STRUKTUR TROFIK DAN BIOLOGI POPULASI IKAN DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU
SRIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul STRUKTUR TROFIK DAN BIOLOGI POPULASI IKAN DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Sriati NIM C161050031
ABSTRACT SRIATI. Trophic Structure and Population Biology of Fishes in Semak Daun Island, Kepulauan Seribu. Under direction of MENNOFATRIA BOER, ISMUDI MUCHSIN and SUBHAT NURHAKIM Reef fishes is one of primary reef resource exploited by artisanal fishers in most Indonesian coastal areas and small islands. Sustainable management of reef fisheries should be founded upon scientific data set combining different types of indicators, some of which are biological and ecological indicators. The objective of the study were (1) to analyze trophic structure on reef fish communities in Semak Daun Island, (2) to examine population biology and exploitation on most favored reef fish, and (3) to review the inter-relation and response between reef fish resource with trophic level, population variables, and exploitation. The research was conducted in the patch reefs encircling Semak Daun Island, Kepulauan Seribu. There were seven (7) research sites representing the entire island system. Sampling for reef fish communities was conducted by underwater visual census and capture using gillnet and bamboo trap. Data analyses comprise of fish density, fish trophic level, and a set of population variables. Statistical test was performed to test the difference of fish abundance between sites and biomass of each trophic level, to analyze the influence of population variables to fish biomass, and the correlation between different trophic level. Research results revealed that fish communities in Semak Daun Island comprise of different trophic levels, from 2.10 to 4.00. The lowest fish density was presented at trophic level 2.51-3.00, dominated by Scarus ghobban (Scaridae). Growth coefficient (K) for dominant fish species ranged between 0.09-0.64 month-1, L∞ 49.13-190.05 mm. The range for mortality rate was 0.81-1.61 month-1, with natural mortality rate of 0.14-0.71 month-1. Exploitation rate in general was exceeding 0.5. The highest intensity of reef fish exploitation was performed using gill nets with dominant yields grouper (Serranidae, Epinephelus fuscoguttatus) and tusk fish (Labridae, Choerodon anchorago). Fish density featured to decrease its density in parallel to the elevation of fish trophic level. There also observed sharp decline in fish biomass at trophic level 2.51-3.00, followed by poor growth and low natural mortality, with excessing-optimum of fish exploitation rate. Such measures indicate that reef fish exploitation has put considerable pressure on reef fish resources in Semak Daun Island. Pattern of energy flow was constructed referring to fish diet and existing population dynamics, revealing that fish community at low trophic level (2.00-2.50) had significant contribution to support reef fish resources and greater impacted by the remaining trophic level, as well as contributed significantly to population variables. Fish biomass at this trophic level strongly correlated with higher trophic level (3.51-4.00). Therefore, the management of reef fisheries at high trophic level feature critical and significant in maintaining the stability of reef fish community at Semak Daun Island. Keywords: Trophic level, fish communities, population biology, material flow, Seribu Islands.
RINGKASAN SRIATI. Struktur Trofik dan Biologi Populasi Ikan di Perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER, ISMUDI MUCHSIN dan SUBHAT NURHAKIM.
Sumberdaya ikan di Pulau Semak Daun mengalami tekanan akibat penangkapan berlebih (overfishing) dan tidak ramah lingkungan. Hal ini ditandai dengan penurunan kelimpahan, penurunan ukuran rata-rata individu hasil tangkapan, berkurangnya keragaman spesies hasil tangkapan, penurunan hasil tangkap per satuan upaya (CPUE) dan dominasi spesies berukuran relatif lebih kecil dengan nilai ekonomis yang lebih rendah. Penurunan ukuran dapat diakibatkan oleh selektivitas alat tangkap. Target penangkapan sering ditujukan pada individu berukuran lebih besar dan lebih tua sehingga menurunkan proporsi jumlah individu berukuran besar dan berumur lebih tua dalam populasi. Dengan demikian penangkapan mempengaruhi struktur umur dan struktur ukuran dalam populasi. Pada tingkat komunitas, pengaruh langsung penangkapan menyebabkan pergeseran pemangsa, mangsa, atau pesaing dari komunitas ikan tersebut. Pengaruh tersebut meliputi penurunan biomasa jenis yang semula melimpah dan peningkatan biomasa jenis lainnya yang selanjutnya mengakibatkan perubahan kelimpahan relatif spesies atau komposisi jenis dalam komunitas, dan selanjutnya merubah biomasa relatif pada berbagai trofik level. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan upaya pengelolaan sumberdaya perikanan yang didasarkan pada suatu kajian ilmiah tentang struktur trofik pada komunitas ikan, dimulai dari tingkat trofik paling rendah hingga ikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur trofik pada komunitas ikan, mengkaji parameter populasi dan eksploitasi pada ikan dominan, dan menganalisa hubungan dan respon dari sumberdaya sebagai akibat keterkaitan trofik level, dinamika populasi dan eksploitasi. Kegiatan penelitian difokuskan di perairan gosong karang sekitar Pulau Semak Daun yang dibatasi dengan tubir, dibagi dalam beberapa stasiun agar mewakili karakteristik seluruh lokasi penelitian. Jumlah stasiun pengambilan contoh ada tujuh stasiun, yaitu stasiun 1 sampai dengan 4 mewakili lokasi dengan karakteristik habitat terumbu karang, stasiun 5 lokasi di sekitar lamun, stasiun 6 lokasi pasir campur lamun dan stasiun 7 mewakili perairan dalam atau gobah. Pengambilan contoh di tiap stasiun dengan cara sensus visual bawah air (UVC) dan sampling menggunakan alat tangkap gill net dan bubu. Parameter yang diukur pada saat pengambilan contoh ikan adalah kepadatan, panjang total, berat, dan identifikasi jenis-jenis makanan. Selain itu dilakukan pengukuran kualitas air dan lingkungan di setiap stasiun. Analisis data dilakukan untuk mengetahui kelimpahan ikan, biomasa, trofik level, dan parameter populasi. Uji statistik dilakukan untuk mengetahui perbedaan kelimpahan dan trofik level antar stasiun. Hasil sampling penangkapan didapatkan 99 spesies yang termasuk dalam 22 famili, sedangkan berdasarkan metode UVC diperoleh 78 spesies yang termasuk dalam 15 famili. Berdasarkan jumlah individu yang tertangkap, jenis ikan didominasi oleh Famili Labridae, Pomacentridae, Scaridae, dan Nemipteridae, yaitu 55,03% dari jumlah total individu yang tertangkap. Sedangkan berdasarkan
beratnya, berturut-turut didominasi oleh Famili Scaridae, Serranidae, Labridae dan Pomacentridae. Adapun berdasarkan sensus menggunakan metode UVC, diperoleh hasil bahwa jenis ikan didominasi oleh dua famili, yaitu Pomacentridae dan Labridae. Distribusi per species dominan berdasarkan stasiun diuji menggunakan statistik uji Mann-Whitney pada taraf nyata 5%. Hasilnya menunjukkan beberapa stasiun yang berbeda nyata, yaitu antara stasiun 1 dan 3, 1 dan 4, 1 dan 5, 1 dan 7, serta 2 dan 4. Biomasa ikan dominan di lokasi penelitian didominasi oleh spesies Chlorourus sordidus, Siganus canaliculatus, Scarus sp, Choerodon anchorago, dan Plectorhinchus multivittatum. Terdapat tiga kelompok ikan yang berbeda berdasarkan kebiasaan makanannya, sepuluh spesies memanfaatkan krustase sebagai makanan utama, 9 (sembilan) spesies yang memanfaatkan makroinvertebrata bentik sebagai makanan utama, 1 (satu) spesies memanfaatkan krustase dan alga sebagai makanan utama, 1 (satu) spesies memanfaatkan krustase dan makroinvertebrata bentik, dan 11 spesies lainnya memanfaatkan alga sebagai makanan utamanya. Berdasarkan trofik levelnya, biomasa ikan dominan di sekitar Pulau Semak Daun mencakup semua trofik level, yaitu dari 2,10 hingga 4,00. Biomasa ikan semakin berkurang dengan semakin meningkatnya trofik level. Berdasarkan hasil uji-t diketahui bahwa struktur trofik ikan berbeda untuk lokasi dengan karakteristik terumbu karang, karakteristik lamun dan karakteristik gobah. Nilai koefisien pertumbuhan (K) ikan-ikan dominan di lokasi penelitian pada umumnya termasuk rendah. Jika membandingkan persamaan pertumbuhan antar ikan, terlihat bahwa spesies Chlorourus sordidus memiliki koefisien pertumbuhan yang paling tinggi yang berarti bahwa ikan ini mencapai panjang maksimum lebih cepat dibanding spesies lainnya. Kondisi ini didukung dengan nilai L∞ ikan tersebut 190,05 mm, merupakan nilai terkecil dibanding spesies lainnya. Laju mortalitas total jenis-jenis ikan dominan berkisar antara 0,17 per bulan sampai dengan 1,61 per bulan, dengan nilai mortalitas alami berkisar antara 0,14 sampai 0,71 per bulan. Laju eksploitasi pada umumnya melebihi 0.5 yang berarti eksploitasi telah melebihi optimal, hanya Chlorourus sordidus dan Scarus sp yang eksploitasinya dibawah optimal. Alat tangkap yang beroperasi di lokasi penelitian didominasi oleh jaring dan bubu, namun alat paling efektif dalam melakukan penangkapan adalah jaring. Produksi hasil tangkapan ikan dominan tertinggi adalah kerapu hitam (E.fuscoguttatus) dan jarang gigi (C. anchorago). Komponen tingkat trofik terendah di lokasi penelitian terdiri dari fitoplankton, alga bentik dan detritus. Aliran materi yang disusun berdasarkan kebiasaan makanan dan dinamika populasi menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda dari setiap kelompok ikan. Perubahan kebiasaan makanan terhadap alga bentik memberi pengaruh yang berbanding terbalik terhadap biomasa ikan pada trofik level 2,00-2,50, demikian pula invertebrata terhadap ikan pada trofik level 3,51-4,00 dan hewan karang terhadap ikan pada trofik level 3,01-3,50. Adapun perubahan kebiasaan terhadap kelompok makanan lain memberikan pengaruh yang sebanding dengan perubahan biomasa ikan. Kata Kunci:
Trofik level, komunitas ikan, biologi populasi, aliran materi, Kepulauan Seribu
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
STRUKTUR TROFIK DAN BIOLOGI POPULASI IKAN DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU
SRIATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Endi Kartamihardja, M.Sc. 2. Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Bachrulhajat Koswara 2. Prof. Dr. Ir. Sam Whoutyzen
Judul Disertasi : Struktur Trofik dan Biologi Populasi Ikan di Perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu Nama
: Sriati
NIM
: C161050031
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer,DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Anggota
Prof. Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.S. Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Enang Harris,M.S.
Dr. Ir. DahrulSyah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 26 Januari 2012
Tanggal Lulus:..............................
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi berjudul ” Struktur Trofik dan Biologi Populasi Ikan di Perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu”. Pemilihan topik ini didasari adanya pergeseran interes pengelolaan perikanan yang akhir-akhir ini didasarkan pada pendekatan ekosistem. Penelitian ini terutama bertujuan untuk mengkaji hubungan dan respon dari sumberdaya ikan sebagai akibat keterkaitan trofik level, dinamika populasi dan eksploitasi, mengingat eksploitasi berpengaruh pada setiap trofik dalam trofik level, dan merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem (Ecosystem Based Fisheries Management). Dengan demikian disertasi ini sangat berguna sebagai bahan masukan bagi pengelolaan sumberdaya perikanan, terutama sumberdaya perikanan di ekosistem terumbu karang. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin dan Bapak Prof. Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.S. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas arahan dan bimbingannya mulai penyusunan proposal hingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Alm. Bapak Dr. Ir. Sutrisno Sukimin,DEA yang telah memberikan bimbingan selama proses penyusunan proposal dan pelaksanaan penelitian di lapangan. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ario Damar sebagai penguji pada Ujian Kualifikasi, Bapak Prof. Dr. Ir. Endi Kartamihardja, M.Sc. sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup dan Ujian Kualifikasi, Bapak Dr.Ir.Muchlis Kamal sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, Bapak Prof.Dr.Ir.Bachrulhayat Koswara dan Bapak Prof.Dr.Ir.Sam Wouthyzen sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, serta Ketua Program Studi Ilmu Perairan, Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris,M.S atas masukan dan saran yang sangat berarti untuk penyempurnaan Disertasi ini. Penulis berharap semoga Disertasi ini bermanfaat bagi pembaca dan memperkaya khasanah ilmu pengelolaan sumberdaya perikanan.
Bogor, Januari 2012
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atas bantuan beasiswa BPPS yang diberikan kepada penulis. 2. Rektor Universitas Padjadjaran dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3. 3. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, atas bantuan biaya yang diberikan untuk penulisan Disertasi melalui program COREMAP 2010. 4. Bapak Dr.Ir.Vincentius Siregar atas kesempatannya untuk melakukan penelitian bersama, Bapak Prof. Dr.Ir.Sam Wouthyzen atas bantuan dan masukan yang sangat berarti selama di lapangan. 5. Bapak Prof. Dr.Ir. MF. Rahardjo, atas saran, nasehat dan metovasi yang diberikan untuk bekerja dan menyelesaikan studi dengan baik. 6. Pimpinan dan Staf Pengajar Program Studi Prikanan, Program Studi Kelautan, pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD, atas motivasi yang diberikan untuk penyelesaian studi S3 ini. 7. Orang tua tercinta (Bapak dan Ibu Alm.) atas doa dan kasih sayang yang dicurahkan hingga akhir hayatnya. Suami (Drs. Husin Achmad Santoso) dan Anak-anak (Ni’mah Rahmadiyani,S.E dan Amirul Fajar Mahardika), atas doa, pengertian dan dukungannya sehingga penulis dapat menjalani studi S3 hingga selesai. 8. Tim Pulau Seribu, Samsul B. Agus S.Pi., M.Si.; M.Banda Selamat S.Pi., M.Si.; Adriani Sunudin, S.Pi., M.Si., Anggi Afif Muzaki, S.Pi.; Mursalin S.Pi, dan Alimuddin S.Pi. serta Tim Pulau Seribu dari FPIK-UNPAD, atas kerjasamanya selama di lapangan. 9. Dr. Ir. Niken TM Pratiwi dan Teman seperjuangan (Ibu Maya, Ibu Yusri, Pak Fadli) atas dorongan, semangat, dan kerjasama yang baik selama studi hingga selesainya Disertasi ini. 10. Saudara Dwi Yuni Wulandari,S.Pi., Arif Nurcahyanto,S.Pi., yang telah membantu memperlancar proses penulisan Disertasi hingga penyelesaian studi. 11. Berbagai pihak yang turut andil dalam keberhasilan penulis menyelesaikan studi S3. Semoga pengorbanan yang diberikan menjadi amalan yang baik dan mendapat imbalan yang lebih baik dari Allah swt. Akhir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2012 Sriati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Blitar,Jawa Timur, pada tanggal 1 Mei 1964. Penulis adalah anak ke-10 dari 12 bersaudara, dengan ayahanda bernama Marjono (Alm.) dan Ibu Supadmi (Alm.). Penulis menempuh program S1 pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan IPB dan lulus tahun 1987. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS dan lulus tahun 1998. Pada tahun 2005 penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan S3 pada Program Studi yang sama di Sekolah Pascasarjana IPB, dengan bantuan beasiswa BPPS. Penulis menikah dengan Drs. Husin Achmad Santoso pada tahun 1990 dan dikaruniai satu orang putri, Ni’mah Rahmadiyani,S.E. (20 tahun) dan satu orang putra, Amirul Fajar Mahardika (15 tahun). Sejak tahun 1988 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran. Selama menempuh pendidikan S3, penulis telah mempublikasikan karya ilmiah yang merupakan bagian dari Disertasi yaitu: -
Kajian Trofik Level Pada Komunitas Ikan di Ekosistem Terumbu Karang Kepulauan Seribu, dalam Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan dan Kongres INFHM, Universitas Gajah Mada, Tahun 2009.
-
Keanekaragaman Sumberdaya Ikan Hasil Tangkapan di Terumbu Karang Sekitar Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu, dalam Prosiding Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, Universitas Gajah Mada, Tahun 2010.
-
Status Sumberdaya Ikan Berdasarkan Ukuran dan Trofik Level Hasil Tangkapan di Perairan Sekitar Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu, dalam Jurnal Iktiologi Indonesia (in Press).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xxv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxvii 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah .............................................. 1.3 Pendekatan Masalah ........................................................................ 1.4 Tujuan dan Manfaat ........................................................................ 1.5 Nilai Kebaruan (Novelty) ................................................................
1 1 3 6 8 10
2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2.1 Sumberdaya Ikan Karang ................................................................ 2.2 Jenjang Trofik dan Aliran Energi ................................................... 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Trofik ................ 2.4 Biologi Populasi .............................................................................. 2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Pendekatan Ekosistem ...
11 11 12 19 23 26
3 METODE PENELITIAN ...................................................................... 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 3.2 Desain Penelitian ............................................................................ 3.3 Ruang Lingkup Penelitian............................................................... 3.4 Analisis Statistik .............................................................................
33 33 33 35 44
4
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 4.1 Komposisi jenis ikan ....................................................................... 4.2 Spesies Dominan ............................................................................. 4.3 Densitas Ikan ................................................................................... 4.4 Kebiasaan Makanan dan Trofik Level ............................................ 4.5 Struktur Trofik Komunitas Ikan ...................................................... 4.6 Dinamika Populasi .......................................................................... 4.7 Perikanan Tangkap .......................................................................... 4.8 Inter-Relasi Trofik .......................................................................... 4.9 Pengelolaan Sumberdaya Ikan ........................................................
45 45 48 51 53 58 62 66 69 74
5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 5.2 Saran ..............................................................................................
79 79 79
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
81
LAMPIRAN ..................................................................................................
87
xxi
xxii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Parameter fisik-kimiawi perairan, peralatan dan metode pengukuran ................................................................................. 44 2. Komposisi jenis ikan hasil pengambilan contoh berdasarkan metode UVC di semua stasiun .................................................................
46
3. Jumlah spesies dan kelimpahan ikan yang dijumpai berdasarkan famili di Karang Lebar Pulau Semak Daun .............................................
48
4. Makanan utama komunitas ikan di perairan sekitar Pulau Semak Daun ...................................................................................
55
5. Jumlah individu dan kepadatan ikan berdasarkan kebiasaan makanan di Pulau Semak Daun ...............................................................................
56
6. Komposisi jenis ikan berdasarkan kebiasaan makanan pada masing-masing kondisi terumbu karang ..................................................
57
7. Rerata biomasa ikan per kelompok trofik level ......................................
62
8. Parameter pertumbuhan ikan dominan di Pulau Semak Daun ................
63
9. Mortalitas dan rasio eksploitasi ikan dominan di Pulau Semak Daun .....
65
10. Hasil tangkapan jenis-jenis ikan dominan oleh nelayan di perairan Sekitar Pulau Semak Daun.......................................................................
68
11. Hasil tangkapan dan hasil tangkapan per satuan upaya di perairan Pulau Semak Daun selama penelitian ...................................
69
xxiii
xxiv
DAFTAR GAMBAR
1.
Halaman Bagan alir kerangka pendekatan masalah ......................................... 9
2.
Piramida makanan dengan lima jenjang trofik .................................
14
3.
Rantai Makanan pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Marshall ............................................................................................
15
4.
Inter-relasi trofik utama antar ikan di terumbu karang .....................
17
5.
Biomasa relatif pada berbagai trofik level di Terminos Lagoon, Mexico ..............................................................................................
20
6.
Lokasi Penelitian dan masing-masing Stasiun Pengambilan Contoh
34
7.
Tahapan pelaksanaan penelitian mulai dari pengambilan contoh hingga pencapaian tujuan penelitian ..............................................
37
Komposisi jenis ikan hasil pengambilan contoh berdasarkan eksperimental fishing di semua stasiun selama penelitian ................
45
Jenis-jenis ikan dominan di sekitar Pulau Semak Daun berdasarkan tiga metode pengambilan contoh ......................................................
49
8. 9.
10. Komposisi jumlah individu yang ditemui pada masing-masing kondisi karang ...................................................................................
50
11. Densitas ikan dominan di perairan Pulau Semak Daun ....................
52
12. Kebiasaan makanan dan trofik level 32 spesies ikan dominan di sekitar Pulau Semak Daun ............................................................
54
13. Struktur trofik komunitas ikan berdasarkan kategori trofik level .....
58
14. Jumlah unit alat tangkap di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara .....
67
15. Perkiraan inter-relasi trofik komunitas ikan di lokasi penelitian ....
70
16. Aliran materi berdasarkan kebiasaan makanan dan parameter populasi, komunitas ikan di Pulau Semak Daun ..............
71
xxv
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Halaman Komposisi hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental fishing per stasiun di Pulau Semak Daun selama penelitian ........... 67 Jenis ikan yang ditemukan berdasarkan sampling menggunakan metode UVC per stasiun selama penelitian ....................................
90
Komposisi ikan hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental fishing berdasarkan famili .................................................................
94
Spesies dominan berdasarkan jumlah individu hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental fishing ...................................
96
Spesies dominan berdasarkan berat hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental fishing ...............................................
98
Hasil uji Mann-Whitney, perbedaan distribusi kelimpahan per stasiun ...............................................................................................
99
Densitas dan trofik level 32 spesies ikan dominan di perairan Pulau Semak Daun ............................................................................
100
Hasil analisis ragam perbedaan biomasa ikan berdasarkan kelompok trofik level .......................................................................
101
Distribusi frekwensi panjang ikan dominan per bulan di sekitar Pulau Semak Daun, bulan Juli 2009 – Januari 2010 .........................
102
10. Hasil analisis korelasi kelompok makanan .......................................
109
11. Hasil analisis korelasi antar kelompok trofik level ...........................
110
12. Nilai parameter fisik kimiawi perairan di sekitar Pulau Semak Daun
111
13. Kelimpahan fitoplankton (sel l-1) di perairan sekitar Pulau Semak Daun ............................................................................
112
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
-1
14. Kelimpahan zooplankton (individu l ) di perairan sekitar Pulau Semak Daun ............................................................................
113
15. Kepadatan rata-rata bentos selama penelitian .................................
115
xxvii
xxviii
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan
Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi karang penghalang (barrier reef) sehingga terbentuk perairan dangkal terlindung (perairan karang dalam/gosong) yang relatif luas (315 ha) (Soebagio 2005). Pemanfaatan sumberdaya alam utama di perairan ini adalah perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Kegiatan penangkapan yang dilakukan masyarakat setempat umumnya penangkapan ikan karang konsumsi dan ikan hias. Seiring dengan pertambahan penduduk kota Jakarta, mendorong nelayan untuk menangkap lebih karena tingginya permintaan akan ikan konsumsi. Masuknya teknologi penangkapan juga membuat alat tangkap menjadi lebih modern yang terkadang meninggalkan konsep ramah lingkungan. Hal ini terlihat dengan masih dilakukannya penangkapan dengan bahan kimia di beberapa tempat di Kepulauan Seribu sehingga mengakibatkan rusaknya hamparan terumbu karang yang merupakan habitat bagi ikan hias dan biota laut lainnya (Estradivari et al. 2007). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya perikanan di Kepulauan Seribu pada umumnya cenderung mengalamai ancaman, baik tangkap lebih (overfishing) maupun kerusakan habitat. Fenomena tangkap lebih terlihat dari semakin sulitnya mendapatkan hasil tangkapan, variasi jenis hasil tangkap yang semakin sedikit serta ukuran individu tertangkap yang semakin kecil. Keragaman spesies ikan karang semakin berkurang akibat ekstraksi yang berlebih terhadap sumberdaya tersebut dan hasil tangkapan nelayan semakin menurun (Suwandi et al. 2001; Nirmala 2003). Estradivari et al. (2007) dalam pemantauan terumbu karang Kepulauan Seribu tahun 2004 dan 2005 mendapatkan bahwa 10 jenis ikan dominan yang ada secara keseluruhan mengalami kecenderungan penurunan kelimpahan, baik berdasarkan pengamatan sensus visual maupun hasil tangkapan nelayan. LAPI-ITB (2001) in Estradivari et al. (2007) menyebutkan adanya indikasi tangkap lebih berdasarkan angka CPUE (catch per unit of effort). Menurut Sumiono et al. (2002), tingkat
2
pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah indikator, yaitu indikator stok yang meliputi: 1. hasil tangkapan per satuan upaya (catch per unit of effort atau CPUE), 2. hasil tangkapan total yang didaratkan, 3. rata-rata bobot ikan, dan indikator biologi dan ekologi, yaitu : 1.
parameter populasi,
2.
struktur umur/struktur ukuran,
3.
komposisi spesies dalam komunitas.
Uraian diatas menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di Pulau Semak Daun memiliki resiko yang tinggi terhadap adanya perubahan, baik akibat kerusakan habitat maupun penangkapan. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan nyata untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya ikan di perairan tersebut. Berbagai penelitian telah dilakukan di Kepulauan Seribu, namun seluruhnya mengkaji secara terpisah komponen-komponen ekosistem maupun indikator pemanfaatan sumberdaya ikan.
Di lain pihak Cochrane (2002) menyatakan
pentingnya pengelolaan dengan orientasi ekosistem (Ecosystem Based Fisheries Management, EBFM). Hal ini didasari kenyataan bahwa populasi akuatik tidak hidup dalam isolasi, melainkan sebagai komponen suatu ekosistem kompleks dan menempati posisi tertentu dalam suatu rantai makanan. Komponen tersebut terdiri dari komponen biologi yang mencari makan di dalamnya, menjadi makanan di dalamnya (mangsa), atau bersaing dengan populasi atau stok yang ada. Populasi tersebut secara tidak langsung dihubungkan melalui jejaring makanan sesuai tingkat trofiknya sehingga satu sama lain saling mempengaruhi. Bila satu bagian komponen ekosistem terkena dampak, maka akan mempengaruhi kesetimbangan alami dari ekosistem yang bersangkutan. Pengkajian tentang struktur trofik pada komunitas ikan sangat diperlukan mengingat fungsi penting komunitas ikan dalam menyokong ekosistem dan merupakan organisme terbanyak di ekosistem terumbu karang (Hall 1999). Dari berbagai jenis ikan yang ada, peran terpenting adalah ikan herbivor, yaitu dalam mengurangi populasi makroalga bentik yang berkompetisi ruang dengan koral dan invertebrata lain. Gerombolan ikan yang berlindung di terumbu karang berperan
3
dalam meningkatkan laju pertumbuhan koral melalui suplai nitrogen. Kelompok lain, yaitu ikan predator berperan dalam mengontrol populasi invertebrata bentik. Menurut Mc Connel (1994), setidaknya terdapat 2000 spesies ikan yang terdapat di perairan karang, yang terdiri dari berbagai kelompok trofik. Tingkatan trofik menggambarkan tahapan transfer material atau energi dari setiap tingkat atau kelompok
ke tingkat berikutnya, yang dimulai dengan
produser primer, konsumer primer (herbivor), kemudian sekunder, tersier, dan diakhiri dengan predator puncak. Pada dasarnya tingkat trofik (trophic level) merupakan urut-urutan tingkat pemanfaatan pakan atau material dan energi seperti yang tergambarkan oleh rantai makanan (food chain).
Mc. Clanahan & Mangi
(2004) menyatakan bahwa penangkapan dapat merubah kelimpahan mutlak dan relatif spesies sehingga merubah komposisi spesies dalam trofik level, dan bahkan merubah biomasa relatif pada berbagai trofik level. Kegiatan penangkapan sangat potensial berpengaruh pada semua tingkatan trofik dalam ekosistem. Dengan demikian pendekatan trofik level dapat digunakan untuk mengevaluasi kesehatan dan kondisi ekosistem, sehingga merupakan mata rantai awal yang penting dipertimbangkan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan. Dengan mengkaji struktur trofik kaitannya dengan pengelolaan, maka akan diperoleh konsep pengelolaan sumberdaya perikanan yang mempertimbangkan kestabilan ekosistem.
1.2
Identifikasi dan Perumusan Masalah Sumberdaya ikan di Pulau Semak Daun mengalami penurunan kelimpahan,
penurunan ukuran rata-rata individu hasil tangkapan, penurunan keragaman spesies hasil tangkapan, penurunan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan dominasi spesies berukuran relatif lebih kecil dengan nilai ekonomis yang lebih rendah (Suwandi et al. 2001; Nirmala 2003; Estradivari et al. 2007). Penurunan ukuran dapat diakibatkan oleh selektivitas alat tangkap. Target penangkapan sering ditujukan pada individu berukuran lebih besar dan lebih tua sehingga menurunkan proporsi jumlah individu berukuran besar dan berumur lebih tua dalam populasi. Dengan demikian penangkapan mempengaruhi struktur umur dan struktur ukuran dalam populasi (Mc. Clanahan & Mangi 2004).
4
Penurunan keragaman dan CPUE serta dominansi spesies berukuran relatif lebih kecil dengan nilai ekonomis yang lebih rendah merupakan dampak ekologis tekanan penangkapan dan perubahan habitat.
Perubahan habitat terjadi oleh
berbagai sebab, yang menonjol di Kepulauan Seribu pada umumnya adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan penambangan karang sehingga menyebabkan kerusakan habitat.
Dampak lanjut kerusakan habitat
menyebabkan terjadinya perubahan biomasa pada trofik level. Pada tingkat komunitas, pengaruh langsung penangkapan menyebabkan pergeseran pemangsa, mangsa, atau pesaing dari komunitas ikan tersebut. Pengaruh tersebut meliputi penurunan biomasa jenis yang semula melimpah dan peningkatan biomasa jenis lainnya yang selanjutnya mengakibatkan perubahan kelimpahan relatif spesies atau komposisi jenis dalam komunitas (Sale 1991), kemudian merubah biomasa relatif pada berbagai trofik level. Tahap berikutnya dari pengaruh penangkapan, adalah pengaruhnya terhadap stok ikan dalam kaitan fungsinya dalam rantai makanan, dan fungsi ekologis lainnya sehingga terjadi pengurangan CPUE karena peningkatan biomasa jenis tertentu tidak cukup untuk menggantikan pengurangan biomasa jenis lain. Terdapat suatu fenomena dampak ekologi aktivitas penangkapan intensif dalam menurunkan food chain, walaupun total biomasa dalam ekosistem tampak konstan (Charles 2001). Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) dapat dijadikan sebagai indeks kelimpahan, yang berarti bahwa CPUE disebandingkan dengan biomasa ikan di laut. Dengan asumsi bahwa sediaan (stok) ikan di laut sama, maka peluang mendapatkan hasil akan sama jika dilakukan dengan upaya yang sama. Dengan demikian penurunan CPUE merupakan indikasi adanya penurunan sediaan (stok). Sediaan ikan di laut merupakan fungsi dari parameter lingkungan, dan interaksi biologi, yaitu adanya mangsa pemangsa dan kompetisi. Charles (2001) menyatakan bahwa tahap berikutnya dari pengaruh penangkapan, baik pada populasi maupun komunitas adalah pengaruhnya terhadap stok ikan dalam kaitan fungsinya dalam rantai makanan, atau siklus biogeokimia dan fungsi ekologis lainnya sehingga terjadi pengurangan CPUE karena peningkatan biomasa jenis tertentu tidak cukup untuk menggantikan pengurangan biomasa jenis lain (Sale 1991).
5
Dominansi spesies berukuran relatif lebih kecil dengan nilai ekonomis yang lebih rendah merupakan dampak ekologis dari tekanan penangkapan (Jennings & Polunin 1997). Bila tekanan terhadap sumberdaya meningkat maka penangkapan terhadap spesies bernilai ekonomis tinggi meningkat sehingga berakibat berkurangnya spesies yang bernilai ekonomis tinggi tersebut (Monintja et al. 2006). Bila tekanan penangkapan semakin meningkat, maka ukuran ikan target semakin menurun dan ini akan disertai dengan peningkatan jumlah spesies yang berada pada rantai makanan di bawahnya sehingga dapat terjadi pergeseran target spesies (Jennings & Polunin 1997). Pergeseran target spesies yang terus menerus tanpa disertai usaha konservasi dapat menyebabkan berkembangnya organisme atau spesies yang tidak memiliki nilai ekonomis (Robinson & Frid 2003). Berdasarkan uraian ini, maka pergeseran target spesies dapat dijadikan indikasi adanya tekanan penangkapan terhadap spesies utama bernilai ekonomis tinggi. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan sumberdaya perikanan berkaitan dengan penurunan sumberdaya ikan di Pulau Semak Daun yaitu: 1.
Perubahan struktur umur dan struktur ukuran populasi sebagai akibat selektivitas alat tangkap.
2.
Adanya
perubahan komposisi spesies dalam trofik level melalui interaksi
biologi sehingga merubah biomasa relatif pada berbagai trofik level . 3.
Terjadinya penurunan rantai makanan akibat perubahan habitat dan akibat penangkapan pada tingkat rantai makanan yang lebih tinggi.
4.
Peningkatan biomasa jenis tertentu tidak cukup untuk menggantikan pengurangan biomasa jenis lain sehingga menurunkan sediaan (stok). Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan upaya pengelolaan
sumberdaya perikanan yang didasarkan pada suatu kajian ilmiah tentang struktur trofik pada komunitas ikan dan biologi populasinya, dimulai dari tingkat trofik paling rendah hingga ikan karnivor. Dengan demikian maka dampak penangkapan terhadap perubahan komunitas ikan dapat diprediksi guna pengelolaannya agar penangkapan tidak merubah kemampuan populasi berkaitan dengan fungsi ekologisnya dalam ekosistem.
6
1.3
Pendekatan Masalah Pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu rangkaian kegiatan
yang meliputi banyak hal dan bersifat kompleks, namun secara mendasar bertujuan untuk pemanfaatan sumberdaya yang optimal dan berkesinambungan (Cochrane 2002).
Dengan demikian secara luas pengelolaan sumberdaya
perikanan tidak terlepas dari upaya konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan setidaknya harus didasarkan pada dua pertimbangan mendasar, yaitu pertimbangan biologi dan pertimbangan ekologi (King 1995; Cochrane 2002).
A. Pertimbangan Biologi Prinsip yang mendasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah pengertian bahwa stok ikan dan komunitasnya bersifat terbatas yang dibatasi oleh daya dukungnya.
Dikemukakan oleh Beverton & Holt (1957) in Sparre &
Venema (1999), serta Ricker (1975), bahwa suatu populasi tidak berkembang secara linier melainkan asimptotik.
Pada ukuran populasi yang kecil maka
peningkatan ukuran populasi akan kecil dan pada ukuran populasi yang sangat besar maka peningkatan populasi secara alamiah juga kecil karena ukuran populasi mendekati daya dukung lingkungan. Sifat populasi yang demikian, jika dieksploitasi secara hati-hati maka populasi tersebut akan mengisi kembali kekurangannya (konsep renewable). Sebagaimana dikemukakan dalam Aksioma Russell (1931) in Pauly (1984) bahwa biomasa suatu populasi (B) akan stabil dalam suatu periode tertentu bila dalam periode tersebut penambahan biomasa (rekrutmen atau R dan pertumbuhan atau G) sama dengan pengurangan biomasa. Dalam suatu populasi yang tidak dieksploitasi, pengurangan biomasa hanya berasal dari kematian alami (M), seperti predasi, penyakit, atau perubahan lingkungan secara drastis. Dalam populasi yang ditangkap, total pengurangan biomasa berasal dari kematian alami ditambah dengan kematian tangkapan (F). Secara umum dituliskan sebagai berikut: Bt = B0 + (R + G) – (M + F) Berdasarkan persamaan tersebut, suatu populasi akan stabil dalam periode tertentu jika F sama dengan M. Pengelolaan perikanan bertujuan untuk
7
memastikan bahwa angka kematian akibat penangkapan tidak melebihi kemampuan
populasi
untuk
mempertahankan
produktivitasnya
untuk
menggantikan angka kematian alami. Artinya, memastikan agar penangkapan tidak merusak kelestarian produktivitas populasi atau dengan kata lain tidak menurunkan kemampuan populasi untuk rekrut. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak hanya total populasi yang harus dipertahankan pada suatu kelimpahan atau biomasa tertentu, tetapi struktur umur populasi juga harus dipertahankan sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan tingkat reproduksi, sehingga terjadi rekrutmen untuk menggantikan kehilangan akibat adanya proses kematian.
B. Pertimbangan Ekologi Populasi akuatik tidak hidup dalam isolasi, melainkan sebagai komponen suatu ekosistem kompleks dan menempati posisi tertentu dalam suatu rantai makanan. Komponen tersebut terdiri dari komponen biologi yang mencari makan di dalamnya, menjadi makanan di dalamnya (mangsa), atau bersaing dengan populasi atau stok yang ada. Populasi tersebut secara tidak langsung dihubungkan melalui jejaring makanan sehingga satu sama lain saling mempengaruhi. Perubahan suatu populasi tidak hanya berdampak pada populasi itu sendiri, namun juga berpengaruh pada populasi lain dalam kaitan dengan interaksi tersebut. Dalam perannya sebagai mangsa, perubahan populasi mangsa akan mempengaruhi pemangsanya. Kurangnya rekrut karena berkurangnya populasi akan berpengaruh bagi ketersediaan populasi tersebut sebagai mangsa sehingga mempengaruhi pemangsanya (tingkat trofik di atasnya). Dalam perannya sebagai pemangsa, berkurangnya suatu populasi akan menyebabkan berkurangnya jumlah pemangsa sehingga berakibat peningkatan populasi spesies mangsa (tingkat trofik di bawahnya). Keterkaitan ekologis ini mempengaruhi setiap komponen dalam trofik level yang selanjutnya mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Garisson & Lingk (2000) in Lopez et al. (2005) menyebutkan bahwa perubahan setiap komponen, dapat berdampak pada komposisi populasi dalam komunitas sehingga harus dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Selain penangkapan, perubahan habitat juga dapat memberikan pengaruh terhadap distribusi spasial dan kelimpahan ikan. Habitat menyediakan ruang bagi berbagai
8
biota yang hidup didalamnya dan berpengaruh penting terhadap interaksi spesies dan struktur trofik pada umumnya. Secara ringkas pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Komunitas ikan memiliki struktur yang dibangun oleh adanya hubungan makan memakan diantara komponen penyusunnya, yaitu populasi. Populasi memiliki karakteristik yang bersifat meningkatkan jumlah dan biomasa populasi yaitu pertumbuhan, rekrutmen dan imigrasi, dan karakteristik yang mengurangi jumlah dan biomasa populasi yaitu kematian dan emigrasi. Perubahan habitat dan peningkatan
intensitas
penangkapan
mengakibatkan
variabilitas
tingkat
pertumbuhan, rekrutmen, kematian alami, dan kombinasi lainnya serta mendorong perkembangan populasi jenis lain yang menjadi pesaing bagi spesies tersebut. Keterkaitan ekologis ini terus berlanjut hingga mempengaruhi keseimbangan dalam ekosistem. Diagram alir kerangka teoritis pendekatan masalah tersebut tertera pada Gambar 1.
1.4
Tujuan dan Manfaat
A. Tujuan Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mengkaji struktur trofik pada komunitas ikan 2. Mengkaji parameter populasi dan eksploitasi pada ikan dominan 3. Menganalisa hubungan dan respon dari sumberdaya ikan sebagai akibat keterkaitan trofik level, dinamika populasi dan eksploitasi.
B. Manfaat Manfaat penelitian ini adalah: 1.
Sebagai infomasi yang dapat dijadikan landasan dalam pengelolaan sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang, berdasarkan indikator biologi, ekologi dan stok.
2.
Sebagai kontribusi dalam perkembangan ilmu pengelolaan sumberdaya perikanan modern dan mendukung konsep pengelolaan perikanan berbasis ekosistem.
Hidrodinamika
Plankton
Kelimpahan
Bentos
Kepadatan
Interaksi
Ikan
Trofik Level
Struktur Trofik
Komunitas Stabil
Sumberdaya Ikan Berkelanjutan
Kualitas Air
Pertumbuhan
Dinamika Populasi
Kematian Alami
Kematian Tangkap
Penangkapan
Input
Tingkat Eksploitasi
Alat Tangkap
Proses
Produktifitas Berkelanjutan Output
Gambar 1 Bagan alir kerangka pendekatan masalah. 9
10
1.5 Nilai Kebaruan (Novelty)
Penelitian ini memiliki nilai kebaruan dalam dua aspek, yaitu aspek keilmuan dan aspek informasi. Aspek keilmuan berkaitan dengan pendekatan analisis yang digunakan. Model pengkajian populasi dan komunitas untuk pengelolaan sumberdaya ikan pada umumnya menggunakan model spesies tunggal (single species) yang dikembangkan untuk perairan di negara sub tropis. Bagi negara tropis seperti Indonesia yang perikanannya bersifat multispesies, model tersebut tidak tepat karena secara global model single species tidak bersifat agregat, sehingga model yang seharusnya digunakan adalah model multi spesies. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk model multi spesies adalah pengkajian struktur tingkatan trofik berdasarkan biomasa spesies pembentuk tingkatan trofik tersebut, sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini. Pendekatan ini jarang digunakan dan harus terus dikembangkan untuk pengembangan ilmuilmu pengelolaan sumberdaya ikan multi spesies. Aspek yang ke-dua yaitu informasi ekologi dan biologi populasi ikan, terutama di perairan sekitar Pulau Semak Daun, yang terdiri atas informasi tentang struktur komunitas ikan berdasarkan distribusi biomasa pada trofik level, jenis-jenis ikan yang berperan penting dalam menyokong kestabilan komunitas, parameter populasi dan eksploitasi jenis-jenis ikan yang berperan penting dalam menyokong komunitas tersebut serta keterkaitan antara parameter populasi dan eksploitasi dengan peran penting populasi dalam komunitas, sehingga diketahui penentu kestabilan komunitas ikan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Ikan Karang Ikan karang merupakan komponen penting penyusun ekosistem terumbu karang.
Ikan karang umumnya relatif tidak berpindah-pindah, terbatas pada
daerah tertentu di terumbu dan terlokalisasi. Populasi ikan di terumbu karang berubah dari siang ke malam hari. Ikan pemakan plankton yang banyak tersebar di sekeliling terumbu pada siang hari, bersembunyi/berlindung di celah-celah terumbu pada malam hari. Selanjutnya pada malam hari populasi ikan terumbu digantikan oleh sejumlah kecil spesies nokturnal yang semuanya bersifat predator (Nybakken 1988). Sale (1991) mengelompokkan ikan karang yang berasosiasi paling erat dengan lingkungan terumbu karang menjadi tiga golongan utama, yaitu: 1.
Labroid: Labridae (wrassess), Scaridae (parrot fish), dan Pomacentridae (damselfish).
2.
Acanthuroid: Acanthuroidae (surgeonfishes), Siganidae (rabbitfishes), dan Zanclidae (moorish idols) yang terdiri dari satu genus yaitu Zanclus.
3.
Chaetodontoid:
Chaetodontidae
(butterflyfishes)
dan
Pomacanthidae
(angelfishes). Menurut Nybakken (1988) berdasarkan waktu makannya, ikan karang terdiri dari ikan diurnal dan nokturnal. Berdasarkan kebiasaan makannya, Hiatt dan Donald (1980) mengelompokkan ikan karang menjadi pemakan alga, pemakan plankton, omnivor, pemakan detritus, pemakan polip karang dan karnivor besar pengelana. Sedangkan Sorokin (1995) membagi ikan karang berdasarkan kebiasaan makannya menjadi pemakan plankton (planktivorous fish), pemakan organisme bentik (benthopages), pemakan segala (omnivor), pemakan tumbuhan alga (herbivorous fish) dan pemakan ikan (piscivorous fish). Kelompok lain yang juga ditemukan di daerah terumbu maupun non terumbu adalah predator besar yang memakan invertebrata bergerak dan ikan lain, serta planktivor. Menurut Allen & Steene (1990), ikan diurnal merupakan kelompok terbesar di ekosistem terumbu karang,yang termasuk ikan diurnal adalah dari famili Pomacentridae, Labridae, Acanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Pomacanthidae, Lutjanidae,
12
Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Blenniidae dan Gobiidae. Ikan diurnal makan dan tinggal di permukaan karang serta memakan plankton yang lewat diatasnya. Pada malam hari ikan diurnal akan masuk dan berlindung di dalam karang dan keberadaan ikan diurnal akan digantikan oleh ikan nokturnal. Ikan nokturnal meliputi famili Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae, Serranidae dan Labridae. Selain itu ada pula ikan lain yang sering melintasi ekosistem terumbu karang seperti famili Scombridae, barracuda (Sphyraenidae), ekor kuning (Caesionidae) dan hiu (Alopiidae). Ikan ini biasanya merupakan ikan predator dan ikan pelagis yang berasal dari perairan di sekitarnya. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah variasi habitat yang terdapat di terumbu. Terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah alga dan juga perairan yang dangkal dan dalam. Perbedaan dalam kadar cahaya hingga pergerakan ombak, arus, kecerahan, ketersediaan alga, plankton, dan jenis habitat yang berbeda dengan variasi yang tinggi yang dimanfaatkan oleh ikan dengan karakteristik yang berbeda pula (Allen 1999). Selain itu tingginya keragaman spesies ini juga dikarenakan pembagian habitat yang jelas dalam ekosistem terumbu. Sebagai contoh, banyak ikan-ikan terumbu, meskipun gerakannya jelas tetapi ternyata terbatas pada daerah tertentu di terumbu dan terlokalisasi, tidak berpindah. Hubungan dalam kebiasaan makan ikan-ikan terumbu juga merupakan hal yang menarik perhatian. Tipe pemangsaan yang paling banyak terdapat di terumbu adalah karnivor (sekitar 50 – 70%). Sebagian besar dari ikan karnivor ini bersifat oportunistik dan memakan mangsa yang berbeda pada tingkatan yang berbeda dalam siklus hidupnya.
2.2 Jenjang Trofik dan Aliran Energi Pada dasarnya jenjang trofik (trofik level) merupakan urut-urutan tingkat pemanfaatan pakan atau material dan energi seperti yang tergambarkan oleh rantai makanan (food chain). Jenjang trofik menggambarkan tahapan transfer material atau energi dari setiap jenjang atau kelompok ke jenjang berikutnya, yang dimulai dengan produser primer, jenjang berikutnya adalah konsumer primer (herbivor),
13
kemudian sekunder, tersier, dan seterusnya dan diakhiri dengan predator puncak (Gallopin 1972; Odum 1998; Kennish 2000; Jenning et al. 2003; Widodo dan Suadi 2006).
Dasar dari jenjang trofik adalah autotrof yang memfiksasi C
(karbon) melalui fotosintesa dan menyediakan enegi untuk organisme konsumer (yaitu heterotrof). Pada urutan jenjang trofik berikutnya yang lebih tinggi, konsumer primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumer sekunder yang selanjutnya dimangsa oleh konsumer tersier (yaitu organsime karnivor). Dekomposer (yaitu bakteri saprobik dan alga) akan mengasimilasi material hewan dan tumbuhan yang mati, mentransformasikannya ke dalam DOM (Dissolved Organic Matter) untuk mendapatkan keperluan energi mereka dengan melepaskan nutrien energi yang berguna bagi pertumbuhan autotrof.
Berdasarkan uraian
tersebut dapat dikatakan bahwa jenjang trofik adalah setiap jenjang dari transfer energi atau setiap stadia dari rantai makanan (Nontji 1993). Jenjang trofik pertama ditempati oleh fitoplankton sebagai produser primer, jenjang trofik ke dua ditempati oleh zooplankton herbivor, dan jenjang trofik ke tiga ditempati oleh organisme karnivor (Nontji 1993; Piska & Naik 2007) Tumbuhan hijau menduduki jenjang trofik pertama, pemakan tumbuhan menduduki jenjang trofik ke dua (tingkat konsumen primer pertama), karnivor yang memakan herbivor menduduki jenjang trofik ke tiga (tingkat konsumen tersier). Pada umumnya dari jenjang trofik rendah menuju ke tingkat yang lebih tinggi, ukuran biotanya semakin besar tetapi total seluruh biomasa pada jenjang trofik semakin kecil. Hal ini karena pengalihan atau transfer energi dari satu jenjang trofik ke jenjang trofik berikutnya sangat kecil, pada umumnya dianggap sekitar 10%. Dilihat dari segi biomasanya, jenjang trofik ini dapat digambarkan sebagai piramida dengan fitoplankton sebagai fundamennya dan karnivor puncak berada pada paling atas (Gambar 2). Jenjang trofik dapat bersifat sederhana, dimana rantai makanan pendek sehingga transfer energi langsung dari fitoplankton ke predator puncak, namun dapat pula bersifat kompleks, dimana satu spesies dapat memanfaatkan lebih dari satu jenjang trofik. Jenjang trofik di ekosistem laut biasanya hanya sampai jenjang V atau VI
14
Gambar 2 Piramida makanan dengan lima jenjang trofik. Contoh jenjang trofik dikemukakan oleh Hiatt & Donald (1980) yang mendapatkan bahwa rantai makanan pada ekosistem terumbu karang di Laut Marshall terdiri atas lima jenjang trofik (Gambar 3). Contoh lain dikemukakan oleh Nurhakim (2005) tentang jenjang trofik ekosistem di Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah. Ekosistem Pantura Jawa Tengah terdiri atas empat jenjang trofik, dengan jenjang trofik Cetacean dan perikanan sebagai predator tertinggi. Penyebaran kelompok fungsional diantara jenjang trofik relatif sama antara jenjang trofik terendah (nilai jenjang trofik < 2,5) dan jenjang trofik sedang (nilai jenjang trofik 2,5 – 3,5). Terdapat 11 kelompok yang termasuk jenjang trofik rendah dan 12 kelompok termasuk jenjang trofik sedang. Lima kelompok lainnya merupakan jenjang trofik tertinggi (nilai jenjang trofik > 3,5). Tingginya kelompok yang ada dalam jenjang trofik yang sama menunjukkan suatu kompetisi yang kuat terhadap sumberdaya. Hal ini dapat dijadikan petunjuk adanya dampak langsung dari suatu perikanan dan pengaruhnya terhadap keseluruhan ekosistem, baik melalui interaksi langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian pengkajian tentang jenjang trofik di suatu perairan dapat digunakan untuk menganalisis status sumberdaya perikanan. Dalam pengkajian stok sumberdaya ikan demersal di Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah didapatkan bahwa ikan sumberdaya demersal di Pantura telah mengalami over-eksploitasi (Nurhakim 2005).
Trofik level:
1
2
Zoooplankton
3
Small mid-water plankton feeders
Phytoplankton
4
5
Large mid-water carnivore
Corals
Coral feeders
Photosynthesis
Detritus
Transient carnivores
Omnivore
Detritus feeders
Large benthic omnivores
Benthic algae Algal feeders
Small benthic carnivores
Gambar 3 Rantai Makanan pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Marshall (Hiatt & Donald, 1980).
15
16
Jejaring makanan pada ekosistem terumbu karang sangat kompleks, beberapa hubungan keterkaitan trofik utama disajikan pada Gambar 4. Berdasarkan tingkat trofiknya, Allen & Steene (1990) membagi jejaring makanan yang terdapat di ekosistem terumbu karang dalam empat trofik level, yaitu: 1.
Tumbuhan (Produsen), terutama jenis alga sebagai produsen utama yang memanfaatkan secara langsung energi matahari untuk pertumbuhan jaringan melalui proses fotosintesa. Pada trofik level pertama ini ekosistem terumbu karang harus menyediakan energi yang cukup besar untuk digunakan pada trofik level berikutnya.
2.
Herbivor (Konsumer) yang mengkonsumsi organisme tumbuhan. Kelompok terpenting dari ikan karang herbivor adalah famili Mullidae (mullet), Scaridae (parrotfishes), Acanthuridae (surgeonfishes), Kymposidae (rudderfishes), Blenniidae (blennies), Siganidae (rabbitfishes), Balistidae (triggerfishes), Monacanthidae (filefishes), Ostraciotidae (boxfishes) dan Tetraodontidae (puffer). Ikan pemakan alga dapat digolongkan menjadi pemakan tumbuhan (grazer) dan pemakan polip atau tunas (browser).
Kelompok pertama
mengumpulkan makannya di sekitar dasar perairan seperti ikan surgeon, damsel, blennies dan trigger. Selebihnya adalah browser yang memiliki gigi untuk memotong daun yang terdapat di permukaan terumbu karang. 3.
Ikan karnovor kecil yang makan zooplankton, ikan-ikan kecil dan invertebrata. Termasuk golongan ini adalah damselfishes dari genus Cromis, famili Synodontidae (lizardfishes), Muraenidae (moray eel), Holocentridae (squirrefishes),
Apogonidae
(cardinalfishes),
Serranidea
(grouper),
Lutjanidae (snapper) dan Labridae (wrasses). 4.
Kelompok predator besar yang termasuk dalam kelompok hiu, famili Carrangidae, Scombridae, Sphyraenidae (barracuda) dan kelompok ikan-ikan omnivor yang memakan tumbuhan dan biota-biota kecil. Spesies penting yang termasuk kategori ini adalah jenis damselfishes, parrotfihses, gobies, wrasses, trigerfishes dan puffer.
17
LARGE PISCIVORES
SMALL FISH-FEEDERS
MIDWATER PISCIVORES
CORAL FEEDERS
BENTHIC INVERTEBRATEFEEDERS
MIDWATER INVERTEBRATEFEEDERS
corals
HERBIVORES DETRITUS-FEEDERS
zooplankton
benthic invertebrates
benthic algae
detritus
phytoplankton
Gambar 4 Inter-relasi trofik utama antar ikan di terumbu karang, terdapat 5 trofik level (Mc. Conell, 1987). Beberapa penelitian yang dirangkum oleh Mc.Conell (1987) menunjukkan bahwa proporsi herbivor hingga karnivor berbeda pada berbagai tipe koral. Berdasarkan penelitian di Eniwetok Atoll di Kepulauan Marshall ditulis bahwa biomasa herbivor (ikan dan invertebrata) diperkirakan 4 hingga 5 kali karnivor. Di Tatia Reef, ikan herbivor ditemukan kurang dari saparuh total biomasa (herbivor 39%, karnivor 61%). Proporsi relatif dari kategori trofik yang berbeda telah dipelajari di Greet Barrier Reef. Secara keseluruhan, total sampel biomasa hampir 54% adalah piscivore, 18% pemakan invertebrata bentik, 18% grazer, dan 10% planktivor. Ikan-ikan karnivor adalah 3 hingga 4 kali biomasa grazer, tetapi karnivor tersebut juga memakan invertebrata pada trofik level ke 2 hingga 3.
18
Pada ekosistem terumbu karang dengan tingkat ekskploitasi rendah, biomasa ikan didominasi oleh predator puncak, bisa mencapai 54% dari total biomasa, sedangkan pada terumbu karang dengan tingkat eksploitasi tinggi dominasi herbivor hingga 55% (Friedlander 2002). Sebagaimana diketahui bahwa rantai makanan klasik menggambarkan transfer energi dalam bentuk bahan organik dari satu kelompok (jenjang) ke kelompok berikutnya dan transfer tersebut berjalan hanya pada satu arah, yang dimulai dengan produser primer, hingga predator puncak.
Pada setiap jenjang
trofik, sekitar 80 hingga 90% dari energi potensial hilang sebagai panas, sehingga membatasi rantai makanan kedalam tiga atau empat jenjang trofik (Kennish 1990). Diketahui pula bahwa bagian dari energi yang memasuki jenjang trofik tersedia di jenjang trofik berikutnya (atau yang disebut dengan efisiensi ekologis) umumnya kecil, sehingga energi yang tersedia di jenjang berikutnya cepat habis. Sebagai contoh pada efisiensi 10%, NPP (Net Primary Productivity) = 104 kcal.waktu-1luas-1 hanya cukup untuk empat jenjang, dan tidak cukup energi untuk mendukung jenjang trofik berikutnya. Dengan demikian alternatif spesies pada jenjang trofik ke lima harus memakan area yang luas untuk mencukupi energinya, dan area tersebut lama kelamaan juga akan habis. Efisiensi transfer energi di perairan laut berkisar 10%, sisanya dilepaskan untuk berbagai kegiatan metabolisme seperti bernafas, berenang, makan, reproduksi dan hilang sebagai energi bahang (panas). Peristiwa makan memakan tidak sesederhana seperti pada pertingkatan trofik diatas. Dalam kenyataannya tiap individu sebenarnya berkaitan satu dengan lainnya dalam jaringan makanan yang amat kompleks atau disebut sebagai jejaring makanan (food web). Didalam jejaring makanan terdapat mekanisme saling mempengaruhi antara tingkatan trofik paling atas terhadap tingkatan trofik di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya dari tingkatan trofik paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect) (Chassot et al. 2005). Seekor ikan misalnya bisa mengkonsumsi berbagai jenis plankton. Bahkan dapat juga mengkonsumsi fitoplankton dan zooplankton sekaligus. Hal ini merupakan kenyataan bahwa beberapa spesies memangsa lebih dari satu jenjang trofik (Rice 2008). Suatu organisme atau spesies seringkali tidak dapat dikategorikan ke dalam
19
satu jenjang trofik karena jenjang trofik organisme berkaitan dengan kebiasaan makanannya.
Kompleksitas
kebiasaan
makanan
dari
suatu
organisme
menyebabkan ikan mungkin saja menduduki hampir setiap jenjang trofik. Pemangsaan dapat mempengaruhi kepadatan populasi pada tingkatan trofik yang berbeda (Odum 1998; Jennings et al. 2003), sedangkan ketersediaan makanan dapat mempengaruhi tingkat trofik di atasnya (Chassot et al. 2005).
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Trofik Trofik
level
sering
diaplikasikan
untuk
menggambarkan
posisi
spesies/individu dalam suatu rantai makanan. Pengaruh manusia terhadap ekosistem perairan, perubahan iklim, perubahan biota, degradasi habitat dan aktifitas penangkapan berpengaruh besar terhadap populasi hewan air (Lopez et al. 2005; Jaureguizar & Millesi 2008; Singh et al. 2010). Adanya penangkapan dapat merubah distribusi spasial dan kelimpahan ikan dan selanjutnya berpengaruh penting terhadap interaksi spesies dan struktur trofik pada umumnya (Garisson & Lingk 2000 in Lopez et al. 2005). Oleh karena itu pengetahuan tentang evolusi spasial dan temporal komunitas ikan dapat membantu untuk memahami pengaruh aktivitas anthropogenik tersebut. Lopez et al. (2005) dalam penelitiannya di Laguna Pesisir Terminos Lagoon Mexico mendapatkan adanya perubahan struktur trofik komunitas ikan di perairan tersebut. Terdapat suatu indikasi re-alokasi yaitu biomasa dari spesies-spesies yang termasuk dalam trofik level menengah menjadi spesies karnivorus dan herbivorus-detrivorus. Gambar 5 menunjukkan pola spatio-temporal komunitas ikan berdasarkan trofik level di Laguna pesisir di Mexico, sebagai suatu indikator potensial ekosistem akibat adanya berbagai faktor yang berpengaruh. Pada gambar tersebut terlihat bahwa di Zona C, peningkatan spesies predator laut lebih nyata dibanding zona yang berada dibawah pengaruh aliran air sungai (A dan E) dan zona yang berada di bagian dalam kepulauan (B). Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan hasil tangkap sampingan (by catch) dari perikanan tradisional udang yang berkembang di sekitar zona A dan E, atau oleh perubahan kondisi hidrologi, karena tampak adanya peningkatan pemasukan air laut ke laguna. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan terbatasnya distribusi
20
spesies estuarine. Selanjutnya, peningkatan pengaruh kondisi lautan, yaitu adanya konstruksi artificial reef di timur paparan pantai (dekat Zona C), juga dapat meningkatkan kesempatan masuknya spesies predator laut (khususnya snapper dan schooller kecil). Selanjutnya dikemukakan bahwa peningkatan spesies detritivor (spesies gerreid) di Terminos Lagoon merupakan respon hilangnya vegetasi air karena kerusakan fisik yang disebabkan oleh penggunaan trawl pada penangkapan udang intensif sekitar tahun 1980 atau oleh bahan pencemar yang mengalir ke laguna. Peningkatan spesies detritivor tersebut juga sesuai dengan dugaan penyesuaian komunitas ikan dalam merespon tingginya tekanan penangkapan dan perubahan habitat. Penyesuaian komunitas ikan terhadap perubahan habitat dapat ditunjukkan dengan penurunan yang signifikan dari spesies yang berasosiasi dengan vegetasi air.
Gambar 5
Biomasa relatif pada berbagai trofik level di Terminos Lagoon, Mexico (garis bersambung adalah tahun 1980-1981; garis putus putus, 1998 – 1999). Sumber: Lopez et al. (2005).
Secara keseluruhan gambar tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara dua periode dan adanya indikasi perubahan struktur trofik dalam ekosistem. Secara spesifik, biomasa omnivor dan spesies estuari yang berada pada trofik level menengah dalam rantai makanan dan semula dominan telah digantikan oleh spesies karnivor dan herbivor-detritivor. Sebagai konsekuensinya, bentuk sigmoid
21
dari kurva terlihat cenderung lebih linier. Hal ini menunjukkan adanya suatu kekuatan yang mempengaruhi struktur trofik dan dapat digunakan sebagai indikator yang potensial, yaitu: 1.
Peningkatan pengaruh kondisi lautan, seperti konstruksi artificial reef dapat memperkaya biomasa predator laut dan spesies detritivor (khususnya snapper dan schooller kecil).
2.
Berkurangnya pengaruh estuari dapat menimbulkan penurunan biomasa generalis spesies estuari.
3.
Pembuatan daerah perlindungan laut (marine protected area, artificial reef) dapat meningkatkan biomasa predator dan selanjutnya menyebabkan turunnya biomasa mangsa. Perubahan kelimpahan relatif yang merupakan hasil dari kombinasi
pengaruh mortalitas dan life history direfleksikan dalam trend dari struktur trofik. Umumnya, spesies dengan life history yang lebih cepat mempunyai produksi yang lebih tinggi dalam hal rasio biomasa. Pada penangkapan ikan intensif di terumbu karang, biomasa ikan didominasi oleh herbivor dan didominasi oleh jenis ikan pemakan invertebrata dan piscivore (Friedlander 2002). Secara garis besar, Cochrane (2002) menyebutkan adanya empat dampak usaha perikanan pada ekosistem yaitu: 1.
Dampak langsung pada spesies target
2.
Dampak langsung pada spesies non target (by-catch) (mencakup limbah dan oleh kematian alami)
3.
Dampak tidak langsung pada organisme lain melalui rantai makanan (perubahan jumlah mangsa, pemangsa, pesaing)
4.
Dampak langsung dari teknologi penangkapan terhadap lingkungan fisik atau kimia Selanjutnya dikemukakan oleh Robinson & Frid (2003) bahwa kegiatan
penangkapan ikan sangat potensial berpengaruh pada semua trofik level. Disebutkan bahwa kegiatan penangkapan ikan mempengaruhi ekosistem lautan dalam beberapa cara yaitu: 1.
Penghilangan langsung pada spesies target
2.
Perubahan langsung pada ukuran dan struktur populasi spesies target
22
3.
Perubahan dalam populasi ikan non target dan bentos
4.
Perubahan pada lingkungan fisik
5.
Perubahan pada lingkungan kimia, termasuk ketersediaan nutrien
6.
Aliran trofik dan perubahan tekanan predasi Pengaruh penangkapan dapat dikategorikan dua macam, yaitu pengaruh
langsung dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung meliputi mortalitas spesies target dan biota lain termasuk spesies non-target, mamalia laut, burung laut, organisme bentik, kerusakan dasar laut dan kosekuensi kerusakan habitat bentik dan organisme lain sebagai dampak teknik penangkapan, serta input buangan perikanan. Buangan perikanan menyediakan makanan bagi organisme scavenger seperti burung laut. Pengaruh tidak langsung, termasuk perubahan habitat dan struktur ekosistem sebagai konsekuensi dari pengaruh langsung. Sebagai contoh, kehilangan atau berkurangnya jumlah ikan predator besar, misalnya cod, akan diikuti pertumbuhan populasi spesies prey. Berkurangnya predator besar juga menurunkan kompetisi prey bagi predator lain sehingga memberi peluang tumbuhnya populasi predator lain. Penangkapan secara langsung ikan prey kecil, misalnya sandeels atau sprat, akan menurunkan makanan bagi semua hewan yang memakannya (Tasker & Knapman 2001). Contoh nyata adalah colapsnya ikan cod di Laut Utara akibat colapsnya hering dan mackerel, karena kedua ikan ini merupakan makanan bagi ikan cod. Lebih lanjut dikemukakan pengaruh penangkapan terhadap laju perubahan ekosistem bersifat dominan dalam merubah nilai penting yang menentukan komposisi spesies suatu komunitas dan hal ini merupakan salah satu yang menjadi pemicu respon manajemen (Robinson & Frid 2003). Terdapat beberapa contoh perubahan struktur komunitas dan penangkapan di terumbu karang tropis (Jennings et al. 2001; Friedlander 2002). Di terumbu karang tropis, kekayaan jenis spesies target (spesies richness)
berhubungan
dengan intensitas penangkapan (Jennings et al. 2001). Di Jamaica, ukuran ikan hasil tangkapan oleh alat tangkap trap yaitu jenis-jenis grouper, snapper dan parrotfishes, semakin kecil. Selanjutnya disebutkan bahwa perubahan kelimpahan mengindikasikan kerusakan spesies, maka pengukuran keragaman spesies
23
merupakan pengukuran yang baik untuk melihat pengaruh penangkapan.
Di
bagian barat Hawai, ukuran ikan target, apapun trofik levelnya, selalu kecil pada terumbu karang yang mengalami eksploitasi tinggi (Firedlander 2002). Sadhotomo (2003) dalam pengkajiannya tentang sumberdaya ikan demersal Indonesia menyatakan bahwa (i) telah terjadinya penurunan kelimpahan stok yang ditunjukkan oleh penurunan laju-tangkap, (ii) peningkatan dominasi krustase lainnya (rajungan), (iii) pergeseran spesies udang dan penurunan ukuran udang yang tertangkap. Lebih jauh diingatkan bahwa secara ekologis pengoperasian pukat tarik akan mempengaruhi komposisi spesies dan komposisi ukuran krustase dan ikan-ikan demersal. Selain itu diyakini bahwa penangkapan dengan pukat tarik akan menimbulkan perubahan pada struktur mikrobentos perairan. Nurhakim (2003) menyatakan bahwa nelayan trawl dan jaring pelagis adalah dua armada yang menunjukkan dampak besar dalam ekosistem di Pantai Utara Jawa Tengah. Banyak
penelitian
yang
membuktikan
bahwa
peningkatan
upaya
penangkapan ikan (fishing effort) yang sangat intensif di tingkat top predator dalam jangka waktu tertentu bisa menghasilkan keuntungan ekonomi, namun akan tiba saatnya dimana kegiatan penangkapan ikan tersebut menjadi tidak memungkinkan karena jumlah hewan-hewan atau ikan-ikan top predator sudah sangat menurun drastis dan tidak menguntungkan lagi secara ekonomis untuk terus mempertahankan tingkat fishing effort yang bersangkutan. Pada akhirnya target penangkapan beralih ke ikan-ikan pada trofik level di bawahnya, dan begitu seterusnya, hingga ke tingkat trofik level yang paling bawah letaknya. Fenomena ini disebut sebagai “fishing down the marine food web”(Pauly et al. 1998). 2.4 Biologi Populasi Biologi populasi bertujuan untuk mempelajari dinamika (perubahan) dari satu atau lebih populasi. Terdapat empat parameter yang menentukan perubahan suatu populasi, yaitu kelahiran, kematian, emigrasi dan imigrasi (Emlen 1984, Piska & Naik 2007), dan dalam mempelajari dinamika populasi perlu mempertimbangkan populasi atau stok sebagai sistem biologi yang sederhana (King 1995). Bila diasumsikan emigrasi sama dengan imigrasi, maka jumlah suatu populasi akan bertambah karena reproduksi yang tumbuh dan rekrut ke
24
dalam stok, dan biomasa suatu stok akan meningkat karena adanya pertumbuhan. Sebaliknya suatu stok akan berkurang baik jumlah maupun biomasanya karena adanya kematian baik alami maupun karena penangkapan. Dalam stok yang tidak ada eksploitasi atau laju eksploitasi rendah, pengurangan populasi akibat kematian sebanding dengan rekrutmen sehingga fluktuasi kelimpahan stok tidak nyata. Sedangkan pada spesies yang mengalami laju eksploitasi tinggi maka jumlah dewasa yang mati akibat eksploitasi tidak terganti oleh reproduksinya sehingga rekrutmen berkurang dan jumlah stok menurun (Piska & Naik 2007).
A. Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan peningkatan biomasa suatu populasi yang dihasilkan oleh akumulasi bahan-bahan yang ada dalam lingkungannya. Pertumbuhan ditunjukkan dengan perubahan panjang atau berat ikan selama waktu tertentu sehingga untuk menghitung pertumbuhan diperlukan data panjang (L) atau berat (W) dan umur (t) atau waktu. Tingkat pertumbuhan ikan sangat bervariasi dan tergantung pada faktor lingkungan seperti suhu, jumlah oksigen terlarut, amonia, salinitas, tingkat persaingan, kualitas makanan yang diambil, umur dan tingkat kematangan gonad. Suhu adalah salah satu faktor lingkungan yang penting, dan bersama dengan faktor lain, berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan (Piska & Naik 2007). Tingkat pertumbuhan juga tergantung pada kepadatan populasi. Kepadatan yang lebih tinggi memperlambat pertumbuhan dan kepadatan rendah cenderung untuk meningkatkan pertumbuhan. Hal ini terjadi karena terjadinya kompetisi terhadap sumberdaya makanan yang tersedia, baik interspesifik maupun intraspesifik (Piska & Naik 2007). Studi pertumbuhan merupakan penentuan ukuran tubuh sebagai fungsi dari umur sehingga semua studi pertumbuhan bekerja dengan data komposisi umur (Piska & Naik 2007). Di daerah beriklim sedang, data komposisi umur
dapat
diperoleh dari penghitungan lingkaran tahunan sedangkan di daerah tropis, tidak mungkin menggunakan lingkaran tahunan untuk penentuan umur
sehingga
digunakan metode numerik yaitu konversi dari frekuensi panjang ke dalam komposisi umur (Sparre & Venema 1999). Tujuan analisis pertumbuhan dalam
25
dinamika populasi adalah (1) mengetahui pengaruh pertumbuhan terhadap waktu atau kapan pertama kali bertelur; (2) mengetahui pengaruh laju pertumbuhan terhadap stok; (3) mengetahui pengaruh laju pertumbuhan terhadap potensi hasil suatu stok. Dalam manajemen perikanan tujuan analisis pertumbuhan adalah memprediksi ukuran ikan rata-rata pada beberapa titik waktu (King 1995). Pertumbuhan ikan sering digambarkan dengan bentuk perubahan panjang atau berat berdasarkan waktu yang dinyatakan dengan matematika. Von Bertalanffy in Stefanson (2002) menyatakan pertumbuhan panjang dan berat terhadap waktu adalah berbeda. Jika panjang diplotkan terhadap waktu akan terbentuk kurva dengan sudut yang semakin kecil dengan bertambahnya umur dan garis kurva tersebut mendekati asymptote atas yang sejajar dengan sumbu-x. Jika berat diplotkan dengan umur maka kurva berbentuk sigmoid dan peningkatan atau perubahan berat pada tahap awal rendah atau lambat, kemudian cepat dan menurun setelah mencapai titik infleksi. Model
pertumbuhan
didesain
untuk
menerangkan
dan
menduga
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam suatu populasi ikan dari waktu ke waktu sehingga berguna untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan sumber daya perikanan.
Tedapat 2 macam
model pertumbuhan yaitu model yang
berhubungan dengan berat dan model yang berhubungan dengan panjang. Model pertumbuhan yang sering digunakan adalah model von Bertalanffy. Model ini merupakan dasar dalam studi biologi perikanan, digunakan sebagai suatu submodel dalam sejumlah model yang lebih rumit dalam menjelaskan berbagai dinamika dari populasi ikan. Terdapat hubungan linier antara kecepatan pertumbuhan dan panjang ikan (Gulland 1969).
B. Mortalitas Salah satu karakteristik perubahan populasi adalah mortalitas (Piska & Naik 2007). Estimasi mortalitas total dalam suatu perikanan yang tereksploitasi sangat penting untuk menganalisis dinamika suatu populasi (Widodo 1991; Piska &Naik 2007). Terdapat dua penyebab mortalitas, yaitu mortalitas alami (M) dan mortalitas akibat penangkapan (F). Pendugaan mortalitas alami diperlukan dalam
26
model analitik untuk menganalisis hasil tangkapan, untuk menduga ukuran populasi yang dieksploitasi (Ricker 1975). Mortalitas alami terjadi karena berbagai sebab, misalnya penyakit, predasi, karena tua, pencemaran dan persaingan. Selain itu, mortalitas alami berkaitan dengan koefisisen pertumbuhannya (K), semakin tinggi K maka mortalitas alami akan semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Rasio M/K sama dengan 1,5 sampai dengan 2,5 (Beverton & Holt, 1959 in Sparre & Venema 1999). Mortalitas alami juga berkaitan dengan panjang asimtotik (L∞) dan berat asimtotik (W∞) , karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dibanding ikan kecil. Selain itu mortalitas alami juga berkaitan dengan suhu (Pauly 1983).
2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Pendekatan Ekosistem Pengelolaan sumberdaya perikanan sesuai dengan Petunjuk Teknis yang disusun oleh FAO (Cochrane 2002) merupakan proses yang terintegrasi atas pengumpulan
informasi,
analisa,
perencanaan,
konsultasi,
pengambilan
keputusan, alokasi sumberdaya serta perumusan dan implementasi, dengan penegakan
peraturan
yang
diperlukan
untuk
memastikan
produktivitas
berkelanjutan dari suatu sumberdaya dan penyelesaian sasaran lain dalam perikanan. Dalam Code of Conduct, Paragraph 7.2.1 disebutkan bahwa tujuan utama dari manajemen perikanan adalah penggunaan sumberdaya perikanan yang tepat dalam jangka panjang. Pada garis besarnya, tujuan manajemen perikanan ini dapat dibagi dalam 4 tujuan: biologi, ekologis, ekonomis, dan sosial, dimana sosial termasuk politik dan tujuan budaya (Cochrane 2002). Contoh dari setiap tujuan tersebut adalah sebagai berikut: -
Sasaran biologi, yaitu untuk memelihara spesies target sama dengan atau diatas
tingkatan
yang
diperlukan
untuk
memastikan
kelangsungan
produktivitasnya. -
Sasaran ekologi, untuk meminimumkan dampak penangkapan terhadap lingkungan fisik dan pada spesies tangkapan non target (by catch), dan jenis lain yang berhubungan.
-
Sasaran ekonomi, untuk memaksimalkan pendapatan bersih dari nelayan yang berpartisipasi.
27
-
Untuk memaksimalkan peluang ketenagakerjaan bagi mereka yang hidupnya tergantung pada perikanan, merupakan sasaran sosial. Untuk mencapai semua tujuan tersebut sekaligus tidak mudah. Sebagai
contoh untuk mengurangi dampak perikanan terhadap ekosistem sekaligus memaksimalkan pendapatan bersih adalah
sulit.
Meningkatkan peluang
ketenagakerjaan berarti membiarkan sebanyak mungkin kegiatan perikanan yang mungkin secara ekonomis tidak efisein (Cochrane 2002). Oleh karena itu perlu menetapkan sasaran operasional, misalnya menjaga jumlah stok terus menerus diatas 50% tidak dieksploitasi (sasaran biologi). Sasaran operasional ini dapat digunakan sebagai titik acuan (reference point) bagi pengelola perikanan yang selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk membuat strategi pengelolaan. Pendekatan hasil maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sebagai tujuan pengelolaan perikanan berarti meletakkan target pengelolaan yang secara bersama mempertahankan keberlanjutan biologi dan memaksimumkan hasil. Katsuwaka (2004) menyatakan bahwa manajemen perikanan demikian merupakan manajemen perikanan tradisional dengan target titik acuan tunggal (spesies tunggal). Pengelolaan perikanan dengan spesies tunggal berkaitan dengan pernyataan Gulland (1974) bahwa semua stok ikan terbatas besarnya, hanya dapat diambil terbatas banyaknya, walaupun dalam keadaan optimum sekalipun. Oleh karena itu perlu diketahui informasi mengenai stok yang bersangkutan. Berkaitan dengan pengelolaan variabel tunggal tersebut dinyatakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan terdapat tiga pertanyaan mendasar berkaitan dengan masalah-masalah pengelolaan yang harus dicari jawabannya yaitu: 1.
Berapa besarnya stok dan berapa banyak dapat diambil setiap tahun supaya stok lestari?
2.
Jika potensinya diketahui, bagaimana cara memanfaatkannya agar negara memperoleh keuntungan sebesar-besarnya?
3.
Tindakan-tindakan apa yang perlu diambil untuk mencapai tujuan seperti tertera pada poin 2? Uraian tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dengan variabel
tunggal lebih banyak didasarkan pada pertimbangan biologi. Sebagaimana
28
dikemukakan dalam aksioma Russel yang dirujuk oleh Cochrane (2002) bahwa dalam keseimbangan populasi, rata-rata pertambahan angka pertumbuhan dan reproduksi adalah sama dengan kerugian akibat angka total kematian. Dalam suatu populasi yang tidak dieksploitasi, total kematian hanya berasal dari angka kematian alami, seperti predasi, penyakit, atau perubahan drastis dari lingkungan. Dalam populasi yang ditangkap, total angka kematian berasal dari kematian alami ditambah dengan kematian tangkapan. Pengelolaan perikanan dalam hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa angka kematian akibat penangkapan tidak melebihi jumlah dimana populasi dapat bertahan, sebagai tambahan terhadap angka kematian alami, tanpa perusakan terhadap produktivitas populasi tersebut. Oleh karena itu tidak hanya total populasi yang harus dijaga kelimpahannya atau biomasasnya, tetapi struktur umur populasi juga harus dipertahankan pada status dimana populasi tersebut bisa mempertahankan tingkatan reproduksi, sehingga terjadi rekrutmen untuk mengganti kematian. Dua pendekatan yang umum digunakan dalam studi penelolaan sumberdaya perikanan adalah: 1. Pendekatan Struktural, yaitu pendekatan dengan cara mencoba menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponenkomponen yang membentuk sistem tersebut. Komponen-komponen tersebut adalah penambahan, pertumbuhan dan mortalitas. Pendekatan ini adalah yang paling ideal sampai saat ini, tetapi juga adalah yang paling mahal dan membutuhkan waktu yang cukup lama, karena untuk dapat memahami setiap komponen tersebut diperlukan penelitianpenelitian khusus yang sangat banyak macam ragamnya, mulai dari aspek-aspek biologinya secara kualitatif sampai dengan berbagai aplikasi model-model kuantitatif sebagai alat bantu studi. Bagi negaranegara maju seperti Eropa Barat, pendekatan ini merupakan pilihan yang tepat melalui kerjasama penelitian antar negara yang sama-sama memanfaatkan sumberdaya perikanan di perairan yang sama disamping pendekatan lain sebagai pembanding. 2. Pendekatan Global, yang mencoba menjelaskan sistem sumberdaya perikanan,
tanpa
memperhatikan
komponen-komponen
yang
29
membentuknya, melainkan berdasarkan data dan informasi yang paling mudah dikumpulkan, seperti data tangkapan, upaya tangkap, produksi dan nilai produksi serta data dan informasi lain yang dapat diperoleh melalui sistem pelaporan setiap kegiatan armada perikanan di perlabuhan-pelabuhan lapor khusus atau Tempat Pelelangan Ikan atau tempat-tempat lain yang telah ditentukan oleh negara yang bersangkutan. Kelemahan pendekatan ini adalah pada mekanisme pelaporan itu sendiri, karena manipulasi angka dapat sangat mungkin terjadi dan permasalahan ini bagi negara berkembang seperti Indonesia adalah masalah klasik yang semakin dicoba memahaminya bahkan semakin rumit. Cochrane (2002) menyatakan adanya pergeseran perhatian beberapa tahun terakhir ini dari pengelolaan perikanan dimana terpusat yang utama pada variabel tunggal atau perikanan tunggal ke pengelolaan dengan orientasi ekosistem (Ecosystem Based Fisheries Management, EBFM). Hal ini didasari adanya dampak dari usaha perikanan (penangkapan) terhadap ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung penangkapan berpengaruh, baik terhadap ikan target maupun non target. Dampak langsung penangkapan terhadap ikan non target, secara tidak langsung akan mempengaruhi organisme lainnya melalui rantai makanan yang dapat berakibat adanya perubahan jumlah mangsa, pemangsa maupun pesaing dan selanjutnya berakibat ketidakseimbangan dalam ekosistem. Pemahaman tentang pengaruh tidak langsung dari penangkapan terhadap hubungan mangsa-pemangsa diperlukan untuk pengembangan model multispesies yang valid dan untuk menentukan faktor-faktor yang mengatur struktur komunitas ikan pada skala yang lebih besar (Jennings & Polunin 1997). Tugas utama pengelola adalah menyusun strategi yang memastikan keberlanjutan sumber daya perikanan jangka panjang, dan mencegah overfishing biologi dan ekonomi termasuk meminimalkan gangguan terhadap ekosistem (King 1995). Oleh sebab itu pengelolaan perikanan dengan berorientasi pada ekosisitem merupakan prinsip yang tidak bisa dipisahkan dalam manajemen perikanan. Pengaruh penangkapan terhadap suatu populasi akan mempengaruhi populasi yang lain dan dalam skala ruang dan waktu yang luas akan mempunyai pengaruh
30
terhadap lingkungan. Orientasi ekosistem dalam pengelolaan perikanan dapat digunakan untuk menguji ekosistem sebagai suatu keseluruhan dan dapat diterapkan pada berbagai kondisi yang bersifat tidak dalam keseimbangan (nosteady-state), atau bisa disebut sebagai model dengan orientasi modern. Pendekatan ekosistem merupakan pendekatan yang mengikut sertakan keseluruhan komponen utama ekosistem dan berbagai jasa yang diberikannya dalam perhitungan untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan perikanan secara berkelanjutan (Jennings et al. 2003; Widodo dan Suadi 2006), serta dapat diterapkan pada perikanan multi jenis. Pendekatan tersebut memadukan berbagai informasi yang tersedia seperti produktivitas primer, sumberdaya ikan, dan berbagai pola hubungan makan memakan atau rantai dan jaring makanan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses dinamis yang terjadi pada ekosistem perairan. Pengelolaan dengan pendekatan ekosistem membutuhkan informasi mengenai struktur sistem jaringan makanan untuk menentukan keterkaitannya dengan produktivitas perairan dan perikanan. Menurut Garcia et al. (2003), suatu pendekatan ekosistem mempertimbangkan interaksi antara komponen fisik, biologis dan manusia yang dapat menjamin kesehatan setiap komponen termasuk di dalamnya keberlanjutan spesies yang dikelola. Untuk mengeksplorasi dan mengevaluasi kesehatan dan kondisi ekosistem, Badan
Penelitian
dan
Manajemen
Perikanan
berdasarkan
Ekosistem
menganjurkan dan mendukung penggunaan model ekologi (NRC 1999; ICES 2000 in Robinson & Frid 2003). Terdapat beberapa alat yang bertujuan memberikan penjelasan tingkatan ekosistem dan memberikan gambaran yang baik dan mewakili semua komponen ekosistem,yang dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan ikan baik langsung ataupun tidak langsung. Penggunaan model ekosistem dinamik (dinamika ekosistem) berpotensi untuk membuat pengukuran dan prediksi yang benar tentang pengaruh kegiatan penangkapan ikan pada ekosistem dengan perkiraan yang menyeluruh (Robinson & Frid 2003). Pendekatan ekosistem dapat juga dilakukan dengan menduga perubahan spektrum trofik level fitoplankton melalui perubahan nutrien. Berdasarkan hasil kajian benthos melalui perubahan predasi dan persaingan, atau ikan sebagai hasil langsung mortalitas penangkapan dan secara tidak langsung oleh buangan hasil
31
samping (by cacth) dan perubahan predator-prey. Berdasarkan predator tingkat tinggi melalui persediaan dan mortalitas langsung dari burung laut dan melalui mortalitas langsung dan perubahan sumberdaya makanan dari mamalia laut ataupun ikan. Model-model dinamika akosistem menyediakan suatu peluang untuk dapat mengevaluasi status suatu ekosistem dan juga membuat penaksiran tentang ekosistem
dibawah
berbagai
skenario
penangkapan.
Model
ini
juga
memungkinkankan suatu pengujian dari tingkah laku matriks ekosistem seperti perubahan aliran energi atau rata-rata trofik level, agar dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam reference point (poin-poin acuan) yang mudah dipahami. Melalui pemodelan sistem memungkinkan untuk memperoleh suatu pemahaman menyangkut efek tidak langsung dan untuk mengembangkan matriks ekosistem sebagai dasar dari poin-poin acuan yang diperlukan dalam pengelolaan. Berdasarkan berbagai literatur, terdapat 33 model terapan multispesies ekosistem
laut.
ICES
Working
Group
in
Robinson
&
Frid
(2003)
mengkategorikan model berdasarkan pengaruh penangkapan terhadap ekosistem menjadi tujuh kategori model seperti berikut: 1. Model berdasarkan habitat, meliputi penjelasan bagaimana kegiatan penangkapan merubah total ukuran habitat. Model berdasarkan pada matrik komunitas. Model ini menggambarkan bagaimana matriks tingkat komunitas berubah sebagai respon terhadap penangkapan. 2. Model single-species dengan variabel mangsa-pemangsa, yaitu reaksi umpan balik trofik searah pada model single-species dinamis akibat suatu gangguan perikanan. 3. Model produksi multispesies, yang menunjukkan bagaimana penangkapan terhadap predator atau prey akan berpengaruh pada kelimpahan masingmasing. 4. Model multispesies dinamik, dapat menggabungkan dinamika spasial atau struktur umur/ukuran populasi ke dalam perubahan dalam interaksi predatorprey oleh gangguan penangkapan.
32
5. Model agregat ekosistem, bagian dari jejaring makanan dan pembelanjaan energi, menggambarkan perubahan energi, karbon atau biomasa fungsi agregat kelompok spesies. 6. Model ekosistem dengan struktur umur/ ukuran.
Berbeda dengan model
agregat ekosistem dimana fungsi kelompok individu secara umum dikurangi aggregat dan disini memiliki penyelesaian temporal terbesar dalam dinamika. Berdasarkan penggolongan model aplikasi tersebut, Robinson & Frid (2003) melakukan penilaian dan mendapatkan sembilan kelompok fungsional penting dalam pengkajian dampak ekologi dari kegiatan penangkapan. Sembilan kelompok fungsional tersebut adalah detritus, nutrien, produser primer, bentos, ikan target, ikan non taget, elasmobranchi, burung laut, dan mamalia laut. Modelmodel tersebut juga dikaji dengan menambahkan beberapa faktor yang menjadi dasar aturan dalam ekosistem laut dan dalam penggolongan peranan prediksi proses ekologi (contoh simulasi, ruang, hasil perikanan/kematian). Berdasarkan analisa yang dilakukan, disebutkan bahwa model Ecopath with Ecosim (EwE) yang merupakan perluasan model Beverton dan Holt sangat sesuai untuk membantu investigasi secara lebih mendalam. Metode ini didasarkan pada keseimbangan biomasa (biomass balance). Dengan mengetahui kelompokkelompok yang menjadi bagian suatu ekosistem, dapat diestimasi alur biomasa dari rantai makanan dalam ekosistem tersebut. Asumsi model ini adalah bahwa antara produksi (penambahan) dan mortalitas (pengurangan) biomasa di dalam suatu ekosistem, terdapat suatu keseimbangan.
Secara umum dalam Ecopath
diperlukan input 4 parameter, yaitu biomasa (B), perbandingan produksi/biomasa (P/B), perbandingan konsumsi/biomasa (Q/B) dan efisiensi ecothropic (EE), pada tiap kelompok dalam suatu model.
3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan sekitar Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun terletak di sebelah utara Pulau Panggang dan Pulau Karya dan di sebelah selatan Pulau Karang Bongkok, secara administratif berada di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kegiatan penelitian difokuskan pada perairan gosong karang sekitar Pulau Semak Daun yang dibatasi dengan tubir, dibagi dalam beberapa stasiun agar mewakili karakteristik seluruh lokasi penelitian.
Penelitian utama dilaksanakan dalam
kurun waktu tujuh bulan. 3.2 Desain Penelitian Berdasarkan beberapa permasalahan dan untuk mencapai tujuan penelitian yang telah diuraikan, maka lokasi penelitian dibagi dalam beberapa stasiun agar mewakili karakteristik seluruh lokasi penelitian. Penentuan stasiun didasarkan pada beberapa pertimbangan (Siregar et al. 2008) yaitu: (1) karakteristik dasar perairan, (2) kondisi habitat terumbu karang, dan (3) kontur batimetri
1. Karakteristik dasar perairan yang ditemukan ikan diatasnya dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu habitat karang, habitat lamun dan habitat pasir berlamun 2. Kondisi terumbu karang di karang lebar Pulau Semak Daun terdiri atas 4 kategori yaitu terumbu karang dengan kondisi sangat baik (terumbu karang sangat baik), terumbu karang dengan kondisi baik (terumbu karang baik), terumbu karang dengan kondisi sedang, dan terumbu karang dengan kondisi sangat buruk. 3. Kontur batimetri memperlihatkan nilai paling dalam di bagian gobah. Kedalaman bervariasi mulai 1 meter hingga 12 meter.
34
Atas dasar kriteria tersebut maka ditentukan stasiun penelitian sebagai berikut (Gambar 6): -
Stasiun 1 hingga 4: mewakili habitat terumbu karang, yaitu, Stasiun 1 : kondisi terumbu karang sangat baik (luas penutupan karang hidup 76 – 100%) Stasiun 2 : kondisi terumbu karang baik (luas penutupan karang hidup 51 – 75%) Stasiun 3 : kondisi terumbu karang sedang (luas penutupan karang hidup 31 – 50%) Stasiun 4 : kondisi terumbu karang sangat buruk (luas penutupan karang hidup 0 – 10%)
-
Stasiun 5
:
mewakili habitat lamun
-
Stasiun 6
:
mewakili habitat pasir berlamun
-
Stasiun 7
:
gobah
ST 4 ST 4 ST 2 ST 1
ST 5
ST 7
ST 1
ST 3 ST 5
ST 2
ST 3 ST 6 ST 6
Gambar 6 Lokasi Penelitian dan masing-masing Stasiun Pengambilan Contoh. (ST 1 sampai dengan ST 7: stasiun pengambilan contoh)
35
Pengambilan contoh (sampling) dan pengukuran parameter dilakukan dalam 7 periode, yang terdiri atas 7 kali sampling ikan dan 3 kali sampling dan pengukuran parameter lingkungan lainnya. 3.3 Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan beberapa permasalahan dan untuk mencapai tujuan penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini mencakup beberapa tahap penelitian yaitu: 1. Struktur Trofik Komunitas Ikan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi biomasa ikan pada masing-masing tingkatan trofik (trofik level) yang akan dijadikan dasar dalam analisis yang lebih mendalam. Penelitian diawali dengan sensus visual untuk mengetahui komunitas ikan di lokasi penelitian dan dilakukan sampling menggunakan eksperimental gillnet (jaring insang) dan bubu untuk mendapatkan contoh guna menganalisis trofik level masing-masing jenis. Hasil ini digunakan sebagai dasar pemilihan ikan dominan setiap trofik level untuk analisis lebih lanjut.
Jenis ikan yang dipilih sebagai ikan dominan adalah jenis-jenis ikan
dengan jumlah biomasa lebih dari 50% dari biomasa tiap trofik level. 2. Parameter Populasi dan Eksploitasi Sebagaimana
diketahui
bahwa
peningkatan
intensitas
penangkapan
berpengaruh terhadap variabilitas laju pertumbuhan, rekrutmen, dan mortalitas, serta kombinasi lainnya. Akibat selektivitas penangkapan, laju pertumbuhan dan rekruitmen dapat menurun karena sebagian ikan dewasa mengalami tekanan penangkapan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parameter populasi dan laju eksploitasi dari ikan-ikan di lokasi penelitian. Hasil dari tahap ini adalah informasi mengenai parameter populasi ikan dominan yaitu parameter pertumbuhan dan mortalitas, serta laju eksploitasi. 3. Hasil Tangkap dan Intensitas Penangkapan Tahap ini bertujuan untuk mengetahui status dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di lokasi penelitian. Adanya respon dari populasi sebagai konsekuensi
36
dari adanya penangkapan mengharuskan pengelolaan perikanan memperhatikan status penangkapan saat ini. 4. Aliran Biomasa pada Tingkat Trofik Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola hubungan antar kelompok trofik. Dalam hal ini akan digambarkan aliran biomasa mulai dari tingkatan trofik terendah sampai kepada ikan karnivor, sehingga diperoleh gambaran peran fungsional kelompok ikan dalam komunitas. Bagan alir tahapan penelitian berdasarkan ruang lingkup tersebut disajikan pada Gambar 7. Struktur Trofik Komunitas Ikan Metode dan Desain Penelitian Metode yang digunakan merupakan gabungan metode pengambilan contoh melalui percobaan penangkapan dan metode sensus bawah air (under water visual census atau UVC). Percobaan penangkapan dilakukan untuk mendapatkan data yang digunakan dalam analisis kebiasaan makanan dilanjutkan dengan analisis trofik level sehingga diketahui struktur trofiknya. Pengambilan contoh ikan melalui percobaan penangkapan dilakukan pada masing-masing stasiun. Alat tangkap yang digunakan adalah bubu dan jaring insang. Jaring insang yang digunakan berukuran mata jaring 0,5 inci, 1 inci, 2 inci, 2,5 inci dan 3 inci.
Perbedaan penggunaan alat tangkap tersebut
dimaksudkan agar memungkinkan diperolehnya jumlah contoh yang mewakili seluruh populasi. Penangkapan dilakukan satu kali per bulan selama penelitian berturut-turut selama tujuh bulan. Pengambilan contoh dengan metode UVC (pencacahan) dilakukan pada transek garis (line intercept transect) sepanjang 50 meter. Transek terbuat dari tali polyethelene (PE) diletakkan sejajar dengan garis pantai pada masing-masing stasiun. Pencacahan dilakukan sepanjang transek garis, dengan jarak pandang masing-masing 2,5 meter ke arah kiri dan kanan garis transek.
Penyelaman
dilakukan oleh 2 orang, untuk mendata ikan yang ditemui antara kedua ujung garis transek.
37
PENGAMBILAN CONTOH
UVC
Kepadatan
Hasil Tangkapan Nelayan
Eksperimental Fishing
n
Identifikasi Makanan
W
Speseis Dominan
L
Kebiasaan Makanan
Produksi dan Alat Tangkap
Estimasi Biomasa Analisis Trofik Level Struktur Trofik
Distribusi Frekwensi Panjang
Parameter Populasi dan Rasio Eksploitasi
CPUE
Inter-relasi Trofik Komunitas Ikan
Keberlanjutan Sumberdaya Ikan
Gambar 7
Tahapan pelaksanaan penelitian mulai dari pengambilan contoh hingga pencapaian tujuan penelitian.
Keterangan: n= jumlah, W= berat, L=panjang total, UVC=under water visual census, CPUE=catch per unit of effort
38
Variabel yang diukur Variabel yang diukur pada saat pengumpulan data terdiri dari kepadatan dan trofik level. Kepadatan dihitung berdasarkan jumlah individu, trofik level berdasarkan kebiasaan makanannya.
Metode Pengukuran 1. Kepadatan Kepadatan yang diukur terdiri dari kepadatan numerik (numerical density) dan kepadatan berdasarkan biomasa (biomass density). Kepadatan numerik dihitung berdasarkan metode UVC yang dilakukan pada masing-masing titik pengambilan contoh atau stasiun. Kepadatan masing-masing spesies dihitung berdasarkan jumlah individu yang dijumpai pengamat per stasiun, dengan rumus sebagai berikut: Kepadatan ikan (ind./m2): D = N / (L * W)
dengan keterangan: D = densitas (kepadatan individu suatu jenis ikan); L = panjang garis transek (50 m); N = jumlah individu suatu jenis ikan hasil sensus; W = lebar area observasi (5m). Kepadatan berdasarkan biomasa diestimasi berdasarkan hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental gillnet. Gillnet sepanjang 35 cm dioperasikan oleh dua orang dengan cara ditarik perlahan pada sisi kiri dan kanannya dengan kecepatan rata-rata 3 m menit-1 selama 50 menit. Biomasa diestimasi berdasarkan jumlah yang tertangkap dibagi dengan volume air yang tersaring gillnet setelah dikoreksi sebesar 50%. Koreksi tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan luas permukaan jaring ketika berada di dalam perairan.
2. Kebiasaan Makanan dan Trofik level Kebiasaan makanan dianalisis berdasarkan hasil identifikasi jenis makanan dalam
saluran
pencernaan
ikan.
Jenis
makanan
yang
teridentifikasi
dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu krustase, hewan karang, invertebrata
39
bentik, dan alga. Identifikasi masing-masing kelompok jenis makanan dilakukan hingga genus dan komposisi jenis makanan dihitung berdasarkan Indeks Bagian Terbesar dalam % (Effendie 1979). Ikan dikelompokkan berdasarkan jenis makanan utamanya dan trofik level. Formula perhitungan kebiasaan makanan mengikuti persamaan sebagai berikut: IPi=
VixOi 100% VixOi
Keterangan: IPi
= Index of preponderance kelompok makanan ke-i
Vi
= Persentase volume satu macam makanan
Oi
= Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan
∑ViOi = Jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan Pengukuran trofik level menggunakan persamaan (Christensen & Pauly 1992; Froese & Pauly 2000 in Bozec et al. 2011): TLi = 1+∑{(Tij x Ipj)/100} dengan keterangan: TLi = trofik level kelompok ikan-i, Tij = trofik level kelompok pakan ke-j, Ipj = indeks of preponderance dari kelompok pakan ke-j. Biomasa ikan pada masing-masing trofik level dihitung dengan cara menjumlahkan biomasa ikan per spesies dalam satu trofik level. Analisa Data Struktur kelimpahan dan struktur trofik dianalisis secara deskriptif melalui penyajian tabel dan grafik. Analisis yang dilakukan adalah: - Struktur biomasa dalam satu trofik level - Struktur trofik dalam komunitas Parameter Populasi dan Eksploitasi Metode dan Desain Penelitian Parameter populasi dan eksploitasi dikaji terhadap ikan dominan pada masing-masing trofik level. Pengambilan contoh dilakukan 1 kali per bulan bersamaan dengan pengambilan contoh untuk analisa struktur trofik.
40
Variabel yang diukur Variabel yang diukur untuk keperluan analisis ini adalah panjang dan berat ikan, pengkurannya dilakukan secara langsung di lapangan.
Metode Pengukuran Ikan hasil tangkapan per pengambilan contoh ditimbang beratnya lalu dilakukan pengukuran panjang dan berat masing-masing individu setiap spesies. Metode pengukurannya adalah sebagai berikut: -
Panjang ikan yang diukur adalah panjang total, yaitu panjang mulai dari ujung mulut hingga ujung ekor. Panjang ikan diukur menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1 cm.
-
Berat ikan diukur dengan timbangan digital berketelitian 0, 1 gram
Analisa Data Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis sebagai berikut: 1. Struktur ukuran, dievaluasi berdasarkan distribusi frekwensi panjang dengan menggunakan Metode NORMSEP. 2. Analisis parameter populasi, yaitu parameter pertumbuhan (K, L∞, t0), laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) sebagai berikut: -
Parameter pertumbuhan yaitu kurvatur pertumbuhan von Bertalanffy (K), panjang asimtotik (L∞,) dan umur ketika panjang ikan sama dengan nol (t0), diestimasi berdasarkan distribusi frekwensi panjang bulanan dan diolah menggunakan program Electronic Length Frequencys Analysis I (ELEFAN I) yang tersedia dalam program FAO-ICLARM Stock Assessment Tool II (FISAT II). Populasi ikan di lokasi penelitian diasumsikan mengikuti pola pertumbuhan von Bertalanffy sehingga mengikuti persamaan: L(t) = L∞ [ 1 – exp (-K (t – to) ) ]
-
Pendugaan mortalitas total (Z) dengan metode kurva hasil tangkapan yang dikonversi ke panjang (length converted catch curve). Metode ini merupakan suatu penyajian grafis logaritma jumlah ikan yang
41
tertangkap lalu diplot terhadap umur yang dikonversi ke panjang berdasarkan persamaan von Bertalanffy (Sparre and Venema 1999). Nilai Z ditunjukkan oleh kemiringan kurva. -
Mortalitas alami (M) diestimasi berdasarkan persamaan empiris Pauly, yaitu dengan menghubungkan M dengan L∞, K dan rata-rata suhu lingkungan, dengan persamaan: Ln M = -0,152 – 0,279*lnL∞ + 0,6543*ln K + 0,463* ln T
-
Mortalitas penangkapan (F) diperoleh dengan cara mengurangi mortalitas total dengan mortalitas alami.
3. Laju eksploitasi (E) dihitung berdasarkan perbandingan nilai mortalitas akibat penangkapan (F) terhadap nilai mortalitas total (Z)
Hasil Tangkapan dan Intensitas Penangkapan Metode dan Desain Penelitian Pengumpulan data hasil tangkapan dan intensitas penangkapan nelayan dilakukan selama penelitian melalui pengamatan dan pencatatan ikan hasil tangkapan nelayan, serta penelusuran data sekunder. Pencatatan hasil tangkapan nelayan dilakukan setiap hari di Kelurahan Pulau Panggang.
Data sekunder
bersumber dari laporan maupun publikasi dari Kantor Kelurahan Pulau Panggang dan Suku Dinas Perikanan Kabupaten Adminstratif Kepulauan Seribu. Variabel yang diukur Data yang dikumpulkan berasal dari dua sumber, yaitu nelayan dan laporan atau publikasi. Data yang dikumpulkan dari nelayan meliputi: -
jenis alat tangkap yang digunakan
-
hasil tangkapan per jenis alat per trip berupa data jumlah dan berat hasil tangkapan masing-masing jenis ikan
-
teknik pengoperasian alat tangkap
-
waktu pengoperasian alat dan lama penangkapan per trip
-
jumlah trip per bulan
-
lokasi penangkapan dan karakteristiknya
42
Data sekunder yang bersumber dari laporan atau publikasi terdiri dari data produksi hasil tangkapan 3 tahun terakhir dan jenis alat tangkap serta jumlahnya, yaitu: -
jenis alat tangkap dan jumlahnya
-
produksi hasil tangkapan per jenis ikan
-
daerah penangkapan
Metode Pengukuran -
Berat total hasil tangkap per jenis ikan diukur dengan timbangan berketelitian 0,1 kg.
-
Komposisi jenis ikan hasil tangkapan per jenis alat diukur dengan cara menghitung jumlah hasil tangkapan per jenis ikan setiap jenis alat tangkap.
Analisa Data Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui status pemanfaatan sumberdaya ikan. Intensitas penangkapan dievaluasi berdasarkan pendekatan produksi hasil tangkapan dan produksi per unit alat tangkap. Aliran Biomasa pada Trofik Level Metode dan Desain Penelitian Penelitian didasarkan pada hasil pengukuran biomasa, trofik level dan parameter populasi jenis-jenis ikan dominan. Jenis ikan yang digunakan adalah jenis-jenis ikan dominan per trofik level berdasarkan hasil analisis tahap sebelumnya.
Variabel yang diukur Variabel yang diukur terdiri dari: - Kebiasaan makanan dan trofik level - Parameter populasi dan eksploitasi
43
Analisis Data Aliran biomasa antar kelompok ikan berdasarkan analisis regresi dan korelasi, dianalisis menggunakan paket program SPSS 16. Ikan dikelompokkan berdasar kebiasaan makanannya menjadi empat kelompok trofik level (Lopez et al. 2005) yaitu: -
Kelompok 1 yaitu jenis-jenis ikan yang memiliki trofik level 2,00 – 2,50
-
Kelompok 2 yaitu jenis-jenis ikan yang memiliki trofik level 2,51 – 3,00
-
Kelompok 3 yaitu jenis-jenis ikan yang memiliki trofik level 3,01 – 3,50
-
Kelompok 4 yaitu jenis-jenis ikan yang memiliki trofik level 3,51 – 4,00
Setiap kelompok dijadikan sebagai komponen utama (kompartemen) sehingga memiliki sub-model tersendiri. Berdasarkan sub-model yang didapat lalu dibuat aliran (jalur) berdasarkan kebiasaan makanannya.
Komponen Lingkungan Komponen lingkungan yang diukur yaitu plankton, fauna bentik, dan parameter fisik-kimiawi perairan. Pengukuran dilakukan pada masing-masing stasiun sebanyak 3 kali, yaitu pada awal, tengah dan akhir penelitian. Pengambilan contoh plankton dilakukan secara vertikal hingga kedalaman 3 meter. Pengambilan contoh fitoplankton menggunakan plankton net berukuran 25µm sedangkan untuk zooplankton menggunakan plankton net berukuran 90 µm. Air yang tersaring dimasukkan dalam botol sampel volume 150 ml dan diawetkan dengan lugol sebanyak 10 tetes, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pengambilan contoh fauna bentik dilakukan dengan metode transek kuadrat ukuran 1 m x 1 m dioperasikan secara acak pada masing-masing stasiun. Pencacahan dilakukan pada masing-masing transek untuk menghitung kepadatan individu per spesies. Selanjutnya diambil contoh secara acak untuk ditimbang dan diidentifikasi di laboratorium. Pengukuran parameter fisik-kimiawi perairan dilakukan bersamaan dengan pengukuran komponen lingkungan lainnya dan metode pengukurannya tertera pada Tabel 1.
44
Tabel 1. Parameter fisik-kimiawi perairan, peralatan dan metode pengukurannya No. Parameter Metode Analisis dan Alat Keterangan Fisika 1 Suhu (0C) Pemuaian, Termometer In situ 2 Kecerahan (m) Visual, Secchi disk In situ 3 Arus (cm.dt-1) Current meter In situ 4 Kedalaman (m) Tongkat penduga In situ Kimia 1 pH Potensiometrik, pH meter In situ 2 Salinitas (ppt) Refraktometer In situ 3 Nitrat (ppm) Brusin sulfat, Laboratorium Spektrofotometer 4 Orthophosphat (ppm) Asam molibdate, Laboratorium Spektrofotometer
3.4 Analisis Statistik Nilai-nilai yang didapat dari analisis yang telah dilakukan merupakan nilai dugaan. Untuk mengetahui keandalan dari nilai-nilai tersebut maka dilakukan beberapa uji sebagai berikut: 1. Perbedaan kelimpahan antar stasiun diuji menggunakan analisis ragam Mann-Whitney. 2. Perbedaan
biomasa
antar
kelompok
trofik
level
dianalisis
menggunakan oneway-ANOVA, dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. 3. Hubungan antara parameter populasi dengan biomasa ikan dianalisis menggunakan Analisis Regresi Linier Berganda. 4. Korelasi antara kelompok trofik level dianalisis menggunakan Analisis Korelasi Pearson. 5. Untuk mengetahui inter-relasi trofik digunakan analisis Regresi dan Korelasi.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Jenis Ikan Dua pendekatan digunakan untuk melihat komposisi jenis ikan di sekitar Pulau Semak Daun, yaitu berdasarkan pengambilan contoh menggunakan alat tangkap dan pengambilan contoh berdasarkan metode underwater visual census (metode
UVC),
di
masing-masing
stasiun.
Hasil
pengambilan
contoh
menggunakan alat tangkap didapatkan 99 spesies yang termasuk dalam 22 famili (Gambar 8 dan Lampiran 1), sedangkan berdasarkan metode UVC diperoleh 78 spesies yang termasuk dalam 15 famili (Tabel 2 dan Lampiran 2).
Berdasarkan Jumlah Individu
Scaridae Scaridae Labridae Lutjanidae Scaridae Labridae Lutjanidae Labridae Mullidae Serranidae Lutjanidae Mullidae Serranidae Gambar 8 Mullidae Serranidae Lutjanidae
Berdasarkan Berat
Labridae Berdasarkan JumlahLabridae Jenis
Nemipteridae Nemipteridae
Labridae Mullidae Mullidae
Nemipteridae Serranidae Serranidae
Mullidae Lutjanidae Lutjanidae
Serranidae Scaridae Scaridae
Lutjanidae Holocentridae Serranidae Labridae Pomacentridae Holocentridae Serranidae Labridae Pomacentridae Pomacentridae Scaridae Nemipteridae Nemipteridae Siganidae Pomacanthidae Holocentridae Serranidae Labridae Pomacentridae Pomacentridae Scaridae Nemipteridae Nemipteridae Siganidae Pomacanthidae Pomacentridae Scaridae Nemipteridae Hemirhamphidae Lainnya Siganidae Mullidae Chaetodontidae Nemipteridae Siganidae Pomacanthidae Hemirhamphidae Mullidae Lainnya Siganidae Chaetodontidae Komposisi jenis ikan hasil pengambilan contoh berdasarkan Hemirhamphidae Lainnya Siganidae Chaetodontidae eksperimental fishingMullidae di semua stasiun selama penelitian. Holocentridae Lainnya
Lutjanidae Holocentridae Lainnya Berdasarkan jumlahnya, komposisi hasil pengambilan contoh berdasarkan Lutjanidae Holocentridae Lainnya eksperimental fishing (menggunakan gillnet dan bubu) didominasi oleh ikan dari Famili Labridae, Pomacentridae, Scaridae, dan Nemipteridae, masing-masing 2.012 ekor, 1.282 ekor, 1.253 ekor, dan 784 ekor, atau sebesar 55.36% dari jumlah total individu yang tertangkap. Sedangkan berdasarkan beratnya, berturut-turut didominasi oleh ikan dari Famili Scaridae, Serranidae, Labridae dan Pomacentridae, masing-masing 111,092kg; 95,749kg;, 95,269kg dan 63,676kg (58,13% dari total berat hasil tangkapan). Berdasarkan keragaman spesiesnya,
Scaridae Lainnya Lainnya Lainnya
46
Famili Labridae memiliki keragaman spesies tertinggi yaitu 19 spesies, kemudian Nemipteridae dan Scaridae masing-masing 11 spesies (Lampiran 3). Sebaran spesies secara spasial, hanya didapat 55 spesies yang diperoleh di semua stasiun yang berarti bahwa 55 spesies tersebut memiliki jangkauan yang lebih luas dibanding spesies lainnya. Adapun berdasarkan metode sensus (UVC), komposisi jenis ikan didominasi oleh dua famili, yaitu Pomacentridae (841 ind.500m-2) dan Labridae (116 ind500m-2). Kedua famili ini juga memiliki keragaman spesies tertinggi diantara famili lain yang teridentifikasi berdasarkan metode UVC (29 spesies dan 19 spesies). Tabel 2
Komposisi jenis ikan hasil pengambilan contoh berdasarkan metode UVC di semua stasiun Kepadatan (ind. 500m-2)
Jumlah spesies
52 2 48 20 3 116
1 1 1 3 2 19
Lutjanidae
4
2
8 9
Mullidae Nemipteridae
3 16
1 6
10
Pomacanthidae
13
2
11
Pomacentridae
841
29
12
Scaridae
48
7
13 14
Scorpaenidae Serranidae
1 4
1 2
15
Siganidae Jumlah
2 1.170
1 78
No.
Famili
1 2 3 4 5 6
Apogonidae Aulostomidae Caesionidae Chaetodontidae Gobiidae Labridae
7
Spesies Dominan per famili Apogon poecilopterus Fistularia commersonii Caesio cuning Chaetodon octofasciatus Istigobius decoratus Thalassoma lunare, Halichoeres trimaculatus, Labroides dimidiatus Lutjanus biguttatus, Lutjanus madras Parupeneus indicus Scolopsis bilineatus, Scolopsis lineatus Chaetodontoplus mesoleucus, Pygoplites diacanthus Pomacentrus alexanderae, Amblyglyphidodon curacao, Pomacentrus moluccensis Scarus rivulatus, Scarus niger,Scarus psittacus Pterois volitans Cephalopholis boenack, Cephalopholis microprion Siganus vulpinus
Tabel diatas menunjukkan bahwa Famili Pomacentridae dan Labridae mendominasi jenis ikan di lokasi penelitian. Dominasi Famili Labridae, Scaridae, Pomacentridae, Nemipteridae, dan Serranidae dalam hasil pengambilan contoh
47
(tangkapan) memperlihatkan bahwa perairan sekitar Pulau Semak Daun didominasi oleh ekosistem terumbu karang. Berdasarkan dua metode tersebut, hanya 15 spesies yang sama yang ditemukan baik berdasarkan penangkapan maupun metode UVC.
Dari 15 spesies tersebut, keragaman dan kelimpahan
tertinggi berasal dari famili Pomacentridae. Secara keseluruhan, keragaman dan kelimpahan jenis ikan di lokasi penelitian, menunjukkan bahwa kelimpahan tertinggi ikan di lokasi penelitian terdiri atas jenis-jenis ikan yang termasuk dalam famili Labridae. Keragaman tertinggi terdiri atas spesies yang termasuk dalam Famili Labridae dan Pomacentridae, sedangkan beratnya yang tertinggi adalah dari Famili Scaridae. Sesuai pengelompokan ikan yang dilakukan oleh Sale (1991), ketiga famili tersebut (Labridae, Pomacentridae, Scaridae) merupakan kelompok Labroid yang sangat erat berasosiasi dengan terumbu karang. Pomacentridae (damselfishes) merupakan salah satu famili yang paling penting yang hidup di lingkungan terumbu karang dan memiliki keragaman spesies yang sangat tinggi (340 spesies) (Lecchini and Galzin 2005 in Fre´de´rich et al. 2009). Kelompok ikan ini memanfaatkan terumbu karang sebagai habitat sepanjang daur hidupnya, mulai dari pembesaran larva, peremajaan hingga reproduksi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa karakteristik lokasi penelitian merupakan perairan karang dalam/gosong dengan substrat pasir berkarang, baik karang mati maupun karang hidup, sehingga sesuai bagi kehidupan jenis-jenis ikan kelompok Labroid. Sesuai dengan fakta tersebut, pengolahan data hasil penelitian Siregar et al. (2008) juga mendapatkan kelompok Labroid sebagai ikan dominan di Pulau Semak Daun. Hasil pengolahan data tersebut mendapatkan bahwa 64,10% jenis ikan yang ditemukan di Karang Lebar Pulau Semak Daun terdiri dari kelompok Labroid yang didominasi oleh famili Pomacentridae (24 spesies) dengan komposisi kelimpahan sebesar 81,17% (Tabel 3). Jumlah individu dominan pada famili Pomacentridae adalah Pomacentrus alexanderae (39,42%) dan Amblyglyphidodon curacao (18,20%). Pada famili Labridae, 69,58% individu dalam famili ini terdiri atas Thalassoma lunare, Halichoeres trimaculatus, Labroides dimidiatus dan Choerodon fasciatus.
48
Tabel 3 Jumlah spesies dan kelimpahan ikan yang dijumpai berdasarkan famili di Karang Lebar Pulau Semak Daun No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Famili Jumlah spesies Pomacentridae 24 Labridae 17 Scaridae 9 Nemipteridae 7 Pomacanthidae 5 Lutjanidae 3 Chaetodontidae 3 Caesionidae 2 Serranidae 1 Gobiidae 2 Siganidae 1 Apogonidae 1 Aulostomatidae 1 Lethrinidae 1 Mullidae 1 Jumlah spesies 78 Sumber: diolah dari Siregar et al.(2008)
Komposisi kelimpahan (%) 68,78 8,71 3,67 1,17 3,41 0,57 2,34 5,88 0,03 0,17 0,20 4,91 0,10 0,03 0,03 100,00
Hasil yang sama didapatkan oleh Sensusiwati (2001) bahwa jumlah spesies terbanyak di Pulau Semak Daun juga berasal dari famili Labridae (23 spesies), Pomacentridae (22 spesies) dan Scaridae (12 spesies). Hasil penelitian ini mendapatkan 129 spesies dan 55,7% diantaranya berasal dari famili Labridae dan Pomacentridae.
4.2 Spesies Dominan Spesies dominan yang dimaksudkan dalam hasil penelitian ini merupakan hasil penjumlahan secara urut, total individu dan hasil penjumlahan berat spesies, yang masing-masing mencapai 50% lebih dari total pengambilan contoh. Berdasarkan jumlah individu hasil pengambilan contoh menggunakan alat tangkap, spesies dominan terdiri atas 28 spesies yang berasal dari 15 famili (Lampiran 4). Jumlah individu dari 28 spesies ini mencapai 50,09 % dari jumlah semua individu hasil pengambilan contoh tersebut. Adapun berdasarkan beratnya, spesies dominan terdiri atas 15 spesies yang berasal dari sembilan famili (Lampiran 5). Jumlah individu terbanyak berasal dari Famili Scaridae dan Labridae (masing-masing 1.191 ekor dan 1.066 ekor), sedangkan berdasarkan beratnya yang tertinggi adalah dari Famili Scaridae (105,172kg) dan Serranidae
49
(64,570kg). Adapun berdasarkan metode UVC, kepadatan ikan didominasi oleh Famili Pomacentridae (53,59% dari total kepadatan), yang terdiri atas lima spesies yaitu Pomacentrus alexanderae, Amblyglyphidodon curacao, Pomacentrus moluccensis, Neoglyphidodon melas, Chromis atripectoralis. Berdasarkan pendekatan tersebut, diperoleh jenis ikan dominan di lokasi penelitian yang terdiri atas 32 spesies dan termasuk dalam 15 famili (Gambar 9). Spesies dominan ini dianggap dapat mewakili komunitas ikan di lokasi penelitian dan dianalisis lebih lanjut untuk mencapai tujuan penelitian.
700
40.00 Jumlah Individu
35.00
30.00
500
25.00
400
20.00
300
15.00
200
10.00
Upeneus sp.
Valenciennea longipinnis
Siganus doliatus
Stethojulis strigiventer
Siganus canaliculatus
Scarus sp.
Scolopsis monogramma
Scarus ghobban
Scarus globiceps
Sargocentron itodai
Pomacanthus sexstriatus
Paracahetodon sp.
Plectorhinchus multivittatum
Oxycheilinus celebicus
Lutjanus lutjanus
Neoglyphidodon melas
Hemygimnus melapterus
Epinephelus quoyanus
Halichoeres marginatus
Epinephelus fuscoguttatus
Epibulus sp.
Epinephelus fasciatus
Dischitodus prosopotaenia
Choerodon anchorago
Dischitodus darwiensis
Cheilinus fasciatus
Chlorourus sordidus
Caranx sp.
0.00 Cephalopholis microprion
0 Atherina sp.
5.00 Apogon poecilopterus
100
Abudefduf sexfasciatus
Jumlah Individu
Berat Total
Berat Total (kg)
600
Spesies
Gambar 9 Jenis-jenis ikan dominan di sekitar Pulau Semak Daun berdasarkan tiga metode pengambilan contoh. Dominasi spesies Chlorourus sordidus tampak jelas berdasarkan grafik pada gambar diatas, baik berdasarkan jumlah individu maupun beratnya. Spesies lainnya yang mendominasi berat total adalah Scarus sp. yang juga merupakan anggota Famili Scaridae. Dominasi kelimpahan spesies Chlorourus sordidus dan Scarus sp. juga terjadi di Great Barrier Reef (Gust et al. 2002). Sesuai dengan hasil penelitian ini, pengolahan data yang dilakukan terhadap penelitian Siregar et al. (2008), juga menunjukkan bahwa kelimpahan spesies dalam famili Scaridae hampir merata dan kelimpahan tertinggi adalah spesies Chlorourus sordidus (27,27%). Scaridae atau dikenal sebagai ikan kakak tua (parrotfishes), merupakan
50
ikan karang tropis utama di terumbu karang dangkal di seluruh dunia, karena daya adaptasinya yang tinggi terhadap jenis makanan (Brawner et al. 2007). Distribusi ikan per spesies berdasarkan stasiun diuji menggunakan statistik uji Mann-Whitney pada taraf nyata 5% (Lampiran 6). Hasilnya menunjukkan adanya beberapa stasiun yang berbeda nyata, yaitu antara stasiun 1 dengan stasiun 3, stasiun 1 dengan stasiun 4, stasiun 1 dengan stasiun 5, stasiun1 dengan stasiun 7, serta stasiun 2 dengan stasiun 4. Secara keseluruhan berdasarkan uji tersebut disimpulkan bahwa hampir semua stasiun penelitian berbeda nyata dengan stasiun 1 berdasarkan kelimpahan ikannya. Hal ini kemungkinan karena stasiun 1 yang berada di lokasi terumbu karang dengan luas penutupan lebih dari 75% (kondisi terumbu karang sangat baik). Jika memperhatikan hasil pengambilan contoh selama penelitian pada Lampiran 1, kelimpahan yang berbeda tampak di stasiun 7. Stasiun ini merupakan stasiun yang berada di perairan lebih dalam dengan substrat dasar berpasir sehingga memiliki ragam spesies dan kelimpahan yang lebih rendah dibanding stasiun lainnya. Berdasarkan uraian ini menunjukkan bahwa distribusi spesies dipengaruhi oleh karakteristik habitat dasar. Sebagaimana hasil penelitian berdasarkan metode UVC (Siregar et al. 2008), kelimpahan ikan di Karang Lebar Pulau Semak Daun berbeda berdasarkan kondisi tutupan karangnya, dan jumlah individu terbanyak ditemukan pada kondisi karang sedang (1.831 ekor atau 60% dari total individu) (Gambar 10). Kekayaan famili pada habitat dengan kondisi karang sedang juga lebih besar dibanding pada kondisi karang lainnya. Jumlah famili jenis ikan yang ditemukan pada kondisi karang sedang sebanyak 12 famili.
0%
7%
10%
23%
60%
sangat baik
baik
sedang
buruk
sangat buruk
Gambar 10 Komposisi jumlah individu yang ditemui pada masing-masing kondisi karang (kondisi karang sangat baik, baik, sedang, buruk, sangat buruk). Sumber: diolah dari Siregar et al.(2008).
51
4.3 Densitas Ikan Densitas ikan dianalisis terhadap 32 spesies dominan yang dipilih berdasarkan beberapa pendekatan pada sub bab sebelumnya. Estimasi densitas ikan dominan tersebut dikarenakan 32 spesies tersebut telah mewakili komunitas ikan di lokasi penelitian, baik berdasarkan kepadatan, kelimpahan dan beratnya. Densitas ikan digunakan sebagai pendekatan untuk menduga biomasa ikan, dan diestimasi berdasarkan hasil tangkapan gillnet. Pendekatan ini dilakukan karena tidak didapatkannya data panjang rata-rata dari jenis-jenis ikan yang dijumpai menggunakan metode UVC sehingga tidak bisa dilakukan konversi panjang ke berat. Hasil tangkapan gillnet digunakan sebagai pendekatan dengan asumsi bahwa hasil tangkapan gillnet per setting dapat mencerminkan kelimpahan ikan di perairan. Artinya pada perairan yang kelimpahan ikannya tinggi maka juga memberikan hasil tangkapan yang lebih tinggi. Selanjutnya dengan mempertimbangkan lebar dan kedalaman jaring, serta dengan memperhatikan faktor koreksi 0,5 maka dapat diduga densitas ikan (biomass density) di lokasi penelitian.
Hasil estimasi densitas tersebut disajikan pada Gambar 11 dan
Lampiran 7. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa Chlorourus sordidus dan Scarus sp. sangat mendominasi densitas (biomasa) ikan di lokasi penelitian. Densitas masing-masing spesies tersebut adalah 2,243 kg.m-3 dan 1,603 kg.m-3. Sedangkan densitas terendah adalah ikan Apogon poecilopterus dan Stethojulis strigiventer, dengan densitas masing-masing 0,020 kg.m-3 dan 0,022 kg.m-3.
Chlorourus sordidus dan Scarus sp. merupakan anggota Famili Scaridae. Menurut
Bellwood (1994) in Bachtiar (2009) dan Stockwell et al. (2009),
Chlorourus spp. dan Scarus spp. merupakan kelompok utama ikan yang berperan dalam proses herbivori (herbivory) di terumbu karang. Sebelumnya, Brawner et al. (2007) juga menyatakan bahwa Scaridae merupakan grazer utama di terumbu karang di Dominica, dan didominasi oleh spesies Scarus iseri. Herbivori merupakan proses kegiatan hewan mengkonsumsi tanaman tetapi tanaman tersebut tidak mati karena kegiatan tersebut, yang didalam istilah ekologi sering disebut sebagai grazing (perumputan). Di dalam publikasi ilmiah tentang ekologi terumbu karang istilah herbivori lebih sering digunakan dibanding grazing, karena hewan tersebut tidak hanya memakan “rumput” melainkan juga
52
memakan makroalga dan tanaman lainnya. Di eksosistem terumbu karang, herbivori ini merupakan proses ekologis yang sangat penting, karena merupakan satu-satunya proses pengendali kelimpahan makroalga (Lefevre & Bellwood 2011; Vincent et al. 2011). Ketika terjadi pengkayaan nutrien, dimana makroalga tumbuh pesat, kehadiran herbivori ini sangat berperan dalam mengontrol tumbuhnya makroalga yang memiliki peluang tumbuh pesat, sehingga karang tidak berkompetisi spasial dengan makroalga.
Gambar 11 Densitas ikan dominan di perairan Pulau Semak Daun.
53
Tingginya biomasa Famili Scaridae yaitu Chlorourus sordidus dan Scarus sp., menunjukkan bahwa sumber makanan bagi ikan-ikan tersebut cukup melimpah. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa perairan Pulau Semak Daun telah terjadi pencemaran berupa pengkayaan nutrien sehingga makroalga berkembang dengan baik, yang merupakan makanan utama dari kelompok herbivori. Makroalga perlu dikontrol pertumbuhannya, karena walaupun makroalga sebagai produsen primer yang penting dalam meningkatkan daya dukung ekosistem terumbu karang, namun karena pertumbuhannya yang cepat, maka kelimpahannya dapat berdampak negatif terhadap komunitas karang, terutama karang batu. Dampak negatif tersebut adalah dalam hal memperkecil ruang bagi penempelan planula karang dan juga memperkecil ruang bagi anakan karang untuk mendapatkan cahaya matahari, sehingga pertumbuhan dan rekrutmen karang terganggu (Vincent et al. 2011).
4.4
Kebiasaan Makanan dan Trofik Level Analisa kebiasaan makanan dilakukan terhadap 32 spesies yang dianggap
mewakili komunitas ikan di lokasi penelitian, menggunakan metode Indeks Bagian Terbesar. Jenis makanan yang teridentifikasi dikelompokkan ke dalam 5 kelompok makanan yaitu krustase, hewan karang, makroinvertebrata bentik, alga dan moluska. Hasil analisa kebiasaan makanan tersebut disajikan pada Gambar 12. Gambar tersebut menunjukkan adanya tiga kelompok ikan yang berbeda berdasarkan kebiasaan makanannya. Terdapat 10 spesies yang memanfaatkan krustase sebagai makanan utama, 9 (sembilan) spesies yang memanfaatkan makroinvertebrata bentik sebagai makanan utama, 1 (satu) spesies memanfaatkan krustase dan alga sebagai makanan utama, 1(satu) spesies memanfaatkan krustase dan makroinvertebrata bentik, dan 11 spesies lainnya memanfaatkan alga sebagai makanan utamanya. Jenis makroinvertabrata bentik yang ditemukan terutama terdiri atas Krustase dan Polychaeta. Pengelompokan spesies dengan makanan utamanya disajikan pada Tabel 4.
54
TL 3,00-3,50 TL 2,00-2,50
TL 2,50-3,00
Spesies
TL 3,50-4,00
Crustaceae Makroinvertebrata bentik Molusca
Hewan karang Alga
Neoglyphidodon melas Lutjanus lutjanus Epinephelus quoyanus Epinephelus fuscoguttatus Epinephelus fasciatus Cephalopholis microprion Caranx sp. Sargocentron itodai
N=23 TL=4,00 N=11 TL=4,00 N=16 TL=4,00 N=11 TL=4,00 N=15 TL=4,00 N=13 TL=3,86 N=32 TL=3,82 N=21 TL=3,73
Scolopsis monogramma Epibulus sp. Cheilinus fasciatus Paracahetodon sp Atherina sp. Halichoeres marginatus Hemygimnus melapterus Choerodon anchorago Upeneus sp. Valenciennea longipinnis Apogon poecilopterus Oxycheilinus celebicus
N=22 TL=3,48 N=22 TL=3,47 N=41 TL=3,47 N=14 TL=3,44 N=38 TL=3,37 N=42 TL=3,29 N=25 TL=3,25 N=36 TL=3,21 N=23 TL=3,16 N=26 TL=3,08 N=24 TL=3,07 N=38 TL=3,03
Stethojulis strigiventer Scarus ghobban
N=28 TL=2,94 N=43 TL=2,80
Dischitodus prosopotaenia Chlorourus sordidus Siganus doliatus Plectorhinchus multivittatum Pomacanthus sexstriatus Scarus globiceps Dischitodus darwiensis Siganus canaliculatus Scarus sp. Abudefduf sexfasciatus
N=20 TL=2,45 N=22 TL=2,42 N=25 TL=2,36 N=13 TL=2,30 N=12 TL=2,20 N=33 TL=2,19 N=36 TL=2,15 N=19 TL=2,11 N=25 TL=2,11 N=42 TL=2,10 0%
Gambar 12
20%
40% 60% 80% Indeks Bagian Terbesar Kelompok Makanan
100%
Kebiasaan makanan dan trofik level 32 spesies ikan dominan di sekitar Pulau Semak Daun. Keterangan: N=jumlah contoh; TL=trofik level
Keragaman spesies ikan di perairan Pulau Semak Daun tertinggi berturutturut terdiri atas jenis-jenis ikan pemakan alga, pemakan krustase dan pemakan makroinvertebrata bentik. Tingginya ragam spesies ikan ini menunjukkan bahwa sumberdaya makanan tersebut di lokasi penelitian cukup melimpah (Al-Zibdah 2009). Fre´de´rich et al. (2009) telah meneliti kebiasaan makanan jenis-jenis ikan dari Famili Pomacentridae dan menyatakan bahwa kebiasaan makanan berkaitan dengan tingkah laku ikan. Bagi ikan pemakan bentik (makroalga dan/atau invertebrata kecil) biasanya bersifat soliter dan teritorinya terbatas di bagian dasar perairan; sedangkan pemakan zooplankton biasanya berkelompok dan berada di sekitar terumbu dan di kolom air.
55
Tabel 4
Makanan utama komunitas ikan di perairan sekitar Pulau Semak Daun
Makanan Utama
Spesies Atherina sp, Caranx sp,Cephalopholis microprion, Cheilinus fasciatus, Epinephelus fasciatus, Epinephelus fuscoguttatus, Krustase Epinephelus quoyanus, Lutjanus lutjanus, Neoglyphidodon melas, Sargocentron itodai Apogon poecilopterus, Choerodon anchorago, Epibulus sp, Makroinvertebrata Halichoeres marginatus, Hemygimnus melapterus, Oxycheilinus bentik celebicus, Paracahetodon sp, Stethojulis strigiventer, Valenciennea longipinnis Abudefduf sexfasciatus, Chlorourus sordidus, Dischitodus darwiensis, Dischitodus prosopotaenia, Plectorhinchus Alga multivittatum, Pomacanthus sexstriatus, Scarus ghobban, Scarus globiceps, Scarus sp, Siganus canaliculatus, Siganus doliatus Krustase dan Alga Upeneus sp Krustase dan Makroinvertebrata Scolopsis monogramma bentik
Hasil analisis kebiasaan makanan dilanjutkan dengan analisis trofik level terhadap komunitas ikan di lokasi penelitian. Hasil analisis diperoleh rentang trofik level komunitas ikan mulai 2,11 hingga 4,00 (Gambar 12). Ragam spesies didominasi oleh ikan yang berada pada trofik level 2,51 hingga 3,50, berarti bahwa spesies omnivor lebih beragam dibanding spesies lainnya. Hasil analisis ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dengan menggunakan metode UVC (Siregar et al. 2008), yang mendapatkan bahwa kelompok ikan omnivor mendominasi kelimpahan jenis ikan di Karang Lebar Pulau Semak Daun (Tabel 5 ),
didominasi
oleh
spesies
Pomacentrus
alexanderae
(47,21%)
dan
Amblyglyphidodon curacao (21,80%), serta jenis plankton feeder yaitu Caesio cuning dan Apogon compressus. Kelimpahan jenis ikan herbivor didominasi oleh Pomacentrus moluccensis dan Dischistodus prosopotaenia. karnivor
didominasi
oleh
Neoglyphidodon
melas,
Adapun
Thalassoma
Neoglyphidodon thoracotaeniatus dan Neoglyphidodon crossi.
ikan lunare,
56
Tabel 5
Jumlah individu dan kepadatan ikan berdasarkan kebiasaan makanan di Pulau Semak Daun
No. 1. 2. 3. 4.
Kebiasaan makanan Jumlah individu Herbivor 354 Omnivor 1720 Karnivor 507 Plankton feeder 385 blm diketahui 29 Jumlah 2995 Sumber: diolah dari Siregar et al.(2008)
Kepadatan (ind.m-2) 0,708 3,440 1,014 0,770 0,058 5,990
Dominasi kepadatan ikan menurut kategori kebiasaan makanannya tidak berbeda berdasarkan kondisi terumbu karang (Tabel 6). Pada kondisi terumbu karang sangat baik, sedang dan sangat buruk, seluruhnya didominasi oleh jenis ikan omnivor. Namun bila diperhatikan kepadatan ikan setiap kategori kebiasaan makanan terlihat bahwa kepadatan ikan herbivor dan omnivor lebih banyak dijumpai pada lokasi dengan kondisi karang sedang (luas penutupan karang hidup 31 – 50%), sedangkan kepadatan ikan karnivor lebih banyak di lokasi dengan kondisi terumbu karang sangat baik (luas penutupan karang hidup 76 – 100%). Vincent et al. (2011) menyatakan adanya hubungan yang nyata antara kelimpahan ikan herbivor dengan kondisi tutupan karang, yaitu kelimpahan herbivor secara keseluruhan meningkat seiring dengan peningkatan tutupan karang keras. Di lain pihak, Sandin et al. (2008) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara kebiasaan makanan ikan dengan kondisi tutupan karang hidup, namun terdapat korelasi positif antara tutupan makroalga dengan biomasa ikan herbivor. Berdasarkan kedua hasil penelitian tersebut, diduga tingginya kepadatan ikan pada kondisi terumbu karang sedang disebabkan adanya tutupan makroalga sehingga meningkatkan kepadatan ikan herbivor dan omnivor di lokasi penelitian pada kondisi terumbu karang sedang.
57
Tabel 6
Komposisi jenis ikan berdasarkan kebiasaan makanan pada masingmasing kondisi terumbu karang
Kondisi terumbu Keterangan karang Jumlah (individu) Kepadatan Sangat (ind.m-2) baik Komposisi jumlah (%) Jumlah (ind.) Kepadatan (ind.m-2) Baik Komposisi jumlah (%) Jumlah (ind.) Kepadatan Sedang (ind.m-2) Komposisi jumlah (%) Jumlah (ind.) Kepadatan Sangat (ind.m-2) buruk Komposisi jumlah (%)
Kebiasaan makan Plankton belum Herbivor Karnivor Omnivor feeder diketahui
Total
17
42
106
36
2
203
0,034
0,084
0,212
0,072
0,004
0,406
8,37
20,69
52,22
17,73
0,99
45
68
374
178
9
674
0,090
0,136
0,748
0,356
0,018
1,348
6,68
10,09
55,49
26,41
1,34
267
340
1066
94
64
1831
0,534
0,680
2,132
0,188
0,128
3,662
14,58
18,57
58,22
5,13
3,50
25
57
174
30
1
287
0,050
0,114
0,348
0,060
0,002
0,574
8,71
19,86
60,63
10,45
0,35
Sumber: diolah dari Siregar et al. (2008)
Pengolahan data terhadap hasil penelitian Siregar et al. (2008) memperlihatkan bahwa ikan herbivor yang mendominasi komunitas ikan pada kondisi terumbu karang sangat baik, kondisi terumbu karang baik dan kondisi terumbu karang sedang adalah Pomacentrus moluccensis (famili Pomacentridae), sedangkan pada kondisi karang sangat buruk sebagai ikan herbivor dominan adalah Chlorourus sordidus (famili Scaridae).
Ikan omnivor dominan pada
kondisi terumbu karang sangat baik, kondisi terumbu karang baik dan kondisi terumbu karang sedang juga sama, yaitu Pomacentrus alexanderae (famili Pomacentridae). Pada kondisi terumbu karang sangat buruk, Amblyglyphidodon curacao dan Chromis atripectoralis (famili Pomacentridae) merupakan ikan omnivor dominan pada habitat dengan kondisi karang tersebut. Hal ini mendukung hasil penelitian ini bahwa tingginya biomasa species Chlorourus sordidus merupakan suatu indikasi bahwa pada ekosistem terumbu karang di Pulau Semak Daun telah terjadi pertumbuhan makroalga.
58
4.5 Struktur Trofik Komunitas Ikan Sebagaimana disebutkan pada sub bab sebelumnya, terdapat 32 spesies dominan di lokasi penelitian, spesies dominan ini yang dianalisis lebih lanjut untuk mengkaji struktur trofik pada komunitas ikan. Dalam menganalisis struktur trofik, trofik level dikelompokkan menjadi empat kelompok dengan lebar selang masing-masing 0,5 dan densitas masing-masing spesies dalam setiap kelompok dijumlahkan (Lopez et al. 2005). Pengelompokan trofik level ini dimaksudkan untuk mengetahui komposisi relatif biomasa setiap kelompok trofik level dalam komunitas ikan. Dengan asumsi bahwa densitas ikan (kg.m-3) sebagai gambaran dari biomasanya, maka terdapat kesetaraan antara densitas dengan biomasa ikan di perairan. Atas dasar ini maka komposisi relatif biomasa setiap kelompok trofik level dianalisis berdasarkan nilai densitas yang telah diperoleh. Jumlah biomasa ikan pada setiap kelompok trofik level tersebut disajikan pada Gambar 13.
-
Gambar 13
-
Struktur trofik komunitas ikan berdasarkan kategori trofik level Keterangan: TL=trofik level.
Hasil pengelompokan trofik level menunjukkan bahwa jumlah biomasa ikan pada trofik level 2,00 – 2,50 paling tinggi diantara kelompok lainnya (5,979 kg.m-3 atau 61,38% dari biomasa total), dan jumlah biomasa ikan pada kelompok
59
trofik level 2,51 – 3,00 paling rendah (0,242kg.m-3 atau 2,42% dari biomasa total), terdapat penurunan yang tajam terhadap jumlah biomasa pada kelompok trofik level ini. Biomasa ikan pada kelompok trofik level 2,00-2,50 didominasi oleh Chlorourus sordidus dan Scarus sp., pada kelompok trofik level 2,51–3,00 oleh Scarus ghobban, pada kelompok trofik level 3,01-3,50 didominasi oleh Choerodon anchorago, Scolopsis monogramma dan Epibulus sp. dan pada kelompok trofik level 3,51-4,00 didominasi oleh Epinephelus fuscoguttatus. Biomasa ikan dominan dari masing-masing kelompok trofik level 2,00-3,00 memperlihatkan bahwa spesies pada kelompok trofik level ini merupakan anggota dari famili Scaridae. Hal ini sesuai hasil penelitian Brawner et al. (2007) bahwa famili Scaridae memiliki keutamaan dalam hal tingginya daya adaptasi terhadap sumberdaya makanan namun pada umumnya bersifat harbivor. Banyak penelitian menunjukkan peran penting Famili Scaridae (terutama Chlorourus sordidus) dalam mengontrol pertumbuhan makroalga (Mc.Wain & Taylor 2009). Secara keseluruhan terlihat adanya penurunan biomasa dari kelompok trofik level rendah (2,00 – 2,50) hingga kelompok trofik level tinggi (3,51 – 4,00). Kondisi demikian sesuai dengan pendapat Nontji (2006) bahwa semakin rendah trofik level akan semakin kecil energi yang dibutuhkan untuk memperoleh makanannya sehingga dapat tumbuh lebih banyak. Total seluruh biomasa pada trofik level semakin kecil dengan semakin meningkatnya trofik level. Hal yang agak berbeda ditemui pada biomasa ikan di Pulau Semak Daun yaitu adanya variasi perubahan biomasa dari trofik rendah ke trofik level tinggi.
Dari
kelompok trofik level 2,00 – 2,50 ke kelompok trofik level 2,51-3,00 terjadi penurunan biomasa sebesar 95,95%, dari kelompok trofik level 2,51-3,00 ke kelompok trofik level 3,01-3,50 meningkat sangat tajam (75,4 %), dan dari kelompok trofik level 3,01-3,50 ke kelompok trofik level 3,51-4,00 berkurang 29,92%. Pada ekosistem yang seimbang, total seluruh biomasa pada trofik level semakin kecil dengan semakin meningkatnya trofik level. Perubahan biomasa ikan di lokasi penelitian tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tersebut karena terjadi peningkatan biomasa dari kelompok trofik level 2,51 – 3,00 ke kelompok trofik level 3,01 – 3,500 .
60
Penurunan yang tajam biomasa kelompok trofik level 2 (2,51 – 3,00) kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penangkapan, perubahan lingkungan, dan tidak efisiennya transfer energi dalam bentuk makanan diantara komunitas ikan di trofik level tersebut. Penangkapan telah umum menjadi penyebab utama berkurangnya biomasa ikan, terutama terjadi di Kepulauan Seribu (Suwandi et al. 2001 dan Estradivari et al. 2007). Jenis-jenis ikan pada kelompok trofik level 2 bukan merupakan jenis ikan bernilai ekonomis tinggi sehingga rendahnya biomasa kemungkinan juga disebabkan oleh perubahan sumberdaya makanan. Sebagaimana dikemukakan oleh Effendie (1997), bahwa ikan dapat merubah kebiasaan makanannya ketika terjadi berubahan lingkungan. Kemungkinan yang terjadi adalah, sebagian dari jenis-jenis ikan pada kelompok trofik level ini merubah kebiasaan makanannya menjadi herbivor sejati (pemakan utama alga) sehingga termasuk dalam kelompok trofik level 1 (trofik level 2,00 – 2,50), karena penutupan alga bentik berpengaruh positif terhadap biomasa komunitas ikan herbivor (Vincent et al. 2011). Hal ini merupakan suatu indikasi adanya perubahan lingkungan di perairan Pulau Semak Daun sehingga sumberdaya makanan berubah dan lebih jauh merubah kebiasaan makanan jenisjenis ikan tertentu. Hal serupa pernah dilaporkan oleh Lopez et al. (2005) bahwa peningkatan spesies detritivor (spesies gerreid) di Terminos Lagoon merupakan respon hilangnya vegetasi air, sesuai dengan dugaan penyesuaian komunitas ikan dalam merespon tingginya tekanan penangkapan dan perubahan habitat. Sebaliknya peningkatan yang tajam biomasa ikan pada kelompok trofik level 3 (3,01-3,50) menunjukkan bahwa jenis-jenis ikan pada kelompok trofik level ini mampu memanfaatkan sumberdaya makanan yang tersedia dengan sangat baik. Jenis-jenis ikan seperti ini pada umumnya memiliki luas relung makanan yang tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan sumberdaya makanan. Pernyataan in didukung dengan hasil analisis kebiasaan makanan yang memperlihatkan jenis makanan utama yang lebih beragam dibanding kelompok trofik di bawahnya maupun di atasnya. Ikan-ikan pada kelompok trofik level ini memanfaatkan alga, invertebrata bentik, krustase dan polip karang dalam porsi yang hampir seimbang.
61
Penurunan
biomasa
pada
kelompok
trofik
level
4
(3,51-4,00)
kemungkinan disebabkan oleh penangkapan, selain kemungkinan tidak efisiennya transfer energi dalam bentuk makanan dari kelompok trofik level di bawahnya (kelompok trofik level 3,00 – 3,50). Jenis-jenis ikan pada kelompok trofik level 4 (kelompok trofik level 3,51 – 4,00) merupakan jenis-jenis ikan ekonomis tinggi, diantaranya kerapu (Epinephelus fuscoguttatus) dan kakap (Lutjanus lutjanus). Hal serupa telah dilaporkan oleh Jennings & Polunin (1992) bahwa penurunan biomasa ikan piscivor (kerapu dan kakap) merupakan akibat dari tekanan penangkapan ikan multispesies karena ikan ini bernilai tinggi sebagai ikan konsumsi dan menyebabkan peningkatan produksi atau biomasa dari mangsanya. Pada terumbu karang yang tidak mengalami tekanan penangkapan, biomasa ikan pada trofik level tinggi mencapai lebih dari 50% biomasa total (Singh et al. 2010). Sebagai spesies yang menempati posisi tertinggi dalam rantai makanan, peningkatan biomasa dari spesies mangsa dalam jangka panjang ternyata tidak cukup untuk menggantikan hilangnya ikan piscivor akibat penangkapan (Jennins & Polunin 1992). Dengan demikian pemulihan biomasa ikan pada trofik level tinggi membutuhkan waktu yang sangat panjang. Selain itu berdasarkan kebiasaan makanannya terlihat bahwa jenis-jenis ikan ini pada kelompok trofik level ini termasuk selektif dalam memanfaatkan sumber makanan di perairan, ditunjukkan dengan nilai Indeks Bagian Terbesar yang hanya terdiri dari krustase (100%). Selain peka terhadap tekanan penangkapan, jenis ikan pada kelompok trofik level ini (3,51-4,00) juga tidak bisa beradaptasi dengan baik terhadap perubahan sumber makanan di perairan. Distribusi ikan per kelompok trofik level dianalisis menggunakan Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan distribusi biomasa ikan antar kelompok trofik level (Lampiran 8). Berdasarkan biomasanya, kelompok trofik level 1 (2,00 – 2,50) berbeda nyata dengan kelompok trofik level 2 (2,51 – 3,00), berbeda nyata dengan kelompok trofik level 3 (3,00 – 3,50) dan berbeda nyata dengan kelompok trofik level 4 (3,51 – 4,00), namun kelompok trofik level 2, 3, dan 4 tidak berbeda nyata (Tabel 7). Jika melihat nilai rataannya, terlihat bahwa perbedaan terbesar adalah antara kelompok trofik level 1 dan 3.
62
Tabel 7 Rerata biomasa ikan per kelompok trofik level Kelompok trofik level 4 3 2 1
Rerata biomasa (kg.m-3) 1,8117a 1,7142a 2,7195a 5,6770b
Keterangan: huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5% (alpha = 0.05)
4.6 Dinamika Populasi Pada prinsipnya terdapat dua parameter yang mempengaruhi dinamika suatu populasi, yaitu parameter yang menyebabkan peningkatan populasi (pertumbuhan dan rekrutmen) dan parameter yang menyebabkan pengurangan populasi (mortalitas). Selain itu terdapat parameter emigrasi dan imigrasi yang mempengarui besarnya suatu populasi, namun parameter ini sulit untuk disetimasi. Dalam suatu populasi yang tidak dieksploitasi, pengurangan stok hanya berasal dari mortalitas alami (M), seperti predasi, penyakit, atau perubahan lingkungan secara drastis, sedangkan dalam populasi yang ditangkap, total angka pengurangan populasi berasal dari mortalitas alami ditambah dengan mortalitas penangkapan (F). Analisis dinamika populasi dilakukan terhadap spesies yang mewakili setiap kelompok trofik level yaitu jumlah spesies yang memiliki biomasa atau densitas lebih dari 50% dari biomasa pada setiap kelompok trofik level.
1. Parameter Pertumbuhan Pertumbuhan ikan di lokasi penelitian diasumsikan mengikuti pola pertumbuhan von Bertalanffy. Estimasi parameter pertumbuhan (K dan L∞) dianalisis berdasarkan data frekwensi panjang total bulanan (Lampiran 9) dengan menggunakan program ELEFAN I yang ada pada paket program FISAT II dan umur teoritis ketika panjang ikan sama dengan nol (t0) berdasarkan rumus empiris Pauly (1984). Hasil estimasi parameter pertumbuhan tertera pada Tabel 8.
63
Tabel 8 Parameter pertumbuhan ikan dominan di Pulau Semak Daun K (bln -1) L∞(mm) No. Nama spesies 1 Epinephelus fuscoguttatus 0.16 259.35 2 Choerodon anchorago 0.43 246.75 3 Scolopsis monogramma 0.39 233.63 4 Epibulus sp 0.47 225.75 5 Scarus ghobban 0.08 349.13 6 Chlorourus sordidus 0.64 190.05 7 Scarus sp 0.09 344.40
t0 (bln) -0.58 -0.21 -0.31 -0.20 -0.96 -0.15 -0.97
Tabel diatas menunjukkan bahwa nilai koefisien pertumbuhan (K) ikanikan dominan di lokasi penelitian pada umumnya termasuk rendah, demikian pula panjang asimtotiknya. Di terumbu karang Fiji, nilai L∞ Epinephelus fuscoguttatus adalah 89cm, Epibulus insidiator adalah 35cm, Cheilinus chlorourus adalah 33cm, Scarus ghobban 75cm dan L∞ dari beberapa genus Scarus adalah 30cm-75cm (Jennings & Polunin 1997).
Namun nilai-nilai tersebut tidak terlalu berbeda
dibandingkan dengan beberapa jenis ikan di Great Barrier Reef. Nilai L∞ Chlorourus sordidus adalah 19,261 cm, nilai L∞ jenis-jenis Scarus antara 17,729 – 25, 543 cm (Gust et al. 2002). King (1995) dan Spare & Venema (1999) menyatakan bahwa K menunjukkan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimptotiknya. Rendahnya nilai K menunjukkan bahwa ikan-ikan tersebut mengalami laju pertumbuhan yang lambat. Secara teoritis laju pertumbuhan setiap organisme sangat dipengaruhi oleh umur dan kondisi lingkungannya, termasuk di dalamnya adalah faktor makanan. Jika kebutuhan makanan tidak terpenuhi maka laju tumbuh organisme tersebut akan terhambat. Pertumbuhan setiap organisme (termasuk ikan) pada umumnya akan mulai lambat dengan bertambahnya umur. Rendahnya laju pertumbuhan ikan di lokasi penelitian kemungkinan karena kondisi lingkungan yang kurang mendukung dengan baik bagi pertumbuhannya, disamping tertangkapnya ikanikan kecil karena penggunaan alat tangkap yang berukuran mata jaring relatif kecil. Berdasarkan nilai-nilai parameter pertumbuhan tersebut maka diperoleh persamaan pertumbuhan von Bertalanffy bagi ikan di lokasi penelitian sebagai berikut:
64
Epinephelus fuscoguttatus: Lt=259,35(1-e-0,16(t+0,58)) Choerodon anchorago: Lt = 246,75 (1 - e -0.43 (t + 0,21)) Scolopsis monogramma: Lt = 228,90 (1 - e -0,39 (t + 0,24)) Epibulus sp.: Lt = 225,75 (1 - e -0,47 (t + 0,20)) Scarus ghobban : Lt = 349,13 (1 - e -0,08 (t + 0,96)) Chlorourus sordidus: Lt = 190,05 (1 - e -0,64 (t +0,15)) Scarus sp. : Lt = 344,40 (1 - e -0,09 (t +0,97)) Jika membandingkan persamaan pertumbuhan antar ikan tersebut, terlihat bahwa spesies Chlorourus sordidus memiliki koefisien pertumbuhan yang paling tinggi, yang berarti bahwa ikan ini mencapai panjang maksimum lebih cepat dibanding spesies lainnya. Kondisi ini didukung dengan nilai L∞ ikan tersebut 190,05 mm, merupakan nilai terkecil dibanding spesies lainnya. Sebaliknya, nilai K terendah terlihat pada Scarus ghobban dan Scarus sp, yang menunjukkan bahwa kedua species ini mencapai panjang asimtotik (L∞) yang lebih lama. Nilai L∞ kedua species ini juga paling tinggi diantara tujuh spesies dominan tersebut sebagai konsekwensi rendahnya nilai K. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh sifat biologi ikan tersebut, selain umur dan faktor lingkungan. Pada ikan berumur pendek biasanya memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan berumur panjang. Hasil estimasi parameter pertumbuhan didapatkan nilai K terendah dan tertinggi merupakan spesies dari famili Scaridae (Scarus ghobban, Scarus sp dan Chlorourus sordidus), demikian pula nilai L∞ terendah dan tertinggi juga terlihat pada ketiga spesies tersebut. Scaridae atau ikan kakak tua merupakan ikan karang tropis utama di terumbu karang dangkal di seluruh dunia (Brawner et al. 2007). Jenis ikan ini memiliki ukuran yang beragam, mulai berukuran kecil (20cm) hingga sangat besar (150cm). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dan dengan membandingkan nilai L∞ jenis-jenis kakak tua di Pulau Semak Daun, terlihat bahwa ikan kakak tua di lokasi tersebut memiliki ukuran maksimum yang kecil. Nilai K dan L∞ dipengaruhi oleh faktor lingkungan, keturunan, dan faktor
65
intensitas penangkapan (Gulland 1983). Semakin tinggi intensitas penangkapan maka semakin besar nilai K dan semakin kecil nilai L∞. Hal ini karena ikan tidak diberi kesempatan untuk tumbuh sampai ukuran yang baik, sehingga ikan yang tertangkap berukuran muda dan sedang mengalami fase percepatan pertumbuhan. Berdasarkan pernyataan tersebut maka kecilnya nilai L∞ ikan di Pulau Semak Daun kemungkinan disebabkan oleh tingginya intensitas penangkapan.
2. Mortalitas dan Rasio Eksploitasi Estimasi mortalitas berdasarkan kurva hasil tangkapan yang dikonversi ke panjang (length-converted catch curve), dengan masukan parameter pertumbuhan (K,L∞ dan t0) yang telah diperoleh. Nilai hasil estimasi tersebut tertera pada Tabel 9. Tabel No. 1 2 3 4 5 6 7
9 Mortalitas dan rasio eksploitasi ikan dominan di Pulau Semak Daun Z (bln-1) M (bln-1) F (bln-1) E Nama spesies Epinephelus fuscoguttatus 0.81 0.26 0.55 0.68 Choerodon anchorago 1.08 0.51 0.56 0.52 Scolopsis monogramma 1.46 0.56 0.90 0.62 Epibulus sp 1.61 0.56 1.05 0.65 Scarus ghobban 2.36 0.17 2.18 0.92 Chlorourus sordidus 0.95 0.71 0.23 0.25 Scarus sp 0.17 0.14 0.03 0.18 Laju mortalitas total jenis-jenis ikan dominan berkisar antara 0,17 per
bulan sampai dengan 1,61 per bulan, dengan nilai mortalitas alami berkisar antara 0,14 per bulan sampai dengan 0,71 per bulan. Laju mortalitas total tertinggi terjadi pada ikan Scarus ghobban, sedangkan yang terendah pada ikan Scarus sp. Mengacu pada pendapat Pauly (1983), nilai mortalitas alami ikan-ikan di lokasi penelitian termasuk rendah. Rendahnya nilai mortalitas ini menunjukkan bahwa jenis-jenis ikan tersebut mampu beradaptasi dengan baik terhadap kondisi lingkungan. Selain itu kemungkinan lokasi penelitian merupakan habitat yang baik bagi ikan-ikan tersebut. Pengukuran langsung nilai mortalitas alami (M) sulit diperoleh, maka digunakan kuantitas yang dianggap proporsional dengan M dan telah diduga sebelumnya, yaitu kurvatur pertumbuhan von Bertalanffy (K) dan L∞ (Beverton & Holt 1957 in Sparre & Venema 1999), hal ini karena adanya keterkaitan antara K
66
dengan panjangnya umur ikan dan umur yang panjang berkaitan dengan mortalitas. Spesies yang memiliki K yang tinggi mempunyai nilai M yang tinggi, dan spesies yang memiliki K yang rendah mempunyai M yang rendah. Mortalitas alami juga harus dikaitkan dengan L∞, karena pemangsa ikan besar lebih sedikit daripada pemangsa ikan kecil.
Untuk menunjang pernyataan tersebut, dapat
dilihat dari nilai-nilai K dari tujuh spesies yang dianalisis. Nilai K terlihat pada ikan Scarus sp. dan Scarus ghobban, masing-masing 0,09 per bulan dan 0,08 per bulan. Sesuai dengan pernyataan Beverton & Holt (1957) in Sparre & Venema (1998) tersebut, maka nilai M akan kecil dan sebagai akibatnya nilai L∞ menjadi besar. Hal ini terbukti bahwa nilai mortalitas alami (M) dari kedua spesies ini juga merupakan paling kecil dibanding spesies lainnya, yaitu 0,14 per bulan dan 0,17per bulan; dan L∞ kedua spesies tersebut juga paling besar diantara tujuh spesies lainnya (344,40mm dan 349,13mm). Mendukung pernyataan tersebut, ikan yang memiliki K paling besar yaitu Chlorourus sordidus, memiliki nilai L∞ yang paling kecil (190,05 mm) dan M yang paling besar (0,71 per bulan). Untuk mempertahankan keberlanjutan populasi dalam jangka panjang, maka laju mortalitas akibat penangkapan tidak melebihi laju mortalitas alamiahnya, dan ekploitasi mencapai optimal jika laju mortalitas akibat penangkapan sebanding dengan laju mortalitas alami (Pauly, 1980; Gulland, 1971; FAO, 1996), yang berarti bahwa rasio eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Berdasarkan penjelasan tersebut, terdapat beberapa spesies ikan yang telah dieksploitasi melebihi optimal, yaitu Epinephelus fuscoguttatus, Choerodon anchorago, Scolopsis monogramma, Chlorourus sordidus, dan Epibulus sp. Dua jenis lainnya, yaitu Scarus ghobban, Scarus sp., laju eksploitasi dibawah nilai optimal.
4.7 Perikanan Tangkap 1. Jenis alat tangkap Perikanan tangkap yang berkembang di sekitar Pulau Semak Daun merupakan perikanan tradisional yang ditujukan untuk pemanfaaatan sumberdaya ikan karang. Alat tangkap yang digunakan juga sederhana, dan didominasi oleh jaring insang, bubu dan pancing. Ikan target dari alat tersebut adalah ikan-ikan
67
yang hidup di sekitar terumbu karang, baik ikan konsumsi seperti kerapu dan ekor kuning, maupun ikan hias seperti ikan kepe-kepe (Chaetodon sp, jenis-jenis ikan Kakaktua (Scarus sp) dan Betok (Pomacentrus sp). Selain alat tangkap tersebut, di sekitar perairan Pulau Semak Daun juga sering beroperasi jaring muroami. Alat ini dioperasikan di sekitar terumbu karang dengan target penangkapan ikan ekor kuning. Jumlah unit alat tangkap di Kepulauan Seribu Utara disajikan pada Gambar 14. Selama kurun waktu lima tahun tersebut, jumlah unit bubu selalu mendominasi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. 1800 1600 1400
Jumlah
1200
Payang
1000
Jaring gebur
800
Bubu
600
Pancing
400
Muroami
200 0 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 14 Jumlah unit alat tangkap di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara (Sumber : Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kepulauan Seribu 2010). 2.
Produksi Hasil Tangkapan dan Hasil Tangkapan per Unit Upaya Analisis terhadap produksi ikan hasil tangkapan nelayan dimaksudkan
untuk mengetahui intensitas penangkapan terhadap spesies dominan per trofik level yang telah dikaji pada sub bab sebelumnya. Berdasarkan komposisi biomasa ikan per trofik level, diketahui ikan dominan per trofik level di perairan sekitar Pulau Semak Daun adalah Epinephelus fuscoguttatus, Choerodon anchorago, Scolopsis monogramma, Epibulus sp., Chlorourus sordidus, Scarus ghobban, dan Scarus sp.
Berdasarkan hasil ini maka dianalisis produksi hasil tangkapan
spesies-spesies tersebut yang dilakukan di sekitar Pulau Semak Daun. Data
68
diperoleh berdasarkan hasil tangkapan harian nelayan yang dilakukan selama penelitian, disajikan dalam Tabel 10 dibawah ini.
Tabel 10 Hasil tangkapan jenis-jenis ikan dominan oleh nelayan di perairan Sekitar Pulau Semak Daun (gram) Nori Jarang Gigi Mogong Lape bataan Kerapu hitam monyong Jenis Ikan (Choerodon (Scarus (Scarus (E.fuscoguttatus) (Epibulus anchorago) sp.) ghobban) sp.) 14.200 11.900 3.000 Juli 47.900 60.500 4.300 22.800 Agustus 39.140 17.200 1.500 7.100 September 26.100 1.000 10.400 9.200 5.000 Oktober 20.300 23.800 2.800 2.300 November 20.600 4.300 34.600 4.500 2.300 Desember 30.100 12.400 25.300 5.100 3.200 Januari 198.340 17.700 183.700 30.400 42.700 Total Untuk mengetahui jenis alat tangkap yang paling intensif dalam melakukan aktifitas penangkapan dan ikan dominan hasil tangkapannya, dilakukan analisis hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) dari jenisjenis alat tangkap yang dioperasikan di sekitar Pulau Semak Daun. Idealnya analisis CPUE dilakukan time series berdasarkan pada data produksi ikan per jenis alat tangkap yang dilakukan beberapa tahun. Kondisi yang ada di lokasi penelitian, tidak tersedia data produksi per jenis alat tangkap, sehingga analisis CPUE dilakukan melalui pencatatan harian terhadap jumlah alat yang beroperasi per jenis dan hasil tangkapannya. Pencatatan dilakukan setiap hari selama penelitian dan hasilnya tertera pada dan Tabel 11. Hasil pencatatan tersebut menunjukkan bahwa alat tangkap yang dioperasikan nelayan di lokasi penelitian terdiri atas bubu, jaring dan pancing, dengan jumlah unit terbanyak adalah bubu. Banyaknya unit alat tangkap yang beroperasi belum tentu menunjukkan tingginya eksploitasi sumberdaya ikan dari alat tangkap tersebut. Hal ini tergantung dari efektifitas dari alat tersebut dalam menangkap ikan, yang ditunjukkan dengan nilai CPUEnya.
69
Tabel 11 Hasil tangkapan dan hasil tangkapan per satuan upaya di perairan Pulau Semak Daun selama penelitian Jenis alat Jumlah Total tangkapan CPUE Ikan dominan tangkap unit (gram) (gram unit-1) Bubu 942 988.411,00 1.049,27 Mogong Hijau/mogong ijo (Scarus sp), Lape (Scarus ghobban) Jaring 402 1.366.333,33 3.398,84 Mogong Hijau/mogong ijo (Scarus sp), Kerapu hitam ( E.fuscoguttatus) Pancing 835 691.228,.63 827,82 Jarang Gigi (Choerodon anchorago), Kerapu hitam ( E.fuscoguttatus) Berdasarkan pencatatan harian yang dilakukan selama penelitian dan tertera pada tabel diatas, diperoleh nilai CPUE tertinggi dari alat tangkap jaring, dan terendah adalah pancing. Disamping memiliki nilai CPUE tertinggi, jumlah total produksi dari jaring juga paling tinggi selama penelitian.
Berdasarkan
pertimbangan ini terlihat bahwa jaring merupakan alat tangkap yang paling intensif dalam penangkapan ikan di sekitar Pulau Semak Daun.
4.8 Inter-Relasi Trofik Berdasarkan kebiasaan makanan dan trofik level yang telah dianalisis, serta berdasarkan kajian pustaka yang banyak membahas tentang struktur trofik di perairan, tarutama perairan di sekosistem terumbu karang, maka dapat dibuat dugaan inter-relasi atau keterkaitan diantara masing-masing trofik level sehingga membentuk aliran seperti tergambar dalam Gambar 15. Komponen tingkat trofik terendah di lokasi penelitian terdiri dari fitoplankton, alga bentik dan detritus. Tanda panah menunjukkan perpindahan biomasa melalui hubungan makan memakan seperti yang tergambar dalam rantai makanan. Dalam struktur trofik yang tergambar dalam aliran tersebut, keberadaan jenis ikan mogong (kelompok ikan yang berada pada trofik level rendah, 2,00 – 2,50) sangat penting untuk mendukung keberadaan ikan pada trofik level atas (jenis-jenis kakaktua atau Scarus sp.dan kerapu). Jenis ikan kakaktua merupakan ikan yang berperan penting dalam mengontrol populasi makroalga yang dapat merusak
kaarang,
sedangkan
keberadaan
ikan
kerapu
penting
untuk
70
mempertahakan keseimbangan komunitas agar tidak terjadi penurunan rantai makanan.
Trofik Level 4 Kerapu (E.fuscoguttatus), Kakap (Lutjanus lutjanus) Jarang gigi (C.anhorago), Serak (S. monogramma), Nori (Epibulus sp.)
3
Hewan Karang Lape (Scarus ghobban)
Invertebrata Bentik
Mogong (Chlorourus sordidus, Scarus sp.)
2
1
Zooplankton
Alga Bentik
Detritus
Fitoplankton
Gambar 15 Perkiraan inter-relasi trofik komunitas ikan di lokasi penelitian. Keterangan: Berdasarkan hasil penelitian Mc. Conell (1987) dan penelusuran dalam Fish Base Berdasarkan inter-relasi trofik yang telah dibangun tersebut, dilakukan penyusunan model berdasarkan pada nilai-nilai yang telah dianalisis. Komponen utama dalam penyusunan model ini adalah kelompok trofik level yaitu kelompok trofik level 2,00 – 2,50, kelompok trofik level 2,51 – 3,00, kelompok trofik level 3,01 – 3,50 dan kelompok trofik level 3,51 – 4,00. Setiap kelompok trofik level berfungsi sebagai satu kelompok (kompartemen) sehingga memiliki sub model tersendiri. Setiap sub model tersebut dirangkaikan berdasarkan hubungan makan memakan dari dan antar komponen dalam model.
71
Setiap komponen memiliki variabel, variabel tersebut merupakan variabel penting yang mempengaruhi struktur trofik, yaitu kebiasaan makanan dan parameter populasi setiap komponen (K, M dan F). Hubungan keterkaitan antara sub model berdasarkan pada analisis regresi dan korelasi menggunakan perangkat SPSS 16 dan hasilnya disajikan pada Gambar 16 dan Lampiran 10 dan Lampiran 11. 0.693 -0.168
- 0.241 0.584
M
M
K 0.499
-0.867
KELOMPOK 3 Trofik level 3.01 – 3,50
K 0.297
F -0.967
KELOMPOK 4 Trofik level 3,51 – 4,00
-0.998 F -0.554
0.645 -0.365 M
-0.225
0.017
0.369
-0.111
0.168
K 0.589
KELOMPOK 2 Trofik level 2,50 – 3.00
-0.695 F -0.578
Invertebrata bentik
Hewan karang 0.404 M
K 0.997
KELOMPOK 1 Trofik level 2,00 – 2.50
0.990 F -0.509
** * -0.373
-0.442
-0.415
Zooplankton
-0.244
*** -0.585
-0.071 Detritus
Alga bentik
** *
** * Fitoplankton
Gambar 16 Aliran materi berdasarkan kebiasaan makanan dan parameter populasi, komunitas ikan di Pulau Semak Daun. Keterangan: menunjukkan hubungan regresi tidak terdeteksi *** menunjukkan hubungan korelasi Korelasi antar kelompok trofik level menunjukkan bahwa ikan pada kelompok trofik level 4 berkorelasi kuat dengan kelompok trofik level 2 dan 1,
72
dan kelompok trofik level 2 berkorelasi kuat dengan kelompok trofik level 1. Korelasi paling kuat adalah antara kelompok trofik level 2 dan 1. Hal penting dari korelasi ini adalah, apabila terjadi perubahan biomasa pada salah satu trofik level tersebut maka akan mempengaruhi biomasa trofik level lainnya. Sebagai contoh, pengurangan biomasa ikan di kelompok trofik level 4 karena penangkapan, karena jenis-jenis ikan di kelompok ini bernilai ekonomis tinggi, berakibat terjadinya perubahan biomasa pada kelompok trofik 2 dan 1 akibat korelasi tersebut, dan perubahan tersebut sebesar 0,645 terhadap biomasa kelompok trofik level 2 dan 0,584 terhadap kelompok trofik level 1. Pada penjelasan sebelumnya telah disebutkan, bahwa berdasarkan kebiasaan makanannya, kelompok trofik level 1 berperan penting dalam menyokong trofik level atasnya. Oleh karenanya, pengurangan biomasa pada trofik level atas tidak hanya menyebabkan berkurangnya biomasa trofik level itu sendiri, tetapi berakibat pengurangan biomasa di kelompok trofik level 1 dan hal ini membahayakan bagi keseimbangan ekosistem. Biomasa ikan juga detentukan oleh sumber makanan yang tersedia, sehingga dapat dilihat hubungan biomasa dengan kebiasaan makanannya. Angkaangka yang ada pada tanda panah menunjukkan koefisien yang menghubungkan antara kelompok trofik level atau sub model. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa perubahan kebiasaan makanan salah satu kelompok ikan pada trofik level tertentu tidak hanya mempengaruhi biomasa total dari ikan pada kelompok trofik tersebut, tetapi juga mempengaruhi biomasa total kelompok ikan pada trofik level lainnya, tergantung pada nilai korelasi dari kelompok tersebut. Sebagai contoh, apabila ikan pemakan invertebata bentik merubah kebiasaan makanannya terhadap invertebrata bentik, maka akan mempengaruhi biomasa ikan pemakan krustase karena invertebrata bentik juga berperan besar dalam biomasa kelompok ikan pemakan krustase. Perubahan biomasa ikan pemakan krustase berbanding terbalik dengan perubahan biomasa kebiasaan makanan ikan pemakan invertebrata bentik dengan koefisien 0,365. Tidak hanya itu, karena adanya korelasi invertebrata bentik dengan zooplankton, maka perubahan berikutnya adalah terhadap biomasa ikan pemakan zooplankton, dan perubahan ini juga berbanding terbalik dengan perubahan kebiasaan makanan ikan pemakan
73
invertebrata bentik dengan koefisien 0,415.
Berikutnya adalah pengaruhnya
terhadap biomasa ikan pemakan alga, karena adanya korelasi antara invertebrata bentik dan alga. Dari hubungan keterkaitan tersebut menunjukkan bahwa perubahan kebiasaan makanan pada salah satu kelompok ikan dapat berpengaruh secara berantai terhadap kelompok ikan lainnya. Kebiasaan makanan ikan, selain dipengaruhi oleh faktor keturunan juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumber makanan di perairan. Jika terjadi perubahan lingkungan, akan terjadi perubahan sumber makanan di perairan, dan sebagai konsekwensinya jenis-jenis ikan yang mampu beradaptasi dengan baik terhadap sumber makanan yang tersedia akan merubah kebiasaan makanannya, dan selanjutnya mempengaruhi biomasa kelompok ikan lainnya. Dari hubungan keterkaitan ini dapat dinyatakan bahwa perubahan faktor lingkungan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kelangsungan populasi, namun secara tidak langsung mempengaruhi keseimbangan didalam komunitas karena adanya keterkaitan tersebut. Disamping sumber makanan yang tersedia, struktur trofik komunitas ikan juga dipengaruhi oleh parameter populasi penyusunnya. Parameter yang dianalisis untuk melihat keterkaitan ini adalah koefisien K sebagai koefisien yang mempengaruhi pertumbuhan populasi atau stok, dan parameter mortalitas (M dan F) yang mempengaruhi pengurangan stok.
Dengan memasukkan nilai-nilai
parameter dalam masing-masing sub model, didapat bahwa ikan pada kelompok trofik level 1 (trofik level 2,00 – 2,50) mendapatkan dampak paling besar dari perubahan parameter populasi dan dari kelompok trofik level lainnya. Berdasarkan hasil analisis ini dapat dinyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada parameter populasi ikan di trofik level 2,00 – 2,50 sangat berpengaruh terhadap biomasanya. Mengingat peran trofik level 2,00 – 2,50 dalam mendukung trofik level diatasnya sebagaimana tergambar dalam aliran trofik pada Gambar 15, semakin terlihat pentingnya jenis-jenis ikan kelompok trofik level ini dalam menyokong komunitas ikan di lokasi penelitian. Kajian dalam penelitian ini hanya didasarkan pada biomasa ikan sehingga memiliki keterbatasan. Oleh karena itu hasil kajian ini berlaku dengan asumsiasumsi yang berguna untuk mengatasi keterbatasan tersebut, yaitu:
74
-
Proses fisik terjadi dalam kondisi normal, tidak terjadi perubahan ekstrim pada salah satu atau beberapa parameter lingkungan.
-
Tidak terjadi perubahan biomasa yang besar akibat emigrasi dan imigrasi sehingga merubah aliran materi/rantai makanan.
-
Jumlah ikan yang tertangkap proporsional dengan kelimpahan ikan.
4.9 Pengelolaan Sumberdaya Ikan Hasil penelitian menunjukkan adanya dugaan eksploitasi berlebih terhadap jenis-jenis ikan yang berperan penting dalam menyokong struktur komunitas ikan di Pulau Semak Daun, dan perubahan lingkungan yang berakibat pada pertumbuhan tutupan alga.
Beberapa indikator yang mendukung berdasarkan
hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: -
Struktur trofik komunitas ikan terlihat lebih besar pada trofik level bawah yang berarti bahwa biomasa ikan pada trofik level bawah, yaitu ikan-ikan herbivor (trofik level 2,00-2,50), yang didominasi Chlorourus sordidus dan Scarus sp., mendominasi struktur trofik komunitas ikan di Pulau Semak Daun. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan produksi atau biomasa ikan pada trofik level bawah (mangsa), diduga akibat intensitas penangkapan yang tinggi dari pemangsanya (Jennings & Polunin 1997; Urene 2010). Jenis ikan pemangsa di Pulau Semak Daun yang berperan dalam menyokong komunitas ikan adalah Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan ini merupakan target penangkapan nelayan karena memiliki nilai ekonomis tinggi sebagai ikan pangan. Hal ini juga didukung dengan rasio ekploitasi ikan ini yang lebih dari 0,5 atau dengan kata lain tingkat eksploitasi melebihi nilai optimal. Selain itu perubahan parameter populasi dan korelasi biomasa diantara kelompok trofik level juga menunjukkan bahwa kelompok paling berpengaruh terhadap biomasa ikan di trofik level bawah.
-
Dominasi spesies herbivor dalam struktur trofik komunitas ikan di Pulau Semak daun merupakan indikasi adanya penutupan substrat oleh makroalga, terdapat hubungan positif antara tutupan makroalga dengan kelimpahan ikan herbivor (Sandin et al. 2008; Vincent et al. 2011).
75
Kondisi ini didukung oleh biomasa dominan kelompok trofik ini yang terdiri dari spesies herbivor utama (trofik level 2,00-2,50 sebanyak 61,38% dari total biomasa). Sebagaimana diketahui bahwa makroalga memiliki kemampuan tumbuh yang pesat sehingga keberadaannya perlu dikontrol. -
Adanya penurunan secara signifikan biomasa ikan dari trofik level bawah ke trofik level atas. Artinya, komposisi biomasa ikan pada trofik level atas (ikan karnivor, trofik level 3,51-4,00) adalah rendah (14,89% dari total biomasa) yang juga merupakan indikasi adanya tekanan penangkapan. Walaupun penangkapan mengakibatkan terjadinya peningkatan biomasa mangsa namun hal ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat memulihkan atau mengembalikan biomasa ikan pada trofik level atas (jenis-jenis ikan kerapu) untuk menggantikan kehilangan biomasa akibat penangkapan (Sale 1991; Clanahan & Graham 2005; Urene 2010).
-
Hasil estimasi nilai panjang asimptotik (L∞) ikan-ikan yang berperan penting dalam hasil penelitian ini pada umumnya lebih rendah dibanding dengan ikan yang sama di tempat lain (Jennings & Polunin 1997; Gust et al. 2002). Ini merupakan indikator tekanan penangkapan karena ikan tidak mendapat kesempatan tumbuh mencapai ukuran maksimum sehingga yang tersisa di perairan adalah ikan-ikan yang berukuran kecil. Pernyataan ini juga ditunjang dengan nilai rasio ekploitasi yang sebagian besar lebih dari 0,5 yang berarti bahwa eksploitasi terhadap ikan tersebut telah melebihi optimal.
Disamping karena tekanan penangkapan, rendahnya nilai L∞
diduga juga akibat turunnya kualitas lingkungan karena nilai L∞ juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Gulland 1983) Berdasarkan hasil penelitian ini maka upaya pengelolaan sumberdaya ikan di perairan sekitar Pulau Semak Daun adalah melalui pengelolaan penangkapan dan dalam waktu yang bersamaan juga dilakukan pengelolaan habitat atau ekosistem.
A. Pengelolaan penangkapan Penangkapan perlu diatur terutama terhadap jenis ikan herbivor, yaitu jenis ikan kakak tua (Chlorourus sordidus dan Scarus sp.), dan penangkapan terhadap jenis-jenis ikan karnivor yaitu kerapu (Epinephelus fuscoguttatus dan kakap
76
(Lutjanus lutjanus). Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang berperan penting dalam menyokong komunitas ikan di Pulau Semak Daun, berdasarkan hasil estimasi biomasa, parameter populasi, interaksi trofik serta korelasi biomasa diantara trofik level komunitas ikan di lokasi penelitian. Penerapan pengelolaan penangkapan yang konsisten dalam jangka waktu yang panjang telah terbukti meningkatkan produksi ikan (Tamaki 2004). Alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan sesuai hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: -
Pengaturan jenis dan ukuran alat tangkap. Hasil pencatatan harian hasil tangkapan nelayan di Pulau Semak Daun menunjukkan bahwa jenis-jenis ikan tersebut merupakan hasil tangkapan dominan dari alat tangkap jaring insang. Disamping itu, dari tiga jenis alat tangkap yang beroperasi di Pulau Semak Daun, jaring insang memiliki nilai CPUE yang tertinggi. Dengan demikian maka penggunaan jaring insang sebagai alat tangkap di lokasi penelitian perlu diatur, terutama selektivitasnya. Untuk kepentingan ini diperlukan informasi ilmiah yang memadai mengenai ukuran ikan pertama kali tertangkap (Lc), dan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Lm). Hal ini diperlukan untuk penentuan ukuran mata jaring yang sesuai, sehingga ikan memiliki kesempatan untuk tumbuh secara maksimal dan bereproduksi sebelum tertangkap.
-
Pengaturan area penangkapan. Untuk pengaturan ini, diperlukan informasi ilmiah berkaitan tentang struktur populasi dan reproduksi dari jenis-jenis ikan yang berperan penting dalam hasil penelitian ini. Informasi struktur umur populasi dan reproduksi jenis-jenis ikan yang berperan penting dilakukan pada masing-masing area sesuai karakteristik dasar Pulau Semak Daun, yaitu lokasi terumbu karang, lokasi yang didominasi lamun, lokasi lamun dan berpasir, dan lokasi gobah. Hal ini diperlukan untuk mengetahui lokasi-lokasi yang penting bagi daerah asuhan, daerah pembesaran dan daerah pemijahan. Tiga hal ini merupakan dasar utama yang diperlukan untuk dapat melakukan pengaturaan area penangkapan (closed area) secara efektif.
-
Pengaturan waktu penangkapan (closed season). Pengaturan ini dilakukan dengan mempertimbangkan siklus reproduksi ikan dimana pada saat-saat
77
atau musim tertentu ikan tidak boleh ditangkap. Saat-saat ikan tidak boleh ditangkap umumnya merupakan tahap yang kritis dalam siklus pertumbuhan ikan, misalnya saat memijah atau saat ikan berukuran juvenil. Pengaturan dilakukan untuk memberi peluang bagi ikan agar dapat memperbaiki populasinya. Pengaturan waktu (musim) penangkapan akan efektif jika didasari pada informasi ilmiah tentang status siklus hidup ikan, mulai dari musim pemijahan, rekrutmen dan pertumbuhan.
B. Pengelolaan habitat Sejalan dengan pengaturan penangkapan yang telah diuraikan diatas, pengelolaan habitat yang diperlukan sesuai hasil penelitian ini memiliki tiga tujuan yaitu: -
Melindungi tempat berpijah
-
Melindungi tempat mencari makan dan asuhan
-
Memulihkan kondisi habitat Sesuai tujuan tersebut terdapat dua alternatif yang sesuai bagi pengelolaan
sumberdaya ikan di Pulau Semak Daun yaitu menetapkan area konservasi dan pemasangan terumbu buatan. Penetapan area konservasi (area perlindungan) merupakan alat pengelolaan sumberdaya ikan yang paling efektif untuk pemulihan sumberdaya ikan yang mengalami tekanan penangkapan, karena dapat melindungi stok ikan, mempertahankan biomasa sekaligus mempercepat pengkayaan spesies dan meningkatkan keragaman ikan herbivor (Mc.Clanahan & Graham 2005; Oropeza et al. 2011; Vincent et al. 2011). Penetapan area konservasi Cabo Pulmo National Park (CPNP), dalam 10 tahun telah meningkatkan biomasa ikan karnivor 4 hingga 11 kali lipat dibandingkan sebelum penetapan area konservasi (Oropeza et al. 2011). Di kawasan perlindungan laut Kenya, 52 spesies ikan dari 110 yang ditemukan di kawasan perlindungan tidak ditemukan pada terumbu karang yang mengalami tekanan penangkapan. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa biomasa dan kelimpahan ikan lebih tinggi di daerah dengan intensitas penangkapan ikan yang rendah. Penerapan kawasan perlindungan laut di Kenya telah mencatat peningkatan yang cepat dari Famili Scaridae dan diikuti oleh kenaikan Famili Acanthuridae (Vincent et al. 2011).
78
Pemasangan terumbu buatan (artificial reef) dimaksudkan sebagai habitat tempat tumbuhnya hewan karang yang kemudian diikuti dengan berkumpulnya jenis-jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang. Pembuatan artificial reef di Terminos Lagoon telah terbukti menggeser biomasa omnivor menjadi karnivor, bahkan telah meningkatkan species predator (Lo’pez et al. 2005). Vincent et al. (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa biomasa dan kelimpahan ikan herbivor meningkat dengan peningkatan penutupan karang, dan biomasa serta kelimpahan Famili Acanthuridae dan Pomacentridae meningkat secara signifikan dengan peningkatan penutupan karang keras.
79
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sesuai tujuan penelitian, maka kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini sebagai berikut: 1.
Struktur trofik komunitas ikan di sekitar Pulau Semak Daun mencakup semua trofik level, yaitu dari 2,10 hingga 4,00, dengan komposisi biomasa tertinggi pada kelompok trofik level rendah (2,00-2,50). Biomasa ikan semakin berkurang dengan semakin meningkatnya trofik level tetapi terjadi penurunan biomasa yang tajam di kelompok trofik level sedang (2,51 – 3,00).
2.
Nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang asimtotik (L∞) ikan-ikan yang berperan penting dalam struktur trofik komunitas ikan di lokasi penelitian pada umumnya termasuk rendah dan laju eksploitasi pada umumnya melebihi optimal.
3.
Kelompok ikan pada trofik level rendah menerima dampak yang paling besar dari perubahan parameter populasi, dan dari kelompok trofik level lainnya.
4.
Kelompok ikan pada trofik level 2,00 – 2,50 sangat penting dalam menyokong komunitas ikan di lokasi penelitian. Dengan demikian perhatian terhadap keberlanjutan jenis-jenis ikan pada kelompok trofik level ini juga penting selain terhadap kelompok trofik level tinggi.
5.2 Saran Berdasarkan parameter populasi menunjukkan bahwa ikan yang berperan penting dalam struktur trofik komunitas di lokasi penelitian memiliki laju pertumbuhan yang lambat, ukuran maksimum kecil dan ekploitasi telah melebihi optimal. Profil trofik level menunjukkan dominasi dari ikan-pada trofik level rendah hingga menengah.
Fakta demikian menuntut pentingnya pengelolaan
sumberdaya perikanan melalui dua pendekatan, yaitu pengelolaan penangkapan dan pengelolaan habitat. Penetapan Kepulauan Seribu sebagai Kawasan Taman Nasional sejak tahun 1995 tampaknya perlu dievaluasi implementasinya agar dapat berjalan secara efektif sesuai tujuan penetapan kawasan. Kontrol terhadap
80
penangkapan yang telah ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah juga perlu terus ditingkatkan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan di Pulau Semak Daun khususnya dan Kepulauan Seribu pada umumnya..
81
DAFTAR PUSTAKA Al-Zibdah M & N Kan’an. 2009. Aspects of Growth, Reproduction, and Feeding Habit of Three Pomacentrid Fish From Gulf of Aqaba, Jordan. Jordan Journal of Biological Sciences. 2(3):119 – 128. Allen GR. 1999. Marine Fishes of South-East Asia.Periplus Edition.Western Australia. Allen GR & RC Steene.1990. Reefs Fishes on the Indian Ocean. Marine Sciene and Technology.Perth Australia. Anonimous. 2004. Editorial. Placing Fisheries in their Ecosystem Context, an Introduction. Ecological Modelling 172:103–107. Ardiwijaya RT, T Kartawijaya dan Y Herdiana. 2007. Laporan Teknis Monitoring Ekologi TN Karimunjawa 2006: Monitoring Fase 2. Wildlife Conservation Society. Marine Program Indonesia. Bachtiar I. 2009. Herbivori Dalam Pengelolaan Terumbu Karang. Penelitian Pesisir dan Laut Unram. Coral Reefs 27
Pusat
Bozec YM, J Ferraris, D Gascuel, and M Kulbicki. 2011. The Trophic Structure Of Coral Reef Fish Assemblages:"Trophic Spectra" As Indicators Of Human Disturbances. Brawner B, S Ross, K Wallace and R Wallace. 2007. A Study of the Comparative Densities of Parrotfish on the North and South Side of Rodney’s Rock. TAMU study abroad. Dominica Chassot E & D Gascuel. 2003. Estimation of the Impact of Trophic Interactions on Biological Production Functions in an Ecosystem: Size Dependency in Marine and Freshwater Ecosystems. ICES CM /N:11. Chasssot E, D Gascuel and A Colomb. 2005. Impact of Trophic Interactions on Production Function and on the Eecosystem Response to Fishing: a Simulation Approach. Aquatic living resources 18: 1-3. Charles AT. 2001. Sustainable Fisheries System. Blackwell Science. Christensen V & D Pauly. 1992. Ecopath II-a Software for Balancing SteadyState Ecosystem Models and Calculating Network Characteristics. Ecological Modelling 61: 169 – 185. Christensen V & C Walters. 2003. Ecopath with Ecosim Methods:Capabilities and Limitations. University of British Columbia, Fisheries Centre, Canada.
82
Cochrane KL. 2002. Fisheries Management. In: A Fishery Manager’s Guidebook. Management Measures and Their Application. FAO Fisheries Tachnical Paper 424: 1- 20. Effendii MI. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 p. Emlen JM. 1984. Population Biology. The Coevolution of Population Dynamics and Behavior. Macmillan Publ.Company. USA. 547p. Estradivari, M Syahrir, N Susilo, S Yusri dan S Timotius. 2007. Terumbu Karang Jakarta: Laporan Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2004 – 2005). Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta. Fre´de´rich B, EG Fabri, EG Lepoint, EP Vandewalle and EE Parmentier. 2009. Trophic Niches of Thirteen Damselfishes (Pomacentridae) at the Grand Re´cif of Toliara, Madagascar. Ichthyol. Res. 56:10–17 Friedlander AM & EE De Martini. 2002. Contrasts in Density, Size, and Biomass of Reef Fishes Between the Northwestern and the Main Hawaiian Islands: the Effects of Fishing Down Apex Predators. Marine Ecology Progress Series. 230: 253–264. Gallopin GC. 1972. Structural Propoerties of Food Webs. In Pattern BC (editor). System Analysis and Simulation in Ecology. Academic press. London. P 241 - 282. Garcia SM, A Zerbi, C Aliaume, Di Chi T and G Lassere. 2003. The Ecosystem Approach to Fisheries. Issues, Terminology, Principles, Institutional Foundations, Implementation and Outlook. FAO Fsiheries Technical Paper 443. 71 p. Gulland JA. 1974. Gidelines for Fishery Management. IOFC/DEV/74/36:84. Gulland JA. 1983. Fish Stock Assesment: a manual of basic methods. Chicester,U.K, Wiley Interscience,FAO (1).223 p. Gust N, JH Choat, and JL Ackerman. 2002. Demographic Plasticity in Tropical Reef Fishes. Marine Biology 140: 1039–1051 Hiatt RW & DW Strasburg. 1980. Ecological Relationships of the Fish Fauna on Coral Reefs of the Marshall Isldans. Ecological Monographs. 33 (1): 65127. Jaureguizar AJ & AC Millesi. 2008. Assesing the Sources of the Fishing Down the Marine Food Web Process in the Argentinean-Uruguayan Common Fishing Zone. Scientia Marina 72 (1): 25 -36.
83
Jennings S. 1999. The Effect of Fishing on Marine Ecosystems and Communities. Blackwell Sci.Australia. Jennings S & NVC Polunin. 1997. Impacts of Predator Depletion by Fishing on the Biomass and Biversity of Non-target Reef Fish Communities. Coral Reefs 16 : 71- 82 Jennings S & Reynolds. 2000. Impact of Fishing on Diversity: from Pattern to Process. In: Kaiser, M.j and de Groot. 2000. The effect of Fishing on Nontarget Spesies and Habitats. Blackwell Sci. p. 235 – 365. Jennings S, MJ Kaiser and JD Reynolds. Blackwell publ. New York. 417 p.
2003.
Marine fisheries ecology.
Katsuwaka T. 2004. Numerical Investigation of the Optimal Control Rule for Decision-Making in Fisheries Management. Fisheries Science 70: 123–131. Kennish MJ. 2000. Ecology of estuaries. Volume II: Biological aspect. CRC Press. Boston. 391 p. King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News Books.London. Krebs CJ. 1989. Ecologycal Methodology. York.
Harpers and Rows Publisher.New
Kuiter RH. 1992. Tropical Reef-Fishes of Western Pacific, Indonesia and Adjacent Waters. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 313 p. Lefèvre CD & DR Bellweood. 2011. Temporal Variation in Coral Reef Ecosystem Processes: Herbivory of Macroalgae by Fishes. Marine Ecolology Progress Serries 422: 239–251 Lo’pez AS, D Mouillot, TD Chi and JR Miranda. 2005. Ecological Indicators Based on Fish Biomasss Distribution along Trophic Levels: an Application to the Terminos Coastal Lagoon, Mexico. ICES Journal of Marine Science 62: 453 – 458. Lowe-Mc.Connel RH. 1987. Ecological Studies in Tropical Fish Communities. Cambridge Uni. Press.Melbourne-Australia. Mc Clanahan TR & SC Mangi. 2004. Gear-based Management of a Tropical Artisanal Fishery Based on Spesies Selectivity and Capture Size. Fisheries Management and Ecology 11: 51–60
84
Mc.Clanahan TR & NAJ Graham. 2005. Recovery Trajectories of Coral Reef Fish Assemblages within Kenyan Marine Protected Areas. Marine Ecology Progress Series 294: 241 – 245. Mc.Wain JL & BM Taylor. 2009. Parrotfish Population Dynamics from the Marianas Islands, with a Description of the Demographic and Reproductive Characteristics of Chlorurus sordidus. Final Report to the Western Pacific Regional Fishery Management Council. University of Guam Marine,Mangilao, Guam. 61p. Monintja DR, A Sularso, MFA Sondita, dan A Purbayanto. 2006. Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Laut Arafuru. Dept. PSP-IPB. Bogor. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta 367 hlm. Nontji A. 2006. Tiada Kehidupan di Dumi Tanpa Keberadaan Plankton. LIPI. Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta. 248 hlm. Nurhakim S. 2003. Marine Fisheries Resources of the North Coast of Central Java: An Ecosystem Analysis. Hlm. 299-312. In: Silvestreet al.Assessment, Management and Future Directions for Coastal Fisheries in Asian Countries. World FishCenter Conference Proceedings 67:1. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia Jakarta.442 hlm. Odum EP. 1998. Dasar-dasar ekologi (Terjemahan Samingan T & Srigandono B. Edisi ke-tiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hlm. Oropeza OA, B Erisman, GR Galland, I Mascaren, E Sala and E Ezcurra. 2011. Large Recovery of Fish Biomass in a No-Take Marine Reserve. PLoS ONE Vol. 6 Issue 8. Parsons TR, M Takasashi, and B Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Process. Third Edition. Pergamon Press, Oxford. Pauly D. 1983. Length-converted Catch Curve: A Powerful Tool for Fisheries Research in the Tropics (part 1). Fish-byte 1 (2): 9-13. Pauly D. 1984. Fish Population Dynamics in tropical water: a mannual for use with programmable calculators. ICLARM Stud. Rev. (8). 325 hlm. Pauly D, M Soriano and ML Palomares. 1992. On Improving the Construction, Parameterization and Interpretation of Steady-State Multi Spesies Models. In V. Christensen and D. Pauly (eds). Trophic Models of Aquatic Ecosystems. ICLARM Conference Proceedings (26). 90 p.
85
Petersen JF. 2004. Ecosystem effects of red king crab invasion - a modelling approach using Ecopath with Ecosim.Master Thesis in International Fisheries Management FSK 3910. Norwegian College of Fishery Science University of Tromsø. Piska RS & SK Naik. 2007. Fish Biology and Ecology (Fisheries). University College of Science. Osmania University. 349 p. Pitcher TJ & PJB Hart. 1982. Fisheries Ecology. Croom Helm. London & Canberra.413 p. Rice AN. 2008. Coordinated Mechanics of Feeding, Swimming, and Eye Movements in Tautoga onitis, and Implications for the Evolution of Trophic Strategies in Fishes. Mar. Biol.154:255–267. Ricker WE. 1975. Computation and Interpretation of Biological Statistic of Fish Populations. Department of the Environment Fisheries and Marine Service, Ottawa. Bull. Res. Fish. Board. Can. 191: 382 p. Robinson LA &d CLJ Frid. 2003. Dynamic Ecosystem Models and the Evaluation of Ecosystem Effects of Fishing:Can We Make Meaningful Predictions? Aquatic Conserv.Mar.Freshw.Ecosyst.13 :5 –20. Rosado-Solo´rzano R & SA Guzma´n del Pro´o. 1998. Preliminary Trophic Structure Model for Tampamachoco Lagoon, Veracruz, Mexico. Ecological Modelling 109 : 141–154. Sadhotomo B, Wedjatmiko dan P Rahardjo. 2002. Pengkajian Kelimpahan dan Distribusi Sumberdaya Demersal di Perairan Laut Arafura. Synopsis. Makalah disampaikan pada Forum Pengkajian Stok 2003. Jakarta. 3 hlm. Sandin SA, EM Sampayo, and MJA Vermeij. 2008. Coral Reef Fish and Benthic Community Structure of Bonaire and Curaçao, Netherlands Antilles. Caribbean Journal of Science 44 (2):137-144. Sale PF. 1991. The Ecology of Coral Reef Fishes. Academic Press.Toronto. 754 p. Sensusiwati SW. 2001. Pola Pengelolaan Penangkapan Ikan Karang Berbasis Masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Adminstrasi Kepulauan Seribu. Tesis.Sekolah Pasacasarjana Institut Pertanian Bogor. Singh A; H Wang; W Morrison and H Weiss. 2010. Natural Resource Modeling. Okt (5): 27 p. Siregar VP, S Sukimin dan Sam Wutuysen. 2008. Pendugaan Potensi Ikan Karang Dengan Citra Satelit Resolusi Tinggi Dan Merancang Alat Tangkap Yang Selektif Di Kepulauan Seribu. Program Insentif Riset Dasar.
86
Soebagio. 2005. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu Dalam Meningkatkan Pendapatan Maysrakat Melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata. Disertasi. Sekolah Pasacasarjana Institut Pertanian Bogor. Sorokin YI. 1995. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. 467 p. Sparre P & SC Venema.1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I: Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta.Edisi Bahasa Indonesia. Steel RGB & JH Tori. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia. Jakarta.663 hlm. Stockwell B, CRL Jadloc, RA Abesamis, AC Alcala and GR Russ. 2009. Trophic and Benthic Responses to No-Take Marine Reserve Protection in the Philippines. Marine Ecolology Progress. Serries 389: 1–15 Sumiono B, Badrudin, dan AA Widodo. 2002. Pengkajian Kelimpahan dan Distribusi Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Laut Cina Selatan. Makalah disampaikan pada Forum Pengkajian Stok Ikan 2003. Jakarta. 4 hlm. Symes D. 2000. Integrated Management: the Implication of an Ecosystem Approach to Fisheries Managament. In: In: Kaiser, M.j and de Groot. 2000. The effect of Fishing on Non-target Spesies and Habitats. Balckwell Sci . p. 366-379. Tamaki,Y. 2004. Fisheries Management of Sandfish in Akita Prefecture. IIFET Japan Proceedings.Tasker M and P Knapman. 2001. Marine Environmental Management and Fisheries. In: D. Symes (Ed). Alternative Management Systems for Fisheries. Fishing News Books.p.127-135 Urena HM. 2009. Towards an Ecosystem Approach for Non-Target Reef Fishes: Habitat Uses and Population Dynamics of South Florida Parrotfishes (Perciformes: Scaridae). Scholarly Repository Open Access Dissertations Electronic Theses and Dissertations. University of Miami. Vincent V., CM Hincksman, IR Tibbetts and A Harris. 2011. Biomass and Abundance of Herbivorous Fishes on Coral Reefs off Andavadoaka, Western Madagascar. Western Indian Ocean J. Mar. Sci. 10 (1):83-99. Widodo J. 1991. Maturity and Spawning of Short-Fin Scad (Decapterus macrosoma) of the Java Sea. Asian Fisheries Science 4: 245 - 252. Widodo J dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 252 p.
LAMPIRAN
87
87
Lampiran 1 Famili Acanthuridae Apogonidae Apogonidae Atherinidae Atherinidae Carangidae Chaetodontidae Chaetodontidae Chaetodontidae Chaetodontidae Chaetodontidae Dasyatidae Diodontidae Gobiidae Gobiidae Harpodontidae Hemirhamphidae Hemirhamphidae Holocentridae Holocentridae Holocentridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Lethrinidae Lethrinidae Lethrinidae Lutjanidae Lutjanidae
Komposisi hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental fishing per stasiun di Pulau Semak Daun selama penelitian
No. Nama Ilmiah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Acanthurus triostegus Apogon poecilopterus Cheilodipterus quinquelineatus Atherina sp. Hypoterina temmincki Caranx sp. Chaetodon octofasciatus Coradion melanopus Heniocus dipreutes Paracahetodon sp Parachcaetodon ocellatus Dasyatis annotatus Diodon sp. Istigobius decoratus Valenciennea longipinnis Saurida gracilaris Hemirhamphus far Hyporhamphus affinis Sargocentron caudimaculatum Sargocentron itodai Sargocentron rubrum Amanses scopus Cheilinus fasciatus Choerodon anchorago Choerodon crisozonus Epibulus sp. Halichoeres sp. Halichoeres chloropterus Halichoeres marginatus Halichoeres melanurus Halichoeres scapularis Halichoeres sp. Hemygimnus melapterus Oxycheilinus celebicus Oxycheilinus diagrammus Stethojulis bandanensis Stethojulis sp Stethojulis strigiventer Thalasoma parpureum Thalassoma lunare Lethrinus ornatus Lethrinus sp Lethrinus variegatus Lutjanus decussatus Lutjanus fulviflamma
Nama Lokal Butut tanah Beseng Beseng loreng Brosot Brosot
Kepe-kepe Strip delapan Sumpit Pari Buntal duren Belodok Hemirhamphus affinis Cendro Swanggi temenggung Swanggi Swanggi Kupas-kupas Nori Jarang gigi Nori monyong Pelo tanda Pelo biru Pelo lilin Pelo burik Pelo kecil Jalang Kaik Kenari Halichoeres Pelo loreng Pelo hitam Pelo Pelo biru Lencam putih Tambak Lencam Manggaru Lencam tanda
Stasiun Jumlah I II III IV V VI VII Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) 1 114,40 0 0,00 9 915,20 3 520,00 5 457,60 9 1022,60 1 119,57 28 3149,37 24 1153,38 13 489,27 9 326,18 73 2433,27 44 1794,00 21 895,49 2 77,08 186 7168,68 40 158,00 12 47,40 11 31,60 3 0,00 8 31,60 7 15,80 7 24,58 88 308,98 8 190,40 12 285,60 9 190,40 25 571,20 21 1904,00 5 95,20 0 0,00 80 3236,80 8 144,00 25 432,00 8 144,00 0 0,00 0 0,00 4 72,00 0 0,00 45 792,00 17 220,55 37 1128,83 25 706,15 13 285,60 25 455,25 113 1891,88 42 856,12 272 5544,37 3 96,80 13 145,20 8 96,80 0 0,00 6 72,60 12 145,20 0 0,00 42 556,60 7 150,40 13 225,60 8 150,40 0 0,00 49 475,20 4 75,20 1 13,29 82 1090,09 2 215,20 12 322,80 8 215,20 0 0,00 24 645,60 8 215,20 0 0,00 54 1614,00 1 131,47 12 197,20 8 131,47 12 294,30 96 1207,20 4 65,73 0 0,00 133 2027,37 16 193,71 13 188,57 7 125,71 59 864,17 0 0,00 11 243,66 0 0,00 106 1615,83 0 0,00 3 2250,00 1 737,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 4 2987,00 0 0,00 4 781,00 1 273,00 0 0,00 1 214,00 1 268,00 0 0,00 7 1536,00 9 133,60 12 200,40 8 133,60 0 0,00 9 133,60 12 200,40 1 16,03 51 817,63 8 165,76 13 248,64 8 165,76 12 393,90 22 455,84 44 911,68 14 306,37 121 2647,95 8 280,00 13 420,00 9 280,00 1 29,55 4 140,00 9 280,00 7 222,73 51 1652,28 3 1164,80 12 1747,20 9 1164,80 1 171,15 7 873,60 9 1164,80 1 149,15 42 6435,50 4 1099,00 12 1648,50 8 1099,00 0 0,00 6 824,25 20 2747,50 0 0,00 50 7418,25 17 538,13 13 452,00 9 301,33 1 29,65 9 301,33 13 484,27 13 435,51 75 2542,23 8 236,40 13 354,60 9 236,40 25 382,20 72 2289,60 9 204,20 0 0,00 136 3703,40 25 1366,40 25 1102,80 8 410,40 4 118,20 13 615,60 8 385,60 1 48,18 84 4047,18 0 488,00 24 1464,00 8 488,00 6 73,20 12 732,00 4 244,00 22 1421,53 76 4910,73 33 2506,56 13 885,84 33 2944,96 49 2712,24 19 1328,76 9 504,08 5 348,80 161 11231,24 32 1513,89 25 1918,04 49 5127,49 13 812,40 24 2609,68 53 6043,75 4 383,52 200 18408,78 9 100,00 12 150,00 9 100,00 13 1304,84 25 300,00 13 150,00 1 25,99 82 2130,83 7 484,00 37 2427,60 25 1189,60 1 50,20 25 1452,00 21 1258,00 9 528,46 125 7389,86 8 418,40 13 627,60 9 418,40 9 1334,80 24 1255,20 9 418,40 4 248,49 76 4721,29 8 173,60 12 260,40 25 776,80 9 418,40 8 173,60 17 219,20 0 0,00 79 2022,00 30 373,07 25 857,20 9 222,67 25 526,00 19 501,00 13 465,73 23 559,92 144 3505,59 6 393,60 13 590,40 16 787,20 22 612,33 14 688,80 4 196,80 6 261,53 81 3530,66 7 165,20 12 247,80 9 165,20 13 590,40 15 289,10 13 247,80 6 148,30 75 1853,80 4 72,00 13 108,00 16 144,00 0 0,00 12 108,00 4 36,00 0 0,00 49 468,00 9 620,32 49 2651,28 33 1169,92 13 463,92 19 1395,72 17 1012,56 7 342,49 147 7656,21 46 7016,23 13 1523,14 17 1451,43 19 1755,00 49 422,40 9 776,91 13 1099,91 166 14045,03 8 196,20 15 294,30 16 806,60 12 1523,14 24 588,60 16 185,30 0 0,00 91 3594,14 14 323,20 12 484,80 9 323,20 1 41,12 13 484,80 9 323,20 9 300,91 67 2281,23 17 597,20 14 317,40 9 211,60 1 26,00 13 317,40 17 336,20 16 401,08 87 2206,88 48 489,02 12 158,73 17 428,22 25 407,13 8 105,82 21 199,31 0 0,00 131 1788,22 8 189,60 17 284,40 8 189,60 24 568,80 4 94,80 4 94,80 4 87,51 69 1509,51 12 186,67 12 280,00 10 186,67 14 284,40 33 560,00 18 373,33 7 143,93 106 2014,99 16 409,60 11 532,80 8 355,20 0 0,00 0 0,00 8 505,60 0 0,00 43 1803,20 9 331,20 13 496,80 9 331,20 1 40,40 1 0,00 13 496,80 1 36,00 47 1732,40 8 288,00 13 432,00 11 288,00 3 106,63 0 0,00 11 288,00 0 0,00 46 1402,63 5 1768,53 10 2652,80 16 2289,33 0 0,00 1 0,00 12 3276,67 1 226,98 45 10214,32 17 1738,24 13 1450,56 9 967,04 1 121,00 1 0,00 21 2515,52 1 107,60 63 6899,96
87
88
88
Lampiran 1 (Lanjutan) Famili Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Monacanthidae Monacanthidae Monacanthidae Mullidae Mullidae Mullidae Mullidae Mullidae Mullidae Mullidae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Pomacanthidae Pomacanthidae Pomacanthidae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Serranidae Serranidae
Stasiun Jumlah I II III IV V VI VII Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) 46 Lutjanus lutjanus Pasir 80 2478,44 12 614,47 40 2425,64 0 0,00 0 0,00 24 1849,22 0 0,00 156 7367,78 47 Lutjanus sebae Bambangan bongkok 2 3603,20 14 5404,80 8 3603,20 0 0,00 0 0,00 8 3603,20 0 0,00 32 16214,40 48 Pristipomoides multidens Ekor kuning 8 3481,60 13 5222,40 9 3481,60 1 435,01 4 1740,80 9 3481,60 0 0,00 44 17843,01 49 Acreichthys tomentosus Kupas-kupas 1 85,00 12 127,50 8 85,00 0 0,00 11 1044,00 4 42,50 3 115,33 39 1499,33 50 Aluterus scriptus Kupas-kupas 0 97,60 12 146,40 16 195,20 0 0,00 2 24,40 4 48,80 0 0,00 34 512,40 51 Paramonacanthus filicauda Kupas-kupas 17 216,00 13 162,00 8 108,00 0 0,00 5 54,00 4 54,00 1 12,64 48 606,64 52 Parupeneus barberinus Janggut 8 286,13 27 880,40 8 286,13 0 0,00 16 572,27 12 421,87 0 0,00 71 2446,80 53 Parupeneus chrysopleuron Janggut 9 480,80 15 721,20 18 961,60 2 117,22 1 53,61 6 240,40 7 329,96 58 2852,92 54 Parupeneus heptacanthus Janggu anceman 9 524,27 13 786,40 9 524,27 1 65,35 1 64,50 17 1048,53 1 57,67 51 3285,64 55 Upeneus sp1 Janggut 8 264,80 15 397,20 9 264,80 13 280,00 72 1612,80 5 132,40 0 0,00 122 2952,00 56 Upeneus sp2 Janggut merah 12 285,60 14 428,40 9 285,60 25 856,80 1 35,20 5 142,80 1 30,29 67 2064,69 57 Upeneus sundaicus 8 90,40 14 135,60 8 90,40 12 428,40 0 0,00 12 135,60 8 130,43 62 1010,83 58 Upeneus tragula Janggu 20 513,80 13 393,90 8 262,60 12 135,60 27 853,45 16 530,90 1 28,02 97 2718,27 59 Nemipterus sp. Pasir 4 133,60 27 400,80 8 133,60 0 0,00 18 300,60 4 66,80 21 356,45 82 1391,85 60 Parascolopsis arioma Lencam 9 435,47 14 653,20 34 1741,87 2 108,61 1 52,30 6 217,73 4 184,74 70 3393,92 61 Pentapodus cetosus Pasir 9 1059,20 13 1588,80 9 1059,20 1 132,60 1 132,00 9 1059,20 13 1475,31 55 6506,31 62 Scolopsis bilineatus Serak malam 8 367,20 13 550,80 8 367,20 0 0,00 0 0,00 8 367,20 4 178,64 41 1831,04 63 Scolopsis ciliatus Serak siang 17 902,80 26 1566,60 9 486,80 1 60,85 1 61,60 5 243,40 5 271,15 64 3593,20 64 Scolopsis lineatus 8 251,20 13 376,80 9 251,20 1 31,12 0 0,00 9 251,20 4 113,04 44 1274,56 65 Scolopsis margarifer Serak malam 16 1047,60 13 538,20 9 358,80 13 376,80 0 2263,20 5 179,40 0 0,00 56 4764,00 66 Scolopsis monogramma Serak mlm 65 5081,20 16 1020,60 49 3625,20 25 1959,00 1 86,69 25 2478,20 13 1017,32 194 15268,21 67 Scolopsis sp. Serak 9 335,47 15 503,20 8 335,47 12 1020,60 1 41,83 16 670,93 1 46,98 62 2954,47 68 Scolopsis taenopterus 8 440,60 13 660,90 10 440,60 14 503,20 0 0,00 22 1101,50 12 563,61 79 3710,41 69 Scolopsis vosmeri 8 544,00 13 816,00 8 544,00 0 0,00 0 0,00 8 544,00 0 0,00 37 2448,00 70 Centropyge multifasciatus 13 116,00 15 174,00 9 116,00 13 227,63 19 261,00 9 116,00 1 12,96 79 1023,58 71 Chaetodontopus mesoleucus Marmut 0 293,20 36 1319,40 10 293,20 2 72,65 8 293,20 6 146,60 0 0,00 62 2418,25 72 Pomacanthus sexstriatus Kambingan 17 6915,20 12 5186,40 9 3457,60 1 431,21 25 10372,80 5 1728,80 1 400,88 70 28492,89 73 Abudefduf sexfasciatus Masuk layang 25 997,44 17 378,96 8 252,64 48 1156,56 23 694,76 4 126,32 22 634,78 147 4241,46 74 Abudefduf vaigiensis 9 20,80 17 31,20 11 20,80 15 378,96 17 41,60 15 31,20 18 112,41 102 636,97 75 Ampblygliphidodon curacao Cabe-cabe/wakong cabe 8 176,00 13 264,00 25 528,00 13 732,00 20 440,00 5 88,00 20 530,48 104 2758,48 76 Chromis sp. Cabe rawit 8 152,80 25 458,40 11 152,80 15 150,00 24 458,40 7 76,40 6 96,59 96 1545,39 77 Dischitodus chrysopoecillus Betok tanda 9 375,47 25 1322,80 10 375,47 26 796,00 25 1126,40 10 420,13 7 294,42 112 4710,68 78 Dischitodus darwiensis Betok 26 359,20 37 1620,00 8 311,20 12 563,20 25 933,60 12 680,80 10 372,33 130 4840,33 79 Dischitodus prosopotaenia Betok susu 9 119,09 13 178,63 9 119,09 25 933,60 25 357,26 33 476,34 13 249,05 127 2433,05 80 Dischitodus sp. Betok ginggang 6 591,73 49 3550,40 9 591,73 73,67 0,00 24 1775,20 5 295,87 4 289,57 98 7094,50 81 Hemiglyphidodon plagiometopon Betok padang 8 218,63 37 1785,94 8 218,63 0 0,00 22 601,23 24 388,51 0 0,00 99 3212,94 82 Neoglyphidodon melas Betok padang 27 2145,60 12 1170,00 48 4799,20 24 2452,80 21 1950,00 4 390,00 13 1233,81 149 14141,41 83 Plectorhinchus multivittatum Lape pisang 8 1378,40 37 4089,60 51 9679,20 3 431,12 0 0,00 7 689,20 12 1792,80 118 18060,32 84 Chlorurus sordidus Mogong iler 85 3241,60 61 3978,00 219 14967,20 15 47,40 24 1624,80 139 10150,40 41 2567,93 584 36577,33 85 Scarus ghobban Lape bataan 17 1292,69 25 2343,44 97 10109,49 9 280,00 1 96,19 13 820,35 10 916,42 172 15858,58 86 Scarus globiceps Kakak tua 25 2394,32 85 10421,88 106 11998,32 10 768,69 1 139,69 42 9115,16 13 1676,87 282 36514,92 87 Scarus schlegeli Lape tauco 9 813,00 12 1219,50 9 813,00 1 112,00 1 101,63 21 2032,50 9 828,34 62 5919,97 88 Scarus sp. Mogong ijo 47 5837,43 37 3520,55 9 887,83 1 96,43 1 100,56 57 5673,92 1 104,74 153 16221,45 89 Cephalopolis microprion Nokal 16 767,60 37 3262,20 8 411,60 72 3160,20 48 468,00 16 694,20 23 1023,18 220 9786,98 90 Cephalopolis sonnerati Kerapu hitam 17 2740,80 12 2245,20 9 1496,80 13 617,40 49 5272,80 5 748,40 1 124,97 106 13246,37
No. Nama Ilmiah
Nama Lokal
89
Lampiran 1 (Lanjutan) Famili Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Serranidae Siganidae Siganidae Siganidae Siganidae
No. Nama Ilmiah 91 92 93 94 95 96 97 98 99
Epinephelus amblycephalus Epinephelus fasciatus Epinephelus fuscoguttatus Epinephelus merra Epinephelus quoyanus Siganus canaliculatus Siganus doliatus Siganus punctatus Siganus spinus
Nama Lokal Nokal belang Kerapu karet Kerapu hitam Kerapu lada Kerapu koko Lingkis Kea-kea Lingkis Lingkis Jumlah Juml spesies
Stasiun Jumlah I II III IV V VI VII Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) Jumlah Berat (gram) 5 84,00 24 252,00 8 84,00 0 0,00 9 84,00 4 42,00 1 10,92 51 556,92 4 4226,13 12 6339,20 8 4226,13 10 105,00 12 6339,20 16 8452,27 0 0,00 62 29687,93 25 5381,20 12 2279,40 8 1519,60 36 5604,60 9 1519,60 4 759,80 1 181,53 95 17245,73 1 642,93 12 964,40 9 642,93 37 2814,80 17 2109,60 5 321,47 1 92,54 82 7588,68 0 1334,80 37 5226,60 16 1755,60 4 321,47 8 8330,40 4 667,40 0 0,00 69 17636,27 9 749,50 49 3146,25 17 3287,90 1 93,59 17 1499,00 117 10423,55 1 90,98 211 19290,77 57 2460,51 24 2274,76 41 3254,11 1 64,55 25 1549,53 5 258,25 1 64,03 154 9925,75 8 641,24 15 961,87 8 641,24 0 0,00 8 641,24 40 3206,22 0 0,00 79 6091,82 41 1480,57 13 620,06 32 2239,77 0 0,00 5 206,69 4 206,69 1 50,04 96 4803,81 1452 99548,60 1860 128445,10 1709 130365,80 1049 48788,56 1460 84680,18 1540 109690,50 559 27605,72 9629 629287,24 93 98 99 78 86 99 70
89
90
90
Lampiran 2 Jenis ikan yang ditemukan berdasarkan sampling menggunakan metode UVC per stasiun selama penelitian Famili
No.
Apogonidae Aulostomidae Caesionidae Chaetodontidae Chaetodontidae Chaetodontidae Gobiidae Gobiidae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama spesies Apogon compressus Fistularia commersonii Caesio cuning Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus Heniochus varius Istigobius decoratus Silhouetta hoesei Anampses caeruleopunctatus Bodianus axillaris Bodianus mesothorax Choerodon fasciatus Cheilinus fasciatus Cheilinus trifasciatus Choerodon fasciatus Halichoeres biocellatus Halichoeres chrysus Halichoeres dussumieri Halichoeres hortulanus Halichoeres leucurus Halichoeres melanochir
I 0 0 6 1 0 0 0 0 0 0 1 4,5 0 0 0 0 0,5 0 1 0 0
Kepadatan per stasiun (ind.500m-2) II III IV V VI 37 0 0 14,5 0 1,5 0 0 0 0 13,5 10,5 0 12 6 3 4 2 2 2 1 0 0 1 0,5 0 0 0 1 0 0 0,5 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2,5 3 0 0 0 0,5 0 0 0 0 0,75 1 0 0 2 0 0 1 1,5 0 1,75 0 0 0 0 0,25 0 0 0 0 0,5 0 0 0 2 0 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 2 0 6 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0,5 0 0 0
VII 0 0 0 0 2 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 2 0
Rata2 7,36 0,21 6,86 2,00 0,64 0,14 0,21 0,14 0,79 0,07 0,39 1,29 0,25 0,18 0,07 1,00 0,07 1,14 0,29 0,43 0,07
91
Lampiran 2 (Lanjutan) Famili No. Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Lutjanidae Lutjanidae Mullidae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Pomacanthidae Pomacanthidae Pomacentidae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nama spesies Halichoeres ornatissimus Halichoeres trimaculatus Hemigymnus fasciatus Labroides dimidiatus Thalassoma hardwickei Thalassoma lunare Lutjanus biguttatus Lutjanus madras Parupeneus indicus Parascolopsis arioma Pentapodus caninus Pentapodus trivittatus Scolopsis bilineatus Scolopsis lineatus Scolopsis trilineatus Chaetodontoplus mesoleucus Pygoplites diacanthus Stegastes nigricans Abudefduf bengalensis Abudefduf sexfasciatus Abudefduf vaigiensis
I 1 1 4 4,5 2 10,5 0 0 0,5 0 1,5 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0
II 0 1 3 4 0 8 0 0 0 1 0 0 1,5 0 0 6 1 0 0 0 0
Kepadatan per stasiun (ind. 500m-2) III IV V VI 0,25 0 0 0 0,25 0 0 7,5 0,25 0 0 1 0,5 0 1 0,5 1,25 0 0 0 5,25 3 5 8,5 0,25 0 0 2 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 1 0 0,75 0 0 0 0 2 0 0 0,5 0 0 0 1,25 2 0 0 0,25 0 0 1 1,25 0 0 1 0 0 0 0 2,5 0 0 0 0 4 6 0 0 0 6 0 3 4 8,5 0
VII 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 1 0 0 4 0 4 0 0 0
Rata2 0,18 1,39 1,18 1,50 0,46 5,75 0,32 0,29 0,36 0,29 0,32 0,29 0,71 0,46 0,18 1,75 0,14 0,93 1,43 0,86 2,21
91
92
92
Lampiran 2 (Lanjutan) Famili
No.
Nama spesies
Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae
43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
Pomacentridae
59
Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae
60 61 62 63
Amblyglyphidodon batunai Amblyglyphidodon curacao Chromis elerae Chromis atripectoralis Chromis caudalis Chromis viridis Chromis xanthura Chrysiptera springeri Chrysiptera vox Dascyllus reticulatus Dascyllus trimaculatus Dischistodus melanotus Dischistodus perspicillatus Dischistodus prosopotaenia Neoglyphidodon crossi Neoglyphidodon melas Neoglyphidodon thoracotaeniatus Neopomacentrus violascens Neopomacentrus cyanomos Plectroglyphidodon lacrymatus Plectroglyphidodon nigroris
I 6 50 0 25,5 8 9 1 0 1 2,5 6 8,5 0 3 0 13
Kepadatan per stasiun (ind.500m-2) II III IV V 6 0 0 11 15 12,75 12 21 0 1,75 0 0 25,5 3,25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,75 2 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,5 0,25 0 0 0 0 0 0 0 0,25 0 0 2 4,5 0 7 3 7,25 15 0 9,5 6,25 29 7
VI 1 24 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 4,5 3 9
VII 0 12 0 2 1 0 0 0 0 0 0 8 3 0 0 0
Rata2 3,43 20,96 0,25 8,04 1,29 1,29 0,54 1,71 0,29 0,36 0,96 2,36 0,46 3,00 4,04 10,54
12
0
0
0
1
7,5
0
2,93
0 0 0 0
0 9 0 0
1,5 0 0,5 0,5
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0,21 1,29 0,07 0,07
93
Lampiran 2 (Lanjutan) Famili No. Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scaridae Scorpaenidae Serranidae Serranidae Siganidae
63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Nama spesies Plectroglyphidodon nigroris Pomacentrus alexanderae Pomacentrus coelestis Pomacentrus moluccensis Pomacentrus nagasakiensis Chlorourus sordidus Hipposcarus longiceps Scarus globiceps Scarus niger Scarus oviceps Scarus psittacus Scarus rivulatus Pterois volitans Cephalopholis boenack Cephalopholis microprion Siganus vulpinus Jumlah Jumlah sp
I 0 4 0 9 0 0,5 0 0 6 0 0 0 0 0,5 0 0 206,5 33
Kepadatan per stasiun (ind. 500m-2) II III IV V VI 0 0,5 0 0 0 62,5 67,5 0 99 28 2,5 0 0 0 0 13 35,75 0 8 23,5 0 1,5 0 0 0 0 0 3 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0,5 0 0 0,5 0 1,5 1 0 3,75 0 0 2 0 0 0 0 9 0 0 12 0 6,5 0 0,75 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,5 0 0 0 0 0 2 0 0 235 191,75 111 217 163,5 27 36 18 22 29
VII 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 47 15
Rata2 0,07 37,29 0,36 12,75 0,21 0,64 0,14 0,07 1,29 0,82 1,29 2,64 0,11 0,50 0,07 0,29 167,14
93
94
12
Labridae
2012
95.268,98
19
Choerodon anchorago.Cheilinus fasciatus,Oxycheilinus celebicus,Hemygimnus melapterus,Halichoeres marginatus,Epibulus sp.,Stethojulis strigiventer betina,Thalassoma lunare
13 14 15 16
Lethrinidae Lutjanidae Monacanthidae Mullidae
136 340 121 528
4.938,23 58.539,47 2.618,37 17.331,15
3 5 3 7
Lethrinus sp., Lethrinus variegatus Lutjanus lutjanus, Lutjanus fulviflamma Paramonacanthus filicauda Upeneus sp1., Upeneus tragula
94
Lampiran 3 Komposisi ikan hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental fishing berdasarkan famili No. Total Hasil Tangkapan Famili Species Dominan per famili Jumlah Berat Jumlah (Individu) (gram) spesies 1 Acanthuridae 28 3.149,37 1 2 Apogonidae 274 7.477,66 2 Apogon poecilopterus 3 Atherinidae 125 4.028,80 2 Atherinidae 4 Carangidae 272 5.544,37 1 5 Chaetodontidae 417 6.903,89 5 Paracahetodon sp.; Parachcaetodon ocellatus 6 Dasyatidae 4 2.987,00 1 7 Diodontidae 7 1.536,00 1 8 Gobiidae 172 3.465,59 2 Valenciennea longipinnis 9 Harpodontidae 51 1.652,28 1 10 Hemirhamphidae 92 13.853,75 2 Hyporhamphus affinis 11 Holocentridae 295 10.292,81 3 Sargocentron itodai
95
Lampiran 3 (Lanjutan) No. Famili
Total Hasil Tangkapan Jumlah Berat Jumlah (Individu) (gram) spesies
17
Nemipteridae
784
47.135,97
11
18
Pomacanthidae
211
31.934,72
3
19
Pomacentridae
1282
63.675,54
11
20 21 22
Scaridae Serranidae Siganidae
1253 685 540 9629
111.092,26 95.748,88 40.112,15 629.287,24
5 7 4 99
Species Dominan per famili Scolopsis monogramma, Scolopsis taenopterus, Parascolopsis arioma Centropyge multifasciatus Neoglyphidodon melas, Abudefduf sexfasciatus, Dischitodus darwiensis, Dischitodus prosopotaenia, Plectorhinchus multivittatum Chlorurus sordidus, Scarus globiceps Cephalopolis microprion, Cephalopolis sonnerati Siganus canaliculatus, Siganus doliatus
95
96
96
Lampiran 4 Spesies dominan berdasarkan jumlah individu hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental fishing No. Jumlah Spesies Nama lokal Famili % dari grand total (ekor) 1 Abudefduf sexfasciatus Masuk layang Pomacentridae 1,53 147 2 Acanthurus triostegus Butut tananh Acanthuridae 0,29 28 3 Apogon poecilopterus Beseng Apogonidae 1,93 186 4 Atherina sp. Brosot Atherinidae 0,83 80 5 Caranx sp. Kalang pute Carangidae 2,82 272 6 Cephalopolis microprion Nokal Serranidae 2,28 220 7 Cheilinus fasciatus Nori Labridae 1,67 161 8 Chlorurus sordidus Mogong iler Scaridae 6,07 584 9 Choerodon anchorago Jarang gigi Labridae 1,99 192 10 Dischitodus darwiensis Betok Pomacentridae 1,35 130 11 Dischitodus prosopotaenia Betok susu Pomacentridae 1,32 127 12 Epibulus sp. Nori monyong Labridae 1,30 125 13 Halichoeres marginatus Pelo biru Labridae 1,50 144 14 Hemygimnus melapterus Jalang Kaik Labridae 1,53 147 15 Lutjanus lutjanus Pasir Lutjanidae 1,62 156 16 Neoglyphidodon melas Betok padang Pomacentridae 1,55 149 17 Oxycheilinus celebicus Kenari Labridae 1,72 166 18 Paracahetodon sp. Strip delapan Chaetodontidae 1,38 133 19 Sargocentron itodai Swanggi Holocentridae 1,41 136 20 Scarus ghobban Lape bataan Scaridae 1,79 172
97
Lampiran 4. (Lanjutan) No. Spesies 21 22 23 24 25 26 27 28
Scarus globiceps Scarus sp. Scolopsis monogramma Siganus canaliculatus Siganus doliatus Stethojulis strigiventer Upeneus sp. Valenciennea longipinnis Jumlah
Nama lokal Kakak tua Mogong ijo Serak mlm Lingkis Kea-kea Stethojulis strigiventer betina Janggut Belodok
Famili Scaridae Scaridae Nemipteridae Siganidae Siganidae Labridae Mullidae Gobiidae
% dari grand total 2,93 1,59 2,01 2,19 1,60 1,36 1,27 1,26 50,09
Jumlah (ekor) 282 153 194 211 154 131 122 121 4823
97
98
Lampiran 5 Spesies dominan berdasarkan berat hasil hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental fishing Berat No. Spesies Nama lokal Famili % (gram) 1 Chlorurus sordidus Mogong iler Scaridae 36.577,33 5,81 2 Choerodon anchorago Jarang gigi Labridae 18.408,78 2,93 3 Epinephelus fasciatus Kerapu karet Serranidae 29.687,93 4,72 4 Epinephelus fuscoguttatus Kerapu hitam Serranidae 17.245,73 2,74 5 Epinephelus quoyanus Kerapu koko Serranidae 17.636,27 2,80 Bambangan 6 Lutjanus sebae Lutjanidae 16.214,40 2,58 bongkok 7 Neoglyphidodon melas Betok padang Pomacentridae 14.141,41 2,25 Plectorhinchus 8 Lape pisang Pomacentridae 18.060,32 2,87 multivittatum 9 Pomacanthus sexstriatus Kambingan Pomacanthidae 28.492,89 4,53 10 Pristipomoides multidens Ekor kuning Lutjanidae 17.843,01 2,84 11 Scarus ghobban betina Lape bataan Scaridae 15.858,58 2,52 12 Scarus globiceps Kakak tua Scaridae 36.514,92 5,80 13 Scarus sp. Mogong ijo Scaridae 16.221,45 2,58 14 Scolopsis monogramma Serak mlm Nemipteridae 15.268,21 2,43 15 Siganus canaliculatus Lingkis Siganidae 19.290,77 3,07 Jumlah 317.462,02 50,45
99
Lampiran 6
Hasil uji Mann-Whitney, perbedaan distribusi kelimpahan per stasiun
Stasiun 1 1 2 3 4 5 6 7
2 0,580
* berbeda nyata pada taraf nyata 0,05
Stasiun 3 4 * 0,044 0,018* 0,110 0,047* 0,671
5 0,045* 0,082 0,652 0,926
6 0,063 0,140 0,989 0,692 0,697
7 0,936 0,683 0,108 0,057 0,082 0,156
100
Lampiran 7 Densitas dan trofik level 32 spesies ikan dominan di perairan Pulau Semak Daun Densitas Trofik No. Nama ilmiah Nama lokal Famili (kg.m-3) level 2.10 1. Abudefduf sexfasciatus Masuk layang Pomacentridae 0,086 3.07 2. Apogon poecilopterus Beseng Apogonidae 0,020 3.37 3. Atherina sp. Brosot Atherinidae 0.117 3.82 4. Caranx sp. Kalang pute Carangidae 0,090 3.86 5. Cephalopholis microprion Nokal Serranidae 0,190 3.47 6. Cheilinus fasciatus Nori Labridae 0,215 2.42 7. Chlorourus sordidus Mogong iler Scaridae 2,243 3.21 8. Choerodon anchorago Jarang gigi Labridae 0,495 2.15 9. Dischitodus darwiensis Betok Pomacentridae 0,106 2.45 10. Dischitodus prosopotaenia Betok susu Pomacentridae 0,057 3.47 11. Epibulus sp. Nori monyong Labridae 0,252 4.00 12. Epinephelus fasciatus Kerapu karet Serranidae 0,019 4.00 13. Epinephelus fuscoguttatus Kerapu hitam Serranidae 0,437 4.00 14. Epinephelus quoyanus Kerapu koko Serranidae 0,049 3.29 15. Halichoeres marginatus Pelo biru Labridae 0,042 3.25 16. Hemygimnus melapterus Jalang Kaik Labridae 0,033 4.00 17. Lutjanus lutjanus Pasir Lutjanidae 0,415 4.00 18. Neoglyphidodon melas Betok padang Pomacentridae 0,280 3.03 19. Oxycheilinus celebicus Kenari Labridae 0,049 3.44 20. Paracahetodon sp. Strip delapan Chaetodontidae 0,078 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Plectorhinchus multivittatum Pomacanthus sexstriatus Sargocentron itodai Scarus globiceps Scarus sp. Siganus canaliculatus Scolopsis monogramma Scarus ghobban Siganus doliatus Stethojulis strigiventer Upeneus sp. Valenciennea longipinnis Jumlah
Lape pisang
Pomacentridae
0,471
Kambingan Swanggi Kakak tua Mogong ijo Lingkis Serak mlm Lape bataan Kea-kea Pelo Janggut Belodok
Pomacanthidae Holocentridae Scaridae Scaridae Siganidae Nemipteridae Scaridae Siganidae Labridae Mullidae Gobiidae
0,196 0,140 0,429 1,603 0,522 0,373 0,220 0,265 0,022 0,095 0,300 9,740
2.30 2.20 3.73 2.80 2.19 2.11 3.48 2.11 2.36 2.94 3.16 3.08
101
Lampiran 8 Hasil analisis ragam perbedaan biomasa ikan berdasarkan kelompok trofik level ANOVA
Jumlah Derajat Jumlah Keragaman kuadrat bebas kuadrat F Sig. Diantara kelompok 123.40 3.00 41.13 3.26 0.03 Didalam kelompok 556.01 44.00 12.64 Total 679.41 47.00 Sig (0.03) < 0.05, Terdapat perbedaan jumlah biomasa antar kelompok trofik level Uji Jarak Berganda Duncan Kelompok trofik N level 3 4 2 1 Sig.
32 32 32 32
Subset for alpha = 0.05 1 a 1.7242 1.8117 a 2.7195 a
2
5.6770b 0.42 0.40
102
Lampiran 9 Distribusi frekwensi panjang ikan dominan per bulan di sekitar Pulau Semak Daun, bulan Juli 2009 – Januari 2010
1. Choerodon anchorago Juli n= 33
panjang total (mm)
Agustus n= 29
panjang total (mm)
September n= 17
Oktober n= 14
Nopember n= 24
panjang total (mm)
panjang total (mm)
panjang total (mm)
Desember n= 29
panjang total (mm)
Januari n= 54
panjang total (mm)
103
Lampiran 9 (Lanjutan) 2. Scarus ghobban Juli n= 67
panjang total (mm)
Agustus n= 47
panjang total (mm)
Nopember n= 28
panjang total (mm)
Desember n= 10
panjang total (mm)
Januari n= 20
panjang total (mm)
104
Lampiran 9 (Lanjutan) 3. Scolopsis monogramma Juli n= 22
panjang total (mm)
Agustus n= 44
panjang total (mm)
September n= 8
panjang total (mm)
Oktober n= 44
panjang total (mm)
Nopember n= 29
panjang total (mm)
Desember n= 44
panjang total (mm)
Januari n= 44
panjang total (mm)
105
Lampiran 9 (Lanjutan) 4. Scarus sp. Juli n= 105
panjang total (mm)
Agustus n= 30
panjang total (mm)
Nopember n= 81
panjang total (mm)
Desember n= 20
panjang total (mm)
Januari n= 57
panjang total (mm)
106
Lampiran 9 (Lanjutan) 5. Epibulus sp Juli n= 28
panjang total (mm)
Agustus n= 13
panjang total (mm)
September n=12
panjang total (mm)
Oktober n= 16
panjang total (mm)
Nopember n= 23
panjang total (mm)
Desember n= 16
panjang total (mm)
Januari n= 17
panjang total (mm)
107
Lampiran 9 (Lanjutan) 6. Chlorourus sordidus Juli n= 87
panjang total (mm)
Agustus n= 36
panjang total (mm)
September n= 100
panjang total (mm)
Oktober n= 47
panjang total (mm)
Nopember n= 48
panjang total (mm)
Desember n= 89
panjang total (mm)
Januari n= 177
panjang total (mm)
108
Lampiran 9 (Lanjutan) 7. Epinephelus fucoguttatus Juli n= 31
panjang total (mm)
Agustus n= 21
panjang total (mm)
September n= 26
panjang total (mm)
Oktober n= 45
panjang total (mm)
Nopember n= 27
panjang total (mm)
Desember n= 35
panjang total (mm)
Januari n= 33
panjang total (mm)
109
Lampiran 10 Hasil analisis korelasi kelompok makanan Zooplankton Koefisien Korelasi Pearson Sig. N Koefisien Korelasi Hewan karang Pearson Sig. N Koefisien Korelasi Invertebrata Pearson Sig. N Koefisien Korelasi Alga Pearson Sig. N *. Korelasi signifikan pada level 0,05 **. Korelasi signifikan pada level 0,1 Zooplankton
Hewan Invertebrata karang
Alga **
1
-0.244
-.415*
31
0.185 31
0.02 31
-0.244
1
.585 0.001 31
.404* -.373*
0.185 31
0.024 31
0.039 31
31
-.415*
.404*
1 -.442*
0.02 31
0.024 31
31
0.013 31
-.585**
-.373*
-.442*
1
0.001 31
0.039 31
0.013 31
31
110
Lampiran 11 Hasil analisis korelasi antar kelompok trofik level Kelompok trofik level
4
3
2
Koefisien korelasi 1 -0.241 .645* Pearson Sig. (2-tailed) 0.45 0.024 N 32 32 32 Koefisien korelasi 3 1 -0.168 Pearson Sig. (2-tailed) 0.601 N 32 32 32 Koefisien korelasi 2 1 Pearson Sig. (2-tailed) N 32 32 32 Koefisien korelasi 1 Pearson Sig. (2-tailed) N 32 32 32 *. Korelasi nyata pada taraf nyata 0.05 Keterangan: Kelompok trofik level 1 = trofik level 2,00 – 2,50 Kelompok trofik level 2 = trofik level 2,51 – 3,00 Kelompok trofik level 3 = trofik level 3,01 – 3,50 Kelompok trofik level 4 = trofik level 3,51 – 4,00 4
1 .584* 0.046 32 0.168 0.602 32 .693* 0.012 32 1 32
111
Lampiran 12 Nilai parameter fisik kimiawi perairan di sekitar Pulau Semak Daun Stasiun
ST 1
ST 2
ST 3
Kriteria
Krg. Sgt baik
Krg. Baik
Krg. Sedang
29.50 30.50 29.85 112.75 5.08 5.5 12.8 7.30
29.00 - 29.50 32.50 30.10 29.88 29.76 1.4 15 1 - 15.2 7.88 5.12 1.4 3.5 25.2 25.15 10.48 8.99 30 30 - 34 35.5 32.50 32.75 7.45 7.43 8 8.5 7.79 7.66
29.00 30.50 29.75 19.00 5.18 3.0 11.0 6.60
Parameter
ST 4 Krg. Sgt buruk
Suhu (0C)
Kisaran rata2
Kecerahan (m)
Kisaran rata2
Kedalaman (m)
Kisaran rata2
Salinitas (ppm)
Kisaran rata2
pH
Kisaran rata2
30 - 34 27.03 7.45 8.9 7.82
Kisaran rata2
<0.014 - 0.065 0.046
<0.014 - 0.017 0.018
<0.014 - 0.072 0.051
<0.014 - 0.02 0.017
NO2-N mg.l-1
Kisaran rata2
<0.002 - 0.011 0.007
<0.002 - 0.007 0.005
<0.002 - 0.004 0.004
<0.002 - 0.008 0.005
NO3-N mg.l-1
Kisaran rata2
<0.001 - 0.106 0.045
0.01 0.081 0.033
<0.001 - 0.062 0.043
0.008 0.11 0.034
PO4-P mg.l-1
31 - 34 32.50 7.45 8.2 7.72
ST 5
ST 6
ST 7
Pasir Lamun lamun Goba 28.00 29.00 29.80 32.50 32.50 32.50 30.53 29.95 30.13 0.5 5.5 1 - 9.5 1 - 6.2 1.78 6.03 3.92 0.5 5.5 3.6 5.5 11.5 15.75 2.62 9.40 7.80 31 30 - 33 35 31 - 33 31.67 32.67 31.92 7.44 - 7.45 7.44 8.06 8.06 8.06 7.72 7.67 7.72 <0.014 <0.014 <0.014 - 0.029 0.065 0.038 0.024 0.037 0.028 <0.002 <0.002 <0.002 - 0.007 0.011 0.009 0.005 0.007 0.005 0.016 0.001 0.014 0.093 0.122 0.122 0.032 0.051 0.045
112
112
Lampiran 13 Kelimpahan fitoplankton (sel l-1) di perairan sekitar Pulau Semak Daun Stasiun Waktu pengamatan Kelas 1 2 3 4 Pengamatan I Bacillariophiceae 2,796.998 2,278.954 594.984 180.013 Cyanophyceae 10.366 27.039 1.892 3.232 Crisophyceae 0.079 0.039 0.079 0.039 Dinophyceae 2.483 1.340 1.301 1.143 Jumlah 2,809.926 2,307.373 598.256 184.427 Pengamatan II Bacillariophiceae 13.717 10.248 9.184 9.499 Cyanophyceae 0.276 0.552 0.118 7.016 Crisophyceae 0.000 0.000 0.000 0.000 Dinophyceae 0.512 0.315 0.355 0.276 Jumlah 14.505 11.115 9.657 16.791 Pengamatan III Bacillariophiceae 58.060 48.324 41.347 18.999 Cyanophyceae 2.326 0.828 1.931 0.158 Crisophyceae 0.039 0.000 0.000 0.039 Dinophyceae 0.552 0.591 0.512 0.355 Jumlah 60.977 49.743 43.791 19.550
5 48.285 4.336 0.000 0.512 53.133 6.109 0.236 0.000 0.158 6.504 12.022 0.236 0.039 0.473 12.771
6 460.142 0.512 0.039 0.867 461.561 5.163 0.355 0.039 0.079 5.636 16.515 0.000 0.000 0.276 16.791
7 38.312 1.458 0.000 0.552 40.323 1.774 0.000 0.000 0.079 1.853 4.060 0.118 0.039 0.236 4.454
113
Lampiran 14 Kelimpahan zooplankton (individu l-1) di perairan sekitar Pulau Semak Daun Stasiun Waktu pengamatan Kelas 1 2 3 4 Pengamatan I Crustacea 20.812 31.454 21.403 17.501 Sagittoidea 0.709 1.537 0.828 0.709 Hydrozoa 0.000 0.000 0.000 0.000 Larva echinodermata 0.000 0.000 0.709 0.000 Larva gastropoda 1.419 1.064 0.000 0.000 Larva polychaeta 0.000 2.601 1.892 0.118 Urochordata 1.774 1.892 2.483 0.473 Ciliata 0.473 0.591 1.182 2.010 Rhizopoda 0.000 0.000 0.000 0.118 Jumlah 25.187 39.140 28.498 20.930 Pengamatan II Crustacea 15.609 28.498 8.987 10.997 Sagittoidea 0.946 0.473 0.828 0.000 Hydrozoa 0.000 0.000 0.000 0.000 Larva echinodermata 0.000 0.000 0.000 0.000 Larva gastropoda 0.000 0.000 0.236 0.000 Larva polychaeta 0.000 0.000 0.473 0.000 Urochordata 0.946 2.365 1.301 2.601 Ciliata 0.000 0.828 0.473 0.946 Rhizopoda 0.000 0.000 0.236 0.000 Jumlah 17.501 32.163 12.534 14.544
5 11.707 0.355 0.000 0.000 0.000 0.000 0.591 0.946 0.000 13.599 6.385 0.000 0.355 0.000 0.000 0.709 1.774 0.473 0.000 9.696
6 41.742 0.709 0.000 0.000 0.355 0.709 1.537 0.709 0.828 46.590 7.095 0.000 0.000 0.000 0.236 0.473 1.419 2.601 0.000 11.825
7 26.251 0.000 0.000 0.000 0.709 1.419 0.118 1.064 0.591 30.153 8.159 0.000 0.000 0.000 0.591 1.182 1.064 2.720 0.000 13.717
113
114
114
Lampiran 14 (Lanjutan) Waktu pengamatan Kelas Pengamatan III
Crustacea Sagittoidea Hydrozoa Larva echinodermata Larva gastropoda Larva polychaeta Urochordata Ciliata Rhizopoda Jumlah
1 12.298 0.000 0.000 0.000 0.355 0.709 0.828 0.000 0.000 14.190
2 16.791 0.000 0.000 0.000 0.355 0.709 1.655 1.064 0.000 20.575
3 12.298 0.473 0.000 0.000 0.000 0.000 0.473 0.355 0.000 13.599
Stasiun 4 7.095 0.000 0.000 0.000 0.473 1.182 1.064 0.355 0.118 10.288
5 2.720 0.000 0.000 0.000 0.473 0.946 0.000 0.000 0.000 4.139
6 4.730 0.000 0.000 0.236 0.236 1.064 0.473 0.000 0.000 6.740
7 5.085 0.000 0.000 0.000 0.118 0.236 0.236 0.000 0.000 5.676
115
Lampiran 15 Kepadatan rata-rata bentos selama penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelas Polychaeta Crustacea Ostracoda Pelecypoda/Bivalvia Gastropoda Asteroidea Echinoidea Ophiuroidea
Jumlah genus 18 23 1 6 5 1 1 2
Kepadatan rata-rata (Ind. stasiun-1) 52.67 45.00 3.33 2.33 1.67 0.33 1.00 2.00