Rencana Disertasi : PEMODELAN KARDIORESPIRATOMETER BERBASIS VIBRASI DADA
KAJIAN MODEL MATEMATIK SISTEM KARDIORESPIRASI
KARYA ILMIAH 3
Oleh : NURIDA FINAHARI NIM. 0730703012
PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN KEKHUSUSAN TEKNOLOGI KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA PROGRAM PASCA SARJANA MALANG 2008
LEMBAR PENGESAHAN
KAJIAN MODEL MATEMATIK SISTEM KARDIORESPIRASI
KARYA ILMIAH 3
Oleh : NURIDA FINAHARI NIM. 0730703012
Menyetujui, Pembimbing Akademik
Dr. dr. M. Rasjad Indra, MS NIP. 130 809 092
2
KERANGKA RENCANA DISERTASI Rencana Judul Disertasi : Pemodelan kardiorespiratometer berbasis vibrasi dada Aktifitas Pernafasan
Regangan Elastis Kulit Dada
Tekanan Rongga Dada
Denyut Jantung
Superposisi Getaran
Getaran Kulit Dada
a. Kerangka Konseptual Ekshalasi/Inhalasi Pernafasan
Regangan Elastis Kulit Dada Bunyi dan Getaran
Listrik Jantung
Depolarisasi/ Repolarisasi
Detak Jantung/ Gerak Katup/ Aliran Darah Aorta
Superposisi/ Transmisibilitas Getaran
Model Matematis
Data ECG dan Spirometry
Sensor, Pengukuran
Analisis Akurasi/ Kalibrasi
Verifikasi
Transformasi Kuantitas
Analisis Sinkronisasi (Statistik)
b. Aliran Proses dan Latar Belakang Teori Rencana Judul Karya Ilmiah : 1. Fisioanatomi dan sinkronisasi sistem kardiorespirasi 2. Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi 3. Kajian model matematik sistem kardiorespirasi 4. Getaran kulit dada sebagai indikator fungsi sistem kardiorespirasi 5. Pengembangan teknik pengukuran sistem kardiorespirasi
6. Praproposal disertasi
3
ABSTRAKS Nurida Finahari; Program Pascasarjana Universitas Brawijaya; Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi; Pembimbing Akademik : M. Rasjad Indra. Komputasional fisiologi merupakan bidang ilmu baru yang menjadi jembatan antara bidang fisika teknik dan biomedik. Teori-teori fisika teknik digunakan sebagai alat analisis sistem biomedik. Jenjang analisis mengikuti level kajian yang lazim digunakan dalam biomedik, yaitu dari level sistem hingga level molekuler. Salah satu metode untuk menerapkan analisis komputasional fisiologi adalah melalui penyusunan model matematik. Dari model matematik yang telah tersusun, dapat dibuat visualisasi hasil yang bermacam-macam sesuai dengan kepentingan dan ketersediaan alat bantunya, baik yang berbentuk software maupun hardware. Namun demikian, model matematik masih memiliki beberapa kelemahan, salah satunya adalah kesesuaian tingkat validasi dan akurasi hasil yang masih harus disesuaikan dengan kompleksitas sistem biomedik yang ditinjau, ketersediaan data eksperimen sebagai pembanding dan pemilihan asumsi-asumsi yang diambil. Dalam kajian sistem kardiorespirasi, penyusunan model matematik yang mendasari pemanfaatan getaran sebagai variabel ukur fisiologis, interaksi antara jantung dan paru-paru harus dilibatkan sebagai salah satu variabel tinjauan untuk menjamin tingkat validitas dan akurasi model. Kata kunci: komputasional fisiologi, model matematik, getaran, kardiorespirasi
ABSTRACT Nurida Finahari; Postgraduate program Brawijaya University; Review of structure and function of cardiorespiratory system devices; Supervisor : M. Rasjad Indra. Computational physiology is a new field in sciences that acts as a bridge for physical engineering and biomedic. Physical engineering theories are used as analysis tools for biomedical system. Analytical level is adjusted to review levels in biomedic, from system to moleculer. One method to apply computational physiology analysis is by derived mathematical model. From this model, visualization results can be made according to the interested purposes and the availability of supporting tools, such as software and/or hardware. Eventhough, mathematical model has several limitations, such as the dependency of results validity and accuracy that must be adjusted according to the complexity of the system, experimental data availability as comparator and the selection of assumptions. For the cardiorespiratory review, derivation of mathematical model as basic steps to use vibration as physiological measurement variable must included interaction between heart and lung as validity and accuracy parameter. Keywords: computational physiology, mathematical model, vibration, cardiorespiratory
4
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
2
KERANGKA RENCANA DISERTASI
3
ABSTRAKS
4
DAFTAR ISI
5
DAFTAR GAMBAR
6
I. PENDAHULUAN
7
1.1. Latar Belakang
7
1.2. Permasalahan
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komputasional fisiologi
9 9
2.2. Contoh model matematik pada sistem pernafasan
14
2.3. Contoh model matematik pada sistem kardiovaskular
17
2.4. Contoh model matematik interaksi kardiorespirasi
20
III. PEMBAHASAN
24
IV. PENUTUP
27
4.1. Kesimpulan
27
4.2. Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
28
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Analogi konsep fisika teknik - biomedik
10
Gambar 2. Anatomi level organ dengan metode elemen hingga
11
Gambar 3. Program analisis dan antar muka berbasis komputer
12
Gambar 4. Ilustrasi ruang lingkup kajian jantung manusia
13
Gambar 5. Hasil simulasi model 2-variabel
15
Gambar 6. Hasil simulasi model 5-variabel
16
Gambar 7. Gambaran model matematik jembatan miokardial
19
Gambar 8. Skema ekuivalensi hidrolik sistem sirkulasi
16
Gambar 9. Blok diagram sistem pengaturan baroreseptor
21
Gambar 10. Skema model pulmonar
23
Gambar 11. Contoh perbandingan hasil simulasi dan data eksperimen
24
Gambar 12. Kerangka konsep penyusunan model matematik getaran Kardiorespirasi
26
6
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kajian fisioanatomi sistem kardiorespirasi pada karya ilmiah 1 menunjukkan bahwa keselarasan antara detak jantung dan laju respirasi (sinkronisasi kardiorespirasi) merupakan fenomena nyata meskipun bukan merupakan variabel utama interaksi kardiorespirasi (Toledo, et.al; 2002). Dari hasil simulasi matematik diketahui bahwa peningkatan volume paru-paru akibat peningkatan tekanan alveolar, menyebabkan perubahan tekanan intratorak. Perubahan ini berpengaruh pada perfusi paru-paru, aliran vena dan keluaran jantung (Darowski; 2000). Penelitian-penelitian tentang sinkronisasi kardiorespirasi pada awalnya ditujukan untuk memahami mekanisme patofisiologis (Mrowka, et.al; 2003). Namun pada umumnya masih dilakukan dengan memanfaatkan data-data hasil rekaman terpisah dari alat ukur jantung dan paru-paru, yang dikuantifikasi menjadi variabel baru. Data elektrokardiografi dan aliran udara dari termistor nasal digabungkan dalam Ambulatory solid-state recorder (Medikor, TOM-signaltechnik, Graz, Austria) untuk menghasilkan data fase relatif gelombang R dan inspirasi onset yang mendahuluinya, yang dinyatakan sebagai variabel koordinasi kardiorespirasi (Betterman, et.al; 2002). Kombinasi elektrokardiografi bipolar dan metode pletismografi induktif digunakan untuk menggambarkan interaksi sistem kardiorespirasi bayi pada berbagai kondisi tidur (Mrowka, et.al; 2003). Elektrokardiografi dan spirometer juga digunakan untuk meneliti vasovagal syncope sebagai indikator sinkronisasi (Lipzits, et.al; 1998). Kajian terhadap alat-alat ukur standar yang umum digunakan pada monitoring dan diagnosa sistem kardiorespirasi menunjukkan bahwa peralatan-peralatan tersebut secara individual belum menunjukkan kinerja yang optimum yang memudahkan proses analisis data dan diagnosa klinis yang bersesuaian. Hal tersebut mendorong pengembangan peralatan-peralatan
baru
sebagai perbaikan kinerja
yang
menawarkan akurasi,
kepresisian, kepraktisan, biaya murah dan kenyamanan (Mack; 2003). Mengingat sistem kardiorespirasi merupakan osilator biologis, maka pemanfaatan getaran yang ditimbulkannya sebagai sinyal data pengukuran menawarkan alternatif baru pada bidang pengembangan alat ukur. Posisi jantung dan paru-paru yang berdekatan memungkinkan munculnya gelombang interferensi dari gelombang-gelombang vibrasi yang dihasilkannya. Karakteristik gelombang interferensi tersebut merupakan gambaran karakteristik masing-masing gelombang sumbernya (Finahari; 2008a).
7
Pemanfaatan
2
buah
sensor
getaran
untuk
mengukur
kinerja
sistem
kardiorespirasi telah dilakukan dengan akurasi pencatatan yang tinggi (Mack, et.al; 2003). Dari sisi pengukuran detak jantung, alat ini berfungsi pada rentang variasi yang lebar (4984 BPM) sehingga potensi munculnya variabilitas hasil pengukuran cukup tinggi. Maka masih diperlukan pembuktian kepresisian peralatan. Hal ini merupakan peluang untuk proses pengembangan. Penggunaan 2 buah sensor terpisah juga mengakibatkan meningkatnya peluang kemunculan sinyal pengganggu akibat aliran pemrosesan sinyal yang panjang. Jika dikaitkan dengan tujuan awal desain khususnya dalam mereduksi biaya, penggunaan 2 buah sensor berakibat pada penggandaan penggunaan peralatan bantu. Meskipun kinerja peralatan untuk pengukuran aktivitas pernafasan sudah optimal, masih diperlukan rekayasa pengembangan untuk mengukur karakteristik fisiologis jantung yang lebih presisi. Karakteristik getaran juga dimanfaatkan secara khusus untuk mengembangkan peralatan pencitra distribusi suara paru-paru (Dellinger, et.al; 2008). Alat ini disebut
vibration response imaging (VRI) yang mampu mencatat dan menampilkan gambar dinamis suara pernafasan pada monitor komputer. VRI memiliki software yang mampu mengkonversikan suara pernafasan pada rentang frekuensi 150-250 Hz menjadi gambar dinamis dan data kuantitatif dari distribusi suara pernafasan. Analisis kinerja VRI dilakukan dengan membandingkan pola ekspirasi dan inspirasi 5 obyek dalam kondisi sehat untuk selanjutnya dibandingkan dengan pola pernafasan 14 obyek yang menderita berbagai kelainan pernafasan. Belum dilakukan analisis reliabilitas dan validasi sensitivitas peralatan terhadap variasi patologis pada sistem pernafasan. Pengembangan peralatan diarahkan pada penambahan aspek analisis time series dan kuantifikasi distribusi suara berdasarkan metode-metode baku. Untuk dapat menentukan spesifikasi peralatan perbaikan maupun pengembangan, analisis berdasarkan pemodelan matematik perlu dilakukan sehingga variabel-variabel yang berpengaruh dapat ditentukan. Visualisasi model menggunakan program-program analisis 2D maupun 3D berbasis komputer juga dimungkinkan sebelum mendesain dan membangun model-model fisiknya. Model matematik maupun grafis terkomputerisasi dapat mengurangi konsekuensi-konsekuensi negatif proses desain yang tidak diinginkan (Finahari; 2008b).
8
1.2. Permasalahan Penyusunan model matematik sistem biologi sangat berbeda dengan model yang diterapkan pada sistem mekanik. Hal tersebut didasarkan pada fakta kompleksitas respon dan keterkaitan antar unit dalam sistem biologis. Pemilihan variabel-variabel tinjauan memerlukan pertimbangan dan dasar pemikiran yang tepat untuk dapat menghasilkan model yang mendekati kondisi sesungguhnya. Permasalahan inilah yang dicoba untuk dikaji dalam karya ilmiah ini dengan cara mempelajari pola pikir yang digunakan pada penelitian-penelitian terdahulu dalam bidang pemodelan biomekanik khususnya yang memuat tinjauan aspek analisis matematik. Hasil kajian diharapkan dapat memberikan gambaran tentang proses dan variabel yang harus dipertimbangkan dalam menyusun model matematik sistem dan interaksi kardiorespirasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komputasional Fisiologi Perkembangan model pembelajaran teori biomedik dewasa ini mengarah pada paralelitas kajian, dimana level eksplorasi kajian sistem biomedik dianalogikan dengan sistem fisika teknik (Hunter, Nielsen; 2005). Sebagai contoh, analisis matematik untuk sistem fisika teknik pada level ‘bidang’ dengan hukum-hukum konservasi fisik seperti konservasi massa, momentum, arus dan sebagainya, dianalogikan dengan kajian level sistem pada biomedik. Kajian level partikel pada fisika teknik dianalogikan dengan kajian level molekuler pada biomedik. Analogi ini juga menyeret hukum-hukum teoritis fisika teknik untuk digunakan sebagai sarana analisis sistem biomedik (Gambar 1). Konsepsi analogi tersebut membawa dampak pada perkembangan bidang ilmu baru yang disebut ‘ komputasional fisiologi’. Komputasional fisiologi mengaplikasikan hukum-hukum fisika teknik dalam sistem biomedik. Terdapat 3 panduan dalam menyusun model matematik untuk sistem biomedik, yaitu (1) ‘Occam’s razor’, semakin sederhana semakin baik, konsisten pada level ketersediaan data eksperimental, (2) semua model harus divalidasi melalui pengukuran eksperimental dan (3) model yang dibangun sejauh mungkin merupakan integrasi dari skala ruang, skala waktu atau bagian-bagian tubuh. Dengan demikian model matematik yang disusun harus juga mengikuti jenjang konsep biomedik sejak dari level sistem tubuh hingga level biomolekuler (Gambar 2). Hasil dari analisis model matematik dapat dinyatakan dan dikembangkan menjadi berbagai bentuk. Pernyataan yang paling sederhana adalah berupa data numerik, yang dapat dikembangkan menjadi grafik 2 dimensi, grafik 3 dimensi, simulasi maupun animasi.
9
Gambar 1 : Analogi konsep fisika teknik – biomedik (Hunter, Nielsen; 2005)
10
Berbagai program siap pakai telah dikembangkan untuk membantu menyelesaikan persamaan-persamaan matematik khususnya yang berbentuk fungsi-fungsi kompleks. Program-program tersebut umumnya telah dilengkapi dengan fasilitas visualisasi hasil analisis. Gambar 2 menunjukkan hasil analisis model matematik anatomi level organ dengan metode elemen hingga (finite element method), yaitu metode penganalisisan suatu struktur kompleks melalui pemecahan struktur tersebut menjadi elemen-elemen kecil berbentuk sederhana dengan jumlah berhingga. Tiap elemen dianalisis
secara
terpisah
untuk
mendapatkan
persamaan
matematik
yang
menggambarkan karakteristik tinjauan. Persamaan-persamaan sejumlah elemen tadi selanjutnya digabung kembali sesuai kondisi batas lokasi aslinya pada struktur dan diselesaikan sebagai satu rangkaian sistem persamaan linier serentak.
Gambar 2 : Anatomi level organ dengan metode elemen hingga (Hunter, Nielsen; 2005) A. Jantung babi, B. Paru-paru manusia, C. Sistem pencernaan, D. Kerangka dan Otot Tujuan pengembangan komputasional fisiologi di luar kepentingan pembelajaran adalah membantu proses penerjemahan gambar-gambar klinis untuk keperluan diagnosa dan pengembangan peralatan-peralatan baru. Hal ini membutuhkan kerjasama dan integrasi peneliti dari berbagai ilmu cabang fisika teknik dan biomedik. Pertukaran informasi secara terbuka juga didorong untuk dilakukan mengingat kekompleksitasan dan dinamisasi interaksi sistem yang ditinjau. Contoh program berbasis komputer dan ruang lingkup kajian fisiologi jantung sesuai levelnya yang dimanfaatkan sebagai alat bantu pembelajaran, tampak pada Gambar 3 dan 4. 11
(a)
(b)
Gambar 3 : Program analisis dan antar muka berbasis komputer (Hunter, Nielsen; 2005) a. model analisis dan visualisasi potensial aksi sel jantung b. sistem antar muka ECG dengan tampilan 3 dimensi
12
Gambar 3a. menunjukkan program CellML yang menampilkan karakteristik saluran ion sel jantung yang menghasilkan potensial aksi membran. Dalam hal ini potensial aksi membran dihitung dari model matematis yang melibatkan 10-50 variabel sebagai fungsi waktu, berbentuk persamaan-persamaan diferensial terintegrasi. Hasil perhitungan dalam bentuk numerik ditampilkan di sisi kiri layar sedangkan animasinya ditampilkan di sisi kanan layar. Gambar 3b. merupakan program pembelajaran EKG (berdasarkan antarmuka antara CellML dan FieldML) yang meliputi tampilan anatomi 3D yang dapat diputar ataupun diperbesar. Sumbu-sumbu lead dapat diubah-ubah untuk melihat efeknya pada pencatatan potensial listrik. Warna-warna pada gambar menunjukkan peta potensial untuk kondisi lead yang dipilih. Grafik pencatatan potensial hasil pengukuran EKG pada masing-masing lead ditampilkan di sisi kanan. Gambar di atas menunjukkan kondisi standar.
Gambar 4 : Ilustrasi ruang lingkup kajian jantung manusia (Hunter, Nielsen; 2005) Gambar diatas menunjukkan level kajian yang dilakukan IUPS Heart Physiome Project. (1) kajian level atomik yang ditunjukkan melalui koordinat atomik ATPase dari retikulum sarco(endo)plasmik; (2) model struktur butiran kasar dari protein ATPase; (3) menunjukkan jalur sub-selular yang meliputi elektrofisiologi sel, transpor kalsium dan proton, mekanika miofilamen, jalur metabolisme dan beberapa jalur sinyal sel; (4) sel otot jantung 3D hasil visualisasi elektron-mikrograf; (5) serat-serat kolagen pada jaringan transmural jantung; (6) organ jantung; (7) posisi jantung pada tubuh manusia.
13
2.2. Contoh Model Matematik Pada Sistem Pernafasan Pemanfaatan analisis matematik pada sistem pernafasan dapat dipelajari dari penelitian
tentang
analisis
stabilitas
pengaturan
sistem
pernafasan
dengan
memanfaatkan metode numerik. Penelitian ini didasari fakta fisiologis bahwa tujuan utama proses pernafasan adalah pertukaran gas O2 – CO2 antara rongga alveoli dan pembuluh kapiler yang berdekatan (Kollar, Turi; 2005). Sifat pasif difusi menjadi kendala atas otomatisasi proses pertukaran gas sehingga selalu terjadi waktu tunda di dalam proses tersebut. Yang dimaksud dengan waktu tunda di sini adalah selisih waktu teoritis yang ditempuh 1 molekul O2 sejak tiba di alveoli hingga berdifusi ke dalam pembuluh kapiler (atau sebaliknya jika dipandang dari sisi CO 2). Di samping itu juga ada waktu tunda yang lain yang merupakan selisih waktu tempuh gas-gas untuk memasuki wilayah deteksi sensor syaraf untuk mengaktifkan sistem pengaturan pernafasan. Dalam penelitian ini masih terdapat beberapa definisi waktu tunda lainnya. Proses analisis matematik dimulai dengan menentukan model sistem. Dalam hal ini sistem pernafasan dinyatakan secara sederhana sebagai model 2-variabel dengan 1 jenis waktu tunda, kemudian dikembangkan menjadi model 5-variabel dengan 4 jenis waktu tunda. Variabel waktu tunda digunakan sebagai titik awal analisis kestabilan sistem pengaturan syaraf terhadap proses pernafasan. Analisis stabilitas ini ditujukan untuk mendapatkan nilai kritis waktu tunda yang mempengaruhi siklus pernafasan. Model diterapkan pada dinamika keseimbangan kimiawi yang disusun dalam bentuk persamaan diferensial dimana waktu tunda sirkulasi udara diasumsikan sebagai variabel diskrit. Langkah kedua dalam pemodelan ini adalah menentukan persamaan yang menggambarkan fungsi fisiologis sistem yang ditinjau sehingga diketahui variabel-variabel yang berperan. Untuk model 2-variabel, penurunan fungsi diferensial dikembangkan dari hukum keseimbangan massa gas berdasarkan Hukum Fick, Hukum Boyle dan variasi Hukum Henry yang berhubungan dengan konsentrasi gas dalam campuran. Maka dihasilkan persamaan fungsi ventilasi paru-paru sebagai berikut:
VI (t ) GP e
0, 05PaO2 ( t )
[ PaCO2 (t ) I P ]
dimana : GP
: peripheral control gain
PaO2
: tekanan parsial O2 pada arteri
PaCO2 : tekanan parsial CO2 pada arteri t
: waktu
: waktu tunda transpor gas
IP
: peripheral cutoff threshold
14
Untuk menggambarkan stabilitas persamaan tersebut, dilakukan ekspansi matematik terhadap PaO2 dan PaCO2 untuk menentukan fungsi konsentrasi CO2 (x) dan O2 (y) dalam arteri, memasukkan nilai-nilai konstanta dan menjalankan program perhitungan. Dalam hal ini digunakan Matlab DDE BIFTOOL v. 2.00. Hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 5. Sebagai gambaran, stabilitas pengaturan tampak pada gambar sebagai garis lurus. Semakin lama garis lurus terbentuk, sistem semakin tidak stabil, dalam arti siklus pernafasan juga tidak stabil. Aplikasi dari hasil analisis ini adalah bahwa dengan mengetahui waktu tunda kritis pada sistem sirkulasi gas yang merupakan gangguan fisiologis terhadap proses pertukaran gas, dapat ditentukan konsentrasi O2 dan CO2 pada arteri dan konsekuensi fisiologis maupun patologis yang mungkin muncul.
Gambar 5 : Hasil simulasi model 2-variabel (Kollar, Turi; 2005) (a) konsentrasi CO2 pada = 15 detik; (b) konsentrasi CO2 pada = 40 detik; (c) konsentrasi O2 pada = 15 detik; (d) konsentrasi O2 pada = 40 detik Tampak bahwa pada = 40 detik, model sistem tidak stabil sehingga nilai kritis waktu tunda diperoleh.
15
Gambar 6 : Hasil simulasi model 5-variabel (Kollar, Turi; 2005) (a) akar karakteristik untuk = 1,1 [min]; (b) simulasi untuk = 1,1 [min]; (c) simulasi untuk = 0,5 [min]; (d) simulasi kondisi parameter dependen = 0,5 [min] (e) untuk B = 0.7098 [min], T = 0.9102 [min], V = 0.9102 [min] dan a = 0.5100 [min], (f) untuk B = 1.1830 [min], T = 1.5170 [min], V = 1.5170 [min] dan a = 0.8500 [min]
16
2.3. Contoh Model Matematik Pada Sistem Kardiovaskular Aplikasi model matematik pada sistem kardiovaskular dapat dilihat pada simulasi kondisi klinis penyakit yang muncul pada jembatan miokardial ( myocardial bridges). Jembatan miokardial adalah kondisi patologis yang menunjukkan kegagalan pembuluh arteri koroner berdilatasi untuk merespon peningkatan kebutuhan oksigen (misalnya yang timbul saat berolahraga). Simulasi ini bertujuan menentukan aliran sisa darah pada arteri koroner yang tersumbat dan konsekuensi klinis yang relevan dengan kondisi tersebut (Bernhard, et.al; 2006). Simulasi matematik didasarkan pada hukum-hukum mekanika fluida dengan asumsi aliran mengikuti teori lapisan batas viskos. Hal ini disebabkan penganalisisan berdasarkan arsitektur jaringan pembuluh darah yang sesungguhnya tidak dimungkinkan, mengingat kompleksitasnya. Dari pandangan mekanika fluida, situasi patofisiologi dari jembatan miokardial digambarkan sebagai perubahan geometri aliran berdasarkan fungsi waktu yang disebabkan oleh konstraksi otot jantung yang bersisian dengan segmen intramural arteri koroner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teori lapisan batas dapat digunakan untuk mensimulasi gaya gesek dan tegangan geser dinding di daerah masuk (entrance region) pembuluh. Kerugian tekanan translasional dan rata-rata FFR (fractional flow reserve) sesuai secara klinis dengan referensi yang ada. Selain itu, rata-rata FFR dengan asumsi aliran Hagen-Poiseulle estimasinya terlalu besar untuk kondisi aliran yang sedang berkembang (developing flow). Gambaran langkah simulasi matematik dapat dilihat pada Gambar 7. Model matematik yang menunjukkan kecepatan aliran dan tekanan sisi masuk pembuluh darah arteri koroner sebagai gambaran evolusi jembatan miokardial (Gambar d) adalah :
u( x, ) V ( x) f ' ( ) dengan
(1 n)V ( x) 2vx
dimana :
u (x,) : kecepatan sesaat pada titik tinjauan x
: variabel panjang dalam koordinat silinder
: faktor penskalaan dalam Falkner-Skan-Equation
V (x)
: kecepatan aliran bebas : Cxn
C
: konstanta yang ditentukan berdasarkan kondisi batas
17
f’ ()
: turunan fungsi aliran tanpa dimensi
: variabel similaritas pada Falkner-Skan-Equation
n
: parameter power-law pada Falkner-Skan-Equation
v
: viskositas kinematik
Falkner-Skan-Equation adalah persamaan diferensial orde 3 yang digunakan untuk penurunan persamaan yang diekspansikan dari teori aliran batas. Model untuk distribusi tekanan (Gambar e) adalah : t 2
2 t Pin (t ) p s po exp 2tr tr
dimana : Pin (t) : gelombang tekanan sintetik akibat tekanan aorta, sebagai fungsi waktu ps
: tekanan statis
po
: amplitudo gelombang tekanan sintetik
tr
: peningkatan waktu
Hasil simulasi ini sangat bermanfaat untuk mempelajari kondisi patologis aterosklerosis dan iskemia dengan ketelitian yang cukup tinggi. Dengan memasukkan nilai-nilai fisiologis yang bersesuaian akan diketahui kondisi pembuluh darah arteri koroner dan lokasi sumbatan dapat diprediksikan jika memang terjadi. Meskipun demikian masih diperlukan pengembangan lebih lanjut karena model ini masih menggunakan asumsi geometri pembuluh darah halus (dinding pembuluh mulus rata). Asumsi tersebut dengan sendirinya kurang menunjukkan kondisi sesungguhnya. Karakteristik aliran pada dinding yang halus dan kasar sangat berbeda. Di sisi lain, teori lapisan batas tidak dapat mengakomodasi karakteristik aliran fluida yang berkembang penuh ( fully developed) karena pada kondisi ini batas aliran melebur. Penghitungan simulasi juga dibatasi oleh panjangnya sisi masuk yang ditentukan oleh bilangan Reynold dari aliran darah (laminaritas atau turbulensi aliran). Masih diperlukan validasi model untuk kondisi in vivo sehingga data-data simulasi dapat dibandingkan dengan data fisiologis aktual.
18
(a) Angiogram koroner dari dua jembatan miokardial pada cabang LAD (left anterior decending) dalam kondisi diastol dan sistol. Tekanan pada arteri selama fase kontraksi jantung merupakan karakteristik jembatan miokardial. (b) Dimensi lumen diastolik dan kecepatan aliran tampak normal, sementara kecepatan aliran sistolik meningkat di segmen jembatan.
(c) Anatomi skematis dari jembatan miokardial ganda. Segmen kontrol berdimensi sama. x merupakan titik pengukuran. B-B dan C-C merupakan posisi potongan melintang untuk mengukur deformasi pembuluh.
(d) Ketebalan dan geometri lapisan batas digambarkan secara realistik yang mengilustrasikan evolusi jembatan miokardial (e) Struktur dari 27 segmen utama jaringan arteri koroner kiri. Distribusi ukuran normal jaringan arteri didasarkan pada 83 angiogram. 2 jembatan miokardial yang berurutan terletak di tengah-tengah saluran utama pembuluh arteri. Warna pada gambar menunjukkan distribusi tekanan yang dihitung berdasarkan rumusan lapisan batas yang disusun. Tekanan tertinggi ditunjukkan dengan warna merah, tekanan terendah digambarkan dengan warna biru. Warna biru tua di posisi atas menunjukkan posisi aorta.
Gambar 7 : Gambaran model matematik jembatan miokardial (Bernhard, et.al; 2006). 19
2.4. Contoh Model Matematik Interaksi Kardiorespirasi Pemanfaatan model matematik dalam sistem kardiorespirasi ditujukan untuk peningkatan akurasi diagnosa dan perbaikan sistem perawatannya. Dengan acuan tersebut, model matematik sistem kardiorespirasi ini disusun tidak saja berdasarkan kondisi fisiologis normal secara akurat namun juga dirancang untuk dapat merespon perubahan-perubahan yang umum terjadi dalam prosedur diagnosa. Tujuan khusus yang ingin dicapai melalui pemodelan ini adalah terbentuknya gambaran respon dan interaksi dinamis sistem kardiorespirasi terhadap munculnya amplitudo gaya maksimum yang disebut sebagai manuver Valsalva (Lu, et.al; 2001). Hal ini merupakan perbaikan terhadap keterbatasan model-model hasil pengembangan beberapa peneliti sebelumnya, yang melakukan pemodelannya atas dasar penyederhanaan, pembatasan maupun pengecilan ruang lingkup. Kondisi tersebut menyebabkan hilangnya aspek interaksi dan daya reaktif model terhadap dinamisasi sistem. Model matematik kardiorespirasi yang dibahas dalam artikel ini telah memasukkan aspek mekanika jantung, loop aliran darah, pengaturan barorefleks terhadap tekanan arteri, mekanika jalan nafas dan transportasi gas pada membran alveolar-kapiler. Model sirkulasi darah didasarkan pada skema pada Gambar 8. Penyusunan model sirkulasi darah telah meliputi (a) hubungan non-linier P-V (tekanan-volume) pada sistem vena perifer, (b) deskripsi fenomena non linier kegagalan vena cava, (c) pengaturan detak jantung, kontraktilitas miokardial dan denyut vasomotor yang dimediasi baroreseptor. Persamaan-persamaan utama yang diturunkan pada bagian ini adalah : 1. Persamaan P-V pada vena sistemik 2. Persamaan P-V pada vena cava 3. Resistensi pada vena cava 4. Detak jantung 5. Fungsi alih baroreseptor dimana : K, Kv, KR, K1, K2: faktor skala Vmin
: volume minimum
Vmax
: volume maksimum
Vsv
: volume luminal vena sistemik
D1, D2 : Tekanan offset pada kondisi tanpa dan dengan valsalva
20
Vvc
: volume luminal vena cava
Vo
: volume tanpa tekanan valsalva
Ro
: parameter offset
h1, h2, h3, h4 h5, h6 : konstanta FHr,S
: pengaturan simpatik normal untuk frekuensi gelombang HR
FHr,V
: pengaturan vagal normal untuk frekuensi gelombang HR
N (s)
: frekuensi baroreseptor discharge dalam variabel Laplace
PAo (s) : Tekanan aorta dalam variabel Laplace
Gambar 8 : Skema ekuivalensi sirkuit hidrolik sistem sirkulasi (Lu, et.al; 2001)
Gambar 9 : Blok diagram sistem pengaturan baroreseptor (Lu, et.al; 2001) 21
Porsi pulmonar untuk model matematik didasarkan pada skema pada Gambar 10. Pada skema tersebut tampak bahwa semua aspek mekanika jalan pernafasan telah terwakili, termasuk sirkulasi pulmonar dan pertukaran gas. Maka persamaan inspirasi disusun sebagai berikut :
Sedangkan persamaan ekspirasinya adalah :
Dari sistem pulmonar juga didefinisikan persamaan kapasitas difusi sebagai berikut :
dimana : PDi, PCi , PAi: tekanan parsial gas i pada jalan nafas atas, menengah dan kecil Patm, t
: tekanan atmosfir
Q ED , Q DC , Q CA : laju aliran udara pada saluran nafas atas, tengah dan alveolar DLt
: kapasitas difusi gas i
VA, VC, VD, VPC : volume alveolar, jalan nafas tengah, sistolik dan kapiler pulmonar
22
Gambar 10 : Skema model pulmonar (Lu, et.al; 2001) (a) skema model pulmonar, (b) diagram ekuivalensi sirkuit pneumatik Aspek utama dalam pemodelan sistem kardiorespirasi adalah bahwa model yang disusun harus dapat menyatakan interaksi yang terjadi antara keduanya. Dalam artikel ini interaksi kardiorespirasi hanya didasarkan pada gangguan yang terjadi pada tekanan pleural (PPL / perturbation of pleural pressure ). Hal tersebut dilandasi pemikiran bahwa tekanan pleural berpengaruh terhadap tekanan intrakardial dan tekanan di seluruh rongga intratorak tetapi efek tertinggi tampak pada perubahan tekanan arteri dan vena pulmonari akibat perubahan tekanan alveolar. Maka hubungan antara resistensi kapiler pulmonar terhadap volume alveolar dinyatakan sebagai :
Hasil simulasi dari persamaan matematik yang tersusun dan perbandingannya dengan nilai eksperimental dapat dilihat pada Gambar 11. Hasil analisis menunjukkan bahwa respon fisiologis terhadap manuver Valsalva masih merupakan aktivitas yang rumit. Model respon yang disusun masih terbatas pada aspek kajian pulmonar, sirkulasi dan kontrol neural sehingga cacat fisiologis sangat mungkin muncul dalam simulasinya. Untuk meningkatkan validitasnya masih diperlukan dukungan analisis statistik yang kuat dari data aktual (in vivo) yang terverifikasi. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan untuk analisis dan diagnosa kelainan fisiologis lain seperti hipotensi ortostatik, aterosklerosis, stenosis valvular, efek pulmonar dari gagal jantung kongestik dan ARDS (adult respiratory distress syndrome). Juga dapat digunakan dalam prognosis gagal jantung kongestik dengan/tanpa CAD (coronary artery disease).
23
Gambar 11 : Contoh perbandingan hasil simulasi dan data eksperimental (Lu, et.al; 2001) (a) Model gelombang tekanan aliran sistemik normal, A. Hasil simulasi, B. Data eksperimen (b) Simulasi perubahan ekspirasi fisiologis, A. Kondisi normal, B. Pernafasan paksa
III. PEMBAHASAN Pola pikir penyusunan model matematik sistem biomedik secara umum mengikuti tahapan-tahapan berikut : 1. Memodelkan sistem biomedik dalam bentuk diagram skematik. Biasanya diagram skematik ini dibuat berdasarkan analogi-analogi mekanis seperti rangkaian elektrik, pneumatik maupun hidrolik. 2. Menurunkan persamaan matematik yang menggambarkan karakteristik fisioanatomi yang akan dibahas. Persamaan matematik tersebut disusun dan dikembangkan dari hukum-hukum fisika mekanik yang bersesuaian. Dalam hal ini biasanya diambil beberapa asumsi untuk menyederhanakan model, karena sistem biomedik memiliki kompleksitas sistem dan interaksi antar sistem yang seringkali belum dapat diakomodasi oleh hukum-hukum fisika mekanik yang ada. Jadi pemodelan matematik merupakan upaya pendekatan saja.
24
3. Menyelesaikan persamaan matematik yang tersusun untuk variabel-variabel yang menjadi bahasan. Penyelesaian persamaan matematik ini dapat menggunakan berbagai program alat bantu, seperti misalnya Analisa Numerik, Metode Elemen Hingga, Mathlab, atau program khusus yang dirancang untuk keperluan tersebut. 4. Menggambarkan karakteristik variabel tinjauan dalam bentuk numerik, tabel, grafik 2D/3D, simulasi ataupun animasi. Karakteristik variabel yang ditampilkan biasanya dibandingkan dengan kondisi standar atau hasil eksperimen yang terverifikasi. Kedekatan hasil perbandingan tersebut menjadi acuan validitas model matematik yang disusun. 5. Menganalisis dan mengembangkan hasil yang telah dicapai. Proses ini biasanya merupakan proses penambahan variabel-variabel baru yang sebelumnya tidak diperhitungkan atau perbaikan metode penyelesaian persamaannya. Dengan demikian semakin lama model matematik yang dihasilkan menjadi semakin kompleks. Dari pola pikir penyusunan model matematik di atas tampak bahwa pemanfaatan model matematik dalam sistem biomedik masih mengindikasikan adanya batasanbatasan yang perlu diperhatikan. 3 panduan pokok aplikasi model matematik dalam biomedik juga masih memerlukan kehati-hatian dalam implementasinya, dimana ketigatiganya sebaiknya dipandang sebagai satu integralitas yang utuh. Satu contoh adalah jika aspek kesederhanaan yang menjadi panduan pertama disikapi secara parsial maka dapat menyimpang ke arah ‘penyederhanaan’ sistem yang berakibat pada kurangnya tingkat akurasi hasil pemodelan maupun rendahnya responsivitas model terhadap dinamika sistem tinjauan. Jika kesederhanaan tadi dipadukan dengan konsistensi level tinjauan maka efek penyederhanaan akan hilang. Kesulitan kedua yang timbul dalam pemodelan matematik sistem biomedik adalah validasi model dengan data eksperimen. Kesulitan tersebut akan muncul jika data eksperimen yang dimaksud melibatkan kualitas dan ketersediaan peralatan, aspek etika dalam menggunakan obyek penelitian, kondisi-kondisi patologis abnormal maupun kompleksitas permasalahan
interaksi
antar
ini adalah
sistem.
Pendekatan
yang
umum
dilakukan
pada
menganalisis kondisi-kondisi fisiologis normal dengan
simpangan patologis yang berubah secara gradual. Dipandang dari aspek penurunan persamaan matematiknya, fisioanatomi sistem biomedik harus dapat diterjemahkan dalam bentuk skema mekanik terlebih dahulu. Proses ini seringkali melibatkan asumsi-asumsi untuk menghindarkan kompleksitas persamaan. Sayangnya asumsi-asumsi tersebut berpotensi menghilangkan karakteristik individual maupun interaksi antar bagian di dalam sistem tinjuan. Akibatnya kembali pada turunnya nilai akurasi dan responsivitas model.
25
Proses komputasi dan visualisasi model dalam bentuk grafik, gambar maupun animasi berhubungan dengan kapasitas program, spesifikasi dan keahlian operatornya. Semakin kompleks sistem yang dimodelkan, dibutuhkan program dan alat bantu yang semakin berkualitas. Kendala-kendala tersebut di atas memerlukan kerjasama dan komunikasi terbuka multi disiplin namun menjanjikan terobosan ilmu yang mengagumkan jika terjadi. Tinjauan khusus untuk pemodelan sistem kardiorespirasi menunjukkan beberapa aspek kajian yang cukup rumit. Di sana terdapat variabel-variabel yang berhubungan dengan sistem lain yang berdekatan, misalnya aspek pengaturan oleh sistem syaraf. Tingkat kompleksitas permasalahan juga tampak dari tuntutan adanya rumusan yang menunjukkan interaksi antar organ dalam sistem tersebut. Meskipun demikian tetap masih ada beberapa variabel yang belum disinggung meskipun secara fisioanatomi terlibat. Salah satu misal adalah efek kontraksi-relaksasi otot-otot pernafasan. Meskipun demikian titik acuan interaksi kardiorespirasi pada variabel tekanan alveolar yang mempengaruhi tekanan pembuluh kapiler pulmonar dapat dikembangkan untuk menyusun model getaran sistem kardiorespirasi. Belajar dari kajian teoritis di atas, kerangka pemodelan getaran sistem kardiorespirasi dapat diskemakan seperti pada Gambar 12. Mengacu pada kompleksitas sistem yang ditinjau, sebagai langkah awal, analisis getaran kardiorespirasi belum melibatkan pengontrolan sistem syaraf pusat. Gaya eksitasi penghasil getaran diperoleh dari aksi potensial sel penggerak otot.
Diagram Kinematis Otot Jantung
Dinamika Gaya Konstraksi-Relaksasi
Gaya Eksitasi Getaran
Potensial Aksi Sel
Diagram Kinematis Otot Pernafasan
Dinamika Gaya Kontraksi-Relaksasi
Sinkronisasi Fase Fisiologis
Tekanan Intratorak
Gaya Eksitasi Getaran
Gelombang Tekanan
Siklus dan Numerisasi Regangan Kulit Dada
Gambar 12 : Kerangka konsep penyusunan model matematik getaran kardiorespirasi
26
IV. PENUTUP 4.1. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari telaah teoritis di atas adalah : 1. Model matematik sistem biomedik memberikan sisi pandang alternatif untuk proses pembelajaran, diagnosa dan perawatan. 2. Terdapat panduan umum untuk menyusun model matematik sistem biomedik agar tercapai validitas hasil yang memadai. 3. Penyusunan model matematik sistem biomedik mengikuti tahapan-tahapan umum tertentu dan memerlukan proses yang berkembang secara gradual untuk mencapai validitas yang memadai. 4. Model matematik yang disusun harus mempertimbangkan aspek interaksi antar bagian dalam sistem tinjauan. 5. Dibutuhkan ketelitian dan ketepatan dalam menyusun skema mekanik, menentukan asumsi-asumsi fisiologis, memilih variabel dan hukum-hukum mekanika yang menjadi landasan analisis. 4.2. Saran Proses
penyusunan
model
matematik
getaran
yang
dihasilkan
sistem
kardiorespirasi memerlukan pertimbangan yang mendalam tentang keterlibatan sistemsistem lain yang memiliki hubungan saling mempengaruhi. Pembatasan-pembatasan maupun pengambilan asumsi jika dilakukan harus diusahakan tidak mengurangi aspek fisioanatominya. Perlu juga dipertimbangkan sarana untuk kalkulasi dan visualisasi model yang dihasilkan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Bernhard S, Möhlenkamp S, Tilgner A; 2006; Transient integral boundary layer method to calculate the translasional pressure drop and the fractional flow reserve in myocardial bridges; BioMedical Engineering OnLine 5 (42); 1-25 Bettermann H, Cysarz D, van Leeuwen P; 2002; Comparison of two different approaches in the detection of intermittent cardiorespiratory coordination during night sleep; BioMed Central Physiology 2 (18); 1-17. Darowski, M; 2000; Heart and lung support interaction — modeling and simulation (abstract); Frontiers of Medical & Biological Engineering, 10 (3): 157-165(9) Dellinger RP, Parrillo JE, Kushnir A, Rossi M, Kushnir I; 2008; Dynamic Visualization of Lung Sounds with a Vibration Response Device: A Case Series (Abstract); Respiration international journal of thoracic medicine ; 75 (1):60-72 Finahari N; 2008a; Fisioanatomi dan sinkronisasi sistem kardiorespirasi; Karya Ilmiah 1 PDIK Universitas Brawijaya Finahari N; 2008b; Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi; Karya Ilmiah 2 PDIK Universitas Brawijaya Hunter P, Nielsen P; 2005; A Strategy for Integrative computational Physiology; Physiology 20: 316–325, Kollar LE, Turi J; 2005; Numerical stability analysis in respiratory control system models; Electronic Journal of Differential Equations, Conference 12 : 65-78 Lipsitz, LA, Hayano J, Sakata S, Okada A, Morin RJ; 1998; Complex Demodulation of Cardiorespiratory Dynamics Preceding Vasovagal Syncope; Circulation; 98:977983 Lu K, Clark Jr. JW, Ghorbel FH, Ware DL, Bidani A; 2001; A human cardiopulmonary system model applied to the analysis of the Valsalva maneuver; Am J Physiol Heart Circ Physiol 281: H2661–H2679 Mack DC, Kell SW, Alwan M, Turner B, Felder RA; 2003; Non-invasive analysis of physiological signals (naps): a vibration sensor that passively detects heart and respiration rates as part of a sensor suite for medical monitoring; Summer Bioengineering Conference, June 25-29, Sonesta Beach Resort in Key Biscayne, Florida Mrowka R, Cimponeriu L, Patzak A, Rosenblum MG.; 2003; Directionality of coupling of physiological subsystems: age-related changes of cardiorespiratory interaction during different sleep stages in babies; Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 285: R1395–R1401 Ramasamy L, Sperelakis N; 2007; Cable properties and propagation velocity in a long single chain of simulated myocardial cells; Theoretical Biology and Medical Modelling, 4 (36): 1-11 Toledo E, Akselrod S, Pinhas I, Aravot D; 2002; Does synchronization refect a true interaction in the cardiorespiratory system? (abstract); Med Eng Phys, 24:45-52 28