IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH DARI PERSEWAAN FLOATING CRANE ACHMAD MIRZA DAN TITI MUSWATI PUTRANTI Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
[email protected] Penelitian ini membahas pemajakan atas floating crane ditinjau dari sisi Pajak Penghasilan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perbedaan penafsiran dan sudut pandang mengenai floating crane menyebabkan adanya permasalahan dalam pengenaan PPh-nya. Implementasi dinilai sudah berjalan dengan baik dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun disatu sisi terlihat tidak mengakomodir kebutuhan industri pelayaran khususnya pengusaha floating crane. Saran dari penelitian ini adalah agar pembuat kebijakan sebaiknya lebih mengkoordinasi dan melakukan komunikasi dengan baik antara pihak-pihak terkait agar kedepannya peraturan yang diterbitkan dapat lebih jelas, tepat dan mengakomodir industri dengan baik.
Kata kunci : Pemajakan floating crane, Pajak Penghasilan Implementation of Income Tax Policy on Income Received or Earned from Floating Crane Rent This study discusses the taxation of floating crane viewed from the perspective of the income tax. This study used a qualitative approach to the types of descriptive research. Results of the study concluded that the differences of interpretation and points of view regarding the floating crane causes the problems in the imposition of income tax. Implementation of the policy has been running fine and according to the regulations, but on the other side it does not accommodate the needs of cruise industry particularly floating crane company. Advice from the research is that policy-makers should better coordinate and communicate well between the parties related so the future regulation can be more clear, precise and accommodate the industry well.
Key words : Taxation of floating crane, income tax
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
1.
Pendahuluan Dinamika perekonomian yang diciptakan oleh globalisasi tidak hanya berdampak terhadap
perekonomian sebuah negara, namun terhadap perekonomian dunia internasional. Keterbukaan pasar yang ada mengakibatkan adanya integrasi antara keadaan ekonomi sosial dan ekonomi internasional. Negara menjadi pihak yang sangat diperlukan untuk menjamin adanya transaksi ekonomi yang wajar. Negara juga harus dapat memfasilitasi aktivitas ekonomi masyarakat agar dapat berlangsung dengan baik dan berkesinambungan. Perdagangan nasional turut menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Terlebih, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan panjang pantai sepanjang 81.290 juta kilometer serta luas lautan 5,8 juta kilometer persegi (Basri, 2007:23). Dengan keadaan alam seperti ini, perdagangan nasional membutuhkan angkutan laut sebagai transportasi yang efisien. Pengangkutan barang dalam volume besar dari satu daerah ke daerah lain dalam satu negara, lebih banyak menggunakan fasilitas angkutan laut. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan yang dikemukakan oleh Kosasih dan Soewodo (2007:7) berikut: a.
Unit capacity kapal jauh lebih besar untuk pengangkutan dalam jumlah besar sekaligus.
b.
Biaya bongkar muatnya lebih efisien dibandingkan melalui darat.
c.
Biaya angkut (freight) per unit lebih murah karena pengangkutannya dalam jumlah banyak. Angkutan laut menjadi sangat strategis karena berperan dalam menghubungkan satu pulau
dengan pulau lain sehingga aktivitas perekonomian dapat berjalan lancar. Selain itu, angkutan laut berperan dalam menstimulus pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal (transport promote the trade) dan sebagai sarana penunjang perekonomian bagi daerah berkembang (transport follow the trade). Angkutan laut dapat menggerakkan dinamika pembangunan melalui mobilitas manusia, barang, dan jasa serta mendukung pola distribusi nasional (Febiyansah,2010:67). Transportasi laut yang diusahakan oleh perusahaan Pelayaran atau Shipping Company sebagai bagian dari sistem transportasi nasional perlu dikembangkan untuk mewujudkan persatuan seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dilakukan demi meningkatkan pangsa angkutan laut yang wajar bagi perusahaan pelayaran yang efisien dan efektif (Karsafirman, 2001:.38). Adanya persaingan antar perusahaan pelayaran nasional dan asing dalam angkutan laut dalam dan luar negeri semakin mendesak para pelaku ekonomi serta pemerintah Indonesia untuk mengembangkan perusahaan pelayaran dalam negeri sehingga potensi Indonesia sebagai negara maritim dapat digunakan secara maksimal.
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 dalam pasal 1 ayat (1), pelayaran didefinisikan sebagai “satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamana, serta perlindungan di lingkungan maritim”. Secara umum kegiatan pelayaran merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pengangkutan barang dan angkutan untuk transportasi dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Namun dalam prosesnya pemanfaatan angkutan laut tidak hanya untuk kegiatan transportasi masyarakat dan pengangkutan barang. Berbagai jasa penyewaan kapal untuk proses produksi seperti penampungan minyak oleh kapal tanker ataupun penggunaan kapal sebagai sarana penunjang pembangunan di tengah laut atau off-shore maupun pemindahan barang atau yang bersifat pengangkatan antara satu kapal dengan kapal lain ataupun dari kapal ke anjungan yang menggunakan derek terapung atau derek yang berbentuk kapal yang biasa disebut floating crane atau crane barge. Pelayaran merupakan salah satu industri besar di Indonesia mengingat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang kegiatan distribusinya sering menggunakan jasa angkutan laut. Penghasilan dari usaha pelayaran dikenakan PPh Pasal 15, dengan tarif 1,2% atas pelayaran dalam negeri. Aturan pelaksana PPh 15 pelayaran dalam negeri diatur dalam KMK No. 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri dan SE-29/PJ.4/1996 tentang PPh terhadap Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri. Sudah hampir 16 tahun, kedua aturan pelaksana tersebut berlaku dan sampai sekarang belum diperbarui. Relevansi material kedua aturan pelaksana tersebut dipertanyakan mengingat Undang-Undang Pajak Penghasilan sudah mengalami perubahan sebanyak dua kali, semenjak KMK dan SE tersebut dikeluarkan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, penghasilan atas jasa pelayaran merupakan objek PPh Pasal 15. Hal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana yakni pada KMK No.416/KMK.04/1996 Pasal 2 yang menyebutkan bahwa: “Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dan bersifat final.” Mengacu pada peraturan tersebut, maka atas penghasilan dari jasa penyewaan floating crane oleh perusahaan pelayaran selaku penyedia jasa sewa kepada perusahaan penyewa merupakan termasuk objek PPh Pasal 15 dengan tarif 1,2% yang bersifat final. Namun dalam proses
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
pelaksanaannya sering kali terjadi perbedaan pendapat yang berujung kepada sengketa atas pengenaan Pajak Penghasilan terhadap jasa tersebut. Perbedaan pendapat tersebut terjadi antara pihak perusahaan penyedia jasa angkutan laut dengan perusahaan yang menyewa. Menurut perusahaan pelayaran, atas penghasilan dari jasa penyewaan floating crane seharusnya merupakan objek PPh Pasal 15 sebagaimana diatur dalam KMK No.416/KMK.04/1996. Namun menurut perusahaan penyewa, jasa floating crane tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 15 melainkan merupakan bagian dari jasa penyewaan dimana atas jasa sewa merupakan objek PPh Pasal 23. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka pertanyaan penelitian yang akan di elaborasi oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut bagaimana implementasi kebijakan dan kendala dalam pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari penyewaan floating crane oleh perusahaan pelayaran. 2.
Tinjauan Teoritis
2.1
Kebijakan Publik Lasswell mendefinisikan analisis kebijakan sebagai proses menghasilkan pengetahuan
tentang dan dalam proses kebijakan (Dunn, 2003 : 51). Dalam menganalisis kebijakan, metodemetode perumusan masalah mendahului dan mengambil prioritas-prioritas metode-metode pemecahan masalah. Menurut Dery dalam Dunn, masalah-masalah kebijakan mencakup kebutuhan, nilai-nilai atau kesempatan-kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam penelitian kebijakan, menelaah berbagai formulasi masalah merupakan kegiatan yang paling penting dari para analis kebijakan (Dunn, 2003 : 210-211). 2.2
Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III (1980) ada empat variable yang berpengaruh terhadap keberhasilan
atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi, dan disposisi. Keempat faktor tersebut bekerja secara simultan karena adanya hubungan satu sama lain atau keterkaitan antar variabel. 2.3
Kebijakan Fiskal Rochmat Soemitro menyempitkan arti kebijakan fiskal sebagai kebijakan pajak. Dalam
arti luasnya, beliau mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai suatu kebijakan dari pemerintah
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
yang diletakkan dalam perundang-undangan pajak, untuk mencapai suatu tujuan yang letaknya di luar bidang keuangan (2004: 160). 2.4
Konsep Penghasilan Rosdiana dan Tarigan (2005 : 143) menyatakan bahwa ada salah satu konsep yang paling
banyak mempengaruhi tax policy di berbagai Negara karena dianggap paling mencerminkan keadilan tapi sekaligus applicable, yaitu konsep yang dikemukakan oleh Schanz, Haig dan Simon (SHS Concept). 2.5
Asas Certainty Sebagaimana diungkapkan oleh Rosdiana dan Tarigan (2005 : 136 - 137), asas Certainty
(kepastian) menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat, sebagaimana pendapat berikut ini:“Tax laws and regulations must be comprehensible to the taxpayer, they must be unambiguous and certain, both to the taxpayer and to the tax administrator.” 3.
Metode Penelitian Pendekatan Metode penelitian menunjukkan bagaimana suatu penelitian dikerjakan, dengan
apa, dan bagaimana prosedurnya. Metode yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur, alat, dan desain penelitian yang digunakan (Nazir, 1985 : 51). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Neuman, (2007 : 110) menyatakan: "Qualitative researchers also reflect on ideas before data collection, but they develop many, if not most, of their concepts during data collection. The qualitative researcher reexamines and evaluates the data and concepts simultaneously and interactively. Researchers strat gathering data and creating ways to measure based what they ecounter. As they gather data, they reflect on the process and develop new ideas."
4.
Pembahasan dan Hasil Penelitian Pada bab ini peneliti akan memaparkan analisis hasil olahan peneliti terkait dengan dua
pokok permasalahan yang menjadi bahasan peneliti. Yang pertama adalah mengenai implementasi kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari penyewaan derek terapung atau floating crane vessel oleh perusahaan pelayaran. Selanjutnya dalam bab ini peneliti juga mengetahui apa saja kendala-kendala yang dihadapi dan
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
dampaknya dalam pengimplementasian kebijakan Pajak Penghasilan. Peneliti melakukan analisis dengan menggunakan perbandingan antara wawancara mendalam dengan berbagai narasumber terkait permasalahan tersebut dan disandingkan dengan teori-teori yang menjadi acuan serta peraturan perpajakanyang berlaku. 4.1
Implementasi Kebijakan Pengenaan PPh Atas Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Dari Penyewaan Floating Crane Menurut penjelasan PPh Pasal 15 tersebut dijelaskan bahwa untuk menghindari
kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu sebagaimana disebutkan sebelumnya, berdasarkan pertimbangan praktis , atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang usaha-usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto Wajib Pajak tertentu tersebut. Dalam penjelasan dari Pasal 15 tersebut dijelaskan bahwa perusahaan pelayaran merupakan salah satu jenis bidang usaha yang menggunakan Norma Penghitungan Khusus untuk penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha pelayaran tersebut yang diatur melalui peraturan atau ketetapan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Pelayaran sendiri merupakan suatu bidang usaha atau industri yang memiliki kontribusi yang luas serta menyangkut berbagai kepentingan di Indonesia. Sebagai sebuah Negara maritim, Indonesia terdiri dari berbagai pulau yang didalamnya meliputi hubungan perekonomian, pemerintahan, keamanan, dan perdagangan yang memerlukan sarana transportasi antar pulau untuk menunjang koordinasi yang baik antara berbagai sektor tersebut. Melihat potensi laut yang sangat besar, pemerintah tentunya merasa perlu untuk mendukung perkembangan saran transportasi kelautan Indonesia. Hal ini senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh Suwardi, Kepala Sub Bidang Evaluasi Kebijakan Pajak dan PNBP Badan Kebijakan Fiskal, perihal bagaimana kebijakan PPh pada industri pelayaran secara umum dalam wawancaranya dengan peneliti sebagai berikut: “Kalau dulu kan untuk pelayaran kan tidak terlalu disentuh untuk potensi pajaknya ya. Kita pemerintah itu masih menganggap bahwasanya pelayaran itu harus kita dukung karena nenek moyang kita itu orang pelaut, wilayah kita terdiri dari laut sehingga harus didukung. Nah salah satu dukungannya itu adalah dengan cara dikenakan PPh final. Kenapa? Karena hitung-hitungan cost di laut itu tidak bisa dihitung untuk seperti versi PPh badan, sehingga harus difinalkan. Seperti jasa konstruksi itu difinalkan karena ada beberapa item yang sulit atau tidak bisa dihitung secara undang-undang PPh. Pelayaran
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
pun sama, diasumsikan sama sehingga difinalkan. Dibuat final adalah salah satu kemudahan yang terdapat di pajak supaya bisa menghitung cost bisnisnya itu secara nyata. Kalau nanti di 25% atau di 30% kan tentu dia akan sulit menghitungnya. Itulah latar belakangnya dulu kenapa dikenakan PPh final. Dulu dua, pelayaran dan konstruksi.” (Suwardi, 11 Juni 2013). Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Budi Kurniawan, Staff Direktorat Jendral Pajak yang menyatakan bahwa alasan kemudahan penghitungan merupakan dasar pertimbangan dikenakannya PPh Final atas usaha jasa pelayaran. Berikut kutipan wawancara dengan Budi Kurniawan: “Pertama adalah untuk alasan kemudahan penghitungan ya, karena itu kan final. Kalau untuk ketentuannya sendiri sebagaimana ada di KMK.416 itu, ada syarat-syarat tertentu, perusahaan pelayaran dalam negeri dan melakukan pelayaran dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Seperti sempat saya singgung tadi, untuk memenuhi kebutuhan sarana transportasi, pemindahan orang atau barang sendiri ya, dalam hal laut didefinisikan sebagai antar pelabuhan.” (Budi Kurniawan, 21 Juni 2013). Menurut hasil wawancara antara peneliti dengan Rochmat, Supervisor Divisi Pajak KAP Kanaka Puradiredja, Suhartono selaku praktisi, terdapat persyaratan agar sebuah perusahaan dapat dikategorikan sebagi perusahaan pelayaran. Berikut kutipan wawancaranya: “Untuk izin dia harus memiliki SIUPAL, yakni Surat Izin Usaha Pelayaran. Kalau perusahaan pelayaran itu izinnya khusus. Di harus memiliki SIUPAL ini. Kalau tidak ya walaupun dia menyewakan ata memiliki jasa angkutan kapal selama dia tidak memiliki SIUPAL ya tidak dikategorikan perusahaan pelayaran, tidak bisa dikenakan final.” (Rochmat, 7 Juni 2013). Mengacu pada kutipan pendapat Rochmat tersebut, terdapat izin khusus yang diperlukan agar sebuah perusahaan jasa dapat dikatakan atau digolongkan sebagai sebuah shipping company. Sebuah perusahaan dapat digolongkan sebagai perusahaan pelayaran jika perusahaan tersebut memiliki Surat Izin Usaha Pelayaran (SIUPAL). SIUPAL tersebut berlaku sebagai legalitas agar sebuah unit usaha dapat digolongkan sebagi usaha yang bergerak di bidang pelayaran, dimana dengan kata lain termasuk dalam bidang usaha yang dapat dikenakan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana diatur dalam PPh Pasal 15 UU No 36 Tahun 2008 yang diatur lebih khusus dalam KMK.416/KMK.04/1996 yakni dengan tariff 1,2% final. Lebih lanjut Rochmat menjelaskan bahwa walaupun sebuah perusahaan bergerak di bidang jasa angkutan atau persewaan angkutan laut, selama perusahaan tersebut tidak memiliki SIUPAL maka ia tidak tergolong sebagai perusahaan pelayaran, dan atas kegiatan jasa yang diberikannya dikenakan PPh Pasal 23 atas jasa sewa. Dalam penjelasan lebih lanjut dalam wawancara terkait hal-hal
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
teknis, Rochmat menjelaskan mengenai bagaimana mekanisme penghitungan pajak pada perusahaan pelayaran. Berikut kutipan wawancaranya: “Mekanismenya sama seperti biasa, langsung dikenakan, tidak ada yang khusus. Jadi sebenarnya kan kalau untuk ini ya, khusus sewa, ada withholding tax kan, seperti PPh 23, jadi yang menyewa itu wajib memotong PPh nya begitu kan, kemudian perusahaan pelayarannya wajib melakukan pelaporan atas pemotongan yang dilakukan oleh penyewanya itu. Treatment nya hanya per bulan saja, sama seperti pajak biasa, bulanan. Karena dia WP Badan kan makanya pada akhir tahun dia membuat SPT Tahunan Badan, Cuma semuanya dikoreksi, karena semuanya kan sudah final, seperti itu.” (Rochmat, 7 Juni 2013). Dalam penggalan tersebut Rochmat menuturkan bahwa mekanisme atau tata cara untuk pengenaan pajak pada perusahaan pelayaran sama seperti jasa persewaan biasa, yaitu mengacu pada withholding tax. Artinya adalah penghitungan pajaknya sama seperti penghitungan PPh Masa pada Wajib Pajak lainnya secara umum yakni setiap kurun satu bulan atau satu masapajak. Perusahaan pelayaran selaku Wajib Pajak tetap akan melakukan proses pembukuan dan wajib melakukan pelaporan atas pajak terhutangnya. Sedangkan perusahaan penyewa jasa pelayaran wajib melakukan pemotongan atas jasa yang telah diberikan oleh perusahaan pelayaran yang kemudian perusahaan pelayaran wajib melaporkan adanya pemotongan tersebut. Dikarenakan perusahaan pelayaran tergolong sebagai WP Badan, maka pada akhir tahun pajak merka harus melakukan penghitungan PPh Badan sebagaimana mestinya. Namun perbedaannya adalah karena atas penghasilan yang diterima dari jasa pelayaran tersebut dikenakan Norma Penghitungan Khusus yang sifatnya final, maka dalam penghitungan PPh Badan perusahaan pelayaran dapat melakukan koreksi fiskal atas penghasilan-penghasilan yang telah difinalkan sebagaimana ditentukan dalam peraturan pelaksana. Menjawab pertanyaan peneliti mengenai definisi floating crane, menurut General Manager Corporate Tax Division PT Samudera Indonesia tersebut ada tiga alasan kenapa floating crane dapat digolongkan sebagai suatu kapal yang seharusnya dikenakan PPh Pasal 15 final atas penghasilan dari persewaannya. Berikut argumentasi beliau selaku pihak perusahaan pelayaran dan mewakili Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia atau Indonesian National Shipowners Association (INSA): “Dari sisi kita, INSA ya, floating crane itu perusahaan pelayaran. Kenapa karena pertama floating crane merupakan termasuk kategori kapal, kemudian perusahaan yang mengoperasikan mempunyai SIUPAL, yang ketiga semua ketentuan-ketentuan perusahaan pelayaran juga dipunyai oleh perusahaan floating crane. Jadi menurut kami atas penyewaannya dikenakan PPh 15.” (Indra Yuli, 14 Juni 2013).
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
Menurut hasil wawancara dengan Indra Yuli di atas, pihak Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia atau INSA beranggapan bahwa atas penghasilan dari usaha penyewaan floating crane seharusnya dapat digolongkan menjadi penghasilan dari usaha jasa pelayaran. Indra Yuli berargumen bahwa penggolongan seharusnya mengikuti asas legalitas, dengan kata lain mengikuti ketentuan perundangan dan peraturan pelaksana yang berlaku. Lebih lanjut Indra Yuli berpendapat bahwa sesuai dengan pengertian kapal menurut Kementerian Perhubungan Laut, sudah semestinya tidak ada perdebatan mengenai penggolongan floating crane. Selain termasuk dalam pengkategorian kapal,
floating crane disewakan oleh perusahaan pelayaran yang
memiliki izin SIUPAL. Pendapat dari Gunadi selaku akademisi dan ahli perpajakan
pun memiliki beberapa
kesamaan dengan pendapat beberapa praktisi di atas. Namun menurut Gunadi, untuk penggolongan apakah itu termasuk kapal atau tidak tentunya harus dilihat kembali dari perusahaan apa yang menyewakan floating crane tersebut. Berikut pendapat beliau: “Floating crane ini kan mungkin kita bedakan ya. Apakah perusahaan pelayaran kemudian diantara alat-alat transportasinya itu dia punya floating crane atau dia hanya floating crane sendiri. Kalau hanya floating crane sendiri tentu akan berbeda. Misalnya dia hanya oleh dock-nya sendiri saja, satu saja floating crane, karena itu kan untuk perusahaan pelayaran bukan untuk floating crane kan. Floating crane itu kan bukan alat transport kan. Ya makanya itu, itu kan hanya alat pemindahan barang-barang saja. Jadi kalo floating crane itu hanya merupakan salah satu daripada harta perusahaan pelayaran ya dia ikut Norma itu. Tapi kalau perusahaan itu hanya punya satu-satunya alat yaitu floating crane yang dia sewakan, dia kan bukan termasuk perusahaan pelayaran. Dia perusahaan hanya floating crane. Tentu dia tidak ikut pada KMK.416 itu tadi.” (Gunadi, 14 Juni 2013). Menurut Gunadi dalam pemaparan di atas, kondisi memainkan peranan penting dalam menentukan suatu hal, berbentuk apa dan bagaimana fungsinya. Ia berpendapat bahwa banyak faktor yang dipengaruhi oleh keadaan dan sudut pandang seseorang dalam mendeskripsikan sesuatu, tidak terkecuali mengenai pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane vessel. Perbedaan pemahaman merupakan sebuah masalah yang dapat timbul karena adanya miskomunikasi. Komunikasi antara pihak-pihak yang bersangkutan, yakni fiskus dan wajib pajak tentunya menjadi faktor penting yang mendukung sebuah peraturan dapat berjalan dengan baik. Bentuk dari komunikasi tersebut dapat memiliki berbagai macam bentuk, baik dari komunikasi antar pihak (fiskus dan wajib pajak) maupun komunikasi internal dari masing-masing pihak. Dalam pengimplementasian sebuah peraturan, terutama sebuah perubahan atau revisi kebijakan,
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
bentuk komunikasi yang terjadi adalah melalui sosialisasi. Terutama terkait perubahan pandangan seperti pada kasus floating crane tersebut. Dalam kondisi belum adanya peraturan yang mengatur secara jelas dan tegas, maka peneliti menilai sangat diperlukan adanya komunikasi yang baik tidak hanya kepada wajib pajak, namun juga di internal fiskus sendiri demi mencegah adanya perbedaan treatment antara implementor satu dengan lainnya. Menanggapi pertanyaan peneliti mengenai bagaimana arus atau tahapan komunikasi di internal DJP dan pihak Kanwil atau KPP, berikut tanggapan dari Budi Kurniawan selaku perwakilan pihak DJP: “Kalau untuk sosialisasi peraturan, setiap aturan akan diposting di Portal DJP yang merupakan situs internal yang hanya bisa diakses melalui jaringan DJP. Summary, naskah akademik, atau bahan lainnya yang terkait dengan aturan yang diterbitkan masuk ke dalam database perpajakan DJP yang bernama Taxbase Knowledge. Setelah diposting ke Portal tersebut, Kanwil dan KPP wajib untuk menindaklanjuti dan melakukan langkah-langkah sesuai dengan peraturan tersebut. Kemudian aturan akan di posting di website www.pajak.go.id.” (Budi Kurniawan, 21 Juni 2013). Lebih lanjut peneliti bertanya mengenai bagaimanakah birokrasi atau kewenangan pemajakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane secara khusus atau kegiatan pelayaran secara umum. Berikut tanggapan Budi Kurniawan: “Kalau yang dimaksud adalah pemajakan oleh DJP, semua prosedur pemungutan pajak dilakukan oleh KPP tempat WP terdaftar. Kanwil dan kantor pusat DJP hanya terlibat dalam hal-hal tertentu, seperti gugatan, keberatan, banding, dan atau prosedur lainnya yang melibatkan aparatur eksternal DJP, seperti pengadilan pajak contohnya.” (Budi Kurniawan, 21 Juni 2013). Menurut Budi, prosedur birokrasi dalam pemungutan Pajak Penghasilan dari persewaan oleh industri pelayaran dilakukan oleh otoritas perpajakan, dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak, tempat wajib pajak perusahaan pelayaran terdaftar. Setiap perusahaan tersebut biasanya diwakili atau dibawahi oleh Account Representative (AR) di KPP tempat wajib pajak tersebut terdaftar. Budi menambahkan bahwa terkait birokrasi atau kewenangan, Kanwil dan Kantor Pusat DJP hanya terlibat dalam hal-hal tertentu seperti gugatan, keberatan dan banding ataupun prosedur lainnya yang melibatkan aparatur eksternal Direktorat Jenderal Pajak, sebagai contohnya jika terdapat kasus seputar pajak atau terkait pengadilan pajak. Dari berbagai argumen yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat terlihat adanya pihak-pihak yang mendukung dikenakannya PPh 15 1,2% final atas penghasilan dari persewaan floating crane dan pihak yang menyatakan bahwa atas penyewaan derek terapung tersebut bukanlah
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
penyewaan
kapal
yang
bersifat
antar
pelabuhan
sebagaimana
diatur
didalam
KMK.416/KMK.04/1996 yang diatur lebih lanjut dalam SE-29/PJ.4/1996. Jika dilihat dari sisi peraturan, maka seharusnya atas penyewaan floating crane ini dikenakan PPh 23 karena tidak bergerak dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain, melainkan dari satu pelabuhan menuju ke sebuah site atau lokasi di tengah laut atau offshore. Hal ini sebagaimana diungkapkan pihak BKF, merupakan hal yang belum diakomodir dalam peraturan yang sedang berlaku. Terkait pendapat praktisi dan perwakilan dari Indonesian National Shipowners Association (INSA) yang mengatakan bahwa seharusnya dikenakan PPh Pasal 15 1,2% final dengan alasan perizinan dan penggolongan floating crane sebagai kapal, peneliti menilai bahwa jika dilihat dari sisi legalitas dan persyaratan memang floating crane tersebut secara sah dimiliki oleh perusahaan pelayaran. Namun dalam kegunaannya tidak sesuai dengan apa yang berhak mendapatkan fasilitas Norma Penghitungan Khusus, yakni kapal yang bergerak antar pelabuhan. Atas dasar asumsi tersebut dan didukung oleh pendapat dari akademisi yang menyatakan bahwa penggolongannya harus melihat dari fungsinya, peneliti menilai bahwa atas persewaan floating crane yang bersifat tunggal atau tidak didukung oleh kapal lain sebagai sarana transportasi, maka atas pemajakannya dikenakan PPh 23. Sedangkan jika floating crane tersebut disewakan oleh sebuah perusahaan pelayaran yang memiliki jasa angkutan antar pelabuhan dan mendukung kegiatan floating crane tersebut maka atas penghasilan dari penyewaannya dapat digolongkan kedalam Norma Penghitungan Khusus PPh Pasal 15. 4.2
Kendala Yang Dihadapi Dalam Pengimplementasian Kebijakan Pegenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Floating Crane Dalam sub-bab kedua ini peneliti ingin membahas mengenai kendala-kendala apa saja
yang dihadapi oleh berbagai pihak dalam pengimplementasian kebijakan PPh atas pendapatan atau penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa penyewaan floating crane oleh perusahaan pelayaran. Perbedaan pendapat antara berbagai pihak mengenai definisi floating crane ini dipandang sebagai alasan yang melatarbelakangi permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini. Pihak BKF selaku narasumber dari pihak pembuat kebijakan, dalam hal ini diwakili oleh Suwardi menyatakan bahwa: “Ya tadi Mas, antara mengangkut. Dulu kan nuansa pelayaran itu dari pulau ke pulau, belum terbayang ship to ship, ini kan ke rig dan sebagainya. Sifatnya bukan di sewa, karena kita di aturan PPh dan PPN kan ada sewa sendiri tuh. Nah ini kalau sewa seharusnya bisa
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
didefinisikan satu kapal untuk dia gunakan semua. Tapi kalau forwarding yang sedikit melunak, “Oh kita hanya satu space kok, hanya satu container kok”, itu masih bisa dikategorikan sebagai forwarding dan sesungguhnya itulah yang didukung. Dan kalau kaya gitu kan itu sulit untuk dihitung. Kalau yang ini lebih gampang menurut DJP.” (Suwardi, 11 Juni 2013). Menurut Suwardi hal mendasar yang menjadi dasar dari perdebatan adalah masalah penafsiran dari fungsi floating crane itu sendiri. Menurutnya pertimbangan pihak pembuat kebijakan pada awalnya adalah bahwa nuansa pelayaran di Indonesia itu hanya bersifat port-toport atau antar pulau/pelabuhan. Menurutnya pada saat itu, dikarenakan belum berkembangnya bisnis dan teknologi, pemerintah tidak memperkirakan akan ada kegiatan bisnis pelayaran yang sifatnya tidak antar pulau atau pelabuhan. Argumen Suwardi adalah berdasarkan peraturan pelaksana KMK.416/KMK.04/1996 jasa pelayaran masih merupakan jasa angkut antar pulau, bukan merupakan jasa pelayaran dari pelabuhan ke tengah laut atau sebaliknya. Selain itu ia beranggapan bahwa penyewaan floating crane bukanlah merupakan jasa angkut melainkan jasa angkat, yakni sebagai alat bantu pemindahan kontainer atau bongkar muat material di tengah laut. Menurutnya
jika
mengacu
pada
tujuan
awal
dirumuskan
dan
diberlakukannya
KMK.416/KMK.04/1996 yang juga didukung oleh SE-29/PJ.4/1996 tersebut sudah seharusnya tetap bertahan pada PPh 15. Namun ia kembali menegaskan, yang menjadi pertimbangan dari sisi DJP adalah perihal penegakan hukum mengenai penggolongan kegiatan penyewaan floating crane tersebut. Menurutnya jika memang menginginkan adanya perubahan, maka secara mekanisme dan legalitas juga harus dibedakan. Ia menyatakan bahwa secara administratif kedepannya jika ingin mengadakan revisi maka harus menerbitkan izin khusus agar tidak rancu dengan perusahaan pelayaran. Namun jika melihat kondisi sekarang ini, bagi perusahaan floating crane yang memiliki izin berupa SIUPAL maka secara otomatis masih merupakan perusahaan pelayaran yang dapat menikmati tariff 1,2% final. Menurut pendapat Rochmat selaku praktisi, terdapat banyak alasan dan dampak yang beragam yang melandasi timbulnya perbedaan pendapat mengenai pemajakan atas penghasilan derek terapung tersebut. Berikut adalah kutipan wawancara Rochmat terkait alasan dan dampak perbedaan pengenaan tariff jika dilihat dari sisi perusahaan penyedia jasa penyewaan floating crane: “Kalau dikenakan PPh 15 bagi perusahaan pelayaran itu pertama ratenya lebih kecil, yakni sebesar 1,2%, ya kan. Ratenya lebih kecil serta lebih simple dalam penghitungan
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
pajaknya, gitu. 1,2% dari pendapatan sudah selesai, begitu. Tidak lagi dia perlu menghitung atau melakukan rekonsiliasi fiskal dan lain-lain sebagainya. Sedangkan jika dia kena PPh 23, tariff pajaknya lebih besar 25%, walaupun dari laba kan. Tapi dia harus melakukan rekonsiliasi fiskal dan penghitungan kembali segala macam. Dan itu tentunya lebih rumit dibanding dengan jika dikenakan PPh 15 final.” (Rochmat, 7 Juni 2013). Menurut Rochmat alasan pertama mengapa perusahaan pelayaran akan memilih bertahan pada PPh Pasal 15 adalah karena rate pajaknya yang relatif rendah yaitu 1,2%. Selain dikarenakan kecilnya rate, alasan kedua adalah karena simplisitas. Dengan berlakunya PPh final, maka atas penghitungan PPh tidak lagi harus di koreksi atau dihitung kembali dalam penghitungan atau tidak perlu melakukan rekonsiliasi fiskal PPh Badan pada akhir tahun pajak. Kemudahan ini dinilai sangat membantu terutama dalam kegiatan usaha seperti industri pelayaran, dimana sangat banyak biaya-biaya yang tidak bisa dihitung secara akurat karena berbagai hal. Sebaliknya, jika dikenakan PPh 23 atau dengan kata lain digolongkan sebagai jasa penyewaan harta sebagaimana umunya, Rochmat berpendapat bahwa ini akan merugikan perusahaan pelayaran. Kerugian yang pertama adalah bahwa atas penghasilan yang telah dilakukan pemotongan PPh 23 oleh perusahaan penyewa tersebut harus dilaporkan dan dihitung kembali dalam penghitungan PPh Badan. Selain dinilai tidak sesuai peraturan, hal ini juga dianggap menambah proses pekerjaan penghitungan pajak, atau dengan kata lain menjadi lebih rumit. Kerugian kedua menurut Rochmat adalah lebih besarnya tariff. Jika ia menikmati PPh final, maka atas penghasilan tersebut nantinya akan dikoreksi atau tidak diperhitungkan dalam PPh Badan. Sebaliknya jika dikenakan PPh 23 maka dalam penghitungan PPh Badan atas pemotongan jasa sewa tetap akan diperhitungkan dan dikenakan tariff flat sebesar 25% nonfinal. Sedangkan jika ditelisik dari sisi perusahaan yang menyewa jasa tersebut, Rochmat menyampaikan bahwa salah satu alasan utamanya adalah untuk mencari aman. Karena berbagai ketidakpastian terkait pengenaan pajak atas floating crane, perusahaan penyewa jasa tidak mau mengambil resiko. Perusahaan yang menyewa ingin menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan yang dapat menimbulkan permasalahan ketika diadakan pemeriksaan pajak oleh pihak DJP. Mereka tidak ingin mengambil resiko dengan mengikuti tariff sebagaimana dianjurkan oleh perusahaan pelayaran yakni 1,2%. Hal ini dikarenakan mereka berasumsi jika nantinya diadakan pemeriksaan oleh pihak DJP terhadap perusahaan mereka, dan pemeriksa pajak beranggapan
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
bahwa seharusnya atas penyewaan floating crane tersebut digolongkan PPh 23, maka mereka akan mendapatkan sanksi dan dinyatakan kurang bayar atas selisih penyerahan pajaknya. Jika dipandang dari segi perbedaan pendapat, pihak implementor dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak yang diwakili oleh Budi Kurniawan menyatakan bahwa ia juga mengakui bahwa perbedaan penafsiran merupakan akar dari timbulnya perdebatan ini. Budi berpendapat bahwa penafsiran yang jelas dan mendetail perlu sebuah kemampuan dan kualifikasi khusus. Sedangkan menurutnya di internal DJP sendiri para pemeriksa tidaklah sangat fokus atau expert dalam satu bidang saja, melainkan dalam berbagai kegiatan usaha. Akibatnya adalah adanya kurang pemahaman mengenai suatu peraturan ataupun dapat menimbulkan kesalahan dalam penilaian dan penafsiran suatu objek pajak. Keterbatasan inilah yang menurutnya menjadi salah satu alasan mengapa dapat terjadi kemungkinan perbedaan treatment perpajakan antara satu KPP dengan KPP lainnya. Berikut pernyataan Budi Kurniawan: “Kalau hal itu mungkin tidak hanya monopoli untuk kasus ini saja. Karena kebetulan itu tadi, termasuk auditor kita, mereka memeriksa tidak hanya satu bisnis. Kecuali kalau mereka fokus, untuk pelayaran saja misalnya. Berhubung tenaga auditor kami juga tidak banyak, lapangan usaha yang perlu diperiksa juga bervariasi, akibatnya tidak banyak detail yang kami ketahui. Karenanya wajar saja jika antara KPP satu dengan KPP lain ada perbedaan dalam treatment pemajakannya. Perbedaan-perbedaan itu biasanya kita tengahi dengan SE antar internal DJP guna menyamakan persepsi. Dari hal-hal yang diutarakan auditor, maupun yang non-auditor, mereka mengacunya sama Jepang ya. Di sana itu auditor 60-70% punya kualifikasi sebagai auditor. Di sini kan paling hanya 20-30% saja. Jadi selain dari segi kuantitas juga dari segi kualitas, kedalaman mereka dari pemahaman akan masing-masing bisnis.” (Budi Kurniawan, 21 Juni 2013). Mengacu pernyataan Budi, ia beranggapan bahwa masalah tersebut tidaklah hanya untuk kasus pada bidang pelayaran saja, namun di semua lini usaha. Alasan keterbatasan Sumber Daya Manusia merupakan inti dari pernyataan Budi Kurniawan terkait kendala utama yang ada dilihat dari sisi sumber daya secara umum. Menurutnya dikarenakan kegiatan pemeriksaan yang bervariasi, pemahaman seorang auditor DJP akan sebuah masalah akan sangat sulit bersifat mendetil. Berdasarkan hasil penelitian mengenai bagaimana implementasi kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan pelayaran, dalam hal ini floating crane, maka peneliti menganalisis berbagai aspek ditinjau dari peraturan perundangan serta konsep-konsep dan teori yang menjadi acuan. Dalam penelitian yang mengacu pada teori Edward III ini, peneliti akan menjabarkan berdasarkan keempat variabel implementasi menurut Edward, yakni Sumber Daya, Birokrasi, Disposisi dan Komunikasi. Berikut tabel
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
matriks hasil penelitian mengenai implementasi kebijakan pengenaan PPh atas floating crane tersebut: Tabel 5.1 Matriks Penelitian Menurut Edward III Konsep
Variabel
Komunikasi
Sumber Daya
Edward III Birokrasi
Disposisi
Indikator Komunikasi berjalan atas dasar pro-aktif atau inisiatif. Secara internal sudah berlangsung dengan baik. Namun perlu diadakannya kembali komunikasi antara pihak fiskus dan wajib pajak/asosiasi (eksternal) untuk memastikan setiap pihak memahami peraturan dengan baik. Kendala dari sisi sumber daya dinilai dari segi peraturan yang kurang menjabarkan dengan jelas. Dinilai perlu adanya perubahan atau revisi untuk menghindari kesalahpahaman. Dari sisi SDM, fiskus mengakui bahwa auditor DJP tidak seluruhnya memahami suatu bidang bisnis secara khusus atau expert, dikarenakan keterbatasan SDM. Dari sisi birokrasi kewenangan pemajakan sepenuhnya dipegang oleh KPP tempat wajib pajak terdaftar dan diwakili oleh Account Representative yang bertugas membimbing dan mengawasi perusahaan pelayaran terkait. Kanwil dan Kantor Pusat DJP hanya memiliki kewenangan dalam menghadapi proses pengadilan pajak. Dengan fragmentasi yang tidak menyebar, implementasi dapat dilakukan dengan efektif. Sikap fiskus selaku implementor kebijakan adalah memiliki kesadaran yang baik dan mengikuti arahan atau petunjuk dari suatu kebijakan dengan respon yang baik. Hal ini ditunjukkan dari rentang komunikasi internal yang baik dan kemauan, yang juga diiringi keharusan, untuk memahami dan mengimplementasikan peraturan dengan benar.
Sumber: diolah oleh peneliti Dalam matriks tersebut dijelaskan bahwa aspek komunikasi internal antar DJP atau fiskus sudah berjalan dengan baik dan memiliki prosedur sosialisasi yang jelas. Memang mungkin tidak terdapat sosialisasi yang bersifat mengajak, namun dikaitkan dengan variabel disposisi, yakni
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
kemauan fiskus untuk meng-update peraturan terkait melalui Portal DJP serta mempelajari dan menerapkan suatu peraturan perpajakan, intensi yang positif untuk menegakkan peraturan perpajakan tersebut, serta respon yang baik atau tidak adanya penolakan akan peraturan tersebut juga turut menunjukkan hubungan komunikasi yang cukup baik. Lebih lanjut dari sisi birokrasi, terdapat fragmentasi atau penyebaran wewenang yang sifatnya sempit. Dalam hal ini wewenang pemajakan dipegang secara penuh oleh KPP tempat WP terdaftar, sedangkan Kanwil dan Kantor Pusat DJP hanya membantu terkait permasalahan yang berhubungan dengan pengadilan pajak, yakni seputar banding, keberatan, peninjauan kembali dan lainnya yang melibatkan auditor eksternal DJP. Dari sisi sumber daya terdapat beberapa kendala, yang walaupun tidak terlalu signifikan, namun peneliti menilai bahwa ini dapat menjadi sebuah penghambat. Selain dikarenakan peraturan pelaksana KMK.416/KMK.04/1996 yang sudah terlalu lama dan dinilai kurang bisa mengakomodir kegiatan bisnis, dari sisi SDM juga terdapat kendala yang telah dijelaskan sebelumnya yakni mengenai pemahaman fiskus yang tidak fokus atau expert dalam satu bidang tertentu saja. Dengan adanya keterbatasan tersebut peneliti melihat adanya potensi perbedaan treatment antara kasus yang sama karena perbedaan pemahaman. Hal ini bisa teratasi melalui komunikasi dan pendidikan pajak yang baik dikalangan internal DJP. Sedangkan jika dinilai dari sisi asas Certainty, yakni kepastian hukum yang mengacu pada kejelasan sebuah peraturan dimana setiap pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu implementasi kebijakan, baik dari pihak implementor maupun wajib pajak, diharuskan memiliki pandangan yang sama akan suatu peraturan, maka peneliti menilai implementasi peraturan pelaksana KMK.416/KMK.04/1996 yakni kebijakan pengenaan PPh atas kegiatan pelayaran oleh perusahaan pelayaran nasional masih kurang baik. Perbedaan pemahaman dinilai merupakan akibat dari kurangnya komunikasi dan pengklasifikasian secara khusus terhadap objek-objek tertentu seperti floating crane ini. Atas dasar tersebut peneliti menilai perlu adanya revisi kebijakan atau peraturan pendukung yang mengatur secara khusus mengenai objek-objek pajak yang menjadi perdebatan seperti floating crane tersebut. Selain itu komunikasi dan penyamaan pemahaman antara pihak fiskus dan pembuat kebijakan, dalam hal ini DJP dan BKF, beserta dengan pihak kementerian terkait yakni Kementerian Perhubungan serta Dirjen Perhubungan Laut dan asosiasi pelayaran nasional (INSA) perlu dilakukan dengan lebih intens dan saling mengakomodir agar proses implementasi kebijakan kedepannya dapat berjalan dengan lebih baik.
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
5.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka hasil penelitian yang dilakukan
peneliti adalah sebagai berikut: 1.
Pengimplementasian peraturan sudah cukup jelas dan sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam peraturan pelaksana KMK.416/KMK.04/1996. Floating crane tidak termasuk dalam usaha pelayaran sebagaimana dimaksud dalam KMK.416, sehingga atas penghasilannya tidak menikmati PPh 15 Final melainkan PPh 23 atas sewa harta. Namun masih terdapat ketidaksamaan dalam pemahaman mengenai peraturan tersebut. Hal inilah yang dapat menimbulkan permasalahan dalam pengimplementasian kebijakan pengenaan PPh atas penghasilan dari persewaan floating crane.
2.
Permasalahan yang timbul diakibatkan adanya berbagai kendala-kendala dari sisi sumber daya dan komunikasi. Selain itu peraturan yang telah terbit sejak lama dan kurang mengakomodir juga dipandang sebagai suatu alasan mengapa masih terdapat ketidaksamaan penafsiran antara Fiskus dan WP.
6.
Saran Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti mengajukan
saran sebagai berikut : 1.
Mempertegas pengimplementasian dengan menerbitkan peraturan pelaksana yang lebih mengakomodir, lebih spesifik dan lebih jelas sebagai pedoman dalam penegakan kebijakan kedepannya. Dengan demikian diharapkan dapat meminimalisir permasalahan yang timbul.
2.
Harus dilakukan koordinasi yang lebih baik antara pihak implementor yakni DJP dan Wajib Pajak serta pembuat kebijakan yakni BKF dalam proses pembuatan peraturan kedepannya. Dengan begitu maka diharapkan akan tercipta peraturan yang jelas dan disepakati oleh setiap pihak.
Kepustakaan Basri, Yuswar Zainul. (2007). Bunga Rampai Pembangunan Ekonomi Pesisir. Jakarta: Universitas Trisakti. Dunn, William N. (2000). Analisis Kebijakan Pajak : An Introduction Second Edition (Samodra Wibawa dkk, Penerjemah). Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013
Karsafirman, Tjejep. (2001). Sebuah Pengantar Ekonomi Transportasi Laut. Jakarta : Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti. Kosasih, Engkos dan Soewodo, Hananto. (2007). Manajemen Perusahaan Pelayaran Edisi Kedua. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Mansury. (1996). Perpajakan Lanjutan. Jakarta : Ind Hill Co. -------------. (2000). Kebijakan Perpajakan. Jakarta Penyebaran Pengetahuan Perpajakan.
:
Yayasan
Pengembangan
dan
Nazir, Moh. (2003). Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Neuman, W. Lawrence. (2007). Basics of Social Research : Qualitative and Quantitative Approaches 2nd ed,. New York : Pearson Education. -------------. (2000). Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approach (4th ed). USA : Allyn & Bacon. Nugroho, Riant. (2008). Public Policy. Jakarta: PT Gramedia.. Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi Slamet. (2012). Pengantar Ilmu Pajak : Kebijakan Dan Implementasi di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan, Teori, dan Aplikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo. Rosdiana, Haula. (2003). Pengantar Pengkajian Perpajakan.
Perpajakan.
Jakarta : Yayasan Pendidikan dan
Soemitro, Rochmat & Dewi Kania S. (2004). Asas dan Dasar Perpajakan I. Bandung: PT. Refika Aditama. Febiansyah, Panky Tri. (2010). Kebijakan Maritim dan Transformasi Industri Pelayaran Indonesia dalam Rangka Penerapan Asas Cabotage. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/181106780.pdf
Implementasi kebijakan..., Achmad Mirza, FISIP UI, 2013