TINJAUAN PUSTAKA
Aspek Biologi Ikan baung (Mystus nemums, C.V)hidup di perairan tawar yang terdapat pada sungai, danau dan rawa. Ikan ini mempunyai kumis atau sungut yang mencapai mata Badannya tidak bersisik, mempunyai sirip dada dan sirip lemak yang besar, serta mulutyang melengkung (Kottelat, m i t t e n , Kartikasari dan Wirjoatrnodjo, 1993) Ikao baung berwarna coklat kehijauan dengan pita tipis memanjang jelas dari tutup insang hingga pangkal ekor. Hidup di dasar perairan dan bersifat omnivora dengan pakan terdiri dari anak ikan, moluska, udang remis, insekta dan rumput (Djadjadiredja, Halimah dan Arifin, 1977). Daerah penyebaran ikan baung terdapat di kawasan tropika yang meliputi Afrika, Asia Tenggara dan Asia Timur (Kottelat et al., 1993) dan di Indonesia tersebar di pulau Kalimantan, Sumatera dan Jawa (Djadjadiredja et al., 1977).
Ikan baung secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam philum Chordata, kelas Pisces, sub kelas Teleostei, ordo Ostariophysis, sub ordo Siluroide., famili Bagridae, genus Macrones atau Mystrrs dan spesies Macrones nemurus C V (Saanin, 1968) atau Mystus ?=mums C.V (Kottelat et al, 1993).
Kebutuhan Protein dan Energi
Protein adafah n u t r i a yang sangat penting untuk fUngsi jaringan normal, untuk pemeliharaan tubuh, penggantian jaringan-jaringan
tubuh yang msak dan untuk
pertumbuhan. Kebutuhan protein ikan dipengaruhi oleh berbagai €&or seperti ukuran ikan, suhu air, tingkat pemberian pakan, jumlah dan kualitas pakan alami, kandungan
energi pakan dan h a l i t a s protein (Watanabe, 1988). Kebutuhan protein pada stadia awal lebih tinggi dibanding selama fase lanjutan dari pertumbuhan. Mangalik & I m
Lovell
(1989) menyatakan bahwa channel catfish yang berukuran 3 g memerlukan protein hampir 4 kali febih banyak dibanding &an bemkuran 250 g untuk pertumbuhan maksimum. Menurut Page dan Andrews (1973), kebutuhan protein bervariasi menurut bobot tubuh. Mereka menemukan bahwa channel catifish ukuran 14-1 00 g memerlukan pakan yang mengandung 35 % protein, sedangkan yang berukuran 114-500g memerlukan hanya 25% protein Jumlah protein yang diperlukan daIam pakan secara langsung dipengaruhi oleh komposisi asam amino pakan. Ikan, seperti hewan lain tidak memiliki kebutuhan protein yang mutlak tetapi memerlukan suatu campuran yang seimbang antara asam amino esensial dan non-esensial. Selanjutnya NRC (1983) mengemukakan pula bahwa kekurangan asam amino esensial mengakibatkan penurunan pertumbuhan.
Sumber
protein terbesar dalam pakan buatan Ictalums punctahrs adalah tepung ikan dan tepung kacang kedelai.
Tepung kacang kedelai kekurangan asam amino metionin dan
kekurangan ini dipenuhi dari tepung ikan yang kaya akan asam amino lisin dan metionin (Andrews, 1977). Setiap
spesies
ikan
membutuhkan
kadar protein
yang
berbeda
untuk
pertumbuhannya dan dipengaruhi oleh umur/uhran ikan, namun pada umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 35 - 50 % dalam pakannya (Hepher, 1990). Kebutuhan optimum protein pakan untuk beberapa spesies catfrsh telah ditentukan pada stadia yang berbeda dari pertumbuhan dan pada kondisi yang beragam. lkan lefe (CImias b a h a c h s )
memerlukan kadar protein 30% (Chuapoehuk, 1987) dan African catfish, C. gariepinus, 45-49 % (Machiels dan Henken, 1984) dalam pakannya. Selanjutnya Khm et al. (1993) mengemukakan bahwa kebutuhan protein ikan Malaysian freshwater catfish, ikan baung
(Mystus nemurus) yang berukwan 25.4 g
adalah 42 % dan energi 3.69 kkal DE/g. Namun tingkat protein ini belum memberikan informasi tentang kebutuhan protein dan energi protein rasio pakan optimum untuk benih yang berukuran lebih kecil. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kebutuhan ikan terhadap protein. Hastings (1973) menemukan bahwa pada suhu dibawah 24°C ikan channel catfish tidak tumbuh lebih baik pada protein 35% dibanding kadar protein 25%, tetapi jika suhu air di atas 24°C ikan akan tumbuh baik pada 30 dan 35% protein dalam pakan. Faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan protein adalah berhubungan dengan ikan itu sendiri. Menurut Page dan Andrews (1973), kebutuhan protein befvariasi menurut bobot tubuh. Mereka menemukan bahwa channel eatifish ukuran 14-100 g memerlukan pakan yang mengandung 35 % protein, sedangkan yang berukuran 114-500 g memerlukan hanya
25% protein. Pakan yang dikonsumsi ikan akan menyediakan energi yang sebagian besar digunakan untuk metabolisme yang meliputi energi untuk hidup pokok, energi untuk aktivitas, energi untuk pencernaan makanan dan energi untuk pertumbuhan, sedangkan sebagian laimya dikeluarkan dalam bentuk feses dan bahan ekskresi lainnya (Brett dan Groves, 1979). Suatu ha1 perbedaan yang pokok dalam nutrisi antara ikan dan hewan darat adalah bahwa jumlah energi yang diperlukan untuk sintesis protein lebih sedikit dibanding
hewan darat (Lovell, 1979). Ikan mempunyai kebutuhan energi yang lebih rendah sebab ikan tidak mempertahankan suhu tubuh secara tetap, juga ikan relatif memerlukan energi yang kurang untuk mempertahankan posisi dan bergerak di air dibanding marnalia dan burung (Tucker daZm NRC, 19831, dan ikan urnumnya mengeluarkan buangan nitrogen sebagai amonia (Goldstein dan Forster, dalmn NRC, 1983). Pertumbuhan ikan sangat bergantung kepada energi yang tersedia dalam pakan dan pembelanjaan energi tersebut. Kebutuhan energi untuk maintenance hams dipenuhi
terlebih dahulu, dan apabila berlebih maka kelebihannya akan digunakan untuk pertumbuhan (Lovell, 1989). Eni berarti apabila energi dalam pakan jumlahnya terbatas maka energi tersebut hanya digunakan untuk hidup pokok saja dan tidak untuk pemunbuhan. Kebutuhan energi hewan dipengamhi oleh umur, musim dan lingkungan. Hewan muda memerlukan energi yang lebih tinggi per unit bobot tubuh untuk hidup pokok dibanding dengan hewan dewasa, meskipun reproduksi meningkatkan kebutuhan energi hewan dewasa. (Watanabe, 1988). Keberadaan tingkat energi yang optimum dalam pakan adalah penting sebab kelebihan atau kekurangan energi dapat mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan (NRC, 1983). Kandungan energi dari pakan bergantung pada komposisi bahan kimianya.
dengan niiai pembakaran panas dari protein, lipid dan karbohidrat berturut-turut adalah 5.64, 9.44, 4.11 kkaUg dimana kandungan total pakan yang diperoleh dari pengukuran
nilai kalori disebut energi kotor. Akan tetapi secara kimia pakan hanya dipengaruhi oleh panas dari pembakaran, atau energi kotor dan tidak ada informasi tentang apakah energi
atau nutrien tersedia untuk ikan melalui proses penyerapan.
Olehnya itu dalam
pembuatan pakan perlu mengetahui bioavailability energi pakan untuk hewan yang diberi pakan WRC, 1993). Henken dan Macfiiels (1984) menyatakan bahwa energi metabolisme untuk pertumbuhan Clarias gariepims adalah minimal 8.4W tingkat energi dan menurun pada tingkat protein yang lebih tinggi. Henken et al. (1986aj menyatakan bahwa pada spesies ini juga dengan berat 40-120 g menunjukkan bahwa laju pertumbuhan, kadar
protein
dan protein yang dimanfaaikan adalah febih baik responnya pada 13 MJ/kg energi yang dapat dimetabolisme dalam pakan dibanding dengan tingkat energi yang Iebih rendah atau lebih tinggi (8 MJ dan 17 MJ per kg).
Sedangkan menurut Garling dan
purzctutus adalah 2750-3410 Wilson (1976), kebutuhan energi jenis ikan IctaZ~~n~s
ldrallkg pada protein pakan sebesar 36-40%. Suhenda (1988) menyatakan bahwa pakan buatan dengan kadar protein 40 % d m kandungan energi 3000 kkaiflcg pakan dapat digunakan dalam budidaya intensif benih ikan Iele (Clarias6atrachus). Dalam penyusunan ransum ikan perlu diperhatikan keseimbangan antara protein dan energi. Pakan yang kandungan energinya kurangl rendah akan menyebabkan ikan menggunakan sebagian protein sebagai sumber energi untuk keperluan metabolisme, sehingga bagian prdein untuk pertumbuhan menjadi berkurang.
Sebaliknya jika
kandungan energi pakan terlalu tinggi akan membatasi jumiah protein yang dimakan ikan, &batnya pertumbuhan ikan menjadi refatif rendah (Lovell, 1988). Pertumbuhan atau pembentukan jaringan tubuh paling besar dipengamhi oleh keseimbangan protein dan energi dalam pakan. Pakan yang mempunyai kadar protein tinggi belum tentu dapat mempercepat pertumbuhan apabila to& energi pakan rendah. Karena energi pakan terlebih dahulu dipakai untuk kegiatan metabolisme standar
(maintenance) seperti untuk respirasi, transportasi iodmetabolit, dan pengaturan suhu tubuh serta untuk aktivitas fisik lainnya.
Energi untuk seluruh aktivitas tersebut
diharapkan sebagian besar berasd dari nutrien non-protein (iemak dan karbohidrat). Apabila sumbangan energi dari bahan non-protein tersebut rendah, maka protein akan didegradasi untuk menghasilkan energi, sehingga firngsi protein sebagai nutrien pembangun jaringan tubuh akan berkurang. Dengan kata lain. penambahan nutrien nonprotein sebagai penghasil energi dapat menurunkan penggunaan protein sebagai sumber energi (protein sparing effect) sehingga dapat meningkatkan fbngsi protein dalam menunjang perturnbuhan ikan (Furuichi, 1988). Kebutuhan setiap spesies ikan akan protein dan energi berbeda dan dipengaruhi oleh umur/ukuran ikan. Mokoginta, Suprayudi dan Setiawati (1995) menyatakan bahwa benih ikan gurame berukuran 0.27 g mengalami pertumbuhan terbaik pada pemberian pakan dengan kadar protein 43 % dengan rasio energi protein sebesar 8 kkawg protein. Sedangkan pada penelitian Shiau dan Huang (1990) terhadap tilapia berkesimpulan bahwa pertumbuhan ikan tilapia berukuran 1.60 g meningkat seiring dengan peningkatan energi pada kadar protein 21 % dan 24 % dengan rasio energi 190, 230, 270 kkal DE/100 g. Namun pertumbuhan tidak meningkat lagi pada tingkat energi yang lebih tinggi yakni pada 310, 350, dan 390 kkal DE/ 100 gr. Page dan Andrews (1973) menyatakan bahwa rasio protein dan energi ikan channel catfish pada bobot 526 g sebesar 95 mg/kkal, sedangkan Garling dan Wilson (1976) menyatakan bahwa pada bobot 34 g channel catfish memerlukan rasio protein energi optimum sebesar 94 mg/kkal. Reis, Reutebuch dan Lovell (1989) menyatakan bahwa kebutuhan ikan channel catfish (Ictalurus punctdus) yang berukuran 63.8 g terhadap protein adalah 39 % dan
energi 3.05 kkal DE/g. Stickney dan Love11 dalam NRC (1983) melaporkan bahwa rasio energi dan protein sebesar 8 - 9 kkaYg protein memberikan pertumbuhan maksimal pada fingerling channel catfish.
Selanjutnya Garling dan Wilson menyarankan bahwa
imbangan optimum antara energi dan protein untuk pertumbuhan channel catfish muda adalah 9.6 lckal DElg dengan kadar protein 32 - 35 %.
Kebutuhan Energi Non-Protein Kebutuhan FRmak Satu unit lemak yang sama mengandung energi dua kali lipat dibandingkan dengan protein dan karbohidrat.
Jika lemak dapat menyediakan energi untuk
pemeliharaan metabolisme, maka sebagian besar protein yang dikonsumsi dapat digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan bukan digunakan sebagai sumber energi
(NRC, 1983). Kebutuhan ikan akan asam-asam lemak esensial berbeda u n h k setiap spesies ikan (NRC, 1983; Furuichi, 1988). Perbedaan kebutuhan ini terutama dihubungkan dengan
habitatnya. Ikan yang hidup di laut lebih memerlukan asam lemak n-3, sedangkan ikan yang hidup di air tawar ada yang hanya membutuhkan asam lemak n-6 atau kombinasi asam lemak n-3 dan n-6 Vepher, 1990). Diantara spesies air tawar seperti ikan ayu, channel catfish. coho salmon dan rainbow trout memeriukan 18:3(n-3) atau EPA d a d atau DHA. Ikan chum salmon, ikan mas dan sidat Jepang memerlukan campuran yang sama dari 18:2(n-6) dan 18:3(n-3) sedangkan ikan nila dan Tilapia zilli hanya memerlukan 18:2(n-6) untuk pertumbuhan maksimum dan efisiensi pakan (Webster &lam NRC, 1993). Takeuchi et al. (1987)
&lam NRC (1993) mengemukakan bahwa kandungan protein pakan rainbow trout dapat
diturunkan dari 48 % menjadi 35 % tanpa menurunnya pertambahan bobot badan, jika
kadar lemak pakan ditingkatkan dari 15 % menjadi 20 %. Akan tetapi penambahan iemak ke dalam pakan perlu diperhatikan kuantitasnya, karena kaditr lemak yang terlalu tinggi akan menyebabkan penyimpamn lemak pada tubuh ikan dan dapat mengakibatkan penurunan konsumsi pakan dan pertumbuhan, degenerasi hati, dan memuunkan lcualitas ikan pada waktu dipanen (NRC, 1993). Keberadaan lemak dalam pakan, termasuk ikan channel catfish, telah ditunjukkan dipengaruhi oleh ukuran ikan, umur, teknik pemberian pakan, dan komposisi pakan
w, 1983).
Menurut Sandra et al. (1992) bahwa komposisi pakan benih ikan channel
catfish sebesar 10 % menghasilkan bobot tubuh dan efisiensi pakan yang lebih besar dibanding dengan l e d 5 %. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang diIakukan oleh Gatlin dan Stickney (1982) yang menyatakan bahwa kadar lemak pakan antara 6-14 % tidak berpengamh pada pertumbuhan dari channel catfish pada suhu air rata-rata 22.5"C. Namun sejumlah penelitian lain dengan spesies ikan yang berbeda juga menunjukkan bahwa ada pengaruh positif pada peningkatan lemak pakan terhadap pertumbuhan dan pemanfaatan protein pakan
w, 1983). Kebutuhan Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi yang rnurah untuk rnanusia dan hewan peliharaan, tetapi pemanfaatannya oIeh ikan air tawar bervariasi (NRC, 1983). Peranan karbohidrat selain sebagai sumber energi juga sebagai prekursor berbagai hasil metabolit intermedim yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan misalnya untuk biosintesis asam-
asam amino non esensial dan asam-asam nukleat. Kemudian manfaat lain dengan adanya karbohidrat dalam pakan adalah bahwa pakan yang mengandung karbohidrat dan lemak yang tepat dapaf mengurangi penggunaan protein sebagai sumber energi yang dikenal sebagai protein s p r i n g eflect. Terjadinya protein sparing efiecl oleh karbohidrat dan lemak dapat menurunkan biaya produksi (pakan) dan mengurangi pengeluaran limbah nitrogen ke lingkungan (Shiau dan Peng, 1993; Peres dan Teles, 1999). Sparing eflect dari karbohidrat dan lemak terhadap penggunaan protein pakan untuk pertumbuhan ikan telah dilaporkan antara lain pada ikan channel catfish, Zctalunrs punctcrtus (Garling dan Wilson, 1977 dalam Catacutan dan Coioso, 1997).
Ikan mempunyai kemampuan lebih rendah dalam memanfaatkan karbohidrat dibandingkan hewan darat, namun karbohidrat harus tersedia di dalam pakan ikan, sebab jika karbohidrat tidak tersedia maka nutrien yang lain seperti protein dan lemak akan dikatabolisme untuk dijadikan energi sehingga pertumbuhan ikan akan menjadi lambat (Wilson, 1994). Selanjutnya NRC (1993) mengemukakan bahwa pertumbuhan fingerling catfish lebih tinggi ketika pakannya mengandung karbohidrat dibandingkan hanya mengandung lemak sebagai sumber energi non-protein. &an-ikan air tawar dan ikan-ikan laut mencerna karbohidrat. Kemampuan ikan laut mencerna karbohidrat adalah sekitar 20%, sedangkan ikan air tawar mampu mencerna di atas 20 O h seperti 30 - 40 O h untuk ikan Cjprinus carpio (Satah, 1991 dalam Wilson, 1994), 25 - 30 % untuk ikan Ictair~mspuncfnhrs (Wilson, 1991 & C a m 1994), dan sekitar 40 % untuk I'ilapia sp Guquet, 1991 daim Wilson, 1994).
Wilson,
Ekskresi Amonia
Jika karbohidrat dan lemak yang digunakan sebagai sumber energi, maka lemak dan karbohidrat ini &an menghasilkan oksidasi lengkap menjadi karbondioksida dan air, tetapi jika protein dipakai sebagai sumber energi, hanya ikatan karbonnya yang dipakai sebagai surnber energi sedangkan nitrogen (amino) yang dipakai sebagai sumber energi, maka tidak dapat dimetabolisme dan hams dikeluarkan.
Proses kimia dimana m g u s
amino dikeluarkan dari asam amino dikenal sebagai proses transaminasi dan deaminasi. Reaksinya dikatalisis oleh enzim amino transferase didalam sitosol hepatocyt dan enzim glutamat dehidrogenase dalam mitokondria. Amonia yang telah terbentuk kernudian dilepaskan ke pembuluh darah hepatic untuk selanjutnya diangkut ke organ pengeluaran yang dalam ha1 ini insang meldui sistem sirkulasi darah 1990)
(Dosdat et al., 1996; Hepher,
Nitrogen yang diekskresikan oleh ikan khususnya ikan-ikan teleostei sebagian
besar berupa amonia (75 - 90 %), selebihnya berupa urea (5 - 15 %), asam urat, kreatin, kreatinin, trimetil oksida (TMAO), inulin, asam para-aminohippurik dan asam amino (Jobling, 1994; Ming, 1985).
Karena ikan mengeluarkan kelebihan nitrogen dalam
bentuk amonia maka ikan dikenal dengan hewan ammonotelik.
Ming (1985) mengemukakan bahwa meningkatnya ekskresi amonia dengan cepat Iebih banyak disebabkan oleh Iaju ekskresi nitrogen eksogenous yang lebih tinggi dibandingkan ekskresi nitrogen endogenous. Laju ekskresi amonia eksogenous lebih banyak dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi (kadar protein pakan, kualitas protein bahan pakan, keberadaan energi non protein) dan laju pemberian pakan, sedangkan ekskresi amonia endogenous diperoleh dari deaminasi asam amino hasil katabolisme protein jaringan tubuh (Jobling, 1994).
Ming (1985) mengemukakan bahwa ekskresi amonia meningkat denngan cepat sebagai respon terhadap penambahan protein pakan. Selanjutnya Degani, Horowitz dan Levanon (1985) mengemukakan bahwa produksi amonia berkorelasi secara linier dengan kadar protein pakan. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitiannya dimana produksi ikan AngrrilZa-anguilla yang diberi pakan dengan kadar protein 25
-
35 % lebih rendah
dibandingkan dengan yang diberi pakan 45 - 55 % protein. Jobiing (1994) mengemukakan bahwa ekskresi amonia ikan yang diberi pakan lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan yang puasa, peningkatan tersebut bahkan bisa sampai 2 kali lebih tinggi (Koshio et al., 1993). Ekskresi amonia akan meningkat begitu selesai mengkonsumsi pakan, dan beberapa jam kemudian terjadi puncak ekskresi. Brett dan Zala &am
Ming (1985) menyatakan bahwa ekskresi amonia tertinggi pada salmon
terlihat 4 - 4.5 jam setelah ikan mengkonsumsi pakan. Selanjutnya Dosdat et al. (1996) dalam penelitiannya melihat bahwa ekskresi amonia teatinggi pada ikan berukuran 10 g ditemukan 3 - 5 jam sehabis mengkonsumsi pakan dan pada ikan berukuran 100 g terlihat 5 - g jam setelah makan.
Tinggi rendahnya amonia yang dikeluarkan ikan
bergantung pada kadar protein pakan, keberadaan energi non-protein (rasio protein energi), kualitas protein bahan pakan dan kondisi lingkungan hidupnya (pH dan temperatur). Tingkat toksisitas amonia dipengaruhi oleh pH dan temperatur lingkungan perairan, dimana konsentrasi amonia meningkat dengan meningkatnya pH dan temperatur. Lingkungan yang mempunyai konsentrasi amonia tinggi dapat menyebabkan ikan stres, menghambat pertumbuhan dan dapat menyebabkan kematian ikan (Jobling, 1994; Degani et aI., 2985).
Tingkat toleransi hewan akuatik terhadap amonia berbeda dan bergantung pada spesies, kondisi fisiologis ikan dan kondisi lingkungan hidupnya (Ming, 1985). Secara urnum konsentrasi amonia dalam air tidak boleh Iebih dari 1 mg/l. Konsentrasi amonia sebesar 0.4 - 2 mg/l dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan kematian pada ikan.
Koefisien Respirasi Koefisien respirasi (KR) merupakan perbandingan antam 0
2 yang
dikonsumsi dan
COz yang diproduksi ikan, yang menggambarkan jenis nutrien yang dipakai dan dimanfaatkan ikan pada proses metabolisme untuk menghasilkan energi. Menurut Eckert (1989) menyatakan bahwa nilai JSR untuk metabolisme karbohidrat adalah 1.0, protein
0.8 dan lemak 0.7.
Ikan yang dipuasakan akan merombak Iemak tubuh sehingga KR-nya menjadi 0.7 sedangkan ikan yang sedang membakar makro nutrien (karbohidrat, lemak, dan protein) dari ransum pemeliharaan, KR-nya menjadi 0.85.
Sementara itu ikan yang sedang
mengalami pertumbuhan dimana berkaitan dengan penyimpanan lemak dan protein (dalam jaring atau alat-alat reproduksi) KR-nya sebesar 1.0 Wuisman et al., 1987). Menurut Suryaningsih (1997) bahwa koefisien respirasi padit ikan gurame yang diberi pakan dengan kandungan energi berturut-turut adalah 6, 8 dan 10 kkal DE/ gr protein adalah 1.09, 0.84 dan 0.81. Ia menyarankan agar pakan dengan pertakuan 10 kkal DE/gr protein dapat dipertimbangkan sebagai pakan yang terbaik, jika faktor lingkungan menjadi faktor pertimbangan dalam budidaya ikan gurame.