Topik Utama KAJIAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR SPBG DAUGHTER UNTUK MENUNJANG KONVERSI BAHAN BAKAR MINYAK KE GAS PADA SEKTOR TRANSPORTASI Taryono dan Bambang Wicaksono Teguh Mulyo Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS"
[email protected]
SARI Salah satu permasalahan kurang berhasilnya program konversi BBM ke gas (CNG) di Indonesia khususnya Jakarta yang telah mencanangkan dan menerapkan program ini sejak tahun 1987 diantaranya disebabkan oleh rendahnya kehandalan dan ketersediaan jumlah SPBG dibandingkan dengan jumlah kendaraan berbahan bakar gas. SPBG yang ada saat ini umumnya sistem On line yang mengambil gas langsung dari jaringan pipa gas sehingga penyebarannya terbatas hanya pada wilayah yang dekat dengan jaringan pipa tersebut. Dari hasil kajian, SPBG Daugther akan mampu mengatasi masalah penyediaan gas untuk kendaraan bermotor yang jauh dari jaringan pipa gas. Dengan sistem ini pasokan gas bisa langsung mencapai lokasi operasional kendaraan umum karena tidak tergantung pada tersedianya jaringan pipa gas bumi. SPBG Daugther model Permanen (CNG Cascade Station) cocok digunakan untuk wilayah yang kebutuhan gas nya cukup besar dan tersedia lahan yang memadai. Sementara itu SPBG Daugther model Portable (Moveable CNG Station) cocok untuk wilayah dengan pasokan BBG relatif kecil dan keterbatasan lahan atau bisa juga ditempatkan pada lokasi SPBU. Kata kunci : BBM, CNG, konversi, SPBG Daughter
1. PENDAHULUAN Sejalan dengan berkembangnya jumlah penduduk dan tingkat kemapanan ekonomi masyarakat Indonesia, maka jumlah kendaraan terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah kendaraan tersebut menyebabkan kebutuhan bahan bakar minyak terus meningkat sehingga sangat membebani anggaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar tersebut. Berdasarkan data dari Ditjen Migas Kementerian ESDM, konsumsi premium di Indonesia mencapai 60,3 % dari total bahan bakar bersubsidi dimana sekitar 89 % dari jumlah
60
tersebut digunakan untuk sektor transportasi darat dan sebesar 53 % dikonsumsi oleh mobil pribadi, 40 % sepeda motor dan hanya 3 % saja dikonsumsi oleh angkutan umum (Gambar 1). Hal ini menunjukan bahwa pemanfaatan bahan bakar bersubsidi untuk masyarakat miskin yang menggunakan angkutan umum relatif kecil. Untuk mengatasi masalah ini, kebijakan subsidi BBM sesuai dengan UU No. 22/2011 tentang APBN 2012, dilakukan melalui: – Pengalokasian BBM bersubsidi lebih tepat sasaran melalui pembatasan konsumsi BBM jenis premium untuk kendaraan roda empat pribadi pada wilayah Jawa Bali sejak 1 April 2012;
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama
Gambar 1. Konsumsi bahan bakar bersubsidi tahun 2010
–
Pengendalian konsumsi BBM bersubsidi yang antara lain melalui peningkatan pemanfaatan energi alternatif seperti Bahan Bakar Nabati (BBN) dan Bahan Bakar Gas (BBG).
Untuk merealisasikan rencana kebijakan tersebut khususnya dalam konversi BBM ke gas, maka langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut:
– –
Pemanfaatan gas untuk transportasi akan didorong secara alami sesuai dengan ketersediaan gas dan infrastruktur. Untuk pelaksanaan konversi BBM ke gas, Pemerintah menyiapkan dua jenis bahan bakar gas yaitu CNG dan LGV, diawali dengan pemberian contoh penggunaan bahan bakar gas oleh kendaraan dinas instansi Pemerintah.
Gambar 2. Kerangka pikir pengurangan subsidi BBM
Kajian Pengembangan Infrastruktur SPBG Daugther... ; Taryono, Bambang Wicaksono TM
61
Topik Utama –
–
– –
CNG terutama akan digunakan pada angkutan umum perkotaan di daerah yang tersedia sumber gas alam dan infrastruktur penyaluran. LGV ditujukan untuk angkutan umum di daerah yang tidak tersedia CNG, angkutan umum eksekutif serta untuk kendaraan pribadi. Untuk angkutan umum, converter kit CNG dan LGV akan diberikan secara gratis. Untuk tahap awal konversi BBM ke bahan bakar gas akan dilaksanakan di Jawa Bali pada tahun 2012 khususnya kendaraan berbahan bakar premium.
Kebijakan ini perlu terus dikembangkan didukung oleh berbagai pihak terkait dengan meminimalkan kendala yang ada saat ini. Penggunaan gas untuk kendaraan lebih murah dibandingkan harga premium untuk setiap liter setara premium (lsp) sehingga akan lebih menguntungkan. Disamping itu gas lebih ramah lingkungan sehingga dapat mendukung upaya mitigasi pemanasan global dimana Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 % pada tahun 2025. 2. PROGRAM KONVERSI BAHAN BAKAR MINYAK KE GAS Penggunaan gas sebagai bahan bakar untuk kendaraan bermotor pertama kali dimulai di Po River Valley, Italia pada tahun 1930-an, diikuti oleh Selandia Baru pada tahun 1980-an. Jumlah kendaraan berbahan bakar gas di dunia terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan kesadaran masyarakat dunia akan semakin pentingnya menyelamatkan dunia dari masalah pemanasan global dan pencemaran udara. Berdasarkan data dari NGV Global, perkembangan penggunaan kendaraan BBG setiap tahunnya di dunia sekitar 24,2 % dengan total kendaraan sekitar 12,5 juta dengan jumlah SPBG di dunia saat ini ada sekitar 18.202 unit yang tersebar di beberapa negara. Kawasan Asia Pasifik merupakan pengguna kendaraan BBG terbesar di dunia. Berdasarkan data dari ANGVA,
62
perkembangan kendaraan berbahan bakar gas di Asia Pasifik sekitar 40 % per tahun. Dari sepuluh besar negara pengguna bahan bakar gas, 6 diantaranya berada di kawasan Asia Pasifik dengan total 4,95 juta kendaraan dan 6.600 SPBG. Berdasarkan studi bench marking terhadap perkembangan kendaraan BBG di beberapa negara, faktor penentu keberhasilan program ini diantaranya adalah: - Adanya dukungan kebijakan pemerintah seperti subsidi pengadaan conversion kit, kebijakan prioritas alokasi penggunaan gas untuk domestik, pembangunan infrastruktur oleh perusahaan gas nasional, pembebasan pajak impor peralatan BBG, deregulasi struktur harga BBG, insentif untuk investor SPBG; - Harga BBG yang jauh lebih murah dari BBM yaitu sekitar 70 s/d 85 % lebih murah; - Pengembangan lebih banyak infrastruktur SPBG; - Menjamin keselamatan dan kenyamanan pengguna gas. Di Indonesia, program konversi BBM ke gas sudah mulai diimplementasikan sejak tahun 1987 dengan Pilot Project pada sekiar 300 armada taksi dan mikrolet di DKI Jakarta. Puncak keberhasilan program ini terjadi pada tahun 2000, dimana tercatat 6.633 kendaraan kecil telah menggunakan BBG. Akan tetapi sejalan dengan timbulnya berbagai permasalahan, jumlah kendaraan BBG terus merosot dan mencapai titik terendah pada tahun 2004 yang hanya tinggal sekitar 500 unit kendaraan saja dan tahun 2007 mulai menunjukan kenaikan lagi sejalan dengan program pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dengan memberikan konverter kit gratis untuk angkutan umum di beberapa kota. Pada saat ini diversifikasi BBM ke bahan bakar gas untuk kendaraan baru dilaksanakan di 5 (lima) kota di Indonesia yaitu Jakarta, Bogor, Cirebon, Surabaya dan Palembang dengan total kendaraan sekitar 4,136 unit yang meliputi kendaraan berbahan bakar CNG dan LPG (LGV).
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama
Jumlah Kendaraan Gas
112.000 1.000
4
12
3.056
426
5.348
218.459
2.740.000 3.285
22.821 38
28.628
46.701 159
790
39.623
730.000
1.954.925
Jika melihat jumlah kendaraan CNG dan SPBG yang tersedia, maka jumlah ini masih sangat kurang dan penyebarannya tidak merata bahkan relatif jauh dari jalur angkutan kota yang menggunakan CNG. Disamping itu, kehandalan operasional beberapa SPBG juga tidak seperti yang diharapkan, misalnya waktu pengisian masih relatif lama mengingat tekanan CNG relatif rendah. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar angkutan kota beralih kembali ke premium sehingga volume penjualan gas terus menurun.
9
1.574
2.943
1.080.000 571
12.450 125
1.350
450.000
1.664.847 1.725
193.521 546
1.878
1.901.116
SPBG merupakan infrastruktur yang sangat penting untuk keberhasilan diversifikasi BBM ke gas untuk kendaraan bermotor. Keberhasilan penerapan CNG untuk kendaraan bermotor di beberapa negara di dunia selalu diimbangi oleh
Pada saat ini baru ada di lima kota yang telah memiliki SPBG yaitu Jakarta 23 unit, Bogor 1 unit, Cirebon 1 unit, Surabaya 2 unit dan Palembang 1 unit. Di wilayah Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek), berdasarkan data dari Ditjen Migas per April 2011, dari 23 SPBG yang ada, hanya 8 unit saja yang beroperasi sedangkan sisanya tidak beroperasi oleh karena berbagai kendala seperti belum adanya jaringan pipa pemasok gas dan sedang dalam proses revitalisasi. Sedangkan di Bogor hanya ada 1 unit yang sampai saat ini belum beroperasi karena kendala pasokan gas. SPBG tersebut berupa sistem online sehingga sangat tergantung dari ketersediaan jaringan pipa dan pasokan gas nya.
165
3. KONDISI INFRASTRUKTUR SPBG SAAT INI DAN RENCANA PENGEMBANGANNYA
ketersediaan dan kehandalan SPBG. Perbandingan jumlah kendaraan berbahan bakar gas dan jumlah SPBG di beberapa negara seperti ditunjukan pada Gambar 3.
342
Dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang ada di Indonesia khususnya di lima kota tersebut, tampaknya kebijakan pemerintah tentang konversi BBM ke BBG masih jauh dari harapan. Dari hasil penelitian berbagai pihak, secara umum, kurang berhasilnya program BBG untuk kendaraan bermotor adalah adanya berbagai permasalahan yang dihadapi diantaranya adalah terbatasnya ketersediaan dan kehandalan SPBG serta jaminan pasokan gas, masih mahalnya conversion kit, terbatasnya jaringan pipa gas, struktur harga jual gas lebih rendah dari harga ekonomisnya, keterbatasan bengkel, suku cadang dan personil bersertifikat khusus kendaraan CNG dan LGV, masih kurangnya jaminan keselamatan dan kenyamanan, adanya kendala teknis pada kendaraan, rendahnya mutu gas dan masih kurangnya konsistensi implementasi kebijakan dan program yang telah ditetapkan oleh pemerintah khususnya tentang konversi BBM ke gas.
Jumlah SPBG
Sumber : NGV Global
Gambar 3. Perbandingan rasio jumlah kendaraan berbahan bakar gas (CNG) dan SPBG di beberapa negara tahun 2010
Kajian Pengembangan Infrastruktur SPBG Daugther... ; Taryono, Bambang Wicaksono TM
63
Topik Utama Untuk tahap awal, pada tahun 2012, SPBG baru akan dibangun di wilayah yang ada sumber pasokan gas seperti ditunjukan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Kondisi ini menyebabkan operator SPBG yang ada menghentikan operasinya dan tidak ada investor baru yang berminat membangun SPBG baru. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah melalui Ditjen Migas Kementerian ESDM telah membuat road map pembangunan SPBG yang meliputi revitalisasi SPBG yang ada dan pembangunan SPBG baru di beberapa wilayah.
4. PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR SPBG DAUGHTER Untuk mengatasi masalah keterbatasan jaringan
Tabel 2. Kondisi SPBG saat ini dan rencana pembangunannya di Jabodetabek tahun 2012 INFRASTRUKTUR
TARGET PENYELESAIAN
JUMLAH
LOKASI
1. Existing SPBG di Jakarta
9
Jakarta Timur (4), Jakarta Barat (2), Jakarta Selatan (1), Jakarta Utara (1), Bogor (1)
2. Rencana Tambahan Infrastruktur Rencana revitalisasi SPBG
8
April 2012
• Rencana Tambahan SPBG
3
Jakarta Timur (3), Jakarta Barat (2), Jakarta Selatan (1), Depok (1), Tangerang (1) Bitung, Nagrak & Pamulang Kalideres, Cililitan, Perintis Kemerdekaan
Juni 2012
Mother Station Baru
• Rencana Tambahan SPBG
4
Trans Jakarta
• Rencana Tambahan SPBG
Ancol,
8
Juli 2012
Online/Daughter baru di Jakarta (6) dan Bogor (1) Total
32
Sumber : Ditjen Migas
Tabel 3. Kondisi SPBG saat ini dan rencana pembangunan di Surabaya, Gresik, Cirebon dan Cilegon Tahun 2012 INFRASTRUKTUR 1. Existing SPBG di Surabaya dan Cirebon 2. Rencana Tambahan Infrastruktur Rencana Tambahan Mother Station
Rencana Tambahan
JUMLAH
TARGET PENYELESAIAN
3 2
Surabaya, Gresik
6
Surabaya, Gresik (3), Cirebon (1), Cilegon (2)
SPBG/Daughter Baru Total
LOKASI
Bertahap sampai dengan Desember 2012
11
Sumber : Ditjen Migas
64
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama pipa dan pasokan gas ke SPBG, salah satu alternatifnya adalah dengan mengembangkan model SPBG Mother Daughter. SPBG Sistem Mother Daughter Station terdiri dua jenis stasiun pengisian yang berbeda yaitu Mother Station dan Daughter Station. Mother station merupakan stasiun pengisian yang terletak dekat dengan jaringan distribusi pipa gas, di mana CNG (BBG) yang didistribusikan melalui pipa, dialirkan dan ditekan hingga 200 bar. Di samping sebagai tempat pengisian gas untuk SPBG Daughter, Mother station juga dapat difungsikan sebagai tempat pengisian bahan bakar gas untuk kendaraan secara langsung. Daughter Station biasanya terletak pada area yang cukup jauh dari lokasi distribusi pipa gas. Pada Daughter Station, kendaraan berbahan bakar gas diisi secara langsung dari trailer melalui dispenser. Agar tekanan BBG tetap, selama pengiriman, BBG dijaga tekanannya tetap 200 bar, sehingga BBG bisa dialirkan ke dalam tangki bahan bakar kendaraan bermotor. Secara umum diagram skema sistem Mother dan Daugther Station seperti ditunjukan pada Gambar 4.
Secara garis besar SPBG Daughter dapat dibedakan menjadi dua model yaitu SPBG Daughter Permanen (Mobile CNG Cascade Station) dan SPBG Daughter Portabel (Moveable CNG Daugther Station). a. SPBG Daughter Permanen (CNG Cascade Station) Pada SPBG Daughter perangkat dispenser dan sistem kompresi diletakkan secara permanen atau semi-permanen pada lokasi SPBG, sedangkan tube trailer (gas storage) diletakan di atas trailer atau Gas Transport Module (GTM) di sekitar SPBG. Model ini (Gambar 5) cocok digunakan untuk wilayah atau lokasi dimana kebutuhan BBG cukup besar dan tersedia lahan yang cukup serta dekat dengan sumber aliran listrik. Model ini juga dapat memberikan fleksibilitas terhadap pengembangan kapasitas SPBG di masa datang jika kebutuhan BBG meningkat. b. SPBG Daughter Portabel (Moveable CNG Station) Model SPBG Daugther ini menggunakan suatu modular, yang terdiri dari beberapa tabung dalam
Daugther Station
Gambar 4. Mother station dan dua model SPBG Daugther (a) Permanen (mobile CNG cascade), (b) Portabel (mobile CNG station)
(a). Permanen/Mobile CNG Cascade Daughter Station
Stanionarry CNG Station
(b.) Mobile/Potable CNG Daugther Station
Kajian Pengembangan Infrastruktur SPBG Daugther... ; Taryono, Bambang Wicaksono TM
65
Topik Utama setiap modul dan dilengkapi dengan kompresor, dispenser dan generator yang terletak dalam satu kontainer. Model ini (Gambar 6) cocok digunakan pada lokasi dimana kebutuhan gas relatif kecil, tidak tersedia lahan yang memadai dan tidak ada atau terbatasnya jaringan pasokan listrik karena dapat dipasok dari generator yang ada dalam modul ini. SPBG model ini lebih praktis dan besifat mobile sehingga bisa dibawa keberbagai lokasi dimana membutuhkan pasokan gas. Akan tetapi akan sulit jika ada penambahan kebutuhan gas karena harus menambah kapasitas penyimpan gas sehingga harus menambah atau merubah jenis trailer pengangkut. Penambahan atau perubahan trailer ini akan meningkatkan nilai investasi dan perubahan trailer akan terkendala dengan persyaratan kelas jalan yang akan dilalui kendaraan trailer tersebut. Disamping itu oleh karena dispenser sebagai alat ukur pengeluaran gas dan komponen lainnya yang sensitif dengan goncangan, maka perlu desain yang khusus untuk menghindari masalah tersebut.
Berdasarkan konstruksi dan peletakan fasilitas pendukungnya, SPBG Daughter model ini dibedakan menjadi 2 yaitu: – Model SPBG Daughter Portabel dengan unit CNG station terpadu dimana dispenser, generator, alat kompresi dan gas storage berada pada satu kesatuan unit trailer terpadu. – Model SPBG Daughter Portabel dengan Unit GTU terpisah, dimana CNG station dan GTM ditempatkan secara terpisah satu dengan lainnya pada masing-masing trailer. 5. ANALISIS KEEKONOMIAN SPBG DAUGHTER Untuk mengetahui keekonomian SPBG Daughter telah dilakukan perhitungan dengan asumsi sebagai berikut:
ST Transport Trailer
SPBG
Unit Loading Unloading Platforms dan MAT Storage
Unit Booster
Unit Dispenser
Gambar 5. Skematik dan tipikal SPBG Daugther Model Permanen (CNG cascade station)
Portable CNG Station
Portable CNG Station di Lokasi SPBG
Gambar 6. Tipikal SPBG Daugther model portabel; (a) dengan unit GTM terpisah, (b) dengan unit GTM terpadu
66
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama Harga Beli Gas
6,63 USD/MMBTU
1 Dolar US
Rp. 9.000
Basis Perhitugnan
1 MMSCFD
Discount Rate
10 %
Inflation Factor
5%
Equity
100%
Debt
0%
Cost of Equity
10%
Cost of Debt
10%
SPBG Daughter Model Permanen SPBG Daughter Model Portable
: Investasi Total
114.9140 US$
: Biaya Operasi
400.898 US$
: Investasi Total
1.350.000 US$
: Biaya Operasi
495.000 US$
Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan hasil sebagaimana ditunjukan pada Tabel 4. Dari ketiga skenario perhitungan keekonomian SPBG Daugther dengan asumsi seperti yang telah ditetapkan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4, menunjukan bahwa pada tingkat harga jual gas sesuai nilai keekonomiannya pada
masing-masing kapasitias SPBG, kedua model SPBG Daughter yaitu Model Permanen (Cascade Daughter Station) dan Model Portabel akan dapat memberikan nilai ekonomi yang cukup memadai. Namun demikian SPBG Daugther Model Permanen (Cascade Daughter Station) mempunyai nilai keekonomian lebih besar dari pada SPBG Daugther Model Portabel.
Tabel 4. Hasil keekonomian SPBG Daugther pada tiga skenario perhitungan SPBG Daughter Permanen Kapasitas 10.000 lsp/hari
eskripsi Skenario (*) Harga Jual BBG di Konsumen Rp./lsp NPV (US$) IRR (%) POT (Years) PI (BCR) Kesimpulan Keterangan : (*)
SPBG Daughter Portable Kapasitas 6.800 lsp/hari
1
2
3
1
2
3
4.725
3.100
4.100
5.212
3.100
4.100
214.929
(4.766.380)
51,001
135.948
(-6,157,755)
(1,089,093)
15%
Negatif
11%
15%
Negatif
Negatif
5
Lebih dari Lifetime
5
4
Lebih dari Lifetime
Lebih dari Lifetime
1,23
-3,57
1.05
1,16
-4,35
-0.27
Ekonomi
Tidak Ekonomi
Ekonomis
Ekonomis
Tidak Ekonomi
Tidak Ekonomi
Skenario 1. Harga jual BBG Sesuai hasil perhitunagn keekonomiannya Skenario 2.Harga jual BBG Rp.3.100/lsp Skenario 3. Harga jual BBG Rp.4.100/lsp
Kajian Pengembangan Infrastruktur SPBG Daugther... ; Taryono, Bambang Wicaksono TM
67
Topik Utama Berbeda dengan SPBG Daugther Model Portabel yang kapasitasnya relatif terbatas, lebih fleksibelnya penambahan kapasitas BBG pada SPBG Daugther model Permanen (Cascade Daughter Station) mempunyai efek cukup siginifikan dalam peningkatan indikator keekonomian. Sementara itu, pada harga jual Rp.3.100/lsp sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM No. 2932.K/12/MEM tahun 2010 kedua model SPBG Daugther tidak ekonomis. Pada tingkat harga jual keekonomian hasil perhitungan pelaku usaha dan praktisi dibidang gas yaitu Rp.4.100/lsp, SPBG Daughter model Permanen (Cascade Daughter Station) akan dapat memberikan nilai ekonomis, sedangkan untuk SPBG Daugther Model Portabel masih tidak ekonomis. Nilai keekonomian SPBG Daugther dipengaruhi oleh nilai investasi dan biaya operasional, harga jual dan kapasitas penjualan BBG. Nilai investasi dan operasional SPBG Daugther model Portabel lebih besar dibandingkan SPBG Daugther model Permanen karena untuk mencukupi kebutuhan BBG sesuai dengan kapasitas SPBG dibutuhkan lebih banyak trailer dan CNG cascade serta frekuensi pengisian BBG untuk SPBG. Hal ini akan berimbas pada meningkatnya biaya operasional. Agar SPBG Daughter bisa ekonomis pada harga Rp. 4.100/ lsp, maka diperlukan kebijakan pemerintah yang berupa kebijakan fiskal, pemberian insentif dan bebas bea masuk komponen peralatan SPBG. 6. POLA PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SPBG DAUGHTER Sampai saat ini tidak banyak investor yang berminat untuk berivestasi membangun SPBG. Di samping kendaraan BBG kurang diminti oleh karena berbagai permasalahan, investasi SPBG juga relatif mahal dibandingkan dengan SPBU sementara margin yang didapat relatif kecil. Menyikapi hal ini, untuk mendorong suksesnya program konversi BBM ke gas untuk angkutan
68
umum perlu dipilih mekanisme pengelolaan bisnis SPBG Daugther yang menguntungkan semua pihak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, permasalahan utama dari pengelolaan SPBG ini diantaranya adalah pasokan gas yang belum menentu walaupun sudah diatur oleh Permen ESDM No. 19 tahun 2010. Masalah lainnya adalah jumlah kendaraan yang berbahan bakar gas juga masih relatif kecil dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar minyak jenis premium. Masalah krusial lainya yang menjadi penghambat perkembangan usaha di bidang SPBG adalah harga jual BBG ditingkat pengecer yang dipatok oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM No. 2932.K/12/MEM tahun 2010 yaitu Rp.3.100/lsp. Harga ini akan menjadi tidak lebih tinggi jika SPBG jauh dari jaringan pipa gas karena ada tambahan biaya transportasi dan kompresi. Sebagai contoh kasus di kota Bogor, dimana harus beli gas dari SPBG di daerah Gandaria Jakarta Timur mengakibatkan harga jual BBG ditingkat konsumen menjadi lebih mahal yaitu sekitar Rp.3.700/lsp. Selain permasalahan tersebut masih banyak hal lain yang menghambat kelancaran pengusahaan. Dengan mengacu pada kondisi tersebut di atas, untuk jangka pendek agar konversi BBM ke CNG bagi kendaraan bermotor di Indonesia khususnya wilayah Jawa dan Bali berhasil, pengembangan dan pengelolaan SPBG sebaiknya masih melibatkan peran serta biaya pemerintah. Dari sekian banyak alternatif yang dapat diterapkan dalam pengelolaan dan pengusahaan SPBG, Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) yang didanai dari APBN atau dana dari penghematan subsidi BBM (jika kenaikan jadi dilakukan) merupakan opsi yang paling memungkinkan. Di samping untuk menjamin kelancaran program konversi BBM ke gas, Penyertaan Modal Pemerintah juga dapat memberikan nilai positif dalam bentuk tambahan pendapatan negara melalui deviden.
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama Untuk jangka menengah dan panjang, agar lebih merangsang minat investor untuk menanamkan modalnya dalam pengusahaan SPBG perlu diambil langkah kebijakan dan dukungan dari pemerintah dalam bentuk konsistensi dan kesinambungan penerapan program diversifikasi BBM ke gas, kebijakan fiskal, pemberian insentif, bebas bea masuk komponen peralatan SPBG, kemudahan perizinan, jaminan pasokan dan kualitas gas serta struktur harga keekonomian gas. Kebijakan tersebut diterapkan dibanyak negara yang menggunakan gas sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Kebijakan lain yang dipandang dapat meningkatkan minat investor pembangunan SPBG dan sekaligus implementasi diversifikasi BBM ke gas adalah mendorong pembangunan SPBG dan penggunaan gas untuk setiap perusahaan pengelola angkutan umum khususnya taksi dan angkutan umum lainnya yang mempunyai armada cukup banyak. 7. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil kajian terknis pengembangan infrastruktur SPBG Daughter dalam rangka konversi BBM ke gas di Indonesia, dapat disimpulkan beberapa hal ssebagai berikut: a. SPBG Daughter bisa dikembangkan dan diterapkan untuk mengatasi masalah kekurangan SPBG. b. Dari hasil perhitungan keekonomian SPBG Daughter baru bisa dicapai jika harga jual BBG berada pada kisaran minimal Rp.4.100/ lsp. c. Agar investor mau berinvestasi atau menanamkan modalnya dan produsen juga mau menjual gasnya ke pengelola SPBG, maka perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap struktur harga BBG saat ini untuk menyesuaikan dengan harga keekonomian SPBG dan juga produsen pemasok gas. d. Agar dapat lebih menjangkau pengguna BBG terutama untuk angkutan umum, SPBG sebaiknya ditempatkan di lokasi
sekitar jalur angkutan umum, terminal atau pool/pangkalan angkutan. Alternatif jenis SPBG yang digunakan adalah sebagai berikut: 1). Untuk lokasi yang bisa terjangkau jaringan pipa gas, bisa dibangun SPBG Online terutama untuk daerah yang kebutuhan CNG nya cukup tinggi. 2). Untuk daerah yang jauh dari jaringan pipa, sebaiknya menggunakan SPBG Daughter dengan kriteria sebagai berikut: Untuk wilayah yang membutuhkan kapasitas CNG cukup besar dan tersedia lahan yang memadai, sebaiknya menggunakan SPBG Daughter model Permanen (CNG Cascade Station). Perencanaan dan pembangunan SPBG harus memperhatikan proyeksi perkembangan kebutuhan CNG di masa datang. Untuk wilayah yang kebutuhan BBG saat ini masih relatf kecil, namun ada potensi peningkatan kebutuhan BBG di masa datang serta tersedia lahan yang memadai sebaiknya menggunakan SPBG Permanen agar bisa mencapai nilai keekonomian. Untuk wilayah yang kebutuhan CNG tidak terlalu besar dan tidak tersedia lahan yang memadai, sebaiknya menggunakan SPBG Daughter model Portabel (Moveable CNG Station). Jika tersedia lahan cukup memadai, dimana bisa untuk menempatkan dua unit trailer atau cascade skid untuk unit GTM dan unit CNG station yang berisi dispenser dan fasilitas kompresi (booster atau kopresor) sebaiknya menggunakan SPBG Daughter Portabel sistem GTU terpisah agar hanya unit GTU nya saja yang bergerak sedangkan unit CNG stationnya tetap di tempat. Hal ini untuk menghindari potensi gagguan pada komponen dispenser akibat
Kajian Pengembangan Infrastruktur SPBG Daugther... ; Taryono, Bambang Wicaksono TM
69
Topik Utama pengaruh goncangan saat perjalanan. Namun jika ketersediaan lahan tidak memungkinkan, bisa menggunakan SPBG Daughter Portabel sistem GTU terpadu. Untuk jalur yang membutuhkan CNG cukup tinggi namun lahan yang ada tidak memungkinkan untuk membangun SPBG Daughter model Permanen yang sesuai kebutuhan, pada jalur tersebut bisa menggunkan gabungan SPBG Daughter model Permanen dan Daughter model Portable sebagai pendukung. e. Untuk dapat meningkatkan implementasi konversi BBM ke gas, perlu mendorong pembangunan SPBG Daughter dan penggunaan gas untuk setiap perusahaan pengelola angkutan umum khususnya taksi dan angkutan umum lainnya yang mempunyai armada cukup banyak. f.
Dari beberapa opsi yang mungkin bisa diterapkan, untuk jangka pendek pengelolaan SPBG Daugther yang sedang dikembangkan pemerintah saat ini sebaiknya menggunakan mekanisme Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) dengan alternatif sumber pembiayaan dari APBN atau melalui pengalokasian penghematan subsidi BBM. Untuk jangka panjang sebaiknya melibatkan investor dengan memberikan insentif atau berupa kebijakan fiskal.
8. DAFTAR PUSTAKA -----------, 2011, Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide, August 2011- 4th edition, PT Pricewaterhouse Coopers Indonesia Advisory.
70
---------, 2011, Natural Gas Vehicle Statistics Section, NGV Global www.ngvglobal.org -----------, 2010, Neraca Gas Indonesia 2010 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. -----------, 2012, Kajian Atas Kesiapan Pelaksanaan Pengendalian Bbm Bersubsidi Serta Diversifikasi Bahan Bakar Transportasi ke Bahan Bakar Gas, Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Miftahuljannah S, 2003, Modul 4d; Kendaraan Berbahan Bakar Gas: Transportasi Berkelanjutan: Panduan Bagi Pembuat Kebijakan di Kota-kota Berkembang, Manfred Breithaupt GTZ, Division 44 Postfach 518065726 Eschborn Germany. Lee Giok Seng 2009, An Analysis of NGV Market in Asia Pacific Asia Pacific Natural Gas Vehicles Association (ANGVA) Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2012. Peraturan Menteri ESDM No. 19 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Bahan Bakar Gas Yang Digunakan Untuk Transportasi. Peraturan Menteri ESDM No. 0007/2005 tentang Persyaratan dan Pedoman Pelaksanaan Izin Usaha dalam kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi. Keputusan Menteri ESDM No. 2932 K/12/MEM/ 2010 tentang Harga Jual Bahan Bakar Gas Yang Digunakan Untuk Transportasi di Wilayah Jakarta. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 7 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Perhubungan 2010 - 2014
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012