9
II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Ayam Broiler
2.1.1 Deskripsi Ayam Broiler Ayam broiler adalah galur ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, masa panen pendek dan menghasilkan daging berserat lunak, timbunan daging baik, serta dada lebih besar dan kulit licin (North dan Bell, 1990). Ayam broiler yang baik adalah ayam yang pertumbuhanya cepat, warna bulu putih, tidak terdapat bulu berwarna gelap, serta memiliki ukuran dan konfirmasi yang seragam (Mountney, 1978). Ayam broiler termasuk ke dalam ayam ras yang berasal dari jenis ayamayam unggul impor yang telah dimuliabiakkan untuk tujuan produksi tertentu (Ruhyat dan Edjeng, 2006). Edjeng (2010) menyatakan bahwa ternak ayam di dalam dunia hewan memiliki taksonomi sebagai berikut : Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Subkelas
: Neorinthes
Ordo
: Galiformes
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus domesticus Pada umumnya ayam broiler di Indonesia dipasarkan setelah berumur 4-5
minggu dengan bobot badan berkisar antara 1-2 kg, waktu pertumbuhan yang relatif singkat menandakan ayam broiler memiliki kualitas genetik unuk
10
pertumbuhan yang baik. Tingginya laju pertumbuhan pada ayam broiler menyebabkan ayam broiler sangat rentan terhadap penyakit (Tri, 2004), untuk itu dalam malakukan pemeliharaan ayam broiler diperlukan manajemen pemeliharaan yang baik sebagai upaya untuk memaksimalkan kualitas genetiknya. 2.1.2 Tingkah Laku Ayam Broiler Tingkah laku hewan adalah reaksi seluruh organisme pada rangsangan tertentu atau cara bereaksi terhadap lingkungannya (Ensminger, 1980). Tingkah laku yang ditunjukkan merupakan indikator yang dapat menentukan pola manajemen pemeliharaan. Pada ayam broiler tingkah laku yang muncul bisa diakibatkan oleh rangsangan luar yang diterima sehingga merubah perilaku ayam tersebut. Pola tingkah laku ayam diantaranya adalah: 1.
Tingkah Laku Makan dan Minum Tingkah laku makan dan minum pada ayam broiler sangat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan terutama suhu lingkungan. Ketika suhu lingkungan rendah maka ayam banyak mengkonsumsi ransum untuk meningkatkan metabolisme tubuh. Mekanisme pengontrolan konsumsi ransum dilakukan oleh hipotalamus melalui pusat kenyang pada bagian ventromedial dan pusat lapar di lateral (North dan Bell, 1990). Tingkah laku minum pada ayam didorong oleh rasa haus yang diatur oleh kekuatan osmosis darah. Temperatur lingkungan yang tinggi mengakibatkan ayam selalu ingin minum, pengaruh lanjutannya adalah litter selalu basah dan kelembaban di dalam kandang meningkat. 2.
Tingkah Laku Berjalan Tingkah laku berjalan sangat dipengaruhi oleh tingkat kenyamanan alas
kandang yang digunakan. Menurut Winaya (2010) perbedaan perilaku berjalan
11
terlihat jelas pada kandang yang berlantai litter tebal dan slatt, dimana ayam lebih aktif berjalan pada kandang yang berlantai litter. 3.
Tingkah Laku Istirahat Ayam istirahat ditandai dengan menjulurkan leher, mata tertutup, sayap
terkulai, dan kadang-kadang memasukkan leher ke dalam litter (Sunarti, 2004). Perilaku tersebut akan berdampak kurang baik apabila kondisi litter basah dan kandungan amonia tinggi, sebab akan berdampak buruk bagi kesehatan ayam. Ayam broiler yang dipelihara pada suhu rendah memiliki waktu istirahat lebih banyak sebesar 37,5 persen dibandingkan kontrol (Sulistioningsih, 2004). 4.
Tingkah Laku Panting Ayam tidak mempunyai kelenjar keringat yang aktif, sehingga
peningkatan kecepatan pernapasan (panting) merupakan cara untuk menurunkan suhu tubuh. Panting merupakan salah satu respon tingkah laku ayam ras pedaging akibat cekaman panas dari suhu lingkungan yang tinggi pada mekanisme evaporasi melalui saluran pernafasan. Kenaikan kecepatan pernapasan diiringi oleh peningkatan kehilangan cairan tubuh. Panting secara berlebih dapat mengurangi efisiensi ransum, pertambahan berat badan juga tidak sempurna, dan pemborosan energi ayam saat terjadi panting. 2.2
Faktor – Faktor yang Berpengaruh Terhadap Performa Ayam Broiler
2.2.1 Perkandangan Pada keadaan alami, ayam hidup berkeliaran dan melakukan semua aktivitasnya di alam bebas sehingga kebutuhan hidupnya tergantung pada kondisi yang disediakan alam, akibatnya produktivitas ayam tersebut menjadi rendah. Upaya untuk meningkatkan produktivitas ayam dilakukan dengan cara pemeliharaan intensif di dalam kandang.
12
Kandang dalam pemeliharaan intensif dibedakan menjadi dua fungsi yaitu fungsi primer dan sekunder (Edjeng, 2005).
Pada fungsi primer kandang
berfungsi sebagai tempat tinggal bagi ayam agar terlindung dari pengaruh buruk lingkungan dan menyediakan lingkungan yang nyaman untuk memaksimalkan produksinya, sedangkan pada fungsi sekunder kandang merupakan tempat bekerja bagi peternak untuk mengendalikan kebutuhan ternak sesuai dengan tujuan pemeliharaan. Kandang sebagai tempat tinggal ternak mempunyai fungsi dan tipe yang berbeda-beda. Berdasarkan kontruksi dinding terdapat tipe kandang dinding terbuka (open house) dan kandang dinding tertutup (closed house). Pada kandang open house ada dua tipe kandang yaitu kandang postal dan kandang panggung. Pada kandang postal lantai kandang mengunakan tipe rapat, sementara pada kandang panggung lantai kandang dibedakan menjadi dua tipe yaitu lantai rapat dan lantai renggang. Pada kandang panggung kontruksi lantai dapat menggunakan tipe rapat yaitu kandang dengan sistem litter (deep litter system) atau kandang yang memakai alas penutup lantai untuk menyerap kotoran. Litter yang digunakan dapat berasal dari campuran sekam padi atau serbuk gergaji, kerikil, pasir, dan kapur. Sebelum penaburan litter, lantai kandang terlebih dahulu dilapisi terpal dan dibersihkan, apabila sudah dalam keadaan bersih litter ditabur.
Litter
berfungsi sebagai absorber atau penyerap kotoran dan urin (ekstreta) supaya kandang tidak basah atau lembab. Penggunaan kandang litter memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah litter yang telah mengalami dekomposisi secara sempurna menjadi sumber nutrien tambahan (vitamin, mineral, dan protein), lantai kandang litter tidak
13
mengakibatkan telapak kaki ayam luka dan mengeras (bubulen), lantai litter memberikan suasana alami sehingga ayam nyaman melakukan aktivitas makan dan minum serta mengurangi terjadinya breast blister atau pengerasan pada bagian dada (Ruhyat dan Edjeng, 2010). Pada pelaksanaan penggunaan kandang litter, selain memiliki kelebihan juga terdapat beberapa kekurangan diantaranya adalah resiko terserang penyakit sangat tinggi, seperti infeksi cacing, coccidiosis, dan penyait pernapasan karena polusi amonia. Penggunaan litter pada alas kandang dapat meningkatkan suhu lantai kandang sebagai akibat dari dihasilkannya panas dari proses dekomposisi mikroba (Sulaiman dkk, 2012). Kontruksi kandang selain tipe rapat ada juga tipe renggang. Kandang lantai renggang menurut Edjeng dkk (2005) terdiri atas : 1.
Cage atau battery system, kandang berupa kotak sangkar yang terbuat dari kawat atau anyaman bambu.
2.
Wire floor system, lantai kandang terbuat dari anyaman kawat, biasanya menggunakan kawat ram.
3.
Slatt floor system, lantai kandang menggunakan bahan berupa bilah-bilah bambu yang disusun memanjang sehingga lantai kandang bercelah-celah. Lebar celah 2,5 cm, lebar bilah 2,5 cm, dan ketebalan 2,5 cm.
Pada kandang panggung tipe lantai renggang yang digunakan oleh peternak di Indonesia adalah jenis slatt floor system. Jarak antara kandang lantai dengan tanah pada kandang panggung berkisar antara 1,5-2 meter. Penggunaan slatt floor system memiliki kelebihan diantaranya adalah dapat mengurangi dampak amonia sehingga performa ayam dapat meningkat. Peningkatan performa tersebut dapat dilihat dari berkurangnya tingkat mortalitas,
14
efisiensi penggunaan ransum yang baik, dan tidak memerlukan bahan untuk litter sehingga manajemen pemeliharaan lebih mudah. Penggunaan slatt floor system memiliki kekurangan yaitu menyebabkan terjadinya breast blister, banyak ayam yang mengalami memar pada daging dan patah tulang, dan ayam mudah terluka dan kaki bubulen sehingga ayam kesakitan dan stres yang berakibat produksinya pun menjadi terganggu (Edjeng dkk, 2005). 2.2.2 Kandungan Gas Berbahaya di Dalam Kandang Kandungan gas berbahaya yang ada didalam kandang sangat berpengaruh terhadap performa produksi ayam, semakin tinggi kandungan gas berbahaya di dalam kandang akan menurunkan performa produksi ayam broiler. Kandungan gas berbahaya pada kandang litter lebih tinggi dibandingkan pada kandang slatt. Tingginya kandungan gas berbahaya pada kandang litter dipengaruhi oleh timbunan kotoran yang mungkin terjadi ketika manajemen litter kurang baik. Kotoran ayam yang mengendap di lantai kandang akan menghasilkan gas seperti amonia, hidrogen sulfida, dan karbon monoksida. Amonia atau NH3 adalah gas yang dihasilkan dari proses perombakan sisasisa nitrogen yang terdapat dalam feses oleh bakteri ureolitik. Amonia sendiri di lingkungan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk terikat atau terlarut dalam cairan feses (NH4OH) dan bentuk gas (NH3). Amonia adalah salah satu senyawa nitrogen hasil transformasi N-organik melalui proses amonifikasi (Jenie dan Rahayu, 1993). Pada suhu dan tekanan biasa, amonia adalah gas yang tidak mempunyai warna (lutsinar), dan lebih ringan dari udara (0,589 kerapatan udara). Amonia bersifat racun, tidak berwarna, dapat menyebabkan karat pada beberapa bahan, dan memiliki bau tajam yang khas. Amonia juga merupakan salah satu senyawa penyebab timbulnya bau dari kotoran ayam (Korner dkk, 2005)
15
Amonia pada peternakan ayam broiler berasal dari penguraian asam urat. Asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme protein dan nitrogen pada unggas. Penguraian asam urat adalah sebagai berikut (Patterson dan Adrizal, 2005) : C5H4O3N4 + 1,5O2 + 4H2O à 5CO2 + 4NH3 Pembentukan NH3 dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi temperatur, kelembaban, pH, kandungan N dalam litter atau manure, serta populasi mikroorganisme. Indonesia yang beriklim tropis dengan sistem dan tata laksana pemeliharaan yang belum sepenuhnya benar, maka hampir bisa dipastikan kadar gas amonia yang dihasilkan sangatlah tinggi. Kadar NH3 yang berlebihan di dalam kandang dapat mempengaruhi kesehatan ayam broiler dan pekerja kandang. Kadar NH3 di dalam kandang sebaiknya tidak lebih dari 25 ppm dan ambang batas kadar NH3 bagi manusia adalah 25 ppm selama 8-10 jam (Ritz dkk, 2004). Batas toleransi kadar NH3 pada ayam broiler disajikan pada Tabel 1.
16
Tabel 1. Pengaruh Kadar NH3 pada Ayam Broiler Kadar NH3 (ppm) 20
Pengaruh Mengganggu kesehatan dan performa ayam broiler, meningkatnya penyakit New Castle Disease dan kerusakan sistem pernafasan (dalam waktu lama). 25 Pertambahan bobot badan yang rendah, penurunan efisiensi ransum (selama 42 hari), menyebabkan timbulnya airsacculitis yang diikuti oleh infectious bursal disease (setelah 56 hari). 25-75 Penurunan konsumsi ransum dan efisiensi ransum, menimbulkan gejala keracunan pada ayam broiler meliputi iritasi pada trachea, radang kantong udara, conjunctivity, dan dyspnea. 75-100 Perubahan epithelium pernafasan, termasuk hilangnya silia dan meningkatnya jumlah sel pengeluaran lendir. Sumber : Ritz dkk (2004) Gas berbahaya lainnya yang menurunkan performa produksi ayam broiler adalah karbondioksida (CO2) adalah gas yang tidak berbau, tidak berwarna, dan satu setengah kali lebih berat dibandingkan udara bersih (O2). CO2 dihasilkan dari limbah proses metabolisme tubuh (proses pernapasan) bersamaan dengan dihasilkannya panas tubuh. Gas ini bisa menyebabkan gangguan sesak napas pada ayam jika kadarnya sangat berlebihan. Konsentrasi maksimum CO2 yang masih direkomendasikan untuk kandang ayam adalah 2.500 ppm. Beberapa penelitian melaporkan bahwa saat konsentrasi CO2 sudah mencapai 3.500 ppm, maka akan muncul nodul-nodul pada paru-paru sehingga kerja paru-paru terganggu dan ayam menjadi peka terhadap serangan bibit penyakit (Saif dkk, 2003). Penumpukam feses pada litter akan menghasilkan hidrogen sulfida merupakan gas beracun yang dihasilkan dari penguraian materi organik, seperti feses oleh bakteri anaerob. Gas ini bisa merusak sistem pernapasan ayam dan
17
menghambat sistem enzim. Ayam yang menghirup hidrogen sulfida dengan konsentrasi 2.000-3.000 ppm selama 30 menit akan mengalami gangguan pernapasan. Selain itu ayam juga bisa mati saat menghirup H2S dengan kadar 4.000 ppm selama 15 menit (Saif dkk, 2003). 2.3
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Ransum Beberapa peneliti melaporkan bahwa suhu lingkungan mempengaruhi
konsumsi ransum. Krogh (2000) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah suhu lingkungan. Suhu ruangan di bawah thermo neutral menyebabkan kosumsi ransum ayam meningkat, sedangkan suhu ruangan di atas kisaran tersebut menyebabkan penurunan konsumsi ransum. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh ukuran tubuh, bobot badan, tahap produksi, suhu lingkungan, dan keadaan energi ransum. Pada suhu lingkungan tinggi, jumlah penurunan konsumsi ransum bervariasi, tergantung dari strain ayam, lamanya cekaman panas, tingkat produksi, berat telur, dan kandungan energi metabolis dari ransum yang diberikan. Akan tetapi secara umum NRC (1981) telah membuat suatu persamaan untuk menghitung penurunan konsumsi ransum yaitu: Y = 24,5-1,58 T; dimana Y adalah perubahan konsumsi ransum di luar zona thermoneutral (%) dan T adalah suhu ruangan (°C). Persamaan di atas menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsumsi ransum sebanyak 1,58% untuk peningkatan 1°C suhu lingkungan di atas 24,5°C . Penanggulangan penurunan konsumsi ransum akibat suhu lingkungan tinggi dapat dilakukan dengan meningkatkan kandungan lemak dalam ransum. Lemak yang ditambahkan ke dalam ransum untuk hewan yang sedang tumbuh,
18
menjadikan efisiensi penggunaan energi menjadi lebih baik dibandingkan dengan hewan yang rendah kadar lemaknya (Juju, 1997). Menurut Fuller dan Random (1997) lemak merupakan unsur ransum yang memiliki heat increament paling rendah dibandingkan dengan karbohidrat dan protein, sehingga tingginya energi metabolis ransum yang berasal dari lemak menyebabkan tidak menurunnya konsumsi ransum.
Sumber : Fuller dan Random (1997).
lustrasi 1. Pengaruh Suhu Terhadap Konsumsi Ransum
2.4
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran yang digunakan
untuk mengukur pertumbuhan. Menurut Rose (1997), pertumbuhan meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh akan peningkatan sel-sel individual dimana
19
pertumbuhan itu mencakup empat komponen utama yaitu adanya peningkatan ukuran skeleton, peningkatan total lemak tubuh dalam jaringan adipose, dan peningkatan ukuran bulu, kulit, dan organ dalam. Berdasarkan catatan yang dihimpun oleh World Poultry (2004) selama kurun waktu 20 tahun terakhir, genetik ayam broiler telah mengalami perkembangan yang nyata, pada tahun 1984 rataan bobot badan ayam pada umur 5 minggu adalah 1,345 gram dan pada umur 7 minggu adalah 2,160 gram, sedangkan tahun 2004 pada umur yang sama akan mendapat rataan bobot badan 1,882 gram dan 3,052 gram. Rose (1997) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan ayam berlangsung sesuai dengan kondisi fisiologis ayam, yaitu bobot badan ayam akan berubah ke arah bobot badan dewasa. Pertumbuhan ayam membentuk kurva sigmoid yaitu meningkat perlahan-lahan kemudian cepat dan perlahan lagi atau berhenti. Penelitian Santoso (2002) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan ayam broiler umur enam minggu yang dipelihara pada kandang litter sebesar 1,935 g/ekor. Pada dasarnya ada tiga unsur yang akan menentukan tinggi rendahnya kenaikan bobot badan yaitu genetik, ransum, dan lingkungan. Kemampuan genetik akan terwujud secara optimal apabila kondisi lingkungan memungkinkan bagi ternak yang bersangkutan sehingga penampilan yang diharapkan dapat tercapai (Card dan Nesheim, 1972). 2.5
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Konversi Ransum North dan Bell (1990) menyatakan bahwa konversi ransum merupakan
perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu. Faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, temperatur, ventilasi, sanitasi, kualitas air, pengafkiran,
20
penyakit dan pengobatan, serta manejemen pemeliharaan. Nilai konversi ransum pada ayam broiler menurut NRC (2004) adalah sebagai berikut : Tabel 2. Nilai Konversi Ransum berdasarkan NRC Umur (minggu) 1 2 3 4 5 6 7
Konversi Ransum 0,91 1,15 1,25 1,52 1,65 1,81 1,97
Sumber : NRC (2004) Nilai konversi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain genetik, tipe ransum yang digunakan, feed additive yang digunakan dalam ransum, manajemen pemeliharaan, dan suhu lingkungan (James, 2004). Lacy dan Vest (2000) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, ventilasi, sanitasi, kulitas ransum, jenis ransum, penggunaan zat aditif, kualitas air, penyakit dan pengobatan, serta manajemen pemeliharaan, selain itu dipengaruhi juga oleh faktor penerangan, pemberian ransum, dan faktor sosial. Ayam yang semakin besar akan makan lebih banyak untuk menjaga ukuran berat badan. Sebesar 80 persen protein digunakan untuk menjaga berat badan dan 20 persen untuk pertumbuhan sehingga efisiensi ransum menjadi berkurang, ayam dengan bobot 2 kg memiliki konversi ransum 1,6 (Pokhpand, 2013).