Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam: Kajian Tekstual dan Kontekstual Pendidikan Islam Zulfa Ahmad Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Abstract: This article attempts to discuss the question of authority of women in Islam as a paradigm study of religious ideas about women in knowledge competency, especially in learning process, intensive debate and giving legal opinion. This is important because women tend to put behind the scenes. The author in this article is also looking for a authoritative references in women’s basic teachings of Islam and compare the role of women today in terms of classical Islamic scholarship era. Keywords: women, authority, knowledge, Islam.
I. Pendahuluan Islam diturunkan di Arab, ditengah masyarakat patriarkhi dimana kehidupan perempuan secara terus menerus berada di bawah kekuasan laki-laki. Menurut Asghar Ali Engineer, hal itu biasa terjadi karena kebanyakan masyarakat di dunia adalah patriakhal.1 Semen tara Ruth Roded menggambarkan masyarakat Arab saat itu sebagai masyarakat patriarkhi yang masih mewarisi sisa-sisa matriarkhi dari abad sebelumnya. Hal ini terutama terlihat dari karya William Robertson “Kinship and Marriage in Early Arabia” yang berupaya membuktikan teori matriarkhi primitif yang dikembangkan oleh Bachofen 1 Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000). hal. 3
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
99
Zulfa Ahmad
(1861), McLennan (1865), dan Morgan (1877) dalam konteks Arab.2 Meskipun demikian, berbagai referensi biografis masyarakat Islam awal menginformasikan bahwa pertalian keluarga dari jalur laki-laki penting sekali, tetapi pertalian dari jalur perempuan tidak diabaikan, dan dalam kasus-kasus tertentu juga penting. Masyarakat seperti ini sering disebut semimatrilineal, bukan semata disebabkan seringnya mengutip pertalian keluarga dari jalur perempuan, tetapi juga karena melanjutkan sislsilah keturunan dari jalur ibu sebelum dan sesudahnya.3 Apa yang dilukiskan Ruth Roded ini tampak jelas ketika kita menelaah silsilah keturunan Rasulullah, yang memperlihatkan pula jalur silsilah beliau dari garis ibu. Menurut Barakah sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar, pada umumnya masyarakat Arab di kawasan Timur Tengah, menganut sistem patriarkhi (al-mujtama’ al-abawi). Otoritas bapak (suami) menempati posisi dominan dan peranannya penting dalam keluarga. Bapak atau suamilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh keutuhan, keselamatan, dan kelangsungan keluarga. Ibu atau istri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga dalam suatu rumah tangga. Untuk itu, bapak dan kaum laki-laki pada umumnya mendapatkan beberapa hak istimewa sebagai konsekuensi dari tanggung jawab mereka yang sedemikian besar dibanding pihak isteri atau perempuan secara umum. Nama keluarga (kunyah/surname) bagi anak-anaknya diambil dari nama bapaknya (patrilineal).4 Muhammad saw., datang membawa pesan-pesan Ilahi yang jika dihubungkan dengan masalah keluarga, Allah mengaturnya antara lain dalam surah al-Ahzab ayat 5: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama ayah-ayah mereka, yang demikian itu lebih adil di sisi Allah”. Meskipun ayat ini berbicara tentang anak angkat, namun semua anak harus dipanggil dengan memakai nama ayah kandung mereka, 2 Ruth Roded, Kembang Peradaban, Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim, (terj.) (Bandung: Mizan 1995), hal. 48-49 3 Ruth Roded, Kembang Peradaban., h. 49-50 4 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’n, (Jakarta: Paramadina 2001), hal. 128
100
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
Hal ini jelas dimaksudkan untuk menjaga nasab, sehingga tidak terjadi perkawinan yang dilarang agama, juga terkait erat dengan pembagian harta warisan sekaligus menunjukkan bahwa Islam telah memperkokoh sistem patriarkhi. Meskipun demikian, hal ini tidaklah bermakna bahwa kedudukan perempuan dalam pandangan Islam menjadi sangat lemah, sebab al-Quran jelas memberikan penilaian yang setara antara laki-laki dan perempuan. Pesan kesetaraan dapat pula dijumpai dengan mudah dalam hadis Rasulullah saw. Kesetaraan yang diberikan oleh al-Quran kepada laki-laki-laki dan perempuan setidaknya ada dalam lima hal, yaitu 1) sama-sama sebagai hamba, 2) sama-sama sebagai khalifah, 3) sama-sama menerima perjanjian primordial, 4) sama-sama terlibat aktif dalam drama kosmis, dan 5) sama-sama berpotensi meraih prestasi.5 Berkenaan dengan kesetaraan dalam meraih prestasi, Nasaruddin merujuk kepada al-‘Imran ayat 195 yang menyatakan: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orangorang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari yang sebagian yang lain. Maka orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalanKu, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisiNya pahala yang baik.
Nasaruddin Umar dalam memahami ayat ini menjelaskan bahwa beberapa ayat al-Quran, diantaranya ayat 195 surah al-Imran ini mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal.6 Sementara itu Quraisy Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menafsirkan ayat ini bahwa firman-Nya, ba’dhukum min ba’dh, adalah satu istilah yang digunakan untuk menunjukkan kebersamaan atau kemitraan.7 Rasulullah saw sendiri dalam salah 5
Nasruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hal. 247-264
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
101
Zulfa Ahmad
satu hadis8 menyatakan: “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan melapangkan jalan baginya ke syurga”. Kata man (barangsiapa) dalam bahasa Arab disebut ism al-maushul, yaitu suatu kata yang tidak dapat diketahui maknanya kecuali dengan kata yang disebut setelahnya. Kata ini bermakna “barangsiapa” adalah kata yang dapat merujuk kepada laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa Rasulullah saw., menyatakan laki-laki maupun perempuan yang menempuh jalan mencari ilmu, maka Allah akan melapangkan jalannya ke syurga. Menyimak makna yang dikandung ayat 195 surah al-Imran ini dan ayat-ayat lain yang senada di dalam al-Quran, serta hadis Rasu lullah saw., tersebut, maka secara tekstual nash-nash ini menunjukkan isyarat bahwa Islam telah mendorong manusia untuk mencari ilmu dan bahkan menjadi profesional dalam bidang yang ditekuninya serta mengamalkannya di jalan Allah. Meskipun demikian menurut Roded, ada suatu pandangan yang menyatakan bahwa perempuan dalam masyarakat Islam ditindas, dan pandangan lain yang menya takan Islam memberikan kepada perempuan kedudukan yang tidak ada tandingannya dalam agama-agama dan kultur-kultur lain.9 Jika dilihat dari aspek sosio-historis (kontekstual) pandangan pertama ada benarnya, sebab dalam masyarakat Islam kaum perempuan tidak muncul dan bahkan banyak di antara mereka harus menghabiskan waktu mereka di rumah, karena ada pendapat bahwa perempuan itu sebaiknya berada di rumah suaminya, di samping juga banyak aktivitas perempuan kurang terekam dengan baik dalam kamus-kamus biografi. Begitu juga jika dilihat dari sudut legalitas formal (tekstual) pandangan kedua tidak terbantahkan, terutama jika ditelusuri dari nash-nash al-Quran maupun hadis Rasulullah saw,. sebagaimana telah dikutip dibagian awal tulisan ini. Oleh karena itu tulisan ini akan didasarkan pada kerangka normatif yang ada dalam Islam (alQuran dan Hadis Rasulsaw.,), dan bagaimana kerangka normatif itu Nasruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jemder, hal 265 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah. 8 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah. 9 Ruth Roded, Kembang Peradaban, hal. 15 6 7
102
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
dioperasionalkan. Persoalan tersebut akan coba dijabarkannya melalui beberapa pertanyaan berikut, yaitu: sejauh manakah aspek tekstual (normatif) ini menampakkan diri dalam aspek sosio-historis jika dihubungkan secara khusus dengan otoritas (kewenangan) perempuan dalam bidang keilmuan yang dirinci dalam 1) otoritas dalam mencari ilmu, 2) otoritas dalam mengajar dan menyebarluaskan ilmu, 3) otoritas dalam berdebat, dan 4) otoritas dalam berfatwa mengenai segala sesuatu yang terkait dengan ilmu pengetahuan. Keempat masalah ini akan ditelusuri dalam rentang sejarah sejak zaman Rasulullah hingga masa klasik.
II. Otoritas Keilmuan Perempuan secara Tekstual Potensi Keilmuan Perempuan Sebelum melihat keempat katagori tersebut terlebih dulu akan dicoba melihat kapasitas ataupun potensi keilmuan yang dimiliki perempuan sesuai gambaran al-Quran. Berbicara tentang potensi laki-laki dan perempuan dalam masalah keilmuan, al-Quran tidak membedakan. Muhammad al-Ghazali mengatakan “kalau kita memandang kembali ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan materi dan sosial yang tidak dinikmati oleh perempuan-perempuan di kelima benua lain. Keadaan mereka lebih baik dari pada keadaan perempuan-perempuan Barat saat ini, asalkan kebebasan berpakaian dan pergaulan tidak dijadikan perbandingan.”10 Sejalan dengan itu, dalam kata pengantar penerbit untuk buku Nasaruddin Umar “Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif al-Quran”, Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa citra perempuan yang diidealkan dalam al-Quran adalah: a. Perempuan yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasah/al-Quran surah al-Mumtahanah ayat 12) sebagaimana sosok Ratu Balqis dengan kerajaan super power n yalaha ‘arsyun ‘azhim (al-Quran surah al-Naml ayat 23). b. Perempuan yang memiliki kemandirian ekonomi (al-istiqlal 10 Muhammad al-Ghazali, al-Islâm wa al-Thâqât al-Mu’attalât, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Sadîtsah, 1964), hal. 138.
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
103
Zulfa Ahmad
al-iqtishadi/al-Quran surah al-Nahl ayat 97) seperti perempuan pengelola peternakan yang disaksikan oleh Nabi Musa di Madyan (al-Quran surah al-Qashash ayat 23). c. Perempuan yang memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-Shakhshiy) yang diyakini kebenarannya, sungguhpun harus menghadapi suami bagi perempuan yang sudah berkeluarga (al-Quran surah al-Tahrim ayat 11, atau perempuan yang menentang opini publik bagi perempuan yang belum berkeluarga (al-Quran surah al-Tahrim ayat 12). d. Perempuan dibenarkan menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan (al-Quran surah al-Taubah ayat 71).11 Keempat kategori citra perempuan yang diidealkan al-Quran ini jelas tidak dapat terwujud jika perempuan tidak berilmu. Oleh karena itu ketika al-Quran berbicara tentang Ulil Albâb, Uli al-Nu’’a, sebenarnya kata-kata tsb bersifat netral yang bisa digunakan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Begitu pula perintah Iqra’ dalam surah al-Al-‘Alaq bukan hanya ditujukan pada Rasulullah saw., tapi juga pada seluruh umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu disebabkan baik laki-laki maupun perempuan masing-masing mempunyai potensi positif yang dapat ditumbuhkembangkan. Quraish Shihab ketika berbicara tentang kualitas pribadi muslimah mengatakan bahwa al-Quran menggambarkannya berada pada dua kutub yang berbeda, yaitu ahsanu taqwim dan asfalu safilin. Manusia berpeluang untuk mencapai salah satu dari dua kualitas ini. Meski demikian, Allah telah memberikan tuntunan agar manusia mencapai kualitas ahsanu taqwim.12 Ia juga menjelaskan bahwa manusia diberikan Allah empat daya, yang jika digunakan dengan baik dapat mengantarkan manusia pada posisi ahsanu taqwim. Keempat daya tersebut adalah: 1. Daya tubuh, yang mengantar manusia berkekuatan fisik dengan berfungsinya organ tubuh dan panca indera. 11 Komaruddin Hidayat dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender., hal. xxv-xxvi
104
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
2. Daya hidup, yang menjadikan manusia berkemampuan mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan 3. Daya akal, yang memungkinkan manusia memiliki ilmu penge tahuan dan teknologi 4. Daya kalbu, yang memungkinkan manusia bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman dan kehadiran Allah. Dari daya inilah lahir intuisi dan indera keenam.13 Penjelasan ini telah memberikan pemahaman bahwa manusia, laki-laki maupun perempuan sama-sama dikaruniai Allah potensi (daya) positif untuk dikembangkan, termasuk potensi keilmuan. Hal ini tentu saja didukung pula oleh berbagai ayat al-Quran dan hadis Rasulullah saw., sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dalam upaya pembinaan dan pengembangan potensi positif tersebut, Islam tidak membedakan perhatiannya baik kepada lakilaki maupun perempuan, karena keduanya adalah insan14 yang diberi amanah oleh Allah untuk menjalankan fungsi istikhlaf di dunia, sebagaimana difirmankan-Nya dalam surat Fathir ayat 39: “Dia-lah yang telah menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya.”15 Otoritas Keilmuan Perempuan Islam memberikan perhatian besar kepada ilmu pengetahuan, dan mendorong manusia untuk menjadi orang berilmu dan beriman. Dorongan tersebut terlihat dari janji Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu, seperti yang difirmankan12 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 280 13 M. Quraish Shihab, Membumikan. hal. 281 14 Hibbah Rauf ‘Izzat, Wanita dan Politik: Pandangan Islam, terj.(Bandung: Rosdakarya 1997), hal. 48-53. Menurutnya, lafal insan yang dipergunakan al-Quran adalah lafal netral yang dapat digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Karena itu pengangkatan manusia sebagai khalifah (istikhlaf al-insan) mencakup laki-laki dan perempuan. Sementara itu menurut Amin Syukur, “Manusia dalam Pandangan Tasawuf, dalam Chabib Thoha et al.,
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
105
Zulfa Ahmad
Nya dalam al-Quran surah al-Mujadilah ayat 11: “...niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat...”16 Quraish Shihab menafsirkan potongan ayat ini dengan membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, pertama , sekedar beriman dan beramal saleh, kedua, beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, tulisan maupun keteladanan”17. Menyimak pendapat Quraish Shihab tersebut dapat pula dipahami bahwa kemampuan untuk beriman, beramal saleh serta berilmu pengetahuan itu dimiliki oleh seluruh manusia tanpa memandang jenis kelamin, jika potensi yang mereka miliki ditumbuhkembangkan dengan baik. Al-Quran juga mendorong manusia mempergunakan daya nalar dan inderawi. Daya nalar dibutuhkan untuk menganalisa ayatayat Allah, baik yang diwahyukan maupun yang terdapat di alam terkembang atau alam syahadah, sedang daya inderawi dipergunakan untuk mengobservasi ayat-ayat tersebut. Anjuran untuk memper Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 132-135, bahwa di dalam al-Quran ada tiga kata kunci untuk mengacu pada makna pokok manusia, yaitu al-basyar, al-insan, dan al-nas. Kata al-basyar mengacu pada manusia sebagai makhluk biologis, al-insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah yang memikul amanah. Karena itu ia memiliki keistimewaan berupa kemampuan menguasai ilmu pengetahuan, mempunyai nalar, sehingga disebut ûlul albâb. Disamping itu ia cenderung zhalim, gelisah, tergesa-gesa, dan lain sebagainya. Sedangkan kata al-nas adalah konsep yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Dari tiga kata kunci itu, Amin Syukur menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk biologis, psikologis, dan sosiologis, baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Ketiga dimensi ini harus dikembangkan secara seimbang, dan selalu berada dalam sunatullah. 15 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Medînah Munawwarah: Mujamma’ Khâdim al-Haramain al-Syarîfain al-Mâlik Fahd, 1971), hal. 702 16 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, hal. 910-911. 17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Cet. VI, Volume 14, (Jakarta: 106
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
gunakan daya nalar dan inderawi itu antara lain dapat ditemukan dalam surat al-Dzâriyât ayat 20-21: “Di bumi ada tanda-tanda bagi orang-orang yang yakin, dan tidakkah kau pikirkan apa yang ada dalam dirimu?”18 Selain al-Quran, hadits pun memberikan dorongan dan peng hargaan kepada ilmu pengetahuan dan para ilmuan, di antaranya sabda Rasulullah s.a.w. yang menyatakan: “Tuntutlah olehmu ilmu pengetahuan sekehendakmu, tapi demi Allah kamu semua tidak akan mendapat pahala hanya dengan mengumpulkan ilmu tanpa meng amalkannya.”19 Dalam salah satu hadis Rasulullah saw. bersabda: “Menuntut ilmu merupakan kewajiban dari setiap muslim.”20 Kata muslim adalah kata netral yang mencakup laki-laki maupun perempuan. Karena itu tuntutan untuk menuntut ilmu dan meng amalkannya bukan saja ditujukan kepada laki-laki, tetapi juga kepada perempuan. Dalam beberapa ayat al-Quran maupun hadis Rasullah saw., ditemukan pula nash-nash yang mendorong kaum muslimin untuk menyebarluaskan ilmu, atau mengajarkannya kepada orang lain. Rasulullah saw. bersabda: “Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibn al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah telah bersabda: Sampaikanlah olehmu dariku walaupun satu ayat, dan dan ceritakanlah tentang Bani Israil, tapi jangan salah. Barangsiapa berbuat dusta terhadapku secara sengaja maka hendaklah ia menempati tempatnya di neraka” (hadis riwayat Bukhari). Selain mendorong umat muslim, baik laki-laki ataupun perem puan, untuk belajar dan mengajar atau menyebarluaskan ilmu Lentera Hati, 2000), hal. 79-80 18 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, hal. 859 19 Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi Bek, Mukhtâr al-Ahâdits alNabawiyyah, (Qahirah: Mathba’ah al-Hijazi, 1948), hal. 128. Terjemahan hadis oleh penulis sendiri. 20 Imam Jalaluddin Abdurahman bin Abi Bakar al-Sayuthi, Al-Jâmi’ alShaghîr fî Ahâdîts al-basyîr al-Nazhîr, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabi, 1967), juz II, hal. 54, dan terjemahan hadis oleh penulis sendiri 21 Zhihar adalah salah satu bentuk thalak di zaman jahiliyah di mana Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
107
Zulfa Ahmad
pengetahuan, al-Quran juga memberi peluang untuk berdebat atau bertukar pikiran untuk mencari kebenaran. Berikut ayat pertama surah al-Mujadalah: “Sungguh Allah telah mendengar ucapan wanita yang mendebatmu tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah, padahal Allah mendengar diskusi kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Ayat ini menurut Quraish Shihab, menghadirkan dalam benak kita peristiwa yang menakjubkan yaitu diskusi atau debat antara seorang perempuan dengan utusan Allah, serta upaya perempuan tersebut dalam meyakinkan Rasul tentang pandangannya mengenai ketidakadilan zhihar21, tetapi juga sikap Rasul yang tidak menetapkan hukum sebelum mendapat wahyu atau izin Allah, dan kemudian yang lebih mengagumkan lagi adalah perkenan Allah mendengarkan dan menerima pengaduan tersebut. Hal ini memperlihatkan kebebasan perempuan dalam menyampaikan pendapatnya yang ternyata dijamin Allahwt, dan karena itulah khalifah Umar ibn al-Khattab r.a, sangat menghormati Khaulah binti Tsa’labah r.a dengan menunjukkan perhatian yang penuh ketika Khaulah berbicara padanya.22
III. Otoritas Keilmuan Perempuan Secara Kontekstual Otoritas Perempuan dalam Belajar Meskipun secara tekstual telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa manusia baik laki-laki maupun perempuan hendaklah berilmu dan bahkan Rasulullah menyatakan barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya ke syurga.23 Ini sekaligus merupakan petunjuk bahwa Islam memberikan otoritas kepada perempuan dalam bidang keilmuan. Namun hal itu tetap menyisakan pertanyaan, apakah secara kontekstual perempuan seorang suami menyamakan istrinya dengan punggung ibunya, sehingga ia tidak dapat melakukan hubungan suami istri, dan si istri pun tidak dapat menikah dengan lelaki lain. Uraian rinci lihat Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 6, (Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 2013 22 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah hal. 61-62 ; Lihat juga HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz XXVIII, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1981), hal. 21 108
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
memperoleh peluang atau otoritas untuk menuntut ilmu sebagaimana yang dimiliki laki-laki, sehingga dengannya perempuan bukan saja berpeluang untuk meraih kesuksesan di dunia maupun di akhirat, tetapi mereka juga berpeluang menjadi ilmuan (ulamâ). Secara historis, sejarah ulama perempuan adalah sejarah yang gelap. Hal itu dikarenakan dari pengamatan sepintas (cursory observation) terhadap sumber-sumber sejarah, khususnya kamus biografi (bioghraphical dictionaries) yang merupakan tambang informasi mengenai ulama pada umumnya, yang hampir tak mencatat ulama perempuan. Meski demikian, kesan sepintas ini perlu ditinjau kembali karena di antara kamus biografi tersebut, terdapat jilid khusus tentang tokoh-tokoh perempuan yang ahli dan terkenal dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam kamus biografi karya Ibn Sa’ad (Kitâb alThabaqât) dan karya Ibn ‘Asakir (Târîkh Madînat Dimasyq).24 Meskipun perempuan muncul dalam kamus biografi dalam jumlah yang sangat kecil atau hampir tidak tercatat seperti dikatakan Azyumardi Azra, ada persoalan yang muncul disini, bagaimana caranya para istri Rasulullah saw., ataupun tokoh perempuan yang jumlahnya sedikit itu memperoleh ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama, sehingga mereka kemudian diakui otoritasnya untuk mentransmisikan hadits-hadits Rasulullah saw., kepada orang lain. Menurut Ahmad Syalaby, kesempatan perempuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan memang sangat kecil jika dibandingkan dengan laki-laki.25 Meskipun demikian, para isteri Rasulullah yang bergaul setiap hari , melihat dan menghayati yang dilakukan beliau., adalah orang-orang yang mendapat kesempatan pertama dan utama dalam mendapatkan informasi dari sumber utamanya. Al-Quran tidak pernah melarang perempuan untuk belajar. 23 Periksa Sunan Al-Tarmidzi, al-Jami’ al-Shahih li Imam Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Surah al-Turmidz, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t), hal. 624, Bab Fadhli Thalab al-‘Ilmi, hadis no. 2646 24 Azyumardi Azra, “Ulama Perempuan dan Wacana Islam: Pemberdayaan Perempuan dalam Keilmuan”, Makalah, dalam acara Pelatihan Disain Kurikulum Kajian Jender bagi Tenaga Edukatif IAIN/STAIN seIndonesia, 13-19 Februari 2000 di IAIN Jakarta. (tidak diterbitkan)
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
109
Zulfa Ahmad
Abu Syuqqah yang melakukan kajian mendalam terhadap sîrah alnabawiyyah dengan meneliti kitab-kitab hadis, menjelaskan bahwa berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw., mengira khutbah beliau tidak terdengar oleh wanita, karena itu beliau mena sihati mereka dan memerintahkannya untuk bersedekah.26 Menurut Abu Syuqqah, hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan juga Muslim ini menjelaskan bahwa kaum perempuan juga pergi ke tempat pelaksanaan shalat ‘Id al-Fithri untuk mendapatkan mau’izhah dari Rasulullah saw., sekaligus mempertegas hak perem puan untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran dengan maksud agar mereka dapat menyempurnakan kewajiban mereka.27 Sementara itu Azyumardi Azra menyatakan tidak terdapat bukti yang kuat bahwa perempuan juga belajar dalam halaqah di lingkungan mesjid. Meski demikian, menurutnya perempuan dapat ditemukan belajar dalam halaqah-halaqah khusus yang diselenggarakan di lingkungan madrasah, rumah-rumah dan sebagainya. Mereka bahkan duduk belajar bersama laki-laki. Lembaga pendidikan Islam semacam ini pada umumnya menyelenggarakan pendidikan secara informal.28 Laporan Ruth Roded dalam penelitiannya yang menggunakan 25 Ahmad Syalaby, History of Muslim Education, (Bairut: Dâr al-Kasysyaf, 1954), hal. 190 26 Abu Syuqqah, Jati Diri Wanita Menurut al-Quran dan Hadis, (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1410 H/1990M), hal. 126. Terkait hadis tersebut periksa al‘Asqalâny, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhary, (Bairut: DâalFikr, 1416 H/1996M), hal260, Hadis ini tidak saja menggambarkan betapa perempuan di masa Rasulullah telah berpeluang memperoleh ilmu, tapi juga mengamalkan ilmu yng mereka peroleh itu dengan langsung menyalurkan sedekah mereka.: Hadis yang diriwayatkan Bukhari melalui sanad Sulaiman dan seterusnya bukan saja memberikan dasar tekstual berkenaan otoritas perempuan dalam belajar, melainkan juga memberikan gambaran kontekstual bagaimana Rasulullah saw., telah memainkan peran yang begitu besar untuk mencerdaskan perempuan agar mereka setara dengan dengan lakilaki, meskipun kita tidak mendapat informasi siapa perempuan yang diberi pengajaran oleh Rasulullah saw. 27 Abu Syuqqah, Jati Diri Wanita Menurut al-Quran , hal. 126-127 28 Azyumardi Azra, Ulama Perempuan hal. 14 29 Ruth Roded , Kembang Peradaban, hal.121
110
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
metode kuantitatif menyatakan bahwa jumlah dan proporsi wanita turun secara drastis pada generasi kedua29 Penurunan jumlah perawi perempuan pada generasi kedua ini agaknya merupakan indikasi bahwa perempuan yang mendapat peluang untuk belajar juga menurun.. Pada abad ke 16 dan 17 terdapat ribath-ribath30 di Haramayn yang dibangun untuk shufi laki-laki, tetapi juga terdapat beberapa ribath baik di Mekah maupun Medinah yang hanya menampung shufi perempuan. Sebahagian ribath bahkan juga mengakomodir laki-laki dan perempuan. Ribath-ribath ini selain berfungsi sebagai tempat praktek sufistik juga terlibat dalam proses keilmuan.31 Berbagai informasi biografis terdahulu telah menjelaskan bahwa meskipun dalam skala terbatas serta mengalami pasang surut, perempuan sebenarnya telah memperoleh otorisasi untuk menuntut ilmu atau belajar. Otoritas Perempuan dalam Mengajar Mengajar dapat pula dipahami sebagai aktivitas menyampaikan informasi atau pengetahuan kepada seseorang atau banyak orang. Dalam tradisi penyampaian hadis-hadis Rasulullah saw., kita menge nal sanad, yaitu ketersambungan antara satu pemberi informasi lisan kepada yang lain hingga sampai kepada Rasulullah saw., berkenaan apa yang dikatakan, dilakukan, ditetapkan (disetujui atau tidak disetujui) oleh Rasulullah saw. Penyampaian informasi secara lisan merupakan tradisi yang 30 Ribath pada awalnya adalah benteng untuk kepentingan militer yang kemudian fungsinya berkembang juga untuk kepentingan agama, namun sekitar abad ke-16 fungsi militernya sudah tidak ada sama sekali, sehingga yang tertinggal hanyalah fungsi agama yaitu sebagai pondok kaum shufi, baik laki-laki maupun perempuan. Keterangan rinci mengenai ribath dan perkembangannya ini silakan baca HAR GIBB dan JH. KRAMERS, Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1953), hal. 473-475. 31 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 66-67 ; Ruth Roded, Kembang Peradaban, hal. 190, menyebutkan bahwa pada abad keenam// kedua belas pondok-pondok shufi didirikan di belahan Timur dunia Islam,
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
111
Zulfa Ahmad
telah berlangsung lama dalam masyarakat Arab. Pada masa Jahiliyah hal ini antara lain disebabkan karena kondisi ummy yang memang berlaku umum, sehingga masyarakat harus menggunakan cara lisan untuk menyampaikan berbagai informasi.32 Dalam kaitannya dengan penyampaian informasi dari dan tentang Rasulullah saw., (ucapan, perbuatan, maupun takrirnya), yang kemudian menjadi norma bagi kehidupan muslim, maka hadis menduduki kedudukan yang penting, karena bisa digunakan sebagai norma hukum, uswah, dan lainnya. Menurut Roded, dalam periwayatan hadis, sejumlah sahabat perem puan menjadi sumber utama hadis Rasulullah dalam pengertian yang tepat.33 Hal tersebut juga diakui oleh Syalabi, yang menyatakan bahwa para perempuan yang tercatat dalam beberapa kamus biografi yang ditelitinya adalah ahli hadis (muhaddits). Ini agaknya terkait dengan tradisi lisan yang mendukung periwayatan hadis.34 Ruth Roded, dalam penelitiannya terhadap sejumlah kamus biografi sejak dari Thabaqât Thabaqât hingga Who’s and Who dengan menggunakan metode kuantitatif menyebutkan bahwa: 1) ‘Aisyah merupakan sumber dari sekitar dua puluh rincian tentang kehidupan Nabi saw., yang dimuat dalam biografi Ibn Ishak, 2) Dalam kamus biografi Ibn Sa’ad, ‘Aisyah disebutkan sebagai lebih berpengetahuan dan lebih dapat dipercaya, 3) ‘Aisyah menguasai hukum Islam, sehingga sahabat-sahabat terbesar dan tertua berkonsultasi dengannya, 4) ‘Aisyah tidak berdusta tentang hadis-hadis Nabi, dan tidak ada yang lebih tahu tentang sunnah (kebiasaan) Nabi, 5) ‘Aisyah memberikan penilaian hukum (fatwa) selama kekhalifahan Umar dan Usman r.a hingga ia wafat, dan 6) ‘Aisyah lebih tahu tentang pengobatan dan di mana sekitar 12 ribu perempuan dikutip dalam kamus biografi disebutkan sebagai pimpinan komunitas seperti itu dan disebut Syaikhah, mereka adalah perempuan saleh dan berilmu 32 Ahmad al-Iskandari dan Mushthafa ‘Annani, Al-Wasith fi al-Adab al‘Arabywa Tarîkhihi, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1398 H/ 1978M), hal. 24 33 Ruth Roded, Kembang Peradaban hal. 61 34 Ahmad Syalaby, History of Mulim Education, hal. 193 35 Ruth Roded, Kembang Peradaban, hal. 62 36 Ruth Roded, Kembang Peradaban, hal. 64 112
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
sya’ir.35 Dalam kajian Roded, ‘Aisyah menyampaikan informasi kepada sedikitnya 70 orang pria dan delapan orang perempuan.36 Selain ‘Aisyah r.a., menurut Badriyah Fayumi dan Alai Najib, bahwa dalam Musnad Imam Ahmad (w. 241 H) tercatat 125 (8%) sahabat perem puan dari sekitar 700 orang yang meriwayatkan hadis pada kejadian pertama.37 Sehubungan dengan ini, Khuzaemah juga mencatat nama beberapa perempuan yang menjadi guru selain ‘Aisyah binti Abu Bakar r.a., yaitu al-Syifa’ yang terkenal dengan nama Umm Sulaiman binti Abdillah’Abd al-Syams al-‘Adawiyah al-Quraisyiah yang merupakan guru pertama dalam Islam, telah memberi pelajaran menulis dan membaca sejak sebelum Islam, dimana Hafshah binti ‘Umar, istri Rasulullah saw., pernah menjadi muridnya. Di masa Rasul saw., dia diangkat menjadi guru dan diberi perumahan, dan di masa Khalifah ‘Umar bin Khattab diangkat menjadi petugas yang mengurusi pasar.38 Fakta ini menunjukkan bahwa sahabat perempuan secara kontekstual telah menunjukkan peran yang besar dalam mentransmisikan hadis-hadis Rasulullah saw. Hal tersebut dimungkinkan karena para ulama tidak menolak informasi yang datang dari perempuan, hanya karena ia berkelamin perempuan. Badriyah Fayumi yang mengutip definisi Ibn Shalah menyatakan, bahwa hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh perawi yang adil, dhabith, tidak syadz, dan tidak mengandung ‘illat.39 Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang seorang perempuan memenuhi syarat sebagai perawi, maka tentu periwayatan mereka tidak akan ditolak. Ibnu Hajar al-‘Asqalany menyebutkan sepuluh sifat rawi, yaitu: 1) tidak terkenal 37 Badriah Fayumi dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi; Perempuan dalam Hadis”, dalam Ali Munhanif (ed.,) Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 47-48 38 Khuzaemah Tahido, “Konsep Wanita Menurut al-Quran, Sunnah, dan Fikih”, dalam Lies M. Marcoes Natsir dan Johan Hendrik Meuleman, Wanita Islam Indonesia, Dalam Kajian Tekstual dan kontekstual, (Jakarta: INIS, 1993), hal. 30; Lihat juga Syed Ahmad Semait, 100 Tokoh Wanita Terbilang, (Singapura:
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
113
Zulfa Ahmad
sebagai pendusta, 2) tidak dituduh sebagai pendusta, 3) tidak banyak salahnya, 4) tidak kurang telitinya, 5) tidak fasiq, 6) tidak ragu-ragu, 7) tidak ahli bid’ah, 8) tidak kurang kuat hafalannya, 9) tidak sering menyalahi rawi-rawi yang kuat, dan 10) tidak tidak terkenal (rawi yang terkenal ialah seorang yang dikenal oleh dua orang ahli hadis di zamannya).40 Menurut Sayuthi sebagaimana dikutip Badriyah Fayumi, para ahli hadis (muhaddisin) berbeda kriteria dengan para ahli fikih (fuqaha’) dalam menerima kesaksian, dimana para ahli fikih menyaratkan dzukurah (kelelakian) dan hurriyah (merdeka) sebagai syarat diterimanya suatu berita, sedang para ahli hadis sepakat menolak syarat itu.41 Sejalan dengan hal ini Roded menyatakan bahwa keabsahan informasi yang disampaikan perempuan memang diterima oleh sebahagian besar ulama hadis pria. Tokoh teladan disini adalah ‘Aisyah r.a istri kesayangan Rasululah saw.,karena dia adalah perawi perempuan paling terkemuka di antara para sahabat. Selain itu masih banyak perempuan lain dari generasi pertama yang menjadi sumber hadis, meski diukur dengan standar yang paling ketat sekalipun. Tidak semua perawi hadis ini dari kerabat Rasulullah. Jika para perempuan ini telah diterima sebagai sumber hadis yang absah, dan bahkan penting, maka berlakukah norma yang mengabsahkan ahli hadis perempuan.42 Pasang Surut Aktivitas Perempuan dalam Mengajar Berkenaan dengan aktivitas perempuan dalam belajar dan mengajar, kita mendapat banyak informasi dari penelitian Roded yang mampu menggambarkan pasang surut perempuan sebagai penyampai ilmu Pustaka Nasional PTE LTD, 1989). 39 Badriyah Fayumi dan Alai Najib dalam Ali Munhanif (ed.,) Perempuan dalam Literatur hal. 50 40 Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Bulûghul Marâm, (terj) A.Hassan, (Bandung: CV Diponegoro, 1981), hal. 12 41 Badriyah Fayumi dan Alai Najib dalam Ali Munhanif (ed.,) Perempuan dalam Literatur,.hal.50 42 Ruth Roded, Kembang Peradaban,hal. 144 43 Informasi tentang pasang surut perempuan terpelajar ini dapat dibaca 114
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
pengetahuan. Menurutnya, dalam koleksi-koleksi biografi yang khusus mengenai sahabat, hampir seribu shahabat perempuan Nabi saw., tercatat meriwayatkan informasi dari atau tentang Nabi saw. Ibn Hibban mencatat terdapat 222 perempuan di antara para perawi hadis terpercaya generasi pertama, sementara menurut al-Qaisarani terdapat 31 perempuan menjadi sumber pertama dalam koleksi hadis Bukhari dan Muslim. Dalam karya Imam Malik tentang Hukum, terdapat 25 orang (26%) sahabat perempuan yang menjadi sumber primer hadis, dan dalam Musnad Imam Ahmad ada 125 orang (18%) dari sahabat perempuan. Adapun pada generasi kedua (tabi’in) proporsi perawi perempuan menurutnya menurun secara dramatis. Ibn Hibban umpamanya menyebut ada 90 orang (1,9%) perempuan dari para perawi generasi ini. Sementara menurut al-Qaisarani ada 21 perempuan dalam koleksi hadis Bukhari dan Muslim yang merawikan hadis dari shahabat, dan Ibn Hajar mengutip 125 perempuan yang merawikan hadis dari generasi pertama. Pada generasi ketiga ada 12 perempuan dalam Ibn Hibban dan sekitar 14 perempuan dalam Ibn Hajar. Khatib al-Baghdadi (w. 463/1071) dalam kamus biografi pertamanya menunjukkan fakta bahwa sedikitnya 24 dari 31 perempuan dalam koleksinya adalah penyampai informasi, yang meliputi periode sejarah akhir abad kedua Islam sampai awal abad ke-5. Roded juga menemukan peranan yang begitu besar dari perempuan dalam bidang keilmuan, belajar dan mengajar. Di antara mereka adalah Nafisah binti al-Hasan (w.208/824) yang mengajarkan hadis kepada Imam Syafi’i, Umm ‘Umar al-Tsaqafiyah konon telah merawikan hadis kepada Ibn Hanbal. Khatib al-Baghdadi belajar kepada empat di antara perempuan-perempuan yang dikutipnya dalam kamusnya. Al-Safadi (w. 764/1362) menerima ijazah mengajar dari sedikitnya delapan perempuan.43 Meskipun proporsi perempuan pada generasi tabi’in ini menurun, namun kamus biografi masih menyebut beberapa nama peremdalam Ruth Roded, Kembang Peradaban, hal.119-134 44 Ruth Roded, Kembang Peradaban,.hal. 91 45 Ruth Roded, Kembang Pdradaban, hal. 91-94 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
115
Zulfa Ahmad
puan terkemuka generasi kedua, di antaranya: 1. Amra’ binti Abdurrahman, seorang perempuan alim yang dise but dalam kamus biografi Ibn Sa’ad, al-Muwaththa’ Imam Malik bin Anas, serta biografi awal Ibn Ishak tentang Nabi saw. Ia juga disebut dalam Kitâb al-Tsiqâ karangan Ibn Hibban. Amra’ adalah seorang faqih yang alim, ahli dalam hadis-hadis ‘Aisyah dan dimintai konsultasi tentang hdis-hadis tersebut. Pandangannya sering menggugurkan pandangan ahli terkenal lainnya, sehingga Ibn Sa’ad menyebutnya ‘âlimah (perempuan berilmu). Demikian pula dalam ikhtisar Imam Malik tentang hukum yang menyatakan bahwa ‘Amra meriwayatkan dua puluh sembilan hadis yang menjadikannya nomor dua setelah ‘Aisyah r.a. ‘Amra juga ahli pertama untuk tiga isu hukum yang berkenaan dengan larangan menggali kembali kuburan, larangan menjual buah yang belum masak, dan pengaruh kerusakan tanaman pada penjualan produk pertanian.44 2. Hafshah binti Sirin, seorang fakih yang zahid. Dia disebut dalam karya Ibn Sa’’ad dan Ibn Hibban yang dikaitkan dengan hadis yang menyamakan mati karena wabah penyakit dengan mati karena mengabdi Islam. Sementara al-Qaisarani menyebutkan bahwa hadis-hadisnya ada dalm Shahih Bukhari dan Sahih Muslim.45 Otoritas Perempuan dalam Berdebat dan Berfatwa Merujuk ke asbâb al-nuzûl ayat 1-4 surah al-Mujadilah, tampak jelas bahwa al-Quran mengakomodir sikap kritis perempuan, sehingga dia bisa mendebat sesuatu yang tidak sesuai dengan pendapatnya, atau menurutnya tidak pantas, tidak adil atau tidak baik. Peristiwa bersejarah ini diabadikan dalam al-Quran. Menurut Syaltut, surah ini selain mengungkapkan pemikiran perempuan, juga memancarkan penghargaan Ilahi pada pendapat perempuan. Islam bukan hanya memandang perempuan sebagai mawar, melainkan makhluk berakal, berpikir dan punya pendapat yang juga bernilai dan berharga.46 46 Mahmud Syalthut, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, cetakan III, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966) hal. 227
116
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
Dalam konteks sosio-historis. Abu Syuqqah yang melakukan penelitian terhadap Sîrah Nabawiyah, telah mencatat perdebatan ‘Aisyah r.a dengan para sahabat yang juga menguasai agama, di mana terjadi pendapat ‘Aisyah lebih diterima. Sebagai contoh, di bawah ini akan dikemukakan beberapa peristiwa perdebatan itu, sebagai berikut: 1. ‘Aisyah dan Ummu Salamah menolak pandangan Abu Hurairah dan al-Fadhil ibn Abbas mengenai orang yang mendapatkan fajar dalam keadaan junub, maka ia tidak boleh berpuasa. Aisyah dan Ummu Salamah membantah pandangan ini dengan mengatakan bahwa Rasulullah saw., pernah pagi-pagi dalam keadan junub bukan karena mimpi, kemudian beliau berpuasa. Dengan ini kemudian Abu Hurairah membatalkan pendapatnya.47 2. ‘Aisyah menolak pandangan Abdullah bin Amr berkenaan perempuan yang apabila mandi mereka harus membuka gelungan rambut mereka. Hal ini dibantah ‘Aisyah dengan mengatakan bahwa ia pernah mandi bersama Rasulullah saw., dari bejana yang sama, di mana ia hanya menyiram kepalanya tiga kali.48 Abu Syuqqah menggambarkan kepada kita bahwa ‘Aisyah juga seorang yang handal berdebat, lantaran kedudukannya yang penting di samping Rasulullah. Ia bukan saja mengetahui, melainkan juga mengalami berbagai peristiwa bersama Rasulullah yang tidak dialami para sahabat lainnya. Selain itu ‘Aisyah juga pernah menjadi mufti pada masa kekhalifahan Umar a.s dan Usman a.s hingga ia wafat.49 Para perempuan yang belajar ilmu hukum relatif banyak sejak generasi awal sampai abad kedua belas/ketujuh belas. Di antara para perempuan ini ada yang berprofesi sebagai mufti. Di antara mereka selain ‘Aisyah adalah Amra’ binti Abdurrahman dan Hafshah binti Sirin, serta beberapa perempuan lain dari generasi pertama dan kedua yng terkenal sebagai ahli hukum dan dilukiskan memberi fatwa dalam masalah-masalah hukum. Di Baghdad ada dua perempuan yang juga memberikan fatwa, satu di antaranya bernama Umm ‘Isa binti 47 Abu Syuqqah, Jati Diri,hal. 74-75, didasarkan kepada Shahih al-Bukhari kitab al-Shaum, bab al-Shaim yushbihu, 5:45 dan Shahih Muslim Kitab alShaum, bab Shihhatu shaumi man thala’a ‘alaihi al-fajr wa huwa junubun, 3:137
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
117
Zulfa Ahmad
Ibrahim (w. 328/939).50
IV. Penutup Dari berbagai informasi terdahulu kita memperoleh gambaran bahwa sebenarnya Islam melalui nash al-Quran maupun hadis telah meletakkan dasar-dasar yang adil dan setara berkenaan dengan peluang atau otoritas bagi manusia, baik laki-laki maupun perempuan untuk belajar, mengajar, berdebat maupun berfatwa berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Kilas balik sejarah yang telah kita telusuri melalui berbagai temuan penelitian, baik yang dilakukan terhadap sirah nabawiyah maupun pada beberapa koleksi kamus biografis, telah pula menampakkan bahwa perempuan pun telah menikmati berbagai otoritas yang telah diberikan oleh Islam kepada mereka. Perempuan juga tampak telah memainkan peran yang cukup besar dalam belajar, mengajar atau menyampaikan informasi, terutama dalam mentransmisikan hadis-hadis Rasulullah saw., berdebat, maupun berfatwa. Tokoh utama dan teladan dalam hal ini, sebagaimana diakui oleh beberapa sumber penulisan ini adalah istri Rasulullah saw., ‘Aisyah r.a dan beberapa tokoh yang kemudian muncul baik pada masa sahabat, tabiin, maupun setelah itu. Perempuan bahkan menempati posisi sebagai guru dari beberapa ulama semacam Imam Syafi’i dan Iman Hambali. Meskipun jumlah dan proporsi para perempuan ini menurut penelitian Ruth Roded mengalami pasang surut.Menilik pada perjalanan sejarah ini, seharusnya abad modern tidak lagi mempersoalkan kepantasan 48 perempuan dalam mencari ilmu, menjalankan profesi Abu Syuqqah, Jati Diri, hal. dan 75., yang didasarkan pada ilmuan Shahih Muslim, kitab al-haidh, bab hukm dhafa’ir al-mughtasilah, 1:179. Selanjutnya berkenaan ini baca lebih lanjut Abu Syuqqah, Jati Diri…hal. 74-76. 49 Ruth Roded, Kembang Peradaban, hal. 62 50 Ruth Roded, Kembang Peradaban, hal. 148-155. Roded berpendapat bahwa meskipun secara teori perempuan dapat jadi mufti, namun kenyataannya tidak banyak perempuan yang ahli dalam bidang hukum. Perempuan yang terkemuka dalam studi ilmu hadis relatif lebih banyak, dan hal ini mungkin disebabkan oleh anggapan yang berkembang bahwa kemampuan analisis perempuan lemah, sementara kemampuan itu diperlukan dalam studi hukum, sementara untuk studi ilmu hadis yang diperlukan hanya kemempuan hafalan. 118
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
(ulama), sehingga dengan demikian seorang perempuan pun dapat mengajar, berfatwa maupun berdebat. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, profesi apapun yang diperankan oleh laki-laki maupun perempuan, mereka harus tetap berjalan di jalur moral agama Allah, karena untuk itulah Rasulullah diutus (li utammima makârim al-akhlâq). Wa Allahu ‘alam bi al-shawâb.
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
119
Zulfa Ahmad
BIBLIOGRAFI al-‘Asqalâny, Ibn Hajar, Bulûghul Marâm, (terjemahan A.Hassan), Bandung: C.V Diponegoro, 1981 al-‘Asqalâny, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhary, Bairut: Dâal-Fikr, 1416 H/1996M al-Ghazali, Muhammad, al-Islâm wa al-Thâqât al-Mu’attalât, Kairo: Dâr al-Kutub al-$adîtsah, 1964 al-Iskandari, Ahmad dan Mushthafa ‘Annani, Al-Wasith fi al-Adab al‘Arabywa Tarîkhihi, Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1398 H/ 1978M Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995 Azra, Azyumardi, Ulama Perempuan dan Wacana Islam: Pemberdayaan Perempuan dalam Keilmuan, Makalah, dalam acara Pelatihan Disain Kurikulum Kajian Jender bagi Tenaga Edukatif IAIN/ STAIN se-Indonesia, 13-19 Februari 2000 di IAIN Jakarta. (tidak diterbitkan) Bek, Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Mukhtâr al-Ahâdits alNabawiyyah, Qahirah: Mathba’ah al-Hijazi, 1948 Engineer, Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Yogjakarta: Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000 Gibb, HAR dan JH. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden: EJ Brill, 1953 Munhanif, Ali (ed.,) Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002 Natsir, Lies M. Marcoes dan Johan Hendrik Meuleman, Wanita Islam Indonesia, Dalam Kajian Tekstual dan kontekstual, Jakarta: INIS, 1993 Roded, Ruth, Kembang Peradaban, Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim, (terj.) Bandung: Mizan, 1995 Semait, Syed Ahmad, 100 Tokoh Wanita Terbilang, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1989 Syalaby, Ahmad, History of Muslim Education, Bairut: Dâr al-Kasysyaf, 1954 Syaltut, Mahmud, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, cetakan III, Mesir: Dar al-Qalam, 1966 Syuqqah, Abu, Jati Diri Wanita Menurut al-Quran dan Hadis, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1410 H/1990M Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’n, 120
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam
Jakarta: Paramadina, 2001
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
121