DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA
KARJO KARDONO HANDOJO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Distribusi dan Preferensi Habitat Spons Kelas Demospongiae di Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2006 Karjo Kardono Handojo NRP 651024011
ABSTRAK KARJO KARDONO HANDOJO. Distribusi dan Preferensi Habitat Spons Kelas Demospongiae di Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan HEFNI EFFENDI. Spons kelas Demospongiae adalah spons yang paling dominan diantara jenis-jenis spons lainnya serta merupakan biota laut yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena mengandung senyawa aktif yang bersifat biofarmakologik, seperti anti jamur, anti bakteri dan anti mikroba. Faktor-faktor lingkungan fisik, kimiawi dan biologis seperti suhu, salinitas, arus dan padatan tersuspensi telah diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi spons. Dalam penelitian ini dipelajari distribusi dan preferensi habitat spons kelas Demospongiae pada berbagai kedalaman dan zonasi habitat (terumbu karang dan padang lamun) di Pulau Lancang Besar, Pulau Pari dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Distribusi dan preferensi habitat spons diuji dengan menggunakan analisis cluster berdasarkan indeks similaritas Bray Curtis dan indeks similaritas Sorensen, analisis nodul serta analisis fidelitas. Spons kelas Demospongiae menyebar tidak sempurna (patchy) pada habitat padang lamun di rataan terumbu hingga habitat terumbu karang pada kedalaman 7 meter dan 15 meter. Beberapa anggota kelompok spesies spons menyukai kondisi yang terekspose di rataan terumbu, sedangkan anggota kelompok lainnya ternyata lebih menyukai kondisi dengan penutupan lamun yang tinggi. Pada habitat terumbu karang spons lebih banyak dijumpai pada kedalaman 15 meter (25 spesies) dibandingkan dengan kedalaman 7 meter (21 spesies). Pola penyebaran yang demikian memberikan indikasi bahwa ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu telah mengalami degradasi akibat polusi dan sedimentasi secara terus menerus. Selain itu pola tersebut juga dapat menggambarkan tingkat kompetisi yang tinggi antar biota terumbu karang. Selanjutnya dari hasil pengujian karakteristik fisika dan kimiawi perairan baik pada habitat terumbu karang maupun padang lamun, secara umum masih berada dalam kisaran yang dapat mendukung kehidupan biota laut kecuali untuk nilai nitrat dan fosfat. Nilai kekeruhan dan padatan total tersuspensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun-stasiun lainnya dihasilkan oleh sampel air yang berasal dari stasiun barat Pulau Pari akibat kondisi substrat yang berlumpur.
© Hak cipta milik Karjo Kardono Handojo, tahun 2006
Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA
KARJO KARDONO HANDOJO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis Nama NRP
: Distribusi dan Preferensi Habitat Spons Kelas Demospongiae di Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta : Karjo Kardono Handojo : C651024011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA Ketua
Dr. Ir. Hefni Effendi, MPhill Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. John I. Pariwono, MSc
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 20 Juni 2006
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 ini ialah distribusi dan preferensi habitat, dengan judul Distribusi dan Preferensi Habitat Spons Kelas Demospongiae di Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, MPhill selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Joko Purwanto , DEA (alm.) yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh anggota tim peneliti Spons Hibah Pascasarjana IPB Ir. Suparno, MSi, Ir. Mujizat Kawaroe, MSi, Beginner Subhan, SPi, Yunita, Meutia, Suzanna dan Fahrizal, serta Dondi Arafat, SPi dan Katerina. Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (ProLing) FPIK -IPB dan Kepala Laboratorium Lingkungan PPLH-IPB, Kepala Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu serta Kepala Puslitbang Oseanografi LIPI Jakarta. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (alm), ibu, istri dan seluruh keluarga atas semua doa dan kasih sayangnya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2006
Karjo Kardono Handojo
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 22 Maret 1971 sebagai putra kedua dari ayah D. Suwandono, SH (alm) dan ibu Santi Dewi Puspa, SH. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Tahun 1989 penulis lulus dari SMA Negeri 12 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Jurusan Budidaya Perairan pada Fakultas Perikanan dan lulus pada bulan April 1994. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan Kemah Riset Mahasiswa IPB dan Lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat wilayah B pada tahun 1993. Selain itu, penulis juga pernah menjabat sebagai Ketua Bidang I Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) pada tahun 1993. Pada tahun 1995-1998 penulis bekerja pada penangkaran Arowana PT Munjul Prima Utama di Jakarta dan sejak tahun 1998 hingga saat ini bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung.
DAFTAR ISI Halaman
1.
2.
3.
4.
DAFTAR TABEL………………………………………………..
xi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………..
xiii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………..
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang……………………………………………....
1
Tujuan dan Kegunaan……………………………………….
2
Pendekatan Pemecahan Masalah……………………………
3
TINJAUAN PUSTAKA
5
Klasifikasi Spons Demospongiae…………………………...
5
Morfologi Spons…………………………………………….
6
Habitat Spons……………………………………………….
9
Simbiosis……………………………………………………
12
Metabolit Sekunder…………………………………………
14
Reproduksi Spons…………………………………………..
16
METODE PENELITIAN
20
Tempat dan Waktu Penelitian………………………………
20
Bahan dan Alat Penelitian…………………………………..
21
Prosedur Penelitian………………………………………….
22
Analisa Data………………………………………………...
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
31
Persentase Penutupan Tipe Substrat Dasar…………………
31
Kelimpahan H’,E dan C Spons di Habitat Terumbu Karang.
37
Pengelompokkan Habitat Ekosistem Terumbu Karang….....
40
Pengelompokkan Spons pada Ekosistem Terumbu Karang..
42
Hubungan Spons Terhadap Habitat Dasar Ekosistem Terumbu Karang……………………………………............
44
Kualitas Perairan Terumbu Karang........................................
52
Kerapatan Jenis dan Persentase Penutupan Lamun................
54
7.
Pengelompokkan Habitat Ekosistem Lamun.........................
55
Pengelompokkan Spons pada Ekosistem Lamun..................
55
Hubungan Spons Terhadap Habitat Ekosistem Lamun..........
56
Pembahasan Umum................................................................
58
Kualitas Perairan Padang Lamun …………………………..
59
SIMPULAN ……………………………………………………..
60
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………
61
LAMPIRAN……………………………………………………..
66
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Tingkat keanekaragaman jenis berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) untuk Log2………………...
25
2.
Tingkat keanekaragaman jenis berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) untuk Ln ………………….
27
3.
Nilai persentase penutupan tipe substrat dasar terumbu karang pada kedalaman 7 meter ..…………………………………………...........
31
4.
Nilai indeks mortalitas terumbu karang pada kedalaman 7 meter......
32
5.
Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada kedalaman 7 meter……………………………………………..
33
6.
Nilai persentase penutupan tipe substrat dasar terumbu karang pada kedalaman 15 meter …………………………………………...........
34
7.
Nilai indeks mortalitas terumbu karang pada kedalaman 15 meter....
36
8.
Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada kedalaman 15 meter……………………………………………
36
9.
Jumlah spesies, total diameter, indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spons pada kedalaman 7 m.......
38
10.
Jumlah spesies, total diameter, indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spons pada kedalaman 15 m.....
39
11.
Indeks konstansi (Cij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 7 meter..............
44
12.
Indeks fidelitas (Fij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 7 meter..............
45
13.
Kelompok spons, kelompok habitat dan karakteristik habitat terumbu karang pada kedalaman 7 meter……………………….....
47
14.
Indeks konstansi (Cij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 15 meter............
48
15.
Indeks fidelitas (Fij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 15 meter............
49
16. Kelompok spons, kelompok habitat dan karakteristik habitat terumbu karang pada kedalaman 15 meter….....…………………...
50
17. Nilai karakteristik fisika dan kimiawi perairan terumbu karang......
53
2 18. Kerapatan jenis lamun pada masing-masing stasiun (ind/m )……..
54
19. Persentase penutupan jenis lamun pada masing-masing stasiun ….
54
20. Indeks konstansi (Cij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem lamun....................................................................
56
21. Indeks fidelitas (Fij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem lamun.....................................................................
57
22. Kelompok spons, kelompok habitat dan karakteristik habitat lamun.
58
23. Nilai karakteristik fisika dan kimiawi perairan padang lamun............
59
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Diagram alir perumusan masalah…………………………………..
4
2.
Beberapa struktur kerangka spons………………………………….
7
3.
Spons laut (a)Cinachyra cylindrica (b) Xestospongia testudinaria.
7
4.
(a) Ilustrasi diagramatik spons laut (b) Gambaran rinci dinding spons…………………………………………………………………
12
5.
Lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta….....................
20
6.
Histogram persentase penutupan tipe substrat dasar pada kedalaman 7 meter.................................................................................................
32
7.
Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada kedalaman 7 meter………………………………………...
33
8.
Histogram persentase penutupan tipe substrat dasar pada kedalaman 15 meter..............................................................................................
35
9.
Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada kedalaman 15 meter……………………………………….
37
10. Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spons pada kedalaman 7 meter…………………………………
38
11. Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spons pada kedalaman 15 meter………………………………..
40
12. Dendrogram pengelompokkan habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 7 meter.....................................................................
41
13. Dendrogram pengelompokkan habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 15 meter...................................................................
41
14. Dendrogram pengelompokkan spesies spons pada kedalaman 7 m...
42
15. Dendrogram pengelompokkan spesies spons pada kedalaman 15 m..
43
16. Dendrogram pengelompokkan habitat ekosistem lamun...................
55
17. Dendrogram pengelompokkan spesies spons di habitat lamun.........
56
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Tabel frekuensi kemunculan spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 7 meter dan 15 meter………………………………………………………………...
66
2.
Tabel luas penutupan spesies spons di habitat terumbu karang pada kedalaman 7 meter dan 15 meter.......................................................
67
3.
Tabel frekuensi kemunculan spesies spons di habitat ekosistem padang lamun.....................................................................................
68
4.
Tabel luas penutupan spesies spons di habitat padang lamun............
69
5.
Beberapa spesies spons yang terdapat pada ekosistem terumbu karang pada kedalaman 7 meter dan 15 meter……………………..
70
6.
Beberapa spesies spons yang terdapat pada ekosistem padang lamun………………………………………………………………...
71
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Spons sebagai salah satu hewan bentos yang hidup menetap di dasar perairan (sesil) memiliki peran yang cukup penting di dalam ekosistem terumbu karang. Beberapa jenis spons memiliki simbion alga dan keberadaannya akan mempengaruhi
produksi
primer
bahan-bahan
organik.
Spons
kalkareus
menghasilkan kapur dan berperan dalam proses pembentukan karang yaitu dengan mengikat material karbon selama proses pembentukan formasi batuan karang. Sclerospongia menyusun kontruksi kerangka karang sehingga berfungsi pula sebagai pembangun karang terutama di zonasi yang dalam pada daerah muka terumbu dengan tingkat pertumbuhan karang yang rendah. Materi spikula yang dihasilkan spons juga merupakan sumber sedimen dasar bagi karang (Sorokin 1993). Selain itu spons merupakan salah satu komponen biota penyusun terumbu karang yang mempunyai potensi bioaktif yang belum banyak dimanfaatkan. Hewan laut ini mengandung senyawa aktif yang persentase keaktifannya lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat (Muniarsih dan Rachmaniar 1998). Jumlah struktur senyawa yang telah didapatkan dari spons laut menurut Soest dan Braekman (1999) adalah 3.500 jenis senyawa yang diambil dari 475 jenis spons dari dua kelas yaitu Calcareae dan Demospongia e. Senyawa tersebut kebanyakan diambil dari spons kelas Demospongiae terutama dari ordo Dictyoceratida dan Dendroceratida (1.250 senyawa dari 145 jenis), ordo Haplosclerida (665 senyawa dari 85 jenis) serta ordo Halichondrida (650 senyawa dari 100 jenis), sedangkan pada ordo Astroporida, Lithistida, Hadromerida dan Poecilosclerida senyawa yang didapatkan adalah sedang dan sangat sedikit ditemukan pada kelas Calcareae. Di sisi yang lain, pengelolaan sumberdaya hayati terumbu karang menjadi suatu hal yang krusial untuk dibenahi mengingat kondisi terumbu karang di wilayah Indonesia berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan paling terancam di dunia. Penelitian P2O-LIPI tahun 1996 menunjukkan bahwa 39.5% terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak berat, 33.5% rusak sedang,
2
21.7% baik dan hanya 5.3% dalam kondisi sangat baik. Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu Pro vinsi DKI Jakarta adalah salah satu yang mengalami degradasi di Indonesia. Polusi dan sedimentasi di Teluk Jakarta telah menyebabkan degradasi kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu secara terus menerus, bahkan telah menyebabkan hilangnya sembilan pulau dalam kurun 1901-1982 (UNESCO 1997). Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu secara umum mempunyai kecenderungan yang semakin baik seiiring dengan meningkatnya jarak dari daratan utama. Hasil yang serupa dilaporkan oleh UNESCO (1997) serta Giyanto dan Soekarno (1997) terutama sepanjang gradasi polusi dari Teluk Jakarta menuju bagian terluar Kepulauan Seribu sampai jarak sekitar 80 km. Rendahnya persentase penutupan karang hidup dan tingginya persentase penutupan komponen abiotik d i zona-zona yang lebih dekat dengan daratan utama diakibatkan oleh masukan air tawar dari sungai-sungai yang dapat menurunkan salinitas dan meningkatkan sedimentasi. Berdasarkan uraian di atas, maka upaya pemanfaatan spons baik sebagai hewan eksotis maupun dalam industri biofarmaka melalui teknik budidaya spons yang tepat menjadi suatu hal yang penting dilakukan. Untuk menunjang keberhasilan tersebut, maka diperlukan suatu penelitian mengenai habitat dan distribusi spons khususnya spons kelas Demospongiae sehingga diperoleh informasi tentang karateristik habitat bagi masing-masing jenis spesies spons. 1.2. Tujuan dan kegunaan penelitian Penelitian ini bertujuan: (1) memberikan informasi tentang sebaran dan komposisi jenis spons di habitat terumbu karang dan lamun, (2) menguraikan interaksi spons dan substrat dasar terumbu karang dan lamun, dan (3) menguraikan keterkaitan spons dengan kedalaman serta kualitas perairan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik ekologis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan beberapa jenis spons sebagai acuan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hayati spons secara berkelanjutan.
3
1.3. Pendekatan pemecahan masalah Spons merupakan salah satu komunitas hewan laut penyusun ekosistem terumbu karang. Sebagai suatu mahluk hidup keberadaan serta kehid upan spons sangat dipengaruhi oleh berbagai kondisi lingkungan perairan di sekitarnya baik secara fisik, kimiawi maupun biologi. Faktor-faktor lingkungan fisik seperti suhu perairan, pencahayaan, arus serta beberapa parameter kimiawi seperti keberad aan materi organik, salinitas, kelarutan nutrien dan padatan tersuspensi telah diketahui memiliki peran yang cukup penting di dalam kehidupan spons. Disamping itu, oleh karena spons menempati suatu relung secara bersama-sama dengan hewan laut lainnya termasuk ikan, maka terjadi kompetisi secara alamiah untuk memperoleh tempat hidup yang lebih nyaman baik secara temporal maupun spasial untuk tumbuh dan bereproduksi. Kompetisi yang demikian akan menyebabkan komunitas spons secara terus menerus berusaha mengembangkan strategi adaptasi diri terhadap lingkungannya. Beberapa jenis spons yang tidak mampu untuk beradaptasi secara alamiah akan tersingkir dan mengalami kepunahan sehingga hanya beberapa jenis saja yang mampu bertahan hidup. Kompetisi juga berlangsung baik intra spesies maupun inter spesies spons. Dari sisi ekologi spons juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Sebagai organisma penyaring, spons secara aktif akan memfiltrasi air laut untuk makan, bernafas dan mengekresikan produk buangannya. Berdasarkan hasil penelitian dikatakan bahwa spons mampu secara aktif memompa air laut sampai 10 kali b esar volume tubuhnya setiap jam sehingga merupakan ‘mesin -pembersih’ yang paling efisien di laut (Brusca dan Brusca 1990). Selain itu spons juga mampu memodifikasi bahan-bahan kimia toksik yang diekresikan dari tumbuhan dan hewan laut lainnya menjadi komponen yang bermanfaat bagi dirinya. Produk hasil modifikasi dan yang diproduksi oleh spons inilah yang beberapa diantaranya diketahui memiliki potensi toksisitas terh adap patogen manusia, sel-sel kanker dan lain sebagainya serta berguna dalam pengobatan berbagai penyakit karena bersifat anti fungi, anti bakteri dan anti mikroba. Diagram alir perumusan masalah disajikan pada Gambar 1.
4
Gambar 1 Diagram alir perumusan masalah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi spons Demospongiae Menurut
Adiyodi dan
Adiyodi
(1992)
klasifikasi
spons
kelas
Demospongiae adalah sebagai berikut : Kingdom: Animalia Subkingdom: Metazoa Filum: Porifera Kelas: Demospongiae Subkelas: Homoscleromorpha Ordo: Homoslerophorida Famili: Plakinidae, Oscarellidae Subkelas: Tetractinomorpha Ordo: Astrophorida Famili: Geodiidae, Stelletidae Ordo: Spirophorida Famili: Tetillidae Ordo: Hadromerida Famili: Tethytidae, Chondrosiidae, Polymastidae, Suberitidae, Clionidae Ordo: Axinellida Famili: Axinellidae, Agelasidae, Raspailiidae Ordo: Halichondrida Famili: Halichondridae, Hymeniacidonidae Ordo: Poecilosclerida Famili: Mycalidae, Biemnidae, Myxillidae,Clathriidae, Anchinoidae, Hymedesmiidae Ordo: Nepheliospongida Famili: Petrosiidae
6
Ordo: Haplosclerida Famili: Haliclonidae, Spongillidae Ordo: Dictyoceratida Famili: Spongiidae, Dysideidae Ordo: Verongida Famili: Verongiidae Ordo: Dendroceratida Famili: Halisarcidae 2.2. Morfologi spons Spons adalah hewan yang termasuk ke dalam filum Porifera. Filum Porifera terdiri dari tiga kelas yaitu Calcareae, Demospongiae dan Hexactinellida (Haywood dan Wells 1989, Sara 1992, Amir dan Budiyanto 1996, Rachmaniar 1996, Romimohtarto dan Juwana 1999), sedangkan menurut Warren (1982), Kozloff (1990), Harrison dan De Vos (1991), Ruppert dan Barnes (1991), Pechenik (1991), filum Porifera terdiri dari empat kelas yaitu Calcareae, Demospongiae, Hexactinellida dan Sclerospongia. Kelas Calcareae adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Spons ini mempunyai struktur yang lebih sederhana dibandingkan dengan kelas lainnya. Spikulanya terdiri dari kalsium karbonat
dalam
bentuk
kalsit.
Kelas
Demospongiae adalah kelompok spons yang dominan diantara Porifera masa kini. Spons ini tersebar luas di alam serta sangat banyak baik jumlah maupun jenis organismenya. Spons kelas Demospongiae sering berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit yang dihubungkan dengan ruang-ruang bundar yang bercambuk kecil. Spikulanya terdiri dari silikat, tetapi beberapa ordo (Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida) spikulanya hanya terdiri serat spongin, serat kolagen atau bahkan tidak memiliki spikula. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Mereka kebanyakan hidup di laut dalam dan tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin (Warren 1982, Brusca dan Brusca 1990, Kozloff 1990, Ruppert dan Barnes 1991, Amir dan Budiyanto 1996, Romimohtarto dan Juwana 1999), sedangkan kelas Sclerospongia merupakan spons yang kebanyakan hidup pada
7
perairan dalam di terumbu karang atau pada gua-gua, celah-celah batuan bawah laut atau kanal-kanal di terumbu karang. Spons Demospongiae bertipe leukonoida yang kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemen-elemen ini dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren 1982, Kozloff 1990, Harrison dan De Vos 1991, Ruppert dan Barnes 1991, Pechenik, 1991). Beberapa struktur kerangka spons dan morfologi spons seperti disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2 Beberapa struktur kerangka spons (sumber: Hooper et al. 2003).
(a)
(b)
Gambar 3 Spons laut (a) Cinachyra cylindrica (b) Xestospongia testudinaria (sumber: dokumen Hibah Pascasarjana IPB, 2005).
8
Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi dan biologi lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga melebar. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist 1978, Amir dan Budiyanto 1996). Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis atau masif dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiri dari segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok spons lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk bentuk yang dimiliki spons dapat berag am. Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju, seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam mulai dari jenis yang berukuran sebesar kepala jarum pentul sampai ke jenis yang ukuran garis tengahnya 0,9 m dan tebalnya 30,5 cm. Jenis-jenis spons tertentu nampak berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya (Romimohtarto dan Juwana 1999). Strategi morfologi yang demikian merupakan suatu konsekuensi yang sangat penting bagi avertebrata bentik yang bersifat sesil dalam perjuangannya untuk memperoleh substrat (Jackson 1979, Hoppe 1988 dalam De Voogd et al. 2005). Sebagian spons berwarna putih atau abu-abu, tetapi lainnya berwarna kuning, oranye, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorella yang terdapat di dalamnya (Romimohtarto dan Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya adalah sianofita (sianobakteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthella e). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenisnya. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap
9
akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson, 1980). 2.3. Habitat spons Spons umumnya terdistribusi tidak sempurna (patchy) dalam densitas yang rendah dengan pengecualian pada beberapa kelompok spons kelas Hexactinellida yang memiliki konsentrasi yang tinggi pada beberapa lingkungan yang spesifik (Barthel dan Gutt 1992, Leys et al. 2004 dalam De Voogd 2005). Spons dapat dijumpai di hampir seluruh jenis perairan yang memiliki substrat yang sesuai sebagai tempat pelekatannya seperti batu, cangkang, karang, tumbuhan, tonggak, badan kapal serta obyek-obyek lainnya yang disediakan oleh aktifitas manusia. Secara umum spons ditemukan melimpah di perairan dangkal pada daerah beting kontinen yang terekpose (Haywood dan Wells 1989). Hal ini didukung oleh pendapat Webber dan Thurman (1991) yang menyatakan bahwa sebagian besar spons ditemukan di perairan yang dangkal pada substrat batuan atau solid dan beberapa diantaranya hidup pada substrat berlumpur. Spons bersifat toleran terhadap perairan yang terekpose, turbulen, tenang dan hanya beberapa spesies yang toleran terhadap perairan tawar serta memiliki distribusi yang sangat terbatas di estuaria. Van Soest dalam Amir (1991) menyatakan bahwa sebagian besar spons dapat bertahan hidup pada perairan yang keruh atau bersedimen. Spons yang hidup di daerah bersedimen atau berlumpur cenderung memiliki akumulasi butiran pasir atau materi asing pada jaringan tubuhnya (Bergquist 1978). Pendapat yang berbeda diberikan oleh Romimohtarto dan Juwana (1999) yang menyatakan bahwa penting bagi spons untuk hidup dalam air yang bersirkulasi, sehingga spons lebih banyak ditemukan dalam air yang jernih dan bukan di air keruh. Faktor fisik seperti gelombang dan arus dapat pula mempengaruhi komposisi spons di perairan. Spongia irregularis, Haliclona pigmentifera, Ircinia ramosa, Hyrtios erectus, Ecionemia acervus, Stelletta clavosa, Pseudaxinella massa, Cinachyra australiensis, Iotrochota baculifera dan Spirartrella vagabunda merupakan contoh
spesies spons yang mampu beradaptasi terhadap aksi
gelombang, kompetisi, arus, predasi, ombak, kekeruhan, sedimentasi serta kondisi yang terlindung. Kondisi ini diduga disebabkan karena sifat konsistensinya yang
10
kokoh, spongy serta elastis. Bentuk spons ini umumnya ramose dan bercabang pipih. Spesies yang demikian menurut Bergquist dan Tizard 1967 dalam Amir 1992 sangat umum dijumpai di berbagai tempat serta tidak memiliki preferensi bagi biotop yang spesifik. Kelompok spons yang lebih banyak hidup di daerah yang cukup terekspose antara lain Amphimedon sp., Haliclona violacea, Haliclona sp., Aka mucosa, Aka sp., Smenospongia sp., Dysidea herbacea, Erylus lendenfeldi, Cliona sp., Clathria eccentrica, Acanthostylotella cormata dan Myrmeckioderma granulata. Bentuk kelompok spons ini umumnya pendek dan bercabang. Bergquist dan Tizard 1967 dalam Amir 1992 menyatakan bahwa spons yang bercabang lebih banyak hidup di area intertidal yang tidak berlumpur. Pada lingkungan perairan dengan tingkat sedimentasi yang tinggi secara umum didominasi oleh spesies spons Gelliodez pumila, Haliclona cymaeformis, Druinella purpurea, Terpios sp. aff. fugax dan Coelocarteria singaporense. Spons tersebut banyak dijumpai di daerah rataan terumbu. Kelompok ini dicirikan oleh terdapatnya bagian tubuh yang dibenamkan ke dalam sedimen, penjuluran lubang keluar masuk air serta terdapatnya butiran pasir dan debris di dalam jaringannya yang memungkinkan spons mampu bertahan hidup pada lingkungan yang berpasir dan berlumpur. Oceanapia sp., Chondrilla australiensis, Tethya robusta, Rhaphidophlus sp., Ciocalypta heterostyla, Amorphinopsis excavans dan Axinyssa variabilis merupakan spesies spons yang lebih menyukai lingkungan perairan yang berombak besar dan kekeruhan yang tinggi. Kelompok spons ini juga lebih banyak ditemukan di daerah rataan terumbu. Chondrilla australiensis dicirikan oleh konsistensi tubuhnya yang licin dan elastis serta bentuk tubuh membulat, Tethya robusta berbentuk seperti bola (spheric), keras dan elastis, sed angkan Rhaphidophlus sp., Amorphinopsis excavans dan Axinyssa variabilis bercabang dan kaku. Sementara kelompok spons yang lebih menyukai daerah yang terlindung di daerah rataan terumbu memiliki bentuk tubuh yang lebih tegak daripada spons pada daerah yang terekpose. Spesies-spesies yang termasuk kelompok ini antara
11
lain Haliclona hamata, Callyspongia monilata, Liosina paradoxa, Spirastrella solida, Clathria reinwardti dan Clathria fasciculata. Spons di daerah tropik berpotensi fototropik oleh karena nutrien yang ditranslokasikan dari simbiosis sianobakteria dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan energi spons sebagai inangnya (Wilkinson 1983). Tetapi sebagian besar spesies lainnya bersifat heterotropik dimana nutrien diperoleh melalui aktifitas filtrasi makanan pada detritus dan materi seluler yang berbentuk partikulat terutama bakteri (Reiswig 1975, Wilkinson 1978 dalam Wilkinson dan Trott 1983). Selain itu spons juga mampu melakukan asimilasi materi organik yang terlarut secara langsung (Stephens dan Schinske 1961, Wilkinson dan Garrone 1980 dalam Wilkinson dan Trott 1983). Morfologi spons fototropik pada umumnya pipih dengan rasio luas permukaan dan volume yang lebih besar dibandingkan spons heterotropik, tubuh tegak lurus dan berbentuk subspheric (Wilkinson 1983). Spons dari kelas Demospongiae ditemukan cukup beragam di alam yang terdiri dari spons yang memiliki spikul silikat dikelompokkan ke dalam spons silikeus dan yang tidak memiliki spikul silikat yaitu kelompok spons horny. Spons silikeus dapat d ikelompokkan lagi menjadi jenis-jenis yang memiliki spikul dengan 4 aksis (tetraxonid a) dan yang hanya memiliki 1 aksis (monaxonida). Tetraxonida secara khusus merupakan spons laut yang lebih menyukai perairan pantai yang dangkal dimana jenis ini banyak ditemukan melekat pada bebatuan atau terbenam di dasar perairan. Sementara jenis monaxonida lebih umum dijumpai di perairan dangkal serta hidup melekat di substrat dengan menyekresikan spongin. Spons horny secara umum lebih menyukai kondisi perairan dangkal yang hangat di daerah tropis walaupun beberapa diantaranya secara individual dapat pula dijumpai di perairan yang lebih dingin misalkan spons dari jenis Spongia dan Hippospongia (Warren 1982). Spongillida, salah satu famili Demospongiae merupakan jenis yang mendominasi perairan tawar dengan kisaran ekologis yang luas seperti danau, sungai-sungai kecil dan kolam-kolam yang tenang (Rupert dan Barnes 1991). Tetapi Spongilla lacustris lebih bersifat
eurihalin
sehingga merupakan
pengecualian. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa spons dari famili ini tidak
12
toleran terhadap kondisi perairan yang tercemar. Spons Microciona dilaporkan mampu hidup pada kondisi perairan estuaria yang tercemar pada salinitas 15 permil. Lissodenoryx carolinensis dan Halichondria, Haliclona serta Cliona merupakan spesies-spesies yang hidup pada kisaran perairan polihalin atau mesohalin (Gosner 1971). Biotop yang dangkal didominasi oleh Demospongiae dan sebagian kecil Calcareae, sebaliknya zona yang lebih dalam seperti di lereng luar karang, guagua serta di dalam terowongan hidup spesies spons Sclerospongia. Diantara spons yang umum terdapat di biotop yang dangkal dan pertengahan di perairan IndoPasifik antara lain Tethya, Plectronia, Mycale, Timea, Spirastrella, Ulosa, Higginsia, Pericharax, Jaspis, Mycale, Neofibularis, Asteropus, Haliclonia, Jantella, Phyllospongia, Dysidea, Ircinia, Carterospongia, Pseudoaxinissa, Scleroderma, Carmina, Reineria, Callyspongia, Cacospongia, Dictyonella, Prianos, Cliona serta Psamaplysilla (Hartman dan Goreau 1970 dalam Sorokin 1993).
(a)
(b)
Gambar 4 (a) Ilustrasi diagramatik spons laut (b) Gambaran rinci d inding spons (sumber: Hooper et al. 2003). 2.4. Simbiosis Simbiosis mutualisma berkembang sebagai salah satu strategi adaptasi organisma terumbu karang untuk dapat mengeksploitasi lingkungannya yang bersifat oligotropik. Pada lingkungan yang demikian nutrien menjadi sangat minim dan umumnya hanya tersedia dalam bentuk materi terlarut di perairan, tetapi justru energi radian tersedia sangat melimpah. Kondisi yang demikian
13
menyebabkan suatu organisme harus mampu melepaskan energi ekstra untuk dapat menangkap materi-materi terlarut tersebut. Di dalam tubuh spons terdapat organisma simbion (endofita) berupa alga biru -hijau (sianobakteria) dan juga bakteri heterotropik. Bakteri heterotropik pada awalnya diduga bersifat parasit terhadap spons, tetapi ternyata merupakan simbion yang hidup pada suatu bagian sel khusus spons yang disebut bakteriosit dan lapisan mesoglea. Peranan simbion bakteri pada spons lebih terkait terhadap pemanfaatan materi organik terlarut di perairan yang melalui saluran tubuh inang. Bakteri di dalam spons selanjutnya akan membangun biomassanya yang kemudian secara perlahan akan dicerna oleh sel-sel spons sebagai suplemen. Sumber makanan dan produksi biomassa bakteri yang lain adalah produk limbah yang diekresikan oleh jaringan tubuh spons. Bakteri yang hidup pada lapisan mesoglea juga mengkonsumsi material kolagen dan materi partikulat yang menembus mesoglea. Selain memproduksi biomassa yang digunakan oleh spons, bakteri tersebut juga berperan sebagai pembersih saluran dan mesoglea spons. Sehingga dapat dikatakan bahwa bakteri heterotropik simbion sangat mendukung aktifitas filtrasi secara normal (Sorokin 1993). Pada beberapa jenis spons, bakteri heterotropik
simbion
dijumpai
bersama-sama
dengan
alga
biru-hijau
(sianobakteria). Alga biru -hijau merupakan simbion pada spons dan beberapa kelompok cacing ekhiurid a (Kawaguti 1971 dalam Sorokin 1993). Berdasarkan beberap a hasil penelitian, di dalam tubuh spons ternyata juga dijumpai zooxanthella e dan kriptomonad a (Sara dan Liaci 1964 dalam Sorokin 1993). Spesies spons Tethya, Ulosa diketahui memiliki simbion sianobakteria Phormidium spongeliae, sedangkan spesies Dysidea hidup bersimbion dengan sianobakteria Oscillatoria spongelina. Uniseluler simbion tersebut menghuni bagian sel spons yang disebut sianosit (Wilkinson 1980 dalam Sorokin 1993) dan juga pada lapisan mesoglea. Sianosit berfungsi untuk mengontrol multip likasi simbion sianobakteria di dalamnya dan juga laju metabolisme. Mekanisme yang serupa dijumpai pada selsel ektoderm polip karang terhadap zooxanthella e. Bagian sel ini juga menstimulasi translokasi produk fotosintesa oleh sel alga serta mencerna
14
kelebihan produksi sel alga secara fagositosis (Sara 1971, Vacelet 1971 dalam Sorokin 1993). Simbion alga sangat berguna untuk spons tidak hanya sebagai sumber makanan, tetapi sebagaimana kelompok alga biru -hijau lainnya, simbion alga juga mampu memfiksasi nitrogen dari atmosfir sehingga dapat meningkatkan keseimbangan nitrogen di dalam tubuh inangnya (Wilkinson dan Fay 1979 dalam Sorokin 1993). Alga mengkonsumsi pula nutrien anorganik dari perairan serta produk akhir metabolisme inang. Produk ini selanjutnya akan diasimilasi menjadi biomas alga sebagai sumber makanan spons. Oleh sebab itu keberadaan alga di dalam simbiosis spons merupakan mekanisme daur ulang nutrien semi-tertutup yang sangat penting pada perairan yang miskin nutrien. Spons dengan simbion alga dilaporkan memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi di biotop dengan intensitas pencahayaan tinggi daripada daerah yang terlindung (Wilkinson dan Vacelet 1979 dalam Sorokin 1993). Spons Demospongiae hidup bersimbiosis dengan berbagai organisme laut seperti gastropoda, kepiting hermit, udang, hidroid a, briozoa, ophiurid a, Aeromonas, Pseudomonas, keong serta abalon. Simbiosis ini dapat bersifat mutualisma seperti yang terdapat pada simbiosis Suberites yang hidup pada cangkang moluska yang dihuni oleh kep iting hermit. Pada saat spons tumbuh dewasa maka kepiting hermit secara tidak langsung akan hidup di dalam tubuh spons sehingga terhindar dari predator. Sebaliknya spons dapat memperoleh makanan serta nutrien akibat adanya aliran air yang diakibatkan pergerakan kepiting. Tetapi Cliona celata justru menyekresikan suatu senyawa kimia karbonik anhidrase sehingga mampu melubangi cangkang luar dari moluska dan abalon
yang ditempatinya. Akibat yang lebih jauh inang tersebut dapat
mengalami kematian serta penurunan populasin ya di alam (Ruppert dan Barnes 1991). 2.5. Metabolit sekunder Metabolit sekunder adalah senyawa-senyawa hasil biosintetik turunan dari metabolit primer yang umumnya diproduksi oleh organisme yang berguna untuk pertahanan diri dari lingkungan maupun dari serangan organisme lain , sedangkan substansi yang dihasilkan oleh organisme melalui metabolisme dasar serta
15
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan organisme yang bersangkutan disebut dengan metabolit primer. Perbedaan kondisi lingkungan seperti tingginya kekuatan ionik pada air laut, intensitas cahaya yang kecil, rendahnya temperatur, tekanan dan struktur tubuh yang berbeda dengan organisme darat memungkinkan spons menghasilkan metabolit yang mempunyai struktur kimia yang spesifik dan bervariasi yang sangat berpengaruh terhadap bioaktifitasnya (Motomasa 1998 dalam Murniasih 2003). Pendapat yang senada dikemukakan oleh De Voogd et al. (2005) yang menyatakan bahwa senyawa bioaktif spons berbeda baik intra spesies maupun inter spesies. Selain itu dinyatakan pula bahwa disamping kompetisi secara spasial, beberapa faktor ekologis turut pula menentukan produksi senyawa bioaktif sehingga dapat dikatakan bahwa spons yang tumbuh pada lingkungan yang sangat tinggi tingkat kompetisi alaminya akan memiliki kandungan toksin yang lebih tinggi daripada spons yang ditumbuhkan pada substrat buatan. Spons bersifat sesil oleh sebab itu spons sangat rentan dari predator seperti ikan, penyu, gastropoda, ekinodermata serta nudibrankia. Selain itu spons juga tidak memiliki tangan dan kaki sehingga secara fisik tidak dapat melepaskan hewan dan tumbuhan yang melekat pada permukaan dan di dalam saluran-saluran tubuh yang bersifat parasit. Faktor penyebab lainnya adalah spons tumbuh sangat lambat serta tidak mampu berkompetisi dalam ruang dan sumberdaya hayati dibandingkan hewan dan tumbuhan seperti karang dan kelompok askidian. Faktor-faktor pembatas tersebut menyebabkan spons mengembangkan suatu sistem pertahanan biologis yaitu dengan menghasilkan senyawa toksin dari dalam tubuhnya yang kemudian dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan baku obat-obatan(http://www.qmuseum.qld.gov.au/organisation/sections/sessile marine invertebrates/sponge/ ). Spons memproduksi sejumlah besar metabolit sekunder melalui aktifitas biologisnya. Beberapa senyawa bioaktif ini mengandung bahan yang bersifat antimitotik, sitotoksik, antibakteri, antifungi dan antivirus (De Voogd et al. 2005). Menurut Burkholder 1969 dalam Amir 1991 spons juga diketahui menghasilkan zat antimikroba, misalnya antibiotik ektionin yang diperoleh dari jenis Microciona prolifera. Kemudian pada Ianthella sp. ditemukan suatu zat yang dapat menghambat pertumbuhan ragi merah muda, sedangkan ekstrak antibakteri dari
16
Haliciona viridis terbukti racun bagi ikan dan tikus. Salah satu antibiotik dari spons ini adalah 2,6-dibromo 4 acetamido-4 hydroxycyclohexadienone. Selain itu spons juga mengandung berbagai macam pigmen (karotenoid),
sterol dan
senyawa toksin (Bakus 1985 dalam Amir 1991). Senyawa lain yang berhasil diisolasi yaitu terpenoid, saponin, derivat asam amino dan makrolida (Sarma et al. 1993, Faulkner 1995 dalam Pawlik et al. 1996). Pigmen karotenoid seperti beta karoten merupakan senyawa antioksidan yang telah terbukti sangat baik untuk pencegahan kanker. Senyawa antioksidan jenis ini berperan menangkal radikal bebas pemicu kanker tetapi tidak secara langsung membunuh sel-sel kanker, sedangkan steroid/triterpenoid adalah senyawa yang sering digunakan sebagai komponen aktif obat. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa dari golongan tersebut bermanfaat sebagai antikanker, antimikroba serta dalam pengobatan jantung (kardiovaskular). Zat lain yang juga berperan sebagai antibakteri selain triterpenoid adalah alkaloid, flavonoid, saponin, sterol dan tanin. Sebagian besar dari senyawa tersebut memiliki kerangka karbon yang kaya akan nitrogen atau halogen (Paul 1992, Faulkner 1995 dalam Pawlik et al. 1996). 2.4 % berat kering spons Hyrtios erecta diketahui merupakan konsentrasi dari metabolit sekunder (Rogers dan Paul 1991 dalam Pawlik et al. 1996). Kompleksitas struktur dan tingginya konsentrasi tersebut memperlihatkan bahwa sesungguhnya spons memilik i fungsi ekologis yang penting, diantaranya berimplikasi dalam interaksi allelopathic spons dan karang (Sullivan et al. 1983, Porter dan Targett 1988 dalam Pawlik et al. 1996) yaitu sebagai inhibitor pelekatan larva-larva organisme pengotor (Davis et al. 1991, Henrikson dan Pawlik 1995 dalam Pawlik 1996) dan sebagai pelindung spons dari mikroorganisme serta radiasi ultravio let (Paul 1992 dalam Pawlik 1996). 2.6. Reproduksi spons 2.6.1. Reproduksi aseksual Spons bereproduksi baik secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual terjadi melalui pembentukan pucuk dan regenerasi setelah proses fragmentasi. Pucuk eksternal, setelah mencapai ukuran tertentu, akan melepaskan diri dari induknya dan hanyut di perairan membentuk spons baru ataupun tetap tinggal
17
sebagai suatu koloni spons. Pucuk internal (gemula), umumnya terbentuk pada spons perairan tawar dan beberapa spesies spons laut. Mekanisme pembentukan gemula ditandai dengan berkumpulnya sel-sel arkaeosit pada lapisan mesohil. Selsel tersebut selanjutnya akan dilapisi oleh spongin dan sebagian kecil kitin serta serangkaian spikul silikat. Gemula kemudian akan melepaskan diri melalui suatu bukaan yang disebut mikrofili dan berkembang menjadi spons baru (Hickman et al. 1997, Storer et al. 1968, Johnson et al. 1977). Dillon (1967) lebih jauh menyatakan bahwa setelah sel-sel amuboit mengalami penggabungan, sel-sel amuboit lainnya yaitu trophosit akan membawa makanan hingga amubosit penuh berisikan cadangan makanan dalam bentuk glikoprotein dan lip oprotein . Amubosit kemudian akan membentuk dinding seluler yang akan
mensekresikan membran padat
di bagian dalam dan luar
permukaan dinding sel yaitu amphidisk. Pada saat yang bersamaan, spikula akan disisip kan diantara sel-sel kolom. Distribusi spikula berlangsung sedemikian rupa hingga tidak terdapat kolom yang kosong pada saat mik rofili berkembang. Selain bereproduksi, spons juga mampu melakukan regenerasi. Regenerasi dikembangkan untuk membangun kembali jaringan tubuh yang terluka ataupun terpotong. Spons beregenerasi melalui serangkaian aktifitas pseudopoda amubosit dimana terjadi proses penggabungan (fusi) serangkaian sel sehingga menghasilkan suatu bentuk agregat yang semakin membesar yang merupakan kombinasi dari amubosit dan koanosit yang tidak berkerah (collar-cells). Pada saat agregat tersebut semakin membesar, beberapa amubosit mengatur dirinya dan membentuk lapisan epidermis, sementara koanosit bergabung didalam suatu cekungan dan membentuk kerah-kerah untuk membangun ruang-ruang bercambuk yang lambat laun akan berkembang menjadi individu spons yang berfungsi utuh (Wilson 1907 dalam Dillon 1967). Selain memiliki kemampuan beregenerasi, spons ternyata juga memiliki kemampuan untuk membangun kembali sel-selnya dari bagian kecil (fragmen atau agregat) sel. Proses yang demikian lebih dikenal dengan sebutan somatik embriogenesis. Somatik embriogenesis mencakup reorganisasi penuh dari struktur dan fungsi sel yang kemudian akan berkembang menjadi organisme baru (Hickman et al. 1997).
18
2.6.2. Reproduksi seksual Seksualitas pada spons dapat dikelompokkan atas dua tipe yaitu: (1) hermaprodit, yaitu jenis spons yang menghasilkan baik gamet jantan atau gamet betina selama hidupnya tetapi menghasilkan gamet jantan dan gamet betina dalam waktu yang berbeda dan (2) gonokhorik, yaitu jenis spons yang memproduksi hanya gamet jantan atau betina saja selama hidupnya (Reseck 1988, Kozloff 1990, Ruppert dan Barnes 1991, Amir dan Budiyanto 1996). Tipe hermaprodit ditemukan pada ordo Poecilosclerida, ordo Homosclerophorida dari famili Plakinidae dan Oscarellidae, ordo Hadromerida dari famili Clionodae, ordo Dendroceratida dari famili Halisarcidae, sedangkan tipe gonokhorik ditemukan pada ordo Astroporida dari famili Geodidae dan Stelletidae, ordo Sphirophorida dari famili Tetillidae, ordo Hadromerida dari famili Tethydae, Chondrosiidae, Polymastiidae, ordo Axinellida dari famili Axinellidae dan Agelasidae (Sara 1992). Seksualitas bertipe gonokhorik khususnya dari ordo Hadromerida didapatkan pada jenis Tethya crypta, Tethya auratum, Tethya citrina (Tethydae), Chondrosia reniformis, Chondrilla nucula (Chondrosiidae), Polymastia hirsuta, Aaptos aaptos (Polymastiidae) (Sara 1992), Xestospongia bergquistia dan Xestospongia testudinaria (Fromont dan Bergquist 1994). Selain itu didapatkan juga seksualitas bertipe gonokhorik labil. Seksualitas bertipe seperti ini ditemukan pada
spons jenis Suberitas carnous (Hadromerida) dan Raspailia topsenti
(Axinellida) (Sara 1992). Sebagian besar spons bersifat vivipar dimana setelah fertilisasi zigot tetap berada di dalam tubuh induknya dan kemudian akan melepaskan larva bersilia. Pada kelompok spons yang demikian sperma dilepaskan ke perairan oleh satu individu spons dan akan ditangkap oleh individu lainnya melalui sistem kanal. Sperma selanjutnya akan ditangkap oleh koanosit dan dibawa oleh sel kurir melalui mesohil menuju oosit, sedangkan pada spons yang bersifat ovipar, oosit dan sperma secara bersamaan akan dilepaskan ke dalam perairan. Zigot berkembang menjadi larva yang memiliki flagella dimana flagella kemudian akan melakukan
reorganisasi
internal
menjadi
koanosit
didalam
ruang-ruang
bercambuk setelah larv a menemukan tempat pelekatannya (Hickman et al. 1997).
19
Larva parenkimula umumnya dimiliki oleh spons kelas Demospongiae (Ruppert dan Barnes 1991), larva amphiblastula umumnya dimiliki oleh spons kelas Calcareae (Kozloff 1990), sedangkan larva ko loblastula dimiliki juga oleh spons kelas Calcareae dan beberapa spons kelas Demospongiae (Brusca dan Brusca 1990). Spons dari ordo Astrophorida, Spirophorida, Hadromerida, Axinellida dari subkelas Tetractinomorpha umumnya bereproduksi secara ovipar, sedangkan ordo Homosclerophorida dari subkelas Homoscleromorpha, ordo Halichondrida, Poecilosclerida, Haplosclerida, Dictyoceratida, Dendroceratida dari subkelas Tetractinomorpha cara reproduksinya tergolong vivipar (Sara 1992).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan selama 8 bulan dimulai dari bulan Mei 2005 sampai Desember 2005. Pengamatan kondisi habitat dan pengambilan sampel spons dan air dilakukan di Pulau Lancang Besar, Pulau Pari dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta (Gambar 5).
Gambar 5 Lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (sumber: Peta lingkungan pantai Bakorsurtanal, 1999).
21
Pulau Lancang Besar merupakan salah satu pulau yang berada pada zona dua di zonasi Kepulauan Seribu dan terletak paling dekat dengan daratan utama di wilayah Teluk Jakarta dengan tingkat hunian dan aktifitas masyarakat yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Rudi (2006), perairan di Pulau Lancang Besar memiliki produktivitas yang rendah dan kondisi yang labil, tingkat keragaman yang relatif rendah serta kelangsungan hidup komponen biotik yang minimum. Selain itu ekosistem terumbu karang di pulau ini merupakan kondisi ekosistem yang masih juvenil (muda) yang umumnya terbentuk dalam lingkungan perairan yang tercemar (terpolusi). Pada kondisi yang demikian komponen ekosistem yang lebih menentukan adalah faktor abiotik dibandingkan biotik. Pulau Pari berada pada zona tiga di zonasi Kepulauan Seribu. Pulau ini terletak lebih jauh dari daratan utama di wilayah Teluk Jakarta dengan tingkat hunian dan aktifitas masyarakat yang lebih rendah dibandingkan Pulau Lancang Besar. Budidaya rumput laut dan industri pengolahan rumput laut merupakan kegiatan masyarakat yang sangat umum dijumpai di pulau ini. Kondisi ini disebabkan perairan Pulau Pari yang tenang karena dikelilingi oleh gosong karang dan terdapatnya goba-goba. Rudi (2006) menyatakan bahwa suksesi organisme bentik di Pulau Pari memperlihatkan perubahan yang dinamis dari waktu ke waktu dengan proporsi yang seimbang. Pulau Pramuka merupakan pusat pemerintahan dan ibukota Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Sebagai pusat pemerintahan, Pulau Pramuka yang terletak pada zona empat di zonasi Kepulauan Seribu merupakan pulau dengan tingkat hunian yang paling tinggi dibandingkan Pulau Lancang Besar dan Pulau Pari dengan kondisi infrastruktur seperti perkantoran, tempat pelelangan ikan, rumah sakit, dermaga dll. Selain itu dapat pula dijumpai kantor Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dan area penetasan penyu yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta. 3.2. Bahan dan alat penelitian Bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah larutan etanol 95% dan metanol serta es untuk pengawetan sampel spons yang dikoleksi. Selanjutnya identifikasi sampel spons dilakukan di Pusat Penelitian dan
22
Pengembangan Oseanografi LIPI-Jakarta, sedangkan peralatan yang digunakan antara lain berupa peralatan selam bawah air (SCUBA), rol meter, alat tulis (sabak dan pensil), pisau, meteran, keranjang jaring, ember, plastik klip , kamera digital Canon Powershot S50, transek kuadran (1 m x 1 m) serta alat transportasi kapal. Identifikasi sampel spons dilakukan dengan mengacu pada buku Sponges of the New Caledonian Lagoon, System Porifera : a Guide to the Classification of Sponges, Tropical Pasific Invertebrates dan Spongeguide: Guide to Sponge Collection and Identification. 3.3. Prosedur penelitian Secara garis besar penelitian dilakukan dalam 2 tahapan yaitu tahap pendahuluan dan tahap survai. Tahap pendahuluan dilakukan pada bulan Mei 2005 (musim pancaroba I) selama 7 hari. Pada tahap ini dilakukan pengamatan kondisi lingkungan perairan di 4 lokasi yaitu Pulau Pramuka, Pulau Pari, Pulau Lancang Besar dan Pulau Rambut. Selain itu dilakukan pula pengambilan sampel spons dan air serta pengamatan kondisi terumbu karang di beberapa bagian pulau. Tahap pendahuluan dilakukan untuk mempelajari sebaran spons pada habitat terumbu karang, pengenalan jenis-jenis spons dan biota pengisi substrat dasar. Metode yang digunakan adalah pengamatan sepintas (scanning) pada kedalaman 7 meter hingga 15 meter tegak lurus garis pantai secara zig-zag. Tahap survai dilakukan pada bulan Agustus 2005 (musim pancaroba II) di 3 lokasi pengamatan yaitu Pulau Pramuka, Pulau Pari dan Pulau Lancang Besar. Penentuan lokasi pengamatan di ketiga pulau tersebut didasarkan atas hasil analisis kualitas perairan pada tahap pendahuluan, kondisi geografi pulau serta tingkat hunian dan aktifitas masyarakat. Pada tahap ini juga dilakukan pengamatan spons di habitat padang lamun selain d i habitat terumbu karang. Tahap survai dilakukan pada 2 kedalaman yaitu kedalaman 7 meter dan 15 meter. Metode yang digunakan untuk pengamatan spons di padang lamun adalah metode transek kuandran (1 m x 1 m) tegak lurus garis pantai. Peletakan kuadran dilakukan dari batas pas ang surut hingga lereng luar karang, sedangkan pengamatan habitat terumbu karang dan biota pengisinya, berdasarkan bentuk pertumbuhan, dilakukan dengan metode transek garis menyinggung (LIT)
23
sepanjang 50 meter sejajar garis pantai pada kedalaman 7 meter dan 15 meter. Peletakan kuadran dan transek garis dilakukan sebanyak 3 kali. Peletakan transek garis dilakukan secara acak, sedangkan transek kuadran diletakan dengan jarak antar transek 10 meter. Pengamatan spons dilakukan dengan metode transek daerah (belt transect), yaitu dengan meletakkan rol meter sepanjang 50 meter sejajar garis pantai dan diamati selebar satu meter ke arah kiri dan satu meter ke arah kanan dari transek garis. Spons di terumbu karang dihitung panjang transisi dan diameter individu spesiesnya, sedangkan spons di padang lamun dihitung persentase tutupan jenis spesies spons. Spons selanjutnya dikelompokkan berdasarkan bentuknya yaitu spons masif (massive), spons bercabang (branching), spons lembaran (foliose), spons mengerak (encrusting), spons corong (tube) dan spons bulat (spheric dan subspheric). 3.4. Analisis data 3.4.1. Terumbu karang dan padang lamun Data habitat dasar dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi terkini dari ekosistem terumbu karang yang diamati. Parameter habitat dasar yang dihitung adalah persen penutupan substrat dasar (Li), indeks mortalitas (MI), indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C). Biota habitat dasar serta panjang transisi penutupan yang ditemukan sepanjang transek garis d ikelompokkan menurut bentuk pertumbuhannya. Setelah itu masing-masing bentuk pertumbuhan dihitung nilai penutupanny a berdasarkan rumus (Gomez dan Yap 1988):
Li =
ni x100% L
dengan: Li = persentase penutupan biota ke-i ni = panjang total kelompok biota karang ke-i L = panjang total transek garis.
24
Kriteria persentase penutupan karang hidup berdasarkan Gomez dan Yap (1988) adalah buruk dengan kisaran 0.0% - 24.9%; sedang (25.0% - 49.9%); baik (50.0% -74.9%); dan kisaran 75.0% - 100% berarti sangat baik. Biota habitat dasar terumbu karang yang dijumpai diklasifikasikan dalam kelompok karang batu (Acropora dan non-Acropora), karang lunak, biota lain (spons, ascidia, zoanthid a dll), alga, abiotik (pasir, lumpur, batuan dan patahan karang mati), karang mati (karang mati tanpa simbion zooxanthella e) dan karang mati dengan alga. Nilai indeks mortalitas terumbu karang dihitung berdasarkan rumus (Gomez dan Yap 1988): Penutupan Karang Mati MI = Penutupan Karang Mati + Penutupan Karang Hidup dengan: MI = Indeks Mortalitas. Kisaran nilai indeks mortalitas adalah antara 0-1. Kondisi terumbu karang memiliki rasio kematian karang yang kecil atau tingkat kesehatan karang dikatakan tinggi apabila nilai indeks mortalitasnya mendekati 0. Sebaliknya kondisi terumbu karang memiliki rasio kematian karang yang tinggi atau memiliki rasio kesehatan karang yang rendah jika nilai indeks mortalitasnya mendekati 1. Indeks keanekaragaman atau keragaman (H’) menyatakan keadaan populasi organisme secara matematis agar mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah individu masing-masing bentuk pertumbuhan karang dalam suatu komunitas habitat dasar. Indeks keragaman yang paling umum digunakan adalah indeks Shannon-Wiener (Krebs 1985 dalam Magurran 1988) dengan rumus: s
H' = − ∑ pi log 2 pi i =1
dengan: H' = indeks keanekaragaman s = jumlah genus biota pi = proporsi jumlah individu pada genus biota.
25
Kriteria indeks H' untuk bentuk pertumbuhan karang diklasifikasikan pada Tabel 1 (Brower dan Zar 1977). Tabel 1 Tingkat keanekaragaman jenis berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Shannon W iener (H’) untuk log2 Nilai Keanekaragaman Jenis (H’) < 1,0 1,0 – 3,0 > 3,0 Indeks
keseragaman
(E)
Tingkat Keanekaragaman Jenis Rendah Sedang Tinggi untuk
bentuk
pertumbuhan
karang
menggambarkan besarnya persentase bentuk pertumbuhan dalam suatu komunitas karang. Semakin merata penyebaran persentase bentuk pertumbuhan maka keseimbangan ekosistem akan makin meningkat. Rumus yang digunakan adalah (Pulov 1969 dalam Magurran 1988): E =
H` H `max
dengan: H' max = indeks keanekaragaman maksimum = log2 S. Kisaran yang digunakan untuk indeks keseragaman adalah: 0,0 < E ≤ 0,5: komunitas tertekan; 0,5 < E ≤ 0,75: labil; dan 0,75 < E ≤ 1,0: stabil (Daget 1976). Nilai indeks keseragaman dan nilai indeks keanekaragaman yang kecil biasanya menandakan adanya dominasi suatu bentuk pertumbuhan terhadap bentuk pertumbuhan lain. Dominasi suatu bentuk pertumbuhan yang cukup besar akan mengarah pada kondisi ekosistem atau komunitas yang labil atau tertekan dengan rumus (Simpson 1949 dalam Magurran 1988): s
C = ∑ pi 2 i =1
Kisaran indeks dominansi dinyatakan sebagai berikut: 0,0 < C ≤ 0,5: dominansi rendah; 0,5 < C ≤ 0,75: sedang; dan 0,75 < C ≤ 1,0: tinggi. Pola pengelompokkan habitat dasar terumbu karang dilihat dengan analis is cluster berdasarkan indeks similaritas Bray Curtis yang menggunakan data
26
komposisi habitat (parameter biologis). Data komposisi habitat yang digunakan untuk pengelompokkan tersebut adalah nilai persen penutupan karang hidup (berdasarkan bentuk pertumbuhan) (Dartnal dan Jones, 1986). Rumus indeks similaritas Bray Curtis adalah sebagai berikut: n
B=
∑ Xij − Xik i =1 n
∑ ( Xij + Xik )
dan
S = 1− B
i =1
dimana :
B
= Disimilaritas Bray Curtis
S
= Similaritas Bray Curtis
Xij, Xik = jumlah individu spesies ke-i dalam setiap sampel j dan k N
= jumlah spesies dalam sampel
Indeks similaritas Bray Curtis berkisar antara 0 – 1. Nilai S = 0 menunjukkan tingkat kesamaan yang paling rendah dan nilai S = 1 menunjukkan tingkat kesamaan yang paling tinggi. Kumpulan indeks similaritas Bray Curtis digunakan untuk membuat matriks similaritas dan kemudian dikombinasikan untuk membentuk dendrogram berdasarkan metode keterkaitan (ikatan) rata-rata antar kelompok. Dari nilai tingkat keterkaitan dibuat hirarki kelompok stasiun pengamatan (habitat). Untuk menggambarkan kondisi habitat lamun didekati dengan menghitung kerapatan jenis dan persen penutupan spesies lamun yang dijumpai pada masingmasing stasiun pengamatan. Selanjutnya untuk menentukan pengelompokkan habitat lamun dilakukan analisa cluster berdasarkan indeks similaritas Bray Curtis. 3.4.2. Spons Indeks keanekaragaman atau keragaman (H’) menyatakan keadaan populasi organisme secara matematis agar mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah individu masing-masing spesies spons dalam suatu komunitas habitat spons. Indeks keragaman yang paling umum digunakan adalah indeks Shannon-Wiener (Krebs 1985 dalam Magurran 1988) dengan rumus:
27 s
H' = − ∑ pi ln pi i =1
dengan: H' = indeks keanekaragaman s = jumlah spesies spons pi = proporsi jumlah individu pada spesies spons. Kriteria indeks H' bentuk pertumbuhan karang diklasifikasikan pada Tabel 2 (Brower dan Zar 1977); (diasumsikan dapat digunakan bagi spons dengan kemiripan sifat sebagai organisme bentik sesil) : Tabel 2 Tingkat keanekaragaman jenis berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) untuk ln Nilai Keanekaragaman Jenis (H’) < 1,600 1,600 – 2,300 > 2,300
Tingkat Keanekaragaman Jenis Rendah Sedang Tinggi
Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas spons. Semakin merata penyebaran individu antar spesies maka keseimbangan ekosistem akan makin meningkat.
Rumus yang
digunakan adalah (Pulov 1969 dalam Magurran 1988): E =
H` H `max
dengan: H' max = indeks keanekaragaman maksimum = ln S. Kisaran yang digunakan untuk indeks keseragaman adalah: 0,0 < E ≤ 0,5: komunitas tertekan; 0,5 < E ≤ 0,75: labil; dan 0,75 < E ≤ 1,0: stabil (Daget 1976). Nilai indeks keseragaman dan nilai indeks keanekaragaman yang kecil biasanya menandakan adanya dominasi suatu spesies terhadap spesies -spesies lain. Dominasi suatu spesies yang cukup besar akan mengarah pada kondisi ekosistem atau komunitas yang labil atau tertekan dengan rumus (Simpson 1949 dalam Magurran 1988): s
C = ∑ pi 2 i =1
28
Kisaran indeks dominansi dinyatakan sebagai berikut: 0,0 < C ≤ 0,5: dominansi rendah; 0,5 < C ≤ 0,75: sedang; dan 0,75 < C ≤ 1,0: tinggi. 3.4.3. Pengelompokkan spons Pengelompokkan spons dibuat pada tingkat spesies. Pola pengelompokkan spons dibuat dengan analisa cluster berdasarkan indeks similaritas Sorensen. Agar data numerik jumlah individu spons dapat dihitung dengan indeks similaritas Sorensen, maka data kuantitatif individu spons ditransformasikan menjadi data binari (ada – tidak ada). Rumus indeks similaritas Sorensen adalah: S=
2a 2a + b + c
dimana : S = indeks similaritas Sorensen a = jumlah spesies spons yang ada di kedua stasiun b = jumlah spesies spons yang hanya ada di stasiun ke-i c = jumlah spesies spons yang hanya ada di stasiun yang lain Nilai indeks similaritas Sorensen berkisar antara 0 -1. Nilai S = 0 menunjukkan tingkat kesamaan yang paling rendah dan S = 1 menunjukkan tingkat kesamaan yang paling tinggi. Kumpulan indeks similaritas Sorensen digunakan untuk membuat matriks similaritas Sorensen yang kemudian dikombinasikan untuk membuat dendrogram berdasarkan metode keterkaitan ratarata antar kelompok. Dari nilai tingkat keterkaitan dibuat hirarki kelompok spons. 3.4.4. Analisa nodul, konstansi dan fidelitas Kedua hasil pengelompokkan, kelompok habitat dan spons, digunakan dalam analisa nodul. Teknik paling sederhana yang digunakan untuk menggabungkan kedua kelompok hasil analisa cluster (habitat dan spons) adalah membuat matriks data binari dua arah, kelo mpok habitat menempati sisi kolom dan kelompok spons pada sisi baris (Murphy dan Edwards 1982). Kemudian data binari hasil analisa nodul digunakan untuk menganalisa tingkat kekonstanan keberadaan suatu kelompok spons pada kelompok habitat tertentu berdasarkan indeks konstansi yang dirumuskan:
29
C ij =
dimana:
a ij ni n j
Cij = indeks konstansi a ij = jumlah keterdapatan anggota kelompok spons ke-i pada kelompok habitat (stasiun) ke-j n i = jumlah elemen pada kelompok spons ke-i n j = jumlah elemen pada kelompok habitat (stasiun) ke-j
Indeks konstansi nilainya berkisar antara 0 – 1. Nilai Cij = 1 berarti ada anggota kelompok spons ke-i terdapat pada semua anggota kelompok habitat ke-j dan C ij = 0 menunjukkan bahwa tidak satupun anggota kelompok spons ke-i terdapat pada kelompok habitat ke-j. Dari indeks konstansi dapat dilihat tingkat kekhasan/kebenaran (fidelitas) suatu kelompok spons ke-i pada kelompok habitat ke-j berdasarkan indeks fidelitas yang dirumuskan :
Fij =
Cij
∑ a n∑ n j
i
ij
j
j
dimana : Fij = indeks fidelitas C ij = indeks konstansi a ij = jumlah keterdapatan anggota kelompok spons ke-i pada kelompok habitat (stasiun) ke-j n i = jumlah elemen pada kelompok spons ke-i n j = jumlah elemen pada kelompok habitat (stasiun) ke-j Bila Fij ≥ 2 menunjukkan preferensi yang kuat antara anggota kelompok spons ke-i pada kelompok habitat ke-j. Sedangkan bila Fij < 2 menunjukkan tingkat ketidaksukaan (avoidance) yang kuat kelompok spons ke-i terhadap kelompok habitat ke-j.
30
3.4.5. Kualitas perairan Pengujian kualitas air dilakukan untuk mengamati keterkaitan antara kondisi perairan di ketiga pulau (Pulau Lancang Besar, Pulau Pari dan Pulau Pramuka) dengan sebaran dan kelimpahan spons Demospongiae pada ekosistem terumbu karang dan padang lamun seiiring dengan meningkatnya jarak pulau dari daratan utama di wilayah Teluk Jakarta. Kondisi pulau yang dekat dengan daratan utama menggambarkan tingginya tingkat tekanan yang diakibatkan oleh industri dan tingginya aktivitas masyarakat disekitarnya. Tekanan yang tinggi baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan hewan laut termasuk komunitas spons Demospongiae. Sampel air diambil secara komposit pada masing-masing stasiun pengamatan pada kedalaman 7 meter dan 15 meter dengan menggunakan botol plastik. Sampel air selanjutnya diberi kode asal sumber air, tanggal dan waktu pengambilan serta stasiun pengamatan dan disimpan dalam boks styrofoam yang telah diberi es. Penyimpanan dan pengangkutan sampel air dilakukan dalam rantai dingin untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer Genvy tipe 6100 di laboratorium lingkungan PPLH-IPB. Parameter fisika dan kimiawi yang diamati yaitu suhu, salinitas, kekeruhan, TSS, pH, DO, BOD5, TOM, COD, N-NO3, P-PO4, dan SiO 3.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Persentase penutupan tipe substrat dasar 4.1.1. Kedalaman 7 meter Persentase penutupan karang hidup pada kedalaman 7 meter berkisar antara 1.10%-85.40% dengan rata-rata persentase penutupan sebesar 20.89%. Persentase penutupan substrat dasar tertinggi terdapat pada stasiun utara Pari, sedangkan persen penutupan terendah terdapat pada stasiun selatan Lancang. Kondisi penutupan karang hidup pada semua stasiun berkisar dalam kategori buruk dan sangat baik. Stasiun yang persentase penutupan karangnya termasuk dalam kategori sangat baik (75%100%) adalah stasiun utara Pari, sedangkan stasiun-stasiun yang penutupan karangnya termasuk dalam kategori buruk (0%-24.9%) adalah barat Pramuka, selatan Pramuka, timur Pramuka, barat Pari serta selatan Lancang (Tabel 3). Histogram persentase penutupan tipe substrat dasar pada kedalaman 7 meter disajikan pada Gambar 6. Tabel 3 Nilai persentase penutupan tipe substrat dasar pada kedalaman 7 meter Selatan Pramuka Karang Batu Karang Lunak Biota Lain Alga Abiotik Karang Mati Karang Mati dengan Alga
Barat Pramuka
Timur Pramuka
Barat Utara Pari Pari
Selatan Lancang 1.10 0.00 2.96 0.00 87.56 0.00
4.90 0.30 14.84 2.22 68.34 5.40
3.26 0.00 2.46 0.00 27.00 0.00
10.06 20.64 85.40 4.50 5.70 0.00 4.42 3.18 3.94 2.48 0.82 0.66 2.80 52.94 1.20 3.00 0.00 0.00
4.00
67.30
72.70 16.80
8.80
8.40
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Karang Batu Karang Lunak Biota Lain Alga Abiotik Karang Mati
La nc an g
Se lat an
Ut ar aP ar i
Ba ra tP ar i
Tim ur Pr am uk a
Karang Mati dengan Alga
Ba ra tP ra m uk a
Se lat an
Pr am uk a
Persen Penutupan (%)
32
Gambar 6 Histogram persentase penutupan tipe substrat dasar pada kedalaman 7 meter. Nilai indeks mortalitas pada kedalaman 7 meter berkisar antara 0,09-0,95. Indeks mortalitas pada stasiun utara Pari tergolong sangat rendah artinya pada stasiun ini tingkat kesehatan karangnya sangat tinggi atau dengan kata lain rasio kematian karang pada stasiun ini sangat rendah. Stasiun-stasiun yang tingkat kematian karangnya tinggi adalah stasiun barat Pramuka, timur Pramuka dan selatan Lancang. Hal ini mengindikasikan bahwa kesehatan karang pada stasiun-stasiun tersebut sangat rendah. Stasiun selatan Pramuka dan barat Pari berdasarkan hasil pengamatan memiliki nilai indeks mortalitas yang sedang (Tabel 4). Tabel 4 Nilai indeks mortalitas terumbu karang pada kedalaman 7 meter
Karang Hidup Karang Mati MI
Selatan Pramuka 4,90 9,40 0,66
Barat Timur Pramuka Pramuka 3,26 10,06 67,30 75,70 0,95 0,88
Barat Pari 20,64 16,80 0,45
Utara Pari 85,40 8,80 0,09
Selatan Lancang 1,10 8,40 0,88
33
Dari hasil pengamatan dijumpai bahwa kondisi terumbu karang yang paling baik berdasarkan tipe penutupan substrat dasar terdapat pada stasiun utara Pari. Disamping persentase penutupan karang yang sangat tinggi (85.40%) dan nilai indeks mortalitasnya yang sangat rendah (0,09), stasiun utara Pari juga memiliki nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman yang lebih tinggi serta nilai indeks dominansi yang paling rendah dari semua stasiun pengamatan yang diteliti (Tabel 5). Histogram nilai keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada kedalaman 7 meter disajikan pada Gambar 7. Tabel 5 Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada kedalaman 7 meter H'
E
C
Selatan Pramuka
2,24
0,58
0,41
Barat Pramuka
1,52
0,48
0,51
Timur Pramuka
1,80
0,45
0,54
Barat Pari
2,33
0,61
0,38
Utara Pari
2,38
0,62
0,37
Selatan Lancang
1,27
0,42
0,57
Indeks H', E dan C
2.50 2.00
H'
1.50
E C
1.00 0.50
La nc an g
Pa ri
Ba ra tP ar i
Ut ar a
Se lat an
Se lat an
Pr am uk a
Ba ra tP ra m uk Tim a ur Pr am uk a
0.00
Gambar 7 Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada kedalaman 7 meter.
34
4.1.2. Kedalaman 15 meter Persentase penutupan karang hidup pada kedalaman 15 meter berkisar antara 0.00%-90.10% dengan rata-rata persentase penutupan sebesar 29.68%. Persentase penutupan substrat dasar tertinggi terdapat pada stasiun utara Pramuka dan terendah pada stasiun selatan Lancang. Kondisi penutupan karang hidup pada semua stasiun berkisar dalam kategori buruk, sedang dan sangat baik. Stasiun yang persentase penutupan karangnya tergolong dalam kategori sangat baik adalah utara Pramuka, stasiun yang persentase penutupan karangnya sedang adalah utara Pari, sedangkan stasiun-stasiun yang penutupan karangnya termasuk dalam kategori buruk adalah selatan Lancang, selatan Pramuka, barat Pari, timur Pramuka dan barat Pramuka (Tabel 6). Histogram persentase penutupan tipe substrat dasar pada kedalaman 15 meter disajikan pada Gambar 8. Tabel 6 Nilai persentase penutupan tipe substrat dasar pada kedalaman 15 meter Selatan Barat Timur Utara Pramuka Pramuka Pramuka Pramuka Karang Batu Karang Lunak Biota Lain Alga Abiotik Karang Mati Karang Mati dengan Alga
Barat Utara Selatan Pari Pari Lancang
16.64
21.60
20.26
90.10 19.42 39.72
0.00
0.16 14.18 0.00 47.98 0.38
0.42 7.42 0.00 0.00 0.00
0.00 12.38 11.50 0.00 0.00
7.08 3.44 0.00 2.82 11.14 7.40 0.00 0.00 0.00 0.00 49.84 14.04 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 100.00 0.00
20.66
70.56
55.86
0.00 16.16 38.84
0.00
35
100.00
Persen Penutupan (%)
90.00
Karang Batu
80.00 70.00
Karang Lunak
60.00
Biota Lain
50.00
Alga
40.00 Abiotik
30.00
Karang Mati
20.00 10.00
Karang Mati dengan Alga La nc an g
Se lat an
Ut ar aP ar i
Ba ra tP ar i
Pr am uk a Ut ar a
Ba ra tP ra m uk a Ti m ur Pr am uk a
Se lat an
Pr am uk a
0.00
Gambar 8 Histogram persentase penutupan tipe substrat dasar pada kedalaman 15 meter. Nilai indeks mortalitas pada kedalaman 15 meter berkisar antara 0,00-0,77. Indeks mortalitas yang bernilai nol pada stasiun utara Pramuka menunjukkan bahwa pada stasiun ini tidak ada karang yang mati, atau secara spesifik menjelaskan bahwa tekanan lingkungan yang menyebabkan matinya karang masih dapat ditolerir. Berdasarkan nilai indeks mortalitas, stasiun barat Pramuka merupakan stasiun pengamatan dengan kondisi karang paling tertekan (persentase penutupan karang mati dengan alga pada stasiun barat Pramuka sebesar 70.56%). Tingginya tingkat kematian karang mengindikasikan bahwa lingkungan ekosistem terumbu karang pada stasiun tersebut mendapat gangguan yang tinggi sehingga menyebabkan karang kehilangan simbion zooxanthellae dan kemudian mati. Stasiun-stasiun dengan tingkat kematian karang yang relatif sedang adalah selatan Pramuka, barat Pari dan utara Pari. Hal ini menjelaskan bahwa tekanan lingkungan yang mengganggu kelangsungan hidup karang relatif lebih dapat ditolerir (Tabel 7).
36
Tabel 7 Nilai indeks mortalitas terumbu karang pada kedalaman 15 meter
Karang Hidup Karang Mati MI
Selatan Pramuka
Barat Pramuka
Timur Pamuka
Utara Pramuka
Barat Pari
Utara Pari
Selatan Lancang
16,64 21,04
21,6 70,56
20,26 55,86
90,10 0,00
19,42 16,16
39,72 38,84
0,00 0,00
0,56
0,77
0,73
0,00
0,45
0,49
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kondisi terumbu karang pada kedalaman 15 meter yang paling baik adalah pada stasiun utara Pramuka. Disamping persentase penutupan karangnya yang sangat tinggi (90.10%), di stasiun tersebut tidak ditemukan adanya karang yang mati. Selain itu stasiun utara Pramuka juga memiliki nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman yang lebih tinggi serta nilai indeks dominansi yang paling rendah dari semua stasiun pengamatan yang diteliti (Tabel 8). Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi pada kedalaman 15 meter disajikan pada Gambar 9. Tabel 8 Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada kedalaman 15 meter H'
E
C
Selatan Pramuka
2,49
0,75
0,25
Barat Pramuka
1,56
0,47
0,53
Timur Pramuka
2,32
0,65
0,35
Utara Pramuka
2,81
0,85
0,16
Barat Pari
2,73
0,76
0,24
Utara Pari
2,81
0,81
0,19
0,0
0,0
1,00
Selatan Lancang
37
Gambar 9 Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada kedalaman 15 meter.
4.2. Kelimpahan H’, E dan C spons di habitat terumbu karang 4.2.1. Kedalaman 7 meter Berdasarkan pengamatan pada kedalaman 7 meter terdapat 21 jenis spesies spons. Keanekaragaman jenis spons pada semua stasiun termasuk dalam kategori rendah dan tinggi. Stasiun dengan nilai keanekaragaman spesies spons yang rendah (<1,600) adalah stasiun barat Pramuka, timur Pramuka, utara Pari dan selatan Lancang, sedangkan yang keanekaragamannya tinggi (>2,300) yaitu stasiun selatan Pramuka dan barat Pari. Keanekaragaman dan keseragaman yang tinggi serta dominansi yang rendah dapat mengindikasikan bahwa spons pada kedua stasiun ini terdistribusi secara merata atau dengan perkataan lain tidak terdapat suatu jenis spons tertentu yang mendominasi habitat tersebut. Sebaliknya pada stasiun barat Pramuka merupakan stasiun dengan indeks keanekaragaman dan keseragaman spons paling rendah serta nilai indeks dominansi paling tinggi. Tingginya indeks dominansi spons pada stasiun barat Pramuka dan utara Pari secara tidak langsung dapat menjelaskan bahwa terdapat jenis spons tertentu yang mendominasi sehingga penyebaran tiap jenis spons menjadi tidak merata atau cenderung mengelompok. Meskipun dari hasil analisis menunjukkan
38
bahwa kondisi terumbu karang di stasiun utara Pari pada kedalaman 7 meter termasuk dalam katagori baik, tetapi tampaknya komunitas spons di stasiun ini mulai mengalami tekanan (0.0 < E = 0.5). Komunitas spons juga tertekan pada stasiun barat Pramuka dan timur Pramuka (Tabel 9). Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi spons pada kedalaman 7 meter disajikan pada Gambar 10. Tabel 9 Jumlah spesies, total diameter, indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spons pada kedalaman 7 meter Jumlah Spesies
Stasiun 1. Selatan Pramuka 2. Barat Pramuka 3. Timur Pramuka 4. Barat Pari 5. Utara Pari 6. Selatan Lancang
10 6 10 10 7 5
Total Diameter (cm) 3688 964 2043 1430 1175 631
H’
E
2,42 0,78 1,45 2,47 1,00 1,46
0,73 0,30 0,44 0,75 0,37 0,63
C 0,27 0,70 0,57 0,26 0,63 0,37
Indeks H', E dan C
2.5 2 H'
1.5
E C
1 0.5
La nc an g
Se lata n
Ut ara Pa ri
Ba rat Pa ri
Ba rat Pr am uk a Tim ur Pr am uk a
Se lata nP ram uk a
0
Gambar 10 Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spons pada kedalaman 7 meter.
39
4.2.2. Kedalaman 15 meter Berdasarkan pengamatan pada kedalaman 15 meter dijumpai 25 jenis spesies spons. Keanekaragaman jenis spons pada semua stasiun termasuk dalam kategori tinggi (>2,300) dengan keseragaman sedang dan dominansi rendah (kecuali pada stasiun selatan Lancang). Keanekaragaman dan keseragaman spesies spons pada stasiun barat Pramuka menempati urutan paling tinggi dengan dominansi yang terendah. Hal ini dapat memberikan indikasi bahwa spons pada stasiun-stasiun ini menyebar secara merata atau tidak ada jenis spons tertentu yang mendominasi habitat. Pada stasiun selatan Lancang tidak ditemukan adanya spons yang hidup. Kondisi yang demikian terjadi akibat adanya tekanan lingkungan yang tinggi yang berdampak negatif bagi pertumbuhan dan reproduksi spons (Tabel 10). Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spons pada kedalaman 15 meter disajikan pada Gambar 11. Tabel 10 Jumlah spesies, total diameter, indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spons pada kedalaman 15 meter Stasiun 1. Selatan Pramuka 2. Utara Pramuka 3. Barat Pramuka 4. Timur Pramuka 6. Barat Pari 7. Utara Pari 8. Selatan Lancang
Jumlah Spesies 14 13 14 13 12 11 0
Total Diameter (cm) 1816 1258 2249 2352 2870 2996 -
H’
E
C
2,43 2,55 2,77 2,60 2,56 2,34 -
0,64 0,69 0,73 0,70 0,71 0,68 -
0,36 0,31 0,27 0,30 0,29 0,32 -
40
3 Indeks H', E dan C
2.5 2 1.5 1
H' E C
0.5
Se lat an
Pr am uk Ut a ar aP ra m uk Ba a ra tP ra m Tim uk a ur Pr am uk a Ba ra tP ar i Ut ar Se aP lat ar an i La nc an g
0
Gambar 11 Histogram keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spons pada kedalaman 15 meter.
4.3. Pengelompokkan habitat ekosistem terumbu karang Indeks Bray Curtis digunakan untuk melihat pola pengelompokkan habitat substrat dasar. Selanjutnya indeks disimilaritas Bray Curtis dikonversi menjadi indeks similaritas dimana indeks similaritas = (1-B) x 100% ; B = indeks disimilaritas Bray Curtis. Pengelompokkan habitat bertujuan untuk melihat tingkat kesamaan (similarity) antar stasiun pengamatan. 4.3.1. Kedalaman 7 meter Pada taraf penskalaan dendrogram 41% yang merupakan nilai rata-rata dari indeks similaritas antar stasiun diperoleh 4 kelompok habitat. Kelompok habitat ke-1 adalah stasiun barat Pramuka dan timur Pramuka, kelompok habitat ke-2 adalah stasiun selatan Pramuka, kelompok habitat ke-3 adalah stasiun barat Pari dan selatan Lancang, serta kelompok habitat ke-4 adalah stasiun utara Pari (Gambar 12).
41
Gambar 12 Dendrogram pengelompokkan habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 7 meter. 4.3.2. Kedalaman 15 meter Rata-rata indeks similaritas antar stasiun pada kedalaman 15 meter adalah 46% dan nilai ini digunakan sebagai titik potong pengelompokkan habitat substrat dasar. Pada kedalaman 15 meter diperoleh 4 kelompok habitat. Kelompok habitat ke1 adalah stasiun barat Pramuka, timur Pramuka dan utara Pari, kelompok habitat ke-2 adalah stasiun selatan Pramuka dan barat Pari, kelompok habitat ke-3 adalah stasiun utara Pramuka, serta kelompok habitat ke-4 adalah stasiun selatan Lancang (Gambar 13).
Gambar 13 Dendrogram pengelompokan habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 15 meter.
42
4.4. Pengelompokkan spons pada ekosistem terumbu karang Pola pengelompokkan spons dan dendrogram diperoleh dengan menggunakan indeks Sorensen. Data numerik spons diubah terlebih dahulu menjadi data binari (ada-tidak ada). 4.4.1. Kedalaman 7 meter Berdasarkan indeks Sorensen (pemotongan dendrogram pada skala 0,65) diperoleh 10 kelompok spesies spons. Kelompok spesies spons ke-1 terdiri dari Achanthella cavernosa, Styotella aurantium dan Adocia sp., kelompok spesies spons ke-2 adalah Chelinaphsilla sp. dan Xestospongia testudinaria, kelompok spesies spons ke-3 adalah Niphates calista, kelompok spesies ke-4 adalah Callyspongia sp., Hirtois erecta, Petrosia sp., Xestospongia sp.1, dan Xestospongia sp.2, kelompok spesies spons ke-5 adalah Neopetrosia sp., kelompok spesies spons ke-6 adalah Paratetilla bacca, kelompok spesies spons ke-7 adalah Clathria reinwardti dan Euryspongia delicatula, kelompok spesies spons ke-8 adalah Clathria vulpina, Cinachyra cylindrica dan Liosiana sp., kelompok spesies spons ke-9 adalah Suberea laboutei, serta kelompok spesies spons ke-10 adalah Dorypleres splendens dan Rhadabstrella globostellata (Gambar 14).
0.65 Rhadabstrella globostellata Dorypleres splendens Suberea laboutei Liosiana sp Cynachyra cylindrica Clathria vulpina Euryspongia delicatula Clathria reinwardti Paratetilla bacca Neopetrosia sp Xestospongia sp 2 Xestospongia sp 1 Petrosia sp Hirtois erecta Callyspongia sp Niphates calista Xestospongia testudinaria Chelinaphsilla sp Adocia sp Styotella aurantium Acanthella cavernosa
0.04
0.2
0.36
0.52
0.68
0.84
1
Gambar 14 Dendrogram pengelompokkan spesies spons pada kedalaman 7 meter.
43
4.4.2. Kedalaman 15 meter Pemotongan dendrogram pada 0,65 diperoleh 9 kelompok spesies spons. Kelompok spesies spons ke-1 terdiri dari Achanthella cavernosa dan Xestospongia testudinaria, kelompok spesies spons ke-2 adalah Aka sp., Clathria sp. dan Paratetilla bacca, kelompok spesies spons ke-3 adalah Adocia sp., Xestospongia sp.1, Xestospongia sp.2, Petrosia sp., Clathria reinwardti, Hirtois erecta, Clathria vulpina, Niphates calista, Cinachyra cylindrica dan Ircinia sp., kelompok spesies ke4 adalah Callyspongia aerizusa, kelompok spesies spons ke-5 adalah Callyspongia sp., Neopetrosia sp., dan Myrmekioderma granulata, kelompok spesies spons ke-6 adalah Dorypleres splendens dan Pseudoceratina verongita, kelompok spesies spons ke-7 adalah Suberea laboutei, kelompok spesies spons ke-8 adalah Higginsia massalis dan Liosiana sp., kelompok spesies spons ke-9 adalah Rhadabstrella globostellata (Gambar 15). 0,65 Rhadabstrella globostellata Liosiana sp Higginsia massalis Suberea laboutei Pseudoceratina verongita Dorypleres splendens Myrmekioderma granulata Neopetrosia sp Callyspongia sp callyspongia aerizusa Ircinia sp cinachyra cylindrica Niphates calista Clathria vulpina Hirtois erecta Clathria reinwardti petrosia sp xestospongia sp 2 xestospongia sp 1 Adocia sp Paratetilla bacca Clathria sp Aka sp xestospongia testudinaria Acanthella cavernosa
0.04
0.2
0.36
0.52
0.68
0.84
1
Gambar 15 Dendrogram pengelompokkan spesies spons pada kedalaman 15 meter.
44
4.5. Hubungan spons terhadap habitat dasar ekosistem terumbu karang Hubungan spons dengan habitat dasar ekosistem terumbu karang dapat dijelaskan dengan analisa nodul yaitu menggabungkan kelompok habitat dasar dengan kelompok spesies spons. Anggota kelompok spesies spons tertentu dapat dikatakan berada/konstan pada seluruh anggota kelompok habitat tertentu apabila kelompok spesies spons tersebut memiliki tingkat kekonstanan yang tinggi (Cij = 1). 4.5.1. Kedalaman 7 meter Kelompok spesies spons yang memiliki tingkat kekonstanan tinggi (Cij = 1) pada kedalaman 7 meter adalah kelompok spesies spons ke-4, ke-5, ke-8 dan ke-9 pada kelompok habitat ke-2 (selatan Pramuka), sedangkan kelompok spesies spons ke-2, ke-3 dan ke-9 memiliki tingkat kekonstanan tinggi terhadap kelompok habitat ke-4 (utara Pari). Kelompok spesies spons dikategorikan memiliki tingkat kekonstanan rendah apabila 0,0 < Cij < 0,5 (Tabel 11). Tabel 11 Indeks konstansi (Cij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 7 meter Kelompok Habitat 1. Barat Pramuka dan Timur Pramuka 2. Selatan Pramuka 3. Barat Pari dan Selatan Lancang 4. Utara Pari
Kelompok Spesies Spons 3 4 5 6 7 0 0,70 0 0,5 0
1 0,67
2 0,25
8 9 0,17 0
10 0,5
0
0
0
1
1
0
0
1 1
0
0
0
0,5
0,80
0,5
0,5
0,75
0 0
0,25
0
1
1
0,60
0
0
0
0 1
0
Suatu kelompok spons dapat diindikasikan memiliki preferensi atau kesukaan yang kuat terhadap suatu kelompok habitat tertentu apabila nilai indeks fidelitas (Fij = 2. Dari hasil analisa pada kedalaman 7 meter diketahui bahwa kelompok spesies spons ke-1, ke-6 dan ke-10 lebih menyukai kelompok habitat ke-1 (barat Pramuka dan timur Pramuka), kelompok spesies spons ke-8 dan ke-9 pada kelompok habitat
45
ke-2 (selatan Pramuka), kelompok spesies spons ke-7 pada kelompok habitat ke-3 (barat Pari dan selatan Lancang) serta kelompok spesies spons ke-2, ke-3 dan ke-9 pada kelompok habitat ke-4 yaitu utara Pari (Tabel 12). Tabel 12 Indeks fidelitas (Fij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 7 meter Kelompok Habitat 1. Barat Pramuka dan Timur Pramuka 2. Selatan Pramuka
1 2 3,02 1,0
Kelompok Spesies Spons 3 4 5 6 7 8 0 0,91 0 2,0 0 0.77
0
0
0
3. Barat Pari dan Selatan Lancang
0
0 1,5
4. Utara Pari
0 4,0 3,0
1,30 3,0
9 0
10 2,0
0
0
4,5
3,0
0
1,04 1,5 1,5
3,0
0
0
1,0
0
0
3,0
0
0,78
0
0
Dari tabel diatas dapat diilustrasikan bahwa kelompok spesies spons ke-1 (Achanthella cavernosa, Styotella aurantium dan Adocia sp.) memiliki tingkat kesukaan yang kuat terhadap kelompok habitat ke-1 yaitu stasiun barat Pramuka dan timur Pramuka (Fij=3,02) meskipun ada anggota kelompok spons ini yang tidak dijumpai pada anggota kelompok habitat tersebut (Cij=0,67). Berdasarkan hasil analisa, kedua stasiun tersebut ternyata memiliki kesamaan karakteristik lingkungan terumbu karang yang tinggi yaitu memiliki persentase penutupan karang mati dengan alga yang tinggi (67.30% dan 72.70%). Kelompok spesies spons ke-2 (Chelinaphsilla sp. dan Xestospongia testudinaria), kelompok spons ke-3 (Niphates calista), kelompok spons ke-5 (Neopetrosia sp.), kelompok spons ke-8 (Clathria vulpina, Cinachyra cylindrica dan Liosiana sp.) serta kelompok spons ke-9 (Suberea laboutei), selain konstan tinggi (Cij=1) juga memiliki preferensi yang kuat terhadap masing-masing kelompok habitatnya.
46
Kelompok spesies spons ke-4 (Callyspongia sp., Hirtois erecta, Petrosia sp., Xestospongia sp.1 dan Xestospongia sp.2) hanya konstan tinggi (Cij=1) pada kelompok habitat ke-2 (selatan Pramuka) yang memiliki persentase penutupan abiotik yang tinggi (68.34%), tetapi tidak memiliki preferensi yang kuat terhadap kelompok habitat ini (Fij=1,03), artinya anggota kelompok spons ke-4 masih dapat dijumpai dalam jumlah terbatas pada stasiun selatan Pramuka karena sesungguhnya tingkat kesukaan spons terhadap habitat ini rendah. Komponen abiotik (pasir, batuan dan patahan karang) yang tinggi menyebabkan sebagian kelompok spons lainnya tidak dapat tumbuh di habitat ini. Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa tiap-tiap anggota kelompok spesies spons pada kedalaman 7 meter ternyata memiliki luasan relung (nichebreadth) yang sempit (hidup secara tertutup) dan memerlukan tempat hidup yang spesifik. Keterkaitan antara masing-masing spesies spons, kelompok habitat dan karakteristik habitat terumbu karang lainnya disajikan pada Tabel 13.
47
Tabel 13 Kelompok spons, kelompok habitat dan karakteristik habitat terumbu karang pada kedalaman 7 meter Kelompok Spons
Kelompok Habitat
Karakteristik Habitat
Acanthella cavernosa Styotella aurantium Adocia sp.
Barat Pramuka dan Timur Pramuka
Karang hidup rendah Mortalitas tinggi Karang mati denga n alga tinggi
Chelinaphsilla sp. Xestospongia testudinaria
Utara Pari
Karang hidup tinggi (85.40%) Mortalitas rendah (0,09) Keanekaragaman tinggi (2,39)
Niphates calista
Utara Pari
Karang hidup tinggi (85.40%) Mortalitas rendah (0,09) Keanekaragaman tinggi (2,39)
Neopetrosia sp.
Selatan Pramuka
Abiotik tinggi (68.34%) Karang hidup rendah (4.9%)
Paratetilla bacca
Barat Pramuka dan Timur Pramuka
Clathria reinwardti Euryspongia delicatula
Barat Pari dan Selatan Lancang
Karang hidup rendah Mortalitas tinggi Karang mati dengan alga tinggi Abiotik tinggi (52.94% dan 87.56%)
Clathria vulpina Cinachyra cylindrica Liosiana sp.
Selatan Pramuka
Abiotik tinggi (68.34%) Karang hidup rendah (4.9%)
Suberea laboutei
Selatan Pramuka ; Utara Pari
Abiotik tinggi (68.34%) ; Karang hidup tinggi (85.40%) dan abiotik rendah (1.2%)
Dorypleres splendens Rhadabstrella globostellata
Barat Pramuka dan Timur Pramuka
Karang hidup rendah Mortalitas tinggi Karang mati dengan alga tinggi
Callyspongia sp. Hirtois erecta Petrosia sp. Xestospongia sp.1 Xestospongia sp.2
48
4.5.2. Kedalaman 15 meter Kelompok spesies spons yang memiliki tingkat kekonstanan tinggi (Cij=1) pada kedalaman 15 meter adalah kelompok spesies spons ke-5 dan ke-7 pada kelompok habitat ke-3 (utara Pramuka). Kelompok spesies spons dikatagorikan memiliki tingkat kekonstanan rendah apabila 0,0 < Cij < 0,5 (Tabel 14). Tabel 14 Indeks konstansi (Cij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 15 meter
Kelompok Habitat
1
Kelompok Spesies Spons 3 4 5 6 7
2
8
9
1. Barat Pramuka, Timur Pramuka dan Utara Pari 2. Selatan Pramuka dan Barat Pari
0
0,11
0,73
0,33
0,67
0,67
0
0
0,33
0,5
0,67
0,85
0
0
0,25
0
0,5
0
3. Utara Pramuka
0,5
0,67
0,60
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4. Selatan Lancang
Pada kedalaman 15 meter diketahui bahwa kelompok spesies spons ke-4 dan ke-9 memiliki preferensi yang kuat terhadap kelompok habitat ke-1 (barat Pramuka, timur Pramuka dan utara Pari), kelompok spesies spons ke-1 dan ke-8 pada kelompok habitat ke-2 (selatan Pramuka dan barat Pari) dan kelompok spesies spons ke-1, ke-5 dan ke-7 pada kelompok habitat ke-3 (utara Pramuka), sedangkan pada kelompok habitat ke-4 (selatan Lancang) tidak dijumpai adanya kelompok spesies spons yang hidup, atau dengan perkataan lain bahwa tiap-tiap kelompok spesies spons memiliki tingkat ketidaksukaan yang kuat terhadap kondisi habitat di selatan Lancang (Tabel 15).
49
Tabel 15 Indeks fidelitas (Fij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 15 meter
Kelompok Habitat
1
Kelompok Spesies Spons 3 4 5 6 7
2
8
9
1. Barat Pramuka, Timur Pramuka dan Utara Pari 2. Selatan Pramuka dan Barat Pari
0
0,26
1,14
2,31
1,56
1,88
0
0
2,31
2,33
1,57
1,32
0
0
0,70
0
3,5
0
3. Utara Pramuka
2,33
1,56
0,93
0
2,33
0
7,0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4. Selatan Lancang
Sebagai ilustrasi dari Tabel 15 diatas dapat dijelaskan bahwa kelompok spesies spons ke-4 (Callyspongia aerizusa) ternyata memiliki kesukaan yang kuat (Fij=2,31) terhadap kelompok habitat ke-5 (barat Pramuka, timur Pramuka dan utara Pari) meskipun tidak selalu dapat dijumpai pada tiap-tiap anggota kelompok habitat (Cij=0,33). Ketiga anggota kelompok habitat tersebut berdasarkan hasil analisa ternyata memiliki kesamaan karakteristik lingkungan yang tinggi, yaitu rendahnya penutupan karang mati (0.00%) serta penutupan karang mati dengan alga dalam kisaran sedang (38.84% di utara Pari) dan baik (70.56% di barat Pramuka dan 55.86% di timur Pramuka). Kelompok spesies spons ke-2 (Aka sp., Clathria sp. dan Paratetilla bacca), kelompok spesies spons ke-3 (Adocia sp., Xestospongia sp.1, Xestospongia sp.2, Petrosia sp., Clathria reinwardti, Hirtois erecta, Clathria vulpina, Niphates calista, Cinachyra cylindrica dan Ircinia sp.) serta kelompok spesies ke-6 (Dorypleres splendens dan Pseudoceratina verongita) konstan rendah (Cij<1) dan tidak memiliki kesukaan yang kuat pada seluruh kelompok habitat, sedangkan kelompok spesies spons ke-7 (Suberea laboutei) selain konstan tinggi (Cij=1) juga memiliki kesukaan yang sangat kuat (Fij=7,0) terhadap kelompok habitat ke-3 yaitu stasiun utara Pramuka dengan tingkat persentase penutupan karang hidup yang sangat tinggi (90.10%).
50
Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa tiap-tiap anggota kelompok spesies spons pada kedalaman 15 meter juga memiliki luasan relung yang sempit (hidup secara tertutup) dan memerlukan tempat hidup yang spesifik. Keterkaitan antara masing-masing spesies spons, kelompok habitat dan karakteristik habitat terumbu karang lainnya disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Kelompok spons, kelompok habitat dan karakteristik habitat terumbu karang pada kedalaman 15 meter Kelompok Spons Acanthella cavernosa Xestospongia testudinaria
Kelompok Habitat Selatan Pramuka dan Barat Pari ; Utara Pramuka
Karakteristik Habitat Tidak ada alga (0.00%) Karang mati sangat rendah
Callyspongia aerizusa
Barat Pramuka, Timur Pramuka dan Utara Pari
Tidak ada karang mati (0.00%) Karang mati dengan alga sedang dan tinggi
Callyspongia sp. Neopetrosia sp. Myrmekioderma granulata
Utara Pramuka
Karang hidup tinggi (90.10%) Keanekaragaman tinggi (2,81)
Suberea laboutei
Utara Pramuka
Karang hidup tinggi (90.10%) Keanekaragaman tinggi (2,81)
Higginsia massalis Liosiana sp.
Selatan Pramuka dan Barat Pari
Tidak ada alga (0.00%) Karang mati rendah (0-0.38%)
Rhadabstrella globostellata
Barat Pramuka, Timur Pramuka dan Utara Pari
Tidak ada karang mati (0.00%) Karang mati dengan alga sedang dan tinggi
Aka sp. Clathria sp. Paratetilla bacca Adocia sp. Xestospongia sp.1 Xestospongia sp.2 Petrosia sp. Clathria reinwardti Hirtois erecta Clathria vulpina Niphates calista Cinachyra cylindrica Ircinia sp.
Dorypleres splendens Pseudoceratina verongita
51
4.5.3. Pembahasan umum Kondisi lingkungan pada habitat berkarang seperti yang dijumpai pada kedalaman 7 meter dan 15 meter merupakan kondisi yang kompleks terutama di dalam tingkat persaingan untuk mendapatkan ruang tumbuh. Burkepile (2004) dalam Harris (2005) menyatakan bahwa tingkat persaingan pada habitat terumbu karang adalah sangat intensif. Beberapa kelompok organisme laut akan mengeluarkan senyawa allelopathic di sekelilingnya sebagai pertahanan terhadap bentik kompetitor ruang, organisme pengotor atau mikroorganisme. Organisme tersebut termasuk spons, karang lunak, anemon, alga dan karang batu (Sammarco dan Coll 1988 dalam Harris 2005). Spesies spons Styotella aurantium, Chelinaphsilla sp. dan Euryspongia delicatula berdasarkan hasil pengamatan hanya dapat dijumpai pada kedalaman 7 meter, sedangkan spesies spons Aka sp., Clathria sp., Ircinia sp., Callyspongia aerizusa, Myrmeckioderma granulata, Pseudoceratina verongita dan Higginsia massalis dapat dijumpai pada kedalaman 15 meter tetapi tidak ditemukan pada kedalaman 7 meter. Sebaliknya spesies spons Xestospongia sp.1, Xestospongia sp.2, Petrosia sp. dan Hirtois erecta ternyata tidak memiliki karakteristik habitat yang spesifik bagi pertumbuhannya baik pada kedalaman 7 meter maupun 15 meter. Hirtois erecta merupakan contoh spesies spons yang mampu beradaptasi terhadap aksi gelombang, kompetisi, arus, predasi, ombak, kekeruhan, sedimentasi serta kondisi yang terlindung karena memiliki sifat konsistensi yang kokoh, spongy dan elastis serta umumnya berbentuk ramose dan pipih. Spesies yang demikian menurut Bergquist dan Tizard (1967) dalam Amir (1992) sangat umum dijumpai di berbagai tempat serta tidak memiliki preferensia bagi biotop yang spesifik, sedangkan Petrosia sp., Xestospongia sp.1 dan Xestospongia sp.2 memiliki konsistensi yang keras dan pejal (Van Soest 1989 dalam Romimohtarto dan Juwana 1999). Suberea laboutei merupakan spesies spons yang unik karena membentuk suatu kelompok spons tersendiri baik pada kedalaman 7 meter maupun 15 meter. Spesies spons ini berdasarkan pengamatan karakteristik habitat pada kedua
52
kedalaman tersebut ternyata lebih menyukai kondisi terumbu karang dengan luas penutupan karang hidup yang tinggi (85.40% - 90.10%). Keragaman spesies yang lebih tinggi pada kedalaman 15 meter (25 jenis) diandingkan kedalaman 7 meter (21 jenis) diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang lebih stabil terkait dengan menurunnya pengaruh aksi gelombang yang digerakkan oleh angin seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan. Spons dijumpai terdistribusi tidak sempurna (patchy) dan bukannya acak (random) baik pada kedalaman 7 meter maupun 15 meter. Pola penyebaran yang demikian dapat memberikan indikasi bahwa ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu telah mengalami degradasi akibat polusi dan sedimentasi secara terus menerus (UNESCO, 1997). Pola tersebut juga dapat menggambarkan tingkat kompetisi yang tinggi antar biota terumbu karang. 4.6. Kualitas perairan terumbu karang Nilai karakteristik fisika dan kimiawi perairan terumbu karang secara umum masih berada dalam kisaran yang dapat mendukung kehidupan biota laut. Nilai kekeruhan dan padatan total tersuspensi (TSS) yang tinggi terdapat pada stasiun barat Pari (10,06 mg/l dan 50,00 mg/l). Nilai kekeruhan dan TSS yang tinggi secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap kehidupan hewan laut yang hidup di ekosistem ini termasuk kehidupan karang dan spons karena dapat mengganggu laju pemompaan (pumping rate) air laut. Kondisi ini diakibatkan oleh substrat berlumpur yang sangat umum dijumpai di stasiun barat Pari. Dari hasil pengamatan biota substrat dasar, stasiun barat Pari menunjukkan persentase penutupan komponen abiotik yang lebih tinggi baik pada kedalaman 7 meter (52.94%) maupun 15 meter (49.84%) dibandingkan stasiun-stasiun lainnya serta penutupan karang hidup dalam kriteria buruk (0.0%-24.9%) yaitu 20.64% pada kedalaman 7 meter dan 19.42% pada kedalaman 15 meter. Nilai N-NO3 dan P-PO 4 pada seluruh stasiun pengamatan menunjukkan nilai yang tinggi dan berada diatas nilai baku mutu yang ditetapkan Kepmen. LH No.51 tahun 2004. Nilai-nilai ini menggambarkan bahwa pada stasiun selatan Pulau Lancang Besar, Pulau Pari dan Pulau Pramuka telah mendapat masukan nutrien yang
53
dihasilkan oleh aktivitas masyarakat dan limbah yang berasal dari wilayah Teluk Jakarta (Tabel 17).
Tabel 17 Nilai karakteristik fisika dan kimiawi perairan terumbu karang
o
Suhu ( C) Salinitas (‰) pH Kekeruhan (NTU) TSS (mg/l) TOM (mg/l) DO (mg/l) BOD5 (mg/l) COD (mg/l) N-NO3 (mg/l) P-PO4 (mg/l) SiO 3 (mg/l)
Selatan
Barat
Timur
Utara
Barat
Utara
Selatan
Baku
Pramuka 29 31 8,12
Pramuka 28 32 8,23
Pramuka 29 31 8,15
Pramuka 29 33 8,23
Pari 29 31 8,10
Pari 29 33 8,00
Lancang 29 32 8,20
mutu 28-30 33-34 7-8,5
0,79 3,00 15,17 7,5 5,6 32 0,459 <0,04 <1,0
0,88 5,00 5,69 7,6 5,7 34 0,482 0,059 <1,0
0,72 4,00 12,01 7,2 5,6 26 0,301 <0,04 <1,0
0,78 4,00 10,74 8,1 5,4 22 0,448 0,046 <1,0
10,06 50,00
0,99 4,00 5,69 7,8 6,8 28 0,414 0,256 <1,0
1,45 2,00 3,16 7,8 6,5 42 0,414 0,068 <1,0
<5 20
8,22 7,9 6,2 30 0,347 <0,04 <1,0
Keterangan : nilai baku mutu berdasarkan Kepmen. LH No.51 Tahun 2004
>5 20 0,008 0,015
54
4.7. Kerapatan jenis dan persentase penutupan lamun Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu jenis lamun yang dijumpai dalam suatu unit area pengamatan yang diukur, sedangkan penutupan jenis lamun adalah luasan area pengamatan yang ditutupi oleh jenis lamun. Penutupan jenis menggambarkan tingkat penaungan ruang oleh komunitas lamun. Informasi mengenai penutupan sangat penting artinya untuk mengetahui kondisi ekosistem secara keseluruhan serta sejauh mana komunitas lamun mampu memanfaatkan luasan yang ada, sebab nilai kerapatan saja belum tentu dapat menggambarkan tingkat penutupan suatu jenis lamun karena nilai penutupan selain dipengaruhi oleh kerapatan juga sangat erat kaitannya dengan tipe morfologi jenis lamunnya (Zulkifli 2000). Kerapatan jenis lamun tertinggi dijumpai pada stasiun selatan Pramuka yaitu sebesar 266,96 individu per meter persegi dan berturut-turut diikuti oleh stasiun barat Pari, timur Pramuka dan selatan Pari. Nilai kerapatan jenis lamun yang terendah dijumpai pada stasiun utara Pramuka (Tabel 18). Tabel 18 Kerapatan jenis lamun pada masing-masing stasiun (ind/m 2 )
Enhalus acoroides Cymodocea rotundata Thallasia hemprichii Halodule uninervis Halophyla ovalis Jumlah
Utara Pramuka 15,67 31,50 44,13 0,00 40,00 131,30
Selatan Pramuka 3,33 97,65 10,00 151,96 4,00 266,94
Timur Pramuka 13,97 75,02 61,73 69.,74 0,00 220 ,46
Selatan Pari 23,15 59,56 49,56 0,00 0,00 132,27
Barat Pari 23,66 93,66 95,28 39,17 0,00 251,77
Persentase penutupan jenis lamun tertinggi dijumpai pad a stasiun barat Pari yaitu sebesar 88.74%. Kondisi substrat dasar berupa pasir halus bercampur lumpur yang dijumpai pada stasiun tersebut merupakan faktor yang mendukung bagi pertumbuhan beberapa jenis lamun (Tabel 18). Tabel 19. Persentase penutupan jenis lamun pada masing-masing stasiun Utara Pramuka Enhalus acoroides
Selatan Pramuka
Timur Pramuka
Selatan Pari
Barat Pari
8.17
6.67
20.98
25.53
16.67
Cymodocea rotundata
16.42
25.74
21.17
25.00
24.63
Thallasia hemprichii
11.40
2.11
13.24
23.79
26.88
0.00
33.44
18.77
0.00
20.56
Halodule uninervis Halophyla ovalis Jumlah
11.49
1.15
0.00
0.00
0.00
47.48
69.11
74.16
74.32
88.74
55
4.8. Pengelompok kan habitat ekosistem lamun Pola pengelompokkan habitat lamun digambarkan dengan analisa cluster berdasarkan indeks similaritas Bray Curtis dengan menggunakan data komposisi habitat. Data komposisi habitat yang digunakan untuk pengelompokkan tersebut adalah nilai kerapatan jenis lamun. Pada taraf penskalaan dendrogram 62% yang merupakan nilai rata-rata dari indeks similaritas antar stasiun diperoleh 3 kelompok habitat. Kelompok habitat ke-1 adalah stasiun barat Pari, utara Pramuka dan timur Pramuka, kelompok habitat ke-2 adalah stasiun selatan Pari dan kelompok habitat ke-3 adalah stasiun selatan Pramuka (Gambar 16).
Gambar 16 Dendrogram pengelompokkan habitat ekosistem lamun.
4.9. Pengelompok kan spons pada ekosistem lamun Berdasarkan indeks Sorensen (pemotongan dendrogram pada skala 0,65) diperoleh 5 kelompok spesies spons. Kelompok spesies spons ke-1 terdiri dari Callyspongia sp. dan Cinachyra cylindrica , kelompok spesies spons ke-2 adalah Callyspongia sp.2, Hirtois erecta, Spheciospongia inconstans dan Theonella sp., kelompok spesies spons ke-3 adalah Haliclona cymaeformis, Haliclona sp. dan Moranchura ungiculata, kelompok spesies spons ke-4 adalah Myxodoryx sp. dan kelompok spesies spons ke-5 adalah Cinachyra sp (Gambar 17).
56 0,65 cynachyra sp Myxodoryx sp Moranchura ungiculata Haliclona sp Haliclona cymaeformis Theonella sp Speciospongia inconstans Hyrtios erecta Callyspongia sp. 2 cynachyra cylindrica Callyspongia sp
0.04
0.2
0.36
0.52
0.68
0.84
1
Gambar 17 Dendrogram pengelompokkan spesies spons di habitat lamun.
4.10. Hubungan spons terhadap habitat ekosistem lamun Hubungan spons dengan habitat dasar ekosistem lamun dapat dijelaskan oleh analisis nodul yaitu menggabungkan kelompok habitat dasar dengan kelompok spesies spons. Kelompok spesies spons yang memiliki tingkat kekonstanan tinggi (Cij=1) adalah kelompok spesies spons ke-1 dan ke-4 terhadap kelompok habitat ke-1 (barat Pari, utara Pramuka dan timur Pramuka), kelompok spesies spons ke-4 dan ke-5 terhadap kelompok habitat ke-2 (selatan Pari) serta kelompok spesies spons ke-1, ke-2 dan ke-4 terhadap kelompok habitat ke-3 (selatan Pramuka) (Tabel 20). Tabel 20 Indeks konstansi (Cij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem lamun Kelompok Habitat Lamun 1. Barat Pari, utara Pramuka dan timur Pramuka 2. Selatan Pari 3. Selatan Pramuka
1
Kelompok Spesies Spons 2 3 4 5 1 0,33 0,33 1 0 0 0,25 0 1 1 1 1 0 1 0
57
Kelompok spesies spons yang memiliki tingkat fidelitas yang tinggi (Fij=2) terhadap kelompok habitat lamun adalah kelompok spesies spons ke-1 terhadap kelompok habitat lamun ke-1 (barat Pari, utara Pramuka dan timur Pramuka), kelompok spesies spons ke-5 terhadap kelompok habitat lamun ke-2 (selatan Pari) serta kelompok spesies spons ke-1 dan ke-2 terhadap kelompok habitat lamun ke-3 ( selatan Pramuka) (Tabel 21). Tabel 21 Indeks fidelitas (Fij) kelompok spesies spons terhadap kelompok habitat ekosistem lamun Kelompok Habitat Lamun 1. Barat Pari, utara Pramuka dan timur Pramuka 2. Selatan Pari 3. Selatan Pramuka
Kelompok Spesies Spons 1 2 3 4 5 5,7 0,73 1,65 1 0 0 0,56 0 1 5 3,33 2,22 0 1 0
Dari kedua tabel diatas dapat diilustrasikan bahwa kelompok spesies spons ke-1 (Callyspongia sp. dan Cinachyra cylindrica ) memiliki tingkat kesukaan yang kuat terhadap kelompok habitat lamun ke-1 yaitu stasiun barat Pari, utara Pramuka dan timur Pramuka (Fij= 5,7) serta kelompok habitat lamun ke-3 yaitu selatan Pramuka (Fij=3,33). Berdasarkan hasil analisa, kelompok habitat lamun ke-1 ternyata memiliki kesamaan karakteristik lingkungan lamun yaitu memiliki nilai kerapatan jenis dan persentase penutupan lamun yang bervariasi, sedangkan kelompok habitat ke-3 pada selatan Pramuka dicirikan oleh kerapatan jenis lamun yang tinggi (266,94 ind/m2 ) dan persentase penutupan jenis lamun sedang (69.11%). Kelompok spesies spons ke-2 (Callyspongia sp.2, Hirtois erecta, Spheciospongia inconstans, Theonella sp.) lebih menyukai kelompok habitat lamun ke-3 (selatan Pramuka). Kelompok spons ke-3 (Haliclona cymaeformis, Haliclona sp., Moranchura ungiculata ) selain tidak konstan juga tidak memiliki kelompok habitat tertentu yang disukainya, sedangkan kelompok spons empat (Myxodorix sp.) meskipun memiliki tingkat kesukaan yang rendah, tetapi spesies spons ini masih dapat dijumpai pada masing-masing kelompok habitat dalam jumlah yang terbatas (Cij=1). Kelompok spesies spons ke-5 (Cinachyra sp.) hanya konstan tinggi pada kelompok habitat ke-2 (selatan Pari) yang memiliki karakteristik kerapatan jenis lamun sedang (132,27), persentase penutupan jenis lamun sedang (74.32%) dan ditumbuhi lamun jenis Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan Thallasia hemprichii.
58
Keterkaitan antara masing -masing spesies spons, kelompok habitat dan karakteristik habitat lamun disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Kelompok spons, kelompok habitat dan karakteristik habitat lamun Kelompok Spons Callyspongia sp. Cinachyra cylindrica
Kelompok Habitat Barat Pari, Utara Pramuka dan Timur Pramuka ; Selatan Pramuka
Callyspongia sp2. Hirtois erecta Spheciospongia inconstans Theonella sp.
Karakteristik Habitat Kerapatan Jenis (131,3-251 ,77) Penutupan Jenis (47.48-88.74%) Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Thallasia hemprichii, Kerapatan Jenis tinggi (266 ,94) Penutupan Jenis sedang (69.11%) Enhalus acoroides, Cymodocea Rotundata, Thallasia hemprichii, Halodule uninervis, Halophyla ovalis
Selatan Pramuka
Kerapatan Jenis tinggi (266 ,94) Penutupan Jenis sedang (69.11%) Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Thallasia hemprichii, Halodule uninervis dan Halophyla ovalis
Selatan Pari
Kerapatan Jenis sedang (132,27) Penutupan Jenis sedang (74.32%) Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Thallasia hemprichii
Haliclona cymaeformis Haliclona sp. Moranchura ungiculata Myxodorix sp. Cinachyra sp.
4.11. Pembahasan umum Habitat padang lamun merupakan habitat berpasir yang dicirikan dengan tingginya turbulensi yang dapat menyebabkan teraduknya sedimen dasar perairan. Sedimen dasar yang teraduk pada habitat ini sebagian akan hinggap pada permukaan tubuh spons dan sebagian lainnya akan tersuspensi di dalam air apabila proses pengadukan sedang berlangsung, sehingga secara tidak langsung akan menghambat proses filtrasi air dan suplai makanan ke dalam tubuh spons. Terganggunya proses metabolisme spons pada habitat berpasir lebih jauh akan menurunkan produksi metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons. Selain itu habitat berpasir memiliki tingkat gangguan biotik yang lebih rendah dibandingkan dengan habitat terumbu karang (Harris 2005).
59
Cinachyra cylindrica dan Hirtois erecta merupakan jenis spons yang mampu beradaptasi terhadap aksi gelombang, arus, predasi, ombak, kekeruhan dan sedimentasi oleh karena sifat konsistensi tubuhnya yang kokoh, spongy serta elastis sehingga sangat umum dijumpai di berbagai tempat termasuk pada habitat padang lamun, sedangkan spesies Haliclona cymaeformis merupakan salah satu spesies spons yang mendominasi lingkungan perairan dengan tingkat sedimentasi yang tinggi dengan ciri terdapatnya bagian tubuh yang dibenamkan ke dalam sedimen, penjuluran lubang keluar masuk air serta terdapatnya butiran pasir dan debris di dalam jaringannya yang memungkinkan spons mampu bertahan hidup pada lingkung an yang berpasir dan berlumpur (Bergquist dan Tizard 1967 dalam Amir 1992). Karakteristik yang demikian juga sangat umum dijumpai pada spesies-spesies spons Spheciospongia inconstans, Theonella sp., Moranchura ungiculata dan Myxodorix sp., sedangkan spons Callyspongia sp., Callyspongia sp.2 dan Haliclona sp. umumnya dijumpai mengolonisasi pangkal daun dan permukaan daun lamun. 4.12. Kualitas perairan padang lamun Secara umum nilai karakteristik fisika dan kimiawi perairan padang lamun pada seluruh stasiun pengamatan masih ber ada dalam kisaran yang dapat mendukung kehidupan hewan laut berdasarkan Kepmen. LH no. 51 tahun 2004, kecuali untuk nilai N-NO 3, dan P-PO4. Seperti halnya pada ekosistem terumbu karang, tingginya nilai kedua parameter ini dapat menggambarkan pula tingginya masukan nutrien akibat aktivitas masyarakat serta pengaruh dari limbah yang bermuara ke laut di wilayah Teluk Jakarta (Tabel 23). Tabel 23. Nilai karakteristik fisika dan kimiawi perairan padang lamun
Suhu (oC) Salinitas (‰) pH Kekeruhan (NTU) TSS (mg/l) TOM (mg/l) DO (mg/l) BOD 5 (mg/l) COD (mg/l) N-NO3 (mg/l) P-PO4 (mg/l) SiO3 (mg/l)
Utara Pramuka 31 32 8,20 1,12 12,00 8,85 7,5 5,0 34 0,437 <0,04 <1,0
Selatan Pramuka 30 33 8,15 1,62 5,00 5,06 7,2 6,0 40 0,335 0,724 <1,0
Timur Pramuka 31 32 7,5 0,83 5,00 4,42 7,5 6,0 44 0,414 <0,04 <1,0
Selatan Pari 30 33 8.1 0,95 8,00 6,32 7,3 6,5 32 0,301 <0,04 <1,0
Barat Pari 30 33 8,23 0,74 3,00 15,80 7,2 6,3 34 0,324 0,072 <1,0
Keterangan : nilai baku mutu berdasarkan Kepmen. LH NO.51 Tahun 2004.
Baku mutu 28-30 33-34 7-8,5 <5 20 >5 20 0,008 0,015
SIMPULAN DAN SARAN
Dari serangkaian penelitian yang dilakukan diperoleh sejumlah simpulan sebagai berikut : 1. Beberapa jenis spons kelas Demospongiae memiliki distribusi yang luas yaitu pada habitat padang lamun di rataan terumbu hingga habitat terumbu karang pada kedalaman 7 meter hingga 15 meter. 2. Keanekaragaman jenis spons pada terumbu karang dengan kedalaman 15 meter lebih tinggi dibandingkan dengan kedalaman 7 meter. 3. Beberapa spesies spons tertentu menyukai karakteristik habitat terumbu karang dengan persentase penutupan karang hidup yang tinggi, sebaliknya anggota kelompok spesies lainnya ternyata lebih menyukai kondisi terumbu karang dengan persentase penutupan karang hidup rendah dan komponen abiotik yang tinggi. 4. Beberapa spesies spons di padang lamun lebih menyukai kondisi yang terekspose, sedangkan anggota kelompok lainnya lebih menyukai kondisi yang terlindung (sheltered ). 5. Spons kelas Demospongiae dapat beradaptasi baik pada kondisi perairan yang keruh maupun jernih dengan tingkat sedimentasi yang bervariasi. Untuk mengkaji lebih lanjut tentang kondisi bioekologi spons Demospongiae disarankan untuk melakukan pengamatan pertumbuhan spons dengan desain dan metode yang dikembangkan. Serangkaian pengamatan tersebut diharapkan akan dapat melengkapi informasi yang dihasilkan dari penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Adiyodi RG, Adiyodi KG. 1992. Reproductive Biology of Invertebrates. Volume ke-5, Sexual Differentiation and Behaviour. New York: John Wiley & Sons. Amir I. 1991. Fauna sepon (Porifera) dari terumbu karang Genteng Besar, PulauPulau Seribu. Oseanologi di Indonesia 24:41-54. Amir I. 1992. [A comparison of sponge fauna of exposed and sheltered reef flats in eastern Indonesia.][dalam bahasa Indonesia]. Marine Research in Indonesia 28:1-12. Amir I, Budiyanto A. 1996. Mengenal spons laut (Demospongiae) secara umum. Oseana 21:15–31. [Bakorsurtanal] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 1999. [peta lingkungan pantai]. Jakarta. Bergquist PR. 1978. Sponges. London: Hutchinson. Brusca RC, Brusca GJ. 1990. Invertebrates. Massachusetts: Sinauer Associates, Inc. Publishers. Collins PL, Arneson C. 2005. Tropical Pasific Invertebrates.
[email protected]. [20 November 2005]. Dartnall JH, Jones M. 1986. A Manual of Survey Methodes for Living Resources in Coastal Area. ASEAN–Australia Cooperative Program in Marin e Science. Australia: AIMS. De Voogd NJ. 2005. An assessment of sponge mariculture potentials in the Spermonde archipelago, Indonesia. Di dalam: Nicole J. De Voogd , editor. Indonesian Sponges: Biodiversity and Mariculture Potential. PhD-thesis. Netherlands: University of Amsterdam. hlm 97-115. De Voogd NJ, Leontine EB, Bert WH, Alfian N, Rob WM Van Soest. 2005. Sponge interactions with spatial competitors. Di dalam: Nicole J. De Voogd, editor. Indonesian Sponges: Biodiversity and Mariculture Potential. PhD-thesis. Netherlands: University of Amsterdam. hlm 77-87. Dillon LS. 1967. Animal Variety. Iowa : Wm.C. Brown Company Publishers. English S, Baker V, Wilkinson C. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia: ASEAN-Australian Marine Project.
62
Fromont J, Bergquist PR. 1994. Reproductive biology of three sponge species of the genus Xestospongia (Porifera: Demospongiae: Petrosida) from the Great Barrier Reef. Coral Reef 13:19-126. Giyanto, Soekarno. 1997. Perbandingan komunitas terumbu karang pada dua kedalaman dan empat zona yang berbeda di Pulau-Pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 30:33 -51. Gomez, Yap. 1988. Monitoring reef condition. Di dalam: Kenchington RA, Hudson, editor. Coral Reef Management Handbook. Jakarta: UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Gosner KL. 1971. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates. New York: John Wiley & Sons. Harris A. 2005. Transplantasi spons Aaptos aaptos Schmidt (Porifera: Demospongia): Perkembangan gamet, pertumbuhan, sintasan, dan bioaktifitas antibakteri ekstrak dan fraksinya [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjan a, Institut Pertanian Bogor. Harris VA. 1988. Sessile Animals of The Sea Shore. London: Chapman and Hall. Harrison FW, De Vos L. 1991. Porifera. Di dalam: Harrison FW, Westfall JA , editor. Microscopic Anatomy of Invertebrates. Volume ke-2, Placozoa, Porifera, Cnidaria, and Ctenophora . New York: John Wiley & Sons. Haywood M, Wells S. 1989. The Manual of Marine Invertebrates. London : Salamander Books Limited. Hickman Jr. CP, Roberts LS, Larson A. 1997. Integrated Principles of Zoology. USA: McGraw-Hill. Hooper JNA et al. 2003. Sessile marine invertebrates. http://www.qmuseum.qld.gov.au/organisation/sections/sessilemarine invertebrates/sponge/. [28-10-2003]. Hooper JNA. 2004. Sponguide: Guide to Sponge Collection and Identification. Amsterdam. Hooper JNA, Van Soest RWM. 2000. System Porifera : a Guide to the Classification of Sponges.Volume ke-1. Amsterdam. Johnson WH, Delanney LE, Williams EC, Cole TA. 1977. Principles of Zoology. USA: Holt, Reinehart and Winston. Kozloff EN. 1990. Invertebrates. Philadelphia: Saunders College Publishing. Levi C, Laboute P. 1998. Sponges of The New Caledonian Lagoon . Institut Francais Resherche Scientifihague pour le developpement parir. France.
63
Muniarsih T, Rachmaniar R. 1998. Isolasi substansi b ioaktif antimikroba dari spons asal Pulau Pari Kepulauan Seribu. Di dalam: Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I; Jakarta, 14-15 Okt 1998. Jakarta: LIPI. hlm 151-158. Muniarsih T. 2003. Metabolit sekunder dari spons sebagai bahan obat-obatan. Oseana 28:27-33. Pawlik JR, Chanas B, Lindel T, Fenical W. 1996. Chemical defense of the Carribean sponges Agelas Clathrodes (Schmidt). Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 208 :185 -196. Pechenik JA. 1991. Biology of The Invertebrates. Iowa: Wm.C. Brown Publisher. Rachmaniar R. 1996. Penelitian produk alam laut skrining substansi bioaktif. Di dalam : Laporan Penelitian Tahun Anggaran 1995/1996 . Jakarta: LIPIPuslitbang Oseanologi. Reseck J.Jr. 1988. Marine Biology. New Jersey : A Reston Book Prentice Hall. Romihmohtarto K, Juwana S. 1999. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta: Puslitbang-LIPI. Rudi E. 2006. Rekrutmen karang (S kleraktinia) di ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu DKI Jakarta [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ruppert EE, Barnes RD. 1991. Invertebrates Zoology. Fort Worth: Saunders College Publishing. Sara M. 1992. Porifera. Di dalam: Adiyodi KG, Adiyodi RG, editor. Reproductive Biology of Invertebrates. Edisi ke-5: Sexual differentiation and Behaviour. New York: John Wiley & Sons. Soest RWM, Van Braekman JC. 1999. Chemosystematics of Porifera: A review. Memoir of the Queensland Museum 44:569-589. Sorokin YI. 1993. Coral Reef Ecology. Berlin: Springer-Verlag. hlm 173-182. Storer TI, Usinger RL, Nybakken JW. 1968. Elements of Zoology. USA: McGraw-Hill Book Company. UNESCO. 1997. The missing islands of www.unesco.org/csi/act. [13-11-2005].
Pulau
Seribu
(Indonesia).
Warren L. 1982. Phylum Porifera. Di dalam: Walls JG, editor. Encyclopedia of Marine Invertebrates. USA: T.F.H. Publications Inc. Ltd. hlm 15–28.
64
Webber, Thurman. 1991. Marine Biology. Edisi ke-2. New York: Harper Collins Publishers Inc. Wilkinson CR. 1980. Cyanobacteria symbiotic in marine sponges. Di dalam: Schwemmler, editor. Endocytobiology: Endosymbiosis and Cell Biology. Berlin : Walter de Gruyter. hlm 553–563. Wilkinson CR, Trott LA. 1983. Light as a factors determining the distribution of sponges accross the Central Great Barrier Reef. Di dalam: Proceeding of the Fifth International Coral Reef Congress. Tahiti. Zulkifli. 2000. Sebaran spasial komunitas perifiton dan asosiasinya dengan lamun di perairan Teluk Pandan, Lampung Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1 Tabel frekuensi kemunculan spesies spons di habitat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 7 meter dan 15 meter No.
Spesies
1 2 3 4 5
Acanthella cavernosa Adocia sp. Aka sp. Callyspongia aerizusa Callyspongia sp.
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Chelinaphsilla sp. Cynachyra cylindrica Clathria reinwardti Clathria sp. Clathria vulpina Dorypleres splendens Euryspongia delicatula Higginsia massalis Hirtois erecta Ircinia sp. Liosiana sp. Myrmekioderma granulata Neopetrosia sp. Niphates calista Paratetilla bacca Petrosia sp. Pseudoceratina verongita Rhabdastrella globastellata Styotella aurantium Suberea laboutei Xestospongia sp.1 Xestospongia sp.2 Xetospongia testudinaria
Utara Pramuka 7m 15m ++
+
Barat Pramuka 7m 15m + ++ +++ + ++ + ++
Timur Pramuka 7m 15m
Selatan Pramuka 7m 15m
++
++
++
+
+
+ +++
+++
++
++
Utara Pari 7m 15m
++
++
+
Barat Pari 7m 15m + ++ ++
+
+
+++ ++
++
++ +
++ +++
++ ++ +
Selatan Lancang 7m 15m
+ ++ ++ +
+ +
++
+
+
++ +
++ ++
++
+++ +
+ + +
++
+
++ +
+++ +++
+ ++
+ ++ + ++ ++
+++ +
+ +++ ++ ++
++
+
+
+++ +
++
++ +
++
++
+ +++
+++
+
++
++ +++
++ +++
+++
++ ++ +++
++ +++
++ +
+ +++
+
+++ ++
++
+++ ++
++ +++
++ ++ +++
++
+ + +
Keterangan : +++ : jumlah >10 individu
++ +++ +++ +
+++
+++ ++
++ : jumlah 2-10 individu
+ + ++
+ : jumlah 1 individu
+ +++ +++ +
++ ++
Bentuk subspheric encrusting branching tube encrusting tube spheric branching encrusting foliose encrusting encrusting subspheric branching tube encrusting subspheric tube encrusting spheric tube tube spheric foliose subspheric encrusting encrusting massive
Lampiran 2 Tabel luas penutupan spesies spons di habitat terumbu karang pada kedalaman 7 meter dan 15 meter No.
Spesie s
1 2 3
Acanthella cavernosa Adocia sp. Aka sp.
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Callyspongia aerizusa Callyspongia sp. Chelinaphsilla sp. Cynachyra cylindrica Clathria reinwardti Clathria sp. Clathria vulpina Dorypleres splendens Euryspongia delicatula Higginsia massalis Hirtois erecta Ircinia sp. Liosiana sp. Myrmekioderma granulata Neopetrosia sp. Niphates calista Paratetilla bacca Petrosia sp. Pseudoceratina verongita Rhabdastrella globastellata Styotella aurantium Suberea laboutei Xestospong ia sp.1 Xestospongia sp.2
28
Xetospongia testudinaria
Utara Pramuka 7m 15m 32
32
Barat Pramuka 7m 15m 20 23 316 12 7 10
187 56
Timur Pramuka 7m 15m 15
69
12
51
18
18 413
157
91
132
25 197 21
39 13
Selatan Pramuka 7m 15m
Utara Pari 7m 15m
25
58
42
12
53
132 99
191
10 27
33 407
148 68 26
33
5
19
16 7
Barat Pari 7m 15m 15 45 51
48 377
Selatan Lancang 7m 15m
58
140 5
27 55 20
132
47
89 27
1305 601
9 21
47 128 18 37 69
1828 5
5 267 94 25
64
18
16
528 12
72
81 13
39
31
8 1369
996
7
19
98 464
248 300
528
19 41 953
112 718
105 24
37 979
7
1432 37
7
122 22 1188
737 152
88 342
15 497 346
151
395 22
5 27 8
64 590 229
840
691 610
30
Keterangan : luas penutupan dalam cm ; luas area pengamatan 300 meter persegi
8 16 62
19
Lampiran 3 Tabel frekuensi kemunculan spesies spons di habitat ekosistem padang lamun No
Spesies
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Cinachyra cylindrica Myxodorix sp. Moranchura ungiculata Haliclona sp. Haliclona cymaeformis Theonella sp. Spheciospongia inconstans Hyrtois erecta Callyspongia sp.2 Cinachyra sp. Callyspongia sp.
Barat Pari
Utara Pramuka
Timur Pramuka
Selatan Pari
Selatan Pramuka
Bentuk
++
++ + + + ++ +++ +++ +
+++
++
++ ++
+++
++
spheric massive branching branching branching branching subspheric branching encrusting spheric tube
Keterangan : +++ : jumlah individu >10 ++ : jumlah individu 2 - 10 + : jumlah individu 1
+
++ +++ ++ ++
++ +
Lampiran 4 Tabel luas penutupan spesies spons di habitat padang lamun No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Spesies
Barat Pari
Utara Pramuka
Timur Pramuka
Selatan Pari
Cinachyra cylindrica Myxodorix sp. 4.75 0.94 1.92 1.19 Moranchura ungiculata 0.33 Haliclona sp. 0.33 Haliclona cymaeformis 0.33 Theonella sp. 0.54 0.5 Spheciospongia inconstans 2.33 Hyrtois erecta 2.0 Callyspongia sp.2 0.10 Cinachyra sp. 1.69 Callyspongia sp. 1.47 1.34 Keterangan : nilai pada tabel dalam persentase per meter persegi area.
Selatan Pramuka 0.17 0.67
0.42 2.95 0.17 0.28 0.28
Lampiran 5 Beberapa spesies spons yang terdapat pada ekosistem terumbu karang pada kedalaman 7 meter dan 15 meter (sumber: dokumen Hibah Pasca sarjana IPB 2005)
Liosiana sp.
Callyspongia aerizusa
Clathria reinwardti.
Adocia sp.
Rhabdastrella globostellata.
Petrosia sp.
Pseudoceratina verongita
Suberea laboutei
Lampiran 6 Beberapa spesies spons yang terdapat pada ekosistem padang lamun (sumber: dokumen Hibah Pascasarjana IPB 2005)
Cinachyra sp.
Callyspongia sp.
Speciospongia inconstans
Moranchura ungiculata
Myxodorix sp.
Theonella sp.
Haliclona cymaeformis
Hirtois erecta