PROSES ESTERIFIKASI TRANSESTERIFIKASI IN SITU MINYAK SAWIT DALAM TANAH PEMUCAT BEKAS UNTUK PROSES PRODUKSI BIODIESEL
SKRIPSI
Nur Widi Kusumaningtyas F 34070005
2011 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Nur Widi Kusumaningtyas. F34070005. Proses Esterifikasi Transesterifikasi In Situ Minyak Sawit Dalam Tanah Pemucat Bekas Untuk Proses Produksi Biodiesel. Di bawah bimbingan Ani Suryani dan Muhammad Romli. 2011.
RINGKASAN Pada umumnya proses pembuatan biodiesel melalui tahapan ekstraksi minyak, pemurnian minyak dan tahapan esterifikasi-transesterifikasi minyak menjadi biodiesel. Tahapan-tahapan proses yang harus dilalui menyebabkan rendahnya efisiensi dan tingginya konsumsi energi, yang mengakibatkan tinginya biaya produksi biodiesel. Sehingga, perlu dikembangkan proses pembuatan biodiesel yang lebih efisien melalui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ. Esterifikasi atau transesterifikasi in situ adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi dilangsungkan secara simultan. Selain lebih efisien proses ini juga akan mempersingkat waktu karena proses konversi bahan baku menjadi biodiesel dilakukan secara simultan dengan proses ekstraksi minyak. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ tanah pemucat bekas pada berbagai kondisi proses dengan mengetahui pengaruh rasio metanol dan kecepatan pengadukan terhadap rendemen dan kualitas biodiesel yang dihasilkan. Penelitian ini mencakup dua tahapan yaitu tahap penentuan tahapan proses dan tahap penelitian utama. Pada tahap penentuan tahapan proses diperoleh tahapan proses optimum melalui dua tahap yaitu reaksi esterifikasi dilanjutkan dengan tahap transesterifikasi. Proses esterifikasi in situ maksimum dilakukan selama 3 jam dilanjutkan dengan transesterifikasi in situ selama 1 jam. Tahapan proses ini dapat menurunkan kadar asam lemak bebas dalam bahan dari 4,97% menjadi 1,79%. Proses produksi biodiesel kemudian dilakukan dengan menggunakan variasi rasio metanol terhadap bahan (v/b) yaitu 2:1, 4:1 dan 6:1 serta kecepatan pengadukan 490 rpm, 625 rpm dan 730 rpm. Proses produksi berlangsung pada suhu 65oC dengan menggunakan katalis asam sulfat dan natrium hidroksida pada konsentrasi 1,5% terhadap bahan. Analisis ragam menunjukkan bahwa rasio metanol, kecepatan pengadukan dan interaksi antara faktor rasio metanol dan kecepatan pengadukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen, densitas, viskositas, bilangan asam dan bilangan penyabunan. Sedangkan terhadap kadar ester alkil, perlakuan yang diberikan dan interaksinya tidak memberikan pengaruh yang nyata. Berdasarkan hasil penelitian, kondisi proses esterifikasi-transesterifikasi in situ yang terbaik adalah rasio metanol terhadap bahan (v/b) sebesar 6:1 dan kecepatan pengadukan 625 rpm (A3B2). Kondisi ini dipilih karena dapat menghasilkan biodiesel dengan karakteristik terbaik. dapat menghasilkan rendemen sebesar 29,64%. Karakteristik biodiesel yang dihasilkan pada kondisi proses ini yaitu densitas 0,871 gr/cm3, viskositas 4,69 cSt, bilangan asam 0,54 mg KOH/gram, bilangan penyabunan 416,67 mg KOH/gram, kadar gliserol total 0,0017% dan kadar ester alkil 99,87%. Kata kunci : biodiesel, esterifikasi transesterifikasi in situ, tanah pemucat bekas
PROSES ESTERIFIKASI TRANSESTERIFIKASI IN SITU MINYAK SAWIT DALAM TANAH PEMUCAT BEKAS UNTUK PROSES PRODUKSI BIODIESEL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Nur Widi Kusumaningtyas F 34070005
2011 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi Nama NIM
:Proses Esterifikasi Transesterifikasi In Situ Minyak Sawit Dalam Tanah Pemucat Bekas Untuk Proses Produksi Biodiesel : Nur Widi Kusumaningtyas : F34070005
Menyetujui, Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA NIP. 19581026 198303 2 003
Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St NIP. 19601205 198609 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus : 21 Juni 2011
HALAMAN PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Proses Esterifikasi-Transesterifikasi In Situ Minyak Sawit Dalam Tanah Pemucat Bekas Untuk Proses Produksi Biodiesel” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Juni 2011 Yang membuat Pernyataan,
Nur Widi Kusumaningtyas NIM. F34070005
© Hak cipta milik Nur Widi Kusumaningtyas, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seleruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto kopi, mikrofilm dan sebagainya.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan penyusunan skripsi. Skripsi ini tidak akan berarti tanpa bantuan, arahan, bimbingan, dorongan motivasi dan doa dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA selaku pembimbing akademik I atas segala bantuan, bimbingan, kritik dan sarannya yang sangat berguna sehingga dapat tersusunnya laporan ini.
2.
Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St selaku pembimbing akademik II atas segala bantuan, bimbingan, kritik dan sarannya yang sangat berguna sehingga dapat tersusunnya laporan ini.
3.
Dr. Dwi Setyaningsih, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis untuk perbaikani penyusunan laporan ini.
4.
Kedua orang tua penulis, Mbak Nety, Mbak Diah, Mas Edy, Nabiel Arya serta keluarga besar yang telah memberikan motivasi, inspirasi dan bantuannya kepada penulis.
5.
Nur Asma Deli, MSi dan Fatmayanti, MSi yang telah membantu memberikan arahan, nasehat dan bantuan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi.
6.
Zuhelmi Tazora yang telah meminjamkan sejumlah peralatan dan memberikan saran serta arahan selama proses penelitian berlangsung.
7.
Bapak Yance Atan dan segenap karyawan PT. Sinar Meadow International Indonesia atas bantuan dalam memperoleh bahan baku dan kelancaran penelitian.
8.
Anza, Tiara , Gigii, Eny, Icha, Ditta, Sabila atas semangat, dorongan dan doa yang telah diberikan kepada penulis.
9.
Seluruh teman-teman TIN 44 yang selalu memberikan motivasi dan dorongan baik secara langsung maupun tidak langsung.
10. Bu Ega, Pak Gun, Pak Sugi, Bu Sri, Pak Edi, Pak Dicky dan Pak Yogi selaku teknisi laboratorium TIN yang telah membantu penulis selama penelitian. 11. Bu Tetty, Pak Mul, Pak Ichsan dan segenap karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkannya dan menambah wawasan bagi yang membacanya. Bogor, Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTAR .............................................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................................................
1
B. Tujuan...........................................................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bleaching Earth ...........................................................................................................
3
B. Biodiesel .......................................................................................................................
4
C. Proses Produksi ............................................................................................................
5
1. Esterifikasi ................................................................................................................
6
2. Transesterifikasi ........................................................................................................
6
3. Metode In Situ ...........................................................................................................
7
E. Karakteristik Biodiesel .................................................................................................
10
III.METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan .............................................................................................................
14
B. Metode Penelitian .........................................................................................................
14
C. Rancangan Percobaan...................................................................................................
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan 1. Karakteristik Bahan Baku .........................................................................................
18
2. Penentuan Tahapan Proses Produksi .........................................................................
19
B. Penelitian Utama 1. Rendemen .................................................................................................................
23
2. Densitas .....................................................................................................................
24
3. Viskositas Kinematik ................................................................................................
26
4. Bilangan Asam ..........................................................................................................
27
5. Bilangan Penyabunan ................................................................................................
28
6. Kadar Gliserol Total..................................................................................................
30
7. Kadar Ester alkil........................................................................................................
31
8. Kadar Lemak Ampas.................................................................................................
32
9. Kadar Air dan Sedimen .............................................................................................
33
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ..................................................................................................................
35
B. Saran .............................................................................................................................
35
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................
36
LAMPIRAN ......................................................................................................................
39
DAFTAR TABEL Tabel 1. Komposisi kimia tanah pemucat ................................................................................... 3 Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Biodiesel dan Solar (Petrodiesel) ...................................... 5 Tabel 3. Standarisasi Biodiesel Nasional (SBI 04-7182: 2006) ................................................... 10 Tabel 4. Karakteristik Tanah Pemucat Bekas .............................................................................. 18 Tabel 5. Perbandingan karakteristik biodiesel pada kondisi proses A3B2 dengan Standar Biodiesel Indonesia................................................................................ 33
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Struktur Montmorillonit .................................................................................................... 3 Gambar 2. Reaksi Esterifikasi ............................................................................................................. 6 Gambar 3. Reaksi Transesterifikasi..................................................................................................... 7 Gambar 4. Mekanisme reaksi transesterifikasi .................................................................................... 7 Gambar 5. Diagram Alir Metode Produksi Biodiesel ......................................................................... 16 Gambar 6. Rendemen dan kadar asam lemak bebas pada berbagai kondisi reaksi ............................ 20 Gambar 7. Rendemen dan kadar asam lemak bebas pada berbagai kondisi reaksi ............................ 21 Gambar 8. Rendemen biodiesel pada berbagai kondisi operasi .......................................................... 23 Gambar 9. Densitas biodiesel pada berbagai kondisi operasi.............................................................. 25 Gambar 10. Viskositas kinematik biodiesel pada berbagai kondisi operasi ........................................ 26 Gambar 11. Bilangan asam biodiesel pada berbagai kondisi operasi .................................................. 28 Gambar 12. Bilangan penyabunan biodiesel pada berbagai kondisi operasi ....................................... 29 Gambar 13. Kadar gliserol total biodiesel pada berbagai kondisi operasi........................................... 30 Gambar 14. Kadar ester alkil biodiesel pada berbagai kondisi operasi ............................................... 31 Gambar 14. Kadar lemak ampas biodiesel pada berbagai kondisi operasi .......................................... 32
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisiko kimia tanah pemucat bekas ........................................ 40 Lampiran 2. Prosedur analisis sifat fisiko kimia biodiesel ........................................................... 41 Lampiran 3. Rekapitulasi data hasil penelitian pendahuluan ....................................................... 44 Lampiran 4. Karakteristik mutu biodiesel hasil esterifikasi-transesterifikasi in situ.................... 45 Lampiran 5. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada penelitian pendahuluan ....................... 46 Lampiran 6. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk rendemen biodiesel ........................... 48 Lampiran 7. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk densitas ............................................. 50 Lampiran 8. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk viskositas .......................................... 52 Lampiran 9. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk bilangan asam ................................... 54 Lampiran 10. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk bilangan penyabunan ...................... 56 Lampiran 11. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk kadar ester alkil biodiesel ............... 58 Lampiran 12. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk kadar lemak ampas biodiesel .......... 59 Lampiran 13. Hasil analisa gas chromatography terhadap larutan standar ................................. 60 Lampiran 14. Hasil analisis gas cromatography ......................................................................... 61 Lampiran 14. Dokumentasi penelitian ........................................................................................ 64
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bahan bakar merupakan salah satu sumber energi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Semakin menipisnya ketersediaan energi fosil dan meningkatnya jumlah permintaan bahan bakar mengakibatkan meningkatnya harga minyak dunia. Pada tahun 2006 harga minyak dunia US$ 65,52 per barel (Anonim, 2006) dan meningkat pada tahun 2008 (Desember 2008) menjadi US$92,06 per barel (Anonim,2006). Harga minyak dunia kembali naik pada tahun 2011 (Februari 2011) menjadi US$103,37 per barel (Djumena, Erlangga). Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia merupakan negara importir minyak bukan lagi negara eksportir minyak (netto). Kondisi ini dipengaruhi oleh laju peningkatan konsumsi serta terbatasnya kilang minyak nasional. Produksi minyak saat ini tidak mampu memenuhi kebutuhan minyak nasional, baik untuk kepentingan industri maupun transportasi. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat. Cadangan minyak Indonesia diperkirakan hanya sebesar 0,6% dari cadangan minyak dunia, sementara jumlah penduduk Indonesia mencapai 3,5% populasi dunia. Mengingat sifat dari bahan bakar fosil yang tidak terbarukan maka harus ditemukan sumber minyak baru sehingga tidak terjadi kelangkaan bahan bakar. Untuk menghindari terjadinya krisis energi, pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai penghematan bahan bakar dalam Instruksi Presiden No.10 tahun 2005. Kebijakan ini mengatur tentang langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya untuk menghemat bahan bakar minyak (BBM). Selain melakukan penghematan, salah satu upaya untuk mengatasi krisis energi adalah penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar alternatif yang terbarukan. Biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang diproduksi dari sumber daya hayati terbarukan seperti minyak nabati atau lemak hewani (Ma dan Hanna, 2001). Biodiesel dihasilkan dari proses transesterifikasi trigliserida dengan pereaksi metanol atau etanol dan katalisator asam atau basa. Biodiesel dari minyak nabati pada umumnya mempunyai karakteristik yang mendekati bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Selain itu, biodiesel dari minyak nabati bersifat dapat diperbaharui sehingga ketersediaannya lebih terjamin dan produksinya dapat terus ditingkatkan. Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, dimana salah satunya adalah tanaman kelapa sawit. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (2009), luas budidaya tanaman kelapa sawit pada tahun 2009 mencapai 7.508.023 hektar dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 7.824.623 hektar. Produksi CPO di Indonesia juga semakin meningkat pada tahun 2009 produksi CPO Indonesia mencapai 18.640.881 ton dan tahun 2010 mencapai 19.844.901 ton. Menurut Prasetiyani (2009) sebanyak 60% produksi CPO dieksport sedangkan sisanya digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Sebanyak 31,20% digunakan untuk produksi minyak goreng dan turunannya serta 10,4% sisanya dimanfaatkan pada industri oleokimia dan sabun. Sebagian besar CPO yang dihasilkan diproses lebih lanjut menjadi produk minyak goreng. Dimana pada proses produksi minyak goreng terdapat beberapa tahapan untuk memurnikan CPO yaitu adanya proses pendahuluan terhadap minyak mentah/ kasar menggunakan asam fosfat (degumming) dan dilanjutkan dengan proses pemucatan (bleaching) serta proses penghilangan bau (deodorisasi). Proses pemucatan CPO menggunakan bleaching earth dengan kadar antara 0,5% hingga 2% dari massa CPO (Young, 1987). Apabila pada tahun 2010 CPO yang dimanfaatkan menjadi minyak goreng sebesar 6,2 juta ton, maka dalam proses pemurnian CPO diperlukan bleaching earth sebesar 124.000 ton per tahun. Kebutuhan akan bleaching earth khususnya bentonit setiap tahun meningkat dengan berkembangnya industri minyak nabati, namun di sisi lain bentonit tidak dapat diperbaharui. Komposisi limbah terbesar pada industri minyak goreng adalah spent bleaching earth, yaitu bahan limbah padat yang dihasilkan dari pemurnian minyak goreng. Bleaching earth atau tanah pemucat merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri dari SiO2, Al2O3, air terikat serta ion Ca2+, magnesium oksida dan besi oksida yang memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi zat
1
warna pada minyak sawit. Limbah ini masih mengandung 20-30% minyak nabati (Kheang, 2006). Tingginya kandungan minyak nabati pada spent bleaching earth sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai biodiesel. Pada umumnya proses pembuatan biodiesel melalui tahapan ekstraksi minyak, pemurnian minyak dan tahapan esterifikasi-transesterifikasi minyak menjadi biodiesel. Tahapan-tahapan panjang yang harus dilalui menyebabkan rendahnya efisiensi dan tingginya konsumsi energi, yang mengakibatkan tinginya biaya produksi biodiesel. Sehingga, perlu dikembangkan proses pembuatan biodiesel yang lebih efektif, efisien dan hemat energi serta dapat menghasilkan biodiesel berkualitas tinggi melalui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ . Proses esterifikasitransesterifikasi in situ merupakan langkah yang lebih sederhana dalam memproduksi biodiesel dengan mengeliminasi proses ekstraksi dan pemurnian sehingga dapat menurunkan biaya produksi (Haas et al., 2004). Esterifikasi atau transesterifikasi in situ adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi dilangsungkan secara simultan. Selain lebih efisien proses ini juga akan mempersingkat waktu karena proses konversi bahan baku menjadi biodiesel dilakukan secara simultan dengan proses ekstraksi minyak. Esterifikasi atau transesterifikasi in situ adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi dilangsungkan secara simultan. Selain lebih efisien proses ini juga akan mempersingkat waktu karena proses konversi bahan baku menjadi biodiesel dilakukan secara simultan dengan proses ekstraksi minyak. Berdasarkan kelebihan-kelebihan tersebut, pada penelitian ini akan dipelajari proses produksi biodiesel dari tanah pemucat bekas melelui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ . Proses esterifikasi-transesterifikasi in situ dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu, kecepatan pengadukan rasio pelarut yang digunakan dan lama proses. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dipelajari pengaruh dari kecepatan pengadukan dan rasio metanol yang digunakan terhadap rendemen dan kualitas biodiesel yang dihasilkan. B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ tanah pemucat bekas pada berbagai kondisi proses dengan mengetahui pengaruh rasio metanol dan kecepatan pengadukan terhadap rendemen dan kualitas biodiesel yang dihasilkan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAH PEMUCAT (BLEACHING EARTH) Tanah pemucat (bleaching earth) merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri dari SiO2, Al2O3, air terikat serta ion Ca2+, magnesium oksida dan besi oksida. Daya pemucat bleaching earth disebabkan oleh ion Al3+ pada permukaan partikel penjerap sehingga dapat mengadsorbsi zat warna dan tergantung perbandingan Al2O3 dan SiO3 dalam bleaching earth (Ketaren, 1986). Mineral ini memiliki rumus umum Al2O3.4SiO2.xH2O dan sifat yang mudah menyerap air, mengembang, tidak tahan terhadap pengocokan dan tekanan yang kuat. Selain itu, tanah pemucat memiliki warna yang bervariasi mulai dari putih krem, abu-abu, kuning sampai coklat kehitaman. Adapun komposisi kimia bahan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia tanah pemucat Komponen Komposisi (%) SiO2 65.24 Al2O3 15.12 Fe2O3 5.27 MgO 2.04 CaO 1.67 Na2O 2.71 K 2O 2.07 TiO2 0.68 MnO2 0.21 P 2O 5 0.06 Lainnya 4.92 Sumber: Zhansheng et al. 2006 Tanah pemucat merupakan salah satu jenis tanah lempung yang mengandung mineral montmorillonit sekitar 85% dan fragmen sisanya terdiri dari campuran mineral kuarsa, gipsum, kolinit, plagiklas dan lain-lain (Supeno, 2008). Mineral-mineral montmorillonit umumnya berupa butiran sangat halus dengan lapisan-lapisan penyusun yang tidak terikat kuat. Montmorillonit yang terdapat dalam bentonit merupakan mineral liat yang dapat mengembang dan mengerut yang tergolong ke dalam kelompok smektit serta mempunyai komposisi kimia yang beragam. Potensi mengembang-mengerut dan adanya muatan negatif yang tinggi merupakan penyebab mineral ini dapat menerima dan menjerap ion-ion logam dan kation-kation organik. Montmorillonit mempunyai Mg dan ion Fe2+ dalam posisi oktahedral (Tan, 1993). Struktur montmorillonit disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Montmorillonit (Grim, 1968)
3
Terdapat dua jenis bentonit yang banyak dijumpai, yaitu Na-bentonit dan Ca-bentonit. Na-bentonit termasuk dalam jenis Swelling Bentonite (bentonit yang dapat mengembang) yaitu jenis mineral montmorillonit yang mempunyai partikel lapisan air tunggal yang mengandung kation Na+ yang dapat dipertukarkan. Bentonit jenis ini mempunyai kemampuan mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu dalam air. Sedangkan Ca-bentonit termasuk dalam Non Swelling Bentonite (bentonit yang kurang dapat mengembang), yaitu jenis mineral montmorilonit yang kurang dapat mengembang apabila dicelupkan di dalam air, namun setelah diaktifkan dengan asam akan memiliki sifat menyerap sedikit air dan akan cepat mengendap tanpa membentuk suspensi (Supeno, 2007). Tanah pemucat (bleaching earth) terdiri dari tanah pemucat alami dan yang telah diaktivasi. Tanah pemucat hasil aktivasi adalah hasil perlakuan tanah pemucat alami dengan asam mineral, umumnya asam sulfat. Perlakuan dengan asam meningkatkan daya adsorbsi tanah tersebut sedemikian sehingga untuk menghilangkan zat warna dengan jumlah yang sama, tanah pemucat aktif dibutuhkan hanya setengah dari tanah pemucat netral. Untuk beberapa jenis minyak tertentu seperti minyak kelapa sawit, warna hanya dapat dihilangkan secara efektif dengan tanah pemucat aktif (Devine dan Williams, 1961). Tanah pemucat yang telah digunakan pada proses bleaching pada minyak kelapa sawit disebut tanah pemucat bekas. Dalam tanah pemucat bekas ini terkandung zat warna betakaroten dan sejumlah minyak yang terserap. Menurut Kheang (2006) kandungan minyak dalam tanah pemucat bekas sebesar 20-30%. Pada umumnya, industri minyak goreng tidak memanfaatkan kembali limbah tersebut.
B. BIODIESEL Biodiesel adalah bahan bakar diesel alternatif yang terbuat dari sumber daya hayati terbarukan seperti minyak nabati atau lemak hewani (Ma dan Hanna, 1999). Menurut Vicente et al.(2006 dalam Murniasih 2009) biodiesel didefinisikan sebagai metil ester yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau lemak hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel. Secara kimiawi, biodiesel merupakan turunan lipid dari golongan monoalkil ester asam lemak dengan panjang rantai karbon 12-20 (Darnoko et al., 2000). Biodiesel dapat berupa minyak kasar atau monoalkil ester asam lemaknya, umumnya merupakan metil ester. Metil ester atau etil ester adalah senyawa yang relatif stabil, cair pada suhu ruang (titik leleh antara 418oC), non korosif dan titik didihnya rendah (Allen et al., 1999). Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk memproduksi biodiesel adalah trigliserida-trigliserida (komponen utama minyak dan lemak) dan asam-asam lemak produk samping dari industri pemurnian minyak dan lemak (Knothe,2004). Metil ester lebih stabil secara pirolitik dalam proses distilasi fraksional dan lebih ekonomis sehingga lebih disukai daripada etil ester (Sonntag, 1982 dalam Murniasih 2009). Biodiesel dapat dibuat menggunakan minyak hewani maupun minyak nabati. Namun, minyak nabati lebih banyak digunakan karena lebih ekonomis dibandingkan dengan minyak hewani. Di sisi lain penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel memiliki kerugian yaitu viskositasnya yang tinggi sehingga dapat meyebabkan penyumbatan pada pompa penginjeksi bahan bakar mesin diesel sehingga mesin diesel tidak mampu menghasilkan pengkabutan yang baik pada ruang pembakaran. Selain itu, biodiesel berbahan baku minyak nabati memiliki bilangan setana yang lebih rendah dibandingkan dengan petrodiesel sehingga tenaga yang dapat dihasilkan lebih rendah juga. Meskipun memiliki beberapa kekurangan akan tetapi minyak nabati masih sangat potensial untuk dikembangkan menjadi bahan baku biodiesel karena perbedaan karakteristik tersebut dapat diatasi dengan proses esterifikasi maupun transesterifikasi. Keuntungan penggunaan biodiesel, antara lain sifat bahan bakunya yang dapat diperbaharui (renewable), pengguanaan energi lebih efisien, dapat menggantikan bahan bakar diesel dan turunannya dari petroleum, dapat digunakan kebanyakan peralatan diesel dengan tidak ada modifikasi atau hanya modifikasi kecil, dapat mengurangi emisi/pancaran gas yang
4
menyebabkan pemanasan global, dapat mengurangi emisi udara beracun, bersifat biodegradable, cocok untuk lingkungan sensitif dan mudah digunakan (Tyson, 2004). Sifat fisiko kimia biodiesel memiliki kemiripan dengan bahan bakar solar (petrodiesel), tetapi pada beberapa hal biodiesel lebih unggul. Biodiesel memiliki sifat ramah lingkungan dibandingkan dengan petrodiesel karena biodiesel tidak mengandung sulfur dan senyawa benzena. Kandungan energi, viskositas dan perubahan fase pada biodiesel relatif sama dengan petrodiesel. Penggunaan biodiesel pada mesin dapat digunakan secara murni atau dicampur dengan petrodiesel dalam rasio tertentu, seperti B10, B20 atau B30 yang artinya kadar pencampuran antara metil ester dengan petrodiesel yakni dengan kadar 10%, 20% dan 30%. Tabel 2. berikut menunjukkan perbandingan karakteristik biodiesel dan petrodiesel. Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Biodiesel dan Solar (Petrodiesel) Fisika Kimia Biodiesel Solar (Petrodiesel) Kelembaban (%) 0,1 0,3 Engine power Energi yang dihasilkan 128.000 BTU Energi yang dihasilkan 130.000 BTU Viskositas 4,8 cSt 4,6 cSt Densitas 0,8624 g/mL 0,8750 g/mL Bilangan setana 62,4 53 Engine torque Sama Sama Modifikasi engine Tidak diperlukan Konsumsi bahan bakar Sama Sama Lubrikasi Lebih tinggi Lebih rendah Emisi CO rendah, total hidrokarbon, sulfur CO rendah, total hidrokarbon, sulfur dioksida dan nitroksida dioksida dan nitroksida Penanganan Flamable lebih rendah Flamable lebih tinggi Lingkungan Toksisitas rendah Toksisitas 10 kali lebih tinggi Keberadaan Terbarukan (renewable) Tak terbarukan Sumber : Pakpahan, 2001 dalam Sahirman 2009
C. PROSES PRODUKSI BIODIESEL Pada proses produksi biodiesel dilakukan rekayasa proses untuk mengubah karakteristik minyak nabati sehingga memiliki viskositas yang lebih rendah dan memiliki kemiripan dengan karakteristik petrodiesel dan biodiesel. Teknologi proses produksi biodiesel secara konvensional umumnya dilakukan dengan melakukan reaksi transesterifikasi dibantu dengan katalis basa. Akan tetapi proses satu tahap ini tidak cocok dilakukan pada minyak dengan kadar asam lemak bebas yang tinggi karena akan menyebabkan timbulnya sabun sehingga sulit dipisahkan dengan biodiesel yang dihasilkan. Proses transesterifikasi hanya akan berjalan baik pada minyak dengan kadar lemak bebas kurang dari 2% (Sharma et al. 2008). Proses pembuatan biodiesel dengan minyak yang mengandung kadar asam lemak bebas tinggi sebaiknya menggunakan proses dua tahap yaitu proses esterifikasi yang dilanjutkan dengan proses transesterifikasi. Proses esterifikasi menggunakan katalis asam bertujuan untuk mengkonversi asam lemak bebas menjadi biodiesel dan dilanjutkan dengan proses transesterifikasi yang menggunakan katalis basa untuk mengkonversi trigliserida menjadi biodiesel (Wang et al. 2007).
5
1. ESTERIFIKASI Esterifikasi adalah reaksi antara metanol dengan asam lemak bebas membentuk metil ester menggunakan katalis asam. Katalis asam yang sering digunakan pada proses esterifikasi, antara lain asam klorida (HCl) dan asam sulfat (H2SO4). Reaksi esterifikasi tidak hanya mengkonversi asam lemak bebas menjadi metil ester tetapi juga mengubahnya menjadi trigliserida meskipun dengan kecepatan reaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa (Freedman et al., 1984). Untuk mendorong reaksi dapat mengkonversi sempurna pada suhu rendah (65oC) reaktan metanol Reaksi esterifikasi pada asam lemak bebas dapat dilihat pada Gambar 2. H2SO4
RCOOH + CH OH 3
RCOOCH + H O 3
2
Gambar 2. Reaksi Esterifikasi Reaksi esterifikasi biasanya dilakukan pada tahap pembuatan biodiesel dengan menggunakan minyak yang memiliki kadar asam lemak bebas lebih dari 2%. Reaksi ini bertujuan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dari minyak nabati tersebut sehingga memiliki kadar asam lemak bebas ≤ 2%. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi esterifikasi adalah jumlah pelarut, waktu reaksi, suhu, konsentrasi katalis dan kandungan air pada minyak. (Ozgul dan Turkay, 2002). Reaktan metanol perlu ditambahkan berlebih (biasanya lebih dari 10 kali rasio stoikhiometri) supaya proses konversi dapat berjalan sempurna. Selain itu, sisa katalis dan air pada produk hasil esterifikasi harus dihilangkan sebelum dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi supaya reaksi dapat berjalan sempurna. . Berchmans. et.al. (2008) telah melakukan proses esterifikasi minyak jarak menggunakan rasio metanol dan minyak 6:1 (b/b) dan menggunakan katalis asam sulfat dapat menurunkan kadar asam lemak bebas minyak hingga kurang dari 1% dan menghasilkan yield biodiesel sebesar 90%. Reaksi ini berlangsung selama 1 jam pada suhu 50oC.. Proses esterifikasi palm fatty acid distilate (PFAD) menggunakan rasio mol metanol:PFAD 8:1 dan katalis asam sulfat 1.834 (%-b) terhadap PFAD mampu menurunkan kadar asam lemak bebas dari 93% menjadi kurang dari 2% yang diproses selama 1 jam pada suhu 70 0C (Chongkong et al. 2007).
2. TRANSESTERIFIKASI Transesterifikasi adalah tahap konversi trigliserida menjadi alkil ester melalui reaksi dengan alkohol dan menghasilkan produk samping gliserol. Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis basa seperti NaOH, KOH, NaOCH3 dan KOCH3 (Canakci & Sanli 2008). Pada prinsipnya transesterifikasi adalah mengeluarkan gliserin dari minyak dan mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol (metanol) menjadi metil ester. Reaksi transeseterifikasi merupakan reaksi yang bersifat reversible dengan kalor reaksi kecil. Pergeserannya reaksi ke arah produk biasanya dilakukan dengan menggunakan alkohol berlebih. Metanol, etanol, propanol dan butanol banyak digunakan dalam reaksi ini (Freedman et al. 1984). Pelarut metanol lebih sering digunakan karena harganya lebih murah dibandingkan dengan alkohol jenis lainnya dan dapat bereaksi cepat dengan trigliserida serta dapat melarutkan katalis asam dan basa. Selain itu, secara fisiko-kimia metanol bersifat polar dan memiliki rantai paling pendek. Rendemen transesterifikasi juga dapat diperbaiki dengan penggunaan katalis basa yang berlebih untuk minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi, karena asam lemak bebas yang tidak teresterifikasi dapat dikonversi menjadi garam alkalinya/sabun (Haas et al.,2003). Tetapi terbentuknya sabun menyulitkan proses pencucian dan memungkinkan hilangnya produk yang berguna. Alternatifnya, proses dilakukan dengan dua tahapan proses yang menggunakan katalis asam dan katalis basa (Canakci dan Gerpen, 2001). Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa
6
harus dilakukan pada minyak yang bersih, bebas air dan tidak mengandung katalis. Menurut Freedman et al. (1984), kandungan asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,3% dapat menurunkan rendemen transesterifikasi. Berdasarkan penelitian Lee et al. (2002) rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan memurnikan minyak jelantah yaitu menurunkan kadar asam lemak bebas dari 10% menjadi 0,23% dan kadar air dari 0,2% menjadi 0,02%. Mekanisme reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 3.
CH2-OOC-R1
R1-COO- CH3
CH2-OH
R2-COO- CH3 +
CH - OH
R3-COO- CH3'
CH2-OH
NaOH
CH-OOC-R2 + 3 CH3OH CH2-OOC-R3 Trigliserida
Metanol
Alkil ester
Gliserol
Gambar 3. Reaksi transesterifikasi Proses transesterifikasi yang umumnya dilakukan pada minyak hasil ekstraksi bahan alami dilakukan pada rasio mol metanol:minyak 6:1 dengan 1% katalis basa (NaOH atau KOH) pada 60 0C selama 1 jam (Canakci & Van Gerpen 2003; Wang et al. 2007). Transesterifikasi merupakan reaksi yang berlangsung dalam 3 tahap. Pertama, trigliserida (TG) dihidrolisis menjadi digliserida (DG), selanjutnya digliserida dihidrolisis menjadi monogliserida (MG) yang akhirnya membentuk alkil ester dan gliserol (Darnoko & Cheryan 2000). Trigliserida + R'OH Digliserida + R'OH Monogliserida + R'OH
Digliserida + R1COOR' Monogliserida + R2COOR' Gliserol + R3COOR'
Gambar 4. Mekanisme reaksi transesterifikasi Proses konversi pada reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan kondisi yang berasal dari minyak, seperti kadar air dan asam lemak bebas. Sedangkan faktor eksternal merupakan kondisi yang berasal dari luar bahan, seperti suhu reaksi, waktu reaksi, kecepatan pengadukan, rasio metanol dan jenis katalis yang digunakan.
3. METODE IN SITU Pada proses pembuatan biodiesel secara konvensional, proses transesterifikasi dilakukan setelah proses ekstraksi dan pemurnian minyak. Tahapan-tahapan proses yang harus dilalui dalam pembuatan biodiesel ini menyebabkan rendahnya efisiensi dan tingginya konsumsi energi, yang mengakibatkan tingginya biaya produksi biodiesel. Oleh karena itu perlu dikembangkan proses pembuatan biodiesel yang bersifat sederhana, efisien, hemat energi dan dapat menghasilkan biodiesel yang berkualitas tinggi melalui proses transesterifikasi in situ . Metode in situ merupakan salah satu metode yang diterapkan dalam proses pembuatan biodiesel dengan melakukan ekstraksi langsung pada sumber bahan baku yang mengandung minyak atau lemak. Pada proses in situ bahan baku yang digunakan adalah bahan padatan yang mengandung minyak atau lemak. Proses ini dikenal dengan nama esterifikasi atau transesterifikasi in situ . Esterifikasi atau transesterifikasi in situ adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi dilangsungkan secara simultan dalam satu reaktor (Shiu et al. 2010).
7
Mekanisme proses in situ dimulai dengan terjadinya kontak antara alkohol dan katalis asam atau basa. Selanjutnya alkohol masuk ke dalam sel dan menghancurkan bagian-bagian sel kemudian melarutkan minyak yang terkandung dalam bahan baku. Minyak yang telah terekstrak bereaksi dengan alkohol menghasilkan alkil ester dengan bantuan katalis asam atau basa (Haas et al. 2004). Haas et al. (2004) melakukan proses transesterifikasi in situ terhadap kacang kedelai menunjukkan 84% terkonversi menjadi metil ester pada 60 0C dengan perbandingan mol metanol:minyak:NaOH 226:1:1,6 selama 8 jam. Metil ester yang dihasilkan memiliki kadar asam lemak bebas 0,72%. Qian et al. (2008) mempelajari pengaruh variabel proses transestrifikasi in situ biji kapas terhadap yield metil ester yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan 99% minyak larut dalam metanol dan 98% terkonversi menjadi metil ester dengan kondisi operasi sebagai berikut: kadar air bahan baku kurang dari 2%, ukuran partikel 0.3-0.335 mm, konsentrasi katalis 0.1 mol/L NaOH dalam metanol, rasio mol methanol:minyak 135:1 pada 40 0C dan diproses selama 3 jam. Seperti halnya reaksi transesterifikasi atau esterifikasi yang dilakukan secara konvensional, proses berlangsungnya reaksi esterifikasi atau transesterifikasi in situ juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kadar air dan asam lemak bebas bahan baku, jenis pelarut, rasio pelarut terhadap bahan baku, jenis katalis, konsentrasi katalis, waktu reaksi, suhu reaksi, ukuran bahan dan kecepatan pengadukan. Pengaruh faktor-faktor tersebut dalam reaksi esterifikasi atau transesterifikasi in situ , sebagai berikut : 1. Kadar air dan asam lemak bahan Kandungan air dan asam lemak bebas dalam bahan sangat berpengaruh terhadap yield biodiesel yang dihasilkan. Kandungan asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,3% dapat menurunkan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Menurut Goff et al (2004) minyak dengan kadar air kurang dari 0,1% dapat menghasilkan metil ester lebih dari 90%. Penurunan kadar air dalam bahan baku dari 8.7% menjadi 1.9% dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam metanol dari 92.2% menjadi 99.7% dan meningkatkan konversi transesterifikasi dari 80% menjadi 98% pada proses transesterifikasi in situ biji kapas dengan metanol dan katalis NaOH. Pengurangan kadar air dibawah 1.9% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan minyak dan konversi transesterifikasi (Qian et al. 2008). Proses transesterifikasi hanya akan berjalan baik pada minyak dengan kadar asam lemak bebas kurang dari 2% (Sharma et al. 2008). Berdasarkan penelitian Choo (2004) dinyatakan bahwa penurunan kadar asam lemak bebas dari 6,75% menjadi 3,9% dapat meningkatkan yield biodiesel yang dihasilkan pada proses transesterifikasi dari 67% menjadi 92%. Peningkatan yield metil ester dari < 20% menjadi 98% pada reaksi transesterikasi merupakan akibat dari penurunan kadar asam lemak bebas dari 5,5% menjadi < 1%. (Sharma,2008). 2. Ukuran bahan Ukuran bahan yang akan diekstrak sangat berpengaruh terhadap laju reaksi yang terjadi. Ukuran pori-pori bahan sangat berpengaruh terhadap proses ekstraksi yang berlangsung pada metode in situ . Semakin kecil ukuran partikel bahan yang akan diekstrak maka akan semakin tinggi rendemen minyak yang dihasilkan. Hali ini dikarenakan luas area kontak semakin luas sehingga memudahkan pelarut untuk mengekstrak minyak yang terkandung dalam bahan. 3. Jenis dan rasio pelarut terhadap bahan baku Beberapa jenis alkohol berantai pendek yang digunakan untuk proses esterifikasi dan transesterifikasi in situ adalah metanol, etanol, propanol, iso-propanol dan butanol. Metanol bukan pelarut yang baik untuk minyak, namun kebanyakan peneliti menggunakan metanol sebagai media
8
pengekstrak. Pemilihan ini lebih didasarkan pada harganya yang lebih murah, rantai paling pendek sehingga paling reaktif untuk reaksi esterifikasi dan transesterifikasi (Qian et al. 2008). Pada reaksi transesterifikasi memerlukan 3 mol alkohol dan 1 mol trigliserida untuk menghasilkan 3 mol metil ester dan 1 mol gliserol. Peningkatan rasio molar akan menghasilkan konversi ester yang lebih tinggi dalam waktu yang singkat (Ma et al., 2001). Giorgianni et al. (2008) menggunakan rasio metanol terhadap bahan sebesar 10:1 pada kasus transesterifikasi in situ biji bunga matahari, sedangkan Shiu et al. (2010) menggunakan perbandingan rasio metanol terhadap bahan sebesar 15:1 (v/b). Choo (2004) menggunakan perbandingan volume alkohol terhadap massa bahan baku yang lebih rendah yaitu 4:1 dan 3:1 pada transestrifikasi minyak sawit. 4. Jenis katalis Katalis juga dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri. Berdasarkan fasanya, katalis digolongkan menjadi katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen merupakan katalis yang mempunyai fasa sama dengan fasa campuran reaksinya, sedangkan katalis heterogen adalah katalis yang berada pada fasa yang berbeda dengan fasa campuran reaksinya. Katalis yang digunakan pada proses in situ adalah katalis basa, katalis asam dan katalis enzim. Katalis asam digunakan pada proses esterifikasi dimana umpan yang digunakan adalah asam lemak bebas. Sedangkan katalis basa sering digunakan pada reaksi transesterifikasi dengan menggunakan umpan berupa trigliserida dengan kandungan asam lemak bebas <2%. Katalis basa akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH ), dan kalium metoksida 3
(KOCH ). Katalis NaOH lebih reaktif dan lebih murah dibanding KOH, katalis NaOCH3 lebih 3
baik namun harganya sangat mahal. Sedangkan katalis asam yang biasa digunakan adalah asam sulfat dan asam klorida (Choo 2004) Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Ion metoksida bertindak sebagai nukleofil dalam transesterifikasi. Laju reaksi sebanding dengan konsentrasi metoksida. Namun, dalam kasus penggunaan hidroksida, ion metoksida diperoleh dari kesetimbangan hidroksida dalam metanol. Dengan kata lain, konsentrasi ion metoksida sebanding dengan konsentrasi hidroksida dalam metanol. Meskipun demikian, penggunaan metoksida lebih baik dibandingkan dengan hidroksida, karena kesetimbangan hidroksida dalam metanol menghasilkan air yang menghambat reaksi transesterifikasi. 5. Konsentrasi katalis yang digunakan Dengan metode konvensional, reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0.5-1.5% terhadap minyak nabati. Produksi biodiesel dengan metode in situ membutuhkan jumlah katalis yang lebih besar untuk mencapai konversi maksimum. Hal ini disebabkan oleh besarnya volume campuran reaksi metode in situ dibandingkan metode konvensional (Shiu et al. 2010). 6. Waktu reaksi Lamanya reaksi sangat berpengaruh terhadap yield produk yang dihasilkan. Semakin lama waktu reaksi semakin banyak produk yang dihasilkan karena keadaan ini akan memberikan kesempatan terhadap molekul-molekul reaktan untuk saling bertumbukan. Setelah kesetimbangan tercapai peningkatan waktu reaksi tidak memberikan pengaruh terhadap konversi reaksi. Pada proses in situ dibutuhkan waktu konversi yang lebih lama dibandingkan dengan proses konvensional. Hal ini disebabkan pada proses in situ dibutuhkan waktu untuk melakukan ekstraksi selain terjadi konversi reaksi.
9
7. Suhu reaksi Suhu reaksi berkaitan dengan panas yang dibutuhkan untuk mencapai energi aktivasi. Semakin tinggi suhu, maka semakin banyak energi yang digunakan reaktan untuk saling bertumbukan dalam mencapai energi aktivasi. Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada suhu 25-650C (titik didih metanol sekitar 650C). Semakin tinggi suhu, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. Banyak peneliti merekomendasikan suhu optimum untuk reaksi transesterifikasi adalah 600C (Sahirman 2009). Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada suhu 30 - 65°C (titik didih metanol sekitar 65°C). Semakin tinggi suhu, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. Untuk waktu 6 menit, pada o
o
o
suhu 60 C konversi telah mencapai 94% sedangkan pada 45 C yaitu 87% dan pada 32 C yaitu 64%. Suhu yang rendah akan menghasilkan konversi yang lebih tinggi namun dengan waktu reaksi yang lebih lama. 8. Kecepatan pengadukan Kecepatan pengadukan pada proses reaksi berkaitan dengan kehomogenan campuran reaksi agar reaksi berlangsung sempurna. Semakin tinggi kecepatan pengadukan maka semakin cepat terjadinya reaksi. Kecepatan pengadukan optimum untuk proses transesterifikasi CPO adalah 150 rpm (Choo 2004), berbeda dengan Sahirman (2009) menyatakan bahwa kecepatan pengadukan optimum dari proses transesterifikasi adalah 300 rpm. Pada proses konvensional kecepatan pengadukan di atas 400 rpm tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil transesterifikasi. Berdasarkan hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap yield yang dihasilkan pada kecepatan pengadukan 150-300 rpm akan tetapi antara 300 dan 600 rpm perbedaannya hanya sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan akan berpengaruh pada hasil proses transestrifikasi, akan tetapi setelah terjadi kesetimbangan tidak akan berpengaruh nyata. Pada proses in situ diperlukan kecepatan pengadukan yang lebih tinggi untuk menghasilkan kontak yang sempurna antara padatan dan cairan. Kecepatan pengadukan yang sering digunakan pada proses in situ yaitu 600 rpm (Deli, 2011)
D. KARAKTERISTIK MUTU BIODIESEL Monoalkil ester asam lemak yang diproduksi sebagai pengganti petrodiesel harus memenuhi standar kualitas biodiesel. Legowo et al (2001) menjelaskan karakteristik biodiesel secara umum meliputi densitas, viskositas kinematik, bilangan setana, kalor pembakaran, titik tuang, titik pijar dan titik awan. Adapun karakteristik-karakteristik biodiesel lainnya disajikan pada Tabel 2.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12.
Tabel 3. Standarisasi Biodiesel Nasional (SNI 04-7182:2006) Parameter Unit Value Metode Densitas (40oC) mg/ml 0,850–0,890 ASTM D 1298 Viskositas kinematik (40oC) mm2/s (cSt) 2,3 – 6,0 ASTM D 445 Angka setana min. 48 ASTM D 613 o Titik kilat (mangkok tertutup) C min. 100 ASTM D 93 o Titik awan/mendung C max. 18 ASTM D 2500 Korosi strip tembaga max. no 3 ASTM D 130 Residu karbon % - mass max. 0,05 ASTM D 4530 - dalam contoh asli (max. 0,3) - dalam 10% ampas asli Air dan sedimen % - vol max. 0,05 ASTM D 2709 o Suhu destilasi 90% C max. 360 ASTM D 1160 Abu tersulfatkan % - mass max. 0,02 ASTM D 974 Sulfur ppm (mg/kg) max. 80 ASTM D 5453 Fosfor ppm (mg/kg) max. 10 AOCS Ca 12-55
10
13. 14. 15. 16. 17.
Angka asam Gliserol bebas Gliserol total Kadar ester alkil Angka iodine
18. Uji Halphen (Sumber : BSN,2006)
mg-KOH/gr % - mass % - mass % - mass % - mass (g-I2/100 gr)
max. 0,8 max. 0,02 max. 0,24 min. 96,5 max. 115
ASTM D 974 AOCS Ca 14-56 AOCS Ca 14-56 PrEN 14111
negatif
AOCS Cb 1-25
1.
Densitas Densitas menunjukkan perbandingan berat per satuan volume, karakteristik ini berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel per satuan volume bahan bakar. Densitas salah satu karakteristik penting dalam biodiesel karena injektor mesin diesel bekerja berdasarkan ukuran volume. Dengan demikian, saat massa jenis makin besar maka massa bahan bakar yang diinjeksikan ke ruang pembakaran juga semakin besar sehingga energi yang dihasilkan pembakaran semakin besar (energi biasanya dihitung berdasarkan basis massa). Massa jenis merupakan massa per unit volume fluida. Solar memiliki massa jenis sekitar 850 kg/m3, sedangkan biodiesel memiliki massa jenis berkisar antara 870 kg/m3 sampai 890 kg/m3. (Nurinawati,2007) 2.
Viskositas Kinematik Viskositas adalah tahanan yang dimiliki fluida yang dialirkan dalam pipa kapiler. Terhadap gaya gravitasi, biasanya dinyatakan dalam waktu yang diperlukan untuk mengalir pada jarak tertentu. Jika viskositas semakin tinggi, maka tahanan untuk mengalir akan semakin tinggi. Karakteristik ini sangat penting karena mempengaruhi kinerja injektor pada mesin diesel. Atomisasi bahan bakar sangat bergantung pada viskositas,tekanan injeksi serta ukuran lubang injektor (Shreve, 1956). Viskositas dan tegangan permukaan merupakan faktor yang penting dalam mekanisme atomisasi bahan bakar sesaat setelah keluar dari noozzle menuju ruang pembakaran (Soerawidjaja et al., 2005). Pada beberapa mesin dibutuhkan viskositas yang rendah karena berkaitan dengan kehilangan power pada pompa injeksi dan kebocoran injektor. Viskositas yang rendah sangat menguntungkan karena akan meningkatkan daya lumas bahan bakar terhadap mesin kendaraan diesel meskipun bahan bakar dengan viskositas tinggi tidak diharapkan karena akan menghambat proses pembakaran (Tyson, 2004). Pada umumnya, bahan bakar harus mempunyai viskositas yang relatif rendah agar dapat mudah mengalir dan teratomisasi Hal ini dikarenakan putaran mesin yang cepat membutuhkan injeksi bahan bakar yang cepat pula. Namun tetap ada batas minimal karena diperlukan sifat pelumasan yang cukup baik untuk mencegah terjadinya keausan akibat gerakan piston yang cepat (Shreve, 1956). Perbedaan viskositas antara minyak nabati dengan biodiesel digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam proses produksi biodiesel (Knothe & Steidley 2005). Nilai viskositas dipengaruhi oleh komposisi dan derajat kejenuhan asam lemak serta tingkat kemurnian biodiesel. Viskositas meningkat dengan meningkatnya panajang rantai karbon dan derajat kejenuhan asam lemak penyusun biodiesel (Knothe & Steidley 2005). 3.
Bilangan Setana Bilangan setana menunjukkan seberapa cepat bahan bakar mesin diesel yang diinjeksikan ke ruang bakar bisa terbakar secara spontan setelah bercampur dengan udara. Semakin tinggi bilangan setana bahan bakar maka semakin cepat suatu bahan bakar mesin diesel terbakar setelah diinjeksikan ke dalam ruang bakar (Knothe 2010). Biodiesel yang mengandung asam lemak jenuh (asam laurat,miristat, palmitat, stearat, arakhidat dan lain-lain) yang tinggi mempunyai bilangan setana yang tinggi sedangkan yang mengandung asam lemak ikatan rangkap 1 (palmitoleat, oleat dan erukat) yang tinggi mempunyai
11
bilangan setana sedang serta yang mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap 2 atau lebih (linoleat, linolenat dan arakhidonat) yang tinggi mempunyai bilangan setana yang rendah (Tyson, 2004). Angka setana yang tinggi menunjukkan bahwa bahan bakar dapat menyala pada suhu yang relatif rendah, dan sebaliknya angka setana rendah menunjukkan bahan bakar baru dapat menyala pada suhu yang relatif tinggi. Penggunaan bahan bakar mesin diesel yang mempunyai angka setana yang tinggi dapat mencegah terjadinya knocking karena begitu bahan bakar diinjeksikan ke dalam silinder pembakaran maka bahan bakar akan langsung terbakar dan tidak terakumulasi (Shreve, 1956). 4.
Titik Nyala Titik nyala adalah titik suhu terendah terbentuknya nyala api pada saat tes pengapian (flame test) (Kinast dan Tyson, 2003). Karakteristik ini berkaitan dengan keamanan dalam penyimpanan dan penanganan bahan bakar. Residu metanol dalam biodiesel yang dihasilkan akan berpengaruh terhadap titik nyala. Residu metanol dalam jumlah kecil akan mengurangi flash point sehingga berpengaruh terhadap pompa bahan bakar, seals dan elastomers dan dapat menimbulkan kekurangan dalam proses pembakaran (Tyson, 2004). 5.
Titik Kabut Titik awan adalah suhu pada saat bahan bakar mulai tampak berawan (cloudy). Hal ini timbul karena munculnya kristal-kristal dalam bahan bakar. Bahan bakar masih bisa mengalir pada titik ini, namun keberadaan kristal di dalam bahan bakar bisa mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar dalam filter, pompa, dan injektor. Titik awan sangat penting untuk memastikan kinerja bahan bakar pada suhu rendah. Titik kabut biodiesel tergantung pada asam lemak penyusunnya. Biodiesel yang mengandung asam lemak jenuh (asam laurat,miristat, palmitat, stearat, arakhidat dan lain-lain) yang tinggi mempunyai titik kabut yang tinggi sedangkan yang mengandung asam lemak ikatan rangkap 1 (palmitoleat, oleat dan erukat) yang tinggi titik kabutnya sedang serta yang mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap 2 atau lebih (linoleat, linolenat dan arakhidonat) yang tinggi titik kabutnya rendah (Tyson, 2004). Umumnya titik awan biodiesel lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Hal ini menimbulkan permasalahan pada negara-negara subtropis pada saat musim dingin. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk mencegah aglomerasi kristal-kristal yang terbentuk dalam biodiesel pada suhu rendah. Teknik lain yang bisa digunakan untuk menurunkan titik awan dan titik tuang bahan bakar adalah dengan melakukan winterisasi (Knothe 2005). Pada metode ini dilakukan pendinginan pada bahan bakar hingga terbentuk kristal-kristal yang selanjutnya disaring dan dipisahkan dari bahan bakar. Proses kristalisasi parsial ini terjadi karena asam lemak tidak jenuh memiliki titik beku yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak jenuh. 6.
Kadar Air dan Sedimen Menurut Tyson (2004) teknik pengeringan yang kurang baik selama proses atau adanya kontak bahan bakar dengan air selama transportasi dan penyimpanan dapat menyebabkan korosi dan mengkondisikan lingkungan yang cocok untuk media hidup mikroorganisme. Pada negara yang mempunyai musim dingin kandungan air yang terkandung dalam bahan bakar dapat membentuk kristal yang dapat menyumbat aliran bahan bakar. Selain itu, keberadaan air dapat menyebabkan korosi dan pertumbuhan mikroorganisme yang juga dapat menyumbat aliran bahan bakar. Sedimen dapat menyebabkan penyumbatan juga dan kerusakan mesin (Shreve, 1956).
12
7.
Kadar Abu Tersulfatkan Kandungan abu tersulfatkan yang tinggi menunjukkan adanya residu alkali dalam biodiesel seperti sisa penggunaan katalis NaOH. Proses pencucian biodiesel yang kurang sempurna dapat mengakibatkan tingginya kadar abu tersulfatakan pada biodiesel yang dihasilkan. Kandungan abu sulfat dalam biodiesel dapat mengakibatkan penyumbatan pada sistem bahan bakar (Tyson, 2004) 8.
Sulfur Kandungan sulfur pada biodiesel dapat mengakibatkan emisi polutan asam sulfat dan SO2 pada gas buang (Tyson, 2004). Sulfur juga dapat menimbulkan korosi yang disebabkan oksida belerang sehingga menyebabkan keausan mesin. Proses kondensasi oksida belerang juga akan membentuk air yang dapat merusak dinding logam silinder dan sistem gas buang mesin. 9.
Bilangan Asam Bilangan asam biodiesel menunjukkan kandungan asam lemak bebas yang berasal dari degradasi ester. Bilangan asam yang tinggi mengindikasikan adanya degradasi dari ester selama penyimpanan biodiesel yang kurang baik. Bilangan asam yang tinggi lebih dari 0,8 diasosiasikan terjadi deposit sistem bahan bakar dan mengurangi umur dari pompa dan filter (Tyson, 2004). 10. Kandungan Gliserol Total dan Bebas Kandungan gliserol total dihitung dari penjumlahan gliserol total dan gliserol bebas yang terkandung dalam bahan bakar. Keberadaan gliserol dan sisa gliserida yang belum terkonversi dapat membahayakan mesin terutama karena keberadaan gugus –OH yang secara kimiawi agresif terhadap logam bukan besi dan campuran krom dan juga menyebabkan deposit pada ruang pembakaran (Soerawidjaja et al.,2005). Tingginya kandungan gliserol disebabkan oleh konversi yang tidak sempurna dari minyak atau lemak menjadi biodiesel dan pencucian terhadap crude biodiesel yang tidak sempurna. Gliserin total yang tinggi dapat menyebabkan penyumbatan (fouling) tangki penyimpanan sistem bahan bakar dan engine (Tyson, 2004). 11. Fosfor Fosfor yang terkandung dalam biodiesel dibatasi karena kandungan fosfor yang tinggi dapat merusak catalytic converters. Kandungan fosfor yang tinggi selain dipengaruhi oleh bahan baku juga dipengaruhi oleh proses pencucian setelah degumming dan proses esterifikasi apabila kedua proses tersebut menggunakan katalis asam fosfat. Fosfor biasanya muncul dalam bentuk zat yang bersifat seperti perekat yang dapat merusak katalis yang terdapat pada mesin diesel sehingga dapat meningkatkan jumlah emisi partikulat ke udara (Soerawidjaja et al.,2005) 12. Kadar Residu Karbon Kadar residu karbon menunjukkan kadar fraksi hidrokarbon yang mempunyai titik didih lebih tinggi dari bahan bakar . Adanya fraksi hidrokarbon ini menyebabkan menumpuknya residu karbon dalam ruang pembakaran yang dapat mengurangi kinerja mesin. Pada suhu tinggi deposit karbon ini dapat membara, sehingga menaikkan suhu silinder pembakaran (Shreve, 1956). Residu karbon terjadi berkaitan denga sejumlah gliserida, asam lemak bebas, sabun, residu katalis, metil ester dari asam lemak dengan abnyak ikatan rangkap dan adanya polimer (Mittelbach dan Remschmidt, 2004).
13
III. METODOLOGI A. ALAT DAN BAHAN Pada penelitian ini menggunakan bahan baku utama berupa tanah pemucat bekas yang diambil dari PT. Sinar Meadow International Indonesia. Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain n-heksana, metanol, H2SO4, NaOH, Na2S2O3 0,1N, alkohol netral 95%, larutan KI jenuh, indikator phenolphtalein (PP), indikator pati 1% dan akuades. Peralatan yang digunakan pada proses pembuatan biodiesel antara lain labu leher tiga, kondensor, termometer dan hot plate. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk analisis antara lain gelas ukur, gelas piala, cawan porselen, erlenmeyer, kertas saring, sudip, corong, pipet tetes, pipet volumetrik, magnetic stirrer, rotary evaporator, viskosimeter ostwald, buret, centrifuse dan pompa vakum. B. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik tanah pemucat bekas yang digunakan sebagai bahan baku serta menentukan tahapan proses reaksi yang akan dilakukan. Sedangkan penelitian utama dilakukan untuk menentukan rasio metanol dan kecepatan pengadukan terbaik pada proses produksi biodiesel serta melakukan analisis terhadap karakteristik biodiesel yang dihasilkan. 1. Penelitian Pendahuluan 1.1 Karakterisasi Bahan Baku Tanah pemucat bekas yang akan digunakan sebagai bahan baku perlu diketahui karakteristiknya. Karakteristik terhadap bahan baku yang dilakukan, antara lain kadar air, kadar lemak serta kadar asam lemak bebas.Metode analisis karakteristik bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 1. 1.2 Penentuan Tahapan Proses Produksi Penentuan tahapan proses produksi dilakukan dengan melihat kadar asam lemak bebas dan rendemen produk yang dihasilkan. Proses penentuan dilihat dengan melakukan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi. Pada reaksi esterifikasi, pelarut metanol sebanyak 4:1 (b/b) ditambahkan dengan 100 gram tanah pemucat bekas dan katalis H2SO4. Kemudian dilakukan pengadukan dengan kecepatan 600 rpm selama 1 jam, 2 jam serta 3 jam. Reaksi transesterifikasi dilakukan dengan memasukkan 100 gram bahan ke dalam metanol sebanyak 4:1 (b/b) serta katalis NaOH. Proses produksi yang menghasilkan kadar asam lemak bebas terendah dan rendemen produk tertinggi digunakan sebagai acuan dalam proses produksi penelitian utama. 2.
Penelitian Utama
2.1 Proses Produksi Biodiesel Proses produksi biodiesel ini terdiri dari dua tahapan yaitu proses esterifikasi in situ dan dilanjutkan dengan proses transesterifikasi in situ . Esterifikasi in situ dilakukan dengan mereaksikan 100 g tanah pemucat bekas dengan metanol dan katalis H2SO4. Perbandingan jumlah matanol/padatan adalah 2:1; 4:1; dan 6:1 (v/b). Jumlah katalis yang ditambahkan adalah 1.5% (v/b) terhadap padatan dengan kecepatan pengadukan sebesar 490 rpm, 625 rpm dan 730 rpm. Proses esterifikasi in situ dilangsungkan pada suhu 65 0C selama 3 jam. Setelah waktu reaksi tercapai reaksi dilanjutkan dengan proses transesterifikasi in situ selama 1 jam dengan menambahkan katalis NaOH. Jumlah katalis NaOH yang ditambahkan sejumlah 1,5% (b/b)
14
terhadap tanah pemucat bekas. Sebelum dimasukkan dalam labu reaksi, NaOH dilarutkan terlebih dahulu di dalam 40 ml metanol. Setelah 1 jam, reaksi dihentikan dengan menghentikan proses pemanasan dan pengadukan. Setelah itu bahan yang direaksikan dipisahkan antara tanah pemucat bekas dengan metanol yang mengandung minyak. Setelah itu, pelarut dipisahkan dengan biodiesel yang dihasilkan dengan menggunakan rotary evaporator. Sedangkan ampas tanah pemucat diekstrak kembali menggunakan Soxhlet apparatus untuk menentukan kandungan minyak yang tersisa. Setelah biodiesel dipisahkan, dilakukan pencucian dengan air yang bersuhu 60 0C sampai air cucian netral. Pemurnian biodiesel dilakukan dengan sentrifugasi untuk memisahkan sisa air dan sabun setelah proses pencucian. Biodiesel hasil reaksi transesterifikasi selanjutnya dikarakterisasi untuk menentukan viskositas, densitas, bilangan asam, bilangan penyabunan dan kandungan air dan sedimen. 2.2 Karakterisasi Biodiesel Biodiesel yang telah dihasilkan kemudian dianalisis untuk mengetahui karakteristik biodiesel tersebut. Analisis yang dilakukan antara lain densitas, viskositas, bilangan asam, bilangan penyabunan serta kadar air dan sedimen. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui apakah biodiesel yang dihasilkan sesuai dengan standar yang ada. Metodologi analisis biodiesel dapat dilihat pada Lampiran 2.
15
Spent Bleaching Earth
H2SO4 Metanolik ESTERIFIKASI IN SITU
NaOH
TRANSESTERIFIKASI IN-SITU
PENDINGINAN
FILTRASI
Sisa padatan
Kadar lemak
Filtrat
EVAPORASI
Sisa pelarut
Campuran metil ester dan gliserol
PEMISAHAN
Gliserol
PENCUCIAN
Biodiesel
Analisa : • Rendemen Biodiesel • Densitas • Viskositas • Bilangan asam • Bilangan Penyabunan • Kadar gliserol total • Kadar air dan sedimen Gambar 5. Diagram Alir Metode Produksi Biodiesel
16
C. RANCANGAN PERCOBAAN Percobaan ini dirancang dengan rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu rasio pelarut dan bahan serta kecepatan pengadukan. Faktor jenis rasio pelarut dan bahan memiliki 3 taraf yaitu 2:1, 4:1 dan 6:1 dan faktor kecepatan pengadukan memiliki 3 taraf yaitu 490 rpm, 625 rpm dan 730 rpm. Percobaan ini dilakukan dalam dua kali ulangan. Model matematika yang digunakan adalah : Yijk= µ + αi +βj+(αβ)ij+εijk dengan : i = 1, 2 dan 3 (rasio pelarut dan bahan) j = 1, 2 dan 3 (kecepatan pengadukan) k = 1 dan 2 (ulangan) Yijk = variabel respon karena pengaruh faktor rasio pelarut dan bahan taraf ke-i, faktor kecepatan pengadukan taraf ke-j dan ulangan ke-l µ = rataan umum. αi = pengaruh rasio metanol dan bahan taraf ke – i βj = pengaruh kecepatan pengadukan taraf ke – j αβij = pengaruh interaksi antara faktor rasio metanol dan bahan taraf ke – i dengan faktor kecepatan pengadukan taraf ke – j έ ijk = galat percobaan
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakteristik Tanah Pemucat Bekas Bahan baku yang digunakan dalam suatu proses produksi sangat berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, pada proses produksi biodiesel ini perlu dilakukan pengujian lebih lanjut mengenai karakteristik bahan baku yang digunakan. Karakteristik bahan baku ini juga sangat berpengaruh terhadap tahapan proses produksi. Karakteristik bahan baku yang akan diujikan, meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas dan kadar lemak. Kadar air dan kadar asam lemak bebas bahan sangat berpengaruh pada tahapan proses produksi biodiesel yang dilakukan. Proses pembuatan biodiesel melalui tahapan reaksi esterifikasi dan reaksi transesterifikasi. Pada proses transesterifikasi dibutuhkan bahan baku dengan kadar air maksimal 1,9% dan kadar asam lemak bebas maksimal 2% (Qian et al. 2008). Kadar air yang tinggi dalam bahan baku akan menyebabkan timbulnya reaksi hidrolisis sehingga menghasilkan asam-asam lemak bebas. Kandungan asam lemak bebas yang tinggi akan mengakibatkan penurunan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan kadar air dan kadar asam lemak bebas yang digunakan berturut-turut adalah 0,83% dan 4,97%. Kadar air tanah pemucat bekas yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan kadar air tanah pemucat bekas yang digunakan Deli (2011) yaitu sebesar 1,4%. Hal ini disebabkan perbedaan proses produksi yang dilakukan pada setiap industri minyak goreng. Kadar asam lemak bebas hasil pengujian menunjukkan bahwa tanah pemucat bekas yang digunakan sebagai bahan baku memiliki kadar asam lemak bebas yang cukup tinggi. Kadar asam lemak bebas pada tanah pemucat yang digunakan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kheang (2006) yaitu sebesar 11,5%. Rendahnya kadar asam lemak bebas tanah pemucat yang digunakan pada penelitian ini karena tanah pemucat yang digunakan merupakan tanah pemucat bekas yang baru selesai digunakan dalam proses sehingga penyimpanan tidak dilakukan dalam jangka waktu lama. Proses produksi biodiesel dengan kadar asam lemak bebas yang tinggi dilakukan dengan dua tahapan yaitu esterifikasi dan transesterifikasi (Zhang et al. 2003). Tahapan esterifikasi dilakukan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas bahan hingga kadar asam lemak bebas bahan di bawah 2%. Karakteristik selanjutnya yang dilakukan pengujiannya yaitu kadar lemak bahan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kadar minyak dalam bahan yang dapat diekstrak dan dikonversi menjadi biodiesel. Kadar lemak pada tanah pemucat bekas yang digunakan yaitu sebesar 29,65%. Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kheang (2006) yang melaporkan bahwa kadar lemak dalam tanah pemucat bekas berkisar antara 20-30%. Tingginya kadar lemak dalam bahan disebabkan oleh tanah pemucat yang digunakan untuk proses pemurnian memiliki daya serap yang tinggi. Tabel 4. Karakteristik Tanah Pemucat Bekas Karakteristik Mutu Nilai Kadar Air 0,83 % Kadar Lemak 29,65 % Kadar Asam Lemak Bebas 4,97 %
18
2. Penentuan Tahapan Proses Produksi Karakteristik tanah pemucat bekas yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar air yang memenuhi syarat untuk dilakukan proses transesterifikasi. Akan tetapi, kadar asam lemak bebasnya sebesar 4,97% sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilakukan proses transesterifikasi karena untuk dapat melakukan reaksi transesterifikasi harus memiliki kadar asam lemak bebas dibawah 2%. Tahapan proses produksi biodiesel yang tepat akan menghasilkan rendemen biodiesel maksimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tahapan proses produksi biodiesel yang sesuai untuk tanah pemucat bekas dengan karakteristik tersebut. Tahapan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tahapan proses yang sesuai untuk memperoleh hasil biodiesel terbaik. Pada tahapan penelitian ini dilakukan perlakuan reaksi yang dilakukan dan waktu reaksi. Perlakuan yang dilakukan, meliputi reaksi esterifikasi in situ selama 1 jam, esterifikasi in situ selama 2 jam, esterifikasi in situ selama 3 jam dan transesterifikasi in situ selama 1 jam. Reaksi esterifikasi merupakan reaksi yang mengkonversi asam lemak bebas menjadi metil ester dengan penggunakan katalis asam sehingga kadar asam lemak bebas pada bahan dapat berkurang hingga mencapai kurang dari 2%. Katalis asam yang digunakan yaitu asam sulfat (H2SO4). Sedangkan reaksi transesterifikasi adalah reaksi yan mengkonversi trigliserida menjadi metil ester dengan menggunakan katalis basa. Berdasarkan penelitian Deli (2011), pada proses esterifikasi-transestrifikasi in situ digunakan katalis dengan konsentrasi maksimum baik NaOH dan H2SO4 yaitu sebesar 1,5% dapat menghasilkan yield biodiesel sebesar 93,3%. Waktu reaksi yang divariasikan pada tahapan penelitian ini yaitu 1,2 dan 3 jam untuk reaksi esterifikasi serta 1 jam untuk reaksi transestrifikasi. Waktu reaksi pada proses in situ merupakan waktu yang dibutukan untuk mengekstraksi minyak yang terkandung dalam bahan serta mengkonversinya menjadi alkil ester. Proses ekstraksi minyak dari bahan baku dengan menggunakan pelarut metanol dibutuhkan waktu 2-3 jam (Shiu et al., 2010). Sedangkan proses esterifikasi konvensional umumnya berlangsung selama 1 jam. Pelarut yang digunakan pada tahapan penelitian ini adalah metanol. Pelarut jenis ini dipilih karena harganya lebih ekonomis dan juga memiliki rantai pendek sehingga kereaktifannya lebih tinggi. Biodiesel yang dihasilkan dengan menggunakan metanol memiliki kemurnian paling tinggi dibandingkan penggunaan alkohol jenis lainnya seperti etanol, propanol, iso-propanol dan butanol (Haas et al. 2004). Pada tahapan penelitian ini semua perlakuan menggunakan rasio metanol terhadap bahan yang sama yaitu sebesar 4:1 (v/b). Pemilihan rasio metanol ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Deli (2011) mengenai proses esterifikasitransesterifikasi in situ terhadap tanah pemucat bekas. Selain itu Ozgul dan Turkay (2002) menggunakan rasio metanol terhadap bahan sebesar 4:1 (v/b) pada proses esterifikasi in situ terhadap dedak padi. Sedangkan Shuit et al. (2010) menggunakan perbandingan metanol/bahan baku 7.5/1 (v/b) untuk esterifikasi in situ biji jarak. Kecepatan pengadukan berpengaruh terhadap kehomogenan antara pelarut dengan bahan. Berdasarkan hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap yield yang dihasilkan pada kecepatan pengadukan 150-300 rpm akan tetapi antara 300 dan 600 rpm perbedaannya hanya sedikit. Umumnya transesterifikasi in situ dilakukan pada 600 rpm (Shiu et al. 2010). Suhu yang digunakan pada penelitian ini yaitu 65oC. Suhu ini dipilih karena mendekati titik didih metanol yaitu sebesar 65oC. Semakin tinggi suhu, maka semakin banyak energi yang digunakan reaktan untuk saling bertumbukan dalam mencapai energi aktivasi. Banyak peneliti merekomendasikan suhu optimum untuk reaksi transesterifikasi adalah 60 0C (Van Gerpen 2005; Sahirman 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kadar asam lemak bebas yang memenuhi syarat untuk melakukan reaksi transesterifikasi yaitu perlakuan reaksi esterifikasi in situ 3 jam dan transesterifikasi in situ 1 jam (Lampiran 3). Reaksi esterfikasi in situ 3 jam dan transesterifikasi in situ 1 jam berturut-turut memiliki penurunan kadar asam lemak bebas hingga mencapai 1,79%
19
Rendemen dan Kadar FFA (%)
dan 1,08%. Kadar asam lemak bebas tersebut memenuhi syarat untuk melakukan reaksi transesterifikasi karena syarat untuk melakukan transesterifikasi yaitu memiliki kadar asam lemak bebas tidak lebih dari 2% (Sharma et al. 2008).Sedangkan pada reaksi esterifikasi in situ 1 jam dan esterifikasi in situ 2 jam kadar asam lemak bebas yang dihasilkan lebih dari 2% yaitu sebesar 3,66% dan 2,79%. Reaksi optimum yang dipilih yaitu esterifikasi in situ 3 jam. Meskipun reaksi transesterifikasi in situ 1 jam menghasilkan kadar asam lemak bebas yang lebih rendah akan tetapi rendemen pada transesterifikasi in situ 1 jam jauh lebih rendah yaitu sebesar 6,66%. Rendemen ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan pada reaksi transesterifikasi in situ 3 jam yaitu sebesar 16,40%. Pada reaksi esterifikasi in situ 3 jam menghasilkan rendemen yang lebih tinggi karena pada proses in situ dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan proses ekstraksi minyak dalam bahan. Berdasarkan sidik ragam yang telah dilakukan terhadap rendemen yang dihasilkan diketahui bahwa perlakuan reaksi ini memberikan pengaruh nyata pada rendemen produk yang dihasilkan (Lampiran 5). Akan tetapi pada reaksi esterifikasi in situ 1 jam tidak berbeda nyata dengan reaksi transesterifikasi in situ 1 jam. Rendemen yang dihasilkan oleh kedua perlakuan ini tidak berbeda jauh karena lama waktu reaksi sama yaitu 1 jam. Waktu reaksi berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan karena pada metode in situ dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk ekstraksi minyak dalam bahan serta mengkonversi minyak tersebut menjadi alkil ester. Analisis ragam yang dilakukan menunjukkan bahwa 99,49% rendemen yang dihasilkan dipengaruhi oleh reaksi yang dilakukan sedangkan 0,51% dipengaruhi oleh faktor lainnya. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan pada kandungan kadar asam lemak bebas menunjukkan bahwa 99,67% kadar asam lemak bebas yang dihasilkan dipengaruhi oleh reaksi yang dilakukan sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Reaksi yang dilakukan sangat berpengaruh nyata terhadap kadar asam lemak bebas produk. Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa kadar asam lemak bebas dipengaruhi oleh waktu reaksi dan penggunaan jenis katalis. Kadar asam lemak bebas menurun seiring dengan lama waktu reaksi. Semakin lama waktu reaksi maka akan semakin lama waktu kontak antara bahan dengan katalis sehingga dapat meningkatkan konversi asam lemak bebas dalam minyak menjadi alkil ester. Kadar asam lemak bebas terendah yaitu hasil transesterifikasi in situ selama 1 jam sebesar 1,08%. Sedangkan kadar asam lemak bebas tertinggi dihasilkan pada reaksi esterifikasi in situ selama 1 jam yaitu sebesar 3,66%. Penggunaan jenis katalis juga berpengaruh terhadap kadar asam lemak bebas dalam minyak. Pada reaksi esterifikasi digunakan katalis asam yaitu asam sulfat (H2SO4) sedangkan pada reaksi transesterifikasi digunakan katalis basa yaitu NaOH. 18 15 12
Rendemen
9
Kadar FFA
6 3 0 1 jam
2 jam Esterifikasi
3 jam
1 jam
Transesterifikasi
Gambar 6. Rendemen dan kadar asam lemak bebas pada berbagai kondisi reaksi
20
Kadar Lemak Ampas (%)
Parameter lain yang digunakan yaitu kadar lemak dari ampas biodiesel. Kadar lemak dalam ampas menunjukkan kandungan trigliserida yang tidak terekstrak dalam proses esterifikasi atau transesterifikasi in situ . Berdasarkan hasil sidik ragam yang telah dilakukan perlakuan rekasi yang diberikan berpengaruh nyata terhadap kadar lemak ampas biodiesel. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi yang dilakukan berpengaruh terhadap kadar bahan yang mampu diekstrak. Semakin tinggi rendemen biodiesel yang dihasilkan maka akan semakin rendah kadar bahan yang tidak terekstrak. Kadar lemak ampas biodiesel 94,09% dipengaruhi oleh perlakuan kondisi reaksi yang digunakan sedangkan 5,91% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar perlakuan yang diberikan. Pengujian Duncan menunjukkan bahwa kadar lemak ampas pada reaksi esterifikasi 1 jam tidak berbeda nyata dengan kadar lemak ampas pada reaksi esterifikasi 2 jam. Sedangkan Kadar lemak ampas pada reaksi esterifikasi 3 jam tidak berbeda nyata dengan kadar lemak ampas pada reaksi transestrifikasi 1 jam. Hal ini dapat disebabkan perbedaan yang tidak nyata antara rendemen minyak yang dihasilkan pada reaksi esterifikasi 1 jam dan reaksi esterifikasi 2 jam sehingga kadar lemak yang tertinggal dalam ampas yang dihasilkan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Begitu pula pada reaksi esterifikasi 3 jam dan reaksi transesterifikasi 1 jam. Berdasarkan analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan, reaksi yang paling optimum yaitu reaksi esterifikasi 3 jam. Pada reaksi esterifikasi selama 3 jam diperoleh rendemen tertinggi yaitu sebesar 16,40% dengan kadar asam lemak bebas 1,79% dan memiliki kadar lemak ampas terendah yaitu sebesar 19,63%. Karakteristik yang ditunjukkan pada hasil reaksi esterifikasi selama 3 jam menunjukkan bahwa reaksi ini dapat menurunkan kadar asam lemak bebas hingga kurang dari 2%. Sehingga, memenuhi syarat untuk melakukan reaksi transesterifikasi. Selain itu waktu 3 jam merupakan waktu paling optimum untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dan untuk mengekstrak minyak dalam bahan dengan menggunakan katalis asam sulfat (H2SO4).
24 23 22 21 20 19 18 17 ES 1
ES 2
ES 3
TS 1
Perlakuan Reaksi
Gambar 7. Kadar lemak ampas pada berbagai kondisi reaksi
21
B. PENELITIAN UTAMA Pada penelitian pendahuluan mencakup proses pembuatan alkil ester melalui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ dengan berbagai kondisi proses. Alkil ester yang dihasilkan kemudian dilakukan karakterisasi untuk melihat kualitas alkil ester pada tiap kondisi proses. Pada peenilitian ini faktor yang dipelajari adalah kecepatan pengadukan serta rasio metanol terhadap bahan serta pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap rendemen dan kualitas alkil ester yang dihasilkan. Proses produksi biodiesel secara konvensional berbeda dengan proses produksi biodiesel dengan metode in situ . Pada proses produksi secara konvensional bahan baku yang digunakan minyak yang telah diekstrak, sedangkan metode in situ menggunakan bahan baku sumber minyak secara langsung. Produksi biodiesel dengan metode in situ membutuhkan jumlah katalis yang lebih besar untuk mencapai konversi maksimum. Pada proses transestrifikasi in situ jarak pagar diperlukan katalis basa 1% (b/b) dan perbandingan metanol terhadap bahan 5:1 dengan suhu reaksi 60oC dapat menghasilkan rendemen tertinggi 87% (Achten et al., 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Deli (2011), pada proses esterifikasi transesterifikasi in situ tanah pemucat bekas penggunaan katalis sebanyak 1,5% memberikan yield biodiesel optimum sebesar 93,3%. Pada proses pembuatan biodiesel ini menggunakan katalis asam yaitu H2SO4 dan katalis basa NaOH dengan konsentrasi katalis 1,5% terhadap bahan. Kedua katalis ini dipilih karena sifatnya yang lebih reakstif dan harganya lebih ekonomis. Esterifikasi-transestrifikasi in situ dalam penelitian ini menggunakn pelarut metanol. Pelarut jenis ini dipilih karena harganya lebih ekonomis dan juga memiliki rantai pendek sehingga kereaktifannya lebih tinggi. Pada proses produksi biodiesel secara in situ rasio metanol yang digunakan sangat berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan karena metanol sangat berperan penting dalam proses ekstraksi minyak dalam bahan. Ozgul dan Turkay (2002) menggunakan rasio metanol terhadap bahan sebesar 4:1 (v/b) pada proses esterifikasi in situ terhadap dedak padi. Sedangkan Shuit et al. (2010) menggunakan perbandingan metanol/bahan baku 7.5/1 (v/b) untuk esterifikasi in situ biji jarak sedangkan Shiu et al. (2010) menggunakan perbandingan metanol/bahan baku 15/1 (v/b) untuk esterifikasi dan transesterifikasi in situ dedak padi. Suhu sangat dibutuhkan untuk mencapai kondisi reaksi. Semakin tinggi suhu, berarti semakin tinggi intensitas tumbukan antar molekul-molekul reaktan sehingga energi yang dihasilkan semakin tinggi. Semakin tinggi energi yang dihasilkan maka semakin banyak energi yang digunakan untuk mencapai energi aktivasi. Proses esterifikasi transesetrifikasi in situ pada penelitian ini menggunakan suhu 65oC. Pemilihan ini berdasarkan pada titik didih metanol yaitu 65oC sehingga mudah dalam pengendalian proses reaksi. Semakin tinggi suhu reaksi maka konversi yang diperoleh akan semakin tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Sebaliknya, pada suhu rendah dapat menghasilkan konversi yang lebih tinggi tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama. Selain suhu, kecepatan pengadukan berpengaruh terhadap kehomogenan campuran reaksi. Semakin tinggi kecepatan pengadukan maka akan semakin sering intensitas tumbukan antar molekul sehingga dapat mencapai energi aktivasi lebih cepat. Pada proses produksi biodiesel dengan metode in situ kecepatan pengadukan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan proses produksi konvensional. Hal ini disebabkan pada metode in situ kontak antara pelarut dengan bahan membuat viskositas latutan menjadi lebih tinggi sehingga untuk menjadikan campuran reaksi dapat homogen dibutuhkan kecepatan pengadukan yang lebih tinggi. Umumnya kecepatan pengadukan esterifikasi dan transesterifikasi in situ dilakukan pada 600 rpm (Shiu et al. 2010). Kecepatan pengadukan ini cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan pengadukan yang digunakan pada proses produksi biodiesel secara konvensional. Sahirman (2009) melaporkan bahwa kecepatan pengadukan optimum dari proses transesterifikasi minyak biji nyamplung adalah 300 rpm.
22
1. Rendemen Rendemen biodiesel dihitung untuk mengetahui jumlah biodiesel yang dapat dihasilkan setelah pemisahan dan pencucian. Proses pencucian merupakan salah satu titik kritis dalam proses pemisahan biodiesel dengan senyawa lainnya. Proses pemisahan ini akan menurunkan rendemen biodiesel yang dihasilkan apabila kurang sempurna. Senyawa pengotor dalam biodiesel berupa gliserol dan air. Kandungan gliserol yang cukup tinggi akan meningkatkan viskositas biodiesel yang dihasilkan. Semakin tinggi viskositas bahan bakar akan menyulitkan proses pemompaan ke dalam ruang pembakaran serta proses atomisasi bahan bakar. Sedangkan kandungan air dalam bahan bakar akan memicu tumbuhnya mikroorganisme sehingga dapat menimbulkan endapan dan menimbulkan korosi pada mesin. Rendemen biodiesel yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 7,89-29,64%. Berdasarkan sidik ragam dan uji Duncan diketahui bahwa rasio metanol memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan sedangkan kecepatan pengadukan tidak memberikan pengaruh nyata (Lampiran 6). Penggunaan metanol dalam jumlah berlebih dapat menggeser kesetimbangan ke arah produk. Meningkatnya rasio metanol yang digunakan maka semakin tinggi pula rendemen biodiesel yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat pada hasil uji Duncan (Lampiran 6) yang menunjukkan bahwa perlakuan rasio metanol terhadap bahan (v/b) dengan rasio 2:1; 4:1 dan 6:1 berbeda nyata. Pada rasio antara metanol dan bahan sebesar 6:1 (v/b) diperoleh rendemen paling optimum. Qian et al. (2008) melakukan transestrifikasi in situ biji kapas dan mendapatkan yield metil ester mencapai 98% dengan konsentrasi NaOH 0,1 mol/L metanol, perbandingan molar metanol dan bahan yaitu 135:1 serta suhu dan waktu reaksi berturut-turut adalah 40oC dan 3 jam. Penggunaan rasio metanol terhadap bahan 6:1 (v/b) setara dengan rasio molar metanol/ minyak sebesar 135:1. Rendemen biodiesel terendah dan tertinggi berturut-turut diperoleh pada perlakuan A1B1 (7,89%) dan A3B2 (29,64%). Pada perlakuan ini menggunakan rasio metanol terhadap bahan sebesar 6:1 dan kecepatan pengadukan sebesar 625 rpm. Rendemen yang dihasilkan sebesar 29,64%. Rendemen biodiesel yang dihasilkan sesuai dengan Kheang et al. (2006) yang menyatakan bahwa kadar minyak dalam tanah pemucat bekas berkisar antara 20-30%. Penggunaan rasio metanol memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Deli (2011) terhadap tanah pemucat bekas digunakan rasio metanol sebesar 4:1 (v/b) dapat menghasilkan yield biodiesel sebesar 93.3%. Penggunaan rasio metanol yang lebih banyak dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan disebabkan oleh perbedaan kadar minyak dalam tanah pemucat bekas yang digunakan. Deli (2011) menggunakan tanah pemucat dengan kandungan minyak sebesar 16,9% sedangkan pada penelitian ini digunakan tanah pemucat dengan kadar lemak yang lebih tinggi yaitu 29,65%. Proses produksi biodiesel dengan metode in situ ,kadar lemak dalam bahan yang digunakan sangat berpengaruh terhadap rasio metanol yang harus digunakan. Semakin tinggi kadar lemak dalam bahan maka akan semakin banyak rasio metanol yang dibutuhkan. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan. Kecepatan pengadukan yang dapat menghasilkan rendemen biodiesel optimum yaitu 625 rpm. Deli (2011) menggunakan kecepatan pengadukan sebesar 600 rpm pada proses esterifikasi transesterifikasi in situ . Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang menghasilkan rendemen biodiesel pada kecepatan pengadukan 625 rpm. Rendemen yang dihasilkan pada perlakuan A3B1 tidak berbeda nyata terhadap A3B2. Tetapi, karakteristik mutu biodiesel yang dihasilkan pada perlakuan A3B1 lebih rendah. Berdasarkan hasil sidik ragam dan uji Duncan terhadap interaksi antara faktor kecepatan pengadukan dan rasio metanol terhadap bahan menunjukkan bahwa interaksi kedua faktor tersebut memberikan hasil yang berbeda nyata. Perlakuan A3B1, A3B2, A3B3 berbeda nyata dengan perlakuan A2B1, A2B2, A2B3 serta berbeda nyata pula dengan A3B1, A3B2, A3B3. Hal ini
23
Rendemen (%)
menunjukkan bahwa meningkatnya rasio metanol terhadap bahan memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen biodiesel sedangkan kecepatan pengadukan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan. Hasil sidik ragam juga menunjukkan bahwa 99,55% rendemen biodiesel dipengaruhi oleh faktor-faktor perlakuan yang diberikan (rasio metanol dnegan bahan dan kecepatan pengadukan) sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model.
35 30 25 20 15 10 5 0
Rasio metanol 2:1 Rasio metanol 4:1 Rasio metanol 6:1
490
625
730
Kecepatan Pengadukan (rpm) Gambar 8. Rendemen biodiesel pada berbagai kondisi operasi
2. Densitas Densitas merupakan perbandingan antara berat dari suatu volume cairan pada suhu tertentu. Pada penelitian ini dilakukan uji densitas pada suhu 40oC. Densitas biodiesel berkaitan dengan proses penginjeksian bahan bakar melalui pompa ke ruang bakar sehingga diperoleh jumlah bahan bakar yang tepat pada proses pembakaran. Jumlah bahan bakar yang diinjeksikan, waktu injeksi dan pola penyemprotan dipengaruhi oleh densitas bahan bakar. Meningkatnya densitas akan meningkatkan diameter droplet bahan bakar. Bahan bakar dengan densitas dan viskositas rendah akan meningkatkan atomisasi sehingga dicapai campuran bahan bakar dan udara yang baik. Sama seperti viskositas, volume pembakaran merupakan fungsi densitas. Bahan bakar diinjeksikan berdasarkan ukuran volume. Semakin besar densitas bahan bakar maka akan semakin besar daya yang dihasilkan, namun demikian densitas bahan bakar juga mempengaruhi emisi yang dihasilkan. Densitas berkaitan dengan particulate matter dan emisi NOx. Bahan bakar dengan densitas tinggi akan menghasilkan particulate matter dan emisi NOx yang juga tinggi (Canakci & Sanli 2008). Hasil sidik ragam (α=0.05) menunjukkan rasio metanol dan kecepatan pengadukan berpengaruh nyata terhadap densitas biodiesel, sedangkan interaksi antara rasio metanol dengan kecepatan pengadukan tidak berpengaruh yang nyata. Uji Duncan terhadap rasio metanol menunjukkan densitas biodiesel yang dihasilkan dengan menggunakan rasio metanol 2:1 tidak berbeda nyata dengan rasio metanol 4:1 tetapi berbeda nyata dengan densitas biodiesel dengan rasio metanol 6:1. Uji Duncan terhadap kecepatan pengadukan menunjukkan densitas biodiesel yang dihasilkan dengan kecepatan pengadukan 625 rpm berbeda nyata dengan kecepatan pengadukan 490 rpm dan kecepatan pengadukan 730 rpm sedangkan densitas biodiesel yang dihasilkan dengan menggunakan kecepatan pengadukan 490 rpm dan 730 rpm tidak berbeda nyata (Lampiran 7). Densitas yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 0,87-0,88 gram/cm3 (Lampiran 4). Pengaruh rasio metanol terhadap bahan dan kecepatan pengadukan terhadap densitas biodiesel ditampilkan pada Gambar 10. Densitas terendah diperoleh dari perlakuan rasio
24
Densitas (gr/cm3)
metanol terhadap bahan sebesar 6:1 (v/b), sedangkan densitas tertinggi diperoleh dari perlakuan rasio metanol terhadap bahan sebesar 2:1 (v/b) dan 4:1 (v/b). 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
Rasio metanol 2:1 Rasio metanol 4:1 Rasio metanol 6:1
490
625
730
Kecepatan Pengadukan (rpm)
Gambar 9. Densitas biodiesel pada berbagai kondisi operasi Nilai densitas biodiesel dari penelitian ini sama dengan yang dilaporkan Kheang et al. (2006) yaitu 0,885 gr/cm3 dengan bahan baku yang sama. Densitas biodiesel yang dihasilkan telah memenuhi Standar Nasional Indonesia yaitu 0,85-0,89 gr/cm3. Densitas biodiesel dari bahan baku minyak goreng bekas adalah 0,886 gr/cm3 (Kheang at al. 2006) dan dari bahan baku CPO adalah 0,875 gr/cm3 (Kalam & Masjuki 2002). Densitas metil ester dipengaruhi oleh berat molekul, kadar air dan asam lemak bebas dalam biodiesel. Densitas biodiesel dipengaruhi oleh jumlah tri, di dan monogliserida dalam biodiesel. Semakin sedikit jumlah senyawa tersebut dalam biodiesel maka akan semakin kecil nilai densitas, artinya semakin banyak trigliserida yang terkonversi menjadi metil ester maka akan semakin turun nilai densitas biodiesel (Ehimen et al. 2010). Peningkatan rasio metanol terhadap bahan akan meningkatkan laju reaksi transesterifikasi dan meningkatkan jumlah trigliserida yang terkonversi menjadi metil ester sehingga menurunkan nilai densitas biodiesel. Selain konversi reaksi, nilai densitas dipengaruhi oleh panjang rantai karbon dan derajat kejenuhan asam lemak penyusun biodiesel. Densitas biodiesel menurun seiring dengan meningkatnya panjang rantai karbon dan derajat kejenuhan.
3. Viskositas Kinematik Minyak nabati tidak cocok diaplikasikan langsung sebagai bahan bakar mesin diesel karena viskositasnya yang tinggi. Viskositas merupakan salah satu parameter kualitas biodiesel yang sangat penting. Hal ini berhubungan dengan laju alir bahan bakar melalui injektor menuju ruang pembakaran. Viskositas merupakan sifat intrinsik fluida yang menunjukkan ketahanan fluida untuk mengalir. Viskositas yang tinggi akan menyulitkan proses injeksi dan atomisasi bahan bakar. Proses atomisasi dalam mesin membutuhkan viskositas yang rendah sehingga biodiesel yang dihasilkan harus mengalami penurunan viskositas melalui proses transesterifikasi. Minimum viskositas juga diperlukan untuk beberapa mesin karena berkaitan dengan daya lumas bahan bakar terhadap mesin diesel, kehilangan power pada pompa injeksi dan kebocoran injektor. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap rasio metanol terhadap bahan menunjukkan bahwa rasio metanol terhadap bahan memberikan perbedaan yang nyata terhadap viskositas biodiesel yang dihasilkan (Lampiran 8). Bertambahnya rasio metanol yang ditambahkan maka semakin rendah viskositas biodiesel yang dihasilkan. Semakin tinggi rasio metanol yang digunakan maka akan proses konversi menjadi alkil ester dapat berjalan sempurna dan
25
Viskositas (cSt)
kesetimbangan reaksi akan bergeser ke arah produk. Viskositas terendah dihasilkan pada rasio metanol 6:1. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas biodiesel yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan 730 rpm tidak berbeda nyata terhadap kecepatan pengadukan 490 rpm tetapi memiliki perbedaan yang nyata dengan kecepatan pengadukan 625 rpm. Berdasarkan penelitian Sahirman (2009) pada pembuatan biodiesel biji nyamplung menunjukkan bahwa semakin tinggi kecepatan pengadukan maka semakin rendah viskositas biodiesel yang dihasilkan akan tetapi antara 400 rpm dan 500 rpm tidak ada perbedaan nyata. Sedangkan hasil uji Duncan pada interaksi antara rasio metanol dan kecepatan pengadukan menunjukkan bahwa interaksi antar faktor tersebut memberikan pengaruh yang nyata terhadap viskositas biodiesel yang dihasilkan. Akan tetapi, perlakuan A2B3 dan A2B1 tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Interaksi antara kedua faktor ini mengakibatkan kehomogenan pada campuran reaksi sehingga proses konversi alkil ester berjalan sempurna. 7 6 5 4 3 2 1 0
Rasio metanol 2:1 Rasio metanol 4:1 Rasio metanol 6:1
490
625
730
Kecepatan Pengadukan (rpm)
Gambar 10. Viskositas kinematik biodiesel pada berbagai kondisi operasi Viskositas biodiesel yang dihasilkan sudah memenuhi Standar Biodiesel Indonesia yaitu berada pada kisaran 2,6-6,0 cSt. Viskositas biodiesel yang dihasilkan berkisar antara 4,39-5,73 cSt. Viskositas tertinggi dihasilkan pada perlakuan A1B1 yaitu sebesar 5,73 cSt. Tingginya viskositas biodiesel yang dihasilkan disebabkan oleh rendahnya kecepatan pengadukan dan rasio metanol yang digunakan sehingga menyebabkan konversi alkil ester tidak berjalan sempurna. Viskositas terendah dihasilkan pada perlakuan A3B1. Berdasarkan sidik ragam yang dilakukan diketahui bahwa 99,86% viskositas yang dihasilkan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada dalam model (rasio metanol dan kecepatan pengadukan) sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Biodiesel merupakan campuran dari ester-ester penyusun asam lemak yang masingmasing komponennya berpengaruh terhadap viskositas biodiesel. Minyak hasil recovery tanah pemucat bekas mengandung 45,2% asam palmitat. Knothe (2005) menyatakan bahwa viskositas meningkat seiring dengan panjang rantai asam lemak dan derajat kejenuhan. Biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan biodiesel minyak jarak karena asam palmitat sebagi penyusun utama minyak memiliki 14 atom karbon. Sedangkan asam lemak utama penyusun minyak jarak adalah asam oleat dan linoleat yang memiliki 18 atom karbon. Konversi reaksi yang tidak sempurna menyebabkan adanya senyawa mono, di dan trigliserida dalam biodiesel. Keberadaan senyawa-senyawa tersebut memberikan kontribusi terhadap nilai viskosistas kinematik. Semakin banyak jumlah senyawa mono, di dan trigliserida dalam biodiesel maka akan semakin besar nilai viskositas kinematik biodiesel (Knothe & Steidley 2005).
26
Selain konversi reaksi, viskositas kinematik biodiesel juga dipengaruhi oleh panjang rantai karbon dan derajat kejenuhan asam lemak penyusunnya. Viskositas kinematik meningkat seiring dengan meningkatnya panjang rantai karbon dan derajat kejenuhan asam lemak. Alkohol pemasok rantai alkil pada biodiesel juga mempengaruhi viskositas kinematik biodiesel, dimana semakin panjang rantai karbon alkohol maka semakin tinggi viskositas kinematik. Semakin tinggi rasio metanol yang digunakan maka akan semakin rendah viskositas biodiesel yang dihasilkan.
4. Bilangan Asam Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terkandung dalam satu gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Bilangan asam merupakan salah satu parameter yang penting dalam karakteristik mutu biodiesel. Parameter ini menunjukkan jumlah asam lemak bebas yang masih tersisa setelah proses transesterifikasi. Bilangan asam maksimal dalam biodiesel adalah 0,8 mg KOH/gram (BSN, 2005). Biodiesel dengan bilangan asam yang tinggi dapat menyebabkan deposit bahan bakar sehingga menyebabkan pompa dan filter lebih cepat mengalami kerusakan. Pada penelitian ini bilangan asam dari biodiesel berkisar antara 0,48-0,54 mg KOH/gram. Bilangan asam ini sudah memenuhi Standar Biodiesel Indonesia. Bilangan asam tertinggi dihasilkan pada perlakuan A3B2 sedangkan bilangan asam terendah dihasilkan pada kondisi proses A1B3, A2B3 dan A3B3. Shiu et al. (2010) menunjukkan bahwa rasio metanol tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan asam lemak bebas dalam biodiesel. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa rasio metanol dan kecepatan pengadukan berpengaruh nyata terhadap bilangan asam biodiesel. Bilangan asam biodiesel 79,64% dipengaruhi oleh faktor rasio metanol dan kecepatan pengadukan sedangkan 20,36% sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Hasil uji lanjut Duncan pada faktor rasio metanol menunjukkan bahwa rasio metanol 2:1 dan 4:1 tidak memberikan pengaruh nyata. Begitu pula rasio metanol 4:1 dan 6:1 juga tidak memberikan pengaruh nyata. Perbedaan yang nyata terlihat pada kondisi proses dengan rasio metanol 2:1 dan 6:1. Rasio metanol yang digunakan membantu konversi asam lemak dalam minyak menjadi metil ester, sehingga kandungan asam lemak bebas dalam minyak dapat berkurang. Sedangkan hasil uji Duncan pada faktor kecepatan pengadukan menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan 490 rpm tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan kecepatan pengadukan 625 rpm dan kecepatan pengadukan 490 rpm tidak berbeda nyata dengan kecepatan pengadukan 730 rpm. Pada kecepatan pengadukan 625 rpm memberikan perbedaan yang nyata dengan kecepatan pengadukan 730 rpm. Bilangan asam yang terendah dihasilkan pada kecepatan pengadukan 730 rpm dengan berbagai rasio metanol. Kecepatan pengadukan sangat berpengaruh terhadap konversi asam lemak bebas menjadi alkil ester. Semakin tinggi kecepatan pengadukan maka akan semakin tinggi intensitas tumbukan antar molekul reaktan sehingga dapat menghasilkan energi untuk mencapai energi aktivasi dan menghasilkan alkil ester. Kecepatan pengadukan juga sangat berpengaruh terhadap kehomogenan dari campuran reaksi. Semakin tinggi kecepatan pengadukan yang digunakan dalam proses produksi biodiesel maka semakin homogen campuran reaksi sehingga dapat mempercepat konversi metil ester. Semakin tinggi kandungan metil ester yang dihasilkan maka akan semakin rendah bilangan asam dalam biodiesel karena asam lemak bebas dalam minyak dikonversi menjadi metil ester.
27
Bilangan asam (mg KOH/gram)
Bilangan asam dalam biodiesel diharapkan memiliki nilai sekecil mungkin. Biodiesel dengan bilangan asam yang tinggi akan menyebabkan terbentuknya suasana asam yang menimbulkan korosi pada peralatan injeksi bahan bakar, penyumbatan filter dan pembentukan sedimen. Sedimen ini merupakan hasil pembakaran yang tidak sempurna dari karbon penyusun asam lemak bebas. Hasil pengujian Duncan menunjukkan bahwa interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bilangan asam biodiesel. Uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan A2B2, A2B1, A1B1, A2B3, A3B1, A1B3, A1B2 dan A3B3 tidak berbeda nyata. Sedangkan pada perlakuan A3B2 memiliki perbedaan yang nyata dengan perlakuan A1B2.
1 0,8 Rasio metanol 2:1
0,6
Rasio metanol 4:1 0,4
Rasio metanol 6:1
0,2 0 490
625
730
Kecepatan pengadukan (rpm)
Gambar 11. Bilangan asam biodiesel pada berbagai kondisi operasi
5. Bilangan Penyabunan Bilangan penyabunan dinyatakan dalam jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Bilangan penyabunan menunjukkan berat molekul trigliserida yang diuji sehingga dapat diperkirakan komponen terbesar dalam bahan. Minyak atau lemak yang memiliki bobot molekul rendah akan memiliki bilangan penyabunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak atau lemak yang memiliki bobot molekul tinggi. Pada penelitian ini bilangan penyabunan biodiesel yang dihasilkan berkisar antara 293,40-416,67 mg KOH/gram. Bilangan penyabunan biodiesel 89% dipengaruhi oleh rasio metanol dan kecepatan pengadukan sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Hasil sidik ragam bilangan penyabunan (Lampiran 10) menunjukkan bahwa rasio metanol dan kecepatan pengadukan serta interaksi antara kedua faktor tersebut memberikan pengaruh nyata pada bilangan penyabunan biodiesel. Uji lanjut Duncan terhadap rasio metanol menunjukkan bilangan penyabunan biodiesel pada perlakuan rasio metanol 2:1 (A1) tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan bilangan penyabunan biodiesel pada perlakuan rasio metanol 6:1 (A3). Akan tetapi, bilangan penyabunan biodiesel pada perlakuan rasio metanol 6:1 (A3) berbeda nyata dengan perlakuan rasio metanol 4:1 (A2). Hasil uji Duncan terhadap kecepatan pengadukan menunjukkan bilangan penyabunan biodiesel pada perlakuan kecepatan pengadukan 490 rpm (B1) memiliki perbedaan yang nyata dengan bilangan penyabunan biodiesel pada perlakuan kecepatan pengadukan 730 rpm (B3). Akan tetapi, bilangan penyabunan biodiesel pada perlakuan kecepatan pengadukan 625 rpm (B2) memiliki perbedaan nyata dengan perlakuan kecepatan pengadukan 730 rpm (B3). Sedangkan pada interaksi faktor rasio metanol dan kecepatan pengadukan, hasil uji Duncan menunjukkan bilangan penyabunan biodiesel pada perlakuan A3B2, A2B2, A2B1, A1B2, A2B3, A3B1, A1B3, A3B3 tidak memiliki perbedaan yang nyata tetapi berbeda nyata dengan perlakuan A1B2. Bilangan penyabunan tertinggi diperoleh dari perlakuan A3B2 (416,67 mg KOH/gram), sedangkan
28
Bilangan penyabunan (mg KOH/gram)
bilangan penyabunan terendah diperoleh dari perlakuan A2B2 (293,40 mg KOH/gram) (Gambar 12). 500 400
Rasio metanol 2:1
300 200
Rasio metanol 4:1
100
Rasio metanol 6:1
0 490
625
730
Kecepatan pengadukan (rpm)
Gambar 12. Bilangan penyabunan biodiesel pada berbagai kondisi operasi Bilangan penyabunan biodiesel dipengaruhi oleh senyawa-senyawa seperti tri-, di-, dan monogliserida yang masih terdapat setelah proses transesterifikasi. Keberadaan senyawa-senyawa tri-, di-, dan monogliserida akibat reaksi yang tidak berlangsung sempurna dibuktikan oleh Attika (2010) yang mengukur jumlah tri-, di-, dan monogliserida yang masih terdapat dalam biodiesel dari minyak kelapa sawit setelah proses transesterifikasi dan memperoleh nilai sebesar 0,19%. Keberadaan senyawa tri-, di-, dan monogliserida akan menyebabkan bilangan penyabunan biodiesel menjadi lebih rendah karena bobot molekulnya yang tinggi. Sebaliknya, bilangan penyabunan yang tinggi menunjukkan bahwa jumlah senyawa-senyawa tri-, di-, dan monogliserida telah berkurang karena terkonversi menjadi metil ester. Hal ini disebabkan bobot molekul metil ester memiliki bobot molekul yang lebih rendah sehingga bilangan penyabunannya semakin tinggi. Biodiesel yang dibuat dari bahan baku yang berbeda akan memiliki bilangan penyabunan yang berbeda. Sebagai contoh bilangan penyabunan biodiesel dari minyak biji matahari adalah 179-186 mgKOH/g (Marinkovic dan Tomasevic 1998). Bilangan penyabunan biodiesel dari minyak biji matahari lebih kecil dari bilangan penyabunan dari penelitian ini. Hal ini disebabkan karena minyak biji matahari didominasi oleh asam lemak tidak jenuh (C18:1 dan C18:2), sedangkan komposisi asam lemak minyak sawit hampir berimbang antara asam lemak jenuh (C16:0) dan tidak jenuh (C18:1).
6. Kadar Gliserol Total Kadar gliserol total menunjukkan kandungan gliserol dalam biodiesel baik gliserol bebas maupun gliserol total. Gliserol total merupakan penjumlahan antara gliserol bebas yang terkandung dalam biodiesel dan gliserol yang masih terikat dalam biodiesel yang dihasilkan. Keberadaan gliserol dan sisa gliserida yang belum terkonversi dapat membahayakan mesin terutama karena keberadaan gugus –OH yang secara kimiawi agresif terhadap logam bukan besi dan campuran krom dan juga menyebabkan deposit pada ruang pembakaran (Soerawidjaja et al.,2005). Kadar gliserol total pada biodiesel yang dihasilkan berkisar antara 0,0004-0,0103%. Kandungan gliserol pada penelitian ini masih memenuhi Standar Biodiesel Indonesia yaitu maksimal 0,24%. Kandungan gliserol tertinggi dihasilkan pada perlakuan rasio metanol 4:1 dan kecepatan pengadukan 625 rpm (A2B2). Sedangkan kandungan gliserol terendah dihasilkan pada perlakuan rasio metanol 6:1 dan kecepatan pengadukan 490 rpm (A3B1), perlakuan rasio metanol 2:1 dan kecepatan pengadukan 625 rpm (A1B2) serta perlakuan rasio metanol 6:1 dan kecepatan pengadukan 730 rpm (A3B3). Pada perlakuan rasio metanol 4:1 dan kecepatan pengadukan 625
29
Kadar Gliserol Total (%)
rpm (A2B2) menghasilkan kadar gliserol yang tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh proses pencucian yang kurang sempurna sehingga kandungan gliserol masih terkandung dalam biodiesel. Selain itu, reaksi yang tidak berjalan sempurna dapat mengakibatkan tingginya kandungan gliserol dalam biodiesel yang dihasilkan.
0,012 0,01
Rasio metanol 2:1
0,008
Rasio metanol 4:1
0,006 0,004
Rasio metanol 6:1
0,002 0 490
625
730
Kecepatan Pengadukan (rpm)
Gambar 13. Kadar gliserol total biodiesel pada berbagai kondisi operasi Keberadaan gliserol dan sisa gliserida yang belum terkonversi dapat membahayakan mesin terutama karena keberadaan gugus –OH yang secara kimiawi agresif terhadap logam bukan besi dan campuran krom dan juga menyebabkan deposit pada ruang pembakaran (Soerawidjaja et al.,2005). Tingginya kandungan gliserol disebabkan oleh konversi yang tidak sempurna dari minyak atau lemak menjadi biodiesel dan pencucian terhadap crude biodiesel yang tidak sempurna. Gliserin total yang tinggi dapat menyebabkan penyumbatan (fouling) tangki penyimpanan sistem bahan bakar dan engine (Tyson, 2004). Kadar gliserol total pada biodiesel hasil penelitian ini telah memenuhi Standar Biodiesel Indonesia yaitu 0,24%.
7. Kadar Ester Alkil Bilangan ester adalah jumlah asam organik yang bersenyawa sebagai ester dan mempunyai hubungan dengan bilangan asam, kadar gliserol total dan bilangan penyabunan (Ketaren, 1986). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor rasio metanol dan kecepatan pengadukan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar ester alkil biodiesel yang dihasilkan. Uji Duncan terhadap faktor rasio metanol menunjukkan bahwa kadar ester alkil pada biodiesel hasil perlakuan rasio metanol 2:1 (A1) tidak memiliki perbadaan yang nyata dengan perlakuan rasio metanol 6:1 (A3). serta perlakuan rasio metanol 4:1 (A2). Kadar ester alkil biodiesel dipengaruhi oleh faktor rasio metanol dan kecepatan pengadukan sebesar 73,63% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Berdasarkan hasil uji Duncan terhadap kecepatan pengadukan menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan 490 rpm, kecepatan pengadukan 625 rpm dan kecepatan pengadukan 730 rpm tidak memiliki perbedaan nyata. Uji Duncan terhadap interaksi antara faktor rasio metanol dan kecepatan pengadukan juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar ester alkil biodiesel yang dihasilkan. Pada penelitian ini kadar ester alkil berkisar antara 99,80-99,87%. Kadar ester alkil tertinggi diperoleh pada perlakuan A1B1, A1B2, A1B3, A2B1, A3B2 dan A3B1 (99,87%). Sedangkan kadar ester alkil terendah diperoleh pada perlakuan A2B2 (99,80%) (Gambar 14).
30
Kadar Ester Alkil (%)
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Rasio metanol 2:1 Rasio metanol 4:1 Rasio metanol 6:1
490
625
730
Kecepatan Pengadukan (rpm)
Gambar 14. Kadar ester alkil biodiesel pada berbagai kondisi operasi Kadar ester alkil biodiesel menunjukkan tingkat kemurniannya. Biodiesel yang dihasilkan biasanya tersusun dari 3 mol senyawa ester dan 1 mol gliserol yang dihasilkan dari pemecahan 1 mol trigliserida melalui reaksi transesterifikasi yang berjalan sempurna. Apabila reaksi transesterifikasi tidak berjalan sempurna akan menghasilkan senyawa senyawa seperti tri-, di-, monogliserida serta sisa asam lemak bebas. Keberadaan senyawa-senyawa tersebut akan menurunkan kemurnian biodiesel yang dihasilkan dan juga akan meningkatkan viskositas biodiesel. Kadar ester alkil terendah diperoleh pada perlakuan kecepatan pengadukan 625 rpm dan rasio metanol sebesar 2:1 (v/b). Rendahnya kadar ester alkil pada biodiesel tersebut dapat disebabkan karena adanya senyawa-senyawa pengotor seperti tri-, di- dan monogliserida. Keberadaan senyawa-senyawa tersebut disebabkan oleh reaksi yang tidak berjalan sempurna sehingga dapat menurunkan kemurnian biodiesel yang dihasilkan. Reaksi yang tidak sempurna dapat dikarenakan oleh kurangnya kontak antara trigliserida dengan metanol dalam hubungannya dengan kecepatan pengadukan. Bilangan penyabunan, bilangan asam dan kadar gliserol total berhubungan erat dengan kadar ester alkil dalam biodiesel. Bilangan penyabunan tertinggi diperoleh pada biodiesel hasil perlakuan kecepatan pengadukan 625 rpm dan rasio metanol terhadap bahan sebesar 6:1 (A3B2). Hal ini diduga karena interaksi antara kecepatan pengadukan dengan rasio metanol membuat reaksi berjalan sempurna sehingga konversi menjadi metil ester dapat berjalan sempurna pula. Senyawa metil ester yang dihasilkan menyebabkan bobot molekul menjadi rendah sehingga berimplikasi terhadap naiknya bilangan penyabunan. Pada kondisi tertentu, bilangan asam menunjukkan nilai yang rendah sehingga dapat dipastikan kadar ester alkil yang dihasilkan akan tinggi.
8. Kadar Lemak Ampas Analisa juga dilakukan terhadap ampas sisa proses esterifikasi transesterifikasi in situ tanah pemucat bekas. Ampas yang dianalisa berupa padatan yang terpisah pada proses penyaringan setelah proses esterifikasi transesterifikasi in situ . Analisa yang dilakukan adalah kadar lemak pada ampas yang menunjukkan kadar bahan yang tidak terekstrak selama proses esterifikasi transesterifikasi in situ . Apabila dalam suatu kondisi proses diperoleh rendemen yang tinggi maka persen kadar lemak dalam ampas akan rendah begitu pula sebaliknya. Hasil sidik ragam terhadap kadar lemak ampas (lampiran 13) menunjukkan bahwa rasio metanol memberikan pengaruh nyata terhadap kadar lemak ampas sedangkan kecepatan pengadukan tidak berpengaruh nyata. Sedangkan interaksi antara faktor rasio metanol dan kecepatan pengadukan berpengaruh nyata terhadap kadar lemak ampas. Hasil uji Duncan terhadap
31
Kadar Lemak Ampas (%)
rasio metanol menunjukkan bahwa perlakuan rasio metanol 2:1 (A1), perlakuan rasio metanol 4:1 (A2) dan perlakuan rasio metanol 6:1 (A3) saling memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar lemak dalam ampas. Sedangkan hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan 625 rpm (B2) tidak berbeda nyata terhadap kecepatan pengadukan 730 rpm (B3) tetapi berbeda nyata terhadap kecepatan pengadukan 490 rpm (B1). Berdasarkan hasil pengujian Duncan terhadap interaksi antara faktor kecepatan pengadukan dan rasio metanol menunjukkan bahwa perlakuan A2B3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan A2B2 begitu pula perlakuan A3B3 tidak membetikan perbedaan nyata dengan perlakuan A3B1 serta perlakuan A3B2. Sedangkan kadar lemak ampas pada perlakuan A1B1, A1B2, A1B3 dan A2B1 memberikan pengaruh yang nyata. Ampas hasil proses esterifikasi transesterifiaksi in situ tanah pemucat bekas dapat dimenfaatkan kembali sebagi bleaching agent pada proses pemurnian minyak. Ampas ini dapat dimanfaatkan kembali sebagai bleaching agent dengan melakukan reaktivasi. Kadar lemak ampas berkisar antara 1,65-19,70%. Kadar lemak ampas terendah dan tertinggi berturut-turut diperoleh pada perlakuan A3B2 (1,65%) dan A1B1 (19,70%) (Gambar 15).
25 20
Rasio metanol 2:1
15 10
Rasio metanol 4:1
5
Rasio metanol 6:1
0 490
625
730
Kecepatan Pengadukan (rpm)
Gambar 15. Kadar lemak ampas biodiesel pada berbagai kondisi operasi
9. Kadar Air dan Sedimen Air merupakan salah satu pengotor dalam biodiesel. Air yang masih terdapat dalam biodiesel akan menyebabkan terjadinya korosi jika diaplikasikan pada mesin. Kadar air yang tinggi dalam biodiesel juga akan memicu tumbuhnya mikroorganisme yang akan membentuk endapan dalam biodiesel. Kadar air juga berkaitan erat dengan penyimpanan biodiesel. Kandungan air yang tinggi dalam biodiesel pada proses penyimpanan dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan bilangan asam biodiesel dan mengakibatkan penurunan mutu biodiesel. Pada negara yang mempunyai musim dingin kandungan air yang terkandung dalam bahan bakar dapat membentuk kristal yang dapat menyumbat aliran bahan bakar. Sedimen yang terdapat setelah proses pencucian merupakan sisa-sisa gliserol yang bereaksi dengan air. Keberadaan sedimen dalam biodiesel yang diaplikasikan pada mesin akan mengakibatkan timbulnya deposit karbon sehingga proses pembakaran berjalan tidak sempurna. Deposit karbon akan menghambat saluran bakar, menghambat pengoperasian mesin dan menyebabkan pipa injeksi cepat rusak. Endapan ini dapat menyebabkan keausan mesin. Analisa terhadap air dan sedimen biodiesel menunjukkan hasil yang negatif. Air dan sedimen terdapat dalam jumlah yang sangat kecil atau dapat dianggap tidak ada. Air dan sedimen ini berasal dari proses pencucian metil ester yang telah terpisah dari gliserol. Air yang digunakan dalam proses pencucian masih terperangkap dalam butir-butir air pada metil ester. Sedangkan sedimen yang berupa endapan semi padat merupakan sisa-sisa gliserol yang bereaksi dengan air.
32
Tabel 5. Perbandingan karakteristik biodiesel pada kondisi proses A3B2 dengan Standar Biodiesel Indonesia Unit Karakteristik biodiesel Standar Biodiesel Parameter hasil proses A3B2 Indonesia Viskositas kinematik(40oC) cSt 4,69 2,3 – 6,0 o 3 Densitas (40 C) gr/m 0,87 850 - 890 Bilangan asam mg KOH/gram 0,54 max. 0,8 Bilangan penyabunan mg KOH/gram 416,67 Kadar ester alkil % 99,87 min. 96,5 Kadar gliserol total % 0,0017 max.0,24 Kadar Air dan sedimen % Trace max. 0,05 Berdasarkan hasil pengujian terhadap karakteristik biodiesel yang dihasilkan diketahui bahwa kondisi proses terbaik yaitu pada kecepatan pengadukan 625 rpm dan rasio metanol terhadap bahan (v/b) sebesar 6:1. Pada rasio metanol dan kecepatan pengadukan tersebut diketahui pelarut dapat mengekstrak minyak dalam tanah pemucat bekas secara maksimal dan kecepatan pengadukan 625 rpm dapat meningkatkan kontak antara bahan dan pelarut. Biodiesel hasil terbaik pada penelitian ini akan dilakukan uji gas chromatography untuk mengetahui asam lemak penyusunnya. Hasil pengujian gas chromatography menunjukkan bahwa asam lemak utama penyusun biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini adalah asam palmitat (29,445%), asam oleat (20,68%), asam linoleat (5,185%), asam stearat (3,185%), asam miristat (0,59%) dan lain-lain (Lampiran 15). Asam lemak penyusun utama biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini tidak berbeda dengan asam lemak penyusun biodiesel yang dihasilkan oleh Kheang (2006). Akan tetapi konsentrasi asam lemak yang dihasilkan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan konsentarsi asam lemak dalam biodiesel yang dihasilkan oleh Kheang (2006). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kemurnian biodiesel yang dihasilkan masih rendah dibandingkan dengan biodiesel yang dihasilkan oleh Kheang (2006). Reaksi yang berjalan kurang sempurna dapat mengakibatkan proses konversi metil ester yang kurang sempurna. Asam lemak penyusun biodiesel ini sangat berpengaruh terhadap karakteristik mutu biodiesel yang dihasilkan. Asam lemak penyusun biodiesel sangat berpengaruh terhadap karakteristik mutu yaitu viskositas, densitas dan bilangan penyabunan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 33
A. KESIMPULAN Penelitian ini menghasilkan tahapan proses produksi biodiesel dari residu minyak dalam tanah pemucat bekas melalui proses in situ dua tahap yaitu esterifikasi in situ selama 3 jam dilanjutkan transesterifikasi in situ selama 1 jam. Pelarut yang digunakan untuk proses tersebut adalah metanol. Katalis untuk proses esterifikasi adalah asam sulfat sedangkan untuk proses transesterifikasi adalah natrium hidroksida. Konsentrasi katalis yang digunakan yaitu 1,5% (v/b) terhadap bahan baku yang digunakan. Reaksi esterifikasi transesterifikasi in situ berlangsung pada suhu 65 0C. Kondisi proses produksi biodiesel dengan metode esterifikasi transesterifikasi in situ terbaik berlangsung pada kecepatan pengadukan 625 rpm dengan rasio metanol terhadap bahan sebesar 6:1 (v/b) dapat menghasilkan biodiesel sebanyak 29,64 gram serta yield sebesar 99,96%. Karakteristik biodiesel yang dihasilkan pada kondisi proses ini yaitu densitas 0,87 gr/cm3, viskositas 4,69 cSt, bilangan asam 0,54 mg KOH/gram, bilangan penyabunan 416,67 mg KOH/gram, kadar gliserol total 0,0017% dan kadar ester alkil 99,87%. Pemilihan Analisis ragam menunjukkan bahwa rasio metanol, kecepatan pengadukan dan interaksi antara faktor rasio metanol dan kecepatan pengadukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen, densitas, viskositas, bilangan asam dan bilangan penyabunan. Sedangkan terhadap kadar ester alkil, rasio metanol, kecepatan pengadukan dan interaksi antara faktor rasio metanol dan kecepatan pengadukan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Biodiesel yang dihasilkan pada kondisi optimum pada proses esterifikasi transesterifikasi in situ dilanjutkan dengan analisa gas chromatography . Analisa ini digunakan untuk mengetahui komposisi asam lemak penyusun biodiesel yang dihasilkan. Hasil analisa gas chromatography menunjukkan bahwa asam lemak penyusun utama biodiesel yaitu asam palmitat (29,445%), asam oleat (20,68%), asam linoleat (5,185%), asam stearat (3,185%), asam miristat (0,59%) dan lainlain.
B. SARAN Kondisi proses produksi yang optimum dapat menghasilkan biodiesel dengan karakteristik mutu yang baik. Penentuan rasio metanol yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan kadar minyak dalam tanah pemucat bekas yang digunakan. Semakin tinggi kadar minyak dalam tanah pemucat bekas maka semakin tinggi rasio metanol yang dibutuhkan.
DAFTAR ISI 34
Achten, W.M. J., L. Verchot, Y.J. Franken, E. Mathijs, V.P. Sigh, R. Aerts dan B. Muys. 2008. Jatropha Biodiesel Production and Use. Biomass and Bioenergy, 32:1063-1084. Allen, CAW., Watts, KC., Ackman, RG dan Peg, MJ. 1999. Predicting The Viscosity of Biodiesel Fuel from Their Fatty Acid Ester Composition. Fuel 78 : 1319-1326. Anonim. 1987. Bahan Galian Industri : Bentonit. Departemen Pengembangan dan Energi. Jakarta : Pusat Pengembnagan Teknologi Mineral. Anonim 2006. www.esdm.go.id/.../harga.../483-harga-minyak-mentah-dunia-2006. [6 Februari 2011] Anonim. 2010. Harga Minyak Dunia. www.tempointeraktif.com/hg/topik/masalah/144/. [6 Februari 2011] Badan Pusat Statistik. 2009. Luas Tanaman Perkebunan Besar Menurut Jenis Tanaman 19952009. Jakarta : Badan Pusat Statistik Nasional. Badan Pusat Statistik. 2009. Produksi Perkebunan Besar Menurut Jenis Tanaman 1995-2009. Jakarta : Badan Pusat Statistik Nasional. Berchmans, Johanes Hanny dan Hirata, Shizuko. 2008. Biodiesel production from crude jatropha curcas L. seed oil with a high content of free fatty acids. Bioresource Technology. 99:1716-1721 [BSN] Badan Standarisasi Nasional, 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 047182:2006 tentang Biodiesel. Jakarta: BSN. Canakci M, Van Gerpen J. 2001. Biodiesel production from oils and fats with high free fatty acids. Trans ASAE. 44(6):1429-1436. Canakci M, Van Gerpen J. 2003. A pilot plant to produce biodiesel from high free fatty acid feedstocks. Trans ASAE. 46(4):945–54. Canakci M, Sanli H. 2008. Biodiesel production from various feedstocks and their effects on the fuel properties. J Ind Microbiol Biotechnol. 35:431–441. Chongkhong S, Tongurai C, Chetpattananondh P, Bunyakan C. 2007. Biodiesel production by esterification of palm fatty acid distillate. Biomass Bioenerg. 31:563–568. Choo YM. 2004. Transesterification of palm oil: Effect of reaction parameters. J Oil Palm Res. 16(2):1-11 Darnoko D, Cheryan M. 2000. Kinetics of palm oil transesterification in a batch reactor. J Am Oil Chem Soc. 77(12):1263-1267. Devine, T dan D.N. Williams. 1961. The Chemistry and Technology of Edible Oil and Fats. New York: Pergamon Press. Deli, Nur Asma. 2011. Disain Proses Produksi Biodiesel Dari Residu Minyak Sawit dalam Tanah Pemucat Bekas. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Djumena,Erlangga. 4 Februari 2011. Harga Minyak Dunia Makin Tinggi. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/04/14072650/Harga.Minyak.Dunia.Masi h.Tinggi [6 Februari 2011]. Ehimen EA, Sun ZF, Carrington CG. 2010. Variabel affecting the in situ transesterification of microalgae lipids. Fuel 89: 677-684. Freedman B, Pryde EH, Mounts TL. 1984. Variables affecting the yields of fatty esters from transesterified vegetable oils. J Am Oil Chem Soc. 61:1638-1643. Giorgianni, K.G., M.G. Kontaminas, P.J. Pomonis, D. Avlonitis dan V, Gergis. 2008. Conventional and In situ TRansesterification of Sunflower Seed OIl for the Production of Biodiesel. Fuel Processing Technology, 89:503-509. Grim, R.E. 1968. Clay Mineralogy. Mc Graw-Hill Book &Co. Haas, M. J., M.S. Karen, N. M. William dan A. F. Thomas. 2004. In situ Alkaline Transesterification : An Effective Method for the Production of Fatty Acid Esters from Vegetable Oils. J.Am. Oil Chem. Soc., 81:83-89.
35
Haas MJ, Scott KM. 2007. Moisture removal substantially improves the efficiency of in situ biodiesel production from soybeans. J Am Oil Chem Soc. 84:197-204. Indonesian Comercial Newsletter. 2009. http://www.datacon.co.id/CPO1-2009Sawit. [19 Februari 2011] Kalam MA, Masjuki HH. 2002. Biodiesel from palm oil: An analysis of its properties and potential. Biomass Bioenergi 23:471-479. Kinast, J.A., Tyson K.S. 2003. Production of Biodiesel from Multiple Feedstocks and Properties of Biodiesel and Biodiesel/Diesel Blends. NREL US Departement of Energy Laboratory. Kheang LS, Cheng SF, Choo YM, Ma AN. 2006a. A study of residual oils recovery from spent bleaching earth: Their characteristics and applications. Am J App Sci. 3(10):2063-2067. Ketaren, S. 1986. Pengantar Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Knothe G. 2005. Dependence of biodiesel fuel properties on the structure of fatty acid alkyl ester. Fuel Process Technol. 86:1059– 1070. Knothe G. 2010. Biodiesel: Current trends and properties. Top Catal. 53:714-720. Lee KT, Foglia TA, Chang KS. 2002. Production of alkyl ester as biodiesel from fractionated lard and restaurant grease. J Am Oil Chem Soc. 79(2):191-195. Legowo, E. 2001. Experience in Palm Biodiesel Application for Transportation. Dalam Proceedings of The International Biodiesel Workshop. Medan, 2-4 Oktober 2001. Ma, F dan M. A Hanna. 2001. Biodiesel Production : A Review. Bioresource Technology, 70:7782. Mittelbach, M dan Remschmidt, C. 2004. Biodiesel. Boersedruck Ges.md.H., Viena Austria. Marinkovic SS, Tomasevic A. 1998. Transesterification of sunflower oil in situ . Fuel. 77(12):1389-1391. Murniasih, Dedeh. 2009. Kajian Proses Produksi Biodiesel Dari Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum. L).Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Noureddini, H, and Zhu. 1997.Kinetics of Transesterification of Soybean Oil. JAOCS 74:14571463. Nurinawati,Seinda dan Uminah, Fara. 2007. Pembuatan Biodiesel Langsung Dari Sumber Bahan Minyak Lemak. Tugas akhir. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Ozgul-Yucel S, Turkay S. 2002. Variables affecting the yields of methyl esters derived from in situ esterification of rice bran oil. J Am Oil Chem Soc. 79(6):611-614. Pakpahan A. 2001. Palm biodiesel: Its potency, technology, business prospect, and environmental implication in indonesia. Dalam Sahirman 2009. Perancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung (Calopyllum inophyllum). Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Qian J, Wang F, Liu S, Yun Z. 2008. In situ alkaline transesterification of cottonseed oil for production of biodiesel and nontoxic cottonseed meal. Bioresour Technol. 99:9009-9012. Sahirman. 2009. Perancangan Proses Produksi Biodiesel Dari Minyak Biji Nyamplung (Calopyllum inophyllum). Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Schindlbauer, H. 1998. Standadization and Analysis of Biodiesel : What Specification are Important. Proceeding of the 1998 PORIM International Biofuel Conference. Kuala Lumpur. 4-5 May 1998. Sharma YC, Singh B, Upadhyay SN. 2008. Advancements in development and characterization of biodiesel: A review. Fuel. 87(12):2355-2373. Shiu PJ, Gunawan S, Hsieh WH, Kasim NS, Ju YH. 2010. Biodiesel production from rice bran by a two-step in situ process. Bioresour Technol. 101:984-989. Shuit SH, Lee KT, Kamaruddin AH, Yusup S. 2010. Reactive extraction and in situ esterification of Jatropha Curcas L. seeds for the production of biodiesel. Fuel. 89:527-530. Shriver, D.F, Atkins, P.W., Langford, C.H. 1990. Inorganic Chemistry. USA:Oxford University Press
36
Soerawidjaja, T.H., T. Adrisman, U.W. Siagian, T. Prakoso, I.K.Reksowardojo, K.S. Permana. 2005. Studi Kebijakan Penggunaan Biodiesel di Indonesia. Di dalam P Hariyadi, N. Andarwulan, L.Nuraida, Y.Sukmawati. editor. Kajian Kebijakan dan Kumpulan Artikel Penelitian Biodiesel. Kementrian Ristek dan Teknologi RI – MAKSI IPB Bogor. Sonntag, N.O.V. 1982. Fat Splitting, Esterification and Interesterification. Dalam Dedeh Murniasih. 2009. Kajian Proses Produksi Biodiesel Dari Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Supeno, Minto. 2007. Bentonit Alam Terpilar Sebagai Material Katalis/ Co-Katalis Pembuatan Gas Hidrogen dan Oksigen Dari Air. Medan : Universitas Sumatera Utara. Tan, K. H. 1993. Principles Soil Chemistry, 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Tyson, K.S. 2004. Energy Efficiency and Renewable Energy. U.S. Departement of Energy. http://www.osti.gov/bridge Van Gerpen J. 2005. Biodiesel processing and production. Fuel Process Technol. 86:1097-1107. Wang Y, Ou S, Liu P, Zhang Z. 2007. Preparation of biodiesel from waste cooking oil via twostep catalyzed process. Energy Convers Manage. 48:184-188. Young, F. V. K. 1987. Refining and Fractination of Palm Oil. Pages 39-69 in F.D. Gustone, ed. Palm Oil: Critical Reports on Applied Chemistry, Vol. 15. New York: John Wiley and Sons. Zhang Y, Dubé MA, McLean DD, Kates M. 2003. Biodiesel production from waste cooking oil: 1. Process design and technological assessment. Bioresour Technol. 89:1-16. Zhansheng W, Chun L, Xifang S, Xiaolin X, Bin D, Jin'e L, Hongsheng Z. 2006. Characterization, acid activation and bleaching performance of bentonite from Xinjiang. Chinese J Chem Eng 14 (2):253-258.
37
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisiko kimia tanah pemucat bekas 1.
Kadar Air (SNI 01-3555-1998)
38
Sebanyak 2-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan dalam cawan aluminium yang telah dikeringkan. Kemudian bahan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 5-6 jam. Selanjutnya bahan didinginkan pada desikator dan ditimbang.
Kadar air =
w - w1 x 100% w
Keterangan : W : bobot contoh sebelum dikeringkan (gram) W1 : bobot contoh sesudah dikeringkan (gram) 2.
Bilangan Asam (SNI 01-3555-1998) Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan bilangan asam biodiesel dengan proses titrimetri. Bilangan asam adalah banyaknya miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas di dalam contoh satu gram biodiesel. Prinsip analisis kadar asam lemak bebas adalah pelarutan contoh lemak atau minyak dalam pelarut organik tertentu (alkohol netral 96%) dilanjutkan dengan penitraan dengan basa NaOH atau KOH. Sebanyak 5 g contoh dimasukkan ke erlemeyer 250 ml dan ditambahkan 50 ml etanol netral 96% kemudian dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air. Setelah itu ditambahkan 3-5 tetes indikator phenolftalein serta dihomogenkan. Kemudian dilakukan titrasi dengan larutan NaOH atau KOH 0.1 N hingga terbentuk warna merah muda permanen kira-kira selama 15 detik.
Keterangan : A = Jumlah mol KOH untuk titrasi N = Normalitas larutan KOH B = Bobot molekul larutan KOH (56,1) G = Gram sampel 3.
Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992) Prinsip analisis kadar lemak secara langsung dengan alat soxhlet adalah ekstraksi lemak bebas dengan pelarut non polar yaitu heksan atau pelrut lemak lainnya. Ditimbang 1-2 gram contoh kemudian dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dilapisi kapas dan dikeringkan pada suhu 80oC selama kurang lebih satu jam. Selanjutnya dihubungkan dengan alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang berisi dengan batu didih yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Contoh diekstrak dengan heksan atau pelarut lainnya selama kurang lebih 6 jam. Heksan dipisahkan dari dalam oven pengering pada suhu 105oC. Labu lemak didinginkan dan ditimbang.Diulangi pengeringan ini hingga tercapai bobot tetap. Kadar lemak dihitung dengan rumus berikut :
Keterangan : W : bobot contoh (gram) W1 : bobot labu contoh sesudah ekstraksi W2 : bobot labu contoh sebelum ekstraksi
Lampiran 2. Prosedur analisis sifat fisiko kimia biodiesel 1.
Bilangan Asam (SNI 01-3555-1998)
39
Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan bilangan asam biodiesel dengan proses titrimetri. Bilangan asam adalah banyaknya miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas di dalam contoh satu gram biodiesel. Prinsip analisis kadar asam lemak bebas adalah pelarutan contoh lemak atau minyak dalam pelarut organik tertentu (alkohol netral 96%) dilanjutkan dengan penitraan dengan basa NaOH atau KOH. Sebanyak 5 g contoh dimasukkan ke erlemeyer 250 ml dan ditambahkan 50 ml etanol netral 96% kemudian dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air. Setelah itu ditambahkan 3-5 tetes indikator phenolftalein serta dihomogenkan. Kemudian dilakukan titrasi dengan larutan NaOH atau KOH 0.1 N hingga terbentuk warna merah muda permanen kira-kira selama 15 detik.
Keterangan : A = Jumlah mol KOH untuk titrasi N = Normalitas larutan KOH B = Bobot molekul larutan KOH (56,1) G = Gram sampel 2.
Kadar Gliserol Total (ASTM D6584) Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan kadar gliserol total dengan menggunakan metode iodometri-asam periodat. Sampel biodiesel ditimbang sebanyak 9,9-10,1 ± 0,01 gram dalam sebuah erlenmeyer kemudian ditambahkan 100 ml larutan KOH alkoholik. Erlenmeyer disambungkan dengan kondensor berpendingin udara dan dididihkan perlahan selama 30 menit untuk mensaponifikasikan ester-ester. Sebanyak 91 ± 0,2 ml kloroform ditambahkan ke dalam labu takar 1 liter dari sebuah buret. Labu saponifikasi disingkirkan dari pelat panas dan isinya dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar yang berisi kloroform dengan menggunakan 500 ml aquades sebagai pembilas. Labu takar ditutup rapat dan dikocok kuat selam 30-60 detik, kemudian ditambahkan aquades sampai batas takar dan dikocok. Setelah itu, larutan dibiarkan tenang sampai lapisan khloroform lapisan aquatik terpisah sempurna. Larutan asam periodat dipipet masing-masing ke dalam 2 atau 3 gelas piala 400-500 ml. Dua blanko disiapkan dengan mengisi masing-masing 50 ml aquades. Sebanyak 100 ml lapisan akuatik dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi asam periodat kemudian dikocok perlahan agar tercampur sempurna. Gelas piala ditutup dengan kaca arloji dan dibiarkan selama 30 menit. Bila lapisan akuatik mengandung bahan tersuspensi, maka sebelum penggunaan disaring terlebih dahulu. Setelah 30 menit, ditambahkan 3 ml larutan KI 15%, dikocok perlahan dan dibiarkan selama 1 menit (tidak boleh lebih dari 5 menit) sebelum titrasi. Gelas piala yang akan dititrasi tidak boleh diletakkan di bawah cahaya terang atau terkena sinar matahari langsung. Isi gelas piala dititrasi dengan natrium tiosulfat sampai warna coklat iodium hampir hilang. Setelah itu ditambahkan 2 ml larutan indikator pati dan dititrasi lagi sampai warna biru kompleks iodium-pati benar-benar hilang. Blanko dilakukan tanpa penambahan lapisan akuatik, melainkan langsung ditambahkan larutan KI dan seterusnya.
Keterangan : Gttl = Gliserol total Gbbs = Gliserol bebas
40
Gikt = Gliserol terikat C = volume larutan natrium tiosulfat untuk contoh B = volume natrium tiosulfat untuk blanko N = normalitas ekstrak larutan natrium tiosulfat a (berdasarkan prosedur) = 9,9-10,1 ± 0,01 g b (berdasarkan prosedur) = 100 ml (untuk gliserol total) dan 300 ml (untuk gliserol bebas) 3.
Kadar Air dan Sedimen dalam Biodiesel (ASTM D-2709) Prosedur ini digunakan untuk menganalisis kandungan air dan sedimen bebas dalam biodiesel menggunkan alat sentrifugasi. Metode ini terutama digunakan untuk menentukan kejernihan dan kebersihan biodiesel. Analisa ini penting untuk dilakukan karena kandungan air dapat bereaksi dengan ester membentuk asam-asam lemak bebas dan mendukung pertumbuhan mikroba selama penyimpanan. Sampel sebanyak 100 ml dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi dan diputar dalam alat sentrifugasi dengan kecepatan 800 rcf selama 10 menit. Kadar air dan sedimen yang terlihat dapat dibaca sampai ketelitian 0.005 ml. Sampel dengan jumlah air dan sedimen kurang dari 0.005 ml dapat dinyatakan sebagai tak terdeteksi atau nol. Nilai % standar untuk kadar air dan sedimen adalah 0,05% (v/v). 4.
Bilangan Penyabunan (AOCS Cd 3-25) Sebanyak 2 g minyak ditimbang (ketelitian 0.005 g) dalam labu erlemeyer. Lalu ditambahkan 25 ml larutan KOH beralkohol 0.5 N menggunakan pipet volume. Erlenmeyer kemudian dihubungkan dengan pendingin tegak kemudin sampel dididihkan sampai sampel tersabunkan dengan sempurna, yaitu diperoleh larutan yang bebas dari butiran minyak atau sekitar 1 jam. Larutan kemudin didinginkan dan bagian dalam pendingin tegak dibilas dengan sedikit akuades. Selanjutnya larutan dititrasi menggunakan HCl 0.5 N dengan penambahan 1 ml indikator fenolftalein. Dilakukan juga titrasi blanko dengan cara sama tanpa cuplikan minyak. Larutan KOH dan HCl yang digunakan harus distandarisasi dulu sebelum digunakan. Bilangan penyabunan dihitung dengan rumus berikut:
5.
Densitas (AOCS Cc 10c-95) Prinsip penentuan densitas adalah menentukan massa contoh tanpa udara pada suhu dan volume tertentu dibandingkan dengan massa aquades pada suhu dan volume yang sama. Piknometer dicuci dengan air kemudian dengan etanol dan dietileter selanjutnya dikeringkan dengan oven. Piknometer ditimbang (m) kemudian diisi dengan aquades yang telah dididihkan dan bersuhu tepat 20oC serta dihindari adanya gelembung-gelembung udara dan permukaan air diatur sampai penuh atau tanda tera. Piknometer dimasukkan ke dalam penangas pada suhu 40oC selama 30 menit. Suhu penangas air diperiksa dengan termometer. Apabila terdapat air di bagian luar keringkan dengan kertas saring sampai betul-betul kering. Piknometer yang berisi aquades ditimbang (m1). Piknometer dikosongkan dan dicuci dengan etanol dan dietileter kemudian dikeringkan. Piknometer diisi dengan bahan yang akan diukur bobot jenisnya dan dihindari terjadinya gelembung udara. Permukaan bahan diatur sampai tanda tera kemudian ditimbang (m2). Densitas atau bobot jenis dihitung dengan rumus berikut :
Keterangan :
41
m m1 m2 ρair
: massa piknometer yang kosong (gr) : massa piknometer yang berisi aquades (gr) : massa piknometer yang berisi minyak (gr) : massa jenis air pada suhu 25oC (gr/ml)
Viskositas kinematik pada suhu 40 0C (ASTM D 445) Viskositas kinematik diukur dengan alat viskometer yang telah dikalibrasi sampai volume cairan tertentu mengalir dibawah pengaruh gravitasi pada suhu yang ditentukan dimana contoh masih dapat mengalir dalam pipa viskometer kering. Sampel yang akan diukur viskositasnya disaring terlebih dahulu dengan kertas saring. Sebelum digunakan kapiler viskometer dicuci dengan 15% H2O2 dan 15% HCl. Selanjutnya kapiler dibilas dengan pelarut yang cocok dan dikeringkan. Bak viskometer diatur pada suhu uji yang diperlukan dalam limit yang diberikan. Untuk setiap seri pengukuran, suhu aliran rendaman harus dikontrol sehingga berada dalam kisaran 15 100oC, suhu media perendam tidak boleh bervariasi lebih dari ± 0.02 0C. Viskometer dipilih yang bersih dan kering dan waktu alir tidak boleh lebih dari 200 detik. Sampel sebanyak 10 ml dimasukkan ke kapiler viskometer melalui mounting tube ke reservoir bawah. Viskometer dibiarkan dalam bak selama 30 menit untuk mencapai suhu uji. Digunakan pompa isap untuk mengatur level sampel kesuatu posisi. Dengan pengaliran sampel yang bebas, diukur waktu yang diperlukan sampel untuk bergerak dari batas atas ke batas bawah dengan ketelitian 0.1 detik. Viskosistas kinematik dihitung dengan rumus sebagai berikut: 6.
V=Cxt Dimana : V = viskositas kinematik (mm2/det) C = konstanta kalibrasi viskometer ((mm2/det)/det) t = waktu alir dari batas atas ke batas bawah (det) 7.
Kadar Ester Alkil Kandungan senyawa organik bersenyawa ester dalam biodiesel dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan : As : Bilangan penyabunan (mg KOH/gram) Aa : Bilangan asam (mg KOH/gram) Gttl : Gliserol total (%)
Lampiran 3. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian Pendahuluan Perlakuan
Karakteristik Biodiesel
Ampas
42
Rendemen (%)
Kadar Asam
Kadar lemak ampas
Lemak Bebas (%)
(%)
Esterifikasi, 1 jam
6,66
3,66
23,10
Esterifikasi, 2 jam
12,06
2,79
21,75
Esterifikasi, 3 jam
16,40
1,79
19,63
Transesterifikasi, 1 jam
6,36
1,08
19,99
43
Lampiran 4. Karakteristik mutu biodiesel hasil esterifikasi transesterifikasi in situ tanah pemucat bekas Karakteristik Biodiesel KODE
Rendemen
Densitas
Viskositas
Bilangan Asam
(%)
(gr/cm3)
(cSt)
(mg KOH/gr)
A1B1
7,89
0,88
5,73
0,49
A2B1
21,05
0,88
5,04
A3B1
29,48
0,87
A1B2
11,42
A2B2
Bilangan
Karakteristik Ampas Kadar Lemak
Kadar Air dan
Gliserol
Kadar Ester
Sedimen
Total (%)
Alkil (%)
395,48
trace
0,0033
99,87
19,70
0,51
403,51
trace
0,0008
99,87
6,80
4,39
0,49
384,85
trace
0,0004
99,87
2,70
0,88
5,89
0,46
367,50
trace
0,0004
99,87
16,82
20,3
0,87
5,27
0,53
293,40
trace
0,0103
99,80
9,37
A3B2
29,64
0,87
4,69
0,54
416,67
trace
0,0017
99,87
1,65
A1B3
12,01
0,88
5,55
0,48
364,65
trace
0,0008
99,87
11,58
A2B3
20,87
0,88
5,05
0,48
333,80
trace
0,0017
99,85
9,86
A3B3
28,45
0,87
4,60
0,48
347,57
trace
0,0004
99,86
3,05
Ket: A B
Penyabunan (mg KOH/gr)
(%)
: Rasio metanol dengan bahan (A1: rasio metanol 2:1; A2: rasio metanol 4:1; A3: rasio metanol 6:1) : Kecepatan pengadukan (B1: 490 rpm; B2:625 rpm; B3:730 rpm)
44
Lampiran 5. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada penelitian pendahuluan 1. Rendemen Analisis Ragam untuk rendemen Jumlah Derajat Kuadrat kuadrat bebas tengah 138,08864 3 46,0295
Sumber keragaman Reaksi Galat
0,7013
4
Total
138,7899
7
F hitung
Pr > F
262,56
< 0,0001
0,1753
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan reaksi Gugus Duncan Mean N Perlakuan A 16,400 2 Esterifikasi 3 jam B
12,055
2
Esterifikasi 2 jam
C C C
6,660
2
Esterifikasi 1 jam
6,360
2
Transesterifikasi 1 jam
2. Kadar Asam Lemak Bebas
Sumber keragaman Reaksi
Analisis ragam untuk kadar asam lemak bebas Pr > F Jumlah Derajat Kuadrat F hitung kuadrat bebas tengah 7,7199 3 2,5733 423,71 < 0,0001
Galat
0,0243
4
Total
7,7442
7
0,0061
45
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan reaksi Gugus Duncan Mean N Perlakuan A 3,665 2 ES 3 B
2,790
2
ES 2
C
1,790
2
ES 1
D
1,075
2
TS 1
3. Kadar Lemak Ampas Analisis ragam untuk kadar lemak ampas Jumlah Derajat Kuadrat F hitung kuadrat bebas tengah 15,9752 3 5,3251 21,24
Sumber keragaman Reaksi Galat
1,0030
4
Total
16,9782
7
Pr > F 0,0064
0,2507
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan reaksi Gugus Duncan Mean N Perlakuan A 23,095 2 Esterifikasi 1 jam A A 21,745 2 Esterifikasi 2 jam B B B
19,910
2
Esterifikasi 3 jam
19,625
2
Transesterifikasi 1 jam
46
Lampiran 6. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk rendemen biodiesel (α = 0,05) Sumber keragaman Rasio metanol
Jumlah kuadrat 1058,3037
Derajat bebas 2
Kuadrat tengah 529,1518
F hitung
Pr > F
1044,88
< 0,0001
Kecepatan pengadukan Interaksi
3,7768
2
1,8884
3,73
0,0661
18,2979
4
4,5745
9,03
0,0033
Galat
4,5578
9
0,5064
Total
1098,8794
17
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan rasio metanol Gugus Duncan Mean N Rasio metanol A 29,1883 6 A3 B
20,7383
6
A2
C
10,4367
6
A1
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan kecepatan pengadukan Gugus Duncan Mean N Kecepatan Pengadukan A 20,4500 6 B2 A A 20,4400 6 B3 B
19,4733
6
B1
47
Uji lanjut Duncan untuk interaksi antar faktor kecepatan pengadukan dan rasio metanol Gugus Duncan Mean N Kecepatan Pengadukan*rasio metanol A 29,9850 2 A3B2 A A 29,4800 2 A3B1 A A 28,4500 2 A3B3 B B B B B
21,0500
2
A2B1
20,8650
2
A2B3
20,3000
2
A2B2
C \C C C C
12,0050
2
A1B3
11,4150
2
A1B2
7,8900
2
A1B1
48
Lampiran 7. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk densitas (α=0,05) Sumber keragaman Rasio metanol
Derajat bebas 2
Kuadrat tengah 0,000106
0,00008
2
0,000039
7
Interaksi
0,00009
4
0,000022
4
Galat
0,00005
9
0,000006
Total
0,00043
17
Kecepatan pengadukan
Jumlah kuadrat 0,00021
F hitung
Pr > F
19
0,0006
0,0147 0,0391
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan rasio metanol Gugus Duncan Mean N Rasio Metanol A 0,8800 6 A1 B
0,8767
6
A2
C
0,8717
6
A3
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan kecepatan pengadukan Gugus Duncan Mean N Kecepatan Pengadukan A 0,8783 6 B3 A A 0,8767 6 B1 B
0,8733
6
B2
49
Uji lanjut Duncan untuk interaksi antar faktor kecepatan pengadukan dan rasio metanol Gugus Mean N Kecepatan Pengadukan*rasio metanol Duncan A 0,88 2 A1B1 A A 0,88 2 A1B2 A A 0,88 2 A1B3 A A 0,88 2 A2B1 A A 0,88 2 A2B3 B B B B B B B
0,87
2
A2B2
0,87
2
A3B1
0,87
2
A3B2
0,87
2
A3B3
50
Lampiran 8. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk viskositas (α= 0,05) Sumber keragaman Rasio metanol
Derajat bebas 2
Kuadrat tengah 2,0484
0,1974
2
0,0987
146,81
Interaksi
0,0743
4
0,0186
27,62
Galat
0,0061
9
0,0007
Total
4,3744
17
Kecepatan pengadukan
Jumlah kuadrat 4,0967
F hitung
Pr > F
3047,17
< 0,0001
< 0,0001 < 0,0001
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan rasio metanol Gugus Duncan Mean N Rasio Metanol A 5,7250 6 A1 B
5,1200
6
A2
C
4,5567
6
A3
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan kecepatan pengadukan Gugus Duncan Mean N Kecepatan Pengadukan A 5,2817 6 B2 B B B
5,0683
6
B3
5,0517
6
B1
51
Uji lanjut Duncan untuk interaksi antar faktor kecepatan pengadukan dan rasio metanol Gugus Duncan Mean N Kecepatan Pengadukan*rasio metanol A 5,890 2 A1B2 B
5,730
2
A1B1
C
5,555
2
A1B3
D
5,270
2
A2B2
E E E
5,055
2
A2B3
5,035
2
A2B1
F \ G
4,685
2
A3B2
4,594
2
A3B3
H
4,390
2
A3B1
52
Lampiran 9. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk bilangan asam (α=0,05) Sumber keragaman Rasio metanol
Jumlah kuadrat 0,0030
Derajat bebas 2
Kuadrat tengah 0,0015
F hitung
Pr > F
4,62
0,0416
0,0030
2
0,0015
4,67
Interaksi
0,0054
4
0,0013
4,16
Galat
0,0029
9
0,0003
Total
0,0142
17
Kecepatan pengadukan
0,0406 0,0354
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan rasio metanol Gugus Duncan Mean N Rasio Metanol A 0,5067 6 A2 A B A 0,5000 6 A3 B B 0,4767 6 A1 Uji lanjut Duncan untuk perlakuan kecepatan pengadukan Kecepatan Gugus Duncan Mean N Pengadukan A 0,5100 6 B2 A A 0,4950 6 B1 B B 0,4783 6 B3 B
53
B B B B B B B
Uji lanjut Duncan untuk interaksi antar faktor kecepatan pengadukan dan rasio metanol Kecepatan Pengadukan*rasio Gugus Duncan Mean N metanol A 0,54000 2 A3B2 A A 0,53000 2 A2B2 A A C 0,51000 2 A2B1 C D C 0,49000 2 A1B1 D C D C 0,49000 2 A2B3 D C D C 0,48500 2 A3B1 D C D C 0,47667 2 A1B3 D C D C 0,47500 2 A3B3 D D 0,46000 2 A1B2
54
Lampiran 10. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk bilangan penyabunan (α=0,05) Sumber keragaman Rasio metanol
Jumlah kuadrat 4813,2250
Derajat bebas 2
Kuadrat tengah 2406,6125
F hitung
Pr > F
7,94
0,0103
6734,3757
2
3367,1879
11,11
Interaksi
9634,4839
4
2408,6210
7,95
Galat
2726,7767
9
302,9752
Total
23908,8614
17
Kecepatan pengadukan
0,0037 0,0050
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan rasio metanol Gugus Duncan Mean N Rasio Metanol A 381,76 6 A3 A A 375,88 6 A1 B
344.50
6
A2
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan kecepatan pengadukan Gugus Duncan Mean N Kecepatan Pengadukan A 394,62 6 B1 B B B
355,96
6
B2
351,56
6
B3
55
B B B B B B B B B
Uji lanjut Duncan untuk interaksi antar faktor kecepatan pengadukan dan rasio metanol Kecepatan Pengadukan*rasio Gugus Duncan Mean N metanol A 406,98 2 A3B2 A A 403,51 2 A2B2 A A 395,48 2 A2B1 A A 384,86 2 A1B1 A A C 367,51 2 A2B3 A C A C 364,65 2 A3B1 C C 353,43 2 A1B3 C C 336,60 2 A3B3 D
293,40
2
A1B2
56
Lampiran 11. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk kadar ester alkil biodiesel (α = 0,05) Sumber keragaman Rasio metanol
Jumlah kuadrat 0,0027
Derajat bebas 2
Kuadrat tengah 0,0014
F hitung
Pr > F
4,12
0,0538
0,0021
2
0,0011
3,22
Interaksi
0,0035
4
0,0009
2,62
Galat
0,0030
9
Total
0,0114
17
Kecepatan pengadukan
0,0883 0,1062
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan rasio metanol Gugus Duncan Mean N Rasio Metanol A 99,8700 6 A1 A B A 99,8650 6 A2 B B 99,8417 6 A3 Uji lanjut Duncan untuk perlakuan kecepatan pengadukan Kecepatan Gugus Duncan Mean N Pengadukan A 99,8717 6 B1 A B A 99,8600 6 B3 B B 99,8450 6 B2
57
Lampiran 12. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk kadar lemak ampas biodiesel (α = 0,05) Sumber keragaman Rasio metanol
Jumlah kuadrat 1058,3037
Derajat bebas 2
Kuadrat tengah 529,1518
F hitung
Pr > F
1044,88
< 0,0001
3,7768
2
1,8884
3,73
Interaksi
18,2979
4
4,5744
9,03
Galat
4,5578
9
0,5064
Total
1084,9362
17
Kecepatan pengadukan
0,0661 0,0033
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan rasio metanol Gugus Duncan Mean N Rasio Metanol A 29,1883 6 A3 B
20,7383
6
A2
C
10,4367
6
A1
Uji lanjut Duncan untuk perlakuan kecepatan pengadukan Gugus Duncan Mean N Kecepatan Pengadukan A 20,4500 6 B2 A A 20,4400 6 B3 B
19,4733
6
B1
58
Uji lanjut Duncan untuk interaksi antar faktor kecepatan pengadukan dan rasio metanol Kecepatan Pengadukan*rasio Gugus Duncan Mean N metanol A 19,6950 2 A1B1
G G G
B
16,8175
2
A1B2
C
11,5800
2
A1B3
D D D
9,8575
2
A2B3
9,3650
2
A2B2
E
6,8000
2
A2B1
F F F
3,0450
2
A3B3
2,7025
2
A3B1
1,6500
2
A3B2
59
Lampiran 13. Hasil analisa gas chromatography terhadap larutan standar
60
Lampiran 14. Hasil analisa gas chromatography terhadap biodiesel
•
Biodiesel A3B2 Ulangan 1
61
•
Biodiesel A3B2 Ulangan 1
62
Parameter Caprilic acid Capric acid Lauric acid Myristic acid Pentadecanoic acid Palmitic acid Palmitoleic acid Heptadecanoic acid Cis-10-Heptadecanoic acid Stearic acid Elaidic acid Oleic acid Linoleic acid Arachidic acid Cis-11-eicosenoic acid Linoleic acid Cis-11,14-eicosedienoic acid Behenic acid
Unit % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w % w/w
Hasil Pengujian Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,13 0,12 0,125 0,59 0,59 0,59 0,03 0,03 0,03 29,02 29,87 29,445 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,03 0,03 0,03 3,11 3,26 3,185 2,73 2,83 2,78 20,25 21,11 20,68 5,08 5,29 5,185 0,25 0,26 0,255 0,06 0,06 0,06 0,11 0,12 0,115 0,03 0,04 0,035 0,04 0,04 0,04
63
Lampiran 14. Dokumentasi penelitian
Tanah Pemucat Bekas
Proses Evaporasi
Filtrat
Reaksi Esterifikasi
Proses Pemisahan
Ampas Biodiesel
Reaksi Transesterifikasi
Proses Pencucian
Biodiesel
64