Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh PT X dari Persewaan Floating Crane Ananda Randini dan Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si
Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Abstrak. Skripsi ini merupakan sebuah studi pada PT X mengenai pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane. Skripsi ini mengangkat tiga permasalahan yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane, compliance cost dari pemotongan PPh tersebut, dan kendala yang dihadapi PT X dalam pemotongan tersebut. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan teknik pengumpulan data melalui studi lapangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat dua model penyewaan floating crane pada PT X yang salah satunya mengakibatkan ketidakpastian dalam pemotongan PPh sehingga compliance cost yang timbul akan menjadi berbeda pula. Kebijakan pajak penghasilan yang berlaku sudah tidak relevan dengan keadaan usaha pelayaran pada masa kini.
Kata Kunci: Pemotongan; Pajak Penghasilan; Compliance cost; Floating crane; PT X
Abstract. This thesis discusses the withholding of income tax on income from floating crane rent. This thesis is raising three issues, which are the withholding income tax process in PT X, the compliance cost that PT X has to bear, and the difficulties arise from the process of withhold. The method used in this study is qualitative descriptive. The collections of data are through field studies and literature studies. The results showed that there are two models of floating crane rent in PT. X which caused the different tax treatment. The different tax treatment leads to different compliance cost. The prevailing income tax policy/regulations are not relevant with the term of shipping bussiness. Therefore, the income tax policy/regulations should be revised accordingly.
Key Words: Withholding Tax; Income Tax; Compliance cost; Floating crane; PT. X
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
PENDAHULUAN
Ketersediaan pasokan minyak dunia yang semakin terbatas membuat harga minyak bumi dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Dengan demikian, dunia membutuhkan sumber energi alternatif yang masih memiliki potensi besar. Batu bara merupakan salah satu sumber energi alternatif yang mendapat perhatian besar. Hal itu menjadikan industri batu bara saat ini termasuk industri yang sangat prospektif. Hal ini pula yang membuat penggunaan energi alternatif seperti batu bara semakin tinggi, membuat perusahaan batu bara menikmati pertumbuhan laba yang yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir terutama untuk yang berorientasi pada ekspor. Dengan tersebarnya daerah penghasil batu bara tersebut, para pengusaha batu bara membutuhkan suatu alat transportasi dalam jumlah besar untuk memindahkan batu bara dari tempat penggalian batu bara ke tempat produksi batu bara yang pada umumnya berada di lain wilayah. Alat transportasi yang digunakan biasanya kapal tongkang. Untuk memindahkan muatan batu bara dari barge (tongkang) ke mother vessel (kapal besar) normal disebut loading atau sebaliknya memindahkan dari kapal besar ke tongkang yang disebut unloading dibutuhkan semacam kapal atau alat mengapung yang memiliki daya besar. Kapal tersebut biasanya dikenal dengan floating crane. Floating crane merupakan salah satu bentuk kapal yang dipergunakan di atas laut. Sesuai dengan namanya kapal ini adalah crane yang mengapung yang untuk perpindahannya dari satu tempat ke tempat lainnya di bagi atas dua jenis yaitu: 1) Bergerak sendiri dalam artian menggunakan mesin sendiri untuk bergerak yang biasa di kenal dengan floating crane self propeller (FCSP); dan 2) Bergerak dengan bantuan tug boat atau ditarik oleh kapal lain (towing). Permasalahan dalam pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima dari persewaan floating crane bermula dari perbedaan pendapat yang timbul antara Direktorat Jenderal Pajak dengan perusahaan pelayaran dalam negeri yang bergerak dalam usaha persewaan floating crane mengenai arti floating crane itu sendiri (Wawancara dengan Indra Yuli, pada tanggal 12 Desember 2012). Direktorat Jenderal Pajak beranggapan bahwa floating crane bukan merupakan jenis kapal, hanya sebatas alat yang digunakan untuk memindahkan/mengangkut muatan dari kapal induk (mother vessel) ke kapal tongkang dan sebaliknya. Alasan tersebut diperkuat dengan alasan bahwa kebanyakan dari floating crane tidak memiliki mesin sendiri untuk mengoperasikan dirinya sendiri sehingga tidak dapat disebut sebagai kapal. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak menganggap atas
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
penghasilan yang diterima perusahaan pelayaran dalam negeri atas persewaan floating crane tersebut seharusnya dipotong pajak penghasilan pasal 23, bukan pajak penghasilan pasal 15. Lain halnya dengan pendapat perusahaan pelayaran dalam negeri yang tergabung dalam suatu asosiasi bernama Indonesian National Shipowners’ Association (INSA). Perusahaan pelayaran dalam negeri menganggap bahwa floating crane merupakan salah satu jenis kapal yang sudah sering digunakan di dalam dunia pelayaran dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut mengakibatkan munculnya ketidakpastian dalam pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane. Ketidakpastian pelakuan perpajakan bagi floating crane juga dialami oleh PT X, salah satu perusahaan pelayaran yang tergabung dalam INSA. PT X merupakan perusahaan pelayaran dalam negeri yang telah beroperasi sejak tahun 1975. PT X juga merupakan salah satu perusahan pelayaran dalam negeri yang memiliki kredibilitas diantara para pesaingnya yang dibuktikan dengan penawaran sahamnya ke publik (Initial Public Offering). PT X dipilih menjadi subjek penelitian ini karena berdasarkan data yang diperoleh dari INSA, PT X merupakan salah satu perusahaan pelayaran yang memiliki jumlah floating crane terbanyak di provinsi DKI Jakarta dan dapat diajak bekerja sama dalam penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin meneliti mengenai pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane, serta menganalisis compliance cost yang timbul dalam pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane. Selain itu peneliti ingin menganalisis kendala dalam pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane.
TINJAUAN TEORITIS
Penelitian ini dilakukan dengan mendasarkan kepada dua teori secara garis besarnya. Teori pertama adalah compliance cost. Dalam pemungutan pajak, juga harus diperhatikan asas efisiensi. Asas efisiensi dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi fiskus dan sisi wajib pajak. Dari sisi fiskus pemungutan pajak dapat dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh kantor pajak lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi wajib pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya bisa seminimal mungkin. Dengan kata lain pemungutan pajak dikatakan efisien jika cost of compliance-nya rendah. (Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, 2005, hal. 136-140). Compliance cost tidak selalu biaya
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
yang bersifat tangible - dapat dinilai dengan uang, tetapi juga dengan biaya yang bersifat intangible. Dari sisi wajib pajak, biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) Direct Money Cost, yaitu biaya yang atau beban yang dapat diukur dengan nilai uang yang arus dikeluarkan/ditanggung oleh wajib pajak berkaitan dengan proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan. 2) Time Cost yaitu biaya berupa waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajibankewajibandan hak-hak perpajakan. 3) Psychic Cost yaitu biaya psikologis/psikis yang terjadi dalam proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan, misalnya stres yang terjadi saat pemeriksaan pajak, saat pengajuan keberatan dan banding.
Teori kedua yang penulis gunakan adalah teori global dan schedular taxation. Ada dua model struktur pajak penghasilan orang pribadi, yaitu schedular dan global. Schedular taxation adalah suatu model pemajakan dimana pajak yang terpisah diterapkan pada kategori penghasilan yang berbeda, sedangkan global taxation adalah suatu model pemajakan di mana pajak dikenakan terhadap seluruh penghasilan, apapun sifatnya (Lee dan Krever: 1998, hal. 495-496). Pada sistem schedular, penghasilan kotor dan biaya yang dapat dikurangkan ditentukan secara terpisah untuk tiap jenis penghasilan; dalam beberapa kasus, biaya yang dapat dikurangkan terbatas atau bahkan tidak boleh sama sekali. Tarif pajak berbeda untuk tiap kategori penghasilan. Prosedur yang berbeda dapat diterapkan pada masing-masing kategori penghasilan, baik dalam hal pelaporan, penilaian, dan pembayaran. Beberapa jenis penghasilan hanya dapat dipajaki melalui pemotongan, sedangkan yang lain melalui pengisian laporan pajak. Mansury (2002, hal. 232) menggunakan istilah perlakuan khusus untuk mendefinisikan pengenaan pajak dengan tarif khusus yang berbeda dengan tarif umum dan penerapan tarif khusus itu bersifat final, yaitu jenis penghasilan khusus itu tidak digabungkan dengan jenisjenis penghasilan lain yang dikenakan tarif umum yang progresif. Dalam sistem perpajakan Indonesia, perlakuan khusus ini berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Global taxation merupakan sistem pengenaan pajak atas penghasilan dengan cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan ekonomis di mana pun didapat, di Indonesia dan di luar negeri. Hyman dalam Mansury menyatakan bahwa global taxation adalah sistem pajak atas penghasilan yang paling adil yakni dengan memakai konsep-konsep sebagai sarana untuk mencapai keadilan, baik berupa keadilan horizontal maupun keadilan
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
vertikal (Mansury, 1996, hal.68). Pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lain untuk kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya (Rosdiana dan Tarigan: 2005, hal 269). Mansury (2002, hal 234-242) mengidentifikasi tiga puluh jenis penghasilan yang dikenakan pajak dengan tarif khusus ini, sedangkan pada sistem global, tidak ada penyesuaian (matching) antara jenis penghasilan tertentu dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan tersebut. Seluruh penghasilan dan biaya diperhitungkan menjadi satu untuk menghitung penghasilan kena pajak. Jadi, dalam sistem global, tidak ada pengkategorian penghasilan (Burns dan Krever: 1998, hal 496-497). Mansury (2002, hal 128) mendefinisikan global taxation sebagai sistem pengenaan pajak atas penghasilan dengan cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan ekonomis di manapun didapat, lalu atas seluruh jumlah penghasilan tersebut diterapkan suatu struktur tarif progresif yang berlaku atas semua Wajib Pajak. Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum dan tarif khusus terdapat perbedaan dasar pemajakan (Mansury: 2002, 233). Tax base untuk struktur tarif umum adalah bertingkat, yaitu untuk lapisan kena pajak dan prosentase tarif pajak yang berbeda, sedangkan tax base untuk tarif khusus pada umumnya tidak bertingkat-tingkat, jadi berapapun Penghasilan Kena Pajak, maka tarif yang berlaku adalah sama. Pada umumnya tax base untuk tarif khusus adalah penerimaan bruto atau harga penjualan bruto. Pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final disebut dengan schedular taxation. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya, memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, serta tidak menambah beban administrasi
baik
bagi
Wajib
Pajak
maupun
Direktorat
Jenderal
(Rosdiana&Irianto,2012,195).
Tabel Perbedaan 1.1 Global Taxation dengan Schedular Taxation
Global Taxation Equals treatment for the equals. Semua penghasilan digabungkan dengan tidak membeda-bedakan asal dan sumber/jenis penghasilan.
Schedular Taxation Perlakuan pajak (tax treatment) dibeda-bedakan berdasarkan sumber/jenis penghasilan. Artinya suatu jenis penghasilan mempunyai perlakuan pajak yang berbeda dengan penghasilan yang lain. Hanya ada satu struktur tarif yang Tarif berbeda-beda, tergantung
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
Pajak
diperlakukan terhadap total penghasilan tersebut (di Indonesia: tarif Pajak Penghasilan Pasal 17). Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, dasar pengenaannya adalah Net Income, karena itu global gross income dikurangkan terlebih dahulu dengan tax reliefs. Umumnya digunakan sistem self assessment atau kombinasi antara self assessment dengan withholding tax. Pajak yang sudah dipotong oleh pihak ketiga (withholding) dapat dijadikan sebagai kredit pajak dalam menghitung pajak yang terutang pada akhir tahun pajak. Sumber: Rosdiana & Irianto,2010,195
sumber/jenis penghasilannya.
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, dasar pengenaannya adalah Gross Income atau Deemed Profit/Deemed taxable Income, karena itu tidak ada taxreliefs. Umumnya digunakan sistem withholding tax. Pajak yang sudah dipotong oleh pihak ketiga tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak dalam menghitung pajak yang terutang pada akhir tahun pajak.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Menurut Creswell, di dalam penelitian kualitatif, permasalahan penelitian perlu dieksplorasi karena ketersediaan informasi yang terbatas tentang topik yang diangkat di dalam suatu penelitian. Menurutnya, sebagian besar variabelnya tidak diketahui dan peneliti ingin memusatkan pada konteks yang dapat membentuk pemahaman dari fenomena yang diteliti (Creswell, 1994: 1-2). Sementara itu, jenis penelitian dapat dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dimensi waktu, dan teknik pengumpulan data. Berdasarkan tujuan, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Berdasarkan manfaat, penelitian ini merupakan penelitian murni. Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini termasuk penelitian cross-sectional. Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif. Narasumber atau informan merupakan sumber informasi di mana peneliti akan memperoleh data penelitian berdasarkan informasi yang diberikan informan dalam wawancara mendalam. Pada penelitian ini, terdapat lima narasumber yang diwawancarai oleh peneliti: 1) Dewi, Pelaksana Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh Orang Pribadi, Direktorat Peraturan Perpajakan II,
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
2) Indra Yuli, Ketua Bidang Pajak dan Pabean Indonesia National Shipowners’ Association (INSA), 3) Hendri, Manajer Pajak Perusahaan Pelayaran PT X, 4) Prof. Dr. Gunadi Ak, M. Sc, Akademisi Perpajakan, dan 5) Dody Triwahyudi, M. Str, Kasubdit Pelayaran Dalam Negeri Kementerian Perhubungan Repulik Indonesia.
HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini, terdapat tiga permasalahan yang telah dirumuskan peneliti. Permasalahan pertama adalah pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane. Melalui proses analisis, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat dua jenis pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane, yaitu pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane model I (penyewaan floating crane sendiri) yang menimbulkan ketidakpastian dalam pemotongan Pajak Penghasilan-nya, karena masih ada yang dipotong dengan Pajak Penghasilan Final Pasal 15 sebesar 1,2 % dan masih ada juga yang memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 yang bersifat tidak final sebesar 2 % dan pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane model II (penyewaan floating crane yang tidak dapat dipisahkan dengan kapal tunda) tidak menimbulkan ketidakpastian dalam peotongannya karena pasti akan dipotong Pajak Penghasilan Final Pasal 15 sebesar 1,2 %. Kemudian, permasalahan kedua adalah compliance cost yang timbul dalam pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane. Compliance cost yang timbul akibat pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan dari persewaan floating crane yang bersifat tidak final (schedular tax) lebih besar daripada compliance cost yang timbul akibat pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan dari persewaan floating crane yang bersifat tidak final (global tax). Terakhir, permasalahan ketiga adalah kendala yang dihadapi PT X dalam pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane. Kendala yang dihadapi PT X dalam pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane adalah kebijakan pajak penghasilan yang berlaku sudah tidak relevan dengan keadaan usaha pelayaran pada masa kini.
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
PEMBAHASAN
Model penyewaan I merupakan model penyewaan yang diberikan oleh PT X dimana floating crane disewakan sendiri, tidak menjadi suatu kesatuan dengan kapal tunda. Model ini biasa digunakan oleh perusahaan tambang yang memiliki mother vessel, namun tidak memiliki floating crane. Mother vessel yang tidak memiliki crane biasanya mother vessel dengan kapasitas lebih dari 50.000 MT (meter ton). Hal ini sejalan dengan pendapat Kasubdit Pelayaran Dalam Negeri Kementrian Perhubungan Republik Indonesia. “biasanya sih kapal-kapal yang muatannya kecil sudah punya crane sendiri ya mbak. Nah, kalo yang muatannya besar itu baru yang harus sewa crane lagi.”(Wawancara dengan Dody Triwahyudi M.STr, 14 Juni 2013).
Floating crane yang disewakan oleh PT X ini adalah tipe floating crane FCSP, yaitu floating crane yang dapat bergerak sendiri dalam artian menggunakan mesin sendiri untuk bergerak, tanpa harus ditarik dengan kapal tunda. Namun, meskipun FSCP ini dapat bergerak sendiri, tetap dibutuhkan awak untuk mengoperasikannya. Oleh karena itu, sewa FSCP ini tetap digolongkan sebagai sewa mannedbasis, dimana sesuai dengan peraturan perpajakan sewa mannedbasis dikenakan Pajak Penghasilan Final Pasal 15 tentang jasa pelayaran. PT X tetap mencatat penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane sebagai penghasilan dari persewaan kapal pada umumnya. Namun dengan alasan confidentiality, PT X tidak dapat memperlihatkan contoh nyata yang telah tercatat dalam pembukuannya karena pada saat dilakukan pencatatan, nama customer juga diikutsertakan dalam pencatatan tersebut. “Kalo catet sih kita cenderung sama ya, sama-sama penghasilan sewa kapal. Nantinya akan dibedain per jenis kapalnya, kalo sewa kapal kargo ya sewa kapal kargo tulisnya, kalo sewa kapal crane ya sewa kapal crane. Mohon maaf nih sebelumnya kita ngga bisa kasih liat contoh cara catetnya, soalnya confidential, ada nama customer kita di situ. Ya jadi tolong dimaklumin aja ya.” (Wawancara dengan Hendri, pada tanggal 12 Juni 2013)
Mengenai pemotongan penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane, terdapat ketidakpastian dalam pemotongannya. Menurut PT X sendiri penghasilan tersebut seharusnya dipotong Pajak Penghasilan Final.
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
“Kalo menurut kita perusahaan pelayaran sih ya harusnya dipotong Pajak Penghasilan final semua Mbak, kita juga udah kasih tau ke customernya kalo nanti potongnya final aja, tapi ya gara-gara ada dispute ini lah jadi beda-beda motongnya. “(Wawancara dengan Hendri, pada tanggal 12 Juni 2013)
Prof. Gunadi yang merupakan salah satu akademisi di bidang perpajakan dan juga seorang dosen pajak di Universitas Indonesia mengemukakan bahwa penghasilan yang diterima perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane memang seharusnya dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23. Hal tersebut dikarenakan fungsi floating crane hanya sebatas alat untuk memindahkan muatan dari satu kapal ke kapal lainnya. Dalam hal yang menyewa adalah perusahaan tambang batu bara, fungsi floating crane adalah alat untuk memindahkan batu bara yang terdapat di dalam kapal tongkang ke kapal induk (mother vessel). ”Sebetulnya kan itu bukan kapal, alat benda angkutan dari satu kapal ke kapal lain. Nah dia kan ga bisa berdiri sendiri, kan kalo kapal bisa. Tanpa kapal dia ga bisa berfungsi apa-apa gitu. fungsinya kan juga beda, kalo kapal itu untuk ngangkut nah itu bukan untuk ngangkut, untuk memindahkan aja, kayak semacam kuli gitu. Kuli sama truk kan beda tuh kan.”(Wawancara dengan Prof. Gunadi, 14 Mei 2013)
Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara peneliti dengan Staf Pelaksana Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. “Iya Mbak, jadi yang diliat sih sebenernya lebih ke fungsi dari alat itu sendiri. Kan kalo floating crane fungsinya cuma memindahkan kan, ngga ngangkut-ngangkut orang atau barang.” (Wawancara dengan Dewi, pada tanggal 17 April 2013)
Selain itu, Dewi juga menegaskan bahwa floating crane tidak memenuhi syarat kumulatif yang terdapat di dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, yaitu tidak melakukan pengangkutan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. “Kan dari peraturannya sudah jelas, di KMK 416 itu persewaan kapal dikenakan Pajak Penghasilan 15 itu yang memenuhi syarat-syarat yang ada disitu, seperti dilakukan oleh perusahaan dalam negeri, lalu melakukan pelayaran dari satu pelabuhan ke
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
pelabuhan lainnya. Kalo salah satu dari syarat itu ngga terpenuhi ya kita anggap itu persewaan harta mbak.” (Wawancara dengan Dewi, pada tanggal 17 April 2013)
Namun, meskipun sudah banyak pihak yang mengakui bahwa penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan crane tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan 23 atau Pajak Penghasilan non Final, perusahaan pelayaran dalam negeri masih merasa keberatan dengan perlakuan pajak tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Manajer Pajak PT X. “ini peraturan tahun 1996. Tahun 1996 dengan sekarang, secara bisnis itu sudah berubah banyak sekali. Tahun 1996 industri migas belum berkembang sepesat sekarang. Kapal juga banyak jenisnya. Dulu tidak ada yang namanya floating crane, floating storage.” (Wawancara dengan Hendri, pada tanggal 12 Juni 2013).
Tidak hanya Manajer Pajak PT.X saja yang merasa keberatan, perusahaan pelayaran lainnya yang juga memiliki usaha persewaan floating crane sebagai salah satu jenis usahanya juga merasa keberatan dengan perlakuan pajak atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Indra Yuli, Kepala Bagian Pajak dan Kepabeanan Indonesia National Shipowner’s Association (INSA) pada saat diwawancarai oleh peneliti. “Nah kalo dari anggota-anggota kita masih banyak yang keberatan atas hal itu. Kalo anggota kami kan pengennya masih tetep kena Pajak Penghasilan Final Mbak. Soalnya kan hampir semua anggota kami perusahaan pelayaran ya Mbak, jadi ya mereka pengennya disamaain aja semua pajaknya.” (Wawancara dengan Indra Yuli, pada tanggal 3 Juni 2013)
INSA merupakan organisasi perusahaan pelayaran dalam negeri di Indonesia yang diakui keberadaannya oleh pemerintah. INSA didirikan pada tanggal 6 September 1967 dan sejak saat itu organisasi ini berdiri dan tumbuh menjadi wadah pemersatu bagi para pelaku usaha di sektor pelayaran baik penumpang, barang, minyak, gas, hingga offshore (lepas pantai). PT X yang juga merupakan salah satu anggota INSA, sama seperti anggota-anggota INSA lainnya, telah mempercayakan berbagai urusan seperti pajak kepada INSA. Hal ini lebih baik mengingat posisi organisasi yang merupakan suatu bentuk asosiasi lebih kuat di mata orang banyak.
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
INSA telah melakukan berbagai cara untuk dapat membantu para anggotanya yang masih keberatan dengan masalah ketidakpastian pemotongan
pajak penghasilan terkait
floating crane. Salah satu cara yang sudah ditempuh INSA adalah mengajukan permohonan penegasan kepada Direktorat Peraturan Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan mengenai perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane. Alasan yang diajukan INSA adalah sebagai berikut : 1) Floating crane memiliki bendera kapal dan harus dioperasikan oleh perusahaan pelayaran; 2) Floating crane merupakan bagian dari sistem pengangkutan, misalnya dalam pengangkutan batu bara pada saat dilakukannya proses loading dari kapal tongkang ke kapal induk (mother vessel); 3) Kegiatan pada poin dua merupakan kegiatan pengangkutan dari pelabuhan ke suatu tempat; 4) Perhitungan Pajak Penghasilan lebih mudah karena tidak harus menyelenggarakan pembukuan (lower cost compliance) karena Pajak Penghasilan atas jasa pelayaran bersifat final. (Bersumber dari surat permohonan penegasan INSA yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pajak). Cara lain yang sedang ditempuh INSA adalah dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Permohonan tersebut merupakan tindakan yang diambil atas jawaban tidak memuaskan yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pajak mengenai perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan dalam negeri dari persewaan floating crane. Untuk itu, INSA perlu mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Perhubungan yang menyatakan bahwa floating crane merupakan salah satu jenis kapal. Berikut proses-proses yang telah dilakukan INSA dalam usahanya membuat perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane sama dengan persewaan kapal lainnya.
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
• Mengajukan surat permohonan penegasan atas pemotongan pajak penghasilan atas persewaan floating crane • DITOLAK
Kementrian Perhubungan • Meminta rekomendasi yang menyatakan bahwa floating crane merupakan salah satu jenis kapal
Direktorat Jenderal Pajak
• Mengajukan permohonan peninjauan kembali atas kebijakan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane
Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan
Gambar Alur Proses yang Dilakukan INSA terkait Kebijakan Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri dari Persewaan Floating crane Sumber : telah diolah lebih lanjut oleh Peneliti Selanjutnya, model penyewaan yang dilakukan oleh PT X selain model penyewaan I adalan model penyewaan II, yaitu merupakan model penyewaan yang diberikan oleh PT X dimana floating crane yang disewakan merupakan jenis floating crane yang tidak bisa bergerak sendiri, melainkan harus ditarik dengan kapal tunda. Model penyewaan II dianggap model yang paling ideal untuk meminimalisir pemotongan pajak penghasilan dari persewaan floating crane. Hal ini dianggap model yang paling ideal karena persewaan floating crane merupakan suatu kesatuan dengan penyewaan kapal tunda sehingga tidak terdapat permasalahan dalam pemotongannya pajaknya. “kalo sewa jenis ini sih tidak ada masalah ya Mbak, karena kan ini juga ada sewa tug boat-nya, jadi penghasilan yang kita terima dipotongnya Pajak Penghasilan final sama customernya” (Wawancara dengan Hendri, Manajer PT X, pada tanggal 12 Juni 2013)
Alasan yang sama juga dikemukakan oleh Kepala Bagian Pajak dan Kepabeanan dan Prof. Gunadi. “Ya kalo dia punya sendiri, misalnya sudah all ini disitu pada saat menyewakan dengan alat angkut yang lain, nah itu baru kena Pajak Penghasilan 15. Kalo hanya menyewakan itu saja, ya itu hanya menyewakan alat definisi itu harus jelas fungsinya. Kalo dia sendiri ya dia lebih kepada fungsinya itu, tapi kalo dia bergabung untuk kapalnya itu, ya dia bergabung dalam kapalnya itu termasuk kapalnya dia itu kan. Kan
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
masa dipreteli satu-satu, kan ngga.“(Wawancara dengan Prof. Gunadi, pada tanggal 14 Mei 2013) “Mereka kan biasanya kalo nyewain floating crane ngga pernah sendirian ya, pasti customernya ada sewa kapal lain juga. Nah, kontrak untuk sewa floating crane sama buat sewa kapal lainnya ya digabung aja. Kalo gitu kan udah pasti langsung dipotong final Mbak” (Wawancara dengan Indra Yuli, pada tanggal 3 Juni 2013)
Berikut contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 15 yang terutang atas persewaan floating crane dengan model penyewaan ini berdasarkan asumsi Manajer Pajak PT X. Tabel Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 15 atas Penghasilan yang diterima PT X dari Persewaan Floating crane
Keterangan Pendapatan sewa floating crane pada tahun 2011 Pajak Penghasilan Pasal 15 (1,2 % dari peredaran bruto) Sumber: diolah oleh Penulis
Jumlah Rp 34.568.890.200 Rp 414.826.682
Manajer PT X mengestimasi bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 34.568.890.200. Sesuai dengan KMK Nomor 416/KMK.04/1996, Pajak Penghasilan final yang terutang dari transaksi sewa floating crane tersebut sebesar 1,2 % dari penghasilan bruto yang dibayarkan oleh customer, yaitu sebesar Rp 414.826.682. Wajib Pajak yang harus memotong Pajak Penghasilan tersebut adalah pihak yang menyewa floating crane yaitu perusahaan tambang batu bara. Perusahaan tambang batu bara harus memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan (dalam hal ini PT X, dengan menggunakan bentuk sebagaimana dimaksud pada Lampiran I KMK Nomor 416/KMK.04/1996. Perusahaan tambang batu bara juga harus menyetorkan Pajak Penghasilan yang terutang (yang telah dipotong) ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Selanjutnya perusahaan tambang batu bara juga harus melaporkan pemotongan dan penyetoran yang telah dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
Lampiran II KMK Nomor 416/KMK.04/1996, dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan Lembar ke-2 Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final). Ketidakpastian pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane tidak hanya menimbulkan beban pajak (tangible) yang lebih besar bagi PT, namun juga dapat menimbulkan beban lainnya seperti beban psikologis (intangimble). Beban pajak merupakan beban tangible yang disebut Direct Money Cost. Beban ini memiliki dampak langsung terhadap keuangan perusahaan. Beban pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane jika dipotong menggunakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut. Tabel Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 23 atas Penghasilan yang diterima PT X dari Persewaan Floating crane Keterangan Pendapatan sewa floating crane pada tahun 2011 Pajak Penghasilan Pasal 23 (2 % dari penghasilan bruto) Sumber: diolah oleh Penulis
Jumlah Rp 34.568.890.200 Rp 691.377.804
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Atas pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan atas persewaan floating cranee, maka customer PT X harus menerbitkan Bukti Potong kepada PT X. Perbedaan nilai pemotongan Pajak Penghasilan atas persewaan floating crane dapat dilihat dalam perhitungan berikut. Tabel Perbandingan Perhitungan PPh 23 dan PPh Pasal 15 atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari Persewaan Floating crane (dalam Rp) Keterangan
Pendapatan sewa floating crane pada tahun 2011
34.568.890.200 Jumlah Sumber: diolah oleh Penulis
Pajak Penghasilan Pasal 23 (2 % dari penghasilan bruto) 691.377.804
Pajak Selisih Penghasilan Pasal 15 (1,2 % dari penghasilan bruto) 414.826.682 276.551.122
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
Dari tabel di atas maka diketahui selisih pemotongan PPh antara PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 15 atas persewaan floating crane yang dilakukan oleh PT X pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 276.551.122,-. Jumlah ini adalah dasar perhitungan yang kemungkinan menjadi risiko kurang potong bagi customer PT X apabila pada saat dilakukan pemeriksaan pajak oleh Kantor Pajak ditemukan ketidaksamaan perlakuan dari pemeriksa pajak. Di dalam UndangUndang Nomor Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.t.d Undang-Undang Nomor Nomor 28 Tahun 2007, sanksi yang dikenakan terhadap kurang setor pajak yang dipotong oleh pihak ketiga (dalam hal ini customer PT X) adalah sanksi bunga sebesar 2% per bulan (maksimal 24 bulan) dari jumlah yang kurang dipotong, dihitung sejak tanggal terutangnya pajak hingga saat penerbitan surat ketetapan pajak (dalam hal ini suat ketetapan pajak kurang bayar). Dengan adanya risiko ini, customer PT X memiliki pendapat yang cenderung konvensional dalam memotong penghasilan yang akan dibayarkan kepada PT X atas persewaan floating crane yakni memotong PPh Pasal 23 sebesar 2 % daripada memotong PPh Pasal 15 sebesar 1.2 %. Namun, pada kenyataannya terdapat perbedaan yang cukup signifikan bagi PT X bila penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane dipotong dengan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 15. Oleh karena perbedaan yang cukup signifikan tersebut, PT X melalui INSA tetap mengajukan keberatan terhadap perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane. Selain tangible cost, masih ada intangible cost yang dialami oleh PT X akibat ketidakpastian kebijakan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane, yaitu Time Cost dan psychologycal cost. Time Cost yang timbul karena dibutuhkan waktu yang lebih lama bagi PT X dalam memisahkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane dan yang diterima bukan dari persewaan floating crane. Selain itu jika dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksa pajak pasti juga membutuhkan waktu lebih lama dalam melakukan pemeriksaan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane dan yang diterima bukan dari persewaan floating crane. Berikut tabel yang menggambarkan kelebihan dan kekurangan perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane.
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
Tabel Compliance cost atas Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima PT X dari Persewaan Floating crane
Cost of Compliance Direct Money Cost
Global Taxation (PPh Pasal 23)
Time Cost
Schedular Taxation (PPh Pasal 15) Beban pajak yang Beban pajak yang ditanggung PT X lebih besar ditanggung PT X lebih Rp 276.551.122 besar Rp 276.551.122 dibandingkan dengan beban dibandingkan dengan pajak PPh Pasal 15. beban pajak PPh Pasal 15 Beban-beban yang Beban-beban yang berhubungan langsung berhubungan langsung dengan penghasilan objek dengan penghasilan objek PPh Pasal 23 dapat menjadi PPh Pasal 15 tidak dapat pengurang penghasilan bruto menjadi pengurang di akhir tahun pajak. penghasilan bruto di akhir tahun pajak. Beban PPh Pasal 23 dapat menjadi kredit pajak yang Beban PPh Pasal 15 tidak mengurangi beban pajak dapat menjadi kredit penghasilan badan pada pajak yang mengurangi akhir tahun pajak. beban pajak penghasilan badan pada akhir tahun pajak. Bagi PT X : memerlukan sistem pencatatan yang rinci untuk memisahkan penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dengan penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23. Bagi Fiskus : Jika diadakan pemeriksaan oleh Kantor Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, fiskus membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memeriksa dokumen-dokumen yang terkait dengan peredaran usaha Wajib Pajak karena penghasilan Wajib Pajak perusahaan pelayaran terdiri dari objek PPh Pasal 15 dan PPh Pasal 23.
Bagi PT X : tidak memerlukan sistem pencatatan yang rinci untuk memisahkan penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dengan penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23. Hal ini dimungkinkan karena pengenaan PPH Pasal 15 bersifat final, tidak melihat beban-beban yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha. Bagi Fiskus : Jika diadakan pemeriksaan oleh Kantor Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, fiskus membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk memeriksa dokumen-dokumen yang
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
terkait dengan peredaran usaha Wajib Pajak karena seluruh penghasilan yang diperoleh perusahan pelayaran merupakan objek PPh Pasal 15. Psychological Cost
Akibat lamanya waktu yang digunakan dalam pemeriksaan, beban mental (tingkat kestressan) Wajib Pajak maupun Fiskus akan meningkat.
Waktu yang digunakan dalam pemeriksaan lebih sedikit daripada waktu yang digunakan dalam pemeriksaan seluruh jenis pajak, sehingga beban mental (tingkat kestressan) Wajib Pajak maupun Fiskus cenderung sedikit.
Kendala yang dirasakan oleh PT X terkait masalah ini adalah peraturan yang mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran dalam negeri sudah tidak relevan lagi dengan kondisi pelayaran di Indonesia sekarang. “ini peraturan tahun 1996. Tahun 1996 dengan sekarang, secara bisnis itu sudah berubah banyak sekali. tahun 1996 belum ada batu bara. Otomatis yaa angkut barang, pasti dari pelabuhan ke pelabuhan. Tidak ada yang namanya transhipment. Tidak ada yang namanya floating crane. Nah, apakah dipotong berapa? Kalo ada jenis jasa pelayaran yang lain mau gimana pelakuannya. Apa dipotong Pasal 15 atau 23? Perusahaan pelayaran yang dikenain pajak final, nah dia dipotong non final. Bagaimana pajaknya sebenarnya?” (Wawancara dengan Hendri, pada tanggal 12 Juni 2013).
Perlu diketahui bahwa kebijakan yang mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran dalam negeri terakhir kali diubah pada tahun 1996, yaitu 17 tahun yang lalu. Kondisi jasa pelayaran sudah berkembang pesat selama masa tersebut, seperti jasa transhipment contohnya. Transhipment merupakan kegiatan meneruskan muatan ke tempat tujuan karena kapalnya tidak menyinggahi pelabuhan tujuan muatan. Transhipment dapat dilakukan dengan berbagai macam kapal, salah satunya adalah floating crane. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi Wajib Pajak pelayaran, karena transaksi yang mereka lakukan tidak tercakup dalam peraturan pelaksana.
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
Kalangan akademisi juga menilai bahwa kebijakan mengenai pajak penghasilan bagi perusahaan pelayaran harus diubah seiring berubahnya tarif pajak penghasilan badan yang merupakan dasar perhitungan tarif pajak penghasilan final bagi perusahaan pelayaran. Selain itu, perlakuan pajak bagi karyawan yang bekerja di perusahaan pelayaran atau perusahaan yang dikenakan tarif pajak final lainnya juga harus diubah. Selama ini natura yang diberikan kepada karyawan oleh perusahaan yang dikenakan tarif pajak final dimasukan ke dalam perhitungan Pajak Penghasilan 21 karyawan tersebut.Hal tersebut tedapat di dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilansehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. PMK tersebut menyebutkan bahwa penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. “Harus disesuaikan dengan kondisi. Pajak Penghasilan pasal 15 itu kan ngga jelas, maksudnya apa itu, persewaan kapal apa kapal yang dioperasikan secara bisnis gitu loh. Harus jelas. Dulu kan tarifnya maksimal 30 %, sekarang kan sudah 25 %. Ya dirubahlah. Harusnya ikut turun juga. Cuma rem-remnya itu apa. Kalo kapal itu kan yang tarif-tarif final itu kan nantinya belum termasuk apa ee labour fringe benefit apa natura dan kenikmatan. Itu kan jadinya sekarang dikenakan pada karyawannya. Itu repot juga, kenapa ndak dikenakan pada dia (perusahaan) biar lebih mudah pengawasannya. Pajaknya minimal. Kan lebih gampang mengenakan pajak ke satu orang daripada ke banyak orang.” (Wawancara dengan Prof. Gunadi, pada tanggal 14 Mei 2013)
Direktorat Jenderal Pajak juga mengakui bahwa kebijakan mengenai pemajakan atas usaha pelayaran juga sudah harus diubah. Hal ini diungkapkan oleh Pelaksana Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi seperti kutipan di bawah ini. “kan itu peraturan udah lama ya, jadi kita mau perbarui. Mungkin dengan memasukkan definisi-definisi seperti definisi kapal itu sendiri biar pada ngga bingung.” (Wawancara dengan Dewi, pada tanggal 17 April 2013)
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
KESIMPULAN
Berkaitan dengan tiga hal yang menjadi permasalahan pada penelitian ini, terdapat tiga poin yang dijadikan kesimpulan. Poin pertama adalah terdapat dua jenis pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane. Jenis yang pertama yaitu pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane model I (penyewaan floating crane sendiri) menimbulkan ketidakpastian dalam pemotongan Pajak Penghasilan-nya, karena masih ada yang dipotong dengan Pajak Penghasilan Final Pasal 15 sebesar 1,2 % dan masih ada juga yang memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 yang bersifat tidak final sebesar 2 %. Jenis yang kedua yaitu pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane model II (penyewaan floating crane yang tidak dapat dipisahkan dengan kapal tunda) tidak menimbulkan ketidakpastian dalam peotongannya karena pasti akan dipotong Pajak Penghasilan Final Pasal 15 sebesar 1,2 %. Kesimpulan yang kedua adalah compliance cost yang timbul akibat pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan dari persewaan floating crane yang bersifat tidak final (schedular tax) lebih besar daripada compliance cost yang timbul akibat pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan dari persewaan floating crane yang bersifat tidak final (global tax). Kesimpulan terakhir adalah kendala yang dihadapi PT X dalam pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane adalah kebijakan pajak penghasilan yang berlaku sudah tidak relevan dengan keadaan usaha pelayaran pada masa kini. SARAN
Berdasarkan pada penelitian ini, peneliti memiliki tiga saran yang bermanfaat bagi pihakpihak yang terkait. Untuk PT X, PT X sebaiknya menggunakan model penyewaan II (penyewaan floating crane yang tidak dapat dipisahkan dengan kapal tunda) dengan pemotongan pajak penghasilan pasal 15 yang bersifat final dari customer. Selain itu untuk meminimalisir compliance cost yang ditanggung oleh Wajib Pajak Pelayaran Dalam Negeri, Pemerintah sebaiknya menyamakan perlakuan pajak bagi usaha pelayaran dan merevisi kebijakan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran dalam negeri sesuai dengan perkembangan usahanya.
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013
KEPUSTAKAAN Buku:
Burns, Lee and Richard Krever. (1998). Tax Law Design and Drafting Volume 2. Washington DC : IMF. Creswell, John W. (1994). Research Design “Qualitative and Quantitative Approaches”. California: SAGE Publications Inc. Mansury, R (2000). Kebijakan Perpajakan. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4). Mardiasmo. (2006). Perpajakan Ed.6. Yogyakarta : Andi Offset. Moleong, Lexy J.(2005) Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remoga Rosdakarya. Neuman, William Lawrence. (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, USA: Ally & Bacon Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit. Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. R. Mansury.(1996). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 3. Jakarta: PT Bina Rena Pariwara. R. Santoso Brotodihardjo.(2003). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung. Rosdiana, Haula & Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Peraturan Perundang-undangan:
Republik Indonesia,Undang–Undang Pajak Penghasilan, Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Republik Indonesia,Undang–Undang Pelayaran,Nomor 17 Tahun2008 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri Surat Edaran Direktur Jenderal PajakNomor SE - 29/PJ.4/1996tentang Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013