KAJIAN KINERJA SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) UNTUK APLIKASI ENHANCED WATER FLOODING
SKRIPSI
RIZKY OKTAVIAN F34070114
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
EXPERIMENTAL STUDY OF APG (ALKYL POLYGLICOSIDE) SURFACTANT FOR ENHANCED WATERFLOODING Erliza Hambali and Rizky Oktavian Departement of Agricultural Industrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, and Surfactant and Bioenergy Research Center, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia email :
[email protected] Pudji Permadi Department of Petroleum Engineering, Faculty of Mining and Petroleum Engineering, Institut Teknologi Bandung, Bandung, and Surfactant and Bioenergy Research Center, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus
ABSTRACT Since 1997, Indonesian oil production from year to year has been decreasing continuously. Meanwhile, the demand of national oil is increasing annually more than domestic production. Consequently, Indonesian government has already spent much money to solve is problem. Oil field condition is the main factor of decreasing oil production in Indonesia . Almost of the all oil fields in Indonesia are brown fields that only have been produced in the primary stage. Therefore, we have to do EOR methods to increase oil field production in Indonesia. One of EOR methods is chemical flooding using surfactant. Commonly, we used petroleum surfactant for chemical flooding. However, the petroleum surfactant has some disadvantages than plant-based surfactants. Petroleum surfactant does not resist to high salinity and high hardness. This study, we use alkyl polyglycoside surfactant that is extracted from fatty alcohol and starches to substitute the petroleum based surfactant. In investigating APG surfactant performance and knowing the best formula APG surfactant for enhanced water flooding, synthetic core, and crude oil are used for flooding tests. The result shows that the APG surfactant formula have very good performance on the compatibility, the thermal stability and phase behaviour tests. However it is still not good result on filtration. The best surfactant formula a found to be 0.2 PV of surfactant solution injected. Key words : Surfactant, APG, EOR, Waterflooding
v
RIZKY OKTAVIAN. F34070114. Kajian Kinerja Surfaktan APG (Alkil Poliglikosida) untuk Aplikasi Enhanced Waterflooding. Di bawah bimbingan Erliza Hambali dan Pudji Permadi. 2011
RINGKASAN Produksi minyak Indonesia sejak tahun 1997 terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2010 tercatat laju produksi sebesar 825.341 barel/hari. Sementara kebutuhan minyak nasional setiap tahun lebih kurang sebesar 1.300.000 barel/hari. Tren harga minyak yang terus mengalami kenaikan bahkan pada tahun 2011 tercatat menembus harga 100 dollar/barel menyebabkan negara harus mengeluarkan devisa jutaan dollar setiap hari untuk biaya impor minyak guna memenuhi kebutuhan ini. Faktor utama penyebab penurunan produksi minyak bumi di Indonesia adalah 80 persen dari sumur-sumur minyak di Indonesia merupakan ladang minyak tua (brown field) yang baru diproduksi pada tahap primary recovery. Untuk meningkatkan produksi minyak bumi nasional tersebut, maka perlu dilakukan metode EOR pada sumur-sumur minyak Indonesia. Salah satu metode EOR yang dilakukan adalah chemical flooding dimana salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan surfaktan. Surfaktan dilarutkan dalam air dimana metode ini dikenal dengan enhanced waterflooding. Surfaktan yang digunakan umumnya disintesis dari petroleum sulfonat yang berasal dari minyak bumi. Kelemahan surfaktan ini yaitu tidak tahan terhadap kadar salinitas yang tinggi, densitas turun drastis pada air dengan kesadahan yang tinggi, harus diimpor, dan harganya meningkat seiring dengan peningkatan harga minyak bumi. Hal ini mendorong perlunya mencari alternatif bahan baku untuk pembuatan surfaktan yang lebih murah dan prospektif, terutama ditinjau dari aspek penyediaan bahan baku yang dapat diperbarui. Ini dapat dicapai dengan mengembangkan surfaktan yang berbasis minyak nabati, salah satunya adalah alkyl polyglicosida (APG). Di Indonesia, pengembangan serta produksi surfaktan APG sangat prospektif untuk dilakukan. Hal ini karena bahan baku pembuatan berupa fatty alcohol yang dapat disintesis dari minyak sawit dan minyak kelapa dan pati dengan ketersediaan bahan berpati yang cukup melimpah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja serta mendapatkan formula terbaik surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) untuk enhanced waterflooding pada contoh fluida dari lapangan minyak dan core sandstone sintetik. Enhanced waterflooding dilakukan melalui coreflooding test dengan dua kali ulangan. Coreflooding test dirancang dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 1 faktor yaitu volume larutan surfaktan dengan 3 taraf yaitu 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV dengan lama perendaman 12 jam. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Paulina Mwangi (2008), lama perendaman selama 12 jam mampu memberikan tambahan recovery sebesar 8 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula surfaktan terpilih yaitu APG SK-50 0.3% dengan salinitas 7000 ppm NaCl dan alkali 1000 ppm NaOH dimana menghasilkan nilai IFT sebesar 2.94 x 10-3 dyne/cm. Fluida yang digunakan adalah minyak dan Air Formasi dari Lapangan S. Formula tersebut diuji kinerja melalui uji compatibility, uji thermal stability, uji phase behavior dan uji filtrasi. Formula memiliki kinerja sangat baik pada uji compatibility, uji thermal stability, dan uji phase behavior. Pada uji thermal stability , nilai IFT yang dihasilkan sebesar 1.79 x 10-3 dyne/cm hingga hari ke-30. Sedangkan pada phase behavior, formula membentuk fase bawah pada minggu pertama dan membentuk fase mikroemulsi pada minggu terakhir pengamatan. Pada uji filtrasi formula menunjukkan kinerja kurang baik dimana pada uji filtrasi Fr yang dihasilkan melebihi dari yang ditetapkan yaitu 1,2. Berdasarkan hasil RAL dengan 1 faktor dengan dua kali ulangan diketahui bahwa perlakuan porevolume memberikan pengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang dihasilkan. Dari hasil ini, kondisi terbaik yang dipilih yaitu formula surfaktan 0.2 PV dengan lama perendaman 12 jam.
vi
KAJIAN KINERJA SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) UNTUK APLIKASI ENHANCED WATER FLOODING
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: RIZKY OKTAVIAN F34070114
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi Nama NIM
: Kajian Kinerja Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) Untuk Aplikasi Enhanced Water Flooding. : Rizky Oktavian : F34070114
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Prof. Dr. Erliza Hambali) NIP 19620821 198703 2 003
(Prof. Dr. Pudji Permadi) NIP 130889801
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Hj. Nastiti Siswi Indrasti) NIP 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus : 28 Oktober 2011
x
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Kinerja Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) Untuk Aplikasi Enhanced Water Flooding adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, 28 Oktober 2011 Yang membuat pernyataan
Rizky Oktavian F34070114
xi
© Hak cipta milik Rizky Oktavian, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
xii
BIODATA PENULIS Rizky Oktavian. Lahir di Depok, 2 Oktober 1988 dari ayah (Alm) H. Subondo dan ibu Hj. Amsanih, sebagai putra ke enam dari tujuh bersaudara. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri V Depok, kemudian melanjutkan pendidikan menengah di SLTP Negeri 2 Depok dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Depok dan lulus tahun 2007. Melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), penulis diterima masuk di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan pengembangan potensi diri seperti pelatihan, seminar dan organisasi baik yang ada di dalam dan luar kampus. Organisasi yang pernah diikuti adalah Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM-TPB) sebagai ketua komisi Sosial Politik pada tahun 2007/2008, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FATETA sebagai staf departemen Politik dan Kajian Strategis (Polkastrad) pada tahun 2008/2009, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FATETA sebagai staf komisi Pemberdayaan Sumber Daya Manusia pada tahun 2009/2010, Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM) KM IPB sebagai Koordinator Badan Pekerja Pemilihan Raya (PEMIRA) pada tahun 2009/2010, dan Paguyuban Karya Salemba Empat sebagai staf WO periode 2010/2011. Pada bulan Juli sampai Agustus tahun 2010, penulis melaksanakan praktek lapang di Pabrik Gula Jatitujuh, Majalengka dengan judul laporan praktek lapang “Mempelajari Aspek Proses Produksi Gula dan Pemanfaatan Biomassa Di PT.PG. Rajawali II unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat”. Tahun 2011 penulis melaksanakan penelitian di laboratorium Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) dan Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian dengan judul “ Kajian Kinerja Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) Untuk Aplikasi Enhanced Water Flooding pada Batuan Pasir”.
xiii
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya hingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir yang berjudul: “Kajian Kinerja Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) untuk Aplikasi Enhanced Water Flooding”. Dalam penyusunan skripsi dan pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1.
Prof. Dr. Erliza Hambali dari Departemen Teknologi Industri Pertanian selaku dosen pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama kuliah hingga penyusunan skripsi.
2.
Prof. Dr. Pudji Permadi dari Program Studi Teknik Perminyakan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan selaku dosen pembimbing II yang berkenan untuk mengarahkan penulis selama penelitian dan dalam penyusunan skripsi.
3.
Dr.Ir. Liesbetini Hartoto, M.S. selaku Penguji Skripsi yang telah memberikan masukan dan arahan dalam perbaikan skripsi.
4.
Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian beserta seluruh dosen dan karyawan atas bantuan dan dukungannya selama mengikuti pendidikan.
5.
Donatur – donatur, serta Pengurus beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) yang telah memberikan beasiswa kepada penulis baik untuk biaya pendidikan maupun biaya penulisan skripsi.
6.
Ibunda Hj. Amsanih beserta keluarga yang telah mendukung baik secara materil maupun moril sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
7.
Putri Yasmin atas SEMANGAT dan dukungannya selama penelitian ini sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
8.
Eko, Tiara, Epi, Dayu, dan rekan-rekan satu tempat penelitian yang telah membantu selama penelitian berlangsung.
9.
Mas Arie, Mas Fery, Mas Encep, Mas Saiful, Wisnu, Egi, serta seluruh staf SBRC yang telah membantu selama penelitian ini.
10. Seluruh keluarga besar TIN 44 yang telah menemani perjalanan selama mengikuti pendidikan di Departemen TIN. 11. Seluruh pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah senantiasa mendukung penulis hingga saat ini.
Demikian, semoga penyusunan skripsi ini bisa bermanfaat bagi kami khususunya dan rekanrekan pembaca pada umumnya. Amin....
Bogor, 28 Oktober 2011
Penulis
i
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ ii DAFTAR TABEL ............................................................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................................... vii I.
PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
II.
1.1. LATAR BELAKANG ........................................................................................................ 1 1.2. TUJUAN ............................................................................................................................ 3 1.3. RUANG LINGKUP ........................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................................. 4
2.1. SURFAKTAN .................................................................................................................... 4 2.2. SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) ............................................................ 8 2.3. TAHAP RECOVERY MINYAK BUMI .......................................................................... 10 2. 4. SURFACTANT FLOODING ............................................................................................ 11 2. 5. AIR FORMASI ................................................................................................................ 12 2. 6. POROSITAS .................................................................................................................... 13 2. 7. PERMEABILITAS .......................................................................................................... 14 2. 8. KELAKUAN FASA/ PHASE BEHAVIOR SURFAKTAN ............................................. 14 III. METODOLOGI ........................................................................................................................ 17 3.1. ALAT DAN BAHAN ....................................................................................................... 17 3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN......................................................................... 17 3.3. METODE PENELITIAN ................................................................................................. 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................. 22 4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
V.
PERSIAPAN CORE SINTETIK ...................................................................................... 22 UJI KOMPATIBILITAS .................................................................................................. 24 PEMILIHAN SURFAKTAN ........................................................................................... 25 FORMULASI SURFAKTAN .......................................................................................... 28 4.4.1.OPTIMALISASI SALINITAS ................................................................................ 28 4.4.2.OPTIMALISASI ALKALI ...................................................................................... 30 4.5. UJI KINERJA FORMULA SURFAKTAN ..................................................................... 31 4.5.1.UJI THERMAL STABILITY ..................................................................................... 31 4.5.2.UJI PHASE BEHAVIOR .......................................................................................... 35 4.5.3.UJI FILTRASI ......................................................................................................... 38 4.6. ENHANCED WATER FLOODING .................................................................................. 42 4.6.1.KARAKTERISTIK MINYAK YANG DIGUNAKAN .......................................... 42 4.6.2.COREFLOODING TEST ......................................................................................... 45 SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 49 LAMPIRAN ....................................................................................................................................... 52
ii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perkembangan luas lahan dan produksi Minyak Sawit Indonesia ......................................... 2 Tabel 2. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin .......................................................... 7 Tabel 3. Porositas dan permeabilitas core sintetik ............................................................................. 23 Tabel 4. Uji kompatibilitas surfaktan APG komersil dengan air formasi lapangan S ........................ 25 Tabel 5. Hasil analisis air formasi lapangan S ................................................................................... 25 Tabel 6. Karakteristik surfaktan alkil poliglikosida (APG) yang digunakan ..................................... 26 Tabel 7. Hasil pengujian thermal stability formula surfaktan pada suhu reservoir ............................ 32 Tabel 8. Karakteristik minyak bumi lapangan S ................................................................................ 42 Tabel 9. Klasifikasi minyak bumi berdasarkan derajat API dan kerapatan relatif ............................. 43 Tabel10. Recovery minyak bumi yang dihasilkan pada simulasi core flooding ................................ 46
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Molekul surfaktan .............................................................................................................. 4 Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG) ......................................................... 8 Gambar 3. Proses sintesis surfaktan alkil poliglikosida untuk aplikasi EOR ....................................... 9 Gambar 4. Sintesis Fischer secara langsung ........................................................................................ 9 Gambar 5. Sintesis Fischer langsung dan dua tahap .......................................................................... 10 Gambar 6. Skema mekanisme recovery minyak ................................................................................ 11 Gambar 7. Emulsi yang terbentuk pada uji kelakuan fasa/phase behavior ........................................ 15 Gambar 8. Gambar phase behavior yang dihasilkan pada saat pencampuran minyak, air garam dan surfaktan .................................................................................................... 16 Gambar 9. Diagram alir penelitian ..................................................................................................... 21 Gambar 10. Core sintetis ................................................................................................................... 23 Gambar 11. Uji kompatibilitas surfaktan APG komersil dengan air formasi lapangan S .................. 24 Gambar 12. Penampakan visual masing-masing surfaktan alkil poliglikosida .................................. 26 Gambar 13. Perbandingan jenis surfaktan terhadap penurunan nilai IFT .......................................... 27 Gambar 14. Perbandingan penurunan nilai IFT antara APG SK-05 dan APG SK-50 ....................... 27 Gambar 15. Tahapan formulasi surfaktan untuk aplikasi EOR .......................................................... 28 Gambar 16. Perbandingan konsentrasi NaCl dalam larutan surfaktan terhadap nilai IFT ................. 29 Gambar 17. Perbandingan kinerja masing-masing alkali terhadap penurunan nilai IFT ................... 30 Gambar 18. Grafik hubungan lama pemanasan terhadap nilai IFT .................................................... 32 Gambar 19. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan nilai pH formula surfaktan .............. 33 Gambar 20. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan densitas formula surfaktan ............... 34 Gambar 21. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan viskositas formula surfaktan ............ 35 Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari ke-0 sampai hari ke-30 .............................................. 36 Gambar 23. Hasil pengamatan emulsi phase behavior dengan menggunakan mikroskop................. 36 Gambar 24. Ilustrasi kelakuan fasa dalam perhitungan ...................................................................... 37 Gambar 25. Grafik hubungan antara kelarutan minyak dan lama pemanasan ................................... 37 Gambar 26. Grafik perbandingan uji filtrasi pada kain saring 500 mesh ........................................... 39 Gambar 27. Grafik perbandingan uji filtrasi pada kertas saring 21 µm ............................................. 39 Gambar 28. Grafik perbandingan uji filtrasi pada kertas saring 0.45 µm. ......................................... 40 Gambar 29. Hasil pengamatan mikroskop molekul pada formula surfaktan ..................................... 40 Gambar 30. Pembentukan busa pada saat penyaringan...................................................................... 41 Gambar 31. Hubungan filtrasi dengan nilai IFT pada formula surfaktan APG SK-50 ...................... 41 Gambar 32. Hubungan filtrasi dengan nilai densitas pada formula surfaktan APG SK-50 ............... 42 Gambar 33. Uji Aspaltine minyak lapangan S ................................................................................... 43 Gambar 34. Recovery minyak setelah injeksi dan soaking surfaktan ................................................ 46 Gambar 35. Grafik regresi injeksi formula surfaktan ......................................................................... 47
iv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Peralatan dan Instrumen yang digunakan pada penelitian ............................................. 53 Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk enhanced water flooding ............ 55 Lampiran 3. Prosedur Analisis Air Formasi Lapangan S ................................................................... 57 Lampiran 4. Prosedur Analisis Minyak Lapangan S .......................................................................... 58 Lampiran 5. Ukuran Masing-masing core sintetik ............................................................................. 59 Lampiran 6. Nilai IFT masing-masing surfaktan APG komersil terhadap minyak lapangan S ......... 60 Lampiran 7. Nilai IFT surfaktan APG SK-50 0.3% dengan konsentrasi salinitas yang berbeda ....... 61 Lampiran 8. Nilai IFT Surfaktan APG SK-50% 0.3% 7000 ppm dengan konsentrasi alkali yang berbeda ................................................................................................................. 62 Lampiran 9. Hasil penyaringan 500 mesh Air Formasi Lapangan S dan Formula Surfaktan APG SK-50 7000 ppm NaCl 0.1% NaOH .................................................................... 63 Lampiran 10. Hasil penyaringan 21 µm Air Formasi Lapangan S dan Formula Surfaktan APG SK-50 7000 ppm NaCl 0.1% NaOH .................................................................... 64 Lampiran 11. Hasil penyaringan 0.45 µm Air Formasi Lapangan S dan Formula Surfaktan APG SK-50 7000 ppm NaCl 0.1% NaOH .................................................................... 65 Lampiran 12. Nilai densitas dan IFT Formula Surfaktan pada Uji Filtrasi ........................................ 66 Lampiran 13. Hasil core flooding test ................................................................................................ 67 Lampiran 14. Hasil analisisi statistik ................................................................................................. 68
v
I.
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Produksi minyak Indonesia sejak tahun 1997 terus mengalami penurunan. Berdasarkan data yang dicatat oleh BP Migas, pencapaian produksi tertinggi (peak production) pertama tahun 1977 sebesar 1,7 juta barel per hari (million barrel oil per day/ MBOPD) adalah puncak produksi minyak dari Lapangan-lapangan dengan tenaga alamiah (primary). Peak production kedua tahun 1995 sebesar 1,6 MBOPD terjadi dari hasil kegiatan injeksi air (water flooding) di sebagian besar Lapangan-lapangan Chevron dan berhasilnya injeksi steam (steam flood). Setelah puncak produksi kedua, produksi minyak Nasional terus mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan produksi sekitar 6 % dan sempat stabil ditahun 2007. Tahun 2007 produksi minyak Indonesia total rata-rata 954.000 BOPD (barel per hari/bph) pada Agustus 2007 dan September 2007 angka produksi merambah naik sedikit demi sedikit serta puncaknya pada januari 2008, produksi minyak menembus satu juta BOPD lalu sempat turun tetapi naik kembali (BP MIGAS,2009). Jika permintaan minyak bumi Indonesia terus meningkat sedangkan produksi minyak bumi dunia terus menurun maka dunia akan mengalami krisis energi. Krisis energi memacu kenaikan harga minyak bumi. Minyak bumi terus mengalami kenaikan harga dari USD 85 per barel menjadi USD 100 per barel pada pertenghan Juni 2011. Rendahnya kemampuan produksi minyak bumi Indonesia disebabkan karena sumur-sumur minyak Indonesia pada umumnya sudah merupakan lapangan tua (mature fields). Dari 214 lapangan yang diolah oleh Pertamina EP, 80 persennya merupakan lapangan tua (mature field atau brown field) dengan tingkat penurunan produksi alamiah rata-rata 5 -15 persen per tahun. Lapangan tua tersebut pada umumnya telah melewati masa puncak produksi, dimana proses produksi minyak yang dilakukan masih pada tahap primary recovery. Berdasarkan data Dirjen Migas (2010), hingga tahun 2010 total Original Oil in Place (OOIP) Indonesia mencapai 64.211 BSTB, dimana 31,80% berhasil diproduksikan secara kumulatif, dan diperkirakan remaining reserves hanya sebesar 5,72%, sedangkan sisanya sebesar 62,48%. Lake (1989) menyatakan bahwa residu minyak bumi pada sumur yang telah diproduksi masih besar, berkisar 40 -70 persen dari jumlah minyak bumi semula. Minyak bumi yang tertinggal tersebut merupakan minyak bumi yang terperangkap pada pori-pori batuan dan tidak dapat diproduksi dengan teknologi konvensional (tahap primer dan sekunder). Salah satu metode perolehan kembali minyak bumi setelah dengan teknologi konvensional diterapkan adalah peningkatan perolehan minyak bumi tahap lanjut (Enhanced Oil Recovery) melalui mekanisme penurunan tegangan antarmuka (Interfacial Tension disingkat IFT). Fenomena tegangan antarmuka (IFT) memainkan peranan penting di dalam metode perolehan minyak bumi (Lakatos-Szabó dan Lakatos, 2001). Bahan yang umum digunakan untuk memodifikasi tegangan antarmuka dan tegangan permukaan suatu zat adalah surfaktan. Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan antarmuka (IFT) minyak-air ke tingkat yang lebih rendah. Penginjeksian surfaktan ke dalam reservoir dapat menurunkan tegangan antar muka antara minyak dan air sehingga tekanan kapiler minyak dan batuan berkurang. Menurut Emegwalu (2009) tekanan kapiler yang tinggi menyebabkan recovery factor yang rendah. Penurunan tegangan antarmuka antara air formasi dan minyak dapat meningkatkan capillary number. Peningkatan nilai capilary number mengindikasikan peningkatan recovery minyak sisa/residual oil. Apabila capillary number tinggi, maka sebagian besar minyak yang tersisa akan terangkat dari
1
reservoir. Proses perolehan kembali minyak bumi dengan menggunakan surfaktan termasuk ke dalam fase tersier atau tahap lanjut dalam produksi minyak bumi. Teknik perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan dikenal dengan nama surfactant flooding. Petroleum sulfonat merupakan jenis surfaktan yang selama ini banyak digunakan sebagai oil well stimulation agent dalam proses EOR. Penggunaan surfaktan petroleum sulfonat sebagai oil well stimulation agent memiliki beberapa kelemahan, yaitu cenderung menggumpal pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi dan sifat deterjensinya menurun dengan sangat tajam pada tingkat salinitas tinggi. Padahal sebagian besar air formasi reservoir minyak bumi mempunyai tingkat salinitas dan kesadahan yang tinggi (Watkins, 2001). Selain itu, harga minyak bumi yang terus meningkat turut mempengaruhi harga surfaktan berbahan baku minyak bumi ini. Hal ini mendorong perlunya mencari alternative surfaktan yang lebih murah serta mampu mengatasi kelemahan yang terdapat dalam surfaktan tersebut. Salah satu surfaktan yang memiliki prospek cerah untuk diaplikasikan pada proses EOR yaitu surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) yang disintesis dari pati dan fatty alcohol. Sifatnya yang terbarukan serta ramah terhadap lingkungan (biodegradable), bersifat nonionik tidak membawa muatan sehingga sangat kompatibel dengan bahan kimia lainnya yang digunakan dalam operasi produksi sumur minyak, serta karakteristik deterjensi yang baik menjadi keunggulan surfaktan Alkil Poliglikosida (APG). Dari segi produksi, bahan baku pembuatan surfaktan APG, yang berasal dari pati dan fatty alcohol (berasal dari minyak nabati), sangat melimpah di Indonesia. Indonesia merupakan negara berbasis pertanian yang memiliki potensi yang cukup besar sebagai penghasil pati-patian antara lain berasal dari sagu, tapioka, dan sumber pati-patian yang berasal dari serealia. Selain itu, salah satu minyak nabati yang bisa digunakan sebagai bahan baku fatty alcohol yaitu minyak sawit, tersedia cukup banyak di Indonesia. Indonesia merupakan penghasil minyak sawit terbesar didunia dengan perkembangan luas lahan dan produksi yang cukup tinggi. Perkembangan luas lahan serta produksi minyak sawit di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan luas lahan dan produksi Minyak Sawit Indonesia Tahun
Produksi Minyak Sawit (ton)
Luas Lahan (Ha)
2006
10,961,756
3,748,500
2007
11,437,986
4,101,700
2008
12,477,752
4,451,800
2009
13,872,602
4,888,000
2010
14,290,054
5,032,800
Sumber : BPS (2010)
Ketersediaan bahan baku yang cukup potensial ini perlu dikembangkan untuk meningkatkan nilai tambah. Konversi pati serta minyak kelapa sawit menjadi surfaktan yang merupakan pengembanganan produk ke arah hilir akan meningkatkan nilai tambah produk bahan baku tersebut. Keluaran dari pembangunan agroindustri adalah perolehan nilai tambah yang signifikan atas input teknologi yang diberikan. Semakin canggih teknologi yang digunakan untuk melakukan diversifikasi produk dari bahan baku, maka semakin tinggi pula nilai tambah produk diversifikasi tersebut serta memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga komoditas awalnya (Gumbira
2
Sa’id, 2001). Hambali et al. (2004) menyatakan bahwa surfaktan memiliki nilai tambah hampir delapan kali lipat bila dibandingkan dengan minyak sawit mentah (CPO dan PKO). Penelitian mengenai penggunaan surfaktan yang merupakan turunan minyak bumi untuk proses recovery minyak bumi telah banyak dilakukan, sedangkan penelitian mengenai penggunaan surfaktan yang berasal dari sumber terbarukan khususnya surfaktan alkil poligliksida yang disintesis dari pati dan fatty alcohol untuk proses recovery minyak bumi masih jarang dilakukan. Penggunaan surfaktan untuk proses recovery sumur minyak bumi harus disesuaikan dengan kondisi reservoir dimana surfaktan tersebut akan diaplikasikan. Parameter-parameter yang penting untuk diperhatikan dalam penginjeksian surfaktan adalah kadar garam, suhu, sifat batuan dan fluida formasi, kompatibilitas surfaktan dengan fluida formasi, serta tekanan reservoir. Parameter-parameter tersebut akan mempengaruhi daya kerja surfaktan yang diinjeksikan kedalam reservoir. Hal tersebut diatas mendorong dilakukannya penelitian mengenai kajian kinerja surfaktan Alkil Poliglikosida untuk mengetahui stabilitas kinerja formula surfaktan tersebut sebagai agent penurun tegangan antarmuka pada aplikasi Enhanced Water flooding.
1.2.TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kinerja serta mendapatkan formula terbaik surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) untuk aplikasi Enhanced Water Flooding pada contoh batuan pasir sintetik.
1.3. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian ini meliputi pemilihan jenis surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) terbaik untuk formulasi enhanced water flooding, formulasi surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) untuk enhanced water flooding, analisis formula untuk enhanced waterflooding di berbagai kondisi pada lapangan sandstone serta simulasi penerapan enhanced waterflooding menggunakan surfaktan Alkil Poliglikosida (APG).
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Kegunaan surfaktan antara lain untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985). Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian non polar. Bagian kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan bagian ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri. Gambar dari molekul surfaktan terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1. Molekul surfaktan (Gevarsio,1996) Berdasarkan gugus hidrofiliknya, m olekul surfaktan dibedakan kedalam 4 kelompok, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985; Rosen, 2004). Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada gugus hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active), seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationikH adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surfaceactive), seperti quarternery ammonium salt (QUAT). Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada pH. Pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi akan bermuatan positif (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Didalam aplikasinya, keempat jenis surfaktan tersebut memiliki fungsi yang spesifik dan kondisi lingkungan kerja yang spesifik. Surfaktan anionik sangat baik digunakan untuk stimulasi batuan sandstone. Adanya unsur silika di dalam batuan sandstone yang bermuatan negatif (-) akan menyebabkan water wet pada formasi batuan sand stone. Kondisi ini akan menyebabkan turunnya gaya adhesi antara minyak dan batuan sehingga minyak akan lepas dan lebih mudah mengalir dan sifat batuan akan berubah menjadi water wet. Sebaliknya pada batuan limestone yang bermuatan positif, penggunaan surfaktan anionik akan menyebabkan batuan bersifat oil wet (Allen and Robert,1993).
4
Surfaktan kationik dengan muatan gugus hidrofilikya yang positif akan merubah wettability batuan yang memiliki muatan positif menjadi water wet seperti batuan karbonat dan akan merubah wettability batuan yang bermuatan negatif seperti batuan sandstone menjadi oil wet. Berbeda dengan surfaktan anionik dan kationik, surfaktan nonionik yang tidak memiliki muatan pada gugus hidrofiliknya menyebabkannya kompatible pada kedua jenis batuan. Surfaktan nonionik akan menyebabkan water wet baik pada batuan karbonat maupun sandstone. Sedangkan penggunaan surfaktan amfoterik pada kedua jenis batuan tersebut tergantung pada pH larutan dimana surfaktan tersebut bekerja. Pada kondisi pH>7 (basa), gugus hidrofilk surfaktan amfoterik akan bermuatan positif sehingga akan menyebabkan water wet pada batuan yang memiliki muatan positif (karbonat). Pada pH<7 (asam), gugus hidrofilik surfaktan amfoterik akan bermuatan negatif sehingga akan menyebabkan water wet pada batuan yang memiliki muatan negatif (sandstone), sedangkan pada pH=7, gugus hidrofilik surfaktan amfoterik tidak akan bermuatan. Namun pada aplikasi stimulasi surfaktan, surfaktan amfoterik digunakan terbatas sebagai pencegah korosi dan agen pembusa (Allen and Robert, 1993; Mulyadi, 2002) Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu : 1.
Berbasis minyak-lemak seperti; monogliserida, digliserida, dan poligliserol ester.
2.
Berbasis karbohidrat seperti; alkyl poliglikosida, dan n-metil glukamida.
3.
Ekstrak bahan alami seperti; lesitin dan saponin.
4.
Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti; rhamnolipid dan sophorolipid.
Pengujian surfaktan meliputi kemampuan untuk menstabilkan emulsi, kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis formasi emulsi dengan hidrofil lipofil balance, dan penentuan gugus fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red Spectroscopy).
1.
Kestabilan Emulsi
Cara kerja bahan penstabil adalah dengan menurunkan tegangan permukaan, dengan cara membentuk lapisan pelindung yang menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan lebih mudah terdispersi dalam sistem dan bersifat stabil (Fennema, 1985). Emulsi yang stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan (Kemel, 1991). Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-rata pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi (Suryani et. al, 2000). Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi, diantaranya ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan globula berukuran halus, lebih besar viskositasnya dibandingkan emulsi dengan globulanya yang lebih besar atau tidak seragam (Muchtadi, 1990).
5
2.
Tegangan Permukaan
Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikel-partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Suryani, et al. 2001). Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang harus digunakan untuk memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Tegangan permukaan disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik dari molekul cairan. Tegangan permukaan antara lain dapat diukur dengar menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan dalam dyne per centimeter (dyne/cm) atau miliNewton per meter (mN/m). Pada cairan, terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah permukaan dan pada permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-menarik molekulmolekul di bawah permukaan cairan adalah sama pada semua arahnya. Molekul-molekul di atas permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan gaya tarik dari molekul-molekul di bawahnya yang mencoba untuk menariknya kembali ke tubuh cairan. Hal ini menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan luas permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola (sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue, 1989).
3.
Tegangan Antarmuka
Tegangan antar muka adalah pengukuran kekuatan sebagai usaha yang diperlukan untuk memperluas antar muka antara dua cairan immiscible persatuan luas (Shaw, 1980). Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan, sedangkan tegangan antar muka adalah energi yang bergerak melintang sepanjang garis permukaan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase. Dalam satuan SI (Standard International) besaran tegangan antarmuka dinyatakan dengan mN/m atau dyne/cm. Turunnya tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang tidak sejenis. Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik dan hidrofilik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antar muka (Georgiou et al., 1992). Efek dari surfaktan pada fenomena antar muka merupakan fungsi dari konsentrasi surfaktan pada antar muka. Efektifitas surfaktan pada adsorpsi antar muka didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum dimana surfaktan dapat tertahan pada antar muka. Efektifitas surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak – air dipengaruhi oleh beberapa faktor,
6
diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang digunakan, kadar garam larutan, dan adsorpsi larutan surfaktan (Menurisita, 2002). Menurut Shaw (1980), tegangan antarmuka merupakan faktor penting pada proses enhanced oil recovery (EOR) dalam bidang pertambangan. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida dengan fluida, fluida dengan batuan, dan fluida dengan hidrokarbon. Di samping itu, surfaktan dapat memecah tegangan permukaan dari emulsi minyak yang terikat dengan batuan (emulsion block), mengurangi terjadinya water blocking dan mengubah sifat kebasahan (wattability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi batuan yang bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan demikian water cut dapat dikurangi.
4.
Hydrophile -Lipophile Balance (HLB)
Menurut Suryani et. al. (2002), HLB adalah ukuran empiris untuk mengetahui hubungan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada suatu surfaktan. Sistem HLB digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi minyak dan air oleh surfaktan. Terdapat dua tipe emulsi, yaitu : a. Water-in-oil (w/o), artinya air terdispersi di dalam minyak. Pada kondisi ini diperlukan surfaktan dengan nilai HLB rendah. b. Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air. Pada kondisi ini diperlukan surfaktan dengan nilai HLB tinggi. Makin tinggi nilai HLB, maka surfaktan makin bersifat larut air. Sedangkan bila makin rendah nilai HLB, surfaktan makin bersifat larut minyak. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin disajikan pada Table 2.
Tabel 2. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin Nilai HLB Aplikasi 3–6
Pengemulsi W/O
7–9
Wetting agent
8 – 14
Pengemulsi O/W
9 – 13
Detergen
10 -13
Solubilizer
12 -14
Dispersant
Sumber : Holmberg et al. (2003)
Jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karakteristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan (Sadi, 1994). Menurut BP MIGAS (2009), karakteristik surfaktan yang diinginkan untuk aplikasi Enhanced Oil Recovery, adalah formula surfaktan yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
7
Compatibility Adsorbsion Tegangan Antar Muka Temperatur pH Bentuk Phase Recovery oil Filtrasi rasio
: tidak ada endapan : < 0.25% atau 0.4 mg/g batuan : 10-3 dyne/cm : tahan terhadap temperature reservoir minimal 3 bulan : 6-8 : bawah atau tengah : > 10% incremental tergantung keekonomian : < 1,2
2.2. SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) Surfaktan Alkil Poliglikosida pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil fischer (Margaretha, 1999). APG merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan bahan baku yang berbasis pati (kentang, sagu, tapioka, jagung dan lain-lain) dengan fatty alcohol berbasis minyak nabati (kelapa, sawit, rapeseed, soy bean, bunga matahari). Alkil Poliglikosida (APG) mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan bagian molekul yang bersifat hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari fatty alcohol yang berasal dari minyak sawit atau minyak kelapa. Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG disebabkan bagian tersebut tersusun dari molekul glukosa yang berasal dari pati. Gambar proses reaksi dan struktrur APG disajikan pada Gambar 2.
Alkil Glikosida
Alkil Poliglikosida
Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG) (Wuest et al., 1992)
Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda, yaitu prosedur pertama berbasis bahan baku pati dan fatty alcohol sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku dekstrosa (glukosa) dan fatty alcohol. Prosedur pertama, berbasis pati-fatty alcohol melalui proses butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis dekstrosa-fatty alcohol hanya melalui proses asetalisasi yang selanjutnya dari masing-masing prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, dan pelarutan. Diagram proses pembuatan APG disajikan pada Gambar 3.
8
Gambar 3. Proses sintesis surfaktan alkil poliglikosida untuk aplikasi EOR
Proses produksi APG melalui proses asetalisasi dilakukan dengan mencampurkan fatty alcohol dan glukosa dengan perbandingan 2:1 sampai dengan perbandingan 10:1 dengan katalis asam ptoluene sulfonat. Kondisi reaksi diatur pada suhu 100-120°C selama 3-4 jam pada tekanan 15-25 mmHg. Setelah itu, campuran bahan dilakukan netralisasi sampai pH 8-10 dengan menggunakan NaOH 50 % pada suhu 80°C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur dengan residu (air + fatty alcohol) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan fatty alcohol dilakukan pada suhu 160-200°C dan tekanan 15 mmHg (Indrawanto, 2007). Proses reaksi sintesa APG satu tahap/langsung dapat dilihat pada Gambar 4.
Dekstrosa
Fatty alcohol
Alkyl Polyglicoside
Gambar 4. Sintesis Fischer secara langsung (Wuest et al., 1992)
Menurut Wuest et al., (1992), sintesis surfaktan APG dapat pula dilakukan dengan reaksi 2 tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa, tahap pertama
9
direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C 8-22 terutama C 12-18 dari fatty alkohol bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas 125 oC dan dibawah tekanan 4-10 bar dalam zone reaksi tertutup. Reaksi transasetalisasi dilaksanakan pada temperatur dibawah temperatur 115-118 oC dengan kondisi vakum. Campuran reaksi kedua rasio molar pati dihitung sebagai anhidroglukosa, terhadap alkohol rantai panjang 1: 1.5 - 1: 7, 1:2.5 ke 1:7, 1:3 ke 5. Sedangkan rasio molar sakarida : air = 1: 5 – 1:12, 1: 6-1:12, 1: 6-1: 9, 1: 6-1: 8. Proses reaksi sintesa APG dua tahap dapat dilihat pada Gambar 5.
Pati
Butyl Glicoside
Butanol
Fatty Alcohol
Butyl Glicoside
Alkyl Polyglicoside
Gambar 5. Sintesis Fischer secara langsung dan dua tahap (Wuest et al., 1992)
2.3. TAHAP RECOVERY MINYAK BUMI Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan menjadi tiga fase, yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Fase primer merupakan fase dimana proses produksi minyak tergantung kepada kandungan energi alam reservoir yaitu tekanan alami dari reservoir (natural flow) (Gomma, 1997). Menurut Sumotarto (1997), tekanan alami reservoir dapat berasal dari tekanan gas yang terlarut dalam fluida minyak (solution gas drive), kolom air di bawah lapisan minyak (water drive), atau tekanan dari lapisan batuan yang berada di atasnya (overburden pressure). Adanya energi alami reservoir memungkinkan minyak untuk keluar dengan sendirinya dari sumur. Fase sekunder dalam recovery minyak bumi merupakan fase dimana sudah melibatkan penginjeksian material kedalam reservoir. Pada fase ini diterapkan proses immiscible gas flood dan water flood, sedangkan fase tersier merupakan fase dimana diterapkannya metode Enhanced Oil Recovery (EOR) (Gomma, 1997). Menurut Thamrin dan Sudibjo (1992), EOR atau metode pengurasan tahap lanjut merupakan usaha untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak bumi yang sudah tidak produktif lagi pada tahap produksi pertama. Metode EOR dilakukan dengan menginjeksikan material kedalam batuan reservoir guna menguras sisa-sisa minyak bumi yang masih terkandung didalam batuan reservoir, yang pada umumnya berupa residual oil dan by-passed oil. Residual oil merupakan butir-butir minyak yang tersisa karena terperangkap di dalam pori-pori batuan (saturasi minyak tersisa). By-passed oil merupakan kandungan minyak di dalam bagian dari reservoir yang tidak tersapu dan terjangkau (by-passed) oleh injeksi air pada tahap sekunder.
10
Berdasarkan material yang diinjeksikan, metode EOR dikelompokkan kedalam empat kelompok, yaitu metode termal (air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon, dan campuran gas alam), dan metode lainnya (mikroba, listrik, mekanis). Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai recovery tersier, namun beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fasa primer atau bahkan saat proses pencarian minyak (discovery) (Gomma,1997). Skema recovery minyak bumi ditunjukkan pada Gambar 6. Menurut Allen dan Roberts (1993), karakteristik minyak dan reservoir perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode EOR, supaya memenuhi target yang hendak dicapai. Sebagai gambaran, reservoir yang dangkal tidak cocok bila dilakukan injeksi gas, karena tekanannya sangat tinggi sehingga dapat beresiko merusak formasi dan akan menimbulkan semburan liar.
Gambar 6. Skema mekanisme recovery minyak (Wahyono, 2009)
2.4. SURFACTANT FLOODING Proses perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan disebut dengan surfactant flooding. Proses ini dikategorikan ke dalam proses tersier produksi minyak bumi. Nummedal et.al. (2003) menyatakan bahwa peningkatan perolehan minyak bumi (oil recovery) dapat dilakukan dengan cara menambahkan surfaktan kedalam air injeksi. Dalam surfactant flooding, karakteristik air yang diinjeksikan kedalam sumur minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air yang berada di dalam cekungan minyak bumi (reservoir). Demikian pula dengan penginjeksian
11
surfaktan (umumnya bahan kimia), disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang telah ada di dalam reservoir minyak bumi. Pada umumnya tidak hanya surfaktan yang digunakan dalam surfactant flooding, namun juga polimer umumnya partially hidrolized polyacrilamide (PMPA). Polimer diinjeksikan setelah campuran surfaktan dan air injeksi dipompakan ke dalam sumur minyak. Tujuannya adalah meningkatkan stabilitas genangan (flood) dan meningkatkan efisiensi penyapuan (sweep efficiency) minyak. Technology Assesment Board (1978), mengungkapkan bahwa surfactant flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian mempunyai potensi recovery minyak yang superior. Mekanisme reaksi yang terjadi di dalam sumur minyak setelah surfaktan diinjeksikan dijelaskan sebagai berikut: surfaktan memiliki gugus dasar hidrokarbon dan berikatan pada ujung dengan senyawa anorganik (gugus sulfonat) SO3. Rumus kimia surfaktan adalah R – SO3H, dengan gugus R – merupakan gugus rantai hidrokarbon. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi RSO3- dan H+. bila ion molekul RSO3- kontak dengan senyawa yang bersifat nonpolar (minyak), maka gugus R – akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi (surfaktan-minyak), sedangkan pada molekul surfaktan itu sendiri akan bekerja gaya kohesi antara RSO3-. Pengaruh gaya adhesi ini akan mengurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya antar permukaan minyak dengan air akan menurun. Selain itu, terjadi gaya tolak-menolak antara kepala surfaktan yang bermuatan negatif karena adanya gugus RSO3- dengan batuan sandstone yang bermuatan negatif karena adanya senyawa silica (SiO2-). Gaya tolak-menolak ini mengakibatkan surfaktan yang mengikat minyak pada bagian gugus R akan bergerak menjauh dari batuan dan ini akan mengakibatkan wettability batuan berubah menjadi water wet (Ashayer et al.,2000). Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan pada aplikasi surfactant flooding tergantung pada beberapa faktor seperti formulasi, biaya, ketersediaan bahan, dampak lingkungan, serta harga minyak bumu dipasar. Agar pemanfaatan surfaktan lebih efektif, beberapa kriteria harus dipenuhi yaitu surfaktan yang digunakan harus dapat menghasilkan IFT ultra low dan harus cukup sederhana pada saat disintesis untuk diproduksi secara komersial (Nasiri, 2011).
2.5. AIR FORMASI Air formasi yang diambil dari lapangan mengandung berbagai ion. Hal ini dikarenakan air formasi tersebut telah bereaksi dengan batuan. Dengan kata lain telah mengalami interaksi dengan mineral-mineral lain yang terdapat pada batuan. Ion-ion tersebut dapat berupa padatan mineral dan logam yang tersuspensi maupun berupa gas yang terlarut di dalamnya. Kandungan utama dari air formasi terdiri dari kandungan anion dan kation. (Widiyowati, 2005) 1. Kandungan Kation, yang termasuk didalam kation, antara lain: a. Kalsium (Ca) Ion kalsium adalah penyusun terbanyak pada air formasi yang dapat mencapai 30.000 ppm. b. Magnesium (Mg) Ion Mg pada umumnya terkonsentrasi dengan volume yang lebih kecil dibandingkan ion kalsium
12
c. Besi (Fe) Kadar besi secara alamiah yang terdapat pada air formasi mempunyai konsentrasi yang kecil. Keberadaan besi menunjukkan kecenderungan sifat korosif. d. Barium (Ba) Jumlah ion barium ini tidak cukup banyak terdapat didalam air formasi 2. Kandungan Anion, yang termasuk kandungan anion, antara lain: a. Klorida (Cl-) Ion klorida pada umumnya merupakan anion yang terkadung didalam air formasi yang menyatu dengan garam NaCl sebagai sumber utamanya sehingga konsentrasi ion Cl dapat dijadikan sebagai pengukur tingkat keasaman air. b. Karbonat (CO3-) dan Bikarbonat (HCO3-) Ion-ion ini dapat membentuk scale yang mempunyai sifat tidak larut. c. Sulfat (SO4-) Ion sulfat dapat membentuk scale setelah bereaksi dengan barium atau kalsium.
2.6. POROSITAS Porositas merupakan ukuran ruang-ruang kosong dalam suatu batuan. Berdasarkan definisi, porositas merupakan perbandingan antara volume ruang yang terdapat dalam batuan yang berupa pori-pori terhadap volume batuan secara keseluruhan, biasanya dinyatakan dalam fraksi. Besar-kecilnya porositas suatu batuan akan menentukan kapasitas penyimpanan fluida reservoir. Secara matematis porositas dapat dinyatakan sebagai :
Ø=
=
Dimana : Vb = volume batuan total (bulk volume) Vs = volume padatan batuan total (volume grain) Vp = volume ruang pori-pori batuan Porositas batuan reservoir dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : 1.
Porositas absolut, adalah persen volume pori-pori total terhadap volume batuan total (bulk volume)
Ø= 2.
Porositas efektif, adalah persen volume pori-pori yang saling berhubungan terhadap volume batuan total (bulk volume).
Ø= Untuk selanjutnya porositas efektif digunakan dalam perhitungan karena dianggap sebagai fraksi volume yang produktif.
13
2.7. PERMEABILITAS Permeabilitas didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida melalui pori-pori batuan tanpa merusak partikel pembentuk batuan. Definisi kuantitatif permeabilitas pertama-tama dikembangkan oleh Henry Darcy (1856) dalam hubungan empiris dengan bentuk differensial sebagai berikut:
Dimana: V
= kecepatan aliran ,cm/sec = viskositas fluida yang mengalir, cP
dP/dL
= gradien tekanan dalam arah aliran, atm/cm
k
= permeabilitas media berpori
Tanda negatif dalam persamaan tersebut menunjukkan bahwa bila tekanan bertambah dalam satu arah, maka arah alirannya berlawanan dengan arah pertambahan tekanan tersebut. Beberapa anggapan yang digunakan oleh Darcy dalam persamaan tersebut antara lain; alirannya mantap (steady state), fluida yang mengalir satu fasa, viskositas fluida yang mengalir konstan, kondisi aliran isothermal, formasinya homogen dan arah alirannya horizontal, fluidanya incompressible. Dalam batuan reservoir, permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu; permeabilitas absolut, adalah permeabilitas dimana fluida yang mengalir melalui media berpori tersebut hanya satu fasa, misal hanya minyak atau gas saja. Permeabilitas efektif, adalah permeabilitas batuan dimana fluida yang mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan gas, gas dan minyak atau ketigatiganya. Permeabilitas relatif, adalah perbandingan antara permeabilitas efektif dengan permeabilitas absolut.
2.8. KELAKUAN FASA/ PHASE BEHAVIOR SURFAKTAN Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak pada proses injeksi surfaktan. Proses emulsifikasi dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida pendorong dengan minyak. Pada dasarnya campuran surfaktan-air-minyak dapat membentuk beberapa macam jenis emulsi yang diantaranya dapat menurunkan tegangan antar muka ke tingkat yang sangat rendah, yaitu dengan orde 10-2 sampai dengan 10-4 dyne/cm, yang dapat digunakan dalam injeksi kimia (Sugihardjo, 2002). Ada beberapa jenis emulsi yang akan terbentuk pada proses uji kelakuan fasa, yaitu: 1. Emulsi fasa bawah, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa air, terjadi kelebihan fasa minyak (excess oil), dalam kondisi dua fasa, dan berwarna translusen (jernih tembus cahaya). Gambar emulsi fasa bawah terdapat pada Gambar 7 (a). 2. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah, yaitu emulsi yang terdiri dari tiga fasa (air-mikroemulsiminyak) dan berwarna translusen. Gambar emulsi fasa tengah terdapat pada Gambar 7 (b).
14
3. Emulsi fasa atas, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa minyak dan terjadi kelebihan fasa air (excess water), emulsi ini terdiri dari dua fasa. Gambar emulsi fasa atas terdapat pada Gambar 7 (c ). 4. Makroemulsi, emulsi yang berbentuk kental dan berwarna putih susu (milky). Gambar makroemulsi terdapat pada Gambar 7 (d).
(a)
(b)
(c )
(d)
Gambar 7. Emulsi yang akan terbentuk pada uji kelakuan fase/ phase behavior. (a) Emulsi fasa bawah. (b) Emulsi fasa tengah (mikroemulsi). (c) Emulsi fasa atas . (d) Makroemulsi
Surfaktan yang digunakan dalam proses chemical flooding biasanya menunjukkan kelarutan yang baik dalam fase cairan dan kelarutan yang buruk dalam fase minyak pada salinitas garam rendah. Jadi pada salinitas air formasi rendah, susunan keseluruhan diantara dua fase akan terpecah menjadi; fase kelebihan minyak dan air diluar fase mikroemulsi. Fase kelebihan minyak terdiri dari minyak dan fase mikroemulsi terdiri dari air formasi, surfaktan dan minyak yang terlarut ditengah micelles. Kondisi ini disebut sebagai sistem Winsor’s type I, sistem mikroemulsi fase rendah atau tipe II (-). Istilah ini disebabkan berdasarkan fakta bahwa sistem terdiri dari dua fase dan kemiringan terhadap garis batas antara fase minyak dan fase cairan negatif. Perilaku dari sistem fase tipe II (-) dapat dilihat pada Gambar 8 (a). Pada salinitas air formasi yang tinggi, kelarutan surfaktan dalam fase cair berkurang secara drastis karena gaya elektrostatik. Jadi pada salinitas air formasi yang tinggi, susunan keseluruhan diantara dua fase akan terpecah menjadi minyak diluar fase mikroemulsi dan kelebihan fase air formasi. Dalam kasus ini, fase air formasi tidak akan berisi surfaktan dan beberapa fase air formasi akan larut dalam fase mikroemulsi pada tengah micelle. Sistem ini disebut sebagai sistem Winsor’s tipe II, mikroemulsi fase atas atau sistem tipe II (+) (Gambar 8 (b)). Diantara dua type salinitas air formasi yang dibahas diatas, terdapat tipe phase behavior yang ketiga dimana ketiga fase ( fase air formasi, fase mikroemulsi, dan fase minyak) menyatu. Fase mikroemulsi tengah sering disebut sebagai fase bicontinous yaitu terdapat pada minyak dan air. Sistem ini dikenal sebagai Winsor’ tipe III, mikroemulsi fase tengah atau sistem tipe III (Gambar 8 (c )).
15
Gambar 8. Gambar fase behavior yang dihasilkan pada saat pencampuran minyak, air garam dan surfaktan. (a) tipe II (-). (b) tipe II (+). (c ) tipe III (lake, 1989)
Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Tim lemigas, 2002). Pada kondisi tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan berjalan efektif. Terbentuknya mikroemulsi fasa tengah membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan emulsi fasa bawah maupun fasa atas. Namun demikian, untuk tercapainya kondisi mikroemulsi ini diperlukan beberapa persyaratan diantaranya adalah faktor konsentrasi surfaktan yang digunakan.
16
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. ALAT DAN BAHAN Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong, destilator, pompa vacum, pinset, labu vacum, gelas piala, timbangan analitik, tabung gelas/jar, pipet, sudip, stirer, labu pemisah, oven, serta core holder. Peralatan yang digunakan untuk analisa adalah spinning drop tensiometer TX 500 C, pH meter, Viskometer, dan Density Meter DMA 4500 M/ anton Paar. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan baku yang digunakan adalah surfaktan Alkil Poliglikosida komersil yang diperoleh dari PT.Cognis dengan kode SK-02, SK-03, SK-05, SK-06 dan SK-50, core sandstone sintetik, air formasi Lapangan S, NaCl, NaOH, NaCO3, minyak bumi dari Lapangan S, toluene serta bahan kimia yang digunakan untuk analisa.
3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Pelaksanaan penelitian akan dilakukan mulai bulan Februari 2011 sampai Agustus 2011. Penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant and Bioenergy Research Center, SBRC) – LPPM IPB dan Laboratorium Teknik Kimia, Departemen Teknologi Indutri Pertanian, FATETA IPB, Bogor.
3.3. METODE PENELITIAN 3.3.1. Persiapan Core sintetik Uji kinerja surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) membutuhkan core untuk melihat efektifitas dari penggunaan surfaktan tersebut. Core merupakan batuan dari dalam bumi yang akan digunakan untuk aplikasi enhanced waterflooding. Core yang digunakan dalam penelitian ini berjenis batuan pasir (sandstone). Core yang berasal dari dalam bumi ini terbatas jumlahnya sehingga perlu dibuat core buatan atau sintetik dengan karakteristik yang menyerupai core/ batuan aslinya. Proses penyiapan core sintetik dari mulai awal pembuatan sampai core siap digunakan terdiri dari beberapa tahapan yaitu;
1. Tahap Pembuatan Core Sintetik Core sintetik dibuat semirip mungkin dengan karakteristik core asli. Core sintetik merupakan campuran pasir kuarsa dan semen dengan penambahan air. Perbandingan antara pasir kuarsa dengan semen sebesar 2 : 5 atau sesuai dengan porositas yang diinginkan. Penambahan air dilakukan sebanyak 10 % dari bobot total (pasir kuarsa dan semen). Campuran tersebut dicetak dengan menggunakan pipa dengan panjang sesuai ukuran core holder pada alat core apparatus yaitu sebesar ± 3.1 cm dan diameter ± 2.3 cm lalu dikeringkan selama 2 hari.
17
2. Tahap Pencucian Core Sintetik Core sintetik yang telah dikeringkan kemudian dicuci untuk membersihkan kotoran yang masih terdapat pada core tersebut. Pencucian dilakukan dengan cara destilasi dengan menggunakan pelarut toluene. Proses pencucian berlangsung selama 4 jam. Setelah proses pencucian, dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu 70 0 C selama minimal 1 hari lalu didinginkan dalam desikator. Kemudian core sintetik tersebut diukur berat kering serta dimensinya. Core yang telah diukur selanjutnya dibungkus dengan menggunakan alumunium foil agar tidak terkontaminasi dengan udara sekitar.
3. Tahap Penjenuhan Core Sintetik Core sintetik yang telah dicuci kemudian dijenuhkan dengan menggunakan pompa vakum. Penjenuhan dilakukan dengan dua langkah, langkah pertama yaitu pemvakuman dan langkah yang kedua yaitu penjenuhan. Tahap pemvakuman dilakukan untuk menghisap udara dari poripori core sehingga memudahkan fluida untuk masuk kedalamnya. Proses pemvakuman dilakukan selama 2 jam. Tahap penjenuhan dilakukan untuk memasukkan fluida berupa air formasi lapangan S ke dalam pori-pori core. Proses penjenuhan pada tahap ini berlangsung selama 4 jam. Core yang telah dijenuhkan kemudian direndam dengan menggunakan air formasi 1-3 hari atau lebih. Perendaman ini bertujuan agar proses penjenuhan dalam core lebih optimal dan lebih menyerupai kondisi core reservoir di dalam bumi.
3.3.2. Uji Kompatibilitas Surfaktan terhadap Air Formasi Lapangan S Uji compatibility adalah uji untuk mengetahui kecocokan antara surfaktan dengan air injeksi dan air formasi dari lapangan minyak. Uji bertujuan apakah suatu surfaktan dapat larut atau tidak dalam air injeksi/air formasi. Tahap pengujian dilakukan dengan melarutkan 0.3 % dari masingmasing jenis surfaktan APG ke dalam air formasi. Uji bernilai positif jika surfaktan larut secara sempurna dalam air injeksi / air formasi sedangkan uji bernilai negatif jika surfaktan tidak larut secara sempurna dalam air injeksi/air formasi. Pengamatan uji ini dilakukan secara visual.
3.3.3. Tahap Pemilihan Surfaktan Pemilihan surfaktan dilakukan untuk memilih satu surfaktan Alkil Poliglikosida dari 5 jenis yang cocok digunakan sebagai formulasi. Pemilihan surfaktan ini didasari oleh nilai tegangan antarmuka. Surfaktan dengan tegangan antarmuka terkecil yang akan dipilih untuk tahap formulasi surfaktan. Perbedaan nilai tegangan antarmuka yang kecil pada tahap ini, akan berpengaruh pada tahap selanjutnya. Pengukuran nilai tegangan antarmuka dimulai dengan melarutkan sebanyak 0.3 % dari masing-masing surfaktan ke dalam air formasi dari lapangan S. Kemudian, larutan tersebut diukur nilai tegangan antarmukanya dengan menggunakan alat spinning drop tensiometer TX 500 C. Satu surfaktan dengan nilai tegangan antarmuka terendah dari surfaktan lainnya yang dipilih untuk tahap formulasi.
18
3.3.4. Tahap Formulasi Surfaktan Surfaktan yang terpilih kemudian diformulasikan dengan NaCl untuk mengetahui optimal salinitas dari surfaktan tersebut. Tujuan dari optimalisasi salinitas yaitu untuk mengetahui performa terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi salinitas yang optimum pada air formasi. Air formasi lapangan S memiliki kandungan garam sebesar 7000 ppm. Tambahan konsentrasi NaCl yang digunakan kurang dari 10000 ppm dengan rentang variasi yaitu 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, dan 9000 ppm. Penggunaan tambahan NaCl ini didasarkan oleh penelitian terdahulu yang dilakukan pihak SBRC-IPB bahwa konsentrasi diatas 10000 ppm menyebabkan timbulnya endapan dalam formula pada waktu penyimpanan. Optimalisasi salinitas dimulai dengan menambahkan salinitas pada air formasi sesuai dengan variasi yang telah ditentukan dengan perbandingan bobot/bobot antara NaCl dan air formasi. Selanjutnya, sebanyak 0.3 % surfaktan dicampurkan dengan air formasi pada masing-masing variasi tersebut. Formula tersebut kemudian diukur nilai tegangan antarmukanya dengan menggunakan spinning drop tensiometer TX 500 C. Formula dengan nilai tegangan antarmuka terendah menunjukkan optimal salinitas dari surfaktan yang digunakan. Selanjutnya, formula tersebut dikombinasikan dengan alkali untuk mencari optimal alkali dari surfaktan yang digunakan. Proses optimalisasi alkali yang dilakukan bertujuan untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka yang telah diperoleh dari formulasi sebelumnya. Alkali yang digunakan adalah NaOH (natrium hidroksida) dan Na2CO3 (natrium karbonat). Alkali merupakan zat aditif dengan penambahan konsentrasi minimal 1 % atau 10000 ppm. Penggunaan masing-masing alkali divariasikan dengan rentang 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, dan 9000 ppm. Optimalisasi alkali dimulai dengan membuat larutan dengan optimal salinitasnya seperti yang dilakukan pada optimalisasi salinitas di atas. Selanjutnya, masing-masing alkali dengan variasi konsentrasi yang telah ditentukan ditimbang dan dicampurkan dengan larutan surfaktan pada optimal salinitas sampai dicapai berat yang ditentukan dengan perbandingan bobot/bobot antara alkali dan larutan. Setelah itu, formula tersebut diukur nilai IFT-nya menggunakan spinning drop tensiometer TX 500 C untuk mengetahui alkali yang sesuai pada surfaktan yang digunakan. Selanjutnya, formula pada optimal alkali dan optimal salinitas ini digunakan untuk tahap analisis formula serta untuk uji core flood.
3.3.5. Tahap Analisis Formula untuk Enhanced Water Flooding Formula surfaktan yang dihasilkan kemudian dianalisis. Analisis yang dilakukan pada formula tersebut meliputi; uji Inter Facial Tension menggunakan alat spinning drop tensiometer TX 500 C untuk mengetahui besarnya tegangan antara muka minyak dan formula surfaktan, uji densitas menggunakan alat Density Meter DMA 4500 M/ anton Paar untuk mengetahui densitas atau berat jenis dari formula surfaktan, uji pH menggunakan alat pH meter/kertas pH untuk mengetahui kondisi pH pada formula surfaktan, uji viskositas menggunakan alat viskometer untuk mengetahui viskositas dari formula surfaktan, uji compatibilitas untuk mengetahui kecocokan antara surfaktan dengan air formasi, uji filtrasi untuk mengetahui keberadaan endapan dalam larutan surfaktan, uji thermal stability untuk mengetahui kestabilan surfaktan terhadap pengaruh panas, serta uji kelakuan phasa / fase behavior untuk mengetahui kelakuan fase antara formula dengan minyak. Prosedur analisis formula surfaktan untuk enhanced water flooding dapat dilihat pada Lampiran 2.
19
3.3.6. Tahap Aplikasi Enhanced Water Flooding Tahapan terakhir adalah aplikasi formula larutan surfaktan untuk enhanced waterflooding berupa coreflooding test. Coreflooding test dimulai dengan penginjeksian Air Injeksi T ke dalam batuan sandstone yang telah berisi minyak bumi mentah hingga tidak ada lagi minyak bumi mentah yang keluar. Proses injeksi air ini menghasilkan nilai recovery minyak setelah water flooding. Selanjutnya, diinjeksikan formula larutan surfaktan dengan kombinasi 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV dari volume pori-pori batuan. Kemudian batuan sandstone disoaking dengan lama perendaman 12 jam. Penentuan lama perendaman 12 jam merujuk pada penelitian yang telah dilakukan Mwangi (2008) dimana lama perendaman selama 12 jam mampu memberikan tambahan recovery sebesar 8%. Setelah mengalami perendaman, batuan sandstone diinjeksikan kembali dengan menggunakan air injeksi T hingga tidak ada lagi minyak bumi mentah yang keluar. Proses injeksi ini menghasilkan nilai recovery minyak setelah injeksi surfaktan. Nilai recovery setelah injeksi surfaktan ini yang akan dianalisis dengan menggunakan rancangan percobaan untuk melihat pengaruh injeksi surfaktan dengan kombinasi 0.1 PV, 0.2 PV, dan 0.3 PV. Hasil gabungan recovery minyak setelah water flooding dan injeksi surfaktan menghasilkan total recovery minyak keseluruhan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 9. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan satu faktor dengan dua kali ulangan. Faktor yang divariasikan adalah volume larutan surfaktan. Faktor volume larutan surfaktan terdiri dari tiga taraf yaitu 0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV. Model matematika yang digunakan adalah: Yij = µ + αi + εij dengan : Yij = µ = αi = έij =
Nilai pengamatan Rata-rata Pengaruh faktor volume larutan surfaktan pada taraf ke-i (i = 1,2,3) Galat percobaan
20
Perendaman 12 jam
Gambar 9. Diagram alir penelitian
21
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK Reservoir adalah suatu tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi. Pada umumnya reservoir minyak memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung dari komposisi, temperatur dan tekanan pada tempat dimana terjadi akumulasi hidrokarbon didalamnya. Suatu reservoir minyak biasanya mempunyai tiga unsur utama yaitu adanya batuan reservoir, lapisan penutup dan perangkap. Berdasarkan penyusunnya secara umum batuan reservoir terdiri dari batuan sedimen, yang berupa batu pasir dan karbonat (sedimen klastik) serta batuan shale (sedimen non-klastik) atau kadang-kadang vulkanik. Masing-masing batuan tersebut mempunyai komposisi kimia yang berbeda, demikian juga dengan sifat fisiknya. Pada hakekatnya setiap batuan dapat bertindak sebagai batuan reservoir asal mempunyai kemampuan menyimpan dan menyalurkan minyak bumi. Sifat fisik yang mempengaruhi batuan reservoir antara lain porositas, serta permeabilitas. Porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume batuan yang tidak terisi oleh padatan terhadap volume batuan secara keseluruhan. Sedangkan, permeabilitas batuan didefinisikan sebagai kemampuan batuan tersebut untuk melewatkan fluida dalam medium berpori-pori yang saling berhubungan. Permeabilitas didefinisikan sebagai ukuran media berpori untuk meloloskan /melewatkan fluida. (Rachmat, 2009) Penggunaan core/batuan reservoir yang berasal dari dalam lapangan minyak bumi sangat terbatas. Hal ini karena jumlahnya terbatas serta biaya yang dikeluarkan untuk mengambil dan mengangkut core/batuan reservoir tersebut sangat mahal. Untuk memenuhi kebutuhan analisis laboratorium diperlukan pengganti core reservoir lapangan atau core sintetik . Pembuatan core sintetik dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik dari core reservoir lapangan minyak yang diamati. Hal ini dilakukan agar batuan sintetik yang dibuat dapat menyerupai batuan reservoir dari lapangan minyak tersebut. Secara umum, core reservoir lapangan S tersusun dari sebagian pasir (sandstone) dengan porositas lebih dari 20 persen. Proses persiapan core sintetik sampai bisa digunakan untuk simulasi water flooding terdiri dari beberapa tahap yaitu; tahap pembuatan core, tahap pencucian, dan tahap penjenuhan. Pada tahap pembuatan core sintetik bahan utama yang digunakan yaitu pasir kuarsa ukuran 500 mesh serta semen untuk mengikat pasir kuarsa agar lebih kompak. Perbandingan yang digunakan pada proses ini sebesar 5:2 untuk pasir kuarsa dan semen. Perbandingan ini menghasilkan core dengan porositas sebesar 33 – 37 %, serta menghasilkan permeabilitas sebesar 44.4 – 46.6 mdarcy. Ukuran porositas serta kualitas dari core yang dihasilkan menurut Rachmat (2009), dikelompokkan menjadi jelek sekali dengan porositas 0-5 %, jelek dengan porositas 5-10 %, sedang dengan porositas 10-15 %, baik dengan porositas 15-20 % dan sangat baik dengan porositas diatas 20 %. Menurut Koesoemadinata (1978), permeabilitas beberapa reservoir dapat dikelompokkan menjadi ketat (tight) < 5 mD, cukup (fair) 5–10 mD, baik (good) 10–100 mD, baik sekali 100–1000 mD dan (very good) >1000 mD. Core yang dihasilkan memiliki nilai porositas diatas 20 % yaitu sebesar 33 – 37 % sehingga dikategorikan kedalam core kualitas sangat baik. Kualitas ini membuat minyak dengan mudah masuk kedalam pori-pori batuan, sehingga semakin banyak yang dapat ditampung kedalam batuan. Sedangkan, nilai permeabilitas yang dihasilkan dari core yang dibuat memiliki kategori baik dengan nilai permeabilitas sebesar 44.4 – 46.6 mdarcy. Kualitas ini membuat
22
laju alir fluida yang melewati batuan semakin baik sehingga dapat mempermudah mengalirnya fluida dalam batuan tersebut. Porositas pada batuan memiliki hubungan dengan permeabilitas pada batuan tersebut. Nilai porositas yang besar mengindikasikan lubang pada pori-pori core besar sehingga fluida dapat mengalir dengan cepat. Sehingga seharusnya nilai permeabilitas pada batuan tersebut pun besar dan sebaliknya. Berdasarkan penelitian Nurwidyanto dan Noviyanti (2005) pada batu pasir (study kasus formasi Kerek, Ledok, dan Selorejo) menyatakan terdapat hubungan yang nyata dan bersifat positif antara variabel porositas dan permeabilitas. Pada core sintetik yang dihasilkan kualitas porositas sangat baik sedangkan kualitas permeabilitas baik, hal ini disebabkan karena adanya semen yang membentuk interpartikel pada core sehingga tidak sepenuhnya berbentuk bola sehingga berdampak pada porositas yang besar tetapi permeabilitas yang kecil atau tidak sebaik dengan nilai porositasnya. Menurut Koesoemadinata (1978), jika bentuk butiran mendekati bentuk bola maka permeabilitas dan porositasnya akan lebih meningkat. Nilai porositas serta permeabilitas dari core yang dihasilkan ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Porositas dan permeabilitas core sintetik Kode Core
Porositas (%)
Permeabilitas (mDarcy)
I
34.0
46.6
II
35.5
45.4
III
33.7
45.6
IV
34.0
46.5
V
36.5
46.5
VI
38.3
47.1
Core sintetik yang telah dibuat kemudian disesuaikan dengan ukuran dari core holder yang terdapat pada alat coreflooding apparatus. Ukuran dari masing-masing core sintetik dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 5. Setelah itu, core tersebut dicuci dengan menggunakan alat destilasi dengan pelarut toluene. Pemilihan pelarut toluene sebagai pelarut didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Mwangi (2008) yang menyatakan kemampuan toluene dalam menghilangkan hydrocarbons, termasuk aspal, dan pengotor lainnya sangat baik dan dapat mengembalikan wettability batuan. Setelah itu, toluene yang terdapat dalam core selama proses pencucian harus dihilangkan dengan cara diuapkan dalam oven pada suhu 700C. Penguapan dilakukan sampai toluene didalam batuan dipastikan menguap dengan sempurna. Setelah itu, core kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot kering sebelum dilakukan pemvakuman. Perhitungan bobot kering serta bobot basah sebelum dan setelah pemvakuman digunakan sebagai perhitungan porositas batuan. Adapun penampakan visual core yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Core Sintetik
23
Tahap selanjutnya yaitu pemvakuman core yang telah dicuci. Pemvakuman dilakukan dengan menggunakan 2 langkah dimana pada langkah pertama dilakukan dengan menghisap udara yang ada didalam core. Langkah ini bertujuan agar core benar-benar porous dan tidak ada udara pada poriporinya sehingga air formasi dapat dengan mudah masuk kedalam pori-pori core. Selain itu, menurut Mwangi (2008) proses pemvakuman bertujuan untuk memperbaiki permeabilitas core. Hal ini karena debu-debu serta sisa toluene akan terhisap oleh pompa vakum. Langkah kedua dilakukan dengan meneteskan air formasi lapangan S kedalam pori-pori core. Langkah ini bertujuan untuk menjenuhkan pori-pori core oleh fluida dalam hal ini air formasi. Air formasi yang dijenuhkan kedalam core sebelumnya disaring dengan menggunakan saringan 500 mesh, 21 µm, 0.45 µm, serta 0.22 µm. Proses penyaringan ini dilakukan berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas dengan tujuan agar fluida dapat mudah masuk kedalam pori-pori core. Selanjutnya, core yang telah dijenuhkan direndam selama 1-3 hari atau lebih lama dalam air formasi lapangan S agar diperoleh kondisi core sintetik semirip mungkin dengan core asli pada reservoir lapangan S.
4.2.UJI KOMPATIBILITAS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DENGAN AIR FORMASI LAPANGAN S Uji kompatibilitas merupakan uji kinerja paling awal untuk mengetahui kecocokan antara surfaktan dengan air injeksi/air formasi dari lapangan minyak. Uji bertujuan apakah suatu surfaktan dapat larut atau tidak dalam air injeksi/air formasi. Uji bernilai positif jika surfaktan larut secara sempurna dalam air injeksi/air formasi, sedangkan uji bernilai negatif jika surfaktan tidak larut secara sempurna dalam air injeksi/air formasi. Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) komersil yang berasal dari PT. Cognis Indonesia dilarutkan kedalam air formasi lapangan S sebesar 0.3 %. Selanjutnya diamati secara visual kesesuaian beberapa surfaktan APG komersil dengan air formasi. Berdasarkan uji yang dilakukan, ke lima surfaktan APG dengan kode SK-02, SK-03, SK-05, SK-06, dan SK-50 bernilai positif yang artinya seluruh surfaktan larut secara sempurna dalam air formasi lapangan S. Sehingga kelima jenis surfaktan tersebut dapat digunakan untuk formulasi selanjutnya. Penampakan visual serta hasil pengujian kompatibilitas surfaktan APG komersil dapat dilihat pada Gambar 11 dan Tabel 4.
Gambar 11. Uji kompatibilitas surfaktan APG komersil dengan air formasi lapangan S
24
Tabel 4. Uji kompatibilitas surfaktan APG komersil dengan air formasi lapangan S Kode Surfaktan SK – 02 SK – 03 SK – 05 SK – 06 SK – 50
Kelarutan dalam Air Formasi ++++ ++++ ++++ ++++ ++++
Penampakan dalam Air Formasi *** *** ** *** *
Keterangan : Kelarutan dalam air formasi :
Penampakan dalam air formasi :
****
= sangat jernih
++++
= sangat larut
***
= jernih
+++
= larut
**
= sedikit jernih
++
= sedikit larut
*
= keruh
+
= tidak larut
4.3. PEMILIHAN SURFAKTAN Pemilihan surfaktan merupakan tahapan untuk menentukan satu dari beberapa surfaktan APG komersil yang akan digunakan sebagai formula surfaktan untuk aplikasi Enhanced Water Flooding. Pemilihan ini didasarkan pada nilai tegangan antarmuka (IFT) antara minyak dengan larutan surfaktan dalam air formasi lapangan S. Tegangan antarmuka (IFT) antara minyak mentah dan air garam (brine) merupakan variabel penting dalam perpindahan air/minyak yang tergantung pada komponen pH, minyak mentah dan komposisi fase berair. Semakin kecil nilai tegangan antaramuka yang dihasilkan oleh surfaktan, semakin baik surfaktan tersebut untuk digunakan pada tahap formulasi. Surfaktan APG komersil masing-masing dilarutkan sebesar 0.3 % dalam air formasi lapangan S. Hal ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh SBRC-IPB yaitu formula dengan konsentrasi surfaktan 0.3 % menghasilkan nilai IFT terkecil dan lebih feasible untuk diterapkan dilapangan. Allen and Robert (1993) serta Mulyadi (2000) menyatakan, untuk mengatasi masalah minyak tertinggal didalam pori-pori sebagai by passed oil dapat diatasi dengan menginjeksikan 1-3 % surfaktan ke dalam formasi. Air formasi yang digunakan merupakan air yang berasal dari reservoir lapangan S. Pada proses pemilihan serta formulasi, air formasi yang digunakan telah mengalami proses penyaringan secara bertahap mulai dari saringan 500 mesh, kertas saring pori-pori 21 µm, kertas saring membran 0.45 µm, hingga terakhir dengan menggunakan kertas saring membran 0.22 µm. Proses penyaringan ini dilakukan berdasarkan prosedur yang telah dilakukan oleh Lemigas. Prosedur analisis air formasi Lapangan S dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil analisis yang dilakukan pihak SBRC-IPB terhadap Air Formasi Lapangan S dapat dilihat pada Tabel 5.
25
Tabel 5. Hasil analisis air formasi Lapangan S Parameter
Air Formasi Lapangan S
pH
7.65
Viskositas (cP)
1.05
Densitas (g/cm3)
0.9755
Surfaktan APG komersil yang digunakan memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik kelima jenis surfaktan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) SK-50 Karakteristik
SK-02
SK-03
SK-05
SK-06
SK-50
58.0-62.0
48.0-52.0
48.0-52.0
68.0-72.0
48.0-52.0
HLB
13.2
13.1
12.1
13.6
11.6
Densitas (kg.liter)
1.14
1.11
1.08
1.17
1.07
Viskositas (cPs)
2,800
4000
21,500
4,800
17,000
11.5-12.5
7.0-9.5
11.5-12.5
7.0-9.5
11.5 -12.5
0-4
0-7
0-4
0-4
0-3
Bahan Aktif (%)
pH pada larutan
10%
Warna (gardener)
Sumber : PT. Cognis Indonesia
Kandungan bahan aktif surfaktan-surfaktan APG yang digunakan berada pada kisaran 48.0% 72%. Kandungan bahan aktif menandakan banyaknya bahan aktif dalam surfaktan yang berfungsi sebagai penurun tegangan pada bahan. Nilai HLB digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi yang dihasilkan. HLB yang rendah akan membentuk emulsi water- in- oil (w/o). Sedangkan HLB yang tinggi akan membentuk emulsi oil-in-water (o/w) (Suryani, et al.,2002). Masing-masing surfaktan APG yang digunakan memiliki nilai HLB yang tinggi, sehingga emulsi yang akan dihasilkan yaitu emulsi Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air. Nilai HLB surfaktan APG yang digunakan berada pada kisaran 12.1 sampai 13.6. Nilai HLB pada rentang tersebut berdasarkan konsep Grifin dapat digunakan sebagai detergen, solubilizer, dan dispersant. Penampakan masaing-masing surfaktan dibedakan oleh tingkatan warna. Penampakan visual dari kelima jenis surfaktan tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Penampakan visual masing-masing surfaktan alkil poliglikosida
26
Nilai tegangan antar muka yang dihasilkan antara minyak lapangan S dengan masing-masing larutan surfaktan dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 6. Berdasarkan nilai tersebut dapat dilihat perbandingan kinerja dari masing-masing surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka. Surfaktan SK-02 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 5.58x10-2 dyne/cm, surfaktan SK-03 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 5.50x10-2 dyne/cm, surfaktan SK-05 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 1.99x10-2 dyne/cm, surfaktan SK-06 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 2.91x10-2 dyne/cm, dan surfaktan SK-50 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 1.92x10-2 dyne/cm. Perbandingan dari masing-masing surfaktan dalam menurunkan nilai tegangan antarmuka dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 13. 6.0E-02 0.0558
0.0550
Nilia IFT (dyne/cm)
5.0E-02
APG SK-02
4.0E-02
APG SK-03 0.0291
3.0E-02
APG SK-05 0.0199
2.0E-02
0.0192
APG SK-06 APG SK-50
1.0E-02
0.0E+00 Kode Surfaktan
Gambar 13. Perbandingan Kinerja Surfaktan terhadap Penurunan Nilai Tegangan Antarmuka
Perbedaan nilai tegangan antarmuka surfaktan APG SK-05 dan APG SK-50 sangat kecil yaitu hanya sekitar 0.0007 dyne/cm atau sebesar 7x10 -4 dyne/cm. Perbedaan yang sangat kecil pada tahap awal formulasi sangat berpengaruh terhadap hasil tahap selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan membandingan nilai tegangan antarmuka masing-masing surfaktan saat dicampurkan dengan NaCl konsentrasi 3000 ppm sampai 9000 ppm. Penggunaan konsentrasi ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari perbedaan tegangan antarmuka kedua surfaktan tersebut. Hasil perbandingan dapat dilihat pada Gambar 14.
Nilai IFT (dyne/cm)
1.5E-02
0.0140
0.0108 1.0E-02
0.0112
0.0091 0.0089
0.0081 0.0082 0.0062
5.0E-03 3000
5000
7000
9000
Konsentrasi NaCl(ppm) APG SK50 APG SK05
Gambar 14. Perbandingan penurunan nilai IFT surfaktan APG SK05 dan APG SK50
27
Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai penurunan tegangan antarmuka surfaktan APG SK-50 lebih rendah dibandingkan dengan surfaktan APG SK-05. Hal ini membuktikan bahwa perbedaan yang kecil pada formulasi awal sangat berpengaruh terhadap formulasi selanjutnya. Sehingga surfaktan yang dipilih untuk formulasi tahap lanjut yaitu surfaktan APG SK-50.
4.4. FORMULASI SURFAKTAN Formulasi surfaktan merupakan tahapan untuk menentukan performa terbaik dari surfaktan yang digunakan. Tahapan ini juga merupakan lanjutan dari tahapan sebelumnya yaitu pemilihan surfaktan. Pada tahap ini, surfaktan yang digunakan diformulasikan untuk mendapatkan formula yang mampu menurunkan tegangan antamuka (IFT) antara minyak-air dan merubah sifat batuan yang suka minyak (oil wet) menjadi suka air (water wet). Tahapan formulasi surfaktan dilakukan melalui tahapan terstruktur yaitu dimulai dari optimalisasi salinitas, optimalisasi alkali, sampai optimalisasi co-surfaktan jika belum didapatkan nilai tegangan antarmuka optimal. Menurut BP MIGAS (2009), karakteritik formula surfaktan yang diharapkan untuk tahapan EOR (Enhanced Oil Recovery) harus dapat menurunkan nilai tegangan antar muka/ IFT 10-3–10-6 dyne/cm. Menurut Lemigas (2002), Efektifitas surfaktan dalam menurunkan teganan antarmuka minyak-air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang digunakan, kadar garam larutan dan adsorpsi larutan co-surfaktan. Tahapan formulasi surfaktan dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 15.
Surfaktan APG SK-50
Optimalisasi Salinitas Salinitas Optimum
Optimalisasi Alkali
Optimalisasi Co-Surfaktan ≤ IFT 10-3 dyne/cm
Aplikasi Enhanced Water Flooding Gambar 15. Tahapan Formulasi Surfaktan untuk aplikasi EOR
4.4.1. Optimalisasi Salinitas Optimalisasi salinitas bertujuan untuk mengetahui performa terbaik larutan surfaktan APG SK-50 pada kondisi salinitas optimum pada air formasi lapangan S. Nelson dan Pope (1978)
28
mendefinisikan salinitas optimal sebagai kondisi dimana IFT antara minyak, mikroemulsi dan air terendah. Selain itu, mereka juga mengatakan optimal salinitas penting sebagai parameter peningkatan perolehan minyak berbasis surfaktan dan membantu estimasi kinerja surfaktan. Setiap surfaktan memiliki kondisi salinitas yang berbeda-beda untuk dapat bekerja optimal dalam menurunkan tekanan antar permukaan didalam reservoir. Ashrawi (1984) menyatakan, Jenis surfaktan yang digunakan dalam injeksi kimia/surfaktan harus disesuaikan dengan konsidi reservoir terutama kadar garam, suhu dan tekanan karena akan mempengaruhi daya kerja surfaktan untuk menurunkan tegangan antarmuka (IFT minyak-air). Selain itu, optimalisasi salinitas juga bertujuan untuk mengoptimalkan kadar garam dalam air formasi. Optimalisasi salinitas dilakukan dengan menambahkan bahan kimia Natrium Klorida (NaCl) dalam larutan surfaktan. Untuk mengetahui kondisi optimum tersebut, dilakukan penambahan NaCl dengan konsentrasi yang berbeda taraf mulai dari yang terendah hingga yang terbesar yaitu 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, serta 9000 ppm. Selanjutnya, sebanyak 0.3 % surfaktan dicampurkan dengan air formasi pada masing-masing taraf tersebut. Selanjutnya, masing-masing larutan tersebut diuji nilai IFT-nya untuk mengetahui hubungan dengan konsentrasi NaCl yang digunakan. Nilai IFT pada masing-masing konsentrasi NaCl dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 7. Grafik yang menunjukkan hubungan antara niai IFT yang dihasilkan dengan konsentrasi NaCl yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 16. 2.5E-02 2.32E-02 2.0E-02 Nilai IFT (dyne/cm)
1.79E-02 1.5E-02 1.12E-02
9.08E-03
1.0E-02
8.94E-03 6.20E-03
5.0E-03
0.0E+00 0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
Konsentrasi NaCl (ppm)
Gambar 16. Perbandingan konsentrasi NaCl dalam larutan surfaktan terhadap penurunan tegangan antar permukaan
Hasil tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan APG SK-50 dalam menurunkan tegangan antar muka memiliki kecenderungan menurun pada konsentrasi 0 ppm sampai konsentrasi 7000 ppm dan memiliki kecenderungan naik pada konsentrasi selanjutnya dengan slope positif. Surfaktan APG SK-50 merupakan surfaktan nonionic, surfaktan ini tidak memiliki muatan atau tidak terionisasi pada bagian hidrofiliknya. Sifat hidrofilik pada surfaktan ini disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Surfaktan ini akan menyebabkan water wet baik pada batuan karbonat maupun sandstone (Allen and Robert, 1993; Mulyadi, 2002). Poppy dan Setiasih (2007) menyatakan berdasarkan pengujian pada kertas lakmus merah dan biru. Garam NaCl tidak mengubah warna lakmus merah menjadi biru atau lakmus biru menjadi merah. Hal ini menunjukkan bahwa NaCl bersifat netral. NaCl bersifat mudah larut dalam air dan membentuk ion Na+ dan Cl-. Ion Na+ akan bereaksi dengan gugus hidroksil pada surfaktan
29
membentuk basa. Basa yang terbentuk dapat melarutkan minyak sehingga tegangan antarmuka minyak dan air akan menurun. Proses reaksi ini mencapai kesetimbangan pada konsentrasi garam optimal yaitu pada konsentrasi NaCl 7000 ppm. Penambahan konsentrasi garam pada titik ini tidak akan berpengaruh terhadap reaksi yang dihasilkan melainkan dapat meningkatkan nilai IFT antara minyak dan air. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Ajith et,al. (1994) dan Sampath (1998) menunjukkan bahwa nilai IFT meningkat seiring dengan meningkatnya salinitas atau kadar garam. Ion Na+ yang tidak bereaksi akan mengikat minyak sehingga menghambat atau menghalangi pengikatan minyak oleh gugus lipofilik surfaktan. Hal ini mengurangi gaya adhesi antara minyak dengan surfaktan sehingga tegangan antarmuka surfaktan dan air akan meningkat. Berdasarkan hal tersebut maka konsentrasi yang dipilih yaitu 7000 ppm NaCl. Pada konsentrasi tersebut, didapatkan nilai IFT yang terkecil atau optimum. Selanjutnya, larutan surfaktan dengan salinitas optimum 7000 ppm diformulasikan lagi dengan menggunakan aditif/alkali untuk melihat kemungkinan penurunan nilai IFT antara larutan surfaktan-minyak lapangan S.
4.4.2. Optimalisasi Alkali Larutan surfaktan dengan konsentrasi salinitas 7000 ppm kemudian dioptimalisasi dengan menggunakan alkali. Optimalisasi alkali merupakan tahap lanjutan dari optimalisasi salinitas. Proses optimalisasi alkali yang dilakukan bertujuan untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka yang telah diperoleh dari formulasi sebelumnya. Menurut Technology Assessment Board (1978) larutan yang diinjeksikan pada umumnya mengandung 95 % air formasi/air injeksi (brine), 4% surfaktan, dan 1% aditif. Aditif biasanya berupa alkali yang ditambahkan untuk mengatur viskositas larutan. Alkali yang digunakan adalah NaOH (natrium hidroksida) dan Na2CO3 (natrium karbonat). Sugihardjo et al. (2002) menyatakan bahwa alkali/aditif yang boleh dipergunakan adalah natrium hidroksida (NaOH) dan natrium karbonat (Na2CO3) dengan batas maksimal penggunaan 1% untuk memaksimalkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka. NaOH merupakan basa kuat sedangkan Na2CO3 merupakan garam basa. Penggunaan dua alkali ini didasarkan pada kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu sebagai bahan pembersih. NaOH biasa digunakan dalam sabun dan pembersih, sedangkan Na2CO3 biasanya digunakan sebagai bahan alat pembersih. Selain itu Jackson (2006) juga menyatakan bahwa penambahan natrium karbonat/sodium carbonate digunakan karena dapat menurunkan adsorpsi surfaktan anionik pada batuan reservoir. Karenanya, perambatan / aliran surfaktan dapat lebih cepat dan memungkinkan lebih sedikit surfaktan yang diinjeksi. Besarnya nilai pH yang dihasilkan dari penambahan natrium karbonat telah membantu menjaga kestabilan beberapa surfaktan dan dapat pula digunakan dalam memperbaiki hidrasi polimer. Penggunaan dua bahan ini berfungsi sebagai zat aditif dalam menurunkan nilai IFT minyak dan air. Dalam formula, penambahan zat aditif maksimal sebanyak 1% atau 10000 ppm agar formula tetap ekonomis untuk digunakan. Penggunaan masing-masing alkali divariasikan dengan rentang 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, dan 9000 ppm. Kinerja masing-masing alkali dalam menurunkan nilai IFT larutan surfaktan–minyak lapangan S dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 8. Sementara, grafik hubungan antara nilai IFT yang dihasilkan masing-masing alkali ditunjukkan oleh Gambar 17.
30
1.0E-02
Nilai IFT (dyne/cm)
8.0E-03
6.0E-03
4.0E-03
2.94E-03
2.77E-03
2.0E-03
0.0E+00 0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
Konsentrasi Alkali (ppm) NaOH
Na2CO3
Gambar 17. Perbandingan kinerja masing-masing alkali terhadap penurunan nilai IFT
Grafik tersebut menunjukkan nilai IFT yang dihasilkan pada masing-masing alkali. Pada NaOH, penambahan konsentrasi sebesar 1000 ppm dapat menurunkan nilai IFT formula sampai 2,94x10-3 dyne/cm. Pada penambahan konsentrasi NaOH yang lebih besar, memiliki kecenderungan untuk meningkatkan nilai IFT. NaOH merupakan basa kuat, sehingga penambahan sedikit saja pada larutan dapat mempengaruhi pH yang dihasilkan. Minyak lapangan S yang digunakan memiliki pH asam dengan nilai 4.58. Reaksi antara basa kuat dan asam akan menyebabkan terjadinya reaksi penetralan ditandai dengan terbentuknya garam. Selain itu, gugus lipofilik surfaktan berasal dari minyak nabati. Campuran antara NaOH dengan minyak menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi atau penyabunan. Pada penambahan NaOH 1000 ppm, reaksi saponifikasi memiliki reaksi yang lebih besar dibandingkan reaksi penetralan. Sehingga, pada konsentrasi ini terjadi penurunan nilai IFT. Namun, pada penambahan NaOH lebih besar dari 1000 ppm diduga reaksi penetralan lebih besar sehingga garam yang dihasilkan semakin banyak. Garam yang dihasilkan menyebabkan terjadinya peningkatan nilai IFT antara formula dengan minyak. Sedangkan pada Na2CO3 , semakin banyak konsentrasi yang ditambahkan justru semakin menurunkan nilai IFT dengan nilai minimum pada konsentrasi 9000 ppm dengan nilai IFT sebesar 2,77x10-3 dyne/cm. Na2CO3 merupakan senyawa garam yang bersifat basa. Alkali ini dapat bereaksi dengan asam lemak pada gugus lipofil surfaktan membentuk reaksi saponifikasi atau penyabunan. Berbeda dengan NaOH, garam tidak membentuk reaksi penetralan dengan minyak. Sehingga, penambahan Na2CO3 dengan konsentrasi yang semakin meningkat akan meningkatkan reaksi saponifikasi yang dapat menurunkan nilai IFT formula dengan minyak. Penurunan nilai IFT ini berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi Na2CO3. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa Na2CO3 menghasilkan nilai IFT yang lebih kecil daripada NaOH yaitu 2,77x10-3 dyne/cm untuk Na2CO3 dan 2,94x10-3 dyne/cm NaOH. Namun, untuk mencapai nilai optimal alkali tersebut Na2CO3 membutuhkan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan NaOH. Sehingga, alkali yang digunakan sebagai formulasi surfaktan untuk aplikasi Enhanced Water Flooding yaitu NaOH. Hal ini didasarkan kepada nilai ekonomis dari penggunaan alkali NaOH yang lebih besar dibanding Na2CO3 , sementara nilai IFT yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Menurut Allen dan Roberts (1993), untuk memenuhi target yang hendak dicapai dalam penerapan EOR, selain pertimbangan karakteristik minyak dan reservoir, yang juga perlu diperhatikan adalah nilai ekonomis dari proyek EOR tersebut.
31
4.5. UJI KINERJA FORMULA SURFAKTAN 4.5.1. Uji Thermal Stability Uji thermal stability bertujuan untuk mengetahui kestabilan formula larutan surfaktan yang akan digunakan terhadap suhu reservoir lapangan minyak. Suhu pada reservoir lapangan minyak lebih tinggi dibandingkan dengan suhu ruang. Kondisi thermal merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap degradasi formula surfaktan. Menurut Sugihardjo (2001), salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas formula surfaktan selama mengalir dalam media berpori adalah degradasi formula surfaktan. Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk melihat terjadinya degradasi formula surfaktan terhadap suhu antara lain; tegangan antarmuka (IFT), densitas, nilai pH, dan viskositas. Pengujian dilakukan pada suhu 70 0C selama minimal satu bulan. Nilai IFT, densitas, pH, serta viskositas dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil pengujian Thermal Stability formula surfaktan pada suhu reservoir Waktu pengamatan (Ts) hari
Nilai IFT (dyne/cm)
Densitas (gram/cm3)
Nilai pH
Viskositas (cP)
0
4,74x10-03
0,990
8,50
0,70
7
5,43x10
-03
0,991
9,00
0,69
14
1,01x10-03
0,991
9,00
0,69
21
-03
0,990
8,75
0,69
-03
0,991
8,75
0,69
30
1,87X10 1,79x10
Nilai IFT yang didapat dari pengujian Thermal selama 30 hari menunjukkan hasil yang berfluktuasi. Pada minggu pertama formula surfaktan berada pada nilai IFT tertinggi. Kemudian, pada minggu selanjutnya formula surfaktan berada pada nilai IFT terendah dari minggu sebelumnya. Lama pemanasan terhadap formula surfaktan seharusnya mendegradasi formula surfaktan tersebut sehingga nilai IFT yang dihasilkan mengalami peningkatan. Rosen (2004) menyatakan bahwa degradasi surfaktan menyebabkan surfaktan kehilangan komponen aktifnya. Menurut Buckley (1996), jumlah bahan aktif permukaan tidak dapat diukur secara langsung. Tapi mereka dapat disimpulkan oleh perubahan sifat antarmuka termasuk mobilitas IFT dan elektroforesis dengan komposisi air garam. Hal ini membuat perubahan terhadap densitas pada larutan tidak bisa dikaitkan dengan jumlah bahan aktif pada larutan surfaktan tersebut. Perbedaan jumlah bahan aktif yang terdapat pada larutan surfaktan pada waktu pengamatan yang berbeda menyebabkan terjadinya fluktuasi nilai IFT dari hari ke-0 hingga kari ke-30. Perbedaan nilai IFT ini selain dipengaruhi oleh lama pemanasan, juga disebabkan oleh berubahnya pH fase larutan. Perbedaan nilai IFT pada hari ke-0 sampai hari ke-30 tidak terlalu signifikan yaitu masih dalam kisaran 10-3 dyne/cm, sehingga dapat dikatakan surfaktan APG SK-50 memiliki stabilitas yang cukup baik terhadap lama pemanasan. Hubungan antara lama pemanasan terhadap nilai IFT yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 18.
32
Nilai IFT (dyne/cm)
1.5E-02
1.0E-02
5.0E-03
5.43E-03
4.89E-03
1.87E-03
1.01E-03
1.79E-03
0.0E+00 0
5
10
15 Hari ke-
20
25
30
Gambar 18. Grafik hubungan lama pemanasan terhadap nilai IFT Nilai pH (derajat keasaman) digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan suatu bahan. Pengukuran nilai pH dilakukan untuk mengetahui pengaruh panas terhadap tingkat keasaman larutan surfaktan. Suatu bahan berada pada kondisi pH netral jika bahan dengan pH 7 sedangkan suatu bahan bersifat asam jika bahan dengan pH berkisar antara 0–6 serta suatu bahan bersifat basa jika bahan dengan pH berkisar antara 8–14. Pengukuran nilai pH dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus. Nilai pH formula surfaktan SK-50 sebelum pemanasan bersifat basa dengan pH berkisar antara 8.5. Air formasi lapangan S bersifat basa dengan pH 7.65, surfaktan APG SK-50 bersifat basa dengan pH 11.5 – 12.5 pada 10 % larutan. Selain itu, penambahan NaCl serta NaOH kemungkinan juga mempengaruhi nilai pH pada formula surfaktan ini. Hasil pengujian thermal selama 30 hari menunjukkan peningkatan nilai pH pada minggu pertama dan kedua, sedangkan pada minggu berikutnya mengalami penurunan hingga mencapai pH yang relative stabil dengan nilai 8.75. Surfaktan alkil poliglikosida (APG) merupakan jenis surfaktan nonionik. Pada surfaktan nonionik tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Sifat ini membuat surfaktan APG sangat kompatibel dengan bahan kimia lainnya yang digunakan dalam operasi produksi sumur minyak, serta karakteristik deterjensi yang baik menjadi keunggulan surfaktan Alkil Poliglikosida (APG). Proses pemanasan dapat mempercepat tumbukan molekul-molekul yang terdapat dalam formula surfaktan. Namun, pada surfaktan APG SK-50 lama pemanasan tidak mempengaruhi nilai pH secara nyata. Hal ini disebabkan karena surfaktan APG bersifat nonionik sehingga suhu tidak menyebabkan molekul surfaktan terionisasi yang dapat merubah nilai pH larutan. Perubahan pH yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh interaksi penyusun formula surfaktan yang lainnya. Hubungan antara lama pemanasan dengan nilai pH ditunjukkan pada Gambar 19.
33
10
Nilai pH
9
9.00
9.00
8.75
8.50
8.75
8
7
6 0
5
10
15 Hari ke-
20
25
30
Gambar 19. Grafik hubungan lama pemanasan dengan nilai pH formula surfaktan
Nilai tegangan antarmuka memiliki hubungan dengan nilai pH. Pada formula surfaktan APG SK-50 optimal, konsentrasi NaOH menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi atau penyabunan. Reaksi ini membentuk surfaktan in-situ saat digunakan dengan minyak lapangan S yang bersifat asam. Surfaktan in-situ yang terbentuk pada reaksi ini dapat menurunkan tegangan antarmuka. Buckley dan Fan (2005) menyatakan bahwa ketika pH fase berair sangat tinggi atau sangat rendah, komposisi kelompok-kelompok fungsional asam dan basa pada minyak mentah dapat bereaksi membentuk surfaktan in-situ. Surfaktan ini lebih lanjut dapat mengubah IFT sebagai fungsi waktu. Degradasi pada formula surfaktan menyebabkan surfaktan tersebut terurai menjadi senyawasenyawa yang memiliki berat molekul lebih kecil. Hal ini menyebabkan densitas yang dihasilkan dari formula surfaktan tersebut semakin kecil. Pada formula surfaktan APG SK-50, perbedaan densitas terhadap lama pemanasan tidak terlalu signifikan yaitu hanya sekitar 10 -4 gram/cm2, sehingga dapat dikatakan bahwa lama pemanasan tidak begitu berpengaruh terhadap struktur molekul surfaktan APG SK-50. Hubungan antara lama pemanasan terhadap densitas formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 20.
Nilai Densitas (gram/cm3)
1.05
1.00
0.991
0.990
0.991
0.990
0.991
0.95 0
5
10
15
20
25
30
Hari ke-
Gambar 20. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan densitas formula surfaktan
Viskositas merupakan salah satu sifat fluida yang menunjukkan cepat atau lambatnya fluida tersebut mengalir. Viskositas dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul fluida tersebut. Satuan viskositas yaitu poise. Satu poise berarti viskositas larutan ketika 1 dyne gaya bekerja pada 1cm2 penampang luas suatu plat dimana untuk jarak 1 cm menyebabkan laju aliran sebesar 1 cm/detik.
34
Berdasarkan definisi tersebut, semakin besar viskositas suatu fluida maka semakin kental/viskos fluida tersebut dan semakin lambat untuk mengalir. Hasil uji thermal formula surfaktan menunjukkan bahwa viskositas formula surfaktan berfluktuasi terhadap lama pemanasan. Pada minggu pertama nilai viskositas menurun. Kemudian pada minggu berikutnya viskositas kembali naik dan terus berfluktuasi pada minggu selanjutnya. Seharusnya lama pemanasan mempengaruhi viskositas suatu fluida. Menurut Holmberg (2003), suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul suatu fluida. Ikatan molekul yang terdegradasi berdampak terhadap pemutusan ikatan antar molekul sehingga mengakibatkan penurunan nilai densitas dan nilai viskositas suatu bahan. Selain itu, Purwantana (2005) menyatakan bahwa viskositas suatu bahan pada umumnya sangat tergantung pada suhu, viskositas turun dengan kenaikan suhu. Degradasi molekul suatu fluida menyebabkan konsentrasi partikel berkurang sehingga menyebabkan penurunan nilai densitas dan viskositas fluida tersebut. Adanya fluktuasi nilai viskositas ini antara lain disebabkan oleh kerusakan serta ketidak homogenan formula surfaktan sehingga hasil pengukuran berfluktuasi. Namun demikian, perbedaan nilai viskositas formula surfakatan APG SK-50 tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa formula surfaktan tersebut tidak mengalami degradasi yang terlalu besar sehingga dapat dikatakan bahwa viskositas formula surfakatan tersebut stabil terhadap lama pemanasan. Hubungan antara lama pemanasan dengan nilai viskositas dapat dilihat pada Gambar 21.
Nilai Viskositas (cP)
0.80
0.75 0.70
0.70
0.69
0.70
0.70
0.69
0.65
0.60 0
5
10
15
20
25
30
Hari ke-
Gambar 21. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan viskositas formula surfaktan
4.5.2. Uji Phase Behavior Uji phase behavior bertujuan untuk melihat terbentuknya fasa antara larutan surfaktan dengan minyak bumi. Uji ini juga digunakan untuk mengetahui compatibility atau kecocokan antara surfaktan dengan fluida minyak. Terdapat empat tipe kelakuan fasa yaitu emulsi fasa bawah dan terjadi kelebihan fasa minyak (excess oil). Kedua adalah tipe fasa tengah (mikroemulsi), terdiri dari 3 fasa, terjadi kelebihan air dan juga minyak. Ketiga adalah tipe emulsi fasa atas (minyak) dengan kelebihan fasa air (excess water), dan keempat adalah tipe makroemulsi. Menurut Levitt (2006), kelakuan fasa mikroemulsi dideskripsikan sebagai Winsor tipe I, tipe II dan tipe III. Perubahan kelakuan fasa dapat terjadi akibat perubahan salinitas, suhu, struktur surfaktan atau equivalent alkane carbon number (EACN) pada minyak. Pada salinitas rendah, tipe I atau mikroemulsi minyak-dalam-air baru terjadi diakibatkan oleh kelebihan fasa air. Pada salinitas sangat tinggi, tipe II atau mikroemulsi air-dalam-minyak terbentuk diakibatkan oleh kelebihan fasa minyak. Tipe III atau fasa yang terbentuk di antara tipe I dengan tipe II dimana mikroemulsi minyak
35
dan air terbentuk yang dikenal sebagai fasa tengah serta terjadi keseimbangan antara kelebihan fasa air dengan kelebihan fasa minyak. Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak dengan proses injeksi surfaktan. Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah (Fase Form III) atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Lemigas, 2002). Pada kondisi tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan berjalan efektif. Kondisi mikroemulsi dapat dicapai dengan beberapa faktor salah satunya yaitu konsentrasi surfaktan yang digunakan. Mikroemulsi/fasa tengah membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibanding dengan fasa bawah maupun fasa atas. Selain itu, kelakuan fasa tengah/mikroemulsi dipengaruhi juga oleh salinitas air pelarut, suhu, jenis dan konsentrasi alkohol, serta jenis minyak yang digunakan. (Lemigas,2001) Penentuan uji phase behavior dilakukan secara visual dengan membandingkan antara fasa larutan surfaktan terhadap fasa minyak. Pengamatan dilakukan selama minimal 1 bulan pada suhu reservoir 700C. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kelakuan fase yang terbentuk adalah fase bawah dimulai dari hari ke-7 sampai hari ke-30. Pada hari ke-7 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05 ml. Pada hari ke-14 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.075 ml. Pada hari ke-21 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05-0.075 ml. Sedangkan pada hari ke-30 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05-0.1 ml. Terjadinya kelebihan air ini mengindikasikan bahwa kinerja larutan surfaktan baik hingga hari ke-30. Hasil pengamatan phase behavior dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 22.
I
II
T0
I
II
T7
I
II
T14
I
II
T21
I
II
T30
Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari ke-0 sampai hari ke-30.
Terbentuk warna putih susu mulai dari hari ke-7 sampai hari ke-30 diperkirakan karena terlarutnya molekul minyak kedalam formula surfaktan. Terlarutnya molekul minyak disebabkan oleh perbedaan densitas yang kecil antara minyak lapangan S dan formula surfaktan yaitu sebesar 0.916 untuk densitas minyak dan 0.991 untuk densitas formula surfaktan. Selain itu, adanya NaOH pada formula surfaktan dapat melarutkan minyak sehingga minyak terdispersi dalam formula surfaktan. Untuk mengamati terjadinya pelarutan minyak dalam surfaktan dilakukan uji mikroskop. Hasil pengamatan dengan mikroskop menunjukkan partikel yang mampu ditangkap oleh mikroskop berukuran 2.7 – 21.5 µm (Gambar 23). Partikel tersebut merupakan partikel minyak yang terlarut dalam formula surfaktan.
36
Gambar 23. Hasil pengamatan emulsi phase behavior dengan menggunakan mikroskop
Pada uji ini juga dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Jika selama pengamatan hanya terbentuk dua fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut :
Keterangan : Po = Kelarutan minyak Vo = Volume minyak awal Vo’ = Volume minyak selama pengamatan Vs = Volume surfaktan Lain halnya terbentuk tiga fasa dimana dilihat kelarutan air terhadap lama pemanasan. Jika selama pengamatan terbentuk tiga fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut :
Keterangan : Pw = Kelarutan air Vw = Volume air awal Vw’= Volume air selama pengamatan Vs = Volume surfaktan Berikut ini adalah ilustrasi kelakuan fasa dalam perhitungan :
Vo
Vo’
Vo’
emulsi Vw (a)
Vw’ (b)
Vw’ (c)
Gambar 24. (a) Kelakuan fasa awal; (b) Terbentuk dua fasa; (c) Terbentuk tiga fasa
Selama 30 hari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa kelakuan fasa yang terbentuk adalah fasa bawah. Pada fasa bawah hanya terbentuk dua fasa yaitu fasa air dan fasa
37
minyak. Oleh karena itu, dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Berikut ini adalah grafik hubungan antara kelarutan minyak (Po) terhadap lama pemanasan : 0.04 0.032
Po
0.03
0.035
0.030
0.02
0.020
0.01
0
0
5
10
15
20
25
30
Hari ke-
Gambar 25. Grafik hubungan antara kelarutan minyak dengan lama pemanasan Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kelarutan minyak (Po) meningkat seiring dengan lama pemanasan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa emulsi yang terbentuk berada pada fase air sehingga menambah volume air dan mengurangi volume minyak. Kelarutan minyak tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan yang baik karena formula surfaktan mampu membentuk emulsi.
4.5.3. Uji Filtrasi Uji filtrasi bertujuan untuk mengetahui keberadaan butiran (precipitant) dalam larutan surfaktan. Uji filtrasi dilakukan dengan mengalirkan formula surfaktan yang akan digunakan dengan filtrasi secara bertahap mulai dari filtrasi 500 mesh, filtrasi 21 µm, sampai filtrasi 0.45 µm. Kemudian dibuat grafik hubungan antara volume dan waktu dari filtrasi tersebut. Setelah dilihat hubungan antara volume dan waktu, laju alir / filtration rate (Fr) dari surfaktan juga dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini :
Keterangan:
t100
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 100 ml
t200
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 200 ml
t400
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 400 ml
t500
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 500 ml
Uji ini dilakukan terhadap dua jenis bahan yaitu air formasi dari Lapangan S dan formula larutan surfaktan yang bertujuan untuk membandingkan laju alir dari masing-masing bahan. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan kecepatan aliran fluida yang akan diinjeksikan ke dalam reservoir.
38
Parameter lain yang diukur dari uji ini yaitu nilai IFT dari setiap tahap penyaringan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap nilai IFT dari formula surfaktan. Hasil penyaringan formula surfaktan dan air formasi pada filtrasi 500 mesh menghasilkan Fr sebesar 1.39 dan 10.17. Hasil penyaringan dengan filtrasi 500 mesh dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini menunjukkan bahwa laju alir formula surfaktan yang digunakan lebih cepat dibandingkan dengan laju alir air formasi lapangan S. Namun, hasil ini masih lebih besar dari 1.2 , sehingga bisa dikatakan baik formula maupun air formasi belum memiliki kinerja laju alir yang baik. Grafik perbandingan penyaringan antara air formasi dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 26.
500
Volume (ml)
400 300
AF Lapangan S
200
Formula Surfaktan
100 0 0
50
100 150 Waktu Alir (detik)
200
250
Gambar 26. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtasi 500 mesh
Selanjutnya setelah penyaringan 500 mesh, masing-masing bahan disaring dengan filtrasi 21 µm. Hasil penyaringan menunjukkan bahwa laju alir air formasi lapangan S lebih cepat dibanding dengan laju alir formula surfaktan yaitu dengan nilai 2.64 untuk air formasi dan 3.73 untuk larutan surfaktan. Hasil penyaringan dengan filtrasi 21 µm dapat dilihat pada Lampiran 10. Grafik perbandingan antara air formasi lapangan S dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 27.
500
Volume (ml)
400 AF Lapangan S
300
Formula Surfaktan
200 100 0 0
500
1000
1500 2000 2500 Waktu Alir (detik)
3000
3500
Gambar 27. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtrasi 21 µm
Setelah melewati filtrasi 21 µm, masing-masing bahan kemudian disaring dengan menggunakan filtasi 0.21 µm. Proses penyaringan dilakukan dengan memberikan tekanan sebesar 1.5 bar. Hal ini dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Lemigas. Hasil penyaringan
39
menunjukkan bahwa laju alir air formasi lapangan S lebih cepat dibandingkan dengan laju alir formula surfaktan yaitu dengan nilai 9.67 untuk air formasi dan 12.02 untuk formula surfaktan. Hasil penyaringan dengan filtrasi 0.21 µm dapat dilihat pada Lampiran 11. Grafik perbandingan antara air formasi dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 28.
500
Volume (ml)
400 300
AF Lapangan S
200 Formula Surfaktan
100 0 0
1000
2000
3000 4000 5000 Waktu Alir (detik)
6000
7000
8000
Gambar 28. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtrasi 0.45 µm
Berdasarkan grafik perbandingan diatas, dapat dilihat bahwa laju alir dari air formasi dan formula surfaktan masih diatas laju alir yang ditetapkan sebesar 1.2. Hal antara lain disebabkan oleh ukuran molekul yang terdapat dalam air formasi maupun formula surfaktan sehingga dapat menghambat laju alir dari surfaktan tersebut. Molekul yang terdapat pada formula surfaktan dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Hasil pengamatan oleh mikroskop dapat dilihat pada Gambar 29.
54.0µm
3.1µm 20.2µm
(a)
(b)
41.9µm
136.4µm
77.2µm
14.3µm
(c)
(d)
Gambar 29. Hasil pengamatan mikroskop molekul pada formula surfaktan. (a) Sebelum penyaringan 500 mesh (28 µm). (b) Sebelum penyaringan 21µm. (c) Sebelum penyaringan 0.45µm. (d) Setelah penyaringan 0.45µm
40
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa molekul formula surfaktan sebelum disaring dengan menggunakan kain saring 500 mesh (28 µm) yang terlihat sebesar 54.0 µm. Ukuran molekul tersebut lebih besar daripada ukuran pori-pori filtrasi. Molekul ini dapat menyumbat pori-pori filtrasi sehingga laju alir surfaktan menjadi terhambat. Setelah disaring dengan menggunakan filtrasi 500 mesh, formula tersebut kemudian disaring dengan menggunakan filtrasi 21 µm. Molekul formula surfaktan yang dapat teramati sebelum penyaringan sebesar 3.1 µm sampai 20.2 µm. Ukuran molekul tersebut dapat melewati filtrasi 500 mesh dengan mudah. Namun, terbentuknya busa pada saat penyaringan menyebabkan laju alir formula surfaktan tersebut terhambat. Terbentuknya busa ini kemungkinan disebabkan adanya udara diantara filtrasi dan permukaan corong. Pembentukan busa dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30. Pembentukan busa pada saat penyaringan
Formula surfaktan hasil penyaringan filtrasi 21µm memiliki molekul yang dapat teramati sebesar 14.3 µm. Namun, molekul-molekul tersebut bersatu membentuk molekul gel dengan ukuran 136.4 µm. Formula surfaktan tersebut disaring dengan menggunakan filtrasi membran 0.45 µm dengan tekanan dari gas nitrogen sebesar 1.5 bar. Pemberian tekanan bertujuan untuk menghindari terbentuknya busa. Ukuran molekul yang lebih besar daripada pori-pori kertas membran menyebabkan pori-pori kertas membran tersumbat sehingga laju alir formula surfaktan menjadi sangat lambat. Proses penyatuan molekul kecil menjadi molekul yang lebih besar kemungkinan disebabkan oleh reaksi antara ion-ion pada surfaktan dengan garam sehingga molekul-molekul tersebut saling bergabung dan mengendap didasar formula. Untuk melihat hubungan antara filtrasi dengan nilai tegangan antar muka (IFT) dan nilai densitas formula surfaktan dilakukan uji IFT dan densitas pada setiap tahap penyaringan. Hasil uji IFT dan densitas pada uji filtrasi dapat dilihat pada Lampiran 12. Hubungan filtrasi dengan nilai IFT dapat dilihat pada Gambar 31.
Nilai IFT (dyne/cm)
2.0E-03
1.5E-03
1.26E-03
1.28E-03 1.06E-03
1.0E-03
7.89E-04
5.0E-04
0.0E+00 tanpa saring
500 mesh
22 µm
0.45 µm
Gambar 31. Hubungan filtrasi dengan nilai IFT pada formula surfaktan APG SK-50
41
Selain itu, untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap molekul-molekul formula surfaktan dilakukan uji densitas. Hubungan antara filtrasi dengan nilai densitas formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 32.
Nilai densitas (gram/cm)
1.05
1.00
0.99050
0.99030
0.99030
0.99046
tanpa saring
500 mesh
22 µm
0.45 µm
0.95
Gambar 32. Hubungan filtrasi dengan nilai densitas pada formula surfaktan APG SK-50
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa proses filtrasi memiliki pengaruh terhadap peningkatan nilai IFT. Hal ini dapat disebabkan oleh ikut tersaringnya bahan aktif yang terdapat pada surfaktan sehingga kemampuan untuk menurunkan nilai IFT-nya berkurang. Namun, hal ini tidak terjadi pada penyaringan dengan filtrasi 0.45 µm. Hal ini kemungkinan dikarenakan penyaringan dengan filtrasi 0.45 µm merupakan penyaringan terakhir sehingga micelle yang terbentuk tidak tersaring lagi sehingga nilai IFT kembali turun. Sedangkan untuk nilai densitas, berbanding erbalik dengan nilai IFT dimana untuk nilai IFT yang menurun, nilai densitas mengalami peningkatan. Hal ini kemungkinan dikarenakan micelle yang terbentuk ikut tersaring sehingga bobot molekulnya berkurang, nilai densitas pun menurun yang menyebabkan naiknya nilai IFT karena kehilangan bahan aktifnya.
4.6. ENHANCED WATER FLOODING 4.6.1. Karakteristik Minyak Bumi yang digunakan Minyak bumi dari lapangan S yang dipakai dalam penelitian ini secara umum memiliki karakteristik sebagai berikut.
Tabel 8. Karakteristik minyak bumi lapangan S Parameter
Nilai
Densitas (g/cm3)
0.91576 3
Spesifik grafity (g/cm ) o
Derajat API ( API) Aspaltine
0.91667 22.8635 Positif (+)
Densitas didefinisikan sebagai massa dari satuan volume suatu fluida (minyak) pada kondisi tekanan dan temperatur tertentu. Spesifik grafiti merupakan perbandingan dari densitas suatu fluida
42
(minyak) terhadap densitas air. Baik densitas air maupun fluida tersebut diukur pada kondisi yang sama (60° F dan 14.7 Psia). Sedangkan, derajat API (API Gravity) merupakan satuan yang digunakan untuk menyatakan berat jenis minyak dan digunakan sebagai dasar klasifikasi minyak bumi yang paling sederhana. Klasifikasi minyak mentah didasarkan pada derajat API atau kerapatan relatif, jika derajat API minyak mentah tinggi atau kerapatan relatif minyak mentah rendah, maka ada kecenderungan bahwa minyak mentah tersebut mengandung fraksi ringan dalam jumlah yang besar. Berdasarkan gravitas API atau kerapatan relatif, minyak mentah dibagi dalam 5 jenis minyak mentah, yaitu: minyak mentah ringan, minyak mentah ringan sedang, minyak mentah berat sedang, minyak mentah berat, minyak mentah sangat berat, seperti terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Klasifikasi Minyak Bumi Berdasarkan Derajat API dan Kerapatan Relatif Jenis Minyak Mentah
Dari
Ringan
>39,0
Medium Ringan
39,0
35,0
0,830
0,850
Medium Berat
35,0
35,0
0,850
0,865
Berat
35,0
24,8
0,865
0,905
Sangat Berat
<24,8
Gravitas API Sampai
Kerapatan Relatif Dari
Sampai
<0,830
>0,905
Sumber: Kontawa (1995)
Penentuan kerapatan relatif dilakukan untuk mengetahui golongan dari minyak mentah yang diuji yang biasanya mengacu kepada harga minyak bumi. Berdasarkan data yang diperoleh, minyak bumi yang dipakai pada penelitian ini termasuk kategori sangat berat dengan derajat API sebesar 22.86 dan kerapatan relatif/densitas 0.91576. minyak dalam kategori ini memiliki kecenderungan bahwa minyak mentah tersebut mengandung banyak fraksi berat. Minyak dengan fraksi berat akan dihargai lebih murah dibanding minyak yang mengandung fraksi ringan karena mengandung banyak pengotor. Selain itu, minyak mentah yang digunakan juga diuji kadar aspaltine untuk melihat komposisi hidrokarbon secara umum. Selain itu, uji ini juga bertujuan untuk mengetahui polar atau tidaknya suatu minyak dari kelarutannya dalam n-heksana. Apabila minyak mentah larut seluruhnya, maka minyak tersebut bisa dikatakan non-polar dan sebaliknya. Hasil pengujian aspaltine minyak lapangan S dapat dilihat pada Gambar 33.
(a)
(b)
Gambar 33. (a) Sebelum uji aspaltine dan (b) Setelah uji aspaltine
43
Hasil tersebut menunjukkan bahwa minyak lapangan S mengandung sedikit aspaltine. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya endapan pada setiap pengenceran. Sehingga dapat dikatakan bahwa minyak lapangan S bersifat polar dan digolongkan ke dalam minyak mentah alkana. Irapati (2008) mengatakan bahwa secara umum komposisi hidrokarbon minyak mentah terdiri dari dua komponen yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu minyak mentah alkana, minyak mentah siklo alkana dan minyak mentah campuran. Berikut adalah sifat dari jenis minyak mentah: a. Minyak Mentah Alkana Minyak mentah alkana mempunyai kerapatan relatif yang rendah, susunan hidrokarbonnya bersifat alkana, mengandung kadar wax yang tinggi dan sedikit mengandung komponen asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas kurang baik karena mempunyai angka oktan yang rendah, menghasilkan kerosine , solar dan wax yang bermutu baik. b. Minyak Mentah Siklo Alkana Minyak mentah sikloalkana mempunyai kerapatan relatif yang tinggi, susunan hidrokarbonnya bersifat siklo alkana, sedikit sekali mengandung kadar lilin dan mengandung komponen asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas baik karena mempunyai angka oktan yang tinggi, menghasilkan kerosine yang kurang baik, solar bersifat ringan-berat sampai kurang baik, dapat diproses untuk pembuatan asphalt dan fuel oil. c. Minyak Mentah Campuran Minyak mentah campuran mempunyai kerapatan relatif diantara jenis parafinik dan naftenik, Susunan hidrokarbonnya mengandung parafinik, naftenik dan aromatik, tipe minyak ini dapat diproses menjadi berbagai jenis produk minyak bergantung dari tipe unit pengolahannya. Hidrokarbon merupakan unsur pokok terbesar dalam minyak bumi dengan konsentrasi antara 50 sampai 95%. Sisanya merupakan senyawa –senyawa non-hidrokarbon misalnya nitrogen, belerang, oksigen, dan logam. Hidrokarbon minyak bumi merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon dan hidrogen dan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu hidrokarbon alifatik, hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik. Hidrokarbon alifatik atau disebut juga parafinik adalah senyawa yang mempunyai rantai atom karbon jenuh terbuka. Senyawa parafin yang didapatkan dari minyak bumi mengandung 1 sampai lebih dari 78 atom C. Wujud paraffin dengan jumlah atom C kurang dari 5 adalah bentuk gas. Jumlah atom C dari 5 sampai dengan 16 adalah bentuk cair dan jumlah atom C lebih dari 16 adalah bentuk padat dan semi padat. Hidrokarbon alisiklik atau disebut juga neftenik adalah senyawa yang umumnya berbentuk cincin dan tidak mempunyai ikatan ganda. Senyawa ini bersifat stabil dan tahan terhadap oksidasi. Titik didih senyawa ini 10 oC sampai 20oC lebih tinggi dari senyawa hidrokarbon alifatik dengan jumlah atom yang sama (Speight, 1980). Hidrokarbon aromatik merupakan senyawa yang sangat kompleks, termasuk diantaranya senyawa – senyawa aromatik dengan substitusi mono, di, dan poli alkil maupun tanpa substitusi. Dalam minyak bumi senyawa ini jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan parafin atau neftena. Senyawa non-hidrokarbon didalam minyak bumi terutama disusun oleh senyawa organik yang mengandung nitrogen, belerang, oksigen, dan logam organik (organometalik). Selama proses penyulingan, komponen nonhidrokarbon terkumpul dalam minyak fraksi berat dan residu, yaitu dengan titikdidih diatas 350 oC – 400oC.
44
4.6.2. Coreflooding Test Coreflooding test merupakan simulasi penginjeksian fluida kedalam reservoir yang bertujuan untuk mengetahui pengambilan minyak bumi dengan melakukan pendesakan pada core sintetik. Pendesakan dilakukan dengan menggunakan air formasi lapangan S dan formula surfaktan. Dalam coreflooding test terdapat parameter-parameter input yang perlu diperhatikan yaitu batuan, sifat fluida yang diinjeksikan serta recovery factor. Batuan yang digunakan adalah batuan yang memiliki kesamaan dengan batuan di lapangan baik porositas maupun permeabilitas. Sedangkan, sifat fluida disesuaikan dengan karakteristik reservoir (berupa suhu dan tekanan) dimana pada lapangan S bersuhu 70oC sehingga selama proses coreflooding test harus berada pada suhu 70oC dan tekanan 10 psi. Sementara itu, recovery factor yang dimaksud adalah faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya recovery minyak yang diperoleh. Faktor-faktor tersebut adalah jenis surfaktan, konsentrasi surfaktan dan lama perendaman batuan dalam surfaktan. Alat yang digunakan untuk coreflooding test yaitu core holder. Core holder terdiri dari core holder, tabung injeksi minyak, air formasi, dan surfaktan, gas nitrogen, serta gelas ukur. Gas nitorgen digunakan untuk menginjeksikan fluida berupa minyak bumi, air formasi dan larutan surfaktan dari dalam tabung masing-masing ke core holder. Suhu pada tabung injeksi dan core holder diatur sesuai suhu reservoir yaitu 70oC, kemudian pada core holder diberikan tekanan sampai 10psi, sedangkan pada tabung injeksi diberikan tekanan 1.5 bar. Pemberian tekanan pada core holder bertujuan untuk mengikat core sehingga mencegah kebocoran fluida, sedangkan pemberian tekanan pada tabung injeksi bertujuan untuk menginjeksikan fluida kedalam pori-pori core sintetik. Fluida diinjeksikan melewati pori-pori core sintetik yang berada di dalam core holder. Selanjutnya, fluida yang keluar ditampung pada gelas ukur yang tepat berada di bawah saluran keluar fluida pada core holder. Fluida yang keluar diukur volumenya sebagai hasil coreflooding. Pada tahap pertama, fluida yang diinjeksikan kedalam core sintetik yaitu minyak lapangan S. Minyak ini mendorong fluida berupa air formasi yang telah tersaturasi dalam core. Minyak yang masuk ke dalam core sebanding dengan air formasi yang keluar pada injeksi tersebut. Air formasi lapangan S yang keluar diukur untuk mengetahui porevolume (PV) yang dimiliki oleh core. Pada tahap kedua, fluida yang diinjeksikan berupa air formasi lapangan S untuk mendorong minyak yang telah diinjeksikan sebelumnya. Penggunaan air formasi dikarenakan pada lapangan S belum tersedia WIP/ air injeksi. Injeksi pada tahap kedua ini merupakan simulasi tahap sekunder dalam recovery minyak yang dikenal dengan waterflooding. Proses injeksi ini berhenti jika tidak ada lagi minyak yang keluar. Pada tahap ketiga, fluida yang diinjeksikan berupa formula surfaktan yang telah diuji diawal. Tahapan ini merupakan tahap EOR berupa enhanced waterflooding. Formula surfaktan yang diinjeksikan sebesar 0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV dari volume pori-pori core sintetik. Injeksi ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan recovery minyak 10–20 persen. Formula tersebut kemudian disoaking/direndam selama 12 jam. Perendaman selama 12 jam ini didasarkan pada penelitian Mwangi (2008) yang menyatakan bahwa semakin lama periode perendaman, semakin banyak waktu untuk cairan surfaktan mendistribusi/menyebar dalam core yang dapat menurunkan nilai IFT sehingga minyak yang tersisa dalam core dapat terangkat dan meningkatkan recovery minyak. Tahap selanjutnya yaitu injeksi oleh air formasi untuk membilas atau mengeluarkan minyak yang telah direndam/soaking oleh formula surfaktan tersebut. Hasil core flooding test dapat dilihat pada Lampiran 13. Pada penelitian ini digunakan analisis statistik berupa Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor. Analisis statistik bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor terhadap respon. Faktor yang
45
dimaksud adalah pore volume formula surfaktan yang diinjeksikan dan respon yang dimaksud adalah recovery minyak setelah injeksi surfaktan. Dari hasil analisis statistik diketahui bahwa terdapat pengaruh nyata porevolume formula surfaktan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05), porevolume formula surfaktan berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Recovery minyak bumi yang dihasilkan pada proses simulasi core flooding dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Recovery minyak bumi yang dihasilkan pada proses simulasi core flooding Recovery setelah
Recovery setelah injeksi
Total Recovery
water flooding (%)
surfaktan (%)
minyak (%)
0.1 PV
35.42
8.68
44.10
0.2 PV
29.26
16.91
46.16
0.3 PV
32.58
19.51
51.08
Perlakuan
Selanjutnya hasil analisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui porevolume formula surfaktan mana yang berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% formula surfaktan 0.1 PV memiliki pengaruh yang berbeda dibanding formula surfaktan 0.2 PV dan 0.3 PV. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mwangi (2008) injeksi formula surfaktan 0.1PV tidak dikatakan berpengaruh. Sehingga, perlu dicari formula surfaktan yang berbeda nyata dari injeksi 0.2PV dan 0.3PV. Berdasarkan grafik perbandingan dan penelitian yang dilakukan oleh Mwangi (2008) diketahui bahwa injeksi surfaktan 0.2 PV paling berbeda nyata dibandingkan perlakuan yang lainnya. Grafik perbandingan hasil recovery dapat dilihat pada Gambar 34. 19.51%
20% 16.91%
Recovery minyak
15%
10%
8.68%
5%
0% 0.1
0.2 0.3 Injeksi formula surfaktan (PV)
Gambar 34. Recovery minyak setelah injeksi dan soaking formula surfaktan
Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa injeksi formula surfaktan 0.2 PV memiliki hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun, terdapat kecenderungan bahwa semakin banyak formula surfaktan yang diinjeksikan, recovery minyak yang dihasilkan semakin menurun. Berdasarkan kecenderungan tersebut, maka hasil yang diperoleh kemudian di regresikan untuk mengetahui kecenderungan penurunan recovery tersebut. Grafik regresi dari injeksi formula surfaktan dapat dilihat pada gambar 35.
46
25%
y = 0.541x + 0.042 R² = 0.8010.1
Recovery minyak
20% 15% 10% 5% 0% recovery
0.1
0.2
0.3
8.68%
16.90%
19.51%
Injeksi formula surfaktan (PV) Gambar 35. Grafik regresi injeksi formula surfaktan terhadap recovery minyak
Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa injeksi formula surfaktan terhadap recovery minyak bumi di regresikan dengan rumus Y = 0.541X +0.042. Dimana Y merupakan recovery minyak yang dihasilkan, dan X merupakan formula surfaktan yang diinjeksikan. Dengan nilai residual sebesar 80.1% yang berarti regresi tersebut mampu menjelaskan data yang dihasilkan sebesar 80.1%. Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh kinerja surfaktan APG SK-50 dalam meningkatkan nilai recovery minyak bumi.
47
V.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa surfaktan APG komersial dengan kode SK-02, SK-03, SK-05, SK-06, dan SK-50 bernilai positif terhadap uji compatibility ditandai dengan larutnya surfaktan dengan baik dalam air formasi lapangan S. Dari hasil uji IFT awal terhadap surfaktan-surfaktan tersebut didapatkan satu surfaktan yang akan diformulasikan untuk aplikasi enhanced water flooding yaitu surfaktan APG SK-50 dengan nilai IFT 1.92x10-2 dyne/cm . Dari hasil formulasi surfaktan diketahui bahwa formula terbaik yang dipilih untuk enhanced water flooding yaitu surfaktan APG SK-50 0.3% dengan optimal salinitas (NaCl) sebesar 7000 % dan optimal alkali (NaOH) sebesar 0.1%. Nilai IFT dan densitas yang didapatkan dari formula tersebut berturut-turut adalah 2.94x10-3 dyne/cm dan 0.9910 gram/cm3. Formula tersebut memberikan kinerja yang baik pada sebagian besar uji kinerja. Formula surfaktan memberikan kinerja yang baik pada uji compatibility, uji thermal stability, dan uji phase behavior. Formula surfaktan memberikan nilai positif terhadap uji compatibility ditandai dengan surfaktan larut dalam air formasi lapangan S secara sempurna. Pada uji thermal stability, dan uji phase behaviour formula surfaktan memiliki kestabilan yang baik dalam suhu 700C serta terbentuk fasa bawah dengan lama pemanasan 30 hari. Hal ini ditunjukkan dari perubahan IFT selama waktu pemanasan masih dibawah 10 -3 dyne/cm. Lain halnya pada uji filtrasi, formula surfaktan memiliki kinerja yang buruk ditandai oleh nilai Fr lebih besar dari yang ditetapkan sebesar 1.2. Hasil analisis statistik dan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95 % (α = 0,05) diketahui bahwa pore volume formula surfaktan berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang dihasilkan. Hal tersebut ditandai dengan nilai Pr (pengaruh nyata) < Ftabel dimana 0,045 < 0,05 pada analisis statistik. Berdasarkan uji Duncan dengan diikuti kajian terhadap penelitian terdahulu, pore volume yang berpengaruh secara signifikan yaitu injeksi formula surfaktan sebesar 0.2 PV. Hasil tersebut menunjukkan pore volume dengan kondisi terbaik adalah 0.2 PV dengan lama perendaman 12 jam.
5.2. SARAN 1) Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh kinerja surfaktan APG SK-50 dalam meningkatkan nilai recovery minyak bumi. 2) Pada coreflooding test, sebaiknya digunakan native core sandstone agar dihasilkan recovery minyak yang lebih tepat.
48
DAFTAR PUSTAKA Ajith, S., A.C. John dan A.R. Rakshit. 1994. Physicochemical Studies of Microemulsions. Pure & Appl. Chem. Vol. 66, No. 3. Great Britain. http://www.iupac.org/publications/ pac/1994/pdf/ 6603x0509.pdf [7 September 2011] Allen, T.O, and A.P. Roberts. 1993. Production Operations 2 : Well Completions, Workover, and Stimulation. USA: Oil & Gas Consultants International (OGCI) Inc. Ashayer,R., C.A.Grattoni dan P.F. Luckham. 2000. Wettability Changes During Surfactant Flooding. Imperial College. London, UK. Ashrawi SS. 1984. A Study of The Relationship Between Surfactant/Oil/Brine System Fase Behavior and Chemical Flood Recovery in Short Core. SPE/DOE. 1272 : 311-320 Baviere, M., P. Glenat, N. Plazanet, dan J. Labrod. 1992. SPE Resevoir Engineering. Mac Millan Publishing Company. Bodner, G. M, dan H. L. Pardue. 1989. Chemistry An Experimental Science. John Willey and sons. Inc., New York. BPS.2010. Statistik Indonesia 2006-2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Buckley, J.S., Takamura, K. and Morrow, N.R., 1989. Influence of Electrical Surface Charges on The Wetting Properties of Crude Oils. SPE Reservoir Engineering. Buckley, J.S., 1996. Mechanisms And Consequences of Wettability Alteration By Crude Oils. HeriotWatt University, Edinburgh. Buckley, J.S. and Fan, T., 2005. Crude oil/brine interfacial tension, International Symposium of the Society of Core Analysts, Toronto, Canada. Emegwalu C C. 2009. Enhanced Oil Recovery: Surfactant Flooding As A Possibility For The Norne E-Segment. [tesis] Department Of Petroleum Engineering And Applied Geophysics. Norwegian University of Science and Technology. http: www.ipt.ntnu.no/~norne/ wiki/data/media/english/thesis/chinenyeclaraemegwalu.pdf . [23-10-2011] Flider, F. J. 2001. Commercial Considerations and Markets for Naturally Derived Biodegradable Surfactant. Inform 12(12): 1161-1164. Georgiou G, Lsung C, dan Shara MM. 1992. Surface Active Compounds From Microorganisms (Review). Bio/Technol. 10 : 60-65. Gevarsio, G. C. 1996. Detergency. In : Bailey’s Industrial Oils and Fats Product. Wiley Interscience Publisher, New York-USA. Gomaa, E.E. 1997. Enhanced Oil Recovery : Modern management Aproach. Paper for IATMIIWPL/MIGAS Conference. 28 Juli-1 Agustus 1997, Surakarta. Green, D.W. and Willhite, G.P., 1998. Enhanced Oil Recovery. SPE textbook series, 6. SPE,Richardson, Texax, 545 pp. Hambali, E., K. Syamsu., A. Pratomo. 2004. Pemanfaatan Surfaktan Ramah Lingkungan Dari Minyak Sawit Sebagai Oil Well Stimulation Agent Untuk Meningkatkan Produksi Sumur Minyak Bumi. Proposal Hibah Kompetisi Pengembangan Masyarakat. Departemen Teknologi Industri Pertanian – IPB. Bogor. Hargreaves,T.2003. Surfactants:The Ubiquitous hargreaves_ jul03.htm [7 September 2011]
Amphiphiles.
http://www.chemsoc.org/help/
49
Holmberg, K., B. Kronberg dan Lindman B. 2003. Surfactant and Polimer in Aques Solution. Ed ke-2. Chichester: J Wiley. Indrawanto, R., 2007. Optimasi Nisbah Mol Glukosa-Fatty Alcohol C12 Dan Suhu Asetalisasi Pada Proses Pembuatan Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosidas (APG).[Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor. Irapati. 2008. Minyak Bumi dan Produknya. Jakarta : PPPTMGB ”LEMIGAS” Koesoemadinata, R. P. 1978. Geologi Minyak Bumi. Penerbit ITB, Bandung. Kontawa A .1995. Minyak Bumi dan Pengklasifikasian pengolahan dan produk produknya. Jakarta: PPPTMGB ”LEMIGAS”. Lake, L.W., 1989. Enhanced Oil Recovery. Prentice Hall, Englewood Cliffs. Margaretha, A. 1999. Synthesis of Fructosa-Based Surfactans. Ph.D dissertation: Technische Universiteit Delft. Matheson K.L. 1996. Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and Uses. Di dalam : Spitz, L, Editor. Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Champaign: AOCS Press. . Menursita, Z. 2002. Isolasi, Identifikasi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Reservoir Minyak Bumi dan Karakteristik Biosurfaktan tang dihasilkannya untuk Enhanced Oil Recovery.[ Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Moechtar. 1989. Farmasi Fisika: Bagian Larutan dan Sistem Dispersi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Muchtadi, T.R. 1990. Emulsi Bahan Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta, IPB, Bogor. Mulyadi. 2000. Surfactant for Oil Well Stimulation Agent. PT. Mulino Ciptanusa, Jakarta. Mwangi, P. 2008. An Experimental Study of Surfactant Enhanced Waterflooding. [Tesis]. University of Rochester, Texas. Nasiri, Hamidreza. 2011. Enzymes for Enhanced Oil Recovery (EOR). University of Bergen. Norwegia. Nelson, R.C. and Pope, G.A., 1978. Fase relationships in chemical flooding. SPEJ, 18(5):325-38. Nummedal, D., B. Towler, C. Mason, dan M. Allen. 2003. Enhanced Oil Recovery in Wyoming: Prospects and Challenges. Univ of Wyoming. http://uwadmnweb.uwyo.edu/ AcadAffairs/PolicyStatements/ EORfinal.pdf [7 September 2011] Poppy, K. dan Sumarni S., 2007. Larutan Asam, Basa, dan Garam. Departemen Pendidikan Nasional, Bandung. Purwantana, Bambang. 2005. Dasar-Dasar Reologi Bahan Pertanian. Universitas gajah mada Rachmat, S. 2009. Reservoir Minyak dan Gas Bumi. http://www.migasindonesia.net/index .php?option=com_docman&task=doc_view&gid=645. [02 Februari 2011]. Rieger, M.M. (Ed). 1985. Surfactant in Cosmetics. Surfactant science series, New York: Marcel Dekker, Inc. hlm.488 . Rosen, J. M. 2004. Surfactant and Interfacial Phenomena. Third Edition. John Willey & Sons Inc., New York. Rosen, M. J. 1978. Surfactants and Interfacial Phenomena. New York :
John Wiley & Sons, Inc
Sadi, S. 1994. Gliserolisis Minyak Sawit dan Inti Sawit dengan Piridin. Buletin PPKS 2 (3) : 155 – 164.
50
Salter, S.J. The influence of type and amount of alcohol on surfactant-oil-brine phase behavior and properties. SPE 6843, presented at the 52nd Annual Technical Conference and Exhibition of the Society of Petroleum Engineers, Denver, Colorado, 1977. Sampath, R., L.T. Moeti, M.J. Pitts dan D.H. Smith. 1998. Characterization of Surfactants for Enhanced Oil Recovery. Proceedings. www.netl.doe.gov/publications/proceedings/ 98/ 98hbcu/SAMPATH2.PDF [7 September 2011] Shaw, D.J. 1980. Introduction to Colloid and Surface Chemistry. Oxford : Butterworths. Wibowo Spildo, K. and Hoiland, H., 1999. Interfacial Properties And Partitioning of 4-Heptylbenzoic Acid Between Decane And Water. Journal of Colloid and Interface Science, 209: 99-108. Sugihardjo. 2002. Formulasi Optimum Campuran Surfaktan, Air, dan Minyak. Lemigas : 36(3). Sugiharjdo., E. Tobing dan S. W. Pratomo. 2001. Kelakuan Fasa Campuran Antara “ReservoarInjeksi-Surfaktan” Untuk Implementasi Enhanced Water Flooding. Prosiding Simposium Nasional IATMI. Yogyakarta 3-5 Oktober 2001. Sumotarto, U. 1997. Peningkatan Perolehan (Recovery) Minyak Bumi Paska Primer. Prosiding Konferensi Energi sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPP, Jakarta, 11-12 Maret 1997. Suryani A. ,I. Sailah dan E. Hambali. 2001. Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri PertanianFateta IPB, Bogor. Suryani A, I Sailah, E Hambali. 2002. Pengantar Teknologi Emulsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB, Bogor. Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4th Edition. John Willey & Sons Inc., New York. Thamrin, M dan Sudibjo.2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Pendesakan Surfaktan. Jurnal Diskusi Ilmiah VII. Lemigas, Jakarta. Tim Lemigas. 2002. Studi Awal Implementasi Injeksi Kimia di Formasi Talang akar, Struktur Talang Akar Pendopo Lapangan Prabumulih: Penentuan Parameter Batuan, Fluida reservoir dan rancangan Fluida Injeksi. Lemigas. Wahyono,K. 2009.Warta Pertamina. http://www.pertamina.com/wartapertamina/2009/ wpjanuari 2009 .pdf. [02 Februari 2011] Watkins C. 2001. Surfactant and Detergent : All Eyes are On Texas. Inform 12 : 1152 – 1159. Widyowati, Retno.2005. Kajian Pengaruh Salinitas dan Kesadahan Terhadap Kinerja Surfaktan MES Berbasis Metil Ester CPO Sebagai Oil Well Stimulation Agent.[skripsi]. FATETA-IPB, Bogor. Winsor, P.A., 1954. Solvent Properties of Amphiphilic Compounds. Butterworths, London, IX,207 s. pp.
51
LAMPIRAN
52
Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding
1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes, 1983) Cara kerja Spinning Drop Interfacial sebagai berikut : hidupkan power dan tombol lampu pada alat. Panaskan alat spinning drop, kemudian set pada suhu 70 oC (kondisi percobaan) dengan kecepatan putaran 9000 rpm. Setelah kondisi tersebut stabil, ke dalam glass tube diisikan larutan surfaktan dengan konsentrasi yang telah dibuat. Ke dalam glass tube yang telah berisi larutan surfaktan, diberi tetesan minyak (crude oil). Dalam glass tube tidak boleh ada gelembung udara. Masukan glass tube ke dalam alat spinning drop, dengan permukaan glass tube menghadap ke arah luar. Pembacaan radius tetesan dilakukan jika suhu alat telah mencapai 70 oC. Ulangi pembacaan ini sampai didapatkan harga yang konstan dari pembacaan radius tetesan. Bila pembacaan kurang jelas, fokus lensa dapat diatur. Perhitungan :
Keterangan : IFT = nilai tegangan antar muka (dyne/m) Δρ = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (kg/m3) D = radius drop (m) W = kecepatan angular
2. Uji Compatibility Surfaktan dilarutkan dalam air injeksi atau air formasi. Amati dan dokumentasikan kelarutan surfaktan dalam air injeksi atau air formasi. Uji bernilai positif jika surfaktan larut dalam air injeksi atau air formasi. Uji bernilai negatif jika surfaktan tidak larut dalam air injeksi atau air formasi.
3. Pengukuran Densitas Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh.
4. Pengukuran Viskositas Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat persen tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh.
55
Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding (lanjutan)
5. Pengkuran pH Masukkan kertas lakmus ke dalam formula surfaktan. Amati perubahan warna yang terjadi. Cocokkan perubahan warna yang terjadi dengan indikator warna yang tertera pada kotak lakmus.
6. Uji Phase Behavior Minyak mentah disaring dengan menggunakan filter berukuran 10 mikron untuk memisahkan partikel seperti pasir dari minyak mentah. Masukkan 2 ml surfaktan ke dalam graduated pipette berukuran 5 ml lalu ditambahkan 2 ml minyak mentah. Bagian bawah dan atas pipet diseal dengan bor api. Tempatkan pipet pada rak dan disimpan pada suhu reservoir selama 30 menit. Bolak-balikkan tiap pipet sebanyak 3 kali hingga cairan tercampur. Jangan dikocok. Selanjutnya, diamati dan dicatat perubahan pada antar muka cairan setelah 24 jam. Cairan dikatakan berada di titik keseimbangan ketika antar muka cairan tidak berubah secara signifikan. Data yang telah diperoleh dicatat pada “Phase Behavior Template”.
7. Uji Thermal Stability Sebanyak 20 ml formula surfaktan dimasukkan ke dalam botol yang telah diberi label. Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada suhu reservoir. Setelah satu hari, diamati perubahan yang terjadi dan didokumentasikan serta diukur densitas dan IFT dari masing-masing larutan. Seluruh botol disimpan kembali pada oven bersuhu reservoir lalu diamati dan didokumentasikan serta diukur densitas, IFT dan viskositas dari masing-masing larutan. Buatkan plot hubungan antara IFT, viskositas dan perubahan yang terjadi akibat pemanasan. Uji ini dilakukan selama 12 minggu dengan pengamatan dilakukan tiap minggu.
8. Uji Filtrasi Pengujian filtrasi dilakukan dengan menggunakan filter apparatus. Tetapi sebelumnya, pastikan seluruh bagian apparatus dalam keadaaan bersih. Hubungkan tangki nitrogen, pressure vessel, dan membrane filter holder dengan tabung dan valve. Selanjutnya hubungkan dengan tabung drain. Masukkan membran filter ke dalam membrane filter holder secara tepat. Basahi membran filter dan jangan sampai ada udara yang keluar. Masukkan 550–600 ml larutan surfaktan dengan salinitas optimal ke dalam pressure vessel lalu tutup hingga rapat bagian atas dan bagian suplai. Selanjutnya valve ditutup dan diberikan tekanan 20 psig melalui regulator nitrogen. Tempatkan graduated cylinder di bawah outlet filter lalu valve pada dasar filter pressure vessel dibuka dan hitung waktu dengan menggunakan stopwatch. Tekanan yang digunakan (20 psig) harus konstan. Pastikan larutan dalam filter sesuai dengan suhu reservoir. Catat kumulatif waktu dari tiap kenaikan filter sebanyak 50 ml. Filtrasi dilanjutkan sampai 500 ml larutan sudah terfiltrasi. Periksa membran filter apakah terdapat sobekan atau kerusakan lainnya seperti bagian yang tidak terbasahi dari filter. Jika terdapat kerusakan maka prosedur harus diulangi. Adanya material lain pada filter dicatat. Ulangi prosedur untuk formula surfaktan lainnya.
56
Lampiran 3. Prosedur Analisis Air Formasi Lapangan S 1. Pengukuran pH Hidupkan power alat pH-meter. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan sampel larutan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat nilai pH yang diperoleh.
2. Pengukuran Densitas Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh.
3. Pengukuran Viskositas Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat % tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh.
57
Lampiran 4. Prosedur Analisis Minyak Lapangan S
1. Uji Aspaltine Masukkan minyak mentah dan heksan dengan perbandingan 1 : 10, 1 : 13 dan 1 : 15 ke dalam tabung ulir. Selanjutnya, tabung ulir tersebut dikocok hingga minyak mentah larut dalam heksan. Kemudian masukkan tabung ulir ke dalam sentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 200 rpm. Setelah itu, amati apakah terbentuk endapan di dasar tabung ulir.
2. Pengukuran Densitas dan Specific Gravity Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh.
3. Derajat API (0API) Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan minyak ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan specific gravity yang diperoleh. Kemudian, hitung 0API dengan menggunakan rumus; 0
API =
58
Lampiran 5. Ukuran Masing-masing Core Sintetik
Core
I
Diameter (cm)
Tinggi (cm)
1
2.3700
3.1950
2
2.3700
3.2000
3
2.3500
3.2050
Rata-Rata
II
2.3633 2.3700
3.1300
2
2.3700
3.1200
3
2.3600
3.1300
III
2.3667 2.3600
3.1500
2
2.3700
3.1500
3
2.3900
3.1800
IV
2.3733 2.3500
3.1850
2
2.3600
3.1600
3
2.3600
3.1850
V
2.3567 2.3500
3.1900
2
2.3500
3.1600
3
2.3700
3.1800
VI
Rata-Rata
2.3567
34.0
46.6
13.7476
35.5
45.4
13.9725
33.7
45.6
13.8496
34.0
46.5
13.8496
36.5
46.5
13.7828
38.3
47.1
3.1767
1
2.3500
3.1950
2
2.3400
3.1900
3
2.3500
3.1800
2.3467
14.0304
3.1767
1
Rata-Rata
(mDarcy)
3.1600
1
Rata-Rata
Permeabilitas
3.1267
1
Rata-Rata
Porositas (%)
3.2000
1
Rata-Rata
Volume (ml)
3.1883
59
Lampiran 6. Nilai IFT Masing-Masing Surfaktan APG Komersil Terhadap Minyak Lapangan S ( 0.3% surfaktan dilarutkan dalam air formasi lapangan S)
SAMPEL
Ulangan
Densitas 3
(g/cm )
IFT(dyne/cm)
1
0.9837
5.26E-02
2
0.9839
5.90E-02
1
0.9836
5.19E-02
2
0.9840
5.81E-02
1
0.9836
2.23E-02
2
0.9838
1.75E-02
1
0.9835
2.73E-02
2
0.9838
3.09E-02
1
0.9836
2.08E-02
2
0.9838
1.76E-02
Rata-rata (dyne/cm)
APG SK-02 5.58E-02
APG SK-03 5.50E-02
APG SK-05 1.99E-02
APG SK-06 2.91E-02
APG SK-50 1.92E-02
60
Lampiran 7. Nilai IFT Surfaktan SK-50 0.3% dengan Salinitas yang berbeda
Salinitas (ppm)
Ulangan
0 1
Densitas 3
(g/cm ) 0.9844
Rata-rata
IFT
Rata-rata
(g/cm )
(dyne/cm)
(dyne/cm)
0.9844
2.32E-02
2.32E-02
3
0.9852
1000
1.87E-02 0.9852
2
0.9853
1
0.9867
3000
1.79E-02 1.70E-02 1.18E-02
0.9867 2
0.9867
1
0.9883
5000
1.12E-02 1.06E-02 7.11E-03
0.9882 2
0.9881
1
0.9896
7000
8.94E-03 1.08E-02 6.60E-03
0.9896 2
0.9895
1
0.9912
9000
6.20E-03 5.79E-03 8.20E-03
0.9912 2
0.9913
9.08E-03 9.96E-03
61
Lampiran 8. Nilai IFT Surfaktan APG SK-50 0.3% 7000 ppm dengan Alkali yang berbeda
Alkali Tanpa Alkali
Densitas 3
Rata-rata 3
IFT
Rata-rata
(g/cm )
(g/cm )
(dyne/cm)
(dyne/cm)
0.9891
0.9891
7.37E-03
7.37E-03
NaOH (ppm) 0.9912 1000
2.82E-03 0.9910
0.9908 0.9934 3000
2.94E-03 3.06E-03 4.74E-03
0.9933 0.9933 0.9965
5000
3.73E-03 2.71E-03 4.63E-03
0.9959 0.9952 0.9989
7000
3.12E-03 1.61E-03 6.84E-03
0.9993 0.9998 1.0012
9000
6.10E-03 5.36E-03 8.29E-03
1.0012 1.0013
6.09E-03 3.90E-03
Ca2CO3 (ppm) 0.9911 1000
2.43E-03 0.9908
0.9905 0.9927 3000
5.37E-03 8.30E-03 2.59E-03
0.9928 0.9929 0.9937
5000
3.69E-03 4.80E-03 1.62E-03
0.9941 0.9945 0.9957
7000
3.21E-03 4.79E-03 2.45E-03
0.9960 0.9963 0.9984
9000
3.58E-03 4.72E-03 2.91E-03
0.9984 0.9984
2.77E-03 2.64E-03
62
Lampiran 9. Hasil Penyaringan 500 mesh Air Formasi Lapangan S dan Formula Surfaktan APG SK-50, 7000 ppm NaCl,1000 ppm NaOH
Air Formasi Lapangan S Volume (ml)
Formula Surfaktan
Waktu Alir (detik)
Waktu Alir (detik) Rerata
I
II
0
0
0
50
7
100
Fr
Rerata I
II
0.00
0
0
0.00
3
5.00
11
5
8.00
14
6
10.00
20
11
15.50
150
23
9
16.00
32
17
24.50
200
31
12
21.50
43
24
33.50
250
40
31
35.50
55
31
43.00
300
50
54
52.00
67
39
53.00
350
76
83
79.50
80
47
63.50
400
112
126
119.00
92
56
74.00
450
159
178
168.50
106
66
86.00
500
230
242
236.00
120
78
99.00
10.17
Fr
1.39
63
Lampiran 10. Hasil Penyaringan 21 µm Air Formasi Lapangan S dan Formula Surfaktan APG SK-50,7000 ppm NaCl,1000ppm NaOH
Air Formasi Lapangan S Volume (ml)
Formula Surfaktan
Waktu Alir (detik)
Waktu Alir (detik) Rerata
I
II
0
0
0
50
54
100
Fr
Rerata I
II
0.00
0
0
0.00
66
60.00
43
49
46.00
120
168
144.00
121
141
131.00
150
191
358
274.50
206
296
251.00
200
243
641
442.00
379
517
448.00
250
535
757
646.00
565
708
636.50
300
836
1106
971.00
899
1069
984.00
350
1052
1546
1299.00
1346
1582
1464.00
400
1559
1695
1627.00
1915
2369
2142.00
450
1923
2123
2023.00
2425
3162
2793.50
500
2188
2637
2412.50
2946
3705
3325.50
2.64
Fr
3.73
64
Lampiran 11. Hasil Penyaringan 0.45 µm Air Formasi Lapangan S dan Formula Surfaktan APG SK-50,7000 ppm NaCl,1000 ppm NaOH
AF Sanga-sanga Volume (ml)
Surfaktan
Waktu Alir (detik)
Waktu Alir (detik) Rerata
I
II
0
0
0
50
12
100
Fr
Rerata I
II
0.00
0
0
0.00
10
11.00
22
23
22.50
28
25
26.50
62
118
90.00
150
45
37
41.00
184
620
402.00
200
66
51
58.50
484
2187
1335.50
250
94
71
82.50
1099
5426
3262.50
300
125
94
109.50
2113
10438
6275.50
350
169
125
147.00
3499
17600
10549.50
400
240
171
205.50
5067
27887
16477.00
450
345
248
296.50
7590
37965
22777.50
500
634
396
515.00
10950
51939
31444.50
9.67
Fr
12.02
65
Lampiran 12. Nilai Densitas dan IFT Formula Surfaktan Pada Uji Filtrasi
Densitas
Sampel
3
(g/cm ) 1
0.99049
2
0.99050
1
0.98989
Tanpa Saring
Rerata 3
(g/cm )
IFT
Rerata
(dyne/cm)
(dyne/cm)
7.64E-04 0.99050
Filtrasi 500mesh
7.89E-04 8.14E-04 8.48E-04
0.99030 2
0.99071
1
0.99050
Filtrasi 21 µm
1.26E-03 1.67E-03 1.67E-03
0.99030
1.28E-03
2
0.99009
8.85E-04
1
0.99034
7.81E-04
Filtrasi 0.45 µm
0.99046 2
0.99058
1.06E-03 1.34E-03
66
Lampiran 14. Hasil Analisis Statistik Data hasil coreflooding test
Perlakuan
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata ± SD
0.1 PV
0.1111
0.0625
0.0868 ± 0.0344
0.2 PV
0.1818
0.1563
0.1690 ± 0.0180
0.3 PV
0.2083
0.1818
0.1951 ± 0.0187
Hasil Sidik Ragam Sumber Variasi
dB
Porevolume
2
0.012775 0.006387
Kekeliruan
3
0.001860 0.000620
Jumlah
5
0.014635
JK
F-Hitung F-Tabel 0.05
KT
10.30
0.045
Uji Duncan
1
Subset
Perlakuan
N
0.1 PV
2
0.2 PV
2
0.1690
0.3 PV
2
0.1951
1
2
0.0868
68