KAJIAN PEMANFAATAN RUANG PESISIR DAN LAUT KEPULAUAN ANAMBAS KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU
OLEH CHANDRA JOEI KOENAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
KAJIAN PEMANFAATAN RUANG PESISIR DAN LAUT KEPULAUAN ANAMBAS KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU
OLEH CHANDRA JOEI KOENAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Anambas, Kabupate Natuna, Provinsi Kepulauan Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain selain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor,
Februari 2007
Chandra Joei Koenawan NRP. C251030241
ABSTRAK
CHANDRA JOEI KOENAWAN. Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Anambas Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO dan ERNAN RUSTIADI.
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki kompleksitas yang sangat tinggi, baik karakteristik, dinamika dan potensi. Kepulauan Anambas yang merupakan daerah hasil pemekaran, dimana pemanfaatan ruang pesisir dan laut harus ditata secara baik dan benar sesuai dengan daya dukung lingkungan, karakteristik wilayah dan keingingan stakeholder dalam hal ini pelaku didalam masyarakat, sehingga nantinya tidak menimbulkan permasalah kedepan dalam pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang pesisir tidak mungkin dilakukan secara seragam untuk setiap wilayah laut dan pulau. Pemanfaatan harus sesuai dengan kondisi sosial dan kultur masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pula prioritas pengembangan dan pemanfaatan secara sinergis sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Secara umum pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Anambas saat ini, ke arah pemanfaatan sumberdaya laut, dimana hasil kesesuaian lahan memperlihatkan bahwa wilayah Kecamatan Palmatak dan Kecamatan Siantan di Kepulauan Anambas memungkinkan untuk peruntukan kawasan konservasi pantai, pemukiman, budidaya perikanan (keramba), perikanan tangkap, dan kawasan pariwisata. Karakteristik tipologi desa pesisir Kepulauan Anambas memiliki tiga bentuk karakteristi desa sesuai dengan potensi yang ada antara lain; wilayah tipologi I dimana wilayah dengan kepadatan tinggi dan ekonomi yang baik, namun minim sarana infrastruktur. Tipologi II dimana wilayah dengan sarana infrastruktur yang baik, pemukiman yang rendah dan minim keluarga nelayan dan Tipologi III dimana wilayah dengan kepadatan pemukiman tinggi yang didominasi nelayan prasejahtera, Selanjutnya persepsi stakeholder mengambarkan keinginan dan peran stakeholder (masyarakat, pemerintah dan swasta) dalam arahan pengembangan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan di Kepulauan Anambas cenderung memilih pemukiman sebagai prioritas pertama, kedua budidaya perikanan, ketiga pariwisata, keempat perikanan tangkap, dan kelima konservasi pantai.
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau Chandra Joei Koenawan C 251030241
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc Ketua
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 18 Desember 2006
Tanggal Lulus : 19 Februari 2007
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam betuk apa pun, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2006 ini adalah Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Lautan Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku pembimbing, kepada Bapak Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc dam Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku dosen penguji. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Ayahanda Softianur Kamiroedin, Bc.Hk (Alm), Ibunda tercinta Kartina Wahab, Ka Eka Hartika Komariah, AMd, Bang Ade Kameswara Satriawan, SE, Ka Tri Kartika Winasari, AMd dan Mayrianti Annisa Anwar, SP yang telah memberikan doa, semangat dan pengorbanannya. Penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan DFW - Indonesia, IKKNS Anambas, Conoco Phillips, Premier Oil dan Star Energy, juga saudarasaudaraku yang ada di Terempa yang selalu menjaga dan membantu dalam penelitian. Patnerku Awaludin, Alam, Idol, Ratih, Yanin, dan Iyek. Terima kasih kepada rekan-rekan daerah yang sama-sama berjuang, FOMPASRI Bogor, temanteman UGM, Lamtek UI, UNRI, P4W, Bangwil, dan adik-adik IKPMR Bogor. Teman-teman SPL Angkatan X, Angkatan XI, dan alumni SPL yang selalu memberikan motivasi bersama, juga rekan-rekan Pascasarjana PSL, DAS, IKL, ITK, MIT, dan PWD. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Februari 2007
Chandra Joei Koenawan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 28 Juni 1977 dari pasangan Softianur Kamiroedin (Alm) dan Kartina Wahab. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Penulis menempuh jenjang pendidikan dari SD sampai SLTA di Pekanbaru. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan dan diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Sekolah Pascasarjana IPB dan menyelesaikan pendidikan pada Tahun 2007. Disamping itu penulis juga pernah bekerja di beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antara lain; Yayasan Hakiki pada tahun 2001, Yayasan Pesisir tahun 2003 dan DFW-Indonesia tahun 2005, juga dipercaya sebagai team leader dan tenaga ahli pada beberapa proyek pesisir dan lautan bersama DKP di Jakarta. Selama mengikuti program S2, penulis menjadi pengurus Wacana IPB dan pengurus Forum Pascasarjana Riau, Bogor (FOMPASRI).
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... i DAFTAR GAMBAR......................................................................................
ii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
iii
PENDAHULUAN...........................................................................................
1
Latar Belakang............................................................................................... Perumusan Masalah ....................................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................................
1 3 4
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
5
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ......................................................... Kesesuaian Lahan .......................................................................................... Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil............................................. Pemanfaatan Ruang ...................................................................................... Konflik Pemanfaatan ..................................................................................... Tata Ruang dalam Pengembangan Wilayah .................................................. Sistem Informasi Geografis (SIG) ................................................................. Proses Hirarki Analisis (AHP).......................................................................
5 7 8 9 10 11 12 12
METODE PENELITIAN .............................................................................. 15 Kerangka Pemikiran....................................................................................... Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................................... Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ Analisis Spasial .............................................................................................. Analisis Karakteristik Tipologi Desa ............................................................. Analisis Persepsi Stakeholder Terhadap Prioritas Pengembangan Pemanfaatan Ruang........................................................................................
15 18 18 19 26 27
GAMBARAN UMUM WILAYAH .............................................................. 29 Letak Wilayah dan Administrasi Pemerintahan............................................ Kondisi Fisik Wilayah .................................................................................. Geologi dan Kemiringan Lahan .................................................................... Tutupan Lahan .............................................................................................. Klimatologi .................................................................................................. Hidro-oseanografi ......................................................................................... Pola Tata Guna Lahan................................................................................... Sumberdaya Mineral dan Tambang .............................................................. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan................................................
29 29 29 31 31 32 40 40 41
Bentuk Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir..................................................... 44 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 45 Potensi Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Kepulauan Anambas................. Potensi Sumberdaya Teresterial di Kepulauan Anambas ............................. Analisis Kesesuaian Lahan ........................................................................... Analisis Karakteristik Tipologi Pesisir Menurut Analisis Komponen Utama ............................................................................................................ Persepsi Stakeholder Terhadap Arahan Pengembangan Pemanfaatan Ruang berdasarkan AHP ............................................................................... Arahan Pemanfaatan Ruang Pesisir Kepulauan Anambas............................
45 49 51 64 73 82
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 96 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 98 LAMPIRAN.................................................................................................... 101
DAFTAR TABEL Halaman 1. Skala angka Saaty ................................................................................... 14 2. Tabel alur metode penelitian................................................................... 17 3. Jenis dan sumber data primer yang dikumpulkan ................................... 19 4. Jenis dan sumber data sekunder yang dikumpulkan ............................... 19 5. Kriteria yang diperlukan untuk zona kegiatan perikanan tangkap.......... 22 6. Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman ............................. 23 7. Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai .................... 23 8. Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya perikanan laut (keramba) ........................................................................ 23 9. Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai..................... 24 10. Variabel-variabel analisis komponen utama ........................................... 26 11. Data hasil pengukuran parameter hidro-oseanografi bulan Juni Tahun 2005 ............................................................................................. 33 12. Konstanta pasang surut Terempa Kepulauan Anambas.......................... 34 13. Luas lahan menurut penggunaan di Kepulauan Anambas 2003 (ha)..... 40 14. Persensentase menurut suku di Kepulauan Anambas ............................. 41 15. Penduduk kecamatan Siantan dan Palmatak menurut agama ................. 42 16. Penduduk kecamatan Siantan dan Palmatak menurut pekerjaan ............ 43 17. Bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kecamatan Siantan dan Palmatak ........................................................................................... 44 18. Luas dan sebaran terumbu karang di perairan Kepulauan Anambas ...... 46 19. Luas dan sebaran mangrove di Kepulauan Anambas ............................. 47 20. Jenis ikan yang bernilai ekonomis di Kepulauan Anambas.................... 49 21. Produksi perkebunan menurut jenis di Kepulauan Anambas ................. 50
22. Luas kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi di Kepulauan Anambas (ha) .......................................................................................... 52 23. Luas kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman di Kepulauan Anambas (ha) .......................................................................................... 56 24. Luas kesesuaian kawasan budidaya perikanan laut (keramba) di Kepulauan Anambas (ha).................................................................... 58 25. Luas kesesuaian lahan untuk kawasan perikanan tangkap di Kepulauan Anambas (ha).................................................................... 59 26. Kesesuian lahan untuk kawasan pariwisata di Kepulauan Anambas (ha)........................................................................ 63 27. Akar ciri (eigenvalue) hasil analisis komponen utama ........................... 66 28. Penyederhanan variabel analisis komponen utama................................. 67 29. Hasil analisis cluster pada desa di Kepulauan Anambas ........................ 68 30. Karakteristik tipologi desa di Kecamatan Siantan .................................. 70 31. Karakteristik tipologi desa di Kecamatan Palmatak ............................... 72 32. Indikator penciri tipologi wilayah........................................................... 73 33. Prioritas pengembangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Siantan ...... 74 34. Prioritas pengembangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Palmatak ... 76 35. Jumlah dan kondisi bangunan di Kepulauan Anambas Tahun 2003 ...... 83 36. Luas Lahan Menurut Penggunaan Di Kepulauan Anambas 2003 (ha)... 83 37. Perkembangan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Per Kecamatan di Kepulauan Anambas 1996-2003........................................................ 84 38. Data dan Produksi Budidaya Perikanan di Kepulauan Anambas Menurut Kecamatan, Tahun 2004......................................................... 86 39. Sebaran, tipologi, jenis dan atraksi obyek wisata di Kepulauan tahun 2005............................................................................................... 89 40. Dugaan potensi sumberdaya ikan di Kepulauan Anambas ..................... 90 41. Volume produksi perikanan menurut kecamatan, Tahun 2003 – 2004 (Ton) ....................................................................... 91
42. Potensi sumberdaya ikan di perairan Laut Cina Selatan......................... 91 43. Jumlah alat penangkap ikan di Kepulauan Anambas menurut kecamatan, tahun 2004........................................................................... 92 44. Armada kapal/perahu penangkap ikan yang beroperasi menurut kecamatan tahun 2004............................................................................. 92 45. Kegiatan program ComDev, Konsorsium Natuna Barat di Kepulauan Anambas.................................................................................................. 95
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Batas wilayah pesisir ...........................................................................
6
2.
Skema pendekatan kajian pemanfaatan ruang Kepulauan Anambas... 16
3.
Peta Kepulauan Anambas pada posisi di Laut Cina Selatan................ 18
4.
Hirarki kesesuaian lahan untuk konservasi pantai ............................... 20
5.
Hirarki kesesuaian lahan untuk pemukiman ........................................ 21
6.
Hierarki kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan (keramba) ........ 21
7.
Hirarki kesesuaian lahan untuk pariwisata pantai................................ 22
8.
Struktur hirarki pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas............................................................................................... 28
9.
Peta administrasi Kepulauan Anambas................................................ 30
10.
Mawar angin daerah Terempa, Kepulauan Anambas Kabupaten Natuna selama tahun 2001-Juli 205 ..................................................... 32
11.
Grafik hasil peramalan pasang surut perairan Terempa Kepulauan Anambas............................................................................................... 35
12.
Terumbu karang dan mangrove yang ada di Kepulauan Anambas...... 46
13. Beberapa jenis ikan laut yang ditangkap oleh nelayan di Kepulauan Anambas............................................................................................... 48 14. Potensi sumberdaya teresterial di Kepualauan Anambas..................... 50 15. Peta kesesuaian untuk kawasan konservasi pantai.............................. 55 16.
Peta kesesuian unuk kawasan pemukiman .......................................... 57
17.
Peta kesesuaian untuk kawasan budidaya laut (keramba)................... 61
18.
Peta kesesuaian untuk kawasan perikanan tangkap ............................. 62
19.
Peta kesesuaian untuk kawasan pariwisata pantai .............................. 65
20.
Korelasi variabel sumbu utama F1 dan F2, sumbu utama F1 dan F3 .. 66
21. Grafik nilai tengah kelompok variabel cluster desa di Kepulauan Anambas............................................................................................... 68 22.
Peta karakteristik tipologi desa pesisir................................................. 71
23. Nilai bobot prioritas aspek dalam pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas ........................................................................ 77 24. Nilai bobot prioritas kriteria aspek ekonomi dalam pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas......................................... 77 25. Nilai bobot prioritas kriteria aspek lingkungan dalam pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas......................................... 79 27.
Nilai bobot prioritas stakeholder pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas .............................................................. 80
28.
Struktur hirarki pemanfaatan ruang hasil analisis gabungan AHP ..... 81
29.
Pemukiman di Kecamatan Siantan dan Palmatak di Kepulauan Anambas............................................................................................... 83
30.
Keramba jaring apung (KJA) dan ikan-ikan yang dibudidayakan....... 85
31.
Kem masyarakat (KJT) di Dusun Airsena, Desa Air asuk, Kecamatan Palmatak............................................................................................... 86
32.
Armada kapal nelayan dan kapal Thailand di Kepulauan Anambas.... 92
33.
Transplantasi karang, penangkaran penyu, dan kawasan konservasi laut Tanjung momong di Kepulauan Anambas........................................... 94
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. Rekapitulasi hasil kuisioner responden di Kecamatan Siantan dan Kecamatan Palmatak, Kepulauan Anambas ...........................................
102
2. Data klimatologi stasiun Terempa tahun 2001-2005 ................................. 103 3. Data hasil analisis prediksi gelombang tahun 2001-2005.......................... 106 4. Salinan Kepmen Pertanian RI tentang jalur-jalur penangkapan ikan ........ 109 5. Hasil olahan data PCA, cluster dan DFA .................................................. 113
PENDAHULUAN
Latar Belakang Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi daratan dan perairan pesisir sangat penting artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Di wilayah ini bukan saja terkandung sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi juga berbagai jenis sumberdaya alam dan jasa lingkungan, seperti sumberdaya mineral, gas dan minyak bumi, pemandangan alam yang indah, dan media perhubungan laut yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil saat ini berkembang dengan pesat sesuai dengan kebutuhan pembangunan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang dilaksanakan cenderung belum secara menyeluruh mengkaji dampaknya terhadap kondisi sumberdaya alam yang menjadi obyek pengelolaan sehingga terlihat terjadi penurunan kualitas sumberdaya alam tersebut (Dahuri et al, 2001) Pada dasawarsa terakhir ini telah banyak terjadi perubahan-perubahan perkembangan, baik untuk perkembangan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan global maupun regional. Hal ini tentunya memberikan dampak yang kuat bagi perubahan-perubahan paradigma pembangunan sekaligus penataan ruang yang terjadi pada tingkat nasional maupun regional. Setelah terjadi krisis multidimensi sejak pertengahan tahun 1997 hingga sekarang, fenomena yang berkembang mengarah pada pengakomodasian paradigma tersebut serta dalam upaya mengantisipasi isu global dan pemulihan khususnya pada bidang ekonomi. Sesuai dengan jiwa Undang-Undang No 32 dan 33 Tahun 2004, mengenai upaya pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi ditingkat kabupaten serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mengisyaratkan perlunya upaya peningkatan kemampuan daerah dalam menghadapi persaingan global, merebut peluang pertumbuhan ekonomi melalui kerjasama regional dengan memanfaatkan comparative advantage melalui kegiatan produksi, pemasokan bahan baku, kegiatan ekspor produk unggulan dan lainnya. Sejalan dengan hal tersebut Provinsi Kepulauan Riau melalui UU No. 53
2
Tahun 1999 telah memekarkan Kabupaten Kepulauan Riau menjadi 4 (empat) kabupaten, yaitu, Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna. dan Kabupaten Kepulauan Riau sendiri. Pemekaran tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan sesuai dengan potensi daerah, luas wilayah serta kebutuhan pada masa yang akan datang. Untuk pencapaian akselerasi pembangunan tersebut diperlukan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan yang holistik dalam bentuk penataan dan pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang pesisir dan lautan menggaris bawahi koordinasi keseluruhan pembangunan di daerah yang mencakup segi spasial dan persepsi masyarakat sesuai dengan sosial budaya. Produk rencana tata ruang Kabupaten Natuna belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang, yaitu: (1) Rencana tata ruang belum merupakan suatu kesatuan dengan produk rencana pembangunan daerah lainnya seperti renstra, RTRW, dan lain-lain; (2) Rencana tata ruang terlambat dibandingkan dengan perkembangan pembangunan; (3) Rencana tata ruang belum diperkuat oleh aturan perundangan dan lemahnya penegakan hukum dalam menangani konflik kepentingan antar stakeholder; (4) Kualitas sumberdaya manusia perencanaan di daerah yang masih perlu peningkatan, sehingga belum bisa memahami dan memanfaatkan rencana tata ruang secara optimal; (5) Rendahnya kesadaran publik akan nilai strategis sumberdaya kelautan, khususnya sumberdaya hayati; dan (6) Masih terlihat rencana tata ruang yang tidak memenuhi kriteria baik dilihat dari segi ekologis, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. Secara administratif
Kepulauan Anambas termasuk dalam wilayah
Kabupaten Natuna, dimana Kepulauan Anambas terdiri 3 (tiga) kecamatan antara lain; Kecamatan Siantan, Kecamatan Palmatak, dan Kecamatan Jemaja. Kecamatan Siantan yang ibukotanya Terempa, dulunya merupakan suatu Kewedanaan, dimana menjadi pusat bandar kota pelabuhan di tahun 1813 M. Kampung Terempa merupakan kota perdagangan, sehingga dari dulu sampai sekarang Terempa merupakan daerah penyuplai bahan kebutuhan pokok bagi daerah di sekitarnya.
3
Perumusan Masalah Rencana Tata Ruang Wilayah Kepulauan Anambas saat ini belum ada secara rinci, pemanfaatan ruang saat ini masih bersifat alamiah, dimana pemanfaatan ruang masih dititik beratkan kepada wilayah darat dan masih dalam konteks pemanfaatan jasa-jasa lingkungan seperti perhubungan laut dan pariwisata. Adapaun potensi sumberdaya alam yang terdapat pada kawasan pesisir belum termanfaatkan secara optimal. Disisi lain pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan Kepulauan Anambas khususnya Kecamatan Siantan dan Palmatak, selama ini secara nyata dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik, seperti aktifitas tangkap lebih pada beberapa kawasan yang hanya termanfaatkan. Degradasi sumberdaya alam terjadi akibat pencemaran, penangkapan ikan dengan menggunakan bom, bahan kimia, pengambilan karang yang berlebihan dan lain-lain. Salah satu bukti lain pengelolaan dan pengaturan pemanfaatan perairan Kepulauan Anambas belum dilakukan secara baik dan benar seperti timbulnya berbagai konfik pemanfaatan ruang, antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang, nelayan lokal dengan nelayan asing dan antara nelayan lokal itu sendiri, juga kegiatan penangkapan ikan dan pembuangan limbah, Kepulauan Anambas yang merupakan daerah hasil pemekaran, dimana pemanfaatan ruang pesisir dan laut harus ditata secara baik dan benar sesuai dengan daya dukung lingkungan, karakteristik wilayah dan keinginan stakeholder dalam hal ini pelaku di dalam masyarakat, sehingga nantinya tidak menimbulkan permasalahan ke depan dalam pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang pesisir tidak mungkin dilakukan secara seragam untuk setiap wilayah laut dan pulau. Pemanfaatan harus sesuai dengan kondisi sosial dan kultur masyarakat, selain itu sehubungan dengan banyaknya sektor-sektor pemanfaatan (seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengelolaan perikanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energi, perhubungan, dan industri maritim) yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pula prioritas pengembangan dan pemanfaatan secara sinergis sesuai dengan dimensi ruang dan waktu.
4
Berdasarkan uraian di atas, maka akar permasalahan dapat dirumuskan : 1. Bagaimana kesesuaian fisik sumberdaya untuk berbagai peruntukan kawasan konservasi pantai, kawasan pemukiman, kawasan budidaya perikanan laut (keramba), kawasan perikanan tangkap dan kawasan pariwisata pantai, 2. Bagaimana karakteristik desa pesisir dan keterkaitan pemanfaatan ruang pesisir di Kepulauan Anambas, 3. Apakah bentuk kebijakan pemanfaatan ruang yang dikembangkan di Kepulauan Anambas sudah sesuai dengan persepsi stakeholder.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Pemanfaatan yang sejalan dengan pembangunan di Kepulauan Anambas menjadikan suatu bentuk permasalahan baru dalam segi pemanfaatan, sehingga diperlukan kajian terhadap pemanfaatan ruang pesisir dan laut di Kepulauan Anambas. Ada paun tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Menganalisis kesesuaian penggunaan ruang untuk peruntukkan kawasan konservasi pantai, kawasan pemukiman, kawasan budidaya perikanan laut, kawasan perikanan tangkap, dan kawasan pariwisata pantai. 2. Menganalisis karakteristik dan tipologi desa-desa pesisir 3. Menganalisis persepsi stakeholder terhadap prioritas pengembangan pemanfaatan ruang Kepulauan Anambas. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi daerah dalam pembangunan wilayah dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan dan acuan, baik dari pemerintah daerah dan pihak swasta dalam menentukan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2 dan 75 persen adalah Zona Ekonomi Eksklusif (Dahuri, 1998). Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah) dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang tersebar di Kepulauan Indonesia. Definisi pulau-pulau kecil disini adalah kumpulan pulau-pulau secara fungsional, baik secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdaya (DKP, 2001b). Sebagai kawasan kecil keberadaan pulau-pulau kecil baik dari segi ekosistem pulau itu sendiri maupun keragaman hayati (biodiversity) yang ada di dalam ekosistem sekitar pulau yang sangat rentan terhadap berbagai aktivitas manusia yang terjadi di kawasan daratan. Pulau kecil juga dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas areanya kurang dari 10.000 km2 dan mempunyai penduduk berjumlah kurang dari 500.000 jiwa (Beller et al 1990 diacu dalam Retraubun, 2001). Sementara itu, menurut Dahuri (1998) pulau-pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut. Keterisolasian ini juga dapat membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Pulau kecil juga mempunyai tangkapan air tawar yang relatif kecil. Selajutnya dilihat dari aspek budaya, masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Dalam suatu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdapat sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya. Ekosistem tersebut bersifat alamiah atau buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau-pulau kecil, antara lain adalah : terumbu karang (coral reef), mangrove, pantai berbatu (rocky beach), estuaria, laguna, delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (marine culture) dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2001).
6
Sumber: Pernetta dan Milliman, 1995 diacu dalam DKP (2000)
Gambar 1 Batas wilayah pesisir Secara umum, sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya yang tidak dapat pulih (non renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan (environmental service). Sumberdaya dapat pulih, terdiri berbagai ikan, plankton, benthos, molusca, mamalia laut, rumput laut (seaweeds), lamun (seagrass), mangrove, terumbu karang, dan krustasea. Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi minyak bumi dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya. Jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan antara lain adalah pariwisata dan perhubungan laut. Selama ini potensi sumberdaya alam yang terdapat pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil belum banyak digarap secara optimal. Hal tersebut diakibatkan upaya masyarakat dan pemerintah lebih banyak terkuras untuk mengelola sumberdaya yang ada di darat yang mempunyai luas hanya sepertiga dari luas negeri ini (Kusumastanto, 2000). Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi. Hal ini karena didukung oleh ekosistem yang komplek dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun. Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti: pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi
7
peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil tersebut merupakan daya tarik tersendiri di dalam pengembangan pariwisata.
Kesesuaian Lahan Ekosistem pulau-pulau kecil juga memilki peran dan fungsi yang sangat menentukan, bukan saja kesinambungan ekonomi tetapi juga kelangsungan hidup umat manusia. Faktor paling utama adalah fungsi sebagai pengatur iklim global temasuk dinamika lanina, siklus hidrologi dan biokimia, penyerap limbah, sumberdaya plasma nuftah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan (Dahuri, 1998). Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dilakukan dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Permasalahan umum penggunaan lahan yang sering terjadi di wilayah pesisir adalah degradasi lingkungan seperti degradasi habitat, kerusakan ekosistem pesisir, pencemaran, konflik pemanfaatan ruang sumberdaya dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang tidak efisien. Diantara penyebab utama timbulnya masalah tersebut adalah karena belum adanya penataan ruang yang komprehensif pada wilayah pesisir dan menyebabkan terjadi penyimpangan-penyimpangan pemanfaatan terhadap tata ruang yang ada (Bengen, 2002). Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna tanah. Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut (Widiatmaka, 2001) Menurut Widiatmaka (2001), tujuan evaluasi kesesuaian lahan adalah menentukan nilai (kelas) untuk tujuan tertentu, dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan dan berkaitan dengan perencanaan tata guna tanah.
8
Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Menurut Undang-Undang
No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang,
konsep ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sebagai suatu sistem, ruang wilayah memiliki struktur dan fungsi, dimana struktur wilayah adalah susunan (arrangement) dari berbagai penggunaan ruang (kegiatan ekonomi) dalam ruang fisik. Fungsi wilayah adalah aliran (transport) barangbarang/komoditas (economic goods), orang, dan bahan pencemar antara penggunaan ruang. Dilihat dari jangka waktu, pelaksanaan rencana tata ruang juga bervariasi. Suatu rencana tata ruang merupakan suatu produk dari kegiatan perencanaan tata ruang yang disusun pada suatu saat tertentu untuk kurun waktu tertentu pula. Jangka waktu perencanaan tata ruang wilayah pesisir terdiri dari beberapa tingkatan menurut UU No. 24 tahun 1992. Untuk rencana tata ruang wilayah pesisir kabupaten/kota, jangka waktu perencanaan adalah 10 tahun. Tata ruang pesisir dapat dikelompokan melalui pengaturan lahan wilayah ke dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari keseragaman fisik, nonfisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan keamanan. Wilayah Pesisir paling dikenal sebagai daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan dimana merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia (Dahuri, 1997). Perencanaan tata ruang wilayah pesisir adalah lebih komplek bila dibandingkan dengan perencanaan tata ruang daratan, karena (a) perencanaan di wilayah pesisir harus mengikutsertakan semua aspek yang berkaitan, baik dengan wilayah darat maupun wilayah lautan, (b) aspek daratan dan lautan tersebut tidak dapat dipisahkan secara fisik oleh garis pantai, karena kedua aspek tersebut saling berinteraksi secara terus menerus dan bersifat dinamis, seiring dengan prosesproses fisik dan biogeokimia yang terjadi, dan (c) bentang alam (geomorfologi dan fisiografi) wilayah pesisir berubah secara cepat bila dibandingkan dengan wilayah daratan. Hal ini merupakan interaksi yang dinamis antara daratan dan lautan (Dahuri, 1997).
9
Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang diartikan sebagai rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Menurut UU No. 24 tahun 1999 Pasal 15 tentang Penataan Ruang, pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaan, yang didasarkan atas rencana tata ruang. Adapun yang dimaksud dengan struktur pemanfaatan ruang adalah susunan
unsur-unsur
pembentuk
lingkungan
secara
hirarki dan
saling
berhubungan satu sama lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya dalam mewujudkan penguasaan penggunaan, pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya. Menurut Sugandhy (1999), permasalahan dalam pemanfaatan ruang wilayah di Indonesia dicirikan dengan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan serta permasalahan kependudukan lainnya yang semakin besar karena tanah kehutanan dan tanah pertanian dikonversi untuk pemukiman, industri dan pemanfaatan lainnya. Oleh karena itu kecenderungan merosotnya sumberdaya alam dan lingkungan hidup selain diakibatkan oleh menurunnya kualitas pemanfaatan ruang, juga dipacu oleh kualitas wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang. Wujud struktural pemanfaatan ruang merupakan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan yang secara hierarki dan sruktural pemanfaatan ruang tersusun antara lain meliputi pusat-pusat pelayanan (kota, lingkungan, pemerintahan); prasarana jalan; rancangan bangun kota seperti ketinggian bangunan, jarak antara bangunan dan sebagainya. Pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang mengambarkan ukuran, fungsi dan karakter kegiatan atau kegiatan alam. Pola pemanfaatan ini ditandai dengan pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, pertanian serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan.
10
Beberapa hal yang terkait dengan pemanfaatan ruang tercantum dalam pasal 15 dan 16, UU. N0 24 Tahun 1992, yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Pasal 15 1. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui program pemanfaatan ruang beserta pembiayaan yang didasarkan atas rencana tata ruang, 2. Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. b. Pasal 16 1. Dalam Pemafaatan ruang dikembangkan : a. Pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2; b. Perangkat yang bersifat insentif dan disentif dengan menghormati hak penduduk sebagai warga negara. 2. Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan
pemanfaatan
ruang
pada
hakekatnya
bertujuan
untuk
meningkatkan taraf hidup kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu dalam penyusunan komposisi pemanfaatan ruang secara optimal selain bertujuan untuk meningkatkan produktivitas juga diharapkan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungannya
Konflik Pemanfaatan Mitchell et al, 2000 diacu dalam Darwin (2005), juga menyebutkan beberapa penyebab dasar konflik. Pertama, perbedaan pengetahuan atau pemahaman dapat mengarahkan timbulnya konflik. Berbagai kelompok mungkin menggunakan model, perkiraan atau informasi yang berbeda. Perbedaan fakta menimbukan konflik tentang apakah telah muncul persoalan dan penyelesaian persoalan, manakah yang paling tepat. kedua, konflik dimungkinkan muncul karena perbedaan nilai. Dalam hal ini, mungkin ada kesepakatan tentang bentuk
11
suatu persoalan serta cara penyelesaiannya, akan tetapi terjadi perbedaan yang pokok pada titik akhir yang dituju. Kelompok lain mungkin meyakini bahwa sejumlah air tertentu harus tetap dialokasikan untuk kepentingan lain, terutama untuk menjamin kehidupan ikan dan berbagai air lainnya. Ketiga, perbedaan kepentingan dapat menimbulkan konflik meskipun berbagai kelompok menerima fakta dan interpretasi yang sama, serta mempunyai kesamaan nilai. Keempat, konflik muncul karena adanya persoalan pribadi atau karena latar belakang sejarah. Konflik tidaklah sesuatu yang berkonotasi kurang baik, dalam banyak hal, dapat membantu dalam mengidentifikasi permasalahan apabila suatu proses atau prosedur mengalami jalan buntu. Konflik juga dapat merupakan rambu-rambu bagi penganalisa atau manager untuk senantiasa menyadari akan adanya perbedaan, baik pandangan maupun nilai-nilai (Mitchell et al, 2000 diacu dalam Darwin, 2005).
Tata Ruang dalam Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah adalah suatu upaya mendorong perkembangan wilayah secara mendasar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan hidup yang berkesinambungan. Upaya tersebut antara lain: (a) meningkatkan kemampuan masyarakat yang meliputi kelembagaan, akses, informasi teknologi dan keterampilan, (b) meningkatkan efisiensi produksi yang meliputi kemampuan teknologi investasi dan trasportasi, (c) pengendalian dampak lingkungan, (d) peningkatan kemampuan pemerintah daerah. Selanjutnya pembangunan dengan pendekatan pengembangan wilayah yang dilakukan selama ini memiliki intensitas tinggi, hal ini seringkali menyebabkan rusaknya kawasan lindung yang pada akhirnya menyebabkan lingkungan di sekitar terancam rusak. Kerusakan-kerusakan tersebut antara lain: pencemaran, degradasi fisik, habitat, over-eksploitasi sumberdaya alam serta konflik penggunaan lahan pembangunan. Selain itu, di daerah hinterland relatif kurang berkembang akibat keterbatasan akses yang akhirnya menimbulkan kesenjangan wilayah.
12
Oleh karenanya perlu dilakukan suatu rencana pengembangan wilayah yang dilakukan secara holistik, sinergis, koordinatif, efisien dan efektif untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat melalui penataan ruang (Deni, 2000).
Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan. Pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. SIG adalah sistem komputer yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak dan personal (manusia) yang dirancang untuk secara efisien memasukan, menyimpan, memperbaharui, menanipulasi, menganalisa dan menyajikan semua jenis informasi yang berorentasi geografis. (ESRI, 1990). Perencanaan tata ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah lebih komplek bila dibandingkan dengan perencanaan spasial di daerah daratan. Hal ini dikarenakan (a) perencanaan di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil
harus
mengikut sertakan semua aspek yang berkaitan baik dengan wilayah darat maupun lautan; (b) aspek daratan dan lautan tersebut tidak dapat dipisahkan secara fisik oleh garis pantai. Kedua aspek tersebut saling beriteraksi secara terus menerus dan bersifat dinamis seiring dengan proses-proses fisik dan biogeokimia yang terjadi; dan (c) bentang alam daerah pesisir berubah secara cepat bila dibandingkan dengan wilayah daratan. Hal ini merupakan hasil interaksi yang dinamis antara daratan dan lautan (Dahuri, 1997). Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di bidang pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, permodelan perubahan iklim global dan geologi.
Proses Hirarki Analisis (AHP) Salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan pembangunan adalah AHP (The Analytic Hierarchy Process). Metode
13
AHP ini dapat menentukan prioritas dari beberapa kegiatan atau proyek. Namun apabila jumlah kegiatan yang akan ditentukan prioritasnya sangat banyak (lebih dari 10 kegiatan), maka perlu ada modifikasi dalam metode AHP tersebut atau yang disebut MAHP (Modifikasi AHP). Sebenarnya dapat saja digunakan metode AHP secara murni, yaitu dibuat jenjang penilaian, misalnya dari seluruh kegiatan tersebut dikelompokan berdasarkan program, dan kemudian dikelompokkan lagi dalam sub-program atau sub-sub program, sehingga jumlah kegiatan dalam subsub program tersebut kurang atau sama dengan 10 kegiatan. Kemudian dibuat prioritas proyek atau kegiatan yang ada dalam sub-sub program tersebut. Namun metode AHP dengan banyak hirarki ini akan semakin rumit, sedangkan kita memerlukan metode yang mudah namun secara akademis dapat dipertanggung jawabkan, sehingga pilihan modifikasi AHP ini merupakan salah satu alternatif yang dipilih. Disamping itu dengan menentukan prioritas kegiatan atau proyek hanya dalam suatu sub-sub program, maka kita tidak dapat membandingkan suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dalam keseluruhan kegiatan yang ada dalam suatu departemen atau pemerintah daerah. Modifikasi AHP ini terletak pada penilaian dengan menggunakan skor (misalnya 0,1,2, dan 3) untuk masing-masing kegiatan dikaitkan dengan misalnya kedekatannya dengan sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, jadi bukan dengan membandingkan antar kegiatan mengingat jumlah kegiatan yang akan ditentukan prioritasnya sangat banyak. Metode AHP maupun MAHP ini dapat digunakan disamping untuk menentukan prioritas kegiatan juga dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan/proyek dari beberapa bahkan ribuan proyek. AHP adalah salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan. AHP pada dasarnya didesain untuk menangkap persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didisain untuk sampai kepada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif. Dengan demikian dapat dianggap sebagai model multy objective multy criteria. Untuk menggunakan alat analisis ini, suatu masalah yang rumit dan tak
14
berstruktur perlu terlebih dahulu dipecah ke dalam berbagai komponennya. Setelah menyusun komponen-komponen ini ke dalam sebuah urutan hirarki, maka diberikan nilai dalam bentuk angka kepada setiap bagian yang menunjukkan penilaian terhadap relatif pentingnya setiap bagian itu. Untuk sampai kepada hasil akhir, penilaian tersebut disintesiskan (melalui penggunaan eigen vector) guna menentukan variabel mana yang mempunyai prioritas tertinggi. Asumsi-asumsi yang digunakan oleh AHP adalah sebagai berikut: Pertama, harus terdapat sedikit (jumlah yang terbatas) kemungkinan tindakan, yakni: 1, 2, 3,…,n
yang adalah tindakan positif, (n) adalah bilangan yang terbatas.
Responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya atribut-atribut.
Skala yang
dipergunakan dapat apa saja, tergantung dari pandangan responden dan situasi yang relevan, walaupun demikian mengikuti pendekatan AHP dipergunakan metode skala angka Saaty mulai dari 1 yang menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya sama penting dan untuk atribut yang sama selalu bernilai satu, sampai dengan 9 (sembilan) yang menggambar satu atribut ekstrim penting terhadap atribut lainnya.
Pada
Tabel 1 disajikan skala angka Saaty beserta
definisi dan penjelasannya. Tabel 1 Skala angka Saaty Intensitas/ Pentingnya
Definisi
1
Sama penting
3
Perbedaan penting yang lemah antara yang satu terhadap yang lain
Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu lebih disukai dari pada yang lain
5
Sifat lebih pentingnya kuat
Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih disukai dari yang lain.
7
Menunjukkan sifat sangat penting
9
Ekstrim penting
2, 4, 6, 8
Nilai tengah diantara dua penilaian
Keterangan Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan
Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan Bukti bahwa antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai. Diperlukan kesepakatan (kompromi)
15
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki kompleksitas yang sangat tinggi, baik karakteristik, dinamika dan potensi. Pembangunan yang semakin meningkat di wilayah ini, semakin menambah permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, untuk mengatasi permasalahan tersebut kerjasama antar sektor sangat diperlukan dalam setiap tahap pembangunan wilayah pesisir mulai dari proses perencanaan, implementasi dan evaluasi. Sejalan dengan desentralisasi, daerah mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan dan pengembangan wilayahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengunaan lahan yang tidak optimal serta pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang tidak efisien merupakan permasalahan utama yang sering ditemukan dalam pembangunan wilayah pesisir. Pemerintah daerah dalam hal ini adalah institusi yang sangat berperan dalam membidangi masalah ini, telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk menanggulangi permasalahan tersebut seperti penataan ruang wilayah pesisir. Namun seringkali kebijakan tersebut menjadi tidak berarti, karena ketidak terlibatan masyarakat, dimana masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan wilayah pesisir. Permasalahan yang sering muncul dalam perencanaan pembangunan wilayah pesisir adalah terabaikannya peran masyarakat lokal dalam setiap tahapan pembangunan sehingga kepentingan mereka terhadap sumberdaya pesisir dan laut tidak terakomodir dalam suatu perencanaan pembangunan yang terpadu dengan stakeholder yang lain. Kepulauan Anambas yang merupakan daerah hasil pemekaran, dimana pemanfaatan ruang pesisir dan laut harus ditata secara baik dan benar sesuai dengan daya dukung lingkungan, karakteristik wilayah dan keinginan stakeholder dalam hal ini pelaku di dalam masyarakat, sehingga nantinya tidak menimbulkan permasalah kedepan dalam pemanfaatan ruang. Analisis diawali dengan mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengelolaan pesisir dan lautan yang mencakup aspek biofisik, sosial ekonomi dan budaya. Analisis biofisik dan lingkungan diawali dengan menumpangsusunkan
16
peta-peta tematik seperti penggunaan lahan, peta kontur dan lain sebagainya. Pada penelitian ini, penggunaan analisis karakteristik dan tipologi desa adalah untuk mengambarkan karakteristik wilayah dan tipologi desa pesisir di kawasan Kepulauan Anambas. Hasil dari kedua analisis tersebut akan dipadukan dengan persepsi stakeholder yang mengunakan Proses Hirarki Analisis (AHP). AHP dapat mengambarkan keinginan dan persepsi stakeholder terhadap prioritas keinginan stakeholder (masyarakat, pemerintah dan swasta) dalam pengembangan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kepulauan Anambas dimasa mendatang. Pemilihan responden untuk analisis ini harus memperhitungkan pengetahuan yang luas dan keterkaitan dengan pembangunan di Kepulauan Anambas. Keluaran dari studi ini akan menjadikan masukan bagi kebijakan daerah dalam pemanfaatan ruang pesisir Kepulauan Anambas dengan tetap mempertimbangkan rencana induk pembangunan di Kabupaten Natuna. Skema pendekatan kajian pemanfaatan ruang dan alur metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 2.
Kebijakan Pemanfaatan Ruang Kepulauan Anambas
masuk
Potensi dan Permasalahan
Biofisik dan Lingkungan
Overlay Karakteristik Biofisik
Sosial Ekonomi dan Budaya
Persepsi Stakeholder
Analisis Karakteristik & Tipologi Desa Pesisir
Proses Hirarki Analisis
Kriteria Kesesuaian Peruntukan Lahan
Analisis Kesesuaian Lahan
Analisis Pemanfaatan Lahan
Arahan Pengembangan Pemanfaatan Ruang
Gambar 2 Skema pendekatan kajian pemanfaatan ruang Kepulauan Anambas.
17
Tabel 2. Tabel alur metode penelitian
18
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Siantan dan Kecamatan Palmatak yang merupakan gugusan Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Selama 6 bulan penelitian ini mulai dari bulan Januari 2006 – Juni 2006 yang meliputi pengumpulan data primer dan sekunder serta studi pustaka. Letak wilayah Kepulauan Anambas dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : Microsoft corporation all rights reserved, 2003 diacu dalam Darwin (2005)
Gambar 3 Peta Kepulauan Anambas pada posisi di Laut Cina Selatan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Kebutuhan data primer biofisik dilakukan dengan cara metode survei dengan pengambilan contoh di lapangan secara acak. Kegiatan di lapangan meliputi survei tentang data sekunder dan kegiatan wawancara dengan menggunakan kuisioner. Responden yang terdiri atas: Aparat pemerintah, tokoh masyarakat, dan pihak swasta dikedua kecamatan di Kepulauan Anambas yang merupakan stakeholder. Jenis data primer yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 3.
19
Tabel 3 Jenis dan sumber data primer yang dikumpulkan No
Jenis Data
Sumber Data
1.
Data Sosial dan Kelembagaan (Adat istiadat, perekonomian rakyat, stuktur pemerintahan dan lembaga masyarakat)
Bappeda Kabupaten dan Pemerintah Kecamatan
2.
Data Pemanfaatan Ruang (Pemukiman, Perikanan, Budidaya, Koservasi dan Pariwisata)
Survei dan Bappeda Kabupaten
3.
Persepsi Stakeholders
Kuisioner dan Wawancara
Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian seperti; Bappeda, Kimpraswil Kabupaten, Pemda Kabupaten Natuna, Dinas Perhubungan, Bakosurtanal, dan Dinas Hidro-Oseanografi dan lain sebagainya, serta hasil studi dan penelitian yang sudah ada yang berkaitan dengan kegiatan di kawasan Kepulauan Anambas, maupun hasil studi kepustakaan. Jenis data sekunder dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan sumber data sekunder yang dikumpulkan No
Jenis Data
Sumber Data
1.
Demografi Kependudukan
Bappeda Kabupaten Natuna dan Pemerintah Kecamatan Siantan dan Palmatak
2.
Sarana dan Prasarana
Bappeda dan Kimpraswil Kabupaten Natuna
3.
Meteorologi dan Geofisika
Stasiun Meteorologi Terempa
4.
Peta Administrasi Wilayah
Pemda Kabupaten Natuna dan Kecamatan Siantan
5.
Peta Rupa Bumi
Bappeda Natuna dan Bakosurtanal
6.
Peta Lingkungan Laut Nasional
Dihidros-oseanografi
7.
Peta Penggunaan Lahan
Bappeda Kabupaten Natuna
8
Data Oseanografi
Studi Pustaka dan Dinas Perhubungan
9
Vegetasi Mangrove dan Terumbu Karang
Studi Pustaka
Analisis Spasial Penggunaan analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan potensi sumberdaya alam baik di darat maupun lautan, sehingga diperoleh luasan yang sesuai untuk pemanfaatan ruang yang sesuai bagi peruntukan konservasi pantai, pemukiman, budidaya perikanan laut, perikanan tangkap, dan pariwisata
20
pantai. Penggunaan SIG dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) antara seluruh tema-tema peta akan didapatkan seleksi tata ruang yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, pembobotan (weighting), pengharkatan (scoring), dan kelas (class). Prosedur kerja SIG (Sistem Informasi Geografis) adalah perangkat keras, perangkat lunak dari data geografis untuk mendayagunakan sistem penyimpanan, manipulasi, analisis dan penyajian seluruh
bentuk informasi geografis. Data
atribut maupun data informasi terkait pada aspek keruangan lokasional disajikan dalam bentuk peta sebagai basis data. Untuk memperoleh hasil analisis spasial dilakukan teknik penampalan (overlaying), dari beberapa peta tematik baik dalam bentuk vektor maupun raster. Pada prinsipnya informasi spasial yang dihasilkan didasarkan pada nilai-nilai digit yang baru sebagai hasil perpaduan antara nilainilai digit yang lama. Software yang digunakan adalah software untuk SIG. Analisis spasial dilakukan pada 5 (lima) analisis kesesuaian lahan, yaitu: masing-masing adalah, (1) kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai, (2) kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman (3) kesesuaian lahan untuk zona budidaya perikanan laut, (4) kesesuaian lahan untuk zona perikanan tangkap dan, (5) kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai. Untuk setiap kesesuaian lahan urutan prosesnya berbeda berdasarkan
kriteria-kriteria
yang
ditentukan, sebagaimana disajikan pada Gambar 4. 1. Kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai Jarak dari pantai
Vegetasi
Jarak pemukiman
Peta kesesuaian lahan untuk Konservasi
Ketinggian
Gambar 4 Hirarki kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai
telah
21
2. Kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman Kriteria yang diperlukan untuk kawasan permukiman dan perkotaan dari aspek alokasi penetapan ruang adalah sebagaimana pada Gambar 5. Jarak dari pantai
Jarak sumber Air tawar
Aksesibilitas
Peta kesesuaian lahan untuk Pemukiman
Ketinggian
Gambar 5 Hirarki kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman 3. Kesesuaian lahan untuk zona budidaya perikanan dan zona perikanan tangkap Berdasarakan karakteristik pulau-pulau kecil, maka arahan pemanfaatan potensi sumberdaya tersebut diantaranya adalah budidaya perikanan (keramba) dan perikanan tangkap, Kriteria yang diperlukan untuk zonasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 5 Keterlindungan
Jenis dasar perairan
Kedalaman
Suhu perairan
Peta kesesuaian lahan untuk Keramba
Kecerahan
Gambar 6 Hirarki kesesuaian lahan untuk zona budidaya perikanan (keramba)
22
4. Kesesuaian lahan untuk zona perikanan tangkap Kriteria lahan untuk kegiatan perikanan tangkap dilihat dari zona-zona perikanan tangkap yang ada di Kepulauan Anambas, penentuan zonasi juga melihat kondisi kawasan di sekitarnya, sebagaimana dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kriteria yang diperlukan untuk zona kegiatan perikanan tangkap Kegiatan Perikanan Tangkap
Kriteria 1. 2. 3.
jauh dari zona budidaya jarak aman dari kawasan-kawasan lain, yang didasarkan atas tipe pasang surut. jauh dari daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery ground).
Sumber : Bengen (2002), Modifikasi Peneliti (2006)
5. Kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai Kriteria wilayah yang diperlukan untuk menentukan kawasan
kegiatan
pariwisata, adalah sebagi berikut: 1. mempunyai keindahan yang menarik untuk dilihat dan dinikmati, 2. keaslian panorama alam dan keaslian budaya, 3. keunikan ekosistem, 4. di dalam lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin besar dan topografi dasar laut yang curam, 5. tersedia sarana dan prasarana yang menujang pariwisata. Selanjutnya dilakukan penentuan pemanfaatan lahan pulau dan perairan untuk kegiatan wisata yang disusun berdasarkan parameter biofisik dimana dapat dilihat pada Gambar 7. Kedalaman
Kecerahan
Substrat dasar Perairan
Peta kesesuaian lahan untuk Pariwisata
Jarak sumber Air tawar
Gambar 7 Hirarki kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai
23
Penyususan
matrik
kesesuaian
lahan
dengan
berbagai
peruntukan
didasarkan pada matrik kriteria penentuan kesesuaian lahan dari FAO, Bakosurtanal maupun hasil modifikasi kriteria peneliti dari studi pustaka. Struktur kerja analisis kesesuaian dapat dilihat pada Tabel 6,7,8 dan 9 matrik berikut ini: Tabel 6 Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman Bobot No
Parameter
Kategori
(%)
S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
1
Jarak dari pantai (m)
3
>200
4
100-200
3
50-100
2
<50
1
2
Jarak dari
3
<500
4
500-1000
3
10002000
2
>2000
1
sumber air tawar (m) 3
Aksesibilitas (jalan), (m)
2
<500
4
500-1000
3
10002000
2
>2000
1
4
Ketinggian (m)
1
6-15
4
16-20
3
>21
2
0-5
1
Sumber : Modifikasi FAO, 2000 diacu dalam Raup SA (2004), Modifikasi Peneliti (2006)
Tabel 7 Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai Bobot No
Parameter
1
Kategori
(%)
S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
Jarak dari pantai (m)
3
<76
4
76-150
3
150-200
2
>200
1
2
Vegetasi
3
Mangrove
4
-
-
Non Mangrove
2
-
-
3
Jarak dari pemukiman (m)
2
>200
4
100-200
3
-
-
<100
1
4
Ketinggian (m)
1
0-5
4
6-15
3
16-20
2
>21
1
Sumber : Modifikasi FAO, 2000 diacu dalam Raup SA (2004), Modifikasi Peneliti (2006)
Tabel 8 Matrik kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan laut (Keramba) Bobot No
Parameter
Kategori
(%)
S1
Skor
S2
Skor
N
Skor
1
Keterlindungan
3
Sangat terlindung
4
Terlindung
3
Tidak terlindung
1
2
Substrat dasar perairan
3
Karang Berpasir
4
Pasir
3
Berlumpur
1
3
Kedalaman (m)
3
10-15
4
4-10
3
<4 dan >15
1
4
Suhu perairan (0C)
2
24-29
4
29-30
3
<24 dan >30
1
5
Kecerahan
2
Tinggi
4
Sedang
3
Rendah
1
Sumber : Tiensongrusme 1986, diacu dalam DKP (2001a), Modifikasi Peneliti (2006)
24
Tabel 9 Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai Bobot No
Parameter
Kategori
(%)
S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
1
Kedalaman Perairan (m)
3
0-4
4
4-10
3
-
-
>10
1
2
Kecerahan
3
Tinggi
4
Sedang
3
-
-
Rendah
1
3
Subsrat dasar perairan
2
Karang
4
Pasir, terumbu
3
-
-
Lumpur
1
4
Jarak dari sumber air tawar (m)
2
<500
4
5001000
3
10002000
2
>2000
1
Sumber : Modifikasi FAO, 2000 diacu dalam Raup SA (2004), Modifikasi Peneliti (2006)
Kesesuaian lahan dalam pemanfaatan ruang dianalisis berdasarkan kriteria dan persyaratan masing-masing, dalam penelitian ini kelas kesesuaian dibagi kedalam 3 kelas yang didefinisikan sebagai berikut: Kelas
S1
: Sangat sesuai (Higly Suitable): Kawasan/lahan ini
mempunyai pembatas yang serius untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi daerah tersebut, serta tidak akan menambah masukan dari biasa dilakukan dalam pengusahaan lahan tersebut, Kelas mempunyai
S2
: Sesuai (Moderately Suitable) Kawasan/lahan ini
pembatas-pembatas
yang
agak
serius
untuk
suatu
penggunaan tertentu secara lestari, atau pembatas tersebut akan mengurangi tingkat produktivitas kawasan/lahan dengan keuntungan yang diperoleh, serta pembatas ini akan meningkatkan masukan untuk mengusahakan daerah/lahan tersebut, Kelas
S3
: Tidak sesuai saat ini (Currently Not Suitable) yaitu
kawasan/lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat serius akan tetapi masih memungkinkan diatasi atau diperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi yang sebih tinggi serta tambahan biaya yang lebih rasional, Kelas
N
: Tidak sesuai (Not Suitable) Kawasan/lahan
mempunyai pembatas sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin untuk dipergunakan terhadap suatu pengguna secara lestari.
25
Pembobotan (Weighting) dan Skoring Analisis overlay yang digunakan adalah indeks overlay model (Benham dan Carter, diacu dalam Candra, 2003). Pembobotan pada setiap faktor pembatas ditentukan
berdasarkan
dominannya
parameter
tersebut
terhadap
suatu
peruntukan. Besarnya pembobotan ditujukan pada suatu parameter untuk seluruh analisis lahan misalnya; parameter jarak pantai mempunyai bobot lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian untuk kesesuaian pemukiman. Model matematis disajiakan sebagai berikut: Sx =
∑ Sij Wi ∑Wi x
dimana : = Indeks terbobot poligon terpilih = Nilai kelas ke-j dalam peta ke-i = Bobot peta ke-i
Sx Sij Wi
Besarnya bobot dan skoring tidak memiliki nilai mutlak, karena hanya digunakan untuk memudahkan analisis terhadap evaluasi kesesuaian lahan. Adapun penetuan nilai kelas kesesuaian lahan untuk setiap peruntukkan adalah:
Dari
3,26 – 4
:
Sangat Sesuai
2,51 – 3,25
:
Sesuai
1,76 – 2,50
:
Tidak Sesuai Bersyarat
1,00 – 1,75
:
Tidak Sesuai
hasil
analisis
kesesuaian
lahan
akan
diperoleh
peta
yang
mendeskripsikan pola penggunaan lahan yang sesuai bagi peruntukkan kawasan/zona tersebut. Dengan adanya teknik SIG, diharapkan kendala-kendala pengembangan kawasan ini dapat diperkecil, disamping itu perubahan luas jenis penggunaan lahan kegiatan tertentu pada setiap tempat dapat berbeda tergantung lokasi. Dengan demikian diharapkan pemilihan lokasi untuk berbagai kawasan akan memberikan dampak positif bagi masyarakat pengguna ruang maupun pemerintah daerah.
26
Analisis Karakteristik Tipologi Desa Penggunakan metode Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis /PCA), dimaksud untuk melihat karakteristik dan tipologi terhadap keseluruhan desa di Kecamatan Siantan dan Palmatak dengan menggunakan data sekunder yaitu data potensi desa (PONDES), yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003. Analisis komponen utama merupakan teknik analisis multivariabel yang dilakukan untuk tujuan ortogonalisasi dan penyederhanaan variabel. Analisis ini merupakan teknik statistik yang menginformasikan secara linier suatu set variabel kedalam variabel baru dengan ukuran lebih kecil namun representatif dan tidak saling berkorelasi (Bengen, 2001). Adapun variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Variabel-variabel analisis komponen utama No
Variabel
Notasi
1.
Jumlah penduduk, Invers Jarak dari Kantor Desa/Kelurahan ke Kantor Kecamatan yang Membawahi (km)
JRK-KK
2.
Kepadatan penduduk
PADAT
3.
Rasio Jumlah Keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I (keluarga) dengan Jumlah Keluarga (keluarga)
4.
Jumlah SD/100 Penduduk
5.
Jumlah SLTP/100 Penduduk
SLTP
6.
Jumlah SLTA/100 Penduduk
SLTA
7.
Rasio Ladang/Kebun dengan Luas Desa
8.
Rasio Perumahan dan Pemukiman dengan Luas Desa
9.
Rasio Jumlah Keluarga yang Menangkap Ikan di Laut dengan Jumlah Keluarga
KEL-IKAN
10.
Rasio Jumlah Keluarga yang Mengusahakan Budidaya Perikanan di Laut dengan Jumlah Keluarga
KEL-BUD
PRASEJAH SD
LADANG RUMAH
Pengunaan analisis kelompok (Cluster Analysis) dimana berfungsi untuk melihat pengelompokkan suatu desa terhadap faktor-faktor yang mencirikan karakteristik tipologi wilayah. Analisis faktorial diskriminan (Discriminant Analysis / DFA) diperlukan untuk melihat apakah ketepatan dari masing-masing analisis dan penyusun model tipologi wilayah.
27
Analisis Persepsi Stakeholder Pemanfaatan Ruang.
Terhadap
Prioritas
Pengembangan
AHP adalah salah satu metode analisis dalam pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel, terutama sekali membantu pengambil keputusan untuk menentukan kebijaksanaan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan. Metode MAHP merupakan metode AHP yang dimodifikasi untuk menjangkau dalam penentuan prioritas salah satu kegiatan dengan banyak alternatif pilihan (> 10 kegiatan pilihan). Adapun permasalahan yang dibahas diantaranya persepsi stakeholder terhadap pengembangan pemanfaatan ruang, sebagai responden yang dianggap berperan
aktif
dan
memiliki
pengetahuan
yang
menyeluruh
tentang
pengembangan pemanfaatan ruang (Lampiran 1). Responden tersebut terdiri dari 5 orang disetiap kecamatan, kemudian dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pemerintah (pengambil keputusan), swasta dan tokoh-tokoh masyarakat di Kecamatan Siantan dan Palmatak dengan teknik wawancara yang menggunakan kuisioner, struktur hirarki yang digunakan dalam analisis ini dapat dilihat pada Gambar 8.
28
Gambar 8. Struktur hirarki pengembangan pemanfaatan ruang Kepulauan Anambas
29
GAMBARAN UMUM WILAYAH Letak Wilayah dan Administrasi Pemerintahan Kecamatan Siantan dan Palmatak merupakan gugusan dari Kepulauan Anambas terdiri dari pulau-pulau Siantan, Matak dan Jemaja, yang terletak di Laut Cina Selatan, Secara geografis Kepulauan Anambas terletak pada 30 30’ - 20 45’ Lintang Utara 1060 00’ - 1060 30’ Bujur Timur (Gambar 9). Secara administratif wilayah kedua kecamatan berbatasan antara lain dengan: Sebelah Utara
: Vietnam dan Kamboja,
Sebelah Selatan : Kecamatan Tambelan Kabupaten Kepulauan Riau, Sebelah Barat
: Kecamatan Jemaja dan Semenanjung Malaysia,
Sebelah Timur : Kabupaten Buguran Barat dan Midai Kabupaten Natuna. Kecamatan Siantan dengan luas wilayah 19,226 km2 (97,68% adalah lautan) terdiri dari 74 buah pulau dan hanya 24 pulau yang berpenghuni, demikian halnya dengan Kecamatan Palmatak yang luas wilayahnya 12.890 km2 (95,73% adalah lautan) terdiri dari 66 buah pulau dan hanya 20 pulau yang berpenghuni. (BPS Kab. Natuna, 2004). Kondisi Fisik Wilayah Kondisi fisik wilayah di Kepulauan Anambas khususnya Kecamatan Siantan dan Palmatak umumnya hampir sama, kondisi ini dibagi menjadi beberapa aspek diantaranya adalah: geologi dan kemiringan lahan, tutupan lahan, klimatologi, hidro-oseanografi, pola tata guna lahan dan sumberdaya mineral yang memuat berbagai data sekunder dan observasi di lapangan, dapat dilihat pada penjelasan berikut ini. Geologi dan Kemiringan Lahan Berdasarkan kondisi fisiknya, gugusan Kepulauan Anambas merupakan tanah berbukit dan bergunung batu, dataran rendah dan landai banyak ditemukan dipinggir pantai. Ketinggian wilayah antar pulau cukup beragam, yaitu berkisar antara 3 sampai dengan 959 meter dari permukaan laut dengan kemiringan antara 5% sampai 25 %, akan tetapi kemiringan lahan di gugusan Kepulauan Anambas cukup terjal.
30
Gambar 9 Administrasi
31
Pada umumnya struktur geologi gugusan Kepulauan Anambas terdiri 4 jenis yakni Aluvial (kerikil pasir, lanau dan gambut), Batuan Mafik/Ultramafik (peridotit, gabro dan basal), Endapan Pantai (pasir, kerikil dan sisa tumbuhan sebagai endapan pantai), Granit (granit, putih, kasar, porforitik, holokristalin, kuarsa, ortoklas, plagioklas, biotit, yang unik terdapat pada Pulau Siantan dan Pulau Matak yang mempunyai struktur geologi dari keempat jenis tersebut. Tutupan Lahan Gugusan Kepulauan Anambas umumnya banyak ditumbuhi pepohonan yang cukup beraneka ragam jenisnya. Khusus di pulau-pulau besar seperti Siantan, Matak, dan Mubur, banyak tumbuh pohon kelapa baik yang ditanam oleh penduduk maupun yang tumbuh dengan sendirinya. Selain itu banyak juga tanaman cengkeh maupun pohon durian (terutama Pulau Matak). Sebaran pohon tersebut baik di daerah pesisir maupun di daerah-daerah perbukitan dan pegunungan. Selain itu untuk pulau-pulau tersebut pada daerah pesisirnya banyak juga tumbuh ekosistem mangrove, sedangkan pada pulau-pulau yang lebih kecil tutupan lahannya lebih beragam. Klimatologi Iklim di Kepulauan Anambas sangat dipengaruhi oleh perubahan angin. Musim kemarau biasanya terjadi pada Bulan Maret sampai dengan Bulan Juli. Berdasarkan data pengamatan dari Stasiun Meteorologi Tarempa, selama Tahun 2001 – Juli 2005 (Lampiran 2), menunjukkan angin yang bertiup di daerah ini hanya dua arah yakni utara dan selatan, dimana kecepatan angin berkisar dari 1 m/s – 17,5 m/s dan minimum 1 m/s. Suhu udara berkisar 25,8 – 35,2 oC. Sedangkan curah hujan berkisar 18,8 – 596,9 mm.
Gambar 10 menunjukkan distribusi angin maksimum selama Tahun 2001 – Juli 2005, terlihat kecepatan angin dominan berkisar antara 10,8 – 22 m/s (sebesar 68,7%) dengan arah angin dari selatan sebesar 40,3% dan dari utara sebesar 28,4%. Secara keseluruhan angin dari arah selatan sebesar 53,7% sedangkan dari arah utara sebesar 46,3%. Pada umumnya angin maksimum yang terbesar terjadi pada musim timur (Juni – Agustus) dan musim barat (Desember – Februari)
32
sedangkan pada musim peralihan I (April – Mei) dan peralihan II (September – Nopember)
Sumber : DKP (2006)
Gambar 10
Mawar angin daerah Tarempa, Kepulauan Anambas Kabupaten Natuna selama tahun 2001 – Juli 2005.
Hidro-Oseanografi Wilayah pesisir sebagai daerah peralihan merupakan tempat pertemuan pengaruh daratan dan lautan, memiliki sifat yang sangat dinamis. Hidrooseanografi sebagai peran dan fungsi lautan yang paling dominan mempengaruhi karakteristik wilayah ini. Dengan demikian dalam menentukan kebijakan penggunaan ruang wilayah pesisir dan laut, faktor hidro-oseanografi harus menjadi pertimbangan utama. Studi menyangkut parameter tersebut sangat berguna dalam memprediksi pergeseran gerakan pantai akibat pengaruh gaya-gaya hidro-oseanografi seperti arus dan gelombang yang bervariasi pada setiap perubahan musim. Perubahan garis pantai dapat menjadi indikator kerusakan ekosistem pesisir dan laut, sehingga harus menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Hal ini terutama untuk kepentingan desain atau lay out peruntukan dan penggunaan lahan, seperti pertambakan, budidaya KJA/KJT, budidaya rumput laut, wisata pantai, pembangunan industri pantai, pemukiman pantai dan berbagai kepentingan pembangunan di kawasan pantai.
33
Gugusan Kepulauan Anambas sebagai “main-land” merupakan pulau yang memiliki banyak keunggulan sehingga menjadikan pusat pertumbuhan dan perekonomian di kawasan ini. Kepulauan Anambas yang dikelilingi oleh banyak pulau, baik yang telah berpenghuni maupun yang tidak berpenghuni memegang peranan yang sangat penting kedepan. Sebagai suatu gugusan pulau, daerah ini memiliki sumberdaya alam yang cukup besar dan beranekaragam, baik sumberdaya hayati maupun non-hayati. Besarnya sumberdaya ini memberikan peluang untuk diolah dalam segala dimensi pembangunan, akan tetapi fakta di lapangan bahwa optimalisasi sektor pembangunan belum dilakukan khususnya pembangunan di sektor kelautan, perikanan, dan wisata bahari, dalam penataan ruang wisata bahari, akan menghasilkan zonasi pemanfaatan keruangan yang sesuai dengan fungsinya, terutama diarahkan untuk lokasi pengembanagan sektor kelautan, perikanan, dan wisata bahari yang mendukung perekonomian dan ketahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gambaran kondisi hidro-osenografi dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11 Data hasil pengukuran parameter hidro-oseanografi bulan Juni tahun 2005 Posisi
Stasiun
Bujur
1
106o
2
o
3 4 5 6 7 8 9 10
106
o
106
o
106
o
106
o
106
o
106
o
106
o
106 106
o
16,564’ 17,148’ 18,724’ 18,994’ 18,212’ 17,736’ 17,484’ 17,275’ 14,38’ 14,616’
Sumber: DKP (2006)
Lintang
Salinitas ppm
Suhu o C
pH
Kecerahan (m)
Kedalaman (m)
3o 10,629’
20,8
29,7
8,72
3
3
o
27,3
29,3
7,44
15
20
o
30
30
8
8
8
o
30
29,2
7,47
2
2
o
28,3
29,5
8,4
12
15
o
28,3
29,5
8
12
20
o
28,8
29,5
8,4
15
>20
o
29,2
29,5
8,2
15
>20
o
29,9
29,4
8,4
12
18
o
30,4
29,9
7,96
5
10
3 11,41’ 3 12,534’ 3 12,394’ 3 14,192’ 3 13,969’ 3 14,679’ 3 14,206’ 3 13,67’ 3 17,355’
34
1. Pasang Surut Pasang surut adalah proses naik turunnya paras laut ( sea level ) secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa, terutama matahari dan bulan, terhadap massa air laut di bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar dari pada pengaruh gaya tarik matahari. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih besar dari pada gaya tarik matahari. Fenomena ini memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan, sehingga menyebabkan kondisi fisik perairan yang berbeda-beda. (Dahuri et al, 1996 dan Triatmodjo, 1999 diacu dalam DKP, 2006). Permasalahan mengenai kondisi pasut di Indonesia sangat penting artinya bagi Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km, untuk berbagai kegiatan yang berkaitan dengan laut atau pantai seperti pelayaran antar pulau, reklamasi pantai (dermaga/pelabuhan dan pemecah ombak), budidaya laut, pencemaran laut dan pertahanan nasional. (Ongkosongo dan Suyarso, 1989 diacu dalam DKP, 2006). Pergerakan pasang surut suatu daerah memegang peranan sangat penting dalam mempertahankan sumberdaya alam seperti terumbu karang, mangrove, lamun, daerah estuaria dan sebagainya. Selain pengaruh arus, pasang surut juga berperan dalam mempengaruhi pergerakan berbagai bahan pencemar seperti polutan kimia, limbah organik, minyak dan lain-lain. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Dishidros diacu dalam DKP (2006), diperoleh konstanta pasut di gugusan Kepulauan Anambas sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 12 di bawah ini. Berdasarkan data ini diperoleh bilangan Formzal sebesar 3,58 dan merupakan tipe pasut tunggal (diurnal), yakni dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Tabel 12 Konstanta pasang surut Tarempa Kepulauan Anambas Konstanta Pasut a (cm) g (cm)
M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1
M4
MS4
Z0
16
3
4
1
38
30
13
1
0
110
114
79
182
79
11
50
11
195
121
-
Sumber: Dishidros Tahun 2003, diacu dalam DKP (2006)
35
Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan amplitudo pasut KI dan O1 (komponen diurnal tides akibat pengaruh matahari) lebih besar/dominan yakni 38 cm dan 30 cm dibandingkan amplitudo M2 dan S2 (komponen semi-diurnal tides akibat pengaruh bulan) yakni 16 cm dan 3 cm. Komponen inilah yang mempengaruhi tipe pasang surut di perairan ini. Selain itu pasut di daerah ini juga sangat dipengaruhi oleh aliran massa air dari Samudera Pasifik yang melalui perairan Laut Cina Selatan. Grafik peramalan pasut di perairan Tarempa dapat dilihat pada Gambar 11. 240
210
Elevasi Muka Air (cm)
180
150
120
90
60
30
0 1
24 47 70 93 116 139 162 185 208 231 254 277 300 323 346 369 392 415 438 461 484 507 530 553 576 599 622 645 668 691 714 737
Waktu (Jam)
Sumber: DKP (2006)
Gambar 11 Grafik hasil peramalan pasang surut perairan Tarempa Kepualauan Anambas. 2. Karakteristik Gelombang Gelombang terjadi akibat adanya gaya-gaya alam yang bekerja di laut seperti tekanan atau tegangan dari atmosfir (khususnya melalui angin), gempa bumi, gaya gravitasi bumi dan benda-benda angkasa (bulan dan matahari), gaya coriolis (akibat rotasi bumi), dan tegangan permukaan. Gelombang merupakan salah satu faktor utama dalam penentuan morfologi dan komposisi pantai serta penentuan proses perencanaan dan desain pembangunan pelabuhan, terusan (waterway),
struktur
pantai,
alur
pelayaran,
proteksi
pantai,
kegiatan
penangkapan, riset ilmu pengetahuan dan wisata bahari terutama wisata laut.
36
Menurut DKP (2006) berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan pada umumnya gelombang yang terjadi di perairan dalam Kepulauan Anambas sangat besar bisa mencapai 3 m. Hal ini disebabkan karena perairan Anambas relatif terbuka, yakni langsung berhadapan dengan laut bebas (Laut Natuna dan Laut Cina Selatan di sebelah utara dan Laut Natuna di sebelah selatan). Apabila angin bertiup dari arah utara maka pantai bagian utara akan terlihat lebih besar dibandingkan bagian selatan, sebaliknya jika angin bertiup dari selatan maka gelombang dibagian selatan akan lebih besar dibandingkan dengan pantai utara. Sedangkan perairan teluk dan selat relatif tenang (< 0,5 m), hal ini disebabkan gelombang tersebut telah mengalami refraksi maupun difraksi. Berdasarkan peramalan gelombang dari konversi data angin maksimum selama Tahun 2001 – Juli 2005 (Lampiran 3), menunjukkan tinggi gelombang besar umumnya terjadi pada musim timur yakni berkisar 1,71 m – 4 m dengan periode geombang 7,14 detik – 9,47 detik dan musim barat (Desember – Februari) berkisar 1,71 m – 3,2 m dengan periode geombang 7,14 detik – 8,79 detik, sedangkan saat musim peralihan I (April – Mei) dan musim peralihan II (September – Nopember) lebih kecil yakni masing-masing berkisar 1,37 m – 1,37 m dan 1,14 m – 3,89 m dengan periode gelombang 6,63 – 9,29 detik dan 6,24 – 9,38 detik. Gerakan gelombang yang cukup tinggi memberikan indikasi ketidak terlindungan lokasi untuk kegiatan wisata bahari dan memberikan efek yang dapat menghambat kegiatan wisata dan kegiatan penangkapan. Efek ini akan lebih terasa pada kegiatan budidaya yang dilakukan dipermukaan seperti kegiatan budidaya ikan dengan menggunakan KJA atau KJT. Sehingga daerah-daerah yang relatif tenang dapat diperuntukkan bagi pemanfaatan pembudidayaan perikanan yang membutuhkan kondisi gelombang yang lebih kecil.
3. Karakteristik Arus Pola arus di perairan gugusan Kepulauan Anambas umumnya mengikuti pola arus dari Laut Cina Selatan dimana sangat tergantung dari angin muson. Pada bulan Februari angin musom barat laut arus bergerak dari laut Cina Selatan menuju Pulau Jawa. Kedua pola arus besar tersebut akan berubah pada saat
37
berputar di perairan gugusan Kepulauan Anambas. Hal ini dapat terjadi akibat gugusan pulau-pulau disekitarnya berfungsi sebagai pelindung. Arus merupakan pergerakan massa air yang sangat vital dalam perencanaan pengembangan budidaya perairan. Pergerakan massa air memungkinkan terjadinya pendistribusian nutrien di lingkungan perairan sehingga menjaga kesuburan perairan (dampak positif), akan tetapi dapat juga sebagai media penyebaran bahan-bahan pencemar sehingga penyebarannya lebih luas di lingkungan perairan (dampak negatif). Pada batasan tertentu fungsi arus sangat dibutuhkan untuk melakukan pencucian dan penetralisir massa air di lokasi budidaya.
Selain itu peran arus sangat penting untuk mencegah terjadinya
akumulasi partikel sedimen halus pada permukaan komoditas yang di budidayakan seperti rumput laut sehingga proses respirasinya dapat berjalan sempurna sedangkan untuk budidaya biota yang bersifat filter feeder seperti Holoturidea sp (teripang), Molusca (kerang mutiara, kerang hijau dan lain-lain) arus sangat penting sebagai media penyuplai pakan. Karakteristik pergerakan massa air (arus) mesti diketahui untuk perencanaan pembudidayaan perairan, disebabkan peran arus sabagai faktor pembatas fisiologis biota yang dibudidayakan dan pertimbangan pembangunan konstruksi budidaya yang tepat. Karakteristik arus di wilayah ini sangat dipengaruhi oleh pola pasang surut permukaan air laut, selain pengaruh arus global yang dipengaruhi oleh faktor iklim. Pola arus yang dipengaruhi oleh pasang surut permukaan perairan gerakannya relatif bolak balik, yang secara umum digambarkan bahwa pada permukaan air saat mengalami surut, maka pola arus relatif menjauhi garis pantai sedangkan pada saat pasang arah arus relatif mendekati garis pantai. Pada beberapa daerah dengan karakteristik khusus, seperti pada selat-selat sempit, pergerakan massa air (arus) akan mengalami percepatan pergerakan. Karakteristik arus pada daerah selat umumnya sangat dipengaruhi oleh pola pergerakan pasang surut saat peralihan dari pasang tertinggi ke surut umumnya kecepatan arus sangat besar demikian juga sebaliknya, sedangkan pada saat menjelang/mencapai pasang tertinggi atau surut terendah, maka kecepatannya melemah. Demikian halnya juga terjadi pada daerah teluk. Biasanya pada daerah
38
ini perairannya sangat bagus untuk dikembangkan menjadi daerah budidaya, oleh karena adanya pengadukan massa air yang banyak mempengaruhi dan mengandung unsur-unsur hara maupun plankton yang sangat dibutuhkan organisme-organisme disekitarnya.
4. Suhu Perairan Suhu perairan merupakan salah satu faktor penentu kehidupan organisme. Bahkan beberapa organisme biota laut sangat sensitif terhadap fluktuasi suhu. Kenaikan suhu 10oC sampai batas yang dapat ditoleransi oleh organisme akan meningkatkan proses metabolisme organisme sebesar dua kali lipat, sehingga memacu kecepatan pertumbuhan biota yang dibudidaya. Dengan demikian suhu sangat berpengaruh pada peningkatan total nilai produksi budidaya. Nilai suhu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor musim. Pada musim hujan dimana banyak terdapat gumpalan awan hujan yang menghalangi penetrasi sinar matahari ke perairan menyebabkan rendahnya suhu permukaan perairan. Sedangkan pada musim kering, dimana penetrasi sinar matahari terjadi maksimum, berakibat pada meningkatnya suhu permukaan perairan. Suhu perairan relatif homogen pada perairan yang dangkal dimana pengaruh penetrasi sinar matahari bisa sampai ke dasar perairan. Kisaran rata-rata suhu adalah antara 29,2 oC – 32,9oC. Kisaran suhu tersebut pada umumnya masih berada toleransi yang cukup baik.
5. Salinitas Salinitas merupakan faktor pembatas yang menyebabkan terjadinya stratifikasi penyebaran biota laut baik secara horizontal maupun vertikal. Hal ini berkenaan dengan kemampuan adaptasi dan toleransi biota untuk proses alamiah yang terjadi pada tubuhnya (proses osmoregulasi).
Fluktuasi salinitas sangat
berpengaruh pada daya tahan tubuh organisme yang dibudidayakan. Fluktuasi salinitas di perairan laut terjadi secara signifikan apabila ada suplai air tawar yang berasal dari sungai. Dengan demikian peranan musim juga sangat berperan, dimana disaat musim hujan suplai air tawar melalui sungai akan melimpah sehingga berpengaruh nyata pada penurunan nilai salinitas perairan pesisir atau
39
sekitar sungai. Demikian pula sebaliknya pada saat musim kemarau aktivitas penguapan akan sangat tinggi sehingga mempengaruhi salinitas perairan secara umum khususnya salinitas permukaan perairan. Hasil pengamatan dan konversi data dari berbagai instansi penelitian terdahulu, diperoleh kisaran salinitas 27o/oo, 28o/oo, dan 31o/oo dimana umumnya sebaran salinitas yang hampir homogen dan masih berada dalam kisaran yang ideal untuk kegiatan budidaya dan parawisata bahari (DKP, 2006).
6. Kecerahan Perairan Kecerahan perairan merupakan salah satu parameter yang menentukan kesuburan suatu perairan. Dimana kecerahan perairan sangat tergantung pada kondisi sedimen tersuspensi, kepadatan alga, fitoplankton dan bahan cemaran (polutan) serta arah datangnya cahaya pada perairan. Berdasarkan pengamatan lapangan dapat dijelaskan bahwa kondisi kecerahan masing-masing stasiun pengamatan berbeda-beda. Pada umumnya tingkat kecerahan pada semua stasiun berkisar antara 70 – 80 %. Hal ini menggambarkan rata-rata semua perairan memiliki tingkat kecerahan cukup tinggi. Kondisi ini dapat memberikan peluang lebih besar untuk berbagai kegiatan budidaya. Kecerahan perairan dikenal pula sebagai kejernihan perairan, parameter kecerahan pada kesesuaian lahan untuk parawisata digunakan sebagai jarak pandang dalam penyelaman.
7. Batimetri Kedalaman perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting diketahui dalam berbagai kepentingan pembangunan di wilayah pesisir dan laut. Pengembangan sektor wisata bahari tergantung kondisi geografis dan kedalaman perairannya terutama yang berhubungan dengan kegiatan wisata laut. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Dishidros diacu dalam DKP (2006), pada umumnya perairan dalam Anambas kedalamannya berkisar 15 – 80 meter, sedangkan pada daerah dangkal 0 – 20 meter. Pada daerah antara Pulau Matak dan Pulau Batu Garam hanya berkisar 0 – 4 meter. Pada umumnya gugusan Kepulauan Anambas, mempunyai bentuk profil kedalaman pantai pada daerah
40
dangkal lebarnya sangat kecil, karena langsung kedalamannya menurun drastis (slope).
Pola Tata Guna Lahan Penggunaan lahan di Kepulauan Anambas mencakup: perkebunan seluas 38.472 ha, permukiman dan bangunan 2.052 ha, sawah 20 ha dan lain-lain 46.686 ha. Lebih jelasnya mengenai penggunaan lahan di Kabupaten Natuna dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Luas lahan menurut penggunaan di Kepulauan Anambas 2003 (ha) No 1.
Kecamatan Siantan
2.
Palmatak
Sawah 11
Perkebunan 28.472
Pemukiman 2.032
Lain-lain 29.419
9
10.00
20
17.267
20
38.472
2.052
46.686
Jumlah
Sumber: BPS Kab. Natuna (2003)
Sumberdaya Mineral dan Tambang Bongkahan biji sulfida seperti Pirit, Arsenopirit dan Hematit tersebar pada granit di Pulau Siantan, jejak emas, perak dan timah di laporkan beberapa tempat di kota Terempa, salah satunya jenis kaisterit, magnetik dan ilmenit. granit yang menguasai batuan di daerah ini baik untuk ornamen karena warnanya beragam. Air terjun Temburun di Pulau Siantan dapat didayagunakan sebagai sumber pembangkit listrik mikrohidro dan pariwisata. Sumberdaya tambang lainya yang sangat penting adalah gas dan minyak bumi. Produksi minyak bumi dihasilkan oleh perusahaan pertambangan minyak di ladang-ladang produksi lepas pantai menghasilkan 39,53 juta barrel, dan gas bumi mencapai 57,05 juta MSCF. Usaha bahan galian yang potensial banyak diusahakan pengalian batu yang tersebar hampir disetiap kecamatan di Kepulauan Anambas (Bappeda, dan Puslit UGM, 2001).
41
Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan Kependudukan dan Sosial Budaya Mayoritas penduduk Kecamatan Siantan dan Palmatak adalah suku Melayu (85%). Suku kedua terbanyak adalah China (10%) dan diikuti oleh Jawa, Sunda dan Batak. Suku lainnya adalah Minang, Bugis, dan Banjar. Data terperinci dapat dilihat pada Tabel 14. Kelurahan Terempa sebagai ibukota Kecamatan Siantan lebih heterogen dari pada Palmatak, karena hampir semua suku bangsa terdapat disana. Statusnya sebagai pusat pemerintahan tempat berbagai lembaga pemerintahan berkantor, seperti Kantor Camat, Pangkalan TNI-AL, Koramil, Polsek, Imigrasi, Kantor Cabang Kejaksaan, Kantor Pos, Telkom, Syahbandar sampai Kantor BMG.
Tabel 14 Persensentase menurut suku di Kepulauan Anambas No
Suku
Siantan
Persentase
Palmatak
Persentase
1.
Melayu
11148
86,45
10463
93,54
2.
China
1408
10,92
410
3,67
3.
Jawa
42
0,33
115
1,03
4.
Sunda
46
0,36
10
0,09
5.
Batak
3
0,02
16
0,14
6.
Lainnya
249
1,93
171
1,53
Jumlah
12896
100,00
11185
100,00
Sumber: BPS Kab. Natuna, 2003 diacu dalam Darwin (2005)
Peran kota Terempa sebagai kota perdagangan dan kota pelabuhan semakin memperkuat daya tarik masuknya berbagai suku bangsa, beda dengan Kecamatan Palmatak yang baru dimekarkan pada tahun 2001, sampai sekarang belum mengalami perkembangan yang signifikan, dalam arti tingkat pembangunan, perkembangan ekonomi maupun jumlah penduduk. Masyarakat Kecamatan Palmatak secara ekonomi masih berorientasi ke kota Terempa. Untuk berbelanja berbagai keperluan dari primer, sekunder bahkan tersier yang tersedia di Terempa. Demikian pula halnya dengan sarana perhubungan dimana kapal-kapal PELNI yang menghubungkan Ibukota Kabupaten dan Ibukota Provinsi, hanya berlabuh di Terempa. Saat ini Kecamatan Palmatak belum memiliki pelabuhan laut sendiri yang dapat disandar oleh kapal besar seperti PELNI.
42
Menurut agama yang dianutnya, dengan mayoritas penduduk etnis Melayu maka demikian pula agama rata-rata dianut oleh penduduk Kecamatan Siantan dan Palmatak adalah Islam (90%). Agama kedua terbanyak adalah Budha (2%) diikuti Katholik (1%) dan Protestan (0,9%), dianut oleh penduduk suku China. Secara terperinci data penduduk menurut agama yang dianut dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Penduduk kecamatan Siantan dan Palmatak menurut agama No
Agama
Siantan
Persentase
Palmatak
Persentase
1. 2.
Islam Protestan
11650 124
90,34 0,96
10666 0
95,36 0,00
3.
Katholik
447
3,47
227
2,03
4.
Hindu
6
0,05
0
0,00
5.
Budha
633
4,91
290
2,59
6.
Konghucu
36
0,28
2
0,02
12896
100,00
11185
100,00
Jumlah
Sumber: BPS Kab. Natuna, 2004 diacu dalam Darwin (2005)
Mayoritas penduduk Kecamatan Siantan dan Palmatak bekerja sebagai nelayan, jumlahnya diyakini mencapai 70%. Namun ketika didata, yang menyatakan dirinya nelayan hanya 14,7%. Hal ini dikarenakan pertama, para golongan muda tidak menganggap nelayan sebagai jenis pekerjaan. Pada KTP mereka selalu mencantumkan swasta sebagai jenis pekerjaan. Kedua, mereka yang terdata sebagai petani/pekebun umumnya bekerja rangkap sebagai nelayan, demikian juga belum/tidak bekerja dan beberapa PNS, dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasar tingkat pendidikannya, mayoritas penduduk Kecamatan Siantan dan Palmatak (89,20%) masih pada tingkat tidak/belum sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD, kemudian SLTP (5,38%) dan diikuti SLTA (4,42%). Kondisi ini menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Kondisi ini terasa sangat ironi mengingat dari sini minyak dan gas berasal dan berkontribusi yang tidak kecil kepada negara. Selama tiga dasawarsa Konsorsium Natuna Barat (Conoco Phillips, Premier Oil dan Star Energy) mengeksploitasi sumberdaya alam (migas) ternyata belum memberikan kontribusi yang nyata, khususnya bagi pendidikan masyarakat Kecamatan Siantan dan Palmatak.
43
Tabel 16 Penduduk Kecamatan Siantan dan Palmatak menurut pekerjaan No
Pekerjaan
Siantan
Persentase
Palmatak
Persentase
1.
Belum/Tidak Bekerja
3467
26,88
2619
23,42
2. 3. 4.
Pelajar/Mahasiswa Mengurus Rumah Tangga Pensiunan
2419 2852 40
18,76 22,12 0,31
1986 2651 4
17,76 23,70 0,04
5.
Petani/Pekebun
984
7,63
778
6,96
6.
Peternak
15
0,12
9
0,08
7.
Nelayan
1522
11,80
1970
17,61
8.
Industri
34
0,26
31
0,28
9.
Konstruksi
5
0,04
267
2,39
10.
Perdagangan
142
1,10
163
1,46
11.
Transportasi
10
0,08
4
0,04
12.
PNS
195
1,51
100
0,89
13.
TNI
35
0,27
1
0,01
14.
Polri
1
0,01
0
0,00
15.
Jasa lainnya
564
4,37
556
4,97
16.
Lain-lain Jumlah
611
4,74
46
0,41
12896
100,00
11185
100,00
Sumber: BPS Kab. Natuna , 2003 diacu dalam Darwin (2005)
Kondisi Ekonomi Sebagian besar Kecamatan Siantan dan Palmatak penduduk bekerja pada sektor perikanan dan pertanian. Sektor lainnya yang cukup menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa. Struktur perekonomian wilayah ke dua kecamatan dapat dikatakan bertumpu pada sektor perikanan dan pertanian dengan sektor pendukung perdagangan dan jasa. Budidaya perikanan laut sebagai sektor perikanan menjadi primadona nelayan setempat karena hasil panen yang bernilai tinggi, nilai ekonomis ikan hidup di wilayah Kepulauan Anambas cukup tinggi tergantung jenis ikan yang diperlihara, untuk ikan karang jenis kerapu sunu dan macan dengan harga Rp. 50.000/kg dan ikan napoleon Rp. 500.000/kg. Kapal kapal penampung ikan dari Hongkong masuk ke Dusun Air sena (Desa Air asuk) sebagai tempat pengusaha kem terbesar di Kepulauan Anambas, omset nelayan penampung ikan di kem tersebut mencapai milyaran rupiah.
44
Bentuk Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dapat ditemui di Kecamatan Siantan dan Kecamatan Palmatak paling utama adalah penangkapan dan budidaya ikan disamping pemanfaatan lainya seperti pemanfaatan infrastuktur, pariwisata dan rekreasi juga pemanfaatan konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati. Pemanfaatan sumberdaya pertambangan di Kepulauan Anambas belum termanfaatkan secara optimal, dari hasil wawancara dengan instansi terkait pemanfaatan sektor tersebut masih dalam kajian, seperti pasir laut, batuan granit dan lain sebagainya. Sedangkan gas dan minyak bumi kewenangannya masih diatur dan dikelola oleh provinsi dan pemerintah pusat. Secara lengkap sebagaimana tertera dalam Tabel 17. Tabel 17 Bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kecamatan Siantan dan Palmatak No
Katagori Pemanfaatan
1.
Eksploitasi sumberdaya
2.
Infrastruktur
3.
Pariwisata dan rekreasi
4.
Konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati
Jenis kegiatan Penangkapan ikan oleh nelayan tradisional (tempatan), nelayan komersial (luar daerah dan asing) Pemeliharaan ikan (aquaculture) yang disebut kem. Penangkapan makhluk laut lainnya seperti teripang, kerang dan terumbu karang Pengambilan kayu mangrove Pembangunan rumah dan perkantoran Pembangunan jalan Pembangunan pelabuhan dan dermaga kapal penumpang Pembangunan pelabuhan lapor kapal penangkap ikan di Antang, Kelurahan Terempa Kecamatan Siantan Panduan navigasi laut Fasilitas pendukung operasinal eksploitasi migas Konsorsium Natuna Barat (Matak Base) di Palmatak Penginapan Berenang dan menyelam Pemancingan Cagar alam dan konservasi satwa laut (kura-kura) di Pulau Mangkai, Pulau Durai dan Pulau Pahat
Sumber : Bappeda dan Puslit UGM (2001)
45
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Kepulauan Anambas Kepulauan Anambas yang terdiri 140 buah pulau besar dan kecil, tersebar diantara Laut Natuna dan Laut Cina Selatan yang merupakan gugusan pulau-pulau yang memiliki potensi sumberdaya kelautan yang cukup besar seperti, terumbu karang, mangrove, sumberdaya ikan, pariwisata dan lain sebaginya. Wilayah Kepulauan Anambas yang memiliki luas daratan yang lebih kecil dibanding luas lautan, dimana 90 % merupakan wilayah lautan dan sebagiannya merupakan wilayah daratan, wilayah ini sudah barang tentu dipengaruhi oleh hukum dan yuridiksi sebagai wilayah perairan. Secara teritorial sejauh 12 mil laut dari garis pangkal pantai kepulauan merupakan kewenangan provinsi, artinya kapal asing mempunyai hak damai untuk lewat dengan aman, dalam perairan ini tetapi dibatasi oleh alur di lautan yang sudah ditetapkan. Sedangkan berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ditetapkan maksimum sejauh 200 mil laut dari garis pangkal pantai, didalamnya Indonesia mempunyai kekuasaan hukum terhadap eksploitasi dan pengawasan sumberdaya laut yang ada. Kepulauan Anambas yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan yang diantaranya terdiri dari Kecamatan Siantan, Kecamatan Palmatak, dan Kecamatan Jemaja, namun dalam penelitian ini Kecamatan Jemaja tidak termasuk dalam kawasan penelitian, hal ini dilakukan karena jarak Kecamatan Jemaja sangat jauh dengan dua kecamatan lainnya. Berdasarkan hasil pengumpulan data sekunder, pengamatan dan wawancara di lokasi penelitian, didapat sejumlah potensi pada masing-masing kecamatan di Kepulauan Anambas. 1. Terumbu Karang Berdasarkan data Puslitbang P3O-LIPI (1997) dan Bakosurtanal (1997) diacu dalam Bappeda Kabupaten Natuna dan Lamtek UI (2005), terdapat 3 (tiga) jenis terumbu karang yang melingkupi wilayah Kepulauan Anambas, yaitu terumbu karang tepi (fringging reef), terumbu karang penghalang (barrier reef), dan terumbu karang cincin (atoll), dapat dilihat pada Gambar 12. Kondisi terumbu
46
karang di Kepulauan Anambas menunjukkan bahwa wilayah ini mempunyai terumbu karang dalam kondisi sedang sampai kondisi baik, hal ini dapat dilihat pada Tabel 18. Menurut Dutton et al. (2001), kriteria kondisi ekosistem terumbu karang di katakan buruk apabila persentase tutupan karang hidup antara 0-25% . kondisi sedang 26 – 50%, kondisi baik 51 – 75%, dan kondisi sangat baik 76 - 100%. Kerusakan terumbu karang di Kepulauan Anambas masih terlihat di beberapa lokasi, umumnya berada di kawasan yang jauh dari pemukiman nelayan. Kerusakan terumbu karang diakibatkan dari pencemaran, penangkapan ikan dengan menggunakan bom, bahan kimia dan pengambilan karang yang berlebihan. Tabel 18 Luas dan sebaran tebumbu karang di perairan Kepulauan Anambas No.
Lokasi
Mati (km²)
%
Hidup (km²)
%
Luas (km²)
1.
Kec. Palmatak
9,5525
43,96
12,1792
56,04
21,7317
2.
Kec. Siantan
18,8203
40,87
27,2339
59,13
46,0542
Sumber: Hasil interpretasi citra landsat TM7, 2002 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro diacu dalam Bappeda Kab. Natuna dan Lamtek UI (2006).
Gambar 12 Terumbu karang dan mangrove yang terdapat di Kepulauan Anambas 2. Mangrove Ekosistem mangrove tersebar disemua kecamatan dalam Kepulauan Anambas, ekosistem mangrove merupakan ekosistem penopang dari ekosistem penting lainnya seperti ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Sebaran mangrove (bakau) di daerah ini mulai dari kerapatan vegetasi yang rapat sampai
47
vegetasi jarang. Total luas hutan mangrove hasil interpretasi dari citra satelit Landsat 7 TM adalah 42.5331 km2. Kondisi hutan mangrove di Kepulauan Anambas dapat diketahui persentase tutupannya yang disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Luas dan sebaran mangrove di Kepulauan Anambas No
Lokasi
Rapat (km²)
%
Sedang (km²)
%
Jarang (km²)
%
Luas (km²)
1.
Kec. Palmatak
0.7081
47.78
0.7333
49.48
0.0407
2.75
1.4821
2.
Kec. Siantan
0.3913
29.98
0.7025
53.82
0.2114
16.20
1.3052
Sumber: Hasil interpretasi citra landsat TM7, 2002 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro diacu dalam Bappeda Kab. Natuna dan Lamtek UI (2006)
Berdasarkan data Puslitbang P3O-LIPI (1997) dan Bakosurtanal (1997) diacu dalam Bappeda Kab. Natuna dan Lamtek UI (2005). Lokasi mangrove dengan kondisi yang rapat ditemukan di Kecamatan Palmatak (47,78 %). Kondisi kerapatan mangrove yang sedang hampir sama disemua kecamatan di Kepulauan Anambas. Fungsi dari ekosistem mangrove adalah sebagai tempat bertelur bagi ikan-ikan (hatching ground), sebagai tempat pembesaran (spowning ground) dan sebagai tempat mencari makan (feeding ground), dari ketiga fungsi ekologis tadi dapat menggambarkan pentingnya ekosistem mangrove terhadap organismeorganisme yang berasosiasi di dalamnya. Kerusakan hutan mangrove masih dijumpai beberapa kawasan, yang dulu merupakan kawasan mangrove dikonvesi menjadi kawasan pemukiman dan pelabuhan nelayan. Kerusakan lainnya juga diakibatkan pemanfaatan mangrove yang dijadikan sebagai bahan bakar (arang) dan sebagian digunakan sebagai bahan bangunan. Dampak pontensial dari aktivitas manusia pada ekosistem mangrove akan mengakibatkan regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai dan terjadinya pendangkalan perairan pantai serta abrasi pantai. 3. Sumberdaya Ikan Ikan merupakan salah satu biota laut yang paling banyak diminati oleh berbagai pihak pemanfaat sumberdaya, selain karena nilai ekonominya yang begitu tinggi, ikan juga relatif mudah untuk ditangkap. Jenis biota ini dapat dijumpai hampir seluruh bagian wilayah perairan di Kepulauan Anambas. Secara umum, ikan dikategorikan kedalam 2 (dua) kelompok besar berdasarkan pola
48
ruaya dan bentuk perilakunya, yaitu pertama, kelompok ikan demersal, merupakan jenis ikan yang hidup dan berkembang biak didasar perairan seperti terumbu karang, akar-akar mangrove dan pantai berpasir, contoh ikan kelompok ini adalah ikan Kerapu sunu, ikan Kepe-kepe, ikan Kakap, ikan Kelinci, Kepiting, Cumi-cumi dan lain sebagainya. Kedua adalah kelompok Ikan Pelagis, merupakan jenis ikan yang bermigrasi atau beruaya secara dinamis dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti ikan Kembung, Tuna, Tenggiri, Marlin dan lain sebagainya. Kedua kelompok ikan ini cukup banyak di perairan Kepulauan Anambas, dapat dilihat pada Tabel 20 dan Gambar 13. Potensi perikanan Kepulauan Anambas menjadi sangat strategis karena merupakan kawasan laut Cina Selatan dan berada pada daerah perbatasan dimana merupakan potensi pemasaran yang baik. Berdasarkan data perikanan setempat tahun 2004, tercatat volume produksi sebesar 405,12 ton. Potensi perikanan Kepulauan Anambas sampai saat ini belum tercatat dengan baik, salah satu faktor penyebabnya adalah banyaknya jumlah kapal dari luar Natuna yang ikut melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan tetapi melanggar ketentuan pencatatan hasil perikanan. Faktor lain adalah pembeli ikan hidup yang berasal dari negara tetangga yang langsung melakukan transaksi didalam kantong-kantong nelayan budidaya ikan (kem) tanpa proses administrasi.
Gambar 13 Beberapa jenis ikan laut yang ditangkap oleh nelayan di Kepulauan Anambas
49
Tabel 20 Jenis ikan yang bernilai ekonomis di Kepulauan Anambas No
Nama Ikan
Nama Latin
Musim
1.
Cumi-cumi
Sepia spp & sepiateuthis sp
Timur, Barat dan Selatan
2.
Ekor Kuning
Caesio spp
Timur dan Barat
3.
Hiu
Carcharhinus spp
Timur, Barat dan Selatan
4.
Kembung
Rastrelliger spp
Timur dan Barat
5.
Kerapu macan
Ephinephelus fuscoguttatus
Sebelum musim Utara
6.
Kerapu sunu
Plectopomus leopardus
Sebelum musim Utara
7.
Mayu/kewe
Caranx spp
Timur dan Barat
8.
Merah
Lutjanus spp
Timur, Barat dan Selatan
9.
Napoleon wrasse/ketipas
Chelinius undulatus
Sebelum musim Utara
10.
Selar kuning
Selaroides leptolepis
Timur dan Barat
11.
Sotong
Sepia sp
Timur, Barat dan Selatan
12.
Tenggiri
Scomberemorus
Utara
13.
Tongkol
Eutynnus
Sepanjang tahun
Sumber: Hasil survei lapangan (2006)
4. Pariwisata Pemanfaatan pariwisata di Kecamatan Siantan dan Palmatak, sampai saat ini belum termanfaatkan secara optimal. Beberapa pantai dan laut dengan panorama terumbu karang dan ikan karang merupakan lokasi yang ideal untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Di Kecamatan Siantan dan Palmatak merupakan potensi wisata bahari dimana wisata penyelaman (diving), memancing (fishing), pengamatan ekosistem bawah laut (snorkling) juga panorama air terjun, pohon kelapa, pasir putih dan situs sejarah menjadi daya tarik utama dalam pariwisata.
Potensi Sumberdaya Teresterial di Kepulauan Anambas 1. Perkebunan Perkebunan di Kecamatan Siantan dan Palmatak memiliki komoditi antara lain berupa cengkeh, kelapa, karet dan lada. Menurut hasil survei komodiatas yang memiliki nilai jual tertinggi saat ini adalah cengkeh yang mencapai Rp. 40.000/kg. komoditas ini mampu menjadi pengganti bagi masyarakat sebagai mata pencarian setelah perikanan. Sedangkan komoditas karet, kelapa dan lada
50
belum diusahakan secara maksimal baik dari segi jumlah, luas perkebunan, maupun produksinya (Tabel 21). Tabel 21 Produksi perkebunan menurut jenis di Kepulauan Anambas No
Produksi Perkebunan (Ton)
Kecamatan
Jumlah
Karet
Kelapa
Kopi
Cengkeh
Lada
1.
Siantan
815,0
1.265,0
0,9
108,0
0,4
925.565
2.
Palmatak
169,0
776,0
1,3
32,0
0,3
978.6
Sumber: BPS Kab. Natuna (2004)
2. Industri Sektor Industri sebenarnya memiliki potensi untuk dikembangkan karena wilayah Kepulauan Anambas khususnya Kecamatan Palmatak memiliki sumberdaya yang sangat pontensial pada bidang minyak dan gas alam, ada tiga perusahan besar migas di Kepulauan Anambas antara lain: Conoco phillips, Premier oil dan Star energy. Namun masih menjadi pertentangan alot terhadap wilayah ekploitasi yang berada pada kawasan ZEE, dimana
eksplorasi dan
eksploitasi sumber minyak dan gas cukup memberikan peranan bagi perkembangan dan pembangunan wilayah, dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Potensi sumberdaya terseterial di Kepulauan Anambas.
51
3. Pertanian dan Kehutanan Pertanian dan Kehutanan di Kecamatan Siantan dan Palmatak sangat sedikit dimanfaatkan ini karena topografi kepulauan yang bukit dan berbatuan. Pengadaan kebutuhan pokok dan kehutanan banyak didapatkan dari luar kota, yaitu Tanjung pinang, Letung, dan Kalimatan.
Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuian lahan dititik beratkan pada kawasan lindung dan kawasan budidaya, langkah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya arahan pengembangan kegiatan di kawasan berfungsi lindung. Setiap jenis penggunaan lahan dianalisa kesesuaiannya berdasarkan kriteria dan syarat penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang dianalisa antara lain; kawasan lindung (konservasi pantai) dan kawasan budidaya (kawasan pemukiman, kegiatan budidaya perikanan, perikanan tangkap, dan pariwisata pantai). Semua analisis ini identifikasi secara terpisah-pisah dengan memperhatikan parameter pembatas berupa kriteria. Kriteria ini merujuk dari Departemen Kelautan dan Perikanan, FAO, Bakosurtanal, dan hasil penelitian lainnya. Kriteria yang ada pada masing-masing instansi ini mutlak harus dipergunakan Tetapi dapat dilakukan proses deliniasi, karena kawasan pulau kecil mempunyai lingkungan yang unik, tidak selalu sama dengan keadaan di daratan. Langkah selajutnya adalah melakukan klasifikasi, dimana kriteria bagi peruntukan penggunaan lahan diberi pembobotan, skoring (kelas). Sistem Informasi geografis (SIG) mempunyai kemampuan analisis keruangan (spatial analysis) maupun waktu (temporal analysis), dengan kemampuan tersebut SIG dapat dimanfaatkan dalam perencanaan apapun, karena pada dasarnya semua perencanaan akan terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Analisis kesesuian lahan Kepulauan Anambas yang terdiri dari 10 desa di 2 kecamatan di Kepulauan Anambas. Secara keseluruhan luas wilayah yang dianalisis sebesar 45.937 ha. Berdasarkan hasil analisis spasial dengan menggunakan pendekatan SIG menggunakan metode overlay diperoleh hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai, pemukiman, budidaya perikanan laut (keramba), perikanan tangkap, dan pariwisata pantai.
52
Kesesuaian Kawasan Konservasi Pantai Pengembangan wilayah untuk berbagai peruntukan dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semestinya menyisakan wilayah dengan luas tertentu dengan membiarkan secara alami tanpa perlakuan yang sifatnya merusak. Konservasi pantai di Kepulauan Anambas perlu dilakukan mengingat kondisinya sudah sangat menghawatirkan, disebabkan oleh berbagai aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan. Konservasi pantai salah satunya ádalah konservasi mangrove di pesisir dan laut dimana berfungsi mempertahankan dan melindungi keanekaragaman hayati, mengingat hasil perikanan, pariwisata, memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir, serta memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem mangrove. Kawasan konservasi ini diharapkan salah satunya mampu mengatasi dampak permasalahan over-eksploitasi yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Berdasarkan analisis
SIG diperoleh total luasan untuk masing-masing
kategori antara lain; Kategori sangat sesuai meliputi areal dengan persentase 4,04 % yang terdistribusi diseluruh desa yang ada di Kepulauan Anambas, dengan wilayah kesesuaian banyak terdapat di Kecamatan Palmatak. Kategori sesuai meliputi 24,13 %, kategori sesuai bersyarat meliputi 69,20 % dan kategori tidak sesuai meliputi 2,61 % yang terdistribusi diseluruh desa di Kepulauan Anambas. Setiap kategori disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Luas kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi di Kepulauan Anambas (ha).
1.
Siantan
476.9
4530.7
Sesuai bersyarat 9282.8
2.
Palmatak
1150.9
5182.4
18565.6
351
Jumlah
1627.8
9713.1
27848.4
1052.9
Persentase (%)
4.04
24.13
69.20
2.61
No.
Kecamatan
Sangat sesuai
Sesuai
Tidak sesuai 701.9
53
Data di atas mengambarkan, setiap kecamatan umumnya dapat dijadikan peruntukan kawasan konservasi pantai (konservasi mangrove), hal ini dikarenakan jarak dari pantai dan vegetasi mangrove merupakan salah satu kriteria utama (bobot tertinggi) dalam kriteria kesesuaian kawasan konservasi mangrove. Kondisi ekosistem mangrove di Kepulauan Anambas belum mengalami kerusakan, namun perlu langkah-langkah untuk menjaga dan mempertahankan ekosistem tersebut dari kerusakan. Kecamatan Palmatak dari hasil analisis memperlihatkan kategori sangat sesuai terdapat diseluruh pesisir Pulau Mubur, di Pulau Matak terdapat pada sebagian utara pesisir Pulau Matak (Desa Ladan), dan sebagian pesisir selatan (Desa Air asuk). Kategori sesuai terdapat di sepanjang wilayah pesisir pulau di Kecamatan Palmatak yang umumnya kawasan mangrove, namun tingkat kerapatan mangrove cukup sedikit dibandingkan dengan kategori sangat sesuai. Pada Kecamatan Siantan kategori sangat sesuai terdapat disepanjang pesisir pulau Siantan, Pulau Telaga besar, Pulau Ayerabu dan Pulau Bajau. Kawasan tersebut dinilai belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga penggunaan lahan cenderung belum mempertlihatkan tumpang tindih untuk suatu peruntukan. Setiap kategori untuk kawasan konservasi pantai dapat dilihat pada peta kesesuaian lahan Gambar 15. Kategori sesuai bersyarat dan tidak sesuai bagi peruntukan wilayah konservasi, umumnya terdapat di sekitar wilayah pemukiman dimana kerapatan vegetasi mangrove dilihat jarang dan bahkan tidak ada, hal ini memperlihatkan, pembukaan lahan untuk kawasan pemukiman memberikan dampak terhadap ekosistem mangrove. Pemanfaatan kawasan konservasi di Kepulauan Anambas dapat dilihat pada Kecamatan Palmatak, di Pulau Pahat (Desa Mubur) saat ini dijadikan wilayah konservasi oleh masyarakat setempat, dimana terdapat perlindungan biota-biota laut seperti wilayah penangkaran penyu dan Pulau Mubur dijadikan kawasan lindung hutan mangrove dimana berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning groud) bagi bermacam biota perairan baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai.
54
Secara umum, suatu kawasan konservasi dapat dikelompokan atas tiga zona, yaitu : zona inti atau perlindungan, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Zona inti memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktifitas manusia. Zona penyangga berada di belakang zona inti, dimana zona ini bersifat terbuka, tetapi tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih diizinkan untuk dilakukan. Sedangkan zona pemanfaatan sebaiknya berada disekitar pemukiman penduduk, pemanfaatan yang direkomendasikan terbatas hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti kayu bakar dan bukan dalam skala produksi secara besar-besaran.
Kesesuaian Kawasan Pemukiman Peran kawasan pemukiman dalam pengembangan wilayah sangatlah strategis, mengingat kawasan pemukiman merupakan pusat-pusat pertumbuhan wilayah (center of growth) sekaligus merupakan pusat koleksi distribusi produkproduk unggulan wilayah serta pusat pelayanan jasa pemerintahan dan jasa-jasa lainnya. Melalui keterkaitan yang sangat erat antar pusat pemukiman, diharapkan dapat tercipta pertumbuhan ekonomi wilayah dan pemerataan kesejahteraan masyarakat pada kawasan yang lebih luas. Menurut Dahuri (2000), bentuk dan hakekat pemukiman khususnya di wilayah pesisir harus merupakan bagian integral dan tidak bertentangan dengan proses dan fenomena ekologi pesisir secara menyeluruh. Hal yang sangat prinsip adalah bahwa kebutuhan yang meningkat akan pemukiman, menuntut pengaturan tata ruang pemukiman di wilayah pesisir secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Tata ruang pemukiman di wilayah pesisir yang kacau dan tidak berwawasan lingkungan akan meyebabkan terjadinya degradasi mutu lingkungan seperti erosi, sedimentasi, pencemaran, dan banjir.
55
Gambar 15 Peta kesesuaian kawasan konservasi
56
Berdasarkan analisis SIG diperoleh total luasan untuk masing-masing kategori antara lain; Kategori sangat sesuai meliputi areal 7,87 % yang terdistribusi diseluruh desa yang ada di Kepulauan Anambas. Kategori sesuai meliputi 39.22 %, kategori sesuai bersyarat meliputi 38,46 % dan kategori tidak sesuai meliputi 14,42 % yang terdistribusi diseluruh desa di Kepulauan Anambas, yang umumnya berada pesisir pantai di Kepulauan Anambas. Setiap kategori disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Luas kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman di Kepulauan Anambas (ha).
1.
Siantan
1206.4
6006.9
Sesuai bersyarat 5889.6
2.
Palmatak
2412.8
12013.9
1177.4
4418.7
3619.2 7.87
18020.8 39.22
17669 38.46
6628 14.42
No
Kecamatan
Jumlah Persentase (%)
Sangat sesuai
Sesuai
Tidak sesuai 2209.3
Data tersebut memperlihatkan kesesuaian kawasan pemukiman di Kepulauan Anambas sangat minim, dari kategori sangat sesuai hanya 7.87 %, faktor jarak dari pantai, sumber air tawar dan ketinggian merupakan salah satu kriteria utama bagi peruntukan kawasan pemukiman. Kategori sesuai umunya berada di daerah berbukitan, dimana untuk mencapai kawasan tersebut cukup sulit, sehingga pemukiman yang ada dikawasan tersebut sangat sedikit. Setiap kategori untuk kawasan pemukiman dapat dilihat pada peta kesesuaian Gambar 16. Pemanfaatan kawasan pemukiman di Kepulauan Anambas saat ini masih dalam kondisi normal dimana pemukiman di kawasan ini belum tumpang tindih dengan kawasan yang lainnya. Perkembangan kawasan pemukiman harus terus diperhatikan dan ditingkatkan, hal ini dikarenakan tiap tahun kebutuhan akan wilayah pemukiman akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk.
57
Gambar 16 Peta kesesuaian kawasan pemukiman
58
Kesesuaian Kawasan Budidaya Perikanan Laut (Keramba) Hasil analisis SIG mengambarkan peruntukan kawasan kesesuaian keramba didapati kategori sangat sesuai meliputi areal 1,72 % yang terdistribusi diseluruh desa yang ada di Kepulauan Anambas. Wilayah kesesuaian banyak terdapat di Kecamatan Palmatak. Kategori sesuai meliputi areal 3,97 %, kategori sesuai bersyarat meliputi areal 8,29 % dan kategori tidak sesuai meliputi areal 86 %. Setiap kategori disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Luas kesesuaian kawasan budidaya perikanan laut (keramba) di Kepulauan Anambas (ha) No
Kecamatan
Sangat sesuai
Sesuai
1.
Siantan
15.6
170.9
Sesuai bersyarat 1745.9
Tidak sesuai 21865.6
2.
Palmatak
632.0
1321.7
1366.9
10411.8
Jumlah
647.6
1492.6
3112.8
32277.4
Persentase (%)
1.72
3.97
8.29
86.00
Secara deskriptif dari hasil analisis digambarkan bahwa kecamatan Palmatak merupakan kecamatan yang sangat sesuai untuk peruntukan budidaya perikanan (keramba), karena keterlindungan wilayah dan dasar perairan yang umumnya adalah terumbu karang dengan berpasir halus dan kedalaman tertentu. Di Kecamatan Palmatak kategori sangat sesuai, antara lain: Desa Ladan, Desa Tebang dan Desa Air asuk yang umumnya berada di kawasan teluk yang merupakan daerah terlindung dari arus dan gelombang. Potensi sumberdaya ikan di perairan Kepulauan Anambas sangat tinggi begitu juga
kebutuhan akan ikan hidup, sehingga pengembangan budidaya
perikanan (keramba) umumnya pembesaran ikan sangat baik dikembangkan. Namun saat ini pemanfaatan budidaya perikanan di Kepulauan Anambas masih banyak kendala, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang cukup berpengaruh, baik dari segi budaya, ilmu dan teknologi juga sumberdaya manusianya sendiri.
59
Kecamatan Siantan, kategori sangat sesuai bagi peruntukan keramba adalah sebelah barat Pulau Siantan antara lain; Desa Batu belah dan Desa Nyamuk, sebagian terdapat di Pulau Ayerabu dan Pulau Telaga besar. Setiap kategori untuk kawasan budidaya perikanan laut dapat dilihat pada peta kesesuaian lahan Gambar 17.
Kesesuaian Kawasan Perikanan Tangkap Secara fisik perairan dangkal umumnya sangat sesuai untuk daerah penangkapan ikan dengan menggunakan berbagai macam alat penangkapan ikan, seperti pancing, jaring, bubu, pukat dan lain-lain. Salah satu parameter pembatas untuk kesesuaian kawasan perikanan tangkap adalah jarak penangkapan dengan kawasan pemanfaatan lainnya seperti zona budidaya laut dan kawasan lindung. Penetuan kawasan perairan kedalam kelas kesesuaian lahan tidak berdasarkan metode penangkapan ikan yang digunakan ataupun jenis ikan yang sesuai untuk ditangkap, tapi secara umum didasarkan pada kemampuan fisik daerah penelitian. Berdasarkan analisis SIG diperoleh total luasan untuk masingmasing kategori antara lain; Kategori sangat sesuai meliputi areal 99,45 % dan kategori tidak sesuai 0,54% dan setiap kategori disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Luas kesesuaian lahan untuk kawasan perikanan tangkap di Kepulauan Anambas (ha)
1.
Jalur Penagkapan Ikan Ia
2.
Ib
265156.1
-
-
-
3.
IIa
475610.4
-
-
-
Jumlah
1048645.5
-
-
5744.3
Persentase (%)
99.45
-
-
0.54
No
Sangat sesuai
Sesuai
307879
-
Sesuai bersyarat -
Tidak sesuai -
Kategori sangat sesuai untuk kawasan penangkapan ikan, umumnya berada pada wilayah yang jauh dari kegiatan budidaya perikanan. Kategori sangat sesuai ini dibagi menjadi beberapa jalur penangkapan ikan yang merujuk dengan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 392 tahun 1999 Tentang Jalur Penangkapan Ikan (Lampiran 4), dimana jalur penagkapan ikan (JPI) I
60
meliputi perairan pantai dari garis pantai sampai dengan 6 (enam) mil kearah dalam. Penerapannya dibagi menjadi perairan 0-3 mil (JPI Ia), 3-6 mil (JIP Ib) dan 6-12 mil (JIP IIa). Dapat dilihat pada peta kesesuaian pada Gambar 18. Pada jalur penangkapan ikan JPI Ia, alat tangkap yang boleh beroperasi adalah alat tangkap ikan yang menetap serta kapal perikanan tanpa motor. Pada jalur penangkapan ikan Ib, alat tangkap yang boleh beroperasi diantaranya alat tangkap yang tidak menetap yang dimodifikasi, kapal perikanan tanpa/dengan bermotor tempel ukuran kurang dari 12 m atau kurang dari 5 GT, dengan alat tangkap pukat cincin ukuran kurang dari 150 m dan jaring insang hanyut ukuran kurang 1000 m Kelas kesesuian kategori tidak sesuai, berada pada areal perairan yang digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan/keramba. Luas areal yang tidak sesuai untuk penangkapan ikan 5744.3 ha. Pelarangan penangkapan di wilayah budidaya sudah merupakan tradisi lokal di Kepulauan Anambas, secara langsung dapat menggangu lalu lintas kapal juga limbah dari pembuangan air balans mesin kapal yang dapat mencemari kawasan budidaya.
61
Gambar 17 Peta kesesuaian Keramba
62
Gambar 18 Peta kesesuian Tangkap Ikan
63
Kesesuaian Kawasan Pariwisata Pantai Berdasarkan hasil analisis pendekatan SIG dengan memasukan kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata didapatkan beberapa kesesuaian lahan antara lain; Kategori sangat sesuai 0,23 %, sebagian besar berada di Kecamatan Siantan berada sebelah barat Pulau
Siantan kategori sesuai 1,58 %, sesuai
bersyarat 3,10 % dan tidak sesuai 95,07 %. Berdasarkan hasil survei lapangan pada wilayah penelitian pengembangan wisata yang cocok adalah wisata pantai. Pengembangan wisata ini salah satu kriteria didasarkan pada keindahan pantai yang ada dan substrat dasar perairan. Setiap kategori disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Kesesuian lahan untuk kawasan pariwisata di Kepulauan Anambas (ha) No
Kecamatan
Sangat sesuai
Sesuai
1.
Siantan
140.8
897.2
Sesuai bersyarat 1501.5
Tidak sesuai 41539.7
2.
Palmatak
30.4
260.8
764.7
27941.8
Jumlah
171.2
1158
2266.2
69481.5
Persentase (%)
0.23
1.58
3.10
95.07
Kecamatan Palmatak kategori sangat sesuai terdapat di Desa Air asuk, sedangkan kategori sesuai terdapat di Desa Ladan, Desa Tebang, Desa Air asuk dan Desa Mubur, sedangkan di Kecamatan Siantan kategori sangat sesuai terdapat di Kelurahan Terempa dan Desa Batu belah dan sebagian di Desa Nyamuk. Kesesuaian lahan peruntukan pariwisata pantai merupakan penyediaan basis data dan informasi yang penting bagi pengembangan sumberdaya wilayah pesisir di Kepulauan Anambas, kedepan akan memerlukan prioritas dalam pengembangan. Pembangunan
pariwisata
pantai
yang
pada
hakekatnya
adalah
upaya
mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisatawan di wilayah pesisir, berupa kekayaan alam yang indah, flora dan fauna dan peninggalan bersejarah. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Anambas memiliki bentuk pantai yang indah, desa-desa yang berdekatan dengan pantai memiliki kekayaan alam yang cukup berpotensi, semuanya itu menjadikan produk dalam
pengembangan
pariwisata
pantai
sebagaimana
yang
dijelaskan
Kusumastanto (2002), bahwa yang menjadi produk-produk pariwisata pantai, wisata pesiar, wisata alam, wisata bisnis, wisata budaya dan wisata olah raga.
64
Lokasi Kesesuain lahan untuk pariwisata dapat dilihat pada peta kesesuaian lahan untuk pariwisata dapat dilihat pada Gambar 19.
Analisis Karateristik Tipologi Desa Pesisir Menurut Analisis Komponen Utama Proses analisis komponen utama terhadap karakteristik tipologi desa-desa kecamatan di wilayah Kepulauan Anambas yang didasarkan pada data potensi desa (PONDES) tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dimana menghasilkan 3 faktor utama yang merupakan kombinasi linier dengan peubah aslinya yang bersifat saling bebas. Ketiga faktor utama ini mampu menjelaskan keragaman data sebesar 85,117% dan ini merupakan nilai akar ciri (eigenvalues), hal ini merupakan suatu gambaran yang cukup baik karena nilai akar ciri berada diatas 80%. Secara jelas 3 faktor utama tersebut sebagai berikut: 1. Faktor utama 1 berkorelasi positif
dengan invers jarak
dari kantor
desa/kelurahan ke kantor kecamatan yang membawahinya, dengan jumlah SD/100 penduduk, jumlah SLTP/100 penduduk, jumlah SLTA/100 penduduk dan rasio ladang/ kebun dengan luas desa, 2. Faktor utama 2 berkorelasi negatif dengan kepadatan penduduk, namun faktor utama 2 berkorelasi positif dengan rasio jumlah keluarga prasejahtera dan sejahtera I (keluarga) dengan jumlah keluarga (keluarga), 3. Faktor utama 3 berkorelasi positif dengan rasio perumahan dan pemukiman dengan luas desa dan rasio jumlah keluarga yang menangkap ikan di laut dengan jumlah keluarga. Adapun arti korelasi positif adalah faktor utama berbanding lurus dengan variabel penjelas, korelasi negatif adalah faktor utama berbanding terbalik dengan variabel penjelas. Selengkapnya hasil analisis ini dapat dilihat dari nilai Eigenvalue pada Tabel 27.
65
Gambar 19 Peta KesesuianWisata Pantai
66
Tabel 27 Akar ciri (eigenvalue) hasil analisis komponen utama
F1 F2 F3
Eigenval (Akar Ciri) 4.934 2.021 1.558
% Total Variance (Ragam) 49.336 20.205 15.576
Kumulatif
Kumulatif
Akar Ciri
%
4.934 6.954 8.512
49.336 69.541 85.117
Kenyataan ini mengambarkan wilayah desa dan kecamatan yang ada di Kepulauan Anambas termasuk wilayah yang sedang berkembang, dimana faktor utama 1 kedekatan variabel
JRK-KK, SD, SLTP, SLTA dan LADANG
mengambarkan aksesibilitas terhadap sarana pendidikan dan pusat pemerintahan baik dan dengan ketersediaan lahan yang luas. Faktor utama 2 mengambarkan kedekatan variabel PADAT dan PRASEJAH, dimana kepadatan penduduk yang tinggi dengan tingkat masyarakat prasejahtera. Sedangkan faktor utama 3 memiliki variabel RUMAH dan IKAN dimana kepadatan pemukiman yang dominasi nelayan. Secara jelas dapat dilihat pada Gambar 20 dan Tabel 28
Gambar 20 Korelasi variable sumbu utama F1 dan F2, sumbu utama F1 dan F3
67
Tabel 28 Penyederhana variabel analisis komponen utama
Invers Jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kecamatan yang membawahi
JRK-KK
Faktor loding 0.9652
Jumlah SD/100 penduduk,
SD
0.9447
Jumlah SLTP/100 penduduk,
SLTP
0.8263
Jumlah SLTA/100 penduduk
SLTA
0.9465
LADANG
0.9018
PADAT
-0.7529
Rasio jumlah keluarga prasejahtera dan sejahtera I (keluarga) dengan jumlah keluarga (keluarga)
PRASEJAH
0.9075
Rasio perumahan dan pemukiman dengan luas desa
RUMAH
0.7158
IKAN
0.8838
Variabel Awal
Notasi
Faktor utama
Penciri Asesibilitas terhadap sarana pendidikan dan pusat pemerintahan baik dengan ketersediaan lahan yang luas.
1
Rasio ladang/kebun dengan luas desa Kepadatan penduduk
Rasio jumlah keluarga yang menangkap ikan di laut dengan jumlah keluarga
2
Kepadatan penduduk yang rendah dengan rasio jumlah keluarga prasejahteraan tinggi
Kawasan pemukiman dengan dominasi nelayan 3
Analisis Kelompok (Cluster Analysis) Setelah didapatkan nilai komponen utama yang salah satunya berupa nilai skor, dilakukan analisis lanjutan dengan mengunakan analisis kelompok (cluster). Analisis kelompok yang dilakukan menggunakan metode K-Means. Faktor utama yang diperoleh dari analisis komponen utama didapatkan 3 kelompok besar pada desa di dua kecamatan di Kepulauan Anambas , seperti dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 memperlihatkan perbedaan karakteristik antara ketiga kelompok desa yang mengambarkan nilai tengah dari setiap faktor utama untuk masingmasing kelompok. Nilai tengah tertinggi dan terendah untuk masing-masing faktor utama akan menjadi karakteristik pembeda dari masing-masing kelompok.
68
Tabel 29 Hasil cluster pada desa di Kepulauan Anambas Kecamatan
Desa
Cluster
Palmatak
Air asuk Ladan Tebang Mubur
I II II II
Siantan
Terempa Barat Terempa Nyamuk Batu Belah Telaga Kiabu
I II II II III III
Hasil analisis gerombolan yang mengungkapkan adanya karakteristik tiga kelompok desa pada masing-masing kecamatan di Kepulauan Anambas, desa-desa yang termasuk tipologi I (cluster I) merupakan wilayah desa dengan tingkat perkembangan tinggi, tipologi II (cluster II) dan III (cluster III) merupakan desadesa dengan tingkat perkembangan sedang dan rendah, dapat dilihat Gambar 21.
Plot of Means for Each Cluster 2
1
0
-1
Cluster No. 1
-2
Cluster No. 2 Cluster -3
No. 3 FACTOR_1
FACTOR_2
FACTOR_3
Variables
Gambar 21 Garfik nilai tengah kelompok variabel cluster desa di Kepulauan Anambas
69
Masing – masing cluster dapat dijelaskan sebagai berikut : Cluster 1 memiliki nilai rata-rata terendah untuk faktor utama kedua. dan faktor utama ke satu kondisi ini menunjukan bahwa kepadatan yang tinggi, prasarana rendah dengan rasio jumlah keluarga prasejahtera rendah. Cluster 2 memiliki nilai rata-rata tertinggi pada faktor utama kesatu dan faktor utama ketiga, kondisi ini menunjukan bahwa kondisi aksesibilitas prasarana yang tinggi, kawasan pemukiman terbatas dan
jumlah keluarga
nelayan yang rendah. Cluster 3 memiliki nilai rata-rata tertinggi pada faktor utama ketiga dan kedua, dimana
kawasan sentra
pemukiman
dengan kepadatan rendah
didominasi nelayan prasejahtera tinggi.
Analisis Tipologi Wilayah Kecamatan Siantan Kecamatan Siantan merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kepulauan Anambas, kecamatan ini terdiri dari 5 desa dan 1 kelurahan dengan Kota Terempa merupakan ibukota kecamatan. Luas wilayah Kecamatan Siatan 19,226 km2 (97,68% adalah lautan) terdiri dari 74 buah pulau dan hanya 24 pulau yang berpenghuni. Masing-masing desa di Kecamatan Siantan memiliki tingkat keragaman wilayah. Keragaman wilayah di kecamatan dapat dilihat melalui hasil analisis karakteristik tipologi desa-desa pesisir. Karakteristik tipologi wilayah berdasarkan analisis tipologi wilayah berbasis desa ditingkat Kecamatan Siantan teridentifikasi 3 (tiga) tipologi wilayah, yaitu wilayah dengan perkembangan maju (tipologi I), wilayah dengan tingkat perkembangan sedang (tipologi II) dan wilayah dengan tingkat tipologi rendah (tipologi III). Untuk melihat karakteristik
desa di kecamatan di Kepulauan
Anambas dapat dilihat pada Tabel 30 dan Gambar 22.
70
Tabel 30 Karakteristi tipologi desa di Kecamatan Siantan No 1.
Desa
Tipologi
Terempa barat I
2. 3. 4.
Terempa Batu belah Nyamuk
II
5. 6.
Kiabu Telaga
III
Kesimpulan Wilayah dengan kepadatan tinggi dan ekonomi yang baik, namun minim infrastruktur Wilayah dengan infratruktur yang baik, pemukiman yang rendah dan minim keluarga nelayan Wilayah dengan kepadatan pemukiman tinggi, dan dominasi nelayan prasejahtera
Hasil analisis memperlihatkan karakteristik desa pada tipologi I dimana Desa Terempa barat merupakan wilayah dengan kepadatan yang tinggi, prasarana rendah dengan rasio jumlah keluarga prasejahtera rendah, dari hasil survei lapangan
desa
di
Terempa
barat
merupakan
wilayah
dengan
tingkat
perkembangan tinggi jika dibandingkan dengan desa lainnya di Kecamatan Siantan, disisi lain Desa Terempa barat berdekatan dengan ibukota kecamatan (Kelurahan Terempa), sehingga cukup mendukung desa tersebut terhadap minimnya asesibilitas terhadap sarana pendidikan dan pusat pemerintahan yang ada. Desa Nyamuk, Batu belah dan Kelurahan Terempa digambarkan dari hasil analisis karakteristik termasuk dalam tipologi II, wilayah ini tergolong dengan tingkat perkembangan sedang, dimana wilayah dengan infrastruktur yang baik, pemukiman yang rendah dan minim keluarga nelayan, hal ini dikarenakan kecendrungan masyarakat bermukim di luar pusat pemerintahan dan masyarakat umumnya banyak berkerja sebagai pegawai negeri, buruh dan jasa. Desa Kiabu dan Desa Telaga, termasuk dalam tipologi III, merupakan wilayah dengan kepadatan pemukiman tinggi, dan dominasi nelayan prasejahtera, sehingga desa tersebut tergolong wilayah dengan tingkat perkembangan rendah.
71
Gambar 22 Peta tipologi desa pesisir di Kepulauan Anambas
72
Analisis Tipologi Wilayah Kecamatan Palmatak Kecamatan Palmatak merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Siantan dimana Kecamatan Palmatak dengan luas wilayahnya 12.890 km2 (95,73% adalah lautan) terdiri dari 66 buah pulau dan hanya 20 pulau yang berpenghuni. Hasil analisis komponen utama mengambarkan bahwa karakteristi tipologi desa di wilayah Kecamatan Palmatak terdapat dua tipologi wilayah, tipologi I
dan
tipologi II, dapat dilihat pada Tabel 31 berikut. Tabel 31 Karakteristi tipologi desa di Kecamatan Palmatak No 1.
Desa
Tipologi
Air Asuk I
2. 3. 4.
Tebang Ladan Mubur
II
Kesimpulan Wilayah dengan kepadatan tingg dan ekonomi yang baik, namun minim infrastruktur Wilayah dengan infratruktur yang baik, pemukiman yang rendah dan minim keluarga nelayan
Desa Air asuk merupakan wilayah kepadatan yang tinggi, prasarana rendah dengan rasio jumlah keluarga prasejahtera rendah, desa ini sangat terkenal di Kepulauan Anambas sebagai desa kaya dengan pendapatannya, hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai nelayan budidaya ikan hidup, dimana tingkat pendapatan masyarakat sangat baik. Desa-desa lain merupakan wilayah desa dengan tingkat perkembangan yang sedang adalah Desa Ladan, Tebang dan Desa Mubur, dimana wilayah dengan prasarana tinggi, pemukiman rendah dengan keluarga nelayan yang minim. Uraian diatas dapat digambarkan wilayah Kecamatan Palmatak cukup baik dibandingkan dengan Kecamatan Siantan. Keberadaan perusahaan pengeboran minyak yang berada di wilayah Palmatak juga mempengaruhi tingkat perkembangan suatu wilayah.
Analisis Fungsi Diskriminan (Diskriminant Fuction Analysis/DFA) Analisis ini dilakukan setelah analisis kelompok. Pada analisis ini akan diketahui faktor-faktor yang paling mencirikan karakteristik tipologi wilayah dari analisis kelompok, artinya penciri faktor-faktor mana saja yang paling berpengaruh terhadap tipologi wilayah, masing-masing akan teridentifikasi
73
(Lampiran 5). Adapun tujuan adalah untuk mencari dan mengidentifikasi faktorfaktor yang paling berpengaruh pada masing-masing tipologi. Fungsi klasifikasi menjelaskan bahwa, pada tipologi I terdapat suatu penciri kelompok yang saling berpengaruh yaitu faktor utama kedua. Tipologi wilayah ke II terdapat dua penciri yang saling berpengaruh yaitu faktor utama kesatu dan faktor utama kedua. Sedangkan untuk tipologi wilayah III terdapat dua penciri kelompok yang saling perpengaruh yaitu faktor utama kedua dan faktor utama ketiga, indikatornya dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Indikator penciri tipologi wilayah
F1 = Jarak kantor desa ke kecamatan, jumlah sarana pendidikan dan rasio ladang/kebun F2 = Kepadatan dan jumlah keluarga prasejahtera F3 = Rasio pemukiman dan rasio jumlah keluarga nelayan Constant
G_1:1 p=.20000
G_2:2 p=.60000
G_3:3 p=.20000
-1.10 -8.07 -0.87 -8.65
0.65 1.58 -2.37 -1.53
-0.87 3.34 7.98 -9.15
Persepsi Stakeholder Terhadap Arah Pengembangan Pemanfaatan Ruang berdasarkan AHP Untuk mengetahui persepsi stakeholder (masyarakat, pemerintah dan swasta) terhadap prioritas arah pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas, digunakan metode AHP. Melalui metode ini, dari persepsi stakeholder diketahui berdasarkan hasil kuisioner untuk masing-masing penilaian responden didua kecamatan di Kepulauan Anambas. Hasil kuisioner akan menunjukan pilihan responden terhadap alternatif-alternatif yang ada. Responden akan dapat memberikan nilai pada pilihan yang ditentukan dibandingkan terhadap pilihan lain. Nilai-nilai hasil perbandingan sesuai dengan skala nilai Saaty. Pada hasil analisis ini terdapat lima bagian, terdiri atas tujuan dan empat level. Keempat level tersebut terdiri atas aspek (level 1), kriteria (level 2) stakeholder (level 3) dan pengembangan (level 4). Untuk mendapatkan solusi yang diinginkan, perlu diketahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan.
74
Analisis AHP pada Tiap Kecamatan Penilaan AHP ini didasarkan atas dua kecamatan yang ada di Kepulauan Anambas, hal ini memperlihatkan bagaimana persepsi stakeholder terhadap prioritas pengembangan pemanfaatan ruang yang ada disetiap kecamatan. Hasil analisis yang diperoleh di Kecamatan Siantan, mengambarkan keinginan stakeholder terhadap pengembangan pemanfaatan ruang pada level kriteria untuk lingkungan prioritas utama pada ketersediaan lahan (0,221%) dari pada pencegahan degradasi (0,114%), untuk kriteria ekonomi lebih prioritas utama pada peningkatan pendapatan (0,183%), dan kriteria sosial prioritas utama pada pelestarian
budaya
(0,026%).
Sedangkan
arah
prioritas
pengembangan
pemanfaatan ruang di Kecamatan Siantan, prioritas utama pada kawasan pemukiman (0,371%), kedua kawasan perikanan tangkap (0,270%), ketiga kawasan pariwisata pantai (0,119%), keempat kawasan budidaya perikanan (0,083%) dan prioritas terakhir pada pengembangan kawasan konservasi pantai (0,063%), dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Prioritas pengembangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Siantan Pengembangan Pemanfaatan Ruang Aspek Lingkungan Ekonomi Sosial Kriteria Lingkungan Pencegahan Degradasi Lingkungan Ketersediaan Lahan Kriteria Ekonomi Peningkatan lapangan Kerja Peningkatan Pendapartan Produktivitas pemanfaatan Sumberdaya Kriteria Sosial Pemerataan Pembangunan Pelestarian Budaya Kelembagan Stakeholder Pemerintah Masyarakat Swasta Pengembangan Pemukiman Pariwisata Konservasi Perikanan Tangkap Budidaya Perikanan
Bobot 0,367 0,447 0,090 Bobot
Prioritas P2 P1 P3 Prioritas
0,114 0,221 Bobot
P2 P1 Prioritas
0,093 0,183 0,063 Bobot
P2 P1 P3 Prioritas
0,019 0,026 0,018 Bobot 0,519 0,259 0,174 Bobot 0,371 0,119 0,063 0,083 0,270
P2 P1 P3 Prioritas P1 P2 P3 Prioritas P1 P3 P5 P4 P2
75
Secara umum persepsi stakeholder terhadap pengembangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Palmatak hampir sama dengan Kecamatan Siantan, hal ini menunjukan tingkat pemahaman yang sama atas prioritas pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas, namun ada perbedaan pada kriteria sosial dimana pemerataan pembangunan (0,047%) menjadi prioritas utama, prioritas kedua pada pelestarian budaya (0,018%) dan prioritas ketiga pada kelembagaan (0,013%), dapat dilihat pada Tabel 34. Perbedaan ini dapat dimengerti bahwa pembangunan di wilayah di Kecamatan Palmatak ini belum sepenuhnya terlaksana, hal ini dilihat pada dari pola administrasi pemerintahan dengan belum terbentuknya kelurahan sebagai suatu ibukota kecamatan, sebelum pemekaran kecamatan tersebut masih bergabung dengan Kecamatan Sientan. Peran kota Terempa secara historis masih berlaku di Kepulauan Anambas dimana sebagai pusat sentral perdagangan dan ekonomi. Mengenai faktor pelestarian budaya dan kelembagaan masih sangat perlu dikembangkan di wilayah Kecamatan Palmatak, hal ini terlihat mulai lunturnya ciri khas kebudayaan di Kepulauan Anambas, dimana dulunya cukup terkenal sebagai kawasan melayu yang khas dengan keislamannya. Lunturnya nilai kebudayaan tersebut lebih diakibatkan dari masyarakat pendatang yang masuk dari berbagai etnis kebudayaan dimana Kepulauan Anambas dapat dikatakan sebagai daerah transit/persinggahan sementara, hal ini cukup memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan adat dan kebiasan masyarakat Kepulauan Anambas dan tingginya pengaruh kemajuan zaman. Untuk itu diperlukan peningkatan pelestarian budaya dan kelembagaan guna mempertahankan dan meningkatkan pelestarian budaya dari kepunahan.
76
Tabel 34 Prioritas pengembangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Palmatak Pengembangan Pemanfaatan Ruang Aspek Lingkungan Ekonomi Sosial Kriteria Lingkungan Pencegahan Degradasi Lingkungan Ketersediaan Lahan Kriteria Ekonomi Peningkatan lapangan Kerja Peningkatan Pendapartan Produktivitas pemanfaatan Sumberdaya Kriteria Sosial Pemerataan Pembangunan Pelestarian Budaya Kelembagan Stakeholder Pemerintah Masyarakat Swasta Pengembangan Pemukiman Pariwisata Konservasi Perikanan Tangkap Budidaya Perikanan
Bobot 0,313 0,447 0,094 Bobot
Prioritas P2 P1 P3 Prioritas
0,080 0,208 Bobot
P2 P1 Prioritas
0,101 0,197 0,060 Bobot
P2 P1 P3 Prioritas
0,047 0,018 0,013 Bobot 0,474 0,286 0,196 Bobot 0,432 0,137 0,071 0,061 0,288
P1 P2 P3 Prioritas P1 P2 P3 Prioritas P1 P3 P5 P4 P2
Hasil Analisis Gabungan Secara Keseluruhan Aspek Ekonomi Terhadap Level Pengembangan Hasil analisis persepsi gabungan mengenai prioritas pengembangan pemanfaatan ruang Kepulauan Anambas berdasarkan aspek ekonomi, disajikan pada Gambar 23. Berdasarkan Gambar 24 tersebut dapat ditentukan bahwa aspek ekonomi merupakan penekanan dalam pengembangan pemanfaatan ruang pesisir Kepulauan Anambas, maka peningkatan pendapatan masyarakat menjadi prioritas utama (0,190%), diikuti peningkatan lapangan kerja (0,097 %) dan pendapatan daerah (0,062 %).
77
Sosial
0.092
Ekonomi
0.433
Lingkungan
Aspek
0.339 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Gambar 23 Nilai bobot prioritas aspek dalam pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas
0.062
Pendapatan Daerah
0.19
Peningkatan Pendapatan Masyarakat
0.097
Peningkatan Lapangan kerja
0
Gambar 24
Kriteria
0.05
0.1
0.15
0.2
Nilai bobot prioritas kriteria aspek ekonomi dalam pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas.
Sebagian besar penduduk Kepulauan Anambas bekerja pada sektor Pertanian dan Perikanan, dimana persentase jumlah penduduk yang bekerja pada sektor tersebut di Kecamatan Siantan 19,43 % dan Kecamatan Palmatak 24,57 %. Sektor lain yang cukup menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa, hal ini dapat dikatakan bahwa struktur perekonomian wilayah Kepulauan Anambas bertumpu pada sektor pertanian, perikanan dengan sektor pendukung perdagangan dan jasa. Sektor industri sebenarnya memiliki potensi untuk dikembangkan karena pada wilayah Kepulauan Anambas khususnya Kecamatan Palmatak terdapat “Matak Base” yang merupakan kawasan operasional dari perusahaan minyak dan gas alam. Perusahaan ini mengeksplorasi dan eksploitasi sumberdaya minyak dan gas yang ada di wilayah perairan Kepulauan, dimana cukup berperan bagi perkembangan wilayah dan menciptakan lapangan kerja dimana nantinya dapat memberikan peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
78
Kerjasama regional yang dilakukan Pemerintah pusat adalah kerjasama Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Sinagpura (IMS-GT), yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari segitiga pertumbuhan SIJORI (Singapura, Johor dan Riau). Perkembangan yang terjadi sampai saat ini terpusat di wilayah Kota Batam dan Pulau Bintan. Perkembangan selanjutnya diharapkan dapat terjadi pula diseluruh wilayah Kepulauan Riau termasuk Kepulauan Anambas. Adapun kendala yang dihadapi dalam mewujudkan kerjasama tersebut: 1. Keterbatasan saran dan prasarana pendukung, 2. Kurangnya akses ke wilayah Kepulauan Anambas, 3. Masih rendahnya kualitas tenaga kerja yang tersedia. Secara umum dapat dikatakan bahwa peran Kepulauan Anambas dalam konstelasi regional belum terlihat
secara jelas karena belum optimalnya
pemanfaatan berbagai potensi sumberdaya alam.
Pendapatan masyarakat di
Kepulauan Anambas terlihat masih minim, dengan sumberdaya alam yang cukup berlimpah. Hasil wawancara dan survei lapangan, terlihat pendapatan masyarakat di Kepulauan Anambas yang umumnya bekerja dari hasil pendapatan perikanan hanya sebatas untuk satu hari saja. dan ini juga dilihat tingginya penduduk dengan tingkat prasejahtera. Sumberdaya manusia dan penerapan teknologi merupakan salah satu kendala dalam pencapaian pendapatan masyarakan di Kepulauan Anambas.
Aspek Lingkungan Terhadap Level Pengembangan Hasil analisis persepsi gabungan mengenai prioritas pengembangan, untuk mencapai tujuan pengembangan pemanfaatan ruang pesisir Kepulauan Anambas disajikan pada Gambar 25. Berdasarkan gambar tersebut dapat ditentukan bahwa aspek lingkungan
merupakan penekanan dalam pengembangan pemanfaatan
ruang pesisir Kepulauan Anambas, maka ketersediaan lahan menjadi prioritas utama (0,214%), diikuti pencegahan degradasi lingkungan (0,096%).
79
0.241
Ketersediaan lahan
Kriteria Pencegahan Degradasi
0.096
Lingkungan
0
Gambar 25
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
Nilai bobot prioritas kriteria aspek lingkungan dalam pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas
Aspek Sosial Terhadap Level Pengembangan Hasil analisis persepsi gabungan mengenai prioritas pengembangan untuk mencapai tujuan pengembangan pemanfaatan ruang pesisir Kepulauan Anambas disajikan pada Gambar 26. Berdasarkan gambar tersebut dapat ditentukan bahwa aspek sosial merupakan penekanan dalam pengembangan pemanfaatan ruang pesisir Kepulauan Anambas, maka pemerataan pembangunan menjadi prioritas utama (0,030%),diikuti adat kebiasaan (0,022%) dan kelembagaan (0,016%).
0.016
Kelembagaan
0.022
Adat dan Kebiasaan
0.03
Pemerataan Pembangunan
0
Gambar 26
Kriteria
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0.03
0.035
Nilai bobot prioritas kriteria aspek sosial dalam pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas
Stakeholder yang Berperan dalam Pengembangan Ditinjau dari persepsi gabungan dalam melaksanakan aspek kebijakan untuk mencapai pengembangan pemanfaatan ruang pesisir kepulauan Anambas dapat disajikan pada Gambar 27. Berdasarkan gambar tersebut dapat ditentukan bahwa aspek ekonomi yang menjadi penekanan utama dalam pengembangan pemanfaatan ruang pesisir Kepulauan Anambas, maka peran pemerintah disini
80
sangat diutamakan dalam pencapaiannnya (0,496%), kemudian pihak masyarakat (0.272%) dan pihak swasta (0.185%).
0.185
Swasta
0.272
Masyarakat
Stakeholder 0.496
Pemerintah
0
Gambar 27
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Nilai bobot prioritas stakeholder pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas
Prioritas Pengembangan Hasil analisis persepsi stakeholder gabungan untuk semua level dan stuktur hierarki AHP beserta setiap nilai bobotnya disajikan pada Gambar 28. Berdasarkan hasil analisis persepsi gabungan, maka secara umum dapat dikatakan prioritas pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas, dimana pengembangan pemukiman merupakan prioritas utama dengan bobot 0,444%. Arahan pengembangan sektor pemukiman ini dipengaruhi oleh aspek lingkungan, dan sosial dimana ketersediaan lahan memiliki bobot 0,214% dan pemerataan pembagunan 0,030%, merupakan hal yang paling kuat mempengaruhi pengambil keputusan. Hasil wawancara dan observasi lapangan yang dilakukan terlihat level aspek lingkungan dan aspek sosial sangat menentukan keberlanjutan pemanfaatan ruang wilayah pesisir, dan dapat menjawab ketersediaan lahan dan pemerataan pembangunan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang terarah. Prioritas
kedua
dalam
pengembagan
pemanfaatan
ruang
adalah
pengembangan budidaya perikanan dengan bobot 0,279%, ini merupakan hal yang wajar, dimana Kepulauan Anambas kaya akan sumberdaya ikan, jenis ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi
yang banyak terdapat
di perairan Anambas.
Prioritas ketiga dan seterusnya dalam pengembangan pemanfaatan ruang pesisir di Kepualaun Anambas berturut-turu adalah: pengembangan pariwisata dengan bobot 0,128%, pengembangan perikanan tangkap 0,071% dan pengembangan kawasan konservasi pantai dengan bobot 0,067%.
81
Gambar 28 Struktur hirarki pemanfaatan ruang hasil analisis gabungan AHP
82
Arahan Pengembangan Pemanfaatan Ruang Pesisir Kepulauan Anambas. Arahan Pengembangan Kawasan Pemukiman Pemukiman di wilayah penelitian umunya terletak di pesisir pantai, hal ini dikarenakan sebagian besar topografi Kepulauan Anambas merupakan kawasan perbukitan batu dengan keberadaan tanah datar relatif terbatas. Pemukiman yang ada sekarang ini terlihat tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan, hal ini tergambar dari banyaknya pemukiman yang dibangun di pesisir pantai, sehingga aksesibilitas terhadap pembangunan pemukiman terabaikan, seperti sarana air bersih, jalan dan MCK, ini dapat dilihat dari rendahnya nilai kesesuaian lahan yang hanya 7.87% untuk kawasan pemukiman, terlebih lagi kerusakan ekosistim di wilayah pesisir yang diakibatkan dari konversi lahan untuk pemukiman dan pencemaran yang bersumber dari pembuangan limbah rumah tangga yang langsung ke laut. Hasil kesesuaian lahan didapatkan kategori sesuai masih dapat dijumpai di daratan yang jauh dari pantai namun aksesibilitas dan kebudayaan pesisir masih mendominasi masyarakat di Kepulauan Anambas. Menurut Dahuri et al (2001) Bentuk hakekat pemukiman dan perkotaan khususnya di wilayah pesisir harus merupakan bagian integral dan tidak bertentangan dengan proses dan fenomena ekologis secara menyeluruh. Hal yang prinsip adalah bahwa kebutuhan yang meningkat akan pemukiman, menuntut peraturan tata ruang pemukiman di wilayah pesisir secara terpadu yang berwawasan lingkungan. Tata ruang pemukiman di wilayah pesisir yang kacau dan tidak berwawasan lingkungan akan menyebabkan terjadinya degradasi mutu lingkungan yaitu erosi, sedimentasi, pencemaran lingkungan dan banjir. Kondisi pemukiman saat ini di Kepulauan Anambas pada tahun 2003, umumnya masih terkosentrasi di jalur jalan, tepi pantai dan pusat-pusat pemerintahan, dapat dilihat pada Gambar 29. Kondisi bangunan pada umumnya dalam kondisi baik, dimana sekitar 72,3% dari 18.517 bangunan yang ada merupakan bangunan permanen sedangkan sisanya sebanyak 27,7% merupakan bangunan non permanen. Untuk lebih jelasnya mengenai kondisi penyebaran perumahan di dua kecamatan di Kepulauan Anambas dapat dilihat pada Tabel 35.
83
Tabel 35 Jumlah dan kondisi bangunan di Kepulauan Anambas tahun 2003 No
Kondisi Bangunan
Kecamatan
1.
Siantan
2.
Palmatak
Sumber:
Jumlah
Permanen
Non Permanen
4.093
580
4.673
264
639
903
Kimpraswil Kepulauan Anambas 2003 diacu dalam Bappeda Kabupaten Natuna dan Lemtek UI (2005)
Gambar 29 Pemukiman di Kecamatan Siantan dan Palmatak di Kepulauan Anambas Penggunaan lahan di Kepulauan Anambas yang diperoleh mencakup perkebunan seluas 29.472 ha, permukiman dan bangunan 2052 ha, sawah 20 ha dan lain-lain 46.686 ha. Untuk Iebih jelasnya mengenai penggunaan lahan di Kepulauan Anambas dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 36 Luas lahan menurut penggunaan di Kepulauan Anambas tahun 2003 (ha) No
Kecamatan
Sawah (ha)
Perkebunan (ha)
Pemukiman (ha)
Lain-lain (ha)
1.
Siantan
11
28.472
2.032
29.419
2.
Palmatak
9
10.00
20
17.267
20
29.472
2052
46.686
Jumlah
Sumber: BPS Kab. Natuna (2003)
Petumbuhan penduduk di Kepulauan Anambas memperlihatkan rata-rata di Kecamatan Siatan 1.58% dan di Kecamatan Palmatak 8.75%, sehingga kebutuhan akan pemukiman juga meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan pengunaan lahan pemukiman di kedua kecamatan merupakan prioritas utama, sehingga pengembangan untuk kawasan pemukiman kedepan harus mempertimbangkan
84
kesesuaian dan daya dukung lahan, sehingga dapat terlaksana sesuai kelayakan sebuah pemukiman yang sehat dan teratur. Tingkat perkembangan dan laju pertumbuhan penduduk disetiap kecamatan di Kepulauan Anambas dapat dilihat pada Tabel 37 Tabel 37 Perkembangan dan laju pertumbuhan penduduk per-kecamatan di Kepulauan Anambas tahun 1996-2003
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
22.260
22.428
22.479
22.699
21.698
21.699
21.922
12.896
Rata-rata Pertumbuhan 1.58 %
NA
NA
NA
NA
NA
NA
10.206
11.185
8.75 %
Tahun ( Jiwa) No 1. 2.
Kecamatan Siantan Palmatak
Sumber: BPS Kab. Natuna (2003)
Pengembangan ruang pusat pemukiman sebaiknya harus bercirikan lokal dan tidak menghancurkan tatanan sosial yang sudah ada. Tatanan sosial yang dimaksud adalah; (1) adat istidat dan sosial budaya, nilai-nilai yang hidup dimasyarakat, (2) potensi sumberdaya manusia yang dimiliki, termasuk didalamnya individu yang mampu membuat perencanaan tata ruang
detail.
Selanjutnya didalam pengembangan kawasan pemukiman masalah kependudukan perlu diperhatikan. Baik dilihat dari subyek maupun obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan potensi penduduk merupakan ujung tombak untuk mempercepat peningkatan kearah kehidupan yang lebih baik. Sedangkan obyek pembangunan, kedudukan penduduk perlu mendapatkan tekanan, kerena pembangunan yang hanya bertujuan fisik saja, tanpa diiringi dengan mempersiapkan perangkat pendukungnya, akan menimbulkan kesenjangan.
Arahan Pengembangan Kawasan Budidaya Perikanan Kegiatan budidaya perikanan di Kepulauan Anambas dilihat cukup berhasil, ini dilihat dari nilai ekonomi ikan hidup dikedua kecamatan sangat bagus, permintaan akan ikan hidup oleh negara-negara tetangga terlihat semakin tinggi, dapat dilihat dari masuknya kapal-kapal penampung ikan hidup, baik kapal lokal maupun kapal asing (dari Hongkong) yang datang ke Kepulauan Anambas. Budidaya laut yang dilakukan oleh nelayan di Kepulauan Anambas adalah
85
pembesaran ikan hidup yang umumnya dengan menggunakan keramba tancap (KJT) biasanya disebut kem, dapat dilihat pada Gambar 30 dan 31. Kawasan budidaya laut banyak terdapat di kawasan teluk yang merupakan kawasan yang terlindung dari arus dan gelombang. Kawasan budidaya perikanan di Kecamatan
Siantan
lebih sedikit jika dibandingkan dengan Kecamatan
Palmatak, hal ini dikarenakan wilayah perairan Palmatak lebih cenderung terlindung dan masih terdapat banyak terumbu karang dan perairannya tidak begitu dalam, namun sampai sejauh ini informasi mengenai budidaya perikanan yang telah dikembangkan di kedua kecamatan belum seakurat dimana dapat memprediksi pengembangan kemasa yang akan datang.
Sumber: Darwin (2005)
Gambar 30 Keramba jaring apung (KJA) dan ikan-ikan yang dibudidayakan Budidaya perikanan laut menjadi primadona nelayan setempat karena hasil panen yang bernilai tinggi, nilai ekonomis ikan hidup di wilayah Kepulauan Anambas cukup tinggi tergantung jenis ikan yang di perlihara, untuk ikan karang jenis kerapu sunu dan macan dengan harga Rp. 50.000/kg dan napoleon Rp. 500.000/kg. Kapal kapal penampung ikan dari Hongkong masuk ke Dusun Air sena, Desa Air asuk sebagai tempat pengusaha ikan kem terbesar di Kepulauan Anambas, omset nelayan penampung ikan di kem tersebut mencapai milyaran rupiah.
86
Sumber: Darwin 2005
Gambar 31 Kem masyarakat (KJT) di Dusun Airsena, Desa Air asuk, Kecamatan Palmatak Keuntungan lain dari budiaya perikanan terletak dari kondisi geografis Kepulauan Anambas yang merupakan kawasan Laut Cina Selatan yang berdekatan dengan Negara Singapura, dan Cina yang menjadi pasaran ikan hidup yang cukup tinggi. Hasil produksi perikanan tahun 2003-2004 dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38 Data dan produksi budidaya perikanan di Kepulauan Anambas menurut kecamatan, tahun 2004 No
Kecamatan
1.
Siantan
2.
Palmatak Jumlah
Produksi (Ton)
Jumlah RTP
Jumlah Karamba
2003
2004
1.634
1.815
115,56
117,90
-
-
-
-
1.634
1.815
115,56
117,90
Sumber: BPS Kab. Natuna (2004)
Kondisi topografi wilayah
Kepualauan Anambas merupakan perairan
terbuka menjadikan kawasan budidaya laut cukup sulit untuk kembangkan. Hasil analisis kesesuaian lahan memperlihatkan rendahnya persentase dimana hanya 1.72% dengan kategori sangat sesuai, dengan penerapan teknologi dimana menggunakan keramba tancap nelayan budidaya dapat mengembangkan budidaya laut dengan melihat jadwal musim. Penjagaan mutu lingkungan juga harus dipertahankan volume dan kualitas air serta hama berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan usaha keramba. Dalam kegiatan budidaya perikanan, pengaruh utama yang perlu diperhatikan antara lain
87
adalah pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitarnya lokasi budidaya termasuk aktivitas dilahan atas dan pengaruh kegiatan budidaya terhadap lingkungan.
Arahan Pengembangan Kawasan Pariwisata Hampir disemua daerah Kepulauan Anambas mempunyai obyek wisata alam yang sangat menarik, terutama pada daerah pantainya dan terumbu karang di dua kecamatan, obyek wisata dengan pesona pantai yang menarik, berupa pemandangan yang indah serta pantai yang berpasir putih. Pantai-pantai tersebut adalah Pantai Terempa, Pantai Tanjung momong, Air terjun Temburun, Teluk Bayat, Pantai Semut, Pantai Mangkian, Pantai Selat, Pulau Penjalin Kecil, Pulau Tokong Belayar dan kawasan Oil Rig (Tabel 39.) Uraian mengenai kepariwisataan Kepulauan Anambas akan mencakup tinjauan tipologi, sebaran dan atraksi obyek wisata, kondisi visual obyek-obyek wisata serta aspek permintaan pariwisata.
Tipologi, Sebaran, dan Atraksi Obyek Wisata Undang-Undang No. 09 Tahun 1990 tentang pariwisata dijelaskan bahwa atraksi wisata adalah segala perwujudan dan sajian alam dan/atau kebudayaan yang secara nyata dapat kunjungi, disaksikan, dan dinikmati di suatu kawasan wisata atau di daerah tujuan wisata. Pada dasarnya definisi tersebut terkait dengan potensi obyek wisata alam, budaya dan sejarah. Daya tarik obyek wisata di Kepulauan Anambas terletak pada bentuk/pola yang heterogen sehingga dapat menjadi salah satu faktor penarik (pull factor) bagi kunjungan wisatawan. Pull factor adalah keunikan serta ciri khas setiap obyek yang dipadu oleh ekosistem, keanekaragaman flora dan fauna sebagai salah satu kesatuan bentang alam yang berwujud hutan, pertanian/perkebunan, lingkungan tata perkampungan/perdesaan, serta dikelilingi oleh sejumlah pulau-pulau kecil dengan karakteristik yang berbeda.
88
Secara umum, obyek-obyek wisata di Kepulauan Anambas dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) tipologi yaitu: 1. Wisata Alam Obyek
wisata
alam
terdiri
dan
wisata
pantai/bahari,
gunung/pegunungan termasuk air terjun dan gua-gua, serta cagar alam, 2. Wisata Budaya Obyek wisata budaya terdiri dan obyek peninggalan sejarah, dan pementasan kesenian tradisional, 3. Wisata Sejarah Objek peninggalan penjajahan Belanda dan Jepang Berdasarkan rencana induk pariwisata pengembangan daerah (RIPPDA) kabupaten Kepulauan Riau 1989/1999. objek wisata di Kepulauan Anambas termasuk ke dalam wilayah pengembangan pariwisata (WPP) I mempunyai 20 objek wisata potensial terdiri dari Kecamatan Jemaja, Kecamatan Palmatak dan Kecamatan Siantan dengan pusat pengembangan di Jemaja. Pemanfaatan pariwisata di Kepulauan Anambas belum dilakukan secara optimal, ini terlihat dari tingkat wisatawan yang berkunjung kesana, terlebih lagi saran dan prasarana yang menunjang seperti penginapan, trasportasi, data informasi yang masih minim. Hasil kesesuaian lahan juga mengambarkan rendanya persentase kategori sangat sesuai (0,23%), namun dengan pemanfaatan yang optimal dan didukung dengan sarana prasarana dan informasi pariwisata dapat menjadi andalan bagi pendapatan daerah dan masyarakat setempat. .
89
Tabel 39 Sebaran, tipologi, jenis dan atraksi obyek wisata di Kepulauan Anambas Tahun 2005 No 1
Sebaran/ Kecamatan
Tipologi Obyek Wisata
Jenis Wisata
Atraksi Wisata
Siantan dan Palmatak a. Alam
Pantai : Tarempa Tanjung Momon Teluk Bayat Langok Semut
Penjalin kecil Pulau bawah Pantai dan PulauSelat Karang Egeria Kawasan PulauTelibang Pulau Durai
Pulau Tokang Berlayar
b. Budaya
c.Minat Khusus
Rekreasi Pantai Berenang Keindahan Alam Pantai Rekreasi Pantai Keindahan Alam Pantai Diving, Taman Laut Keindahan Alam Pantai TamanLaut (Marine Park) Diving fhising Pelestarian Burung Layang-layang Keindahan dasar laut Fising dan diving Keindahan Alam Pantai Hiking, Swimming Taman Laut Terumbu Karang Diving Terumbu Karang Diving Cagar alam konservasi satwa laut (kura-kura) Fising Divimg Keindahan Alam Pantai Taman Laut (Marline park) Diving, Fising Pelestarian burung Layanglayang Kawasan Hutan Lindung Konservasi Kura- Kura
Pulau Pahat
Peninggalan Sejarah : Meriam Benteng Keramat Makam Nahkoda alang Kesenian Gendang Joged Selatan Zapin Marak Siantan Hadrah
Peninggalan Sejarah Zarah/tempat pemujaan
Ziarah Makam Nahkoda alang (matak) Makam Sahid Yahya Olah raga dan Rekreasi Air terjun Temurun Oil Rig Belanja Handicraf Air Asuk Handicraf Air Sena
Sumber:
Event Budaya
Ziarah
Panorama air terjun Panorama Pantai Hutan Wisata Outbond/Penjelajahan Keindahan Taman Laut Diving dan Fising Wisata Belanja
Dinas pariwisata dan survei lapangan Tahun 2005 diacu dalam Bappeda Natuna dan Lemtek UI, (2006) dan foto hasil survei lapangan (2006)
90
Arahan Pengembangan Kawasan Perikanan Tangkap Sektor perikanan tangkap di Kepulauan Anambas masih menggunakan teknologi penangkapan ikan secara tradisional, ini merupakan suatu kemunduran mengingat sebagian besar wilayah Kepulauan Anambas adalah lautan, baik yang merupakan laut dangkal maupun perairan lepas pantai yang sangat kaya akan sumberdaya perikanan. Berdasarkan data perikanan pada tahun 2004 tercatat volume produksi sebesar 405,12 ton, tingkat produksi perikanan ini masih dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi yang tepat. Stock assessment atau pendugaan stock ikan di Kepulauan Anambas telah dilakukan oleh Suhendar, 2000 diacu dalam Bappeda Natuna dan Lemtek UI (2005), dengan menggunakan metode aplikasi echo sounder, echo integrator terhadap ikan pelagis. Hasil pendugaan menunjukkan adanya stock untuk berbagai jenis ikan pelagis. Analisis hasil penggunaan metode pendugaan stock tersebut, maka dapat diketahui identifikasi ikan dalam jumlah rata-ratanya pada Tabel 40. Tabel 40 Dugaan potensi sumbedaya ikan di Kepulauan Anambas No
Potensi (Ton/Mil²)
MSY*) (Ton/Mil²)
1.
< 5.46
2.18
2.
5.46 – 16.38
2.18 – 6.55
3.
16.38 – 32.76
6.55 – 6.10
4.
> 32.76
> 13.10
Sumber : Bappeda Natuna dan Lemtek UI (2005) *) Dihitung dengan menggunakan Rumus : Py = 0,5 Mbo (1) (2) (3) (4)
Pengelolaan
(0 – 10) x 0.546 ton/mil² atau <5.46 ton/mil² (10 – 30) x 0.546 ton/mil² atau 5.46 – 16.38 ton/mil² (30 – 60) x 0.546 ton/mil² atau 16.38 – 32.76 ton/mil² > 60 x 0.546 ton/mil² atau > 32.76 ton/mil²
perikanan
di
Kepulauan
Anambas
umumnya
masih
menggunakan teknologi yang sifatnya tradisional, dengan pola pengelolaan seperti ini, dimana volume tangkap relatif kecil, areal penangkapan terbatas serta waktu jelajah yang digunakan relatif singkat, sehingga perolehan hasil produksi menjadi tidak maksimal. Meskipun secara ril, nilai potensi deposit sumberdaya perikanan di Kepulauan Anambas kecil, tetapi berdasarkan dari beberapa hasil studi mendeskripsikan, bahwa sesungguhnya volume produksi dapat diperoleh dengan
91
angka yang lebih besar, apabila pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan secara efektif. Bahkan diproyeksikan, volume produksi dapat mencapai beberapa kali lipat dari volume produksi perikanan tangkap seperti yang tertera pada Tabel 41. Tabel 41 Volume produksi perikanan menurut kecamatan, tahun 2003 – 2004 (Ton) No.
Volume Produksi
Kecamatan
1.
Siantan
2.
Palmatak
2003
2004
17.492,5
20.579,4
-
-
Sumber: Natuna dalam Angka (2004)
Sedangkan menurut Azis, (2000) diacu dalam Bappeda Natuna dan Lemtek UI (2005), maka sumberdaya perikanan di perairan laut Cina Selatan, yang sebagian besar wilayahnya meliputi perairan Kepulauan Anambas, disajikan pada Tabel 42. Tabel 42 Potensi sumberdaya ikan di perairan Laut Cina Selatan No
Kelompok Sumberdaya
Potensi (000 Ton)
1.
Ikan Pelagis Besar
*
2.
Ikan Pelagis Kecil
506.00
3.
Ikan Demersal
655.65
4.
Ikan Karang Konsumsi
21.57
5.
Udang Paneid
11.20
6.
Lobster
0.40
7.
Cumi – Cumi
2.70
Keterangan
Sumber
: * = data tidak tersedia
: Pemetaan potensi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dalam mengantisipasi kegiatan penambangan pasir laut yang dilakukan oleh Sub Pokja 1 TP4L /Program Zonasi dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, dengan Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro.
Jenis alat tangkap nelayan lokal tergambar pola penangkapan dengan menggunakan peralatan tangkap tradisional, dengan demikian hasil yang diperoleh akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan nelayan-nelayan dari luar yang telah menggunakan peralatan yang lebih modern. Implikasi positif dari alat tangkap ini adalah terjaminnya keberlanjutan ekosistem perikanan yang ada. Namun perlu perhatian yang lebih besar dari pemerintah setempat untuk mengatur
92
regulasi daerah tangkapan karena nelayan-nelayan dari luar daerah akan cenderung melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya perikanan yang ada, jenis alat tangkap di Kepulauan Anambas dapat dilihat pada Tabel 43. Tabel 43 Jumlah alat penangkap ikan di Kepulauan Anambas menurut kecamatan, tahun 2004 Pancing Ulur
Pancing Tonda
Bagan
Jaring Pantai
Kelong
Rawai
Bubu
Siantan
1.056
526
5
76
35
452
1.957
Palmatak
1.067
31
13
25
57
43
355
No
Kecamatan
1. 2.
Sumber: BPS Kab. Natuna (2004)
Tabel 44 dan Gambar 32, berikutnya menjelaskan bahwa armada laut (armada semut) nelayan lokal masih relatif sederhana. Dengan demikian optimalisasi dari peralatan dan zona penangkapan ikan sangat berpengaruh pada hasil perikanan tagkap daerah ini. Tabel 44
No.
Armada kapal/perahu penangkap ikan yang beroperasi menurut kecamatan tahun 2004 Kecamatan
Perahu Tanpa Motor (PTM)
Perahu Bermotor Diesel
Perahu Tempel
Jumlah
1
Siantan
421
1.429
43
1.893
2
Palmatak
44
225
-
249
Sumber: Natuna dalam Angka (2004)
Gambar 32 Armada kapal nelayan dan kapal Thailand di Kepulauan Anambas.
93
Arahan Pengembangan Kawasan Konservasi/Lindung Pemantapan Kawasan Konservasi/Lindung Kawasan lindung merupakan kawasan yang ditetapkan untuk fungsi utamanya melindungi kelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya buatan, nilai sejarah dan budaya bangsa guna kepentingan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan. Kawasan ini harus dilindungi dari kegiatan produksi dan kegiatan manusia lainnya yang dapat merusak fungsi lindung. Kawasan lindung tersebut dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) kawasan, yaitu: 1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya, meliputi kawasan hutan lindung, kawasan konservasi laut dan kawasan resapan air, 2. Kawasan perlindungan setempat, mencakup sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar waduk atau danau dan kawasan sekitar mata air, 3. Kawasan suaka alam dan cagar budaya, meliputi kawasan suaka alam, taman nasional, taman wisata dan cagar budaya, 4. Kawasan rawan bencana, kawasan yang diidentifikasikan sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti banjir dan lainnya, Untuk pemantapan kawasan lindung dalam rencana, maka dilakukan langkah-langkah tindak lanjut sesuai dengan jenis kawasan lindung berikut pemantapannya. Penetapan kawasan lindung berdasarkan kriteria-kriteria yang tertera dalam Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan lindung. Penetapan tersebut disertai beberapa tindak lanjut yang berkaitan dengan adanya penggunaan dan pemanfaatan pada kawasan lindung tersebut pada saat ini. Untuk itu terdapat 3 (tiga) pilihan langkah penanganannya, yaitu: 1. Membiarkan kegiatan budidaya tersebut pada kawasan lindung, selama kegiatan fungsi tersebut tidak mengubah fungsi lindung dari kawasan lindung tertentu, 2. Membatasi perkembangan kegiatan budidaya dalam areal tertentu di dalam kawasan lindung, 3. Mengeluarkan kegiatan budidaya tersebut, apabila terdapat indikasi adanya kemungkinan merusak fungsi lindung kawasan,
94
Penetapan kawasan konservasi saat ini di Kepulauan Anambas sebagian besar belum tampak, namun dibeberapa tempat kawasan konservasi telah terbentuk, hal ini dapat dilihat dari keinginan masyarakat untuk menjaga kelestarian ekosistem yang merupakan tempat bergantung hidup para nelayan guna memenuhi kebutuhannya. Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukan Kepulauan Anambas masih merupakan wilayah yang belum mengalami kerusakan lingkungan yang berarti, di Pulau Mubur misalnya terdapat kawasan penangkaran penyu yang merupakan langkah maju dari masyarakat yang ingin menjaga kelestarian satwa yang dilindungi. Sebagai salah satu contoh kongkrit dengan dibuatnya suatu peraturan pemerintah (Perdes) setempat yang melindungi kawasan dan segala isinya dari perusakan dan kepunahannya dengan menetapkan zona-zona perlindungan. Motivasi ini dilihat juga oleh pihak swasta yaitu perusahaan migas yang berada di Kepulauan Anambas yang tergabung dalam Konsorsium Natuna Barat (West Natuna Consortium/WNC), beberapa program ComDev yang menekankan kepada wujud konservasi berupa pendidikan lingkungan seperti pelatihan trasplantasi karang dan bantuan alat tangkap yang ramah lingkungan. Dapat dilihat pada Gambar 33 dan Tabel 45.
Gambar 33 Transplantasi karang, penangkaran penyu dan kawasan konservasi laut Tanjung momong di Kepulauan Anambas.
95
Tabel 45 Kegiatan program ComDev, Konsorsium Natuna Barat di Kepulauan Anambas. No
Program
1.
Pelatihan Tenaga Administrasi Pemerintahan
2.
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
3.
Bantuan Buku Pelajaran SD dan SLTP di Kepulauan Anambas Pelatihan Menjahit Bantuan Pembangunan Gedung SLTP di Desa Nyamuk Bantuan Gedung Serbaguna Bantuan Gedung Puskesmas Pembantu
4. 5. 6. 7. 8.
Beasiswa Pendidikan
Tahun
Pelaksana
2005
Primier Oil
2005
WNC
2005
Primier Oil
2004 2003
Conoco Phillips Star Energy
Untuk dua Kecamatan Untuk dua Kecamatan Untuk dua Kecamatan Kecamatan Siantan Desa Nyamuk
2003 2003
Conoco Phillips Primier Oil
Kecamatan Siantan Kecamatan Palmatak
Tiap Tahun
Conoco Phillips
Untuk dua Kecamatan
Sumber : Pemerintahan Kecamatan Siantan (2006)
Keterangan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang kajian pemanfaatan ruang pesisir dan lautan Kepulauan Anambas di Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Anambas saat ini, ke arah pemanfaatan sumberdaya laut, dimana hasil kesesuaian lahan memperlihatkan bahwa wilayah Kecamatan Palmatak dan Kecamatan Siantan di Kepulauan Anambas memungkinkan untuk peruntukan kawasan konservasi pantai, pemukiman, budidaya perikanan (keramba), perikanan tangkap dan kawasan pariwisata,
2. Berdasarkan hasil analisis karakteristik tipologi desa pesisir di Kepulauan Anambas didapatkan tiga bentuk karakteristi desa sesuai dengan potensi yang ada antara lain; wilayah tipologi I dimana wilayah dengan kepadatan tinggi dan ekonomi yang baik, namun minim sarana infrastruktur. Tipologi II dimana wilayah dengan sarana infrastruktur yang baik, pemukiman yang rendah dan minim keluarga nelayan dan Tipologi III dimana wilayah dengan
kepadatan
pemukiman
tinggi
yang
didominasi
nelayan
prasejahtera, 3. Hasil analisis persepsi stakeholder mengambarkan keinginan dan peran stakeholder
(masyarakat,
pemerintah
dan
swasta)
dalam
arahan
pengembangan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan di Kepulauan Anambas cenderung memilih pemukiman sebagai prioritas pertama, kedua budidaya perikanan, ketiga pariwisata, keempat perikanan tangkap dan kelima konservasi pantai.
Saran 1. Perlu adanya rencana tata ruang pesisir dan lautan di Kepulauan Anambas sehingga pembangunan dan pengembangan pemanfaatan ruang pesisir di
97
Kepulauan Anambas dapat lebih terarah dan berhasil guna, sehingga meminimalisasi konflik yang muncul, 2. Mengingat beban intensitas pembangunan masih terkonsentrasi pada pusat ibukota kecamatan, sudah saatnya pihak pemerintah dan swasta memperhatikan pemerataan pembangunan disetiap wilayah, melihat Kepulauan Anambas terdiri dari pulau-pulau kecil yang cukup berjauhan, sehingga untuk mencapai ibukota kecamatan memerlukan cukup waktu dan biaya, 3. Untuk melengkapi hasil analisis kesesuaian lahan ini, maka disarankan untuk melanjutkan pada analisis daya dukung lingkungan bagi berbagai kegiatan pembangunan di Kepulauan Anambas.
98
DAFTAR PUSTAKA
Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Lautan Kupang Nusa Tenggara Timur. Pusbina-Inderasig Bakosurtanal. Cibinong. Bappeda Kabupaten Natuna dan Puslit UGM. 2001. Penyusunan Data Pokok Pembangunan Daerah Kabupaten Natuna Tahun Anggaran 2001. Ranai. Indonesia. Bappeda Kabupaten Natuna dan Lemtek UI. 2005. Pemutakhiran Penyusunan RTRW Kabupaten Natuna (Tahap Awal). Ranai. Indonesia. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna. 2004. Natuna Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna. Ranai. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna 2003. Natuna Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna. Ranai. Bengen DG. 2001. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Kantor Kementrian Lingkungan Hidup RI dan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor Candra A. 2003. Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir Pulau Natuna, Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Dahuri R. 1997. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Untuk Perencanaan Dan Pengelolaan Tata Ruang Pesisir. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB. Bogor Dahuri R. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Jakarta; 7-10 Des 1998, Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT, Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID. Jakarta. B32. Dahuri R. 2000. Strategi dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Dalam Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Ed rev. Jakarta: PT. Pradnya Paramita Jakarta.
99
Darwin M, 2005. Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Kecamatan Siantan dan Palmatak Kabupaten Natuna. Thesis Pascarasjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Deni R. 2000. Konsep, Startegi, Kebijakan dan Pradigma Baru Pembangunan Wilayah. Makalah Pelatihan Penataan Ruang Propinsi. Jakarta: Direktorat Penataan Ruang Wilayah. Departemen Pemukiman dan Pengembangan Wilayah. Jakarta. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2000. Prosiding Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir. Dirjen Urusan Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil. DKP. Jakarta [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001a. Pedoman Teknis Zonasi Kawasan Lindung dan Budidaya di Wilayah Pesisir. Direktorat Jendral Peisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Tata Ruang. DKP. Jakarta. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001b. Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. P2K DKP. Jakarta. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan 2006. Laporan Pendahuluan Penyusunan Rencana Tata Ruang Kepulauan Anambas. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, DKP. Jakarta Dutton IM, Bengen DG dan Tulungen JJ. 2001. The Challanges of Coral Reefs Management in Indonesia. In: Oceanographic Process of Coral Reefs: Physical and Biological Links in The Great Barrier Reefs. Ed. Eric Wolanski. CRC Press. ESRI. 1990. Understanding GIS: The Arc/Info Method Environmental System Research, Institut. Redlands, CA. USA. Hutabarat S dan Evans SM. 1994. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Ilahude AG. 1999. Pengantar ke Oseanologi Fisika. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. Kusumastanto T. 2000. Perencanaan dan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil, Prosiding Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir; Jakarta, Okt 2000. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. hlm B.2. Kusumastanto T. 2002. Reposisi “Ocean Policy” Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
100
Keputusan Mentri Pertanian RI. No. 392 Tahun 1999. Tentang Jalur Penangkapan Ikan Keputusan Presiden RI. Nomor 32 tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Pemerintahan Kecamatan Siantan. 2006. Data Bantuan ComDev WNC di Kepaulauan Anambas, Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Terempa. Purwono, B. 2000. Penggunaan Lahan dan Tata Ruang Wilayah Pesisir. Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH). Universitas Pakuan. Bogor. Retraubun AWS. 2001. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil, Makalah Dalam Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: Proyek Pesisir PKSPL-IPB dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Raup SA. 2004 Kajian Kesesuaian Lahan dan Persepsi Masyarakat Untuk Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Laut di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saaty TL. 1991. Pengampilan Keputusan Bagi Para Pemimpin; Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Seri Manajemen No. 134 (terjemahan). PT. Pustakan Binaman Pressindo. Jakarta. Stasiun Meteorologi Terempa. 2004. Data Klimatologi Badan Meteorologi dan Geofisikan Stasiun Tarempa. Terempa. Sugandhy A. 1999. Penataan Ruang Dalam Lingkungan Hidup. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992. Tentang Penataan Ruang. Widiatmaka SR. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah; Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
101
LAMPIRAN
102
Lampiran 1 Rekapitulasi hasil kuisioner respoden di Kecamatan Siantan, dan Kecamatan Palmatak, Kepulauan Anambas
103
Lampiran 2 Data klimatologi stasiun Terempa 2001 - 2005 I. Data klimatologi tahun 2001 No.
Bulan
Angin Maksimum Kecepatan Arah (m/s)
Angin Minimum Kecepatan Arah (m/s)
Suhu Udara rata-rata maks (oC) (oC)
Curah Hujan mm
1
Jan
Utara
11,5
-
2,5
26,6
30,6
193
2
Feb
Utara
9,5
-
2,5
26,1
30,4
224,3
3
Mar
Utara
16,5
-
3
27
33
91,4
4
Apr
Selatan
11,5
-
2
27,5
34,2
205,2
5
Mei
Selatan
7,5
-
2
28,8
34,6
58,6
6
Jun
Selatan
17,5
-
2
28,1
33,8
195,4
7
Jul
Selatan
12
-
2,5
28,7
34,6
18,8
8
Agust
Selatan
12
-
2,5
28,5
33,6
124
9
Sep
Selatan
12,5
-
3
27,8
33,4
281,7
10
Okt
Selatan
14
-
2,5
27,3
33,8
304,9
11
Nop
Utara
15
-
2
26,8
33,4
479,7
12
Des
Utara
14
-
3
26,3
31,2
524,9
Sumber: DKP (2006)
II. Data Klimatologi Tahun 2002 No.
Bulan
Angin Maksimum Kecepatan Arah (m/s)
Angin Minimum Kecepatan Arah (m/s)
Suhu Udara maks rata-rata (oC) (oC)
Curah Hujan mm
1
Jan
Utara
13,5
-
4
26,4
30
104,5
2
Feb
Utara
11
-
3
26,6
30
48
3
Mar
Utara
11,5
-
2
27,1
32
73,4
4
Apr
Selatan
8
-
2
27,5
33,8
246,2
5
Mei
Selatan
10
-
3
28,5
35
215,6
6
Jun
Selatan
9,5
-
2
28,6
35,2
90,5
7
Jul
Selatan
14,5
-
2,5
28,7
34,8
64,1
8
Agust
Selatan
13
-
3
28,4
34,6
101,3
9
Sep
Selatan
10
-
2
27
34,2
93,4
10
Okt
Selatan
8,5
-
2
27,6
34,2
45,8
11
Nop
Selatan
11
-
1,5
26,6
31,6
399,1
12
Des
Utara
14
-
1,5
27,3
31,6
319,4
Sumber: DKP (2006)
104
III. Data Klimatologi Tahun 2003 Angin Maksimum Kecepatan Arah (m/s)
Angin Minimum Kecepatan Arah (m/s)
Suhu Udara rata-rata maks (oC) (oC)
Curah Hujan
No.
Bulan
1
Jan
Utara
11,5
-
3,5
26,6
30
223,2
2
Feb
Utara
13,5
-
2,5
26,6
30,1
198,3
3
Mar
Utara
8
-
2
27,4
32,6
136,3
4
Apr
Selatan
13,5
-
1
27,4
33,2
179,9
5
Mei
Selatan
12
-
2
28,5
34,2
156,3
6
Jun
Selatan
14
-
2
28
34
161,5
7
Jul
Selatan
11,5
-
1,5
27,5
33
262,8
8
Agust
Selatan
13
-
2,5
28,5
34,8
131,6
9
Sep
Selatan
17
-
2
27,3
33,6
135,7
10
Okt
Selatan
12
-
2
27,5
33,6
269,6
11
Nop
Selatan
7
-
1,5
26,7
32,8
537,1
12
Des
Utara
12,5
-
1,5
26,4
29,8
220,3
mm
Sumber: DKP (2006)
IV. Data Klimatologi Tahun 2004 No.
Bulan
Angin Maksimum Kecepatan Arah (m/s)
Angin Minimum Kecepatan Arah (m/s)
Suhu Udara rata-rata maks (oC) (oC)
Curah Hujan mm
1
Jan
Utara
12
-
3
26,7
29,4
2
Feb
Utara
10,5
-
2,5
26,3
30,8
32,8
3
Mar
Utara
12,5
-
2
26,7
32
249,4
4
Apr
Utara
9,5
-
3,5
27,8
34
39,5
5
Mei
Selatan
11
-
4
28,3
35,2
145,7
6
Jun
Selatan
13,5
-
1,5
28,4
34,3
234
7
Jul
Selatan
13,5
-
1,5
27,2
33,4
132,3
8
Agust
Selatan
15
-
1,5
28,4
34,5
53,3
9
Sep
Selatan
10
-
1
27,1
33,4
433,6
10
Okt
Utara
5
-
1,5
27,2
33,4
370
11
Nop
Utara
6,5
-
4
26,8
31,4
271,8
12
Des
Utara
10
-
3
26,4
30
596,9
Sumber: DKP (2006)
113,8
105
Tabel. Data Klimatologi Tahun 2005 No.
Bulan
Angin Maksimum Kecepatan Arah (m/s)
Angin Minimum Kecepatan Arah (m/s)
Suhu Udara rata-rata maks (oC) (oC)
Curah Hujan mm
1
Jan
Utara
2
Feb
Utara
8,5
-
3
Mar
Utara
11,5
-
4
Apr
Utara
7,5
-
5
Mei
Selatan
15
-
6
Jun
Selatan
15,5
-
7
Jul
Selatan
14
-
8
Agust
Selatan
10,5
-
9
Sep
Selatan
14
-
2
10
Okt
Selatan
12,5
-
1,5
26,9
33
539,9
11
Nop
Utara
8
-
1,5
26,9
33,2
439,4
12
Des
Utara
14
-
2
26,5
31
33,6
7,5
Sumber: DKP (2006)
-
2,5
25,8
30,2
143,5
2
27
32,6
44,3
2
27,2
32
301,7
1,5
27,4
32,7
124,7
2
28,1
34,8
240,2
2
28,4
34,8
162,3
2
27,8
33,4
250,8
2,5
28,4
34
60,1
28,1
34
220,9
106
Lampiran 3 Data hasil analisis prediksi gelombang tahun 2001 - 2005 I. Data Hasil Analisis Prediksi Gelombang Tahun 2001 No.
Bulan
Angin Maksimum Arah
Kecepatan (m/s)
Gelombang Tinggi/Hs (m) Periode (det)
1
Jan
Utara
11,5
2,63
8,24
2
Feb
Utara
9,5
2,17
7,73
3
Mar
Utara
16,5
3,77
9,29
4
Apr
Selatan
11,5
2,63
8,24
5
Mei
Selatan
7,5
1,71
7,14
6
Jun
Selatan
17,5
4,00
9,47
7
Jul
Selatan
12
2,74
8,35
8
Agust
Selatan
12
2,74
8,35
9
Sep
Selatan
12,5
2,86
8,47
10
Okt
Selatan
14
3,20
8,79
11
Nop
Utara
15
3,43
9,00
12
Des
Utara
14
3,20
8,79
Sumber: DKP (2006)
II. Data Hasil Analisis Prediksi Gelombang Tahun 2002 No.
Bulan
Angin Maksimum Arah
Kecepatan (m/s)
Gelombang Tinggi/Hs (m) Periode (det)
1
Jan
Utara
13,5
3,09
8,69
2
Feb
Utara
11
2,51
8,11
3
Mar
Utara
11,5
2,63
8,24
4
Apr
Selatan
8
1,83
7,30
5
Mei
Selatan
10
2,29
7,86
6
Jun
Selatan
9,5
2,17
7,73
7
Jul
Selatan
14,5
3,31
8,90
8
Agust
Selatan
13
2,97
8,58
9
Sep
Selatan
10
2,29
7,86
10
Okt
Selatan
8,5
1,94
7,45
11
Nop
Selatan
11
2,51
8,11
12
Des
Utara
14
3,20
8,79
Sumber: DKP (2006)
107
III. Data Hasil Analisis Prediksi Gelombang Tahun 2003 Angin Maksimum
Gelombang Tinggi/Hs (m) Periode (det)
No.
Bulan
1
Jan
Utara
11,5
2,63
8,24
2
Feb
Utara
13,5
3,09
8,69
3
Mar
Utara
8
1,83
7,30
4
Apr
Selatan
13,5
3,09
8,69
5
Mei
Selatan
12
2,74
8,35
6
Jun
Selatan
14
3,20
8,79
7
Jul
Selatan
11,5
2,63
8,24
8
Agust
Selatan
13
2,97
8,58
9
Sep
Selatan
17
3,89
9,38
10
Okt
Selatan
12
2,74
8,35
11
Nop
Selatan
7
1,60
6,98
12
Des
Utara
12,5
2,86
8,47
Arah
Kecepatan (m/s)
Sumber: DKP (2006)
IV. Data Hasil Analisis Prediksi Gelombang Tahun 2004 No.
Bulan
Angin Maksimum Arah
Kecepatan (m/s)
Gelombang Tinggi/Hs (m) Periode (det)
1
Jan
Utara
12
2,74
8,35
2
Feb
Utara
10,5
2,40
7,99
3
Mar
Utara
12,5
2,86
8,47
4
Apr
Utara
9,5
2,17
7,73
5
Mei
Selatan
11
2,51
8,11
6
Jun
Selatan
13,5
3,09
8,69
7
Jul
Selatan
13,5
3,09
8,69
8
Agust
Selatan
15
3,43
9,00
9
Sep
Selatan
10
2,29
7,86
10
Okt
Utara
5
1,14
6,24
11
Nop
Utara
6,5
1,49
6,81
12
Des
Utara
10
2,29
7,86
Sumber: DKP (2006)
108
V. Data Hasil Analisis Prediksi Gelombang Tahun 2005 Angin Maksimum
Gelombang Tinggi/Hs (m) Periode (det)
No.
Bulan
1
Jan
Utara
7,5
1,71
7,14
2
Feb
Utara
8,5
1,94
7,45
3
Mar
Utara
11,5
2,63
8,24
4
Apr
Utara
7,5
1,71
7,14
5
Mei
Selatan
15
3,43
9,00
6
Jun
Selatan
15,5
3,54
9,10
7
Jul
Selatan
14
3,20
8,79
8
Agust
Selatan
10,5
2,40
7,99
9
Sep
Selatan
14
3,20
8,79
10
Okt
Selatan
12,5
2,86
8,47
11
Nop
Utara
8
1,83
7,30
12
Des
Utara
14
3,20
8,79
Arah
Sumber: DKP (2006)
Kecepatan (m/s)
109
Lampiran 4 Salinan keputusan Menteri Pertanian tentang jalur-jalur penangkapan ikan
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 392/Kpts/IK.120/4/99 TENTANG JALUR-JALUR PENANGKAPAN IKAN MENTERI PERTANIAN, Menimbang :
a.
b.
Mengingat
:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Bahwa dengan surat keputusan menteri pertanian Nomor 607/Kpts/Um/9/1976 jo Nomor 608/Kpts/Um/9/1976 dan Nomor 300/Kpts/Um/5/1978, telah diatur mengenai Jalur-Jalur Penangkapan Ikan; Bahwa dengan adanya perkembangan teknologi penangkapan ikan, surat keputusan menteri pertanian tersebut di atas perlu diadakan perubahan, dan sekaligus melaksanakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985, perlu diatur kembali mengenai jalur-jalur penangkapan ikan dalam keputusan menteri pertanian. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983; Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996; Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984; Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 jo Nomor 46 Tahun 1993; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun1974; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/M Tahun 1998; Keputusan Menteri Pertanian Nomor 957/Kpts/IK.120/12/96; Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1016/Kpts/OT.210/12/98; MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN TENTANG JALUR- JALUR PENANGKAPAN IKAN. Pasal 1
Dengan tidak mengurangi ketentuan mengenai alur-alur pelayaran yang ditetapkan pemerintah, menetapkan jalur-Jalur penangkapan ikan di wilayah perikanan Republik Indonesia. Pasal 2 Wilayah perikanan Republik Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) jalur penangkapan ikan yaitu : a. Jalur penangkapan ikan I; b. Jalur penangkapan ikan II; dan c. Jalur penagkapan ikan III. Pasal 3 (1). Jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut. (2). Jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi menjadi sebagai berikut: a. Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut; b. Perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut.
110
(3). Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, hanya dibolehkan bagi: a. Alat penangkap ikan yang menetap; b. Alat penangkap ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi; dan/atau c. Kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m. (4). Perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, hanya dibolehkan bagi: a. Alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi; b. Kapal perikanan : 1. 2. 3. 4.
Tanpa motor dan atau bermotor-tempel dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m; Bermotor tempel dan bermotor-dalam dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal 12 m atau berukuran maksimal 5 GT dan atau; Pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 150 m; Jaring insang hanyut (drift gill net) ukuran panjang maksimal 1000 m.
(5). Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan I wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan : a. Dengan warna putih bagi kapal perikanan yang beroperasi di perairan sampai dengan 3 (tiga) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah; b. Dengan warna merah bagi kapal perikanan yang beroperasi di perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil. Pasal 4 (1). Jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut ke arah laut. (2). Pada jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam ayai (1), dibolehkan bagi : a. Kapal perikanan bermotor-dalam berukuran maksimal 60 GT; b. Kapal perikanan dengan menggunakan alat penangkap ikan : 1. Pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 600 m dengan cara pengoperasian menggunakan 1 (satu) kapal (tunggal) yang bukan grup atau maksimal 1000 m dengan cara pengoperasian menggunakan 2 (dua) kapal (ganda) yang bukan grup; 2. Tuna long line (pancing tuna) maksimal 1200 buah mata pancing; 3. Jaring insang hanyut (drift gill net), berukuran panjang maksimal 2500 m. (3). Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan II, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat maksimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan dengan warna oranye. Pasal 5 (1). Jalur penangkapan ikan III, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf c meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan II sampai dengan batas terluaar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). (2). Pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur sebagai berikut: a. Perairan Indonesia dibolehkan bagi kapal perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat penangkap Ikan purse seine pelagis besar di Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sawu dilarang untuk semua ukuran; b. Perairan ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi kapal perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat penangkap ikan pukat ikan (Fish Net) minimal berukuran 60 GT; c. Perairan ZEEI di luar ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi: 1). Kapal perikanan berbendera Indonesia dan berbendera asing berukuran maksimal 350 GT bagi semua alat penangkap ikan; 2). Kapal perikanan berukuran di atas 350 GT – 800 GT yang menggunakan alat penangkap ikan purse seine, hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari garis pangkal Kepulauan Indonesia; 3). Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan purse seine dengan sistem group hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari garis pangkal Kepulauan Indonesia. (3). Kapal perikanan berbendera asing boleh dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sepanjang dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku. (4). Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan III, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan dengan warna kuning.
111
Pasal 6 (1). Semua alat penangkap ikan yang dipergunakan pada setiap jalur penangkapan ikan wajib diberi tanda pengenal alat penangkap ikan. (2). Ketentuan mengenai penggunaan tanda pengenal alat penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perikanan. Pasal 7 Kapal perikanan yang menggunakan jaring dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm (1 inchi) dan purse seine cakalang (tuna) dengan ukuran mata jaring kurang dari 75 mm (3 inchi) dilarang untuk dioperasikan di semua jalur penangkapan ikan, kecuali pukat teri dan jaring angkat (lift net). Pasal 8 Dikecualikan dari ketentuan jalur-jalur penangkapan ikan sebagaimana diatur dalam keputusan ini yaitu kapal perikanan bermotor yang melakukan kegiatan penelitian, survey, eksplorasi dan latihan penangkapan ikan harus memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Perikanan. Pasal 9 (1). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi di jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, boleh dioperasikan pada jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, jalur penangkapan ikan II dan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan c. (2). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, boleh dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan c. (3). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dan dilarang beroperasi pada jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). (4). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dilarang beroperasi pada jalur penangkapan Ikan I dan II sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b. Pasal 10 (1). Direktur Jenderal Perikanan mencantumkan jalur-jalur penangkapan ikan yang dilarang dalam SPI dan SIPI bagi setiap kapal. (2). Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II mencantumkan jalur-jalur penangkapan ikan yang dilarang dalam surat ijin kapal ikan (SIKP) bagi setiap kapal perikanan. Pasal 11 Setiap kapal perikanan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan jalur penangkapan ikan, ketentuan kapal perikanan, ketentuan alat penangkap ikan serta ketentuan tanda pengenal alat penangkap ikan dapat dikenakan pencabutan SPI atau SIPI atau IUP dan atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan. Pasal 12 Pemberian tanda pengenal jalur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 5 ayat (4) harus telah dilaksanakan paling lambat 1 tahun setelah berlakunya keputusan ini. Pasal 13 Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/Kpts/Um/9/1976 tentang jalur-jalur penangkapan, Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 608/Kpts/Um/9/1976 tentang penetapan jalur penangkapan bagi kapal-kapal milik perusahaan-perusahaan perikanan negara dan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 300/Kpts/Um/5/1978 tentang pemasangan tanda pengenal jalur penangkapan ikan pada kapal-kapal ikan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
112
Pasal 14 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 April 1999 MENTERI PERTANIA ttd Prof.Dr.Ir.H.SOLEH SOLAHUDDIN, M.Sc
SALINAN keputusan ini disampaikan kepada Yth : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Menteri Negara Sekretaris Negara; Menteri Dalam Negeri; Menteri Pertahanan dan Keamanan; Menteri Perhubungan; Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; Menteri Kehakiman; Menteri Keuangan; Jaksa Agung; Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; Kepala Staf TNI-AL; Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan; Para Pimpinan Unit Kerja Eselon I lingkup Departemen Pertanian; Direktoral Jenderal Perhubungan Laut; Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia; Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian seluruh Indonesia; Para Kepala Dinas Perikanan Propinsi Dati I dan II seluruh Indonesia.
113
Lampiran 5 Hasil olahan data PCA, Cluster dan DFA
Eigenvalue (Akar ciri) hasil analisis komponen utama Eigenvalues (datapca.sta) Extraction: Principal components % total
Cumul.
Cumul.
Eigenval
Variance
Eigenval
%
1
4.934
49.336
4.934
49.336
2
2.021
20.205
6.954
69.541
3
1.558
15.576
8.512
85.117
Communalities Communalities (datapca.sta) Extraction: Principal components Rotation: Unrotated From 1
From 2
From 3
Multiple
Factor
Factors
Factors
R-Square
JRK_KK
0.890
0.952
0.985
1
PADAT
0.400
0.847
0.945
1
PRASEJAH
0.037
0.762
0.888
1
SD
0.776
0.784
0.919
1
SLTP
0.825
0.905
0.917
1
SLTA
0.863
0.863
0.905
1
LADANG
0.853
0.856
0.859
1
RUMAH
0.054
0.704
0.925
1
KEL_IKAN
0.065
0.095
0.786
1
KEL_BUD
0.171
0.185
0.384
1
Faktor loding PCA Factor Loadings (Varimax normalized) (datapca.sta) Extraction: Principal components (Marked loadings are > .700000) Factor
Factor
Factor
1
2
3
JRK_KK
0.9652
-0.2268
-0.0376
PADAT
0.5428
-0.7529
-0.2884
PRASEJAH
0.2505
0.9075
0.0406
SD
0.9447
0.1494
0.0609
SLTP
0.8263
0.2066
-0.4375
SLTA
0.9465
0.0450
-0.0861
LADANG
0.9018
-0.0749
-0.2008
-0.0541
-0.6399
0.7158
0.0013
0.0674
0.8838
-0.2731
0.2507
0.4970
Expl.Var
4.6508
1.9914
1.8695
Prp.Totl
0.4651
0.1991
0.1870
RUMAH KEL_IKAN KEL_BUD
114
Faktor skor PCA Factor Scores (datapca.sta) Rotation: Varimax normalized Extraction: Principal components Factor
Factor
1
2
1
-0.246
2 3
Factor 3 -0.103
1.849
-0.411
-0.173
-0.168
0.393
-1.932
0.343
4
2.694
0.128
-0.245
5
-0.442
1.015
0.164
6
-0.165
1.140
1.449
7
-0.207
0.479
-0.989
8
-0.352
0.463
-1.075
9
-0.338
0.471
-1.005
10
-0.925
-1.488
-0.324
Tipologi desa-desa di Kepulauan Anambas Tipologi Wilayah
Jumlah Desa
Persentase
Tipologi I
2
0,2
Tipologi II
6
0,6
Tipologi III
2
0,2
Total
10
Matrik tipologi desa hasil analisis fungsi diskriminan (DFA) Percent
G_1:1
G_2:2
G_3:3
Correct
p=.20000
p=.60000
p=.20000
G_1:1
100
2
0
0
G_2:2
100
0
6
0
G_3:3 Total
100
0
0
2
100
2
6
2
115
Fungsi klasifikasi desa hasil analisis diskriminan (DFA) G_1:1
G_2:2
G_3:3
p=.20000
p=.60000
p=.20000
FACTOR_1
0.65
-1.10 -8.07
FACTOR_2 FACTOR_3 Constant
Berdasarkan persamaan umum
-0.87
1.58 -2.37
-8.65
-1.53
Y = A + B1X1 + B2X2 + …+
-0.87 3.34 7.98 -9.15
BnXn
Didapat model persamaan baru yang berasal dari analisis fungsi diskiminasi sebagai berikut:
1. Untuk tipologi wilayah I persamaan yang didapat: Y= -8,65 - 1,10F1 –8,07F2 –0,087F3 2. Untuk
tipologi wilayah II persamaan yang didapat:
Y= -1,53 + 0,65F1 + 1,58F2 – 2,37F3 3. Untuk tipologi wilayah III persamaan yang didapat: Y= -9,15 – 0,87F1
+ 3,34F2
+ 7,98F3