KAJIAN PENGARUH TINGKAT KEMATANGAN DAN METODE EKSTRAKSI TERHADAP MUTU MINYAK BIJI BINTARO
SKRIPSI
DESTI PUSPITASARI F34070120
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
The Influence Analysis Between Fruit Maturity and Oil Extraction Method to Quality of Bintaro Seed Oil Desti Puspitasari Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 0856 97966095, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Cerbera manghas L. (Bintaro) is a small evergreen coastal tree that could grow up to 12 m high. The color of leaves is shiny dark-green, ovoid in shape. Bintaro have a fairly high oil content of about 43-64% in seeds so it can be developed into biofuels. There are several factors that influence Bintaro seed oil quality, including the level of maturity and the used of extraction method. The research objective was to study the influence between fruits maturity level and oil extraction method on yield and quality of Bintaro seed oil. The fruits maturity level categorized into three types: immature fruit (dark-green), fruits that were ripe (bright red) and fruits that have been germinated. The extraction method of Bintaro seed oil consist of a mechanical pressing method using a hydraulic presser and hot hydraulic presser, and maceration extraction using n-hexane solvent. The greatest content of Bintaro seed was oil content which was 59,58 % for ripe Bintaro, 55,04 % for immature Bintaro and 45,56 % for germinate Bintaro. In order to achieve the efficiency of Bintaro seed extraction process, drying process was done earlier before the pressing stages. The oil obtained from the extraction process were characterized for each treatment. Based on the analysis, the best treatment for Bintaro seed oil production was the ripe fruit and extracted with maceration using nhexane solvent method with a yield of 52.59 %, free fatty acid levels of 2.75 %, iodine value number was 60.31 I2/100g, peroxide value numbers was 5.85 mg O2 / g, saponification value number was 199.76 mg KOH / g, the viscosity value was 63 cP, the density value was 0.90 g/cm3, the % transmission was 87.43 % and the ash content was 0.40 %. Keywords : Bintaro, extraction, fruit maturity, bintaro seed oil,biofuel
DESTI PUSPITASARI. F34070120. Kajian Pengaruh Tingkat Kematangan Buah dan Metode Ekstraksi Terhadap Mutu Minyak Bintaro . Di bawah bimbingan Sapta Raharja. 2011.
RINGKASAN Bintaro (Cebera manghas L.) adalah tumbuhan atau pohon yang memiliki tinggi mencapai 12 meter dengan daun yang berwarna hijau tua mengkilat. Buah bintaro berbentuk bulat telur dengan panjang 5 – 10 cm. Buah bintaro yang masih muda berwarna hijau pucat dan ketika masak berubah menjadi merah cerah. Biji bintaro yang terdapat di dalam buah bintaro memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi sekitar 43-64 % sehingga dapat dikembangkan menjadi bahan bakar nabati. Bahan bakar dengan mutu yang baik dihasilkan dari minyak murni dengan mutu yang baik juga. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap mutu minyak bintaro, diantaranya adalah tingkat kematangan dan metode ekstraksi yang digunakan. Tingkat kematangan biji bintaro dikatagorikan menjadi tiga jenis yaitu buah bintaro yang masih muda (hijau), buah yang sudah masak (merah) dan buah yang sudah berkecambah. Selain tingkat kematangan, metode ekstraksi juga sangat berpengaruh terhadap mutu minyak biji bintaro. Metode ekstraksi minyak biji bintaro yang digunakan terdiri atas pengepresan mekanis dengan menggunakan alat hydraulic presser dan hot presser hydraulic, dan metode ekstraksi maserasi dengan pelarut n-Heksana. Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pengaruh tingkat kematangan buah dan metode ekstraksi minyak terhadap rendemen dan mutu minyak biji bintaro yang dihasilkan sehingga mendapatkan karakteristik minyak biji bintaro yang terbaik. Pada biji bintaro didapatkan hasil bahwa kandungan terbesar dari biji bintaro adalah kadar minyak yaitu 59,58 % untuk biji bintaro masak, 55,04 % untuk biji bintaro muda, dan 45,56 % untuk biji bintaro berkecambah. Sebelum dilakukan pengepresan, dilakukan terlebih dahulu proses pengeringan biji agar tercapainya efisiensi proses ekstraksi minyak biji bintaro. Minyak yang didapatkan dari proses ekstraksi dikarakterisasi untuk setiap perlakukan. Karakterisasi minyak dilakukan dengan menganalisis bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, densitas, viskositas, kadar abu, % transmisi, dan % rendemen. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan perlakuan terbaik untuk produksi minyak biji bintaro adalah minyak biji bintaro yang berasal dari buah yang sudah masak dan di ekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut n-heksana dengan rendemen sebesar 52,59 %, kadar asam lemak bebas sebesar 2.75 %, nilai bilangan iod sebesat 60.30 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.85 mg O2/g, nilai bilangan penyabunan 199.76 mg KOH/g, nilai viskositas 63 cP, nilai densitas 0.90 g/cm3, nilai % transmisi 87.43 % dan nilai kadar abu 0.40 %.
KAJIAN PENGARUH TINGKAT KEMATANGAN DAN METODE EKSTRAKSI TERHADAP MUTU MINYAK BIJI BINTARO
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh DESTI PUSPITASARI F34070120
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Kajian Pengaruh Tingkat Kematangan Buah dan Ekstraksi Terhadap Mutu Minyak Biji Bintaro Desti Puspitasari F34070120
Menyetujui,
Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA 19631026 199002 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP 19621009 198903 2 001 Tanggal Lulus :
Metode
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa skripsi dengan judul KAJIAN PENGARUH TINGKAT KEMATANGAN DAN METODE EKSTRAKSI TERHADAP MUTU MINYAK BIJI BINTARO adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Bogor, Juli 2011 Yang membuat pernyataan Desti Puspitasari F34070120
© Hak cipta milik Desti Puspitasari, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.
BIODATA PENULIS Desti Puspitasari. Lahir di Jakarta, 30 Desember 1988 dari ayah Purwito dan ibu Luciana Suwarsilah (Alm), sebagai putri pertama dari dua bersaudara. Pendidikan Taman Kanak-anak diselesaikan pada tahun 1995 di TK Marsudi Utomo, Jakarta. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SD K Lemuel II, Jakarta Barat. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP K Lemuel, Jakarta. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 78, Jakarta dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur SPMB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten mata kuliah Pengawasan Mutu pada tahun 2009/2010 dan menjadi staf Human Resources Development, Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri pada tahun 2008/2009. Pada tahun 2009 penulis mengikuti lomba karya seni drama yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Teknologi Pertanian dan mendapatkan juara 1. Pada tahun 2010 penulis juga mengikuti lomba inovasi makanan tradisional dalam acara “Nutrition” yang diadakan Departemen Gizi Masyarakat. Penulis juga pernah melaksanakan praktek lapangan di PT Indofood Sukses Makmur, Bogasari Flour Mills, Jakarta pada tahun 2010.
KATA PENGANTAR Segala puji dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Pengaruh Tingkat Kematangan Buah dan Metode Ekstraksi Terhadap Mutu Minyak Biji Bintaro. Penulis menulis dan menyusun skripsi ini berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama kurang lebih tiga bulan dari bulan Maret 2011 hngga Juni 2011 di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat dibuat dengan bantuan, bimbingan, motivasi dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA. sebagai pembimbing yang telah membimbing, memberikan kritik, saran dan memotivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Drs. Purwoko, M. Si. dan Dr. Ir. Endang Warsiki sebagai penguji yang telah menguji, memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi. 3. Kedua orang tua, adik dan seluruh keluarga yang telah memberikan do’a, kasih sayang dan dukungan kepada penulis. 4. Egnawati Sari, Sri Mulyasih, Rini Purnawati, Sugiardi, dan Gunawan selaku laboran di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan bantuan, kritik, saran dan motivasi selama penelitian. Akhirnya kritik dan saran yang membangun, penulis harapkan untuk memyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... i DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... ii DAFTAR TABEL.............................................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................................... vii BAB
I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................................................. 1 1.2. Tujuan ........................................................................................................................... 1 1.3. Ruang Lingkup ............................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 3 2.1. Bintaro .......................................................................................................................... 3 2.2. Minyak Bintaro ............................................................................................................. 4 2.3. Ekstraksi Minyak .......................................................................................................... 6 2.4. Minyak Nabati .............................................................................................................. 8 BAB III METODOLOGI ............................................................................................................... 12 3.1. Alat dan Bahan ............................................................................................................. 12 3.2. Metode Penelitian ......................................................................................................... 12 3.1.1. Penelitian Pendahuluan ................................................................................... 14 3.1.2. Penelitian Utama ............................................................................................. 14 3.3. Rancangan Percobaan................................................................................................... 16 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................... 18 4.1. Karakteristik Biji Bintaro ........................................................................................... 18 4.2 Karakteristik Minyak Biji Bintaro .............................................................................. 20 4.2.1. Kadar Asam Lemak Bebas............................................................................... 20
ii
Halaman 4.2.2. Bobot Jenis Minyak (Densitas) ...................................................................... 23 4.2.3. Bilangan Iod Minyak ..................................................................................... 23 4.2.4. Bilangan Penyabunan Minyak ....................................................................... 25 4.2.5. Bilangan Peroksida Minyak ........................................................................... 27 4.2.6. Viskositas Minyak ......................................................................................... 28 4.2.7. Kadar Abu Minyak ........................................................................................ 30 4.2.8. Kejernihan Minyak (% Transmisi) ................................................................. 30 4.2.9. Rendemen Minyak ......................................................................................... 32 4.2.10. Komponen Asam Lemak Minyak Biji Bintaro ............................................ 33 BAB
V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 35 5.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 35 5.2 Saran............................................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 36 LAMPIRAN ....................................................................................................................................... 39
iii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji Bintaro ..................................... 5 Tabel 2. Kandungan asam lemak pada minyak jarak pagar .............................................................. 9 Tabel 3. Sifat Fisikokimia minyak jarak pagar ................................................................................. 9 Tabel 4. Kandungan asam lemak pada minyak kelapa sawit ............................................................ 10 Tabel 5. Sifat Fisikokimia minyak kelapa sawit ............................................................................... 10 Tabel 6. Karakteristik Minyak Nyamplung ....................................................................................... 10 Tabel 7. Komposisi Asam Lemak Minyak Nyamplung .................................................................... 11 Tabel 8. Komposisi kimia biji bintaro kering .................................................................................... 18 Tabel 9. Asam – asam lemak penyusun minyak biji bintaro ............................................................. 34
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Pohon bintaro .................................................................................................................. 3 Gambar 2. (a) akar, (b) batang, (c) daun, (d) bunga, dan (e) buah bintaro ........................................ 4 Gambar 3. (a) kulit (epikarp) (b) sabut (mesokarp), dan (c) biji (endokarp) ..................................... 4 Gambar 4. Gugus fungsi asam lemak ................................................................................................ 5 Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian ....................................................................................... 12 Gambar 6. Diagram alir tahapan ekstraksi minyak biji bintaro ......................................................... 13 Gambar 7. Alat hydraulic presser .................................................................................................... 15 Gambar 8. Alat hot presser hydraulic .............................................................................................. 15 Gambar 9. (a) maserator dengan pengaduk, (b) penyaring vakum .................................................... 16 Gambar 10. (a) Buah bintaro muda, (b) Buah bintaro matang, dan (c) Buah bintaro berkecambah ... 18 Gambar 11. (a) minyak hydraulic pressing, (b) minyak hot hydraulic pressing, (c) minyak ekstraksi maserasi) .......................................................................................................................... 20 Gambar 12. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kadar asam lemak bebas (FFA) minyak biji bintaro yang dihasilkan ....................................... 21 Gambar 13. Persamaan reaksi hidrolisis minyak atau lemak .............................................................. 22 Gambar 14. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bobot jenis minyak biji bintaro yang dihasilkan ....................................................................... 23 Gambar 15. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan iod minyak biji bintaro yang dihasilkan ........................................................... 24 Gambar 16. Reaksi bilangan penyabunan minyak ............................................................................. 25 Gambar 17. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan penyabunan minyak biji bintaro yang dihasilkan ............................................ 26 Gambar 18. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro yang dihasilkan ................................................................ 27 Gambar 19. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap viskositas minyak biji bintaro yang dihasilkan ................................................................ 29
v
Halaman
Gambar 20. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kadar abu minyak biji bintaro yang dihasilkan .......................................................................... 30 Gambar 21. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kejernihan minyak biji bintaro yang dihasilkan ............................................................... 31 Gambar 22. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi minyak biji bintaro terhadap rendemen yang dihasilkan .................................................................... 32
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1.
Prosedur Analisa Proksimat Biji Bintaro .................................................................... 39
Lampiran 2.
Prosedur Analisa Fisiko Kimia Minyak Biji Bintaro .................................................. 41
Lampiran 3.
Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kadar Asam Lemak Bebas Minyak ......................................................................................................................... 45
Lampiran 4.
Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bobot Jenis (Densitas) Minyak Biji Bintaro ......................................................................................................................... 47
Lampiran 5.
Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Iod Minyak Biji Bintaro ..................................................................................................................................... 48
Lampiran 6.
Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Penyabunan Minyak Biji Bintaro ......................................................................................................................... 50
Lampiran 7.
Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Peroksida Minyak Biji Bintaro ......................................................................................................................... 52
Lampiran 8.
Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Viskositas Minyak Biji Bintaro .. 54
Lampiran 9.
Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kadar Abu Minyak Biji Bintaro 56
Lampiran 10. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kejernihan Minyak Biji Bintaro 57 Lampiran 11. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Rendemen Minyak ...................... 59 Lampiran 12. Hasil analisis Gas Chromatography Spectrofotometry Mass ..................................... 61
vii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bintaro (Cebera manghas L.) merupakan tumbuhan atau pohon yang mempunyai tinggi mencapai 12 m. Daunnya berwarna hijau tua mengkilat dan berbentuk buah telur. Buah bintaro memiliki panjang 5 – 10 cm. Buah bintaro yang masih muda berwarna hijau pucat dan ketika masak berubah menjadi merah cerah. Biji bintaro yang terdapat di dalam buah bintaro memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi. Kandungan minyak yang tinggi menyebabkan bintaro berpotensi sebagai sumber minyak nabati dan dapat dikembangkan sebagai bahan bakar. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui dan prospektif untuk dikembangkan karena melonjaknya harga minyak bumi akibat terbatasnya produksi minyak bumi. Terbatasnya produksi minyak bumi akibat ketersediaan energi fosil yang diramalkan tidak akan berlangsung lama lagi memerlukan solusi yang tepat untuk mengatasinya, diantaranya adalah dengan mencari sumber energi alternatif (biodiesel). Biodiesel diproduksi dari minyak murni melalui proses transesterifikasi. Semakin baik mutu minyak murni maka mutu biodiesel yang dihasilkan akan semakin baik. Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap mutu minyak bintaro diantaranya adalah tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi yang digunakan. Tingkat kematangan biji bintaro dapat dicirikan berdasarkan asal buah bintaro tersebut dihasilkan. Buah yang masih terdapat di pohon berbeda tingkat kematangannnya dengan buah yang sudah jatuh ke tanah begitu pula dengan buah yang sudah berkecambah. Buah yang sudah berkecambah memiliki tingkat kematangan yang paling tinggi dibandingkan terhadap buah yang masih terdapat di pohon dan buah yang jatuh ke tanah. Minyak bintaro yang dihasilkan dari buah bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda memiliki kandungan asam lemak yang berbeda. Kandungan asam lemak yang berbeda dapat mempengaruhi mutu minyak biji bintaro yang dihasilkan. Selain tingkat kematangan, metode ekstraksi juga sangat berpengaruh terhadap mutu minyak bintaro yang dihasilkan. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah, daya penyesuaian dengan metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. Pengepresan mekanis merupakan cara pemisahan minyak yang sesuai untuk bahan biji – bijian dan memiliki kadar minyak yang tinggi. Ekstraksi minyak biji bintaro dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya dengan menggunakan pelarut n – heksana dan dapat pula dilakukan dengan menggunakan alat pengempa hidrolik. Semakin baik kualitas minyak yang dihasilkan maka efisiensi proses pembuatan biodieselpun semakin meningkat dan dapat menghasilkan mutu biodiesel yang lebih baik. Oleh karena itu, sangat penting untuk dilakukan optimasi proses ekstraksi minyak biji bintaro dengan menggunakan biji bintaro yang memiliki tingkat kematangan yang berbeda – beda.
1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji pengaruh tingkat kematangan dan metode ekstraksi yang digunakan terhadap mutu minyak biji bintaro yang dihasilkan, (2) menentukan sifat fisiko kimia minyak biji bintaro, (3) menentukan komposisi asam lemak yang terkandung di dalam minyak biji bintaro melalui analisis Gas Chromatography Spectrofotometry Mass (GCMS), dan (4) menentukan perlakuan proses terbaik untuk memperoleh minyak biji bintaro dengan kualitas yang terbaik.
1
1.3. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini meliputi karakteristik minyak biji bintaro yang dihasilkan oleh beberapa perlakuan seperti tingkat kematangan biji bintaro dan metode ekstraksi sehingga dapat ditentukan proses yang terbaik untuk menghasilkan minyak biji bintaro dengan kualitas yang terbaik.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. BINTARO (Cebera manghas) Bintaro (Cebera manghas) termasuk tumbuhan mangrove yang berasal dari daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar, dan kepulauan sebelah barat samudera pasifik. Pohon bintaro banyak digunakan sebagai penghijauan dan juga sebagai penghias taman kota. Dinamakan Cerbera karena bijinya dan semua bagian pohonnya mengandung racun yang disebut “cerberin” yaitu racun yang dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung manusia, sehingga mengganggu detak jantung dan dapat menyebabkan kematian (Gaillard et al. 2004). Pohon bintaro sering disebut juga sebagai mangga laut, buta badak, babuto dan kayu gurita. Dalam bahasa inggris tanaman ini sering disebut sebagai sea mango. Nama bintaro juga sering disematkan kepada teman dekatnya yang bernama ilmiah Cebera odollam karena memiliki kemiripan dalam berbagai hal (Alamendah 2011).
Gambar 1. Pohon bintaro (Alamendah 2011) Klasifikasi tanaman bintaro menurut Anonim (2011) adalah : Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Division : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Division : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Class : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Subclass : Asteridae Orde : Gentianales Family : Apocynaceae Genus : Cerbera Spesies : Cerbera manghas L Pohon bintaro memiliki tinggi 4 sampai 20 meter dengan akar tunggak dan berwarna coklat dan batang yang berkayu, bulat dan berbintik. Daun tumbuhan bintaro berbentuk bulat telur (lonjong), tepi rata, ujung dan pangkal meruncing, tipis, permukaan licin, pertulangan menyirip, panjang 15-20 cm, lebar 3-5 cm, berwarna hijau tua, dan tersusun berselingan. Bunga tumbuhan bintaro bersifat majemuk, berkelamin dua, terletak di ujung batang, tangkai silindris, panjang 11 cm, hijau, kelopak tidak jelas, tangkai putik panjang 2 - 2,5 cm, kepala sari coklat, kepala putik hijau keputih-putihan, mahkota bentuk terompet, halus, putih, bunganya harum dengan mahkota berdiameter 3-5cm
3
berbentuk terompet dengan pangkal merah muda, dan benang sari berjumlah lima dan posisi bakal buah tinggi. Buah berbentuk telur dengan panjang 5 – 10 cm. buah bintaro yang masih muda berwarna hijau sementara buah yang sudah tua berwarna merah kehitaman. Biji bintaro berbentuk pipih, panjang, dan berwarna putih (Chang et al. 2000).
(a) (b) (c) (d) (e) Gambar 2. (a) akar, (b) batang, (c) daun, (d) bunga, dan (e) buah bintaro (Pranowo 2010) Buah bintaro terdiri atas tiga lapisan (Gambar 3), yaitu lapisan kulit terluar (epikarp), lapisan serat seperti sabut kelapa (mesokarp) dan bagian biji yang dilapisi oleh kulit biji atau tista (endokarp). Bagian mesokarp dapat diperas sebagai bahan biopestisida, sedangkan bijinya disamping untuk bahan biopestisida juga dapat diperah untuk menghasilkan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel (Pranowo 2010).
Gambar 3. (a) kulit (epikarp) (b) sabut (mesokarp), dan (c) biji (endokarp) (Pranowo 2010)
2.2. MINYAK BINTARO Lemak atau minyak merupakan trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Minyak nabati terdapat dalam buah – buahan, kacang – kacangan, biji – bijian, akar tanaman, dan sayur – sayuran. Dalam jaringan hewan lemak terdapat di seluruh badan, tetapi jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan adipose dan jaringan tulang sumsum. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh yaitu asam oleat, linoleat, atau asam linolenat dengan titik cair rendah. Lemak dalam tanaman dibentuk dalam sel hidup, yang merupakan hasil serangkaian reaksi yang kompleks dalam proses metabolisme (Ketaren 1986). Asam lemak bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Asam lemak tidak lain adalah asam alkanoat atau asam karboksilat berderajat tinggi (rantai C lebih dari 6). Rumus molekulnya adalah : CnH2n O2.
4
O R – C – OH atau R–COOH Gambar 4. Gugus fungsi asam lemak (Ketaren 1986) Karena berguna dalam mengenal ciri-cirinya, asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon penyusunnya. Asam lemak merupakan asam lemah, dan dalam air terdisosiasi sebagian. Umumnya berfase cair atau padat pada suhu ruang (27 °C). Semakin panjang rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut (Anonim 2010). Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil (tidak mudah bereaksi) daripada asam lemak tak jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi). Keberadaan ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh menjadikannya memiliki dua bentuk: cis dan trans. Semua asam lemak nabati alami hanya memiliki bentuk cis (dilambangkan dengan "Z"). Asam lemak bentuk trans fatty acid, dilambangkan dengan "E") hanya diproduksi oleh sisa metabolisme hewan atau dibuat secara sintetis. Akibat polarisasi atom H, asam lemak cis memiliki rantai yang melengkung. Asam lemak trans karena atom H-nya berseberangan tidak mengalami efek polarisasi yang kuat dan rantainya tetap relatif lurus (Anonim 2010). Menurut Edi (2011), biji Bintaro mengandung lemak/minyak sebesar 46 - 64%. Sementara itu, menurut Chang et al. (2000), biji bintaro mengandung minyak yang cukup banyak (54,33%) dan berpotensi digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Menurut Pranowo (2010), komposisi kulit, sabut, dan tista buah bintaro sebesar 94,76 persen dan komposisi biji adalah 5,24 persen biji basah atau hanya sebanyak 3,10 persen biji kering dari buah panen. Sementara itu, komposisi kimia minyak bintaro dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro Asam Lemak Nama Sistematik Hasil Analisis (%) Miristat
Tetradekanoat
0,17
Palmitat
Heksadekanoat
17,90
Stearat
Oktadekanoat
4,38
cis-9-oktadekenoat
36,64
Linoleat
cis-9,12-oktadekadienoat
23,44
Linolenat
cis-9,12,15-oktadekatrienoat
2,37
Oleat
Sumber : Endriana (2011) Minyak biji bintaro itu bisa memiliki daya bahan bakar selama 11,8 menit, sedangkan minyak tanah 5,6 menit dengan takaran 1 ml minyak biji bintaro dan minyak tanah. Itu menunjukkan bahwa minyak biji Bintaro memiliki daya bakar dua kali lebih lama dibandingkan minyak tanah. Ampas kering biji bintaro dapat diolah menjadi briket arang atau diolah menjadi kompos untuk pupuk tanaman sehingga, dalam proses ini tidak menghasilkan sampah (zero waste) (Adrian 2009). Tingkat kematangan buah bintaro dapat dilihat dari warna buah bintaro dimana buah mudanya berwarna hijau pucat, tuanya berwarna merah cerah, dan setelah berkecambah berwarna coklat. Menurut Muchtadi (1992), selama proses pematangan buah akan terjadi degradasi klorofil sehingga kandungan klorofil menjadi rendah dan muncul warna dari pigmen lainnya, hal ini
5
menyebabkan buah berubah warnanya menjadi kuning, orange atau merah. Menurut Anonim (2010), minyak yang mula – mula terbentuk dalam buah adalah trigliserida yang mengandung asam lemak bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan buah terjadi pembentukan trigliserida yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Minyak yang terbentuk dalam daging buah maupun dalam inti terbentuk emulsi pada kantong – kantong minyak, dan agar minyak tidak keluar dari buah dilapisi dengan kulit yang tebal dan berkilat. Untuk melindungi minyak dari oksidasi yang dirangsang maka tanaman tesebut membentuk senyawa kimia pelindung yaitu karotein. Setelah penyerbukan kelihatan buah berwarna hitam kehijau-hijauan. Pada saat pembentukan minyak terjadi yaitu trigliserida dengan asam lemak tidak jenuh, tanaman membentuk karotein dan phitol untuk melindungi dari oksidasi, sedangkan klorofil tidak mampu melakukannya sebagai antioksidasi.
2.3. EKSTRAKSI MINYAK Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi ini bermacam – macam, yaitu rendering (dry rendering dan wet rendering), mechanical expression, dan solvent extraction. Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang mengandung minyak atau lemak dengan kadar air tinggi (Ketaren 1986). Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel 1989). Pengepresan mekanis (mechanical expression) merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak, terutama untuk bahan yang berasal dari biji – bijian. Cara ini dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30 – 70 persen). Pada pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak atau lemak dari bijinya. Perlakuan pendahuluan tersebut meliputi pembuatan serpih, perajangan dan penggilingan serta tempering atau pemasakan. Dua cara umum dalam pengepresan mekanis, yaitu pengepresan hidraulik (hydraulic pressing) dan pengepresan berulir (expeller pressing) (Ketaren 1986). Pada cara pengepresan hidraulik (hydraulic pressing), bahan dipres dengan tekanan sekitar 2000 pound/inch2 (140,6 kg/cm = 136 atm). Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam bahan asal. Sedangkan banyaknya minyak yang tersisa pada bungkil bervariasi sekitar 4 sampai 6 persen, tergantung lamanya bungkil ditekan dibawah tekanan hidraulik (Ketaren 1986). Cara pengepresan berulir (expeller pressing) memerlukan perlakuan pendahuluan yang terdiri dari proses pemasakan atau tempering. Proses pemasakan berlangsung pada remperatur 240 °F (115,5 °C) dengan tekanan berkisar sekitar 15 – 20 ton/inch2. Kadar air minyak atau lemak yang dihasilkan berkisar sekitar 2,5 – 3,5 persen, sedangkan bungkil yang dihasilkan masih mengandung minyak sekitar 4 – 5 persen (Ketaren 1986) Ekstraksi dengan pelarut (solvent extraction) adalah ekstraksi dengan melarutkan minyak dalam pelarut minyak dan lemak. Pada cara ini dihasilkan bungkil dengan kadar minyak yang rendah yaitu sekitar 1 persen atau lebih rendah, dan mutu minyak yang dihasilkan cenderung menyerupai hasil dengan cara expeller pressing, karena sebagian fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi. Pelarut minyak atau lemak yang dipergunakan dalam proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah petroleum eter, gasoline karbon disulfide, karbon tetraklorida, benzene dan n – heksan (Ketaren 1986).
6
Menurut Voigt (1994), pada proses ekstraksi dengen pelarut pada dasarnya dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pencucian dan fase ekstraksi.
Fase Pencucian (Washing Out) Pada saat penggabungan pelarut dengan simplisia, maka sel – sel yang rusak karena proses pengecilan ukuran langsung kontak dengan bahan pelarut. Komponen sel yang terdapat pada simplisisa tersebut dengan mudah dilarutkan dan dicuci oleh pelarut. Dengan adanya proses tersebut, maka dalam fase pertama ini sebagian bahan aktif telah berpindah ke dalam pelarut. Semakin halus ukuran simpisia, maka semakin optimal jalannya proses pencucian tersebut.
Fase ekstraksi (Difusi) Pada fase difusi, pelarut menarik senyawa senyawa yang ada di dalam sel dengan cara menembus dinding sel terlebih dahulu. Pelarut dapat masuk ke dalam sel karena adanya perbedaan konsenterasi antara larutan dalam sel dengan pelarut yang mula – mula masih tanpa bahan aktif . proses penarikan ini akan berlangsung sampai terbentuk keseimbangan konsenterasi antara di sebelah dalam dan sebelah luar sel. Tahapan yang harus diperhatikan dalam mengekstraksi jaringan tumbuhan adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut dan kondisi proses ektraksi, proses pengambilan pelarut pengawasan mutu, dan pengujian yang dikenal pula sebagai tahappan penyelesaian. Penggunaan pelarut bertitik didih tinggi menyebabkan adanya kemungkinan kerusakan komponen – komponen senyawa penyusun pada saat pemanasan. Pelarut yang digunakan harus bersifat inert terhadap bahan baku, mudah didapat, dan harganya murah (Sabel dan Waren 1973). Dalam pemilihan cairan penyari harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral tidak mudah menguap, dan tidak mudah terbakar, selektif. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan oleh peraturan (Ketaren 1986). Menurut Ketaren (1986), pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak lemak adalah petroleum eter, gasoline, karbon disulfide, karbon tetraklorida, benzene, dan n – heksana. Menurut Rose et al (1975) dan Jacobs (1953), heksana merupakan pelarut yang mudah menguap, aromanya memusingkan, bobot molekul 86,2, titik didih pada tekanan 760 mmHg 66-71 °C dan banyak digunakan sebagai pelarut. Kelarutan 0,0138g/100 ml dalam air pada suhu 15,5 °C, 50 gram/100ml dalam air pada 33°C, larut dalam eter, sangat larut dalam kloroform. Heksana merupakan cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, sangat mudah terbakar, titik leleh – 95 °C, larut dalam alkohol, aseton, eter, dan tidak larut dalam air. Menurut Kurnia (2010), ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin dan cara panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas antara lain dengan refluks, soxhlet, digesti, destilasi uap dan infuse. Refluks merupakan ekstraksi pelarut pada suhu didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatasyang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Digesti adalah maserasi kinetik pada suhu lebih tinggi dari suhu kamar 40 – 50 °C. Destilasi uap adalah ekstraksi zat kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinyu sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran menjadi destilasi air bersama kandungan yang memisah sempurna atau sebagian. Infuse adalah ekstraksi pelarut air pada suhu penangas air 96 – 98 °C selama 15 – 20 menit. Istilah maserasi berasal dari bahasa latin “macerace” yang artinya mengairi, melunakkan, merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Proses pengerjaan dilakukan dengan cara merendam simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
7
mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsenterasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan akan didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsenterasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan dari metode maserasi adalah peralatannya sederhana. Kerugian metode maserasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, dan tidak dapat digunakan untuk bahan – bahan yang memiliki tekstrur keras seperti benzoin, tiraks, dan lilin. Metode maserasi dapat dilakukan dengan beberapa modifikasi, diantaranya adalah modifikasi maserasi melingkar, modifikasi maserasi digesti, modifikasi maserasi melingkar bertingkat, modifikasi remaserasi dan modifikasi maserasi dengan mesin berpengaduk (Sudjadi 1986).
2.4. MINYAK NABATI Lemak atau minyak yang dapat dimakan (edible fat), dihasilkan oleh alam, yang dapat bersumber dari bahan nabati dan hewani. Dalam tanaman atau hewan, minyak tersebut berfungsi sebagai sumber cadangan energi. Minyak dalam tanaman dibentuk dalam sel hidup, yang merupakan hasil dari serangkaian reaksi yang kompleks dalam proses metabolisme. Adapun perbedaan umum antara lemak nabati dan hewani adalah lemak hewani mengandung kolesterol sedangkan lemak nabati mengandung fitosterol, kadar asam lemak tidak jenuh dalam lemak hewani lebih kecil dari lemak nabati, dan lemak hewani memiliki bilangan Reichert Meissl lebih besar serta bilangan Polenske lebih kecil dibandingkan dengan minyak nabati. Minyak atau lemak nabati adalah minyak yang diekstrak dari berbagai bagian tumbuhan. Sumber dari minyak nabati dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Biji – bijian palawija : minyak jagung, biji kapas, kaang, rape seed, wijen, kedelai, dan bunga matahari, 2. Kulit buah tanaman tahunan : minyak zaitun dan kelapa sawit 3. Biji – bijian dari tanaman tahunan : kelapa, cokelat, inti sawit, babassu, cohune, dan sebagainya (Ketaren 1986). Komposisi atau jenis asam lemak dan sifat fisiko-kimia tiap jenis minyak berbeda – beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sumber, iklim, keadaan tempat tumbuh, dan pengolahan. Tanaman jarak (Jatropha curcas L) adalah tanaman semak yang tahan kekeringan dan dapat tumbuh dengan cepat hingga mencapai 3-5 meter. Biji jarak bagar terdiri atas 75 persen biji dan 25 persen kulit (Ketaren 1986). Komposisi kimia jarak pagar terdiri atas 54,59 persen minyak, 9,13 persen karbohidrat, 2,82 persen serat, 4,13 persen abu, 24,85 persen protein (Achten et al 2008). Minyak jarak mempunyai sifat sangat beracun di samping kandungan asam esensialnya yang sangat rendah sehingga tidak dapat digunakan sebagai minyak pangan atau bahan pangan (Ketaren 1986). Kandungan asam lemak minyak jarak pagar didominasi oleh asam palmitat, asam oleat, dan asam linoleat (Tabel 2). Adapun sifat fisiko kimia dari minyak jarak pagar dapat dilihat dari Tabel 3.
8
Tabel 2. Kandungan asam lemak pada minyak jarak pagar Jenis Asam lemak Komposisi (%) Asam palmitat
14,1
Asam palmitoleat
0,5
Asam stearat
6,8
Asam oleat
38,6
Asam linoleat
36,0
Asam arasidat
0,2
Asam gadoleat
3,6
Sumber :Janin dan Sharma (2010)
Sifat Minyak
Tabel 3. Sifat fisikokimia minyak jarak pagar Satuan
Nilai
gr/ ml
0,860 – 0,920
cP
37,00 – 54,80
Nilai Kalor
mj/kg
37,83 – 42,05
Titik Tuang
°C
-3
Titik awan
°C
2
Titik nyala
°C
210 – 240
mg KOH/g
102,9 – 209,0
%
0,79 – 3,80
mg iodine/g
92 – 112
%
0,18 – 3,40
mg KOH/ g
0,92 – 6,16
Sulfur
%
0,00 – 0,13
Residu karbon
%
0,07 – 0,64
Monogliserida
%
Maks. 1,7
Digliserida
%
2,50 – 2,70
Trigliserida
%
88,20 – 97,30
Densitas pada 15 °C Viskositas pada 30 °C
Bilangan penyabunan Bilangan tak tersabunkan Bilangan iod Asam lemak bebas Bilangan Asam
Sumber : Achten et al (2008) Tanaman kelapa sawit ( Elaeis guinensis) adalah tanaman yang termasuk dalam family Palmae. Kelapa sawit tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan kisara suhu 22 °C – 32 °C. Minyak kelapa sawit dapat berasal dari daging buah kelapa sawit (crued palm oil) dan inti kelapa sawit (palm kernel oil). Kelapa sawit mengandung lebih kurang 80 persen perikarp dan 20 persen buah yang dilapisi kulit yang tipis. Kadar minyak dalam perikarp sekitar 30 – 40 persen (Ketaren 1986). Rata – rata komposisi asam lemak minyak biji sawit dapat dilihat pada Tabel 4 dan sifat fsikokimia minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 5.
9
Tabel 4. Kandungan asam lemak pada minyak kelapa sawit Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit Minyak Inti Sawit (persen) (persen) Asam kaprilat
-
3–4
Asam kaproat
-
3–7
Asam laurat
-
46 – 52
Asam miristat
1,1 – 2,5
14 – 17
Asam palmitat
40 – 46
6,5 – 9
Asam stearat
3,6 – 4,7
1 – 2,5
Asam oleat
39 – 45
13 – 19
7 - 11
0,5 – 2
Tabel 5. Sifat fisikokimia minyak kelapa sawit Satuan
Nilai
Asam linoleat Sumber : Eckey, S.W (1955)
Sifat Minyak Asam lemak bebas
%
3–5
Kadar air
%
< 0,1
Pengotoran
%
<0,01
Besi
ppm
< 10
Tembaga
ppm
0,2
mg iod/g
45 – 56
ppm
500 -700
Bilangan iodium Karotena Sumber : Ketaren (1986)
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) merupakan tanaman yang banyak tumbuh di sepenjang pantai di seluruh Indonesia. Menurut Heyne (1987), inti biji mengandung air 3,3 persen dan minyak 71,4 persen bila biji segar mengandung 55 persen minyak sedangkan biji yang benar-benar kering mengandung 70,5 persen minyak. Minyak yang berasal dari bijinya dapat dipakai sebagai penerangan, pembuatan sabun, pelitur, minyak rambut, minyak urut dan obat (Dephut 2008). Karakteristik dan komposisi asam lemak minyak dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7
Karakteristik Minyak Air Densitas Kekentalan Bilangan Asam Asam lemak bebas Bilangan penyabunan Bilangan Iod
Tabel 6. Karakteristik minyak nyamplung Satuan
Nilai
%
0,25
g/ml
0,944
cP
21,97
mg KOH/g
59,94
%
29,53
mg KOH/g
198,1
mg/g
86,42
Sumber : SNI 04-7182-2006
10
Tabel 7. Komposisi asam lemak minyak nyamplung Komponen Minyak Nyamplung Asam miristat Asam palmitat Asam stearat Asam oleat Asam linoleat Asam lonolenat Asam arachidat Asam erukat Sumber : Sudrajat (2007)
Nilai (persen) 0,09 15,89 12,30 48,49 20,70 0,27 0,94 0,72
11
III. METODOLOGI 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1. Alat Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas cawan alumunium, oven, desikator, piknometer, elemeyer 250 ml, elemeyer 300 ml, elenmeyer 100 ml, elemeyer 500 ml, pipet tetes, pipet volumetric, pemanas listrik, timbangan, soxlet, alat maserasi, rotary evaporator, Hydraulic Presser, dan Hot Press Hydraulic.
3.1.2. Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah bintaro dengan berbagai tingkat kematangan. Bahan – bahan kimia yang digunakan untuk reaksi dan analisis antara lain chloroform, kalium iodida, natrium thiosulfat, NaOH, KOH, HCL 0.5 N, alkohol 95%, air destilata, indikator pp, indikator amilum 1 %, larutan Hanus, dan asam asetat.
3.2. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan dibagi menjadi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyiapkan bahan ekstraksi minyak biji bintaro. Sementara itu, penelitian utama dilakukan untuk mendapatkan metode ekstraksi yang terbaik dengan menggunakan tingkat kematangan buah yang berbeda. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 5 , sedangkan diagram alir tahapan ekstraksi minyak biji bintaro disajikan pada Gambar 6. Mulai Pengambilan sampel buah bintaro yang berasal dari buah yang sudah jatuh ke tanah (berwarna merah), buah bintaro yang berasal dari tangkai pohon, dan buah bintaro yang sudah berkecambah Pemisahan biji buah dengan serat dan kulit buah bintaro Analisis proksimat biji bintaro Ekstraksi minyak biji bintaro dengan menggunakan alat hot presser hydraulic, hydraulic presser, dan pelarut n-heksana Analisis sifat fisiko kimia minyak biji bintaro Penentuan perlakuan proses yang terbaik Analisa Gas Chromatography Spectrofotometry Mass Selesai Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian
12
1. Buah bintaro muda (hijau) Biji Bintaro
Pengupasan
1. Kadar Air
2. Buah bintaro tua (merah kehitaman) 3. Buah bintaro berkecambah
Pengeringan biji pada suhu 55 °C
2. Kadar Abu 3. Kadar Lemak
Biji buah kering
4. Kadar Serat 5. Kadar Karbohidrat Analisa Proksimat 6. Kadar Protein Penghancuran biji bintaro 1. Ekstraksi dengan Hot Presser Hydraulic (T = 60-70 °C, P = 20 Ton) 2. Ekstraksi dengan Hydraulic Presser (P=20Ton) 3. Ekstraksi Pelarut (maserasi) Pelarut = n-Heksana
Ekstraksi
Minyak Biji Bintaro 1. Rendemen 2. Bobot jenis Analisa Fisiko Kimia 3. Bilangan Asam 4. Bilangan Iod
Analisa Gas Chromatography Spectrofotometry Mass
Minyak Biji Bintaro terpilih
5. Bilangan Penyabunan 6. Bilangan Peroksida 7. Viskositas 8. Kejernihan (%Transmisi) 9. Kadar Abu
Gambar 6. Diagram alir tahapan ekstraksi minyak biji bintaro
13
3.2.1. Penelitian
Pendahuluan
Persiapan bahan untuk ekstraksi minyak meliputi sortasi (pemilihan buah bintaro berdasarkan tingkat kematangan), pemisahan biji buah dengan serat dan kulit buah, pengeringan biji buah selama 48 jam pada suhu 55 °C, dan analisis proksimat pada biji yang telah dikeringkan. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terdapat di dalam biji. Menurut Norris (1982), minyak yang diperoleh dengan pengempaan mekanis dipengaruhi oleh kandungan air, metode pemanasan, dan komposisi kimia biji. Menurut Hartanti (1995), pengeringan dimaksudkan untuk memudakan pengeluaran minyak pada waktu ekstraksi sehingga waktu ekstraksi menjadi lebih singkat. Dengan adanya pemanasan, butiran – butiran lemak minyak dapat membentuk butiran – butiran yang lebih besar dan protein yang mengikat lemak akan terkoagulasi sehingga butiran ini akan lebih mudah keluar dari biji. Pemanasan juga dapat menurunkan afinitas minyak terhadap permukaan biji, sehingga minyak dapat diekstrak dengan pengepresan. Menurut Swern (1979), pemanasan dapat memberikan sifat plastis biji, mengurangi kelarutan fosfatida, destruksi kapang dan bakteri, serta dapat meningkatkan fluiditas minyak. Pemanasan yang terlalu lama pada suhu yang tinggi akan menurunkan mutu organoleptik minyak. Suhu oven yang digunakan pada penelitian ini adalah 55 °C. Suhu tersebut didasarkan atas pernyataan oleh Whiteley et al. (1949) bahwa suhu yang baik untuk ekstraksi minyak secara mekanis adalah 50 – 60 °C, karena pada suhu tersebut lemak sudah mencair sekaligus dapat menggumpalkan protein yang terdapat pada dinding sel dan memecahkan emulsi protein dengan lemak. Prosedur analisis proksimat dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.2.2. Penelitian Utama Penelitian yang dilakukan meliputi kajian proses ekstraksi minyak biji bintaro dengan tingkat kematangan buah yang berbeda. Faktor – faktor yang dipelajari adalah pengaruh tingkat kematangan buah dan metode ekstraksi yang digunakan. Biji bintaro yang telah dikeringkan, dikecilkan ukurannya sampai sekitar 40 mesh dengan menggunakan blender untuk selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan menggunakan pelarut n-heksana melalui maserasi, hydraulic presser, dan hot press hydraulic. Ukuran partikel akan mempengaruhi rendemen yang dihasilkan semakin kecil ukuran partikel, maka rendemen minyak yang didapat akan semakin besar. Hal ini dikarenakan semakin kecil ukuran partikel maka luas permukaan biji yang bereaksi dengan pelarut akan semakin besar sehingga kontak antara biji bintaro dengan pelarut akan semakin besar. Ekstraksi dengan pelarut n-heksana dilakukan dengan metode maserasi pada suhu ruang selama ±15 jam dan suhu 40 °C selama 6 jam, dengan perbandingan pelarut adalah 1:3(w/v). Ekstraksi dengan alat hydraulic presser dilakukan pada tekanan 20 ton pada suhu ruang (Gambar 7). Sementara itu, ekstraksi dengan menggunakan alat hot press hydraulic dilakukan dengan mengepress minyak pada tekanan 20 ton pada suhu 60 – 70 0C (Gambar 8). Pada ekstraksi minyak dengan menggunakan hydraulic presser dan hot press hydraulic, biji yang telah dikecilkan ukurannya dibungkus terlebih dahulu di dalam kain saring. Biji bintaro yang akan dikempa dibungkus dengan kain atau cages agar bungkil dapat tertahan. Jumlah minyak yang diperoleh dengan cara ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berkaitan dengan afinitas minyak dalam biji, lama pengempaan, tekanan maksimum, dan viskositas minyak dalam biji (Bailey 1950). Tekanan yang digunakan pada pengepresan mekanis dengan mesin hot press adalah sekitar 2000 lb/in2 (140,6 kg/cm2) dan suhunya berkisar antara 50 – 60 °C (Ketaren 1986). Menurut Jamieson (1943), pengempaan sebaiknya dilakukan dengan jalan menaikkan tekanan perlahan – lahan sampai mencapai tekanan optimum yaitu sebesar 1800 – 2000 psi dan lama pengempaan 20 – 30 menit. Suhu hot hydraulic pressing yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60-70 °C karena didasarkan atas
14
penelitian yang dilakukan oleh Vitriani (2003). Pada penelitian tersebut minyak diekstraksi dengan alat hot hydraulic presser menggunakan tiga jenis perlakuan suhu yaitu 30 – 40 °C, 50-60 °C, dan 70 – 80 °C. Dari hasil penelitian, didapat hasil bahwa rendemen minyak terbesr terdapat pada ekstraksi dengan suhu 70 – 80 °C dan 50- 60 °C sehingga digunakan gabungan suhu diantara keduanya yaitu 60-70 °C. Pada ekstraksi minyak dengan pelarut n-heksana dengan metode maserasi dengan digesti dilakukan dengan merendam biji dalam pelarut n – heksana selama 15 jam selanjutnya dilakukan proses ekstraksi pada suhu 40 °C dalam waktu 6 jam. Setelah dilakukan ekstraksi, minyak yang terdapat di dalam pelarut n – heksana dipisahkan dengan bungkil dengan menggunakan penyaring vakum untuk selanjutnya dilakukan pemisahan larutan n-heksana dengan minyak dengan menggunakan alat rotary evaporator dengan suhu 70 °C (Gambar 9). Menurut Kurnia (2010), digesti adalah maserasi kinetik pada suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar yaitu 40 – 50 °C. Maserasi dengan pengadukan merupakan metode ekstraksi dengan maserasi yang dapat mempercepat waktu menjadi 6 sampai 24 jam (Ahmad 2006). Pada ekstraksi dengan metode ini, biji bintaro direndam di dalam pelarut n-heksan selama ± 15 jam. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi proses pencucian (washing out) dan fase ekstraksi (difusi). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa proses ekstraksi dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pencucian (washing out) dan fase ekstraksi (difusi). Fase washing out merupakan proses pencucian atau penarikan minyak yang terdapat di luar sel oleh pelarut. Fase berikutnya adalah fase ekstraksi dimana pelarut heksana menarik senyawa – senyawa yang ada di dalam sel dengan menembus dinding sel terlebih dahulu. Pelarut masuk ke dalam sel karena adanya perbedaan konsenterasi antara larutan dalam sel dengan pelarut yang mula – mula masih tanpa bahan aktif. Proses penarikan ini akan berlangsung sampai terbentuk keseimbangan konsentersai antara larutan di sebelah dalam dan sebelah luar sel. Fase ekstraksi ini akan dioptimalkan dengan menaikkan suhu ekstraksi menjadi 40°C dan menggunakan alat pengaduk selama 6 jam. Menurut Moestafa (1981) ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi hal ini akan mengakibatkan beberapa komponen rusak. Menurut Suryandari (1981), semakin lama waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar sehingga rendemen juga akan bertambah sampai titik jenuh larutan. Pada penelitian ini digunakan pelarut n – heksana karena sifatnya yang stabil, mudah menguap, dan selektif dalam melarutkan zat.
Gambar 7. Alat hydraulic presser
Gambar 8. Alat hot presser hydraulic
15
(a)
(b) Gambar 9. (a) maserator dengan pengaduk, (b) penyaring vakum
Setelah dilakukan ekstraksi, dilakukan analisa minyak biji bintaro yang dihasilkan, diantaranya adalah rendemen, bobot jenis, % transmisi, (kejernihan), FFA, bilanagan iod, bilangan penyabunan, bilangan peroksida, kadar abu minyak, dan viskositas minyak. Prosedur analisis sifat fisiko kimia minyak dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil yang terbaik yang diperoleh pada tahap ini selanjutnya dilakukan pengujian Gas Chromatography Spectrofotometry Mass untuk menentukan komponen asam – asam lemak yang terkandung di dalam minyak.
3.3. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang dilakukan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor. Faktor – faktor yang divariasikan adalah metode ekstraksi (A) dan tingkat kematangan (B). Faktor metode ekstraksi terdiri atas tiga taraf , yaitu ekstraksi dengan menggunakan alat Hot Press Hydraulic, alat Hydraulic Presser, dan pelarut n-heksana dengan maserasi. Faktor tingkat kematangan terdiri atas tiga taraf, yaitu buah yang matang (berwarna merah), buah yang muda (berwarna hijau), dan buah yang berkecambah. Model matematika dapat dilihat pada persamaan (1.1) : YIJ = µ + Ai + Bj + ABij + єij (1.1) dengan : YIJ = Nilai pengamatan µ = Rata – rata Ai = Pengaruh faktor metode ekstraksi pada taraf ke-i (i = 1,2,3) Bj = Pengaruh faktor tingkat kematangan pada taraf ke-j (j = 1,2,3) ABij = Pengaruh interaksi faktor metode ekstraksi pada taraf ke-I dengan faktor tingkat kematangan pada taraf ke-j єij = Galat percobaan Uji lanjut Duncan digunakan untuk menguji perbedaan diantara semua pasangan perlakuan yang mungkin tanpa memperhatikan jumlah perlakuan. Uji lanjut Duncan didasarkan pada sekumpulan nilai beda nyata yang ukurannya semakin besar, tergantung pada jarak di antara pangkatpangkat dari dua nilai tengah yang dibandingkan.
16
Langkah perhitungan uji Duncan terdiri atas : 1. Urutkan menaik nilai tengah perlakuan 2. Hitung wilayah nyata terpendek untuk wilayah dari berbagai nilai tengah dengan menggunakan formula (1.2) :
Rρ = rα,ρ,v √
(1.2)
Keterangan :
rα,ρ,v
= nilai wilayah nyata Duncan
KTG = Kuadrat Tengah Galat r = ulangan 3. Nilai mutlak selisih kedua rata – rata dibandingkan dengan nilai wilayah nyata terpendek ρ |{ Jika | ρ
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK BIJI BINTARO Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyiapkan bahan yang digunakan pada ekstraksi minyak. Proses diawali dengan sortasi buah bintaro yang akan diolah. Sortasi dimaksudkan untuk memisahkan buah bintaro berdasarkan atas tingkat kematangannya. Tingkat kematangan dalam proses sortasi buah bintaro didasarkan atas buah bintaro yang muda (berwarna hijau), buah bintaro yang matang (berwarna merah), dan buah bintaro berkecambah. Buah bintaro yang muda biasanya masih terdapat pada tangkai pohon bintaro. Sementara itu buah bintaro yang sudah matang dan berkecambah buahnya sudah gugur dari tangkai pohon. Buah bintaro yang berkecambah ditandai dengan adanya kecambah yang terdapat pada buah. Perubahan tingkat kematangan buah bintaro dapat dilihat pada Gambar 10.
(a) (b) (c) Gambar 10. (a) buah bintaro muda, (b) buah bintaro matang, dan (c) buah bintaro berkecambah (Pranowo 2010) Buah bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda kemudian dicuci dengan air bersih untuk membersihkan kotoran – kotoran yang menempel pada kulit buah yang dapat menyebabkan terjadinya pembusukkan. Setelah itu buah ditempatkan pada wadah (karung) sesuai dengan tingkat kematangan buah masing – masing. Buah bintaro yang telah dibersihkan dikupas dengan menggunakan golok sehingga didapatkan biji bintaro yang berwarna putih dan berbentuk pipih. Biji bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda – beda tersebut dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 55 °C selama 48 jam. Kemudian, biji bintaro yang siap diolah tersebut dilakukan analisis proksimat. Analisa proksimat merupakan analisa kimia yang digunakan untuk mengetahui kandungan komponen nutrisi dari suatu bahan sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis selanjutnya. Analisis proksimat terdiri atas kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat, dan kadar karbohidrat (by different). Hasil analisa prosimat biji bintaro dapat dilihat pada Tabel 8.
Komposisi Biji
Tabel 8. Komposisi kimia biji bintaro kering Biji Muda Biji Matang
Biji Berkecambah
Kadar Air (%)
1,53
1.44
2,09
Kadar Abu (%)
1,97
2,58
2,63
Kadar Lemak (%)
55,04
59,58
45,56
Kadar Protein (%)
15,29
12,84
12,39
Kadar Serat (%)
16,18
18,75
13,77
Kadar karbohidrat (by
11,51
6,33
25,62
different) (%)
18
Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak (lemak) merupakan komponen tertinggi dalam biji bintaro sehingga biji bintaro cukup potensial digunakan sebagai sumber minyak nabati. Kadar minyak (lemak) terbesar adalah biji bintaro matang dan biji bintaro muda yaitu sebesar 59,58 persen dan 55,04 persen, sementara kadar minyak (lemak) biji bintaro terkecil adalah biji bintaro berkecambah yaitu 45,56 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar lemak mengalami kenaikan seiring dengan tingkat kematangan buah kecuali biji berkecambah. Bertambahnya kadar lemak pada buah yang muda dengan buah yang matang disebabkan oleh adanya metabolisme pembentukan lemak yang terjadi selama tingkat kematangan buah. Menurut Ketaren (1986) proses pembentukan lemak dalam tananaman terdiri atas 3 tahap yaitu sintesis gliserol, sintesis asam lemak, dan kondensasi gliserol yang merupakan hasil serangkaian reaksi kompleks dalam metabolisme. Sementara itu, kadar lemak dalam biji berkecambah mengalami penurunan karena karena lemak tersebut digunakan sebagai cadangan makanan untuk pembentukan struktur membran sel (Junaidi 2010). Selain itu, dikarenakan kadar minyak yang tinggi maka minyak biji bintaro cocok untuk diekstrak dengan menggunakan alat kempa mekanis seperti yang dinyatakan oleh Ketaren (1986), pengepresan mekanis dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30 – 70 persen). Kadar air terendah terdapat pada biji muda sebesar 1,53 persen dan biji matang sebesar 1,44 persen. Sementara itu, kadar air tertinggi terdapat pada biji berkecambah yaitu sebesar 2,09 persen. Sehingga dengan pertambahan tingkat kematangan buah cenderung menaikkan kadar air yang terdapat di dalamnya kecuali biji bintaro matang. Hal tersebut sesuai dengan literatur karena terjadinya proses respirasi pada buah seiring dengan tingkat kematangan buah. Respirasi didefinisikan sebagai perombakan senyawa komplek yang terdapat pada sel seperti pati, gula dan asam organik menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti karbondioksida, dan air, dalam waktu bersamaan memproduksi energi dan senyawa lain yang dapat digunakan sel untuk reaksi sintetis. Laju respirasi per unit berat adalah tertinggi untuk buah dan sayur yang belum matang dan kemudian terus menerus menurun dengan bertambahnya umur (Fauzi 2011). Nilai kadar air ini dapat menunjukkan bahwa biji bintaro siap untuk diolah. Kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan hidrolisa minyak. Selain itu, pada proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut jumlah kadar air merupakan faktor penting karena kandungan air di dalam bahan akan mempengaruhi efektifitas pelarut dalam melarutkan minyak. Kadar air yang tinggi akan memperpanjang proses pemisahan air pada tahap evaporasi. Kadar protein tertinggi terdapat pada buah yang muda yaitu 15,29 persen dilanjutkan dengan biji matang yaitu 12,84 persen. Sementara itu, kadar protein terkecil didapatkan pada buah yang sudah berkecambah yaitu 12,39 persen. Kadar protein mengalami penurunan seiring dengan kematangan buah. Wirahadikusumah (1989) menyatakan bahwa menurunnya kadar protein di dalam buah dengan semakin meningkatnya umur buah disebabkan karena dalam proses pematangannya sebagian besar protein (asam amino) disintesis menjadi lemak. Lemak berfungsi dalam pertumbuhan struktur membran sel. Pada proses ekstraksi, protein akan terurai dan menghasilkan senyawa – senyawa yang larut dalam minyak. Hal ini dapat menyebabkan warna minyak menjadi lebih gelap. Menurut Ketaren (1986) pigmen cokelat yang terdapat pada minyak atau lemak disebabkan karena terjadi reaksi molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehid serta gugus amin dari molekul protein dan yang disebabkan karena aktivitas enzim – enzim, seperti phenol oxidase, polyphenol oxidase, dan sebagainya. Kadar serat mengalami peningkatan pada buah yang muda (16,18 persen) menjadi 18,75 persen pada buah yang matang. Hal tersebut disebabkan karena pada tahap awal daging buah tersusun dari gula sederhana, namun komponen sel belum terisi oleh selulosa secara sempurna sehingga kandungan gula yang terdapat dalam buah dikonversi menjadi selulosa seiring dengan meningkatnya tingkat kematangan buah (Rindengan et al 1996). Sementara, pada buah yang berkecambah memiliki
19
kadar serat yang paling rendah (13,77 persen) karena enzim selulosa yang terbentuk akan aktif merombak polisakarida menjadi monosakarida sebagai cadangan energi dalam pembentukan embrio (Rindengan et al. 1996). Kadar abu (mineral) merupakan bagian berat mineral dari bahan yang didasarkan atas berat keringnya. Abu adalah zat anorganik yang tidak menguap, sisa hasil proses pembakaran dan oksidasi. Kadar abu terendah terdapat pada biji muda sebesar 1,97 persen dan kadar abu yang paling tinggi terdapat pada biji yang berkecambah sebesar 2,63 persen. Semakin tinggi tingkat kematangan buah semakin tinggi kadar abu yang dimiliki. Kadar abu menyatakan besarnya kandungan bahan – bahan anorganik yang terdapat di dalam suatu bahan. Nilai kadar abu dipengaruhi oleh tempat tumbuh, keadaan tanah, dan pemberian unsur hara pada tanaman. Kadar abu dalam tumbuhan naik karena unsur organik yang terdapat di dalam tanaman digunakan dalam proses metabolisme tumbuhan (Setiono 2010).
4.2. KARAKTERISTIK MINYAK BIJI BINTARO Ekstraksi minyak biji bintaro dilakukan dengan dua metode, yaitu metode mekanis (hydraulic presser dan hot presser hydraulic) dan metode ekstraksi dengan pelarut n-heksana. Ekstraksi dengan alat hydraulic presser dilakukan pada tekanan 20 ton pada suhu ruang. Sementara itu, ekstraksi dengan menggunakan alat hot press hydraulic dilakukan dengan mengepress minyak pada tekanan 20 ton pada suhu 60 – 70 °C. Ekstraksi dengan pelarut n-heksana dilakukan dengan metode maserasi pada suhu ruang selama ±15 jam dan suhu 40 °C selama 6 jam, dengan perbandingan pelarut adalah 1:3 (w/v). Minyak yang dihasilkan dari setiap perlakuan kemudian dianalisa beberapa sifat fisiko kimianya dan juga dihitung rendemen yang dihasilkan. Hasil ekstraksi minyak biji bintaro dapat dilihat pada Gambar 11.
(a) (b) (c) Gambar 11. (a) minyak hydraulic pressing, (b) minyak hot hydraulic pressing, (c) minyak ekstraksi maserasi.
4.2.1. Kadar Asam Lemak Bebas (FFA) Kadar asam lemak bebas (Free Fatty Acid) merupakan jumlah asam lemak yang terkandung di dalam minyak dan dihitung berdasarkan bobot molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak asam lemak bebas terbentuk pada reaksi hidrolisis trigliserida. Melalui proses hidrolisis, trigliserida dirombak menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Nilai bilangan asam dan FFA dapat digunakan untuk menentukan kualitas minyak. Semakin tinggi bilangan asam yang dikandung minyak maka semakin tinggi pula tingkat kerusakan minyak (Ketaren, 1986). Penelitian kadar asam lemak bebas minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 12.
20
Fat Fatty Acid (%)
5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 Kecambah
Hydraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 12. Pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi minyak biji bintaro terhadap kadar asam lemak bebas (FFA). Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik, kadar asam lemak bebas terbesar terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah yang berkecambah dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut n- heksana sebesar 4,54 persen dan kadar asam lemak bebas terkecil terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro muda sebesar 0,31 persen dengan metode ekstraksi hydraulic pressing. Dari hasil data keseluruhan, kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak biji bintaro menyerupai kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak jarak sebesar 0,18 persen – 3,40 persen (Achten et al, 2008), lebih rendah dibanding minyak kelapa sawit sebesar 3 sampai 5 persen (Ketaren, 1986), dan lebih rendah dibandingkan dengan minyak nyampung sebesar 7,4 persen (Sudrajat, 2007). Berdasarkan hasil keragaman (Lampiran 3), faktor tingkat kematangan buah memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak biji bintaro. Dari hasil uji Duncan didapatkan perbedaan yang sangat nyata antara rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dari buah bintaro muda sebesar 1,18 persen dengan rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dari buah bintaro matang sebesar 2,15 persen dan rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dari buah bintaro berkecambah sebesar 2,94 persen. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan buah maka kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam buah semakin tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan karena kadar air yang cenderung mengalami peningkatan selama proses kematangan buah yang dapat dilihat dari hasil analisis proksimat. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya proses hidrolisis minyak. Menurut Ketaren (1986), dalam reaksi hidrolisa, minyak atau lemak akan dubah menjadi asam – asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis yang dapat mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang menghasilkan flavor dan bau yang tengik pada minyak tersebut. Reaksi hidrolisis minyak atau lemak dapat ditunjukkan pada Gambar 13.
21
O CH2 – O – C – R O H+ O CH – O – C – R+ 3 HOH 3R – C – OH O CH2 – O – C – R trigliserida gliserol asam lemak Gambar 13. Persamaan reaksi hidrolisis minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Pembentukan asam lemak bebas pada minyak dapat terjadi karena proses pengolahan (penyiapan bahan). Menurut Ketaren (1986), proses hidrolisis dapat berlangsung pada waktu minyak masih berada dalam jaringan biji yang telah dipanen, selama pengolahan, dan penyimpanan. Selain itu lemak hewan dan nabati yang masih berada dalam jaringan, biasanya mengandung enzim yang dapat menghidrolisis lemak. Berdasarkan hasil keragaman, faktor metode ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak. Dari hasil uji Duncan tidak didapatkan perbedaan yang sangat nyata antara rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dengan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 1,37 persen dengan rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dengan metode ekstraksi hot press hydraulic sebesar 1,75 persen. Sementara itu, kedua metode ekstraksi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap rata – rata kadar asam lemak bebas dengan metode ekstraksi dengan pelarut n – heksana sebesar 3,16 persen. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa metode ekstraksi dengan menggunakan alat hydraulic presser menghasilkan kadar asam lemak bebas yang lebih rendah dibanding dengan ekstraksi minyak dengan menggunakan alat hot hydraulic presser. Hal tersebut disebabkan karena suhu yang digunakan pada ekstraksi hot hydraulic pressing lebih tinggi dibandingkan dengan hydraulic pressing. Menurut Ketaren (1986), pemanasan mengakibatkan tiga macam perubahan kimia dalam lemak yaitu terbentuknya peroksida dalam asam lemak tidak jenuh, peroksida berdekomposisi menjadi persenyawaan karbonil, dan terjadinya polimerasi oksidasi sebagian. Jika minyak dipanaskan pada suhu tinggi maka lapisan permukaan minyak panas akan kontak dengan oksigen. Dekomposisi minyak dengan adanya udara terjadi pada suhu lebih rendah (190 °C) daripada tanpa udara (240 °C260 °C) sehingga dekomposisi minyak tidak terjadi pada proses ini karena suhu yang digunakan lebih rendah. Thermal polimerisasi terjadi jika minyak dipanaskan pada suhu sekitar 250 °C tanpa oksigen sehingga tidak terjadi juga thermal polimerisasi di dalam minyak. Sedangkan yang terjadi adalah oksidasi thermal dimana dalam proses ekstraksi dengan mekanis minyak sudah bersentuhan dengan oksigen dan dengan adanya pemanasan maka akan meningkatkan laju oksidasi. Namun minyak yang dihasilkan dari hot press hydraulic ataupun hydraulic pressing tidak berbeda nyata karena suhu yang digunakan berada di bawah titik didih minyak. Sementara itu minyak yang dihasilkan dengan menggunakan pelarut heksana memiliki kandungan asam lemak bebas yang paling tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan karena terjadinya reaksi hidrolisis yang terdapat di dalam minyak. Reaksi hidrolisis dapat terjadi karena suhu yang digunakan pada saat ekstraksi lebih rendah dibanding titik didih air dan ekstraksi berlangsung lebih lama dibanding dengan ekstraksi secara mekanis. Berdasarkan hasil analisa keragaman, faktor metode ekstraksi minyak dan faktor tingkat kematangan buah tidak memilki interaksi anatara satu dengan yang lainnya secara nyata baik pada tingkat 5 persen ataupun pada tingkat 1 persen. Berdasarkan penelitian ini, maka kadar asam lemak bebas yang terbaik terdapat pada minyak biji bintaro yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan tingkat kematangan buah yang muda dan menggunakan metode ekstraksi minyak hydraulic pressing.
22
4.2.2. Bobot Jenis Minyak (Densitas)
Densitas (gr/ml)
Bobot jenis adalah perbandingan berat dari suatu volume contoh pada suhu tertentu dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Alat yang digunakan dalam pengukuran densitas minyak adalah piknometer (Ketaren,1986). Bobot jenis yang terdapat di dalam minyak ditentukan oleh jumlah komponen yang terdapat di dalam minyak. Semakin banyak komponen yang terdapat dalam minyak maka bobot jenis akan semakin besar. Penelitian besarnya bobot jenis (densitas) minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 14. 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Kecambah
Hidraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 14. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bobot jenis minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bobot jenis tertinggi terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro yang berkecambah dengan menggunakan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 0,9062 g/ml dan yang paling rendah adalah minyak yang berasal dari buah bintaro yang berkecambah dengan menggunakan metode ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 0,8984 g/ml. Sementara itu, hasil analisis keragaman (Lampiran 4) menunjukkan bahwa faktor tingkat kematangan buah bintaro dengan faktor metode ekstraksi minyak tidak berpengaruh secara nyata terhadap bobot jenis minyak bintaro yang dihasilkan. Hal tersebut dapat disebabkan karena bobot jenis merupakan sifat fisis minyak sehingga setiap minyak memiliki bobot jenis yang berbeda pada rentang tertentu. Bobot jenis semakin besar dengan semakin tingginya ketidakjenuhan asam lemak yang dikandungnya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa minyak biji bintaro memiliki bobot jenis minyak pada rentang 0,8984 g/ml dan 0,9062 g/ml.
4.2.3. Bilangan Iod Minyak Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak dan lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menujukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh 100 gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Bilangan iod merupakan parameter penting dalam menentukan mutu minyak. Semakin tinggi bilangan iod menunjukkan jumlah ikatan rangkap di dalam minyak semakin banyak.
23
Bilangan Iod (I2/100 gr minyak)
Menurut Ketaren (1986), bilangan iod dapat digunakan untuk menggolongkan minyak sebagai minyak mengering dan bukan mengering. Minyak yang mempunyai bilangan iod lebih dari 130 digolongkan sebagai minyak mengering, sedangkan minyak yang mempunyai bilangan iod antara 100 sampai 130 bersifat setengah mengering dan bilangan iod kurang dari 100 bersifat tidak mongering. Jenis minyak mengering (drying oil) adalah minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi, dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental, dan membentuk sejenis selaput bila dibiarkan di udara terbuka. Istilah minyak “setengah mengering” berupa minyak yang memiliki daya mengering lebih lambat. Penelitian nilai bilangan iod minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 15. 100 80 60 40 20 0 Kecambah
Hydraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut hekasana
Gambar 15. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan iod minyak biji bintaro. Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik, bilangan iod tertinggi terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah dengan metode ekstraksi maserasi dengan pelarut nheksana sebesar 85,19 I2/100 gram minyak dan bilangan iod terendah terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro matang dengan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 51,08 I2/100 gram. Berdasarkan bilangan iod yang diperoleh maka minyak biji bintaro termasuk ke dalam minyak yang tidak mengering dimana kandungan bilangan iod yang dihasilkan cukup rendah. Nilai bilangan iod minyak biji bintaro lebih rendah dibanding dengan minyak jarak pagar sebesar 92 – 112 I2/100 gram (Achten et al. 2008) dan minyak biji nyamplung sebesar 86,42 I2/100 gram (SNI 2006). Sementara itu minyak biji bintaro memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak kelapa sawit sebesar 45 – 56 I2/100 gram (Ketaren, 1986). Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 5), tingkat kematangan buah memiliki pengaruh yang nyata terhadap bilangan iod minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan bahwa buah bintaro yang matang memiliki minyak dengan rata – rata bilangan iod sebesar 57,67 I2/100 gram yang berbeda nyata dengan rata – rata bilangan iod minyak yang dihasilkan dari buah bintaro yang muda sebesar 67,89 I2/100 gram dan rata – rata bilangan iod minyak buah bitaro berkecambah sebesar 74,09 I2/100 gram. Berdasarkan hasil yang didapat, minyak bintaro dari buah berkecambah rentan terhadap terjadinya oksidasi minyak dibandingkan dengan minyak yang berasal dari buah bintaro muda dan minyak bintaro dari buah yang sudah matang. Menurut Ketaren (1986), ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh dapat bereaksi secara adisi dengan hidrogen, oksigen, halogen, dan sulfur yang dapat menurunkan bilangan iod minyak. Reaksi adisi tersebut mengakibatkan ikatan rangkap pada minyak berkurang sehingga bilangan iod menurun.
24
Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa metode esktraksi minyak biji bintaro berpengaruh secara nyata terhadap bilangan iod minyak yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan bahwa rata – rata bilangan iod terbesar terdapat pada minyak biji bintaro dengan metode ekstraksi dengan pelarut n-heksana sebesar 70,87 I2/100 gram dilanjutkan dengan minyak biji bintaro dengan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 65,30 I2/100 gram, dan metode ekstraksi hot hydraulic pressing menghasilkan minyak biji bintaro dengan rata – rata bilangan iod terkecil yaitu 63,49 I2/100 gram. Rendahnya bilangan iod minyak biji bintaro hasil hot hydraulic pressing dapat disebabkan karena telah terjadi sejumlah reaksi oksidasi pada ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ketaren (1986) bahwa kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara terbuka akan bertambah dengan kenaikkan suhu. Suhu yang tinggi selama pengempaan mendorong terjadinya reaksi kimia pada komponen – komponen minyak sehingga terjadi perubahan pada komponen – komponen minyak tersebut. Sementara itu, pada ekstraksi dengan menggunakan pelarut n-heksana menghasilkan bilangan iod yang tinggi karena suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi dan ekstraksi dilakukan pada tempat yang tertutup rapat sehingga kecil kemungkinan oksigen dapat masuk. Berdasarkan hasil analisa keragaman, faktor tingkat kematangan buah dengan metode ekstraksi minyak memiliki interaksi secara nyata baik pada tingkat 5 persen dan 1 persen. Hal tersebut dapat disebabkan karena semakin tinggi tingkat kematangan buah menyebabkan semakin banyaknya jumlah asam lemak tidak jenuh yang terdapat di dalam minyak sehingga apabila masing – masing biji bintaro akan menghasilkan bilangan iod yang berbeda tergantung dari metode ekstraksi yang dilakukan. Dari hasil uji Duncan didapatkan bahwa kombinasi perlakuan A1B2 tidak memiliki perbedaan yang nyata terhadap kombinasi perlakuan A3B2 pada tingkat 1 persen. Berdasarkan bilangan iod yang dihasilkan dari penelitian ini, untuk mendapatkan minyak biji bintaro yang memiliki asam lemak tidak jenuh paling banyak berasal dari minyak biji bintaro dari buah yang berkecambah dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana.
4.2.4. Bilangan Penyabunan Minyak Bilangan penyabunan adalah jumlah mg KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Apabila sejumlah contoh minyak atau lemak disabunkan dengan larutan KOH akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan satu molekul minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan titrasi menggunakan asam, sehingga jumlah alkali yang turut bereaksi dapat diketahui (Ketaren, 1986). R1COO – CH2 R2COO – CH
R1COOK + 3 KOH
R2COOK
HOCH2 +
HOCH
R3COO – CH2
R3COOK
HOCH2
gliserol
sabun kalium
gliserol
Gambar 16. Reaksi bilangan penyabunan minyak (Ketaren, 1986). Besarnya bilangan penyabunan tergantung dari berat molekul. Minyak yang mempunyai berat molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi daripada minyak yang mempunyai berat molekul tinggi (Ketaren, 1986). Peningkatan bilangan penyabunan seiring dengan
25
Bilangan Penyabunan (mg KOH/gr minyak)
peningkatan bilangan asam karena semakin banyak dibutuhkan alkali untuk menetralisasi. Penelitian nilai bilangan penyabunan minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 17. 250 200 150 100 50 0 Kecambah
Hydrauluc Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah
Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 17. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan penyabunan minyak biji bintaro. Berdasarkan data hasil penelitian, nilai bilangan penyabunan tertinggi terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro muda dengan metode ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 208,55 mg KOH/g minyak dan nilai bilangan penyabunan terendah terdapat pada minyak yang berasal dari buah berkecambah dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana sebesar 182,66 20 mg KOH/g minyak. Rata – rata bilangan penyabunan yang didapatkan dari penelitian ini adalah 196,67 mg KOH/g minyak. Pada penelitian ini, minyak biji bintaro menghasilkan bilangan penyabunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bilangan penyabunan minyak biji jarak yang berkisar antara 176 – 181 mg KOH/g minyak (Kirk dan Othmer,1964). Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 6), tingkat kematangan buah bintaro memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai bilangan penyabunan yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan nilai rata – rata bilangan penyabunan tertinggi didapat dari minyak yang berasal dari buah bintaro yang matang sebesar 203,84 mg KOH/g minyak dilanjutkan dengan buah bintaro muda sebesar 197,95 mg KOH/g minyak dan buah bintaro kecambah sebesar 188,20 mg KOH/g minyak. Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa metode ekstraksi berpengaruh terhadap nilai bilangan penyabunan yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan nilai rata – rata bilangan penyabunan tertinggi didapat dari minyak yang berasal dari hot hydraulic pressing sebesar 199,48 mg KOH/g minyak dilanjutkan minyak yang berasal dari hydraulic pressing sebesar 198,20 mg KOH/g minyak dan minyak yang berasal dari ekstraksi pelarut n-heksana sebesar 192,32 mg KOH/g minyak. Besarnya bilangan penyabunan pada terjadi pada ekstraksi dengan menggunakan hot hydraulic pressing disebabkan karena suhu yang tinggi yang digunakan sehingga menimbulkan adanya reaksi oksidasi minyak. Menurut Silan (1998), bilangan penyabunan di dalam minyak dapat turun ataupun naik karena di dalam minyak dapat terjadi reaksi oksidasi, esterifikasi, polimerisasi dan lain – lain. Reaksi oksidasi akan menghasilkan asam lemak bebas dan senyawa dengan bobot molekul rendah sehingga
26
minyak yang mengalami oksidasi akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi. Sedangkan reaksi esterifikasi dan polimerisasi akan menghasilkan senyawa dengan bobot molekul tinggi sehingga minyak yang mengalami esterifikasi dan polimerisasi akan memiliki bilangan penyabunan yang lebih rendah. Berdasarkan hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa terjadinya interaksi yang berbeda nyata antara faktor metode ekstraksi dan tingkat kematangan buah dengan bilangan penyabunan yang dihasilkan baik pada tingkat 5 persen ataupun satu persen. Berdasarkan uji Duncan didapatkan bahwa nilai bilangan penyabunan terendah didapatkan dari minyak dengan kombinasi perlakuan A3B3 (buah bintaro berkecambah dengan metode ekstraksi dengan pelarut) dan tertinggi didapatkan dari minyak dengan kombinasi perlakuan A1B2 (buah muda dengan metode ekstraksi dengan hot hydraulic pressing). Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan metode esktraksi memberikan pengaruh yang lebih nyata dibandingkan dengan tingkat kematangan buah.
4.2.5. Bilangan Peroksida Minyak
Bilangan Peroksida (mg O2/100 gr minyak)
Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk perosida (Ketaren, 1986). Penelitian nilai bilangan peroksida minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 18. 35 30 25 20 15 10 5 0 Kecambah
Hydraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah
Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 18. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil penelitian, nilai bilangan peroksida terbesar terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang dengan ekstraksi hydraulic pressing sebesar 31,65 mg oksigen/100 g minyak dan terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang dengan ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 5,61 mg oksigen/100 g minyak dengan rata – rata bilangan peroksida adalah 13,59 mg oksigen/100 g minyak. Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 7), tingkat kematangan buah memberikan pengaruh yang nyata terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro. Dari hasil uji Duncan, didapatkan bahwa nilai rata – rata bilangan peroksida tertinggi didapat dari minyak yang berasal dari buah bintaro yang matang sebesar 14,37 mg oksigen/100 g minyak dilanjutkan dengan nilai rata – rata
27
bilangan peroksida minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah sebesar 13,61 mg oksigen/100 g minyak dan rata – rata nilai bilangan peroksida minyak yang berasal dari buah yang muda sebesar 12,80 mg oksigen/100 g minyak. Tingginya bilangan peroksida pada buah bintaro matang dan berkecambah dapat disebabkan karena ikatan rangkap yang terdapat di dalam minyak dari buah bintaro matang lebih banyak dibandingkan dengan minyak yang berasal dari buah bintaro muda sehingga oksidasi minyak terus berlangsung dan akan berlangsung ditandai dengan adanya bilangan peroksida yang terbentuk dalam minyak. Pada minyak yang berasal dari buah yang berkecambah sudah terjadi proses oksidasi sebelumnya. Sementara itu, minyak yang berasal dari buah bintaro muda memiliki bilangan peroksida terendah karena sedikitnya jumlah ikatan rangkap yang terdapat didalamnya sehingga minyak tidak rentan terhadap proses oksidasi. Hal tersebut sesuai dengan Anonim (2010) yang menyatakan bahwa minyak yang mula – mula terbentuk dalam buah adalah trigliserida yang mengandung asam lemak bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan buah terjadi pembentukan trigliserida yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Berdasarkan hasil analisa keragaman juga didapatkan hasil bahwa jenis ekstraksi minyak berpengaruh nyata terhadap bilangan peroksida minyak yang dihasilkan. Nilai rata – rata bilangan peroksida tertinggi didapat pada minyak biji binatro yang berasal dari ekstraksi minyak biji binatao dengan hydraulic pressing sebesar 20,17 mg oksigen/100 g dilanjutkan dengan minyak biji bintaro yang berasal dari ekstraksi minyak biji bintaro dengan hot hydraulic pressing sebesar 12,98 mg oksigen/100 g dan nilai rata – rata bilangan peroksida terendah didapat pada minyak biji bintaro dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana sebesar 7,62 mg oksigen/100 g. Tingginya bilangan peroksida yang terdapat pada minyak yang diekstrak dengan hydraulic pressing dibanding ekstraksi dengan menggunakan hot hydraulic pressing dan pelarut n – heksana disebabkan karena ekstraksi minyak dengan hot hydraulic pressing sudah mengalami oksidasi. Selain itu, maserasi dengan menggunakan pelarut heksana kecil kemungkinan mengalami oksidasi karena proses ekstraksi dilakukan pada tempat yang tertutup rapat sehingga kontak dengan udara luar jarang dapat terjadi. Menurut Ketaren (1986), tingginya bilangan peroksida pada minyak diakibatkan adanya senyawa peroksida, senyawa ini terbentuk akibat terjadinya reaksi oksidasi pada minyak. Oksidasi ini terjadi pada asam lemak tidak jenuh. Proses oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar dan selama proses pengolahan menggunakan suhu tinggi. Proses pembentukan peroksida dipercepat oleh adanya cahaya, suasan asam, kelembaban udara, dan katalis seperti logam. Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi memiliki interaksi yang berbeda nyata terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro. Dari hasil uji Duncan didapat bahwa kombinasi minyak A1B1 dengan A3B1 tidak memiliki interaksi yang berbeda nyata sementara A2B3 juga memiliki interaksi yang tidak berbeda nyata dengan A3B3. Berdasarkan bilangan peroksida yang dihasilkan, minyak yang berasal dari buah bintaro matang dan ekstraksi dengan hot hydraulic pressing menghasilkan bilangan peroksida yang paling rendah.
4.2.6. Viskositas Minyak Viskositas atau nilai kekentalan dari suatu minyak sangat diperlukan untuk menentukan kegunaan dari minyak atau lemak. Lemak dengan viskositas yang kecil baik untuk digunakan sebagai bahan bakar. Viskositas atau kekentalan minyak biji bintaro didapatkan dengan menggunakan viskometer Brookfield. Penelitian nilai viskositas minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 19.
28
68 Viskositas (cP)
66 64 62 60 58 56 Kecambah
Hydraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 19. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap viskositas minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa nilai viskositas terbesar terdapat pada minyak yang berasal dari buah yang muda dan diekstrak dengan hydraulic pressing sebesar 66,4 cP dan viskositas terkecil terdapat pada minyak yang berasal dari buah yang berkecambah dengan metode ekstraksi dengan pelarut sebesar 59,70 cP. Dari hasil penelitian didapatkan juga bahwa rata – rata viskositas minyak adalah 63,22 cP. Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 8) didapatkan bahwa tingkat kematangan buah berpengaruh nyata terhadap viskositas minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapat bahwa minyak yang dihasilkan dari biji bintaro muda mempunyai rata – rata nilai viskositas terbesar yaitu 65,1 cP dilanjutkan minyak yang dihasilkan dari biji bintaro matang yaitu 63,3 cP dan rata –rata nilai viskositas minyak yang dihasilkan dari biji bintaro berkecambah yaitu 61,4 cP. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan maka nilai viskositas akan semakin kecil. Hal itu disebabkan karena buah bintaro yang berkecambah memiliki kadar air biji yang paling besar dibandingkan dengan minyak yang berasal dari buah bintaro muda ataupun matang. Air yang terdapat di dalam minyak menyebabkan kerapatan minyak menjadi lebih berkurang. Berdasarkan hasil analisis keragaman juga didapatkan bahwa metode esktraksi memiliki pengaruh yang nyata terhadap viskositas minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapat bahwa viskositas minyak terkecil terdapat pada minyak yang dihasilkan dari metode ekstraksi hot hydraulic pressing yaitu rata – rata nilai viskositas sebesar 62,17 cP dilanjutkan dengan minyak yang didapatkan dari ekstraksi dengan pelarut sebesar 62,4 cP dan viskositas terbesar adalah minyak yang berasal dari ekstraksi hydraulic pressing sebesar 65,23 cP. Rendahnya viskositas minyak yang berasal dari hot hydraulic pressing disebabkan karena suhu yang tinggi yang terdapat di dalam alat tersebut. Menurut Bailey (1950), pemakaian suhu yang tinggi pada alat pengempaan menyebabkan bahan menjadi lunak dan kekentalan menjadi rendah. Hasil analisis keragaman didapatkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara metode ekstraksi dengan tingkat kematangan buah terhadap nilai viskositas minyak biji bintaro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak yang dihasilkan dari buah yang berkecambah dan diekstrak dengan menggunakan pelarut n-heksana memiliki nilai viskositas yang paling rendah yaitu 59,7cP.
29
4.2.7. Kadar Abu Minyak
Kadar Abu (%)
Kadar abu menunjukkan banyaknya kandungan komponen – komponen non-organik yang terdapat di dalam minyak. Penelitian kadar abu minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 20. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa kadar abu tertinggi didapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang yang diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksana sebesar 0,3981 persen, sementara kadar abu terendah didapat dari minyak yang dihasilkan dari buah bintaro berkecambah yang diekstrak dengan menggunakan hydraulic pressing sebesar 0,0131 persen. 0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 Kecambah
Hydraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah
Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 20. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kadar abu minyak biji bintaro. Berdasarkan data analisis keragaman (Lampiran 9) didapatkan bahwa tingkat kematangan buah tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar abu minyak biji bintaro yang dihasilkan. Sementara itu, metode ekstraksi memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar abu minyak biji bintaro yang dihasilkan. Hasil uji Duncan menujukkan bahwa rata – rata kadar abu terbesar terdapat pada minyak yang diekstraksi dengan menggunakan pelarut n-heksan sebesar 0,25 persen dilanjutkan dengan kadar abu minyak yang diekstrak dengan hot hydraulic pressing sebesar 0,11 dan kadar abu yang diekstrak dengan hydraulic pressing sebesar 0,035 persen. Minyak yang diekstrak dengan hot hydraulic pressing dan hydraulic pressing tidak memiliki perbedaan yang nyata kadar abu minyaknya. Menurut Ketaren (1986), ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut menghasilkan bungkil dengan kadar lemak yang lebih rendah (1 persen atau lebih rendah) dibandingkan dengan ekstraksi minyak dengan menggunakan hydraulic presser sebesar 4 sampai 6 persen karena sebagian fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi.
4.2.8. Kejernihan Minyak ( % Transmisi) Kejernihan minyak ditandai dengan besarnya nilai persen transmisi. Semakin besar nilai persen transmisi maka minyak yang dihasilkan semakin besar. Menurut Sutiah et al. (2008), pengukuran transmisi dilakukan dengan menggunakan alat luxmeter. Dengan luxmeter dapat diketahui nilai intensitas sinar yang masuk dan intensitas sinar yang diteruskan. Persen transmisi dihitung dari perbandngan antara intensitas sinar yang diteruskan terhadap intensitas sinar yang
30
masuk. Nilai persen tramsmisi berbanding terbalik dengan indeks bias. Menurut Ketaren (1986), indeks bias adalah derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium cerah. Menurut Formo (1978), indeks bias berhubungan dengan struktur dan komposisi senyawa organik di dalam suatu bahan. Indeks bias akan meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon senyawa organik tetapi peningkatan ini akan berkurang dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada senyawa tersebut. Penelitian persen transmisi minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 21. 120
% Transmisi
100 80 60 40 20 0 Kecambah
Hydrolic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 21. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kejernihan minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa nilai kejernihan terbesar terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah yang diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut sebesar 97,61 persen dan nilai kejernihan terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro muda yang diekstrak dengan menggunakan hot hydraulic pressing sebesar 38,35 persen. Rata – rata persen transmisi pada minyak biji bintaro adalah 81,31 persen. Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 10) didapatkan bahwa faktor tingkat kematangan buah berpengaruh nyata terhadap nilai kejernihan minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil pengujian Duncan didapatkan bahwa rata – rata persen transmisi minyak biji bintaro terbesar adalah minyak yang berasal dari buah yang matang sebesar 91,22 persen dilanjutkan dengan minyak yang berasal dari buah yang kecambah sebesar 90,97 persen dan buah yang muda sebesar 61,74 persen. Pada minyak yang berasal dari buah berkecambah dengan buah yang berasal dari buah yang matang, nilai persen transmisinya tidak berbeda nyata karena memiliki kadar protein yang tdak berbeda jauh. Data hasil penelitian menujukkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan buah maka nilai kejernihan semakin besar. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya kandungan protein yang terdapat pada buah yang muda dimana keberadaan protein dalam biji bntaro dapat menyebabkan terjadinya browning pada minyak biji bintaro. Menurut Ketaren (1986), pigmen cokelat yang terdapat di dalam minyak dapat disebabkan karena adanya reaksi molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehid serta gugus amin dari molekul proteindan yang disebabkan karena aktivitas enzim – enzim, seperti phenol oxidase, polyphenol oxidase, dan sebagainya. Berdasarkan hasil analisis keragaman juga didapatkan hasil bahwa faktor metode ekstraksi berpengaruh nyata terhadap nilai persen transmisi minyak yang didapat. Berdasarkan hasil pengujian
31
Duncan didapatkan bahwa rata – rata persen transmisi minyak biji bintaro terbesar adalah minyak yang diekstrak dengan pelarut sebesar 85,74 persen dilanjutkan dengan minyak yang diekstrak dengan menggunakan hydraulic pressing sebesar 84,82 persen dan minyak yang diekstrak dengan menggunakan hot hydraulic pressing sebesar 73, 37 persen. Rendahnya nilai persen transmisi yang terdapat di dalam minyak biji bintaro pada pengepresan menggunakan hydraulic dan hot hydraulic presser disebabkan karena sebagian minyak mengalami oksidasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ketaren (1986) yaitu suhu pemanasan yang tinggi pada waktu pengepresan dengan cara hidrolik atau expeller dapat mengakibatkan oksidasi sebagian minyak dan disamping itu minyak yang terdapat dalam keadaan panas akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut. Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang berbeda nyata pada tingkat 1 persen dan 5 persen antara faktor tingkat kematangan buah dengan faktor metode ekstraksi. Dari hasil uji Duncan didapat bahwa nilai persen transmisi minyak dari setiap perlakuan berbeda nyata secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa minyak yang dihasilkan dari buah bintaro berkecambah yang diekstraksi menggunakan pelarut memiliki tingkat kejernihan yang paling tinggi.
4.2.9. Rendemen Rendemen minyak dihitung untuk mengetahui jumlah minyak biji bintaro yang dihasilkan dari setiap perlakuan. Rendemen minyak dapat digunakan untuk mengetahui besarnya hasil dari suatu proses produksi. Rendemen minyak biji bintaro didapatkan dengan menghitung jumlah produk (minyak) yang dihasilkan terhadap total bahan (biji bintaro) yang diekstraksi. Penelitian rendemen minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 22. 60 Rendemen (%)
50 40 30 20 10 0 Kecambah
Hydraulic Presser
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot Press Hydraulic
Matang
Maserasi dengan heksana
Gambar 22. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi minyak biji bintaro terhadap rendemen. Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik di atas, rendemen yang terbesar terdapat pada buah bintaro matang dan diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksan sebesar 52,59 persen sedangkan rendemen terendah terdapat pada buah bintaro yang berkecambah dan diekstrak minyaknya menggunakan alat kempa hidrolik (hydraulic presser) sebesar 21,82 persen. Menurut Ketaren (1986) banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam bahan asal. Banyaknya minyak yang tersisa pada
32
bungkil dengan pengepresan mekanis berkisar 4 sampai 6 persen. Sedangkan banyaknya kadar minyak yang tersisa pada ekstraksi dengan pelarut berkisar 1 persen atau lebih rendah. Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 11), faktor tingkat kematangan buah bintaro memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan rata – rata rendemen minyak antara biji bintaro muda sebesar 42,31 persen dengan rata – rata rendemen minyak biji bintaro matang sebesar 43,33 persen tidak terdapat perbedaan nyata. Sedangkan perbedaan rata – rata rendemen minyak biji bintaro berkecambah sebesar 35,95 persen memiliki perbedaan yang sangat nyata terhadap rata – rata rendemen minyak biji bintaro muda dan matang. Tingginya rendemen minyak biji bintaro pada buah yang matang disebabkan karena terjadinya proses metabolisme pembentukan lemak yang terjadi selama tingkat pematangan buah. Namun pada buah berkecambah memiliki kadar lemak terendah karena pada buah yang berkecambah lemak digunakan sebagai bahan dalam pembentukan membran sel. Dari hasil analisis keragaman menunjukkan juga bahwa faktor jenis ekstraksi minyak biji bintaro memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 42,12 persen, rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi hydraulic pressing sebesar 29,28 persen dan rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi pelarut sebesar 50,20 persen. Ekstraksi minyak dengan pelarut n-heksan memiliki rendemen yang paling tinggi dibandingkan ekstraksi minyak dengan alat kempa hidrolik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ketaren (1986) bahwa ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut menghasilkan bungkil dengan kadar lemak (minyak) yang lebih rendah (1 persen atau lebih rendah) dibandingkan dengan ekstraksi minyak menggunakan hydraulic presser sebesar 4 sampai 6 persen karena sebagian fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi. Selain itu, rendahnya rendemen minyak biji bintaro yang diekstrak dengan pengepresan hidrolik disebabkan oleh sifat fisis dari minyak biji bintaro itu sendiri yang tergolong cukup kental sehingga pada saat dilakukan pengepresan, masih banyak terdapat minyak yang terkandung di dalam bungkil biji bintaro. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa ekstraksi dengan hot hydraulic pressing menghasilkan minyak yang lebih besar dibandingkan dengan hydraulic pressing karena perbedaan suhu yang cukup tinggi pada kedua metode pengepresan tersebut. Semakin tinggi suhu maka viskositas fasa cair semakin kecil sehingga minyak lebih mudah keluar. Menurut Norris (1982), minyak yang diperoleh dengan pengempaan mekanis dipengaruhi oleh kandungan air, metode pemanasan, dan komposisi kima biji. Selain itu rendemen minyak bergantung pula dengan laju pengempaan, pengempaan maksimum yang diperoleh, waktu dan suhu atau viskositas. Berdasarkan hasil analisis keragaman didapatkan bahwa terjadi interaksi antara tingkat kematangan buah dengan metode ekstraksi minyak biji bintaro terhadap rendemen yang dihasilkan pada tingkat 5 persen. Hasil uji Duncan pengaruh interaksi kematangan buah bintaro dengan metode ekstraksi biji bintaro menunjukkan bahwa terdapat beberapa kombinasi perlakuan yang tidak memiliki perbedaan nyata dengan kombinasi lainnya, diantaranya adalah kombinasi antara A2B2 dengan A2B1, kombinasi antara A1B2 dengan A1B1, dan kombinasi antara A3B2 dengan A3B1. Sedangkan pada kombinasi lainnya berpengaruh nyata. Berdasarkan penelitian ini, maka rendemen minyak biji bintaro terbaik dihasilkan dari buah bintaro yang matang dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut.
4.2.10. Komponen Asam Lemak Minyak Biji Bintaro Penentuan komponen asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode Gas Chromatography Spectrofotometry Mass. Analisa Gas Chromatography Spectrofotometry Mass dilakukan pada minyak biji bintaro dengan hasil yang terbaik dari setiap kombinasi perlakuan yaitu
33
minyak biji bintaro dari buah matang dan diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut. Hasil analisa dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan hasil uji, didapat komposisi asam – asam lemak penyusun minyak biji bintaro yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi Asam – Asam Lemak Minyak Biji Bintaro Jenis Asam Lemak Jumlah atom C Komposisi (%) Palmitat
C16
26,24
C18:1
47,78
Stearat
C18
0,80
Miristat
C14
0,59
Linoleat
C18:2
4,10
Linolenat
C18:3
1,11
C2
0,88
Oleat
Asetat
Berdasarkan uji GCMS dapat dilihat bahwa asam lemak cis-9-oktadekenoat (asam oleat) merupakan asam lemak yang tertinggi yaitu sebesar 47,78 persen. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh yang tersusun atas 18 atom C dengan satu ikatan rangkap di antara atom C ke-9 dan ke-10. Asam ini memiliki rumus kimia: CH3(CH2)7CHCH(CH2)7)COOH. Asam oleat memiliki sifat tidak larut dalam air dan memiliki titik didih 14°C. Pada suhu ruang asam oleat berbentuk kental dengan warna kuning kecoklatan. Selain asam oleat, minyak biji bintaro juga mengandung asam palmitat yang cukup tinggi yaitu 26,24 persen. Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh yang tersusun dari 16 atom karbon (CH3(CH2)14COOH). Pada suhu ruang, asam palmitat berwujud padat berwarna putih dengan titik cair 64 °C (Ketaren 1986). Selain itu, minyak biji bintaro juga mengandung asam – asam lemak lainnya seperti asam stearat, asam miristat, asam asetat, asam linolenat, dan asam linoleat. Asam stearat merupakan asam lemak yang terdapat pada sebagian besar lemak hewani dan minyak nabati. Asam lemak ini merupakan asam lemak jenuh dengan 18 atom C. Asam stearat mencair pada suhu sekitar 69.4°C (Muchtadi 1993). Asam asetat merupakan asam lemak jenuh yang memiliki 2 atom C dengan rumus molekul CH3COOH (Ketaren 1986). Asam miristat merupakan asam lemak jenuh yang bersumber dari minyak nabati dan memiliki 14 atom C. Asam linolenat adalah asam lemak tidak jenuh dengan 18 ataom C yang memiliki 3 ikatan rangkap (Ketaren 1986). Asam linoleat merupakan asam lemak tidak jenuh yang mamiliki 18 atom C dengan dua ikatan rangkap diantara atom C ke-9 dan ke-12. Asam lemak ini dikenal juga dengan sebutan 9,12-oktadekadienoat yang banyak ditemukan pada minyak perilla dan biji lin (Muchtadi 1993). Pada penelitian ini, kandungan asam lemak oleat minyak biji bintaro lebih tinggi presentasenya dibandingkan dengan minyak jarak pagar sebesar 38,6 persen (Janin 2010) dan minyak kelapa sawit sebesar 39 – 45 persen (Eckey 1955). Sementara itu, minyak biji bintaro memiliki asam lemak oleat yang lebih rendah namun mendekati dibandingkan dengan minyak nyamplung sebesar 48,49 persen (Sudrajat 2007). Kandungan asam lemak palmitat minyak biji bintaro lebih tinggi presentasenya dibandingkan dengan minyak jarak pagar sebesar 14,1 persen (Janin 2010) dan minyak nyamplung sebesar 15,89 persen (Sudrajat 2007). Sementara itu, minyak biji bintaro memiliki kandungan asam lemak palmitat lebih rendah presentasenya dibandingkan dengan minyak kelapa sawit sebesar 40 – 46 persen (Eckey 1955). Pada penelitian ini juga meunjukkan bahwa kandungan asam lemak tidak jenuh minyak biji bintaro memiliki presentase yang lebih tinggi sebesar 52,99 persen dibandingkan dengan asam lemak jenuh 28,51 persen.
34
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kadar minyak biji bintaro berkisar antara 45,56 persen sampai 59,58 persen. Tingginya kadar lemak pada biji bintaro menyebabkan minyak bintaro memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi sumber minyak nabati. Dari beberapa parameter yang digunakan sebagai respon setiap perlakuan, diperoleh hasil bahwa tingkat kematangan buah dan metode ekstraksi berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar asam lemak bebas (Fat Fatty Acid), bilangan iod, bilangan penyabunan, bilangan peroksida, viskositas, persen transmisi, dan kadar abu. Namun tingkat kematangan buah dan metode ektraksi tidak berpengaruh nyata terhadap densitas minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rendemen yang terbesar terdapat pada buah bintaro matang dan diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksan sebesar 52,59 persen, kadar asam lemak bebas terkecil terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro muda sebesar 0,31 persen, bilangan iod tertinggi terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah dengan metode ekstraksi dengan pelarut n-heksana sebesar 85,19 I2/100 gram minyak, bilangan peroksida terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang dengan ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 5,61 mg oksigen/100 g minyak, viskositas terkecil terdapat pada minyak yang berasal dari buah yang berkecambah dengan metode esktraksi dengan pelarut sebesar 59,70 cP, nilai kejernihan terbesar terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah yang diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut sebesar 97,61 persen. Selain itu dari hasil penelitian juga didapat bahwa minyak biji bintaro memiliki bobot jenis minyak pada rentang 0,8984 g/ml dan 0,9062 g/ml. Minyak biji bintaro juga memliki bilangan penyabunan pada rentang 182,66 mg KOH/g minyak dan 208,55 mg KOH/g minyak. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan perlakuan terbaik untuk produksi minyak biji bintaro adalah minyak biji bintaro yang berasal dari buah yang sudah masak dan di ekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut n-heksana dengan rendemen sebesar 52,59%, kadar asam lemak bebas sebesar 2.75%, nilai bilangan iod sebesar 60.31 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.85 mg O2/g, nilai bilangan penyabunan 199.76 mg KOH/g, nilai viskositas 63.25 cP, nilai densitas 0.9041 g/cm3, nilai %transmisi 87.43% dan nilai kadar abu 0.39%. Pengujian Gas Chromatography Spectrofotometry Mass (GCMS) dilakukan pada minyak dengan kombinasi perlakuan terbaik yaitu minyak dari buah yang sudah masak dan diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut n-heksana. Hasil pengujian GCMS menyatakan bahwa asam lemak asam lemak oleat dan asam lemak palmitat merupakan asam lemak dengan jumlah yang tertinggi di dalam minyak biji bintaro.
5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian, disarankan untuk menentukan umur buah bintaro secara lebih spesifik sehingga diketahui perbedaan sifat fisiko kimia minyak yang dihasilkan, menganalisis bungkil hasil sisa ekstraksi, menghitung rpm pengaduk pada ekstraksi dengan maserasi, menggunakan suhu yang berbeda pada ekstraksi dengan maserasi dan mengkaji tekno ekonomi terhadap pembuatan minyak biji bintaro.
35
DAFTAR PUSTAKA Achten WMJ., Verhot YJ., Franken E., Mathijs VP., Singh R., Aerts, and B. Muys. 2008. Jatropha Bio-diesel Production and Use. Biomass Bioenergi. 32:1063 – 1084. Ahmad. 2006. Ekstaksi Minyak Nabati. Sinar Wadja Lestari. Jakarta. Adrian
WD. 2009. Biji Buah Bintaro Sebagai Bakar Alternatif. http://www.wargahijau.org/index.php?option=com_content&view=article&id=474:biji-buahbintaro-sebagai-bahan-bakar-alternatif&catid=24:green-energy&Itemid=25. [10 Jun 2011].
Alamendah. 2011. Bintaro (Cebera Manghas) Pohon Penghijauan yang Beracun. http://alamendah.wordpress.com/2011/01/10/bintaro-cerbera-manghas-pohon-penghijauanyang-beracun/. [10 Jun 2011]. Anonim.
2010. Asam Lemak. http://ocw.usu.ac.id/course/download/4140000062teknologioleokimia/tkk 322_handout_asam_lemak.pdf. [8 Juli 2011].
Anonim. 2011. Bintaro (Cebera Manghas L). http://www.plantamor.com/index.php?plant=309.[10 Jun 2011]. Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.EdisiIV. Jakarta:UI Press. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of Association Official Analytical Chemist. AOAC Inc. Washington. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of Association Official Analytical Chemist. AOAC Inc. Washington. Bailey AE. 1950. Industrial Oil and Fat Products. Interscholastic Publishers. New York. Chang LC., Gills JJ., Bhat KP., Luyengi L., Farnsworth NR, Pezzuto JM., and Kinghorn AD. 2000. Activity Guided Isolation of Constituents of Cerbera manghas with Antiproliferative and Antiestrogenic Activities. Bioorganic and Medical Chemistry Letters 10(21): 2431–2434. Departemen Kehutanan. 2008. Tanaman Nyamplung sebagai Sumber Energi Biofuel. www. Indonesia.go.id [Diakses tanggal 9 Juli 20011]. Eckey SW. Vegetable Fat and Oil. Di dalam: Ketaren (ed).1986. UI Press. Jakarta. Edi. 2011. Minyak Biji Bintaro, Newcomer in Alternative Energy. http://id.shvoong.com/exactsciences/bioengineering-and-biotechnology/2095974-minyak-biji-bintaro-newcomer alternative/. [10 Jun 2011]. Endriana D. 2007. Sintesis Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro (Ceberra manghas) Hasil Ekstraksi. Kimia Mipa-ui. Depok. Fantastico. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Fauzi A. 2011. Respirasi Pada Buah dan Sayur. http://chylenzobryn.blogspot.com/2011/05/respirasipada-buah-dan-sayur.html.[14 Jun 2011]. Formo MW. 1978. Physical Properties. di dalam D Swern (ed) Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. John Wiley and Sons. New York.
36
Gaillard Y., Krisnamoorthy, A., and Bevalot, F. 2004. Cebera odollam: a suicide tree and cause of death in the state of Kerala India. Journal of Ethnopharmacology 95:123-126. Unin. 2003. Kajian Ekstraksi Minyak Biji Mengkudu (Morinda citrifolia L.,) Menggunakan Pelarut Organik. Skripsi. Fateta: IPB Bogor. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Jacobs MB. and L Scheflan. 1953. The Handbook of Solvents. Van Nostrand Company, Inc. New York. Jamieson GS. 1943. Vegetable fat and Oils 2nd ed. Reinhold Publishing Corporation. New York. Janin S. and M. P. Sharma. 2010. Kinetics of Acid Base Catalized Transesterification of Jathropha Curcas Oil. Bioresource Technology. Junaidi W. 2010. Metabolisme Lipid. http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/01/metabolismelipid.html [5 Juli 2011]. Keenan. 1984. Kimia Untuk Universitas. Erlangga. Jakarta. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan lemak. UI Press. Jakarta. Kurnia R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. FATETA: IPB Bogor. Kusumo S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna. Jakarta Krik RE and DF Othmer. 1964. Encyclopedia of Chemical Technology. The Interscience Encyclopedia Inc., New York. P 362 – 374. Moestapa. 1981. Aspek Teknis Pengolahan Rempah – Rempah Menjadi Oleoresin dan minyak Rempah – Rempah. BBIHP. Bogor. Muchtadi D dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar-Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muchtadi D dan Sugiyono. 1993. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar-Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Norris FA. 1982. Extraction of Fat and Oils. di dalam D.Swern (ed) Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. John Wiley and Sons. New York. Pranowo D. 2010. Bintaro (Cerbera manghas LINN) Tanaman Penghasil Minyak Nabati. Tree 1:91 Rindengan B., A. Lay, H. Novarianto dan Z. Mahmud. 1996. Pengaruh Jenis dan Umur Buah Terhadap Sifat Fisikokimia Daging Buah Kelapa Hibrida dan Pemanfaatannya. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 18(4): 143 – 149. Rose and Arthur. 1975. The Condensed Chemical Dictionary. Chapmand and Hall, Ltd. London. Sabel and Warren. 1973. Theory and Practice of Oleoresin Extraction. Di dalam Proceeding of The Conference of Spice. Tropical Products Institute. London.
37
Setiono. 2010. Mekanisme Penyerapan Nutrisi Mineral. http://setiono774.blogspot.com/2010/11/mekanisme-penyerapan-nutrisi-mineral.html [8 Juli 2011]. Silan. 1998. Ekstraksi Minyak Biji Karet dengan Alat Pengempa Berulir dan karakteristik Mutu Minyaknya. Skripsi. FATETA. IPB Bogor. SNI. 2006. Standar Nasional Indonesia Biodiesel. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan. UGM Press. Jogjakarta. Sudrajat R., Sahiman, dan D. Setiawan. 2007. Pembuatan Biodiesel dari Biji Nyamplung. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 25 No. 1, Februari, pp. 41-56. Suryandari S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe Dengan Cara Solvent Extraction. BBIHP. Bogor. Swern D. 1989. Bailey’s.Industrial Oil and Fat Product. Vol 1. 4th edition. John Wiley and Sons. New York. Vitriani V. 2003. Ekstraksi Biji Jarak (Ricinus communis L) Menggunakan Alat Pengempa Panas dan Karaketerisasi Mutu Minyaknya. Skripsi. Fateta. IPB Bogor. Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5. Diterjemahkan oleh: Dr. Soendani Bandung. Wirahadikusumah M. 1989. Biokimia, Protein, Enzim dan Asam Nukleat. ITB. Bandung.
38
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa Proksimat Biji Bintaro 1.
Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984)
Cawan aluminium kosong dipanaskan dengan oven 105 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulang sampai didapatkan bobot tetap. Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam. Setelah cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulang sampai didapatkan bobot tetap bahan. Presentase kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan : m = bobot contoh (gram) m1 = bobot contoh sebelum dikeringkan (gram) m2 2.
= bobot contoh setelah dikeringkan (gram)
Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984)
Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC sampai menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 1 jam sampai didapat bobot yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan : m = bobot contoh basah (gram) = bobot cawan berisi abu contoh (gram) m1 m2 3.
= bobot cawan (gram) Kadar Protein (Nitrogen) dengan Metode Kjedhal
Contoh sebanyak 0.1-0.5 gram, ditambahkan dengan 1 gram katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dan 2.5 larutan H2SO4 pekat dan didekstruksi dalam labu kjeldhal sampai berwarna hijau bening. Kemudian bahan dimasukkan ke dalam tabung dan alat destilat selama 4 menit. Bahan akan bercampur dengan larutan NaOH 6 N, asam borat dan indikator mensel. Larutan hasil destilat ditampung dalam erlenmeyer dan dititrasi dengan larutan H 2SO4 0.02 N. Penentuan kadar nitrogen berdasarkan volume larutan H 2SO4 0.02 N yang digunakan untuk titrasi. Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar nitrogen dengan metode kjeldhal. Penentuan kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
39
Keterangan : FP = Faktor Pengenceran FK = Faktor Konversi (6.25) 4.
Kadar Lemak dengan Metode Ekstraksi Langsung dengan Alat Soxhlet (SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 1-2 gram contoh, dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dilapisi dengan kapas. Kemudian selongsong kertas saring berisi contoh disumbat dengan kapas lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 80oC selama kurang lebih 1 jam. Kemudian selongsong kertas yang telah dioven dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Kemudian diekstraksi dengan hexan atau pelarut lemak lainnya selama kurang lebih 6 jam. Kemudian hexan disuling dan ekstrak lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC sampai bobotnya tetap. Didinginkan dan ditimbang. Penentuan kadar lemak dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
Keterangan : W = bobot contoh (gram) W1 = bobot labu lemak kosong (gram) W2 = bobot labu lemak dan lemak (gram) 5.
Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984)
Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 0.325 N, kemudian dihidrolisis di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 105 oC. Didinginkan lalu ditambahkan NaOH 1.25 N sebanyak 50 ml. Hidrolisis kembali ke dalam autoklaf selama 15 menit. Kemudian contoh disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobot tetapnya. Contoh dicuci berturut-turut dengan air panas menggunakan 25 ml H2SO4 0.325 N, kemudian dicuci dengan air panas terakhir menggunakan alkohol 25 ml. Kertas saring dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC sampai bobotnya tetap. Penentuan kadar serat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
Keterangan : W = bobot contoh (gram) W1 = bobot kertas (gram) W2 = bobot kertas dan serat (gram)
40
Lampiran 2. Prosedur Analisa Fisiko Kimia Minyak Biji Bintaro 1.
Rendemen
Rendemen minyak biji bintaro dihitung dengan cara membandingkan bobot minyak yang diperoleh dengan bobot biji bintaro yang akan diekstraksi
2.
Asam Lemak Bebas (AOAC, 1995)
Contoh yang akan diuji, ditimbang sebanyak 5-10 gram di dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ke dalam contoh ditambahkan etanol netral 95% sebanyak 25 ml dan dipanaskan sampai mendidih. Larutan ditambahkan 2 tetes indikator PP, kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0.1 N hingga berwarna merah muda (konstan selama 15 detik).
Keterangan : V = T = M = m = 3.
Volume KOH yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml) Normalitas larutan KOH Bobot molekul asam lemak dominan (asam oleat yaitu 282) bobot contoh (gram)
Bilangan Iod (AOAC, 1995)
Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0.25 gram di dalam erlenmeyer 500 ml, lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan di atas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15% sambil terus dikocok. Selanjutnya aquades yang telah dididihkan ditambahkan sebanyak 100 ml. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na 2S2O3 0.1 N sampai larutan tersebut berwarna kuning pucat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji 1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak.
Keterangan : T = normalitas larutan Na2S2O3 0.1 N V1 = volume larutan Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan dalam titrasi blanko (ml) V2 = volume larutan Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml) m = bobot contoh (gram)
41
4.
Bilangan Penyabunan (SNI 01-2891-1992)
Sebanyak dua gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH alkohol 0.5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0.5-1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCl 0.5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Lakukan juga untuk blanko.
Keterangan : Vo = volume HCl 0.5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml) V1 = volume HCl 0.5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml) m = bobot contoh (gram) 5.
Bilangan Peroksida (AOAC, 1995)
Minyak sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer berpenutup. Ditambahkan 30 ml CH3COOH-CHCl3 dan diaduk sampai larut. Selanjutnya ditambah KI jenuh 0.5 ml dari pipet mohr, biarkan kadang-kadang diaduk selama 1 menit dan ditambahkan 30 ml H2O. Perlahan-lahan titrasi dengan 0.1 N Na2S2O3 sambil diaduk kuat hingga warna kuning mulai menghilang. Tambahkan kira-kira 0.5 ml larutan amilum 1% dan titrasi kembali. Aduk kuat-kuat untuk melepas semua I2 dari lapisan CHCl3 sampai warna biru menghilang. Jika kurang dari 0.5 ml 0.1 N Na2S2O3 digunakan, kita ulangi penentuan dengan 0.01 N Na2S2O3. Prosedur yang sama kita lakukan untuk blanko. Bilangan peroksida dinyatakan dengan mmol O2/2 kg sampel atau sebanding dengan mg O2/kg sampel.
Keterangan : S = volume Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan pada peniteran sampel (ml) B = volume Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml) N = Normalitas Na2S2O3 G = bobot contoh (gram) 6.
Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984)
Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC sampai menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 1 jam sampai didapat bobot yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
42
Keterangan : m = bobot contoh basah (gram) = bobot cawan berisi abu contoh (gram) m1 m2 7.
= bobot cawan (gram) Kekentalan / Viskositas (AOAC, 1995)
Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan alat Viskometer Brookfield. Contoh sebanyak ± 25 ml (jumlah yang diperlukan untuk merendamkan tanda tera pada beban) dimasukan ke dalam gelas piala, dan diatur suhunya agar tetap 25 ± 0.5 °C. Beban dan putaran per menit (rpm) yang akan digunakan (bernomor) diatur terlebih dahulu untuk menentukan angka konversinya yang terdapat pada tabel bagian atas alat. Contoh dimasukkan ke dalam wadah hingga tanda tera pada beban terendam. Motor penggerak dijalankan setelah jarum menunjukan angka nol. Motor dimatikan setelah satu menit, dan tombol penekan jarum ditekan, kemudian dibaca angka yang ditunjukkan oleh jarum tersebut (A). Pada Gambar 10 dapat dilihat proses pengujian viskositas dengan menggunakan viscometer brookfield. Rumus viskositas adalah sebagai berikut. Viskositas (cP) = A x angka konversi 8.
Densitas Metode Piknometer (AOAC, 1995)
Piknometer dicuci dengan air kemudian dengan etanol dan dietileter lalu dikeringkan dengan oven. Piknometer ditimbang (m) kemudian diisi dengan aquades yang telah dididihkan dan bersuhu 40 oC dihindari adanya gelembung-gelembung udara dan permukaan air diatur sampai penuh atau tanda tera. Piknometer dimasukkan ke dalam penangas air pada suhu 40 oC selama 30 menit. Suhu penangas air diperiksa dengan termometer. Apabila terdapat air di bagian luar maka keringkan dengan menggunakan kertas saring sampai benar-benar kering. Piknometer yang berisi aquades ditimbang (m1). Piknometer dikosongkan dan dicuci dengan etanol dan dietileter kemudian dikeringkan. Piknometer diisi dengan bahan yang akan diukur bobot jenisnya dan dihindari terjadinya gelembung udara. Permukaan bahan diatur sampai tanda tera kemudian ditimbang (m2). Densitas atau bobot jenis dihitung dengan rumus berikut :
Keterangan : m = bobot piknometer (gram) m1 = bobot piknometer berisi aquades (gram) m2 = bobot piknometer berisi minyak (gram)
43
9.
Persen Transmisi (Spectronic 20)
Prinsip analisis persen transmisi adalah jumlah sinar dengan λ tertentu yang dapat diteruskan dipengaruhi oleh intensitas warna adan kejernihan serta kandungan komponen di dalam minyak atau lemak tersebut. Prosedur: Alat spectronic 20 dinyalakan 15 menit sebelum digunakan. Kemudian panjang gelombang diset pada panjang gelombang yang menghasilkan persen transmisi tertinggi (optimum). Kuvet diisi dengan larutan blanko dan selanjutnya diset hingga skala menunjukkan angka 100%. Setelah itu kuvet yang berisi larutan blanko diganti dengan contoh minyak yang akan diukur persen transmisinya dan dicatat persen transmisi yang terbaca pada skala. Angka yang terbaca pada skala merupakan persen transmisi dari sampel yang diukur.
44
Lampiran 3. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kadar Asam Lemak Bebas Minyak a) Data rata – rata kadar asam lemak bebas minyak biji bintaro Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi
% FFA
Matang
Hot Hydraulic Pressing
1,90
Muda
Hot Hydraulic Pressing
1,06
Kecambah
Hot Hydraulic Pressing
2,51
Matang
Hydraulic Pressing
1,79
Muda
Hydraulic Pressing
0,31
Kecambah
Hydraulic Pressing
2,01
Matang
Ekstraksi Pelarut
2,75
Muda
Ekstraksi Pelarut
2,17
Kecambah
Ekstraksi Pelarut
4,54
b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap kadar asam lemak bebas minyak biji bintaro Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Fhitung
Ftabel
Ftabel
α=
α=
(α = 0.05)
(α = 0.01)
0.05
0.01
Perlakuan
8
Tingkat Kematangan (Ei)
2
9,36
4,68
21,68
4,26
8,02
BN
BN
Jenis Ekstraksi (Vj)
2
10,54
5,27
24,40
4,26
8,02
BN
BN
Interaksi (EVij)
4
1,75
0,44
2,03
3,63
6,42
TBN
TBN
Ek (ij)
9
1,94
0,22
Total
17
23,60
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata c)
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap kadar asam lemak bebas minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Tingkat Kematangan Buah
Rata-Rata
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
Muda
1,18
A
A
Matang
2,15
B
B
Kecambah
2,94
C
C
45
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap kadar asam lemak bebas minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Metode Ekstraksi
Rata-Rata
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
Hydraulic Pressing
1,37
A
A
Hot Hydraulic Pressing
1,75
A
A
Ekstraksi Pelarut
3,16
B
B
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata pada α=0.05 dan α=0.01
46
Lampiran 4. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bobot Jenis (Densitas) Minyak Biji Bintaro a) Data rata – rata densitas minyak biji bintaro Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi
Densitas (g/ml)
Matang
Hot Hydraulic Pressing
0,9029
Muda
Hot Hydraulic Pressing
0,9037
Kecambah
Hot Hydraulic Pressing
0,8984
Matang
Hydraulic Pressing
0,9056
Muda
Hydraulic Pressing
0,9058
Kecambah
Hydraulic Pressing
0,9062
Matang
Ekstraksi Pelarut
0,9041
Muda
Ekstraksi Pelarut
0,9021
Kecambah
Ekstraksi Pelarut
0,9009
b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bobot jenis minyak biji bintaro Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Fhitung
Ftabel
Ftabel
α=
α=
(α = 0.05)
(α = 0.01)
0.05
0.01
Perlakuan
8
Tingkat Kematangan (Ei)
2
1,95E-05
9,78E-06
0,61
4,26
8,02
TBN
TBN
Jenis Ekstraksi (Vj)
2
6,15E-05
3,08E-05
1,91
4,26
8,02
TBN
TBN
Interaksi (EVij)
4
2,41E-05
6,02E-06
0,37
3,63
6,42
TBN
TBN
Ek (ij)
9
1,44E-04
1,61E-05
Total
17
0,00025
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata
47
Lampiran 5. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Iod Minyak Biji Bintaro a) Data rata – rata bilangan iod minyak biji bintaro Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi
Bilangan Iod (I2/100 gram)
Matang
Hot Hydraulic Pressing
61,63
Muda
Hot Hydraulic Pressing
66,68
Kecambah
Hot Hydraulic Pressing
62,16
Matang
Hydraulic Pressing
51,08
Muda
Hydraulic Pressing
69,90
Kecambah
Hydraulic Pressing
74,93
Matang
Ekstraksi Pelarut
60,30
Muda
Ekstraksi Pelarut
67,12
Kecambah
Ekstraksi Pelarut
85,19
b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bilangan iod minyak biji bintaro Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Fhitung
Ftabel
Ftabel
α=
α=
(α = 0.05)
(α = 0.01)
0.05
0.01
Perlakuan
8
Tingkat Kematangan (Ei)
2
825,39
412,69
3518,08
4,26
8,02
BN
BN
Jenis Ekstraksi (Vj)
2
177,64
88,82
757,18
4,26
8,02
BN
BN
Interaksi (EVij)
4
498,84
124,71
1063,12
3,63
6,42
BN
BN
Ek (ij)
9
1,05E+00
0,12
Total
17
1502,94
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata c)
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap bilangan iod minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Tingkat Kematangan
Rata-Rata
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
Matang
57,67
A
A
Muda
67,89
B
B
Kecambah
74,09
C
C
48
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap bilangan iod minyak biji bintaro Kelompok Kelompok RataMetode Ekstraksi Duncan Duncan Rata (α=0.05) (α=0.01)
e)
Hydraulic Pressing
63,49
A
A
Hot Hydraulic Pressing
65,30
B
B
Ekstraksi Pelarut
70,87
C
C
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap bilangan iod minyak biji bintaro. Kelompok Kelompok RataPerlakuan Duncan Duncan Rata (α=0.05) (α=0.01) A2B1
51,08
A
A
A3B1
60,30
B
B
A1B1
61,63
C
C
A1B3
62,16
D
D
A1B2
66,67
E
E
A3B2
67,12
F
E
A2B2
69,90
G
F
A2B3
74,92
H
G
A3B3
85,19
I
H
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata pada α=0.05 dan α=0.01
49
Lampiran 6. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Penyabunan Minyak Biji Bintaro a) Data rata – rata bilangan penyabunan minyak biji bintaro Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi
Bilangan Penyabunan (mg KOH/g)
Matang
Hot Hydraulic Pressing
205,08
Muda
Hot Hydraulic Pressing
208,55
Kecambah
Hot Hydraulic Pressing
184,83
Matang
Hydraulic Pressing
206,70
Muda
Hydraulic Pressing
190,78
Kecambah
Hydraulic Pressing
197,13
Ekstraksi Pelarut
199,76
Matang Muda
Ekstraksi Pelarut
194,53
Kecambah
Ekstraksi Pelarut
182,66
b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bilangan penyabunan minyak biji bintaro Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Fhitung
Ftabel
Ftabel
α=
α=
(α = 0.05)
(α = 0.01)
0.05
0.01
Perlakuan
8
Tingkat Kematangan (Ei)
2
748.59
374.29
3716.28
4.26
8.02
BN
BN
Jenis Ekstraksi (Vj)
2
175.36
87.68
870.58
4.26
8.02
BN
BN
Interaksi (EVij)
4
472.18
118.04
1172.04
3.63
6.42
BN
BN
Ek (ij)
9
0.91
0.10
Total
17
1397.05
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata c)
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap bilangan penyabunan minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Tingkat Kematangan Buah
Rata-Rata
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
Kecambah
188,21
A
A
Muda
197,95
B
B
Matang
203,85
C
C
50
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap bilangan penyabunan minyak biji bintaro Kelompok Kelompok RataMetode Ekstraksi Duncan Duncan Rata (α=0.05) (α=0.01)
e)
Ekstraksi Pelarut
192,32
A
A
Hydraulic Pressing
198,20
B
B
Hot Hydraulic Pressing
199,48
C
C
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap bilangan penyabunan minyak biji bintaro. Kelompok Kelompok RataPerlakuan Duncan Duncan Rata (α=0.05) (α=0.01) A3B3
182,66
A
A
A1B3
184,82
B
B
A2B2
190,77
C
C
A3B2
194,53
D
D
A2B3
197,13
E
E
A3B1
199,75
F
F
A1B1
205,08
G
G
A2B1
206,70
H
H
A1B2
208,55
I
I
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata pada α=0.05 dan α=0.01
51
Lampiran 7. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Bintaro a) Data rata – rata bilangan penyabunan minyak biji bintaro Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi
Peroksida Minyak Biji
Bilangan Peroksida (mg O2/100g)
Matang
Hot Hydraulic Pressing
5,61
Muda
Hot Hydraulic Pressing
11,25
Kecambah
Hot Hydraulic Pressing
22,10
Matang
Hydraulic Pressing
31,65
Muda
Hydraulic Pressing
19,56
Kecambah
Hydraulic Pressing
9,31
Ekstraksi Pelarut
5,85
Matang Muda
Ekstraksi Pelarut
7,59
Kecambah
Ekstraksi Pelarut
9,41
b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Fhitung
Ftabel
Ftabel
α=
α=
(α = 0.05)
(α = 0.01)
0.05
0.01
Perlakuan
8
Tingkat Kematangan (Ei)
2
7,39
3,69
37,51
4,26
8,02
BN
BN
Jenis Ekstraksi (Vj)
2
476,04
238,02
2415,58
4,26
8,02
BN
BN
Interaksi (EVij)
4
786,45
196,61
1995,32
3,63
6,42
BN
BN
Ek (ij)
9
0,89
0,09
Total
17
1270,77
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata c)
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Tingkat Kematangan Rata-Rata Duncan Duncan Buah (α=0.05) (α=0.01) Muda
12,79
A
A
Kecambah
13,60
B
B
Matang
14,36
C
C
52
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Metode Ekstraksi
Ekstraksi Pelarut
e)
Rata-Rata
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
7,62
A
A
Hot Hydraulic Pressing
12,98
B
B
Hydraulic Pressing
20,17
C
C
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap bilangan penyabunan minyak biji bintaro Kelompok Kelompok RataPerlakuan Duncan Duncan Rata (α=0.05) (α=0.01) A1B1 5,60 A A A3B1 5,85 A A A3B2 7,59 B B A2B3 9,31 C C A3B3 9,41 C C A1B2 11,25 D D A2B2 19,55 E E A1B3 22,09 F F A2B1 31,64 G G
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata pada α=0,05 dan α=0,01
53
Lampiran 8. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Viskositas Minyak Biji Bintaro a) Data rata – rata bilangan viskositas minyak biji bintaro Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi
Viskositas (cP)
Matang
Hot Hydraulic Pressing
62,5
Muda
Hot Hydraulic Pressing
70
Kecambah
Hot Hydraulic Pressing
60
Matang
Hydraulic Pressing
64,4
Muda
Hydraulic Pressing
66,4
Kecambah
Hydraulic Pressing
64,5
Ekstraksi Pelarut
63,25
Matang Muda
Ekstraksi Pelarut
69,7
Kecambah
Ekstraksi Pelarut
59,7
b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap viskositas minyak biji bintaro Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Fhitung
Ftabel
Ftabel
α=
α=
(α = 0.05)
(α = 0.01)
0.05
0.01
Perlakuan
8
Tingkat Kematangan (Ei)
2
41,08
20,54
18,48
4,26
8,02
BN
BN
Jenis Ekstraksi (Vj)
2
34,97
17,49
15,73
4,26
8,02
BN
BN
Interaksi (EVij)
4
6,75
1,69
1,51
3,63
6,42
TBN
TBN
Ek (ij)
9
10,00
1,11
Total
17
92,8
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata c)
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap viskositas minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Tingkat Kematangan Buah
Rata-Rata
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
Kecambah
61,4
A
A
Matang
63,3
B
B
Muda
65,1
C
C
54
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap viskositas minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Metode Ekstraksi
Rata-Rata
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
Hot Hydraulic Pressing
62.16
A
A
Ekstraksi Pelarut
62.4
A
A
Hydraulic Pressing
65.23
B
B
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata pada α=0.05 dan α=0.01
55
Lampiran 9. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kadar Abu Minyak Biji Bintaro a) Data rata – rata bilangan kadar abu minyak biji bintaro Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi
Kadar Abu (%)
Matang
Hot Hydraulic Pressing
0,08
Muda
Hot Hydraulic Pressing
0,07
Kecambah
Hot Hydraulic Pressing
0,19
Matang
Hydraulic Pressing
0,04
Muda
Hydraulic Pressing
0,05
Kecambah
Hydraulic Pressing
0,01
Ekstraksi Pelarut
0,39
Matang Muda
Ekstraksi Pelarut
0,13
Kecambah
Ekstraksi Pelarut
0,21
b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap kadar abu minyak biji bintaro Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Fhitung
Ftabel
Ftabel
α=
α=
(α = 0.05)
(α = 0.01)
0.05
0.01
Perlakuan
8
Tingkat Kematangan (Ei)
2
0,02
0,01
2,41
4,26
8,02
TBN
TBN
Jenis Ekstraksi (Vj)
2
0,14
0,07
14,64
4,26
8,02
BN
BN
Interaksi (EVij)
4
0,06
0,02
3,19
3,63
6,42
TBN
TBN
Ek (ij)
9
0,04
0,00
Total
17
0,27
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata c)
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap kadar abu minyak biji bintaro Kelompok Kelompok RataMetode Ekstraksi Duncan Duncan Rata (α=0.05) (α=0.01) Hydraulic Pressing
0,03
A
A
Hot Hydraulic Pressing
0,11
B
A
Ekstraksi Pelarut
0,25
C
B
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata pada α=0.05 dan α=0.01
56
Lampiran 10. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kejernihan Minyak Biji Bintaro a) Data rata – rata bilangan kejernihan minyak biji bintaro Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi
%Transmisi
Matang
Hot Hydraulic Pressing
90,26
Muda
Hot Hydraulic Pressing
38,35
Kecambah
Hot Hydraulic Pressing
91,51
Matang
Hydraulic Pressing
95,96
Muda
Hydraulic Pressing
74,69
Kecambah
Hydraulic Pressing
83,81
Ekstraksi Pelarut
87,42
Matang Muda
Ekstraksi Pelarut
72,19
Kecambah
Ekstraksi Pelarut
97,61
b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap kejernihan minyak biji bintaro. Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Fhitung
Ftabel
Ftabel
α=
α=
(α = 0.05)
(α = 0.01)
0.05
0.01
Perlakuan
8
Tingkat Kematangan (Ei)
2
3447
1723,50
6485,30
4,26
8,02
BN
BN
Jenis Ekstraksi (Vj)
2
569,96
284,98
1072,34
4,26
8,02
BN
BN
Interaksi (EVij)
4
1345,40
336,35
1265,63
3,63
6,42
BN
BN
Ek (ij)
9
2,39
0,27
Total
17
5364,75
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata
c)
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah minyak terhadap kejernihan minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Tingkat Kematangan Rata-Rata Duncan Duncan Buah (α=0.05) (α=0.01) Muda
61,74
A
A
Kecambah
90,97
B
B
Matang
91,21
B
B
57
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap kejernihan minyak biji bintaro Kelompok
Kelompok
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
73,37
A
A
Hydraulic Pressing
84,82
B
B
Ekstraksi Pelarut
85,74
C
C
Metode Ekstraksi
Rata-Rata
Hot Hydraulic Pressing
e)
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap kejernihan minyak biji bintaro
Perlakuan
RataRata
Kelompok
Kelompok
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
A1B2
38,34
A
A
A3B2
72,18
B
B
A2B2
74,69
C
C
A2B3
83,81
D
D
A3B1
87,42
E
E
A1B1
90,26
F
F
A1B3
91,50
G
G
A2B1
95,96
H
H
A3B3
97,61
I
I
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata pada α=0,05 dan α=0,01
58
Lampiran 11. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Rendemen Minyak a) Data rata – rata bilangan kejernihan minyak biji bintaro Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi
Rendemen (%)
Matang
Hot Hydraulic Pressing
43,79
Muda
Hot Hydraulic Pressing
42,62
Kecambah
Hot Hydraulic Pressing
39,96
Matang
Hydraulic Pressing
33,60
Muda
Hydraulic Pressing
32,38
Kecambah
Hydraulic Pressing
21,82
Ekstraksi Pelarut
52,59
Matang Muda
Ekstraksi Pelarut
51,93
Kecambah
Ekstraksi Pelarut
46,10
b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap rendemen minyak biji bintaro Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Fhitung
Ftabel
Ftabel
α=
α=
(α = 0.05)
(α = 0.01)
0.05
0.01
Perlakuan
8
Tingkat Kematangan (Ei)
2
191,29
95,64
36,28
4,26
8,02
BN
BN
Jenis Ekstraksi (Vj)
2
1337,88
668,93
253,74
4,26
8,02
BN
BN
Interaksi (EVij)
4
43,05
10,76
4,08
3,63
6,42
BN
TBN
Ek (ij)
9
23,73
2,63
Total
17
1595,95
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata c)
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap rendemen minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Tingkat Kematangan Buah
Rata-Rata
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
Kecambah
35,95
A
A
Muda
42,30
B
B
Matang
43,32
B
B
59
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap rendemen minyak biji bintaro Kelompok Kelompok Metode Ekstraksi
e)
Rata-Rata
Duncan
Duncan
(α=0.05)
(α=0.01)
Hydrolic Pressing
29,26
A
A
Hot Hydrolic Pressing
42,12
B
B
Ekstraksi Pelarut
50,20
C
C
Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap rendemen minyak biji bintaro.
Perlakuan
RataRata
Kelompok Duncan (α=0.05)
A2B3
21,82
A
A2B2
32,38
B
A2B1
33,59
B
A1B3
39,96
C
A1B2
42,61
D
A1B1
43,78
D
A3B3
46,09
E
A3B2
51,92
F
A3B1
52,59
F
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata pada α=0.05 dan α=0.01
60
Lampiran 12. Grafik Gas Chromatography Spectrofotometry Mass
C18:1 C16
C18:2
61