PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR
SITI AISYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN
SITI AISYAH. Produksi Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) dan Aplikasinya pada Sabun Cuci Tangan Cair. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan TITI CANDRA SUNARTI.
Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan yang satu molekulnya memiliki gugus hidrofilik (bagian polar/yang suka air) dan gugus hidrofobik (non polar/yang suka akan minyak/lemak), sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air untuk membentuk lapisan tunggal. Gugus hidrofilik surfaktan berada pada fase air dan gugus hidrofobik ke udara dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (hidrofobik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil. Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang pada umumnya digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier dan sebagai komponen bahan adhesif yang telah diaplikasikan secara luas pada berbagai industri seperti industri kosmetik, industri kimia, industri pertanian dan industri pangan. Alkil Poliglikosida (APG) merupakan salah satu jenis surfaktan nonionik yang biasa digunakan sebagai formulasi produkproduk personal care, kosmetik, pemucatan kain tekstil dan herbisida. Karakterisasi surfaktan APG dipengaruhi oleh jenis alkohol lemak (fatty alcohol) yang digunakan serta penambahan logam alkali dan konsentrasinya pada tahap pemurnian (proses pemucatan/bleaching). Tahap butanolisis menggunakan ratio mol antara pati:butanol:air:katalis adalah 1:8.5:8:0.018 yang dilakukan pada suhu 140–150 0C dengan tekanan 4.5-7 bar selama selama 30 menit. Tahap transasetalisasi menggunakan alkohol lemak rantai panjang (C 10 dan C 12 ) dengan ratio mol 4.7 mol/bobot mol pati dan katalis 0.009 mol/bobot mol pati pada suhu 110-120 0C dengan tekanan vakum selama 2 jam, dan dilanjutkan ke tahap pemurnian yang berupa proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H 2 O 2 dan logam alkali pada suhu 80-90 0C selama 40-60 menit pada tekanan normal. Proses pemucatan dengan penambahan logam alkali sebagai bahan aktivator akan menghasilkan warna yang lebih jernih, dimana logam alkali yang digunakan adalah NaOH dan MgO. Surfaktan APG menghasilkan rata-rata rendemen berkisar antara 37.4446.88%, kejernihan (% transmisi) berkisar antara 12.99-55.91%, rata-rata stabilitas emulsi pada pengamatan 300 menit berkisar antara 65,24-80,49%, mampu menurunkan tegangan permukaan air berkisar antara 59.90-64.10% dan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka berkisar antara 90.69-94.25%. Surfaktan APG hasil analisis terbaik diperoleh dari jenis alkohol lemak C 12 (A2) dengan bahan aktivator MgO (B2) dengan konsentrasi 500 ppm (C1) memiliki HLB sebesar 8.498 dengan gugus fungsi eter terletak pada jumlah gelombang 1 152.10 cm-1 sedangkan gugus fungsi hidroksil terletak pada jumlah gelombang 3 396.18 cm-1, kemudian diaplikasikan pada sabun cuci tangan cair. Sabun cuci tangan cair yang dihasilkan
sesuai dengan SNI (1996) yang memiliki daya bersih sebesar 128 FTU Turbidity, bobot jenis 1.024 g/ml, pH 6.98 dan tidak diperoleh cemaran mikroba. Pada sabun komersial memiliki daya bersih 128, bobot jenis sebesar 1.027 g/ml dengan pH 7.03 dan juga tidak didapat adanya cemaran mikroba, sedangkan sabun cuci tangan cair dari surfaktan APG komersial memiliki daya bersih 176, bobot jenis 1.096, pH 7.95 dan juga tidak ada cemaran mikroba. Pada uji organoleptik yang dilakukan dengan 33 panelis, panelis memberikan respon netral hingga sangat suka terhadap aroma, kesan yang tertinggal dikulit setelah pemakaian sabun cuci tangan cair serta terhadap warna sabun cuci tangan cair hasil sintesis dibanding dengan sabun cuci tangan cair komersial dengan merek “D”. Namun terhadap banyaknya busa serta kekentalan, panelis memberikan respon netral hingga sangat suka terhadap sabun cuci tangan cair komersial dengan merek “D” dibandingkan dengan sabun cuci tangan cair hasil sintesis. Kata kunci : dekanol, dodekanol, sabun cuci tangan cair
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Produksi Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) dan Aplikasinya pada Sabun Cuci Tangan Cair” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.
Bogor,
Januari 2011
Siti Aisyah F351080041
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR
SITI AISYAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis Nama NRP
: Produksi Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) dan Aplikasinya pada Sabun Cuci Tangan Cair : Siti Aisyah : F351080041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Ketua
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 20 Januari 2011
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan hanya pada ALLAH SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Produksi Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) dan Aplikasinya pada Sabun Cuci Tangan Cair” dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diantaranya : 1. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Ibu Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si., selaku dosen pembimbing. 2. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS., selaku Ketua Program Studi. 3. Bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA., selaku penguji luar komisi. 4. Kedua orang tua, Ibu (Almh) Hj Rawani Chan dan Ayah (Alm) H Iskandar Tanjung. 5. Abang dan kakak, yang selalu memberikan dukungan, do’a dan nasehatnya. 6. S Maimunah serta keponakan Vita, Ninin, Diza, Via dan Busra yang selalu memberi semangat dan dukungannya agar cepat menyelesaikan studi. 7. Bapak Abun Lie dan Bapak Harun Lubis dari PT. Ecogreen, yang telah memberikan bahan baku fatty alcohol. 8. PT. Cognis, yang telah memberikan produk Plantacare. 9. Februadi Bastian, Donna Imelda, Saud RJ, Renny, Niken, Bapak Agus, Jaelani yang banyak membantu dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini. 10. Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB, yang telah membantu sebagian dana penelitian. 11. Ibu Rini, bu Ega, bu Sri, pak Edi, pak Sugi dan laboran lainnya. 12. Teman-teman TIP, IPB angkatan 2008 serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian maupun penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karna didunia ini tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis menerima saran, kritik serta masukan untuk menjadikan lebih baik lagi. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.
Bogor,
Penulis
Januari 2011
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Binjai pada tanggal 10 Juni 1976 dari ayah (Alm) H Iskandar Tanjung dan ibu (Almh) Hj Rawani Chan. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Neg 024776 Binjai pada tahun 1988, kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah tingkat pertama di SMP Taman Siswa Binjai. Pada
tahun 1991, penulis
kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Taman Siswa Binjai dan lulus pada tahun 1994.
Ditahun yang sama penulis melanjutkan keperguruan tinggi pada
Program Studi Teknik Kimia, Jurusan Teknologi Industri, Institut Teknologi Medan dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2000, penulis diterima sebagai staf pengajar di Politeknik Negeri Pontianak hingga tahun 2007. Pada 2007-sekarang, penulis ditempatkan sebagai staf pengajar DPK di Kopertis wilayah I NAD-SU Medan. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan pada program master di mayor Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan sponsor pembiayaan pendidikan dari Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS). Penulis juga mendapatkan bantuan penelitian yang berasal dari Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2011 Penulis
Siti Aisyah
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
vii
1
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.2.1 Tujuan Umum .................................................................. 1.2.2 Tujuan Khusus .................................................................
1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
5
2
3
2.1 Surfaktan ...................................................................................... 2.1.1 Bahan Baku Surfaktan ..................................................... 2.1.2 Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ................................ 2.1.3 Katalis .............................................................................. 2.2 Produksi Surfaktan APG ............................................................. 2.2.1 Bahan Baku Surfaktan APG ............................................ 2.2.2 Tahapan Proses Sintesis Surfaktan APG ......................... 2.2.3 Bahan Pemucat Pada Sintesis Surfaktan APG ................. 2.3 Pembuatan Sabun Cuci Tangan Cair .......................................... 2.3.1 Polisorbat 20 .................................................................... 2.3.2 Triklosan .......................................................................... 2.4 Karakteristik Surfaktan APG ...................................................... 2.4.1 Stabilitas Emulsi .............................................................. 2.4.2 Tegangan Permukaan ....................................................... 2.4.3 Tegangan Antarmuka ....................................................... 2.4.4 HLB (Hydrophile-Lipophile Balance) .............................
5 5 6 10 11 11 14 18 19 21 21 22 22 22 23 23
METODE PENELITIAN .........................................................................
25
3.1 Kerangka Pemikiran .................................................................... 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 3.3 Bahan dan Alat ............................................................................ 3.3.1 Bahan ................................................................................ 3.3.2 Alat .................................................................................... 3.4 Metode Penelitian ....................................................................... 3.4.1 Sintesis Surfaktan APG .................................................... 3.4.2 Aplikasi Surfaktan APG Sebagai Bahan Aktif Pada Sabun Cuci Tangan Cair .................................................. 3.4.3 Karakterisasi Sabun Cuci Tangan Cair ............................
25 26 26 26 26 26 27 30 30
ii
4
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
33
4.1 Sintesis Surfaktan APG ............................................................... 4.2 Karakteristik Surfaktan APG ....................................................... 4.3 Kinerja Surfaktan APG ................................................................ 4.3.1 Stabilitas Emulsi ............................................................... 4.3.2 Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan ............. 4.3.3 Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka ............. 4.3.4 HLB (Hydrophilic-Lipophilic Balance) ........................... 4.3.5 Konfirmasi Struktur Gugus Fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infrared) Spectroscopy .................... 4.4 Aplikasi Sabun Cuci Tangan Cair ............................................... 4.4.1 Karakteristik Sabun Cuci Tangan Cair ............................. 4.4.2 Karakteristik Fungsional/Uji Organoleptik .......................
33 35 36 36 38 40 42
SIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
49
5.1 Simpulan ...................................................................................... 5.2 Saran ............................................................................................
49 50
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
51
LAMPIRAN ....................................................................................................
57
5
43 45 45 46
iii
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Kebutuhan Surfaktan Nonionik Indonesia ...............................................
7
2
Karakterisasi Alkohol Lemak C 10 dan C 12 ..............................................
12
3
Komposisi asam Lemak dari Minyak Kelapa dan Minyak Inti Sawit (PKO) .......................................................................................................
13
4
Komposisi Kimia Tapioka .......................................................................
14
5
Formulasi Sabun Pembusa Cair Antiseptik .............................................
22
6
Nilai HLB, Karakteristik dan Aplikasinya ...............................................
24
7
Formulasi Bahan Untuk Pembuatan Sabun Cuci Tangan Cair ................
30
8
Karakteristik Jumlah Gelombang Surfaktan APG dari Jenis Alkohol Lemak C 12 ................................................................................................
44
Karakteristik Mutu Sabun Cuci Tangan Cair Berbasis Surfaktan APG Hasil Sintesis Terbaik dan Sabun Cuci Tangan Cair Komersial Serta SNI (1996) ...............................................................................................
45
10 Rata-rata Hasil Uji Organoleptik Panelis Terhadap Sabun Cuci Tangan Cair Komersial dan Hasil Sintesis Terbaik ..............................................
47
9
iv
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Sintesis Surfaktan APG Proyeksi Fischer Dua Tahap .............................
8
2
Diagram Alir Sintesis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ....................
9
3
Diagram Alir Proses Sintesis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ........
29
4
Diagram Alir Proses Pembuatan Sabun Cuci Tangan Cair Berbasis Surfaktan APG Hasil Sintesis Terbaik ...................................................
30
5
Rata-rata Rendemen Surfaktan APG Hasil Sintesis ................................
35
6
Kejernihan Surfaktan APG Hasil Sintesis ...............................................
36
7
Stabilitas Emulsi Surfaktan APG Hasil Sintesis ......................................
38
8
Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan Surfaktan APG Hasil Sintesis .....................................................................................................
40
Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka Surfaktan APG Hasil Sintesis .....................................................................................................
41
10 Hasil Spektra Gugus Fungsi FTIR Surfaktan APG Komersial ................
44
11 Hasil Spektra Gugus Fungsi FTIR Surfaktan APG Hasil Sintesis Terbaik
44
9
vi
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Prosedur Analisis Bahan Baku Surfaktan APG ......................................
57
2
Prosedur Sintesis Surfaktan APG ...........................................................
58
3
Prosedur Analisis Surfaktan APG ...........................................................
60
4
Prosedur Pembuatan Sabun Cuci Tangan Cair .......................................
63
5
Prosedur Analisis Sabun Cuci Tangan Cair ............................................
64
6
Perhitungan Neraca Massa Sintesis Surfaktan APG ...............................
66
7
Rendemen yang Dihasilkan dari Sintesis Surfaktan APG ......................
67
8
Hasil Analisis Terhadap Kejernihan Surfaktan APG ..............................
68
9
Data Analisis stabilitas Emulsi Surfaktan APG Komersial dan Surfaktan APG Hasil Sintesis .................................................................
69
Data Analisis Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan Surfaktan APG Komersial dan Surfaktan APG Hasil Sintesis ...............
70
Data Analisis Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka Surfaktan APG Komersial dan Surfaktan APG Hasil Sintesis ...............
71
12
Perhitungan Nilai HLB Surfaktan APG ..................................................
72
13
Rekapitulasi Uji Organoleptik Panelis Terhadap Aroma Sabun Cuci Tangan Cair .............................................................................................
73
Rekapitulasi Uji Organoleptik Panelis Terhadap Kesan yang Tertinggal Dikulit Setelah Pemakaian Sabun Cuci Tangan Cair .............................
74
Rekapitulasi Uji Organoleptik Panelis Terhadap Warna Sabun Cuci Tangan Cair .............................................................................................
75
Rekapitulasi Uji Organoleptik Panelis Terhadap Banyaknya Busa Sabun Cuci Tangan Cair ....................................................................................
76
Rekapitulasi Uji Organoleptik Panelis Terhadap Kekentalan Sabun Cuci Tangan Cair .............................................................................................
77
10 11
14 15 16 17
1
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan industri kosmetik, detergen, produk-produk
perawatan diri (personal care products) semakin meningkat, dimana meningkatnya produk-produk tersebut mengakibatkan kebutuhan bahan aktif seperti surfaktan semakin meningkat pula. Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan yang merupakan senyawa aktif yang mampu menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antaramuka suatu cairan. Surfaktan memiliki gugus hidrofilik (biasa disebut bagian kepala, dan yang suka air) dan hidrofobik (yang disebut bagian ekor, yang tidak suka air). Sifat surfaktan inilah, sehingga surfaktan dapat digunakan sebagai bahan penggumpal, pembusaan, dan emusifier oleh industri farmasi, kosmetik, kimia, pertanian dan pangan serta industri produk perawatan diri (personal care product). Industri surfaktan di Indonesia masih terbatas, padahal kebutuhan surfaktan ini sangat besar. Pada tahun 2006, kebutuhan surfaktan di Indonesia sebesar 95 000 ton dimana sekitar 45 000 ton masih diimpor (Wuryaningsih 2007). Jumlah ini diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya seiring dengan semakin banyaknya industri kosmetik, industri makanan, industri minuman, industri farmasi, industri tekstil, industri pertanian dan industri penyamakan kulit (Sofianingsih dan Nurcahyani 2006). Surfaktan APG (Alkil Poliglikosida) merupakan surfaktan nonionik yang pada umumnya digunakan sebagai formulasi beberapa produk-produk perawatan diri (personal care products), formulasi herbisida, produk kosmetik maupun untuk pemucatan kain tekstil.
Surfaktan APG merupakan surfaktan yang ramah
lingkungan (biodegradable), karena bahan baku pembuatan surfaktan APG berasal dari minyak nabati dan karbohidrat dari pati. Bahan baku surfaktan APG adalah alkohol lemak (fatty alcohol) yang berbasis minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit atau minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil), minyak biji kapok dan minyak biji karet serta karbohidrat dari pati seperti tapioka dan sagu, atau dapat juga dengan dekstrosa (gula turunan pati). Surfaktan APG ini tidak berbahaya untuk mata, kulit serta dapat mengurangi efek iritasi akibat dari pemakaian surfaktan jenis lain serta dapat terurai baik secara aerob dan anaerob (Mehling et al. 2007).
2
Kebutuhan akan surfaktan APG di Indonesia saat ini masih dalam bentuk impor. Salah satu keunggulan dari surfaktan APG antara lain tidak beracun (non toxic) sehingga permintaan dunia terhadap surfaktan APG menjadi meningkat. Saat ini, kebutuhan akan surfaktan APG di Indonesia masih dalam bentuk impor. Impor surfaktan nonionik Indonesia pada tahun 2009 mencapai 18 176 ton. Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Data Direktorat Jenderal Perkebunan (2009) menyatakan pada tahun 2009 luas areal kelapa sawit Indonesia sebanyak 7 321 897 Ha, dengan produksi inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO) sebesar 3 888 058 ton.
Tingginya produksi PKO ini tidak
diimbangi dengan pengolahan yang memadai, untuk itu sangat perlu dilakukan penganekaragaman produk hilir dari inti sawit untuk meningkatkan nilai tambahnya. Salah satunya diolah menjadi alkohol lemak (fatty alcohol), dimana pada tahun 2009 produksi alkohol lemak Indonesia mencapai 155 000 ton. Selain itu Indonesia juga merupakan negara penghasil ubi kayu ke tiga terbesar di dunia, dimana produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2010 sebesar 22 851 000 ton. Tingginya produksi alkohol lemak dan ubi kayu ini, maka Indonesia sangat berpeluang untuk memproduksi surfaktan APG. Hill et al. (2000) menyatakan bahwa, surfaktan APG dapat diproduksi dengan dua cara yaitu (1) secara langsung yaitu dengan satu tahap berupa tahap asetalisasi dan (2) cara tidak langsung yang melalui dua tahap yaitu butanolisis dan transasetalisasi, dimana kedua cara ini kemudian dilanjutkan dengan tahap pemurnian yaitu proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Penggunaan bahan baku pati pada proses sintesis surfaktan APG memiliki beberapa keunggulan, diantaranya ketersediaan pati yang banyak serta harganya yang lebih murah. Sintesis surfaktan APG dengan dua tahap dari pati juga telah dilakukan oleh Wuest et al. (1992), dimana tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek terutama butanol dan tahap kedua transasetalisasi yang direaksikan dengan alkohol rantai lebih panjang C 8 -C 22 terutama C 12 sampai C 18 . Panjang rantai atom karbon alkohol lemak (fatty alcohol) berpengaruh terhadap kualitas surfaktan APG yang dihasilkan. Rosen (2004) mengatakan bahwa umumnya produk-produk komersial yang menggunakan surfaktan APG berbasis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C 10 dan C 12 , karena memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta sebagai bahan pembersih yang baik. Putri (2010) telah melakukan penelitian
3
terhadap karakteristik surfaktan APG yang dihasilkan dengan menggunakan pati tapioka, yang menyatakan bahwa optimasi ratio mol pati dan alkohol lemak dengan rantai panjang (C 10 ) adalah 1:4.7 dan ratio mol pati tapioka dengan butanol sebesar 1:8.5. Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan bau yang tidak diinginkan pada surfaktan APG. McCurry et al. (1994), menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) dengan konsentrasi berkisar antara 250-1000 ppm, namun lebih baik lagi pada 500 ppm dan 700 ppm. Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan dikaji sintesis surfaktan APG yang akan menghasilkan tingkat kejernihan dan karakteristik surfaktan APG yang baik serta dapat diaplikasikan dalam produk pembuatan sabun cuci tangan cair dengan karakteristik yang baik pula. Permasalahan utama dalam sintesis surfaktan alkil poliglikosida (APG) yaitu terbentuknya warna gelap yang tidak diinginkan pada produk. Penggunaan bahan baku yang berasal dari pati ataupun gula-gula sederhana dalam pembuatan surfaktan alkil poliglikosida, sangat mudah mengalami degradasi akibat penggunaan suhu yang tinggi dan keadaan asam maupun basa selama proses sintesis.
Proses
degradasi inilah yang menghasilkan by-product yang tidak diinginkan selama proses sintesis surfaktan APG, yang juga akan mempengaruhi warna produk surfaktan APG.
1.2
Tujuan Penelitian
1.2.1
Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memproduksi surfaktan Alkil
Poliglikosida (APG) dari jenis alkohol lemak, jenis logam alkali sebagai bahan aktivator pada konsentrasi yang berbeda serta aplikasinya pada sabun cuci tangan cair.
4
1.2.2
Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1
Mengetahui pengaruh jenis alkohol lemak (fatty alcohol) terhadap karakteristik APG yang dihasilkan.
2
Mengetahui pengaruh jenis logam alkali (NaOH dan MgO) sebagai bahan aktivator dangan konsentrasi yang berbeda pada tahap pemurnian (proses pemucatan) terhadap karakteristik APG yang dihasilkan.
3
Mengaplikasikan surfaktan APG yang dihasilkan pada sabun cuci tangan cair.
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan
yang satu molekulnya memiliki gugus hidrofilik (bagian polar/yang suka air) dan gugus hidrofobik (non polar/yang suka akan minyak/lemak), sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air untuk membentuk lapisan tunggal. Gugus hidrofilik surfaktan berada pada fase air dan gugus hidrofobik ke udara dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (hidrofobik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil. Surfaktan dapat diproduksi secara sintetis, kimiawi maupun biokimiawi. Pada umumnya surfaktan digunakan sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent). Penggunaan surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi dengan cara menurunkan tegangan permukaan, menurunkan tegangan antarmuka antara fasa minyak dan fasa air.
2.1.1
Bahan baku surfaktan Bahan baku surfaktan dapat terbuat dari sumber nabati yang bersifat dapat
diperbaharui, mudah terurai, tidak mengganggu aktivitas enzim dan proses produksinya yang lebih bersih sehingga sejalan dengan isu lingkungan (Suryani et al. 2002). Flider (2001) menyebutkan bahwa, jutaan ton surfaktan yang berbasis bahan alami digunakan setiap tahunnya pada berbagai aplikasi yang berbeda. Pemakaian surfaktan terbesar adalah untuk aplikasi pembersih dan pencucian, namun surfaktan banyak pula digunakan untuk produk pangan, produk perlindungan hasil panen, pertambangan, cat, coating, pembuatan kertas, sabun dan produkproduk perawatan diri (personal care products). Surfaktan berbasis bahan alami terbagi atas empat kelompok, yaitu (1) berbahan dasar minyak nabati, seperti monogliserida dan digliserida (2) berbahan
6
dasar karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan sorbitol ester (3) berbahan dasar ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin (4) berbahan dasar biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti ramnolipida dan soforolipida (Flider 2001). Rosen (2004) mengatakan bahwa berdasarkan gugus hidrofilik surfaktan terbagi atas empat jenis yaitu : 1. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active).
Sifat hidrofilik disebabkan
karena adanya keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat dan sulfonat.
Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain Linier Alkilbenzen
Sulfonat (LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES), Metil Ester Sulfonat (MES). 2. Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya.
Sifat dari hidrofilik ini, umumnya disebabkan karena adanya
keberadaan garam ammonium. Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain lemak amina, amidoamina, diamina, amina oksida, amina etoksilat. 3. Surfaktan nonionik, merupakan jenis surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul.
Sifat hidrofiliknya disebabkan karena adanya
keberadaan gugus eter atau hidroksil. Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain Alkil Poliglikosida (APG), Dietanol Amida (DEA), sukrosa ester, sorbitol, sorbitol ester, etoksilat alkohol. 4. Surfaktan amfoterik, merupakan jenis surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya. Muatan molekul pada surfaktan jenis ini bergantung pada pH, dimana jika pH rendah akan bermuatan negatif sedangkan jika pH tinggi akan bermuatan positif. Contoh dari surfaktan amfoterik ini antara lain asam amino karboksilik, alkil betain, dan lain-lain. 2.1.2
Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) Salah satu jenis surfaktan nonionik yang biasa digunakan sebagai bahan
dalam formulasi produk-produk perawatan diri (personal care products), kosmetik, pemucatan kain tekstil dan herbisida adalah Alkil Poliglikosida (APG). Kebutuhan surfaktan APG Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
7
Tabel 1 Kebutuhan surfaktan nonionik Indonesia Tahun Bobot (kg) Nilai (US $) 2005 16 735 515 29 790 690 2006 15 408 042 26 659 130 2007 14 865 928 28 353 164 2008 17 168 473 42 172 772 2009 18 176 494 38 617 994 Jan-Agust 2010 17 016 995 38 878 278 Sumber : BPS (2010)
Negara Jerman telah menyatakan bahwa surfaktan APG, merupakan surfaktan nomor satu dalam masalah keramahan lingkungan (Indrawanto 2008). Borsotti dan Pellizzon (1996) menyatakan bahwa APG merupakan surfaktan yang baik, karena bahan baku pembuatannya dapat diperoleh dari sumber-sumber alam yang dapat diperbaharui dan juga merupakan bahan yang 100% biodegradable. Hill et al. (2000) menyatakan bahwa proses produksi APG dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (1) secara langsung yaitu dengan satu tahap berupa tahap asetalisasi dengan bahan baku dekstrosa (gula turunan pati) dan alkohol lemak (fatty alcohol) dan (2) dengan cara tidak langsung yang melalui dua tahap yaitu tahap butanolisis dan tahap transasetalisasi, cara ini bahan baku berupa pati dan alkohol lemak (fatty alcohol). Kedua cara ini kemudian dilanjutkan ke tahap pemurnian yaitu proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan sehingga diperoleh surfaktan APG. Penggunaan pati sebagai bahan dasar dalam sintesis surfaktan APG dua tahap, selain ketersediaan pati yang banyak juga biaya bahan baku lebih murah. Namun APG yang dihasilkan berwarna lebih gelap yang diakibatkan oleh proses pencoklatan karena kandungan furfuraldehid pada pati. Wuest et al. (1992) telah mematenkan sintesis surfaktan APG dengan reaksi dua tahap berbahan baku pati. Tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan alkohol rantai lebih panjang C 8 sampai C 22 terutama C 12 sampai C 18 dengan bahan baku alami. Rosen (2004), mengatakan pada umumnya produk-produk komersial yang berupa detergen ataupun produk-produk perawatan diri menggunakan surfaktan APG berbasis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C 10 dan C 12 , karena memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta sebagai bahan pembersih yang baik.
8
Tahap butanolisis dilakukan pada suhu diatas 125 0C, sebaiknya pada 140150 0C. Tekanan pada reaktor sebesar 4-10 bar, sebaiknya 4.5-7 bar dalam zona reaksi tertutup. Tahap transasetalisasi dilakukan pada suhu 100-140 0C, namun sebaiknya pada 110-120 0C dengan kondisi vakum. Campuran reaksi kedua rasio mol senyawa sakarida dan air sekitar 1:5 sampai 1:12, sebaiknya 1:6 sampai 1:12, lebih baik 1:6 sampai 1:9, dan lebih khusus lagi dengan ratio mola1:8. Campuran ratio mol pati dan alkohol rantai panjang sekitar 1:1.5 sampai 1:7 atau 1:2.5 sampai 1:7, namun lebih baik lagi dengan ratio mol 1:3 sampai 1:5 (Wuest et al. 1992). Putri (2010) telah melakukan penelitian terhadap karakteristik surfaktan APG dengan menggunakan pati tapioka, yang menyatakan bahwa optimasi ratio mol pati dan alkohol lemak (fatty alcohol) dengan panjang rantai atom C 10 adalah 1:4.7 dan ratio mol pati tapioka dengan butanol sebesar 1:8.5. Dibawah ini merupakan gambar sintesis surfaktan APG proyeksi Fischer dua tahap (Gambar 1), sedangkan diagram alir sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Gambar 2. I
Pati
Butanol
Butil Glikosida
Air
II
Butil Glikosida
Air Alkohol lemak Alkil Poliglikosida Butanol
Air
Keterangan : I. Reaksi pada proses butanolisis II. Reaksi pada proses transasetalisasi
Gambar 1 Sintesis surfaktan APG proyeksi Fischer dua tahap (Schick 1987).
9
Diagram alir sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Gambar 2.
Butanol
Pati
Air
PTSA
BUTANOLISIS
Alkohol lemak TRANSASETALISASI
Butanol dan air
PTSA
NaOH
NETRALISASI
DISTILASI
Alkohol lemak dan air
PELARUTAN
PEMUCATAN
APG
Gambar 2 Diagram alir sintesis surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) (Hill et al. 2000).
Buchanan dan Wood 2000, menyatakan tahapan proses APG dengan dua tahap meliputi langkah-langkah dasar sebagai berikut (1) reaksi glikosidasi (reaksi pada butanolisis) menggunakan katalis asam dari sumber monosakarida dengan butanol untuk membentuk butil glikosida, dengan pemisahan gugusan air selama reaksinya, (2) transglikosidasi (reaksi pada transasetalisasi) dari butil glikosida dengan alkohol rantai panjang C 8 sampai C 20 menjadi APG, pada proses ini terjadi pemisahan butanol selama reaksinya, (3) netralisasi dari katalis asam, (4) distilasi untuk memisahkan alkohol rantai panjang yang tidak bereaksi, (5) pemucatan untuk meningkatkan warna dan bau dari produk dan (6) isolasi alkil poliglikosida. Reaksi glikosidasi dan transglikosidasi dikendalikan pada keadaan seimbang sampai katalis dinetralkan, sedangkan untuk proses sintesis APG tahap tunggal meliputi semua
10
langkah dari proses dua tahap, dengan pengecualian langkah (1) dan (2) dengan mereaksikan glukosa secara langsung dengan alkohol rantai panjang. Beberapa formula pun telah dipatenkan pada beberapa kantor paten Amerika (USPTO) dan Eropa (ep. Espacenet). Beberapa aplikasi pemanfaatan surfaktan APG dalam industri produk perawatan diri (Faber 2002) antara lain industri sampo dan kosmetik L’Oreal, Paris (Cauwet dan Dubief 1999), untuk mengurangi dan perawatan rambut rontok (Duranton dan Hansenne 2001), industri sabun transparan (White dan Kinsman 1999), industri tekstil pada proses pemucatan kain untuk meningkatkan keindahan warna kain (Francois et al. 1998), industri pestisida dan herbisida yang ramah lingkungan (Lachut 1996), industri detergen (Balzer dan Luders 1994) dan industri lainnya. Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ini telah melalui pengujian di laboratorium toksikologi dan ekologi dengan hasil yang sangat memuaskan. Surfaktan APG tidak membuat iritasi di mata, kulit dan membran mukosa serta dapat mengurangi efek iritasi yang ditimbulkan karena penggunaan surfaktan lain. Selain itu, APG telah diakui sebagai surfaktan yang ramah lingkungan. Jerman telah mengklasifikasikan surfaktan APG ini, sebagai surfaktan kelas I dalam the German Water Hazard Classification (WGK I), sehingga keamanan surfaktan ini dalam lingkungan tidak perlu diragukan (Hill et al. 2000).
2.1.3
Katalis Pemilihan katalis pada proses sintesis surfaktan APG sangat menentukan
keberhasilan terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesis. Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses sintesis surfaktan APG meliputi : 1. Asam anorganik : asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll. 2. Asam organik : asam triflouroasetat, asam p-toluena sulfonat, asam sulfosuksinat, asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam lemak tersulfonasi, dll. 3. Asam dari surfaktan : asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat, alkoksilat alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari asam sulfosuccinat, alkil naphthalena sulfonat, dll.
11
Dari katalis tersebut diatas, dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat (para-toluene sufonic acid/PTSA). Hal ini dikarenakan katalis tersebut cenderung bersifat dapat terurai oleh lingkungan dan merupakan jenis asam lemah sehingga tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al. 2000). Jika menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi dengan menghidrolisis glukosa.
2.2
Produksi surfaktan APG
2.2.1
Bahan baku surfaktan APG
2.2.1.1 Alkohol Lemak (Fatty Alcohol) Alkohol lemak (fatty alcohol) merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai alkohol lemak alami, sedangkan turunan dari petrokimia (parafin dan etilen) dikenal sebagai alkohol lemak sintetik (Hill et al. 2000). Pada minyak kelapa sawit, alkohol lemak diperoleh dari minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO). Alkohol lemak termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar yang merupakan jenis alkohol alifatik rantai panjang, yang memiliki panjang rantai atom karbon (C) antara 8 sampai 22 (C 8 sampai C 22 ). Pada umumnya alkohol lemak, bersifat mudah terurai oleh lingkungan dan tidak menimbulkan pencemaran (biodegradable). McCurry et al. (1996) menyatakan bahwa alkohol lemak rantai panjang yang diperkenankan dalam sintesis APG adalah dengan panjang rantai atom C 8 -C 22 , namun lebih baik lagi jika menggunakan panjang rantai alkohol lemak C 8 -C 18 . Rosen (2004), mengatakan bahwa umumnya produk-produk komersial yang menggunakan surfaktan APG berbasis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C 10 dan C 12 , karena memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta sebagai bahan pembersih yang baik. Karakteristik jenis alkohol lemak C 10 dan C 12 dapat dilihat pada Tabel 2.
12
Tabel 2 Karakteristik alkohol lemak C 10 dan C 12 Nama Nama Rumus Densitas Bobot Titik didih (0C) Titik umum IUPAC molekul (g/cm3) molekul kondisi kondisi leleh normal vakum (0C) Dekanol Alkohol C 10 H 21 OH 0.8297 158.3 233 158.8 7 kaprat Dodekanol Alkohol C 12 H 25 OH 0.8309 186.3 259 185.5 24 lauril Sumber : Wikipedia (2009)
Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (–OH), dimana sifat kelarutannya dipengaruhi oleh ikatan hidrogen.
Semakin panjang rantai karbon maka sifat
kepolaran gugus hidroksil akan semakin menurun. Hal ini mengakibatkan alkohol lemak yang berat molekul rendah cenderung lebih larut dalam air, sedangkan alkohol lemak yang berat molekul tinggi lebih cenderung bersifat non polar. Alkohol lemak merupakan bahan baku industri produk perawatan tubuh (personal care product), sabun mandi, sampo, kondisioner, detergen, makanan, plastik, farmasi, pelumas, dan berbagai produk industri lainnya. Alkohol lemak yang digunakan sebagai bahan baku surfaktan mampu bersaing dengan produk turunan petroleum, seperti alkil benzena. Persaingan ini lebih disebabkan karena sifat dari surfaktan yang lebih stabil dan harga yang lebih murah dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum (Kirk dan Othmer 1963). Suryani et al. (2002) mengatakan bahwa, alkohol lemak diturunkan dari asam lemak dan metil ester melalui reaksi hidrogenasi. Reaksi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1. Minyak nabati ditransesterifikasi menjadi metil ester kemudian dihidrogenasi menjadi alkohol lemak. 2. Minyak nabati dihidrolisis menjadi asam lemak kemudian dihidrogenasi menjadi alkohol lemak. Pada umumnya, alkohol lemak yang berasal dari industri oleokimia berbasis minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO). Minyak kelapa merupakan salah satu minyak nabati yang diperdagangkan di dunia baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun industri.
Kontribusi minyak kelapa dalam perdagangan dunia sebesar
2.98%, nilai ini jauh lebih kecil dibanding minyak sawit dan minyak kedelai yang masing-masing hampir mencapai 30%. Meskipun dalam jumlah yang relatif kecil,
13
namun minyak kelapa merupakan bahan baku yang sangat penting bagi industri oleokimia. Minyak kelapa memiliki kandungan berbagai asam lemak (fatty acid) yang khas, sehingga sangat dibutuhkan oleh industri oleokimia. Komposisi asam lemak dari minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO) dengan panjang rantai atom C 10 dan C 12 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi asam lemak dari minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO) Jenis asam lemak Rumus molekul Minyak kelapa (%) PKO (%) Asam kaprat C 10 H 20 O 2 6-10 3-7 Asam laurat C 12 H 24 O 2 46-50 46-52 Sumber : Shahidi (2005)
2.2.1.2 Sumber Karbohidrat Pada proses sintesis surfaktan APG, gugus hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat yang dapat diperoleh dari pati atau glukosa. Pati merupakan karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau.
Pati tersusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan
amilopektin dengan komposisi yang berbeda-beda, dimana komposisi amilosa lebih sedikit yaitu berkisar antara 17-27%. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Pati merupakan polisakarida yang tersusun oleh unit-unit D-glukosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pada sintesis surfaktan APG karena lebih mudah didapat serta lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan D-glukosa. Pati dari sereal, umbi-umbian ataupun dari biji-bijian dalam bentuk granula pati memiliki diameter berkitar antara 2-100 µm (Thomas dan Atwell 1997). Pati terdiri dari gugus amilosa dan amilopektin dalam bentuk kristal dengan kandungan air sekitar 10%. Amilosa adalah polisakarida dimana unit-unit D-glukosa tergabung pada ikatan glikosida α-1.4 sedangkan amilopektin memiliki rantai cabang yang menyusun unit D-glukosa pada ikatan glikosida α-(1.4) dan α-(1.6) pada percabangannya (Miller dan Whitsler 2009). Pati sering digunakan pada pengolahan makanan, pakan, sebagai komponen perekat, campuran kertas, tekstil, kosmetik, industri kimia, industri perawatan diri (personal care) dan lain sebagainya (Harris 2001).
14
Tapioka merupakan tepung pati berasal dari ubi kayu yang banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat di industri farmasi, kosmetik dan industri perawatan diri (personal care). Kadar pati ubi kayu cukup besar, yaitu berkisar antara 25-35%. Salah satu ciri khas dari tapioka yaitu kandungan lemak dan proteinnya yang rendah dibandingkan dengan pati jenis lain, hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Komposisi kimia tapioka Kandungan Kadar air Kadar pati Kadar abu pH Kandungan sulfur dioksida Kandungan sianida
Jumlah 13 85 0.2 5-7 30 0
Sumber : Miller dan Whitsler (2009)
Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13 300 000 ton) setelah Brazil (25 554 000 ton), Thailand (13 500 000 ton) serta disusul negara-negara seperti Nigeria (11 000 000 ton), India (6 500 000 ton) dari total produksi dunia sebesar 122 134 000 ton per tahun. Permasalahan utama dalam produksi ubi kayu adalah produktivitas yang masih rendah yaitu 12.2 ton/ha dibandingkan dengan India (17.57 ton), Angola (14.23 ton/ha), Thailand (13.30 ton/ha) dan China (13.06 ton/ha) (Trijaya 2007).
2.2.2
Tahapan proses sintesis surfaktan APG
2.2.2.1 Tahap Butanolisis Tahap butanolisis (glikosidasi) merupakan reaksi antara monosakarida (sumber pati-patian) dan butanol dengan menggunakan katalis asam untuk membentuk produk butil glikosida, pada proses ini terjadi pemisahan air (H 2 O) dari hasil reaksi glukosa dan butanol dengan bantuan ion H+ dari katalis (Lueders, 1989). Hill et al. (2000) menyatakan reaksi ratio mol antara pati dengan butanol 1:6 sampai 1:10.
Optimasi ratio molar pati tapioka dan butanol pada pembuatan
surfaktan APG berbasis alkohol lemak C 10 adalah 1:8.5 (Putri 2010). Pemilihan katalis pada proses sintesis APG, bertujuan untuk mempercepat proses sintesis APG. Schick (1987) menyatakan bahwa katalis asam yang dapat digunakan pada sintesis surfaktan APG antara lain :
15
Katalis asam onorganik, misalnya : asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll. Katalis asam organik, misalnya : asam trifluoroasetat, asam para toluena surfonat, asam sulfosuksinat, dll. Asam yang berasal dari surfaktan, misalnya : asam alkil benzena surfonat, akohol lemak surfat, dll. Buchanan dan Wood (2000) menyatakan bahwa katalis yang digunakan pada sintesis surfaktan APG sebaiknya katalis p-toluene sulfonic acid (asam para toluena sulfonat/PTSA), karena merupakan katalis organik dan bersifat mudah terurai oleh lingkungan serta merupakan jenis asam lemah. Selain itu, penggunaan jenis asam lemah bertujuan untuk memudahkan pada proses netralisasi. Katalis PTSA juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al. 2000). Katalis yang digunakan sebaiknya tidak menggunakan asam kuat karena dapat menghidrolisa glukosa, selain itu juga dapat bersifat korosif pada pipa besi ataupun stainless steel.
Buchanan dan Wood (2000) menyatakan bahwa
penggunaan katalis pada sintesis APG sebaiknya 0.009, 0.018, 0.027 dan 0.036 mol, namun penggunaan katalis PTSA sebaiknya digunakan dengan 0.018 mol. Proses ini terjadi pada suhu 140-150 0C, dengan tekanan 4.5-7 bar selama selama 30 menit (Wuest et al. 1992). Penggunaan bahan baku sakarida yang berasal dari pati terlebih dahulu terjadi proses hidrolisis kemudian proses alkoholisis, selain menghasilkan produk butil glikosida juga terbentuk warna yang gelap akibat degradasi dari gula.
2.2.2.2 Tahap Transasetalisasi Produk dari tahap butanolisis yaitu butil glikosida kemudian direaksikan dengan alkohol lemak C 10 dan C 12 . Putri (2010) menyatakan bahwa optimasi ratio mol pati tapioka dengan alkohol lemak sebesar 1:4.7. Butil glikosida tidak dapat bercampur dengan alkohol lemak C 10 dan C 12 , hal ini dikarenakan perbedaan polaritas untuk itu perlu dilakukan penambahan solubilizer (Balzer dan Luders 1994).
Schmitt (1993) menyatakan bahwa penggunaan solubilizer N-metil 2
pirolidon (NMP) dapat melarutkan metil monoglikosida dan alkohol lemak C 10 dan C 12 , namun bahan ini bersifat racun terhadap lingkungan. Salah satu solubilizer yang sejenis dengan NMP dan bersifat tidak mencemari lingkungan adalah dimetil solfooksida (DMSO) dengan rumus molekul (CH 3 ) 2 SO. DMSO merupakan asam
16
lemah dengan titik didih 179 0C dan akan terpisah pada saat distilasi. Penggunaan DMSO sebaiknya 0.1 mol/bobot mol pati (Balzer dan Luders 1994). Katalis asam yang digunakan pada proses transasetalisasi juga menggunakan PTSA sebanyak 0.009 mol/bobot mol pati. Pada proses ini, butanol dan air akan teruapkan dan ditampung dalam separator. Proses transasetalisasi ini terjadi pada suhu 110-120 0C dengan tekanan vakum dan selama 2 jam (Wuest et al. 1992). Kondisi asam dan suhu tinggi selama proses sintesis akan menghasilkan produk sekunder (by-product) seperti polidekstrosa yang berupa endapan pasta berwarna gelap. Penggunaan suhu tinggi (>120
0
C) dapat mempercepat
pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat (McCurry et al. 1994). Borsotti dan Pellizzon (1996) menyatakan bahwa pemakaian katalis dapat menghasilkan endapan yang berupa pasta pada proses transasetalisasi, untuk itu perlu dilakukan penyaringan sebelum dilanjutkan ke tahap pemurnian.
2.2.2.3 Tahap Pemurnian Proses Netralisasi Proses netralisasi bertujuan untuk mengatur pH produk, agar produk pada kondisi basa dengan pH 8-9. Basa yang digunakan untuk proses netralisasi ini diantaranya natrium hidroksida, potasium hidroksida, aluminium hidroksida dan lain sebagainya (Wuest et al. 1992). Proses netralisasi dilakukan pada suhu 70-90 0C dengan tekanan 1 atm dan waktu 30 menit. Penggunaan natrium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan, karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol ataupun produk. NaOH yang digunakan untuk proses netralisasi sebaiknya dengan konsentrasi 50% (McCurry dan Pickens 1990). Penambahan katalis NaOH pada proses ini juga akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al. 1992). Pada umumnya industri menggunakan NaOH pada proses netralisasi, karena selain murah juga lebih efisien (Ketaren 1996). Pada proses ini ratio mol pati terhadap alkohol lemak akan berpengaruh pada jumlah basa yang digunakan, karena alkohol lemak cenderung bersifat asam. Semakin banyak jumlah alkohol lemak yang digunakan, maka semakin banyak pula basa yang dibutuhkan (Hill et al. 2000).
17
Proses Distilasi Proses distilasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan yang rendah, agar alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi teruapkan. Proses ini terjadi pada suhu 140160 0C dengan tekanan vakum selama 2 jam. Wuest et al. (1992) mengatakan bahwa semakin panjang rantai atom alkohol lemak yang digunakan maka akan semakin tinggi suhu yang dibutuhkan dan semakin rendah tekanannya. Pada proses ini diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak sekecil mungkin pada produk surfaktan APG yang dihasilkan, yaitu kurang 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi efektifitas kerja dari surfaktan APG. Hasil akhir dari proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar yang berbentuk pasta berwarna coklat kehitaman dan bau yang kurang enak. Produk surfaktan APG yang beredar dipasaran berwarna bening dengan bau yang enak, oleh sebab itu perlu dilakukan proses pelarutan dan pemucatan untuk memperoleh surfaktan APG yang sesuai beredar dipasaran.
Proses Pelarutan Proses pelarutan merupakan proses pengenceran APG kasar yang diperoleh setelah proses distilasi. Pelarutan dilakukan dengan penambahan air, dimana air yang digunakan untuk pengenceran sebaiknya pada suhu sekitar 60-80 °C dengan perbandingan 1 : 1 dari bobot APG kasar (Borsotti dan Pellizon 1996).
Proses Pemucatan (Bleaching) Tahap pemurnian merupakan suatu tahap untuk meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa metode pemurnian yang dikenal adalah secara kimia dan fisika. Pemurnian secara fisika membutuhkan peralatan penunjang yang cukup spesifik, sehingga diperoleh produk akhir yang lebih baik pula dengan warna yang lebih jernih. Pemurnian secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan hanya memerlukan metode pencampuran dengan senyawa kimia lainnya (Hernani 2007). Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan
18
bau yang tidak diinginkan. Proses pemucatan (bleaching) merupakan tahap akhir dari proses sintesis surfaktan APG. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H 2 O 2 dan logam alkali yang dilakukan pada suhu 80-90 0C selama 40-60 menit pada tekanan normal (Hill et al. 2000). McCurry et al. (1994), menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna yang tidak diinginkan pada produk surfaktan APG. Konsentrasi NaOH dan MgO yang efektif digunakan sekitar 250-1000 ppm, namun lebih baik lagi sekitar 500-700 ppm. Penggunaan logam alkali NaOH dan MgO sebagai bahan aktivator serta penambahan H 2 O 2 akan menghasilkan surfaktan APG berwarna lebih jernih, dimana konsentrasi H 2 O 2 adalah 35% (b/v) sebanyak 2% dari bobot surfaktan APG kasar (b/b).
2.2.3
Bahan pemucat pada sintesis surfaktan APG Bahan pemucat (bleaching agent) merupakan suatu bahan yang dapat
memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Pemucatan dengan bahan kimia pada umumnya dibagi dua macam yaitu pemucatan dengan proses oksidasi dan proses reduksi. Proses ini melibatkan proses oksidasi dan reduksi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dengan menggunakan bahan kimia banyak digunakan, karena hilangnya sebagian produk dapat dihindarkan dan zat warna yang diubah menjadi zat yang tidak berwarna tetap tinggal dalam produk (Djatmiko dan Ketaren 1985). Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, CaSO 4 , TiO 2 , dll. Hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) merupakan cairan yang berwarna bening namun agak lebih kental daripada air, berbau khas agak keasaman dan larut dengan baik dalam air. Hidrogen proksida merupakan oksidator kuat, oleh sebab itu salah satu kegunaan larutan ini adalah sebagai bahan pemutih. Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya, hanya air dan oksigen.
19
Hidrogen peroksida ditemukan oleh Louis Jacques Thenard di tahun 1818. Senyawa ini merupakan bahan kimia anorganik yang terdiri atas gas hidrogen (H 2 ) dan gas oksigen (O 2 ), dengan titik didih 150.2 0C. Hidrogen peroksida banyak digunakan sebagai bahan pemucat (bleaching agent) pada industri pulp, kertas, tekstil, farmasi, deterjen, perawatan diri, makanan dan minuman. Pada kondisi normal (kondisi ambient) dan asam, hidrogen peroksida sangat stabil. Namun pada kondisi basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun akan semakin tinggi. Selain itu, hidrogen peroksida dapat merusak ikatan rangkap pigmen, dari yang berwarna menjadi komponen tidak berwarna (Onggo dan Astuti 2005). Penggunaan hidrogen peroksida biasa dikombinasikan dengan NaOH atau alkali lainnya, dimana semakin basa kondisi suatu reaksi maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi dan sangat mudah terurai. Proses penguraian hidrogen peroksida juga dapat dipercepat dengan meningkatnya suhu selama proses reaksi. Zat reaktif dalam sistem pemucatan dengan hidrogen peroksida dalam suasana basa yaitu anion perhidroksil (HOO-), dimana anion yang terbentuk berasal dari penambahan alkali dan terjadi reaksi sebagai berikut : H 2 O 2 + HO- ↔ HOO- + H 2 O Ion HOO- inilah yang mempunyai peran aktif didalam proses pemutihan, namun jika terdapat logam transisi seperti Fe, Mn, Mg dan Cu maka reaksi dekomposisi hidrogen peroksida dalam larutan basa berlangsung menurut reaksi berikut : H 2 O 2 + HO 2 → H 2 O + O 2 + HO Pada saat mengalami dekomposisi, hidrogen peroksida terurai menjadi air dan gas oksigen (Ulia 2007). Pada proses pemucatan, diharapkan yang terjadi pada persamaan reaksi yang pertama karena menghasilkan ion HOO-. Pada reaksi yang kedua proses pemucatan berlangsung dengan memberikan efek oksidasi dengan terbentuknya senyawa O 2 namun daya pemucatannya kurang efektif jika dibandingkan dengan persamaan pertama (Fuadi dan Sulistya 2008).
2.3
Pembuatan sabun cuci tangan cair Penggunaan sabun dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak asing lagi, yang
fungsi utamanya merupakan sebagai pencuci.
Berbagai jenis sabun untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat mulai dari sabun cuci (krim dan bubuk), sabun
20
mandi (padat dan cair), sabun tangan (cair), serta sabun pembersih peralatan rumah tangga (cair dan krim). Sabun cuci tangan cair adalah bahan pencuci dan pembersih cair yang digunakan untuk mencuci tangan (Paul et al. 2003). Wibisono dan Budiono (2004) menyatakan bahwa berdasarkan dari jenis bahan bakunya, sabun dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu : (1) Sabun yang dibuat dari asam lemak dan logam yang digaramkan. Logam yang digunakan biasanya dari jenis logam alkali, misalnya natrium dan kalium. Jenis sabun yang dihasilkan di antaranya adalah sabun mandi padat dan krim. (2) Sabun yang dibuat dari bahan dasar zat aktif permukaan (ZAP). Pada umumnya, sabun dengan bahan dasar ZAP menghasilkan produk cair. Salah satu contoh zat aktif permukaan adalah alkil poliglikosida (APG). Somasundaran et al. (2007) menyatakan bahwa surfaktan berbasis pati (gula) memiliki sifat pembusaan yang baik, tidak beracun pada permukaan kulit terutama pada pemakaian untuk tangan serta dapat mengurangi efek iritasi karena pengaruh pemakaian surfaktan jenis lain. Pencucian adalah proses membersihkan suatu permukaan benda padat dengan bantuan larutan pencuci melalui suatu proses kimia-fisika yang disebut deterjensi. Sifat utama dari kerja deterjensi adalah membasahi permukaan yang kotor kemudian melepaskan kotoran. Pembasahan berarti penurunan tegangan muka padatan-cair.
Pencucian atau pelepasan kotoran berlangsung dengan jalan
mendispersikan dan mengemulsi kotoran, lalu dengan bantuan aksi mekanik kotoran menjadi terlepas dari permukaan benda padat. Kotoran padat dapat melekat karena adanya pengaruh : ikatan minyak, gaya listrik statik, dan ikatan hidrogen (Amato 2007). Pada pembuatan sabun, peran bahan penolong dan pengisi sangat besar karena akan sangat menentukan mutu dan kenampakan sabun yang dihasilkan. Zatzat yang biasa digunakan sebagai bahan penolong adalah : (1) Garam, berfungsi sebagai pengental. Semakin banyak jumlah garam yang dimasukkan, maka sabun yang dihasilkan akan semakin kental (2) Alkali, pengatur pH larutan sabun dan penambah daya deterjensi (3) Zat pemberi busa, untuk meningkatkan pencucian yang bersih. Jika sabun tanpa busa, maka kemungkinan besar sabun telah mengendap sebagai sabun kalsium atau sabun tidak larut lainnya (4) EDTA, sebagai pengikat logam sadah dan pengawet (5) Pewangi, untuk memberikan aroma tertentu
21
sesuai selera dan meningkatkan daya tarik dari sabun yang dihasilkan (6) Zat warna, memberi warna pada sabun agar mempunyai penampilan menarik (Perdana dan Hakim 2007).
2.3.1
Polisorbat 20 Polisorbat merupakan etilen oksida yang diesterkan pada gugus hidroksi
dengan asam lemak. Adanya gugus etilen pada molekul menyebabkan sifat-sifat hidrofilik yang menonjol jika dibandingkan dengan ester asam lemak.
Pada
umumnya polisorbat digunakan sebagai zat pelarut dan pengemulsi. memadukan lebih dari satu surfaktan dapat digunakan untuk sistem emulsi yang mempunyai keseimbangan antara hidrofilik dan hidrofobik (Rusmawati et al. 2002). Polisorbat 20 termasuk dalam jenis surfaktan nonionik, yang memiliki karakter : berbentuk cairan seperti minyak, berwarna jernih kuning muda, berbau khas, rasa pahit, sangat larut dalam air. Polisorbat memiliki nama lain yaitu tween 20, polioksietilen sorbitan monolaurat, emulsifier tween 20. Rumus molekul dari polisorbat adalah C 58 H 114 O 26 , bobot molekul 1 227.54 g/mol dan titik didih 100 0C (Wikipedia 2007).
2.3.2
Triklosan Triklosan merupakan bahan kimia yang tergolong dalam zat antiseptik dan
anti mikroba yang banyak terdapat pada sabun, obat kumur, pasta gigi, deodorant dan sebagainya. Triklosan mempunyai daya antimikroba dengan spektrum luas yang dapat membunuh berbagai macam bakteri yang terdapat pada kulit dan permukaan lainnya serta mempunyai sifat toksisitas yang rendah (Glaser 2004). Triklosan berupa padatan bubuk berwarna putih dengan rumus kimia C 12 H 7 Cl 3 O 2 dan bobot molekul 289.55 g/mol (Wikipedia 2010) Pada pencapaian kondisi yang efektif, penggunaan triklosan pada sabun pembusa cair antiseptik diimbangi dengan polisorbat 20. Penggunaan polisorbat 20 bertujuan untuk membantu melarutkan triklosan, karena triklosan merupakan bahan yang tidak larut dalam air (Paul et al. 2003). Formulasi sabun pembusa cair antiseptik dapat dilihat pada Tabel 5.
22
Tabel 5 Formulasi sabun pembusa cair antiseptik Bahan Komposisi (%) Surfaktan 35-70 Polisorbat 20 10-30 Triklosan 0.2-2 Pewangi 1-3 Air 40-80 Sumber : Paul et al. (2003)
2.4.
Karakteristik surfaktan APG
2.4.1
Stabilitas Emulsi Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakterisasi
terpenting serta mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan. Emulsi merupakan adalah campuran dari dua atau lebih bahan yang tidak bercampur (unblendable), saling ingin berpisah karena mempunyai berat jenis yang berbeda. Cairan yang satu terdispersi dalam bentuk globula-globula atau butirbutir kecil di dalam cairan lainnya. Cairan yang mendispersikan disebut dengan fase kontinyu, sedangkan butir-butir yang terlarut disebut dengan fase terdispersi (Somasundaran et al. 2007).
Emulsi cenderung memiliki penampilan berawan,
karena fase antarmuka menyebar. Emulsi yang tidak stabil merupakan emulsi yang tidak terbentuk secara spontan. Pembentukan emulsi dapat terjadi dengan adanya getaran, pengadukan atau pada proses penyemprotan. Emulsi yang tidak stabil akan cepat terpisah tanpa adanya getaran, guncangan kecuali terjadi secara terus menerus. Emulsi dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu emulsi dengan sistem o/w (oil in water) dan emulsi dengan sistem w/o (water in oil). Kondisi tergantung dari bagian yang menjadi fase kontinu atau bagian yang menjadi fase diskontinu. Contoh umum untuk emulsi o/w adalah air susu dan mayonaise, sedangkan contoh emulsi w/o adalah margarin dan mentega. Komponen yang paling penting dalam pembentukan emulsi adalah minyak, karena minyak menentukan apakah bentukan emulsi adalah o/w atau w/o. Jenis dan jumlah minyak yang ditambahkan berpengaruh terhadap kestabilan emulsi.
2.4.2
Tegangan Permukaan Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis
permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase (Myers 2006). Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik
23
dan hidrofilik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antarmuka (Rosen 2004).
Tegangan permukaan dapat diukur menggunakan Tensiometer
metode Du Nouy yang dinyatakan dalam dyne/cm atau mN/m.
2.4.3
Tegangan Antarmuka Tegangan antarmuka adalah gaya persatuan panjang yang terjadi pada
antarmuka dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Tegangan antarmuka merupakan hal yang sangat penting dalam memberikan ciri terhadap suatu surfaktan. Kemampuannya menurunkan tegangan antarmuka disebabkan karena surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik (Myers 2006).
Surfaktan berfungsi
sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut, kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan. Surfaktan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka (Matheson 1996). Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar 1989).
2.4.4
H L B (Hydrophile - Lipophile Balance) Keseimbangan antara jumlah molekul hidrofilik dan hidrofobik dihitung
dengan nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance). Nilai HLB berkisar antara 0-40, hal ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas surfaktan berdasarkan data emulsi. HLB dapat menunjukkan tipe aplikasi surfaktan tergantung nilai interval HLB. Emulsifier untuk water in oil emulsi (w/o emulsion) harus yang bersifat hidrofobik dengan nilai HLB 3-6, sedangkan untuk
oil in water emulsi (o/w
emulsion) diperlukan emulsifier dengan HLB 8-18 (Schick 1987). Nilai HLB dan aplikasinya (Metode Griffin) dapat dilihat pada Tabel 6.
24
Tabel 6 Nilai HLB, karakteristik dan aplikasinya Kisaran HLB Aplikasi 3-6 emulsi air dalam minyak (w/o) 7-9 sebagai bahan pembasah 8-14 emulsi minyak dalam air (o/w) 9-13 untuk deterjen 10-13 sebagai solubilizer 12-17 untuk dispersant Sumber : Schick (1987)
3 3.1
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Surfaktan APG (Alkil Poliglikosida) merupakan surfaktan nonionik yang
pada umumnya digunakan sebagai formulasi beberapa produk-produk perawatan diri (personal care products), formulasi herbisida, produk kosmetik maupun untuk pemucatan kain tekstil. Bahan baku surfaktan APG adalah alkohol lemak (fatty alcohol) yang berbasis minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit atau minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil) serta karbohidrat dari pati seperti tapioka. Proses sintesis surfaktan APG dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap butanolisis dan transasetalisasi, dimana kedua cara ini kemudian dilanjutkan dengan tahap pemurnian yaitu netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Penggunaan bahan baku pati pada proses sintesis surfaktan APG memiliki beberapa keunggulan, diantaranya ketersediaan pati yang banyak serta harganya yang lebih murah. Pada tahap transasetalisasi, produk dari tahap butanolisis (butil glikosida) direaksikan dengan alkohol lemak pada panjang rantai atom C 10 dan C 12 . Hal ini dikarenakan alkohol lemak C 10 dan C 12 memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta sebagai bahan pembersih yang baik untuk produk-produk perawatan diri (personal care products) (Rosen 2004). Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan bau yang tidak diinginkan pada surfaktan APG. McCurry et al. (1994), menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) sebagai bahan aktivator dengan konsentrasi berkisar antara 500-700 ppm. Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan dikaji sintesis surfaktan APG dari jenis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C 10 dan C 12 yang akan menghasilkan tingkat kejernihan dan karakteristik surfaktan APG yang baik. Surfaktan APG memiliki kinerja yang dapat meningkatkan kestabilan emulsi, mampu menurunkan tegangan permukaan serta mampu menurunkan tegangan antarmuka. Surfaktan APG terbaik yang dihasilkan, diaplikasikan pada pembuatan sabun cuci tangan cair. Sabun cuci tangan cair yang dihasilkan, diuji karakteristiknya berupa pH, bobot jenis, cemaran mikroba serta uji organoleptik.
26
3.2
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Proses, Departemen
Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan Agustus 2010.
3.3
Bahan dan Alat
3.3.1
Bahan Bahan baku utama pada penelitian ini adalah alkohol lemak (fatty alcohol)
dengan panjang rantai karbon C 10 dan C 12 yang diperoleh dari PT. Ecogreen Oleochemical di Batam, serta tapioka yang dibeli di supermarket Bogor. Bahan kimia untuk pereaksi pada sintesis surfaktan APG adalah butanol, aquadest, katalis p-toluene sulfonic acid (PTSA), Dimetil sulfooksida (DMSO), H 2 O 2, NaOH, MgO. Bahan kimia untuk analisis surfaktan APG adalah piridina, xilena, benzene. Bahan kimia yang digunakan pada pembuatan sabun cuci tangan cair adalah triklosan, polisorbat 20 dan pewangi. Bahan kimia untuk analisis sabun cuci tangan cair adalah garam fisiologis dan Plate Count Agar (PCA).
3.3.2
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor double jacket yang
dilengkapi dengan termostat, agitator dan motor, kondensor, pompa vakum, magnetic stirrer, oven, Cole-parmer surface tensiometer, pH meter, hot plate, termometer, FTIR Spectronic 20, timbangan analitik, buret dan statif serta peralatan glassware.
3.4
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu : sintesis surfaktan Alkil
Poliglikosida (APG) berbasis alkohol lemak dari jenis panjang rantai atom C 10 dan C 12 dan tapioka, serta mengaplikasikan surfaktan APG hasil sintesis terbaik pada pembuatan sabun cuci tangan cair.
27
3.4.1
Sintesis Surfaktan APG
3.4.1.1 Proses sintesis surfaktan APG Untuk sintesis surfaktan APG yang dilakukan pada penelitian ini, bahan baku yang digunakan berupa alkohol lemak C 10 dan C 12 dan pati. Ratio bahan untuk proses sintesis surfaktan APG pada tahap butanolisis adalah pati:butanol:air:katalis PTSA dengan ratio mol 1:8.5:8:0.018. Bobot air yang digunakan pada sintesis surfaktan APG ditentukan berdasarkan kadar air awal yang terdapat pada pati. Analisis kadar air pada pati, dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada tahap transasetalisasi, hasil dari tahap butanolisis direaksikan dengan alcohol lemak C 10 (A1) dan C 12 (A2) dan katalis PTSA pada ratio mol 4.7:0.009. Kemudian dilanjutkan ke tahap permurnian yaitu proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Pada proses pemucatan, produk dari proses pelarutan kemudian direaksikan dengan logam alkali NaOH (B1) atau MgO (B2) pada konsentrasi 500 ppm (C1) atau 700 ppm (C2). Proses sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Gambar 3, sedangkan prosedur sintesis surfaktan APG selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Perhitungan neraca massa dari sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Lampiran 6, sedangkan neraca massa dan perhitungan biaya produksi surfaktan APG dapat dilihat pada Lampiran 18. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Tersarang, dengan kajian pengaruh tiga faktor yaitu jenis alkohol lemak (fatty alcohol), bahan aktivator dan konsentrasi bahan aktivator. Jenis alkohol lemak terdiri dua taraf faktor yaitu : A1
= jenis alkohol lemak C 10
A2
= jenis alkohol lemak C 12
Bahan aktivator terdiri dari dua taraf faktor yaitu : B1
= NaOH
B2
= MgO
Konsentrasi bahan aktivator terdiri dari dua taraf faktor yaitu : C1
= 500 ppm
C2
= 700 ppm
28
Penelitian dilakukan dengan dua kali ulangan, dengan persamaan : Y ijk = µ + A i + B j + C k + (AB) ij + (BC) jk + (AC) ik + (ABC) ijk + ε ijkl Dimana : Y ijk µ Ai Bj Ck (AB) ij
= Variabel respon = Rataan umum = Pengaruh jenis alkohol lemak pada taraf ke-i (i=1,2) = Pengaruh bahan aktivator pada taraf ke-j (j=1,2) = Pengaruh konsentrasi bahan aktivator pada taraf ke-k (k=1,2) = Pengaruh interaksi dari jenis alkohol lemak taraf ke-i dengan bahan aktivator taraf ke-j (BC) jk = Pengaruh interaksi dari bahan aktivator taraf ke-j dengan konsentrasi bahan aktivator taraf ke-k (AC) ik = Pengaruh interaksi dari jenis alkohol lemak taraf ke-i dengan konsentrasi bahan aktivator taraf ke-k (ABC) ijk = Pengaruh interaksi dari jenis alkohol lemak taraf ke-i, dengan bahan bahan aktivator taraf ke-j dan dengan konsentrasi bahan aktivator taraf ke-k ε ijkl = Galat perlakuan ke-l akibat kombinasi perlakuan jenis alkohol lemak pada taraf ke-i, bahan aktivator pada taraf ke-j dan konsentrasi bahan aktivator pada taraf ke-k (l=1,2) Parameter yang diamati pada surfaktan APG meliputi rendemen, kejernihan, stabilitas emulsi, kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan kemampuan
menurunkan tegangan antarmuka.
3.4.1.2 Karakterisasi surfaktan APG Surfaktan APG hasil sintesis selanjutnya dianalisis rendemen, kejernihan, kemampuan menurunkan tegangan permukaan, kemampuan menurunkan tegangan antarmuka dan stabilitas emulsi. Prosedur analisis surfaktan APG dapat dilihat pada Lampiran 3. Surfaktan APG hasil sintesis terbaik yang memiliki nilai kestabilan emulsi,
kemampuan
menurunkan
tegangan
permukaan
serta
kemampuan
menurunkan tegangan antarmuka yang tinggi kemudian dianalisis nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance) dan diuji kemurniannya dengan analisis gugus fungsi menggunakan FTIR spectronic 20 serta diaplikasikan pada pembuatan sabun cuci tangan cair (prosedur analisa disajikan pada Lampiran 5).
29
Air (8 mol) Katalis (PTSA) 0.018 mol
Butanol (8,5 mol)
Pati (1 mol)
BUTANOLISIS P = 4.5-7 bar
T = 140-150 OC t : 30 menit
Butil glikosida Alkohol lemak C10 atau C12 (4.7 mol/1 mol pati) Katalis (PTSA) 0.009/1 mol pati
TRANSASETALISASI P = vakum T = 110-120 OC t = 120 menit
Butanol, air
Penyaringan T= 80 OC
NaOH 50%
NETRALISASI setelah pendinginan hingga T = 80-90 OC dan pH 9-10
DISTILASI P = vakum, T = 140-160 OC
Alkohol lemak, air
APG KASAR Air (1:1 dengan APG kasar) H2O2 2% Logam alkali (NaOH dan MgO ) pada 500 atau 700 ppm
PELARUTAN P = 1 atm T = 60-80 OC, t = 30 menit
PEMUCATAN P = 1 atm T = 80-90 OC, t = 30 menit APG MURNI
Analisis : 1. Kejernihan 2. Kemampuan menurunkan TAM 3. Kemampuan menurunkan TP 4. Stabilitas emulsi 5. Rendemen 6. Gugus fungsi (FTIR), HLB
Gambar 3 Diagram alir proses sintesis surfaktan Alkil Poliglikosida (APG).
3.4.2
Aplikasi surfaktan APG sebagai bahan aktif pada sabun cuci tangan cair Sabun cair merupakan salah satu jenis produk perawatan diri (personal care
product), yang dapat diproduksi dengan berbasis surfaktan APG. Proses pembuatan sabun cuci tangan cair dilakukan dengan bahan baku surfaktan APG hasil sintesis terbaik, serta dengan penambahan bahan aktif lainnya seperti polisorbat 20 dan
30
triklosan. Formulasi pembuatan sabun cuci tangan cair dimodifikasikan dari metode Paul et a.l (2003) yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Formulasi bahan untuk pembuatan sabun cuci tangan cair Bahan Komposisi (%) Surfaktan APG 35 Polisorbat 20 10 Triklosan 0.2 Pewangi 1 Air 53.8 Sumber : Paul et al. (2003)
Tahapan pembuatan sabun cuci tangan cair dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan prosedur pembuatan sabun cuci tangan cair selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. APG
Polisorbat 20 0
Triklosan Air Pewangi
Pemanasan (T=65 C) dan Pengadukan (450 rpm)
Pendinginan (T=50 0C)
Sabun Cuci Tangan Cair
Gambar 4 Diagram alir proses pembuatan sabun cuci tangan cair berbasis surfaktan APG hasil sintesis terbaik. 3.4.3
Karakterisasi sabun cuci tangan cair Produk sabun cuci tangan cair kemudian dianalisis pH, bobot jenis, cemaran
mikroba, daya bersih, uji organoleptik berupa aroma, warna, kesan setelah pemakaian sabun cuci tangan cair, busa dan kekentalan serta dibandingkan dengan sabun cuci tangan cair komersial dengan merk “D” yang beredar dipasaran. Pada uji organoleptik, melibatkan penelis semi terlatih dengan tujuh skala organoleptik yaitu 1) sangat tidak suka, 2) tidak suka, 3) agak tidak suka, 4) netral, 5) agak suka, 6) suka dan 7) sangat suka. Data yang diperoleh pada uji organoleptik, kemudian
31
dianalisis dengan uji non parametrik (Walpole 1993). Prosedur analisis sabun cuci tangan cair disajikan pada Lampiran 5.
32
4
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis surfaktan APG Salah satu jenis surfaktan nonionik yang biasa digunakan sebagai bahan
dalam formulasi produk-produk perawatan diri (personal care products), kosmetik, pemucatan kain tekstil dan herbisida adalah Alkil Poliglikosida (APG). Wuest et al. (1992) telah mematenkan sintesis surfaktan APG dengan reaksi dua tahap berbahan baku
pati.
Tahap
pertama
(tahap
butanolisis)
yang
mereaksikan
pati:butanol:air:katalis dengan ratio mol 1:8.5:8:0.018 pada suhu 140-150 0C dengan tekanan 4.7-6 bar selama 30 menit dan tahap kedua (tahap transasetalisasi) direaksikan dengan alkohol lemak rantai lebih panjang yaitu C 10 dan C 12 pada ratio mol 4.7 mol/bobot mol pati dengan suhu 110-120 0C selama 2 jam pada kondisi vakum. Rosen (2004), mengatakan pada umumnya produk-produk komersial yang berupa produk-produk perawatan diri ataupun detergen menggunakan surfaktan APG berbasis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C 10 dan C 12 , karena memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta sebagai bahan pembersih yang baik. Setelah tahap transasetalisasi, kemudian dilanjutkan ke tahap pemurnian yaitu proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan.
Schmitt
(1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan bau yang tidak diinginkan. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H 2 O 2 dan logam alkali yang dilakukan pada suhu 80-90 0C selama 40-60 menit pada tekanan normal (Hill et al. 2000).
McCurry et al. (1994) menyatakan proses
pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna yang tidak diinginkan pada produk surfaktan APG, dimana penggunaan logam alkali NaOH dan MgO sebagai bahan aktivator serta penambahan
H2O2
akan
menghasilkan
surfaktan
APG
berwarna
lebih
jernih. Konsentrasi NaOH dan MgO yang efektif digunakan sekitar 500-700 ppm. Sabun cuci tangan cair merupakan salah satu produk perawatan diri yang penggunaannya sudah tidak asing lagi dalam kehidupan sehari-hari. Sabun cuci tangan cair adalah bahan pencuci dan pembersih cair yang digunakan untuk mencuci tangan (Paul et al. 2003). Somasundaran et al. (2007) menyatakan bahwa surfaktan
34
berbasis pati (gula) memiliki sifat pembusaan yang baik, tidak beracun pada permukaan kulit terutama pada pemakaian untuk tangan serta dapat mengurangi efek iritasi karena pengaruh pemakaian surfaktan jenis lain.
Rendemen Rendemen surfaktan APG merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui jumlah surfaktan APG yang dihasilkan pada proses sintesis. Rendemen dihitung dengan membandingkan bobot APG murni yang dihasilkan dibandingkan total bobot bahan baku. Rata-rata rendemen yang dihasilkan berkisar antara 37.44-46.88% (Lampiran 7 a). Hasil analisis statistik terhadap nilai rata-rata rendemen yang dihasilkan pada sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Lampiran 7 b. Hasil menunjukkan bahwa alkohol lemak (fatty alcohol) berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan, namun bahan aktivator dan konsentrasi bahan aktivator tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen surfaktan APG yang dihasilkan. Secara umum, rendemen surfaktan APG yang diperoleh pada penelitian ini, tidak jauh berbeda dengan rendemen surfaktan APG yang telah dihasilkan oleh peneliti sebelumnya. Sukkary et al. (2007) telah melakukan sintesis surfaktan APG, dimana rendemen yang diperoleh dari alkohol lemak C 8 dan C 14 berkisar antara 3545%. McCurry et al. (1996) juga telah melakukan sintesis surfaktan APG, dimana rendemen yang diperoleh sebesar 35.7%. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa semakin panjang rantai atom karbon maka semakin tinggi pula rendemen yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena semakin panjang rantai atom karbon, maka semakin tinggi pula berat molekulnya. Pada proses sintesis surfaktan APG dengan menggunakan ratio mol yang sama, maka surfaktan APG yang dihasilkan dari alkohol lemak C 12 (A2) akan menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan alkohol lemak C 10 (A1).
Viskositas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi rendemen
surfaktan yang dihasilkan (Johansson dan Svensson 2001). Alkohol lemak C 12 memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan alkohol lemak C 10 pada kondisi normal. Semakin tinggi viskositas maka interaksi antar molekul semakin besar, sehingga hal ini diduga yang menyebabkan rendemen dari alkohol lemak C 12 menjadi lebih tinggi.
35
50
Rendemen (%)
40 30 20 10 0
Kombinasi perlakuan A (jenis alkohol lemak) ; A1 = alkohol lemak C 10 ; A2 = alkohol lemak C 12 B (bahan aktivator) ; B1 = NaOH ; B2 = MgO C (konsentrasi bahan aktivator) ; C1 = 500 ppm ; C2 = 700 ppm
Gambar 5 Rata-rata rendemen APG hasil sintesis.
4.2
Karakteristik surfaktan APG
Kejernihan Kejernihan surfaktan APG yang dihasilkan, dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer pada λ = 470 nm. Surfaktan APG yang dihasilkan menunjukkan warna coklat kehitaman sampai kuning muda dengan nilai kejernihan (% transmisi) berkisar antara 12.99-55.91% (Lampiran 8 a). Hasil analisis ragam (Lampiran 8 b) menunjukkan bahwa jenis alkohol lemak dan bahan aktivator berpengaruh nyata terhadap kejernihan surfaktan APG yang dihasilkan, namun konsentrasi bahan aktivator tidak berpengaruh nyata terhadap kejernihan surfaktan APG yang dihasilkan. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa, kejernihan (% T) surfaktan APG dari alkohol lemak C 12 (A2) menunjukkan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan alkohol lemak C 10 (A1) . Penggunaan suhu yang tinggi (> 120 0C) dan kondisi asam selain menyebabkan pemutusan ikatan glikosida pada pati, juga terjadi dehidrasi pada gula-gula sederhana yang merupakan hasil hidrolisis pati. McCurry (1990) juga mengatakan bahwa, tingginya suhu (> 120 0C) yang digunakan selama proses sintesis surfaktan APG akan mengakibatkan semakin meningkatnya pembentukan produk sekunder (by-product) dibanding produk primer yang mengakibatkan terbentuknya warna gelap pada produk surfaktan APG. Semakin
36
gelap produk yang diperoleh pada tahap butanolisis, maka produk surfaktan APG yang dihasilkan pada tahap selanjutnya juga akan semakin gelap. Semakin rendah nilai kejernihan (% transmisi) produk surfaktan APG, maka semakin gelap produk yang dihasilkan.
Kejernihan (% transmisi)
60 50 40 30 20 10 0
Kombinasi perlakuan A (jenis alkohol lemak) ; A1 = alkohol lemak C 10 ; A2 = alkohol lemak C 12 B (bahan aktivator) ; B1 = NaOH ; B2 = MgO C (konsentrasi bahan aktivator) ; C1 = 500 ppm ; C2 = 700 ppm
Gambar 6 Kejernihan surfaktan APG hasil sintesis.
Hasil penelitian dengan menggunakan bahan aktivator MgO pada tahap pemurnian (proses pemucatan) lebih jernih dibanding dengan NaOH. McCurry (1995) menyatakan bahwa penggunaan MgO pada proses pemucatan akan meningkatkan efisiensi warna dari surfaktan APG dibanding dengan NaOH, dimana hasil analisis warna dengan metode Klett terjadi peningkatan dari 10 menjadi 15, setelah penambahan MgO. Buchanan dan Wood (2000) memperoleh surfaktan APG yang berwarna hitam dengan menggunakan NaOH.
4.3
Kinerja surfaktan APG
4.3.1
Stabilitas Emulsi Emulsi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari dua fasa cairan
yang tidak saling melarut, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula cairan lainnya.
Cairan yang terpecah menjadi globula-globula
dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula
37
dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi.
Kemampuan meningkatkan
stabilitas emulsi merupakan salah satu karakteristik yang penting bagi suatu surfaktan. Emulsi yang stabil ditunjukkan oleh proses pemisahan antar fasa yang berjalan lambat, sehingga proses tersebut tidak dapat teramati selama waktu yang diinginkan (Kamel 1991). Hasil sintesis surfaktan APG diperoleh rata-rata stabilitas emulsi antara air dan xilena dengan penambahan konsentrasi surfaktan APG sebesar 0.1, 0.2 dan 0.3% pada pengamatan 300 menit berkisar antara 65.24-80.49% (Lampiran 9 a). Bila dibandingkan dengan penambahan surfaktan APG komersial (Plantacare®) pada konsentrasi dan waktu pengamatan yang sama, didapat rata-rata stabilitas emulsi berkisar antara 66.46-70.73%. Hasil analisis ragam (Lampiran 9 b), menunjukkan bahwa jenis alkohol lemak berpengaruh nyata terhadap stabilitas emulsi yang dihasilkan, namun bahan aktivator dan konsentrasi bahan aktivator menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap stabilitas emulsi surfaktan APG yang dihasilkan. Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa, surfaktan dari jenis alkohol lemak C 12 (A2) memiliki kemampuan meningkatkan stabilitas emulsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan alkohol lemak C 10 (A1) . Gugus hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan APG akan mempengaruhi karakteristik dari surfaktan APG tersebut diantaranya stabilitas emulsi. Semakin panjang gugus hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan APG, maka kelarutan surfaktan dalam larutan nonpolar akan lebih stabil. Hasil penelitian yang diperoleh Sukkary et al. (2007), stabilitas emulsi (pemisahan 90%) surfaktan APG dari alkohol lemak C 10 terjadi pada menit ke-15, sedangkan pada surfaktan APG dari alkohol lemak C 12 memiliki stabilitas emulsi yang lebih lama yaitu 210 menit. Stabilitas emulsi akan mencapai maksimum apabila gaya tolak antara globula-globula fase terdispersi mencapai maksimum, sebaliknya gaya tarik-menarik akan mencapai minimum dimana gaya tarik menarik berasal dari gaya Van der Waals (Schick 1998).
38
Stabilitas emulsi (%)
85 80 75 70 65 60 55 50
Kombinasi perlakuan A (jenis alkohol lemak) ; A1 = alkohol lemak C 10 ; A2 = alkohol lemak C 12 B (bahan aktivator) ; B1 = NaOH ; B2 = MgO C (konsentrasi bahan aktivator) ; C1 = 500 ppm ; C2 = 700 ppm
Gambar 7 Stabilitas emulsi surfaktan APG hasil sintesis.
Secara umum kestabilan emulsi yang diperoleh pada hasil sintesis surfaktan APG dari alkohol lemak C 10 jauh lebih lama dibanding dengan hasil yang diperoleh dari penelitian oleh Sukkary et al. (2007). Begitu pula dengan kestabilan emulsi yang terjadi pada hasil sintesis surfaktan APG dari jenis alkohol lemak C 12 , juga memiliki kestabilan emulsi yang juga lebih lama.
4.3.2
Kemampuan menurunkan tegangan permukaan Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang umumnya digunakan untuk
menurunkan energi pembatas dari dua cairan dengan perbedaan kelarutan. Kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan, sehingga surfaktan dapat meningkatkan gaya adhesi dan menurunkan gaya kohesi.
Permukaan merupakan antarmuka dari satu fase yang mengalami
kontak dengan gas (biasanya udara). Surfaktan APG yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan air, dimana kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dengan penambahan surfaktan APG hasil sintesis lebih baik dibandingkan dengan APG komersial. Surfaktan APG hasil sintesis mampu menurunkan tegangan permukaan air berkisar antara 59.90-64.10%, sedangkan APG komersial (Plantacare®) memiliki
39
kemampuan menurunkan tegangan permukaan air sebesar 55.97% (Lampiran 10 a). Hasil dari uji kemampuan menurunkan tegangan permukaan air dari surfaktan APG yang dihasilkan menunjukkan kinerja yang baik, dimana nilai tegangan permukaan air diperoleh sebesar 72 dyne/cm sebagaimana juga dilaporkan oleh Moecthar (1989). Perhitungan kemampuan menurunkan tegangan permukaan surfaktan APG, dilakukan pada konsentrasi 0.1, 0.2 dan 0.3%. Pada konsentrasi surfaktan APG yang rendah, molekul surfaktan dalam larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air. Jika konsentrasi surfaktan APG semakin tinggi maka surfaktan APG akan teradsorbsi pada permukaan hingga mencapai kejenuhan, sehingga kemampuan menurunkan tegangan permukaan cairan dari surfaktan APG menjadi konstan dan terbentuk misel. Misel terbentuk ketika surfaktan mencapai konsentrasi tertentu yang disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Hasil analisis ragam (Lampiran 10 b), menunjukkan bahwa jenis alkohol lemak dan bahan aktivator yang digunakan berpengaruh nyata terhadap kemampuan menurunkan tegangan permukaan surfaktan APG yang dihasilkan, namun konsentrasi bahan aktivator menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan menurunkan tegangan permukaan surfaktan APG yang dihasilkan. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa semakin panjang rantai atom karbon maka semakin besar kemampuan menurunkan tegangan permukaannya. Hal ini dikarenakan semakin panjang rantai atom karbon, semakin bersifat non polar sehingga mampu berikatan dengan gugus hidrofobik dari surfaktan APG sehingga mengakibatkan
terjadinya
peningkatan
kemampuan
surfaktan
APG
untuk
menurunkan tegangan permukaan cairan. Peningkatan kemampuan menurunkan tegangan permukaan, akan menyebabkan meningkatnya kekuatan tolak-menolak molekul karena perbedaan polaritas.
Secara umum ada dua kekuatan yang
mempengaruhi molekul surfaktan dalam air yaitu 1) gaya tolak-menolak antara bagian hidrofobik dari molekul surfaktan dan 2) gaya tarik-menarik antara air dari molekul surfaktan.
Kemampuan menurunkan tegangan permukaan (%)
40
68 66 64 62 60 58 56 54 52 50
Kombinasi perlakuan A (jenis alkohol lemak) ; A1 = alkohol lemak C 10 ; A2 = alkohol lemak C 12 B (bahan aktivator) ; B1 = NaOH ; B2 = MgO C (konsentrasi bahan aktivator) ; C1 = 500 ppm ; C2 = 700 ppm
Gambar 8 Kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari surfaktan APG hasil sintesis.
Kemampuan menurunkan tegangan permukaan yang diperoleh pada surfaktan APG hasil sintesis dari alkohol lemak C 10 tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh Sukkary et al. (2007) yaitu berkisar antara 61%.
Kemampuan
menurunkan tegangan permukaan yang diperoleh pada surfaktan APG hasil sintesis dari alkohol lemak C 12 lebih besar dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Sukkary et al. (2007) yaitu sekitar 62%.
4.3.3
Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka Tegangan antarmuka adalah gaya per satuan panjang dari dua fase cair yang
tidak dapat tercampur. Antarmuka merupakan bagian dari dua fase yang saling bertemu atau kontak.
Pada aplikasinya kemampuan menurunkan tegangan
antarmuka berhubungan erat dengan kemampuan menurunkan tegangan permukaan, kestabilan emulsi serta kemampuan daya bersih dari suatu surfaktan (Rybinski et al. 1998). Hasil analisis menunjukkan bahwa kemampuan menurunkan tegangan antarmuka surfaktan APG hasil sintesis lebih baik dibandingkan dengan surfaktan APG komersial. Surfaktan APG hasil sintesis memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka berkisar antara 90.69-94.25%, sedangkan surfaktan APG
41
komersial (Plantacare®) memiliki nilai kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sebesar 91.63% (Lampiran 11 a). Hasil analisis ragam (Lampiran 11 b) menunjukkan bahwa jenis alkohol lemak dan bahan aktivator yang digunakan berpengaruh nyata terhadap kemampuan menurunkan tegangan antarmuka surfaktan APG yang dihasilkan, namun konsentrasi bahan aktivator menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan menurunkan tegangan antarmuka surfaktan APG yang dihasilkan. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa semakin panjang rantai atom karbon maka
semakin
besar
kemampuan
menurunkan
tegangan
antarmukanya.
Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sebanding dengan kemampuan menurunkan tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moechtar 1989). Sifat kepolaran dari surfaktan APG mempengaruhi kinerja dari surfaktan APG tersebut. Surfaktan APG memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik, dimana gugus hidrofilik pada surfaktan APG akan ditarik oleh air untuk masuk ke dalam cairan sedangkan gugus hidrofobik akan naik pada antarmuka cairan. Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka (%)
95 94 93 92 91 90 89 88
Kombinasi perlakuan A (jenis alkohol lemak) ; A1 = alkohol lemak C 10 ; A2 = alkohol lemak C 12 B (bahan aktivator) ; B1 = NaOH ; B2 = MgO C (konsentrasi bahan aktivator) ; C1 = 500 ppm ; C2 = 700 ppm
Gambar 9 Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka dari surfaktan APG hasil sintesis
Semakin tinggi gugus hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan, maka akan semakin tinggi pula kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka. Semakin tinggi kemampuan menurunkan tegangan antarmuka, maka akan semakin tinggi pula
42
kemampuan air untuk membasahi benda. Nilai kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang diperoleh pada surfaktan APG hasil sintesis dari alkohol lemak C 10 dan C 12 tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh Sukkary et al. (2007) yaitu berkisar antara 90-93%. Surfaktan APG memiliki kinerja yang dapat meningkatkan kestabilan emulsi, mampu menurunkan tegangan permukaan serta mampu menurunkan tegangan antarmuka.
Adapun kesimpulan dari kinerja surfaktan APG pada
penelitian ini, dipilih dari surfaktan APG yang dihasilkan dari alkohol lemak C 12 (A2) dengan bahan aktivator MgO (B2) pada konsentrasi 500 ppm (C1) sebagai surfaktan yang terbaik, yang memiliki kejernihan (% T) 55.91%, stabilitas emulsi pada konsentrasi 0.1-0.3% berkisar antara 77.44-80.49% hingga pengamatan 300 menit, mampu menurunkan tegangan permukaan sebesar 64.10-% serta mampu menurunkan tegangan antarmuka sebesar 94.25%.
4.3.4
HLB (Hydrophilic Lipophilic Balance ) HLB (Hydrophilic-Lipophilic Balance) merupakan nilai yang ditentukan dari
perbandingan antara gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Perhitungan nilai HLB dilakukan dengan mencari persamaan linier dari jenis surfaktan yang telah diketahui nilainya. Moechtar (1989) menyatakan bahwa nilai HLB dari Tween 80 adalah 15.0, Span 20 adalah 8.6 dan asam oleat (pa) sebesar 1. Nilai HLB surfaktan yang telah diketahui ini, digunakan sebagai kurva standar. Rosen (2004) mengatakan bahwa penggunaan surfaktan sebagai formulasi bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent) adalah yang dapat meningkatkan kestabilan emulsi, meningkatkan kemampuan menurunkan tegangan permukaan serta meningkatkan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka antara fasa minyak dan fasa air. Nilai HLB surfaktan APG hasil sintesis terbaik, dibandingkan dengan nilai HLB surfaktan APG komersial.
Hasil
perhitungan nilai HLB surfaktan APG hasil sintesis terbaik dan APG komersial dapat dilihat pada Lampiran 12. Surfaktan APG memiliki kinerja yang dapat meningkatkan kestabilan emulsi, mampu menurunkan tegangan permukaan serta mampu menurunkan tegangan antarmuka.
Pada hasil analisis diperoleh surfaktan dari jenis alkohol
lemak C 12 (A2) dengan bahan aktivator MgO (B2) pada konsentrasi 500 ppm (C1)
43
memiliki karakteristik yang terbaik. Surfaktan APG hasil sintesis terbaik memiliki HLB sebesar 8.498, sedangkan nilai HLB dari surfaktan APG komersial memiliki nilai HLB sebesar 8.058. Nilai HLB surfaktan APG hasil sintesis terbaik yang diperoleh, maka dapat dikategorikan sebagai bahan pembasah dan pengemulsi dalam sistem O/W (oil in water) (Holmbert et al. 2003). Kinerja dari surfaktan diperoleh dari molekulnya yang memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik, dimana gugus hidrofilik dapat berikatan dengan air sedangkan gugus hidrofobik berikatan dengan minyak. Jika surfaktan lebih larut dengan air (polar), maka terjadi dispersi minyak dalam air yang disebut dengan emulsi minyak dalam air (oil in water). Sebaliknya jika surfaktan lebih larut dalam minyak (non polar), maka terjadi emulsi air dalam minyak (water in oil).
4.3.5
Konfirmasi Struktur Gugus Fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) FTIR (Fourier Transform Infrared) Spectroscopy merupakan alat untuk
mendeteksi gugus fungsi dari suatu senyawa dengan spektrum inframerah dari senyawa organik yang mempunyai sifat fisik yang khas, sehingga kemungkinan dua buah senyawa mempunyai spektrum yang sama adalah kecil. Energi radiasi infra merah akan diadsorpsi oleh senyawa organik, sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau vibrasi. Ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C-H, C=O, O-H dan sebagainya akan mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda. Pada data analisis spektra gugus fungsi FTIR surfaktan APG komersial dan surfaktan APG hasil sintesis terbaik memiliki jumlah gelombang yang hampir sama, baik itu jumlah gelombang pada gugus fungsi eter maupun pada gugus fungsi hidroksil. Terbentuknya gugus eter (C-O-C) menandakan bahwa sintesis antara gugus hidroksil dari pati dengan alkohol lemak telah terbentuk, yang berarti struktur gugus hidrofobik dari surfaktan APG juga telah terbentuk. Gugus OH menandakan gugus hidrofilik dari surfaktan APG telah terbentuk. Jumlah gelombang yang sama, juga dihasilkan dari penelitian Sukkary et al. (2007) sebagaimana tercantum dalam Tabel 8. Hasil spektra gugus fungsi FTIR surfaktan APG komersial dapat dilihat pada Gambar 10, sedangkan hasil spektra gugus fungsi FTIR surfaktan APG hasil sintesis dapat dilihat pada Gambar 11.
44
Tabel 8 Karakteristik jumlah gelombang surfaktan APG dari jenis alkohol lemak C 12 Gugus fungsi Jumlah gelombang (cm-1) Sukkary et al. (2007) APG komersial APG hasil sintesis O-H 3 200-3 400 3 395.15 3 396.18 C-O-C 1 120-1 170 1 153.02 1 152.15 CH 2 720 717.98 711.28 CH 3 2 865 2 854.69 2 855.30
Gambar 10 Hasil spektra gugus fungsi FTIR surfaktan APG komersial.
Gambar 11 Hasil spektra gugus fungsi FTIR gugus fungsi APG hasil sintesis terbaik.
45
4.4
Aplikasi Sabun Cuci Tangan Cair
4.4.1
Karakteristik sabun cuci tangan cair Surfaktan APG hasil sintesis terbaik, diaplikasikan pada pembuatan produk
sabun cuci tangan cair. Sabun cuci tangan cair yang dihasilkan, kemudian dilakukan analisis mutu berupa pH, bobot jenis, uji cemaran mikroba. Karakteristik mutu sabun cuci tangan cair berbasis surfaktan APG hasil sintesis terbaik dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik mutu sabun cuci tangan cair berbasis surfaktan APG hasil sintesis terbaik dan sabun cuci tangan cair komersial serta SNI (1996) Jenis uji
Satuan
Nilai SNI*
Komersial
Organoleptik Bentuk Homogen Homogen Bau Khas Khas Warna Khas Khas pH 6-8 7.03 1.01-1.10 1.027 Bobot jenis (250C) g/ml 0 Cemaran mikroba Koloni/g Maks 1x105 Daya bersih FTU turbidity 192 ∗ SNI (06-4085-1996)
Sabun Hasil sintesis Homogen Khas Khas 6.98 1.024 0 128
APG komersial Homogen Khas Khas 7.95 1.096 0 176
Data pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa sabun cuci tangan cair dari surfaktan APG hasil sintesis terbaik memiliki karakteristik yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 1996) namun daya bersih yang dihasilkan masih lebih kecil dibandingkan dengan sabun cuci tangan cair dengan formula surfaktan APG komersial dan sabun cuci tangan cair komersial. Hal ini kemungkinan disebabkan karena komposisi surfaktan APG yang digunakan sebagai formula sabun cuci tangan cair merupakan jumlah yang minimal yaitu 35% (Tabel 6). Paul et al. (2003) mengatakan bahwa formula surfaktan pada pembuatan sabun cuci tangan cair berkisar antara 35-70% (Tabel 4). Selain itu sabun cuci tangan cair yang dihasilkan dari surfaktan APG komersial (Plantacare®) mengandung beberapa jenis alkohol lemak yaitu C 8 (0-3%), C 10 (0-4%), C 12 (67-75%), C 14 (23-30%) dan C 16 (0-2%). Showell (2006) mengatakan bahwa semakin panjang rantai atom C, maka semakin tinggi daya bersih yang dihasilkan. Pada umumnya rantai atom karbon C 14 -C 20 diaplikasikan untuk pembuatan deterjen dan membersihkan permukaan yang keras (hard surface cleaners).
46
4.4.2
Karakteristik fungsional/uji organoleptik Sabun cuci tangan cair yang dihasilkan, dilakukan pengujian organoleptik
dengan 33 orang panelis semi terlatih. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap sabun cuci tangan cair yang dihasilkan. Pada uji organoleptik ini, panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan tentang tingkat kesukaannya terhadap produk sabun cuci tangan cair yang dihasilkan. Pengujian yang dilakukan berupa uji kesukaan terhadap aroma, kesan setelah pemakaian sabun cuci tangan cair, banyaknya busa, kekentalan, serta warna kemudian dibandingkan dengan sabun cuci tangan cair komersial. Skala numerik yang digunakan adalah 7, yaitu 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka dan 7 = sangat suka. Uji organoleptik terhadap aroma sabun cuci tangan cair, menunjukkan bahwa umumnya panelis yang memberikan respon netral hingga sangat suka terhadap sabun cuci tangan cair hasil sintesis sebanyak 96.97%, sedangkan pada sabun cuci tangan cair komersial sebanyak 90.91% (Lampiran 13 a). Kesan yang tertinggal di kulit setelah pemakaian sabun cuci tangan cair, menunjukkan bahwa umumnya panelis yang memberikan respon netral hingga sangat suka terhadap sabun cuci tangan cair hasil sintesis sebanyak 93.94%, sedangkan yang memberikan respon netral hingga sangat suka terhadap sabun cuci tangan cair komersial sebanyak 84.85% (Lampiran 14 a). Warna pada sabun cuci tangan cair, umumnya panelis memberikan respon netral hingga sangat suka terhadap sabun cuci tangan cair hasil sintesis sebanyak 93.94%, sedangkan pada sabun cuci tangan cair komersial sebanyak 87.88% (Lampiran 15 a). Pada banyaknya busa sabun cuci tangan cair, semua panelis memberikan respon netral hingga sangat suka terhadap sabun cuci tangan cair komersial yaitu sebanyak 100%, namun respon panelis terhadap busa sabun cuci tangan cair hasil sintesis sebanyak 93.94% (Lampiran 16 a).
Pada
kekentalan sabun cuci tangan cair, yang memberikan respon netral hingga sangat suka terhadap sabun cuci tangan cair hasil sintesis sebanyak 75.76%, sedangkan pada sabun cuci tangan cair komersial sebanyak 81.82% (Lampiran 17 a). Tabel 10 merupakan nilai rata-rata hasil uji organoleptik panelis terhadap sabun cuci tangan cair komersial dan hasil sintesis.
47
Tabel 10 Rata-rata hasil uji organoleptik panelis terhadap sabun cuci tangan cair komersial dan sabun cuci tangan cair hasil sintesis Sabun cuci tangan cair Parameter Komersial APG hasil sintesis Aroma 4.97 5.21 Kesan setelah pemakaian 4.36 4.94 Warna 5.36 5.64 Banyaknya busa 5.36 5.09 Kekentalan 4.85 5.27
Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa 33 panelis yang melakukan uji organoleptik terhadap aroma, kesan yang tertinggal di kulit setelah pemakaian sabun cuci tangan cair, warna, banyaknya busa, rata-rata memberikan penilaian angka > 4. Hal ini menyatakan bahwa nilai rata-rata yang diperoleh berada pada nilai lebih besar dari nilai netral, yang berarti sabun cuci tangan cair hasil sintesis tidak ada perberbedaan dengan sabun cuci tangan cair komersial merk “D”. Pada uji Friedman (α=0.05) menunjukkan bahwa aroma dan kesan yang tertinggal dikulit setelah pemakaian sabun cuci tangan hasil sintesis berbeda dengan sabun cuci tangan cair komersial (Lampiran 13 c dan Lampiran 14 c), sedangkan pada warna, banyaknya busa serta kekentalan menunjukkan bahwa sabun cuci tangan cair hasil sintesis tidak ada perbedaan dengan sabun cuci tangan cair komersial (Lampiran 15 c, Lampiran 16 c dan Lampiran 17 c). Dengan demikian, sabun cuci tangan cair yang dihasilkan dari surfaktan APG hasil sintesis terbaik mempunyai kinerja yang baik dan dapat di terima serta disukai oleh konsumen.
5 5.1
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Pada penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Jenis alkohol lemak (fatty alcohol) mempengaruhi karakteristik surfaktan APG yang dihasilkan (α=0.05). Jenis alkohol lemak C 12 memiliki karakteristik mutu yang lebih baik dibandingkan dengan alkohol lemak C 10 .
Penggunaan logam
alkali (NaOH dan MgO) pada tahap pemurnian (proses pemucatan) sebagai bahan aktivator juga berpengaruh terhadap karakteristik mutu surfaktan APG yang dihasilkan, dimana dari alkohol lemak C 12 memiliki kejernihan (% T) berkisar antara 48.42-55.91% dibandingkan dengan alkohol lemak C 10 yang berkisar antara 12.99-18.05%. 2. Surfaktan APG yang diperoleh dari alkohol lemak C 12 memiliki rendemen berkisar antara 45.97-46.88%, sedangkan dari alkohol lemak C 10 berkisar antara 37.44-38.29%. Kinerja surfaktan APG yang dihasilkan dari alkohol lemak C 12 lebih baik dibandingkan dengan alkohol lemak C 10 , yaitu stabilitas emulsi yang dihasilkan dari alkohol lemak C 12 (68.90-80.49%) sedangkan dari alkohol lemak C 10 (65.24-78.66%), kemampuan menurunkan tegangan permukaan untuk C 12 (60.76-64.10%) sedangkan C 10 (59.90-60.90%) dan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka untuk C 12 (92.44-94.25%) sedangkan C 10 (90.69-91.38%). 3. Perlakuan terbaik diperoleh dari alkohol lemak C 12 (A2) menggunakan bahan aktivator MgO (B2) pada konsentrasi 500 ppm (C1) dengan kejernihan (% T) 55.91%,
stabilitas
emulsi
80.49%,
kemampuan
menurunkan
tegangan
permukaan 64.10% dan kemampuan menurunkan tegangaan antarmuka 94.25%. 4. Sabun cuci tangan cair yang dihasilkan dengan menggunakan surfaktan APG hasil sintesis terbaik mempunyai karakteristik mutu yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI 1996) sabun cair.
5.2 Saran Pada penelitian sintesis surfaktan APG selanjutnya, sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi. Pada tahap butanolisis, sebaiknya suhu yang digunakan 100-125 0C. Begitu pula pada tahap transasetalisasi agar suhu yang
50
digunakan berkisar antara 110-115 0C. surfaktan APG yang berwarna lebih jernih.
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan
DAFTAR PUSTAKA Amato SW. 2007. Surfactants for Nail Care. Surfactant in Personal Care Products and Decorative Cosmetics. Third Editions. New York: CRC Press. Anonim. 2009a. Decanol. http://en.wikipedia.org/wiki/Decanol [10 Juni 2009]. Anonim. 2009b. Dodecanol. http://en.wikipedia.org/wiki/Sodium borohydride [10 Juni 2009]. Anonim. 2010a. Polisorbat. http://en.wikipedia.org/wiki/Polisorbat [27 Oktober 2010]. Anonim. 2010b. Hidrogen Peroksida. _borohydride [1 November 2010].
http://en.wikipedia.org/wiki/Sodium
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1994. Official Method of Analysis of Association Official Agriculture Chemist. Washington: AOAC International. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1996. Official Method of Analysis of Association Official Agriculture Chemist. Washington: AOAC International. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. [ASTM D-1331] 2000. Standard Test Method Surface and Interfacial Tension of Surface Active Agents and Emulsion. Annual Book of ASTM Standard. Volume ke-15. Philadelphia: Easton MD. [ASTM D-1436] 2000. Standard Test Method Surface and Interfacial Tension of Surface Active Agents and Emulsion. Annual Book of ASTM Standard. Volume ke-15. Philadelphia: Easton MD. Balzer D, Luders H. 1994. Nonionic Surfactants Alkyl Polyglycosides. New York: Marcel Dekker Incoporation. Borsotti G, Pellizzon T, penemu; Eniricerche S.p.A. ; Enichen S.p.A. 18 Juni 1996. Patent : Process for Preparing APG’S. US005527892A. BPS. 2010. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia. Buchanan CM, Wood MD, penemu; Eastman Chemical Company. 20 Juni 2000. Patent : Process for Making Alkyl Polyglycosides. US006077945A.
52
Cauwet D, Dubief C, penemu; L’Oreal (FR). 8 Oktober 1999. Patent : Cosmetic Composition Containing at Least One Nonionic Surface-Active Agent on The Alkyl Polyglycoside and/or Polyglycerolated Type and at Least One Crosslinked Copolimer of Maleic Anhydrite/(C. sub 1-C. sub 5) Alkylvinyl Ether. US5935587. Djatmiko B, Ketaren S. 1985. Pemurnian Minyak Makan. Bogor: Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Duranton A, Hansenne I, penemu; Eniricerche S.p.A. ; Enichen S.p.A. 10 Juni 2001. Patent : Use pf Alkyl Polyglycosides and/or of O-Acylated Derivatives og Glucose for Treating Hair Loss. US59310065587. Faber RD, penemu; Eniricerche S.p.A. ; Enichen S.p.A. 19 Juli 2002. Patent : Hard Surface Cleaner Containing Alkyl Polyglycoside. US59319075587. Flider FJ, penemu; Huels Aktiengesellschaft. 30 Mei 2001. Patent : Process for Bleaching Fatty Alcohol Alkyl Polyglycoside Solutions. US 005420262A. Francois BC, Glenn C, Cole H, penemu; BASF Wyandotte Corporation. 9 April 1998. Patent : Alkyl Polyglycosides in Textile Scour/Bleach Procesing. US004510306A. Fuadi AM, Sulistya H. 2008. Pemutihan Pulp dengan Hidrogen Peroksida. J Reaktor 12:123-128. Gibson MW, Leedy CA, penemu; Henkel Corporation. 8 Agustus 2000. Patent : Method for Making an Alkyl Polyglykoside. US006100391A. Glaser A. 2004. The Obiquitous Triclosan. J the Sci and Technol 30:23-29. Harris H. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dari Pati Tapioka untuk Pengemas Lempuk. J Ilmu-ilmu Pert Indonesia 3:99-106. Hernani. 2007. Peningkatan Mutu Minyak Atsiri melalui Proses Pemurnian. Bogor: Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. Hill K, Rybinski WV, Stoll G. 2000. Alkyl Polyglycosides; Technology, Properties and Applications. German: Printed in the Federal Republic of Germany. Holmberg K, Jonsson B, Kronberg B, Lindman B. 2003. Surfactants and Polymers in Aqueous Solution. England: John Wiley & Sons, LTD. Indrawanto R. 2008. Optimasi Nisbah Mol Glukosa – Fatty Alkohol C 12 dan Suhu Asetalisasi pada Proses Pembuatan Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
53
Johannson I dan Svensson M. 2001. Surfactants based on fatty acids and other natural hydrophobes. J Current Opinion in Colloid & Interface Sci 6:178-188. Kamel BS. 1991. Emulsifier. New York: Van Nostrand Reinhoid. Ketaren S. 1996. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Kirk RR, Othmer DF. 1963. Consice Encyclopedia of Chemical Technology. Baileys’ Industrial Oil and Fat Product. Wiley Interscience: A John Wiley & Sons Inc. Lachut FJ, penemu; Henkel Kommanditgesellschaft Auf Aktien. 27 Februari 1996. Patent : Pesticidal Surfactant Mixtures Comprising Alkyl Polyglycosides and Alkyl Naphthalene Sulfonates. US004904774A. Lueders H, penemu; Henkel Kommanditgesellschaft Auf Aktien. 11 April 1989. Patent : Process for Producing Colorless Butyloligoglycosides. US4820814. Matheson KL. 1996. Surfactant Raw Material : Classification, Synthesis and Uses. In Spitz L. (Edl Soap and Detergent : A Theoretical and Practical Review). Champaign, Illinois: AOCS Press. McCurry PM, Beaulieu JD, penemu; Henkel Corporation. 11 Juli 1995. Patent : Continuous Bleaching of Alkyl Polyglycosides. US005432275A. McCurry PM, Klein RL, Gibson MW, Beaulieu JD, Varvil JR, penemu; Henkel Corporation. 8 Nopember 1994. Patent : Continuous Bleaching of Alkyl Polyglycosides. US005362861A. McCurry PM, Pickens CE, penemu; Henkel Kommanditgesellschaft Auf Aktien. 21 Agustus 1990. Patent : Process for Preparation of Alkyl Glycosides. 4 950 743. McCurry PM, Varvil JR, Pickens CE, penemu; Henkel Corporation. 30 April 1996. Patent : Process for Making Alkyl Polyglycosides. US005512666A. Miller BM, Whistler R. 2009. Starch Chemistry and Technology. New York: Academic Press is an Imprint of Elsevier. Moechtar. 1989. Farmasi Fisika : Bagian Larutan dan Dispersi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Myers D. 2006. Surfactant Science and Technology. Third Edition. Canada: Wiley Interscience. Onggo H, Astuti JT. 2005. Pengaruh Sodium Hidroksida dan Hidrogen Peroksida terhadap Rendemen dan Warna Pulp dari Serat Daun Nenas. J Ilmu & Teknol Kayu Tropis 3:37-43.
54
Paul L, George R, Theodore R, penemu; Henkel Kommanditgesellschaft Auf Aktien. 29 April 2003. Patent : Liquid Foaming Soap Compositions. US006555508A. Perdana FK dan Hakim I. 2001. Pembuatan Sabun Cair dari Minyak Jarak dan Soda Q sebagai Upaya Meningkatkan Pangsa Pasar Soda Q. J Pengol Hasil Pertanian 11:77-82. Putri KSS. 2010. Optimasi Nisbah Mol Pati-Butanol dan Nisbah Mol Pati Fatty Alcohol C 10 pada Proses Pembuatan Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG). [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rosen MJ. 2004. Surfactans and Interfacial Phenomena. Third Edition. New York: Wiley Interscience. Rusmawati WMW, Dzulkefly K, Lim WH, Hamdan S. 2002. Emulsions Preperties of Mixed Tween 20-Span 20 in Non-Aqueous System. J Sci and Technol 10:153-160. Rybinnski WV, Guckenbiehl B, Tesmann H. 1998. Influence of Co-Surfactants on Microemulsions With Alkyl Polyglycosides. J Physicochem and Eng Aspecs 142:333-342. Schick MJ. 1987. Nonionic Surfactants Physical Chemistry. New York: Marcel Dekker. Schmitt TM. 1993. Analysis of Surfactants. New York: Marcel Dekker. Shahidi F. 2005. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Volume ke-4. Edible Oil and Fat Products : Products and Applications. Canada: A John Wiley & Sons, Inc. Showell MS. 2006. Handbook of Detergent. France: CRC Press. Sofianingsih N, Nurcahyani N. 2006. Esterifikasi Asam Oleat dengan Sorbitol Menggunakan H 2 SO 4 Sebagai Katalisator Melalui Distilasi Reaktif. Jakarta: Pusat Penelitian Kimia. LIPI. Somasundaran P, Rhein LD, Schlossman M, O’ Lenick A. 2007. Surfactants for Nail Care. Surfactan in Personal Care Products and Decorative Cosmetics. Third Editions. New York: CRC Press. Straathof AJJ, Vrolijk JM, Bekkum HV, Kiebom APG. 1988. Kinetics and Mechanism of The Acid-Catalysed Butanolysis of 1,6-Anhydro-β-DGlucopyranose. J Carbohydr Res 184:163-169.
55
Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada. Sukkary MMAE, Syed NA, Aiad I, Azab WIME. 2007. Synthesis and Characterization of Some Alkyl Polyglycosides Surfactants. J Surfactant Deterg 11:129-137. Sulek MW dan Wasilewski T. 2006. Tribological properties of aqueous solutions of alkyl polyglucosides. J Wear 260:193-204. Suryani A, Sailah I, Hambali E. 2002. Teknologi Emulsi. Bogor: Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suryani A. 2007. Karakterisasi dan Aplikasi Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Fatty Alcohol Minyak Kelapa dan Pati Sagu sebagai Surfaktan dalam Formulasi Herbisida. Bogor: Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tesmann H, Guchenbiehl B, Rybinski WV. 1996. Influence of Co-Surfactants on Microemulsions With Alkyl Polyglycosides. Colloid and Surface A Physiochemical and Engineering. New York: Aspecs. Trijaya NO. 2007. Kebijakan dan Program Pengembangan Agroindustri Ubi Kayu. J Pengol Hasil Pert 3:37-46. Walpole RE. 1993. Pengantar Statistika. Jakarta : Gramedia. White JM, Kinsman DV, penemu; Goldwell. 25 April 1999. Patens : Transparent Soap Bars Containing Alkyl Polyglycosides. US005409628A. Wibisono A dan Budiono. Pembuatan Sabun Cair dengan Bahan Dasar Alkil Benzen Sulfonat. Didalam: Kumpulan Makalah. Seminar Mahasiswa Kimia Tekstil. Bandung; 9 Maret 2004. Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. Hlm 49. Winarno FG. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia. Wuest W, Eskuchen R, Wollmann J, Hill K, Bierman M, penemu; Henkel Kommanditgesellschaft Auf Aktien. 11 Agustus 1992. Patens : Process for Preparing Alkyl Glucosides Coumpounds from Oligo-and / or Polysacharides. US005138046A. Wuryaningsih SR. 2007. LIPI Manfaatkan Sawit sebagai Pengganti Petrokimia. Jakarta: Pusat Penelitian Kimia LIPI.
57
Lampiran 1 Prosedur analisis bahan baku surfaktan APG Analisis kadar air (Sudarmadji et al. 2003) Pati sebanyak 1 - 2 g ditimbang dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan ke dalam oven pada suhu 100 – 105 0C selama 3-5 jam. Kemudian botol timbang yang berisi bahan didinginkan ke desikator dan ditimbang kembali. Bahan kemudian dipanaskan kembali dalam oven selama 30 menit, didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali. Perlakuan ini diulangi sampai diperoleh berat konstan dari bahan, dimana selisih penimbangan bahan secara berturut-turut kurang dari 0.2 mg. Perhitungan kadar air pada bahan dilakukan dengan menggunakan rumus :
58
Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG 1) Tahap Butanolisis Tahap ini mereaksikan pati, butanol, air serta katalis asam p-toluena sulfonat (PTSA) dengan perbandingan ratio mol pati:butanol:air:katalis PTSA adalah 1:8.5:8:0.018.
Proses butanolisis dilakukan pada suhu 140-150 0C dengan
tekanan 4.5-7 bar selama 30 menit. Tahap butanolisis dilakukan pada reaktor double jacket dengan kapasitas 1 l yang dilengkapi dengan termostat, agitator dan pengaduk. Hasil yang diperoleh berupa larutan butil glikosida.
2) Tahap Transasetalisasi Pada tahap transasetalisasi mereaksikan hasil dari proses butanolisis yang berupa larutan butil glikosida dengan jenis alkohol lemak yang berbeda, yaitu C 10 dan C 12 .
Ratio mol pati dengan alkohol lemak adalah 1:4.7.
Proses
transasetalisasi dilakukan pada suhu 110-120 0C dengan tekanan vakum dan selama 2 jam. Katalis asam pada proses transasetalisasi juga menggunakan PTSA sebanyak 0.009 mol/mol pati Pada proses ini, dilakukan pada reaktor double jacket dengan kapasitas 1 l yang dilengkapi dengan termostat, agitator dan perngaduk.
Pada tahap ini butanol dan air akan teruapkan melalui
kondensor dan ditampung dalam separator.
Pemakaian katalis pada proses
transasetalisasi akan menghasilkan endapan yang berupa pasta, untuk itu perlu dilakukan penyaringan sebelum dilanjutkan ke tahap pemurnian yang terdiri atas netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemurnian.
3) Tahap Pemurnian Proses Netralisasi Setelah tahap transasetalisasi dilanjutkan ketahap pemurnian yang diawali dengan proses netralisasi. Produk dari tahap transasetalisasi yang berupa docil glikosida dan dodecil glikosida masih bersifat asam, untuk itu perlu dilakukan penambahan NaOH (50%) untuk mencapai pH 8-9. Proses Distilasi Setelah proses netralisasi dilakukan proses distilasi, yang bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi selama proses
59
transasetalisasi. Proses ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan yang rendah, agar alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi teruapkan. Proses terjadi suhu 140-160
0
pada
C dengan tekanan vakum selama 2 jam. Hasil akhir dari
proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar yang berbentuk pasta berwarna coklat kehitaman dan bau yang kurang enak. Produk APG yang beredar dipasaran berwarna bening dengan bau yang enak, oleh sebab itu perlu dilakukan tahap pemurnian selanjutnya yaitu proses pelarutan dan proses pemurnian untuk memperoleh surfaktan APG yang sesuai beredar dipasaran. Proses Pelarutan Pelarutan merupakan tahapan pengenceran APG kasar yang diperoleh setelah proses distilasi. Pelarutan dilakukan dengan penambahan air, dimana air yang digunakan untuk pengenceran sebaiknya dengan suhu sekitar 60-80 0C serta dengan perbandingan mol 1:1 dari berat APG kasar. Proses Pemucatan (Bleaching) Proses pemucatan merupakan suatu tahapan pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan bau yang tidak diinginkan. Proses pemucatan (Bleaching) merupakan tahap akhir dari proses sintesis surfaktan APG. Proses pemucatan ini dilakukan dengan menambahkan larutan H 2 O 2 dan logam alkali pada suhu 80-90 0C selama 40-60 menit pada tekanan normal. McCurry et al. 1994 menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) dengan konsentrasi sebanyak 500-700 ppm. Penggunaan bahan aktivator NaOH dan MgO serta penambahan H 2 O 2 akan menghasilkan warna yang lebih jernih. Konsentrasi H 2 O 2 adalah 35% (b/v) sebanyak 2% dari hasil pelarutan APG kasar (b/b).
60
Lampiran 3 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen (% b/b) Rendemen dari APG yang dihasilkan, dapat dihitung berdasarkan bobot APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Perhitungan rendemen dilakukan dengan menggunakan rumus :
2) Stabilitas emulsi (ASTM D-1436. 2000) Stabilitas emulsi diukur antara air dan xilena, dimana xilena dan air dicampur dengan perbandingan 6:4. Campuran ini digojlog selama 5 menit dengan menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antara xilena dan air, diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa sebelum dan setelah ditambahkan surfaktan dibandingkan dengan nilainya.
Penetapan stabilitas
emulsi dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu dengan cara pengukuran berdasarkan pemisahan (asumsi bahwa sistem emulsi yang sempurna bernilai 100). Pengukuran stabilitas emulsi dapat dilakukan dengan menggunakan rumus :
3) Tegangan permukaan (ASTM D-1331. 2000) Pengukuran tegangan permukaan dilakukan dengan menggunakan metode Du Nouy. Peralatan dan wadah sampel yang digunakan harus terlebih dahulu dibersihkan dengan larutan asam sulfat-kromat dan dibilas dengan aquades, lalu dikeringkan.
Cincin platinum yang digunakan pada alat tensiometer dan
mempunyai mean circum referense = 5.945. Posisi alat diatur agar horizontal dengan water pass dan diletakkan pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar matahari dan panas. Larutan surfaktan dimasukkan ke dalam gelas kimia dan diletakkan di atas dudukan tensiometer. Suhu cairan di ukur dan dicatat, selanjutnya cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di bawah permukaan cincin). Skala vernier tensiometer diatur pada posisi nol
61
dan jarum penunjuk harus berada pada posisi terhimpit dengan garis pada kaca, selanjutnya kawat torsi diputar perlahan-lahan sampai film cairan tepat putus. Pada saat film cairan tepat putus, skala di baca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan.
4) Tegangan antarmuka (ASTM D-1331, 2000) Pengukuran tegangan antarmuka dilakukan dengan menggunakan metode Du Nouy. Prosedur kerja dari metode ini hampir sama dengan pengukuran tegangan permukaan. Tegangan antarmuka menggunakan dua cairan yang berbeda tingkat kepolarannya, yaitu larutan surfaktan dengan ragam konsentrasi dan xilena (1:1). Larutan surfaktan terlebih dahulu dimasukkan ke dalam wadah sampel, kemudian dicelupkan cincin platinum ke dalamnya (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di bawah permukaan cincin). Setelah itu, secara hati-hati larutan xilena ditambahkan di atas larutan surfaktan sehingga sistem terdiri atas dua lapisan. Kontak antara cincin dan larutan xilena sebelum pengukuran harus dihindari. Setelah tegangan antarmuka mencapai keseimbangan yaitu benar-benar terbentuk dua lapisan terpisah yang sangat jelas, pengukuran selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama pada pengukuran tegangan permukaan.
5) Nilai HLB (Hydrophilic Lipophilic Balance) Penentuan nilai HLB dilakukan untuk mengetahui kesesuaian APG sebagai bahan pengemulsi. HLB dari surfaktan APG ditentukan menggunakan metode titrimetri, dimana aquadest sebagai titran dan larutan APG yang digunakan sebanyak 1 g dalam 25 ml campuran piridina dan benzena 95:5 (v/v) sebagai titrat. Titik akhir titrasi dicapai pada saat kekeruhan permanen, karena pada saat kekeruhan permanen larutan telah jenuh dan molekul APG sudah tidak dapat berikatan dengan molekul air maupun piridina dan benzen. Perhitungan nilai HLB dengan mencari persamaan linier dari jenis surfaktan yang telah diketahui nilainya. (Holmbert et al. 2003) menyatakan bahwa nilai HLB dari Tween 80 = 15.0, Span 20 = 8.6 dan asam oleat (pa) = 1, digunakan untuk menentukan sifat kelarutan surfaktan APG di dalam air dan menentukan aplikasi surfaktan berdasarkan nilai HLB yang dimiliki surfaktan APG.
62
Tabel Pengaruh nilai HLB pada kelarutan surfaktan dalam air. Kelarutan dalam air Nilai HLB Aplikasi Tidak mampu terdispersi dalam air 0
Kemampuan mendispersi kurang baik Dispersi seperti susu; tidak stabil
2
Pengemulsi w/o
4 6 8
Wetting agent
Dispersi seperti susu;stabil Tembus cahaya untuk larutan jernih
10 12 Detergent
Larutan jernih
14 16 18
Sumber: Adamson (1982)
Pengemulsi o/w Solubilizer
63
Lampiran 4 Prosedur pembuatan sabun cuci tangan cair Prosedur pembuatan sabun cuci tangan cair Surfaktan APG hasil sintesis terbaik sebanyak 35% dimasukkan ke dalam gelas piala 500 ml dan panaskan pada suhu 65 0C dengan kecepatan pengadukan 450 rpm. Kemudian ditambahkan polisorbat 20 sebanyak 10% dan triklosan sebanyak 0.2% yang juga telah dipanaskan pada suhu 65 0C pada gelas piala 500 ml lainnya dengan kecepatan pengadukan 450 rpm. Kedua bahan dicampurkan pada gelas piala 500 ml lainnya, dan suhu diturunkan hingga mencapai 50 0C dengan kecepatan pengadukan 450 rpm. Kemudian ditambahkan air sebanyak 53.8% dan pewangi 1% dan pengadukan tetap dilakukan. Campuran didinginkan dan dimasukkan ke dalam wadah yang telah disterilkan.
64
Lampiran 5 Prosedur analisis sabun cuci tangan cair 1) Nilai pH (AOAC 1994) Alat pH meter dikalibrasi dengan larutan buffer pH.
Elektroda yang
sebelumnya telah dibersihkan dengan aquadest kemudian dicelupkan ke dalam contoh yang akan diperiksa. Catat nilai pH yang tertera pada skala pH meter.
Daya bersih (AOAC 1996) Daya bersih merupakan karakteristik sabun cuci tangan cair yang menunjukkan kemampuan sabun cuci tangan cair dalam mengangkat kotoran. Daya bersih biasanya disebut dengan daya detergensi. Pengukuran daya bersih diukur dengan FTU Turbidimeter, yang mengukur kekeruhan suatu larutan. Larutan yang terdiri dari air dan sabun cuci tangan cair, diukur terlebih dahulu kekeruhannya. Kemudian kain yang telah diolesi dengan margarin, dimasukkan kedalam larutan dan dibiarkan selama 10 menit. Kain yang telah diolesi dengan margarin, diibaratkan sebagai kotoran yang harus dibersihkan. Larutan yang telah tercampur dengan lemak, diukur lagi kekeruhannya. Selisih tingkat kekeruhan awal dan akhir dinyatakan sebagai daya bersih, sedangkan kekeruhan diasumsikan sebagai kotoran yang telah diangkat oleh sabun cuci tangan cair tersebut.
Bobot jenis (Sudarmadji et al. 2003) Piknometer dibersihkan dan dikeringkan, kemudian ditimbang dan dicatat beratnya (A).
Piknometer diisi dengan air dan direndam dalam air dingin
dengan suhu 25 0C, kemudian piknometer diangkat dan didiamkan hingga mencapai suhu kamar yang selanjutnya ditimbang dan dicatat beratnya (B). Perlakuan yang sama dilakukan, dimana piknometer diisi dengan bahan (APG) dan dicatat hasil penimbangannya (C). Bobot jenis APG dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
65
Uji cemaran mikroba (Apriyantono et al. 1989) Homogenis sampel dilakukan dengan memipet 25 ml larutan sampel, kemudian dimasukkan kedalam erlemeyer 300 ml yang telah berisi 225 ml larutan pengencer (garam fisiologis) sehingga diperoleh pengenceran 1:10. Sampel dikocok, kemudian dilanjutkan dengan pengenceran yang diperlukan. Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran dipipet kedalam cawan petri yang telah di sterilkan secara duplo. Media PCA yang telah dicairkan dengan suhu 45 0C dituangkan sebanyak 12-15 ml kedalam cawan petri, kemudian cawan digojog.
Cawan petri kemudian dimasukkan kedalam inkubator dan
diinkubasikan pada suhu 53 0C selama 24-48 jam. Pertumbuhan koloni dihitung, dengan cara dalam 1 ml sampel dihitung dengan mengalikannya dengan ratarata koloni pada cawan petri. Hasil pengalian dikalikan kembali dengan faktor pengenceran yang dilakukan.
Uji organoleptik Pada pengujian ini, panelis diminta mengungkapkan tanggapan tentang tingkat kesukaan dan ketidaksukaannya terhadap produk sabun cuci tangan cair yang dihasilkan. Panelis diminta menilai aroma, kesan setelah pemakaian sabun cuci tangan cair, banyaknya busa, kekentalan serta warna kemudian dibandingkan dengan sabun cuci tangan cair komersial. Pengujian organoleptik ini melibatkan 33 panelis semi terlatih, dengan tujuh tingkatan skala organoleptik yaitu 1) sangat tidak suka, 2) tidak suka, 3) agak tidak suka, 4) netral, 5) agak suka, 6) suka dan 7) sangat suka. Data yang diperoleh pada uji organoleptik, kemudian dianalisis dengan uji non parametrik (Walpole 1993). Tingkatan skala uji organoleptik Angka 1 2 3 4 5 6 7
Keterangan Sangat tidak suka Tidak suka Agak tidak suka Netral Agak suka Suka Sangat suka
66
Lampiran 6 Perhitungan neraca massa sintesis surfaktan APG Pati,butanol,air,katalis 40.50, 157.25, 32.84, 0.84 g Butanolisis Alkohol lemak, katalis = 218.97 g
Transasetalisasi
NaOH (50%) = 1.08 g
Netralisasi
Distilasi Air = 21.39 g
Logam alkali, H 2 O 2 = 3.17 g
Butanol, Air, endapan = 199.35 g
Alkohol lemak, air = 230.74 g
Pelarutan
Pemucatan
38.29 g
APG 45.97 g
Kondisi proses : Pati : butanol : air : katalis
= 1 : 8.5 : 8 : 0.018 mol
Pati : alkohol lemak : katalis
= 1 : 4.7 : 0.009 mol
Logam alkali (NaOH , MgO)
= 500 , 700 ppm
Diketahui
:
Berat Molekul Pati
= 162
Berat Molekul Butanol
= 74
Berat Molekul Air
= 18
Berat Molekul PTSA
= 190.20
Berat Molekul Dekanol
= 158
Berat Molekul Dodekanol
= 186
67
Lampiran 7 a Rendemen yang dihasilkan dari sintesis surfaktan APG Bahan masuk Jumlah (g) Bahan keluar Jumlah (g) C 10 Pati 40.50 Butanol 157.25 Butanol 157.25 Air 32.84 Air 47.86 Katalis (PTSA) 1.26 Katalis (PTSA) 1.26 Alkohol lemak (C 10 ) 153.55 Alkohol lemak (C 10 ) 185.65 NaOH (50%) 1.24 NaOH 0.09 MgO 0.09 H2O2 2.06 Jumlah 435.91 Jumlah 344.90 C 12 Pati 40.50 Butanol 157.25 Butanol 157.25 Air 32.84 Air 54.23 Katalis (PTSA) 1.26 Katalis (PTSA) 1.26 Alkohol lemak (C 12 ) 183.70 Alkohol lemak (C 12 ) 218.55 NaOH (50%) 1.08 NaOH 0.11 MgO 0.11 H2O2 2.06 Jumlah 475.04 Jumlah 375.05 Contoh perhitungan rendemen dari jenis alkohol lemak (fatty alcohol) C 12 : Bobot surfaktan APG yang diperoleh = 45.97
= 45.97% Lampiran 7 b Hasil analisis ragam (ANOVA) rendemen APG hasil sintesis Sumber Rata-rata Alkohol lemak Bahan aktivator Konsentrasi Error Total • •
Jumlah db Kuadrat F hitung Kuadrat Tengah 28471.500 1 28471.500 285.948 1 285.948 1156.144 0.122 1 0.122 0.495 0.046 1 0.046 0.187 2.968 12 0.247 28760.565 16
Nilai F hitung > F tabel = berpengaruh nyata Nilai F hitung < F tabel = tidak berpengaruh nyata
F tabel (0.05)
4.75 4.75 4.75
68
Lampiran 8 a Hasil analisis terhadap kejernihan surfaktan APG Sampel
Ulangan
A1B1C1
1 2 2 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
A1B1C2 A1B2C1 A1B2C2 A2B1C1 A2B1C2 A2B2C1 A2B2C2
Warna λ = 470 0.891 0.882 0.814 0.812 0.753 0.749 0.740 0.747 0.313 0.317 0.270 0.274 0.255 0.250 0.265 0.264
Rata-rata
Kejernihan
0.887
12.99
0,89
0.813
15.38
0,81
0.751
17.74
0,75
0.744
18.05
0,74
0.315
48.42
0,32
0.272
53.46
0,27
0.253
55.91
0,25
0.265
54.39
0,26
Keterangan : A1 = jenis alkohol lemak C 10 ; A2 = jenis alkohol lemak C 12 ; B1 = bahan aktivator NaOH ; B2 = bahan aktivator MgO ; C1 = konsentrasi bahan aktivator 500 ppm ; C2 = konsentrasi bahan aktivator 700 ppm
Lampiran 8 b Hasil analisis ragam (ANOVA) kejernihan surfaktan APG hasil sintesis Sumber Jumlah db Kuadrat F hitung F tabel (0.05) Kuadrat Tengah Rata-rata 4.633 1 4.633 Alkohol lemak 1.076 1 1.076 1542.313 4.75 Bahan aktivator 0.019 1 0.019 27.090 4.75 Konsentrasi 0.003 1 0.003 3.949 4.75 Error 0.008 12 0.001 Total 5.740 16 • •
Nilai F hitung > F tabel = berpengaruh nyata Nilai F hitung < F tabel = tidak berpengaruh nyata
69
Lampiran 9 a Data analisis stabilitas emulsi surfaktan APG komersial dan surfaktan APG hasil sintesis Simbol
APG Komersial A1B1C1
A1B1C2
A1B2C1
A1B2C2
A2B1C1
A2B1C2
A2B2C1
A2B2C2
Konsen trasi APG (%) 0.10 0.20 0.30 0.10 0.20 0.30 0.10 0.20 0.30 0.10 0.20 0.30 0.10 0.20 0.30 0.10 0.20 0.30 0.10 0.20 0.30 0.10 0.20 0.30 0.10 0.20 0.30
Tinggi keseluruhan (cm) Ul Ul 1 2 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10 4.10
Tinggi pemisahan (cm) Ul Ul 1 2 1.40 1.35 1.20 1.30 1.15 1.25 1.20 1.30 1.10 1.20 1.00 1.05 1.05 1.10 1.00 1.05 0.90 1.00 1.05 1.00 1.00 0.90 0.95 0.80 1.40 1.45 1.35 1.35 1.30 1.30 1.30 1.25 1.10 1.15 1.00 1.05 1.20 1.25 1.15 1.15 1.00 1.10 0.95 0.90 0.90 0.85 0.80 0.80 1.10 1.15 1.00 1.00 0.90 0.95
Stabilitas emulsi (%) Ul 1 65.85 7073 71.95 70.73 73.17 75.61 74.39 75.61 78.05 74.39 75.61 76.83 65.85 67.07 68.29 68.29 73.17 75.61 70.73 71.95 75.61 76.83 78.05 80.49 73.17 75.61 78.05
Ul 2 67.07 68.29 69.51 68.29 70.73 74.39 73.17 74.39 75.61 75.61 78.05 80.49 64.63 67.07 68.29 69.51 71.95 74.39 69.51 71.95 73.17 78.05 79.27 80.49 71.95 75.61 76.83
Rata-rata stabilitas emulsi (%) 66.46 69.51 70.73 69.51 71.95 75.00 73.78 75.00 76.83 75.00 76.83 78.66 65.24 67.07 68.29 68.90 72.56 75.00 70.12 71.95 74.39 77.44 78.66 80.49 72.56 75.61 77.44
Keterangan : A1 = jenis alkohol lemak C 10 ; A2 = jenis alkohol lemak C 12 ; B1 = bahan aktivator NaOH ; B2 = bahan aktivator MgO ; C1 = konsentrasi bahan aktivator 500 ppm ; C2 = konsentrasi bahan aktivator 700 ppm Ul = ulangan
Lampiran 9 b Hasil analisis ragam stabilitas emulsi surfaktan APG hasil sintesis Sumber Jumlah db Kuadrat F hitung F tabel (0.05) kuadrat tengah Rata-rata 91839.302 1 91839.302 Alkohol lemak 18.233 1 18.233 9.800 4.75 Bahan aktivator 3.349 1 3.349 0.281 4.75 37.210 1 37.210 3.117 4.75 Konsentrasi 143.258 12 11.938 Error Total 92041.353 16 • •
Nilai F hitung > F tabel = berpengaruh nyata Nilai F hitung < F tabel = tidak berpengaruh nyata
70
Lampiran 10 a Data analisis kemampuan menurunkan tegangan permukaan surfaktan APG komersial dan surfaktan APG hasil sintesis Sampel Konsentrasi Tegangan permukaan Rata-rata Kemampuan APG (%) (dyne/cm) menurunkan tegangan Ulangan 1 Ulangan 2 permukaan (%) APG 0.1 31.90 31.80 31.85 55.97 komersial 0.2 31.80 31.80 31.80 0.3 31.80 31.60 31.70 A1B1C1 0.1 29.50 29.30 29.40 59.90 0.2 29.20 29.00 29.10 0.3 28.90 28.85 28.88 A1B1C2 0.1 28.50 28.70 28.75 60.83 0.2 28.50 28.30 28.40 0.3 28.30 28.10 28.20 A1B2C1 0.1 28.50 28.40 28.45 60.90 0.2 28.30 28.30 28.35 0.3 28.20 28.10 28.15 A1B2C2 0.1 28.20 28.10 28.15 60.49 0.2 28.00 28.10 28.05 0.3 27.90 28.00 27.95 A2B1C1 0.1 28.50 28.60 28.55 60.76 0.2 28.40 28.30 28.35 0.3 28.30 28.20 28.25 A2B1C1 0.1 28.40 28.60 28.50 61.04 0.2 28.20 28.20 28.20 0.3 28.10 28.00 28.05 A2B2C1 0.1 26.35 26.30 26.33 64.10 0.2 26.15 26.00 26.08 0.3 25.90 25.80 25.85 A2B2C2 0.1 27.80 27.70 27.75 61.81 0.2 27.70 27.50 27.60 0.3 27.60 27.40 27.50 Keterangan : A1 = jenis alkohol lemak C 10 ; A2 = jenis alkohol lemak C 12 ; B1 = bahan aktivator NaOH ; B2 = bahan aktivator MgO ; C1 = konsentrasi bahan aktivator 500 ppm ; C2 = konsentrasi bahan aktivator 700 ppm
Lampiran 10 b Hasil analisis ragam (ANOVA) kemampuan menurunkan tegangan permukaan surfaktan APG hasil sintesis Sumber Jumlah db Kuadrat F hitung F tabel (0.05) kuadrat tengah Rata-rata 12412.745 1 12412.755 Alkohol lemak 3.106 1 3.106 8.840 4.75 Bahan aktivator 3.851 1 3.851 10.960 4.75 Konsentrasi 0.083 1 0.083 0.235 4.75 4.217 12 0.351 Error Total 12424.002 16 • •
Nilai F hitung > F tabel = berpengaruh nyata Nilai F hitung < F tabel = tidak berpengaruh nyata
71
Lampiran 11 a Data analisis kemampuan menurunkan tegangan antarmuka surfaktan APG komersial dan surfaktan APG hasil sintesis Sampel Konsentrasi Tegangan antarmuka Rata-rata Kemampuan APG (%) (dyne/cm) menurunkan tegangan Ulangan 1 Ulangan 2 antarmuka (%) APG 0.1 3.80 3.60 3.70 91.61 komersial 0.2 3.60 3.50 3.55 0.3 3.50 3.20 3.35 A1B1C1 0.1 4.00 3.90 3.95 90.69 0.2 3.90 3.85 3.88 0.3 3.85 3.60 3.73 A1B1C2 0.1 3.80 3.75 3.78 91.13 0.2 3.70 3.60 3.65 0.3 3.60 3.50 3.55 A1B2C1 0.1 3.70 3.65 3.68 91.38 0.2 3.60 3.50 3.55 0.3 3.50 3.40 3.45 A1B2C2 0.1 3.80 3.75 3.78 91.06 0.2 3.70 3.60 3.65 0.3 3.65 3.50 3.58 A2B1C1 0.1 3.50 3.40 3.45 92.44 0.2 3.30 3.10 3.20 0.3 3.10 2.95 3.03 A2B1C1 0.1 2.80 2.90 2.85 93.38 0.2 2.70 2.80 2.75 0.3 2.60 2.70 2.65 A2B2C1 0.1 2.50 2.60 2.55 94.25 0.2 2.45 2.50 2.48 0.3 2.40 2.20 2.30 A2B2C2 0.1 2.70 2.80 2.75 93.69 0.2 2.60 2.70 2.65 0.3 2.55 2.50 2.53 Keterangan : A1 = jenis alkohol lemak C 10 ; A2 = jenis alkohol lemak C 12 ; B1 = bahan aktivator NaOH ; B2 = bahan aktivator MgO ; C1 = konsentrasi bahan aktivator 500 ppm ; C2 = konsentrasi bahan aktivator 700 ppm
Lampiran 11 b Hasil analisis ragam (ANOVA) kemampuan menurunkan tegangan antarmuka surfaktan APG hasil sintesis Sumber Jumlah db Kuadrat F hitung F tabel (0.05) kuadrat tengah Rata-rata 153.760 1 153.760 Alkohol lemak 3.610 1 3.610 106.307 4.75 Bahan aktivator 0.303 1 0.303 8.908 4.75 Konsentrasi 0.010 1 0.010 0.294 4.75 0.047 12 0.034 Error Total 158.090 16 • •
Nilai F hitung > F tabel = berpengaruh nyata Nilai F hitung < F tabel = tidak berpengaruh nyata
72
Lampiran 12 Perhitungan nilai HLB surfaktan APG Penentuan kurva standar nilai HLB Surfaktan Aquades yang digunakan (ml) Ulangan 1 Ulangan 2 Asam oleat 14.3 16.8 Span 20 38.3 37.7 Twen 80 67.7 70
Rata-rata
Nilai HLB
15.55 38 68.85
1 8.6 15
Nilai HLB
Sumber : Moechtar (1989) y = 0,259x - 2,380 R² = 0,980
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0
20
40
60
80
Volume Aquadest
Gambar kurva standar nilai HLB. ♦
= nilai HLB,
= linier (kurva nilai HLB)
73
Tabel 13 a Rekapitulasi uji organoleptik panelis terhadap aroma sabun cuci tangan cair 123 610 Skala Frekuensi Persen Kumulatif Skala Frekuensi Persen Kumulatif 1 1 2 2 3 3 9.09 9.09 3 1 3.03 3.03 4 4 12.12 12.21 4 5 15.15 18.18 5 17 51.52 72.73 5 13 39.39 57.58 6 9 27.27 100 6 14 42.42 100 7 7 Total 33 Total 33 Keterangan : 123 = sabun cuci tangan cair komersial 610 = sabun cuci tangan cair hasil sintesis
Tabel 13 b Data kesukaan panelis terhadap aroma sabun cuci tangan cair Perlakuan N Rata-rata St. deviasi 123 33 4.97 0.88 610 33 5.21 0.82 Tabel 13 c Hasil Uji Friedman N Asym. Sig df 33 0.005 1
Khi kuadrat (hit) 8.00
• Khi hit > khi kuadrat (tabel) = berbeda nyata
Khi kuadrat (tabel) 3.841
74
Tabel 14 a Rekapitulasi hasil kesukaan panelis terhadap kesan yang tertinggal dikulit setelah pemakaian sabun cuci tangan cair 123 610 Skala Frekuensi Persen Kumulatif Skala Frekuensi Persen Kumulatif 1 1 2 2 6.06 6.06 2 1 3.03 3.03 3 3 9.09 15.15 3 1 3.03 6.06 4 9 27.27 42.42 4 6 18.18 24.24 5 19 57.58 100 5 16 48.49 72.73 6 6 9 27.27 100 7 7 Total 33 Total 33 Keterangan : 123 = sabun cuci tangan cair komersial 610 = sabun cuci tangan cair hasil sintesis
Tabel 14 b Data kesukaan panelis terhadap kesan yang tertinggal dikulit setelah pemakaian sabun cuci tangan cair Perlakuan N Rata-rata St. deviasi 123 33 4.36 0.90 610 33 4.94 0.93 Tabel 14 c Hasil Uji Friedman N Asym. Sig df 33 0.01 1
Khi kuadrat (hit) 10.714
• Khi hit > khi kuadrat (tabel) = berbeda nyata
Khi kuadrat (tabel) 3.841
75
Tabel 15 a Rekapitulasi hasil kesukaan panelis terhadap warna sabun cuci tangan cair 123 610 Skala Frekuensi Persen Kumulatif Skala Frekuensi Persen Kumulatif 1 1 2 1 3.03 3.03 2 2 6.06 6.06 3 3 3.09 12.12 3 4 1 3.03 15.15 4 1 3.03 9.09 5 9 27.27 42.42 5 5 15.15 24.24 6 16 48.49 90.91 6 22 66.67 90.91 7 3 3.03 100 7 3 3.03 100 Total 33 Total 33 Keterangan : 123 = sabun cuci tangan cair komersial 610 = sabun cuci tangan cair hasil sintesis
Tabel 15 b Data kesukaan panelis terhadap warna sabun cuci tangan cair Perlakuan N Rata-rata St. deviasi 123 33 5.36 0.76 610 33 5.64 0.89 Tabel 15 c Hasil Uji Friedman N Asym. Sig df 33 0.061 1
Khi kuadrat (hit) 3.522
• Khi hit < khi kuadrat (tabel) = tidak berbeda nyata
Khi kuadrat (tabel) 3.841
76
Tabel 16 a Rekapitulasi hasil kesukaan panelis terhadap banyaknya busa sabun cuci tangan cair 123 610 Skala Frekuensi Persen Kumulatif Skala Frekuensi Persen Kumulatif 1 1 2 2 3 3 2 6.06 6.06 4 6 18.18 18.18 4 4 12.12 18.18 5 9 27.28 45.45 5 16 48.49 66.67 6 18 54.55 100 6 11 33.33 100 7 7 Total 33 Total 33 Keterangan : 123 = sabun cuci tangan cair komersial 610 = sabun cuci tangan cair hasil sintesis
Tabel 16 b Data kesukaan panelis terhadap banyaknya busa sabun cuci tangan cair Perlakuan N Rata-rata St. deviasi 123 33 5.36 0.78 610 33 5.09 0.84 Tabel 16 c Hasil Uji Friedman N Asym. Sig df 33 0.206 1
Khi kuadrat (hit) 1.60
Khi hit < khi kuadrat (tabel) = tidak berbeda nyata
Khi kuadrat (tabel) 3.841
77
Tabel 17 a Rekapitulasi hasil kesukaan panelis terhadap kekentalan sabun cuci tangan cair 123 610 Skala Frekuensi Persen Kumulatif Skala Frekuensi Persen Kumulatif 1 1 1 3.03 3.03 2 1 3.03 3.03 2 3 9.09 12.12 3 5 15.15 18.18 3 4 12.12 24.24 4 4 15.15 33.33 4 3 9.09 33.33 5 11 33.33 66.67 5 9 27.28 60.61 6 9 27.28 93.94 6 12 36.36 96.97 7 2 6.06 100 7 1 3.03 100 Total 33 Total 33 Keterangan : 123 = sabun cuci tangan cair komersial 610 = sabun cuci tangan cair hasil sintesis
Tabel 17 b Data kesukaan panelis terhadap kekentalan sabun cuci tangan cair Perlakuan N Rata-rata St. deviasi 123 33 4.85 0.86 610 33 5.27 0.88 Tabel 17 c Hasil Uji Friedman N Asym. Sig df 33 0.061 1
Khi kuadrat (hit) 3,522
Khi kuadrat (tabel) 3.841