KAJIAN PENGERINGAN KEMOREAKSI DENGAN KALSIUM OKSIDA SERTA DAMPAKNYA TERHADAP STRES DAN KERUSAKAN KULTUR Saccharomyces cerevisiae
NOVELINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
ABSTRAK NOVELINA. Kajian Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium Oksida Serta Dampaknya terhadap Stres dan Kerusakan Kultur Saccharomyces cerevisiae. Dibawah bimbingan : Soewarno T. Soekarto, Betty Sri Laksmi Jenie, Susono Saono, dan Maggy T. Suhartono. Penelitian ini bertujuan menghasilkan kultur Saccharomyces cerevisiae kering yang mempunyai viabilitas tinggi. Proses pengeringan didasarkan pada reaksi kimia antara CaO dengan air yang menghasilkan panas, kemudian dimanfaatkan dalam proses pengeringan. Proses pengeringan terjadi pada suhu kamar dalam ruangan yang kedap udara dari luar, sehingga diharapkan kultur kering yang dihasilkan mempunyai viabilitas tinggi. Demikian pula dengan mengurangi faktor penyebab stres dan kerusakan sel selama penyimpanan, maka viabilitas kultur kering tetap terjaga. Parameter-parameter dalam penentuan stres dan kerusakan kultur kering adalah meliputi penentuan pola isotermi sorpsi kultur kering, penentuan pola stres dan kematian, perobahan morfologi dan mikrostruktur sel serta analisis kebocoran dan kerusakan sel. Hasil pengeringan menunjukkan faktor ketebalan lapisan dan rasio CaO yang digunakan akan mempengaruhi kecepatan laju pengeringan. Ketebalan lapisan krim khamir 1.3 mm dan penggunaan CaO sebanyak 10:1 (w/w) akan menurunkan kadar air dari 80 % (berat basah) menjadi 4.42 % (berat kering) dalam waktu 24 jam. Viabilitas kultur kering yang dihasilkan adalah 72 %. Hasil penentuan isotermi sorpsi air (ISA) dari kultur khamir kering pada RH (1197%), diperoleh kurva yang identik dengan pola ISA makanan kering, yaitu sigmoidal dan terdiri dari 3 area air terikat (primer, sekunder dan tersier). Di daerah air terikat primer (aw 0-0.25), kebanyakan dari sel kering dalam keadaan dorman. Sementara itu di daerah air terikat sekunder (aw 0.25-0.77), kebanyakan sel dalam keadaan stres, sedangkan pada daerah air terikat tersier (aw diatas 0.77) kebanyakan sel sudah mati. Pengamatan morfologi dan mikrostruktur dengan SEM dan TEM, mengungkapkan bentuk sel dari kultur segar adalah bulat telur dan mempunyai permukaan halus. Dinding sel bening dan menyatu dengan membran sitoplasma, serta inti sel terlihat jelas. Di daerah air terikat primer bentuk sel kering berubah dari bulat telur sampai bulat, dinding sel tebal dan padat, permukaan halus dan inti sel terlihat jelas. Di daerah air terikat sekunder, bentuk sel adalah bulat, permukaan keriput, dinding sel tipis dan rusak pada beberapa bagian, dan inti tidak jelas. Di daerah air terikat tersier, sel menempel satu sama lain dan, tidak berbentuk. Sebagian besar sel rusak, dan sel yang masih utuh sitoplasmanya berongga dan inti sel tidak terlihat. Analisa kerusakan dan kebocoran sel dilakukan terhadap tingkat daya hantar listrik, kadar protein, asam amino, nukleat dan nukleotida serta kadar ion K+ dan Ca++ dari sel khamir. Hasil analisa menunjukkan terjadi peningkatan kebocoran dan kerusakan sel akibat peningkatan kadar air dari kultur kering. Analisis daya hantar listrik menunjukkan total ion-ion yang dilepas sel yang rusak kedalam supernatan sel. Protein dan asam amino komponen utama penyusun sel. Nukleat dan nukleotida komponen dari inti. Sedangkan K+ dan Ca++ menunjukkan terjadi kebocoran pada dinding sel dan membran. Kerusakan ini akan mengurangi viabilitas kultur. Sebagai kesimpulan adalah kultur Saccharomyces cerevisiae dapat dikeringkan sampai kadar air 4.42 % (berat kering) dengan proses kemoreaksi menggunakan CaO dengan rasio 10 : 1 (w/w) dan ketebalan lapisan krim khamir 1.3 mm selama 24 jam. Viabilitas dapat bertahan selama 1 tahun di suhu ruang dengan mempertimbangkan tidak terjadi peningkatan kadar air melebihi titik kritis air terikat primer selama penyimpanan.
ABSTRACT NOVELINA. Study of Chemoreaction Drying with Calcium Oxide and Its Impact on the Stress and Damage of Saccharomyces cerevisiae Culture. Advisor : Soewarno T. Soekarto, Betty Sri Laksmi Jenie, Susono Saono and Maggy T. Suhartono The objective of the research was to study the parameters of the drying process and their effects on the viability of dried Saccharomyces cerevisiae culture. These parameters include the pattern of water isotherm sorption, the critical water contents, stress and mortality on a variety of bound water conditions, as well as morphological and micro-structural changes of damaged and leaked stressed cells. Layer thickness of the sample and high ratio used of calcium oxide speed up the drying process. Using a calcium oxide to sample ratio of 10:1 (w/w) for drying, 1.3 mm thickness of sample with 78-80% water content required 24 hours to dry to a final 4.42 % water content. The viability and cell content of the final product were 72% and 109 cells per g dried sample respectively. A sigmoid curve sorption isotherm pattern consist of 3 bound water regions of the dried yeast culture was similar to that of common dried foods. In the primary area most of the dried cells were dormant, in the secondary area the majority of the cells were under stress condition, while in the tertiary area a lot of them died. Likewise, the viability curve up to aw 0.2 was very low as due to high number of dormant cells, in between aw 0.2 - 0.6 sharply increased due to decreasing number of dormant cells, in between aw 0.6-0.75 sharply decreased due to increasing number of dying cells, and above 0.75 the cells was dying off to totally died. As shown by SEM observation, normal cells were oval-shaped with a smooth surface. In the primary region the dried cells showed and oval to round shape and small number of deformed cells, in the secondary region wrinkled surface and some number of deformed cells, while in the tertiary region the cells were sticky with wrinkled surface and most cells were damage. Meanwhile, TEM observation showed that the cells in the primary region had a well-defined, thick and solid cell wall with smooth surface with visible nuclei. In the secondary region the cells showed a wrinkled surface with less visible nuclei, while the wall was thin and cracked in some places. In the tertiary region the most number of cells were damaged, the remaining defined cells were flat, empty, irregular shape and no nuclei were visible. The increasing cell damaged was mainly due to the leaking out of cell or cytoplasm and the nuclear content through the damage cell wall. This was shown by increased electrical conductivity as well as the nucleic acid, nucleotide, protein and amino acids content of the cell-free supernatant from the culture. The Ca++ and K+ content of the cell mass decreased due to the leakage out of cell content. Sharp increase of K+ in secondary region of bound water was due to cell wall leakage, while high level of K+ in the tertiary region of bound water was due to high lysis of the cells with increased cell content damage.
Key words : Chemoreaction drying, calcium oxide, Saccharomyces cerevisiae, dried yeast culture, curve sorption isotherm, bond water region, dormant, cell stress, cell wall damage,
KAJIAN PENGERINGAN KEMOREAKSI DENGAN KALSIUM OKSIDA SERTA DAMPAKNYA TERHADAP STRES DAN KERUSAKAN KULTUR Saccharomyces cerevisiae
NOVELINA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi : Kajian Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium Oksida Serta Dampaknya Terhadap Stres dan Kerusakan Kultur Saccharomyces cerevisiae Nama
: Novelina
NIM
: 975039
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, MSc Ketua
Prof. Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Anggota
Dr. Susono Saono, APU Anggota
Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS
Tanggal Lulus :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto,MSc
PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah SWT, dengan selesainya penulisan disertasi yang berjudul : Kajian Pengeringan Kemoreaksi Dengan Kalsium Oksida dan Dampaknya Terhadap Stres dan Kerusakan Kultur Saccharomyces cerevisiae, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pasca Sarjana IPB. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang mendalam disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim pembimbing yaitu Bapak Prof. Dr. Soewarno Tjokro Soekarto, MSc, sebagai ketua; ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS; bapak Dr. Susono Saono, APU; dan ibu Prof. Dr. Maggy T. Suhartono sebagai anggota. Segala saran, petunjuk, perhatian bapak dan ibu sejak dari perencanaan dan pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan disertasi ini telah memperkaya pengetahuan penulis pada umumnya dan bidang pangan pada khususnya. Terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Rizal Syarief, DSAE, sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, bapak Dr. Ir. Ridwan Tahir, MS dan ibu Wellyzar Syamsuridzal, Ph.D, sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Atas saran, komentar dan masukan yang diberikan, saya pahami sebagai bentuk lain dari pembimbingan menuju kesempurnaan disertasi ini. Terima kasih kepada orang tua Bapak Syafri Irsal, BA (Alm) dan ibu Halimah yang telah menghantarkan penulis untuk dapat menempuh pendidikan S3 ini, serta kepada adik-adik atas dukungan moril dan doa yang penulis terima. Kepada suami Ir. Rory Sutanto, MS, terima kasih atas segala dukungan dan semangat yang telah diberikan selama menempuh pendidikan S3 ini. Kepada putri-putriku yang selalu menjadi semangat dalam semua kegiatan : Mirsa, Citra, Sinta, dan sikecil Raina yang hadir diakhir penyelesaian studi ini, terima kasih atas perhatian, dukungan kasih sayang, pengorbanan, dan doa yang selalu kalian berikan selama ini. Terima kasih kepada Rektor Universitas Andalas, Dekan Fakultas Pertanian Unand, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program
Studi Ilmu Pangan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 7 November 1957 di kota Padang, Sumatera Barat, merupakan anak ke empat dari sepuluh putra-putri bapak Syafri Irsal, BA (almarhum) dan ibu Halimah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri VIII Padang pada tahun 1971, sekolah menengah pertama di SMP Yos Sudarso Padang pada tahun 1974 dan sekolah menengah atas SMA Negeri I Padang pada tahun 1977. Pada tahun 1977 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang dan selesai pada tahun 1983. Pada tahun 1989 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang magister sains program studi Teknologi Pasca Panen, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun 1993 dibawah bimbingan Prof. Dr. Soewarno Tjokro Soekarto, Prof. Dr. Ir. Wahjuddin Tjiptadi (almarhum) dan Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, MSc. Selanjutnya ada tahun 1997 penulis melanjutkan ke proram doktor pada program studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1986 hingga sekarang bekerja sebagai staf pengajar pada jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang.
Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada jenjang S3. Terima kasih pada BPPS Departemen Pendidikan Nasional atas dukungan pembiayaan selama masa studi. Terima kasih pada pimpinan dan staf laboratorium dilingkungan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta IPB, PAU Pangan dan Gizi IPB, PAU Bioteknologi IPB atas bantuan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian. Terima kasih pada pimpinan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta dan khususnya pimpinan dan staf laboratorium Mikroskop Elektron atas bantuan fasilitas, kepercayaan dan kesempatan yang diberikan dalam mempelajari persiapan sampel hingga penggunaan Mikroskop Elektron Transmisi (TEM). Juga terima kasih pada pimpinan laboratorium Mikrobiologi dan laboratorium Mikroskop Elektron USNAMRU 2 Jakarta atas bantuan fasilitas dan kesempatan mempelajari TEM dan SEM. Terima kasih kepada bapak dan ibu teknisi yang telah banyak membantu selama berlangsungnya penelitian, khususnya bapak Mulyono, mbak Ari, mbak Vivi dan juga rekan-rekan IPN yang banyak memberi dukungan selama masa studi serta kepada semua pihak yang belum sempat penulis sebutkan satu persatu. Semoga bantuan, dukungan dan perhatian bapak dan ibu yang penulis terima, mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Bogor, Juni 2005 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xvi
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ Proses Pengeringan ........................................................................... Pengeringan Kultur Mikroba ............................................................ Kultur Mikroba Kering ..................................................................... Stres Kering pada Mikroba ............................................................... Khamir Saccharomyces cerevisiae .................................................. Kesetimbangan Kadar Air dan Sorpsi Isotermi Air .........................
5 11 15 19 25 31
BAHAN DAN METODE ......................................................................... Tempat dan Waktu ........................................................................... Bahan dan Alat ................................................................................. Pelaksanaan Percobaan ..................................................................... Analisis dan Pengamatan ..................................................................
38 38 38 41 53
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. Produksi kultur Saccharomyces cerevisiae .................................... Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium Oksida .......................... Isotermi Sorpsi Air dan Pengaruh Bahan Pelindung ........................ Pola Stres dan Kematian Kultur Kering ........................................... Perubahan Morfologi dan Mikrostruktur Kultur Kering .................. Kebocoran Sel ..................................................................................
56 56 57 67 76 86 95
PEMBAHASAN UMUM ..........................................................................
109
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
115
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
117
LAMPIRAN ..............................................................................................
128
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Total impor khamir kering aktif, khamir kering tidak aktif dan otolisat khamir dari tahun 1998-2003 (BPS 1999 s/d 2004) ..............
31
2. Tahapan penelitian, tujuan dan hasil yang diharapkan dari setiap tahap penelitian ....................................................................................
44
3. Ringkasan percobaan dari setiap tahap penelitian ..............................
45
4. Beberapa jenis larutan garam jenuh dan nilai RH yang dihasilkan ....
49
5. Pengaruh tebal lapisan pengeringan terhadap kadar air akhir setelah pengeringan 48 jam dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan ......
62
6. Pengauh rasio pemakaian CaO dan contoh yang dikeringkan terhadap kadar air akhir dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan ..............
64
7. Karakteristik khamir kering aktif komersial dan hasil penelitian ........
66
8. Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae pada berbagai pada berbagai nilai aw ........
68
9. Perhitungan air terikat primer pada kultur kering kamir dengan model BET .....................................................................................................
71
10. Perhitungan air terikat sekunder pada kultur kering kamir dengan model analisis logaritma .....................................................................
73
11. Hasil perhitungan air terikat primer, sekunder dan tersier dari kultur kering Saccharomyces cerevisiae ......................................................
75
12. Hasil pengamatan pertumbuhan kultur kering Saccharomyces cerevisiae pada berbagai nilai aw .........................................................
78
13. Hasil pengamatan terhadap daya hantar listrik, total ion K dan Ca serta senyawa protein dan asam nukleat yang dilepas dari sel khamir pada kondisi kadar air yang berkesetimbangan ...................................
96
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kurva pengeringan khamir secara mekanis dengan metode terowongan : Wk1, kandungan air terikat (%); Wp , kadar air khamir setelah pengeringan (%); periode I menunjukan perpindahan air bebas, periode II menunjukan perpindahan air terikat (Beker dan Rapoport 1987) ................................................ 2. Kesetimbangan kadar air khamir tanpa kemasan terhadap kelembaban relatif pada suhu ruang (Dobbs et al. 1982) ......................................... 3. Kebocoran dinding sel dan membran plasma S. cerevisiae akibat perlakuan detergen (Y-PER) pembesaran 12 000X (Nowicki dan Liermann, 2002) ........................................................... 4. Jumlah S. aureus yang tumbuh dari contoh makanan pada aw berbeda setelah 32 hari penyimpanan pada 21.7 0C (Soekarto, 1979).............. 5. Saccharomyce cerevisiae dengan askus berisi spora dewasa, SW adalah dinding spora, PrM adalah promembran dan N adalah inti (Anonymous, 2004a) ..................................................................... 6. A. Skema sel khamir (Van der Rest et al. 1995), B. struktur dinding dan membran sel khamir (Watson et al. 1987) .................................. 7. Struktur dinding dan membran sel bakteri, (a) Gram positif, (b) Gram negative, (c) lapisan peptidoglikan (Cano dan Calome, 1986) ........... 8. Peta stabilitas bahan makanan (Labuza et al. 1970)............................. 9. Klasifikasi kurva isotermi sorpsi air Labuza, 1984)............................. 10. Bentuk umum kurva ISA dengan tiga zona air terikat (Chaplin, 2004) .................................................................................... 11. Kontruksi lemari pengering kemoreaksi dengan 5 rak beserta bagian-bagiannya (Modifikasi Julianti, 2003)..................................... 12. Diagram alir produksi sel khamir ......................................................... 13. Diagram alir penelitian ........................................................................ 14. Diagram Alir pengeringan kemoreaksi ............................................... 15. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae .................................. 16. Penurunan kadar air dari kultur khamir dengan tiga tingkat ketebalan selama pengeringan kemoreaksi. Lama pengeringan untuk mencapai kadar air 5 % pada ketebalan 1.3 mm adalah t1 dan ketebalan 2.6 adalah t2. ............................................................................................... 17. Isotermi sorpsi air kultur khamir kering (Saccharomyces cerevisiae) 18. Plot isotermi BET dari kurva isotermi air kltur kering khamir Saccharomyces cerevisiae ................................................................... 19. Bentuk linear dari isotermi sorpsi kultur kering khamir, terdiri dari air terikat sekunder dan tersier ............................................................ 20. Jumlah koloni(log N) kultur kering khamir pada daerah air terikat primer, sekunder dan tersier, setelah ditumbuhkan pada media PDA. 21. Pola stress dan kematian kultur kering Saccharomyces cerevisiae terhadap aw............................................................................................ 22. Kurva dorman dan kematian Saccharomyces cerevisiae .....................
6 19 21 22 24 27 28 34 35 37 40 43 46 47 56
56 69 71 73 79 81 81
23. Log jumlah stres (∆N) khamir kering pada kadar air kesetimbangan masing-masing daerah air terikat ........................................................ 24. Persentase stres khamir kering pada kadar air kesetimbangan masing-masing daerah air terikat ......................................................... 25. Perubahan morfologi sel dari kultur kering Saccharomyces cerevisiae pada masing-masing fraksi air, berturut-turut (A) kultur segar, (B) kultur kering pada fraksi air terikat primer, (C) pada air teikat sekunder, dan (D) pada air terikat tersier ............... 26. Dinding sel khamir yang pecah dan terbuka ........................................ 27. Perubahan mikrostruktur pada kultur kering S. cerevisiae (A) kultur segar, (B) kultur kering pada fraksi air terikat primer, (C) pada air teikat sekunder, dan (D) pada air terikat tersier .................................. 28. Penampakan ultra struktur sel kering Saccharomyces cerevisiae dengan TEM, pembesaran 145 000 kali. Keretakan membrane plasma (tanda panah) (Beker dan Rapoport, 1987) .......................... 29. Hubungan linear peningkatan daya hantar listrik dengan kadar air kesetimbangan dari kulutr kering khamir ........................................... 30. Hubungan daya hantar listrik dengan viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae .................................................................... 31. Pengaruh berbagai air terikat pada kultur kering Saccharomyces cerevisiae terhadap jumlah ion-ion K+dan Ca++ yang dilepas.............. 32. Hubungan jumlah ion-ion K+ dan Ca++ yang dilepas terhadap viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae ............................. 33. Pengaruh kondisi air terikat terhadap kebocoran material yang keluar dari sel yang bocor dan terdeteksi pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm spektrofotometer uv ........................................... 34. Hubungan viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae terhadap senyawa protein dan asam nukleat yang dilepas ..............
85 85
88 89 92 94 99 100 102 103 106 107
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Pengaruh ketebalan lapisan pengeringan terhadap kadar air kultur Saccharomyces cerevisiae ...................................................... 2. Pengaruh penggunaan kapur Api (CaO) pada proses pengeringan kultur Saccharomyces cerevisiae dengan ketebalan lapisan 1.3 mm terhadap kadar air ................................................................. 3. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae setelah penyimpanan dalam desikator pada berbagai RH ................... 4. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae + 2% agar-agar setelah penyimpanan dalam desikator pada berbagai RH......................................................................................... 5. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae + 2 % CMC setelah penyimpanan dalam desikator pada berbagai RH ......................................................................................... 6. Total koloni kamir kering dari berbagai daerah air terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl...................... 7. Total koloni kamir kering + 2% agar-agar dari berbagai daerah air terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl 8. Total koloni kamir kering + 2% CMC dari berbagai daerah air terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl ............ 9. Data pengukuran daya hantar listrik (DHL) dari air rendaman sel yang bocor karena pengaruh berbagai aw ..................................... 10. Data hasil analisis K+ dan Ca++ yang tertinggal dari sel yang bocor karena pengaruh berbagai aw penyimpanan ............................ 11. Data absorbansi material yang keluar pada air rendaman sel yang bocor dan terdeteksi pada panjang gelombang 260 dan 280 spektrofotometer uv ............................................................................. 12. Penentuan air terikat primer dengan persamaan BET dari kurva sorpsi isotermi ..................................................................................... 13. Penentuan air terikat sekunder dengan persamaan logaritma kurva sorpsi isotermi ........................................................................... 14. Penentuan air terikat tersier dengan menggunakan persamaan polynomial kurva sorpsi isotermi pada ordo 2 ................................... 15. Penentuan air terikat tersier dengan menggunakan persamaan kuadrat 16. Komposisi kimia dari kapur api ........................................................ 17. Contoh perhitungan kadar protein dan asam nukleat berdasarkan Hukum Beer (Penner, 1994) ................................................................
129 129 130 131 132 133 134 135 136 136 137 138 139 140 141 142 143
PENDAHULUAN Latar Belakang Saccharomyces cerevisiae adalah salah satu jenis khamir yang cukup banyak digunakan sebagai inokulum berbagai proses industri, antara lain dalam produksi roti, cake, minuman beralkohol, dan industri etanol.
Penggunaan
lainnya adalah untuk menghasilkan produk-produk seperti biomassa, ekstrak khamir, autolisat, komponen flavor, protein sel tunggal dan sebagainya. Kultur starter yang banyak digunakan untuk mendukung pertumbuhan industri-industri tersebut adalah dalam bentuk kering, karena akan memudahkan cara penanganan, penyimpanan, distribusi dan transportasi.
Selanjutnya
juga
memungkinkan penggunaan starter baru pada setiap lot fermentasi, sehingga fermentasi lebih terkendali dan kualitas produk yang dihasilkan lebih terjamin. Kebutuhan khamir kering untuk mendukung industri-industri tersebut cukup besar dan sampai sekarang produk khamir masih diimpor dari beberapa negara. Total impor Indonesia terhadap produk khamir kering aktif selama tahun 2003 adalah 2.277.538 kg dengan nilai 5.464.114 US$ (BPS 2004). Jumlah dan nilai impor ini dari tahun ketahun cenderung terus meningkat dengan berkembangnya industri makanan di Indonesia (data pada Tabel 1). Diantara negara-negara yang terbesar nilai impornya ke Indonesia adalah Hongkong, China, Australia, Amerika Serikat, Turki, Inggris, Belanda, Perancis, dan Belgia. Metode pengeringan kultur pada saat ini telah semakin berkembang seperti perkembangan teknologi lainnya, diantaranya adalah metode pengeringan vakum (vacuum drying), pengeringan semprot (spray drying), pengeringan beku (freeze drying) dan metode fluidized. Metode pengeringan dengan suhu rendah atau pengeringan dingin seperti pengeringan beku dan pengering vakum mempunyai potensi cukup baik dalam mempertahankan viabilitas kultur mikroba, sehingga mutu dan kestabilan produk yang dihasilkan cukup tinggi. Pengeringan dingin juga dapat berlangsung dengan udara ambien di daerah yang beriklim sangat kering, namun proses pengeringannya sangat lama. Salah satu metode pengeringan dingin yang cukup potensial tetapi belum diaplikasikan untuk pengeringan kultur, adalah metode pengeringan absorpsi
2
atau kemoreaksi. Prinsip pengeringan absorpsi adalah dengan menggunakan absorben yang akan menyerap uap air dari bahan basah, contoh absorben yang sering digunakan adalah gel silika. Sedangkan pengeringan kemoreaksi adalah dengan menggunakan kalsium oksida (CaO) yang terkandung didalam kapur api. Kalsium oksida (CaO) kemudian bereaksi dengan uap air didalam ruang pengering dan menghasilkan energi panas. Energi panas dipakai untuk menguapkan air dari bahan lembab, sehingga bahan menjadi kering. Selama proses pengeringan kemoreaksi berlangsung suhu udara didalam ruang pengering tetap rendah, sehingga tidak merusak bahan yang sensitif oleh panas. Kajian tentang CaO pada kapur api telah diteliti di Institut Pertanian Bogor, diantaranya untuk pengeringan absorpsi terhadap biji lada (Halim 1996 dan Wulandari
2002), mempelajari karakteristik pengeringan dengan CaO
(Fuadi 1999), pengeringan absorpsi benih tomat (Suzana 2000). Disamping itu juga digunakan untuk pengeringan brem padat di daerah lembab seperti Bogor (Hersasi 1996), laju pengeringan absorpsi dengan kapur api terhadap filet ikan (Asikin 1998), dan kajian perilaku pengeringan dengan CaO untuk materi hidup (Julianti 2003). Menurut hasil penelitian Julianti (2003) diketahui CaO tidak memiliki isotermi sorpsi air, dan pengikatan air oleh CaO bukan secara absorpsi tetapi melalui reaksi kimia (kemoreaksi). Selanjutnya juga diketahui bahwa CaO merupakan bahan yang sangat reaktif terhadap air dan pada saat penentuan kadar air kesetimbangan dengan berbagai nilai RH dalam desikator, ternyata CaO bereaksi dengan semua air yang terdapat dalam desikator. Oleh sebab itu istilah pengeringan kemoreaksi lebih tepat digunakan dalam proses pengeringan yang menggunakan CaO (komponen utama pada kapur api). Pengeringan kemoreaksi lebih ditujukan untuk mengeringkan bahan-bahan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan sangat sensitif oleh panas seperti kultur mikroba yang merupakan komponen hidup, pengeringan bahan volatil untuk mencegah kehilangan minyak atsiri, dan untuk mempertahankan viabilitas dalam pengeringan benih. Proses pengeringan kultur mikroba menyebabkan sel kehilangan air yang cukup banyak. Dalam hal ini terjadi peningkatan konsentrasi mikrostruktur
3
di dalam sel sehingga proses metabolisme dan aktivitas seluler berhenti atau sel berada pada masa istirahat (dorman). Kondisi kering ini juga menyebabkan sel mengalami stres, tetapi bila dipindahkan pada medium tumbuh yang sesuai mikroba akan dapat tumbuh normal kembali. Disamping proses pengeringan, faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan stres pada mikroba adalah pemanasan, pembekuan, aktivitas air (aw) rendah, radiasi, senyawa anti mikroba, konsentrasi oksigen rendah dan sebagainya. Sama dengan produk pangan kering lainnya, kultur kering bersifat sangat higroskopis sehingga kadar airnya akan meningkat. Hal ini terjadi karena kultur kering dapat menyerap uap air dari udara lembab dilingkungan penyimpanannya. Peningkatan kadar air dapat memulai reaksi-reaksi kimia dan biokimia didalam sel, sehingga kestabilan kultur kering dapat terganggu. Peningkatan kadar air yang semakin tinggi dapat merusak mikroba yang stres, sehingga mikroba akan mati. Kerusakan kultur mikroba kering akibat peningkatan kadar air juga dapat menyebabkan kebocoran sel. Kebocoran terdeteksi dengan adanya ion-ion mineral seperti K+, Na+, Ca++, dan Mg++, serta bahan-bahan lain seperti protein dan nukleotida yang terdapat pada supernatan atau air rendaman sel (Hurst 1984; Bunduki et al. 1995; dan Park et al. 2003). Berdasarkan hal diatas perlu diketahui kondisi kadar air kritikal dalam penyimpanan kultur kering, agar viabilitasnya dapat terjaga dan kerusakan sel akibat peningkatan kadar air dapat dihindari. Kadar air kritikal dapat ditentukan dari kurva isotermi sorpsi air dengan menganalisis kapasitas masing-masing daerah air terikat dari kurva isotermi tersebut. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji metode pengeringan kemoreaksi dengan kalsium oksida serta menganalisis parameter dalam proses pengeringan yang berpengaruh terhadap viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae yang dihasilkan. 2. Menerangkan pola isotermi sorpsi air dan menganalisis kadar air kritikal pada fraksi air terikat kultur kering.
4
3. Menerangkan pola stres dan kematian kultur kering Saccharomyces cerevisiae pada berbagai kondisi kadar air terikat. 4. Mengamati perubahan morfologi dan mikrostruktur serta kerusakan kultur kering. 5. Menganalisis terjadinya kebocoran sel yang mengalami stres dan kerusakan. Kegunaan Penelitian 1. Mengembangan teknologi pengeringan kemoreaksi dengan kalsium oksida untuk produksi kultur kering mikroba. 2. Memberikan data dasar tentang faktor-faktor yang berperan dalam proses pengeringan kemoreaksi dan dampaknya terhadap viabilitas kultur starter kering sehingga diperoleh efisiensi proses pengeringan dan viabilitas tetap terjaga. 3. Memberikan data dasar mekanisme stres kering pada kultur Saccharomyces cerevisiae dan menentukan teknik yang tepat untuk mengurangi stres, yang berdampak pada perubahan morfologi dan kerusakan serta proses biokimia sel kering.
5
TINJAUAN PUSTAKA Proses Pengeringan Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan makanan sebelum bahan diolah atau dimanfaatkan. Selanjutnya menurut Fellows (1990) definisi pengeringan adalah proses pengeluaran sebagian besar air yang secara normal terdapat dalam bahan pangan, melalui proses penguapan atau sublimasi dengan kondisi yang terkendali. Parameter-parameter yang mempengaruhi waktu pengeringan adalah suhu, kelembaban udara, laju aliran udara, kadar air awal dan kadar air bahan kering. Tujuan utama dari pengeringan adalah untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan melalui penurunan aktivitas air (Fellows 1990). Batasan umum pengeringan, yaitu suatu proses mengeluarkan air dari bahan pangan dengan cara penguapan atau sublimasi, hingga terjadi penurunan kandungan air bahan sampai batas enzim dan reaksi-reaksi yang menyebabkan kerusakan pada bahan dapat dihambat aktivitasnya, dan bahan menjadi lebih awet. Proses penguapan air dari bahan dapat dilakukan dengan menggunakan energi panas (pada pengeringan dengan suhu tinggi) atau dengan cara dehumifikasi (penurunan RH) ruangan sehingga terjadi keseimbangan antara bahan dan lingkungannya. Prinsip Pengeringan Prinsip utama pengeringan adalah pengeluaran air dari bahan berdasarkan pindah massa internal
(Chirifie 1983 didalam Barbosa-Canovas dan Vega-
Mecado 1996). Laju perpindahan uap air dari bahan ke udara tergantung pada sifat fisik bahan, komposisi bahan, kadar air awal, kelembaban udara, laju aliran udara, dan tekanan pada permukaan bahan yang langsung berhubungan dengan udara (Okos et al. 1992). Selanjutnya menurut Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado
(1996)
mekanisme fisik untuk menjelaskan gerakan air di dalam bahan terdiri dari 6 tahap, yaitu : 1) gerakan cairan karena gaya permukaan (aliran kapiler), 2) difusi
6
cairan karena adanya perbedaan konsentrasi, 3) difusi permukaan, 4) difusi uap air di dalam pori-pori yang berisi udara, 5) aliran karena adanya perbedaan tekanan, dan 6) aliran karena terjadinya penguapan dan kondensasi. Sedangkan mekanisme penguapan air dari bahan pangan menurut Brooker et al. (1982), meliputi proses : 1) pelepasan ikatan air dari bahan pangan, 2) difusi air dan uap air ke permukaan, 3) perubahan fase dari air menjadi uap air, 4) perpindahan uap air dari permukaan ke udara sekitar dan 5) perpindahan uap air di udara. Menurut Beker dan Rapoport (1987) bentuk kurva pengeringan secara umum terlihat pada Gambar 1.
Laju pengeringan cepat ditunjukkan pada
periode I yang dihubungkan dengan kehilangan air bebas, sedangkan laju pengeringan lambat pada periode II dihubungkan dengan kehilangan air terikat. Kecepatan pengeringan dapat dipengaruhi oleh suhu dan kecepatan udara pengering, kadar air, ukuran dan bentuk granula khamir yang dikeringkan.
Gambar 1. Kurva pengeringan khamir secara mekanis dengan metode terowongan: Wk1, kandungan air terikat (%); Wp, kadar air dari khamir setelah pengeringan (%); periode I menunjukkan perpindahan air bebas, periode II menunjukkan perpindahan air terikat (Beker dan Rapoport, 1987)
7
Pengeringan bahan-bahan yang peka terhadap suhu tinggi seperti kultur mikroba, enzim, vaksin dan bahan-bahan volatil, diperlukan proses pengeringan pada suhu rendah supaya viabilitas kultur mikroba dan mutu bahan-bahan tersebut tetap terjaga. Proses pengeringan suhu rendah yang dapat dilakukan adalah pengering vakum, pengering beku dan pengering absorpsi atau pengeringan kemoreaksi. Pengeringan Absorpsi Proses pengeringan absorpsi adalah proses pengeringan dimana air dalam bahan diserap oleh suatu material yang bersifat sangat higroskopis yang disebut absorben. Dalam proses pengeringan absorbsi sejumlah bahan dan absorben diletakkan dalam suatu ruangan yang tertutup rapat. Absorben yang digunakan memiliki tekanan uap air yang sangat rendah dibandingkan dengan bahan yang akan dikeringkan. Mekanisme yang terjadi adalah proses penarikan air oleh absorben dari dalam bahan pangan dengan prinsip penyerapan uap air dari bahan tersebut. Air yang diserap oleh absorben tidak hanya pada bagian permukaan absorben tersebut, tetapi terdistribusi secara merata keseluruh bagian absorben (Hall 1979). Proses pengeringan absorbsi tidak menggunakan aliran udara pengering dengan suhu tinggi, tetapi faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kelembaban udara (RH) di dalam ruang pengering. Menurut Henderson dan Perry (1976) proses pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat, dalam hal ini air bebas adalah air yang berada di permukaan bahan dan yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi. Migrasi air dan uap terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap antara bagian dalam dan bagian luar bahan. Material yang sering digunakan sebagai absorben
untuk pengeringan
dapat berbentuk gel padat atau cairan, contohnya gel silika, CaCl2, kalsium sulfat, CaO dan sebagainya. Gel silika adalah absorben berbentuk padat yang banyak digunakan untuk menjaga kelembaban dalam ruang penyimpanan barang-barang elektronik, barang-barang asesoris dari kulit dan juga sering
8
digunakan sebagai bahan yang dapat menjaga kestabilan kadar air bahan yang disimpan dalam desikator. Selama ini penggunaan absorben untuk pengeringan terutama adalah dalam pengeringan biji-bijian dan produk-produk yang mempunyai aroma khas seperti kopi dan tembakau. Berdasarkan percobaan Hu et al. (1998) pengeringan absorpsi menggunakan gel silika terhadap viabilitas benih barley, oat, dan kenaf pengaruhnya hampir sama dengan pengeringan beku.
Keuntungan lainnya yaitu dapat
mencapai kadar air yang lebih rendah dan biayanya jauh lebih murah dari pengeringan beku, walaupun laju pengeringan absorpsi sedikit lebih lambat. Bentonit (CaCl2) sering digunakan sebagai desikan dalam proses pengeringan maupun sebagai dehumidifier udara selama penyimpanan terutama di malam hari, karena dapat memberi aerasi pada biji-bijian kering serta mempertahankan kadar air yang seragam dan suhu selama penyimpanan bijibijian (Thorruwa et al. 1998). Zeolit digunakan untuk pengeringan biji-bijian seperti jagung (Alikhani et al. 1992).
Kalsium sulfat digunakan untuk
pengeringan kopi beraroma tinggi seperti kopi instan (Cormaci 1994) serta pada pembuatan anhydrous trehalose (Mandai et al. 1994).
Glikol, gliserol dan
polihidrik alkohol lainnya secara rutin digunakan sebagai desikan dan humektan untuk mengendalikan RH pada sistem gas alam, bahan pangan dan tembakau (James 1973). Selanjutnya desikan cair dari campuran CaCl2 dengan litium klorida (LiCl2) dengan perbandingan yang sama, juga digunakan oleh Ertas et al. (1997) untuk pengeringan kacang tanah. Kalsium oksida (CaO) merupakan bahan aktif dari kapur api yang selama ini juga dipakai sebagai absorben atau desikan dalam pengeringan dan penyimpanan beberapa produk pangan. Sedangkan hasil penelitian Julianti (2003) menyatakan bahwa CaO tidak memiliki isotermi sorpsi air, dan CaO merupakan bahan yang sangat reaktif terhadap air, oleh karena itu kemampuan kapur api untuk menyerap uap air dari lingkungan sekitarnya didasarkan pada reaktivitas kimia dan bukan melalui absorpsi fisik seperti halnya absorben lainnya. Oleh karena itu pengeringan dengan kapur api atau CaO lebih tepat dipakai istilah pengeringan kemoreaksi.
9
Pengeringan Kemoreaksi Pengeringan
kemoreaksi
adalah
proses
pengeringan
yang
juga
menggunakan absorben, tetapi melalui mekanisme reaksi kimia antara uap air dari bahan yang dikeringkan dengan absorben, karena reaktivitas absorben yang tinggi terhadap air. Kapur api yang mengandung bahan aktif CaO merupakan absorben yang banyak digunakan dalam proses pengeringan ini. CaO bereaksi secara kimia dengan uap air yang terdapat di dalam bahan yang dikeringkan sehingga kadar air bahan akan berkurang. Mackenzie dan Sharp (1970) menyatakan bahwa CaO terbentuk apabila batu kapur (CaCO3) dipanaskan pada suhu diatas 650 0C. Sebaliknya reaksi pembentukan CaO dari CaCO3 merupakan reaksi endoterm yang bersifat reversibel.
Menurut Chang dan Tikkanen (1989) reaksi CaO dengan air
merupakan reaksi eksoterm yang akan melepaskan energi panas sebagai berikut : CaO (S) + H2O (1)
Ca (OH)2 (S) + ∆H = - 64.8 KJ
Kapur api mempunyai kandungan CaO sekitar 96.8% - 97% dan bahanbahan lainnya seperti SiO2, R2O3 (gabungan oksida-oksida), MgO dan bahanbahan lain yang hilang saat pembakaran. Hasil penelitian (Sucofindo 1991 di dalam Julianti 2003) diketahui juga bahwa kapur api yang baru keluar dari pembakaran tidak mengandung air. Oleh karena itu kapur api ini bersifat sangat higroskopis dan sangat baik digunakan sebagai absorben dalam pengeringan kemoreaksi. Kalsium oksida ( CaO) juga dikenal sebagai Quicklime atau kapur mentah dan mempunyai kapasitas penyerapan uap air yang lebih besar pada RH rendah dibanding absorben atau desikan lainnya. Kapasitas penyerapan uap air oleh CaO minimal adalah 28.5% dari beratnya. Sebagian besar digunakan dalam pengemasan makanan kering, tetapi penggunaan kemasan makanan harus diperhatikan karena sifat CaO yang dapat hancur selama penyimpanan (Anonim 2004b). Menurut Soekarto (2000), prinsip pengeringan dengan CaO di dalam lemari pengering absorpsi berlangsung melalui proses penting sebagai berikut : (1) CaO menyerap dan bereaksi dengan uap air dalam ruangan pengering; (2) reaksi CaO dengan air melepaskan energi panas dan menurunkan RH ruang
10
pengering; (3) energi panas diserap bahan untuk menguapkan kandungan air meninggalkan bahan; (4) uap air dari bahan mengalir ke ruang pengering untuk kemudian diserap CaO.
Proses tersebut berlangsung secara terus menerus
sampai tercapai kondisi kesetimbangan atau ekuilibrium. Antara CaO dan air bereaksi secara eksotermik untuk membentuk Ca(OH)2. Peningkatan reaksi yang bersifat eksotermik tersebut, menghasilkan peningkatan suhu selama pengeringan berlangsung konstan (Soekarto 2000). Reaksi kimia yang terjadi antara CaO dan uap air selama pengeringan adalah : CaO+ H2O
Ca(OH)2 - • H
(Joule)
Bahan lembab + • H
Produk kering + H 2O
CaO + Bahan lembab
Produk kering + Ca (OH)2
Keuntungan Pengeringan Kemoreaksi Beberapa peneliti sebelumnya telah menggunakan teknik pengeringan dengan CaO dari kapur api untuk mengeringkan berbagai produk, dan hasilnya ternyata cukup menguntungkan. Diantaranya oleh Halim (1996) untuk pengeringan biji lada, dimana penggunaan kapur api sebagai bahan pengering, dapat menekan penguapan minyak atsiri dari lada segar menjadi
2.8% - 3.1%.
Dibandingkan pengeringan dengan sinar matahari penurunan kadar minyak atsiri adalah sebanyak 10.65% dan pengeringan dengan oven penurunan minyak atsiri sebanyak 17.80%. Wulandari (2002) juga menggunakan kapur api untuk pengeringan lada pada suhu ruang (29 0C). Selama pengeringan penurunan kadar minyak atsiri lada relatif kecil yaitu 1.74% - 4.87%. Sedangkan pengeringan dengan metode oven dan penjemuran, penurunan kadar minyak atsiri berturut-turut adalah 17.8 % (metode oven) dan 10.65% (penjemuran). Rasio (berat/berat) kapur dan lada R 2 (1:2); R 5 (1:5); dan R 20 (1:20) dapat digunakan untuk mengeringkan lada sampai kadar air 12 % basis basah. Semakin besar tingkat R waktu pengeringan semakin singkat yaitu berturut-turut 89 jam (untuk R 20), 92.3 jam (untuk R 5) dan 119.5 jam (untuk R 2). Pengeringan terhadap biji pala bertempurung dengan kapur api, waktu yang dibutuhkan lebih lama yaitu 8 – 9 hari, dibandingkan waktu pengeringan
11
dengan penjemuran yaitu 7 hari (rata-rata penjemuran 3 jam / hari). Rendemen minyak atsiri kedua metode tersebut juga tidak berbeda nyata, yaitu sebesar 11, 78% pada pengeringan dengan kapur api, dan 10.92% pada penjemuran. Walaupun demikian, biji pala yang dikeringkan dengan pengeringan menggunakan kapur api memiliki penampakan yang paling baik (Suryani 1999). Penggunaan kapur api untuk pengeringan benih tomat selama satu hari dapat menghasilkan benih tomat kering dengan kadar air 5.5% basis basah. Uji viabilitas menunjukkan daya kecambah yang cukup baik yaitu antara 70% sampai 94.5% (Suzana 2000). Sedangkan pengeringan benih cabe oleh Julianti (2003), diperoleh perbandingan kapur dan benih yang optimal untuk menghasilkan mutu yang tinggi adalah 3 :1. Kadar air akhir benih cabe yang dihasilkan adalah sekitar 3.8% (bk) dengan lama pengeringan 45 jam, dan viabilitas benih yang dihasilkan adalah 100%. Disamping itu terdapat hubungan yang jelas antara fase laju pengeringan dengan fraksi-fraksi air terikat pada benih cabe, yaitu periode (1) air yang dikeluarkan air bebas murni, periode (2) air terikat tersier dan sebagian air terikat sekunder, periode (3) air terikat sekunder dan air terikat primer, serta periode (4) air terikat primer. Penggunaan CaO juga dilakukan untuk pengeringan brem padat di daerah Bogor yang kelembapannya cukup tinggi. Waktu yang diperlukan untuk mengeringkan brem padat secara tradisional (pada suhu kamar), biasanya membutuh-kan waktu 18 jam untuk mencapai kadar air 16%. Sedangkan dengan menggunakan CaO diperlukan waktu 12 jam,
disamping itu brem yang
dihasilkan berwarna cerah dan tidak mudah patah (Hersasi 1996). Pengeringan Kultur Mikroba Pengeringan kultur mikroba terutama bertujuan untuk menyediakan kultur starter dalam jumlah banyak yang diperlukan oleh industri produk fermentasi, seperti industri minuman beralkohol, industri roti, obat-obatan dan sebagainya. Berbagai metode pengeringan kultur telah banyak dilakukan oleh peneliti, dimana proses pengeringan kultur pada prinsipnya hampir sama dengan pengeringan produk pangan atau hasil pertanian lainnya.
12
Metode pengeringan yang umum digunakan untuk pengeringan mikroba adalah dengan metode terowongan, pengeringan
fluidized bed, pengeringan
vakum dan pengeringan semprot, sedangkan untuk pengawetan kultur murni mikroba digunakan pengeringan beku dan pengeringan vakum. Pengeringan Vakum Menurut Tamine dan Robinson (1985) proses pengeringan vakum terhadap spesies bakteri asam laktat, meliputi penambahan starter cair dengan laktosa dan Ca-karbonat (untuk menetralkan kelebihan asam), pemisahan whey dan proses pengeringan dalam kondisi vakum. Proses pengeringan starter yoghurt dengan metode oven vakum pada suhu 50 0C, tekanan vakum 29 mmHg dan lama pengeringan 4 jam menghasilkan viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan metode pengeringan dengan oven biasa. Pada pengeringan menggunakan oven vakum diperoleh viabilitas 79% yang kadar airnya adalah 4.44% hingga 9.05% (Nuraida et al. 1994). Jenie et al. (1996) menggunakan metode pengeringan vakum pada suhu 40 0
C selama 4 jam untuk produksi kultur starter kering Lactococcus lactis.
Viabilitas sel yang dicapai adalah 58 % yaitu dari perlakuan media pertumbuhan dengan ekstrak sawi dan pencampuran bahan pengisi tepung beras dan kultur dengan perbandingan 1:2. Selanjutnya untuk pengeringan kultur Lactobacillus plantarum dengan metode pengeringan vakum menggunakan suhu 50 0C selama 4 jam, dihasilkan viabilitas tertinggi (87%) dari kultur dengan penambahan bahan pengikat berupa campuran tepung beras dan tepung onggok sebesar 2 :1. Kadar air kultur kering yang diperoleh adalah 4.62% - 6.79% berat kering. Pengeringan Beku (Freeze-drying) Pengeringan beku berbeda dengan pengeringan biasa, dimana bahan yang akan dikeringkan terlebih dahulu dibekukan, kemudian dalam keadaan hampa udara air langsung dikeluarkan dari bahan secara sublimasi. Proses pengeringan dengan pengeringan beku memerlukan kondisi dibawah suhu kritis yaitu suhu dibawah 0 0C dan tekanan di dalam ruang pengering berada dibawah 1.0 – 2.0 mm Hg (Brennan et al. 1974).
13
To dan Etzel (1997) menggunakan metode pengeringan beku untuk menge-ringkan beberapa spesies bakteri asam laktat. Proses pengeringan beku diawali dengan pembekuan kultur dalam es kering pada suhu -20 0C selama + 12 jam, kemudian dilanjutkan ke pengering beku yang dioperasikan pada 9000 g/cm dan suhu -53 0C selama 24 jam menghasilkan viabilitas sekitar 60% 70%. Viabilitas yang dihasilkan ini lebih tinggi dari pada hasil pengeringan semprot. Menurut Tamime dan Robinson (1985), selama proses pembekuan dan pengeringan beku dapat terjadi kerusakan pada sel mikroba. Kerusakan ini dapat diminimumkan dengan penambahan senyawa-senyawa kriogenik atau senyawa protektan. Kelemahan pengeringan beku adalah dikhawatirkan penambahan senyawa kriogenik dapat memberikan efek samping terhadap aktivitas sel serta mutu produk fermentasi yang dihasilkan. Disamping itu metode pengeringan beku memerlukan biaya yang tinggi dalam produksi. Diantara senyawa protektan yang biasa ditambahkan dalam media pengeringan beku mikroba adalah Pepton, Laktosa, Trehalosa, dan Whey-sukrosa (Anonim 2004d). Husna (1998) juga meneliti pengeringan beku terhadap kultur starter yoghurt dan dihasilkan kultur starter kering yang mengandung bakteri asam laktat cukup tinggi yaitu ± 106 - 107. Bakteri asam laktat yang dihasilkan adalah Lactobacillus dengan total (1.2 - 4.2) x 106 koloni/ gram berat kering, dan Streptococcus dengan total 8.2 x 105 sampai 1.0 x 106 koloni/gram berat kering. Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini masih sangat tinggi, yaitu 29.76% (bb) - 50.47% (bb). Sedangkan penambahan 10% sukrosa menghasilkan kultur kering dengan kadar air yang lebih besar, karena sukrosa mengikat air sehingga sulit dilepaskan sewaktu proses pengeringan. Pengeringan Semprot Proses utama dalam pengeringan semprot adalah pembentukkan butiranbutiran halus (droplets) dari cairan yang akan dikeringkan dengan semprotan, kemudian dikontakkan dengan udara. Langkah pengabutan dalam bentuk butiran halus yang dihasilkan dengan percikan atau semprotan adalah untuk mengoptimumkan kondisi penguapan air sehingga menghasilkan produk yang
14
spesifik. Pengabutan diakibatkan oleh semprotan cairan yang dicurahkan dalam bentuk butiran-butiran kecil (Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado 1996). Metode pengeringan semprot dilakukan dengan alat pengering semprot yang dilengkapi dengan pompa peristaltik untuk membawa suspensi mikroba kedalam siklon pengering. Udara masuk dipanaskan dengan pemanas elektrik dan suspensi mikroba dialirkan dengan semprotan kedalam siklon pengering, sedangkan hasil pengeringan terkumpul pada bagian bawah siklon.
Proses
pengeringan semprot untuk mengeringkan beberapa spesies bakteri asam laktat dengan suhu udara masuk 220 0C dan suhu udara keluar 70 0C – 90 0C selama 30 menit, menghasilkan viabilitas hanya 15 - 34% (To dan Etzel 1997). Menurut Salgado-Cervantes (2003), penggunaan khamir kering Saccharomyces cerevisiae yang diproses dengan pengeringan semprot dalam pembuatan bir, menunjukkan aktivitas fermentasi yang lebih rendah. Kadar alkohol yang diperoleh adalah 1.4 – 1.8%, sedangkan dengan khamir segar kadar alkohol yang diperoleh adalah 5.5%. Selanjutnya juga dilaporkan khamir kering yang dihasilkan banyak terkontaminasi dengan mikroba lain. Pengeringan tipe Fluidized-bed Proses pengeringan Fluidized-bed biasa dilakukan untuk produksi khamir roti secara komersial dalam bentuk instant. Pada proses ini bahan awal dalam bentuk krim dengan kadar air sekitar 80 %, dirobah ke dalam bentuk partikelpartikel (diameter 0.2 – 0.5 mm) dengan suatu tekanan, kemudian partikelpartikel dikeringkan dengan hembusan udara panas 100 0C- 150 0C. Waktu pengeringan adalah 2 – 4 jam, suhu yang tertinggal pada partikel khamir adalah sekitar 25 0C - 42 0C, dan kadar air produk akhir adalah 4 – 6% (Reed dan Nagodawithana 1991). Menurut Anonim (2004c), proses pengeringan untuk khamir kering instan hanya menggunakan sistem fluidized-bed. Proses pembuatannya yaitu dengan memampatkan krim khamir melalui pelat berlubang (alat ekstruder) sehingga diperoleh bentuk seperti spageti tipis atau partikel-partikel massa khamir dengan diameter 0.5 – 1 mm, lalu dikeringkan. Sebelumnya krim khamir ditambah asam askorbat untuk membantu memperkuat adonan dan penambahan sorbitan monostearate (suatu emulsifer) untuk membantu rehidrasi. Bentuk partikel
15
massa khamir kering instant lebih kecil dari khamir kering aktif dan untuk pembuatan khamir kering aktif tidak ditambahkan asam askorbat dan emulsifer. Sedangkan untuk pembuatan khamir kering aktif proses pengeringannya selain dengan sistem fluidized-bed dapat juga dengan metoda lain seperti metoda pengeringan terowongan melalui suatu rangkaian kamar pengering pada tingkatan suhu berbeda. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan alat pengering tipe drum, yaitu pada drum yang berputar. Kultur Mikroba Kering Bentuk Kultur Kering Berdasarkan proses pengeringannya kultur kering dibedakan atas : 1) kultur starter yang dikeringkan dengan menambahkan media tumbuh atau bahan lain yang berperan dalam proses pengeringan. Kultur kering yang dihasilkan disebut dengan ragi, 2) kultur starter yang dikeringkan tanpa media tumbuh, tetapi dapat ditambahkan bahan lain dengan jumlah maksimal 2%. Bahan tambahan tersebut dapat berupa emulsifier atau rehydrating agent, kultur kering yang dihasilkan adalah berupa kultur kering murni, contohnya kultur kering aktif dan kultur kering aktif instan. a. Ragi Di Indonesia dikenal ragi tape yang dibuat secara tradisional dari tepung beras.
Pertumbuhan mikroba seperti kapang, khamir dan bakteri diperoleh
secara alamiah melalui infeksi dari lingkungan, peralatan yang digunakan dan melalui seleksi akibat ditambahkannya bermacam-macam bumbu kedalam tepung beras. Spesies kapang, khamir dan bakteri dalam ragi tersebut dapat memproduksi gula, asam serta alkohol dari substrat karbohidrat. Menurut Saono (1982) mikroflora yang lazim terdapat didalam ragi yang sangat berperan dalam fermentasi tape biasanya didominasi oleh kapang dari genus Mucor, Rhizopus dan Amylomyces, dan dari khamir yang termasuk kedalam genus endomycopsis, Saccharomyces, Hansenula dan Candida. Sedangkan bakteri yang sering terdapat pada ragi adalah dari genus Pediococcus dan Bacillus.
16
Fungsi dari masing-masing mikroba adalah: kapang berfungsi sebagai pemecah pati, serta penghasil enzim-enzim alpha amilase, beta amilase dan glukoamilase.
Khamir berfungsi sebagai penghasil alkohol selama proses
fermentasi, serta dapat menghasilkan enzim-enzim invertase, karboksilase, maltase dan melibiase. Sedangkan bakteri berfungsi sebagai penghasil asam laktat dan sakarida (Saono 1982). b. Kultur Murni Kering Penyediaan kultur starter dalam bentuk kultur kering, selain ditujukan untuk pemeliharaan kultur murni, juga untuk menghasilkan kultur kering aktif secara komersial. Berbeda dengan ragi, kultur starter kering lebih spesifik untuk satu spesies tertentu atau galur tertentu. Dalam proses pengeringan kultur murni ini hanya boleh ditambahkan bahan kimia yang berfungsi sebagai pelindung sel, seperti metil selulosa atau kaboksilmetil selulosa dalam jumlah 1-2% (Langejan 1980). Disamping itu juga dapat ditambahkan bahan pengemulsi seperti monogliserida, gliserol polyester dan sorbitan ester dalam jumlah 0.2-1% (Hill 1987). Proses pembuatan khamir kering aktif adalah
dengan memampatkan
padatan sel khamir pada plat berlubang alat ekstrusi, untuk menghasilkan butiran-butiran sangat kecil dari massa khamir. Selanjutnya proses pengeringan dilakukan menggunakan pengering tipe terowongan pada suhu sekitar 60 0C, selama 2 – 4 jam. Kadar air yang tersisa dalam bahan kering adalah sekitar 7.5 – 8.3%. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan metoda fluidized-bed
atau
metoda lainnya (Reed dan Nagodawithana 1995). Untuk menghasilkan krim khamir, padatan sel khamir pada akhir fermentasi sekitar 5%, dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 4000 rpm. Tahap awal pemisahan konsentrasi
padatan sel dalam cairan dapat
ditingkatkan menjadi 20 %. Sentrifus kedua akan menghasilkan cairan supernatan yang bebas sel khamir. Padatan sel yang diperoleh kemudian dicuci dan dilakukan penyaringan dengan menggunakan tekanan pada 125 - 150 lb/in2 ( 646 - 775 cm Hg), sehingga kadar padatan menjadi 27 – 32%. Padatan sel yang diperoleh disebut krim khamir (yeast cream) dalam bentuk plastis semi padat. Krim khamir ini dapat disimpan pada suhu 0 0C selama 2 minggu, atau digunakan untuk produksi khamir kering aktif (Reed dan Nagodawithana 1991).
17
Menurut Beker dan Rapoport (1987) dalam pengeringan khamir roti dengan metoda pengering terowongan, titik inversi pengeringan terdapat pada kadar air 20%. Diatas titik ini perubahan viabilitas sel dan permiabilitas dinding sel adalah kecil. Kadar air dibawah 20% respirasi berhenti dan unsur sel lepas jika kultur kering khamir direhidrasi dalam air. Pengeringan dapat dilanjutkan sampai batas kadar air 7.5-8.5% untuk khamir kering aktif dan 4-6% untuk khamir kering aktif instan. Beberapa bentuk khamir roti yang diperdagangkan di Indonesia masih merupakan produk impor, diantaranya dikenal dengan nama fermipan yang (diimpor dari Amerika) dan saf-instant (Perancis). Komposisi kedua produk tersebut terdiri dari khamir instan Saccharomyces cerevisiae, bahan pengemulsi (emulsifer) dan rehydrating agent. Kegunaan Kultur Kering Produksi kultur khamir kering aktif terkait dengan industri-industri besar makanan dan minuman hasil fermentasi serta industri obat-obatan, karena umumnya industri ini menggunakan kultur murni dalam bentuk kering aktif. Jenis-jenis khamir kering aktif yang digunakan adalah khamir untuk industri roti, khamir untuk industri bir, khamir untuk produksi etanol, khamir untuk fermentasi sake, dan khamir untuk makanan ternak (Peppler dan Perlman 1979). Menurut Nuraida et al. (1995) penyediaan kultur starter dalam bentuk kering akan memudahkan cara penanganan, memungkinkan penggunaan kultur starter baru pada setiap lot fermentasi, sehingga fermentasi lebih terkontrol dan kualitas produk lebih terjamin. Disamping itu ketersediaan kultur starter kering akan mempermudah distribusi dan transportasi, karena kultur starter kering dapat ditransportasikan dalam jarak jauh tanpa kehilangan aktivitas yang nyata. Selanjutnya menurut Malik dan Hoffmann (1993) kultur kering khamir lebih stabil dan tidak terjadi mutasi atau kehilangan sifat-sifatnya yang diperlukan selama proses pengeringan dan penyimpanan. Dengan demikian metode pengeringan lebih dipilih sebagai cara untuk pengawetan kultur untuk jangka waktu yang lama pada sejumlah spesies khamir.
18
Penyimpanan Kultur Kering Umumnya kultur kering aktif tidak membutuhkan penyimpanan suhu rendah, bagaimanapun umur simpan dapat bervariasi dari 1-12 bulan, pada kondisi penyim-panan suhu ruang. Stabilitas kultur kering adalah berbanding terbalik dengan suhu penyimpanan dan kadar air. Demikian juga jumlah oksigen dalam udara berakibat buruk terhadap stabilitas kultur kering Kultur khamir kering aktif konvensional yang mempunyai kadar air 8% dapat disimpan 1-2 bulan, atau bila disimpan dalam kemasan yang diberi nitrogen atau vakum dapat disimpan 1 tahun pada suhu kamar. Pengeringan kultur kering aktif sampai kadar air yang lebih rendah (4-6%) meningkatkan stabilitas terhadap panas, tetapi tidak dapat menghilangkan pengaruh kerusakan oleh oksigen. Cara penyimpanan dan pendistribusian khamir roti digunakan kantong kemasan yang kedap udara atau udara dihilangkan dengan memasukan gas. Kemasan juga dapat berupa kantong aluminium foil dengan permeabilitas rendah terhadap uap air dan gas oksigen. Aluminium foil harus bebas dari lobang-lobang penjepit, dilaminasi dengan plastik film yang direkatkan dengan menggunakan panas seperti saran atau pliofilm. Hill (1987) telah memberikan komposisi dari empat lapis film komposit sebagai berikut : poliester 20 µ ; aluminium , 12 µ ; polyester, 12 µ ; polyethylen, 8 µ . Plastik film cocok untuk kemasan vakum berukuran 500 g dan 10 kg. Ukuran kecil 907 g juga digunakan kemasan vakum.
Kemasan lebih besar
10 kg dengan kaleng harus diberi
nitrogen untuk mencegah pengempisan dibawah kondisi vakum. Bila kemasan dibuka kultur harus cepat digunakan karena udara dengan kelembaban yang tinggi akan mempengaruhi stabilitas dari kultur. Hubungan antara kadar air dan kelembaban terhadap beberapa khamir dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil penelitian Nuraida et al. (1995) terhadap kultur starter yoghurt yang dikeringkan dengan metode pengeringan beku, dan perlakuan pencampuran kultur dengan tapioka atau maizena (rasio tepung/kultur 1:2) serta penambahan media skim 16 % + MSG 1.5%, menghasilkan viabilitas tertinggi. Aktivitasnya tetap bertahan setelah disimpan 1 bulan pada suhu 7 0C dalam kemasan kantong polietilen.
19
Gambar 2. Keseimbangan kadar air khamir tanpa kemasan terhadap kelembaban relatif pada suhu ruang (Dobbs et al. 1982) Stres Kering pada Mikroba Stres pada mikroba merupakan tekanan biologi akibat terganggunya proses metabolisme penting didalam sel. Stres kering terjadi karena kehilangan air dari sel, sehingga mengurangi turgor sel dan mempengaruhi tekanan osmotik. Hal ini dapat mempengaruhi kestabilan makromolekul, sehingga menimbulkan kekakuan membran dan merusak struktur protein (Brown 1990 dan Wiggins 2001).
Disamping itu perubahan aktivitas air intrasellular juga menyebabkan
berkurangnya kekuatan ikatan hidrogen dan interaksi elektrostatik lainnya, sehingga mengganggu struktur dan fungsi makromolekul
termasuk asam
nukleat, protein, dan lemak (Brown 1990). Stres dan Kerusakan Mikroba Kebanyakan mikroorganisme untuk dapat tumbuh haruslah kontak dengan air,
karena sel hidup memperoleh semua atau sebagian kebutuhan
nutrien secara langsung berupa larutan. Status ketersediaan air atau potensial air
20
yang tidak menguntungkan dapat menyebabkan terjadinya stres pada mikroba. Stres akibat perubahan potensial air ini disebut ‘solute stress’ dan ’dilution stress’. Solute stress disebabkan oleh peningkatan konsentrasi atau aktivitas dari larutan ekstraselular dalam lingkungan zat cair.
Sedangkan dilution stress
disebabkan karena rendahnya aktivitas larutan ekstraselular (Brown 1990). Teixeira et al. (1995) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa sel mikroba yang berada pada kondisi stres menunjukkan telah terjadi kerusakan membran sitoplasma. Hal ini diketahui dengan peningkatan sensitivitas terhadap NaCl, peningkatan aktivitas β galaktosidase dan kebocoran isi sel pada fase stasioner. Selanjutnya menurut Bunduki et al. (1995) kebocoran dari substansi intraseluler juga dapat diketahui dengan menguji material intraseluler yang dikeluarkan seperti protein dan asam nukleat dengan metoda penyerapan pada 280 dan 260 nm pada spektofotometer. Demikian juga Hurst et al. (1984) sebelumnya melakukan penelitian pemanasan terhadap S. aureus dan menyatakan bahwa penyebab utama kerusakan pada sel akibat stres pemanasan adalah karena kehilangan Mg++ dari sel mikroba. Kehilangan ion-ion mineral dari sel mikroba ini menandakan telah terjadi kerusakan membran sel, dan jumlah ion mineral yang hilang dapat diukur dengan menggunakan Atomic absorption spectroscopy (AAS). Salah satu bentuk kerusakan membran sel mikroba ditunjukkan dengan menurunnya atau hilangnya permiabilitas sel, akibatnya terjadi kebocoran dari komponen-komponen sel. Dalam hal ini Niven dan Mulholland (1998) telah mengembangkan suatu metode untuk mengukur tingkat permiabilitas sel, prinsipnya adalah dengan pemberian suatu senyawa marker DNA yang bila kontak dengan DNA akan berfluoresensi, dengan spektrofluorimeter.
kemudian fluoresensinya diukur
Tetapi cara ini hanya efektif tehadap organisme
prokariotik, sedangkan eukariotik letak DNAnya pada inti sel yang terlindung oleh membran. Pengamatan secara visual juga dapat dilakukan untuk mengetahui bentuk kerusakan sel yaitu dengan menggunakan mikroskop elektron scaning (SEM) untuk mengamati perubahan morfologi sel dan mikroskop elektron transmisi (TEM) untuk mengamati bagian dalam sel. Pada Gambar 3 dapat dilihat bentuk
21
kebocoran dinding sel dan membran plasma Saccharomyces cerevisiae akibat perlakuan dengan detergen. Terlihat bentuk dinding sel yang retak atau robek, dan membran plasmanya hancur, sedangkan mikrostruktur sel yang lainnya tidak kelihatan. Tanda panah pada Gambar 3 menunjukan sel yang bocor dan dinding sel yang rusak.
Gambar 3. Kebocoran dinding sel dan membran plasma Saccharomyces cerevisiae akibat perlakuan dengan detergen (Y-PER) pembesaran 12 000X, (Nowicki dan Liermann 2002) Kematian Mikroba Akibat Kekeringan Secara garis besar antara stres dan kematian sulit didefinisikan. Umumnya stres dapat disebabkan oleh peningkatan sensitivitas terhadap adanya inhibitor. Inhibitor ini pada mikroba tertentu seperti bakteri gram negatif dapat menyebabkan kerusakan pada membran sitoplasma, sehingga sel kehilangan cairan, dan terjadi beberapa perubahan biokimia pada organisme. Perubahan ini dapat memulai stres dan akhirnya menyebabkan kematian (Hurst 1984). Kematian dinilai, bila tidak ada koloni dalam medium optimal (kompleks). Medium optimal adalah medium yang dapat ditumbuhi oleh mikroba yang stres maupun tidak stres (sehat). Sedangkan stres dinilai dengan menghitung koloni yang terbentuk pada medium optimal, tetapi tidak ada
pada medium yang
mengandung NaCl 7.5%. Oleh karena medium dengan garam yang tinggi hanya
22
dapat ditoleransi oleh mikroba yang tidak stres. (Hurst 1984), dalam hal ini garam sering digunakan sebagai media selektif untuk mikroba. Menurut Soekarto (1979) kondisi aw makanan selama penyimpanan dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Staphylococcus aureus adalah salah satu mikroba yang sangat toleran pada aw rendah. Pada Gambar 4 dapat dilihat Staphylococcus aureus dari contoh makanan pada berbagai aw yang disimpan selama 32 hari, jumlah sel yang hidup (pada media TSAY) masih tinggi pada aw yang sangat rendah (aw primer), demikian pula dengan sel yang tidak stres (pada media TSAYS).
Gambar 4. Jumlah Staphylococcus aureus yang tumbuh dari contoh makanan pada aw berbeda setelah 32 hari penyimpanan, pada suhu 21.70 C (Soekarto 1979) Meningkatnya aw selama penyimpanan (pada daerah sekunder) maka jumlah sel yang tidak stres menurun tajam hingga aw mendekati 0.8, disamping itu juga terlihat menurunnya jumlah mikroba yang hidup. Sedangkan pada aw > 0.8 (aw tersier) jumlah sel yang tidak stres meningkat dengan tajam, dan viabilitasnya lebih tinggi dari viabilitas pada aw primer. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersier kondisi uap air dalam ruang penyimpanan dapat
23
meningkatkan kadar air contoh makanan pada penelitian ini atau media tumbuh lainnya. Kondisi sangat menunjang untuk pertumbuhan dan perkembang biakan mikroba. Dormansi Mikroba Dormansi adalah suatu fenomena kehidupan organisme secara luas yang sebagian besar ditandai dengan berhentinya sintesa protein dan pembelahan sel. D idalam protista banyak jenis parasit mengubah bentuk menjadi kista sebagai respon terhadap kondisi lingkungan (Taurancheau et al. 1999). Sel mikroorganisme yang kondisinya dorman tetap masih hidup atau tidak mati, tetapi juga tidak dapat tumbuh karena tidak melakukan proses metabolisme. Dormansi pada mikroba dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor lingkungan dan pengolahan. Mikroba dikatakan dorman apabila mengalami masa istirahat, yaitu dengan membentuk spora. Masa istirahat ini dapat berlangsung relatif lama dan mungkin diperlukan suatu cara tertentu untuk mengakhiri
masa istirahat ini.
Seperti halnya benih, untuk
mempersingkat masa dormannya diperlukan perlakuan khusus, misalnya dengan menaikan kelembaban secara perlahan-lahan (Julianti 2003). Kondisi dorman dapat terjadi benih apabila benih yang disimpan mempunyai kadar air dibawah 4%.
Benih dikatakan dorman apabila benih
mengalami istirahat total, dimana benih tidak menunjukkan gejala atau fenomena pertumbuhan meskipun dalam keadaan media pertumbuhan yang optimum. Benih dorman dapat dilihat melalui proses perkecambahan. Apabila benih tidak mengalami imbibisi, bearti benih dorman, yang ditandai dengan volume benih yang tidak berubah sampai akhir proses perkecambahan atau biji tetap keras (Saenong et al. 1989 di dalam Julianti 2003). Beberapa teori mengemukakan faktor kunci mengenai mekanisme dormansi pada spora bakteri adalah pertahanan terhadap dehidrasi di pusat protoplasma. Dalam hal ini inti sel dijaga dalam kondisi air yang sangat rendah, tetapi air tetap ada. Korteks peptidoglikan dilibatkan dalam mengelilingi inti sel dan berfungsi untuk menekan air keluar, atau sebagai osmoregulatory organelle (Gould dan Dring 1978).
24
Menurut
Algie (1980) dormansi adalah tindakan perlawanan terhadap
inti yang tertutup atau tumbuh secara radial supaya menekan air tidak ke luar dari inti, terutama oleh reverse osmoses atau kebalikan osmosa. Sedangkan menurut Warth (1983) pengurangan aktivitas air (aw) yang efektif di dalam inti mendekati 0.75 menyebabkan mikroba akan lebih tahan terhadap panas, yakni dengan membentuk spora, sehingga enzim didalam mikroba akan
tahan
terhadap panas. Pembentukan spora oleh khamir merupakan suatu proses survival di lingkungan kurang baik, atau perlawanan terhadap proses pengawetan pada makanan. Spora Saccharomyces cerevisiae adalah askospora yang dibentuk oleh konjugasi dua sel khamir yang diakibatkan oleh penggabungan sel induk dengan sel tunas. Banyaknya spora yang dibentuk di dalam suatu askus bervariasi menurut jenis khamir. Pada lingkungan yang sesuai masing-masing spora tumbuh kembali menjadi sel khamir. Bentuk askus yang berisi spora dewasa dari Saccharomyces cerevisiae dapat dilihat
pada Gambar 5. Berdasarkan elektron mikrograf (Gambar 5)
bagian dalam atau lapisan yang jernih adalah manan dan glukan, sedangkan lapisan sebelah luar yang lebih gelap adalah kitosan dan ditirosin. Material dinding spora ( SW) dibentuk di dalam lumen pada kompartemen membran prospora (Prm) (Anonim 2004a).
Gambar 5. Saccharomyce cerevisiae dengan askus berisi spora dewasa, SW adalah dinding spora, PrM adalah promembran dan N adalah inti sel (Anonim 2004a)
25
Dinding spora berfungsi memberi ketahanan pada spora terhadap stres lingkungan. Setelah penutup prospora membran, sel membangun dinding spora di dalam lumen antara kedua membran derivat yang diperoleh dari membran prospora. Dinding dewasa terdiri dari empat lapisan berbeda: satu predominan manoprotein (lapisan manan); satu residu ikatan beta-1,3 glukosa (lapisan glukan); satu residu ikatan 1,4 alfa glukosamin ( lapisan kitosan); dan suatu lapisan struktur indeterminan yang unsur utamanya adalah tirosin ikatan silang dimers (lapisan ditirosin). Lapisan dinding spora diatur, dari paling dalam ke paling luar sebagai berikut: manan, glukan, kitosan, dan ditirosin. Manan dan glukan juga ditemukan di dalam dinding sel tumbuh-tumbuhan. Adanya kitosan dan ditirosin adalah sangat unik pada spora (Anonim 2004a dan Wagner et al. 1999). Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cerevisiae
termasuk dalam Filum Ascomycota, Kelas
Hemiascomycetes; Subkelas Hemiascomycetidae; Ordo Endomycetales; Famili Saccharomycetaceae; Subfamili Saccharomyces. Saccharomyces berasal dari nama Yunani yaitu sakehar dan mykes. Sakehar artinya gula dan mykes artinya fungi. Setengah abad yang lalu konsep awal penamaan jenis-jenis khamir berdasarkan pada penelitian pelopor mengenai teknik pemurnian kultur oleh Emil Christian Hansen di Carlsberg Laboratories. Hansen membedakan dan mengelompokan kultur kamir yang diisolasinya dalam bentuk murni berdasarkan perbedaan morfologi selular dan askospora, asimilasi gula dan karakteristik fermentasi, serta toleransi khamir terhadap suhu berbeda (Reed dan Nagodawithana 1991). Morfologi dan Struktur Sel Sel khamir berbentuk bulat, lonjong, oval, silinder, ogival yaitu bulat panjang dengan salah satu ujung runcing, segitiga melengkung (triangular), bentuk apikulat atau lemon dan sebagainya. Ukuran dari sel khamir sangat bervariasi tergantung media dan kondisi pertumbuhannya serta umur dari sel
26
tersebut, tetapi secara umum panjang sel adalah 1– 50 ì m dan lebar adalah 1 – 10 ì m (Miller 1982). Menurut Pelczar et al. (1977) mikrostruktur sel khamir terdiri dari dinding sel, membran sitoplasma, matriks sitoplasma, inti sel, vakuola, retikulum endoplasma, mitokondria, ribosom dan globula lemak. Bagian luar dinding sel khamir secara umum ditutupi oleh lapisan transparan yang merupakan polisakarida, termasuk fosfomanan (polimer yang menyerupai pati) dan heteropolisakarida yaitu polimer yang mengandung lebih dari satu macam unit gula seperti pentosa, heksosa dan asam glukuronat. Komponen dinding sel pada Saccharomyces cerevisiae terdiri dari 15 – 30% berat kering sel, penyusun dinding sel terutama adalah manoprotein, β-1,3 glukan, β-1,6 glukan dan kitin dalam jumlah sangat kecil, tetapi berperan sangat penting. Kompleks β-1,3 glukan-kitin adalah unsur utama dinding sel bagian dalam, β-1,6 glukan menghubungkan komponen dinding sebelah luar dan bagian dalam. Pada permukaan luar dinding adalah manoprotein, komponen ini sangat rapat dan membatasi permeabilitas dinding terhadap larutan (Lipke dan Ovalle 1998). Selanjutnya menurut Miller (1982) glukan meliputi 30-35% dari berat kering dinding sel, manan adalah sekitar 30%, protein sekitar 6-8%, lemak sekitar 8.5-13.5% dan kitin sekitar 1-2%. Pada bagian sebelah dalam dinding sel terdapat membran sitoplasma dengan ketebalan kira-kira 8 ì m.
Membran ini berperanan penting dalam
permiabilitas selektif dan transfor zat makanan ke dalam sel. Irisan tipis membran dibawah mikroskop terlihat sebagai lapisan ganda.
Skema dan
struktur dinding sel dari khamir dapat dilihat pada Gambar 6. Mikrostruktur sel khamir lainnya adalah : (1) Sitoplasma khamir yang mengandung glikogen, asam ribonukleat dan protein terutama di dalam granula yang mengandung RNA dan ribosom. (2) Inti sel dikelilingi membran inti dan berisi kumpulan kromosom; (3) Vakuola berisi cairan bening dan encer, dan juga dilapisi membran yang tertanam pada sitoplasma; (4) Mitokondria juga dilapisi oleh dua lapis membran dan berfungsi dalam aktivitas respirasi; dan (5) Globula lemak dalam berbagai bentuk dan ukuran, tergantung jenis khamir (Van der Rest et al. 1995).
27
Bila dibandingkan dengan bakteri beberapa komponen dinding selnya berbeda tergantung jenis bakterinya. Sel bakteri mengandung peptidoglikan yang terdiri dari turunan gula yaitu asam N-asetiglukosamin dan asam N-asetimurat serta asam amino L-alanin, D-alanin dan lisin. Bakteri gram positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan
negatif.
Bakteri Gram negatif
hanya
mengandung
5-20%
peptidoglikan dan dilapisi dengan protein, lipopolisakarida, fosfolipid dan lipoprotein (Cano dan Colome 1986).
A
B Gambar 6. A. Skema sel khamir (Van der Rest et al. 1995), B. struktur dinding dan membran sel khamir (Watson et al. 1987)
28
Selanjutnya pada Gambar 7 terlihat dinding sel bakteri Gram positif yang mempunyai lapisan peptidoglikan yang tebal banyak mengandung asam amino alanin yang bersifat hidrofobik. sedangkan bakteri Gram negatif mempunyai sisi hidrofilik yaitu karboksil, amino, dan hidroksil (Franklin dan Snow 1989 dan Gorman 1991).
Gambar 7. Struktur dinding dan membran sel bakteri (a) Gram positif, (b) Gram negatif, (c) lapisan peptidoglikan (Cano dan Colome 1986) Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae sama dengan semua organisme hidup lainnya yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh, yakni dipengaruhi oleh media, umur, serta lingkungan dimana sel tersebut tumbuh. Pola pertumbuhan dari kultur Saccharomyces cerevisiae secara umum ada empat fase yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik, fase stasioner, dan fase kematian. Konsentrasi khamir yang dihasilkan dalam suatu proses produksi dapat mencapai 5 x 108 sel per ml dengan viabilitas lebih dari 98%. Waktu propagasi adalah 24 - 48 jam. Pertumbuhan atau perkembangan khamir dalam medium
29
produksi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan standar pertumbuhan mikroba dalam sistem bath culture (Priest dan Campbell 1996). Disamping itu laju pertumbuhan juga dapat dihitung berdasarkan peningkatan jumlah sel atau berat sel dalam periode waktu tertentu. Biasanya digambarkan dengan peningkatan berat kering biomassa persatuan waktu (jam). Selanjutnya Stanley et al. (1997) juga menyatakan bahwa laju pertumbuhan maksimum dihitung dengan regresi liner dari plot log jumlah sel selama fase eksponensial. Menurut Macy dan Miller (1983) di dalam Priest dan Campbell (1996) sel khamir akan tumbuh di dalam media sederhana yang mengandung karbohidrat untuk penyediaan biosintesis rangka karbon, nitrogen yang cukup untuk sintesis protein, garam mineral dan beberapa faktor pertumbuhan. Biasanya oksigen juga diberikan, walaupun ada beberapa jenis khamir tidak membutuhkannya. Proses untuk memproduksi biomasa, biasanya sel khamir ditumbuhkan pada berbagai medium yang mengandung komponen karbon, fosfat dan nitrogen sebagai sumber energi, dan kondisi aerobik. Selama fase pertumbuhan khamir dalam proses fed-batch ditambahkan kandungan gula kedalam medium, biasanya cairan molase, dengan jumlah tertentu untuk meminimalkan akumulasi etanol. Proses fed-batch merupakan metoda dasar untuk produksi khamir roti, beberapa khamir makanan (food yeasts), produk biomasa untuk ekstraksi enzim dan untuk persiapan khamir autolisat (Reed dan Nagodawithana 1995). Laju pertumbuhan sel khamir
secara garis besar tidak sama
dalam
berbagai media (Parviz dan Heideman 1998). Diantara sumber karbon untuk pertumbuhan dan produksi sel kering Saccharomyces cerevisiae, ternyata sukrosa dan fruktosa paling baik daripada glukosa.
Berat kering sel yang
dihasilkan dari masing-masing sumber karbon fruktosa dan sukrosa lebih tinggi dari glukosa. Demikian pula untuk samber nitrogen yang paling baik adalah ekstrak khamir, dimana berat kering sel yang dihasilkan adalah dua kali lebih tinggi dibandingkan pepton. Sedangkan garam mineral yang paling baik adalah MgSO4 (Liu et al. 1999). Penggunaan molases dari beet atau tebu sebagai media fermentasi, dapat mensuplai gula, mineral-mineral esensial, asam-asam amino dan vitamin-
30
vitamin.
Untuk produksi khamir roti digunakan molases dari beet + 20%
dicampur dengan molases tebu, untuk mencukupi kebutuhan biotin karena molases dari tebu kaya akan biotin, asam pantotenat, tiamin, magnesium dan kalsium (Reed dan Nagodawithana 1995). Menurut Nancy et al. (1998) beberapa strain Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dan melakukan aktivitas fermentasi terhadap medium yang mengandung silosa, walaupun tidak seefektif terhadap medium glukosa, tetapi dengan kofermentasi glukosa dan silosa, akan sangat efektif menghasilkan etanol secara simultan. Kegunaan Saccharomyces cerevisiae Menurut Jaworski (2004)
Sacharomyces cerevisiae merupakan jenis
yang terkenal pada industri penghasil khamir, seperti khamir roti (baker’s yeast) dan khamir padat (compressed yeast). pertengahan abad yang lalu.
Khamir roti telah dikenal sejak
Disamping itu juga diaplikasikan untuk
menghasilkan ekstrak khamir yang banyak digunakan untuk menghasilkan komponen flavor atau cita rasa gurih yang ditambahkan pada produk-produk makanan seperti mie instan, bubur instan dan berbagai produk ekstrusi (Asnani 1999). Jenis atau spesies Saccharomyces cerevisiae terutama digunakan dalam tiga proses industri; pertama untuk memproduksi minuman beralkohol seperti anggur atau wine, bir, sake, potable spirits (sejenis minuman beralkohol), dan sebagian besar industri alkohol, kedua adalah untuk industri kue dan roti atau produksi khamir, khususnya untuk memenuhi keperluan pertumbuhan industri kue dan roti, dan ketiga adalah untuk memproduksi biomassa, ekstrak khamir, otolisat dan komponen flavor. Khamir yang digunakan dalam proses ini adalah dari pertumbuhan primer atau diperoleh dari industri bir. Sebagai kategori keempat Saccharomyces cerevisiae juga digunakan untuk produksi protein rekombinan melalui rekayasa genetika (Reed dan Nagodawithana 1991). Sampai sekarang produk-produk dari khamir masih diimpor dari beberapa negara, dan total impor Indonesia untuk produk-produk khamir dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2003 dapat dilihat pada Tabel 1.
31
Data pada Tabel 1 menunjukkan total impor yang sangat berfluktuasi, tetapi jumlah dan nilainya cenderung meningkat. Tabel 1. Total impor khamir kering aktif, khamir kering tidak aktif dan autolisat khamir dari tahun 1998-2003 (BPS 1999 s/d 2004) Tahun
Khamir kering aktif Jumlah (kg)
Nilai (US$)
Khamir kering tidak aktif Jumlah Nilai (kg) (US$)
Autolisat khamir Jumlah (kg) 46 581
Nilai (US$)
1998
1 654 783 4 627 191
221 200
185 370
316 348
1999
1 253 398 3 059 782
400 806
205 295
229 804 1 408 602
2000
2 344 552 5 267 634
348 644
227 619
176 872
854 652
2001
2 857 931 6 030 204
487 608
235 778
214 789
961 953
2002
2 725 580 5 590 753
596 279
307 609
127 693
771 585
2003
2 277 538 5.464 114 1 390 663
680 060
186 434
600 183
Selanjutnya Saccharomyces cerevisiae juga merupakan inokulum yang menjadi perhatian untuk produksi protein heterologous, karena dapat mengglikosilasi protein dan membentuk modifikasi. Hal ini juga sangat penting untuk mengfungsikan secara penuh protein eukariotik (Vasavada 1995). Dalam industri farmakologi adalah sebagai proinsulin manusia, factor pembekuan protein darah, dan hormon pertumbuhan manusia (Carlsen et al. 1997). Demikian pula Saccharomyces cerevisiae adalah endotoksin bebas yang umumnya dianggap aman, dan penggunaan khamir secara ekstensif dalam beberapa proses-proses sederhana telah menghasilkan banyak informasi tentang fisiologinya dan daya guna dalam produksi skala besar (Nielson dan Villadsen 1992 di dalam Carlsen et al. 1997). Kesetimbangan Kadar Air dan Sorpsi Isotermi Air Kesetimbangan kadar air berperan sebagai kontrol pengeluaran air di dalam proses pengeringan, sedangkan aktivitas air dan isotermi sorpsi air yang menunjukan tingkat keterikatan air di dalam bahan pangan, adalah sebagai faktor penentu stabilitas penyimpanan, laju dan waktu pengeringan (Fellows 1990).
32
Kesetimbangan Air Semua bahan padat memiliki kadar air kesetimbangan tertentu bila kontak dengan udara pada suhu dan kelembaban tertentu.
Bahan akan
cenderung kehilangan atau menangkap air selama waktu tertentu untuk mencapai nilai kesetimbangan (Rizvi dan Mittal 1992). Perpindahan air dari bahan pangan ke lingkungan tergantung pada kadar air dan komposisi bahan pangan, serta suhu dan kelembaban udara. Akhirnya bahan pangan tidak akan lagi bertambah atau berkurang beratnya, dan dikenal bahwa bahan tersebut berada pada kadar air kesetimbangan (Fellows 1990). Berdasarkan teori perubahan fasa dalam bahan makanan yang ditempatkan diudara terbuka akan berubah sampai mencapai kondisi seimbang dengan kelembaban nisbi udara yang bersangkutan. Apabila kadar air bahan cukup tinggi, maka sebagian akan berubah menjadi gas yang kemudian masuk ke dalam udara sebagai uap air. Namun kalau kadar air suatu bahan rendah dan udaranya lembab, maka uap air dalam udara akan terserap oleh bahan sehingga kadar airnya meningkat. Definisi kadar air kesetimbangan menurut Brooker et al. (1982) adalah kadar air bahan pangan setelah disimpan pada kondisi lingkungan tertentu pada waktu yang cukup lama.
Kadar air kesetimbangan tergantung pada suhu
lingkungan bahan tersebut (Rizvi dan Mittal 1992) serta RH udara. Menurut Soekarto dan Syarief (1991) akan tejadi kesetimbangan antara RH dengan kadar air (Me), dan RH yang berkesetimbangan dengan Me disebut RH kesetimbangan (Equilibrium Relative Humidity / ERH). ERH sangat penting baik secara teoritik untuk analisis isotermi sorpsi maupun penggunaan praktis dalam praktek penggudangan, penyimpanan dan pengemasan. Kadar air kesetimbangan berperan penting dalam perlindungan terhadap pertukaran air dalam kemasan dan penyimpanan bahan pangan, serta kontrol pengeluaran air pada pengeringan (Herrington dan Vernier 1995). Terdapat dua metode statik dimana bahan dibiarkan pada ruangan dengan udara yang diam,
33
dan metode dinamik dimana air yang mengenai bahan berada pada kondisi bergerak secara mekanik (Brooker et al. 1982).
Aktivitas Air Air dalam bahan makanan bersifat unik, secara umum senyawa ini diperlukan didalam proses kimia, biokimia, fisika, maupun kimia fisika. Maka oleh sebab itu secara teoritis aktivitas air dapat dipakai sebagai dasar didalam perencanaan, pengolahan, pengemasan, dan distribusi bahan makanan (Soekarto 1978). Menurut Soekarto dan Syarief (1992) aktivitas air atau aw adalah sifat termodinamik dari produk pangan dalam interaksinya dengan lingkungan udara. Nilai aw berkaitan dengan kecendrungan atau kemampuan air suatu produk untuk berinteraksi dengan udara disekitarnya. Selanjutnya aktivitas air (aw) merupakan potensi kimia relatif dari air. Air murni potensi kimianya ditetapkan sebesar satu, air yang terkandung dalam bahan makanan memiliki potensi kimia kurang dari satu, oleh sebab itu nilai aw adalah nir-satuan atau tidak bersatuan. Aktivitas air dalam bahan pangan berperanan penting bagi terjadinya proses kemunduran mutu. Penyebab kemunduran mutu tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam (1) reaksi
kimiawi atau enzimatik dan (2)
kegiatan mikroba. Bagi bahan makanan kering yang berada di dalam kemasan, proteksi utama yang harus diberikan adalah untuk mencegah penyebab kelompok pertama. Adapun untuk produk yang aktivitasnya besar atau berkadar air tinggi, maka penyebab kerusakkan oleh kelompok kedua harus lebih mendapat perhatian disamping kerusakan oleh rekasi kimiawi dan enzimatik. Bentuk kurva stabilitas bahan makanan sebagai fungsi aw dalam bentuk grafik yang dikenal sebagai peta stabilitas bahan makanan
dari Labuza et al.
(1970) dapat dilihat pada Gambar 8. Dari Gambar 8 diketahui bahwa bahan makanan terbagi atas 3 kelompok, daerah A (primer) adalah bahan makanan dengan aw rendah (< 0.25) atau bahan kering, kestabilannya tinggi. Daerah B (sekunder) adalah bahan makanan pada aw 0.25-0.8 atau makanan semi basah, kerusakan dapat terjadi karena reaksi kimia dan aktivitas enzim. Daerah C
34
(tersier) adalah
bahan makanan segar, kerusakan terjadi karena aktivitas
mikroba. Besarnya aw bahan dapat berubah-ubah menurut sifat relatifnya terhadap air murni, dan hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat produk serta kondisi lingkungannya. Apabila kadar air bahan cukup tinggi, maka sebagian akan berubah menjadi gas yang kemudian masuk ke dalam udara sebagai uap air. Namun kalau kadar air suatu bahan rendah dan udara disekitarnya lembab, maka uap air dalam udara akan terserap oleh bahan sehingga kadar airnya meningkat. Kondisi seimbang tercapai apabila kadar air bahan sudah konstan. Besar kecilnya kadar air seimbang suatu bahan dipengaruhi oleh sifat bahan dan kelembaban nisbi udara di sekelilingnya. Kelembaban nisbi udara merupakan perbandingan antara tekanan parsial uap air jenuh pada suhu yang sama dikalikan 100%.
Gambar 8. Peta stabilitas bahan makanan (Labuza et al. 1970) Apabila kadar air bahan makanan sudah mencapai keseimbangan dengan udara disekellingnya, maka aw pada bahan makanan tersebut adalah sama
35
dengan aktivitas air di udara.
Oleh sebab itu, aw suatu suatu bahan dapat
ditentukan bardasarkan kelembaban nisbi seimbang udara (equilibrium relative humidity = ERH) dalam persamaan berikut : aw = (ERH) /100
(ERH = kelembaban nisbi seimbang udara)
Cara yang paling banyak dilakukan untuk mengendalikan RH udara adalah menggunakan berbagai jenis larutan garam atau asam sulfat yang ditempatkan di dalam suatu wadah yang dapat ditutup rapat, misalnya desikator dan ditempatkan di dalam suatu ruangan yang suhunya konstan. Keuntungan pemakaian larutan garam jenuh adalah adanya penyerapan atau penguapan air pada sampel selama ekuilibrasi tidak berpengaruh terhadap aw. Isotermi Sorpsi Air Kurva isotermi sorpsi air (ISA) adalah untuk menyatakan hubungan antara jumlah air yang terikat oleh bahan makanan padat dengan kelembaban nisbi udara (RH) seimbang pada suhu tertentu. Pada RH = 0%, isotermi absorpsi dan desorpsi suatu bahan makanan kering bertemu pada satu titik (Warth 1983). Labuza (1984) mengelompokan kurva ISA menjadi tiga jenis; yaitu tipe I, II dan III (Gambar 9 ).
36
Gambar 9. Klasifikasi kurva isotermi sorpsi air (Labuza 1984) Tipe I mewakili sifat isotermi air bahan berbentuk kristal, misalnya gula murni. Bahan tersebut hanya menyerap sedikit air sampai aw sekitar 0.7 – 0.8. Hal itu terjadi karena ikatan air melalui jembatan hidrogen hanya terjadi pada gugus hidroksil bebas yang terdapat dipermukaan kristal saja. Bahan makanan kering termasuk khamir umumnya termasuk isotermi sorpsi air tipe II yang menyerupai huruf S adalah disebabkan oleh pengaruh akumulatif dari ikatan hidrogen, hukum Raoult, kapiler, dan interaksi antara permukaan bahan dengan molekul air. Pada kurva tersebut terdapat dua lengkungan. Lengkungan pertama, pada aw sekitar 0.2 – 0.4 dan yang lain pada aw : 0.7 – 0.8. kedua lengkungan ini merupaan akibat perubahan sifat kimiafisika pengikatan air oleh bahan. Isotermi sorpsi air tipe III merupakan bentuk khas dari kelompok senyawa anti kempal (contohnya kalsium silikat dan kalsium stearat),
kurva ini
37
menunjukkan kenaikkan vertikal yang tajam pada aw rendah. ketika seluruh gugus polar sudah mengikat air, maka setiap tambahan kadar air menyebabkan kenaikkan aw yang besar. Hal ini terjadi karena bahan tersebut tidak larut, sehingga tambahan air hanya akan berinteraksi dengan air yang sudah ada dan bersifat seperti air bebas. Air Terikat Air yang terikat dalam makanan padat dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok sesuai dengan kekuatan ikatannya. Pertama adalah air yang terikat dengan energi paling besar yaitu melalui ikatan hidrogen oleh gugus-gugus aktif seperti hidroksil, kelompok ini identik dengan air terikat primer (Soekarto 1978). Kedua, yaitu air yang terikat dengan jembatan hidrogen oleh molekul lain yang sudah terikat pada molekul makro sehingga kekuatannya lebih lemah, ini disebut air ikatan sekunder. Adapun yang ketiga adalah air yang yang terikat secara lemah sehingga aktivitasnya mendekati air bebas dan disebut air terikat tersier. Menurut sifat ikatan air yang terdapat dalam bahan makanan, kurva ISA dapat dibagi kedalam tiga wilayah yang disajikan dalam Gambar 10. Gambar 10 juga memberi gambaran histerisis dari isotermi sorpsi air yang sering ditemui, dan tergantung pada bertambahnya air pada bahan kering (absorpsi) atau berkurangnya (mengering) air dari bahan basah (desorpsi). Histeresis ini disebabkan perubahan struktural yang tak dapat balik dan pengaruh ketidak seimbangan. Ada beberapa persamaan empiris untuk menguraikan perilaku ini, tetapi dengan cara ini sifatnya kurang teliti dan sebaiknya isotermi sorpsi air untuk masing-masing bahan harus ditentukan dengan percobaan. Daerah A adalah zona air terikat lapis tunggal (monolayer) atau air terikat primer; daerah B adalah zona air terikat sekunder dan air kapiler; dan daerah C adalah zona air terikat tersier yang terkondensasi didalam pori-pori (air bebas) serta air pelarut bagi senyawa-senyawa terlarut. Terlihat adanya garis absorpsi dan desorpsi bahan makanan kering yang berbentuk seperti huruf S, serta fenomena histerisis yaitu ketidak samaan posisi antara dua garis absorpsi dan desorpsi. Kurva isotermi dapat berubah dengan meningkatnya tekanan atau suhu (Chaplin 2004).
38
Gambar 10. Bentuk umum kurva ISA dengan tiga zona air terikat (Chaplin 2004)
39
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB, Lab PAU Pangan dan Gizi IPB, Lab PAU Bioteknologi IPB, Lab Kimia Terpadu FMIPA IPB, dan Lab Benih Faperta IPB, Lab. Mikroskop Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta, Lab Mikrobiologi US NAMRU-2 (United States Naval Medical Research Unit 2) Jakarta. Pelaksanaan penelitian dari bulan Januari 2000 sampai November 2003.
Bahan dan Alat Bahan-bahan
1. Kapur api Kapur api (CaO) yang digunakan sebagai bahan pengering dalam penelitian ini berfungsi sebagai absorben. Bahan ini diperoleh dari tempat pembakaran batu kapur “PD Kapur Jaya” di kecamatan Leuwiliang kabupaten Bogor. Kapur api yang digunakan adalah kapur api yang baru keluar dari pembakaran (tidak mengandung air) dan langsung dimasukkan kedalam kaleng tertutup rapat agar tidak menyerap air dari lingkungan sekitarnya. Komposisi proksimat kapur api yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran Tabel 15. 2. Mikroorganisme dan medium Dalam penelitian ini digunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae (NRLL Y-2034 = BCC. F. 0074), yang diperoleh dari Laboratorium Kultur Balai Penelitian Veteriner Bogor. Medium yang digunakan yaitu medium padat Potato Dextrose Agar (Difco), dan media cair Potato Dextrose Broth (Difco), aquades. Medium untuk produksi sel adalah sebagai berikut : glukosa, ekstrak khamir (Difco, USA), polypepton (Shin-Nihon Seiyaku, Tokyo); KH2PO4; (NH4)2SO4; MgSO4. 7H2O; CaCl2. 2H2O, (Merck), dan antifoam (Adecanol LG-294, Asahi Denka, Tokyo), NaOH dan H2SO4 untuk mengatur pH. Alat-alat 1. Fermentor tipe biostat-V Alat yang digunakan untuk produksi sel kamir adalah fermentor tipe Biostat-V, dengan spesifikasi : Total volume (15 L), kapasitas volume (12.5 L), volume kerja (10 L), inpeler (3 buah), diameter tangki (0.197 m), diameter inpeler (0.09 m), dan jarak inpeler (0.10 m). 2. Lemari pengering
40 Lemari pengering berbentuk lemari tertutup dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 60 cm. (modifikasi Julianti 2003), seperti terlihat pada Gambar 11. Lemari pengering mempunyai 5 rak pengering yaitu 2 rak absorben yang terdapat di bagian atas dan bawah, dan 3 rak bahan dibagian tengah yang terbuat dari kawat kasa yang diberi bingkai. Dinding lemari pengering terdiri atas tiga lapis yaitu bagian luar terbuat dari tripleks dengan ketebalan 2 cm, yang bagian dalam dilapisi isolator berupa stirofoam dan fiberglass, agar lemari pengering ini benar-benar kedap terhadap gas maupun panas. Lemari pengering mempunyai dua pintu, pintu bagian dalam berupa pintu kaca, sedangkan pintu luar terdiri atas dua lapis dan terbuat dari tripleks dengan ketebalan 2 cm, yang bagian dalam dilapisi isolator berupa stirofoam. Di bagian dalam alat pengering ditempatkan thermohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban selama proses pengeringan berlangsung. Alat ini juga dapat dilengkapi dengan timbangan untuk mengukur berat sampel selama proses pengeringan. 3. Scanning electron microscope (SEM) Digunakan untuk pengamatan morfologi sel, scanning electron microscope (SEM) yang digunakan adalah tipe JEM-JEOL JSM-5200. Alat ini dilengkapi kamera digital dengan film Polaroid tipe 55 untuk mencetak gambar yang dihasilkan. A
41
B Gambar 11. Konstruksi lemari pengering kemoreaksi dengan 5 rak (A), dan bagian- bagiannya (B) (modifikasi Julianti, 2003) 4. Transmission electron microscope (TEM) Digunakan untuk pengamatan struktur bagian dalam dari sel, TEM yang digunakan adalah tipe JEM-100 CX TEM (Jeol, Boston, MA). Alat ini dilengkapi sistem kamera untuk mengambil gambar yang dihasilkan dengan menggunakan film Kodak 4489 Electron Microscope Film. 5. Atomic absorption spektrofotometer (AAS) Digunakan untuk analisis konsentrasi ion K+ dan Ca++ pada sel setelah mengalami kebocoran. Alat yang digunakan AAS tipe Solaar M-5. 6. Spectrofotometer uv Digunakan untuk analisis kadar protein dan asam nukleat yang terdapat pada air rendaman dari sel setelah mengalami kebocoran. Alat yang digunakan adalah Double Beam Spektrofotometer (Model U-2000, Hitachi Instrumens, Inc., Westone, MA). 7. Konduktometer Digunakan untuk analisis ion-ion mineral yang keluar dari sel melalui air rendaman dari sel yang mengalami kebocoran berdasarkan daya hantar listrik. digunakan adalah tipe digital conductometer. 8. Peralatan lainnya
Alat konduktometer yang
42 Peralatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, otoklaf, inkubator goyang, sentrifus, desikator (yang telah diatur kelembaban-nya dengan larutan garam jenuh), hygrometer, mikroskop cahaya, ultra-mikrotom, colony counter, oven (untuk sterilisasi kering, oven vakum, clean bench (ruang inokulasi yang dilengkapi dengan penghembus udara steril), dan seperangkat alat-alat gelas. Pelaksanaan Percobaan Persiapan Bahan Tujuan adalah untuk menyediakan sel khamir Saccharomyces cerevisiae untuk percobaan pengeringan kemoreaksi. Prosedur kerjanya adalah mula-mula kultur murni Saccharomyces cerevisiae (NRLL Y-2034 = BCC. F. 0074) disegarkan pada larutan NaCl 0.85% dan ditumbuhkan dalam 250 ml larutan Broth dalam erlemeyer 500 ml. Prosesnya dilakukan secara aerobik diatas rotary shaker pada suhu kamar selama 24 jam atau pada fase logaritmik. Selanjutnya disiapkan medium untuk produksi sel dibawah kondisi aerobik yang terdiri dari 100 g/L glukosa;
6 g/L ekstrak khamir; 6 g/L polypepton; 6 g/L KH2PO4; 5 g/L
(NH4)2SO4; 0.5 g/L MgSO4. 7H2O; 0.1 g/L CaCl2. 2H2O dan 0.05 ml antifoam (Adecanol LG294). pH medium diatur sekitar 5 dengan NaOH atau H2SO4 (Kuriyama & Kobayashi 1993). Semua bahan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C selama 20 menit, lalu di dinginkan sampai suhu ruang. Inokulan kemudian dipindahkan kedalam larutan media produksi dalam batch fermentor yang telah berisi 10 L media produksi. Fermentor dilengkapi dengan sistem pengontrol terhadap suhu (± 25 0C), pH medium (± 5) dan antifoam (adecanol). Disamping itu diatur sistem agitasi pada 350 rpm dan sistem pemasukkan O2 dan pengeluaran CO2. Semua peralatan dan bahan bahan sebelum digunakan, telah disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C selama 20 menit. Proses produksi dilakukan secara aerobik selama 48 jam atau setelah tercapai produksi optimum dari sel kamir. Kemudian hasil produksi dipindahkan dalam erlemeyer, masing-masing ukuran 5 L dan diendapkan dalam ruangan dingin (5 0C) selama 24 jam, sebagian supernatan dibuang, dan bagian endapan dipisahkan dengan sentrifus. Sel yang diperoleh dicuci 3 kali dengan bufer fosfat 0.1 M, pH 5. Hasil akhir adalah sel kultur kamir berbentuk pasta yang disebut juga krim khamir, dan siap untuk dikeringkan. Proses produksi sel khamir dapat dilihat pada Gambar 12.
43
Sterilisasi medium produksi dalam autoklaf (121 0C, 20 menit) • 100g/L glukosa • 5g/L ekstrak kamir • 5g/L bactopepton • 5g/L KH2PO4 • 5g/L (NH4)2SO4.7H2O • 0.1g/L CaCl2.2H2O
Kultur stock Saccharomyces cerevisiae
Inokulasikan dalam 100 ml larutan PDB, 24 jam (Starter)
O2 Antifoam
Produksi sel dalam Fermentor 350 rpm, pH : ± 5; 25 0C, 48 jam
CO2
Asam / basa Pemanenan sel khamir
Pemisahan sel sentrifugasi pada 3500 rpm, 20 menit
supernatan
Endapan sel dicuci dengan bufer fosfat 0.1M, pH 5, sentrifugasi pada 3500 rpm, 20 menit Kultur khamir Berbentuk pasta (Krim khamir) Gambar 12. Diagram alir produksi sel khamir
Tahapan Percobaan
supernatan
44 Penelitian ini terdiri dari 5 tahap, dan masing-masing tahapan dengan tujuan dan hasil yang diharapkan dirangkum dalam Tabel 2, dan ringkasan percobaan pada Tabel 3. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 13. Tabel 2. Tahapan penelitian, tujuan dan hasil yang diharapkan Tahap Penelitian Penelitian 1 Proses pengeringan kemoreaksi
Penelitian 2 Penentuan isotermi sorpsi air kultur kering
Penelitian 3 Penentuan pola stres dan kematian kultur kering pada kondisi air terikat Penelitian 4 Pengamatan perubahan morfologi dan mikro-struktur sel kultur kering Penelitian 5 Analisis kerusakkan dan kebocoran sel
Tujuan
Hasil yang diharapkan
Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor dalam proses pengeringan kemoreaksi yang berpengaruh terhadap viabilitas kultur kering yang dihasilkan
Diperoleh kultur kering dengan kadar air akhir rendah, waktu pengeringan yang singkat dan viabilitas yang tinggi
Mempelajari pola isotermi sorpsi air (ISA) dan menganalisis kadar air kritikal pada fraksi air terikat kultur kering Mempelajari pola stres dan kematian kutur kering pada masing-masing fraksi air terikat Mengetahui morfologi dan mikrostruktur sel kultur segar dan kultur kering pada berbagai kondisi air terikat Mengetahui tingkat kerusakan struktur sel dan kebocorannya pada berbagai kondisi air terikat
Diperoleh pola ISA dan kadar air kritikal yang berpengaruh terhadap kestabilan kultur kering pada masing-masing fraksi air terikat Diperoleh data dasar mekanisme stres kering dan dampaknya terhadap viabilitas pada masing-masing fraksi air terikat Diperoleh gambaran perubahan pada bagianbagian sel pada masingmasing fraksi air terikat
Diperoleh data dasar dan gambaran tingkat kerusakkan dan kebocoran sel pada saat dorman, stres dan mati
Tabel 3. Ringkasan percobaan dari setiap tahap penelitian Penelitian
Faktor
Pengamatan/analisis
Penelitian I Proses Pengeringan
•
• Kadar air akhir
3 ketebalan lapisan
45 Kemoreaksi
pengeringan • 5 rasio penggunaan CaO
Penelitian 2 Penentuan Isotermi Sorpsi Air Kultur Kering
16 tingkatan RH dalam penyimpanan
Penelitian 3 Penentuan Pola Stres dan Kematian Kultur Kering pada Kondisi Air Terikat
10 tingkatan RH dalam penyimpanan
Penelitian 4 Pengamatan Morfologi dan Mikrostruktur Sel Kering Penelitian 5 Analisis Kerusakan dan Kebocoran Sel
10 tingkatan RH dalam penyimpanan
10 tingkatan RH dalam penyimpanan
• Viabilitas kultur kering
• Kadar air kesetimbangan • Analisis kapasitas air terikat
• • • •
Total khamir Khamir sehat (tidak stres) Khamir stres Tidak tumbuh (dorman/mati)
• Perubahan morfologi • Perubahan mikrostruktur • Daya hantar listrik (DHL) • Kebocoran ion K+ dan Ca++ • Kebocoran protein dan asam nukleat
Penelitian 1. Proses Pengeringan Kemoreaksi Lemari pengering sebelum digunakan, terlebih dahulu dibersihkan dan disterilkan dengan alkohol 96%, diamkan dalam keadaan tertutup rapat ±1 jam. Kemudian masukkan kapur api sebanyak 4 kg dan lemari ditutup rapat, lalu dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam kapur api diganti dengan yang baru, kemudian dimasukkan sampel yang akan dikeringkan. Selama proses pengeringan berlangsung, pintu lemari harus dalam keadaan tertutup rapat. Diagram alir proses pengeringan kemoreaksi dapat dilihat pada gambar 14. Perlakuan pada percobaan ini adalah : 1) Penentuan tebal lapisan pengeringan 2) Rasio penggunaan CaO terhadap sampel yang dikeringkan
46
K R IM K H A M IR
I. P E N G E R IN G A N KEM OREAKSI
PERLA KU AN T E B A L L A P IS A N
PERLA KU AN R A S IO C aO P R O S E S P E N G E R IN G A N T E RB AIK
K U L T U R K H A M IR K E R IN G
P E N Y IM P A N A N D I D A L A M 1 6 D E S IK A T O R B E R B A G A I R H : (1 1 % - 9 7 % , S U H U ± 2 8 C , L A M A 1 5 H A R I
II. P E N E N T U A N P O L A IS A D A N A N A L IS IS ATP; ATS; ATT
III. P E N E N T U A N POLA STRES D AN K E M A T IA N K U L T U R K E R IN G
IV . P E N G A M A T A N M O R FO LO G I D AN M IK R O S T R U K T U R S E L (S E M /T E M )
K U L T U R K H A M IR K E R IN G T E R B A IK
Gambar 13. Diagram Alir Penelitian
V . A N A L IS IS KEBOCO RAN SEL
47
LEMARI PENGERING KOSONG ( RH 80%, suhu 28 0C) CaO (kapur api) LEMARI PENGERING BERISI CaO Setelah 24 jam (RH 0-1%, suhu ruang 28 0C, suhu CaO 290 C ) CaO (kapur api)
Ca(OH)2 LEMARI PENGERING BERISI CaO + KULTUR KHAMIR Awal 0-1 jam
KRIM
KHAMIR
(RH 70%, suhu ruang 29 0C, suhu CaO 30-35 0C, kadar air khamir ± 80%)
LEMARI PENGERING BERISI CaO + KULTUR KHAMIR Setelah 24 jam (RH 0-1%, suhu ruang 28 0C, suhu CaO 29 0C, kadar air khamir ± 4%) Ca(OH)2 KULTUR KHAMIR KERING
Gambar 14. Diagram alir proses pengeringan kemoreaksi Dalam pelaksanaan penelitian ini mula-mula disiapkan beberapa cawan Petri yang telah diketahui luas alasnya (± 154 cm2), kemudian dialas dengan lembaran plastik. Cawan Petri diisi dengan sampel (sel khamir), masing-masing 20 ml; 40 ml dan 60 ml (dilakukan secara triplo). Diperoleh perbandingan masing-masing : 20 ml /154 cm2; 40 ml / 154 cm2 dan 60 ml / 154 cm2 atau ketebalan 1.3 mm; 2.6 mm; dan 3.9 mm. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam lemari pengering yang telah diisi dengan CaO dalam jumlah berlebih agar dicapai kadar air akhir yang
48 rendah dalam waktu singkat sehingga viabilitas kultur tetap terjaga. Pengamatan dilakukan terhadap kadar air yang dihasilkan dalam selang waktu 6 jam. Tahap selanjutnya adalah pengujian penggunaan CaO yang efektif untuk pengeringan. Dilakukan dengan beberapa perbandingan CaO dan sampel yang akan dikeringkan, yaitu 5 : 1; 10 : 1; 15 : 1; 20 : 1 dan 25 : 1 atau R5; R10; R15; R20; R25. Pengamatan dilakukan terhadap kadar air dan viabilitas kultur yang dihasilkan . Penelitian 2. Penentuan Isotermi Sorpsi Air Kultur Kering dan Pengaruh Bahan Pelindung Untuk menentukan kurva isotemi sorpsi air perlu diketahui kadar air yang berkesetimbangan terhadap RH lingkungan penyimpanan dari sampel kultur khamir kering. Setelah diketahui pola isotermi, dapat dihitung masing-masing kapasitas air terikatnya. 1) Penentuan kadar air kesetimbangan dan pengaruh bahan pelindung Pelaksanaan penelitian ini mula-mula dilakukan penyetimbangan dalam ruang desikator yang telah diatur pada RH 11.2% sampai 97%, untuk mendapatkan kadar air kesetimbangan (Me). Pengukuran kadar air kesetimbangan (Me) adalah dengan cara menempatkan 1 g sampel (berat awal) pada cawan, kemudian dimasukkan ke dalam desikator berisi larutan garam jenuh dengan RH tertentu
(Tabel 4). Desikator disimpan dalam ruangan yang suhunya konstan
selama 15-20 hari dan dicapai keseimbangan antara sampel dengan RH desikator. Pengamatan yang dilakukan terhadap kadar air, kemudian kadar air dihitung berdasarkan basis kering. Kadar air yang diperoleh di plot dalam kurva isotermi sorpsi air. Dari kurva yang terbentuk dapat diidentifikasi model isotermi sorpsi air dari kultur kering khamir serta dapat ditentukan fraksi-fraksi air terikat. Perlakuan pada tahap percobaan ini adalah : a)
Kultur kering tanpa bahan pelindung
b) Kultur kering ditambah bahan pelindung 2% tepung agar-agar c)
Kultur kering ditambah bahan pelindung 2 % CMC.
Tabel 4. Berbagai larutan garam jenuh dan nilai RH yang digunakan dalam penentuan sorpsi isotermi sorpsi air (Rockland dan Nishi 1980) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Larutan Garam Jenuh LiCl CH3COOK MgCl2 NaI K2CO3 Mg(NO3)2 NaBr NaNO2 KI SrCl2
RH (%) pada suhu 30o C 11.2 22.6 32.4 36.3 43.0 51.3 57.5 64.0 69.0 71.0
49 11 12 13 14 15 16 17 18
NaNO3 NaCl KBr KCl K2CrO4 BaCL2 KNO3 K2SO4
73.8 75.5 80.7 84.0 87.0 90.3 93,0 97.0
2) Analisis kapasitas air terikat Untuk menduga air terikat primer (ATP) digunakan persamaan BET (Brunauer, Emmett dan Teller 1938 didalam Suyitno 1994). Untuk menduga kapasitas air terikat sekunder (ATS) atau titik peralihan dari air terikat sekunder ke air terikat tersier digunakan persamaan Soekarto (1978). Sedangkan kapasitas air terikat tersier (ATT) dihitung dengan menggunakan model polinomial ordo 2 dan secara interpolasi kuadratik (Julianti 2003).
Penelitian 3. Penentuan Pola Stres dan Kematian Kultur Kering Prosedur penentuan pola stress ini adalah dengan menyimpan kultur kering Saccharomyces cerevisiae pada berbagai kondisi suhu dan RH (11 – 96 %) ruang penyimpanan. Setelah sampel mencapai kadar air kesetimbangan, lalu dihitung jumlah khamir yang hidup dan yang mengalami stres pada masing-masing daerah air terikatnya. Sebagai kontrol adalah khamir kering sebelum penyimpanan pada berbagai RH. Stres dan kematian mikroba ditentukan dengan menumbuhkan sel kering pada medium PDA dan PDA+7.5% NaCl, lalu koloni dari khamir yang hidup dihitung jumlahnya. Jumlah koloni pada PDA adalah sel yang sehat dan sel yang stres, sedangkan yang tumbuh pada PDA+7.5% NaCl adalah sel yang sehat, sebagai kontrol digunakan sel kering yang tidak disimpan pada desikator. % sel stres =
% sel mati =
Ókoloni pada PDA - Ókoloni pada PDA+7.5% NaCl Ókoloni pada PDA Ókoloni kontrol pada PDA - Ókoloni pada PDA Ókoloni kontrol pada PDA
x 100%
x 100%
Pola stres dan kematian mikroba dapat digambarkan dalam suatu kurva hubungan antara log jumlah mikroba yang hidup pada media PDA dan media PDA + 7.5% NaCl dari masingmasing aktivitas air (aw) atau kadar air kesetimbangannya. Penelitian 4. Pengamatan Morfologi dan Mikrostruktur Kultur Kering
50 Pada tahap penelitian ini yang diamati adalah perubahan pada bagian permukaan sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dan bagian dalam sel menggunakan Transmission Electron Microscope (TEM). Dalam pelaksanaan penelitian ini, mula-mula kultur kering disimpan di dalam desikator yang telah diatur RHnya dan mewakili masing-masing daerah air terikat. Setelah terjadi kesetimbangan antara bahan dengan RH penyimpanan (selama 15 – 20 hari penyimpanan), lalu diamati perubahan yang terjadi pada bagian luar dan di dalam sel, lalu dibandingkan dengan sel dari kultur segar. 1) Pengamatan morfologi sel Metode yang digunakan dalam persiapan sampel untuk pengamatan morfologi sel adalah modifikasi dari metode Bozzolla dan Russel (1999). Sampel yang digunakan adalah sel kering yang telah mencapai kesetimbangan dengan RH ruang penyimpanan. Sebanyak 5 mg sampel disuspensikan dalam 5 ml buffer sodium cocodylate 0,1M, dilakukan pencucian sebanyak 3 kali. Sel dalam suspensi dikumpulkan melalui penyaringan dengan membran nitroselulosa ukuran 0.2 ì m. Sel yang terkumpul pada membran di rendam dengan glutaraldehid 3% (didalam buffer cocodylat 0.1M, pH 7.2) selama 2 jam, kemudian membran dicuci 3 kali dengan buffer cocodilat 0.05%, masing-masing 20 menit. Selanjutnya difiksasi dengan osmium tetroxide 1% didalam buffer kokodilat 0.05%, pH 7.2 selama 2 jam, lalu dicuci dengan air “double destilat” (DDH2O) 3 kali, masing-masing 2 menit.
Membran
yang berisi sel selanjutnya dikeringkan dengan etanol bertingkat (30%; 50%; 70%; 80%; 95% dan 3 kali dalam 100%), lalu direkatkan pada meja sampel (aluminium stubs) dan dilapisi argon (Ar+), melalui proses vakum (60 -70 g/cm) selama 15 menit dengan ketebalan pelapisan 20-30 nm. 2) Pengamatan mikrostruktur Metode yang digunakan dalam persiapan sampel untuk pengamatan mikro- struktur adalah modifikasi dari metode Bozzolla dan Russel (1999). Sampel yang digunakan adalah sel kering yang telah mencapai kesetimbangan dengan RH ruang penyimpanan. Tahap-tahap dalam persiapan sampel adalah sebagai berikut a) Fiksasi. Kira-kira 10 mg sampel dari khamir kering dimasukan dalam tabung eppendorf lalu dicuci dengan 500 ì l buffer sodium kokodilat 0.1M (pH 7.4) sebanyak 3 kali. Kemudian sel khamir diimersi selama 24 jam (4 0C) dalam 500 ì l glutaraldehid 5% (v/v) dalam sodium kokodilat + 3% sukrosa, setelah itu dicuci dan difiksasi dengan osmium tetraoksida 2% + K3 Fe(CN)6 2.5% dalam buffer selama 2 jam (4 0C). Selanjutnya dicuci kembali dengan buffer 3 kali. b) Dehidrasi. Pelet yang sudah difiksasi dihidrasi dalam etanol bertingkat : 30%; 50%; 70% (masing-masing 1 kali, 10 menit); 95% (3 kali, 10 menit); dan etanol absolute
(3 kali, 20 menit) pada suhu
40 C.
51 c) Infiltrasi. Pellet dalam tabung ependorf ditambah 1 ml campuran etanol absolute dan propilen oksida dengan perbandingan; 2:1; 1:1; 1:2 dan propilen oksida murni, masingmasing 30 menit pada suhu ruang. d) Embedding. Pelet ditambah campuran propilen oksida dengan plastic spurr’s (1:1) selama 30 menit pada suhu ruang, kemudian buang ½ bagian campuran dan ganti dengan dengan spurr’s murni selama 30 menit.
Kemudian ganti kembali semua
campuran spurr’s dengan spurr’s murni, dan disimpan dalam ruangan vakum selama 16 jam. Selanjutnya pisahkan pellet dari spurr’s dan masukkan kedalam block tube dan tambahkan plastic spurr’s murni dan dkeringkan dalam inkubator vakum pada suhu 70 0
C selama 16 jam.
e) Pemotongan. Contoh yang telah berbentuk balok dikeluarkan dari block tube, kemudian dipotong dengan ultra microtome (tipe LKM Ultra Microtome), hingga diperoleh irisan contoh yang berisi sel berbentuk lepengan berwarna keemasan dengan ketebalan 30-60 nm, irisan contoh dikumpulkan dan ditempelkan pada grid yang telah dilapisi formvar dan dikeringkan. f)
Pewarnaan. Bahan yang digunakan adalah uranyl asetat 5-10% dalam DDH2O selama 30 menit, kemudian dicuci dengan DDH2O (5 kali) dan dikeringkan. Pewarnaan dilanjutkan dengan Lead sitrat selama 15 menit, dan dicuci kembali dengan DDH2O (5 kali) dan dikeringkan.
g) Pengamatan.
Selanjutnya contoh diidentifikasi dengan JEM-100 CX TEM (Jeol,
Boston, MA). Penelitian 5. Analisis Kebocoran Sel Kebocoran dinding sel atau membran sitoplasma diperiksa dengan menguji adanya komponen-komponen mikroseluler yang dilepas kedalam supernatan (air rendaman), khususnya nukleotida, asam nukleat, asam amino dan protein serta ion-ion mineral yang terkandung pada struktur sel. Analisis kebocoran sel dilakukan terhadap sampel sel khamir kering yang telah disetimbangkan dengan RH ruang penyimpanan, kemudian 0.1 g sampel direndam didalam 100 ml air bebas ion selama 24 jam. Kemudian supernatan dipisahkan dari endapan menggunakan sentrifus, Ca++
endapan sel diproses dengan pengabuan secara basah untuk analisis ion-ion K+ dan
yang tersisa didalam masing-masing sampel, sedangkan supernatan digunakan untuk
pengamatan daya hantar listrik dan senyawa analisis protein dan asam nukleat yang dilepas dari sel yang bocor ke dalam air rendaman sel atau supernatan. Analisis dan Pengamatan Kadar Air dengan Metoda Oven (Fu & Etzel 1995)
52 Kadar air dihitung berdasarkan berat yang hilang setelah pengeringan. Kadar air dari krim sel, dan sel khamir kering (± 1 g) dengan menempatkannya pada cawan aluminium yang telah diketahui beratnya, lalu dikeringkan dalam oven pada 80o C selama 24 jam. Setelah pengeringan sampel segera ditutup, untuk mencegah masuknya uap air ke dalam sampel. Kemudian sampel ditimbang. a-b Kadar air (bk) = ---------- x 100% b
a - b Kadar air (bb) = ---------- x 100 a dimana :
a = berat contoh awal (g)
b = berat contoh akhir (g)
Jumlah Mikroba (Fardiaz 1989) Pengamatan terhadap jumlah mikroba adalah berdasarkan pada metoda standar perhitungan koloni. Prosedurnya adalah : 0,1 - 1 g inokulum dimasukan dalam 10 ml larutan garam fisiologis 0.85%. Kemudian diencerkan dengan larutan yang sama sampai konsentrasi 10-2. Hasil pengenceran dituang kedalam cawan petri yang berisi medium PDA. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 48 jam. Selanjutnya khamir yang hidup dihitung koloninya dengan menggunakan Quebec Colony Counter.
Analisis Senyawa Protein dan Asam Nukleat (Davidson & Branen 1980) Sel kering S. cerevisiae dengan masing-masing kadar air yang sudah setimbang dengan RH penyimpanan, sebanyak 1 g mula-mula direndam dengan air bebas ion selama ± 24 jam pada suhu kamar.
Kemudian supernatan dipisahkan dari endapan menggunakan sentrifus pada
kecepatan 10 000 rpm selama 20 menit. Supernatan disaring kembali melalui kertas saring (0.20 µm). Supernatan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm (penentuan kadar protein) dan 260 nm (penentuan asam nukleat) yang sebelumnya discaning pada 200 - 800 nm (untuk menentukan panjang gelombang dari sampel yang diukur). Dari angka-angka absorbansi yang terukur dapat dihitung kadar protein, asam amino, nukleotida dan asam nukleat yang dilepas kedalam air rendaman sel, dengan pendugaan berdasarkan hukum Beer’s atau persamaan berikut : A =abc dimana A = absorban, c = konsentrasi, b = ukuran kuvet larutan yang diukur (1 cm) dan a adalah absopsivitas senyawa yang diukur (Penner, 1994). Cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 17. Pengukuran Daya Hantar Listrik (Budiarti 1999)
53 Pengukuran daya hantar listrik (DHL) dilakukan dengan cara merendam 1 g sampel kultur kering (masing-masing kadar air yang sudah setimbang dengan RH penyimpanan) dalam air bebas ion selama ± 24 jam pada suhu kamar.
Kemudian massa sel dipisahkan melalui
penyaringan menggunakan kertas saring “Whattman No 1. lalu supernatan diukur daya hantar listriknya dengan alat konduktometer. Sebelum digunakan alat konduktometer dikalibrasi dulu dengan air bebas ion. Angka yang terbaca pada alat konduktometer menunjukkan konsentrasi ion-ion mineral yang keluar melalui membran sel akibat rusaknya membran sel dari kultur kering. Analisis Kebocoran K+, dan Ca++ (Park 1996) Sebanyak 1 g sampel khamir kering (pada kadar air yang sudah disetim-bangkan), disuspensikan dalam 100 ml air bebas ion, direndam ± 24 jam pada inkubator goyang, kemudian massa sel dan supernatan dipisahkan dengan sentrifus pada kecepatan 3500 rpm selama 20 menit. Massa sel diabukan melalui pengabuan basah dengan penambahan asam kuat (HNO3 + H2SO4 + HClO4).
Kemudian dari supernatan hasil pengabuan, ditentukan total K dan Ca
mengguna-kan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). Prosedur kerja proses pengabuan pada Lampiran 18. Konsentrasi ion-ion yang keluar dari sel dihitung dalam mg/g berat kering dan hasilnya merupakan persentase dari angka yang diperoleh dibandingkan dengan kontrol (sel kering pada kadar air sebelum disetimbangkan). Perhitungan : X (%) = {(A – B) /A} x 100%, dimana X = Persentase ion (X) yang dilepas kedalam air rendaman A = Kadar mineral awal didalam sel sebelum penyetimbangan kadar air B = Kadar mineral yang masih tersisa di dalam sel setelah penyetimbangan kadar air Viabilitas Sel (Messer et al. 1985 didalam Fu & Etzel 1995) Viabilitas dari sampel krim sel (sel yang belum dikeringkan), kultur kering, dan kultur kering dengan kadar air yang sudah disetimbangkan, masing-masing diukur berdasarkan metode standar penghitungan koloni.
Kultur kering direhidrasi dengan air steril deionisasi hingga
mencapai konsentrasi padatan yang sama dengan kultur cair. Kemudian sampel ditumbuhkan pada medium PDA, dan dihitung koloni yang terbentuk pada masing-masing sampel setelah inkubasi pada 32o C selama 5 hari. Koloni dari masing-masing sampel kultur kering, dikoreksi terhadap konsentrasi padatan yang sama dengan larutan kutur segar. Koreksian menggunakan persamaan :
N = Nm x Sf / Sm,
dimana N adalah nilai koloni/ml yang dilaporkan dari larutan sampel kering dengan konsentrasi yang sama dengan larutan kultur segar. Nm adalah koloni/ml larutan yang diukur, Sf adalah konsentrasi padatan dari larutan kultur segar, dan Sm adalah konsentrasi padatan dari larutan
54 yang diukur. Persentase survival = 100 (N / No), dimana No adalah koloni/ml dari larutan kultur segar.
55
PEMBAHASAN UMUM Pengeringan kemoreaksi adalah proses pengeringan dengan menggunakan bahan yang sangat reaktif terhadap uap air, seperti kalsium oksida (CaO) yang banyak terkandung dalam kapur api.
Kandungan bahan aktif kalsium oksida
didalam kapur api adalah ± 96 – 97 % (Julianti, 2003). Kalsium oksida akan bereaksi secara kimia dengan air yang diuapkan dari bahan dan mengeluarkan sejumlah energi panas, yang dapat menyebabkan udara disekitar bahan menjadi kering. Pada kondisi kering ini uap air dari bahan terus diuapkan, sehingga kadar air bahan terus berkurang dan mencapai kesetimbangan dengan RH udara di dalam ruang pengering. Proses pengeringan kemoreaksi yang dilakukan terhadap kultur khamir (Saccharomyces cerevisiae) berlangsung didalam lemari pengering yang tertutup rapat dan tidak berhubungan dengan udara luar, sehingga dapat terjadi saling pengaruh yang kuat antara bahan yang dikeringkan dengan udara didalam lemari pengering. Akhir dari proses pengeringan adalah apabila kultur khamir menjadi kering dengan kadar air yang berkesetimbangan dengan RH di dalam lemari pengering. Pengeringan kemoreaksi kultur Saccharomyces
cerevisiae dengan
ketebalan lapisan 1.3 mm dan penggunaan CaO sebanyak 10 kali berat bahan serta lama pengeringan 24 jam, menghasilkan kultur kering dengan kadar air ± 4.42 % (bk), viabilitas ± 72 % atau jumlah sel hidup rata-rata adalah 109 per gram sampel. Menurut Davis (1975) kultur starter yang baik harus mengandung sel hidup diatas 107 per gram berat kering. Bahan kering seperti kultur khamir bersifat sangat higroskopis, sehingga sangat mudah menyerap uap air dari lingkungannya. Peningkatan kadar air ini akan berdampak buruk, karena dapat mengaktifkan reaksi-reaksi kimia, enzimatis dan proses biologis. Demikian halnya dengan kultur kering yang merupakan materi hidup. Dalam kondisi kering mikroba menjadi tidak aktif, karena aktivitas metabolisme dan respirasi berhenti, sel berada pada masa istirahat atau dorman. Peningkatan kadar air pada sel kering dapat merobah status dorman menjadi aktif dan meningkatkan stres. Semakin tinggi kadar air
56
juga akan mengaktifkan enzim yang dapat merusak struktur sel, sehingga terjadi kebocoran dan kerusakan sel. Upaya dalam menjaga viabilitas kultur kering khamir perlu diketahui batas kadar air kesetimbangan yang aman untuk disimpan. Untuk itu perlu diketahui bentuk kurva isotermi dan kapasitas air terikat dari kultur kering tersebut. Hasil penentuan pola isotermi kultur kering khamir diketahui bentuk kurva isotermi sorpsi air dari kultur kering khamir adalah sigmoidal yang terdiri dari 3 bagian, dan merupakan bentuk kurva yang tipikal pada produk pangan.
Menurut
Aguilera dan Stanley (1990), bentuk kurva isotermi sorpsi sigmoidal adalah akibat dari beberapa mekanisme interaksi dasar pada ikatan air. Kurva isotermi sorpsi merupakan kurva hubungan antara kelembaban relatif ruang penyimpanan (RH) atau aktivitas air (aw) yang berkesetimbangan dengan kadar air kultur kering. Hasil analisis matematik kurva isotermi sorpsi air kultur khamir kering diperoleh kadar air kritis dari masing-masing daerah air terikat. Kapasitas air terikat primer dengan model BET yaitu ± 3.64 %, yang berkesetimbangan dengan aw 0.22. Kapasitas air terikat sekunder dengan model logaritma (Soekarto, 1978) yaitu ± 13.80 % yang berkeseimbangan dengan aw 0.77. Kapasitas air terikat tersier dengan analisis model polinomial dan ekstrapolasi kuadratik yaitu ± 68 %. Jadi masing-masing daerah air teikat adalah : daerah I adalah air terikat primer pada aw: 0 – 0. 23; daerah II adalah air terikat sekunder pada aw: 0.23 – 0.77; dan daerah III adalah air terikat tersier pada aw : 0.77 – 1.0. Kondisi ini juga sama dengan yang diungkapkan oleh Van den Berg dan Bruin (1981). Berdasarkan kondisi kadar air kesetimbangan kultur khamir pada masingmasing daerah air terikat kurva isotermi sorpsi, dapat ditentukan viabilitas dan status kehidupan dari kultur kering tersebut. Pada aw 0.11 – 0.57, viabilitas kultur cukup tinggi (1.95x108 – 9.05x109), tetapi tingkat stres juga tinggi. Sedangkan pada aw yang lebih tinggi dari 0.57, viabilitas sel turun, karena sel banyak yang mati.
Menurut Mattick et al. (2001)
aw 0.12
sampai 0.46
merupakan kondisi yang cocok untuk pemeliharaan kelangsungan hidup sel kering Saccharomyces cerevisiae, pada kondisi ini sel mengalami dorman.
57
Selanjutnya menurut Hohmann (2002), pengeringan bahan menyebabkan hilangnya air dari bahan sehingga konsentrasi biomolekul dan ion-ion didalam sel meningkat dan menyebabkan aktivitas selular berhenti, pada saat ini sel menderita stres. Sel khamir mempunyai kemampuan untuk beradaptasi pada kondisi kering, seperti
khamir kering aktif yang mempunyai kadar airnya
kurang dari 10 %, yakni dengan memfungsikan gliserol dan trehalose untuk melindungi struktur sel sampai sel khamir survival. Gliserol berfungsi melindungi multi-enzim kompleks, sedangkan trehalose pada plasmalemma berfungsi mengatur komposisi ion intraselular. Ketidak seimbangan komposisi ion intraselular dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan kematian. Dalam penggunaan kultur kering diperlukan rehidrasi secara bertahap untuk meningkatkan kadar air sel setelah perlakuan
aw rendah, selanjutnya
kultur harus segera dipindahkan pada medium dengan nutrisi yang diperlukan. Jika tidak maka reaksi-reaksi yang terjadi akibat peningkatan kadar air akan dapat merusak struktur sel, akibatnya sel mengalami lisis dan mati. Menurut Abadias et al. (2001) dalam menjaga dan merawat kelangsungan hidup sel kering beku, kondisi-kondisi seperti temperatur, udara, dan kelembaban perlu diperhatikan. Disamping itu juga diperlukan media rehidrasi yang dapat membantu kesembuhan dari sel kering. Dari beberapa media rehidrasi yang dicobakan ternyata air merupakan media yang terburuk tingkat penyembuhannya. Dengan demikian air tidak dapat digunakan sebagai media rehidrasi untuk penyembuhan sel kering karena air tidak mengandung nutrisi yang diperlukan untuk penyembuhan mikroba. Jadi dengan meningkatnya aw dan kadar air kesetimbangan dari kultur kering, menyebabkan tingkat stres menjadi tinggi dan akhirnya mati. Pengamatan morfologi dan mikrostruktur sel dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM) dan transmison
electron microscope
(TEM), terlihat pada daerah air terikat primer bentuk sel lonjong dan masih utuh sama dengan bentuk sel segar, sedangkan dinding sel kelihatan lebi padat dan inti sel sangat jelas. Pada daerah air terikat sekunder bentuk sel agak bulat dan permukaan sel tidak licin, dinding sel menjadi tipis dan retak, inti sel tidak jelas, dan bagian sitoplasma merapat ke dinding sel.
Pada daerah air terikat tersier
58
bentuk sel tidak beraturan, lengket satu sama lainnya, dinding sel dan membran pecah, serta sebagian sitoplasma hancur dan membentuk rongga. Terjadinya perubahan pada permukaan sel awalnya adalah akibat proses pengeringan, seperti diketahui kultur khamir mempunyai kadar air awal yang sangat tinggi. Setelah proses pengeringan terjadi dengan penguapan air yang cukup banyak, maka bentuk sel kering
terlihat agak bulat dan komponen-
komponen dinding sel menjadi padat. Pada bagian dalam terlihat dinding sel menebal dan padat. Dengan berubahnya kondisi air terikat, bentuk permukaan sel dari khamir kering juga mulai berubah. Pada kondisi yang sangat kering, sel berbentuk bulat, meningkatnya kadar air dinding sel menjadi tipis dan retak. Juga terlihat ada sel yang kempes karena sebagian sitoplasma ada yang hancur dan berongga. Dinding sel khamir terdiri dari mannoprotein, β-glukan dan khitin yang berperan untuk kekuatan dinding sel dan bentuk sel selama pertumbuhan dan pembelahan sel. Sedangkan integritas dinding sel ditentukan oleh tingkat ikatan silang β-1,6-glukosidik antara β-1,3-glukan, mannoprotein dan chitin. Struktur dinding sel ini dapat terganggu oleh aktifitas zimoliase yang bersifat merusak (Aguilar-Uscanga & Francois, 2003). Selanjutnya menurut Hartmann & Delgado (2004), sel khamir yang menga-lami stres dapat berubah bentuk menjadi lebih bulat atau berbentuk bola. Pada saat ini sel menjadi tidak aktif, terutama pada aktivitas dinding sel dan membran plasma, ada kemungkinan terjadi kerusakan pada dinding sel dan membran plasma. Sedangkan menurut Lipke & Ovalle (1998) struktur dinding sel dapat berubah bentuk selama kawin, peleburan sel, pembentukan pseudohifa, dan pembentukan dinding spora dengan adanya senyawa fenolik. Meningkatnya kadar air dan nilai aw dari kultur kering akan menyebabkan aktifnya reaksi metabolisme dan respirasi, tetapi aktivitas transportasi zat makanan kedalam sel tidak ada. Proses metabolisme yang terus terjadi di dalam sel, menyebabkan kerusakan pada struktur sel, seperti membran, sitoplasma dan dinding sel, sedangkan sintesa bagian-bagian tersebut tidak terjadi. Kerusakan yang terjadi pada membran dan dinding sel, ditandai dengan keluarnya ion-ion mineral ke dalam air rendaman sel yang kemudian diuji daya
59
hantar listriknya. Semakin banyaknya ion-ion yang keluar dan terdeteksi dari tingginya daya hantar listrik, menunjukkan tingkat kerusakan membran dan dinding sel yang semakin tinggi. Menurut Ultee (1999) ion K+ adalah kation utama sitoplasma dari sel yang sedang tumbuh. Ion K+, Ca++ dan Mg++ terkandung di dalam sitosol yaitu cairan sitoplasma. Ion K+ berperan dalam aktivasi enzim sitoplasma, menjaga tekanan turgor dan mengatur pH sitoplasma.
Adanya ion K+ yang keluar dari sel
menunjukkan terjadinya kerusakan membran sitoplasma (Heipieper et al, 1996 dan Sikkema, 1994). Sedangkan ion Ca++ dan Mg++, selain pada sitoplasma, juga terdapat pada dinding sel dan berperan dalam aktivitas enzim. Mineral kalium (K) dan posfat (P) merupakan mineral yang paling dominan di dalam sel khamir. Kandungan kalium (K) adalah ± 21 mg/g berat kering, sedangkan kalsium (Ca) adalah ± 0.75 mg/g berat kering (Reed dan Nagodawithana, 1991). Pada daerah air terikat primer daya hantar listrik serta ion-ion K+ dan Ca++ yang dilepas masih rendah, berarti tidak terjadi kebocoran. Pada daerah air terikat sekunder mulai terjadi sedikit kebocoran yang ditandai dengan mulai meningkatnya daya hantar listrik serta ion-ion K+ dan Ca++ yang dilepas, tetapi masih rendah. Sedangkan pada daerah air terikat tersier peningkatannya sangat intensif, yang berarti sel sudah sangat bocor. Demikian halnya hasil pengamatan dengan spektrofotometer uv pada supernatan, juga terdapat senyawa-senyawa yang terdeteksi pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Menurut Gilbert (1984) dan Skoog (1985) didalam Park et al. (2003) senyawa yang terdeteksi pada panjang gelombang 260 nm adalah asam nukleat (RNA) seperti purine dan pirimidine serta turunannya seperti nukleotida dan ribonukleotida. Sedangkan yang terdeteksi pada panjang gelombang 280 nm diidentifikasikan sebagai protein dan asam amino seperti tirosin dan triptopan. Senyawa-senyawa yang terdeteksi sebagai protein, asam amino, nukleotida dan asam nukleat dari sel khamir, terlihat pada daerah air terikat primer dan sekunder, jumlahnya masih rendah, sedangkan pada daerah air terikat tersier jumlahnya tinggi. Peningkatan senyawa asam nukleat lebih cepat daripada
60
senyawa protein, hal ini menunjukkan dinding inti sel juga pecah dan pada daerah air terikat tersier pecahnya lebih intensif. Menurut Brown (1980) meningkatnya kelembaban disekitar sel merupakan gangguan fisik antara media didalam dan diluar sel, hal ini dapat menyebabkan perpindahan air pada membran sehingga terjadi perubahan permiabilitasnya. Perubahan ini dapat menyebabkan terdifusinya secara bebas air dan bahan-bahan terlarut melalui selaput membran. Keluar masuknya air secara bebas kedalam sel menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan di bagian dalam sel, komponenkomponen sel yang rusak akan dilepas ke dalam air rendaman dan terdeteksi dalam pengamatan. Dengan demikian dapat disimpulkan pada kadar air dan aktivitas air (aw) sangat rendah di daerah air terikat primer sel khamir mempertahanan diri dengan cara dormansi. Sedangkan meningkatnya kadar air menyebabkan terganggunya keseimbangan akumulasi senyawa trehalose dan gliserol yang berperan menjaga kondisi sel tetap survival pada kondisi kering. Hal ini menyebabkan stres pada sel khamir
meningkat dan memicu aktivitas enzim zimoliase yang bersifat
merusak sehingga sel mengalami lisis dan mati.
61
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Kultur Saccharomyces cerevisiae Produksi sel Saccharomyces cerevisiae dilakukan dengan menggunakan fermentor. Lama produksi sel khamir adalah 48 jam, dimana pada saat itu produksi sel sudah mencapai optimal. Jumlah sel hidup didalam medium adalah lebih kurang 108 per ml. Kurva pertumbuhan khamir selama produksi sel dapat dilihat pada Gambar 15. Dari kurva pertumbuhan diketahui bahwa produksi sel khamir meningkat dengan tajam dalam waktu 36 jam, setelah itu peningkatan agak lambat, produksi tertinggi adalah dalam waktu 48 jam. Setelah itu jumlah sel cenderung stabil dan sedikit menurun pada jam berikutnya.
9 P em an en an
L o g ju m la h k h a m ir /m l
8
7
6
5
4 0
12
24
36
48
60
72
84
L a m a p r o duk si ( ja m ) Gambar 15. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae Menurut Wick (1968) di dalam Reed dan Nagodawithana (1991) selama pembuatan wine dengan Saccharomyces cerevisiae terjadi peningkatan jumlah sel dalam waktu 40 -50 jam, setelah itu jumlah sel cenderung stabil. Disamping itu terjadi penurunan kadar gula dalam medium produksi yang diubah menjadi etanol, sehingga dalam waktu 120 jam terjadi penurunan gula dari 20 g/100 ml menjadi 3 g/ml dan produksi etanol adalah sekitar 10 g/ml. Demikian pula menurut Priest dan Campbell (1996) konsentrasi khamir yang dihasilkan dalam medium produksi dapat mencapai 1.5 x 108 sel per ml dengan viabilitas lebih dari 98 %, dengan waktu propagasi adalah 24 – 48 jam.
62
Selanjutnya bila kultur khamir kering aktif masuk suatu
I.
lingkungan
baru,
pertumbuhan.
khamir
akan
memulai
suatu
Selama periode ini khamir
periode
dapat bertahan
beberapa menit untuk menguji lingkungannya, cocok atau tidak untuk hidup (masa adaptasi). Jika kondisinya cocok, khamir akan mulai memperbanyak sel. Secara teoritis 1 sel khamir dapat menjadi 8 dalam enam jam, 64 dalam 12 jam, 512 dalam 18 jam, dan 4096 dalam 24 jam. Kepadatan sel dapat mencapai sekitar 150,000,000
atau
1.5x108
Pemeliharaan populasi
per
mililiter
cairan
medium.
ini berlanjut bila semua kondisi-kondisi
lain (sisa oksigen dan nutrisi) tetap ada, sampai mereka menghabiskan semua oksigen dan semua bahan gizi yang tersedia, atau alkohol yang mereka hasilkan menjadi tidak toleran sehingga khamir mati satu per satu (The Winemaking Home Page 2004). Medium produksi merupakan substrat untuk pertumbuhan khamir, mengan-dung gula (glukosa) sebagai sumber C serta bahan-bahan lainnya seperti sumber N dan sumber mineral. Selama produksi sel akan terjadi penurunan kadar gula dalam medium yang diubah menjadi etanol, berkurangnya kadar gula menyebabkan pertumbuhan khamir tidak optimal lagi. Disamping itu terbentuknya etanol juga akan menghambat pertumbuhan khamir. Oleh sebab itu lama produksi sel hanya dilakukan hingga pertumbuhannya mencapai optimal yaitu lebih kurang 48 jam. Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium Oksida Mekanisme pengeringan kemoreaksi adalah terjadinya reaksi antara kalsium oksida (CaO) dengan uap air dari bahan basah, sehingga kapur menjadi panas. Panas yang dihasilkan menyebabkan udara disekeliling bahan menjadi kering sehingga penguapan air dari bahan akan lebih cepat. Selama reaksi antara CaO dan uap air terus berlangsung, maka air dari bahan basah akan terus menguap sampai terjadi kesetimbangan antara kadar air bahan dengan RH (kelembaban relatif) ruang pengering. Pada saat ini bahan menjadi kering dan air dari bahan tidak dapat diuapkan lagi. Proses pengeringan pada penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu untuk mengetahui ketebalan pengeringan dan rasio CaO yang digunakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan kultur kering dengan viabilitas yang tinggi dengan waktu pengeringan yang singkat serta penggunaan CaO yang optimal.
63 Ketebalan Lapisan Pengeringan Pada proses pengeringan kemoreaksi ini digunakan kapur api yang baru keluar dari pembakaran api (sebagai sumber CaO). Dipilih kapur dengan ukuran bongkahannya kecil-kecil dan berat sekitar 25–50 g per bongkahan serta diameter sekitar 10 cm. Ukuran ini sudah diteliti oleh Mursalim (2000), supaya permukaan kapur lebih luas dan daya serap airnya lebih tinggi sehingga proses pengeringan lebih cepat terjadi. Sebelum proses pengeringan kemoreaksi dilakukan, lemari pengering terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 96%, kemudian diisi dengan kapur api sebanyak 4 kg dan dibiarkan selama 24 jam agar RH didalam lemari pengering menjadi rendah dan stabil. Pada saat kultur basah dimasukkan, kapur api diganti dengan yang baru dalam jumlah yang sama. Selama proses pengeringan berlangsung, diamati suhu kapur api dan suhu ruang pengering menggunakan termometer, demikian pula RH ruang pengering diukur dengan higrometer. Terhadap kultur khamir yang dikeringkan diamati kadar airnya setiap 6 jam dan setelah proses pengeringan berakhir diamati viabilitas dari kultur kering yang dihasilkan. Sebelum sampel dimasukkan ke dalam lemari pengering, RH lemari pengering cukup rendah (± 1 %) dan stabil, tetapi pada saat pergantian kapur dan sampel dimasukkan RH meningkat dan setara dengan RH lingkungan. Beberapa jam kemudian RH kembali turun dan cenderung lebih rendah dari RH sebelum ada sampel di dalam lemari pengering.
Hal ini
disebabkan menguapnya air dari sampel basah ke udara di dalam lemari pengering, sehingga RH lemari pengering meningkat dan seimbang dengan kadar air sampel yang dimasukkan. Uap air di dalam lemari pengering akan bereaksi dengan CaO dan menghasilkan panas sehingga beberapa jam kemudian RH kembali turun, dan selanjutnya proses kesetimbangan terus berlangsung hingga kadar air bahan menjadi rendah. Pada penelitian ini, proses pengeringan berlangsung dalam keadaan tertutup rapat dan tidak berhubungan dengan udara luar, sehingga dapat terjadi saling pengaruh yang kuat antara bahan yang dikeringkan dengan udara didalam lemari pengering.
Kemampuan CaO untuk
menyerap uap air dari lingkungannya menyebabkan RH lemari pengering menjadi rendah, sehingga terjadi proses penurunan kadar air kultur khamir dan mencapai keseimbangan dengan udara di dalam lemari pengering. Kapur api yang digunakan dalam pengeringan ini telah dianalisis oleh Julianti (2003), dimana hasil analisis tidak banyak berbeda dengan analisis yang dilakukan sebelumnya oleh Sucofindo (1991) di dalam Julianti (2003). Kandungan CaO di dalam kapur api adalah ± 96.8% 97% dan sisanya adalah berupa bahan-bahan seperti SiO2, R2O3 (gabungan oksida-oksida), MgO dan bahan-bahan lain yang hilang saat pembakaran. Diketahui juga bahwa kapur api yang baru keluar dari pembakaran tidak mengandung air, oleh karena itu kapur api ini bersifat sangat higroskopis dan sangat baik digunakan dalam proses pengeringan kemoreaksi. Hasil analisis komposisi kimia kapur api dapat dilihat pada Lampiran Tabel 16.
64 Hasil pengamatan terhadap kadar air kultur khamir selama pengeringan kemoreakasi dengan beberapa ketebalan lapisan dapat dilihat pada Gambar 16 dan Lampiran 1. Pada awal pengeringan kemoreaksi terjadi proses penurunan kadar air yang berlangsung sangat cepat, selanjutnya laju pengeringan makin lambat dan menuju kadar air tetap. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk kurva yang mula-mula tajam, kemudian agak melandai dan seterusnya mendatar. Dari masing-masing ketebalan lapisan sampel dapat dilihat bahwa ketebalan 1.3 mm, kurva penurunan kadar airnya paling tajam selama pengeringan 12 jam pertama. Kemudian kurva penurunan kadar airnya lebih landai dari ketebalan 2.6 mm dan ketebalan 3.9 mm, dan setelah 24 jam terlihat kurvanya mendatar. Sedangkan untuk perlakuan lainnya kurva penurunan kadar airnya mendatar setelah pengeringan 36 jam.
Gambar 16. Penurunan kadar air dari kultur khamir dengan tiga tingkat ketebalan selama pengeringan kemoreaksi. Lama pengeringan untuk mencapai kadar air 5 % pada ketebalan 1.3 mm adalah t1 dan ketebalan 2.6 adalah t2. Pada kurva penurunan kadar air (Gambar 16) dapat dilihat sampel dengan ketebalan 1.3 mm mencapai kadar air 5% dalam waktu 22 jam, dan setelah 24 jam kadar air mencapai konstan pada 4.23%. Ketebalan 2.6 mm mencapai kadar air 5% dalam waktu 36 jam dan setelah 48 jam kadar air mencapai 4.51%, sedangkan ketebalan 3.9 mm kadar air yang dicapai setelah 48 jam adalah 6.64%. Hal ini menunjukkan bahwa ketebalan bahan yang dikeringkan akan mempengaruhi kecepatan pengeringan kemoreaksi. Semakin tipis lapisan bahan maka penguapan air
65 lebih cepat terjadi, sedangkan penambahan waktu pengeringan tidak banyak pengaruhnya terhadap penurunan kadar air. Penurunan kadar air cepat diawal pengeringan disebabkan karena kultur khamir mempunyai massa air bebas yang cukup besar. Setelah itu penurunan kadar air lebih lambat, karena pengeluaran air dari bahan dibatasi oleh komponen air terikat dari sel yang sulit dikeluarkan. Pada komponen air yang terikat secara kimia, maka pengeluaran air semakin sulit, sehingga meskipun jumlah CaO terus ditambah dan waktu pengeringan diperpanjang, maka kadar air akhir dari kultur khamir cenderung konstan. Laju pengeringan konstan menggambarkan penguapan air bebas dari produk pada awal pengeringan, dimana permukaan bahan sangat basah dengan aw produk mendekati 1. Laju pengeringan menurun air yang dikeluarkan merupakan air terikat
dan penguapan air pada
periode ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan uap pada bagian dalam dan bagian luar sampel yang dikeringkan.
Akhir dari pengeringan ditentukan apabila telah dicapai
kesetimbangan tekanan uap pada bagian dalam dan bagian luar sampel, sehingga air dalam bahan tidak dapat diuapkan lagi. Kadar air yang dicapai diakhir pengeringan disebut juga kadar air kesetimbangan (Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado 1996). Dalam pengeringan kemoreaksi kadar air kesetimbangan sangat penting artinya karena menentukan kadar air terendah yang dapat dicapai pada proses pengeringan. Menurut Beker dan Rapoport (1987) terdapat dua periode dalam pengeringan khamir. Periode I adalah laju pengeringan cepat yang menunjukkan kehilangan air bebas dari bahan, sedangkan periode II adalah laju pengeringan lambat yang menunjukkan kehilangan air terikat. Titik inversi pada kurva pengeringan terletak pada kadar air kira-kira 20 %. Diatas titik ini tidak terjadi perubahan viabilitas sel dan permiabilitas dinding sel. Sedangkan pada kadar air dibawah 20 % respirasi berhenti dan apabila direhidrasi dalam air, sel akan kembali seperti semula. Akhir pengeringan atau setelah 48 jam, penurunan kadar air pada penelitian ini terlihat sudah konstan. Kadar air dan viabilitas kultur starter khamir kering yang dihasilkan dapat di lihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 5 diketahui kadar air khamir kering yang dihasilkan setelah 48 jam hampir sama untuk ketebalan lapisan 1.3 mm dan 2.6 mm, sedangkan ketebalan lapisan 3.9 mm, kadar airnya lebih tinggi. Hal ini disebabkan sampel mempunyai kadar air awal yang sangat tinggi, sehingga untuk lapisan yang lebih tebal diperlukan waktu pengeringan yang lebih lama.
Mengingat sampel adalah berupa sel hidup, maka waktu
pengeringan yang lebih lama akan menurunkan viabilitasnya. Oleh sebab itu perlakuan yang dapat menurunkan kadar air dalam waktu singkat adalah yang terbaik. Tabel 5. Pengaruh tebal lapisan pengeringan terhadap kadar air akhir setelah pengeringan 48 jam dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan Tebal lapisan (mm)
Kadar air akhir (% b b)
(% b k)
Total mikroba
Viabilitas
(koloni/g)
(%)
66 1.3 2.6 3.9
4.23 4.51 6.64
4.42
1.59x109
71
4.72
1.23x10
9
55
0.78x10
9
35
7.11
2.25x10 *)
9 *)
100
Kontrol (kultur sebelum dikeringkan dengan kadar air awal 77.56 % b b) Hasil pengamatan total mikroba hidup dari masing-masing kultur kering cukup tinggi.
Hal ini disebabkan karena energi panas yang dihasilkan dari reaksi uap air dengan CaO di dalam ruang pengering tidak mempengaruhi bahan yang dikeringkan, tetapi hanya menyebabkan udara di dalam ruangan menjadi kering sehingga air dari bahan akan menguap. Reaksi uap air dengan CaO terus ber-langsung hingga tidak terjadi lagi penguapan air, atau kadar air bahan dan RH ruang pengering telah setimbang. Kesetimbangan ini dapat tercapai dalam waktu yang relatif singkat sehingga tidak banyak pengaruhnya terhadap viabilitas kultur kering yang dihasilkan. Suhu udara di dalam ruang pengering selama terjadinya proses pengeringan adalah 27 0C– 28 0C, sedangkan suhu CaO adalah 30 0C– 35 0C. Menurut Pelczar et al. (1977) suhu optimum untuk pertumbuhan khamir adalah pada 25 – 0
30 C, oleh karena itu pengeringan dengan proses kemoreaksi tidak mempengaruhi viabilitas kultur kering yang dihasilkan. Sedangkan proses pengeringan kultur khamir secara komersial dengan metode pengeringan fluid-bed, suhu udara yang digunakan dalam pengeringan berkisar antara 100-150 0C dan lama pengeringan adalah sekitar 1 – 2 jam (Langejan 1972 didalam Reed dan Nagodawithana 1991). Mekanisme pengeringan menggunakan suhu tinggi dalam waktu singkat ini mungkin sangat menguntungkan dari segi ekonomi sehingga dapat digunakan untuk produksi khamir kering secara komersial. Tahap proses pengeringan secara fluid-bed adalah sebagai berikut : krim khamir dengan kadar air awal 70% dimampatkan melalui suatu pelat berlubang-lubang (alat ekstruder) menjadi bentuk seperti spagheti dengan garis tengah 1 mm. Lalu dimasukan ke dalam alat pengering dengan lembaran alas yang luas dan hembusan udara pengering dari bawah untuk mengeringkan partikel khamir yang berada diatas lembaran alas. Volume, kelembaban relatif dan temperaturnya udara masuk dapat dikendalikan, sehingga partikel-partikel khamir dapat terjaga. Proses pengeringan sangat singkat dan kadar air yang dicapai 7.5 – 8.5% untuk khamir kering aktif (active dry yeast) dan 4 – 6% untuk khamir kering aktif instan ( instant active dry yeast) (The Winemaking Home Page 2004). Menurut Reed dan Nagodawithana (1991), pengeringan dengan metode semprot (spray drying) secara ekonomi cukup produktif, tetapi viabilitas dari kultur keringnya menjadi berkurang. Demikian pula dengan metode pengeringan beku tidak dianjurkan untuk produksi khamir kering aktif secara komersial karena biaya operasionalnya sangat mahal. Pengeringan beku hanya digunakan untuk pengawetan kultur murni di laboratorium. Pemakaian Kalsium Oksida dalam Pengeringan
67 Pada tahap ini ketebalan lapisan sampel yang dipakai adalah 1.3 mm, karena waktu pengeringannya lebih cepat dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan cukup tinggi, dan pengeringan dilakukan dalam waktu 24 jam.
Sebelum proses pengeringan kemoreaksi
dilakukan, lemari pengering terlebih dahulu diisi dengan kapur api sebanyak 4 kg dan dibiarkan selama 24 jam, sama halnya dengan penelitian sebelumnya. Kemudian sewaktu kultur khamir basah dimasukkan, kapur api diganti dengan yang baru sesuai dengan perlakuan rasio sampel dengan jumlah kapur. Selama pengeringan diamati perubahan suhu kapur api serta suhu dan kelembaban udara lemari pengeringan. Pada akhir pengeringan diamati kadar air dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan. Sama dengan percobaan sebelumnya, pada awal proses pengeringan RH di dalam lemari pengering sedikit meningkat yaitu dari 40% naik hingga 75 - 80% dan beberapa jam kemudian kembali menurun seiring dengan menurunnya kadar air bahan yang dikeringkan. Kelembaban (RH) di dalam lemari pengering pada akhir pengeringan untuk masing-masing perlakuan adalah: R5 = 30%, R10 = 15%, R15 = 12%, R 20 = 10% dan R25 = 10%. Sedangkan suhu ruang pengering berkisar antara 27 hingga 28 0C dan suhu kapur berkisar antara 29 hingga 35 0C, pada masing-masing perlakuan kisaran suhu hampir sama. Hasil pengeringan kemoreakasi dengan beberapa rasio penggunaan kalsium oksida (CaO) terhadap kadar air dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan setelah pengeringan 24 jam dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh rasio pemakaian CaO dan kultur khamir yang dikeringkan terhadap kadar air akhir dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan dengan lama pengeringan 24 jam. Rasio CaO dan kultur (g/g) • • • • • *)
5 : 1 (R5) 10 : 1 (R10) 15 : 1 (R15) 20 : 1 (R20) 25 : 1 (R25)
Kadar air akhir (% b b) (% b k) 12.06 4.41 4.23 4.30 4.26
13.72 4.61 4.42 4.49 4.45
Total mikroba (koloni/g)
Viabilitas (%)
0.94 x109
54
9
60
1.07 x10
9
61
1.26 x10
9
72
1.22 x10
9
70
9*)
100
1.05 x10
1.75x10 Kontrol (kultur sebelum dikeringkan dengan kadar air awal 80 % basis basah)
Hasil pengamatan pada Tabel 6 diketahui bahwa kadar air akhir kultur kering yang dihasilkan hampir sama pada setiap perlakuan. Hal ini menunjukkan penurunan kadar air dalam proses pengeringan kemoreaksi, tidak saja dipengaruhi oleh jumlah CaO, tetapi juga oleh kadar air awal dari produk yang dikeringkan. Seperti diketahui produk yang dikeringkan adalah bahan yang sama dan kadar air awalnya juga sama. Kultur khamir yang dikeringkan mempunyai kadar air awal yang sangat tinggi, sehingga pada awal proses pengeringan jumlah air yang tersedia cukup banyak untuk dapat bereaksi dengan CaO. Setelah terjadi reaksi CaO dengan uap air dari
68 kultur yang dikeringkan, maka akan terbentuk Ca(OH)2 yang berupa serbuk putih. Ca(OH)2 akan menutupi bagian dari kapur api yang masih reaktif, sehingga mempengaruhi proses pengeringan. Pada periode pengeringan selanjutnya uap air yang tersedia akan semakin kecil, dan pengaruh penutupan ini lebih kecil pada jumlah kapur yang optimal dari pada jumlah kapur yang berlebihan. Menurut Julianti (2003) dari hasil penentuan sorpsi isotermi terhadap Ca(OH)2 diketahui bahwa pengikatan air oleh Ca(OH)2 baru terjadi pada RH diatas 70% dengan kapasitas pengikatan yang sangat kecil. Oleh karena itu Ca(OH)2 tidak dapat digunakan sebagai absorben dalam proses pengeringan, apabila CaO yang masih tersisa pada kapur api ditutupi oleh Ca(OH)2, maka proses absorpsi air oleh CaO akan terhambat. Dengan demikian jumlah kapur api yang berlebihan tidak berpengaruh banyak terhadap penurunan kadar air. Oleh sebab itu kapur api digunakan dalam jumlah yang optimal dan tidak berlebih. Dari hasil penelitian ini rasio 10 : 1 (R10) sudah dapat digunakan untuk pengeringan kultur khamir karena kultur kering yang dihasilkan mempunyai kadar air yang rendah dan viabilitas yang tinggi. Bila dibandingkan dengan metode pengeringan kultur mikroba lainnya, metode pengeringan kemoreaksi cukup potensial untuk dikembangkan, disamping itu biaya operasionalnya rendah dan menghasilkan viabilitas kultur yang tinggi.
Hasil penelitian
penggunaan beberapa metode pengeringan terhadap mikroba yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya antara lain oleh Nuraida et al. (1994) metode pengeringan dengan oven vakum terhadap starter yoghurt, diperoleh viabilitas 70 %, sedangkan pengeringan dengan oven biasa, viabilitas hanya 25 %.
Selanjutnya Jenie et al. (1996) malaporkan penggunaan metoda
pengeringan dengan oven vakum terhadap kultur starter Lactococcus lactis diperoleh viabilitas tertinggi sekitar 58 %. Kemudian To & Etzel (1997) dengan metoda pengeringan beku terhadap beberapa spesies asam laktat diperoleh viabilitas sekitar 60 – 70 %.
Menurut Salgado-Cervantes et al. (2003) khamir kering yang dihasilkan dengan proses pengeringan semprot (spray drying), banyak mengandung cemaran bakteri. Viabilitas setelah rehidrasi tidak berpengaruh nyata, tetapi hasil alkohol yang diperoleh dengan fermentasi menggunakan khamir kering hanya mencapai tingkat 1.4% - 1.8% ( v/v). Sedangkan dengan menggunakan krim khamir atau kultur segar, alkohol yang diperoleh adalah 5.5%. Jika dilihat viabilitas kultur kering yang dihasilkan pada Tabel 3, persen-tasenya masih rendah. Tetapi jumlah sel hidup pada media pertumbuhan hasilnya sudah cukup tinggi, sehingga proses pengeringan kemoreaksi dapat diaplikasikan untuk menghasilkan kultur kering. Menurut Davis (1975) kultur starter yang baik harus mengandung sel hidup diatas 107 koloni/gram berat kering. Pada hasil penelitian ini kultur starter kering yang dihasilkan rata-rata untuk setiap perlakuan adalah diatas 109 koloni/gram berat kering. Karakteristik kultur khamir kering hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan khamir kering komersial seperti pada Tabel 7, terlihat banyak kesamaannya. Jadi metode pengeringan
69 kemoreaksi baik digunakan untuk pengeringan kultur mikroba, karena hasil yang diperoleh memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk khamir kering aktif Tabel 7. Karakteristik khamir kering aktif komersial dan hasil penelitian Karakteristik
Komersial (USDA, 2001)
Hasil penelitian
1. Prosessing
Pengeringan dari kultur murni Saccharomyces cerevisiae Bebas dari bau yang tidak diinginkan Berwarna coklat terang Bebas dari serangga dan kotoran Harus disimpan ditempat dingin atau suhu kamar, digunakan untuk sekali pakai perkemasan Menghasilkan volume dan tekstur yang baik bila digunakan untuk pembuatan roti
Pengeringan dari kultur murni Saccharomyces cerevisiae Tidak berbau Mempunyai flavor khas Berwarna coklat terang Bebas dari serangga dan kotoran Disimpan ditempat kering pada suhu kamar, dan digunakan untuk sekali pakai perkemasan (belum diuji)
2. Flavor dan odor 3. Penampilan/warna 4. Bahan asing 5. Penyimpanan dan umur simpan 6. Volume dan tekstur
1. Analisis mikrobiologi * Salmonella 2. Analisis kadar air * khamir kering aktif * khamir aktif instan
negatif (BAM/Bab 5) 6.0 - 8.5 persen (AOAC /960.18 - 961.06) 4.0 - 5.5 persen (AOAC /960.18 - 961.06)
kapang dan BAL < 2 % negatif 4.0 - 5.0 persen
Untuk persiapan kultur starter kering yang diperlukan pada tahap percobaan selanjutnya, maka proses pengeringan kultur khamir dilakukan dengan ketebalan lapisan 1.3 mm, rasio bahan basah dengan kapur yang digunakan adalah 1 : 10 dan lama pengeringan adalah 24 jam. Isotermi Sorpsi Air dan Pengaruh Bahan Pelindung Kadar Air Kesetimbangan Kadar air kesetimbangan adalah kadar air bahan pada tekanan uap air yang setimbang dengan RH lingkungannya (Heldman dan Singh 1981). Kadar air kesetimbangan bahan pangan perlu diketahui untuk membuat kurva isotermi sorpsi air bahan pangan tersebut. Penentuan kadar air kesetimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae dilakukan secara absorpsi, yaitu dengan menyimpan ± 0.3 g sampel di dalam beberapa desikator yang mempunyai nilai kelembaban (RH) tertentu, dari 11.2% sampai 97%. Selama penyimpanan terjadi absorbsi dan desorpsi, sehingga kadar air sampel dalam desikator dapat berkurang atau bertambah. Bila berat sampel yang disimpan sudah konstan, berarti sudah tercapai
70 kesetimbangan kadar air sampel dengan RH desikator. Berat konstan ini diketahui dengan cara menimbang sampel dalam selang waktu tertentu selama penyimpanan. Penentuan kadar air kesetimbangan dilakukan pada suhu 27 0C. Kultur khamir kering yang digunakan adalah hasil pengeringan kemoreaksi dengan kadar air 4.6% (bk), disamping itu juga digunakan kultur kering yang diberi bahan pelindung berupa CMC dan agar-agar, masingmasing 2% dari berat sampel. Tujuan pemberian bahan pelindung adalah untuk mengurangi pengaruh langsung peningkatan kadar air selama penyimpanan terhadap viabilitas kultur kering, yaitu dengan menutupi permukaan sel. Disamping itu juga berfungsi untuk mengurangi kebocoran sel apabila sel kering direhidrasi. Hasil pengukuran berat sampel (kultur khamir kering dan kultur khamir kering yang ditambah bahan pelindung) setelah terjadi kesetimbangan dengan berbagai tingkat RH ruang penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 3 – 4. Kemudian dilakukan perhitungan kadar air keseimbangan (Me) (% bk) dengan masing-masing RH dalam persen atau aw (= RH/100). Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae pada berbagai nilai aw Kadar air kesetimbangan (% basis kering)
Aktivitas air (aw)
Kamir kering
0.11
3.39
0.23
3.60
4.22
3.57
0.32
4.52
5.34
4.42
0.36
5.58
6.04
5.19
0.43
6.59
7.62
6.14
0.57
7.98
8.94
8.34
0.64
9.79
11.79
10.57
0.69
12.17
13.82
13.06
0.74
14.36
15.98
15.80
0.81
16.27
17.32
17.62
0.84
21.27
23.45
21.46
0.87
27.00
29.23
27.75
0.90
33.18
35.02
34.09
0.93
39.20
40.73
40.53
0.97
46.09
49.87
48.52
Kamir kering + 2% agar-agar 3.40
Kamir kering + 2 % CMC 3.02
Data hasil perhitungan kadar air kesetimbangan kultur khamir kering, diketahui kadar air meningkat sejalan dengan meningkatnya RH desikator. Sedangkan dengan penambahan bahan pelindung peningkatan kadar airnya sedikit lebih tinggi dari yang tidak diberi bahan pelindung. Hal ini disebabkan bahan pelindung yang digunakan mempunyai daya ikat air yang lebih kuat
71 dari kultur kering dan setelah menyerap uap air, ia akan sulit untuk melepasnya walaupun dalam ruangan yang sangat kering. Kurva Isotermi Sorpsi Air Kurva isotermi sorpsi merupakan kurva hubungan antara kelembaban relatif ruang penyimpanan (RH) atau aktivitas air bahan (aw) dengan kadar air basis kering yang berkesetimbangan dengannya. Bentuk kurva isotermi produk pangan kering adalah sigmoidal yang terdiri dari 3 bagian, dan merupakan bentuk kurva yang tipikal pada produk pangan. Bentuk kurva isotermi sorpsi sigmoidal adalah akibat dari beberapa mekanisme interaksi dasar pada ikatan air (Aguilera dan Stanley 1990). Dari hasil pengamatan pada Tabel 8 dapat di plot menjadi kurva isotermi sorpsi air kultur khamir kering, seperti terlihat pada Gambar 17.
50
K ad ar air (% b erat k erin g )
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 .0
0 .2
0 .4 0 .6 ak t iv it as air (aw )
0 .8
k h am ir k erin g k h am ir k erin g + 2 % agar-agar k h am ir k erin g+ 2 % C M C Gambar 17. Isotermi sorpsi air kultur khamir kering (Saccharomyces cerevisiae) Masing-masing contoh yang diamati ternyata penggunaan bahan pelindung 2 % CMC dan 2 % tepung agar-agar hampir sama polanya dengan kultur kamir yang tidak ditambahkan bahan tersebut. Kondisi RH ruang penyimpanan sangat berpengaruh terhadap kadar air kultur kering, terjadi penguapan air dari contoh yang disimpan pada kelembaban rendah, sedangkan pada kelembaban sedang dan tinggi terjadi penyerapan uap air. Masing-masing daerah kelembaban dapat ditentukan fraksi air terikat primer, sekunder dan tersier dari kultur kering.
1 .0
72 Analisis Kapasitas Air Terikat a) Air terikat primer (Mp) Air terikat primer adalah fraksi air yang terikat sangat kuat, merupakan adsorpsi air yang bersifat satu lapis molekul air atau monolayer (Van den Berg dan Buin 1981). Air terikat primer dapat ditentukan dari kurva isotermi sorpsi dengan model matematika Brunauer-Emmet-Teller (BET), seperti Gambar 18.
Angka persamaan regresi linier yang diperoleh disubsitusikan
kedalam persamaan BET. Menurut Rizvi (1995) cara ini cukup baik ketepatannya untuk menduga kadar air optimum selama pengeringan dan penyimpanan. Persamaan BET (Labuza 1984) adalah : aw 1 C–1 --------------- = ------- + ---------- aw ……………… (1) (1 – aw )M Mp.C Mp.C dimana aw = P/Po = ERH/100, P = tekanan uap air bahan, Po = tekanan uap air murni, M adalah kadar air (% bk) pada aktivitas air aw dan suhu T, C adalah konstanta, dan Mp adalah kapasitas air terkat primer (% bk). Perhitungan kapasitas air terikat primer hanya menggunakan lima angka pengamatan pada aw rendah, yaitu aw 0.11 sampai aw 0.52, karena persamaan BET hanya tepat digunakan pada RH rendah (Labuza 1984). Gambar 18
adalah menunjukkan plot antara
aw dengan nilai aw /(1- aw)M yang
menghasilkan persamaan garis lurus dengan titik potong pada ordinat, a dan faktor kemiringan b. Dari hasil perhitungan pada kurva isotermi sorpsi air kultur khamir kering diperoleh persamaan : y = 0.0132+ 0.2613x (R2 = 0.96) (kamir kering tanpa bahan pelindung) Kemudian dengan melakukan subsitusi pada persamaan garis lurus tersebut, dapat diketahui nilai konstanta C dan kapasitas air terikat primer (Mp). Nilai kapasitas air terikat primer kemudian diplot kedalam kurva isotermi sorpsi, lalu ditarik garis lurus menuju absis aw, sehingga diperoleh nilai aw yang berkesetimbangan dengan nilai Mp (ap). Hasil perhitungan keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 9.
73
0.20
a w /(1 -aw )M
0.16 0.12 0.08 0.04
y = 0.2613x + 0.0132 2
R = 0.9631 0.00 0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
A ktivita s a ir (a w ) Gambar 18. Plot isotermi BET dari kurva isotermi sorpsi air kultur kering kamir (Saccharomyces cerevisiae) Tabel 9. Perhitungan kapasitas air terikat primer pada kultur kering kamir dengan model BET Isotermi sorpsi air
aw
M (% bk)
aw /(1- aw)M
Parameter Model BET
Kultur kering kamir
0.11 0.23 0.32 0.36 0.43 0.57
3.39 3.60 4.52 5.58 5.59 7.98
0.05 0.08 0.11 0.10 0.11 0.17
a = 0.0132 b = 0.2613 r = 0.96 C = 20.79 Mp = 3.64 % (bk) ap = 0.22
Kultur kering kamir + 2 % agar-agar
0.11 0.23 0.32 0.36 0.43 0.57
3.40 4.22 5.34 6.04 7.32 8.93
0.04 0.07 0.09 0.10 0.11 0.15
a = 0.0124 b = 0.2312 r = 0.98 C = 19.64 Mp = 4.12 % (bk) ap = 0.20
Kultur kering kamir + 2 % CMC
0.11 0.23 0.32 0.36 0.43 0.57
3.02 3.57 4.42 5.19 6.34 8.57
0.04 0.08 0.11 0.12 0.13 0.16
a = 0.0206 b = 0.2478 r = 0.98 C = 13.0291 Mp = 3.72 % (bk) ap = 0.25
b) Air terikat sekunder (Ms) Air terikat sekunder merupakan fraksi air terikat yang berada diatas lapisan air terikat primer, yang membentuk lapisan multilayer (Rockland dan Beuchat 1987). Air terikat sekunder
74 kurang kuat terikatnya pada bahan pangan dibandingkan air terikat primer (Van den Berg dan Bruin 1981). Penentuan kapasitas air terikat sekunder berdasarkan titik antara jumlah air air terikat sekunder ke air terikat tersier, dapat digunakan model analisis logaritma yang dikemukakan Soekarto (1978). Persamaan matematika dengan analisis logaritma ini adalah : log (1 – aw ) = a + b m
………… ………………… (2)
dimana m adalah kadar air (g air / g bahan kering) pada aktivitas air aw, b adalah faktor kemiringan, dan a adalah titik potong pada ordinat. Menurut Soekarto (1978), dengan memplot data log (1 – aw) terhadap m, dapat dihasilkan dua persamaan garis lurus yang berpotongan. Garis lurus pertama mewakili air terikat sekunder, sedangkan garis lurus kedua mewakili air terikat tersier. Titik potong kedua garis itu adalah titik peralihan dari air terikat sekunder ke air terikat tersier yang merupakan batas atau kapasitas air terikat sekunder. Berdasarkan data isotermi sorpsi air kultur kering kamir, nilai aw diubah bentuknya menjadi (1 – aw), dan diplotkan pada grafik semilog terhadap m.
Dari plot tersebut akan
diperoleh dua garis lurus yang berpotongan, yang selanjutnya dianalisis dengan regresi linear. Garis lurus pertama diwakili persamaan : log (1 – aw ) = a1 + b1 m dan garis lurus kedua diwakili persamaan : log (1 – aw ) = a2 + b2 m maka pada titik potong berlaku rumus : a1 + b1 ms = a2 + b2 ms
……………………………………
(3)
dimana ms adalah kadar air pada titik potong (g air / g bahan kering). Bila satuan kadar air pada titik potong diubah menjadi % bk, akan diperoleh Ms yang merupakan kapasitas air terikat sekunder. Plot semilog (1 – aw ) terhadap m pada data absorpsi kultur kering kamir dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19 diperoleh dengan menggunakan 8 data pengukuran m dari 3.39 sampai 12.17 g air /100 g bahan kering dari kultur kering khamir tanpa bahan pelindung, sehingga diperoleh persamaan garis lurus pertama, yaitu : log (1 – aw) = 0.359 + 0.0193 m1 Selanjutnya dengan menggunakan 6 data pengukuran dari 14.36 sampai 39.20 g air /100 g bahan kering, diperoleh persamaan garis lurus kedua, yaitu : log (1 – aw ) =
0.0829 - 0.0515 m2
75
1.2 1.0
-L o g (1 -a w )
0.8 0.6 y 1 =0.0193x1+0.359 2
0.4
R =0.9741 y 2 =0.0515x2-0.0829
0.2
R =0.9694
2
0.0 0
Mp
5
10
Ms
15
20 25 K a d a r a ir (% b k)
30
35
40
45
Gambar 19. Bentuk linear dari isotermi sorpsi kultur kering kamir, terdiri dari air terikat sekunder dan tersier Nilai m pada titik potong kedua persamaan tersebut, merupakan nilai ms dengan persamaan :
0.359 + 0.0193 ms = 0.0829 - 0.0515 ms
sehingga dapat diketahui nilai Ms sebesar 13.80 % (bk). Nilai Ms atau kapasitas air terikat sekunder 13.80 % (bk) ini berkesetimbangan dengan aktivitas air pada kapasitas air sekunder (as) 0.77. Pengukuran kapasitas air terikat sekunder juga dilakukan terhadap kultur kering kamir + 2 % agar-agar dan terhadap kultur kering kamir + 2 % CMC.
Hasil perhitungan selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Perhitungan kapasitas air terikat sekunder kultur kering kamir dengan model analisis logaritma
m (g air/100 g bahan kering)
Hasil perhitungan
kamir kamir kering kering + 2% agar
kamir kering
kamir kering + 2% agar-
kamir kering + 2% CMC
3.02
a1= -0.0829
a1= -0.0708
a1=-0.0427
4.22
3.57
b1=0.0515
b1=0.0437
b1=0.0449
4.52
5.34
4.42
r = 0.97
r = 0.98
r = 0.97
5.58
6.04
5.19
aw
Log 1-aw
0.11
-0.05
3.39
3.40
0.23
-0.11
3.60
0.32
-0.17
0.36
-0.20
kamir kering + 2%CMC
76
0.43
-0.24
6.59
7.32
6.14
a2= 0.3714
a2= 0.2786
a2= 0.3425
0.57
-0.37
7.98
8.94
8.34
b2=0.0186
b2=0.0206
b2=0.0191
0.64
-0.44
9.79
11.79
10.57
r = 0.97
r = 0.97
r = 0.96
0.69
-0.51
12.17
13.82
13.06
0.74
-0.58
14.36
15.98
15.80
Ms = 13.80
Ms =15.12
Ms =14.93
0.81
-0.72
16.27
17.32
17.62
% (bk)
% (bk)
0.84
-0.80
21.27
23.45
21.46
0.87
-0.89
27.00
29.23
27.75
0.90
-1.00
33.18
35.02
34.09
0.92
-1.10
39.20
40.73
40.53
as = 0.77
as = 0.74
% (bk) as = 0.76
c) Air terikat tersier (Mt) Air terikat tersier merupakan fraksi air yang terikat lemah secara mekanik dalam jaringan matriks bahan. Sifat-sifat air terikat tersier mendekati sifat air bebas (Van den Berg dan Bruin 1981) sehingga dapat diasumsikan bahwa air terikat tersier memiliki aktivitas air (aw) = 1 atau pada kondisi RH = 100%, dimana bahan berada pada kondisi yang jenuh oleh air. Model yang digunakan untuk menentukan air terikat tersier kultur khamir kering adalah model persamaan polinomial ordo 2 pada kurva isotermi sorpsi. Data yang dipakai adalah data diatas aw 0.74 agar persamaan yang dihasilkan lebih tepat.
Persamaan polinomial yang
diperoleh dari kurva isotermi sorpsi air kultur kering kamir tanpa bahan pengisi adalah : y = 850.07 x2 - 1273.8 x + 491.48 : R2 = 0.998. dengan memasukan nilai aw = 1 pada x persamaan diatas, diperoleh kapasitas air terikat tersier sebesar 67.75 % (bk). Untuk kultur kering kamir + 2 % agar-agar diperoleh persaman y = 824.86x2 – 1230.3x + 474.49 : R2 = 0.9961, diperoleh kapasitas air terikat tersier sebesar 69.05 % (bk). Untuk kultur kering kamir + 2 % CMC diperoleh persamaan : y = 932.5x2 – 1412.6x + 550.58 : R2 = 0.9981, diperoleh kapasitas air terikat tersier sebesar 70.48 % (bk). Hasil perhitungan kapasitas air terikat primer, sekunder dan tersier kultur kering kamir dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil perhitungan kapasitas air ikatan primer, sekunder dan tersier dari kultur kering Saccharomyces cerevisiae Hasil Perhitungan
Perlakuan
77 Kultur kering
Kultur kering +2% agar-agar
Kultur kering + 2 % CMC
Mp
(% bk)
3.64
4.11
3.72
Ms
(% bk)
13.80
15.12
14.93
Mt1(polinomial ordo2) (% bk)
67.75
69.05
70.48
Mt2 (ekstrapolasi)
68.00
69.00
69.50
ap1 (analisis BET)
0.22
0.20
0.25
ap2 (analisis logaritma)
0.22
0.23
0.24
as
0.77
0.74
0.76
(% bk)
ATP ( = Mp)
(% bk)
3.64
4.11
3.72
ATS (=Ms – Mp)
(% bk)
10.16
11.01
11.21
ATT1 ( = Mt1 – Ms)
(% bk)
55.17
54.38
55.55
ATT2 ( = Mt2 – Ms)
(% bk)
54.20
53.88
54.57
Berdasarkan Gambar 17 dan Tabel 11, diketahui bahwa kurva isotermi sorpsi kultur kering kamir berbentuk sigmoid dan terbagi menjadi tiga wilayah air terikat, yaitu wilayah I adalah air terikat primer, wilayah II adalah air terikat sekunder dan wilayah III adalah air terikat tersier. Wilayah I pada aw : 0 – 0.22 yaitu; wilayah II pada aw : 0.22– 0.77; dan wilayah III pada aw : 0.77 – 1.0.
Kondisi ini hampir sama dengan yang diungkapkan oleh peneliti lain, salah
satunya oleh Van den Berg dan Bruin (1981), yang menyatakan bahwa kurva isotermi sorpsi air bahan makanan padat berbentuk sigmoid, dan dibagi menjadi tiga wilayah, wilayah I pada aw : 00.22; wilayah II pada aw : 0.22– .73 dan wilayah III pada aw : 0.73 -1.0. Pola Stres dan Kematian Kultur Khamir Kering Selama proses pengolahan pangan sering kali perlakuan-perlakuan yang diberikan dapat membunuh atau merusak mikroba. Jika perlakuan yang diberikan tidak cukup untuk membunuh, maka mikroba akan mengalami stres dan terjadi kerusakan pada sel mikroba tersebut. Mikroba yang stres bila dipindahkan pada medium pertumbuhan optimal, dalam waktu tertentu akan beradaptasi dan memperbanyak sel, tetapi mikroba stres akan kehilangan resistensi terhadap bahan kimia selektif.
Oleh karena itu
jumlah mikroba stres dapat ditentukan dengan
menghitung mikroba yang ada dalam medium optimal tetapi tidak ada dalam medium yang mengandung NaCl 7.5%. Sedangkan kematian dinilai bila tidak ada mikroba yang hidup dalam medium optimal. Pengamatan stres dan kematian kultur kering dilakukan terhadap kultur kering pada masing-masing fraksi air terikat. Masing-masing contoh ditumbuhkan pada medium PDA dan PDA+7.5% NaCl, dan hasil pengamatan jumlah koloni pada masing-masing medium padat dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil perhitungan sel stres dan mati dari masing-masing perlakuan
78 terlihat pada Lampiran 6 – 8. Jumlah mikroba dari masing-masing perlakuan di plot dalam suatu kurva seperti terlihat pada Gambar 20. Daerah Air Terikat Primer Hasil pengamatan total viabilitas mikroba pada media PDA dan PDA + 7% NaCl dapat dilihat pada Tabel 12, terlihat jumlah khamir yang tumbuh sangat rendah pada aw rendah. Semakin rendah aw dari kultur kering, khamir yang tumbuh juga semakin rendah, kemudian dengan meningkatnya aw, viabilitas kamir juga akan meningkat. Viabilitas maksimal terjadi pada aw : 0.57 dan diatas aw tersebut persentase kamir yang hidup menurun. Hal ini disebabkan pada aw yang sangat rendah proses metabolisme sel kering tersebut berhenti, sehingga sel berada dalam keadaan dorman. Gambaran pola stres dan kematian khamir kering pada masing-masing kadar air kesetimbangan (Gambar 21 dan Gambar 22), diketahui bahwa pada daerah air terikat primer (aw < 0.25) jumlah sel kering yang tumbuh sangat rendah yaitu sekitar 20 %, karena mikroba dalam keadaan dorman. Pada kondisi ini ketersediaan air dalam sel kering tidak dapat dimanfaatkan untuk aktivitas metabolisme, sehingga semua reaksi kimia dan biokimia dalam sel terhenti dan akibatnya respirasi juga berhenti. Hasil pengamatan dengan SEM (Gambar 25) dan TEM (Gambar 26) menununjukkan sel yang dorman bentuk permukaannya sedikit mengkerut, dinding selnya lebih padat dan tebal menyerupai bentuk spora,
demikian pula struktur bagian dalamnya masih utuh, hal ini
menunjukkan kondisi sel yang masih hidup. Selanjutnya dari analisis kebocoran, pada daerah ini sel belum bocor. Mengurangi aktivitas air atau pengeringan bahan menyebabkan hilangnya air dari bahan sehingga konsentrasi biomolekul dan ion-ion didalam sel meningkat dan menyebabkan aktivitas selular berhenti, pada saat ini sel menderita stres. Diluar batas aktivitas selular tersebut khamir mempunyai kemampuan untuk beradaptasi pada kondisi kering, seperti dalam pembuatan khamir kering aktif, dimana kadar airnya kurang dari 10%. Dalam kondisi ini pada sel khamir terdapat senyawa yang berperan khusus untuk melindungi struktur sel sampai sel khamir survival. Senyawa tersebut adalah gliserol dan trehalose, dengan asumsi gliserol sebagian besar melindungi multi-enzim kompleks. Sedangkan trehalose adalah plasmalemma yang berfungsi mengatur komposisi ion intraselular. Ketidak seimbangan komposisi ion intraselular dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan kematian. (Hohmann 2002).
79
80
Keterangan : A. kultur kering kamir (Saccharomyces cerevisiae) B. kultur kering Saccharomyces cerevisiae + 2% agar-agar C. kultur kering Saccharomyces cerevisiae + 2% CMC Gambar 20. Viabilitas (log N) kultur kamir (Saccharomyces cerevisiae) pada daerah air terikat primer (ATP), sekunder (ATS) dan tersier (ATT). Masing-masing ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl.
Menurut Jaworski (2004) dalam pembuatan khamir kering dengan memampatkan khamir segar dan dikeringkan sampai kadar air sekitar 8%, dapat membuat khamir dalam keadaan dorman. Butir halus khamir kering pada kondisi dorman ini akan menjadi aktif bila diberi suatu cairan hangat. Keuntungan khamir kering ini yaitu mempunyai kemampuan hidup yang lebih lama dibanding khamir segar dan tidak perlu penyimpanan suhu dingin. Daerah Air Terikat Sekunder Kadar air dari kultur kering meningkat pada daerah air terikat sekunder (nilai aw 0.25 0.77). Dari data pada Tabel 12 terlihat perbedaan jumlah mikroba (log N) dari masing-masing aw bahan, relatif kecil pada aw rendah (dibawah 0.57) atau angka-angkanya masih dalam log yang sama. Tetapi pada aw lebih tinggi (diatas 0.57) penurunan jumlah mikroba sangat tinggi. Kadar air kesetimbangan pada aw = 0.57 adalah 7.89%.
Dengan demikian peningkatan kadar air
hingga 7.89 % masih toleran pada kultur khamir kering. Sedangkan pada kadar air yang lebih
81 tinggi bersifat membunuh, akibatnya viabilitas menurun karena kestabilan kultur kering berkurang. Kondisi sel khamir yang hidup pada kadar air rendah dari 7.89% (aw diawah 0.57) ternyata jumlah yang mengalami stres lebih besar dari yang sehat. Hal ini disebabkan aktivitas metabolisme masih terbatas, kondisi mikroba masih bertahan untuk tetap hidup. Sedangkan pada kadar air lebih besar dari 7.89% atau aw diatas 0.57, jumlah sel yang mengalami stres menurun karena sebagian sel banyak yang mati (Gambar 21). Pada daerah air terikat sekunder viabilitas sel meningkat dan maksimal pada nilai aw : 0.57, tetapi tingkat stres dari sel juga tinggi, peningkatan viabilitas masih dalam siklus log yang sama ( jumlah mikroba sekitar 108 ). Sedangkan pada nilai aw diatas 0.57 hingga 0.74, (titik kritis daerah air terikat sekunder dan tersier), terjadi penurunan viabilitas sel 1 siklus log. Dalam hal ini jumlah mikroba menjadi 107 dan untuk sel yang sehat viabilitas menurun 2 siklus log, jadi sel yang hidup ini sebagian besar berada pada kondisi stres. Berdasarkan data persentase viabilitas (Lampiran 6) pada daerah air terikat sekunder jumlah sel yang stres meningkat dan tertinggi pada kadar air 7.89% (bk), yaitu sekitar 71.04%, sedangkan viabilitas maksimum adalah 93.78%.
Selanjutnya pada Gambar 22 terlihat kurva
mikroba tidak tumbuh karena dorman pada batas kadar air ini adalah paling rendah, tetapi jumlah mikroba yang mati mulai meningkat.
100
50
Viabilitas (%)
ATS
ATT
40
60
30
40
20
20
10
0
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
Aktivitas air (aw) Hidup
Sehat
Stres
Kadar air
Gambar 21. Pola stres dan kematian kultur kering Saccharomyces cerevisiae terhadap aw
1
Kadar air (%)
ATP
80
82
50 A TP
80
A TS
40
A TT
60
30
40
20
20
10
0
0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
K a d a r a ir (% b k )
T id a k tu m b u h (% )
100
1.0
A ktiv ita s a ir (a w ) d o rma n
ma ti
ka d a r a ir
Gambar 22. Kurva dorman dan kematian kultur kering Saccharomyces cerevisiae Peningkatan kadar air menyebabkan aktivitas biokimia seperti reaksi enzimatis mulai terjadi dan proses metabolisme mulai aktif, sehingga persentase dorman juga berkurang. Semakin tinggi aw atau meningkatnya kadar air kesetimbangan dari kultur kering maka aktivitas metabolisme pada sel juga mulai meningkat, sehingga persentase sel dorman menurun dan sel hidup yang tidak dorman meningkat. Pada kondisi ini juga menyebabkan kultur mikroba tidak dapat disimpan lama pada suhu ruang, karena aktivitas metabolisme dan enzimatis terus terjadi. Bila tidak segera dipindahkan ke media pertumbuhan yang sesuai, maka mikroba akan mati. Menurut Brown (1990) meningkatnya kelembaban disekitar sel kering adalah merupakan gangguan fisik antara media didalam dan diluar sel. Dalam hal ini dapat menyebabkan perpindahan air pada fase transisi lemak lapis ganda (lipid bilayer) pada membran, sehingga terjadi perubahan permiabilitas membran. Perubahan permiabilitas dapat menyebabkan terdifusinya secara bebas air dan bahan-bahan terlarut melalui selaput membran, pada kondisi ini sel mengalami stres fisik. Daerah Air Terikat Tersier Kelembaban yang lebih tinggi (> 80%) pada daerah air terikat tersier menyebabkan aw dan kadar air kultur khamir kering juga meningkat tinggi. Selama perlakuan kesetimbangan ini khamir kering yang disimpan pada RH tinggi, sebelum mencapai kesetimbangan dengan lingkungannya, sel khamir juga mengalami stres. Selanjutnya dengan terus meningkatnya kadar air maka aktivitas metabolisme dan reaksi enzimatis juga meningkat. Hal ini menyebabkan mikroba mengalami lisis dan akhirnya mati, sehingga angka kematian mikroba pada daerah tersier ini sangat tinggi. Jumlah angka kematian pada daerah tersier mencapai 100% (Gambar 22). Hal ini juga terlihat dari pengamatan dengan SEM (Gambar 25) dan TEM (Gambar 26)
83 bahwa sel yang mati bentuknya sudah tidak beraturan dan dinding selnya juga sudah pecah. Demikian pula dari analisis kebocoran sel yang mati menunjukkan kondisi nya sudah sangat bocor. Menurut Zikmanis et al. (1983) reaksi-reaksi enzim dapat merusak struktur dinding dan membran sel sehingga permeabilitas membran terganggu. Dalam hal ini komponen-komponen membran seperti protein dan lemak akan rusak, dan selanjutnya sel mengalami lisis atau bocor. Kebocoran sel akan menggangu aktivitas mikrostruktur dan menyebabkan kematian. Menurut Hallsworth (2003) ketersediaan air didalam sistem seluler mencapai 97%. Perubahan atau berkurangnya ketersediaan air akan berdampak pada proses metabolisme penting dan berkurangnya kestabilan makromolekul karena
terganggunya struktur dan fungsi dari
masing-masing makromolekul tersebut, termasuk protein, asam nukleat dan lemak. Kondisi ini dimanfaatkan untuk pengawetan kultur mikroba dalam bentuk kering. Apabila kondisi kering dapat dipertahankan, maka viabilitas kultur kering dapat terjaga, tetapi bila terjadi peningkatan aktivitas air selama penyimpanan, maka proses metabolisme kembali aktif dan akan menurunkan viabilitas selama penyimpanan. Kondisi air yang sangat rendah ini menyebabkan konsentrasi molekul-molekul penyusun sel meningkat, akibatnya reaksi kimia dan biokimia didalam sel terhambat, atau dengan kata lain aktivitas metabolisme berhenti. Menurut The Winemaking Home Page (2004) untuk mengaktifkan khamir kering yang dorman diperlukan suatu perlakuan tertentu supaya sel dapat aktif kembali. Perlakuan tersebut diantaranya adalah rehidrasi pada air panas (50 0C) dan media yang kaya nutrisi. Selanjutnya penyimpanan kultur kering pada RH sangat rendah dapat menyebabkan berkurangnya kandungan air didalam sel, kondisi ini nampaknya berpengaruh pada viabilitas kultur. Sama halnya dengan benih, dimana kadar air yang sangat rendah dibawah 4% atau panyimpanan pada RH 11.2 – 43.0% akan menyebabkan meningkatnya jumlah benih keras yang merupakan salah satu bentuk dormansi pada benih (Julianti 2003). Menurut Tourancheau et al. (1999) berkurangnya ketersediaan air didalam sel menyebabkan berhentinya sintesa protein dan pembelahan sel, hal ini terjadi pada benyak kasus spora bakteri dan benih tanaman. Dalam status ini organisme atau mikroorganisme berada dalam kondisi istirahat atau dorman. Apabila dipin-dahkan kembali pada medium pertumbuhan maka status dorman akan berhenti dalam beberapa jam kemudian dan mikroba mulai tumbuh dan berkembang.
Pengaruh Bahan Pelindung Penambahan agar-agar dan CMC dalam penyimpanan kultur kering bertujuan untuk menjaga kestabilan produk kering dan melindungi viabilitas dari pengaruh RH penyimpanan. Dari Gambar 18 terlihat peningkatan viabilitas khamir masing-masing perlakuan hampir sama polanya, maksimal viabilitas adalah pada aw = 0.57 yaitu sekitar 90%, diatas aw tersebut akan
84 terlihat viabilitas menurun.
Penambahan 2% agar-agar dan 2% CMC, belum menampakkan
sifat perlindungan terhadap mikroba kering yang hidup, tetapi cukup melindungi terhadap mikroba yang sehat. Seperti diketahui agar-agar dan CMC adalah polisakharida yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan mikroba tetapi bersifat melindungi sel kering dari uap air di lingkungan penyimpanannya. Polisakharida merupakan senyawa polimer bukan pati yang molekulnya memiliki gugus hidroksil bebas sangat banyak sehingga potensinya untuk mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen cukup besar.
Jadi
polisakharida disamping melindungi terhadap uap air dari
lingkungan, juga akan menyerap molekul air yang dibebaskan oleh produk kering. Pengaruh penambahan bahan pelindung agar-agar dan CMC terhadap jumlah khamir kering yang stres dapat digambarkan pada Gambar 23 dan 24. Pada Gambar 23 terlihat pola stres dari ketiga perlakuan hampir sama karena ketiga kurvanya berdempetan terutama pada daerah primer dan sebagian daerah sekunder atau pada kadar air kesetimbangan dibawah 7.89%. Jadi pengaruh bahan pelindung disini belum tampak. Selanjutnya pada Gambar 24, di daerah primer persentase stres dari ketiga perlakuan khamir kering tanpa bahan pelindung persentasenya lebih rendah dari khamir kering dengan bahan pelindung. Jadi disini bahan pelindung hanya berpengaruh terhadap khamir kering yang stres. Sedangkan pada daerah sekunder atau pada kadar air dibawah 10%, pengaruh bahan pelindung 2% agar-agar dapat menurunkan persentase khamir kering yang stres. Pada kadar air diatas 10% pemberian agar-agar dan CMC tidak lagi melindungi kultur khamir kering karena sebagian khamir sudah mulai mati.
1.E+10 Jumlah stres (log N)
ATP
ATS
ATT
1.E+09 1.E+08 1.E+07 1.E+06 1.E+05 -
4
8
12
16
20
Kadar air (% bk) khamir kering khamir kering +2% agar-agar khamir kering +2% CMC
Gambar 23. Log jumlah stres (∆N) khamir kering pada kadar air kesetimbangan
24
28
85 masing-masing daerah air terikat
T o ta l s tre s (% )
100 A TP
80
A TS
A TT
60 40 20 0 0
4
8 12 K a da r a ir (% bk) kha m ir ke ring kha m ir ke ring +2% a ga r-a ga r kha m ir ke ring +2% C M C
16
20
Gambar 24. Persentase stres khamir kering pada kadar air kesetimbangan masing- masing daerah air terikat Menurut Langejan (1980) penambahan beberapa bahan seperti metil selulosa atau karboksil metil selulosa ke dalam krim khamir dalam produksi khamir kering aktif bertujuan untuk melindungi sel dari proses pengeringan dan penyimpanan, karena penambahan bahan tersebut dapat menutupi permukaan sel. Disamping itu penambahan bahan pelindung juga dapat mengurangi kebocoran sel kering sewaktu rehidrasi. Perubahan Morfologi dan Mikrostruktur Kultur Khamir Kering Pengamatan perubahan morfologi dan mikrostruktur kultur kering adalah dengan menggunakan mikroskop elektron. Sampel yang digunakan adalah kultur segar, dan kultur kering dengan beberapa tingkat kadar air kesetimbangan, masing-masing sampel kultur kering mewakili daerah air terikat primer, sekunder dan tersier. Pengamatan morfologi sel kultur kering yaitu terhadap perubahan bagian luar sel dengan menggunakan SEM (scanning electron microscope), sedangkan mikrostruktur sel yaitu terhadap perubahan di bagian dalam sel menggunakan TEM (transmission electron microscope). Pengamatan Morfologi Kultur Kering Prinsip pengamatan dengan menggunakan SEM adalah untuk mengamati bentuk morfologi sel mikroba sehingga diketahui perubahan-perubahan pada bagian permukaan sel, terutama bentuk dan ukuran sel.
86 Selama persiapan sampel untuk pengamatan dengan TEM dilakukan tahap-tahap proses yang cukup banyak, jumlah sel dalam suspensi ini diperkirakan 105 – 107 per ml, dan suspensi sel yang dipakai maksimal 2 ml. Hal tersebut bertujuan untuk memperoleh jumlah sel yang optimal dalam pengamatan menggunakan SEM, dimana jumlah sel tidak terlalu sedikit atau tidak terlalu banyak, jika sel terlalu banyak, maka akan sulit untuk mengidentifikasi bentuk dan ukuran selnya. Selama proses persiapan sampel dilakukan pencucian yang berkali-kali dan menggunakan larutan yang berbeda menyebabkan berkurangnya jumlah mikroba dari jumlah awal. Demikian pula dalam pengamatan tidak semua sel teridentifikasi dalam satu bidang pandang, sehingga hasil pengamatan tidak menggambarkan jumlah sel dalam sampel yang digunakan pada awal persiapan sampel. Pengamatan lebih difokuskan untuk mengidentifikasi perubahan morfo-logis dari sel khamir sebelum dan sesudah proses pengeringan serta perubahan pada berbagai kondisi air terikatnya. Hasil pengamatan morfologi sel pada
Gambar 25, memperlihatkan masing-masing
kondisi sel dengan penampakan yang berbeda. Gambar 25A yaitu bentuk normal sel khamir (Saccharomyces cerevisiae) dalam keadaan segar sebelum proses pengeringan (aw mendekati 1), terlihat permukaan yang halus, bentuk sel lonjong hingga sangat lonjong, dan ukuran sel rata-rata adalah 4.5 x 3 µm. Gambar 25B adalah bentuk sel khamir kering pada kondisi aw = 0.23, yang mewakili daerah air terikat primer. Disini terlihat bentuk sel cendrung agak bulat atau lebih pendek dari pada sel normal yang segar atau sel sebelum proses pengeringan, dengan ukuran sel rata-rata adalah 4 x 3 µm. Gambar 25C adalah sel khamir kering pada kondisi aw = 0.64, yaitu mewakili daerah air terikat sekunder.
Disini permukaan sel terlihat tidak rata dan tidak beraturan,
sebagian kecil bentuknya masih normal, dengan ukuran sel rata-rata adalah 4 x 3 µm. Sel yang tidak beraturan kemungkinan menunjukkan sel yang sudah mati. Sedangkan sel yang normal berbentuk agak bulat dan masih utuh, kemungkinan sel masih ini hidup, tetapi dalam keadaan stres. Selanjutnya gambar 25D adalah sel khamir kering pada kondisi aw = 0.90, atau mewakili daerah air terikat tersier, terlihat sel menggumpal dan lengket satu sama lain.
Dari hasil
pengamatan terlihat bentuk sel tidak beraturan, kempes dan memanjang. Sebagian lagi terlihat dinding selnya pecah dan terbuka (Gambar 26), ini menunjukkan bentuk sel yang sudah mati. Pada keadaan ini sebagian besar sel tidak tumbuh pada medium PDA sehingga tingkat kematian sel mencapai 100 %. Terjadinya perubahan permukaan sel pada awalnya adalah akibat proses pengeringan. Dalam pengeringan kemoreaksi menggunakan CaO, banyaknya air yang dikeluarkan tergantung dari kadar air awal bahan. Air yang dikeluarkan dari bahan dapat berupa air bebas dan air ikatan, dengan banyaknya jumlah air yang dikeluarkan dari sel khamir, maka setelah kering bentuk sel terlihat agak membulat dan komponen-komponen dinding sel menjadi lebih padat dan kaku.
87
A
B
C
D
4000 X
10000 X
Gambar 25. Penampakan morfologi sel dari kultur kering Saccharomyces cerevisiae dengan SEM pada masing-masing fraksi air, berturutturut kultur segar; (B) kultur kering pada fraksi air terikat primer; (C) pada air terikat sekunder; dan (D) pada air terikat tersier
88
Gambar 26. Penampakan dinding sel khamir yang pecah dan terbuka. Pengamatan dengan SEM pembesaran 15 000 kali. Prinsip pengawetan kultur mikroba dengan pengeringan adalah mengeluar-kan sebagian besar air dari bahan, sehingga air yang tertinggal adalah merupakan air ikatan yang tidak dapat berperan untuk reaksi-reaksi kimia didalam sel, pada saat ini semua aktivitas metabolisme dan respirasi berhenti. Apabila kultur kering ditumbuhkan pada media yang sesuai, dalam beberapa jam semua aktivitas metabolisme akan kembali berlangsung. Menurut Mattick et al (2001) kondisi potensial air atau aktivitas air (aw) 0.12 sampai 0.46 adalah kondisi yang sesuai dalam rangka pemeliharaan kelangsungan hidup sel kering Saccharomyces cerevisiae, karena semua aktivitas seluler berhenti. Dinding sel khamir menentukan integritas dan bentuk sel selama pertumbuhan dan pembelahan sel, dinding sel terdiri dari 40% (db) polimer manosa (manoprotein), 60% (db) polimer glukosa ( β-glukan), dan 2% (db) kitin yang berperan untuk kekuatan dinding sel. Sedangkan integritas dinding sel ditentukan oleh tingkat ikatan silang β-1,6-glukosidik antara β1,3-glukan, manoprotein dan kitin.
Struktur dinding sel ini dapat terganggu oleh aktivitas
zimoliase yang bersifat merusak (Aguilar-Uscanga dan Francois 2003). Selama berada di dalam medium pemeliharaan, mikroba selalu mengambil unsur-unsur dari lingkungannya untuk menjaga struktur sel dan mencegah lisis. Dalam hal ini dinding sel bersifat dinamis dan dapat menyesuaikan ke status fisiologis berbeda seperti konjugasi, sporulasi dan tahap-tahap lainnya (Popolo et al. 1997). Biosintesis dinding sel terus terjadi selama sel berada pada lingkungan medium pemeliharaannya, disamping itu peranan enzim-enzim juga sangat menentukan dalam menjaga konstruksi dinding sel ini.
Pada sel khamir yang
mengandung polisakarida tinggi, kemungkinan protein dengan aktivitas glukosidase akan berfungsi sebagai glukanosil transferase. Aktivitas endotrans-glukosidase berperan dalam pengembangan dinding sel selama pertumbuhan, yaitu dengan memotong dan mengga-bung lagi rantai xiloglukan yang berikatan silang dengan mikrofibril selulosa di dalam dinding sel primer (Rodriguez-Peòaet al. 2000).
89 Selanjutnya selama penyimpanan kultur kering pada RH rendah yang terkendali tidak terjadi peningkatan kadar air dan aw bahan, tetapi penyimpanan pada RH tinggi menyebabkan meningkatnya kadar air dan aw bahan, sehingga stabilitas terganggu. Meningkatnya kadar air dan nilai aw menyebabkan terjadinya reaksi enzimatis, tetapi reaksi yang terjadi bukan yang membangun karena tidak tersedianya unsur nutrisi yang diperlukan. Reaksi enzim yang terjadi adalah aktifitas zimoliase yang cendrung merusak struktur dinding sel dan menye-babkan lisis pada sel utuh, enzim ini bekerja ikatan β-1,6-glukan (Aguilar-Usanga dan Francois 2003). Meningkatnya kelembaban disekitar sel adalah merupakan gangguan fisik antara media didalam dan diluar sel, yang dapat menyebabkan perpindahan air pada fase transisi lemak lapis ganda (lipid bilayer) pada membran sehingga terjadi perubahan permiabilitas membran. Perubahan permiabilitas dapat menyebabkan terdifusinya secara bebas air dan bahan-bahan terlarut melalui selaput membran (Brown 1980). Keluar masuknya air secara bebas kedalam sel menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan di bagian dalam sel, sehingga terbentuk ronggarongga. Keadaan ini menyebabkan dinding sel yang masih utuh melengkung kedalam sehingga bentuk sel tidak beraturan. Pengamatan Mikrostruktur Kultur Kering dengan TEM Pengamatan mikrostruktur sel dengan menggunakan Transmission Electron Mikroscope (TEM) bertujuan untuk mengamati bentuk bagian dalam dari sel mikroba sehingga diketahui perubahan bagian sel yang mengalami stres kering. Dalam persiapan sampel dilakukan tahap-tahap proses yang cukup banyak, dan pencucian yang berkali-kali disertai penggantian bahan-bahan cair yang dapat menyebabkan berkurangnya jumlah sel. Disamping itu bagian-bagian sel yang sudah rusak atau pecah dapat tercuci selama proses persiapan sampel. Selanjutnya dalam tahap pemotongan sampel sel yang sudah diblok dengan suatu resin, proses pengerjaannya sangat sulit sekali mendapatkan hasil potongan yang sangat tipis. Diameter permukaan blok berisi sel yang akan diiris tidak lebih dari 0.5 x 0.5 mm, supaya didapatkan permukaan irisan yang halus. Jika diameternya lebih besar maka hasil irisan akan pecah atau permukaannya tidak halus. Ketebalan irisan yang baik untuk melihat struktur sel bagian dalam adalah 30 – 50 nm, dengan irisan yang berwarna keemasan sampai keperakan dan permukaannya sangat halus. Sedangkan ketebalan lebih dari 50 nm, maka irisan yang diperoleh berwarna pelangi atau warna ungu sampai biru, berarti pemotongan tidak rata atau terlalu tebal. Ketebalan irisan lebih dari 50 nm tidak dapat dipakai dalam pengamatan dengan TEM karena bagian-bagian sel tidak terlihat. Demikian pula dalam pengamatan dengan TEM untuk melihat bentuk struktur bagian dalam diperlukan pembesaran lebih dari 8000 kali, sehingga tidak semua sel teridentifikasi dalam satu bidang pandang. Jadi hasil pengamatan bukanlah menggambarkan jumlah sel dalam sampel yang digunakan pada awal persiapan sampel, tetapi lebih difokuskan untuk mengidentifikasi perobahan mikrostruktur sel.
90 Hasil pengamatan perubahan mikrostruktur kultur kering disajikan pada Gambar 27, masing-masing gambar mempunyai bentuk yang spesifik. Gambar 27A. adalah sel dari kultur segar terlihat bentuk sel sangat lonjong. Dinding sel terang yaitu merupakan material yang transparan (tanda panah 1) sedangkan membran plasmanya tipis, dan juga inti sel terlihat jelas dengan membran yang tebal. Gambar 27 B adalah bentuk sel dari kultur kering pada daerah air terikat primer, bentuk sel bulat lonjong dan lapisan transparannya hilang. Dinding selnya tebal (tanda panah 2), padat dan kompak yang ditunjukkan dengan warna yang lebih gelap dari bagian lainnya, dan inti sel masih jelas. Disamping itu juga terlihat ada rongga antara dinding sel dengan plasma selnya, hal ini mungkin disebabkan kondisi sel yang kering, sehingga plasma selnya mengkerut, sedangkan dinding selnya menjadi padat atau kaku dengan tujuan melindungi bagian-bagian di dalam sel. Ini adalah bentuk sel khamir dalam keadaan dorman.
2 3
4
5
1
3
4 3
A
B
4
9
6
5
7
6 8
C
D
Keterangan : 1) dinding sel segar; 2) dinding sel kering; 3) membran plasma; 4) inti sel; 5) globula lemak; 6) sitoplasma yang rusak; 7) rongga; 8) dinding sel yang retak; 9) dinding sel yang lisis Gambar 27. Penampakan ultrastruktur sel Saccharomyces cerevisiae dengan TEM, pembesaran 12000 X; (A) kultur segar; (B) kultur kering pada fraksi air terikat primer (C) pada aw sekunder dan (D) pada air terikat tersier). Skala 500 µm. Gambar 27 C adalah bentuk struktur sel khamir kering pada daerah air terikat sekunder, terjadi peningkatan kadar air dari kultur kering karena penyerapan uap air dari udara ruang penyimpanan. Bentuk sel terlihat bulat lonjong, dinding sel yang tadinya kompak dan tebal
91 menjadi tipis dan retak-retak, inti sel tidak jelas, sedangkan bagian sitoplasma merapat kedinding sel, sehingga ruangan yang ada antara dinding sel dan sitoplasma tidak terlihat lagi. Hal ini menunjukkan terjadinya pembengkakan pada sel sehingga dinding sel menjadi tipis, tetapi bagian dalam sel masih utuh. Ini menggambarkan bentuk sel khamir dalam keadaan stres yang mulai rusak karena peningkatan kadar air. Selanjutnya Gambar 27 D adalah sel khamir kering pada daerah air terikat tersier. Bentuk sel yang utuh tidak beraturan dan terlihat bagian dalam sel telah rusak dengan rongga-rongga kosong. Keadaan ini menyebabkan dinding sel yang sudah tipis melengkung kedalam, sehingga bentuk permukaan sel tidak datar lagi. Demikian pula inti sel tidak jelas, dan terdapat beberapa rongga-rongga yang tidak beraturan. Sedangkan sel yang rusak bentuknya tidak beraturan, dinding sel hancur, bagian sitoplasma sudah rusak dan isi sel keluar. Hal ini menunjukkan bentuk sel khamir yang sudah mati, karena di dalam pengamatan viabilitas tidak ada mikroba yang hidup atau semua mikroba sudah mati. Menurut Lipke dan Ovalle (1998) struktur dinding sel khamir dapat berubah bentuk selama kawin, peleburan sel, pembentukan pseudohipa, dan pembentukan dinding spora dengan senyawa fenolik.
Sedangkan menurut Hartmann dan Delgado (2004) sel khamir yang
mengalami stres dibawah tekanan hidrostatik tinggi dapat berubah bentuk menjadi lebih bulat atau berbentuk bola, pada saat ini sel menjadi tidak aktif, terutama pada aktivitas dinding sel dan membran plasma. Ada kemungkinan terjadi kerusakan pada dinding sel dan membran plasma. Struktur kimia utama penyusun dinding sel khamir adalah mannan dan glukan. Komponen mannan-protein kompleks dan enzim terlokalisasi pada bagian luar dinding sel, sedangkan dibagian dalam dinding sel adalah gabungan dari mannan-protein-glukan. Disamping itu juga terdapat khitin yang terlokalisasi terutama pada bekas-bekas tunas (bud scars), khitin juga terdeteksi pada jaringan glukan di bagian dalam dinding sel (Zhang et al. 1999). Dengan struktur kimia yang demikian dinding sel khamir sangat keras dan kaku, sehingga sulit sekali untuk rusak, kecuali dengan perlakuan-perlakuan fisik dan kimia. Diantara perlakuan-perlakuan yang dapat merusak dinding sel adalah; tekanan osmotik (osmotic shock) (Alvarez et al. 1995), proses enzimatis (Asenjo et al. 1993) dan proses hidrolisis dengan buffer sitrat (Zhang et al. 1999). Membran plasma adalah bagian sel yang memisahkan komponen-komponen sel dari medium eksternal di bagian luar membran. Membran plasma berfungsi mengatur lalu lintas zat makanan dan hasil metabolisme keluar masuk sel. Struktur membran disusun oleh campuran lemak polar dan protein yang saling berinteraksi. Protein pada membran sekitar 50 % berfungsi sebagai pengangkut yakni ATPase dan protein membran lainnya dilibatkan dalam sintesa dinding sel (Van der Rest et al. 1995). Pada kultur kering semua aktivitas protein ini berhenti dan struktur membran mungkin terganggu, dalam kondisi ini sel mengalami dorman (istirahat). Hasil pengamatan struktural penampang lintang dari suatu sel kering dengan mikroskop elektron (Gambar 28) oleh Beker dan Rapoport (1987), menunjukkan adanya keretakan pada membran sel khamir kering. Disamping itu juga terjadi perubahan di dalam komposisi asam
92 nukleat, protein, lemak, karbohidrat, dan polifosfat. Perubahan ini berhubungan dengan tingkat asam lemak tidak jenuh pada jalur metabolik Saccharomyces cerevisiae selama proses pengeringan dan rehidrasi (Zikmanis et al. 1983).
Gambar 28. Penampakan ultrastruktur sel kering Saccharomyces cerevisiae dengan TEM, pembesaran 145.000 kali. Keretakan membran plasma (tanda panah) (Beker dan Rapoport 1987) . Meningkatnya kadar air dan nilai
aw dari kultur kering selama penyimpanan
menyebabkan aktivitas metabolisme dan respirasi kembali berlangsung tetapi aktivitas transportasi zat makanan kedalam sel tidak terjadi, karena sel kering tidak diberi media tumbuh dalam penyimpanan. Sementara itu proses metabolisme terus terjadi di dalam sel, akibatnya terjadi kerusakan pada struktur sel, seperti membran, sitoplasma dan sintesa dinding sel juga berhenti. Rusaknya struktur sel ini menyebabkan komponen sitoplasma keluar dan bagian dalam sel terbentuk rongga-rongga kosong, dalam kondisi ini sel akan mati. Selanjutnya menurut Lipke dan Ovalle (1998) dan Aguilar-Usanga dan Prancois (2003) struktur dinding sel juga dapat terganggu karena aktivitas zimoliase sehingga dinding sel mengalami lisis. Mengaktifkan kultur kering identik dengan benih kering tanaman, yaitu dengan meningkatkan kadar air secara perlahan, kemudian dipindahkan pada media pertumbuhan yang mengandung nutrisi. Selama masa adaptasi terjadi perbaikan struktur sel, seperti dinding sel, membran dan sitoplasma yang mengalami kerusakan akibat pengeringan. Selanjutnya sel yang dapat beradaptasi akan berkembang pada media tumbuhnya.
Sedangkan sel kering yang
meningkat kadar airnya selama penyimpanan, bila tidak dipindah ke media tumbuhnya dapat memperburuk kerusakan, sehingga sel mengalami lisis dan akhirnya mati. Kebocoran Sel
93 Kebocoran sel mikroba menunjukkan terjadinya kerusakan sel, diantaranya kerusakan dinding sel, membran dan sitoplasma. Kerusakan bagian-bagian sel tersebut mengakibatkan proses metabolisme tidak berjalan normal, sehingga sel mengalami stres dan akhirnya mati. Sedangkan pada benih tanaman, kerusakan membran dan dinding sel dapat menyebabkan hilangnya kemampuan benih untuk berkecambah (Roos 1986). Selanjutnya Osborne didalam Bewley dan Black (1983) juga menyatakan bahwa penyebab hilangnya viabilitas benih antara lain adalah kerusakan makromolekul, hilangnya intergritas membran dan hilangnya kompartemensasi selular. Kerusakkan membran dapat dicerminkan dengan daya hantar listrik yang tinggi.
Demikian pula
kebocoran K+
menunjukkan adanya bagian sitoplasma yang keluar, dan kebocoran Ca++ menunjukkan dinding sel mengalami lisis atau rusak. Pada benih tingginya daya hantar listrik dan kebocoran K+ menunjukkan indikasi awal kemunduran viabilitas dari benih. Kebocoran pada sel mikroba dapat terjadi akibat perlakuan kimia dan fisik yang umumnya dilakukan dalam pengawetan makanan.
Perlakuan kimia yang umum dilakukan
adalah pemberian bahan pengawet seperti anti mikroba, menurunkan pH makanan dan sebagainya. Sedangkan perlakuan fisik yang umum dilakukan adalah pengawetan dengan suhu tinggi, irradiasi, pembekuan, menurunkan aw bahan dan sebagainya (Bunduki et al. 1995 dan Mattick et al. 2001) Proses pengeringan pada penelitian ini dilakukan pada suhu kamar sehingga kebocoran yang terjadi adalah akibat perubahan kadar air dari kultur kering.
Untuk mengidentifikasi
kemungkinan terjadinya kebocoran sel maka pengamatan yang dilakukan adalah : pengukuran daya hantar listrik, analisis K+ dan Ca++ dan analisis senyawa-senyawa protein dan asam nukleat yang terdeteksi pada panjang gelombang 280 nm dan 260 nm Spektofotometer UV. Hasil pengamatan kebocoran sel dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil pengamatan terhadap daya hantar listrik (DHL), total kebocoran ion K+ dan Ca++ serta senyawa protein dan nukleat yang dilepas dari sel khamir pada berbagai kondisi kadar air kesetimbangan. Aktivitas air (aw)
Kadar air (% bk)
DHL (µ S)
K+ (%)
Ca++ (%)
0.11
3.39
0.62
0.02
0.23
3.60
1.07
0.32
4.52
0.43
0.01
Protein & as. amino (%) 6.61
Nukleat & nukleotida (%) 10.31
0.09
0.67
8.21
13.14
1.26
0.75
1.14
8.26
13.28
6.59
1.63
1.26
1.71
8.41
13.80
0.57
7.98
7.22
2.46
2.56
12.64
21.48
0.64
9.79
16.75
4.07
2.82
13.88
23.75
0.74
14.36
22.82
20.13
5.15
15.53
26.09
0.84
21.26
33.70
24.33
5.47
30.92
50.00
0.90
33.18
41.38
36.21
19.40
50.00
77.08
94
Berdasarkan data hasil pengamatan pada Tabel 13 diketahui bahwa peningkatan kadar air dan aktivitas air dari khamir kering menyebabkan meningkatnya angka kebocoran membran dan kerusakan sel, seperti yang ditunjukkan oleh hasil analisis daya hantar listrik, kebocoran K+, Ca++, protein dan asam nukleat sel khamir. Angka kebocoran meningkat tajam mulai terjadi pada nilai aw = 0.57. Hal ini sejalan dengan kurva stres dan kematian kultur kering, pada aw tersebut tingkat stres dari khamir kering tertinggi dan mulainya kematian sel (Gambar 21). Proses pengeringan pada kultur khamir menyebabkan sel kehilangan air bebas dan air struktural. Kehilangan air yang cukup besar ini menyebabkan terhambatnya proses metabolisme sehingga aktivitas seluler lainnya pun terganggu.
Pada kondisi ini mikroba berada dalam
keadaan istirahat atau dorman, tetapi bila kadar airnya dinaikkan dan diberi media tumbuh yang sesuai, maka aktivitas metabolisme kembali normal sehingga viabilitas juga normal. Menurut Tourancheau et al. (1999) berkurangnya ketersediaan air didalam sel menyebabkan sintesa protein dan pembelahan sel berhenti, kondisi istirahat atau dorman.
mikroorganisme berada dalam
Apabila dipindahkan pada media pertumbuhan maka status
dorman akan berhenti dalam beberapa jam kemudian. Kasus ini dapat terjadi pada spora bakteri, benih tanaman dan oocytes. Diketahui pada kondisi RH rendah aktivitas metabolisme berhenti, sedangkan dengan meningkatnya RH penyimpanan menyebabkan meningkatnya kadar air dari sel kering. Kondisi ini dapat mengembalikan air yang hilang sewaktu proses
pengeringan, sehingga aktivitas
metabolisme kembali terjadi. Peningkatan kadar air sel adalah melalui proses absorpsi sel kering yang bersifat sangat higroskopis terhadap uap air dilingkungannya, tingginya kelembaban dapat menyebabkan permiabilitas membran terganggu sehingga terjadi difusi bebas cairan dari luar atau dari dalam sel. Terjadinya difusi bebas ini kemungkinan membawa senyawa-senyawa yang terkandung dari dalam sel sehingga terdeteksi dalam pengamatan kebocoran sel. Selanjutnya peningkatan kadar air dari kultur kering akan mengaktifkan enzim-enzim yang terkandung di dalam sel, reaksi enzimatis ini akan mengganggu struktur dinding sel, membran dan sitoplasma, karena selama penyimpanan sel kering tidak ada penambahan nutrisi dari luar. Apabila reaksi enzimatis terus berjalan, maka akan terjadi kerusakan pada komponen penyusun sel sehingga menyebabkan sel mengalami kebocoran. Kebocoran sel dideteksi dengan pengukuran daya hantar listrik, analisis protein dan asam nukleat yang dilepas didalam air rendaman sel, serta analisis kandungan ion-ion K+ dan Ca++ yang masih tersisa didalam sel. Daya Hantar Listrik Pengukuran daya hantar listrik adalah untuk menentukan adanya ion-ion mineral atau bahan-bahan pengantar listrik yang keluar dari sel sewaktu terjadi kebocoran membran. Semakin tinggi tingkat kebocoran sel, maka angka daya hantar listrik juga meningkat. Menurut Budiarti (1999) pengukuran daya hantar listrik cukup mudah dan dalam waktu singkat dapat ditentukan
95 nilainya. Cara ini sudah lama digunakan untuk menduga viabilitas benih yang berkaitan dengan kebocoran ion-ion pada benih akibat pengaruh kadar air. Angka-angka dari hasil analisis dapat diketahui bahwa daya hantar listrik kultur kering kamir meningkat dengan meningkatnya aw bahan, seiring dengan meningkatnya kadar air kesetimbangan kultur. Pada nilai aw : 0.11 - 0.43 kadar air kesetimbangan meningkat dari 3.39 % (bk) hingga 6.59 % (bk), kurva daya hantar listrik masih datar, tetapi pada nilai aw lebih tinggi dari 0.43 kurva daya hantar listrik meningkat tinggi. Hal ini menunjukan bahwa pada nilai aw yang lebih rendah dari 0.43 tingkat kebocoran sel kering masih rendah. Kemudian dengan meningkatnya aw dan kadar air bahan, maka kebocoran sel juga meningkat sehingga ion-ion yang dilepas di dalam supernatan jumlahnya cukup banyak. Hubungan persentase khamir kering yang tidak tumbuh dan hasil pengukuran daya hantar listrik pada supernatan rendaman sel khamir terhadap peningkatan kadar air kesetimbangan terlihat pada Gambar 29. Hasil pengamatan pada Gambar 29 diketahui hubungan peningkatan kadar air dan daya hantar listrik merupakan garis linear pada masing-masing daerah air terikat. Pada daerah air terikat primer daya hantar listrik rendah dan kurvanya terlihat mendatar. Hal ini menunjukkan tidak terjadi kebocoran sel dan persentase tidak tumbuh masih tinggi karena sel dalam keadaan dorman. Pada daerah air terikat sekunder kurva daya hantar listrik meningkat berarti mulai ada kebocoran. Sedangkan pada daerah air terikat tersier peningkatan daya hantar listrik lebih tinggi, berarti sel dari khamir kering sudah sangat bocor. Pada daerah ini itu kurva tidak tumbuh dari kultur khamir hampir 100% karena banyak yang mati.
100
50 A TS
60
30
40
20
S)
40
A TT 20
10
0
0 0
5
10
15
20
25
30
Kad ar air (% b k) T id ak tu mb u h
Day a h an tar lis trik
Gambar 29. Hubungan linier peningkatan daya hantar listrik dan persentase khamir kering yang tidak tumbuh dengan kadar air kesetimbangan kultur kering khamir
35
Day a h an tar listrik (
Kh am ir tid ak tu m b u h (% )
A TP 80
96 Selanjutnya bila dihubungkan dengan viabilitas khamir kering (Gambar 30), pada daerah air terikat primer kondisi sel dalam keadaan dorman dan tidak terjadi kebocoran sel. Pada sebagian daerah air terikat sekunder (kadar air 4.52% – 6.59%) dimana viabilitas paling tinggi, terlihat kurva daya hantar listrik masih datar, tetapi pada kadar air lebih tinggi dari 6.59% viabilitas khamir kering sedikit menurun,
demikian pula kurva daya hantar listrik mulai
meningkat. Sedangkan pada daerah air terikat tersier viabilitas terus menurun sangat cepat, demikian pula dengan kurva daya hantar listrik meningkat dengan cepat. Dalam hal ini sel sudah banyak yang mati karena sudah sangat bocor. Dari pengamatan dengan SEM (Gambar 25) dan TEM (Gambar 27), terlihat bentuk sel tidak beraturan atau kempes dan bagian dalam sel terlihat berongga-rongga karena sitoplasmanya rusak. Peningkatan kebocoran sel berkaitan kengan peningkatan kadar air dari sel khamir kering. Pada daerah primer, kondisi air di dalam sel khamir kering adalah air yang terikat sangat kuat di dalam sistem sel, dan tidak dapat dipakai untuk rekasi-reaksi kimia sehingga aktivitas metabolisme berhenti, sel dalam keadaan dorman tetapi tidak bocor.
Pada daerah air terikat
sekunder, sel dalam keadaan stres dan kebocoran masih sedikit. Sedangkan pada daerah tersier yang kadar air sangat tinggi menyebabkan rusaknya struktur sel, sehingga tingkat kebocoran
50
8
40
Log N
6
A TP
A TS
30
A TT
4
20
2
10
0
0 0
5
10
15
20
25
30
Day a h an tar listrik (
10
S)
meningkat.
35
Kad ar air (% b k) Lo g N
Day a h an tar lis trik
Gambar 30. Hubungan daya hantar listrik dengan viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae Masuknya air dapat mengaktifkan enzim-enzim dan proses metabolisme, apabila organisme dalam kondisi seperti ini diberi media tumbuh yang sesuai, maka ia dapat tumbuh normal kembali. Misalnya benih yang mengalami kemunduran akibat kerusakan membran dan
97 struktur seluler akan dapat dipulihkan lagi dengan perlakuan zat pengatur tumbuh pada media tumbuhnya, perlakuan ini menunjukkan laju respirasi dan metabolisme yang paling tinggi dari pada perlakuan dengan aquades tanpa nutrisi (Budiarti 1999). Demikian pula halnya dengan mikroba, pada kondisi yang terlalu kering dapat menyebabkan mikroba menjadi stres, karena ada struktur sel yang terganggu.
Tetapi bila
dipindah pada media tumbuhnya maka akan terjadi perbaikan struktur sel, dengan mengambil unsur-unsur nutrisi pada media tumbuh atau media pemeliharaannya. Sebaliknya bila sel sudah mengalami lisis akibat peningkatan kadar air selama penyimpanan, maka kerusakan struktur sel tidak dapat diperbaiki lagi dan akibatnya sel akan mati. Pengukuran daya hantar listrik telah lama digunakan sebagai tolok ukur untuk pendugaan umur simpan benih jagung dan kedelai Saenong (1986). Metode ini juga dikembangkan untuk menguji viabilitas benih rekalsitran.
Penentuan daya hantar listrik ini merupakan uji tidak
langsung dengan indikasi langsung.
Tingginya daya hantar listrik menunjukkan kebocoran
membran semakin tinggi sehingga viabilitas benih semakin rendah (Budiarti 1999). Kerusakan yang terjadi pada membran dinding sel, ditandai dengan keluarnya ion-ion mineral ke dalam air rendaman sel yang kemudian diuji daya hantar listriknya. Tingginya tingkat kerusakan membran dinding sel diketahui dengan semakin banyaknya ion-ion yang keluar sehingga daya hantar listriknya juga tinggi. Menurut Baker dan Rapoport (1987)
selama proses pengeringan sel dapat terjadi
keretakan pada membran sitoplasmanya, sehingga menyebabkan kebo-coran sel.
Untuk
mengurangi tingkat kebocoran sel kering sewaktu rehidrasi, maka dalam proses pengeringan perlu ditambahkan bahan pelindung. Bahan pelindung menutupi permukaan sel sehingga dapat mencegah kerusakan sel akibat pengaruh lingkungan. Kebocoran ion K+ dan Ca++ Menurut Ultee (1999) ion K+ adalah kation utama sitoplasma dari sel yang sedang tumbuh. Ion K+, Ca++ dan Mg++ terkandung di dalam sitosol yaitu cairan sitoplasma. Ion K+ berperan dalam aktivasi enzim sitoplasma, menjaga tekanan turgor dan mengatur pH sitoplasma. Adanya ion K+ yang keluar dari sel menunjukkan terjadinya kerusakan membran sitoplasma (Heipieper et al 1996 dan Sikkema 1994).
Sedangkan ion Ca++
dan Mg++, selain pada
sitoplasma, juga terdapat pada dinding sel dan berperan dalam aktivitas enzim. Peningkatan kosentrasi Ca++ bebas didalam sel akan mengaktifkan enzim-enzim seperti piruvat dehidrogenase, Ca++ merupakan molekul pembawa pesan metabolik yang penting dan konsentrasinya meningkat pada saat timbulnya kebutuhan ATP. Mineral kalium (K) dan fosfat (P) merupakan mineral yang paling dominan di dalam sel khamir, jumlah mineral kalium (K) adalah ± 21 mg/g berat kering khamir. sedangkan mineral kalsium (Ca) kandungannya adalah ± 7.5 mg/g berat kering khamir (Reed dan Nagodawithana 1991).
98
40
30 25
60
20
ATP 40
15 10
20
5
0
++
35
ATT
+
ATS
80
K dan Ca yang dilepas (%)
Tidak tumbuh (%)
100
0 0
5
10
15
20
25
30
35
Kadar air (% bk) Tidak tumbuh
K+
Ca++
Gambar 31. Pengaruh berbagai air terikat pada kultur kering Saccharomyces cerevisiae terhadap jumlah ion-ion K+dan Ca++ yang dilepas dan persentase khamir tidak tumbuh. Berdasarkan data hasil pengamatan pada Tabel 13 dan Gambar 31, diketahui peningkatan kadar air kesetimbangan khamir kering hingga 6.59%, kurva kebocoran ion K+ dan Ca++ masih mendatar dan terjadi sedikit peningkatan pada kadar air 9.79%. Ini bearti pada daerah air terikat primer belum terjadi kebocoran ion-ion K+ dan Ca++ karena sel dalam keadaan dorman, seperti yang tergambar pada kurva tidak tumbuh. Tetapi pada kadar air 14.36% (aw : 0.74) kurva kebocoran meningkat tajam hingga ke daerah air terikat tersier, pada saat ini kurva tidak tumbuh (karena mati) juga meningkat tajam. Pada daerah sekunder kebocoran ion Ca++ masih rendah sedangkan ion K+ kebocorannya meningkat tajam. Selanjutnya pada daerah tersier kebocoran K+ dan Ca++ meningkat intensif, tetapi kebocoran Ca++ lebih rendah dari K+. Lebih banyaknya K
+
yang dilepas dari Ca++ menunjukkan bahwa kerusakan sel pada
bagian sitoplasma lebih besar daripada dinding sel. Hal ini disebabkan oleh struktur dinding sel khamir yang kuat, dan setelah pengeringan dinding sel menjadi lebih tebal dan kompak. Seperti terlihat pada Gambar 27 B hasil pengamatan dengan TEM, dinding sel berwarna lebih gelap yang berarti bagian yang gelap tersebut lebih padat strukturnya dari bagian lain yang berwarna lebih terang. Jadi untuk merusak dinding sel dibutuhkan kondisi yang sangat ekstrim, misalnya kelembaban yang tinggi dalam waktu yang relatif lama (lebih dari 24 jam). Selanjutnya hubungan kebocoran ion-ion Ca++ dan K+ terhadap viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae dapat dilihat pada Gambar 32. Dari
Gambar 32 diketahui viabilitas
sel masih stabil pada kadar air dibawah 6.59%, tetapi pada kadar air lebih besar dari 9.79% viabilitas turun sangat cepat. Demikian pula kebocoran ion-ion Ca++ dan K+ meningkat dengan tajam dan sebanding dengan peningkatan daya hantar listrik.
99
40
Log N
8
30
6
ATP
ATS
ATT
20
4 10
2 0
0 0
5
10
15 20 Kadar air (% bk)
Log N
K+
25
30
K+ dan Ca++ yang dilepas (%)
10
35
Ca++
Gambar 32. Hubungan jumlah ion-ion K+ dan Ca++ yang dilepas terhadap viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae Sehubungan dengan viabilitas tersebut, pada daerah primer sel dalam keadaan dorman dan belum terjadi kebocoran dari ion-ion Ca++ dan K+, sedangkan pada daerah air terikat sekunder sel dalam keadaan stres, tingkat kebocoran Ca++ dan K+ masih rendah. Tingkat kebocoran Ca++ pada daerah air terikat tersier meningkat pada saat meningkatnya jumlah sel yang mati, tetapi kebocoran K+ mulai meningkat tajam pada kadar air 9.79%, pada saat ini sel banyak yang stres. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kerusakan mula-mula terjadi pada membran dan sitoplasma, kemudian baru diikuti oleh kerusakan dinding sel. Semakin tinggi peningkatan kadar air dari kultur kering, maka semakin banyak jumlah air yang keluar masuk secara bebas kedalam sel. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan di bagian dalam sel, yang terlihat dengan terbentuk rongga-rongga (Gambar 27). Keadaan ini apabila sel direndam atau dicuci, maka material-material sel yang rusak akan dilepas ke dalam air, diantara material-material tersebut terdapat ion-ion mineral antara lain ion K+ dan Ca++. Kandungan K+, Na+, dan Mg++ pada mikroba ditentukan pada berbagai tahap pertumbuhan, K+ ekstraseluler meningkat pada saat fase pertumbuhan eksponen-sial, dan pada fase berikutnya akan berkurang secara perlahan (Sprott dan Jarrell, 1981). Pada kultur kering atau sel dorman, aktivitas seluler berhenti. Demikian halnya peranan K+ juga berhenti pada sat sel mengalami stres, tetapi bila dipindahkan pada medium pertumbuhannya, maka tingkat pengambilan K+ meningkat lima kali lipat dari pada sel kultur segar, hal ini merupakan proses adaptasi spontan dari sel yang mengalami stres. Dengan meningkatnya ion K+ intraseluler, maka pengambilan senyawa protein dan asam-asam amino pada medium segar juga meningkat (Nagata et al. 1998).
100 Di dalam sel eukariotik ion Ca++ dengan konsentrasi tinggi diperlukan untuk aktivitas sejumlah enzim yang mengkatalisasi susunan, memodifikasi, mengolah dan mengatur lalulintas protein yang keluar. Aktivitas Ca++ diatur oleh retikulum endoplasma (RE), dari sitosol Ca++ dipompa secara langsung ke dalam RE dan berhubungan dengan kopartemen sel lainnya. Adanya stimulasi ekstraseluler, Ca++ kembali dikeluarkan ke sitosol sehingga meninggkatkan Ca++ bebas yang kemudian dapat mengaktifkan beberapa signal transduksi (Locke et al. 2000). Selama dalam keadaan dorman dan stres, aktivitas enzim dan protein berhenti, demikian pula dengan aktivitas ion-ion Ca+ dan K++ juga berhenti. Meningkatnya kadar air kultur kering, maka proses metabolisme dan respirasi mulai aktif kembali. Bila proses ini terus berjalan, maka akan menyebabkan struktur sel menjadi rusak dan termasuk juga ion-ion mineral pada komponen sel, akibatnya sel akan mati. Kebocoran Senyawa Protein dan Asam Nukleat Pengamatan kebocoran senyawa protein dan asam nukleat adalah dengan mendeteksi senyawa yang terserap pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm spektrofotometer uv. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kebocoran dari bagian-bagian sel yang mengalami kerusakan akibat peningkatan kadar air oleh pengaruh RH penyimpanan. Menurut Skoog, 1985 di dalam Park et al. 2003) senyawa yang terdeteksi pada panjang gelombang 260 nm adalah nukleotida purine, nukleotida pirimidine, dan ribonukleotida sedangkan yang terdeteksi pada panjang gelombang 280 nm adalah protein dan asam amino seperti tirosin dan triptopan. Hasil pengamatan pada Tabel 13 menunjukan bahwa supernatan sel dari kultur kering Saccharomyces cerevisiae mengandung senyawa-senyawa yang terserap pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm spektrofotometer uv, senyawa-senyawa tersebut dihasilkan dari sel yang menga-lami kerusakkan. Selanjutnya
dari angka-angka
hasil pengamatan dapat digambarkan hubungan
peningkatan kadar air kesetimbangan dengan kebocoran senyawa-senyawa protein dan asam nukleat seperti Gambar 33. Sedangkan hubungan kebocoran senyawa protein dan asam nukleat terhadap viabilitas kultur kering dapat digambarkan pada Gambar 34. Pada Gambar 33 terlihat kurva kebocoran asam nukleat, nukleotida, asam amino dan protein pada daerah air terikat primer dan sekunder masih rendah, pada saat ini sel berada dalam keadaan dorman dan stres. Sedangkan pada daerah air terikat tersier, terlihat kurva kebocorannya meningkat tajam, karena sudah sangat bocor dan didaerah ini kurva tidak tumbuh mencapai 100% karena mati. Senyawa protein dan asam amino ini merupakan bahan penyusun hampir semua bagian struktur sel sedangkan asam nukleat dan nukleotida terdapat pada ribosom, inti sel dan mitokondria.
101
80
Log N
70
A TT
8
60 A TP
6
A TS
50 40
4
30 20
2
10 0
Pro te in d a n a sa m n u k lea t (% )
10
0 0
5
10
15
20
25
30
35
K ad a r air (% b k) Lo g N
Pro te in d a n as a m amin o
N u kleo tid a d an a s am n u klea t
Gambar 33. Pengaruh kadar air kesetimbangan terhadap kebocoran asam nukleat, nukleotida, asam amino dan protein pada spernatan sel yang terdeteksi pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm spektrofotometer uv Terjadinya kerusakkan protein dan asam nukleat mungkin disebabkan aktifnya enzimenzim sehingga meningkatkan aktivitas metabolisme pada kultur kering Saccharomyces cerevisiae. Dengan meningkatnya aktivitas metabolisme tejadi perombakan terhadap seyawasenyawa utama pada struktur sel yaitu protein. Hasil perombakan protein dilepas ke dalam air rendaman sel dan tedeteksi pada spekrofotometer uv pada panjang gelombang 280 nm. Sedangkan senyawa asam nukleat berasal dari inti sel
dan mitokondria, karena terjadi
kerusakkan membran inti sel dan membran mitokondria, dan terdeteksi pada panjang gelombang 260 nm. Selanjutnya senyawa protein dan asam nukleat dapat juga berasal dari komponenkomponen sel yang rusak dan mati pada daerah air terikat tersier. Hasil pengamatan pada Gambar 34 terlihat pada daerah air terikat primer kultur dalam keadaan dorman dan tidak terjadi kerusakkan pada senyawa protein dan asam nukleat. Pada daerah air terikat sekunder viabilitas tinggi tetapi sel dalam keadaan stres dan tingkat kerusakkan protein dan asam nukleat masih rendah. Pada daerah terikat tersier sel banyak yang mati dan tingkat kerusakkan senyawa protein dan asam nukleat sangat intensif.
Data kebocoran ini
sebanding dengan kebocoran ion-ion mineral, dan tingkat kebocoran tertinggi adalah pada saat viabilitas kultur menurun dengan tajam.
Menurut Tourancheau et al. (1999), dorman pada
mikroba ditandai dengan berhentinya sintesa protein dan siklus perkembangan sel. Jadi selama masa dorman ini tidak terjadi proses metabolisme di dalam sel, karena kondisi air di dalam sel yang terikat dengan energi sangat besar pada gugus hidroksil, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk reaksi-reaksi kimia dan enzimatis.
102
100
80 A TS
A TT
70
80
60 50
60
40 40
30 20
20
10 0
Pro te in d a n a sa m n u k le a t (% )
K h a m ir tid a k tu m b u h (% )
A TP
0 0
5
10
15
20
25
30
35
a d atid r aairk (% b k)u h K h aKmir tu mb Pro te in d a n a s a m a min o N u kle o tid a d a n a s a m n u kle a t Gambar 34. Hubungan kultur kering Saccharomyces cerevisiae yang tidak hidup terhadap kebocoran senyawa protein dan asam nukleat. Tingginya tingkat kebocoran protein, asam amino, nukleotida dan asam nukleat pada daerah air terikat tersier adalah karena sel sudah sangat rusak dan mati, kemudian komponen sel yang rusak dilepas ke dalam air rendaman sel. Pada saat kondisi sel dalam keadaan segar, senyawa manoprotein berfungsi menyerap larutan dan nutrisi dari media, kemudian dibawa ke seluruh sistem seluler oleh protein pengangkut. Kemudian pada saat sel berada dalam kondisi kering, semua aktivitas protein berhenti. Selanjutnya dengan meningkatnya kelembaban disekitar kultur kering, maka bahan kering akan menyerap air dari udara lembab tersebut.
Dalam hal ini dapat menyebabkan
perpindahan air pada fase transisi lemak lapis ganda (lipid bilayer) pada membran sehingga terjadi perubahan permiabilitas membran.
Perubahan permiabilitas dapat menyebabkan
terdisfusinya secara bebas air dan bahan-bahan terlarut melalui selaput membran (Brown 1980). Membran plasma adalah lemak lapis ganda yang merupakan campuran lemak polar dan protein yang saling berinteraksi membentuk struktur dari membran. Protein pada membran plasma berfungsi dalam pengangkutan larutan, transduksi isyarat, penyangkut sitoskleton dan sintesa komponen membran sebelah luar. Pada khamir aktifitas protein pengangkut dapat diatur di tingkat transkripsi, seperti induksi dan katabolit pengganggu, tetapi aktivitas pengangkutan juga dapat dipengaruhi oleh suatu proses masuknya katabolit yang tidak aktif. Hal ini terjadi pada saat khamir dalam keadaan stres atau kekurangan nutrisi (Van der Rest et al. 1995). Asam nukleat dan nukleotida adalah senyawa penyusun DNA dan RNA. Menurut Gilbert (1984) senyawa-senyawa yang dapat diserap pada panjang gelombang 260 nm adalah RNA dan turunan RNA yaitu nukleotida, sedangkan pada panjang gelombang 280 diidentifikasikan sebagai
103 protein dan asam amino. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Park et al. (2003) kerusakan membran akibat pengaruh RH penyimpanan lebih kecil dari perlakuan inaktivasi mikroba dengan CO2 dan tekanan hidrostatik tinggi dimana jumlah angka absorban pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm berkisar antara 1.2 sampai 1.9. Menurut Reed dan Nagodawithana (1991)
komposisi kimia dari sel khamir
Saccharomyces cerevisiae sebagian besar adalah protein, dengan kandungannya adalah ± 50% – 52%, sedangkan sisanya adalah berupa karbohidrat, lemak, mineral, serat makanan dan air. Total protein tersebut terdiri atas protein ± 42% - 46 % serta RNA dan DNA ± 6% – 8%. Protein ini merupakan bahan penyusun hampir semua bagian struktur sel, sedangkan RNA dan DNA terdapat pada ribosom, inti sel dan mitokondria (Pelczar 1977).
104
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Proses pengeringan kemoreaksi dengan kalsium oksida (CaO) dapat dimanfaatkan untuk proses pengeringan kultur Saccharomyces cerevisiae. Prosesnya berlangsung pada suhu kamar sehingga cocok untuk pengeringan bahan yang peka terhadap panas. Proses pengeringan kemoreaksi pada kultur S. cerevisiae dipengaruhi oleh ketebalan lapisan khamir dan waktu pengeringan. Rasio penggunaan CaO dan berat khamir 10 : 1 (w/w) serta ketebalan lapisan sampel 1.3 mm dapat menurunkan kadar air sampel (krim khamir) dari 80% (berat basah) menjadi 4.42% (berat kering) selama 24 jam. Viabilitas kultur kering yang dihasilkan adalah 72 % dengan jumlah sel hidup 109 CFU per gram sampel. Kurva isotermi kultur khamir kering hasil pengeringan kemoreaksi adalah sigmoidal. Kurva ini terdiri dari 3 daerah air terikat yait primer, sekunder dan tersier, dengan kadar air kritis masing-masing 3.64%, 13.80% dan 68%. Pola isotermi kultur khamir kering yang diperoleh ini identik dengan pola isotermi makanan kering. Pada daerah air terikat primer (aw 0-0.22) viabilitas rendah karena kultur berada dalam keadaan dorman. Pada daerah air terikat sekunder (aw 0.22-0.6) viabilitas meningkat tetapi dalam keadaan stres, sedangkan pada aw 0.6-0.75 viabilitas menurun. Pada air terikat tersier (aw > 0.75) sel tidak ada yang hidup. Penambahan bahan pelindung 2% agar-agar atau 2% CMC belum dapat melindungi sel yang hidup meskipun menaikan kadar air kritikal dari ketiga daerah air terikat. Penampakan sel yang diamati dengan SEM dan TEM, bentuk sel dorman pada daerah air terikat primer sama seperti sel segar, namun dinding sel lebih padat dan inti sel sangat jelas menyerupai bentuk spora. Bentuk sel stres pada daerah air terikat sekunder terlihat permukaan sel mengkerut, dinding dan membran sel mulai pecah-pecah. Bentuk sel pada daerah air terikat tersier, dinding sel dan membran mengalami lisis.
105
Kebocoran sel berdasarkan hasil analisis protein, asam nukleat, ion K+ dan Ca++, serta pengujian daya hantar listrik, diketahui sel yang dorman tidak mengalami kebocoran, sel yang stres kebocorannya sedikit, sedangkan sel yang mati kebocorannya sangat intensif. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan perlu pengembangan teknologi proses pengeringan kemoreaksi dengan CaO untuk produksi komersial kultur Saccharomyces cerevisiae kering yang praktis dan murah. Demikian juga diperlukan pengujian lebih lanjut terhadap perubahan metabolisme yang terjadi pada saat kultur kering dalam keadaan dorman dan keadaan stres sehingga dapat ditentukan media penyembuhan yang efektif dan perhitungan viabilitas sel lebih akurat.
106
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2004a. Building the Spore Wall. http://ms.cc.sunysb.edu/~aneiman /publication.html. (3 Desember 2004) [Anonim]. 2004b. Desiccant Types. http://www.sorbentsystems.com /index.html (20 Desember 2004) [Anonim]. 2004c. Yeast Production – General discussion http://www.theartisan.net/ The_Artisan_Yeast_Treatise_Section_one.htm (3 Desember 2004) [Anonim] 2004d. The effect of protective ingredients on the survival of immobilized cells of Streptococcus thermophilus to air and freeze-drying. http://www.ejbiotechnology.info/index.html. (12 Oktober 2004). Abadias M, Teixido N, Usall J, Benabarre A, Vinas I. 2001. Viability, efficasi, and storage stability of freeze-dried biocontrol agent Candida sake using different protective and rehydration media. J. Food Protec. 64(6) : 856-861. Aguilar-Uscanga B, Franscois JM. 2003. A study of the yeast cell wall composition and structure in response to growth conditions and mode of cultivation. The Soc. Appl. Microbiol. Lett. Appl. Microbiol. 37 : 268274. Aguilera JM, Stanley DW. 1990. Microstructural Principles of Food Processing and Engineering. Elsevier Applied Science. London, New York. Alikhani Z, Raghavan GSV, Mujumdar AS. 1982. Adsorption drying of corn in zeolite granule using a rotary drum. Drying Technol. 10(3) : 783-797. Algie JE. 1980. The heat resistance of bacterial spores due to their partial dehydration by reverse osmosis. Current Microbiol. 3 : 287-290. Alvarez P, Sanchez M, Molina M, Nombela C. 1995. Release of virus-like particles by osmotic shock from mutan strain of yeast deficient in cell integrity. J. Biotechnol. 9: 441-444. Asenjo JA, Ventom AM, Huang RB, Andrew BA. 1993. Selective release of recombinant protein particles (VLPs) from yeast using a pure lytic glucanase enzyme. Biol. Technol. 11: 214-217 Asikin AN. 1998. Kajian model pengeringan absorbsi fillet ikan lapis tipis menggunakan CaO sebagai absorben. Tesis. Program Studi Teknik Pasca Panen, Program Pascasarjana IPB, Bogor. Asnani. 1999. Pemanfaatan air kelapa dan protease untuk produksi bahan flavor savory dari ekstrak khamir. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan Program Pascasarjana, IPB Bogor. BPS (Badan Pusat Statistik). 1999. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Publikasi Statistik Impor 1998. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. BPS (Badan Pusat Statistik). 2000. Statistik Perdagangan Luar Negeri
107 Indonesia. Publikasi Statistik Impor 1999. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. BPS (Badan Pusat Statistik). 2001. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Publikasi Statistik Impor 2000. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. BPS (Badan Pusat Statistik). 2002. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Publikasi Statistik Impor 2001. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. BPS (Badan Pusat Statistik). 2003. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Publikasi Statistik Impor 2002. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. BPS (Badan Pusat Statistik). 2004. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Publikasi Statistik Impor 2003. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. Barbosa-Canovas GV, Vega-Mercado. 1996. Dehydration of foods. International Thomson Publishing New York. Chapman and Hall, New York. Bozzola JJ, Russel LD. 1999. Electron Microscopy. Principles and Techniques for Biologist. Second edition. Jones and Bartleet Publishers, Boston. Beker MJ, Rapoport AI. 1987. Conservation of yeast by dehydration. Adv. Biochem. Eng. Biotechnol. 35 : 127 - 171. Bewley JD, Black M. 1983. Seed Physiology of Development and Germination. Plenum Press. New York. Brennan JG, Butter JG, Cowell ND, Lily AEV. 1974. Food Engineering Operation. Applied Science Publisher Limited, London. Brooker DB, Bekker - Arkema FW, Hall CW. 1982. Drying Cereal Grains The AVI Publishing Company, Inc. Weasport, Conn. Brown AD. 1990. Microbial Water Stress Physiology, Principles and Perspectives. John Wiley & Son. New York, Brisbane, Toronto, Singapore. Budiarti T. 1999. Konservasi vigor benih rekalsitran kakao (Theobroma cacao L.) dengan penurunan kadar air dan proses ingoransinya. Disertasi. Program Studi Agronomi, Program Pascasarjana IPB. Bunduki MMC, Flanders KJ, Donnelly CW. 1995. Metabolic and structural sites of damage in heat and sanitizer-injured populations of Listeria monocytogenes. J. Food Protec. 58 (4) : 410-415. Cano RJ, Colome JS. 1986. Microbiology. West Publishig Company. New York. Carlsen M, Jochumsen KV, Emborg C, Nielsen J. 1997. Modeling the growth and proteinase a production in continous cultures of recombinant Saccharomyces cerevisiae J. Biotechnol. Bioeng. 55(2) : 447- 454.
108 Chang R, Tikkanen W. 1989. The Top Fifty Industrian Chemicals. Random House, New York. Chaplin M. 2004. Water Activity. Water structure and behavior. http://www.lsbu.ac.uk/water/chaplin.html. (last up dated on 26 October, 2004) Christensen CM. 1974. Storage of Cereal Grains and Their Product. 2nd eds. Americant Association of Cereal Chemist. St. Paul Inc. Minnesota, USA. Chirife J. 1983. Diffusional process in the drying of tapioca root. J. Food Sci. 36 : 327-329. Cormaci A M. 1994. Making dry coffee aroma gas with improved aroma characteristics, United Stated Patent, US 5 342 639. US 154902 (19931118) (Procter & Gamble, Cincinnati, OH, USA). Crow VL, Gopal PK. 1995. Cell surface diference of lactococcal strain. J. Int. Dairy 5, 45-68 Davis JG. 1975. Microbiology of Yogurt. Di dalam Carr JG, Cutting CV, Witting CC, editor. Lactis Acid Bacteria in Beverage and Food. Academic Press. London. Davidson PM, Branen L. 1980. Antimicrobial mechanisms of butylated hydroxylanisole against two Pseudomomas species. J. Food Sci. 45 ; 16071613 Dobbs AJ, Peleg M, Mudget RE. 1982. Some physical characteristics of active dry yeast. J. Powder Technol. 32:63-69 Ertas A, Azizul H, Kiris I, Gandidasan P. 1997. Low temperature peanut drying using liquid dessicant system climatic condition. Drying Technol. 15(3/4):1045-1060. Fardiaz S. 1989. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Lembaga Sumberdaya Informasi, IPB, Bogor. Fellows P. 1990. Food processing technology. Principles and practice. Ellis Horwood, New York. Flint SH, Brooks JD, Bremer PJ. 1997. The influence of cell surface properties of termophilic on attachment to stainless stell. J. Appl. Microbiol. 83: 506-517 Fu WY, Etzel R. 1995. Spray drying of Lactococcus lactis ssp. Lactis C2 and Cellular Injury. J. Food Sci. 60 (1): 195-200 Fuadi A. 1999. Mempelajari karakteristik batu kapur tohor/line (CaO) sebagai absorben untuk proses pengeringan secara absorpsi. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian Jurusan Mekanisasi Pertanian, IPB. Franklin T, Snow GA. 1989. Biochemistry of Antimicrobial Action. Chapman & Hall. London. Garay-Aroyo A, Calmenero-Flores JM, Garciarrubio A, Corvarrubias A. 2000 Highly hidrophilic protein in procaryotes and eucaryotes are common during condition water defisit. J. Biologic.l Chem. 275 (8) : 5668-5674.
109 Gilber P. 1984. The revival of micro-organisms sublethally injured by chemical inhibitors. Di dalam: Andrew MHE, Russell AD, editor. The Revival of injured Microbes. Academic Press, London. Gorman SP. 1991. Microbial Adherence and Biofilm Production. Di dalam: Denyer SP, Hugo WB, editor. Mechanism of Action of Chemical Biocides their Study and Exploitation. Blackwell Sci. Publ. New York. Gould GW, Dring GJ. 1978. Role of expanded cortex in resistance of bacterial endospore. Di dalam: Gerhardt P, Sadoff HI, Costilow RN, editor. Spore VI. American Society for Microbiology. Washington, D.C. Halim B. 1996. Pengeringan biji lada (Piper nigrum Linn) secara absorbsi dengan kapur gamping (CaO). Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Hall CW. 1979. Drying Farm Corps. Eduard Brothers Co., Michigan. Hallsworth JE, Prior BA, Nomura Y, Iwahara M, Timis KN. 2003. Compatible solutes protect against chaotrope (ethanol)-induced, nonosmotic water stress. J. Appl. Environ. Microbiol. 69 (12) : 7032-7034. Hartmann C, Delgado A. 2004. Numerical Simulation of the Mechanics of a Yeast Cell under High Hydrostatic Pressure. J. Biomec. (in press). Heipierper HJ, Meulenbeld G, Qirschot Q, De Bont JAM. 1996. Effect of environmental factors on the trans/cis ratio of ansaturated fatty acids in P. putida S12. J. Appl. Environ. Microbiol. 62 (10) : 6665-6670. Heldman DR, Singh RP. 1981. Food Processing Engineering. The AVI Publ. Co., Inc. Wesport, Connecticut Henderson SM, Perry RL. 1976. Agricultural Process Engineering. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut, USA. Herrington TM, Vennier FC. 1995. Vapour pressure and water activity. Di Dalam: Beckett ST, editor. Physico-Chemycal Aspects of Food Processing. Blackie Academic and Profesional. London. Glasgow. Hersasi L. 1996. Pembuatan brem padat dengan penambahan dekstrin dan pengeringan absorbsi. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FakultasTeknologi Pertanian, IPB, Bogor. Hill FF. 1987. Dry living microorganisms, Product for the food industry. Di Dalam: Chmiel H, Hammes WP, Bailey JE, editor. Biochemical Engineering. MIT Press, Cambrige, Mass. Hohmann S. 2002. Osmotic stress signaling and osmoadaptation in yeast. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66 (2) : 300-372.
Hu X, Zhang Y, Hu C, Tao M, Chen S. 1998. A comparison of methods for drying seeds: vacuum freeze-drier versus silica gel. Cab. International. http://www.ipgri.cgiar.org/publications/HTMLPublications/243/ch07.htm (20 Desember, 2004) Hurst A. 1984. Revival of vegetative bacteria after sublethal heating. Di dalam Andrew MHE, Russell AD. (eds). The Revival of Injured Microbes.
110 Academic Press. London. Husna N. 1998. Mempelajari pengaruh jenis kultur dalam pengeringan beku dan lama penyimpanan terhadap mutu kultur starter Yogurt. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. James RW. 1973. Desiccants and Humectans. Chemichal Technology Review. No. 7. Noyes Data Corp Park Ridges, New Jersey.
Jaworski S. 2004. Yeast. Joyofbaking.com. Copyright 1997 to 2004. http://www.joyofbaking.com/Yeastprint.html (20 Agustus 2004) Jenie BSL, Nuraida L, Purwono. 1996. Produksi kultur starter kering Lactococcus Lactis subsp Cremoris dan aplikasinya pada pengawetan ikan lemuru. Laporan RUT II 1995/1996. Jurusan Teknologi pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Julianti E. 2003. Kajian perilaku proses pengeringan kemoreaksi dengan kapur api (CaO), untuk pengeringan materi hidup (Kasus : Benih cabai merah) Disertasi IPN, Program Pascasarjana IPB. Kuriyama H, Kobayashi H. 1993. Effects of oxigen suply on yeast growth and metabolism in continuous fermentation. J. Ferment. Bioeng. 75 (5) : 364-367 Labuza TP, Tannenbaum SR, Karel M. 1970. Water content and stability of low-moisture and intermediate-moisture foods. Food Technol 24: 35-40. Labuza TP. 1984. Moisture sorption : Practical aspect of isotherm measurement and use. J. Am. Assoc Cereal Chem., St Paul Minnesota. Langejan A. 1980. Active dry baker’s yeast. US Patent 4 217 420. Lipke PN, Ovalle R. 1998. Cell wall architecture in Yeast : New structure and New Challenges. Mini review. J. Bacteriol. 180 (15) : 3735-3740. Liu CH, Hwang CF, Liao CC. 1999. Medium optimization for glutathione production by Saccharomycces cerevisiae. J. Proc. Biochem. 34:17-23. Locke EG, Bonilla M, Liang L, Takita Y, Cunningham KW. 2000. A homolog of voltage-gated Ca2+ channels stimulated by depletion of secretory Ca2+ in yeast. J. Mol. Cellular Biol. 20 (10) : 6686-6694. Mackenzie L, Sharp DWA. 1970. A new dictionary of chemistry. Longman London. Malik KA, Hoffmann P. 1993. Long-term preservation of yeast cultures by liquid-drying. World J. Microbiol. Biotechnol. 9 (3): 372-376. Mandai T, Shibuya T, Sugimoto T, Miyake T. 1994. Desiccant, dehydration and dehydrated product obtainable thereby. European-Patent-Aplication. EP 0 600 730 A1. JP 92-356600 (19921202). Hayashibara Seibutsu Kagaku Kenkyujo, 2-3. 1-Chome, Shimoishii, Okayama-Shi, Okayama Japan.
Mattick KL, Jorgensen F, Legan JD, Lappin-Scott HM, Humphrey TJ. 2001. Improving recovery of Salmonella enterica serovar Thyphimurium DT 104 cells injured by heating at different water activity values. J. Food
111 Protec. 64 (10): 1472-1476. Miller MW. 1982. Yeast. Di dalam Reed, G. (ed). Prescott & Dunn. Industrial Microbiology 4th edition. AVI Publishing Co. Inc. Westport, Connecticut. Mursalim. 2002. Analisis laju pengeringan dan kajian pindah panas pada pengeringan lapis tipis fillet ikan patin secara absorbsi menggunakan absorben kapur api. Tesis Program Pascasarjana IPB Bogor.
Nagata S, Kyoko A, Hiroshi S. 1998. Intracellular Changes in Ions and Organic Solutes in Halotolerant Brevibacterium sp. Strain JCM 6894 after Exposure to Hyperosmotic Shock. Appl. Environ. Microbiol 64 (10) : 3641-3647. Nancy WYH, Chen Z, Brainard A P. 1998. Genetically Engineered Saccharomyces Yeast Capable of Effective Cofermentation of Glucose and Xylose. J. Appl. Environ. Microbiol. 64 (5) : 1852-1859. Niven GW, Mulholland F. 1998. Cell membrane integrity and lysis in Lactococcus lactis : the detection of apopulartion of permeable cells in post-logarithmic phase cultures. J. of App. Microbiol. 84: 90-96. Nowicki D, Liermann R. 2002. Saccharomyces cerevisiae images. Di dalam Cell Lysis. Pierce Biotechnology. Inc., P.O 117, Rockford, IL 61105. http://www.yeastgenome.org/images/1504pea.jpg (15 Mei 2002). Nuraida L, Soekarto ST, Adawiyah DR, Subarna. 1994. Pembuatan dan Pengawetan Laru untuk pembuatan Yugurt. Laporan Penelitian DP3MFakultas Teknologi Pertanian-IPB Bogor. Nuraida L, Adawiyah, DR, Subarna, 1995. Pembuatan dan Pengawetan Kultur Kering Yoghurt. Bul. Tek. Dan Industri Pangan, vol VI no. 3. Jurusan TPG, Fateta IPB Bogor. Okos MR, Narsimhan G, Sing RK Weitnauer AC. 1992. Food dehydration. Di dalam: Heldman DR, Lund DB, editor. Handbook of food engineering. Marcel Deckker, Inc. New York. Park, S.J., H.W. Park and J. Park. 2003. Inactivation kinetics of food poisoning microorganisms by carbon dioxide and high hydrostatic pressure. J. Food Sci. 68 (3) : 976-981 Park YW. 1996. Determination of moisture and ash contents of food . Di dalam: Nolled LML, editor. Hanbook of Food Analysis Vol. I. Marcel Dekker, Inc, New York. Basel, Hongkong. Parviz F, Heideman W. 1998. Growth-independent regulation of CLN3 mRNA levels by nutriens in Saccharomyces cerevisiae. J. Bacteriol. 180 (2) : 225-230. Pelczar MJ Jr, Reid RD, Chan ECS. 1977. Microbiology. 4th edition. McGraw-Hill Co. New York. Penner MH. 1994. Ultraviolet, Visible, and Fluorescence Spectroscopy. Di dalam : Nielsen SS, editor. Introduction to the Chemical Analysis of Food. Jones and Bartlett Pub. Boston, London.
112 Peppler HJ, Perlman D. 1979. Microbial Technology, Microbial Processes. 2nd edition. Academic Press. New York, London, Tokyo. Popolo R, Gilardelli D, Bonfante P, Vai M. 1997. Increase in chitin as essential response to defects in assembly of cellwall polymers in the ggp1 ∆ Mutant of Saccharomyces cerevisiae. J. Bacteriol. 179 (2) : 463-469. Priest FG, Campbell I. 1996. Brewing Microbiology. 2nd edition. Chapman & Hall. London, Glagow, Weiheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras. Raclavsky V. 1998. Signalling towards cell wall synthesis in budding yeast, (Biomedical_papers ). Acta Univ. Palacki. Olomuc., Fac. Med. 141(1) : 7-16. Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology. 2nd edition. CRC Press. Boca Raton, London, New York, Washington D.C. Reed G, Nagodawithana TW. 1991. Yeast Technology 2nd edition. An Avi Book, Published by Van Nostrand Reinhold, New York. Reed G, Nagodawithana TW. 1995. Biotechnology. Second, Completely Revised Edition. Vol 9. Enzymes, Biomass, Food and Feed. VCH.Weinheim, New York, Basel, Cambrige, Tokyo. Rizvi SSH. 1995. Thermodinamic properties of food in dehydration. Di dalam: Rao MA, Rizvi SSH, editor. Engineering Properties of Food. 2nd edition. Marcel Dekker Inc. New York Rizvi SSH, Mittal GS. 1992. Experimental Methodes in Food Engineering. Van Nostrand Reinhold. New York. Bessel. Rockland LB, Nishi SK. 1980. Influence of water activity on foods products quality and stability. Food Technol. 4 : 42-51.
Rodriguez-PeòaJM, Cid VJ, Arroyo J, Nombela C. 2000. A novel family of cell wall related proteins regulated differently during the yeast life cycle. J. Mol. Cellular Biol. 20 (9) : 3245-3255. Roos EF. 1986. Precepts of successful seed storage. Di dalam: McDonald MB Jr, Nelson CJ, editor. Physiology of Seed Deterioration. CSSA Special ubl. Number 11. Medison, Wisconsin. Saenong S. 1986. Kontribusi vigor awal terhadap daya simpan benih jagung (Zea mays L.) dan kedelai (Glycine max L. Merr.). Disertasi Program Pascasarjana IPB.
Salgado-Cervantes MA, Hernandez-Moreno DM, Rodríguez-Jimenes GC, García-Alvarado MA. 2003. Use of dehydrated yeast (Saccharomyces ssp.) by spray dryer in the production of beer. IFT Annual Meeting Chicago, http://ift.confex.com/ift/2003/techprogram/meeting.htm Saono JKD. 1982. Mycoflora of Ragi : Its composition and as a source of industrial yeasts. Di dalam Saono, S., F.G. Winarno, and D. Karyadi. Proceeding of a Technical Seminar on Traditional Food Fermentation as Industrial Resources in ASCA Countries, Medan 9-11 Februari 1982. The Indonesian Institute of Science (LIPI), Jakarta.
113
Sikkema J, De Bont JAM, Poolman B. 1994. Mechanisms of membrane toxicity of hydrocarbons. Microbiol. Rev. 59:201-222. Soekarto ST. 1978. Pengukuran air ikatan dan peranannya pada pengawetan Pangan. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia 3 (3/4) : 4-18 Soekarto ST, Steinberg MP, Ordal SL. 1979. Dryness Stress of Staphylococcus aureus in Different Fractions of Bound Water. Di dalam Proceeding International Symposium on Microbiological Aspects of Food Storage, Processing andFermentation in Tropical Asia. Desember, 10-13, 1979, Cisarua, Bogor, Indonesia Soekarto ST, Syarief AM. 1992. Teknik Pengeringan Pangan. Laboratorium Rekayasa Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Soekarto ST. 2000. Pengembangan teknologi pengeringan dingin secara absorpsi dengan kapur api, untuk hasil pertanian, bahan biologik dan bioaktif (Tidak dipublikasikan). Bogor. Stanley GA, Hobley TJ, Pamment NB. 1997. Effect of Acetaldehyde on Saccharomyces cerevisiae and Zymonas Mobilis Subjected to Environmental Shocs. J. Biothecnol. Bioeng. 53: 71-78
Suryani IG. 1999. Mempelajari pengeringan biji pala (Myristica fragrans Houtt) secara absorpsi menggunakan batu kapur tohor/lime (CaO). Skripsi. Jurusan teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Suyitno T. 1994. Serat makanan dan perilaku aktivitas air bubuk buah. Disertasi Program studi Ilmu dan Teknologi Pangan. Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Suzana VI. 2000. Mempelajari pengeringan benih tomat (Lycopersicum esculentum Mill) secara absorpsi dengan kapur tohor/lime (CaO) sebagai absorben. Skripsi Jurusan Mekanisasi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Tamime AY, Robinson RK. 1985. Yogurt: Science and Technology. Pergamon Press. Oxford. Taurancheau AB, Morin L, Yang T, Perasso R. 1999. Messenger RNA in dormant cell of Starkiella hitriomuscorum (Oxytrichidae): Identification of putative regulatory gene transcripts (Original paper). J. Protist. Urban & Fischer Verlag. 150 : 137-147. http://www.urbanfischer.de/journals/protist Teixeira P, Castro H, Kirby R. 1995. Spray drying as a method for preparing concentrated cultures of Lactobacillus bulgaricus. J. Appl. Bacteriol. 78: 456-462. Thorruwa TFN, Grant AD, Smith JE, Johnstone CM. 1998. A solar regenerated desiccant dehumidifier for the aeration of stored grain in the humid tropics J. Agric. Eng. Res. 71 (3) : 257-262.
114
II.
The Winemaking Home Page. 2004. The Miracel of Yeast. III. http://winemaking.jackkller.net/winemaking_yeast.htm (Last update was IV. February 17th, 2004).
To BCS, Etzel MR. 1997. Survival of Brevibacterium linens (ATCC 9174) after spray drying, freeze drying, or freezing. J. Food Microbiol. 62(1) : 167- 170. Ultee A, Gorris LGM, Smid EJ. 1998. Bactericidal activity of carvacol towards the foodborne phatogen Bacillus cereus. J. Appl. Microbiol.85 : 211-218. USDA [The United State Department of Agriculture]. 2001. Commercial Item Description Yeast, Baker’s (Active Dry Yeast ). http://www.ams.usda.gov /fv/fvqual.htm (11 Oktober 2004). Van den Berg C, Bruin S. 1981. Water activity and its estimation in food system: theoretical aspects. Di dalam Rockland, L.B. and Steward, G.F. (eds). Water activity : Influences in Food Quality. Academic Press. London. Van der Rest ME, et al. 1995. The plasma membrane of Saccharomyces cerevisiae : structure, function, and biogenesis. Microbiol. Rev. 50 (2) : 304-322. Vasavada A. 1995. Improving productivity of heterologous proteins in recombinant Saccharomyces cerevisiae fermentation. Adv. Appl. Microbiol. 41: 25-54 Wallace BS. 1964. Food Dehydration. The AVI Publishing Company Inc. Westport. Connecticut.
Wagner M, Briza P, Pierce M, Winter E. 1999. Distinct steps in yeast spore morphogenesis require distinct SMK1 MAP kinase thresholds. Genetics. 151:1327-1340 Warth AD. 1983. Mechanism of heat resistance. Di dalam: Dring GJ, Ellar DJ, Gould GW, editor. Fundamental and Applied Aspects of Spores Academic Press. London. Watson JD, Hopkins NA, Roberts JW, Slute JA, Wainer AM. 1987. Molecular Biology of Gene. 4 eds vol 1. Cummny Pub. Co. Wiggins PM. 2001. High and low density intracellular water. Cell. Mol. Biol. 47: 735-744. Wulandari N. 2002. Analisis pengeringan absorpsi dengan kapur api pada pengeringan lada. Tesis program studi Ilmu Pangan, Program Pascasarjana IPB Zhang N, Gardner DSJ, Oliver SG, Stateva LI. 1999. Genetically controlled cell lysis in the yeast Saccharomyces cerevisiae. Biothecnol. Bioeng. 64(5) : 607-615. Zikmanis PB, Auzane SI, Auzina LP, Kruce RV, Beker M.J. 1983. Interelationship berween the fatty acid composition and metabolic pathways upon dehydration-rehidration of the yeast Saccharomyces cerevisiae. Eur. J. Appl. Microbiol. Biotechnol. 18: 298-302.
115
LAMPIRAN
129
Lampiran 1. Pengaruh ketebalan lapisan pengeringan terhadap kadar air kultur Saccharomyces cerevisiae Waktu pengamatan (jam)
Kadar air
% basis basah
% basis kering
1.3 mm
2.6 mm
3.9 mm
1.3 mm
2.6 mm
3.9 mm
Awal
77.560
77.46
77.56
-
-
-
12
11.87
29.18
36.02
13.47
41.2
56.3
24
4.37
12.75
22.14
4.57
14.61
28.43
36
4.25
5.06
8.88
4.44
5.33
9.75
48
4.23
4.51
6.64
4.42
4.72
7.11
Lampiran 2. Pengaruh penggunaan kapur Api (CaO) pada proses pengeringan kultur Saccharomyces cerevisiae dengan ketebalan lapisan 1.3 mm terhadap kadar air Rasio CaO
Kadar air (% basis basah)
Kadar air (% basis kering)
(CaO : kultur)
24 jam
48 jam
24 jam
48 jam
I. 5 : 1
12.83
12.13
14.72
13.81
10 : 1
6.11
4.44
6.51
4.65
15 : 1
5.49
4.32
5.81
4.52
20 : 1
4.53
4.34
4.74
4.54
25 : 1
4.43
4.23
4.63
4.42
II. 5 : 1
12.75
11.85
14.61
13.44
10 : 1
5.79
4.32
6.15
4.51
15 : 1
5.05
4.20
5.32
4.38
20 : 1
4.73
4.36
4.96
4.56
25 : 1
4.31
4.19
4.50
4.37
III 5 : 1
12.64
12.06
14.47
13.72
10 : 1
5.76
4.41
6.11
4.61
15 : 1
5.32
4.23
5.62
4.42
20 : 1
4.36
4.30
4.56
4.49
25 : 1
4.32
4.26
4.52
4.45
130
Lampiran 3. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae setelah penyimpanan pada berbagai RH desikator Berat wadah + bahan
Bahan setimbang
Bahan kering
Kadar air (% b k)
Berat wadah
Awal
0.11
0.2141
0.5160
0.5109
0.5012
-0.0051
0.2968
0.2871
3.3891
0.23
0.2311
0.5330
0.5305
0.5201
-0.0025
0.2994
0.2890
3.6055
0.32
0.2330
0.5338
0.5341
0.5211
0.0003
0.3011
0.2881
4.5262
0.36
0.2095
0.5108
0.5137
0.4976
0.0029
0.3042
0.2881
5.5779
0.43
0.2140
0.5134
0.5202
0.5012
0.0068
0.3062
0.2872
6.5982
0.57
0.2340
0.5340
0.5449
0.5219
0.0109
0.3109
0.2879
7.9889
0.64
0.2057
0.5086
0.5214
0.4932
0.0127
0.3157
0.2875
9.7913
0.74
0.2375
0.5335
0.5601
0.5196
0.0266
0.3226
0.2821
14.3602
0.81
0.2312
0.5330
0.5681
0.5185
0.0351
0.3369
0.2873
17.2711
0.84
0.2335
0.5370
0.5812
0.5202
0.0442
0.3477
0.2867
21.2661
0.87
0.2065
0.5090
0.5678
0.4910
0.0588
0.3613
0.2845
26.9947
0.90
0.2139
0.5142
0.5876
0.4945
0.0734
0.3737
0.2806
33.1825
0.93
0.2158
0.5149
0.6056
0.4958
0.0907
0.3898
0.2800
39.1982
0.97
0.2175
0.5161
0.6276
0.4982
0.1115
0.4101
0.2807
46.0848
aw
Setimbang
Kering
Sorpsi
131
Lampiran 4. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae + 2% agar-agar setelah penyimpanan pada berbagai RH desikator Aktivitas Wadah air (aw)
Berat wadah + bahan Awal
Setimbang
Kering
Sorpsi
Bahan Bahan setimbang kering
Kadar air (%bk)
0.11
0.2120
0.5147
0.5091
0.4993
-0.0056
0.2971
0.2873
3.3967
0.23
0.2325
0.5318
0.5289
0.5169
-0.0029
0.2964
0.2844
4.2208
0.32
0.2060
0.5077
0.5085
0.4932
0.0008
0.3025
0.2872
5.3412
0.36
0.2334
0.5376
0.5394
0.5220
0.0018
0.3060
0.2886
6.0437
0.43
0.2421
0.5464
0.5530
0.5318
0.0066
0.3109
0.2897
7.3241
0.57
0.2148
0.5169
0.5251
0.4996
0.0082
0.3103
0.2848
8.9396
0.64
0.2166
0.5178
0.5352
0.5016
0.0174
0.3186
0.2850 11.7895
0.74
0.2383
0.5398
0.5703
0.5246
0.0305
0.3320
0.2863 15.9774
0.81
0.2010
0.5020
0.5330
0.4816
0.0310
0.3320
0.2806 18.3243
0.84
0.2136
0.5140
0.5636
0.4971
0.0496
0.3500
0.2835 23.4478
0.87
0.2071
0.5074
0.5691
0.4872
0.0617
0.3620
0.2801 29.2280
0.90
0.2133
0.5151
0.5939
0.4952
0.0788
0.3806
0.2819 35.0231
0.93
0.2316
0.5348
0.6278
0.5131
0.0930
0.3962
0.2815 40.7318
0.97
0.2520
0.5539
0.6725
0.5326
0.1186
0.4205
0.2806 49.8717
132
Lampiran 5. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae + 2 % CMC setelah penyimpanan pada berbagai RH desikator Aktivitas air (aw)
Wadah
Berat wadah + bahan awal setimbang kering
Bahan Bahan Sorpsi setimbang kering
0.11
0.2360
0.5383
0.5315
0.5229
-0.0068
0.2955
Kadar air (% b k) 0.2869 3.0158
0.23
0.2352
0.5376
0.5321
0.5219
-0.0055
0.2969
0.2867
3.5682
0.32
0.2509
0.5533
0.5506
0.5379
-0.0027
0.2997
0.2870
4.4216
0.36
0.2119
0.5142
0.5144
0.4968
0.0002
0.3025
0.2849
6.1859
0.43
0.2064
0.5082
0.5123
0.4920
0.0041
0.3059
0.2856
7.1036
0.57
0.2374
0.5374
0.5464
0.5226
0.0090
0.3090
0.2852
8.3368
0.64
0.2405
0.5412
0.5569
0.5258
0.0157
0.3164
0.2853
10.9039
0.74
0.2365
0.5367
0.5629
0.5201
0.0262
0.3264
0.2836
15.0740
0.81
0.2361
0.5360
0.5699
0.5199
0.0339
0.3338
0.2838
17.6106
0.84
0.2405
0.5424
0.5857
0.5250
0.0433
0.3452
0.2845
21.3357
0.87
0.2370
0.5394
0.5975
0.5204
0.0581
0.3605
0.2834
27.2033
0.90
0.2412
0.5422
0.6179
0.5221
0.0757
0.3767
0.2809
34.1047
0.93
0.2401
0.5417
0.6341
0.5204
0.0924
0.3940
0.2803
40.5663
0.97
0.2514
0.5514
0.6673
0.5314
0.1159
0.4159
0.2800
48.5261
133
Lampiran 6. Total koloni kamir kering dari berbagai daerah air terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl Aktivitas
Kadar air
air (aw)
(%bk)
Total koloni kamir PDA
% hidup
%sehat
% stres
%mati/ dorman
PDA+7.5%NaCl
Kontrol
4.60
9.65E+08
0.11
3.39
1.95E+08
9.35E+07
20.16
9.69
10.47
79.84
0.23
3.60
2.58E+08
1.39E+08
26.74
14.35
12.38
73.26
0.32
4.52
4.55E+08
1.60E+08
47.15
16.53
30.62
52.85
0.43
6.59
6.00E+08
2.13E+08
62.18
22.07
40.10
37.82
0.57
7.98
9.05E+08
2.20E+08
93.78
22.75
71.04
6.22
0.64
9.79
2.43E+08
1.57E+08
25.18
16.22
8.96
74.82
0.74
14.36
1.61E+07
1.88E+06
1.66
0.19
1.47
98.34
0.84
21.27
2.90E+05
1.82E+05
0.03
0.02
0.01
99.97
0.90
33.18
0
0
0
0
0
100
0.93
39.20
0
0
0
0
0
100
Lampiran 7. Total koloni kamir kering + 2% agar-agar dari berbagai daerah air terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl Aktivitas
Kadar air
air (aw)
(%b k)
Total koloni kamir PDA
PDA+7.5%NaCl
% hidup
% sehat
% stres
%mati / dorman
Kontrol
4.56
0.11
3.40
2.12E+08
1.01E+08
25.48
12.11
13.37
74.52
0.23
4.22
2.43E+08
1.25E+08
29.28
15.00
14.28
70.72
0.32
5.34
3.90E+08
1.79E+08
46.99
21.51
25.48
53.01
0.43
7.32
4.50E+08
2.11E+08
54.22
25.36
28.86
45.78
0.57
8.94
7.10E+08
2.31E+08
85.54
27.77
57.77
14.46
0.64
11.79
2.17E+08
9.80E+07
26.08
11.81
14.28
73.92
0.74
15.98
1.22E+07
1.92E+06
1.46
0.23
1.23
98.54
0.84
23.45
2.20E+05
6.20E+04
0.03
0.01
0.02
99.97
0.90
35.02
0
0
0
0
0
100
0.93
40.73
0
0
0
0
0
100
134
Lampiran 8. Total koloni kamir kering + 2% CMC dari berbagai daerah air terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl Aktivitas
Kadar air
air (aw)
(%b k)
Total koloni kamir PDA
% mati /
PDA+7.5%NaCl
% hidup
% sehat
% stres
dorman
Kontrol
4.42
8.60E+08
0.11
3.01
2.41E+08
1.13E+08
27.97
13.08
14.88
72.03
0.23
3.57
2.81E+08
1.48E+08
32.62
17.15
15.47
67.38
0.32
4.41
4.10E+08
1.86E+08
47.67
21.57
26.10
52.33
0.43
6.14
4.70E+08
2.01E+08
54.65
23.37
31.28
45.35
0.57
8.34
8.10E+08
2.57E+08
94.19
29.88
64.30
5.81
0.64
10.57
3.30E+08
1.52E+08
38.37
17.62
20.76
61.63
0.74
15.8
2.32E+07
2.01E+06
2.70
0.23
2.46
97.30
0.84
27.75
1.40E+06
8.90E+05
0.16
0.10
0.06
99.84
0.90
34.09
0
0
0
0
0
100
0.93
40.52
0
0
0
0
0
100
135
136
Lampiran 9. Pengaruh berbagai aw penyimpanan terhadap kebocoran sel dengan tolok ukur daya hantar listrik (DHL) aw
Kadar air (% b k)
Daya hantar listrik (µS /g )
Kontrol
4.60
0.0000
0.11
3.39
0.6213
0.23
3.60
1.0708
0.32
4.52
1.2575
0.43
6.59
1.6338
0.57
7.98
7.2196
0.64
9.79
16.7462
0.74
14.36
22.8206
0.84
21.27
33.6957
0.90
33.18
41.3846
Lampiran 10. Data hasil analisis K+ dan Ca++ yang tertinggal dari sel yang bocor karena pengaruh berbagai aw penyimpanan
4.60
K+ mg/g sel (b k) 23.8045
Ca++ mg/g sel (b k) 3.9094
0.11
3.39
23.7943
3.9436
0.23
3.60
24.0593
3.8738
0.32
4.52
23.6224
3.8554
0.43
6.59
23.5000
3.8334
0.57
7.98
23.2144
3.8601
0.64
9.79
22.8318
3.7890
0.74
14.36
19.0081
3.6992
0.84
21.27
18.0102
3.6866
0.90
33.18
15.2644
3.1434
Aw
Kadar air (% b k)
Kontrol
137
Lampiran 11. Data absorbansi material yang keluar dari sel yang bocor dan terdeteksi pada panjang gelombang 260 dan 280 spektrofotometer uv aw
Kadar air (% b k)
λ1 : 260
λ2 : 280
0.11
3.39
0.1873
0.23
3.60
0.32
0.1238
Asam nukleat dan nukleotida (%) 10.31
Protein dan asam amino (%) 6.61
0.2386
0.1538
13.14
8.21
4.52
0.2411
0.1548
13.28
8.26
0.43
6.59
0.2506
0.1576
13.80
8.41
0.57
7.98
0.3900
0.2367
21.48
12.64
0.64
9.79
0.4312
0.2601
23.75
13.88
0.74
14.36
0.4738
0.2910
26.09
15.53
0.84
21.27
0.9079
0.5794
50.00
30.92
0.90
33.18
1.3997
0.9368
77.08
50.00
138
Lampiran 12. Penentuan air terikat primer dengan persamaan BET dari kurva sorpsi isotermi 0 .1 6 0 .1 4
aw( 1 - aw) *M
0 .1 2 0 .1 0 0 .0 8 0 .0 6 0 .0 4
y = 0 .2 3 1 2 x + 0 .0 1 2 4 R 2 = 0 .9 8 2 6
0 .0 2 0 .0 0 0 .0
0 .2
0 .4
0 .6
A ktiv ita s a ir ( a w )
a. Plot BET dari sorpsi isotermi khamir kering + 2% agar-agar
0 .18 0 .16
a w /( 1-aw )*M
0 .14 0 .12 0 .10 0 .08 0 .06 0 .04
y = 0.2 47 8x + 0.02 06 R 2 = 0 .97 85
0 .02 0 .00 0
0 .2
0 .4
0 .6
a ktiv ita s air (a w )
b. Plot BET dari sorpsi isotermi khamir kering + 2% CMC
139
Lampiran 13. Penentuan air terikat sekunder dengan persamaan logaritma kurva sorpsi isotermi 1 .2
0 .8
w
- L o g ( 1 -)a
1 .0
0 .6 0 .4 y 1 =0 .0 2 0 6 x 1 +0 .2 7 8 6 R 2 =0 .9 6 5 6 y 2 =0 .0 4 3 7 x 2 +0 .0 7 0 8 R 2 =0 .9 7 9 7
0 .2 0 .0 0
10
Ms
20
30
40
50
K a d a r a ir ( % b k)
a. Plot logaritma dari sorpsi isotermi khamir kering + 2% agaragar terdiri dari air terikat sekunder dan air terikat tersier 1 .2
0 .8
w
- L o g ( 1 -) a
1 .0
0 .6 0 .4
y 1 =0 .0 1 9 1 x 1 +0 .3 4 2 5 R 2 =0 .9 6 2 4 y 2 =0 .0 4 4 9 x 2 +0 .0 4 2 7 R 2 =0 .9 7 2 8
0 .2 0 .0 0
10
Ms
20
30
40
K a d a r a ir ( % b k)
b. Plot logaritma dari sorpsi isotermi khamir kering + 2% CMC terdiri dari air terikat sekunder dan air terikat tersier
50
140
Lampiran 14. Penentuan air terikat tersier dengan menggunakan persamaan polinomial kurva sorpsi isotermi pada ordo 2.
Keterangan : a. Kurva polinomial ordo 2 dari khamir kering b. Kurva polinomial ordo 2 dari khamir kering + 2% agar-agar c. Kurva polinomial ordo 2 dari khamir kering + 2% CMC
141
Lampiran 15. Penentuan air terikat tersier dengan menggunakan persamaan kuadratik
c
100 90 Kadar air (% bk )
80 70 60 50 40 30 20 10 0 0.0
0.2
0.4
0.6 (a w )
0.8
1.0
2
Keterangan : a. Kurva kuadaratik dari khamir kering b. Kurva kuadaratik dari khamir kering + 2% agar-agar c. Kurva kuadaratik dari khamir kering + 2% CMC
142
Lampiran 16. Komposisi kimia dari kapur api Komposisi
Jumlah (%) Julianti (2003) Sucofindo (1991)
CaO : - metoda gravimetri 91.29 96.8 - metoda AAS 97.00 - metoda ASTM 49 96.20 SiO2 3.04 0.26 R 2 O3 * 0.74 0.66 MgO 2.04 2.20 Hilang pada saat 4.20 3.46 pembakaran *) Gabungan Oksida yang terdiri dari Al2O3, Fe2O3, SO3, K2O, Na2O, TiO2, Mn2O3 dan P2O5
143
Lampiran 17. Contoh perhitungan kadar protein dan asam nukleat berdasarkan Hukum Beer (Penner, 1994). Hukum Beer : A = a b c dimana A = absorban c = konsentrasi senyawa yang diukur b = ukuran kuvet larutan yang diukur (1 cm) a = absopsivitas senyawa yang diukur Absorban (λ1 : 280) = 0.9368 (pada aw 0.90) Pada aw 0.90, diasumsikan konsentrasi protein dan asam amino yang rusak didalam supernatan adalah 50 % A = a b c ◊ 0.1538 = a . 1. 0.5 ◊ absorpsivitas protein pada sampel 1.8736 Jadi pada aw 0.11 ◊ 0.1238 = 1.8736 . 1. c ◊ c = 6.61 0.23 ◊ 0.2368 = 1.8736. 1. c ◊ c = 8.21, dst Absorban (λ1 : 260) = 0.9079 (pada aw 0.84) Pada aw 0.84, diasumsikan konsentrasi asam nukleat dan nukleotida yang rusak didalam supernatan adalah 50 % A = a b c ◊ 0.9079 = a . 1. 0.5 ◊ absorpsivitas nukleat pada sampel 1.8158 Jadi pada aw 0.11 ◊ 0.1873 = 1.8158 . 1. c ◊ c = 10.31 0.23 ◊ 0.2386 = 1.8158. 1. c ◊ c = 13.14