KAJIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM KAITANNYA DENGAN BENCANA TANAH LONGSOR DI KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN
NANANG FIRMAN SAFARI YUSUF
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Juni 2008
Nanang Firman Safari Yusuf NIM A353060354
ABSTRACT NANANG FIRMAN SAFARI YUSUF. Study of Relationship between Spatial Utilization and Landslide Disaster at Sinjai District, Sulawesi Selatan Province. Under direction of KOMARSA GANDASASMITA and SETIA HADI. Sinjai district is the part of Sulawesi Selatan Province. At this district landslide disaster and its impact such as loss of life, damage of public facilities, etc. almost occurred every rainy season. This phenomenon has been supposed to have a relation with the management of land use. Based on those condition, the aims of this study were : a) to analyze between actual land use with Sinjai Regency Spatial Planning (RTRW); b) to analyze spreading of landslide hazard and landslide risk; c) to analyze community perception and participation about landslide disaster and regional spatial planning and d) to formulate efforts in minimizing the hazard and risk of landslide. GIS method had been used to analyze landslide risk assessment by using landslide hazard, properties and vulnerability as parameters. The analysis revealed 1) discrepancy of spatial regional planning was 44,23% of actual land use; 2) landslide risk map which was classified into very high and high risk category (11.565 ha), moderate risk (36.774 ha), low risk (25.537 ha) and very low risk (9.500 ha); 3) majority of inhabitants were lack of knowledge concerning the location of landslide hazard and spatial arrangement information, but they will participate in spatial regional planning programmes and 4) The Sinjai Regency Spatial Planning need to revised by considering actual land use, the class of inclination and landslide hazard and risk mapping. Keywords : landslide, hazard, risk, GIS method, land use, community perception
RINGKASAN NANANG FIRMAN SAFARI YUSUF. Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan SETIA HADI. Kabupaten Sinjai merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah Kabupaten Sinjai secara fisik mempunyai tingkat kerentanan yang cukup tinggi terhadap terjadinya bencana tanah longsor dan banjir. Pola geologi di sebelah utara daerah ini berupa perbukitan dan pegunungan yang dibentuk oleh batuan yang telah mengalami pengikisan (denudasional) berupa batuan sedimen berumur lebih tua dari batuan Gunungapi Lompobattang dan telah mengalami pelapukan. Selain itu, dari data sekunder yang ada sebagian wilayahnya mempunyai tingkat kemiringan lereng lebih dari 100 persen dan kondisi penutupan serta penggunaan lahan di lereng-lereng pegunungan sampai di kawasan Gunungapi Lompobattang yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung menunjukkan indikasi bahwa di beberapa tempat telah terbuka atau berubah fungsi. Langkah awal dalam penanggulangan bencana tanah longsor adalah dengan menyusun informasi keruangan terkini tentang penyebaran lokasi rawan bencana tanah longsor yang rinci dan komprehensif. Langkah ini diperlukan untuk meminimalkan kerugian, baik berupa korban jiwa maupun materi, yang ditimbulkan bencana. Informasi keruangan ini dapat dimulai dari penyusunan basis data daerah yang berpotensi bahaya tanah longsor dan pembuatan petanya dengan menggunakan metode sistem informasi geografis (SIG). Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) untuk menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan saat ini terhadap RTRW; 2) untuk menganalisis sebaran rawan tanah longsor dan resiko tanah longsor; 3) untuk menganalisis persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap bencana tanah longsor dan penataan ruang serta 4) merumuskan upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir bencana tanah longsor. Metode untuk menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan saat ini terhadap RTRW adalah dengan melakukan tumpang tindih antara peta RTRW dengan peta penggunaan lahan saat ini. Selain itu, baik untuk penggunaan lahan berdasarkan RTRW maupun penggunaan lahan saat ini, akan dianalisis berdasarkan kelas lereng yang ada. Analisis sebaran rawan tanah longsor dilakukan dengan menumpangtindihkan peta yang menjadi parameter pemicu terjadinya tanah longsor, yaitu kelas lereng, peta penggunaan lahan dan peta geologi. Parameter tersebut diberi skor sesuai dengan pengaruhnya terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin tinggi juga pengaruhnya terhadap terjadinya tanah longsor. Sebaran rawan tanah longsor dibagi menjadi 5 (lima) kelas, yaitu aman, kerawanan rendah, kerawanan sedang, rawan dan sangat rawan. Untuk menganalisis sebaran resiko tanah longsor dilakukan dengan menggabungkan peta sebaran rawan tanah longsor, peta properti dan peta kerentanan. Peta properti merupakan gambaran umum keadaan suatu wilayah yang dihubungkan dengan nilai ekonomi yang dimiliki suatu lahan, baik dalam keadaan terlantar maupun dengan berbagai aktivitas ekonomi di atasnya. Peta kerentanan merupakan gambaran umum mengenai suatu kondisi dari suatu komunitas yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan menghadapi ancaman bahaya. Nilai resiko tanah longsor merupakan penjumlahan dari nilai kelas rawan tanah longsor, nilai kelas properti dan nilai kelas kerentanan. Selanjutnya kelas resiko tanah longsor dibagi menjadi 5 (lima) kelas, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat
tinggi. Untuk mengetahui persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap bencana tanah longsor dan penataan ruang dilakukan analisis terhadap hasil wawancara dan direpresentasikan dalam bentuk tabulasi. Sintesa penelitian ini berupa rangkuman serta keterkaitan antara analisis yang dilakukan berupa arahan atau masukan untuk perencanaan tata ruang yang diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi pengembangan wilayah dan meminimalisir bencana tanah longsor. Hasil analisis kesesuaian antara penggunaan lahan saat ini terhadap RTRW secara umum adalah penggunaan lahan saat ini yang sesuai dengan RTRW sebesar 55,8%, sedangkan yang tidak sesuai sebesar 44,2%. Selain itu berdasarkan kelas lereng, baik untuk penggunaan lahan berdasarkan RTRW maupun penggunaan lahan saat ini, pada umumnya relatif tidak sesuai. Hasil analisis sebaran rawan tanah longsor memperlihatkan bahwa wilayah yang termasuk kategori sangat rawan sebesar 10,1%, kategori rawan sebesar 54,3%, kategori kerawanan sedang sebesar 26,0%, kategori kerawanan rendah sebesar 8,1% dan kategori aman sebesar 1,4%. Kecamatan Sinjai Tengah merupakan kecamatan dengan luas wilayah yang termasuk ke dalam kategori kelas rawan tanah longsor sangat rawan terluas, yaitu seluas 3.210 hektar (hampir seperempat dari luas Kecamatan). Hasil analisis sebaran resiko tanah longsor memperlihatkan bahwa wilayah yang termasuk kategori sangat tinggi sebesar 0,1%, kategori tinggi sebesar 13,7%, kategori sedang sebesar 44,1%, kategori rendah sebesar 30,6% dan kategori sangat rendah sebesar 11,4%. Kecamatan Sinjai Tengah merupakan kecamatan dengan luas wilayah yang termasuk ke dalam kategori kelas resiko tanah longsor sangat tinggi dan tinggi terluas, yaitu seluas 6.110 hektar. Hasil analisis persepsi dan partisipasi masyarakat memperlihatkan bahwa secara umum persepsi masyarakat responden terhadap bencana tanah longsor dan penanggulangannya serta terhadap penataan ruang masih relatif rendah. Akan tetapi masyarakat sudah mengetahui bahwa manusia berperanan terhadap terjadinya tanah longsor dan sebagian masyarakat responden juga berkeinginan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan perencanaan pembangunan. Beberapa usulan sebagai langkah awal bagi pengembangan wilayah adalah : 1) RTRW tahun 2006-2016 perlu direvisi sesuai kondisi saat ini dan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007, 2) perlunya menyusun basis data yang lebih lengkap dan rinci mengenai sebaran rawan tanah longsor dan resiko tanah longsor, 3) perlunya pengendalian dalam pelaksanaan RTRW dan 4) peranan kelembagaan penanggulangan bencana yang sudah ada perlu ditingkatkan lagi, khususnya dalam penyebaran secara luas informasi mengenai bencana tanah longsor dan kaitannya dengan penataan ruang. Kata kunci : tanah longsor, bencana, metode SIG, penggunaan lahan, persepsi masyarakat
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM KAITANNYA DENGAN BENCANA TANAH LONGSOR DI KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN
NANANG FIRMAN SAFARI YUSUF
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc
Judul Tesis
:
Nama
:
Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Nanang Firman Safari Yusuf
NIM
:
A353060354
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 26 Mei 2008
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2007 ini ialah bencana tanah longsor, dengan judul Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si selaku pembimbing, serta Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB, Pemerintah Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan yang telah memberikan kesempatan tugas belajar, Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas), staf pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB serta teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2006. Ungkapan tarima kasih juga disampaikan kepada bapak, mamah, istri, anak, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2008 Nanang Firman Safari Yusuf
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 29 Maret 1972 dari ayah Adang Yusuf dan ibu Mundiyah. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara. Sekolah Dasar diselesaikan penulis di SD Pengadilan I di Bogor pada tahun 1985. Sekolah Menengah Pertama diselesaikan penulis di SMP Negeri IV Bogor pada tahun 1988. Sekolah Menengah Atas diselesaikan penulis di SMA Negeri I Bogor pada tahun 1991. Selanjutnya pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian bogor yang ditamatkan pada tahun 1998. Setelah lulus Sarjana Pertanian, penulis bekerja di Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1999 – 2001, kemudian di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2001 sampai sekarang. Pada tahun 2006, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
vi
PENDAHULUAN.................................................................................. Latar Belakang............................................................................... Perumusan Masalah ...................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................
1 1 2 4
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... Ruang dan Penataan Ruang ......................................................... Tanah Longsor .............................................................................. Penanggulangan Bencana ............................................................ Analisis Spasial ............................................................................. Sistem Informasi Geografi..............................................................
6 6 8 16 17 18
METODE PENELITIAN........................................................................ Kerangka Pemikiran ...................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... Tahapan Penelitian ........................................................................ Persiapan....................................................................................... Analisis Penelitian..........................................................................
22 22 22 24 24 25 26
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .............................................. Administrasi Wilayah dan Kependudukan ...................................... Kondisi Fisik Wilayah ..................................................................... Penggunaan Lahan........................................................................ Pola Arahan Pemanfaatan Ruang.................................................. Bencana Tanah Longsor................................................................
38 38 40 48 49 52
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ Kesesuaian Antara Penggunaan Lahan Saat Ini Terhadap RTRW Sebaran Rawan Tanah Longsor .................................................... Tingkat Potensi Kerawanan Berdasarkan Parameter ..................... Sebaran Resiko Tanah Longsor..................................................... Persepsi dan Partisipasi Berbagai Komponen Masyarakat ............ Rumusan Upaya untuk Meminimalisir Bencana Tanah Longsor ....
58 58 63 68 70 76 78
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ Kesimpulan .................................................................................... Saran .............................................................................................
85 85 86
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
87
LAMPIRAN ..........................................................................................
89
i
DAFTAR TABEL Halaman 1. Data Korban Bencana Tanah Longsor dan Banjir Bandang per Kecamatan di Kabupaten Sinjai...............................................
3
2. Data Sekunder yang Digunakan dalam Penelitian ........................
25
3. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor .......................................
28
4. Pembagian Kelas Sebaran Rawan Tanah Longsor........................
29
5. Nilai Skor dan Jarak Buffering dari Jenis Fasilitas Sosial dan Umum ...........................................................
30
6. Nilai Skor dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur....................
31
7. Nilai Skor dari Jenis Penggunaan Lahan .......................................
32
8. Pembagian Kelas Properti ............................................................
32
9. Skor Kerentanan Sosial Kependudukan .......................................
34
10. Skor Kerentanan Penggunaan Lahan ............................................
35
11. Pembagian Kelas Kerentanan ......................................................
35
12. Pembagian Kelas Sebaran Resiko Tanah Longsor .......................
36
13. Pembagian Wilayah Administrasi di Kabupaten Sinjai ..................
38
14. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sinjai .....................
40
15. Curah Hujan Rata-rata per Stasiun Pengamatan ...........................
41
16. Jenis Batuan di Kabupaten Sinjai ..................................................
44
17. Ketinggian Wilayah Kabupaten Sinjai ............................................
45
18. Kemiringan Lereng di Kabupaten Sinjai .........................................
46
19. Jenis Tanah di Kabupaten Sinjai....................................................
47
20. Penggunaan Lahan di Kabupaten Sinjai ........................................
49
21. Pola Pemanfaatan Ruang Kabupaten Sinjai Tahun 2006-2016 .....
52
22. Kejadian Tanah Longsor pada Tanggal 19-20 Juni 2006 ...............
56
23. Kesesuaian Antara Penggunaan Lahan Saat Ini Terhadap RTRW ...........................................................................................
58
ii
24. Penggunaan Lahan Saat Ini yang Tidak Sesuai dengan RTRW ....
60
25. Penggunaan Lahan Berdasarkan Kelas Lereng.............................
61
26. Penggunaan Lahan RTRW Berdasarkan Kelas Lereng ................
62
27. Penggunaan Lahan Saat Ini Berdasarkan Kelas Lereng................
63
28. Wilayah Berdasarkan Sebaran Rawan Tanah Longsor..................
64
29. Luasan Sebaran Rawan Tanah Longsor Berdasarkan Kelas Lereng ..........................................................................................
68
30. Luasan Sebaran Rawan Tanah Longsor Berdasarkan Penggunaan Lahan ...........................................................................................
69
31. Luasan Sebaran Rawan Tanah Longsor Berdasarkan Satuan Batuan ..........................................................................................
70
32. Sebaran Wilayah Berdasarkan Nilai Properti ................................
71
33. Sebaran Wilayah Berdasarkan Nilai Kerentanan ..........................
73
34. Sebaran Wilayah Berdasarkan Nilai Resiko Tanah Longsor .........
75
35. Penggunaan Lahan dalam RTRW dengan Kelas Resiko Tanah Longsor .............................................................................
82
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Longsoran Translasi ......................................................................... 8 2. Longsoran Rotasi ..............................................................................
9
3. Pergerakan Blok ...............................................................................
9
4. Runtuhan Batu ..................................................................................
9
5. Rayapan Tanah ................................................................................
10
6. Aliran Bahan Rombakan ...................................................................
10
7. Keterkaitan Subsistem Sistem Informasi Geografi .............................
20
8. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian......................................
23
9. Peta Lokasi Penelitian .......................................................................
24
10. Tahapan Analisis Kesesuaian Antara Penggunaan Lahan Saat Ini Terhadap RTRW................................................................................
27
11. Tahapan Pembuatan Peta Sebaran Rawan Tanah Longsor ..............
29
12. Tahapan Pembuatan Peta Sebaran Resiko Tanah Longsor ..............
36
13. Diagram Alir Tahapan Penelitian .......................................................
37
14. Peta Administrasi Kabupaten Sinjai ...................................................
39
15. Peta Curah Hujan Rata-rata Tahunan................................................
42
16. Peta Geologi Kabupaten Sinjai ..........................................................
45
17. Peta Kelas Lereng Kabupaten Sinjai..................................................
47
18. Peta Jenis Tanah di Kabupaten Sinjai ...............................................
48
19. Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Sinjai....................................
50
20. Peta Rencana Pola Pemanfaatan Ruang Kabupaten Sinjai Tahun 2006 – 2016............................................................................
53
21. Peta Titik Longsor di Kabupaten Sinjai ..............................................
57
22. Peta Kesesuaian Antara Penggunaan Lahan Saat Ini Terhadap RTRW................................................................................
59
iv
23. Peta Sebaran Rawan Tanah Longsor ................................................
65
24. Garis Penampang Melintang AB........................................................
66
25. Penampang Melintang Berdasarkan Garis AB ..................................
67
26. Peta Kelas Properti............................................................................
72
27. Peta Kelas Kerentanan ......................................................................
74
28. Peta Lokasi Sebaran Resiko Tanah Longsor .....................................
76
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Persepsi Masyarakat terhadap Bencana Tanah Longsor ..............
90
2. Persepsi Masyarakat terhadap Penataan Ruang ..........................
92
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Mahaesa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya dan wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya dipandang sebagai amanah, sehingga harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak yang mulia dalam rangka beribadah sebagai perwujudan rasa syukur kepada-Nya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 3 menyatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Upaya untuk mencapai tujuan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan dirasakan masih cukup mendapatkan tantangan yang berat. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya permasalahan yang harus tetap diupayakan pemecahannya. Ruang adalah tempat untuk melangsungkan pengembangan wilayah melalui upaya penataan ruang yang mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan.
Sebagai konsekuensi dari pengembangan wilayah, tidak dapat
dihindari adanya penyimpangan pemanfaatan ruang akibat kurangnya kesadaran dan pengetahuan atau juga penegakan hukum yang tidak tegas, sehingga berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Perilaku manusia dalam pembangunan yang melakukan eksploitasi sumberdaya alam dengan tidak memperhatikan aspek lingkungan menyebabkan ruang/wilayah terfragmentasi dan tidak saling mendukung. Di sisi lain, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk akan semakin meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya alam yang menjadi wadah untuk melakukan berbagai aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Eksploitasi yang dilakukan ini telah menimbulkan perubahan kondisi lingkungan hidup secara relatif cepat.
Perubahan ini telah mengakibatkan
terganggunya keseimbangan ekologis yang akhirnya dapat menimbulkan permasalahan lain diantaranya adalah semakin meningkatnya frekuensi dan cakupan
bencana,
kondisi
lingkungan
pencemaran lingkungan dan sebagainya.
perumahan
kumuh,
kemacetan,
2 Permasalahan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian semakin besar adalah permasalahan bencana alam, terutama tanah longsor sehubungan dengan kerugian yang ditimbulkan cukup besar, baik berupa korban jiwa, kerusakan lingkungan permukiman serta hilangnya harta benda dan kerusakan sarana dan prasarana umum yang ada. Semakin tingginya frekuensi bencana tanah longsor dan besarnya kerugian yang ditimbulkan seharusnya telah menyadarkan akan perlunya perubahan perilaku sumberdaya manusia dalam pemanfaatan ruang. Langkah awal dalam penanggulangan bencana tanah longsor adalah dengan menyusun informasi keruangan terkini tentang penyebaran lokasi rawan bencana tanah longsor yang rinci dan komprehensif.
Langkah ini diperlukan
untuk meminimalkan kerugian, baik berupa korban jiwa maupun materi, yang ditimbulkan bencana. Informasi keruangan ini dapat dimulai dari penyusunan basis data daerah yang berpotensi bahaya tanah longsor dan pembuatan petanya.
Informasi keruangan ini dapat dimulai dari penyusunan basis data
daerah yang berpotensi bahaya tanah longsor adalah dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG).
Penerapan teknologi ini dapat
membantu upaya penanggulangan bencana
dengan melakukan identifikasi
lokasi serta pengkajian masalah yang berkaitan dengan dampak tanah longsor. Perumusan Masalah Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai (2006), wilayah Kabupaten
Sinjai
Provinsi
Sulawesi
Selatan
mempunyai
kondisi
fisik
bergelombang sampai bergunung seluas 25.650 hektar (31,3%), bergunung sampai jurang seluas 24.220 hektar (29,5%) dan rata sampai berombak seluas 32.120 hektar (39,2%). Kabupaten Sinjai secara fisik, wilayahnya berpotensi sangat rentan terhadap terjadinya bencana tanah longsor dan banjir1. Daerah ini mempunyai pola aliran sungai yang cenderung mengikuti arah kemiringan lereng menyebar sampai bermuara di laut (pola radial sentripetal). Pola geologi di sebelah utara daerah ini berupa perbukitan dan pegunungan yang dibentuk oleh batuan yang telah mengalami pengikisan (denudasional) berupa batuan sedimen berumur
1
http:/www.ristek.go.id/index.php?mod-News&conf-v&id-1223
3 lebih tua dari batuan Gunungapi
Lompobattang yang telah mengalami
pelapukan dan sebagian wilayahnya mempunyai morfologi dengan tingkat kemiringan lereng lebih dari 100%. Selain itu, kondisi penutupan dan penggunaan lahan di lereng-lereng pegunungan sampai di kawasan Gunungapi Lompobattang cukup memprihatinkan, karena gunungapi ini yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung, ternyata dari pengamatan citra menunjukkan di beberapa tempat terdapat banyak lahan-lahan terbuka. Pada tanggal 19 dan 20 Juni 2006, di daerah ini telah terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang yang melanda di hampir semua kecamatan. Peristiwa ini tercatat sebagai suatu bencana terbesar yang pernah terjadi dengan menimbulkan korban jiwa sekitar 210 orang, menghancurkan rumah penduduk dan bangunan lainnya, menghanyutkan dua jembatan di jalan provinsi, menghancurkan sarana dan prasarana lainnya serta kerugian material lainnya yang cukup besar. Data korban jiwa dan hilang akibat bencana tanah longsor dan banjir bandang selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Data Korban Bencana Tanah Longsor dan Banjir Bandang per Kecamatan di Kabupaten Sinjai No
Kecamatan
1
2
Jenis Bencana (orang) Banjir Bandang Tanah Longsor Meninggal Hilang Meninggal Hilang 3
4
5
6
7
1.
Sinjai Utara
49
2
-
-
2.
Sinjai Timur
44
6
-
-
3.
Sinjai Tengah
-
-
53
10
4.
Sinjai Barat
-
-
6
-
5.
Sinjai Selatan
2
2
-
-
6.
Sinjai Borong
-
-
52
-
7.
Bulupoddo
-
-
-
-
8.
Tellu Limpoe
-
-
-
-
95
10
111
10
Jumlah
Ket.
Sebanyak 4 orang ditemukan di luar wilayah Kabupaten Sinjai
Jumlah Total Korban Jiwa ditambah Korban Jiwa yang Ditemukan Di Luar Wilayah Kabupaten Sinjai adalah 210 orang Sumber :
Kantor Pengolahan Data dan Informasi Kabupaten Sinjai (diolah), 2006
4
Faktor lain yang berkontribusi
terhadap terjadinya bencana tanah
longsor di Kabupaten Sinjai adalah kurang tegasnya penegakan hukum dalam pengendalian pemanfaatan ruang serta kurang dipertimbangkannya aspek lingkungan dalam pemanfaatan ruang.
Selain itu keterbatasan informasi
mengenai antisipasi bencana juga ikut menyumbang besarnya kerugian yang ditimbulkan akibat bencana tanah longsor. Data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai (2005) menunjukkan bahwa penyebaran lahan kritis di Kabupaten Sinjai sudah mencapai 21.340 hektar (26,0% dari luas wilayah) dengan perincian di dalam kawasan hutan seluas 9.310 hektar (11,4%) dan di luar kawasan hutan seluas 12.030 hektar (14,7%). Disamping itu luas kawasan hutan yang diokupasi di Kabupaten Sinjai sampai tahun 2005 sudah mencapai 4.260 hektar (22,5% dari luas kawasan hutan). Sebagai
implementasi
dari
tindakan
penanggulangan
bencana
penentuan sebaran lokasi yang berpotensi terhadap bencana tanah longsor sudah seharusnya dilakukan.
Penyebaran lokasi ini perlu dilengkapi juga
dengan data dan informasi keruangan yang rinci, komprehensif dan mudah dimengerti, baik dari aspek fisik, sosial maupun ekonomi. Hal ini dilakukan agar Pemerintah dan berbagai komponen masyarakat yang terlibat dalam pembangunan wilayah mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan sudah mempertimbangkan faktor bahaya bencana tanah longsor, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalisir.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini hádala : 1. menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan saat ini terhadap RTRW di Kabupaten Sinjai. 2. menganalisis lokasi dan sebaran daerah rawan tanah longsor dan resiko tanah longsor di wilayah Kabupaten Sinjai. 3. menganalisis persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap bencana tanah longsor dan penataan ruang di Kabupaten Sinjai. 4. merumuskan upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir bencana tanah longsor di Kabupaten Sinjai.
5 Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. memberikan data dan informasi sebagai bahan pertimbangan kepada Pemerintah Kabupaten Sinjai dalam perumusan kebijakan pembangunan secara umum. 2. memberikan bahan pertimbangan bagi masyarakat secara luas agar dapat mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya bencana tanah longsor.
TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 1 menyatakan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan
pelaksanaan
program
beserta
pembiayaannya.
Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Selanjutnya Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan : a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan. b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia. c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Aman mengandung pengertian situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman.
Nyaman
merupakan keadaan masyarakat dapat mengartikulasikan nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai. Produktif merupakan proses produksi dan distribusi yang berjalan secara efisien, sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing. Sedangkan berkelanjutan mengandung pengertian kondisi lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan,
7 termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumberdaya alam tak terbarukan. Rustiadi et al. (2006) menyatakan bahwa secara formal, ekspresi pola pemanfaatan ruang umumnya digambarkan dalam berbagai bentuk peta. Petapeta kemampuan lahan dan kesesuaian lahan untuk berbagai aktivitas penggunaan adalah bentuk-bentuk deskripsi umum didalam menggambarkan daya dukung dan potensi sumberdaya alam. Peta penggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover map) adalah bentuk deskripsi terbaik untuk menggambarkan pola pemanfaatan ruang eksisting. Selanjutnya Rustiadi et al. (2006) juga menyatakan bahwa sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah berbagai permasalahan telah muncul ke permukaan. Diantaranya adalah adanya orientasi dari daerah untuk mendapatkan penerimaan asli daerah (PAD) sebesar-besarnya dengan melakukan eksploitasi besar-besaran atas sumberdaya alam.
Hal ini dapat
mengakibatkan konflik yang semakin memperparah kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Salah satu persoalan besar dalam penataan ruang adalah dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang yang tidak disertai
pengendalian
pemanfaatan
ruang
yang
tegas,
konsisten
dan
berkelanjutan tidak dapat mewujudkan tujuannya secara efektif. Salah satu yang menjadi perhatian dalam pengendalian pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan ruang dalam kawasan bencana.
Pengendalian
pemanfaatan ruang dalam kawasan bencana dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang. Permasalahan bencana tanah longsor yang terjadi sangat berkaitan dengan fenomena alam dan perilaku sumberdaya manusianya dalam melakukan sumberdaya alam sebagai bagian dari ruang.
Konsep dasar yang harus
diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berpotensi terjadinya bencana tanah longsor adalah : 1.
Perlu adanya pemahaman terkait dengan pengertian dan ruang lingkup keseimbangan
ekosistem
yang
mempunyai
keterbatasan
dalam
pemanfaatannya. 2.
Diperlukan pola pengelolaan ruang kawasan rawan bencana tanah longsor.
3.
Terjadinya penyimpangan terhadap kesesuaian antara rencana tata ruang dengan pemanfaatannya.
8 Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung akan sangat mendukung pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana tanah longsor.
Bentuk pengendalian
pemanfaatan ruang, baik di pada kawasan hulu maupun hilir, harus bersinergi satu sama lain sebagai satu kesatuan paket kebijaksanaan. Ketidaksesuaian antara rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan pemanfaatan ruang mempunyai kontribusi tinggi sebagai pemicu untuk terjadinya tanah longsor pada suatu kawasan.
Tanah Longsor Pengertian tanah longsor menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2007) adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau ke luar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dimulai dengan meresapnya air ke dalam tanah yang akan menambah bobot tanah.
Jika air tersebut
menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah akan menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan ke luar lereng. Jenis Tanah Longsor Selanjutnya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2007) membedakan tanah longsor menjadi 6 (enam) jenis : 1. Longsoran translasi, yaitu bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai (Gambar 1).
Gambar 1. Longsoran Translasi 2. Longsoran rotasi, yaitu bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung (Gambar 2).
9
Gambar 2. Longsoran Rotasi 3. Pergerakan blok, yaitu perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata (Gambar 3).
Gambar 3. Pergerakan Blok 4. Runtuhan batu, yaitu bergeraknya sejumlah besar batuan atau material lain ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal, sehingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah (Gambar 4).
Gambar 4. Runtuhan Batu 5. Rayapan tanah, yaitu
jenis tanah longsor yang bergerak lambat.
Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini dapat menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon atau rumah miring ke bawah (Gambar 5).
10
Gambar 5. Rayapan Tanah 6. Aliran bahan rombakan, yaitu longsor yang terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air serta jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat dapat mencapai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api (Gambar 6).
Gambar 6. Aliran Bahan Rombakan
Dari keenam jenis longsoran tersebut di atas jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan. Faktor Penyebab Tanah Longsor Pada prinsipnya tanah longsor dapat terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan.
Gaya penahan umumnya
dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah.
Sedangkan gaya
pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2007)
menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor ada 14, yaitu :
11 1. Curah Hujan Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu menyebabkan munculnya pori-pori atau rongga tanah yang kemudian terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika musim penghujan datang, air akan menyusup ke bagian yang retak, sehingga tanah dengan cepat akan mengembang kembali. Intensitas hujan yang tinggi dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. 2. Lereng Terjal Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terbentuk karena pengikisan air sungai, air laut dan angin. 3. Tanah yang Kurang Padat dan Tebal Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 meter. Tanah jenis ini mempunyai potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama jika terjadi hujan.
Selain itu tanah ini
sangat rentan terhadap pergerakan karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas. 4. Batuan yang Kurang Kuat Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah jika mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor jika terdapat pada lereng yang terjal. 5. Jenis Tata Lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan dan adanya genangan air di lereng yang terjal.
Pada lahan persawahan
akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air, sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
12 6. Getaran Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibatnya adalah badan jalan, lantai dan dinding rumah menjadi retak. 7. Susut Muka Air Danau atau Bendungan Akibat susutnya muka air yang cepat di danau, maka gaya penahan lereng menjadi hilang, sehingga mudah terjadi longsor dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan. 8. Adanya Beban Tambahan Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembab.
Akibatnya adalah sering
terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya menuju lembah. 9. Pengikisan atau Erosi Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai tebing akan menjadi terjal. 10. Adanya Material Timbunan pada Tebing Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah.
Tanah timbunan
pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya, sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah. 11. Bekas Longsoran Lama Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi.
Bekas longsoran lama mempunyai ciri-
ciri :
Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda.
Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur.
Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai.
Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah.
Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama.
13
Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil.
Longsoran lama ini cukup luas.
12. Adanya Bidang Diskontinuitas (Tidak Sinambung) Bidang tidak sinambung ini mempunyai ciri-ciri :
Bidang perlapisan batuan.
Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar.
Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat.
Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air).
Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.
Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor. 13. Penggundulan Hutan Tanah longsor pada umumnya terjadi di daerah yang relatif gundul yang pengikatan air tanah sangat kurang. 14. Daerah Pembuangan Sampah Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan guyuran hujan. Selanjutnya secara garis besar 2 (dua) penyebab terjadinya gerakan pada lereng, yaitu faktor alami dan faktor manusia.
Faktor alami yang menjadi
penyebab utama terjadinya longsor antara lain : 1. Kondisi geologi : batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, struktur sesar dan kekar, gempa bumi, stratigrafi dan gunung api. 2. Iklim : curah hujan yang tinggi. 3. Keadaan topografi : lereng yang curam. 4. Keadaan tata air : kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika. 5. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser. Sedangkan faktor manusia yang menjadi penyebab terjadinya longsor adalah : 1. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal. 2. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng. 3. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
14 4. Penggundulan hutan. 5. Budidaya kolam ikan hias di atas lereng. 6. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman. 7. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri. 8. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik. Selanjutnya Dardak (2006) menyatakan bahwa isu strategis terkait dengan bencana longsor adalah tingginya laju konversi lahan yang berfungsi lindung, adanya pengembangan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan, pola pengelolaan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan dan kurangnya penyebarluasan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Konversi lahan ini terjadi baik dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya atau dari kawasan budidaya dengan karakteristik menyerupai kawasan lindung menjadi kawasan budidaya yang tidak menunjang fungsi konservasi lingkungan hidup. Adanya pengembangan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan seringkali berdasarkan pertimbangan yang menekankan upaya pemenuhan kebutuhan dengan memaksimalkan hasil yang diperoleh dalam waktu yang sesingkat mungkin, sehingga aspek lingkungan hidup relatif terabaikan.
Banyak pengembangan budidaya yang tidak sesuai dengan
karakteristik kawasan, seperti budidaya di kawasan pegunungan dengan kemiringan di atas 40 persen dan adanya rumah peristirahatan di kawasankawasan pariwisata yang menempati ruang yang memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung. Pada kawasan yang berfungsi lindung kegiatan pemanfaatan ruang masih dapat dilakukan dengan dibarengi penerapan standar pengelolaan lingkungan yang memadai. Dalam konteks ini, selain jenis kegiatannya harus sesuai dengan karakteristik kawasan, pengelolaan kegiatan tersebut juga harus mengikuti kaidah-kaidah lingkungan agar potensi kejadian bencana dapat diminimalkan. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya konservasi lingkungan hidup dalam memilih lokasi kegiatan dan kegiatan pembangunan yang kurang mempertimbangkan aspek lingkungan, menentukan besaran kegiatan dan menerapkan pola pengelolaan kegiatan juga dipengaruhi oleh penyediaan
15 informasi yang berkaitan dengan hubungan antara aktivitas manusia dengan potensi kejadian bencana longsor. Hasil Penelitian Tanah Longsor Sebelumnya Berdasarkan penelitian yang dilakukan Alhasanah (2006) di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat, secara umum faktor penyebab bahaya tanah longsor dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor, yaitu penggunaan lahan, kelerengan, geologi dan jenis tanah. Namun faktor penyebab bahaya tanah longsor ini tingkat dominasinya dapat berbeda antar lokasi. Pembuatan
peta
rawan
bahaya
longsor
dilakukan
dengan
cara
menggabungkan atau menjumlahkan nilai skor keseluruhan dari hasil tumpang tindih peta penyebab longsor, yaitu peta penggunaan lahan, kemiringan lereng, geologi dan peta jenis tanah.
Kemudian wilayah rawan (potensial) longsor
dikelompokkan ke dalam empat kelas, yaitu sangat rawan, rawan, kurang rawan dan tidak rawan. Sedangkan Savitri (2007) dalam penelitiannya di Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat menyatakan bahwa metode yang digunakan dalam pembuatan peta rawan longsor adalah melakukan pengintegrasian data sesuai dengan kepentingan untuk pembuatan keputusan atau disebut juga dengan Multi Criteria Evaluation (MCE). Pada metode ini parameter yang menjadi penyebab tanah longsor diidentifikasi dan dievaluasi terlebih dahulu berdasarkan data sekunder dan pengamatan lapangan. Selanjutnya dilakukan standarisasi skor kriteria dengan skala berkebalikan, yaitu parameter yang sangat berpengaruh akan mempunyai nilai skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan parameter yang kurang berpengaruh.
Parameter yang dipilih adalah kegempaan, curah
hujan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, jenis geologi dan jenis tanah. Persamaan untuk menentukan tingkat kerawanan bahaya tanah longsor adalah sebagai berikut : RWN = 0,29SSR + 0,24CH + 0,19LRG + 0,14LU + 0,10GEO + 0,04TNH Keterangan : RWN = Tingkat kerawanan SSR = Kegempaan CH = Curah hujan LRG = Kemiringan lereng LU = Penggunaan lahan
16
GEO = Jenis geologi TNH = Jenis tanah Selanjutnya untuk menentukan tingkat kelas kerawanan, nilai hasil pembobotan dikali dengan skor masing-masing parameter dan selanjutnya dibagi menjadi empat kelas kerawanan, yaitu kelas kerawanan rendah, menengah, tinggi dan sangat tinggi. Penanggulangan Bencana Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana
Pasal 1
ayat
(5),
penyelenggaraan
penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan
yang
beresiko
timbulnya
bencana,
kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Pasal
4
Undang-undang
ini
menyatakan
bahwa
tujuan
dari
penanggulangan bencana adalah : 1.
Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.
2.
Menyeleraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
3.
Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh.
4.
Menghargai budaya lokal.
5.
Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta.
6.
Membangun semangat gotong royong, kesetiakawanan dan kedermawanan.
7.
Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasal 18 ayat (2) huruf (b) Undang-undang ini juga menyatakan bahwa
badan penanggulangan bencana pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Badan
Penanggulangan
Bencana
Daerah
terdiri
atas
unsur
pengarah
penanggulangan bencana dan pelaksana penanggulangan bencana. Unsur pengarah mempunyai fungsi menyusun konsep pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana daerah, memantau dan mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana daerah. Sedangkan unsur pelaksana mempunyai fungsi koordinasi, komando dan pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya.
17 Selanjutnya pada Pasal 31 Undang-undang ini menyatakan bahwa penyelenggaraan
penanggulangan
bencana dilaksanakan
berdasarkan
4
(empat) aspek meliputi : 1.
Sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
2.
Kelestarian lingkungan hidup.
3.
Kemanfaatan dan efektivitas.
4.
Lingkup luas wilayah. Pada akhirnya Pasal 32 Undang-undang ini menyatakan bahwa dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah dapat : 1.
Menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman.
2.
Mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu benda sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Analisis Spasial Rustiadi et al. (2006) menyatakan bahwa analisis spasial merupakan
analisis yang menyangkut obyek-obyek dalam sistem keruangan.
Analisis
spasial merupakan bidang kajian menyangkut analisis berbagai fenomena spasial di alam, khususnya di atas permukaan bumi, termasuk fenomenafenomena fisik dan sosial. Rustiadi et al. (2006) juga menyatakan bahwa pengertian analisis spasial dipahami secara berbeda antara ilmuwan berlatar belakang geografi dengan ilmuwan berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi).
Perbedaan keduanya
terletak pada pengertian kata spasial atau ruang dan fokus kajiannya. Dari pandangan geografi pengertian spasial adalah segala hal menyangkut lokasi atau tempat yang sangat jelas, tegas dan lebih terukur.
Hal ini
disebabkan setiap lokasi di atas permukaan bumi dapat diukur secara kuantitatif. Fokus kajian ahli geografi dalam analisis spasial tertuju pada aspek “apa” (what), “bagaimana” (how) dan “di mana” (where) yang terjadi di atas permukaan bumi. Dari pandangan sosial ekonomi, analisis spasial lebih menekankan tentang “apa yang menjadi masalah” (what) dan “mengapa masalah itu terjadi” (why). Aspek-aspek spasial tidak didefinisikan dalam bahasa-bahasa posisi yang mempunyai pengertian posisi atau lokasi kuantitatif, melainkan lebih pada masalahnya. Rustiadi et al. (2006) menyatakan bahwa tujuan analisis spasial adalah sebagai berikut :
18 1.
Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruang geografi (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat.
2.
Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.
3.
Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi dan pengendalian kejadiankejadian di dalam ruang geografis.
Sedangkan berdasarkan atas aplikasinya analisis spasial digunakan untuk 3 (tiga) tujuan, yaitu : 1.
Peramalan dan penyusunan skenario.
2.
Analisis dampak terhadap kebijakan.
3.
Penyusunan kebijakan dan desain. Analisis spasial merupakan salah satu pendekatan metode penelitian yang
menjadikan peta sebagai model yang mempresentasikan dunia nyata yang mewakilinya, sebagai suatu media analisis guna memperoleh hasil-hasil analisis yang mempunyai atribut keruangan. Analisis ini berguna untuk memperoleh data dan informasi yang cukup mudah dan akurat mengenai wilayah. Secara teknis, analisis spasial selalu berhadapan dengan pengolahan informasi dan data spasial.
Informasi dan data spasial ini mempunyai
karakteristik tertentu dan memerlukan pendekatan khusus dalam proses analisisnya dibandingkan dengan informasi dan data non spasial. Salah satu pendekatan yang semakin berkembang saat ini adalah dengan menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografi. Sistem Informasi Geografi Menurut Barus dan Wiradisastra (2000) Sistem Informasi Geografis atau biasa disingkat SIG, terjemahan dari Geographical Information System (GIS), pada saat ini sudah merupakan teknologi yang dianggap biasa pada kalangan perencana atau kelompok-kelompok lain yang berkecimpung dalam hal pemetaan sumberdaya.
SIG mencakup bentuk sistem dalam arti luas yang
terdiri dari bukan hanya informasi atau geografi saja akan tetapi keseluruhan sistem mengenai informasi yang berreferensi geografi (bentuk peta, tabel maupun laporan dalam bentuk konvensional) dan perkembangannya yang sudah berorientasi ke sistem terkomputerkan.
19 Sistem Informasi Geografi (SIG) secara umum dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan integrasi data dan permodelan data, sehingga dapat diperoleh informasi spasial yang lebih komprehensif. spasial
tersebut
nantinya
dapat
digunakan
sebagai
Informasi
bahan
dalam
pengambilan keputusan. SIG
adalah
suatu
sistem
informasi
tentang
pengumpulan
dan
pengolahan data serta penyampaian informasi dalam koordinat ruang, baik secara manual maupun digital. Data yang diperlukan merupakan data yang mengacu pada lokasi geografis, yaitu data grafis dan data atribut. grafis tersusun dalam bentuk titik, garis dan poligon.
Data
Data atribut dapat
berupa data kualitatif atau kuantitatif yang mempunyai hubungan satu-satu dengan data grafisnya.
SIG pada dasarnya terdiri dari masukan,
pengolahan dan pengelolaan serta penyajian yang dikembangkan untuk dapat memenuhi kebutuhan pengguna. Prahasta (2001) menguraikan SIG menjadi beberapa subsistem yang saling berkait, yaitu : 1.
Data input, yang mengkonversi atau mentransformasikan format-format data ke dalam format yang digunakan oleh SIG.
2.
Data output, yang menampilkan atau menghasilkan keluaran atau sebagian basis data, seperti tabel, grafik, peta dan lain-lain.
3.
Data manajemen, yang mengorganisasikan data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa, sehingga mudah dipanggil, diperbaharui dan dikoreksi.
4.
Data manipulasi dan analisis, yang menentukan informasi-informasi yang dihasilkan oleh SIG.
Selain itu juga melakukan manipulasi dan
permodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Keterkaitan subsistem ini disajikan pada Gambar 7. Selanjutnya Alhasanah (2006) menyebutkan bahwa SIG mempunyai kemampuan untuk menganalisis keruangan.
Beberapa macam analisis
keruangan itu adalah : 1. Klasifikasi/Reklasifikasi Analisis ini digunakan untuk mengklasifikasi atau reklasifikasi data spasial atau data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.
20
Data Input
Data Manajemen dan Manipulasi
Data Output
Tabel Laporan Pengukuran Lapang
Peta Data Base
Tabel
Data Digital Input Peta (tematik, dll)
Output
Retrieval Processing
Laporan Informasi Digital
Citra Satelit Foto Udara Data Lainnya
Gambar 7. Keterkaitan Subsistem Sistem Informasi Geografi
2. Tumpang tindih (overlay) Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta. Overlay dari beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa peta. Selain itu overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta yang saling beririsan. Alhasanah (2006) juga menyebutkan bahwa kemampuan SIG dapat diselaraskan dengan teknologi pemotretan udara dan remote sensing. Citra satelit merekam obyek di permukaan bumi seperti apa adanya, sehingga dari interprestasi dapat dideteksi kondisi liputan lahan pada saat perekaman. Teknik penginderaan jauh dan SIG merupakan salah satu alternatif yang tepat
untuk
dijadikan
sebagai
penyedia
informasi
tentang
berbagai
parameter faktor penyebab kemungkinan bahaya longsor di suatu daerah.
21 Selanjutnya dengan tersedianya peta daerah rawan bencana, akan mempermudah penggambaran kondisi daerah yang bersangkutan.
Data
satelit mempunyai keunggulan dibandingkan dengan peta atau foto udara, yaitu dapat menyajikan informasi tentang karakteristik spektral obyek di permukaan bumi yang tidak dapat ditangkap oleh mata telanjang. Sensor satelit multispektral dapat memisahkan pantulan gelombang elekromagnetik yang datang dari permukaan bumi. Dengan demikian, obyek yang menurut mata telanjang serupa, akan tampak sangat berbeda pada citra satelit. Peta-peta tematik yang berbeda dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan.
Peta turunan ini diantaranya adalah peta zonasi rawan
longsor. Proses penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara tumpang tindih (overlay) untuk mendapatkan informasi baru.
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar pengelolaan sumberdaya lahan yang ada dalam kaitannya dengan resiko yang ditimbulkan, terutama bencana tanah longsor.
Untuk itu perlu dilakukan identifikasi pemanfaatan ruang dalam
kaitannya dengan bencana tanah longsor didasarkan pada potensi sumberdaya fisik wilayah dan sosial ekonomi. Karakteristik fisik sumberdaya alam yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup segala hal yang berkaitan dengan bencana tanah longsor, seperti iklim, lereng, geologi, tanah, penutupan lahan dan penggunaan lahan. Identifikasi lokasi yang berpotensi menimbulkan bencana tanah longsor dan resiko tanah longsor merupakan hal yang cukup penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan pengembangan suatu wilayah terutama untuk daerahdaerah yang berpotensi terjadi tanah longsor. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 8. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi pemanfaatan ruang saat ini berdasarkan peta penggunaan lahan yang dikaitkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sinjai tahun 2006 - 2016 dengan mempertimbangkan lokasi yang berpotensi tanah longsor dan resiko tanah longsor.
Selain itu
dilakukan analisis berdasarkan wawancara untuk melihat sejauh mana pemahaman masyarakat terhadap bencana tanah longsor dan penataan ruang.
23
Pembangunan Kabupaten Sinjai
Perubahan Penggunaan Lahan
Bencana Tanah Longsor
Kerugian Jiwa, Ekonomi dan Lingkungan
Karakteristik Fisik Sumberdaya Alam : - Curah hujan - Lereng - Geologi - Tanah - Penutupan Lahan - Penggunaan Lahan
Existing Land Use
RTRW
Potensi Tanah Longsor
Persepsi dan Tingkat Partisipasi Masyarakat terhadap Bencana Tanah Longsor dan Penataan Ruang
Arahan Perencanaan Tata Ruang yang Memberikan Manfaat Optimal bagi Pengembangan Wilayah
Pembangunan yang Aman, Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan
Gambar 8. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
24 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan yang secara geografis terletak antara 5 o 19’ 30” - 5 o 36’ 47” Lintang Selatan (LS) dan antara 119 o 48’ 30”
-
120 o 20’ 00”
Bujur Timur (BT) (Gambar 9).
2
Kabupaten Sinjai mempunyai luas 819,96 km atau 81.996 hektar. Penelitian dilaksanakan mulai pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2007 dari tahap persiapan, pengambilan data lapangan, pengolahan data serta penulisan tesis. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9.
Jenis dan Sumber Data
Gambar 9. Peta Lokasi Daerah Penelitian Tahapan Penelitian Secara sistematis kegiatan penelitian dilaksanakan melalui tahapantahapan sebagai berikut : 1.
Persiapan.
2.
Analisis.
3.
Penyajian hasil analisis.
25
Persiapan Pengumpulan dan Sumber Data Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan data sekunder dan primer. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber sesuai dengan tujuan penelitian, seperti Pemerintah Kabupaten Sinjai beserta jajarannya, Badan Pusat Statistik, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jeneberang Walanae, hasilhasil penelitian terdahulu dan karya tulis lainnya. Data sekunder berupa peta, peraturan perundangan, tulisan dan data numerik lainnya seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Data Sekunder yang Digunakan dalam Penelitian No
Format
Tahun
Skala
Sumber
1.
Peta administrasi
Digital
1 : 100.000
2.
Peta jenis tanah
Digital
2006 (diolah) 2006
3.
Peta geologi
JPEG
2006
1 : 175.000
4.
Peta kelas lereng
Digital
2006
1 : 100.000
5.
Peta penggunaan lahan Peta RTRW
Digital
2006
1 : 100.000
Bappeda Kabupaten Sinjai Bappeda Kabupaten Sinjai Kapedaltam Kabupaten Sinjai Bappeda Kabupaten Sinjai BPN Kabupaten Sinjai
JPEG
2006
1 : 100.000
Peta sungai dan jaringan jalan Data curah hujan
Digital
2006
1 : 100.000
Tabular
-
Data sosek, fasosfasum dan infrastruktur
Tabular
19972006 2006
6.
7. 8. 9.
Jenis Data
1 : 100.000
-
Dinas TR dan Permukiman Kabupaten Sinjai BPDAS.JW Makassar Dinas Prasda Kabupaten Sinjai BPS dan Bappeda Kabupaten Sinjai
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek yang diteliti atau pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan. Data primer diperoleh melalui pendekatan wawancara berstruktur (menggunakan kuisioner) dengan responden dan verifikasi penggunaan lahan. Alat yang akan dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat lunak, seperti Arc View 3.3, Microsoft Word dan Microsoft Excell; receiver global positioning system (GPS); kuisioner dan lain-lain.
26
Penyusunan Kuisioner Kuisioner disusun untuk mendapatkan informasi mengenai persepsi dan partisipasi berbagai komponen masyarakat terhadap bencana tanah longsor dan penataan ruang.
Pemilihan responden dilakukan secara acak dengan
menggunakan metode two cluster sampling. Responden berasal dari 8 (delapan) Kecamatan dari 9 (sembilan) Kecamatan yang ada. Setiap Kecamatan diwakili oleh 3 (tiga) Desa/Kelurahan. Setiap Desa/Kelurahan diambil 4 (empat) orang responden secara purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang dipilih secara cermat dan selektif dengan harapan dapat memberikan informasi yang representatif tentang permasalahan bencana tanah longsor dan penataan ruang. Satu Kecamatan, yaitu Kecamatan Pulau Sembilan tidak
dijadikan sebagai
tempat pengambilan responden dengan asumsi bahwa Kecamatan ini sebagai wilayah kepulauan yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan Kecamatan lainnya dan bencana tanah longsor tidak pernah terjadi di wilayah ini. Kuisioner dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan
pelaksanaan
pembangunan
adalah
tingkat
pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai kegiatan pembangunan yang terkait dengan bencana tanah longsor dan penataan ruang. Selanjutnya data yang diperoleh diolah untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat. Dari data yang sudah dikumpulkan, baik sekunder maupun primer, kemudian disusun menjadi suatu basis data. Sebelum dapat dilakukan operasi tumpang tindih (overlay) melalui analisis spasial dengan sistem informasi geografi (SIG), data yang akan digunakan ditransformasikan dahulu ke dalam bentuk digital.
Peta yang masih berbentuk peta analog (manual) diubah ke
dalam bentuk digital dengan metode digitasi melalui layar dan pemasukan data atribut.
Peta yang mempunyai sistem koordinat yang berbeda dilakukan
transformasi koordinat, sehingga tersusun basis data spasial dengan sistem koordinat yang sama. Analisis Penelitian Sebagai dasar pemetaan, maka peta dasar yang dipergunakan adalah peta administrasi (skala 1 : 100.000) yang akan dipergunakan juga sebagai peta master. Peta dasar (dalam format digital) dipersiapkan untuk penyajian petapeta tematik parameter pemicu tanah longsor. Berdasarkan penelitian-penelitian
27 terdahulu dan pengamatan lapangan, maka parameter pemicu tanah longsor yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah kelas lereng, penggunaan lahan dan geologi. Peta digital lainnya adalah peta rencana pola pemanfaatan ruang (RTRW) tahun 2006 - 2016, peta infrastruktur dan peta fasilitas sosial dan umum. Untuk menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan saat ini terhadap RTRW, sebaran daerah rawan tanah longsor dan resiko tanah longsor dilakukan secara spasial dengan menggunakan metode sistem informasi geografi. Sedangkan dari sisi sosial dilakukan analisis persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap bencana tanah longsor dan penataan ruang.
Sintesa penelitian ini
berupa rangkuman serta keterkaitan analisis-analisis yang telah dilakukan berupa rumusan upaya sebagai langkah awal dalam rangka pengembangan wilayah dengan mempertimbangkan potensi bencana tanah longsor dan resikonya. Kesesuaian Antara Penggunaan Lahan Saat Ini terhadap RTRW Untuk menganalisis kesesuaian penggunaan lahan saat ini terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW) dilakukan dengan metode tumpang tindih antara peta penggunaan lahan saat ini dengan peta RTRW. Tahapan analisis kesesuaian penggunaan lahan disajikan pada Gambar 10.
Peta Penggunaan Lahan Saat Ini
Peta RTRW 2006-2016
Overlay
Peta Kesesuaian antara Penggunaan Lahan Saat Ini terhadap RTRW 2006-2016
Gambar 10. Tahapan Analisis Kesesuaian antara Penggunaan Lahan Saat Ini terhadap RTRW
28
Sebaran Daerah Rawan Tanah Longsor Untuk mendapatkan sebaran daerah rawan tanah longsor dilakukan analisis tumpang tindih antara peta-peta yang dijadikan sebagai parameter pemicu terjadinya tanah longsor, seperti peta kelas lereng, peta penggunaan lahan dan peta geologi. Pemilihan parameter ini dilakukan dengan melakukan identifikasi dan evaluasi terlebih dahulu berdasarkan data sekunder, studi pustaka dan pengamatan di lokasi kejadian serta kejadian bencana tanah longsor pada tahun 2006.
Parameter curah hujan tidak dijadikan parameter
untuk menentukan lokasi sebaran rawan tanah longsor karena tingkat intensitasnya yang relatif sama, sehingga pengaruhnya diasumsikan sama di semua lokasi. Demikian juga dengan parameter jenis tanah diasumsikan sama di semua lokasi. Jenis tanah yang sama dapat ditemui baik di daerah yang relatif datar dan daerah yang relatif terjal, sehingga pengaruhnya sama. Selanjutnya parameter yang menjadi pemicu tersebut diberi skor sesuai dengan pengaruhnya terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin tinggi skor, maka pengaruhnya akan semakin tinggi, begitu juga sebaliknya. Sebaran daerah rawan tanah longsor dibagi menjadi menjadi 5 (lima) kelas, yaitu aman, kerawanan rendah, kerawanan sedang, rawan dan sangat rawan. Dalam penelitian ini pemberian skor diklasifikasikan menjadi beberapa kelas. Pemberian skor didasarkan pada kejadian tanah longsor tahun 2006, pengamatan di lokasi kejadian dan data yang tersedia. Semakin tinggi skor, maka semakin besar pengaruhnya terhadap terjadinya tanah longsor.
Skor parameter pemicu tanah
longsor disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor Jenis Parameter
Rendah (Nilai skor = 1)
Sedang (Nilai skor = 2)
Tinggi (Nilai skor = 3)
Kelas Lereng (%)
0 - 15
15 - 40
>40
Penggunaan Lahan
Tambak, permukiman, hutan pinus
Alang-alang, hutan belukar, hutan lebat, rumput, semak
Geologi
Endapan permukaan
Formasi Walanae, Grano Diorit, Diorit, Gunungapi Lompobattang (breksi lahar)
Tegalan, kebun campuran, perkebunan rakyat, sawah Batuan Gunungapi Formasi Camba, Batuan Gunungapi Lompobattang, Batuan Gunungapi Baturappe-Cindako
29 Untuk menentukan tingkat bahaya tanah longsor dilakukan klasifikasi sebaran daerah rawan tanah longsor berdasarkan hasil tumpang tindih berupa sejumlah zona (polygon) yang akan dianalisis secara kuantitatif melalui query attribut dan field calculator dari skor parameter pemicu.
Pembagian kelas rawan tanah longsor
disajikan pada Tabel 4 dan tahapan pembuatan peta sebaran rawan tanah longsor disajikan pada Gambar 11. Tabel 4. Pembagian Kelas Sebaran Rawan Tanah Longsor No 1. 2. 3. 4. 5.
Kelas Sebaran Daerah Rawan Tanah Longsor Aman Kerawanan Rendah Kerawanan Sedang Rawan Sangat Rawan
Jumlah Nilai Semua Parameter 3 4–5 6 7–8 9
Kriteria Rawan Tanah Longsor Peta Lereng
Peta Geologi
Peta Land Use
Overlay
Skoring
Peta Sebaran Daerah Rawan Tanah Longsor
Update
Cek Lapang
Peta Sebaran Daerah Rawan Tanah Longsor Revisi
Gambar 11. Tahapan Pembuatan Peta Sebaran Rawan Tanah Longsor
Sebaran Resiko Tanah Longsor Setelah peta sebaran rawan tanah longsor diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah membuat peta resiko tanah longsor. Pembuatan peta resiko tanah longsor dihasilkan dari penggabungan dari peta daerah sebaran daerah rawan tanah longsor, peta properti dan peta kerentanan. Peta properti merupakan gambaran umum keadaan suatu wilayah yang dihubungkan dengan nilai ekonomi yang dimiliki suatu lahan baik dalam keadaan terlantar (tidur) maupun dengan berbagai aktivitas
30 ekonomi di atasnya, seperti permukiman, sawah, tegalan dan lainnya. Peta properti diperoleh dari penggabungan antara peta fasilitas sosial dan umum (point), peta infrastruktur (polyline) dan peta penggunaan lahan. Nilai properti tersebut dapat ditentukan dengan memberikan skor untuk masing-masing unsur dari setiap peta. Selain memberikan skor, unsur-unsur dari peta-peta tersebut juga dilakukan buffering. Buffering dilakukan pada 2 (dua) peta, yaitu peta fasilitas sosial dan umum serta peta infrastruktur. Hal ini dilakukan agar data point pada peta fasilitas sosial dan umum serta polyline pada peta infrastruktur, untuk mendapatkan suatu poligon dengan atribut skor yang telah ditentukan, yang akan digunakan untuk melakukan analisis keruangan selanjutnya. Skor pada peta fasilitas sosial dan umum ditentukan berdasarkan penilaian dari segi fisik, manusia dan manfaat.
Skor dinyatakan dalam angka tertentu
berdasarkan nilai kegunaan yang dimiliki. Skor dari masing-masing jenis fasilitas sosial dan umum secara lengkap disajikan pada Tabel 5. Untuk kriteria fisik, yang dipertimbangkan adalah nilai keberadaan dan moneternya. Kriteria manusia dinilai dengan melihat kemungkinan jumlah manusia yang terlibat/beraktivitas atau berada dalam dan atau di berbagai jenis fasilitas yang ada.
Adapun kriteria penilaian untuk manfaat dipertimbangkan berdasarkan
kegunaan yang dapat diperoleh dari jenis fasilitas tersebut. Semakin tinggi skor total berarti semakin tinggi pula asumsi kerugian yang akan terjadi jika terjadi tanah longsor.
Pemberian jarak buffering dari masing-masing fasilitas pada Tabel 5
didasarkan pada luasannya. Semakin luas area suatu fasilitas, maka jarak buffering yang ditentukan akan semakin jauh. Tabel 5. Nilai Skor dan Jarak Buffering dari Jenis Fasilitas Sosial dan Umum Jenis
Fisik
Manusia
Manfaat
Total
Buffering (m)
1.
Fasilitas Sosial dan Umum Mesjid/musholla
2
2
2
6
50
2.
Kantor Bupati
2
2
2
6
100
3.
2
2
2
6
50
4.
Kantor Camat/ Lurah/ Desa/Polisi Pasar
3
3
3
9
100
5.
Pelayanan pos
2
1
1
4
50
6.
Pelayanan telepon
3
1
2
6
50
7.
Rumah sakit
3
3
3
9
100
8.
Sekolah
3
3
3
9
100
9.
Terminal
3
1
2
6
50
No
Sumber : Bappeda Kabupaten Sinjai (2006) dan Savitri (diolah), 2007 Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi
31 Skor pada peta infrastruktur ditentukan berdasarkan kegunaan macam infrastruktur tersebut. Kriteria penilaian dalam dalam memberikan skor meliputi fisik dan manfaat serta dampaknya jika terjadi tanah longsor.
Manusia tidak
dimasukkan sebagai kriteria penilaian karena jalan hanya berfungsi sebagai prasarana bagi manusia dalam menjalankan aktivitasnya, sehingga keberadaan manusia bersifat dinamis atau tidak menetap. Skor untuk masing-masing jenis infrastruktur ditentukan dari fungsi dan peranannya. Semakin berarti dan besar peranannya, maka nilai skor yang diberikan akan semakin tinggi. Pemberian jarak buffering juga dilakukan untuk masing-masing infrastruktur berdasarkan lebar dan fungsinya. Semakin lebar dan besar fungsinya, maka jarak buffering yang ditentukan akan semakin jauh.
Skor dan buffering dari
masing-masing infrastruktur secara lengkap disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Skor dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur No 1. 2. 3. 4.
Jenis Infrastruktur Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Sungai Besar Sungai Kecil
Fisik
Manfaat
Total
Buffering (m)
3 2 2 2
3 2 3 1
6 4 5 3
100 50 100 50
Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi Berbeda dengan 2 (dua) peta sebelumnya, pada peta penggunaan lahan pemberian skor tidak dilanjutkan dengan pemberian jarak buffering.
Hal ini
karena pada peta ini setiap jenis penggunaan lahan sudah tergambar berupa poligon dengan batas tertentu, sehingga tidak perlu dilakukan buffering. Penetapan skor berdasarkan kriteria fisik, manusia dan manfaat untuk setiap jenis penggunaan lahan secara lengkap disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, 2 (dua) jenis penggunaan lahan diberikan total skor tertinggi adalah permukiman dan sawah masing-masing sebesar 9 dan 6. Hal ini sangat beralasan mengingat ketiga kriteria yang digunakan, yaitu fisik, manusia dan manfaat. Kedua jenis penggunaan lahan ini mempunyai resiko kerugian materil dan non-materil yang paling tinggi apabila terjadi tanah longsor.
32 Tabel 7. Nilai Skor dari Jenis Penggunaan Lahan No
Jenis
Fisik
Manusia
Maanfaat
Total
1.
Penggunaan Lahan Alang-alang
1
1
1
3
2.
Hutan belukar
1
1
1
3
3.
Hutan lebat
1
1
1
3
4.
Hutan sejenis pinus
1
1
1
3
5.
Kebun campuran
2
1
2
5
6.
Makam
1
1
1
3
7.
Perkebunan rakyat
2
1
2
5
8.
Permukiman
3
3
3
9
9.
Rumput
1
1
1
3
10.
Sawah
2
2
2
6
11.
Semak
1
1
1
3
12.
Tambak
1
1
2
4
13.
Tegalan
2
1
2
5
Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi Selanjutnya tingkat properti dibagi menjadi 5 (lima) kelas, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi yang didasarkan dari sebaran nilai hasil penjumlahan semua parameter. Pembagian kelas properti disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pembagian Kelas Properti No 1. 2. 3. 4. 5.
Kelas Properti
Jumlah Nilai Semua Parameter 3–7 8 – 12 13 – 17 18 – 22 23 - 27
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Peta kerentanan merupakan gambaran umum mengenai suatu kondisi dari suatu komunitas
atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan
ketidakmampuan menghadapi ancaman bahaya.
Tingkat kerentanan ditinjau
dari kerentanan fisik, sosial kependudukan, ekonomi dan lingkungan. Nilai skor kerentanan diberi angka antara 0 – 1 berdasarkan tingkat ketidakmampuan menghadapi bahaya. Semakin mendekati nilai 1, maka tingkat kerentanannya semakin tinggi, begitu juga sebaliknya.
33 Kerentanan sosial diperoleh dari data jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia dari BPS.
Untuk kerentanan fisik, ekonomi dan
lingkungan serta sosial yang lain diperoleh dari data responden hasil wawancara. Berdasarkan jenis kelamin, nilai kerentanan jenis kelamin perempuan dianggap lebih rentan daripada laki-laki, sehingga nilai kerentanannya lebih tinggi. Begitu juga dengan penduduk tingkat usia 0 – 14 tahun dan di atas 54 tahun dianggap lebih rentan daripada penduduk dengan tingkat usia 15 – 54 tahun. Untuk jenis pendidikan dibedakan antara yang tidak sekolah, dasar, menengah dan tinggi dengan asumsi nilai kerentanan yang paling tinggi adalah penduduk yang tidak sekolah kemudian berikutnya adalah penduduk yang berpendidikan dasar, menengah dan tinggi. Selanjutnya untuk jenis pekerjaan juga sangat menentukan tingkat kerentanan dari segi ekonomi dimana jenis pekerjaan sebagai petani lebih rentan dibandingkan dengan pedagang, swasta, PNS dan lain-lain. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat pendapatan, yaitu semakin sedikit pendapatan, maka nilai kerentanan akan semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya. Kondisi bangunan serta jarak bangunan dari tebing/bukit juga sangat menentukan nilai kerentanan dimana untuk bangunan yang tidak permanen memiliki nilai kerentanan yang tinggi dibandingkan dengan bangunan permanen serta semakin dekat suatu bangunan dengan tebing/bukit maka nilai kerentanannya akan semakin tinggi. Skor nilai kerentanan sosial kependudukan disajikan secara lengkap pada Tabel 9. Penggunaan lahan pada suatu wilayah juga berpengaruh terhadap kerentanan terhadap bencana. Penggunaan lahan untuk permukiman diberi nilai kerentanan yang paling tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan yang lain karena berkenaan dengan jiwa manusia, fasilitas sarana dan prasarana. Begitu selanjutnya untuk nilai kerentanan penggunaan sawah, ladang/tegalan, kebun campuran, semak, hutan perairan diberikan nilai yang lebih rendah. Skor nilai kerentanan penggunaan lahan disajikan secara lengkap pada Tabel 10.
34 Tabel 9. Skor Kerentanan Sosial Kependudukan No I. 1.
2.
II. 1.
2.
3.
III. 1.
2.
IV. 1.
2.
V 1.
2.
3.
4.
Jenis Kerentanan Fisik Kondisi Bangunan · Bangunan Permanen · Bangunan Semi Permanen · Bangunan Kayu Bangunan Pengendali Tanah Longsor · Ada · Tidak Kerentanan Sosial Jenis Kelamin · Perempuan · Laki-laki Usia · 0 – 14 dan > 54 Tahun · 15 – 54 Tahun Pendidikan · Tidak Sekolah · Dasar · Menengah · Tinggi Kerentanan Ekonomi Pekerjaan · Petani · Rumah Tangga · Pedagang/Sopir/Tukang/Ojek/ Penjahit · Mahasiswa/Pegawai Kontrak/Pensiunan · Swasta/ Wiraswasta · Pegawai Negeri Sipil (PNS)/TNI/POLRI Pendapatan · < Rp. 1.000.000 · Rp.1.000.000 – Rp 2.500.000 · >Rp.2.500.000 Kerentanan Lingkungan Jarak bangunan dari bukit/tebing · <100 m · 100 – 200 m · >200 m Kejadian bencana tanah longsor · Pernah · Tidak Pernah Kemampuan Pengetahuan Tata Ruang · Tahu · Tidak Tahu Pengetahuan Bencana · Tahu · Tidak Tahu Sosialisasi /Pelatihan /Pendidikan Tata Ruang dan Bencana Alam Tanah Longsor · Pernah · Tidak Pernah Kelembagaan Pengelola Bencana · Ada · Tidak
Skor Kerentanan
0,17 0,33 0,50 0,33 0,67
0,67 0,33 0,67 0,33 0,40 0,30 0,20 0,10
0,29 0,24 0,19 0,14 0,09 0,05 0,50 0,33 0,17
0,50 0,33 0,17 0,67 0,33
0,33 0,67 0,33 0,67
0,33 0,67 0,33 0,67
35 Tabel 10. Skor Kerentanan Penggunaan Lahan No
Skor Kerentanan
Penggunaan Lahan
1. Permukiman
0,33
2. Sawah, tegalan
0,26
3. Kebun campuran, perkebunan rakyat, semak, rumput, alang-alang
0,20
4. Hutan belukar, hutan lebat, hutan sejenis pinus
0,13
5. Pertambakan dan makam
0,07
Selanjutnya tingkat kerentanan dibagi menjadi 5 (lima) kelas, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi yang didasarkan dari sebaran nilai hasil penjumlahan semua parameter. Pembagian kelas properti disajikan pada Tabel 11. Tahapan pembuatan peta sebaran resiko tanah longsor disajikan pada Gambar 12. Tabel 11. Pembagian Kelas Kerentanan
No Kelas Kerentanan 1. Sangat Rendah
Jumlah Nilai Semua Parameter <5,9297
2. Rendah
5,9297 – 6,1324
3. Sedang
6,1325 – 6,3348
4. Tinggi
6,3349 – 6.5375
5. Sangat Tinggi
>6,5375
Untuk memperoleh nilai resiko secara matematis dihitung dengan persamaan : Nilai Resiko =
Skor Kelas Rawan Tanah Longsor + Skor Kelas Properti + Skor Kelas Kerentanan
Selanjutnya tingkat resiko dibagi menjadi menjadi 5 (tiga) kelas, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi yang didasarkan dari sebaran nilai hasil penjumlahan semua parameter.
Pembagian kelas resiko
tanah longsor berdasarkan nilai tingkat resiko yang disajikan pada Tabel 12.
36
Peta Fasilitas Sosial dan Umum Buffering Skoring
Peta Infrastruktur
Buffering Skoring
Overlay
Peta Sebaran Rawan Tanah Longsor Revisi
Peta Properti
Peta Penggunaan Lahan Skoring Properti
Skoring Kerentanan
Data Responden dan BPS
Peta Administrasi Skoring
Overlay
Peta Kerentanan
Kelas Properti
Kelas Rawan
Kelas Kerentanan
Overlay
Nilai Resiko
Peta Sebaran Resiko Tanah Longsor
Gambar 12. Tahapan Pembuatan Peta Sebaran Resiko Tanah Longsor Tabel 12. Pembagian Kelas Sebaran Resiko Tanah Longsor
No Kelas Sebaran Resiko Tanah Longsor 1. Sangat Rendah
Jumlah Nilai Semua Parameter <6
2. Rendah
6–7
3. Sedang
8–9
4. Tinggi 5. Sangat Tinggi
10 – 11 >11
37
Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Untuk mengetahui persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap bencana tanah longsor dan penataan ruang di Kabupaten Sinjai dilakukan dengan analisis persepsi dan tingkat partisipasi berbagai komponen masyarakat terhadap bencana tanah longsor dan penataan ruang berdasarkan data hasil wawancara.
Merumuskan Upaya untuk Meminimalisir Bencana Tanah Longsor Untuk merumuskan upaya penataan ruang dalam rangka meminimalisir bencana tanah longsor di Kabupaten Sinjai dilakukan dengan analisis deskriptif. Analisis ini dilakukan dengan mempertimbangkan sebaran daerah rawan bencana tanah longsor dan resiko yang ditimbulkan, kesesuaian penggunaan lahan, persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat serta sebagai masukan dan bahan
pertimbangan
dalam
arahan
kebijakan
penataan
ruang
dan
penanggulangan bencana tanah longsor. Tahapan penelitian secara sistematis disajikan pada Gambar 13.
Peta Kesesuaian antara Penggunaan Lahan Saat ini terhadap RTRW 2006-2016
Peta Resiko Tanah Longsor Kuisioner dan Wawancara
Rumusan Upaya Minimalisir Bencana Tanah Longsor
Arahan Perencanaan Tata Ruang yang Memberikan Manfaat Optimal bagi Pengembangan Wilayah
Pembangunan yang Aman, Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan
Gambar 13. Diagram Alir Tahapan Penelitian
Persepsi dan Tingkat Partisipasi Masyarakat
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Administrasi Wilayah dan Kependudukan Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan secara geografis terletak antara 5019’30” – 5036’47” Lintang Selatan (LS) dan antara 119048’30” – 120020’00” Bujur Timur (BT) dengan luas wilayah 819,96 km2 atau 81.996 hektar dengan batas-batas administrasi sebagai berikut : -
Sebelah utara dengan Kabupaten Bone.
-
Sebelah timur dengan Teluk Bone.
-
Sebelah selatan dengan Kabupaten Bulukumba.
-
Sebelah barat dengan Kabupaten Gowa. Kabupaten Sinjai mempunyai 9 (sembilan) kecamatan dengan 61 (enam
puluh satu) desa definitif, 13 (tiga belas) kelurahan, 6 (enam) desa/kelurahan persiapan dan 313 (tiga ratus tiga belas) dusun/lingkungan. Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Sinjai seperti disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 14. Tabel 13. Pembagian Wilayah Administrasi di Kabupaten Sinjai No
Kecamatan
1.
Sinjai Barat
2.
Ibukota
Luas 2 (km )
Desa/Kel. Persiapan
Desa
Kelurahan
Manipi
135,5
-
7
2
Sinjai Borong
Pasir Putih
67,0
-
7
1
3.
Sinjai Selatan
Bikeru
132,0
-
10
1
4.
Tellu Limpoe
Mannanti
147,0
1
9
1
5.
Sinjai Timur
Mangarabombang
71,9
2
10
1
6.
Sinjai Tengah
Lappadata
129,7
2
8
1
7.
Sinjai Utara
Balangnipa
29,6
-
-
6
8.
Bulupoddo
Bulupoddo
99,5
1
6
-
9.
Pulau Sembilan
Kambung
7,6
-
4
-
820,0
6
61
13
Jumlah
-
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai (diolah), 2006
39
Gambar 14. Peta Administrasi Kabupaten Sinjai Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai (2006), jumlah penduduk yang tercatat di Kabupaten Sinjai pada tahun 2005 secara keseluruhan adalah 220.430 jiwa yang tersebar di 9 (sembilan) wilayah kecamatan.
Jumlah penduduk terbesar terdapat di Wilayah Kecamatan Sinjai
Utara dengan jumlah penduduk sebanyak 38.223 jiwa (17,3%) dan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Wilayah Kecamatan Pulau Sembilan dengan jumlah penduduk sebanyak 7.537 jiwa (3,4%).
40 Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Sinjai Utara sebanyak 1.293 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat pada Kecamatan Bulupoddo yaitu sebanyak 159 jiwa/km2. Distribusi jumlah penduduk dan penyebarannya disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sinjai
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk (jiwa) 22.840
Luas Wilayah (km2) 135,5
1. Sinjai Barat
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 169
2. Sinjai Borong
67,0
15.984
239
3. Sinjai Selatan
132,0
35.969
273
4. Tellu Limpoe
147,0
31.827
216
5. Sinjai Timur
71,9
28.168
392
129,7
24.106
186
7. Sinjai Utara
29,6
38.223
1.293
8. Bulupoddo
99,5
15.776
159
7,6
7.537
998
6. Sinjai Tengah
9. Pulau Sembilan
Jumlah 820,0 220.430 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai (diolah), 2006
269
Kondisi Fisik Wilayah Iklim Menurut
data
Kantor
Pertambangan Daerah
Pengendalian
Dampak
Lingkungan
dan
Kabupaten Sinjai (2007) daerah ini termasuk
beriklim subtropis yang mengenal 2 (dua) musim, yaitu musim penghujan (pada periode bulan April – Oktober) dan musim kemarau (pada periode bulan Oktober – April).
Selain itu menurut klasifikasi Schmidt dan
Fergusson ada 3 (tiga) tipe iklim di wilayah ini, yaitu tipe iklim B2, C2, D2 dan D3. Wilayah dengan tipe iklim B2, bulan basahnya berlangsung selama 7 – 9 bulan berturut-turut dan bulan keringnya berlangsung 2 – 4 bulan sepanjang
tahun,
penyebarannya
meliputi
sebagian
besar
wilayah
41 Kecamatan Sinjai Timur dan Sinjai Selatan. Tipe iklim C2, bulan basahnya berlangsung antara 5 – 6 bulan dan bulan keringnya berlangsung selama 3 – 5 bulan sepanjang tahun, penyebarannya meliputi sebagian kecil wilayah Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan dan Sinjai Tengah. Tipe iklim D2, bulan basahnya berlangsung selama 3 – 4 bulan dan bulan keringnya berlangsung selama 2 – 3 bulan, penyebarannya meliputi wilayah bagian tengah Kabupaten Sinjai, yaitu Kecamatan Sinjai Tengah, Sinjai Selatan dan Sinjai Barat.
Tipe iklim D3, bulan basahnya
berlangsung antara 3 – 4 bulan dan bulan keringnya berlangsung 3 – 5 bulan, penyebarannya meliputi sebagian wilayah Kecamatan Sinjai Barat, Sinjai Tengah dan Sinjai Selatan. Kabupaten Sinjai mempunyai curah hujan yang berkisar antara 2.000 – 4.000 mm/tahun dengan hari hujan yang bervariasi antara 100 – 160 hari hujan/tahun.
Curah hujan rata-rata per stasiun pengamatan per tahunnya
disajikan pada Tabel 15 dan Gambar 15. Tabel 15. Curah Hujan Rata-rata per Stasiun Pengamatan No
Stasiun Pengamatan
Curah Hujan (mm/tahun)
1. Balakia
2.337,3
2. Palangka
2.801,5
3. Lamatti Riawang
2.345,1
4. Sinjai Kota
2.248,6
5. Appareng Hulu
2.084,5
6. Batu Belerang
2.530,8
Sumber : Dinas Prasarana Daerah Kabupaten Sinjai (diolah), 2006
42
Gambar 15. Peta Curah Hujan Rata-rata Tahunan Jenis dan Struktur Batuan Menurut Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan dan Pertambangan Daerah
Kabupaten
Sinjai
(2007)
tataan
stratigrafi
Kabupaten
Sinjai
dikelompokkan menjadi 6 (enam) satuan batuan (urutan tertua ke muda), yaitu : 1.
Batuan Gunung Api Formasi Camba (Tmcv) berumur miosen akhir – pliosen Terdiri atas breksi gunung api, lava, konglomerat dan tufa berbutir halus hingga lapili, bersisipan batuan sedimen laut berupa batu pasir tufaan, batu pasir gampingan dan batu lempung yang mengandung sisa tumbuhan.
43 Bagian bawahnya merupakan lapisan breksi gunung api dan lava yang berkomposisi andesit dan basal, tufa berlapis baik terdiri dari tufa litik, tufa kristal dan tufa vitrik. Penyebaran batuan formasi ini menghampar di wilayah Kecamatan Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, Sinjai Barat dan sebagian Sinjai Borong. 2.
Formasi Walanae (Tmpw) berumur miosen akhir – pliosen Formasi ini menindih tidak selaras dengan batuan Gunung Api Formasi Camba. Formasi ini juga tersusun dari perselingan batu pasir, konglomerat, tufa, dengan sisipan batu lanau, batu lempung, batu gamping, napal dan lignit, batu pasir berbutir sedang sampai kasar, umumnya gampingan dan agak kompak, berkomposisi sebagian andesit dan sebagian lainnya banyak mengandung kuarsa, tufanya berkisar dari tufa breksi, breksi, tufa lapili, tufa kristal yang banyak mengandung biotit, konglomerat berkomponen andesit, trakit dan basal. Penyebarannya meliiputi wilayah Kecamatan Sinjai Timur, sebagian Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, Sinjai Utara dan Bulupoddo.
3.
Batuan Gunung Api Baturappe-Cindako (Tpbv) berumur pliosen akhir Batuannya terdiri dari lava dan breksi dengan sisipan tufa serta konglomerat. Penyebarannya di sekitar Manipi Kecamatan Sinjai Barat.
4.
Batuan Gunung Api Lompobattang (Qlvc, Qlv, Qlvb) berumur pliosen Tersusun dari aglomerat, lava, breksi, endapan lahar dan tufa. Batuannya sebagian besar berkomposisi andesit dan sebagian basal, lavanya ada yang berlubang dan ada yang berlapis, tufanya berbutir halus-kasar.
Tufanya
berlapis dengan ketebalan sekitar 1,5 meter dan diapit oleh batuan breksi serta aglomerat/konglomerat. 5.
Endapan permukaan/satuan aluvium (Qac) berumur holosen Terdiri dari aluvium pantai (pasir lempung) dan aluvium sungai (bongkah, kerakal, kerikil, pasir dan lempung). Penyebarannya sebagian kecil pada wilayah Kecamatan Sinjai Timur dan Sinjai Utara.
44 6.
Batuan terobosan sejak miosen akhir-pliosen Batuan ini terdiri dari batuan andesit, menerobos batuan Gunung Api Formasi Camba; batuan trakit, menerobos batuan Gunung Api Formasi Camba dan batuan granodiorit, menerobos batuan Gunung Api Formasi Camba.
Jenis batuan di Kabupaten Sinjai seperti disajikan
pada
Tabel 16
dan
Gambar 16. Tabel 16. Jenis Batuan di Kabupaten Sinjai Luas
No
Jenis Batuan
1.
Formasi Walanae
2.
Endapan Permukaan
3.
Grano Diorit
4.
Ha
%
22.440
26,9
5.090
6,1
500
0,6
Bat. G.A. Formasi Camba
16.170
19,4
5.
Bat. G.A. Lompobattang
30.450
36,5
6.
Bat. G.A. Baturape Cindako
4,660
5,6
7.
G.A. Lompobattang (Breksi Lahar)
3.230
8.
Diorit
840
3,9 1,0
83.380
100,0
Jumlah
Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (diolah), 2006
Ketinggian Wilayah dan Kemiringan Lereng Menurut data Biro Pusat Statistik Kabupaten Sinjai (2006), sebagian besar wilayah Kabupaten Sinjai (45.530 hektar, 55,5%) berada pada ketinggian antara 100 – 500 mdpl kemudian berturut-turut berada pada ketinggian 500 – 1000 mdpl (17.370 hektar, 21,2%), 25 – 100 mdpl (7.980 hektar, 9,7%), di atas 1000 mdpl (6.570 hektar, 8,0%) dan di bawah 25 mdpl (4.540 hektar, 5,5%). Ketinggian wilayah Kabupaten Sinjai disajikan pada Tabel 17.
45 Tabel 17. Ketinggian Wilayah Kabupaten Sinjai Luas No 1. 2. 3. 4. 5.
Ketinggian (mdpl) 0 – 25 25 – 100 100 – 500 500 – 1000 > 1000 Jumlah
Ha 4.540 7.980 45.530 17.370 6.570 81.990
Sumber : Badan Kantor Statistik Kabupaten Sinjai (diolah), 2006
Gambar 16. Peta Geologi Kabupaten Sinjai
% 5,5 9,7 55,5 21,2 8,0 100,0
46 Kemiringan lereng menggambarkan bentuk kedudukan tanah terhadap bidang datar dinyatakan dalam persen (%).
Pembagian topografi (bentuk
wilayah) di Kabupaten Sinjai berdasarkan kemiringan lereng dibagi ke dalam 4 (empat) kelas menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai (2006) dan hasil analisis peta digital, yaitu : 1.
Rata sampai hampir rata 0 – 8%;
2.
Landai sampai berombak 8 – 15%;
3.
Bergelombang sampai bergunung 15 – 40%;
4.
Bergunung sampai jurang >40%.
Kemiringan lereng disajikan pada Tabel 18 dan Gambar 17. Tabel 18. Kemiringan Lereng di Kabupaten Sinjai Luas No
Kelas Lereng
Ha
%
1. 0 - 8%
12.560
15,1
2. 8 - 15%
25.870
31,0
3. 15 - 40%
30.410
36,5
4. >40%
14.540
17,4
Jumlah 83.380 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai (diolah), 2006
100,0
Jenis Tanah Jenis tanah yang ada di Kabupaten Sinjai berdasarkan analisis spasial peta digital tanah terdapat beberapa macam diantaranya asosiasi dari jenis tanah inseptisol, entisol dan ultisol. Jenis tanah terluas yang ada di Kabupaten Sinjai adalah dystropepts (52.120 hektar; 63,6%) yang tersebar di beberapa kecamatan. Sedangkan jenis tanah yang paling sedikit adalah tropudults dengan luas 2 hektar (0,0002%) yang ada di Kecamatan Tellu Limpoe. Jenis tanah yang ada di Kabupaten Sinjai disajikan pada Tabel 19 dan Gambar 18.
47 Tabel 19. Jenis Tanah di Kabupaten Sinjai Luas No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Tanah Dystropepts Tropaquepts Ustropepts Tropopsamments Humitropepts Paleudults Tropudults Jumlah
Sumber
:
Ha 53.000 1.460 8.610 210 19.210 870 2
% 63,6 1,7 10,3 0,3 23,0 1,0 0,002
83.380
100,0
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sinjai (diolah), 2006
Gambar 17 Peta Kelas Lereng Kabupaten Sinjai
48
Gambar 18. Peta Jenis Tanah di Kabupaten Sinjai
Penggunaan Lahan Berdasarkan analisis spasial dari peta digital dan peninjauan lapangan, penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 13 (tiga belas) bentuk penggunaan lahan seperti disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 19.
49 Tabel 20. Penggunaan Lahan di Kabupaten Sinjai Luas No 1.
Penggunaan Lahan
Ha
Alang-alang
% 32
0,04
2.
Hutan belukar
6.093
7,31
3.
Hutan lebat
6.350
7,62
4.
Hutan sejenis pinus
286
0,34
5.
Kebun campuran
17.440
20,90
6.
Makam
70
0,08
7.
Perkebunan rakyat
65
0,08
8.
Permukiman
4.309
5,17
9.
Rumput
228
0,27
10.
Sawah
14.026
16,82
11.
Semak
406
0,49
12.
Tambak
547
0,66
13.
Tegalan
33.523
40,22
83.376
100,00
Jumlah
Sumber
:
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sinjai (diolah), 2006
Pola Arahan Pemanfaatan Ruang Pola pemanfaatan ruang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sinjai Tahun 2006 – 2016 terbagi menjadi 2 (dua), yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung terdiri dari kawasan yang
memberikan
perlindungan
pada
kawasan
bawahnya,
kawasan
perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya serta kawasan rawan bencana. Kawasan budidaya terdiri dari kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan di bawahnya terdiri dari kawasan hutan lindung, kawasan penyangga dan kawasan resapan air.
Kawasan perlindungan setempat terdiri dari kawasan sempadan sungai,
kawasan sekitar mata air dan kawasan sekitar danau/waduk/dam.
Kawasan
suaka alam dan cagar budaya terdiri dari taman wisata alam dan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
50
Sumber : 1.Peta Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Skala 1 : 100.000 2.BPN Kabuypaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2006
Gambar 19. Penggunaan Lahan di Kabupaten Sinjai
Kawasan budidaya perkotaan diprioritaskan untuk kegiatan pengembangan kawasan industri yang tidak mengganggu kegiatan di sekitarnya, pengembangan kawasan perdagangan secara luas dan skala besar, pengembangan kawasan pemerintahan,
kesehatan
dan
pendidikan,
pengembangan
kawasan
pergudangan yang mendukung proses aliran barang serta pengembangan kawasan permukiman.
51 Kawasan
budidaya
perdesaan
diprioritaskan
untuk
pengembangan
kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, kawasan perkebunan, kawasan peternakan, kawasan pertambangan, kawasan hutan produksi, kawasan pariwisata, kawasan industri perdesaan dan kawasan permukiman linier. Secara garis besar pemanfaatan ruang di Kabupaten Sinjai akan mengikuti pola sebagai berikut : 1.
Permukiman perkotaan dipusatkan di Ibukota Kabupaten dan dikembangkan di kota-kota kecamatan dengan skala tertentu.
Sedangkan permukiman
perdesaan akan berfungsi sebagai pusat pelayanan kawasan perdesaan di seluruh pusat-pusat kawasan perdesaan yang layak berdasarkan kondisi fisik dasar alamiah dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup; 2.
Perkantoran/pemerintahan dan fungsi pelayanan umum skala kabupaten dipusatkan di Ibukota Kabupaten;
3.
Pertanian lahan basah dan lahan kering dikembangkan di seluruh wilayah kecamatan kecuali Kecamatan Sinjai Utara dengan proporsi penggunaan lahan yang sesuai.
Pada wilayah dataran tinggi akan didominasi oleh
pertanian lahan kering dan wilayah dataran rendah oleh pertanian lahan basah dan sebagian kecil pertanian lahan kering; 4.
Peternakan kecil dan unggas dikembangkan di seluruh wilayah kecamatan. Sedangkan ternak besar diprioritaskan di KecamatanTellu Limpoe, Sinjai Barat dan Sinjai Borong;
5.
Kegiatan pertambangan golongan C dikembangkan di seluruh wilayah kecamatan sesuai potensi yang ada.
Pertambangan golongan A dan B
dikembangkan di Kecamatan Sinjai Utara, Bulupoddo dan Sinjai Timur (batu bara), Sinjai Tengah dan Sinjai Timur (energi geothermal), Bulupoddo dan Sinjai Borong (emas) dan Sinjai Timur (minyak bumi) dengan tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan; 6.
Kegiatan perkebunan skala besar dikembangkan di Kecamatan Tellu Limpoe, Sinjai Tengah, Sinjai Selatan dan Sinjai Barat;
7.
Pusat kegiatan dan pelayanan perdagangan serta jasa wilayah kabupaten diprioritaskan untuk dikembangkan di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur. Sedangkan kegiatan perdagangan dan jasa skala lokal tersebar di seluruh wilayah kecamatan;
8.
Kegiatan pelabuhan laut dikembangkan di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur.
Bandar udara direkomendasikan ditempatkan di Kecamatan
Bulupoddo;
52 9.
Pemanfaatan dan arahan kawasan hutan masih tetap mempertahankan kawasan yang ada saat ini.
Kawasan hutan lindung dipertahankan dan
dikembangkan di wilayah Kecamatan Sinjai Barat, Sinjai Tengah, Sinjai Borong, Sinjai Selatan, Sinjai Timur dan Tellu Limpoe. Sementara itu hutan produksi akan dikembangkan di Kecamatan Sinjai Barat, Sinjai Tengah, Sinjai Selatan dan Bulupoddo. Hutan wisata dapat dikembangkan di Kecamatan Sinjai Tengah (hutan pinus). Pola pemanfaatan ruang akan disajikan pada Tabel 21 dan Gambar 20. Tabel 21. Pola Pemanfaatan Ruang Kabupaten Sinjai Tahun 2006-2016 Luas No
Pola Pemanfaatan Ruang 1. Kawasan Lindung
Ha 14.480
% 17,37
5.404
6,51
3. Persawahan
12.803
15,36
4. Pertambakan/empang 5. Perkebunan dan Tegalan/Kebun Campuran/ Konservasi 6. Permukiman dan Fasilitas Penunjangnya
196 43.814
0,24 52,51
6.678
8,01
2. Hutan Produksi
Jumlah 83.376 100,00 Sumber : Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kabupaten Sinjai (diolah), 2006
Bencana Tanah Longsor Luas wilayah Kabupaten Sinjai Propinsi Sulawesi Selatan adalah 81.996 hektar. Luas kawasan hutan yang tercatat adalah 18.894 hektar atau sekitar 23,04 persen.
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai (2005)
menyebutkan bahwa alih fungsi telah terjadi, baik dari kawasan lindung atau kawasan budidaya dengan karakteristik menyerupai kawasan lindung menjadi kawasan budidaya atau penggunaan lain yang tidak menunjang fungsi konservasi lingkungan hidup. Sebagai contoh, adanya kawasan hutan (lindung dan produksi terbatas) yang telah diokupasi oleh masyarakat seluas 4.261,5 hektar dari luasan kawasan hutan sebesar 18.894 hektar atau sekitar 22,55 persen. Okupasi yang terjadi ini telah merubah lahan kawasan hutan menjadi lahan perkebunan, permukiman dan lain-lain. Alih fungsi lahan ini pada lokasilokasi tertentu semakin meningkatkan resiko atau potensi bencana, tidak hanya
53 sebatas tanah longsor namun juga banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau.
Gambar 20. Peta Rencana Pola Pemanfaatan Ruang Kabupaten Sinjai Tahun 2006-2016
Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagai luas kawasan yang berfungsi lindung dari kawasan hutan dalam suatu wilayah adalah kurang dari 30 persen. Selain itu lahan kritis yang ada adalah seluas 21.345,42 hektar atau sekitar 26,03
54 persen dari total luas wilayah yang terdiri dari 9.312,87 hektar di dalam kawasan hutan dan 12.032,55 hektar di luar kawasan hutan. Bencana tanah longsor di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan semakin mendapat perhatian sehubungan dengan telah menimbulkan kerugian besar berupa korban jiwa, kerusakan lingkungan, materi, sarana dan prasarana penunjang kehidupan manusia dan aktivitasnya.
Hal ini telah menyadarkan
berbagai pihak untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dalam melakukan kegiatan dalam pembangunan bukan hanya mengejar kesejahteraan secara ekonomi semata. Berdasarkan hasil analisis Tim Banjir Bandang BPPT, yang terdiri dari Tim Ristek bersama LAPAN, BMG, Bakosurtanal dan Jurusan Geologi Universitas Hasanuddin, curah hujan yang sangat tinggi (di atas 100 mm/hari) di Kabupaten Sinjai dan sekitarnya yang memicu longsor dan banjir bandang ditambah dengan adanya konversi penutupan lahan dari tanaman keras ke tanaman coklat, vanili dan jagung di Daerah Aliran Sungai Kalamisu dan Mangottong, sehingga mengakibatkan aliran permukaan menjadi tinggi (BPPT, 2007). Berdasarkan laporan Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh (2006), secara topografis Kabupaten Sinjai terletak pada kaki Gunung Api Lompobattang.
Pola-pola aliran cenderung mengikuti arah
kemiringan lereng, berhulu pada lereng atas Gunung Api Lompobattang, mengalir secara menyebar sampai bermuara di laut (pola radial sentripetal). Di Kabupaten Sinjai bagian utara, terdapat juga gugusan daerah perbukitan yang telah mengalami pengikisan (perbukitan denudasional) dengan susunan batuan berbeda dengan formasi batuan penyusun Gunung Api Lompobattang, berbatuan sedimen, berumur lebih tua dan telah lebih banyak mengalami pelapukan yang lanjut, sehingga secara morfologi lebih rentan terhadap bencana tanah longsor. Selanjutnya disebutkan juga bahwa kondisi penutupan/penggunaan lahan di lereng Gunung Api Lompobattang, sejak tahun 2002 sebenarnya telah mengindikasikan adanya lahan-lahan yang telah terbuka/gundul.
Selain itu
55 terdapat juga lahan-lahan budidaya (tegalan) yang terletak pada lereng-lereng bagian atas, sehingga akan menyebabkan lahan menjadi lebih rentan terhadap bencana tanah longsor. Laporan ini menyimpulkan bahwa kejadian bencana tanah longsor di Kabupaten Sinjai lebih disebabkan oleh faktor sebagai berikut : 1.
Curah hujan yang relatif lebat (> 100mm/hari).
2.
Posisi topografis yang rawan.
3.
Kondisi penutupan/penggunaan lahan yang telah banyak terbuka. Kajian geologi Tim Banjir Bandang BPPT (2007) menyatakan dengan
adanya konversi tutupan lahan dari tanaman keras ke tanaman coklat, vanili dan jagung di Daerah Aliran Sungai Kalamisu dan Mangottong, yang mengakibatkan run off dari air hujan menjadi tinggi. Ditinjau dari tipe longsorannya, kejadian tanah longsor di Kabupaten Sinjai merupakan tipe longsoran translasi (translational slide). Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2007) longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai (Gambar 1). Selanjutnya Tim Banjir Bandang BPPT (2007) juga menyebutkan bahwa banyaknya kejadian longsoran di tebing jalan serta banyaknya alur sungai yang hulunya terdapat di bawah badan jalan, mengakibatkan material longsoran mudah meluncur ke arah cabang-cabang sungai, kemudian masuk ke Sungai Kalamisu dan Mangottong. Material longsoran (tanah, batuan, batang pohon dan material bangunan) terbawa masuk ke dalam 2 (dua) sungai besar itu dan kemudian terbawa arus menggerus tebing sungai, sehingga terjadi banjir bandang. Banjir bandang menerjang wilayah yang relatif rendah dan datar yang menyebabkan timbulnya korban jiwa, harta benda dan bangunan infrastruktur lainnya. Lokasi bencana tanah longsor di Kabupaten Sinjai pada tanggal 19 – 20 Juni 2006 disajikan pada Tabel 22 dan Gambar 21.
56 Tabel 22. Kejadian Tanah Longsor pada Tanggal 19 – 20 Juni 2006
No I.
II.
III.
IV.
Kecamatan/Desa
Penggunaan Lahan
Curah Hujan (mm/th)
Sinjai Borong Barambang
Tegalan
2530
Bontokatute
Tegalan
2337
Bontokatute
Tegalan
2337
Biji Nangka
Kebun Campuran
2801
Batu belerang
Tegalan
2530
Sinjai Tengah Pattongko
Tegalan
2337
Kompang
Hutan Belukar
2337
Kompang
Tegalan
2337
Saotanre
Tegalan
2801
Baru
Tegalan
2554
Saotengnga
Kebun Campuran
2554
Sinjai Barat Barania
Hutan Lebat
2530
Gunung Perak
Tegalan
2530
Botolempangan
Hutan Belukar
2337
Bontosalama
Alang-alang
2337
Bontosalama
Hutan Lebat
2337
Bontosalama
Kebun Campuran
2337
Sinjai Selatan Polewali
Hutan Belukar
2801
Asal Batuan
Kelas Lereng (%)
Bat. G.A. Formasi Camba Bat. G.A. Lompobattang Bat. G.A. Lompobattang Bat. G.A. Formasi Camba Bat. G.A. Formasi Camba
>40%
Bat. G.A. Lompobattang Bat. G.A. Lompobattang Bat. G.A. Lompobattang Bat. G.A. Lompobattang Bat. G.A. Lompobattang Bat. G.A. Lompobattang
>40%
G.A. Lompobattang (Breksi Lahar) Bat. G.A. Formasi Camba Bat. G.A. Lompobattang Bat. G.A. Baturape Cindako Bat. G.A. Baturape Cindako Bat. G.A. Baturape Cindako
>40%
Diorit
>40%
Sumber : Kantor Pengolahan Data dan Informasi (diolah), 2006
>40% >40% >40% >40%
>40% >40% >40% >40% >40%
>40% >40% >40% >40% >40%
57
Gambar 21. Peta Titik Longsor di Kabupaten Sinjai
HASIL DAN PEMBAHASAN Kesesuaian Antara Penggunaan Lahan Saat Ini terhadap RTRW Kajian ini secara umum dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara penggunaan lahan saat ini (2006) terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006–2016.
Penentuan kesesuaian ini dilakukan dengan
menumpang-tindihkan (overlay) peta penggunaan lahan dengan peta RTRW tahun 2006–2016. Secara umum penggunaan lahan saat ini (2006) yang sesuai dengan RTRW adalah seluas 46.520 hektar (55,8%) dan yang tidak sesuai seluas 36.860 hektar (44,2%).
Penggunaan lahan saat ini yang relatif paling tinggi tingkat
kesesuaiannya dengan RTRW adalah pertanian lahan kering (69,5%) dan penggunaan lahan saat ini yang relatif paling rendah tingkat kesesuaiannya dengan RTRW adalah permukiman (85,2%). Kesesuaian antara penggunaan lahan saat ini terhadap RTRW ini disajikan secara lengkap pada Tabel 23 dan Gambar 22. Tabel 23. Kesesuaian antara Penggunaan Lahan Saat Ini terhadap RTRW Penggunaan Lahan Saat Ini Sesuai RTRW No 1. 2. 3. 4. 5.
Penggunaan Lahan Saat Ini Tidak Sesuai RTRW
Jenis Penggunaan Menurut RTRW Kawasan Lindung Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Basah Permukiman Pertambakan
8.050 34.200 3.230 980 50
55,6 69,5 25,2 14,7 24,5
6.430 15.020 9.570 5.690 150
44,4 30,5 74,8 85,2 75,5
Total (Ha) 14.480 49.220 12.800 6.670 200
Jumlah Persentase (%)
46.520 55,8
-
36.860 44,2
-
83.380 100,0
Ha
%
Ha
%
Sumber : Hasil analisis Pada Tabel 23 dan Gambar 22 dapat dilihat bahwa luasan penggunaan lahan saat ini untuk jenis pertanian lahan kering secara relatif mempunyai tingkat kesesuaian dengan RTRW yang paling besar, yaitu 69,5% (34.200 hektar dari 49.220 hektar yang dialokasikan dalam RTRW), kemudian kawasan lindung sebesar 55,6%
(8.050 hektar dari 14.480 hektar yang dialokasikan dalam
RTRW), pertanian lahan basah sebesar 25,2% (3.230 hektar dari 12.800 hektar yang dialokasikan dalam RTRW), pertambakan sebesar 24,5% (50 hektar dari 200 hektar yang dialokasikan dalam RTRW) dan permukiman 14,7% (980 hektar dari 6.670 hektar yang dialokasikan dalam RTRW).
59
Gambar 22.
Peta Kesesuaian Penggunaan Lahan Saat Ini terhadap RTRW
Penggunaan lahan saat ini yang tidak sesuai dengan RTRW secara umum adalah sebagai berikut : 1.
Pada kawasan lindung, penggunaan lainnya adalah alang-alang (30 hektar), kebun campuran (1.840 hektar), permukiman (380 hektar), sawah (730 hektar), semak (250 hektar) dan tegalan (3.200 hektar).
2.
Pada kawasan pertanian lahan kering, penggunaan lainnya adalah hutan belukar (2.520 hektar), hutan lebat (1.350 hektar), hutan sejenis pinus (200
60 hektar), permukiman (2.230 hektar), rumput (190 hektar), sawah (8.420 hektar) dan semak (100 hektar). 3.
Pada kawasan pertanian lahan basah, penggunaan lainnya adalah hutan belukar (160 hektar), hutan lebat (220 hektar), hutan sejenis pinus (2.860 hektar), perkebunan rakyat (10 hektar), permukiman (670 hektar), rumput (30 hektar), semak (40 hektar) dan tegalan (5.600 hektar).
4.
Pada kawasan permukiman, penggunaan lainnya adalah hutan belukar (30 hektar), hutan lebat (190 hektar), kebun campuran (1.810 hektar), sawah (1.630 hektar), semak (10 hektar), tambak (500 hektar) dan tegalan (1.530 hektar).
5.
Pada kawasan pertambakan, penggunaan lainnya adalah kebun campuran (70 hektar), permukiman (20 hektar) dan sawah (60 hektar).
Penggunaan lahan saat ini yang tidak sesuai dengan RTRW secara lengkap disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Penggunaan Lahan Saat Ini yang Tidak Sesuai dengan RTRW Penggunaan Lahan yang Dialokasikan dalam RTRW
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Penggunaan Lahan Saat Ini Alang-alang Hutan belukar Hutan lebat Hutan sejenis pinus Kebun campuran Perkebunan rakyat Permukiman Rumput Sawah Semak Tambak Tegalan Jumlah
Keterangan : KL = PLK = PLB = PKMN = PTMBK = Sumber : Hasil Analisis
KL (Ha) 30 1.840 380 730 250 3.200 6.430
PLK (Ha)
PLB (Ha)
2.520 1.350 200 2.230 190 8.420 100 15.020
160 220 2.860 10 670 30 40 5.600 9.570
Kawasan Lindung Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Basah Permukiman Pertambakan
PMKN (Ha) 30 190 1.810 1.630 10 500 1.530 5.690
PTMBK (Ha) 70 20 60 150
61 Relatif luasnya ketidaksesuaian penggunaan lahan saat ini terhadap RTRW perlu dilihat lagi lebih jauh berkaitan dengan kejadian tanah longsor pada tahun 2006. Kejadian ini sebagian besar menimpa wilayah yang merupakan tegalan dan kebun campuran (pertanian lahan kering) yang berdampak pada permukiman yang berada di sekitar lokasi tersebut. Sesuai dengan peninjauan lapangan, ketidaksesuaian ini dapat dilihat di Kecamatan Sinjai Tengah, Sinjai Borong dan Sinjai Barat. Sebagai contoh adalah bencana tanah longsor yang terjadi di Desa Kompang Kecamatan Sinjai Tengah berada pada kawasan tegalan dan dekat dengan permukiman. Penggunaan lahan saat ini dan pola arahan pemanfaatan ruang dalam RTRW akan ditinjau juga dari sisi kondisi saat ini berdasarkan kelas lereng. Berdasarkan kelas lereng, baik untuk penggunaan lahan yang dialokasikan dalam RTRW maupun penggunaan lahan saat ini, pada umumnya mempunyai kelas tidak sesuai. Idealnya wilayah dengan kelas lereng di atas 40% dijadikan sebagai kawasan lindung, penggunaan lahan pertanian lahan kering pada kelas lereng 8 – 40%, permukiman pada kelas lereng 0 – 8%, pertanian lahan basah pada kelas lereng 0 – 15% dan pertambakan pada kelas lereng 0 – 8% dan dekat pantai.
Penggunaan lahan berdasarkan kelas lereng disajikan secara
lengkap terdapat pada Tabel 25. Tabel 25. Penggunaan Lahan Berdasarkan Kelas Lereng Kelas Lereng (%) Penggunaan Lahan 1. Kawasan Lindung
No
0–8
8 – 15
15 – 40
>40
Ket
2. Pertanian Lahan Kering 3. Pertanian Lahan Basah 4. Permukiman 5. Pertambakan
Dekat pantai
Untuk kelas lereng di atas 40% yang secara otomatis seharusnya termasuk ke dalam kawasan lindung pada penggunaan lahan yang dialokasikan dalam RTRW seluas 14.480 hektar. Luas kawasan lindung yang seharusnya adalah 14.540 hektar. Jadi ada kekurangan seluas 60 hektar. Dari luasan kawasan lindung yang dialokasikan dalam RTRW tersebut yang penempatannya sudah
62 sesuai adalah seluas 6.720 hektar (46,2%).
Sisanya digunakan untuk
penggunaan lahan pertanian lahan kering (6.550 hektar atau 45,4%), permukiman (460 hektar atau 3,1%) dan pertanian lahan basah (810 hektar atau 5,6%). Kawasan lindung dalam RTRW tidak hanya dialokasikan pada wilayah dengan kelas lereng di atas 40% tetapi juga pada kelas lereng 0 – 40%. Sedangkan kelas lereng 15 - 40% seharusnya dialokasikan untuk penggunaan pertanian lahan kering seluas 30.400 hektar. Kelas lereng 8 – 15% dialokasikan untuk sebagian penggunaan pertanian lahan kering dan sebagian pertanian lahan basah seluas 25.870 hektar. Kelas lereng 0 – 8% dialokasikan untuk permukiman, pertambakan dan sebagian pertanian lahan basah seluas 12.560 hektar. Penggunaan lahan RTRW berdasarkan kelas lereng disajikan secara lengkap pada Tabel 26. Tabel 26. Penggunaan Lahan RTRW Berdasarkan Kelas Lereng Kelas Lereng (%)
No 1. 2. 3. 4. 5.
Penggunaan Lahan RTRW Kawasan lindung % Pertanian lahan kering % Permukiman % Pertanian lahan basah % Pertambakan % Jumlah
0–8 (Ha) 30 (0,3) 7.270 (57,9) 2.290 (18,2) 2.770 (22,0) 200 (1,6) 12.560
8 – 15 (Ha) 1.620 (6,3) 17.050 (65,9) 2.170 (8,4) 5.040 (19,5) 25.870
15 – 40 (Ha) 6.110 (20,1) 18.350 (60,4) 1.760 (5,8) 4.180 (13,7) 30.400
>40 (Ha) 6.720 (46,2) 6.550 (45,0) 460 (3,1) 810 (5,6) 14.540
Total (Ha) 14.480 (17,4) 49.220 (59,0) 6.670 (8,0) 12.800 (15,4) 200 (0,2) 83.380
Selanjutnya pada Tabel 27 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan saat ini, untuk kelas lereng di atas 40% yang secara otomatis seharusnya termasuk ke dalam kawasan lindung yang sesuai hanya seluas 4.856 hektar (34,40% dari total kawasan lindung 14.536 hektar), yang terdiri dari hutan belukar (2.248 hektar), hutan lebat (2.483 hektar) dan hutan sejenis pinus (125 hektar). Penggunaan lahan lainnya adalah untuk pertanian lahan kering (57,20%), permukiman (3,61%), alang-alang (0,22%), rumput (0,55%), sawah (3,37%) dan semak (1,63%). Dikaitkan dengan bencana tanah longsor yang terjadi pada tanggal 19 – 20 Juni 2006, titik longsor terjadi di lokasi yang berdasarkan RTRW adalah penggunaan lahan untuk kawasan lindung dan pertanian lahan kering. Pada
63 penggunaan lahan saat ini lokasi tersebut sebagian besar berada pada pertanian lahan kering. Tabel 27. Penggunaan Lahan Saat Ini Berdasarkan Kelas Lereng Kelas Lereng (%) No 1.
Penggunaan Lahan Alang-alang %
2.
Hutan belukar
3.
Hutan lebat
4.
Hutan sejenis pinus
5.
Kebun campuran
6.
Makam
% % % % % 7.
Perkebunan rakyat
8.
Permukiman
9.
Rumput
% % % 10.
Sawah
11.
Semak
12.
Tambak
13.
Tegalan
% % % % Jumlah
0-8
8 – 15
15 - 40
Ha
Ha
Ha
3.430 (27,3) 20 (0,2) 1.160 (9,2) 3.130 (24,9) 550 (4,3) 4.280 (34,0) 12.560
670 (2,6) 1.120 (4,3) 120 (0,5) 4.490 (17,4) 30 (0,1) 60 (0,2) 1.280 (4,90) 140 (0,5) 5.460 (21,1) 12.490 (48,3) 25.870
3.180 (10,4) 2.740 (9,0) 40 (0,1) 6.580 (21,6) 10 (0,05) 1.260 (4,1) 10 (0,04) 4.950 (16,3) 170 (0,6) 11.460 (37,7) 30.400
>40
Ha 320 (0,2) 2.250 (15,5) 2.480 (17,1) 120 (0,8) 2.940 (20,2) 520 (3,6) 80 (0,5) 490 (3,4) 240 (1,6) 5.370 (36,9) 14.540
Total Ha 6.090 (7,3) 6.350 (7,6) 290 (0,3) 17.440 (20,9) 70 (0,1) 60 (0,1) 4.230 (5,1) 230 (0,3) 14.030 (16,8) 410 (0,5) 550 (0,7) 33.600 (40,3) 83.380
Sebaran Daerah Rawan Tanah Longsor Kajian sebaran daerah rawan tanah longsor dilakukan untuk mengetahui wilayah-wilayah yang berpotensi terjadi tanah longsor (rawan) berdasarkan parameter-parameter yang telah ditentukan. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelas lereng, penggunaan lahan dan geologi.
Sebaran
daerah rawan tanah longsor direpresentasikan dalam bentuk peta sebaran daerah rawan tanah longsor. Secara umum wilayah yang termasuk ke dalam kategori rawan paling rendah (aman) adalah seluas 1.210 hektar (1,5% dari luas wilayah Kabupaten), kerawanan rendah seluas 6.720 hektar (8,1%), kerawanan sedang seluas 21.720
64 hektar (26,0%), rawan seluas 45.310 hektar (54,3%) dan sangat rawan seluas 8.400 hektar (10,1%). Wilayah berdasarkan sebaran rawan tanah longsor secara lengkap terdapat pada Tabel 28. Tabel 28. Wilayah Berdasarkan Sebaran Rawan Tanah Longsor Kelas Rawan Tanah Longsor No 1.
Kecamatan
2.
Sinjai Barat
3.
Sinjai Borong
4.
Sinjai Selatan
Bulupoddo
% % %
6. 7. 8.
Kerawanan Sedang Ha
-
210
1.660
-
(2,1)
-
960
-
Aman Ha %
5.
Kerawanan Rendah Ha
Sinjai Tengah
Sangat Rawan Ha
Luas Wilayah Ha
6.510
1.590
9.970
(16,6)
(65,3)
(15,9)
(100)
1.860
11.220
1.170
15.200
(6,3)
(12,2)
(73,8)
(7,7)
(100)
180
360
5.140
2.070
7.740
(2,3)
(4,7)
(66,3)
(26,7)
(100)
820
5.320
6.490
360
13.000
(6,3)
(40,9)
(49,9)
(2,8)
(100)
Rawan Ha
-
230
680
9.380
3.210
13.500
%
-
(1,7)
(5,0)
(69,50)
(23,8)
(100)
390
2.630
4.380
20
-
7.420
%
(5,2)
(35,4)
(59,1)
(0,3)
-
(100)
830
960
560
460
-
2.810
%
(29,4)
(34,1)
(19,9)
(16,4)
-
(100)
Sinjai Timur Sinjai Utara Tellu Limpoe
-
730
6.910
6.090
-
13.730
-
(5,3)
(50,3)
(44,4)
-
(100)
1.210
6.720
21.720
45.310
8.400
83.380
(1,4)
(8,1)
(26,0)
(54,3)
(10,1)
(100,0)
% Jumlah Persentase (%)
Sumber : Hasil analisis
Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa Kecamatan Sinjai Tengah merupakan kecamatan dengan luas wilayah yang termasuk kelas rawan tanah longsor sangat rawan terluas, yaitu 3.210 hektar (23,8% dari luas wilayah Kecamatan), kemudian Kecamatan Sinjai Borong seluas 2.070 hektar (26,7%), Kecamatan Bulupoddo seluas 1.590 hektar (15,9%), Kecamatan Sinjai Barat seluas 1.170 hektar (7,7%) dan Kecamatan Sinjai Selatan seluas 360 hektar (2,8%).
Sebaran wilayah rawan bahaya tanah
longsor
disajikan
pada
Gambar 23 Dikaitkan dengan bencana tanah longsor yang sudah terjadi pada tahun 2006, terlihat bahwa titik-titik longsor yang terjadi berada pada wilayah yang termasuk ke dalam kategori rawan tanah longsor kelas rawan dan sangat rawan. Pada Gambar 23 titik-titik longsor ini digambarkan dengan segitiga berwarna kuning.
65
Gambar 23. Peta Sebaran Rawan Tanah Longsor
Analisis sebaran wilayah rawan tanah longsor supaya lebih jelas akan digambarkan juga dalam bentuk penampang melintang (Gambar 24 dan 25). Garis penampang melintang akan
memotong garis kontur.
Garis AB akan
digambarkan sebagai sumbu X (jarak dalam meter) dan sumbu Y-nya adalah elevasi (meter dpl). Titik A berada di pinggir pantai (tingkat elevasi mendekati 0 meter dpl) dan titik B berada pada tingkat elevasi 1.850 meter dpl.
66
Gambar 24. Garis Penampang Melintang AB
Dari perpotongan garis penampang melintang dengan garis diperoleh hasil gambaran umum parameter pemicu tanah longsor seperti pada Gambar 25.
67
Titik-titik Longsor pada Tahun 2006
Elevasi (m dpl)
>40%
2000 1800
>40%
1600
15-40%
8-15%
0-8%
1400 1200 1000 800 600 400 200 0 0
10
20
30
40
50
Jarak (km)
Geologi
Qac
Tmpw
Qlvc, Qlv, Qlvb
Tmcv
Land Use
P,S
P, S, T
P, T, HB, KC
P, KC, T, HL
A
B
Keterangan : Qac Tmpw Qlvc,Qlv,Qlvb Tmcv P S T HB HL KC
: : : : : : : : : :
Endapan permukaan Formasi walanae Batuan Gunung Api Lompobattang Batuan Gunung Api Formasi Camba Permukiman Sawah Tegalan Hutan belukar Hutan lebat Kebun campuran
Gambar 25. Penampang Melintang Berdasarkan Garis AB
68 Dari Gambar 25 dapat dilihat bahwa titik-titik longsor yang terjadi pada tahun 2006 terjadi secara umum di lokasi yang mempunyai kelas lereng di atas 40%, penggunaan lahan permukiman, tegalan, hutan belukar dan kebun campuran serta pada satuan Batuan Gunungapi Lompobattang. Pada wilayah ini juga sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam kategori rawan tanah longsor yang tinggi (rawan dan sangat rawan).
Tingkat Potensi Kerawanan Berdasarkan Parameter Berdasarkan hasil pengamatan terhadap parameter yang dijadikan pemicu terjadinya tanah longsor di Kabupaten Sinjai dan data sekunder, maka parameter kelas lereng, penggunaan lahan dan geologi secara berturut-turut merupakan parameter yang dominan yang membentuk sebaran potensi rawan tanah longsor. Kelas Lereng Berdasarkan data BPS Kabupaten Sinjai (2006) sebagian besar wilayah Kabupaten Sinjai merupakan wilayah bergelombang, bergunung sampai dengan bergunung (60,83%).
Semakin curam kelas lereng, maka peluang untuk
terjadinya tanah longsor akan semakin tinggi. Secara rinci luasan rawan tanah longsor berdasarkan kelas lereng disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Luasan Sebaran Rawan Tanah Longsor Berdasarkan Kelas Lereng No
Kelas Lereng (%)
1.
0–8
2.
8 – 15
3. 4.
Aman (Ha) 1.190
Kerawanan Rendah (Ha) 3.240
Kerawanan Sedang (Ha) 5.930
2.210
Sangat Rawan (Ha) -
Total (Ha) 12.560
Rawan (Ha)
20
3.250
13.060
9.540
-
25.870
15 – 40
-
230
2.710
27.450
-
30.410
>40
-
-
20
6.110
8.400
12.540
1.210
6.720
21.720
45.310
8.400
83.380
Jumlah
Sumber : Hasil analisis Dari Tabel 29 dapat dilihat bahwa potensi rawan tanah longsor tinggi (sangat rawan) hanya terjadi pada kelas lereng di atas 40% seluas 8.401 hektar.
69 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Kabupaten Sinjai terdiri atas tegalan, sawah, semak, rumput, alang-alang, hutan belukar, hutan lebat, hutan sejenis pinus, perkebunan rakyat, kebun campuran, permukiman, makam dan pertambakan. Secara rinci luasan wilayah sebaran rawan tanah longsor berdasarkan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 30. Pada Tabel 30 dapat dilihat bahwa potensi rawan tanah longsor untuk kelas sangat rawan terdapat pada wilayah dengan penggunaan lahan tegalan, kebun campuran dan sawah, yaitu seluas 8.400 hektar. Tabel 30. Luasan Sebaran Rawan Penggunaan Lahan
No
Penggunaan Lahan
Tanah
Kerawanan Rendah (Ha)
Aman (Ha)
Longsor
Kerawanan Sedang (Ha)
Berdasarkan
Rawan (Ha)
Sangat Rawan (Ha)
1.
Makam
10
40
10
-
-
2.
Permukiman
650
2.030
1.050
500
-
3.
Tambak
550
-
-
-
-
4.
Hutan belukar
-
90
670
5.340
-
5.
Hutan lebat
-
1.000
1.240
4.110
-
6.
Hutan sejenis pinus
-
120
40
120
-
7.
Rumput
-
60
80
90
-
8.
Sawah
-
1.430
4.610
7.490
490
9.
Tegalan
-
760
10.940
16.920
4.990
10.
Kebun campuran
-
1.190
3.080
10.240
2.920
11.
Alang-alang
-
-
-
30
-
12.
Perkebunan rakyat
-
-
-
60
-
13.
Semak
-
-
-
410
-
1.210
6.720
21.720
45.310
8.400
Jumlah
Sumber : Hasil analisis
Geologi Berdasarkan peta geologi yang digunakan, maka Kabupaten Sinjai tersusun atas 8 (delapan) satuan batuan. Secara rinci mengenai wilayah potensi rawan tanah longsor berdasarkan satuan batuan disajikan pada Tabel 31. Pada Tabel 31 dapat dilihat bahwa potensi rawan tanah longsor untuk kelas sangat rawan terdapat pada wilayah dengan satuan batuan Gunungapi Formasi Camba (1.500 hektar), Gunungapi Lompobattang (5.880 hektar) dan Gunungapi Baturape-Cindako (1.010 hektar).
70 Tabel 31. Luasan Sebaran Rawan Tanah Longsor Berdasarkan Satuan Batuan No
Satuan Batuan
1. 2.
Endapan permukaan Bat. GA Formasi Camba Bat. GA Lompobattang Diorit Formasi Walanae GA Lompobattang (breksi lahar) Grano diorit Bat. GA BaturapeCindako Jumlah
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aman (Ha)
Kerawanan Rendah (Ha)
Kerawanan Sedang (Ha)
Rawan (Ha)
Sangat Rawan (Ha)
1.210 -
3.450 430
430 510
13.730
1.510
-
440 20 1.300 1.050
1.320 530 17.540 1.130
22.800 280 3.590 1.050
5.880 -
-
30 -
230 30
240 3.620
1.010
1.210
6.720
21.720
45.310
8.400
Sumber : Hasil analisis Sebaran Resiko Tanah Longsor Kajian sebaran resiko tanah longsor dilakukan untuk mengetahui wilayahwilayah resiko tanah longsor berdasarkan nilai kerawanan, nilai properti dan nilai kerentanan. Sebaran resiko tanah longsor direpresentasikan dalam bentuk peta sebaran resiko tanah longsor. Peta resiko tanah longsor merupakan gabungan dari peta rawan tanah longsor, peta properti dan peta kerentanan. Peta rawan tanah longsor sudah dibuat pada tahapan analisis sebelumnya. Peta properti merupakan gambaran umum dari keadaan suatu wilayah yang dihubungkan dengan nilai ekonomi yang dimiliki suatu lahan baik dalam keadaan terlantar maupun dengan berbagai aktivitas ekonomi di atasnya. Peta kerentanan merupakan gambaran dari kesiapan masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya.
Peta Properti Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa sebagian besar, yaitu seluas 68.630 hektar (82,3% dari luas wilayah Kabupaten) merupakan wilayah dengan tingkat properti sangat rendah, kemudian rendah seluas 11.520 hektar (13,8%), sedang seluas 3.050 hektar (3,7%), tinggi seluas 130 (0,2%) dan sangat tinggi seluas 40 hektar (0,04%). Masih relatif luasnya wilayah dengan tingkat properti yang rendah disebabkan masih relatif minimnya fasilitas sosial dan umum serta infrastruktur yang tersedia dibandingkan dengan luas wilayah. Selain itu sebagian besar wilayah Kabupaten Sinjai (61,2%) merupakan jenis
71 penggunaan lahan pertanian lahan kering (kebun campuran, perkebunan rakyat dan tegalan), sehingga dari segi fisik, manusia dan manfaat nilainya lebih kecil dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan permukiman dan pertanian lahan basah (sawah).
Sebaran wilayah berdasarkan nilai properti disajikan secara
lengkap pada Tabel 32 dan Gambar 26. Tabel 32. Sebaran Wilayah Berdasarkan Nilai Properti Kelas Properti
No 1.
Kecamatan
Sangat Rendah (Ha)
Bulupoddo Sinjai Barat
3.
Sinjai Borong
4.
Sinjai Selatan
-
-
9.970
13.840
1.200
160
-
-
15.200
(91,0)
(7,9)
(1,0)
-
-
(100)
6.460
1.070
200
10
-
7.740
(83,5)
(13,9)
(2,5)
(0,1)
-
(100)
2.240
670
20
-
13.000
(77,4)
(17,2)
(5,2)
(0,1)
-
(100)
10.980
1.950
550
20
-
13.500
(81,3)
(14,4)
(4,1)
(0,1)
-
(100)
5.630
1.450
310
20
-
7.420
(75,9)
(19,5)
(4,2)
(0,3)
-
(100)
1.710
650
370
60
20
2.810
(60,9)
(23,2)
(13,1)
(2,0)
(0,7)
(100)
11.310
1.940
480
-
-
13.730
(82,3)
(14,1)
(3,5)
-
-
(100)
68.630
11.520
3.050
130
20
83.380
(82,3)
(13,8)
(3,7)
(0,2)
(0,1)
(100,0)
% Sinjai Timur % 7.
Sinjai Utara %
8.
Tellu Limpoe % Jumlah
(100)
10.060 %
6.
Total (Ha)
310 (3,1)
%
Sinjai Tengah
Sangat Tinggi (Ha)
Tinggi (Ha)
1.020 (10,2)
%
5.
Sedang (Ha)
8.630 (86,6)
% 2.
Rendah (Ha)
Persentase (%)
Sumber : Hasil analisis Kecamatan Sinjai Utara merupakan wilayah terluas pada kelas nilai properti sangat tinggi, yaitu 20 hektar (51,3% dari total wilayah pada kelas nilai properti sangat tinggi). Hal ini disebabkan Kecamatan Sinjai Utara merupakan Ibukota Kabupaten, sehingga di wilayah ini berada pusat Pemerintahan Kabupaten beserta fasilitas sosial dan umum serta infrastrukturnya,
seperti
rumah sakit, sekolah, pasar, gedung perkantoran, jaringan jalan serta permukiman yang cukup padat.
Ditambah lagi ada 2 (dua) sungai besar yang
melalui wilayah ini. Dengan demikian, semua hal tersebut membuat wilayah ini mempunyai nilai properti yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya pada kelas tingkat properti sangat tinggi.
72
Gambar 26. Peta Kelas Properti
Peta Kerentanan Peta kerentanan merupakan penggabungan antara peta administrasi kependudukan per kecamatan dan peta penggunaan lahan. Pada kedua peta tersebut kemudian diberikan skor untuk masing-masing unsur.
Berdasarkan
hasil analisis diperoleh hasil bahwa seluas 14.610 hektar (17,5% dari luas wilayah Kabupaten) merupakan wilayah dengan tingkat kerentanan sangat rendah, kemudian rendah seluas 12.080 hektar (14,5%), sedang seluas 27.670 hektar (33,2%), tinggi seluas 28.800 hektar (34,5%) dan sangat tinggi seluas 230
73 hektar (0,3%). Sebaran wilayah berdasarkan nilai kerentanan disajikan secara lengkap pada Tabel 33 dan Gambar 27. Tabel 33. Sebaran Wilayah Berdasarkan Nilai Kerentanan Kelas Kerentanan
No 1.
Kecamatan
Sangat Rendah (Ha)
Bulupoddo %
2.
Sinjai Barat %
3.
Sinjai Borong %
4.
Sinjai Selatan
5.
Sinjai Tengah
6.
Sinjai Timur
7.
Sinjai Utara
8.
Tellu Limpoe
% % % %
Sedang (Ha)
Tinggi (Ha)
Sangat Tinggi (Ha)
Total (Ha)
-
3.190
6.780
-
-
9.970
-
(32,1)
(68,0)
-
-
(100)
-
-
8.160
7.040
-
15.200
-
-
(53,7)
(46,3)
-
(100)
-
-
10
7.510
230
7.740
-
-
(0,1)
(97,0)
(2,9)
(100)
-
20
12.230
740
-
13.000
-
(0,1)
(94,1)
(5,7)
-
(100)
-
-
-
13.500
-
13.500
-
-
-
(100)
-
(100)
1.140
6.280
-
-
-
7.420
(15,4)
(84,6)
-
-
-
(100)
430
1.900
480
-
-
2.810
(15,2)
(67,7)
(17,1)
-
-
(100)
13.040
690
-
-
-
13.730
(94,9)
(5,1)
-
-
-
(100)
14.610
12.080
27.670
28.800
230
83.380
(17,5)
(14,5)
(33,2)
(34,5)
(0,3)
(100,0)
% Jumlah
Rendah (Ha)
Persentase (%)
Sumber : Hasil analisis
Dari Tabel 33 dapat dilihat bahwa wilayah Kecamatan Sinjai Tengah sebagian besarnya atau seluas 13.500 hektar (100%) termasuk ke dalam kategori kelas kerentanan tinggi. Kemudian wilayah Kecamatan Sinjai Borong yang termasuk ke dalam kategori kelas kerentanan yang tinggi seluas 7.510 hektar (97,0%) dan sisanya (230 hektar atau 2,9%) termasuk ke dalam kategori kelas kerentanan sangat tinggi. Selanjutnya adalah Kecamatan Sinjai Barat dengan luas wilayah yang termasuk ke dalam kategori tinggi adalah seluas 7.040 hektar (46,3%). Ketiga Kecamatan ini mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi terhadap bencana tanah longsor karena secara umum di 3 (tiga) wilayah ini yang disebabkan diantaranya adalah kondisi bangunan tempat tinggal semi permanen, tidak adanya pengendali tanah longsor, mempunyai jumlah penduduk perempuan yang lebih banyak, berpendidikan relatif rendah, sebagian besar mencari nafkah sebagai petani, berpendapatan relatif rendah, relatif dekatnya jarak bangunan dengan tebing/bukit, pengetahuan tentang penataan ruang yang kurang dan pengetahuan tentang pencegahan bencana yang masih relatif minim.
74
Gambar 27 Peta Kelas Kerentanan
Untuk Kecamatan Sinjai Timur dan Tellu Limpoe seluruh wilayahnya termasuk ke dalam tingkat kerentanan yang sangat rendah dan rendah. Hal ini diantaranya disebabkan di kedua wilayah ini kondisi bangunan tempat tinggal sudah sebagian besar permanen, relatif jauhnya jarak bangunan dengan tebing/bukit, sudah banyak yang mencari nafkah selain menjadi petani dan relatif mempunyai tingkat pendapatan yang cukup tinggi. Peta sebaran resiko tanah longsor diperoleh dari penggabungan antara peta sebaran rawan tanah longsor, peta properti dan peta kerentanan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa seluas 9.500 hektar (11,4% dari luas wilayah Kabupaten) termasuk ke dalam kategori kelas resiko tanah longsor
75 sangat rendah, seluas 25.540 hektar (30,6%) termasuk rendah, seluas 36.770 hektar (44,1%) termasuk sedang, seluas 11.450 hektar (13,7%) termasuk tinggi dan seluas 110 hektar (0,1%) termasuk sangat tinggi.
Sebaran wilayah
berdasarkan kelas resiko tanah longsor disajikan pada Tabel 34 dan Gambar 28. Dari Tabel 34 dapat dilihat bahwa pada kelas resiko tanah longsor tinggi Kecamatan Sinjai Tengah merupakan wilayah terluas dengan resiko tanah longsor yang tinggi dan sangat tinggi, yaitu 6.110 hektar (45,2% dari luas Kecamatan), kemudian Kecamatan Sinjai Borong seluas 2.910 hektar (37,6%) dan Kecamatan Sinjai Barat seluas 2.160 hektar (14,2%).
Berkaitan dengan
bencana tanah longsor yang terjadi pada tahun 2006, maka terlihat bahwa sebagian besar titik kejadian berada kelas resiko sangat tinggi dan tinggi. Selain itu berdasarkan kelas rawan tanah longsor dan kelas kerentanan, ketiga Kecamatan ini termasuk yang mempunyai wilayah yang cukup luas untuk kelas dengan kategori tinggi dan sangat tinggi. Tabel 34. Sebaran Wilayah Berdasarkan Nilai Resiko Tanah Longsor Kelas Resiko Tanah Longsor
No 1.
Kecamatan
Sangat Rendah (Ha)
Bulupoddo
130 (1,3)
-
9.970
-
2.920
10.120
2.160
-
15.200
-
(19,2)
(66,6)
(14,2)
-
(100)
-
150
4.680
2.850
60
7.740
-
(1,9)
(60,40)
(36,80)
(0,8)
(100)
1
4.410
8.330
240
-
13.000
(0,1)
(33,9)
(64,1)
(1,9)
-
(100)
-
70
7.320
6.060
50
13.500
-
(0,5)
(54,2)
(44,9)
(0,3)
(100)
2.530
4.850
30
-
-
7.420
(34,1)
(65,4)
(0,5)
-
-
(100)
990
1.580
230
-
-
2.810
(35,4)
(56,2)
(8,2)
-
-
(100)
5.950
7.740
30
-
-
13.730
%
(43,4)
(56,4)
(0,2)
-
-
(100)
Jumlah
9.500
25.540
36.770
11.450
110
83.380
Persentase (%)
(11,4)
(30,6)
(44,1)
(13,7)
(0,1)
(100,0)
Sinjai Barat Sinjai Borong Sinjai Selatan %
5.
Sinjai Tengah %
6.
Total (Ha)
6.010 (60,3)
% 4.
Sangat Tinggi (Ha)
Tinggi (Ha)
3.820 (38,3)
% 3.
Sedang (Ha)
10 (0,1)
% 2.
Rendah (Ha)
Sinjai Timur %
7.
Sinjai Utara
8.
Tellu Limpoe
%
Sumber : Hasil analisis
(100)
76
Gambar 28. Peta Sebaran Resiko Tanah Longsor
Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Kajian persepsi dan partisipasi masyarakat dilakukan untuk mengetahui kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana tanah longsor dan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan. Kajian ini berdasarkan pertimbangan bahwa pembangunan juga akan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai
77 program-program pembangunan dan dampak yang ditimbulkannya.
Masalah
bencana tanah longsor merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah, sehingga seluruh proses persiapan dan penanganan hingga pemulihannya harus dilakukan secara bersama-sama. Kesiapan
masyarakat
dalam
menghadapi
resiko
bencana
sangat
diperlukan terutama di wilayah yang mempunyai resiko tinggi terhadap terjadinya bencana tanah longsor.
Kajian ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan untuk penanggulangan bencana dan perencanaan penataan ruang.
Kajian ini direpresentasikan dalam bentuk tabulasi yang
merupakan hasil dari wawancara menggunakan kuisioner. Hasil dari wawancara disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Dari Lampiran 1 dapat dilihat bahwa pengetahuan sebagian besar masyarakat tentang bencana dan kerugiannya jika terjadi sudah relatif cukup baik. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara yang menyatakan sudah tahu arti secara umum tentang bencana dan kerugian yang dirasakan, terutama yang pernah mengalami sendiri bencana tanah longsor, dengan tingkat persentase 91,7% dan 97,9%. Selain itu masyarakat juga menyatakan bahwa penyebab bencana tanah longsor adalah karena alam (42,7%), manusia (13,5%) dan interaksi antara alam dan manusia (43,7%). Artinya, sebagian masyarakat sudah mengetahui bahwa manusia mempunyai peranan menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana tanah longsor di Kabupaten Sinjai. Untuk pengetahuan tentang daerah rawan bencana tanah longsor, tandatanda akan terjadinya bencana tanah longsor, peta daerah rawan bencana tanah longsor dan hubungan penataan ruang dengan bencana tanah longsor sebagian besar masyarakat belum memahami dengan cukup baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa Pemerintah setempat kurang efektif dalam melakukan sosialisasi dan menyediakan informasi bencana tanah longsor. Untuk pengetahuan tentang konversi lahan, aliran permukaan, konservasi tanah dan air serta daerah resapan air, sebagian besar juga masyarakat belum memahami secara baik. Hal ini dapat saja mempengaruhi perilaku masyarakat yang menjadi responden untuk melakukan sesuatu yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap bencana tanah longsor, seperti melakukan perubahan penggunaan lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya walaupun sebagian besar masyarakat responden sudah mengetahui fungsi dari kawasan lindung (61,5%). Hal ini dapat dilihat dari data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai (2005) yang menyatakan bahwa sekitar 33,0% wilayah hutan
78 lindung sudah diokupasi menjadi penggunaan lahan kebun campuran, perkebunan rakyat dan tegalan. Dari Lampiran 2 dapat dilihat bahwa pengetahuan masyarakat belum cukup baik tentang RTRW, pembangunan.
manfaat RTRW, peraturan tata ruang, rencana
Yang menyatakan tidak tahu lebih dari 91% bahkan untuk
pengetahuan tentang peraturan tata ruang yang mengetahui hanya 1 (satu) orang (1,0%) saja. Hal ini dapat disebabkan kurang efektifnya sosialisasi yang dilakukan
Pemerintah
setempat,
sehingga
memungkinkan
terjadinya
ketidaksesuaian dalam penggunaan lahan saat ini dengan kondisi yang ada dan rencana pola pemanfaatan ruang dalam
RTRW yang pada akhirnya akan
meningkatkan kerentanan terhadap bencana tanah longsor. Selanjutnya sebagian besar masyarakat (64,6%) juga berkeinginan untuk berpartisipasi setidaknya dalam bentuk pemberian saran dan masukan untuk kegiatan perencanaan pembangunan/penataan ruang.
Selama ini dalam
perencanaan pembangunan hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat saja. Padahal keinginan sebagian besar masyarakat belum tentu terwakili oleh beberapa orang saja.
Rumusan Upaya untuk Meminimalisir Bencana Tanah Longsor Pada tanggal 19 dan 20 Juni 2006, kejadian bencana tanah longsor di Kabupaten Sinjai telah menimbulkan kerugian yang sangat besar, mulai dari kerugian materi berupa harta benda, rumah dan tempat usaha (lahan) sampai dengan korban jiwa yang mencapai 210 orang.
Kelemahan utama dalam
menghadapi kejadian tanah longsor adalah ketidaksiapan dan tidak adanya data yang rinci, komprehensif dan mudah dimengerti mengenai wilayah-wilayah yang berpotensi terjadi tanah longsor dan resiko yang ditimbulkannya. Tindakan baru dilakukan ketika tanah longsor telah terjadi tanpa adanya upaya pencegahan. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat (5), penyelenggaraan penanggulangan bencana
adalah
serangkaian
upaya
yang
meliputi
penetapan
kebijakan
pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.
Selanjutnya pencegahan bencana adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
79 Dalam konteks penyelenggaraan penanggulangan bencana tanah longsor, penelitian yang dilakukan di Kabupaten Sinjai ini merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan pencegahan bencana tersebut. Hal ini karena penelitian ini menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan saat ini dengan RTRW yang terkait dengan penataan ruang, menetapkan sebaran wilayah yang berpotensi (rawan) untuk terjadi tanah longsor dan selanjutnya menetapkan wilayah dengan tingkat resiko apabila terjadi tanah longsor serta kaitannya dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana tanah longsor. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian antara penggunaan lahan saat ini dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2006-2016 secara umum dapat dilihat bahwa penggunaan lahan saat ini yang sesuai dengan RTRW adalah seluas 46.520 hektar atau 55,8% dan yang tidak sesuai seluas 36.860 hektar atau 44,21%. Artinya, hampir setengah penggunaan lahan saat ini tidak sesuai dengan penggunaan lahan yang dialokasikan dalam RTRW. Hal ini Selain itu berdasarkan kelas lereng, baik untuk penggunaan lahan yang dialokasikan dalam RTRW maupun penggunaan lahan saat ini, pada umumnya relatif tidak sesuai. Idealnya wilayah dengan kelas lereng di atas 40% dijadikan sebagai kawasan lindung. Luas wilayah yang seharusnya dijadikan kawasan lindung adalah 14.540 hektar. Pada penggunaan lahan RTRW hanya seluas 6.720 hektar (46,2%) yang dialokasikan untuk kawasan lindung. Artinya, lebih dari setengahnya wilayah yang seharusnya jadi kawasan lindung ternyata dialokasikan untuk penggunaan lain. Penggunaan lahan lainnya adalah untuk pertanian lahan kering (45,0%), permukiman (3,1%) dan pertanian lahan basah (5,6%). Begitu juga pada penggunaan lahan saat ini, untuk kelas lereng di atas 40% hanya seluas 4.860 hektar (34,4%) yang menjadi kawasan lindung. Penggunaan lahan lainnya adalah untuk pertanian lahan kering (57,2%), permukiman (3,6%), alang-alang (0,2%), rumput (0,5%), sawah (3,4%) dan semak (1,6%). Berdasarkan hasil analisis sebaran rawan tanah longsor dapat dilihat bahwa wilayah rawan tanah longsor yang termasuk ke dalam kategori sangat rawan dan rawan dengan wilayah yang sangat luas adalah Kecamatan Sinjai Tengah, Sinjai Borong, Bulupoddo dan Sinjai Barat. Wilayah yang termasuk ke dalam kategori yang sangat rawan dan rawan pada keempat Kecamatan tersebut rata-rata di atas 80% dari luas masing-masing Kecamatan. Wilayah ini sebagian besar merupakan penggunaan tegalan, sawah, hutan belukar, hutan lebat dan hutan sejenis pinus.
80 Keempat Kecamatan tersebut harus mendapatkan prioritas dalam rangka upaya pencegahan bencana tanah longsor. Tindakan pencegahan harus mempertimbangkan faktor yang menjadi parameter pemicu terjadinya tanah longsor, yaitu kelas lereng, penggunaan lahan dan geologi. Dari ketiga faktor tersebut, kelas lereng dan penggunaan lahan merupakan dua faktor yang dapat diintervensi manusia untuk dilakukan upaya penanggulangan secara umum. Untuk faktor kelas lereng, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembalikan fungsi kawasan lindung yang telah dijadikan penggunaan lain. Hal ini telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sinjai melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan dengan menanami kembali (vegetasi) hutan lindung di Kecamatan Sinjai Borong, Sinjai Barat, Sinjai Tengah dan Bulupoddo. Upaya lain yang dilakukan adalah berupa pembuatan bangunan pengendali jurang (gully plug) pada empat Kecamatan tersebut.
Selain itu, penggunaan lahan
untuk permukiman perlu dibatasi di wilayah-wilayah yang termasuk kategori rawan atau sangat rawan tanah longsor atau dilarang sama sekali. Untuk faktor penggunaan lahan, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penataan kembali wilayah yang termasuk ke dalam kategori rawan dan sangat rawan tanah longsor.
Hal yang perlu diperhatikan adalah
adanya perubahan penggunaan lahan, terutama dari kawasan lindung menjadi penggunaan lainnya. Perubahan ini berkaitan dengan perilaku masyarakat di sekitar lokasi kawasan lindung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ditambah lagi dengan semakin terbatasnya jumlah lahan yang dapat dikelola, sehingga masyarakat memanfaatkan lahan yang ada di dalam kawasan lindung walaupun tingkat kemiringannya di atas 40%. Berdasarkan hasil analisis sebaran resiko tanah longsor dapat dilihat bahwa wilayah yang termasuk ke dalam kategori resiko tanah longsor sangat tinggi dan tinggi adalah seluas 11.560 hektar (13,9% dari luas wilayah Kabupaten). Wilayah yang termasuk ke dalam kategori resiko tanah longsor tinggi adalah seluas 11.450 hektar (13,7% dari luas wilayah Kabupaten). Wilayah yang termasuk tingkat resiko tanah longsor sangat tinggi dan tinggi terluas adalah wilayah Kecamatan Sinjai Tengah, yaitu 6.110 hektar (45,2% dari luas wilayah kecamatan), kemudian Kecamatan Sinjai Borong (2.910 hektar, 37,6% dari wilayah kecamatan) dan Kecamatan Sinjai Barat (2.160 hektar, 14,2% dari wilayah kecamatan). Luasan dan sebaran wilayah yang termasuk kategori resiko tanah longsor sangat tinggi dan tinggi ini ditentukan oleh faktor wilayah tersebut termasuk ke
81 dalam kategori rawan tanah longsor yang tinggi (rawan dan sangat rawan), adanya properti yang terkonsentrasi pada suatu area dan tingkat kerentanan yang tinggi. Dominasi penggunaan lahan pada wilayah yang termasuk resiko tanah longsor sangat tinggi dan tinggi adalah pertanian lahan kering, permukiman dan pertanian lahan basah, dilalui jalan provinsi dan jalan kabupaten serta adanya fasilitas sosial dan umum seperti pasar, sekolah dan mesjid. Selain itu, pada wilayah tersebut tingkat kerentanannya relatif tinggi. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar kondisi bangunan yang masih semi permanen, tidak adanya bangunan pengendali longsor dan jarak bangunan yang telatif dekat dengan bukit atau jurang. Kondisi demikian sangat beresiko jika terjadi tanah longsor dengan nilai kerugian yang relatif tinggi.
Selain itu,
perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya juga dapat meningkatkan resiko tanah longsor. Meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk permukiman, kegiatan ekonomi, fasilitas sosial dan umum serta infrastruktur secara otomatis akan meningkatkan juga resiko tanah longsor. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan terhadap wilayah yang mempunyai tingkat resiko tanah longsor tinggi dan sangat tinggi adalah dengan mengurangi tingkat kerawanan tanah longsor seperti pada pembahasan sebelumnya. Resiko tanah longsor juga dapat dilakukan dengan mengendalikan pembangunan properti (fasilitas sosial dan umum serta infrastruktur) dan penggunaan
lahan
sesuai
dengan
daya
dukung
lingkungan.
Upaya
pengendalian ini menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 35 adalah berupa penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Selanjutnya jika peta RTRW ditumpangtindihkan dengan peta sebaran resiko tanah longsor, maka dapat diketahui tingkat resiko pada berbagai jenis penggunaan lahan yang dialokasikan dalam RTRW seperti yang disajikan secara lengkap pada Tabel 35.
82 Tabel 35. Penggunaan Lahan dalam RTRW dengan Kelas Resiko Tanah Longsor Kelas Resiko
No 1. 2.
3. 4. 5.
Jenis Penggunaan RTRW Kawasan Lindung Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Basah Permukiman Pertambakan Jumlah
Sangat Rendah (Ha) 480 6.210
3.060 6.180
Sangat Tinggi (Ha) 20 80
14.480 49.220
6.190
1.570
10
12.800
1.430 -
3.700 -
640 -
-
6.670 200
25.540
36.770
11.450
110
83.380
Rendah (Ha)
Sedang (Ha)
5.900 14.882
5.010 21.870
1.710
3.320
900 200 9.500
Tinggi (Ha)
Total (Ha)
Sumber : Hasil Analisis Dari Tabel 34 dapat dikatakan bahwa penggunaan lahan yang dialokasikan dalam RTRW 2006-2016 belum mempertimbangkan sebaran wilayah rawan tanah longsor dan resiko tanah longsor. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan yang dialokasikan untuk permukiman seluas 640 hektar dan pertanian lahan basah seluas 1.570 hektar berada pada wilayah yang mempunyai kelas resiko tinggi dan sangat tinggi. Wilayah ini terdapat pada Kecamatan Sinjai Tengah (permukiman seluas 160 hektar dan pertanian lahan basah 760 hektar), Sinjai Borong (permukiman seluas 380 hektar dan pertanian lahan basah 600 hektar), Sinjai Barat (permukiman seluas 80 hektar dan pertanian lahan basah 210 hektar) dan Bulupoddo (permukiman seluas 20 hektar dan pertanian lahan basah 10 hektar) Setelah melakukan beberapa analisis, maka usulan kepada Pemerintah setempat sebagai langkah awal dalam upaya untuk meminimalisir kerugian yang dapat ditimbulkan akibat bencana tanah longsor adalah : 1.
Perlunya menyusun suatu basis data yang lebih lengkap, rinci, mudah dipahami dan dilengkapi dengan peta mengenai penggunaan lahan saat ini, kelas lereng, sebaran wilayah rawan tanah longsor dan sebaran wilayah resiko tanah longsor.
2.
Perlunya merevisi pola pemanfaatan ruang yang tertuang dalam RTRW 2006-2016 terutama berkaitan dengan wilayah yang banyak dihuni masyarakat (padat permukiman) atau yang mempunyai nilai properti yang relatif tinggi serta mempunyai tingkat rawan dan resiko tanah longsor yang tinggi. Penyusunan RTRW 2006-2016 belum mempertimbangkan sebaran rawan tanah longsor dan sebaran resiko tanah longsor. Hal ini dapat dilihat
83 adanya penggunaan yang dialokasikan untuk permukiman (Kecamatan Sinjai Borong seluas 380 hektar, Kecamatan Sinjai Tengah seluas 160 hektar, Kecamatan Sinjai Barat seluas 80 hektar dan Kecamatan Bulupoddo seluas 20 hektar) dan pertanian lahan basah (Kecamatan Sinjai Tengah seluas 760 hektar, Kecamatan Sinjai Borong seluas 600 hektar, Kecamatan Sinjai Barat seluas 210 hektar dan Kecamatan Bulupoddo seluas 10 hektar) yang berada pada wilayah dengan tingkat resiko tanah longsor tinggi. Selain itu, RTRW ini masih mengacu kepada Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang telah direvisi menjadi Undangundang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Penyusunan
RTRW sejak awal sudah seharusnya melibatkan berbagai instansi yang terkait, seperti Bappeda, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Dinas Tata Ruang dan Permukiman, Dinas Prasarana Daerah, Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan dan Pertambangan, Kantor Kesejahteraan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat serta berbagai komponen yang ada pada masyarakat. 3.
Pada tahap pelaksanaan RTRW perlu dilakukan pengendalian secara komprehensif oleh kelembagaan yang kuat dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat terutama di wilayah yang mempunyai tingkat resiko tanah longsor tinggi, seperti Kecamatan Sinjai Tengah, Sinjai Borong, Sinjai Barat dan Bulupoddo.
4.
Wilayah yang termasuk kawasan lindung berdasarkan kelas lereng di atas 40% dan pada penggunaan lahan saat ini ternyata dipergunakan untuk penggunaan lain seharusnya dikembalikan kepada fungsi aslinya sebagai kawasan lindung untuk meminimalisir kerugian akibat bencana tanah longsor.
Data dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai
(2005) menunjukkan bahwa seluas 2.560 hektar kawasan hutan lindung sudah diokupasi oleh masyarakat, yaitu di Kecamatan Sinjai Tengah seluas 410 hektar, di Kecamatan Sinjai Barat seluas 1.370 hektar dan Kecamatan Sinjai Borong seluas 770 hektar. Sebagian besar kawasan hutan lindung yang diokupasi ini digunakan untuk pertanian lahan kering, yaitu perkebunan kopi dan coklat.
Hal ini tentu akan semakin meningkatkan resiko tanah
longsor. 5.
Pada wilayah yang mempunyai kemiringan di atas 40% ini sudah seharusnya mendapat prioritas dilakukan konservasi tanah baik secara vegetatif maupun mekanis
atau kombinasi keduanya.
Secara vegetatif,
84 teknik yang dapat diterapkan adalah dengan melakukan penanaman rumput, perdu, bambu dan pohon yang berakar dalam serta bertajuk rimbun. Sedangkan secara mekanis, teknik yang dapat diterapkan adalah dengan pembuatan terasering, pemasangan trucuk bambu, pemasangan bronjong kawat, pembuatan bangunan pengendali jurang (gully plug) dan pembuatan dinding batu. Penerapan konservasi ini sangat diperlukan terutama di Kecamatan Sinjai Tengah dan Sinjai Borong yang pada tahun 2006 merupakan wilayah yang mengalami bencana tanah longsor cukup parah. 6.
Perlunya peningkatan sosialisasi yang berkelanjutan, baik formal maupun non formal, kepada masyarakat tentang pentingnya memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup dalam penggunaan lahan, tentang RTRW yang telah disusun, tentang bencana tanah longsor dan tentang tindakan pencegahan yang dapat dilakukan.
Sosialisasi ini perlu disampaikan
dengan metode yang sederhana, baik terkait dengan cara maupun bahasa, sehingga dapat secara efektif dalam menumbuhkan dan meningkatkan pemahaman masyarakat. 7.
Pada wilayah yang termasuk kategori kelas rawan tanah longsor dan resiko tanah longsor yang tinggi seharusnya sudah ada peringatan dini dari Pemerintah Setempat bagi penduduk untuk menghindar.
Peringatan dini
bisa berupa papan nama/pengenal yang menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. 8.
Langkah terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan merelokasi masyarakat (permukiman dan fasilitasi penunjangnya) dari wilayah yang termasuk kelas rawan tanah longsor dan resiko tanah longsor yang tinggi ke tempat yang lebih aman, terutama di Kecamatan Sinjai Tengah dan Sinjai Borong.
Akan tetapi, langkah ini tentu perlu pengkajian lebih mendalam
terutama yang berkaitan dengan keinginan masyarakat dan perlu sosialisasi yang intensif sampai masyarakat benar-benar mengerti sebelum diterapkan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Secara umum penggunaan lahan saat ini di Kabupaten Sinjai tidak sesuai terhadap RTRW sebesar 44,2% (36.860 hektar). Selain itu, berdasarkan kelas lereng, baik RTRW maupun penggunaan lahan saat ini tidak sesuai dengan peruntukkannya.
2.
Lebih dari separuh wilayah Kabupaten Sinjai merupakan daerah yang rawan terhadap tanah longsor, yaitu seluas 45.310 hektar atau 54,3% dari luas wilayah.
Adapun luas wilayah yang berpotensi sangat rawan terhadap
bahaya tanah longsor seluas 8.400 hektar (10,1%), kerawanan sedang 21.720 hektar (26,0%), kerawanan rendah 6.720 hektar (8,1%) dan aman 1.210 hektar (1,4%). 3.
Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sinjai yang mempunyai potensi bahaya tanah longsor pada tingkat sangat rawan paling luas adalah Kecamatan Sinjai Tengah (3.210 hektar), Kecamatan Sinjai Borong (2.070 hektar), Kecamatan Bulupoddo (1.590 hektar) dan Kecamatan Sinjai Barat (1.170 hektar).
4.
Sekitar 36.770 hektar atau 44,1% dari total luas wilayah Kabupaten Sinjai merupakan daerah yang berresiko sedang terhadap tanah longsor. Selanjutnya, luas wilayah yang merupakan tingkat resiko tanah longsor sangat tinggi adalah 110 hektar (0,1%), tinggi 11.450 hektar (13,7%), rendah 25.540 hektar (30,6%) dan sangat rendah 9.500 hektar (11,4%).
5.
Relatif tingginya persentase ketidaksesuaian penggunaan lahan saat ini terhadap RTRW, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang bencana tanah longsor dan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penataan ruang merupakan kondisi yang mempengaruhi tingkat rawan dan resiko tanah longsor di Kabupaten Sinjai. Saran
1.
Peninjauan ulang terhadap RTRW 2006-2016 perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek rawan dan resiko tanah longsor dan apabila diperlukan Pemerintah Kabupaten Sinjai melakukan revisi.
2.
Pada
tahap
pelaksanaan
pola
pemanfaatan
ruang
RTRW
perlu
pengendalian berupa penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
86
insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku dan daya dukung lingkungan. 4.
Untuk penggunaan permukiman pada wilayah yang termasuk kategori rawan tanah longsor dan resiko tanah longsor yang tinggi disarankan untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman.
5.
Kelembagaan penanggulangan bencana yang sudah ada perlu lebih ditingkatkan lagi keefektifannya dan koordinasinya dengan lembaga independen untuk menyebarkan secara luas informasi mengenai bencana tanah longsor dan penataan ruang. Selain itu, penegakan hukum terhadap aturan yang ada agar dilaksanakan dengan konsisten.
DAFTAR PUSTAKA Alhasanah, Fauziah. 2006. Pemetaan dan analisis daerah rawan tanah longsor serta upaya mitigasinya menggunakan sistem informasi geografis: kasus di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 2006. Kabupaten Sinjai Dalam Angka 2005/2006. Sinjai. Baldiviezo, H.L. Perotto, T.L. Thurow, C.T. Smith, R.F. Fisher, X. B. Wu. 2003. GIS-based spatial analysis and modeling for landslide hazard assesment in stepland, southern Honduras. Agriculture Ecosystem and Enviroment 103 (2004):165-176. Barus, B., Wiradisastra U.S. 2000. Sistem Informasi Geografis : Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. BPPT. 2007. Tim banjir bandang BPPT melakukan kajian di Kabupaten Sinjai dan Jeneponto. http://www.bppt.go.id/index.php?option=com_content& task= view& id=54216&Itemid=30. [18 Pebruari 2007]. Dardak, A. Hermanto. 2006. Kebijakan Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Kawasan Rawan Bencana Longsor. Makalah dalam Lokakarya Penataan Ruang Sebagai Wahana untuk Meminimalkan Potensi Kejadian Bencana Longsor, kerjasama Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum dengan Badan Kejuruan Sipil Persatuan Insinyur Indonesia, Jakarta, 7 Maret 2006. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai. 2005. Data dan Informasi Statistik Tahun 2005. Sinjai. Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan dan Pertambangan Daerah Kabupaten Sinjai. 2007. Longsor. Kegiatan Penyebaran Peta Daerah Rawan Bencana Alam Geologi. Sinjai. Pemerintah Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. 2006. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sinjai Tahun 2006-2016. Sinjai. Prahasta, E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Penerbit Informatika. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh. 2006. Laporan analisis citra satelit penginderaan jauh untuk kejadian banjir dan tanah longsor di Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. http://lapanrs.com/SMBA/pdf/ Laporan%20Banjir%20SulSel%20 (Juni%202006,%20LAPAN).pdf. [21 juni 2007].
88 Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Informasi Teknik Rehabilitasi dan Konservasi Tanah. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2007. Pengenalan gerakan tanah. http://merapi.vsi.esdm.go.id/?static/gerakantanah/pengenalan.htm. [27 April 2007]. Rustiadi, E., Saefulhakim S., Panuju D.R. 2006. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Savitri, Asri. 2007. Kajian pemanfaatan ruang dalam kaitannya dengan resiko banjir di Kabupaten Bandung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Savitri, Evi. 2007. Analisa pemanfaatan ruang dalam kaitannya dengan resiko tanah longsor di Kabupaten Tanah Datar [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Undang-undang Republik Indonesia Penanggulangan Bencana.
Nomor
24
Tahun
2007
tentang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Zhou, Pinggen et al. 2005. A Demonstrative GPS-aided Automatic Landslide Monitoring System in Sichuan Province. Journal of Global Positioning System 4:184-191.
89
LAMPIRAN
90
Lampiran 1. Persepsi Masyarakat terhadap Bencana Tanah Longsor Persepsi Masyarakat No 1 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kategori 2
Jumlah (org) 3
% 4
Pengetahuan tentang bencana Ya Tidak Tidak peduli
88 8 -
91,7 8,3 -
Kerugian jika terjadi bencana Tahu Tidak Tidak peduli
94 2 -
97,9 2,1 -
Persiapan untuk menghadapi bencana Sudah Belum Tidak peduli
5 86 5
5,2 89,6 5,2
Pengetahuan tentang daerah rawan bencana tanah longsor Ya Tidak Tidak peduli
34 60 2
35,4 62,5 2,1
Pengetahuan tentang tanda-tanda akan terjadi tanah longsor Ya Tidak Tidak peduli
8 88 -
8,3 91,6 -
Pengetahuan tentang peta daerah rawan bencana tanah longsor Ya Tidak Tidak peduli
4 91 -
4,2 94,8 -
Pengetahuan tentang penyebab bencana tanah longsor Alam Manusia Alam dan Manusia
41 13 42
42,7 13,6 43,7
Tahu Tidak tahu Tidak peduli
5 90 1
5,2 93,7 1,1
Sosialisasi bencana tanah longsor/penyuluhan Pernah Tidak pernah
3 93
3,1 9,9
Pengetahuan tentang konversi lahan Tahu Tidak tahu Tidak peduli
16 79 1
16,7 82,3 1,0
Pengetahuan tentang hubungan penataan ruang dengan bencana tanah longsor
91
Lanjutan Lampiran 1 1 11.
12.
13.
2 Pengetahuan tentang aliran permukaan Tahu Tidak tahu Tidak peduli
3
4 3 93 -
3,1 96,8 -
Pengetahuan tentang konservasi tanah dan air Tahu Tidak tahu Tidak peduli
18 78 -
18,7 81,3 -
Pengetahuan tentang daerah resapan air Tahu Tidak tahu Tidak peduli
2 94 -
2,1 97,9 -
Sumber : Data primer
92
Lampiran 2. Persepsi Masyarakat terhadap Penataan Ruang
No
Kategori
1 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Persepsi Masyarakat Total (org) % 8 9
Pengetahuan tentang RTRW Tahu Tidak Tidak peduli
8 88 0
8,3 91,7 0,00
Manfaat RTRW Tahu Tidak Tidak peduli
8 88 0
8,3 91,7 0,00
Sosialisasi penataan ruang Pernah Tidak pernah
0 96
0 100,00
Pengetahuan tentang kawasan lindung Tahu Tidak Tidak peduli
59 37 0
61,5 38,5 0,00
Pengetahuan tentang peraturan tata ruang Tahu Tidak Tidak peduli
1 95 0
1,0 99,0 0,00
Pengetahuan tentang rencana pembangunan/ tata ruang yang dilakukan Pemerintah Tahu Tidak Tidak peduli
1 94 1
1,0 98,1 1,0
Keinginan berpartisipasi dalam kegiatan perencanaan pembangunan/tata ruang Ya Tidak Tidak peduli
62 31 3
64,6 32,3 3,1
Sumber : Data primer