KAJIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM KAITANNYA DENGAN RESIKO BANJIR DI KABUPATEN BANDUNG
SEKOLAH PASCASARJANA XNSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Resiko Banjir di Kabupaten Bandung adalah karya saya sendiri dan belurn diajukan dalarn bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2007
ASRl SAVITRI NRP A253050354
;
ABSTRAK
ASRI SAVITRI. Kajian Pemanfaatan Ruang Dalam Kaitannya dengan Resiko Banjir di Kabupaten Bandung. Dibiibing oleh BABA BARUS, SUDARMO dan BOEDI TJAHJONO. Banjir merupakan fenomena yang selalu terjadi d a i melanda daerah rawan banjir di cekungan Bandung pada tiap musim hujan. am& dalam betierapa tahun terakhir, banjir yang melanda Kabupaten Bandung telah menimbulkan kerugian yang sangat besar hingga melumpuhkan kegiatan ekonomi. Pemerintah setempat sebagai pengelola wilayah telah berupaya secara struktmd maupun non struklural untuk mengendalikan.banjir. Penataan ruang sebagai sal& satu upaya non struktur dalam mitigasi Kencana belum .berhasil menangani resiko akibat banjir di Kabupaten Bandung terbukti masih besarnya kerugian dan masalah sosia pasca banjir. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis realisasi pemanfaatan mang di Kah~patenBandung,. (2) membuat peta bahaya dan resiko banjir Kabupaten Bandung, (3) mengetahui kaitan spasid pemanfaatan lahan dengan banjir di Kabupaten Bandung, (4) mengetahui persepsi masyarakat terhadap banjir dan penataan ruang, dan (5) memberi masukan upaya penataan ruang dalam mengurangi resiko banjir di Kabupaten Bandung. Data yang digunakan berasal dari data primer seperti penggunaan lahan dan persepsi masyarakat yang diperoleh menggunakan GPS dan kuesioner,. serta data sekunder berupa peta-peta tematik maupun data-data sosial ekonomi yang dikumpulkan dari instansi terkait. Analisis data yang dipakai adalah analisis spasial dari Sistem Informasi Geografis yang kemudian dilanjutkan dengan analisis deskripsi. Metode yang dilakukan meliputi wawancarauntuk persepsi masyarakat, tumpang tindii pem untuk menghasilkan peta kontrol pemanfaatan ruang serta peta bahaya dan resiko banjir, dan pengharkatan dalam pengelompokan data. Hasil analisis menunjukkan penyimpangan tata ruang di Kabupaten Bandung cukup tinggi yaitu 73%, namun penggunaanlpenutupan lahan hutan (23.4%) dan perkebunan PTP (0.8%) mendekati luas peruntukan, sedangkan luas kebun campuran melebihi luis peruntukan (32.6%), dan sawah kurang dari peruntukan (5.6%). Berdasarkin peta bahaya banjir, daerah bahaya banjir di Kabupaten Bandung terdiri dari bahaya tinggi (2 416.5 ha), bahaya sedang (2 767.2 ha), bahaya rendah (8 338.8 ha) dan tidak bahaya (293 848.5 ha) yang termasuk pada sub DAS Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, dan Ciwidey. Peta resiko banjir dikelompokan atas resiko tinggi (159.5 ha), resiko sedang (3 971.6 ha), resiko rendah (9 391.3 ha), dan tidak beresiko (293 848.5 ha). Mayoritas responden tidak mengetahui teknik-teknik konservasi d G informasi tentang penataan mang, tapi mempunyai keinginan untuk berperan serta dalarn kegiatan penataan ruang. Karena itu diperlukan penataan ruang yang memperhatikan aspek resiko banjir dan aspirasi masyarakat, terutama di daerah aliran sungai stimulan banjir di Kabupaten Bandung Kata Kunci : bahaya, resiko banjir, pengharkatan
pemanfaatan ruang, penyimpangan,
ABSTRACT ASRI SAVITRI. Analysis of Relationship between Spatial Utilization and Flood Risk in Bandung District. Supervised by BABA BARUS, SUDARMO and BOEDI TJAHJONO. Flood and its problems have to be a regular phenomenon in Bandung Basin every rainy season, causing immense loss so that paralyze economic activity in recent years. Indeed, Bandung District Government has tried to control flooding by structural and non structural efforts. A spatial arrangement as one of non structural policies for disaster mitigation has been one of unsuccessful efforts to cope flood risk in Bandung District, pmved by losses and further social problems after flood event. The aims of this research were 1) to analyze realization of spatial utilization in Bandung District, 2) to make flood hazard and flood risk map of Bandung District; 3) to know a relationship between spatial utilization and flood in Bandung District; 4) to know community perception about flood and spatial arrangement; and 5) to give spatial arrangement suggestion for policy maker by concerning flood risk reduction. Data sources were derived from primary data such as landuse, community perception by using GPS and questionnaire, and secondary data such as thematic maps and socio-economic data collected froni relevant institutions. The datas were analyzed spatially through GIs analysis then by descriptive analysis. Research method covered interviewing to get responden perception, map overlay to reveal land use map control, flood hazard and flood risk map, also scoring for data classification. Analysis results showed discrepancy of the spatial regional planning which is 73%, but actual forest (23.4%) and private plantation (0.8%) area are close to the spatial allocation, whereas mix garden area (32.6%) exceed its allocation, and paddy field area (5.6%) less than its allocation. Based on flcod hazard map, hazardous area in Bandung District comprise high hazard (2 416.5 ha), moderate hazard (2 767.2 ha), low hazard (8 338.8 ha), and no hazard (293 848.5 ha), distributed in Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, and Ciwidey sub watershed. Flood risk map contains several classes, viz: high risk (159.5 ha), moderate risk (3 971.6 ha), low risk (9 391.3 ha), and no risk (293 848.5 ha). Majority of the responden do not know conservation techniques and spatial arrangement information but they have high willingness to participate on spatial arrangement activity. It is necessary for spatial mangement implementation by concerning flood risk aspect and community aspiration, especial!^ in flood stimulant sub watersheds of Bandung District. Keywords : hazard, flood risk, spatial utilization, discrepancy, scoring.
KAJIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM KAITANNYA DENGAN RESIKO BANJIR DI KABUPATEN BANDUNG
ASRI SAVITRI
Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan,Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
: Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Resiko
Nama NRP
: :
Banjir di Kabupaten Bandung Asri Savitri A 253050354
Disetujui Komisi Pembimbing
-
Dr. Ir. Baba Barus, MSc Ketua
Dr. Ir. Sudarmo, MSi Anggota
Tanggal Ujian : 15 Pebruari 2007
Dr. Boedi Tiahiono Anggota
Tanggal Lulus :
1 6 MAR 2007
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pendekatan upaya penataan ruang sebagai mitigasi bencana banjir, dengan judul Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Resiko Banjir di Kabupaten Bandung. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc., Dr. Sudarmo, M.Si., dan Dr. Boedi Tjahjono atas bantuan pemikiran dan kritik selama membimbing penulis, juga Dr. 11. Suria Darma Tarigan, M.Sc yang telah banyak memberi saran sebagai penguji luar komisi pembimbing. Disamping itu penghargaan penulis sa~npaikanpada pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi penulis, segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Bupati Bandung atas kesempatan yang diberikan bagi penulis, serta semua pihak yang telah membantu psnulis dalam pengumpulan data yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu. Tak lupa pula kepada rekan-rekan PWL 2005 dan kos-an QShop atas segala keceriaan dan rasa kebersamaan selama penulis menjadi mahasiswa. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya spesial penulis tujukan kepada orang tua, suami, serta anak-anak penulis tercinta atas segala doa dan dukungannya. Suatu ciptaan manusia tidak ada yang sempurna dan setidaknya telah dilakukan upaya untuk mencapai yang terbaik, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2007
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 1 September 1972 di Bandung, Jawa Barat, dari ayah IG Westra dan ibu Asma Iljas. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Setelah lulus pendidikan menengah dari SMAN 3 Bandung pada tahun 1992 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, dan menyelesaikannya pada tahun 1997. Tahun 1998-2000 penulis sempat terlibat di LSM yang bergerak dalam bidang pertanian dan pelestarian hutan. Penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2000 di lingkungan pemerintahan Kabupaten Bandung pada Dinas Perhutanan Konservasi Tanah, dan sejak tahun 2002 menjadi staf pada Dinas Lingkungan Hidup. Kesempatan melanjutkan pendidikan diperoleh pada tahun 2005 di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB dengan bantuan biaya dari Pusbindiklatren Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
DAFTAR IS1 Halamao
DAFTAR TABEL ..............................................
vi
DAFTARGAMB AR ............................................
vii
DAFTARLAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ix
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . LatarBelakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kerangka Pemikiran Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1 1 3 5 5
TINJAUANPUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . PenataanRuang ........................................... Penggunaan Lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Siklus Hidrologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Bahaya Banjir dan Pengurangan Resiko Banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sistem Infomasi Geografis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7 7 9 11 14 19
DESKRIPSI UMUM WILAYAH . . . . . . . . . . . . . . . . Lokasi dan Kondisi Fisik Geografis . . . . . . . . . Sejarah dan Kondisi Sosial Ekonomi . . . . . . . . Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bandung . Perkeinbangan Bencana Banjir . . . . . . . . . . . . . METODOLOCI PENELITIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Lokasi dan Waktu Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . MetodePeneliti an . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Persiapan dan Pemasukan Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. A n a l ~ s Data ~s . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Penyajian Hasil Analisis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Analisis Deskriptif. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . HAS= DAN PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Realisasi Pemanfaatan Ruang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Hutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Industri. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kebun Campuran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Ladang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Perkebuna~PTP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pemukiman. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sawah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . SitulKolam~Waduk. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tanah kosong/Semak . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
35 35 35 37 39 47 47
Daerah Bahaya Banjir ...................................... Wilayah Resiko Banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kaitan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Banjir ............... Persepsi Masyarakat ....................................... .. Frekuensi Banjir .................................... Persepsi Penyebab Banjir ............................. Pengetahuan Konsewasi .............................. Pengetahuan Informasi Tata Ruang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kesadaran Partisipasi Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Penataan Ruang Berdasarkan Aspek Resiko Banjir . . . . . . . . . . . . . . . Perencanaan Tata Ruang .............................. Pemanfaatan Ruang ................................. Pengendalian Tata Ruang ............................. KESIMPULAN DAN SARAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . GLOSARI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTARPUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
DAFTAR TABEL Halaman
Data sekunder penelitian
....................................
Kelasbahayabanjir ..................................... Skorkomponenproperti
.....................................
.. .......................................
37
42 44
Tingkat resiko baqlr
46
Luas area ketidaksesuaian penggunaan lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
51
Luas daerah bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir)
. . . . . . . . . . . 64
Penggunaaan lahan pada berbagai tingkat resiko banjir.............
69
Luas daerah resiko banjir pada wilayah kecamatan. . . . . . . . . . . . . . . .
72
DAFTAR GAMBAR Halaman Diagram kerangka pemikiran penelitian .......................
6
Siklus hidrologi ..........................................
13
Diagram mekanisme terjadinya banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
15
DAS dan jaringan sungai Kabupaten Bandung. . . . . . . . . . . . . . . . . .
26
Jaringan jalan Kabupaten Bandung. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28 Peta administrasi kecamatan dan kepadatan penduduk Kabupaten 29 Bandungtahun2004 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Peta rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Bandung ............
31
Genangan di wilayah Bandung dan sekitamya (kompilasi tahun 34 1986-2006) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ~.
Debit rata-rata tahunan Sungai Citarum dan pada saat banjir tahun 1994-2005 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
34
Peta lokasi penelitian. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
35
Diagram tahapan penelitian. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
36
Tahapan pembuatan peta kontrol penggunaan lahan terhadap 41 RTRW. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tahap pembuatan peta bahaya banjir. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
41
Bagan pembuatan peta resiko banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
43
Penentuan skor totai dari atribut properti. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45 Pemanggilan lokasi data responden. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
47
Penggunaan lahan Kabupaten Bandung (hasil verifikasi) . . . . . . . . .
49
Grafik kesesuaian dan ketidaksesuaian terhadap RTRW . . . . . . . . . .
59
Persentase luas penyimpangan masing-masing peruntukan lahan....
59
.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Kuesioner .............................................
105
2
Luas wilayah dan kependudukan Kabupaten Bandung tahun 2004.
109
3
Peta kontrol RTRW terhadap penggunaan lahan a h a 1 Kabupaten Bandung (detail) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
110
4
Foto-foto ..............................................
115
Peta kontrol penggunaan lahan terhadap RTRW (global). . . . . . . . .
60
Daerah genangan di Bandung dan sekitarnya pada peristiwa banjir tahun 1986-2006 (verifikasi) . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . . . . . Peta bahaya bai~jirberdasarkan kejadian banjir. . . . . . . . . . . . . . . . . . Sub DAS yang meliputi daerah bahaya banjir. . . . . . . . . . ... . . . . . Peta resiko banjir Kabupaten Bandung. . . . . . . . . . . . . . . . . . Jaringan jalan dan fasos fasum di daerah beresiko banjir . . . . . . . . Penggunaan lahan pada sub DAS yang meliputi daerah beresiko .. banjir. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Penyimpangan tata mang pada Sub DAS penyuplai banjir. . . . . . . . . Frekuensi banjir menurut masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Penyebab banjir menurut masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Distribusi pengetahuan konservasi masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengetahuan masyarakat tentang penyebaran infonnasi tata mang . . Sebaran keinginan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang. . . Skema upaya penataan ruang Kabupaten Bandung memperhatikan aspek resiko banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan manusia dan mahluk hidup membutuhkan ruang sebagai lokasi berbagai kegiatan atau sebaliknya suatu ruang dapat inewadahi berbagai kegiatan sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan. Oleh karena itu, pemanfaatan ruang yang baik memerlukan suatu penataan yang komprehensif. Penataan ruang hams mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan yang mencakup perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Bila suatu penataan ruang tidak didasari deugan pertimbangan rasional sesuai dengan potensi wilayah tersebut, maka dapat terjadi inefisiensi ruang atau penurunan kualitas ruang. Hal ini dapat berdampak pada rusaknya ekologi lingkungan dan beresiko mengalami bencana yang dapat muncul secara tak terduga. Seiring dengan perkembangan wilayah, pemanfaatan ruang cenderung mengalami suatu perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas manusia untuk kepentingan ekonomi dan peningkatan jumlah penduduk. Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah luar kota untuk berbagai aktivitas ekonomi dan permukiman. Kesemuanya itu akan mengakibatkan kompetisi pemanfaatan lal~an untuk usaha, permukiman, dan pembangunan prasarana dan sarana publik. Kabupaten Bandung adalah daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung yang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Barat, sehingga perkembangan Kota Bandung yang dapat dilihat dari jumlah penduduk, tarsf sosial ekonomi, tata guna tanah, budaya, dan lain-lain juga akan mempengaruhi percepatan perkembangan wilayah di Sabupaten Bandung dari sudut pandang yang sama. Kondisi ini mempengaruhi minat pendatang untuk menetap dan mengadu nasib, sehingga arus urbanisasi tak dapat dihindarkan, dan kebutuhan akan lahan pull ineningkat yang berakibat pada perubahan penggunaan lahan yang pesat, yang cenderung menyalahi tata ruang.
Sejauh ini, pemerintah daerah Kabupaten Bandung telah mencoba mengakomodir kebutuhan penduduk maupun tuntutan pembangunan yang ada sesuai dengan kemampuan daerahnya, diantaranya dengan tersusunnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten yang diharapkan dapat menjadi acuan pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan. Dari RTRW yang dirancang sampai tahun 2010 ini telah dialokasikan kawasan lindung seluas 84 462 hektar dan kawasan budidaya seluas 227 013 hektar (Pemkab Bandung 2001). Pada kenyataannya, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan pemanfaatan mang kawasan lindung sebagai daerah budidaya, ditandai dengan aktivitas tegalan (ladang) maupun penebangan liar di hutan lindung, adanya permukiman dan industri di sckitar waduk, sempadan sungai, maupun di daerah resapan. Hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuan masyarakat tentang peraturan-peraturan yang berlaku, tekanan ekonomi, ataupun lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggar aturan. Di Kabupaten Bandung, perubahan penggunaan lahan paling tinggi terjadi di bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung seperti di Kecamatan Baleendah, Katapang, Pameungpeuk, dan Dayeuhkolot. Peristiwa ini berkaitan dengan relokasi industri dari Kota Bandung ke Kabupaten Bandung maupun timbulnya kawasan industri bam di Kabupaten Bandung (LPPM ITB 2003). Selain itu kepindahan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung dari Alun-Alun Kota Bandung ke Soreang (Kabupaten Bandung) pada tahun 1994 juga mendukung percepatan pembahan tata guna lahan. Perubahan ini tidak terlepas juga dengan karakteristik wilayah di sekitar kecamatan-kecamatan tersebut yang relatif datar sehingga memudahkan untuk dilakukan pembangunan, dan dilewati oleh aliran sungai yang memudahkan aktivitas-aktivitas manusia yang memerlukan air permukaan seperti permukiman dan industri. Melihat kondisi fisik tersebu:, dapat dikatakan bahwa daerah-daerah tersebut mempunyai potensi bahaya banjir dan sebenamya pembangunan di daerah-daerah tersebut pun beresiko terhadap bencana banjir, selain itu berubahnya daerah terbuka menjadi daerah terbangun, menyebabkan volume aliran permukaan lneningkat dalanl siklus hidrologi. Lebih lagi daerah cekungan yang dilalui oleh aliran Sungai Citarum (termasuk Sub DAS Citarum Hulu) merupakan lokasi pertemuan anak-anak Sungai Citarum, yaitu Sungai
Cikapundung, Sungai Citarik, Sungai Cisangkuy, dan Sungai Cirasea, sehingga merupakan daerah yang potensial terhadap banjir karena tingginya debit sungai di daerah pertemuan sungai tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Warlina (2000) serta Hidayat dan Mulyana (2002), daerah-daerah tersebut mempakan daerah yang berdrainase buruk dan berbakat banjir. Sedangkan penelitian Suherlan (2000), melalui parameter curall hujan, lereng, tekstur tanah, dan penggunaan lahan menunjukkan bahwa sebagian besar kecamatan-kecamatan yang terletak di selatan Bandung dan dilalui oleh aliran Sungai Citarum termasuk daerah rentan banjir. Pada saat debit air yang melintasi anak-anak Sungai Citarum melebihi kapasitas salurannya, maka pada daerah pertemuan anak-anak sungai tersebut, terjadi luapan air atau banjir, sehingga menimbulkan bencana bagi populasi dan permukilnan pada daerah tersebut. Permukiman identik dengan manusia dengan berbagai macam aktivitas, sehingga perilaku masyarakat juga tidak terlepas dari permasalahan banjir. Menumt Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, sampah donestik yang dibuang masyarakat ke saluran air seperti sungai, berkoniribusi besar terhadap penyumbatan saluran, pendangkalan sungai, sehingga kapasitas tampung sungai menumn yang dapat mengakibatkan banjir jika terjadi hujan yang sangat deras (Kompas 2005). Perurnusan Masalah Banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung telah menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun harta benda. Pada tahun 2005, banjir terjadi pada musim penghujan yaitu bulan Januari hingga Maret, dan telah menenggelamkan lebih dari 18 000 rumah. Kegiatan industri d m jasa menjadi lumpuh dan mengakibatkan kerugian ratusan juta rupiah hanya dalam beberapa jam (Kompas 2005). Banjir menyisakan pula masalah sekunder seperti penyakit menular, kerawanan sosial, dan penurunan kesejahteraan . Sebagai upaya pengendalian banjir, pemerintah daerah telah melakukan berbagai cara, yaitu secara stmktural seperti pelurusan dan pengerukan saluran, juga secara non struktural antara lain dengan penataan ruang yang bersumber dari pengumpulan data dan informasi, baik data fisik geografis, maupun sosial
ekonomi (Pemkab Bandung 2001). Namun, tampaknya upaya fisik maupun informasi-informasi yang telah dikompilasi baik dalam bentuk peta maupun data lain sebagai dasar penataan ruang masih belum efektif, sehingga banjir tetap tejadi dan membawa akibat yang tidak ringan. Selain itu, kondisi masyarakat yang secara sosial, ekonomi, maupun budaya beluin menyadari bahaya banjir, sehingga juga dapat menjadi keterbatasan dalam upaya ini. Tidak adanya tindakan tegas dari aparat dalam menegaMcan aturan yang telah dibuat turut berkontribusi terhadap masalah banjir. Selma ini penataan ruang Icabupaten Bandung seolaholah tidak menjadi jaminan bahwa wilayahnya akan terhindari dari problematika banjir, karena banjir di Kabupaten Bandung selalu mengakibatkan kerugian fisik maupun materil yang rutin setiap tahun, sehingga kejadian banjir bisa m e q a k a n salah satu indikasi kurang berfimgsinya penataan ruang. Situasi seperti ini tentu tidak dapat dibiarkan terus, tapi harus segera dicarikan solusi mitigasi untuk mengurangi terjadinya bencana. Akar permasalahan dalam ha1 ini antara lain kurangnya informasi kepada pembuat keputusan sebagai dasar pengambilan kebijakan, khususnya untuk perencanaan tata ruang. Menurut Departemen PU (20051, s e l m a ini sifat dan resiko kebencanaan belum dipertimbangkan sebagai salah satu aspek penting dalam penataan ruang di berbagai daerah, termasuk beium lengkapnya data kebencanaan untuk penataan ruang terutama peta bencana banjir dan peta resiko (mikrozoning) banjir di berbagai daerah, sehingga mengakibatkan masalah banjir menjadi bencana yang berulang dan tidak tertangani secara tuntas. Menurut Abidin (2006), keterlambatan dalam memahami faktor-faktor banjir umumya disebabkan kurang tersedianya data dan informasi keruangan yang rinci dan komprehensif dari aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Karena itu, penyediaan peta yang aktual dan valid merupakan salah satu ha1 yang per111 dilaksanakan untuk dapat memberikan informasi kepada para pembuat keputusan di pemerintahan yang dapat membantu dalam penentuan kebijakan. Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, inaka masalah-masalah yang dapat dilumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah realisasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Bandung?
2. Bagaimanakah sebaran lokasi bahaya dan resiko banjir di Kabupaten
Bandung?
3. Bagaimanakah kaitan spasial pemanfaatan lahan dengan banjir di Kabupaten Bandung? 4. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap banjir dan penataan ruang?
5. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir resiko banjir di Kabupaten Bandung?
Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini edalah untuk : 1. Menganalisis realisasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Bandung.
2. Membuat peta bahaya dan resiko banjir Kabupaten Bandung. 3. Mengetahui kaitan spasial pemanfaatan lahan dengan banjir di Kabupaten
Bandung. 4. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap banjir dan penataan ruang.
5. Memberi masukan upayz penataan ruang dalam mengurangi resiko banjir di Kabupaten Bandung. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai informasi bagi pihak pengambil keputusan di pemerintahan untuk menentukan kebijakan dalam upaya mengendalikan banjir di Kabupaten Bandung Kerangka Pemikiran Penelitian S e l m a ini pemerintah Kabupaten Bandung telah berusaha untuk memajukan daerallnya melalui program-program berupa RTRW dan peraturanperaturan daerah. Namun, dalam penerapannya sering terjadi penyimpangan karena berbagai kondisi seperti kurang akomodatifnya RTRW maupun kesadvan masyarakat yang rendah. Hal ini dapat mempakan salah satu faktor pendorong perubahan fungsi lahan yang dapat berakibat pada penurunan kualitas lingkungan. Berkurangnya daerah tangkapan air adalah salah satu bukti penulunan kualitas lingkungan, dan ha1 ini berpotensi sebagai penyebab banjir yang dapat mengakibatkan bencana. Banjir >ang terjadi di berbagai tempat aktivitas manusia
bisa merupakan peristiwa alam atau sebagai akibat degradasi lingkungan yang akan terus berlangsung dan merusak jika tidak segera ditangani. Penanganan masalah banjir ini tidak bisa dilakukan secara parsial, karena seluruh sistem yang ada di suatu wilayah dapat memiliki pengaruh terhadap banjir, dan kondisi itulah yang seharusnya dipahami oleh manusia. Keterbatasan manusia dalam memahami karakteristik wilayahnya dari faktor-faktor penyebab banjir salah satunya dapat dikarenakan kurang tersedianya informasi keruangan yang valid. Sebagai langkah awal dalam upaya pengendalian banjir, diperlukan wawasan dan pemahaman yang cukup terhadap karakteristik wilayah dan masyarakat di daerahnya. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram yang ditampilkan pada Gambar 1 Program Pembangunan Wilayah Kabupaten Bandung I
RTRW Kabupaten
Penegakan hukum lemah
kurang lengkap RTRW kurang
* pemban,
masyarakat
Perubahan penggunaan lahan
(ekosistem terganggu)
Bencana Banjir
.L r~nalisisdan ~enilaianbahava serta resikol
1 Kesimoulan I solusi
0
= tidak
diteliti
Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA Penataan Ruaug Menurut definisi W 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, mang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup d m melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Dalam ha1 ini pengertian wilayah terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pe~nerintahan dan wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan. Undang-undang tersebut membagi kawasan menjadi dua, yaitu kawasan Iindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung meliputi hutaa lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan kawasan sekitar wadukldanau, sernpadan sungai, daerah sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan bencana (bahaya banjir, aliran lahar, gempa bumi, longsor, tsunami). Kawasan budidaya meliputi kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat pertahanan keamanan. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan mang dan pengendalian pemanfaatan mang. Penataan ruang mempakan kebijakm dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk kesinergian kepentingan. Menurut UU tersebut, penataan ruang disusun berasaskan: (a) pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan, dan (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Rencana Tata Ruang Wilayah KabupatenIKota menurut UU 2411992 merupakan pedoman yang digunakan untuk perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang wilayah KabupatenKota untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar sektor secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, juga menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan. Adapun UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberi kewenangan yang luas dalam mengatur, membagi dan memanfaatkan sumber daya daerah dengan memberi peluang peran serta masyarakat. Setiap rencana disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing yang diserasikan dengan rencana dari daerah lain. Hal ini terkait dengan konsistensi aparat terhadap RTRW dalam mengeluarkan izin-izin yang memanfaatkan ruang di daerahnya. Pemanfaatan ruang adalah menurut UU No. 24 tahun 1992 adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Dengan kata lain pemanfaatan ruang merupakan usaha memanifestasikan rencana tata ruang kedalam bentuk program-program pemanfaatan ruang oleh sektorsektor pembangunan yang secara teknis didasarkan pada pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumberdaya alam lainnya, misalnya hutan, perkebunan dan pertambangan. Di dalam pemanfaatan ruang tersebut, batas-batas fisik tanah diatur dan dimanfaatkan secara jelas oleh penatagunaan tanah. Secara formal, ekspresi penlanfaatan ruang umumnya digambarkan dalam berbagai bentuk peta. Peta-peta kenlampuan lahan dan kesesuaian lahan untuk berbagai aktivitas penggunaan adalah bentuk deskripsi umum dalam menggambarkan daya dukung dan potensi sumber daya alam. Peta penggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover tizap) adalah bentuk deskripsi terbaik dalam menggambarkan pemanfaatan ruang terkini (Rustiadi et al. 2004). Maka, melalui usaha pemqfaatan ruang ini diharapkan dapat mencapai keseimbangan lingkungan serta mencerminkan pembangunan yang benvawasan lingkungan. Berkaitan dengan penanganan banjir, Dijen Penataan Ruang-Departemen Kimpraswil (2003), mengemukakan upaya penataan ruang hams didekati secara
sistemik tanpa dibatasi oleh batas-batas kewilayahan dan sektor. Oleh karena itu dirumuskan 4 (empat) pnnsip pokok penataan ruang yang perlu dipertimbangkan yaitu ; (a) holistik dan terpadu, @) keseimbangan kawasan hulu dan hilir, (c) keterpaduan penanganan secara lintas sektor dan lintas wilayah-dengan skala provinsi untuk keterpadnan lintas kabupatenlkota dan skala kabupatenlkota untuk keterpaduan lintas kecamatan, serta (d) pelibatan peranserta masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini sesuai dengan amanat W 24/92 yang ditindaklanjuti PP 69/96 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang dan diperjelas dengan Permendagri No 911998 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (CIFOR 2002). W 24/92 tentang Penataan Ruang memang tidak secara eksplisit ditujukan untuk mengendalikan banjir, tetapi antara lain dapat digunakan untuk mengurangi kejadian banjir melalui dibedakannya fungsi kawasan lindung dan budidaya yang mempertimbangkan banjir sebagai salah satu faktor dalam menentukan pemanfaatan ruang. Selain itn, terdapat p u l a ' No. ~ 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa minimal luas hutan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah 30%. Hal ini pun dapat digunakan sebagai aturan pendukung dalam penataan ruang. Penataan ruang lebih berperan sebagai upaya preventif, dan ha1 ini dilakukan pula oleh negara lain seperti Arnerika Serikat maupun berbagai negara di Eropa yang menyusun semacam rencana tata ruang (zortingplan, land useplan) untuk mengatasi banjir (Kuswartojo 2002). Penggunaan Lahan Lahan oleh FA0 didefinisikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki pengaruh terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad 1989). Graaff (1996) menyatakan lahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi produksi dan wadah (misalnya tempat tinggal, produksi tanaman, penggembalaan), fungsi regulasi (misalnya siklus tanaman, keseimbangan air dan tanah, proses asimilasi), dan fungsi informasi (ilmu pengetahuan, sejarah).
PW3Faan
adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan
dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Vink 1975, diacu dalam Sitorus 2004). Menurut Barlowe (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi, dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai Fenggunaan lahan dail penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan. Penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover) merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penggunaan laban berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek tersebut, dapat berupa konstruksi vegetasi maupun buatan. Saefulhakim et al. (1997), menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat. Berhubung perekonomian dan preferensi masyarakat ini bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka penggunaan lahan pun bersifat dinamis sehingga dapat berkembang ice arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga sebaliknya. Pertambahan penduduk yang pesat dan pemenuhan kesejahteraan penduduk inengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, pertanian, industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang sering tidak mengikuti kaidah konsemasi alam (Mahmudi 2002). Perubahan penggunaan lahan, misalnya dari hutan menjadi pemukiman atau industri akan mengurangi daya serap tanah terhadap air. Situ, rawa, dan empang
yang diubah menjadi permukiman akan menyebabkan aliran permukaan tidak ditampung dulu, melainkan langsung menggenangi daerah sekitamya (Isnugroho 2002).
Siklus Hidrologi Air adalah material yang paling berlimpah di bumi ini, menutupi sekitar 71 persen dari muka bumi. Dalam siklus hidrologi (Gambar 2), jumlah air relatif tidak berubah, dan air akan selalu ada karena air bersirkulasi tidak pemah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir (Linsley & Franzini 1985). Air tidak saja perlu untuk kehidupan manusia, hewan, dan tanaman tetapi juga merupakan media pengangkutan, sumber energi dan berbagai keperluan lain, tetapi pada suatu saat dalam bentuk hujan lebat dan banjir, air menjadi perusak menimbulkan kerugian harta dan jiwa, juga menghanyutkan berjuta-juta ton tanah subur (Arsyad 1989). Siklus hidrologi dimulai dari penguapan air dari samudera akibat energi panas matahari, yang kemudian oleh massa udara yang bergerak dibawa di atas daratan. Uap tersebut mengalami kondensasi dan menjadi butiran air yang dapat membentuk awan atau kabut. Butiran-butiran air kecil itu akan berkembang cukup besar untuk jatuh ke permukaan bumi sebagai presipitasi (air hujan, salju, es). Penyebaran presipitasi di dunia tidak merata dalam siklus hidrologi, karena dipengaruhi oleh fenomena alam seperti angin, maupun aktivitas manusia. Umumnya 10%-20% total presipitasi jatuh di permukaan vegetasi (intersepsi), dan bila vegetasi sangat rapat intersepsi dapat mencapai 35%,
air hujan tertahan
beberapa saat kemudian diuapkan lagi ke atmosfir. Setelah jenuh air, maka presipitasi menetes ke tajuk, cabang, batang vegetasi, tumbuhan bawah, serasah, hingga permukaan tanah (througfall dan stemfall). Kira-kira dua per tiga dari presipitasi yang mencapai permukaan tanah menyebar ke berbagai arah dengan berbagai cara. Sebagian akan tertahan sementara di permukaan bumi sebagai es atau genangan air pada suatu depresi. Sebagian lagi akan mengalir ke saluran dan sungai yang disebut aliran permukaan. Makin landai lahan dan makin sedikit polipori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Air permukaan, baik yang mengalir maupun
yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-ltomponen siklus hidrologi yang membentuk sistem DAS (Asdak 1995). Jika permukaan tanah porus, sebagian air akan meresap ke dalam tanah melalui peristiwa yang disebut infiltrasi. Sebagian lagi akan kembali ke atmosfir melalui penguapan atau evapotranspirasi yaitu sekitar 80 000 mil kubik dari lautan, sedangkan sekitar 15 000 mil kubik berasal dari daratan, danau, sungai, lahan basah. dan melalui tanaman. Di bawah permukaan tanah, pori-pori tanah berisi air dan udara. Daerah ini disebut zona kapiler atau zona aerasi. Air yang tersimpan di zona ini disebut kelengasan tanah atau air kapiler, yang merupakan air tersedia yang dapat diambil oleh tumbuhan. Pada kondisi tertentu air dapat mengalir secara lateral pada zona kapiler, proses ini disebut interflow. Uap air pada zona kapiler dapat juga kembali ke permukaan tanah kemudian menguap. Kelebihan kelengasan tanah akan ditarik masuk oleh gravitasi, proses ini disebut drainase gravitasi. Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan akan jenuh air yang mana batas atas zona jenuh air tersebut disebut muka air tanah (water table). Air yang tersimpan dalam zona jenuh air disebut air tanah yang bergerak sebagai aliran air tanah (perkolasi) melalui batuan atau lapisan tanah sampai akhimya keluar di permukaan sebagai sumber air (spring), atau sebagai rembesan ke danau, waduk, sungai atau ke laut. Aliran sungai yang berasal dari air tanah yang merembes di dasar sungai disebut sungai bertipe effluent, sedangkan terdapat pula tipe sungai yang memberikan rembesan air ke dalam tanah, disebut tipe influent. Kontribusi air tanah pada aliran sungai disebut sebagai aliran dasar, sedang total aliran dalam satuan waktu disebut debit (Suripin 2002). Pada dasamya, Yang Maha Kuasa telah mengatur siklus hidrologi di alam ini secara sempuma. Namun manusia dengan aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dapat mengakibatkan keseimbangan siklus hidrologi terganggu, antara lain melalui pembukaan lahan pertanian baru di daerah hulu atau pembangunan rumah di dataran banjir, dapat mempengaruhi jumlah air yang mengalir, terserap ke dalam tanah, maupun yang menguap (Tjarli 2006).
Gambar 2 Siklus hidrologi (Christensen 1991)
Bahaya Banjir dan Pengurangan Resiko Banjir Banjir menurut terminologi ilmiah adalah suatu kondisi di suatu wilayah dimana terjadi peningkatan jumlah air yang tidak tertampung pada saluran-saluran air atau tempat-tempat penarnpungan air sehingga meluap dan menggenangi daerah di luar saluran, lernbah sungai, ataupun penarnpungan air tersebut (Sudaryoko 1987). Gambar 3 menampilkan mekanisme terjadinya banjir. Banjir dapat membahayakan suatu wilayah yang karena dipengaruhi faktor-faktor alamiah yaitu curah hujan, topograii, dan geomorfologi (proses fluvial) menyebabkan terjadinya genangan yang berpotensi menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi manusia (Kuswartojo 2002). Menurut Isnugroho (2002) di Indonesia terdapat 5 faktor penting penyebab terjadinya banjir yaitu :
-
curah hujan; di daerah tropis curah hujan cukup tinggi pada musim hujan, maka hujan yang terus menerus akan sampai pada kondisi tanah menjadi jenuh air dan hujan yang jatuh langsung menjadi aliran permukaan
-
karakteristik DAS (luas, bentuk dan kemiringan lereng)
-
kemampuan alur sungai mengalirkan air, yang dipengaruhi oleh pendangkalan dan penyempitan alur sungai.
-
perubahan penggunaan lahan di DAS, yang mempengaruhi kemampuan DAS dalaln meresapkan air
-
pengelolaan sungai, yang dipengaruhi oleh preferensi pengelola dengan mempertiinbangkan aspek lingkungan, ekonomi, dan politik. Ayala (2002) menyatakan suatu bahaya alam termasuk banjir dapat
diketahui dari karakteristik bahaya, yaitu melalui besaran (magnitude, intensitas) dan fiekuensinya. Adapun besaran bahaya banjir dapat dilihat melalui luas genangan (krn2, hektar), kedalamanlketinggian air (m), kecepatan aliran (mldt, kmljam), material yang dihanyutkan (batu, pohon, benda keras lain), tingkat kepekatan air atau tebal endapan lumpur (m,cm), la~nanyapenggenangan (jam, hari, bulan), aliran puncak, dan volume total air larian. Sedangkan frekuensi banjir adalah jumlah kejadian banjir di suatu daerah dalam satuan waktu (Cooke & Doornkamp 1990; Ayala 2002; BAKORNASPBP 2005)
P Hujan
n Pengendalian banjir
Perubahan koefisien - r a n
-
+ Aliran permukaan
n Banjir
Gambar 3 Diagram mekanisme terjadinya banjir (Sudaryoko 1987). Keterangan : Qa = debit pengaliran sungai Qc = kapasitas pengaliran alur sungai 4
= fenomena alam
--+
= kondisi non
alanliah yang berpengaruh pada fenomena alam
Fanjir dianggap sebagai bencana bila melanda manusia yang mendiami daerah-daerah bahaya
banjir, yakni dekat sungai atau pantai. Pertumbuhan
penduduk yang kian pesat telah menyebabkan daerah bahaya banjir menjadi padat penduduk dan resiko banjir terpaksa diterima seperti kehilangan harta benda, jiwa, dan rusaknya properti. Kondisi ini dapat terjadi bila dikaitkan dengan berbagai kemudahan seperti aksesibilitas, tanah subur, dan sunber air yang menunjang dalam aktivitas hidup manusia. Negara-negara maju pun menghadapi masalah yang dipicu oleh kepadatan penduduk ini. Amerika Serikat misalnya
mengeluarkan biaya milyaran dolar sejak tahun 1936 untuk membiayai program perlindungan penduduk dari bencana banjir (Paripumo 2004). Penelitian Ayala (2002) menunjukkan bahwa dari tahun 1900-1999, sebagian besar bencana alam terjadi di benua Asia yang notabene merupakan negara berkembang, yaitu sebanyak 42% dan 50% dari bencana tersebut adalah banjir, termasuk Indonesia. Menurut BAKORNASPBP (2005) bencana banjir mengakibatkan kerugian berupa korban manusia dari aspek jumlah penduduk yang meninggal, hilang, dan luka-luka; prasarana umum bempa prasarana transportzsi, fasilitas sosial, fasilitas pemerintahan, prasarana pertanian, perikanan, dan pengairan ; serta harta benda perorangan berupa rumah tinggal yang tergenang, rusak dan hany~i,asetlmodal, temak, dan lain-lain, sehingga dapat mengganggu dan bahkan melumpul&an kegiatan sosial ekonomi penduduk. Daerah-daerah yang paling beresiko terhadap terjangan banjir adalah daerah dekat sungai yang terdiri atas bangunan dari bahan tanah atau bata, bangunan dengan pondasi clangkal, bangunan dengan pondasi tidak kedap air, perpipaan, saluran listrik, mesin, barang elektronik, tanaman pertanian, maupun temak dalam kandang. Semakin tinggi resiko banjir dapat berasal dari pilihan masyarakat pula Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang bahaya banjir dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau peluang lainnya yang dijanjikan lokasi tersebut, walaupun mereka tahu resiko banjir yang akan diterima (Paripumo 2004). Terlepas dari ha1 itu, pemerintah seolah tidak ada realisasi untuk menertibkan dan mengamankan daerah bahaya banjir tersebut walaupun sudah ada Perda-Perda yang mengatumya. Lemahnya penegakan hukum ini dapat menjadi celah bagi para pelanggar aturan, dan resiko akibat banjir ini pun menjadi konsekuensi yang diterima pemerintah. UNDRO (1991), diacu dalarn Alhasanah (2006), menyatakan resiko adalah gabungan dari unsur-unsur resiko, bahaya dan kerentanan, dengan formulasi matematis sebagai berikut : Rt = (E)(HxV)
dimana : Rt : Resiko (risk) E : Unsur-unsur yang beresiko (risb elements) H : Bahaya (hazard) V : Kerentanan (vulnerability) Resiko (Rt) diartikan sebagai kondisi buruk yang hams diterima karena fenomena alam tertentu yang dihasilkan dari unsur-unsur yang beresiko, bahaya, dan kerentanan, seperti jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti dan hancumya aktivitas ekonomi. Adapun unsur-unsur beresiko (E) terdiri dari populasi, bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas umum, infrastruktur, dan lain-lain yang memiliki resiko pada suatu area. Bahaya (H) merupakan kecenderungan terjadinya kondisi bahaya akibat suatu fenomena. Sedangkan kerentanan (V) merupakan ukuran kerugian yang mungkin dialami suatu obyek bila tertiinpa bahaya, sebagai eontoh bantaran sungai yang padat permukiman akan rentan jika diterjang banjir. Femer dan Haque (2003), menyatakan bahwa penilaian resiko terdiri dari
3 komponen yaitu identifikasi bahaya, estimasi resiko dan kerentanan, serta evaluasi konsekuensi sosial. Identifikasi bahaya pada intinya adalah melakukan kajian terhadap suatu fenomena dengan mengumpulkan berbagai informasi sejarah suatu fenomena bahaya, frekuensi, pemantauan, dan sebagainya sehingga suatu bahaya dapat dikenali, dipahami berdasarkan ciri-ciri yang telah dikaji. Adapun estimasi resiko dan kerentanan terhadap suatu bahaya dipedukan untuk ~nengetahuikemungkinan yang akan tejadi terhadap lingkungan dan seluruh isinya jika ada bahaya mengancam. Sedangkan evaluasi terhadap korisekuensi sosial dapat dilihat dari komposisi masyarakat peneiima dampak, tingkat kerusakan infrastruktur, ataupun kesejahteraan. Menurut BAKORNASPBP (2005), resiko bencana (disaster risk) merupakan interaksi antara tingkat kerentanan daerah baik dari aspek fisik maupun penghuni, dengan bahaya yang ada. Ancarnan bahaya akan bersifat tetap, karena dapat sebagai bagian dari dinamika alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi yang menyebabkan suatu daerah bahaya terjadi bencana,
sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dimanipulasi, sehingga kemampuan daerah dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat. Westen (2006), menyatakan bahwa terjadinya suatu bencana berasal dari faktor bahaya dan kerentanan yang ditimbulkan oleh suatu fenomena alamiah. Faktor bahaya yang diaksud dapat berasal dari fenomena alam seperti gempa, longsor, ataupun banjir, sedangkan nilai kerentanan terhadap suatu fenomena bahaya diperoleh dari penilaian / pembobotan terhadap properti, maupun aktivitas penduduk di suatu wilayah. Sedangkan resiko bencana merupakan kombinasi dari bahaya serta kerentanan tersebut. Maka pada fenoinena banjir, resiko bencana yang dihadapi dapat berasal dari bahaya merusak pondasi bangunan, hanyntnya harta benda karena tergenang dan terbawa aliran air di daerah yang dilewati. Saat surut, material yang terbawa banjir dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman dan timbulnya wabah penyakit. Meskipun tidak dapat dicegah, banjir
dapat diusahakan untuk
dikendalikan. Usaha pengendalian banjir flood control) tidak bertujuan untuk menghilangkan sama sekali kemungkinan terjadinya banjir, tetapi hanya memperkecil kemungkinan banjir tersebut sampai batas tertentu. Secara umum, pengendalian banjir merupakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan rencana, dan pemeliharaan yang secara mendasar dimaksudkan iintuk mengendalikan banjir, pengaturan penggunaan lahan daerah dataran banjir dan bagi pengurangan ataupun pencegahan terhadap resiko akibat banjir (Irianto 2003). Suatu strategi dapat dilakukan untuk meminimalkan dampaknegatif akibat banjir. Metode-metode perencanaan tata guna lahan dilakukan oleh negara-negara barat untuk mengantisipasi resiko-resiko buruk yang terjadi baik secara perorangan maupun bagi masyarakat terhadap kemungkinan bencana alarn (Laheij et al. 2000). Para perencana dapat meminta masukan dari berbagai bidang
keilmuan untuk menilai tingkat resiko yang masih diterima, dan kelayakan suatu kegiatan pemerintah yang direncanakan. Informasi dan bantuan dapat diperoleh dari berbagai sumber, dari badan-badan intemasional hingga ke tingkat masyarakat (Paripurno, 2004). Kebijakan penanganan bencana banjir melalui penataan ruang pada tahap perencanaan adalah dengan menerapkan pengurangan terjadinya bencana banjir dengan menyusun Rencana Tata Ruang (RTR) atau
peninjauan ulang RTR yang ada dan kemudian menetapkan zoning regulation yang mempertimbangkan aspek resiko kebencanaan suatu kawasan bahaya banjir. Penilaian resiko bencana banjir dapat dilakukan pula dengan rnengumpulkan datadata mengenai daerah bahaya ataupun sistem tata air di daerah tersebut melalui prediksi hujan, kajian sejarah banjir, kelembaban tanah, topografi daerah, dan longsoran tebing daerah hulu, dimana untuk daerah-daerah dengan 4 musim ditambah dengan catatan lelehan salju, sedangkan untuk daerah pesisir ditambah dengan catatan pasang surut gelombang laut / badai dan geografi pesisir (Arduino et al. 2005).
Kajian atas kejadian banjir yang telah terjadi sebagai data historis dan empiris dapat dipakai untuk menentukan kerawanan suatu daerah, dan data tersebut hams selalu ada, dipelajari dan diperbaharui terus menerus tiap kali ada kejadian baru (Paripumo 2004). Data tersebut dapat berupa tulisan atau pun data spasial (keruangan dan kewilayahan) baik dalam bentuk peta kertas maupun sistem informasi geografis. Abidin (2006) menyatakan bahwa data-data spasial yang rinci dan up to date untuk mengompilasi informasi banjir masih kurang tersedia sehingga timbul keterlarnbatan dalarn memahami karakteristik faktorfaktor banjir. Pihak pemerintah menyatakan bahwa kondisi yang terjadi saat ini adalah sifat dan resiko kebencanaan belum dipertimbangkan sebagai salah satu aspek penting dalam penataan ruang di berbagai daerah, sehingga data kebencanaan yaitu peta bencana banjir dan peta resiko (mikrozoning) banjir di berbagai daerah bahaya belum lengkap tersedia (Departemen PU 2005). Melalui pendekatan mitigasi atau pengurangan resiko bencana, masyarakat dipandang sebagi subyek dan bukan obyek dari penanganan bencana dalam proses pembangunan. Hal ini layak untuk diterapkan di era otonomi daerah sehingga pemerintah daerah dan masyarakatnya secara mandiri dapat berusaha mengatasi permasalahan bencana di daerahnya (BAKORNASPBP 2005). Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografis, dimana secara umum dapat digunakan sebagai alat untuk
melakukan integrasi data, dan permodelan data sehingga dapat diperoleh informasi spasial yang lebih komprehensif. Sistem ini mengintegrasikan operasi basis data umum seperti query dan analisa statistik dengan visualisasi yang unik. Kemampuan ini menjadi penciri SIG dibanding sistem informasi lainnya, dan sangat berguna bagi suatu cakupan luas perusahaan swasta dan pemerintah untuk menjelaskan peristiwa, meramalkan hasil, dan strategi perencanaan. Analisis dengan SIG ini untuk memperoleh jawaban dari pennasalahan - permasalahan keruangan, walaupun tidak selalu mudah. Hal itu tergantung dari bagaimana analis melakukan klasifikasi, atau simbolisasi suatu fitur. Informasi tersebut nantinya dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan (Mitchell 2005) SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhimya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta 2005). Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), kemampuan SIG melakukan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, serta tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan terus menerus. Kelompok analisis dalam SIG terdiri dari 4 kategori, yaitu fungsi klasifikasi
pemanggilanklasifikasi/pengukuran,fungsi tumpang tindih, fungsi tetangga dan fungsi jaringanl keterkaitan. Pada fungsi pemanggilan , data spasial dan data atribut dibuat berbeda, dengan landasan analisis utama adalah data atribut. Sebagai salah satu hasil yang jelas operasi ini adalah untuk penyajian data tematik. Fungsi tumpang tindih digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta, dan ha1 ini merupakan kemampuan dasar SIG (Barus 2005). Tumpang tindih beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang inenggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa peta. Selain itu operasi tumpang tindih juga menghasilkan gabungan data dari beberapa
peta yang saling beririsan. Operasi turnpang tindih umumnya dilakukan dengan salah satu dari 5 cara yaitu :a) pemanfaatan fungsi logika dan fungsi Boolean, seperti gabungan, irisan, pilihan, perbedaan, dan pernyataan
bersyarat;
b) pemanfaatan fungsi relasional, seperti ukuran lebih besar, lebih kecil, sama besar, dan kombinasinya; c) pemanfaatan fungsi aritmatika seperti penambahan, pengurangan, pengalian dan pembagian; d) pemanfaatan data atribut atau tabel dua dimensi; dan e) menyilangkan dua peta langsung. Pada fungsi tetangga, dilakukan operasi untuk mengevaluasi ciri-ciri lingkungan yang mengelilingi suatu lokasi spesifik. Setiap fungsi tetangga memerlukan paramzter target lokasi, spesifikasi lingkungan sekeliling target, dan fungsi yang akan diterapkan pada unsur dalam lingkungan tersebut. Tipe yang paling m u m adalah fungsi pencarian, topografik, dan interpolasi. Operasi ini bermanfaat dalam evaluasi ciri-ciri stiatu area, seperti mencari permukiman di sekitar suatu titik lokasi. Adapun kategori analisis dengan menggunakan fungsi keterkaitan adalah untuk mengakumulasikan nilai-nilai di daerah yang sedang dijelajahi. Fungsi ini mempunyai unsur-unsur berupa spesifikasi unsur spasial berkait, aturan yang menjelaskan pergerakan-pergerakan dalam kaitan, dan satuan pengukuran (Barus dan Wiradisastra 2000).
DESKRIPSI UMUM WILAYAH Lokasi dan Kondisi Fisik Geografis
Di dalam wilayah Jawa Barat, Kabupaten Bandung terletak pada koordinat 6"41' - 7'19' LS dan 107'22'
- 108"05' BT, serta memiliki ketinggian antara 100
m sampai 2 429 m di atas permukaan laut (Bapeda Kab. Bandung 2002). Iklim di Kabupaten Bandung merupakan iklim tropis yang dipengaruhi iklim muson dengan curah hujan berkisar 1500 mm - 4500 mm per tahun, suhu 19 "C-24 "C dengan penyimpangan harian 5 OC, serta kelembaban udara bervariasi antara 78% pada musim hujan dan 70% pada musim kemarau. Daerah dengan curah hujan tertinggi (3500-4500 mdtahun) berada di daerah pegunungan seperti di Gunung Tangkuban Parahu, G. Patuha dan G. Kuda, sedangkan curah hujan terendah (
+
1500 mdtahun) terdapat di daerah dataran seperti di Kecamatan Batujajar, Soreang, Bojongsoang, Katapang, dan Pameungpeuk. Wilayah Kabupaten Bandung mempunyai geomorfologis bervariasi yaitu; (1) dataran dengan kemiringan lereng 0 4 % yang terdapat di sebagian Kecamatan
Soreang, Bojongsoang dan Rancaekek; (2) bergelombang dengan kemiringan lereng 8-15% yang antara lain berada di Kecamatan Pasirjanlbu, dan Pangalengan; (3) perbukitan dengan kemiringan lereng 15-40% yang menempati lembah antar gunung seperti bagian timur kaki G. Patuha dan lereng atas perbukitan Ciburial - G.Manglayang; dan (4) berpegunungan dengan kemiringan lereng > 40% yang menempati bagian puncak pegunungan seperti G. Wayang, G. Windu, dan G. Tangkubanparahu.
Sebagian besar wilayah kaki bukit dan
pegunungan terbentang sepanjang bagian utara, selatan dan barat dengan kemiringan beragam antara 26-40% dan >40%. Dengan demikian secara umum Kabupaten Bandung merupakan suatu cekungan, sehingga wilayah ini merupakan daerah tangkapan air yang penting, dan merupakan kawasan lindung yang menjaga keaeimbangan hidroorologis cekungan Bandung (Badri dan Wahyono 2005). Berdasarkan kondisi geologis, wilayah Kabupaten Bandung mempunyai litologi dengan: (1) satuan batuan andesit yang terdapat di sekitar Kecamatan Pasirjambu; (2) lava bersusunan andesit hingga basalt yang terdapat di G.
Kendang, dan G. Rakutak ; (3) breksi, lahar dan lava yang tersebar di sekitar hulu Sungai Cikapundung ke arah G. Manglayang, dan sekitar G. Malabar; (4) pasir tufaan, breksi lava, dan aglomerat yang merupakan hasil kegiatan gunung api seperti di daerah Lebaksari, G. Malabar, dan G. Mandalawangi ; (5) evata dan aliran lava seperti yang terdapat di G. Wayang-Windu, dan G. Manglayang ; (6) breksi tufaan berbatu gamping seperti yang terdapat di utara Kecamatan Gununghalu; (7) tuf kaca yang berada di sekitar G. Mandalawangi dan G. Mandalagiri; (8) lempung organik, tufaan, pasir tufaan yang merupakan hasil endapan danau yang terletak di daerah dataran seperti Kecamatan Margahayu dan Margaasih; dan (9) koluvium yang berasal dari breksi bersifat andesit, basalt, lava, batu pasir tufaan yang terdapat di sebelah utara Kabupaten Bandung. Wilayah dengan morfologi datar di daerah Cilampeni, Dayeuhkolot, Cipamokolan, rnernpunyai litologi endapan kuarter berupa aluvial, pasir, kerikil, dan lernpung yang mempunyai sifat fisik sangat lunak dengan drainase buruk sampai kedalaman 20 m (Hidayat & Mulyana 2002). Warlina (2000) mengemukakan bahwa berdasarkan kondisi geologi, Kecamatan Baleendah, Ciparay, Majalaya, Bojongsoang, Paseh, Rancaekek, Pameungpeuk, Cikancung dan Dayeuhkolot merupakan daerah dengan tanah berdrainase buruk dan berbakat banjir dengan luas 11 599 hektar. Pada wilayah dataran tersebut Sungai Citarum membelah dari tirnur ke arah barat kabupaten dan terdapat pertemuan anak-anak Sungai Citarum. Di daerah Dayeuhkolot tejadi pertemuan antara dua anak Sungai Citarurn yaitu Cikapundung dan Cisangkuy, begitu pula di Sapan (Majalaya) terdapat pertemuan antara Sungai Citarik dan Sungai Citarum Hulu, lalu di Ciparay dan Banjaran terdapat perternuan Sungai Citarik dan Cirasea. Karenanya menurut Arwin Sabar (seorang pakar hidrologi) tak mengherankan jika daerahdaerah tersebut jadi daerah langganan banjir (IndoNews 1998). Kondisi tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Bandung adalah: (1) satuan lempung organik yang merupakan endapan aluvial dengan litologi umumnya benvama abu-abu tua, mudah mengkerut dan mengembang karena pengaruh air, dan berpermeabilitas sangat rendah; (2) satuan lempung lunak yang terdapat di Kecamatan Majalaya bagian utara dan Kecamatan Soreang, (3) satuan lanau kerikilan dengan litologi agak lunak yang penyebarannya berada di
Lebaksari, Kecamatan Majalaya; (4) lempung pasiran, pasir lempungan, dan pasir kerikilan yang merupakan hasil hasil lapukan dari gunung api dan terdapat di kaki
G. Patuha (Badri & Wahyono 2005). Penelitian Suherlan (2000) dengan parameter curah hujan, kemiringan lahan, penggunaan lahan dan tekstur tanah menetapkan daerah rentan banjir di Kabupaten Bandung seluas 42 506.14 hektar. Daerah-daerah tersebut berada di sebagaian besar kecamatan Cipatat, Cipeundeuy, Cikalong Wetan, Cileunyi, Rancaekek, Majalaya, Ciparay, Baleendah, Pameungpeuk, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Margaasih, dan Margahayu. Berdasarkan penelitian Badri dan Wahyono tahun 2005, pemicu banjir di wilayah Kabupaten Bandung antara lain curah hujan c 3 atas normal, limpasan air di daerah aliran sungai bagian hulu meningkat dan daerah resapan mulai terganggu. Sedangkan di bagian hilir, kondisi topografis yang rendah, morfologi datar, tanah di tempat tertentu relatif kedap air, limpasan lambat, sistem drainase yang bumk, dan kondisi lingkungan sungai yang cenderung memburuk (sumbatan aliran karena sampah dan pendangkalan sungai). Menurut kondisi hidrologis, sumber air, baik air tanah maupun permukaan, di Kabupaten Bandung sangat banyak. Air permukaan terdiri atas danau alam, danau buatan, dan 172 buah sungai, namun hanya sekitar 30 sungai yang berair sepanjang tahun. Debit air permukaan yang berasal dari curah hujan yang tinggi diperkirakan mencapai 2 milyar m3 per tahun pada kondisi normal dan 1 milyar m3 per tahun pada kondisi kering. Mata air-mata air yang mempunyai debit minimal 10 ltfdetik dikuasai Pemerintah Kabupaten Bandung dengan prioritas pemanfaatan untuk kepentingan umum khususnya penyediaan air bersih dan irigasi. Wilayah barat kabupaten seperti di Kecamatan Cikalongwetan, Cipatat, Batujajar memiliki sungai-sungai yang relatif kering dengan debit sungai yang rendah. Adapun di daerah-daerah lain mempunyai debit lebih dari 200 rn3/det, antara lain kecamatan Cisama memiliki 3 buah sungai dengan debit 418 m3/dt, Lembang terdiri dari 10 buah sungai dengan debit 244 m3/dt, kecamatan Cilengkrang mempunyai 3 buah sungai dengan debit 231 m3 /dt (Pemkab Bandung 2001).
Hampir seluruh wilayah Kabupaten Bandung me~pakanDaerah Aliran Sungai @AS) Citarum bagian hulu dengan luas daerah tangkapan kurang lebih 250 ribu hektar (Gambar 4). Disamping itu terdapat wilayah yang mempakan bagian dari DAS Cimanuk, Cibuni, Cilaki, dan Cisokan. DAS Citarum Hulu mempunyai tujuh sungai utama yang mempengaruhi pola aliran Sungai Citarum baik secara kuantitas maupun kualitas yaitu Sungai Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, Ciwidey, Ciminyak, dan Cihaur. DAS Citamm Hulu mempunyai sumber mata air di Gunung Wayang (2 182 m) yang dikenal dengan nama Pangsiraman, Cikahuripan, Cisanti, dan Cipaedah, yang termasuk pada Sub DAS Cirasea. Dari sumber ini air kemudian mengalir ke daerah perbukitan Pacet dan kemudian bergabung dengan Sungai Citarik (Sub DAS Citarik) pada awal cekungan Bandung di daerah Jolok (Majalaya) yang bermorfologi datar. Selanjutnya aliran Sungai Citanun membelah cekungan di Kabupaten Bandung dari timur ke barat, bergabung dengan Sungai Cikapundung (Sub DAS Cikapundung) dan Sungai Cisangkuy di daerah Dayeuhkolot, lalu bergabung dengan Sungai Ciwidey di daerah Cimahi. Aliran ini kemudian mengalir pada bebatuan porous melalui suatu celah di daerah kapur di Kecamatan Padalarang dan bergabung dengan Sungai Cihaur lalu masuk ke waduk Saguling sebagai outletnya. Aliran Sungai Citanun banyak dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan ekonomi seperti untuk irigasi pertanian, untuk air minum, pembangkit listrik, perikanan, dan pariwisata (PC1 2003). Pola aliran Sungai Citarum serta sejumlah anak sungainya cendemg bertipe radial sentrihgal. Alur sungai utama atau anak sungai yang menyusun aliran terbesar dan terpanjang dinamakan saluran drainase primer. Anak lcabang sungai yang bermuara ke alur sungai utama mempakan saluran drainase sekunder, dan seterusnya untuk macam drainase. Pola aliran sungai tersebut kemudian membentuk DAS seperti kipas, yang secara geografis tipe aliran tersebut bisa mengakibatkan titik-titik simpul yang memudahkan terjadinya banjir. Potensi tersebut diperkuat lagi dengan muara anak sungai yang saling berlawanan dan tegak lurus dengan aliran Sungai Citamm. Maka, ketika air sungai meluap, aliran air dari sejumlah anak sungai akan ikut terhambat, sedangkan jika air di sejumlah anak sungai meluap akan mengakibatkan Sungai Citaruin rneluap pula. Hal ini
tejadi kareaa luapan dari masing-masing anilk sttngai niaupun Sungai Citamm sendiri saling bertemu sehiigga menimbulkan banjir di daerah sekitamya (Badri 8: xJ:n_h;.yono 2002).
PETA DAS DAN JARINGAN SUNGAI WILAYAH KABWATEN BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT
II
NAMA
I
UIAS DDI WILAYAH KAOUPA1.W BANDUX0 01.4) 33.3
ma mumonrc~w~air SUsrMs ClllAllK
sun ~nsahtaunr st,,> u*scnt,rn
ZIIJ3 IS 8m.l IS ?%.I
3s m.5 sl SIIIIU~FCI~ANIII(IIUI.U zz811 SUII DAS CISDUN
Nr*'"<*,,w., :.-h W nm.,
~ 9 x 9 engihn=*br uii*ri,Krh rlnnlling
Somber: BPSDA Wly Citarum Peta RBI Bnkosurtanal
I
I
Giunbar 4 DAS dan jaringan sungai Kabupaten Bandung.
Sejarah dan Kondisi Sosial Ekonomi
Pemerintahan Kabupaten Bandung telah berdiri sejak pertengahan abad ke-17 yang dahulu beribukota di daerah Dayeuhkolot yang berada di hilir Sungai Cikapundung. Pada tahun 1810 ibukota Kabupaten Bandung pindah ke daerah yang saat ini termasuk wilayah Kota Bandung di sekitar Alun-alun kota. Sejak saat itu, tejadi pernbangunan permukirnan dan sarana transportasi sehingga wilayah tersebut berkembang rnenjadi daerah otonom Kota Bandung seperti sekarang. Adapun kernudian pusat pemerintahan Kabupaten Bandung pada tahun 1994 pindah ke Soreang yang terletak di selatan kabupaten (Bappeda Prov. Jabar 2006). Luas wilayah Kabupaten Bandung saat ini adalah 307 371 hektar yang secara administratif terdiri dari 45 kecamatan dengan 440 desa. Luas wilayah tersebut sudah rnerupakan hasil pemekaran Kota Bandung seluas 16 732 ha dan Kota Cirnahi seluas 4 025.73 ha. Adapun batas-batas administratif Kabupaten Bandung adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Punvakarta dan Kabupaten Subang; sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Garut d m Kabupaten Sumedang; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, sedangkan bagian tengahnya berbatasan dengan Kota Bandung dan Kota Cimahi (UU No.9 tahun 2001; Bapeda Kab. Bandung 2002). Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung sebagai ibukota Proinsi Jawa Barat, pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bandung cukup pesat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bandung tahun 2004, kepadatan penduduk rnencapai 13.49 jiwa per hektar (Lanlpiran 2) dan cenderung terus meningkat dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 3.19%. Penyebaran penduduk di Kabupaten Bandung tidak merata, karena sebagian besar penduduk berada di daerah-daerah perdagangan atau industri, serta ibu kota kecamatan yang dilalui oleh jalan arteri primer seperti Kecamatan Soreang, Margahayu, dan Dayeuhkolot (Badri dan Wahyono 2005). Adapun jaringan jalan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Jaringan jalan Kabupaten Bandung Berdasarkan data BPS Kabupaten Bandung (2004), kepadatan penduduk tahun 2004 di Kecamatan Margahayu 101.54 jiwdha, Dayeuhkolot 95.76 jiwalha dimana pada daerah-daerah tersebut banyak terdapat industri serta merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung. Sedangkan untuk kecamatan-kecamatan yang relatif jauh dari Kota Bandung antara lain Kertasari, Pasirjambu, dan Sindangkerta masing-masing mempunyai kepadatan penduduk 4.10 jiwdha, 3.08 jiwdha dan 4.97 jiwdha. Sebaran kepadatan penduduk Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Gambar 6. Adapun sumber penghasilan utama penduduk Kabupaten Bandung sebagian besar berasal dari pertanian, industri pengolahan, perdagangan besarteceran, jasa, dan angkutan. Aktivitas pertanian umumnya berlangsung di kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten-kabupaten lain, yaitu Ciwidey,
Rancabali,
Pasirjambu,
Cimaung,
Gununghalu,
Cipongkor,
Cikalongwetan, Nagreg, dan Cicalengka. Industri pengolahan yang berkembang adalah tekstil, kerajinan, pengolahan hasil pertanian, tersebar di kecamatan Rancaekek, Majalaya, Pameungpeuk, Soreang, dan Dayeuhkolot. Potensi perdagangan berada di kecamatan Margahayu, Margaasih, Ibun, Soreang, dan Baleendah. Sedangkan jasa dan angkutan berkembang dengin baik di daerah Cimenyan, Banjaran, Arjasari, Cileunyi, Katapang, dan Margaasih.
Gambar 6 Peta administrasi kecamatan dan kepadatan penduduk Kabupaten Bandung.
Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bandung Secara umum skenario pengembangan tata ruang Kabupaten Bandung mengarah pada pola ring radial dengan Kota Bandung sebagai kota inti. Pengembangan Kabupaten Bandung diarahkan untuk pengembangan kegiatan agribisnis, industri manufaktur, pariwisata, industri jasa, dan pendidikan (Bappeda Prop. Jabar 2003). Titik berat pembangunan jangka panjang Kabupaten Bandung diletakkan pada bidang ekonomi sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan tetap memperhatikan keterkaitan dengan bidang-bidang lainnya. Pada pelaksanaan pembangunan, seluruh daya harus digali dan dimanfaatkan disertai
kebijaksanaan
serta
langkah-langkah
guna
membimbing
dan
meningkatkan kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah. Sementara itu, visi pengembangan Kabupaten Bandung adalah untuk mewujudkan pola pemanfaatan lahan di wilayah Kabupaten Bandung yang efisien dan berorientasi lingkungan, dengan terbebaskannya wilayah Kabupaten Bandung dari masalah banjir dan masalah pencemaran limbah industri (Penlkab Bandung 2001). Pemerintah daerah berupaya menerapkan strategi pemanfaatan ruang dengan menjamin keIestarian lingkungan dan pengelolaan sumber daya alan. Strategi tersebut antara lain dengan berupaya menlpertahankan luas kawasan lindung yang ada, memanfaatkan ruang kawasan budidaya secara optimal sesuai kemampuan daya dukung lingkungan, mengendalikan pemanfaatan ruang agar tidak terjadi konflik antar kegiatan, dan dalam menentukan prioritas hams lebih fleksibel dan terarah. Alokasi pemanfaatan ruang Kabupaten Bandung disusun dengan mempertimbangkan potensi dan kendala yang dihadapi, kecenderungan perkeinbangan yang ada, dan kebijaksanaanyang berlaku. Tada Peta Rencma Pemanfaatan Ruang dalam RTRW Kabupaten Bandung (Gambar 7), peruntukan penggunaan lahan yang direncanakan bejumlah 20 macam yaitu hutan lindung, hutan produksi, hutan rakyat, taman hutan rayalwisata alamlcagar alam, ruang terbuka hijau, sawah irigasi, sawah tadah hujan, ladang, potensi agribisnis, kebun, perltebunan PTP, perikanan, petemakan, pertan~bangan, kawas?
industri,
perumahan / permukiman, perdaganganljasa, pemerintahadfasilitas umum, militer, dan situ 1 danau 1 waduk. (Pernkab Bandung 2001).
Menurut pemerintah Kabupaten Bandung, setiap rencana pemanfaatan ruang baik dari masyarakat, pengusaha maupun pemerintah diharapkan dapat menyesuaikan dengan RTRW yang telah dibuat dan disahkan melalui Perda RTRW. Sejauh ini pemerintah daerah telah memberikan izin-izin untuk pemanfaatan tanah sebanyak 511 izin dari tahun 1993-2006. Perincian izin tersebut adalah sebanyak 255 izin untuk pembangunan perumahan dari tahun 1993-2000 (Pemkab Bandung 2001), serta sebanyak 256 izin untuk berbagai aktivitas termasuk perumahan, industri, pertarnbangan, pasar, dan lain-lain (Dinas Lingkungan Hidup Kab. Bandung 2006). Ferkembangan Bencana Banjir Dataran tinggi Bandung terletak pada daerah yang berketinggian 600-700 m dpl. Tapi, ketinggian suatu wilayah belum jaminan daerah tersebut akan terbebas banjir. Laporan Van Benunelen pada tahun 1949 menurut Suganda (2002) telali mengungkapkan bahwa sampai menjelang Perang Dunia I1 daerah selatan dataran tinggi Bandung yang berupa rawa di sepanjang Sungai Citarum selalu tergenang tiap musim hujan. Rawa tersebut merupakan peninggalan danau Bandung purba yang lebih dari 6 000 tahun lalu membentang dari daerah Dago di utara sampai Soreang di selatan sejauh 30 kilometer, dan dari Padalarang di barat sampai Cicalengka di timur sejauh 50 kilometer. Rawa tersebut kemudian surut hingga kering dan terbentuklah palung Sungai Citarum dengan anak-anak sungainya. Banjir besar yang pemah terjadi di Bandung aclalah pada tahun 1931 dengan luas genangan 9 300 ha, kemudian pada tahun 1983 daerah genangan mencapai 13 000 ha. Dari catatan tersebut, wilayah genangan yang terletak di Kabupaten Bandung lebih luas dibandingkan dengan genangan yang terdapat di ICota Bandung, terutama Bandung Selatan. Pada tahun 1984 terjadi 3 kali banjir yaitu pada bulan Januari, Pebruari dan April dengan luas sekitar 11 000 ha. Pada bulan Maret tahun 1986, luas genangan banjir di Bandung Selatan sekitar 7 000 hektar (Pemkab Bandung 2001). Banjir erat kaitannya dengan drainase permukaan tanah yang menunjukkan seringnya tanah tergenang air. Kondisi ini dipengaruhi oleh Iereng, tekstur tanah dan porositas tanah.
Dalam Renstrada Kabupaten Bandung Tahun 2001-2005 (2001), perilaku masyarakat yang sering membuang sampah ke sungai, serta berkurangnya daerah resapan air di hulu-hulu sungai merupakan faktor yang mendorong meluapnya Sungai Citarum dan beberapa anak sungainya di musim penghujan. Kondisi ini menimbulkan tergenangnya daerah Kecamatan Margahayu akibat meluapnya Sungai Cimariuk, daerah Kecamatan Cileunyi oleh luapan Sungai Ciendog, daerah Kecamatan Cicalengka oleh Sungai Cikijing, daerah Kecamatan Majalaya oleh Sungai Leuwiteureup, daerah Kecamatan Ciparay dan Bojongsoang akibat luapan Sungai Cirasea dan Sungai Jelekong, dan lain-lain. Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Wilayah Citarum beserta Unit Pelaksana Teknis (UPT) nya yang tersebar di beberapa daerah telah berusaha mengompilasi data banjir yang terjadi di Kota maupun Kabupaten Bandung dari tahun 1986 sampai 2006 berdasarkan laporan-laporan di lapangan, meskipun tidak setiap tahun dan selumh kejadian banjir dapat didokumentasikan. Gambar 8 memperlihatkan wilayah yang pemah tergenang akibat banjir yang terjadi dari tahun 1986 sampai 2006 di Bandung dan sekitarnya. Adapun data debit Sungai Citarum saat kejadian banjir dari tahun 1994 sampai 2005 dapat dilihat pada Gambar 9. Tampak perbedaan yang besar antara debit saat kejadian banjir dan debit rata-rata tahunan. Kerusakan yang ditimbulkan akibat banjir menurut data BPS Kabupaten Bandung (1994), telah menimbulkan korban jiwa sekitar 17 000 jiwa dengan taksiran kerugian 1.2 milyar rupiah. Menurut Dinas PSDA Propinsi Jabar (2005), pada tahun 2005 sekitar 18 000 unit rumah terbenanl dengan tinggi genangan mencapai 3 meter, lamanya tergenang mencapai 10 hari dan kerugian yang diterima mencapai trilyunan rupiah. Sedangkan pada peristiwa banjir tahun 2006, kerugian yang menimpa industri di Bandung selatan mencapai 30 milyar rupiah. Adapun banjir yang terjadi pada tanggal 21 Pebruari 2007 menyebabkan pengusaha yang terkena dampak banjir mengklaim kerugian sementara 1.8 miiyar rupiah dan masih bisa bertambah (AntaraNews 2007).
Gambar 8 Genangan di wilayah Bandung dan sekitarnya (kompilasi tahun 1986-2006)
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
(Tahun)
Gambar 9 Debit rata-rata tahunan Sungai Citarum dan pada saat banjir tahun 1994-2005 Keterangan : = debit Sungai Citarum saat peristiwa banjir += debit rata-rata tahunan Sungai Citaruln
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di wilayah administratif Kabupaten Bandung (Gambar 10) . Penelitian dilaksanakan pada Juli - September 2006. Selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data. 105
10s
107
108
Gambar 10 Peta lokasi penelitian. Metode Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
Sistem
Informasi
Geografis
yang
dilaksanakan dalam 3 tahap utama yaitu persiapan dan pemasukan data, analisis, serta penyajian hasil analisis. Hasil analisis disajikan dalam bentuk peta-peta dengan referensi geografis dan langkah selanjutnya dilakukan analisis deskripsi dari informasi yang ditampilkan peta-peta tersebut. Adapun diagram tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.
1
..........
I
I
:I
-
Peta kantol pengunvan lallan terhadap RTRW
Peta Penepsi Masyvrakat
Gambar 11 Diagram tahapan penelitian.
*' Fasilitas sosial dun railitas umum
2
I
I
,
I
I
'
I0 I
8
'
I
I
\
' ,
' I
I
I
5
I
Persiapan dan Pemasnkan Data Pada tahap ini penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner, kemudian cek lapang untuk verifikasi penggunaan lahan dan genangan banjir. Sedangkan data sekunder (Tabel 1) diperoleh dari berbagai sumber, melalui studi pustaka maupun konsultasi ke instansi terkait untuk memperoleh informasi banjir dan tata ruang. Data tersebut berupa data dijital, tabular, paper, dan peta-peta, Tabel 1 Data sekunder penelitian No. 1
Jenis
Format
Tahun
Skala
Sumber
Peta administrasi
JPEG
2002 (diolah)
1:100 000
Bapeda Kab. Bandung
dijital
2002
1:100 000
BPN Kab. Bandung
2001
1:100 000
Bapeda Kab. Bandung
Peta penggunaan lahan Peta RTRW (rencana pemanfaatan ruang)
dijital
4
Peta infrastruktur
dijital
2000 (diolah)
1:25 000
5
Peta fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos fasum)
dijital
2000 (diolah)
1:25 000
6
Peta banjir, peta DAS
cetakan
1986,1992, 1994 sld 2006
1: 100 000
8
Data - data sosial Tabular ekonomi Data-data infrastruktur, dan Tabular fasos-fasum
2004 2004
Peta RBI Bakosurtanal Peta RBI Bakosurtanal Balai PSDA Wly Citarum BPS Kab. Bandung Bapeda Kab. Bandung
Penyusunan Kuesioner. Kuesioner disusun untuk mencari informarsi tentang pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap : (1) kejadian dan penyebab banjir (2) penataan ruang
Pemilihan responden secara acak dengan metode stratified randorn san~pling.Responden berasal dari seluruh kecamatan di Kabupaten Bandung, baik
yang berada di bagian hulu sungai-sungai utama maupun daerah di bawahnya. Masing-masing kecan~atan diwakili oleh 2 desalkelurahan, dan setiap desa diwakili oleh 2 orang responden, jun~lahkecamatan adalah 45 sehingga total responden menjadi 180 orang.
Pembuatan kuesioner didasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan
pelaksanaan
pembangunan
adalah
tingkat
pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan partisipasi masyarakat mengenai program-program pemerintah yang terkait dengan penataan ruang maupun pengendalian banjir. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka data-data dari masyarakat kemudian diolah untuk memberikan deskripsi tentang persepsi masyarakat terhadap penataan mang dan kaitannya dengan banjir. Verifikasi Lapang. Pelaksanaan verifikasi lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan aktual dan daerah bahaya banjir di Kabupaten Bandung. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan GPS navigasi berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2002 dari BPN Kabupaten Bandung
.
dan peta genangan banjir dari Balai PSDA Wilayah Citarum yang merupakan kompilasi dari tahun 1986-2006. Hasil verifikasi lapang merupakan data-data yang dituangkan sebagai informasi untuk memperbahami peta penggunaan lahan aktual tahun 2006, dan peta genangan banjir aktual. Pada penelitian ini peta genangan banjir tersebut digunzkan sebagai peta bahaya banjir untuk digunakan dalam analisis pembuatan peta resiko banjir. Pengolahan peta dilakukan dengan menggunakan seperangkat komputer berprocessor setara Pentium 111, RAM 256 MB, dan berkecepatan 1 GHz. Adapun perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian adalah ArcView versi 3.3 untuk pengolahan peta, dan Microsoft Excel untuk pengolahan data-data terkuantifikasi. Pemasukan Data. Data yang telah diperoleh, baik primer maupun sekunder kemudian disusun sebagai basis data. Pada tahap ini, peta genangan banjir skala 1: 100 000 dari BaIai PSDA Wilayah Citarum yang masih dalam bentuk cetak (hardcopy) kemudian disiam (scan) dan dilakukan dijitasi menggunakan perangkat lunak ArcView untuk memperoleh peta dalam format dijital. Sedangkan data-data yang diperoleb dengan menggunakan GPS dapat dimasukkan langsung kedalam peta dijital yang sudah ada, dalanl ha1 ini berupa
koordinat-koordinat geografis. Adapun data-data tabular dimasukkan langsung kedalam komputer menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Peta infrastruktur diperoleh dari jaringan jalan pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal skala I : 25 000. Pada peta infrastruktur, jaringan infrastruktur yang digunakan dalam analisis ditarnpilkan dalam bentuk garis (line)berupa jaringan jalan sebagai sarana bagi pergerakan aktivitas manusia, yaitu jalan arteri primer, kolektor primer, lokal primer, jalan to1 dan jalan kereta api. Peta fasilitas sosial dan m u m (fasos fasum) berasal dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal skala 1:25 000 dalam bentuk titik (point), data dari Bapeda Kabupaten Bandung, dan verifikasi. Jenis
.
fasos fasum yang digunakan adalah tempat ibadah, kantor pemerintahan daerah .
,
(bupati, camat, desallurah), kantor polisi, pasar, kantor pos, pelayanan telekomunikasi, puskesmas/rumah sakit, sekolah, terminaWstasiun, dan menara saluran udara tegangan tinggi (SUTT). Pemilihan fasos fasum tersebut dengan asumsi bahwa pada tempat-tempat tersebut sering dilakukan aktivitas manusia, dan merupakan fasilitas pelayanan yang sangat berguna bagi manusia (sarana vital) dalam menjalankan kehidupannya.
Analisis Data
Pada tahap ini seperti yang dapat dilihat pada diagram alir (Gambar lo), dilakukan analisis SIG pada peta-peta dijital yang sudah ada yaitu peta rencana pemanfaatan ruang (RTRW), peta penggunaan lahan 2006 (hasil verifikasi), peta bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir), peta infrastruktur, serta peta fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos fasum). Analisis data tersebut dilakukan untuk menghasilkan kontrol penggunaan lahan terhadap RTRW, peta resiko banjir, dan peta persepsi masyarakat. Analisis yang dilakukan meliputi pemanfaatan ruang aktual di kecamatankecamatan yang ada, berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2002 yang direvisi, dikaitkan dengan penataan ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bandung 2001-2010, dan pengaruhnya terhadap resiko banjir, dilihat dari aspek fisik maupun sosial. Selain itu mengetahui persepsi masyarakat Kabupaten
Bandung, baik di daerah bahaya banjir maupun tidak, mengenai banjir dan penataan ruang. Analisis data meliputi analisis keruangan dan analisis atribut. Analisis keruangan yang digunakan adalah : a. Klasifikasi/Reklasifikasi Klasifikasi digunakan untuk mengkelaskan data spasial atau atribut menjadi data spasial baru dengan kriteria tertentu, untuk mempermudah proses analisis selanjutnya. b. Tumpang tindih Analisis ini merupakan hasil gabungan dari beberapa peta yang akan menghasilkan informasi baru dalam bentuk poligon baru yang merupakan irisan beberapa poligon dari peta yang ditumpangtindiian. c. Buffer
.
Penggunaan buffer dilakukan untuk membatasi suatu obyek dengan jarak tertentu yang dalam progam ArcView diganibarkan di sekeliling titik, garis, atau poligon, seperti jaringan jalan, pasar, perkantoran, dan lain sebagainya. Adapun analisis atribut yang digunakan dalam penelitian berupa pemberian skor (pengharkatan) dari atribut-atribut yang ada pada tiap peta. Pengharkatan dilakukan kepada peta penggunaan lahan (verifikasi), peta bahaya banjir, peta fasos fasum, peta infrastruktur Cjaringanjalan)
Penyusunan peta kontrol penggunaan lahan.
Pada tahap ini, peta-
peta yang diperlukan adalah peta rencana pemanfaatan ruang dari RTRW Kabupaten Bandung, dan peta penutuplpenggunaan lahan terkini (hasil verifikasi tahun 2006). Operasi tumpang tindih menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 kemudian dilakukan untuk n~emperoleh poligon-poligon baru, lalu dilakukan analisis keruangan melalui que,y atribut dan field calculator untuk melakukan klasifikasi. Tahap pembuatan peta kontrol tata guna lahan dapat dilihat pada Gambar 12, yang merupakan bagian dari tahapan penelitian dari Gambar 11.
/ /
Pcla pengunaan lahan 2002
/
Jicldclreck
Peta RTRW Peta penggunaan lahan 2006
Peta kontrol penggunaan lahan thd RTRW
Gambar 12 Tahapan pembuatan peta kontrol penggunaan lahan terhadap RTRW (bagian dari tahap penelitian)
Pembuatan peta bahaya banjir. Peta bahaya banjir perlu dibuat untuk digunakan dalam pembuatan peta resiko banjir. Luas genangan banjir merupakan salah satu parameter ancaman / bahaya banjir menurut BAKORNASPBP (2005), karena itu daeiah tergenang diasumsikan sebagai daerah bahaya banjir. Pada penelitian ini peta bahaya banjir dibuat dari kompilasi peta genangan banjir tahun 1986, 1992, 1994, 1995, 1996, 1997, 1998, 1999,2000,2001,2002, 2003, 2004, 2005, dan 2006 (verifikasi).
Tahap-tahap yang dilakukan adalah dengan melakukan tumpang tindih pada peta-peta tersebut untuk memperoleh daerah (area) yang mengalami bailjir dengan frekuensi tertentu. Ilustrasi pembuatan peta bahaya banjir dapat dilihat pada' Gambar 13, yang merupakan bagian dari Gambar 11 pada tahap tumpang tindih. 1994 1992
- pengharkatan
1986
0 I
Peta bahaya banjir I
2
., . . . .. .
Tumpang tindih peta-peta genangan banjir Gambar 13 Tahap pembuatan peta babaya banjir.
Frekuensi kejadian banjir pada suatu area dijadikan dasar untuk menentukan klasifikasi kerawanan suatu daerah terhadap bahaya banjir. Dari 15 peta tersebut, ditentukan tingkat bahaya banjir berdasarkan frekuensi banjir yang melanda daerah-daerah banjir di Kabupaten Bandung. Semakin banyak fiekuensi banjir di suatu daerah, maka daerah tersebut dinyatakan semakin rawan terhadap banjir. Daerah yang tidak pemah mengalami banjir dikategorikan sebagai daerah tidak bahaya banjir yang umurnnya berada di hulu-hulu sungai, sedangkan daerah lainnya diklasifikasikan kerawanannya berdasarkan jumlah kejadian banjir. Jumlah kejadian banjir berdasarkan 15 peta dimana tiap peta mewakili 1 kejadian banjir dalam 1 tahun. Dari hasil tumpang tindih dapat diketahui frekuensi banjir yang menimpa suatu daerah. Pembagian kelas bahaya banjir terdiri dari 4 kelas yaitu tidak rawan, rendah, sedang dan tinggi yang kemudian diberi skor 0 - 3 (Tabel 2). Tabel 2 Kelas bahaya banjir Frekwensi banjir berdasarkan 15 kejadian 0 (tidak pernah) 1-5 kali 6-10 kali 2 11 kali
Kelas Bahaya Banjir tidak bahaya rendah sedang tinggi
Penyusunan peta resiko banjir.
Skor 0 1 2 3
Peta-peta yang digunakan untuk
menghasilkan peta resiko banjir adalah peta bahaya banjir yang berasal dari peta genangan banjir (hasil verifikasi), kemudian peta penggunaan lahan tahun 2006 (hasil verifikasi), peta infiastmktur dan peta fasos-fasum sebagai komponen properti yang memiliki skoi / kadar kerentanan tertentu berdasarkan penilaian multi kriteria terhadap banjir. Gambar 14 menunjukkan tahap pembuatan peta resiko banjir, dan rnerupakan bagian dari Ganlbar 11.
Peta penggunaan lahan 2002
Peta-peta genangan (verifikasi) komponen proprli ,'
klasifikasi
a- - - - - - - - --- -Peta penggunaan lahan 2006
banjir pengharkatan
pengharkatan
Fasos- fasum pengharkatan & brrffering
---___
- -- -
infiastruklur
_--
.__---
ri tumpang tindih
(
I
pengharkntnn
klasifikasi
PETA RESIKO BANJIR
\ / '
\ Gambar 14 Bagan pembuatan peta resiko banjir (bagian dari tahap penelitian).
Pengharkatan (Scoring) dan Buffering. Pengharkatan atau scoring untuk masing-masing komponen properti, yaitu melalui peta penggunaan lahan, peta fasos fasum dan peta infrastruktur, didasarkan pada asumsi kerugian yang dialami jika dilihat dari kriteria fisik, manusia dan manfaat, apabila terjadi banjir. Penentuan skor berdasarkan kriteria fisik dilandasi pertimbangan terhadap nilai ekonomi. Adapun kriteria manusia dinilai dengan melihat kemungkinan seberapa banyak manusia terlibat dalam herbagai komponen properti, sedangkan penentuan skor berdasarkan kriteria manfaat ditinjau dari aspek utilitas, ditinjau dari kerugian yang diterima bila terlanda banjir. Nilai skor yang diberikan untuk masing-masing kriteria bervariasi dari 1 sampai 3, dengan asumsi bahwa skor 1 mempunyai resiko rendah, skor 2 mempunyai resiko sedang dan skor 3 mempunyai resiko tinggi jika macam properti tersebut dilanda banjir (Alhasanah 2006).
Skor untuk masing-masing kriteria tersebut kemudian dijurnlahkan untuk memperoleh skor total dari jenis-jenis komponen properti. Semakin tinggi nilai skor total, menunjukkan kemungkinan resiko terkena bencana semakin tinggi pula jika terlanda banjir. Pengharkatan dilakukan untuk mempermudah penilaian resiko pada proses pembuatan peta resiko banjir ini. Namun metode ini terdapat kelemahan pada proses tumpang tindih peta, dimana mengakibatkan terjadinya penghitungan ganda terhadap skor-skor masing-masing atribut peta tematik, yang seharusnya tidak terjaai. Skor komponen properti dapat dilihat pada Tabel 3. Pemberian buffer dilakukan untuk memperoleh batasan area dari peta inkastruktur dan peta fasos fasum karena peta-peta tersebut ditampilkan dalam bentuk titik (poiitf) dan garis (line) sehingga perlu pemberian buffer yang membatasi daerah-daerah sekitar titik dan garis tersebut untuk kemudahan analisis tumpang tindih. Hal ini dilakukan karena operasi tumpang tindih pada software ArcView hams dilakukan dalam bentuk arealpoligon. Buffer yang diberikan adalah 50 m, dengan mempertimbangkan genangan banjir di sekitar tiap infrastruktur maupun fasos fasum yang minimal dapat mencapai 50 m berdasarkan data empiris.
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4
5 6 7
Jenis Penggunaan Lahan SituIKolandWaduk Hutan Industri Kebun Campuran Ladang Sawah Permukiman Tanah kosonglsemak Perkebunan PTP Fasos fasum Tempat ibadah Kantor BupatilCamat 1 Desa Menara SUTT Kantor Polisi Pasar Kantor Pos Pelayanan telekomunikasi
Fisik
Manusia
Manfaat
Total
1 1 3 2 2 2 3 1 2
1 1 2 1 1 2 3 1 1
1 1 3 2 2 2 3 1 2
3 3 8 5 5 6 9 3 5
No
Jenis
Fisik
Manusia
Manfaat
Total
8 PuskesmasIRS 9 Sekolah 10 TerminaWstasiun
1 2 3 4 5
Infrastruktur Jalan Arteri Primer Jalan Kolektor Primer Jalan Lokal Primer Jalan Kereta Api Jalan To1 Nasional Sumber P e m k a b Bandung (2001), Alhasanah (2006), diolah
Pada analisis atribut, masing - masing skor total dari macarn properti yaitu penggunaan lahan, fasos fasurn dan infrastruka dijumlahkan untuk memperoleh nilai skor total akhir dari komponen properti. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 15. skor fasos fasum
skorjalan
skor penggunaan lahan
skor tqtal
Gambar 15 Penentuan skor total dari atribut properti.
Tahap terakhir pembuatan peta resiko banjir adalah tumpang tindih antara peta genangan banjir (terverifikasi) dengan peta penggunaan lahan 2006 (terverifikasi), peta fasos-fasum, dan peta infrastruktur. Pada tahap ini juga dilakukan klasifikasi dan pengharkatan untuk menentukan nilai resiko banjir. Nilai resiko diperoleh dengan menggunakan persamaan : Resiko = Bahaya x Properti (Primayuda 2006) Nilai bahaya ditentukan berdasarkan skor tingkat bahaya banjir dari peta bahaya banjir yaitu 0 sampai 3. Sedangkan nilai properti merupakan nilai akhir skor total dari penjumlahan skor total dari tiap elemen properti. Selanjutnya dilakukan klasifikasi nilai resiko dalam 4 kelas resiko banjir (Tabel 4). Tabel 4 Tingkat resiko banjir. Tingkat Resiko Banjir
Nilai Resiko
Tinggi
>40
Sedang
21-40
Rendah Tidak Beresiko Pemetaan Persepsi Masyarakat.
Persepsi masyarakat terhadap banjir
dan penataan ruang diperoleh dari hasil walvancara terhadap responden. Data lokasi responden berupa titik-titik koordinat yang diperoleh dari GPS dimasukan dalam tabel menggunakan program Microsoft Excel. Data tersebut kemudian disiinpan dalam format .dbf atau .txt. Untuk menampilkan titik-titik koordinat tersebut dalam ArcView, maka data yang disiinpan tersebut dipanggil menggunakan fasilitas Add Tables dan untuk menampilkan titik-titik tersebut dalam peta, maka pada menu View pilih Add Event Theme. Adapun ilustrasi pemanggilan data koordinat tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.
Garnbar 16 Pemanggilan lokasi data responden. Pemetaan persepsi masyarakat ini kemudian disandingkan dengan wilayah resiko banjir, sehingga dapat diketahui dan dianalisis hubungan antara persepsi masyarakat dengan banjir di Kabupaten Bandung Penyajian Hasil Analisis Hasil analisis didesain sedemikian rupa dalarn bentuk peta dengan bantuan perangkat lunak ArcView 3.3. Tampilan peta berupa peta ketidaksesuaian penggunaan lahan terhadap RTRW, peta bahaya banjir, peta resiko banjir, dan peta persepsi masyarakat berdasarkan lokasi wawancara yang dikaitkan dengan daerah penelitian. Setiap peta dilengkapi dengan legenda, arah mata angin, skala, sumber data, inset, dan koordinat. Analisis Deslcriptif Peta-peta yang telah dihasilkan kemudian dikaji dan dilakukan pembahasan dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk memberi penjelasan terhadap suatu kondisi baik berupa proses maupun hasil secara logis dan sederhana tanpa menghilangkan-ciri ilmiah dari suatu penelitian.
Analisis dilakukan untuk menggambarkan kaitan antara pemanfaatan ruang dengan resiko banjir. Pada tahap ini, pembahasan dilakukan secara logika berbasis pengetahuan dengan memasukkan juga unsur persepsi masyarakat yang diperoleh dari wawancara. Kuantifikasi dilakukan dalam analisis ini terhadap peta-peta yang telah dihasilkan, baik berupa luasan maupun persentase untuk memperoleh paparan yang lebih jelas. Melalui penjelasan secara kuantitatif diharapkan apa yang sulit dituangkan dalam bentuk tulisan dapat terekspresikan lebih bermakna.
Untuk meliha; kemunglanan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang, maka peta penggunaardpenutupan lahan (veriJied) ditumpangtindihkan dengan peta rencana pemanfaatan ruang (RTRW 2001-2010) yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil turnpang tindih menunjukkan adanya penyimpangan tata ruang yang cukup besar. Pada Lampiran 3, area benvama coklat muda (nomor 1) adalah daerah dengan penggunaan laharl yang sesuai dengan arahan dalam RTRW, sedangkan area lainnya merupakan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan. Kondisi ini dapat terjadi karena ketidaktahuan masyarakat atau lemahnya penegakan hukum sesuai aturan yang berlaku. Kemungkinan tidak sesuainya penggunaan lahan dengan RTRW juga dapat berasal dari penggunaan lahan yang telah berlangsung sejak dulu sebelum dibuatnya Perda yang mengatur tentang RTRW. Kondisi tersebut masih memungkinkan untuk disesuaikan dengan rencana pemanfaatan ruang yang berlaku. Hal ini dapat diketahui dari izin-izin pemanfaatan lahan yang telah diberikan pemerintah daerah dalam kurun waktu 2001-2006 (setelah disusumya RTRW). Berdasarkan data yang ada sudah 511 izin pemanfaatan tanah yang dikeluarkan oleh Pernkab Bandung dari tahun 1993-2006, namun informasi mengenai apakah izin-izin tersebut sesuai dengail RTRW tidak diketahui karena datanya tidak ada, sehingga harus dilakukan studi tersendiri mengenai izin-izin yang telah dikeluarkan. Bila izin-izin tersebut ternyata menyimpang dari RTRW, maka ha1 ini menunjukkan ketidak konsistenan aparat dalam menerapkan aturan yang telah dibuat. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya banjir di Kabupaten Bandung, jika temyata penyimpangan tersebut berada pada lokasi bahaya banjir atau penyimpangau tersebut terletak pada lokasi peruntukan yang berperan dalam kejadian banjir seperti hutan di daerah hulu sungai yang berubah fungsi menjadi permukiman. Adapun luas area penyimpangan hasil tumpang tindih ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Luas area ketidaksesuaian penggunaan lallan Landuse
Luas (ha)
PemrIFasum Prdgnglls Perikanan Perkb.PTP Penamb. Permh&Permkm Peternkan Potcnsi AgrBsnis 1 504.4 1 920.3 850.5 638.9 693.4 RTH 5 705.3 119.3 6 507.7 1663.6 1 733.3 1622.0 Swli lrigasi 3 050.0 234.3 5 439.5 1 834.9 256.0 11 045.4 Swh Tdh Hjn 1 595.0 7 390.8 4445.1 283.0 Situ/Danau/Waduk 61.0 559.7 513.0 59.9 1 508.1 Tahur,afTWA/CA 9 819.6 792.0 142.4 698.7 114.5 Jumlali 7 1 778.6 2 033.2 100 170.8 31 045.7 25 600.0 43 291.0 Perscntase (%) 23.4 0.7 32.6 10.1 8.3 14.1 Sumbcr : Hail tumpang tindill pcta pcnggunaan lahan 2006 (verifikasi) dengan peta rencana ema an fa at an rtlang Tnh ksglsmk = tsnah kosonglsemak Keterangan : RTH = Ruang Tcrbuka Hi'au TahuraTTWfV ayflaman Wisata AlamICagar Alam =dacrah dengan luas dan lokasi yangsesuai RTRW
Jumlah
144.6 491.5
81.7 114.5 66.7 951.1
115.3 507.5 584.4 1 028.6
7.8
55.4 7 361.0 2.4
91.3 9 005.9 2.9
17 084.8 5.6
5 949.0 18 464.6 28 218.2 19 8355 7 947.8 11 721.7 307371.0 100.0
Pencnfase
1.9 6.0 9.2 6.5 2.6 3.8 100.0
Hutan Penyebaran hutan pada Gambar 16 tampak sebagian besar berada di bagian selatan, yaitu di Kecamatan Gunung Halu, Ciwidey, Pangalengan, Kertasari, dan Ibun (Persebaran peta administrasi lihat Gb. 6). Hutan tampak sedikit di bagian utara, yaitu di Kecamatan Cisama dan Lembang. Hal ini terjadi karena di daerah tersebut kini banyak dibangun villa. Kondisi ini dpat mempengaruhi kualitas air Sungai Cikapundung yang berhulu di daerah tersebut. Aliran-air permukaan akan membawa butiran tanah yang akan berpengamh terhadap peningkatan sedimen di hilir. Total luas hutan adalah 71 778.6 ha, sedangkan luas hutan menurut RTRW adalah 73 758.6, dengan kata lain 97.3% luas hutan aktual masih mendekati luas yang direncanakan. Namun, lokasi aktual hutan tersebut tidak sesuai dengan arahan dalam RTRW. Kondisi ini menunjukkan adanya kekurangharmonisan dalam penyusunan RTRW karena hutan umumnya tidak terjadi dalam waktu 1-2 tahun, dan bisa dipastikan hutan tersebut sudah ada sejak dulu. Berdasarkan Tabel 5, luas area hutan lindung yang sesuai dengan peruntukan adalah 21 064.5 ha. Nilai luasan tersebut belum mencapai target dalan RTRW, yaitu 42 339.7 ha, sehingga persentase ketidaksesuaian lebih dari 50%. Sebagian besar daerah peruntukan hutan lindung saat ini mempakan kebun campuran yang tersebar
di Kesamatan Rongga, Sindangkerta, Gununghalu, Cipatat, Rancabali, Pangalengan, Kertasari, Cilengkrang, Lembang, Parongpong, Cisarua, dan Cikalong Wetan. Selain itu, terdapat pula daerah peruntukan hutan lindung di sekitar Pacet dan Kertasari yang menjadi perkebunan milik pemsahaan perkebunan seluas 5 322.8 ha. Daerah-daerah peruntukan hutan lindung tersebut diarahkan berfungsi sebagai kawasan resapan, dengan kondisi-kondisi fisik yang diasumsikan cocok untuk hutan lindung, namun dengan adanya ketidaksesuaian maka fimgsi resapan berkurang dan aliran permukaan pun meningkat dari daerah hulu ke daerah yang lebih rendah. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi hutan di Kabupaten Bandung sangat memprihatinkan dengan gundulnya gunung dan perbukitan yang biasanya daerah berhutan. Kondisi ini terjadi dibagian selatan seperti yang dapat dilihat pada Foto 5 Lanlpiran 4.
Dalam konteks peristiwa banjir, hutan berperan melindungi permukaan tanah dari curah hujan dengan menangkapnya melalui tajuk yang kemudian diuapkan kembali ke atmosfer, tertahan di serasah, ataupun terserap ke dalam tanah, karena permukaan tanah hutan umumnya berpori besar sebagai akibat aktivitas mikroorganisme dan perakaran. Dengan kata lain, aliran air permukaan akan lebih terkendali sehingga potensi terjadinya banjir dapat dihrangi.
Indnstri Luas penggunaan lahan industri belum memenuhi target perencanaan seluas 9 lahan yang sesuai peruntukan adalali seluas 940.4 ha yang 096.8 ha. Penggunaa~~ berada di Kecamatan Padalarang, Margaasih, Katapang, dan Dayeuhkolot. Penyimpangan lokasi industri aktual yang mencolok merupakan lokasi dengan peruntukan permukiman yaitu seluas 499.5 ha. Lokasi peruntukan kawasan industri sendiri saat ini paling besar digunakan untuk permukiman. Hal ini menunjukkan antara permukiman dan industri terjadi perebutan lahan, dan seharusnya tidak boleh terjadi jika aparat konsisten dengan aturan yang telah dibuat. Terlepas dari pada itu, temyata lokasi peruntukan maupun aktual industri berada di daerah datar yang dilalui aliran sungai sehingga bahaya banjir dapat mengancam daerah tersebut. Kondisi ini seharusnya sudah diantisipasi dau diupayakan pengendalian banjir sehingga tidak memgikan industri maupun penduduk dan lingkungan sekitarnya.
Kebun Campuran Penggunaadpenutupan lahan yang sesuai peruntukan bagi kebun campuran hanya 14 928.9 ha sementara peruntukan dalam RTRW 31 052.9 ha yang berarti baru memenuhi 48.1% dari peruntukan secara ruang. Penggunaadpenutupan lahan aktual untuk kebun campuran adalah 100 170.8 ha yang mana pada kondisi tersebut terdapat penyimpangan dari peruntukan-peruntukan pemanfaatan ruang yang lain seperti industri, militer, perurnahan, dan sebagainya. Ketidaksesuaian peruntukan untuk kebun yang terjadi di wilayah pegunungan Kabupaten Bandung seperti di
Kecamatan Pasir Jambu, Pangalengan, Ciwidey, dan Cicalengka, saat ini didominasi oleh hutan produksi maupun hutan rakyat yang gundul dan sering tejadi penebangan liar (illegal logging). Daerah-daerah tersebut termasuk kedalam DAS Ciwidey dan Citarik bagian hulu yang akhirnya bermuara ke Sungai Citarum, sehingga berpotensi te~jadierosi, deposisi, yang mengakibatkan pendangkalan sungai. Akibat lain adalah meluap~yasungai jika terjadi hujan deras, karena tidak ada yang menahan air karena gundulnya hutan serta berkurangnya kapasitas tampung sungai. Ketidaksesuaian penggunaan lahan kebun campuran yang terbesar adalah pada daerah dengan peruntukan ladang yang tersebar di kecamatan-kecamatan sebelah barat dan selatan kabupaten, seperti Cikalongwetan, Rongga, Soreang, Batujajar, Cililin, Cimaung, dan Banjaran. Adanya kebun pada daerah peruntukan ladang sebenamya menunjukkan kcbiasaan masyarakat di daerah tersebut dalam bercocok tanam, dan jika dibudidayakan dengan baik akan berfungsi dalam menahan laju aliran permukaan, sebagai contoh dapat dilihat pada Foto 3 Lampiran 4. Terlepas dari penyimpangan yang terjadi, luasan kebun campuran yang besar seharusnya cukup untuk menghambat air larian, karena vegetasi kebun campuran pada umumnya merupakan tanaman tahunan dengan perakaran yang cukup dalam. Namun, ha1 ini dipengaruhi kondisi nil di lapangan, seperti lokasi kebun campuran yang berada di gunung-gunung tejal di Kecamatan Ciwidey yang sebenarnya cocok untuk hutan lindung. Selain itu jumlah vegetasi kebun campuran yang sedikit, banyak ditemukan di bagian selatan Kabupaten Bandung. Ladang Luas ladang aktual belum mencapai luas yang direncanakan, dan tejadi pula penyimpangan lokasi peruntukan ladang. Sebagian besar lokasi peruntukan ladang menjadi kebun campuran dengan luas 17 611.5 dan pada dasamya ha1 ini tidak bermasalah bila dikaitkan dengan banjir. Bahkan, lokasi ladang aktual ada yang terdapat pada lokasi peruntukan permukiman dengan luas 5 422.8 hektar. Hal ini justru dapat mengurangi resiko banjir.
Perkebunan PTP Penggunaantpenutupan lahan aktual untuk Perkebunan PTP melebihi peruntukan dalam RTRW yang seluas 19 395.2 ha, dimana wilayah yang sesuai RTRW hanya 7 406.0 ha, atau hanya mencapai 38%. Penyimpangan penggunaan lahan perkebunan PTP ini didominasi pada daerah peruntukan untuk hutan lindung. Di sisi lain, peruntukan ruang untuk perkebunan PTP ini pada kondisi aktual ada yang dimanfaatkan menjadi hutan dan kebun campuran dengan luas yang cukup dominan. Pemanfaatan sebagai hutan dengan luas 3 684.5 ha merupakan kondisi yang positif jika ditinjau peranannya dalam meresapkan air. Sedangkan pemanfaatan sebagai kebun campuran dengan luas 6 025.5 ha merupakan bentuk penyimpangan yang dapat meningkatkan air larian, dan ha1 ini perlu diwaspadai sebagai stimulan banjir. Permukiman Luas penggunaan lahan permukiman melebihi peruntukan, yaitu 43 291.0 ha, sementara luas peruntukan adalah 36 333.4 ha. Penggunaan lahan permukiman yang sesuai dengan arahan dalam RTRW hanya 11 432.2 ha atau sekitar 31%, termasuk di dalamnya adalah peruntukan pemerintahan dan perdagangan. Peruntukan permukiman ada yang kenyataamya merupakan hutan, kebun campuran, ladang, dan sawah dengan luas yang cukup dominan. Pemanfaatan sebagai hutan, kebun campuran, dan ladang tersebar di Kecamatan Paseh, Pacet, Cilengkrang, dan Nagrek, yang aksesibilitasnya cukup jauh dari Kota Bandung maupun pusat pemerintahan Kabupaten Bandung (Soreang). Sedangkan sawah berada di Kecamatan Bojongsoang, Cileunyi, Majalaya, dan Cicalengka. Kondisi ini dapat saja tejadi sejak dulu sebelum disusunnya RTRW, dan masih dapat berubah mengikuti RTRW. Permukiman sebagian besar berada pada daerah yang diperuntukan sebagai sawah irigasi dalam RTRW, yaitu seluas 11 054.4 ha.
Daerah-daerah tersebut
nlempakan daerah dataran dan dilalui oleh sungai. Nainun ternyata permukiman pun tumbuh subur sehingga tejadi alih fungsi lahan. Sebaran permukilnan tersebut berada di Kecamatan Dayeuhkolot, Bojongsoang, Baleendah, Majalaya, Rancaekek,
Katapang, Pameungpeuk, Cangkuang, Soreang, Batujajar, dan Cikalong Wetan. Apabila terjadi banjir, maka daerah permukiman tersebut rawan terjadinya genangan yang dapat menimbulkan kerugian karena terhambatnya aliran air yang melalui permukiman, dan resiko tak dapat dihindari. Sawah Luas dan lokssi aktual sawah sangat jauh dari peruntukan yaitu dengan luas 17 084.8 ha sedangkan peruntukan sawah irigasi 28 218.2 ha dan sawah tadah hujan
19 835.5 ha. Peruntukan sawah irigasi pada kondisi aktual didominasi hutan, kebun cainpuran, dan permukiman. Adapun ladang, kebun campuran dan permukiman mendominasi peruntukan sawah tadah hujan. Hal ini perlu dicermati, apakah ketidaksesuaian dengan peruntukan tersebut terjadi sesudah atau sebelum penyusunan RTRW. Jika ditinjau dari kecenderungan suatu penggunaan lahan, umumnya hutan, kebun campuran, ladang, perkebunan PTP, waduk, dan semak adalah penggunaan lahan yang tidak memerlukan aktivitas manusia terlalu banyak sehingga kemungkinan penggunaan-penggunaan lahan tersebut sudah ada sebelum penyusunan RTRW dapat dimaklumi. Di lain pihak, industri dan permukiman sangat memerlukan campur tangan manusia dalam pemanfaatannya, dan bisa saja ha1 ini terjadi setelah penyusunan RTRW, namun tidak ada penegakan aturan yang jelas. Adapun penggunaadpenutupan lahan sawah sendiri ada yang merupakan
penyimpangan-penyimpangan dari peruntukan dalam RTRW, dimana yang dominan adalah peruntukan permukiman. Ditinjau dari kaitannya dengan banjir, terjadinya penyimpangan peruntukan ruang dari sawah irigasi menjadi permukiman merupakan ha1 yang dapat meningkatkan laju air larian, menghambat aliran air menuju hilir sehingga dimungkinkan terjadinya genangan jika hujan deras, dan tentu saja akan berpengaiuh terhadap resiko banjir.
Peruntukan mang perairan yaitu situ/danau/waduk pada kondisi aktual ada yang mempakan hutan, kebun campuran ladang, perkebunan PTP, permukiman, sawah, dan tanah kosonglsemak. Hutan seluas 61 ha yang terdapat pada lokasi peruntukan situ berada di Kecarnatan Pangalengan di lokasi yang berbatasan dengan Situ Cileunca. Scisa saja nantinya hutan itu akan diubah menjadi situ sebagai penambahan areal pariwisata. Adapun kebun campuran, ladang, dan semak berada di sekitar waduk saguling. Hal ini terdapat 2 kemungkinan, yaitu penggunaan lahan tersebut sudah ada sejak dulu dan akan diubah menjadi perairan untuk memperbesar daya tampung waduk, ataupun bam terjadi akibat keringnya tepi waduk sehingga menimbulkan aktivitas perladangan di sekitar waduk. Pemntukan perairan dengan kondisi aktual permukiman berada di sekitar Waduk Saguling dan di Kecamatan Bojongsoang. Kemungkinan yang tejadi bagi permukiman di daerah waduk tersebut adalah selain memang telah lebih dulu ada, juga akan terkait dengan proyek jika nantinya akan tergusur untuk perluasan waduk. Adapun peruntukan situ yang temyate mempakan permukiman di Kecarnatan Bojongsoang memang telah ada rencana pembangunan waduk barn sebagai reservoir dan kawasan ekowisata, namun sampai sekarang belum tampak kegiatan pembangunan maupun pembicaraan serius di tingkat pengambil kebijakan. Hal ini dimunglankan karena rencana ini terkait dengan kepentingan baik daerah maupun masyarakat dari berbagai aspek antara lain lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Terlepas Mi kondisi-kondisi yang tidak sesuai peruntukan, keberadaan situ/kolam/waduk aktual dalam ha1 luasan hampir mencapai peruntukan yaitu 7 361.0 ha atau 92.6% dari yang direncanakan. Dasrah yang sesuai peruntukan seluas 3 333.2 ha termasuk di dalamnya perikanan seluas 90.2 ha. Selain itu ada juga yang merupakan peruntukan permukiman, dan ha1 ini terjadi di Kecamatan Cipeundeuy yang mendekati Waduk Cirata.
Tanah kosonglsemak Penggunaadpenutupan lahan bempa tanah kosong atau semak di Kabupaten Bandung seluas 9 005.9 ha padahal dalam arahan RTRW tidak ada peruntukan semak, ataupun tanah kosong, sehingga daerah bersemak ataupun tanah kosong tersebut berada di tiap jenis peruntukan ruang (RTRW). Daerah dengan peruntukan hutan lindung, hutan produksi, hutan rakyat, kebun, ladang, militer, perkebunan PTP, petemakan, potensi agribisnis, ruang terbuka hijau, sawah, perairan, dan taman hutan rayaftaman wisata alamlcagar alam yang dalam kondisi aktual bempa tanah kosong ataupun semak bisa saja belum dimanfaatkan sesuai peruntukan atau memang tidak ada vegetasinya. Adapun tanah kosong dengan pe~ntLIkan kawasan industri, pemerintahan, perdagangan, pertambangan, dan pemmalian, bisa saja belum dilakukan aktivitas pembangunan bagi pemntukan tersebut. Berkaitan dengan banjir, maka keberadaan tanah kosong maupun semak ini tergantung pula pada kondisi fisik tutupan lahan yang bersangkuran. Tanah kosong yang b e m p u t maupun bersemak masih dapat menahan air larian walaupun tidak seefektif hutan maupun kebun. Sedangkan tanah kosong yang benar-benar kosong akan meloloskan air larian di permukaan tanah, dan akan makin berbahaya jika tanah tersebut berdrainase buruk, sehingga memungkinkan tejadinya genangan di daerah bermorfologi datar. Gambar 18 dan 19 menunjukkan luas lahan yang sesuai dengan peruntukan dalam RTRW atau konsisten, dan persentase penyimpangan yang tejadi terhadap RTRW dari jenis penggunaan lahan di Kabupaten Bandung saat ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini mengkaji aspek fisik dan aspek sosial. Pengkajian aspek Gsik dilihat dari kondisi terkini penggunaan lahan serta kondisi fisik lainnya di Kabupaten Bandung. Selanjutnya dari aspek fisik tersebut dilakukan pengolahan peta untuk memperoleh peta resiko banjir. Pengkajian aspek sosial diperoleh dari data primer berupa persepsi masyarakat terhadap penyebab terjadinya banjir, peuataan ruang, maupun upaya konservasi. Realisasi Pemanfaatan Ruang Berdasarkan hasil up daling peta penggunaan lahan 2002 dari BPN Kabupaten Bandung melalui verifikasi lapang, jenis penggunaan ataupun tutupan lahan di Kabupaten Bandung dapat diklasifikasikan atas hutan, industri, kebun campwan, ladang, perkebunan PTP, permukiman, situ/kolam/waduk, dan tanah kosonglsemak (Gambar 17). Pengklasifikasian ini didasarkan dari klasifikasi penggunaanlpenutupan lahan yang terdapat dalam RTRW Kabupaten Bandung (Pemkab Bandung 2001). . j-.
,
Ebb. P",x.**l
LEGENDA
,B,W
>,bS.,
,.6*,
r ~ n ~ a r o r o n o a n,,,I> ~r
., ".I
I'
r,
Gambar 17 Penggunadpenutupan lahan Kabupaten Bandung (hasil verifikasi)
Keterangan :
[I7!peruntukan d a l m RTRW 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : 6 : 7:
Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Rakyat Kawasan Indushi Kehun Ladang PemerintahIFasum
8 : 9 : 10 : 11 : 12 : 13 : 14 :
PerdaganganIJasa Perikanan Perkebunan PTP PerumahanIPermukiman Sawah Irigasi Sawah Tadah hujan SitdDanauIWaduk
Gambar 18 Grafik kesesuaian dan ketidaksesuaian terhadap RTRW.
H. Lin
H. Prd
H. Ryt
Kw Ind
Kbn
Ldg PmrIFas is um
Keterangan : H. Lin = Hutan Lindung H. Prd = Hutan Produksi H. Ryt = Hutan Rakyat Kw Ind = Kawasan Industri Kbn = Kebun Ldg = Ladang PmrIFasum = PemerintahadFasilitas umum
ikan PTP
Rmh
Sw IRi
Sw
Tdh Hjn
SituIDa nau
Js = JasaIPerdagangan Ikan = Perikanan PTP = Perkebunan PTP Rmh = Perumahan/Permukiman Sw Iri= Sawah irigasi Sw Tdh hjn = Sawah tadah hujan SitulDanau = SituIDanaulWaduk
Gambar 19 Persentase luas penyimpangan masing-masing peruntukai lahan.
Berdasarkan Gambar 18 dan 19, ketidaksesuaian pemanfaatan ruang terjadi di setiap jenis peruntukan pemanfaatan ruang, dan hampir semua mempunyai persentase penyimpangan lebih dari SO%, kecuali perdagangan dan jasa yang 48.5%. Hal ini menunjukkan ada yang tidak benar dengan penerapan rencana pemanfaatan ruang yang telah dibuat dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2001 sampai 2006 sekarang. Peninjauan kembali terhadap RTRW dapat dilakukan untuk mengevaluasi tata ruang sehingga dapat dilakukan revisi yang dapat mengakomodir kebutuhan d m kepentingan daerah. Jangka waktu 5 (lima) tahun adalah waktu minimal untuk meninjau ulang RTRW, agar pemerintah dapat mengadakan perbaikan dalam penyusunan tata ruang sesuai Keputusan Menteri Kirnpraswil No. 327/KPTS/Mf2002 tentang Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Berdasarkan hasil analisis tumpang tindih yang telah dilakukan, maka diketahui secara global daerah yang tidak sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang berlaku, lebih luas dibandingkan dengan daerah yang mengikuti RTRW, yaitu 225
474.4 ha atau sekitar 73% dari luas Kabupaten Bandung, dan dapat dilihat pada Gambar 20. Tampak bahwa daerah dengan warna merah yang menunjukkan daerah dengan penggunaan lahan tidak sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang dalam RTRW, mendominasi wilayah Kabupaten Bandung. MWHTERll*OAP RTRW (Cbb.O
Y*IUPATLNBANDUW
L ~ O S I I U I
[ ~ - - Z ~ W
.>.a.
x.
Gambar 20 Peta kontrol penggunaan lahan terhadap RTRW (global)
Daerah Bahaya Banjir Daerah bahaya banjir adalah daerah dengan kondisi fisik alamiall yang jika mengalami peristiwa alam seperti hujan, memiliki kemungkinan mengalami banjir, dan dapat berulang dalam jangka waktu tertentu. Melalui data masukan berupa petapeta genangan banjir sebanyak 15 buah dari Balai PSDA Wilayah Citarum dengan verifikasi (Gambar 21), maka dihasilkan peta bahaya banjir Kabupaten Bandung berdasarkan jumlah kejadian banjir yang dialami oleh suatu daerah. Analisis dilaksanakan melalui tumpang tindih 15 peta genangan banjir tersebut, sehingga diperoleh peta bahaya banjir dengan 4 kelas bahaya berdasarkan junllah kejadian banjir yang menimpa suatu daerah, dalam ha1 ini lebih menekankan analisis pada daerah genangan di Kabupaten Bandung, karena terkait dengan data pendukung yang ada. Teknis pembuatan peta bahaya banjir ini dapat dilihat pada Bab Metodologi Penelitian. Adapun sebaran daerah bahaya banjir dapat dilihat pada Gambar 22. Berdasarkan sketsa genangan yang ada pada Gambar 21 tampak bahwa genangan banjir yang terjadi sebagian besar berada dalam wilayah administratif Kabupaten Bandung. Genangan di luar wilayah Kabupaten Bandung tampak pada banjir yang terjadi tahun 1995, 1998, 1999, 2000, 2004, 2005 dan 2006. Selain itu, pada peristiwa banjir tahun 2005 dan 2006, daerah-daerah yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak pemah banjir menjadi tergenang dengan lokasi genangan yang terpencar-pencar, baik di Kabupaten maupun Kota Bandung. Genangan di Kabupaten Bandung cenderung ke arah selatan dari lokasi banjir pada tahun-tahun sebelumnya, sedangkan di Kota Bandung tampak daerah-daerah genangan baru. Secara potensial luas daerah bahaya banjir cenderung bertambah, meskipuu genangan banjir pada dua tahun terakhir berkurang luasannya. Hal ini dapat diperkirakan dengan melihat timbulnya daerah-daerah genangan baru, sehingga daerah yang sudah lama tidak mengalami banjir berpotensi akan terulang jika masalah banjir ini tidak ditangani dengan baik.
Gambar 21 Daerah genangan di Bandung dan sekitiunya pada perstiwa banjir tahun 1986-2006 (verifikasi)
IO"Jlro1~
101'1B<" I
L,?~.e9*,,
-,..
..
. \... 1-
PETA BAHAYA BANJlR KABUPATEN BANDUNG PROVINSIJAWA BARAT (Brrdarwkw ICrjadian Bwjir)
i
Kah 'l:rwak+tta
-.,
)---
I-
R
i. i
>&
C
j ,
Kat. t.Ciajw
-9.
i
5
3Km
O
FGZ!!!!
/J
k
fj
5
LEGENDA: LUAS PERSEX
MA) T A S E W )
Kelnr Ifalm~aIlanjir
-./I\
\
=T~K
\
i /
k
<
SEDAN G
,P'
'I 'VLY7V ,i'
- b.,'\-<'
- .- -, L
Su11bcr: Prra p a n g a n hanjr tahihlm 1 9 ~ 6 . ' ~ 9 9 21994 . 1995,1996,13?7, 199E. 1599,2103, 2011, 2002, 2003.2001.2305. 2001. d r n ~ m y
IIasil a ~ i a i r ~
.,
f
m'191P'
83388
=RENDAH
L--
C
293 848.5 95.6
AAHAYA
.X'
..I
-!
~
T
C
C
I
x
K,t. G w t
cj /--
,i:\ Bataskabupatcn ";/"
,. ,i L.>
i p
101'31<01'
~
I>?,&<%@,,
Gainbar 22 Peta bahaya banjir berdasarkan kejadian banjir.
Sqsi
2.7
2 767.2
0.9
2416.5
0.8
Berdasarkan jumlah kejadian banjir dari hasil operasi turnpang tindih pada 15 peta, daerah yang tidak pemah mengalami banjir merupakan daerah terluas di Kabupaten Bandung, yang pada Gambar 22 tampak berwarna krem. Sedangkan daerah yang pemah mengalami banjir berada di tengall Kabupaten Bandung dengan berbagai macam tingkat bahaya. Adapun hasil analisis wilayah bahaya banjir berdasarkan jumlah kejadian banjir dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Luas daerah bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir) Luas Wilayah (Ha) pada kelas bahaya banjir No Kecamatan tidak bahaya rendah sedang tinggi 1 Arjasari 6 366.3 131.5 2 Baleendah 1731.8 1 863.8 492.2 94.4 3 Banjaran 4 187.9 104.4 4 Batujajar 8 368.4 5 Bojongsoang 448.4 882.4 676.7 726.1 2 359.7 101.1 6 Cangkuang 7 Cicalengka 3 554.8 11.6 8 Cihampelas 4 662.7 9 Cikalongwetan 11 207.8 10 Cikancung 4 025.7 27.7 11 Cilengkrang 2 987.6 3.1 12 Cileunyi 2 228.3 802.7 126.6 13 Cililin 8 154.5 14 Cimaung 5 395.6 104.2 15 Cimenyan 5 287.1 16 Ciparay 4 017.0 265.8 334.8 17 Cipatat 12 549.7 18 Cipeundeuy 10 124.7 19 Cipongkor 7 614.7 20 Cisarua 5 536.4 21 Ciwidey 4 984.0 898.6 191.5 7.5 5.1 22 Dayeuhkolot 6 079.6 23 Gununghalu 24 Ibun 5 456.6 1 900.3 216.0 25 Katapang 26 Kertasari 15 207.4 27 Lembang 9 826.6 2 048.3 467.7 20.0 28 Majalaya
-
-
Luas daerah bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir) (lanjutan) Luas Wilayah (Ha) pada kelas bahaya banjir No Kecamatan tidak bahaya rendah sedang tinggi 29 Margaasih 1713.6 83.0 30 Margahayu 31 Nagreg 32 Ngamprah 33 Pacet 34 Padalarang 35 Pameungpeuk 36 Pangalengan 37 Parongpong 38 Paseh 39 Pasirjambu 40 Rancabali 41 Rancaekek 42 Rongga 43 Sindangkerta 44 Solokanjeruk 45 Soreang 6 631.2 73.4 32.6 Total (Ha) 293 848.5 8 338.8 2 767.2 2 416.5 Persentase (%) 95.6 2.7 0.9 0.8 Sumber : Hasil analisis
Berdasarkan Tabel 6, daerah-daerah bahaya banjir dengan kategori rendah sampai tinggi tersebar di 21 kecamalan yaitu
Arjasari, Baleendah, Banjaran,
Bojongsoang, Cangkuang, Cicalengka, Cikancung, Cilengkrang, Cileunyi, Cimaung, Ciparay, Dayeuhkolot, Katapang, Majalaya, Margaasih, Margahayu, Pameungpeuk, Paseh, Rancaekek, Solokanjeruk, dan Soreang. Daerah-daerah tersebut ternlasuk daerah-daerah aliran Sungai Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, dan Ciwidey, seperti dapat dilihat pada Gambar 23. Sebaran daerah bahaya tinggi tampak luas pada Sub DAS Citarik dan Sub DAS Cikapundung. Pada lokasi tersebut aliran Sungai Citarik dan anak-anak sungainya bertemu dengan aliran Sungai Cikapundung dan Cirasea dengan muara Sungai Citarum, dapat diiengerti jika hujan deras daerah tersebut dan sekitamya lebih sering mengalami banjir.
Tampak pula fenomena yang unik pada 2 kecamatan yaitu di Kecamatan Bojongsoang yang berada di sub DAS Cikapundung dan sebagian Citarik, dan Rancaekek pada sub DAS Citarik, dimana pada 2 kecamatan tersebut daerah yang tidak pemah mengalami banjir (kelas tidak berbahaya) dalam kurun waktu 20 tahun (1986-2006) mempunyai luas yang lebih rendah dibandingkan dengan luas daerah yang pemah mengalami banjir. Di Kecamatan Bojongsoang hanya 448.4 bektar wilayah yang bebas banjir, sedangkan di Kecamatan Rancaekek hanya 1 194.9 hektar. Dengan kata lain, sekitar 83% dari luas wilayah Kecamatan Bojongsoang dan 73% wilayah Kecamatan Rancaekek pemah mengalami banjir. Kondisi ini dimungkinkan terjadi karena Kecamatan Bojongsoang dan Rancaekek mempunyai morfologi dataran yang dilalui aliran sungai dan jika dikaitkan dengan sejarah, daerah tersebut dahulu merupakan rawa (ranca
=
rawa; bojongsoang=rancaekek=rawa
bebeklangsa) yang selalu tergenang air kemudian menjadi sawah, sehingga dapat dimengerti apabila tanah di daerah tersebut mempunyai sifat kedap air. Bila hujan deras terjadi dengan intensitas tinggi, tanah menjadi jenuh air dan saluran-saluran tidak mampu menampung air maka banjir pun melanda dataran sekitar sungai dan tertampung di cekungan-cekungan. Daerah bahaya tinggi yang termasuk juga pada sub DAS Cikapundung adalah sebagian Kecamatan Margahayu dan Dayeuhkolot. Selain itu, daerah bahaya tinggi berada di Kecamatan Paseh yang termasuk sub DAS Cirasea dengan luas 355.0 ha, Kecamatan Baleendah seluas 94.4 ha yang termasuk sub DAS Cisangkuy dan Cirasea, Kecamatan Pameungpeuk seluas 6.1 ha yang termasuk sub DAS Cisangkuy, dan Kecamatan Soreang seluas 32.6 ha yang termasuk sub DAS Ciwidey. Adanya daerah bahaya tinggi pada setiap sub DAS penyuplai banjir menunjukkan bahwa 5 sub DAS tersebut berada dalam kondisi bunik, karena tidak mampu mengalirkan air dalam salurannya maupun meresapkan ke dalam tanah, sehingga daerah bahaya tinggi tersebut mengalami fiekuensi banjir yang cukup sering
Gambar 23 Sub DAS yang meliputi daerah bahaya banjir.
Wilayah Resiko Banjir Resiko diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti atau terhambatnya aktivitas ekonomi karena adanya bahaya dari suatu fenomena alami atau buatan. Adapun properti yang dimaksud adalah infiastruktur, fasilitas sosial dan umum, serta penggunaan lahan pada daerah tertentu yang jika mengalami suatu fenomena bahayalkerawanan seperti banjir, akan mengalami kerugian.Wilayah beresiko terhadap banjir adalah wilayah yang selain mempunyai potensi bahaya banjir berdasarkan kondisi fisik alarniah, juga pada wilayah tersebut terdapat jiwa manusia dan properti yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga bila mengalami banjir akan mengalami kerusakan dan kerugian jiwa dan harta benda (bencana). Untuk mengetahui tingkat resiko banjir di Kabupaten Bandung maka dilakukan operasi tumpang tindih pada peta bahaya banjir dengan peta penggunaan lahan, peta infiastruktur, dan peta fasilitas sosial dan umum (fasos fasum). Sebaran wilayah resiko banjir dapat dilihat pada Gambar 24.
PET-A RESIKO B-AN..JIR K.&EiUP.ATEN B.ANI)ITN(:: PROT'INSI .J-A\\-A B-$RAT
5
0
5K,
LPGENIIA,
0TIDAKBERESIKO REMKO RENDAH R E ~ K O~ D A N G RESIKO IINGGI
293 8485
956
93913 39716 139.5
/V Batas-BntnsI
Pch gexmgan (rol.iQkd),Psta jaliagrn jnhn Peh p=nggla=nahhan (rcrtakA), Peh fasol fpnrm Asdl m&L
Gambar 24 Peta resiko banjir Kabupaten Bandung.
Secara teknis, pemetaan daerah resiko banjir dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan konsep logika berbasis pengetahuan yang diterjemahkan kedalarn nilai elemen-elemen resiko (kerugian) yang diakibatkan oleh banjir. Nilai elemen tersebut terkait dengan nilai kerugian akibat banjir, dalam ha1 ini diwakili oleh properti. Pada Gambar 24 tarnpak bahwa daerah dengan resiko banjir tinggi terletak pada daerab bahaya banjir di sebagian Kecamatan Baleendah, Bojongsoang, Dayeuhkolot, Ciparay, Solokanjemk, dan Rancaekek. Kondisi ini terjadi karena di daerah-daerah tersebut selain termasuk dalam wilayah bahaya banjir tinggi juga mempunyai nilai propeiii yang tinggi. Penggunaan lahan sangat berpengaruh dalam penentuan nilai resiko karena skor penggunaan lahan mendominasi dalam perh'itungan total skor properti. Adapun luasan penggunaan lahan pada tiap tingkat resiko banjir dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Penggunaan lahan pada berbagai tingkat resiko banjir T.nas Pada K e l a s R e s i k o Baniir (Ha)
Hutan Industri Kebun Campuran Ladang Perkebunan PTP Perrnukiman Sawah Situ/Kolam/Waduk Tanah kosonglsemak Jumlah (Ha)
159.5
11.2 3 971.6
22.3 9 391.3
8 772.4 293 848.5
Jumlah (Ha)
9 005.9 307 371.0
Sumber : Hasil analisis
Sebagian besar penggunaan lahan di daerah dengan kelas resiko banjir tinggi adalah permukiman, dan terdapat pula industri, sawah, dan ladang dengan luasan kecil. Adapun daerah terluas pada daerah berpotensi banjir ini merupakan daerah dengan resiko rendah. Rendahnya resiko dapat dikarenakan daerah tersebut berada
pada daerah bahaya banjir rendah, atau meskipun berada pada daerah bahaya banjir tinggi, properti di daerah tersebut tidak termasuk kategori bernilai tinggi. Daerah tidak beresiko banjir adalah juga daerah yang kondisinya tidak bahaya banjir, dimana lokasinya tersebar pada hampir seluruh kecarnatan yang berbatasan dengan kabupaten-kabupaten lain di sebelah barat, timur, utara dan selatan Kabupaten Bandung. Kondisi ini dapat dimengerti karena daerah-daerah tersebut sebagian besar berada di daerah tinggi yang justru sebagai tempat sumber-sumber air, dimana air tersebut kemudian mengalir secara alami ke tempat yang lebih rendali. Adapun properti yang terdapat di daerah tersebut tidak ternlasuk bemilai tinggi seperti jaringan jalan yang umumnya merupakan jalan lokal. Lebih jelas dapat dilihat sebaran daerah beresiko banjir dengan properti yang ada pada Gambar 25. Pada gambar tersebut tampak bahwa daerah-daerah beresiko sedang dan tinggi adalah daerah yang dilalui oleh jalan raya, dengan adanya fasilitas sosial dan fasilitas umum yang lokasinya dekat dengan jalan raya, selain itu penggunaan lahan adalah permukiman dan industri, ataupun sawah yang terletak di sisi jalan raya sehingga daerah tersebut cukup beresiko jika terlanda banjir. Adapun daerah-daerah dengan resiko rendah adalah daerah dengan komponen properti bemilai rendah seperti lokasi permukiman yang jauh dari jalan raya,dan hanya dilalui oleh jalan lokal, ataupun kurangnya fasilitas sosial dan umum, sehingga tingkat resiko pada daerah-daerah tersebut rendah. Sedangkan daerah yang tidak beresiko banjir tidak termasuk daerah bahaya banjir, dan tampak bahwa hanya sedikit memiliki fasos fasum, dan hanya dilalui oleh jalan lokal dimana penggunaan lahamya pun bervariasi
Gambar 25 Jaringan jalan dan fasos fasum di daerah beresiko banjir
Adapun sebaran wilayah dengan berbagai tingkat resiko dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Luas daerah resiko banjir pada wilayah kecamatan Luas Wilayah (Ha) pada kelas resiko banjir No Kecamatan tidak beresiko rendah sedang tinggi 131.5 1 Aqasari 6 366.3 2 Baleendah 1731.8 1 996.6 439.3 14.4 104.4 4 187.9 3 Banjaran 4 Batujajar 8 368.4 5 Bojongsoang 448.4 1 565.4 676.7 43.1 2 359.7 100.6 0.5 6 Cangkuang 7 Cicalengka 3 554.8 9.6 2.0 8 Cihampelas 4 662.7 9 Cikalongwetan 11 207.8 27.7 10 Cikancung 4 025.7 3.1 2 987.6 11 Cilengkrang 2 228.3 817.3 112.0 12 Cileunyi 13 Cililin 8 154.5 104.2 5 395.6 14 Cimaung 15 Cimenyan 5 287.1 296.7 303.91 4 017.0 16 Ciparay 17 Cipatat 12 549.7 10 124.7 18 Cipeundeuy 19 Cipongkor 7 614.7 20 Cisarua 5 536.4 21 Ciwidey 4 984.0 7.4 898.6 196.783 22 Dayeuhkolot 23 Gununghalu 16 079.6 24 Ibun 5 456.6 204.1 11.9 1900.3 25 Katapang 26 Kertasari 15 207.4 9 826.6 27 Lembang 27.3 4.4 456.0 2 048.3 28 Majalaya 83.0 1713.6 29 Margaasih 17.0 2.1 58.2 977.1 30 Margahayu 4 859.0 31 Nagreg 32 Ngamprah 3 608.6
No
Kecamatan
33 34 35 36 37 33 39 40 41 42 43 44 45
Pacet Padalarang Pameungpeuk Pangalengan Parongpong Paseh Pasirjambu Rancabali Rancaekek Rongga Sindangkerta Solokanjemk Soreang Total (Ha) Persentase (%)
Luas Wilayah (Ha) pada kelas resiko banjir tidak beresiko rendah sedang tinggi 9 194.0 5 157.7 1 092.4 367.6 2.3 19 542.4 4 339.4 5 155.5 511.1 158.4 23 949.4 14 700.0 1 194.9 1498.8 56.2 1 780.0 11 312.0 12 034.8 1 176.1 483.1 702.5 39.3 6 631.2 94.3 11.7 3 971.6 159.5 9 391.3 293 848.5 1.3 0.1 95.6 3.1
Daerah dengan wilayah resiko tinggi yang terluas adalah Kecarnatan Rancaekek (56.2 hektar). Kondisi ini dapat dimaklumi karena Rancaekek adalah kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Surnedang, sehingga nlempakan daerah dengan lokasi aksesibilitas strategis berupa jalan arteri yang juga merupakan jalur antar kota menuju timur pulau Jawa. Selain itu, indushi-industri banyak tersebar di Kecamatan Rancaekek. Pembahan penggunaan lahan memang pesat tejadi di daerah ini yang dahulu masih m e ~ p a k a nsawah irigasi. Perumahan dan permukiman pun tumbuh dengan subur. Fasilitas sosial dan umum berupa pasar dan sekolah yang terdapat di Kecamatan Rancaekek selalu ramai oleh penduduk, termasuk pula stasiun kereta api Rancaekek yang berada dalam sebuah komplek perumahan. Apabila banjir menerjang Rancaekek, maka resiko yang akan diterima pun tinggi. Kaitan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Banjir Daerah beresiko banjir dapat dikaitkan pula dengan penggunaan lahan pada daerah, aliran sungai yang mempengaruhi bahaya banjir di Kabupaten Bandung
seperti tehh &ai&an
sebelumnya, yaitu Sub DAS Cikapundung, Cisawghy,
Cirasea, dan Citarik, yang dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Pengylnaan l d ~ a npada Sub DAS yang meliputi daerah beresiko banjir.
Pada Gambar 26 tersebut, tampak bahwa daerah-daerah yang terkena banjir sebagian besar terjadi di permukiman pada tiap sub DAS. Selain itu genangan juga menimpa industri, sawah, ladang, sebagian kecil kebun campuran, dan semak. Hal ini dapat ditinjau dari penggunaan lahan yang terletak pada hulu hiigga hilir sub DASsub DAS tersebut. Hutan masih mendominasi penggunaan lahan di Sub DAS Cirasea seluas 11 895.4 ha, yang diikuti oleh permukiman seluas 6 259.5 ha. Luas hutan di sub DAS ini sekitar 35% dari luas sub DAS, sehingga masih memenuhi persyaratan luas hutan pada DAS yang minimal hams 30% menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Daerah genangan berada pada permukiman, sawah, dan semak yang tersebar di Kecamatan Majalaya, Solokanjeruk, dan Bojongsoang, yaitu daerah hilir pertemuan dengan Sungai Cikapundung dan Citarik. Pada sub DAS Cikapundung, tampak kebun campuran mendominasi penggunaan lahan seluas 8 176.8 ha, yang diikuti oleh permukiman seluas 6 405.2 ha. Luas butan adalah 4 483.2 atau sekitar 17% dari luas sub DAS tersebut, sehingga jauh dari persyaratan minimal 30%. Kondisi di sub DAS Cikapundung ini belum termasuk dengan penggunaan lahan di Kota Bandung dan Kota Cimahi. Seperti umumnya kota, apalagi sebagai ibukota provinsi, maka jenis penggunaan lahan di Kota Bandung hampir seluruhnya merupakan permukiman. Demikian pula dengan Cimahi yang baru dikukuhkan menjadi kota pada tahun 2001, merupakan sebuah kota yang padat dengan industri. Sehingga bisa digeneralisir bahwa dominasi penggunaan lahan di sub DAS Cikapundung adalah permukiman. Kurangnya daerah resapan di sub DAS Cikapundung turut berperan dalam banjir yang terjadi di bagian hilir sungai, dan ha1 ini berpengaiuh terhadap resiko yang dihadapi bagi properti di daerah bahaya banjir. Banjir yang terjadi di Sub DAS Cikapundung sebenamya juga tejadi di Kota Bandung, namun dalam penelitian ini hanya ditelaah di daerah Kabupaten Bandung, berkaitan dengan data pendukung yang ada. Pada Sub DAS Cisangkuy, penggunaan lahan didominasi oleh ladang seluas 12 322.1 ha, diikuti permukiman 5 519.1 ha. Sedangkan, luas hutan adalah 4 477.9 ha, atau 14% dari luas sub DAS. Bila perkebunan PTP diasurnsikan pula sebagai
vegetasi permanen yang berfungsi meresapkan air dan menghambat laju aliran permukaan setara dengan hutan, maka dengan luas 2 163.5 ha yang bila dijumlahkan dengan luas hutan hanya mencapai 6 641.4 ha, atau sekitar 21% dari luas sub DAS. Luasnya penggunaan lahan ladang dapat meningkatkan laju air larian melalui aktivitas pengolahan tanah sehingga air membawa butiran tanah ke arah hilir yang berkontribusi terhadap pendangkalan sungai. Adapun permitkiman dan industri yang berada di bagian hilir sungai beresiko terhsdap banjir yang dapat mengakibatkan kerugian. Sub DAS Citarik didominasi oleh permukiman yang terletak berbatasan dengan Kabupaten Sumedang yaitu di Kecamatan Rancaekek, dan di daerah ini pun terdapat industri-industri yang termasuk wilayah Kabupaten Bandung maupun Kabupaten Sumedang. Hutan seluas 6 453.8 ha sebagian besar terletak di Kecamatan Nagrek, berbatasan dengan Kabupaten Garut dimana terdapat anak Sungai Citarik di G. Mandalawangi. Persentase luasan hutan tidak bisa ditentukan di Sub DAS Citarik ini, karena untuk perhitungan hams memperhatikan pula penggunaan lahan pada daerah yang termasuk Kecamatan Sumedang dan Gamt. Pada Gambar 25 tampak daerah bahaya yang cukup luas di Sub DAS Citarik, dimana beberapa lokasi merupakan daerah beresiko tinggi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh buruhya kondisi daerah hulu Sungai Citarik yang berada di G. Kareurnbi di Kabupaten Sumedang, maupun maraknya pembangunan permukiman dan industri di hilir sungai, yang merupakan alih fungsi lahan besar-besaran dari penggunaan lahan sawah dalam 15 tahun terakhir. Industri-industri yang limbahnya langsung dibuang ke sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu berkontribusi dalam pendangkalan sungai, sehingga dapat mempengaruhi penurunan kapasitas pengaliran sungai. Sedangkan penggunaan lahan di Sub DAS Ciwidey didominasi oleh kebun campuran seluas 10 765.7 ha, kemudian hutan seluas G 527.5 ha atau 24% dari luas sub DAS. Bila kondisi kebun campuran dan hutan masih cukup baik maka dapat menghambat laju aIiran permukaan. Tampak bahwa daerah genangan di sub DAS Ciwidey adalah yang paling sedikit dibanding dengan genangan pada sub DAS laixu~ya,dan sebagian besar termasuk beresiko rendah. Hal ini perlu diwaspadai
karena meskipun jarang terkena banjir tapi banjir dapat terjadi setiap saat di daerah bahaya tersebut. Daerah resiko banjir tinggi pada sub DAS Ciwidey ini berada di pemukiman di Kecarnatan Soreang, dimana kondisi ini diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang menyatakan banjir selalu terjadi di daerah tersebut tiap hujan mengguyur deras. Bila ditinjau secara agregat, maka luas hutan pada sub DAS-sub DAS penyuplai banjir adalah 33 837.8 ha atau sekitar 23% dari luas kelima sub DAS yang termasuk wilayah Kabupaten Bandung. Hal ini dapat menjadi gambaran kondisi hutan pada sub DAS stimulan banjir meskipun belum ditinjau dari hutan yang berada di sub DAS Citarik yang termasuk Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Gamt, karena sedikitnya daerah aliran sungai tersebut yang berada di kedua kabupaten. Persentase luas hutan yang tidak mencapai persyaratan minimal dalam suatu DAS menurut UU No. 41 tahun 1999 tersebut, dapat merupakan kendala dalam menangani banjir. Selain itu, bila ditinjau sepintas jenis penggunaan lahan di Kota Bandung pada sub DAS Cikapundung yang didorninasi permukiman, maka ha1 ini pun mempakan faktor-faktor terjadinya banjir di Kabupaten Bandung, mengingat topografi Kota Bandung yang lebih tinggi dibandingkan daerah bahaya banjir di Kabupaten Bandung, sehingga air larian di Kota Bandung mengalir ke lokasi yang lebih rendah, yaitu muara Sungai Cikapundung di sekitar Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Selain itu, tingginya perbedaan debit Sungai Citarum saat banjir dibandingkan debit sungai rata-rata tahunan menunjukkan kondisi daerah aliran sungai yang tidak mampu menahan laju aliran permukaan dari hulu ke hilir. Kondisi ini mempakan salah satu faktor yang dapat mendorong peningkatan resiko akibat banjir yang terjadi di hilir-hilir sungai tersebut. Selain itu, tampak huluhulu DAS dengan penggunaan lahan hutan yang sedikit, bahkan terdapat pula pem~ukiman.Bagian hulu sungai yang seharusnya menjadi daerah resapan menjadi berkurang fungsinya karena semakin hilangnya hutan akibat kegiatan budidaya lain seperti ladang, kebun campuran, bahkan permukiman. Maka, bila tejadi huja11, air yang jatuh di kawasan ini akan inenjadi aliran permukaan, yang kemudian masuk ke
saluran-saluran/penampung air seperti sungai, kolam, danau, maupun cekungan-
cekungan di permukaan tanah. Jika volume air tersebut melebih kapasitas saluranlpenampung air, maka air akan meluap mencari saluran lain, sehingga terjadi genangan pada daerah-daerah sekitar saluran atau sungai. Genangan yang terjadi di Kabupaten Bandung sebenarnya tidak luput pula dari kondisi saluran ataupun drainase perrnukiman. Saluran yang buruk akibat sampah yang dibuang masyarakat dapat menghambat aliran air di salurah tersebut dan meluap jika air yang masuk ke saluran tersebut melebihi kapasitas. Selain sampah, kondisi bangunan drainase tersebut juga harus diperhatikan apakah masih baik ataupun rusak. Untuk itu pengkajian dalarn masalah drainase sebaiknya dilakukan tersendiri secara lebih mendalam. Penggunaan lahan pada 5 Sub DAS tersebut dapat ditinjau pula dari rencana pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan melalui Perda RTRW untuk melihat seberapa besar penyimpangan yang terjadi (Gambar 27).
Pada Gambar 27 tampak bahwa hampir seluruh penggunaan lahan pada daerah aliran sungai tidak sesuai dengan alokasi pemanfaatan ruang (RTRW), yaitu
sekitar 71% dari luas kelima Sub DAS yang berada di wilayah Kabupaten Bandung tersebut. Namun, terdapat pula daerah yang sesuai dengan RTRW tapi merupakan daerah beresiko banjir, maka jelas terlihat bahwa RTRW yang disusun tidak memperhatikan daerah banjir. Penyimpangan pemanfaatan ruang dapat menjadi stimulan banjir jika RTRW yang dibuat sudah benar-benar mempertirnbangkan seluruh kondisi daerah yang dikaitkan dengan masalah banjir. Perhatian terhadap aktivitas yang berIangsung pada daerah-daerah aliran sungai yang melalui wilayah resiko banjir merupakan ha1 yang penting karena di Icabupaten Bandung sungai merupakan penyuplai banjir yang utama, sehingga harus ditinjau secara komprehensif dari hulu hingga hilir. Melihat tingginya penyimpangan pemanfaatan ruang pada kelima sub DAS penyuplai banjir yang tennasuk Kabupaten Bandung ini, maka peninjauan ulang terhadap RTRW sebaiknya segera dilakukan secara menyelumh.
Persepsi Masyarakat Masyarakat adalah salah satu unsur dalam wilayah pemerintahan dan sangat diharapkan peran sertanya dalam kegiatan pembangunan. Masukan, baik berupa saran atau pendapat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam mendorong tenvujudnya kualitas ruang yang lebih baik. Peran serta masyarakat tersebut terkait dengan pengetahuan masyarakat sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan di daerahnya, sehingga penataan ruang yang dibuat dapat efektif terlaksana dan masyarakat bersama stakeholder lain secara sadar saling menunjang dalam memajukan daerahnya. Penataan ruang yang bemawasan lingkungan adalah suatu cara non strukturai dalam upaya mengatasi bencana alam, tennasuk juga bencana banjir, sehingga pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang sangat diperlukan. Pada tahap ini, pengetahuan mengenai wilayahnya serta kepedulian dalanl mengelola bencana penting dimiliki oleh penduduk sehingga partisipasi yang diharapkan dari masyarakat dapat berjalan optimal.
Pada penelitian ini, bersamaan dengan verifikasi lapang dilakukan wawancara kepada masyarakat Kabupaten Bandung untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan wawasan mereka mengenai banjir dan tata ruang secara u m m . Adapun hasil yang ingin diperoleh adalah informasi mengenai frekuensi banjir, penyebab banjir, pengetahuan konservasi, dan penataan mang secara umum. Pada era otonomi daerah, kewenangan penanganan bencana menjadi tanggung jawab daerah, dan dengan adanya paradigma pengurangan resiko atau mitigasi sebagai konsep, maka setiap individu, masyarakat dapat ditingkatkan kemampuannya dalam menekan dan mengelola resiko (Departemen PU 2005). Kebijakan penanganan banjir melalui penataan mang adalah ha1 yang diupayakan oleh pemerintah pada tahun-tahun terakhir ini. Frekuensi Banjir Pada tahap ini dilakukan analisis dari hasil wawancara mengenai frekuensi banjir di daerah responden. Hal ini dimaksudkan untuk meagetahui seberapa sering banjir melanda daerah responden ketika t m n hujan yang sangat deras. Hasil wawancara dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan pemetaan persepsi masyarakat pada Gambar 28, temyata banjir selalu teljadi di Kecamatan Rancaekek, Majalaya, Solokanjeruk, Bojongsoang, Baleendah, Banjaran, Margaasih, Soreang, dan Pameungpeuk. Pada lokasi-lokasi tersebut, seluruh responden (100%) yang bertempat tinggal di daerah beresiko tinggi menyatakan daerahnya selalu mengalami banjir, sedangkan di daerah resiko sedang terdapat 77.7% responden dan 34.6% responden di daerah resiko rendah inenyatakan daerahnya selalu banjir. Pada daerah dengan frekuensi banjir tinggi belum tentu resiko banjir yang dihadapi tinggi pula, karena ha1 ini terkait dengan nilai properti yang ada sehingga mempengaruhi tingkat resikonya. Selain itu responden yang ditanya dapat mempunyai persepsi yang berbeda mengenai banjir yang terjadi di daerahnya karena walaupun berada pada desa yang sama tapi lokasi dan tinggi genangan banjir belum tentu sama.
LEGENDA: FREKUOUSI BANJlR
*m
SELALU IIDAK PEI1NAH m KADANG-KADANG
N
Batas kabupaten Sungai
PETA FHEKUENSI BANJIR MENURUT MASYARAKAI' (Ilsril Wawsnmra)
Sumber : Kuesioner,Pc!a resiko banjir Has11analisis
Gambar 28 Frekuensi banjir menurut masyarakat
Persepsi Penyebab Banjir Persepsi masyarakat terl~adappenyebab banjir dalam penelitian ini didasarkan oleh 2 faktor, yaitu faktor alam dan manusia. Penyebab alam dalam ha1 ini bahwa banjir mempakan peristiwa alam dan wajar saja jika terjadi begitu saja. Faktor manusia mempakan hasil aktivitas manusia seperti membuang sampah di sungai, membangun mmah di bantaran sungai, tidak adanya penegakan hukum bagi pelanggar aturan yang berkaitan dengan lingkungan, dan sebagainya yang mengakibatkan kemsakan lingkungan. Sebaran persepsi masyarakat tentang penyebab banjir ini dapat dilihat pada Gambar 29. Berdasarkan hasil wawancara, temyata sebagian besar responden di tiap tingkat resiko mempunyai persepsi bahwa banjir disebabkan oleh manusia. Mereka berpendapat bahwa tindakan manusia yang selalu membuang sampah di sungai maupun saluran lainnya mengakibatkan saluran tersumbat, aliran air terhambat sehingga meluap. Hal itu terjadi karena selain kebiasaan juga karena keterpaksaan, seperti tidak adanya lokasi pembuangan sampah yang dekat dengan permukiman. Dilain pihak, tidak adanya aparat yang mengambil tindakan tegas akibat perbuatan itu. Selain itu, masyarakat pun menyalahkan industri yang membuang limbahnya di sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu, sehingga mengakibatkan air sungai menjadi hitam dan bau karena limbah. Maka dari hasil wawancara tersebut disimpulkan bahwa sebenarnya menurut sebagian besar masyarakat, stimulan banjir di Kabupaten Bandung adalah perilaku manusia yang rnembuang sampah ke saluran air, dan ha1 ini terjadi dari daerah hulu hingga hilir sungai. Kondisi ini tejadi karena faktor kebiasaan untuk mencari kemudahan dalam melenyapkan sampah di sekitar lingkungan mereka, dan juga karena tidak adanya sanksi. Masyarakat juga berpendapat bahwa penyebab banjir akibat kondisi dan peristiwa alam juga bukan ha1 yang tidak mungkin, dapat dilihat dari hasil wawancara bahwa masyarakat pun tnengetahui faktor-faktor alamiah yang dapat menyebabkan banjir seperti curah hujan yang tinggi maupun luapan sungai.
PETA PENYEBAB BANSIR hlENURLiT MASYARAKAT (Ifasil Wawsneara)
PENYEBAD BANIlR
I
I
e MANUSIA
Tingkst R e ~ i k o Benennn Bsniir
N
PENYBBAB B A W I I MANUSIA
ALAS,
Batas kabupatcn Sungai
Jnn.
Surnbor : Kuesioner,Peta resiko banjir Hasil analisis
Gambar 29 Distribusi persepsi penyebab banjir
Pengetahuan Konservasi Pada analisis pengetahuan konservasi, wawancara dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan responden tentang konsewasi alam. Responden diharapkan dapat menerangkan pentingnya konsewasi terutama bagi lingkungan, agar teGaga dari peningkatan aliran permukaan yang menimbulkan bahaya erosi sehingga terjadi penumpukan sedimentasi yang dapat menurunkan kapasitas aliran sungai sehingga mudah meluap dan akhimya banjir. Adapun d a i hasil wawancara dapat dilihat distribusi persepsi masyarakat tersebut pada Gambar 30. Garnbar 30 menunjukkan bahwa di daerah tidak beresiko, 53.3% responden tidak mengetahui teknik-teknik konsewasi dan ha1 ini dapat mempengaruhi pola hidup mereka terhadap lingkungan seperti penggunaan lahan yang tidak mengikuti kaidah konsewasi, penebangan liar, dan sebagainya. Hal ini terjadi pada beberapa responden yang berada di daerah pertanian, yang meskipun sudah dilakukan upaya konservasi tanah seperti pembuatan teras, namun teras itu dibongkar lagi dengan alasan bibit yang ditanam menjadi lebih sedikit, meskipun tidak berpengaruh terhadap produksi. Selain itu, terdapat kecenderungan yang serupa di daerah resiko rendah, sedang dan tinggi yaitu persentase responden yang tidak mengetahui konservasi berkisar 40%. Maka, dari hasil wawancara yang dilakukan secara acak tersebut menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap konservasi masih sangat terbatas. M e n u t hasil wawancara yang telah dilakukan, mayoritas responden berpendapat konservasi dilakukan cukup dengan menanan pohonpohonan atau penghijauan, sedangkan pengetahuan tentang teknik konsewasi lain yang dapat mendukung dalam penanaman pohon tersebut agar efektif berfungsi konservasi, seperti penggunaan lahan berbasis konservasi tanah, macam bangunan konservasi seperti penggunaan bronjong, clzeck dam, dan sumw resapan tidak begitu mereka pahami.
e MENOETAHUI
* Q
TlDAK MENGETAIIUI TIDAKPEDULI
RUlKORENDAll
14(53.8%)
REIKOSEDANC
x55.5%)
N
Batas kabupaten
11(42.3%)
1(3.8%)
26
4(44.4%)
Sumber : Kuesioner,Peta resiko banjir Hasil analisis
Garnbar 30 Distribusi pengetahuan konservasi masyarakat
Pengetahuan Informasi Tata Ruang Informasi tata ruang yang dimaksud adalah untuk mengetahui sejauh mana penyebaran informasi atau sosialisasi mengenai rencana penataan ruang sampai ke masyarakat. Hal ini untuk mengetahui apakah pemerintah setempat telah mengikuti peraturan yang menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk ikut berpartisipasi dalam penataan ruang, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, rlan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyebaran informasi tata ruang yang sampai pada sasaran, yaitu turut sertanya masyarakat dalam membahas tata ruang di wilayahnya adalah yang diharapkan dari hasil wawancara ini. Adapun hasil wawancara melalui kuesioner yang disebarkan dapat dilihat pada Gambar 31. Gambar 31 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Kabupaten Bandung tidak pemah mengetahui tentang adanya informasi rencana penataan ruang, dengan persentase lebih dari 50%. Hal ini dimungkinkan karena penyebaran infoimasi ataupun pengumuman mengenai akan diadakannya penataan ruang tidak gencar dan kurang intensif, padahal partisipasi masyarakat sangat diharapkan dalam perencanaan tata ruang tersebut. Adapun para responden yang mengetahui adanya pengumuman mengenai penataan ruang biasanya adalah para profesional, dalam ha1 ini pengembang yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Selain itu pelaksanaan penataan ruang kabupaten dalam tenggang waktu 10 tahun juga merupakan salah satu faktor informasi penataan ruang kurang meninggalkan kesan di masyarakat. Salah satu kesan yang dapat ditimbulkan oleh pemerintah bagi masyarakat adalah terealisasinya rencana pemanfaatan ruang.
107'1510"
Kab. Purwakarta
71p)/[
LEGENDA: NFORMASI PENATAAN RUANC
/V
Batas kabupaten Sungai
PEL4 PENGETAflUAN MASYARAKAT TERHADAP INFORMAS1 I'ENA'rAAN RUANG (Hnsil Wawancsra)
Sumber : Kuesioner,Peta resiko banjir ITasil analisis
Gambar 3 1 Pengetahuan masyarakat tentang penyebaran informasi tata ruang
Kesadaran partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan adalah ha1 yang sangat diharapkan untuk mendorong tercapainya kemakmuran yang diharapkan dalam suatu wilayah. Apalagi dalam era otonomi daerah, masyarakat sangat berkepentingan dengan setiap kegiatan yang akan dilaksanakan pemerintah di daerahnya. Salah satu peran serta masyarakat yang diharapkan adalah dalam kegiatan penatsan ruang sesuai dengan PP 69/96 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dari wawancara yang telah dilakukan diperoleh informasi mengenai kemungkinan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan penataan ruang. Pada daerah beresiko banjir tinggi, mayoritas masyarakat menyatakan keinginannya untuk ikut dalam penataan mang supaya daerah mereka terbebas banjir Hasil dari wawancara tersebut disajikan dalam Gambar 32. Berdasarkan wawancara tersebut, tampak bahwa hampir seluruh responden pada tiap daerah resiko banjir mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penataan ruang, dengan persentase pada daerali tidak beresiko adalah 99.30/0, pada daerah resiko rendah loo%, daerah resiko sedang loo%, dan pada daerah resiko tinggi 90.0%. Responden sangat antusias terhadap berbagai kegiatan yang dilaksanakan pemsrintah apalagi yang menyangkut dengan kegiatan yang akan diadakan di daerahnya, termasuk responden yang tinggal di daerah bahaya banjir. Sebenamya responden di daerah bahaya banjir selalu menunggu tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah mereka dan pada dasamya mereka siap mengikuti langkah terbaik yang diputuskan. Namun terdapat pula responden yang tidak peduli dengan apapun kegiatan yang direncanakan pemerintah. Hal ini perlu mendapatkan perhatian agar dapat ditumbuhkan kesadaran masyarakat untuk membangun daerahnya agar dapat terhindar dari resiko yang dapat muncul sewaktu-waktu. Masyarakat perlu mendapatkan penerangan tentang kegiatan penataan ruang dan sosialisasi ini sebaiknya mencapai seluruh pelosok di daerah Kabupaten Bandung, sehingga wawasan dan pemahaman masyarakat bertambah.
[ ~ 1r -1 LEGENDA:
--
-
KEINOINAN BERPARTISIPASI
I
s MAU
/,/
Batas kabupaten Sungai
I
PETA KE'NGINAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG (Hnsil Waxancam)
Sumber : Kuesioner,Peta resiko banjir Hasil analisis
Gambar 32 Sebaran keinginan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang
Upaya Penataan Ruang Berdasarkan Aspek Resiko Banjir Penataan ruang
merupakan proses perencanaan,
pemanfaatan,
dan
pengendalian tata ruang, karena itu dalam kajian ini dibahas arahan penataan ruang sebagai masukan dalam penentuan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Bandung sebagai berikut : Perencanaan Tata Ruang Belum tersedianya peraturan dan perundangan mengenai penanganan bencana banjir skala kabupaten sampai saat ini, menyebabkan penataan ruang yang dilaksanakan tidak memperhatikan aspek kebencanaan, maka ha1 tersebut seyogyanya segera ditetapkan dalam suatu perundangan sehingga mempunyai berkekuatan hukum dan bersinergi dalam rangka penataan ruang, termasuk di Kabupaten Bandung. Dengan demikian sifat dan resiko kebencanaan terutama banjir di Kabupaten Bandung bisa dipertimbangkan sebagai aspek penting dalarn penataan ruang. RTRW Kabupaten Bandung yang telah disusun tampaknya tidak memperhatikan aspek resiko bencana dengan adanya daerah yang sesuai dengan RTRW tapi termasuk dalam daerah beresiko banjir. Selain itu belum selaras ditinjau dari penggunaan lahan aktual mengingat tingginya persentase ketidaksesuain, khususnya pada daerah-daerah aliran sungai yang terdapat daerah bahaya banjir. Kondisi ini hendaknya menjadi bahan pemikiran para pengambil kebijakan dalam penataan ruang. Peninjauan kembali terhadap RTRW yang sudah ada sebaiknya dilakukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki segala kekeliruan maupun kekurangankekurangan yang telah dibuat, sehingga perbaikan terhadap RTRw tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan dengan konsisten. Dalam ha1 ini, untuk perbaikan RTRW Kabupaten Bandung, sebaiknya mempertimbangkan daerah-daerah bahaya banjir. Alangkah baiknya jika untuk selanjutnya perencanaan pembangunan industri, permukiman, termasuk fasos fasum berada di luar daerah bahaya banjir, dan kemungkinan relokasi adalah ha1 yang hams dipikirkan dan menjadi pertimbangan penanganan banjir, sehingga resiko di daerah bahaya banjir dapat dikurangi. Selain
itu, untuk mengurangi resiko di daerah bahaya banjir, maka revisi RTRW agar memperhatikan pula kondisi DAS stimulan banjir, yaitu Sub DAS Cirasea, Sub DAS Ciwidey, Sub DAS Cikapundung, Sub DAS Citarik, dan Sub DAS Cisangkuy. Koordinasi antar stakeholder dalam revisi RTRW ini selain yang berada di wilayah Kabupaten Bandung, juga harus melibatkan para stakeholder yang berada di Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut untuk membahas pengelolaan sub DAS Citarik, serta Kota Bandung dan Cimahi dalam pembahasan Sub DAS Cikapundung. Berdasarkan analisis persepsi, mayoritas masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan tata ruang, karena mereka tidak mengetahui penyebaran informasi tentang rencana penataan ruang di daerahnya. Padahal sebenamya, keingilian masyarakat untuk berpartisipasi cukup tinggi, sehingga dalam kegiatan revisi RTRW, ataupun penataan ruang selanjutnya, sosialisasi penataan ruang hams lebih menjangkau masyarakat dengan mengikutsertakan mereka dalam penyusunan rencana pemanfaatan ruang. Masyarakat yang berada di daerah-daerah bahaya banjir maupun yang berada di daerah-daerah aliran sungai stimulan banjir hams diikutsertakan dalam pembahasan yang menyangkut aspek resiko banjir, sehingga dapat diperoleh masukan yang mengangkat masalah banjir dengan memperhatikan pula kepentingan masyarakat maupun lingkungan. Perbaikan terhadap RTRW ini diharapkan dapat menetapkan aturan baru yang mempertimbangkan aspek resiko kebencanaan suatu kawasan bahaya banjir.
Pemanfaatan Ruang Adanya perubahan fungsi lahan di daerah akumulasi air, terutama pada berbagai daerah dataran rendah yang beresiko banjir secara alaini agar disikapi dengan serius, terutama makin maraknya permukiman di bantaran sungai. Perubahan fungsi lahan di Kabupaten Bandung mengakibatkan terjadinya pula penyimpangan dari yang sudah direncanakan dalam RTRW. Upaya pengendalian secara fisik berupa pengerukan saluran-saluran drainase termasuk sungai maupun pengaturan bangunanbangunan dengan meninggikannya di daerah banjir agar air tidak mudah masuk ke dalam rumah tangga dapat dipertimbangkan untuk menghindari banjir untuk
sementara. Namun untuk program jangka panjang agar dipertimbangkan keberlanjutan pemanfaatan ruang yang optimal, yaitu dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan dan berbagai aspek kepentingan daerah, sehingga banjir tidak menimbulkan masalah lagi. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, penataan ruang yang dapat dilakukm untuk mengurangi resiko banjir adalah dengan lebih memfokuskan perhatian pada kondisi daerah-daerah aliran sungai yang selama ini mempakan, stimulan banjir di Kabupaten Bandung, yaitu Sungai Cikapundung, Ciwidey, Cisangkuy, Cirasea, dan Citarik karena sungai-sungai tersebut bermuara di Sungai Citamm pada daerah dataran. Keberadaan hutan dapat dipertahankan, dan dapat diperluas lagi dengan melakukan reboisasi di bagian hulu-hulu sungai tersebut yang dalam kondisi gundul. Aktivitas budidaya pertanian seperti kebun campuran maupun ladang di daerah berlereng agar memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah seperti pembuatan teras, dan penanaman searah kontur, sehingga dapat mengurangi laju aliran permukaan. Penataan kawasan permukiman juga agar dilakukan pada daerah yang tidak termasuk daerah bahaya banjir, karena masih banyak daerah di Kabupaten Bandung yang mempunyai potensi untuk dilakukan pembangunan permukiman sehingga tidak terkonsentrasi di daerah bahaya banjir, nlisalnya di daerah yang tidak dilalui oleh sungai-sungai tersebut di atas. Adapun pemanfaatan ruang yang berada di luar wilayah administratif Kabupaten Bandung tapi termasuk dalam daerah aliran sungai yang sama, yaitu Kota Bandung dan Cimahi yang termasuk Sub DAS Cikapundung, serta Kabupaten Sumedang yang termasuk Sub DAS Citarik, hams diupayakan bersama baik oleh aparat maupun masyarakat karena masalah banjir ini juga dialami oleh daerah-daerah tersebut. Pemanfaatan ruang di Kota Bandung kemungkinan hams menitikberatkan pada drainase maupun pemanfaatan lahan sempit sebagai ruang terbuka hijau karena sebagian besar lahan yang digunakan adalah permukiman Berdasarkan hasil wawancara, harus diupayakan pengelolaan sampah, mengingat persepsi masyarakat bahwa penyebab banjir adalah perilaku manusia yang membuang sampah ke sungai dan saluran karena praktis. Pengelolaan sampah
organik dapat menggunakan lahan-lahan di sekitar permukiman jarang penduduk seperti pembuatan kompos. Bagaimanapun, lokasi untuk pengolahan sampah hams ada dan jauh dari permukiman, karena itu perlu dipikirkan lokasi yang cocok untuk pengolahan sampah.
Pengendalian Tata Ruang Berdasarkan data primer melalui wawancara, menunjukkan masih rendahnya pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah tertentu dalam mensikapi kondisi alam yang berada di kawasan rawan bencana karena kurangnya informasi dan sosialisasi berbagai resiko kebencanaan. Masalah banjir di Kabupaten Bandung mempakan masalah yang tidak ada hentinya sejak dulu, dan pengendalian tata mang adalah salah satu cara non struktural untuk menanganinya. Namun, kondisi yang terjadi tidak menunjukkan upaya ke arah pengendalian tata mang tersebut. Persentase yang tinggi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan RTRW mempakan salah satu indikasi kurang berfungsinya aparat penegakan hukum dalarn tata mang. Bahkan, kondisi tersebut seolah-oleh dimanfaatkan oleh pihak-pihak teitentu baik yang mengetahui RTRW maupun yang tidak. Ketidaktahuan masyarakat mengenai konservasi juga mempakan ha1 yang perlu diperhatikan. Penyuluhan yang intensif dengan tema konservasi dapat dilaksanakan oleh para petugas lapangan terutama pada sub DAS-sub DAS stimulan banjir. Pengendalian tata ruang ini juga h m s mengantisipasi kemungkinan arus urbanisasi, sehingga penggunaan lahan permukiman tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, temtama banjir. Hal ini diantisipasi dengan melihat kemungkinan-kemunglanan pembangunan yang lebih ke arah fisik, sipil teknis, dan dapat dijadikan kajian lanjutan. Meskipun demikian, pada dasarnya kemauan masyarakat cukup besar untuk ikut membantu kegiatan pemerintah asal jelas-jelas manfaat bagi mereka. Karena itu perlu adanya penyebarluasan informasi yang efektif dan tepat sasaran mengenai penataan ruang dengan memperhatikan resiko banjir di Kabupaten Bandung.
0
Alternatif kawasan permukiman di luar daerah bahaya banjir, merupakan daerah landai Pertanian lahan konservasi tanah
Gambar 33 Skema upaya penataan ruang Kabupaten Bandung memperhatikan aspek resiko banjir
kering
berbasis
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Secara keselumhan terjadi penyimpangan pemanfaatan mang sebesar 73% dimana pada tiap pemanfaatan ruang terjadi penyimpangan berkisar 50% ke atas, sebagai contoh yang mencolok adalah penyimpangan peruntukan sawah tadah hujan sebesar 91.1%, dan peruntukan kawasan industri sebesar 89.7%. Sedangkan dari aspek luasan, penggunaan / penutupan lahan aktual hutan dan perkebunan PTP inendekati luas peruntukan, kebun campuran melebilu peruntukan, dan sawah kurang dari peiuntukan. 2. Penut~~padpenggunaan lahan hutan (23.4%) dan perkebunan PTP (0.8%) masih relatif inendekati luas pemiltukan. Sedangkan luas kebun campuran jauh melebihi alokasi pemanfaatan ruang yaitu 32.6%. Selain itu, luas area sawah temyata kurang dari peruntukan yaitu hanya mencapai 5.6% dari luas wilayah. 3. Tingkat bahaya banjir Kabupaten Bandung dipengamhi oleh frekuensi genangan yang ierjadi akibat peristiwa banjir. Pola rata-rata daerah banjir 20 tahun terakhir meilunjukkan adanya variasi genangan, tetapi pada 3 tahun terakhir, lokasi genangan cenderung terpencar dan terdapat lokasi yang belum pemah tergenang sebelunmya, sehingga secara umum terdapat kecenderungan terjadi pertambahan luas daerah bahaya banjir. Sebaran daerah ballaya banjir terdapat pada Sub DAS Citarik, Cikapundung, Ciwidey, Cisangkuy, dan Cirasea, dimana luas daerah bahaya tinggi 2 416.5 ha,'bahaya sedang 2 767.2 ha, bahaya rendah 8 338.8 dan tidak bahaya 293 848.5 ha sehingga kelima Sub DAS tersebut dapat dikatakan inenlpunyai kondisi yang buruk karena tidak manlpu mengalirkan air dalam salurannya ataupun meresapkannya dengan optimal. 4. Daerah beresiko tinggi meinpunyai luas 159.5 ha, beresiko sedang 3 971.6 ha, beresiko rendah 9 391.3 ha dan tidak beresiko seluas 293 848.5 ha. Sebaran lokasi yang tenllasuk beresiko banjir berada 21 kecamatan antara lain di Kecanlatm Baleendah, Bojongsoang, Dayeuhkolot, Margahayu, Rancaekek, dan Solokanjeruk.
5. Persentase luas hutan pada Sub DAS - Sub DAS stimulan banjir yaitu
Cisangkuy, Ciwidey, Cikapundung, Citarik, dan Cirasea adalah berkisar 23%, dan kondisi ini belum mencapai persyaratan minimal 30% sesuai UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 6. Hasil analisis penggunaan lahan aktual daerah bmjir terhadap RTRW
menunjukkan bahwa terdapat daerah yang sesuai peruntukan namun termasulc pada daerah bahaya banjir, dengan kata lain RTRW yang telah dibuat tidak memperhatikan daerah banjir.
7. Masalah banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung bukan semata-mata akibat penyimpangan dalanl pemanfaatan ruang, melainkan salah satunya disebabkan oleh
kurang
efektifnya
RTRW
dalam
mengakomodir
keterpaduan
pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat yang inemperhatikan aspek resiko banjir, sehingga masukan yang diberikan ke pihak pemerintah daerah kabupaten Bandung (atau kota) adalah upaya penataan mang memperhatikan aspek resiko banjir dan aspirasi masyarakat, melalui perencanaan tata mang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian tata mang yang lebih memfokuskan pada Sub DAS stimulan banjir. Saran 1. Kajian lanjut terhadap permasalahan banjir ditinjau dari besaran banjir (inagi~itude), nilai kerugian ekonomi akibat banjir, sistem drainase
permukiman,
dan
manajemen persanlpahan
dapat
dilakukan
untuk
memperoleh kondisi detail mengenai bahaya dan resiko banjir di Kabupaten Bandung. 2. Penelitian ini tidak mempertimbangkan pengaruh peinanfaatan ruang Kota
Bandung ke kejadian banjir di Kabupaten Bandung, karena itu perlu adanya kajian lebih detail untuk memahami pennasalahan banjir yang tejadi di Bandung dan sekita~nya. 3. Metode pengharkatan yang dilakukan dalanl penelitian ini mempunyai kelemahan berupa perhitungan ganda, karena itu dapat dilakukan metode lain seperti statistik sebagai bahan perbandingan, atau lainllya.
4. Sosialisasi kegiatan penataan ruang kepada masyarakat agar dilaksanakan secara luas sehingga masyarakat menjadi tahu dan dapat lebih dilibatkan. Selain itu penyuluhan tentang konservasi agar dilaksanakan dengan intensif terutarna di daerah aliran sungai penyuplai banjir sehingga masyarakat sadar pentingnya konservasi terhadap penurunan resiko banjir. 5. Peninjauan ulang terhadap kelayakan RTRW Kabupaten Bandung agar
dilakukan Pemerintah Kabupaten Bandung, serta melakukan revisi dengan memperhatikan aspek resiko banjir.
.
6. Masukan bagi penentu kebijakan dalam penataan ruang dengan lebih men~fokuskanpenataan pada daerah-daerah aliran sungai yang selama ini merupakan stimulan banjir di Kabupzten ~ a n d ' u nyaitu ~ pada Sub DAS Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, dan Ciwidey. 7. Koordinasi instansi pemerintah antar daerah berbatasan maupun dengail
leinbaga independen agar ditingkatkan untuk menuju Kabupaten Bandung bebas banjir. Selain itu penegakan hukum terhadap aturan yang telah dibuat agar dilaksanakan dengan konsisten
GLOSARI Berikut ini adalah beberapa istilah yang berhubungan dengan bencana menurut United Nations Development Programs-Department of Humanitarian Affairs (UNDP-DHA) 1992. Bahaya (hazard)
Suatu k6jadian atau peristiwa yang ekstrim dan mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan lingkungan. Bahaya dibedakan atas lima kelompok yaitu:
-
Bahaya beraspek geologi; gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, longsor
-
Bahaya beraspek hidrometeorologi; banjir, kekeringan, badai, angin topan
-
Bahaya beraspek biologi; wabah penyakit, serangan hama
-
Bahaya beraspek teknologi; kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi, kecelakaan industri, radiasi
-
Bahaya beraspek lingkungan; kebakaran hutan, pencemaran, kerusakan lingkungan
Bencana (disaster)
Suatu kerusakan serius dari hngsi masyarakat yang menyebabkan kerugian atau kehilangan secara luas pada manusia, material atau lingkungan, yang terjadi '
karena peristiwa alam atau ulah manusia.
Kerentanan (vulnerability)
Tingkat kemudahan mengalami kerugian sebagai akibat fenomena yang beipotensi merusak. Elemen Beresiko
Suatu daftar dari segala sesuatu yang mempunyai resiko terkena bahaya, seperti manusia, harta benda, bangunan, dan lain-lain.
Resiko (risk) Kemungkinan timbulnya suatu kemgian pada suatu wilayah karena suatu bahaya menjadi bencana, dapat berupa kematian, luka, kehilangan harta benda, kemsakan infrastmktur, dan gangguan kegiatan masyarakat. Mikrozoning Serangkaian kegiatan untuk pengkajian resiko bahaya kawasan secara rinci,
. termasuk di dalamnya kegiatan pengumpulan data, analisis, dan penyajian dalam bentuk peta resiko. Mitigasi bencana (disaster mitigation) Upaya yang dilakukan untuk menekan timbulnya dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, inaupun non fisikstruktural melalui pemndang-undangan dan pelatihan. Manajemen Bencana (disaster inanagement) Sekumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan adminsitratif dan aktivitasaktivitas operasional yang berhubungan dengan berhagai tahapan dari semua tingkatan
bencana.
Kegiatan tersebut meliputi aspek perencanaan
dan
penangguiangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana, mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap dan~rat,dan pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA Abidin H.Z. 2006. Penguatan Sistem Pemetaan Untuk Penanganan Masalah Banjir di Jakarta. ht~://www.kim~raswil.~o.id/ ditjen-ruang/ opinil opini8.htm [07 Juni 20061 Alhasanah F. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem ~nformasi Geografis: kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arduino G, Reggiani P, Todini E. 2005. Recent Advances in flood forecasting and flood risk assessment. Hydrology and Earth System Sciences 9:280-284 AntaraNews. 2007. Ribuan Rumah di Kabupaten Bandung Terendam Air. http://www.antara.co.idfseenws/?id=53822 [28 Pebruari 20071 Arsyad S. 1989. Koltservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press. Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ayala IA. 2002. Geomorphology, natural hazards, vulnerability and prevention of natural disasters in developing countries. Geonzorphology 47: 107-124 [BPS] Badan Pusat Statistik.1994. Kabupaten Bandung Dalam Angka 1994. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banduilg. [BPS] Badan Pusat Statistik.2004. Kabupaten Bandung Dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. Badri I., Wahyono. 2005. Inventarisasi dan Evaluasi Geologi Lingkungan Metropolitan Bandung. Bandung : Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan. [BAKORNASPBP].Badan Koordinasi Nasional Pengendalian Bencana dan Pengungsi. 2005. http : /I m.bakornaspbp.go.id I html 1 panduan-karakteristik [20 Pebruari 20061. [Bapeda Kab. Bandung] Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bandung 2002. Identifikasi Permasalahan Antar Daerah Perbatasan. Bapeda Kabupaten Bandung. [Bappeda Prov. Jabar] Badan Perencanaan Pembangunal Daerah Provinsi Jawa Barat. 2003. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat.
[Bappeda Prov. Jabar] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat 2006. Bangunan Kuno di Bandung, Dulu d m Sekarang. http: // www. bapeda-jabar.go.idlbpd-siteldetail-artikel.php?doc=l 10 [25 Agustus 20061 Barlowe R. 1986. Land Resources Economics The Economics of Real Estate. Ed ke-4. New Jersey: Prentice Hall. Barus B., Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian. Barus B. 2005, Kamus SIG (Sistem Informasi Geografis) dengan 128 diagram. Bogor: Studio Teknologi Informasi Spasial. Christensen U. 1991. Global Science. Iowa: Prentice Hall. [CIFOR] Center for International Forestry Research. 2002. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Warta Kebiiakan 5 Agustus. Cooke RU, Doomkamp JC. 1990. Geomorphology in Environmental Management A New Introduction. Ed ke-2. Oxford: Clarendon Press. [Departemen Kimpraswil]. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. [Departemen PU] Departemen Pekerjaan Umum. 2005. Operasionalisasi Program Penanganan Bencana Alam Bidang Penataan Ruang. http://penataan ruang.pu.go.id/LapakO5/P2/2/Bab6.pdf [12 Juli 20061 Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung. 2006. Kegiatan Teknik Analisis Dampak Lingkungan. Dirjen Penataan Ruang - Departemen Kimpraswil. 2003. Penataan Ruang Dalam Pencegahan Bencana Banjir: Kasus Pulau Jawa dan Kawasan JabodetabekBopunjur.[Abstrak]. Workshop persiapan World Water Forum 31 Januari-1 Pebruari 2003. Bali. [I8 Juli 20061 Fenier N, Haque CE. 2003. Hazards Risk Assessment Methodology for Emergency Managers: A Standardized Framework for Application. Natural Hazards 28:271-290 Graaff J de. 1996. The Price of Soil Erosion: An Economic Evaluation of Soil Conservation and Watershed Development. Leiden: Backhuys Publisher. Hidayat S, Mulyana H. 2002. Analisis Wilayah Genangan di Cekungan Bandung dan Sekitarnya. Inventarisasi Hasil Penelitian Tahun 2002. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bandung.
IndoNews 1998. Indonesia Terancam Banjir Besar Jiia Tidak Diantisipasi Sejak Dini. h~:Nwww.listserv.dfi~.de/ccri-bin [12 Mei 20061 Irianto G. 2003. Kumpulan Peiizikiran : Banjir dun :Kekeringan Penyebab Antisipasi dun Solusinya. Bogor: Universal Pustaka Media. Isnugroho. 2002. Tinjauan Penyebab Banjir dan Upaya Penanggulangannya. Alami 7(2):1-7. Kompas. 2005. Ketinggian Air Di Bandung Naik Lagi. http:Nwww.kompas.comikompas-cetak/Ol lO/berita/pote.22.html [O? Mei 20061. Kuswartojo T. 2002. Banjir, Permukiman Marjinal dan Penataan Ruang. Alanzi 7(2):79-82. Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Pengindraan Jauh dun Interpretasi Citra. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. [LPPM ITB] Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Instikt Teknologi Bandung. 2003. Analisis Pengemban.qan Kawasan Andalan Cekungan Bandung. Inventltarisasi dan ~ e i ~ e m b & ~Kegiatan an ~ & i ~enelitiandi l ~abu~aten Bandung Tahun 2003. Badan Perencanaan Daeran Kabupaten Bandung. Laheij GMH, Post JG, Ale BJM. 2000. Standards methods for land-use planning to determine the effects on societal risk. Journal of Hazardous Material 71(2000):269-282. Linsley RK., Franzini JB. 1985. Teknik Suinber Daya Air. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mahmudi B. 2002. Optimalisasi Penggunaan Lahan dan Penetapan Daya Dukung Lingkungan Di Daerah Tangkapan Air (DTA) Cilampuyang Sub DAS Cimanuk Hulu, Kabupaten Gamt, Propiusi Jawa Barat. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mitchell A. 2005. The ESPJ Guide to GIs Analysis Volume 2: Spatial Measurements & Statistics. California: ESRI. Nugroho I, Dahuri R. 2004. Petnbangunaiz Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial, dun Lingkunzan. Jakarta: LP3ES. [PCI] Pacific Consultants International. 2003. Laporan Akhir Survei Dasar dan Perencanaan Proyek Stabilisasi Tanah dan Usahatani Lahan Keiing di DAS Citarum Bagian Hulu.
Paripumo ET. 2004. Modul Manajemen Bencana Pengenalan Banjir Untuk Penanggulangan Bencana. http://download.peduli-bencana.or.id/modulbanjir-et.pdf [12 Juli 20061. [Pemkab Bandung] Pemerintah Kabupaten Bandung. 2001. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalarn Penataan Ruang. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Prahasta E. 2005. Sistem Infonnasi Geografis : Tutorial ArcView. Bandung: Informatika. Primayuda A. 2006. Pemetaan Daerah Rawan dan Resiko Banjir Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur). [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E, Saefilhakim S, Panuju DR. 2004. Diktat Perencanaan dun Pengembangan Wilayah. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Saefulhakim RS, Panuju DR, Nasoetion LI. 1997. Perunlusan Kebijaksar~aan Penataan Pemilikan/Perlgttasaan, Koizsolidasi, dan Penanganan Pelzggunaan Tanah Menuju Pengembangan Sumberdaya Lahan. Bogor: Jurusan Tar-ah. Fakultas Pertanian. IPB. Setda Kabupaten Bandung. 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Rencana Strategis Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2001-2005. Sitorus SRP. 2004. Pengembangan Sunzberdaya Lahan Berkelanjutan. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Bogor: Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB. Sudaryoko Y. 1987. Pedoman Penanggztlangan Banjir. Jakarta: Badan Peilerbit Pekej a m Umum. Suganda H. 2002. Bandung Lautan Cai Euy..!. http://www.kompas.com/kompascetak/0212/18/daerah/51726.htm [07 Juni 20061 Suherlan E. 2000. Zonasi Tingkat Kerentanan Banjir Kabupaten Bandung Menggunakan Sistiin Infomlasi Geografis. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Penerbit Andi. Tjarli L. 2006. Citarum, Nadi Kehidupan Jawa Barat. http://www.pikiranrakyat.com/ cetak/2006/022006/27/teropong/lain.. . [24 Maret 20061. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang Direktorat Penataan Ruang Nasional. Undang-UnCang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota Cimahi. [UNDP-DHA] United Nations Development Programs-Department of Humanitarian Affairs. 1992. Tinjauan Unzum Manajemen Bencana. New York: United Nations. [UNDRO] Office of The United Nations Disaster Relief Co-Ordinator. 1991. Mitigating Natural Disasters Phenomena, Effect, and Options: A Manual for Policy Makers and Planners. New York: United Nations. Vink APA. 1975. Land Use in Advancing Agriculture. Berlin: Springer-Verlag. Warlina L. 2000. Penataan Ruang Kawasan Konservasi Cekungan Bandung Dengan Pendekatan Konsep Bioregional Planning [tesis]. Depok: Prograin Pascasarjana. Universitas Indonesia. Westen C.J van. 2006. Hazard, Vulnerability and Risk Analysis. ILWIS. http://www.itc.nl/ilwis/applications/applicationOl.asp [15 Oktober 20061
LAMPIRAN
Larnpiran 1 Kuesioner SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ZANGAN TEMPAT I.
Kota 1Kabupaten
2.
Kecamatan
3.
Kelurahan 1Desa
4.
RWIRT
5.
Kampungl Dusun
6.
Nama Responden
7.
Nomor umt mmah tangga sample
8.
Hari I tanggal wawancara
I
I
B. IDENTITAS RESPONDEN I. Status perkawinan : 1. Belum kawin
2. Kawin 3. Cerai Hidup
4. Cerai Mati
2. Umur I Jenis Kelamin : ................... tahun
(L I p)
3. Agama : I. Islam
2. Protestan
3. Katolik
4. Hindu
5. Budha
6 . Lainnya : ................................... 4. Pendidikan teninggi yang ditamatkan : I. TidaWbelum pernah sekolah
5. SLTA I sederajat
2. Tidak I belum tamat SD
6. Diploma I 1 I1
3. S D I Sederajat
7. Diploma Ill I akademi
4. SLTP I Sederajat
8. Sarjanal SI ke atas
5. Jika tidak sekolah 1tidak tamat S D apakah dapat membaca dan menulis : I. Huruf latin
2. Huruf lainnya
3. Tidak dapat membaca dan menulis
6. Pekerjaan utama saat ini :
I. Pedagang
2. Tukang ojek
3. Petani
4. Buruh tani
5, Tengkulak
6. Makelar
7. Sopir
8. Ibu Rumah Tangga
9. GuruIPNSlABRI 13. Karyawan swasta
10. Penjahit
I I. Buruh Pabrik
12.Pensiunan PNSIABRI
14.Lainnya ................
7. Pendapatan bersih dalam sebulan ;
1. 5 1.000.000 4. > 4.000.000
2. 1.000.000 - 2.500.000
3. 2.500.000 - 4.000.000
C. KONDISI HUNIAN I. Luas lahan dan mmah yang dikuasai (kira-kira) : .............. m2 dan
..............m2
2. Jarak bangunan dengan sungai (kira-kira) : ....... m
3. Status : 1. IMB (1.iin Mendirikan Bangunan)
2. PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) 3. Sambungan listrik (PLN) resmi
b. Tidak b. Tidak
: a. Ada : a. Ada
4:Sambungan Telepon resmi
b. Tidak
: a. Ada
5. Saluran PDAM resmi
6. Macam hak
: a. Ada
b. Tidak
: a. Ada
: a. Sertifikat hak milik
b. Tidak
3. Kondisi bangunan :a. Permanen
b. Setengah permanen
4. Pemilikan barang :a. Radioltape
b. CD/DVD/PSlMP3 player
f. Mobil
e. Motor
c. Lainnya .......................
b. Sewalkontrak
g. Sepeda
c. Sementara
c. PCMotebook
d. Kulkas
h. Handphone
b. Tidak
5. Mandi Cuci Kakus (MCK) :a. Ada
6. Sistem Pembuangan Sampah Domestik : 1. Bak sampah di rumah
2. Pada lubang (galian) di kebun
4. Sungai/selokan/saluran air
5. Sembarang tempat
a. Ya
7. Apakali anda membuang sampah setiap hari ?
3. TPS umum 6. Lainnya ..............
b. Tidak
Jika tidak, tiap berapa hari
8.Berapa banyak sampah yang anda buang (ukuran kantong plaqtik besar) dalam sehari? 1. I
- 3 kantong
2. 4-6 kantong
9. Ketinggian lantai rumah dnri jalan terdekat
3. 7-8 kantong
4. > 8 kantong
.........m
10. Pada musim hujan rumah anda tergenang banjir?
I . Selalu
b. Kadang-kadang
b. Tidak pernah
I 1. Kerugian apa saja yang biasa diderita saat banjir ?
b.................................................................................................................. C. ................................................................................................................. 12. Bagaimana kondisi huninn saat ini menurut anda? a. Sangat Layak.
b. .Layak
c. Tidak layak
D. PENGETAHUAN TERHADAP KONSERVASI
I I . Apakah anda biasanya tahu jika akan banjir? 1. Ya, darimana ............................
. . ..............................................................................................................
2. Tidak,
3. Tidak peduli 2. Menurut and* apa faktor penyebab banjir :
I. Alam
2. Manusia
3. Lingkungan buruk
4. lnteraksi ketiga2nya
3. Apakah anda tahu tentang konversi lahan? a. Tahu, yaitu b. Tidak tahu
.................................................................................................................................................. c. Tidak peduli
4. Pendapat anda tentang aliran permukaanlrun off? b. Tidak tahu
c. Tidak peduli
5. Apakali anda tahu sumur resapan air hujan?
.
a. Ya, b. Tidak
c. Tidak peduli
6. Tahukan anda tentang konservasi tanah dan a i r ? a. Tahu, b. Tidak tahu 6 . Tahukan anda istilah daerah resapan a i r ? a. Ya,
.................... . .................................................................................................
b. Tidak tahu
c. Tidak peduli
E. EVALUASI PENATAAN RUANG I. Apakah anda tahu tentang R T R W ?
..................................
a. Ya, b. Tidak tahu
c. Tidak peduli
2. Tahukan anda manfaat R T R W ?
a. Tahu. b. Tidak tahu
c. Tidak peduli
2. Tahukan anda tentang sempadan sungai ? a. Ya,
.................................. . ..................1.................................................................
b. Tidak tahu
c. Tidak peduli
4. Tahukah anda istilah dataran banjir? a.Ya , ......................................................................................................................... b. Tidak tahu
c. Tidak peduli
5. Tahukan anda istilah ruang terbuka dan daerah terbangun ? a. Tahu b. Tidak tahu
c. Tidak peduli
5. Menurul anda, apa yang dimaksud tata guna tanah ? a.
............................................................................................................................
b. Tidak tahu
c. Tidak peduli
6. Apakah anda mempunyai tanah yang digarap I diusahakan untuk budidaya? I. Jika ya, bagaimana kondisinya : a. datar 2. Tidak
b. curam
.
.
. *.
..-
7. Apakah anda selalu mengetahui rencana pembangunanltata ruang yang dilakukan pemerintah ?
a. Y a
b. Tidak pemah
c. Tidak peduli
8. Apakah anda ingin berpartisipasi dalam kegiatan rencana pembangunanltata ruang yang dilakukan pemerintah ? a. Ya
b. Tidak
c. Tidak peduli
No I 2 3 4 5 6 7 8 9 10 II 12 13 14 15 16 17 IS 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Kecamatan Arjasari Baleendah Banjaran Batujajar Bojongsoang Cangkuang Cicalengka Cihampelas Cikalongwetan Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cililin Cimaung Cimenyan Ciparay Cipatat Cipeundeuy Cipongkor Cisarua Ciwidey Dayeuhkolot Gununghalu lbun Katapang Kenasari Lembang Majalaya Margaasih Margahayu Nagreg Ngamprah Pacet Padalarang Pameungpeuk Pangalengan Parongpong Paseh Pasirjambu Rancabali Rancaekek Rongga Sindan~kerta ~olokaijeruk Soreang Total
6.497,81
Jml Penduduk O'iwa) 8 1.772,OO
Kepadatan Penduduk fiiwaha) 12.58
2.401,02 6.737,19 307.371,OO
72.404,OO 138.31 1,OO 4.145.967,OO
30,16 20,53 13,49
Luas (Ha)
.
-'>
PETA KONTROL RTRW TERHADAP PENGGUN.4AN LAHA4N.&Turn K.4BUPUP4TEN BANDUNG (Detail)
'-.". >.
is. I
\'\.
<-.
*.
LEGENDA
2.:
s
~. F 101 #::,,,> . 10: . 10. ;i:.: 101 -,: 104 i . : . 101 *II101 107
.,L',:
-
zr
nlaul lo:
= * '&.W'..
lQ9 110 111 112 22 111 11+ 115 ' Ill . 2 . ; 117 11: .- . 119 121 llllllll 121 122 3 2 11s ,*"*~124 &W 121 I2 1:i 117 12s 129 11 111 132 ggSa 131
m
=
Nllllll u+ = 131 tr:131 '*"*' 117 &\v 135 'I1119
.
Lencana Pemanfaatan Ruang (RTRW Kab Bdg. 2001-2010) 'enggunaan Lahan Kab Bandug 2006 (verifiisi)
.
Lampiran 3
No
Alokasi Pemanfaatan Ruang (RTRW)
Penggunaan lahan aktual
1 2 3 4 5 6 '7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 22 23 '24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 .40 41
Konsisten Potensi Agrobisnis Potensi Agrobisnis Potensi Agrobisnis Potensi Agrobisnis Potensi Agrobisnis Potensi Agrobisnis Potensi Agrobisnis Selain SituIDanaulWaduk Situ/Danau/Waduk SituIDanaulWaduk SitulDanaulWaduk SituIDanaulWaduk SituIDanaulWaduk SituIDanaulWaduk SitulDanauWaduk Hutan Lindung Hutan Lindung Hutan Lindung Hutan Lindung Hutan Lindung Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Hutan Produksi Hutan Produksi Hutan Produksi Hutan Produksi Hutan Rakyat Hutan Rakyat Hutan Rakyat Hutan Rakyat Hutan Rakyat Hutan Rakyat Hutan Rakyat Perikanan Perikanan Perikanan Perikanan Perikanan
Konsisten Hutan Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah SitulKolam/Waduk Hutan Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah lndustri Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah Hutan Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP
No
Alokasi Pemanfaatan Ruang (RTRW)
Penggunaan lahan aktual
42
Perikanan Perikanan Sawah Irigasi Sawah Irigasi Sawah lrigasi Sawah Irigasi Sawah lrigasi Sawah Irigasi Sawah Irigasi PerdaganganIJasa PerdaganganIJasa Perdagangadasa PerdaganganIJasa PerdaganganIJasa PerdaganganNasa PerdaganganIJasa PerdaganganIJasa Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kebun Kawasan Industri Kawasan Industri Kawasan Industri Kawasan Industri Kawasan Industri Kawasan Industri Kawasan Industri Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang Ladang Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman
Semak Sawah Hutan Industri Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Hutan Industri Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah Hutan Industri Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah Hutan Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah Hutan Industri Kebun Campuran Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah Hutan Industri Kebun Campuran Ladang Perkebunan PTP
No 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 '97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 1 10 111 112 . I 13 114 1 15 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126
Alokasi Pemanfaatan Ruang (RTRW)
Penggunaan lahan aktual
Permukiman Militer Militer Militer Militer Militer Militer Militer PemerintahanIFasilitas Umum PemerintahanIFasilitas Umum PemerintahanIFasilitas Umum PemerintahanIFasiliias Umum PemerintahanIFasilitas Umum PemerintahanIFasilitas Umum PemerintahanlFasilitas Umum Perkebunan PTP Perkebunan PTP Perkebunan PTP Perkebunan PTP Perkebunan PTP Perkebunan PTP Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbtika Hijau Rtiang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau Sawah Tadah Hujan Sawah Tadah Hujan Sawah Tadah Hujan Sawah Tadah Hujan Sawah Tadah Hujan Sawah Tadah Hujan TahurdTWAICagar Alam TahurdTWAICagar Alam TahurdTWAICagar Alam TahurdTWAICagar Alam TahurdTWAICagar Alam TahurdTWAICagar AIam TahurdTWAICagar Alam
Semak Sawah Hutan Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah Hutan Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah Hutan Kebun Campuran Ladang Permukiman Semak Sawah Hutan Industri Kebun Campuran Ladang Permukimari Perkebunan PTP Se~nak Sawah Hutan Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Hutan Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Sernak Sawah
'
-
-
No
Alokasi Pemanfaatan Ruang (RTRW)
Penggunaan lahan aktual
127
Pertambangan pertambangan Pertambangan Pertambangan Pertambangan Pertambangan Peternakan Peternakan Peternakan Peternakan Peternakan Peternakan Peternakan
Industri Kebun Campuran Ladang Permukiman Semak Sawah Hutan Kebun Campuran Ladang Permukiman Perkebunan PTP Semak Sawah
139
Sumber : Hasil analisis
-
-
Foto 1 Alur sungai ditumbuhi ole11 tanaman air di hulu Smiqai Cirasea Kecamatan Kernsari, membantu menaban laju aliran air
Foto 2 Sungai Citarum di Kecamatan Cililin. Daerah ini tidakpernah banjir karena kapasitas pengatiran air sungai cukup besar
Foto 3 Kebun ciunpuran di Kecamatan Cisarua
Foto 4 Pengurugan sawah di Desa Tegalluar Kecamatan Bojongsoang (daerah bahaya banjir)
Foto 5 Perbukitan gundul di Kecamatan Ciparay. Berpotensi meningkatkan laju a1r lar~an(k~ndislumum perbuKltan di Bindung Sehtan)
Foto 6 Sampah Sungai Citarum di Kecamatan Baleendah, air sungai hitam akibat limbah indusui
Fotc 7 Lndustct d s permuk!mm d! %pi Sung: C:tamm
Foto 8 Curug Jompong di Desa Nanjung, aliran Sungai Citarum menyempit melalui bebatuan selrelum ke outietnya di Waduk Saguiing-(penuh sampah)
Eoto 9 AlimnSungaiCifamm.yang- hit3mpekatakibaitimbah.indnstridi: Kecamatan M a r p s ~ h
Foto 10 Genangan banjir di Desa Andir Kecamatan Baleendah
Foto 1I Bmjn dl Desa Fasawahan Kecarnatan Dayeuhkoiot
Foto 12 Aiur Sungai Ciwidey ketika rnusim kernamu