Topik Utama KAJIAN KERANGKA PERATURAN CARBON CAPTURE AND STORAGE (CCS) DI INDONESIA Utomo Pratama Iskandar dan Usman Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
[email protected]
SARI Komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca telah dituangkan dalam Perpres No.61 tahun 2011 tentang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan sebesar 26% emisi gas rumah kaca dari dari kondisi tanpa adanya rencana aksi dengan usaha sendiri pada tahun 2020 dan dapat mencapai 41% bila didukung dengan bantuan internasional. Tentunya untuk mencapai target ini dalam periode yang relatif singkat diperlukan low carbon technology dalam skala besar. Usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah sejauh ini seperti konservasi energi, peralihan bahan bakar menuju bahan bakar rendah karbon, dan penggunaan energi terbarukan dirasakan masih kurang dan membutuhkan periode yang panjang agar dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Carbon Capture and Storage (CCS) yang memiliki karakteristik mampu mengurangi emisi GRK dalam skala besar dan periode yang pendek merupakan satu-satunya teknologi yang dapat membantu pemerintah dalam memenuhi komitmen tersebut pada saat ini. Makalah ini berusaha mengidentifikasi semua peraturan yang relevan dengan rantai CCS dengan pendekatan isu-isu yang krusial (salient items) serta mengkaji aspek legalnya sebagai basis untuk kemudian diadopsi atau dasar pembuatan peraturan baru bila diperlukan. Isu-isu pokok yang menjadi bahan diskusi di antaranya adalah klasifikasi CO2, kepemilikan permukaan dan bawah tanah, pertanggungjawaban CO2 yang tersimpan dan pemilihan lokasi. Pengklasifikasian CCS sebagai teknologi baru dan masih dalam tahap eksperimen di Indonesia mungkin dapat mempercepat penyebaran teknologi ini khususnya pada tahap pilot, sementara mengamandemen dan mempersiapkan peraturan dan undang-undang yang bersifat jangka panjang dan komprehensif. Sebagian besar undang-undang yang terdapat dalam ranah Kementerian Lingkungan Hidup merupakan yang paling sesuai sebagai fondasi dalam menyusun kerangka peraturan CCS di Indonesia. Kata kunci : Carbon Capature and Storage, Indonesia, kerangka peraturan CCS, regulasi
1. PENDAHULUAN Komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca telah dicanangkan sekitar 3 tahun lalu, yang kemudian dituangkan dalam Perpres No.61 tahun 2011
tentang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Di dalamnya menyebutkan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan sebesar 26% emisi gas rumah kaca dari kondisi tanpa adanya rencana aksi dengan usaha sendiri pada tahun 2020 dan dapat mencapai 41% bila
Kajian Kerangka Peraturan Carbon Capture and Storage (CCS) .....; Utomo Pratama Iskandar dan Usman
53
Topik Utama didukung dengan bantuan internasional. Tentunya untuk mencapai target ini dalam periode yang relatif singkat diperlukan low carbon technology dalam skala besar. Usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah sejauh ini seperti konservasi energi, peralihan bahan bakar menuju bahan bakar rendah karbon, dan penggunaan energi terbarukan dirasakan masih kurang dan membutuhkan periode yang panjang agar dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar (Dennis et al, 2010). Carbon capture and storage (CCS) yang memiliki karakteristik mampu mengurangi emisi GRK dalam skala besar dan periode yang pendek merupakan satu-satunya teknologi yang dapat membantu pemerintah dalam memenuhi komitmen tersebut pada saat ini. CCS merupakan serangkain aktivitas dimana emisi gas rumah kaca berupa CO2 yang berasal dari aktvititas antrophogenic (manusia) ditangkap (captured), lalu ditransportasikan menuju lokasi penyimpanan untuk kemudian diinjeksi dan disimpan (Utomo dan Usman, 2010). Selain itu, CCS mampu menjembatani dunia menuju transisi ke carbon neutral world yang mana penggunaan energi terbarukan dan bahan bakar rendah karbon (Gambar 1.) telah mature. Sampai pada saat ini telah terdapat 8 proyek CCS skala besar yang sedang beroperasi di dunia dan 6 proyek sedang berada pada tahap konstruksi. Walaupun teknologi ini telah diaplikasikan tetapi masih terdapat banyak
perdebatan di publik mengenai potensi kebocoran dan pertanggungjawaban jangka panjang khususnya bagi para pemangku kepentingan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu untuk meningkatkan kesadaran dan penerimaan publik masyarakat Indonesia, makalah ini ditulis. Makalah ini berusaha mengidentifikasi semua peraturan yang relevan dengan rantai CCS dengan pendekatan isu-isu yang krusial (salient items) serta mengkaji aspek legalnya sebagai basis untuk kemudian diadopsi atau dasar pembuatan peraturan baru bila diperlukan. Pada akhir bagian dari makalah ini, beberapa kesimpulan menyoroti substansi relevansi undang-undang dan peraturan yang ada dan serangkaian rekomendasi guna mempercepat penyebaran CCS di Indonesia 2. KEMENTERIAN DAN LEMBAGA DI INDONESIA Identifikasi undang-undang dan peraturan yang ada perlu dimulai dari tahap indentifikasi dimana domain UU dan peraturan itu berada. Tugas pokok dan fungsi yang dimiliki oleh masingmasing kementerian dan lembaga yang ada di Indonesia juga memegang peranan penting dalam formulasi, pengembangan dan implementasi kebijakan suatu peraturan yang terkait pada setiap rantai CCS. Berikut ini adalah kementerian dan lembaga yang dianggap dapat
Gambar 1. Skema dekarbonisasi menuju carbon neutral world
54
M&E, Vol. 10, No. 2, Juni 2012
Topik Utama bersinggungan dengan rantai CCS (ADB et al, 2012): – Kementerian Lingkungan – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral – Kementerian Riset dan Teknologi – Kementerian Transportasi – Kementerian Kehutanan – Kementerian Tenaga Kerja – BPMIGAS – BPH Migas – Badan Pertanahan Nasional – Bakorsurtanal Sampai saat ini tidak terdapat undang-undang dan peraturan yang secara spesifik mengatur CCS. Namun demikian, terdapat beberapa undang-undang yang mungkin dapat mengatur aktivitas CCS dalam beberapa tahapan dan mata rantainya. Di bawah ini penggolongan peraturan atau UU yang berkenaan isu pokok dalam CCS: a. Klasifikasi CO2 Pada saat ini baik di dunia, termasuk di Indonesia, CO2 belum diklasifikasikan baik sebagai limbah atau polutan atau B3. Dalam PP No.18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun mendefinisikan bahwa limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan, dan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dapat meliputi za-zat yang "dapat mencemari" atau "membahayakan lingkungan". Kemudian pada Lampiran II PP No. 74 Tahun 2001, Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, CO2 tidak masuk dalam zat-zat yang digolongkan ke dalam B3. Tanpa didefinisikan dengan jelas dalam peraturan di Indonesia, CO2 mungkin saja diperbolehkan untuk diinjeksikan ke dalam bawah tanah. Selain itu, dalam Permen LH No.13 tahun 2007 tentang Persyaratan dan Prosedur Pengelolaan Air Limbah Untuk Aktivitas Hulu Migas dan Aktivitas Geotermal Dengan Cara Injeksi, injeksi fluida apapun untuk kepentingan peningkatan produksi
migas tidak masuk dalam ranah ini. Namun demikian pemerintah mewajibkan pemantauan, inventarisasi dan akunting serta pelaporan emisi CO2, sebagaimana yang tertuang dalam Permen LH No. 13/2009 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi. Jika nanti CO2 dikategorikan sebagai limbah beracun dan berbahaya, Peraturan Pemerintah No. 18/1999 memerlukan izin dalam produksi, transportasi, penyimpanan, pengolahan, dan pembuangannya. Disamping itu peraturan pemerintah No. 74 tahun 2001 mengenai pengelolaan bahan beracun dan berbahaya menterjemahkan bahan (material) beracun dan berbahaya memiliki sifat-sifat sebagai berikut: eksplosif, mudah mengoksidasi, beracun, mudah terbakar, korosif, dapat menyebabkan iritasi, berbahaya bagi lingkungan, karsinogenik, dan teratogenik atau mutagenik. Walaupun dalam hal ini, CO2 tidak memiliki karakteristik disebutkan di atas, tetapi bila pada nantinya CO 2 diklasifikasikan sebagai limbah B3 maka akan mempengaruhi berbagai regulasi di atas. b. Kepemilikan Permukaan dan Bawah Tanah Proyek CCS memerlukan hak untuk mengakses lokasi proyek dimana, fasilitas capture dipasang, jalur perpipaan ditempatkan dan rongga pori batuan yang akan diinjeksikan oleh CO2. Hal ini mensyaratkan bahwa agar suatu proyek CCS dapat berjalan diperlukan perolehan hak baik dari entitas swasta atau pemerintah sebagaimana selaras yang terutang pada UU Migas No. 22/2001, bahwa pemegang hak untuk menggunakan tanah negara wajib mengizinkan badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas jika entitas tersebut, telah diberikan kontrak oleh pemerintah, dengan syarat badan usaha tersebut memberikan kompensasi
Kajian Kerangka Peraturan Carbon Capture and Storage (CCS) .....; Utomo Pratama Iskandar dan Usman
55
Topik Utama penyelesaian atau jaminan untuk usulan kegiatan yang terkait ke pengguna tanah negara. Hak kepemilikan tanah di Indonesia didefinisikan dalam konstitusi Indonesia, legislasi, dan pada komunitas atau pada tingkat lokal melalui hukum adat. Pasal 33 UUD 45 memiliki prinsip bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 ini merupakan landasan yang membatasi bentuk kepemilikan tertentu warga Indonesia bersama dengan undang-undang dan hukum adat yang mendefinisikan hak milik termasuk hak kepemilikan tanah dan kandungan yang ada di dalamnya. Pada sektor migas, hak eksplorasi dan eksploitasi mengambil dalam bentuk kontrak kerja sama (KKS) antara operator migas dengan negara. Hak untuk mengakses rongga pori dalam penyimpanan CO 2 kelihatannya akan mirip memerlukan kontrak khusus dari negara atau diturunkan dari kontrak yang telah ada, seperti kontrak kerjasama (KKS) tadi. Di samping itu dalam KKS, operator migas memiliki batasan lama operasi, biasanya 30 tahun, di suatu wilayah kerja migas tertentu sebelum semua aset di daerah tersebut dikembalikan ke negara. Dengan mengambil bentuk yang ada pada KKS dan selaras dengan pasal 33 UUD 45, kepemilikan rongga pori pada proyek penyimpanan CO2 dan CO2 yang tersimpan akan menjadi milik negara ketika masa proyek berakhir. c. Kegiatan Pemantaun (Monitoring) CO 2 yang disimpan dalam proyek CCS diharapkan akan tetap berada di dalam bawah tanah dalam periode ribuan tahun dan seminim mungkin untuk bermigrasi ke atmosfer. Untuk menjamin hal tersebut perlu dipertimbangkan entitas yang akan melakukan kegiatan monitoring dan sampai kapan kegiatan monitoring tersebut
56
dilaksanakan. Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan peraturan No.13 tahun 2007 tentang Persyaratan dan Prosedur Pengelolaan Air Limbah Untuk Aktivitas Hulu Migas dan Aktivitas Geotermal Dengan Cara Injeksi. Permen ini mengatur tata cara penanganan air limbah yang dihasilkan dari operator industri hulu migas dan geotermal dengan cara disimpan pada formasi geologi. Pada pasal 15 Bab VI telah secara terperinci menyatakan kewajiban penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan melakukan pemantauan kinerja injeksi air limbah dengan ketentuan seperti yang tertera pada ayat b: "Pemantuan tekanan selubung dengan frekuensi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan." Tidak disinggung secara rinci mengenai ketersimpanan potensi kebocoran air limbah yang telah diinjeksikan, sehingga kegiatan pemantauan dengan menggunakan metode seismik tidak disebutkan dalam peraturan ini. Hal ini menyiratkan juga bahwa dalam peraturan ini, zona yang dipilih menjadi target injeksi dianggap sudah cukup terkungkung (confined). Lain halnya dengan kegiatan monitoring yang ada di proyek CCS, yang mana kegiatan monitoring dilakukan sangat komprehensif mulai dari lingkungan reservoir, hidrosfer, biosfer sampai dengan atmosfer. Tidak hanya tekanan injeksi saja yang dimonitor tapi migrasi plume CO2 juga dipantau. Hal baik yang perlu dicermati pada peraturan ini (pasal 16 ayat d) adalah operator wajib melaporkan hasil pemantauan terhadap persyaratan yang tercantum di dalam izin injeksi air limbah paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan kepada Menteri dan/ atau Gubernur dengan tembusan kepada menteri terkait, dan kepala instansi yang lingkup tugasnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ini merupakan butir penting untuk dapat diadaptasi dalam mengembangkan periode berkala dalam melakukan kegiatan pemantauan dan pelaporan kerangka peraturan untuk CCS.
M&E, Vol. 10, No. 2, Juni 2012
Topik Utama d. Pertanggungjawaban CO 2 yang Tersimpan Pertanggungjawaban CO2 yang tersimpan merupakan hal yang paling disoroti dalam pertemuan Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) United Nation Framewrok Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagaimana yang tertuang pada Annex FCCC/SBSTA/2010 baris ke-11, yang menegaskan bahwa ketentuan tanggung jawab jangka pendek, menengah dan panjang termasuk identifikasi yang jelas untuk entitas bertanggung jawab, harus ditetapkan sebelum proyek CCS dilaksanakan. Kemudian ketentuan yang memadai untuk pemulihan dari setiap ekosistem yang rusak dan kompensasi penuh dari masyarakat yang terkena dampak jika terjadi kebocoran CO 2 dari proyek CCS harus ditentukan sebelum proyek yang terkait CCS dijalankan. Isu-isu tersebut di atas dapat dilihat relevansinya pada Permen LH No.13 tahun 2007 tentang Persyaratan dan Prosedur Pengelolaan Air Limbah Untuk Aktivitas Hulu Migas dan Aktivitas Geotermal Dengan Cara Injeksi dan UU Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Permen LH No.13/ 2007 Pasal 17 ayat a, menyebutkan bahwa Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan hulu minyak dan gas serta panas bumi wajib: menutup sumur injeksi yang telah selesai masa operasinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan melaporkannya kepada Menteri dan menteri terkait, dengan tembusan kepala instansi pemerintah daerah yang lingkup tugasnya di bidang lingkungan hidup di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pasal ini mengindikasikan bahwa tanggung jawab akan limbah yang tersimpan setelah masa operasi berhenti diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah setelah melakukan prosedur penutupan dan pelaporan yang sesuai dengan ketentuan atau yang dapat diadopsi dari Permen LH No.13 tahun 2007.
Sebagian besar proyek CCS baik sedang berjalan ataupun sedang diinisiasi mengikuti mekanisme seperti ini dimana tanggung jawab operator berhenti setelah CO2 yang diinjeksikan telah diyakini tersimpan dengan aman melalui serangkaian pembuktian pada aktivitas pemantauan. Kemudian pada UU LH No. 32/ 2009 memberlakukan pertanggungjawaban yang ketat untuk kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga. UU ini melarang segala jenis perusakan (air, udara, laut, dsb) terhadap lingkungan dan menjatuhkan sanksi untuk setiap pelanggaran. UU ini dapat dianalogkan, bila terjadi kebocoran pada setiap rantai CCS yang ada tetapi dengan pra-syarat mengklasifikasikan CO2 sebagai limbah B3. e. Pemilihan Lokasi Pemilihan lokasi merupakan hal yang penting dalam inisiasi proyek CCS. Lokasi yang tepat dan dinilai aman akan menjamin keberlangsungan proyek dan permanen dari penyimpanan CO 2 tersebut. Dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.13 tahun 2007, mensyaratkan operator untuk menyerahkan data geologi di zona target injeksi dan membuktikan dengan melakukan kajian bahwa zona tersebut dapat menyimpan air limbah. Zona target injeksi yang dimaksud disini adalah "suatu formasi geologi yang terdiri atas kelompok formasi, suatu formasi, atau bagian dari suatu formasi yang mampu menampung air limbah yang akan diinjeksikan". Karena tidak menyebutkan secara spesifik jenis formasi geologi seperti apa, maka reservoir migas depleted, formasi saline dan coal seams dapat dijadikan zona target injeksi. Secara eksplisit dalam peraturan ini menyebutkan juga kriteria khusus dalam memilih lokasi untuk pembuangan air limbah sama halnya seperti best practice yang ada di industri CCS selama ini. Kriteria-kriteria yang dimaksud didalamnya tertuang dalam pasal 6 ayat 1 yang mencakup:
Kajian Kerangka Peraturan Carbon Capture and Storage (CCS) .....; Utomo Pratama Iskandar dan Usman
57
Topik Utama – – – –
Konduktifitas hidrolik zona injeksi; Ketebalan zona injeksi; Waktu injeksi; Koefisien penyimpanan (storage coeficient); – Debit injeksi; – Tekanan hidrostatik zona injeksi; dan – Tekanan hidrostatik akuifer sumber air minum Kemudian pada pasal 4 ayat 1, didefinisikan secara spesifik bahwa dimana zona target injeksi tidak berhubungan dengan akuifer sumber air minum bawah tanah yang dipisahkan oleh lapisan zona kedap. Kriteria diatas bila dibandingkan dengan kriteria penyimpanan CO 2 dinilai masih sangat longgar dalam hal memilih lokasi penyimpanan. Kriteria seperti ketebalan lapisan penyekat (seal), aktivitas seismik, dan gradien geothermal (Utomo et al, 2011) dan lain sebagainya tidak dibahas pada Permen LH No.13 ini. f.
Transportasi CO2 Bila transportasi CO 2 menggunakan jaringan perpipaan atau menggunakan truk dengan sistem kriogenik, Peraturan Menteri ESDM No.15 Tahun 2008 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Mengenai Sistem Transportasi Cairan untuk Hidrokarbon dan Standar Nasional Indonesia Mengenai Sistem Perpipaan Transmisi dan Distribusi Gas sebagai Standar Wajib, dapat dijadikan referensi dalam mengadapatasi transportasi CO2. Karena CO2 memiliki properti yang berbeda dari gas alam maka perlu dikaji kembali standarstandar yang telah ditetapkan.Tetapi bila pada nantinya CO2 diklasifikasikan sebagai limbah B3, maka tata cara transportasinya dapat mengikuti Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun, terutama pada pasal 31 dan 32.
g. Batasan Area Proyek Batasan area proyek (project boundary) dalam CCS meliputi formasi geologi yang berada di bawah tanah, di atas permukaan
58
tanah, sumber CO2 dan fasilitas capture serta area transportasinya. Batasan pada CCS dilingkupi pada setiap rantainya karena kebocoran sekecil apapun dalam perjalanannya sampai pada penyimpanannya harus diperhitungkan. Sementara itu, Permen LH No.13 tahun 2007, pasal 6 ayat 2a dan 2b, hanya menyebutkan area batas terluar Daerah Kajian Injeksi adalah jarak melintang pada radius 450 meter dari sumur. Kebocoran air limbah pada Permen ini pada saat mentransportasikan dan pengolahannya tidak diatur. Bila dibawa dalam konteks penyimpanan CO2 batas proyek ini tentunya akan berbeda bila ukuran reservoir yang menjadi tempat penyimpanan berbeda. Penentuan batas dari proyek akan lebih ketat lagi, karena akan melibatkan pemodelan geologi dan simulasi plume CO2 di dalam reservoir, tidak dengan penentuan secara definitif seperti diatas. Ruang lingkup yang tertera pada Permen LH No.13/2007 bila ingin diadaptasi, maka batas proyeknya hanya mencakup satu CCS chain saja tidak meliputi transportasi dan capture facilities. Mungkin perluasan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan gas Bumi dapat dijadikan pertimbangan dalam hal pelaporan dan akunting emisi. h. Kesehatan dan Keselamatan Evaluasi resiko dan keselamatan (risk and safety assessment) yang menyeluruh perlu dilakukan dalam proyek CCS yang meliputi rencana mitigasi yang diperlukan bila terjadi kebocoran dan dampaknya terhadap kesehatan manusia dan ekosistem. Dalam hal ini UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Permen ESDM No.300 tentang Keselamatan Kerja Pada Pipa Distribusi Minyak dan Gas dapat menjadi rujukan dalam mengembangkan kerangka peraturan CCS khususnya pada aspek kesehatan dan keselamatan.
M&E, Vol. 10, No. 2, Juni 2012
Topik Utama 3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI a. Amandemen terhadap peraturan dan undang-undang yang ada merupakan opsi paling efisien dan cepat dalam mengatur proyek pilot CCS sementara mempersiapkan peraturan dan undangundang yang bersifat jangka panjang dan komprehensif. b. Pengklasifikasian CCS sebagai teknologi baru dan masih dalam tahap eksperimen di Indonesia mungkin dapat mempercepat penyebaran teknologi ini khususnya pada tahap pilot sama seperti halnya proyek pilot Coal Bed Methane (CBM) pertama kali di Indonesia. c. Relevansi peraturan dan perundangundangan yang terdapat di sektor migas yang terkait pada masing-masing rantai CCS secara umum lebih sedikit bila dibandingkan dengan peraturan dan perundang-undangan yang terdapat di Kementerian Lingkungan Hidup, sehingga hanya sedikit yang dapat diadopsi dan diadaptasikan. d. Permen LH No.13 tahun 2007 tentang Persyaratan dan Prosedur Pengelolaan Air Limbah Untuk Aktivitas Hulu Migas dan Aktivitas Geotermal Dengan Cara Injeksi, dapat dijadikan fondasi dan basis dalam mengembangkan lebih jauh kerangka peraturan untuk penyimpanan CO2. e. Inisiasi proses hukum dan kebijakan yang didukung oleh Kementerian ESDM, Lingkungan Hidup, BPMIGAS dan BPH Migas, bersama dengan lembaga lain yang sesuai harus dimulai, untuk mengevaluasi apakah legislasi yang komprehensif atau hanya amandemen yang diperlukan untuk mengakomodasi proyek CCS di Indonesia. f.
Pengembangkan kerangka peraturan untuk CCS juga harus diikuti dengan pengembangan standar dan pedoman yang terkait (contoh Standar Nasional Indonesia).
g. Diseminasi teknologi CCS kepada badan legislatif perlu dilakukan untuk memperoleh
dukungan dalam penyusunan UU dan peraturan CCS. DAFTAR PUSTAKA ADB, LEMIGAS-MEMR, BAPPENAS, , 2012, "Determining the Potential for Carbon Capture and Storage in South East Asia". Country Report. Dennis B., Rida M., Brett J., Utomo P. I, Brendan B., 2010, "Status of CCS Development in Indonesia", Green House Gas Techology-10, Energy Procedia, Elsevier. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2007 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pengelolaan Air Limbah Bagi Usaha Dan/atau kegiatan hulu minyak dan Gas Serta Panas Bumi Dengan Cara injeksi. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.13 Tahun 2009 Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha Dan/ Atau Kegiatan Minyak Dan Gas Bumi. Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Peraturan Presiden No. 6 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. United Nation Framewrok Convention on Climate Change (UNFCCC), 2010, "Report of the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA)". Utomo P.I., and Usman, 2011, "CO2 Storage Capacity Estimation of Depleted Oil and Gas Reservoirs in Indonesia", LEMIGAS Scientific Contribution, Vol. 34, No.1, pp.5359. Utomo P.I., Sudarman, S., and Usman, 2011, "Ranking of Indonesia Sedimentary Basin and Storage Capacity Estimates for CO2 Geological Storage", LEMIGAS Scientific Contribution, Vol. 34, No.2, pp.149-156.
Kajian Kerangka Peraturan Carbon Capture and Storage (CCS) .....; Utomo Pratama Iskandar dan Usman
59