Integrasi Pendidikan Agama-sains Berbasis Eksperimental untuk Membentuk Character Building Mahasiswa
PENGEMBANGAN KEILMUAN INTEGRATIF DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI Zainal Arifin Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta E-mail:
[email protected] H P. 08156665151
Abstrak: Tulisan ini mencoba menganalisis pengembangan keilmuan integratif pada dua universitas Islam negeri, yaitu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang. Perubahan keduanya bukanlah hanya perubahan administrasi biasa, tapi didasari oleh basis epistemologi pengembangan keilmuan terintegrasi antara sains dan Islam. Perubahan IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang juga menunjukkan adanya relasi baru antara sains (ilmu-ilmu umum) dan Islam, yaitu relasi saling membutuhkan, saling berdialog, saling menguatkan untuk menyelesaikan problema kehidupan manusia postmodern ini. Tujuan relasi ini untuk mewujudkan lulusan yang mampu bersaing di dunia postmodern yang semakin canggih dan maju ilmu pengetahuan dan teknologinya, selain itu nilai moralitas yang berbasis agama tidak ditinggalkan, sehingga menjadi manusia yang utuh. Kata kunci: integrasi-interkoneksi, jaring laba-laba, pohon keilmuan. Abstract: This paper attempts to analyze the development of integrative science at two Islamic universities, namely UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta and UIN Malang. The changes are not just ordinary administrative changes, but based on the epistemological basis of integrated scientific development between science and Islam. The changing of IAIN Sunan Kalijaga and STAIN Malang also showed a new relationship between science (general sciences) and Islam, which requires mutual relations, mutual dialogue, mutual reinforcement to solve the problems of postmodern human life. The purpose of this relation is to create the graduates who are capable of competing in the postmodern world that increasingly sophisticated and advanced science and technology, in addition, the value of religionbased morality is not abandoned, so they become the holistic human being. Keywords: integration-interconnect, cobwebs, the tree of knowledge.
Pendahuluan Pentingnya relasi sains dan agama yang baik, khususnya bagi Islam, di samping mengeliminasi pandangan dikotomi keilmuan, tapi juga didukung perkembangan sains dan teknologi semakin pesat serta ISSN 1410-0053
385
Zainal Arifin
perubahan dunia semakin dahsyat. Amin Abdullah mengutip pendapat Abdullah Saeed terkait perubahan dunia selama 150 tahun terakhir meliputi: (1) Globalization (globalisasi; borderless society), (2) Migration (perpindahan penduduk), (3) Scientific & technological revolutions (revolusi IPTEK), (4) Space exploration (eksplorasi ruang angkasa), (5) Archaeological discoveries (penemuan benda-benda arkeologis), (6) Evolution and genetics (genetika), (7) Public education and literacy (pendidikan), (8) Increased understanding of the dignity of human person (kesadaran yang semakin bertambah tentang harkat dan martabat manusia), (9) Greater interfaith interaction (hubungan antar-agama yang semakin dekat), (10) The emergence of nation-states (and the concept of equal citizenship) (munculnya konsep “Negara-Bangsa” dan berakibat pada kesamaan hak dan kewajiban warga negara di hadapan negara), dan (11) Gender equality (Abdullah, 2010). Perkembangan demi perkembangan ini belumlah berakhir. Sains dan teknologi kian berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan tingginya tingkat intelektual manusia. Atas dasar inilah, pemaknaan terhadap agama harus senantiasa mengikuti perkembangan sains dan teknologi. Pemaknaan ini bukan berarti menafsirkan al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber utama hukum Islam secara liberal, tapi bagaimana Islam dapat saling menyapa dan bekerja sama dengan ilmuilmu lain dalam memaknai teks-teks yang terdapat al-Qur’an dan Hadist sehingga diperlukan tafsir-tafsir teks “baru” yang sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut M. Amin Abdullah, paling tidak ada empat tahap perkembangan studi Islam terutama dikaitkan dengan disiplin ilmu lain yang terkait. Pertama, perkembangan sebelum tahun 1950. Pada tahapan ini yang dimaksud dengan studi Islam terbatas ulum al-din dalam arti ulum al-naqliyah saja, seperti fiqh, tafsir, hadis, dan tarikh. Dengan demikian, ketika membicarakan studi Islam, sama sekali tidak ada bayangan mengaitkan dengan keilmuan di luar itu, sebab selain ilmuilmu tersebut dianggap “bukan ilmu agama” (Muqowim, 2011: 23). Dalam hal ini pengetahuan agama berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan metodologi yang digunakan oleh ilmu pengetahuan umum yang lain (Abdullah, 2010: 7). Dalam pandangan Amin, model
386
Insania, Vol. 19, No. 2, Juli - Desember 2014
Pengembangan Keilmuan Integratif di Universitas Islam Negeri
ini disebut single entity (Abdullah, 2010: 404). Entitas tunggal ini didominasi oleh hadlarah an-nash, yaitu sebuah tradisi yang menitikberatkan pada teks keagamaan dengan menggunakan epistemologi bayani (Muqowim, 2011: 402). Perkembangan kedua terjadi antara tahun 1951-1975. Pada periode ini, terutama pada dekade tahun 1960-an muncul gagasan tentang perlunya “mengakui” studi lain di luar ulum al-naqliyah sebagaimana terjadi pada periode pertama, seperti keilmuan humanitis, ilmu sosial, dan ilmu alam. Namun, hubungan antara ilmu dalam studi Islam dan ketiga tradisi keilmuan itu masih berjalan secara terpisah, tidak ada dialog, dan tidak saling menyapa. Akibatnya, ketika muncul permasalahan di masyarakat, tidak ada “kerjasama” antar tradisi keilmuan tersebut, sehingga alternatif pemecahan yang muncul pun tidak applicable, bahkan mungkin saling bertolak belakang hasilnya (Muqowim, 2011: 24). Amin Abdullah (2010: 404) menyebut periode ini dalam kategori isolated entities. Entitas yang saling terpisah ini pada dasarnya masih juga didominasi oleh berpikir bayani, sebab tradisi ulum al-naqliyah cenderung tidak mau memanfaatkan produk keilmuan lain yang menggunakan cara pandang burhani, yakni realitas sosial, budaya, dan kealaman merupakan sumber pengetahuan (Muqowim, 2011: 24). Memasuki tahun 1976 sampai akhir tahun 1995 makna studi Islam (islamic studies) memasuki perkembangan baru seiring dengan mulai munculnya beberapa tawaran baru oleh pemikir progresif semacam Mukti Ali dan Harun Nasution untuk konteks pendidikan tinggi Islam, khususnya IAIN. Perkembangan yang dimaksud adalah perlunya kajian Islam memanfaatkan ilmu-ilmu lain sebagai alat bantu dalam memecahkan problema realitas. Menurut kedua “pioner” studi Islam (terutama PTAI) di Indonesia, untuk mengetahui Islam tidak bisa hanya didasarkan pada ilmu naqli semata, namun harus menggunakan perspektif lain dan multifaced. Untuk itu, meminjam displin ilmu lain adalah sebuah keharusan, misalnya sejarah, sosiologi, antropologi, fenomenologi, psikologi, filsafat, linguistik, filologi, dan sains. Kedua tokoh tersebut kemudian mempelopori dibukanya program lanjutan dalam studi Islam yang disebut dengan Program Pascasarjana yang dibuka pertama di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga (Muqowim, 2011: 25). ISSN 1410-0053
387
Zainal Arifin
Paradigma yang ditawarkan Mukti Ali pada periode ketiga ini adalah paradigma scientific-cum-doctriner. Paradigma ini tidak mempertanyakan agama Islam sebagai wahyu, namun mencoba memahami Islam dalam konteks menyejarah yang empirik. Justru perspektif lain diperlukan untuk membuktikan dan membumikan ajaran normatif yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadist (Muqowim, 2011: 26). Paradigma ini mencoba memahami agama, khususnya Islam bukan hanya dari segi normativitas saja tapi historisitasnya. Selain itu, diperlukan perspektif keilmuan lain dalam memahami Islam, misalnya ilmu-ilmu humaniora (humanities), ilmu-ilmu sosial ( social sciences), maupun ilmu-ilmu kealaman (natural sciences). Contohnya, bagaimana memahami kewajiban puasa selain dari teks al-Qur’an dan Hadist juga dapat diperluas kajiannya menggunakan ilmu kedokteran tentang manfaat puasa bagi kesehatan. Alat bantu ilmu kedokteran untuk memahami kewajiban puasa akan menjadikan pemahaman puasa semakin lengkap dan mendalam karena manfaat puasa dapat dibuktikan secara ilmiah. Pada periode ketiga di atas sebenarnya masih bertolak dari pemahaman bahwa studi Islam adalah kajian terhadap ilmu-ilmu naqli , meskipun sudah menggunakan ilmu-ilmu bantu. Itulah sebab muncul periode keempat yang berlangsung sekitar tahun 1996 sampai sekarang. Periode ini muncul seiring dengan belum maksimalnya peran studi Islam dalam memberikan alternatif pemecahan terhadap problema realitas secara nyata. Hal ini sebagian disebabkan oleh filosofi dalam memaknai studi Islam belum jelas. Dalam periode ini studi Islam tidak lagi terbatas pada wilayah ilmu-ilmu naqli yang dalam cara kerjanya menggunakan bantuan displin ilmu lain, namun yang termasuk dalam studi Islam adalah apa pun displin ilmu ketika menjadikan al-Qur’an dan Hadist sebagai inspirasi, maka termasuk wilayah studi Islam, meskipun selama ini dikategorikan sebagai ilmu umum, misalnya humanitis dan sains (Muqowim, 2011: 27).
Tradisi Ilmu Pengetahuan Perkembangan makna studi Islam periode keempat berlangsung sekitar tahun 1996 sampai sekarang, menurut Muqowim (2011: 27), lebih menekankan pada cara dalam pengembangan ilmu (epistemo-
388
Insania, Vol. 19, No. 2, Juli - Desember 2014
Pengembangan Keilmuan Integratif di Universitas Islam Negeri
logi). M. Amin Abdullah (2010: 202) memodifikasi teori Muhammad Abid Al-Jabiry tentang telaah epistemologi dalam tradisi ilmu pengetahuan, yaitu epistemologi bayani, burhani, dan irfani. Menurut alJabiry, corak Epistemologi Bayani didukung oleh pola pikir Fikih dan Kalam. Dalam tradisi keilmuan agama Islam di IAIN dan STAIN, begitu juga pengajaran agama Islam di perguruan tinggi umum negeri dan swasta, dan lebih-lebih di pesantren-pesantren, corak pemikiran keislaman model bayani sangatlah mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi irfani dan burhani. Secara leksikon, istilah bayani berarti kesinambungan (al-wasl), keterpilahan (al-fasl), dan jelas dan terang (al-dhuhur wa al-wudhuh), dan kemampuan membuat terang dan jelas. Adapun di antara ciri pemikiran bayani adalah adanya nalar tekstual, yaitu menitikberatkan pada wacana diskursif yang berkisar pada wilayah kata dan makna, adanya hegemoni nalar analogi yang tercermin dari penggunaan otoritas salaf sebagai sumber pengetahuan dan dijadikan sebagai pokok tumpuan penalaran pada relasi analogi dengan wilayah al-far’, adanya hegemoni nalar okasionalistik, yaitu tidak adanya kepastian dalam tatanan realitas karena semua berjalan serba mungkin atas kehendak Tuhan yang absolut dalam segala hal (Muqowim, 2010: 28). Dalam berhadapan dengan komunitas lain agama, corak argumen berpikir keagamaan model tekstual-bayani biasanya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif, apologis, dan polemis, dengan semboyan kurang lebih semakna dengan “right or wrong my country”. Itulah jenis pengetahuan keagamaan yang biasa disebut-sebut sebagai al-ilm al-tauqify (Abdullah, 2010: 202). Sementara itu pola epistemologi irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Menurut sejarah, epistemologi ini telah ada di Persi dan Yunani jauh sebelum datangnya teks-teks keagamaan Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi bayani adalah “teks” (wahyu), maka sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir irfani adalah “experience” (pengalaman). Pengalaman-pengalaman batin yang amat terdalam, otentik, fitri, hafiyyah samhah dan hampir-hampir tak terkatakan oleh logika dan tak terungkap oleh bahasa inilah yang disebut-sebut oleh tradisi ISSN 1410-0053
389
Zainal Arifin
isyraqy di Timur sebagai al-ilm al-hudury ( direct experience) atau oleh tradisi eksistensialis di Barat disebut dengan preverbal, prereflective consciousness, atau prelogical knowledge. Validitas kebenaran epistemologi Irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung ( al-ru’yah al-mubasyirah; direct experience ), intuisi, aldzauq, atau psiko-gnosis. Dalam tradisi irfani, istilah “arif” lebih diutamakan daripada istilah “alim”, karena alim lebih merujuk pada nalar bayani, sedangkan arif (diambil dari akar kata yang serupa ‘a-r-f) lebih merujuk pada tradisi irfani. Secara sosiologis, budaya dan masyarakat Indonesia juga lebih menghormati karakter arif dan bukannya alim untuk hal-hal yang terkait dengan kompleksitas pergaulan sosial, budaya, dan keagamaan. Kemudian, jika sumber (origin) ilmu dari corak epistemologi bayani adalah teks, sedang irfani adalah direct experience (pengalaman langsung), maka epistemologi burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas alam, sosial, humanitas, maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut juga al-ilm alhusuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq, dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi (Abdullah, 2010). Tolok ukur validitas keilmuan burhani sangat berbeda dari nalar bayani dan nalar irfani. Jika nalar bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau nash dan realitas, dan nalar irfani lebih pada kematangan social skill (empati, simpati, verstehen ), maka nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi (al-mutabaqah baina al-‘aql wa nizam al-tarbiyah), yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi, juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus-menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumusrumus, dan teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal manusia (pragmatik).
390
Insania, Vol. 19, No. 2, Juli - Desember 2014
Pengembangan Keilmuan Integratif di Universitas Islam Negeri
Keilmuan Integratif-Interkonektif UIN Sunan Kalijaga Pada dasarnya, Islam mengembangkan ilmu yang bersifat universal dan tidak mengenal dikotomi antara ilmu-ilmu qauliyah/ hadharah al-nash (ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan) dengan ilmu-ilmu kauniyyah-ijtima’iyyah/hadharah al-‘ilm (ilmu-ilmu kealaman dan kemasyarakatan), maupun dengan hadharah al-falsafah (ilmu-ilmu etis-filosofis). Ilmu-ilmu tersebut secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai ilmu-ilmu ke-Islaman ketika secara epistemologi berangkat dari atau sesuai dengan nilai-nilai dan etika Islam. Ilmu yang berangkat dari nilai-nilai dan etika Islam pada dasarnya bersifat objektif. Dengan demikian, dalam Islam terjadi proses objektifikasi dari etika Islam menjadi ilmu ke-Islaman, yang dapat bermanfaat bagi seluruh kehidupan manusia (rahmatan li al-‘alamin), baik mereka yang Muslim maupun non-Muslim, serta tidak membedakan golongan, etnis, maupun suku bangsa (Pokja Akademik, 2006: 19). M. Amin Abdullah memandang relasi ilmu pengetahuan (sains) dan Islam, khususnya dalam rancang bangun keilmuan baru era UIN menjadi tiga model. Pertama, model single entity (entitas tunggal). Menurut M. Amin Abdullah (2010), masa single entity memiliki ciriciri sebagai berikut: (1) Mempertahankan khazanah Islam era al-‘Ashr al-Dzahabiy (Abad IX-XI) tanpa adanya perkembangan keilmuan dan penelitian di luar dirinya (pada abad XV-XIX & Abad XX-XXI). (2) Lebih cenderung pada adagium al-muhafadzah ‘alaa al-qadi>m ashshalih tanpa wa al-akhdzu bil-jadi>di al-ashlah. (3) Model ini terjadi pada era tahun 1950-1970.
Gambar 1 Skema Single Entity
Entitas tunggal hadharah al-nash ini bisa diganti atau ditempati oleh entitas tunggal hadharah al-ilm atau entitas tunggal hadharah al-falasifah. Single entity ini umumnya mengklaim bahwa cukup diriISSN 1410-0053
391
Zainal Arifin
nya sendiri sajalah yang mampu mengatasi permasalahan kemanusiaan. Dalam perspektif komparatif, corak model berpikir single entity ini adalah simbol keangkuhan ilmu pengetahuan. Corak ini tidak ideal untuk IAIN, apalagi UIN (Abdullah, 2010: 404). Kedua, model isolated entity (entitas terpisah). Menurut M. Amin Abdullah (2010), masa isolated entity memiliki ciri-ciri di bawah ini: (1) Tumbuh Kesadaran “baru” dalam alam pikiran keagamaan (Islam) bahwa memang ada 3 entitas disiplin keilmuan. (2) Kesadaran baru (1970-1990) tersebut masih terpenggal-penggal (dikotomi) antara ilmu pengetahuan agama dan pengetahuan umum. (3) Pengalaman Indonesia: ada Departemen Agama (sekarang: Kementerian Agama) dan Departemen Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), dan (d) Alumni perguruan tinggi menjadi “tidak utuh”.
Gambar 2 Skema Isolated Entities
Tampak dalam skema di atas, kelihatannya peradaban manusia telah semakin maju karena adanya ketiga entitas keilmuan tersebut. Namun, oleh masyarakat dunia sekarang ini, konfigurasi hubungan yang ternyata bercorak “isolated” inilah yang diperkirakan menjadi sumber permasalahan dunia kontemporer, sejak dari krisis lingkungan hidup, krisis ekonomi, krisis moralitas, krisis religiusitas, dan krisis multidimensi yang lain. Skema ini boleh dikata masih sangat terjadi di era IAIN, sehingga berakibat pada sempitnya wawasan dan pandangan dunia para alumninya (Abdullah, 2010: 404). Ketiga, model interconnected entity (entitas saling terhubung secara utuh). Menurut M. Amin Abdullah, masa interconnected entity memiliki ciri-ciri di bawah ini: (1) Peradaban Dunia Baru memerlukan pendekatan keilmuan yang non-dikotomis. (2) Pendekatan IntegrasiInterkoneksi bidang ilmu untuk mengurangi keterbatasan personalitan (split personality) menghadapi era baru pengalaman manusia selama
392
Insania, Vol. 19, No. 2, Juli - Desember 2014
Pengembangan Keilmuan Integratif di Universitas Islam Negeri
150 tahun terakhir. (3) Tidak hanya UIN (Universitas Islam Negeri), tetapi semua jenis Pendidikan Tinggi memerlukan pendekatan yang bersifat Integratif-Interkonektif.
Gambar 3 Skema Interconnected Entities
Dalam skema di atas bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri, terpisah antara satu sama lainnya (Abdullah, 2010: 405). Model ini mencoba menjalin relasi integrasiinterkoneksi antara tiga entitas keilmuan, yaitu hadharah an-nash, hadharah al-falasifah, dan hadharah al-ilm. Dialog keilmuan di UIN Sunan Kalijaga, selain bersifat integratif dan interkonektif dalam wilayah internal ilmu-ilmu ke-Islaman, juga dikembangkan melalui integrasi dan interkoneksi ilmu-ilmu keIslaman dengan ilmu-ilmu umum. Integrasi dan interkoneksi dengan ilmu umum tersebut terjadi pada bidang ilmu humaniora (humanities), ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu-ilmu kealaman (natural sciences). Integrasi dan interkoneksi ini diwujudkan dan dikembangkan di dalam 7 (tujuh) fakultas, yaitu Fakultas Adab, Fakultas Dakwah, Fakultas Syari’ah, Fakultas Tarbiyah, Fakultas Ushuludin, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, dan Fakultas Sains dan Teknologi. Jelasnya, paradigma keilmuan tersebut bisa digambarkan seperti “jaring laba-laba keilmuan berikut ini:
ISSN 1410-0053
393
Zainal Arifin
INTERNATIONAL LAW ENVIR ONTM ENTALANTH L ROPO ISSUELOGY S SOCIO LOGY GE ND ER ISS UE S
ARCHEOLOGY
RELIGIOUS PLURALISM PHILOLOGY
FIQH
TARIKH
HA DIT S
HIS TO RY
PHI LO SO PH Y
TAS SA WU F
HE RM EN EU TIC S TAF SIR
QUR’AN & SUNNAH
LUG HAH
(1) (2)
(3) (1) CULT URE (CULT (4) URAL PSYCHOLOGY STUDI(5) ES) PHENOMENOLOGY
ETHICS
GLOB AL ECON OMIC S PHYSICS CHEMIST RY BIOLOG Y MA TH EM ATI CS
INFOR MATIO N TECH NOLO GY
HU MA N RIG HT S
POLITICS/CIVIL SOCIETY
Gambar 4 Jaring Laba-Laba KeilmuanTeoantroposentrik-Integralistik dalam Universitas Islam Negeri
Gambar tersebut mengilustrasikan hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik. Tergambar di situ bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sector tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Di samping itu, tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problema kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science ), ilmu-ilmu sosial (social science ), dan humaniora ( humanities ) kontemporer. Di atas segalagalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalui dibarengi lan-
394
Insania, Vol. 19, No. 2, Juli - Desember 2014
Pengembangan Keilmuan Integratif di Universitas Islam Negeri
dasan etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan al-Qur’an dan Hadist yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanchauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa latar belakang etnisitas, agama, ras, maupun golongan (Abdullah, 2010: 406). Jaring laba-laba di atas merupakan pelapisan “geneologi” keilmuan ke-Islaman. Dalam jaring laba-laba tersebut terdapat lima lapisan. Pertama, lapisan pertama, al-Qur’an dan hadist. Kedua, lapisan kedua, methodology (thariqah) &approaches (al-muqarabah) adalah bentuk human intervention &human construction (ijtihad ulama &cerdik pandai) pada setiap zaman yang dilalui oleh peradaban Islam. Ketiga, lapisan ketiga, layer (lapisan) kuning adalah ilmu-ilmu keislaman yang diproduksi pada era al-’ashr al-dzahabiy (golden age of islamic civilization) sekitar Abad IX-XI M. Istilah “Tafaqquh fi alDin” biasanya mengacu kepada era ini. Istilah “Kitab Kuning” sangat terkenal di dunia Pesantren. Keempat, lapisan keempat, dengan sedikit mereduksi, era sejarah peradaban Islam adalah dari Abad VII sampai dengan Abad XIV M. Kejatuhan Cordoba di Spanyol menandai peralihan sejarah peradaban. Layer (lapis) biru adalah peradaban Barat Abad XV-XX M. Kelima, lapisan kelima, Layer (lapis) pink adalah fenomena masyarakat dunia dalam 150 tahun terakhir. Layer (lapis) pink adalah era globalisasi (Borderless Society). Berdasarkan gambar ini, al-Qur’an dan Hadist menempati lapisan pertama dalam jaring laba-laba. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an dan Hadist menjadi sumber inspirasi dan landasan etika moral dalam pengembangan keilmuan. Al-Qur’an dan Hadist sebagai ruh setiap detak perkembangan sains dan teknologi. Menurut Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, al-Qur’an dan Hadist memberi inspirasi bagi munculnya ilmu-ilmu yang ada pada lapisan berikutnya yaitu lapisan ilmu-ilmu ke-Islaman klasik. Dengan cara yang sama, pada abad-abad berikutnya muncullah ilmu-ilmu kealaman, sosial, dan humaniora, dan berujung munculnya ilmu-ilmu dan isu-isu kontemporer.
ISSN 1410-0053
395
Zainal Arifin
Pohon Keilmuan Integratif UIN Malang Pengembangan STAIN Malang menjadi UIN Malang adalah sebuah lompatan manajemen pendidikan tinggi Islam yang bersejarah. Dikatakan bersejarah karena biasanya STAIN ketika mau berubah menjadi UIN melalui menjadi IAIN dulu, sebagaimana kasus STAINSTAIN yang lain, misalnya STAIN Surakarta menjadi IAIN Surakarta. Lompatan sejarah perubahan STAIN Malang menjadi UIN adalah prestasi luar biasa yang dilakukan oleh Imam Suprayogo. Dengan pelbagai pengalamannya mengelola PTAIS dan PTAIN, dia telah berhasil menyulap wajah STAIN yang kurang diminati menjadi UIN yang megah dan memiliki daya saing tinggi terhadap UIN-UIN pendahulunya, seperti UIN Sunan Kalijaga, sebagai “mbah”-nya, dan IAIN Sunan Ampel Surabaya sebagai “bapak”-nya, karena sebenarnya UIN Malang itu adalah “cucu” UIN Sunan Kalijaga, tapi kemajuannya begitu pesat. Dalam sejarah, kebijakan Departemen Agama (sekarang: Kementerian Agama) mengubah fakultas cabang di seluruh IAIN menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadikan tanah air ini terdapat 14 IAIN dan 33 STAIN. Dengan statusnya yang baru itu, maka seluruh STAIN menyandang otonomi yang seluas-luasnya sehingga mereka memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan masing-masing. Khusus IAIN Malang yakni Fakultas Tarbiyah, sekalipun dalam sejarah awal kelahirannya berstatus fakultas induk, sama dengan fakultas-fakultas lain di induknya, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sejak IAIN Surabaya membuka Fakultas Tarbiyah sendiri dengan jalan memindahkan Fakultas Tarbiyah cabang Bojonegoro ke Surabaya, maka status fakultas induk yang disandang Fakultas Tarbiyah Malang berubah menjadi fakultas cabang. Oleh karena itu, ketika Departemen Agama mengubah status fakultas cabang menjadi STAIN, maka Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang pun dengan sendirinya berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Suprayogo, 2007: 7). Sebagaimana kasus perubahan IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN yang memiliki basis integrasi-interkoneksi keilmuan dengan Jaring Laba-laba M. Amin Abdullah, perubahan STAIN Malang menjadi UIN juga didasari paradigma integrasi keilmuan, yang dikenal dengan Pohon
396
Insania, Vol. 19, No. 2, Juli - Desember 2014
Pengembangan Keilmuan Integratif di Universitas Islam Negeri
Keilmuan Imam Suprayogo. Dalam pengembangan Pohon Keilmuan, Imam Suproyogo menggunakan teori Imam Ghazali tentang hukum mencari ilmu yang dibagi menjadi dua, yaitu fardhu ain dan fardhu kifayah. Ilmu yang tergolong pertama (yang fardhu ain) berupa ilmu agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadist. Sementara itu, ilmu yang tergolong jenis kedua (yang fardhu kifayah ) adalah ilmu yang dipandang penting dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, misalnya ilmu administrasi, ilmu kedokteran, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya (Suprayogo, 2007: 34). Pemaknaan kembali teori Imam Ghazali sebagai basis pengembangan keilmuan di UIN Malang patut diapresiasi. Sebab, banyak orang berpendapat, teori Imam Ghazali tentang pembagian ilmu menjadi fardhu ain dan fardhu kifayah merupakan awal mula terjadinya pandangan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum yang mengakibatkan kemunduran umat Islam, khususnya dalam bidang sains dan teknologi. Lebih jauh lagi, pandangan keliru umat Islam terhadap kritik Imam Ghazali terhadap filsafat dalam bukunya Tahafud alFalasifah menjadikan umat Islam terbelenggu dan meninggalkan filsafat (Wahyudi, 2006: 17). Noeng Muhajir mendekonstruksi fardhu ain dan fardhu kifayah Imam Ghazali menjadi wajib ain dan wajib kifayah. Fardhu ain alGhazali merupakan keharusan setiap muslim untuk belajar agama, dan fardhu kifayah al-Ghazali adalah belajar ilmu lain merupakan kifayah, dan harus dikerjakan. Noeng Muhajir memilahkan antara fardhu ain - kifayah al-Ghazali dengan wajib ain-kifayah. Fardhu mempunyai konsekuensi pahala, adapun wajib mempunyai konsekuensi sosial. Dekonstruksi Noeng Muhajir (2010: 33) adalah semua muslim wajib ain untuk belajar ilmu dasar agama dan ilmu dasar umum dan semua muslim perlu menyebar ke semua bidang ilmu dan sektor kehidupan sebagai wajib kifayah. Bila ada bidang ilmu atau sektor kehidupan tiada muslim yang menggarap, secara sosial semua salah. Muslim yang mayoritas di Indonesia perlu menyebar ke semua bidang ilmu dan ke semua sektor kehidupan, agar muslim yang mayoritas
ISSN 1410-0053
397
Zainal Arifin
bukan mayoritas yang lemah, tetapi menjadi mayoritas yang dapat menyantuni dan melindungi minoritas. Imam Suprayogo menggunakan hukum fardhu ain dan fardhu kifayah untuk memberikan arah bagi siapa saja yang menyelesaikan program studi pada jenjang tertentu di Universitas Islam Negeri Malang. Dalam perspektif kurikulum, bangunan ilmu yang bersifat integratif – ilmu agama dan umum, digunakan metafora sebuah pohon yang tumbuh subur, lebat, dan rindang. Masing-masing bagian pohon dan bahkan tanah di mana sebatang pohon itu tumbuh digunakan untuk menerangkan keseluruhan jenis ilmu pengetahuan yang harus dikaji oleh seseorang agar dianggap telah menyelesaikan program studinya. Selayaknya sebatang pohon terdiri atas tanah di mana pohon itu tumbuh, akar yang menghunjam ke bumi dengan kuatnya. Akar yang kuat dapat menjadikan batang sebuah pohon berdiri tegak dan kokoh. Pohon itu juga akan menumbuhkan dahan, ranting, daun, dan buah yang sehat dan segar. Bagian-bagian itu digunakan sebagai alat untuk menjelaskan posisi masing-masing jenis bidang studi atau mata kuliah yang harus ditempuh oleh seseorang agar dianggap telah menyelesaikan seluruh program studinya itu (Suprayogo, 2007: 35).
Gambar 5 Pohon Keilmuan UIN Malang (lcwcu.um.ac.id)
Menurut Imam Suprayogo, akar digunakan untuk menggambarkan ilmu-ilmu alat, yang harus dikuasai oleh setiap mahasiswa secara baik, yaitu Bahasa—Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, dan Bahasa
398
Insania, Vol. 19, No. 2, Juli - Desember 2014
Pengembangan Keilmuan Integratif di Universitas Islam Negeri
Inggris—filsafat, ilmu-ilmu alam, dan ilmu sosial dasar dan pancasila. Batang digunakan untuk menggambarkan kajian sumber ilmu yang berasal dari kitab suci al-Qur’an dan sejarah kehidupan Rasul (Hadist); pemikiran Islam, dan masyarakat Islam. Semua mahasiswa, tanpa terkecuali jurusan apapun yang diambil wajib mempelajarinya adalah fardhu ain. Sementara itu, dahan, ranting, dan daun sebatang pohon untuk menggambarkan jenis fakultas yang dipilih oleh masing-masing mahasiswa. Jika batang ke bawah mempelajarinya bersifat wajib, maka dahan, ranting, dan daun mempelajarinya bersifat fardhu kifayah. Artinya, setiap mahasiswa boleh mengambil secara berbeda antara satu dengan lain. Jika seorang mahasiswa sudah mengambil satu jenis fakultas, tidak berkewajiban untuk mengambil fakultas lainnya. Jenis ilmu yang digambarkan sebagai dahan tersebut misalnya ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu teknik, ilmu MIPA, dan seterusnya. Sebagai sebuah pohon yang tumbuh subur akan menghasilkan buah. Buah itu dalam hal ini untuk menggambarkan produk dari bangunan ilmu yang bersifat integratif antara agama dan ilmu umum, yaitu iman, amal sholeh, dan akhlak al-karimah (Suprayogo, 2007: 37). Konsep integrasi sains dan Islam dalam Pohon Keilmuan Imam Suprayogo (2007) ini ternyata menimbulkan pro dan kontra bagi kalangan akademis. Setidaknya ada tiga kritikan yang menarik dikaji. Pertama, posisi al-Qur’an yang digambarkan berupa batang. Pada umumnya, mereka yang tidak menyetujui konsep ini mengatakan bahwa semestinya al-Qur’an dan Hadist diposisikan sebagai akar. Sebab al-Qur’an dan hadist dipandang sebagai dasar seluruh pengembangan ilmu. Posisinya sebagai dasar semestinya bukan digambarkan pada batang, melainkan pada akar. Pandangan ini bisa dijelaskan bahwa batang pohon ini digunakan untuk menggambarkan bangunan ilmu dalam perspektif kurikulum. Jika perspektif ini yang digunakan maka memang seharusnya dalam mengkaji sesuatu harus melalui uruturutan secara sistematis. Ada bagian-bagian yang seharusnya didahulukan sebagai prasyarat untuk menjamah bagian selanjutnya. Sebelum mendalami al-Qur’an dan hadist, misalnya siapa saja harus belajar terlebih dahulu bahasa Arab, logika/filsafat, ilmu-ilmu sosial, ilmuilmu alam, dan seterusnya. ISSN 1410-0053
399
Zainal Arifin
Penjelasan Imam Suproyogo di atas tampak adanya upaya membangun relasi sains dan Islam. Sains (yang meliputi: bahasa, pancasila, filsafat, ilmu alam dan ilmu sosial dasar) dijadikan prasyarat dalam memahami ilmu-ilmu yang bersumberkan al-Qur’an dan Hadist. Upaya ini didukung kemauan kuat Imam Suprayogo untuk membangun kekuatan kultural dalam pendidikan Islam, misalnya dibangunnya Masjid dan Ma’had (pesantren) sebagai basis pengembangan nilainilai spiritual, akhlak dan juga pengembangan bahasa. Kritik kedua, al-Qur’an dan hadist dijadikan sumber ilmu sejajar dengan hasil-hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis. Kritik ini dijelaskan (dijawab) bahwa peletakan al-Qur’an dan hadist sejajar dengan sumber lainnya itu sebatas persoalan teknis, akan tetapi sesungguhnya posisi al-Qur’an dan hadist lebih utama dan tidak mungkin disejajarkan dengan sumber-sumber lain manapun (Suprayogo, 2007: 42). Kritik ini didasarkan pada bangunan ilmu—Imam Supayogo—yang bersifat integratif dengan memosisikan al-Qur’an dan hadist sebagai sumber utama. Dalam gambar bangunan ilmu tersebut, posisi al-Qur’an dan hadist sejajar dengan hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis. Kritik ketiga, jika konsep pohon keilmuan diimplementasikan maka dikuatirkan menjadikan beban mahasiswa terlalu berat. Mahasiswa tidak saja dibebankan harus belajar bahasa Inggris—yang prestasi pada umumnya rendah—ditambah lagi harus belajar bahasa Arab, al-Qur’an dan Hadist, dan seterusnya. Kritik semacam ini sesungguhnya bisa dijawab dengan menunjukkan bukti empirik bahwa di Indonesia telah banyak orang yang sekalipun mereka tidak melewati lembaga pendidikan, mereka mampu mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum. Jika menyebut sebagian kecil dari banyak orang yang dimaksudkan itu antara lain Prof. Dr. Tholhah Mansyur (alm.), Prof. Dr. Jalaludin Rahmat, Prof. Dr. Syafii Ma’arif, Prof. Dr. A. Malik Fadjar, M.Sc., Dr. (HC) Tholkhah Hasan, Prof. Dr. Amien Rais, MA, Dr. Syahirul Alim, Prof. Dr. Imaduddin Abdurrahim, Prof. Dr. Fuad Amsari, Prof. Dr. Halide, Prof. Dr. Azhar Arsyad, Prof. Dr. Komarudin Hidayat, dan masih banyak lagi (Suprayogo, 2007: 42). Para tokoh-tokoh di atas, selain memiliki keahlian dalam bidang sains (ilmu umum) juga menguasai ilmu agama. Menurut penelitian
400
Insania, Vol. 19, No. 2, Juli - Desember 2014
Pengembangan Keilmuan Integratif di Universitas Islam Negeri
Imam Suprayogo, mereka berhasil menguasai ilmu umum sekaligus agama karena lingkungan yang kondusif untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai spiritual dan akhlak. Oleh karena itu, UIN Malang membangun pondok pesantren sebagai upaya pembentukan karakter dan nilai-nilai keagamaan bagi semua mahasiswa. Selain itu, mahasiswa diwajibkan menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai skill dasar untuk pengembangan keilmuan selanjutnya. Dari pembahasan di atas, tampak relasi sains dan Islam yang dibangun Imam Suprayogo dalam mengembangkan UIN Malang. Imam Suprayogo ingin menjauhkan diri dari pemikiran dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum. Dia berusaha mengembangkan penyelenggaraan pendidikan tinggi Islam yang integratif dengan basis teori fardhu ain dan fardhu kifayah Imam Ghazali. Usaha Imam Suprayogo dalam mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum diwujudkan dalam Pohon Keilmuan, di mana metafora pohon untuk menjelaskan bangunan keilmuan UIN Malang yang integratif.
Kesimpulan Perubahan IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) bukanlah perubahan administrasi biasa, tetapi didasari oleh basis epistemologi pengembangan keilmuan terintegrasi antara sains dan Islam. Wujud dari relasi sains dan Islam ini adalah dibukanya fakultas-fakultas umum di kedua universitas tersebut, seperti fakultas Sains dan Teknologi (Saintek), Sosiologi, Psikologi, dan lain-lain. Perubahan IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang juga menunjukkan adanya relasi baru antara sains (ilmu-ilmu umum) dan Islam, yaitu relasi saling membutuhkan, saling berdialog, saling menguatkan untuk menyelesaikan problema kehidupan manusia postmodern ini. Tujuan relasi ini untuk mewujudkan lulusan yang mampu bersaing di dunia postmodern yang semakin canggih dan maju ilmu pengetahuan dan teknologinya, selain itu nilai moralitas yang berbasis agama tidak ditinggalkan, sehingga menjadi manusia yang utuh.
ISSN 1410-0053
401
Zainal Arifin
Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin. 2005. “Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomik-Atomistik ke Arah Integratif Interdisciplinary” dalam Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, dan Afnan Anshori (ed.), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan bekerja sama dengan MYIA UGM dan SUKA-Press. ————— —————, dkk. 2007. Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi). Yogyakarta: Suka Press. ————— —————. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan IntegratifInterkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ————— —————. 2010. “Integrasi dan Interkoneksi: Pengembangan Paradigma Keilmuan (Teori-Praxis) di UIN Sunan Kalijaga”. Makalah. Dipresentasikan dalam Workshop Calon Dosen UIN Sunan Kalijaga Tahun 2010 yang diselenggarakan oleh Center for Teaching Staff Development (CTSD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Muqowim. 2011.Keterpaduan Sains dan Agama.Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga. Muhajir, Noeng. 2010. “Studi Islam Postmodern; Agenda Muhammadiyah Pasca Satu Abad” . Dalam Suara Muhammadiyah . Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010, Edisi Khusus Muktamar Satu Abad Muhammadiyah. Pokja Akademik. 2006. Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. Suprayogo, Imam. 2007. Paradigma Pengembangan Keilmuan di Perguruan Tinggi, Konsep Pendidikan Tinggi yang dikembangkan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Malang: UIN-Malang Press. Wahyudi, Yudian. 2006. Ushul Fikih versus Hermeneutika, Membaca Islam dari Kanada dan Amerika. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press.
402
Insania, Vol. 19, No. 2, Juli - Desember 2014