DAMPAK PENANGKAPAN IKAN TERHADAP KESEIMBANGAN TROFIK LEVEL PADA HABITAT LAMUN DI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA
RISTIANI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Penangkapan Ikan terhadap Keseimbangan Trofik Level pada Habitat Lamun di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2012
Ristiani C44080013
ABSTRAK RISTIANI, C44080013. Dampak Penangkapan Ikan terhadap Keseimbangan Trofik Level pada Habitat Lamun di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh AM AZBAS TAURUSMAN dan ROZA YUSFIANDAYANI. Dampak pengoperasian alat tangkap skala kecil pada habitat lamun di Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta diukur berdasarkan indikator struktur ekologis dan trofik level (TL). Trofik level hasil tangkapan nelayan diteliti selama periode Oktober 2011 sampai dengan April 2012. Metode yang digunakan adalah experimental fishing menggunakan set gillnet untuk pengambilan sampel dan untuk analisis isi perut serta untuk kebiasaan makan ikan menggunakan metode jumlah, volumetrik dan frekuensi kejadian dengan analisis data berupa Indeks Relatif Penting dan Indeks Bagian Terbesar. Trofik level dianalisis berdasarkan tiga kasus yang ditemui. Hasil penelitian menunjukkan hasil tangkapan dominan berasal dari famili Holocentridae, yaitu ikan swanggi (Sargocentron rubrum) dan Belonidae, yaitu ikan cendro (Tylosurus strongylura) dengan proporsi masingmasing 26 % dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan berikutnya adalah ikan serak (Scolopsis lineata) dengan proporsi 14,5 % dari total hasil tangkapan. Ukuran rata-rata panjang total jenis ikan hasil tangkapan yang dominan, yakni ikan cendro (65,9 ± 21,7 cm), ikan serak (17,4 ± 1,4 cm) dan ikan swanggi (16,5 ± 1,6 cm). Berat rata-rata hasil tangkapan utama masing-masing jenis ikan tersebut adalah ikan cendro (584 ± 245 gr), ikan swanggi (87 ± 30 gr) dan ikan serak (77 ± 19 gr). Hasil tangkapan nelayan didominasi oleh ikan dengan kebiasaan makan (feeding guilds) yang bersifat herbivorous dan demersal feeders. Dominannya hasil tangkapan nelayan pada TL2 berpotensi menyebabkan ketidakseimbangan trofik level di daerah penangkapan ikan pada padang lamun tersebut.
Kata kunci: dampak penangkapan ikan, trofik level, lamun, Kepulauan Seribu
ABSTRACT RISTIANI, C44080013. (Fishing Impacts on the Balance of Trophic Level in Seagrass Habitat in Seribu Islands, DKI Jakarta Province). Supervised by AM AZBAS TAURUSMAN and ROZA YUSFIANDAYANI. Fishing impacts of small-scale gears operating on seagrass habitat at Seribu Islands, DKI Jakarta Province, was quantified based on a widely accepted ecosystem measure and the ecology structure and the trophic level (TL) indicators. Trophic level of captured fish was evaluated during period October 2011 to April 2012. Fish samples were taken by means of experimental fishing using a set gillnet. In order to evaluate feeding habit a stomach content analysis that consist of quantity, volumetric and frequency of occurrence methods was conducted. The feeding habit data was analyzed by means of Relative Importance and Preponderance Indexes. Trophic level was analyzed base on three cases which found. Result showed that dominant of captured fish came from Holocentridae, that was redcoat (Sargocentron rubrum) and Belonidae that was spottail needlefish (Tylosurus strongylura) with each proportion 26 % of samples. The further dominant of captured fish fish was striped monocle bream (Scolopsis lineata) with proportion 14,5 % of samples. Size of the mean length of dominant captured fish were spottail needlefish (65,9 ± 21,7 cm), striped monocle bream (17,4 ± 1,4 cm) and redcoat (16,5 ± 1,6 cm). Size of the mean weight of dominant captured fish were spottail needlefish (584 ± 245 gr), redcoat (87 ± 30 gr) and striped monocle bream (77 ± 19 gr). Fish in the study area was dominated by herbivorous and demersal feeders. Many fishes that were captured on TL2 had potential to cause unbalanced trophic level in that fishing ground.
Keywords: fishing impacts, trophic level, seagrass, Seribu Islands
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
DAMPAK PENANGKAPAN IKAN TERHADAP KESEIMBANGAN TROFIK LEVEL PADA HABITAT LAMUN DI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA
RISTIANI C44080013
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Dampak Penangkapan Ikan terhadap Keseimbangan Trofik Level pada Habitat Lamun di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta
Nama
: Ristiani
NRP
: C44080013
Program Studi
: Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui Komisi Pembimbing Ketua,
Anggota,
Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi., M.Si. NIP 19730510 200501 1 001
Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi. NIP 19740823 200801 2 006
Diketahui Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP 19621223 198703 1 001
Tanggal ujian: 4 Juni 2012
Tanggal lulus:
PRAKATA Salah satu habitat lamun Kepulauan Seribu terdapat di sekitar Pulau Pramuka, dimana kegiatan penangkapan ikan dilakukan. Aktivitas penangkapan ikan akan memengaruhi keseimbangan trofik level pada habitat ikan. Perubahan tingkat trofik dalam rantai makanan dapat menjadi indikator yang penting bagi keberlanjutan kegiatan penangkapan pada suatu daerah penangkapan ikan. Skripsi ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2011-April 2012 ini adalah dampak penangkapan ikan terhadap keseimbangan trofik level habitat lamun. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi., M.Si. dan Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi. sebagai Komisi Pembimbing atas segala saran dan bimbingannya; 2. Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si. sebagai Komisi Pendidikan Departemen PSP dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. yang telah berkenan menjadi penguji pada sidang skripsi ini serta atas segala saran-sarannya; 3. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. sebagai Pembimbing Akademik; 4. Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu di Salemba dan di Pulau Pramuka, serta Pak Abdullah dan keluarganya; 5. Orang tua, sanak saudara, para sahabat dan teman lama yang selalu memberikan semangat dan doa; 6. Teman satu menara di Rusunawa, Griya Biru dan Wisma Wina yang telah menjadi “rumah” selama penulis di Bogor. 7. Tim ekspedisi lamun (PSP 45, PSP 43, PSP 46, Biologi UIN dan MSP Undip), tim laboratorium (PSP 45, MSP 45 dan MSP 46) serta teman seperjuangan SMA, TPB, keluarga besar IMBR, PSP dan MSP IPB atas segala bantuannya. 8. Pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca. Bogor, Juli 2012 Ristiani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Curup Provinsi Bengkulu pada tanggal 4 Mei 1990 dari Bapak Alm. Antoni dan Ibu Sri Suarsih. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Curup pada tahun 2008 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Teknologi Alat Penangkapan Ikan pada tahun ajaran 2011/2012 dan 2012/2013, mata kuliah Manajemen Operasi Penangkapan Ikan pada tahun ajaran 2011/2012, serta mata kuliah Navigasi Kapal Perikanan pada tahun ajaran 2012/2013. Penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Himafarin) dan menjadi Sekretaris II pada tahun 2010 serta Sekretaris Umum pada tahun 2011. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Dampak Penangkapan Ikan terhadap Keseimbangan Trofik Level pada Habitat Lamun di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta” untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Penulis dinyatakan lulus dalam ujian akhir sarjana pada tanggal 4 Juni 2012.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii 1
2
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang .................................................................................
1
1.2
Permasalahan ....................................................................................
3
1.3
Tujuan...............................................................................................
3
1.4
Manfaat.............................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ekosistem Padang Lamun ................................................................
6
2.2
Ekologi Plankton ..............................................................................
9
2.3
Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun............................................... 10 2.3.1 Famili Siganidae ...................................................................... 12 2.3.2 Famili Lethrinidae .................................................................... 13 2.3.3 Famili Labridae ........................................................................ 14
2.4 Trofik Level ...................................................................................... 15 2.5 Pendekatan Ekosistem ....................................................................... 18 2.6 Daerah Penangkapan Ikan ................................................................. 20 2.7 Alat Tangkap Jaring Insang Tetap (Set Gillnet) ................................ 20 2.8 Hubungan Panjang dan Berat Ikan .................................................... 21 3
METODE PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat ............................................................................ 22
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................. 22 3.3 Metode Pengambilan Data ................................................................ 22 3.3.1 Pengisian kuesioner .................................................................. 23 3.3.2 Penelitian ikan .......................................................................... 23 3.4 Metode Analisis Data ........................................................................ 25 3.4.1 Analisis kuesioner .................................................................... 3.4.2 Analisis panjang dan berat ikan ............................................... 3.4.3 Analisis perbandingan hasil tangkapan .................................... 3.4.4 Analisis isi perut ikan (stomach content analysis) ...................
25 25 26 26 ix
3.4.5 Analisis trofik level hasil tangkapan ........................................ 27 4
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan .............................................. 29 4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap ................................................. 31 4.3 Unit Penangkapan Ikan pada Habitat Padang Lamun ....................... 33 4.4 Keadaan Lamun di Pulau Pramuka ................................................... 35 4.5 Struktur Komunitas Plankton di Perairan Pulau Pramuka ................ 37
5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Komposisi Hasil Tangkapan ............................................................. 38
5.2 Perbandingan Panjang dan Berat Ikan .............................................. 42 5.3 Komposisi Makanan Ikan ................................................................. 43 5.3.1 Komposisi makanan famili Siganidae .................................... 5.3.2 Komposisi makanan famili Mugilidae ................................... 5.3.3 Komposisi makanan famili Belonidae ................................... 5.3.4 Komposisi makanan famili Labridae ..................................... 5.3.5 Komposisi makanan famili Leiognathidae............................. 5.3.6 Komposisi makanan famili Serranidae .................................. 5.3.7 Komposisi makanan famili Lethrinidae ................................. 5.3.8 Komposisi makanan famili Nemipteridae .............................. 5.3.9 Komposisi makanan famili Holocentridae ............................. 5.3.10 Komposisi makanan famili Lutjanidae ..................................
43 45 45 46 47 48 48 49 50 51
5.4 Trofik Level Hasil Tangkapan .......................................................... 52 6
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 58 6.2
Saran .................................................................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 60 LAMPIRAN ........................................................................................................ 64
x
DAFTAR TABEL Halaman 1
Daftar makanan Siganidae ......................................................................... 13
2
Daftar makanan Lethrinidae ...................................................................... 14
3
Daftar makanan Labridae .......................................................................... 15
4
Kebiasaan makan spesies estuarine ........................................................... 16
5
Jenis data dan metode pengumpulannya.................................................... 23
6
Luas pulau beserta peruntukkan di Kelurahan Pulau Panggang ................ 29
7
Keadaan RT/RW di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka ........................ 30
8
Kondisi parameter fisika-kimia perairan Pulau Pramuka .......................... 31
9
Keadaan umum perikanan Kepulauan Seribu............................................ 31
10
Statistik alat tangkap Provinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu .......... 32
11
Rata-rata persentase penutupan setiap jenis lamun di Pulau Pramuka ...... 36
12
Kelimpahan fitoplankton (sel/m3) di perairan Pulau Pramuka .................. 37
13
Kelimpahan zooplankton (ind/m3) di perairan Pulau Pramuka ................. 37
14
Komposisi hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu .............................................. 39
15
Hubungan panjang dan berat ikan hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu....... 42
16
Jenis dan nilai IP organisme makanan ikan baronang ............................... 43
17
Jenis dan nilai IP organisme makanan ikan lingkis ................................... 44
18
Jenis dan nilai IP organisme makanan ikan belanak ................................. 45
19
Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan cendro ................................ 46
20
Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan jarang gigi .......................... 47
21
Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan lencam ................................ 48
22
Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan pasir ................................... 49
23
Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan serak ................................... 49
24
Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan swanggi .............................. 51
25
Nilai trofik level hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu .......................................... 53
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran pendekatan penelitian...............................................
4
2
Tahap-tahap pelaksanaan penelitian ..........................................................
5
3
Jenis tumbuhan lamun di Indonesia ...........................................................
7
4
Rantai makanan pada ekosistem lamun ..................................................... 11
5
Famili Siganidae ........................................................................................ 12
6
Famili Lethrinidae ..................................................................................... 13
7
Famili Labridae.......................................................................................... 14
8
Nelayan yang menangkap ikan di lokasi penelitian .................................. 34
9
Kapal yang digunakan pada penelitian ...................................................... 34
10
Konstruksi alat tangkap set gillnet............................................................. 35
11
Alat tangkap yang digunakan pada penelitian ........................................... 35
12
Jumlah hasil tangkapan pada bulan Januari dan bulan Maret 2012........... 38
13
Persentase hasil tangkapan total selama penelitian ................................... 40
14
Grafik trofik level hasil tangkapan setiap jenis ikan yang tertangkap pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka ............................. 54
15
Grafik total biomassa hasil tangkapan pada setiap tingkat rantai makanan di habitat padang lamun perairan Pulau Pramuka ...................... 54
16
Grafik hubungan antara trofik level dengan panjang maksimum spesies ikan hasil tangkapan di habitat padang lamun perairan Pulau Pramuka ........................................................................................... 55
17
Gambar rantai makanan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka berdasarkan analisis feeding guilds hasil tangkapan ........ 56
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta sebaran lamun di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu ........................ 65
2
Peta lokasi penelitian ................................................................................. 66
3
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ....................................... 67
4
Statistik produksi sumberdaya ikan Kepulauan Seribu tahun 2010 .......... 68
5
Hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu ............................................................ 71
6
Komposisi hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu .............................................. 73
7
Perhitungan Indeks Bagian Terbesar dan Indeks Relatif Penting ............. 75
8
Gambar makanan utama ikan hasil tangkapan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu ............................... 77
9
Hasil perhitungan Mann-Whitney U Test dan ANOVA ........................... 79
xiii
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Daerah
penangkapan
ikan
merupakan
wilayah
perairan
tempat
berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang terdapat didalamnya (Simbolon 2006). Pertimbangan tiga aspek utama, yaitu aspek sumberdaya ikan, lingkungan perairan sebagai habitat sumberdaya ikan dan teknologi alat penangkapan ikan merupakan salah satu langkah dalam proses optimasi penentuan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan menguntungkan. Lingkungan perairan mempunyai peran yang sangat besar dalam menunjang produktivitas perikanan. Ekosistem pesisir yang meliputi estuaria, laguna, padang lamun, terumbu karang dan laut dangkal merupakan beberapa daerah penangkapan ikan yang potensial untuk perikanan tangkap skala kecil. Penelitian tentang habitat ikan pada mangrove dan terumbu karang di Indonesia telah cukup banyak dilakukan.
Namun, penelitian aspek perikanan tangkap pada padang
lamun masih sangat terbatas. Terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik, komponen tumbuhan dan komponen hewan di dalam ekosistem lamun sebagai satu sistem ekologi (Hutomo 2009) serta terdapat fungsi ekologis yang sangat penting sebagai habitat dan pelindung sumberdaya ikan. Menurut Fortes (1990) ekosistem yang berasosiasi dengan terumbu karang ini diduga menyumbang sekitar 12 % hasil tangkapan dunia atau mampu menyediakan lebih dari 1/5 perikanan tangkap di negara-negara berkembang. Indikasi ikan-ikan berkumpul di daerah penangkapan ikan antara lain disebabkan oleh adanya sumber makanan sehingga terbentuk rantai makanan dan jaring-jaring makanan, misalnya berkumpulnya ikan di sekitar rumpon (Yusfiandayani 2004).
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001) rantai
makanan dalam ekosistem lamun tersusun dari tingkat-tingkat trofik yang mencangkup proses dan distribusi detritus organik dari ekosistem lamun ke konsumen. Supriharyono (2007) juga menyebutkan bahwa produktivitas primer yang berasal dari ekosistem padang lamun, selain bersumber dari tumbuhan lamun
2
itu sendiri juga berasal dari alga dan organisme fitoplankton yang menempel di daun lamun (epiphyte) atau di sekitar perairan tersebut. Salah satu ekosistem padang lamun terdapat di sekitar Pulau Pramuka, dimana berbagai kegiatan manusia termasuk penangkapan ikan dilakukan di perairan pesisir (padang lamun).
Beberapa penelitian tentang keterkaitan
ekosistem lamun dengan sumberdaya ikan di Indonesia telah dilakukan baru-baru ini oleh Liu (2008) dan Unsworth (2009). Penelitian tersebut menjadi informasi bahwa fungsi lamun memberikan nilai lebih sebagai habitat ikan sehingga sangat penting
untuk
menunjang
daerah
penangkapan
ikan
(fishing
ground).
Pertumbuhan manusia yang cepat akan memengaruhi intensitas penangkapan. Intensitas penangkapan yang meningkat dapat mengubah struktur trofik habitat dan menyebabkan penurunan ukuran ikan serta dalam jangka panjang dapat mengakibatkan punahnya spesies tertentu. Ningrum (2011) dan Aprilia (2011) telah melakukan penelitian mengenai dampak penggunaan alat tangkap terhadap habitat di suatu daerah penangkapan ikan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang cenderung lebih mengeksploitasi ikan pelagis kecil seperti kasus di Serang, berpotensi merusak keseimbangan ekosistem (jaring makanan). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian terkait dengan menganalisis trofik level hasil tangkapan nelayan di daerah penangkapan ikan pada habitat padang lamun. Hal yang diteliti terkait dengan indikator ekologis ikan dengan tujuan melihat keseimbangan populasi ikan di suatu perairan terutama di daerah penangkapan ikan, sehingga kegiatan penangkapan ikan harus selaras dengan prinsip-prinsip keseimbangan ekologis walaupun mengusahakan hasil tangkapan yang paling menguntungkan, demi keberlanjutan dan kelestarian potensi perikanan di daerah tersebut. Penangkapan ikan memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap ekosistem laut, termasuk padang lamun. Dampak ini diidentifikasi pada skala waktu dan level yang berbeda pada organisasi biologis, yaitu populasi, komunitas dan ekosistem. Menurut Froese dan Pauly (2000) pada dasarnya trofik level adalah posisi suatu organisme dalam jaring makanan. Perubahan rata-rata trofik level merupakan salah satu indikator keberlanjutan suatu daerah penangkapan
3
ikan. Kerangka pemikiran ini secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1. Oleh karena itu, penelitian mengenai trofik level ini perlu dilakukan untuk mengetahui struktur ekologis hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun. Selain itu dengan dilakukannya penelitian ini, dapat dianalisis dan ditentukan trofik level hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Gambar 2 menjelaskan lebih lanjut mengenai tahapan pelaksanaan penelitian.
1.2
Permasalahan Aktivitas penangkapan ikan akan memengaruhi habitat di daerah
penangkapan ikan tersebut.
Intensitas penangkapan yang meningkat dapat
mengubah struktur trofik habitat dan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan punahnya spesies tertentu. Perubahan tingkat trofik dalam rantai makanan pada habitat padang lamun dapat menjadi salah satu indikator yang penting bagi keberlanjutan kegiatan penangkapan pada suatu daerah penangkapan ikan, khususnya di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini, yaitu untuk:
1) Mengetahui struktur ekologis hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta; 2) Menganalisis dan menentukan trofik level hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah:
1) Memberikan informasi ilmiah tentang struktur ekologis dan trofik level hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta; 2) Memberikan informasi kepada nelayan dan pemerintah atau pengelola sumberdaya ikan tentang status pemanfaatan sumberdaya ikan pada habitat
4
padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.
Padang lamun
Habitat biota laut
Produsen primer
Penunjang sumberdaya perikanan
Pendaur zat hara
Stabilisator sedimen Latar Belakang
Habitat bukan lamun
Habitat lamun
Intensitas penangkapan yang meningkat dapat memengaruhi struktur trofik habitat dan menyebabkan penurunan ukuran ikan
Permasalahan Indikator ekologis perikanan di habitat lamun
Input
Analisis panjang-berat ikan
Analisis isi perut ikan
Analisis perbandingan hasil tangkapan
Analisis feeding guilds
Proses Struktur ekologis
Trofik level
Output Status pemanfaatan SDI pada penelitian
Keberlanjutan fishing ground
Tujuan
Gambar 1 Kerangka pemikiran pendekatan penelitian
5
Mulai
Isu-isu mengenai intensitas penangkapan yang meningkat dapat mengubah struktur trofik habitat dan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan punahnya spesies tertentu
Pengisian kuesioner: wawancara nelayan
Tidak Cukup
Ya Kegiatan penangkapan: struktur ekologis hasil tangkapan nelayan
Tidak Cukup
Ya Analisis isi perut ikan: komposisi makanan dan feeding guilds
Tidak Cukup
Ya Struktur ekologis dan trofik level
Tidak Aplikatif
Ya Selesai
Gambar 2 Tahap-tahap pelaksanaan penelitian
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Padang Lamun Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), lamun (seagrass) adalah satu-
satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di perairan pantai yang dangkal. Seperti halnya rumput di darat, lamun mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap yang efektif untuk berkembang biak. Berbeda dengan tumbuhtumbuhan laut lainnya (alga dan rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji.
Lamun juga mempunyai akar dan sistem internal untuk
mengangkut gas dan zat-zat hara. Kuriandewa (2009) menyebutkan sekitar tiga belas jenis lamun telah dilaporkan terdapat di perairan Indonesia. Terdapat dua jenis yakni Halophila beccari dan Ruppia maritima yang dipercaya terdapat di Indonesia, meskipun keberadaan keduanya hanya diketahui dari herbarium lama yang tersimpan di Herbarium Bogor.
Jenis-jenis lamun tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Klasifikasi tumbuhan lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia adalah sebagai berikut: Divisi
: Magnoliophyta (sebelumnya masuk divisi Spermatophyta)
Kelas
: Liliopsida
Famili
: Cymodoceaceae Hydrocharitaceae I CYMODOCEACEAE
1) Halodule pinifolia (Hp) 2) Halodule uninervis (Hu) 3) Cymodocea rotundata (Cr) 4) Cymodocea serrulata (Cs) 5) Syringodium isoetifolium (Si) 6) Thalassodendron ciliatum (Tc) II HYDROCHARITACEAE 1) Enhalus acoroides (Ea) 2) Thalassia hemprichii (Th)
7
3) Halophila decipiens (Hd) 4) Halophila ovalis (Ho) 5) Halodule spinulosa (Hs) 6) Halodule minor (Hm) 7) Halodule Sulawesi (Hsu) (ditemukan oleh Kuo tahun 2007) • Halophila beccarii * • Ruppia maritima* *) Hanya terdapat specimennya saja di Kebun Raya Bogor
Sumber: Kuriandewa 2009
Gambar 3 Jenis tumbuhan lamun di Indonesia Hutomo dan Azkab (1987) menambahkan bahwa padang lamun mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai berikut:
8
1) Produsen primer, lamun menjadi sumber makanan alami bagi ikan herbivora seperti dugong. Proses dekomposisi daun lamun dapat dikonsumsi langsung oleh hewan pemakan serasah; 2) Habitat biota, padang lamun memberikan perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuhan. Lamun dapat juga berfungsi sebagai daerah perlindungan; 3) Tempat
perkembangbiakan
(spawning
grounds),
pengasuhan
(nursery
grounds), serta tempat mencari makanan (feeding grounds) bagi biota-biota perairan (Kiswara 2009); 4) Penangkap sedimen, komunitas lamun yang lebat dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak, yang menyebabkan perairan mangrove tenang, maka dapat disimpulkan ekosistem lamun bertindak sebagai pencegah erosi dan penangkap sedimen. Rimpang dan akar lamun menangkap dan menggabungkan sedimen di padang lamun sehingga meningkatkan stabilitas permukaan di bawahnya dan menjadikan air lebih jernih; 5) Pendaur zat hara, lamun memegang peranan yang penting dalam mendaur ulang material organik dan elemen-elemen langka di lingkungan laut; 6) Makanan dan kebutuhan lain, lamun dapat dipergunakan sebagai makanan yang dikonsumsi secara langsung. Buah Enhalus di Kepulauan Seribu sering dicampur dengan kelapa atau di Australia sering dimakan setelah dimasak. Beberapa jenis lamun dapat dipergunakan sebagai makanan tetap di Papua Nugini. Zostera dalam beberapa percobaan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas; 7) Penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan (Nybakken 1988). Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan padang lamun menurut Nybakken (1988) yaitu perairan laut dangkal berlumpur dan mengandung pasir, kedalamannya tidak lebih dari 10 m agar cahaya dapat menembus, suhu antara 2030 oC, kadar garam antara 25-35 ‰/mil serta kecepatan arus sekitar 0,5 m/detik. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10-45 ‰ dan umumnya lamun membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4-29 % untuk dapat tumbuh dengan ratarata 11 % (Hemminga dan Duarte 2000).
9
Mengingat bahwa padang lamun merupakan sumberdaya alam yang mempunyai
berbagai
fungsi
dan
peningkatan
aktivitas
manusia
dapat
menyebabkan kerusakan padang lamun, maka pada tahun 2004 Menteri Negara Lingkungan Hidup menetapkan keputusan tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. KEPMEN LH (2004) ini menyebutkan bahwa status padang lamun adalah tingkatan kondisi padang lamun pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan padang lamun dengan menggunakan persentase luas tutupan lamun dan area kerusakan. Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi padang lamun (KEPMEN LH 2004) adalah metode transek dan petak contoh (transect plot). Metode transek dan petak contoh adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Status padang lamun dinilai baik dengan kondisi kaya/sehat apabila persentase penutupan ≥ 60 %, namun untuk kondisi kurang kaya/kurang sehat (30-59,9 %) dan pada kondisi miskin (≤ 29,9 %) status padang lamunnya dinilai rusak. Luas area kerusakan ≥ 50 % menunjukkan tingkat kerusakan tinggi, 30-49,9 % menunjukkan tingkat kerusakan sedang dan ≤ 29,9 % menunjukkan tingkat kerusakan rendah.
2.2
Ekologi Plankton Plankton adalah hewan dan tumbuhan yang memiliki daya renang yang
sangat lemah sehingga tidak kuat untuk melawan arus laut (Nybakken 1988). Plankton yang terdiri dari organisme berklorofil dan mampu melakukan fotosintesis dinamakan fitoplankton, sedangkan plankton yang tidak mampu melakukan fotosintesis dinamakan zooplankton. Selanjutnya dinyatakan bahwa secara vertikal, konsentrasi fitoplankton bukan berada di permukaan air tetapi terletak beberapa meter di bawah permukaan air. Hal ini diperkirakan karena adaptasi fitoplankton terhadap pengaruh cahaya yang terlalu kuat di permukaan air, yang dapat menyebabkan kerusakan sel fitoplankton. Nybakken (1988) jmengemukakan tentang penggolongan kelompok plankton berdasarkan daur hidup dan ukuran tubuhnya.
Holoplankton dan
10
meroplankton merupakan penggolongan plankton berdasarkan daur hidupnya. Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur hidupnya sebagai plankton, sedangkan meroplankton adalah organisme plankton yang sebagian saja dari daur hidupnya sebagai plankton. Contoh meroplankton yaitu larva udang, larva ikan dan berbagai larva makhluk hidup di mana pada saat larva, organisme ini bersifat sebagai plankton dan setelah dewasa berubah bentuk serta sifat hidup sehingga tidak dapat lagi digolongkan sebagai plankton. Penggolongan plankton berdasarkan ukuran tubuhnya tidak membedakan fitoplankton dan zooplankton. Penggolongan plankton ini dijelaskan pula oleh Nybakken (1988), yaitu sebagai berikut: 1) Megaplankton: plankton yang ukuran tubuhnya di atas 2,0 mm; 2) Makroplankton: plankton yang ukuran tubuhnya 0,2-2 mm; 3) Mikroplankton: plankton yang ukuran tubuhnya 20-0,2 µm; 4) Nanoplankton: plankton yang ukuran tubuhnya 2-20 µm; 5) Ultraplankton: plankton yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari 2 µm.
2.3
Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun Lestari (2010) mengemukakan bahwa ikan merupakan salah satu organisme
yang berasosiasi dengan padang lamun. Peranan lamun dalam kehidupan ikan yaitu sebagai daerah asuhan dan perlindungan (nursery grounds), sebagai makanan ikan dan sebagai padang penggembalaan atau tempat mencari makan (feeding grounds). Keanekaragaman dan kelimpahan kumpulan ikan berubah sesuai dengan perubahan kondisi struktur lamun, sebab perubahan dalam indeks luas daun akan mengubah laju pemangsaan yang memengaruhi kelimpahan juvenil ikan dan distribusi ikan predator besar. Rantai makanan pada padang lamun dapat dijelaskan oleh Gambar 4. Berbagai penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa ada empat kategori utama asosiasi ikan dengan padang lamun di perairan Indonesia (Tomascik et al. 1997), yaitu sebagai berikut: 1) Penghuni tetap yang memijah dan menghabiskan kebanyakan hidupnya di padang lamun (full-time residents), misalnya: Apogon margaritophorus.
11
2) Penghuni yang menghabiskan hidupnya, tetapi memijah di luar padang lamun, misalnya:
Halichoeres
leparensis,
Pranaesus
duodecimatis,
Paramia
quiquelineata, Gerres macrosoma, Monacanthus tomemtosus, Monachantus hajam, Hemigliphidodon plagiumetopon dan Sygnathoides biacukeatus. 3) Penghuni yang ada di padang lamun hanya selama tahapan juvenilnya, misalnya: Siganus canaliculatus, Siganus virgatus, Siganus chrysospilos, Lethrinus sp., Scarus sp., Abudefduf sp., Monachantus mylii, Mulloides samoenis, Pelates quadrilineatus dan Upeneus tragula. 4) Penghuni berkala atau transit yang mengunjungi padang lamun untuk berlindung atau mencari makan (occasional residents).
Sumber: Fortes 1990
Gambar 4 Rantai makanan pada ekosistem lamun
Lebih lanjut Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa habitat padang lamun yang berdekatan dengan terumbu karang atau terkadang bersatu dengan terumbu karang membentuk suatu komunitas lamun yang homogen dan beberapa diantaranya membentuk komunitas yang terdiri dari dua sampai tiga spesies lamun. Ikan yang banyak ditemukan di perairan ini adalah dari famili Siganidae, Lethrinidae dan Labridae.
12
2.3.1 Famili Siganidae Siganidae diklasifikasikan sebagai berikut (Linnaeus 1758): Filum
: Chordata
Sub filum : Vertebrata Kelas
: Actinopterygii
Sub kelas : Teleostei Ordo
: Percimorfes
Famili
: Siganidae
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
Gambar 5 Famili Siganidae
Ciri-ciri morfologis Siganidae yaitu: panjang maksimum 40 cm, sirip perut memiliki 3 duri yang terletak di antara bagian dalam dan luar tulang belakang, sirip punggung terdiri dari 13 duri keras dan 10 duri lunak, sirip ekor memiliki 7 duri keras dan 9 duri lunak. Duri-duri ini beracun. Siganidae hidup bergerombol di Indo-Pasifik dan Mediterania Timur. Ciri-ciri ini dapat dilihat pada Gambar 5. Siganidae di Indonesia kurang lebih dua belas jenis. Selain dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi, Siganidae juga banyak dipelihara sebagai ikan hias, bahkan sudah dapat dibudidayakan. Siganidae dapat digunakan sebagai kontrol alga dan disebut juga ikan kelinci karena memiliki gigi yang menonjol keluar. Pola warna tubuh Siganidae beragam, ada yang berbintik-bintik misalnya pada Siganus corallinus, Siganus canaliculatus dan Siganus guttatus. Ada pula yang memiliki garis menyerupai selempang dari punggung ke arah kepala, misalnya Siganus virgattus sementara, pola yang rumit penuh dengan garis kelok-kelok terdapat pada Siganus vermiculatus dan Siganus puellus (Kuncoro 2008). Kuncoro (2008) juga mengemukakan bahwa Siganidae atau sering disebut golongan ikan baronang memiliki tubuh yang lebar dan pipih. Tubuhnya tertutup
13
sisik-sisik yang halus, dengan warna dan pola yang bervariasi. Mulutnya kecil dan digunakan untuk memakan tumbuhan laut (bersifat herbivora).
Hal ini
menyebabkan Siganidae sering terdapat di daerah padang lamun maupun tempat yang banyak ditumbuhi rumput lautnya. Makanan pokok Siganidae berdasarkan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Daftar makanan Siganidae Makanan 1 tumbuhan zooplankton zoobentos
Makanan 2 tumbuhan lainnya plankton, avertebrata lainnya cacing, crustacea, serangga
Makanan 3 alga, rumput laut plankton, avertebrata lainnya polychaeta, isopoda, serangga
Tingkat Predator juvenil/dewasa juvenil/dewasa juvenil/dewasa
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
2.3.2 Famili Lethrinidae Lethrinidae diklasifikasikan sebagai berikut (Valenciennes 1830): Filum
: Chordata
Sub filum : Vertebrata Kelas
: Actinopterygii
Sub kelas : Teleostei Ordo
: Percimorfes
Famili
: Lethrinidae
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
Gambar 6 Famili Lethrinidae
Ciri-ciri morfologis Lethrinidae yaitu: sirip punggung terdiri dari 10 duri keras dan 9-10 duri lunak, sirip ekor memiliki 3 duri keras dan 8-10 duri lunak. Duriduri ini beracun.
Lethrinidae memiliki keel dan gigi molariform untuk
menghancurkan makanan yang keras. Ciri-ciri ini dapat dilihat pada Gambar 6.
14
Lethrinidae hidup soliter atau bergerombol dan tidak tampak secara teritorial. Mereka sering membentuk agregasi besar ketika melakukan pemijahan. Ikan ini tersebar di perairan tropis Indo-Pasifik di wilayah pesisir mulai dari daerah yang berdekatan dengan terumbu karang. Kebiasaan makannya bersifat karnivora dan mencari makan pada malam hari di dasar perairan. Makanan pokok Siganidae berdasarkan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Daftar makanan Lethrinidae Makanan 1 zoobentos nekton zoobentos
Makanan 2 bentos, crustacea finfish bentos, avertebrata lainnya
Makanan 3 Tingkat Predator kepiting juvenil/dewasa finfish lainnya dewasa bentos, avertebrata dewasa lainnya
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
2.3.3 Famili Labridae Labridae diklasifikasikan sebagai berikut (Bloch 1791): Filum
: Chordata
Sub filum : Vertebrata Kelas
: Actinopterygii
Sub kelas : Teleostei Ordo
: Percimorfes
Famili
: Labridae
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
Gambar 7 Famili Labridae
Ciri-ciri morfologis Labridae yaitu: panjang maksimum 2-3 m, banyak yang kurang dari 15 cm dan panjang minimum 4,5 cm, gigi biasanya menonjol ke luar
15
dan bentuknya jarang-jarang, sirip punggung terdiri dari 8-21 duri, sirip ekor memiliki 4-6 duri keras dan 7-18 duri lunak. Sebagian besar spesies ini dapat berubah warna dan jenis kelamin sesuai dengan pertumbuhan. Labridae tersebar di Atlantik, Hindia dan Pasifik. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Labridae atau ikan Wrasses (orang Jawa menyebutnya sebagai ikan Bayeman), merupakan famili ikan yang bertubuh kecil walau ada yang berukuran raksasa, yaitu Coris formosa. Warna tubuhnya menarik dan memiliki gigi yang kuat untuk memecah karang, lobster dan beberapa Moluska. Ikan ini masuk ke dalam pasir pada malam hari dan akan keluar lagi pada pagi hari (Kuncoro 2008). Jonna (2003) juga mengemukakan bahwa Labridae merupakan ikan yang paling banyak dan mencolok di terumbu tropis seluruh dunia. Ikan ini adalah keluarga kedua terbesar ikan laut dan keluarga terbesar ketiga di Perciformes, dengan sekitar 60 genus dan sekitar 500 spesies. Umumnya, Labridae berperan sebagai penggali pasir, karnivora terhadap avertebrata dasar, planktivor dan sebagian kecil adalah ektoparasit pada ikan-ikan yang lebih besar. Makanan pokok Labridae berdasarkan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Daftar makanan Labridae Makanan 1 zoobentos zoobentos zoobentos zoobentos zoobentos zoobentos zoobentos zoobentos zoobentos
Makanan 2 moluska bentos, crustacea cacing bentos, crustacea moluska bentos, crustacea bentos, crustacea moluska echinodermata
Makanan 3 bivalvia kepiting polychaeta amphipoda gastropoda bentos, crustacea bentos, crustacea bentos, moluska bulu babi
Tingkat Predator juvenil/dewasa juvenil/dewasa juvenil juvenil juvenil/dewasa juvenil juvenil/dewasa juvenil/dewasa juvenil/dewasa
Sumber: Metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012)
2.4 Trofik Level Trofik level adalah posisi suatu organisme dalam jaring makanan (Froese dan Pauly 2000).
Stergiou et al. (2007) menjelaskan bahwa trofik level
menunjukkan keberadaan ikan dan organisme lainnya yang masing-masing berperan dalam jaring makanan.
Struktur trofik adalah perpindahan energi
makanan melalui sederetan makhluk hidup.
Suatu spesies tertentu dapat
16
menghuni lebih dari satu tingkatan trofik. Mengenai penentuan trofik level suatu spesies, perlu dipertimbangkan kebiasaaan makan (feeding guilds) dari spesies tersebut.
Tabel 4 menjelaskan rincian feeding guilds menurut (Elliott dan
Hemingway 2002). Tabel 4 Kebiasaan makan spesies estuarine Kebiasaan Makan
Deskripsi
Phytoplanktonic
Memakan diatom dan dinoflagelata di kolom perairan, tetapi juga memakan suspensi mikrofitobentos
Zooplanktonic (copepoda, mysids)
Makan dengan menyeleksi zooplankton, khususnya copepoda calanoid dan cyclopoid dan komponen yang lebih besar seperti mysids: pada musim tertentu memakan meroplankton (larva atau organisme bentik) daripada holoplankton
Herbivorous (makro tumbuhan)
Merumput alga atau daun
Detritivores dan scavengers
Memakan hancuran organisme dan sisa hewan
Benthophagous (infauna)
Memakan avertebrata bentik, yaitu infauna
Benthophagous
(epifauna
yang
Memakan avertebrata di substrat yang kasar
menetap) Demersal feeders (epifauna yang
Memakan avertebrata yang bergerak atau tepat di atas
bergerak/demersal)
substrat, didominasi oleh crustacea kecil (udang/kepiting)
Piscivorous
Predator terhadap ikan, baik dari spesies yang sama (bersifat kanibal) maupun spesies yang berbeda
Parasites
Ikan bersifat ektoparasit, memakan jaringan atau cairan tubuh tanpa membunuh
Sumber: Elliott dan Hemingway 2002
Elliott
dan
Hemingway
(2002)
menambahkan
faktor-faktor
yang
memengaruhi trofik level suatu jenis ikan, yaitu sebagai berikut: 1) Faktor ekstrinsik, yaitu faktor lingkungan (non-biological) Perubahan lingkungan dapat berdampak pada perpindahan makan-memakan spesies yang berbeda. Faktor lingkungan yang memengaruhi, yaitu: (1) Perubahan geografis pada faktor lingkungan seperti suhu dapat memengaruhi tingkah laku makan-memakan ikan. Perubahan ini berkaitan dengan posisi dan peristiwa termoklin pada sebagian stratifikasi estuari;
17
(2) Pedoman hidrografi pada faktor lingkungan seperti tingginya pasang surut memengaruhi ukuran populasi ikan. Kadar salinitas dan oksigen terlarut juga memengaruhi perilaku makan-memakan ikan; (3) Lokasi yang dikhususkan atau substratum pada faktor lingkungan seperti daerah pasang surut, dikenal sebagai feeding ground juvenile ikan. 2) Faktor biologi (intrinsik), yaitu: (1) Tingkat hidup, termasuk umur dan ukuran yang berbeda. Ukuran tubuh merupakan salah satu bagian penting organisme dari sudut pandang ekologi dan evolusioner. Ukuran memiliki pengaruh yang sangat besar pada tingkat kebutuhan energi hewan dan berpotensi sebagai sumber eksploitasi, serta memberi pengaruh pada musuh alami; (2) Jenis kelamin. Ikan gobies jantan dari jenis spesies terakhir menunjukkan perubahan dalam diet makanannya selama musim bertelur karena setelah mengkonsumsi sejumlah telur Pomatoschistus, diperkirakan seekor pejantan secara agresif menguasai wilayah tersebut; (3) Ecotrophomorphology yang menduga bahwa morfologi berkaitan erat dengan hidup, sehingga dijadikan prediksi model hidup. Bahan makanan dapat diduga dari morfologi ikan, khususnya dari sifat morfologis tentang makan-memakan seperti ukuran mulut, bentuk rahang dan pertumbuhan gigi; (4) Tingkah laku ikan terkait dengan teori waktu mencari makan yang optimal atau Optimal Foraging Theory (OFT). Teori ini menduga bahwa ikan akan mencari makanan, memilih bahan-bahan makanan jika diberi pilihan dan berhenti makan pada perkiraan waktu pengambilan energi yang maksimal untuk memperkecil energi yang digunakan. Hasilnya, ikan akan memaksimalkan
kesehatannya
sehingga
reproduksi
kehidupannya
berlangsung baik; (5) Kompetisi intraspesies dan interspesies terjadi saat kebutuhan dari dua atau lebih individu terhadap sumberdaya tertentu melebihi ketersediaan sumberdaya tersebut di wilayah tempat mereka tinggal atau jika permintaannya
tidak
dapat
melebihi
penawaran,
mereka
memengaruhi satu sama lain dalam upaya memperoleh sumberdaya;
saling
18
(6) Pembagian sumberdaya dapat terjadi pada tiga level, yaitu: waktu yang bersifat temporal, wilayah dan bahan makanan. Oleh karena itu, dalam penentuan ekosistem perlu dianalisis interaksi pola makan antar anggota yang berbeda dalam satu perkumpulan; (7) Mikroparasit meliputi virus, bakteri, jamur serta protozoa dicirikan oleh ukuran yang kecil, masa hidup yang pendek dan kemampuan menggandakan diri dalam inang yang terinfeksi.
Organisme tersebut
sering berpindah secara langsung, sehingga ikan yang hidup di wilayah padat dan dangkal sangat mudah dimasuki oleh patogen-patogen ini.
2.5
Pendekatan Ekosistem Pendekatan ekosistem adalah suatu pendekatan yang mengacu pada aplikasi
dari berbagai metode ilmiah yang berfokus pada tingkat tatanan kehidupan yang melibatkan struktur, proses, fungsi dan interaksi antar organisme dengan lingkungannya (Aryani 2010). Yulianto (2010) menambahkan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendekatan ekosistem, yaitu kelestarian ekosistem, kesejahteraan masyarakat dan kemampuan untuk mencapai tujuan. Menurut FAO (2005) terdapat dua belas prinsip pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, yaitu sebagai berikut: 1) Sasaran dari pengelolaan ini adalah pilihan dari masyarakat; 2) Pengelolaan harus terdesentralisasi pada tingkat yang rendah; 3) Pengelolaan harus mempertimbangkan dampak setiap aktivitas terhadap ekosistem lainnya; 4) Dibutuhkan pemahaman dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dalam konteks ekonomi dengan mempertimbangkan dampak positif dari pengelolaan tersebut. Pengelolaan tersebut antara lain: (1) Mengurangi
pengaruh
pasar
yang
berdampak
negatif
terhadap
keanekaragaman hayati; (2) Mempromosikan konservasi sumberdaya dan pemanfaatan yang lestari dengan pemberian insentif; (3) Mempertimbangkan komponen biaya dan manfaat bagi ekosistem;
19
5) Konservasi fungsi dan struktur ekosistem dalam rangka menjaga manfaat ekosistem, dimana yang dikonservasi merupakan lokasi prioritas; 6) Pengelolaan ekosistem harus mempertimbangkan daya dukung; 7) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan komponen spasial dan temporal; 8) Pengelolaan ekosistem harus mengacu pada pengelolaan jangka panjang; 9) Pengelolaan harus adaptif terhadap perubahan; 10) Pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan; 11) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan beberapa informasi ilmiah, adat istiadat, inovasi dan pengalaman; 12) Pendekatan ekosistem harus melibatkan para pihak dan lintas ilmu. FAO (2005) juga menyebutkan dalam dokumen tentang implementasi pendekatan ekosistem pengelolaan perikanan mengenai beberapa opsi yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan pendekatan ekosistem. Opsi-opsi yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut: 1) Pengaturan secara teknis Pengaturan secara teknis dapat dilakukan pada pengaturan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Pengaturan secara teknis ini dapat dilakukan dengan: (1) Pengaturan jumlah alat tangkap dan ukuran mata jaring; (2) Pengurangan ikan hasil tangkapan sampingan (by-catch); (3) Penyesuaian metode dan operasi penangkapan untuk mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem dan spesies yang dilindungi; (4) Mengedepankan pendekatan pencegahan atau kehati-hatian (precautionary approach). 2) Pengaturan secara spasial dan temporal Pengaturan secara spasial merupakan pengaturan daerah penangkapan ikan. Pengaturan secara spasial ini dapat diimplementasikan dalam bentuk pengembangan kawasan konservasi laut. Pengaturan secara temporal merupakan pengaturan pelarangan penangkapan pada waktu tertentu. 3) Pengaturan input dan output Pengaturan input penangkapan dapat dilakukan dengan pengendalian kapasitas penangkapan dan usaha penangkapan nelayan.
Pengaturan output dapat
20
dilakukan dengan pengendalian hasil dan jenis tangkapan. Salah satu tujuan pengaturan ini adalah untuk menurunkan kematian akibat penangkapan (fishing mortality). 4) Manipulasi ekosistem Manipulasi ekosistem dapat dilakukan dengan mencegah degradasi habitat, merehabilitasi habitat, pengembangan habitat buatan dan penebaran benih (restocking) ikan.
2.6
Daerah Penangkapan Ikan Daerah
penangkapan
ikan
merupakan
wilayah
perairan
tempat
berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang terdapat didalamnya (Simbolon 2006). Keberhasilan operasi penangkapan ikan dapat ditingkatkan dengan memenuhi paling sedikit persyaratan berikut: 1) Alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna pada daerah penangkapan ikan tersebut; 2) Daerah penangkapan ikan dapat dijangkau oleh kapal ikan; 3) Daerah penangkapan ikan mengandung sumberdaya ikan yang banyak dan bernilai ekonomis penting. Salah satu langkah dalam proses optimasi penentuan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan menguntungkan, yaitu perlu mempertimbangkan tiga aspek utama sebagai berikut: 1) Aspek sumberdaya ikan; 2) Lingkungan perairan sebagai habitat sumberdaya ikan; 3) Teknologi alat penangkapan ikan.
2.7
Alat Tangkap Jaring Insang Tetap (Set Gillnet) Jaring insang tetap (set gillnet) yaitu alat penangkap ikan yang khusus
dikonstruksikan untuk menangkap ikan dengan menjerat insang, dioperasikan secara pasif dan menetap di perairan. Jaring insang tetap dioperasikan di danau dan perairan pesisir untuk menangkap ikan-ikan komersial. Jaring insang tetap diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring insang (gillnet) (von Brandt 2005).
21
Jaring insang biasanya dioperasikan dengan menghadang arah migrasi ikan, sehingga ikan-ikan harus melewati mata jaring pada jaring insang. Jaring insang tetap di dasar perairan dioperasikan untuk menangkap ikan demersal. Perairan tempat jaring insang tetap digunakan merupakan perairan jernih, arusnya tidak terlalu kuat dan tidak ada tumbuh-tumbuhan terapung.
2.8
Hubungan Panjang dan Berat Ikan Panjang ikan dapat diukur dengan menggunakan sistem metrik (Effendie
1979). Ada tiga macam pengukuran, yaitu: 1) Panjang total atau panjang mutlak, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya; 2) Panjang cagak atau fork length, ialah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan ekor; 3) Panjang standar atau panjang baku, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya. Ujung tersebut letaknya sebelum pangkal jari-jari sirip ekor. Menurut Effendie (1979) alat pengukur panjang ikan yang baik digunakan di lapangan adalah alat pengukur yang terbuat dari kayu. Bentuk yang perlu diperhatikan dari alat ini adalah bagian depannya, yaitu tempat menempel dari bagian depan ikan harus bertepatan dengan angka nol.
Alat penimbangan
diusahakan yang praktis dan tidak mudah rusak tetapi ketelitiannya cukup tinggi. Hasil studi hubungan panjang dan berat ikan memungkinkan nilai panjang ikan berubah ke harga berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya dan hubungan panjang-berat ini hampir mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan persamaan: W = aL3 (W adalah berat ikan, L adalah panjang ikan dan a adalah konstanta). Hal tersebut disertai dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya tetapi karena ikan itu tumbuh, dimana bentuk tubuh, panjang dan beratnya selalu berubah, maka menurut Hile (1936) vide Effendie (1979), persamaan umumnya adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta).
Logaritma persamaan tersebut
menjadi: log W = log a + b log L yang menunjukkan hubungan linier (Effendie 1979).
3 3.1
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011-April 2012 yang meliputi
survei, pengambilan data dan analisis di laboratorium.
Pengambilan data
dilakukan pada bulan Januari dan Maret 2012 di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (Lampiran 2). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Ekobiologi dan Konservasi Sumberdaya Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan snorkeling,
underwater camera, alat tangkap set gillnet, alat bedah, botol sampel, kertas label, mikroskop binokuler, cawan petri, pipet tetes, gelas objek dan peralatan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu: kamera digital, timbangan digital, ember, box, papan pengukur panjang ikan (measuring board), spidol permanen dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah bahan pengawet (formalin 10 %) dan aquades.
3.3
Metode Pengambilan Data Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan data primer
berupa struktur ekologis dan trofik level hasil tangkapan nelayan. Selain itu, data primer yang dikumpulkan diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan atau hasil pengisian kuesioner oleh responden. Data ini digunakan untuk melihat komposisi hasil tangkapan nelayan yang tertangkap pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka. Data sekunder dikumpulkan dari instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian, yaitu Pemerintahah Administrasi Kepulauan Seribu, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta literatur yang relevan. Data yang dikumpulkan antara lain kondisi perikanan daerah penelitian, jumlah dan jenis unit penangkapan ikan yang ada di daerah penelitian, kondisi lamun, komposisi dan
23
kelimpahan plankton di sekitar padang lamun serta informasi lain yang dapat menunjang penelitian ini. Selengkapnya metode dan teknik pengumpulan datanya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis data dan metode pengumpulannya No. 1
Jenis Data Unit penangkapan ikan Hasil tangkapan nelayan
Metode Pengumpulan Snowball sampling
Panjang dan berat ikan Isi perut ikan
Pengukuran
6
Keadaan umum daerah penelitian Kondisi lamun
7
Komposisi plankton
Pengumpulan dari instansi Pengumpulan dari pustaka Pengumpulan dari pustaka
2
3 4
5
Experimental fishing dan wawancara
Jumlah, gravimetrik, volumetrik dan frekuensi kejadian
Alat dan Bahan Kuesioner, alat tulis, kamera Alat tangkap set gillnet, kuesioner, alat tulis, kamera Papan ukur dan timbangan digital Alat bedah, mikroskop binokuler, cawan petri, pipet tetes, gelas objek, formalin 10 % dan aquades Alat tulis
Keterangan Data primer
Alat tulis
Data sekunder
Alat tulis
Data sekunder
Data primer
Data primer Data primer
Data sekunder
3.3.1 Pengisian kuesioner Pengisian kuesioner dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap nelayan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah snowball sampling. Metode snowball sampling yaitu teknik pengambilan sampel dari populasi yang tidak jelas keberadaaan anggotanya dan tidak pasti jumlahnya, dilakukan dengan cara menemukan satu sampel, untuk kemudian dari sampel tersebut dicari (digali) keterangan mengenai keberadaan sampel-sampel lain, terus demikian secara berantai. Metode ini digunakan karena kurangnya informasi mengenai populasi nelayan yang menjadi tujuan wawancara.
3.3.2 Penelitian ikan 1) Pengambilan sampel Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan metode experimental fishing, yaitu berupa operasi penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring insang tetap (set gillnet). Jaring dipasang (setting) pukul 14.00 WIB sebanyak tujuh
24
piece, kemudian dilakukan perendaman jaring (soaking) dan dalam proses ini jaring insang tetap dioperasikan secara menetap di perairan dengan menggunakan jangkar berupa kayu dan didirikan secara tegak lurus. Pukul 06.00 WIB keesokan harinya, jaring diangkat (hauling) kemudian ikan hasil tangkapan dilepaskan dari jaring dan disimpan di dalam perahu. 2) Pengumpulan data dan pengawetan sampel Ikan-ikan yang tertangkap diukur panjang totalnya dan ditimbang beratnya serta diidentifikasi dengan mengacu pada buku identifikasi: Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan Jilid 2 (Saanin 1984). Tahap selanjutnya yaitu ikan dibedah dengan cara menggunting bagian perut ikan dimulai dari anus sampai ke tutup insang, kemudian diambil ususnya.
Masing-masing ujung usus diikat
dengan benang agar makanan dalam usus tidak keluar, lalu dimasukkan ke dalam botol sampel dan diawetkan menggunakan formalin 10 % untuk keperluan perhitungan analisis makanan yang dilakukan di laboratorium. diberi kertas label yang ditempelkan di dinding luar.
Botol sampel
Kertas label tersebut
bertuliskan: tanggal dan waktu pengambilan, nama ikan, nomor ikan, panjang ikan serta berat ikan. 3) Analisis isi perut ikan (stomach content analysis) Sampel usus ikan satu persatu dikeluarkan dari botol sampel dan dibersihkan dari formalin ketika telah sampai di laboratorium. Metode yang digunakan dalam mengamati isi perut ikan-ikan herbivora dan pemakan plankton (plankton feeders) adalah metode volumetrik dan frekuensi kejadian. Metode ini menganalisis volume makanan ikan yang dinyatakan dalam persentase volume dari seluruh volume makanan seekor ikan. Isi usus dipisahkan dari daging usus dengan cara menekan daging usus sampai semua isinya keluar, diencerkan dengan aquades sebanyak 3-5 ml dan diaduk-aduk sehingga tidak terjadi penumpukan isi usus di suatu wilayah. Pengamatan 1 tetes pengenceran menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran minimum terlebih dahulu dan pengambilan 5 lapang pandang setiap 1 kali pengamatan. Pengamatan diulang sebanyak 3 kali sehingga akan didapatkan data dari 15 lapang pandang. Apabila jenis organisme yang didapat adalah plankton, maka selanjutnya diidentifikasi dengan mengacu pada buku identifikasi: Illustration of the Marine Plankton of Japan (Yamaji 1976).
25
Buku Avertebrata Air Jilid 1 dan Jilid 2 (Suwignyo et al. 2005) juga digunakan yaitu untuk mengidentifikasi avertebrata air yang ditemukan di dalam perut ikan. Masing-masing organisme dapat diambil rata-ratanya dengan jumlah keseluruhan menjadi 100 % untuk semua sampel ikan yang diteliti. Metode frekuensi kejadian menghitung masing-masing organisme yang ditemukan sebagai bahan makanan di lambung ikan yang diteliti, namun tidak meliputi lambung yang kosong. Persentase frekuensi kejadian suatu organisme yang dimakan oleh ikan contoh dengan demikian dapat dilihat secara langsung. Metode yang digunakan dalam mengamati isi perut ikan-ikan selain herbivora dan plankton feeders adalah metode jumlah, gravimetrik dan frekuensi kejadian. Metode jumlah menunjukkan semua organisme serta benda-benda lain yang dihitung satu persatu dan dipisahkan spesies demi spesies. Apabila masingmasing jumlahnya sudah diketahui, maka dapat dibandingkan yang satu dengan yang lainnya dan dapat ditarik kesimpulan dari macam-macam isi yang terdapat di dalam lambung ikan.
Prinsipnya metode gravimetrik sama dengan metode
volumetrik, tetapi makanan ikan bukan diukur volumenya melainkan diukur beratnya. Demikian pula untuk masing-masing organismenya. Hasilnya juga dinyatakan dalam persentase berat dari makanan ikan yang sedang diteliti.
3.4
Metode Analisis Data
3.4.1 Analisis kuesioner Analisis
kuesioner
dilakukan
secara
deskriptif,
yaitu
mendeskripsikan unit penangkapan ikan pada habitat padang lamun.
dengan Unit
penangkapan ikan yang dianalisis yaitu kapal, alat tangkap dan nelayan.
3.4.2 Analisis panjang dan berat ikan Model pertumbuhan dengan analisis hubungan panjang dan berat ikan digunakan untuk mengetahui kondisi morfometrik ikan yang tertangkap secara temporal. Persamaan umum yang digunakan adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta). Logaritma persamaan tersebut menjadi: log W = log a + b log L dengan dasar perhitungannya berdasarkan regresi. Nilai a dan b harus ditentukan dari persamaan tersebut, sedangkan nilai W (berat ikan) dan L (panjang ikan)
26
diperoleh dari hasil pengukuran (Effendie 1979). Analisis panjang dan berat ikan ini dilakukan menggunakan Solver pada Microsoft Excel.
Nilai b sebagai
penduga kedekatan hubungan antara panjang dan berat dihitung dengan kriteria: 1) Nilai b = 3, merupakan hubungan yang isometrik (pertambahan berat seimbang dengan pertambahan panjang); 2) Nilai b > 3, merupakan hubungan alometrik positif (pertambahan berat relatif lebih besar dari pertambahan panjang); 3) Nilai b < 3, merupakan hubungan alometrik negatif (pertambahan berat relatif lebih kecil dari pertambahan panjang)
3.4.3 Analisis perbandingan hasil tangkapan Data jumlah hasil tangkapan diuji kenormalannya dengan menggunakan Uji Mann-Whitney U test pada software SPSS Package (Santoso 1999). Uji MannWhitney U test merupakan uji non-parametrik yang digunakan untuk membandingkan dua mean populasi yang berasal dari populasi yang sama. Apabila data yang didapat menyebar secara normal, maka akan dilakukan analisis data menggunakan Uji-F untuk mengetahui perbandingan jumlah hasil tangkapan setiap pengambilan data. Bila data tidak menyebar normal, maka akan dilakukan analisis data non parametrik menggunakan uji Kruskall Wallis. Hipotesis untuk Uji Mann-Whitney U test yaitu: H0: Jumlah hasil tangkapan menyebar normal; H1: Jumlah hasil tangkapan tidak menyebar normal. Dasar pengambilan keputusan: Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima; Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak.
3.4.4 Analisis isi perut ikan (stomach content analysis) Analisis yang digunakan dalam mengevaluasi hubungan bermacam-macam makanan ikan pada penelitian ini ada dua macam, yaitu Indeks Bagian Terbesar atau Index of Preponderance yang dikemukakan oleh Natarajan dan Jhingran (1961) vide Effendie (1979) dan Indeks Relatif Penting (IRP) atau Index of Relative Importance yang telah dikembangkan oleh Pinkas et al. (1971) vide
27
Effendie (1979). Index of Preponderance digunakan untuk menganalisis makanan golongan ikan herbivora dan plankton feeders dengan cara menggabungkan metode volumetrik dan frekuensi kejadian yang ditunjukkan oleh persamaan (1). …………………………………………………..... (1) Keterangan: Ii = Index of Preponderance Vi = persentase volume satu macam makanan Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan ∑(Vi x Oi) = jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan Index of Relative Importance digunakan untuk menganalisis makanan golongan ikan karnivora dengan cara menggabungkan metode jumlah, volumetrik atau gravimetrik dan frekuensi kejadian yang ditunjukkan oleh persamaan (2). IRP = (N + V) F………………………………………………………….. (2) Keterangan: IRP = Index of Relative Importance N = persentase jumlah satu macam makanan V = persentase volume satu macam makanan F = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan 3.4.5 Analisis trofik level hasil tangkapan Trofik level suatu jenis ikan ditentukan berdasarkan komposisi makanan dan trofik level masing-masing fraksi makanannya (food items) yang diperoleh dari hasil analisis isi perut (Froese dan Pauly 2000). Deskripsi kebiasaan makan dilakukan untuk mengestimasi trofik level yang meliputi tiga kasus, yaitu sebagai berikut: Kasus 1: semua makanan adalah tumbuhan atau detritus, maka trofik levelnya = 2 dan kuadrat frekuensi kejadiannya = 0; Kasus 2: hanya ada satu makanan dan tidak ada satupun tumbuhan atau detritus, maka trofik levelnya = 1 + trofik level makanan dan kuadrat frekuensi kejadiannya = kuadrat frekuensi kejadian makanan; Kasus 3: terdapat beberapa macam makanan dan paling sedikit bukan tumbuhan atau detritus, maka trofik levelnya ditentukan dengan persamaan (3).
28
…………………………………….......... (3) Keterangan: = rata-rata trofik level Pi
= fraksi makanan ke-i
trofiki
= trofik level makanan ke-i
Perhitungan trofik level ini mengacu pada konvensi Internasional Program Biologi pada tahun 60-an yang menyepakati produser primer (fitoplankton) dan detritus (termasuk bakteri) dikategorikan dalam trofik level satu (TL1), sementara zooplankton dalam trofik level dua (TL2).
4 4.1
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki luas wilayah daratan 565,90 ha dan luas wilayah perairan 3.554,25 km2. Pemerintahan dan pemukiman Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki tiga wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Kelapa. Luas wilayah Kelurahan Pulau Panggang 62,10 ha dengan batas-batasnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1986/2000 tanggal 21 Juli 2000, tentang Pemecahan, Pembentukan, Penetapan Batas dan Nama Kelurahan di Kecamatan Kepulauan Seribu Wilayah Kotamadya Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta sebagai berikut: 1) Sebelah Utara : 05o41’41” – 05o45’45” LS; : 106o44’50” BT;
2) Sebelah Selatan
3) Sebelah Barat : 106o19’30” BT; 4) Sebelah Timur : 05o47’00” – 05o45’14” LS. Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 3 RW dan 21 RT, semuanya merupakan tempat pemukiman penduduk. Pulau Pramuka sendiri terdiri atas 2 RW dan 8 RT, serta terdapat kantor kabupaten, sekolah dan perkantoran lainnya. Penduduk Pulau Pramuka mayoritas bermatapencaharian sebagai pedagang, perkantoran dan persewaan dari pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Keadaan RT/RW tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Keadaan RT/RW di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka RW 01 02
Jumlah RT
Keterangan Pulau Panggang bagian barat, lingkungan pemukiman penduduk Pulau Panggang bagian tengah, lingkungan pemukiman penduduk, sekolah dan puskesmas 03 7 Pulau Panggang bagian timur, lingkungan pemukiman penduduk, sekolah dan rumah dinas guru 04 4 Pulau Pramuka bagian utara, lingkungan pemukiman penduduk, gedung balai warga, rumah dinas, rumah sakit, penginapan, TPI serta perlindungan hutan dan pelestarian alam 05 4 Pulau Pramuka bagian selatan, lingkungan pemukiman penduduk, kabupaten, sekolah, asrama, gedung serba guna, penginapan, perhubungan dan DEPAG Sumber: Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu 2011 7 7
30
Kelurahan Pulau Panggang merupakan gugusan pulau-pulau yang terdiri dari 13 pulau, dimana 2 pulau diperuntukan sebagai pemukiman penduduk, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka dan 6 pulau diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan; sisanya untuk pariwisata, perlindungan hutan dan pelestarian alam, perkantoran, tempat pemakaman umum dan mercusuar. Masing-masing pulau beserta peruntukkan dan luas wilayahnya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Luas pulau beserta peruntukkan di Kelurahan Pulau Panggang No. 1 2 3
Nama Pulau Pulau Opak Kecil Pulau Karang Bongkok Pulau Kotok Kecil
4 5 6 7
Pulau Kotok Besar Pulau Karang Congkak Pulau Gosong Pandan Pulau Semak Daun
8 9 10 11 12 13
Peruntukan Peristirahatan Peristirahatan Perlindungan hutan umum Pariwisata Peristirahatan Peristirahatan Perlindungan hutan dan pelestarian alam Pemukiman Perkantoran Pemukiman Peristirahatan Peristirahatan Mercusuar
Pulau Panggang Pulau Karya Pulau Pramuka Pulau Gosong Sekati Pulau Air Pulau Peniki Total Sumber: Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang 2011
Luas (ha) 1,10 0,50
Persentase ( %) 1,77 0,81
1,30
2,09
20,75 0,60 0,00
33,41 0,97 0,00
0,75
1,21
9,00 6,00 16,00 0,20 2,90 3,00 62,10
14,49 9,66 25,77 0,32 4,67 4,83 100,00
Kedalaman laut di Kepulauan Seribu pada umumnya bervariasi antara 0-40 meter. Pulau Pramuka memiliki ketinggian 1 meter di atas permukaan laut dan suhu udara berkisar antara 27-32 oC. Arus permukaan laut pada Musim Barat dan Musim Timur memiliki kecepatan relatif sama, dengan kecepatan maksimum 0,5 m/detik. Gelombang laut pada Musim Barat berkisar antara 0,5-1,75 meter dan Musim Timur 0,5-1,0 meter. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh ITB Bandung pada tahun 2001, kondisi pasang surut di Kepulauan Seribu dapat dikategorikan sebagai harian tunggal.
Kedudukan air tertinggi dan terendah
adalah 0,6 dan 0,5 meter. Rata-rata tunggang air pada pasang perbani adalah 0,9 meter dan rata-rata tunggang air pada pasang mati adalah 0,2 meter (Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu 2011).
Kondisi lingkungan perairan sangat
memengaruhi kelangsungan hidup biota perairan tersebut.
Berikut (Tabel 8)
merupakan parameter fisika dan kimia perairan di Pulau Pramuka berdasarkan
31
hasil studi terakhir yang dilakukan antara lain oleh Andono (2004), Dwindaru (2010) dan Apramilda (2011). Tabel 8 Kondisi parameter fisika-kimia perairan Pulau Pramuka Tahun penelitian Parameter Fisika Suhu (oC) Kedalaman (cm) Kecerahan (%) Parameter Kimia Salinitas (PSU) pH DO (mg/l) Nitrat (mg/l) Orthofosfat (mg/l)
2004
2010
2011
29-31 -
29 55-102 100
29-31 31-95 100
30-31 7,2-7,6 6,90-7,40 0,072-0,092 0,002-0,006
28-31 8 9,33-10,55 0,031-0,072 < 0,001
27-30 7,5-8,0 9,64 0,088-0,249 0,018-0,041
Sumber: Andono (2004), Dwindaru (2010) dan Apramilda (2011) Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka
4.2
Keadaan Umum Perikanan Tangkap Kepulauan Seribu merupakan wilayah kepulauan dengan luas laut sebesar
11,8 km2, menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu (2011) melaporkan bahwa armada (1.367 kapal perikanan) yang dipergunakan masih sederhana dengan ukuran relatif kecil dan perlengkapan sederhana, misalnya alat tangkap jaring (1.394 buah) dengan jumlah nelayan tangkap sebanyak 4.880 orang. Rumah singgah ikan (fish shelter) disediakan sebanyak 527 buah agar ikan berkumpul di tempat yang ditentukan. Keadaan umum perikanan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Keadaan umum perikanan Kepulauan Seribu No. Uraian 1 Nelayan budidaya ikan laut dan rumput laut (orang) 2 Nelayan penangkap ikan laut (orang) 3 Jumlah fish shelter (buah) 4 Jumlah kapal perikanan (kapal) 5 Alat tangkap jaring (buah) 6 Rata-rata terumbu karang (persen) 7 Transplantasi karang (unit) Sumber: Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu 2011 Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka
2009
2010
2011
632
521
250
362 33,40 -
4.880 362 1.367 1.354 33,60 5.476
4.880 527 1.367 1.394 40,00 8.119
32
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menambahkan data statistik mengenai alat tangkap. Total alat tangkap yang terdata di Provinsi DKI Jakarta adalah 11 jenis, 5 diantaranya ditemukan pula di Kepulauan Seribu. Namun dari 5 alat tangkap tersebut, hanya 1 yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, yaitu jenis jaring insang yang disebut jaring tangsi. Statistik alat tangkap ini disajikan lebih jelas pada Tabel 10. Tabel 10 Statistik alat tangkap Provinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Alat Tangkap DKI Jakarta Payang (termasuk lampara) Dogol (termasuk lampara dasar, cantrang) Pukat cincin Jaring insang hanyut Bagan perahu/rakit Rawai tuna Pancing cumi Pancing lainnya Bubu (termasuk bubu ambal) Muroami Garpu, tombak dan lain-lain
Kepulauan Seribu Payang Jaring insang Bagan Pancing lainnya Bubu Muroami Garpu, tombak dan lain-lain
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010 Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka
Data jenis sumberdaya ikan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukkan bahwa di Provinsi DKI Jakarta terdapat 105 jenis ikan, baik pelagis maupun demersal. Namun, hanya 27 jenis ikan yang produksinya tercatat pada tahun 2010 di Kepulauan Seribu dan 4 jenis khususnya pada habitat padang lamun perairan Pulau Pramuka, yaitu ikan cendro, lencam, baronang dan kerapu (Lampiran 4). Pemerintah administrasi Kepulauan Seribu (2011) menjelaskan bahwa pada tahun 2010 hasil produksi perikanan yang berasal dari tangkapan ikan laut di Kepulauan Seribu sebanyak 964 ton dan dari budidaya ikan laut sebesar 1.041 ton.
Produksi ikan laut perlu lebih ditingkatkan terutama dari hasil
budidaya.
Hal ini dapat dicapai karena meningkatnya kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya pengembangan produk perikanan dan kelautan.
Hasil
sampingan dari penangkapan ikan laut yaitu ikan hias laut sebanyak 631.219 ekor. Sayangnya produksi budidaya rumput laut semakin menurun, hingga di tahun
33
2010 menjadi 370,32 ton kering. Kondisi ini disebabkan oleh kurang baiknya pengelolaannya dan kualitas air laut yang semakin rendah karena sering tercemar buangan limbah. Salah satu kendala pengembangan potensi sektor perikanan laut yaitu minimnya pelabuhan pendaratan ikan (PPI) dan hanya ada satu tempat pelelangan ikan di Pulau Pramuka, sehingga nelayan lebih memilih mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Muara Angke.
4.3
Unit Penangkapan Ikan pada Habitat Padang Lamun Padang lamun dapat ditemukan di sebagian besar perairan pulau dalam
kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seperti Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan. Padang lamun yang ditemukan di Pulau Pramuka tersebar di beberapa transek (Lampiran 1) berdasarkan pengukuran Laboratorium Hidrologi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Transek-transek tersebut yaitu transek I pada koordinat 05º44'45,4" LS dan 106º36'55,1" BT dengan arah kompas 102º (Timur-Selatan) serta transek II pada koordinat 05º44'39" LS dan 106º36'57,3" dengan arah kompas 102º (Timur-Selatan). Data unit penangkapan ikan pada padang lamun di perairan Pulau Pramuka didapatkan melalui kuesioner, yaitu wawancara terhadap nelayan yang melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut. Responden yang terkumpul sebanyak 13 orang nelayan, 3 orang dari Pulau Pramuka dan 10 orang lainnya dari Pulau Panggang. Nelayan Pulau Panggang juga dijadikan responden karena mereka melakukan penangkapan pada padang lamun di Pulau Pramuka. Alat tangkap yang dapat digunakan di padang lamun yaitu jaring insang, bubu, pukat udang berangka (beam trawl), jermal bahkan di Pulau Panggang ada yang menggunakan tombak (speargun). Namun, hasil wawancara menunjukkan bahwa semua nelayan menggunakan alat tangkap gillnet dan dominan kapal motor untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan pada habitat padang lamun perairan Pulau Pramuka. Penelitian ini dilakukan bersama salah satu nelayan pemilik alat tangkap set gillnet dan status nelayannya adalah nelayan utama (Gambar 8).
34
Gambar 8 Nelayan yang menangkap ikan di lokasi penelitian
Kapal yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kapal kayu berbentuk sampan dengan panjang 3 meter, lebar 1 meter dan dalamnya 0,5 meter serta tenaga penggerak berupa dayung. Kapal sebagai alat transportasi menuju daerah penangkapan ikan (fishing ground) tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Kapal yang digunakan pada penelitian
Alat tangkap yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jaring insang tetap (set gillnet). Konstruksi alat tangkap ini dapat dilihat pada Gambar 10.
35
Gambar 10 Konstruksi alat tangkap set gillnet
Alat tangkap set gillnet yang sebenarnya memiliki panjang per piece 15 meter, lebar 1 meter dan ukuran mesh size 1,5 inci serta bahan pembuatan jaring adalah nilon 8 lbs 0,30 mm. Alat tangkap tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Alat tangkap yang digunakan pada penelitian
4.4
Keadaan Lamun di Pulau Pramuka Penelitian Apramilda (2011) pada perairan Pulau Pramuka menemukan 6
spesies lamun yang termasuk dalam 2 famili, yaitu Hydrocharitaceae dan
36
Cymodoceae. Keenam spesies tersebut adalah Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis dan Halodule pinifolia. Nilai persentase penutupan lamun dari transek garis 1 sampai transek garis 3 memiliki nilai yang berbeda-beda.
Thalassia hemprichii
merupakan jenis yang memiliki nilai persentase penutupan yang paling besar dari semua jenis yang teramati di Pulau Pramuka.
Berikut merupakan persentase
penutupan lamun di Pulau Pramuka (Tabel 11). Tabel 11 Rata-rata persentase penutupan setiap jenis lamun di Pulau Pramuka No. Jenis Lamun 1 Thalassia hemprichii 2 Cymodocea rotundata
LT1 ( %) LT2 ( %) LT3 ( %) 18,68 11,07 11,43 3,02
2,16
1,82
13,50
7,61
9,70
3
Cymodocea serrulata
4
Enhalus acoroides
2,43
3,93
6,67
5
Halodule uninervis
1,02
6
Halodule pinifolia
2,00
2,05
1,97
39,64
27,84
31,58
Total Sumber: Apramilda 2011 Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka
Keberadaan keenam spesies tersebut tidak merata dan tidak semuanya terdapat pada setiap transek garis. Ada 5 spesies lamun yang dapat ditemukan di semua stasiun pengamatan yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides dan Halodule pinifolia sedangkan spesies lamun Halodule uninervis hanya ditemukan pada transek garis 2. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Apramilda (2011) menunjukkan terdapat perbedaan komposisi jenis lamun pada ketiga transek garis yang ditandai dengan penyebaran jenis lamun yang tidak merata.
Dwindaru (2010) menambahkan
secara umum komposisi komunitas lamun di Pulau Pramuka termasuk kriteria miskin dengan rata-rata penutupan 22,38 % serta komposisi jenis dan frekuensi terbesar yaitu Thalassia hemprichii sebesar 7,27 %. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti kandungan nutrien pada substrat yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik-titik tertentu, kemudian arah dan kecepatan arus memengaruhi keberadaan beberapa jenis lamun.
37
4.5
Struktur Komunitas Plankton di Perairan Pulau Pramuka Komposisi fitoplankton yang dijumpai di perairan Pulau Pramuka pada
pengamatan bulan Oktober, November dan Desember 2004 yang dilakukan oleh Asmara (2005) terdiri dari 3 kelas, yaitu Bacillariophyceae (25 jenis), Dinophyceae (5 jenis) dan Cyanophyceae (1 jenis). Kelas Baciilariophyceae yang sering dijumpai pada setiap pengamatan memiliki kelimpahan yang relatif tinggi adalah Nitzschia sp. dan Fragillaria sp. Kelas Dinophyceae yang sering dijumpai adalah dari jenis Peridinium sp. dan dari kelas Cyanophyceae yang sering dijumpai adalah dari jenis Tricodesmium sp. Tabel 12 menunjukkan kelimpahan fitoplankton pada masing-masing stasiun. Tabel 12 Kelimpahan fitoplankton (sel/m3) di perairan Pulau Pramuka Oktober November Desember Stasiun Jumlah Jumlah Jumlah Kelimpahan Kelimpahan Kelimpahan Jenis Jenis Jenis 1 15 17100 20 74700 14 104400 2 17 305100 10 51900 16 137700 3 17 65700 17 116400 16 180600 4 12 70200 12 27000 9 51300 5 20 46500 17 21000 14 40500 6 17 102600 14 64500 12 90900 Sumber: Asmara 2005
Komposisi zooplankton yang dijumpai terdiri dari 5 kelas, yaitu Ciliata (4 jenis), Crustacea (4 jenis), Sagittoidea (1 jenis), Sarcodina (1 jenis) dan Polychaeta (1 jenis). Semua jenis zooplankton ditemukan merata di tiap kelasnya seperti yang disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13 Kelimpahan zooplankton (ind/m3) di perairan Pulau Pramuka Oktober November Desember Stasiun Jumlah Jumlah Jumlah Kelimpahan Kelimpahan Kelimpahan Jenis Jenis Jenis 1 3 2100 4 2700 6 8400 2 5 3300 5 1800 5 5400 3 6 5400 5 3600 5 3300 4 3 2700 4 8700 3 1800 5 4 4500 6 3600 3 2700 6 6 5700 6 5100 6 10800 Sumber: Asmara 2005
5 5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Hasil Tangkapan Ikan yang tertangkap selama penelitian di bulan Januari dan Maret 2012
berjumlah 69 ekor yang terdiri dari 12 spesies (10 famili). Frekuensi tertinggi hasil tangkapan terdapat pada bulan Maret 2012 yaitu berjumlah 41 ekor yang terdiri dari 11 spesies (9 famili) jika dibandingkan dengan hasil tangkapan pada bulan Januari 2012 dengan jumlah 28 ekor yang terdiri dari 8 spesies (10 famili). Berat total hasil tangkapan mencapai 15413 gr atau 15,413 kg. Perbandingan frekuensi hasil tangkapan ini dapat dilihat pada histogram berikut (Gambar 12).
Gambar 12 Jumlah hasil tangkapan pada bulan Januari dan bulan Maret 2012
Hasil tangkapan pada bulan Maret 2012 lebih banyak daripada bulan Januari 2012 karena berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, bulan Januari-Februari adalah musim paceklik dan bulan Maret adalah musim biasa dimana pasang lebih tinggi, sehingga ikan lebih banyak tertangkap.
Hal ini dihubungkan dengan
pendapat Elliott dan Hemingway (2002) yang menyatakan bahwa tingginya pasang surut memengaruhi ukuran populasi ikan. Data hasil tangkapan diuji dengan metode statistik non parametrik menggunakan Uji Mann-Whitney U test dan hasilnya menunjukkan bahwa nilai asymp. Sig/asymptotic significance yaitu
39
0,276 atau probabilitas di atas 0,05 (0,276 > 0,05) maka berdasarkan hipotesis, dapat disebutkan bahwa distribusi hasil tangkapan menyebar normal. Analisis data dengan metode parametrik menggunakan Uji-F (ANOVA) juga digunakan untuk mengetahui perbandingan hasil tangkapan setiap bulan dan hasilnya menunjukkan nilai P-value yaitu 0,427 atau lebih besar di atas 0,05 (0,427 > 0,05). Jadi, dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk jumlah hasil tangkapan pada bulan Januari dan bulan Maret 2012. Hasil wawancara dengan nelayan menjelaskan bahwa 61 % responden menyebutkan hasil tangkapan utama di padang lamun yaitu ikan baronang dari famili Siganidae; kemudian 23 % responden menyebutkan ikan lingkis yang masih satu famili dengan ikan baronang sebagai hasil tangkapan utama. Sisanya yaitu ikan cendro dari famili Belonidae. Menurut data statistik perikanan Provinsi DKI Jakarta tahun 2010, jenis ikan yang terhitung nilai produksinya di Kepulauan Seribu dan juga terdapat di padang lamun adalah ikan cendro (Belonidae), lencam (Lethrinidae), kerapu lumpur/sunu (Serranidae) dan baronang (Siganidae). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa famili Holocentridae dan Belonidae merupakan hasil tangkapan utama. Perbedaan ini disebabkan oleh waktu dan metode penangkapan ikan yang berbeda. Tabel 14
Komposisi hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
No.
Nama Umum
Spesies
Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Baronang Belanak Cendro Jarang gigi Kalam pute Kerapu koko Lencam Lingkis Pasir Serak Swanggi Tanda-tanda
Siganus guttatus Mugil cephalus Tylosurus strongylura Choerodon anchorago Leiognathus nuchalis Epinephelus quoyanus Lethrinus reticulatus Siganus canaliculatus Pentapodus trivittatus Scolopsis lineata Sargocentron rubrum Lutjanus ehrenbergii
Siganidae Mugilidae Belonidae Labridae Leiognathidae Serranidae Lethrinidae Siganidae Nemipteridae Nemipteridae Holocentridae Lutjanidae
Jumlah (ekor) 1 1 18 5 1 2 4 5 1 10 18 3
Panjang Total ± SD (cm) 18,0 28,5 65,9 ± 21,7 16,9 ± 4,6 14,1 20,9 ± 3,3 17,8 ± 0,6 18,1 ± 0,8 18,1 17,4 ± 1,4 16,5 ± 1,6 24,3 ± 1,4
Berat ± SD (gr) 109 232 584 ± 245 106 ± 78 37 147 ± 76 71 ± 29 81 ± 19 73 77 ± 19 87 ± 30 103 ± 30
Tabel 14 menunjukkan komposisi hasil tangkapan secara detail. Spesies dominan yang tertangkap adalah ikan swanggi (Sargocentron rubrum) dengan jumlah 18 ekor atau setara dengan 1,574 kg. Selain ikan swanggi, hasil tangkapan
40
dengan jumlah dan proporsi yang sama dari total hasil tangkapan, yaitu cendro (Tylosurus strongylura). Jumlah cendro yang tertangkap setara dengan 10,507 kg, merupakan penyumbang terbesar bagi berat total hasil tangkapan.
Hasil
tangkapan dominan berikutnya adalah ikan serak (Scolopsis lineata). Ikan serak berjumlah 10 ekor yang setara dengan 0,770 kg. Famili Holocentridae dengan proporsi 26 % dari total hasil tangkapan merupakan hasil tangkapan dominan.
Selain Holocentridae, hasil tangkapan
dengan proporsi yang sama dari total hasil tangkapan yaitu famili Belonidae. Hasil tangkapan dominan berikutnya adalah famili Nemipteridae dengan proporsi 15,9 % dari total hasil tangkapan yang terdiri dari 2 spesies, yaitu ikan pasir (Pentapodus trivittatus) dan ikan serak (Scolopsis lineata).
Bentuk grafik
proporsi spesies yang tertangkap dikelompokkan dalam kategori famili dan ditampilkan secara detail pada Gambar 13.
Gambar 13 Persentase hasil tangkapan total selama penelitian
Menurut Tomascik et al. (1997), ikan yang banyak ditemukan di padang lamun Indonesia adalah dari famili Siganidae, Lethrinidae dan Labridae. Ketiga spesies ini termasuk dalam komunitas lamun yang terbentuk pada habitat padang lamun yang berdekatan dengan terumbu karang atau terkadang bersatu dengan terumbu karang. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies terbanyak
41
yang tertangkap berasal dari famili Holocentridae dan Belonidae.
Hal ini
disebabkan Holocentridae menggunakan padang lamun sebagai tempat untuk mencari makan, sehingga Holocentridae termasuk penghuni berkala yang menggunakan padang lamun sebagai tempat untuk mencari makan (occasional residents) berdasarkan pengelompokan Tomascik et al. (1997). FishBase (Froese
dan
Pauly 2012) mendukung pendapat
Metadata ini
dengan
mengemukakan bahwa habitat Holocentridae adalah di padang lamun. Pernyataan Setipermana (1996) vide Andriana et al. (2011) yang menyebutkan bahwa Holocentridae termasuk ikan nokturnal (aktif pada malam hari) juga dapat dijadikan penyebab banyaknya Holocentridae yang tertangkap karena alat tangkap nelayan (set gillnet) dioperasikan dari pukul 14.00-06.00 WIB. Famili Belonidae juga banyak tertangkap karena menggunakan padang lamun sebagai tempat pengasuhan (nursery grounds). Banyak ditemukan juvenil Belonidae di daerah lamun yang berdekatan dengan mangrove. Hal ini juga didukung oleh ditemukannya telur-telur Belonidae pada waktu ikan tersebut dibedah. Jumlah Belonidae yang tertangkap adalah 18 ekor, namun 12 lambung diantaranya ditemukan dalam keadaan kosong.
Hal ini berarti Belonidae ke
daerah lamun memang bukan untuk mencari makan.
Selanjutnya, famili
Nemipteridae yang bersifat diurnal dan pada malam hari beristirahat di antara karang (Andriana et al. 2011) banyak tertangkap di padang lamun karena sedang mencari makan. Famili Siganidae, Labridae dan Lethrinidae yang tertangkap merupakan spesies lamun yang termasuk penghuni yang ada di padang lamun hanya selama tahapan juvenilnya (Tomascik et al. 1997), terutama Siganidae yang dijelaskan oleh Kuncoro (2008) yaitu bersifat herbivora (memakan tumbuhan laut), sehingga sering terdapat di daerah padang lamun maupun tempat yang banyak ditumbuhi rumput lautnya. Namun, ketiga spesies ini tertangkap dalam jumlah yang sedikit. Effendie (1997) menjelaskan alasan yang dapat menjawab hal ini, yaitu mengenai besarnya populasi ikan dalam suatu perairan itu antara lain ditentukan oleh jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia makanan dan lama masa pengambilan makanan ikan. Khusus untuk jenis ikan yang berasosiasi dengan padang lamun, Lestari (2010) mengungkapkan bahwa keanekaragaman dan
42
kelimpahan kumpulan ikan berubah sesuai dengan perubahan kondisi struktur lamun, sebab perubahan dalam indeks luas daun akan mengubah laju pemangsaan yang memengaruhi kelimpahan juvenil ikan dan distribusi ikan predator besar.
5.2
Perbandingan Panjang dan Berat Ikan Hasil analisis hubungan panjang dan berat ikan swanggi (Sargocentron
rubrum) menggunakan Solver pada Microsoft Excel mendapatkan nilai b sebesar 3,23 yang menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan swanggi yang ditangkap oleh nelayan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu adalah alometrik positif (pertambahan berat relatif lebih besar dari pertambahan panjang). Hasil perhitungan ini dibandingkan dengan data yang dimiliki oleh metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012), nilai b ikan swanggi di perairan Thailand yaitu 2,65 dan di perairan Turki yaitu 3,01. Namun dalam buku yang ditulis bersama Pauly dan Martosubroto (1996), disebutkan bahwa nilai b ikan swanggi sebesar 2,99 atau berarti pertumbuhannya alometrik negatif (pertambahan berat relatif lebih kecil dari pertambahan panjang).
Hubungan panjang dan berat spesies yang lain
beserta perbandingannya dengan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Hubungan panjang dan berat ikan hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu No.
Nama Umum
Spesies
1 Cendro Tylosurus strongylura 2 Jarang gigi Choerodon anchorago 3 Kerapu koko Epinephelus quoyanus 4 Lencam Lethrinus reticulatus 5 Lingkis Siganus canaliculatus 6 Swanggi Sargocentron rubrum 7 Serak Scolopsis lineata 8 Tanda-tanda Lutjanus ehrenbergii Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka
Jumlah (ekor) 18 5 2 4 5 10 18 3
Perhitungan 1,22 2,67 3,41 3,84 2,66 3,23 2,69 0,60
Nilai b Metadata FishBase 3,00 3,01 2,65 3,33
Keempat spesies lainnya yaitu ikan pasir (Pentapodus trivittatus), ikan baronang (Siganus guttatus), ikan kalam pute (Leiognathus nuchalis) dan ikan belanak (Mugil cephalus) tidak dapat dianalisis hubungan panjang dan beratnya karena hanya terdapat satu spesies pada masing-masing jenis ikan tersebut. Nilai b untuk ikan tanda-tanda (Lutjanus ehrenbergii) menunjukkan pertumbuhan
43
alometrik negatif yang sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh jumlah spesies (tiga ekor) yang terbatas tidak memperlihatkan panjang dan berat yang bervariasi.
5.3
Komposisi Makanan Ikan
5.3.1 Komposisi makanan famili Siganidae Famili Siganidae yang tertangkap terdiri dari dua spesies, yaitu ikan baronang (Siganus guttatus) dan ikan lingkis (Siganus canaliculatus).
Jenis
organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan baronang berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 16. Tabel 16 Jenis dan nilai IP organisme makanan ikan baronang No. Kelompok Makanan 1 Zygnema pectinatum (Chlorophyceae) 2 Oedocladium (Chlorophyceae)
Indeks Bagian Terbesar (IP) 52 48
Jenis makanan yang ditemukan pada ikan baronang lebih sedikit daripada ikan lingkis.
Perbedaan dominansi jenis organisme yang dimakan oleh ikan
lingkis dan ikan baronang disebabkan oleh adanya kompetisi dalam mencari makan di antara kedua spesies tersebut. Daftar makanan ikan baronang memang tidak begitu bervariasi berdasarkan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012), yaitu tanaman berupa alga atau rumput laut dan zooplankton berupa avertebrata air. Hasil penelitian menemukan jenis-jenis tanaman laut dari kelas alga hijau (Chlorophyceae), yaitu Zygnema pectinatum dan Oedocladium.
Komposisi
makanan yang didapatkan dari hasil penelitian tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan baronang adalah herbivorous, yaitu pemakan alga atau tumbuhan laut lainnya. Kuncoro (2008) juga menyebutkan hal yang sama, bahwa baronang merupakan ikan herbivora. Apabila dibandingkan, ikan lingkis lebih banyak tertangkap (5 ekor) daripada ikan baronang (1 ekor). Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan lingkis berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 17. Menurut nilai Indeks Bagian Terbesar yang didapat, makanan utama ikan lingkis adalah hancuran lamun (tumbuhan). Siganidae merupakan ikan khas daerah padang lamun yang makanannya hampir keseluruhan adalah lamun.
44
Tabel 17 Jenis dan nilai IP organisme makanan ikan lingkis No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Makanan Enteromorpha sp. (Chlorophyceae) Hancuran lamun Enhalus acoroides (Liliopsida) Halodule uninervis (Liliopsida) Gracilaria (Rhodophyceae) Hydroides elegans (Polychaeta) Eucheuma sp. (Rhodophyceae) Caulerpa sp. (Chlorophyceae) Thalassia hemprichii (Liliopsida)
Indeks Bagian Terbesar (IP) 14 39 36 1 3 2 3 1 1
Hasil yang hampir sama ditemukan pada metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012), yang menunjukkan bahwa daftar makanan ikan lingkis di perairan Hongkong adalah tumbuhan, zooplankton dan zoobentos. Lebih lanjut dijelaskan bahwa komposisi makanan yang berupa tumbuhan terdiri atas Enhalus sp., Enteromorpha sp., Eucheuma sp., Gracilaria dan Hypnea spinella serta komposisi makanan yang berupa zoobentos terdiri atas Balanus amphitrite, Bugula neritina, Hydroides elegans, Limnoria tripunctata dan Ophiura kinbergii. Kuncoro (2008) juga mengemukakan bahwa makanan Siganidae adalah tumbuhan laut. Organisme makanan dominan yang dikonsumsi oleh ikan lingkis yaitu jenisjenis lamun dari kelas Liliopsida. Liliopsida termasuk tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) yang mempunyai biji berkeping satu (Monocotyledoneae). Jenisjenis lamun yang ditemukan sebagai makanan ikan lingkis berasal dari dua famili yang berbeda, yaitu Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dari famili Hydrocharitaceae
serta
Halodule
uninervis
dari
famili
Cymodoceaceae
berdasarkan klasifikasi tumbuhan lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia oleh Kuriandewa (2009). Persentase Indeks Bagian Terbesar sebagai makanan ikan lingkis selanjutnya merupakan kelas alga hijau (Chlorophyceae), yaitu Enteromorpha sp. dan Caulerpa sp. Hasil penelitian Genisa (1999) juga menunjukkan terdapat Eucheuma sp dan Caulerpa sp di dalam isi perut spesies ini. Selanjutnya, di dalam lambung ditemukan rumput laut jenis Eucheuma sp. dari kelas Rhodophyceae (ganggang merah) dan zoobentos jenis Hydroides elegans dari kelas Polychaeta (Filum Anelida).
Komposisi makanan yang
45
didapatkan dari hasil penelitian tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan lingkis adalah herbivorous, yaitu pemakan alga atau tumbuhan laut lainnya.
5.3.2 Komposisi makanan famili Mugilidae Famili Mugilidae yang tertangkap yaitu ikan belanak (Mugil cephalus). Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan belanak berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 18. Tabel 18 Jenis dan nilai IP organisme makanan ikan belanak No. Kelompok Makanan 1 Caulerpa sp. 2 Detritus
Indeks Bagian Terbesar (IP) 72 28
Menurut nilai Indeks Bagian Terbesar yang didapat, makanan utama ikan belanak adalah Caulerpa sp dari kelas alga hijau (Chlorophyceae). Penelitian yang dilakukan oleh Genisa (1999) di Pulau Handeuleum, Taman Nasional Ujung Kulon menunjukkan bahwa isi perut ikan belanak terdiri atas Hypnea, Gracilaria, Chaetomorpha dan fragmen ophiurid. Ikan belanak di Segera Anakan, Cilacap memanfaatkan detritus mangrove sebagai makanannya. Komposisi makanan yang didapatkan dari hasil penelitian tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan belanak adalah herbivorous, yaitu pemakan alga atau tumbuhan laut lainnya.
Genisa (1999) menyimpulkan hasil yang sama dan
menyatakan bahwa alga yang tumbuh di perairan merupakan makanan ikan belanak. Namun, metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) mengelompokan kebiasaan makan ikan belanak berdasarkan tingkat hidup sebagai pemangsa, yaitu zooplanktonic ketika larva, benthophagous dan detritivores ketika juvenil serta herbivorous ketika dewasa.
5.3.3 Komposisi makanan famili Belonidae Famili strongylura).
Belonidae
yang
tertangkap
yaitu
ikan
cendro
(Tylosurus
Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan cendro
berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 19.
46
Tabel 19 Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan cendro No. 1 2 3 4
Kelompok Makanan Phasmida (Nematoda) Enhalus acoroides (Hydrocharitaceae) Sisik dan duri Pisces (Chordata) Potongan Moluska
Indeks Relatif Penting 1156,3157 279,2495 4391,4610 280,1957
Menurut nilai Indeks Relatif Penting yang didapat, makanan utama ikan cendro adalah sisik dan duri nekton (Pisces). Hal ini sesuai dengan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) yang menunjukkan bahwa makanan ikan cendro di Australia adalah nekton. Nematoda yang ditemukan dalam perut ikan cendro merupakan parasit bagi spesies ini. Enhalus acoroides (Hydrocharitaceae) tidak sengaja termakan ketika ikan cendro menerkam mangsanya dengan cepat karena cara makannya dilakukan dengan pelan-pelan, kemudian sampai jarak yang memungkinkan melompati dan menerjang dengan cepat. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ikan cendro menjadikan Moluska sebagai pilihan makanan, akan tetapi Indeks Relatif Pentingnya menunjukkan bahwa makanan ini tidak terlalu penting bagi ikan cendro. Jika menurut Hobson (1975) vide Andriana et al. (2011) kebiasaan makan spesies ini termasuk ke dalam ikan karnivora yang menggunakan cara mengintai untuk mendapatkan mangsanya, maka berdasarkan komposisi makanan yang didapatkan dari hasil penelitian, dapat dinyatakan bahwa feeding guilds dari ikan cendro adalah piscivorous, yaitu pemangsa dan pemakan ikan.
5.3.4 Komposisi makanan famili Labridae Famili Labridae yang tertangkap yaitu ikan jarang gigi (Choerodon anchorago). Menurut Setipermana (1996) vide Andriana et al. (2011) Labridae termasuk ikan diurnal (aktif mencari makan pada siang hari) dan pada malam hari masuk ke dalam pasir dan akan keluar lagi pada pagi hari (Kuncoro 2008). Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan jarang gigi berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 20. Menurut nilai Indeks Relatif Penting yang didapat, makanan utama ikan jarang gigi adalah Copepoda dari Filum Crustacea. Nematoda yang ditemukan dalam perutnya merupakan parasit bagi spesies ini.
47
Tabel 20 Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan jarang gigi No. Kelompok Makanan 1 Copepoda (Crustacea) 2 Nematoda
Indeks Relatif Penting 14559,5293 5440,4707
Hasil yang hampir sama ditemukan pada metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012), yang menunjukkan bahwa daftar makanan ikan jarang gigi di perairan Ryuku Island adalah zoobentos berupa Moluska, Crustacea, cacing dan Echinodermata.
Kuncoro (2008) juga berpendapat sama, bahwa spesies ini
memiliki gigi yang kuat untuk memecah karang, lobster dan beberapa Moluska. Jonna (2003) menambahkan pada umumnya, Labridae berperan sebagai penggali pasir, karnivora terhadap avertebrata dasar, planktivor dan sebagian kecil adalah ekto parasit untuk ikan-ikan yang lebih besar.
Namun, Khalifa (2011)
menyebutkan bahwa spesies ini termasuk ikan pemakan alga di karang mati. Komposisi makanan yang didapatkan dari hasil penelitian tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan jarang gigi adalah zooplanktonic, yaitu pemakan plankton, khususnya Copepoda dengan ukuran meroplankton (larva atau organisme bentik). Namun, komposisi makanan yang ditunjukkan oleh metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) di perairan Ryuku Island dan Filipina menyatakan bahwa ikan jarang gigi adalah benthophagous.
5.3.5 Komposisi makanan famili Leiognathidae Famili Leiognathidae yang tertangkap yaitu ikan kalam pute (Leiognathus nuchalis).
Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan kalam pute
berdasarkan hasil penelitian hanya satu, yaitu larva Crustacea dengan nilai Indeks Relatif Penting sebesar 20000. Hasil yang hampir sama ditemukan oleh metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012), yang menunjukkan bahwa daftar makanan ikan kalam pute di perairan Jepang adalah zooplankton, zoobentos dan detritus. Lebih lanjut dijelaskan bahwa komposisi makanan yang berupa zooplankton terdiri atas plankton dan Crustacea (Copepoda dan Cladocerans) serta zoobentos berupa ostracods.
Komposisi makanan yang didapatkan dari hasil penelitian
tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan kalam pute
48
adalah zooplanktonic, yaitu pemakan plankton, khususnya Copepoda dengan ukuran meroplankton (larva atau organisme bentik).
5.3.6 Komposisi makanan famili Serranidae Famili Serranidae yang tertangkap yaitu ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus). Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan kerapu koko berdasarkan hasil penelitian hanya satu, yaitu ikan betok hitam (Neoglyphidodon crossi) dengan nilai Indeks Relatif Penting sebesar 20000. Setipermana (1996) vide Andriana et al. (2011) juga menyebutkan bahwa spesies ini tergolong karnivora yang memakan ikan dan Crustacea.
Daftar makanan yang sama
diungkapkan oleh metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012), yaitu nekton dan zoobentos (termasuk Crustacea dan Anelida).
Komposisi makanan yang
didapatkan dari hasil penelitian tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan kerapu koko adalah piscivorous, yaitu pemangsa dan pemakan ikan. Hutomo (1995) vide Ramadan (2011) menyebutkan hal yang sama, bahwa ikan kerapu koko termasuk ikan piscivorous, yaitu pemangsa dan pemakan ikan. Komposisi makanan yang ditunjukkan oleh metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) di perairan Australia juga menyatakan bahwa ikan kerapu koko adalah piscivorous.
5.3.7 Komposisi makanan famili Lethrinidae Famili Lethrinidae yang tertangkap yaitu ikan lencam (Lethrinus reticulatus).
Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan lencam
berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 21. Tabel 21 Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan lencam No. Kelompok Makanan 1 Potongan Malacostraca (Crustacea) 2 Sisik dan duri Pisces (Chordata)
Indeks Relatif Penting 17341,6020 886,1327
Menurut nilai Indeks Relatif Penting yang didapat, makanan utama ikan lencam adalah potongan Malacostraca dari Filum Crustacea. Hasil yang hampir sama ditemukan pada metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012), yang menunjukkan bahwa daftar makanan ikan lencam di perairan Australia adalah
49
bentos, Crustacea dan nekton.
Lebih lanjut dijelaskan, ikan lencam bersifat
karnivora, mencari makan pada malam hari di dasar perairan dan memakan bentos atau ikan. Komposisi makanan yang didapatkan dari hasil penelitian tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan lencam adalah demersal feeders, yaitu pemakan avertebrata yang hidup dan bergerak di atas substrat, terutama Crustacea kecil (udang/kepiting). Penelitian Hutomo (1995) vide Ramadan (2011) mengungkapkan bahwa ikan lencam termasuk ikan piscivorous, yaitu pemangsa dan pemakan ikan. Namun, komposisi makanan yang ditunjukkan oleh metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) di perairan Australia menyatakan bahwa ikan lencam adalah benthophagous.
5.3.8 Komposisi makanan famili Nemipteridae Famili Nemipteridae yang tertangkap terdiri dari dua spesies, yaitu ikan pasir (Pentapodus trivittatus) dan ikan serak (Scolopsis lineata). Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan pasir berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 22. Tabel 22 Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan pasir No. Kelompok Makanan 1 Potongan Polychaeta (Anelida) 2 Potongan Cephalopoda (Moluska)
Indeks Relatif Penting 12345,6581 7654,3419
Apabila dibandingkan, ikan serak lebih banyak tertangkap (sepuluh ekor) daripada ikan pasir (satu ekor). Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan serak berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 23. Tabel 23 Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan serak No. 1 2 3 4 5 6
Kelompok Makanan Potongan Holothuria Pterygota (Uniramia) Potongan Gastropoda (Moluska) Potongan Crustacea Potongan Polychaeta (Anelida) Sisik dan duri Pisces (Chordata)
Indeks Relatif Penting 327,4809 290,9836 3066,8142 1069,8206 1023,7694 169,6121
Menurut nilai Indeks Bagian Terbesar yang didapat, makanan utama ikan pasir adalah potongan Polychaeta dari Filum Anelida. Hasil yang hampir sama
50
ditemukan pada metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012), yang menunjukkan bahwa daftar makanan ikan pasir adalah nekton dan zoobentos. Lebih lanjut dijelaskan bahwa komposisi makanan yang berupa zoobentos terdiri atas Crustacea dan Polychaeta.
Selanjutnya, di dalam lambung ditemukan
Cephalopoda dari Filum Gastropoda. Komposisi makanan yang didapatkan dari hasil penelitian tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan pasir adalah benthophagous, yaitu pemakan avertebrata bentik. Jenis makanan yang ditemukan pada ikan serak lebih beragam. Perbedaan dominansi jenis organisme yang dimakan oleh ikan pasir dan ikan serak disebabkan oleh adanya kompetisi dalam mencari makan di anatara kedua spesies tersebut.
Organisme makanan dominan yang dikonsumsi oleh ikan serak
(ditunjukkan oleh Indeks Relatif Penting yang tertinggi), yaitu potongan Gastropoda dari Filum Moluska. Namun, daftar makanan ikan serak sama dengan ikan pasir berdasarkan metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012), yaitu nekton dan zoobentos (termasuk Crustacea). Hasil penelitian menunjukkan spesies ini lebih memilih Moluska sebagai makanannya daripada Crustacea dan ditemukan pula bentos lainnya, yaitu Polychaeta dan Holothuria.
Pterygota dari Filum
Uniramia merupakan jenis serangga bersayap yang hidup di habitat perairan, sehingga adanya Pterygota di dalam salah satu spesies ikan serak karena tidak sengaja termakan ketika ikan tersebut sedang mencari makan.
Komposisi
makanan yang didapatkan dari hasil penelitian tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan serak adalah benthophagous, yaitu pemakan avertebrata bentik. Komposisi makanan yang ditunjukkan oleh metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) di perairan Ryuku Island juga menyatakan bahwa ikan serak adalah benthophagous.
5.3.9 Komposisi makanan famili Holocentridae Famili Holocentridae yang tertangkap yaitu ikan swanggi (Sargocentron rubrum).
Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan swanggi
berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 24. Menurut nilai Indeks Relatif Penting yang didapat, makanan utama ikan swanggi adalah Crustacea.
51
Tabel 24 Jenis dan nilai IRP organisme makanan ikan swanggi No. 1 2 3 4
Kelompok Makanan Potongan Malacostraca (Crustacea) Nematoda Sisik dan duri Pisces (Chordata) Potongan Lamun (Liliopsida)
Indeks Relatif Penting 17007,8353 39,8421 41,3786 37,2673
Hasil yang hampir sama ditemukan oleh De Bruin et al. (1995) vide Fitriyanti (2000) yang menyatakan bahwa makanan ikan swanggi adalah zooplankton yang besar, cacing Polychaeta, Crustacea dan ikan kecil. Nematoda ditemukan di dalam lambung ikan ini bukan sebagai makanannya, tetapi sebagai parasit karena sebagian besar Nematoda hidup sebagai endoparasit pada ikan (Suwignyo et al. 2005). Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Fitriyanti (2000) yang menemukan Nematoda sebagai salah satu parasit pada ikan swanggi. Lamun tidak sengaja termakan, namun menandakan bahwa ikan ini memang mencari makan di daerah padang lamun. Komposisi makanan yang didapatkan dari hasil penelitian tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan swanggi adalah demersal feeders, yaitu pemakan avertebrata yang hidup dan bergerak di atas substrat, terutama Crustacea kecil (udang/kepiting).
Namun, Hutomo (1995) vide
Ramadan (2011) mengungkapkan bahwa ikan swanggi termasuk ikan piscivorous, yaitu pemangsa dan pemakan ikan. Sisik ikan memang ditemukan di dalam perutnya, tetapi dalam nilai Indeks Relatif Penting yang relatif kecil (41,37) jika dibandingkan dengan nilai Crustacea yang mencapai 17007,83.
Metadata
FishBase (Froese dan Pauly 2012) menyebutkan hal yang berbeda, bahwa dalam hal kebiasaan makan, spesies ini termasuk ke dalam benthophagous, yaitu pemakan avertebrata bentik.
Menurut De Bruin et al. (1995) vide Fitriyanti
(2000), ikan swanggi bersifat soliter tetapi ada juga yang berkelompok sehingga kompetisi dalam mencari makan dapat menjadi penyebab perbedaan komposisi makanan dan kebiasaan makan ini.
5.3.10 Komposisi makanan famili Lutjanidae Famili Lutjanidae yang tertangkap yaitu ikan tanda-tanda (Lutjanus ehrenbergii).
Ikan ini disebut nelayan sebagai ikan tanda-tanda karena
52
mempunyai bintik hitam besar di dekat sirip ekornya. Jenis organisme makanan yang dikonsumsi oleh ikan tanda-tanda berdasarkan hasil penelitian hanya satu, yaitu potongan Crustacea dengan nilai Indeks Relatif Penting sebesar 20000. Menurut Setipermana (1996) vide Andriana et al. (2011), spesies ini merupakan predator ikan, Crustacea dan plankton. Daftar makanan yang sama diungkapkan oleh metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012), yaitu nekton dan zoobentos yang terdiri dari cumi-cumi, kepiting dan udang.
Komposisi makanan yang
didapatkan dari hasil penelitian tersebut dapat memberikan pernyataan bahwa feeding guilds dari ikan tanda-tanda adalah demersal feeders, yaitu pemakan avertebrata yang hidup dan bergerak di atas substrat, terutama Crustacea kecil (udang/kepiting). Namun, Hutomo (1995) vide Ramadan (2011) mengungkapkan bahwa ikan tanda-tanda termasuk ikan piscivorous, yaitu pemangsa dan pemakan ikan. Komposisi makanan yang ditunjukkan oleh metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) di perairan Solomon juga menyatakan bahwa ikan tanda-tanda adalah piscivorous. Perbedaan komposisi makanan dan feeding guilds dapat terjadi karena ada beberapa faktor yang memengaruhi kebiasaan makan ikan, diantaranya ukuran, umur, jenis kelamin, morfologi, tingkah laku, waktu dan lokasi yang berbeda (Elliott dan Hemingway 2002). Jika ikan tumbuh, maka kemampuannya untuk memangsa akan berubah. Ikan yang lebih besar biasanya makan lebih banyak dan berkemungkinan untuk bergerak dan memangsa lebih cepat daripada ikan yang berukuran kecil. Effendie (1997) juga menambahkan umumnya makanan pertama untuk semua ikan ialah plankton bersel tunggal yang berukuran kecil. Selain itu, spesies yang mencari makan secara individu akan berbeda tingkah laku pemangsaannya dengan spesies yang bergerombol. Ketersediaan makanan juga berperan penting karena akan memengaruhi kompetisi intraspesies dan interspesies.
5.4
Trofik Level Hasil Tangkapan Hasil analisis trofik level menunjukkan bahwa delapan spesies yang
tertangkap berada pada TL2 dan empat spesies pada TL3. Spesies-spesies pada
53
TL2 pun memiliki nilai trofik level yang bervariasi. Nilai trofik level ditampilkan secara lebih jelasnya oleh Tabel 25. Tabel 25 Nilai trofik level hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Panjang Total Panjang Lm Nilai Trofik ± SD (cm) Maksimum (cm)** (cm)** Level Baronang 18,0 42,0 2,00 Belanak 28,5 100,0 35,4 2,00 Cendro 65,9 ± 21,7 40,0 2,60 Jarang gigi 16,9 ± 4,6 38,0 23,0 3,00 Kalam pute 14,1 25,0 3,00 Kerapu koko 20,9 ± 3,3 40,0 18,0 3,68 Lencam 17,8 ± 0,6 40,0 2,25 Lingkis 18,1 ± 0,8 30,0 18,0 2,00 Pasir 18,1 25,0 2,50 Serak 17,4 ± 1,4 23,0 2,50 Swanggi 16,5 ± 1,6 32,0 2,06 Tanda-tanda 24,3 ± 1,4 35,0 12,0 3,00 Keterangan: * Klasifikasi trofik level menurut Stergiou et al. (2007) ** Nilai menurut metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) - = tidak ada data pada pustaka Nama Umum
Keterangan* TL2 TL2 TL2 TL3 TL3 TL3 TL2 TL2 TL2 TL2 TL2 TL3
Trofik Level** 2,68 2,48 4,20 3,32 2,97 4,02 3,78 2,76 3,61 3,18 3,53 4,44
Keseluruhan ikan tertangkap dengan rata-rata panjang total lebih kecil daripada panjang maksimumnya, namun ada tiga spesies ikan yang tertangkap dengan ukuran rata-rata panjang total di atas ukuran ikan pertama kali matang gonad (length at first maturity). Ukuran ikan ini dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan ikan, tingkat mortalitas atau kematian ikan dan selektivitas dari alat penangkapan (Effendie 1997). Penurunan ukuran hasil tangkapan menunjukkan bahwa alat tangkap yang tidak selektif menyebabkan ikan-ikan yang sedang tumbuh ikut tertangkap, padahal belum mencapai ukuran yang baik atau layak tangkap. Ikan hasil tangkapan yang mempunyai nilai trofik level 2 adalah ikan baronang, belanak dan lingkis. Ikan yang mempunyai nilai trofik lebih dari 2 dan kurang dari 3 yaitu ikan swanggi, pasir, serak dan cendro. Ikan yang mempunyai nilai trofik level 3 adalah ikan jarang gigi, kalam pute dan tanda-tanda. Ikan yang mempunyai nilai trofik lebih dari 2 hanya satu jenis, yaitu ikan kerapu koko. Gambar 14 menjelaskan trofik level setiap jenis ikan yang menunjukkan bahwa rata-rata ikan yang tertangkap oleh nelayan memiliki nilai trofik level antara 2 sampai dengan 3.
54
Gambar 14 Grafik trofik level hasil tangkapan setiap jenis ikan yang tertangkap pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka Teori mengatakan ikan yang berada di trofik level bawah harus lebih sedikit tertangkap daripada ikan pada trofik level diatasnya.
Namun, kegiatan
penangkapan pada habitat padang lamun ini menyebabkan ikan-ikan di trofik level bawah lebih banyak tertangkap, hal ini diperlihatkan oleh Gambar 15 yang menunjukkan bahwa total biomassa hasil tangkapan pada TL2 jauh lebih besar daripada total biomassa hasil tangkapan di TL3.
Gambar 15 Grafik total biomassa hasil tangkapan pada setiap tingkat rantai makanan di habitat padang lamun perairan Pulau Pramuka
55
Banyaknya hasil tangkapan ikan yang tertangkap pada TL2 menyebabkan trofik level hasil tangkapan nelayan menjadi tidak seimbang.
Hal ini
menunjukkan
merusak
bahwa
kegiatan
penangkapan
ikan
berpotensi
keseimbangan ekosistem pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Estimasi trofik level berhubungan dengan tingkat hidup ikan (juvenil atau dewasa). Gambar 16 menunjukkan hubungan antara spesies ikan, rata-rata trofik levelnya dengan panjang total ikan tersebut.
Gambar 16 Grafik hubungan antara trofik level dengan panjang maksimum spesies ikan hasil tangkapan di habitat padang lamun perairan Pulau Pramuka Analisis regresi atau persamaan linear menghasilkan nilai slope atau kemiringan sebesar 2,220.
Nilai slope yang positif ini menunjukkan bahwa
spesies yang lebih besar cenderung menjadi piscivorous atau pemakan ikan daripada spesies yang lebih kecil. Hubungan makan dan dimakan ini dapat dilihat lebih jelas pada rantai makanan. Gambar 17 menunjukkan rantai makanan pada habitat tersebut.
56
Larva Crustacea
Fitoplankton
Leiognathus nuchalis
Copepoda
Choerodon anchorago
Zooplankton
Zooplanktonic
Mugil cephalus
Diatoms dan Macrophtyes
Siganus canaliculatus
Neoglyphidodon crossi
Epinephelus quoyanus
Siganus guttatus Ikan herbivora Crustacea kecil
Lutjanus ehrenbergii Lethrinus reticulatus
Sargocentron rubrum Tylosurus strongylura Moluska
Anelida
Pentapodus trivittatus Scolopsis lineata
Detritus Echinodermata
I II III IV Gambar 17 Gambar rantai makanan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka berdasarkan analisis feeding guilds hasil tangkapan Keterangan:
= hasil pengukuran = sumber pustaka = teridentifikasi = tidak teridentifikasi
57
Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih baik tentang struktur rantai makanan (food chain). Studi ini dilakukan dengan meningkatkan intensitas penangkapan agar diperoleh sampel ikan yang lebih mewakili populasi di lokasi tersebut.
Berbagai alat tangkap dan metode
penangkapan perlu diterapkan untuk memperoleh data yang lebih baik namun penangkapan untuk memperoleh sampel ini pun harus memperhatikan prinsipprinsip ekologis agar tidak berpotensi merusak keseimbangan ekologi pada habitat tersebut. Berkaitan dengan tanggung jawab kegiatan penangkapan ikan yang harus disertai dengan manajemen, salah satu prinsip yang terkait dalam pengelolaan perikanan menurut FAO (2005) yaitu pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan pendekatan ekosistem yaitu pengaturan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan serta pengaturan secara spasial dan temporal. Pengaturan alat tangkap dapat dilakukan dengan mengatur ukuran mata jaring, dalam hal ini berarti memperbesar ukuran mata jaring agar ikan-ikan yang berukuran kecil tidak ikut tertangkap. Pengubahan ukuran mata jaring juga harus memperhatikan ukuran ikan untuk pertama kali matang gonad sehingga dapat dipastikan ikan-ikan yang tertangkap minimal sudah pernah memijah. Penyesuaian metode penangkapan yang lebih ramah lingkungan perlu dilakukan untuk mengurangi dampak negatif terhadap habitat dan spesies yang dilindungi, misalnya tidak menangkap ikan di daerah pengasuhan. Pengaturan secara spasial dapat dilakukan apabila habitat sudah dalam kondisi sangat terancam. Kawasan yang dulunya daerah penangkapan ikan untuk selanjutnya dijadikan kawasan konservasi laut dan nelayan diberi alternatif daerah penangkapan lain yang belum dimanfaatkan atau masih dalam status baik. Pengaturan secara temporal dilakukan dengan memperhatikan musim pemijahan ikan dan waktu migrasi ikan. Menurut Effendie (1997), hal ini dilakukan dengan tujuan agar jumlah induk ikan tidak berkurang dan tingkah lakunya pada waktu pemijahan tidak terganggu.
6 6.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. (1) Ikan yang tertangkap selama penelitian di bulan Januari dan Maret 2012 berjumlah 69 ekor yang terdiri dari 12 spesies (10 famili). Hasil tangkapan dominan
berasal
dari
famili
Holocentridae,
yaitu
ikan
swanggi
(Sargocentron rubrum) dan Belonidae, yaitu ikan cendro (Tylosurus strongylura) dengan proporsi masing-masing 26 % dari total hasil tangkapan.
Hasil tangkapan dominan berikutnya adalah ikan serak
(Scolopsis lineata) dengan proporsi 14,5 % dari total hasil tangkapan. (2) Ukuran rata-rata panjang total jenis ikan hasil tangkapan yang dominan adalah ikan cendro (65,9 ± 21,7 cm), ikan serak (17,4 ± 1,4 cm) dan ikan swanggi (16,5 ± 1,6 cm). Berat rata-rata hasil tangkapan utama tersebut adalah ikan cendro (584 ± 245 gr), ikan swanggi (87 ± 30 gr) dan ikan serak (77 ± 19 gr). 2. (1) Hasil tangkapan nelayan didominasi oleh ikan dengan kebiasaan makan (feeding guilds) yang bersifat herbivorous (pemakan tumbuhan), demersal feeders (pemakan avertebrata yang hidup dan bergerak di atas substrat) dan benthophagous (pemakan avertebrata bentik). (2) Keseluruhan ikan tertangkap dengan panjang total lebih kecil daripada panjang maksimumnya, namun ada tiga spesies ikan yang tertangkap dengan ukuran di atas ukuran ikan pertama kali matang gonad (length at first maturity). Banyaknya hasil tangkapan ikan yang tertangkap pada TL2 berpotensi menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem dan penurunan ukuran hasil tangkapan pada habitat tersebut.
6.2
Saran Penelitian ini telah menghasilkan beberapa informasi ilmiah mengenai
dampak penangkapan ikan terhadap keseimbangan trofik level di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Beberapa penelitian perlu dilakukan untuk mendapatkan
informasi lebih lanjut, yaitu sebagai berikut: 1. Menganalisis feeding guilds pada berbagai musim penangkapan ikan.
59
2. Menganalisis trofik level hasil tangkapan nelayan pada berbagai kondisi habitat padang lamun dan memperhatikan tingkat kedewasaan ikan agar sesuai dengan fase hidup ikan. 3. Perlu upaya perbaikan kualitas lamun dan metode penangkapan ikan yang ramah lingkungan agar pemanfaatan sumberdaya ikan lebih berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Andriana A, Syafiuddin Y, Iqbal BA. 2011. Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang Target di Pulau Badi, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Samalona. [internet]. [diunduh 2 April 2012]. Tersedia pada http://repository.unhas.ac.id. Andono G. 2004. Kajian Kesesuaian dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [Tesis]. Bogor (IDN): Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian bogor. Aprilia S. 2011. Trofik Level Hasil Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap di Propinsi Banten. [Skripsi]. Bogor (IDN): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Apramilda R. 2011. Status Temporal Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun pada Kawasan Rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Harapan, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. [Skripsi]. Bogor (IDN): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Aryani OD. 2010. Pengelolaan Sumberdaya Alam. [internet]. [diunduh 14 Juli 2011]. Tersedia pada http://mediaindonesia.com. Asmara A. 2005. Hubungan Struktur Komunitas Plankton dengan Kondisi FisikaKimia Perairan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Bogor (IDN): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Dwindaru B. 2010. Variasi Spasial Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. [Skripsi]. Bogor (IDN): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Effendie MI. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Bogor (IDN): Yayasan Dewi Sri. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta (IDN): Yayasan Pustaka Nusatama. Elliott dan Hemingway. 2002. Fishes in Estuaries. United States of America (USA): Blackwell Science. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2005. Menempatkan Praktek Pendekatan Ekosistem untuk Perikanan. [internet]. [diunduh 14 Juli 2011]. Tersedia pada http://www.fao.org.
61
Fitriyanti E. 2000. Inventarisasi Parasit Metazoa pada Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus Bloch, 1791), Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus Cuvier, 1829) dan Ikan Layang (Decapterus ruselli Ruppel 1830) dari Tempat Pelelangan Ikan Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (IDN): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Fortes MD. 1990. Seagrasses: a resource unknow in the Asean Region. Philippines (PHL): ICLARM Education, Manila. Hal: 1, 8. Froese R dan Pauly D, Editors. 2000. FishBase 2000: Concepts, Design and Data Sources. Philippines (PHL): International Center for Living Aquatic Resources Management. Froese R dan Pauly D, Editors. 2012. FishBase 2012: Concepts, Design and Data Sources [internet]. [diunduh 13 Februari 2011]. Tersedia pada http://www.fishbase.org. Genisa AS. 1999. Ekosistem Mangrove di Pulau Handeuleum Group, Taman Nasional Ujung Kulon, Sebagai Tempat Mencari Makan Beberapa Jenis Ikan Laut. Jakarta (IDN): Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi, LIPI Jakarta. Hemingga MA dan Duarte CM. 2000. Seagrass Ecology. Australia (AUS): Cambridge University Press. Hutomo M dan Azkab MH. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana, 12(1): 13-23. Hutomo M. 2009. Kebijakan, Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Ekosistem Lamun di Indonesia. Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun “Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim”.Hal: 1. Jonna RJ. 2003. Labridae Wrasses. [internet]. [diunduh 11 Maret 2012]. Tersedia pada http://animaldiversity.ummz.umich.edu. Khalifa N. 2011. Komposisi Jenis dan Struktur Populasi Ikan Kakatua (Famili Scaridae). [Skripsi]. Bogor (IDN): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kiswara W. 2009. Perspektif Lamun dalam Produktivitas Hayati Pesisir. Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun “Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim”. Hal: 1, 3, 5, 6. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Data Statistik Perikanan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010. Jakarta (IDN): KKP.
62
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 200 Tahun 2004. Jakarta (IDN): KKP. Kuncoro EB. 2008. Akuarium Laut. Yogyakarta (IDN): Kanisius. Kuriandewa TE. 2009. Tinjauan Tentang Lamun Di Indonesia. Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun “Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim; Jakarta (IDN), 18 November 2009. PKSPL-IPB, DKP, LIPI, LH dan Global Environment Facility. Lestari RM. 2010. Fungsi Lamun (Seagrass) sebagai Nursery Ground dalam Menunjang Stok Sumberdaya Ikan di Pulau Harapan dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta. [Skripsi]. Bogor (IDN): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Liu HTU. 2008. Biodiversity of shrimp associated gobies (Teleostei: Gobidae) in a seagrass bed at Barrang Lompo Island, Spermonde Archipelago, Indonesia, with special remarks on Austrolethops wardi. Germany (DEU): Wien University. Ningrum NAP. 2011. Tingkat Trofik Ikan Hasil Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan Teluk Jakarta. [Skripsi]. Bogor (IDN): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta (IDN): PT Gramedia. Pauly D dan Martosubroto P, Editors. 1996. Baseline Studies of Biodiversity: The Fish Resources of Western Indonesia. Philippines (PHL): International Center for Living Aquatic Resources Management. Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu. 2011. Data Administrasi Kepulauan Seribu. Jakarta (IDN): Pemerintah Kepulauan Seribu. Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang. 2011. Data Laporan Tahunan Pemerintahan Kelurahan Pulau Panggang. Jakarta (IDN): Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Ramadan AN. 2011. Uji Coba Tutupan Ijuk dan Goni pada Pengoperasian Bubu Tambun di Perairan Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Bogor (IDN): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Romimohtarto K dan Juwana S. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta (IDN): Penerbit Djambatan. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan Jilid 2. Bogor (IDN): Bina Cipta. 508 hal.
63
Santoso S. 1999. SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Jakarta (IDN): PT Elex Media Komputindo. Simbolon D. 2006. Daerah Penangkapan Ikan Sebagai Salah Satu Faktor Penentu Keberhasilan Operasi Penangkapan Ikan. Dalam Kumpulan Pemikiran tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab, Nomor 07 Tahun 2006/2007. Bogor (IDN): Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal 67-69. Stergiou KI, Moutopoulus DK, Casal HJA dan Erzini K. 2007. Trophic Signatures of Small-Scale Fishing Gears: Implications for Conservation and Management. Marine Ecology Progress Series. No. 333: 117-128. Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta (IDN): Pustaka Pelajar. Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y dan Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid 1. Jakarta (IDN): Penebar Swadaya. Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y dan Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid 2. Jakarta (IDN): Penebar Swadaya. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A dan Moosa MK. 1997. The ecology of the Indonesian Seas. The Ecology of Indonesian series. Vol VIII. Singapore (SGP): Periplus Edition (Hk) Ltd. Hal: 7. Unsworth R. 2009. Structuring of Indo-Pacific fish assemblages along the mangrove–seagrass continuum. Marine and Freshwater Research, 2007, 58, 1008–1018. Hal: 2. von Brandt A. Edited by Otto G, Klaus L, Erdmann D dan Thomas W. 2005. Fish Catching Methods of the World fourth edition. Australia (AUS): Blackwell Publishing. Yamaji I. 1976. Illustrations of The Marine Plankton of Japan. Osaka (JPN): Hoikusha Publishing. Co. LTD. Yulianto I. 2010. Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Karang di Pulau Weh, Nangroe Aceh Darussalam. [Tesis]. Bogor (IDN): Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Yusfiandayani R. 2004. Studi tentang Mekanisme Berkumpulnya Ikan Pelagis Kecil di Sekitar Rumpon dan Pengembangan Perikanan di Perairan Pasauran, Propinsi Banten. [Disertasi]. Bogor (IDN): Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
65
Lampiran 1 Peta sebaran lamun di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
Sumber: Laboratorium Hidrologi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor
66
Lampiran 2 Peta lokasi penelitian
67
Lampiran 3 Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian
Alat bedah
Botol sampel
Kertas label
Mikroskop binokuler
Cawan petri
Pipet tetes
Timbangan digital
Measuring board
68
Lampiran 4 Statistik produksi sumberdaya ikan Kepulauan Seribu tahun 2010
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Jenis Ikan Manyung Cendro Ikan sebelah Ekor kuning/pisang-pisang Lolosi biru Selar Kuwe Layang Sunglir Tetengkek Bawal hitam Bawal putih Talang-talang Bentrong Kakap putih Golok-golok Selanget Siro Japuh Tembang Lemuru Terubuk Lemadang Beloso/buntut kerbo Ikan lidah Teri Ikan terbang Julung-julung Gerot-gerot Ikan gaji Ikan nomei/lomei Ikan layaran Setuhuk hitam Setuhuk biru Setuhuk loreng Ikan pedang Ikan napoleon Kapas-kapas Peperek Lencam Kakap merah/bambangan Pinjalo Belanak Biji nangka karang
Nama Lokal Manyung Cendro Ikan sebelah Ekor kuning Lolosi biru Selar Kuwe Layang Sunglir Tetengkek Bawal hitam Bawal putih Talang-talang Bentrong Kakap putih Golok-golok Selanget Siro Japuh Tembang Lemuru Terubuk Lemadang Beloso Ikan lidah Teri Ikan terbang Julung-julung Gerot-gerot Ikan gaji Ikan nomei Ikan layaran Setuhuk hitam Setuhuk biru Setuhuk loreng Ikan pedang Ikan jarang gigi Kapas-kapas Kalam pute Lencam Tanda-tanda Pinjalo Belanak Biji nangka karang
Produksi (ton) 1,1 13,0 161,2 126,6 1,2 2,5 77,3 5,0 1,4 0,2 0,5 50,3 0,3 0,1 2,0 1,2 -
69
No. 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91
Jenis Ikan Kuniran Biji nangka Kurisi Kurau Kuro/senangin Swanggi/mata besar Serinding Gulamah/tigawaja Lisong Tongkol krai Tongkol komo Cakalang Kembung Banyar Kenyar Slengseng Tenggiri Tenggiri papan Albakora Madidihang Tuna sirip biru selatan Tuna mata besar Tongkol abu-abu Kerapu karang Kerapu bebek Kerapu balong Kerapu lumpur/sunu Beronang lingkis Ikan beronang Beronang kuning Rejung Alu-alu/manggilala/pucut Senuk Kerong-kerong Layur Cucut Mako Pari Udang dogol Udang putih/jerbung Udang krosok Udang ratu/raja Udang windu Udang barong Kepiting Rajungan Penyu
Nama Lokal Kuniran Biji nangka Kurisi Kurau Kuro Swanggi Serinding Gulamah Lisong Tongkol krai Tongkol komo Cakalang Kembung Banyar Kenyar Slengseng Tenggiri Tenggiri papan Albakora Madidihang Tuna sirip biru Tuna mata besar Tongkol abu-abu Kerapu koko Kerapu bebek Kerapu balong Kerapu lumpur Lingkis Baronang Beronang kuning Rejung Alu-alu Senuk Kerong-kerong Layur Cucut Mako Pari Udang dogol Udang putih Udang krosok Udang ratu/raja Udang windu Udang barong Kepiting Rajungan Penyu
Produksi (ton) 12,2 17,6 49,5 11,3 12,3 6,2 8,6 1,8 0,5 1,3 57,4 -
70
No. 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105
Jenis Ikan Teripang Kerang darah Kerang hijau Cumi-cumi Gurita Tiram Simping Kerang mutiara/tapis-tapis Sotong Lola/susu bundar Remis Bunga karang Ubur-ubur Rumput laut
Nama Lokal Teripang Kerang darah Kerang hijau Cumi-cumi Gurita Tiram Simping Kerang mutiara Sotong Lola Remis Bunga karang Ubur-ubur Rumput laut
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010 Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka
Produksi (ton) 4,0 0,4 -
71
Lampiran 5 Hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
Siganus guttatus
Mugil cephalus
Tylosurus strongylura
Choerodon anchorago
Leiognathus nuchalis
Epinephelus quoyanus
Lethrinus reticulatus
Siganus canaliculatus
72
Lampiran 5 (Lanjutan)
Pentapodus trivittatus
Scolopsis lineata
Sargocentron rubrum
Lutjanus ehrenbergii
73
Lampiran 6 Komposisi hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
No.
Famili
Nama Latin
Nama Umum
1.
Siganidae
Siganus guttatus
Baronang
2.
Mugilidae
Mugil cephalus
3.
Belonidae
4.
Panjang Total (cm)
Berat (gr)
18
109
Belanak
28,5
232
Tylosurus strongylura
Cendro
51,8
513
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
42,3
569
5.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
40,6
317
6.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
35,3
357
7.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
40,2
312
8.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
42,3
399
9.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
108
1100
10.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
95
860
11.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
63
400
12.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
100
1010
13.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
72
510
14.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
81
800
15.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
64
460
16.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
68
500
17.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
83
800
18.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
75
790
19.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
60
390
20.
Belonidae
Tylosurus strongylura
Cendro
65
420
21.
Labridae
Choerodon anchorago
Jarang gigi
13,3
46
22.
Labridae
Choerodon anchorago
Jarang gigi
19
120
23.
Labridae
Choerodon anchorago
Jarang gigi
23,7
230
24.
Labridae
Choerodon anchorago
Jarang gigi
16,5
100
25.
Labridae
Choerodon anchorago
Jarang gigi
12,2
34
26.
Leiognathidae
Leiognathus nuchalis
Kalam pute
14,1
37
27.
Serranidae
Epinephelus quoyanus
Kerapu koko
23,2
200
28.
Serranidae
Epinephelus quoyanus
Kerapu koko
18,6
93
29.
Lethrinidae
Lethrinus reticulatus
Lencam
17,1
74
30.
Lethrinidae
Lethrinus reticulatus
Lencam
18,6
91
31.
Lethrinidae
Lethrinus reticulatus
Lencam
18
90
32.
Lethrinidae
Lethrinus reticulatus
Lencam
17,5
30
33.
Siganidae
Siganus canaliculatus
Lingkis
18,5
113
74
No.
Famili
Nama Latin
Nama Umum
Panjang Total (cm)
Berat (gr)
34.
Siganidae
Siganus canaliculatus
Lingkis
18,9
82
35.
Siganidae
Siganus canaliculatus
Lingkis
16,7
65
36.
Siganidae
Siganus canaliculatus
Lingkis
18,3
75
37.
Siganidae
Siganus canaliculatus
Lingkis
17,9
72
38.
Nemipteridae
Pentapodus trivittatus
Pasir
18,1
73
39.
Nemipteridae
Scolopsis lineata
Serak
18
88
40.
Nemipteridae
Scolopsis lineata
Serak
17,7
71
41.
Nemipteridae
Scolopsis lineata
Serak
18,3
87
42.
Nemipteridae
Scolopsis lineata
Serak
16,8
90
43.
Nemipteridae
Scolopsis lineata
Serak
18,6
97
44.
Nemipteridae
Scolopsis lineata
Serak
18,8
98
45.
Nemipteridae
Scolopsis lineata
Serak
16,6
76
46.
Nemipteridae
Scolopsis lineata
Serak
17,6
66
47.
Nemipteridae
Scolopsis lineata
Serak
17,6
60
48.
Nemipteridae
Scolopsis lineata
Serak
14
37
49.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
19
133
50.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
17,4
94
51.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
15,4
61
52.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
16,7
100
53.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
18,2
120
54.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
17,3
100
55.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
17,5
137
56.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
18
106
57.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
19,4
129
58.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
14,4
52
59.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
15,3
64
60.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
14,5
51
61.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
13,9
52
62.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
15,3
61
63.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
16,5
81
64.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
17,5
102
65.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
15,1
59
66.
Holocentridae
Sargocentron rubrum
Swanggi
16,1
72
67.
Lutjanidae
Lutjanus ehrenbergii
Tanda-tanda
23,5
196
68.
Lutjanidae
Lutjanus ehrenbergii
Tanda-tanda
23,4
190
69.
Lutjanidae
Lutjanus ehrenbergii
Tanda-tanda
25,9
210
75
Lampiran 7 Perhitungan Indeks Bagian Terbesar dan Indeks Relatif Penting
Ulangan
Organisme
Vi
Oi
Vi x Oi
IP
235
52
100
5246
52
213
48
100
4754
48
1
2
3
Total
Zygnema pectinatum (Chlorophyceae)
60
90
85
Oedocladium (Chlorophyceae)
67
80
66
448
10000
IP ikan baronang (Siganus guttatus) Ulangan
Organisme
Vi
Oi
Vi x Oi
IP
222
72
100
7161
72
88
28
100
2839
28
1
2
3
Total
Caulerpa sp.
60
81
81
Detritus
50
19
19
310
10000
IP ikan belanak (Mugil cephalus) Organisme
% Jumlah
% Massa
% Kejadian
IRP
Phasmida (Nematoda)
33
33
1156,3153
Enhalus acoroides (Hydr charitaceae)
17
1,3561 0,0883
17
279,2495
Sisik dan duri Pisces (Chordata)
33
98,4105
33
4391,4610
Potongan Moluska
17
0,1451
17
280,1957
IRP ikan cendro (Tylosurus strongylura) Organisme
% Jumlah
% Massa
% Kejadian
IRP
Copepoda (Crustacea)
50
95,5953
100
14559,5293
Nematoda
50
4,4047
100
5440,4707
IRP ikan jarang gigi (Choerodon anchorago) Organisme Potongan Crustacea
% Jumlah
% Massa
% Kejadian
IRP
100
100,0000
100
20000,0000
IRP ikan kalam pute (Leiognathus nuchalis) Organisme Pisces (Chordata)
% Jumlah
% Massa
% Kejadian
IRP
100
100,0000
100
20000,0000
IRP ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) Organisme
% Jumlah
% Massa
% Kejadian
IRP
Potongan Malacostraca (Crustacea)
75
98,4160
100
17341,6020
Sisik dan duri Pisces (Chordata)
25
1,5840
33
886,1327
IRP ikan lencam (Lethrinus reticulates)
76
Lampiran 7 (Lanjutan) Ulangan
Organisme
Vi
Oi
Vi x Oi
IP
228
17
67
1160
14
102
429
33
100
3283
39
126
216
397
30
100
3039
36
0
0
43
3
33
111
1
20
0
30
50
4
67
255
3
Hydroides elegans (Polychaeta)
0
70
0
70
5
33
179
2
Eucheuma sp. (Rhodophyceae)
0
20
40
60
5
67
306
3
Caulerpa sp. (Chlorophyceae)
0
10
0
10
1
33
26
1
Thalassia hemprichii (Liliopsida)
0
0
20
20
2
33
51
1
1
2
3
Total
Enteromorpha sp. (Chlorophyceae)
198
30
0
Hancuran lamun
107
220
Enhalus acoroides (Liliopsida)
55
Halodule uninervis (Liliopsida)
43
Gracilaria (Rhodophyceae)
1307
8408
IP ikan lingkis (Siganus canaliculatus) Organisme
% Jumlah
% Massa
Potongan Polychaeta (Anelida)
50
73,4566
100
12345,6581
Potongan Cephalopoda (Moluska)
50
26,5434
100
7654,3419
% Kejadian
IRP
IRP ikan pasir (Pentapodus trivittatus) Organisme
% Jumlah
% Massa
% Kejadian
IRP
Potongan Holothuria
10
12,9237
14
327,4809
Pterygota (Uniramia)
10
10,3688
14
290,9836
Potongan Gastropoda (Moluska)
30
41,5590
43
3066,8140
Potongan Crustacea
20
17,4437
29
1069,8206
Potongan Polychaeta (Anelida)
20
15,8319
29
1023,7694
Sisik dan duri Pisces (Chordata)
10
1,8728
14
169,6121
IRP ikan serak (Scolopsis lineata) Organisme Potongan Malacostraca (Crustacea)
% Jumlah
% Massa
% Kejadian
IRP
83
98,8935
93
17007,8353
Nematoda
6
0,4208
7
39,8421
Sisik dan duri Pisces (Chordata)
6
0,6512
7
41,3786
Potongan Lamun (Liliopsida)
6
0,0345
7
37,2673
IRP ikan swanggi (Sargocentron rubrum) Organisme Potongan Malacostraca (Crustacea)
% Jumlah
% Massa
% Kejadian
IRP
100
100,0000
100
20000,0000
IRP ikan tanda-tanda (Lutjanus ehrenbergii)
77
Lampiran 8 Gambar makanan utama ikan hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
Makanan ikan baronang: Chlorophyceae
Makanan ikan belanak: Caulerpa sp.
Makanan ikan cendro: sisik dan duri ikan
Makanan ikan jarang gigi: potongan Crustacea
Makanan ikan kalam pute: Copepoda
Makanan ikan lencam: potongan Crustacea
Makanan ikan kerapu koko: ikan betok hitam
Makanan ikan lingkis: hancuran lamun
78
Lampiran 8 (Lanjutan)
Makanan ikan pasir: potongan Anelida
Makanan ikan swanggi: potongan Crustacea
Makanan ikan serak: potongan Moluska
Makanan ikan tanda-tanda: potongan Crustacea
79
Lampiran 9 Hasil perhitungan Mann-Whitney Test dan ANOVA
NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks Jumlah_Hasil_ Tangkapan
Bulan Januari Maret Total
N 9 8 17
Mean Rank 7,78 10,38
Sum of Ranks 70,00 83,00
Test Statistics(b)
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] a Not corrected for ties. b Grouping Variable: Bulan
Jumlah_Hasil_T angkapan 25,000 70,000 -1,090 ,276 ,321(a)
Anova: Single Factor SUMMARY Groups
Count 4 9 2 9
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 12,5 302 314,5
Sum Average Variance 24 2,666667 8,75 39 4,333333 29
Df 1 16 17
MS F 12,5 0,662252 18,875
P-value F crit 0,42771166 4,493998