KAJIAN EKOFISIOLOGI TANAMAN SEMUSIM PENYUSUN AGROFORESTRI PADA BEBERAPA ZONA AGROKLIMAT DI DAS CILIWUNG HULU
ABD. HARIS BAHRUN
Ds
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Kajian Ekofisiologi Tanaman Semusim Penyusun Agroforestri pada beberapa Zona Agroklimat di DAS Ciliwung Hulu” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Abd. Haris Bahrun NIM. A156010081
ABSTRACT ABD. HARIS BAHRUN. An Eco-Physiological Study of Seasonal Crops that Form Agroforestry in Some Agroclimate Zones on the Upstream Watershed of Ciliwung. Under Supervisor of M.A. CHOZIN as a chairman, HADI SUSILO ARIFIN and DUDUNG DARUSMAN as members of the advisory committee. The study consists of three major experiments, namely: the identification and analysis of planting patterns; eco-physiological assessment of seasonal crops; and analysis of land productivity and financial analysis of the agroforestry system in some agro-climate zones.The research objectives were to analyze planting patterns and vegetations that create agroforestry as well as the characteristics of microclimate in some agro-climate zones;examine the eco-physiological characteristics of seasonal crops under different levels of shading; determine the productivity of land and make a financial analysis of agroforestry farming patterns based on the composition and constituent species of agroforestry. The study results of the first stage showed that the land cultivation of the agroforestry system in the climate zone A was quite intensive. The annual crops were cultivated 3-4 times during the planting period one year in the agroforestry system, but 2-3 times in the agro-climate zone C. The combination of agroforestry system with monoculture was more dominant in zone A (60.58%) and B (57.75%) with a simple agroforestry pattern, whereas in zone C (41%) it was with a complex agroforestry pattern. There were seven stands of perennial crops suitable for the agroforestry pattern. The resulted analysis of micro-climate and production found that four types of crops can be planted in the agroforestry system: Lycopersicon esculentum Mill, Capsicum frustescens L, Colocasia esculenta L and Zea mays L. saccharata.In the second experiment, the annual crops from the selection in the first experiment were analyzed for ecophysiological characteristics. It was found that that the most suitable plants grown with the agroforestry pattern were Lycopersicon esculentum Millin zone A; Colocasia esculenta L. in zone A and B; Capsicum frustescens L. in zone B and C; and Zea mays L. saccharata. in zone C. The characteristics that mostly determined the tolerance of the annual crops to the shade were the high interception of solar radiation, the coefficient of light and darkness as well as increased levels of chlorophyll a and b, the reduced ratio of chlorophyll a/b. Some physiological characteristics of plants were found to be related to the efficiency in the capture and use of solar radiation intensity, which include: photosynthesis rate, Photosyntetic Active Radiation(PAR), stomata conductance and CO 2 internal. The results of the third-stage experiment showed that the agroforestry systems in three agro-climate zones were technically and economically feasible based on the land productivity and financial analyses. In the agro-climate zone A, that is, the agroforestry system with cinnamon stands the composition and the best annual crops were carrot and tomato. In zone B with albazia stands, the best crops were taro and chili pepper. Zone C consisted of mindi timber stands and sweet corn. Key words: agroforestry, agroclimate zones, characteristics, watershed
micro-climate, physiological
RINGKASAN ABD. HARIS BAHRUN. Kajian Ekofisiologi Tanaman Semusim Penyusun Agroforestri pada beberapa Zona Agroklimat di DAS Ciliwung Hulu. Dibimbing olehM.A. CHOZIN (Ketua Komisi), HADI SUSILO ARIFIN, dan DUDUNG DARUSMAN (Anggota Komisi Pembimbing). Lahan kering merupakan salah satu lahan yang potensial untuk pengembangan komoditi pertanian, diperkirakan sekitar 124 juta hektar di daratan Indoensia. Umumnya dijumpai di bagian hulu dan tengah daerah aliran sungai (DAS) dengan lereng yang curam, tanahnya kurang subur dan dangkal. Agroforestri merupakan sistem dan teknologi penggunaan lahan yang mengkombinasikan produksi tanaman pangan dan tegakan pohon pada unit lahan yang sama. Agroforestri adalah pola usahatani produktif yang tidak saja mengetengahkan kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi. Sistem ini diharapkan dapat mengintegrasikan teknologi budidaya pertanian dan kehutanan. Sehingga diperoleh sistem pengelolaan lahan di DAS yang optimal, mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, memperkecil degradasi lahan dan meningkatkan fungsi hidrologis lahan. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai zona agroklimat dan kombinasi tanaman dalam sistem agroforestri, merupakan suatu hal yang mutlak diperhatikan. Penelitian terdiri dari 3 bagian utama, yaitu (1)inventarisasi dan analisis pola tanam sistem agroforestri di beberapa zona agroklimat (2) Kajian ekofisologi tanaman semusim sistem agroforestri pada beberapa zona agroklimat (3) analisis produktivitas lahan dan analisis finansial sistem agroforestri diberbagai zona agroklimat. Penelitian bertujuan untuk menganalisis kondisi eksisting pola tanam sistem agroforestri pada setiap zona agroklimat dan menganalisis karakteristik iklim mikro terhadap respon tanaman dan pola tanam usahatani agroforestri; menganalisis respon morfo-fisiologi tanaman berdasarkan perbedaan zona agroklimat dan menganalisis kesesuaian tanaman terhadap naungan pada pola tanam agroforestri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan lahan pada sistem agroforestri di zona iklim A dan zona B, dilakukan dengan cukup intensif. Tanaman semusim diusahakan pada satu tahun periode tanam sebanyak 3-4 kali, sedangkan pada zona agroklimat C diusahakan 2-3 kali setahun periode tanam. Karakteristik iklim mikro di bawah tegakan tanaman, mempengaruhi pola tanam agroforestri di setiap zona agroklimat. Kombinasi agroforestri sistem monokultur lebih dominan dilakukan di zona A (60.58%) dan zona B (57.75%), dengan pola agroforestri sederhana, sedangkan pada zona C (41%) dengan pola agroforestri kompleks. Terdapat 7 (tujuh) tegakan tanaman tahunan yang sesuai untuk pola agroforestri yaitu Cinamomum burmanii, Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Agathis damara, Paraserianthes falcataria (L.), Toono sureni dan Melia azedarach. Tanaman semusim yang dapat dikembangkan untuk tanaman agroforestri adalah Alium fistulosum L. Brassica oleraceae L., Capsicum frustescens L, Colocasia esculenta L, Daucus carota L., Ipomea batatas (L.) Lam, Lycopersicon esculentum Mill, Phaseolusvulgaris dan Zea mays saccharata sturt. Hasil analisis iklim mikro dan produksi tanaman semusim, tanaman yang paling sesuai ditanam dengan pola agroforestri di zona A adalah Lycopersicon esculentum
Mill , Zona A dan B adalah Colocasia esculenta L, di zona B dan C adalah Capsicum frutescens L., sedangkan pada zona C adalah Zea maysL. saccharata.
Hasil penelitian pada tahap kedua menunjukkan bahwa terdapat keragaman karakter morfo-fisiologi tanaman semusim pada perbedaan tingkat naungan dan zona agroklimat. Karakter yang paling menentukan sifat toleransi tanaman semusim terhadap naungan N2 (intensitas radiasi surya 120-230 kal/cm2/hari) adalah tingginya intersepsi radiasi surya, koefisien penyirnaan serta meningkatnya kadar klorofil a dan b. Peningkatan klorofil b lebih tinggi dibanding klorofil a yang ditunjukkan dengan penurunan ratio klorofil a/b. cekaman naungan pada sistem agroforestri berdampak kepada perbedaan keragaman karakter morfo-fisiologi tanaman semusim pada berbagai tingkat naungan dan zona agroklimat. Karakter yang paling menentukan sifat toleransi tanaman semusim terhadap naungan adalah tingginya intersepsi radiasi surya, koefisien penyirnaan serta meningkatnya kadar klorofil a dan b. Peningkatan klorofil b lebih tinggi dibanding klorofil a yang ditunjukkan dengan penurunan ratio klorofil a/b. Titik kritis untuk pengembangan tanaman semusim secara agroforestri diperoleh pada naungan N2 (intensitas radiasi surya 120-230 kal/cm2/hari). Terdapat beberapa karakter fisiologi tanaman yang terkait dengan efisiensi penangkapan dan penggunaan intensitas radiasi surya yang meliputi: laju fotosisintesis, Photosyntetic Active Radiation (PAR), konduktan stomata dan CO 2 internal. Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa sistem agroforestri pada tiga zona agroklimat (A, B, C), di DAS Ciliwung hulu layak secara teknis maupun ekonomis berdasarkan indikator nilai kesetaraan lahan (NKL) dan analisis kelayakan ekonomi. Pada zona agroklimat A dengan sistem agroforestri tegakan kayu manis, komposisi dan jenis tanaman semusim yang terbaik adalah wortel + tomat, nilai NKL pada perlakuan N0 = 1.55 dan N2 = 159. Zona agroklimat B dengan sistem agroforestri tegakan kayu albizia, komposisi dan jenis tanaman semusim yang terbaik adalah tanaman talas + cabai rawit, nilai NKL pada perlakuan N0 = 1.64 dan N2 =165, Pada zona agroklimat C dengan sistem agroforestri tegakan kayu mindi, komposisi dan jenis tanaman semusim yang terbaik adalah talas + jagung manis, nilai NKL pada perlakuan N0 = 2.20 dan N2 = 2.27. Hasil analisis finansial pada zona A terlihat pola usahatani Kayu Manis + Wortel + Tomat adalah yang terbaik dengan NPV Rp 9.101.318, BCR = 2.89 dan IRR 49%. Pada zona B terlihat pola agroforetri Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2 skenario lainnya, yaitu NPV Rp. 10.865.887, BCR= 2.96 dan IRR= 52%. Hasil analisis kelayakan pada zona C terlihat pola usahatani Kayu Mindi + Jagung + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dengan NPV= Rp. 8.849.687, BCR 2.93 dan IRR = 57%. Kata Kunci:
analisis finansial, morfo-fisiologi, produktivitas lahan, tanaman semusim, zona agroklimat.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
KAJIAN EKOFISIOLOGI TANAMAN SEMUSIM PENYUSUN AGROFORESTRI PADA BEBERAPA ZONA AGROKLIMAT DI DAS CILIWUNG HULU
ABD. HARIS BAHRUN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Dr. Ir. Sudradjat, M.Sc. Dr. Ir. Edi Santosa, M.Si. Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Dr. Ir. Christine Wulandari, M.Sc.
Judul Disertasi
: Kajian Ekofisiologi Tanaman Semusim Penyusun Agroforestri pada Beberapa Zona Agroklimat di DAS Ciliwung Hulu
Nama
: Abd. Haris Bahrun
NIM
: A156010081
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. M. Ahmad Chozin, M.Agr. Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Hadi Susilo Arifin, M.S. Anggota
Prof. Dr. Ir. H. Dudung Darusman, M.A. Anggota
Diketahui : Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pasacasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 18
Januari 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Rabbul Alamien karena dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini menguraikan hasil penelitian tentang Kajian Ekofisiologi Tanaman Semusim Penyusun Agroforestri pada Beberapa Zona Agroklimat di DAS Ciliwung Hulu. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. H. M.A. Chozin, M.Agr. (Ketua komisi pembimbing), Prof. Dr. Ir. H. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Prof. Dr. Ir. H. Dudung Darusman, M.A, (Anggota komisi pembimbing). Selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan motivasi mulai dari perencanaan dan pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi ini. 2. Pimpinan beserta staf Institut Pertanian Bogor yang telah berkenan menerima penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor. 3. Pimpinan beserta staf Universitas Hasanuddin yang telah mengizinkan dan merekomendasikan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor. 4. Departemen Pendidikan Nasional (Dirjen DIKTI), yang telah memberikan bantuan beasiswa selama mengikuti pendidikan Program Doktor di IPB. 5. Proyek kerjasama Core University Program
IPB - Tokyo University
(Research Unit of Biological Resources Development/ RUBRD-JSPS DGHE) Periode 2003-2008, Judul: Landscape Ecological Studies on Sustainable Bioresources Management in Rural Indonesia dan Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP-Hibah Penelitian Tim Pasca) DP2M, DIKTI Angkatan IV periode 2006-2008 Depdiknas, Judul: Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa Kota Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (BOPUNJUR). Penelitian ini merupakan bagian dari payung penelitian di bawah koordinasi Prof Dr. Hadi Susilo Arifin, M.S.
6. Hibah Penelitian Program Doktor dari Dirjen DIKTI, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan dan Beasiswa Toyota Astra yang telah membantu membiayai penelitian ini. 7. Pimpinan beserta staf Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) Litbang-Deptan, staf Laboratorium Ekofisiologi IPB, staf Jurusan Agroklimat IPB, aparat pemerintahan dan kelompok tani di kawasan DAS Ciliwung, BPDAS Ciliwung-Cisadane, yang telah membantu memfasilitasi peralatan, data-data agroklimat
serta lahan
penelitian. 8. Seluruh keluarga, terkhusus kapada kedua orang tua, mertua, adik, istri dan anak-anak yang tercinta, yang telah memberikan bantuan dan motivasi untuk penyelesaian studi. 9. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dan rekan yang tergabung dalam forum Mahasiswa Pascasarjana se Indonesia (Forum Wacana Indonesia) serta semua
pihak yang telah membantu
selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Semoga bimbingan dan bantuan yang telah diberikan mendapat nilai ibadah yang diterima oleh Allah SWT, dan disertasi ini
dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pertanian. Amin. Bogor,
Januari 2012
Abd. Haris Bahrun
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Gowa-Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Agustus 1967 sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara dari ayah H. Bahrun Sibali (Alm) dan ibu Hj. Saribina (Alm). Penulis menikah dengan Andi Akmawati Burhanuddin dan telah dikaruniai empat orang anak: A. Mutiah Amalia, A. Yustika Afifah, A.H. Zalzabila (alm) dan A. Anugerah A.Amanagappa. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian dan kehutanan Universitas Hasanuddin Kota Makassar, lulus pada tahun 1993. Tahun 1996 melanjutkan studi Magister pada Program Studi Agronomi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), selesai Januari 1999. Sejak tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan Program Doktor pada Departemen Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB dengan Beasiswa Bantuan Pendidikan Program Doktor (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis menjadi asisten dosen di Universitas Hasanuddin tahun 1990-1993 dengan Tunjangan Ikatan Dinas (TID). Mulai tahun 1994 sampai sekarang menjadi dosen tetap pada Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin - Makassar. Sebagian isi dari disertasi ini telah dipresentasikan dan dipublikasikan pada 1.
International Seminar of Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production. 28-29 February 2008 in Tokyo, Japan, and FAO Forest Meeting, 21-26 April 2008 in Hanoi, Vietnam.
2.
National Seminar and General Meeting “Agroforestry Education Strategy for Global Climate Change”, 3-5 March 2008, in Sebelas Maret Univ. Surakarta.
3.
Jurnal Agrivigor, Volume 7, nomor 1 Desember 2007 (Jurnal Akreditasi Nasional) Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar.
4.
The 13th National Seminar of Persada: “Science, Technology and Art Based for National Development Toward Autonomous Nation”, 9 August 2007 in Fak. Kedokteran Hewan IPB Bogor.
5.
International Seminar of Agroforestry and Workshop, Second General Meeting of INAFE, 7-8 February 2006, 6-7 February 2006 in Gadjah Mada Univ., Yogyakarta.
6.
International Seminar : “Toward Harmonization between Development and Enviromental Conservation in Biological Production” Cilegon-Banten 3-5 December 2004.
7.
International
Seminar
:
“Toward
Rural
and
Urban
Sustainable
Communities: Restructuring Human – Nature Interaction”, Bandung 6 – 7 Januari 2004.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……........................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR …….....................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN …….................................................................
xx
PENDAHULUAN Latar Belakang …….................................................................... Perumusan Masalah ……............................................................. Tujuan Penelitian ……................................................................. Hipotesis ……............................................................................. Manfaat Penelitian ……...............................................................
1 5 7 8 8
TINJAUAN PUSTAKA Kendala dan Potensi Pemanfataan Lahan Kering pada Produksi Pertanian ……...................................................................... Peningkatan Produksi Pertanian melalui Sistem Agroforestri …….... Pola Pengembangan Lahan Pertanian di Daerah Aliran Sungai ……. Zona Agroklimat dan Adaptasi Tanaman pada Sistem Agroforestri ……………………………………………......... Adaptasi Tanaman Terhadap Cahaya Rendah …….........................
10 12 15 19 24
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS POLA TANAM SISTEM AGROFORESTRI DIBEBERAPA ZONA AGROKLIMAT Abstrak ……............................................................................... Latar Belakang ……....................................................................
26 26
Bahan dan Metode ………………………………………………….. Tempat dan Waktu ……............................................................... Metode Percobaan ………………………………………………....... Peubah yang Diamati ……...........................................................
26 28 28 29
Hasil dan Pembahasan ……………………………………………… Analisis Biofisik dan Pola Tanam Agroforetri ……......................... Sistem Agroforestri di beberapa Zona Agroklimat ……...................
31 31 43
Simpulan …………………………………………………………….
50
KAJIAN EKOFISIOLOGI TANAMAN SEMUSIM PADA SISTEM AGROFORESTRI DI BERBAGAI ZONA AGROKLIMAT Abstrak ……............................................................................... Latar Belakang ……....................................................................
51 51
Bahan dan Metode ………………………………………………….. Tempat dan Waktu ……............................................................... Metode Percobaan ……................................................................ Peubah yang Diamati ……..........................................................
53 53 53 54
Halaman Hasil dan Pembahasan ………………………………………………
56
Karateristik Iklim Mikro pada Berbagai Zona Agroklimat ……….... Kondisi umu tanaman pada berbagai tingklat naungan di beberapa zona agroklimat …………………………….…………………......... Respon Morfo-fisiologi Tanaman terhadap naungan di Berbagai Zona Agroklimat …………………………………………………...... Analisis Kesesuaian Tanaman untuk Sistim Agroforestri di Berbagai Zona Agroklimat ……………………..................................................
56
Simpulan ……………………………………………………………..
75
60 63 73
ANALISIS PRODUKTIVITAS LAHAN DAN ANALISIS FINANSIAL SISTEM AGROFORESTRI DI BERBAGAI ZONA AGROKLIMAT Abstrak ………………………………………………………………. Latar Belakang ………………………………………………………
76 76
Bahan dan Metode ……………………………………………………
76
Tempat dan Waktu ………………………………………………….. Metode Percobaan ………………………………………………....... Peubah yang Diamati ……...........................................................
81 81 82
Hasil dan Pembahasan ……………………………………………….
83
Analisis Ratio Kesetaraan Lahan ………………………………....... Analisis Finansial Usahatani Sistem Agroforetri ……………………
83 87
Simpulan . ……………..……………………………………………..
93
PEMBAHASAN UMUM ……....................................................................
94
SIMPULAN DAN SARAN …….................................................................
101
DAFTAR PUSTAKA ……..........................................................................
102
DAFTAR TABEL Halaman
1
Deskripsi nilai rata-rata unsur iklim pada perbedaan zona agroklimat.. 32
2 Peruntukan lahan dan luas DAS Ciliwung Tahun 2007…………………
33
3
Penggunaan lahan dan luas peruntukan DAS Ciliwung Hulu 2007……………………………………………………………………
35
4
Perbandingan pola tanam pada system agroforestry pada setiap zona agroklimat ………………………………………………………………
40
5
Jenis tanaman tahunan, pola tanam dan tanaman yang toleran terhadap naungan pada berbagai zona agroklimat …………………………….
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Hasil relatif (% terhadap kontrol) beberapa tanaman semusim dengan sistem agroforetri pada perlakuan naungan N2 (50%) di zona agroklimat A, B dan C ………………………………............................ Rata rata kondisi iklim mikro di bawah tegakan tanaman kehutanan pada berbagai zona agroklimat ……………………………………… Respon fisiologi beberapa tanaman semusim di zona agroklimat A pada perlakuan naungan N0,N1 dan N2……………………………………. Respon fisiologi beberapa tanaman semusim di zona agroklimat B pada perlakuan naungan N0,N1 dan N2 ……………………………….. Respon fisiologi beberapa tanaman semusim di zona agroklimat C pada perlakuan naungan N0,N1 dan N2……………………………………… Produksi tanaman semusim pada berbagai tingkat naungan dan zona agroklimat…………………………………………………………….. Produksi tanaman wortel dan tomat dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforetri di zona agroklimat A………….. Produksi tanaman talas dan cabe rawit dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforetri di zona agroklimat B …………… Produksi tanaman talas dan jagung dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforetri di zona agroklimat C……………..
41
42
57
61
66
69
73
84
84
86
15
Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat A………
16
Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat B……….
17
Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat C………
88 89 90
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Alur pikir penelitian ……………………………………………...........
9
2 Peta kemiringan lereng Ciliwung hulu 2007…………………………..
32
3 Peta Penggunaan lahan Ciliwung hulu 2007…………………………..
34
4 Peta Zona Agroklimat DAS Ciliwung dan lokasi pengambilan sampel penelitian …………………………………………………………….
36
5 Jumlah curah hujan di DAS Ciliwung pada tiga zona agroklimat …….
37
6 Jumlah hari hujan di DAS Ciliwung pada tiga zona agroklimat……….
37
7 Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat A …………
44
8 Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat B …………
44
Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat C ………….
44
9
10 Rata-rata kelembaban udara (%) pada berbagai zona agroklimat (Zona A, B dan C).…………………………………………………….
46
PENDAHULUAN
Latar Belakang Lahan kering merupakan salah satu lahan yang potensial
untuk
pengembangan komoditi pertanian. Hal ini didasari oleh luasnya mencapai 88,6 % dari total lahan di Indonesia dan belum dimanfaatkan secara optimal namun memiliki prospek yang sangat besar untuk penyediaan pangan bagi masyarakat. Ketersediaan lahan tersebut ditunjang oleh keanekaragaman tanaman yang dapat tumbuh dengan fungsi sebagai pengganti makanan pokok beras ataupun sebagai komplementer dan subtitusi makanan. Pemanfatan lahan secara optimal dan berkelanjutan merupakan salah satu tujuan dari pembangunan pertanian. Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan. Lahan yang yang sesuai untuk budidaya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar sampai bergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha sedang pada lahan dengan lereng15−30%, lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha.
Sebagian besar lahan kering
tersebar pada dataran rendah yakni
hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl (39,35%) (Hidayat dan Mulyani, 2002; Adimihardja et al. 2005; Notohadiprawiro 200; Minardi 2009). Pengembangan komoditi pangan dapat juga dilakukan pada lahan kehutanan dengan syarat-syarat teknis dan kebijakan yang berlaku. Luas hutan di Indonesia mencapai 180 juta hektar, namun sebagian besar hutan tersebut telah mengalami deforestasi (kerusakan hutan) dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH (hak penguasaan hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer (BPS Kehutanan 2010). 1
Lahan pertanian yang dapat ditanami hanya sekitar 60 juta ha atau 30 % dari total luas lahan. Lebih dari 87 % dari total lahan pertanian atau lebih dari 52 Juta ha yang dapat ditanami adalah lahan kering, sedangkan 13 % sisanya berupa lahan sawah. Jumlah sebesar 52 juta ha tersebut meliputi areal kebun/ladang, tanaman perkebunan, semak belukar dan pepohonan serta lahan lahan yang belum dimanfaatkan atau lahan bero. Terdapat beberapa kendala yang kurang mendukung pada pengembangan sistem usahatani di lahan kering diantaranya adalah (1) kendala dari segi fisik dan kesuburan tanah yang sangat minim serta terbatasnya ketersediaan air sepanjang tahun (2) topografi yang tajam dengan penutupan vegetasi yang rawan, sehingga laju infiltrasi dan erosi tanah cukup tinggi; (3) hujan yang tidak tersebar secara merata, dan kemampuan tanah yang rendah untuk menyimpan air, (4) masih terbatasnya dukungan paket
teknologi, laju perbaikan dan penyaluran paket
teknologi pada proses produksi berlangsung lambat; (5) terbatasnya prasarana, jangkauan pelayanan dan kemudahan serta ketersediaan agroinput dan pemasaran hasil sangat terbatas; (6) lokasi pengembangan yang tersebar, terpencil dengan skala pengembangan yang ada umumnya tidak mencapai minimum skala ekonomi, sehingga mempersulit pelayanan bimbingan dan penyuluhan; (7) benih yang digunakan pada umumnya masih benih lokal dengan ciri umum berumur panjang dengan produktivitas rendah (Las et al. 1997; Sitorus 2001; Kusmana 1988; Arsyad 2000). Menurunnya laju produksi pertanian (pangan dan buah-buahan) pada tahun terakhir ini, yang bersamaan dengan krisis ekonomi nasional dan regional, menyebabkan pendapatan petani semakin rendah. banyak kalangan untuk
Hal ini juga menyadarkan
mereformasi arah pembanguan
pertanian dengan
meletakkan sektor pertanian sebagai andalan penggerak pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan hal tersebut perlu dipertajam ruang lingkupnya dengan memasukkan pemanfaatan sumberdaya lahan kering sebagai sumber produksi pangan andalan,
melalui upaya yang terencana untuk
pertumbuhan sistem usaha pertanian intensif berkelanjutan.
2
Salah satu sistem usahatani yang mampu memperkecil kendala pengembangan pertanian dilahan kering adalah dengan sistem agroforestri. Agroforestri
merupakan
sistem
dan
teknologi
penggunaan
lahan
yang
mengkombinasikan produksi tanaman dan kehutanan pada unit lahan yang sama. Agroforestri adalah pola usahatani produktif yang tidak saja mengetengahkan kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi (Chozin 1995, Kusmarini 2002, Arifin 2002 dan, Wijayanto 2002 dan Nair 1993). Sistem agroforestri dapat menumbuhkan tanaman pada kondisi sub-optimum, menggantikan spesies/ varietas yang toleran terhadap naungan seperti talas-talasan (Chozin 2006). Penerapan sistem agroforestri sebenarnya telah banyak diterapkan di beberapa lokasi lahan kering yang berkemiringan curam, sekaligus sebagai komplemen teknologi konservasi lahan. Sistem ini mampu memberikan pendapatan yang cukup tinggi bagi masyarakat dan berkesinambungan karena memiliki resiliensi yang tinggi (Darusman 2002). Kendala dalam pemanfaatan lahan di bawah tegakan (agroforestri) adalah rendahnya intensitas radiasi surya, yang berakibat pada proses pertumbuhan dan produksi.
Naungan dapat
mengurangi jumlah anakan, bobot kering tajuk, indeks luas daun dan hasil padi gogo (Marler 1994; Murty dan Dey 1992; Ahmed 1990; Chozin 2006 dan Haris et al. 1999). Pengembangan sistem usahatani pada daerah aliran sungai (DAS) diarahkan kepada pengelolaan lahan yang mempunyai efek ganda terhadap keberlanjutan lingkungan. Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (lanskap) yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Berdasarkan penggunaan lahan di DAS secara garis besar dikelompokkan menjadi : hutan, tegalan, perkebunan sawah, permukiman dan penggunaan lain. Penetapan penggunaan lahan pada umumnya didasarkan pada karakteriktik lahan dan daya dukung lingkungan yang ada.
Sistem
agroforestri merupakan salah satu sistem pertanaman yang mampu menjaga kelestarian lingkungan. Sistem ini baik dikembangakan karena mempunyai manfaat dari segi pelestarian, keanekaragaman jenis (biodiversity), unsur hara (biogeokimia), fisik tanah, serta peningkatan tingkat pendapatan masyarakat.
3
Pencapaian sistem ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan faktor lingkungan fisik, sosial-ekonomi dan teknologi secara terpadu. (Chozin 1995, Arifin et al. 2009, Darusman 2002 dan Widaningsih 1991). Di beberapa daerah pada bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah banyak diusahakan usahatani dengan kombinasi beberapa tanaman tahunan, sedangkan pada daerah dengan kemiringan rendah umumnya diusahakan tanaman pangan dan palawija atau tanaman makanan ternak. Pengelolaan lahan kering, khususnya di sekitar DAS dengan sistem agroforestri sangat diperlukan sebagai sumberdaya pembangunan yang memiliki potensi strategis antara lain : (1) lahan kering merupakan luasan terbesar dari wilayah budidaya, (2) lahan kering dapat memasok sebagai besar komoditas andalan (3) lahan kering mempunyai keanekaragaman komoditas untuk pengembangan agroindustri (Widaningsih 1991; Suhara 1991 dan Badrun 1998) Agar pembangunan pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan, maka usahatani yang dilaksanakan harus memperhatikan daya dukung lahan dan kesesuaian lahan untuk komoditas yang diusahakan, supaya lahan tidak cepat terdegradasi. Untuk itu perlu pengelolaan tanah dan usahatani yang bersifat spesifik sesuai zona agroklimat untuk pertumbuhan tanaman. Teknologi sistem usahatani konservasi di DAS yang dapat mengendalikan erosi tanah pada lahan kering, khususnya di bagian hulu. Terdapat 4 (empat) komponen dalam teknologi sistem usahatani konservasi yaitu (1) teknologi pengawetan tanah dan air, (2) pola tanaman tahunan yang mendukung kegiatan konservasi tanah dan air, (3) pola tanam semusim yang dikombinasikan dengan tanaman tahunan. (Sinukaban 2003; Sitorus 2001; Fagi et al. 1988). Pola tanam dengan sistem agroforestri yang selama ini dilakukan oleh masyarakat belum didasarkan pada pertimbangan keberlanjutan suatu usahatani, tetapi hanya sebagai usaha sampingan yang belum dikelola secara optimal. Beragamnya jenis tanaman yang diusahakan petani, serta belum adanya pola pertanaman agroforestri yang optimal, khususnya di DAS, maka diperlukan adanya model pengembangan agroforestri yang mempunyai produktivitas tinggi dan berkelanjutan berdasarkan zona agroklimat. Faktor paling dominan untuk menentukan zona agroklimat adalah iklim yang banyak ditentukan oleh ketinggian
4
tempat di atas permukaan laut (elevasi)
dan curah hujan. Hal ini sangat
diperlukan untuk mengetahui produksi optimal dari jenis dan kombinasi tanaman yang tepat. Disamping itu akan diperoleh waktu tanam tepat yang produksinya dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar, sehingga komoditas tersebut bernilai ekonomi tinggi. Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani pada sistem agroforestri, diantaranya dengan mengusahakan tanaman semusim dan tahunan dengan jenis yang berproduktivitas tinggi serta bernilai ekonomi tinggi. Saat ini masih sedikit program pemerintah, baik penelitian ataupun paket-paket teknologi dalam pemanfaatan lahan kering untuk pengembangan sistem agroforestri, karena masih terbatasnya informasi tentang pelaksanaan
sistem agroforestri yang optimal.
Berdasarkan hal tersebut
diperlukan adanya kajian pemanfaatan lahan kering, yang mencakup interaksi unsur iklim, ekofisiologis tanaman, kesesuaian agroklimat, analisis usahatani, serta
analisis keberlanjutannya.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka
penelitian tentang kajian ekofisiologi tanaman semusim penyusun agroforetsri pada beberapa zona agroklimat, diharapkan dapat memberikan solusi yang terbaik untuk pengelolaan sistem agroforestri khususnya di daerah aliran sungai yang sangat rentan terhadap degradasi lahan (Gambar 1).
Perumusan Masalah Pengelolaan lahan kering yang kurang tepat atau tidak optimal di Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menimbulkan dampak kerusakan ekosistem. Pemanfaatan DAS sangat beragam dan kompleks mulai dari hulu hingga hilir, sehingga jika pengelolaannya tidak optimal sebagai sumber daya air di produksi maka akan berdampak negatif. Salah satu dampak yang ditimbulkan adanya berkurangnya bahan organik tanah, erosi, sedimentasi dan penurunan kualitas serta kuantitas air. Sistem usahatani yang tidak memperhatikan aspek pengawetan tanah dan air merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan atau degradasi lahan. Degradasi lahan dapat berdampak terhadap menurunnya produktivitas lahan, karena itu diperlukan pengetahuan yang optimal. Pengelolaan
lahan di 5
DAS sangat terkait dengan aspek-aspek sumberdaya manusia (petani), teknologi, sumberdaya tanah dan air serta aspek soial-ekonomi yang ada di masyarakat. Penggunaan lahan umumnya didasarkan pada karakteristik lahan dan daya dukung lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan yang ada dikaji melalui proses evaluasi lahan untuk berbagai penggunaannya. Tingginya tingkat kerusakan lahan erat kaitaannya dengan desakan kebutuhan ekonomi masyarakat dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, yang tidak disertai dengan perluasan areal pertanian.
Masyarakat semakin
terdesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga melakukan usahatani di DAS untuk memperoleh produk pertanian yang berproduksi dengan cepat diantaranya tanaman semusim. Untuk mengurangi tingkat kerusakan lahan dan penebangan tanaman tahunan maka salah satu pola tanam yang telah banyak diterapkan adalah sistem agroforestri, sistem ini merupakan sistem pertanaman antara tanaman pangan (semusim) dengan tanaman tahunan (kehutanan), yang juga banyak dijumpai di DAS. Sistem agroforestri
diharapkan mampu
meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani serta penggunaan lahan yang optimal (pendapatan maksimal dengan resiko lingkungan minimal) di lahan kering. Sistem agroforestri diharapkan petani dapat mengintegrasikan teknologi budidaya pertanian dan kehutanan. Sehingga diperoleh sistem pengelolaan lahan di DAS yang optimal, dengan demikian mampu meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi masyarakat, memperkecil degradasi lahan dan meningkatkan fungsi hidrologis lahan. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai zona agroklimatnya dan kombinasi tanaman dalam sistem agroforestri, merupakan suatu hal yang mutlak diperhatikan di dalam sistem usahatani di DAS.
Penerapan ini diperlukan
pertimbangan kondisi kesesuaian lahan, waktu tanam dan ketersediaan air bagi tanaman selama masa kritis pertumbuhan dan produksi. Terdapat beberapa aspek penelitian yang dilakukan untuk menjawab berbagai masalah pada sistem usahatani di lahan kering. Diantaranya adalah aspek analisis pemanfaatan lahan kering melalui penyesuaian berbagai pola tanam dan usahatani, ini didasari karena masih minimnya pedoman sistem pola tanam yang tepat diterapkan
di lahan kering khususnya di DAS.
Hal lain yang
6
dilakukan adalah mengetahui perbedaan respon pertumbuhan tanaman terhadap perbedaan tingkat naungan/ karakteristik iklim mikro pada setiap zona agroklimat Pada aspek ini juga dianalisis vegetasi penyusun dan komposisi
sistem
agroforestri serta karakter ekofisiologinya.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bersifat sangat strategis karena menyangkut keberlanjutan sistem pengelolaan lahan kering di wilayah DAS, melalui penerapan teknik pola tanam yang bertujuan melakukan kajian ekofisiologi tanaman semusim penyusun agroforestri pada beberapa zona agroklimat di DAS Ciliwung.
Secara khusus
penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis pola tanam
dan vegetasi penyusun agroforestri serta
karakteristik iklim mikro pada beberapa zona agroklimat 2. Menganalisis respon morfo-fisiologi tanaman semusim
penyusun
agroforestri pada perbedaan tingkat naungan dan zona agroklimat. 3. Menganalisis produktifitas
lahan dan analisis finansial usahatani pola
agroforestri berdasarkan komposisi dan jenis tanaman penyusun agroforestri.
Hipotesis 1. Terdapat perbedaan pola tanam, penyusun agroforestri dan karakteristik iklim mikro pada beberapa zona agroklimat. 2. Terdapat perbedaan respon morfo-fisiologi tanaman semusim penyusun agroforestri pada beberapa tingkat naungan dan zona agroklimat. 3. Berdasarkan produktifitas lahan dan analisis finansial diperoleh sistem agroforestri yang terbaik berdasarkan komposisi dan jenis untuk setiap zona agroklimat.
7
Manfaat Penelitian
1. Sebagai pedoman atau landasan penerapan sistem agroforestri dengan komposisi dan jenis tanaman semusim dan tahunan yang terbaik pada setiap zona agroklimat. 2. Dasar pertimbangan untuk mengusahakan usahatani sistem agroforestri dengan mengetahui karakteristik iklim mikro dan karakter ekofisiologi tanaman semusim pada perbedaan tingkat naungan dan zona agroklimat. 3. Dapat menjadi model untuk perencanaan sistem usahatani agroforestri yang lebih produktif berdasarkan ratio
kesetaraan lahan dan analisis
finansial usahatani disetiap zona agroklimat.
8
Alur Penelitian Kajian Ekofisologi Tanaman Semusim Penyusun Agroforestri Pada Beberapa Zona Agroklimat
Tahap I
Tahap II
Tahap III
Kondisi Eksisting dan Iklim
Morfo-fiosologi
Produktivitas lahan dan analisis finansial
• Interpretasi peta Peta DAS Ciliwung : Peta Penutupan lahan, penggunaan lahan dan Peta iklim • Karakteristik usaha tani agroforestri • Klasifikasi jenis tanaman agroforestri (tanaman tahunan dan semusin)
• Adaptasi tanaman toleran naungan pada zona agroklimat • Respon morfologi dan fisiologi tanaman • Karakteristik fisiologi tanaman toleran naungan (Laju fotosintesis, CO2 internal, konduktan stomata, laju transpirasi dan PAR) • Kesesuaian tanaman pada sistem agroforestri pada beberapa zona agroklimat
• Pola tanam agroforestri • Analisis produktivitas Lahan • Analisis finansial usaha tani
• • • • •
Zona agroklimat Iklim mikro Agroforestri Karakteristik sistem agroforestri Seleksi tanaman toleran naungan Batas minimal tingkat naungan
• Karakterteristik/respon fisiologi dan tanaman toleran naungan • Kesesuaian tanaman dan efisiensi penggunaan radiasi surya
• Pola agroforestri masing masing zona agroklimat • Efisiensi usaha tani Agroforestri
Rekomendasi pola tanam agroforestri pada setiap zona agroklimat
Gambar 1. Diagram alur penelitian 9
TINJAUAN PUSTAKA
Kendala dan potensi pemanfataan lahan kering untuk produksi pertanian Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS), sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air.
Pengembangan
pertanian
lahan
kering
seringkali
menghadapi
berbagai kendala, seperti fisik, kimia dan biologi tanah serta ketersediaan air, yang semuanya menyebabkan produktivitasnya sangat rendah. Lahan kering dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) jenis penggunaan, meliputi usaha tani lahan kering (tegalan/kebun, padang rumput, tanah tidak diusahakan, tanah hutan rakyat dan perkebunan) dan usaha tani lainnya (pekarangan/ bangunan, tanah rawa, tambak dan kolam/empang) (BPS 2009; Adimihardja et al. 2005; Notohadiprawiro 2006 dan Minardi 2009). Beberapa pengertian lahan kering diantaranya adalah lahan yang dalam keadaan alamiah, bagian atas dan bawah tubuh tanah sepanjang tidak jenuh air atau tidak tergenang dan sepanjang tahun di bawah kapasitas lapang. Kelembaban tanah tersebut dipengaruhi oleh kondisi cuaca, fisiografis dan edafis. Diperkirakan dari hampir 200 juta hektar luas daratan di Indoensia, sekitar 124 juta hektar berupa lahan kering (Satari et al. 1991; Kartono 1998). Menurut Prasad dan Power (1997) lahan kering di Indonesia menurut sifatnya merupakan areal yang dibatasi oleh kendala-kendala sebagai berikut : topografi yang tajam dengan penutupan vegetasi yang rawan, sehingga laju infiltrasi dan erosi tanah cukup tinggi; hujan yang tidak tersebar secara merata, dan kemampuan tanah yang rendah untuk menyimpan air. Kaidah umum yang dinyatakan untuk dikembangkan adalah lahan kering antara kemiringan 0-15 %. Secara ideal lahan kering untuk budidaya tanaman pangan terbatas pada daerah dengan relatif datar hingga berombak (kemiringan < 8%). Namun di atas kemiringan 8% perlu persyaratan-persyaratan penanggulangan erosi (Kusmana 1988 dan Sitorus 2001).
10
Rendahnya kandungan bahan organik pada lahan kering merupakan salah satu kendala dalam meningkatkan produktivitasnya. Sisa dari tanaman yang tumbuh di atasnya serta kotoran hewan merupakan sumber utama bahan organik (Brady 1990). Sumberdaya lahan kering dan air secara ekonomi maupun fisik merupakan sumberdaya terbatas yang kemanfaataannya sangat ditentukan oleh kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup layak. Kondisi fisik lahan kering umumnya lahan tadah hujan berciri khas agroekologi lahan yang amat beragam karena ketersediaan, tingkat erosi, tingkat adopsi teknologi masih rendah dan ketersediaan modal sangat terbatas dan peka terhadap erosi. Penggunaan air dalam bidang pertanian sampai saat ini masih mengandalkan air yang bersumber dari curah hujan dengan sedikit dalam bentuk irigasi (Momuat dan Wahid 1997; Badrun 1998). Lahan kering umumnya dijumpai di bagian hulu dan tengah daerah aliran sungai dengan lereng yang curam, tanahnya kurang subur dan dangkal, sehingga menjadi kendala dalam pengembangan potensinya untuk usaha pertanian. Lahan kering yang secara topografis umumnya terdapat di DAS sangat mempengaruhi daur hidrologi dan fungsi DAS. Keanekaragaman topografi menjadikan keragaman pada jenis tanah, kesuburan iklim mikro dan vegetasi dalam wilayah yang sempit. (Partorahardjo et al. 1997; Arsyad 2000; Adimihardja et al. 2005 ). Ciri penting dari pengelolaan sistem pertanian lahan kering di daerah beriklim kering adalah pembukaan lahan umumnya dilakukan dengan cara tebas bakar.
Pembersihan lahan dilakukan dengan cara pembabatan dan
pembakaran serasah atau sisa-sisa tanaman; kondisi permukaan tanah relatif terbuka sepanjang tahun; terbatasnya penggunaan pupuk dan bahan organik serta bibit unggul; dan belum diterapkannya teknik konservasi (Solahuddin dan Ladamay 1997) Bentuk-bentuk konservasi sesuai dengan kondisi
lahan yang
diusahakan, untuk daerah lahan kering miring masalah erosi adalah faktor utama yang menyebabkan lahan menjadi marjinal dan produktivitasnya menjadi turun, maka usaha konservasi yang dilakukan adalah mengurangi laju
11
erosi yang terjadi dengan cara memperpendek panjang lereng dan tingkat kemiringan lereng (Sitorus 2001). Pengelolaan
lahan
kering
bertujuan
untuk
memantapkan
dan
melestarikan produktivitas serta mempertahankan keanekaragaman alami masyarakat biotik dalam batas-batas daya dukung lingkungan, pengawetan tanah dan air. Pengembangan pertanian di lahan kering berpotensi untuk swasembada pangan. Potensi tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lahan kering yang tersebar cukup luas di Indonesia (Sinukaban 1994).
Sistem Agroforestri dan Optimalisasi Penggunaan Lahan Agroforestri diartikan secara luas terhadap suatu sistem usaha tani yang mengintegrasikan secara spatial atau temporal tanaman pohon-pohonan di dalam produksi tanaman rendah atau ikan, pada sebidang tanah yang sama. Agroforestri
merupakan
bentuk
penggunaan
lahan
yang
dapat
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik
secara bersama-sama atau secara bergilir dengan menggunakan
manajemen praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat. (King dan Chandler 1978; Wijayanto 2002; Widaningsih 1991; Arsyad 2000 ; Arifin 2005). Sistem usahatani agroforestri secara garis besarnya dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu : (1). Sistem agroforestri sederhana, merupakan perpaduan satu jenis tanaman tahunan dan satu atau beberapa jenis tanaman semusim. Jenis pohon yang ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa, karet, cengkeh, jati dan lain lain; atau bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro, kaliandra. Tanaman semusim biasanya padi, jagung, palawija, sayur-mayur dan rerumputan; atau jenis tanaman lain seperti pisang, kopi, coklat. Contoh: budidaya pagar (alley cropping) lamtoro dengan padi atau jagung, pohon kelapa ditanam pada pematang mengelilingi sawah dan lain-lain. (2). Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat oleh penduduk setempat, dengan pola tanam dan
12
ekosistem menyerupai dengan yang dijumpai di hutan. Sistem ini mencakup sejumlah besar komponen pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik primer maupun sekunder. Sistim agroforestri kompleks ini dibedakan atas (a) pekarangan berbasis pepohonan dan (b) agroforest kompleks. Pekarangan, biasanya terletak di sekitar tempat tinggal dan luasnya hanya sekitar 0.1 – 0.3 ha; dengan demikian sistem ini lebih mudah dibedakan dengan hutan. Contoh: kebun talun dan sebagainya. Agroforest kompleks, merupakan hutan masif yang merupakan mosaic(gabungan) dari beberapa kebun berukuran 1-2 ha milik perorangan atau berkelompok, letaknya jauh dari tempat tinggal bahkan terletak pada perbatasan desa, dan biasanya tidak dikelola secara intensif (Hairiah et al. 2003; Sardjono et al. 2003). Agroforestri mempunyai banyak bentuk, bila ditinjau dari segi ruang dan waktu. Ditinjau dari segi ruang agroforestri mencakup dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal, peran agroforestri terutama berhubungan
erat
dengan
pengaruhnya
terhadap
ketersediaan
hara,
penggunaan dan penyelamatan (capture) sumber daya alam. Bila ditinjau dari segi waktu, dua komponen agroforestri yang berbeda dapat ditanam bersamaan atau bergiliran. Pola Kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian sistem agroforestri harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah terutama dari segi pemilihan jenis dan pergiliran tanaman pertanian. Agar tanah tidak terkuras unsur hara maka perlu dibuat pergiliran tanaman pertanian yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan. Setelah beberapa kali penanaman dan panen tanaman pertanian perlu digantikan dengan tanaman kacang-kacangan yang termasuk dalam jenis leguminosae. Jenis ini dapat bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen untuk menyuburkan tanah kembali. (Ong dalam Suprayogo et al. (2003) Pengembangan agroforestri merupakan salah satu jawaban dalam memahami masalah degradasi lahan dan penurunan produktivitas. Menurut Cruz dan Vergera (1987) penerapan agroforestri dapat bermanfaat : aspek perlindungan yaitu menekan erosi, tanah longsor, run off dan kehilangan hara;
13
aspek rehabilitasi yaitu status hara, bahan organik, pH tanah; dan periode jangka panjang yaitu meningkatkan produktivitas tanaman,sosial ekonomi, gizi dan kesehatan. Sistem agroforestri mencakup bentuk-bentuk agroforestri atau cara pemanfaatan lahan seperti yang umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia seperti kebun talun, pekarangan dan kebun campuran. Teknologi agroforestri merupakan pelaksanaan agroforestri yang memanfaatkan teknik perbaikan atau inovasi baru yang biasanya dari hasil penelitian seperti tumpangsari, sistem tiga strata dan sebagainya (Nair 1989). Pada lahan kering
atau lahan marginal sistem agroforestri akan
berhadapan dengan banyak kendala, baik dari segi fisik, teknis, budaya maupun ekonomi masyarakat yang terlibat. Hambatan dari segi fisik antara lain kesuburan lahan, kemiringan lereng lapangan, ketinggian tempat, iklim dan ketersediaan air. Kendala dari segi sosial ekonomi adalah kebutuhan yang mendesak, kurangnya jiwa wiraswasta, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan yang rendah (Hadipoernomo 1983 dan Kusmana 1988). Menentukan jenis tanaman yang akan ditanam pada sebidang lahan, maka haruslah diketahui sifat-sifat jenis tanaman dalam hubungannya dengan faktor-faktor iklim, tanah dan kecepatan tumbuhnya. (Arsyad 2000 dan Sitorus 2001).
Menurut Nair (1984) sifat tanaman yang digunakan dalam pola
agroforestri harus memenuhi persyaratan sebagai berikiut : 1) Tanaman sampingan/semusim yang digunakan harus tidak lebih tinggi dari tanaman pokok (kehutanan) serta dalam pengambilan zat hara pada tempat yang sama di dalam horizon tanah. 2) Tanaman sampingan yang digunakan tahan terhadap hama dan penyakit dibandingkan dengan tanaman pokok. 3) Dalam penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman sampingan tidak merusak tanaman pokok. 4) Tanaman sampingan yang diusahakan mempunyai nilai ekonomis yang baik. 5) Tidak menimbulkan erosi serta merusak struktur tanah setelah tanaman sampingan di panen.
14
Menurut Kusmana (1988) sistem agroforestri akan memberikan optimalisasi dalam penggunaan lahan dan penerapan sistem ini di lahan yang berproduktivitas rendah seperti lahan kering akan memberikan manfaat sebagai berikut : 1) Pada sistem agrofoerstri dapat tanaman yang heterogen dan tidak seumur yang terdiri dari atas dua strata atau lebih. Bentuk pola tanam seperti ini, tajuk tegakan dapat menutup tanah, sehingga tanah terhindar dari erosi dan produktivitas tanah dapat dipertahankan serta pemanfaatan energi surya oleh tanaman dapat maksimal. 2) Sistem agroforestri merupakan usahatani terpadu kawasan hutan yang dapat memenuhi kebutuhan majemuk seperti hijauan makanan ternak, kayu dan lingkungan sehat, sehingga sistem ini dapat meningkatkan produktivitas lahan. Bowo (1989) menyatakan bahwa agroforestri merupakan teknologi tepat guna untuk mengusahakan usahatani di lahan kering, khususnya dalam rangka diversifikasi dan optimalisasi penggunaan lahan. Hasil dari sistem ini telah memberikan banyak manfaat baik untuk pelestarian sumberdaya alam dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Pengusahaan
lahan
dengan
sistem
agroforestri
mengarahkan
penggunaan dan produktivitas yang lebih tinggi yaitu memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal, lestari dan sosial-ekonomi serta ekologis. Walaupun
sistem agroforestri memiliki manfaat yang besar dalam usaha
perbaikan lahan kritis dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan, namun tidak mudah untuk diterapkan di dalam masyarakat. Keterbatasan utama adalah penempatan pohon dalam usahatani menyebabkan persaingan tempat dengan tanaman pertanian (Kusmana 1988 dan Kartasubrata 1992) Pola pengembangan lahan pertanian di Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai (sub DAS) dan keluar melalui satu titik (outlet). DAS merupakan suatu ekosistem
15
yang terdiri dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di daerah tersebut. Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem biofisik, sedangkan komponen manusia dengan perilakunya membentuk sub sistem sosial, kedua subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS (Syarief 1997, Arsyad 2000, dan Sinukaban 2003). Terdapat tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS yaitu lahan, air dan pengelolaan (manipulasi). Lahan meliputi semua komponen dari suatu unit geografis dan atmosfer tertentu seperti tanah, air, batuan, vegetasi, kehidupan mahluk hidup serta perkembangannya. Pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai pengelolaan dari lahan untuk produk air dengan kuantitas optimum, pengaturan produk air dan stabilitas tanah yang maksimum (Arsyad 2000) Tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan pembangunan dalam suatu DAS seharusnya sama, yaitu
untuk memberikan kontribusi pada :
pembangunan ekonomi nasional, pembangunan daerah atau wilayah dan usaha memperbaiki meningkatkan kualitas lingkungan (Sinukaban 2003). Hasil akhir yang menjadi titik sentral perhatian dalam pengelolaan DAS adalah kondisi tata air dari wilayah DAS. Hal ini dapat diukur dari kondisi tata air tersebut yakni tersedianya air yang cukup sepanjang waktu, baik kuantitas maupun kualitas. Untuk menciptakan tata air tersebut unsur yang paling menonjol adalah air yang diperoleh dari air hujan maupun dari sumber-sumber air yang terjadi karena interaksi antara vegetasi permanen yang terdapat dalam kawasan tersebut, terutama pohon-pohon yang rimbun (Sukmana, Syam dan Adimihardja 1990, Pretty and Shah 1989, Wambeke 1992 dan Reijntjes, Havercort and Bayer 1992). Pola pengembangan lahan pertanian di DAS sangat tergantung kepada tujuan yang akan dicapai.
Besar kecilnya potensi penggunaan lahan
tergantung pada dua hal, yaitu kemiringan lereng dan tinggi tempat yang erat kaitannya dengan zona agroklimat. Makin terjal sebidang lahan, makin sedikit penggunaannya, sebaliknya permukaan dengan kemiringan tertentu yang mendekati datar penggunaannya akan semakin intensif, namun biasanya letaknya jauh dari jangkauan air. Menurut Sinukaban (2003) memperlakukan
16
DAS sebagai suatu sistem dan pengembangannya bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan, maka sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi 2. Mampu menjamin kelestarian DAS,
yaitu mampu menjamin
produktivitas yang tinggi erosi/sedimen yang rendah dan fungsi DAS sebagai penyimpan air dapat memberikan “water yield” yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun. 3. Mampu menjaga adanya pemerataan pendapatan petani (equity) 4. Mampu mempertahankan kelenturan DAS terhadap goncangan yang terjadi (resilient) Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam di suatu
DAS secara rasional untuk mencapai tujuan
produksi yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan
upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga
distribusi aliran sungai dapat berjalan sepanjang tahun, satuan pengembangan sosial-ekonomi dan satuan pengaturan tata ruang wilayah. Pengelolaan DAS juga ditujukan untuk produksi dan perlindungan sumberdaya air termasuk di dalamnya pengendalian erosi dan banjir (Sinukaban 1997). Menurut Sitorus (2001) pengelolaan dan penggunaan lahan akan dipengaruhi oleh tipe usahatani
yang dijalankan
dan jenis kelas tanah.
Lahan-lahan klas I (kemiringan 0% – 5 %), II (kemiringan 5% – 15 %), klas III (kemiringan 15 % - 25 %) dan klas IV (kemiringan 25% – 35 %) sesuai untuk usahatani dengan memberikan perlakuan tertentu apabila diperlukan persyaratan agro-tehnis. Sedangkan lahan di atas kemiringan 35 % - 65 %, umumnya diperuntukkan untuk padang rumput, tanaman tahunan
atau
dijadikan sebagai cagar alam atau hutan lindung. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan daerah aliran sungai adalah faktor iklim terutama hujan. Intensitas, jumlah dan penyebaran hujan akan menentukan kecepatan dan volume aliran permukaan. Jumlah curah hujan rata-rata yang tinggi dalam satu periode
kemungkinan tidak akan
menyebabkan aliran permukaan jika intensitasnya rendah. Demikian pula jika
17
hujan intensitasnya tinggi, tetapi dalam waktu
atau periode singkat,
kemungkinan tidak akan menyebabkan banjir atau erosi tanah (Haryati, Abdurrahman dan Setiani 1993 dan Arsyad 2000). Berbagai sistem pola tanam dapat diterapkan di DAS. Pola tanam diartikan sebagai sistem pertanaman yang diusahakan di atas sebidang lahan yang meliputi cara tanam, jenis tanaman serta jadwal tanam. Sistem pertanaman tersebut diselenggarakan dalam periode waktu tertentu, baik semusim maupun sepanjang tahun. Secara garis besar pola tanam dibagi menjadi : pola tanam tunggal (monocropping) dan pola tanam ganda (multiple cropping). Pada pola tanam ganda dibagi lagi menjadi pola tanam campuran dan tumpang sari, dimana kedua pola tanam ini terdapat lagi berbagai jenisjenis pola tanam tergantung dari tujuan usahatani dan kondisi lahan setempat (Sukmana et al. 1990, dan Haryati et al. 1993). Perkembangan penduduk yang cukup pesat pada wilayah DAS akan berakibat kepada intensitas penggunaan lahan yang semakin tinggi dan kecenderungan meluasnya lahan untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan. Dengan demikian, pola penggunaan lahan akan cenderung lebih memperhatikan faktor peningkatan produksi pertanian dan kurang perhatian kepada faktor konservasi lahan. Apabila kondisi ini tidak segera ditangani, maka kegiatan yang dilakukan penduduk di wilayah DAS dalam mencari nafkah tersebut dapat merusak sumberdaya air dan tanah. Pemanfaatan lahan yang kurang bijaksana oleh masyarakat yang bermukim pada wilayah DAS akan menimbulkan berbagai gangguan ekosistem antara lain terganggunya tata air DAS yang mengakibatkan banjir dan erosi.
Kondisi ini akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan, penurunan produktivitas dan produksi usahatani, serta kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Untuk mencegah terjadinya gangguan tersebut di atas, maka perlu dilakukan pengelolaan DAS dengan melibatkan masyarakat yang bermukim pada DAS yang
bersangkutan.
Pengelolaan
DAS
dimaksudkan
agar
terjadi
keseimbangan antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, sehingga diharapkan dapat terwujud kondisi tata air yang optimal, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun distribusinya, serta
18
terkendalinya erosi pada tingkat yang diperkenankan (Hidayat 2008, Nuryanto et al. 2003 dan Sinukaban 2003). Zona agroklimat dan pertumbuhan tanaman Secara garis besar unsur iklim dibagi menjadi dua bagian yaitu unsur iklim utama (seperti radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, angin, tekanan udara, curah hujan panjang hari), dan unsur iklim tetap seperti topografi, ketinggian tempat, slope antara arah kemiringan dengan posisi surya serta jarak dekatnya dari lautan (Baharsyah 1991). Daerah tropik dicirikan oleh keadaan iklim yang hampir seragam. Namun demikian adanya perbedaan keadaan geografik seperti perbedaan ketinggian tempat dari permukaan laut akan menimbulkan perbedaan pada keadaan cuaca dan iklim secara keseluruhan seperti curah hujan dan suhu udara, yang umumnya memiliki karakteristik sangat nyata berbeda antara dataran rendah dan dataran tinggi (Baharsyah 1991, Koesmaryono 1999 dan Barry 1976). Perbedaan zona agroklimat khususnya yang disebabkan oleh ketinggian tempat umumnya terjadi penurunan suhu udara. Penyebab utama dari penurunan suhu di dataran tinggi adalah karena menipisnya lapisan udara pada ketinggian dan rendahnya kadar gas rumah kaca sehingga penyerapan panas menjadi berkurang.
Meskipun pada dataran tinggi suhu udaranya
rendah, namun radiasi matahari bebas masuk menembus kerapatan udara yang tipis dan memanasi permukaan tanah. Variasi suhu harian di dataran tinggi lebih kecil dibandingkan dataran rendah karena sering adanya awan di daerah pegunungan,
selain juga adanya angin yang berhembus lebih kencang
sehingga panas lebih mudah menyebar di udara (Suharsono, 1982 dan Rozari 1987). Agroekosistem merupakan konsep analisis yang mengadopsi konsep sistem dengan tujuan mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keragaman sistem usahatani sehingga antara satu tempat dengan tempat yang lain terjadi perbedaan terhadap : produktivitas (productivity), stabilitas
19
produksi (stability), keberlanjutan produksi (sustainability) dan pemerataan distribusi produksi atau pendapatan (equilibilty) (Bey dan Las, 1991). Konsep agroecological zones merupakan pendekatan membagi wilayah ke dalam zona-zona fisik yang kurang lebih homogen, dan untuk evaluasi lahan konsep ini adalah syarat perlu, bukan syarat cukup untuk pengambilan keputusan penggunaan lahan. Menggunakan parameter lahan yang lebih banyak di pakai yakni : fisiografi, unsur iklim, ketinggian tempat, vegetasi dan sebaran tanah sampai tingkat sub group (Rositter, 1994). Curah hujan berperan sebagai masukan sistem dan sebagai parameter iklim yang dapat menerangkan kondisi lingkungan suatu wilayah. Disamping curah hujan parameter lain adalah suhu dan radiasi matahari yang akan menentukan laju evaporasi dan transpirasi. Variasi dan radiasi netto suatu permukaan akan ditentukan oleh sifat tutupan permukaan lahan. Klasifikasi iklim yang banyak digunakan di Indonesia, khususnya untuk penggunaan lahan pertanian adalah sistem sistem klasifikasi Oldeman. Klasifikasi ini menghubungkan dengan aktivitas pertanian
menggunakan
unsur iklim hujan. Kriteria yang digunakan dalam sistem klasifikasi iklim Oldeman didasarkan pada perhitungan bulan basah (BB), bulan lembab (BL dan bulan kering (BK) yang batasannya memperhatikan peluang curah hujan, hujan efektif dan kebutuhan air tanaman. Batasan tersebut adalah : 1. Bulan Basah (BB) : bulan dengan rata-rata curah hujan > 200 mm 2. Bulan Lembab (BL) : bulan dengan rata-rata curah hujan 100-200 mm 3. Bulan Kering (BK) : bulan dengan rata-rata curah huja < 100 mm Penentuan pola tanam dan masa tanam pada lahan kering merupakan tahapan yang penting dari beberapa tahapan yang ada dalam usaha pengaturan (perencanaan) budidaya tanaman pangan untuk meningkatkan produksi dengan memanfaatkan sumberdaya iklim secara efisien. Berdasarkan hasil penelitian Oldeman (1975) bahwa penanaman dengan tanaman palawija dapat didasarkan pada curah hujan 100 mm atau lebih, ketentuan ini didasarkan bahwa : 1. Tanaman di lahan kering sebagian besar membutuhkan air paling kurang 100 mm/bulan untuk evapotranspirasi
20
2. Selama periode pertumbuhan daerah persawahan memerlukan air 150 – 200 mm/bulan 3. Daerah alluvial yang ditanami padi mengalami kekurangan air karena perkolasi yang terjadi sekitar 30 mm/bulan. Masa tanam pada lahan kering dengan iklim yang agak kering (semi arid) harus dikaitkan dengan pemanfaatan air secara efisien dan pola perkembangan tanaman yang disesuaikan pada pola curah hujan atau kelembaban tanah yang tersedia. Iklim agak kering (semi arid) pada suatu daerah dimaksudkan adalah yang mempunyai periode basah dan kering secara bergantian. Khususnya pada periode basah terdapat tiga sub periode sebagai berikut: periode “pra humid” berlangsung pada presipitasi awal dan ditandai dengan evapotranspirasi potesnsial (PE) yang relatif kecil; (humid), berlangsung apabila presipitasi melebihi
periode basah
PE dan PE
AE
(evapotraspirasi aktual); periode pasca basah, jumlah presipitasi lebih kecil dari PE, pada akhir musim penghujan, AE menurun terus sampai sumber air di dalam tanah selama peiode basah (Sagi et al. 1988) Tanaman akan mengubah keadaan iklim mikto. Perubahan ini disebabkan oleh besarnya tanaman, jarak tanam satu dengan tanaman yang lainnya, bentuk serta besarnya percabangan. Dengan demikian terdapat proses turbulensi pergerakan udara dan pola yang tidak beraturan dalam penerimaan radiasi surya. Iklim mikro merupakan struktur renik dari ruang udara yang dimulai dari permukaan bumi hingga ketinggian yang tidak lagi mengalami akibat langsung dari permukaan yang di bawahnya, serta perbedaannya dengan iklim setempat sudah tidak terasa. Salah satu yang terpenting dari Iklim mikro adalah penyerapan energi surya pada siang hari dan kehilangan bahang (panas) pada malam hari. Pemindahan bahang dari permukaan dapat terjadi dalam bentuk radiasi, konduksi, konveksi dan adveksi (Rozari 1987 dan Squire 1990). Pengaruh tajuk terhadap radiasi yang diterima, dipantulkan, dan ditransmisikan menyebabkan suhu dalam komunitas tanaman siang hari menjadi lebih rendah dan malam hari menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan pada lapisan terbuka. Pengaruh vegetasi itu sendiri
21
dipengaruhi oleh kerapatan, tinggi, bentuk, warna, susunan dan jumlah daun, serta tajuk tanaman. Peranan radiasi surya bagi pertumbuhan tanaman dapat dibagi dalam dua cara yaitu efek kuantitatif dan efek kualitatif. Secara kuantitafif total radiasi diperlukan
untuk aktivitas
semaksimal mungkin, sedangkan
fotosintesis agar diperoleh
assimilat
secara kualitatif berperan terhadap
fotomorfogenesis. Respon tanaman terhadap tanaman yang ternaungi, seperti pada usahatani sistem agroforestri akan tergantung pada jenis tanamannya, karena ada tanaman yang senang radiasi langsung dan jenis tanaman yang senang pada keadaan ternaungi (Kreating dan Carberry 1993). Smith (1982) mengelompokkan tanaman menjadi tiga golongan yaitu tanaman suka cahaya (sun plant); tanaman suka naungan (shade plant); dan tanaman naungan yang fakultatif (toleran terhadap naungan). Hale dan Orcutt (1987) menyatakan bahwa adaptasi tanaman terhadap naungan melalui 2 (dua) cara yaitu : (a) meningkatkan luas daun sebagai upaya mengurangi metabolit dan (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Pada golongan rumput-rumputan naungan dapat menyebabkan perubahan (partisi) bahan kering untuk mempertahankan atau meningkatkan luas daun dan panjang batang (Allard et al. 1991 dan Kephart et al. 1982). Radiasi surya merupakan unsur iklim yang sangat berperan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, baik secara langsung melalui pemasokan energi untuk proses fotosintesis maupun secara tidak langsung melalui unsur iklim lainnya. Radiasi surya berpengaruh terhadap klorofil, jumlah dan komposisi kloroplas, struktur daun dan gerak membuka dan menutupnya stomata serta
dapat mengontrol laju transpirasi, sehingga berpengaruh
terhadap serapan air dan hara Pada proses fotosintesis, klorofil daun menyerap
energi
radiasi
pada
kisaran
panjang
gelombang
PAR
(Photosynthetic Active Radiation) yaitu 0.38 – 0.68 µm. Tanaman dalam proses fotosintesis tidak dapat memanfaatkan semua pancaran radiasi matahari yang sampai pada permukaan bumi, tetapi hanya radiasi yang terletak pada batas panjang gelombang 400 - 700 nm. Bagian radiasi inilah
22
yang disebut radiasi nampak (visible radiation) atau cahaya yang juga dikenal dengan istilah Radiasi Aktif Fotosintesis (PAR = photosynthetically active radiation). Pembentukan karbohidrat dalam proses fotosintesis terjadi dalam khloroplas yang umumnya terdapat dalam organ daun, dan berlangsung melalui dua rangkaian peristiwa yang umum dikenal dengan reaksi cahaya dan reaksi gelap. Energi cahaya yang diabsorbsi oleh sistem pigmen terutama khlorofil pada reaksi cahaya mengakibatkan eksitasi electron (e-) yaitu elektron terangkat dari kedudukan dasar ke kedudukan eksitasi I atau II pada sistem pigmen tersebut Pada keadaan ini, pigmen berada dalam keadaan reduksi. Eklektron yang tereksitasi tidak kuat terikat pada atom atau molekul pigmen yang merupakan fungsi dari daya tarik inti. Sebagai konsekuensinya, elektron ini akan mudah ditransfer ke molekul lain di sekitarnya yang terdapat pada keadaan oksidatif. (Sitompul dan Guritno 1995 dan Salisbury and Ros 1995). Laju fotosintesis daun akan meningkat dengan bertambahnya intensitas PAR karena peningkatan reaksi kimia. Konduksi stomata terhadap CO 2 sangat besar pengaruhnya terhadap laju fotosintesis maksimum yang dicapai pada kondisi cahaya tinggi. Sedangkan pada intensitas cahaya rendah hampir tidak ada penyerapan CO 2 karena laju penyerapan CO 2 melalui fotosintesis lebih rendah daripada laju evolusi CO 2 dari respirasi mitokondria. Respons fotosintesis terhadap cahaya sangat bervariasi menurut species tanaman dan antara daun pada satu tanaman (Koesmaryono 1999). Suhu merupakan faktor iklim yang mempunyai peranan utama dalam proses pertumbuhan tanaman, dari segi fisiologis, pertumbuhan vegetatif maupun generatif hingga pemasakan biji. Suhu udara berpengaruh juga pada proses fotosintesis, respirasi, permeabilitas dinding sel, absorbsi air dan hara, transpirasi, aktivitas enzim dan koagulasi protein (Bey dan Las 1991). Sistem budidaya tanaman erat kaitannya dengan berbagai unsur dari ekosistem seperti agroklimat, tanah, vegetasi, teknologi dan sosial-ekonomi. Sasaran budidaya adalah produksi maksimal, optimum secara ekonomis dan ekologis lestari.
Terdapat tiga macam pengaruh antara tanaman , yakni
pengaruh interspesifik (antara jenis yang berbeda), pengaruh intraspesifik
23
(antara jenis yang sama) dan pengaruh inter spesifik (antara bagian yang berbeda dari jenis yang sama) (Baharsyah 1991 dan Koesmaryono 1999).
Iklim mikro dan adaptasi tanaman terhadap cahaya rendah Tanaman yang diusahakan dengan sistem agroforestri akan mengalami kekurangan cahaya untuk proses pertumbuhan dan perkembangan, karena itu diperlukan adanya cahaya yang optimal. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh naungan atau stes cahaya telah dilakukan pada berbagai komoditi antara lain padi gogo (Chozin et al. 2000), talas (Djukri 2003), iles-iles (Sumarwoto 2004) dan kedelai (Sopandie et al. 2006). Pengaruh cahaya rendah pada tanaman padi gogo, secara umum ambang batas sekitar 50% atau setara dengan naungan buatan berupa paranet 50% (Chozin et al. 2000; Sopandie et al. 2003). Laju pertumbuhan tanaman dalam kondisi ternaungi pada dasarnya tergantung kepada kemampuan tanaman beradaptasi terhadap naungan sercara agronomi. Pada kondisi ternaungi genotype/varietas pada gogo yang toleran umumnya mempertahankan pertumbuhan dengan hasil dan komponen hasil yang lebih tinggi terhadap yang peka ( Sasmita et al. 2006; Lautt 2003, dan Sulistyiono 1999, Chozin 2006). Pemanfatan lahan di bawah tegakan tanaman diharapkan dapat mencukupi kebutuhan pangan nasional. Hal ini didasari karena berbagai program paket teknologi dilakukan pemerintah yang bertujuan untuk untuk meningkatkan produktivitas pertanian misalnya program intensifikasi lahan pada lahan sawah, menunjukkan hasilnya tidak terlalu signifikan lagi terhadap peningkatan produksi. Hal ini diduga peningkatan produktivitas telah mencapai titik jenuh (levelling off) dan produktivitas yang terjadi justru cenderung menurun. Penurunan produksi juga disebabkan oleh rusaknya sifat fisik dan kimia tanah akibat pemakaian sarana produksi berlebihan yang berlangsung cukup lama.
Penelitian tentang eksplorasi potensi genetik
beberapa jenis tanaman pangan dan hortikultura masih belum optimal. Hal ini masih terjadi adanya kesenjangan hasil petani dan potensi hasil yang diharapkan. Laju produksi beberapa bahan pangan dan hortikultura strategis di Indonesia cenderung tidak terjadi peningkatan. Peningkatan produksi
24
yang tidak sejalan dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang masih cukup tinggi menyebabkan meningkatnya impor beberapa bahan pangan dan hortikultura. Tanaman memiliki mekanisme toleransi terhadap cahaya rendah agar dapat tumbuh dan berkembang. Mekanisme tersebut dapat melalui penghindaran dengan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya. Pada tanaman yang toleran cahaya rendah dapat menurunkan titik kompensasi cahaya dan laju respirasi. Kemampuan tanaman mengatasi untuk mengatasi cekaman cahaya rendah umumnya tergantung pada kemampuannya melanjutkan fotosintesis. Kemampuan tersebut dapat melalui peningkatan luas daun sebagai cara mengurangi penggunaan metabolit serta mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan (Hale dan Orchut 1987). Pada sistem agroforestri, cahaya yang sampai pada strata tanaman di bawahnya sangat terbatas, sehingga keserasian antara source (sumber) sink (rosot) dapat terganggu. Pertumbuhan dari organ penyimpan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor ini secara langsung dapat mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini sebagai akibat menutupnya stomata, meningkatnya resistensi mesofil, memperkecil fotosintesis dan terganggunya proses metabolisme (Salisburi dan Ross 1995; Murty et al. 1992; Chaturvedi et al. 1994; Chozin et al. 2000).
25
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS POLA TANAM SISTEM AGROFORESTRI DI BEBERAPA ZONA AGROKLIMAT The identification and analysis of planting patterns in some agroclimate zones Abstract The study results of the first stage showed that the land cultivation of the agroforestry system in the climate zone A was quite intensive. The annual crops were cultivated 3-4 times during the planting period one year in the agroforestry system, but 2-3 times in the agro-climate zone C. The combination of agroforestry system with monoculture was more dominant in zone A (60.58%) and B (57.75%) with a simple agroforestry pattern, whereas in zone C (41%) it was with a complex agroforestry pattern. There were seven stands of perennial crops suitable for the agroforestry pattern : Cinamomum burmanii, Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Agathis damara, Paraserianthes falcataria (L.), Toono sureni and Melia azedarach. and nine annual crops that can be developed to create agroforestry: Alium fistulosum L. Brassica oleraceae L., Capsicum frustescens L, Colocasia esculenta L, Daucus carota L., Ipomea batatas (L.) Lam, Lycopersicon esculentum Mill, Phaseolus vulgaris dan Zea mays saccharata sturt. The resulted analysis of micro-climate and production found that four types of crops can be planted in the agroforestry system: Lycopersicon esculentum Mill, Capsicum frustescens L, Colocasia esculenta L and Zea mays L. saccharata. Key words: agroforestry, agroclimate zones, micro climate, planting patterns, watershed Latar belakang
Lahan kering merupakan lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Lahan ini memiliki kondisi agro ekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan kondisi lahan yang labil atau peka terhadap erosi, terutama bila pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Pengelolaan lahan kering di daerah aliran sungai (DAS), umumnya dilakukan dengan secara intensif dan berkesinambungan sepanjang tahun. Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian pola/bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. (Manuwoto 1991; Notohadiprawiro 2006; Minardi S 2009).
26
Pada sistem agroforestri, cekaman naungan menjadi hal penting diperhatikan, karena tanaman pada strata rendah akan mendapat intensitas cahaya di bawah optimal. Apabila faktor faktor lingkungan bisa dikendalikan dengan baik, maka sistem agroforestri mampu menjaga kelestarian lingkungan dan mempunyai manfaat dari segi keanekaragaman jenis, pemanfataan unsurhara yang optimal, keseimbangan fisik tanah, serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Agar pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan, maka sistem agroforestri yang dilaksanakan harus memperhatikan daya dukung lahan dan kesesuaian lahan serta pemilihan komoditas tanaman yang diusahakan, supaya lahan tidak cepat terdegradasi (Chozin 2006; Darusman 2002; Arifin 2002; Wijayanto 2002). Beberapa tahun terakhir ini terjadi penurunan produksi bahan pangan, karena
semakin
sempitnya
luas
lahan pertanian
akibat
alihfungsi
meningkatnya degradasi lahan. Salah satu alternatif pilihan yang diharapkan dapat meningkatkan potensi produksi tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah pendayagunaan lahan kering. Selain tersedia lahan yang cukup luas juga belum diusahakan secara optimal sehingga memungkinkan peluang dalam pengembangannya.
Penggunaan pola tanam yang tepat pada lahan
kering, khususnya di wilayah DAS, sangat penting untuk menjaga kelestarian dan mengurangi dampak negatif dari sistem usaha tani. Penelitian ini bertujuan : 1. Menganalisis kondisi eksisting pola tanam sistem agroforestri pada setiap zona agroklimat. 2. Menganalisis karakter iklim mikro, kesesuaian jenis dan komposisi tanaman semusim pada sistem agroforestri pada setiap zona agroklimat.
27
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan mulai Januari 2004 – Desember 2005, pada tiga zona agroklimat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung-Bogor Hulu, Jawa Barat, secara geografis terletak 6o 05’- 6o 50’ LS dan 106040’ - 107 000’ BT. Bahan yang digunakan meliputi peta vegetasi, peta kemiringan lereng, peta penggunaan lahan dan peta iklim skala 1:50.000 serta perangkat lunak windows 2007 dan arcView versi 3.4, Global Positioning System (GPS), Alat yang digunakan adalah ADC LCA-4 (IRGA, Infra Red Gas Analysis) model ADC Bio Scientific Ltd, tube solarimeter dan recorder, clinometer shunto, termometer maksimum dan minimun, termometer tanah, termometer bola basah-bola kering dan kuesioner.
Metode Penelitian dan Pelaksanan Percobaan Percobaan dibagi menjadi 2 (dua) tahapan yaitu identifikasi dan analisis pola agroforestri pada setiap zona agroklimat dan analasis karakter iklim mikro, kesesuaian jenis dan komposisi tanaman semusim
pada sistem agroforestri
disetiap zona agroklimat. Pada tahap pertama, penentuan zona agroklimat di DAS Ciliwung Hulu berdasarkan Sutrisno et al. 2003 dan Hutapea 2005. Penentuan zona iklim berdasarkan analisis data iklim yang meliputi keragaman jenis tanah, curah hujan, suhu, kelembaban dan ketinggian tempat. Berdasarkan kriteria tersebut lokasi penelitian dibagi menjadi tiga zona agroklimat yaitu: Zona A: zona tropis lembab dataran tinggi, dengan ketinggian > 900 m dpl. Zona B: zona peralihan, dengan ketinggian 700-900 m dpl. Zona C: zona tropis lembab dataran rendah, dengan ketinggian di bawah 700 m dpl. Penentuan tapak/sampel lokasi sistem agroforestri
pada setiap zona
agroklimat dilakukan berdasarkan hasil survei lokasi dan tumpang tindih (overlay) dan verifikasi lapangan dengan Global Positioning System (GPS) dan clinometer shunto, sehingga diperoleh satuan lahan homogen pengamatan. Berdasarkan hasil identifikasi survei pendahuluan dan pembagian zona agroklimat, maka dipilih lokasi sampel pola tanam sistem agroforestri yaitu: zona agroklimat A, meliputi Desa Tugu Utara, Desa Batu Layang dan
Desa Citeko; zona agroklimat B, 28
meliputi Desa Kuta, Desa Sukagalih dan Desa Cilember; zona agroklimat C, meliputi Desa Sukakarya, Desa Gadog dan Desa Cipayung. Karakteristik iklim mikro disetiap zona agroklimat dikelompokkan berdasarkan perbedaan intensitas radiasi surya pada sistem agroforestri. Dasar penentuan tingkat intensitas radiasi surya dilakukan dengan melakukan pengamatan di bawah tegakan tanaman tahunan dengan menggunakan tube solarimeter dan recorder. Setiap zona agroklimat ditentukan 3 (tiga) lokasi sampel pelaksanaan sistem agroforestri. Data dianalisis berdasarkan hasil daya adaptasi tanaman terhadap beberapa tingkat naungan pada berbagai tegakan pohon yang didasarkan pada produksi, jenis serta komposisi tanaman semusim. Tahapan penelitian kedua yaitu melakukan percobaan tanaman semusim hasil seleksi pada tahap pertama, yaitu tanaman yang tahan terhadap naungan. Lokasi sampel percobaan dipilih berdasarkan luas lahan dan relatif homogen jenis tegakan tanaman tahunan. Penanaman dilakukan di bawah tegakan tanaman tahunan berdasarkan perbedaan intensitas radiasi surya pada sistem agroforestri. Dasar penentuan besarnya intensitas radiasi surya di bawah tegakan tanaman tahunan, mengacu kepada hasil penelitian tahap pertama serta mengacu kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Chozin et al. 2000. Tingkat intensitas radiasi surya dibagi menjadi empat yaitu: > 300 kal/cm2/hari, 230-300 kal/cm2/hari, 120-230 kal/cm2/hari dan 70-120 kal/cm2/hari. Tanaman semusim yang ditanam pada tahapan percobaan kedua adalah memilih 4 (empat) tanaman dari hasil seleksi dari percobaan tahap pertama. Percobaan pada setiap zona agroklimat disusun dengan menggunakan rancangan perlakuan petak terpisah (split plot design) dengan 3 kali ulangan. Petak utama terdiri dari 4 taraf naungan tegakan tanaman tahunan (N) yaitu: N0 = > 300 kal/cm2/hari, N1: 230 -300 kal/cm2/hari, N2: 120 - 230 kal/cm2/hari dan N3: 70 - 120 kal/cm2/hari. Anak petak terdiri dari tanaman semusim (T) hasil seleksi pada percobaan tahap pertama. Percobaan menggunakan tiga ulangan sehingga terdapat 144 satuan percobaan di tiga zona agroklimat.
29
Peubah yang diamati Penelitian ini terdiri dari dua rangkaian penelitian. Peubah yang diamati pada penelitian tahap pertama adalah: (1) Data biofisik meliputi : curah hujan harian dan tahunan, sifat-sifat tanah dan vegetasi penutup tanah, (2) Tipe kombinasi tanaman: jenis dan komposisi tanaman yang diusahakan secara agroforestri, tanaman kehutanan, hortikultura/tanaman semusim, (3) Sistem pengelolaan usahatani meliputi : teknik pengolahan tanah, pola tanam dan tata waktu tanam, pemeliharaan dan waktu panen. Pada penelitian tahap kedua yaitu peubah yang diamati adalah: (1) Pengamatan iklim mikro di bawah tegakan/naungan tanaman tahunan: meliputi intesitas radiasi suraya, suhu udara minimum dan suhu maksimum, kelembaban udara;
(2) produksi tanaman
semusim; (3) Analisis iklim meso, yaitu dengan menganalisis unsur-unsur iklim yang diperoleh dari stasiun klimatologi terdekat dengan lokasi penelitian; (4) Analisis bentuk pola tanam agroforestri eksisting pada setiap zona agroklimat yang berpotensi untuk dikembangkan dan jenis-jenis tanaman yang mempunyai daya adaptasi tinggi di bawah naungan.
Hasil dan Pembahasan
Analisis biofisik dan pola tanam agroforestri di DAS Ciliwung Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu merupakan wilayah yang cukup potensial untuk pengembangan beberapa komoditi pertanian, khususnya tanaman hortikultura. Berdasarkan hasil analisis biofisik dan lanskap agroforestri terdapat beberapa jenis tanaman semusim yang dapat ditanam secara agroforestri. Sistem pertanaman yang mengkombinasikan tanaman tahunan dan semusim pada lahan yang sama, dengan perbedaan strata kanopi/tajuk tanaman secara vertikal. Perbedaan ketinggian tempat dan curah hujan di wilayah DAS sangat mempengaruhi jenis komoditi maupun pola tanaam agroforestri yang diusahakan, hal ini berkaitan dengan kondisi zona agroklimat. Berdasarkan hasil zonasi iklim, DAS Cilwung hulu dibagi menjadi 3 (tiga) zona agroklimat yaitu Zona A: ketinggian > 900 m dpl (di atas permukaan laut), Zona B ketinggian 700-900 m dpl dan Zona C ketinggian di bawah 700 m 30
dpl. Hasil zonasi iklim pada masing zona agroklimat A, B dan C, dijadikan dasar untuk penentuan lokasi sampel (Tabel 1) Tahap awal dilakukan percobaan pendahuluan untuk menentukan tanaman tahan terhadap kondisi naungan, dan menentukan lokasi yang tepat, khususnya daerah yang masih memiliki wilayah hutan rakyat yang cukup luas atau tegakan tanaman tahunan, secara umumnya didominasi oleh lahan kering. Berdasarkan pembagian zona agroklimat, maka pemilihan lokasi sampel tersebut adalah : 1. Zona agroklimat A, meliputi Desa Tugu Utara, Desa Batu Layang dan Desa Citeko. 2. Zona agroklimat B, meliputi Desa Kuta, Desa Sukagalih dan Desa Cilember. 3. Zona agroklimat C, meliputi Desa Sukakarya, Desa Gadog dan Desa Cipayung. Perubahan peruntukan lahan di DAS Ciliwung setiap tahunnya mengalami peningkatan, terutama konversi lahan pertanian ke permukiman atau peruntukan lainnya. Secara umum kondisi DAS Ciliwung tahun 2007 (Gambar 2 dan Gambar 3) yaitu peta kemiringan lereng dan peta penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu. Tabel 1. Deskripsi nilai rata-rata unsur iklim pada perbedaan zona agroklimat No. 1 2 3 4
5
Unsur iklim Ketinggian tempat (dpl) Curah hujan (mm) Kecepatan angin (m/det) Suhu udara (0 C) Minimum Maksimum Kelembaban relatif (%)
Zona A > 900 295.5 3.8
Zona Agroklimat Zona B 700 - 900 280.5 3.2
Zona C < 700 241.1 2.5
19.8 22.7 85.3
22.2 27.5 84.6
24.1 30.2 82.7
Sumber: Balai Agroklimat Bogor dan pengamatan lapangan.
Berdasarkan kelas kemiringan lahan di wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu (Tabel 2), menunjukkan bahwa topografi di wilayah tersebut sangat bervariasi antara bentuk datar, landai, agak curam, curam sampai dengan sangat curam. Tingkat kelerengan lahan, berkaitan dengan tingkat kesesuaian lahan yang dapat ditanami komoditi pertanian, terutama hortikultura. Data menunjukkan hanya sekitar 34.29 %, lahan sesuai untuk pertanaman hortikultura, khususnya
31
sayur-sayuran dan 25,77% lahan yang bisa ditanami hortikultura semusim maupun tahunan dengan pola agroforestri, tetapi harus memperhatikan kaidah konservasi tanah, karena potensi erosinya cukup tinggi. Lahan untuk tanaman kehutanan dan masuk wilayah konservas sekitar 40,12 %. Namun kenyataan di lapangan masih ditemukan beberapa usahatani pada kemiringan yang tinggi, sehingga hal ini sangat beresiko terhadap rusaknya lahan-lahan yang diperuntukan untuk wilayah konservasi.
Gambar 2 : Peta kemiringan lereng Ciliwung hulu 2007 Sumber: Balai DAS Ciliwung-Cisadane, diolah.
Bentuk penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung hulu (Tabel 3 dan Gambar 3), masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu sekitar 49.93 %, hutan 34.88% dan pemukiman 12.33 %. Berdasarkan pola penggunaan lahan ini, maka sistem agroforestri sangat berpotensi untuk dikembangkan, karena tingkat kerusakan lingkungan dapat diminimalkan, dibandingkan dengan sistem pertanaman monokultur yang sangat intensif dilakukan terutama di zona
32
agroklimat A (>700 m dpl), yaitu bisa mencapai empat kali panen dalam satu tahun periode tanam. Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung hulu setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, terutama konversi lahan pertanian menjadi permukiman. Banyaknya lahan sawah dan perkebunan rakyat yang beralih fungsi menjadi perumahan, mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tidak terkendali. Hal ini perlu menjadi perhatian berbagai pihak, karena wilayah ini adalah zona konservasi dan memiliki nilai potensi ekonomi yang cukup tinggi dan telaknya sangat strategis. Tabel 2 . Peruntukan lahan dan luas DAS Ciliwung Tahun 2007 NO
KELAS KELERENGAN (%) 0 0 8 15 25 >
1 2 3 4 5 6
- 3 - 8 - 15 - 25 - 40 40
JUMLAH
LUAS (%) 8.47 13.91 11.73 9.78 15.99 40.12 100.00
Balai DAS Ciliwung Cisadane, diolah.
Bentuk topografinya, wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu bervariasi antara bentuk datar, landai, agak curam, curam sampai dengan sangat curam. Pembagian wilayah DAS Ciliwung Hulu berdasarkan topografi dan bentuk wilayah
diklasifikasikan kedalam bentuk kelas lereng (Tabel 2 dan Gambar 2).
Wilayah dengan kelerengan diatas 15 % dan 40 % (40,12%) sangat menyebar luas dan mendominasi wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu, maka kondisi tersebut mempunyai potensi erosi
yang sangat
besar
sehingga
dalam perlakuannya perlu memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan sistem budidaya tanaman, khususnya sistem agroforestri. Sistem agroforestri dan konservasi tanah, diharapkan dapat memperhatikan tingkat kemiringan lereng, dan struktur tanah serta peruntukan wilayah/tata ruang di wilayah DAS Ciliwung hulu yang meliputi peruntukan petanian, perkebunan, pemukiman, kehutanan dan lain-lain. Pendekatan partisipatif terhadap masyarakat merupakan aspek sosial yang sangat diperlukan untuk menangani secara bersama pengelolaan DAS. 33
Gambar 3 : Peta Penggunaan lahan Ciliwung hulu 2007 (Balai DAS Ciliwung Cisadane, diolah)
Penutupan lahan terbesar pada areal DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah berupa hutan seluas 5.075,49Ha (34,13%) keseluruhan luas wilayah DAS. Pada wilayah hutan lindung, penyebaran vegetasinya tidak merata, sehingga terdapat daerah gundul yang perlu segera direhabilitasi. Sekitar 30 % kawasan Hutan di DAS Ciliwung Bagian Hulu merupakan hutan produksi yang didominasi oleh jenis Pinus yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Selain hal tersebut perubahan fungsi lahan yang terjadi terutama pada lahan budidaya pertanian dan budidaya non pertanian (berupa permukiman perdesaan) dengan hak kepemilikan perseorangan yang kemudian beralih fungsi menjadi lahan budidaya non pertanian berupa permukiman perkotaan atau lahan untuk pariwisata. Jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Sub DAS Ciliwung Bagian Hulu meliputi jenis komplek Aluvial Kelabu, Andosol Coklat dan Regosol Coklat, Andosol Coklat, Latosol Coklat, Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat. Hal ini didasarkan atas Peta Tanah Tinjau untuk Kabupaten Bogor dan Kota Bogor skala 1 : 250.000 dari Pusat Penelitian Tanah Bogor. Dari jenis-jenis tanah di atas, jenis tanah yang tersebar luas di DAS Ciliwung
34
Bagian Hulu adalah Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat sebesar 32,89 % dari total luas areal DAS Ciliwung Bagian Hulu. Jenis tanah Latosol dan asosiasinya memiliki sifat tanah yang baik yaitu tekstur liat berdebu hingga lempung berliat, struktur granular dan remah, kedalaman efektif umumnya > 90 dan agak tahan terhadap erosi serta sifat kimia tanah pada dasarnya tergolong baik dengan PH tanah agak netral serta kandungan bahan organik biasanya rendah atau sedang. Tabel 3. Penggunaan lahan dan luas peruntukan DAS Ciliwung Hulu 2007 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Penggunaan Lahan Hutan Pemukiman Kebun Campuran Tegalan Sawah Semak Belukar Kebun Teh Hutan Campuran Jumlah
Luas (Ha) 5.075,49 1.833,03 1.529,78 700,57 2.524,58 426,53 2.669,59 111,43 14.871,00
Persentase (%) 34,13 12,33 10,29 4,71 16,98 2,87 17,95 0,75 100,00
(Balai DAS Ciliwung Cisadane, diolah)
DAS Ciliwung Bagian Hulu dibangun oleh formasi geologi vulkanik yaitu komplek utama Gunung Salak dan komplek Gunung Pangrango. Deskripsi Litologi Kawasan adalah tufa glas lhitnik kristal, tufa fumice dan batu pasiran tufa, sedangkan kondisi fisiografi daerah merupakan daerah pegunungan dan berbukit. Bahan induk tanah yang terdapat adalah berupa tufa volkanik dan derivatifnya merupakan bahan dasar pembentuk tanah jenis tanah latosol coklat kemerahan adalah jenis tanah yang dominan. Terjadinya pencampuran bahan vulkanik tua dan yang lebih muda memungkinkan terbentuknya jenis-jenis tanah lain yang berasosiasi dengan Latosol antara lain adalah tanah Andosol dan Regosol. Berdasarkan
keadaan
geomorfologinya,
DAS Ciliwung Bagian Hulu didominasi oleh dataran vulkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung seluas 3767,76 Ha dan sebagian kecil merupakan alluvial sungai seluas 255,33 Ha.
35
Beragamnya jenis tanaman hortikultura tahunan di DAS Ciliwung Hulu, merupakan yang sangat menguntungkan bagi penduduk setempat.
Beberapa
petani bahkan menjadikan tanaman hortikultura (buah-buahan) sebagai penopang kehidupan dan merupakan pendapatan utama. Pengembangan tanaman buahbuahan memberikan beberapa manfaat, seperti menjadi penyangga keamanan pangan, memberikan nilai ekonomi yang relatif tinggi, teknik budidaya yang relatif intensif, mampu mengontrol erosi, dan hasil pangkasan menjadi penyedia
kayu
bakar, sehingga mampu mengurangi tekanan terhadap
kemungkinan terjadinya perambahan hutan.
= Lokasi sampel
Gambar 4 : Peta Zona Agroklimat DAS Ciliwung dan lokasi pengambilan sampel penelitian Sumber : Balai Agroklimat, diolah
Pengembangan
buah-buahan di sekitar wilayah DAS diarahkan untuk
meningkatkan pendapatan petani melalui penerapan kombinasi pola tanam yang tepat, mampu berperan sebagai sarana konservasi lahan yang efektif melalui tutupan tajuk, efektivitas sebaran dan kedalaman perakaran, serta mengenalkan tanaman yang akan dikembangkan kepada masyarakat. Strategi dan langkah yang tepat sangat diperlukan melalui pemilihan jenis komoditas hortikultura
36
tahunan dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan agroklimat, nilai ekonomi, dan kombinasi pola tanam dengan mengacu pada tanaman yang ada di lokasi tersebut. Penutupan tajuk tanaman dengan tanaman agroforestri mampu memperbaiki struktur tanah melalui peningkatan kandungan bahan organik dalam tanah, jumlah pori makro, dan peningkatan laju infiltrasi. (Wibawa et al. 201; Hutapea 2005; Hairiah et al. 2000).
Gambar 5 : Jumlah curah hujan di DAS Ciliwung pada tiga zona agroklimat
Gambar 6 : Jumlah hari hujan di DAS Ciliwung pada tiga zona agroklimat
37
Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan bahwa pada tiga dekade terakhir, curah hujan mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 1999 dan jumlah hari hujan tertinggi pada tahun 1978. Variasi tahunan curah hujan dan perbedaan nilai dari beberapa unsur iklim ini mempengaruhi jenis dan kombinasi tanaman antar zona agroklimat, khususnya pada pola tanam agroforestri. Salah satu cara menentukan pola hujan yaitu dengan menggunakan kriteria bulan basah dan kering dalam setahun. Penetuan bulan basah dengan dasar nilai ambang batas ketersediaan air yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan air tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman semusim disemua zona agroklimat sangat ditentukan oleh niali curah hujan dan distribusinya. Analisis data iklim, diketahui bahwa DAS Ciliwung Bagian Hulu mempunyai curah hujan rata-rata sebesar 2929 – 4956 mm/ tahun. Perbedaan bulan basah dan kering sangat jelas yaitu 10,9 Bulan basah per tahun dan hanya 0,6 Bulan kering per tahun. Tipe iklim DAS Ciliwung Bagian Hulu menurut sistem klasifikasi Smith dan Ferguson ( 1951) yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu Bulan Basah (> 200 mm ) dan Bulan Kering (< 100 mm ) adalah termasuk kedalam Type A.
Hasil analisis curah hujan pada periode
tertentu, ketinggian tempat, suhu dan jenis tanah maka ditentukan zona agroklimat (Gambar 4). Hasil pengamatan pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri dan pola tanam diketiga zona agroklimat, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola tanam dan komoditi dalam satu periode musim tanam (selama satu tahun). Pada zona agroklimat A dan B umumnya
didominasi oleh komoditi hortikultura
semusim yang cepat panen yaitu umur tanaman satu sampai tiga bulan, dengan tingkat penggunaan lahan sistem agroforesti sangat intensif (3-4 kali menanam dalam satu tahun atau setara dengan IP 400). Pada zona agroklimat C didominasi oleh tanaman pangan dan sedikit hortikultura semusim dengan tingkat pengelolaan lahan yang sedang (2-3 kali menanam dalam satu tahun). Sistem agroforestri dengan penutupan tajuk pohon yang bervariasi dan meneruskan ke tanaman pada strata di bawahnya, dapat memberikan fungsi ganda yaitu membentuk iklim mikro setempat dan seresah daun dapat memperkaya
38
tanah yang gugur diatasnya. Keuntungan lainnya dari sestem agroforestri yaitu dapat memberikan diversifikasi hasil, disamping buah dapat juga dimanfaatkan kayunya, berpengaruh baik terhadap tata air, mengurangi terjadinya suhu-suhu ekstrim, baik di udara, dalam tanah, dan dalam batang dan daun, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman
semusim sebagai tanaman penyusun
agroforestri, dapat mengurangi kerusakan-kerusakan terhadap tanaman pertanian yang disebabkan oleh hujan deras. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri.
Penggunaan pupuk nitrogen dapat
dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman yang yang dapat bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen. Sistem ini juga dapat mengurangi pemakaian jumlah tenaga kerja sehingga lebih efisien disbanding dengan sistem pertanian monokultur. Pola tanam pada zona A dan B
sekitar 57-60%
(Tabel 4), petani
mengusahakan komoditi di bawah tegakan dengan sistem monokultur sedangkan sebaliknya pada zona C petani lebih banyak menanam dengan sistem pola tanam ganda. Variasi sistem pola tanam ganda (multikultur) lebih banyak pada zona A dan B di banding zona C, karena banyaknya tanaman- sayuran yang dapat diusahakan dan berumur pendek (30-40 hari). Perbedaan sistem pola tanam ini umumnya disebabkan oleh ketersediaan lahan yang terbatas, nilai ekonomi dan cepatnya komoditi tersebut di pasarkan serta tingginya resiko kegagalan produksi yang disebabkan oleh penyakit dan curah hujan yang cukup tinggi. Petani dengan sistem agroforestri pada setiap zona agroklimat memiliki skala usahatani kecil hingga sedang dengan kisaran luas areal sekitar 0.25 - 0.50 ha, status lahan yang diusahakan umumnya dengan sistem sewa atau bagi hasil.
Sistem agroforestri yang diterapkan di DAS
Ciliwung hulu, umumnya dengan pertimbangan produktivitas dan konservasi lahan. Disamping itu sistem agroforestri mudah untuk penerapannya meliputi jenis tanaman semusim, komposisi, maupun proporsi tanaman pada tiap unit lahan yang diusahakan.
39
Tabel 4. Perbandingan pola zona agroklimat Zona Agroklimat A B C
tanam pada sistem agroforestri pada setiap
Pola Tanam Agroforestri Variasi Monokultur Multiplecropping pola tumpang sari (%) (%) 60.58 39.42 Rotasi, berurutan, dan tumpangsari, 57.75 42.25 Rotasi, berurutan dan tumpangsari 41.35 58.65 Rotasi dan tanam campuran
Sistem agroforestri umumnya dilakukan pada lahan milik petani yang menyerupai hutan biasanya disebut kebun, yang pengelolaannya diarahkan pada dua fungsi, yaitu fungsi hidrologis dan fungsi lindung, seperti kebun buahbuahan pekarangan (mixed fruit tree home gardens), dan sistem campuran pohon buah-buahan dan pohon penghasil kayu. Pengembangan agroforestri diperlukan perencanaan dan manajemen lanskap yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, dari aspek bio-fisik/ekologis, sosial-budaya, ekonomi hingga politik dan kebijakan. Praktek agroforestri pada skala lanskap dapat mengakomodir suatu perencanaan wilayah dalam mendistribusikan ruang spatial dari hulu hingga hilir suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Peruntukan penggunaan lahan dilakukan terencana dan terkendali (segregasi atau integrasi) sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dapat menjamin keseimbangan produksi, ekonomi dan ekologi (Arifin et al. 2004,; Arifin et al. 2009; Noordwijk et al. 2004; Wibawa et al. 2010). Perbebedaan zona agroklimat, juga berpengaruh terhadap jenis tanaman kehutanan yang tumbuh dan mendominasi di masing-masing zona agroklimat. Sistem agroforestri di zona A dan B umumnya dilakukan pada tanaman tahunan/kehutanan Cinamomum burmanii, Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Agathis damara, Paraserianthes falcataria (L.)) secara simple agroforestri dengan pola tanam single commodity. Pada zona C umumnya dilakukan sistem complex agroforestry secara multiple cropping pada tanaman Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Albizia falcataria dan Melia azedarach.
. 40
Tabel 5. Jenis tanaman tahunan, pola tanam dan tanaman yang toleran terhadap naungan pada berbagai zona agroklimat No 1
Karakter agroforestri Tanaman tahunan/ kehutanan
Zona A Cinamomum burmanii, Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Agathis damara, Paraserianthes falcataria (L.), Toono sureni
Zona Agroklimat Zona B Cinamomum burmanii, Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Agathis damara, Paraserianthes falcataria (L.)
Zona C Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Paraserianthes falcataria (L.) dan Melia azedarach.
2
Pola agroforestri
Simple Agroforestry
Simple agroforestry
Complex agroforestry
3
Jenis tanaman semusim dengan pola agroforestri
Lycopersicon esculentum Mill , Daucus carota L, Brassica oleraceae,Colocasia esculenta L, Tinospora crispa, Capsicum frutescens.L, Capsicum frustescens L, Solanum esqulentum, Zea mays, Solanum americanum, Solanum melogena, Ipomea batatas, Alium fistulosum, Zea mays saccharata sturt, Cymbopogan nardus, Raphanus sativus, Manihot utilissima, Brassica chicensi, Brassica juncea
Colocasia esculenta L, Manihot utilissima, Daucus carota L, Lycopersicon esculentum Mill, Brassica oleraceae, Alium fistulosum, Ipomea batatas, Vigna unguiculata, Solanum esqulentum, Capsicum frutescens.L, Capsicum annum, Zea mays saccharata sturt, Solanum americanum, Solanum melogena, Cojanus cajan, Cymbopogan nardus, Arachis hipogea
Colocasia esculenta L, Capsicum frutescens.L, Capsicum annum, Solanum esqulentum, Zea mays saccharata sturt, Ipomea batatas, brassica oleraceae Solanum americanum, Lycopersicon esculentum Mill, Solanum melogena, Manihot utilissima, Cymbopogan nardus, Arachis hipogea, cucumus sativus, Cojanus cajan, Vigna sesquipedali
41
Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat beberapa tanaman semusim yang dapat diusahakan secara agroforestri berdasarkan zona agroklimat. Tanaman yang lolos seleksi berdasarkan atas produksi relatif yang dihasilkan pada kondisi ternaungi dibandingkan dengan tanpa naungan. Kesesuaian produksi ditentukan oleh rata-rata produksi selama kurun waktu satu tahun. Beberapa jenis tanaman yang ditanam secara agroforestri, namun produksi yang dihasilkan sangat rendah karena tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi iklim mikro, terutama rendahnya intensitas radiasi surya yang ditransmisikan oleh tanaman tahunan. Tabel 6. Hasil relatif (% terhadap kontrol) beberapa tanaman semusim dengan sistem agroforetri pada perlakuan naungan N2 (50%) di zona agroklimat A, B dan C. Jenis Tanaman Alium fistulosum L. Brassica oleraceae L.
Capsicum frustescens L Colocasia esculenta L. Daucus carota L. Ipomea batatas (L.) Lam. Lycopersicon esculentum Mill
Phaseolus vulgaris Zea mays saccharata sturt
A 81.4 83.1 82.6 84.5 83.9 76.3 85.8 82.3 76.5
ZONA AGROKLIMAT B 78.8 80.3 85.0 86.7 79.5 78.7 82.1 80.0 79.6
C 75.6 77.3 85.6 82.3 75.4 81.5 79.6 77.5 86.5
Hasil seleksi tanaman semusim yang terdapat pada Tabel 5, berdasarkan tingkat ketahanan terhadap naungan dan produksi relatif, diperoleh 9 (sembilan) tanaman yang tahan terhadap perbedaan tingkat naungan (Tabel 6). Tahap selanjutnya melakukan percobaan dengan perbedaan intensitas radiasi surya, sehingga diperoleh tanaman yang paling sesuai di masing-masing zona agroklimat. Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa tanaman yang mempunyai hasil relatif tertinggi di zona A adalah tanaman tomat dan talas, di zona B adalah talas dan cabai rawit, dan pada zona C adalah cabai rawit dan jagung. Pola agroforestri yang diterapkan di bawah tegakan terdiri dari pola tanam tunggal (monokultur) yakni hanya mengusahakan satu komoditi, dan pola tanam ganda (multiplecropping) yakni menanam lebih dari satu tanaman. Perbedaan intensitas radiasi surya antara tanaman yang ternaungi dan terbuka adalah pada tanaman 42
dengan sistem agroforestri bentuk daun lebih tipis dan lebih lebar, agar tanaman bisa memperoleh energi yang lebih besar, hal ini merupakan salah satu cara tanaman untuk melakukan adaptasi pada kondisi cekaman naungan, dan memanfaat datang kanopi dan tingkat penyirnaan/ pemadaman lapisan tersebut Tingkat penutupan tajuk tanaman tahunan yang berbeda
pada setiap
perlakuan mempengaruhi jumlah intensitas radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara dan suhu tanah lingkungan tanaman. Perbedaan tingkat intensitas radiasi surya
cahaya yang diterima oleh tanaman berbeda dan mempengaruhi
ketersediaan energi cahaya yang akan diubah menjadi energi panas dan energi kimia. Radiasi surya merupakan faktor utama diantara faktor iklim yang lain, tidak hanya sebagai sumber energi primer tetapi karena pengaruhnya terhadap keadaan keadaan iklim disekitar tanaman. Sistem agroforestri pada beberapa zona agroklimat Percobaan tahap kedua adalah pengamatan terhadap unsur-unsur iklim pada perlakuan perbedaan intensitas radiasi surya di beberapa tegakan tanaman tahunan pada tiga zona agroklimat (A, B dan C). ditanam di bawah tegakan,
Tanaman semusim yang
merupakan hasil seleksi pada percobaan tahap
pertama yang mempunyai tingkat toleransi terhadap naungan yaitu tanaman tomat, talas, cabai rawit dan jagung. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai unsur iklim yaitu intensitas radiasi surya dan suhu udara lebih rendah pada zona A dibanding dengan zona B dan C, sedangkan rata-rata curah hujan, kelembaban relatif dan kecepatan angin zona A lebih tinggi dibanding dengan zona B dan C (Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9). Hasil identifikasi terhadap tegakan tanaman tahunan yang dapat dijadikan sebagai tegakan pada sistem agroforetri adalah kayu manis (Cinamomum burmanii), pinus (Pinus merkusii), kayu afrika (Maesopsis eminii), damar (Agathis damara), albizia (Paraserianthes falcataria (L.)), suren (Toono sureni), Cemara (Casuarina equisetifolia) dan
mindi (Melia azedarach).
Terdapat
beberapa tegakan tanaman tahunan lainnya namun hanya dijumpai dalam jumlah yang terbatas.
43
Gambar 7 : Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat A
Gambar 8 : Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat B
Gambar 9 : Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat C
44
Pemanfaatan lahan di bawah tegakan tanaman kehutanan dengan sistem agroforestri dilakukan untuk memperoleh tanaman semusim/hortikultura yang toleran terhadap penurunan intensitas radiasi surya. Jenis tanaman semusim yang dapat dikembangkan dengan sistem agrofestri yaitu tanaman tomat, talas, cabai rawit dan jagung. Penutupan tajuk tanaman pada perlakuan N1 dan N2, intensitas radiasi surya yang diterima tanaman semusim berkisar 120- -300 kal/cm2/hari. Kondisi tanaman semusim pada nilai intensitas tersebut memberikan respon yang berbeda-beda. Beberapa jenis tanaman semusim
sudah menunjukkan
produksi yang turun secara signifikan, karena tidak mampu beradaptasi dengan kondisi iklim mikro tersebut. Radiasi surya yang sampai pada tajuk atau kanopi tanaman kehutanan pada sistem agroforestri, tidak semuanya dapat dimanfaatkan, sebagian dari cahaya tersebut diserap, sebagian ditransmisikan, atau bahkan dipantulkan kembali.
Kualitas cahaya matahari ditentukan oleh proporsi relatif panjang
gelombangnya, selain itu kualitas cahaya tidak selalu konstan namun bervariasi dari musim ke musim, lokasi geografis serta perubahan komposisi udara di atmosfer. Radiasi surya terbagi dua, yaitu yang bergelombang panjang (long wave radiation) dan yang bergelombang pendek (short wave radiation). Batas terakhir dari radiasi gelombang pendek adalah radiasi ultraviolet, sedangkan batas akhir radiasi gelombang panjang adalah sinar inframerah. Radiasi dengan panjang gelombang antara 400 hingga 700 µm adalah yang digunakan untuk proses fotosintesis. Pengaruh kualitas cahaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman telah banyak diselidiki, dimana diketahui bahwa spektrum yang nampak (visible) diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Apabila tanaman ditumbuhkan pada cahaya biru saja daunnya akan berkembang secara normal, namun batangnya akan menunjukkan tanda-tanda terhambat pertumbuhannya.
Apabila tanaman
ditumbuhkan pada cahaya kuning saja, cabang-cabangnya akan berkembang tinggi dan kurus dengan buku (internode) yang panjang dan daunnya kecil-kecil. Dari penelitian tersebut telah membuktikan bahwa cahaya biru dan merah memegang peranan penting untuk berlangsungnya proses fotosintesis (Bey dan Las 1991; Salisbury dan Ross 1995; Rozari 1987; Lakitan 1997).
45
93
N0 N2
91
N1 N3
Kelembaban (%)
89 87 85 83 81 79
Zona A
77 75 J
P
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
O
N
D
Bulan
91
N0 N2
Kelembaban (%)
89
N1 N3
87 85 83 81 79
Zona B
77 75
J
P
M
A
M
J J Bulan
A
S
92
N0 N2
90 Kelembaban (%)
88
N1 N3
86 84 82 80 78
Zona C
76 74
J
P
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
Bulan
Gambar 10. Rata-rata kelembaban udara (%) pada berbagai zona agroklimat (Zona A, B dan C).
46
Radiasi yang diabsorbsi pada tajuk tanaman dapat diketahui dari selisih radiasi yang sampai pada permukaan atas tajuk dengan radiasi yang lolos pada permukaan tanah di bawah tajuk. Apabila tajuk tanaman dibagi dalam beberapa lapisan strata (sistem agroforestri), maka tingkat radiasi yang ditransmisikan dari setiap lapisan. Pada Gambar 7, 8 dan 9, menunjukkan bahwa bahwa fluktuasi suhu udara lebih tinggi pada zona C dibanding dengan zona A. Penurunan suhu udara akibat naungan tanaman tahunan pada semua zona agroklimat relatif kecil perbedaaannya terutama pada naungan N1, N2 dan N3. Fluktuasi suhu udara pada musim kemarau lebih tinggi dari musim hujan. Hasil penelitian Las (1982) dan Haris et al (1999) bahwa pada perlakuan naungan 0, 25 dan 50 % suhu maksimum masing-masing adalah 31.2-31.4; 30.2-31.2
0
C dan 29.3-30.4
0
C sedangkan
suhu minimum adalah 21.4-22.8; 21.5-22.2 dan 21.7 0 C. Fluktuasi suhu berkaitan erat dengan kesetimbangan CO 2 disekitar daun tanaman. Pada suhu 25
0
C sekitar 50
mol CO 2
s-1, dan meningkat dengan
meningkatnya suhu permukaan daun. Nilai ini penting pada perubahan iklim yang berkaitan dengan kenaikan suhu. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan tanaman dikenal sebagi suhu kardinal yaitu meliputi suhu optimum (pada kondisi ini tanaman dapat tumbuh baik), suhu minimum (pada suhu di bawahnya tanaman tidak dapat tumbuh), serta suhu maksimum (pada suhu yang lebih tinggi tanaman tidak dapat tumbuh).
Suhu kardinal untuk setiap jenis tanaman memang
bervariasi satu dengan lainnya. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu batas suhu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan batas atas suhu yang tidak membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Batas suhu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman diketahui sebagai batas suhu optimum. Pada batas ini semua proses dasar seperti: fotosintesis, respirasi, penyerapan air, transpirasi, pembelahan sel, perpanjangan sel dan perubahan fungsi sel akan berlangsung baik dan tentu saja akan diperoleh produksi tanaman yang tertinggi. Batas suhu optimum tidak sama untuk semua tanaman. Suhu di atas optimum: tanaman yang tumbuh pada kondisi ini pada akhir pertumbuhannya biasanya menghasilkan produksi yang rendah. Hal ini disebabkan kurang adanya
47
keseimbangan antara besarnya fotosintesis yang dihasilkan dan berkurangnya karbohidrat karena adanya respirasi.
Bertambahnya suhu akan mempercepat
kedua proses ini, tetapi di atmosfer di atas batas optimum, proses respirasi akan berlangsug lebih besar dari pada fotosintesis, sehingga bertambah tingginya suhu tersebut akan mengakibatkan berkurangnya produksi.
Suhu di bawah batas
optimum: tanaman yang tumbuh pada kondisi ini akan menghasilkan pertumbuhan yang kurang baik dan produksinya akan lebih rendah.
Hal ini
disebabkan pada suhu yang rendah besarnya fotosintesis yang dihasilkan dan protein yang dibentuk dalam keadaan minimum, akibatnya pertumbuhan dan perkembangan lambat dan produksi rendah (Bey dan Las 1991; Salisbury dan Ross 1995). Kelembaban relatif udara merupakan perbandingan antara jumlah uap air yang terdapat di udara dengan jumlah maksimum uap air yang dapat dikandung udara pada suhu dan tekanan tertentu. Apabila kondisi ini dihubungkan dengan kondisi naungan di bawah tegakan tanaman tahunan, maka akan terdapat kelembaban relatif yang beragam, sesuai dengan konsidi iklim mikro setempat. Naungan dengan perlakunan N2 dan N3 suhu udara yang rendah akan memperbesar kandungan uap air sehingga penguapan air dari tanah dan tanaman (evopotranpirasi) relatif kecil. Kelembaban relatif udara meningkat hingga mencapai titik tertinggi yaitu 87.1 % pada zona agroklimat A, begitu juga dengan suhu terendah yang pernah tercapai disekitar tanaman yaitu 19.8 oC (Gambar 10). Naungan yang tinggi dapat memperlambat pengangkatan massa udara dan uap air pada siang hari sehingga kelembaban relatifnya lebih besar. Rendahnya suhu udara disekitar tanaman menyebabkan kapasitas udara untuk menampung uap air akan semakin berkurang, agroforestri
sehingga kelembaban nisbi di sekitar pertanaman
semakin meningkat. Tingginya kelembaban nisbi ini berkaitan
dengan terjadinya penurunan kapasitas massa udara untuk mengandung uap air jenuh. Respon pertumbuhan tanaman pada pola agroforestri disemua zona agroklimat sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim mikro setempat. Iklim mikro sangat penting untuk memperbesar peluang keberhasilan budidaya tanaman, dengan substitusi unsur iklim partial. Substitusi unsur iklim partial tersebut dapat
48
dilaksanakan sampai batas tertentu. Iklim mikro disekitar tanaman terutama tanaman semusim pada sistem agroforestri merupakan usaha agar tanaman yang dibudidayakan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kelembaban udara dan tanah, suhu udara dan tanah merupakan komponen iklim mikro yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan masing-masing berkaitan mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tanaman.
Iklim mikro (micro climate)
menggambarkan keadaan fisik atmosfer sekitar objek yang spesifik atau dekat permukaan (< 2m).
Pada skala ini telah terjadi interaksi fisika antara objek
dengan lingkungan atmosfernya seperti di sekitar/di bawah tajuk tanaman (Bey dan Irsal Las, 1991). Radiasi surya dapat dibagi 3 (tiga) aspek yang berkaitan langsung dengan respon tanaman yaitu intensitas, kualitas dan fotoperiodisitas, dimana pengaruh ketiga aspek tersebut akan berbeda antara satu dengan lainnya dan saling terkait terutama pada proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Semakin besar tingkat penutupan tajuk tanaman maka suhu udara rendah, kelembaban udara semakin tinggi. Kelembaban udara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman berhubungan erat dengan proses fotosintesis. Proses ini energi cahaya diperlukan untuk berlangsungnya penyatuan CO 2 dan air untuk membentuk karbohidrat.
Semakin besar jumlah energi yang tersedia akan memperbesar
jumlah hasil fotosintesis sampai dengan optimum (maksimum), untuk menghasilkan berat kering yang maksimal, tanaman memerlukan intensitas cahaya penuh. Namun demikian intensitas cahaya yang sampai pada permukaan kanopi tanaman sangat bervariasi, khususnya pada sistem agroforestri yang mempunyai strata tajuk tanaman yang sangat bervariasi.
49
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasi lidentifikasi sistem agroforestri, diperoleh sembilan tanaman semusim yang berpotensi dikembangkan dengan sistem agroforestri diperoleh yaitu: Alium fistulosum L.,Brassica oleraceae L., Capsicum frustescens L,Colocasia esculenta L.,Daucus carota L.,Ipomea batatas (L.) Lam.,Lycopersicon esculentum Mill,Phaseolusvulgaris,Zea maysL. saccharata.
2. Pola tanam agroforestri di zona iklim A dan zona B dilakukan dengan cukup intensif,tanaman semusim diusahakan pada
satu tahun periode tanam
sebanyak 3-4 kali, sedangkan pada zona iklim C diusahakan 2-3 kali setahun periode tanam. Karakteristik iklim mikro di bawah tegakan tanaman tahunan, mempengaruhi pola tanam agroforestri di setiap zona agroklimat. Sistem monokultur lebih dominan dilakukan di zona A (60.58%) dan zona B (57.75%), dengan pola agroforestri sederhana, sedangkan pada zona C (41%) dengan pola agroforestri kompleks. 3. Hasil analisis
iklim mikro dan produksi tanaman semusim, diperoleh
tanaman yang sesuai ditanam dengan pola agroforestri pada semua zona agroklimat yaitu: Lycopersicon esculentum Mill, Colocasia esculenta L, Capsicum frutescens L.dan Zea mays L. Saccharata.
50
KAJIAN EKOFISIOLOGI TANAMAN SEMUSIM PADA SISTEM AGROFORESTRI DI BERBAGAI ZONA AGROKLIMAT Eco-physiological assessment of seasonal crops of the agroforestry system in some agro-climate zones ABSTRAK The research objective was to analyzing the characteristics and ecophysiological responses of annual crops as the constituents of agroforestry crops based on the different levels of shading; physiological responses of annual crops to shading and some agro-climate zones; analyzing the characteristics of shadetolerant plants. In the second experiment, the annual crops from the selection in the first experiment were analyzed for eco-physiological characteristics. The level of shading had an impact on the differences in the morpho-physiological characteristics of annual crops. It was found that that the most suitable plants grown with the agroforestry pattern were Lycopersicon esculentum Mill in zone A; Colocasia esculenta L. in zone A and B; Capsicum frustescens L. in zone B and C; and Zea mays L. saccharata. in zone C. The characteristics that mostly determined the tolerance of the annual crops to the shade were the high interception of solar radiation, the coefficient of light and darkness as well as increased levels of chlorophyll a and b, the reduced ratio of chlorophyll a/b. Some physiological characteristics of plants were found to be related to the efficiency in the capture and use of solar radiation intensity, which include: photosynthesis rate, Photosyntetic Active Radiation (PAR), stomata conductance and CO 2 internal. The critical point in developing annual crops as a constituent of the agroforestry pattern was obtained in the treatment: intensity of solar radiation 120-230 cal/cm2/day (40-50% shade). Key word: agroforestry, agro-climate zones , micro-climate, morfo-fisiologi
Latar Belakang
Perbedaan zona agroklimat berdasarkan ketinggian tempat menyebabkan terjadinya penurunan suhu udara dan intensitas radiasi surya. Setiap kenaikan 100 m dari permukaan laut, maka suhu akan turun 0,6 °C. Suhu dan penyinaran dapat digunakan untuk menggolongkan tanaman yang sesuai untuk dataran tinggi atau dataran rendah. Penyebab utama dari penurunan suhu di dataran tinggi adalah karena menipisnya lapisan udara pada perbedaan ketinggian dan rendahnya kadar gas rumah kaca sehingga penyerapan panas menjadi berkurang. Ketinggian tempat atau perbedaan zona agroklimat dapat mempengaruhi fase-fase pertumbuhan tanaman. Tanaman yang ditanam di dataran rendah berbunga lebih awal dibandingkan dengan yang ditanam pada dataran tinggi.
51
Variasi suhu harian di dataran tinggi lebih kecil dibandingkan dataran rendah karena sering adanya awan di daerah pegunungan, adanya angin yang berhembus lebih kencang sehingga panas lebih mudah menyebar di udara (Suharsono, 1982, Rozari 1987 dan Lakitan 1997). Sistem pertanamam dengan agroforestri di beberapa zona agroklimat, dibatasi oleh terbatasnya intensitas radiasi surya yang diteruskan, sehingga akan menggangu proses metabolisme tanaman. Terbatasnya cahaya yang sampai ke permukaan daun, tanaman
maka penyerapan hara oleh akar
menjadi tidak normal, mengakibatkan rendahnya fotosintat yang
dihasilkan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah memperoleh tanaman yang cukup toleran terhadap cahaya rendah. Sistem agroforestri merupakan sistem pertanaman ganda dengan multi strata,
pada strata yang rendah akan mendapat intensitas cahaya di bawah
optimal. Agroforestri merupakan
bentuk penggunaan lahan yang dapat
mempertahankan dan meningkatkan
produktivitas lahan (Chozin 2006;
Wijayanto 2002; Kusmana 1988; Arifin 2002). Perbedaan tingkat naungan pada sistem agroforestri menyebabkan perbedaan respon tanaman, terutama pada sistem metabolisme dan produksi. Kajian ekofisiologis sangat diperlukan untuk mengetahui karakter-karakter fisiologi tanaman yang menentukan daya adaptasi terhadap cekaman intensitas radiasi surya.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menidentifikasi kondisi iklim mikro sistem agroforestri di berbagai zona agroklimat. 2. Menganalisis respon morfo-fisiologis dan produksi tanaman semusim untuk sistem agroforetri pada berbagai zona agroklimat. 3. Menganalis kesesuaian tanaman semusim untuk sistem agroforestri pada berbagai zona agroklimat.
52
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2005 sampai April 2007. Pada tahap ini dilakukan pengamatan iklim meso dan mikro disekitar tanaman semusim dan tanaman tahunan pada berbagai zona agroklimat dengan dua musim tanam (musim kemarau dan musim hujan). Mekanisme penentuan zona agroklimat berdasarkan data curah hujan bulanan selama 15 tahun terakhir (1992 – 2007). Berdasarkan curah hujan tersebut ditentukan klasifikasi iklim menurut SchmidtFergusson dan Oldeman. Alat yang digunakan adalah seperangkat ADC LCA-4 (IRGA), Infra Red Gas Analysis) dengan bahan sodalime dan drier, tube solarimeter dan recorder, clinometer shunto, termometer maksimum dan minimun, termometer tanah, termometer bola basah-bola kering.
Metode Percobaan Percobaan ini, merupakan lanjutan dari percobaan pertama yaitu analisis karakter iklim mikro, jenis dan komposisi tanaman semusim
pada sistem
agroforestri pada setiap zona agroklimat. Metode penentuan zona agroklimat mengikuti percobaan tahap pertama.
Karakteristik iklim mikro disetiap zona
agroklimat dikelompokkan berdasarkan perbedaan intensitas radiasi surya pada sistem agroforestri. Dasar penentuan tingkat intensitas radiasi surya dilakukan dengan
melakukan
pengamatan
di
bawah
tegakan
beberapa
tanaman
tahunan/kehutanan kayu manis (Cinamomum burmanii), pinus (Pinus merkusii) ,kayu afrika (Maesopsis eminii), damar (Agathis damara), albizia (Paraserianthes falcataria (L.), dan mindi (Melia azedarach) serta mengacu kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Chozin et al 2000. Hasil pengamatan tingkat Intensitas Radiasi Surya (IRS) dibagi menjadi empat yaitu: > 300 kal/cm2/hari, 230– 300 kal/cm2/hari, 120–230 kal/cm2/hari dan 70-120 kal/cm2/hari. Studi pendahuluan dilakukan seleksi terhadap beberapa tanaman semusim, hasil yang diperoleh adalah pada setiap zona agroklimat terdapat empat tanaman semusim yang dapat ditanam secara agroforestri. Seleksi dilakukan berdasarkan tingkat produksi yang dihasilkan oleh tanaman semusim yang ditanam secara agroforestri.
53
Tanaman yang terpilih umumnya yang memiliki produksi yang cukup tinggi dan tahan terhadap kondisi naungan hingga 40% dari tingkat penutupan tajuk tanaman kehutanan/tegakan. Percobaan pada setiap zona agroklimat disusun dengan menggunakan rancangan perlakuan petak terpisah (split plot design) dengan 3 kali ulangan. Petak utama terdiri dari 4 taraf yaitu: N0 = lebih besar dari 300kal/cm2/hari ( > 300kal/cm2/hari), N1: 230-300 kal/cm2/hari, N2: 120–230kal/cm2/hari dan N3: 70 – 120kal/cm2/hari. Anak petak terdiri dari 4 tanaman semusim yaitu pada zona A: T1 = tomat; T2 = talas; T3 = cabai rawit; T4 = jagung, satu unit percobaan berukuran 2.5 m
x 3 m (diantara tegakan tanaman tahunan). Percobaan ini
menggunakan tiga ulangan sehingga terdapat 144 satuan percobaan di tiga zona agroklimat.
Peubah yang diamati adalah : 1. Pengamatan iklim mikro terdiri dari : a.
Intensitas radiasi surya (kal.cm-2hari-2) pada setiap tingkat naungan tanaman tahunan. Alat yang digunakan adalah
tube solarimeter
Pengamatan dilakukan dengan menentukan tiga titik yang di pilih secara acak. Waktu pengamatan 7.30 hingga 17.00. Pengukuran ini dilakukan 3 kali dalam seminggu. b.
Pengukuran intensitas radiasi surya juga akan dilakukan pada jenis-jenis tanaman semusim.
c.
Kelembaban udara, diukur dengan termometer bola basah dan bola kering. Penggunaan waktu pengamatan pukul 7.30; 13.30 dan 16.30, dilakukan 3 kali dalam seminggu.
d.
Suhu maksimum dan minimum, diukur dengan termometer maksimun dan minimum, pengamatan dilakukan 3 kali dalam seminggu.
e.
Suhu tanah, diukur dengan termometer tanah dengan kedalaman 10 cm. Waktu pengamatan pukul 7.30, 13.30 dan 16.30, pengamatan dilakukan 3 kali dalam seminggu.
2. Koefisien pemadaman/penyirnaan pada tanaman semusim. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan rumus exponensial :
54
fint = [1-exp (-k*ILD)] Keterangan : f int = Fraksi radiasi intersepsi tajuk k
= koefisien pemadaman radiasi surya
ILD = Indeks luas daun
3. Jumlah radiasi yang diserap tajuk tanaman semusim. J
= fabs x PARt = (1-r) x (1-exp) (-k x ILDt)) x PARt
Keterangan : J = R = K = ILD t = PAR t = 4.
Jumlah radiasi yang diserap pada saat t (MJ m-2 h-1) koefisien refleksi tanaman (MJ m-2/MJ m-2 h-1) koefisien pemadaman indeks luas daun pada saat t (m2 m-2) Radiasi kumulatif diatas tajuk pada saat t (MJ m-2 h-1)
Efisiensi penggunaan radiasi (besarnya radiasi kumulatif yang diserap tanaman).
5.
Pengamatan terhadap tinggi tanaman, jumlah stomata, ketebalan daun, kandungan klorofil tanaman, indeks luas daun dan produksi tanaman semusim.
6.
Pengukuran karakter fisiologi tanaman : konduktansi stomata, CO 2 internal, daun dan laju transpirasi dan intensitas radiasi surya.
55
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karateristik Iklim Mikro pada Berbagai Zona Agroklimat Hasil pengamatan menujukkan bahwa perbedaan kondisi iklim antara zona agroklimat menghasilkan perbedaan karakter morfolologi dan fisiologi tanaman semusim yang ditanam secara agroforestri. Zona agroklimat yang hampir sama karakteristiknya adalah antara zona A dan B, begitu juga dengan zona B dan C, sedangkan anatara zona iklim A dan C mempunyai perbedaan karakteristik iklim yang signifikan. Respon pertumbuhan tanaman yang hampir sama, pada perlakuan N0 dan N1, begitu juga pada perlakuan N2 dan N3, sehingga pada pembahasan selanjutnya lebih dominan membandingkan perlakuan yang mempunyai karakteristik yang sangat berbeda yaitu antara perlakuan N0 dan N2. Rata rata unsure iklim mikro di bawah tegakan tanaman kehutanan pada berbagai zona agroklimat disajikan pada Tabel 8. Penurunan beberapa peubah yang diamati pada zona agroklimat C, kemungkinan dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban relatif dan transpirasi akibat intensitas radiasi surya yang lebih tinggi. Secara umum perbedaan respon tanaman terhadap cahaya dipengaruhi oleh tiga komponen utama yaitu tingkat intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman, besar kecilnya pengurangan atau penyirnaan energi pancaran dan panjang gelombang atau kualiatas cahaya. Persentase intersepsi radiasi surya yang lebih tinggi pada zona A di banding zona C menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif tanaman lebih baik. Hal ini ini juga ditunjukkan dengan indeks luas daun (ILD) yang lebih besar sehingga dapat menangkap radiasi surya yang lebih tinggi, begitu pula dengan nilai koefisien penyirnaan/pemadaman (k) yang lebih besar. Perbedaan nilai koefisien penyirnaan diantara empat tanaman semusim pada zona yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan fraksi radiasi yang diserap tajuk tanaman. Daun tanaman pada sistem agroforestri tersebar tidak merata (acak), sehingga cahaya yang datang melalui tajuk hanya sebagian yang bisa lolos dari celah-celah daun, sebagaian lagi ditransmisikan. Transmisi cahaya berbeda antara setiap tanaman dan setiap daun. Perbedaan ini karena daun mengalami perkembangan seiring dengan umur tanaman, baik dari segi stuktur, ketebalan maupun dari pigmennya seperti klorofil.
56
Tabel 7. Rata rata kondisi iklim mikro di bawah tegakan tanaman kehutanan pada berbagai zona agroklimat Zona agroklimat A N0 N2
Unsur iklim mikro Intensitas radiasi surya (kal/cm2/hari) Kelembaban relatif (%) Suhu minimum (0 C) Suhu maximum (0 C)
Zona agroklimat B N0 N2
Zona agroklimat C N0 N2
310.45
122.45
315.56
126.78
327.32
129.17
86.45
85.23
85.45
83.65
80.01
82.56
19.62
19.56
21.70
21.25
23.80
23.10
23.67
23.10
28.50
27.87
31.21
31.06
Intensitas radiasi surya pada sistem agroforestri akan berkurang pada strata tanaman yang lebih rendah, yaitu pada tanaman semusim. Hal ini terkait dengan adanya pemadaman/penyirnaan cahaya matahari yang berkurang pada lapisan daun, pada kondisi ini terjadi proses penyaringan gelombang cahaya aktif oleh lapisan daun pada strata yang lebih tinggi. 35
35
Suhu (0C)
30
27
25 20
21
18 16 13
15 10 5 0 0
5 3 0 200
30
30
30
24
24
25
17
16
18
25
20 10
800
21
22
14
15
3 2 1
0 600
28
8
5 400
17 14
16 14
15
27
0
200
400
600
800
Jagung
Talas CO2 (mol CO2 m-2s-1)
Gambar 11. Laju asimilasi tanaman talas dan jagung dengan peningkatan CO 2 pada suhu yang berbeda dalam perlakuan N1 pada zona A Radiasi surya merupakan energi utama untuk pertukaran energi antara tanaman dan lingkungan udara. Sebagian besar energi ini diubah menjadi energi panas dan digunakan sebagai energi untuk transpirasi dan pertukaran dengan
57
lingkungannya serta menentukan suhu jaringan untuk proses metabolisme. Radiasi surya sangat penting bagi tanaman. Terdapat empat hal utama kebutuhan untuk bagi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman, yaitu efek panas, fotosintesis, photomorphogenesis dan mutagenesis. Suhu udara dan kelembaban relatif pada setiap zona agroklimat sangat dipengaruhi oleh intensitas radiasi surya yang diteruskan tegakan tanaman tahunan. Analisis intersepsi radiasi pada sistem agroforestri ini menjadi sangat kompleks
dengan
variasi
struktur/keragaman
bentuk
kanopi
tanaman
tahunan/kehutanan yang sangat besar secara horizontal maupun vertikal. Banyaknya variasi daun dan kanopi pada sistem agroforestri berkaitan dengan intersepsi cahaya yang diterima oleh tanaman. Beberapa hal yang mempengaruhi jumlah cahaya yang diintersepsi oleh tanaman, antara lain: (i) ukuran, bentuk dan orientasi daun, (ii) distribusi daun dalam tajuk serta tinggi tanaman yang timbul akibat adanya kombinasi species tanaman (multistrata antara tanaman tahunan dan semusim), pola pertanaman (terutama jarak tanam) dan perbedaan waktu tanam . (Rozari 1987; Baharsyah 1991; Koesmaryono 1999). Hal ini yang dapat mempengaruhi
intersepsi
cahaya
adalah
perbedaan
pertumbuhan
dan
perkembangan tanaman, perubahan posisi/letak matahari pada waktu satu hari (pagi sampai sore) dan perbedaan musim tanam. Intensitas radiasi surya merupakan absorbsi energi matahari yang merupakan fungsi dari sudut sinar matahari yang mencapai bagian lengkung dari permukaan bumi. Sinar yang sudut datangnya miring, kurang memberikan energi karena tersebarnya energi pada permukaan yang luas, begitu juga dengan sinar yang menembuh lapisan atsmosfir yang tebal. Besarnya variasi jenis tanaman tahunan, tingkat umur, struktur daun dan kerapatan tanaman juga sangat menentukan intersepsi dan intensitas radiasi surya. Daun tanaman yang tersebar tidak merata, sehingga cahaya yang masuk melalui tajuk atau sebahagian diloloskan dan sebagian ditransmisikan. Transmisi cahaya berbeda diantara daun terkait adanya perkembangan daun, tertutama pada ketebalan daun dan kandungan pigmen sperti klorofil. Intersepsi merupakan selisih antara radiasi yang datang dengan radiasi yang diteruskan (Lakitan 1997; Rozari 1987; Kartasapoetra 2007; Handoko 1994).
58
35 30
Suhu (0C)
33
32 28
25
23
20
18 17
15 10
17
35 30
25
26
25
19
20
20
10
15
17 16
10
9
5
5
5
0
0 200
0
0
400
600
800
27
0
4 3 0 200
Talas
20 16
400
600
30
31
23
24
18
19
800
Jagung
CO2 (mol CO2 m-2s-1) Gambar 12. Laju asimilasi tanaman talas dan jagung dengan peningkatan CO 2 pada suhu yang berbeda dalam perlakuan N1 pada zona C Fluktuasi suhu udara di bawah naungan juga akan berdampak kepada suhu dipermukaan tanaman, khususnya pada daun. Pada gambar 11 dan 12, menunjukkan laju asismialsi pada peningkatan suhu di sekitar daun tanaman talas dan jagung pada zona A dan C. Suhu udara di bawah naungan berhubungan erat dengan kesetimbangan CO 2 di daerah daun. Pada suhu 24o C kesetimbangan CO 2 sekitar
60 molCO 2 m-2s-1 .
Pada Gambar 11 (Zona A) ditunjukkan bahwa
peningkatan suhu daun dari 180C ke 30 0C (talas) dan suhu 150C ke 28 0C (jagung), menyebabkan laju asismilasi bertambah besar, hal ini hampir sama dengan suhu daun tanaman pada zona C. Produksi biomassa tanaman akan berkurang jika kandungan CO 2
pada permukaan daun mencapai titik
kompensasinya, yang umumnya terjadi pada siang hari saat matahari terik dan kecepatan angin sangat rendah. Hal ini juga bisa terjadi pada sistem pertanaman agroforestri, karena perbedaan strata kanopi tanaman, terutama pada strata tanaman yang paling bawah. Suhu mempengaruhi laju evaporasi dan laju kehilangan air dari tanaman. Suhu sangat berperan langsung setiap fungsi dari tumbuhan dengan mengontrol laju proses-proses kimia dalam tumbuhan tersebut, sedangkan berperan tidak langsung dengan mempengaruhi faktor-faktor lainnya terutama suplai air.
59
Kondisi Umum Tanaman pada Berbagai Tingkat Naungan di beberapa Zona Agroklimat Pertumbuhan tanaman tomat, talas, cabe rawit dan jagung manis menunjukkan perbedaan antar perlakuan naungan, demikian juga terdapat perbedaan respon tanaman terhadap perbedaan zona agroklimat. Pada kondisi naungan N1 (230-300 kal/cm2/hari), semua jenis tanaman terpilih mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik serta tidak berda nyata dengan kondisi perlakuan terbuka (> 300 kal/cm2/hari). Pada kondisi naungan N2 (120–230 kal/cm2/hari), keempat jenis tanaman menunjukkan respon yang berbeda terhadap naungan. Berbeda halnya pada perlakuan N3 dengan intensitas radiasi surya sekitar 70 – 120 kal/cm2/hari), semua jenis tanaman menunjukkan pertumbuhan dan produksi yang sangat rendah, bahkan beberapa tanaman semusim kondisinya sangat tertekan hingga tidak mampu berproduksi. Respon morfo-fisiologi tanaman semusim menunjukkan bahwa pada perlakuan pada kondisi N0 vs N1 pada zona agroklimat, hampir semua jenis tanaman tidak berbeda nyata. Lain halnya pada perlakuan N0 vs N2, tanaman semusim menunjukkan perbedaan yang nyata, terutama pada parameter fisiologi tanaman. Perbedaan ini sangat berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan dan produksi tanaman. Perbedaan zona agroklimat juga perpengaruh terhadap daya adaptasi tanaman di masing-masing zona. Pada Tabel 8, 9 dan 10 secara umum menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada hampir semua parameter morfo-fisiologi tanaman. Respon tanaman pada masing-masing zona agroklimat diduga akibat
pengaruh kondisi lingkungan setempat, terutama faktor
suhu/temperatur lingkungan. Tinggi rendahnya suhu menjadi salah satu faktor yang menentukan tumbuh kembang, reproduksi dan juga kelangsungan hidup dari tanaman. Suhu yang baik bagi tumbuhan adalah antara 22-37o C. Temperatur yang lebih atau kurang dari batas normal tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan yang lambat atau berhenti. Faktor kelembaban udara udara juga berpengaruh pada perbedaan tingkat naungan dan zona agroklimta. Kandungan uap air di dalam udara dapat mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan tumbuhan. Tempat yang lembab
60
Tabel 8. Respon morfo-fisiologibeberapa tanaman semusim terhadap naungan di zona agroklimat A Parameter
Tinggi tanaman (cm) ILD Intersepsi (%) Koefisien penyirnaan Klorofil a(mg/g) Klorofil b(mg/g) Klorofil a/b Laju fotosintesis (µmol.m-2.detik-1) CO 2 internal (ppm) Konduktansi stomata (µmol s-1) Laju transpirasi (mmol.m-2.detik-1) Photosyntetic active radiation (PAR) (µmol.m-2. detik-1) Tinggi tanaman (cm) ILD Intersepsi (%) Koefisien penyirnaan Klorofil a(mg/g) Klorofil b(mg/g) Klorofil a/b Laju fotosintesis (µmol.m-2.detik-1) CO 2 internal (ppm) Konduktansi stomata (µmol s-1) Laju transpirasi (mmol.m-2.detik-1) Photosyntetic active radiation (PAR) (µmol.m-2. detik-1) Keterangan : * = nyata,
Perlakuan/Naungan N1 N2 Tomat 74.2 77.8 85.6 1.7 1.5 1.4 49.5 47.6 46.8 2.6 2.2 2.1 1.8 1.9 2.2 1.2 1.5 1.9 1.5 1.27 1.16 16.2 15.88 14.7 183.2 178.6 176.6 0.51 0.48 0.38 0.54 0.52 0.49 N0
Perbedaan N0-N1 N0-N2 tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
* tn tn tn tn tn tn tn tn * tn
Perlakuan/Naungan N1 N2 Cabai rawit 75.5 77.5 89.2 1.6 1.2 0.8 46.3 44.3 38.5 1.8 1.6 1.1 1.0 1.5 1.7 0.5 0.7 1.3 2.0 2.1 1.3 11.8 9.2 6.7 165.4 158.7 141.5 0.48 0.41 0.36 0.43 0.40 0.39 N0
720.5
568.5
480.58
*
*
710.56
552.56
110.5 1.9 59.5 2.5 1.5 1.1 1.4 13.35 177.5 0.52 0.60
112.2 1.7 58.7 2.3 1.6 1.4 1.1 12.95 174.7 0.51 0.58
Talas 125.5 1.2 57.1 2.2 2.1 1.8 1.2 12.78 172.4 0.45 0.55
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
* tn tn tn tn tn tn tn tn * *
157 1.3 46.7 1.5 1.2 0.6 2.0 9.6 148.5 0.41 0.50
161 1.1 44.2 1.2 1.5 0.7 2.1 7.2 140.5 0.35 0.47
715.58
560.5
478.5
*
*
705
545.25
458.25
Jagung manis 169 0.8 37.6 1.1 1.6 0.8 2.0 4.6 130 0.32 0.41 441.56
Perbedaan N0-N1 N0-N2 tn tn tn tn tn tn tn * * * tn
* * * * * * * * * * tn
*
*
tn tn tn tn tn tn tn * * * tn
* * * * * * * * * * *
*
*
tn = tidak nyata dengan uji t α 0.05
61
menguntungkan bagi tumbuhan di mana tumbuhan dapat mendapatkan air lebih mudah serta berkurangnya penguapan yang akan berdampak pada pembentukan sel yang lebih cepat. Hal lain yang cukup berpengaruh adalah intensitas radiasi surya untuk dapat melakukan fotosintesis. Jika suatu tanaman kekurangan cahaya matahari, maka tanaman tersebut tampak lebih pucat dan warna tanaman itu kekuning-kuningan (etiolasi). Pengaruh tingkat naungan pada sistem agroferestri di berbagai zona agroklimat, berbeda nyata terhadap komponen pertumbuhan tanaman semusim, terutama terhadap tinggi tanaman, ILD dan produksi. Tingkat naungan yang berbeda di masing-masing zona agroklimat menunjukkan perbedaan parameter morfo-fisiologi, hal ini berpengaruh terhadap aktivitas pertumbuhan tanaman. Tanaman semusim yang mempunyai karakter morfo-fisologi yang baik, mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap tingkat naungan.
Hasil
pengamatan beberapa karakter morfo-fisiologi tanaman menunjukkan bahwa tanaman semusim yang sesuai di masing-masing zona agroklimat tersebut mempunyai intersepsi, koefisien penyirnaan/pemadaman, indeks luas daun, klorofil a, klorofil dan ratio klorofil a/b, yang lebih baik dibanding dengan tanaman lainnya.
Perlakuan
perbedaan tingkat intensitas radiasi surya pada
sistem agroforestri, berpengaruh terhadap intersepsi dan distribusi radiasi surya serta menghasilkan spektrum cahaya yang berbeda. Perbedaan tingkat naungan menyebabkan perubahan transmisi radiasi matahari sehingga terjadi perubahan iklim mikro di sekitar tanaman semusim. Hal ini berdampak kepada unsur iklim lainnya atau berupa turunnya suhu udara dan evapotranspirasi, serta meningkatnya kelembaban relatif. Kondisi lingkungan tersebut mengakibatkan perbedaan aktivitas fosiologi pada tanaman seperti fotosintesis, transpirasi dan respirasi. Mekanisme iklim mikro di sekitar tanaman merupakan mekanisme massa dan energi yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi radiasi surya ke dalam tajuk meliputi, sudut berdirinya daun, sifat permukaan daun, ketebalan dan ukuran daun serta proporsi dari radiasi langsung dan baur pada tajuk tanaman ( June 1993).
62
Respon Morfo-fisiologi Tanaman Terhadap Naungan Agroklimat
di berbagai Zona
Karakter morfo-fisiologi tanaman yang umum digunakan untuk mengukur respon tanaman terhadap naungan antara lain: laju fotosintesis, CO 2 internal, kandungan klorofil, respirasi, konduktasi stomata, laju transpirasi dan photosyntetic active radiation (PAR). Beberapa parameter lain yang digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan tanaman, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan tingkat naugan antara lain: tinggi tanaman, indeks luas daun (ILD), koefisien penyirnaan/pemadaman dan intersepsi radiasi surya (Chozin et al 2000;; Santosa 2000; Soepandi et al. 2003; Soepandi et al. 2006). Pengamatan karakter morfo-fisiologi tanaman dilakukan pada 4 (empat) taraf naungan yaitu N0, N1, N2 dan N3 di berbagai zona agroklimat. Pada tingkat naungan N3 (sekitar 70-75% penutupan kanopi tegakan tanaman tahunan), hampir semua parameter yang diamati menunjukkan hasil yang sangat rendah. Salah satu contoh pengamatan karakter morfo-fisiologi tentang laju fotosintesis dan konduktan stomata pada tanaman tomat dan jagung pada perbedaan tingkat naungan di zona agroklimat A dan C (Gambar 13), menunjukkan bahwa laju fotosintesis yang rendah diikuti oleh nilai konduktansi stomata yang semakin kecil. Pada kondisi naungan N3 pada zona A, laju fotosintesis tanaman dan konduktansi stomata tanaman tomat (9.8 µmol.m-2.detik-1 dan 0.3 µmol s-1) ) dan pada tanaman jagung (3.2 µmol.m-2.detik- 1 dan 0.25 µmol s-1) sedangkan pada zona C, laju fotosintesis tanaman dan konduktansi stomata pada tanaman tomat(6.5 µmol.m-2.detik-1 dan 0.24 µmol s-1) ) dan pada tanaman jagung (12.0 µmol.m-2.detik- 1 dan 0.45 µmol s-1). Pengamatan parameter morfo-fisiologi, jika dilihat dari perbandingan hasil antar zona agroklimat, maka zona A hampir sama hasilnya dengan zona B, dan zona B hampir sama hasilnya dengan zona C. Begitu juga dengan tingkat naungan, N0 dan N1 hampir sampa hasilnya dan N1 dan N2 hampir sama hasilnya.
Sehingga untuk pembahasan selanjutnnya lebih ditekankan kepada
kondisi naungan dan zona yang lebih ekstrim perbedaan hasilnya yaitu N0 Vs N2 dan zona A dan zona C.
63
Konduktansi stomata Tomat
Konduktansi stomata jagung
21
0.7
18
0.6 0.5
15
0.4
12
0.3
9 6
0.2
Zona A
3
0.1 NO
N1
N2
N3
0
21
0.7
18
0.6 0.5
15
0.4
12
0.3
9 6
0.2 0.1
Zona C
3
Kondusksi Stomata (µmol s-1)
Laju fotosintesis Jagung
Kondusksi Stomata (µmol s-1)
Laju Fotosintesis (µmol.m-2.detik-1) Laju Fotosintesis (µmol.m-2.detik-1)
Laju fotosintesis Tomat
0 NO
N1
N2
N3
Gambar13. Laju fotosintesis dan konduktan stomata tanaman tomat dan jagung pada berbagai tingkat naungan di zona agroklimat A dan zona agroklimat C Tinggi Tanaman dan Indeks Luas Daun. Tabel 8, Tabel 9 dan 10 hasil pengukuran tinggi tanaman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ketinggian pada naungan NO, N1 dan N2.
Tinggi tanaman semakin bertambah dengan
semakin tingginya tingkat naungan, terutama diperlakuan N2 dengan intensitas radiasi surya sekitar 120–230 kal/cm2/hari. Berbeda halnya dengan nilai dari ILD, semakin tinggi tingkat naungan maka nilai ILD semakin kecil. Pada zona A, tanaman tomat dan talas yang memiliki karakter morfofisiologi dan produksi yang tinggi dibanding dengan tanaman lainnya. Tinggi tanaman tomat dan talas pada perlakuan N0 dan N2 berbeda nyata, namun tidak mempengaruhi produksi. Parameter ILD pada semua tingkat naungan tidak berbeda nyata yaitu pada tanaman tomat N0 (1.7 ) dan N2 (1.4) dan talas N0 (1.8) dan N2 (1.7). Berbeda dengan tanaman cabai rawit dan jagung manis, tinggi
64
tanaman dan ILD, pada perlakuan N0 Vs N2 berbeda nyata namun pada N0 vs N1 tidak berbeda nyata. Meningkatkannya tinggi tanaman pada perlakuan N2 dibanding dengan N0, diduga akibat perubahan kualiatas cahaya ke arah merah jauh (Far Red) pada kondisi ternaungi. Warna merah jauh dapat menyebabkan pemanjangan batang (Salisbury dan Ross 1995; Taiz dan Zeiger 2002). Indeks luas daun (ILD), yang merupakan perbandingan total luas daun terhadap area yang ditutupi oleh tajuk tanaman. Hasil pengukuran terhadap tinggi tanaman dan ILD pada zona B dan C, menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh memiliki pola yang hampir sama dengan pada zona A, yaitu nilainya memiliki keragaman yang cukup tinggi, karena dipengaruhi oleh fase-fase pertumbuhan dan jenis tanaman semusim dan perbedaan tingkat penutupan tajuk tegakan kehutanan. Indeks luas daun pada keempat tanaman semusim dengan sistem agroforestri, berkaitan dengan radiasi yang diintersepsi yaitu radiasi yang tertahan oleh tanaman dan tidak sampai ke permukaan tanah atau ke bagian permukaan tajuk pada ketinggian tanaman tertentu yang lebih rendah. Besarnya radiasi yang diintersepsi tergantung struktur tanaman dalam tegakan komunitas, struktur daun, batang, cabang, dan warna individu tanaman. Jumlah cahaya matahari yang masuk ke tanaman menembus melalui tajuk dipengaruhi oleh indeks luas daun (ILD), pola penempatan daun, dan struktur dari daun tersebut. Intersepsi, Koefisien Penyirnaan dan PAR.
Hasil pengamatan
terhadap intersepsi, koefisien penyirnaan dan Photosyntetic active radiation (PAR) pada berbagai zona agroklimat disajikan pada Tabel 8, Tabel 9 dan 10. Nilai intersepsi dan koefisien penyirnaan menurun dengan tingginya tingkat naugan. Jumlah radiasi yang diintersepsi tanaman semusim, dapat digunakan untuk mereduksi CO2 menjadi karbohidrat untuk menyusun struktur tanaman, hal ini juga berkaitan erat dengan tingkat produksi biomassa tanaman. Pada zona A nilai intersepsi cukup tinggi pada naungan N2 adalah tanaman talas dan tomat (57% dan 46%), sedangkan cabe dan jagung manis lebih rendah yaitu 38%.5 dan 37.6%. Berbeda halnya dengan pada zona agroklimat C, tanaman tanaman cabe rawit dan jagung yang nilai cukup tinggi nilainya yaitu 53.5% dan 52.5 %, sedangkan pada tanaman talas
dan tanaman tomat lebih rendah yaitu 39.2% dan 33.2%.
65
Tabel 9. Respon morfo-fisiologifisiologi beberapa tanaman semusim terhadap naungan di zona agroklimat B Parameter Tinggi tanaman (cm) ILD Koefisien penyirnaan Intersepsi (%) Klorofil a(mg/g) Klorofil b(mg/g) Klorofil a/b Laju fotosintesis (µmol.m-2.detik-1) CO 2 internal (ppm) Konduktansi stomata (µmol s-1) Laju transpirasi (mmol.m-2.detik-1) Photosyntetic active radiation (PAR) (µmol.m-2. detik-1) Tinggi tanaman (cm) ILD Intersepsi (%) Koefisien penyirnaan Klorofil a(mg/g) Klorofil b(mg/g) Klorofil a/b Laju fotosintesis (µmol.m-2.detik-1) CO 2 internal (ppm) Konduktansi stomata (µmol s-1) Laju transpirasi (mmol.m-2.detik-1) Photosyntetic active radiation (PAR) (µmol.m-2. detik-1) Keterangan : * = nyata,
Perlakuan/Naungan N1 N2 Tomat 73.5 75.7 82.5 1.3 1.2 0.8 2.2 1.6 1.5 45.1 40.6 33.8 1.2 1.3 1.6 0.6 0.8 1.0 2.0 1.63 1.60 12.9 11.1 9.2 151.65 148.6 132.5 0.46 0.4 0.32 0.48 0.44 0.4 N0
Perbedaan N0-N1 N0-N2 tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
* * * * * * * * * * tn
Perbedaan Perlakuan/Naungan N1 N2 N0-N1 N0-N2 Cabai rawit 80.4 87.5 90.1 tn * 2.1 1.9 1.8 tn tn 2.6 2.4 2.3 tn tn 59.3 57.8 56.7 tn tn 1.8 1.9 2.4 tn tn 0.8 1.6 1.7 tn tn tn 14.5 14.8 13.9 tn tn 172.7 168.6 165.5 tn tn 0.53 0.50 0.40 tn tn 0.48 0.45 0.37 tn * N0
712.56
595.25
421.6
*
*
820.25
654.5
492.26
*
*
115.5 1.8 58.1 2.3 1.7 1.1 1.5 14.8 179.6 0.53 0.68
117.2 1.7 56.4 2.2 1.8 1.3 1.4 14.6 177.5 0.49 0.65
Talas 128.5 1.7 55.7 2.1 2 1.6 1.3 14.3 175.8 0.48 0.56
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
* tn tn tn tn tn tn tn tn tn *
167 1.8 52.5 2.3 1.7 0.9 1.9 13.89 170.85 0.50 0.60
175 1.4 51.1 2.0 1.8 1.2 1.5 13.01 165.5 0.48 0.57
Jagung manis 189 1.2 49.2 1.8 1.8 1.5 1.2 12.35 157.8 0.39 0.48
tn tn tn tn tn tn tn * * tn tn
* * * * * * * * * * *
831.56
678.5
520.5
*
*
750.26
635.25
481.56
*
*
tn = tidak nyata dengan uji t α 0.05
66
Pengamatan terhadap PAR pada naungan N2, hasil menunjukkan bahwa tanaman tomat dan talas yang mempunyai nilai yang tinggi 1.
478.5 µmol.m-2. detik-
yaitu 480.5 dan
Pada pengamatan koefisien penyirnaan di naungan N2
di zona A dan C, juga terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Tomat dan Talas lebih tinggi di zona A (2.1 dan 2.2), cabe rawit dan jagung (1.1 dan 1.1). Pada zona agroklimat C, justru terjadi sebaliknya yaitu tanaman jagung dan cabe yang lebih tinggi yaitu 2.3 dan 2.1.
Intensitas radiasi surya pada sistem agroforestri
akan berkurang pada strata tanaman yang lebih rendah, yaitu pada tanaman semusim. Hal ini terkait dengan adanya pemadaman/penyirnaan cahaya matahari yang berkurang pada lapisan daun, pada kondisi ini terjadi proses penyaringan gelombang cahaya aktif oleh lapisan daun pada strata yang lebih tinggi. Nilai koefisien
pemadaman
(extinction coefficient = k) pada tanaman
merupakan pencerminan laju pengurangan radiasi yang dilakukan kanopi/tajuk tegakan tanaman tahunan menuju tajuk tanaman semusim hingga ke permukaan tanah. Nilai ini juga dapat menggambarkan strutur kanopi tanaman. Nilai yang ditunjukkan adalah semakin tinggi tingkat naungan maka semakin rendah nilainya. Hal lain yang berpengaruh adalah jenis tanaman, komposisi dan umur tanaman tersebut pada sistem agroforestri. Tanaman semusim di bawah tegakan yang mempunyai tingkat adaptasi tinggi dimasing-masing zona agroklimat dan tingkat naungan, mumpuyai koefisien pemadaman cahaya yang lebih tinggi dibanding dengan tanaman yang peka, tanaman toleran mempunyai kemampuan tajuk untuk mereduksi cahaya. Nilai semakin tinggi maka kemampuan menghambatnya akan tinggi, cahaya akan terhambat. Apabila nila koefisien kurang dari 1,0, maka hal tersebut berkaitan dengan transmisivitas. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai pemadaman cahaya, diantaranya adalah struktur dari tajuk, kerapatan tajuk (kerapatan daun yang menyusun tajuk), tajuk daun yang rapat nilainya akan semakin tinggi, sudut daun yaitu sudut yang dibentuk oleh helaian daun terhadap batang serta warna daun, apabila berwarna lebih gelap maka kemampuan menyerap lebih tinggi sehingga yang diteruskan semakin sedikit sehingga nilainya lebih tinggi. Pada tingkat naungan N2 (sekitar 40-50% naungan) dibandingkan dengan perlakuan N0 (kontrol) tidak berbeda nyata pada karakter: laju fotosintesis, CO 2
67
internal, konduktansi stomata dan PAR, kecuali laju transpirasi berbeda nyata.. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat naungan N2, aktivitas fotosintesis masih berlangsung dengan baik dan mampu berproduksi secara optimal. Jika ditinjau dari nilai aktivitas fotosintesis, maka tanaman tomat lebih toleran dibanding dengan tanaman talas di zona agroklimat A.
Hasil ini menujukkan bahwa
tanaman tomat maupun talas toleran terhadap naungan hingga 40-50%. Perbedaan intensitas radiasi surya pada tanaman talas dan cabai rawit pada setiap zona agroklimat menunjukkan bahwa nilai laju fotosintesis dan Photosyntetic Active Radiation (PAR)
menurun seiring dengan rendahnya
intensitas surya (Tabel 8, 9 dan 10). Namun penurunan tersebut tidak terlalu mempengaruhi produksi. Hal ini dapat diketahui dengan masih tingginya produksi dibanding dengan kontrol. Pancaran gelombang cahaya tampak (380-700 nm), dimanfaatkan oleh tanaman untuk berfotosintesis. Cahaya tampak terbagi atas cahaya merah (610 - 700 nm), hijau kuning (510 - 600 nm), biru (410 - 500 nm) dan violet (< 400 nm). Masing-masing jenis cahaya berbeda pengaruhnya terhadap fotosintesis. Hal ini terkait pada sifat pigmen penangkap cahaya yang bekerja dalam fotosintesis. Pigmen yang terdapat pada membran grana menyerap cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu. Pigmen yang berbeda menyerap cahaya pada panjang gelombang yang berbeda. Pada kondisi naungan N0 maupun N2 pada semua zona agroklimat menunjukkan bahwa peningkatan PAR berkorelasi positif dengan laju fotosintesis. Disamping pengaruh radiasi surya yang diterima dalam bentuk PAR,laju fotosintesis juga dipengaruhi koleh tingkat ketersediaan air, CO 2 , umur daun dan hara tanaman. Pengaruh kualitas cahaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman diketahui bahwa spektrum yang nampak diperlukan. Apabila tanaman ditumbuhkan pada cahaya biru saja daunnya akan berkembang secara normal, namun batangnya akan menunjukkan tanda-tanda terhambat pertumbuhannya. Apabila tanaman ditumbuhkan pada cahaya kuning saja, cabang-cabangnya akan berkembang tinggi dan kurus dengan buku (internode) yang panjang dan daunnya kecil-kecil. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa cahaya biru dan merah memegang peranan penting untuk berlangsungnya proses fotosintesis (Lakitan 1997; Salisbury dan Ross 1995; Rozari 1987).
68
Tabel 10. Respon morfo-fisiologi beberapa tanaman semusim terhadap naungan di zona agroklimat C Parameter Tinggi tanaman (cm) ILD Intersepsi (%) Koefisien penyirnaan Klorofil a(mg/g) Klorofil b(mg/g) Klorofil a/b Laju fotosintesis (µmol.m-2.detik-1) CO 2 internal (ppm) Konduktansi stomata (µmol s-1) Laju transpirasi (mmol.m-2.detik-1) Photosyntetic active radiation (PAR) (µmol.m-2. detik-1) Tinggi tanaman (cm) ILD Intersepsi (%) Koefisien penyirnaan Klorofil a(mg/g) Klorofil b(mg/g) Klorofil a/b Laju fotosintesis (µmol.m-2.detik-1) CO 2 internal (ppm) Konduktansi stomata (µmol s-1) Laju transpirasi (mmol.m-2.detik-1) Keterangan : * = nyata,
Perlakuan/Naungan N1 N2 Tomat 71.2 74.6 78.1 1.1 0.8 0.6 40.4 38.5 33.2 1.6 1.4 0.7 1.0 1.2 1.4 0.5 0.6 0.9 2.0 2.00 1.56 9.9 8.6 5.3 141.78 131.6 121.8 0.40 0.36 0.30 0.37 0.36 0.35 N0
Perbedaan N0-N1 N0-N2 tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
* * * * tn * * * * * tn
Perbedaan Perlakuan/Naungan N1 N2 N0-N1 N0-N2 Cabai rawit 81.6 86.4 91.4 tn * 2 1.9 1.7 tn * 57.5 54.7 53.5 tn tn 2.5 2.3 2.1 tn tn 1.8 1.9 2.6 tn tn 1.3 1.6 1.7 tn tn 1.4 1.2 1.5 tn tn 15.4 15.2 14.5 tn tn 171.5 170.8 167.3 tn tn 0.57 0.55 0.53 tn tn 0.54 0.51 0.40 tn * N0
750.25
610.25
450.26
*
*
901.65
725.28
570.58
*
*
115.7 1.5 44.7 1.7 1 0.6 1.7 10.9 160.6 0.58 0.69
118.8 1.2 42.5 1.6 1.4 0.7 2.0 8.9 159.5 0.55 0.67
Talas 130.8 0.8 39.2 1.1 1.5 1.0 1.5 7.1 149.1 0.53 0.58
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
* * * * * * * * * tn *
168 2.6 57.8 2.6 2.5 2.2 1.1 18.7 175.5 0.68 0.62
180 2.3 56.6 2.4 2.6 2.2 1.2 17.4 171.8 0.66 0.59
Jagung manis 192 2.1 52.5 2.3 2.8 2.7 1.0 17.3 168.7 0.63 0.47
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn *
tn = tidak nyata dengan uji t α 0.05
69
Laju Fotosintesis, konduktan stomata dan laju transpirasi. Hasil pengamatan terhadap Laju Fotosintesis, konduktan stomata dan laju transpirasi disajikan pada Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10.
Perbedaan tingkat naungan
menunjukkan respon tanaman yang berbeda terhadap karakter morfo-fisologi. Nilai laju fotosintesis yang tinggi pada naungan N2 di zona A adalah tanaman tomat (14.7 µmol.m-2.detik-1) dan talas (12.78 µmol.m-2.detik-1) sedangkan tanaman cabe rawit dan jagung lebih rendah yaitu 6.7 dan 4.6 78 µmol.m-2.detik-1. Sedangkan pada zona agroklimat C, terjadi sebalikanya, tanaman jagung dan tomat mempunyai nilai laju fotosintesis yang lebih tinggi dibanding dengan tanaman tomat dan talas yaitu : 17.3 dan 14.578 µmol.m-2.detik-1. Laju transpirasi tanaman dan konduktansi stomata pada tanaman talas dan cabai rawit pada kondisi intensitas N0 dan N2. Kecendrungan tersebut hampir sama polanya disemua zona agroklimat. Semakin rendah laju transpirasi maka konduktansi stomata menunjukkan semakin menurun.Walaupun beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan langsung antara peningkatan laju transpirasi dan konduktansi stomata yang tinggi. Laju fotosintesis juga berkaitan dengan suhu disekitar tegakan tanaman tahunan. Peningkatan suhu, maka akan berpengaruh terhadap laju fotosintesis. Hal ini sangat berbeda pada kondisi naungan N0 dan N2 pada semua zona agroklimat. Peningkatan suhu dan laju fotosintesis karena peningkatan aktivitas enzim yang mempertinggi kapasistas pemanfaatan CO 2 . Begitu juga pada pengamatan konduktansi stomata di semua tingkat naungan dan zona, menunjukkan bahwa konduktansi
stomata
terhadap
CO 2
sangat
berpengaruh
terhadap
laju
fotosintesis,semakin tinggi tingkat naungan maka laju fotosintesis semakin rendah dan juga
Intensitas radiasi surya terlalu tinggi akan berdampak terhadap
konduktansi stomata, semakin besar nilainya maka laju fotosintesis semakin tinggi. Peningkatan laju fotosintesis pada setiap tingkat naungan akan mencapai titik maksimum yang selanjutnya akan menjadi konstan. Pada saat konduktansi stomata rendah, secara proporsional menurunkan laju transpirasi. Sehingga air yang berada dalam mesofil daun dapat dimanfaatkan secara efisien pada proses fotokimia dari fotosintesis. Akibat konduktansi stomata lebih rendah akan
70
menyebabkan suhu daun meningkat sebab transpirasi rendah melalui permukaan daun. Besar kecilnya pembukaan stomata merupakan regulasi
terpenting
dilakukan oleh tanaman untuk memasukkan CO 2 sebanyak mungkin dan mengeluarkan H 2 O sesedikit mungkin, untun mencapai efisiensi pertumbuhan yang tinggi (June 2004) CO 2 internal. Hasil pengamatan CO 2 internal semua tingkat naungan dan zona agroklimat disajikan pada Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10. Pada zona agroklimat A di naungan N2, CO 2 internal tertinggi pada tanaman tomat yaitu 176.6 ppm, sedangkan paling rendah adalah jagung yaitu 130 ppm. Sedangkan pada zona agroklimat C, CO 2 internal paling tinggi adalah jagung dengan nilai 168.7 ppm, hampir sama dengan cabai rawit yaitu 167.3 ppm. Sedangkan , CO 2 internal yang paling rendah adalah tomat yaitu 121.8 ppm. Perbedaan beberapa karakter fisiologi tanaman antara zona agroklimat berkaitan erat dengan efisiensi fotosintesis terutama pada saat ternaungi, dan keduanya terdapat interaksi. Penutupan sebagian stomata pada konsentrasi CO 2 internal tinggi merupakan reaksi tanaman untuk mempertahankan konsentrasi CO 2 pada tingkat yang menguntungkan.
Kadar CO 2
internal pada daun
tanaman yang tinggi akan mengakibatkan naiknya nisbah CO 2 terhadap O 2 dalam mesofil daun sehingga laju fotosintesis meningkat dan sebaliknya akan menurunkan laju fotorespirasi (Taiz and Zaiger, 1991). Adanya perbedaan ini akan terutama pada saat ternaungi. konsentrasi
CO 2
internal
berhubungan dengan efisiensi fotosintesis Penutupan sebagian sebagian stomata pada
tinggi
merupakan
reaksi
tanaman
untuk
mempertahankan konsentrasi CO 2 pada tingkat yang menguntungkan. Pada saat konduktansi stomata rendah, secara proporsional menurunkan laju transpirasi Sehingga air yang berada dalam mesofil daun dapat dimanfaatkan secara efisien pada proses fotokimia dari fotosintesis. Akibat konduktansi stomata lebih rendah akan menyebabkan suhu daun meningkat sebab transpirasi rendah melalui permukaan daun (Wolfe, 1994). Hubungan antara konduktansi stomata dan laju transpirasi tanaman. Kadar CO 2 internal pada daun tanaman yang tinggi akan mengakibatkan naiknya nisbah CO 2 terhadap O 2 dalam mesofil daun sehingga laju fotosintesis meningkat
71
dan sebaliknya akan menurunkan laju fotorespirasi (Taiz and Zaiger, 1991). Peningkatan CO 2 dalam mesofil daun akan jauh lebih tinggi pada suhu tinggi dibandingkan pada radiasi rendah (Salisbury and Ross, 1992). Pembukaan dan penutupan stomata dikontrol oleh konsentrasi CO 2 internal dan H 2 O. Meningkatnya CO 2 internal maka konduktansi stomata menurun sehingga stomata menutup sebahagian (Larcher, 1983).
Kerapatan stomata tidak berhubungan
langsung dengan penangkapan cahaya. Oleh sebab itu kerapatan stomata bukanlah termasuk mekanisme penghindara walaupun menentukan tingkat laju fotosintesis. Penurunan kerapatan stomata pada kondisi cahaya 50% mungkin disebabkan oleh suhu yang lebih rendah dan kelembaban yang lebih tinggi. Kondisi demikian, laju transpirasi akan lebih rendah sehingga tanaman mengadaptasikan diri dengan cara menurunkan kerapatan stomata (Logan et al 1999), daun Iris sp (Fahn (1995), padi gogo (Chozin et al. 2000; Sahardi 2000; Lestari 2006), dan kedelai (Jufri 2006; La Muhuria 2007). Kandungan Klorofil. Hasil
penagamtan terhadap kandungan klorofil
tanaman semusim disajikan pada Tabel 8,Tabel 9 dan Tabel 10.
Pada zona A
kandungan klorofil pada tanaman tomat dan talas tidak berbeda pada naungan N0 dan N2, sedagkan pada tanaman cabe rawit dan jaung menunjukkan adanya perbedaaan. Pada zona agroklimat C, tanaman jagung dan cabe rawit tidak berbeda nyata pada perlakuan N0 vs N2, sedangkan talas dan tomat sebaliknya. Kandungan klorofil a, b dan klorofil total berbeda antara setiap tanaman dan antara zona agroklimat, baik pada kondisi naungan N0 maupun pada naungan N2. Pada naungan N2, rata-rata kandungan klorofil a dan b tanaman lebih tinggi sedangkan nibah klorofil a/b lebih rendah dibanding dengan naungan N0. Respon tanaman terhadap cahaya rendah yaitu dengan mengurangi ratio klorofil a terhadap b (Johnton dan Onwueme 1998, Zhao dan Oosterhuis 1998 dan Watanabe et al 1991, Muhuria, 2007). Pada sistem agroforestri, daun tanaman semusim yang ternaungi mempunyai kandungan klorofil b yang lebih tinggi. Tanaman yang ternaungi mengandung klorofil a dan b empat kali lebih banyak per unit volume kloroplas (Lawlor 1987). Penurunan ratio klorofil a/b pada
cekaman naungan untuk
meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya bagi tanaman secara keseluruhan.
72
Klorofil b lebih efisien menangkap cahaya dibanding dengan klorofil a, sehingga respon tanaman lebih diarahkan untuk meningkatkan klorofil b. Peningkatan klorofil b yang tinggi dibanding dengan klorofil a, pada kondisi cahaya rendah karena peranan klorofil b relatif lebih penting, hal ini diduga berkaitan dengan: organisasi kompleks fotosistem, klorofil b berada pada bagian luar dan berhubungan langsung dengan pigmen cahaya yang pertama dan penting, (Hidema et al 1992; Hobe et al. 2003 dan Taiz dan Zeiger 2002). Analisis Kesesuaian Tanaman untuk Sistem Agroforestri di berbagai Zona Agroklimat Berdasarkan hasil analisis morfo-fisiologi tanaman semusim pada berbagai tingkat naungan dan perbedaan zona agroklimat, jika hubungkan dengan produksi tanaman, diperoleh hasil seperti pada Tabel 11.
Hasil tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan tingkat naungan pada masing masing zona memberikan hasil yang cukup signifikan. Tabel 11. Produksi tanaman semusim (kg)/plot pada perbedaan beberapa tingkat naungan dan zona agroklimat Tanaman Tingkat Naungan Zona Semusim Agroklimat N0 N1 N2 N3 Tomat
A B C
15.10 x a 13.40 y a 10.31 z a
14.59 x a 11.39 y b 8.549 z b
13.98 x a 11.00 y b 8.20b z b
8.69 x b 6.83 y c 4.33 z c
Talas
A B C
11.33 x a 11.10 x a 9.53 y a
10.62 x a 9.87 x a 7.98 y b
9.97 x a 9.62 x a 7.82 y b
6.61 x b 5.88 y b 4.80 z c
Cabai rawit
A B C
1.63 x a 2.30 y a 2.12 y a
1.25 x b 2.12 y a 1.89 y a
1.10 x b 1.96 y a 1.80 y a
0.82 x c 1.33 y b 1.22 y b
Jagung manis
A B C
4.70 x a 6.52 y a 7.01 z a
3.76 x b 5.27 y b 6.57 z a
3.60 x b 5.17 y b 6.48 z a
1.93 x c 3.04 y c 4.29 z b
Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama (N0, N1dan N2) berarti berbeda nyata pada uji t (α=5 %) Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama( A, B dan C) berarti berbeda nyata pada uji t (α=5 %)
73
Tanaman tomat pada kondisi naungan 50% mempunyai hasil relatif (% terhadap kontrol) paling tinggi di zona A yaitu sekitar 13.98 kg/plot (85.8%), kemudian tanaman talas 9.97 kg/plot (84.5%), sedangkan tanaman cabai rawit 1.10 kg/plot (82.6%) dan jagung 3.76 kg/plot (76.5%). Pada zona A dan B, tanaman talas mempunyai produksi yang lebih baik, sedangkan pada zona B dan C tanaman cabai rawit mempunyai hasil relatif terhadap kontrol yang paling tinggi, serta pada zona C tanaman jagung mempunyai nilai yang paling tinggi terhadap persentase terhadap kontrol yaitu 6.48 kg/plot (86.5%). Hasil analisis kesesuaian tanaman untuk sistem agroforestri di berbagai zona agroklimat yang didasarakan pada seluruh parameter
morfo-fisiologi dan
produksi tanaman pada masing-masing tingkat naungan dan masing-masing zona agroklimat, diperoleh tanaman semusim yang sesuai untuk sistem agroforestri di masing-masing zona agroklimat dan tingkat naungan (Gambar 14). Tanaman tomat dan talas sesuai pada zona agroklimat A dan B, tanaman talas dan cabai pada zona agroklimat B dan C serta tanaman jagung dan cabai rawit sesuai pada agroklimat C.
Zona B
Zona A
TOMAT
TALAS
Zona C
CABAI
JAGUNG
Gambar 15. Kesesuaian tanaman berdasarkan perbedaan zona agroklimat A, B dan C .
74
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Tingkat naungan pada tegakan tanaman kehutanan
dengan sistem
agroforestri menyebabkan perbedaan karakteristik iklim mikro di masingmasing zona agroklimat. Titik kritis untuk pengembangan agroforesri diperoleh pada
intensitas radiasi surya 120-230 kal/cm2/hari atau pada
perlakuan N2 dengan tingkat penutupan tajuk sekitar 40-50%. 2.
Hasil
analisis
respon
morfo-fisiologi
tanaman
semusimpenyusun
agroforestri pada berbagai tingkat naungan dan zona agroklimat, menunjukkan
bahwa
karakter
fisiologi
yang
paling
berpengaruh
adalahkonduktansi stomata, peningkatan klorofil b lebih tinggi dibanding klorofil a
yang ditunjukkan dengan penurunan ratio klorofil a/b.CO 2
internal, Photosyntetic Active Radiation (PAR), laju fotosintesis. Parameter fisiologi tersebut sangat erat kaitannya dengan intersepsi radiasi surya dan koefisien penyirnaan. 3.
Hasil analisis kesesuaian tanaman untuk sistem agroforestri di berbagai zona agroklimatdiperolehhasilsebagaiberikut: Tanaman tomat hanya sesuai di zona agroklimat A; tanaman talas sesuai pada zona agroklimat A dan B; tanaman cabai rawit sesuai pada zona agroklimat B dan C serta tanaman jagung hanya sesuai pada zona agroklimat C.
75
ANALISIS PRODUKTIVITAS LAHAN DAN ANALISIS FINANSIAL SISTEM AGROFORESTRI DI BERBAGAI ZONA AGROKLIMAT Analysis of land productivity and financial analysis of the agroforestry system in some agro-climate zones The results of the third-stage experiment showed that the agroforestry systems in three agro-climate zones were technically and economically feasible based on the land productivity and financial analyses. In the agro-climate zone A, that is, the agroforestry system with cinnamon stands the composition and the best annual crops were carrot and tomato, Land Equivalen Ratio (LER) N0 = 1.55 and N2 = 159, NPV Rp 9.101.318, BCR = 2.89 and IRR 49%, In zone B with albazia stands, the best crops were taro and chili pepper. Zone C consisted of mindi timber stands and sweet corn, LER in N0 = 1.64 and N2 =165, NPV Rp. 10.865.887, BCR= 2.96 and IRR= 52%. Zone C consisted of mindi timber stands and sweet corn, LER in N0 = 2.20 and N2 = 2.27, NPV= Rp. 8.849.687, BCR 2.93 and IRR = 57%. Key words: agroforestry, agroclimate zone, financial analyses, land productivity
Latar Belakang Sumber daya lahan dibagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) banyak mengalami kerusakan karena penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan serta kurang berjalannya usaha konservasi tanah. Faktor lain adalah masih kurangnya informasi tentang parameter sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi keputusan para penggarap lahan untuk melaksanakan usahatani. Sistem pertanaman pada periode waktu tertentu, baik semusim maupun sepanjang tahun,
secara garis besar pola tanam dibagi menjadi: pola tanam
tunggal (monocropping) dan pola tanam ganda (multiple cropping). Pada pola tanam ganda dibagi lagi menjadi pola tanam campuran dan tumpang sari. Kedua pola tanam ini terdapat lagi berbagai jenis-jenis pola tanam tergantung dari tujuan usahatani dan kondisi lahan setempat.
Penanaman antara tanaman semusim
dengan tanaman tahunan/kehutanan dengan sistem agroforestri telah banyak diterapkan sebagi komplemen teknologi konservasi lahan. Sistem agroforestri merupakan teknik penggunaan lahan yang sesuai untuk dilakukan di lahan yang sempit pada lahan kering. Selain produksinya yang berkesinambungan berupa produk non kayu (tanaman semusim) sebagai hasil bulanan/mingguan dan produk
76
kayu sebagai hasil tahunan, juga untuk kelestarian lingkungan. Sistem ini mampu memberikan
pendapatan
yang
cukup
tinggi
bagi
masyarakat
dan
berkesinambungan karena memiliki resiliensi yang tinggi (Darusman 2002) Sistem agroforestri merupakan salah satu tipe penggunaan lahan yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di daerah tropis, khususnya untuk tanah-tanah marginal dan untuk merehabilitasi lahan yang tidak produktif dalam rangka pemanfaatan sumber daya lahan yang optimal. Agroforestri merupakan sistem dan teknologi penggunaaan lahan yang mengkombinasikan produksi tanaman semusim dan tahunan pada unit lahan yang sama. Sistem ini mampu memberikan
pendapatan
yang
cukup
tinggi
bagi
masyarakat
dan
berkesinambungan karena memiliki resiliensi yang tinggi. Sistem agrofrestri dengan kombinasi tanaman seperti pada sistem tumpang sari merupakan bentuk pertanaman ganda yang dapat meningkatkan produktivitas lahan. Beberapa keuntungan dari sistem ini adalah efisiensi penggunaan air dan lahan, mengurangi populasi gulma dan memberikan peningkatan pendapatan total pada sistem usahatani (Kusmarini 2002, Arifin 2002, Wijayanto 2002 dan Nair 1993, Chozin 2006).
Tujuan Penelitian adalah :
1.
Menganalisis efisiensi pemanfaatan lahan sistem monokultur dan tumpangsari antar tanaman semusim pada sistem agroforestri.
2.
Menganalisis sistem agroforestri berdasarkan nilai ekonomi usahatani pada setiap zona agroklimat.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dengan beberapa zona agroklimat, Kabupaten Bogor. Penelitian dimulai bulan Maret 2006
hingga Juni
2007. Data produksi tanaman diperoleh dari
pengambilan sampel sistem agroforestri, pada masing-masing zona agroklimat, yang merupakan rangkaian dari percobaan I dan II pada bab terdahulu.
77
Pengambilan data produksi dilakukan pada dua musim tanam (musim kemarau dan musim hujan) dengan analisis pemanfataan lahan di bawah tegakan, yang didasarkan kombinasi tanaman semusim,
jenis tanaman, waktu tanam.
Pengambilan data primer melalui kuesioner terhadap petani dan data sekunder yang diambil dari instansi terkait. Peubah yang diamati adalah:
1. Menentukan pola tanam pergiliran tanaman, komposisi dan jenis tanaman semusim penyusun sistem agroforestri. 2. Efisiensi sistem agroforestri dilakukan perhitungan Nilai Kesetaraan Lahan (NKL) NKL =
𝐻𝐴1 𝐻𝐴2
+
𝐻𝐵1 𝐻𝐵2
HA1 = Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara tumpangsari. HB1 = Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara tumpangsari. HA2 = Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara monokultur. HB2 = Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara monokultur 3. Analisis usaha tani dilakukan dengan menghitung pemasukan, pengeluaran serta keuntungan. Tingkat keberlanjutan sistem agroforestri
ditentukan
dengan analisis Benefit/Cost ratio (B/C ratio) dan Net Present Value (NPV). Sistem usahatani ini layak dikembangkan jika B/C ratio ≥ 0 dan NPV positif. Keterangan :
n
NPV = ∑ t=1
Bt - Ct t (1 + i)
Bt Ct n i
= penerimaan kotor petani pada tahun t = biaya usahatani pada tahun t = umur ekonomis usahatani = discount rate
n
∑
Bt t + i)
t=1 (1
NBCR =
n
∑
Ct t t=1 (1 + i)
Keterangan : Bt Ct n i
= penerimaan kotor petani pada tahun t = biaya kotor dalam usahatani pada tahun t = umur ekonomis usahatani = discount rate
78
HASIL DAN PEMBAHASAN Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL) Berdasarkan hasil analisis usahatani pada beberapa zona agroklimat, menunjukkan
bahwa
terdapat
perbedaan
sistem
pengelolaan
usahatani
agroforestri. Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan ini antara lain adalah perbedaan luasan lahan yang dimiliki oleh petani, jenis komoditi yang ditanam, dan pola pergiliran tanaman. Rata-rata luas lahan yang dikelola petani berkisar 0,2 – 0,8 ha. Umumnya petani dengan luasan lahan yang terbatas menggunakan sistem usahatani tumpangsari di semua zona agroklimat. Pilihan ini diambil untuk mengurangi tingkat resiko kegagalan produksi, menyerap tenaga kerja yang lebih merata sepanjang tahun, meningkatkan produktivitas lahan dan
efisien dalam
penggunaan energi atau cahaya matahari, sehingga petani lebih memilih sistem tumpangsari atau tumpang gilir dibanding dengan monokultur.
Pada sistem
tumpangsari yang perlu diperhatikan adalah jenis dan komposisi tanaman, bentuk tajuk, umur tanaman serta aspek fisiologis yang berkaitan dengan penyerapan unsurhara tanaman, agar tidak terjadi kompetisi dan produktivitas lahan dapat dioptimalkan. Salah satu cara untuk membandingkan tingkat efisiensi lahan yaitu dengan indikator efisiensi penggunaan lahan atau Nilai Kesetaraan Lahan (NKL). Produktivitas lahan usahatani, baik yang terbuka maupun pada sistem agroforestri dapat diketahui dengan mengetahui NKL dari tanaman yang diusahakan.
Nilai dari NKL dapat mengetahui produktivitas
lahan
yang
ditanam secara monokultur dan tumpangsari. Jika hasil analisis diperoleh nilai NKL lebih besar 1 (> 1), menunjukkan bahwa pola tanam tumpangsari lebih produktif dibandingkan monokultur. Produksi yang dihasilkan dari pertanaman dengan pola tumpangsari setara dengan produksi yang dihasilkan pada pola tanam monokultur dengan luasan yang lebih besar. Hal ini juga menunjukkan bahwa pola tumpangsari lebih produktif dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Semakin tinggi nilai NKL maka keuntungan pola tanam tumpangsari juga akan meningkat (Chozin 2006; Sasmita et al. 2006; Suwarto et al. 2005).
79
Tabel 13.
Produksi tanaman wortel dan tomat dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforestri di zona agroklimat A Zona Agroklimat A Produksi (ton/ha) N0 N2
Perlakuan Monokultur Wortel Tomat Tumpangsari +Tomat Wortel Tomat
6.80 8.80
5.83 7.33
3.13
2.33
4.05
2.93
NKL N0
N2
1.55
1.59
Wortel
Penanaman tanaman semusim di bawah tegakan, merupakan hasil seleksi dari beberapa tanaman semusim yang mempunyai tingkat toleransi yang cukup tinggi terhadap penutupan kanopi tanaman/naungan. Komposisi dan jenis tanaman penyusun agroforestri yang diterapkan disemua zona agroklimat, merupakan yang komposisi dan jenis tanaman semusim yang paling produktif dibandingkan dengan lainnya. Komposisi dan jenis tanaman penyusun agroforestri yang paling produktif masing-masing zona agroklimat adalah zona A: wortel + tomat, zona B: talas +cabai rawit dan zona C adalah talas dan jagung. Sistem agroforetsri pada zona agroklimat A, umumnya didominasi antara tanaman tahunan/kehutanan dengan tanaman semusim yang cepat dipanen, baik yang ditanam secara monokultur maupun tumpangsari. Tanaman semusim yang dominan ditanam dan memberikan nilai ekonomi lebih produktif dalah kombinasi dari tanaman wortel, tomat, kubis dan bawang daun. Diantara tanaman tersebut maka kombinasi pola tanam tumpangsari
antara wortel dan tomat, merupakan
kombinasi tanaman yang paling sesuai, dengan NKL pada perlakuan N0 = 1.55 dan N2 = 1.59 (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa pertanaman dengan tumpangsari wortel dan tomat pada sistem agroforestri lebih produktif dilakukan jika hanya ditanam dengan masing-masing monokultur.
80
Tanaman wortel dan tomat merupakan tanaman yang cocok pada dataran tinggi dengan sistem monokultur dan tumpang sari, baik ditempat terbuka maupun di bawah tegakan atau naungan. Walaupun kedua komoditi tersebut diusahakan dengan sistem agroforestri namun hasil yang diperoleh menunjukkan dapat memberikan nilai ekonomi yang cukup baik bagi masyarakat. Penanaman ganda dapat menghasilkan produksi total tanaman yang diusahakan itu lebih besar dari pada produksi masing-masing tanaman tunggalnya, meskipun produksi salah satu atau seluruh tanaman yang diusahakan itu lebih rendah daripada produksi masing-masing tanaman tunggalnya. Berkurangnya kompetisi intra dan interspesies sehingga cahaya, unsur hara, dan air, dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pembentukan organorgan tanaman. Kombinasi dan sistem pertanaman yang tepat dapat meningkatkan produktivitas lahan, (Mugnisjah dan Setiawan 1990; Sitompul dan Guritno 1995 )
Tabel 14. Produksi tanaman talas dan cabai rawit dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforestri di zona agroklimat B Zona Agroklimat B Produksi (ton/ha) N0 N2
Perlakuan Monokultur Talas Cabai rawit Tumpangsari Cabai rawit Talas
Cabai rawit
Talas
2.14 2.66
1.84 2.44
0.98
0.74
1.19
0.89
NKL N0
N2
1.65
1.64
+
Pola tanam agroforestri dengan sistem tumpangsari pada zona agroklimat B dan C (Tabel 14 dan 15), hampir sama dengan zona agroklimat A, nilai NKL lebih dari 1 ( >1). Pada zona B tumpangsari talas dan cabai rawit menghasilkan nilai NKL pada perlakuan N0 = 1.65 dan N2 = 1.64. Pada zona agroklimat C, tanaman talas termasuk juga kombinasi yang produktif untuk diusahakan dan toleran naungan. Nilai NKL tumpangsari talas dan jagung pada perlakuan N0= 2.20 dan N0 = 2.27.
81
Sistem agroforestri pada semua zona agroklimat dengan nilai NKL > 1, menunjukkan bahwa pola tumpangsari lebih produktif dibanding monokultur. Kondisi DAS Ciliwung hulu yang didominasi oleh lahan dengan kelerengan yang sedang hingga cukup tumpangsari.
tinggi, sangat memungkinkan penerapan sistem
Penutupan tanah oleh vegetasi tanaman yang
lebih rapat dan
waktunya yang lebih lama diharapkan bisa mempertahankan tingkat kesuburan tanah dan dapat menambah unsur hara dari sisa brangkasan tanaman setelah panen. Vegetasi tanaman mempunyai peranan yang sangat besar untuk penekanan erosi tanah dan laju aliran permukaan. Hasil produksi tanaman dengan sistem agroforestri dapat dijual dan tersedianya dana
investasi bagi petani maka
pengembangan pola usaha agroforestri ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Beberapa hasil penelitian telah dilakukan membuktikan bahwa sistem agroforestri atau tumpang sari tanaman kehutanan dan pertanian memiliki kontribusi nyata tidak saja terhadap subsistensi tanaman pangan, tetapi juga terhadap peningkatan pendapatan nyata yang diterima masyarakat.
Tabel 15. Produksi tanaman talas dan jagung dengan sistem monokultur dan tumpangsari pada sietem agroforestri di zona agroklimat C
Perlakuan Monokultur Talas Jagung Tumpangsari Jagung Talas Jagung
Zona Agroklimat C Produksi (ton/ha) N0 N2 2.20
1.89
2.00
1.67
1.02
0.76
9.20
0.69
NKL N0
N2
2.20
2.27
Talas +
82
Analisis finansial usahatani agroforestri di DAS Ciliwung
DAS Ciliwung Hulu adalah daerah dengan topografi terjal, dengan ratarata kemiringan 20-40 % dan curah hujan tinggi. Produktifitas lahan dan pendapatan petani tergolong rendah. Sistem agroforestri diharapkan dapat mengatasi masalah rendahnya pendapatan di DAS Ciliwung. Kajian usaha agroforestri ini bertujuan untuk mendapat informasi potensi pengembangan pola usaha agroforestri pada beberapa zona agroklimat. Sebagian besar lahan yang diusahakan petani
di DAS hulu Ciliwung
adalah lahan sewa atau guna pakai dari pemiliknya dan hanya sebagian kecil yang merupakan tanah milik sendiri. Tanaman tahunan yang diusahakan umumnya sudah berusia diatas 5 tahun, dan beberapa diantara sudah ditebang untuk dijual. Keuntungan diperoleh dari hasil tanaman kayu mindi, albizia maupun kayu manis dan tanaman semusim lainnya, digunakan untuk kebutuhan hidup. Pada zoan agroklimat A, sistem pertanaman cukup intensif dan bisa mencapai 3-4 kali tanam dalam satu tahun, atau IP 400, sedangkan pada zona iklim B daan C, sistem penanaman dilakukan 2 – 3 kali setahun. Tanaman tahunan disamping bisa diperoleh hasilnya pada periode tertentu yaitu 3 -7 tahun kemudian, juga berfungsi disamping sebagai tanaman konservasi lahan Kemiringan lahan yang diusahakan petani bisa mencapai 40%, sehingga sangat rentan terhadap erosi dan kerusakan lahan. Keuntungan mulai diperoleh pada tahun ketiga pada saat pohon kayu manis, albizia maupun kayu mindi mulai dapat ditebang (penjarangan) secara bertahap. Hasil penelitian Yuhono dan Rosmeilisa (1996) juga membuktikan bahwa potensi pola usaha agroforestri antara tanaman kehutanan (jati) dengan tanaman selain pangan seperti iles-iles dapat menyumbangkan pendapatan Rp 649.999/ ha/tahun atau
Rp.54.167/bulan, dan iles-iles layak ditanam
dibawah tanaman hutan dengan indikator NPV Rp.238.791,-/ (+), B/C 2,11 (>1) dan IRR 50 % (lebih tinggi dari bunga bank).
83
Analisis finansial agroforestri kayu manis + wortel + tomat (Zona A)
Biaya pengembangan agroforestri zona A terdiri dari biaya pupuk, biaya bibit, biaya pengolahan tanah, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, dan biaya panen. Pendapatan yang dihasilkan dari agroforestri ini adalah hasil panen dari tanaman semusim berupa tomat dan wortel serta kayu manis. Pendapatan dari tanaman tomat dan wortel sudah bisa diperoleh pada tahun pertama sedangkan pendapatan dari kayu manis, diperoleh pada tahun ke-4 dan Tahun ke-7. Analisis kelayakan investasi menggunakan tiga kriteria berupa Net Present Value (NPV), Internal Rate of return (IRR), dan Net Benefit Cost (Net B/C) menghasilkan kesimpulan layak untuk tiga skenario pola usahatani pada zona A. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Manis + Wortel berturut-turut sebesar Rp. 7.637.488, 2,57, 43 persen. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Manis + Tomat berturut-turut sebesar Rp. 7.716.048, 2,34, 40 persen. Nilai NPV, BCR dan IRR pada pola usahatani Kayu Manis + Wortel + Tomat berturut-turut sebesar Rp 9.101.318, 2,89, 49 persen (Tabel 16). Tabel 16. Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat A Pola Agroforestri Kayu Manis + Wortel Kayu Manis + Tomat Kayu Manis + Wortel + Tomat
NPV 7.637.488 7.716.048 9.101.318
BCR 2,57 2,34 2,89
IRR 43% 40% 49%
Pada hasil analisis kelayakan pada zona A terlihat pola usahatani Kayu Manis + Wortel + Tomat menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2 skenario lainnya. Oleh karena itu, pola usahatani Kayu Manis + Wortel + Tomat lebih direkomendasikan untuk dikembangkan pada agroforestri zona A. Pola usahatani ini dipilih karena menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya.
84
Analisis Kelayakan agroforestri kayu Albizia + Talas + cabai rawit (Zona B) Pola usahatani pada zona agroklimat B untuk pengembangan Agroforetri diperlukan pada lahan dengan luasan 0,5 ha – 1 ha. usahatani diasumsikan selama 7 tahun.
Umur kegiatan analisis
Pola usahatani yang diusahakan
menggunakan 3 skenario yaitu: Kayu Albizia + Cabai Rawit, Kayu Albizia + Talas dan Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas. Biaya pengembangan agroforestri zona B terdiri dari biaya pupuk, biaya bibit, biaya pengolahan tanah, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, dan biaya panen. Pendapatan yang dihasilkan dari agroforesti ini adalah hasil panen dari tanaman semusim berupa cabai rawit dan talas serta kayu Albizia. Pendapatan dari tanaman cabai rawit dan talas sudah bisa diperoleh pada tahun pertama sedangkan pendapatan kayu Albizia diperoleh pada tahun ke 4 dan Tahun ke-7. Analisis kelayakan investasi menggunakan tiga kriteria berupa Net Present Value (NPV), Internal Rate of return (IRR), dan Net Benefit Cost (Net B/C) menghasilkan kesimpulan layak untuk 3 skenario pola usahatani pada zona B. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Albizia + Cabai Rawit berturut-turut sebesar Rp. 8.107.529, 2,81, 51 persen. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Albizia + Talas berturut-turut sebesar Rp. 7.264.763, 2,78, 49 persen. Nilai NPV, BCR dan IRR pada usahatani Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas berturut-turut sebesar Rp 10.865.887, 2,96, 52 persen (Tabel 17), Tabel 17 Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat B Pola Agroforestri Kayu Albizia + Cabai Rawit Kayu Albizia + Talas Kayu Albizia + Cabai Rawit+ Talas
NPV 8.107.529 7.264.763 10.865.887
BCR 2,81 2,78 2,96
IRR 51% 49% 52%
Pada hasil analisis kelayakan pada zona B terlihat pola usahatani Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2 skenario lainnya. Oleh karena itu, pola usahatani Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas lebih direkomendasikan untuk dikembangkan pada agroforestri zona B.
Pola usahatani ini dipilih karena menghasilkan tingkat
keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya. 85
Analisis Kelayakan agroforestri kayu mindi + talas + jagung (Zona C) Biaya pengembangan agroforestri zona C terdiri dari biaya pupuk, biaya bibit, biaya pengolahan tanah, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, dan biaya panen. Pendapatan yang dihasilkan dari agroforesti ini adalah hasil panen dari tanaman semusim berupa jagung dan talas serta kayu Mindi. Pendapatan dari tanaman cabai rawit dan talas sudah bisa diperoleh pada tahun pertama sedangkan pendapatan dari kayu Mindi baru bisa diperoleh pada tahun ke 4 dan Tahun ke 7. Analisis kelayakan investasi menggunakan tiga kriteria berupa Net Present Value (NPV), Internal Rate of return (IRR), dan Net Benefit Cost (Net B/C) menghasilkan kesimpulan layak untuk 3 skenario pola usahatani pada zona C. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Mindi + Jagung berturutturut sebesar Rp. 7.295.898, 2,86, 53 persen. Nilai NPV, BCR, dan IRR pada pola usahatani Kayu Mindi + Talas berturut-turut sebesar Rp. 6.617.161, 2,74, 48 persen. Nilai NPV, BCR dan IRR pada pola usahatani Kayu Mindi + Jagung + Talas berturut-turut sebesar Rp 8.849.687, 2,93, 57 persen (Tabel 18). Tabel 18. Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat C Pola Agroforestri Kayu Mindi + Jagung Kayu Mindi + Talas Kayu Mindi + Jagung +Talas
NPV 7.295.898 6.617.161 8.849.687
BCR 2,86 2,74 2,93
IRR 53% 48% 57%
Pada hasil analisis kelayakan pada zona C terlihat pola usahatani Kayu Mindi + Jagung + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2 skenario lainnya. Oleh karena itu, pola usahatani Kayu Mindi + Jagung + Talas lebih direkomendasikan untuk dikembangkan pada agroforestri zona C. Pola usahatani ini dipilih karena menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya. Hasil pengamatan penggunaan
lahan petani atau masyarakat telah
menanam tanaman tahunan yang berfungsi sebagai penahan air mencegah erosi dan tanaman pangan untuk kebutuhan konsumsi, namun komposisinya belum
86
berimbang, proporsi tanaman tahunan masih relatif kecil untuk pencegahan erosi dan mempertahankan produktivitas lahan. Rata-rata produktifitas tanaman semusim pada beberapa zona agroklimat, masih menunjukkan hasil yang
bervariasi, seperti pada zona agroklimat A,
produksi tanaman tomat sekitar 18 – 25 ton/ha dan wortel 15 – 22 ton/per hektar. Pada zona B, produksi talas juga bervariasi mulai 8 – 12 ton/ha, cabai rawit 20 – 24 ton /ha. Sedangkan pada zona agroklimat C, produksi jagung manis 15-22 ton/ha dan ubi jalar berkisar 22- 27 ton/ha. Hasil panen pada umumnya dijual dan sebagian dikonsumsi sendiri. Masih bervariasinya produktifitas bukan hanya kurang suburnya lahan, tetapi karena kurangnya pemeliharaan
modal
yang
untuk
baik
usaha
seperti
tani,
sehingga
tidak
dilakukan
melakukan pemupukan sesuai anjuran,
pemilihan varietas unggul dan pemberantasan hama penyakit. Kepemilikan lahan petani relatif rendah yaitu 0,25 ha. Hasi kajian teknis maupun ekonomis beberapa alternatif pola usaha
agroforestri
ini
menunjukkan
terbukanya
potensi
pengembangan pola usaha agroforestri untuk dapat mengatasi masalah-masalah yang ada DAS Ciliwung seperti rendahnya produktifitas tanah, konservasi tanah, dan peningkatan pendapatan petani secara berkesinambungan dengan memperhatikan faktor penambahan modal bagi petani. Adanya lembaga keuangan dan kemitraan dengan usahawan dapat menjaga jaminan pasar dan penerapan teknologi yang baik. Berdasarkan hasil pengamatan, di DAS Ciliwung hulu hutan rakyat didominasi oleh kebun campuran, yaitu lahan yang ditanami campuran tanaman kehutanan
misalnya
mindi
(Melia
azedarach),
sengon
(Paraserianthes
falcataria), dan kayu afrika (Maesopsis emenii), holtikultura tahunan misalnya pepaya (Carica papaya), pisang (Musa sp.), pala (Myristica fragrans), dan holtikultura semusim misalnya nanas (Ananas domestica), singkong (Manihot sp). dalam
kawasan
hutan
milik
comosus),
kunyit
(Curcuma
Hutan murni pada umumnya masuk
negara,
sedangkan
semak
atau
belukar
kebanyakan juga ditemukan dalam kawasan hutan negaraKawasan hutan yang ada di DAS Ciliwung hulu sebagian besar merupakan hutan lindung.
87
Produksi hutan rakyat di DAS Ciliwung hulu, seperti halnya hutan rakyat
pada umumnya di Pulau Jawa, diperoleh dari tanaman tahunan yang
tumbuh dalam bentuk hutan murni, kebun-kebun campuran atau hutan belukar. Pada zona agroklimat A, sekitar 60.58 % petani mengusahakan tanaman semusim dengan sistem agroforestri, dengan satu jenis tanaman dan 39.42 menanam dengan pola multicropping di bawah tegakan tanaman kehutanan.
Zona
agroklimat B, bmerupakan zona peralihan antara zona A dan C, sehingga pola agroforestri yang diusahakan merupakan kombinasi keduanya. Sedangkan pada zona agroklimat C, sekitar 58.65 % masyarakat yang mengusahakn agrofeesri sederhana (multiplecropping) dan 41.35% dengan hanya mengusahakan satu satu tanaman di bawah tegakan/monokultur.
88
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Produktivitas tanaman yang ditanam secara agroforestri dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Pola agroforestri secara teknis mudah dilaksanakan dan berdasarkan proporsi, komposisi dan
jenis tanaman sesuai dengan
kondisi zona agroklimat. 2.
Nilai ratio kesetaraan lahan (NKL) lebih produktif pada sistem tumpangsari (lebih dari satu tanaman di bawah tegakan kayu) dibanding denfgan sistem tunggal (monoculture). Sistem agroforestri pada tiga zona agroklimat (A, B, C), di DAS Ciliwung hulu layak secara teknis maupun ekonomis berdasarkan indikator nilai kesetaraan lahan (NKL) dan analisis kelayakan ekonomi.
3.
Hasil analisis finansial pada zona A terlihat pola usahatani Kayu Manis + Wortel + Tomat adalah yang terbaik dengan NPV Rp 9.101.318, BCR = 2.89 dan IRR 49%. Pada zona B terlihat pola agroforetri Kayu Albizia + Cabai Rawit + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2 skenario lainnya, yaitu NPV Rp. 10.865.887, BCR= 2.96 dan IRR= 52%. Hasil analisis kelayakan pada zona C terlihat pola usahatani Kayu Mindi + Jagung + Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dengan NPV= Rp. 8.849.687, BCR 2.93 dan IRR = 57%.
89
PEMBAHASAN UMUM
Pada daerah aliran sungai (DAS) pengembangan sistem usahatani diarahkan kepada pengelolaan lahan yang mempunyai efek ganda terhadap keberlanjutan lingkungan. Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Berdasarkam penggunaan lahan di DAS secara garis besar dikelompokkan menjadi : hutan, tegalan, perkebunan sawah, permukiman dan penggunaan lain. Penetapan penggunaan lahan pada umunya didasarkan pada karakteriktik lahan dan daya dukung lingkungannya. Pemanfaatan lahan kering di DAS Ciliwung Hulu cukup potensial jika dilakukan pengelolaan dengan memperhatikan kaidah keseimbangan dan keberlanjutan. Pengelolaan lahan yang dilakukan di DAS bagian hulu, umumnya sangat intensif, sehingga peningkatan erosi tanah dan tingkat pencemaran air akibat pemanfaatan pupuk dan pestisida yang cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada daerah hulu, pemanfaatan lahan pada satu tahun periode tanam, dapat dilakukan 3-4 kali (zona agroklimat A), sedangkan pada zona agroklimat B dan C dilakukan penanaman sebanyak 2-3 kali. Beberapa tanaman kehutanan/tegakan yang ada di kawasan hulu, umumnya adalah hutan rakyat yang jumlah tegakannya sangat terbatas, terutaman pada kemiringan lereng 20-30%. Terbatasnya tegakan tanaman hutan yang homogen (membentuk ekosistem hutan) di kawasan hulu akan berpengaruh terhadap kurang berkembangnya pelaksanaan konservasi air dan tanah. Hasil penelitian pendahuluan, untuk menentukan lokasi penelitian dengan titik sampel yang homogen cukup sulit dilakukan, karena sangat terbatasnya lokasi kawasan hutan. Pengamatan pada tiga zona agroklimat (Tabel 5),
tanaman kehutanan yang masih cukup signifikan
jumlahnya adalah kayu manis (Cinamomum burmanii), pinus (Pinus merkusii), kayu
afrika
(Maesopsis
eminii),
(Paraserianthes falcataria (L.), dan
damar
(Agathis
damara),
albizia
mindi (Melia azedarach). Tanaman
kehutanan tersebut, sangat sedikit yang dijumpai dalam jumlah yang homogen, umumnya hanya merupakan tegakan yang menyebar, terutaman pada zona A 90
dan B, sedangkan pada zona C umumnya kebun campuran atau sistem agroforetri kompleks. Pengembangan sistem agroforestri di kawasan DAS merupakan alternatif sistem usaha tani yang dapat dikembangkan dengan memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Beberapa tanaman semusim yang berpotensi untuk dikembangkan secara agroforestri
adalah Alium fistulosum L. Brassica oleraceae L., Capsicum
frustescens L, Colocasia esculenta L, Daucus carota L., Ipomea batatas (L.) Lam, Lycopersicon esculentum Mill, Phaseolus vulgaris dan Zea mays L. Saccharata (Tabel 6).
Hasil analisis iklim mikro dan produksi tanaman
semusim, tanaman yang paling sesuai ditanam dengan pola agroforestri di zona A adalah Lycopersicon esculentum Mill , Zona A dan B adalah Colocasia esculenta L, di zona B dan C adalah Capsicum frutescens L., sedangkan pada zona C adalah Zea mays L. Saccharata. Tanaman semusim tersebut di atas, merupakan hasil seleksi dari beberapa jenis tanaman yang banyak diusahakan di DAS hulu. Tanaman tersebut cukup toleran terhadap rendahnya intensitas radiasi surya yang diteruskan oleh tanaman kehutanan atau tegakan. Hal ini tercermin dari
produksi yang
dihasilkan masih cukup signifikan, walaupun tingkat penutupan tajuk tanaman sekitar 20-40%. Hasil analisis iklim mikro menunjukkan bahwa perbedaan zona agroklimat pada DAS hulu Ciliwung menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karaktek iklim mikro dibawah tegakan tanaman tahunan dan karakter fisiologi tanaman (Tabel 7). Sistem agroforestri merupakan salah satu sistem pertanaman yang mampu menjaga kelestarian lingkungan. Sistem ini baik dikembangakan karena mempunyai manfaat dari segi pelestraian, keanekaragaman jenis (biodiversity), unsurhara (biogeokimia), fisik tanah, serta peningkatan tingkat pendapatan masyarakat. Pencapaian sistem ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan faktor lingkungan fisik, sosial-ekonomi dan teknologi secara terpadu. (Chozin 1995; Arifin 2006; Darusman 2002; Widaningsih 1991). Perbedaan intensitas radiasi surya antara tanaman yang ternaungi dan terbuka adalah pada tanaman dengan sistem agroforestri bentuk daun lebih tipis dan lebih lebar, agar tanaman bisa memperoleh energi yang lebih besar. Hal ini
91
merupakan salah satu cara tanaman untuk melakukan adaptasi pada kondisi cekaman naungan.
Peningkatkan luas area penangkapan dan pemanfaatan
cahaya, tanaman meningkatkan rasio tajuk dan akar, menipiskan daun, memperpendek palisade, dan memperluas daun, tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi cahaya yang diterima tanaman memiliki rasio klorofil terhadap komponen karboksilasi dan proses transport elektron tinggi. Selain kandungan klorofil daun meningkat, rasio klorofil a terhadap klorofil b juga menurun karena proporsi peningkatan klorofil b lebih tinggi dibandingkan klorofil a (Callan dan Kennedy 1995; Taiz dan Zeiger 1991). Penelitian pada padi gogo dan kedelai menunjukkan bahwa penipisan daun pada padi gogo dan kedelai disebabkan olehpengurangan jumlah sel palisade (Lautt et al. 2000; Chozin et al. 2000; Khumaida 2002). Radiasi yang diabsorbsi pada tajuk tanaman dapat diketahui dari selisih radiasi yang sampai pada permukaan atas tajuk dengan radiasi yang lolos pada permukaan tanah di bawah tajuk.
Apabila tajuk tanaman dibagi dalam
beberapa lapisan strata (sistem agroforestri), maka tingkat radiasi yang ditransmisikan dari setiap lapisan tergantung pada tingkat radiasi yang datang pada lapisan tersebut dan tingkat pemadaman/penyirnaan lapisan tersebut. Radiasi yang diabsorbsi dalam tajuk tanaman dapat diketahui dari selisih radiasi yang sampai pada permukaan atas tajuk tanaman dengan radiasi yang lolos pada permukaan tanah dibawah tajuk. Apabila suatu tajuk tanaman dibagi kepada beberapa lapisan, tingkat radiasi yang ditransmisi dari setiap lapisan tergantung pada tingkat radiasi yang datang pada lapisan tersebut dan tingkat pemadaman/penyirnaan lapisan tersebut. Tanaman dalam proses fotosintesis tidak dapat memanfaatkan semua pancaran radiasi matahari yang sampai pada permukaan bumi, tetapi hanya radiasi yang terletak pada batas panjang gelombang 400 - 700 nm atau radiasi aktif fotosintesis. Intensitas radiasi surya pada suatu ekosistem adalah bervariasi. Tajuk atau kanopi
tanaman akan menahan dann mengabsorpsi
sejumlah cahaya sehingga ini akan menentukan jumlah cahaya yang mampu menembus dan merupakan sejumlah energi yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman pada strata di bawahnya. Intensitas cahaya yang berlebihan dapat
92
berperan sebagai faktor pembatas. Cahaya yang kuat sekali dapat merusak enzim akibat foto- oksidasi, ini menganggu metabolisme organisme terutama kemampuan di dalam mensisntesis protein Radiasi surya pada sistem agroforestri sangat berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis (Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10). Pembentukan iklim mikro tanaman akan berpengaruh secara simultan terhadap aktivitas stomata, kandungan CO 2 dan kelembaban
udara
terutama berkaitan dengan
ketersediaan uap air disekitar tanaman. Kandungan CO 2 yang tinggi akan mempunyai pengaruh positif terhadap penggunaan air oleh tanaman. Stomata yang berfungsi sebagai pintu masuknya CO 2 dan keluarnya uap air di daun. Daya ikat yang tinggi terhadap CO 2 pada tanaman menyebabkan perbandingan antara pemasukan CO 2 dan konduktivitas stomata (kemampuan stomata menyalurkan H 2 O persatuan waktu) optimum,
tanaman-tanaman C 4
mempunyai efisiensi penggunaan air yang tinggi. Jumlah air yang dikeluarkan untuk sejumlah CO 2 yang dimasukkan jauh lebih sedikit pada tanaman C 4 dibandingkan dengan tanaman C 3 . Pada tanaman C 3 , daya ikat yang rendah terhadap CO 2 menyebabkan tanaman ini boros dalam penggunaan air. Jika CO 2 di atmosfir meningkat, tanaman tidak membutuhkan pembukaan stomata maksimum untuk mencapai konsentrasi CO 2 optimum di dalam daun, sehingga laju pengeluaran H 2 O dapat dikurangi. Pembukaan stomata dipengaruhi oleh CO 2 , cahaya, kelembaban, suhu, angin, potensial air daun dan laju fotosintesis. Mekanisme control laju kehilangan air dapat dilakukan dengan mengontrol laju metabolisme, adaptasi struktural daun yang dapat menekan laju kehilangan air, termasuk di antaranya mengatur konduktivitas stomata (Salisbury and Ross 1995, June 2004, Sitompul 2003). Iklim mikro tanaman dapat mempengaruhi karakteristik tanaman dengan sistem agroforestri antar zona agroklimat. Perbedaan penutupan tajuk tanaman, terutama pada perlakuan N0, N1 dan N2 (Tabel 11, Tabel 12 dan Tabel 13) akan perpengaruh juga terhadap aktivitas transpirasi pada tanaman. Transpirasi tanaman yang terlalu tinggi, akan menyebabkan ketidakseimbangan didalam metabolisme tanaman dan produksi akan terhambat.
Transpirasi
merupakan aktivitas fisiologis penting yang sangat dinamis, berperan sebagai
93
mekanisme adaptasi terhadap kondisi lingkungannya, terutama terkait dengan kontrol cairan tubuh, penyerapan dan transportasi air. Transpirasi merupakan proses hilangnya air dalam bentuk uap air dari tubuh tumbuhan yang sebagian besar terjadi melalui stomata, selain melalui kutikula dan lentisel. Transpirasi dapat merugikan tumbuhan bila lajunya terlalu cepat yang menyebabkan jaringan kehilangan air terlalu banyak selama musim panas dan kering. Proses transpirasi dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain seperti ukuran daun, tebal tipisnya daun, tebal lapisan lilin, jumlah rambut daun, jumlah, bentuk dan lokasi stomata (termasuk pula umur jaringan, keadaan fisiologis jaringan dan laju metabolisme. Faktor-faktor eksternal antara lain meliputi radiasi cahaya, suhu, kelembaban udara, angin dan kandungan air tanah. Selain itu juga dipengaruhi oleh gradient potensial air antara tanah, jaringan dan atmosfer, serta adanya zat-zat toksik di lingkungannya. Penurunan rasio klorofil a/b terjadi juga pada tanaman lain seperti tanaman tahunan berbentuk pohon talas (Johnston dan Onwueme, 1998), kapas (Zhao dan Oosterhuis, 1998) dan Arabidopsis (Weston et al, 2000). Penurunan rasio klorofil a/b dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya bagi tanaman secara keseluruhan. Klorofi b lebih efisien dalam menangkap cahaya dibanding dengan klorofil a sehingga respon tanaman lebih diarahkan untuk meningkatkan klorofil b (Hidema et al, 1992 dan Taiz dan Zeiger, 1991). Lautt et al. (2000) melaporkan bahwa naungan menyebabkan kandungan sukrosa naik pada padi toleran naungan dan turun pada padi peka. Rasio sukrosa yang tinggi pada genotipe
toleran
saat
dinaungi menguntungkan tanaman karena transpor fotosintat lebih lancar. Transpor fotosintat yang lancar akan dapat mengurangi hambatan fotosintesis yang
disebabkan
oleh
penumpukan
karbohidrat
(pati)
di
daun.
Kemampuan tanaman beradaptasi pada perbedaan intensitas radiasi surya pada sistem agroforestri yang berbeda sangat ditentukan oleh daya adaptasi tanaman terhadap naungan tergantung kepada kemampuan tanaman dalam
melanjutkan
proses
fotosintesis
dan
mempertahankan
lajunya
dalam
kondisi kekurangan cahaya. Menurut Bruick dan Mayfield ( 1999)
94
pohon yang toleran kekurangan cahaya mempunyai ciri yaitu di bawah kondisi cahaya optimum bagi kebanyakan tanaman, pohon-pohon tersebut dibanding yang lain mempunyai (a) kecepatan pertumbuhan relative (RGR) lebih rendah, (b) rasio luas daun/bahan kering lebih rendah (daun lebih tebal dan padat), (c) kandungan nitogen daun lebih rendah, dan (d) rasio tajuk dan akar lebih rendah. Perbedaan tingkat intensitas radiasi surya pada beberapa zona agroklimat menyebabkan penurunan produksi terhadap semua jenis tanaman yang diusahakan. Besarnya penurunan produksi tersebut lebih kecil pada tanaman yang termasuk kategori toleran sepertai wortel, kubis, talas dan cabe rawit, dibanding dengan penurunan produksi pada tanaman yang lebih peka yaitu jagung dan tomat. Pemberian naungan pada tanaman padi menurunkan produktivitas karena perkembangan biji terganggu dan indeks panen rendah. Naungan juga menyebabkan karbohidrat rendah dan nitrogen terlarut meningkat
sehingga
banyak
bakal
biji
menjadi
seteril. Selanjutnya,
naungan menyebabkan gula dan pati turun (Chaturvedi, 1994). Hasil analisis produktivitas lahan (Tabel 24 dan Tabel 25) dan finansial (Tabel 26, Tabel 27 dan Tabel 28) menunjukkan bahwa sistem agroforetsri layak dilakukan pada semua zona agroklimat, dengan memperhatikan, jenis dan kombinasi tanaman semusim (Model pola tanam ditiap zona agroklimat juga berbeda, seperti pada zona agroklimat A, dilakukan pola rotasi, berurutan, dan tumpangsari, zona B: rotasi , berururan dan tumpangsari sedangkan paada zona C adalah rotasi dan tanaman campuran. Pola usaha agroforestri adalah salah satu usaha penggunaan lahan dengan kombinasi beberapa pola tanam berazaskan kelestarian. Pola wanatani ditujukan untuk memaksimalkan produksi melalui optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh dan waktu dengan menanam berbagai jenis tanaman (Sudibyo et al. 2001). Fungsi hutan adalah untuk memperlambat aliran air permukaan, menahan tanah dan pencucian unsur hara melalui akarnya, menambah bahan organik melalui guguran daunnya Tanaman
dan
menetralkan
perkebunan
dapat
tanah
yang mempunyai
menambah
pendapatan
lapisan petani
beracun. melalui
95
penjualan produksi, sedang tanaman pangan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga selama tanaman kebun dan kayu belum menghasilkan. Tanaman
tahunan dapat
menambah
pendapatan
petani
melalui
penjualan produksi, sedang tanaman pangan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga selama tanaman kebun dan kayu belum menghasilkan. Beberapa keuntungan yang diperoleh petani dengan penerapan sistem agroforestri di DAS Ciliwung Hulu adalah: 1) terjaganya kelestarian dan kesuburan tanah sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani, 2) terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari dengan hasil tanaman semusim dan palawija sebelum tanaman tahunan berproduksi, 3) berfungsinya daerah tangkapan air dengan baik, 4) terjaganya stabilitas harga dengan adanya diversifikasi komoditas yang diharapkan mampu menjaga stabilitas suplai ke pasaran.
96
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Hasil
analisis
pola
tanam
dan
vegatasi
penyusun
agroforestri,
diperolehsembilan tanaman semusim yang berpotensi dikembangkan dengan sistem agroforestri diperoleh yaitu Alium fistulosum L., Brassica oleraceae L., Capsicum frustescens L, Colocasia esculenta L., Daucus carota
L.,
Ipomea
batatas
(L.)
Lam.,
Lycopersicon
esculentum
Mill,
Phaseolusvulgaris, Zea maysL. saccharata. 2. Hasil pengamatan parameter iklim mikro diperoleh titik kritis (treshold) untuk pengembangan agroforestri diperoleh pada intensitas radiasi surya 120–230 kal/cm2/hari atau pada perlakuan N2 dengan tingkat penutupan tajuk sekitar 40-50%. Titik kritis ini menghasilkan 4 (empat) tanaman yang paling sesuai untuk penyusun agroforestry yaitu Lycopersicon esculentum Mill,Colocasia
esculenta L, Capsicum frutescens L. danZea mays L. Saccharata. 3. Karakter morfo-fisiologi yang berpengaruh terhadap daya adaptasi tanaman semusim pada system agroforestriadalah konduktansi stomata, peningkatan klorofil b lebih tinggi dibanding klorofil a
yang ditunjukkan dengan
penurunan ratio klorofil a/b, CO2 internal, Photosyntetic Active Radiation (PAR) dan laju fotosintesis. Parameter fisiologi tersebut sangat erat kaitannya dengan intersepsi radiasi surya dan koefisien penyirnaan. 4. Berdasarkan analisis iklim mikro dan respon morfo-fisiologi tanaman, diperoleh kesesuaian tanaman untuk sistem agroforestri di berbagai zona agroklimat diperoleh hasil sebagai berikut: tanaman tomat hanya sesuai di zona agroklimat A; tanaman talas sesuai pada zona agroklimat A dan B; tanaman cabai rawit sesuai pada zona agroklimat B dan C serta tanaman jagung hanya sesuai pada zona agroklimat C. 5. Nilai ratio kesetaraan lahan (NKL) lebih produktif pada sistem tumpangsari (lebih dari satu tanaman di bawah tegakan kayu) dibanding dengan sistem tunggal (monoculture). Sistem agroforestri pada tiga zona agroklimat (A, B, C), di DAS Ciliwung hulu layak secara teknis maupun ekonomis berdasarkan indikator nilai kesetaraan lahan (NKL) dan analisis finansial.
Saran 1. Pengembangan pola agroforestri di DAS Ciliwung hulu sangat diperlukan untuk
meningkatkan
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
dan
menjaga
kelestarian kawasan DAS. 2. Penerapan pola agroforetri dapat mempertimbangkan pemilihan jenis dan komposisi tanaman penyusun agroforestri dan menyesuaikan dengan kondisi iklim mikro di setiap zona agroklimat, serta hasil analisis finansial setiap komoditi tanaman semusim agar dapat berproduksi secara optimal.
98
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja A, Sutono S. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering : Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Ahmed J. 1990. Influence of low light intensity on production of high densiti (HD) grain. International Rice Research Newsletter. 15 (4) : 7-8. Allard G, Nelson CJ, Pallardy SG. 1991. Shade effects on growth of tall fescus: 1. Leaf anatomy and dry matter partitioning. Crop. Crop. 31: 163-167. Arifin HS. 2005. Ekologi Lanskap. Bahan kuliah Ekologi lanskap. Departemen Lanskap. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Arifin HS. 2002. Multiple cropping analysis. Makalah pada TOT Entrepreneurship in agroforestry education. Bogor 19 – 24 November 2002. Arifin HS, Chozin MA, Sarma M, Sakamoto K. 2004. The farming system of Indonesia home garden (pekarangan) in Cianjur Watershed, Cianjur District-West Java. Japan. J. of the Trop. Agric. Arifin HS, Wulandari C, Pramukanto Q, Kaswanto RL. 2009. Analisis Lanskap Agroforestri ; Konsep, Metode, dan Pengelolaan Agroforestri Skala Lanskap dengan Studi Kasus Indonesia, Filipina, Laos, Thailand, dan Vietnam. IPB Press. Bogor. Arsyad S. 2000. Konservasi tanah dan air. Bogor. Penerbit Institut Pertanian Bogor Press. Badrun M. 1998. Lahan kering, potensi dan peluang pengembangan untuk mendukung upaya peningkatan produksi pangan. Prosiding Seminar Peningkatan Produksi Padi Nasional Lampung 9 –10 Des 1998. Hal 18 – 24. Baharsyah JS. 1991. Hubungan cuaca tanaman Dalam A. Bey (ed) Kapita selekta dalam agrometeoriologi. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud. Jakarta. Barry RG, Chorley RJ. 1976. Atmosphere, weather and climate. Society and methuen and co. Ltd. Bey A, Las I. 1991. Strategi pendekatan iklim dalam usahatani Dalam A. Bey (ed) Kapita selekta dalam agrometeorologi. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud. Jakarta. Bruick B, Biswal UC. 1999. Photosynthesis under Stress: Stress Signal and Adaptive Response of Chloroplast in M Pessarakli. pp 315-325. Handbook of Plant and Crop Stress. Marcel Dekker. New York.
Bowo OP. 1989. Agroforestry sebagai salah satu alternatif pengelolaan lahan kritis. Makalah seminar sehari Perhimpunan Mahasiswa Pertanian. Yogyakarta. Brady NC. 1990. The nature and properties of soil. MacMillan Publishing co. New York. Chaturvedi PK, Ram M, Singh AK, Ram P, Ingram KT, Singh BB, Singh RK, Singh VP. 1994. Carbohydrate status of rainfed lowland rices in relation to subermergence, drought and shade tolerance. In Lucknow, V.P. (Ed), pp 104-122. Physiology of Stress Tolerance in Rice. India-IRRI Philippines. Chozin MA. 1995. Sustainable farming system practices in Indonesia. Paper prenseted on seminar on development of sustainable farming system, Kandy, June 5 -10 1995. Asian Productivity Organizatioan (APO)-Menistry of Agriculture, Land and Forestry, and Department of Agriculture, Srilanka Chozin MA. 2006. Peranan ekofisiologi tanaman dalam pengembangan teknologi budidaya pertanian. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Ilmu Agronomi. Fakultas Pertanian Intitut Pertanian Bogor. Chozin MA, Sopandie D, Sastrosumarjo, Suwarno. 2000. Physiology and genetic upland rice adaptability to shade. URGE Project Batch III. Directorate General of Higher Education, Menistry of National Education. Jakarta. Cruz RE, Vergera NT. 1987. Proctive and ameliorative role of agroforestry: an overview Inc: Agroforestry in the humid tropics. EAPI East-West Centre Hawaii. USA. Darusman D. 2002a. Ekonomi agroforestry. Makalah pada TOT Entrepreneurship in agroforestry education. Bogor 19 – 24 November 2002. Darusman D. 2002b. Pembenahan kehutanan Indonesia (dokumentasi kronologis tulisan 1986 – 2002), Buku Lab. Politik Ekonomi dan Sosisal Kehutanan IPB. Bogor. Departemen Pertanian. 2007. Statistik Pertanian 2007. Departemen Pertanian. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2010. Statistik Kehutanan 2010. Jakarta Djukri 2003. Seleksi tanaman talas (Colocasia esculantea L) untuk adaptasi terhadap cekaman naungan (disertasi). Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fagi AM. 1998. Strategi peningkatan intensitas pertanaman pada lahan sawah irigasi menunjang swasembada beras. Prosiding Seminar Peningkatan Produksi Padi Nasional Lampung 9 –10 Desember 1998. hal 10 – 17.
100
Hadipoernomo. 1983. Agroforestry dilingkungan Perum Perhutani. Duta Rimba (42): 17 –22. Hale MG, Orcutt DM. 1987. The Physiology of Plant Under Stress. A-Wileyintercience Publ. John Willey and Sons Ins. Virginia . 206p. Haris A, Chozin MA, Sopandie D, Las I. 1999. Karakteristik iklim mikro dan respon tanaman padi gogo pada pola tanam sela dengan tanaman karet. Prosiding Seminar Peningkatan Produksi Padi Nasional Lampung 9 –10 Desember 1998. Hal 449-454. Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar agroforestri (bahan ajaran agroforestri 1). Bogor. International Center for Research in Agroforestry (ICRAF). Hairiah K, Utami, Suprayogo D, Widianto, Sitompul SM, Sunaryo, Lusiana B, Mulia R, Noordwijk MV, Cadisch G. 2000. Agroforestry on Acid Soils in the Humid Tropics : Managing tree-soil-crop interactions. International Center for Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor. Hairiah K, Murdiyarso D. 2003. Alih Guna lahan dan Neraca Karbon Terestrial. Makalah pada Pelatihan Dosen Agroforestri. Bogor. Haryati U, Abdurrrahman A, Setiani C. 1993. Alternatif teknik konservasi tanah untuk lahan kering di DAS Jatunseluna bagian hulu. Risalah lokakarya sistem usahatani konservasi di lahan kering. 7-8 Desember 1992. P3HTA. Hidayat, Mulyani, 2002. Lahan Kering untuk pertanian dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Depar¬temen Pertanian. Jakarta. Hidema, Makino JA, Mae, Ojune K.. 1992. Change in level of chlorophyll and light harvesting chlorophilla a/b protein of photosynthesis II in rice. Plant Cell Physiol 33: 1209-1214. Hobe S, Fey H,Rog H, Paulsen H. 2003. Determination of Relative cholophyll binding affinities in the Major ligh-harvesting chlorophyll a/b complex. The Journal of Biologycal Chemestry 273: 5912-5919. Hutapea T. 2005. Pengembangan agroforestri berkelanjutan di daerah aliran sungai (studi kasus Ciliwung hulu) (disertasi). Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Irianto S. 2000. Kajian hidrologi daerah aliran sungai Ciliwung menggunakan model HEC-1 (tesis). Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
101
Jufri A. 2006. Mekanisme adaptasi kedelai (Glysin max L) Merill terhadap cekaman intensitas cahaya rendah (disertasi). Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. June T. 2004. Pengembangan Model Mekanistik Penyerapan Karbon untuk Tanaman Hutan. Laporan Penelitian DIP. BIOTROP. June T. 1993. The effect og Light on growth of cassava and Sorghum L. Light distribution and Extinction coefficient. Agromet J. Vol. XI (2): 37 -42. Johnston M, Onwueme LC. 1998. Effect of shade on photosynthetic pigments in tropical root crops: yam, taro, tannia, cassava, and sweet potato. Exp. Agric 34:304-312 Kartasapoetra AG. 2007. Klimatologi: Pengaruh iklim terhadap tanah dan tanaman. Jakarta. Kanisius. Kartasubrata J. 1992. Agroforestry. Departemen Kehutanan.
Manual Kehutanan Indonesia. Jakarta.
Kartono G. 1998. Keragaman zona agroekologi lahan kering podzolik merah kuning di Sulawesi Tenggara. Seminar Nasional penerapan mikrobiologi pada pertanian lahan kering. Kerjasama Univ. Haluleo Kendari dan AUSAID. 14 hlm. Kehlenbeck K, Arifin HS, Mass BL. 2007. Plant diversity in homegardens in a social-economic and agro-ecological context. In book : Stability of tropical rainforest margins, Springer –Berlin, Germany. Kephart KD, Buxton RD, Taylor SE. 1992. Growth at C 3 and C 4 perennial grasses in reduced irradiance. J. Crop Sci. 32: 1033-1038. King KFS, Chandler. 1978. The Wasled lands. The Program of work of the International caouncil for research in agroforestry (ICRAF). Rome. Koesmaryono Y. 1999. Tanggap fotosintesis terhadap lingkungan. Pelatihan dosen Perguruan tinggi negeri Indonesia Bagian Barat dalam bidang Agrometeorologi. Bogor. Kreating BA, Carberry PS. 1993. Resources capture and use intercropping solar radiation. Field Crops Research, 34 : 273-301. Kusmana C. 1988. Evaluasi aspek finansial dan aspek fisik lingkungan pemanfaatan lahan kering dengan pola agroforestry di Desa Palasari, Kec. Parangkuda, Kab. Sukabumi ( tesis). Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
102
Kusmarini E. 2002. Pengembangan agroforestry untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Makalah pada pelatihan stakeholder HKm, Ciawi 26-30 Agustus 2002. Departemen Kehutanan. Lakitan B. 1997. Dasar-dasar klimatologi. Jakarta. Rajawali Press La Muhuria. 2007. Mekanisme fisiologi dan pewarisan sifat toleransi kedelai (Glycine L. Merrill) terhadap intensitas cahaya rendah. Bul. Agron. (34) (3) 133 – 140 Las I, Pawitan H, Samita AS. 1997. Ketersediaan dan potensi sumberdaya air dan perairan umum untuk pengembangan pertanian pangan. Widya Karya Pangan dan Gizi VI. Lautt BS. Chozin MA. Soepandie D, Darusman LK. 2000. Perimbangan patisukrosa dan aktivitas enzim sukrosa fosfat sintase pada padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. J. Hayati 7 (2): 31- 34. Lawlor
DW. 1987. Photosynthesis: Metabolism, control and physiology. Longman scientific and technical. John Wiley and Soon Inc. New York. 262p.
Lestari EG. 2006. Hubungan antara stomata dan ketahanan kekeringan pada somaklon padi gogo Gajahmungkur, Towuti dan IR 64. J. Biodiversitas volume 7 nomor 1 hal 44-48. Logan BA, Adams DB, Adam WW. 1999. Aclimation of photosynthetis to the environment. Di dalam Singal GS, Renger, Sopory SK, Irrgang KD, Govindjee, editor. Conceps in photobiology: Photosynthesis and photomorphogenesis, Boston: Kluwer Acadek Publisher. P 477-512. Marler TL. 1994. Developmental light level effect growth, morphology, and leaf physiology of young carambola trees. J. Amer. Sec. Hort. Sci. 199 (4): 711-718. Minardi S. 2009. Optimalisasi pengembangan lahan kering untuk pengembangan pertanian tanaman pangan. Pidota pengukuhan guru besar ilmu tanah Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Murty KS.,and Dey SK.. 1992. Low light-tolerant restores in hibrid rice breeding. Int. Rice. Res. Notes 17 (1) : 6-7. Mugnisjah WG, Setiawan, A. 1990. Pengantar Produksi Benih. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Momuat EO, Wahid P. 1997. Model sistem usatani lahan kering. Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI, Jakarta 25-27 Juni 1996. hal 171 –184.
103
Nair P. 1993. An introduction to agroforestry. Kluwer Akademik Publishers in cooperation with ICRAF. Netherlands. Nair P. 1984. Soil productivity aspecs of agroforestry. Nairobi. ICRAF Noordwijk MV, Agus F, Suprayogo D, Hairiah K, Pasya G, Verbist G, Farida. 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). J. Agrivita 26(1):1-8. Notohadiprawiro T. 2006. Pertanian lahan kering di Indoensia: potensi, prospek dan kendala pengembangannya. Ilmu Tanah Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Oldeman LR. 1975. Contribution from the control research. Research institute for agriculture Bogor (Indonesia). Publ by :Central research institute for agriculture Bogor. Partohardjono S, Zaini Z, Anwar H. 1997. Tantangan dan harapan produksi pangan di wilayah lahan kering untuk memenuhi pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan lahan kering untuk penyediaan pangan abad 21. PERHEPI. Jakarta. Prasad R, Power JF. 1997. Soil fertility management for sustainable agriculture. Lewis Publishers. New York. Pretty JN, Shah P. 1997. Making soil and water conservation sustainable from coercion and control to pattnership and participant. Land degradation and development Vol 8 : 39-58. Puspaningsih, N. 1997. Studi perencanaan pengelolaan penggunaan lahan kering Cisadane hulu sub DAS Cisadane hulu Kabupaten Bogor (tesis). Bogor. Program Pascasarjana Instirut Pertanian Bogor. Reijntjes, Havercort B, Bayer W. 1992. Farming for the future an introduction to low –external input and sustainable agriculture. The Macmillan Press Ltd. Rositter D. 1994. Land evaluation. SCAS teaching series T94-1. College of agriculture and life science. Cornell University. Rozari MB. 1987. Bahan Training. Training Dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat Bidang Agroklimatologi-Biotrop Bogor. IPBBogor. Sagi AM, Ismail. IG, Kurnia, Suwardjo, Basyo A.S. 1988. Sistem usahatani di daerah aliran sungai. Lokakarya hasil penelitian pertanian lahan kering dan konservasi Di DAS. P3HTA. Salatiga Jawa Tengah.
104
Sahardi. 2000. Studi karaktreristik anatomi dan morfologi serta pewarisan sifat toleran terhadap naunganpada padi gogo (Orysa zativa L). Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryono . Jilid II dan III . ITB Bandung. Santoso E. 2000. Adaptasi Fisiologi Tanaman Padi Gogo Terhadap Nuangan: Laju Pertukaran karbon, Respirasi dan Konduktansi Stomata. Tesis. Program Pascararjana IPB. Bogor. Sardjono MA, Djogo T, Arifin HS, Wijayanto N. 2003. Klasifikasi dan pola kombinasi komponen agroforestri (buku ajaran agroforestri 2). International Center for Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor. Priatna S, Purwoko BS, Pujiprihati S, Hanarida I, Chozin MA. 2006. Evaluasi pertumbuhan dan produksi padi gogo haploid ganda toleran naungan dengan sistem tumpangsari. Bulletin Agronomi 34 (2): 79 -86. IPB Bogor. Satari G, Hilman N, Lubis A, Akman H. 1991. Pengembangan pertanian lahan kering suatu urung pendapat. Prosiding Simposium Nasional: Malang 29-31 Agustus 1991. Puslit Univbraw, P2LK/BIMAS, hal 54 –58. Shibels R, Secor J, Ford DM. 1987. Carbon Assimilation and Metabolism in J.R. Wilcox (ed). pp 535-588. Soybean:Improvement, Production, and Uses. Am. Soc. Agron. Madison. Sinukaban N. 2003. Masalah dan konsepsi pengembangan daerah aliran sungai (DAS) terpadu. Makalah seminar sehari perkembangan penelitian, harmonisasi antara pembangunan dan konservasi lingkungan dalam kegiatan biologis 15 April 2003. di IPB Bogor. Sinukaban N. 1997. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Bahan kuliah Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sitompul SM, Guritno B, 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Yogyakarta Gadjah Mada University Press.. Sitorus S. 2001. Pengembangan sumberdaya lahan berkelanjutan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soepandie D, Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, Sahardi. 2003. Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati 10 (2): 71-75. Sopandie D, Trikoesoemaningtias, Khumaida N. 2006. Fisiologi, genetik dan molekuler adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah: Pengembangan varietas unggul kedelai sebagai tanaman sela. Laporan Akhir
105
Penelitian Hibah Pascasarjana-HPTP Angkatanm II tahun 2004-2006. Dirjen Dikti Depdiknas. Solahuddin S, Ladamay. 1997. Potensi dan kendala pengembangan lahan kering di Indonesia. Prosiding Simposium Nasional VI PERAGI. Jakarta 25 –27 Juni 1996. hal 148-154. Squire GR. 1990. The physiology of tropical crop production. CAB International for the overseas development administration. Sulistyiono E, Sopandie D, Chozin MA, Suwarno. 1999. Adaptasi padi gogo terhadap naungan: pendekatan morfologi dan fisiologi. Comm. Ag. 4 (2) 6268. Suprayogo, Hairiah D, K, Wijayanto N, Sunaryo, Noordwijk MV, 2003, Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestri sebagai Kunci Keberhasilan atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan IndonesiaWorld Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. Bogor. Suwarto, Yahya S, Handoko, Chozin MA. 2005, Kompetisi tanaman jagung dalam sistem tumpang sari. Bulletin Agronomi (33) (2) 1-7. Suhara O. 1991. Studi perencanaan penggunaan lahan pertanian terpadu dan kaitannya dengan upaya pengelolaan DAS (studi kasus DAS Citarum hulu Jawa Barat) (disertasi). Bogor. Fakultas Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor. Suharsono H. 1982. Beberapa aspek iklim Bogor. Skripsi. Jurusan Agrometeorogi Departemen Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sumarwoto, 2004. Beberapa aspek agronomi iles-iles (disertasi). Bogor. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sutrisno N, Pujilestari N, Sawiyo. 2003. Penelitian pengelolaan air dan pengembangan pertanian berkelanjutan untuk penanggulangan banjir dan kekeringan. Balai Penelitian Agroklimat. Bogor. Smith H. 1982. Ligh Quality. Photoperception and Plant Strategy. Ann. Rev. Plant Phisiol, 33 : 481-518. Sukmana S, Syam M, Adimihardja A. 1990. Petunjuk teknis usahatani konservasi Daerah aliaran sungai. P3HTA. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Syarief R. 1997. Kawasan pedesaan ditinjau dari suatu sistem tata air daerah aliran sungan (DAS). Jurnal perencanaan wilayah dan kota ITB Bandung. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant physiology. The Benyamin/Cummings Pub.Co., Inc California. 559p.
106
Wambeke AV. 1991. Soil of the tropics : properties and appraisal. McGrawHill. USA Widaningsih DS. 1991. Peranan sistem pertanaman agroforestri dalam penggunaan lahan kering pertanian yang berlereng curam di DAS Cimanuk Jawa Barat. (disertasi). Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Weston E, Thorogood K, Vinti G .2000. Light quantity controls leaf-cell and chloroplast development. Planta 211: 807-815. Wibawa WD, Hardjomidjojo H, Irianto G, Pramudya B. 2010.Design Pengembangan Hortikultura Tahunan Berkelanjutan Di DAS Ciliwung Hulu. J. Hort. 20(2):138-147, 2010 Wijayanto N. 2002. Agroforestry (secara umum). Makalah pada TOT Entreprreneurship in agroforestry education. Bogor 19 – 24 November 2002. Zhao D, Oosterhuis D.1998. Cotton responses to shade at different growth stages:nonstructural carbohydrate composition. Crop Sci. 38:1196-1203.
107