KAJIAN KUALITAS PERAIRAN TERHADAP KELIMPAHAN DAN SENYAWA BIOAKTIF ANTIBAKTERI SPONS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA
SUSANNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
Nama NRP
: Kajian Kualitas Perairan terhadap Kelimpahan dan Senyawa Bioaktif Antibakteri Spons Demospongiae di Kepulauan Seribu DKI Jakarta : Susanna : C651030151
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M. Sc Ketua
Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M. Sc Anggota
Diketahui,
Ketua Departemen Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djisman Manurung, M. Sc
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 14 Agustus 2006
Tanggal Lulus :
KAJIAN KUALITAS PERAIRAN TERHADAP KELIMPAHAN DAN SENYAWA BIOAKTIF ANTIBAKTERI SPONS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA
SUSANNA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Kualitas Perairan terhadap Kelimpahan dan Senyawa Bioaktif Antibakteri Spons Demospongiae di Kepulauan Seribu DKI Jakarta adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2006
Susanna NRP C651030151
ABSTRAK SUSANNA. Kajian Kualitas Perairan terhadap Kelimpahan dan Senyawa Bioaktif Antibakteri Spons Demospongiae di Kepulauan Seribu DKI Jakarta . Dibimbing oleh NEVIATY P ZAMANI dan HARPASIS S SANUSI. Spons adalah hewan multisel yang paling sederhana dan memiliki bentuk yang bervariasi. Spons merupakan anggota dari Filum Porifera yang mengandung senyawa bioaktif yang paling potensial bahkan lebih banyak dibandingkan alga dan tumbuhan darat. Senyawa bioaktif yang dimilikinya bersifat biofarmakologik seperti antijamur, antibakteri dan antikanker. Penelitian ini bertujuan untuk: (a) mengkaji kualitas fisika-kimia perairan tempat hidup spons Demospongiae, (b) mengkaji kelimpahan spons Demospongiae pada tiga kondisi perairan yang berbeda, (c) mengkaji senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae terhadap bakteri patogen Staphylococcus aureus dan Eschericia coli dengan melihat ukuran diameter zona hambat (zona bening), serta (d) melihat hubungan kualitas perairan terhadap kelimpahan dan senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae. Penelitian dilakukan selama 5 bulan, mulai bulan Agustus-Desember 2005. Penelitian di lapangan di lakukan di Kepulauan Seribu DKI Jakarta yaitu Pulau Lancang (daerah yang relatif kotor), Pulau Pari dan Pulau Pramuka (daerah relatif bersih), sedangkan penelitian di laboratorium dilakukan di laboratorium Lingkungan PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup), IPB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kualitas perairan berdasarkan klasifikasi hierarki adalah stasiun 3 BPP dengan kecepatan arus, TSS dan silikat tinggi, stasiun 5 TPR dengan N-NO3 dan P-PO4 yang tinggi dan stasiun 1UPL, 2 UPP, 4 UPR, 6 BPR dan 7 SPR dengan ciri parameter fisika -kimia perairan relatif rendah. Perairan Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka untuk semua stasiunnya) mempunyai 30 jenis dengan 9 Ordo, dimana Ordo yang paling dominan adalah Haplosclerida sedangkan jenis yang dominan adalah Petrosia sp, Xestospongia sp1 dan Xestospongia sp2. Spesies spons Demospongiae dengan kelimpahan (ind/m2) yang relatif tinggi dan memiliki senyawa bioaktif antibakteri tertinggi baik antar spesies spons yang aktif maupun terhadap ampicillinnya adalah Liosina sp (6,84 mm) di stasiun 7 SPPra terhadap bakteri E. coli, sedangkan terhadap S. aureus adalah Acantella cavernosa (6,36 mm) di stasiun 4 TPR dengan kelimpahan yang relatif sedang. Distribusi dan kelimpahan spons sangat dipengaruhi oleh, suhu, salinitas, NO3 , P-PO 4, silikat dan kekeruhan.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak c ipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lhokseumawe pada tanggal 12 Juli 1978 dari ayah Syaifullah Yunus, SE dan ibu Cut Yulianawati. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMUN 3 Banda Aceh dan masuk Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam jurusan Kimia, Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis lulus sebagai Sarjana Sains (SSi) pada tahun 2001. Pada tahun 2003, penulis memulai studi Pascasarjana di Program Studi Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB.
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL.......................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................. Hipotesis Penelitian........................................................................................... Tujuan dan Manfaat.......................................................................................... Sistematika Penelitian .......................................................................................
1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Spons Demospongiae ........................................................................................ Produk Alam Laut dari Spons ........................................................................... Senyawa Bioaktif Ekstrak Spons ...................................................................... Beberapa Jenis Bakteri Patogen ........................................................................ Struktur Komunitas Spons ................................................................................ Fisika-Kimia Perairan dan Spons Laut.............................................................. Hubungan Kelimpahan terhadap Senyawa Bioaktif dan Beberapa Parameter Lingkungan Perairan......................................................................................... METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................... Metode Penelitian ............................................................................................. Analisis Data ..................................................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian................................................................................................. Kualitas Perairan..................................................................................... Komposisi dan Distribusi Spons Demospongiae .................................... Senyawa Bioaktif Antibakteri Ekstrak Spons ......................................... Pemba hasan ...................................................................................................... Analisis Komponen Utama ..................................................................... Kelimpahan dan Struktur Komunitas Spons Demospongiae .................. Analisis Faktorial Koresponden ............................................................. Analisis Faktorial Koresponden Senyawa Bioaktif Antibakteri Spons Demospongiae ........................................................................................
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ........................................................................................................... Saran..................................................................................................................
6 18 18 20 22 23 26
33 34 37
43 43 53 56 63 63 69 71 79
96 96
ii
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................
84
LAMPIRAN................................................................................................................
92
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut menurut Soediro (1999) ........
19
2 Sebaran fauna spons pada kedalaman 1-15 m di Pulau Genteng Besar sebelah Selatan (sumber: Amir 1991) ...........................................................
29
3 Parameter oseanografi fisika, kimia dan biologi air yang diamati................
35
4 Tingkat keanekaragaman jenis berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) (sumber: Odum 1983)................................................
41
5 Jumlah jenis, Ordo, Famili dan Genera spons Demospongiae pada stasiun pengamatan di Kepulauan Seribu DKI Jakarta .............................................
53
6
7
Data kelimpahan, indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) spons pada stasiun pengamatan...........................
54
Hubungan kualitas perairan terhadap kelimpahan dan senyawa bioaktif antibakteri spons Demospongiae...................................................................
91
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Kerangka pendekatan masalah ........................................................................... 5
2
Morfologi umum dari Porifera (sumber: Rigby et al. 1993)..………………….. 10
3
Dinding sel Porifera yang dilihat melalui mikroskop (sumber: Rigby et al. 1993)............................................................................................................... 11
4
Macam-macam kerangka spons laut (sumber: Rigby et al. 1993)........................ 15
5
Hubungan antara kekayaan spesies spons dan kedalaman pada tiga tipe senyawa bioaktif (sumber: De Voogd 2005)........................................................ 27
6
Hubungan antara kelimpahan spons dan kedalaman pada tiga tipe senyawa bioaktif (sumber: De Voogd 2005)....................................................................... 27
7
Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu DKI Jakarta...................................... 33
8
Kisaran nilai suhu (oC) pada stasiun pengamatan................................................ 43
9 Kisaran nilai TSS (mg/l) pada stasiun pengamatan.............................................. 44 10 Kisaran nilai kekeruhan (NTU) pada stasiun pengamatan..................................
44
11 Kisaran nilai kecepatan arus (m/det) pada stasiun pengamatan........................... 45 12 Kisaran nilai salinitas (o/ oo) pada stasiun pengamatan.......................................... 46 13 Kisaran nilai pH pada stasiun pengamatan.......................................................... 46 14 Kisaran nilai DO (mg/l) pada stasiun pengamatan............................................... 48 15 Kisaran nilai TOM (mg/l) pada stasiun pengamatan........................................... 49 16 Kisaran nilai BOD5 (mg/l) pada stasiun pengamatan.........................................
49
17 Kisaran nilai COD (mg/l) pada stasiun pengamatan............................................ 50 18 Kisaran nilai N-NO3 (mg/l) pada stasiun pengamatan.......................................... 51
v
19 Kisaran nilai P-PO4 (mg/l) pada stasiun pengamatan.......................................... 52 20 Kisaran nilai silikat (mg/l) pada stasiun pengamatan..........................................
52
21 Kelimpahan (ind/m2 ) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan................ 54 22 Indeks keanekaragaman (H’) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan..
55
23 Indeks keseragaman (E) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan .......... 55 24 Indeks dominansi (C) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan ……...
56
25 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Lancang kedalaman 7 m terhadap Bakteri E.coli dan S. aureus................................................................................. 57 26 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pari kedalaman 7 m dan 15 m terhadap bakteri E. coli....................................................................................................... 58 27 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pari kedalaman 7 m dan15 m terhadap bakteri S. aureus..................................................................................... 59 28 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pramuka kedalaman 7 m dan 15 m terhadap bakteri E. coli............................................................................... 60 29 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pramuka kedalaman 7 m dan 15 m terhadap bakteri S. aureus ………………………………………..……..
61
30 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri Liosina sp di stasiun 7 SPR pada kedalaman 15 m terhadap bakteri E. coli……………………………. 62 31 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri Xestospongia sp2 di stasiun 3 BPP pada kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus...................... 62 32 Analisis Komponen Utama karakteristik kualitas perairan pada stasiun pengamatan: A. Korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan 2 (F 1 xF2);B. Sebaran stasiun pengamatan pada sumbu 1 dan 2 (F1 xF2 )................................... 65 33 Analisis Komponen Utama karakteristik kualitas perairan pada stasiun pengamatan: A. Korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan 3 (F 1 xF3); B. Sebaran stasiun pengamatan pada sumbu 1 dan 3 (F 1 xF3).............................. 66
vi
34 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan karakteristik fisika-kimia air................................................................................ 69 35 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons Demospongiae kedalaman 7 m pada sumbu (F1xF2)...................
73
36 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons Demospongiae kedalaman 7 m pada sumbu (F1xF3)...................
74
37 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan kelimpahan spons Demospongiae pada kedalaman 7 m.........................................................
75
38 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons Demospongiae kedalaman 15 m pada sumbu (F1xF2).................. 77 39 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons Demospongiae kedalaman 15 m pada sumbu (F1xF3).................
78
40 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan kelimpahan spons Demospongiae pada kedalaman 15 m…………………………………...
79
41 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons bioaktif kedalaman 7 m terhadap bakteri E. coli pada sumbu (F1xF2) dan (F1xF3)............................................................................................ 81 42 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumlah spesies spons bioaktif pada kedalaman 7 m terhadap bakteri E. coli............................... 82 43 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons bioaktif kedalaman 15m terhadap bakteri E. coli pada sumbu (F1xF2) dan (F1xF3)............................................................................................. 83 44 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumah spesies spons bioaktif pada kedalaman 15 m terhadap bakteri E. coli…………………. 84 45 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons bioaktif kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus pada sumbu (F1xF2) dan (F1xF3)........................................................................................... 46 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons bioaktif kedalaman 15 m terhadap bakteri S. aureus pada sumbu (F1xF2) dan (F1xF3).............................................................................................
86
87
vii
47 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumlah spesies spons bioaktif pada kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus…………………
88
48 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumlah spesies spons bioaktif pada kedalaman 15 m terhadap bakteri S. aureus………………
88
49 Jumlah jenis dan Genera spons Demospongiae yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri terhadap bakteri E. coli pada stasiun pengamatan..................
89
50 Jumlah jenis dan Genera spons Demospongiae yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri terhadap bakteri S. aureus pada stasiun pengamatan..............
89
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Hasil pengukuran penentuan titik stasiun pengambilan kualitas fisika-kimia air dan spons Demospongiae dengan alat “GPS (Global Positioning System)”.........................................................................................................
103
2
Nilai karakteristik fisika dan kimia air pada stasiun pengamatan .................
104
3
Jenis dan kelimpahan spons Demospongiae yang teramati pada kedalaman 7 m dan 15 m pada stasiun pengamatan .............................. .........................
105
4 Komposisi jenis spons Demospongiae pada stasiun pengamatan...................
107
5 Diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae terhadap bakteri E. coli pada stasiun pengamatan di kedalaman 7 m dan 15 m, serta diameter rata-rata zona hambat kontrol positif (ampicilin) dan kontrol negatif (metanol)...........................................
109
6 Diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae terhadap bakteri S. aureus pada stasiun pengamatan di kedalaman 7 m dan 15 m, serta diameter rata-rata zona hambat kontrol positif (ampicilin) dan kontrol negatif (metanol)...........................................
111
7
Hasil analisis komponen utama karakteristik fisika-kimia perairan pada stasiun pengamatan........................................................................................
113
Analisis faktorial koresponden kelimpahan spesien spons Demospongiae pada kedalaman 7 m pada stasiun pengamatan..............................................
116
Analisis faktorial koresponden kelimpahan spesien spons Demospongiae pada kedalaman 15 m pada stasiun pengamatan............................................
118
10 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri E.coli kedalaman 7 m pada stasiun pengamatan............................................
120
11 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri E.coli kedalaman 15 m pada stasiun pengamatan..........................................
122
12 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri S. aureus kedalaman 7 m pada stasiun pengamatan..........................................
124
8
9
ix
13 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri S. aureus kedalaman 15 m pada stasiun pengamatan........................................
125
PENDAHULUAN Latar Belakang Spons adalah hewan multisel yang paling sederhana dan dapat hidup dengan baik pada daerah terumbu karang. Di dunia terdapat kurang lebih 7000 spesies (sebagian besar merupakan kelas Demospongiae) yang terdiri atas 25 Ordo, 127 Famili dan 682 Genera (Hooper dan Van Soest 2004). Spons merupakan anggota dari F ilum Porifera dan memiliki bentuk yang bervariasi. Ada yang berbentuk cabang, pipih, mangkok, cerobong dan ada pula yang berbentuk bola (Rachmaniar et al. 2001). Biota laut ini juga mengandung senyawa bioaktif yang paling potensial, bahkan senyawa bioaktif yang dikandungnya lebih banyak dibandingkan dengan alga dan tumbuhan darat (Muniarsih 2003). Pusat riset kelautan bertaraf internasional juga giat dalam berbagai penelitian obat-obatan dengan materi senyawa bioaktif yaitu melalui isolasi senyawa dari spons. Di Amerika Serikat ada dua lembaga ternama yang menfokuskan risetnya dibidang farmakologi berbahan baku spons. Dua lembaga tersebut adalah Scripts Institution of Oceanography, San Diego dan University of Hawai. Hal serupa juga dilakukan oleh University of Dusseldorf , Jerman dan Australian Institute of Marine Science (AIMS), Townsville, Australia (Ma’ruf 2003). Berdasarkan kajian Calbiochem, sebuah perusahaan Industri kimia, 30 % dari seluruh obat-obatan antikanker dan antitumor yang dihasilkan dunia kelak akan berasal dari terumbu karang dan spons di wilayah Indonesia dan Australia (Ma’ruf 2003). Dalam kurun waktu 10 tahun (1977-1987) dapat dikemukakan bahwa penelitian terhadap spons cendrung meningkat, yakni berjumlah 289 metabolit baru atau sekitar 36 % metabolit. Kecendrungan peningkatan ini disebabkan oleh (a) bahan percobaan spons yang relatif mudah didapat (b) tipe struktur molekul metabolit pada spons dan senyawa bioaktifnya yang lebih beragam serta (c) kemampuan biosintesis metabolit sekunder yang lebih luas (Soediro 1999).
Spons diperairan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang terkaya didunia. Selanjutnya, diinformasikan juga hingga sekarang baru terdaftar 830 jenis spons Demospongiae di perairan Indonesia Timur (Amir 1991). Kepulauan Seribu DKI Jakarta, memilki keanekaragaman spons relatif lebih tinggi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Rachmaniar et al. (2001) dalam suatu penelitian yang paling me ndasar untuk bidang pengkajian bahan alam laut. Salah satu bahan pengkajiannya adalah uji senyawa bioaktif 113 jenis spons laut di Pulau Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta terhadap bioindikator Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Vibrio cholerae eltor. Amir (1991) juga melakukan penelitian tentang studi pendahuluan untuk mengumpulkan data jenis-jenis fauna spons yang terdapat di terumbu karang di Pulau Genteng Besar, pulau-pulau Seribu termasuk juga pengamatan mengenai bentuk dan ukuran spons di tempat hidupnya pada kedalaman yang berbeda. Menurut Janssen (2001), produksi metabolit sekunder pada organisme dimodulasi oleh lingkungannya seperti, kedalaman air, intensitas cahaya dan pertahanan kimia. Selanjutnya Haris (2004) mengatakan bahwa senyawa bioaktif ekstrak spons yang hidup pada lingkungan dengan tingkat gangguan yang rendah berbeda dengan senyawa bioaktif ekstrak spons pada lingkungan dengan tingkat gangguan yang tinggi. Pada lingkungan perairan yang relatif kotor memiliki senyawa bioaktif yang relatif tinggi, sedangkan pada perairan yang relatif bersih senyawa bioaktif relatif rendah bahkan tidak aktif. De Voogd (2005) juga mengatakan, spons dengan senyawa bioaktif lemah atau tidak memiliki senyawa bioaktif , energi yang digunakan didalam tubuhnya lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi daripada memproduksi metabolit sekunder. Spons dengan kandungan senyawa bioaktif tinggi disamping energinya untuk pertumbuhan dan reproduksi, maka kelebihan energi (sisa energi yang lainnya) juga digunakan untuk memproduksi metabolit sekunder dalam mempertahankan dirinya terhadap pemangsa. Penelitian-penelitian tentang spons laut telah banyak dilakukan seperti oleh Amir (1991), Rachmaniar et al. (2001), Muniarsih (2003) dan Haris
(2004). Akan tetapi sangat sedikit studi yang menjelaskan distribusi, keanekaragaman
dan
kelimpahan
spons-spons
bioaktif
terhadap
lingkungannya. B eberapa studi hanya menfokuskan pada ekologinya saja (Van Soest 1989; Amir 1992; Bell dan Smith 2004, diacu dalam De Voogd 2005). Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian senyawa bioaktif antibakteri spons terhadap kondisi kualitas perairan di Kepulauan Seribu tepatnya di Pulau Lancang (daerah yang paling dekat dengan daratan utama, Jawa), Pulau Pari (daerah yang telah mengalami gradas i pengaruh daratan utama) dan Pulau Pramuka (daerah yang relatif sangat sedikit mendapatkan pengaruh daratan utama). Kelas
yang
digunakan
dalam
objek
penelitian
ini adalah
Demospongiae. Hal ini didasari pada hampir 90 % jenis spons kelas Demospongiae ditemukan di Indonesia (Rachmaniar 1994).
Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut : Pada perairan yang relatif kotor senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons dan kelimpahan relatif tinggi, sedangkan pada perairan yang relatif bersih senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons dan kelimpahannya relatif rendah.
Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengkaji
kualitas
fisika-kimia
perairan
tempat
hidup
spons
Demospongiae. 2. Mengkaji kelimpahan spons Demospongiae. 3. Mengkaji senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae terhadap bakteri patogen Staphylococcus aureus dan Eschericia coli dengan melihat ukuran diameter zona hambat (zona bening). 4. Melihat hubungan kualitas perairan terhadap kelimpahan dan senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae.
Manfaat dari penelitian adalah : Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi jenis-jenis spons Demospongiae yang memiliki senyawa bioaktif antiba kteri yang relatif tinggi terhadap bakteri patogen S. aureus dan E. coli dengan kelimpahan yang relatif tinggi pula pada tiga kondisi perairan yang berbeda di Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Sistematika Penelitian Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka merupakan pulau-pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Ketiga pulau ini memiliki karakteristik yang berbeda -beda baik dalam hal kondisi fisika-kimia perairan, kelimpahan spons, struktur komunitas maupun kandungan bioaktifnya. Lokasi penelitian dibagi atas tiga stasiun yang masing-masing mewakili perairan Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka. Penentuan stasiun didasarkan atas perbedaan kondisi variabel fisika dan kimia perairan. Pulau Lancang (daerah yang paling dekat dengan daratan utama, Jawa), Pulau Pari (daerah yang telah mengalami gradasi pengaruh daratan utama) dan Pulau Pramuka (daerah yang relatif sangat sedikit mendapatkan pengaruh daratan utama). Kondisi perairan yang relatif kotor maupun relatif bersih juga mempengaruhi kandungan bioaktif spons serta kelimpahannya di alam. Senyawa bioaktif ini ditandai dengan metabolit sekunder yang diproduksi oleh spons untuk mempertahankan hidupnya. Spons yang telah di identifikasi dikaji aspek ekobiologinya seperti kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi. Hasil identifikasi ini juga dilakukan pengujian senyawa bioaktif antibakteri dari ekstrak spons terhadap bakteri S. aureus dan E. coli. Spons yang memiliki senyawa bioaktif antibakteri ditunjukkan dengan diameter zona bening (zona hambat). Nilai kandungan bioaktif spons ini selanjutnya dikaji hubungannya terhadap kualitas perairan seperti: suhu, salinitas, pH (derajat keasaman), DO (Dissolved Oxygen ), BOD5 (Biochemical Oxygen Demand ), COD (Chemical Oxygen Demand ), TOM (Total Organic Matter), kekeruhan, TSS (Total Suspended Solid ), N-NO3, P-PO4, silikat dan kecepatan arus serta terhadap kelimpahan spons sehingga pada akhir penelitian
diharapkan akan didapat spons Demospongiae dengan kandungan bioaktif tinggi, kelimpahan tinggi pada kondisi perairan yang berbeda (Gambar 1).
Habitat spons (Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka)
Kondisi fisikakimia perairan
Suhu, salinitas, pH, DO, BOD 5, COD, TOM, kekeruhan, TSS, N-NO3, P -PO4, silikat dan kecepatan arus
Ekstrak spons
Aspek eko-biologi
Kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi spons
Senyawa bioaktif antibakteri terhadap bioindikator S. aureus dan E. coli
Hubungan kualitas perairan terhadap senyawa bioaktif antibakteri spons dan kelimpahan
Spons dengan senyawa bioaktif antibakteri tinggi, kelimpahan tinggi pada kondisi perairan yang berbeda
Rekomendasi Gambar 1 Kerangka pendekatan masalah.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Spons Demospongiae Klasifikasi Spons Demo spongiae Kingdom : Hewan Filum
: Porifera
Kelas
: Demospongiae Ordo : Halichondrida Famili : Axinellidae Genus : Acanthella Spesies: Acanthella cavernosa Genus : Styllotella Spesies : Styllotella aurantum Famili : Desmoxyidae Genus : Higginsia Spesies : Higginsia massalis Genus : Myrmekioderma Spesies : Myrmekioderma granulata Famili : Dictyonellidae Genus : Liosina Spesies : Liosina sp Ordo : Hadromerida Famili : Suberitidae Genus : Aaptos Spesies : Aaptos cf subertoides Ordo : Haplosclerida Famili : Chalinidae Genus : Adocia Spesies : Adocia sp Famili : Niphatidae Genus : Aka Spesies : Aka sp Genus : Nip hates
7
Spesies : Niphates calista Famili : Callyspongiidae Genus : Cally spongia Spesies : Cally spongia sp Cally spongia aerizusa Famili : Petrosiidae Genus : Petrosia Spesies : Petrosia sp Genus : Neopetrosia Spesies : Neopetrosia sp Genus : Xesto spongia Spesies : Xesto spongia sp1 Xesto spongia sp2 Xesto spongia testudinaria Ordo : Dendroceratida Famili : Darwinellidae Genus : Chelonaplysilla Spesies : Chelonaplysilla sp Famili : Dysideidae Genus : Euryspongia Spesies : Euryspongia dilicatula Ordo : Poecilosclerida Famili : Microcionidae Genus : Clathria Spesies : Clathria sp Clathria rendrawti Clathria vulpina Ordo : Spirophorida Famili : Tetillidae Genus : Cinachyra Spesies : Cinachyra cylindrica Genus : Paratetilla Spesies : Paratetilla bacca
8
Ordo : Dictyoceratida Famili : Spongiidae Genus : Hippo spongia Spesies : Hippo spongia amata Famili : Thorectidae Genus : Hyrtios Spesies : Hyrtios erecta Famili : Irciniidae Genus : Ircinia Spesies : Ircinia sp Ordo : Astrophorida Famili : Coppatiidae Genus : Dorypleres Spesies : Dorypleres spledens Famili : Ancorin idae Genus : Rhabdastrella Spesies : Rhabdastrella globastellata Ordo : Verongida Famili : Drunellidae Genus : Pseudoceratina Spesies : Pseudoceratina verongita Genus : Suberea Spesies : Suberea laboutei (Hooper 2000). Morfologi Spons Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera. Filum Porifera ini ada yang menyatakan terdiri atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood dan Wells 1989; Sara 1992; Amir dan Budiyanto 1996; Rachmaniar 1996; Romimohtarto dan Juwana 1999), sedangkan menurut Warren (1982) ; Kozloff (1990); Harrison dan De Vos (1991); Ruppert dan Barnes (1991) ; Pechenik (1991) , Filum Porifera terdiri atas empat kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, Sclerospongia.
Hexactinellida, dan
9
Kelas dari Filum Porifera ini memiliki karakteristik morfologinya masing-masing. Kelas Calcarea misalnya, kelas ini memiliki struktur sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulanya terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Demospongiae berbentuk masif, berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit dan saluran ini dihubungkan dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang bundar. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat, serat spongin seperti: Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Spikulanya terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin (Warren 1982; Kozloff 1990; Ruppert dan Barnes 1991; Brusca dan Brusca 1990; Amir dan Budiyanto 1996; Romihmohtarto dan Juwana 1999). Kelas Sclerospongia memiliki tipe leuconoid yang kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemen-elemen ini dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren 1982; Kozloff 1990; Harrison dan De Vos 1991; Ruppert dan Barnes 1991; Pechenik 1991). Gambar 2 menunjukkan morfologi umum dari Porifera. Tubuh spons dibeda kan berdasarkan bentuknya yaitu dari bentuk encrusting sampai ke bentuk gundukan tanah atau bentuk tabung dengan ukuran diameter lebih kecil dari 1 mm atau lebih besar dari 1 m. Spons ada juga yang berbentuk seperti kuping gajah. Beberapa kasus Porifera memiliki sistem canal yang melalui pemompaan air. Air masuk melalui pori yang disebut ostia, mengalir melalui canal-canal ke ruang yang luas disebut dengan spongoco el dan pengeluaran terakhir melalui pembukaan yang lebar disebut oscula (Rigby et al. 1993). Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia, dan biologi lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama
10
yang hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist 1978; Amir dan Budiyanto 1996).
Gambar 2 Morfologi umum dari Porifera (sumber: Rigby et al. 1993). Beberapa spons ada yang berwarna putih, abu-abu, kuning, oranye, merah, dan hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut Zoochlorellae yang terdapat didalamnya (Romimohtarto dan Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya adalah cyanophyta (cyanobacteria da n eukariot alga seperti dinoflagellata atau Zooxanthella). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenisnya. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980). Tipe -tipe Sel Spons Tipe Sel pada Jaringan Epitel. Demospongiae dan Calcarea mempunyai tiga lapisan selluler utama seperti terlihat pada Gamba r 3. Lapisan pertama adalah pinacoderm yang terletak di permukaan bagian luar spons yang terdiri dari satu lapisan sel yang disebut pinacocytes. Lapisan kedua
11
adalah choanoderm, tersusun dari sel-sel choanocytes yang mempunyai sel-sel leher (collars). Lapisan yang ketiga adalah mesohyl. Lapisan ini merupakan suatu matriks protein yang terletak antara pinacoderm dan choanoderm, di mana bahan rangka ditemukan dengan semua tipe sel lainnya. Pinacocytes di bagian basal mengsekresikan bahan yang melekatkan spons ke substrat. Pinacoderm adalah suatu lapisan yang selalu berada pada permukaan luar spons dan juga pada semua deretan saluran pemasukan (incurrent canals) dan saluran pengeluaran (excurrent canal). Sel-sel lain yang terdapat pada pinacoderm adalah porocytes. Sel ini berbentuk silindris, mirip donat dan membentuk ostia. Porocytes adalah kontraktil dan dapat membuka dan menutup lubang serta mengatur diameter ostia . Beberapa porocytes dapat menghasilkan bukaan ostia yang melintang seperti membran diafragma sitoplasmik yang mengatur ukuran lubang. Sel-sel porocytes berasal dari lapisan permukaan spongocoel (Brusca dan Brusca 1990; Kozloff 1990; Ruppert dan Barnes 1991).
Gambar 3 Dinding sel Porifera yang dilihat melalui mikroskop (sumber: Rigby et al. 1993). Choanocytes berfungsi untuk membuat arus dan mengarahkan air melewati sistem saluran air pada spons . Choanocytes mempunyai flagella. Flagella ini sela lu dikelilingi oleh sel-sel leher (collars), yang terdiri dari
12
sejumlah pemanjangan sitoplasmik yang disebut microvilli. Microvilli mempunyai inti mikrofilamen dan berhubungan satu dengan yang lainnya oleh lendir retikulum. Choanocytes bersandar pada mesohyl, berpegang pada suatu tempat oleh interdigitasi permukaan dasar yang berdekatan. Choanocytes berperan utama pada fagositosis dan pinakositosis, karena dia mempunyai vakuola makanan. Arus air melalui dan mengelilingi sel-sel leher (collars) yang membawa bakteri dan partikel makanan kecil lainnya terperangkap di dalam vakuolanya (Brusca dan Brusca 1990; Kozloff 1990; Ruppert dan Barnes 1991). Umumnya choanocytes pada spons kelas Calcarea ukurannya lebih besar (8-12 µm) daripada kelas Demospongiae (2-3 µm).
Tipe Sel Pembentuk Kerangka. Kerangka berupa serat kollagen dikeluarkan oleh sel yang disebut collencytes , lophocytes, dan spongocytes. Collencytes
secara morfologi hampir tidak dapat dibedakan dengan
pinacocytes, sedangkan lophocytes ukurannya besar, sel-selnya
bergerak
cepat, dan dapat dikenali dengan pengikat kollagen yang secara khas terdapat di belakangnya. Fungsi utama kedua tipe sel tersebut adalah mengsekresikan penyebaran serat kollagen yang terdapat secara interselluler pada semua spons. Spongocytes menghasilkan serat pendukung kollagen yang disebut sebagai spongin. Spongocytes menjalankan fungsinya dalam kelompok-kelompok dan biasanya dibungkus sekelilingnya oleh spikula atau serat kollagen (Brusca dan Brusca 1990), sedangkan sel yang bertanggung jawab untuk memproduksi spikula kalkareus dan silikon pada spons adalah sclerocytes. Sclerocytes adalah sel-sel aktif yang memiliki banyak mitokondria, mikrofilamen sitoplasmik, dan vakuola kecil. Sejumlah tipe sclerocytes mempunyai gambaran, yaitu se l-sel ini hancur setelah sekresi spikula selesai, sedangkan yang
bertanggung
jawab
untuk
memproduksi
serat spongin adalah
spongocytes. Kedua tipe sel ini berasal dari archaeocytes. Sel-sel archaeocytes mempunyai banyak manfaat, selain memproduksi spikula dan serat spongin, dia juga penting dalam mengidentifikasi jenis, memelihara bentuk spons , dan kemungkinannya mencegah serangan predator (Brusca dan Brusca 1990; Pechenik 1991).
13
Tipe Sel Kontraktil dan Tipe Sel Lainnya. Tipe sel-sel kontraktil pada spons disebut myocytes. Myocytes biasanya berbentuk fusiform dan berkelompok secara konsentris disekitar oskula dan saluran utama. Myocytes dapat dikenali karena berisi sejumlah besar mikrotubula dan mikrofilamen pada sitoplasmanya. Myocytes adalah sama denga n sel-sel otot halus pada invertebrata yang lebih tinggi. Myocytes adalah efektor-efektor independen dengan waktu merespons yang lambat, dan tidak seperti neuron dan serat otot sebenarnya, myocytes tidak sensitif pada rangsangan listrik. Kemudian ada selsel yang disebut archaeocytes. Archaeocytes adalah sel-sel ameboid yang berukuran lebih besar dari tipe sel lainnya, dan merupakan
sel-sel yang
bergerak cepat. Sel-sel ini mempunyai peranan utama pada sistem pencernaan dan pengangkutan makanan. Sel-sel ini memiliki bermacam-macam enzim pencernaan (seperti: asam phosphatase, protease, amylase, lipase) dan dapat menerima bahan makanan dari choanocytes. Sel-sel ini juga mencerna bahan makanan langsung melalui pinacoderm pada saluran air. Sebagai makrofago utama pada spons , sel-sel archaecytes mempunyai banyak aktivitas pada sistem pencernaan, pengangkutan, dan pengeluaran. Sebagai sel-sel yang mempunyai potensi maksimum, archaecytes adalah penting untuk kegiatan perkembangan spons
dan
berbagai
macam
proses
aseksual,
seperti
pembentukan gemmule (Brusca dan Brusca 1990).
Sistem Saluran Spons Sistem saluran ini bertindak sama seperti pada sistem sirkulasi hewan tingkat tinggi. Sistem ini melengkapi jalan bebas untuk pemasukan makanan ke dalam tubuh dan untuk pengangkutan zat buangan ke luar dari tubuh. Ada tiga macam tipe saluran pada spons , yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid (Kozloff 1990; Brusca dan Brusca 1990; Ruppert dan Barnes 1991; Romimohtarto dan Juwana 1999). Tipe asconoid terdapat dinding tipis menutupi rongga tengah yang disebut atrium atau spongocoel, yang terbuka ke arah luar melalui oskulum tunggal. Bukaan bagian luar pada saluran porocytes disebut ostium (ostia) atau lubang pemasukan (incurrent pore). Pergerakan air yang melalui spons tipe asconoid , strukturnya adalah sebagai berikut: ostium -
14
spongocoel (diatas choanoderm) - oskulum. Tipe syconoid , choanocytes dibatasinya oleh ruang spesifik atau diverticula atrium yang disebut ruang berflagella (flagelllate chamber), ruang choanocytes (choanocytes chamber) atau saluran radial (radial canals). Setiap ruang choanocytes (choanocytes chamber) terbuka ke arah spongocoel oleh lubang luas yang disebut apopyle. Spons tipe syconoid dengan kulit yang tebal memiliki sistem saluran atau incurrent canals yang berasal dari lubang kulit melalui mesohyl ke ruang choanocytes (choanocytes chamber). Bukaan dari saluran ini yang menuju ke ruang choanocytes (choanocytes chamber) disebut prosopyles. Spons syconoid, air bergerak dari permukaan spons ke dalam aliran tubuh melalui struktur sebagai berikut: incurrent pore - incurrent canals - prosopyle - ruang choanocytes (choanocytes chamber) - apopyle - spongocoel - oskulum. Tipe leuconoid ditemukan suatu peningkatan jumlah dan penurunan ukuran ruang choanocytes (choanocytes chamber), yang secara khusus mengelompok pada mesohyl yang tebal. Spongocoel berubah ke excurrent canals yang membawa air dari ruang choanocytes (choanocytes chamber) ke oskula. Aliran air yang melalui spons leuconoid adalah sebagai berikut: derma l pore - incurrent canals - prosopyle - ruang choanocytes (choanocytes chamber) - apopyle excurrent canals - oskulum. Tipe leuconoid adalah ciri khas kebanyakan spons kelas Calcarea dan semua anggota kelas Demospongiae (Brusca dan Brusca 1990). Sistem Kerangka Spons Semua spons, kecuali mereka yang termasuk Ordo kecil Myxospongia, dilengkapi dengan kerangka. Kerangka ini ada yang terdiri dari kapur karbonat atau silikat dalam bentuk spikula atau dari spongin dalam bentuk serat. Spikula silikat tersusun dari opal, yaitu suatu bentuk silika terhidrasi yang sama dengan kwarsa dalam reaksi kimianya. Spikula bermacam-macam bentuknya dan karenanya berguna untuk menyusun spons ini ke dalam kelompok-kelompok. Spongin adalah zat yang secara kimia berkerabat dengan sutera. Spongin dikeluarkan oleh sel berbentuk stoples yang dinamakan spongoblast, yakni sel penghasil spongin. Spikula tertimbun dalam sel-sel yang disebut scleroblast, yakni sel spons tempat berkembangnya spikula, dan
15
lebih dari satu sel dapat mengambil bagian dalam pembentukan satu spikula. Kapur karbonat dan silikat diekstrak oleh sel-sel dari air sekitarnya. Susunan serat-serat spongin dapat diamati dengan mudah dengan meletakkan sepotong spons mandi (bath sponges) di bawah mikroskop. Spons masif ta k pernah berdiri tegak jika tidak karena adanya spikula atau spongin yang membentuk kerangka, yang menopang tubuhnya sehingga dapat berdiri tegak, dan mencegahnya rontok menjadi seonggok bahan kental seperti agar-agar yang tidak memungkinkan adanya suatu saluran dan ruang-ruang berflagella (Romimohtarto dan Juwana 1999). Adapun macam-macam kerangka spons ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Macam-macam kerangka spons laut (sumber: Rigby et al. 1993).
Spikula adalah gambaran karakteristik spons. Spikula dapat berbentuk kalkareus, silikon atau bahan organik, dan merupakan suatu komposis i kimia yang dipakai sebagai dasar untuk mengklasifikasi spons . Fungsi utamanya
16
adalah membentuk rangka pendukung yang mencegah rubuhnya jutaan rongga berflagella lembut dan saluran air dalam spons. Pada Demospongiae, spikula silikat selalu menempel atau tertanam pada spongin, membuatnya lebih kaku, dan pada beberapa jenis butiran pasir dimasukkan. Sekresi spikula baru atau spongin memungkinkan secara relatif perubahan cepat arsitektur pada sistem saluran air untuk merespons perubahan tekanan dan aliran air. Pada umumnya setiap individu spons memiliki lebih dari satu macam bentuk spikula. Menurut Bergquist (1978) bentuk spikula menurut fungsinya dibagi atas dua kategori, yaitu megasklera dan mikrosklera. Megasklera adalah komponen dari kerangka primer yang berperan untuk membentuk spons dan perkembangan substruktur internal. Mikrosklera tidak berfungsi seperti peranan megasklera, tetapi membentuk kelompok antara kumpulan megasklera atau tersebar pada permukaan atau membran internal. Makanan dan Cara Makan Spons Spons adalah pemakan menyaring (filter feeder) yang menetap. Spons memperoleh makanan dalam bentuk partikel organik renik baik yang hidup maupun yang mati, seperti: bakteri, mikroalga dan detritus, yang masuk melalui pori-pori arus masuk (ostia) yang terbuka dalam air, dan di bawa ke dalam rongga lambung atau ruang-ruang berflagella. Arus air yang masuk melalui sistem saluran dari spons diciptakan oleh flagella choanocytes yang memukul-mukul secara terus menerus. Choanocytes juga mencerna partikel makanan, baik disebelah luar maupun di dalam sel leher (collars). Sebuah vakuola makanan terbentuk dan di vakuola ini pencernaan terjadi. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang ke luar dari dalam sel leher (collars). Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain dan diedarkan dalam batas tertentu oleh sel-sel amebocytes yang terdapat di lapisan tengah. Penting bagi spons untuk hidup dalam air bersirkulasi, karenanya kita temukan hewan ini dalam air yang jernih, bukannya air yang keruh. Karena arus air yang lewat melalui spons membawa serta zat buangan dari tubuh spons, maka penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana 1999).
17
Spons dapat menyaring partikel yang sangat kecil yang tidak tersaring oleh hewan-hewan laut lainnya (Bergquist 1978). Partikel yang berukuran antara 2-5 µm (protozoa, ultraplankton, detritus organik) ditangkap oleh archaeocytes, yang bergerak ke batas saluran pemasukan (incurrent canal), sementara partikel yang berukuran antara 0,1–1,5 µm (bakteri, molekul organik) ditangkap oleh flagella sel-sel leher (collars). Gerak mengombak pada gerakan sel leher (collars) menangkap partikel makanan dan dibawa ke sel tubuh choanocytes kemudian dicerna secara fagositosis atau pinositosis. Spons juga dapat mengambil bahan organik terlarut (Dissolved Organic Matter atau
DOM) dalam jumlah yang signifikan secara pinositosis dari
dalam air pada sistem saluran (Brusca dan Brusca 1990). Menurut penelitian Reiswig (1976), diacu dalam Brusca dan Brusca (1990) , 80 % bahan organik terlarut diambil oleh jenis spons Jamaika, dan 20 % adalah bakteri dan dinoflagellata. Menurut Bell et al. (1999), jenis ultraplankton yang dimakan oleh spons pada umumnya adalah jenis bakteri heterotropik, Prochlorococcus spp, Synechococcus - tipe cyanobakteri dan picoeukaryotes autotropik Choanocytes pada tubuh spons jumlahnya relatif besar. Menurut Schmidt (1970) , diacu dalam Brusca dan Brusca (1990) , jenis Epydatia fluvialis mempunyai jumlah choanocytes sekitar 7600 per millimeter kubik tubuh spons . Setiap rongga choanocytes dapat memompa air sekitar 1200 kali dari volume tubuhnya per hari. Spons yang lebih kompleks, tipe leuconoid mempunyai jumlah choanocytes yang lebih besar, yaitu 18.000 per millimeter kubik (Brusca dan Brusca 1990).
Reproduksi Spons Reproduksi Aseksual. Sejumlah proses reproduksi aseksual pada spons terjadi secara alami, yang dasarnya pada potensi perkembangan archaeocytes. Proses ini termasuk pembentukan pucuk (bud formation ), penyembuhan luka (wound healing), pertumbuhan somatik (somatic growth ), pembentukan gemmule (gemmules formation) (Harrison dan De Vos 1991).
18
Produk Alam Laut dari Spons Kategori Produk Alam Laut. Produk alam laut dikelompokkan atas: (1) sumber biokimia yang mudah untuk mendapatkan dalam jumlah yang besar dan dapat diubah menjadi bahan yang lebih berharga; (2) senyawa bioaktif seperti: (a) senyawa antimikroba, (b) senyawa aktif secara fisiologi (sinyal kimia) (c) senyawa aktif secara farmakologi dan (d) senyawa sitotoksik dan antitumor; (3) Racun laut (Kobayashi dan Rachmaniar 1999). Senyawa Bioaktif Ekstrak Spons Spons adalah salah satu biota laut yang menghasilkan senyawa bioaktif. Senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh spons laut berasal dari ekstrak spons. Ekstrak spons yang dihasilkan bersifat sebagai antibakteri, antijamur, antitumor, antivirus, antifouling dan menghambat aktivitas enzim. Beberapa senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh spons laut ditunjukkan pada Tabel 1. De Voogd (2005) menyatakan, bioaktivitas spons ada tiga tipe berdasarkan ada tidaknya senyawa bioaktif (bioaktive and non bioaktive): 1. Kuat (mortality of nauplii > 50 % pada konsentrasi 100 mg/l) 2. Sedang (mortality of nauplii 20-50 % pada konsentrasi 100 mg/l) 3. Lemah (mortality of nauplii < 20 % pada konsentrasi 100 mg/l) Rachmaniar (1997) menyatakan, faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya zona hambat senyawa bioaktif antibakteri pertumbuhan aktivitas senyawa bioaktif antara lain aktivitas senyawa bioaktif gugus fungsi dari substansi sendiri, resistensi dari bakteri terhadap substansi senyawa bioaktif kadar substansi aktif, serta jumlah inokulum bakteri atau kepadatan bakteri uji. Rachmaniar (1997) juga menambahkan, ekstrak-ekstrak yang tidak menunjukkan aktivitas senyawa bioaktif belumlah berarti sampel tersebut tidak aktif, tetapi kemungkinan tidak terdeteksi pada konsentrasi sampel uji yang digunakan atau kadar hambat umumnya belum tercapai.
19
Tabel 1 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut menurut Soediro (1999) Aktivitas Senyawa bioaktif Jenis spons farmakologi Sitotoksik Asam 3,6 epoksieikosaHymeniacidon hauraki 3 ,5,8,1 1,14,17-heksaenoat Reidispongiolid A dan B Reidispongia coerulea Superstolida A dan B Neosiphnia sperstes Swinhol ida A Theonella swinhoet Arenastatin A Dysidea arenaria Fakeliastatin Phakelia costata Diskodermin E-H Discodermia kiiensis Ingenamin, ingamin A dan B, Xesto spongia ingens Madangamin A 8-hidrosimanzamin A Pachypellina sp Glisinililimakuinon A Fasciospongia rimosa Vaskulin Cribrocalina vasculum Latrunkulin S, neolaulimalida, Fasciospongia rimosa zampanolida Leukasandrolida Leucasandra caveolata Hyrtios alium Altohirtin A-C , 5-deasctilAltohirtin Halisilindramida A Halichondria caveolata Antitumor Agelasfin (AGL) Agelas muritianus Antileukemia Kurasin A Lingbya majuscula Amfidinolid B1, B2, B3, N, Q.Amphidinium sp Pellina triagulata Triangulin A-H, asam triangulinat Anti HIV 1 Trikendiol Trikentrion loeve Antimikroba Hormotamnim Hormothamnion Enteromorphoides Diskodermin E-H Discodermia kiiensis Antibakteri Lokisterolamin A dan B Corticium sp Antijamur Asam kortikatat A,B,C Petrosia corticata Leukasandrolida Leucasandra caveolata Halisilindramida Halichondria cylindrica Imunomodulator Agelasfln 10 dan 12 Agelas muritianus Antiinflamasi Manualida Luffariella variabilis Belum diketahui Halisiklamina A Haliclona sp (masih dalam BastadinA. dan B Ianthella basta penelitian) Asam manadat A dan B Placortis sp Klatirimin Clathria basilana Halisiklamina B Xesto spongia sp
20
Aktivitas senyawa bioaktif (antibakteri) ekstrak spons terhadap bioindikator Eschericia coli dan Staphylococcus aureus ditandai dengan adanya zona bening (zona hambat) disekeliling kertas cakram yang mengandung senyawa antibakteri dan diletakkan dipermukaan agar yang telah diinokulasikan bakteri bioindikator. Zona bening tersebut merupakan zona penghambat yang menunjukkan bahwa bakteri bioindikator (bakteri patogen) dihambat pertumbuhannya oleh senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak spons. Lebarnya diameter zona bening dapat dijadikan sebagai parameter untuk melihat kekuatan senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak spons. Semakin lebar diameter zona bening yang terbentuk mengindikasikan semakin kuatnya senyawa bioaktif itu menghambat pertumbuhan bakteri (De Voogd 2005). Mekanisme antibakteri yang dapat merusak sel mikroba dan akhirnya mematikan sel mikroba itu sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, (2) peningkatan permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktivasi enzim esensial dan (4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Pelczar dan Chan 1993). Beberapa Jenis Bakteri Patogen Metode assay yang efektif untuk mendeteksi adanya aktivitas bioaktif metabolit sekunder yang berasal dari darat dan organisme laut adalah dengan menggunakan larva Artemia salina nauplii. Artemia salina nauplii merupakan organisme yang sangat sensitif terhadap pengaruh ekstrak spons . Setelah Artemia salina nauplii , tingkatan kedua disusul oleh jamur Filamentous, kemudian yeast dan terakhir adalah bakteri (De Voogd 2005). Bioindikator yang digunakan untuk melihat aktivitas antibakteri ekstrak spons dalam penelitian ini adalah bakteri gram negatif E. coli dan bakteri gram positif S. aureus. Kedua bakteri ini merupakan bakteri umum yang sering digunakan dala m pengujian mikrobiologi dan dapat dianggap mewakili bakteri patogen lainnya.
21
Staphylococcus aureus termasuk dalam Famili Micrococcaceae dan merupakan bakteri gram positif, berbentuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 µ m. Bakteri ini da pat hidup secara aerob ataupun anaerob fakultatif, bersifat
non motil dan tidak membentuk spora. S. aureus tumbuh secara aerobik pada temperatur antara 7-4 oC dan mempunyai suhu optimum pertumbuhan 35-40 o
C (Fardiaz 1992). Echerichia coli termasuk dalam suku Escherichiae dan merupakan
bagian dari Famili Enterobacteriacae. Bakteri ini dikenal sebagai oxidasenegatif,
termasuk dalam golongan bakteri gram negatif, berbentuk batang
dengan ukuran 1,1-1,5 µm x 2-6 µm, bersifat motil karena adanya flagela (Willshaw et al. 2000) . Bakteri ini mempunyai kisaran suhu pertumbuhan yang sangat luas yaitu 15-45 oC dengan suhu optimum 37 oC. Bakteri ini resisten pada pemanasan suhu 55 oC selama 60 menit atau pada suhu 60 oC selama 15 menit. Menurut Pelczar dan Chan (1993) perbedaan relatif kedua kategori bakteri tersebut adalah: (1) struktur dinding sel bakteri gram positif tebal dan berlapis tunggal, sedangkan bakteri gram negatif relatif tipis dan berlapis tiga; (2) komposisi dinding sel bakteri gram positif kandungan lipidnya rendah (1-4 %), peptidoglikan ada sebagai lapisan tunggal, sedangkan bakteri gram negatif kandungan lipidnya tinggi (11-22 %), peptiglogikan ada didalam lapisan kaku sebelah dalam. Struktur dinding sel bakteri S. aureus yang berlapis tunggal dan relatif sederhana akan memudahkan masuknya zat-zat yang dapat merusak sel bakteri, sedangkan bakteri E. coli struktur dinding selnya berlapis tiga, yang terdiri dari lipopolisakarida, peptiglogikan dan protein. Lipopolisakarida ini mengandung antigen O dan endotoksin yang dapat melindungi sel dari perubahan lingkungan. Adanya lapisan ini juga menyebabkan dinding sel tidak mudah dipisahkan dari sel bakteri oleh enzim pengurai. Selain itu, E. coli adalah bakteri gram negatif yang tahan hidup dalam media yang kekurangan gizi.
22
Struktur Komunitas Spons Spons terdiri atas tiga kelas. Kelas yang pertama adalah Calcarea Kelas ini adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Kelas kedua dari spons adalah Demospongiae, adalah kelompok spons yang terdominan di antara Porifera masa kini. Mereka tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak (Warren 1982; Kozloff 1990; Ruppert dan Barnes 1991; Brusca dan Brusca 1990; Amir dan Budiyanto 1996; Romihmohtarto dan Juwana 1999). Kelas yang ketiga adalah Sclerospongia, merupakan spons yang kebanyakan hidup pada perairan dalam di terumbu karang atau pada gua-gua, celah-celah batuan bawah laut atau terowongan diterumbu karang (Warren 1982; Kozloff 1990; Harrison dan De Vos 1991; Ruppert dan Barnes 1991; Pechenik 1991). De Voogd (2005) menyatakan, spons
telah
dipelajari
secara
metodologi di Northwest Atlantik, Mediterania, Caribbean dan negara-negara yang sedang dalam masa penjelajahan seperti Cina, Maldives serta Indonesia. Indo-Malayan memiliki keanekaragaman laut yang sangat tinggi. Di Indonesia terdiri atas 850 jenis spons , beberapa diantaranya telah digambarkan jenisnya secara jelas. Dari semua tingkatan invertebrata laut, spons memiliki komponen atau senyawa dalam jumlah besar dan semua spons di laut pada umumnya mengandung senyawa bioaktif. Bahkan di daerah terumbu karang perairan Indonesia memiliki keanekaragaman spons dengan kandungan kimia yang sangat tinggi dan terdapat hubungan antara senyawa bioaktif spons dengan kelimpahannya. Dimana spons dengan senyawa bioaktif lemah atau tidak memiliki senyawa bioaktif , energi yang digunakan didalam tubuhnya lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi daripada memproduksi metabolit sekunder. Sedangkan spons dengan kandungan senyawa bio aktif tinggi disamping energinya untuk pertumbuhan dan reproduksi, maka kelebihan energi (sisa energi yang lainnya) juga digunakan untuk memproduksi metabolit sekunder dalam perta hanan dirinya terhadap pemangsa ( De Voogd 2005).
23
Fisika-Kimia Perairan dan Spons Laut Beberapa parameter yang mempengaruhi distribusi spons adalah kedalaman (Wilkinson dan Cheshire 1989; Alvarez et al. 1990; Bell dan Barnes 2000, diacu dalam De Voogd 2005), intensitas cahaya (Cheshire dan Wilkinson 1991, diacu dalam De Voogd 2005), pasang surut air laut (Barnes 1999, diacu dalam De Voogd 2005) dan kecepatan arus (Bell dan Barnes 2000, diacu dalam De Voogd 2005). Gerrodette dan Flechsig (1979) , diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan spons adalah suhu, salinitas, kedalaman serta kekeruhan dan sedimentasi. Sementara Wilkinson (1987), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, faktor -faktor yang mempengaruhi pertumbuhan spons adalah nitrat, fosfat dan bahan organik terlarut.
Suhu Suhu diasumsikan sebagai faktor lingkungan utama yang mengatur reproduksi spons pada daerah beriklim empat, dimana perubahan musimnya besar. Didaerah tropik, walaupun studi reproduksi spons masih relatif sedikit, tetapi beberapa penelitian sudah dapat memberikan gambaran, seperti yang dilakukan oleh Ilan dan Loya (1988). Gerrodette dan Flechsig (1979) , diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, suhu untuk pertumbuhan spons laut adalah antara 26-31 oC.
Salinitas Pasang surut dapat menyebabkan perubahan salinitas. Saat pasang air laut jauh masuk kearah hulu dan sebaliknya saat surut garis isoha lin bergeser kearah hilir (Odum 1971). Gerrodette dan Flechsig (1979), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, salinitas pertumbuhan spons laut adalah antara 2836 o /oo. Kekeruh an dan Total Padatan Tersuspensi De Voogd (2005) juga menambahkan, kekeruhan yang tinggi dapat meningkatkan laju sedimentasi pada permukaan spons sehingga memaksa
24
spons mengeluarkan energi lebih banyak untuk menghalau sedimen dengan jalan memproduksi le ndir dalam jumlah banyak. Produksi lendir yang banyak dapat membuat spons mati lemas, karena lendir tersebut dengan efektif mengisolasi spons sehingga mencegah pertukaran gas. Sedimentasi yang tinggi akan mematikan spons karena menutupi ostia dan oskula, sehingga menghambat atau menutupi aliran air. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Didalam air, pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd 1982). Oksigen Terlarut (DO) Kandungan oksigen dalam suatu perairan erat kaitannya dengan banyaknya bahan organik yang berada di suatu perairan. Kandungan DO akan menurun dengan masuknya bahan organik ke perairan, karena dimanfaatkan oleh organisme untuk menguraikan zat-zat organik tersebut. Nybakken (1992) menyatakan, kandungan bahan organik dan tingginya populasi bakteri dalam sedimen menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen di perairan. Bahan Organik Bahan organik mempunyai pera nan penting dalam ekosistem laut sebagai sumber energi, makanan, vitamin dan bahan keperluan lainnya bagi bakteri, tanaman dan hewan. Selain itu pula bahan organik berperan dalam proses mempercepat dan memperlambat pertumbuhan sehingga bahan organik memiliki peranan yang penting dalam mengatur organisme hidup dilaut khususnya fitoplankton (Chester 1990). Bahan organik dalam kolom air dimanfaatkan oleh spons sebagai makanannya. Menurut Brusca dan Brusca (1990), spons dapat memakan dalam jumlah yang signifikan bahan organik terlarut secara pinositosis dari dalam air pada sistem saluran airnya.
25
Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD5) Nilai BOD 5 merupakan parameter yang menunjukkan besarnya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam proses dekomposisi secara biokimia (Boyd 1982). Peningkatan nilai BOD5 merupakan petunjuk dari menurunnya DO karena pertumbuhan yang berlebihan dari mikroorganisme bentik (Center dan Hill 1979).
Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Nilai COD dipakai sebagai petunjuk tingkat pencemaran air, limbah industri (Alaerts dan Santika 1984; Mahida 1984). Nilai COD umumnya lebih besar dari nilai BOD5, karena jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi secara kimiawi lebih besar dibandingkan secara biologi (Saeni 1954). Nutrien Kandungan nutrien yang berupa nitrat dan fosfat secara bersama-sama dibutuhkan
oleh
multiplikasinya.
mikroba Mikroba
simbiotik spons simbiotik
untuk
pada spons
pertumbuhan terdiri
dari
dan
bakteri
heterotropik, cyanobakteri dan alga uniseluler. Menurut Wilkinson et al. (1980) mikroba simbiotik pada jaringan spons dapat mencapai 60 % dari volumenya. Nitrat merupakan salah satu senyawa yang penting dalam sintesis protein hewani dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan tumbuhan air (ganggang) dalam jumlah banyak, bila didukung oleh nutrien yang lainnya. Nitrat adalah senyawa nitrogen yang stabil. Fosfat sama halnya dengan nitrat merupakan elemen penting yang dibutuhkan dalam menopang kehidupan ekosistem perairan. Senyawa ini berasal dari erosi tanah, buangan industri, kotoran hewan dan pelapukan tumbuhan. Tapi sebagian besar pencemaran yang disebabkan oleh fosfor berasal dari senyawa deterjen dipermukaan air (Alaerts dan Santika 1984).
Silikat Silikat dalam kolom air sangat dibutuhkan oleh spons dari kelas Demospongiae untuk mensintesa dan membentuk endoskeletonnya atau
26
spikulanya yang sebagian besar tersusun dari senyawa silikat. Menurut Romihmohtarto dan Juwana (1999), kapur karbonat dan senyawa silikat diekstrak oleh scleroblast spons untuk membentuk spikulanya.
Hubungan Kelimpahan terhadap Senyawa Bioaktif dan Beberapa Parameter lingkungan Perairan De Voogd (2005), melalui studi yang dipelajarinya di Kepulauan Spermonde, Sulawesi didapatkan hubungan antara kelimpahan, senyawa bioaktif dan sifat fisika serta kimia perairan. Senyawa bioaktif yang didapatkan bervariasi, yaitu terdiri atas bioaktif lemah, sedang dan kuat. Ketiga tipe bioaktif ini didasarkan pada mortality dari larva Artemia salina nauplii pada konsentrasi ekstrak spons 100 mg/l dengan kategori seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Kelimpahan rata-rata tiap tipe berturut-turut, 94±27 /m 2 bioaktif lemah, 75±19 /m 2 bioaktif sedang, 174±66 /m2 bioaktif kuat. Jumlah spesies spons yang mengandung senyawa bioaktif berturut-turut adalah 67 lemah, 52 sedang dan 32 kuat. Jumlah spesies spons per transeknya antara 14-77 spesies dengan total kepadatan 112-1265 individu per transek (=100 m2). Kerapatan spons antara 1,2-12,7 individu/m2. Hanya 17 spesies yang teramati di 22 lokasi studi. Kekayaan jenis (Gambar 5) dan kelimpahan (Gambar 6) dari seluruh tipe meningkat dengan meningkatnya kedalaman, tetapi akan mencapai maksimum pada kedalaman antara 10-15 m. Kelimpahan dan kekayaan jenis spons bioaktif lemah akan semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman jika dibandingkan dengan dua tipe bioaktif yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh turbulensi dan radiasi ultraviolet di air yang dangkal (Wilkinson dan Cheshire 1998; Wilkinson dan Evans 1989; Alvares et al. 1990, diacu dalam De Voogd 2005). Penyebab lainnya ada lah spesies bioaktif lemah akan terhenti atau sedikit bila bersaing dengan organisme fotosintetik yang berada di perairan dangkal dibandingkan pada kedalaman yang lebih dalam. Relatif munculnya sebagian kecil spesies spons bioaktif lemah di daerah yang dangkal juga dipengaruhi oleh fluktuasi suhu, salinitas serta tingginya tingkat pemukiman penduduk.
Kekayaan jenis
27
Kedalaman (m)
Kelimpahan (ind/m2)
Gambar 5 Hubungan antara kekayaan spesies spons dan kedalaman pada tiga tipe senyawa bioaktif (sumber: De Voogd 2005).
Kedalaman (m) Gambar 6 Hubungan antara kelimpahan spons dan kedalaman pada tiga tipe senyawa bioaktif (sumber: De Voogd 2005). Spesies Strepsichordaia aliena
dan Carteriospongia foliascen s,
merupakan spesies yang sangat menyukai daerah perairan yang dangkal. Kedua spesies ini mampu melakukan fototropik dan lebih mengutamakan pemindahan nutrien dari simbiotik sianobakteria (Wilkinson 1987, diacu
28
dalam De Voogd 2005). Spesies tersebut juga memiliki tekstur tubuh yang keras disebabkan oleh penggabungan dari kumpulan tanah atau pasir dan material asing di lapisan kulit terluar (korteks). Hal ini memungkinkan mereka bertahan terhadap energi gelombang yang tinggi. Pada umumnya spons tidak dapat hidup didaerah dengan tingkat gangguan yang sangat tinggi, seperti sedimentasi yang tinggi misalnya, karena akan menyumbat pori dan kecepatan pemompaan akan menurun secara cepat (Gerrodette dan Flechsig 1979, diacu dalam De Voogd 2005). Spesies-spesies yang mampu beradatasi terhadap sedimentasi yang tinggi adalah Clathria rendward ti, Echinodyctium flabelliformis dan Paratetilla bacca dimana khusus untuk spesies Paratetilla bacca memiliki adaptasi yang terbatas terhadap lingkungan. Meskipun beberapa spesies tersebut dapat bergabung dengan kumpulan pasir dalam jaringannya, maka hal ini bukan merupakan metode yang khusus untuk menghalangi penyumbatan didaerah yang bersedimentasi tinggi. D isamping itu, spesies-spesies sebelumnya diatas tidak hanya bebas dari material asing di kerangkanya , tetapi juga mampu melindungi dirinya dari sedimen secara baik. Meskipun sebagian besar spons yang ditemukan di Kepulauan Spermonde adalah bioaktif lemah, tetapi rata-rata kelimpahan adalah tertinggi /m2 dibandingkan tipe bioaktif kuat. Sebagian besar spesiesnya didominasi oleh jenis Amphimedon paraviridis, Lamellodysidae herbacea dan Hyrtios erectus. Ketiga spesies tersebut adalah spesies yang sangat me limpah. Hasil ini sesuai dengan yang didapatkan oleh Chanas dan Pawlik (1995), diacu dalam De Voogd (2005), dimana mereka menyatakan bahwa spons bioaktif lemah atau yang tidak mengandung senyawa bioaktif lebih melimpah daripada spons bioaktif kuat. Pada studi sekarang ini, bioaktif berhubungan dengan kelimpahan dimana persaingan spons dalam komunitas terumbu karang di Indo-Pasifik terjadi. Mekanisme yang tepat dari perluasan komunitas terumbu karang tersebut tidak diketahui tetapi ia akan muncul bila pr oduksi senyawa bioaktif berada dalam jumlah yang sangat besar di dalam mempertahankan dirinya terhadap predator atau persaingan spatial (ruang/tempat). Akan tetapi bioaktif
29
spons memiliki satu ciri yang utama dalam kehidupan sejarah yaitu memiliki pengaruh terhadap kelimpahan dan distribusi spesies spons di seluruh Kepulauan Spermonde. Seperti telah disebutkan sebelumnya spons bioaktif (seperti: Clathria rendwardti dan Haliclona sp) meskipun bioaktifinya lemah tetapi memiliki kerapatan yang sangat tinggi. Tabe l 2 Sebaran fauna spons pada kedalaman 1-15 m di Pulau Genteng Besar sebelah Selatan (sumber: Amir 1991) Bangsa Suku Dictyoceratida Thorectidae Halichondrida Axinellidae Halicondridae Poecilosclerida Microcionidae
Esperiopsidae Hadromerida Spirastrellidae Haplosclerida Niphatidae Petrosiidae
Callyspongiidae Verongida Aplysinellidae Astrophorida Stelletidae
Dendriceratida Dysideidae Spirophorida Telilledae
Jenis 1-5 m
Kedalaman 6-10 m
11-15 m
Ircinia ramosa
+
+
+
Pseudaxinella massa Acanthella carteri Epipolasis suluensis
+ +
+ + +
+ + +
Clathria ramoa Clathria reindardti Clathria sp Rhaphidophlus sp Iotrochota baculifera
+ +
+ + + + +
+ + + +
Spirastrella vagabunda
+
+
-
Gelliodes pumila Gelliodes fibulatus Xestospon gia exigua X. cf. Carbonaria Petrosia testudinaria
+ + +
+ + + + +
+ + + + +
Callyspongia sp1 Callyspongia sp2
-
+ +
-
Druinella purpurea
+
+
-
Stelletta globostellata Stelletta sp Ecionemia acervus
+ +
+ + -
+ -
Dysidea granulosa
+
-
-
Cinachyra australiensis
+
-
-
Keterangan : + = ada, -= tidak ada
30
Tabel 2 menunjukkan sebaran beberapa fauna spons pada kedalaman antara 1-15 m di Pulau Genteng Besar sebelah selatan. Uriz et al. (1992), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, hanya sedikit spesies spons yang discreening bioaktivitasnya di Mediterania menunjukkan tidak ada aktivitas. Sebagian besar menunjukkan aktivitas lemah sampai sedang dalam uji toksitas yang bervariasi. Richelle-Ma urer et al. (2002), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, 75 % dari 216 spesies spons yang discreening dari lima lokasi geografi menunjukkan bioaktif pada biossay yang bervariasi dan 1/3 nya menunjukkan bioaktif yang spesifik. Dalam studi ini hanya sebagian kecil spesies [seperti: Callyspongia aerizusa dan Callyspongia sp (black )] yang tidak menunjukkan aktivitas meskipun banyak spesies spons menunjukkan aktivitas. Semua uji toksisitas memperlihatkan sensitifitas yang berbeda pa da ekstrak spons, tetapi hasil yang didapatkan dalam studi ini memberikan suatu perbedaan yang jelas antara spons bioaktif lemah dengan yang kuat. Ditambah lagi, larva Artemia merupakan organisme yang sensitif terhadap ekstrak spons (Richelle -Maurer et al. 2002, diacu dalam De Voogd 2005). Ini merupakan studi kuantitatif yang pertama pada kelimpahan dan distribusi bioaktif spons di wilayah geografi khususnya. Beberapa studi sebelumnya telah menfokuskan pada perbedaan pertahanan kimia dari organisme laut antara wilayah tropik yang luas dengan wilayah beriklim empat (temperate region). Organisme di daerah beriklim tropis menunjukkan pertahanan kimia yang sangat baik dibandingkan organisme beriklim empat. Hal ini disebabkan oleh tingkat predasi yang sangat besar (Faulkner 1984; Hay dan Fenical 1998; Bolser dan Hay 1996; Cetrulo dan Hay 2000; Burn dan Ilan 2003, diacu dalam De Voogd 2005). Bukti-bukti penelitian menjelaskan bahwa variasi kualitatif dan kuantitatif pertahanan kimia yang dihasilkan oleh suatu organisme dipengaruhi oleh variasi-variasi secara ekologi dengan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi profil biokiminya. Sintesis dan penyimpanan senyawa ini memberikan keuntungan pada kelangsungan hidup suatu organisme pada lingkungan yang kompleks. Pertahanan kimia pada spons dapat dipakai
31
sebagai mekanisme pertahanan terhadap pencegahan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogenik (Lozano et al. 1998). Berdasarkan studi tersebut didapat beberapa spesies spons dengan kandungan bioaktif kuat dan dijumpai dalam jumlah yang sedikit pada kedalaman yang lebih dalam tetapi dapat diterapkan dalam aquakultur spons. Spesies-spesies spons tersebut antara lain adalah Amphimedon paraviridis, Hyrtios erecta , Acantostrongylopora ingens dan Callyspongia (Euplacella) biru. Speses tersebut juga mampu beradaptasi terhadap variasi lingkungan yang cukup luas. Sedangkan spons yang dapat dikultur sesuai dengan kelimpahannya adalah spesies Aaptos subertoides dan Lamellodysidea herbacea (Salmoun et al. 2002; Jeong et al. 2003; Pettit et al. 2004, diacu dalam De Voogd 2005).
32
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di Kepulauan seribu, DKI Jakarta. Lokasi penelitian tersebut yaitu Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka (Gambar 7). Pelaksanaan penelitian di lapangan dan analisis laboratorium berlangsung selama 5 bulan, mulai bulan Agustus -Desember 2005.
Penentuan Stasiun Stasiun penelitian ditetapkan setelah mengevaluasi kondisi kualitas air dan spons di Kepulauan Seribu melalui penelitian pendahuluan yang dilaksanakan tanggal 4-5 Mei 2005. Penentuan stasiun didasarkan atas perbedaan kondisi variabel fisika dan kimia perairan. Pulau Lancang (daerah yang paling dekat dengan daratan utama, Jawa), Pulau Pari (daerah yang telah mengalami gradasi pengaruh daratan utama) dan Pulau Pramuka (daerah yang relatif sangat sedikit mendapatkan pengaruh daratan utama). Adapun pengukuran penentuan titik stasiun pengamatan kualitas air dan spons laut menggunakan alat “GPS” dapat dilihat pada Lampiran 1, dimana pengamatan kualitas air dan spons lautnya dilakukan pada kedalaman 7 m dan 15 m. Keterangan : 1 = Stasiun pengamatan 1 Utara Pulau Lancang (UPL) 2 = Stasiun pengamatan 2 Utara Pulau Pari (UPP) 3 = Stasiun pengamatan 3 Barat Pulau Pari (BPP) 4 = Stasiun pengamatan 4 Utara Pulau Pramuka (UPR) 5 = Stasiun pengamatan 5 Timur Pulau Pramuka (TPR) 6 = Stasiun pengamatan 6 Barat Pulau Pramuka (BP R) 7 = Stasiun pengamatan 7 Selatan Pulau Pramuka (SPR)
33
Gambar 7 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu DKI Jakarta.
34
Bahan dan Alat Bahan-bahan penelitian terdiri dari sampel spons laut Demospongiae, bahan-bahan kimia untuk ekstraksi serta bahan-bahan kimia untuk uji senyawa bioaktif seperti metanol p.a (pro analysis), etanol 70 % dan etanol 95 %, Nutrient Broth (NB), Tryptic Soy Broth (TSB), dan akuades. Bahan lainnya yaitu bioindikator bakteri patogen terdiri atas bakteri (Eschericia coli dan Staphylococcus aureus) dan antibiotik pembandingnya adalah ampicillin (0,1g/ml). Peralatan utama yang dipergunakan adalah blender, timbangan, alat penggoyang
(shaker), alat
sentrifus, refrigerator, inkubator, oven,
autoclave, spektrofotometer UV-VIS (Spektronik-20), jarum ose, Kertas cakram (paper disc) dengan ukuran diameter 6 mm, kertas saring whatman no 40, yellow tips 100 µ dan blue tips 1000 µ dan peralatan gelas.
Metode Penelitian Pengamatan Spons Pengamatan spons di ekosistem terumbu karang dilakukan dengan cara membentangkan rol meter sebagai transek garis sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai, sedangkan transek kuadrat diletakkan pada meter ke 10, 20, 30, 40, dan 50. Pengambilan data transek kuadrat dilakukan dengan metode belt transec (English et al. 1994).
Pengawetan Sampel Spons Sampel spons yang telah diambil, dipotong bagian tubuhnya dengan menggunakan pisau cutter, potongan spons dimasukkan kedalam keranjang plastik yang kemudian dibawa ke permukaan air secara perlahan. Spons hasil pengelompokkan dimasukkan kedalam pelarut metanol dalam wadah plastik sampai terendam kemudian ditransfor dalam keadaan dingin menggunakan cool box pada suhu -20oC.
35
Pengukuran Parameter Oseanografi Pengukuran parameter Oseanografi fisika, kimia dan biologi dapat dilihat pada Tabel 3. Parameter suhu, salinitas , kecepatan arus dan pH dilakukan secara in -situ , sedangkan parameter lainnya dilakukan di laboratorium Lingkungan PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup), IPB. Tabel 3 Parameter oseanografi fisik a, kimia dan biologi air yang diamati NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
PARAMETER Fisika Suhu Kekeruhan TSS Kecepatan arus Kimia Salinitas Derajat Keasaman (pH) Oksigen terlarut (DO) Total Organik Mater (TOM) BOD5 COD N-NO3 P-PO4 Silikat Biologi Spons laut
METODE /ALAT Termometer Turbidimetrik Gravimetrik Current draudge Refraktometer pH meter Titrimetrik Titrimetrik Titrimetrik Titrimetrik Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Belt transec
SATUAN 0
C NTU mg/l m/det o
/oo mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l Individu
Pengujian Senyawa Bioaktif Antibak teri Spons Pengujian senyawa bioaktif antibakteri spons terdiri atas beberapa tahap, yaitu identifikasi, pembuatan ekstrak kasar , pembuatan media kultur bakteri, pembiakan bakteri uji dan uji senyawa bioaktif antibakteri. Identifikasi. Spons diidentifikasi di P 2O LIPI (Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Jakarta. Identifikasi spons laut didasarkan pada petunjuk Bergquist (1968), Dawson (1993) , Amir dan Budiyanto (1996). Pembuatan Ekstrak Spons. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi menurut petunjuk Rachmaniar (1994, 1995). Metode tersebut adalah sebagai berikut: spons ditimbang sebanyak 25 g, lalu dipotong kecil-kecil, selanjutnya diblender sampai halus. Setelah halus dipindahkan ke dalam
36
erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan 35 m l metanol p.a., kemudian diaduk hingga metanol meresap ke dalam sampel. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan disimpan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah 24 jam, suspensi pekat disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm, disaring dengan kertas saring untuk memisahkan cairan dengan endapannya. Cairan ditampung di dalam labu takar 25 ml (ekstrak). Setelah ditempatkan dalam labu takar 25 ml, ekstrak dipindahkan ke dalam botol-botol kecil dan ditutup rapat. Ekstrak disimpan di dalam lemari pendingin untuk dilakukan pengujian senyawa bioaktifnya. Pembuatan Media Kultur Bakteri. Media kultur bakteri yang digunakan adalah berupa Tryptic Soy Broth , agar plates (Rachmaniar 1994). Cara pembuatan masing-masing media kultur tersebut adalah sebagai berikut : -
Tryptic Soy Broth (TSB): 40 g TSB agar puder disuspensi kedalam satu liter akuades. Campuran dipanaskan hingga larut kemudian disterilkan dalam autoclave selama 55 menit pada suhu 121 oC. Setelah itu didinginkan pada suhu kamar.
-
Agar plate: TSB yang telah disterilkan dalam autoclave pada suhu 121 o
C dituangkan kedalam cawan petri masing-masing 15 ml setiap petri.
Kemudian didinginkan pada suhu kamar. -
Agar miring: TSB yang telah disterilkan dituang kedalam tabung reaksi yang dimiringkan. Kemudian disterilkan dalam autoclave pada suhu 121 oC. Setelah itu didinginkan pada suhu kamar. Pembiakan Bakteri Uji. Biakan bakteri uji ditanam dengan metode
agar miring. Biakan bakteri dioleskan pada media agar miring yang telah memadat secara steril. Kemudian disimpan dalam inkubator pada suhu 37 o
C selama 24 jam. Setelah itu ditambahkan akuades steril dan dibuat
suspensi bakteri dengan konsentrasi sebesar 10 8 sel/ ml. Konsentrasi sebesar itu dibuat dengan menentukan Optical Density (OD). Alat yang digunakan Spektrofotometer dengan panjang gelombang 650 nm. Pada OD ini konsentrasi bakteri setara dengan 10 8 sel/m l (Brock dan Madigan 1991, diacu dalam Supoyo 1998).
37
Uji Senyawa Bioaktif Antibakteri. Uji senyawa bioaktif antibakteri menggunakan metode difusi agar. Metode tersebut adalah: larutan agar TSB di autoclave selama 20 menit pada suhu 20 oC, kemudian didinginkan pada suhu kamar. Media agar cair yang telah dingin dipindahkan kedalam cawan petri sebanyak 15 ml kemudian ditutup rapat dan dibia rkan membeku. Biakan bakteri sebanyak 0,1 µ l disebarkan dalam media agar yang telah padat dan dibiarkan meresap kedalam media agar selama lebih kurang 15 menit. Paper disc steril dicelupkan kedalam ekstrak kasar, kemudian dikibaskan sampai tidak ada larutan yang menetes. Per lakuan kontrol (kontrol positif: ampicillin dan kontrol negatif: metanol p.a) dikerjakan seperti perlakuan sampel. Paper disc yang telah diberi ekstrak diletakkan diatas kultur bakteri dala m agar dan ditutup. Hal sa ma dilakukan untuk kontrol positif dan negatif. Kultur diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 oC. Pengamatan dilakukan terhadap ukuran zona bening yang terbentuk disekitar paper disc dan pengujian ekstraks spons dilakukan sebanyak sembilan kali ulangan sedangkan untuk kontrol positif dan negatifnya sebanyak lima kali ulangan. Analisis Data Analisis Komponen Utama (PCA) Untuk mendeterminasi sebaran karakteristik fisika-kimia air antar stasiun
pengamatan,
digunakan
suatu
pendekatan
analisis
statistik
multivariabel yang didasarkan pada analisis komponen utama (Principal Components Analysis, PCA) dengan menggunakan perangkat lunak program Statistika 6. Analisis komponen utama merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk mempresentasikan dalam bentuk grafik, informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari stasiun pengamatan sebagai individu statistik (baris) dan parameter fisika -kimia air sebagai variabel kuantitatif (kolom). Data dari parameter-parameter tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama, karena itu sebelum dilakukan PCA data-data tersebut dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian. Dengan demikian hasil PCA tidak direalisasikan dari nilai-nilai
38
parameter inisial, tapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier nilai parameter (Legendre dan Legendre 1983, diacu dalam Bengen 2000). Pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai parameter pengamatan dengan nilai rata -rata parameter : C = Xij - X
i
Dimana : C = nilai pusat Xij = nilai parameter ke-i untuk pengamatan ke-j (nilai parameter lingkungan) X i = nilai rata-rata parameter ke -i (nilai rata -rata parameter lingkungan) Pereduksian adalah hasil bagi antara nilai parameter yang telah dipusatkan dengan nilai simpangan baku parameter tersebut :
R= Dimana : R C Sd
C sd
= nilai reduksi = nilai parameter lingkungan yang tela h dipusatkan = nilai simpangan baku parameter lingkungan
Untuk menentukan hubungan antara dua parameter digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds 1988, diacu dalam Bengen 2000) : Bsxn = A sxn . A ’ nxs Dimana : Bsxn Asxn A’ nxs
= matriks korelasi, rij = matriks indeks sintetik, Aij = matriks transpose A sxn
Korelasi linier antara dua parameter yang dihitung dari indeks sintetiknya adalah peragam dari kedua parameter tersebut yang telah dinormalisasikan. Diantara semua indeks sintetik yang mungkin, didalam PCA dicari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam stasiun maksimumnya.
39
Indeks ini disebut komponen indeks utama pertama yang merupakan sumbu utama 1 (F1). Suatu proporsi tertentu dari ragam total stas iun dijelaskan oleh komponen utama pertama (F1). Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki kolerasi nihil dengan komponen utama ini. Komponen utama kedua memberika n informasi terbesar kedua sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus hingga diperoleh komponen utama ke -p, dimana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil. Pada prinsipnya dalam Analisis Komponen Utama digunakan pengukuran jarak Euklidien (jumlah kuadrat perbedaan antara stasiun untuk parameter variabel yang berkoresponden pada data). Jarak Euklidien didasarkan pada rumus : p
D2 ( i , i’ ) =
∑
(Xij – Xi’ j)2
j =1
Dimana : D2 = jarak Euklidien (jarak antara pusat data dengan titik data) i,i’ = 2 stasiun (pada baris) j = parameter fisika-kimia air (pada kolom, bervariasi dari i ke -p) Semakin kecil jarak Euklidien antar 2 stasiun, maka makin mirip karakteristik fisika-kimia air antar kedua stasiun tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin besar jarak Euklidien antar 2 stasiun, maka semakin berbeda karakteristik fisik-kimia air antar kedua stasiun tersebut.
Kelimpahan Spons Kelimpahan spons adalah jumlah individu per satuan luas. Kelimpahan spons yang ada pada setiap stasiun pengamatan spons dihitung berdasarkan:
X=
∑
xi/n
Dimana : X = kelimpahan spons (ind/m2) xi = jumlah individu dalam kuadrat ke -i n = jumlah satuan contoh atau titik plot (m2 )
40
Struktur Komunitas Spons Laut Lokasi pengambilan data spons mengikuti lokasi pengambilan data karang
sehingga didapat gambaran kondisi habitat spons pada ekosistem
terumbu karang. Pengolahan data spons meliputi kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi. Indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (E) sering digunakan untuk menduga kondisi lingkungan perairan. Dengan melihat kedua indeks tersebut dapat ditentukan suatu lingkungan stabil atau tidak stabil. Indeks dominansi (C) digunakan untuk menghitung adanya spesies tertentu yang mendominasi suatu komunitas pada perairan. Apabila nilai indeks dominansi tinggi, maka ada spesies tertentu yang mendominasi komunitas di perairan tersebut demikian pula sebaliknya. Jumlah spesies yang ada pada komunitas tersebut juga turut menentukan besarnya indeks dominansi. Pada perairan yang banyak hidup spesies akan memiliki nilai indeks dominansi yang rendah dibandingkan dengan jumlah spesies yang sedikit dengan catatan jumlah masing-masing spesiesnya adalah sama. Struktur komunitas spons terdiri atas indeks keanekaragaman atau keragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C). Ketiga indeks ini biasanya digunakan dalam analisa populasi dan komunitas organisme. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: s
H' = − ∑ pi log 2 pi ; pi = ni/N (Odum 1983).......................(1) i =1
Dimana: H' = s = pi = ni = N =
indeks keanekaragaman jumlah genus spons proporsi jumlah individu pada genus spons jumlah individu jenis ke-i jumlah total individu seluruh jenis
Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran ju mlah individu antar spesies dalam suatu komunitas spons. Rumus yang digunakan adalah:
E=
H` ...........................................................................(2) H max
41
Dimana: E
= indeks keseragaman Eveness
H max = indeks keseragaman maksimum = log 2 S S = jumlah taksa/spesies/jenis Dominansi suatu spesies dirumuskan dengan:
s
C =∑
pi2 =
i =1
∑
(ni /N)2....................................................(3)
Dimana: C = indeks dominansi Semakin besar jumlah spesies serta semakin kaya dan seimbang distribusi diantara spesiesnya akan meningkatkan keanekaragaman spesies yang diukur dengan indeks tersebut di atas. Sebaliknya bila nilainya kecil, maka komunitas tersebut didomin asi oleh satu atau sedikit spesies. Legendre dan Legendre (1983) menetapkan bahwa jika H’ = 0 maka komunitas akan terdiri dari satu spesies/jenis tunggal. Nilai H’ akan mendekati maksimum jika semua spesies terdistribusi secara merata dalam komunitas. Kisaran nilai indeks Shannon dapat diklasifikasi sebagai berikut (Masson 1981) (Tabel 4). Untuk nilai keseragaman dan dominansi, nilainya berkisar antara 0 hingga 1. Semakin kecil nilai E, nilai C akan mendekati 1, artinya semakin kecil keseragaman suatu populasi dan ada kecendrungan bahwa suatu jenis mendominasi populasi tersebut.
Tabe l 4 Tingkat Keanekaragaman jenis berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) (sumber: Odum 1983) Nilai keanekaragaman jenis (H’) < 1. 0 1,0 – 3.0 > 3. 0
Tingkat keanekaragaman jenis Rendah, tekanan ekologi sangat kuat Sedang, tekanan ekologi sedang Tinggi, tekanan ekologi rendah
42
Analisis Faktorial Koresponden (CA) Untuk melihat hubungan antara kualitas perairan terhadap kelimpahan dan senyawa bioaktif antibakteri spons Demospongiae digunakan Analisis Faktorial Koresponden. Analisis Faktorial Koresponden (Corresponden Analysis, CA) adalah suatu metode statistik yang bertujuan mencari hubungan yang erat antara modalitas dari dua karakter atau variabel pada variabel matriks data kontingensi dan mencari hubungan yang erat antara seluruh modalitas karakter dan kemiripan antara individu berdasarkan konfigurasi jawabannya pada tabel atau matriks data (Bengen 2000). Tabel kontingensi mempertemukan n baris dan p kolom, baris ke-i dan kolom ke-j berisi n (ij) dengan karakter i dan kerakter j dalam matriks tersebut, i dan j mempunyai peranan yang simetrik. Membandingkan unsur-unsur i (untuk tiap j) sama dengan membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari nij/ni (untuk masing-masing nij /nj), dimana ni = Σ nij ( Σ subjek I yang memiliki semua karakter j) dan ni = Σ nij (jumlah jawaban karakter j). Untuk membandingkan dua subjek, maka perlu diberikan suatu pengukuran yang dapat mengkarakteristikan kemiripan atau ketidakmiripan. Dalam hal ini Analisis Faktorial Koresponden menggunakan jarak khi-kuadrat. Jarak khi-kuadrat diformulasikan dengan rumus :
∑ [(X p
d2 (i,i’) =
j =1
ij
/ X i − X i' j / X i' )
2
]
Dimana : Xi = Σ baris i untuk semua kolom Xij= Σ kolom j untuk semua baris Pada matriks data, terdiri dari i-baris (genera spons Demospongiae dan bioaktif spons Demospongiae) dan j-kolom (stasiun pengamatan), dimana pada baris ke-i dan kolom ke-j ditemukan kelimpahan spons Demospongiae atau kelimpahan spons bioaktif.
43
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Kualitas Perairan Suhu. Nilai suhu yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 28-29 o
C (Lampiran 2 dan Gambar 8). Berdasarkan Lampiran 2 dan Gambar 8, maka
dapat dikatakan bahwa suhu pada setiap stasiun pengamatan tidak menunjukkan perbedaan nilai yang besar. Suhu yang diperoleh dalam pengukuran ini masih dalam kisaran yang ditetapkan dalam Kepmen. KLH No. 51 (2004) untuk kehidupan biota laut. Nilai suhu pada masing-masing stasiun juga tidak melewati hasil pengukuran yang dilakukan oleh Edi (2006) dan Anjas (2005). Menurut Gerrodette dan Flechsig (1979), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, suhu untuk pertumbuhan spons laut berkisar antara 26-31 oC , artinya fluktuasi suhu yang terjadi selama penelitian di setiap stasiun mendukung bagi pertumbuhan spons Demospongiae.
Suhu (oC)
30
29
29
29
29
29
29
28
28
St 5
St 6
28
27 St 1
St 2
St 3
St 4
St 7
Stasiun
Gambar 8 Kisaran nilai suhu (oC) pada stasiun pengamatan. Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi. Kekeruhan dan padatan tersuspensi (TSS) merupakan parameter yang saling berkaitan. Peningkatan konsentrasi TSS akan meningkatkan kekeruhan air. Parameter tersebut merupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai TSS pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 2-50 mg/l dengan kekeruhan berkisar antara 0,78-
44
10,72 NTU (Lampiran 2). TSS yang tertinggi pertama berada di stasiun 3 BPP yaitu 50 mg/l dengan kekeruhan 10,06 NTU. Kemudian nilai TSS tertinggi kedua berada di stasiun 5 TPR sebesar 17 mg/l dengan kekeruhan 10,72 NTU (Gambar 9 dan Gambar 10). Dari hasil pengukuran tersebut, sudah melewati nilai ambang batas untuk biota laut seperti yang ditetapkan dalam Kepmen. KLH No. 51 Tahun 2004. Tingginya kekeruhan dan TSS di dua stasiun tersebut disebabkan oleh pengaruh arus yang kuat di kedua stasiun. Dengan adanya arus memungkinkan terjadi resuspensi terhadap sedimen dari dasar perairan untuk tetap berada dalam kolom air. Sementara itu pada perairan yang tenang, resuspensi sedimen tidak terjadi. Kekeruhan dan TSS di stasiun tersebut juga dipengaruhi oleh aktifitas penduduk yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, kegiatan budidaya rumput laut serta substrat yang didominasi oleh pasir berlumpur di stasiun 3 BPP. Sedangkan di stasiun 5 TP R selain kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan kimia juga pengaruh tingkat hunian yang sangat tinggi.
60 50 TSS (mg/l)
50 40 30 17
20 10
2
4
St 1
St 2
4
5
3
St 6
St 7
0 St 3
St 4
St 5
Stasiun
Gambar 9 Kisaran nilai TSS (mg/l) pada stasiun pengamata n.
Kekeruhan (NTU)
12
10.72
10.06
10 8 6 4 2
1.45
0.99
St 1
St 2
0.78
0.88
0.79
St 6
St 7
0 St 3
St 4
St 5
Stasiun
Gambar 10 Kisaran nilai kekeruhan (N TU) pada stasiun pengamatan.
45
TSS dengan kisaran 25-80 mg/l hanya memberikan pengaruh yang kecil bagi kehidupan organisme akuatik (Albaster dan Llyod 1982, diacu dalam Effendi 2000). Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa konsentrasi rata -rata TSS yang terukur menunjukkan kisaran yang tidak memberikan pengaruh bagi kehidupan spons Demospongiae. Kecepatan arus. Arus adalah gerakan massa air secara horizontal yang ditimbulkan oleh kekuatan angin yang bertiup melalui permukaan air (Nybakken 1992). Ketchum (1967) menyatakan, limbah atau bahan pencemar yang masuk ke lingkungan laut akan mengalami proses perpindahan yang dilakukan oleh arus laut, seperti proses percampuran. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai kecepatan arus pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 0,026-0,055 m/det (Lampiran 2 dan Gambar 11) dan masih dalam batas pengukuran kecepatan arus yang dilakukan oleh Edi (2006). Nilai ini tidak menunjukkan perbedaan yang besar, meskipun di stasiun 3 BPP dengan nilai 0,055 m/det dan 5 TPR dengan nilai 0,047 m/det, kecepatan arus relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiunstasiun lainnya. Tingginya kecepatan arus di dua stasiun tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh faktor angin. Faktor angin merupakan faktor yang dominan
Kecepatan arus (m/det)
mempengaruhi gerak arus (Wetzel 1982).
0.055
0.06
0.047 0.039 0.04
0.034
0.028
0.026 0.027
0.02 0 St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
Stasiun
Gambar 11 Kisaran nilai kecepatan arus (m/det) pada stasiun pengamatan.
Salinitas. Hasil pengukuran salinitas di setiap stasiun pengamatan berkisar antara 31-33
o
/oo (Lampiran 2 dan Gambar 12). Kisaran nilai ini tidak
menunjukkan perbedaan nilai yang besar dan masih dalam batas yang ditetapkan dalam Kepmen. KLH No. 51 (2004). Nilai salinitas selama penelitian juga lebih
46
kecil dari salinitas yang diukur oleh Edi (2006) dan Anjas (2005) meskipun di stasiun 4 UPR lebih tinggi 33 o/oo dibandingkan pengukuran salinitas yang dilakukan Anjas (2005), akan tetapi nilai salinitas tersebut masih mendukung bagi pertumbuhan spons yakni sebesar 28-36 o/oo (Gerrodette dan Flechsig 1979, diacu dalam De Voogd 2005).
Salinitas (%o)
34 33
33
33 32
32
32
32
32 31 31 30 St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
Stasiun
Gambar 12 Kisaran nilai salinitas ( o/oo) pada stasiun pengamatan. pH ( Derajat Keasaman). Nilai pH disetiap stasiun pengamatan berkisar antara 8-8,23 (Lampiran 2 dan Gambar 13). N ilai tersebut masih tergolong normal sesuai dengan yang ditetapkan oleh Kepmen. No. 51 (2004).
8.3
8.23
8.2
pH
8.23 8.15
8.2
8.12
8.1
8.1
8
8 7.9 7.8 St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
Stasiun
Gambar 13 Kisaran nilai pH pada stasiun pengamata n.
Hasil pengukuran pH yang dilakukan Edi (2006) menginformasikan bahwa nilai pH di Pulau Lancang 8,02 (pada penelitian stasiun 1 UPL), sedangkan di Pulau Pari 8,03 (pada penelitian stasiun 2 UPP dan 3 BPP). Nilai pH yang diukur selama penelitian tidak begitu berbeda jauh dengan nilai pH yang
47
dilakukan oleh Edi (2006) meskipun di stasiun 1 UPL dan stasiun 3 BPP akan tetapi nilai tersebut relatif tidak begitu berbeda jauh. Nilai pH di Pulau Pramuka (pada penelitian stasiun 4 UPR, 5 TPR, 6 BPR dan 7 SPR) yang diinformasikan oleh Anjas (2005) sebesar 8,23, artinya nilai pH yang dicatat selama penelitian tidak banyak menunjukkan variasi. Hal ini disebabkan adanya sistem karbon dioksida dalam laut menyebabkan air laut mampu bersifat sebagai penyangga (buffering capasity) yang kuat (Boli 1994).
Oksigen Terlarut (DO). Konsentrasi DO selalu merupakan parameter penting untuk mengetahui kualitas lingkungan perairan, karena disamping merupakan faktor pembatas dengan lingkungan juga dapat dijadikan petunjuk tentang adanya pencemaran bahan organik (Nybaken 1992). Terjadinya penurunan kadar DO dalam air laut akan menurunkan kegiatan fisiologis mahluk hidup didalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Effendi (2000), bahwa penurunan kadar oksigen diperairan selain karena proses respirasi juga diakibatkan oleh keberadaan limbah organik yang membutuhkan oksigen untuk proses perombakan (dekomposisi). Oleh karena kelarutan oksigen di air relatif rendah, maka kadar DO cepat sekali mengalami pengurangan bila pada perairan terdapat limbah organik dengan kadar yang cukup tinggi. Variasi kadar DO di perairan dapat dijadikan petunjuk ada tidaknya pencemaran bahan organik. Menurut Sutamihardja (1987), kriteria tingkat pencemaran berdasarkan kandungan DO dibagi menjadi tiga kelompok perairan, yaitu : •
Tercemar ringan
: kadar DO > 5 mg/l
•
Tercemar sedang
: kadar DO berkisar antara 2-5 mg/l
•
Tercemar berat
: kadar DO < 2 mg/l
Berbagai kegiatan disekitar perairan dapat menyebabkan kadar DO menurun, seperti pembuangan berbagai limbah yang kaya bahan organik. Limbah ini biasanya berbentuk kotoran dan berasal dari bermacam sumber seperti limbah rumah tangga, pengolahan makanan dan bermacam industri kimia lainnya. Hasil pengukuran konsentrasi DO untuk organisme di setiap stasiun pengamatan berkisar antara 7,2-8,1 mg/l (Lampiran 2 dan Gambar 14).
48
Berdasarkan hasil tersebut memperlihatkan bahwa perairan untuk semua stasiun telah tercemar pada tingkat tercemar ringan.
DO (mg/l)
8.5 8
8.1 7.8
7.8
7.9
7.5
7.6
7.5
St 6
St 7
7.2
7 6.5 St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
Stasiun
Gambar 14 Kisaran nilai DO (mg/l) pada stasiun pengamata n. TOM (Total Organic Matter). Bahan organik yang masuk dalam perairan terdiri dari bahan organik yang dapat terurai dan bahan organik yang tidak dapat terurai oleh mikroorganisme. Bahan organik ini terbawa oleh arus menuju ke tempat lain sehingga konsentrasinya akan berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Selain itu adanya proses sedimentasi yang mengakibatkan bahan organik mengendap di dasar perairan. Hasil pengamatan dan pengukuran selama penelitian diperoleh nilai TOM berkisar antara 3,16-15,17 mg/l (Lampiran 2 dan Gambar 15). Edi (2006) menginformasikan nilai TOM di Pulau Lancang sebesar 19,07 mg/l sedangkan di Pulau pari sebesar 16,68 mg/l. Nilai TOM yang di ukur selama penelitian lebih rendah daripada nilai TOM yang di ukur oleh Edi (2006). Akan tetapi nilai TOM di stasiun 7 SPR lebih tinggi 15,17 mg/l dari nilai TOM yang di ukur oleh Anjas (2005) yakni sebesar 15,4 mg/l. Tingginya nilai TOM di stasiun tersebut, kemungkinan disebabkan oleh akumulasi bahan-bahan organik yang berasal dari buangan penduduk kelaut melalui parit-parit. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand ). Biochemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen biologi adalah banyaknya oksigen yang digunakan mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air selama 5 hari (Azad 1976). Semakin tinggi nilai BOD5 , maka semakin tinggi pula aktivitas organisme untuk menguraikan bahan organik atau dapat dikatakan semakin besar kandungan bahan organik diperairan tersebut. Hasil pengukuran BOD5 pada lokasi penelitian berkisar antara 3,16-6,8 mg/l (Lampiran 2 dan
49
Gambar 16). Nilai BOD5 di semua stasiun relatif sama, kecuali stasiun 1 UPL sangat rendah dengan nilai 3,16 mg/l. Edi (2006) menginformasikan nilai BOD5 di Pulau Lancang sebesar 3,56 mg/l sedangkan di Pulau Pari sebesar 2,93 mg/l. Berdasarkan nilai tersebut maka nilai BOD5 yang dilakukan selama penelitian lebih tinggi terutama di stasiun 2 UPP dan 3 BPP. Demikian pula hal nya nilai BOD5 di semua stasiun Pulau Pramuka lebih tinggi daripada nilai BOD 5 yang diukur oleh Anjas (2005) yakni sebesar 0,548 mg/l. Berdasarkan nilai ambang batas baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan, maka BOD5 untuk semua stasiun pengamatan masih dalam keadaan baik dan belum melewati nilai
TOM (mg/l)
ambang batas baku mutu untuk biota laut (Kepmen. KLH No. 51 2004).
16 14 12 10 8 6 4 2 0
15.17 10.74 10.11 8.22 5.69
5.69
3.16
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
Stasiun
Gambar 15 Kisaran nilai TOM (mg/l) pada stasiun pengamatan.
8
6.8
6.2
BOD5
6 4
5.4
6
5.7
5.6
St 5
St 6
St 7
3.16
2 0 St 1
St 2
St 3
St 4 Stasiun
Gambar 16 Kisaran nilai BOD5 (mg/l) pada stasiun pengamatan. COD (Chemical Oxygen Demand). Chemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang terdapat dalam air secara kimiawi. Nilai COD dapat dijadikan petunjuk adanya pencemaran lingkungan (Mahida 1984).
50
Hasil pengukuran COD pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 1442 mg/l (Lampiran 2 dan Gambar 17). Nilai COD tertinggi berada di stasiun 1 UPL yaitu 42 mg/l, sedangkan yang terendah di stasiun 5 TPR yaitu 14 mg/l. Tingginya nilai COD di stasiun 1 UPL kemungkinan disebabkan oleh buangan dari pabrik-pabrik industri yang berasal dari daratan Jakarta melalui sungai-sungai dan bermuara ke laut. Anjas (2005) menginformasikan, nilai COD di Pulau Pramuka sebesar 22 mg/l. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan nilai yang dilakukan selama penelitian terutama stasiun 6 BPR dan 7 SPR. Berdasarkan nilai ambang batas baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan, maka COD untuk semua stasiun pengamatan masih dalam keadaan baik dan belum melewati nilai ambang batas baku mutu untuk biota laut (Kepmen. KLH No. 51 2004).
COD (mg/l)
50
42
40 28
30
30
34
32
St 6
St 7
22
20
14
10 0 St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
Stasiun
Gambar 17 K isaran nilai COD (mg/l) pada stasiun pengamatan. Nitrat (N-NO3). Hasil pengukuran nitrat pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 0,347-0,572 mg/l (Lampiran 2 dan Gambar 18). Kandungan nitrat di semua stasiun pengamatan terlalu tinggi jika dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota laut yaitu lebih besar dari 0,008 mg/ l (Kepmen. KLH No. 51 2004). Kadar nitrat tertinggi berada di stasiun 5 TPR dengan nilai 0,572 mg/l dibandingkan stasiun lainnya. Menurut Kiswara (1995), salah satu penyebab meningkatnya kadar nutrien dalam perairan diakibatkan oleh masukan nutrien dari sungai ke perairan teluk. Tingginya kadar nitrat di stasiun 5 TP R bukan disebabkan oleh masukan nutrien dari sungai, tetapi karena akumulasi nutrien yang berasal dari buangan penduduk kelaut melalui parit-parit didekat darmaga. Edi (2006) menginformasikan nilai N-NO 3 di Pulau Lancang dan Pulau Pari sebesar 0,07 mg/l sedangkan Anjas (2005) menginformasikan nilai N-NO3 di
51
Pulau Pramuka sebesar 0,448 mg/l. Nilai N-NO3 yang diukur selama penelitian lebih tinggi dibandingkan nilai N-NO3 yang diukur oleh Edi (2006) dan Anjas (2005). Bila dilihat dari konsentrasinya, jumlah nitrogen dalam bentuk N-NO3 sangat kecil yaitu ± 0,3 mg/l pada perairan yang tidak tercemar. Berdasarkan tingkat kesuburan perairan N-NO 3 dibagi dalam tiga kategori yaitu oligotr ofik (01 mg/ l), mesotrofik (1-5 mg/l) dan eutrofik (50 mg/l) (Vollenweider 1968, diacu dalam Wetzel 1982). Berdasarkan hal tersebut maka kualitas perairan di setiap stasiun pengamatan masih normal bila ditinjau dari variasi kadar senyawa nitrogennya seperti yang dikatakan oleh Welch dan Lindell (1980), bahwa kandungan N-NO 3 potensial untuk mendukung produktivitas primer perairan berkisar antara 0,5-1,0 mg/l.
0.7
0.572
N-NO3 (mg/l)
0.6 0.5
0.482 0.459
0.448
0.414 0.414 0.347
0.4 0.3 0.2 0.1 0 St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
Stasiun
Gambar 18 Kisaran nilai N-NO3 (mg/l) pada stasiun pengamatan. Ortofosfat (P-PO4). Hasil pengukuran ortofosfat pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 0,039 - 0,497 mg/l (Lampiran 2 dan Gambar 19). Edi (2006) menginformasikan nilai P-PO4 di Pulau Lancang sebesar 0,013 mg/l dan Pulau Pari sebesar 0,008 mg/l sedangkan Anjas (2005) menginformasikan nilai PPO4 di Pulau Pramuka sebesar 0,46 mg/l. Kandungan ortofosfat pada semua stasiun pengamatan secara umum masih tergolong layak bagi kehidupan biota laut, kecuali distasiun 5 TP R dengan nilai 0,497 mg/l dan stasiun 2 UPP dengan nilai 0,256 mg/l, dimana kandungan ortofosfatnya sangat tinggi. Tinggin ya kandungan P -PO4 yang ditemukan di dua stasiun tersebut menunjukkan bahwa perairannya berada pada tingkat kesuburan yang sangat tinggi, hal ini disebabkan kandungan P-PO4 berada pada kisaran lebih dari 0,003-0,1 mg/l (Effendi 2000).
52
P-PO4 (mg/l)
0.6
0.497
0.5 0.4 0.256
0.3 0.2 0.1
0.068
0.059 0.039
0.039 0.046
0 St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
Stasiun
Gambar 19 Kisaran nilai P -PO4 (mg/l) pada stasiun pengamatan. Silikat. Silikat adalah salah satu unsur yang melimpah dan tidak ditemukan dalam bentuk bebas tetapi berikatan dengan oksigen. Bentuk umumnya adalah SiO 2. Air laut sebagian besar mengandung SiO 2. Banyak diantaranya merupakan hasil pelapukan batuan didaratan yang diangkut oleh sungai atau angin ke laut. Hasil pengukuran silikat pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 1,93-3,61 mg/l (Lampiran 2 dan Gambar 20). Edi (2006) menginformasikan nilai silikat di Pulau Lancang sebesar 0,432 mg/l dan Pulau Pari sebesar 0,344 mg/l. Nilai silikat yang diukur selama penelitian untuk stasiun 1 UPL, stasiun 2 UPP dan stasiun 3 BPP lebih tinggi daripada nilai silikat yang diukur oleh Edi (2006). Nilai silikat tertinggi dijumpai pada stasiun 3 BPP dengan nilai 3,61 mg/l. Tingginya silikat di stasiun tersebut berasal dari Enhalus yang banyak dijumpai. Enhalus ini membawa nutrien penting bagi pertumbuhan fitoplankton, pembentukan struktur pada silicoflagellata, diatom, radiolaria dan spons yang berasal dari SiO 2 (Riley dan Skirrow 1975).
3.61
silikat (mg/l)
4 2.49
3 1.93
2.25
2.41
2.49
St 4
St 5
St 6
2.81
2 1 0 St 1
St 2
St 3
St 7
Stasiun
Gambar 20 Kisaran nilai silikat (mg/l) pada stasiun pengamatan.
53
Komposisi dan Distribusi Spons Demospongiae Jenis spons Demospongiae yang terinventarisasi dan teridentifikasi berjumlah 30 jenis dengan 9 Ordo, 18 Famili dan 25 Genera (Tabel 5, Lampiran 3 dan Lampiran 4). Berdasarkan komposisi dan kelimpahan spons, daerah pertumbuhan spons Demospongiae yang terbaik di stasiun pengamatan berada pada stasiun 7 SPR pada kedalaman 15 m. Hal ini terlihat dari jumlah jenis dan Genera yang ditemukan sebanyak 14 Genera dengan 17 jenis spons Demospongiae. Jenis-jenis spons Demospongiae yang dominan dan melimpah dijumpai pada stasiun ini adalah Paratetilla bacca dan Cinachyra cylindrica.
Tabel 5 Jumlah jenis, Ordo, Famili dan Genera spons Demospongiae pada stasiun pengamatan di Kepulauan Seribu DKI Jakarta Stasiun
Jenis
Lokasi
Genera
Famili
Ordo
7m
15 m
7m
15 m
7m
15 m
7m
15 m
1
UPL
5
-
3
-
3
-
3
-
2
UPP
7
12
7
9
6
7
3
5
3
BPP
13
14
10
11
7
8
5
6
4
UPR
11
13
9
10
7
5
4
5
5
TPR
9
12
8
10
7
9
5
5
6
BPR
7
14
7
12
5
9
3
6
7
SPR
10
17
9
14
7
10
6
7
Indeks
Keanekaragaman,
Indeks
Keseragaman
dan
Indeks
Dominansi Spons Demospongiae . Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 21, nilai rata-rata kelimpahan spons Demospongiae pada kedalaman 7 m berkisar antara 0,23-0,83 ind/m 2, sedangkan pada kedalaman 15 m antara 0,35-0,84 ind/m2. Nilai kelimpahan tertinggi berada distasiun 7 SPR kedalaman 15 m dengan nilai 0,84 ind/m2, hal ini dibuktikan dengan jumlah Genera dan jenis dari spons Demospongiae yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya dengan jenis yang dominan dan melimpah dijumpai adalah Paratetilla bacca dan Cinachyra cylindrica (Tabel 5 dan Lampiran 3).
54
Tabel 6 Data kelimpahan, indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) spons pada stasiun pengamatan Stasiun
Kelimpahan (ind/m2)
1 2 3 4 5 6 7
Kelimpahan (ind/m2) 7m 15 m 0.17 0.28 0.71 0.29 0.72 0.35 0.35 0.44 0.49 0.23 0.51 0.83 0.84
H’ 7m 1.94 1.28 2.09 1.53 1.46 1.27 2.10
E 15 m 2.11 2.47 2.15 2.18 2.50 2.94
7m 0.56 0.40 0.55 0.37 0.41 0.40 0.53
C 15 m 0.52 0.52 0.54 0.54 0.55 0.59
7m 0.22 0.44 0.18 0.17 0.35 0.45 0.16
15 m 0.18 0.12 0.44 0.17 0.13 0.06
1 0.8 0.6
7m
0.4
15 m
0.2 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun
Gambar 21 Kelimpaha n (ind/m2) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan. Hasil perhitungan Indeks keanekaragaman (H’) terhadap jenis -jenis spons Demospongiae yang teramati pada semua stasiun pengamatan pengambilan spons, secara umum berada dalam kisaran 1
Indeks Keanekaragaman (H')
55
3 2
7m 15 m
1 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun
Gambar 22 Indeks keanekaragaman (H’) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan.
Hasil perhitungan indeks keseragaman (E) dan dominansi (C) spons Demospongiae yang teramati pada semua stasiun pengamatan berada dalam range 0-1. Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 23, nilai kisaran rata-rata E pada kedalaman 7 m adalah antara 0,37-0,56 sedangkan pada kedalaman 15 m antara 0,52-0,59. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai indeks (mendekati satu), maka semakin besar pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu sama dan tidak ada kecendrungan terjadi dominasi oleh satu spesies spons. Nilai E tertinggi berada di stasiun 7 SP R dengan nilai 0,59
Indeks Keseragaman (E)
kedalaman 15 m.
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
7m 15 m
St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun
Gambar 23 Indeks keseragaman (E) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan.
Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 24, maka kisaran nilai rata-rata C spons Demospongiae pada kedalaman 7 m antara 0,16-0,45 sedangkan pada kedalaman
56
15 m antara 0,06-0,44. Nilai ini menunjukkan bahwa tidak ada spesies spons yang
Indeks Dominansi (C)
mendomin asi. Nilai C tertinggi 0,45 berada pada kedalaman 7 m di stasiun 6 BPR.
0.5 0.4 0.3
7m
0.2
15 m
0.1 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 Stasiun
Gambar 24 Indeks dominansi (C) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan.
Senyawa Bioaktif Antibakteri Ekstrak Spons Hasil pengujian senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae menunjukkan bahwa dari 17 ekstrak spons Demospongiae yang di uji aktivitas senyawa bioaktif antibakterinya di Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka pada setiap stasiun pengamatan memberikan respon aktivitas yang berbeda-beda. Aktivitas tersebut ditunjukkan dengan adanya area zona bening di sekitar paper disc (kertas cakram) sebagai zona hambat senyawa bioaktif antibakteri yang mampu menghambat aktivitas kedua bakteri yaitu Eschericia coli dan Staphylococcus aureus (Lampiran 5 dan 6). Ekstrak spons di stasiun 1 UP L yang diuji aktivitas senyawa bioaktif antibakterinya berjumlah tiga sampel. Berdasarkan Lampiran 5 dan 6 serta Gambar 25, kisaran diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri spons terhadap bakteri E. coli di Pula u Lancang (1 UPL) adalah 1-2,71 mm, sedangkan terhadap bakteri S. aureus 2,9-5,78 mm. Ekstrak spons yang aktif terhadap bakteri E. coli ada tiga spesies yaitu Petrosia sp (p23 1,88 mm), Clathria rendrawti (p8 1 mm) dan Xestospongia sp1 (p28 2,71 mm) sedangkan yang aktif terhadap S. aureus hanya dua spesies yaitu Petrosia sp (p23 5,78 mm) dan Xestospongia sp1 (p28 2,9 mm). Ekstrak spons yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri tertinggi dibandingkan dengan ekstrak spons lainnya adalah Petrosia sp (p23 5,78 mm) berada di stasiun 1 UP L yang aktif terhadap bakteri S.
57
aureus, tetapi bila dibandingkan terhadap ampicillin tidak ditemukan adanya
Diameter zona hambat (mm)
spesies yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri tertinggi.
7.5
5.78
6 4.5 3 1.5
2.71
2.72
p28
Amp
5.8
2.9
1.88 1
0 p23
p8
p23
E. coli
p28
Amp
S. aureus St 1 (Stasiun)
Gambar 25 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Lancang kedalaman 7 m terhadap bakteri E. coli dan S. aureus. Ekstrak spons yang diuji aktivitas senyawa bioaktif antibakterinya di Pulau Pari pada seluruh stasiun berjumlah 14 sampel. Berdasarkan Lampiran 5 dan 6 serta Gambar 26, kisaran diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons pada kedalaman 7 m terhadap bakteri E. coli di Pulau Pari (2 UPP dan 3 BPP) adalah 1,77-4 mm, sedangkan pada kedalaman 15 m adalah 0,56-2,4 mm. Pada kedalaman 7 m, yang aktif terhadap E. coli ada empat spesies yaitu Clathria sp (p9 4 mm) dan Callyspongia sp (p6 1,77 mm) yang keduanya berada di stasiun 2 UPP serta Clathria sp (p9 1,88 mm) dan Xestospongia sp2 (0,99) di stasiu n 3 BPP. Pada kedalaman 15 m yang aktif terhadap E. coli ada delapan spesies yaitu Clathria rendrawti (p8 1 mm) berada di stasiun 2 UPP, sedangkan Petrosia sp (p23 0,79 mm), Callyspongia aerizusa (p5 2,04 mm), Adocia sp (p3 0,56 mm), Liosina sp (p18 0,62 mm), Acantella cavernosa (p2 1,11 mm), Clathria vulpina (p10 0,78 mm) Neo petrosia (p20 6 2,4 mm) semuanya berada di stasiun 3 BPP.
4 2.72
7m
15 m
7m
p20
p10
p2
1.11 0.78
p18
p3
0.560.62 p5
p23
0.79 p9
p29
0.99
Amp
p8
1
2.4
2.04
1.88
1.77
p6
5 4 3 2 1 0
p9
Diameter zona hambat (mm)
58
15 m
St 2
St 3 Stasiun
Gambar 26 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pari kedalaman 7 m dan 15 m terhadap bakteri E. coli. Bila dilihat antar spesies spons yang aktif maupun terhadap ampicillinnya, maka ekstrak spons yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri tertinggi adalah Clathria sp (p9), sedangkan pada kedalaman 15 m tidak ada. Spesies ini terdapat di stasiun 2 UPP. Pada stasiun 3 BPP hanya ditemukan spesies spons dengan aktivitas antibakteri tertinggi antar spesies tetapi terhadap ampicillin tidak ditemukan. Spesies tersebut adalah Neopetrosia (p20) di kedalaman 15 m. Berdasarkan Lampiran 5 dan 6 serta Gambar 27, di Pulau Pari pada kedalaman 7 m pada seluruh stasiun yang aktif terhadap S. aureus ada dua spesies yaitu Clathria sp (p9 0,44 mm) di stasiun 2 UPP dan Xestospongia sp2 (p29 6,36 mm). Pada kedalaman 15 m ada delapan spesies dengan kisaran rata-rata diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri antara 0,11-4,32 mm. Kedelapan spesies tersebut adalah Neopetrosia (p20 0,67 mm) di stasiun 2 UPP, Petrosia sp (p23 2,09 mm), Adocia sp (p3 0,11 mm), Paratetilla bacca (p22 0,22 mm), Liosina sp (p18 4,32 mm), Acantella cavernosa (p2 4,17 mm), Clathria vulpina (p10 0,33 mm), Neopetrosia (p20 0,44 mm) semuanya berada di stasiun 3 BPP.
7m
15 m
7m
p20
p10
p2
p18
p22
p3
p23
p29
Amp
p20
6.36 7 5.8 6 4.32 4.17 5 4 2.09 3 2 0.44 0.67 0.33 0.44 0.11 0.22 1 0
p9
Diameter zona hambat (mm)
59
15 m
St 2
St 3 Stasiun
Gambar 27 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pari kedalaman 7 m dan 15 m terhadap bakteri S. aureus.
Bila dilihat antar spesies spons yang aktif dan terhadap ampicillinnya, maka pada kedalaman 7 m hanya spesies Xestospongia sp2 (p29) yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri tertinggi di stasiun 3 BPP sedangkan pada kedalaman 15 m tidak ada. Akan tetapi spesies Liosina sp (p18), adalah spesies yang tertinggi antar spesies spons yang aktif di kedalaman 15 m tapi tidak terhadap ampicillinnya. Spesies ini juga ditemukan di stasiun 3 BPP. Ekstrak spons yang diuji aktivitas senyawa bioaktif antibakteri di Pulau Pramuka (4 UPR, 5 TPR, 6 BPR dan 7 SPR) berjumlah 18 sampel. Berdasarkan Lampiran 5 dan 6 serta Gambar 28, pada kedalaman 7 m kisaran diameter ratarata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri terhadap bakteri E. coli di Pulau Pramuka adalah antara 0,11-5,19 mm, sedangkan pada kedalaman 15 m antara 0,33-6,84 mm. Pada kedalaman 7 m di Pulau Pramuka pada seluruh stasiun, spesies yang aktif terhadap bakter i E. coli ada tujuh spesies yaitu Xestospongia sp1 (p28 5,19 mm), Paratetilla bacca (p22 1,66 mm) berada di stasiun 4 UPR. Callyspongia aerizusa (p5 0,11 mm), Clathria vulpina (p10 1,5 mm) di stasiun 5 TPR. Hyrtios erecta (p16 0,22 mm), Callyspongia aerizu sa (p5 0,58 mm) distasiun 6 BPR. Hyrtios erecta (p16 3,86 mm) di stasiun 7 SP R. Pada kedalaman 15 m, yang aktif terhadap E. coli ada sembilan spesies yaitu Petrosia sp(p23 0,33 mm), Hyrtios erecta (p16 3,77 mm), Xestospongia testudinaria (p30 0,33 mm) di stasiun 4 UPR. Adocia (p3 4,79 mm), Neopetrosia (p20 0,89 mm) di stasiun 5 TPR. Chinachyra cylindrica (p11 1,1 mm), Neopetrosia (p20 4,14 mm) di stasiun
60
6 BPR. Rhabdastrella globastellata (p25 2,67 mm) dan Liosina sp (p18 6,84 mm)
7 6 5 4 3 2 1 0
6.84 5.19
4.79
4.143.86 2.67
3.77 2.72 1.66
1.5
0.33
0.33
0.11
0.89 0.581.1 0.22
p28 p22 p23 p16 p30 Amp p5 p10 p3 p20 p16 p5 p11 p20 p16 p25 p18
Diameter zona hambat (mm)
di 7 SPR.
7m
15 m St 4
7 m 15 m 7 m 15 m 7 15 m St 5
St 6
St 7
Stasiun
Gambar 28 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pramuka kedalaman 7 m dan 15 m terhadap bakteri E. coli. Bila dilihat antar spesies spons yang aktif maupun terhadap ampicillinnya, maka Xestospongia sp1 (p28) kedalaman 7 m dan Hyrtios erecta (p16) kedalaman 15 m adalah spesies yang tertinggi senyawa bioaktif antibakterinya. Kedua spesies tersebut terdapat di stasiun 4 UPR. Di stasiun 5 TP R hanya ditemukan pada kedalaman 15 m yaitu jenis Adocia sp (p3) demikian pula halnya di stasiun 6 BP R dimana spesies yang ditemukan adalah jenis Neopetrosia sp (p20) sedangkan di stasiun 7 SPR adalah jenis Liosina sp (p18). Berdasarkan Lampiran 5 dan 6 serta Gambar 29, kisaran diameter rata -rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons pada kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus antara 0,47-6,36 mm, sedangkan pada kedalaman 15 m antara 0,67-5,06 mm. Pada kedalaman 7 m spesies spons yang aktif terhadap S. aureus di Pulau Pramuka seluruh stasiun berjumlah lima spesies yaitu Xestospongia sp1 (p28 6,22 mm), Aaptos cf subertoides (p1 0,97 mm) yang keduanya berada di stasiun 4 UPR. Hyrtios erecta (p16 0,47 mm) dan Callyspongia sp (p6 3,33 mm) di stasiun 6 BPR. Hyrtios erecta (p16 0,98 mm) di stasiun 7 SP R. Pada kedalaman 15 m, spons yang aktif terhadap S. aureus berjumlah enam spesies yaitu Hyrtios erecta (p16 0,67 mm) distasiun 4 UPR.
61
Adocia sp (p3 0,69 mm) dan Neopetrosia (p20 0,96 mm) distasiun 5 TPR. Chinachyra cylindrica (p11 4,44 mm) distasiun 6 BPR. Rhabdastrella
7m St 4
15
15 m
7m
St 5
St 6
15 7 m
p18
p25
p16
p11
p6
p16
p20
p3
Amp
p16
p1
7 6.22 5.8 5.06 6 4.44 5 3.33 3.21 4 3 0.97 0.67 0.98 2 0.69 0.960.47 1 0 p28
Diameter zona hambat (mm)
globastellata (p25 3,21 mm) dan Liosina sp (p18 5,06 mm) di stasiun 7 SPR.
15 m St 7
Stasiun
Gambar 29 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pramuka kedalaman 7 m dan 15 m terhadap bakteri S. aureus. Bila dilihat antar spesies spons yang aktif maupun terhadap ampicillinnya, maka di stasiun 4 UPR aktivitas senyawa bioaktif antibakteri tertinggi adalah Xestospongia sp1 (p28) pada kedalaman 7 m sedangkan pada kedalaman 15 m tidak ada. Bila dilihat terhadap ampicillinnya, spesiesnya adalah p28 (Xestospongia sp1). Pada stasiun 5 TP R, 6 BPR dan 7 SPR, tidak ditemukan spesies yang aktif terhadap ampicillinnya tetapi hanya aktif antar spesies saja. Berdasarkan Lampiran 5 dan 6, besar kecilnya zona hambat pertumbuhan aktivitas senyawa bioaktif yang merupakan tolok ukur senyawa bioaktif itu sendiri, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Rachmaniar (1997) menyatakan, faktorfaktor yang mempengaruhi besar kecilnya zona hambat senyawa bioaktif antibakteri pertum buhan aktivitas senyawa bioaktif antara lain aktivitas senyawa bioaktif gugus fungsi dari substansi sendiri, resistensi dari bakteri terhadap substansi senyawa bioaktif kadar substansi aktif, serta jumlah inokulum bakteri atau kepadatan bakteri uji. Rachma niar (1997) juga menambahkan, ekstrakekstrak yang tidak menunjukkan aktivitas senyawa bioaktif belumlah bera rti sampel tersebut tidak aktif, tetapi kemungkinan tidak terdeteksi pada konsentrasi sampel uji yang digunakan atau kadar hambat umumnya belum tercapai.
62
Selanjutnya De Voogd (2005) menyatakan, spons dengan senyawa bioaktif lemah atau tidak memiliki senyawa bioaktif, energi yang digunakan didalam tubuhnya lebih
banyak
digunakan
untuk
pertumbuhan
dan
reproduksi
daripada
memproduksi metabolit sekunder. Sedangkan spons dengan kandungan senyawa bioaktif tinggi, disamping energinya untuk pertumbuhan dan reproduksi, maka kelebihan energi (sisa energi yang lainnya) juga digunakan untuk memproduksi metabolit sekunder dalam pertahanan dirinya terhadap pemangsa. Gambar 30 dan 31 adalah diamater zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Liosina sp dan Xestospongia sp2. Kedua spesies tersebut tertinggi baik antar spesies yang aktif maupun terhadap ampicillinnya.
Gambar 30 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri Liosina sp di stasiun 7 SPR pada kedalaman 15 m terhadap bakteri E. coli.
Gambar 31 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri Xestospongia sp2 di stasiun 3 BPP pada kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus.
63
Pembahasan Analisis Komponen Utama Parameter fisika-kimia air laut yang terlibat dalam analisis komponen utama (PCA) untuk melihat sebarannya berdasarkan stasiun pengamatan adalah nilai rata-rata seperti yang disajikan di dalam Lampiran 2. Hasil PCA yang dila kukan terhadap matriks korelasi memunculkan sumbu-sumbu faktorial mengekstraksi secara progresif mengenai informasi maksimum dari karakteristik fisika-kimia air. Kualitas informasi maksimum dari parameter fisika-kimia air pada setiap sumbu diukur dari besa rnya akar ciri - akar ciri yang dihasilkan. Akar ciri - akar ciri tersebut memungkinkan untuk mengevaluasi besarnya ragam yang dijelaskan oleh setiap sumbu (Lampiran 7). Hasil analisis data dengan menggunakan PCA yang dilakukan pada matriks korelasi adalah untuk menggambarkan hubungan antara karakteristik fisika-kimia air pada setiap stasiun pengamatan. Informasi penting terpusat pada sumbu utama (F1, F2 dan F3), dimana masing-masing sumbu memiliki akar ciri akar ciri 4,27 3,68 dan 1,79 yang memberika n kontribusi sebesar 32,83 % 28,33 % dan 13,79 % dengan total ragam sebesar 74,96 % (Lampiran 7B). Hasil korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan 2 (F1xF2) (Gambar 32 A) terlihat bahwa variabel COD berperan utama dalam membentuk sumbu F1 positif denga n kontribusi sebesar 9,9 %, sedangkan kekeruhan, TSS dan kecepatan arus berperan utama dalam membentuk sumbu F1 negatif dengan kontribusi kekeruhan sebesar 19,37 %, TSS 11,79 % dan kontribusi kecepatan arus sebesar 11,82 %. Variabel suhu, DO dan silikat terlihat berperan utama dalam membentuk sumbu F2 positif dengan kontribusi suhu sebesar 13,09 %, DO 10,02 % dan silikat sebesar 12,59 %. Variabel N-NO 3 dan P-PO 4 terlihat berperan utama dalam membentuk sumbu F2 negatif dengan kontribusi N-NO3 sebesar 24,14 % dan PPO4 sebesar 10,84 %. Variabel pH berperan utama dalam membentuk sumbu F3 positif dengan kontribusi sebesar 20,77 % sedangkan variabel salinitas, BOD5 berperan utama dalam membentuk sumbu F3 negatif dengan kontribusi salinitas sebesar 15,95 % dan BOD5 sebesar 25,46 % (Lampiran 7A dan 7E). Variabel TOM terlihat memiliki kontribusi yang sangat kecil terhadap sumbu F1xF2 dan
64
sumbu F1xF3, sehingga variabel TOM bukan merupakan penciri di lokasi penelitian pada F1xF2 maupun F1xF3. (Lampiran 7E). Korelasi antar banyak variabel (Lampiran 7D) menunjukkan bahwa kekeruhan berkorelasi negatif antar beberapa variabel tetapi berkorelasi positif dengan variabel TSS, BOD 5, TOM, N-NO3, P-PO4, kecepatan arus dan silikat. Sebagai contoh kekeruhan berkorelasi positif dengan TSS artinya tingginya kekeruhan diikuti oleh tingginya TSS seperti yang terjadi di stasiun 5 TP R. Hal yang sama juga terjadi pada variabel BOD5, TOM, N -NO3, P-PO 4, kecepatan arus dan silikat (Lampiran 2). Kekeruhan berkorelasi negatif terhadap beberapa varibel tertentu seperti variabel pH, DO dan COD. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya kekeruhan merupakan salah satu faktor rendahnya pH, DO dan COD seperti yang terjadi di stasiun 5 TPR dan stasiun 3 BPP. Grafik stasiun pengamatan pada perpotongan sumbu 1 dan 2 (F1xF2) (Gambar 32B), memperlihatkan adanya pengelompokan stasiun pengamatan pada bidang perpotongan antara sumbu 1 positif dan sumbu 2 negatif, yaitu stasiun 1 UPL, 4 UPR dan 6 BPR. Stasiun 1 UPL dicirikan oleh COD yang tinggi, hal ini kemungkinan disebabkan oleh stasiun 1 UPL berada dekat dengan daratan Jakarta dimana banyak ditemukan pabrik-pabrik industri yang buangannya mengalir melalui sungai-sungai dan akhirnya bermuara ke laut. Posisi ini pula yang menyebabkan di stasiun tersebut sangat sedikit ditemukan jenis-jenis spons Demospongiae bahkan pada kedalaman 15 m tidak ditemukan sama sekali spons (Lampiran 3). Pada bidang perpotongan antara sumbu 1 negatif dan sumbu 2 negatif terlihat stasiun TPR yang membentuk kelompok sendiri, dimana dicirikan oleh N-NO3 dan P-PO 4 yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan stasiun tersebut terletak dekat dengan darmaga sehingga terjadi akumulasi nutrien yang berupa NNO 3 dan P -PO4 yang berasal dari buangan penduduk ke laut melalui parit-parit.
65
1.0
A
Suhu
Silikat TSS
COD
0.5
F1 : 32.83 %
DO
Kec arus
Kekeruhan BOD5 0.0
TOM pH Salinitas
-0.5
P-PO4
N-NO3 -1.0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
F2 : 28.33 %
6
B
5 4
3
3
F1 : 32.83 %
2 1
1
7 2 0
4 6
-1 -2 5 -3 -4 -5 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
F2 : 28.33 %
Gambar 32 Analisis Komponen Utama karakteristik kualitas perairan pada stasiun pengamatan: A. Korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan 2 (F 1xF2 ); B. Sebaran stasiun pengamatan pada sumbu 1 dan 2 (F 1xF2).
66
1.0
A
pH 0.5
COD
F1 : 32.83 %
Kec arus Kekeruhan TSS 0.0
N-NO3
Silikat P-PO4 TOM
DO Suhu Salinitas
-0.5 BOD5
-1.0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
F3 : 13.79 %
B
4
3
2
1 6
F1 : 32.83 %
1
5
3
0
7 4
-1
-2
2
-3
-4 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
F3 : 13.79 %
Gambar 33 Analisis Komponen Utama karakteristik kualitas perairan pada stasiun pengamatan: A. Korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan 3 (F 1xF3 ); B. Sebaran stasiun pengamatan pada sumbu 1 dan 3 (F 1xF3).
67
Stasiun 3 BPP terlihat membentuk kelompok sendiri pada bidang perpotongan antara sumbu 1 negatif dan sumbu 2 positif dimana di stasiun tersebut dicirikan oleh kecepatan arus, TSS dan silikat yang cukup tinggi. Tingginya TSS disebabkan oleh pengaruh arus sehingga terjadi resusupensi sedimen dasar perairan untuk tetap berada pada kolom air. TSS tinggi juga dipengaruhi oleh aktifitas penduduk yang melalukan penangkapan ikan menggunakan bahan-bahan kimia, kegiatan budidaya rumput laut serta substrat yang di dominasi pasir berlumpur. Silikat juga tinggi di stasiun 3 BPP, hal ini disebabkan banyaknya Enhalus yang dijumpai distasiun tersebut. Enhalus ini membawa nutrien penting bagi pertumbuhan fitoplankton, pembentukan struktur pada silicoflagellata, diatom, radiolaria dan spons yang berasal dari SiO 2. Tingginya konsentarsi silikat menyebabkan banyak ditemukan jenis-jenis spons terutama Clathria vulpina. Gerrodette dan Flechsig (1979), diacu dalam De Voogd (2005), menyatakan Spesies-spesies yang mampu beradatasi terhadap sedimentasi yang tinggi adalah Clathria rendwardti, Echinodyctium flabelliformis dan Paratetilla bacca dimana khusus untuk spesies Paratetilla bacca memiliki adaptasi yang terbatas terhadap lingkungan. Meskipun beberapa spesies tersebut dapat bergabung dengan kumpulan pasir dalam jaringannya, maka hal ini bukan merupakan metode yang khusus untuk menghalangi penyumbatan didaerah yang bersedimentasi tinggi. Disamping itu, spesies-spesies sebelumnya diatas tidak hanya bebas dari material asing di kerangkanya, tetapi juga mampu melindungi dirinya dari sedimen secara baik. Bergquist (1978) menyatakan, bahwa beberapa jenis spons mampu bertahan hidup didasar perairan yang bersedimen atau berlumpur dan cendrung memiliki akumula si butiran-butiran pasir atau materi asing lain pada jaringan tubuhnya. Van Soest (1989) juga menambahkan, bahwa sebagian besar jenis spons dapat bertahan hidup pada perairan yang keruh dan bersedimen. Pada umumnya spons tidak dapat hidup didaerah dengan tingkat gangguan yang sangat tinggi seperti sedimentasi yang tinggi. Hal ini disebabkan akan menyumbat pori spons dan kecepatan pemompaan air dalam tubuhnya akan menurun secara drastis (Gerrodette dan Flechsig 1979, diacu dalam De Voogd 2005). Bila dihubungkan dengan sebaran fauna spons pada kedalaman 1-15 m di Pulau Genteng Besar sebelah Selatan yang ditemukan oleh Amir (1991) pada
68
Tabel 2, maka spesies tersebut juga termasuk dalam golongan spesies yang ditemukan Amir (1991). Ditambah lagi dengan ciri-ciri yang sederhana spesies tersebut umumnya memiliki tekstur tubuh yang khas dan tidak kompresibel. Dengan ciri tersebut, maka spesies spons umumnya mampu beradaptasi dengan sedimentasi tinggi. De Voogd (2005) menyatakan, spesies dengan tekstur tubuh yang keras akibat penggabungan kumpulan tanah atau pasir serta material asing di lapisan kulit terluar (korteks) memungkinkan untuk bertahan hidup terhadap energi gelombang yang sangat tinggi pada perairan dangkal. Pada bidang perpotongan antara sumbu 1 positif dan sumbu 2 positif terlihat stasiun 7 SPR dan 2 UPP yang membentuk kelompok sendiri, dimana tidak memperlihatkan adangan penciri dari variabel manapun. Kondisi ini dicirikan oleh kecilnya kualitas representasi dari stasiun 7 SPR (0,86 %) dan satsiun 2 UPP (0,81%) jika dibandingkan dengan stasiun 5 TPR (55 %) dan stasiun 1 UPL (53 %) (Lampiran 7C). Apabila parameter fisika-kimia perairan dikelompokkan berdasarkan nilai kesamaan antar stasiun pengamatan dengan menggunakan Cluster Analysis (Gambar 34), terlihat bahwa seluruh stasiun pengamatan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Gambar 34 menunjukkan bahwa stasiun 3 BPP terlihat membentuk kelompok sendiri (kelompok I). Hal ini disebabkan di stasiun tersebut memiliki parameter fisika-kimia yang tinggi seperti kecepatan arus, TSS dan silikat. Stasiun 5 TPR cendrung membentuk kelompok sendiri (kelompok II) dengan parameter N-NO3 dan P-PO 4 yang tinggi sebagai penciri. Stasiun 1 UPL, 2 UPP, 4 UPR, 6 BPR dan 7 SPR terlihat memiliki nilai jarak yang relatif sama sehingga menjadi satu kelompok (kelompok III). Kelompok ini dicirikan dengan rendahnya konsentrasi parameter fisika-kimia yang terdapat pada stasiun masingmasing seperti parameter TSS, TOM, BOD 5 dan silikat dengan konsentrasi rendah di stasiun 1 UPL. Parameter pH yang rendah di stasiun 2 UPP. Parameter kekeruhan yang rendah di stasiun 4 UPR, salinitas rendah di stasiun 7 SPR dan kecepatan arus rendah di stasiun 6 BPR.
69
40 Klp I 35
Jarak Euklidien
30
25
Klp II
20
15 Klp III 10
5
0 St 3
St 5
St 7
St 4
St 6
St 2
St 1
Stasiun Gambar 34 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan karakteristik fisika-kimia air. Kelimpahan dan Struktur Komunitas Spons Demospongiae Spons-spons Demospongiae dalam penelitian ini diambil pada dua kedalaman yang berbeda yaitu kedalaman 7 m (mewakili perairan dangkal) dan kedalaman 15 m (mewakili perairan yang dalam). Perairan Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Pulau lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka untuk semua stasiunnya), dari hasil pengamatan selama penelitian memil iki 25 Genera spons. Jenis Genera beserta kelimpahannya disajikan dalam Lampiran 3. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis-jenis spons Demospongiae yang teramati terdiri atas 9 Ordo
yaitu
Halichondrida,
Hadromerida,
Haplosclerida,
Dendroceratida,
Poecilosclerida, Spirophorida, Dictyoceratida, Astrophorida dan Verongida; 18 Famili, yaitu Axinellidae, Desmoxyidae, Dictyonellidae, Suberitidae, Chalinidae Niphatidae,
Callyspongiidae,
Petrosiidae,
Darwinellidae,
Dysideidae,
Microcionidae, Tetillidae, Spongiidae, Thorectidae, Irciniidae, Coppatiidae, Ancorinidae dan Drunellidae. Berdasarkan jenis spons yang teramati selama penelitian terlihat bahwa Ordo Haplosclerida lebih dominan ditemukan pada seluruh stasiun pengamatan dibandingkan Ordo lainnya. Dominannya Ordo Haplosclerida ini sangat didukung
70
oleh ketersediaan silikat yang tinggi sehingga pembentukan struktur dinding sel spons berlangsung dengan baik. Nilai ke limpahan berkisar antara 0,35-0,84 ind/m2 dengan ke limpahan terendah ditemukan di stasiun 1 UPL dan tertinggi di stasiun 7 SPR (Tabel 6 dan Gambar 21). Tingginya kelimpahan spons di stasiun 7 SPR berhubungan dengan pemanfaatan nutrien secara efesien dan didukung oleh nilai DO antara 7,2-8,1 mg/l, dengan stasiun 7 SPR sebagai stasiun pengamatan dengan konsentrasi DO yang relatif tinggi. Relatif tingginya nilai DO mempengaruhi proses fotosintesis yang berlangsung dengan baik. Hasil fotosintesis yang berupa bahan organik selanjutnya dimanfaatkan oleh spons dalam penyusunan komposisi kimia tubuhnya, terutama dalam pembentukan protein, karbohidrat dan lemak pada fase pertumbuhan. Pertumbuhan spons didukung pula oleh ketersediaan TOM yang cukup tinggi serta rendahnya beberapa parameter yang lain seperti suhu, salinitas dan kekeruhan, karena ketiga parameter tersebut merupakan parameter yang mempengaruhi pertumbuhan spons. Gerrodette dan Flechsig (1979), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan spons adalah suhu, salinitas, kedalaman serta kekeruhan dan sedimentasi. Sementara Wilkinson (1987), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan spons adalah nitrat, fosfat dan bahan organik terlarut. Jumlah jenis dan Genera juga tinggi di stasiun tersebut, sehingga mengakibatkan jenis spons seperti Cinacyra cilindrica dan Paratetilla bacca dominan serta melimpah dijumpai pada stasiun tersebut. Hasil perhitungan indeks -indeks yang menggambarkan struktur komunitas spons Demospongiae seperti indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C) memperlihatkan nilai- nilai in deks tersebut bervariasi di setiap stasiun-stasiun pe ngamatan (Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka ) (Tabel 6). Kisaran nilai H’ berada dalam kisaran 1
71
untuk semua stasiun pengamatan memiliki nilai keanekaragaman dan kestabilan komunitas yang sedang, artinya spons di tiga perairan kurang beranekaragam (Gambar 22). Pada nilai E dan C, semakin besar nilai indeks (mendekati 1), maka semakin besar pula keseragaman populasi yang mana berarti penyebaran jumlah individu sama dan tidak ada kecendrungan terjadi dominasi oleh satu spesies spons Demospongiae di semua perairan (Gambar 23). Nilai C (Tabel 6 dan Gambar 24) menunjukkan bahwa di tiga semua stasiun adalah rendah, artinya tidak ada jenis spons Demospongiae yang mendominasi sehingga tidak ada spesies yang mengendalikan semua perairan tersebut. Kecendrungan terjadinya dominasi hanya terlihat pada Ordo Haplosclerida (Lampiran 3). Ketiga indeks (H’, E dan C) diatas merupakan indeks yang digunakan untuk menilai kestabilan komunitas biota perairan (spons) dalam hubungannya dengan kondisi lingkungan perairan di semua stasiun Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka. Dengan mengacu pada ketiga indeks tersebut, terlihat bahwa di semua stasiun pe ngamatan spons Demospongiae di tiga perairan tergolong dalam perairan yang mempunyai kestabilan sedang dalam menerima bahan masukan. Hal ini dapat dilihat dari indeks keanekaragaman yang tergolong sedang dan relatif tidak adanya spesies spons Demospongiae tertentu yang mendominasi.
Analisis Faktorial Koresponden Distribusi spesies spons terhadap stasiun penelitian (kualitas perairan), dilakukan dengan menggunakan analisis faktorial koresponden. Analisis faktorial koresponden (AFK) yang digunakan dalam analisis jumlah spesies spons Demospongiae adalah jumlah spesies spons Demospongiae sebagai baris yang terdiri atas stasiun penelitian sebagai kolom. Hasil AFK terhadap 30 spesies spons Demospongiae yang menyebar di tujuh stasiun pengamatan pada kedalaman 7 m dan 15 m (Lampiran 8 dan 9), menunjukkan bahwa informasi mengenai spesies spons Demospongiae terpusat di tiga sumbu utama (F1, F2 dan F3). Hasil analisis data dengan menggunakan AFK terlihat bahwa informasi mengenai spons pada kedalaman 7 m dan 15 m terpusat pada tiga sumbu utama, dimana masing-masing sumbu menjelaskan 28,18 % (F1), 27,62 % (F2) dan 17,63
72
% (F3) dari total ragam 73,43 % pada kedalaman 7 m. Pada kedalaman 15 m, didapat total ragam sebesar 78,55 % dimana memberikan kontribusi masingmasing sumbu sebesar 38,74 % (F1), 22,69 % (F2) dan 17,14 % (F3) sperti yang diperlihatkan pada Lampiran 8C dan Lampiran 9C. Grafik hasil AFK pada kedalaman 7 m pada sumbu 1 dan 2 (F1xF2) (Gambar 35). Pada bidang perpotongan antara sumbu 1 positif dengan sumbu 2 positif spons Chelonaplysilla sp (kode no p7) punya asosiasi yang erat dengan stasiun 5 TPR, hal ini disebabkan speisies tersebut memiliki toleransi terhadap N -NO3 dan P-PO4 yang cukup tinggi. Stasiun 4 UPR dengan Petrosia sp (p23) juga terlihat pada dua bidang perpotongan tersebut, hal ini disebabkan di stasiun 4 UPR memiliki parameter kekeruhan yang rendah sehingga kelimpahan Petrosia sp (p23) banyak ditemukan di stasiun te rsebut. Pada bidang perpotongan antara sumbu 1 negatif dengan sumbu 2 negatif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 6 BPR dengan spesies Hyrtios erecta (p16) yang membentuk kelompok sendiri. Pada bidang perpotongan antara sumbu 1 negatif dengan sumbu 2 positif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 2 UPP dan 7 SPR dengan spesies Rhabdastrella globastellata (p25), Paratetilla bacca (p22), Clathria reinwardti (p8), Clathria sp (p9), Pseudoceratina verongita (p24) dan Higginsia massalis (p14). Sumbu faktorial 1 dan 3 (F1xF3) memberikan informasi yang tidak tersampaikan oleh sumbu 1 dan 2 (F1xF2) (Gambar 36) . Pada bidang perpotongan antara sumbu 1 positif dengan sumbu 3 positif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 5 TPR, 4 UPR dan 1 UPL dengan spesies Callyspongia sp (p6). Pada bidang perpotongan antara sumbu 1 negatif dengan sumbu 3 negatif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 3 BPP yang mengelompok sendiri dan tidak diasosiasikan oleh spesies spons manapun. Hal yang sama juga terjadi pada stasiun 7 SPR dan 2 UPP yang berada pada bidang perpotongan antara sumbu 1 negatif dengan 3 positif.
73
1.0
p3
0.5 p12
27
3
p23 p7
4 p25 p14 p15 p1 p5 p4 p24 p17 p18 5 p11 p30 p19 p8 p13 p22 p20 1 p9 p27 p10
0.0 F1 : 28.18 %
p26 p2
p29
p21
6
-0.5
p6 p16 -1.0
-1.5
p28
-2.0 -1.0
-0.6 -0.8
-0.2 -0.4
0.2 0.0
0.6 0.4
1.0 0.8
1.4 1.2
Spesies spons Stasiun
F2 : 27.62 %
0.5
p26 p2
F1 : 28.18 %
0.4
3
0.3 2 7 0.2
0.1
p25
p15 p14 p1 p5 p4
p17 p24
p18
0.0
p11 p30 p19
p20 p13 p22 -0.28 -0.20 -0.12 -0.04 0.04 0.12 0.20 -0.24 -0.16 -0.08 0.00 0.08 0.16 0.24
Spesies spons Stasiun
F2 : 27.62 %
Gambar 35 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons Demospongiae kedalaman 7 m pada sumbu (F1xF2).
74
0.8
0.6
p29 p8
p7
0.4 2
p23
p9 p22 p13 p20 p10
F1 : 28.18 %
0.2
p21 7
5 p6 6p16 p14 p21 p15 p1 p26 p5 p4 p17p25 p18 p24 p11
0.0 p28 p12
-0.2
p3
4
p30 p19 p27
-0.4 3 -0.6
-0.8 -1.0
-0.6 -0.8
-0.2 -0.4
0.2 0.0
0.6
1.0
0.4
0.8
1.4 1.2
Spesies spons Stasiun
F3 : 17.63 %
p9
p13 p20 p10
p22
0.3
F1 : 28.18 %
0.2
0.1 p6 0.0
1 p16
p26 p2
p15 p14 p1 p5 p4
p17 p24 -0.1
p18 p25
p11
-0.2 p30 p19 -0.3 -0.24
-0.16 -0.20
-0.08 -0.12
0.00 -0.04
0.08 0.04
0.16 0.12
0.24 0.20
Spesies spons Stasiun
F3 : 17.63 %
Gambar 36 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons Demospongiae kedalaman 7 m pada sumbu (F1xF3).
75
Pengelompokkan stasiun penelitian berdasarkan hasil AFK dikonfirmasikan lebih lanjut dengan analisis klasifikasi hierarki menggunakan jarak khi-kuadrat. Hasil pengelompokkan dengan klasifikasi hierarki tercantum dalam Gambar 37. Ketujuh stasiun penelitian mengelompok kedalam tiga kelompok. Kelompok I terdapat stasiun 3 BPP dan 6 BPR yang mengelompok dalam satu kelompok, dimana stasiun 3 BPP dicirikan oleh kecepatan arus, TSS dan silikat yang tinggi sedangkan stasiun 6 BPR dicirikan ole h kecepatan arus yang rendah. Kelompok II terdapat stasiun 5 TPR, 4 UPR dan 1 UPL sedangkan kelompok III terdapat stasiun 7 SPR dan 2 UPP, dimana pada kelompok III ini konsentrasi parameter fisika-kimianya rendah tetapi kelimpahan spons yang tinggi terutama jenis spons Petrosia sp (p23).
290 Klp I 280 270
Jarak khi-kuadrat
260 Klp II 250 240 230 220 210
Klp III
200 190 St 3
St 6
St 7
St 2
St 5
St 4
St 1
Stasiun Gambar 37 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan kelimpahan spons Demospongiae pada kedalaman 7 m. Pada kedalaman 15 m, berdasarkan Gambar 38, pada bidang perpotongan antara sumbu 1 positif dengan sumbu 2 positif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 3 BPP dengan spesies Pseudoceratina verongita (p24). Pada bidang perpotongan antara sumbu 1 positif dengan sumbu 2 negatif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 5 TPR dengan spesies Paratetilla bacca (p22), stasiun 7 SPR
76
dengan spesies Myrmekioderma granulata (p19). Pada bidang perpotongan antara sumbu 1 negatif dengan sumbu 2 negatif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 6 BPR dengan spesies Petrosia sp (p23) dan Xetospongia sp2 (p29), sedangkan pada bidang perpotongan antara sumbu 1 negatif dengan sumbu 2 positif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 4 UPR dengan spesies Xetospongia sp1 (p28), stasiun 2 UPP dengan Rhabdastrella globastellata (p25), Liosina sp (p18), Hippospongia amata (p15), Chelonaplysilla sp (p7), Aaptos cf subertoides (p1) dan Higginsia massalis (p14). Berdasarkan Gambar 39, sumbu faktorial 1 dan 3 (F1xF3) memberikan informasi yang tidak tersampaikan oleh sumbu 1 dan 2 (F1xF2) dari analisis faktorial koresponden dimana pada kedalaman 15 m kelompok 1 spesies spons Pseudoceratina verongita (p24), berasosiasi erat dengan stasiun 7 SPR pada bidang perpotongan antara sumbu 1 dan 2. Kelompok 2 spesies spons p21 berasosiasi erat dengan stasiun 6 BPR. Kelompok 3 stasiun 3 BPP dan 5 TPR berasosiasi erat dengan spesies spons Callyspongia aerizusa (p5), Aka sp (p4) dan Darypleres splendens (p12). Kelompok 4 stasiun 2 UPP dan 4 UPR berasosiasi erat dengan spesies spons Cynachyra cylindrica (p11), Xetospongia sp1 (p28), Liosina sp (p18), Hippospongia amata (p15), Chelonaplysilla sp (p7), Aaptos cf subertoides (p1) dan Higginsia massalis (p14), Suberea laboutei (p27) dan Xetospongia testudinaria (p30). Analisis klasifikasi hierarki menggunakan jarak khi-kuadrat sebagai kriteria penggugusan dilakukan dengan menguatkan hasil analisis faktorial koresponden. Hasil pengelompokkan dengan klasifikasi hierarki tercantum dalam Gambar 40. Keenam stasiun penelitian mengelompok kedalam empat kelompok. Kelompok 1 adalah stasiun 7 SPR yang menelompok tersendiri. Hal ini disebabkan stasiun ini jauh dari pengaruh variable fisika-kimia perairan, demikian pula hal yang sama terjadi pada kelompok 2 yaitu stasiun 6 BPR. Kelompok 3 terdiri atas stasiun 5 TPR dan 3 BPP, dimana kedua stasiun ini relatif mirip, demikian pula hal yang sama terjadi pada kelompok 4 yaitu stasiun 4 UPR dan 2 UPP.
77
1.2 1.0
p11 p17
F1 : 38.74 %
0.8 0.6
4
0.4
p28
p12 p21
2 p4p5 p14 p1 3 p24 p7 p15 p18 p25 p2 p13 p22 p26 p19 5
p10
0.2 0.0 -0.2
7
p29 6
-0.4
p23
p27 p30
-0.5
0.0
p6 p20 p9
p3
-0.6 -0.8 p8 p16
-1.0 -1.2 -1.4 -1.5
-1.0
0.5
1.0
1.5
Spesies spons Stasiun
F2 : 22.68 %
0.3 2
p5
0.2
p4 p14 p1 p7 p15 p18
F1 : 38.74 %
0.1
0.0
3
p24
p25 p22 p13 p26
-0.1
p19 5
-0.2 p6 -0.3
7 p20 p9 0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
Spesies spons Stasiun
F2 : 22.68 %
Gambar 38 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons Demospongiae kedalaman 15 m pada sumbu (F1xF2).
78
1.5
p6 1.0
F1 : 38.74 %
0.5
p25
p16 p8
6 p21
0.0
7
p2
p10
p17 4 p29 p13 p26 p11 p23p28 p15 p18 p7 p1 p14 p30 2 p27
3
p24
p5
p20 p9
p19
p4 p12 5
-0.5
p22
-1.0
p3 -1.5 -1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
Spesies spons Stasiun
F3 : 17.14 %
F1 : 38.74 %
-0.1
p18 p15 p7 -0.15
p1 p14 2
-0.2
-0.25
-0.2
-0.15
-0.1
Spesies spons Stasiun
F3 : 17.14 %
Gambar 39 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons Demospongiae kedalaman 15 m pada sumbu (F1xF3).
79
320 Klp I 310 Klp II
Jarak khi-kuadrat
300
290
Klp III
280
270 Klp IV 260
250 St 7
St 6
St 5
St 3
St 4
St 2
Stasiun Gambar 40 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan kelimpahan spons Demospongiae pada kedalaman 15 m.
Analisis Faktorial Kore sponden Senyawa Bioaktif Antibakteri Spons Demospongiae Hasil AFK 17 dari 30 spesies spons Demospongiae yang diuji senyawa bioaktif menyebar di tujuh stasiun pengamatan pada kedalaman 7 m dan 15 m (Lampiran 5 dan 6), menunjukkan bahwa informasi mengenai spesies spons Demospongiae terpusat di tiga sumbu utama (F1, F2 dan F3). Hasil analisis data dengan menggunakan AFK terlihat bahwa informasi mengenai spons pada kedalaman 7 m dan 15 m terpusat pada tiga sumbu utama baik terhadap bakteri E. coli maupun terhadap bakteri S. aureus. Pada bakteri E. coli masing-masing sumbu menjelaskan 33,97 % (F1), 23,85 % (F2) dan 19,27 % (F3) dari total ragam 77,09 % pada kedalaman 7 m. Pada kedalaman 15 m, didapat total ragam sebesar 88,66 % dimana memberikan kontribusi masingmasing sumbu sebesar 44,41 % (F1), 28,58 % (F2) dan 15,67 % (F3) seperti yang diperlihatkan pada Lampiran 10C dan Lampiran 11C. Pada bakteri S. aureus masing-masing sumbu menjelaskan 33,30 % (F1), 29,60 % (F2) dan 23,45 % (F3) dari total ragam 86,36 % pada kedalaman 7 m. Pada kedalaman 15 m, didapat total ragam sebesar 91,29 % dimana memberikan kontribusi masing-masing
80
sumbu sebesar 55,37 % (F1), 24,23 % (F2) dan 11,70 % (F3) seperti yang diperlihatkan pada Lampiran 12C dan Lampiran 13C. Pada kedalaman 7 m terhadap bakteri E. coli (F1xF2), bidang perpotongan sumbu 1 positif dengan sumbu 2 positif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 7 SPR dengan spesies spons bioaktif Petrosia sp (p23) dan Clathria rendrawti (p8). Kedua spesies ini mampu hidup pa da toleransi salinitas yang rendah dengan diameter zona hambat berkisar antara 0-1 mm sedangkan kelimpahan untuk Clathria rendrawti (p8) rendah dan untuk Petrosia sp (p23) sedang. Stasiun 6 BPR tidak diasosiasikan oleh spesies spons bioaktif manapun pada bidang perpotongan yang sama (Gambar 40). Pada sumbu 1 negatif dengan sumbu 2 positif terdapat stasiun 1 UPL yang mengelompok sendiri dan tidak diasosiasikan oleh spesies spons bioaktif manapun, hal yang sama juga terjadi pada stasiun 4 UPR pada sumbu 1 negatif dengan sumbu 2 positif. Pada sumbu (F1xF3) bidang perpotongan sumbu 1 positif dengan sumbu 3 positif terdapat pengelompokan beberapa stasiun seperti stasiun 2 UPP, 3 BPP, 7 SPR dan 6 BPR yang tidak diasosiasikan oleh spesies spons bioaktif manapun, hal yang sama juga terjadi pada stasiun 5 TPR (sumbu 1 positif dengan sumbu 3 negatif), stasiun 1 UPL (sumbu 1 negatif dengan sumbu 3 negatif) dan stasiun 4 UPR (sumbu 1 negatif dengan sumbu 3 positif). Analisis klasifikasi hierarki menggunakan jarak khi-kuadrat sebagai kriteria penggugusan dilakukan dengan menguatkan hasil analisis faktorial koresponden. Hasil pengelompokkan dengan klasifikasi h ierarki tercantum dalam Gambar 41. Ketujuh stasiun penelitian mengelompok kedalam lima kelompok. Kelompok I adalah stasiun 4 UPR yang mengelompok sendiri, demikian pula hal yang sama terjadi pada kelompok II yaitu stasiun 1 UPL dan kelompok III yaitu stasiun 5 TP R. Kelompok IV adalah stasiun 7 SPR dan 6 BPR sedangkan kelompok V adalah stasiun 3 BPP dan 2 UPP.
81
0.7 0.6 p9 0.5 0.4
F1 : 33.98 %
6
p6
0.3 0.2
4
p10 p5
0.1
7
p18 p30 p11 p25
1
p23 p8
0.0 p22 p2 p1
5 -0.1
p28
3 p3 p20
-0.2
2 -0.3 p16 -0.4 -0.5 -0.6
-0.4 -0.5
-0.2 -0.3
0.0 -0.1
0.2
0.4
0.1
0.3
0.6 0.5
0.7
Spesies spons bioaktif Stasiun
F2 : 23.85 %
0.5 p8 p23
0.4 0.3
4
F1 : 33.98 %
0.2
p28
0.1 0.0
p16
p10 p5 p18 p30 p11 p25
p3 p20
3 5
2 6
7
p6 -0.1
p9
-0.2
p22 p2 p1
-0.3 1 -0.4 -0.5 -0.6
-0.4 -0.5
-0.2 -0.3
0.0 -0.1
0.2 0.1
0.4 0.3
0.6 0.5
0.7
Spesies spons bioaktif Stasiun
F3 : 19.27 %
Gambar 41 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons bioaktif kedalaman 7 m terhadap bakteri E. coli pada sumbu (F1xF2) dan (F1xF3).
82
240 Klp I 220
Klp II
Jarak khi-kuadrat
200
180
Klp III
160 Klp IV 140
120 Klp V 100
80 St 4
St 5
St 6
St 7
St 3
St 2
St 1
Stasiun Gambar 42 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumlah spesies spons bioaktif pada kedalaman 7 m terhadap bakteri E. coli.
Pada kedalaman 15 m terhadap bakteri E. coli (F1xF2), bidang perpotongan sumbu 1 positif dengan sumbu 2 positif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 7 SPR dan 4 UPR dengan spesies spons bioaktif Adocia sp (p3). Spesies ini mampu hidup pada toleransi salinitas dan kekeruhan yang rendah dengan diameter zona hambat berkisar anta ra 0,56-4,79 mm sedangkan kelimpahannya rendah. Pada bidang perpotongan sumbu 1 positif dengan sumbu 2 negatif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 2 UPP dan 6 BPR dengan spesies spons bioaktif Liosina sp (p18). Pada bidang perpotongan sumbu 1 negatif dengan sumbu 2 positif tidak ada asosiasi yang erat antara stasiun 5 TPR dengan spesies spons bioaktif manapun, hal yang sama juga terjadi pada stasiun 3 BPP (Gambar 43). Pada sumbu (F1xF3) bidang perpotongan sumbu 1 positif dengan sumbu 3 positif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 2 UPP dan 6 BPR dengan spesies spons bioaktif Callyspongia aerizusa (p5), Acantella cavernosa (p2), Clathria vulpina (p10) dan Paratetilla bacca (p22). Keempat spesies spons ini mampu hidup pada toleransi pH dan kecepatan arus yang rendah dengan diameter zona hambat antara 0,78-2,04 mm sedangkan kelimpahannya rendah. Pada bidang perpotongan sumbu 1 positif dengan sumbu 3 negatif, terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 7 SPR dengan spesies spons bioaktif Petrosia sp (p23).
83
1.2 p20 1.0 0.8
F1 : 44.41 %
0.6 0.4
4
p8 p11
3
7 0.2
p28 p1 p25 p16 p30
0.0
p3 p5 p10 p22 p2 5
-0.2
26
-0.4
p23
p18
-0.6 -0.8 -1.2
-0.8 -1.0
-0.4 -0.6
0.0 -0.2
0.4 0.2
0.8 0.6
1.0
Spesies spons bioaktif Stasiun
1.0
Spesies spons bioaktif Stasiun
F2 : 28.58 %
0.6 0.5
p18
p25 0.4
4
0.3
F1 : 44.41 %
0.2 0.1
p28 p15 p11 p8
3
26
p10 p22 p5 p2
0.0
p3
-0.1 p16 p30
-0.2
p20
-0.3
p23 7
-0.4 -0.5 -1.2
-0.8 -1.0
-0.4 -0.6
0.0 -0.2
0.4 0.2
0.8 0.6
F3 : 15.67 %
Gambar 43 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons bioaktif kedalaman 15m terhadap bakteri E. coli pada sumbu (F1xF2) dan (F1xF3).
84
Pada bidang perpotongan sumbu 1 negatif dengan sumbu 3 positif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 5 TPR dengan spesies spons bioaktif Cynacira cilindrica (p11), Clathria rendrawti (p8) dan Xestospongia sp1 (p28) sedangkan stasiun 3 BPP tidak diasosiasikan oleh spesies spons bioaktif manapun. Ketiga spesies spons tersebut mampu beradaptasi terhadap N-NO 3 dan P -PO4 yang tinggi sehingga diameter zona hambat berkisar antara 1-1,1 mm. Kelimpahan Cynacira cilindrica (p11) rendah, Clathria rendrawti (p8) tinggi dan Xestospongia sp1 (p28) sedang. Hasil pengelompokkan dengan klasifikasi h ierarki tercantum dalam Gambar 44. Keenam stasiun penelitian mengelompok kedalam empat kelompok. Kelompok I adalah stasiun 3 BPP yang mengelompok sendiri, demikian pula hal yang sama terjadi pada kelompok II yaitu stasiun 4 UPR dan kelompok III yaitu stasiun 7 SPR. Kelompok IV adalah stasiun 6 BPR, 5 TPR dan 2 UPP.
260 Klp I 240 Klp II
Jarak khi-kuadrat
220
Klp III
200
180
160 Klp IV 140
120 St 3
St 4
St 7
St 6
St 5
St 2
Stasiun Gambar 44 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumah spesies spons bioaktif pada kedalaman 15 m terhadap bakteri E. coli.
Pada kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus sumbu (F1xF2) dan (F1xF3) tidak terdapat asosiasi yang erat untuk semua stasiun dengan spesies spons bioaktif pada semua bidang perpotongan. Hal yang sama juga terjadi pada kedalaman 15 m terhadap bakteri S. aureus untuk sumbu (F1xF2). Akan tetapi
85
pada sumbu (F1xF3) terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 2 UPP dan 6 BPR dengan spesies spons bioaktif Liosina sp (p18), Acantella cavernosa (p2), Adocia sp (p3) dan Clathria vulpina (p10) pada sumbu 1 positif dengan 3 negatif (Gambar 45) . Keempat spesies spons ini mampu hidup pada toleransi pH dan kecepatan arus yang rendah dengan diameter zona hambat antara 0,11-5,06 mm sedangkan kelimpahannya rendah untuk semua stasiun kecuali stasiun 6 BPR dimana kelimpahan spesies Adocia sp (p3) tinggi. Pada bidang perpotongan sumbu 1 positif dengan sumbu 3 negatif terdapat asosiasi yang erat antara stasiun 4 UPR dengan spesies spons bioaktif Neopetrosia sp (p20) sedangkan pada bidang perpotongan antara sumbu 1 negatif dengan sumbu 3 positif tidak ada asosiasi yang erat antara stasiun 5 TPR dan 3 BPP dengan (sumbu 1 positif dengan sumbu 3 negatif), stasiun 1 UPL (sumbu 1 negatif dengan spesies spons bioaktif manapun (Gambar 44 dan Gambar 45). Hasil pengelompokkan dengan klasifikasi h ierarki pada kedalaman 7 m tercantum dalam Gambar 46 sedangkan pada kedalaman 15 m dalam Gambar 47. Pada kedalaman 7 m, ketujuh stasiun penelitian mengelompok kedalam empat kelompok. Kelompok I adalah stasiun 1 UPL yang mengelompok sendiri. Kelompok II yaitu stasiun 5 TPR dan 4 UPR, kelompok III stasiun 2 UPP dan 3 BPP dan kelompok IV adalah stasiun 7 SPR dan 6 BPR. Pada kedalaman 15 m. Keenam stasiun mengelompok kedalam tiga kelompok. Kelompok I adalah stasiun 3 BPP, kelompok II adalah stasiun 4 UPR, 5 TPR dan 6 BPR sedangkan kelompok III adalah stasiun 2 UPP dan 7 SPR.
86
0.7 0.6
p16
0.5 1 0.4 p20 F1 : 33.30 %
0.3 0.2 5 4
0.1
p30 p9 p11 2p25 3
p10 p22
0.0 p5
-0.1
7
-0.2
p23 p28 p8
-0.3
6
-0.4 -0.5 -0.8
-0.6 -0.7
-0.4 -0.5
-0.2 -0.3
0.0 -0.1
0.2 0.1
0.4 0.3
0.5
Spesies spons bioaktif Stasiun
0.5
Spesies spons bioaktif Stasiun
F2 : 29.60 %
0.4 3 2
0.3
p16
0.2
p5 p20
0.1
p10 p22
0.0 F1 : 33.30 %
p8 p28 p23
p30 p11 p25 5 4
7
-0.1
6 1
-0.2 -0.3 -0.4 -0.5 -0.6
p9
-0.7 -0.8 -0.8
-0.6 -0.7
-0.4 -0.5
-0.2 -0.3
0.0 -0.1
0.2 0.1
0.4 0.3
F3 : 23.45 %
Gambar 45 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons bioaktif kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus pada sumbu (F1xF2) dan (F1xF3).
87
0.6 p20 0.4 6 5 0.2
p10 p3 p2 p18
F1 : 55.37 %
p28 p16 p30 p22 p1 p6 p9
0.0
7 4 p5
3
2
-0.2 p11 -0.4
-0.6
-0.8 -1.0
p23
-0.8 -0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Spesies spons bioaktif Stasiun
0.8
Spesies spons bioaktif Stasiun
24.22 %
0.4 p5
0.3 p28 p16 2
0.2
6 F1 : 55.37 %
0.1 7
p23 p10 p3 p18 p2
0.0 3
p30 p22 p1 p6 p9
-0.1
5 4
-0.2
p11 p20
-0.3
-0.4 -1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
F3 : 11.70 %
Gambar 46 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah spesies spons bioaktif kedalaman 15 m terhadap bakteri S. aureus pada sumbu (F1xF2) dan (F1xF3).
88
200 Klp I
Klp II
Jarak khi-kuadrat
150
Klp III
Klp IV 100
50
0 St 5
St 4
St 7
St 6
St 3
St 2
St 1
Stasiun Gambar 47 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumlah spesies spons bioaktif pada kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus.
240
220 Klp I
Jarak khi-kuadrat
200
180
160 Klp II 140
120 Klp III 100
80 St 3
St 4
St 6
St 5
St 7
St 2
Stasiun Gambar 48 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumlah spesies spons bioaktif pada kedalaman 15 m terhadap bakteri S. aureus.
89
Dari 30 jenis spons Demospongiae yang ditemukan di Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka untuk semua stasiunnya), terdapat 17 jenis spons yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri terhadap bakteri E. coli dan S. aureus (Lampiran 5dan 6). Bedasarkan Gambar 49 dan Gambar 50, jumlah jenis dan Genera spons Demospongiae yang mengandung
senyawa
bioaktif
antibakteri
semakin
meningkat
dengan
bertambahnya kedalaman terhadap bakteri E. coli dan S. aureus terutama di stasiun 3 BPP dan stasiun 7 SPR. Hasil ini memperkuat simpulan De Voogd (2005) yang menyatakan, bahwa kekayaan jenis (Gambar 5) dan kelimpahan (Gambar 6) spons yang mengandung senyawa bioaktif akan meningkat dengan meningkatnya kedalaman serta akan mencapai maksimum pada kedalaman antara
Senyawa bioaktif antibakteri
10-15 m. 8 7 6 5
7m
4 3 2 1 0
15 m
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
Senyawa bioaktif antibakteri
Gambar 49 Jumlah jenis dan Genera spons Demospongiae yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri terhadap bakteri E. coli pada stasiun pengamatan.
7 6 5 4
7m
3
15 m
2 1 0 St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
Gambar 50 Jumlah jenis dan Genera spons Demospongiae yang memiliki aktivitas senyawa bioaktif antibakteri terhadap bakteri S. aureus pada stasiun pengamatan.
90
De Voogd (2005), juga menambahkan kelimpahan dan kekayaan jenis spons bioaktif lemah akan meningkat dengan meningkatnya kedalaman jika dibandingkan dengan bioaktif kuat. Hal ini disebabkan oleh turbulensi dan radiasi ultraviolet di air yang dangkal (Wilkinson dan Cheshire 1998; Wilkinson dan Evans 1989; Alvares et al. 1990, diacu dalam De Voogd 2005). Penyebab lainnya adalah spesies bioaktif lemah akan terhenti atau sedikit bila bersaing dengan organisme fotosintetik yang berada di perairan dangkal dibandingkan pada kedalaman yang lebih dalam. Relatif munculnya sebagian kecil spesies spons bioaktif lemah di daerah yang dangkal juga dipengaruhi oleh fluktuasi suhu, salinitas serta tingginya tingkat pemukiman penduduk. Hal ini akan menyebabkan pertumbuhan dan distribusi spons terganggu sehingga ketiga faktor utama tersebut harus berada dalam kisaran pertumbuhan spons (Lampiran 2). Hasil ini berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian ini, dimana spons yang memiliki senyawa bioaktif yang kuat jumlah jenis dan Generanya akan semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Terutama di stasiun 3 BPP dengan stasiun 7 SPR. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh sensitifitas bioindikator yang dipakai, dimana studi penelitian yang dilakukan oleh De Voogd (2005), menggunakan larva Artemia salina nauplii. Artemia salina nauplii merupakan organisme yang sangat sensitif terhadap pengaruh ekstrak spons. Setelah Artemia salina nauplii, tingkatan kedua disusul oleh jamur Filamentous, kemudian yeast dan terakhir adalah bakteri. Berdasarkan penyataan tersebut dapat dikatakan bahwa bakteri merupakan urutan terakhir sensitifitas bioindikator terhadap pengaruh ekstrak spons. Berdasarkan Tabel 7, dapat dikatakan bahwa kelimpahan (ind/m2) tertinggi berada di stasiun 7 SPR dengan jenis spons yang melimpah terhadap stasiun lainnya adalah Aaptos cf subertoides (p1), Chelonaplysilla sp (p7), Cinachyra cylindrical (p11), Higginsia massalis (p14), Hippospongia amata (p15), Ircinia sp (p17) dan Paratetilla bacca (p22). Salah satu spesies yang melimpah tersebut yaitu Aaptos cf subertoides (p1) merupakan spesies yang sama ditemui oleh De Voogd (2005) yang menyatakan bahwa spesies Aaptos cf subertoides merupakan spesies yang melimpah dan dapat dikultur sesuai dengan kelimpahannya.
91
92
Jenis spons yang memiliki senyawa bioaktif antibakteri tertinggi baik antar spons yang aktif maupun terhadap ampicillinnya adalah Hyrtois erecta (p16, 3,86 mm) dan Liosina sp (p18, 6,84 mm) terhadap bakteri E. coli. Tingginya kelimpahan dan senyawa bioaktif di stasiun 7 SPR juga didukung oleh parameter salinitas yang rendah (31 o/oo) dan masih dalam kisaran salinitas bagi pertumbuhan spons (28-36 o/ oo). Tingginya kelimpahan spons di stasiun 7 SPR berhubungan erat dengan pemanfaatan nutrien secara efesien dan didukung oleh nilai DO antara 7,2-8,1 mg/l, dengan stasiun 7 SPR sebagai stasiun pengamatan dengan konsentrasi DO yang relatif tinggi. Relatif tingginya nilai DO mempengaruhi proses fotosintesis yang berlangsung dengan baik. Hasil fotosintesis yang berupa bahan organik selanjutnya dimanfaatkan oleh spons dalam penyusunan komposisi kimia tubuhnya, terutama dalam pembentukan protein, karbohidrat dan lemak pada fase pertumbuhan. Pertumbuhan spons didukung pula oleh ketersediaan TOM yang cukup tinggi (Lampiran 2) serta rendahnya beberapa parameter yang lain seperti suhu, salinitas dan kekeruhan, karena ketiga parameter tersebut merupakan parameter yang mempengaruhi pertumbuhan spons. Gerrodette dan Flechsig (1979), diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan spons adalah suhu, salinitas, kedalaman serta kekeruhan dan sedimentasi. Sementara Wilkinson (1987) , diacu dalam De Voogd (2005) menyatakan, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan spons adalah nitrat, fosfat dan bahan organik terlarut. Kelimpahan spons yang sedang berada distasiun 4 UPR dan 5 TP R dimana jenis spons yang melimpah adalah Callyspongia sp (p6) di stasiun 4 UPR yang dicirikan oleh kekeruhan yang rendah dan spesies Acanthella cavernosa (p2), Clathria reinwardti (p8), Rhabdastrella globastellata (p25) di stasiun 5 TPR yang dicirikan ole h N-NO 3 dan P-PO 4 yang tinggi. Kekeruhan sangat mempengaruhi distribusi dan pertumbuhan spons. Pada umumnya spons tidak dapat hidup didaerah dengan tingkat gangguan yang sangat tinggi, seperti sedimentasi yang tinggi misalnya, karena akan menyumbat pori dan kecepatan pemompaan akan menurun secara cepat (Gerrodette dan Flechsig 1979, diacu dalam De Voogd 2005). Spesies-spesies yang mampu beradatasi terhadap sedimentasi yang tinggi adalah Clathria rendwardti, Echinodyctium flabelliformis dan Paratetilla bacca
93
dimana khusus untuk spesies Paratetilla bacca memiliki adaptasi yang terbatas terhadap lingkungan. Meskipun beberapa spesies tersebut dapat bergabung dengan kumpulan pasir dalam jaringannya, maka hal ini bukan merupakan metode yang khusus untuk menghalangi penyumbatan didaerah yang bersedimentasi tinggi. Disamping itu, spesies -spesies sebelumnya diatas tidak hanya bebas dari material asing di kerangkanya, tetapi juga mampu melindungi dirinya dari sedimen secara baik. Spesies spons bioaktif yang berada di kedua stasiun tersebut adalah Xestospongia sp1 (p28, 5,19 mm) terhadap E. coli dan Xestospongia sp1 (p28, 6,22 mm), Acanthella cavernosa (p2, 6,36 mm) terhadap S. aureus serta Hyrtois erecta (p16, 3,77 mm) terhadap E. coli di stasiun 4 UPR dan spesies Adocia sp (p3, 4,79 mm ) di stasiun 5 TPR terhadap E. coli. Kelimpahan di stasiun 5 TPR sedikit lebih rendah (relatif sedang), disebabkan oleh kandungan N-NO3 dan PPO4. N-NO3 dan P-PO 4 merupakan senyawa yang penting dalam sintesis protein hewani dan tumbuhan. Kandungan nutrien yang berupa nitrat dan fosfat secara bersama -sama dibutuhkan oleh mikroba simbiotik spons untuk pertumbuhan dan multiplikasinya. Mikroba simbiotik pada spons terdiri dari bakteri heterotropik, cyanobakteri dan alga uniseluler. Menurut Wilkinson et al. (1980) mikroba simbiotik pada jaringan spons dapat mencapai 60 % dari volumenya. Konsentrasi N-NO 3 dan P -PO4 yang terlalu tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan tumbuhan air (ganggang) dalam jumlah banyak, bila didukung oleh nutrien yang lainnya sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan spons secara tidak langsung. Kelimpahan yang sangat rendah ditemui di stasiun 1 UPL, sehingga tidak ditemui spons-spons yang melimpah dan spons yang mengandung senyawa bioaktif tertinggi baik antar spons yang aktif maupun terhadap ampicillinnya. Akan tetapi spesies yang aktif ditemui berjumlah tiga spesies terhadap E. coli dan dua spesies terhadap S. aureus (Lampiran 5 dan Lampiran 6). Rendahnya kelimpahan dan senyawa bioaktif di stasiun tersebut disebabkan oleh kandungan TOM dan silikat yang rendah. Kedua parameter ini sangat dibutuhkan oleh spons. Silikat dalam kolom air sangat dibutuhkan oleh spons dari kelas Demospongiae untuk mensintesa dan membentuk endoskeletonnya atau spikulanya yang sebagia n besar tersusun dari senyawa silikat. Menurut Romihmohtarto dan Juwana (1999), kapur karbonat dan senyawa silikat diekstrak oleh scleroblast spons untuk
94
membentuk spikulanya, sedangkan TOM sangat dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Hasil
fotosintesis
ya ng
berupa
bahan
organik
selanjutnya
dimanfaatkan oleh spons dalam penyusunan komposisi kimia tubuhnya, terutama dalam pembentukan protein, karbohidrat dan lemak pada fase pertumbuhan. Berdasarkan Tabel 7 dan pernyataan diatas, berbeda dengan simpulan yang dikatakan oleh Haris (2004), dimana semakin kotor kelimpahan dan senyawa bioaktif akan semakin tinggi sedangkan bila jauh dari daratan utama maka kelimpahan dan senyawa bioaktif akan semakin rendah. Perbedaan ini lebih dipengaruhi oleh karakteristik substrat masing-masing stasiun pengamatan selama penelitian dan bukan berdasarkan kedekatan stasiun pengamatan tersebut terhadap daratan Jakarta. Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons terhadap bakteri S. aureus dan E. coli juga berbeda (Tabel 7, Lampiran 5 dan Lampiran 6). Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstraks spons terhadap bakteri S. aureus relatif lebih besar daripada terhadap bakteri E. coli. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dari karakteristik bakteri yang digunakan daripada terhadap pengaruh letak atau lokasi. Bakteri S. aureus merupakan bakteri gram positif, sedangkan E. coli merupakan bakteri gram negatif. Menurut Pelczar dan Chan (1993) perbedaan relatif kedua kategori bakteri tersebut adalah: (1) struktur dinding sel bakteri gram positif tebal dan berlapis tunggal, sedangkan bakteri gram negatif relatif tipis dan berlapis tiga; (2) komposisi dinding sel bakteri gram positif kandungan lipidnya rendah (1-4 %), peptidoglikan ada sebagai lapisan tunggal, sedangkan bakteri gram negatif kandungan lipidnya tinggi (11-22 %), peptiglogikan ada didalam lapisan kaku sebelah dalam. Struktur dinding sel bakteri S. aureus yang berlapis tunggal dan relatif sederhana akan memudahkan masuknya zat-zat yang dapat merusak sel bakteri, sedangkan bakteri E. coli struktur dinding selnya berlapis tiga, yang terdiri dari lipopolisakarida, peptiglogikan dan protein. Lipopolisakarida ini mengandung antigen O dan endotoksin yang dapat melindungi sel dari perubahan lingkungan. Ada nya lapisan ini juga menyebabkan dinding sel tidak mudah dipisahkan dari sel bakteri oleh enzim pengurai. Selain itu, E. coli adalah bakteri gram negatif yang tahan hidup dalam media yang kekurangan gizi.
95
Bila dihubungkan terhadap aktivitas senyawa bioaktif antibakteri, maka spesies spons yang memiliki senyawa bioaktif tertinggi baik antar spesies spons yang aktif maupun terhadap ampicillin dengan kelimpahan (ind/m2) distasiun 7 SPR relatif tinggi adalah spesies Liosina sp (p18) dengan diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri 6,84 mm aktif terhadap E. coli dan spesies Acantella cavernosa dengan diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri 6,36 mm di stasiun 4 TPR dengan kelimpahan relatif sedang. Bila diamati aktivitas senyawa bioaktif ekstrak spons dibandingkan dengan aktivitas senyawa bioaktif ampicillin terhadap bakteri uji, maka kedua spons Demospongiae tersebut menunjukkan aktivitas senyawa bioaktif yang menjanjikan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan •
Kualitas perairan berdasarkan klasifikasi hierarki adalah stasiun 3 BPP dengan kecepatan arus, TSS dan silikat tinggi, stasiun 5 TPR dengan NNO 3 dan P-PO4 yang tinggi dan stasiun 1UPL, 2 UPP, 4 UPR, 6 BPR dan 7 SPR dengan ciri parameter fisika-kimia perairan relatif rendah.
•
Perairan Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka untuk semua stasiunnya) mempunyai 30 jenis dengan 9 Ordo, dimana Ordo yang paling dominan adalah Haplosclerida sedangkan jenis yang dominan adalah Petrosia sp, Xestospongia sp1 dan Xestospongia sp2
•
Spesies spons Demospongiae dengan kelimpahan (ind/m2 ) yang relatif tinggi dan memiliki senyawa bioaktif antibakteri tertinggi baik antar spesies spons yang aktif maupun terhadap ampicillin nya adalah Liosina sp (6,84 mm) di stasiun 7 SPPra terhadap bakteri E. coli, sedangkan terhadap S. aureus adalah Acantella cavernosa (6,36 mm) di stasiun 4 TPR dengan kelimpahan yang relatif sedang.
•
Distribusi dan kelimpahan spons sangat dipengaruhi oleh, suhu, salinitas, NO 3, P-PO 4, silikat dan kekeruhan.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan, isolasi senyawa dari jenis-jenis spons Demospongiae dengan metode kromatografi kolom dan kromatografi cair kinerja tinggi untuk mendapatkan substansi kimia yang bersifat aktif (antibakteri, sitotoksid, antimikroba).
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts G, Santika SS. 1984. Metode Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional. Amir I. 1991. Fauna Sepon (Porifera) dari Terumbu Karang Genteng Besar, Pulau-Pulau Seribu. Oseana , 24:41 – 54. ______. 1992. A Comparison of Songe Fauna of Exposed and Sheltered Hard Substratums in eastern Indonesia, 28: 1-12. ______, Budiyanto A. 1996. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum. Oseana 21, 2:15 – 31. Anjas A. 2005. Hubungan Struktur Komunitas Plankton dengan Kualitas Perairan di Kepulauan Seribu DKI Jakarta [skripsi]. Bogor:Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Azad SH. 1976. Industrial Waste Water Management Handbook . New York: Mc Graw-Hill Inc. BAKOSURTANAL. 1999. Peta Kepulauan Seribu [peta lingkungan pantai indonesia ]. Lembar 1210-01 dan 02. Berwarna, skala 1:50.000. Bengen DG. 2000. Sinopsis Tehnik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bergquist PR. 1968. The Marine Fauna of New Zealand: Porifera, Demospongiae, Part 1 (Tetractinomorpha and Lithistida). New Zealand Department of Scientific and Industrial Research. New Zealand Oceanographic Institute Memoirs, 37: 9 – 104. ___________. 1978. Sponges. London: Hutchinson. Boli P. 1994. Respon Pertumbuhan Karang Batu Pada Kondisi Lingkungan Perairan Yang Berbeda di Kepulauan Seribu [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Boyd CE. 1982. Water Quality in Warm Water Fish Ponds. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama: Auburn. Brusca RC, Brusca GJ. 1990. Invertebrates. Massachusetts Sunderland: Sinauer Associates Publishers Inc. hlm 181 – 207.
Center WL, Hill LG. 1979. Handbook of Variables for Environmental Impact Assesment. United State of America: Arbor science Publisher Inc. Chester R. 1990. Marine Geochemistry. London: Academic Division of Unwin Hyman. Dawson EW. 1993. The Marine Fauna of New Zealand: Index to the Fauna 2. Porifera. National Institute of Water and Atmospheric Research. New Zealand Oceanographic Institute Memoirs, 100. 1 – 98. De Voo gd NJ. 2005. Indonesian Sponges: Biodiversity and Mariculture Potential. Geboren te Dodrecht. Edi R. 2006. Rekrutmen Karang (Skleraktinia) di Ekosistem Terumbu Karang Kepulauan Seribu DKI Jakarta [disertasi]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Effendi H. 2000. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Pesisir. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey manual for tropical marine resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Fardiaz S. 1992. Biological Activity of T he Essential Oil of Piper Betle L. Oil Research 4, 6: 601-606. Haris
A. 2004. Transplantasi Spons Laut Aaptos aaptos Schmidt (Porifera:Demospongiae: Pertumbuhan, Sintasan. Perkembangan Gamet dan Bioaktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar dan Fraksinya [disertasi]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Harrison FW, De Vos L. 1991. Porifera. Di dalam: Harrison FW, Westfall JA (ed.). Microscopic Anatomy of Invertebrates. Volume 2. Placozoa, Porifera, Cnidaria, and Ctenophora. Wiley-Liss. New York: John Wiley & Sons Inc Publication. hlm 28 – 89. Haywood M, Wells S. 1989. The Manual of Marine Invertebrates. New York: Published by Salamander Books Limited. hlm 10 – 13. Hooper NA. 2000. ‘Sponguide’: Guide to Sponge Collection and Indentification. http://www.qmuseum.qld.gov.au/organisation/sections/SessileMarineInver tebrates/spong.pdf. [5 Juni 2006]. ______ JNA, Van Soest RWM. 2004. Systema Porifera. A Guide to the Classification of Sponges. New York: Kluwer Academic/Plenum Publisher. 68: 19-38.
Ilan M, Loya Y. 1988. Reproduction and Settlement of The Coral Reef Sponge Niphates sp (Red Sea). Proceedings of the 6th International Coral Reef Symposium, Australia, 2:745-749. Janssen, APHM. 2001. The Prence of Sponge-Dwelling Endofauna in Reation to Sponge Productivity. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51. 2004. Tentang baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Jakarta. Ketchum HB. 1967. The Process With Determine The Fale Distribution of The Pollutant Added to the Marine Environment. New York: Johnwilley and Son Pub. Kiswara W. 1995. Kandungan Hara dalam Air Antara dan Air Permukaan padang lamun Pulau Barang Lompo dan Gusung Talang, sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Kelautan Nasional: Pemantapan Keterpaduan dan Pendayagunaan Potensi Sumberdaya, Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi dan Kelembagaan Kelautan Nasional Menuju Kemandirian. Jakarta , 1516 November 1995. Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim. Jakarta. Kobayashi M, Rachmaniar R. 1999. Overview of Marine Natural Product Chemistry. Prosidings Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I ’98. Jakarta 14 – 15 Oktober 1998 : 23 – 32. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta. Kozloff EN. 1990. Invertebrates. Saunders College Publishing. hlm 73 – 92. Legendre L, Legendre P, 1983. Numerical Ecology. Elsevier Science Publ. New York. Lozano MB. Farias FG. Acosto BG. Gasca AG. Zavala JRB. 1998. Variation of Antimicrobial Activity of Sponge Aplysini Fistularis (Pallas, 1766) and Its Relation to Assosiated Fauna. J.Exp.Mar.Biol.Ecol, 233:1-18. Mahida UN. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta: Rajawali. Ma’ruf F. 2003. Suara Pembaharuan [terhubung berkala]. http://www.forek.or.id. [13 Maret 2006]. Masson CF. 1981. Biology of Freshwater Pollution . Longman Scientific and Technical. Singapore:Longman Singapore Publisher Ptc Ltd. Muniarsih T. 2003. Metabolit Sekunder dari Spons Sebagai Bahan Obat-obatan. Oseana, XXVIII:3.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Ed ke-3. Tokyo: Toppan Company Ltd. ________. 1983. Basic Ecology. New York: Saunders Call Publ. Pechenik JA. 1991. Biology of the Invertebrates. Ed ke-2. Wm.C Brown Publisher. hlm 63 – 76. Pelczar MJ, Chan ESC. 1993. Microbiology: Consept and Aplication. New York Mc: Graw-Hill Inc. Rachmaniar R. 1994. Penelitian Produk Alam Laut Skreening Substansi Bioaktif. Laporan Penelit ian Tahun Anggaran 1993/1994. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Puslitbang Oseanologi. ___________ . 1995. Penelitian Produk Alam Laut Skreening Substansi Bioaktif. Laporan Penelitian Tahun Anggaran 1994/1995. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Puslitbang Oseanologi. ___________ . 1996. Penelitian Produk Alam Laut Skreening Substansi Bioaktif. Laporan Penelitian Tahun Anggaran 1995/1996. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Puslitbang Oseanologi. ___________. 1997. Potensi Spons Asal Kepulauan Spermonde Sebagai Antimikroba. Seminar Perikanan Indonesia II. Ujung Pandang. 2 – 3 Desember 1997. ___________, Motomasa Kobayasi, Abdullah Rasyid. 2001. Substansi Antibakteri dari Spons sp Asal Barang Lompo Kepulauan Spermonde, Indonesia. Prosiding Seminar Laut Na sional III. Jakarta 29-31. Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia , Jakarta . 2004. Rigby
JK. Budd GE. Wood RA. Debrenne F. 1993. "Porifera." http://www.ucmp.berkeley.edu/porifera/pororg.htm. [5 Juni 2006].
Riley JP, Skirrow G. 1975. Chemical Oceanography. New York: Academic Press. Romihmohtarto K, Juwana S. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. hlm, 115-128. Ruppert EE, Barnes RD. 1991. Invertebrates Zoology. Sixth Edition. Saunders College Publishing. Philadelphia, New York, Chicago. San Fransisco. Montreal. Toronto. London. Sidney. Tokyo. hlm 68 – 91.
Saeni MS. 1954. Kimia Lingkungan. PAU-IPB. Bogor. Sara M. 1992. Porifera . Di dalam: Adiyodi KG, Adiyodi RG (Ed.). Reproductive Biology of Invertebrates. Volume V. Sexual Differentiation and Behaviour. New York: John Wiley & Sons Chisester. hlm 1 – 29. Soediro IS. 1999. Produk Alam Hayati Bahari dan Prospek Pemanfaatannya di Bidang Kesehatan dan Kosmetika. Prosidings Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I ’98. Jakarta 14 – 15 Oktober 1998: 41 – 52. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia , Jakarta. Supoyo J. 1998. Penentuan Fraksi Aktif Senyawa Antibakteri dari Ekstrak Rimpang Pacing (Costus speciosus, Smith) [skripsi]. Bogor:Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Sutamihardja RTM. 1987. Kualitas dan Pencemaran Lingkungan [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. _________________ . 1992. Pengelolaan Kualitas dan Pencemaran Air. Seminar on Industrial Water Pollution Control and Water Quality Management. 610 Januari 1992 at Hotel Wisata Jakarta. Warren L. 1982. Encyclopedia of Marine Invertebrates. Di dalam: Walls JG (ed.). hlm 15 - 28. Welch EB, Lindell T. 1980. The Ecological Effect of Wastewater. London: cambridge University Press. Wetzel. 1982. Limnology. Second edition. Philadelphia: Sounder College Publisher Oxford. Willshaw GA, Cheasty T, Smith HR. 2000. Eschericia coli. Di dalam: Lund BM, Baird-Parker TC. Gould GW editors. The Microbiological Safety and Quality of Food . Vol. II Aspen Maryland: Publishers Inc. Gaitherburg Wilkinson. CR. 1980. Cyanobacteria Symbiotic in Marine Sponges. Di dalam: Schwemmler (ed.). Endocytobiology: Endosymbiosis and Cell Biology. Walter de Gruyter. Berlin. hlm 553 – 563.
92
LAMPIRAN
93
Lampiran 1 Hasil pengukuran penentuan titik stasiun pengambilan kualitas fisikakimia air dan spons Demospongia e dengan alat “GPS (Global Positioning System)" Stasiun 1 UPL (Utara Pulau Lancang) 2 UPP (Utara Pulau Pari) 3 BPP (Barat Pulau Pari) 4 UPR (Utara Pulau Pramuka) 5 TPR (Timur Pulau Pramuka) 6 BPR (Barat Pulau Pramuka) 7 SPR (Selatan Pulau Pramuka)
Titik stasiun GPS S = 05o 55’ 129. 8” E = 106o 35’ 59. 9” S = 05o 45’ 31. 0” E = 106o 37’ 50.9” S = 05o 45’ 43. 6” E = 106o 37’ 1.2” S = 05o 52’37. 3” E = 106o 37’ 39.3” S = 05o 52’ 36. 8” E = 106o 37’ 31.6” S = 05o 51’ 12. 0” E = 106o 37’ 5.8” S = 05o 45’ 47. 1” E = 106o 37’ 53.7”
Lampiran 2 Nilai karakteristik fisika dan kimia air pada stasiun pengamatan Stasiun No
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 Ket :
Parameter Fisika Suhu Kekeruhan TSS Kecepatan arus Kimia Salinitas pH DO TOM BOD5 COD N-NO3 P-PO4 Silikat a* b* c* d*
P.Lancang 1 a* UPL
2 UPP
o
29 1.45 2 0.039
29.83 9.33 0.29
o
32 8.2 7.8 3.16 3.16 42 0.414 0.068 1.93
34.67 8.02 19.07 3.56 0.070 0.013 0.432
Satuan
C NTU mg/l m/det
/oo mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
P.Pari 3 BPP
4 UPR
P.Pramuka 5 6 TPR BPR
a*
7 SPR
b*
c*
29 0.99 4 0.034
29 10.06 50 0.055
29.67 7.33 0.18
29 0.78 4 0.028
28 10.72 17 0.047
28 0.88 5 0.026
29 0.79 3 0.027
29.83 -
28 - 30 <5 20 -
26-31 -
31 8 7.8 5.69 6,8 28 0.414 0.256 2.49
31 8.1 7.9 8.22 6,2 30 0.347 0.039 3.61
35 8.03 16.68 2.93 0.077 0.008 0.344
33 8.23 8.1 10.74 5.4 22 0.448 0.046 2.25
32 8.15 7.2 10.11 6 14 0.572 0.497 2.41
32 8.23 7.6 5.69 5,7 34 0.482 0.059 2.49
31 8.12 7.5 15.17 5,6 32 0.459 0.039 2.81
32 8.23 8.1 15.4 0.548 22 0.448 0.46 -
33 - 34 7 - 8.5 >5 20 0.008 0.015
28-36 -
d*
= Edi (2006) = Anjas (2005) = Keputusan Menteri KLH No 51 Tahun 2004 untuk biota laut = De Voogd (2005)
104
Lampiran 3 Jenis dan kelimpahan spons Demospongiae yang teramati pada kedalaman 7 m dan 15 m pada stasiun pengamatan
No
Ordo dan Jenis
I
Halichondrida
1 2 3
Acanthella cavernosa Styotella aurantium Higginsia massalis Myrmekioderma granulata Liosina sp Hadromerida Aaptos cf subertoides Haplosclerida Adocia sp Aka sp Niphates calista Callyspongia sp Callyspongia aerizusa Petrosia sp Neopetrosia sp Xestospongia sp1 Xestospongia sp2 Xestospongia testudinaria
4 5 II 6 III 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
1 UPL 7m
2 UPP 7 m 15 m
3 BPP 7 m 15 m
Stasiun 4 UPR 7m 15 m
5 TPR 7 m 15 m
6 BPR 7m 15 m
7 SPR 7 m 15 m
-
-
-
-
1 -
-
-
-
4 -
1 1 -
-
-
1
-
7
-
-
-
-
1
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
41
14
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6
2 11 2
1 1 36 1 -
4 1 52 1 31 10
1 1 5 8 3 14
3 6 4 33 16 21
2 1 45 1 1
4 5 2 2 22 14
2 43 2 27
1 1 32 8 16
3 1 2 30
16 1 2 5 3 18 51
1 1 10 3 39
2 2 20 2 3
-
12
-
-
1
-
1
-
-
-
-
-
-
106
Lampiran 3 (lanjutan). No
Ordo dan Jenis
IV 17 18 V
Dendroceratida Chelonaplysilla sp Euryspongia delicatula Poecilosclerida
19 20 21 VI
1 UPL 7m
2 UPP 7m 15 m
3 BPP 7m 15 m
Stasiun 4 UPR 7m 15 m
5 TPR 7m 15 m
6 BPR 7m 15 m
7 SPR 7m 15 m
-
-
-
1 1
-
-
-
-
-
1 -
-
-
10 -
Clathria sp Clathria reinwardti Clathria vulpina Spirophorida
2 -
-
1 9 2
3 3 1
10 10
1 6 -
1 1 -
2
13 5
-
2 -
6
4 2
22 23 VII
Cinachyra cylindrica Paratetilla bacca Dictyoceratida
-
-
-
1
6 4
-
1
1
1 -
-
3 3
19 -
19 8
24 25 26 VIII
Hippospongia amata Hyrtois erecta Ircinia sp Astrophorida
-
4 -
3 -
1 -
3 -
1 1
4 -
1 -
4 1
-
2
26 -
12 12 10
Darypleres splendens Rhabdastrella globastellata Verongida
1 -
-
17 -
-
-
1 -
-
1 1
2
-
1 -
-
2 -
3 3 3 5 18
1 3 6 7 7 62
3 5 7 9 12 134
5 7 10 13 43
1 6 8 11 14 119
1 4 7 9 11 58
8 5 5 10 13 66
5 7 8 9 80
5 9 10 12 88
3 5 7 7 39
1 6 9 12 14 109
1 6 7 9 10 147
7 10 14 17 130
27 28 IX
29 Pseudoceratina verongita 30 Suberea laboutei Jumlah : Ordo Famili Genera jenis/spesies Total Jenis
106
Lampiran 4 Komposisi jenis spons Demospongiae pada stasiun pengamatan No
Ordo dan Jenis
1 UPL 7m
2 UPP 7m 15 m
3 BPP 7m 15 m
Stasiun 4 UPR 7m 15 m
5 TP R 7m 15 m
6 BPR 7m 15 m
7 SPR 7m 15 m
I
Halichondrida
1
Acanthella cavernosa
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
2
Styllotella aurantum
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
3
Higginsia massalis
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4 5
Myrmekioderma granulata Liosina sp
-
+ -
-
-
-
-
+ -
-
-
-
+ -
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
+
-
+
+
-
+
+
-
+
-
+
II 6 III 7
Hadromerida Aaptos cf subertoides Haplosclerida Adocia sp
8
Aka sp
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
+
-
-
9 10 11 12
Niphates calista Callyspongia sp Callyspongia aerizusa Petrosia sp
+
+ + +
+ +
+ + +
+ +
+ +
-
+ +
+ + +
+ + +
+ + -
+ +
+ +
13
Neopetrosia sp
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
+
-
-
14
Xestospongia sp1
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
15
Xestospongia sp2
+
-
+
+
+
-
+
+
+
+
+
-
+
16
Xestospongia testudinaria
-
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
Ket : + = teramati saat pengambilan contoh, - = tidak teramati saat pengambilan contoh
108
Lampiran 4 (lanjutan). No
Ordo dan Jenis
1 UPL 7m
2 UPP 7m 15 m
3 BPP 7m 15 m
Stasiun 4 UPR 7m 15 m
5 TP R 7m 15 m
6 BPR 7m 15 m
7 SPR 7m 15 m
IV 17
Dendroceratida Chelonaplysilla sp
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
18
Euryspongia dilicatula
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
Poecilosclerida
19
Clathria sp
-
-
-
+
-
+
+
-
-
-
+
-
-
20
Clathria rendrawti
+
-
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
21 VI
Clathria vulpina Spirophorida
-
-
+
+
+
-
-
+
+
-
-
+
+
22 23 VII
Cinachyra cylindrica Paratetilla bacca Dictyoceratida
-
-
-
-
+ +
-
-
+
+ -
+
+ +
+ -
+ +
24 25 26
Hippospongia amata Hyrtios erecta Ircinia sp
-
+ -
+ -
+ -
+ -
+ +
+ -
+ -
+ +
-
-
+ -
+ + +
+ -
-
+ -
+ -
-
-
-
+ +
+
-
+ -
-
+ -
-
-
+
-
-
+
-
-
-
-
+
-
-
30 Suberea laboutei + + Ket : + = teramati saat pengambilan contoh, - = tidak teramati saat pengambilan contoh
+
-
-
-
-
+
-
VIII
Astrophorida
27 28
Dorypleres spledens Rhabdastrella globastellata
IX
Verongida
29
Pseudoceratina verongita
108
Lampiran 5 Diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae terhadap bakteri E. coli pada stasiun pengamatan di kedalaman 7 m dan 15 m, serta diameter rata-rata zona hambat kontrol positif (ampicillin) dan kontrol negatif (metanol)
No
Kode
I 1 II 2 11 III 3 4 5 12 14 16 17 IV 6 7 8
Spesies spons
1 UPL 7m
2 UPP 7 m 15 m
3 BPP 7 m 15 m
Stasiun 4 UPR 7 m 15 m
5 TPR 7 m 15 m
6 BPR 7 m 15 m
7 SPR 7 m 15 m
Hadromerida p1 p2 p18 p3 p5 p6 p20 p23 p28 p30
p8 p9 p10
Aaptos cf subertoides Halichondrida Acanthella cavernosa Liosina sp Haplosclerida Adocia sp Callyspongia aerizusa Callyspongia sp Neopetrosia sp Petrosia sp Xestospongia sp1 Xestospongia testudinaria Poecilosclerida Clathria reinwardti Clathria sp Clathria vulpina
-
-
-
-
-
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.11 0.62
0.99 -
-
-
-
-
-
-
6.84
1.88 2.71 -
1.77 -
0 -
-
0.56 2.04 2.4 0.79 -
5.19 -
0.33 0.33
0.11 -
4.79 0.89 -
0.58 0 -
4.14 -
-
-
1 -
4 -
1 -
1.88 -
0.78
-
-
1.5
-
-
-
-
-
Keterangan : 0 = spesies spons ada tetapi diameter zona hambat = 0 - = tidak ada spesies spons yang ditemukan
202
Lampiran 5 (lanjutan). No
Kode
V 9 13 VI
p11 p22
10 VII 15
Spesies spons Spirophorida Cynachyra cylindrica Paratetilla bacca Dictyoceratida
p16
Hyrtois erecta Astrophorida p25 Rhabdastrella globastellata Jumlah jenis dan Genera
1 UPL 7m
2 UPP 7 m 15 m
3 BPP 7 m 15 m
Stasiun 4 UPR 7 m 15 m
5 TPR 7 m 15 m
6 TPR 7 m 15 m
7 SPR 7 m 15 m
-
-
-
-
0
1.66
-
-
-
-
1.1 -
-
-
-
-
-
-
-
-
3.77
-
-
0.22
-
3.86
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.67
3
2
1
1
7
3
3
2
2
2
2
1
2
Keterangan : 0 = spesies spons ada tetapi diameter zona hambat = 0 - = tidak ada spesies spons yang ditemukan
202
Lampiran 6 Diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae terhadap bakteri S. aureus pada stasiun pengamatan di kedalaman 7 m dan 15 m, serta diameter rata-rata zona hambat kontrol positif (ampicillin) dan kontrol negatif (metanol)
No
Kode
I 1 II 2 11 III 3 4 5 12 14 16 17 IV 6 7 8
Ordo/jenis
1 UPL 7m
2 UPP 7 m 15 m
3 BPP 7 m 15 m
Stasiun 4 UPR 7 m 15 m
5 TPR 7m 15 m
6 BPR 7m 15 m
7 SPR 7 m 15 m
Hadromerida p1 p2 p18 p3 p5 p6 p20 p23 p28 p30 p8 p9 p10
Aaptos cf subertoides Halichondrida Acanthella cavernosa Liosina sp Haplosclerida Adocia sp Callyspongia aerizusa Callyspongia sp Neopetrosia sp Petrosia sp Xestospongia sp1 Xestospongia testudinaria Poecilosclerida Clathria reinwardti Clathria sp Clathria vulpina
-
-
-
-
-
0.97
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4.17 4.32
6.36 -
-
-
-
-
-
-
5.06
5.78 2.9 -
0 -
0.67 -
-
0.11 0 0.44 2.09 -
6.22 -
0 0
0 -
0.69 0.96 -
0 3.33 -
0 -
-
-
0 -
0.44 -
0 -
0 -
0.33
-
-
0
-
-
-
-
-
Keterangan : 0 = spesies spons ada tetapi diameter zona hambat = 0 - = tidak ada spesies spons yang ditemukan
202
Lampiran 6 (lanjutan).
No
Kode
V 9 13 VI
p11 p22
10 VII 15
Spesies spons Spirophorida Cynachyra cylindrica Paratetilla bacca Dictyoceratida
p16
Hyrtois erecta Astrophorida p25 Rhabdastrella globastellata Jumlah jenis dan Genera
1 UPL 7m
2 UPP 7 m 15 m
3 BPP 7 m 15 m
Stasiun 4 UPR 7 m 15 m
5 TPR 7 m 15 m
6 BPR 7 m 15 m
7 SPR 7 m 15 m
-
-
-
-
-
0
-
-
-
-
4.44 -
-
-
-
-
-
-
-
-
0.67
-
-
0.47
-
0.98
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.21
2
1
1
1
6
3
1
-
2
2
1
1
2
Keterangan : 0 = spesies spons ada tetapi diameter zona hambat = 0 - = tidak ada spesies spons yang ditemukan
202
Lampiran 7 Hasil analisis komponen utama karakteristik fisika-kimia perairan pada stasiun pengamatan A Korelasi antar variabel dengan sumbu utama Variabel Suhu Salinitas Kekeruhan TSS pH DO BOD5 TOM COD N-NO3 P-PO4 Kec arus Silikat
F1
F2
0.376613 0.391700 -0.909215 -0.709262 0.389790 0.527376 -0.605814 -0.317401 0.649817 -0.256809 -0.611061 -0.710180 -0.615379
0.694454 -0.437797 0.108184 0.627019 -0.313645 0.607371 0.007611 -0.087151 0.468848 -0.942980 -0.631830 0.396925 0.681058
Faktor koordinat F3 F4 -0.360076 -0.534850 0.280302 0.182360 0.610269 -0.286916 -0.675683 -0.270840 0.391114 0.119201 -0.136731 0.297155 -0.083494
-0.006308 0.545565 0.210918 0.112197 -0.175804 0.238986 -0.124048 -0.817121 -0.016478 -0.166919 0.380910 0.449602 -0.305357
F5
F6
-0.019413 0.260974 0.160555 0.215676 0.578852 0.460813 -0.016966 0.196548 -0.432031 0.033642 -0.173853 0.035987 0.006185
-0.495807 0.055603 -0.113093 0.106934 0.106230 0.034535 0.400884 -0.334647 0.134266 -0.040435 -0.182712 -0.215306 0.239198
B Akar ciri dan representasi ragam pada sumbu utama Nilai angka Akar Ciri 4.267461 1 3.683344 2 1.793342 3 1.594463 4 0.946456 5 0.714934 6
Akar Ciri Matriks Korelasi % Total Ragam Kumulatif Akar Ciri 32.82662 28.33341 13.79494 12.26510 7.28043 5.49950
4.26746 7.95080 9.74415 11.33861 12.28507 13.00000
Kumulatif % 32.8266 61.1600 74.9550 87.2201 94.5005 100.0000
115
Lampiran 7 (lanjutan). C Kualitas representasi dari stasiun pengamatan pada sumbu utama Stasiun Pengamatan 1 2 3 4 5 6 7
F1
F2
0.528597 0.008148 0.291301 0.352805 0.551821 0.148712 0.008649
0.014413 0.000834 0.683056 0.020530 0.409087 0.211736 0.007454
Kualitas Representasi F3 F4 0.264373 0.660143 0.011034 0.140826 0.015582 0.126156 0.010532
0.119331 0.192447 0.002154 0.003222 0.010956 0.030913 0.836506
F5
F6
0.021587 0.132790 0.008943 0.468569 0.000635 0.000487 0.088406
0.051700 0.005638 0.003513 0.014047 0.011918 0.481997 0.048453
D Matriks korelasi antar variabel Suhu Salinitas Kekeruhan TSS pH DO BOD5 TOM COD N-NO3 P-PO4 Kec arus Silikat
Suhu 1.000000 0.000000 -0.316599 0.044742 -0.353553 0.696143 -0.177224 0.084722 0.371413 -0.774048 -0.528115 0.004401 0.154479
Salinitas
Kekeruhan
TSS
pH
DO
BOD5
TOM
COD
N-NO3
P-PO4
Kec arus
Silikat
1.000000 -0.402739 -0.526417 0.024650 0.346688 0.070946 -0.354419 -0.274188 0.163953 0.262672 -0.368176 -0.646230
1.000000 0.810020 -0.173431 -0.373727 0.288018 0.100297 -0.518496 0.139660 0.521998 0.896898 0.519324
1.000000 -0.245356 0.084357 0.336527 0.036011 -0.176259 -0.403181 -0.001999 0.841955 0.840928
1.000000 0.068368 -0.596303 -0.039795 0.112003 0.312927 -0.310468 -0.301053 -0.421760
1.000000 -0.144624 -0.258880 0.316858 -0.768159 -0.662174 -0.102114 0.051209
1.000000 0.338498 -0.591169 0.071785 0.340219 0.089780 0.568069
1.000000 -0.469424 0.287946 0.001772 -0.177917 0.329263
1.000000 -0.579585 -0.702486 -0.211033 -0.078750
1.000000 0.674388 -0.221621 -0.452636
1.000000 0.346884 -0.203956
1.000000 0.493981
1.000000
115
Lampiran 7 (lanjutan). E. Kontribusi antar variabel pada sumbu utama Suhu Salinitas Kekeruhan TSS pH DO BOD5 TOM COD N-NO3 P-PO4 Kec arus Silikat
F1
F2
F3
F4
F5
F6
0.033237 0.035953 0.193715 0.117881 0.035603 0.065173 0.086002 0.023607 0.098949 0.015454 0.087498 0.118186 0.088739
0.130932 0.052036 0.003177 0.106738 0.026708 0.100153 0.000016 0.002062 0.059679 0.241414 0.108382 0.042773 0.125929
0.072298 0.159515 0.043812 0.018544 0.207673 0.045903 0.254579 0.040904 0.085299 0.007923 0.010425 0.049238 0.003887
0.000025 0.186672 0.027901 0.007895 0.019384 0.035820 0.009651 0.418753 0.000170 0.017474 0.090998 0.126777 0.058479
0.000398 0.071960 0.027236 0.049148 0.354026 0.224362 0.000304 0.040817 0.197210 0.001196 0.031935 0.001368 0.000040
0.343842 0.004324 0.017890 0.015994 0.015784 0.001668 0.224787 0.156642 0.025216 0.002287 0.046695 0.064841 0.080029
115
Lampiran 8 Analisis faktorial koresponden kelimpahan spesies spons Demospongiae pada kedalaman 7 m pada stasiun pengamatan A. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap spesies spons Demospongiae pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kode p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10 p11 p12 p13 p14 p15 p16 p17 p18 p19 p20 p21 p22 p23 p24 p25 p26 p27 p28 p29 p30
Spesies spons Koordinat F1 Aaptos cf subertoides 0.008233 Acanthella cavernosa 0.154958 Adocia sp -0.420359 Aka sp 0.008233 Callyspongia aerizusa 0.008233 Callyspongia sp 0.261349 Chelonaplysilla sp 0.278109 Clathria reinwardti -0.415293 Clathria sp -0.224782 Clathria vulpina 0.097820 Cynachyra cylindrica 0.131018 Darypleres splendens -0.807942 Euryspongia delicatula 0.086923 Higginsia massalis 0.008233 Hippospongia amata 0.008233 Hyrtois erecta -0.202071 Ircinia sp -0.264278 Liosina sp 0.095021 Myrmekioderma granulata 0.164293 Neopetrosia sp 0.080581 Niphates calista 1.090263 Paratetilla bacca -0.096133 Petrosia sp 0.489944 Pseudoceratina verongita -0.264278 Rhabdastrella globastellata -0.157630 Styotella aurantium 0.154958 Suberea laboutei 0.393551 Xetospongia sp1 -0.682532 Xetospongia sp2 -0.657810 Xetospongia testudinaria 0.154796
Koordinat F2 0.06435 0.40410 0.50554 0.06435 0.06435 -0.83745 0.28210 -0.08721 -0.18058 -0.30015 -0.02458 0.16230 -0.09352 0.06435 0.06435 -0.98948 0.01367 0.00149 -0.06212 -0.08079 -0.06551 -0.10536 0.38293 0.01367 0.08047 0.40410 -0.23202 -1.64986 0.33415 -0.05442
Koordinat F3 -0.069381 -0.048911 -0.212476 -0.069381 -0.069381 0.022497 0.428927 0.440747 0.337955 0.290397 -0.136276 -0.238204 0.326363 -0.069381 -0.069381 -0.063788 -0.115639 -0.116664 -0.273244 0.294465 0.154432 0.318369 0.434358 -0.115639 -0.141255 -0.048911 -0.432165 -0.201129 0.532494 -0.260839
Kualitas 0.718040 0.975918 0.663540 0.718040 0.718040 0.697124 0.928665 0.611454 0.641917 0.300984 0.308339 0.941859 0.923069 0.718040 0.718040 0.733316 0.521961 0.346243 0.635459 0.916518 0.981343 0.349429 0.664782 0.521961 0.282876 0.975918 0.934492 0.922333 0.826614 0.637678
Kosinus 2 F1 0.005395 0.123533 0.245587 0.005395 0.005395 0.061829 0.210698 0.281719 0.164348 0.015653 0.145644 0.835516 0.056788 0.005395 0.005395 0.029243 0.437102 0.138073 0.162561 0.059673 0.958649 0.026534 0.277358 0.437102 0.137077 0.123533 0.365973 0.133093 0.432032 0.160908
Kosinus 2 F2 0.329564 0.840077 0.355206 0.329564 0.329564 0.634836 0.216783 0.012422 0.106071 0.147378 0.005127 0.033717 0.065732 0.329564 0.329564 0.701160 0.001170 0.000034 0.023241 0.059988 0.003461 0.031874 0.169430 0.001170 0.035721 0.840077 0.127207 0.777683 0.111479 0.019891
Kosinus 2 F3 0.383081 0.012307 0.062746 0.383081 0.383081 0.000458 0.501184 0.317313 0.371498 0.137953 0.157569 0.072626 0.800549 0.383081 0.383081 0.002914 0.083689 0.208136 0.449657 0.796857 0.019234 0.291020 0.217994 0.083689 0.110078 0.012307 0.441312 0.011557 0.283103 0.456879
117
Lampiran 8 (lanjutan). B. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap stasiun pengamatan pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7
Stasiun 1 UPL 2 UPP 3 BPP 4 UPR 5 TPR 6 BPR 7 SPR
Koordinat F1 0.197073 -0.297310 -0.138252 0.489603 0.298944 -0.259881 -0.273203
Koordinat F2 -0.158649 0.259245 0.298172 0.108457 -0.009757 -0.582533 0.216410
Koordinat F3 -0.023138 0.293505 -0.575694 0.049242 0.085460 -0.045103 0.102602
Kualitas 0.374069 0.851015 0.985891 0.667208 0.344032 0.958005 0.627696
Kosinus 2 F1 0.225091 0.311169 0.042881 0.629925 0.317728 0.158227 0.354932
Kosinus 2 F2 0.145875 0.236591 0.199462 0.030911 0.000338 0.795012 0.222705
Kosinus 2 F3 0.003103 0.303256 0.743547 0.006372 0.025966 0.004766 0.050059
C. Akar ciri dan representasi ragam pada sumbu utama. Nilai angka 1 2 3 4 5 6
Akar Ciri 0.086742 0.085016 0.054256 0.039728 0.026005 0.016059
Akar Ciri Matriks Korelasi % Total Ragam Kumulatif Akar Ciri 28.18075 28.1808 27.61995 55.8007 17.62654 73.4272 12.90692 86.3342 8.44860 94.7828 5.21724 100.0000
Kumulatif % 1326.979 1300.572 830.001 607.763 397.829 245.670
117
Lampiran 9 Analisis faktorial koresponden kelimpahan spesies spons Demospongiae pada kedalaman 15 m pada stasiun pengamatan A. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap spesies spons Demospongiae pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kode p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10 p11 p12 p13 p14 p15 p16 p17 p18 p19 p20 p21 p22 p23 p24 p25 p26 p27 p28 p29 p30
Spesies spons Koordinat F1 Aaptos cf subertoides -0.19039 Acanthella cavernosa -0.34707 Adocia sp 0.40294 Aka sp 0.27176 Callyspongia aerizusa 0.36252 Callyspongia sp 0.95799 Chelonaplysilla sp -0.17947 Clathria reinwardti -1.12921 Clathria sp 0.92008 Clathria vulpina -0.98253 Cynachyra cylindrica -0.30115 Darypleres splendens 0.31795 Euryspongia delicatula 0.03000 Higginsia massalis -0.20428 Hippospongia amata -0.17408 Hyrtois erecta -1.24781 Ircinia sp 0.00433 Liosina sp -0.16872 Myrmekioderma granulata 0.60852 Neopetrosia sp 0.90672 Niphates calista -0.84547 Paratetilla bacca 0.22351 Petrosia sp -0.49443 Pseudoceratina verongita 0.55939 Rhabdastrella globastellata -0.11668 Styotella aurantium 0.03000 Suberea laboutei -0.03587 Xetospongia sp1 -0.33757 Xetospongia sp2 -0.57521 Xetospongia testudinaria -0.02696
Koordinat F2 0.13149 -0.02022 -0.53216 0.17605 0.20292 -0.24896 0.12303 -0.97110 -0.37296 0.13142 0.88206 0.47169 -0.03924 0.14225 0.11885 -1.08811 0.79157 0.11470 -0.12851 -0.36962 0.28822 -0.01363 -0.51344 0.12013 0.06152 -0.03924 -0.51291 0.31173 -0.37113 -0.54951
Koordinat F3 -0.15812 0.33672 -1.27014 -0.14588 0.02884 1.01542 -0.14642 0.14241 0.13037 0.32327 0.01274 -0.20908 0.07804 -0.17300 -0.14063 0.35774 0.20182 -0.13490 -0.05648 0.13180 0.03786 -1.02061 -0.00173 0.18312 0.43065 0.07804 -0.15404 -0.04225 0.07592 -0.16295
Kualitas 0.580645 0.460132 0.841322 0.274102 0.930719 0.970611 0.575796 0.938831 0.956605 0.711550 0.713594 0.504208 0.888507 0.586041 0.573168 0.973008 0.850945 0.570389 0.772023 0.954928 0.939113 0.802864 0.846262 0.691233 0.909912 0.888507 0.627822 0.781755 0.735225 0.648930
Kosinus 2 F1 0.267991 0.236612 0.066349 0.160503 0.705283 0.442997 0.269633 0.534803 0.807679 0.631847 0.074482 0.138773 0.093747 0.266131 0.270512 0.528059 0.000024 0.271432 0.733016 0.804280 0.839828 0.036735 0.407171 0.599359 0.061069 0.093747 0.002803 0.418404 0.512811 0.001433
Kosinus 2 F2 0.127824 0.000803 0.115725 0.067355 0.220971 0.029919 0.126709 0.395522 0.132711 0.011304 0.638979 0.305427 0.160414 0.129046 0.126099 0.401547 0.798981 0.125449 0.032693 0.133655 0.097600 0.000137 0.439085 0.027644 0.016977 0.160414 0.573309 0.356795 0.213480 0.595161
Kosinus 2 F3 0.184830 0.222716 0.659248 0.046244 0.004464 0.497696 0.179454 0.008506 0.016215 0.068400 0.000133 0.060008 0.634345 0.190864 0.176557 0.043402 0.051941 0.173507 0.006314 0.016993 0.001684 0.765992 0.000005 0.064230 0.831866 0.634345 0.051710 0.006556 0.008934 0.052336
117
Lampiran 9 (lanjutan). B. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap stasiun pengamatan pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6
Stasiun 1 UPL 2 UPP 3 BPP 4 UPR 5 TPR 6 BPR
Koordinat F1 -0.170804 0.387931 -0.253985 0.359256 -0.798597 0.558975
Koordinat F2 0.214645 0.134959 0.566446 -0.195403 -0.466520 -0.336982
Koordinat F3 -0.191532 0.236046 0.110986 -0.528523 0.103812 0.412435
Kualitas 0.347755 0.497219 0.852354 0.932893 0.979489 0.799416
Kosinus 2 F1 0.090640 0.333419 0.138259 0.269610 0.721189 0.419015
Kosinus 2 F2 0.143141 0.040354 0.687694 0.079761 0.246113 0.152286
Kosinus 2 F3 0.113974 0.123446 0.026401 0.583522 0.012187 0.228116
C. Akar ciri dan representasi ragam pada sumbu utama. Nilai angka 1 2 3 4 5
Akar Ciri 0.211491 0.123834 0.093573 0.081150 0.035947
Akar Ciri Matriks Korelasi % Total Ragam Kumulatif Akar Ciri 38.73502 38.7350 22.68048 61.4155 17.13801 78.5535 14.86274 93.4162 6.58375 100.0000
Kumulatif % 2229.752 1305.585 986.536 855.562 378.989
117
Lampiran 10 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri E. coli kedalaman 7 m pada stasiun pengamatan A. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap spesies spons bioaktif pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kode p1 p2 p18 p3 p5 p6 p20 p23 p28 p30 p8 p9 p10 p11 p22 p16 p25
Spesies spons Koordinat F1 Aaptos cf subertoides 0.288097 Acanthella cavernosa 0.284331 Liosina sp -0.041789 Adocia sp -0.263570 Callyspongia aerizusa -0.091421 Callyspongia sp -0.111384 Neopetrosia sp -0.274043 Petrosia sp 0.120505 Xetospongia sp1 0.518686 Xetospongia testudinaria -0.041789 Clathria reinwardti 0.122184 Clathria sp -0.175421 Clathria vulpina -0.090625 Cynachyra cylindrica -0.041789 Paratetilla bacca 0.281789 Hyrtois erecta -0.429397 Rhabdastrella globastellata -0.041789
Koordinat F2 -0.093160 -0.091711 0.033782 -0.217178 0.123317 0.283127 -0.229029 0.021591 -0.122822 0.033782 0.021465 0.510691 0.121881 0.033782 -0.090733 -0.395917 0.033782
Koordinat F3 -0.237627 -0.234870 0.003900 -0.012752 0.028345 -0.076143 -0.013538 0.368483 0.161675 0.003900 0.372253 -0.148031 0.027953 0.003900 -0.233009 -0.023575 0.003900
Kualitas 0.999584 0.999536 0.602506 0.801128 0.138370 0.577698 0.797742 0.964246 0.973093 0.602506 0.964296 0.774851 0.139653 0.602506 0.999500 0.863906 0.602506
Kosinus 2 F1 0.560026 0.559529 0.362474 0.476494 0.047458 0.072862 0.469010 0.092874 0.843799 0.362474 0.093502 0.076060 0.048092 0.362474 0.559184 0.466182 0.362474
Kosinus 2 F2 0.058559 0.058212 0.236874 0.323518 0.086350 0.470785 0.327587 0.002981 0.047314 0.236874 0.002886 0.644629 0.086986 0.236874 0.057974 0.396319 0.236874
Kosinus 2 F3 0.380999 0.381794 0.003158 0.001115 0.004562 0.034051 0.001145 0.868391 0.081981 0.003158 0.867908 0.054162 0.004575 0.003158 0.382342 0.001405 0.003158
120
Lampiran 10 (lanjutan). B. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap stasiun pengamatan pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7
Stasiun 1 UPL 2 UPP 3 BPP 4 UPR 5 TPR 6 BPR 7 SPR
Koordinat F1 -0.232314 0.086123 0.051483 -0.452734 0.057431 0.306032 0.118455
Koordinat F2 0.020371 -0.280272 -0.174485 0.149279 -0.094607 0.305340 0.118753
Koordinat F3 -0.376526 0.083362 0.051824 0.245124 -0.024115 0.018492 0.006446
Kualitas 0.972043 0.757104 0.608606 0.998707 0.089755 0.931546 0.503011
Kosinus 2 F1 0.267445 0.060436 0.045082 0.712413 0.023073 0.465975 0.250503
Kosinus 2 F2 0.002056 0.640046 0.517842 0.077453 0.062613 0.463870 0.251766
Kosinus 2 F3 0.702542 0.056622 0.045682 0.208841 0.004068 0.001701 0.000742
C. Akar ciri dan representasi ragam pada sumbu utama. Nilai angka 1 2 3 4 5 6
Akar Ciri 0.050178 0.035220 0.028458 0.024003 0.005854 0.003973
Akar Ciri Matriks Korelasi % Total Ragam Kumulatif Akar Ciri 33.97603 33.9760 23.84806 57.8241 19.26917 77.0933 16.25285 93.3461 3.96364 97.3097 2.69026 100.0000
Kumulatif % 523.6259 367.5373 296.9692 250.4828 61.0861 41.4612
121
Lampiran 11 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri E. coli kedalaman 15 m pada stasiun pengamatan A. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap spesies spons bioaktif pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kode p1 p2 p18 p3 p5 p6 p20 p23 p28 p30 p8 p9 p10 p11 p22 p16 p25
Spesies spons Koordinat F1 Aaptos cf subertoides -0.190501 Acanthella cavernosa 0.301125 Liosina sp 0.250346 Adocia sp 0.460464 Callyspongia aerizusa 0.295655 Callyspongia sp 0.758988 Neopetrosia sp 0.105897 Petrosia sp -0.190501 Xetospongia sp1 -0.446843 Xetospongia testudinaria -0.251740 Clathria reinwardti 0.303071 Clathria sp -0.256531 Clathria vulpina 0.307681 Cynachyra cylindrica -0.436409 Paratetilla bacca -0.331709 Hyrtois erecta -0.190501 Rhabdastrella globastellata 0.301125
Koordinat F2 0.107940 -0.108279 -0.313018 0.023873 -0.105873 1.009744 -0.466982 0.107940 -0.135725 0.331926 -0.109135 0.319325 -0.111162 -0.125807 -0.022145 0.107940 -0.108279
Koordinat F3 0.035911 -0.000725 0.429007 -0.066325 -0.000317 -0.228161 -0.347836 0.035911 -0.234927 0.020061 -0.000870 0.026221 -0.001213 -0.223903 0.406948 0.035911 -0.000725
Kualitas 0.954272 0.961044 0.992283 0.603493 0.961111 0.999669 0.976192 0.954272 0.991234 0.600113 0.961021 0.580790 0.960967 0.990674 0.976002 0.954272 0.961044
Kosinus 2 F1 0.703437 0.851005 0.180415 0.589674 0.851871 0.349500 0.031253 0.703437 0.724232 0.218631 0.850703 0.226878 0.850002 0.735832 0.388915 0.703437 0.851005
Kosinus 2 F2 0.225838 0.110034 0.282054 0.001585 0.109239 0.618586 0.607750 0.225838 0.066817 0.380094 0.110310 0.351542 0.110952 0.061151 0.001733 0.225838 0.110034
Kosinus 2 F3 0.024997 0.000005 0.529814 0.012234 0.000001 0.031584 0.337188 0.024997 0.200185 0.001388 0.000007 0.002370 0.000013 0.193692 0.585354 0.024997 0.000005
122
Lampiran 11 (lanjutan). B. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap stasiun pengamatan pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7
Stasiun 1 UPL 2 UPP 3 BPP 4 UPR 5 TPR 6 BPR 7 SPR
Koordinat F1 0.039407 -0.885213 0.361904 -0.118771 0.047543 0.177789 0.039407
Koordinat F2 -0.271581 0.318729 0.352525 -0.179579 -0.255033 0.206464 -0.271581
Koordinat F3 0.022768 0.043439 0.273621 0.054338 0.016667 -0.368584 0.022768
Kualitas 0.604523 0.994461 0.999900 0.503264 0.569991 0.998953 0.604523
Kosinus 2 F1 0.012381 0.878460 0.396713 0.143979 0.019064 0.150297 0.012381
Kosinus 2 F2 0.588009 0.113886 0.376416 0.329148 0.548583 0.202687 0.588009
Kosinus 2 F3 0.004133 0.002115 0.226771 0.030136 0.002343 0.645969 0.004133
C. Akar ciri dan representasi ragam pada sumbu utama. Nilai angka 1 2 3 4 5
Akar Ciri 0.330129 0.264846 0.196084 0.122496 0.113194
Akar Ciri Matriks Korelasi % Total Ragam Kumulatif Akar Ciri 0.108985 44.41210 0.070143 28.58370 0.038449 15.66817 0.015005 6.11473 0.012813 5.22130
Kumulatif % 44.4121 72.9958 88.6640 94.7787 100.0000
123
Lampiran 12 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri S. aureus kedalaman 7 m pada stasiun pengamatan A. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap spesies spons bioaktif pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kode p1 p2 p18 p3 p5 p6 p20 p23 p28 p30 p8 p9 p10 p11 p22 p16 p25
Spesies spons Koordinat F1 Aaptos cf subertoides -0.605524 Acanthella cavernosa 0.095761 Liosina sp 0.225235 Adocia sp 0.233369 Callyspongia aerizusa -0.006391 Callyspongia sp 0.241638 Neopetrosia sp 0.082711 Petrosia sp -0.256030 Xetospongia sp1 -0.006391 Xetospongia testudinaria -0.256030 Clathria reinwardti 0.203715 Clathria sp -0.006391 Clathria vulpina -0.605524 Cynachyra cylindrica 0.095761 Paratetilla bacca 0.225235 Hyrtois erecta 0.233369 Rhabdastrella globastellata -0.006391
Koordinat F2 -0.099757 0.304599 -0.253416 -0.263607 0.036768 -0.273966 0.019026 -0.020118 0.036768 -0.020118 0.559041 0.036768 -0.099757 0.304599 -0.253416 -0.263607 0.036768
Koordinat F3 0.122103 0.071159 0.104182 0.109510 -0.047521 0.114926 -0.659185 0.023156 -0.047521 0.023156 0.199074 -0.047521 0.122103 0.071159 0.104182 0.109510 -0.047521
Kualitas 0.999619 0.690158 0.999999 0.999986 0.815949 0.999960 0.999999 0.398588 0.815949 0.398588 0.957503 0.815949 0.999619 0.690158 0.999999 0.999986 0.815949
Kosinus 2 F1 0.936146 0.059140 0.403251 0.400615 0.009128 0.398124 0.015487 0.392948 0.009128 0.392948 0.100941 0.009128 0.936146 0.059140 0.403251 0.400615 0.009128
Kosinus 2 F2 0.025408 0.598361 0.510472 0.511155 0.302129 0.511778 0.000819 0.002426 0.302129 0.002426 0.760167 0.302129 0.025408 0.598361 0.510472 0.511155 0.302129
Kosinus 2 F3 0.038066 0.032656 0.086276 0.088216 0.504692 0.090058 0.983692 0.003214 0.504692 0.003214 0.096394 0.504692 0.038066 0.032656 0.086276 0.088216 0.504692
124
Lampiran 12 (lanjutan). B. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap stasiun pengamatan pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7
C.
Stasiun 1 UPL 2 UPP 3 BPP 4 UPR 5 TPR 6 BPR 7 SPR
Koordinat F1 -0.347704 -0.053387 -0.053549 0.346977 0.346977 -0.149750 -0.099972
Koordinat F2 0.416967 0.017835 0.017808 0.082921 0.082921 -0.358402 -0.203602
Koordinat F3 -0.199563 0.289444 0.290896 -0.092066 -0.092066 -0.153825 -0.107761
Kualitas 0.999237 0.999379 0.999385 0.692739 0.692739 0.927414 0.731641
Kosinus 2 F1 0.361062 0.032761 0.032638 0.614394 0.614394 0.119155 0.115957
Kosinus 2 F2 0.519237 0.003656 0.003609 0.035089 0.035089 0.682530 0.480953
Kosinus 2 F3 0.118938 0.962962 0.963138 0.043256 0.043256 0.125729 0.134730
Akar ciri dan representasi ragam pada sumbu utama.
Nilai angka 1 2 3 4 5 6
Akar Ciri 0.054124 0.048102 0.038114 0.016667 0.005506 0.000000
Akar Ciri Matriks Korelasi % Total Ragam Kumulatif Akar Ciri 33.30449 33.3045 29.59878 62.9033 23.45319 86.3565 10.25562 96.6121 3.38790 100.0000 0.00001 100.0000
Kumulatif % 394.3418 350.4643 277.6974 121.4317 40.1144 0.0002
125
Lampiran 13 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri S. aureus kedalaman 15 m pada stasiun pengamatan A. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap spesies spons bioaktif pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kode p1 p2 p18 p3 p5 p6 p20 p23 p28 p30 p8 p9 p10 p11 p22 p16 p25
Spesies spons Koordinat F1 Aaptos cf subertoides -0.172821 Acanthella cavernosa 0.281784 Liosina sp 0.280946 Adocia sp 0.304653 Callyspongia aerizusa 0.476369 Callyspongia sp -0.172821 Neopetrosia sp 0.337484 Petrosia sp 0.550233 Xetospongia sp1 -0.441569 Xetospongia testudinaria -0.172821 Clathria reinwardti -0.172821 Clathria sp 0.303404 Clathria vulpina -0.241088 Cynachyra cylindrica -0.172821 Paratetilla bacca -0.439432 Hyrtois erecta -0.172821 Rhabdastrella globastellata 0.281784
Koordinat F2 -0.032650 0.119620 0.119339 0.127279 -0.129594 -0.032650 0.410861 -0.676750 0.107677 -0.032650 -0.032650 0.126861 -0.326429 -0.032650 0.106561 -0.032650 0.119620
Koordinat F3 -0.049639 0.021446 0.021315 0.025022 0.286397 -0.049639 -0.290468 0.052396 0.212412 -0.049639 -0.049639 0.024827 -0.244279 -0.049639 0.210329 -0.049639 0.021446
Kualitas 0.823377 0.895889 0.895866 0.896391 0.848652 0.823377 0.902563 0.973879 0.953009 0.823377 0.823377 0.896369 0.922230 0.823377 0.953694 0.823377 0.895889
Kosinus 2 F1 0.736346 0.755387 0.755247 0.758823 0.591206 0.736346 0.280047 0.386183 0.738274 0.736346 0.736346 0.758654 0.238925 0.736346 0.740504 0.736346 0.755387
Kosinus 2 F2 0.026282 0.136126 0.136272 0.132449 0.043754 0.026282 0.415064 0.584194 0.043900 0.026282 0.026282 0.132635 0.438014 0.026282 0.043545 0.026282 0.136126
Kosinus 2 F3 0.060748 0.004376 0.004347 0.005119 0.213692 0.060748 0.207453 0.003502 0.170836 0.060748 0.060748 0.005080 0.245292 0.060748 0.169645 0.060748 0.004376
126
Lampiran 13 (lanjutan). B. Koordinat dan kualitas representasi untuk setiap stasiun pengamatan pada sumbu utama No 1 2 3 4 5 6 7
Stasiun 1 UPL 2 UPP 3 BPP 4 UPR 5 TPR 6 BPR 7 SPR
Koordinat F1 0.049784 -0.784572 0.358390 -0.117831 0.057342 0.119507 0.049784
Koordinat F2 -0.206663 -0.168693 -0.148640 0.235761 0.307144 -0.058564 -0.206663
Koordinat F3 0.182545 -0.059576 -0.191335 -0.144775 0.137499 0.033737 0.182545
Kualitas 0.870080 0.984822 0.952016 0.793672 0.880454 0.538080 0.870080
Kosinus 2 F1 0.027467 0.936146 0.653394 0.121860 0.024843 0.407685 0.027467
Kosinus 2 F2 0.473322 0.043278 0.112392 0.487849 0.712767 0.097904 0.473322
Kosinus 2 F3 0.369291 0.005398 0.186230 0.183962 0.142844 0.032491 0.369291
C. Akar ciri dan representasi ragam pada sumbu utama. Nilai angka 1 2 3 4 5
Akar Ciri 0.093683 0.040977 0.019796 0.010572 0.004168
Akar Ciri Matriks Korelasi % Total Ragam Kumulatif Akar Ciri 55.36962 55.3696 24.21882 79.5884 11.70000 91.2884 6.24830 97.5368 2.46325 100.0000
Kumulatif % 720.8822 315.3158 152.3277 81.3495 32.0701
127