IDENTIFIKASI DAN ANALISIS POLA TANAM SISTEM AGROFORESTRI DI BEBERAPA ZONA AGROKLIMAT The identification and analysis of planting patterns in some agroclimate zones Abstract The study results of the first stage showed that the land cultivation of the agroforestry system in the climate zone A was quite intensive. The annual crops were cultivated 3-4 times during the planting period one year in the agroforestry system, but 2-3 times in the agro-climate zone C. The combination of agroforestry system with monoculture was more dominant in zone A (60.58%) and B (57.75%) with a simple agroforestry pattern, whereas in zone C (41%) it was with a complex agroforestry pattern. There were seven stands of perennial crops suitable for the agroforestry pattern : Cinamomum burmanii, Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Agathis damara, Paraserianthes falcataria (L.), Toono sureni and Melia azedarach. and nine annual crops that can be developed to create agroforestry: Alium fistulosum L. Brassica oleraceae L., Capsicum frustescens L, Colocasia esculenta L, Daucus carota L., Ipomea batatas (L.) Lam, Lycopersicon esculentum Mill, Phaseolus vulgaris dan Zea mays saccharata sturt. The resulted analysis of micro-climate and production found that four types of crops can be planted in the agroforestry system: Lycopersicon esculentum Mill, Capsicum frustescens L, Colocasia esculenta L and Zea mays L. saccharata. Key words: agroforestry, agroclimate zones, micro climate, planting patterns, watershed Latar belakang
Lahan kering merupakan lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Lahan ini memiliki kondisi agro ekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan kondisi lahan yang labil atau peka terhadap erosi, terutama bila pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Pengelolaan lahan kering di daerah aliran sungai (DAS), umumnya dilakukan dengan secara intensif dan berkesinambungan sepanjang tahun. Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian pola/bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. (Manuwoto 1991; Notohadiprawiro 2006; Minardi S 2009).
26
Pada sistem agroforestri, cekaman naungan menjadi hal penting diperhatikan, karena tanaman pada strata rendah akan mendapat intensitas cahaya di bawah optimal. Apabila faktor faktor lingkungan bisa dikendalikan dengan baik, maka sistem agroforestri mampu menjaga kelestarian lingkungan dan mempunyai manfaat dari segi keanekaragaman jenis, pemanfataan unsurhara yang optimal, keseimbangan fisik tanah, serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Agar pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan, maka sistem agroforestri yang dilaksanakan harus memperhatikan daya dukung lahan dan kesesuaian lahan serta pemilihan komoditas tanaman yang diusahakan, supaya lahan tidak cepat terdegradasi (Chozin 2006; Darusman 2002; Arifin 2002; Wijayanto 2002). Beberapa tahun terakhir ini terjadi penurunan produksi bahan pangan, karena
semakin
sempitnya
luas
lahan pertanian
akibat
alihfungsi
meningkatnya degradasi lahan. Salah satu alternatif pilihan yang diharapkan dapat meningkatkan potensi produksi tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah pendayagunaan lahan kering. Selain tersedia lahan yang cukup luas juga belum diusahakan secara optimal sehingga memungkinkan peluang dalam pengembangannya.
Penggunaan pola tanam yang tepat pada lahan
kering, khususnya di wilayah DAS, sangat penting untuk menjaga kelestarian dan mengurangi dampak negatif dari sistem usaha tani. Penelitian ini bertujuan : 1. Menganalisis kondisi eksisting pola tanam sistem agroforestri pada setiap zona agroklimat. 2. Menganalisis karakter iklim mikro, kesesuaian jenis dan komposisi tanaman semusim pada sistem agroforestri pada setiap zona agroklimat.
27
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan mulai Januari 2004 – Desember 2005, pada tiga zona agroklimat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung-Bogor Hulu, Jawa Barat, secara geografis terletak 6o 05’- 6o 50’ LS dan 106040’ - 107 000’ BT. Bahan yang digunakan meliputi peta vegetasi, peta kemiringan lereng, peta penggunaan lahan dan peta iklim skala 1:50.000 serta perangkat lunak windows 2007 dan arcView versi 3.4, Global Positioning System (GPS), Alat yang digunakan adalah ADC LCA-4 (IRGA, Infra Red Gas Analysis) model ADC Bio Scientific Ltd, tube solarimeter dan recorder, clinometer shunto, termometer maksimum dan minimun, termometer tanah, termometer bola basah-bola kering dan kuesioner.
Metode Penelitian dan Pelaksanan Percobaan Percobaan dibagi menjadi 2 (dua) tahapan yaitu identifikasi dan analisis pola agroforestri pada setiap zona agroklimat dan analasis karakter iklim mikro, kesesuaian jenis dan komposisi tanaman semusim
pada sistem agroforestri
disetiap zona agroklimat. Pada tahap pertama, penentuan zona agroklimat di DAS Ciliwung Hulu berdasarkan Sutrisno et al. 2003 dan Hutapea 2005. Penentuan zona iklim berdasarkan analisis data iklim yang meliputi keragaman jenis tanah, curah hujan, suhu, kelembaban dan ketinggian tempat. Berdasarkan kriteria tersebut lokasi penelitian dibagi menjadi tiga zona agroklimat yaitu: Zona A: zona tropis lembab dataran tinggi, dengan ketinggian > 900 m dpl. Zona B: zona peralihan, dengan ketinggian 700-900 m dpl. Zona C: zona tropis lembab dataran rendah, dengan ketinggian di bawah 700 m dpl. Penentuan tapak/sampel lokasi sistem agroforestri
pada setiap zona
agroklimat dilakukan berdasarkan hasil survei lokasi dan tumpang tindih (overlay) dan verifikasi lapangan dengan Global Positioning System (GPS) dan clinometer shunto, sehingga diperoleh satuan lahan homogen pengamatan. Berdasarkan hasil identifikasi survei pendahuluan dan pembagian zona agroklimat, maka dipilih lokasi sampel pola tanam sistem agroforestri yaitu: zona agroklimat A, meliputi Desa Tugu Utara, Desa Batu Layang dan
Desa Citeko; zona agroklimat B, 28
meliputi Desa Kuta, Desa Sukagalih dan Desa Cilember; zona agroklimat C, meliputi Desa Sukakarya, Desa Gadog dan Desa Cipayung. Karakteristik iklim mikro disetiap zona agroklimat dikelompokkan berdasarkan perbedaan intensitas radiasi surya pada sistem agroforestri. Dasar penentuan tingkat intensitas radiasi surya dilakukan dengan melakukan pengamatan di bawah tegakan tanaman tahunan dengan menggunakan tube solarimeter dan recorder. Setiap zona agroklimat ditentukan 3 (tiga) lokasi sampel pelaksanaan sistem agroforestri. Data dianalisis berdasarkan hasil daya adaptasi tanaman terhadap beberapa tingkat naungan pada berbagai tegakan pohon yang didasarkan pada produksi, jenis serta komposisi tanaman semusim. Tahapan penelitian kedua yaitu melakukan percobaan tanaman semusim hasil seleksi pada tahap pertama, yaitu tanaman yang tahan terhadap naungan. Lokasi sampel percobaan dipilih berdasarkan luas lahan dan relatif homogen jenis tegakan tanaman tahunan. Penanaman dilakukan di bawah tegakan tanaman tahunan berdasarkan perbedaan intensitas radiasi surya pada sistem agroforestri. Dasar penentuan besarnya intensitas radiasi surya di bawah tegakan tanaman tahunan, mengacu kepada hasil penelitian tahap pertama serta mengacu kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Chozin et al. 2000. Tingkat intensitas radiasi surya dibagi menjadi empat yaitu: > 300 kal/cm2/hari, 230-300 kal/cm2/hari, 120-230 kal/cm2/hari dan 70-120 kal/cm2/hari. Tanaman semusim yang ditanam pada tahapan percobaan kedua adalah memilih 4 (empat) tanaman dari hasil seleksi dari percobaan tahap pertama. Percobaan pada setiap zona agroklimat disusun dengan menggunakan rancangan perlakuan petak terpisah (split plot design) dengan 3 kali ulangan. Petak utama terdiri dari 4 taraf naungan tegakan tanaman tahunan (N) yaitu: N0 = > 300 kal/cm2/hari, N1: 230 -300 kal/cm2/hari, N2: 120 - 230 kal/cm2/hari dan N3: 70 - 120 kal/cm2/hari. Anak petak terdiri dari tanaman semusim (T) hasil seleksi pada percobaan tahap pertama. Percobaan menggunakan tiga ulangan sehingga terdapat 144 satuan percobaan di tiga zona agroklimat.
29
Peubah yang diamati Penelitian ini terdiri dari dua rangkaian penelitian. Peubah yang diamati pada penelitian tahap pertama adalah: (1) Data biofisik meliputi : curah hujan harian dan tahunan, sifat-sifat tanah dan vegetasi penutup tanah, (2) Tipe kombinasi tanaman: jenis dan komposisi tanaman yang diusahakan secara agroforestri, tanaman kehutanan, hortikultura/tanaman semusim, (3) Sistem pengelolaan usahatani meliputi : teknik pengolahan tanah, pola tanam dan tata waktu tanam, pemeliharaan dan waktu panen. Pada penelitian tahap kedua yaitu peubah yang diamati adalah: (1) Pengamatan iklim mikro di bawah tegakan/naungan tanaman tahunan: meliputi intesitas radiasi suraya, suhu udara minimum dan suhu maksimum, kelembaban udara;
(2) produksi tanaman
semusim; (3) Analisis iklim meso, yaitu dengan menganalisis unsur-unsur iklim yang diperoleh dari stasiun klimatologi terdekat dengan lokasi penelitian; (4) Analisis bentuk pola tanam agroforestri eksisting pada setiap zona agroklimat yang berpotensi untuk dikembangkan dan jenis-jenis tanaman yang mempunyai daya adaptasi tinggi di bawah naungan.
Hasil dan Pembahasan
Analisis biofisik dan pola tanam agroforestri di DAS Ciliwung Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu merupakan wilayah yang cukup potensial untuk pengembangan beberapa komoditi pertanian, khususnya tanaman hortikultura. Berdasarkan hasil analisis biofisik dan lanskap agroforestri terdapat beberapa jenis tanaman semusim yang dapat ditanam secara agroforestri. Sistem pertanaman yang mengkombinasikan tanaman tahunan dan semusim pada lahan yang sama, dengan perbedaan strata kanopi/tajuk tanaman secara vertikal. Perbedaan ketinggian tempat dan curah hujan di wilayah DAS sangat mempengaruhi jenis komoditi maupun pola tanaam agroforestri yang diusahakan, hal ini berkaitan dengan kondisi zona agroklimat. Berdasarkan hasil zonasi iklim, DAS Cilwung hulu dibagi menjadi 3 (tiga) zona agroklimat yaitu Zona A: ketinggian > 900 m dpl (di atas permukaan laut), Zona B ketinggian 700-900 m dpl dan Zona C ketinggian di bawah 700 m 30
dpl. Hasil zonasi iklim pada masing zona agroklimat A, B dan C, dijadikan dasar untuk penentuan lokasi sampel (Tabel 1) Tahap awal dilakukan percobaan pendahuluan untuk menentukan tanaman tahan terhadap kondisi naungan, dan menentukan lokasi yang tepat, khususnya daerah yang masih memiliki wilayah hutan rakyat yang cukup luas atau tegakan tanaman tahunan, secara umumnya didominasi oleh lahan kering. Berdasarkan pembagian zona agroklimat, maka pemilihan lokasi sampel tersebut adalah : 1. Zona agroklimat A, meliputi Desa Tugu Utara, Desa Batu Layang dan Desa Citeko. 2. Zona agroklimat B, meliputi Desa Kuta, Desa Sukagalih dan Desa Cilember. 3. Zona agroklimat C, meliputi Desa Sukakarya, Desa Gadog dan Desa Cipayung. Perubahan peruntukan lahan di DAS Ciliwung setiap tahunnya mengalami peningkatan, terutama konversi lahan pertanian ke permukiman atau peruntukan lainnya. Secara umum kondisi DAS Ciliwung tahun 2007 (Gambar 2 dan Gambar 3) yaitu peta kemiringan lereng dan peta penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu. Tabel 1. Deskripsi nilai rata-rata unsur iklim pada perbedaan zona agroklimat No. 1 2 3 4
5
Unsur iklim Ketinggian tempat (dpl) Curah hujan (mm) Kecepatan angin (m/det) Suhu udara (0 C) Minimum Maksimum Kelembaban relatif (%)
Zona A > 900 295.5 3.8
Zona Agroklimat Zona B 700 - 900 280.5 3.2
Zona C < 700 241.1 2.5
19.8 22.7 85.3
22.2 27.5 84.6
24.1 30.2 82.7
Sumber: Balai Agroklimat Bogor dan pengamatan lapangan.
Berdasarkan kelas kemiringan lahan di wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu (Tabel 2), menunjukkan bahwa topografi di wilayah tersebut sangat bervariasi antara bentuk datar, landai, agak curam, curam sampai dengan sangat curam. Tingkat kelerengan lahan, berkaitan dengan tingkat kesesuaian lahan yang dapat ditanami komoditi pertanian, terutama hortikultura. Data menunjukkan hanya sekitar 34.29 %, lahan sesuai untuk pertanaman hortikultura, khususnya
31
sayur-sayuran dan 25,77% lahan yang bisa ditanami hortikultura semusim maupun tahunan dengan pola agroforestri, tetapi harus memperhatikan kaidah konservasi tanah, karena potensi erosinya cukup tinggi. Lahan untuk tanaman kehutanan dan masuk wilayah konservas sekitar 40,12 %. Namun kenyataan di lapangan masih ditemukan beberapa usahatani pada kemiringan yang tinggi, sehingga hal ini sangat beresiko terhadap rusaknya lahan-lahan yang diperuntukan untuk wilayah konservasi.
Gambar 2 : Peta kemiringan lereng Ciliwung hulu 2007 Sumber: Balai DAS Ciliwung-Cisadane, diolah.
Bentuk penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung hulu (Tabel 3 dan Gambar 3), masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu sekitar 49.93 %, hutan 34.88% dan pemukiman 12.33 %. Berdasarkan pola penggunaan lahan ini, maka sistem agroforestri sangat berpotensi untuk dikembangkan, karena tingkat kerusakan lingkungan dapat diminimalkan, dibandingkan dengan sistem pertanaman monokultur yang sangat intensif dilakukan terutama di zona
32
agroklimat A (>700 m dpl), yaitu bisa mencapai empat kali panen dalam satu tahun periode tanam. Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung hulu setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, terutama konversi lahan pertanian menjadi permukiman. Banyaknya lahan sawah dan perkebunan rakyat yang beralih fungsi menjadi perumahan, mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tidak terkendali. Hal ini perlu menjadi perhatian berbagai pihak, karena wilayah ini adalah zona konservasi dan memiliki nilai potensi ekonomi yang cukup tinggi dan telaknya sangat strategis. Tabel 2 . Peruntukan lahan dan luas DAS Ciliwung Tahun 2007 NO
KELAS KELERENGAN (%) 0 0 8 15 25 >
1 2 3 4 5 6
- 3 - 8 - 15 - 25 - 40 40
JUMLAH
LUAS (%) 8.47 13.91 11.73 9.78 15.99 40.12 100.00
Balai DAS Ciliwung Cisadane, diolah.
Bentuk topografinya, wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu bervariasi antara bentuk datar, landai, agak curam, curam sampai dengan sangat curam. Pembagian wilayah DAS Ciliwung Hulu berdasarkan topografi dan bentuk wilayah
diklasifikasikan kedalam bentuk kelas lereng (Tabel 2 dan Gambar 2).
Wilayah dengan kelerengan diatas 15 % dan 40 % (40,12%) sangat menyebar luas dan mendominasi wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu, maka kondisi tersebut mempunyai potensi erosi
yang sangat
besar
sehingga
dalam perlakuannya perlu memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan sistem budidaya tanaman, khususnya sistem agroforestri. Sistem agroforestri dan konservasi tanah, diharapkan dapat memperhatikan tingkat kemiringan lereng, dan struktur tanah serta peruntukan wilayah/tata ruang di wilayah DAS Ciliwung hulu yang meliputi peruntukan petanian, perkebunan, pemukiman, kehutanan dan lain-lain. Pendekatan partisipatif terhadap masyarakat merupakan aspek sosial yang sangat diperlukan untuk menangani secara bersama pengelolaan DAS. 33
Gambar 3 : Peta Penggunaan lahan Ciliwung hulu 2007 (Balai DAS Ciliwung Cisadane, diolah)
Penutupan lahan terbesar pada areal DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah berupa hutan seluas 5.075,49Ha (34,13%) keseluruhan luas wilayah DAS. Pada wilayah hutan lindung, penyebaran vegetasinya tidak merata, sehingga terdapat daerah gundul yang perlu segera direhabilitasi. Sekitar 30 % kawasan Hutan di DAS Ciliwung Bagian Hulu merupakan hutan produksi yang didominasi oleh jenis Pinus yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Selain hal tersebut perubahan fungsi lahan yang terjadi terutama pada lahan budidaya pertanian dan budidaya non pertanian (berupa permukiman perdesaan) dengan hak kepemilikan perseorangan yang kemudian beralih fungsi menjadi lahan budidaya non pertanian berupa permukiman perkotaan atau lahan untuk pariwisata. Jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Sub DAS Ciliwung Bagian Hulu meliputi jenis komplek Aluvial Kelabu, Andosol Coklat dan Regosol Coklat, Andosol Coklat, Latosol Coklat, Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat. Hal ini didasarkan atas Peta Tanah Tinjau untuk Kabupaten Bogor dan Kota Bogor skala 1 : 250.000 dari Pusat Penelitian Tanah Bogor. Dari jenis-jenis tanah di atas, jenis tanah yang tersebar luas di DAS Ciliwung
34
Bagian Hulu adalah Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat sebesar 32,89 % dari total luas areal DAS Ciliwung Bagian Hulu. Jenis tanah Latosol dan asosiasinya memiliki sifat tanah yang baik yaitu tekstur liat berdebu hingga lempung berliat, struktur granular dan remah, kedalaman efektif umumnya > 90 dan agak tahan terhadap erosi serta sifat kimia tanah pada dasarnya tergolong baik dengan PH tanah agak netral serta kandungan bahan organik biasanya rendah atau sedang. Tabel 3. Penggunaan lahan dan luas peruntukan DAS Ciliwung Hulu 2007 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Penggunaan Lahan Hutan Pemukiman Kebun Campuran Tegalan Sawah Semak Belukar Kebun Teh Hutan Campuran Jumlah
Luas (Ha) 5.075,49 1.833,03 1.529,78 700,57 2.524,58 426,53 2.669,59 111,43 14.871,00
Persentase (%) 34,13 12,33 10,29 4,71 16,98 2,87 17,95 0,75 100,00
(Balai DAS Ciliwung Cisadane, diolah)
DAS Ciliwung Bagian Hulu dibangun oleh formasi geologi vulkanik yaitu komplek utama Gunung Salak dan komplek Gunung Pangrango. Deskripsi Litologi Kawasan adalah tufa glas lhitnik kristal, tufa fumice dan batu pasiran tufa, sedangkan kondisi fisiografi daerah merupakan daerah pegunungan dan berbukit. Bahan induk tanah yang terdapat adalah berupa tufa volkanik dan derivatifnya merupakan bahan dasar pembentuk tanah jenis tanah latosol coklat kemerahan adalah jenis tanah yang dominan. Terjadinya pencampuran bahan vulkanik tua dan yang lebih muda memungkinkan terbentuknya jenis-jenis tanah lain yang berasosiasi dengan Latosol antara lain adalah tanah Andosol dan Regosol. Berdasarkan
keadaan
geomorfologinya,
DAS Ciliwung Bagian Hulu didominasi oleh dataran vulkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung seluas 3767,76 Ha dan sebagian kecil merupakan alluvial sungai seluas 255,33 Ha.
35
Beragamnya jenis tanaman hortikultura tahunan di DAS Ciliwung Hulu, merupakan yang sangat menguntungkan bagi penduduk setempat.
Beberapa
petani bahkan menjadikan tanaman hortikultura (buah-buahan) sebagai penopang kehidupan dan merupakan pendapatan utama. Pengembangan tanaman buahbuahan memberikan beberapa manfaat, seperti menjadi penyangga keamanan pangan, memberikan nilai ekonomi yang relatif tinggi, teknik budidaya yang relatif intensif, mampu mengontrol erosi, dan hasil pangkasan menjadi penyedia
kayu
bakar, sehingga mampu mengurangi tekanan terhadap
kemungkinan terjadinya perambahan hutan.
= Lokasi sampel
Gambar 4 : Peta Zona Agroklimat DAS Ciliwung dan lokasi pengambilan sampel penelitian Sumber : Balai Agroklimat, diolah
Pengembangan
buah-buahan di sekitar wilayah DAS diarahkan untuk
meningkatkan pendapatan petani melalui penerapan kombinasi pola tanam yang tepat, mampu berperan sebagai sarana konservasi lahan yang efektif melalui tutupan tajuk, efektivitas sebaran dan kedalaman perakaran, serta mengenalkan tanaman yang akan dikembangkan kepada masyarakat. Strategi dan langkah yang tepat sangat diperlukan melalui pemilihan jenis komoditas hortikultura
36
tahunan dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan agroklimat, nilai ekonomi, dan kombinasi pola tanam dengan mengacu pada tanaman yang ada di lokasi tersebut. Penutupan tajuk tanaman dengan tanaman agroforestri mampu memperbaiki struktur tanah melalui peningkatan kandungan bahan organik dalam tanah, jumlah pori makro, dan peningkatan laju infiltrasi. (Wibawa et al. 201; Hutapea 2005; Hairiah et al. 2000).
Gambar 5 : Jumlah curah hujan di DAS Ciliwung pada tiga zona agroklimat
Gambar 6 : Jumlah hari hujan di DAS Ciliwung pada tiga zona agroklimat
37
Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan bahwa pada tiga dekade terakhir, curah hujan mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 1999 dan jumlah hari hujan tertinggi pada tahun 1978. Variasi tahunan curah hujan dan perbedaan nilai dari beberapa unsur iklim ini mempengaruhi jenis dan kombinasi tanaman antar zona agroklimat, khususnya pada pola tanam agroforestri. Salah satu cara menentukan pola hujan yaitu dengan menggunakan kriteria bulan basah dan kering dalam setahun. Penetuan bulan basah dengan dasar nilai ambang batas ketersediaan air yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan air tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman semusim disemua zona agroklimat sangat ditentukan oleh niali curah hujan dan distribusinya. Analisis data iklim, diketahui bahwa DAS Ciliwung Bagian Hulu mempunyai curah hujan rata-rata sebesar 2929 – 4956 mm/ tahun. Perbedaan bulan basah dan kering sangat jelas yaitu 10,9 Bulan basah per tahun dan hanya 0,6 Bulan kering per tahun. Tipe iklim DAS Ciliwung Bagian Hulu menurut sistem klasifikasi Smith dan Ferguson ( 1951) yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu Bulan Basah (> 200 mm ) dan Bulan Kering (< 100 mm ) adalah termasuk kedalam Type A.
Hasil analisis curah hujan pada periode
tertentu, ketinggian tempat, suhu dan jenis tanah maka ditentukan zona agroklimat (Gambar 4). Hasil pengamatan pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri dan pola tanam diketiga zona agroklimat, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola tanam dan komoditi dalam satu periode musim tanam (selama satu tahun). Pada zona agroklimat A dan B umumnya
didominasi oleh komoditi hortikultura
semusim yang cepat panen yaitu umur tanaman satu sampai tiga bulan, dengan tingkat penggunaan lahan sistem agroforesti sangat intensif (3-4 kali menanam dalam satu tahun atau setara dengan IP 400). Pada zona agroklimat C didominasi oleh tanaman pangan dan sedikit hortikultura semusim dengan tingkat pengelolaan lahan yang sedang (2-3 kali menanam dalam satu tahun). Sistem agroforestri dengan penutupan tajuk pohon yang bervariasi dan meneruskan ke tanaman pada strata di bawahnya, dapat memberikan fungsi ganda yaitu membentuk iklim mikro setempat dan seresah daun dapat memperkaya
38
tanah yang gugur diatasnya. Keuntungan lainnya dari sestem agroforestri yaitu dapat memberikan diversifikasi hasil, disamping buah dapat juga dimanfaatkan kayunya, berpengaruh baik terhadap tata air, mengurangi terjadinya suhu-suhu ekstrim, baik di udara, dalam tanah, dan dalam batang dan daun, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman
semusim sebagai tanaman penyusun
agroforestri, dapat mengurangi kerusakan-kerusakan terhadap tanaman pertanian yang disebabkan oleh hujan deras. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri.
Penggunaan pupuk nitrogen dapat
dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman yang yang dapat bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen. Sistem ini juga dapat mengurangi pemakaian jumlah tenaga kerja sehingga lebih efisien disbanding dengan sistem pertanian monokultur. Pola tanam pada zona A dan B
sekitar 57-60%
(Tabel 4), petani
mengusahakan komoditi di bawah tegakan dengan sistem monokultur sedangkan sebaliknya pada zona C petani lebih banyak menanam dengan sistem pola tanam ganda. Variasi sistem pola tanam ganda (multikultur) lebih banyak pada zona A dan B di banding zona C, karena banyaknya tanaman- sayuran yang dapat diusahakan dan berumur pendek (30-40 hari). Perbedaan sistem pola tanam ini umumnya disebabkan oleh ketersediaan lahan yang terbatas, nilai ekonomi dan cepatnya komoditi tersebut di pasarkan serta tingginya resiko kegagalan produksi yang disebabkan oleh penyakit dan curah hujan yang cukup tinggi. Petani dengan sistem agroforestri pada setiap zona agroklimat memiliki skala usahatani kecil hingga sedang dengan kisaran luas areal sekitar 0.25 - 0.50 ha, status lahan yang diusahakan umumnya dengan sistem sewa atau bagi hasil.
Sistem agroforestri yang diterapkan di DAS
Ciliwung hulu, umumnya dengan pertimbangan produktivitas dan konservasi lahan. Disamping itu sistem agroforestri mudah untuk penerapannya meliputi jenis tanaman semusim, komposisi, maupun proporsi tanaman pada tiap unit lahan yang diusahakan.
39
Tabel 4. Perbandingan pola zona agroklimat Zona Agroklimat A B C
tanam pada sistem agroforestri pada setiap
Pola Tanam Agroforestri Variasi Monokultur Multiplecropping pola tumpang sari (%) (%) 60.58 39.42 Rotasi, berurutan, dan tumpangsari, 57.75 42.25 Rotasi, berurutan dan tumpangsari 41.35 58.65 Rotasi dan tanam campuran
Sistem agroforestri umumnya dilakukan pada lahan milik petani yang menyerupai hutan biasanya disebut kebun, yang pengelolaannya diarahkan pada dua fungsi, yaitu fungsi hidrologis dan fungsi lindung, seperti kebun buahbuahan pekarangan (mixed fruit tree home gardens), dan sistem campuran pohon buah-buahan dan pohon penghasil kayu. Pengembangan agroforestri diperlukan perencanaan dan manajemen lanskap yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, dari aspek bio-fisik/ekologis, sosial-budaya, ekonomi hingga politik dan kebijakan. Praktek agroforestri pada skala lanskap dapat mengakomodir suatu perencanaan wilayah dalam mendistribusikan ruang spatial dari hulu hingga hilir suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Peruntukan penggunaan lahan dilakukan terencana dan terkendali (segregasi atau integrasi) sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dapat menjamin keseimbangan produksi, ekonomi dan ekologi (Arifin et al. 2004,; Arifin et al. 2009; Noordwijk et al. 2004; Wibawa et al. 2010). Perbebedaan zona agroklimat, juga berpengaruh terhadap jenis tanaman kehutanan yang tumbuh dan mendominasi di masing-masing zona agroklimat. Sistem agroforestri di zona A dan B umumnya dilakukan pada tanaman tahunan/kehutanan Cinamomum burmanii, Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Agathis damara, Paraserianthes falcataria (L.)) secara simple agroforestri dengan pola tanam single commodity. Pada zona C umumnya dilakukan sistem complex agroforestry secara multiple cropping pada tanaman Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Albizia falcataria dan Melia azedarach.
. 40
Tabel 5. Jenis tanaman tahunan, pola tanam dan tanaman yang toleran terhadap naungan pada berbagai zona agroklimat No 1
Karakter agroforestri Tanaman tahunan/ kehutanan
Zona A Cinamomum burmanii, Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Agathis damara, Paraserianthes falcataria (L.), Toono sureni
Zona Agroklimat Zona B Cinamomum burmanii, Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Agathis damara, Paraserianthes falcataria (L.)
Zona C Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Paraserianthes falcataria (L.) dan Melia azedarach.
2
Pola agroforestri
Simple Agroforestry
Simple agroforestry
Complex agroforestry
3
Jenis tanaman semusim dengan pola agroforestri
Lycopersicon esculentum Mill , Daucus carota L, Brassica oleraceae,Colocasia esculenta L, Tinospora crispa, Capsicum frutescens.L, Capsicum frustescens L, Solanum esqulentum, Zea mays, Solanum americanum, Solanum melogena, Ipomea batatas, Alium fistulosum, Zea mays saccharata sturt, Cymbopogan nardus, Raphanus sativus, Manihot utilissima, Brassica chicensi, Brassica juncea
Colocasia esculenta L, Manihot utilissima, Daucus carota L, Lycopersicon esculentum Mill, Brassica oleraceae, Alium fistulosum, Ipomea batatas, Vigna unguiculata, Solanum esqulentum, Capsicum frutescens.L, Capsicum annum, Zea mays saccharata sturt, Solanum americanum, Solanum melogena, Cojanus cajan, Cymbopogan nardus, Arachis hipogea
Colocasia esculenta L, Capsicum frutescens.L, Capsicum annum, Solanum esqulentum, Zea mays saccharata sturt, Ipomea batatas, brassica oleraceae Solanum americanum, Lycopersicon esculentum Mill, Solanum melogena, Manihot utilissima, Cymbopogan nardus, Arachis hipogea, cucumus sativus, Cojanus cajan, Vigna sesquipedali
41
Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat beberapa tanaman semusim yang dapat diusahakan secara agroforestri berdasarkan zona agroklimat. Tanaman yang lolos seleksi berdasarkan atas produksi relatif yang dihasilkan pada kondisi ternaungi dibandingkan dengan tanpa naungan. Kesesuaian produksi ditentukan oleh rata-rata produksi selama kurun waktu satu tahun. Beberapa jenis tanaman yang ditanam secara agroforestri, namun produksi yang dihasilkan sangat rendah karena tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi iklim mikro, terutama rendahnya intensitas radiasi surya yang ditransmisikan oleh tanaman tahunan. Tabel 6. Hasil relatif (% terhadap kontrol) beberapa tanaman semusim dengan sistem agroforetri pada perlakuan naungan N2 (50%) di zona agroklimat A, B dan C. Jenis Tanaman Alium fistulosum L. Brassica oleraceae L.
Capsicum frustescens L Colocasia esculenta L. Daucus carota L. Ipomea batatas (L.) Lam. Lycopersicon esculentum Mill
Phaseolus vulgaris Zea mays saccharata sturt
A 81.4 83.1 82.6 84.5 83.9 76.3 85.8 82.3 76.5
ZONA AGROKLIMAT B 78.8 80.3 85.0 86.7 79.5 78.7 82.1 80.0 79.6
C 75.6 77.3 85.6 82.3 75.4 81.5 79.6 77.5 86.5
Hasil seleksi tanaman semusim yang terdapat pada Tabel 5, berdasarkan tingkat ketahanan terhadap naungan dan produksi relatif, diperoleh 9 (sembilan) tanaman yang tahan terhadap perbedaan tingkat naungan (Tabel 6). Tahap selanjutnya melakukan percobaan dengan perbedaan intensitas radiasi surya, sehingga diperoleh tanaman yang paling sesuai di masing-masing zona agroklimat. Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa tanaman yang mempunyai hasil relatif tertinggi di zona A adalah tanaman tomat dan talas, di zona B adalah talas dan cabai rawit, dan pada zona C adalah cabai rawit dan jagung. Pola agroforestri yang diterapkan di bawah tegakan terdiri dari pola tanam tunggal (monokultur) yakni hanya mengusahakan satu komoditi, dan pola tanam ganda (multiplecropping) yakni menanam lebih dari satu tanaman. Perbedaan intensitas radiasi surya antara tanaman yang ternaungi dan terbuka adalah pada tanaman 42
dengan sistem agroforestri bentuk daun lebih tipis dan lebih lebar, agar tanaman bisa memperoleh energi yang lebih besar, hal ini merupakan salah satu cara tanaman untuk melakukan adaptasi pada kondisi cekaman naungan, dan memanfaat datang kanopi dan tingkat penyirnaan/ pemadaman lapisan tersebut Tingkat penutupan tajuk tanaman tahunan yang berbeda
pada setiap
perlakuan mempengaruhi jumlah intensitas radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara dan suhu tanah lingkungan tanaman. Perbedaan tingkat intensitas radiasi surya
cahaya yang diterima oleh tanaman berbeda dan mempengaruhi
ketersediaan energi cahaya yang akan diubah menjadi energi panas dan energi kimia. Radiasi surya merupakan faktor utama diantara faktor iklim yang lain, tidak hanya sebagai sumber energi primer tetapi karena pengaruhnya terhadap keadaan keadaan iklim disekitar tanaman. Sistem agroforestri pada beberapa zona agroklimat Percobaan tahap kedua adalah pengamatan terhadap unsur-unsur iklim pada perlakuan perbedaan intensitas radiasi surya di beberapa tegakan tanaman tahunan pada tiga zona agroklimat (A, B dan C). ditanam di bawah tegakan,
Tanaman semusim yang
merupakan hasil seleksi pada percobaan tahap
pertama yang mempunyai tingkat toleransi terhadap naungan yaitu tanaman tomat, talas, cabai rawit dan jagung. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai unsur iklim yaitu intensitas radiasi surya dan suhu udara lebih rendah pada zona A dibanding dengan zona B dan C, sedangkan rata-rata curah hujan, kelembaban relatif dan kecepatan angin zona A lebih tinggi dibanding dengan zona B dan C (Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9). Hasil identifikasi terhadap tegakan tanaman tahunan yang dapat dijadikan sebagai tegakan pada sistem agroforetri adalah kayu manis (Cinamomum burmanii), pinus (Pinus merkusii), kayu afrika (Maesopsis eminii), damar (Agathis damara), albizia (Paraserianthes falcataria (L.)), suren (Toono sureni), Cemara (Casuarina equisetifolia) dan
mindi (Melia azedarach).
Terdapat
beberapa tegakan tanaman tahunan lainnya namun hanya dijumpai dalam jumlah yang terbatas.
43
Gambar 7 : Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat A
Gambar 8 : Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat B
Gambar 9 : Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C) di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat C
44
Pemanfaatan lahan di bawah tegakan tanaman kehutanan dengan sistem agroforestri dilakukan untuk memperoleh tanaman semusim/hortikultura yang toleran terhadap penurunan intensitas radiasi surya. Jenis tanaman semusim yang dapat dikembangkan dengan sistem agrofestri yaitu tanaman tomat, talas, cabai rawit dan jagung. Penutupan tajuk tanaman pada perlakuan N1 dan N2, intensitas radiasi surya yang diterima tanaman semusim berkisar 120- -300 kal/cm2/hari. Kondisi tanaman semusim pada nilai intensitas tersebut memberikan respon yang berbeda-beda. Beberapa jenis tanaman semusim
sudah menunjukkan
produksi yang turun secara signifikan, karena tidak mampu beradaptasi dengan kondisi iklim mikro tersebut. Radiasi surya yang sampai pada tajuk atau kanopi tanaman kehutanan pada sistem agroforestri, tidak semuanya dapat dimanfaatkan, sebagian dari cahaya tersebut diserap, sebagian ditransmisikan, atau bahkan dipantulkan kembali.
Kualitas cahaya matahari ditentukan oleh proporsi relatif panjang
gelombangnya, selain itu kualitas cahaya tidak selalu konstan namun bervariasi dari musim ke musim, lokasi geografis serta perubahan komposisi udara di atmosfer. Radiasi surya terbagi dua, yaitu yang bergelombang panjang (long wave radiation) dan yang bergelombang pendek (short wave radiation). Batas terakhir dari radiasi gelombang pendek adalah radiasi ultraviolet, sedangkan batas akhir radiasi gelombang panjang adalah sinar inframerah. Radiasi dengan panjang gelombang antara 400 hingga 700 µm adalah yang digunakan untuk proses fotosintesis. Pengaruh kualitas cahaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman telah banyak diselidiki, dimana diketahui bahwa spektrum yang nampak (visible) diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Apabila tanaman ditumbuhkan pada cahaya biru saja daunnya akan berkembang secara normal, namun batangnya akan menunjukkan tanda-tanda terhambat pertumbuhannya.
Apabila tanaman
ditumbuhkan pada cahaya kuning saja, cabang-cabangnya akan berkembang tinggi dan kurus dengan buku (internode) yang panjang dan daunnya kecil-kecil. Dari penelitian tersebut telah membuktikan bahwa cahaya biru dan merah memegang peranan penting untuk berlangsungnya proses fotosintesis (Bey dan Las 1991; Salisbury dan Ross 1995; Rozari 1987; Lakitan 1997).
45
93
N0 N2
91
N1 N3
Kelembaban (%)
89 87 85 83 81 79
Zona A
77 75 J
P
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
O
N
D
Bulan
91
N0 N2
Kelembaban (%)
89
N1 N3
87 85 83 81 79
Zona B
77 75
J
P
M
A
M
J J Bulan
A
S
92
N0 N2
90 Kelembaban (%)
88
N1 N3
86 84 82 80 78
Zona C
76 74
J
P
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
Bulan
Gambar 10. Rata-rata kelembaban udara (%) pada berbagai zona agroklimat (Zona A, B dan C).
46
Radiasi yang diabsorbsi pada tajuk tanaman dapat diketahui dari selisih radiasi yang sampai pada permukaan atas tajuk dengan radiasi yang lolos pada permukaan tanah di bawah tajuk. Apabila tajuk tanaman dibagi dalam beberapa lapisan strata (sistem agroforestri), maka tingkat radiasi yang ditransmisikan dari setiap lapisan. Pada Gambar 7, 8 dan 9, menunjukkan bahwa bahwa fluktuasi suhu udara lebih tinggi pada zona C dibanding dengan zona A. Penurunan suhu udara akibat naungan tanaman tahunan pada semua zona agroklimat relatif kecil perbedaaannya terutama pada naungan N1, N2 dan N3. Fluktuasi suhu udara pada musim kemarau lebih tinggi dari musim hujan. Hasil penelitian Las (1982) dan Haris et al (1999) bahwa pada perlakuan naungan 0, 25 dan 50 % suhu maksimum masing-masing adalah 31.2-31.4; 30.2-31.2
0
C dan 29.3-30.4
0
C sedangkan
suhu minimum adalah 21.4-22.8; 21.5-22.2 dan 21.7 0 C. Fluktuasi suhu berkaitan erat dengan kesetimbangan CO 2 disekitar daun tanaman. Pada suhu 25
0
C sekitar 50
mol CO 2
s-1, dan meningkat dengan
meningkatnya suhu permukaan daun. Nilai ini penting pada perubahan iklim yang berkaitan dengan kenaikan suhu. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan tanaman dikenal sebagi suhu kardinal yaitu meliputi suhu optimum (pada kondisi ini tanaman dapat tumbuh baik), suhu minimum (pada suhu di bawahnya tanaman tidak dapat tumbuh), serta suhu maksimum (pada suhu yang lebih tinggi tanaman tidak dapat tumbuh).
Suhu kardinal untuk setiap jenis tanaman memang
bervariasi satu dengan lainnya. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu batas suhu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan batas atas suhu yang tidak membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Batas suhu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman diketahui sebagai batas suhu optimum. Pada batas ini semua proses dasar seperti: fotosintesis, respirasi, penyerapan air, transpirasi, pembelahan sel, perpanjangan sel dan perubahan fungsi sel akan berlangsung baik dan tentu saja akan diperoleh produksi tanaman yang tertinggi. Batas suhu optimum tidak sama untuk semua tanaman. Suhu di atas optimum: tanaman yang tumbuh pada kondisi ini pada akhir pertumbuhannya biasanya menghasilkan produksi yang rendah. Hal ini disebabkan kurang adanya
47
keseimbangan antara besarnya fotosintesis yang dihasilkan dan berkurangnya karbohidrat karena adanya respirasi.
Bertambahnya suhu akan mempercepat
kedua proses ini, tetapi di atmosfer di atas batas optimum, proses respirasi akan berlangsug lebih besar dari pada fotosintesis, sehingga bertambah tingginya suhu tersebut akan mengakibatkan berkurangnya produksi.
Suhu di bawah batas
optimum: tanaman yang tumbuh pada kondisi ini akan menghasilkan pertumbuhan yang kurang baik dan produksinya akan lebih rendah.
Hal ini
disebabkan pada suhu yang rendah besarnya fotosintesis yang dihasilkan dan protein yang dibentuk dalam keadaan minimum, akibatnya pertumbuhan dan perkembangan lambat dan produksi rendah (Bey dan Las 1991; Salisbury dan Ross 1995). Kelembaban relatif udara merupakan perbandingan antara jumlah uap air yang terdapat di udara dengan jumlah maksimum uap air yang dapat dikandung udara pada suhu dan tekanan tertentu. Apabila kondisi ini dihubungkan dengan kondisi naungan di bawah tegakan tanaman tahunan, maka akan terdapat kelembaban relatif yang beragam, sesuai dengan konsidi iklim mikro setempat. Naungan dengan perlakunan N2 dan N3 suhu udara yang rendah akan memperbesar kandungan uap air sehingga penguapan air dari tanah dan tanaman (evopotranpirasi) relatif kecil. Kelembaban relatif udara meningkat hingga mencapai titik tertinggi yaitu 87.1 % pada zona agroklimat A, begitu juga dengan suhu terendah yang pernah tercapai disekitar tanaman yaitu 19.8 oC (Gambar 10). Naungan yang tinggi dapat memperlambat pengangkatan massa udara dan uap air pada siang hari sehingga kelembaban relatifnya lebih besar. Rendahnya suhu udara disekitar tanaman menyebabkan kapasitas udara untuk menampung uap air akan semakin berkurang, agroforestri
sehingga kelembaban nisbi di sekitar pertanaman
semakin meningkat. Tingginya kelembaban nisbi ini berkaitan
dengan terjadinya penurunan kapasitas massa udara untuk mengandung uap air jenuh. Respon pertumbuhan tanaman pada pola agroforestri disemua zona agroklimat sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim mikro setempat. Iklim mikro sangat penting untuk memperbesar peluang keberhasilan budidaya tanaman, dengan substitusi unsur iklim partial. Substitusi unsur iklim partial tersebut dapat
48
dilaksanakan sampai batas tertentu. Iklim mikro disekitar tanaman terutama tanaman semusim pada sistem agroforestri merupakan usaha agar tanaman yang dibudidayakan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kelembaban udara dan tanah, suhu udara dan tanah merupakan komponen iklim mikro yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan masing-masing berkaitan mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tanaman.
Iklim mikro (micro climate)
menggambarkan keadaan fisik atmosfer sekitar objek yang spesifik atau dekat permukaan (< 2m).
Pada skala ini telah terjadi interaksi fisika antara objek
dengan lingkungan atmosfernya seperti di sekitar/di bawah tajuk tanaman (Bey dan Irsal Las, 1991). Radiasi surya dapat dibagi 3 (tiga) aspek yang berkaitan langsung dengan respon tanaman yaitu intensitas, kualitas dan fotoperiodisitas, dimana pengaruh ketiga aspek tersebut akan berbeda antara satu dengan lainnya dan saling terkait terutama pada proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Semakin besar tingkat penutupan tajuk tanaman maka suhu udara rendah, kelembaban udara semakin tinggi. Kelembaban udara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman berhubungan erat dengan proses fotosintesis. Proses ini energi cahaya diperlukan untuk berlangsungnya penyatuan CO 2 dan air untuk membentuk karbohidrat.
Semakin besar jumlah energi yang tersedia akan memperbesar
jumlah hasil fotosintesis sampai dengan optimum (maksimum), untuk menghasilkan berat kering yang maksimal, tanaman memerlukan intensitas cahaya penuh. Namun demikian intensitas cahaya yang sampai pada permukaan kanopi tanaman sangat bervariasi, khususnya pada sistem agroforestri yang mempunyai strata tajuk tanaman yang sangat bervariasi.
49
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasi lidentifikasi sistem agroforestri, diperoleh sembilan tanaman semusim yang berpotensi dikembangkan dengan sistem agroforestri diperoleh yaitu: Alium fistulosum L.,Brassica oleraceae L., Capsicum frustescens L,Colocasia esculenta L.,Daucus carota L.,Ipomea batatas (L.) Lam.,Lycopersicon esculentum Mill,Phaseolusvulgaris,Zea maysL. saccharata.
2. Pola tanam agroforestri di zona iklim A dan zona B dilakukan dengan cukup intensif,tanaman semusim diusahakan pada
satu tahun periode tanam
sebanyak 3-4 kali, sedangkan pada zona iklim C diusahakan 2-3 kali setahun periode tanam. Karakteristik iklim mikro di bawah tegakan tanaman tahunan, mempengaruhi pola tanam agroforestri di setiap zona agroklimat. Sistem monokultur lebih dominan dilakukan di zona A (60.58%) dan zona B (57.75%), dengan pola agroforestri sederhana, sedangkan pada zona C (41%) dengan pola agroforestri kompleks. 3. Hasil analisis
iklim mikro dan produksi tanaman semusim, diperoleh
tanaman yang sesuai ditanam dengan pola agroforestri pada semua zona agroklimat yaitu: Lycopersicon esculentum Mill, Colocasia esculenta L, Capsicum frutescens L.dan Zea mays L. Saccharata.
50