Perspektif Pendidikan Tentang Pengembangan Keilmuan Islam Multidispliner Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D1
Pendahuluan Lembaga pendidikan merupakan salah satu model kelembagaan yang tak bisa terhindar dari berlakunya prinsip perubahan. Pendidikan itu sendiri tidak saja bergerak dalam kerangka konservatif tapi juga progresif. Pergerakan konservatif ini disemangati oleh kepentingan pelembagaan dan pelestarian sistem nilai dan tradisi yang disepakati bersama, sedangkan pergerakan progresif justeru berorientasi pada penyiapan sumber daya manusia anak bangsa untuk perkembangan masa depan. Kemampuan dalam menyikapi keduanya akan menentukan perjalanan lembaga pendidikan ke depan. Prinsip ini berlaku bagi seluruh level dan jenis pendidikan, mulai pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi. Dalam konteks pendidikan tinggi sendiri, prinsip dimaksud juga melintasi batasbatas kategorikal pendidikan agama maupun umum. Salah satu kebijakan paling mutakhir dan bersifat mendasar di Perguruan Tinggi Kegamaan Islam Negeri (PTKIN) adalah disemainya semangat pengembangan keilmuan dan kelembagaan melalui model integrasi. Singkatnya, model ini ingin mengkerangkai pemajuan kelembagaan dan keilmuan melalui pengembangan studi keislaman secara multidisipliner dengan menempatkan studi Islam secara berdampingan dengan ilmu sosial-humaniora serta sains dan teknologi. Melalui model integrasi, PTKIN berkehendak untuk memberikan kontribusi besar dalam mereduksi tingkat akutnya dikotomi keilmuan dalam tradisi akademik di dunia Islam, terutama Indonesia, pada skala minimal, dan maksimal mempercepat pengembangan keilmuan Islam multidisipliner di perguruan tinggi. Tulisan ini ingin menyoroti model pengembangan keilmuan Islam multidisipliner di atas dari perspektif pendidikan. Melalui pengembangan perspektif pendidikan ini, pengembangan keilmuan multidisipliner menemukan rasionalisasinya dari sisi teknis pendidikan. Dengan begitu, sebagai sebuah desain besar, pengembangan keilmuan Islam multidisipliner ini memiliki landasan akademik pendidikan yang memadai. Mengintegrasikan Kurikulum: Perspektif Teoretik Upaya pengembangan keilmuan Islam multidisipliner di PTKIN tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara mengembangkan kurikulum di dalamnya sebagai prasyarat utama. Pasalnya, kurikulum merupakan titik sentral dari desain pendidikan, dan karena itu pengembangan kurikulum
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. 1
1
menjadi memiliki peran penting pula dalam pengembangan pendidikan.2 Beragam kepentingan, baik dalam tataran politik seperti kebangsaankenegaraan dan individual maupun akademik seperti pola pengembangan keilmuan, diwujudkan melalui pendidikan. Kurikulum merupakan instrumen penting bagi upaya untuk merealisasikan kepentingankepentingan dimaksud. Mengutip Thomas Jefferson (seorang teorisi pendidikan terkemuka akhir abad 18 dari Amerika Serikat), Diane Ravitch menyatakan bahwa bahwa kurikulum beserta sekolah yang menjadi pelembagaannya, alih-alih sebagai mekanisme kontrol sosial secara terorganisasi, merupakan mekanisme yang memungkinkan warga negara “mempersenjatai” diri mereka dengan literasi dan pengetahuan yang memadai, serta memperlindungi diri mereka dari praktik kesewenangwenangan dari pemerintahan yang kuat.3 Terkait dengan kepentingan akademik, Marleen C. Pugach dan Cynthia L. Warger memandang kurikulum sebagai titik sentral bagi pengembangan pendidikan, di antaranya terhadap kepentingan pengintegrasian pendidikan umum dan khusus (seperti pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus).4 Untuk kepentingan lebih jauh menyangkut integrasi kurikulum bagi pengembangan pembelajaran keilmuan multidisipliner yang berkaitan langsung dengan pembahasan tulisan ini, ada sebuah ilustrasi menarik yang diberikan oleh Donald P. Kauchak dan Paul D. Eggen untuk menjelaskan tentang pengintegrasian kurikulum. Karena berkontribusi penting pada pembahasan atas perspektif pendidikan dari pengembangan pembelajaran keilmuan multidisipliner seperti dimaksud di atas, ilustrasi tersebut bisa dikutipkan sebagaimana berikut: Di sebuah akhir minggu (weekend), Janine [seorang pengajar] sedang melakukan perencanaan pembelajaran untuk sisa waktu dari kalender akademik tahun yang bersangkutan. Sesuai dengan perencanaan pembelajaran jangka panjangnya, dia melihat bahwa waktu penyampain materi pembelajaran tentang tumbuhan-tumbuhan segera datang. Saat melihat perencanaan pembelajarang berjangka panjang untuk materi lainnya, dia juga menyadari bahwa materi pembahasan mengenai grafik segera tiba untuk materi matematika. “Hmm,” dia berpikir, “Saya sangat ingin untuk bisa mengombinasikan keduanya dan meminta siswa untuk menggambar grafik tentang tumbuh-tumbuhan. Dia pun lalu teringat dengan pengalamannya saat mengajarkan materi biji kacang-kacangan dengan meneliti dampak dari volume air, sinar matahari, dan pupuk. Dia pun lalu bilang kepada para peserta didik, “Silakan buat grafik atau gambar tentang pertumbuhan tanaman.” Dia juga menyadari bahwa dia telah menyertakan “ekonomi negara” dalam studi sosial [sebagai sebuah komponen analisis] dan “sketsa pena” Patrick Slattery, Curriculum Development in the Postmodern Era (New York & London: Garland Publishing Inc., 1995). 3 Diane Ravitch, “Education and Democracy,” dalam Diane Ravitch dan Joseph P. Viteritti (eds), Making Good Citizens: Education and Civil Society (New Haven & London: Yale University Press, 2001), 17. 4 Marleen C. Pugach dan Cynthia L. Warger, “Curriculum Considerations,” dalam John L. Goodlad dan Thomas C. Lovitt (eds), Integrating General and Special Education (New York & Toronto: Maxmillan Publishing Company, 1993), 125-148. 2
2
dalam studi kesenian [sebagai tambahannya]. Dia kemudian mengeluarkan selembar kertas dan merumuskan informasi [tentang kombinasi] itu ke dalam sebuah grafik.”5
Hasil dari perencanaan panjang pembelajaran yang dilakukan oleh seorang pengajar di atas patut menjadi pelajaran menarik. Pembelajaran yang spesifik lalu bisa menjadi menarik saat diletakkan dalam konteks relasinya dengan yang lain. Tumbuh-tumbuhan, grafik, ekonomi negara, serta sketsa pena merupakan materi-materi pembahasan yang berasal dari disiplin keilmuan yang berbeda. Tumbuh-tumbuhan merupakan cabang pembahasan dari biologi, grafik dari matematika, dan ekonomi negara dari keilmuan sosial. Adapun sketsa pena merupakan salah satu materi pembelajaran dalam seni. Namun, pembelajaran mengenai tumbuhtumbuhan, grafik, ekonomi negara, dan sketsa pena itu diletakkan dalam garis yang komplementer sehingga masing-masing bisa membantu penjelasan satu terhadap lainnya. Seperti tergambar dalam skema perencanaan integrasi isi materi pembelajaran di bawah ini, desain pembelajaran mengaitkan keempat materi sebagai pendekatan. Skema Perencanaan Integrasi Isi Materi Pembelajaran
SOCIAL STUDIES (Relate to state and local Economies)
MATH (Graph Plan Growth)
PLANTS
SCIENCE (Teach Experimental Method)
ART (Sketch plant growth)
Sumber: Kauchak dan Eggen, Learning & Teaching, 88.
Pembelajaran terintegrasi disebut pula dengan pembelajaran multidisipliner, interdisipliner, atau tematik. Dalam mendesain perkuliahan multidisipliner, tematik, interdisipliner, atau teristegrasi ini, seorang pengajar (dosen) memiliki tugas awal untuk mengidentifikasi titik fokus (focal point) bagi kerja penelitian pembelajar (mahasiswa). Dalam kaitan ini, sebuah tema atau topik pembahasan bisa menjadi titik awal bagi pembelajaran keilmuan terintegrasi atau interdisipliner.6 Sebagai misal, kemiskinan bisa digunakan sebagai tema pembahasan bagi perkuliahan Donald P. Kauchak dan Paul D. Eggen, Learning & Teaching: Research-Based Methods, 3rd edition (Boston: Allyn and Bacon, 1998), 87-88. 6 Kauchak dan Eggen, Learning & Teaching, 89. 5
3
atau pembelajaran multidisipliner, interdisipliner, terintegrasi atau tematik dimaksud. Berbagai pendekatan bisa dimanfaatkan untuk mendiskusikan problem kemiskinan, mulai dari doktrin agama atau kepercayaan, struktur ekonomi politik, hingga sosiologi. Dalam melakukan perencanaan pembelajaran atas materi perkuliahan multidisipliner, tematik, interdisipliner, atau teristegrasi di atas, pengorganisasian model jaringan (network) atau jaring-jaring (web) sangat memegang peranan penting.7 Dengan pola demikian, dosen bisa memulai pembahasan dengan merumuskan topik atau masalah, dan meletakkannya di bagian titik tengah sebuah jaringan. Dari titik tengah inilah, lalu dosen bisa mengembangkan pembahasan atas topik atau masalah dimaksud melalui penurunan topik-topik dan pertanyaanpertanyaan tambahan. Selanjutnya, topik-topik dan pertanyaan-pertanyaan tersebut memberikan sederetan pilihan kepada mahasiswa untuk mengembangkan studi mereka. Skema perencanaan integrasi isi materi pembelajaran mengenai tumbuhan, seperti diuraikan di atas, menjadi contoh konkret dari pengorganisasian model jaringan atau jaring-jaring dimaksud. Mengintegrasikan kurikulum tidak dalam kepentingan untuk mempertahankan atau menolak bipolarisasi antara spesialis dan generalis. Integrasi kurikulum lebih tertarik untuk melakukan pengayaan (enriching) dan perluasan (widening) terhadap disiplin keilmuan, sementara spesialis dan generalis lebih menunjuk kepada problem tingkat pendalaman (deepening) atas sebuah disiplin keilmuan. Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa integrasi kurikulum tidak berorientasi sama sekali kepada pendalaman sebuah disiplin keilmuan. Alih-alih, pendalaman dimaksud bergerak dalam kerangka pengayaan dan perluasan.8 Terlepas dari problem bipolarisasi di atas, sebagai konsekuensi langsung dari pengorganisasian model jaringan atau jaring-jaring dari pembelajaran terintegrasi, multidisipliner, interdisipliner, atau tematik, relasi peran dan pola interaksi antara dosen dan mahasiswa menjadi berubah. Alih-alih menjadi penyedia dan sumber informasi, dosen bergerak menjadi fasilitator yang membantu mahasiswa dalam menguji topik-topik dan masalah pembahasan. Interaksi pembelajaran pun lalu menjadi tidak dosen sentris. Selain perubahan pada peran dosen dan interaksi dengan mahasiswa yang demikian, peran mahasiswa juga berubah. Pembelajaran terintegrasi, multidisipliner, interdisipliner, atau tematik memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memperdalam ruang ketertarikan akademik (area of interest) mereka dengan cara yang koheren dan terintegrasi. Alih-alih sekadar mendengar, mencatat, serta menjawab pertanyaan, mahasiswa justeru terlibat aktif dalam melakukan penelitian atas topik atau permasalahan pembahasan. Kauchak dan Eggen mencatat sejumlah produk atau karya yang bisa dihasilkan oleh mahasiswa melalui Kauchak dan Eggen, Learning & Teaching, 90. Lihat Giselle O. Martin-Kniep, “Curriculum Integration as a Tool for Cogerence,” dalam Becoming a Better Teacher: Eight Innovations that Work (Alexandria, Virginia USA: Assosiation for Supervision and Curriculum Development, 2000), 7-13. 7 8
4
pembelajaran terintegrasi, multidisipliner, interdisipliner, atau tematik tersebut, seperti laporan penelitian tertulis, poster akademik, buletin, dan model pengembangan keilmuan.9 Secara teknis, desainer kurikulum pembelajaran terintegrasi, multidisipliner, interdisipliner, atau tematik layak untuk memahami sejumlah opsi dalam mengorganisasikan kurikulum, mulai dari perkuliahan yang berbasis pada mata kuliah yang berorientasi pada disiplin keilmuan tersendiri hingga perkuliahan dengan mata kuliah yang sepenuhnya terintegrasi.10 Untuk kepentingan ini, Kauchak dan Eggen membuat ilustrasi tentang tingkat ketergantungan pembelajaran terhadap disiplin keilmuan tersendiri, sebagaimana di bawah. Namun, perlu dijelaskan bahwa klasifikasi discipline-based, interdisciplinary planning, dan integrated oleh Kauchak dan Eggen ini dalam kepentingan untuk mengukur tingkat ketergantungan terhadap sebuah disiplin keilmuan. Untuk kepentingan lebih luas, kategori disipliner dan multidispiliner bisa digunakan secara diametral, sehingga penyamaan multidisipliner dengan interdisipliner, tematik dan terintegrasi diletakkan dalam konteks kategori diametral ini.
Continuum of Dependence on Separate Disciplines More
Less
Integrated
Interdisciplinary Planning
Discipline-based
Sumber: Kauchak dan Eggen, Learning & Teaching, 88.
Ilustrasi grafis di atas menjelaskan bahwa pada model organisasi perkuliahan yang berbasis pada disiplin keilmuan (discipline-based organisation), tingkat ketergantungan terhadap disiplin keilmuan tersendiri sangat tinggi. Instruksi perkuliahan berbasis pada disiplin keilmuan (subject area). Sementara itu, pada model organisasi perkuliahan dengan perencanaan interdisipliner (interdisciplinary planning), pembelajaran didesain dengan melibatkan mata kuliah-mata kuliah yang masing-masing terfokus pada ruang pembahasannya atas tema yang diajarkan. Pembelajaran tentang tumbuh-tumbuhan dengan pendekatan interdisipliner sebagaimana dijelaskan di atas menjadi contoh dari model organisasi perkuliahan dengan perencanaan interdisipliner ini. Pada model perkuliahan dengan pendekatan terintegrasi (integrated approach), batas mata kuliah melebur dan bahkan tidak tampak sama sekali. Dalam Kauchak dan Eggen, Learning & Teaching, 90. Heidi Hayes Jacobs, Interdisciplinary Curriculum: Design & Implementation (Alexandria, VA: ASCD, 1989). 9
10
5
kerangka ini, mahasiswa ditekankan untuk menguji topik-topik pembahasan secara komperehensif dengan memanfaatkan beragam ruang keilmuan mata kuliah yang berbeda-beda bila keragaman itu justeru terbukti bermanfaat.11 Signifikansi model pengorganisasi perkuliahan dengan pendekatan terintegrasi di atas tampak semakin tinggi dan kuat bila dikaitkan dengan keilmuan-keilmuan yang langsung terkait dengan kehidupan konkret kehidupan manusia. Kehidupan sosial kemasyarakatan dengan berbagai macam problematikanya merupakan salah satu contoh dari kehidupan riil manusia dimaksud. Integrasi kurikulum seperti ini, dalam pandangan Beane, dibangun “berdasarkan sebuah pandangan tentang pembelajaran sebagai sebuah integrasi yang berkelanjutan dari pengetahuan dan pengalaman baru, serta sebagai medium untuk memperdalam dan memperluas pemahaman tentang diri sendiri dan dunia lebih luas.”12 Meskipun begitu, Nicholas Freudenberg, Susan Klitzman, dan Susan Saegert mencatat beberapa titik tantangan, kelemahan atau kesulitan (conundrums) dalam studi multidisipliner atau interdisipliner. Pertama, nilai penting dari setiap disiplin keilmuan adalah membantu memberikan fokus perhatian kepada seperangkat variabel tertentu (biasanya dalam kerangka dan level satu unit analisis) dengan didukung oleh teori-teori yang relevan. Sementara itu, pendekatan interdisipliner menawarkan tidak saja cara yang jamak (multiple ways) dalam mengkerangkai permasalahan, akan tetapi juga metode yang bertingkat-tingkat dalam mencari dan menganalisis data. Saat perangkat akademik interdisipliner ditinggalkan, maka pengembangan akademik bisa dihadapkan pada “kebingungan”, seperti bisa diibaratkan dengan seorang peneliti yang harus menggunakan mikroskop, binokuler, dan teleksop secara bersamaan dalam kerja akademiknya. Penggunaan perangkat akademik interdisipliner memperluas pilihan-pilihan perangkat akademik yang bisa dibuat seorang peneliti.13 Konundrum kedua adalah tantangan mengintegrasikan metode dan teori dari berbagai level analisis dan model pengorganisasian sosial. Masalah selanjutnya dari integrasi metode dan teori dimaksud adalah bagaimana mengintegrasikan temuan-temuan dari serangkaian level analisis yang berbeda-beda tersebut untuk mengembangkan keilmuan secara lebih efektif. Karena itu, pengalaman praktis memberikan pelajaran bahwa sejumlah kalangan akademisi cenderung lebih tertarik menggunakan data dan teori dari sebuah disiplin keilmuan daripada multidisipliner, meskipun mereka menyadari keterbatasan akademik yang ada di dalamnya.14 Konundrum ketiga adalah terkait dengan besaran yang pas dari pengetahuan yang dibutuhkan agar bisa efektif untuk kepentingan studi Kauchak dan Eggen, Learning & Teaching, 90. James A. Beane, “Curriculum Integration and the Disciplines of Knowledge,” Phi Delta Kappan, vol. 76, no. 8 (1995): 622. 13 Nicholas Freudenberg, Susan Klitzman, dan Susan Saegert, “Frameworks for Interdisciplinary Urban Health Research and Practice,” dalam Nicholas Freudenberg, Susan Klitzman, dan Susan Saegert (eds), Urban Health And Society: Interdisciplinary Approaches to Research and Practice (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 10. 14 Freudenberg, Klitzman, dan Saegert, “Frameworks for Interdisciplinary Urban,” 10. 11 12
6
interdisipliner. Pengalaman membuktikan, tidak mudah untuk selalu mengikuti perkembangan dari temuan-temuan serta metode-metode baru di wilayah disiplin keilmuan kita sendiri. Karena itu, memperlajari perihal di luar disiplin utama kita sendiri merupakan sebuah keterampilan sangat penting bagi penelitian dan pengembangan akademik interdisipliner. Juga, penting untuk dilakukan adalah menakar secara seimbang besaran volume pengetahuan yang dibutuhkan agar penelitian dan pengembangan keilmuan interdisipliner bisa menjawab permasalahan utama yang diformulasikan.15 Selain ketiga konundrum akademik di atas, Freudenberg, Klitzman, dan Saegert bahkan mengingatkan kita semua atas kendala institusional berdasarkan pengalaman pengembangan keilmuan dan kajian multidisipliner di Barat. Dalam kajian mereka, ditemukan bukti empiris bahwa sejumlah akademisi Barat telah diperingatkan oleh birokrasi Jurusan keilmuan masing-masing untuk tidak terlalu “keluar, melebar” dari disiplin keilmuan utamanya sendiri. Apalagi, dalam catatan Freudenberg, Klitzman, dan Saegert, promosi jabatan akademik sangat bergantung pada publikasi di bidang kajian utama disiplin keilmuan sendiri dengan menggunaka metode dan teori yang sudah dikenal oleh peminat studi disiplin keilmuan yang sama.16 Kondisi seperti ini menjadi kendala institusional bagi pengembangan kajian atau keilmuan multidisipliner atau interdisipliner. Strategi Pengembangan Kurikulum Keilmuan Islam Multidisipliner di Perguruan Tinggi Sederetan konundrum yang mengarah kepada problematika mendasar pengembangan keilmuan multidisipliner di atas penting untuk diperhatikan, namun tetap harus menjadi catatan untuk mendapatkan solusi konkret bagi pengembangan keilmuan atau kajian multidisipliner atau interdisipliner di perguruan tinggi agama Islam di Indonesia. Dalam perspektif pendidikan, solusi dimaksud harus diletakkan dalam kerangka pengembangan kurikulum. Seperti diuraikan di atas, untuk kepentingan realisasi strategis, pengembangan kurikulum merupakan prasyarat utama yang harus dilakukan dalam upaya pengembangan kajian atau keilmuan multidisipliner atau interdisipliner dimaksud. Secara teknis, ada tiga kompetensi yang harus menjadi pertimbangan untuk dipenuhi oleh mahasiswa dalam pengembangan desain kurikulum kajian atau keilmuan multidisipliner atau interdisipliner.17 Sesuai dengan semangat yang dikembangkan oleh Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000 dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 045/U/2002 tentang kurikulum berbasis kompetensi, serta Keputusan Menteri Agama RI No. 353 Tahun 2004 tentang pedoman penyusunan Freudenberg, Klitzman, dan Saegert, “Frameworks for Interdisciplinary Urban,” 11. Freudenberg, Klitzman, dan Saegert, “Frameworks for Interdisciplinary Urban,” 11. 17 Mengenai kurikulum berbasis kompetensi, lihat E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002). 15 16
7
kurikulum Pendidikan Tinggi Agama Islam, ketiga komponen dimaksud adalah kompetensi dasar, utama, dan tambahan (lainnya). Kompetensi dasar adalah kompetensi yang harus dimiliki atau dikuasai oleh setiap mahasiswa sebagai dasar bagi pencapaian kompetensi utama dan kompetensi tambahan. Tanpa kompetensi dasar, maka sudah barang tentu upaya menuju pencapaian terhadap kompetensi utama dan tambahan akan goyah dan tidak kokoh. Kompetensi dasar ini biasanya menjadi kompetensi standar institusional. Kompetensi utama adalah kompetensi yang secara langsung berkaitan dengan, dan juga menentukan, tercapainya kemampuan akademik-profesional dari disiplin keilmuan yang didalami. Kompetensi utama ini menjadi ciri khas Jurusan, dan wajib dimiliki setiap mahasiswa Jurusan dimaksud. Artinya, kompetensi utama bisanya menjadi kompetensi standar Jurusan. Kompetensi tambahan adalah kompetensi di luar kompetensi dasar dan kompetensi utama yang ditetapkan oleh Jurusan. Adapun kompetensi tambahan biasanya dijadikan sebagai modal tambahan yang dimiliki oleh mahasiswa untuk memperkaya kompetensi utama meskipun tidak memiliki kaitan secara langsung dengannya. Pengembangan kajian atau keilmuan multidisipliner memang berpretensi memperkaya pengetahuan mahasiswa atas keilmuan yang digeluti. Namun demikian, tugas utama yang tidak boleh ditinggalkan adalah memperkuat kompetensi utama dari jurusan keilmuan yang ditekuni, yang rincian distribusinya harus diwujudkan melalui penentuan standar isi seperti dijelaskan di bagian bawah. Meninggalkan atau minimal mengendurkan kompetensi utama sama artinya dengan menggelapkan batas-batas disiplin keilmuan pada satu sisi, dan melemahkan tingkat penguasaan mahasiswa atas disiplin keilmuan yang menjadi kajian utama dari keilmuan jurusan. Ujungnya, mahasiswa cenderung mengembangkan keahlian yang setengah-setengah (mediocre), untuk tidak mengatakan keahlian yang miyopik. Langkah berikutnya adalah penentuan standar isi. Dalam pemaknaan teknis, standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan (standar kompetensi lulusan), kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dari standar kompetensi lulusan inilah, rangkaian mata kuliah dilahirkan untuk mewujudkan standar kemampuan yang dituangkan sebagai kompetensi dasar, utama, dan tambahan. Di sinilah, sebuah poin penting harus ditekankan bahwa bobot mata kuliah yang dilahirkan untuk kepentingan realisasi dari kompetensi dasar dan tambhan tidak boleh melebihi bobot mata kuliah dari kompetensi utama. Artinya, bobot mata kuliah dan atau prosentase distribusi materi perkuliahan bagi penguatan kompetensi utama harus jauh melebihi hal yang sama dari penguatan kompetensi dasar dan tambahan. Prinsip ini penting dilakukan untuk menghindari munculnya mediocrity (keserbatanggungan) dalam penguasaan keahlian disiplin keilmuan pada satu sisi, dan menjamin tercapainya standar kompetensi lulusan dari Jurusan yang bersangkutan pada sisi lain. 8
Terdapat model strategis lain dari desain kurikulum, namun tidak terlalu berbeda secara diametral dengan model di atas, yang bisa dilakukan untuk menjamin pengembangan keilmuan multidisipliner di atas. Strategi pengembangan kurikulum dimaksud mengambil rancang bangun yang meliputi pengembangan 4 ranah kompetensi, yakni dasar, utama, pendukung, dan lainnya. Pengembangan kompetensi dasar dirangkai ke dalam rumpun mata kuliah pengembangan kepribadaian (MPK). Pengembangan kompetensi utama disusun ke dalam rumpun mata kuliah keilmuan dan keterampilan (MKK), mata kuliah keahlian berkarya (MKB), mata kuliah perilaku berkarya (MPB), serta mata kuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB). Pengembangan kompetensi pendukung tersebar di semua rumpun mata kuliah. Adapun pengembangan kompetensi lainnya berada di rumpun mata kuliah keahlian alternatif. Terlepas dari ragam model desain kurikulum di atas, satu hal yang harus menjadi pertimbangan penting bahwa dalam kerangka strategi pengembangan kurikulum di atas, seluruh mata kuliah yang berkepentingan untuk penguatan kemampuan atau kompetensi utama mahasiswa akan diselenggarakan dalam desain kurikulum kompeteni utama dengan beberapa rumpun mata kuliahnya, dan bukan dalam desain kurikulum kompetensi dasar atau rumpun mata kuliah pengembangan kepribadaian (MPK). Rumpun mata kuliah bagi pengembangan kompetensi utama dimaksud meliputi MKK, MKB, MPB, serta MBB. Dengan strategi pengembangan kurikulum demikian, pembelajaran Bahasa Inggris, sebagai misal, akan berbeda antara satu Jurusan dan Jurusan lainnya, karena kompetensi utama masing-masingnya berlainan. Contoh konkretnya, akan muncul English for Islamic Studies bagi mahasiswa jurusan Filsafat dan Pemikiran Islam di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran. Juga, akan lahir English for Social Sciences bagi mahasiswa Jurusan ilmu-ilmu sosial, dan seterusnya. Dalam pengembangan desain kurikulum keilmuan multidispliner di atas, sebuah fakta tidak bisa dielakkan bahwa yang membedakan lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia seperti UIN Sunan Ampel Surabaya dan IAIN Surakarta dari perguruan tinggi umum, baik di Indonesia maupun apalagi di Barat, adalah beban sosial di samping beban akademik. Beban sosial ini lahir dari ekspektasi publik Muslim terhadap kelembagaan pendidikan tinggi Islam itu sendiri. Konsep beban sosial ini penting untuk diajukan di sini sebagai satu bahan pertimbangan dari pengembangan pendidikan dalam penyelenggaran institusi pendidikan tinggi Islam. Pasalnya, keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam seperti UIN dan IAIN diasumsikan oleh masyarakat Muslim secara luas sebagai tidak terlepas dari dua kepentingan sekaligus, yakni sebagai lembaga akademik dan lembaga keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, maka UIN dan IAIN harus mampu memenuhi tanggung jawab akademiknya dengan menjadikan Islam tidak saja sebagai sebuah ajaran yang diikuti dan didalami, akan tetapi juga sebagai obyek studi yang selalu menerima proses argumentasi dan pengujian mendalam. Untuk kepentingan yang disebut terakhir, maka UIN dan IAIN harus bisa menjadikan kajian-kajian keislaman yang ada di dalamnya sesuai dengan standar akademik yang berlaku dalam dunia akademik secara luas. 9
Selain menanggung beban kepentingan sebagai lembaga akademik di atas, dalam nalar umum masyarakat Muslim, UIN dan IAIN juga memiliki tanggung jawab sebagai lembaga keagamaan. Dalam kerangka nalar umum ini, UIN dan IAIN dikehendaki untuk menjadi salah satu pusat bagi pengembangan dakwah Islam ke kalangan lebih luas. Masyarakat luas memiliki harapan besar bahwa beban sebagai lembaga akademik dan lembaga dakwah ini harus berjalan seiring. Ketidakseimbangan dalam pengembangan keduanya hanya akan dianggap “bermasalah” oleh masyarakat, terutama saat UIN dan IAIN dianggap lebih berkecenderungan terhadap kepentingan pengembangan akademik daripada dakwah. Dalam kaitan inilah, maka beban yang harus ditunaikan oleh lembaga pendidikan berbasis keagamaan seperti UIN dan IAIN cenderung lebih berat dibanding beban yang harus dipikul oleh lembaga pendidikan yang murni berbasis disiplin keilmuan. Dalam kaitan beban akademik dan sosial di atas, penelitian terkini mengenai modal sosial dan luaran pendidikan menegaskan bahwa kesuksesan pembelajaran dipengaruhi tidak saja oleh apa yang terjadi di sekolah dan rumah, akan tetapi juga oleh jaringan sosial, norma, dan keterpercayaan dalam masyarakat luas.18 Poin penting dari hasil penelitian terkini ini semakin tampak signifikansinya bagi pengembangan keilmuan multidisipliner atau interdisipliner di lembaga pendidikan tinggi Islam, seperti UIN Sunan Ampel Surabaya dan IAIN Surakarta. Pasalnya, keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam seperti UIN dan IAIN diasumsikan oleh masyarakat luas sebagai tidak terlepas dari dua kepentingan sekaligus, yakni sebagai lembaga akademik dan lembaga keagamaan, seperti dijelaskan di atas. Sesuai dengan semangat dari hasil penelitian terkini dimaksud, maka pola pengembangan keilmuan multidisipliner di UIN dan IAIN harus dibangun dari kesadaran bahwa keberhasilan pendidikan yang diselenggarakan tidak saja dipengaruhi oleh pembelajaran di kampus akan tetapi pembelajaran lebih luas, yakni melalui interaksi kehidupan mahasiswanya dengan lingkungan di sekitarnya, baik langsung maupun tidak. Standar keberhasilan seperti ini memang juga berlaku di perguruan tinggi lainnya, namun tidak seberat yang harus ditunaikan oleh UIN dan IAIN menyusul posisinya yang sudah dari awal dipersepsikan oleh masyarakat luas sebagai lembaga akademik dan dakwah. Oleh karena itu, pengembangan keilmuan multidisipliner di PTKIN patut untuk melengkapi perkuliahan reguler, sebagaimana perguruan tinggi lainnya, dengan perkuliahan non-reguler model pengasramaan pesantren. Patut disemai di lingkungan pendidikan tinggi Islam tradisi penyelengaraan pendidikan model pengasramaan pesantren di sela-sela pendidikan formalRobert D. Putnam, “Community-Based Social Capital and Educational Performance,” dalam Diane Ravitch dan Joseph P. Viteritti (eds), Making Good Citizens: Education and Civil Society (New Haven & London: Yale University Press, 2001), 65. Lihat juga Peter W. Cookson, School Choice: The Struggle for the Soul of American Education (New Haven: Yale University Press, 1994); Christopher Jencks dan Susan E. Mayer, “The Social Consequences of Growing Up in a Poor Neighborhood: A Review,” dalam Laurence E. Lynn Jr. dan Michael G. H. McGeary (eds), Inner City Poverty in the United States (Washington, D.C.: National Academy Press). 18
10
reguler di perkuliahan. Kepentingan pengembangan keilmuan multidipliner melalui skema perkuliahan reguler dan pengasaramaan di atas adalah berisfat komplemen, yakni untuk membantu menjamin terselenggarakannya kurikulum pembelajaran yang bergerak di dua pendulum besar, keilmuan agama dan umum, melalui proses integrasi. Tentu, integrasi di sini lebih dimaksudkan untuk membantu menjamin satu disiplin keilmuan sebagai obyek kajin dan lainnya sebagai pendekatan. Jika praktik penyelenggaran pendidikan seperti ini bisa dijamin, maka proyek besar pengembangan keilmuan multidisipliner atau interdisipliner menjadi menukan jalan realisasinya. Dengan model pengelolaan pembelajaran seperti ini, maka upaya pencapaian kompetensi dasar, umum, dan tambahan bisa mengalami sinergi, dan dengan demikian mempermudah jalan keberhasilan bagi pengembangan keilmuan multidisipliner atau interdisipliner di atas. Penutup Studi multidisipliner sangat dibutuhkan saat medan kajian keilmuan melintasi sekat-sekat disiplin keilmuan, Jurusan dan Fakultas. Hal ini seiring dengan kenyataan praktis di lapangan bahwa beberapa masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan melihatnya dari satu sudut pandang semata, melainkan harus dengan melibatkan sudut pandang yang beragam sisi dan analisis yang multivariat. Oleh karena itu, studi multidisipliner, interdisipliner, atau cross-disciplinary merupakan upaya integrasi dari serangkaian ruang kajian atau disiplin keilmuan. Terlepas dari sejumlah konundrum yang mengitari pengembangan dan penyelenggaraan kajian atau disiplin keilmuan multidisipliner seperti dijelaskan di atas, studi multidisipliner, interdisipliner, atau cross-disciplinary belakangan mulai menjadi isu sentral dalam studi keilmuan. Secara spesifik, kini, studi multidisipliner, interdisipliner, atau crossdisciplinary menjadi isu penting dalam studi agama. Pentingnya model studi seperti ini tidak saja akademik, akan tetapi juga praktis. Melanie J. Wright dan Justin Meggit memberikan perhatian besar pada dua kepentingan ini. Terkait dengan kepentingan akademik, dalam karya mereka, Wright dan Meggit menyatakan: Practitioners of religious studies have long understood their field to be an interdisciplinary one. Indeed, the institutionalization of religious studies within higher education was itself partly aided by changes in the structure and culture of British universities from the 1960s onwards, which allowed for flexibility and cooperation between previously boundaried departments. ...religious studies has its roots in three traditions. The first two are the Orientalists’ fascination with “the East,” and Religionswissenschaft—the “scientific” study of religion as articulated in the nascent human sciences (anthropology, psychology, sociology). The third is the practice of comparative religion...19
Melanie J. Wright dan Justin Meggit, “Interdisciplinarity in Learning and Teaching in Religious Studies,” dalam Balasubramanyam Chandramohan dan Steven Fallows (eds), Interdisciplinary Learning and Teaching in Higher Education: Theory and Practice (Routledge: Routledge, 2009), 152. 19
11
[Para peminat studi agama telah lama meyakini perlunya kajian mereka bergerak interdisipliner. Memang, institusionalisasi studi agama di perguruan tinggi sebagian terbantu oleh perubahan stuktur dan kultur di kampus-kampus Inggris dari tahun 1960an ke atas, yang memungkinkan munculnya fleksibilitas dan kerjasama di antara Jurusan-Jurusan yang sebelumnya memiliki batas tersendiri. Studi agama memilik akar di tiga tradisi. Dua tradisi pertama adalah kajian para Orientalis terhadap “Timur” dan Religionswissenschaft, yakni kajian ilmiah atas agama seperti yang diartikulasikan dalam keilmuan antropologi, psikologi, dan sosiologi. Tradisi ketiga adalah praktik penyelenggaraan studi agama komparatif...]
Selain kepentingan akademik di atas, Wright dan Meggit juga mencatat bahwa kepentingan pragmatis juga menjadi faktor penting diadopsinya studi multidisipliner, interdisipliner, atau cross-disciplinary dalam studi agama. Menurut mereka, para pengambil kebijakan dan pelaku pasar berkepentingan untuk mengembangkan model studi agama yang demikian dengan cara meminta para pengajar untuk mengevaluasi kompetensi akademik dalam kaitannya dengan transfer keteramplian dan kemampuan dari what do students understand? [apa yang mahasiswa pahami] menjadi what can they do? [apa yang bisa mahasiswa lakukan].20 Kepentingan pragmatis ini muncul untuk memperkuat kontribusi studi agama terhadap penyelesaian problem kehidupan riil masyarakat. Bahkan, Wright dan Meggit juga menjelaskan bahwa beberapa institusi pendidikan di kampus-kampus Inggris kini mulai banyak menawarkan perkuliahan studi-studi agama yang multidisipliner sebagai keahlian minor bagi program kombinasi studi sarjana S1 dan magister (combined honors programs). Jadi, dalam perspektif Wright dan Meggit, kepentingan ditumbuhkannya interdisipliner itu intelektual and institusional.21 Melihat perkembangan global dari menggejalanya studi agama multisidipliner di atas, maka pengembangan studi Islam multidisipliner menemukan titik signifikansinya bagi PTKIN. Sudah barang tentu, upaya pengembangan studi yang demikian harus dibarengi dengan penyediaan ruang yang seluas-luasnya bagi penyelesaian dari sejumlah konundrum, baik akademik maupun kelembagaan, seperti dijelaskan di atas. Dengan desain dan implementasi kurikulum yang terukur, pengembangan studi Islam multidisipliner yang kini diidealisasikan di UIN dan IAIN dapat memberi kontribusi terhadap perkembangan keilmuan dengan memberikan perhatian yang sama terhadap dua kategori keilmuan, agama dan umum, pada satu sisi, dan menggerakkan keduanya secara komplementer melalui model pembelajaran yang melintasi sekat-sekat disipliner. Referensi Beane, James A. “Curriculum Integration and the Disciplines of Knowledge,” Phi Delta Kappan, vol. 76, no. 8 (1995): hal. 616-622. 20 21
Wright dan Meggit, “Interdisciplinarity in Learning and Teaching,” 152. Wright dan Meggit, “Interdisciplinarity in Learning and Teaching,” 153-154.
12
Cookson, Peter W. School Choice: The Struggle for the Soul of American Education. New Haven: Yale University Press, 1994. Freudenberg, Nicholas, Susan Klitzman, dan Susan Saegert. “Frameworks for Interdisciplinary Urban Health Research and Practice.” dalam Nicholas Freudenberg, Susan Klitzman, dan Susan Saegert (eds). Urban Health And Society: Interdisciplinary Approaches to Research and Practice. San Francisco: Jossey-Bass, 2009: hal. 3-18. Jacobs, Heidi Hayes. Interdisciplinary Curriculum: Design & Implementation (Alexandria, VA: ASCD, 1989). Jencks, Christopher, dan Susan E. Mayer. “The Social Consequences of Growing Up in a Poor Neighborhood: A Review.” dalam Laurence E. Lynn Jr. dan Michael G. H. McGeary (eds). Inner City Poverty in the United States. Washington, D.C.: National Academy Press. Kauchak, Donald P., dan Paul D. Eggen. Learning & Teaching: ResearchBased Methods. 3rd edition. Boston: Allyn and Bacon, 1998. Martin-Kniep, Giselle O. “Curriculum Integration as a Tool for Cogerence.” dalam Becoming a Better Teacher: Eight Innovations that Work. Alexandria, Virginia USA: Assosiation for Supervision and Curriculum Development, 2000: hal. 7-13. Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Pugach, Marleen C., dan Cynthia L. Warger. “Curriculum Considerations.” dalam John L. Goodlad dan Thomas C. Lovitt (eds). Integrating General and Special Education. New York & Toronto: Maxmillan Publishing Company, 1993: hal. 125-148. Putnam, Robert D. “Community-Based Social Capital and Educational Performance.” dalam Diane Ravitch dan Joseph P. Viteritti (eds). Making Good Citizens: Education and Civil Society. New Haven & London: Yale University Press, 2001: hal. 58-95. Ravitch, Diane. “Education and Democracy.” dalam Diane Ravitch dan Joseph P. Viteritti (eds). Making Good Citizens: Education and Civil Society. New Haven & London: Yale University Press, 2001: hal. 1529. Slattery, Patrick. Curriculum Development in the Postmodern Era. New York & London: Garland Publishing Inc., 1995. Wright, Melanie J., dan Justin Meggit. “Interdisciplinarity in Learning and Teaching in Religious Studies.” dalam Balasubramanyam Chandramohan dan Steven Fallows (eds). Interdisciplinary Learning and Teaching in Higher Education: Theory and Practice. Routledge: Routledge, 2009: hal, 152-159.
13