KAJIAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI BINTARO (Cerbera odollam Gaertn) DENGAN METODE TRANSESTERIFIKASI
SKRIPSI
ANISA RAHMI UTAMI F34070043
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 1
BIODIESEL PRODUCTION PROCESS ASSESSMENT OF CERBERA ODOLLAM GAERTN OIL BY TRANSESTERIFICATION METHOD Sapta Raharja and Anisa Rahmi Utami Departement of Agricultural Industrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia e-mail :
[email protected]
ABSTRACT The use of fuel from fossil sources each day has increased, but the production of petroleum has decreased. This is because the petroleum sources is non-renewable. Due to the imbalance between supply and demand for fuel and declining of petroleum supply concerns, it would require other alternative energy sources that can be used as fuel. One of the renewable energy alternatives is biodiesel. One of the plants that have the potential to be developed in Indonesia as biodiesel is Cerbera odollam Gaertn. Seeds of Cerbera odollam Gaertn is used as a potential biodiesel because it has a fairly high oil content of about 43-64%, not a food crop so it will not compete with food requirements and are now widely cultivated plants, used as reforestation and ornamental plants on the edge of the highway. The research objective is to get the best characteristics of biodiesel from Cerbera odollam Gaertn oils to determine the effect of the molar ratio of methanol to oil and concentration of catalyst NaOH on transesterification process to yield and quality of biodiesel produced. Biodiesel from Cerbera odollam Gaertn oils obtained from the treatment process of transesterification with molar ratio of methanol to oil 3:1, 6:1 and 9:1 and catalyst concentration of 0.5% NaOH (w/w), 1% NaOH (w/w) and 1.5% NaOH (w/w). Based on the results of the analysis obtained the best treatment for the production of biodiesel from Cerbera odollam Gaertn oils is the molar ratio of methanol to oil 9:1 and catalyst concentration of 0.5% NaOH, the acid number value is 0.50 mg KOH/g, the value of free fatty acid levels is 0.25%, the value of iodine number is 37.09 g I2/100 g, the value of peroxide numbers is 5.13 mg O2/g, the value of saponification number is 195.30 mg KOH/g, the value of viscosity is 3.69 cSt, the value of density is 0.86 g/cm3, the value of ash content is 0.01%, the value of water content and sediment is 0 %, the value of flash point is 108.5oC and produce a yield of 96.22%. GC-MS analysis shows the composition of biodiesel among for 51.15% of methyl oleate, 23.31% of methyl palmitate, 9.43% of methyl stearate, 0.97% of methyl palmitoleat and others. Keywords : biodiesel, Cerbera odollam Gaertn, transesterification
2
ANISA RAHMI UTAMI. F34070043. Kajian Proses Produksi Biodiesel Dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera Odollam Gaertn) Dengan Metode Transesterifikasi. Di bawah bimbingan Sapta Raharja. 2011
RINGKASAN Penggunaan bahan bakar minyak dari sumber energi fosil setiap harinya mengalami peningkatan, sedangkan pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak tersebut mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan bahan bakar minyak dari sumber energi fosil merupakan bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable). Akibat adanya ketidakseimbangan antara persediaan dan permintaan bahan bakar minyak dan kekhawatiran pasokan minyak menurun, maka diperlukan alternatif sumber energi lain yang dapat dijadikan bahan bakar minyak. Biodiesel merupakan salah satu jenis dari sumber energi alternatif yang dapat dijadikan bahan bakar minyak. Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia sebagai biodiesel adalah pohon bintaro (Cerbera odollam Gaertn). Biji dari pohon ini sangat potensial dijadikan biodiesel dikarenakan kandungan minyak dari biji buah ini cukup tinggi yaitu sekitar 43-64%, bukan merupakan tanaman pangan sehingga tidak akan berkompetisi dengan kebutuhan pangan serta tanaman ini sudah banyak dikultivasi, dijadikan tanaman reboisasi dan penghias pada pinggir jalan raya. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan karakteristik biodiesel dari minyak biji bintaro terbaik dengan mengetahui pengaruh rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH pada proses transesterifikasi terhadap rendemen dan kualitas biodiesel yang dihasilkan. Penelitian dilakukan terhadap biji bintaro, minyak biji bintaro dan biodiesel biji bintaro. Pada biji bintaro didapatkan hasil bahwa kandungan terbesar dari biji bintaro adalah minyak (kadar lemak) dengan nilai 58.73%. Minyak biji bintaro didapatkan dari proses ekstraksi dengan metode hot pressing (pengempaan dengan panas, suhu 60-70oC) dengan rendemen 43.79%. Kemudian minyak biji bintaro dilakukan proses degumming untuk memperbaiki kualitas mutu minyak. Berdasarkan hasil karakteristik minyak biji bintaro sebelum dan setelah degumming terlihat bahwa minyak setelah proses degumming memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan minyak sebelum proses degumming dengan nilai bilangan asam, kadar asam lemak bebas dan viskositas yang lebih rendah. Biodiesel biji bintaro diperoleh dari proses transesterifikasi dengan perlakuan rasio molar metanol terhadap minyak yaitu 3:1, 6:1 dan 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH sebanyak 0.5% (b/b), 1% (b/b) dan 1.5% (b/b). Kemudian dilakukan proses karakterisasi untuk setiap perlakuan dengan menganalisis bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, viskositas, densitas, kadar air dan sedimen, kadar abu, titik nyala dan rendemen biodiesel. Berdasarkan hasil analisis didapatkan perlakuan terbaik untuk produksi biodiesel dari minyak biji bintaro adalah pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%, dengan nilai bilangan asam 0.50 mg KOH/g, nilai kadar asam lemak bebas 0.25%, nilai bilangan iod 37.09 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.13 mg O2/g, nilai bilangan penyabunan 195.30 mg KOH/g, nilai viskositas 3.69 cSt, nilai densitas 0.86 g/cm3, nilai kadar abu 0.01%, nilai kadar air dan sedimen 0%, nilai titik nyala 108.5oC serta menghasilkan rendemen sebesar 96.22%. Analisis GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectromatry) menunjukkan bahwa komposisi metil ester penyusun biodiesel biji bintaro antara lain metil oleat sebesar 51.15%, metil palmitat 23.31%, metil stearat 9.43%, metil palmitoleat 0.97% dan lain-lain.
3
KAJIAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI BINTARO (Cerbera odollam Gaertn) DENGAN METODE TRANSESTERIFIKASI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh ANISA RAHMI UTAMI F34070043
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
4
Judul Skripsi : Kajian Proses Produksi Biodiesel Dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) Dengan Metode Transesterifikasi Nama : Anisa Rahmi Utami NRP : F34070043
Menyetujui,
Pembimbing Akademik,
(Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA) NIP. 19631026 199002 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus
:
11 Juli 2011
5
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Proses Produksi Biodiesel Dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) Dengan Metode Transesterifikasi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011 Yang membuat pernyataan
Anisa Rahmi Utami F34070043
6
© Hak cipta milik Anisa Rahmi Utami, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
7
BIODATA PENULIS Anisa Rahmi Utami. Lahir di Bogor, 30 Juni 1990 dari ayah Udin dan ibu Emi Haryati, sebagai putri pertama dari dua bersaudara. Penulis menamatkan sekolah dasar di SDN Muarasari III kota Bogor pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke SMPN 2 kota Bogor sampai tahun 2004 dan SMAN 3 kota Bogor sampai tahun 2007. Tahun 2007, penulis melanjutkan studi di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian (HIMALOGIN) menjabat sebagai Staf Departemen Public Relation Biro Informasi dan Komunikasi (2009-2010). Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum Analisis Bahan dan Produk Agroindustri pada tahun 2009 dan tahun 2010, asisten praktikum Pengawasan Mutu pada tahun 2010 dan asisten praktikum Teknologi Minyak Atsiri, Rempah dan Fitofarmaka pada tahun 2011. Selama tiga tahun berturut-turut, mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, penulis memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Tahun 2010, penulis melaksanakan praktik lapangan di PT. Nippon Indosari Corpindo, Tbk dengan judul “Mempelajari Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Roti Sobek di PT. Nippon Indosari Corpindo, Tbk”. Tahun 2011 penulis menyelesaikan pendidikan S1 dengan judul skripsi “Kajian Proses Produksi Biodiesel Dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) Dengan Metode Transesterifikasi”.
8
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Allah SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul “Kajian Proses Produksi Biodiesel Dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) Dengan Metode Transesterifikasi” dilaksanakan di laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB sejak bulan Maret sampai Juni 2011. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Orang tua penulis, bapak Udin dan Ibu Emi Haryati serta adik Bagja Adhitia Putera dan seluruh keluarga tercinta atas segala cinta, kasih sayang, doa dan dukungan yang telah diberikan selama ini. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Drs. Purwoko, M.Si dan Ir. Ade Iskandar, M.Si sebagai dosen penguji atas masukan dan nasihat untuk kesempurnaan skripsi ini. Ibu Ega, ibu Sri, ibu Rini, pak Gun, pak Dicky dan seluruh Staff Laboratorium TIN yang telah memberikan arahan, bimbingan dan bantuan selama penulis melakukan penelitian. Lukman Hakim atas dukungan, semangat, kesabaran dan perhatian yang telah diberikan selama ini kepada penulis. Anita Ekawati H, Desti Puspitasari dan Siti Ulfah Deasy T, atas perjuangan bersama, semangat dan dukungannya. Tiara, Anza, Gigi, Ditta, Eny, Tyas, Sasa dan teman-teman TIN 44 atas dukungan, semangat, persahabatan dan kebersamaannya. Dan kepada semua pihak yang turut membantu suksesnya penelitian dan penyusunan laporan ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan penulis. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...........................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL..................................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................... viii I.
PENDAHULUAN .................................................................................................................
1
1.1. LATAR BELAKANG ....................................................................................................
1
1.2. TUJUAN .........................................................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................
4
2.1. POHON BINTARO ........................................................................................................
4
2.2. BIODIESEL....................................................................................................................
6
2.3. TRANSESTERIFIKASI .................................................................................................
9
III. METODE PENELITIAN.......................................................................................................
12
3.1. BAHAN DAN ALAT .....................................................................................................
12
3.1.1.
Bahan ................................................................................................................
12
3.1.2.
Alat ...................................................................................................................
12
3.2. METODE PENELITIAN ...............................................................................................
12
3.2.1.
Penelitian Pendahuluan ....................................................................................
12
3.2.2.
Penelitian Utama ..............................................................................................
13
3.3. RANCANGAN PERCOBAAN ......................................................................................
13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................................................
15
4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN ..................................................................................
15
4.2. PENELITIAN UTAMA .................................................................................................
18
4.2.1.
Bilangan Asam dan Kadar FFA........................................................................
19
4.2.2.
Bilangan Iod .....................................................................................................
20
4.2.3.
Bilangan Peroksida ...........................................................................................
22
4.2.4.
Bilangan Penyabunan .......................................................................................
23
4.2.5.
Viskositas .........................................................................................................
24
iv
4.2.6.
Densitas ............................................................................................................
26
4.2.7.
Kadar Abu ........................................................................................................
27
4.2.8.
Kadar Air dan Sedimen ....................................................................................
28
4.2.9.
Rendemen .........................................................................................................
29
4.2.10. Titik Nyala ........................................................................................................
31
4.2.11. Komposisi Metil Ester Biji Bintaro ..................................................................
31
V. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................................
33
5.1. SIMPULAN ....................................................................................................................
33
5.2. SARAN ...........................................................................................................................
33
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................
34
LAMPIRAN...........................................................................................................................
37
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Konsumsi bahan bakar minyak Indonesia tahun 2003-2007 .......................................
1
Tabel 2.
Konsumsi bahan bakar minyak sektor transportasi tahun 2005-2007 .........................
1
Tabel 3.
Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro ..............................
6
Tabel 4.
Persyaratan kualitas biodiesel menurut SNI-04-7182-2006 ........................................
7
Tabel 5.
Perbandingan biodiesel dan petrodiesel ......................................................................
9
Tabel 6.
Hasil karakterisasi buah bintaro ..................................................................................
15
Tabel 7.
Hasil karakterisasi biji bintaro.....................................................................................
16
Tabel 8.
Karakteristik minyak biji bintaro sebelum dan setelah proses degumming .................
17
Tabel 9.
Nilai kadar air dan sedimen biodiesel biji bintaro .......................................................
29
Tabel 10. Hasil analisis nilai titik nyala biodiesel biji bintaro pada tiga titik perlakuan .............
31
Tabel 11. Hasil analisis komposisi metil ester biji bintaro ..........................................................
32
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Pohon bintaro ..........................................................................................................
4
Gambar 2.
Bagian-bagian dari pohon bintaro (a) daun, (b) bunga, (c) buah dengan kulit, (d) buah tanpa kulit, (e) biji dengan kulit biji dan (f) biji tanpa kulit biji ................
5
Gambar 3.
Minyak biji bintaro ..................................................................................................
6
Gambar 4.
Mekanisme Transesterifikasi; (1) Mekanisme reaksi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol; (2) Tiga reaksi berurutan dan reversible [R1,2,3 = asam lemak] ...............................................................................................
10
Gambar 5.
Mekanisme Esterifikasi ...........................................................................................
11
Gambar 6.
Minyak biji bintaro sebelum dan setelah proses degumming...................................
18
Gambar 7.
Hasil proses transesterifikasi ...................................................................................
18
Gambar 8.
Histogram hubungan antara rasio molar metanol dengan minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan asam dan kadar FFA (Free Fatty Acid) ...............
19
Histogram hubungan antara rasio molar metanol dengan minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan iod ........................................................................
21
Gambar 10. Histogram hubungan antara rasio molar metanol dengan minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan peroksida..............................................................
22
Gambar 11. Histogram hubungan antara rasio molar metanol dengan minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan penyabunan ..........................................................
23
Gambar 12. Histogram hubungan antara rasio molar metanol dengan minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap viskositas ............................................................................
25
Gambar 13. Histogram hubungan antara rasio molar metanol dengan minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap densitas ...............................................................................
26
Gambar 14. Histogram hubungan antara rasio molar metanol dengan minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap kadar abu ............................................................................
28
Gambar 15. Histogram hubungan antara rasio molar metanol dengan minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap rendemen ............................................................................
29
Gambar 16. Kromatogram biodiesel biji bintaro hasil analisis GCMS .......................................
32
Gambar 9.
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Berbagai peralatan yang digunakan pada penelitian ..............................................
37
Lampiran 2. Diagram alir tahapan pembuatan biodiesel ...........................................................
38
Lampiran 3. Prosedur analisis sifat fisiko kimia biji bintaro (segar dan kering) ........................
39
Lampiran 4. Prosedur analisis sifat fisiko kimia minyak biji bintaro (sebelum dan setelah degumming) dan biodiesel yang dihasilkan ...........................................................
42
Lampiran 5. Data rata-rata bilangan asam dan hasil analisis keragaman ...................................
47
Lampiran 6. Data rata-rata kadar asam lemak bebas dan hasil analisis keragaman ...................
48
Lampiran 7. Data rata-rata bilangan iod dan hasil analisis keragaman ......................................
49
Lampiran 8. Data rata-rata bilangan peroksida dan hasil analisis keragaman ............................
50
Lampiran 9. Data rata-rata bilangan penyabunan, hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dengan α = 0.05 ........................................................................................
51
Lampiran 10. Data rata-rata viskositas kinematik, hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dengan α = 0.05 ........................................................................................
53
Lampiran 11. Data rata-rata densitas, hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dengan α = 0.05 .....................................................................................................
55
Lampiran 12. Data rata-rata kadar abu dan hasil analisis keragaman ..........................................
57
Lampiran 13. Data rata-rata rendemen, hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dengan α = 0.05 .....................................................................................................
58
Lampiran 14. Komposisi metil ester biji bintaro ..........................................................................
60
viii
I.
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Penggunaan bahan bakar minyak dari sumber energi fosil di seluruh dunia setiap harinya mengalami peningkatan, sedangkan pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak tersebut mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan bahan bakar minyak dari sumber energi fosil merupakan bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable). Dengan adanya ketidakseimbangan antara persediaan dan permintaan bahan bakar minyak, maka harga minyak dunia menjadi tidak stabil dan akhirnya harga minyak melonjak naik. Berdasarkan data diketahui bahwa harga minyak dunia memasuki harga US$ 104,25 per barel per bulan Februari 2011. Harga ini merupakan yang tertinggi sejak krisis keuangan tahun 2008 (Anonim 2011). Indonesia merupakan salah satu negara konsumen bahan bakar minyak terbesar. Selama tahun 2003 sampai tahun 2007 konsumsi bahan bakar minyak Indonesia mengalami peningkatan. Data konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Konsumsi bahan bakar minyak Indonesia tahun 2003-2007
2003
Industri (liter) 11,192,836.00
Listrik (liter) 7,639,465.00
Rumah Tangga (liter) 12,470,494.00
Transportasi (liter) 29,104,021.00
2004
8,668,880.78
8,091,697.61
11,694,889.19
31,109,433.60
2005
3,408,970.27
1,632,746.00
5,803,809.01
10,073,016.04
2006
11,327,722.43
8,278,489.50
9,872,551.00
27,976,617.56
2007
13,241,744,75
11,337,834,00
12,466,325,74
30.352.574.21
Tahun
Sumber : Pusat Data dan Informasi ESDM, 2011 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa konsumen minyak terbesar terdapat pada sektor transportasi. Hal ini dikarenakan produk sektor transportasi sangat banyak, diantaranya avgas, avtur, minyak bakar, minyak diesel, minyak solar, minyak tanah, pertamax dan premium. Berikut ini merupakan data konsumsi bahan bakar minyak sektor transportasi tahun 2005 sampai 2007 yang tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2. Konsumsi bahan bakar minyak sektor transportasi tahun 2005-2007 Tahun Avgas (liter)
0
10.00
2007 1,839.00
0
-
1,991,124.00
Minyak Bakar (liter)
700,869.10
4,988,100.03
4,754,448,00
Minyak Diesel (liter)
560,605.00
581,189.70
263,959.00
Minyak Solar (liter)
8,033,085.97
24,878,892.76
25,242,453.00
Minyak Tanah (liter)
5,829,776.19
9,931,696.00
10,153,627.00
Pertamax (liter)
-
1,928.00
339,647.00
Premium (liter)
8,559,297.07
17,073,564.00
18,037,708.00
Avtur (liter)
2005
2006
Sumber : Pusat Data dan Informasi ESDM, 2011
1
Berdasarkan tabel konsumsi bahan bakar minyak sektor transportasi tahun 2005-2007, dapat diketahui bahwa penggunaan bahan bakar minyak terbesar adalah minyak solar. Setiap tahun konsumsi minyak solar mengalami peningkatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan minyak lainnya. Oleh karena itu diperlukan peningkatan produksi minyak untuk memenuhi kebutuhan yang kian meningkat. Tetapi akibat adanya ketidakstabilan harga minyak dan kekhawatiran pasokan minyak menurun, maka diperlukan alternatif sumber energi lain yang dapat dijadikan bahan bakar minyak. Alternatif sumber energi baru yang dapat menggantikan bahan bakar dari sumber energi fosil adalah dengan sumber energi yang dapat terbarukan. Menurut Hambali et al. (2007) terdapat beberapa jenis energi yang dapat dijadikan pengganti bahan bakar fosil seperti tenaga baterai (fuel cells), panas bumi (geo-thermal), tenaga laut (ocean power), tenaga matahari (solar power), tenaga angin (wind power), nuklir dan bioenergi, dan di antara jenis energi alternatif tersebut, bioenergi cocok untuk mengatasi masalah energi karena beberapa kelebihannya. Bioenergi selain bisa diperbaharui, bersifat ramah lingkungan, dapat terurai, mampu mengeliminasi efek rumah kaca dan kontinyuitas bahan baku cukup terjamin. Bahan baku bioenergi dapat diperoleh dengan cara sederhana yaitu melalui budidaya tanaman penghasil biofuel dan memanfaatkan limbah yang ada di sekitar kehidupan manusia (Setiawan 2008). Bioenergi yang dikenal sekarang ada dua bentuk yaitu tradisional dan modern. Bioenergi tradisional yang sering ditemui yaitu kayu bakar, sedangkan bioenergi modern diantaranya adalah bioetanol, biodiesel, PPO (Pure Plant Oil) atau SVO (Straight Vegetable Oil) dan biogas. Bioenergi diturunkan dari biomassa yaitu material yang dihasilkan oleh makhluk hidup (tanaman, hewan dan mikroorganisme). Biodiesel merupakan salah satu jenis dari bioenergi modern. Biodiesel adalah bahan bakar diesel alternatif potensial yang berasal dari minyak nabati, minyak hewani atau minyak bekas dengan cara transesterifikasi minyak atau lemak dengan menggunakan alkohol seperti metanol atau etanol. Keuntungan pemakaian biodiesel dibandingkan dengan petrodiesel (BBM) diantaranya adalah bahan baku dapat diperbaharui (renewable), penggunaan energi lebih efisien, dapat menggantikan bahan bakar diesel dan turunannya dari petroleum, dapat digunakan kebanyakan peralatan diesel dengan tidak ada modifikasi atau hanya modifikasi kecil, dapat mengurangi emisi/ pancaran gas yang menyebabkan pemanasan global, dapat mengurangi emisi udara beracun, bersifat biodegradable, cocok untuk lingkungan sensitif dan mudah digunakan (Tyson 2004). Dalam penggunaannya, biodiesel dapat digunakan secara murni atau dalam bentuk campuran dengan minyak solar. Pengolahan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif sudah banyak dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, bahkan implementasi proses produksi biodiesel dan pengembangan skala industri serta komersial telah dilakukan oleh beberapa negara tersebut. Bahan baku yang digunakan sebagai biodiesel sangat beragam diantaranya minyak kedelai, minyak kelapa, minyak sawit, minyak jarak, minyak jagung, minyak mete dan minyak nyamplung. Pengembangan biodiesel di Indonesia sangat potensial, mengingat Indonesia merupakan negara tropis dan memiliki kekayaan alam yang melimpah serta belum termanfaatkan secara sempurna. Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia sebagai biodiesel adalah pohon bintaro (Cerbera odollam Gaertn). Biji dari pohon ini sangat potensial dijadikan biodiesel, dikarenakan kandungan minyak dari biji buah ini cukup tinggi yaitu sekitar 43-64%, komposisi asam lemak pada minyak biji bintaro mirip dengan tanaman penghasil biodiesel lainnya, seperti asam palmitat, asam stearat, asam oleat dan asam linoleat. Tanaman
2
ini juga bukan merupakan tanaman pangan sehingga tidak akan berkompetisi dengan kebutuhan pangan (tidak akan tumpang tindih dalam penggunaan sumber daya nabati). Selain itu, tanaman ini sudah banyak dikultivasi sehingga mudah dalam mendapatkan sampel karena tanaman ini dijadikan tanaman reboisasi dan penghias pada pinggir jalan raya. Proses pembuatan biodiesel dilakukan dengan proses transesterifikasi minyak dengan pereaksi alkohol dan katalis basa. Proses transesterifikasi adalah tahap konversi dari trigliserida pada minyak nabati menjadi metil ester (biodiesel) melalui reaksi dengan menggunakan alkohol dan katalis basa serta menghasilkan produk samping berupa gliserol. Reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan kondisi yang berasal dari minyak, seperti kandungan air dan asam lemak bebas. Sedangkan faktor eksternal merupakan kondisi yang tidak berasal dari minyak meliputi rasio molar metanol terhadap minyak, jenis katalis, suhu reaksi, waktu reaksi dan kecepatan pengadukan. Faktor-faktor tersebut baik internal maupun eksternal dapat mempengaruhi karakteristik dan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Salah satunya adalah rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH yang digunakan. Jumlah metanol yang cukup akan mendorong reaksi ke arah produk dan dapat mengurangi viskositas sedangkan konsentrasi katalis NaOH yang tepat akan mengoptimalkan produksi biodiesel. Pada penelitian ini dicobakan perlakuan rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH pada proses transesterifikasi.
1.2. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik biodiesel dari minyak biji bintaro terbaik dengan mengetahui pengaruh rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH pada proses transesterifikasi terhadap rendemen dan kualitas biodiesel yang dihasilkan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. POHON BINTARO (Cerbera odollam Gaertn) Bintaro (Gambar 1) termasuk tumbuhan mangrove yang berasal dari daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar, dan kepulauan sebelah barat samudera pasifik. Pohon ini memiliki nama yang berbeda di setiap daerah, seperti othalanga Maram dalam bahasa Malayalam yang digunakan di Kerala, India; arali kattu di negara bagian selatan India Tamil Nadu; famentana, kisopo, samanta atau tangena di Madagaskar; dan pong-pong, buta-buta, bintaro atau nyan di Asia Tenggara (Gaillard et al. 2004). Pohon bintaro mempunyai nama latin Cerbera odollam Gaertn, termasuk tumbuhan non pangan atau tidak untuk dimakan. Dinamakan Cerbera karena bijinya dan semua bagian pohonnya mengandung racun yang disebut “cerberin” yaitu racun yang dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung manusia, sehingga mengganggu detak jantung dan dapat menyebabkan kematian. Bahkan asap dari pembakaran kayunya dapat menyebabkan keracunan. Walaupun begitu, pohon bintaro juga memiliki banyak potensi, antara lain kulit buah bintaro yang berserat dapat digunakan sebagai bahan baku papan partikel atau dapat dijadikan sebagai bahan bakar secara langsung atau diubah menjadi briket untuk bahan bakar tungku sedangkan minyak biji bintaro dapat dijadikan sebagai salah satu sumber energi alternatif yaitu biodiesel. Potensi ini juga didukung karena pohon bintaro menghasilkan buah sepanjang tahun dan keberadaan pohon bintaro sangat banyak karena digunakan sebagai tanaman penghijauan dan sebagai penghias taman kota serta tidak membutuhkan pemeliharaan khusus (Purwanto 2011).
Gambar 1. Pohon bintaro Taksonomi pohon bintaro : Kingdom : Plantae - Plants Subkingdom : Tracheobionta - Vascular plants
4
Superdivision Division Class Subclass Order Family Genus Species
: : : : : : : :
Spermatophyta - Seed plants Magnoliophyta - Flowering plants Magnoliopsida - Dicotyledons Asteridae Gentianales Apocynaceae - Dogbane family Cerbera L. Cerbera odollam Gaertn.
Pohon bintaro memiliki daun, bunga, buah dan biji (Gambar 2) yang unik. Daun bintaro bentuknya memanjang, simetris dan menumpul pada bagian ujung dengan ukuran bervariasi, tetapi rata-rata memiliki panjang 25 cm. Tersusun secara spiral, terkadang berkumpul pada ujung roset. Bunga bintaro terdapat pada ujung pedikel simosa dengan lima petal yang sama atau disebut pentamery. Korola berbentuk tabung dan ada warna kuning pada bagian tengahnya. Buah bintaro berbentuk bulat dan berwarna hijau pucat dan ketika tua akan berwarna merah. Buah bintaro merupakan buah drupa (buah biji) yang terdiri dari tiga lapisan yaitu epikarp atau eksokarp (kulit bagian terluar buah), mesokarp (lapisan tengah berupa serat seperti sabut kelapa) dan endokarp (biji yang dilapisi kulit biji atau testa) (Mulyani 2007). Menurut Desrial (2011) di dalam buah bintaro muda terdapat kandungan racun sianida, tetapi mudah sirna jika terpapar sinar matahari. a
b
c
d
e
f
Gambar 2. Bagian-bagian dari pohon bintaro (a) daun, (b) bunga, (c) buah dengan kulit, (d) buah tanpa kulit, (e) biji dengan kulit biji dan (f) biji tanpa kulit biji
5
Biji bintaro berbentuk bulat pipih seperti telur, berwarna putih dengan ukuran sekitar 2 cm x 1.5 cm dan terdiri dari dua bagian cross-matching berdaging putih. Setelah buah bintaro mengalami proses pengupasan dan terkena udara bebas, warna biji akan berubah menjadi abuabu gelap dan akhirnya cokelat atau hitam. Biji bintaro banyak mengandung senyawa saponin steroid yaitu cerleasida A, 17 7-α-neriifolin, 17-β-neriifolin, cerberin, dan 2‟-O-asetil cerleasida A (Oesman et al. 2010). Biji bintaro mengandung minyak yang cukup banyak yaitu sekitar 4364% (Imahara et al. 2006) sehingga berpotensi sebagai bahan baku biodiesel. Minyak biji bintaro dapat dilihat pada Gambar 3 sedangkan komposisi kimia minyak bintaro dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 3. Minyak biji bintaro Tabel 3. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro Asam Lemak
Nama Sistematik
Hasil Analisis (%)
Heksadekanoat
17,67
cis-9-heksadekenoat
4,91
Stearat
Oktadekanoat
4,38
Elaidat
tr-9-oktadekenoat
8,54
Oleat
cis-9-oktadekenoat
34,02
Linolelaidat
Tr-9,12-oktadekadienoat
4,49
Linoleat
cis-9,12-oktadekadienoat
16,74
cis-9,12,15-oktadekatrienoat
0,40
Total asam lemak
89,98
Palmitat Palmitoleat
ὰ-Linolenat
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa minyak bintaro memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi sehingga memiliki titik leleh yang rendah dan minyak akan berbentuk cair pada suhu kamar. Total asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro yaitu sebesar 89,98%. Hal ini disebabkan tidak adanya puncak pembanding pada stándar asam lemak (Endriana 2007).
2.2. BIODIESEL Biodiesel diartikan sebagai bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari minyak nabati, baik minyak baru maupun bekas dan melalui proses esterifikasi, transesterifikasi atau proses esterifikasi-transesterifikasi (Hambali et al. 2007). Biodiesel merupakan sejenis bahan bakar diesel yang diproses dari bahan hayati terutama minyak nabati dan lemak hewan dan
6
secara kimiawi dinyatakan sebagai monoalkil ester dari asam lemak rantai panjang yang bersumber dari golongan lipida (Darnoko et al. 2001, Tapasvi et al. 2005, Ma dan Hanna 1999). Monoalkil ester dapat berupa metil ester atau etil ester yang merupakan senyawa yang relatif stabil, berwujud cair pada temperatur ruang (titik leleh antara 4-18oC), titik didih rendah dan tidak korosif. Metil ester lebih stabil secara pirolitik dalam proses distilasi fraksional dan lebih ekonomis sehingga lebih disukai daripada etil ester (Sonntag 1982). Standar biodiesel tidak membedakan bahan dasar yang digunakan dalam memproduksi biodiesel namun lebih ditekankan pada kinerja biodiesel itu sendiri. Kualitas biodiesel sebagai produk bahan bakar mesin diesel ditentukan oleh beberapa parameter, antara lain massa jenis, viskositas, angka setana, titik nyala, titik kabut, residu karbon, air dan sedimen, kandungan fosfor, bilangan asam, kadar gliserol bebas, kadar gliserol total, angka iodine dan lain-lain. Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia sudah dibakukan dalam SNI-04-7182-2006, yang telah disahkan dan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tanggal 22 Februari 2006 (Soerawidjaja 2006). Tabel 4 menyajikan persyaratan kualitas biodiesel menurut SNI-04-71822006. Tabel 4. Persyaratan kualitas biodiesel menurut SNI-04-7182-2006. Parameter Massa jenis pada 40 oC Viskositas kinematik pada 40 oC
Unit kg/m3
Batas nilai 850 – 890
Metode uji ASTM D 1298
Metode setara ISO 3675
mm2/s (cSt)
2.3 – 6.0
ASTM D 445
ISO 3104
Angka setana
min. 51
ASTM D 613
ISO 5165
Titik nyala (mangkok tertutup)
o
min. 100
ASTM D 93
ISO 2710
Titik kabut
o
maks. 18
ASTM D 2500
-
maks. no. 3
ASTM D 130
ISO 2160
Maks. 0.05
ASTM D 4530
ISO 10370
maks. 0.05
ASTM D 2709
-
C
maks. 360
ASTM D 1160
-
% - mass
maks. 0.02
ASTM D 874
ISO 3987
Belerang
ppm (mg/kg)
maks. 100
ASTM D 5453
prEN ISO 20884
Fosfor
ppm (mg/kg)
maks. 10
AOCS Ca 12-55
FBI-A05-03
Angka asam
mg-KOH/gr
maks. 0.8
AOCS Cd 3-63
FBI-A01-03
Gliserol bebas
% - mass
maks. 0.02
AOCS Ca 14-56
FBI-A02-03
Gliserol total
% - mass
maks. 0.24
AOCS Ca 14-56
FBI-A02-03
Korosi bilah tembaga
C C
o
(3 jam, 50 C)
Residu karbon,
% - mass
- dalam contoh asli
(maks 0.03)
- dalam 10 % ampas distilasi Air dan sedimen Temperatur distilasi
% - vol 90 %,
Abu tersulfatkan
o
*)
Kadar ester alkil
% - mass
min. 96.5
dihitung
FBI-A03-03
Angka iodine
% - mass
maks. 115
AOCS Cd 1-25
FBI-A04-03
Negatif
AOCS Cb 1-25
FBI-A06-03
(g-I2/100 gr) Uji Halphen
*) berdasarkan angka penyabunan, angka asam, serta kadar gliserol total dan gliserol bebas; rumus perhitungan dicantumkan dalam FBI-A03-03
Sumber: Soerawidjaja, 2006
7
Viskositas dan tegangan permukaan merupakan faktor yang penting dalam menentukan kualitas biodiesel terutama dalam mekanisme terpecahnya serta atomisasi bahan bakar sesaat setelah keluar dari mulut pipa semprot (nozzle) menuju ruang bakar (Soerawidjaja et al. 2005). Viskositas dengan nilai minimum diperlukan untuk beberapa mesin, karena berkaitan dengan kehilangan power pada pompa injeksi dan kebocoran injektor. Persyaratan viskositas biodiesel tidak berbeda dengan persyaratan pada petroleum diesel. Viskositas yang tidak terlalu kecil akan menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan daya lumas bahan bakar terhadap mesin kendaraan diesel. Tetapi viskositas yang terlalu tinggi juga tidak diharapkan (di atas 5.5 cSt) karena dapat menghambat jalannya mesin akibat terlalu kental. Titik nyala adalah suhu paling rendah untuk penyalaan bahan bakar untuk terbakar, dimana uapnya terbakar sesaat pada waktu kontak dengan nyala (flame) dan mati dengan cepat (seketika). Persyaratan titik nyala (flash point) diperlukan untuk keamanan bahan bakar biodiesel selama penyimpanan, transportasi dan penggunaan. Flash point biodiesel lebih tinggi dan tidak memproduksi asap, dapat didegradasi dan toksisitas rendah karena biodiesel tidak mengandung hidrokarbon aromatik jika dibandingkan dengan petroleum diesel (Mittelbach 1996). Titik nyala berkaitan dengan residu metanol yang tertinggal dalam biodiesel. Residu metanol dalam jumlah kecil mengurangi flash point (metanol mempunyai titik nyala 11.11oC) sehingga berpengaruh terhadap pompa bahan bakar, seals, dan elastomers dan dapat menghasilkan sifat-sifat yang jelek dalam pembakaran (Tyson 2004). Kandungan air dan sedimen yang dizinkan dalam biodiesel adalah maksimal 0.05% vol. Kandungan air yang tinggi dalam biodiesel akan sangat mempengaruhi dalam penyimpanan biodiesel, karena air dalam biodiesel dapat mengondisikan lingkungan yang cocok untuk mikroorganisme. Selain itu, air dalam biodiesel akan menyebabkan mesin diesel aus sehingga dapat menyebabkan korosi pada mesin diesel. Bilangan asam disebut juga bilangan netralisasi karena ukuran yang dipakai adalah jumlah basa (KOH) yang diperlukan untuk menetralisasi kandungan asam. Bilangan asam biodiesel menunjukkan asam lemak bebas yang berasal dari degradasi ester. Bilangan asam yang tinggi mengindikasikan adanya degradasi dari ester selama penyimpanan biodiesel yang kurang baik. Bilangan asam yang tinggi (lebih dari 0.8) dapat menyebabkan terjadinya deposit sistem bahan bakar dan mengurangi umur dari pompa dan filter (Tyson 2003). Angka iodine pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan senyawa penyusun biodiesel. Di satu sisi, keberadaan senyawa lemak tidak jenuh meningkatkan performansi biodiesel pada temperatur rendah, karena senyawa ini memiliki titik leleh (melting point) yang lebih rendah (Knothe 2005) sehingga berkorelasi pada cloud dan pour point yang juga rendah. Namun di sisi lain, banyaknya senyawa lemak tidak jenuh di dalam biodiesel memudahkan senyawa tersebut bereaksi dengan oksigen di atmosfer dan bisa terpolimerisasi membentuk material serupa plastik (Azam et al. 2005). Oleh karena itu, terdapat batasan maksimal angka iodine yang diperbolehkan untuk biodiesel, yakni 115. Selain itu, pembatasan angka iodine ini dikarenakan berhubungan dengan pemanasan asam lemak tidak jenuh yang tinggi akan menghasilkan polimerisasi gliserida yang dapat menghasilkan deposit atau kerusakan minyak pelumas (Mittelbach 1996). Terpenuhinya semua persyaratan SNI-04-7182-2006 oleh suatu biodiesel menunjukkan bahwa biodiesel tersebut tidak hanya telah dibuat dari bahan mentah yang baik, melainkan juga dengan tata cara pemrosesan serta pengolahan yang baik pula. Biodiesel mempunyai rantai karbon antara 12 sampai 20 serta mengandung oksigen. Adanya oksigen pada biodiesel membedakannya dengan petroleum diesel (solar) yang
8
komponen utamanya hanya terdiri dari hidrokarbon. Jadi komposisi biodiesel dan petroleum diesel sangat berbeda. Biodiesel terdiri dari metil ester asam lemak nabati, sedangkan petroleum diesel adalah hidrokarbon. Namun, biodiesel mempunyai sifat kimia dan fisika yang serupa dengan petroleum diesel (solar) sehingga dapat digunakan langsung untuk mesin diesel atau dicampur dengan petroleum diesel. Keuntungan pemakaian biodiesel dibandingkan dengan petrodiesel (BBM) diantaranya adalah bahan baku dapat diperbaharui (renewable), cetane number tinggi, biodegradable, dapat digunakan pada semua mesin tanpa harus modifikasi, berfungsi sebagai pelumas sekaligus membersihkan injektor, serta dapat mengurangi emisi karbondioksida, partikulat berbahaya, dan sulfur oksida. Tabel 5 menunjukkan perbandingan antara biodiesel dan petrodiesel. Tabel 5. Perbandingan biodiesel dan petrodiesel Fisika Kimia Komposisi
Biodiesel Metil ester
Petrodiesel Hidrokarbon
Densitas (g/ml)
0,8624
0,8750
Viskositas (cSt)
5,55
4,6
o
Flash point ( C)
172
98
Angka setana
62,4
53
Kelembaban (%)
0,1
0,3
Energi yang dihasilkan 128.000
Energi yang dihasilkan 130.000
BTU
BTU
Sama
Sama
Engine power
Engine torque Modifikasi engine
Tidak diperlukan
Konsumsi bahan bakar
Sama
Sama
Lebih tinggi
Lebih rendah
CO rendah, total hidrokarbon,
CO tinggi, total hidrokarbon,
sulfur dioksida, dan nitroksida
sulfur dioksida, dan nitroksida
Penanganan
Flamable lebih rendah
Flamable lebih tinggi
Lingkungan
Toxisitas rendah
Toxisitas 10 kali lebih tinggi
Keberadaan
Terbarukan
Tidak terbarukan
Lubrikasi Emisi
Sumber : Pakpahan, 2001
2.3. TRANSESTERIFIKASI Transesterifikasi adalah reaksi ester untuk menghasilkan ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak (Swern 1982). Reaksi transesterifikasi (alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida pada minyak nabati menjadi metil ester (biodiesel) melalui reaksi dengan menggunakan alkohol rantai pendek seperti metanol atau etanol dan katalis asam atau basa serta menghasilkan produk samping berupa gliserol. Berikut ini adalah mekanisme reaksi transesterifikasi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol (1):
9
O
O
R1 – C – O – CH2
R1 – C – O – CH3
O
HO – CH2
O katalis
R2 – C – O – CH
+
R2 – C – O – CH3 + HO – CH
3CH3OH NaOH
O
O
R3 – C – O – CH2 Trigliserida
Metanol
R3 – C – O – CH3
HO – CH2
Biodiesel
Gliserol
TG
+
CH3OH
DG
+
R1COOCH3
DG
+
CH3OH
MG
+
R2COOCH3
MG
+
CH3OH
GL
+
R3COOCH3
(2) Gambar 4. Mekanisme Transesterifikasi; (1) Mekanisme reaksi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol; (2) Tiga reaksi berurutan dan reversible [R1,2,3 = asam lemak] Trigliserida (TG) sebagai komponen utama dari minyak nabati bila direaksikan dengan alkohol (misal metanol), maka ketiga rantai asam lemak akan dibebaskan dari sketelon gliserol dan bergabung dengan metanol untuk menghasilkan asam lemak alkil ester (misal asam lemak metil ester atau biodiesel). Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi tiga tahap dan reaksi balik (reversible) yang membentuk tiga molar metil ester dan satu molar gliserol dari satu molar trigliserida dan tiga molar metanol. Digliserida (DG) dan monogliserida (MG) merupakan hasil reaksi antara (intermediate). Reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan kondisi yang berasal dari minyak, seperti kandungan air dan asam lemak bebas. Sedangkan faktor eksternal merupakan kondisi yang tidak berasal dari minyak, meliputi kecepatan pengadukan, suhu reaksi, waktu reaksi, rasio molar metanol dan jenis katalis (Freedman et al. 1984). Kandungan air dan asam lemak bebas yang terdapat pada minyak dapat berpengaruh terhadap pembentukan sabun yang akan mengurangi kebasaan katalis dan membentuk gel yang dapat mempersulit pemisahan dan pengendapan gliserol (Canakci dan Van gerpen 2001). Kandungan asam lemak bebas dan air yang masing-masing lebih dari 0.5% dan 0.3% dapat menurunkan rendemen transesterifikasi minyak (Freedman et al. 1984). Pengadukan diperlukan untuk homogenisasi campuran. Ketika metanol dan katalis dicampurkan dengan minyak maka akan terbentuk dua fase, yaitu fase metanol di bagian atas dan fase minyak di bagian bawah. Adanya pemisahan fase ini menghambat laju reaksi, karena rendahnya peluang kontak antara minyak, metanol dan katalis. Kecepatan pengadukan berfungsi untuk meningkatkan frekuensi kontak pada pencampuran antara minyak, alkohol dan katalis. Kecepatan pengadukan yang sesuai dapat membantu homogenisasi dan meningkatkan kecepatan konversi. Suhu reaksi mempengaruhi laju reaksi dan ester yang terbentuk. Proses transesterifikasi akan berlangsung lebih cepat apabila suhu dinaikkan sekitar 60-65oC mendekati titik didih metanol 68oC. Menurut Darnoko et al. (2001) produksi minyak menjadi metil ester dilakukan
10
melalui reaksi transesterifikasi menggunakan metanol dengan katalis basa atau asam pada suhu 50-70oC. Alkohol yang umum digunakan pada proses transesterifikasi adalah metanol, hal ini dikarenakan harganya lebih murah dan reaktifitasnya paling tinggi, selain itu lebih mudah direcoveri. Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah tiga mol untuk setiap satu mol trigliserida untuk memperoleh tiga mol metil ester dan satu mol gliserol. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Hal ini dikarenakan transesterifikasi merupakan reaksi kesetimbangan sehingga untuk mendorong reaksi ke arah kanan untuk menghasilkan metil ester diperlukan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang harus dipisahkan (Hambali et al. 2007). Freedman et al. (1984) menyatakan bahwa pada rasio molar 3:1 setelah satu jam konversi yang dihasilkan adalah 74-89% sedangkan pada rasio molar 6:1 adalah 98-99% sehingga rasio molar 6:1 lebih baik dibandingkan rasio 3:1. Katalis dalam proses produksi biodiesel merupakan suatu bahan (misal basa, asam atau enzim) yang berfungsi untuk mencapai reaksi dengan jalan menurunkan energi aktifasi dan tidak mengubah kesetimbangan reaksi, serta bersifat sangat spesifik. Sebenarnya proses produksi dapat berlangsung tanpa penambahan katalis, akan tetapi reaksi akan berlangsung sangat lambat, membutuhkan suhu yang tinggi dan tekanan yang tinggi pula. Katalis yang digunakan pada reaksi transesterifikasi dapat berupa asam atau basa, tetapi katalis basa lebih banyak digunakan karena reaksinya sangat cepat, sempurna dan dapat dilakukan pada suhu yang rendah. Katalis basa yang biasa digunakan adalah NaOH atau KOH. Kelebihan NaOH sebagai katalis dalam reaksi transesterifikasi adalah mudah larut dalam metanol sehingga reaksi metanol dengan trigliserida berlangsung lebih cepat (Ma dan Hanna 1999). Menurut Freedman et al. (1984) jumlah optimum katalis basa yang baik digunakan pada proses transesterifikasi berkisar antara 0.5-1.0% dari berat minyak nabati. Secara umum, biodiesel diproduksi melalui proses transesterifikasi minyak atau lemak yang menghasilkan metil ester atau monoalkil ester dan gliserol sebagai produk samping. Transesterifikasi hanya bekerja secara baik terhadap minyak yang mempunyai kualitas baik, apabila minyak mengandung asam lemak bebas melebihi 2% maka akan membentuk formasi emulsi sabun yang menyulitkan pemisahan biodiesel yang dihasilkan (Lele 2005). Rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan menurunkan kadar asam lemak bebas dan air masing-masing berturut-turut 10% menjadi 0.23% dan 0.2% menjadi 0.02% (Lee et al. 2002). Minyak mengandung asam lemak bebas melebihi 2% memerlukan perlakuan pendahuluan berupa esterifikasi, hal ini dikarenakan asam lemak bebas akan membentuk sabun dan emulsi yang sukar dipisahkan pada proses transesterifikasi (Canakci dan Van Gerpen 1999). Esterifikasi merupakan reaksi antara metanol dengan asam lemak bebas sehingga terbentuk metil ester dengan bantuan katalis asam kuat berupa H2SO4 atau HCl. Reaksi kimia esterifikasi adalah sebagai berikut: RCOOH Asam lemak bebas
+ CH3OH RCOOCH3 + H2O metanol katalis asam metil ester air
Gambar 5. Mekanisme Esterifikasi Reaksi esterifikasi tidak hanya mengkonversi asam lemak bebas menjadi metil ester tetapi juga menjadi trigliserida walaupun dengan kecepatan yang lebih rendah (Freedman et al. 1984).
11
II. METODE PENELITIAN 2.1. BAHAN DAN ALAT 2.1.1. Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah dan biji bintaro yang berasal dari wilayah Bogor, sedangkan bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk reaksi dan analisis antara lain heksan, aquades, H2SO4 pekat, katalis (CuSO4 dan Na2SO4), H3PO4 20%, metanol, NaOH, KOH 0.1 N, alkohol netral 95%, HCl 0.5 N, KOH 0.5 N, indikator phenolpthlaein, kloroform, pereaksi hanus, asam asetat, KI jenuh, larutan KI 15%, Na2S2O3 0.1 N dan indikator amilum 1%.
2.1.2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat kempa hidrolik panas, labu leher tiga, hot plate and magnetic stirrer, neraca analitik, pendingin tegak, rotary evaporator, labu pemisah, termometer, piknometer, oven, alat pengujian titik nyala, GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectromatry), tanur, penangas air, desikator, tabung ostwald, alat sentrifugasi, kertas/indikator pH, pipet (mohr dan volumetrik), labu kjedhal, soxhlet, erlenmeyer, cawan alumunium, cawan porselen, otoklaf, buret, gelas ukur dan gelas piala. Gambar peralatan dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.2. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan dibagi menjadi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi karakterisasi bahan baku berupa buah dan biji bintaro. Setelah itu dilakukan proses ekstraksi dan karakterisasi minyak biji bintaro serta dilakukan proses degumming minyak biji bintaro dan karakterisasi minyak hasil degumming. Sedangkan untuk penelitian utama dilakukan proses pembuatan biodiesel dari minyak biji bintaro dengan metode transesterifikasi. Diagram alir tahapan pembuatan biodiesel disajikan pada Lampiran 2.
2.2.1. Penelitian Pendahuluan 2.2.1.1. Karakterisasi bahan baku Bahan baku berupa buah dan biji bintaro. Buah bintaro dilakukan analisis fisik berupa bobot dan penampakan, sedangkan biji bintaro dilakukan uji proksimat untuk mengetahui karakteristik dari biji tersebut. Uji proksimat yang dilakukan berupa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat dan kadar karbohidrat (by different). Metode uji proksimat dapat dilihat pada Lampiran 3.
2.2.1.2. Ekstraksi dan karakterisasi minyak biji bintaro Metode yang dilakukan untuk mengekstrak minyak dari biji bintaro adalah dengan metode hot pressing, yaitu metode pengepresan dimana bahan yang akan dipres bersuhu 60-70oC (cukup panas) sehingga memudahkan proses pengeluaran minyak dari bahan. Biji bintaro awalnya dikupas terlebih dahulu dari kulitnya, kemudian dimasukkan ke dalam oven blower selama 2 hari dengan suhu 40-60oC untuk menghindari adanya kandungan air sebelum
12
dipres. Biji bintaro yang telah kering dikecilkan ukurannya (size reduction) untuk mempermudah proses pengeluaran minyak pada saat dipres. Selanjutnya biji yang telah dikecilkan ukurannya dilakukan proses pengepresan menggunakan mesin hot press hidrolik yang terdapat di Laboratorium Biodiesel, Balitbang Kehutanan. Setelah minyak didapatkan, maka tahap selanjutnya adalah dengan menganalisis sifat fisiko kimia minyak bintaro diantaranya bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, viskositas, densitas, kadar air dan rendemen minyak itu sendiri.
2.2.1.3. Degumming Degumming bertujuan untuk memisahkan minyak dari komponen pengotor minyak seperti getah/lendir, fosfatida, protein, resin, air, residu dan asam lemak bebas. Proses degumming dilakukan dengan penambahan H3PO4 (asam fosfat). Minyak bintaro ditimbang kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 70-75oC. Setelah itu asam fosfat ditambahkan sebanyak 0.3% dari bobot minyak. Suhu minyak dipertahankan selama 10 menit sambil diaduk. Gum dan kotoran dipisahkan dari minyak dalam labu pemisah dengan cara mencucinya dengan air hangat 60 oC. Pencucian dilakukan hingga pH air buangan netral. Minyak hasil degumming ditimbang dan diukur bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, viskositas, densitas, kadar air dan rendemen.
2.2.2. Penelitian Utama Proses pembuatan biodiesel dilakukan dengan metode transesterifikasi. Minyak hasil degumming direaksikan dengan metanol dengan rasio molar metanol terhadap minyak yaitu 3:1, 6:1 dan 9:1, dengan menggunakan katalis NaOH sebanyak 0.5% (b/b), 1% (b/b) dan 1.5% (b/b) pada suhu 60oC dan waktu reaksi selama 60 menit. Kecepatan pengadukan pada proses ini dilakukan pada 400 rpm. Pemisahan gliserol dilakukan dengan cara settling (gravitasi) yaitu berdasarkan densitas zat terlarut. Gliserol dan zat pengotor lain memiliki densitas lebih tinggi sehingga berada di lapisan bawah sedangkan lapisan atas merupakan metil ester (biodiesel). Metil ester yang terbentuk dicuci dengan air hangat 60oC sampai air cucian netral. Pengeringan metil ester dilakukan dengan cara dipanaskan pada suhu 120 oC. Setelah itu metil ester tersebut dilakukan proses karakterisasi, dengan menganalisis bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, viskositas, densitas, kadar abu, kadar air, rendemen biodiesel dan titik nyala. Metode analisis dapat dilihat pada Lampiran 4.
2.3. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor. Faktor-faktor yang divariasikan adalah rasio molar metanol terhadap minyak (A) dan konsentrasi katalis NaOH (B). Untuk faktor rasio molar metanol terhadap minyak terdiri dari tiga taraf yaitu 3:1, 6:1 dan 9:1. Dan untuk faktor konsentrasi katalis NaOH terdiri dari
13
tiga taraf yaitu pada konsentrasi 0.5% (b/b), 1% (b/b) dan 1.5% (b/b). Model matematika yang digunakan adalah: Yij = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εij
dengan : Yij = µ = Ai = Bj = ABij = έij
=
Nilai pengamatan Rata-rata Pengaruh faktor rasio molar metanol terhadap minyak pada taraf ke-i (i = 1,2,3) Pengaruh faktor konsentrasi katalis NaOH pada taraf ke-j (j = 1,2,3) Pengaruh interaksi faktor rasio molar metanol terhadap minyak pada taraf ke-i dengan faktor konsentrasi katalis NaOH pada taraf ke-j Galat percobaan
14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan karakterisasi awal bahan baku yang akan diproses menjadi biodiesel. Penelitian pendahuluan ini terdiri dari karakterisasi bahan baku berupa buah dan biji bintaro, proses ekstraksi dan karakterisasi minyak biji bintaro serta proses degumming dan karakterisasi minyak hasil proses degumming. Karakterisasi bahan baku dilakukan dengan menganalisis buah dan biji bintaro. Buah bintaro dilakukan analisis berupa bobot dan penampakan (Tabel 6), sedangkan biji bintaro dilakukan analisis berupa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat dan kadar karbohidrat (by different). Analisis biji bintaro dilakukan terhadap biji yang segar dan biji yang telah kering. Tabel 7 menyajikan hasil karakterisasi biji bintaro. Tabel 6. Hasil karakterisasi buah bintaro
Kulit buah
Hasil analisis gram Persen 58.05 24.08%
Serat (sabut)
141.75
58.81%
Kulit biji
20.60
8.55%
Biji
20.65
8.57%
Total
241.05
100%
Bagian buah
Gambar
15
Tabel 7. Hasil karakterisasi biji bintaro Biji Bintaro Uji Segar (%)
Kering (%)
Kadar Air
38.36
1.44
Kadar Abu
2.32
2.54
Kadar Protein
7.22
12.66
Kadar Lemak
31.50
58.73
Kadar Serat
15.83
18.48
Kadar Karbohidrat
4.79
6.14
Berdasarkan hasil karakterisasi biji bintaro, baik biji bintaro segar maupun biji bintaro kering terlihat bahwa kadar lemak (kandungan minyak) biji bintaro paling besar yaitu 58.73% atau sekitar 3/5 dari total keseluruhan. Oleh karena itu, biji bintaro sangat prospektif untuk dimanfaatkan sebagai energi alternatif biodiesel. Biji bintaro yang digunakan sebagai bahan baku adalah biji yang sudah kering, hal ini dikarenakan kandungan air dalam biji sudah menurun akibat proses pengeringan. Air merupakan komponen yang tidak diperlukan dalam proses pembuatan biodiesel karena dapat merusak mesin diesel sehingga bahan baku yang dipergunakan haruslah bahan baku yang memiliki kandungan air terendah. Untuk mendapatkan minyak biji bintaro, maka diperlukan proses ekstraksi untuk mengeluarkan minyak dari biji bintaro. Menurut Ketaren (1986) terdapat beberapa metode ekstraksi minyak atau lemak, diantaranya metode rendering, metode ekstraksi dengan pelarut (solvent extraction), metode pressing (pengepresan) atau kempa dan metode ekstraksi dengan menggunakan enzim. Metode yang digunakan sangat tergantung oleh bahan yang akan diekstrak. Untuk bahan yang keras dengan kandungan minyak yang relatif tinggi (di atas 20%) maka metode yang cocok digunakan adalah ekstraksi dengan pengepresan. Hal ini dikarenakan metode pengepresan menggunakan tekanan atau pengempaan yang memungkinkan sel-sel yang terkandung minyak akan pecah dan minyak akan keluar dari bahan. Proses ekstraksi atau proses pengeluaran minyak dari biji bintaro kering dilakukan melalui proses pengepresan dengan panas (hot pressing). Pemanasan dilakukan untuk mempermudah keluarnya minyak karena dengan suhu yang lebih tinggi viskositas minyak menjadi lebih rendah (encer) sehingga minyak akan mudah keluar dari sel-sel biji bintaro. Proses ini dilakukan di laboratorium biodiesel, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor dengan menggunakan alat kempa hidrolik panas yang memiliki suhu sekitar 60-70oC dan tekanan 20 ton. Sebelum dipres, biji bintaro yang telah kering digiling dengan menggunakan penggiling mekanis untuk memperluas permukaan bidang keluar minyak dari sel-sel biji bintaro. Dari hasil pengepresan, didapatkan rendemen minyak bintaro adalah 43.79% dari bobot biji kering. Rendemen tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan potensi yang ada yaitu mencapai 58.73% (analisis dengan pelarut hexan metode solvent extraction). Rendahnya rendemen minyak biji bintaro disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya sifat fisis dari biji dan minyak bintaro itu sendiri. Biji bintaro memiliki gum yang cenderung tinggi sehingga menyulitkan minyak keluar dari biji. Minyak biji bintaro tergolong kental dan mempunyai sifat lengket sehingga saat dilakukan pengepresan masih terdapat minyak yang tertinggal pada bungkil dan alat kempa. Selain itu disebabkan oleh proses pengeringan biji bintaro dengan menggunakan oven yang memungkinkan minyak sudah keluar dari biji sehingga mengurangi rendemen. Kemudian penggunaan alat pengempa biji bintaro
16
yang masih sederhana berupa hydraulic press yang menggunakan tenaga manusia sehingga biji tidak tertekan seluruhnya. Untuk dapat mengeluarkan minyak biji bintaro secara maksimum, maka alat pengepres yang digunakan hendaknya berupa screw press yang menggunakan tenaga motor sebagai penggerak. Minyak biji bintaro yang didapatkan dari hasil ekstraksi dengan metode pengepresan masih berupa minyak kasar, yaitu minyak yang masih kotor dimana terdapat banyak kotoran dan senyawa pengotor dalam minyak seperti gum, lendir, fosfatida, resin, air, residu dan lainlain. Untuk itu dilakukan proses degumming dengan larutan asam fosfat 20% sebanyak 0.3% (v/w). Degumming merupakan tahapan awal proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk memisahkan minyak dari komponen pengotor minyak seperti getah atau lendir, fosfatida, protein, resin, air, residu dan asam lemak bebas. Karakterisasi minyak biji bintaro sebelum dan setelah proses degumming dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Karakteristik minyak biji bintaro sebelum dan setelah proses degumming Minyak Biji Bintaro
Uji
sebelum degumming
setelah degumming
Bilangan Asam (mg KOH/g)
1.50
1.19
FFA (%)
0.75
Bilangan iod (g I2/100 g)
38.76
0.60 41.33
Bilangan Peroksida (mg O2/g) Bilangan Penyabunan (mg KOH/g)
7.20
5.62
128.96
143.54
Viskositas (cSt)
41.00
36.31
Densitas (g/cm3)
0.90
0.90
Kadar Air (%)
0.03
0.03
Rendemen
93.88%
Berdasarkan hasil karakterisasi tersebut terlihat bahwa minyak biji bintaro setelah proses degumming memiliki kualitas mutu yang lebih baik (lebih tinggi) dibandingkan dengan minyak biji bintaro sebelum proses degumming. Hal ini dapat diketahui dari nilai kadar asam lemak bebas (FFA) minyak biji bintaro setelah proses degumming yang paling rendah yaitu 0.60%, nilai bilangan asam yang paling rendah yaitu 1.19 mg KOH/g, bilangan iod yang paling tinggi yaitu 41.33 g I2/100 g, bilangan peroksida yang paling rendah yaitu 5.62 mg O2/g dan nilai viskositas yang paling rendah yaitu 36.31 cSt. Karakteristik tersebut menunjukkan bahwa minyak telah mengalami proses pemurnian, dimana zat pengotor minyak seperti getah/lendir, fosfatida, protein, resin, air, residu dan asam lemak bebas telah dihilangkan melalui proses degumming. Hal ini pun terlihat dari perbedaan warna antara minyak kasar sebelum proses degumming dengan minyak setelah proses degumming (Gambar 6) dimana minyak setelah proses degumming memiliki warna yang lebih kuning jernih dibandingkan dengan minyak kasar sebelum proses degumming. Rendemen minyak biji bintaro setelah proses degumming adalah 93.88%.
17
Minyak biji bintaro kasar
Minyak hasil proses degumming
Gambar 6. Minyak biji bintaro sebelum dan setelah proses degumming
4.2. PENELITIAN UTAMA Penelitian utama proses produksi biodiesel adalah dengan proses transesterifikasi. Faktor-faktor yang divariasikan pada penelitian utama ini adalah rasio molar metanol terhadap minyak dengan tiga taraf yaitu 3:1, 6:1 dan 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH dengan tiga taraf pada konsentrasi 0.5% (b/b), 1% (b/b) dan 1.5% (b/b). Proses transesterifikasi menghasilkan produk berupa metil ester (biodiesel) dan gliserol. Pemisahan gliserol dilakukan dengan cara settling (gravitasi) yaitu berdasarkan densitas zat terlarut. Gliserol dan zat pengotor lain memiliki densitas lebih tinggi sehingga berada di lapisan bawah sedangkan lapisan atas merupakan biodiesel. Gliserol yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna cokelat kehitaman dan kental, sedangkan biodiesel yang dihasilkan berwarna kuning terang (Gambar 7). Kemudian biodiesel yang terbentuk dicuci dengan air hangat 60oC untuk menghilangkan sisa katalis, metanol dan kotoran yang tertinggal di dalam produk. Proses pengeringan biodiesel dilakukan dengan cara memanaskan biodiesel pada suhu 120oC untuk menghilangkan sisa air akibat proses pencucian. Selanjutnya hasil biodiesel tiap perlakuan dilakukan analisis berupa bilangan asam, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, viskositas, densitas, kadar abu, kadar air dan rendemen biodiesel.
Metil ester (biodiesel)
Gliserol
Gambar 7. Hasil proses transesterifikasi
18
4.2.1. Bilangan Asam dan Kadar FFA (Asam Lemak Bebas) Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan asam dan kadar FFA (Asam Lemak Bebas) dapat dilihat pada Gambar 8.
Keterangan : A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%
Gambar 8. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan asam dan kadar FFA (Asam Lemak Bebas)
19
Berdasarkan histogram di atas, dapat diketahui bahwa nilai bilangan asam biodiesel biji bintaro berkisar antara 0.32 mg KOH/g sampai 0.74 mg KOH/g sedangkan kadar FFA (Asam Lemak Bebas) biodiesel biji bintaro berkisar antara 0.16% sampai 0.37%. Nilai tersebut sesuai dengan pendapat Tyson (2003) yang menyatakan bahwa nilai bilangan asam yang baik pada biodiesel adalah di bawah 0.8 mg KOH/g, karena lebih dari itu dapat menyebabkan terjadinya deposit sistem bahan bakar dan mengurangi umur dari pompa dan filter. Hasil analisis keragaman pada Lampiran 5b dan 6b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis NaOH dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan asam maupun kadar FFA. Hal ini menunjukkan bahwa bilangan asam dan kadar FFA tidak dipengaruhi oleh rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH yang ditambahkan dalam proses transesterifikasi. Nilai bilangan asam dan kadar FFA berbanding lurus, apabila bilangan asam suatu minyak tinggi maka kadar FFA minyak pun akan tinggi. Bilangan asam dan kadar FFA menunjukkan jumlah asam lemak bebas dalam minyak dalam basis yang berbeda. Bilangan asam adalah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dalam satu gram minyak, sedangkan kadar FFA merupakan kandungan asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu minyak dimana berat molekul asam lemak tersebut dianggap sebesar asam lemak dominannya dan dinyatakan dalam bentuk persen. Bilangan asam dan kadar FFA mengidentifikasikan suatu kerusakan minyak yang diakibatkan oleh proses hidrolisis maupun proses oksidasi dan dapat menyebabkan korosi dan deposit (karat) pada mesin. Asam lemak bebas yang terdapat pada biodiesel akan meningkat dengan adanya proses hidrolisis yang dikatalisa asam, terutama jika produk memiliki kadar air yang tinggi. Proses hidrolisis juga dipercepat oleh peningkatan suhu. Selama hidrolisis terjadi pemecahan ikatan ester yang menghasilkan digliserida, monogliserida, asam lemak bebas dan gliserol. Selain itu, asam lemak bebas dalam biodiesel akan meningkat disebabkan oleh proses oksidasi yang terjadi pada asam lemak tidak jenuh dalam biodiesel. Semakin tinggi kandungan asam lemak tidak jenuh maka semakin besar reaksi oksidasi yang terjadi pada ikatan rangkap sehingga bilangan asam meningkat. Kondisi penyimpanan yang kontak langsung dengan udara juga dapat menjadi penyebab reaksi oksidasi yang menghasilkan asam-asam lemak berantai pendek. Untuk itu, bilangan asam dan kadar FFA ini menjadi faktor yang penting dalam proses pembuatan biodiesel. Berdasarkan persyaratan kualitas mutu biodiesel di Indonesia dalam SNI-04-7182-2006, parameter bilangan asam adalah maksimum 0.8 ml KOH/g minyak, maka semua perlakuan sudah memenuhi standar. Dimana biodiesel yang memiliki bilangan asam dan kadar FFA terendah adalah 0.32 mg KOH/g dan 0.16% pada saat rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dengan konsentrasi katalis NaOH yang digunakan adalah 1.5%.
4.2.2. Bilangan Iod Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan iod dapat dilihat pada Gambar 9.
20
Keterangan : A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%
Gambar 9. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan iod Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa nilai bilangan iod biodiesel biji bintaro terendah adalah 30.42 g I2/100 g pada rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%. Sedangkan nilai bilangan iod tertinggi adalah 37.09 g I2/100 g pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Hasil analisis keragaman pada Lampiran 7b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis NaOH dan interaksi tidak berpengaruh sangat nyata terhadap bilangan iod. Hal ini menunjukkan bahwa bilangan iod tidak dipengaruhi oleh rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH yang ditambahkan dalam proses transesterifikasi. Dengan kata lain, jumlah ikatan rangkap asam lemak yang menyusun minyak biji bintaro dapat diasumsikan sama. Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod untuk biodiesel perlu dibatasi. Sesuai dengan standar biodiesel dalam SNI-04-7182-2006, nilai maksimal bilangan iod adalah 115 g I2/100 g. Hal ini dikarenakan adanya ketidakstabilan asam lemak tidak jenuh oleh suhu tinggi yang menghasilkan polimerisasi gliserida sehingga dapat terjadi deposit atau kerusakan pada lubang saluran injeksi, piston dan lainnya.
21
Nilai bilangan iod biodiesel biji bintaro berkisar antara 30.42 g I2/100 g sampai 37.09 g I2/100 g. Nilai yang didapatkan lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Mulyani (2007) yaitu 45.16 dan 43.38 g I2/100 g. Bilangan iod untuk bahan baku biodiesel yang paling optimal adalah di sekitar metil oleat (70-100). Biodiesel yang diproduksi dari bahan baku ini akan memiliki angka setana yang memuaskan yaitu minimal 51 dan titik kabut yang rendah (Soerawidjaja et al. 2005). Dari semua perlakuan yang diujikan, bilangan iod biodiesel biji bintaro sesuai dengan standar biodiesel sehingga layak digunakan sebagai alternatif bahan bakar diesel (biodiesel).
4.2.3. Bilangan Peroksida Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan peroksida dapat dilihat pada Gambar 10.
Keterangan : A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%
Gambar 10. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan peroksida Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa nilai bilangan peroksida biodiesel biji bintaro terendah adalah 3.65 mg O2/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%. Sedangkan nilai bilangan peroksida tertinggi adalah 5.90 mg O2/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 6:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Hasil analisis keragaman pada Lampiran 8b
22
menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis NaOH dan interaksi keduanya tidak berpengaruh secara nyata terhadap bilangan peroksida. Bilangan peroksida merupakan parameter terpenting dalam menentukan derajat kerusakan minyak dan daya tahan suatu minyak (Ketaren 1986). Semakin tinggi bilangan peroksida maka semakin tinggi tingkat kerusakan suatu minyak dan semakin rendah daya tahan minyak tersebut. Bilangan peroksida untuk biodiesel harus serendah mungkin. Hal ini dikarenakan bilangan peroksida mengindikasikan kandungan senyawa peroksida yang merupakan senyawa intermediet pada reaksi oksidasi dan dapat menyerang asam lemak lain yang masih utuh untuk membentuk asam lemak bebas rantai pendek yang lebih banyak, selain itu senyawa peroksida juga memicu terjadinya reaksi polimerisasi dan endapan yang tidak larut dan menyebabkan viskositas tinggi sehingga dapat merusak mesin diesel. Dari perlakuan yang telah dilakukan, bilangan peroksida yang paling baik digunakan sebagai biodiesel adalah bilangan peroksida terendah yaitu 3.65 mg O2/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%.
4.2.4. Bilangan Penyabunan Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan penyabunan dapat dilihat pada Gambar 11.
Keterangan : A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%
Gambar 11. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap bilangan penyabunan
23
Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa nilai bilangan penyabunan biodiesel biji bintaro terendah adalah 187.48 mg KOH/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 6:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1%. Sedangkan nilai bilangan penyabunan tertinggi adalah 197.33 mg KOH/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%. Nilai yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Endriana (2007) yaitu 170.92 mg KOH/g. Tingginya bilangan penyabunan dapat diakibatkan oleh tingginya berat molekul minyak dan kandungan asam lemak (Azam et al. 2005). Hasil analisis keragaman pada Lampiran 9b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis NaOH dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap bilangan penyabunan. Hasil uji lanjut pada Lampiran 9c menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan 6:1 tidak berpengaruh secara signifikan, tetapi berpengaruh secara siginifikan pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1. Selain itu, uji tersebut juga menunjukkan konsentrasi katalis NaOH 0.5% dan 1% tidak berpengaruh secara signifikan, tetapi berpengaruh secara signifikan pada konsentrasi katalis NaOH 1.5% dalam peningkatan nilai bilangan penyabunan. Bilangan penyabunan berkorelasi dengan berat molekul minyak. Minyak yang banyak mengandung senyawa berantai pendek, yang berarti memiliki berat molekul yang relatif kecil akan memiliki bilangan penyabunan yang besar. Begitupun sebaliknya, minyak yang banyak mengandung senyawa berantai panjang, yang berarti memiliki berat molekul yang relatif besar akan memiliki bilangan penyabunan yang kecil. Pada saat proses transesterifikasi, trigliserida yang merupakan senyawa berantai panjang akan bereaksi dengan metanol dan menghasilkan metil ester (biodiesel) yang merupakan senyawa berantai pendek. Dengan semakin banyaknya metil ester yang terbentuk menunjukkan bahwa berat molekul biodiesel relatif kecil sehingga bilangan penyabunannya akan semakin besar. Untuk itu bilangan penyabunan yang layak sebagai biodiesel adalah bilangan penyabunan dengan nilai tertinggi yaitu 197.33 mg KOH/g pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%.
4.2.5. Viskositas Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap viskositas dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa nilai viskositas biodiesel biji bintaro terendah adalah 3.66 cSt pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1%. Sedangkan nilai viskositas tertinggi adalah 4.23 cSt pada rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Nilai yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayatullah (2009) yaitu 3.4 cSt. Perbedaan nilai viskositas diakibatkan oleh kemurnian metil ester yang dihasilkan dari proses transesterifikasi dan proses pemisahan yang sempurna dengan gliserol.
24
Keterangan : A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%
Gambar 12. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap viskositas Hasil analisis keragaman pada Lampiran 10b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak berpengaruh sangat nyata terhadap viskositas. Sedangkan konsentrasi katalis NaOH dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Hal ini dapat diartikan bahwa faktor rasio molar metanol terhadap minyak berperan penting terhadap perubahan viskositas. Hasil uji lanjut rasio molar metanol terhadap minyak pada Lampiran 10c menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam menurunkan viskositas, dimana semakin tinggi rasio molar metanol terhadap minyak maka semakin rendah viskositas yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan keoptimalan dari proses transesterifikasi, dimana proses transesterifikasi yang berjalan secara optimal akan mengkonversi seluruh trigliserida menjadi metil ester sehingga akan menurunkan nilai viskositas, karena metil ester memiliki viskositas yang lebih rendah (lebih encer) dibandingkan trigliserida. Selain itu metanol juga akan menurunkan berat molekul dari minyak bintaro sehingga menghasilkan produk dengan berat molekul yang lebih rendah, yang berarti akan menurunkan viskositas produk yang didapat (biodiesel). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2002) dengan bahan kelapa sawit dimana terjadi penurunan viskositas yang sangat besar dengan semakin bertambahnya jumlah metanol yang digunakan. Minyak kelapa sawit sebelum dikonversikan menjadi ester mengahasilkan viskositas yang sangat tinggi, yaitu sebesar
25
43.1 cSt tetapi setelah dikonversikan menjadi metil ester (biodiesel), viskositasnya turun menjadi 6-8 cSt yang berarti terjadi penurunan viskositas sebesar 82-86%. Viskositas berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian biodiesel (Mittelbach dan Remschmidt 2004). Viskositas akan naik seiring dengan kenaikan panjang rantai karbon dan kenaikan sisa monogliserida, digliserida dan trigliserida dalam biodiesel. Viskositas merupakan faktor yang penting dalam menentukan kualitas biodiesel yang dihasilkan. Viskositas untuk biodiesel yang sesuai dengan SNI berkisar antara 2.3-6.0 cSt. Viskositas biodiesel tidak boleh terlalu tinggi (kental) karena berpengaruh terhadap injektor pada mesin diesel yang tidak dapat memecah bahan bakar menjadi lebih kecil agar penguapan dan pembakaran berjalan lancar, selain itu viskositas yang tinggi akan menyulitkan pemompaan bahan bakar dari tangki ke ruang bakar mesin. Dari semua perlakuan yang diujikan sudah memenuhi standar, dimana biodiesel yang memiliki nilai viskositas terendah adalah pada saat rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dengan konsentrasi katalis NaOH yang digunakan adalah 1%.
4.2.6. Densitas Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap densitas dapat dilihat pada Gambar 13.
Keterangan : A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%
Gambar 13. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap densitas
26
Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa nilai densitas biodiesel biji bintaro terendah adalah 0.86 g/cm3 pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Sedangkan nilai densitas tertinggi adalah 0.87 g/cm3 pada rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Nilai tersebut sesuai dengan pendapat Syah (2006) yang menyatakan bahwa densitas biodiesel seharusnya berkisar 0.85-0.90 g/cm3. Hasil analisis keragaman pada Lampiran 11b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak dan interaksi berpengaruh nyata terhadap densitas. Sedangkan konsentrasi katalis NaOH tidak berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut interaksi pada Lampiran 11c menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara perlakuan A1B1 terhadap delapan perlakuan lainnya. Selain itu, uji tersebut juga menunjukkan rasio molar metanol terhadap minyak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan densitas yang dihasilkan. Nilai densitas dipengaruhi oleh panjang rantai karbon dan keberadaan gliserol. Penurunan nilai densitas menunjukkan adanya penurunan panjang rantai karbon dan penurunan keberadaan gliserol. Selama proses transesterifikasi rantai karbon asam lemak dalam minyak biji bintaro akan terpecah menjadi rantai metil ester yang lebih pendek sehingga densitas pun akan menurun seiring dengan penurunan bobot molekul. Keberadaan gliserol dalam biodiesel juga mempengaruhi densitas biodiesel karena gliserol memilki nilai densitas yang lebih tinggi dibandingkan densitas biodiesel. Densitas berhubungan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel per satuan volume bahan bakar (Prihandana et al. 2006). Densitas bahan bakar motor diesel dapat menunjukkan sifat serta kinerja seperti kualitas penyalaan, daya, konsumsi, sifat-sifat pada suhu rendah dan pembentukan asap. Oleh karenanya densitas merupakan parameter penting dalam menentukan kualitas biodiesel. Berdasarkan persyaratan kualitas mutu biodiesel di Indonesia dalam SNI-04-7182-2006, parameter densitas adalah antara 0.85-0.89 g/cm3, maka seluruh perlakuan sudah memenuhi standar dengan nilai densitas biodiesel biji bintaro terendah adalah 0.86 g/cm3 pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%.
4.2.7. Kadar Abu Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap kadar abu dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 dapat diketahui bahwa nilai kadar abu biodiesel biji bintaro terendah adalah 0.01% pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1% serta 1.5%. Sedangkan nilai kadar abu tertinggi adalah 0.02% pada rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Nilai kadar abu yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Endriana (2007) yaitu 0%. Tingginya nilai kadar abu diakibatkan oleh proses pencucian yang kurang maksimal sehingga masih terdapat senyawa organologam di dalam biodiesel. Selain itu katalis yang tidak bereaksi dalam proses transesterifikasi akan membentuk logam dan dapat menyebabkan korosi pada mesin diesel. Hasil analisis keragaman pada Lampiran 12b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis NaOH dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu. Hal ini menunjukkan bahwa kadar abu tidak dipengaruhi oleh rasio
27
molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH yang ditambahkan dalam proses transesterifikasi.
Keterangan : A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%
Gambar 14. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap kadar abu Biodiesel membutuhkan kandungan abu yang serendah mungkin. Tingginya kadar abu pada biodiesel akan berbahaya dikarenakan senyawa organologam akan mengendap dan menyebabkan karat pada mesin. Selain itu, abu juga dapat mengikis unit-unit injektor pada motor diesel. Berdasarkan SNI biodiesel, maksimal kandungan abu adalah 0.02%. Dari semua perlakuan yang diujikan sudah memenuhi standar, dimana biodiesel yang memiliki nilai kadar abu terendah dengan rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1% serta rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%.
4.2.8. Kadar Air dan Sedimen Kadar air dan sedimen merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kualitas biodiesel. Nilai kadar air dan sedimen biodiesel biji bintaro untuk semua perlakuan adalah 0% (Tabel 9). Kandungan air yang tinggi dalam biodiesel dapat mendorong terjadinya reaksi hidrolisis antara trigliserida dengan molekul air sehingga membentuk gliserol dan asam lemak bebas. Selain itu, air dalam biodiesel akan menyebabkan mesin diesel aus sehingga dapat menyebabkan korosi pada mesin diesel. Kandungan air dalam biodiesel juga akan mempengaruhi dalam penyimpanan
28
biodiesel, karena air dalam biodiesel dapat mengkondisikan lingkungan yang cocok untuk mikroorganisme. Menurut SNI biodiesel no. 04-7182-2006 tahun 2006, maksimal nilai kadar air dan sedimen biodiesel adalah 0.05%. Dari semua perlakuan yang dilakukan nilai kadar air dan sedimen biodiesel biji bintaro adalah 0%. Sehingga semua perlakuan yang dilakukan sesuai dengan standar SNI biodiesel dan layak untuk dijadikan bahan bakar mesin diesel. Tabel 9. Nilai kadar air dan sedimen biodiesel biji bintaro Sampel
Kadar air dan sedimen (%)
Sampel
Kadar air dan sedimen (%)
Sampel
Kadar air dan sedimen (%)
A1B1
0.00
A2B1
0.00
A3B1
0.00
A1B2
0.00
A2B2
0.00
A3B2
0.00
A1B3
0.00
A2B3
0.00
A3B3
0.00
4.2.9. Rendemen Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap rendemen dapat dilihat pada Gambar 15.
Keterangan : A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A1B2 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A1B3 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B2 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A2B3 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B2 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1% A3B3 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 1.5%
Gambar 15. Histogram hubungan antara rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH terhadap rendemen
29
Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa rendemen biodiesel biji bintaro terendah adalah 44.05% pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 1.5%. Sedangkan rendemen tertinggi adalah 96.22% pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%. Dari histogram di atas dapat dilihat adanya kecenderungan peningkatan rendemen yang dihasilkan dipengaruhi oleh peningkatan rasio molar metanol terhadap minyak dan penurunan konsentrasi katalis NaOH yang digunakan. Hasil analisis keragaman pada Lampiran 13b menunjukkan bahwa rasio molar metanol terhadap minyak dan konsentrasi katalis NaOH berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen. Hasil uji lanjut konsentrasi katalis NaOH pada Lampiran 13c menunjukkan adanya kenaikan konsentrasi katalis NaOH yang digunakan berpengaruh secara signifikan dan menurunkan rendemen. Untuk rasio molar metanol terhadap minyak 3:1 dan 6:1 tidak berpengaruh secara signifikan, namun rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 berpengaruh secara signifikan terhadap rendemen. Rendemen biodiesel sangat dipengaruhi oleh kadar FFA sebelum proses transesterifikasi, sesuai dengan Tyson (2004) yang menyatakan minyak yang mengandung asam lemak bebas 10% akan kehilangan rendemen sebesar 30% jika diproses dengan transesterifikasi. Menurut Lee et al. (2002) rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan menurunkan kadar asam lemak bebas dan air masing-masing berturut-turut 10% menjadi 0.23% dan 0.2% menjadi 0.02%. Rendemen biodiesel yang rendah disebabkan adanya reaksi antara asam lemak bebas dengan katalis basa pada proses transesterifikasi dan membentuk sabun. Katalis basa yang seharusnya digunakan untuk mempercepat reaksi menjadi berkurang sehingga proses konversi trigliserida menjadi metil ester menjadi tidak optimal dan menghasilkan senyawa intermediet (monogliserida dan digliserida). Rendemen biodiesel dihitung untuk mengetahui jumlah biodiesel yang diperoleh setelah proses pemisahan dengan gliserol dengan total minyak biji bintaro awal (% b/b). Proses pemisahan biodiesel dari gliserol dan senyawa lain yang tidak dibutuhkan merupakan hal yang penting dalam penentuan rendemen biodiesel, dimana pemisahan yang tidak optimal akan menurunkan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Faktorfaktor yang mempengaruhi proses pemisahan tersebut adalah viskositas dan perbedaan densitas antara gliserol serta senyawa-senyawa hidrofilik dan biodiesel. Gliserol dan senyawa-senyawa hidrofilik akan membentuk suatu agregat yang kompak dan padat, akibatnya gliserol dan senyawa-senyawa tersebut akan terpisah dari biodiesel. Selain itu sifat gliserol yang tidak larut dan densitas yang lebih besar dibandingkan biodiesel menyebabkan gliserol terpisah dari biodiesel. Nilai rendemen terbaik merupakan nilai yang menentukan perlakuan terbaik untuk produksi biodiesel dari minyak biji bintaro. Dari semua perlakuan yang telah diujikan, maka perlakuan terbaik untuk produksi biodiesel dari minyak biji bintaro adalah pada rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%, dengan nilai bilangan asam 0.50 mg KOH/g, nilai kadar asam lemak bebas 0.25%, nilai bilangan iod 37.09 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.13 mg O2/g, nilai bilangan penyabunan 195.30 mg KOH/g, nilai viskositas 3.69 cSt, nilai densitas 0.86 g/cm3, nilai kadar abu 0.01%, nilai kadar air dan sedimen 0% dan rendemen 96.22%.
30
4.2.10. Titik Nyala (Flash Point) Titik nyala adalah suhu paling rendah terbentuknya asap pada saat tes pengapian (flame test) (Kinast dan Tyson 2003). Titik nyala merupakan salah satu parameter kualitas biodiesel. Persyaratan titik nyala (flash point) diperlukan untuk keamanan bahan bakar biodiesel selama penyimpanan, transportasi dan penggunaan. Titik nyala yang dicobakan terdiri dari tiga sampel yang merupakan tiga perlakuan terbaik, yaitu A1B1 (rasio molar metanol terhadap minyak 3:1, konsentrasi katalis NaOH 0.5%), A2B1 (rasio molar metanol terhadap minyak 6:1, konsentrasi katalis NaOH 0.5%) dan A3B1 (rasio molar metanol terhadap minyak 9:1, konsentrasi katalis NaOH 0.5%). Pengujian titik nyala dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS). Nilai titik nyala dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil analisis nilai titik nyala biodiesel biji bintaro pada tiga titik perlakuan Sampel
Titik nyala (oC)
A1B1
182.5
A2B1
144.5
A3B1
108.5
Keterangan : A1B1 = Molar metanol : minyak = 3 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A2B1 = Molar metanol : minyak = 6 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5% A3B1 = Molar metanol : minyak = 9 : 1; konsentrasi katalis NaOH 0.5%
Dari tabel di atas, terdapat kecenderungan penurunan nilai titik nyala dipengaruhi oleh peningkatan rasio molar metanol terhadap minyak yang digunakan pada proses transesterifikasi. Hal ini dikarenakan titik nyala berkaitan dengan residu metanol yang tertinggal dalam biodiesel. Residu metanol dalam jumlah kecil mengurangi flash point (metanol mempunyai titik nyala 11.11oC) sehingga berpengaruh terhadap pompa bahan bakar, seals, dan elastomers dan dapat menghasilkan sifat-sifat yang jelek dalam pembakaran (Tyson 2004). Berdasarkan persyaratan kualitas mutu biodiesel di Indonesia dalam SNI-04-7182-2006, parameter titik nyala minimum adalah 100oC. Titik nyala yang terlalu rendah dapat menyebabkan timbulnya detonasi yaitu ledakan-ledakan kecil yang terjadi sebelum bahan bakar masuk ke ruang bakar, hal ini dapat meningkatkan resiko bahaya pada saat penyimpanan. Sedangkan titik nyala yang terlalu tinggi dapat menyebabkan keterlambatan penyalaan. Dari tiga perlakuan yang dianalisis, nilai titik nyala biodiesel biji bintaro berkisar antara 108.5-182.5oC. Sehingga semua perlakuan yang dilakukan sesuai dengan standar SNI biodiesel yaitu minimum 100oC dan layak untuk dijadikan bahan bakar mesin diesel.
4.2.11. Komposisi Metil Ester Biji Bintaro Metil ester (biodiesel) biji bintaro mengandung asam lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh (tidak mempunyai ikatan rangkap) dan asam lemak tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap). Pengujian komposisi metil ester (biodiesel) biji bintaro dilakukan pada sampel yang merupakan perlakuan terbaik, yaitu pada rasio molar
31
metanol terhadap minyak 9:1, konsentrasi katalis NaOH 0.5% (A3B1). Pengujian ini dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik, Mabes Polri. Komposisi metil ester (biodiesel) sampel ditentukan dengan membandingkan waktu retensi standar asam lemak yang sebelumnya disuntikkan ke instrumen kromatografi gas, sedangkan untuk analisis kuantitatif ditentukan dengan membandingkan luas area kromatrogram sampel dengan luas area kromatogram standar. Hasil analisis komposisi metil ester (biodiesel) biji bintaro dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan kromatogramnya dapat dilihat pada Gambar 16. Tabel 11. Hasil analisis komposisi metil ester biji bintaro Asam Lemak
Nama Sistematik
Hasil Analisis (%)
Hexadecanoic acid, methyl ester
23.31
9-Octadecenoic acid, methyl ester
51.15
Octadecanoic acid, methyl ester
9.43
Eicosanoic acid, methyl ester
2.31
Metil palmitoleat
9-Hexadecenoic acid, methyl ester
0.97
Metil lignocerat
Tetracosanoic acid, methyl ester
4,49
Metil miristat
Tetradecanoic acid, methyl ester
0.07
Metil palmitat Metil oleat Metil stearat Metil arachate
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa komposisi dominan metil ester dari biodiesel biji bintaro adalah metil oleat sebesar 51.15%. Komposisi metil ester (biodiesel) biji bintaro secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 14.
Gambar 16. Kromatogram biodiesel biji bintaro hasil analisis GCMS
32
V. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. SIMPULAN Kandungan terbesar dari biji bintaro adalah minyak (kadar lemak) dengan nilai 58.73%. Minyak biji bintaro didapatkan melalui proses ekstraksi dengan metode hot pressing (pengempaan dengan suhu 60-70oC) dan menghasilkan rendemen 43.79%. Proses degumming dilakukan dengan larutan asam fosfat 20% sebanyak 0.3% (v/w) untuk memisahkan minyak dari komponen pengotor minyak. Setelah dilakukan proses ini, minyak memiliki kualitas mutu yang lebih baik terlihat dari nilai bilangan asam, kadar asam lemak bebas dan viskositas yang menurun. Pada proses transesterifikasi, penambahan rasio molar metanol terhadap minyak berpengaruh nyata dalam menurunkan viskositas, menurunkan densitas dan meningkatkan rendemen. Sedangkan penambahan konsentrasi katalis NaOH berpengaruh nyata dalam menurunkan rendemen. Proses transesterifikasi yang optimal diperoleh pada kondisi rasio molar metanol terhadap minyak 9:1 dan konsentrasi katalis NaOH 0.5%, dengan nilai bilangan asam 0.50 mg KOH/g, nilai kadar asam lemak bebas 0.25%, nilai bilangan iod 37.09 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.13 mg O2/g, nilai bilangan penyabunan 195.30 mg KOH/g, nilai viskositas 3.69 cSt, nilai densitas 0.86 g/cm3, nilai kadar abu 0.01%, nilai kadar air dan sedimen 0% dan rendemen 96.22%. Kemudian dilakukan pengujian flash point dan analisis GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectromatry) untuk mengetahui komposisi metil ester dari biodiesel biji bintaro. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa nilai flash point sebesar 108.5oC dengan komposisi metil ester penyusun biodiesel biji bintaro antara lain metil oleat sebesar 51.15%, metil palmitat 23.31%, metil stearat 9.43%, metil palmitoleat 0.97% dan lain-lain.
6.2. SARAN 1. 2.
3. 4.
Hal-hal yang disarankan dari penelitian ini antara lain : Perlu ditentukan secara lebih rinci tingkat kematangan dan umur dari buah bintaro untuk menghasilkan karakteristik minyak yang seragam. Perlu dilakukan analisis sifat fisiko-kimia yang lain seperti angka setana, titik kabut dan total gliserol untuk mengetahui kelayakan biodiesel yang dihasilkan dan kesesuaiannya dengan SNI. Perlu pengkajian pengembangan proses produksi biodiesel dari minyak biji bintaro melalui metode in-situ. Perlu pengkajian mengenai tekno-ekonomi terhadap biodiesel dari minyak biji bintaro sampai digunakan sebagai bahan bakar.
33
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/02/110221_libyaoilprice.shtml. [30 April 2011]. Azam M.M, Waris A. and Nahar N.M. 2005. Prospect and potential of fatty acid methyl esters of some non-traditional seed oils for use as biodiesel in India. Biomass and Bioenergy, 29, 293302. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 04-7182:2006 tentang Biodiesel. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Canakci M. and Van Gerpen J. 2001. Biodiesel from oil and Fat with high Free Fatty Acid. Trans. ASAE 44, 1429-1436. Darnoko, H.T. and Guritno P. 2001. Biodiesel Production Technology and its Developments Prospect Indonesia. Warta PPKS 9 : 17-27. Desrial. 2011. Minyak Genset dari Biji Bintaro Sebagai Bahan Bakar Nabati. http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita-kemigasan/detil/256780/Minyak-Genset-dariBiji-Bintaro-BAHAN-BAKAR-NABATI. [13 Juli 2011]. Endriana D. 2007. Sintesis Biodiesel (Metil ester) dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera Odollam Gaertn) hasil ekstraksi. Kimia MIPA-UI. Universitas Indonesia, Depok. [ESDM] Energi dan Sumber Daya Mineral . 2011. Pusat Data dan Informasi Konsumsi BBM berdasarkan Produk. Di akses pada tanggal 30 April 2011. http://dtwh2.esdm.go.id/dtwh3/mod_fin/index.php?page=page_zx_og_tf_51_tahun_produk. [ESDM] Energi dan Sumber Daya Mineral . 2011. Pusat Data dan Informasi Konsumsi BBM berdasarkan Sektor. Di akses pada tanggal 30 April 2011. http://dtwh2.esdm.go.id/dtwh3/mod_fin/index.php?page=page_zx_og_tf_51_tahun_sektor. Freedman B, E.H. Pryde and T.L. Mounts. 1984. Variables Affecting the Yields of Fatty Ester from Transesterified Vegetable Oil. JAOCS, 61:1638-1643 Gaillard Y, Krishnamoorthy A. and Bevalot F. 2004. Cerbera odollam: a „suicide tree‟ and cause of death in the state of Kerala, India. Journal of Ethnopharmacology 95: 123–126. Hambali E, S. Mujdalipah, A.H. Tambunan, A.W. Pattiwiri, dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta. Hidayatullah, M.R. 2009. Pembuatan Metil Ester Minyak Biji Bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) Serta Karakterisasinya Sebagai Bahan Bakar Alternatif Mesin Diesel. Kimia Fakultas MIPAUNAND. Universitas Andalas, Padang.
34
Imahara H, Minami E, Hattori M, Murakami H, Matsui N. and Saka S. 2006. Current Situation and Properties of Oils/Fat Resources for Biodiesel Production. The 2nd Join International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE 2006)”. p.1-5. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta. Kinast J.A. and Tyson K.S. 2003. Production of Biodiesel from Multiple Feedstocks and Properties of Biodiesel and Biodiesel/Diesel Blends. NREL US Department of Energy Laboratory. Knothe G. 2005. Introduction : What is biodiesel ?. In Knothe G. Gerpen, J. V., Krahl J. editors. The biodiesel handbook. Champaign Illinois: AOCS Press, p: 1-3. Lee K.T, Foglia T.A. and Chang K.S. 2002. Production of alkyl ester as biodiesel from fractioned lard and restaurant grease. JAOCS 79, 191-195. Lele S. 2005. Biodiesel in India. http://www.svlele.com/biodiesel [27 Juli 2005]. Ma F. and M.A. Hanna. 1999. Biodiesel Production: A Review. Bioresource Technology, 1999; 70:115. Mittelbach M. and Remschmidt C. 2004. Biodiesel. Boersedruck Ges.m.b.H., Viena Austria. Mittelbach M. 1996. Diesel fuel derived from vegetable oils, VI: Specifications and quality control of biodiesel. Bioresource Technology 56 (1996) 7-11. Mulyani E. dan Ratnasih R. 2007. Bioprospek Cerbera odollam Gaertn yang Diambil dari Tiga Lokasi sebagai Bahan Baku Biodiesel. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Oesman F, Murniana, M. Khairunnas dan N. Saidi. 2010. Antifungal Activity Of Alkaloid From Bark Of Cerbera odollam. Jurusan Kimia Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia. Setiawan A.I. 2008. Memanfaatkan Kotoran Ternak Solusi Masalah Lingkungan dan Pemanfaatan Energi Alternatif. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Soerawidjaja T.H. 2006. “Fondasi-Fondasi Ilmiah dan Keteknikan dari Teknologi Pembuatan Biodiesel”. Handout Seminar Nasional “Biodiesel Sebagai Energi Alternatif Masa Depan” UGM Yogyakarta. Soerawidjaja T.H, T. Adrisman, U.W. Siagian, T. Prakoso, I.K. Reksowardojo dan K.S. Permana. 2005. Studi Kebijakan Penggunaan Biodiesel di Indonesia. Di dalam: P Hariyadi, N. Andarwulan, L. Nuraida, Y. Sukmawati. Editor. Kajian Kebijakan dan Kumpulan Artikel Penelitian Biodiesel. Kementerian Ristek dan Teknologi RI-MAKSI IPB Bogor. Sonntag N.O.V. 1982. Fat Splitting, Esterification and Interesterification. Di dalam. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. 2nd vol. 4th ed. John Wiley and Sons. New York.
35
Swern D. 1982. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. 2nd vol. 4th ed. John Wiley and Sons. New York. Syah A.N.A. 2006. Biodiesel Jarak Pagar: Bahan Bakar Alternatif yang Ramah Lingkungan. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Tapasvi D, Wiesenborn D. and Gustafson C. 2005. Process Model for Biodiesel Production from Various Eedstocks. Transaction of the ASAE 48 (6) : 2215-2221. Tyson K.S. 2004. Energy Efficiency and Renewable energy. U.S. Department of Energy. http://www.osti.gov/bridge [24 May 2006] Pakpahan A. 2001. Palm Biodiesel Its Potency, technology, Business Prospect and Environmental Implication in Indonesia. Proceeding of the International Biodiesel Workshop, Enhanching Biodiesel Development an Use. Ministry of Agriculture RI. Jakarta. Medan, 2-4 Oktober 2001. Prihandana R, R. Hendroko dan M. Nuramin. 2006. Menghasilkan Biodiesel Murah, Mengatasi Polusi dan Kelangkaan BBM. Agromedia pustaka, Jakarta. Purwanto A. 2011. RAPP Kembangkan Buah Bintoro jadi Energi Alternatif di Teluk Meranti. http://www.kenmi.itb.ac.id/artikel.html. [15 Juli 2011]. Yusuf R. 2002. Preparasi Karakteristik Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit. Teknik Gas dan Petrokimia, FT-UI. Universitas Indonesia, Depok.
36
LAMPIRAN
Lampiran 1. Berbagai peralatan yang digunakan pada penelitian
Alat kempa hidrolik panas
Alat pengujian flash point (metode mangkuk tertutup)
GCMS
Proses Transesterifikasi
37
Lampiran 2. Diagram alir tahapan pembuatan biodiesel Biji bintaro kering
Karakterisasi biji bintaro dengan uji proksimat Ekstraksi dengan hot pressing Minyak bintaro
Karakterisasi minyak bintaro H3PO4 0.3%; Air hangat 60oC
Degumming Suhu 70oC-75oC, dengan pengadukan 10 menit
Gum, kotoran dan air
Minyak bintaro hasil degumming
Karakterisasi minyak bintaro hasil degumming Ya FFA > 2 %
Tidak
Rasio molar metanol 3:1; 6:1; 9:1 Katalis NaOH 0.5%; 1% dan 1.5%
Transesterifikasi (suhu 60oC, pengadukan 400 rpm selama 60 menit)
Esterifikasi (rasio molar metanol 20:1, suhu 60oC, pengadukan 300 rpm selama 60 menit)
Pemisahan Air hangat 60oC
Pencucian Pengeringan
Gliserol + Air Air
Biodiesel Karakterisasi biodiesel
38
Lampiran 3. Prosedur analisis sifat fisiko kimia biji bintaro (segar dan kering) 1.
Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Cawan alumunium kosong dipanaskan dengan oven 105oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulang sampai didapatkan bobot tetap. Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam. Setelah cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulang sampai didapatkan bobot tetap bahan. Presentase kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan : m = Bobot contoh (gram) m1 = Bobot contoh sebelum dikeringkan (gram) m2
2.
= Bobot contoh setelah dikeringkan (gram)
Penetapan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC sampai menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC selama 1 jam sampai didapat bobot yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan : m = Bobot contoh basah (gram) m1 = Bobot cawan berisi abu contoh (gram) m2
3.
= Bobot cawan (gram)
Penetapan Kadar Protein (Nitrogen) dengan Metode Kjedhal Contoh sebanyak 0.1-0.5 gram, ditambahkan dengan 1 gram katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dan 2.5 larutan H2SO4 pekat dan didekstruksi dalam labu kjeldhal sampai berwarna hijau bening. Kemudian bahan dimasukkan ke dalam tabung dan alat destilat selama 4 menit. Bahan akan bercampur dengan larutan NaOH 6 N, asam borat dan indikator mensel. Larutan hasil destilat ditampung dalam erlenmeyer dan dititrasi dengan larutan H2SO4 0.02 N. Penentuan kadar nitrogen berdasarkan volume larutan H2SO4 0.02 N yang digunakan untuk titrasi. Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar nitrogen dengan metode kjeldhal. Penentuan kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
39
Keterangan : FP = Faktor Pengenceran FK = Faktor Konversi (6.25)
4.
Penetapan Kadar Lemak dengan Metode Ekstraksi Langsung dengan Alat Soxhlet (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 gram contoh, dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dilapisi dengan kapas. Kemudian selongsong kertas saring berisi contoh disumbat dengan kapas lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 80oC selama kurang lebih 1 jam. Lalu selongsong kertas yang telah dioven dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Kemudian diekstraksi dengan heksan atau pelarut lemak lainnya selama kurang lebih 6 jam. Selanjutnya heksan disuling dan ekstrak lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 oC sampai bobotnya tetap. Didinginkan dan ditimbang. Penentuan kadar lemak dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
Keterangan : W = Bobot contoh (gram) W1 = Bobot labu lemak kosong (gram) W2 = Bobot labu lemak dan lemak (gram)
5.
Penetapan Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984) Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 0.325 N, kemudian dihidrolisis di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 105 oC. Didinginkan lalu ditambahkan NaOH 1.25 N sebanyak 50 ml. Hidrolisis kembali ke dalam autoklaf selama 15 menit. Selanjutnya contoh disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobot tetapnya. Contoh dicuci berturut-turut dengan air panas, kemudian dengan 25 ml H2SO4 0.325 N, lalu dicuci lagi dengan air panas dan terakhir dicuci dengan alkohol 25 ml. Kertas saring dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 oC sampai bobotnya tetap. Penentuan kadar serat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
Keterangan : W = Bobot contoh (gram) W1 = Bobot kertas (gram) W2 = Bobot kertas dan serat (gram)
40
6.
Penetapan Kadar Karbohidrat (by different) Penentuan kadar karbohidrat (by different) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
Keterangan : a = Kadar air (%) b = Kadar abu (%) c = Kadar lemak (%) d = Kadar serat kasar (%)
41
Lampiran 4. Prosedur analisis sifat fisiko kimia minyak biji bintaro (sebelum dan setelah degumming) dan biodiesel yang dihasilkan 1.
Kadar Air dan Sedimen dalam Biodiesel (ASTM D 1160) Prinsip kadar air dan sedimen dalam biodiesel adalah berdasarkan perbedaan berat jenis antara air dan minyak serta kotoran sehingga terpisah dengan putaran tinggi. Prosedur ini digunakan untuk menganalisis kandungan air dan sedimen bebas dalam biodiesel menggunakan alat sentrifugasi. Metode ini terutama digunakan untuk menentukan kejernihan dan kebersihan biodiesel. Analisis ini penting untuk dilakukan karena kandungan air dapat bereaksi dengan ester membentuk asam-asam lemak bebas dan mendukung pertumbuhan mikroba selama penyimpanan. Contoh sebanyak 100 ml dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi dan diputar dalam alat sentrifugasi dengan kecepatan 500-800 rcf selama 10 menit. Kadar air dan sedimen yang terlihat dapat dibaca sampai ketelitian 0.005 ml. Contoh dengan jumlah air dan sedimen kurang dari 0.005 ml dapat dinyatakan sebagai tak terdeteksi atau nol. Nilai standar untuk kadar air dan sedimen adalah 0.05% (v/v).
2.
Penetapan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC sampai menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC selama 1 jam sampai didapat bobot yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan : m = Bobot contoh basah (gram) m1 = Bobot cawan berisi abu contoh (gram) m2 = Bobot cawan (gram)
3.
Bilangan Asam (AOAC, 1995) Prinsip analisis bilangan asam adalah pelarutan contoh lemak atau minyak dalam pelarut organik tertentu (alkohol netral 96%) dilanjutkan dengan penitaran dengan basa (NaOH atau KOH). Contoh yang akan diuji, ditimbang sebanyak 5-10 gram di dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ke dalam contoh ditambahkan alkohol netral 96% sebanyak 25 ml dan dipanaskan sampai mendidih. Larutan ditambahkan 2 tetes indikator PP, kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0.1 N hingga berwarna merah muda (konstan selama 15 detik).
42
Keterangan : V = Volume KOH yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml) T = Normalitas larutan KOH m = Bobot contoh (gram) 56.1 = Bobot molekul KOH
4.
Asam Lemak Bebas (AOAC, 1995) Prinsip analisis bilangan asam lemak bebas adalah pelarutan contoh lemak atau minyak dalam pelarut organik tertentu (alkohol netral 96%) dilanjutkan dengan peniteran dengan basa (NaOH atau KOH). Contoh yang akan diuji, ditimbang sebanyak 5-10 gram di dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ke dalam contoh ditambahkan alkohol netral 96% sebanyak 25 ml dan dipanaskan sampai mendidih. Larutan ditambahkan 2 tetes indikator PP, kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0.1 N hingga berwarna merah muda (konstan selama 15 detik).
Keterangan : V = Volume KOH yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml) T = Normalitas larutan KOH M = Bobot molekul asam lemak dominan (asam oleat yaitu 282) m = Bobot contoh (gram)
5.
Bilangan Iod (AOAC, 1995) Prinsip penentuan bilangan iod adalah penambahan larutan iodium monoklorida dalam campuran asam asetat dan karbontetrakhlorida ke dalam contoh. Setelah melewati waktu tertentu dilakukan penetapan halogen yang dibebaskan dengan penambahan kalium iodida (KI). Banyaknya iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat dan indikator kanji. Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0.25 gram di dalam erlenmeyer 500 ml, lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan di atas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15% sambil terus dikocok. Selanjutnya aquades yang telah dididihkan ditambahkan sebanyak 100 ml. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1 N sampai larutan tersebut berwarna kuning pucat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji 1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak.
Keterangan : T = Normalitas larutan Na2S2O3 0.1 N V1 = Volume larutan Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan dalam titrasi blanko (ml) V2 = Volume larutan Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml) m = Bobot contoh (gram)
43
6.
Bilangan Penyabunan (SNI 01-2891-1992) Prinsip bilangan penyabunan adalah asam lemak terikat (trigliserida) dan asam lemak bebas (FFA) bereaksi dengan basa (KOH/NaOH) membentuk sabun, gliserol dan air. Sebanyak dua gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH alkohol 0.5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0.5-1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCl 0.5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Lakukan juga untuk blanko.
Keterangan : T = Normalitas larutan HCl 0.5 N Vo = Volume HCl 0.5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml) V1 = Volume HCl 0.5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml) m = Bobot contoh (gram) 56.1 = Bobot molekul KOH
7.
Bilangan Peroksida (AOAC, 1995) Prinsip bilangan peroksida adalah ditentukan berdasarkan pengukuran sejumlah iod yang dibebaskan dari KI melalui reaksi oksidasi oleh peroksida pada suhu ruang di dalam medium asam asetat kloroform. Minyak sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer berpenutup. Ditambahkan 30 ml CH3COOH-CHCl3 dan diaduk sampai larut. Selanjutnya ditambah KI jenuh 0.5 ml dari pipet mohr, biarkan kadang-kadang diaduk selama 1 menit dan ditambahkan 30 ml H2O. Perlahan-lahan titrasi dengan 0.1 N Na2S2O3 sambil diaduk kuat hingga warna kuning mulai menghilang. Tambahkan kira-kira 0.5 ml larutan amilum 1% dan titrasi kembali. Aduk kuat-kuat untuk melepas semua I2 dari lapisan CHCl3 sampai warna biru menghilang. Jika kurang dari 0.5 ml 0.1 N Na 2S2O3 digunakan, kita ulangi penentuan dengan 0.01 N Na2S2O3. Prosedur yang sama kita lakukan untuk blanko. Bilangan peroksida dinyatakan dengan mmol O2/2 kg sampel atau sebanding dengan mg O2/kg sampel.
Keterangan : S = Volume Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan pada peniteran sampel (ml) B = Volume Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml) N = Normalitas Na2S2O3 m = Bobot contoh (gram)
8.
Viskositas (Metode Ostwald) Prinsip viskositas (metode Ostwald) adalah nilai viskositas suatu bahan merupakan perbandingan antara flow time bahan dengan flow time air terhadap viskositas air. Alat yang digunakan adalah tabung Ostwald. Tabung Ostwald dibersihkan dengan cairan pembersih, kemudian dibilas dengan hati-hati dengan air suling dan dikeringkan dengan aseton di udara
44
terbuka. Sampel dimasukkan ke dalam tabung Ostwald dan dicelupkan ke dalam thermostat air yang bertemperatur 40oC agar tercapai ekuilibrium. Sampel dipompa ke dalam kapiler dan dibiarkan sampel turun serta dihitung waktu sampai tanda tera. Hal yang sama dilakukan pada sampel air.
Keterangan : Flow time air Viskositas kinematik air
9.
= 8.655 detik = 0.7138 cSt
Densitas Metode Piknometer (AOAC, 1995) Prinsip penentuan densitas adalah menentukan massa contoh tanpa udara pada suhu dan volume tertentu dibandingkan dengan massa aquades pada suhu dan volume yang sama. Piknometer dicuci dengan air kemudian dengan etanol dan dietileter lalu dikeringkan dengan oven. Piknometer ditimbang (m) kemudian diisi dengan aquades yang telah dididihkan dan bersuhu 40oC dihindari adanya gelembung-gelembung udara dan permukaan air diatur sampai penuh atau tanda tera. Piknometer dimasukkan ke dalam penangas air pada suhu 40 oC selama 30 menit. Suhu penangas air diperiksa dengan termometer. Apabila terdapat air di bagian luar maka keringkan dengan menggunakan kertas saring sampai benar-benar kering. Piknometer yang berisi aquades ditimbang (m1). Piknometer dikosongkan dan dicuci dengan etanol dan dietileter kemudian dikeringkan. Piknometer diisi dengan bahan yang akan diukur bobot jenisnya dan dihindari terjadinya gelembung udara. Permukaan bahan diatur sampai tanda tera kemudian ditimbang (m2). Densitas atau bobot jenis dihitung dengan rumus berikut :
Keterangan : m = bobot piknometer (gram) m1 = bobot piknometer berisi aquades (gram) m2 = bobot piknometer berisi minyak (gram) = densitas air (0.992215 gr/ml)
10. Rendemen Biodiesel Rendemen biodiesel dihitung dengan cara membandingkan volume metil ester akhir yang diperoleh dengan volume awal minyak.
11. Titik Nyala (mangkok tertutup) (ASTM D93) Titik nyala adalah suhu terendah dengan tekanan barometrik 101.3 kPa (760 mmHg) dimana dengan menggunakan suatu sumber penyalaan akan menyebabkan uap contoh menyala pada kondisi uji. Mangkok uji diisi contoh uji hingga tanda batas. Cahaya nyala dihidupkan dan
45
sumber nyala elektrik diatur intensitasnya. Digunakan panas sesuai dengan kecepatan pengaturan suhu 5-6oC/menit. Alat pengaduk dihidupkan dengan kecepatan 90-120 rpm dengan arah pengadukan langsung ke bawah. Dicatat hasil pembacaan titik nyala yang dilakukan pada alat pengukur suhu pada waktu sumber penyalaan dipergunakan.
46
Lampiran 5. Data rata-rata bilangan asam dan hasil analisis keragaman A. Data Rata-Rata Bilangan Asam Sampel
Bilangan Asam
Sampel
Bilangan Asam
Sampel
Bilangan Asam
A1B1
0.7306
A2B1
0.7271
A3B1
0.5014
A1B2
0.7104
A2B2
0.7361
A3B2
0.4001
A1B3
0.6301
A2B3
0.6647
A3B3
0.3219
Keterangan: A = Rasio Molar Metanol : Minyak A1 = Molar Metanol : Minyak = 3 : 1 A2 = Molar Metanol : Minyak = 6 : 1 A3 = Molar Metanol : Minyak = 9 : 1
B = Konsentrasi Katalis NaOH B1 = Konsentrasi Katalis NaOH 0.5% B2 = Konsentrasi Katalis NaOH 1% B3 = Konsentrasi Katalis NaOH 1.5%
B. Analisis Sidik Ragam Source
DF
SS
MS
F Value
Model
8
0.39195352
0.04899419
Error
9
0.40403403
0.04489267
Total
17
0.79598755
Source
DF
Type I SS
MS
Pr > F
1.09
Keputusan
0.4454
F Value
Pr > F
Tidak nyata
Keputusan
MolarMetanol
2
0.34217414
0.17108707
3.81
0.0632
Tidak nyata
Katalis
2
0.04063611
0.02031806
0.45
0.6497
Tidak nyata
MolarMetanol*Katalis
4
0.00914328
0.00228582
0.05
0.9942
Tidak nyata
47
Lampiran 6. Data rata-rata kadar asam lemak bebas dan hasil analisis keragaman A. Data Rata-Rata Kadar Asam Lemak Bebas Sampel
FFA (%)
Sampel
FFA (%)
Sampel
FFA (%)
A1B1
A2B1 A2B2
0.3655 0.3700
A3B1
A1B2
0.3672 0.3571
A3B2
0.2520 0.2011
A1B3
0.3167
A2B3
0.3341
A3B3
0.1618
Keterangan: A = Rasio Molar Metanol : Minyak A1 = Molar Metanol : Minyak = 3 : 1 A2 = Molar Metanol : Minyak = 6 : 1 A3 = Molar Metanol : Minyak = 9 : 1
B = Konsentrasi Katalis NaOH B1 = Konsentrasi Katalis NaOH 0.5% B2 = Konsentrasi Katalis NaOH 1% B3 = Konsentrasi Katalis NaOH 1.5%
B. Analisis Sidik Ragam Source
DF
SS
MS
F Value
Model
8
0.09905882
0.01238235
Error
9
0.10206756
0.01134084
Total
17
0.20112638
Source
DF
Type I SS
MS
Pr > F
1.09
Keputusan
0.4452
F Value
Pr > F
Tidak nyata
Keputusan
MolarMetanol
2
0.08648245
0.04324122
3.81
0.0632
Tidak nyata
Katalis
2
0.01026975
0.00513487
0.45
0.6496
Tidak nyata
MolarMetanol*Katalis
4
0.00230663
0.00057666
0.05
0.9943
Tidak nyata
48
Lampiran 7. Data rata-rata bilangan iod dan hasil analisis keragaman A. Data Rata-Rata Bilangan Iod Sampel
Bilangan Iod
Sampel
Bilangan Iod
Sampel
Bilangan Iod
A1B1
32.4280
A2B1
35.5332
A3B1
37.0918
A1B2
33.0222
A2B2
32.8546
A3B2
36.6349
A1B3
30.4247
A2B3
31.3221
A3B3
33.7560
Keterangan: A = Rasio Molar Metanol : Minyak A1 = Molar Metanol : Minyak = 3 : 1 A2 = Molar Metanol : Minyak = 6 : 1 A3 = Molar Metanol : Minyak = 9 : 1
B = Konsentrasi Katalis NaOH B1 = Konsentrasi Katalis NaOH 0.5% B2 = Konsentrasi Katalis NaOH 1% B3 = Konsentrasi Katalis NaOH 1.5%
B. Analisis Sidik Ragam Source
DF
SS
MS
F Value
Model
8
85.2996547
10.6624568
Error
9
99.9978386
11.1108710
Total
17
185.2974933
Source
DF
Type I SS
MS
0.96
Pr > F 0.5178
F Value
Keputusan Tidak nyata
Pr > F
Keputusan
MolarMetanol
2
46.63642422
23.31821211
2.10
0.1786
Tidak nyata
Katalis
2
32.61972404
16.30986202
1.47
0.2807
Tidak nyata
MolarMetanol*Katalis
4
6.04350639
1.51087660
0.14
0.9649
Tidak nyata
49
Lampiran 8. Data rata-rata bilangan peroksida dan hasil analisis keragaman A. Data Rata-Rata Bilangan Peroksida Sampel
Bilangan Peroksida
Sampel
Bilangan Peroksida
Sampel
Bilangan Peroksida
A1B1
5.4093
A2B1
5.9029
A3B1
5.1316
A1B2
5.1517
A2B2
5.3085
A3B2
4.4572
A1B3
4.4212
A2B3
4.8705
A3B3
3.6495
Keterangan: A = Rasio Molar Metanol : Minyak A1 = Molar Metanol : Minyak = 3 : 1 A2 = Molar Metanol : Minyak = 6 : 1 A3 = Molar Metanol : Minyak = 9 : 1
B = Konsentrasi Katalis NaOH B1 = Konsentrasi Katalis NaOH 0.5% B2 = Konsentrasi Katalis NaOH 1% B3 = Konsentrasi Katalis NaOH 1.5%
B. Analisis Sidik Ragam Source
DF
SS
MS
F Value
Model
8
7.06922278
0.88365285
Error
9
7.04617020
0.78290780
Total
17
14.11539298
Source
DF
Type I SS
MS
1.13
Pr > F 0.4267
F Value
Keputusan Tidak nyata
Pr > F
Keputusan
MolarMetanol
2
2.74144974
1.37072487
1.75
0.2279
Tidak nyata
Katalis
2
4.11223752
2.05611876
2.63
0.1264
Tidak nyata
MolarMetanol*Katalis
4
0.21553551
0.05388388
0.07
0.9898
Tidak nyata
50
Lampiran 9. Data rata-rata bilangan penyabunan, hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dengan α = 0.05 A. Data Rata-Rata Bilangan Penyabunan Bilangan Penyabunan
Sampel
Sampel A2B1
A1B2
188.4106 190.1433
A1B3
190.5567
A1B1
Bilangan Penyabunan
Sampel
Bilangan Penyabunan
A3B1
A2B2
188.0562 187.4775
A3B2
195.2983 195.8877
A2B3
192.8740
A3B3
197.3276
Keterangan: A = Rasio Molar Metanol : Minyak A1 = Molar Metanol : Minyak = 3 : 1 A2 = Molar Metanol : Minyak = 6 : 1 A3 = Molar Metanol : Minyak = 9 : 1
B = Konsentrasi Katalis NaOH B1 = Konsentrasi Katalis NaOH 0.5% B2 = Konsentrasi Katalis NaOH 1% B3 = Konsentrasi Katalis NaOH 1.5%
B. Analisis Sidik Ragam Source
DF
SS
MS
F Value
Model
8
218.2601807
27.2825226
Error
9
7.3544693
0.8171633
Total
17
225.6146500
Source
DF
Type I SS
MS
33.39
Pr > F <.0001
F Value
Keputusan Sangat nyata
Pr > F
Keputusan
MolarMetanol
2
173.6017601
86.8008801
106.22
<.0001
Sangat nyata
Katalis
2
30.3289914
15.1644957
18.56
0.0006
Sangat nyata
MolarMetanol*Katalis
4
14.3294292
3.5823573
4.38
0.0306
Sangat nyata
51
C. Hasil Uji Lanjut Duncan Duncan Grouping A
Mean
N
Interaksi
197.3276
2
A3B3
A
196.1712
6
A3
195.8877
2
A3B2
B
189.7036
6
A1
189.4693
6
A2
Mean
N
Katalis
A
193.5861
6
B3
B
191.1695
6
B2
190.5884
6
B1
Duncan Grouping
Mean
N
Molar Metanol
A A A
B
A
195.2983
2
A3B1
B
192.8741
2
A2B3
C
190.5568
2
C
190.1434
2
Duncan Grouping
A1B3
C D
B
A1B2
D
B B
D
E
D
E
D
E
188.4106
2
A1B1
188.0562
2
A2B1
187.4775
2
A2B2
E E
52
Lampiran 10. Data rata-rata viskositas kinematik, hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dengan α = 0.05 A. Data Rata-Rata Viskositas Kinematik Sampel
Viskositas kinematik
Sampel
Viskositas kinematik
Sampel
Viskositas kinematik
A1B1
4.2323
A2B1
3.8667
A3B1
3.6944
A1B2
3.7691
A2B2
3.7984
A3B2
3.6617
A1B3
3.8588
A2B3
3.7594
A3B3
3.6740
Keterangan: A = Rasio Molar Metanol : Minyak A1 = Molar Metanol : Minyak = 3 : 1 A2 = Molar Metanol : Minyak = 6 : 1 A3 = Molar Metanol : Minyak = 9 : 1
B = Konsentrasi Katalis NaOH B1 = Konsentrasi Katalis NaOH 0.5% B2 = Konsentrasi Katalis NaOH 1% B3 = Konsentrasi Katalis NaOH 1.5%
B. Analisis Sidik Ragam Source
DF
SS
MS
F Value
Model
8
0.48411018
0.06051377
Error
9
0.15081744
0.01675749
Total
17
0.63492762
Source
DF
Type I SS
MS
3.61
Pr > F 0.0365
F Value
Keputusan Sangat nyata
Pr > F
Keputusan
MolarMetanol
2
0.22987911
0.11493955
6.86
0.0155
Sangat nyata
Katalis
2
0.12738140
0.06369070
3.80
0.0636
Tidak nyata
MolarMetanol*Katalis
4
0.12684967
0.03171242
1.89
0.1960
Tidak nyata
53
C. Hasil Uji Lanjut Duncan Duncan Grouping A
Mean
N
Molar Metanol
3.95338
6
A1
3.80813
6
A2
3.67668
6
A3
A B
A
B B
54
Lampiran 11. Data rata-rata densitas, hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dengan α = 0.05 A. Data Rata-Rata Densitas Sampel
Densitas
Sampel
Densitas
Sampel
Densitas
A1B1
0.8664
A2B1
0.8600
A3B1
0.8597
A1B2
0.8599
A2B2
0.8611
A3B2
0.8603
A1B3
0.8615
A2B3
0.8622
A3B3
0.8605
Keterangan: A = Rasio Molar Metanol : Minyak A1 = Molar Metanol : Minyak = 3 : 1 A2 = Molar Metanol : Minyak = 6 : 1 A3 = Molar Metanol : Minyak = 9 : 1
B = Konsentrasi Katalis NaOH B1 = Konsentrasi Katalis NaOH 0.5% B2 = Konsentrasi Katalis NaOH 1% B3 = Konsentrasi Katalis NaOH 1.5%
B. Analisis Sidik Ragam Source
DF
SS
MS
F Value
Model
8
0.00006947
0.00000868
Error
9
0.00001417
0.00000157
Total
17
0.00008364
Source
DF
Type I SS
MS
5.52
Pr > F 0.0097
F Value
Keputusan Sangat nyata
Pr > F
Keputusan
MolarMetanol
2
0.00001816
0.00000908
5.77
0.0244
Sangat nyata
Katalis
2
0.00000775
0.00000388
2.46
0.1404
Tidak nyata
MolarMetanol*Katalis
4
0.00004355
0.00001089
6.92
0.0079
Sangat nyata
55
C. Hasil Uji Lanjut Duncan Duncan Grouping A
Mean
0.866450
N
Interaksi
2
A1B1
Duncan Grouping A
Mean
N
Molar Metanol
0.8626333
6
A1
0.8611000
6
A2
0.8602000
6
A3
A B
0.862150
2
A2B3
B B
B
A
B 0.861500
2
A1B3
0.861100
2
A2B2
0.860550
2
A3B3
0.860350
2
A3B2
0.860050
2
A2B1
0.859950
2
A1B2
0.859700
2
A3B1
B
B B B B B B B B B B B B
56
Lampiran 12. Data rata-rata kadar abu dan hasil analisis keragaman A. Data Rata-Rata Kadar Abu Sampel
Kadar Abu (%)
Sampel
Kadar Abu (%)
Sampel
Kadar Abu (%)
A1B1
0.0190
A2B1
0.0141
A3B1
0.0135
A1B2
0.0144
A2B2
0.0094
A3B2
0.0064
A1B3
0.0101
A2B3
0.0093
A3B3
0.0064
Keterangan: A = Rasio Molar Metanol : Minyak A1 = Molar Metanol : Minyak = 3 : 1 A2 = Molar Metanol : Minyak = 6 : 1 A3 = Molar Metanol : Minyak = 9 : 1
B = Konsentrasi Katalis NaOH B1 = Konsentrasi Katalis NaOH 0.5% B2 = Konsentrasi Katalis NaOH 1% B3 = Konsentrasi Katalis NaOH 1.5%
B. Analisis Sidik Ragam Source
DF
SS
MS
F Value
Model
8
0.00027686
0.00003461
Error
9
0.00145028
0.00016114
Total
17
0.00172714
Source
DF
Type I SS
MS
0.21
Pr > F 0.9794
F Value
Keputusan Tidak nyata
Pr > F
Keputusan
MolarMetanol
2
0.00010119
0.00005060
0.31
0.7382
Tidak nyata
Katalis
2
0.00015965
0.00007983
0.50
0.6250
Tidak nyata
MolarMetanol*Katalis
4
0.00001602
0.00000400
0.02
0.9986
Tidak nyata
57
Lampiran 13. Data rata-rata rendemen, hasil analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dengan α = 0.05 A. Data Rata-Rata Rendemen Sampel
Rendemen (%)
Sampel
Rendemen (%)
Sampel
Rendemen (%)
A1B1
95.5526
A2B1
95.8168
A3B1
96.2211
A1B2
86.0715
A2B2
86.0040
A3B2
81.9565
A1B3
47.5650
A2B3
48.2487
A3B3
44.0524
Keterangan: A = Rasio Molar Metanol : Minyak A1 = Molar Metanol : Minyak = 3 : 1 A2 = Molar Metanol : Minyak = 6 : 1 A3 = Molar Metanol : Minyak = 9 : 1
B = Konsentrasi Katalis NaOH B1 = Konsentrasi Katalis NaOH 0.5% B2 = Konsentrasi Katalis NaOH 1% B3 = Konsentrasi Katalis NaOH 1.5%
B. Analisis Sidik Ragam Source
DF
SS
MS
F Value
Model
8
8039.053791
1004.881724
Error
9
22.050525
2.450058
Total
17
8061.104316
Source
DF
Type I SS
MS
410.15
Pr > F <.0001
F Value
Keputusan Sangat nyata
Pr > F
Keputusan
MolarMetanol
2
24.591019
12.295509
5.02
0.0343
Sangat nyata
Katalis
2
7996.111071
3998.055535
1631.82
<.0001
Sangat nyata
MolarMetanol*Katalis
4
18.351701
4.587925
1.87
0.1995
Tidak nyata
58
C. Hasil Uji Lanjut Duncan Duncan Grouping
Mean
N
Molar Metanol
76.6898
6
A2
A
76.3964
6
A1
B
74.0767
6
A3
A A
Duncan Grouping
Mean
N
Katalis
A
95.8635
6
B1
B
84.6773
6
B2
C
46.6221
6
B3
59
Lampiran 14. Komposisi metil ester biji bintaro
60
Pk# 1
2
3
4
RT 11.44
13.78
15.13
15.30
Library/ID Nonanoic acid, 9-oxo-, methyl este r $$ Azelaaldehydic acid, methyl e ster $$ Methyl azelaaldehydate $$ Methyl azelaaldehydrate $$ Methyl 8-formyloctanoate $$ Methyl 9-oxon onanoate $$ 9-Oxononanoic acid met hyl ester Nonanoic acid, 9-oxo-, methyl este Methyl 9-oxo-8,8-dideuteriononan oate
Area (%) 0.04
Tetradecanoic acid, methyl ester ( CAS) $$ Methyl myristate $$ Methyl tetradecanoate $$ Methyl n-tetrad ecanoate $$ Myristic acid methyl e ster $$ Uniphat A50 $$ Metholeneat 2495 $$ Myristic acid, methyl est er $$ Tetradecanoic acid methyl es ter $$ MYRISTIC A Tetradecanoic acid, methyl ester ( CAS) $$ Methyl myristate $$ Methyl tetradecanoate $$ Methyl n-tetrad ecanoate $$ Myristic acid methyl e ster $$ Uniphat A50 $$ Metholeneat 2495 $$ Myristic acid, methyl est er $$ Tetradecanoic acid methyl es ter $$ MYRISTIC A Tetradecanoic acid, methyl ester ( CAS) $$ Methyl myristate $$ Methyl tetradecanoate $$ Methyl n-tetrad ecanoate $$ Myristic acid methyl e ster $$ Uniphat A50 $$ Metholeneat 2495 $$ Myristic acid, methyl est er $$ Tetradecanoic acid methyl es ter $$ MYRISTIC A
0.07
9-Hexadecenoic acid, methyl ester, (Z)9-Hexadecenoic acid, methyl ester, (Z)- (CAS) $$ Methyl palmitoleate $$ Methyl palmitoleinate $$ Palmi toleic acid, methyl ester 9-Hexadecenoic acid, methyl ester, (Z)- (CAS) $$ Methyl palmitoleate $$ Methyl palmitoleinate $$ Palmi toleic acid, methyl ester
0.97
Hexadecanoic acid, methyl ester (C AS) $$ Methyl palmitate $$ Methyl Hexadecanoate $$ Methyl n-hexadeca noate $$ Uniphat A60 $$ Metholene 2216 $$ Palmitic acid methyl ester $$ Palmitic acid, methyl ester $$ n-Hexadecanoic acid methyl ester
23.31
Qual 87
53 50 98
98
98
99 99
99
99
61
Pk#
5
6
7
8
RT
15.51
15.84
15.97
16.69
Library/ID $$ PALMITIC ACIDHexadecanoic acid, methyl ester (C AS) $$ Methyl palmitate $$ Methyl hexadecanoate $$ Methyl n-hexadeca noate $$ Uniphat A60 $$ Metholene 2216 $$ Palmitic acid methyl ester $$ Palmitic acid, methyl ester $$ n-Hexadecanoic acid methyl ester $$ PALMITIC ACIDHexadecanoic acid, methyl ester (C AS) $$ Methyl palmitate $$ Methyl hexadecanoate $$ Methyl n-hexadeca noate $$ Uniphat A60 $$ Metholene 2216 $$ Palmitic acid methyl ester $$ Palmitic acid, methyl ester $$ n-Hexadecanoic acid methyl ester $$ PALMITIC ACID-
Area (%)
Hexadecanoic acid (CAS) $$ Palmiti c acid $$ Palmitinic acid $$ n-Hex adecoic acid $$ n-Hexadecanoic aci d $$ Pentadecanecarboxylic acid $$ 1-Pentadecanecarboxylic acid $$ P rifrac 2960 $$ Coconut oil fatty a cids $$ Cetylic acid $$ Emersol 14 0 $$ Emersol 143 Hexadecanoic acid (CAS) $$ Palmiti c acid $$ Palmitinic acid $$ n-Hex adecoic acid $$ n-Hexadecanoic aci d $$ Pentadecanecarboxylic acid $$ 1-Pentadecanecarboxylic acid $$ rifrac 2960 $$ Coconut oil fatty a cids $$ Cetylic acid $$ Emersol 14 0 $$ Emersol 143 n-Hexadecanoic acid
0.18
Cyclopropaneoctanoic acid, 2-hexyl -, methyl ester 13-Tetradecenal 9-Octadecenoic acid (Z)-, methyl e ster
0.07
Hexadecanoic acid, 15-methyl-, met hyl ester $$ Methyl isoheptadecano ate $$ Methyl 15-methylhexadecanoa te Heptadecanoic acid, methyl ester Heptadecanoic acid, methyl ester
0.15
9-Octadecenoic acid (Z)-, methyl e ster (CAS) $$ Methyl oleate $$ Met hyl cis-9-octadecenoate $$ Oleic a cid methyl ester $$ Oleic acid, me thyl ester $$ Emery oleic acid est
51.15
Qual 98
97
99
99
53 51 42 99
98 98 99
62
Pk#
9
RT
16.79
Library/ID er 2301 $$ OLEIC ACID-METHYL ESTER $$ (Z)-9-OCTADECENOIC ACID, METHY L ESTER $$ (Z)-98-Octadecenoic acid, methyl ester, (E)- $$ Methyl trans-8-octadeceno ate 9-Octadecenoic acid (Z)-, methyl e ster (CAS) $$ Methyl oleate $$ Met hyl cis-9-octadecenoate $$ Oleic a cid methyl ester $$ Oleic acid, me thyl ester $$ Emery oleic acid est er 2301 $$ OLEIC ACID-METHYL ESTER $$ (Z)-9-OCTADECENOIC ACID, METHY L ESTER $$ (Z)-9-
Area (%)
Qual
99 99
Octadecanoic acid, methyl ester $$ Stearic acid, methyl ester $$ n-O ctadecanoic acid, methyl ester $$ Kemester 9718 $$ Methyl n -octadeca noate $$ Methyl octadecanoate $$ M ethyl stearate $$ Metholene 2218 $ $ Emery 2218 $$ Kemester 9018 $$ M ethyl ester of oc Octadecanoic acid, methyl ester (C AS) $$ Methyl stearate $$ Methyl o ctadecanoate $$ Methyl n-octadecan oate $$ Stearic acid methyl ester $$ Kemester 9718 $$ Stearic acid, methyl ester $$ n-Octadecanoic aci d methyl ester $$ Methyl-octadecan oate $$ Methyl es Octadecanoic acid, methyl ester (C AS) $$ Methyl stearate $$ Methyl o ctadecanoate $$ Methyl n-octadecan oate $$ Stearic acid methyl ester $$ Kemester 9718 $$ Stearic acid, methyl ester $$ n-Octadecanoic aci d methyl ester $$ Methyl-octadecan oate $$ Methyl es
9.43
98
98
98
10
16.88
9-Octadecenoic acid, (E)9-Octadecenoic acid, (E)HEPTADECENE-(8)-CARBONIC ACID-(1)
0.40
98 98 98
11
17.14
Linoleic acid ethyl ester 1-Methyl-2-methylenecyclohexane Bicyclo[4.1.0]heptane, 3-methyl-
0.29
68 58 53
12
18.09
Cyclohexaneethanol, 4-methyl-.beta .-methylene- $$ p-Menth-8(10)-en-9 -ol 9,12-Octadecadienoic acid, methyl ester, (E,E)9-Methyl-10,12-hexadecadien-1-ol a
0.77
90 78 70
63
Pk#
RT
Library/ID
Area (%)
Qual
9-Octadecenoic acid (Z)- (CAS) $$ Oleic acid $$ Red oil $$ Oelsauere $$ Oleine 7503 $$ Pamolyn 100 $$ Emersol 211 $$ Vopcolene 27 $$ cis -Oleic acid $$ Wecoline OO $$ Z-9Octadecenoic acid $$ cis-9-Octadec enoic acid $$ .delta.9-cis-Oleic a cid $$ 9-Octadece Oxiraneoctanoic acid, 3-octyl-, me thyl ester, cis- $$ Octadecanoic a cid, 9,10-epoxy-, methyl ester, ci s- $$ cis-9,10-Ethoxystearic Acid, methyl ester $$ Methyl cis-9,10-e poxyoctadecanoate $$ Methyl cis-9, 10-epoxystearate 9-Octadecenoic acid (Z)- (CAS) $$ Oleic acid $$ Red oil $$ Oelsauere $$ Oleine 7503 $$ Pamolyn 100 $$ Emersol 211 $$ Vopcolene 27 $$ cis -Oleic acid $$ Wecoline OO $$ Z-9Octadecenoic acid $$ cis-9-Octadec enoic acid $$ .delta.9-cis-Oleic a cid $$ 9-Octadece
0.97
70
Eicosanoic acid, methyl ester Eicosanoic acid, methyl ester $$ M ethyl arachate $$ Methyl eicosanoa te $$ Arachidic acid methyl ester Eicosanoic acid, methyl ester (CAS ) $$ Arachidic acid methyl ester $ $ Methyl arachate $$ Methyl eicosa noate $$ METHYL N-EICOSANOATE $$ E ICOSANOIC ACID METHYL ESTER
2.31
2,4-METHANO-4H-INDEN-3-D-4-OL, OCT AHYDRO-, (2.ALPHA.,3.ALPHA.,3A.BET A.,4.BETA.,7 $$ 2,4-Methano-4H-ind en-3-d-4-ol, octahydro-, (2.alpha. ,3.alpha.,3a.beta.,4.beta.,7a.beta .)- (CAS) 2-(2-Furyl)-5-methyltetrahydrofura Benzeneacetonitrile, 2,5-difluoro$$ 2,5-Difluorobenzeneacetonitril e $$ (2,5-Difluorophenyl)acetonitr ile
0.10
(2.alpha.,6.alpah.)-trans-9,10-Dim ethyl-4-oxatetracyclo[6.3.0.0(2,6) .0(7,11)]undecane 6,9,12-Octadecatrienoic acid, meth yl ester (CAS) $$ methyl 6,9,12-oc tadecatrienoate
0.08
cetate 13
14
15
16
18.24
18.47
18.83
19.08
68
60
99 98 98
25
25 15
60 56
64
Pk#
RT
17
20.21
18
20.47
19
20.67
Library/ID 6,9,12-Octadecatrienoic acid, meth yl ester
Area (%)
Qual 45
9,17-Octadecadienal, (Z)13-Tetradecenal 9-Octadecenoic acid (Z)- (CAS) $$ Oleic acid $$ Red oil $$ Oelsauere $$ Oleine 7503 $$ Pamolyn 100 $$ Emersol 211 $$ Vopcolene 27 $$ cis -Oleic acid $$ Wecoline OO $$ Z-9Octadecenoic acid $$ cis-9-Octadec enoic acid $$ .delta.9-cis-Oleic a cid $$ 9-Octadece
0.77
94 89 87
3-Eicosene, (E)12-Cyano-15-pentadecanolide $$ Oxa cyclohexadecane-5-carbonitrile, 16 -oxo- (CAS) HEPTADECENE-(8)-CARBONIC ACID-(1)
0.24
41 38
Hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1-(hy droxymethyl)ethyl ester $$ Palmiti n, 2-mono- $$ Palmitic acid .beta. -monoglyceride $$ 2-Hexadecanoyl g lycerol $$ 2-Monopalmitin $$ 2-Mon opalmitoyl-sn-glycerol $$ 1,2,3-Pr opanetriol 2-hexandecanoyl ester $ $ Glycerol .beta. Dihexyverine 1-(3-Aminopropyl)-2-pipecoline $$ N-(3-Aminopropyl)-2-pipecoline $$ 1-Piperidinepropanamine, 2-methyl-
1.67
25 91
25 14
20
20.75
Docosanoic acid, methyl ester Docosanoic acid, methyl ester Docosanoic acid, methyl ester
1.36
99 98 98
21
23.65
9-Octadecenoic acid (Z)-, 2,3-dihy droxypropyl ester $$ Olein, 1-mono - $$ .alpha.-Monoolein $$ Aldo HMO $$ Aldo MO $$ Glycerin 1-monoolea te $$ Glycerol .alpha.-cis-9-octad ecenate $$ Glycerol .alpha.-monool eate $$ Glycerol 1-monooleate $$ G lyceryl Monooleat 9-Octadecenoic acid (Z)-, 2-hydrox y-1-(hydroxymethyl)ethyl ester $$ Olein, 2-mono- $$ .beta.-Monoolein $$ Glycerol 2-monooleate $$ 2-Mon oolein $$ 2-Monooleoylglycerol $$ 2-Oleoyl glycerol ether $$ 2-Oleoy lglycerol Oleic acid, 3-hydroxypropyl ester
4.58
93
90
87
65
Pk# 22
23
24
RT 23.98
24.05
26.47
Library/ID Octadecanoic acid, 2-hydroxy-1-(hy droxymethyl)ethyl ester $$ Stearin , 2-mono- $$ .beta.-Glyceryl monos tearate $$ .beta.-Monostearin $$ G lycerol-.beta.-monostearate $$ Ste aric acid .beta.-monoglyceride $$ 2-Monostearin $$ 2-Monostearoylgly cerol $$ 1,2,3-Pr Octadecanoic acid, 2-hydroxy-1-(hy droxymethyl)ethyl ester (CAS) $$ 2 -Monostearin $$ Stearin, 2-mono- $ $ .beta.-Monostearin $$ 2-Monostea roylglycerol $$ .beta.-Glyceryl mo nostearate $$ Glycerol-.beta.-mono stearate $$ Stearic acid .beta.-mo noglyceride $$ 2Cyclononanone (CAS) $$ NONADECANON E (NAME ?)
Area (%) 0.36
Tetracosanoic acid, methyl ester $ $ Methyl lignocerate $$ Methyl tet racosanoate $$ Lignoceric acid met hyl ester Tetracosanoic acid, methyl ester Tetracosanoic acid, methyl ester
0.47
2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaene, 2,6,10,15,19,23-hexamethyl- (CAS) $$ Squalene $$ Skvalen $$ Supraene $$ Spinacene $$ 2,6,10,15,19,23-H EXAMETHYL-2,6,10,14,18,22,-TETRACO SAHEXAENE $$ 2,6,10,14,18,22,-TETR ACOSAHEXAEN, 2,6,10,15,19,23-HEXAM ETHYL2,6,10,14,18-Pentamethyl-2,6,10,14 ,18-eicosapentaene Squalene
0.26
Qual 87
62
43 98
95 93 97
93 92
66
67
68