KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Disusun oleh Nama Peneliti/Pengkaji I NIP Pangkat/Golongan Jabatan
: : : :
Surono, S.Sos, M.Si
Nama Peneliti/Pengkaji II NIP Pangkat/Golongan Jabatan
: Mohamad Jafar, SE, MM : 19730316 199212 1001 : Penata Tk. I / III.d : Widyaiswara Muda
19720708 199212 1001
Penata Tk. I / III.d Widyaiswara Muda
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN JAKARTA 2013
ABSTRAK Surono dan Jafar, Mohamad, 2013, Kajian atas Kebijakan Pengenaan Bea Keluar Atas Bijih (Raw Material atau Ore)Mineral Fenomena utama yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya kondisi eksploitasi sumber daya mineral secara massif namun kurang memberikan nilai tambah ekonomi kepada masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hasil pertambangan sektor industri hulu pertambangan mineral sebagian besar diekspor dalam kondisi mentah. Padahal amanat Undangundang Nomor 4 tahun 2009 menginginkan adanya penciptaan nilai tambah atas pemanfaatan sumber daya mineral untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Kondisi ini kemudian disikapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan regulasi yang membatasi ekspor mineral dalam bentuk bijih dan sekaligus dikenakan beban pajak berupa pungutan bea keluar. Jenis penelitian yang dilakukan adalah analisis tentang kebijakan (policy research), dengan menggunakan metode analisis dampak regulasi (regulatory impact assesment). Adapun jenis data yang dipergunakan adalah data kualitatif yang dikombinasikan dengan data kuantitatif. Berdasarkan analisis manfaat dan biaya, penelitian ini menyimpulkan bahwa pilihan menerapkan kebijakan bea keluar terhadap bijih mineral sudah tepat. Kebijakan bea keluar akan menurunkan angka volume ekspor bijih nikel sekitar 21,8 juta ton untuk komoditi nikel dan bijih aluminium sekitar 29,8 juta ton. Penurunan angka volume ekspor bijih mineral sebagai dampak pengendalian ekspor akan diikuti dengan semakin menguatnya upaya-upaya pengembangan sektor Industri hilir pertambangan mineral. Meskipun manfaat nyatanya belum dirasakan saat ini namun iklim investasi sektor industri hilir pertambangan mineral mulai bergairah. Kebijakan bea keluar yang dibarengi dengan kebijakan pengendalian ekspor bijih minireal telah mendorong investor untuk menanamkan modalnya bagi industri hilir. Hingga bulan oktober 2013, tercatat sudah 110 proposal pembangunan smelter bagi kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral telah masuk ke kementerian ESDM. Namun yang dapat diverifikasi langsung oleh kementerian ESDM baru sekitar 13 proposal. Dari sisi fiskal, kebijakan bea keluar memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi penerimaan negara. Meskipun tujuan mendasar bea keluar bijih mineral tidak sama sekali untuk kepentingan penerimaan namun kontribusinya cukup besar (sekitar 1,27%) dari total penerimaan DJBC di tahun 2012. Padahal bea keluar atas mineral baru efektif dikenakan pada bulan Juni 2012. Dari aspek kepentingan pengawasan, kebijakan bea keluar atas bijih mineral telah memberikan kewenangan pengawasan kepada DJBC untuk melakukan pemeriksaan fisik. Diharapkan dengan pemeriksaan fisik tersebut, tingkat pelanggaran baik secara administratif maupun fisik akan dapat diminimalisasi. Hal ini meberikan dampak yang sangat positif terhadap upayaupaya penertiban kegiatan ekspor mineral. Kata kunci : bea keluar, bijih mineral,
ii
ABSTRACT Surono dan Jafar, Mohamad, 2013, Studies on Policy Levy Imposition of Upper Ore (Raw Material or Ore) Minerals
The main phenomenon behind this study is the conditions of massive exploitation of mineral resources, but less economic adds value to the Indonesian people as a whole. Results upstream mining mineral mining industry is mostly exported in the raw state. Though the mandate of Undang-undang No. 4 Tahun 2009 wanted the creation of added value for the utilization of mineral resources for the overall prosperity of the Indonesian people. This condition is then addressed by the government by issuing regulations that restrict the export of ores and minerals in the form of the tax burden at the same time in the form of levies imposed export duties. Type of research is the analysis of the policy using regulatory impact assessment. The type of data used is qualitative data that is combined with quantitative data. Based on the analysis of benefits and costs, the study concluded that the choice of applying the tax policy of the ore minerals are correct. Tax policy will decrease the volume of nickel ore exports around 21.8 million tonnes of nickel and aluminum ore around 29.8 million tonnes. Decrease in export volume as a result of mineral ore export controls will be followed by further strengthening development efforts downstream mineral mining industry sector. Despite the fact the benefits have not been felt yet the current climate of investment in downstream mineral mining industry began to passionately. Export Tax policy coupled with minireal ore export control policy has encouraged investors to invest for the downstream industry. As of October 2013, there were already 110 proposals smelter for processing and refining minerals ministry has been entered into the EMR. But that can be verified directly by the ministry of new EMR about 13 proposals. On the fiscal side, tax policy contribute significantly to the state revenue. Although the fundamental purpose of mineral ore export duty at all to the benefit of the reception but its contribution is quite large (approximately 1.27%) of total revenue in 2012 DGCE. Though the above duties effectively imposed a new mineral in June 2012. From the aspect of control interest, export tax policy over mineral ores has given oversight authority to DJBC to perform a physical examination. It is expected that with the physical examination, the level of violations of both administratively and physically will be minimized. This gave the very positive impact on efforts to curb the export of minerals. Keyword :export tax, raw materials (ore) minerals
iii
,
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan kajian akademis yang berjudul “ Kajian Atas Kebijakan Pengenaan Bea Keluar Terhadap Bijih (Raw Material atau Ore) Mineral “. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan kajian ilmiah ini banyak pihak yang telah memberikan dukungan dan saran serta masukan baik dari sisi substansi maupun dari metodologi penulisan serta motivasi, sehingga dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada : 1.
Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK),
2.
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Bea dan Cukai,
3.
Direktur Teknis Kepabeanan DJBC,
4.
Direktur Peraturan dan Penerimaan Pabean dan Cukai DJBC,
5.
Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana BPPK,
6.
Bapak Riyanto, selaku pembimbing metodologi penulisan,
7.
Ibu Nanik Susilowati Rizain, selaku pembimbing substansi materi,
8.
dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya kajian ilmiah ini.
Terakhir, Penulis menyadari bahwa kajian ini masih terdapat keterbatasan dan kekurangan, sehingga masukan dan kritik yang membangun sangat kami harapkan untuk lebih sempurnanya kajian ilmiah ini. Semoga karya tulis kami ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran untuk kemajuan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan .
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i ABSTRAK ................... ........................................................................................ ii ABSTRACT ................ ........................................................................................ iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv DAFTAR ISI ....................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi DAFTAR TABEL ................................................................................................ vii BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................... 6 C. Ruang Lingkup ................................................................................ 7 D. Tujuan ............................................................................................. 8 E. Manfaat ........................................................................................... 8 BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................ 9 A. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 9 1. Penelitian Terdahulu ................................................................... 9 2. Bea Keluar Dari Sudut Pandang Kepabeanan ............................ 12 3. Konsep Ekonomi Sumber Daya Mineral dan Teori Permintaan. .. 17 B. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................ 26 BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................... 29 A. Pendekatan Penelitian ..................................................................... 29 B. Jenis Penelitian ............................................................................... 30 C. Definisi Operasional Variabel........................................................... 31 D. Jenis dan Sumber data .................................................................... 31 E. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 32 F. Metode Analisis Data ....................................................................... 34 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ........................................................... 37 A. Data dan Fakta ................................................................................ 37 1. Gambaran Umum Sumber Daya Mineral.................................. ... 37 2. Kebijakan Sumber Daya Mineral di Indonesia dan Kronologis Penetapan Bea Keluar atas Bijih Mineral.................................. .. 49 3. Aspek Teknis dan kendala yang Dihadapi DJBC...................... ... 57 B. Analisis Data dan Pembahasan Masalah......................................... 63 1. Perumusan Masalah dan Bentuk Regulasi............................... .. 63 2. Latar Belakang Kebijakan Bea Keluar...................................... .. 64 3. Alternatif Pilihan Kebijakan.............................................. ........... 68 4. Penilaian Terhadap Alternatif Kebijakan.................. ................... 72 BAB V PENUTUP .............................................................................................. 95 A. Simpulan ......................................................................................... 95 B. Keterbatasan Penelitian................................................................... 98 C. Saran dan Rekomendasi ................................................................. 99 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 101 LAMPIRAN ........................................................................................................103
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Hukum Permintaan Berkaitan dengan Harga ........................................ 22 Gambar 2.2 Pengaruh Pajak Terhadap Permintaan ................................................. 23 Gambar 2.3 Kurva Penawaran dan Permintaan Akibat bea keluar ........................... 24 Gambar 2.5 Alur Kerangka Berfikir Penelitian... ........................................................ 28 Gambar 3.1 Tahapan Metode Analisis RIA... ............................................................ 35 Gambar 4.1 Produksi Nikel Dunia Tahun 2010-2012.. .............................................. 38 Gambar 4.2 Produksi Bauksit Dunia Tahun 2009.. ................................................... 40 Gambar 4.3 Produksi Tembaga Dunia Tahun 2008.. ................................................ 43 Gambar 4.4 Produksi Bijih Besi Dunia Tahun 2009 .................................................. 45 Gambar 4.5 Produksi Timah Dunia Tahun 2009 ....................................................... 48 Gambar 4.6 Kerangka Pikir Kebijakan Bea Keluar Bijih Mineral Versi BKF.. ............ 65 Gambar 4.7 Ekspor Bijih Mineral Pasca UU No.4 Tahun 2009.. ............................... 67 Gambar 4.8 Trend Linear Ekspor Nikel Indonesia... ................................................. 77 Gambar 4.9 Trend Linear Ekspor Bijih Aluminium Indonesia... ................................. 77 Gambar 4.10 Trend Ekspor Nikel Indonesia Kondisi Real... ..................................... 78 Gambar 4.11 Trend Ekspor Bijih Aluminium Indonesia Kondisi Real.. ..................... 79 Gambar 4.12 Volume Ekspor Mineral Utama.... ........................................................ 85
vi
DAFTAR TABEL Tabel 1.1Perkembangan Produksi Mineral Tahun 2007 - 2011 ................................
2
Tabel 1.2 Penerimaan Bea Keluar (dalam milyar) ...................................................
4
Tabel 2.1 Efek Kesejahteraan Akibat Bea Keluar.... ................................................. 25 Tabel 4.1 Produksi Nikel Indonesia.. ......................................................................... 38 Tabel 4.2 Produksi Bauksit Indonesia.. ..................................................................... 41 Tabel 4.3 Produksi dan Penggunaan Tembaga Indonesia Tahun 2007-2011 ......... 43 Tabel 4.4 Produksi dan Penggunaan Pasir Besi Indonesia Tahun 2007-2011 ........ 45 Tabel 4.5 Produksi Timah Indonesia Tahun 2007-2011 ........................................... 48 Tabel 4.6 Potensi Peningkatan Nilai Tambah Mineral.. ............................................ 53 Tabel 4.7 Regulasi dan Permasalahan.. ................................................................... 64 Tabel 4.8 Hasil Simulasi Dampak Atas Berbagai Skenario Restriksi Ekspor Bijih Nikel .. 70 Tabel 4.9Hasil Simulasi Dampak Atas Berbagai Skenario Restriksi Ekspor Bijih Tembaga.. 71 Tabel 4.10 Identifikasi Manfaat dan Biaya Alternatif 1 .............................................. 73 Tabel 4.11 Identifikasi Manfaat dan Biaya Alternatif 2 .............................................. 73 Tabel 4.12 Penggunaan Bijih Mineral Oleh Industri Hilir ........................................... 74 Tabel 4.13 Perbandingan Angka Volume Ekspor Bijih Nikel dan Aluminium... ........ 81 Tabel 4.14 realisasi Penerimaan DJBC Tahun 2012 – 2013 ...... ............................. 83 Tabel 4.15 Top 20 Negara Yang Mengenakan Bea Keluar.. .................................... 85 Tabel 4.16 Kondisi Sumber Daya Tambang di Indonesia.. ....................................... 88 Tabel 4.17 Komparasi Manfaat dan Biaya.. .............................................................. 92
vii
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bea keluar adalah pungutan pajak atas barang ekspor yang aspek legalitasnya diatur dalam pasal 2A Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan jo. Undang-undang nomor 17 tahun 2006. Pengaturan yang lebih khusus mengenai bea keluar ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor. Ada empat tujuan mendasar pengenaan bea keluar, yaitu: untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri,melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional, atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. Pada level operasional, pengenaan bea keluar diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Dalam PMK tersebut ditetapkan lima kelompok barang yang dikenakan bea keluar, yaitu produk kulit; kayu; biji kakao;kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya, serta bijih mineral. Dari kelima jenis obyek bea keluar tersebut, pengenaan bea keluar terhadap bijih mineral merupakan jenis barang yang paling terakhir. Munculnya
kebijakan
pengenaan
bea
keluar
atas
bijih
mineral
dilatarbelakangi oleh terbitnya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Pokok pikiran yang terkandung
1
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
di dalam Undang-undang Minerba tersebut antara lain memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, Koperasi, perseorangan maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sesuai dengan lingkup kewenangannya. Disinilah awal munculnya permasalahan yang terkait dengan eksploitasi secara besar-besaran barang tambang mineral tanpa memberikan nilai tambah signifikan di dalam negeri.Tabel 1.1 berikut memperlihatkan gambaran umum perkembangan eksploitasi barang tambal mineral di Indonesia dalam tahun 2007 hingga tahun2011. Tabel 1.1 Perkembangan Produksi Mineral Tahun 2007 s.d. 2011 No.
Jenis Barang
TAHUN
Satuan 2007
2008
2009
2010
2011
1
Aspal
Ton
98.260
74.147
39.807
72.398
341.876
2
Bauksit
Ton
1.251.147
1.152.322
935.211
2.200.000
24.714.940
3
Nikel
Ton
7.112.870
6.571.764
5.819.565
9.475.362
12.482.829
4
Emas
Kg
117.854
64.390
140.488
119.726
68.220
5
Perak
Kg
268.967
226.051
359.451
335.040
227.173
6
Tembaga
Ton
796.899
655.046
973.347
993.152
1.472.238
7
Granit
Ton
1.793.440
2.050.000
-
2.172.080
3.316.813
8
Mangan
Ton
38.700
-
-
228.490
162.882
9
Pasir Besi
Ton
84.371
4.455.259
4.561.059
8.975.507
11.814.544
10 Timah Ton 64.127 79.210 Sumber: Statistik Pertambangan, Non Minyak dan Gas Bumi
56.602
97.796
89.600
Dari data tabel 1.1 tersebut, angka peningkatan produksi yang signifikan terjadi pada tahun 2010, tahun dimana implementasi Undang-undang Minerba mulai diberlakukan. Beberapa produksi yang pada tahun 2010 mengalami peningkatan produksi yang signifikan adalah: aspal (81,87%), bauksit (135,24%), nikel (62,82%), pasir besi (96,79%), timah (72,78%).
2
BAB I PENDAHULUAN
Tiga tahun setelah pemberlakukan Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, pemerintah memandang bahwa eksploitasi secara besar-besaran atas sumber daya mineral tidaklah memberikan nilai tambah signifikan bagi perekonomian di dalam negeri.Selanjutnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku pembina sektor pertambangan mengusulkan agar terhadap produk pertambangan diatur tata niaga ekspornya.Sebagai tindakan awal, Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM nomor 07 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.Poin kritikal yang diatur dalam peraturan ESDM tersebut adalah pemberlakuan larangan ekspor terhadap bijih (raw material atau ore) mineral dalam waktu selambat-lambatnya tiga bulan sejak pemberlakuan Peraturan ESDM nomor 7 tahun 2012 tersebut. Dampak regulasi peraturan kementerian ESDM tersebut menimbulkan gejolak di tingkat operasional.Direktorat jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai frontliner dalam penerapan ketentuan larangan dan pembatasan di bidang impor dan ekspor tentu saja menjadi instansi pertama yang bersinggungan langsung dengan kebijakan larangan ekspor bijih mineral tersebut.Tindakan nyata yang dilakukan oleh DJBC berkaitan dengan keluarnya Peraturan Menteri ESDM tersebut adalah tidak melayani pemberitahuan ekspor barang atas bijih mineral dan juga wajib melakukan penindakan terhadap setiap bentuk pelanggaran atas kebijakan ini.Bagi eksportir pertambangan, kebijakan peraturan menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 ini dirasakan sangat menghambat.Desakan untuk mencabut ataupun mengubah aturan ini semakin menguat. Pada
akhirnya,
berbagai
desakan
dari
masyarakat
usaha
yang
berkepentingan terhadap ekspor bijih mineraldisikapi pemerintah dengan
3
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
melakukan kajian kembali terhadap
kebijakan larangan ekspor bijih mineral.
Pembahasan intensif dilakukan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonmian bersama-sama dengan instansi terkait, yaitu: Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Keuangan, dan BUMN. Hasil koordinasi memutuskan untuk memperbolehkan kembali ekspor bijih mineral tetapi dengan syarat diatur tata niaganya dan juga dipungut bea keluar. Di sisi lain, sejak pemberlakuan bea keluar berdasarkan amandemen Undang-undang Kepabeanan sesuai UU Nomor 17 tahun 2006, penerimaan bea keluar menunjukkan angka pertumbuhan yang relatif tinggi. Fenomena yang cukup menarik juga diperlihatan melalui data statistik penerimaan bea keluar dalam Tabel 1.2 berikut. Tabel 1.2 Penerimaan Bea keluar Dalam Milyar Rupiah Jenis
TAHUN 2010 Target
TAHUN 2011
Penerimaan Realisasi
Target
TAHUN 2012
Penerimaan Realisasi
Target
Penerimaan Realisasi
Bea Masuk 15.106.813 19.956.186
132%
21.500.792 25.238.844
117%
24.737.900
28.280.485
114%
Bea Keluar 5.454.560
8.897.780
163%
25.439.076 28.855.580
113%
23.206.200
21.237.008
92%
59.265.922 66.165.295
112%
68.075.339 77.009.461
113%
83.266.625
95.019.271
114%
Cukai
Sumber: DJBC
Administrasi pengelolaan bea keluar oleh DJBC mulai diberlakukan sejak tahun anggaran 2008 setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2008 tentang Pengenaaan Bea Keluar atas Barang Ekspor. Pada tahun anggaran 2010, tingkat pencapaian bea keluar sebesar Rp. 8,89 trilyun atau 163% dari target. Pada tahun 2011, angka penerimaan bea keluar meningkat 224% menjadi Rp 28,85 trilyun. Fenomena yang menarik terjadi pada tahun anggaran 2011 ini, yaitu tingkat pencapaian penerimaan bea keluar yang mampu
4
BAB I PENDAHULUAN
melebihi angka penerimaan bea masuk. Faktor dominan penyebabnya saat itu adalah karena faktor tingginya harga Crude Palm Oil (CPO) di pasaran internasional.Namun pada tahun berikutnya angka penerimaan bea keluar mengalami penurunan kembali dan bahkan tidak mampu melewati angka target. Mengamati kebijakan pemerintah dalam menetapkan bijih mineral sebagai
objek
bea
keluar
sebagaimana
yang
tertuang
dalam
PMK
75/PMK.011/2011 serta melihat dampak penerimaan bea keluar terhadap penerimaan
DJBC,
kami
tertarik
untuk
mengkajinya
lebih
mendalam.
Pertimbangan lain yang membuat kami tertarik untuk mengkaji kebijakan bea keluar atas bijih mineral adalah dari sisi teoritis dan aspek kepentingan. Dari
sudut
pandang
Undang-undang
Kepabeanan,
secara
teoritispemungutan bea keluar tidaklah dimaksudkan sebagai instrumen penerimaan fiskal. Tujuan pengenaan bea keluar atas bijih mineral yang paling relevan
dengan
Undang-undang
Kepabeanan
adalah
untuk
melindungi
kelestarian sumber daya alam. Bila melihat dari sudut Undang-undang Minerba, alasan penetapan bijih mineral sebagai objek bea keluar lebih dimaksudkan untuk kepentingan menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Hal inilah yang membuat pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk melakukan langkah-langkah strategis untuk mempercepat proses hilirisasi produk usaha pertambagan. Pada mulanya, kebijakan atas bijih mineral dilakukan dalam bentuk pelarangan bijih mineral. Namun atas desakan pelaku usaha sektor industri hulu mineral dan juga mengingat kepentingan lain yang lebih besar, tindakan pelarangan tersebut
diubah level pengendaliannya dengan menggunakan
5
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
instrumen bea keluar. Artinya, ekspor bijih mineral masih mungkin dilakukan dengan kompensasi pengenaan bea keluar dan adanya ketentuan pembatasan. Berdasarkan uraian pertanyaan penelitian di atas, penulis tertarik untuk melakukan tinjauan lebih jauh atas permasalahan pengenaan bea keluar terhadap bijih mineral dalam sebuah kajian akademis yang kami berikan judul “Kajian atas Kebijakan Pengenaan Bea Keluar Terhadap Bijih (Raw Mineral atau Ore) Mineral”. . B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang disampaikan dalam latar belakang penelitian, permasalahan mendasar yang dihadapi pemerintah berkaitan dengan sumber daya mineral adalah fenomena maraknya ekspor mineral dalam kondisi bijih atau bahan mentah pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.
Padahal amanat Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 menginginkan
adanya penciptaan nilai tambah atas pemanfaatan sumber daya mineral untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Kondisi ini kemudian disikapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan regulasi yang membatasi ekspor mineral dalam bentuk bijih dan sekaligus dikenakan beban pajak berupa pungutan bea keluar. Sebagai peneliti, kami tertarik untuk menganalisis pilihan pemerintah yang menerapkan intrumen kebijakan fiskal berupa bea keluar sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan ekspor bijih mineral. Dalam penelitian ini kami lebih memfokuskan pada kajian terhadap instrumen fiskal. Untuk membatasi analisis penelitian maka kami merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : “Apakah kebijakan pengenaan bea keluar terhadap bijih mineral dalam rangka membatasi maraknya ekspor mineral dalam kondisi bijih sudah tepat ?”
6
BAB I PENDAHULUAN
C.
Ruang Lingkup
1. Periode waktu pengamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Untuk data primer, periode waktu pengamatan adalah selama enam bulan mulai dari Februari 2013 sampai dengan Juli 2013, sedangkan untuk data sekunder, periode waktu pengamatan sejak dikelolanya bea keluar atas bijih mineral oleh DJBC pada bulan Juni 2012 hingga Mei 2013.
2. Unsur-unsur yang diteliti Sebagaimana tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, unsur-unsur yang diteliti meliputi hal-hal berikut:
Aspek latar belakang kronologis yang menjadi dasar pemerintah dalam kebijakan penetapan pengenaan bea keluar terhadap bijih mineral,
Aspek manfaat dan biaya yang timbul dalam penerapan kebijakan bea keluar terhadap bijih mineral’
3. Lingkungan objek penelitian Penelitian ini dilakukan di lingkungan DJBC dan BKF sebagai unit teknis pelaksana kebijakan dan unit pengambil kebijakan bea keluar bijih mineral. 4. Unit analisis dan eksplorasi data Unit analisis utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah DJBC dan BKF Kementerian Keuangan Untuk eksplorasi data dan dasar kebijakan pengambilan keputusan pengenaan bea keluar akan kami himpun dari unit terkait di DJBC, BKF, Kementerian ESDM dan Biro Pusat Statistik (BPS).
7
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
D.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis latar belakang kebijakan bea keluar atas bijih mineral
2.
Menganalisis manfaat dan biaya (cost and benefit) atas kebijakan bea keluar terhadap bijih mineral
E.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan banyak manfaat bagi pihak-
pihak yang terkait, yaitu: 1.
Bagi Kementerian Keuangan dan instansi terkait,hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai umpan balik guna membuat kebijakan-kebijakan di masa yang akan datang terkait dengan pengenaan bea keluar.
2.
Bagi BPPK, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pendukung kegiatan belajar mengajar materi ekspor, serta sebagai bahan kajian barang ekspor.
3.
Bagi masyarakat, manfaat dari kajian ini adalah untuk memberikan informasi dan pemahaman tentang apa dan mengapa bijih mineral dikenakan bea keluar.
8
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini terdiri dari dua sub-bab, yaitu tinjauan pustaka dan Kerangka teoritis
yang
akan
digunakan
sebagai
dasar
pembahasan
fenomena-
fenomenayang ditemukan dalam penelitian.
A.
Tinjauan Pustaka Dalam Bab Tinjauan Pustaka ini kami akanmenguraikan tiga hal yang terkait
dengan objek penelitian. Yang pertama adalah review penelitian terdahulu yang terkait dengan kebijakan pengenaan bea keluar. Yang kedua berkaitan dengan konsep dasar bea keluar berdasarkan teori Kepabeanan. Yang ketiga mengenai konsep teoritis ekonomi sumber daya Alam.
1.
Penelitian Terdahulu Sepanjang penelusuran kami belum ada kajian maupun penelitian yang
secara spesifik membahas tentang kebijakan pengenaan bea keluar terhadap bijih mineral. Namun demikian kami mendapatkan beberapa penelitian sebelumnya yang secara khusus membahas analisis biaya dan manfaat terhadap kebijakan pelarangan ekspor mineral, kajian mengenai pajak ekspor di negara lain. Kami memandang bahwa hasil penelitian tersebut masih relevan dengan objek penelitian yang akan kami lakukan, khususnya dalam mengkaji pola kebijakan pemerintah dalam pengenaan bea keluar.
9
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Penelitian pertama yang kami review adalah penelitian Olga Solleder (2013) dengan judul trade effects of export taxes. Kesimpulan hasil penelitian Solleder adalah:
Mayoritas
penerapan
pajak
ekspor
dilakukan
oleh
negara-negara
berkembang dengan tujuan untuk kepentingan kelestarian lingkungan, menjaga ketahanan pangan maupun kepentingan fiskal. Trend penerapan pajak ekspor kemungkinan akan berlanjut ke depannya.
Implikasi langsung pajak ekspor terhadap kesejahteraan sangat tergantung pada kekuatan pasar dari negara eksportir dan negara importir. Beban pajak ekspor dibagi oleh eksportir dan importir dan pajak ekspor berperan dalam kenaikan harga dunia. Keberhasilan penerapan pajak ekspor sangat tergantung pada tingkat elastisitas penawaran, permintaan dan barang substitusi. Penelitian kedua yang kami review adalah penelitian yang dilakukan oleh
Tim Peneliti Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian dengan judul Analisis Biaya ManfaatPelarangan Ekspor Bahan MentahMinerba Dan Dampaknya TerhadapSektor IndustriStudi Kasus Nikel & Tembaga. Beberapa hasil yang penting dikemukakan dari kajian adalahsebagai berikut: a)
Pengendalian ekspor bahan mentah minerba, dimana tembaga dan nikeltermasuk di dalamnya, memiliki semangat yang membangun bagi perekonomiandomestik. Tujuan utama dari pengendalian ekspor bukan menghambatperdagangan tetapi memanfaatkan kekayaan mineral nasional untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran bangsa. Upaya ini tidak dapat ditunda karena kekayaanmineral akan habis pada suatu saat dan tidak dapat diperbaharui
10
BAB II LANDASAN TEORI
b)
Peningkatan
kemakmuran
dapat
dicapai
jika
terjadi
peningkatan
kegiatanekonomi di sepanjang rantai produksi mineral. Oleh karena itu pengendalianekspor bahan mentah sebenarnya hanyalah salah satu sisi kebijakan,
dimana
sisikebijakan
lainnya
adalah
upaya
mendorong
peningkatan pada rantai produksidomestik berupa kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnianmineral. Peningkatan rantai produksi domestik
pada
perekonomian
gilirannya dalam
akanmemberikan
bentuk
dampak
penciptaanoutput,
nilai
positif
bagi
tambah
dan
kesempatan kerja domestik, ketersediaan bahan bakuindustri hilir berbasis logam domestik, serta penguasaan teknologi dalampengolahan mineral. c)
Kebijakan pengendalian ekspor minerba dalam jangka pendek dan menengahmungkin saja dapat merugikan perekonomian jika: pembangunan tidakterealisasi
fasilitas
pengolahan
sebagaimana
yang
dan
pemurnian
diharapkan.
Dalam
mineral hal
ini
sektorpertambangan akan mengalami penurunan output, nilai tambah dankesempatan kerja. industri hilir domestik belum mampu sepenuhnya menyerap hasilproduksi pengolahan dan pemurnian mineral domestik. Dalam hal iniproduk sektor pertambangan maupun pengolahan mineral akan menurun. Penelitian ketiga yang kami review adalah penelitian yang dilakukan oleh Laborde, dkki (2013) dengan judul “A Global Assessment of the Economic Effects of Export Taxes” . Beberapa hasil yang penting dikemukakan dari kajian adalahsebagai berikut: a)
Efek pajak ekspor terhadap suatu negara bersifat berbeda-beda.
11
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
b)
Keberhasilan kebijakan bea keluar akan tergantung pada tingkat elastisitas penawaran, elastisitas permintaan dan barang subsitusi.
c)
Kecenderungan pengenaan bea keluar dilakukan oleh negara-negara berkembang terhadap hasil bumi.
2.
Bea Keluar dari Sudut Pandang Kepabeanan Konsep bea keluar sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 17
tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan adalah pungutan negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor. Pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor bersifat pilihan, dalam arti kata tidak semua barang ekspor dikenakan bea keluar namun pemerintah atas pertimbangan tertentu “dapat” menetapkan bea keluar terhadap suatu barang ekspor. Bea keluar merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung yang dikelola oleh DJBC. Berbeda dengan karakteristik pungutan bea masuk dan cukai, karakteristik pungutan bea keluar lebih bersifat ekslusif oleh karena hanya dikenakan terhadap barang-barang ekspor tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga sifat pengenaannya tidaklah permanen. Berdasarkan Undang-undang Kepabeanan tujuan dasar pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor adalah untuk: a)
Menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;
b)
Melindungi kelestarian sumber daya alam;
c)
Mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau
d)
12
Menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.
BAB II LANDASAN TEORI
Sejarah Pengenaan Bea Keluar Bea keluar yang saat ini diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia dipungut berdasarkan Undang-undang nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Meskipun secara eksplisit tujuan pengenaan bea keluar telah dinyatakan dalam Undang-undang sebagai suatu bentuk instrumen pengaturan (regulerend) namun tetap saja kedudukan bea keluar dalam struktur fiskal penerimaan merupakan instrumen pajak yang berpotensi besar menambah penerimaan negara. Bahkan realisasi penerimaan Bea Keluar di tahun 2011 angka pencapaiannya mampu melebihi penerimaan bea masuk. Jauh sebelum bea keluar ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan Undang-undang nomor 17 tahun 2006, pungutan bea keluar pertama kali diberlakukan di bumi Indonesia berdasarkan ketentuan Undang-undang Tarif Indonesia, STBL 1873 No.35. Namun dalam perkembangannya keberadaan bea keluar
tersebut
dianggap
memberatkan
komoditi
ekspor
andalan
kita.
Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Moneter nomor 30 tahun 1957 keberadaan Bea Keluar Umum yang saat itu berlaku dibekukan. Pasca pembekuan Bea Keluar, didorong oleh kebutuhan untuk membatasi komoditi ekspor tertentu pemerintah memandang perlu untuk menciptakan instrumen fiskal sebagai bentuk tariff barrier terhadap komoditi ekspor tertentu. Pada era inilah mulai diperkenalkan konsep pajak ekspor.
Aspek legalitas
penerapan pajak ekspor tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 1223/KMK.013/1990. Pada saat itu komoditi ekspor yang dikenakan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan mencakup: kulit, rotan dan kayu. Dasar
13
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
pemungutan pajak ekspor ini pada prinsipnya belum memenuhi kaidah yang berlaku terhadap pemberlakuan pajak berdasarkan pasal 23 Undang-undang Dasar 1945. Namun mengingat kebutuhan pemerintah dan tata tertib perundangan yang belum sepenuhnya secara konsisten dijalankan pemerintah pemberlakuan pajak ekspor tetap eksis. Setelah pemberlakukan Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, keberadaan pajak ekspor ternyata tidak diintegrasikan dalam Undang-undang Kepabeanan. Keberadaan pajak ekspor tetap didasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan dan tidak memiliki dasar Undang-undang yang jelas.
Dalam perjalanannya seiring dengan kondisi tata tertib peraturan
perundang-undangan yang semakin membaik, keberadaan pajak ekspor yang hanya
diatur
melalui
Peraturan
Menteri
Keuangan
tersebut
mulai
dipermasalahkan. Idealnya, menurut pasal 23A Undang-undang Dasar 1945 setiap pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara haruslah diatur dengan Undang-Undang. Untuk mengantisipasi hal tersebut, keberadaan pajak ekspor selanjutnya diadopsi dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Kemudian sebagai tindak lanjut aturan Undang-undang nomor 20 tahun 1997, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2005 tentang Pungutan Ekspor atas Barang Ekspor Tertentu. Filosofis pajak ekspor yang semula berfungsi sebagai instrumen fiskal perpajakan bergeser menjadi instrumen fiskal yang lebih berfungsi sebagai aturan regulerend. Pengelolaan administrasi pungutan ekspor sepenuhnya dilaksanakan oleh Direktorat jenderal Anggaran.
14
BAB II LANDASAN TEORI
Sejalan dengan semangat amandemen Undang-undang Kepabeanan, usulan untuk lebih memperjelas status pungutan ekspor yang pada hakikatnya adalah juga salah satu instrumen fiskal perpajakan semakin menguat. Pada akhirnya pungutan ekspor kemudian beralih namanya menjadi bea keluar sesuai dengan pasal 2A Undang-undang nomor 17 tahun 2006. Dengan pemberlakuan Undang-undang Kepabeanan yang diamandemen tersebut, maka pungutan yang dikenakan terhadap komoditi ekspor tertentu kembali lagi menjadi salah satu instrumen fiskal perpajakan dengan nama baru yaitu bea keluar. Sejalan dengan hal tersebut, administrasi pengelolaan bea keluar diserahkan kepada DJBC.
Mekanisme Pengenaan Bea Keluar Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2005 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor, mekanisme penetapan suatu barang ekspor yang dapat dikenakan Bea Keluardilakukan olehMenteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dan/atau usul dari menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidangperdagangan dan/atau menteri/kepala lembagapemerintah non departemen/kepala badan teknis terkait.Posisi Menteri Keuangan dalam kapasitas ini bertindak sebagai Chief Financial Officer, yang bertanggung jawab secara portofolio terhadap keuangan negara. Secara prosedural, apabila pemerintah melalui Kementerian dan/atau lembaga pemerintah terkait memandang bahwa suatu barang ekspor layak dan memenuhi aspek tujuan pengenaan bea keluar sebagaimana diatur dalam pasal 2A Undang-undang Kepabeanan maka dapat mengusulkan pengenaan bea keluar kepada Menteri Keuangan. Dalam hal ini, analisis kebijakan pengenaan Bea keluar pada level Kementerian Keuangan akan ditangani oleh Badan
15
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Kebijakan Fiskal. Pembahasan teknis operasional pengenaan Bea keluar akan dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan (dalam hal ini diwakili oleh BKF dan DJBC) beserta Kementerian atau Lembaga Pemerintah terkait dan juga Kementerian Perdagangan. Apabila penetapan Bea Keluar terhadap suatu barang ekspor telah dilakukan, maka sifat pengenaannya akan mengikuti ketentuan Tarif Bea Keluar sebagaimana diatur dalam PP nomor 55 tahun 2008. Untuk penetapan Tarif Bea Keluar, barang ekspor akan dikelompokkan berdasarkan sistem klasifikasi barangsesuai dengan ketentuan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).Tarif Bea Keluar sebagaimana dimaksud, dapat ditetapkan berdasarkan persentase dari HargaEkspor (advalorum) atau secara spesifik. Besarnya Tarif Bea Keluar menurut PP 55 tahun 2008 ditetapkan paling tinggi : a) Sebesar 60% (enam puluh persen) dari Harga Ekspor, dalam halTarif Bea Keluar ditetapkan berdasarkan persentasedari Harga Ekspor (advalorum); b) Sebesar nilai nominal tertentu yang besarnya equivalen dengan 60%(enam puluh persen) dalam hal Tarif Bea Keluar ditetapkan secara spesifik. Tarif
Bea
Keluar
tersebut
ditetapkan
oleh
Menteri
mendapatpertimbangan dan/atau usul menteri yang
keuangan
setelah
tugas dantanggung
jawabnya di bidang perdagangan dan/ataumenteri/kepala lembaga pemerintah non departemen/kepala badan teknis terkait. Dalam hal Tarif Bea Keluar ditetapkan berdasarkan sistem advalorum maka pungutan Bea Keluardihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:Tarif Bea Keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor x Nilai Tukar Mata Uang. Kemudian, dalam hal Tarif Bea Keluar ditetapkan secara spesifik, maka
16
BAB II LANDASAN TEORI
pungutan BeaKeluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:Tarif Bea Keluar Per Satuan Barang Dalam Satuan MataUang Tertentu x Jumlah Satuan Barang x Nilai Tukar MataUang. Ketentuan yang mengatur mengenai harga ekspor sebagai dasar perhitungan Bea Keluar diatur pula dalam PP Nomor 55 tahun 2008 tersebut. Bahwa harga Ekspor untuk penghitungan Bea Keluar ditetapkanoleh Menteri Keuangan sesuai harga patokan ekspor yang ditetapkansecara periodik oleh Menteri perdagangan setelah berkoordinasidengan Menteri/kepala lembaga pemerintah nondepartemen/kepala badan teknis terkait.Dalam hal Harga Ekspor untuk periode berikutnya belum ditetapkan olehMenteri Keuangan, maka ketentuan Harga Ekspor periodesebelumnya masih tetap berlaku.
3.
Konsep Ekonomi Sumber Daya Mineral dan Teori Permintaan Sumber daya mineral berdasarkan klasifikasinya termasuk kelompok
sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (exhaustible resources).Barlow (dalam Suparmoko, 2012) mendefinisikan exhaustible resources ini dari sisi sifat dan volume fisik yang tersedia tetap dan tidak dapat diperbaharui atau diolah kembali.Menurut Suparmoko ada dua syarat yang harus dipenuhi agar terdapat pengambilan sumber daya alam secara optimal. Syarat pertama yang berlaku pada produksi setiap barang yang berada di persaingan sempurna agar tercipta suatu tingkat efisiensi yang optimal adalah bahwa harga barang yang dihasilkan harusa sama dengan biaya produksi marginal. Khusus untuk sumber daya alam, karena memiliki biaya alternatif maka syarat optimal tersebut menjadi: harga barang sumber daya alam sama dengan biaya marginal.
17
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Syarat kedua dari pengambilan sumber daya alam yang optimal adalah menyangkut perilaku dari biaya alternatif (contoh: royalty). Menurut Suparmoko (2013:104) biaya alternatif atau royalty harus selalu meningkat sebesar tingkat bunga yang berlaku dari waktu ke waktu. Dengan kata lain bila royalti dinyatakan dalam harga sekarang (present value) maka nilai royalty itu tidak akan berubah sepanjang waktu. Pengendalian Ekspor Sumber Daya Dalam praktek untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam pemerintah melakukan pengendalian ekspor sumber daya alam dalam bentuk larangan dan pembatasan.Larangan ekspor merupakan langkah paling ekstrem untuk mencegah ekspor suatu barang.Pengertian pembatasan ekspor dalam kepabeanan berarti ekspor atas suatu barang tidak bisa dilakukan secara bebas melainkan dengan mekanisme pembatasan tertentu berdasarkan ketentuan dari instansi teknis, misalnya persetujuan ekspor, keharusan verifikasi oleh surveyor, persyaratan mutu atas suatu produk ekspor, persyaratan eksportir terdaftar. Ekspor produk pertambangan berupa mineral logam, mineral non logam dan batuan dikenakan ketentuan pembatasan ekspor sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29/M-DAG/PER/5/2012 Jo Permendag No. 52/MDAG/Per/8/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan.
Yang
dimaksud dengan produk pertambangan dalam Permendag tersebut adalah sumber daya alam yang tak terbarukan yang digali dari perut bumi yang belum diolah dan atau dimurnikan (raw material atau ore) dapat berupa mineral logam, mineral non logam dan batuan. Produk pertambangan yang ekspornya dikenakan pembatasan sejumlah 61 komoditi, yang terdiri dari :
18
BAB II LANDASAN TEORI
a)
Mineral Logam, 21 komoditi ,
b)
Mineral bukan Logam, 10 komoditi , dan
c)
Batuan, 30 komoditi. Pada prinsipnya jenis komoditi produk pertambangan yang dikenakan
pembatasan ekspor dengan yang dikenakan bea keluar adalah sama. Namun kalau kita perhatikan ada perbedaan jumlahantara produk pertambangan berupa batuan yang dikenakan pembatasan ekspor dengan yang dikenakan bea keluar. Pada pembatasan ekspor terdapat 30 komoditi dan yang dikenakan bea keluar terdapat 34 komoditi. Awalnya, berdasarkan Permendag 29/M-DAG/PER/5/2012 yang dikenakan BK dan yang dikenakan pembatasan ekspor jumlahnya sama, namun dengan dikeluarkannya permendag No. 52/M-DAG/Per/8/2012 yang merubah Permendag 29/M-DAG/PER/5/2012, maka terdapat empat komoditi yang dikeluarkan dari pengenaan pembatasan yaitu : marmer dan travertine bentuk balok dan lembaran tebal; marmer bentuk balok dan lembaran tebal. Jadi atas ekspor kempat produk tersebut tidak dikenakan pembatasan ekspor namun ekspornya dikenakan BK. Perbedaan
yang
kedua
adalah
pada
21
komoditi
mineral
logam.Ketentuan pembatasan ekspor dikenakan terhadap bijih dan konsentrat mineral logam, tetapi BK hanya dikenakan terhadap produk mineral logam berupa bijih.Ketentuan pembatasan ekspor komoditi
produk pertambangan
adalah sebagai berikut : a)
Eksportir yang boleh melakukan ekspor adalah eksportir yang telah mendapat pengakuan sebagai Eksportir Terdaftar Produk Pertambangan (ET-Produk Pertambangan) dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan;
19
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
ET-Produk Pertambangan diterbitkan Kementerian Perdagangan setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Kementerian ESDM.
Berdasarkan
ketentuan dalam peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri ESDM No. 07 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Penerbitan rekomendasi oleh
Kementerian ESDM
diberikan setelah Pemegang IUP Operasi produksi dan IPR memenuhi persyaratan, antara lain : Status IUP Operasi Produksi dan IPR Clear and Clean; Melunasi kewajiban pembayaran keuangan kepada negara; Menyampaikan rencana kerja dan/atau kerjasama dalam pengolahan dan/atau pemurnian mineral di dalam negeri; dan menandatangani pakta integritas. Dengan demikian, seharusnya eksportir yang telah mendapat pengakuan sebagai ET- Produk Pertambangan tidak mempunyai permasalahan dengan perizinan pertambangan dan kewajiban keuangan kepada negara (royalti dan sebagainya). b)
Saat ekspor yang dilakukan oleh ET-produk Pertambangan harus dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) dari Kementerian Perdagangan. Dalam SPE inilah ditentukan jumlah (kuota) yang dapat diekspor oleh suatu perusahaan dalam kurun waktu tertentu;
c)
Wajib dilakukan penelusuran teknis atau verifikasi oleh surveyor yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Sampai dengan saat ini, surveyor yang telah ditetapkan adalah PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia.
20
BAB II LANDASAN TEORI
Hasil Verifikasi atau Penelusuran Teknis dituangkan dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) disertai hasil Analisa Kualitatif
komposisi dan
kadar mineral yang terkandung. LS (beserta Analisa Kualitatif dari Laboratorium) digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean yg diwajibkan untuk pendaftaran PEB; Penerbitan LS oleh Surveyor paling lambat 1 (satu) hari setelah pemeriksaan muat barang dilakukan.
Teori Permintaan Permintaan pada hakekatnya menunjukkan jumlah barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen untuk dibeli pada waktu dan keadaan tertentu. N. Gregory Mankiw (2003) menyebutkan bahwa quantity demanded (kuantitas barang yang diminta) menunjukkan jumlah barang yang ingin dan mampu dibeli oleh pembeli. Selanjutnya Mankiw menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan atas suatu barang, yaitu : a)
Harga,
b)
Pendapatan,
c)
Harga barang substitusi,
d)
Selera,
e)
Ekspektasi,
f)
Jumlah pembeli.
21
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Pada pembahasan ini hanya faktor harga yang akan dijelaskan dalam hubungannya dengan tingkat permintaan suatu barang. Gambar berikut ini untuk menunjukkan hukum permintaan yang berkaitan dengan harga (The law of downward sloping demand).
Gambar 2.1 Hukum Permintaan Berkaitan dengan Harga
Pada gambar diatas harga terdapat 2 (dua) variabel yang saling berkaitan yaitu variabel harga dan jumlah barang yang diminta. Bila harga (P) naik, maka permintaan (Qd) akan turun, dan bila harga (P) turun, maka permintaan (Qd) akan naik, dengan asumsi ceteris paribus (hal-hal lainnya tidak berubah).Faktorfaktor yang menyebabkan naiknya harga sangat beragam dan salah satunya adalah karena adanya pungutan negara, baik atas barang impor maupun atas barang ekspor. Bila pungutan dikenakan pada barang impor maka permintaan barang di dalam negeri akan menurun, dan bila terkait barang ekspor maka permintaan barang ekspor di negara tujuan ekspor akan menurun. Gambar berikut ini untuk menunjukkan pengaruh pajak atas tingkat permintaan suatu barang.
22
BAB II LANDASAN TEORI
Gambar 2.2 Pengaruh Pajak Terhadap Permintaan
Pengaruh dari dikenakannya pungutan negara atas barang ekspor berpengaruh pada harga yaitu naik dari P1 ke P2 dan permintaan akan bergeser menjadi lebih rendah dari Q1 ke Q2. Pergeseran permintaan ini dengan asumsi hanya faktor harga yang mempengaruhi permintaan atas suatu barang (ceteris paribus). Dari teori permintaan tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa bilamana suatu barang yang akan diekspor dikenakan pungutan ekspor (bea keluar) maka permintaan atas suatu barang akan berkurang. Bilamana tujuan dikenakannya bea keluar adalah untuk membatasi ekspor suatu barang barang hal ini telah bersesuaian dengan teori permintaan. Menurut Kusmartata (2013) secara teoritis bea keluar yang diterapkan pada large countryakan berdampak positif terhadap negara pengekspor dengan national welfare yang bernilai positif. Ilustrasi pada gambar 2.3akan memberikan gambaran yang lebih jelas, mengapa bea keluar bisa berdampak positif terhadap negara pengekspor. Uraian teoritis pada paragaraf-paragraf berikut kami sarikan dari pendapat Kusmartata.
23
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Dalam grafik pada gambar 2.3diasumsikan bahwa hanya ada dua negara yang melakukan perdagangan, satu negara pengimpor dan satu negara pengekspor. Kurva penawaran dan permintaan bagi kedua negara akan ditampilkan dalam grafik PFT adalah harga keseimbangan perdagangan bebas. Pada harga itu, jumlah kelebihan permintaan oleh negara pengimpor sama dengan kelebihan pasokan oleh eksportir.
Gambar 2.3 Kurva Penawaran dan Permintaan Akibat Adanya Beban Bea keluar
Sumber: Kusmartata, wawanacara 2013
Dalam gambar 2.3 jumlah volume impor dan ekspor ditampilkan sebagai garis biru pada grafik masing-masing negara (jarak horizontal antara kurva penawaran dan permintaan pada harga perdagangan bebas (PFT). Ketika negara pengekspor besar menerapkan beban pajak atas barang ekspor, hal ini akan menyebabkan penurunan harga barang di pasar domestik dan peningkatan harga di negara lain. Misalkan setelah dikenakan pajak, harga di negara pengimpor naik pada harga (PIM) maka harga di negara pengekspor jatuh ke
24
BAB II LANDASAN TEORI
(PEX). Jika pajak adalah tarif spesifik maka tarif pajak adalah T = PIM – PEX, sama dengan panjang ruas garis hijau di diagram. Jika pajak adalah advalorem maka tarif pajak adalah T =
PIM PEX
- 1.
Tabel 2.1 memberikan ringkasan arah dan besarnya efek kesejahteraan kepada produsen, konsumen dan pemerintah di negara-negara pengimpor dan pengekspor. Efek kesejahteraan agregat nasional dan efek kesejahteraan dunia juga ditampilkan. Efek positif kesejahteraan ditampilkan dalam warna hitam, efek negatif ditampilkan dalam warna merah. Tabel 2.1 Efek Kesejahteraan akibat Bea Keluar
Sumber: Kusmartata, wawancara 29 Agustus 2013
Pengaruh
kesejahteraan
agregat
bagi
negara
diperoleh
dengan
menjumlahkan keuntungan dan kerugian pada konsumen dan produsen. Nett effect terdiri dari tiga komponen yaitudampak positif pada perdagangan (c), dampak negatif pada distorsi konsumsi (f), dan dampak negatif pada distorsi produksi (h). Lihat Tabel dan Gambar untuk melihat bagaimana besarnya perubahan kesejahteraan nasional. Karena ada unsur-unsur positif dan negatif, nett effect kesejahteraan nasional dapat berupa positif atau negatif. Namun demikian hasil yang menarik adalah bahwa dampaknya cenderung positif. Ini
25
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
berarti bahwa pajak ekspor (bea keluar) yang dilaksanakan oleh negara pengekspor "besar" berpotensi meningkatkan kesejahteraan nasional.
B.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kajian terhadap kebijakan pengenaan bea keluar terhadap bijih mineral
akan menitikberatkan pada dua permasalahan pokok. Pertama, mengenai dasar pertimbangan pemerintah menetapkan bijih mineral sebagai salah satu obyek bea keluar. Yang kedua adalah implikasi penetapan bea keluar atas bijih mineral tersebut terhadap penerimaan yang dikelola oleh DJBC. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) hayati maupun non hayati. Sumber daya alam hayati merupakan segala kekayaan alam yang secara alamiah dimiliki suatu negara yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Akan tetapi untuk memanfaatkan SDA tersebut suatu bangsa membutuhkan teknologi yang mampu mengolah SDA tersebut menjadi suatu produk yang dapat secara langsung dinikmati manfaatnya oleh umat manusia. Disinilah letak keterbatasan yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Berdasarkan sifatnya SDA dapat digolongkan menjadi SDA yang dapat diperbaharui dan yang tak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui adalah
kekayaan
alam
yang
dapat
dipelihara
keberadaannya
selama
penggunaannya tidak dieksploitasi secara berlebihan.Sebagai contuh, hutan, tanaman, hewan, mikroorganisme, sinar matahari, angin, dan air dan sebagainya. Meskipun keberadaannya di Indonesia cukup berlimpah, namun penggunannya harus tetap dibatasi dan dijaga untuk dapat terus berkelanjutan.
26
BAB II LANDASAN TEORI
SDA yang tergolong tidak dapat diperbaharui adalah SDA yang jumlahnya terbatas dan dapat habis apabila diekploitasi secara terus-menerus.Sebagai contoh: minyak bumi, bahan mineral seperti emas, besi, nikel, timah
dan
berbagai bahan tambang lainnya. Disinilah peran pemerintah diperlukan untuk menjaga agar SDA ini dapat benar-benar dimanfaatkan secara bijak untuk kepentingan bangsa dan negara saat ini maupun di masa depan. Merujuk pada salah satu ayat dalam pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Untuk kepentingan nasional, pemerintah perlu membuat kebijakan pendayagunakan SDA secara berkesinambungan dan memnuhi amanat Undang-undang Dasar tersebut. Berkaitan dengan kewajiban menjaga SDA untuk kepentingan nasional, terdapat tiga isu penting yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pertama, isu kelestarian SDA. Pemerintah hendaknya menjaga agar SDA yang dimiliki bangsa Indonesia tidak dieksploitasi secara berlebihan dan mengabaikan faktor kesinambungannya. Isu kedua, brkaitan dengan penciptaan nilai tambah (added value) terhadap pemanfaatan SDA yang ada. Untuk tujuan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia maka SDA yang dimiliki idealnya diberikan nilai tambah sebelum diekspor. Terakhir, berkaitan dengan isu penerimaan negara. Untuk menjalankan program-program pembangunan, pemerintah memerlukan dana yang besar yang dihimpun dari masyarakat. Untuk lebih memvisualisasikan alur pemikiran penulis dalam melaksanakan penelitian ini, kami akan menyampaikannya dalam peta konsep sederhana sebagai berikut :
27
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Gambar 2.4 Alur kerangka Berfikir Penelitian
28
BAB III METODE PENELITIAN
Metode merupakan alat yang digunakan untuk menentukan pendekatan penelitian, jenis penelitian, sumber dan teknik pengumpulan data, serta cara menganalisis data. Metode penelitian adalah suatu metode ilmiah yang memerlukan sistematika dan prosedur pengujian secara empiris berdasarkan standar-standar keilmuan yang berlaku secara umum.Seluruh hal tersebut ditujukan untuk menggambarkan proses penelitian.Dengan menggunakan metode penelitian maka gejala obyek yang diteliti dapat dirumuskan secara obyektif dan rasional.
A.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono (2012),
metode kualitatif adalah : “Metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi”. Lebih lanjut, Cresswell (dalam Sugiyono, 2005) memberikan penjelasan bahwa di dalam metode kualitatif, konteks permasalahan perlu dieksplorasi karena ketersediaan informasi yang sedikit tentang topik yang diangkat dalam penelitian.Kemudian sebagian besar variabel tidak diketahui dan peneliti ingin memusatkan pada konteks yang dapat membentuk pemahaman dari fenomena yang diteliti.Pendekatan kualitatif juga bertujuan untuk memiliki pemahaman dan interprestasi mengenai suatu fenomena sosial melalui observasi secara langsung.
29
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Permasalahan dalam penelitian ini adalah pendalaman mengenai latar belakang kebijakan penetapan bea keluar atas bijih mineral dan analisis manfaat dan biaya yang timbul atas kebijakan bea keluar terhadap bijih mineral. Eksplorasi permasalahan yang peneliti dalami akan berfokus pada dua aspek utama yaitu aspek latar belakang dan aspek manfaat dan biaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dimana peneliti mengumpulkan data melalui studi literatur dan wawancara mendalam dengan pihak yang berkompeten dalam penyusunan kebijakan penetapan bea keluar atasa bijih mineral. Pilihan pendekatan kualitatif dimaksudkan agar penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai latar belakang kebijakan penetapan bea keluar atas bijih mineral serta implikasinya terhadap kinerja penerimaan DJBC.
B.
Jenis Penelitian Bila ditinjau dari metode penelitian, penelitian ini merupakan penelitian
kebijakan (policy research) yang bertujuan mengeksplorasi aspek teoritis, aspek kronologis dan aspek kepentingan serta implikasi dari kebijakan pengenaan bea keluar terhadap bijih mineral. Dukeshire & Thurlow (dalam Putra & Hendarman, 2012) mendefinisikan policy research, sebagai: Policy research is a special type of research that can provide communities and decision-makers with useful recomendations and possible action for resolving fundamental problem. Such research provides policymakerswith pragmatic, action oriented recomendations for adressingan issue, question, or problem. The primary focus of policy research is linked to the public policy agenda and results are useful to the deveopment of public policies.
30
BAB III METODE PENELITIAN
Terjemahan secara bebas mengenai definisi penelitian kebijakan menurut Dukeshire & Thurslow tersebut : penelitian kebijakan adalah penelitian khusus yang menyediakan rumusan rekomendasi kepada pihak pengambil keputusan yaitu alternatif pemecahan masalah yang memiliki peluang besar untuk diimplementasikan bagi kepentingan publik. Bila melihat karakteristik objek kebijakan yang diteliti maka penelitian ini tergolong sebagai “penelitian tentang kebijakan” dan bukan termasuk “penelitian untuk kebijakan”. Penelitian ini lebih bertujuan untuk memberikan masukan, evidensi, data dan pertimbangan, serta dasar konseptual yang bersifat teoritis. Bila ditinjau berdasarkan tingkat eksplanasi terhadap variabel penelitian maka
penelitian
ini
merupakan
penelitian
deskriptif.
Sugiyono
(1994)
menjelaskan penelitian deskriptif sebagai penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri, tanpa membuat perbandingan ataupun menghubungkan antar variabel.
C.
Definisi Operasional Variabel Penelitian ini secara khusus mengamati fenomena yang terkait dengan
kebijakan bea keluar pemerintah atas bijih mineral. Dengan demikian variabel yang diamati dalam penelitian ini bersifat tunggal, yaitu kebijakan pengenaan bea keluar atas bijih mineral.
D.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif dan kualitatif yang
diperoleh baik dari data sekunder maupun data primer yang langsung dikumpulkan dari sumber asalnya.Data sekunder diperoleh dari eksplorasi
31
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
laporan-laporan yang dibuat baik oleh DJBC maupun instansi-instansi terkait dengan masalah kebijakan pungutan bea keluar atas bijih mineral. Untuk data primer, dikumpulkan dariwawancara dengan pejabat yang terkait dengan penyusunan kebijakan atas bea keluar.
E.
Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan teknik pengumpulan data yang akan dilakukan maka penulis
menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu: 1.
Studi Literatur (Library Research) Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan
terhadap berbagai literatur yang relevan dengan topik penelitian. Bentuk-bentuk literatur yang menjadi fokus utama sumber data meliputi: buku-buku, jurnal, hasil penelitian, hasil kajian, artikel, peraturan dan sebagainya yang kami anggap relevan
dengan
studi
penelitian.
Studi
kepustakaan
digunakan
untuk
mengumpulkan data-data terutama terkait dengan teori dan konsep unsur-unsur yang akan diteliti. Di samping itu studi ini juga dilakukan guna memdapatkan data tentang permasalaha-permasalahan yang telah diteliti oleh pihak lain. 2.
Observasi dan wawancara Metode observasi dilakukan dengan cara mengunjungi dan melakukan
pengamatan terhadap obyek penelitian guna mengumpulkan informasi yang diperlukan
dari
sumber
aslinya.
Metode
wawancara
digunakan
untuk
memperoleh informasi tambahan yang akan memperkuat informasi-informasi yang telah didapat pada studi kepustakaan dan observasi.
32
BAB III METODE PENELITIAN
Untuk mendapatkan data primer yang terkait dengan penyusunan kebijakan bea keluar atas bijih mineral kami mewawancarai secara langsung maupun tidak langsung beberapa pejabat
yagterkait dengan penyusunan
kebijakan atas bea keluar. Adapun informan utama yang menjadi referensi data primer kami adalah : a)
Pejabat
pada
Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai II, Pusat
Kebijakan Kepabeanan dan Cukai, BKF Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan secara langsung mengenai aspek teoritis, aspek historis dan kronologis serta aspek kepentingan dalam penyusunan kebijakan bea keluar atas bijih mineral. b)
Pejabat pada Sub Direktorat Penerimaan, Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai, DJBC Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan secara langsung mengenai implikasi penerapan bea keluar terhadap kinerja penerimaan DJBC
c)
Pejabat pada Sub Direktorat Ekspor, Direktorat Teknis Kepabeanan, DJBC Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan secara langsung mengenai aspek teoritis, aspek historis dan kronologis serta aspek kepentingan dalam penyusunan kebijakan bea keluar atas bijih mineral. Selain
itu,
untuk
mendapatkan
masukan
mengenai
kendala
dan
permasalahan teknis dalam implementasi kebijakan bea keluar 3.
Focuss Group Discussion Fokus grup diskusi adalah teknik pengumpulan data kualitatif yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan beberapa orang yang berkompeten dengan topik permasalahan dengan pengarahan dari seorang moderator atau
33
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
fasilitator. Tujuan utama focus grup ini adalah untuk memperoleh informasi secara mendalam terhadap satu atau beberapa aspek permasalahan yang dibicarakan. Idealnya, penyelenggarakan focus grup ini dilakukan dalam forum yang tidak terlalu banyak, sekitar 6-12 orang. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode Focuss Group Discussion (FGD) dengan tujuan utama untuk mengklarifikasi dan sekaligus mengkonfirmasi beberapa kesimpulan awal hasil analisis data penelitian. Peserta yang dilibatkan dalam FGD ini berasal dari unit pengambil kebijakan (Pusat Kebijakan Kepabeanan dan Cukai BKF, Direktorat Teknis KepabeananDJBC, Direktorat PPKC DJBC, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
F.
Metode Analisis Data Untuk memecahkan permasalahan yang ditemukan peneliti menggunakan
dua cara. Yang pertama, dilakukan dengan menggunakan metode analisis dampak regulasi (regulatory impact assessment). Metode regulatory impact assesment (RIA) adalah metode yang bertujuan untuk untuk menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif suatu regulasi yang sedang diusulkan atau sedang berjalan (Wardani dkk, 2008). Tahapan-tahapan aanlisis dalam metode RIA dapat digambarkan sebagai berikut:
34
BAB III METODE PENELITIAN
Gambar 3.1 Tahapan Metode Analisis RIA
Disamping menggunakan Metode RIA, khusus untuk data yang bersifat kuantitatif peneliti juga menggunakan statistik deskriptif yang relevan untuk lebih menjelaskan analisis permasalahan.
Penggunaan statistik deskriptif ini akan
lebih menggambarkan data dan fakta mengenai kondisi sumber daya mineral, fakta pemungutan bea keluar dan dampak kebijakan.
35
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
36
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A.
Data dan Fakta
Bea keluar atas bijih mineral merupakan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah atas barang ekspor. Untuk melihat lebih detil data dan fakta mengenai
penetapan
bijih
mineral
sebagai
obyek
bea
keluar
kami
menguraikannya dalam pemaparan yang menyangkut gambaran umum sumber daya mineral, kebijakan mineral di Indonesia, aspek legal bea keluar atas bijih mineral, kronologis penetapan bea keluar atas bijih mineraldan kendala-kendala teknis pengawasan bea keluar oleh DJBC atas bijih mineral. 1.
Gambaran Umum Sumber Daya Mineral Indonesia adalah negeri yang diberikan karunia kekayaan alam yang maha
besar oleh sang pencipta. Dari Sabang sampai Merauke tersebar kekayaan sumber daya alam baik yang masih merupakan cadangan maupun yang telah dieksploitasi.Untuk memperlihatkan kondisi riil pemanfaatan sumber daya mineral di Indonesia, berikut ini kami tampilkan profil masing-masing bahan tambang mineraldisertai dengan data statistik yang mencakup pengadaan dan penggunaannya.Pemilihan data mineral yang ditampilkan dalam penelitian ini memprioritaskan terhadap jenis mineral yang banyak diekspor ke luar negeri. a.
Nikel Nikel digunakan sebagai bahan paduan logam yang banyak digunakan
diberbagai industri logam.Nikel biasanya terbentuk bersama-sama dengan kromit
37
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
dan platina dalam batuan ultrabasa seperti peridotit, baik termetamorfkan ataupun tidak. Terdapat dua jenis endapan nikel yang bersifat komersil, yaitu: endapan hasil konsentrasi residual silika dan pada proses pelapukan batuan beku ultrabasa; serta endapan nikel-tembaga sulfida, yang biasanya berasosiasi dengan pirit, pirotit, dan kalkopirit. Merujuk pada data produsen nikel dunia versi United States Geological Survey (USGS) pada tahun 2012 Indonesia menjadi penyuplai nomor 2 terbesar di dunia setelah Philippines.Peringkat ini menurun dari periode sebelumnya di tahun 2011 yang mana Indonesia sempat menjadi produsen nikel terbesar di dunia. Data lain yang cukup menarik dari tampilan gambar grafik4.1 berikut terlihat dari trend produksi nikel Indonesia yang menunjukkan perkembangan peningkatan. Gambar 4.1 Produksi Nikel Dunia Tahun 2010-2012
38
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Potensi nikel terbesar di Indonesia terdapat di Pulau Sulawesi, Kalimantan bagian
tenggara,
Maluku,
dan
Papua.
Berdasarkan
data
BPS
2011,
penambangan besar bijihnikel diusahakan oleh PT. Aneka Tambang (Persero) yang melakukan kegiatannya didaerah Pomalaa dan P.Gebe, PT ValeIndonesia di Soroako, Sulawesi Selatan,dan PT GAG Nikel di Sorong, Papua Barat.Sampai dengan tahun 1978 semua bijihnikel yang dihasilkan oleh PT. AnekaTambang (Persero) diekspor ke Jepang. Berdasarkan data statistik versi BPSpada tabel 4.1, dalam kurun waktu tahun 2007-2011produksi nikel Indonesia cenderungmengalami peningkatan. Pada tahun 2007produksinya baru mencapai 7,11 juta. Angka ini kemudian meningkat pada tahun 2010 menjadi 9,48 juta tondan pada tahun 2011 meningkat kembali menjadi sebesar12,48 juta ton.Dari sekian banyak produksi nikel yang dihasilkan, hampir seluruhnya diekspor. Penggunaan nikel sebagai bahan baku lokal hanya terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak 22,6% dari total produksi nikel nasional. Tabel 4.1 Produksi Nikel Indonesia Tahun 2007-2011
Uraian Produksi (Ton)
2007
2008
2009
2010
2011*
7.112.870
6.571.764
5.819.565
9.475.362
12.482.829
Penggunaan DN (Ton)
-
-
-
2.137.272
-
Nilai (Jutaan Rp)
-
-
-
523.035
-
6.907.459
5.342.924
7.452.415
7.995.885
12.482.829
1.923
58.772
81.977
243.514
436.995
Ekspor Nilai (Ribu USD) *angka sementara sumber: BPS
39
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
b.
Bijih Aluminium (bauksit) Bauksit (bauxite) adalah biji utama untuk pembuatan alumininium.Bauksit
terdiri atas bahan-bahan yang heterogen, yang mempunyai mineral dengan susunan terutama dari oksida aluminium, yaitu berupa mineral buhmit (Al2O3H2O) dan mineral gibsit (Al2O3 .3H2O).Pembentukan bijih bauksit terjadi di daerah tropika dan subtropika yang memungkinkan pelapukan sangat kuat. Bauksit terbentuk dari batuan sedimen yang mempunyai kadaraluminium (Al) nisbi tinggi, kadar Ferum (Fe) rendah dan kadar kuarsa (SiO2) bebasnya sedikit atau bahkan tidak mengandung sama sekali Potensi dan cadangan endapan bauksit terdapat di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, Pulau Bangka dan Pulau Kalimantan.Namun kegiatan penambangan bauksit sebagian besar dilaksanakan oleh unitpertambangan bauksit PT. Aneka Tambang di daerah Kijang dan sekitarnya (Pulau Bintan, propinsi Kepulauan Riau). Penambangan bauksit dilakukan dengan cara tambang terbuka. Merujuk pada data statistik versi USGS tahun 2009 pada Gambar 4.2, Indonesia menduduki rangking ke-13 dunia sebagai pemasok bauksit dunia. Angka produksi bauksit Indonesia mencapai 1,2 juta metrik ton. Adapun produsen bauksit terbesar dunia adalah Australia dengan total produksi mencapai 65,23 juta metrik ton.
40
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.2 Produksi Bauksit Dunia Tahun 2009
Merujuk pada data statistik nasional versi BPS, pada tahun 2007 produksi bauksitIndonesia sebanyak 1,25 juta ton. Angka ini terusmenurun sampai dengan tahun 2009.Pada tahun 2010 produksi bauksit nasional meningkat tajam menjadi 2,2 juta ton. Kemudian tahun 2011, angka produksi bauksit meningkat cukup fantastis menjadi 24,71 jutaton atau sepuluh kali lipat lebih dari produksi tahun sebelumnya. Sebagian besar hasil produksi bauksitIndonesia diekspor.Pada tahun 2008sebanyak 893.1 ribu ton atau sekitar 75,5% diekspor. Pada tahun 2009 volume yangdiekspor mengalami penurunan, hanya58,6%.menjadi 0,94 juta ton. Untuk tahun 2011 data penggunaan bauksit nasional belum tersedia.
41
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Tabel 4.2 Produksi Bauksit Indonesia Tahun 2007-2011
Uraian Produksi (Ton)
2007
2008
2009
2010
2011*
1.251.147
1.152.322
935.211
Penggunaan DN
256.000
259.234
364.982
400.000
-
Nilai (Jutaan Rp)
33.254
62.216
87.596
96.000
-
964.282
893.088
566.539
13.917
21.434
13.597
Ekspor Nilai (Ribu USD)
2.200.000 24.714.940
1.824.556 24.714.940 32.295
470.172
*angka sementara sumber: BPS
c.
Tembaga Tembaga secara fisik berwarna kuning dan apabila dilihat dengan
menggunakan mikroskop bijihnyaakan berwarna pink kecoklatan sampai keabuan.Unsur tembaga terdapat pada hampir 250 mineral, tetapi hanya sedikit saja yang bersifat komersial. Mineral tembaga utama dalam bentuk deposit oksida adalah krisokola (CuSiO3.2HO), malasit (Cu2(OH)2CO3), dan azurit (Cu3(OH)2(CO3)2).Deposit tembaga dapat diklasifikasikan dalam lima tipe, yaitu: deposit porfiri, deposit stratabound dalam batuan sedimen, deposit masif pada batuan volkanik, deposit tembaga nikel dalam intrusi/mafik, serta deposit nativ. Umumnya bijih tembaga di Indonesia terbentuk secara magmatik. Pembentukan endapan magmatik dapat berupa proses hidrotermal atau metasomatisme. Dalam proses pemurnian tembaga, biasanya endapan bijih tembaga juga mengandung seng, timbal, emas dan perak.
42
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.3 Produksi Tembaga Dunia Tahun 2008
Data statistik tembaga dunia menurut versi USGS tahun 2008 menunjukan bahwa produsen tembaga terbesar dunia adalah Chile dengan total produksi 3,3 juta metrik ton. Indonesia berada di peringkat ke-7 dunia dengan total produksi sebanyak 632 ribu metrik ton. Dalam kehidupan sehari-hari, tembaga memiliki fungsi yang cukup penting.Logam tembaga digunakan secara luas dalam industri peralatan listrik, bidang telekomunikasi maupun bidang-bidang lainnya.Keunggulan tembaga terletak pada sifatnya sebagai penghantar yang baik.Kawat tembaga dan paduan tembaga digunakan dalam pembuatan motor listrik, generator, kabel transmisi, instalasi listrik rumah dan industri, kendaraan bermotor, konduktor listrik, kabel dan tabung coaxial, dan sebagainya.
43
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Potensi tembaga terbesar yang dimiliki Indonesia terdapat di Papua, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.Usaha untuk menemukan dan mengusahakanbijih
tembaga
di
Indonesia
telahdilakukan
sejak
zaman
Belanda.Hal initerbukti dari berbagai buku laporan tentanghasil penyelidikan endapan bijih tembagayang dibuat oleh Belanda.Menurut laporantersebut, endapan bijih tembagaditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan,Sulawesi dan Timor.Hampir semuaendapan yang diketahui ini kecil dan tidakekonomis untuk diusahakan.Sedangkanbijih tembaga yang mempunyai nilaiekonomis hanya terdapat di Papua. Berdasarkan data statistik nasional pada tabel 4.3, produksi tembaga nasional pada tahun 2007sebesar 796.899 ton. Angka ini sempat mengalami penurunan produksi pada tahun 2008 menjadi 655.046 ton. Produksi tembaga nasional mulai meningkat kembali pada tahun 2009 dan terus meningkat hingga tahun 2011. Pada tahun 2011produksi tembaga mencapai 1.472 ribu tonatau meningkat sekitar 48,23% dari tahun sebelumnya. Tabel 4.3 Produksi dan Penggunaan Tembaga Indonesia Tahun 2007-2011
Uraian
2007
2008
2009
2010
796.899
655.046
973.347
993.152
1.472.238
Penggunaan DN (Ton)
993.152
548.688
Nilai (Jutaan Rp)
22.678.723
12.529.344
1.043.305
1.360.745
1.065.429
3.060.361
3.991.519
3.403.442
Produksi (Ton)
Ekspor
785.552
Nilai (Ribu USD)
5.576.198 2.304
*angka sementara sumber: BPS
44
785.552
2011
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
d.
Bijih Besi dan Pasir Besi Bijih besi(iron ore) di alam tersedia dalam bentuk bijih (iron primary) dan
pasir besi (iron sand).Khusus untuk pasir besi, secara umum terdiri dari mineral opak yang bercampur dengan butiran-butiran dari mineral non logam seperti, kuarsa, kalsit, feldspar, ampibol, piroksen, biotit, dan tourmalin.Mineral tersebut terdiri dari magnetit, titaniferous magnetit, ilmenit, limonit, dan hematit.Mineral bijih besi terutama berasal dari batuan basaltik dan andesitik volkanik. Dalam kehidupan sehar-sehari, bijih besi digunakan untuk industri logam besidan jugadimanfaatkan pada industri semen. Daerah penghasil pasir besi di Indonesia meliputi Sumatera, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor. Gambar 4.4 Produksi Bijih Besi Dunia Tahun 2009
45
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Bila melihat data statistik dunia versi USGS tahun 2009, Indonesia menempati urutan ke-36 dunia sebagai negara produsen bijih besi. Pada tahun tersebut survey USGS mencatat produksi bijih besi Indonesia mencapai angka 63 ribu metrik ton. Peringkat pertama dunia sebagai penghasil bijih besi adalah China dengan total produksi mencapai 880 juta ton. Kemudian, khsusu untuk pasir besi, data statistik nasional versi BPS, memperlihatkan adanya peningkatan produksi yang cukup signifikan. Angka peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2010 dan terus berlanjut hingga tahun 2011. Pada tahun 2007, produksi pasir besi nasional baru mencapai 124,6 ribu ton. Namun jumlah tersebut meningkat di tahun 2009 menjadi 4,56 juta ton. Kemudian angka terus meningkat hampir dua kali lipatnya di tahun 2010 menjadi 8,98 juta ton. Tabel 4.4 Produksi dan Penggunaan Pasir Besi Indonesia Tahun 2007-2011 Uraian
2007
2008
2009
2010
2011*
Produksi (Ton)
124.610 4.455.259
4.561.059
8.975.507
11.814.544
Penggunaan DN (Ton)
94.176
2.073.609
3.574.496
-
-
Nilai (Jutaan Rp)
2.040
829.444
1.715.758
-
-
Ekspor
-
1.296.006
1.489.373
9.869.131
11.814.544
Nilai (Ribu USD)
-
51.840
75.064
205.646
300.771
*angka sementara sumber: BPS
46
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
e.
Timah Timah adalah logam berwarna putih keperakan, dengan kekerasan yang
rendah. Berat jenisnya 7,3 g/cm3 dan mempunyai sifat konduktivitas panas dan listrik yang tinggi. Dalam keadaan normal tampilan logam ini bersifat mengkilap dan mudah dibentuk.Timah terbentuk sebagai endapan primer pada batuan granit dan pada daerah sentuhan batuan endapan metamorf yang biasanya berasosiasi dengan turmalin dan urat kuarsa timah, serta sebagai endapan sekunder, yang di dalamnya terdiri dari endapan alluvium, elluvial, dan koluvium. Mineral utama yang terkandung di dalam bijih timah pada umumnya adalah kasiterit. Mineral ikutan yang terkandung di dalamnya antara lain pirit, kuarsa, zircon, ilmenit, plumbum, bismut, arsenik, stibnite, kalkopirit, kuprit, xenotim, dan monasit. Dalam kehidupan sehari-hari, timah terutama digunakan untuk bahan baku logam pelapis, solder, cendera mata, dan lain-lain. Potensi Timah di Indonesia terdapat di Pulau Bangka, Pulau Belitung, Pulau
Singkep,
dan
Pulau
Karimun.
Namun
daerah
penambangan
timahsebagian besar berada di wilayah propinsiBangka Belitung.Dalam sejarah penambangan timah di Indonesia, produksinya mengalami fluktuatif
dan
Indonesia sempat menjadi negara produsen timah terbesar di dunia. Menurut data USGStahun 2009, produksi timah Indonesia menempati urutan ke-dua dunia setelah China.
47
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Gambar 4.5 Produksi Timah Dunia tahun 2009
Yang menarik dalam perkembangan industri timah Indonesia, pada bulan Agustus 2013 telah diresmikan bursa perdagangan timah pertama di Indonesia. Menurut Menteri Perdagangan, Gita Wiryawan, dengan pembentukan bursa perdagangan timah iniakan mencegah praktik under invoice, meningkatkan penerimaan royalti, mencegah perdagangan timah ilegal dan meningkatkan daya saing timah Indonesia. Bahkan Indonesia diharapkan akan menjadi penentu harga timah dunia. (Investor daily, 30 Agustus 2013). Untuk data statistik timah nasional berdasarkan publikasi BPS, dalam kurun waktu 2007-2011produksi timah mengalami perubahan yangrelatif kecil. Pada tahun 2007 produksi timah nasional mencapai 64.127 ton dan tahun 2011 mencapai 89,6 ton. Angka tersebut relatif stabil dengan peningkatan pertahun sebesar 7,95% .
48
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.5 Produksi Timah Indonesia Tahun 2007-2011
Uraian
2007
2008
2009
64.127
79.210
56.602
97.796
1.942
2.202
1.138
97.984
Nilai (Jutaan Rp)
87.936
440.379
Ekspor
63.678
50.198
117.360
0
Nilai (Ribu USD)
95.307
95.307
123.519
0
Produksi (Ton) Penggunaan DN (Ton)
2010
2011 89.600 3.552
227.664 17.798.872
621.091 77.698 1.476.741
*angka sementara sumber: BPS
2.
Kebijakan
Sumber
Daya
Mineral
di
Indonesiadan
Kronologis
Penetapan Bea Keluar atas Bijih Mineral Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.Sumber daya mineral adalah sumber daya yang termasuk dalam kelompok sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (exhaustible resouces). Barlow (dalam Suparmoko, 2012:64) mendefinisikan exhaustible resources ini sebagai sumber daya tak pulih. Artinya, bahwa sumber daya alam ini dari sisi sifat dan volume fisik yang tersedia tetap dan tidak dapat diperbaharui atau diolah kembali. Untuk terjadinya sumber daya jenis ini diperlukan waktu ribuan tahun. Oleh karena jumlahnya terbatas maka pemanfaatan sumber daya mineral hendaknya benar-benar ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Politik sumber daya mineral Indonesia merupakan bagian dari kebijakan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia.Secara eksplisit hal ini dinyatakan
49
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
dalam bunyi pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar tahun 1945, yaitu: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Tonggak sejarah regulasi atas sumber daya mineral dan batubara tercipta dengan hadirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang ini sekaligus menggantikan keberadaan Undang-undang nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan reformasi di bidang pertambangan. Beberapa dasar pertimbangan ditetapkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 sebagaimana tercantum dalam klausul pertimbangannya, antara lain: a)
bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian
nasional
dalam
usaha
mencapai
kemakmuran
dan
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan; b)
bahwa
kegiatan
usaha
pertambangan
mineral
dan
batubara
yang
merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan c)
bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
50
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan
perubahan
pertambangan
mineral
peraturan dan
perundang-undangan
batubara
yang
dapat
di
bidang
mengelola
dan
mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Semangat untuk mendorong penciptaan nilai tambah melalui pengolahan bahan mentah mineral dan batubara telah muncul dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2009. Dalam Pasal 102 disebutkan bahwa Pemegang izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus(IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Selanjutnya Pasal 103 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 menjelaskan lebih lanjut mengenai kewajiban peningkatan nilai tambah tersebut: a)
Pemegang izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
b)
Pemegang IUP dan JUPK sebagaimana dirnaksud pasal ayat (1) dapat mengolahdan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya. Upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah pengolahan mineral
melalui UU No. 4 Tahun 2009 semakin dipertegas dengan keluarnya Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Aturan yang paling krusial
51
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
dalam peraturan tersebut terdapat pada pasal 21 yang berdampak luas bagi industri pertambangan khususnya IUP dan Industri Pertambangan Rakyat (IPR) . Dalam pasal 21 Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 dinyatakan bahwa pemegang IUP dan pemegang IPR dilarang mengekspor ore (raw material) dalam waktu tiga bulan terhitung sejak berlakunya peraturan ini. Peraturan ESDM nomor 7 tahun 2012 mulai berlaku sejak tanggal 06 februari 2012. Kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh kementerian ESDM mendapat respon yang beragam dari para pihak yang berkepentingan. Pemerintahpun menyadari bahwa kebijakan larangan ekspor tentu saja akan berdampak sangat luas bagi para pemangku kepentingan. Respon negatif datang dari kalangan eksportir dan produsen mineral dan batubara. Bahkan beberapa negara maju secara resmi mempertanyakan kebijakan larangan ekspor bijih mineral ini. Menteri Perekonomian Hatta Rajasa ketika diwawancarai para wartawan mengakui hal ini: "Saya didatangi berbagai macam duta besar.Bahkan ada Perdana Menteri suatu negara memrotes dan mengatakan kalau begini berarti industri kami mati semua," ujar Hatta di hotel Grand Cempaka, Jakarta, Rabu (31/7/2013) (dikutip dari ww.sindonews.com, 2013).
Bagi kalangan eksportir dan produsen minerba, kebijakan ini tidaklah tepat karena akan merugikan banyak pihak. Merekaberargumentasi bahwa industri dalam negeri belum mampu menyerap seluruh produksi pertambangan minerba. Faktor utamanya adalah karena kurangnya fasilitas peleburan dan pemurnian (smelter) atau fasilitas pengolahan di sisi yang lebih hilir. Cara terbaik untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan menyumbang devisa negara adalah dengan mengekspor bahan mentah minerba.
52
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pandangan postif yang mendukung kebijakan larangan ekspor bijih mineral ini tidaklah sedikit. Pemanfaatan sektor minerba untuk memperkuat industri domestik mempunyai argumentasi bahwa industri nasional masih perlu mendapat dukungan ketersediaan bahan baku dalam jumlah yang memadai dan harga yang murah. Selain itu, ekspor minerba dalam bentuk raw material tidak memberikan value added yang signifikan terhadap perekonomian nasional selain penerimaan devisa dalam jangka pendek (Tim Peneliti Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian, 2012:1). Aspek
lain
yang
juga
menjadi
pertimbangan
pemerintah
dalam
mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 selain meningkatkan nilai tambah, langkah ini juga memiliki semangat keberpihakan terhadap industri pengolahan dalam negeri dan upaya untuk memberikan perlindungan lebih kepada lingkungan. Data statistik nasional sebagaimana telah disampaikan terdahulu memperlihatkan adanya kecenderungan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya mineral pasca terbitnya Undang-undang nomor 4 tahun 2009. Batas waktu tahun 2014 sebagai pemberlakuan kewajiban untuk membangun smelter oleh para produsen minerba rupanya belum disikapi dengan baik oleh para pengusaha. Penambahan nilai dalam pengolahan sumber daya mineral merupakan suatu keharusan. Hal ini sejalan dengan amanat pengelolaan sumber daya sebagaimana yang diinginkan dalam pasal 33 Undangundang Dasar 1945. Dengan adanya nilai tambah dalam pengolahan sumber daya mineral maka potensi keuntungan yang akan diperoleh masyarakat Indonesia juga akan meningkat. Sebagai ilustrasi, menurut hasil penelitian Tim Peneliti Biro Perencaan Kementerian Perindustrian (2012:4)harga nikel mentah tingkat II
53
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
(mengandung hanya 2 persen dari volume tanah tambang) sekitar 2 USD per kilogram atau 2000 USD per ton. Setelah melalui proses peleburan menjadi ferronickel (FeNi) nilainya bisa melonjak menjadi lebih dari 8 kali lipat menjadi 17.000 USD per ton di London Mineral Exchange (LME). Selanjutnya, untuk lebih menggambarkan potensi nilai tambah sumber daya mineral, dalam tabel 4.6 berikut kami perlihatkan data potensi peningkatan sumber daya mineral dalam negeri untuk beberapa produk mineral yang potensial. Tabel 4.6 Potensi Peningkatan Nilai Tambah Bijih Mineral
Sumber: Ditjend Minerba, kementerian ESDM
Setelah beberapa minggu menjadi polemik hangat di berbagai mas media, suara-suara penolakan terhadap kebijakan Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 ini mendapat respon dari pemerintah. Pada tanggal 1 Mei 2012, dalam rapat koordinasi terbatas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
54
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
dibicarakan secara khusus kebijakan pemerintah untuk mengendalikan bahan bakar minyak, mineral dan batubara. Dalam rapat koordnasi terbatas tersebut diputuskan bahwa ekspor bijih mineral akan diatur tata niaganya dan dikaji kemungkinan dikenakannya bea keluar. Menjelang tanggal 6 Mei 2012 sebagai dateline pemberlakuan Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 belum juga muncul langkah implementatif dari hasil rapat koordinasi terbatas bidang perekonomian. Untuk itu Direktur Jenderal Bea dan Cukai menerbitkan surat kepada seluruh Kepala Kantor Bea dan Cukai dengan nomor S-377/BC/2012 yang isinya menegaskan pelarangan ekspor bijih mineral. Pada tanggal 7 Mei 2012, sehari setelah
berlakunya ketentuan larangan
ekspor bijh mineral Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan
nomor
29/M-DAG/PER/5/2012
tentang
Ketentuan
Produk
Pertambangan. Peraturan ini merupakan bentuk implementasi kebijakan tata niaga ekspor bijih mineral yang diputuskan dalam rapat koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada tanggal 1 Mei sebelumnya. Beberapa pokok aturan yang tertuang dalam aturan Permendag 29/M-DAG/PER/5/2012 tersebut antara lain: a)
Ekspor produk pertambangan tertentu (lihat lampiran 2 penelitian ini) diatur ekspornya dan harus berasal dari pemegang IUP operasi produksi, IPR, IUPK Operasi Produksi dan/atau Kotrak Karya
b)
Kegiatan ekspor produk pertambangan tertentu (lihat lampiran 2 penelitian ini) hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai eksportir tertentu (ET) Produk Pertambangan dari Menteri Perdagangan
c)
Produk pertambangan yang diatur ekspornya wajib dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis sebelum muat barang. Kegiatan verifikasi ini dilakukan oleh Surveyor yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
55
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Selanjutnya pada tanggal 16 Mei 2012, Menteri ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM nomor 11 tahun 2012 yang mengamandemen isi dari Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 dengan menambahkan pasal 21A. Isi pasal 21A tersebut mengatur kembali bahwa pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR dapat menjual bijih mineral ke luar negeri apabila telah mendapatkan rekomendasi dari Menteri ESDM c.q. Direktur Jenderal. Bersamaan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM nomor 11 tahun 2012, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenai Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. PMK inilah yang menjadi landasan hukum pemberlakuan bea keluar atas bijih mineral. Dalam PMK tersebut ditetapkan 65 jenis barang mineral yang dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: a)
mineral logam, Terdiri dari 21 komoditi berupa pirit besi dan bijih : besi, tembaga, seng, mangan, nikel, kobalt, aluminium, timbal, kromium, molibdenum, ilmenite, titanium, zirkonium, perak, emas, platinum dan antimoni.
b)
mineral bukan logam Terdiri dari 10 komoditi, yaitu : kuarsa, kuarsit, kaolin dan tanah liat kaolin lainnya dikalkinasi maupun tidak, batu kapur, feldspar, zirkonium silikat dari jenis yang digunakan sebagai opasitas, zeolit bubuk diaktivasi dengan nilai KTK 100 miliequivalen, zeolit bentuk pelet atau semacamnya dengan nilai KTK 100 miliequivalen, intan industri lainnya dan intan bukan industri lainnya.
56
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
c)
Batuan Terdiri dari 34 komoditi, antara lain :garnet alami, batu sabak, onik, marmer dan travertine yang tidak dikerjakan atau dikerjakan secara kasar, onik, giok, granit, peridotit, gabro, opal, kalsedon, jasper, topaz.
Penetapan barang-barang yang dikenakan bea keluar dalam PMK ini sejalan dengan daftar penetapan barang mineral yang dikenakan tata niaga ekspor berdasarkan Permendag nomor 29/M-DAG/PER/5/2012. Rincian lengkap daftar bijih mineral yang ditetapkan bea keluar dan besaran tarif bea keluarnya kami sertakan dalam lampiran 2 penelitian ini. 3.
Aspek Teknis dan Kendala yang Dihadapi DJBC Penetapan bea keluar dan pembatasan ekspor bijih mineral dinilai banyak
kalangan sebagai langkah yang tepat dalam menertibkan kegiatan ekspor produk pertambangan serta mengoptimalkan dan menjaga penerimaan negara. Setelah lahirnya PMK nomor 75/PMK.01/2012 maka secara resmi DJBC meningkatkan pengawasan terhadap ekspor bijih mineral. Bukan hanya terhadap pengawasan fisik namun juga pengawasan terhadap hak-hak keuangan negara. Dua hal inilah yang menjadi tantangan yang cukup besar bagi aparatur DJBC. Dari sisi teknis, petugas DJBC di lapangan dituntut kemampuannya untuk memahami karakteristik produk dan spesifikasi teknis terhadap produk tambang yang terkena aturan tata niaga ekspor dan pengenaan bea keluar. Hal ini tidaklah mudah, seperti diakui oleh Bambang Lusyanto dan Eri Prasetyanto, Kepala Seksi Ekspor Drektorat Teknis Kepabeanan, DJBC (wawancara, Agustus 2013). Beberapa kendala yang ditemui di lapangan terkait tugas pengawasan atas ekspor bijih mineral yang terkena bea keluarantara lain menyangkut: kriteria fisik bijih mineral, harga patokan ekspor, rekomendasi dan persetujuan ekspor, serta infrastruktur daerah yang terbatas.
57
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
a.
Kriteria Fisik Produk Mineral Salah satu permasalah bea keluar yang cukup strategis adalah
permasalahan mineral logam dalam bentuk konsentat. Sesuai kebijakan pemerintah dalam PMK nomor 75/PMK.01/2012, pengenaan bea keluar produk mineral logam hanya dikenakan terhadap mineral logam berupa bijih, sedangkan konsentrat tidak dikenakan bea keluar. produksi konsentrat mineral
Pertimbangannya adalah karena
dianggap telah mengalami
peningkatan nilai
tambah dari kondisi mentahnya. Dari sisi pelaksanaan di lapangan, membedakan antara bijih dan konsentrat bukanlah hal yang mudah. Padahal ini menentukan sekali apakah ekspor mineral logam dikenakan bea keluar atau tidak. Untuk memastikan hal ini, Direktur Jenderal Bea dan Cukai samapai harus meminta klarifikasi secara langsung kepada Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM. Sesuai dengan klarifikasi Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM kepada Ditjen Bea dan Cukai melalui surat nomor : 339/30/DJB/013 tanggal 28 Februari 2013 dinyatakan bahwa pengolahan mineral bijih menjadi konsentrat merupakan proses pemisahan antara mineral berharga dengan mineral tidak berharga, sehingga didapat kadar yang lebih tinggi dan menguntungkan baik melalui proses konsentrasi gravitasi, konsentrasi elekstrostatik, konsentrasi magnetik (magnetic separator) maupun proses flotasi. Dalam surat klarifikasi tersebut disampaikan juga beberapa kriteria konsentrat untuk :
58
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
a)
tembaga, apabila berkadar 18-40% (rata-rata 24%) Cu (tembaga), 22-41g/t Au (emas), 50-60g/t Ag (perak); ukuran 100-75 mesh; proses : crushing, grinding, flotasi, dewatering.
b)
timbal, apabila kadarnya lebih dari 50% Pb; ukuran 65-140 mesh; proses : konsentrasi gravity (meja goyang), klasifier, flotasi.
c)
seng, apabila kadarnya lebih dari 50% Zn; ukuran sampai dengan 65 mesh; proses : crushing, milling, klasifier, flotasi. Selain kriteria yang diberikan oleh Dirjend Minerba tersebut, tidak ada
panduan resmi untuk kepentingan pengawasan. Yang bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi petugas bea dan cukai adalah data perusahaan/eksportir, apakah yang bersangkutan telah memiliki unit pengolahan bijih mineral atau belum atau yang bersangkutan telah memiliki kerjasama pengolahan dengan unit pengolahan mineral. Jika perusahaan telah memiliki, besar kemungkinan bijih yang diekspor telah melalui proses pengolahan menjadi konsentrat dan sebaliknya. Selain masalah pembedaan bijih dan konsentrat, pemahaman teknis berikutnya adalah pengetahuan atas bijih itu sendiri. Bijih mineral suatu logam dapat ditemui dalam beberapa wujud dan beberapa senyawa, misalnya, bijih besi biasanya ditemukan dalam bentuk magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3), goethite FeO(OH), limonit (FeO (OH) dan (H2O) atau siderite (FeCO3). Hal ini memerlukan peningkatan pengetahuan khusus pegawai DJBC. b.
Harga Patokan Ekspor Dalam struktur harga ekspor (HE) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
beberapa jenis mineral (bijih besi, mangan, nikel dan bauksit) memiliki layer
59
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
harga sesuai kandungan mineralnya, seperti diperlihatkan dalam Tabel 4.9. Dalam pelaksanaan di lapangan, hal ini akan menyulitkan pejabat DJBC untuk melakukan pelayanan yang cepat dan akurat. Pembedaan HE berdasarkan layer ini berpotensi menjadi celahbagi eksportir untuk pelarian bea keluar dengan pemberitahuan kadar yang tidak sebenarnya. Berdasarkan Peraturan Dirjen Daglu nomor 01/DAGLU/PER5/2012 tentang Petunjuk Teknis Verifikasi atau Penelusuran Teknis Ekspor Produk Pertambangan, Surveyor harus melakukan dua kali verifikasi dan penelusuran teknis terhadap produk pertambangan yang diekspor. Verifikasi pertama dilaksanakan sebelum barang dimuat ke sarana pengangkut dan hasilnya dituangkan dalam Report of Analysis (RoA).
Verifikasi kedua dilaksanakan
setelah barang dimuat ke sarana pengangkut dan hasilnya dituangkan ke dalam Certificate of Analysis (CoA). Proses penerbitan CoA ini rata-rata memerlukan waktu 4-5 hari. Kendala pengawasan yang dialami DJBC berkaitan dengan proses ini adalah bahwa DJBC tidak mungkin menahan keberangkatan sarana pengangkut sampai dengan terbitnya CoA. Dalam standar prosedur pelayanan kepabeanan, persetujuan muat (istilah lainnya persetujuan ekspor) harus diberikan ketika barang akan dimuat ke Sarana pengangkut. Dalam konteks kepabeanan, ketika barang sudah dimuat ke sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean, maka barang ekspor dianggap telah diekspor. Kendala pengawasan atas barang ekspor mineral yang terkena bea keluar akan berlanjut apabila hasil CoA berbeda dengan RoA. Apabila hasil verifikasi pihak Surveyor menyimpulkan bahwa kadar prosentase dalam CoA lebih kecil dibanding RoA (CoA < RoA) maka bea keluar yang telah dibayarkan sebelumnya
60
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
dapat dikembalikan sesuai dengan selisih hasil verifikasi tersebut.
Namun
apabila kesimpulan verifikasi Surveyor menyatakan CoA > RoA, maka DJBC wajib menagih kekurangan pembayaran bea keluar disertai sanksi adminsitrasi berupa denda sesuai PP nomor 55 tahun 2008. Mekanisme pengenaan denda administrasi dalam kasus ini sepertinya tidak adil
bagi eksportir karena
kesalahan pemeberitahuan perhitungan bea keluar dalam PEB bukanlah unsur kesengajaan. c.
Inkonsistensi pencatuman referensi Jumlah Satuan Barang dalam Rekomendasioleh pihak terkait Variabel lain penentu perhitungan bea keluar adalah unsur jumlah barang.
Beberapa komoditi bijih mineral logam,satuan jumlah barangnya dinyatakan dengan wet metric ton (WMT) dan yang lain dengan dry metric ton (DMT). Penggunaan satuan ini akan menjadi kendala tersendiri apabila tidak ada kesesuaian antara rekomendasi yang dikeluarkan pihak Kementerian ESDM dengan SPE yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan. Perbedaan ini sangat signifikan mengingat ekspor produk pertambangan biasanya diekspor dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan resiko kehilangan bea keluar yang besar juga. d.
Keterbatasan Infrastruktur Dari sisi pelayanan kepabeanan, ekspor barang tambang mineral di
Indonesia sebagaian besar dilakukan didaerah-daerah yang pengawasannya dilakukan oleh Kantor Bea dan Cukai tipe B (tipe paling kecil). DJBC memiliki keterbatasan sarana dan juga sumber daya manusia (SDM) di kantor-kantor tipe kecil tersebut. Tabel pada lampiran 3 penelitian ini, mungkin bisa memberikan gambaran kongkrit mengenai keterbatasan pelayanan yang diberikan. Tabel
61
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar produk mineral diekspor melalui pengawasan kantor-kantor Bea dan Cukai yang relatif kecil, seperti: KPPBC Ternate, KPPBC Kendari, KPPBC Teluk Bayur, KPPBC Sampit, KPPBC Kotabaru dan sebagainya. Dalam tatalaksana kepabeanan ekspor terhadap pemberitahuan ekspor barang yang terkena bea keluar maka diberlakukan ketentuan pemeriksaan fisik barang. Begitu pula halnya dengan PEB atas produk mineral yang terkena bea keluar ini. Namun mengingat karakteristik bijih mineral sangat sulit dilakukan identifikasi dan klasifikasinya secara langsung maka tingkat akurasi pemeriksaan sangat bergantung pada hasil uji laboratorium. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kandungan bijih mineral memerlukan waktu yang cukup lama dan belum seluruh wilayah Indonesia memiliki Balai Pengujian dan Identifikasi Barang (BPIB) terutama di wilayah Indonesia Timur. Kendala pengawasan timbul apabila barang ekspor bijih mineral dilakukan melalui kantor-kantor bea dan cukai daerah yang infrastrukturnya masih terbatas. Jarak tempuh dan sarana tansportasi untuk mengirimkan sampel barang ekspor ke BPIB terdekat menjadi kendala. Pada akhirnya, pemeriksa DJBC di lapangan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hasil verifikasi dan penelusuran teknis yang dituangkan Surveyor dalam Laporan Surveyor. Sebagai aparatur fiskal, kondisi keterbatasan yang dialami DJBC seperti ini sangat tidak ideal. Kendala lainnya yang terkait dengan pengawasan atas ekspor bijih mineral yang terkena bea keluar terletak pada SDM, terutama di kantor-kantor Bea dan cukai tipe kecil. Pemeriksaan fisik terhadap produk mineral memiliki karakteristik
62
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
khusus sehingga diperlukan SDM dengan kemampuan khusus. Keterbatasan ini juga diakui oleh Bambang Lusyanto (FGD, 18 September 2013).
B.
Analisis Data dan Pembahasan Masalah
Pertanyaan penilitian yang harus kami jawab dengan menggunakan analisis empiris adalah pertanyaan apakah kebijakan pembatasan ekspor bijih mineral yang disertai dengan kebijakan bea keluar terhadap bijih mineral dalam rangka mendorong penciptaan nilai tambah mineral sudah tepat.
Untuk
menjawab pertanyaan penelitian ini, kami melakukan analisis peneilitian menggunakan metode RIA. Adapun tahapan analisis RIA mencakup perumusan masalah, perumusan tujuan, perumusan alternatif dan analisis manfaat dan biaya. Pilihan alternatif kebijakan mana yang paling tepat akan ditentukan berdasarkan perbandingan antara manfaat dan biaya yang diidentifikasi. 1.
Perumusan Masalah dan Bentuk Regulasi Kebijakan bea keluar atas bijih mineral merupakan pilihan solusi yang
diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan eksploitasi sumber daya mineral
yang
dilakukan
secara
berlebihan
tanpa
adanya
upaya-upaya
peningkatan nilai tambah. Dalam penelitian ini, permasalahan mendasar yang melatarbelakangi munculnya regulasi pemerintah dalam bentuk kebijakan pembatasan ekspor yang disertai dengan pemungutan bea keluar atas bijih mineral adalah kondisi kegiatan ekspor mineral dalam bentuk bijih yang mengalami peningkatan signifikan pasca dikeluarkannya Undang-undang nomor 4 tahun 2009. Kegiatan eksploitasi sumber daya mineral cenderung dilakukan secara berlebihan tanpa
63
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
adanya upaya-upaya untuk meningkatkan nilai tambahnya bagi perekonomian di dalam negeri. Tabel berikut ini merupakan rangkuman permasalahan dan bentuk regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun sekali lagi kami perlu tekankan disini bahwa kajian ini lebih menitikberatkan pada aspek penerapan bea keluar atas bijih mineral. Tabel 4.7 Regulasi dan Permasalahan
Regulasi
Masalah yang ingin diselesaikan
Pembatasan ekspor bijih mineral Kondisi eksploitasi sumber daya mineral yang disertai dengan ketentuan secara berlebihan tanpa diikuti dengan kebijakan bea keluar
upaya penciptaan nilai tambah di dalam negeri
2.
Latar Belakang Kebijakan Bea Keluar Untuk mengetahui latar belakang pengenaan bea keluar atas bijih mineral
sebagai bagian dari instrumen pembatasan ekspor, kami telah melakukan studi literatur, mewawancarai dan berdiskusi dengan beberapa informan yang berkompeten dengan kebijakan bea keluar atas bijih mineral. Berikut intisari yang dapat kami paparkan berdasarkan pendapat dan kajian literatur tersebut. Menurut Kusmartata (wawancara, 29 Agustus 013) kebijakan bea keluar lahir sebagai solusi sementara untuk mengurangi laju pertumbuhan ekspor bijih mineral dalam kondisi mentah (raw material atau ore). Pilihan kebijakan bea keluar sebagai solusi, salah satunya dilatarbelakangi dengan success story penerapan kebijakan bea keluar pada komoditi CPO dan bijih coklat yang telah
64
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
dilakukan sebelumnya oleh pemerintah.Untuk memperlihatkan latar belakang kebijakan bea keluar atas bijih mineral, Kusmartata (FGD, 18 September 2013) memperjelas dengan suatu ilustrasi kerangka teoritis seperti diperlihatkan dalam gambar 4.6berikut. Gambar 4.6 Kerangka Pikir Kebijakan Bea keluar Bijih Mineral Versi BKF
Kondisi pertambangan di Indonesia mengalami perubahan mendasar setelah terbitnya UU Nomor 4 tahun 2009 menggantikan UU nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Salah satu pokok pikiran yang
65
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
sangat strategis dalam UU pertambangan yang baru ini adalah bahwa mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tidak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama dengan pelaku usaha. Setelah terbitnya UU Nomor 4 tahun 2009 euforia daerah yang memiliki sumber daya pertambangan untuk meningkatkan penerimaan asli daerahnya begitu tinggi.Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada badan usaha yang berbadan hukum, koperasi, perseorangan maupun masyarakat setempat di daerah untuk melakukan pengusahaan mineral dan
batubara.Izin
diberikan
oleh
pemerintah
daerah
sesuai
dengan
kewenangannya masing-masing. Dalam praktiknya pemberian keleluasaan yang sangat luas kepada Pemerintah Daerah untuk menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) memiliki dampak eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya mineral.Yang sangat mengkhawatirkan adalah kegiatan eksploitasi sumber daya mineral tersebut tidak diikuti dengan peningkatan nilai tambah yang signifikan bagi industri di dalam negeri. Uraian data statistik yang telah kami sampaikan dalam bagian data dan fakta sebelumnya memperlihatkan dengan jelas kondisi meningkatnya ekspor sumber daya mineral pasca terbitnya UU Nomor 4 tahun 2009.Peningkatan paling ekstrem terjadi untuk komoditi bijih aluminium (bauksit).Tahun 2009 ekspor bijih aluminum Indonesia ke luar negeri baru mencapai 566 ribu ton. Jumlah ini meningkat 222% pada tahun 2010 menjadi 1,8 juta ton.
66
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.7 Ekspor Bijih Mineral Pasca UU No.4 Tahun 2009 14000000 12000000 10000000 8000000
Tahun I Tahun II
6000000
Peningkatan
4000000 2000000 0 Pasir besi (ton)
Jenis Mineral Pasir besi (ton) Bauksit (ton) Bijih nikel (ton)
Bauksit (ton) Bijih nikel (ton) Mineral Utama
Tahun I 9869131 566539
Tahun II 11814544 1824556
Peningkatan 20% 222%
Keterangan 2010 ke 2011 2009 ke 2010
7995885
12482829
56%
2010 ke 2011
Sepertinya, pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam pengantar UU Nomor 4 tahun 2009 yang menginginkan agar usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia belum dapat diwujudkan. Di sisi lain penambangan secara massif berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Inilah yang menimbulkan keprihatinanan mendalam dari sebagian masyarakat yang peduli dengan kelestarian sumber daya dan juga pemerintah.Untuk itu pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan dan aturan main untuk usaha pertambangan tersebut. Kronologis terbitnya kebijakan bea keluar telah kami sampaikan dalam uraian data dan fakta.
67
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Merujuk pada analisis penelitian oleh Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian (2012), terjadinya lonjakan ekspor beberapa produk mineral Indonesia setelah tahun 2009 merupakan dampak langsung dari terbitnya UU Nomor 4 tahun 2009. Faktor pemicunyanya adalah adanya kelonggaran kepada daerah untuk melakukan eksploitasi sumber daya mineral dan adanya batas waktu lima tahun bagi pemegang Kontrak Karya Pertambangan untuk membangun smelter pemurnian. Pengendalian ekspor bahan mentah minerba memiliki semangat yang membangun bagiperekonomian domestik. Berdasarkan uraian latar
belakang
pengambilan
kebijakan, kami
mengambil kesimpulan bahwa tujuan utama dari regulasi penerapan bea keluar yang diiringi dengan pembatasan ekspor bijih mineral adalah untuk mengurangi tindakan eksploitasi sumber daya mineral secara berlebihan dan mendorong upaya penciptaan nilai tambah sumber daya mineral di dalam negeri. Regulasi ekspor atas bijih mineral bukanuntuk menghambat perdagangan tetapi dalam rangka memanfaatkan kekayaan mineral nasionaluntuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa. Upaya ini tidak dapat ditundakarena kekayaan mineral akan habis pada suatu saat dan tidak dapatdiperbaharui.
3.
Alternatif Pilihan Kebijakan Piilihan untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya mineral dalam
rangka peningkatan nilai tambah pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua alternatif kebijakan, yaitu: a)
Alternatif 1 : Do Nothing. Dalam metode analisis RIA, alternatif kebijakan yang harus selalu dibuat adalah pililihan untuk tetap mempertahankan kondisi saat ini tanpa adanya intervensi kebijakan apapun. Alternatif do
68
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
nothing
merupakan
suatu
kondisi
baselineyang
nantinya
akan
dibandingkan dengan kondisi yang terjadi jika alternatif kebijakan lain diimplementasikan. b)
Alternatif 2: Kebijakan pembatasan ekspor yang disertai dengan intervensi fiskal berupa bea keluar dalam rangka membatasi ekspor bijih mineral. Alternatif kebijakan yang kedua inilah yang saat ini diimplementasikan oleh pemerintah. Selain kedua alternatif kebijakan tersebut, sebenarnya masih ada satu
alternatif kebijakan yang relevan untuk diterapkan dalam rangka mengatasi permasalahan sumber daya mineral, yaitu aternatif kebijakan tata niaga ekspor yang ketat berupa larangan ekspor bijih mineral.Alternatif kebijakan ini sejalan dengan amanat UU Nomor 4 tahun 2009 yang menginginkan adanya peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan batu bara untuk kepentingan industri dalam negeri. Diharapakan lima tahun setelah pemberlakuan UU Nomor 4 tahun 2009 tersebut usaha pertambangan di Indonesia telah membangun sendiri
smelter-smelter untuk kegiatan pengolahan dan pemurnian
bahan
tambang mineral. Namun demikian, justru kebijakan inilah yang menjadi pemicu timbulnya reaksi penolakan produsen tambang mineral. Kajian empiris mengenai kebijakan larangan ekspor atas bahan mentah mineral secara kuantitatif telah dilakukan oleh Tim Peneliti Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian.Hasil penelitian mengenai kebijakan larangan ekspor bahan mentah mineral (khususnya nikel dan tembaga) dapat kami rangkumkan sebagai berikut: Hasil simulasi dampak ekonomi dengan lima alternatif kondisi pelarangan ekspor bijih mineral menyimpulkan bahwa
skenario yang memberikan
69
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
dampak ekonomi tertinggi adalah kondisi melarang ekspor bahan mentah dengan catatan kondisi industri pengolahan domestik sudah mampu menyerap seluruh produksi tambang. Dampak ekonomi terburuk adalah ketika dilakukan larangan ekspor bahan mentah mineral namun kondisi industri pengolahan domestik belum siap menyerap produksi tambang
Tabel 4.8 Hasil Simulasi Dampak Atas Berbagai Skenario Restriksi Ekspor Biji Nikel No.
Kondisi
Skenario
Alokasi
Dampak ke Hulu 2.086
Dampak ke Hilir 0.000
Total Dampak 2.086
Hipotesis 1 .
Ekspor bahan mentah
100% ekspor; o% domestik
2.
Eksisting
Kondisi riil yang terjadi saat ini
Domestik 26%; ekspor 74%
2.086
0.352
2.438
3.
Hipotesis
Larangan ekspor mentah, pengolahan domestik tidak siap
Domestik 26%; ekspor 0%
2.086
0.352
2.438
4.
Hipotesis
Larangan ekspor mentah, produksi tambang turun
Ekspor 0%; Domestik 26%
0.542
0.352
0.894
5.
Hipotesis
Larangan ekspor mentah, pengolahan domestik siap
Ekspor 0%: Domestik 100%
2.086
1.354
3.440
Sumber: Tim Peneliti Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian (2012)
70
Keterangan 100% produk terserap; hanya terdapat dampak ke hulu 100% produk terserap; 100% dampak ke hulu, 26% dampak ke hilir 74% produk tidak terserap domestik dan tidak terekspor; 100% dampak ke hulu, 26% dampak ke hilir Penambang menurunkan produksinya menjadi 26% sekedar untuk memenuhi kebutuhan domestik 100% terserap, 100% berdampak ke hulu dan hilir
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.9 Hasil Simulasi Dampak Atas Berbagai Skenario Restriksi Ekspor Bijih Tembaga No.
Kondisi
Skenario
Alokasi
Dampak ke Hulu 1.831
Dampak ke Hilir 0.000
Total Dampak 1.831
Ekspor bahan mentah
Domestik 0%; ekspor 100%
2.
Hipotesis 1 1 . . Eksisting
Kondisi riil yang terjadi saat ini
Domestik 13%; ekspor 87%
1.831
0.154
1.986
3.
Hipotesis
Larangan ekspor mentah, pengolahan domestik tidak siap
Domestik 13% dari kondisi sekarang; ekspor 0%
1.831
0.154
1.986
4.
Hipotesis
Larangan ekspor mentah, produksi tambang turun
Domestik 13%; ekspor 0%
0.238
0.154
0.392
5.
Hipotesis
Larangan ekspor mentah, pengolahan domestik siap
Domestik 100%; ekspor 0%
1.831
1.187
3.018
Keterangan 100% produk terserap; hanya terdapat dampak ke hulu 100% produk terserap; 100% dampak ke hulu, 26% dampak ke hilir 87% produk tidak terserap domestik dan tidak terekspor; 100% dampak ke hulu, 13% dampak ke hilir Penambang menurunkan produksinya menjadi 13% sekedar untuk memenuhi kebutuhan domestik 100% terserap, 100% berdampak ke hulu dan hilir
Sumber: Tim Peneliti Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian (2012)
Dalam penelitian ini kami tidak lagi menganalisis alternatif kebijakan kebijakan larangan ekspor bahan mentah mineral.Kebijakan larangan ekspor bijih mineral akan diimplementasikan pada tahun 2014. Selama masa transisi ini diperlukan suatu kebijakan yang mengarah kepada upaya-upaya untuk menyiapkan industri pertambangan mineral untuk mengembangkan industri hilirnya.
Namun
demikian,asumsi
hasil
penelitian
Tim
Biro
Penelitian
Kementerian Perindustrian tersebut akan kami jadikan landasan argumentasi untuk melakukan penilaian antara alternatif kebijakan 1 dan ke-2.
71
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
4.
Penilaian Terhadap Alternatif Kebijakan dan Pemilihan Kebijakan Untuk melakukan penilaian terhadap alternatif pilihan kebijakan, kami
menggunakan analisis manfaat dan biaya secara kualitatif. Argumentasi penilaian untuk masing-masing manfaat dan biaya yang kami simpulkan sebagian didukung dengan data kuantitatif.Namun karena keterbatasan yang kami miliki analisis yang bersifat komparasi anatar alternatif kebijakan tidak kami ukur dengan analisis kuantitatif. a.
Identifikasi Manfat dan Biaya Sebelum penjabaran analisis manfaat dan biaya dari masing-masing
alternatif kebijakan yang diambil pemerintah, kami rangkumkan terlebih dahulu identifikasi manfaat dan biaya sebagai indikator permasalahan.Pengukuran masing-masing manfaat dan biaya baik dalam kondisi sebelum regulasi maupun setelah regulasi kami sampaikan secara deskriptif dengan menggunakan perkiraan nilai dari masing-masing indikator.Dalam pengukuran ini kami lebih banyak menggunakan ukuran kualitatif namun sedapat mungkin tetap didukung dengan data-data kuantitatif.Pada bagian akhir analisis disampaikan ringkasan penilaian untuk masing-masing indikatoryang dikomparasikan antara kondisi sebelum regulasi dengan kondisi setelah regulasi.
72
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.10 Identifikasi Manfaat dan Biaya Alternatif 1: Do Nothing Kelompok Industri Hulu
Kondisi Hipotesis
Industri Hilir
Hipotesis
Pemerintah
Hipotesis
Masyarakat
Hipotesis
Pengawasan ekspor rendah Kualitas lingkungan menurun Tidak memberikan nilai tambah ekonomi
Manfaat Volume eksporcenderung meningkat
Biaya
Tidak memberikan tambah ekonomi
nilai
Tabel 4.11 Identifikasi Manfaat dan Biaya Alternatif 2 :Kondisi adanya regulasi bea keluar Kelompok
Kondisi
Manfaat
Industri Hulu
Real
Industri Hilir
Real
Memberikan nilai tambah ekonomi
B
Pemerintah
Real
B
Real
Biaya Volume ekspor menurun
Masyarakat
B/S/K
Pendapatan fiskal berupa bea keluar sbg windfall profit Pengawasan ekspor meningkat Pendapatan cenderung meningkat Kualitas lingkungan meningkat
B/ S/ K B
B Pendapatan non fiskal menurun
S
B B
B
73
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
b.
Analisis Dampak Keterkaitan Volume Ekspor Bijih Mineral Tujuan
mendasar
penciptaan
nilai
tambah
sumber
daya
mineral
sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 adalah untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Fakta statistik menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya mineral yang besar namun masih rendah pemanfaatannya untuk kepentingan industri hulu di dalam negeri. Produksi bijih mineral yang dihasilkan oleh industri hulu pertambangan hanya sedikit sekali yang mampu diserap oleh industri hilir pertambangan. Tabel 4.12 berikut memberikan gambaran fakta penyerapan bahan mentah oleh Industri hilir pertambangan di Indonesia.
Tabel 4.12 Penggunaan Bijih Mineral Oleh Industri Hilir Pertambangan Dalam negeri Tahun 2007 s.d 2011 (Dalam Ton) Jenis Mineral
Bijih besi
2007
2008
2009
2010
2011
94.176
2.073.609
3.574.496
0
0
256.000
259.234
364.982
400.000
0
Bijih Nikel
0
0
0
2.137.272
0
Bijih tembaga
0
0
0
993.152
548.688.
Bijih Aluminium
Sumber: BPS (data diolah)
Dalam analisis dampak keterkaitan ekonomi kami menggunakan asumsi hasil penelitian tim Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian khususnya tentang kebijakan larangan ekspor bahan mintah mineral
yang juga
menyimpulkan hal yang sama. Analisis penelitian yang dilakukan memaparkan fakta mengenai minimnya infrastruktur industri hilir pertambangan. Bahkan salah satu butir kesimpulan penelitian ini disampaikan bahwa kebijakan pengendalian
74
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
ekspor minerba dalam jangka pendek dan menengahmungkin saja dapat merugikan perekonomian jika: a)
pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral tidakterealisasi sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini sektorpertambangan akan mengalami penurunan output, nilai tambah dankesempatan kerja.
b)
industri hilir domestik belum mampu sepenuhnya menyerap hasilproduksi pengolahan dan pemurnian mineral domestik. Dalam hal iniproduk sektor pertambangan maupun pengolahan mineral akan menurun. Untuk pengukuran indikator manfaat dan biaya dari sisi keterkaitan
pendapatan eksportir kami menggunakan instrumen volume ekspor dan pendapatan devisa ekspor dari sektor industri hulu yang melakukan kegiatan ekspor bijih mineral. Sebagai bentuk komparasinya, untuk kondisi sebelum regulasi kami menggunakan hipotesis berupa angka estimasi dari trend linear.Kemudian untuk indikator setelah regulasi kami peroleh dari data statistik volume ekspor bijih mineral. Mengingat karakteristik sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia sangat bervariasi, maka kami hanya melakukan pengukuran terhadap dua komoditi bijih mineral yang dipungut bea keluar dengan nilai paling besar. Kedua produk tersebut adalah bijih nikel dan bijih aluminium (bauksit). Penjabaran pertama yang kami analisis adalah garis trend volume ekspor nikel dalam kondisi tanpa adanya implementasi regulasi. Kondisi ini merupakan kondisi hipotesis sesuai dengan alternatif kebijakan pertama (do nothing). Asumsi data yang dipakai adalah data berkala bulanan volume ekspor bijih nikel dengan menggunakan bulan dasar Januari 2010. Hipotesis yang kami bangun untuk asumsi data ini adalah bahwa volume ekspor bijih nikel akan meningkat signifikan pada tahun 2012 dan 2013. Kecenderungan ini terjadi karena adanya
75
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
batasan waktu Januari 2014 sebagai batas waktu terakhir implementasi Undangundang nomor 4 tahun 2009 mengenai kewajiban penciptaan nilai tambah sumber daya mineral. Untuk mengestimasikan angka-angka volume ekspor di tahun 2012 dan 2013 (tahun dimulainya regulasi bea keluar) kami menggunakan analisis trend linear dengan metode kuadrat terkecil (least square method). Adapun asumsi yang kami pakai terhadap faktor eksternal yang mungkin mempengaruhi fungsi peramalan adalah bahwa harga dan tingkat permintaan bijih mineral di pasar Internasional bersifat tetap. Hasil peramalan linear terhadap data berkala volume ekspor bijih nikel dengan asumsi bulan dasar Januari 2010, menunjukan persamaan linear sebagai berikut: 𝑌 ′ = 152.126𝑋 + 530.019 dimana, Y’= data berkala (time series data) X = periode waktu bulanan
Kemudian, untuk estimasi volume ekspor bijih aluminium (bauksit) diperoleh persamaan linear sebagai berikut:
𝑌 ′ = 83.671𝑋 + 1.789.700 dimana, Y’= data berkala (time series data) X = periode waktu bulanan
Grafik trend Ekspor nikel dan timah Indonesia diperlihatkan dalam gambar berikut.
76
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.8 Trend linear Ekspor Nikel Indonesia Data Estimasi Kondisi Do Nothing Tahun 2010 s.d. 2011 5,000,000.00 4,500,000.00
y = 15212x + 53001 R² = 0.741
4,000,000.00 3,500,000.00 3,000,000.00 2,500,000.00 2,000,000.00
Series1
1,500,000.00
Linear (Series1)
1,000,000.00 500,000.00 Jan-10 Mar-10 Mei-2010 Jul-10 Sep-10 Nop-2010 Jan-11 Mar-11 Mei-2011 Jul-11 Sep-11 Nop-2011
-
Gambar 4.9 Trend linear Ekspor Bijih AluminiumIndonesia Data Estimasi Kondisi Do Nothing Tahun 2010 s.d. 2011 4,500,000.00 4,000,000.00 3,500,000.00
y = 83671x + 1789700 R² = 0,5665
3,000,000.00 2,500,000.00 2,000,000.00
Series1
1,500,000.00
Linear (Series1)
1,000,000.00 500,000.00 Jan-10 Mar-10 Mei-2010 Jul-10 Sep-10 Nop-2010 Jan-11 Mar-11 Mei-2011 Jul-11 Sep-11 Nop-2011
-
77
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Hasil proyeksi trend volume ekspor bijih mineral apabila pemerintah tidak melakukan kebijakan pembatasan ekspor dan bea keluar bijih mineral menunjukan angka peningkatan ekspor yang sangat signifikan. Sebagai contoh, prediksi ekspor nikel Indonesia pada bulan Desember tahun 2012 akan mencapai angka 6.006.555 ton. Angka ini meningkat sekitar 18 kali lipat dibanding data yang sama untuk periode desember 2011. Kemudian untuk prediksi volume ekspor bijih aluminium pada bulan Desember akan mencapai 4.801.856 ton. Selanjutnya untuk mengkomparasikan antara kondisi do nothing dengan kondisi regulasi (alternatif kebijakan 2) kami menampilkan pula analisis trend volume ekspor bijih nikel dan bijih aluminium. Data volume ekspor yang kami analisis adalah data perkembangan ekspor dari tahun 2010 sampai dengan 2013. Pilihan waktu pengamatan ini dengan asumsi bahwa pada tahun 2010 inilah dampak UU nomor 4 tahun 2009 mulai terjadi. Gambar 4.10 Trend Ekspor Nikel Indonesia Tahun 2010 s.d. 2013 8000000.0 7000000.0 6000000.0 5000000.0 4000000.0 3000000.0
2000000.0 1000000.0 -
sumber: BPS (data diolah)
78
2010 2011 2012 2013
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.11 Trend Ekspor Bijih Aluminium Indonesia Tahun 2010 s.d. 2013 7000000.0 6000000.0 5000000.0 4000000.0 3000000.0
2010 2011
2000000.0
2012
1000000.0
2013
-
sumber: BPS (data diolah)
Trend ekspor nikel Indonesia pada periode awal tahun 2010 (garis biru) masih belum menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. Peningkatan volume ekspor nikel mulai terjadi pada bulan oktober 2010 yang mencapai 2,9 juta ton, meningkat tiga kali lipat dari volume ekspor pada bulan sebelumnya. Untuk tahun 2011 (garis merah) volume ekspor mulai memperlihatkan trend peningkatan yang berarti. Garis trend ekspor nikel menunjukan trend peningkatan yang bersifat siklis. Artinya terjadi variasi peningkatan dan penurunan secara berkala namun tetap menunjukan adanya kecenderungan peningkatan volume ekspor nikel. Data volume ekspor nikel tahun 2012 memperjelas dampak kebijakan bea keluar mineral terhadap volume ekspor. Pada bulan april 2012 angka volume ekspor nikel mencapai puncaknya sebesar 6,67 juta ton. Yang menarik adalah angka volume ekspor ini menurun drastis pada bulan mei hingga agustus 2012
79
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
dan kemudian mulai meningkat kembali pada bulan september 2012. Reaksi menurunnya volume ekspor nikel tersebut jelas disebabkan oleh kebijakan larangan bijih mineral berdasarkan Permen ESDM nomor 7 tahun 2012 yang efektif berlaku pada tanggal 6 Mei 2012 dan juga kebijakan bea keluar yang berlaku efektif pada tanggal 16 Mei 2012. Untuk trend ekspor bijih aluminium pasca terbitnya Undang-undang nomor 4 tahun 2009 menunjukkan fenomena yang secara umum relatif sama. Data statistik yang sangat menarik adalah data volume ekspor bulan mei dan juni tahun 2012.
Angka volume ekspor bijih mineral pada bulan mei 2012 turun
sangat signifikan sekitar 595 dari volume ekspor bulan april 2012. Bahkan pada bulan Juni volume ekspor sempat terhenti. Eksportir betul-betul terpengaruh dengan kebijakan bea keluar atas bijih mineral yang mulai diberlakukan pada pertengahan bulan mei 2012. Bila data proyeksi volume ekspor mineral diperbandingkan antara kondisi kebijakan dalam alternatif 1 (do nothing) dengan kondisi kebijakan alternatif 2, maka dapat dirangkumkan dalam tabel berikut. Asumsi periode waktu yang kami gunakan disini adalah periode mulai dari diimplementasikannya bea keluar atas bijih mineral (bulan Juni 2012) sampai dengan mei 2013.
80
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.13 Perbandingan Angka Volume Ekspor Bijih Nikel dan Aluminium Sesuai Alternatif 1 dan Alternatif 2 Periode
c.
Volume Ekspor Nikel
Juni 2012
Alternatif 1 5.093.799
Alternatif 2 957.041
Volume Ekspor Bijih Aluminium Alternatif 1 Alternatif 2 4.299.830 957.040
Juli 2012
5.245.925
1.586.034
4.383.501
506.842
Agts 2012
5.398.051
1.684.934
4.467.172
826.850
September 2012
5.550.177
2.994.597
4.550.843
695.177
Oktober 2012
5.702.303
4.599.926
4.634.514
1.612.926
Nopember 2012
5.854.429
6.966.824
4.718.185
2.720.092
Desember 2012
6.006.555
6.629.208
4.801.856
3.017.559
Januari 2013
6.158.681
5.576.030
4.885.527
2.254.946
Februari 2013
6.310.807
4.845.614
5.220.211
2.259.570
Maret 2013
6.462.933
5.816.687
5.052.869
3.995.741
April 2013
6.615.059
3.960.403
5.136.540
4.287.249
Mei 2013
6.767.185
3.734.738
5.220.211
4.361.018
Total
71.165.904
49.352.036
57.371.259
27.495.010
Selisih
21.813.868
29.876.249
Analisis Dampak Fiskal Pemberlakuan pungutan bea keluar atas bijih mineral secara formal
ditetapkan sejak tanggal 16 Mei 2013 dengan PMK nomor 75/PMK.01/2012. Namun pemungutan bea keluar atas bijih mineral tidak serta merta bisa diwujudkan pada tanggal tersebut. Mekanisme teknis pemungutan bea keluar mensyaratkan adanya penetapan Harga Ekspor (HE) terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan. Dalam PP nomor 55 tahun 2008 juga diatur bahwa HE untuk penghitungan Bea Keluar ditetapkanoleh Menteri Keuangan sesuai HPE yang
81
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
ditetapkansecara periodik oleh Menteri Perdagangan setelah berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga pemerintah terkait. Pada tanggal 1 Juni 2012 Menteri Perdagangan menerbitkan Permendag 34/M-DAG/PER/5/2012 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Produk Pertambangan yang dikenakan bea keluar. Penetapan tersebut selanjutnya diikuti dengan penerbitan Keputusan Menteri Keuangan nomor 1956/KM.4/2012 tentang penetapan Harga Ekspor untuk Penghitungan Bea Keluar atas produk pertambangan oleh Dirjen Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan. Sejak saat itulah bea keluar atas bijih mineral mulai diimplementasikan. Awal penerapan bea keluar di semester kedua tahun anggaran 2012 telah memberikan kontribusi penerimaan sebesar 1,84 trilyun. Angka ini menyumbang sekitar 8,66% dari total penerimaan bea keluar secara keseluruhan untuk tahun 2012. Bila dikomparasikan dengan total penerimaan DJBC tahun 2012, maka kontribusi bea keluar mineral mencapai 1,27 persen. Jumlah penerimaan bea keluar bijih mineral ini hanya mencakup penerimaan selama tujuh bulan saja, mulai Juni 2012. Bila mengkomparasikan antara kondisi alternatif 1 (do nothing) dengan kondisi alternatif 2 (kondisi realistis) maka baseline data penerimaan fiskal bea keluarnya adalah kondisi tanpa kebijakan bea keluar (do nothing). Dalam kondisi ini belum dipungut bea keluar sebagai instrumen fiskal pengendali ekspor. Dengan demikian dalam kondisi alternatif 2 (kondisi realistis) angka-anngka penerimaan bea keluar yang mulai muncul pada bulan Juli 2012 merupakan manfaat yang menjadi salah satu faktor yang kami pertimbangkan sebagai alat pengambilan kesimpulan penelitian.
82
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Untuk kondisi realistis, pada tahun anggaran 2013 yang masih berjalan, kontribusi bea keluar bijih mineral sampai dengan bulan Juni 2013 mencapai 2,34 trilyun rupiah. Angka ini meningkat sekitar 27,17% dari tahun sebelumnya (Juni s.d Desember 2012). Bila melihat kontribusinya terhadap penerimaan bea keluar secara keseluruhan, penerimaan bea keluar bijih mineral menyumbangkan sekitar 42,67% . Angka kontribusi ini meningkat sangat signifikan bila dibanding tahun sebelumnya. Angka target penerimaan bea keluar tahun 2013 secara keseluruhan diprediksikan akan mencapai 31,7 trilyun tupiah. Namun melihat trend penurunan harga CPO di pasar Internasional, angka target penerimaan tersebut diturunkan menjadi 17,6 trilyun rupiah. Menurut Erwin Situmorang, Kasubdit Penerimaan Dit. PPKC (wawancara, Agustus 2013) untuk prediksi penerimaan bea keluar atas bijih mineral tahun 2013 akan mencapai 6,076 trilyun dengan asumsi normal. Tabel 4.14 Realisasi penerimaan DJBC Tahun 2012 s.d 2103 Relisasi 2012 Rp (juta)
Kontribusi %
Bea Masuk
28.280.485
19,57
14.431.583
19,51
Cukai
95.019.271
65,74
52.613.371
71,13
Bea Keluar
21.237.008
14,69
6.925.207
9,36
1.838.749
1,27
2.955.329
4,00
Uraian
- Bijih Mineral
Total Penerimaan DJBC
144.536.764
Target 2013 Rp (juta)
Kontribusi %
73.970.161
*Data sampai bulan Juni 2013 Sumber : PPKC, DJBC (data diolah)
83
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Menurut Kusmartata (FGD, 18 September 2013), penerapan bea keluar yang efektif adalah yang dapat membatasi ekspor komoditi tertentu dan berpotensi mempengaruhi devisa ekspor. Namun demikian penerapan bea keluar dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional yang lebih luas. Pengenaan bea keluar terhadap bahan baku akan mendorong pengolahan di dalam negeri dan ekspor dalam bentuk yang lebih hilir. Dengan ini nilai tambah akan dinikmati di dalam negeri sehingga secara nasional diharapkan peningkatan ekonomi akan lebih besar dari potensi penurunan devisa. Pendapat Kusmartata ini sejalan dengan hasil penelitian Laborde, dkk (2013) yang menyimpulkan bahwa keberhasilan kebijakan bea keluar akan tergantung pada tingkat elastisitas penawaran, elastisitas permintaan dan barang subsitusi. Hasil penelitian Laborde
juga mendapati bahwa kecenderungan
pengenaan bea keluar dilakukan oleh negera-negara berkembang terhadap hasil bumi. Kesimpulan ini bisa diperkuat dengan data yang ditampilkan oleh Laborde dalam hasil penelitiannya seperti pada Tabel 4.15.
84
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.15 Top 20 Negara Yang Mengenakan Bea Keluar Atas barang Ekspor
Sumber: Laborde,dkk . 2013
Pada tabel 4.15 terlihat bahwa Indonesia menempati posisi ke 9 sebagai salah satu negara yang mengenakan bea keluar atas barang ekspor. Beban bea keluar terhadap total perdagangan ekspor Indonesia mencapai 1%. Negaranegara maju yang masih mengenakan pajak atas barang ekspornya antara lain: Federasi Rusia (23,1%) dan Australia (0,6%). Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa sebagian besar negara yang mengenakan beban pajak atas barang ekspor merupakan kelompok negara berkembang, antara lin: Argentina, Bolivia, Laos, Malaysia dan sebagainya.
85
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Pertanyaan yang muncul dari kesimpulan Laborde, dkk tersebut adalah, apakah produk bijih mineral Indonesia memiliki tingkat elastisitas permintaan maupun penawaran yang rendah dan apakah tersedia produk substitusi dari produk pertambangan yang diekspor oleh Indonesia.Kami memang tidak secara khusus menganalisis tingkat elastisitas permintaan maupun penawaran atas produk mineral.Namun data statistik yang telah kami uraikan pada bagian data dan fakta sebelumnya memperkuat hal ini. Sebagian besar permintaan pasar internasional terhadap bijih mineral utama yang terkena bea keluar (bijih besi, nikel dan aluminium) sama sekali tidak mengalami penurunan. Bahkan trend ekspor ketiga jenis mineral tersebut pasca pemberlakuan kebijakan bea keluar atas bijih mineral memperlihatkan kecenderungan peningkatan.
Gambar 4.12
8000000.0 7000000.0 6000000.0 5000000.0 4000000.0 3000000.0 2000000.0 1000000.0 -
Bijih Besi Bijih Nikel
Sumber: Direktorat PPKC, DJBC (data diolah)
86
Mei
April
Maret
Februari
Januari
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Bijih Aluminium Juni
Volume (Ton)
Volume Ekspor Mineral Utama Tahun 2012 - 2013
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Angka peningkatan volume ekspor yang signifikan terjadi pada volume ekspor bijih nikel pada periode september sampai dengan november 2012. Pada bulan Agustus, ekspor bijih nikel baru mencapai 1,68 juta ton. Untuk bulan September meningkat 77,72% menjadi 2,99 juta ton. Kemudian meningkat kembali sekitar 53,5% pada bulan oktober menjadi 4,6 juta ton. Angka puncak volume ekspor bijih nikel terjadi pada bulan november dengan total volumenya mencapai 6,97 juta ton. Dengan menganalisis trend volume ekspor bijih mineral yang terkena bea keluar, kami menyimpulkan bahwa meskipun terkena bea keluar, pasar internasional tetap membutuhkan bijih mineral dari Indonesia. Pengaruh peningkatan harga produk bijih mineral akibat penambahan beban bea keluar tidak menjadikan permintaan terhadap bijih mineral menjadi turun. Bila dihubungkan dengan teori yang dikemukakan Kusmartata hal ini menjadi sangat wajar.Indonesia adalah eksportir bijih mineral yang tergolong large country sehingga menjadi salah suplier produk mineral mentah dunia.Kondisi ini bahkan sangat memungkinkan untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu penentu harga komoditi bijih mineral dunia. Bila melihat posisi produksi mineral Indonesia di pasar Internasional, Indonesia termasuk dalam kelompok sepuluh besar negara pengekspor bijih mineral.Data Ini sudah dapat menyimpulkan bahwa Indonesia tergolong sebagai large countryuntuk komoditi mineral.Uraian data dan fakta statistik ekspor beberapa jenis mineral yang telah kami sampaikan pada bagian sebelumnya menunjukkan posisi strategis Indonesia sebagai suplier bijih mineral dunia.Tabel 4.16 berikut memperlihatkan posisi Indonesia sebagai negara eksportir bijih mineral di dunia yang berpotensi menjadi penentu harga mineral dunia.
87
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Tabel 4.16 Kondisi Sumber daya Tambang di Indonesia
d.
Analisis Dampak Non Ekonomi Selain dampak keterkaitan ekonomi dan fiskal, kebijakan bea keluar
sebagai alat pengendali ekspor juga berdampak pada kondisi-kondisi non ekonomi secara langsung. Dalam hal ini, ada tiga poin yang menjadi sorotan kami. Yaitu, isu lingkungan, pengawasan ekspor bijih mineral dan menguatnya minat investasi sektor industri hulu. Ketiga poin ini menjadi ukuran manfaat dan biaya yang juga kami pertimbangkan sebagai alat pengambil kesimpulan. Untukanalisis dampak non ekonomi penelitian ini kami tidak melakukan pengukuran secara kuantitatif mengingat keterbatasan yang ada pada kami. Namun dampak yang kami analisis ini lebih bersifat kualitatif dengan melakukan kajian terhadap informasi-informasi aktual dan wawancar dengan narasumber yang berkompeten.
88
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Isu Lingkungan Dalam wawancara dengan Kusmartata (29 Agustus 2013) berkaitan dengan latar belakang pengambilan kebijakan bea keluar atas bijih mineral, disampaikan bahwa salah satualasan pokok mengapa suatu komoditi dibatasi perdagangannya ke luar negeri adalah karena alasan ketiga isu lingkungan. Kegiatan pertambangan terkait dengan eksploitasi sumber daya alam. Eksploitasi yang tidak terkendali dari sumber daya mineral akan menyebabkan penipisan sumber daya tak terbarukan. Data statistik yang telah diuraikan terdahulu menjelaskan betapa eksploitasi sumber daya mineral di Indonesia pasca diterbitkannya UU Nomor 4 tahun 2009 menjadi sangat massif dan cenderung tidak terkendalikan. Isu-isu pokok penggunaan sumber daya alam secara berlebihan juga telah ramai dibicarakan oleh masyarakat dunia . Beberapa isu-isu penting dunia yang secara khusus membicarakan pentingnya menjaga kelestarian sumber daya alam, seperti dikutip dari Suparmoko (2012:15-16) antara lain: a)
Laporan kelompok Roma dalam “batas-batas pertumbuhan”menunjukkan kemungkinan dunia akan ambruk karena sumber daya yang penting, seperti bahan
bakar
minyak
dan
batubara
terbatas
jumlahnya.
Namun
kecenderungan tingkat konsumsi dunia terus meningkat. b)
Perkembangan teknologi mampu mengungkap lokasi-loksai persedian sumber daya alam. Misalnya cadangan minya dunia. Akan tetapi lokasi persediaan sumber daya alam tersebut semakain jauh dari para konsumen.
c)
Manusia semakin tergantung pada sumber daya alam yang semakin rendah kualitasnya. Untuk mengolah sumber daya alam dibutuhkan lebih banyak energi dan biaya.
89
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Penguatan Terhadap Iklim Investasi Sektor Hilir Mineral Dampak ketiga yang kami analisis berkaitan dengan kebijakan bea keluar bijih mineral adalah perkembangan usaha-usaha ke arah peningkatan nilai tambah mineral. Amanat UU nomor 4 tahun 2009 yang diterjemahkan dalam bentuk Permen ESDM nomor 7 tahun 2012 berupaya agar sumber daya mineral yang dieksploitasi harus memberikan nilai tambah dan manfaat ekonomi dan sosial bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Sejak terbitnya Permen ESDM nomor 7 tahun 2012 maka sebagai salah satu syarat utama bagi pengusaha yang berminat untuk menjadi eksportir terdaftar (ET) produk pertambangan dan juga dalam rangka memperoleh Surat Persetujuan Ekspor (SPE), harus melampirkan roadmap untuk melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian (membangun smelter).
Menurut
data
laporan utama Warta Bea cukai (september 2012) setelah munculnya kebijakan Permen ESDM nomor 7 tahun 2012 yang diikuti dengan Kebijakan bea keluar bijih mineral, sebanyak 126 perusahaan tambang telah menyerahkan proposal perencanaan pembangunan smelter kepada Kementerian ESDM. Lebih lanjut, Dirjend Minerba Thamrin Sihite, sebagaimana dikutip oleh Harian Bisnis Indonesia (senin, 30 september 2013) mengatakan bahwa pemerintah baru bisa melakukan verifikasi proposal pembangunan smelter terhadap 13 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan. Jumlah smelter yang seharusnya ditinjau oleh pemerintah sebanyak 110 perusahaan. Namun, karena keterbatasan tim ahli dan peninjau, pemerintah pusat menyerahkan 97 proposal pengajuan smelter kepada pemerintah daerah. Menurut Kusmartata (FGD, 18 September 2013) kebijakan pengendalian ekspor dan pengenaan bea keluar bijih mineral meningkatkan investasi
90
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
pengolahan tambang, memperluas sebaran investasi, serta menertibkan kegiatan ekspor tambang.
Dengan mewajibkan pembangunan smelter untuk
kegiatan pengolahan dan pemurnian maka akan mendorong investor-investor asing maupun dalam negeri untuk berinvestasi. Hal ini telah terbukti dengan banyaknya pengajuan proposal pembangunan smelter yang diterima oleh Kementerian ESDM. Benefit yang juga dirasakan dengan adanya kebijakan pengendalian ekspor dan pengenaan bea keluar adalah dari sisi penertiban kegiatan ekspor tambang. Menurut aturan teknis tatalaksana kepabeanan di bidang ekspor sebagaimana diatur dalam PMK nomor 147/PMK.04/2007 terhadap barang ekspor pada prinsipnya tidak dilakukan pemeriksaan fisik. Namun hanya dalam beberapa kategori berikut, terhadap barang ekspor dapat dilakukan pemeriksaan fisik: a)
barang ekspor yang akan diimpor kembali;
b)
barang ekspor yang pada saat impornya ditujukan untuk diekspor kembali;
c)
barang ekspor yang mendapat fasilitas KITE;
d)
barang ekspor yang dikenai bea keluar;
e)
barang ekspor yang berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Pajak; atau
f)
barang ekspor yang berdasarkan hasil analisis informasi lainnya terdapat indikasiyang kuat akan terjadi pelanggaran atau telah terjadi pelanggaran ketentuanperundang-undangan. Dengan penetapan bijih mineral sebagai salah satu objek bea keluar maka
hal ini memberikan kewajiban pengawasan yang lebih intensif dari aparatur DJBC. Menurut Bambang Lusanto (FGD, 18 September 2013) pemeriksa DJBC
91
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
di lapangan sering kali menemukan kasus pelanggaran administratif
yang
dilakukan oleh eksportir pertambangan. Salah satu kasus yang pernah diungkap adalah adanya ketidaksesuaian antara karakteristik barang yang tercantum dalam
SPE
dengan
fisik
barang
yang
diekspor
setelah
dilakukan
pemuatan.Dalam izin ET dan SPE nya dinyatakan sebagai bijih nikel, padahal saat pemeriksaan DJBC yang dilakukan bersama-sama dengan Surveyor didapati barang yang diekspor banyak mengandung bijih besi.
e.
Perbandingan Manfaat dan Biaya
Sebagai alat pengambil kesimpulan dalam analisis penelitian ini, kami menggunakan tabel perbandingan manfaat dan biaya antara kondisi alternatif 1 dan alternatif 2. Dalam hal ini, asumsi kondisi baseline adalah pada kondisi alternatif 1, yaitu kondisi apabila kebijakan bea keluar tidak diimplementasikan.
Tabel 4.17 Komparasi Manfaat dan Biaya Jenis Manfaat/Biaya
Baseline Alternatif 1
Kondisi Regulasi Alternatif 2
Selisih Manfaat/Biaya
Volume Ekspor (C)
Nikel: 71.165.904 Ton Bauksit: 57.371.259 Ton
Nikel: 49.352.036 Ton Bauksit: 27.495.010 Ton
Nikel: -21.813.868 Bauksit: -29.876.249
Kualitas Lingkungan (C)
Menurun (Besar)
Meningkat (Besar)
Positif
Pendapatan (B)
Fiskal
0
Nikel: Rp 2.117 milyar Bauksit: Rp 767 milyar
Nikel: +Rp 2.117 milyar Bauksit:+Rp 767 milyar
Industri
0
Positif
Penguatan Pengawasan Ekspor (B)
0
110 proposal Jumlah pengajuan, baru 13 yang diverifikasi oleh pemerintah pusat Kewajiban pemeriksaan fisik atas ekspor bijih mineral
Penguatan Hilir (B)
Keterangan: (C) Cost, (B) benefit
92
Positif
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan komparasi manfaat dan biaya dalam tabel 4.17 terlihat bahwa kebijakan bea keluar atas bijih mineral memiliki manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat biaya yang harus ditanggung pemerintah. Dari sisi biaya, kebijakan bea keluar menurunkan angka volume ekspor bijih mineral (yang diwakili komoditi nikel dan bijih aluminium). Hal ini tentu saja akan membawa dampak penurunan pendapatan terhadap industri hulu pertambangan mineral. Namun penurunan pendapatan sektor industri hulu dapat dikompensasi dengan meningkatnya upaya-upaya investasi di sektor hilir pertambangan mineral. Berdasarkan data terakhir (Oktober 2013) pemerintah Pusat telah memverifikasi 13 proposal pembangunan smelter mineral di Indonesia. Hal ini akan membawa dampak ekonomi yang cukup besar bagi Industri Hilir mineral. Dari sisi fiskal, kebijakan bea keluar telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi kas negara. Angka penerimaan bea keluar bijih mineral selama periode awal pemberlakuan kebijakan (Juni 2012 s.d. Mei 2013) telah memberikan kontribusi penerimaan pemerintah sekitar 2,8 trilyun rupiah. Kemudian dari sisi pengawasan ekspor, kebijakan bea keluar bijih mineral memungkinkan pemerintah untuk melakukan pengawasan yang lebih intensif terhadap ekspor sumber daya mineral ini.
93
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
94
BAB V PENUTUP
A.
Simpulan
Latar belakang terbitnya kebijakan bea keluar atas bijih mineral secara kronologis diawali dengan perkembangan yang terjadi pasca penerbitan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Adapun kondisi yang berkembang saat itu adalah: Izin usaha kegiatan pertambangan terutama yang diterbitkan oleh daerah semakin bertambah namun proses penerbitannya cenderung belum memenuhi aspek transparansi (clear and clean). Kegiatan eksploitasi mineral tidak terkendali dan sebagian besar hasil tambang diekspor dalam bentuk mentah (raw material/ore). Kegiatan usaha pertambangan belum menciptakan nilai tambah ekonomis yang signifikan. Industri pengolahan dan pemurnian barang tambang belum tumbuh secara signifikan Kondisi tersebut membuat pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ESDM sebagai pembina sektor melakukan tindakan pengendalian dengan penerbitan Permen ESDM nomor 7 tahun 2012. Kondisi yang berkembang adalah: Kebijakan larangan mengekspor bijih (raw material) bagi pemegang IUP dan IPR dalam jangka waktu tiga bulan terhitung sejak tanggal 6 Febuari 2012 atau jatuh tempo pada tanggal 6 mei 2012.
95
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Kebijakan larangan ekspor tersebut bertujuan untuk mendorong kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di Indonesia (menciptakan industri hilir) dalam rangka peningkatan nilai tambah mineral. Eksportir dan pelaku usaha pertambangan memprotes kebijakan larangan ekspor bijih mineral ini. Alasan yang kemudian menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan ini adalah penyerapan hasil tambang mineral untuk kepentingan dalam negeri masih rendah, faktor kesempatan kerja dan belum tersedianya infrastruktur yang memadai bagi kegiatan pengolahan dan pemurnian. Rapat koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi pada tanggal 1 Mei 2012 memutuskan untuk mengkaji kebijakan penerapan bea keluar dan pengendalian ekspor bijih mineral. Untuk melaksanakan keputusan tersebut, masing-masing instansi menyiapkan perangkat peraturan terkait sesuai dengan portofolio tugas masing-masing. Kondisi yang berkembang selanjutnya:
Menteri
Perdagangan
menrebitkan
Permendag
Nomor
29/M-
DAG/PER/5/2012 tentang ketentuan ekspor produk pertambangan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan 65 jenis mineral yang diatur ekspornya dengan kewajiban penetapan sebagai ET produk pertambangan.
Menteri ESDM mengamandemen Permen ESDM nomor 07 tahun 2012 dengan Permen ESDM nomor 11 tahun 2012. Aturan strategis yang diubah adalah bahwa pemegang IUP dan IPR dapat mengekspor bijih (raw material) mineral sepanjang mendapat rekomendasi dari Menteri ESDM.
Menteri Keuangan menerbitkan PMK nomor 75/PMK..011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
96
BAB V PENUTUP
Berdasarkan analisis manfaat dan biaya, penelitian ini menyimpulkan bahwa pilihan menerapkan kebijakan bea keluar terhadap bijih mineral sudah tepat. Kebijakan pembatasan ekspor yang disertai dengan penerapan bea keluar atas bijih mineral memiliki manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat biaya yang harus ditanggung pemerintah. Dari sisi biaya, kebijakan bea keluar mampu menurunkan angka volume ekspor bijih mineral (yang diwakili komoditi nikel dan bijih aluminium). Penurunan angka volume ekspor bijih mineral khususnya nikel berdasarkan simulasi dua kondisi alternatif kebijakan, diperkirakan mencapai angka 21,8 juta ton untuk komoditi nikel dan 29,8 juta ton untuk komoditi bijih aluminium. Hal ini tentu saja akan membawa dampak penurunan pendapatan terhadap industri hulu pertambangan mineral. Namun penurunan pendapatan sektor industri hulu dapat dikompensasi dengan meningkatnya upaya-upaya investasi di sektor hilir pertambangan mineral. Meskipun manfaat nyatanya belum dirasakan saat ini namun iklim investasi sektor industri hilir pertambangan mineral mulai bergairah. Kebijakan bea keluar yang dibarengi dengan kebijakan pengendalian ekspor bijih minireal telah mendorong investor untuk menanamkan modalnya bagi industri hilir. Hingga bulan oktober 2013, tercatat sudah 110 proposal pembangunan smelter bagi kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral telah masuk ke kementerian ESDM. Dari sisi fiskal, kebijakan bea keluar telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi kas negara. Angka penerimaan bea keluar bijih mineral selama periode awal pemberlakuan kebijakan (Juni 2012 s.d. Mei 2013) telah memberikan kontribusi penerimaan pemerintah sekitar 2,8 trilyun rupiah. Meskipun tujuan mendasar bea keluar bijih mineral tidak sama sekali untuk
97
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
kepentingan penerimaan namun kontribusinya cukup besar (sekitar 1,27%) dari total penerimaan DJBC di tahun 2012. Padahal bea keluar atas mineral baru efektif dikenakan pada bulan Juni 2012. Dari aspek kepentingan pengawasan, kebijakan bea keluar atas bijih mineral telah memberikan kewenangan pengawasan kepada DJBC untuk melakukan pemeriksaan fisik. Diharapkan dengan pemeriksaan fisik tersebut, tingkat pelanggaran baik secara administratif maupun fisik akan dapat diminimalisasi. Hal ini meberikan damapak yang sangat positif terhadap upayaupaya penertiban kegiatan ekspor mineral.
B.
Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan penelitian yang perlu kami sampaikan: 1.
Mengingat implementasi kebijakan bea keluar baru dimulai sejak bulan Mei 2012 dan baru efektif dilaksanakan pada bulan Juni 2012 praktis periode pengamatan yang kami lakukan hanya sekitar 12 bulan. Waktu yang pendek ini menurut hemat kami belum ideal untuk sebuah penelitain yang komprehensif.
2.
Penelitian ini hanya mengkaji kebijakan dari sisi aparatur pembuat kebijakan dan belum menyeluruh hingga mencakup dampak yang dialami oleh pelaku usaha.
98
BAB V PENUTUP
C.
Saran dan Rekomendasi
Bagi BKF, Kementerian Keuangan
Dari sisi waktu, perumusan kebijakan bea keluar atas bijih mineral hendaknya
dillakukan
dalam
waktu
yang
cukup
dengan
mempertimbangkan lebih banyak lagi pihak-pihak yang berkepentingan
Menimbang amanat UU Nomor 4 tahun 2009 bahwa usaha pertambangan harus memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka hendaknya kebijakan bea keluar harus diformulasikan dengan intrumen pentarifan yang lebih presisi.Data statistik ekspor bijih mineral memperlihatkan bahwa kebijakan bea keluar meskipun mampu mengurangi laju volume ekspor bijih mineral di awal-awal penerapannya (Juni 2012) namun pada periode berikutnya ekspor bijih mineral kembali meningkat. Harus diingat bahwa tujuan akhir pengelolaan
sumber
daya
mineral
tetap
mengedepankan
aspek
peningkatan nilai tambah yang mendorong berkembangnya industri hilir. Bagi DJBC, Kementerian Keuangan
Pengawasan ekspor mineral merupakan tanggung jawab strategis yang dilaksankan oleh DJBC. Hendaknya dilakukan upaya-upaya peningkatan pengawasan terhadap infrastruktur DJBC (laboratorium dan sarana dan sarana dan pra sarana pengawasan) di lokasi-lokasi ekspor bijih mineral
Mengingat bijih mineral merupakan barang yang memiliki karakteristik khusus maka DJBC perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam rangka pemeriksaan ekspor bijih mineral.
99
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Bagi BPPK, Kementerian Keuangan
Sebagai unit yang bertanggung jawab dalam peningkatan kualitas SDM Kementerian Keuangan, hendaknya BPPK dapat merancang kurikulum diklat maupun workshop yang benar-benar dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan maupun pengawasan ekspor.
BPPK hendaknya dapat memanfaatkan kajian-kajian yang bersifat akademis sebagai salah satu sumber belajar.
100
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Jakarta. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. Undang-undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2005 tentang Pungutan Ekspor atas Barang Ekspor Tertentu. Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor
Buku dan Artikel : Abimanyu, Anggito dan Megantara, Andi (ed.), Era Baru Kebijakan Fiskal, Kompas, Jakarta, 2009 Dimyati, Ahmad, Artikel:Bea Keluar Dalam Sistem Kepabeanan Indonesia, Pusdiklat Bea dan cukai, 2009 Hutabarat, Roselyn, Transaksi Ekspor Impor, Erlangga, Jakarta, 1994 Lindert, Peter H., Ekonomi Internasional, Bumi Aksara, Jakarta, 1994 Putra, Nusa dan Hendarman, Metode Penelitian Kebijakan, Rosdakarya, Bandung, 2012 Soemitro, Rochmat, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan pajak Pendapatan, 1977 Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta Bandung, 1994 Suparmoko, M. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, BPFE, Yogyakarta, 2012 Siregar, Ulian, Peraturan Pabean Reglemen A, Pusdiklat Bea dan Cukai, Jakarta, 1999
101
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Tambunan, Tulus, Perdagangan Internasional dan Neraca pembayaran, LP3ES, Jakarta, 2001 Wardani, Rahayu Setia, dkk, Panduan Penerapan Metode Analisis Dampak Regulasi (Regulatory Impact Assesment-RIA) di Lingkungan DPR RI, DPRRI, 2008
102
LAMPIRAN
Lampiran 1 Transkrip Wawancara
Narasumber Jabatan
: Djaka Kusmartata : Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai II Pusat Kebijakan Pendapatan Negara – BKF
1. Secara teoritis, otoritas Negara menghindari beban pajak atas barang ekspor untuk kepentingan devisa. Mengapa bea keluar diterapkan sebagai salah satu instrument pajak atas barang ekspor? Penerapan bea keluar yang efektif adalah yang dapat membatasi ekspor komoditi tertentu yang berpotensi mempengaruhi devisa ekspor. Namun demikian penerapan bea keluar dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional yang lebih luas. Pengenaan bea keluar terhadap bahan baku akan mendorong pengolahan di dalam negeri dan ekspor dalam bentuk yang lebih hilir. Dengan ini nilai tambah akan dinikmati di dalam negeri sehingga secara nasional diharapkan peningkatan ekonomi akan lebih besar dari potensi penurunan devisa. Secara teoritis dapat pula disampaikan bahwa pajak ekspor (bea keluar) yang diterapkan pada “large country” akan berdampak positif terhadap negara pengekspor dengan “national welfare” yang bernilai positif. Sebagaimana digambarkan pada grafik di bawah diasumsikan hanya ada dua negara yang melakukan perdagangan, satu negara pengimpor dan satu negara pengekspor. Kurva penawaran dan permintaan bagi kedua negara akan ditampilkan dalam grafik PFT adalah harga keseimbangan perdagangan bebas. Pada harga itu, jumlah kelebihan permintaan oleh negara pengimpor sama dengan kelebihan pasokan oleh eksportir.
Jumlah impor dan ekspor ditampilkan sebagai garis biru pada grafik masingmasing negara (jarak horizontal antara kurva penawaran dan permintaan pada harga perdagangan bebas (PFT)). Ketika negara pengekspor besar menerapkan pajak ekspor, hal ini akan menyebabkan penurunan harga
103
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
barang di pasar domestik dan peningkatan harga di negara lain. Misalkan setelah dikenakan pajak, harga di negara pengimpor naik pada harga (PIM) maka harga di negara pengekspor jatuh ke (PEX). Jika pajak adalah tarif spesifik maka tarif pajak adalah T = PIM – PEX, sama dengan panjang ruas garis hijau di diagram. Jika pajak adalah advalorem maka tarif pajak adalah PIM T= -1 PEX
Tabel di bawah memberikan ringkasan arah dan besarnya efek kesejahteraan kepada produsen, konsumen dan pemerintah di negaranegara pengimpor dan pengekspor. Efek kesejahteraan agregat nasional dan efek kesejahteraan dunia juga ditampilkan. Efek positif kesejahteraan ditampilkan dalam warna hitam, efek negatif ditampilkan dalam warna merah.
Pengaruh kesejahteraan agregat bagi negara diperoleh dengan menjumlahkan keuntungan dan kerugian pada konsumen dan produsen. Nett effect terdiri dari tiga komponen yaitu: dampak positif pada perdagangan (c), dampak negatif pada distorsi konsumsi (f), dan dampak negatif pada distorsi produksi (h). Lihat Tabel dan Gambar untuk melihat bagaimana besarnya perubahan kesejahteraan nasional. Karena ada unsurunsur positif dan negatif, nett effect kesejahteraan nasional dapat berupa positif atau negatif. Namun demikian hasil yang menarik adalah bahwa dampaknya cenderung positif. Ini berarti bahwa pajak ekspor dilaksanakan oleh negara pengekspor "besar" dapat meningkatkan kesejahteraan nasional. 2. Apa saja dasar alasan pengenaan bea keluar? apakah hanya sematamata berdasarkan Undang-undang Kepabeanan atau apakah ada faktor lain ? Pada Pasal 2A ayat (2) UU Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan, bea keluar dikenakan terhadap barang ekspor dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional, atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.
104
LAMPIRAN
Pada dasarnya kebijakan pengenaan bea keluar atas ekspor komoditas tertentu bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; melindungi kelestarian sumber daya alam; mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri (UU No. 10/1995 jo. UU No.17/2006). Namun demikian ada tiga alasan pokok mengapa suatu komoditi dibatasi perdagangannya ke luar negeri. Alasan pertama karena komoditi tersebut sangat dibutuhkan di dalam negeri. Sebagai contoh adalah komoditi Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan sebagai bahan baku minyak goreng. Saat harga CPO di pasaran internasional meningkat tajam maka akan ada kecenderungan untuk mengekspor CPO sehingga akan membahayakan industri minyak goreng nnasional karena kekurangan pasokan bahan baku yang pada akhirnya akan merugikan konsumen dalam negeri karena stok minyak goreng akan berkurang drastis sehingga harga minyak goreng akan membumbung tinggi. Kondisi semacam inilah yang perlu diantisipasi oleh pemerintah agar ketersediaan bahan baku CPO di dalam negeri tetap terjamin. Alasan kedua suatu komoditas dikenakan bea keluar adalah pengembangan industri dalam negeri. Sebagai contoh, untuk komoditi kakao dan bijih mineral. Tanpa adanya hambatan terhadap ekspor, kedua komoditi ini akan terus-menerus diekspor dalam bentuk bahan mentah sehingga tidak akan ada industri pengolahan biji kakao maupun mineral tambang dalam negeri yang berkembang. Artinya tidak akan ada penyerapan tenaga kerja, tidak akan ada penerimaan negara berupa pajak, dan akhirnya tidak akan terwujud multiplier effect pada perekonomian nasional. Alasan ketiga adalah isu lingkungan. Kegiatan pertambangan terkait dengan eksploitasi sumber daya alam. Eksploitasi yang tidak terkendali dari sumber daya mineral akan menyebabkan penipisan sumber daya tak terbarukan. Menurut statistik, ekspor bijih mineral Indonesia meningkat secara signifikan sehingga pemerintah perlu memberlakukan bea keluar atas ekspor bijih mineral untuk mengontrol kegiatan ini. 3. Bagaimana prosedur teknis, penetapan suatu barang menjadi obyek bea keluar ? Sesuai bunyi Pasal 2 ayat 3 PP No. 55 tahun 2008, penetapan barang ekspor yang dikenakan Bea Keluar dilakukan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dan/atau usul menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan dan/atau menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen/kepala badan teknis terkait. Secara prosedur dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Menteri terkait misalnya Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, atau Menteri ESDM mengusulkan secara tertulis kepada Menteri Keuangan untuk mengenakan bea keluar terhadap komoditi tertentu.
105
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
b. Berdasarkan usulan tersebut Menteri Keuangan menugaskan Kepala BKF selaku Ketua Tim Tarif untuk melakukan pembahasan dan analisis kelayakan komoditi tersebut dikenakan bea keluar serta besaran tarif bea keluar yang paling tepat. c. Pembahasan dilakukan oleh Tim Teknis yang melibatkan kementerian terkait setingkat eselon II. Hasil pembahasan ini diputuskan pada Rapat Pleno Tim Tarif yang melibatkan eselon I kementerian terkait. d. Hasil pembahasan rapat pleno tersebut yang diusulkan kepada Menteri Keuangan untuk dapat ditetapkan sebagai jenis barang yang dikenakan bea keluar melalui Peraturan Menteri Keuangan.
4. Apa dasar pertimbangan pemilihan bijih mineral sebagai obyek bea keluar ?mengapa hanya dibatasi terhadap bijih mineral saja ? Dalam rangka meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral di dalam negeri pemerintah memandang perlu mengambil kebijakan pembatasan ekspor bahan baku yang berlebihan dan mendorong peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Untuk itu pemerintah mengenakan bea keluar terhadap ekspor bijih mineral logam dengan pertimbangan bahwa kebijakan ini akan lebih efektif untuk menghambat ekspor komoditas tambang mineral di saat tren harga mineral makin meningkat. Adapun tujuan pengenaan bea keluar atas ekspor barang tambang mineral logam adalah sebagai berikut: a. b. c. d.
Dalam rangka pengamanan supply dalam negeri. Untuk mendukung hilirisasi pengolahan dan pemurnian barang tambang. Untuk menunjang pelaksanaan UU Minerba. Sebagai disinsentif atas ekspor barang tambang dan bukan untuk penerimaan pajak tambahan.
5. Bagaimana kronologis penetapan bijih mineral menjadi salah satu obyek bea keluar berdasarkan PMK Nomor 75/PMK.011/2012 a. Pada Rapat Koordinasi Menteri Bidang Perekonomian yangdihadiri oleh Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Negara BUMN, Menteri ESDM, Menko Perekonomian, Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan diputuskan pengenaan bea keluar atas komoditas bijih mineral. b. Menteri ESDM mengusulkan kepada Menteri Keuangan untuk mengenakan Bea Keluar terhadap bijih (raw material atau ore) mineral dengan tarif seragam sebesar 20%. c. Dilaksanakan beberapa kali rapat teknis tim tarif untuk membahas usulan Menteri ESDM.
106
LAMPIRAN
d. Menteri Keuangan menetapkan PMK No.75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar (Kronologis detil terlampir) 6. Apakah ada relevansinya antara kebijakan pengenaan bea keluar atas bijih mineral dengan kepentingan upaya peningkatan penerimaan fiskal negara? Kebijakan pengenaan bea keluar atas ekspor bijih (raw material/ore) mineral yang mulai berlaku pada tanggal 16 Mei 2012 merupakan salah satu dari paket kebijakan pengendalian ekspor bijih mineral yakni Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian dengan Peraturan Menteri ESDM No.7 tahun 2012 jo. No.11 tahun 2012, Kebijakan Tata Niaga Ekspor Produk Pertambangan dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29 Tahun 2012 jo. Nomor 52 Tahun 2012. Dengan demikian kebijakan bea keluar atas bijih mineral adalah sebagai disinsentif atas ekspor barang tambang dan bukan untuk penerimaan pajak tambahan.
107
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
Lampiran 2 Tabel Penerimaan Bea Keluar Per-Kantor Bea dan Cukai Periode Januari s.d. Mei 2013
No.
Nama Kantor
Jenis Mineral
PEB
Nilai Bea Keluar Rp (Juta)
1
KPPBC Ternate
Bijih Nikel
150
383.583
2 3 4 5 6 7
KPPBC Kendari KPPB Teluk Bayur KPPBC Sampit KPPBC Kota Baru KPPBC Pomalaa KPPB Tanjung Pinang
Nikel bijih besi Bauksit, Bijih besi Bijih Besi Bijih Nikel bijih bauksit
133 12 93 73 67 41
338.990 273.133 201.862 196.657 153.400 129.626
8 9 10 11 12 13
KPPBC Pontianak KPPBC Poso KPPBC Ketapang KPPBC Tanjung Perak KPPBC Tanjung Balai Karimun KPPBC Ujung Pandang
Bauksit, Zirconium Bijih Nikel Bauksit Bijih besi bauksit Marmer dan Travertine
51 77 42 117 15 174
114.670 106.558 95.268 54.486 52.029 41.917
14 15
KPPBC Balikpapan KPU Tanjung Priok
Bijih Nikel, Bijih Besi Zeolit, bijih timbal, Marmer, Kaolin, bijih besi, bijih seng,
3 261
39.024 32.960
16 17 18 19
KPPBC Banjarmasin KPPBC Dabo Singkep KPPBC Pangkalan Bun KPPBC Tanjung Emas
bijih Zirconium bauksit, bijih besi, bijih kobalt Bijih besi, zirconium Bijih Zirconium
20 37 24 4
25.214. 22.335 19.784 17.029
20 21 22 23 24 25 26 27
KPPBC Cilacap KPPBC Luwuk KPPBC Uleelheue KPPBC Sorong KPPBC Merak KPPBC Meulaboh KPPBC Bima KPPBC Belawan
Bijih Besi Bauksit bijih besi Bijih Besi Bijih besi Bijih Tembaga Zeolit
35 10 3 3 2 2 12 18
15.837 11.784 4.331 4.157 2.442 1.178 0 0
28 29
KPU Batam KPPBC Amamapare TOTAL
Garnet, zeolit Bijih Tembaga
4 26
0 0 2.338.257
108
RIWAYAT HIDUP PENELITI
RIWAYAT HIDUP PENELITI
Nama
: Surono
NIP
: 1972080772 1992 12 1001
Tempat, tanggal lahir
: Jakarta, 8 Juli 1972
Jabatan
: Widyaiswara Muda
Data Pendidikan 1. Prodip III Keuangan Spesialisasi Bea dan Cukai, lulus tahun 1994 2. Sarjana Manajemen Perekonomian Negara (S.Sos)STIA-Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, lulus tahun 2000 3. Magister Ilmu Manajemen (M.Si) Universitas Sumatera Utara, Medan, lulus tahun 2007
Riwayat Pekerjaan 1. Pemeriksa pada KPU Bea dan Cukai Batam, tahun 2007-2009 2. Kepala Seksi Keberatan dan Banding, Kanwil BC TBK, tahun 2009 3. Widyaiswara Muda pada Pusdiklat Bea dan Cukai, 2009 Riwayat Mengajar 1. Pengajar pada Pusdiklat Bea dan Cukai 2. Pengajar pada STAN Spesialisasi Bea dan Cukai 3. Pengajar pada Pusat Pelatihan Ekspor Impor (PPEI) Kemdag Jakarta
109
KAJIAN ATAS KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BIJIH (RAW MATERIAL ATAU ORE) MINERAL
RIWAYAT HIDUP PENELITI
Nama
: Mohamad Jafar
NIP
: 197303161992121001
Tempat, tanggal lahir
: Madiun, 16 Maret 1973
Jabatan
: Widyaiswara Muda
Data Pendidikan 1.
Prodip III Keuangan Spesialisasi Bea dan Cukai, lulus tahun 1994
2.
Sarjana Ekonomi (SE) Universitas Dr Soetomo Surabaya, lulus tahun 2001
3.
Magister Managemen (MM) Universitas Bhayangkara, lulus tahun 2009
Riwayat Pekerjaan 1.
Pemeriksa pada KPU Tanjung Priok 2007-2009
2.
Widyaiswara pada Pusdiklat Bea dan Cukai, 2009
Riwayat Mengajar 1.
Pengajar pada Pusdiklat Bea dan Cukai
2.
Pengajar pada STAN Spesialisasi Bea dan Cukai
3.
Pengajar pada Pusat Pelatihan Ekspor Impor (PPEI) Kemdag
110