Abu Abdurrahman, Sunan an-Nasâi (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif) Ar-Razi, Abu Abdullah Muhammad bin Umar, al-Mahshûl fi ‘Ilm al-Ushûl (Muassasah arRisalah) ar-Ruaini, Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abdirrahman al-Hathab, Qurrat al-‘Aini li Syarhi Waraqât al-Imam al-Haramain (Kairo: Dar al-Fadhilah) As-Sam’ani, Abu al-Muzhaffar, Qawâthi’ al-Adillah fi Ushûl al-Fiqh (Riyadh: Maktabah atTawbah, 1998) As-Samarqandi, Abu Bakar, Mîzân al-Ushûl fi Natâij al-‘Uqûl fi Ushûl al-Fiqh As-Sarakhsi, Abu Bakar, Ushûl as-Sarakhsi (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1993) 34
As-Sijistani, Abu Dawud, Sunan Âbi Dâwûd (Riyadh: Dar al-Ma’arif) As-Subki, Taj ad-Din, Jam’ al-Jawâmi’ fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah) As-Sullami, `Iyadl bin Nami, Ushûl al-Fiqh al-Ladzi La Yasa’u al-Faqîh Jahluh (Riyadh: Dar atTadmuriyyah, 2005) Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali, Irsyâd al-Fuhûl ila Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl (Riyadh: Dar al-Fadlilah, 2000) Ath-Thufi, Abu ar-Rabi’, Syarh Mukhtashar ar-Rawdlah At-Tirmidzi, Muhammad bin Sawrah, Sunan at-Tirmidzi (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif) Az-Zarkasyi, Muhammad bin Bahadir, al-Bahr al-Muhîth fi Ushûl al-Fiqh (Ghurduqah: Dar ash-Shahwah, 1992) Badran, Abdul Qadir bin, al-Madkhal ila Madzhab al-Imâm Ahmad bn Hanbali (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1991) Hambal, Ahmad bin Muhammad bin, al-Musnad (Kairo: Dar al-Hadits: 1995) Hamid, Hisyam Kamil, al-Imtâ’ bi Syarhi Matn Abî Syujâ’ (Kairo: Dar al-Manar, 2011) Ibnu Majah, Abu Abdullah, Sunan Ibn Mâjah (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif) Khallaf, Abdul Wahhab, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, 2003) Khudhari, Muhammad, Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, 2003) Muhammad, Abu Islam Mushthafa bin, at-Ta`sîs fi Ushûl al-Fiqh ‘ala Dlaw` al-Kitâb wa asSunnah (Makatabah al-Haramain) Muslim, Abu al-Husain, Shahîh Muslim (Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1991) Syafii, Muhammad bin Idris, ar-Risâlah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah) Syinqithi, Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar, Mudzakaroh fî Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, 2011) 35
Utsaimin, Muhammad bin Shalih, al-Ushûl min ‘Ilmi al-Ushûl (Kairo: Muassasah Zad, 2012) Zahrah, Muhammad Abu, Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi) Zaidan, Abdul Karim, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2012) Zuhaili, Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, jilid 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2011) Zuhair, Muhammad Abu an-Nur, Ushûl al-Fiqh (Kairo: al-Maktabah al-Azhariyyah li atTurats)
36