PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015
KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI
Tim Peneliti : Kurnia Suci Indraningsih
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
RINGKASAN
Masyarakat di daerah tertinggal umumnya masih bertumpu pada sektor ekonomi konvensional, baik dalam bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri dan sumberdaya potensial lainnya yang belum dikelola secara optimal. Terbatasnya infrastruktur yang ada dan ketersediaan fasilitas pelayanan umum yang kurang memadai menyebabkan produk yang dihasilkan masyarakat dari daerah tertinggal kurang kompetitif di pasaran. Untuk itu, diperlukan upaya pengembangan ekonomi lokal yang bersifat produktif dan produk berdaya saing guna menjaga kesinambungan pembangunan di daerah tertinggal melalui intervensi pemerintah secara berkelanjutan dalam jangka menengah dan panjang. Dengan keterbatasan yang ada, kondisi SDM petani di wilayah tertinggal terdapat kesenjangan antara kondisi ideal dengan fakta di lapangan. Untuk itu kajian yang mencermati dari aspek dimensi sosial ini dinilai penting dilakukan, mengingat dengan adanya peningkatan kapasitas petani diharapkan akan berdampak pada akselerasi pembangunan pertanian di wilayah tersebut. Hal ini sejalan dengan Paradigma Pertanian untuk Pembangunan dimana salah satu aspeknya menekankan pada pengembangan sumberdaya insani/manusia (petani). Suatu sistem pendekatan tingkat kapasitas mencakup tiga tingkatan yang saling mempengaruhi satu sama lain melalui hubungan ketergantungan yang kompleks dan saling interaktif: (1) Mengaktifkan lingkungan (melalui kebijkan, legislasi, hubungan kekuasaan, dan norma-norma sosial); (2) Tingkat organisasi (kebijakan internal, pengaturan, prosedur, dan kerangka kerja); (3) Tingkat individu (pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan teknis). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi petani, (2) Menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan kapasitas petani dalam menjalankan usahatani yang merespon berbagai dinamika perubahan yang terjadi (seperti perubahan ikllim dan preferensi konsumen terhadap mutu produk pertanian). Lokasi penelitian mencakup wilayah Jawa dan Luar Jawa. Analisis data dalam penelitian ini mencakup: (1) analisis deskriptif eksplanatif dan (2) analisis pengukuran pengembangan/peningkatan kapasitas (United Nations Development Programme, 2010).
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana untuk mengubah suatu wilayah yang ditempati oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik agar menjadi daerah maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Program pembangunan
daerah tertingal lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah yang kondisi sosial, budaya ekonomi, keuangan daerah aksesibilitas serta kesediaan infrastruktur masih tertinggal dibanding dengan daerah lainnya. Kondisi tersebut pada umumnya terdapat pada daerah yang secara geografis terisolir dan terpencil seperti perbatasan antar negara, daerah pulau-pulau kecil, daerah pedalaman, daerah rawan bencana serta daerah pasca konflik (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Badan Pusat Statistik, 2010). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014, telah ditetapkan daftar 183 kabupaten yang masuk katagori daerah tertinggal. Penentuan 183 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada perhitungan 6 (enam) kriteria utama, yaitu: (1) perekonomian masyarakat, (2) sumberdaya manusia; (3) infrastruktur (prasarana); (4) kemampuan keuangan lokal (celah fiskal); (5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah. Selain kriteria dasar tersebut, juga dipertimbangkan kondisi kabupaten yang berada di daerah perbatasan antar negara, daerah rawan bencana dan daerah yang ditentukan secara khusus. Masyarakat di daerah tertinggal umumnya masih bertumpu pada sektor ekonomi konvensional, baik dalam bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri dan sumberdaya potensial lainnya yang belum dikelola secara optimal. Terbatasnya infrastruktur yang ada dan ketersediaan fasilitas pelayanan umum yang kurang memadai menyebabkan produk yang dihasilkan masyarakat dari daerah tertinggal kurang kompetitif di pasaran. Untuk itu, diperlukan upaya pengembangan ekonomi lokal yang bersifat produktif dan produk berdaya saing
2
guna menjaga kesinambungan pembangunan di daerah tertinggal melalui intervensi pemerintah secara berkelanjutan dalam jangka menengah dan panjang. Salah satu upaya Pemerintah dalam pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal adalah kegiatan Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT), yang bertujuan memfasilitasi peningkatan nilai tambah produksi komoditi unggulan daerah (bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pertambangan, pariwisata, industri pengolahan), melalui penyediaan sistem manajemen untuk mobilisasi sumberdaya (sumberdaya manusia,
sumberdaya
alam,
investasi,
institusi)
dalam
proses
produksi,
pengolahan dan pemasaran. Kegiatan tersebut tidak berarti bahwa sumberdaya manusia di wilayah tertinggal langsung berubah sikap secara positif.
Perlu
dipahami bahwa tumbuhnya sikap tidak dapat terjadi dalam waktu cepat, butuh waktu yang relatif lama disertai dengan upaya penumbuhan yang berulang-ulang sehingga menghasilkan sikap yang positif terhadap perubahan terencana berupa pembangunan. Pembangunan
pertanian
dilaksanakan
dengan
prinsip
pertanian
berkelanjutan yang bertumpu pada tiga landasan berimbang, yakni: berorientasi pada kesejahteraan sosial petani, pekerja dan masyarakat sekitar, ramah lingkungan dan menciptakan nilai tambah ekonomi bagi petani dan pengusaha. Dengan demikian, orientasi usaha pertanian harus diubah dari maksimisasi nilai tambah bagi pemilik perusahaan saja (shareholders) ke optimisasi nilai tambah pemangku kepentingan (stakeholders) secara luas. Untuk itu, usaha pertanian semestinya mengikuti suatu protokol Good Agricultural Practices (GAP), Good
Handling Practices (GHP), Good Manufacturing Practices (GMP), dan atau Good Corporate Governance (GCG) yang mengakomodir kriteria kesejahteraan sosial pekerja dan masyarakat sekitar, ramah lingkungan dan menciptakan nilai tambah ekonomi bagi petani dan pengusaha secara berimbang (Biro Perencanaan, 2013). 1.2.
Dasar Pertimbangan Paradigma Pertanian untuk Pembangunan menekankan pembangunan
pertanian mengemban sepuluh fungsi (Biro Perencanaan, 2013): 1. Pengembangan sumberdaya insani; 3
2. Ketahanan pangan; 3. Penguatan ketahanan penghidupan keluarga; 4. Basis (potensial) ketahanan energi (pengembangan bioenergi); 5. Pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan; 6. Jasa lingkungan alam; 7. Basis (potensial) untuk pengembangan bioindustri; 8. Penciptaan iklim kondusif bagi pembangunan; 9. Penguatan daya tahan perekonomian (economic resilient); dan 10. Sumber pertumbuhan berkualitas; Pengembangan sumberdaya manusia
(SDM) petani dan keluarganya,
secara ideal diarahkan untuk membentuk petani Indonesia yang berdaya dan memiliki keunggulan-keunggulan sikap dan karakter: (1) memiliki pengetahuan yang luas di bidang agroekologi maupun agribisnis spesifik lokalita; (2) memiliki sikap dan perilaku lebih mandiri serta berkemampuan memecahkan masalahnya sendiri secara tepat dan efisien; (3) memiliki sense of agribusiness sehingga perencanaan usaha pertanian selalu berorientasi pasar lokal, dalam negeri, dan ekspor; (4) memiliki keterampilan agribisnis, baik di segmen hulu (perbenihan, pemupukan, pemilihan usaha produksi produk primer, sekunder, dan tersier), pada sisi tengah yang mengefisienkan agro-input dan mengoptimalkan agro-
output, di segmen pascapanen dan pengolahan rpoduk primer dan sekunder, serta di segmen pasar; (5) memiliki ketangguhan dalam menghadapi masalah dan akibat anomali iklim, terbatasnya sarana produksi, gejolaj harga, sehingga tetap berkemampuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani (Rahadian et al., 2003). Dengan keterbatasan yang ada, kondisi SDM petani di wilayah tertinggal terdapat kesenjangan dengan kondisi ideal sebagaimana dikemukakan diatas. Untuk itu kajian yang mencermati dari aspek dimensi sosial ini dinilai penting dilakukan, mengingat dengan adanya peningkatan kapasitas petani diharapkan akan berdampak pada akselerasi pembangunan pertanian di wilayah tersebut. Hal ini sejalan dengan Paradigma Pertanian untuk Pembangunan dimana salah satu aspeknya menekankan pada pengembangan sumberdaya insani/manusia (petani).
4
1.3.
Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah rekomendasi kebijakan akselerasi pembangunan pertanian wilayah tertinggal melalui peningkatan kapasitas petani. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi petani. 2. Menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan kapasitas petani dalam menjalankan usahatani yang merespon berbagai dinamika perubahan yang terjadi (seperti perubahan ikllim dan preferensi konsumen terhadap mutu produk pertanian). 1.4.
Keluaran yang Diharapkan
1.4.1. Keluaran Umum Rekomendasi
kebijakan
akselerasi
pembangunan
pertanian
wilayah
tertinggal melalui peningkatan kapasitas petani. 1.4.2. Keluaran Khusus 2. Hasil identifikasi karakteristik sosial ekonomi petani. 3. Hasil analisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan kapasitas petani dalam menjalankan usahatani yang merespon berbagai dinamika perubahan yang terjadi (seperti perubahan ikllim dan preferensi konsumen terhadap mutu produk pertanian). 1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Penerima manfaat dari kegiatan ini adalah Kementerian Pertanian terutama Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Pemerintah Daerah (Dinas Pertanian, Bakorluh, dan Bapeluh), serta petani dan pelaku usaha. Luaran kegiatan ini berguna bagi Dinas Pertanian, Bakorluh, dan Bapeluh untuk membangun peningkatan kapasitas petani di daerah. Luaran kegiatan ini juga berguna bagi Kementerian Pertanian untuk merumuskan kebijakan dalam mempercepat pembangunan pertanian di wilayah tertinggal, untuk mewujudkan 5
peningkatan
kesejahteraan
petani.
6
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis Secara umum konsep peningkatan kapasitas atau capacity building dapat dimaknai sebagai proses membangun kapasitas individu, kelompok atau organisasi. Capacity building dapat juga diartikan sebagai upaya memperkuat kapasitas
individu,
kelompok
atau
organisasi
yang
dicerminkan
melalui
pengembangan kemampuan, ketrampilan, potensi dan bakat serta penguasaan kompetensi-kompetensi sehingga individu, kelompok atau organisasi dapat bertahan dan mampu mengatasi tantangan perubahan yang terjadi secara cepat dan tak terduga. Capacity building dapat pula dimaknai sebagai proses kreatif dalam membangun kapasitas yang belum nampak.
Pengertian mengenai
karakteristik dari pengembangan kapasitas menurut Milen (2004) bahwa pengembangan kapasitas tentunya merupakan proses peningkatan terus menerus (berkelanjutan) dari individu, organisasi atau institusi, tidak hanya terjadi satu kali. Ini merupakan proses internal yang hanya bisa difungsikan dan dipercepat dengan bantuan dari luar sebagai contoh penyumbang (donator). Dimensi peningkatan kapasitas menurut Fiszbein (1997), difokuskan pada: (1) kemampuan tenaga kerja (labor); (2) kemampuan teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau kelembagaan; dan (3) kemampuan capital yang diwujudkan dalam bentuk dukungan sumberdaya, sarana, dan prasarana. Eade (1998) merumuskan peningkatan kapasitas dalam tiga dimensi, yaitu: (1) individu; (2) organisasi; dan (3) jaringan kerja (network). Nampaknya pengembangan dimensi individu dan organisasi merupakan kunci utama atau titik strategis bagi perbaikan kinerja (Mentz, 1997), tetapi masuknya dimensi jaringan kerja ini sangat penting karena melalui dimensi ini individu dan organisasi dapat belajar mengembangkan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya. World Bank dalam Edralin (1997) memfokuskan peningkatan kemampuan kepada: (1) pengembangan sumberdaya manusia, khususnya melalui pelatihan, rekruitmen, pemanfaatan dan pemberhentian tenaga kerja profesional, manajerial
7
dan teknis; (2) organisasi, yaitu pengaturan struktur, proses, sumberdaya, dan gaya manajemen; (3) jaringan kerja interaksi organisasi, yaitu koordinasi kegiatan-kegiatan organisasi, fungsi jaringan kerja, dan interaksi formal dan informal; (4) lingkungan organisasi, yaitu aturan dan perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menghambat tugas-tugas pembangunan, dan dukungan keuangan dan anggaran; dan (5) lingkungan kegiatan yang luas, yaitu mencakup faktor politik, ekonomi, dan kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap kinerja. United
Nations Development Pragramme (UNDP) memfokuskan pada tiga dimensi yaitu: (1) tenaga kerja (dimensi sumberdaya manusia), yaitu kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan; (2) modal (dimensi phisik) yaitu menyangkut peralatan, bahanbahan yang diperlukan, dan gedung; dan (3) teknologi yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan, pembuatan keputusan, pengendalian dan evaluasi, serta sistim informasi manajemen.
United Nations memusatkan
perhatiannya kepada: (1) mandat atau struktur legal; (2) struktur kelembagaan; (3) pendekatan manajerial; (4) kemampuan organisasional dan teknis; (5) kemampuan fiskal lokal; dan (6) kegiatan-kegiatan program (Edralin, 1997). Pengembangan sumberdaya manusia misalnya, dapat dilihat sebagai suatu strategi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dan memelihara nilai-nilai moral dan etos kerja. Pengembangan kelembagaan merupakan strategi penting agar suatu lembaga pemerintahan mampu: (1) menyusun rencana strategis ditujukan agar organisasi memiliki visi yang jelas; (2) memformulasikan kebijakan dengan memperhatikan nilai efisiensi, efektivitas, transparansi, responsivitas, keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan; (3) mendesain organisasi untuk menjamin efisiensi dan efektivitas, tingkat desentralisasi dan otonomi yang lebih tepat, dan (4) melaksanakan tugas-tugas manajerial agar lebih efisien, efektif, fleksibel, adaptif, dan lebih berkembang. Pengembangan jaringan kerja merupakan strategi untuk meningkatkan kemampuan bekerja sama atau kolaborasi dengan pihakpihak luar dengan prinsip saling menguntungkan (Pratama et al., 2014). Bila dicermati berbagai pendapat diatas maka capacity building sebenarnya berkenaan dengan strategi menata input dan proses dalam mencapai output dan
outcome, dan menata feedback untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada tahap 8
berikutnya. Strategi menata input berkenaan dengan kemampuan lembaga menyediakan berbagai jenis dan jumlah serta kualitas sumberdaya manusia dan non manusia agar siap untuk digunakan bila diperlukan. Strategi menata proses berkaitan
dengan
kemampuan
lembaga
merancang,
memproses
dan
mengembangkan kebijakan, organisasi dan manajemen. Dan strategi menata
feedback
berkenaan
dengan
kemampuan
melakukan
perbaikan
secara
berkesinambungan dengan mempelajari hasil yang dicapai, kelemahan-kelemahan input dan proses, dan mencoba melakukan tindakan perbaikan secara nyata setelah melakukan berbagai penyesuaian dengan lingkungan. Strategi-strategi tersebut harus dinilai secara cermat tingkat kelayakannya pada bidang-bidang strategis yang menjadi prioritas utama kegiatan pemerintahan pada saat sekarang (Pratama et al., 2014). 2.2.
Hasil Penelitian Terkait Hasil
penelitian
Anantanyu
(2009)
mengungkapkan
bahwa
tingkat
dukungan penyuluhan pertanian memberikan pengaruh terhadap peningkatan kapasitas petani, peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok tani, serta mendorong kapasitas kelembagaan kelompok tani.
Peningkatan
dukungan penyuluhan pertanian dilakukan melalui proses-proses penyadaran, pemberdayaan, pengorganisasian, pemantapan, dan penguatan terhadap petani dan kelembagaan kelompok tani. Peran penyuluh tersebut memerlukan dukungan kompetensi yang memadai dan pendekatan penyuluhan yang partisipatif. Peningkatan kapasitas petani dapat dilakukan melalui proses pembelajaran non formal, terutama melalui interaksi petani dengan lingkungan sosialnya dan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok tani. Hasil
penelitian
pengembangan
Fatchiya
kapasitas
(2010)
pembudidaya
dikemukakan ikan
didasarkan
bahwa
strategi
pada
potensi
sumberdaya, karakteristik sosial ekonomi pelaku usaha, dan iklim usaha yang meliputi kelembagaaan keuangan, input produksi, informasi, dan pemasaran. Keikutsertaan pembudidaya ikan dalam kegiatan penyuluhan dan dukungan kinerja penyuluhan dalam proses pembelajaran dan menjalin jejaring terbukti meningkatkan
kapasitas
pembudidaya
ikan
dan
keberlanjutan
usaha. 9
Pengembangan sistem informasi melalui teknologi komunikasi dan informasi di desa-desa sentra produksi, yang memudahkan diakses oleh pembudidaya ikan.
10
III.
METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran Kapasitas adalah kemampuan untuk melaksanakan tujuan (Goodman et al, 1998 dalam LaFond and Brown, 2003). Hal ini juga telah digambarkan sebagai "saham sumberdaya" yang tersedia bagi suatu organisasi atau sistem serta sebagai tindakan yang mengubah sumberdaya menjadi kinerja (Moore, Brown, dan Honan, 2001 dalam LaFond and Brown, 2003). Peningkatan kapasitas (atau pengembangan kapasitas) adalah proses yang meningkatkan kemampuan seseorang, kelompok, organisasi, atau sistem untuk memenuhi tujuan atau untuk melakukan kinerja yang lebih baik. Kinerja adalah hasil atau keseluruhan hasil yang mewakili produktivitas dan kompetensi terkait untuk tujuan, atau standar tujuan yang dibentuk. Peningkatan
kapasitas
mencerminkan
dua
cara
dalam
melakukan
perubahan yang diharapkan sebagai hasil dari intervensi. Pendekatan tradisional untuk
peningkatan
kapasitas
terkonsentrasi
pada
fungsi
dan
sistem
organisasi internal (struktur, strategi, staf, dan keterampilan). Morgan (1997
dalam LaFond and Brown, 2003), mengemukakan perlunya mempertimbangkan aspek "makro" peningkatan kapasitas yang berhubungan dengan perilaku dan pelaksanaan organisasi kelompok atau individu dan perannya dalam sistem yang lebih luas (seperti peran dalam sistem kesehatan sektor publik, kementerian pertanian, kementerian kesehatan, atau kesehatan unit tingkat kabupaten dalam memperbaiki kesehatan pedesaan). Secara umum, ada lebih banyak pengalaman bekerja dan mengukur kapasitas di tingkat mikro dari pada tingkat makro. Kerangka pemikiran kebijakan akselerasi pembangunan pertanian wilayah tertinggal melalui peningkatan kapasitas petani ditunjukkan pada Gambar 1 .
11
DAMPAK: perubahan kesejahteraan petani
TUJUAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
INSTITUSI REGIONAL
HASIL: perubahan kinerja, stabilitas dan adaptabilitas kelembagaan
KINERJA
ADAPTABILITAS
STABILITAS
Tingkat perubahan: Respons inti peningkatan kapasitas
LUARAN: produk yang dihasilkan atau layanan yang disediakan
MASUKAN
STRUKTUR INSTITUSIONAL
KEPEMIMPINAN
• Proses efisien • Definisi yang jelas tentang peran dan tanggung jawab • Mekanisme penilaian berbasis kelayakan • Mekanisme koordinasi
• Visi dirumuskan secara jelas • Standar komunikasi • Alat manajemen • Mekanisme penyuluhan
PENGETAHUAN
• Mekanisme
penelitian yang terkait penawaran dan permintaan • Strategi pening‐ katan daya ingat dan fungsi otak • Mekanisme berbagi pengetahuan & alat
AKUNTABILITAS
• Standar sistem audit dan praktek • Mekanisme perencanaan partisipatif • Mekanisme umpan baik pemangku kepentingan
Ketersediaan Sumberdaya (manusia, finansial dan fisik) serta Kompetensi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kebijakan Akselerasi Pembangunan Pertanian Wilayah Tertinggal melalui Peningkatan Kapasitas Petani (Didaptasi dari Measuring Capacity Development UNDP, 2010)
12
United Nations Development Programme (UNDP, 2008) membedakan tiga tingkatan kapasitas, yakni: (1) Lingkungan yang mendukung adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sistem yang lebih luas di mana individu dan organisasi berfungsi dan satu dengan yang lain saling memfasilitasi atau menghambat keberadaan dan kinerjanya. Tingkat kapasitas ini tidak mudah untuk dipahami secara konkrit, tetapi merupakan pusat pemahaman masalah kapasitas. Lingkungan yang mendukung menentukan 'aturan main' untuk interaksi antara dan di antara organisasi. Kapasitas pada tingkat lingkungan yang kondusif termasuk kebijakan, legislasi, hubungan kekuasaan dan norma-norma sosial, semua yang mengatur mandat, prioritas, model operasi/prosedur dan keterlibatan masyarakat di seluruh bagian yang berbeda dari masyarakat; (2) Tingkat kapasitas organisasi yang terdiri dari kebijakan internal, pengaturan, prosedur dan kerangka kerja yang memungkinkan organisasi untuk mengoperasikan dan memenuhi mandatnya, dan yang memungkinkan bekerja sama dengan kapasitas individu untuk mencapai tujuan. Jika sumberdaya ini tersedia dengan baik, kemampuan organisasi untuk melakukan pencapaian tujuan akan lebih besar dibandingkan bila bagian-bagian yang ada tidak terorganisir dengan baik; (3) Tingkat individu, di mana kapasitasnya mengacu pada keterampilan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Setiap orang diberkahi dengan ragam kapasitas yang memungkinkan individu untuk melakukan aktivitasnya, baik di rumah, di tempat kerja atau di masyarakat pada umumnya. Beberapa kapasitas tersebut di antaranya diperoleh melalui pendidikan formal, pelatihan dan melalui proses pembelajaran (learning by doing) dari pengalaman orang lain.
Sistem
pendekatan tingkatan kapasitas sebagaimana yang telah dikemukakan di atas dicantumkan
pada
Gambar
2.
13
Mengaktifkan lingkungan (kebijakan, legislasi, hubungan kekuasaan, norma-norma sosial)
Tingkat organisasi (kebijakan internal, pengaturan, prosedur, kerangka kerja)
Tingkat individu (pengalaman, pengetahuan, keterampilan teknis)
Gambar 2. Sistem Pendekatan Tingkatan Kapasitas (Sumber: UNDP, 2008)
14
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Menggunakan pendekatan berbasis hasil untuk mengukur peningkatan kapasitas petani, dengan melihat tiga tingkat pengukuran: 1. Dampak: perubahan kesejahteraan petani 2. Hasil: perubahan dalam kinerja kelembagaan, stabilitas dan kemampuan beradaptasi 3. Keluaran: pada
produk yang dihasilkan atau layanan yang tersedia berdasarkan
isu-isu
inti
pengembangan/peningkatan
kapasitas
(kelembagaan
pengaturan, kepemimpinan, pengetahuan, dan akuntabilitas). Setiap tingkat terkait erat ke tingkat yang berikutnya sehingga terlihat kemajuan terhadap tujuan pembangunan pertanian yang didorong antara lain oleh perubahan dalam lembaga-lembaga regional, kinerja, stabilitas dan kemampuan beradaptasi.
Semakin
kuat
suatu
lembaga,
maka
kemampuan
untuk
melaksanakan mandat akan lebih baik 3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1. Dasar Pertimbangan Pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: 1. Provinsi/kabupaten terpilih dikategorikan sebagai wilayah tertinggal dan dapat ditelusuri alur keterkaitan antara masukan, keluaran, hasil, dan dampak sehingga dapat diukur peningkatan kapasitas petani. 2. Kebijakan pembangunan pertanian regional dapat ditelusuri dengan baik. 3.3.2. Lokasi dan Responden Lokasi kajian mencakup wilayah Jawa dan Luar Jawa. Beberapa Provinsi dipilih secara purposif yang dinilai representatif untuk dilakukan kajian kebijakan akselerasi pembangunan pertanian wilayah tertinggal melalui peningkatan kapasitas petani.
15
3.4.
Data dan Metode Analisis
3.4.1. Jenis dan Sumber Data Data dikumpulkan berdasarkan karakteristik data, yakni data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data utama yang digunakan untuk
menjawab tujuan kajian, sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap. Data primer dikumpulkan langsung dari responden, yakni seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan pembangunan pertanian wilayah tertinggal. 3.4.2. Metode Analisis Semua lembaga, formal maupun informal, di sektor publik, masyarakat sipil dan sektor swasta, memiliki tujuan untuk melakukan fungsi dan menghasilkan produk dan layanan yang memungkinkan dilaksanakan pembangunan. Dengan demikian, digunakan aset sumberdaya yang ada (manusia , keuangan, dan fisik) serta kompetensi untuk mengkonversi masukan (input) untuk keluaran (output) seperti kebijakan, peraturan dan mekanisme kepatutan/kelayakan, dan produk pengetahuan; yang pada gilirannya berkontribusi terhadap pencapaian hasil seperti peningkatan pelayanan; sehingga memberikan
kontribusi terhadap
dampak atau pencapaian tujuan pembangunan pertanian seperti peningkatan kesejahteraan petani dan peningkatan kinerja. Alur dari masukan - kegiatan - keluaran - hasil - dampak, dikenal sebagai hasil rantai yang sederhana, dan sistematis dengan menggunakan pendekatan sebab-akibat untuk mengelola dan mengukur hasil pembangunan secara nyata. Pengukuran hasil pengembangan atau peningkatan kapasitas juga sama, membutuhkan pendekatan yang sistematis dengan fokus pada hasil nyata. Pengelolaan hasil pembangunan yang dilakukan terlebih dahulu dan hasil pembangunan yang berbasis manajemen, diterapkan oleh banyak pemerintah dan badan-badan internasional untuk menyederhanakan perencanaan dan memastikan tetap fokus pada pencapaian dampak dan hasil, daripada produk yang dihasilkan atau jumlah masukan. Pada Tabel 1 dan Tabel 2 dirinci pengukuran perubahan
16
kinerja, stabilitas, dan adaptabilitas institusi serta keterkaitan antara isu inti dengan respon peningkatan kapasitas. Tabel 1. Pengukuran Perubahan Kinerja, Stabilitas, dan Adaptabilitas Institusi No. 1.
Faktor-faktor yang Diukur Kinerja
2.
Stabilitas
3.
Adaptabilitas
Komponen Keefektifan Efisiensi Kelembagaan Memperkecil risiko (risk mitigation) Investasi untuk inovasi Perbaikan yang berkelanjutan
Tabel 2. Keterkaitan antara Isu Inti dengan Respon Peningkatan Kapasitas Isu Inti Pengaturan kelembagaan Kepemimpinan Pengetahuan Akuntabilitas
Respon Peningkatan Kapasitas Reformasi kelembagaan dan mekanisme pemberian insentif Pengembangan/peningkatan kepemimpinan Pelatihan dan proses pembelajaran Mekanisme interaksi (metode partisipatif, akses informasi)
17
IV. ANALISIS RISIKO PENELITIAN Kegiatan pelaksanaan penelitian ini diperkirakan akan mengalami hambatan yang menjadi risiko. Pada Tabel 3 ditampilkan beberapa risiko yang diduga dihadapi dalam penelitian ini dan beberapa cara penanganan risikonya. Upaya penanganan terhadap risiko ini diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan melakukan komunikasi yang intensif dengan pihak-pihak terkait. Tabel 3. Daftar Risiko yang mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan No. 1.
Jenis Risiko Kegiatan penelitian tidak optimal
Penyebab
Dampak
- Anggaran belum - Jadwal survai - Ketersediaan anggaran lapang menjadi pada waktu tersedia pada mundur waktu merencanakan ke direncanakan ke lapangan lapangan - Peneliti yang merangkap di beberapa kegiatan penelitian
- Peneliti terbagi waktu dan konsentrasinya sehingga kurang fokus dengan kegiatan penelitian ini
- Kelebihan beban - Target pengolahan kerja di bagian entry data dan data tidak pengolahan sesuai jadwal sehingga data mempengaruhi penyelesaian laporan penelitian
V. 5.1.
Penanganan
- Pendistribusian tenaga peneliti dengan baik, sehingga tidak terjadi kelebihan beban pada beberapa peneliti saja.
- Merekrut tenaga pengolah data
TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN
Susunan Tim Pelaksana Susunan tim penelitian menurut golongan dan kepangkatan, jabatan
fungsional dan bidang keahlian adalah sebagai berikut (Tabel 3): 18
Tabel 3. Susunan Tim Penelitian No
Nama
Golongan/ Pangkat
Jabatan Fungsional
Kedudukan dalam tim
Peneliti Muda Peneliti Madya
Ketua Tim
1.
Dr. Kurnia Suci Indraningsih
IV/a
2.
Ir. Wahyuning K. Sejati, MS
IV/b
3. 4. 5.
PM PM PM
5.2.
Anggota Anggota Anggota Anggota
Jadwal Pelaksanaan Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan berdasarkan tahun kalender dari
Januari sampai dengan Desember tahun 2015 dengan rincian jadwal sebagai berikut (Tabel 4): Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Jenis Kegiatan Pembuatan proposal Seminar proposal Perbaikan proposal Studi literatur Penyusunan kuesioner Pra survai dan pretest kuesioner Survai utama Pengolahan dan analisis data Penulisan laporan kemajuan Penulisan draft laporan akhir Seminar hasil penelitian Perbaikan laporan akhir Penggandaan laporan akhir
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
DAFTAR PUSTAKA
Anantanyu, S. 2009. Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah). Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Biro Perencanaan. 2013. Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian 20132045 Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan. Jakarta. 19
Eade, D. 1998. Capacity Building: An Approach to People-Centreted Development. Oxford UK: Oxfam, GB. Edralin, J.S. 1997. The New Local Governance and Capacity Building: A Strategic Approach. Regional Development Studies, Vol. 3. Fatchiya, A. 2010. Pola Pengembangan Kapasitas Pembudidaya Ikan di Provinsi Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fiszbein, A. 1997. The Emergence of Local Capacity: Lesson from Columbia. World Development 25 (7): 1029 – 1043. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Badan Pusat Statistik. 2010. Sistem Informasi Statistik Pembangunan Daerah Tertinggal. http://kpdt.bps.go.id/ (15 Maret 2014). LaFond, A. and L. Brown. 2003. A Guide to Monitoring and Evaluation of Capacity- Building Interventions in the Health Sector in Developing Countries Measure Evaluation Manual Series, No. 7 Measure Evaluation Project USAID. University of North Carolina. Chapel Hill. Mentz, J.C.N. 1997. Personal and Institutional Factors in Capacity Building and Institutional Development. Working Paper No. 14. Maastrict: ECDPM. Milen, A. 2004. Pegangan Dasar Pengembangan Kapasitas. Pondok Pustaka Jogja. Yogyakarta. Pratama, A., M. Mustam, dan T. Djumiarti. 2014. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Dalam Koordinasi Pelayanan Perizinan Di BPPT Kota Semarang. Journal of Public Policy and Management Review 3 (1): 1-11. http:// ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/view/4373 (14 April 2014). Rahadian. 2003. Reinjenering Penyuluhan. Malang, 6 Oktober 2003. Jakarta.
Draf III Bahan Bahasan di STTP
United Nations Development Programme. 2008. Capacity Development Practice Note. http://www.undp-alm.org/sites/default/files/downloads/pn_capacity_ development1.pdf (16 Mei 2014) United Nations Development Programme. 2010. Capacity Development: Measuring Capacity. http://www.undp.org/content/dam/aplaws/publication/ en/publications/capacity-development/undp-paper-on-measuring-capacity/ UNDP_Measuring_Capacity_July_2010.pdf (12 Mei 2014). United Nations United Nations Development Programme
20