i
KAITAN ANTARA PERTUMBUHAN DENGAN PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN MOTORIK PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI KABUPATEN BOGOR
RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kaitan antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2013 Rindu Dwi Malateki Solihin NIM I151114141
iv
RINGKASAN RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN. Kaitan antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR dan DADANG SUKANDAR. Pertumbuhan anak salah satunya dapat dilihat dari indeks tinggi badan menurut umur. Menurut Riskesdas (2010), stunting pada anak balita di Indonesia mencapai 35.7%. Khusus di Provinsi Jawa Barat, prevalensi stunting pada balita mencapai 35.4% pada tahun 2007 dan menurun menjadi 33.7% pada tahun 2010. Angka tersebut masih dibawah angka stunting nasional yaitu 35.7% tetapi masih tergolong masalah publik yang tinggi menurut acuan WHO karena masih diatas 30%. Stunting pada anak dapat menyebabkan berbagai gangguan perkembangan diantaranya gangguan kognitif (Walker et al. 2005) dan motorik (Paiva et al. 2012), tetapi penelitian di Indonesia yang mengarah kepada penilaian aspek pertumbuhan dan perkembangan masih terbatas dan hasilnya bervariasi. Tujuan umum penelitian ini yaitu menganalisis kaitan antara pertumbuhan (TB/U) dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia prasekolah. Secara khusus bertujuan untuk: 1) Menganalisis karakteristik keluarga dan anak usia prasekolah; 2) Menganalisis pengetahuan dan praktek gizi, kesehatan dan pengasuhan anak ibu; 3) Menganalisis pola konsumsi anak usia prasekolah; 4) Menganalisis pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah; 5) Menganalisis hubungan antara pola konsumsi anak, karakteristik anak, karakteristik keluarga, perkembangan (kognitif dan motorik) dan status gizi anak (TB/U); 6) Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan (gizi, kesehatan, dan pengasuhan) ibu, karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek (gizi, kesehatan dan pengasuhan) ibu, dan praktek (gizi dan kesehatan) ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak; dan 7) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah. Penelitian ini termasuk penelitian survei yang dilakukan terhadap 73 anak usia 3-5 tahun di Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan dengan kriteria inklusi: 1) berusia 3-5 tahun; 2); mempunyai orang tua lengkap dan bersedia diambil data; 3) mempunyai data berat badan dan tinggi badan saat lahir; 4) tidak mempunyai cacat bawaan. Kriteria eksklusi penelitian adalah anak sedang menjalani pengobatan atau sedang sakit. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga, pengetahuan dan praktek gizi, kesehatan dan pengasuhan anak pada ibu, karakteristik anak, perkembangan anak (kognitif dan motorik), pertumbuhan anak (TB/U), dan pola konsumsi anak. Data sekunder meliputi gambaran umum lokasi penelitian, jumlah dan karakteristik anak. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS 16 for Windows. Analisis deskriptif menggambarkan sebaran variabel berdasarkan persen dan rataan. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis hubungan antara: 1) karakteristik keluarga, karakteristik anak, pola konsumsi anak, perkembangan (kognitif dan motorik) dan tinggi badan anak menurut umur; 2) karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak;
v
3) karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak); dan 4) praktek ibu mengenai gizi dan kesehatan dengan tingkat kecukupan gizi anak. Untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak, digunakan analisis regresi berganda. Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh balita mempunyai karakteristik normal. Ukuran keluarga balita lebih banyak berada pada kategori kecil dan termasuk keluarga miskin. Lebih dari separuh balita mempunyai anggota keluarga yang tergolong perokok aktif. Rata-rata pendidikan terakhir ayah adalah SMA dan bekerja sebagai buruh sedangkan ibu adalah SD atau SMA dan tidak bekerja. Lebih dari separuh ibu mempunyai tinggi badan dan IMT yang tergolong normal dan mempunyai tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan yang tergolong sedang, sedangkan tingkat pengetahuan pengasuhan tergolong tinggi. Praktek kesehatan ibu tergolong tinggi sedangkan praktek gizi dan pengasuhan ibu tergolong sedang. Balita terbiasa makan tiga kali sehari dan tidak selalu menghabiskan makanannya. Sebagian besar balita tidak mendapat ASI eksklusif selama enam bulan dan tidak terbiasa minum susu secara teratur. Pada umumnya, gangguan makan balita adalah kebiasaan jajan. Hampir seluruh ibu menyiapkan dan menyuapi balita makan sambil bermain di luar rumah. lebih dari separuh balita mempunyai TB/U normal, tetapi tingkat perkembangan kognitif dan motorik halusnya rendah, sedangkan tingkat perkembangan motorik kasar tergolong sedang. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara: 1) tinggi badan ibu, tingkat kecukupan gizi (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, fosfor), dan panjang lahir balita dengan TB/U balita; 2) TB/U balita, lama mengikuti PAUD, dan usia balita dengan tingkat perkembangan motorik (halus dan kasar) balita; 3) TB/U balita, lama mengikuti PAUD, usia balita, dan lingkungan pengasuhan dengan tingkat perkembangan kognitif balita; 4) lama pendidikan ibu dengan tingkat pengetahuan gizi ibu; 5) lama pendidikan ibu dan pendapatan/kap/bulan keluarga dengan praktek pengasuhan ibu. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara besar keluarga dengan praktek pengasuhan ibu. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara praktek gizi ibu dengan tingkat kecukupan gizi balita. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap TB/U balita adalah tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan gizi (energi dan protein) balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik halus balita adalah TB/U balita dan tingkat perkembangan motorik kasar balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik kasar balita adalah usia balita, perkembangan kognitif dan motorik halus balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan kognitif balita adalah lama mengikuti PAUD dan perkembangan motorik kasar balita.
Kata kunci: kognitif, motorik, perkembangan, pertumbuhan, prasekolah
vi
SUMMARY RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN. Relationship between Growth, Cognitive Development, and Motor Development among Preschool Children in Bogor District. Supervised by FAISAL ANWAR and DADANG SUKANDAR. Children growth is reflected by height for age index. According to Riskesdas (2010), stunting among under five children in Indonesia reached 35.7%. Specifically in West Java province, the prevalence of stunting in under five children reached 35.4% in 2007 and decreased to 33.7% in 2010. The number was still below the national stunting prevalence, but it was a high public health problem according to WHO reference because it was above 30%. Stunting in under five children causes variety of developmental disorders including cognitive (Walker et al. 2005) and motor (Paiva et al. 2012) disorders. Studies in Indonesia, which leads to growth and development aspects are still limited and the results are varied. The main objective of this study was to analyze relationship between growth, cognitive development, and motor development in preschool children. Specifically, it was aimed to : 1)analyze the characteristics of families and preschool children ; 2)analyze the knowledge and practice of nutrition, health and child care; 3)analyze the consumption pattern of preschool children ; 4)analyze growth (height for age) and development (cognitive and motor) of preschool children; 5)analyze the relationship between consumption patterns of children, child characteristics, family characteristics, development (cognitive and motor) and children‟s nutritional status (height for age); 6)analyze the relationship between family characteristics, mother‟s knowledge (nutrition, health , and child care), mother‟s practices (nutrition, health and child care), and children‟s nutrient adequacy level; 7)analyze the factors that influence growth (height for age) and development (cognitive and motor) of preschool children. This survey was conducted to 73 children aged 3-5 years in Cibanteng village, Bogor District, West Java. Sampling was carried out with inclusion criteria: 1)children age 3-5 years, 2); had complete parents and willing to join the survey, 3) data of weight and height at birth were available; 4) do not have congenital abnormalities. Exclusion criteria were: children were sick or under any medical treatments. Data collected included primary and secondary data. Primary data included family characteristics, knowledge and practice (nutrition, health and child care) child characteristics, child development (cognitive and motor), child growth (height for age), and consumption patterns of children. Secondary data included description of the study location and children characteristics. Statistical analysis was performed by SPSS 16 for Windows. Descriptive analysis described the distribution of the variable based on percent and average. Pearson correlation analysis was used to analyze the relationship between: 1) family characteristics, child characteristics, consumption patterns of children, development (cognitive and motor) and height for age; 2) family characteristics and mother's knowledge (nutrition, health, and child care); 3) family characteristics and mother‟s knowledge practices (nutrition, health, and child care), 4) practice of mother (nutrition and health) and children‟s nutrient adequacy
vii
level. Factors that affect growth (TB/U) and development (cognitive and motor) of children were analized by linear multiple regression. This study showed that more than half of the children had normal characteristics. Families size mostly were small and they were poor. More than half children had family members that were active smokers. The average of father‟s education level was high school and worked as labor, while the mother was elementary or high school and not working. Mother‟s height and BMI were relatively normal. Level of mother‟s nutrition knowledge and health were classified as moderate, while the knowledge level of child care was high. Level of health practices was high while the level of nutrition practices and child care were moderate. Most children ate three times a day and did not always finish their food. Most children were not exclusively breastfed for six months (89.0%) and did not drink milk regularly. Snacking was a common children‟s eating disorder. Almost all mothers prepared and fed their children by themselves. More than half of the children had normal height for age, but level of cognitive and fine motor development were low, while gross motor development level were moderate. There was significant positive relationship between: 1) mother‟s height, children‟s nutrient adequacy level (energy, protein, iron, vitamin A, calcium, phosphorus), birth length of children, and children height for age; 2) children height for age, early education, age of the children, and level of motor (fine and gross) development; 3) children height for age, early education, age of the children, psychosocial stimulation, and level of cognitive development; 4) mother's education level and mother‟s nutrition knowledge; 5) mother's education level, family income, and mother‟s health practices. There was significant negative relationship between family size, nutrition knowledge level and child care practices level of mother. There was no significant relationship between mother‟s nutrition and health practices and children‟s nutrient adequacy level. Factors that significantly influenced children height for age were mother‟s height and children‟s nutrient adequacy level (energy and protein). Factors that significantly influenced the level of fine motor development were children height for age and gross motor development level. Factors that significantly influenced the level of gross motor development were children‟s age, cognitive and fine motor development level. Factors that significantly influenced the level of cognitive development were early education and gross motor development level.
Keywords: cognitive development, growth, motor development, preschool
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAITAN ANTARA PERTUMBUHAN DENGAN PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN MOTORIK PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI KABUPATEN BOGOR
RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
xi
Judul Tesis : Kaitan Antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor Nama
: Rindu Dwi Malateki Solihin
NIM
: I151114141
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS Ketua
Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh M Rizal M Damanik, MRepSc PhD
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: (18 Desember 2013)
Tanggal Lulus:
xii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul “Kaitan Antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor” diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan usulan, saran, kritik dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. 2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan saran dalam penyempurnaan penulisan tesis ini. 3. Kedua orang tua, Rahmat Solihin Sm.Hk (Alm) dan Dra. Titin Kusumawati beserta semua keluarga besar penulis yang tak henti-hentinya mendoakan dan memberikan motivasi. 4. Gugum Gumbira, S.Ik beserta keluarga yang senantiasa memberikan perhatian dan motivasi kepada penulis. 5. Darwin Warsono, S.Sos selaku Kepala Desa Cibanteng yang telah memberikan izin pengambilan data penelitian. 6. Nuraeni, Susanti dan seluruh kader posyandu Desa Cibanteng yang telah memberikan bantuan selama pengambilan data penelitian. 7. Teman-teman yang telah banyak membantu dalam penelitian: Ima Karimah, S.Gz; Nurlaely Fitriana, S.Gz; Siti Alvianti, S.Gz; Risma Junita, S.KPm; Catur Dwi Anggarawati, SP; Ida Parida, SP; dan Tatit Sastrini, SP. 8. Teman-teman mahasiswa Ilmu Gizi Masyarakat yang telah memberikan motivasi dan bantuan selama penulis melangsungkan studi di sekolah Pascasarjana IPB. 9. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak permasalahan untuk dikaji terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga dibutuhkan penelitian-penelitian serupa lainnya yang lebih mendalam untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Oktober 2013 Rindu Dwi Malateki Solihin
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Determinan Stunting pada Anak Hubungan Pertumbuhan dengan Perkembangan Anak Peran Lingkungan Pengasuhan Terhadap Perkembangan Anak
4 4 10 16
3 KERANGKA PEMIKIRAN
19
4 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Teknik Pemilihan Sampel Jenis dan Cara Pengambilan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional
22 22 22 23 26 29
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Umum Balita Riwayat Kelahiran Balita Riwayat PemberianASI dan MP-ASI Balita Preferensi Makanan dan Minuman Balita Kebiasaan Makan Balita Tingkat Kecukupan Gizi Balita Pertumbuhan Balita Tingkat Perkembangan Kognitif dan Motorik Balita Karakteristik Fisik dan Kondisi Fisiologis Ibu Karakteristik Sosial Ekonomi Ibu Tingkat Pengetahuan Ibu Praktek Ibu Praktek Pengasuhan Ibu Karakteristik Keluarga Balita Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu
31 31 34 36 38 40 42 44 46 47 48 50 51 57 61 64 66
xiv
Hubungan Praktek Ibu Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Praktek Ibu Hubungan Tinggi Badan Balita Menurut Umur Hubungan Tingkat Perkembangan Motorik dan Kognitif Balita Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tinggi Badan Balita Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Halus Balita Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik kasar Balita Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Balita
68 69 71 74 78 82 84 86
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
88 88 89
DAFTAR PUSTAKA
90
LAMPIRAN
104
RIWAYAT HIDUP
108
xv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Pondasi perkembangan motorik Tahap perkembangan kognitif Piaget Peubah, cara pengumpulan data, dan pengolahan data Kategori pertumbuhan anak berdasarkan TB/U Kriteria tingkat kecukupan energi dan protein (Depkes 1996) Pemanfaatan lahan di Desa Cibanteng Jumlah penduduk menurut struktur usia Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Sarana dan Prasarana Desa Cibanteng Sebaran balita menurut karateristiknya Sebaran balita menurut riwayat kelahiran Sebaran balita menurut riwayat pemberian ASI dan MP-ASI Sebaran balita menurut preferensi pangan dan minuman Sebaran balita menurut kebiasaan makan Sebaran balita menurut tingkat kecukupan gizi Sebaran balita menurut indeks tinggi badan menurut umur Sebaran balita menurut tingkat perkembangan Sebaran ibu balita menurut karakteristik fisik dan fisiologi Sebaran ibu balita menurut karakteristik sosial ekonomi Sebaran ibu balita menurut tingkat pengetahuan Sebaran ibu balita menurut praktek Sebaran balita menurut lingkungan pengasuhan Sebaran balita menurut karakteristik keluarga Hubungan karakteristik ibu dengan tingkat pengetahuan ibu Hubungan karakteristik ibu dengan praktek ibu Hubungan tingkat pengetahuan dengan praktek ibu Hubungan TB/U balita dengan karakteristik keluarga Hubungan TB/U balita dengan karakteristik balita Hubungan tingkat perkembangan motorik halus balita dengan karakteristik balita Hubungan tingkat perkembangan motorik kasar balita dengan karakteristik balita Hubungan tingkat perkembangan kognitif balita dengan karakteristik balita Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif
13 14 24 27 27 31 32 33 34 36 37 39 41 43 45 46 48 49 51 52 57 62 65 67 69 70 72 73 75 76 77 79 82 85 86
xvi
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran kaitan pertumbuhan dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia prasekolah 2 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan gizi dengan benar 3 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan kesehatan dengan benar 4 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan pengasuhan dengan benar 5 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek gizi dengan benar 6 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek kesehatan dengan Benar
21 53 54 56 58 60
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Peta lokasi penelitian Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif Dokumentasi kegiatan pengukuran perkembangan anak
105 106 106 106 107 107
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Gizi berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Gizi terlibat dalam berbagai reaksi matabolisme pada berbagai sistem tubuh yang diantaranya bertanggung jawab terhadap perkembangan fisik dan mental. Malnutrisi pada anak merupakan masalah yang kompleks, multidimensi, dan saling berhubungan. Di Indonesia, spektrum malnutrisi sangat luas yang tersebar di seluruh tahap kehidupan, diantaranya dalam bentuk Kurang Energi Protein (KEP), kekurangan zat gizi mikro, berat bayi lahir rendah, dan gangguan pertumbuhan yang dilihat dari indikator tinggi badan menurut umur (Atmarita 2005). Pertumbuhan anak salah satunya tercermin dari indeks tinggi badan menurut umur. Berdasarkan indeks tersebut maka anak dikelompokan menjadi stunting atau normal. Stunting merupakan kondisi kurang gizi menurut indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Stunting mengindikasikan pertumbuhan yang rendah dan efek kumulatif dari kekurangan atau ketidakcukupan asupan energi, zat gizi makro atau zat gizi mikro dalam jangka panjang atau hasil dari infeksi kronis atau infeksi yang terjadi berulang kali (Umeta et al. 2003). Menurut Riskesdas (2010), stunting pada anak balita di Indonesia mencapai 35.7%. Khusus di Provinsi Jawa Barat, prevalensi stunting pada balita mencapai 35.4% pada tahun 2007 dan menurun menjadi 33.7% pada tahun 2010. Angka tersebut masih dibawah angka stunting nasional yaitu 35.7% tetapi masih tergolong masalah publik yang tinggi menurut acuan WHO karena masih diatas 30%. Stunting dapat menyebabkan gangguan perkembangan diantaranya gangguan kecerdasan (Walker et al. 2005) dan perkembangan motorik (Pollit 2000) Gangguan pertumbuhan yang dicirikan dengan rendahnya tinggi badan menurut umur (stunting) sering dihubungkan dengan kualitas anak tersebut. Pada anak stunting seringkali mengalami penurunan kinerja sistem syaraf yang berimplikasi pada rendahnya kecerdasan anak. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang gizi pada usia dini, salah satunya tercermin dari keadaan stunting, berdampak pada rendahnya kemampuan kognitif dan nilai IQ yang dicirikan dengan rendahnya kemampuan belajar dan pencapaian prestasi di sekolah. Menurut World Bank (2006), stunting dapat menyebabkan kehilangan IQ sebesar 5-11 poin. Stunting pada anak usia dini dikaitkan dengan kemampuan kognitif yang rendah di akhir masa remaja, yang dapat dikoreksi dengan stimulasi pada usia muda (Walker et al. 2005). Selain itu, stunting dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan sistem motorik baik pada anak yang normal maupun pada anak yang mengidap penyakit tertentu. Anak stunting yang terekspos oleh HIV mempunyai skor kemampuan motorik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan anak normal (McDonald et al. 2012). Penurunan fungsi motorik pada anak stunting yang tidak mempunyai kelainan bawaan dikaitkan dengan rendahnya kemampuan mekanik dari otot tricep surae, sehingga lambatnya kematangan fungsi otot tersebut menyebabkan kemampuan motorik anak stunting terhambat (Paiva et al. 2012).
2
Pada umumnya, peneliti hanya meneliti aspek pertumbuhan dan perkembangan secara terpisah. Penelitian-penelitian di Indonesia yang mengarah kepada penilaian aspek pertumbuhan sekaligus perkembangan anak masih terbatas dan hasilnya masih bervariasi. Penelitian Marlina (2012) menyebutkan tidak ada hubungan signifikan antara stunting dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Sebaliknya, sebuah penelitian terhadap kelompok stunting dan normal menunjukan bahwa kelompok stunting mempunyai skor perkembangan bahasa dan kognitif yang lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok normal, dan terdapat hubungan yang nyata antara kejadian stunting dengan perkembangan bahasa dan kognitif anak (Hanum 2012). Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi hasil penelitian-penelitian sebelumnya dengan melihat pengaruh stunting baik terhadap perkembangan kognitif maupun terhadap dimensi perkembangan yang lain yaitu perkembangan motorik pada anak usia prasekolah.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang ingin diteliti adalah: 1) bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, tingkat kecukupan gizi anak, perkembangan (kognitif dan motorik) dan pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur; 2) bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak; 3) bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak dengan praktek gizi, kesehatan, dan pengasuhan ibu; 4) bagaimana hubungan antara praktek gizi dan kesehatan ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak usia prasekolah; dan 5) faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis kaitan antara pertumbuhan (TB/U) dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia prasekolah. Tujuan Khusus 1. Menganalisis karakteristik keluarga dan karakteristik anak usia prasekolah 2. Menganalisis pengetahuan dan praktek ibu mengenai gizi, kesehatan dan pengasuhan anak 3. Menganalisis pola konsumsi anak usia prasekolah 4. Menganalisis pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah 5. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi anak, karakteristik anak, karakteristik keluarga, perkembangan (kognitif dan motorik) dan pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur
3
6. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan (gizi, kesehatan, dan pengasuhan) ibu, karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek (gizi, kesehatan dan pengasuhan) ibu, dan praktek (gizi dan kesehatan) ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak. 7. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.
Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, tingkat kecukupan gizi anak, perkembangan (kognitif dan motorik) dan pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur. 2. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. 3. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak dengan praktek gizi, kesehatan, dan pengasuhan ibu. 4. Terdapat hubungan antara praktek gizi dan kesehatan ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak usia prasekolah. 5. Terdapat pengaruh dari karakteristik keluarga dan anak terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.
Manfaat Memberikan informasi kepada orang tua akan pentingnya menjaga status gizi dan memberikan stimulasi psikososial pada anak agar mencapai kematangan perkembangan kognitif dan motorik yang optimal. Selain itu, dapat pula menjadi bahan rujukan bagi para pembuat kebijakan dalam merencanakan program intervensi gizi pada anak usia prasekolah sehingga program intervensi gizi lebih difokuskan pada penurunan prevalensi stunting pada kelompok anak usia di bawah lima tahun.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Determinan Stunting pada Anak Pertumbuhan pada anak merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat karena erat kaitannya dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan (Depkes 2009). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang tercermin dari keadaan tubuh yang pendek sehingga melewati defisit 2SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional (Manary & Solomons 2009). Hasil studi kohort di Brazil, Guatemala, India, Filipina, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa stunting dalam dua tahun pertama kehidupan merupakan faktor risiko untuk konsentrasi glukosa yang tinggi, tekanan darah, dan profil lipid yang merugikan setelah dewasa (Victora et al. 2008). Walaupun demikian, penyebab dan etiologi stunting pada anak jauh kurang dipahami jika dibandingkan dengan konsekuensinya. Stunting dapat terjadi secara luas di lingkungan yang miskin (Reyes et al. 2004; Khomsan et al. 2013), bahkan di lingkungan yang relatif surplus bahan pangan (Teshome et al. 2009). Dalam suatu populasi, seorang anak dapat menjadi stunted atau tidak, atau secara lebih luas, suatu populasi dapat menjadi lebih stunted dibandingkan populasi lainnya. Hal ini berarti bahwa diperlukan pemahaman yang baik tentang mengapa dan bagaimana anak-anak menjadi stunting baik pada tingkat individu maupun ekologi. Jenis Kelamin Anak Jenis kelamin anak sering dijadikan faktor risiko dalam menganalisis masalah stunting di beberapa wilayah atau negara. Pada tahun 2006, sebuah penelitian cross sectional dilakukan oleh Teshome et al. terhadap 622 pasang ibubalita (usia 0-59 bulan). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa anak laki-laki mempunyai risiko menjadi stunting 1.5 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak perempuan. Teshome et al. mengkaitkan hal tersebut dengan sex preference yang dilakukan oleh ibu atau caregiver dimana anak laki-laki relatif dirugikan dengan pola asuh gizi yang berbeda dengan anak perempuan. Oleh sebab itu, Teshome et al. menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan pola asuh pada anak laki-laki dan perempuan. Melengkapi hal tersebut, penelitian Nzala et al. (2011) terhadap 6142 anak balita di Zambia menunjukan bahwa anak laki-laki mempunyai risiko menjadi stunted yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak perempuan dikarenakan adanya kebudayaan di zambia dimana anak laki-laki terbiasa makan dengan ayahnya, yang berati lebih sedikit makanan yang didapat, sementara anak perempuan terbiasa makan dengan ibu mereka dan mendapat makanan yang lebih banyak. Selain itu, pengeluaran energi anak laki-laki lebih besar jika dibandingkan dengan anak perempuan karena anak laki-laki lebih aktif bermain. Walaupun kedua penelitian tersebut memasukkan jenis kelamin sebagai faktor risiko stunting, tapi dalam penelitian lain jenis kelamin tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting (Schoenbaum et al. 1995; Kshatryia & Ghosh 2008; Ekpo et al. 2008).
5
Usia Anak Stunting merupakan proses kumulatif yang berlangsung lama bahkan sejak masih dalam kandungan. Oleh sebab itu, faktor usia menjadi berpengaruh terhadap kejadian stunting dalam beberapa penelitian di Ethiopia (Teshome et al. 2009; Yimer 2000) dan negara berkembang lainnya (Kumar et al. 2006). Pada penelitian Teshome et al. (2009), risiko stunting meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dimana anak dengan usia 13-24 bulan berisiko lebih tinggi mengalami stunting dibandingkan dengan anak dengan usia yang lebih muda (< 7 bulan). Hasil penelitian Teshome et al. (2009) menggarisbawahi pentingnya dua tahun pertama kehidupan sebagai masa paling kritis untuk intervensi gizi sehingga diperlukan program-program yang meningkatkan status gizi pada anak-anak yang rentan. Anak dengan usia kurang dari 24 bulan merespon jauh lebih cepat terhadap perbaikan pertumbuhan dibandingkan anak dengan usia lebih tua. Setelah anak mencapai 2 tahun, sangat sulit untuk mengembalikan kondisi stunting yang telah terjadi sebelumnya. Status Kesehatan Anak Status kesehatan pada anak juga turut berperan dalam menimbulkan masalah stunting khususnya diare (El Taguri et al. 2007; Teshome et al. 2009; Nzala et al. 2011). Diare berhubungan positif dan signifikan dengan stunting dimana anak-anak yang mengalami diare berisiko 2,3 kali menjadi stunting dibandingkan dengan anak-anak tanpa diare, sementara prevalensi malaria lebih besar pada mereka yang stunting akan tetapi tidak ditemukan hubungan yang signifikan (Teshome et al. 2009). Selain diare, infeksi pernapasan akut juga ditemui pada anak stunting walaupun tidak setingi insiden diare (Nzala et al. 2011). Menurut Eastwood (2003) infeksi dan diare berkontribusi terhadap kejadian stunting karena dapat mengganggu proses metabolisme dalam tubuh sehingga menyebabkan pertumbuhan anak tidak optimal, akan tetapi dalam penelitian Nasikhah (2012) infeksi pernapasan akut tidak terbukti berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting. Status Kelahiran Anak Status kelahiran berkonribusi terhadap kejadian stunting pada anak (Ricci & Becker 1996; Kusharisupeni 2002; Santos et al. 2009). Berdasarkan penelitian kohort prospektif selama 12 bulan yang dilakukan Kusharisupeni (2002), ukuran tubuh pada saat lahir mampu memprediksi pertumbuhan janin, dimana pada saat usia 12 bulan kelompok bayi yang lahir dengan berat badan rendah (<2.500 gram) tidak mencapai panjang badan yang dicapai oleh kelompok normal, meskipun kelompok normal sendiri tidak bertumbuh optimal. Dengan demikian catch up growth pada kelompok BBLR tidak memadai. Temuan lain dari penelitian Kusharisupeni (2002) adalah rata-rata panjang badan kelompok prematur berada di persentil ke-10, dimana panjang lahir kelompok normal baik bayi perempuan maupun laki-laki berada pada persentil ke-20 standar WHO. Artinya, panjang badan yang jauh di bawah rata-rata pada umumnya, disebabkan karena sudah terjadi retardasi pertumbuhan saat dalam kandungan (Kusharisupeni 2002). Lebih jauh, Santos et al. (2009) menyatakan bahwa peluang bayi late preterm (kelahiran saat usia kehamilan 34-36 minggu) menjadi stunting di usia 12 bulan adalah 2.35
6
kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bayi yang lahir normal, peluang tersebut menjadi 2.3 kali ketika usia 24 bulan. Asupan Zat Gizi Anak Masalah stunting pada anak tidak dapat dipisahkan dari asupan zat gizi anak baik yang berasal dari makanan, minuman, maupun ASI. Zat gizi diperlukan oleh tubuh untuk mengganti dan memperbaiki sel-sel yang rusak sehingga sangat vital dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Kulit manusia akan mengalami pergantian sel setiap tujuh tahun, lemak yang berada di bawah kulit hari ini tidak sama dengan lemak yang berada di bawah kulit setahun yang lalu, sel darah merah akan diperbaharui setiap 120 hari, dan seluruh lapisan pencernaan akan diperbaharui setiap tiga sampai lima hari (Whitney & Rolfes 2011). Untuk itu, seorang anak harus terus menerus memenuhi asupan gizinya untuk menjaga proses tersebut tetap berlangsung. Mikronutrien yang seringkali dianggap penting dalam pertumbuhan balita maupun usia prasekolah adalah vitamin A, Fe dang Zn (Fahmida et al. 2007; Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001). Sebuah penelitian terhadap 800 balita si NTT, Indonesia menunjukan bahwa zat gizi mikro (zink, besi, dan vitamin A) berperan dalam pertumbuhan linear balita stunting (Fahmida et al. 2007). TB/U balita stunting pada kelompok yang diberi Zn+Fe dan kelompok yang diberi Zn+Fe+Vit A meningkat secara signifikan setelah 4 bulan suplementasi, ditunjukan dengan angka pertumbuhan 1.1-1.5 cm lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo, sementara pada kelompok Zn tidak berbeda secara signifikan dengan plasebo. Setelah 6 bulan kemudian dilakukan follow-up, perbedaan TB/U diantara ke empat kelompok menjadi tidak berbeda secara signifikan, tetapi kelompok Zn+Fe dan kelompok Zn+Fe+vit A masih tetap mempunyai nilai TB/U yang lebih tinggi jika dibandingkan kelompok Zn dan plasebo. Dalam kesimpulannya, Fahmida et al. (2007) menekankan pentingnya mengkoreksi status Fe balita dibandingkan dengan status Zinc. Zinc akan mempunyai efek positif terhadap pertumbuhan jika status besi atau hemoglobin yang rendah dikoreksi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pertumbuhan yang optimal, Zinc harus diberikan bersama-sama dengan besi dengan pertimbangan rasio Zn:Fe yang tepat. Fahmida et al. (2007) juga menekankan pentingnya peran zat gizi makro (energi dan protein) dalam meningkatkan pertumbuhan balita. Peningkatan status mikronutrien saja tidak cukup untuk meningkatkan pertumbuhan yang optimal, harus diimbangi dengan asupan energi dan protein yang cukup (Fahmida et al. 2007; Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001). Energi diperlukan tubuh untuk mendukung semua mekanisme biologis dan kimiawi dalam tubuh sehingga semua unit kehidupan dapat berjalan dengan optimal, sedangkan protein berguna untuk membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2006). Menurut WKNPG (2004), kebutuhan vitamin A anak usia 3-5 tahun adalah 400-450 RE/hari, zinc 8.2-9.7 mg/hari, besi 8-9 mg/hari, energi 1000-1550 Kal/hari, dan protein 25-39 gram/hari. Selain itu, kalsium dan fosfor (bersama-sama dengan vitamin D) berperan dalam proses mineralisasi tulang dan pertumbuhan pada anak-anak. Vitamin C diperlukan dalam pembentukan kolagen yang mempengaruhi integritas struktur sel di semua jaringan ikat seperti tulang rawan, matriks tulang, dan tendon otot. Kekurangan vitamin dan mineral tersebut berakibat pada terhambatnya
7
pertumbuhan tulang sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak prasekolah (Brown et al. 2011; Almatsier 2006). Menurut WKNPG (2004), kebutuhan kalsium anak usia 3-5 tahun adalah 500 mg/hari, fosfor 400 mg/hari, vitamin D 5 µg/hari, dan vitamin C 40-45 mg/hari. Pemberian ASI dan MP-ASI Pemberian ASI eksklusif secara tepat sejak bayi hingga usia 6 bulan merupakan intervensi utama dalam mengatasi berat badan lahir rendah dan sekaligus meningkatkan IQ. Bayi yang tidak disusui secara eksklusif tidak hanya akan terganggu pertumbuhannya akan tetapi juga tidak akan mendapat stimulasi optimal untuk perkembangan otak karena melalui proses menyusui eksklusif akan terbentuk hubungan kasih sayang antara ibu dan anak (Syarief et al. 2009). WHO (2002) menganjurkan pemberian ASI ekslusif kepada bayi hingga usia 6 bulan. Hal ini disebabkan banyak kandungan dan manfaat ASI yang masih dibutuhkan anak dan justru meningkat di tahun kedua (12-24 bulan), seperti zat anti bodi, lemak, dan vitamin A. Akan tetapi, durasi menyusui yang semakin lama dapat meningkatkan risiko stunting pada anak disebabkan ibu cenderung tidak memberikan MP-ASI dengan cukup sesuai usia anak (Teshome et al. 2009; Gugsa et al. 1999). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa penyapihan kolostrum, lama menyusui, usia pengenalan MP-ASI, frekuensi makan, cara pemberian makan, dan jenis makanan yang diberikan pertama kali sebagai MP-ASI berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting pada balita (Teshome et al. 2009). Ukuran Keluarga Ukuran rumah tangga yang besar biasanya menjadi faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga. Pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga mendapatkan makanan secara merata (Djauhari & Friyanto 1993). Sebuah penelitian terhadap 1000 anak usia 712 tahun di iran menunjukan bahwa ukuran keluarga sangat mempengaruhi jumlah penyediaan makanan dalam rumah tangga, dimana semakin besar ukuran keluarga maka semakin mudah untuk memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga tersebut (Hajian-Tilaki et al. 2011). Ukuran keluarga bukan merupakan satusatunya karakteristik keluarga yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak. Pada penelitian Semba et al. (2008) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan ukuran keluarga, dimana ukuran keluarga antara kelompok stunting tidak berbeda signifikan dengan kelompok normal (Astari et al. 2006) Tingkat Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola asuh anak karena berhubungan dengan cara berpikir dan keterbukaan terhadap informasi (Rahmawati 2006; Supariasa et al. 2002). Pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, tetapi melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Oleh sebab itu, dalam beberapa penelitian hasilnya bervariasi.
8
Hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi (Madanijah 2003), stimulasi psikososial yang diberikan pada anak (Latifah et al. 2010), dan kejadian stunting (Zottarelli et al. 2007; Rayhan & Khan 2006; Astari et al. 2006; Fitri 2012). Sementara itu, beberapa hasil penelitian lain tidak menunjukan hubungan yang nyata antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak (Nasikhah 2012), bahkan pada penelitian Riyadi et al. (2011) terhadap 3 wilayah menunjukkan bahwa dua wilayah penelitian tidak mempunyai keeratan hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak. Pengetahuan dan Praktek Ibu mengenai Gizi dan Kesehatan Pengetahuan merupakan hasil gabungan antara kemampuan, pengalaman, intuisi, gagasan, dan motivasi dari sumber yang kompeten sehingga membentuk sebuah informasi dan data. Sumber yang kompeten tersebut dapat berupa koran, majalah, email, artikel, iklan dan manusia (Hendrik 2003). Konsep adopsi perilaku yang diperkenalkan oleh Rogers (1962) menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi suatu perilaku atau praktek tertentu, ia akan melewati tahap awal yang disebut dengan awareness yaitu adanya kesadaran akan adanya suatu stimuli tertentu. Artinya, orang tersebut akan mempunyai sebuah pengetahuan baru yang disebabkan oleh adanya stimuli yang diterimanya. Praktek pengasuhan gizi dan kesehatan yang dilakukan seorang ibu merupakan hasil dari proses panjang yang dimulai dari adanya pengetahuan yang disebabkan oleh suatu stimuli tertentu. Stimuli tersebut dapat berasal dari lingkungan sosial maupun media informasi. Sebuah penelitian di Mozambik menunjukkan bahwa pengetahuan kesehatan ibu berpengaruh positif terhadap tinggi badan anak usia dibawah dua tahun, terutama didaerah dengan kasus stunting yang ekstrim (Broeck 2007). Sebelumnya, Christiaensen dan Alderman (2004) menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu (dilihat dari kemampuan untuk melihat gangguan pertumbuhan) merupakan determinan penting pada anak dengan malnutrisi kronis termasuk stunting. Block (2007) juga menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu dapat menjadi pengganti pendidikan ibu dalam mengatasi masalah gizi pada anak. Oleh sebab itu, intervensi pendidikan gizi sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan dan praktek gizi ibu, sebagaimana yang ditunjukan oleh hasil review terhadap studi-studi tentang intervensi gizi yang menunjukkan bahwa pendidikan gizi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan anak usia 6-24 bulan (Imdad et al. 2011). Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua khususnya ibu turut mempengaruhi intensitas dan kualitas pola-pola hubungan yang terbentuk dalam keluarga, termasuk pola asuh gizi dan kesehatan pada anak. Ibu yang mempunyai pekerjaan di luar berarti mempunyai pekerjaan ganda selain sebagai ibu rumah tangga, hal tersebut mempengaruhi kelekatan hubungan dengan anak karena rendahnya kualitas dan kuantitas komunikasi yang terbentuk (Perangin-angin 2006). Berdasarkan hasil penelitian Marlina (2012), pekerjaan ibu berhubungan dengan tingkat kecukupan energi pada anak. Hal ini menurut Satoto (1990) dapat dijelaskan sebagai konsekuensi logis dimana ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah
9
untuk mencari nafkah memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga mempengaruhi stunting melalui mekanisme akses terhadap pangan yang berkualitas. Rendahnya pendapatan keluarga menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga kurang bergizi yang akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990). Menurut Miller dan Rodgers (2009), pada level rumah tangga, tingkat pendapatan akan berhubungan dengan akses terhadap pembelian makanan dan pelayanan kesehatan anak. Semakin tinggi pendapatan maka akan semakin tinggi akses terhadap daya beli makanan yang bergizi, air bersih, pakaian, pengadaan ventilasi dalam rumah, bahan bakar untuk memasak, penyimpanan pangan dan higenitas dan pelayanan kesehatan. Sejalan dengan Martianto dan Ariani (2004) yang menyatakan bahwa rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Hasil penelitian Faiza et al. (2007) memperlihatkan hubungan signifikan antara status ekonomi dengan kejadian gizi buruk, dimana anak yang berasal dari keluarga dengan status gizi yang rendah mempunyai peluang untuk menderita gizi buruk sebesar 3.5 kali jika dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang berstatus ekonomi tinggi. Status Merokok Keluarga Kejadian stunting juga banyak ditemukan pada keluarga dengan orang tua yang merokok hal tersebut berkaitan dengan alokasi pengeluaran untuk pangan. Merokok memperburuk dampak kemiskinan, seperti pengeluaran untuk tembakau dapat mengalihkan pendapatan rumah tangga dari makanan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan (Semba et al. 2007). Jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli rokok banyak terjadi dinegara dengan penghasilan rendah. Sebagai contoh, di negara Vietnam pada tahun 1996, perokok menghabiskan rata-rata 49.05 Dolar untuk rokok per tahun, nilai tersebut lebih besar 1.5 kali dari biaya untuk pendidikan, 5 kali dari biaya kesehatan, dan sekitar sepertiga kali untuk makanan per kapita per tahun (Jenkins et al. 1997). Di Indonesia, dalam rumah tangga di mana sang ayah adalah seorang perokok, tembakau menghabiskan 22% dari uang belanja rumah tangga mingguan per kapita, dimana lebih sedikit uang yang dibelanjakan untuk makanan dibandingkan dengan rumah tangga non perokok (Semba et al. 2007). Selain itu, merokok juga berkaitan dengan kejadian stunting melalui mekanisme klinis dari kandungan racun dalam tembakau terhadap status gizi (Mishra & Retherford 2007) dan penundaan pertumbuhan skeletal (Kawakita et al. 2008). Faktor Keturunan (Genetik) Selain faktor eksternal, faktor internal seperti genetik juga berpengaruh terhadap kejadian stunting anak. Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat defisiensi hormon pertumbuhan memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat
10
kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor risiko yang lain (Amigo et al. 1997). Orang tua dengan tinggi badan yang pendek berpeluang melahirkan anak yang pendek pula (Astari 2006; Rahayu 2011; Nasikhah 2012). Pada penelitian Zottarelli et al. (2007), penurunan kejadian stunting yang signifikan teramati dari peningkatan tinggi ibu. Di antara ibu yang mempunyai tinggi kurang dari 150 cm, 30,89% anak-anaknya mengalami stunting. Penurunan persentase sampai 13.61% pada anak dengan ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm. Kelahiran anak dari ibu yang mempunyai tinggi 150-160 cm menurunkan risiko stunting sebesar 40% dibandingkan anak yang lahir dari ibu yang tingginya kurang dari 150 cm, dan menurunkan risiko stunting sebesar 59% jika anak lahir dari ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm.
Hubungan Pertumbuhan dengan Perkembangan Anak Menurut Yusuf (2006), perkembangan merupakan perubahan-perubahan yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik maupun psikis. Sistematis berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling tergantung satu sama lain atau saling mempengaruhi antara fisik dan psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Progresif berarti perubahan-perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat, dan mendalam baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis). Berkesinambungan berarti perubahan pada bagian atau fungsi individu berlangsung secara beraturan atau berurutan, tidak terjadi secara kebetulan dan acak. tetapi sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan yaitu: 1) perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti; 2) semua aspek perkembangan, baik kognitif maupun motorik saling mempengaruhi satu sama lain dengan arah hubungan yang positif; 3) perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu dimana setiap tahap perkembangan merupakan hasil perkembangan dari tahap sebelumnya. Perkembangan di daerah kepala terjadi lebih dahulu kemudian diikuti perkembangan kaudal atau anggota tubuh (pola sefalokaudal). Perkembangan didaerah proksimal (gerak dasar) terjadi sebelum perkembangan kebagian distal seperti jari-jari yang mempunyai kemampuan gerak halus (pola proksimodistal). Perkembangan berjalan dari umum ke khusus, dari konkret ke abstrak, dari egosentrisme ke perspektivisme, dan dari outter control ke inner control; 4) pertumbuhan dan perkembangan mempunyai kecepatan yang berbedabeda pada masing-masing anak; 5) perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan, bila pertumbuhan berlangsung cepat, perkembangan pun meningkat. Anak sehat bertambah umur, bertambah berat dan tinggi badannya serta bertambah kepandaiannya; 6) perkembangan memiliki tahap yang berurutan, tidak bisa terjadi terbalik. Misalnya anak mampu berdiri sebelum berjalan dan sebagainya. Instrumen penilaian perkembangan anak usia prasekolah (2.5-6.5 tahun) telah dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (Puskur Diknas 2004), yang meliputi instrumen penilaian perkembangan kognitif, bahasa, motorik halus, motorik kasar, menolong
11
diri sendiri, dan sosial emosional. Penilaian perkembangan kognitif meliputi ketajaman menbedakan stimulus, perhatian, kemampuan memanipulasi benda, imitasi, vokalisasi, daya ingat, mengatasi masalah, dan menyebutkan nama objek. Penilaian perkembangan motorik meliputi kemampuan motorik kasar (mengukur kemampuan berjalan diatas garis lurus, berlari, melompat, membungkukan badan, koordinasi mata dan kaki, koordinasi mata dan tangan, melambungkan bola, berdiri satu kaki, dan berjalan diatas titian) dan motorik halus (membangun menara, meremas, menggambar, menjiplak, melipat, dan menggunting). Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang saling berhubungan. Bertambahnya keterampilan anak baik mental maupun motorik akan mampengaruhi perkembangan sel-sel otak, saraf, tulang dan sebagainya. Gangguan perkembangan tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial (Yuliana et al. 2004). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang dapat menyebabkan berbagai gangguan perkembangan diantaranya gangguan perkembangan kognitif (Walker et al. 2005), dan perkembangan motorik (Pollit 2000). Hingga tahun 1999, hubungan antara stunting dengan perkembangan anak masih belum jelas. Hasil yang bervariasi dihubungkan dengan kemungkinan adanya mekanisme yang berbeda tergantung dari zat gizi apa yang menjadi defisien dalam tubuh anak (Grantham-McGregor et al. 1999). Selain itu, caregiver mungkin kurang memberikan rangsangan terhadap anak apatis, sehingga dapat memperburuk perkembangan anak (Chavez & Martinez 1982). Hipotesis lain menyebutkan bahwa anak stunting bisa menyebabkan orang dewasa memperlakukan mereka seperti anak-anak kecil sehingga tidak memberikan rangsangan yang sesuai dengan usia anak. Perkembangan anak tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan atau status gizi anak. Sebagaimana prinsip perkembangan bahwa semua aspek perkembangan, baik kognitif maupun motorik saling mempengaruhi satu sama lain dengan arah hubungan yang positif. Satu hipotesis menyatakan bahwa anak yang mengalami stunting akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah sehingga tingkat aktifitasnya rendah (Levitsky 1979). Aktifitas fisik dan perkembangan motorik yang rendah dihubungkan dengan perkembangan kognitif anak. Menurut Piaget, meningkatkanya kemampuan intelektual merupakan sebuah akibat dari perilaku gerak dan konsekuensinya. Menurutnya, gerak selalu berhubungan dengan proses berpikir sehingga pengetahuan muncul sebagai akibat dari perilaku yang terjadi melalui gerak tubuh. Hal tersebut sejalan dengan teori gerak Kephart dan Delaco. Kephart menyatakan bahwa kurangnya kemampuan belajar pada anak adalah hasil dari kurangnya integrasi sensori yang merupakan langkah dalam persepsi proses gerak, sedangkan Delaco meyakini bahwa unsurunsur dalam fungsi kognitif yang optimal merupakan pengembangan dari dominasi kontrol otak. Perkembangan Motorik Menurut Hurlock (2000), perkembangan motorik adalah perkembangan pengendalian gerak jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf dan otot yang terkoordinasi. Pengendalian berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan massa yang ada pada waktu lahir. Perkembangan motorik beriringan dengan
12
proses pertumbuhan secara genetis atau kematangan fisik anak (Santrock 2007). Teori yang menjelaskan secara detail tentang sistematika motorik anak adalah Dynamic System Theory yang dikembangkan Thelen dan whiteneyer. Teori tersebut mengungkapkan bahwa untuk membangun kemampuan motorik anak harus mempersepsikan sesuatu di lingkungannya yang memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu dan menggunakan persepsi mereka tersebut untuk bergerak. Perkembangan motor ditandai oleh beberapa ciri yaitu kemampuan yang berkembang secara sistematik, tiap penguasaan kemampuan baru mempersiapkan bayi untuk kemampuan berikutnya. Pertama kali bayi akan belajar keterampilan sederhana, kemudian mengkombinasikannya ke dalam sistem tindakan yang semakin kompleks, yang menghasilkan cakupan gerakan yang lebih luas atau lebih tepat dan kontrol yang lebih efektif terhadap lingkungan (Papalia et al. 2008). Setelah lahir, dalam hal kontrol kepala, sebagian besar bayi dapat menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan ketika ditidurkan telentang. Ketika ditidurkan tengkurap, banyak yang dapat mengangkat kepala mereka cukup tinggi untuk dapat diputarkan. Dalam 2 atau 3 bulan pertama, mereka akan mengangkat kepala mereka semakin tinggi hingga suatu ketika sampai pada titik di mana mereka kehilangan keseimbangan dan berguling. Pada usia 4 bulan, hampir semua bayi dapat menjaga kepala mereka tetap tegak ketika digendong atau dalam posisi duduk. Selain itu, bayi dilahirkan dengan reflek menggenggam. Apabila telapak tangan bayi ditekan, maka tangan akan menggenggam dengan kuat. Pada usia 3.5 bulan, sebagian besar bayi dapat menggenggam benda berukuran sedang seperti mainan, tetapi kesulitan untuk menggenggam objek berukuran kecil. Kemudian mereka akan mencoba menggenggam objek dengan satu tangan dan mengalihkannya ke tangan yang lain. Antara usia 7-11 bulan, tangan mereka sudah cukup terkoordinasi untuk mengambil benda kecil seperti daun, dengan menggunakan pincer grasp. Setelah itu ketepatan kontrol tangan semakin meningkat. Pada bulan ke 15, bayi normal dapat membangun sebuah menara dengan dua kotak. Beberapa bulan setelah ulang tahun yang ketiga, seorang anak dapat menyalin lingkaran dengan baik (Papalia et al. 2008). Dalam hal locomotion, setelah 3 bulan seorang bayi yang normal akan mulai berguling dengan sengaja. Pertama dari muka ke belakang kemudian dari belakang ke muka. Bayi normal dapat duduk tanpa bersandar pada usia 6 bulan, dan diperkirakan bisa duduk tanpa bantuan sekitar 2,5 bulan kemudian. Antara 610 bulan, sebagian besar bayi mulai bergerak merangkak dan merayap dengan kekuatan mereka sendiri. Pencapaian self-locomotion ini sangat mempengaruhi perkembangan kognitif dan psikososial. Dengan bertumpu pada tangan atau perabot, bayi normal dapat berdiri di usia 7 bulan ke atas. Kurang lebih 4 bulan kemudian, bayi sudah dapat berdiri sendiri. Seorang bayi normal dapat berdiri dengan baik sekitar 2 minggu sebelum ulang tahun pertamanya. Semua perkembangan ini mengarah kepada pencapaian keterampilan motorik utama pada bayi yaitu berjalan. Segera setelah mereka dapat berdiri sendiri dengan baik, pada sekitar 11.5 bulan, sebagian besar bayi melakukan langkah pertama mereka. Dalam beberapa minggu, segera setelah ulang tahun pertamanya, anak normal akan dapat berjalan dengan baik (Papalia et al. 2008) Tabel 1 menunjukkan usia rata-rata pada saat anak dapat melakukan tiap keterampilan sebanyak 50% dan 90%, merujuk pada Denver Training Manual II.
13
Ketika membahas tentang apa yang “rata-rata” dapat dilakukan oleh seorang bayi, maka hal tersebut merujuk kepada 50% nilain Denver. Pada kenyataannya, definisi kenormalan mencakup area yang luas, dimana sebagian dari para bayi menguasai keterampilan tersebut sebelum usia yang seharusnya, sedangkan sebagian yang lain justru setelah usia yang seharusnya. Akan tetapi nilai ini belum tentu valid untuk anak dari budaya lain di luar budaya barat. Di indonesia, skala Denver sudah umum dipakai untuk menilai perkembangan pada anak, termasuk perkembangan motorik. Tabel 1 Pondasi perkembangan motorik Keterampilan Bergulimg Menggenggam mainan Duduk sendiri Berdiri ketika dipegang Menggenggam dengan ibu jari dan jari lain Berdiri sendiri dengan baik Berjalan dengan baik Membangun menara dari dua balok Menaiki tangga Loncat di tempat Meniru lingkaran
50% 3.2 bulan 3.3 bulan 5.9 bulan 7.2 bulan 8.2 bulan 11.5 bulan 12.3 bulan 14.8 bulan 16.6 bulan 23.8 bulan 3.4 tahun
90% 5.4 bulan 5.9 bulan 6.8 bulan 8.5 bulan 10.2 bulan 13.7 bulan 14.9 bulan 20.6 bulan 21.6 bulan 2.4 tahun 4.0 tahun
Usia emas dalam perkembangan motorik adalah middle childhood atau masa anak-anak, yang mana terjadi dalam usia anak dan terbagi dalam 3 tahapan yaitu infancytoddlerhood di usia 0 sampai 3 tahun, early childhood usia 3 sampai 6 tahun, dan middle childhood usia 6 sampai 11 tahun. Seperti yang diungkapkan Papalia et al. (2008), pada usia 3-6 tahun, kesehatan fisik anak mulai stabil. Anak tidak mengalami sakit seperti usia sebelumnya. Hal ini menyebabkan perkembangan fisik jadi lebih maskimal dari pada usia sebelumnya. Perkembangan motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan halus. Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh, contohnya kemampuan duduk, menendang, berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, contohnya kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret, menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya (Yusuf 2006). Sejak tahun 1970an, hubungan antara stunting dengan perkembangan motorik telah temukan dalam berbagai studi (Powell & McGregor 1985; Lasky et al. 1981; Monckeberg 1972; Sigman et al. 1989). Anak yang mengalami stunting diketahui akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah sehingga tingkat aktifitasnya rendah. Hal tersebut menyebabkan anak kehilangan rasa ingin tahu terhadap lingkungannya dan kurang mengeksplorasi lingkungan mereka sehingga gagal dalam mencapai perkembagan motorik dan keterampilan dibandingkan dengan anak normal pada umumnya (Levitsky 1979). Perilaku ini juga terlihat pada anak dengan defisiensi besi (Lozoff et al. 1985), zinc (Sazawal et al. 1996; Bentley et al. 1997), dan energi (Torun & Viteri 1981; Viteri & Torun 1981). Salah satu penelitian terbaru dilakukan oleh Paiva et al. (2012) terhadap 55 anak stunting prapubertas di Brazil. Paiva et al. meneliti hubungan antara
14
stunting dengan perkembangan motorik anak yang dinilai dari kemampuan mekanik otot tricep surae dengan menggunakan alat ergometer. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan motorik pada anak stunting rendah sebagai akibat dari terhambatnya proses kematangan otot sehingga kemampuan mekanik otot berkurang. Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif adalah pola perubahan dalam kemampuan mental yang meliputi kemampuan belajar, pemusatan perhatian, berfikir, kreatifitas, dan bahasa (Papalia et al. 2008) yang terbentuk dari interaksi antara faktor internal dengan lingkungan yang termasuk di dalamnya lingkungan keluarga dan luar keluarga (Dariyo 2007). Salah satu pendiri teori perkembangan kognitif yang banyak dirujuk adalah Jean Piaget. Menurut Piaget, anak secara aktif membangun pemahaman dan pengetahuan tentang dunia melalui empat tahapan perkembangan kognitif (Santrock 2007). Masing-masing tahapan perkembangan mempunyai keunikan dan kemampuan tersendiri, serta membangun pencapaian dari setiap tahapan (Ormrod 2003). Tahapan perkembangan tersebut terdiri dari tahap sensorimotorik (0-2 tahun), preoperational (2-7 tahun), concret operational (7-12 tahun) dan formal operational (>12 tahun) (Papalia et al. 2008; Santrock 2007). Tabel 2 Tahap perkembangan kognitif Piaget Tahap Sensorimotorik
Umur 0-2 tahun
preoperational
2-7 tahun
concret operational
7-12 tahun
formal operational
(>12 tahun)
Perkembangan kognitif Perkembangan perlahan pada ketrampilan sensori dan motorik. Kurang dapat membedakan konsep diri dan lingkungan, namun interaksi yang berarti dan pencapaian konsep objek yang permanen Pengembangan kemapuan bahasa dan konsep diri. Anak cenderung egosentris. Mulai muncul kemampuan mencapai imajinasi pikiran. Kemampuan persepsi meningkat, namun masih ditentukan oleh penampilan fisik yang terlihat. Belum mengerti konsep konservasi, pola pikir masih bersifat intuitif dan impulsif. Mulai memahami hukum konservasi dan operasi yang bersifat kebalikan. Mulai dapat mengelompokkan, menyusun menurut ukuran dan bentuk, serta mengenal konsep hubungan. Mulai dapat berpikir abstrak dan menjelaskan konsep. Masalah diselesaikan dengan penjelasan dan logika, serta mampu membuat hipotesa.
Pada tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun) bayi membentuk pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik, misalnya melihat dan mendengar dengan tindakan fisik dan motorik, sehingga disebut “sensorimotorik”. Di akhir tahap ini, anak mampu menghasilkan pola-pola sensorimotorik yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol yang primitif (Santrock 2007). Tahap selanjutnya adalah tahap praoperasional (usia 2-7 tahun). Pemahaman anak tentang benda-benda disekitarnya tidak hanya dilakukan melalui kegiatan sensorimotor akan tetapi juga melalui kegiatan yang bersifat simbolik.
15
Kegiatan simbolik dapat berupa percakapan melalui telepon mainan atau berpurapura menjadi bapak atau ibu dan kegiatan simbolik lainnya. Tahap ini sangat berperan dalam perkembangan kognitif anak karena melibatkan proses berpikir yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan anak mengkaitkannya dengan kegiatan yang dilakukan sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan tidak terorganisir dengan baik (Santrock 2007). Pada tahap preoperasional anak-anak cenderung mendemonstrasikan persepsi mereka dengan beberapa karakteristik warna, bentuk, dan ukuran. Mereka juga sudah mengkategorikan konsep (Papalia 1979). Tahap praoperasional diklasifikasikan dalam dua sub tahap yakni subtahap fungsi simbolik dan sub tahap berpikir intuitif. Subtahap simbolik terjadi ketika anak berusia 2-4 tahun. Pada subtahap ini anak memiliki kemampuan menggambarkan objek secara fisik misalnya menyusun puzzel atau menyusun balok menjadi bangunan tertentu. Subtahap ini juga dikenal dengan subtahap berpikir egosentris, yakni ketidakmampuan anak anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Sedangkan subtahap berpikir intuitif terjadi pada usia 4-7 tahun. Masa ini disebut subtahap berpikir secara intuisi karena saat ini anak kelihatannya mengerti sesuatu padahal ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan balok itu dapat disusun menjadi rumah. Dengan kata lain anak belum memiliki kemampuan kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian (Santrock 2007). Tahap operasional kongkrit (7-12 tahun) adalah tahap dimana kemampuan anak untuk berpikir logis sudah berkembang, dengan syarat objek yang menjadi sumber berpikir logis tersebut hadir secara kongkrit. Kemampuan berpikir logis terwujud dalam kemampuan mengklasifikasikan objek sesuai dengan klasifikasinya, mengurutkan benda sesuai dengan tata urutnya, dan kemampuan berpikir secara deduktif (Santrock 2007). Tahap operasional formal (12 tahun sampai dewasa) ditandai oleh perpindahan dari cara berpikir kongkrit ke cara berpikir abstrak, yang dapat dilihat dari kemampuan mengemukakan ide-ide, memprediksi kejadian yang terjadi dan melakukan proses berpikir ilmiah, yakni mengemukakan hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan kebenaran hipotesis tersebut (Santrock 2007). Perkembangan kognitif anak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal (Dariyo 2007). Faktor eksternal termasuk status ekonomi keluarga. Dalam studi Meksiko, hubungan yang signifikan antara stunting dengan fungsi kognitif muncul pada anak-anak pedesaan yang miskin tetapi tidak muncul pada anak-anak kelas menengah. Peneliti menyimpulkan bahwa stunting pada anak-anak kelas menengah terutama disebabkan oleh kecenderungan genetik, dengan demikian tidak dikaitkan dengan penurunan fungsi neurosensori, sedangkan stunting pada anak-anak miskin di pedesaan terutama disebabkan oleh gizi buruk sehingga dikaitkan dengan defisit fungsional terutama dalam hal integrasi neurosensori (Cravioto et al. 1966). Pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan perkembangan kognitif anak, tetapi melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi perkembangan anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Soedjatmiko (2008) menekankan pentingnya stimulasi kognitif dibandingkan dengan pendidikan orang tua karena
16
walaupun pendidikan orang tua tinggi, apabila tidak menyediakan kebutuhan pokok untuk perkembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang optimal. Sedangkan orang tua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi, belum tentu mereka tidak cerdas, sehingga perkembangan kognitif anak dapat tetap berkembang optimal asalkan diberikan stimulasi kognitif sejak di dalam kandungan sampai usia sekolah dan remaja. Akan tetapi, orang tua dengan pendidikan yang tinggi lebih diharapkan sampai kepada perubahan pengetahuan dan tingkah laku yang baik sehingga dapat memberikan stimulasi yang mendukung bagi perkembangan kognitif anak. Hasil penelitian kohort yang dilakukan oleh Schady (2011) terhadap 2118 anak di daerah pedesaan Ekuator secara menunjukkan bahwa pendidikan orang tua memiliki hubungan yang kuat dengan perkembangan kognitif anak. Sesuai dengan prinsip perkembangan, anak-anak dengan gangguan pertumbuhan seperti stunting akan mempunyai perkembangan kognitif yang tidak optimal. Hipotesisi lain mengemukakan bahwa anak stunting mempunyai ukuran kepala yang lebih kecil, dan jika dibandingkan dengan pengukuran antropometri lainnya, ukuran kapala pada usia dini merupakan prediktor kuat nilai IQ pada usia 7 tahun (Grantham-McGregor et al. 1997). Studi serupa yang lebih baru dilakukan oleh Chang et al. (2002), yang meneliti pengaruh stunting terhadap perkembangan kognitif anak usia 9-24 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan anak normal, anak stunting mempunyai kemampuan kognitif yang rendah di usia 11-12 tahun, yang tercermin dari kemampuan aritmetik, mengeja, membaca kata dan membaca komprehensif, sehingga pencapaian pendidikan anak stunting lebih rendah jika dibandingkan dengan anak-anak normal. Penelitian pada usia yang lebih tinggi juga dilakukan oleh Kar et al. (2007) di Kota Bangalore yang menguji pengaruh stunting pada anak usia 5-7 tahun dan 8-10 tahun terhadap perkembangan kognitif dengan menggunakan ukuran neuropsikologis. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa anak kurang gizi yang tercermin dalam keadaan stunting mempunyai masalah pada pemusatan perhatian, memori, pembelajaran dan kemampuan visuospatial. Kar et al. (2007) menyimpulkan bahwa stunting tidak hanya dapat mempengaruhi perkembangan kognitif pada tahap tertentu, tetapi juga pada tahap yang lebih tinggi sehingga menghasilkan gangguan kognitif jangka panjang.
Peran Lingkungan Pengasuhan Terhadap Perkembangan Anak Pengukuran lingkungan pengasuhan anak salah satunya dapat dilakukan dengan alat bantu HOME Inventory, dimana kualitas lingkungan anak dilihat dari apakah orang tua memberikan reaksi emosi yang tepat, apakah orang tua memberikan dorongan positif kepada anak, apakah orang tua memberikan suasana yang nyaman kepada anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana tumbuh kembang dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dalam kegiatan positif bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga apakah orang tua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah. HOME (Home Observation for Measurement of the Enviroment Inventory) dianggap sebagai pendekatan yang paling populer guna mengukur lingkungan pengasuhan di rumah berupa stimulasi psikososial baik secara kualitas maupun
17
kuantitas, yang dirancang oleh Caldwel dan Bradley (1984). Instrumen ini terdiri dari 55 butir pertanyaan yang menggambarkan kualitas lingkungan anak. Masingmasing pertanyaan diberi skor 1 (apabila sesuai pertanyaan) dan 0 (apabila tidak sesuai pertanyaan). Instrumen HOME (Home Observation for Measurement of the Enviroment Inventory) ini terdiri dari 2 versi yaitu untuk mengukur lingkungan pengasuhan yang diselenggarakan orang tua untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun) dan anak usia prasekolah (3-6 tahun). Terdapat delapan dimensi dalam instrumen HOME yang biasa digunakan untuk memprediksi perkembangan kognitif anak usia prasekolah yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, stimulasi akademik, variasi stimulasi, hukuman, modeling, kehangatan dan penerimaan, serta lingkungan fisik. Selain untuk memprediksi perkembangan kognitif, instrumen HOME juga bisa digunakan untuk memprediksi pencapaian akademik, perkembangan bahasa, serta kualitas kesehatan yang telah diuji pada beberapa etnis di seluruh dunia. Semakin tinggi skor HOME, maka semakin baik pula perkembangan anak (Anwar 2002). Pola asuh anak dapat berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, dan memberikan kasih sayang. Hal-hal tersebut berhubungan dengan keadaan ibu yang meliputi kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, sifat pekerjaan sehari-hari, dan sebagainya (Soekirman 2000). Menurut Sternberg dan Grigorenko (2001), lingkungan pengasuhan merupakan faktor “genetik” yang juga diwariskan. Walau bagaimanapun, perbedaan dalam lingkungan pengasuhan sebagian merupakan respon terhadap perbedaan genetik di antara anak-anak yang dibesarkan (emosi, minat, kemampuan, dan sebagainya). Analisis dengan menggunakan ukuran standar lingkungan pengasuhan seperti Skala Lingkungan Keluarga (FES) dan Home Observation for the Measurement of Environment (HOME) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi dalam membesarkan anak-anak (kehangatan dari orang tua, mainan yang disediakan, dan sebagainya) sekitar 40% diwariskan. Sebagai bukti, kembar identik yang diasuh terpisah menilai lingkungan masa kecil mereka lebih mirip dibandingkan dengan kembar fraternal yang diasuh bersama-sama. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang benar-benar mengamati interaksi orangtua dan anak yang membuktikan bahwa adanya pengaruh genetik pada lingkungan pengasuhan (Scarr 1996). Selain itu, sekitar separuh dari korelasi fenotipik antara HOME dan IQ anak-anak adalah genetik. Artinya, variasi substansial dalam kedua lingkungan HOME dan IQ dapat ditelusuri ke gen yang sama (Plomin et al. 1997). Pola asuh mencakup stimulasi psokososial, yaitu kegiatan bermain sejak bayi baru lahir yang dilakukan dengan penuh kasih sayang, setiap hari, bervariasi dan berkelanjutan untuk merangsang otak kiri dan kanan, melalui semua sistem indra untuk merangsang kemampuan berpikir, berkomunikasi, emosi, menikmati musik dan ruang serta berbagai kemampuan lain pada balita (Soedjatmiko 2008). Depdiknas (2002) mendefinisikan stimulasi psikososial sebagai stimulasi pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik dan motorik anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu et al. (2003) menunjukkan bahwa status gizi dan perkembangan anak secara signifikan dipengaruhi oleh lingkungan
18
pengasuhan. Sejalan dengan hal tersebut, Miquelote et al. (2012) meneliti hubungan antara lingkungan pengasuhan dengan perkembangan kognitif dan motorik anak balita yang diukur dengan menggunakan instrumen Home Environment for Motor Development dengan skala Bayley untuk perkembangan balita. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa terdapat berhubungan kuat antara lingkungan pengasuhan yang mencakup stimulasi motorik terhadap perkembangan motorik dan bahkan kognitif balita. Lingkungan pengasuhan lebih penting dibandingkan dengan materi, terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Zeitlin et al. (2000) yang menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah dapat memiliki anak sehat dan bergizi baik bila ibu memberikan pengasuhan yang memadai dan tepat. Kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai terbukti berperan penting dalam tumbuh kembang anak. Anak-anak dengan kelompok keadaan gizi yang lebih baik berkaitan erat juga dengan pola pengasuhan, yaitu perilaku pemberian ASI (Jus‟at et al. 2000). Walker et al. (2005) meneliti pengaruh suplementasi gizi dan stimulasi psikososial terhadap perkembangan kognitif anak stunting dan normal usia 9-24 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan stimulasi psikososial, suplementasi tidak mempunyai efek yang signifikan dengan perkembangan kognitif anak di usia 17-18 tahun. Anak stunting yang tidak mendapat stimulasi psikososial mempunyai skor kognitif yang lebih rendah. Stunting pada anak usia dini dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif dan pendidikan di akhir masa remaja, yang dapat dikoreksi dengan stimulasi pada usia dini. Lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut hasil penelitian Latifah et al. (2010), terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah dan ibu dengan stimulasi psikososial. Selain itu, semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit pembagian perhatian pada masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu akan mempengaruhi kualitas pengasuhan dan perawatan anak. Besar keluarga dalam beberapa penelitian berhubungan dengan kualitas pengasuhan yang diberikan pada anak. Hasil penelitian Sa‟diyyah (1998) terhadap keluarga yang memiliki anak usia 24-59 bulan menunjukkan bahwa curahan waktu ibu untuk anak di pengaruhi oleh besar keluarga, budaya dan wilayah tempat tinggal. Semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk anaknya. Pada masyarakat tradisional dan modern, ibu yang bekerja akan menitipkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain sehingga kualitas pengasuhan anak tidak terkontrol dengan baik. Menurut Satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Perbedaan tingkat ekonomi keluarga menyebabkan adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola pengasuhan orang tua terhadap anaknya terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana edukasi bagi anak. Anak-anak dari golongan keluarga berstatus sosial rendah kurang memperoleh rangsangan mental, hal ini disebabkan orang tua sering kali sibuk atau terlalu dibebani oleh masalah ekonomi (Beck 1998). Latifah et al. (2010) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara pendapatan per kapita keluarga dengan stimulasi psikososial.
19
3
KERANGKA PEMIKIRAN
Pertumbuhan pada anak merupakan merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat karena hal tersebut erat kaitannya dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang tercermin dari keadaan tubuh yang pendek sehingga melewati defisit 2SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi. Anak usia dini yang mengalami stunting biasanya mempunyai masalah dalam perkembangan, walaupun faktor pengasuhan turut berperan dalam membentuk perkembangan anak. Anak dengan gangguan pertumbuhan (stunting) cenderung mengalami penurunan kinerja sistem syaraf, terlihat dari kemampuan kognitif yang rendah di akhir masa remaja. Penurunan fungsi motorik pada anak stunting dapat disebabkan oleh rendahnya kemampuan mekanik dari sistem otot tricep surae sehingga menghambat kemampuan motorik mereka. Oleh karena itu, gangguan pertumbuhan (stunting) mungkin dapat mempengaruhi fungsi motorik dan kognitif secara bersamaan. Gangguan pertumbuhan dapat terjadi secara luas baik di lingkungan yang miskin maupun di lingkungan yang relatif surplus bahan pangan. Dalam suatu populasi, seorang anak dapat menjadi stunted atau tidak. Oleh sebab itu, diperlukan pemahaman yang baik tentang mengapa dan bagaimana anak-anak menjadi stunting baik pada tingkat individu maupun ekologi. Stunting pada anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor ekonomi, sosial, maupun budaya. Hal tersebut tercermin dalam karakteristik anak, karakteristik keluarga anak, dan konsumsi anak. Ketiga aspek tersebut seringkali dipertimbangkan sebagai faktor-faktor yang dapat menjadi risiko dalam munculnya gangguan pertumbuhan pada anak usia prasekolah. Usia dan jenis kelamin termasuk variabel karakteristik anak yang penting dan seringkali menjadi dasar dalam klasifikasi demografi pada penelitian survei. Jenis kelamin dapat menyebabkan pola asuh gizi dan pengeluaran energi yang berbeda sehingga diduga dapat menyebabkan magnitud stunting yang berbeda pada kedua jenis kelamin. Stunting adalah proses kumulatif yang dimulai dalam rahim dan terus berlanjut sampai sekitar tiga tahun setelah kelahiran, sehingga dalam beberapa studi ditemukan hubungan yang signifikan antara kejadian stunting dan usia anak. Gangguan pertumbuhan juga dikaitkan dengan status kesehatan khususnya diare. Diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak. Diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan malnutrisi pada anak sehingga efek jangka panjangnya dapat menyebabkan stunting. Selain status kesehatan, status kelahiran juga turut berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Bayi dengan panjang lahir dibawah normal menandakan telah terjadi retardasi pertumbuhan ketika masih dalam kandungan, sedangkan bayi dengan berat lahir rendah mempunyai kejar tumbuh (catch up growth) yang tidak sempurna di kemudian hari sehingga pertumbuhan anak tersebut tehambat.
20
Karakteristik keluarga turut berperan dalam munculnya gangguan pertumbuhan pada anak. Ukuran rumah tangga yang besar biasanya menjadi faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan dalam keluarga. Pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga mendapatkan makanan. Pekerjaan orang tua khususnya ibu turut mempengaruhi intensitas dan kualitas pola-pola hubungan yang terbentuk dalam keluarga, termasuk pola asuh gizi dan kesehatan pada anak. Ibu yang mempunyai pekerjaan di luar berarti mempunyai pekerjaan ganda selain sebagai ibu rumah tangga, hal tersebut mempengaruhi kelekatan hubungan dengan anak karena rendahnya kualitas dan kuantitas komunikasi yang terbentuk Tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola asuh anak karena berhubungan dengan cara berpikir dan keterbukaan terhadap informasi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga kurang bergizi yang akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga. Gangguan pertumbuhan juga banyak ditemukan pada keluarga dengan orang tua yang merokok hal tersebut berkaitan dengan alokasi pengeluaran untuk pangan atau konsekuensi klinis dari tembakau terhadap status gizi dan penundaan pertumbuhan skeletal. Selain faktor eksternal, faktor internal seperti genetik juga berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Orang tua dengan tinggi badan yang pendek berpeluang melahirkan anak yang pendek pula. Konsumsi zat gizi yang berasal dari makanan atau ASI pada anak balita menjadi faktor lain yang sering dikaitkan dengan gangguan pertumbuhan pada anak. Konsumsi zat gizi anak meliputi pemberian kolostrum, lama pemberian ASI, jenis makanan, usia pertama kali diperkenalkan MP-ASI, dan pola asuh makan. ASI dan kolostrum memberikan efek protektif terhadap balita dan bayi yang baru lahir. Akan tetapi, durasi menyusui yang semakin lama dapat meningkatkan risiko stunting pada anak disebabkan ibu cenderung tidak memberikan MP-ASI dengan cukup sesuai usia anak. MP-ASI sangat dibutuhkan anak untuk memenuhi kebutuhan gizi yang tidak cukup dari ASI. Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam mencapai pertumbuhan yang optimal bukan hanya dengan menyediakan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik, tetapi juga harus memperhatikan pola asuh makan yang tepat bagi anak. Sebuah wilayah surplus pangan tidak menjamin penduduknya terbebas dari masalah stunting. Hal tersebut dapat terjadi karena status gizi dan perkembangan anak secara signifikan dipengaruhi oleh lingkungan pengasuhan. Praktek pengasuhan gizi dan kesehatan yang dilakukan oleh seorang ibu merupakan hasil dari proses panjang yang dimulai dari adanya pengetahuan yang disebabkan oleh suatu stimuli tertentu. Stimuli tersebut dapat berasal dari lingkungan sosial maupun media informasi.
21
Karakteristik anak: Jenis kelamin Status kesehatan Berat badan lahir Panjang badan lahir Prematuritas
Perkembangan anak:
Pertumbuhan anak:
motorik
Pola konsumsi anak: tingkat kecukupan gizi riwayat pemberian ASI dan MP-ASI kebiasaan makan
Praktek pengasuhan gizi dan kesehatan oleh ibu
Pengetahuan gizi dan kesehatan pada ibu
Praktek pengasuhan anak oleh ibu
Pengetahuan pengasuhan anak pada ibu
Karakteristik keluarga: Besar keluarga dapatan perkapita keluarga Pekerjaan orang tua
Status merokok keluarga Riwayat penyakit kehamilan ibu
Gambar 1 Kaitan pertumbuhan dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia prasekolah
22
4
METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Desain Penelitian ini termasuk penelitian yang menggunakan desain survei, dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan kognitif dan motorik yang ada di kelompok tertentu. Penelitian ini termasuk penelitian survei dimana penyebab dan efek diobservasi pada saat yang sama, akan tetapi data yang diambil juga meliputi data yang menggambarkan kondisi masa lalu. Pengambilan data dilakukan hanya sekali dan digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik dan menilai hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Lokasi Penelitian dilakukan di Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kecamatan Ciampea terletak sekitar 30 km dari pusat Pemerintahan Kabupaten, 130 km dari pusat Ibukota Propinsi, dan 60 km dari pusat Ibukota Negara. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa prevalensi balita pendek di Kabupaten Bogor mencapai 25.5% (Riyadi et al. 2006) dan tergolong masalah publik yang sedang menurut acuan WHO karena berada pada kisaran 20-29%. Waktu Persiapan penelitian meliputi pemilihan lokasi dan sasaran, pembuatan kuesioner, uji coba kuesioner, dan pengambilan data di lapangan. Penelitian ini berlangsung selama 2 Bulan yaitu dari bulan Juni 2013 sampai bulan Agustus 2013.
Teknik Pemilihan Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah anak berusia 3-5 tahun yang berada di Desa Cibanteng. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan data yang ada di posyandu Desa Cibanteng. Pemilihan contoh anak usia 3-5 tahun didasarkan atas pertimbangan bahwa kelompok usia tersebut merupakan kelompok usia yang sedang mengalami perkembangan fase awal yang cukup pesat meliputi perkembangan kognitif dan motorik (Chamidah 2009). Usia 3-5 tahun merupakan usia transisi dari lingkungan keluarga menuju lingkungan sekolah dimana pada usia ini anak mulai disiapkan untuk memasuki masa sekolah sehingga mulai diberikan stimulasi psikososial (Khomsan et al. 2012). Dari seluruh anak berusia 3-5 tahun yang ada di posyandu Desa Cibanteng, dipilih contoh secara purposive dengan kriteria inklusi: 1) berusia 3-5 tahun; 2); mempunyai orang tua lengkap dan bersedia diambil data; 3) mempunyai data berat badan dan tinggi badan saat lahir; 4) tidak mempunyai cacat atau kelainan bawaan. Kriteria eksklusi penelitian adalah anak sedang menjalani pengobatan atau sedang sakit.
23
Pertimbangan penggunaan kriteria inklusi adalah untuk menghindari terjadinya bias seleksi karena adanya kemungkinan pengaruh yang berbeda dari status gizi yang berbeda terhadap perkembangan kognitif dan motorik balita. Pertimbangan penggunaan kriteria eksklusi adalah peneliti ingin melihat kemampuan kognitif dan motorik anak sehari-hari, tidak dipengaruhi oleh status kesehatan balita pada saat diambil data. Anak yang sedang sakit cenderung lebih rewel ketika akan diambil data sehingga tidak diikutsertakan dalam penelitian. Pengambilan contoh dilakukan dengan cara melakukan screening untuk mengetahui anak yang masuk kedalam kriteria inklusi dan eksklusi penelitian melalui penelusuran data posyandu. Ukuran sampel dihitung berdasarkan rumus pendugaan proporsi seperti yang dikemukakan oleh Ariawan (1997).
Dimana: n = jumlah minimal sampel yang diambil = 95% (peluang) 1-α p = 25.5% proporsi balita stunting di kabupaten bogor (Riyadi et al. 2006) d = kesalahan yang dapat ditaksir (presisi) = 0.1 Sehingga:
= 73
Berdasarkan hasil survei lokasi penelitian sebelumnya, diketahui bahwa jumlah posyandu yang berada di Desa Cibanteng berjumlah 12 posyandu. Dari jumlah tersebut maka diambil contoh secara proporsional sebanyak 73 balita sehingga tiap posyandu diambil balita kurang lebih sebanyak 6 atau 7 orang balita yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian.
Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan langsung melalui pengukuran yang meliputi data karakteristik keluarga, data pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak pada ibu, data karakteristik anak, data perkembangan anak (kognitif dan motorik), data pertumbuhan anak (TB/U), data pola konsumsi anak, dan data lingkungan pengasuhan anak yang meliputi praktek pengasuhan gizi, kesehatan, dan stimulasi psikososial oleh ibu. Data sekunder didapatkan dengan penelusuran literatur yang meliputi data mengenai gambaran umum lokasi penelitian serta jumlah dan karakteristik anak prasekolah yang ada di posyandu Desa Cibanteng. Secara lebih rinci, cara pengumpulan data dan pengolahan data untuk masing-masing variabel atau peubah ditampilkan pada Tabel 3.
24
Tabel 3 Peubah, cara pengumpulan data, dan pengolahan data cara pengumpulan data
No Peubah Data Primer A. Data Karateristik Keluarga 1. Besar keluarga
Wawancara
2.
Pendidikan orang tua
Wawancara
3. 4.
Pekerjaan orang tua Pendapatan/kapita keluarga
Wawancara Wawancara
5.
Tinggi badan ibu
6. 7. 8.
Usia orang tua Status merokok keluarga Riwayat penyakit kehamilan
Pengukuran langsung Wawancara Wawancara Wawancara, buku KIA atau catatan kehamilan
B. Data Pengetahuan Ibu 9. Pengetahuan gizi 10. Pengetahuan kesehatan 11. Pengetahuan pengasuhan anak C. Data Praktek Ibu 12. Praktek pengasuhan gizi
Wawancara
Wawancara
Pengolahan data Kecil (≤4 orang) Sedang(5-7 orang) Besar(>7 orang) (BKKBN 2003) Lama menempuh pendidikan formal (tahun) Kategorikal BPS (2012) dan gold standard (Sukandar et al. 2008) <150 cm, 150-155 cm atau >155cm Dalam tahun dan bulan Merokok/Tidak merokok Jenis penyakit yang diderita ibu selama hamil
Rendah: <60% Sedang: 60%-79% Tinggi: ≥80% Rendah: <60% Sedang: 60%-79% Tinggi: ≥80%
13. Praktek pengasuhan kesehatan
Wawancara
14. Praktek Pengasuhan anak
HOME inventory (55 poin)
Rendah: 0-29 Sedang: 24-32 Tinggi: 46-55
FFQ modifikasi Wawancara
Depkes (1996) Lama pemberian ASI eksklusif dan jenis MP-ASI yang diberikan Deskriptif
D. Data Pola Konsumsi Anak 15. Tingkat kecukupan gizi 16. Riwayat pemberian ASI dan MP-ASI 17. Kebiasaan makan E. Data Karakteristik Anak 18. Umur 19. Jenis kelamin 20. Status kesehatan
Wawancara
21. Berat badan lahir
Wawancara dan melihat KMS Wawancara dan melihat KMS Wawancara dan melihat KMS
22. Panjang badan lahir 23. Prematuritas
Wawancara Wawancara Wawancara
Dalam tahun dan bulan Laki-laki/perempuan Jenis dan lama penyakit yang diderita oleh anak sejak lahir dan satu bulan terakhir <2.500 gram ≥2.500 gram Pendek: <48 cm Normal: ≥48 cm Cukup bulan (≥37 minggu) Prematur (<37 minggu)
25
No Peubah F. Data Perkembangan Anak
cara pengumpulan data
24.
Perkembangan kognitif
Tes perkembangan anak (Puskur 2004)
25.
Perkembangan motorik
Tes perkembangan anak (Puskur 2004)
Pengolahan data Rendah: <60% Sedang: 60%-79% Tinggi: ≥80% Rendah: <60% Sedang: 60%-79% Tinggi: ≥80%
G. Data Pertumbuhan Anak 26.
TB/U
Data Sekunder 27. Profil wilayah penelitian 28. Jumlah anak
Wawancara dan Pengukuran langsung
Z-score TB/U
Penelusuran literatur Data posyandu
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik. Data karakteristik keluarga, praktek pengasuhan gizi, praktek pengasuhan kesehatan, pengetahuan gizi ibu, pengetahuan kesehatan ibu, pengetahuan pengasuhan anak pada ibu, karakteristik anak, status merokok keluarga, kebiasaan makan, dan riwayat pemberian ASI dan MP-ASI diambil dengan menggunakan kuesioner. Data tingkat kecukupan gizi anak diukur dengan menggunakan metode food frequency yang dimodifikasi. Metode FFQ yang dimodifikasi berguna untuk mengetahui gambaran pola konsumsi anak sejak masa lalu hingga masa kini yang ditambahkan dengan komponen ukuran rumah tangga untuk mengetahui gambaran asupan zat gizi tertentu yang berkaitan dengan pertumbuhan anak seperti energi, protein, besi, kalsium, fosfor, dan vitamin A sejak anak mulai diperkenalkan dengan MP-ASI. Data praktek pengasuhan anak oleh ibu diambil dengan menggunakan HOME (Home Observation for Measurements of the Environment) untuk anak usia 3-5 tahun. HOME (Home Observation for Measurement of the Enviroment Inventory) dianggap sebagai pendekatan yang paling populer guna mengukur lingkungan pengasuhan di rumah berupa stimulasi psikososial baik secara kualitas maupun kuantitas, yang dirancang oleh Caldwel dan Bradley (1984). Instrumen HOME terdiri dari 2 versi yaitu untuk mengukur lingkungan pengasuhan yang diselenggarakan orang tua untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun) dan anak usia prasekolah (3-6 tahun). Terdapat delapan dimensi dalam instrumen HOME yang biasa digunakan untuk memprediksi perkembangan kognitif anak usia prasekolah yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, stimulasi akademik, variasi stimulasi, hukuman, modeling, kehangatan dan penerimaan, serta lingkungan fisik. Data pertumbuhan anak (TB/U) diambil dengan mengukur secara langsung tinggi badan anak menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm, sedangkan data usia anak didapat dengan wawancara atau melihat KMS. Data prematuritas, berat, dan panjang lahir anak didapat dengan wawancara atau melihat KMS. Data status kesehatan anak dan riwayat penyakit selama kehamilan ibu didapat melalui wawancara dan melihat buku KIA atau catatan kehamilan. Data tinggi badan orang tua diambil melalui pengukuran langsung dengan menggunakan microtoise. Data perkembangan kognitif dan motorik diambil dengan mengisi tes berdasarkan instrumen yang dikembangkan oleh Pusat
26
Kurikulum Anak Usia Dini Departemen Pendidikan Nasional (2004). Instrumen penilaian perkembangan anak Depdiknas (2004) terdiri dari serangkaian tes yang disesuaikan menurut usia dan tahap perkembangan anak. Data sekunder yang meliputi data mengenai gambaran umum lokasi penelitian dan jumlah anak diperoleh melalui posyandu dan penelusuran literatur.
Pengolahan dan Analisis Data Data diolah dalam beberapa tahap yaitu: 1) penyusunan kode untuk memudahkan proses entry data; 2) pembersihan data atau cleaning data untuk menghindari kesalahan dalam memasukan data; 3) skoring terhadap nilai pengetahuan gizi, nilai pengetahuan kesehatan anak, nilai pengetahuan pengasuhan anak, perkembangan kognitif, perkembangan motorik, praktek pengasuhan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak; 4) kategorisasi terhadap data skor; 6) analisis deskriptif, analisis korelasi, dan analisis regresi berganda dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dan SAS. Skoring terhadap nilai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak didapatkan dari 20 pertanyaan dengan tiga kategori jawaban. Setiap jawaban benar pada pertanyaan tentang pengetahuan bernilai satu dan jawaban selain itu bernilai 0. Skoring terhadap nilai praktek pengasuhan gizi dan kesehatan didapatkan dari 20 pertanyaan dengan dua kategori jawaban. Setiap jawaban diberi nilai 1 apabila menjawab ya, dan 0 apabila menjawab tidak. Tingkat pengetahuan dan praktek merupakan persentase dari jumlah skor aktual terhadap jumlah skor yang diharapkan dikali dengan 100%. Tingkat pengetahuan dan praktek dikategorikan rendah jika bernilai kurang dari 60%, dikategorikan sedang jika bernilai 60%-79%, dan dikategorikan tinggi jika bernilai lebih dari sama dengan 80% (Khomsan 2000). Data perkembangan kognitif dan motorik anak diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Anak Usia Dini Departemen Pendidikan Nasional (2004) berdasarkan usia anak. Instrumen perkembangan motorik anak meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus yang dibedakan berdasarkan usia anak. Skor tes perkembangan anak diakumulasi untuk setiap jenis perkembangan. Tingkat perkembangan kognitif dan motorik anak merupakan persentase dari jumlah skor aktual terhadap jumlah skor yang diharapkan dikali dengan 100%. Tingkat perkembangan kognitif dan motorik anak dikategorikan rendah apabila skornya kurang dari 60%, sedang jika skornya 60%-79%, dan tinggi jika skornya lebih dari sama dengan 80% (Khomsan et al. 2013). Praktek pengasuhan anak dinilai dari kuesioner dengan menggunakan alat ukur HOME inventory. Instrumen ini terdiri dari 55 butir pertanyaan yang menggambarkan kualitas lingkungan anak yang dibagi atas delapan sub skala yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, model, variasi stimulasi, dan hukuman. Masing-masing pertanyaan diberi skor 1 (apabila sesuai pertanyaan) dan 0 (apabila tidak sesuai pertanyaan). Semakin tinggi skor HOME, maka semakin baik pula perkembangan anak (Anwar 2002). Data tingkat pendidikan orang tua diukur dari jumlah tahun mengikuti pendidikan formal yang dikategorikan kedalam jenjang pendidikan Sekolah Dasar
27
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Perguruan Tinggi (PT). Data besar keluarga diukur berdasarkan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu pengelolaan keuangan bersama dan kemudian dikategorikan ke dalam keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar (BKKBN 2003). Data pendapatan keluarga diukur dengan menjumlahkan pendapatan seluruh anggota keluarga yang berasal dari pekerjaan utama, pekerjaan tambahan, atau sumber-sumber lainnya yang dihitung selama satu tahun. Data pendapatan keluarga dibagi dengan ukuran keluarga untuk menentukan pendapatan per kapita keluarga. Keluarga dikategorikan miskin apabila pendapatan per kapita keluarga dibawah garis kemiskinan wilayah. Garis kemiskinan Kabupaten Bogor tahun 2010 adalah sebesar Rp 214.338/kapita/bulan (BPS 2012). Jika menggunakan pendekatan gold standard, maka garis kemiskinan untuk wilayah pedesaan setara dengan 2.29 gram emas murni atau setara dengan Rp 1.147.290/kap/bulan (Sukandar et al. 2008). Data tinggi badan ibu dikategorikan menjadi <150cm, 150-155 cm dan >155 cm (Zottarelli et al. 2007). Data riwayat penyakit kehamilan ibu meliputi infeksi TORCH (toxoplasma, rubella, cytomegalovirus, herpes simplex), malaria, preeklampsia-eklampsia, hiperemesis, dan gejala anemia (Nasikhah 2012). Data prematuritas anak dikelompokan menjadi usia kelahiran prematur (<37 minggu) dan usia kelahiran normal (≥37 minggu), sementara data panjang badan lahir anak dikelompokan menjadi pendek (<48 cm) dan normal (≥48 cm) (Kemenkes 2010). Data pertumbuhan anak (TB/U) dikategorikan berdasarkan kesepakatan ahli gizi di Indonesia berdasarkan standar WHO/NCHS (LIPI 2000) (Tabel 4). Tabel 4 kategori pertumbuhan anak berdasarkan TB/U Indikator Tinggi badan menurut umur (TB/U)
Kategori status gizi Sangat pendek Pendek Normal
Keterangan z-score <-3 -3 ≤ z-score < -2 z-score ≥-2
Sumber: LIPI (2000)
Data tingkat kecukupan gizi anak diolah dengan menggunakan FFQ yang dimodifikasi dengan menambahkan komponen ukuran rumah tangga sehingga diketahui jumlah konsumsi energi, protein, besi, kalsium, fosfor, dan vitamin A. Instrumen yang digunakan dalam menghitung kandungan gizi adalah daftar komposisi bahan makanan. Tingkat kecukupan gizi masing-masing zat gizi merupakan perbandingan konsumsi zat gizi aktual terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai dengan kelompok umurnya, kemudian dikalikan dengan 100%. Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral yaitu kurang (<77% AKG) dan cukup (≥77 % AKG) (Gibson 2005). Sedangkan untuk kriteria tingkat kecukupan energi dan protein menggunakan cutoff yang didasarkan atas kriteria Depkes (1996). Secara lebih rinci diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5 Kriteria tingkat kecukupan energi dan protein (Depkes 1996) Kriteria Lebih Normal Defisit tingkat ringan Defisit tingkat sedang Defisit tingkat berat
Cutoff ≥120% AKG 90-119 % AKG 80-89 % AKG 70-79 % AKG < 70 % AKG
28
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS 16 for Windows. Analisis deskriptif menggambarkan sebaran variabel yang diteliti berdasarkan persen dan rataan. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis hubungan antara: 1) karakteristik keluarga, karakteristik anak, TKG anak, perkembangan (kognitif dan motorik) dan tinggi badan anak menurut umur; 2) karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak; 3) karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak); dan 4) praktek ibu mengenai gizi dan kesehatan dengan tingkat kecukupan gizi anak. Untuk melihat faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak, digunakan analisis regresi berganda dengan model: Model 1:
y1 = β0 + β1 X1 +β2X2 + β3X3 +β4X4 + β5X5 +β6X6 + β7X7 + β8X8 + β9X9 +ε Keterangan: y1 = z-score (TB/U) β0 = Intersep β1X1 = Panjang badan lahir anak β2X2 = Prematuritas anak ketika lahir β3X3 = Status kesehatan anak sejak lahir β4X4 = Tinggi badan ibu β5X5 = Usia mulai diperkenalkan MP-ASI β6X6 = Konsumsi energi β7X7 = Konsumsi protein β8X8 = Pendapatan perkapita keluarga β9X9 = Status merokok anggota keluarga = Galat (error) ε Model 2:
y2 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + ε Keterangan: y2 = Perkembangan motorik halus anak prasekolah β0 = Intersep β1X1 = Status kesehatan anak sejak lahir β2X2 = Lama mengikuti PAUD β3X3 = Usia anak β4X4 = Lama pendidikan ibu β5X5 = z-score (TB/U) β6X6 = Praktik ibu terhadap pengasuhan anak (HOME) β7X7 = Perkembangan kognitif anak β8X8 = Perkembangan motorik kasar anak ε = Galat (error) Model 3:
y2 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + ε Keterangan:
29
y2 β0
β1 X1 β2 X2 β3 X3 β4 X4 β5 X5 β6 X6 β7 X7 β8 X8 ε
= Perkembangan motorik kasar anak prasekolah = Intersep = Status kesehatan anak sejak lahir = Lama mengikuti PAUD = Usia anak = Lama pendidikan ibu = z-score (TB/U) = Praktik ibu terhadap pengasuhan anak (HOME) = Perkembangan kognitif anak = Perkembangan motorik halus anak = Galat (error)
Model 4:
y2 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + ε Keterangan: y2 = Perkembangan kognitif anak prasekolah β0 = Intersep β1X1 = Status kesehatan anak sejak lahir β2X2 = Lama mengikuti PAUD β3X3 = Usia anak β4X4 = Lama pendidikan ibu β5X5 = z-score (TB/U) β6X6 = Praktik ibu terhadap pengasuhan anak (HOME) β7X7 = Perkembangan motorik halus anak β8X8 = Perkembangan motorik kasar anak ε = Galat (error) Setelah diketahui faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan variabel terikat, maka dilakukan analisis regresi ulang dengan menggunakan software SAS untuk mengetahui seberapa besar kontribusi dari masing-masing faktor tersebut terhadap variabel terikat.
Definisi Operasional Anak usia prasekolah adalah anak laki-laki dan perempuan yang berusia 3-5 tahun. Status kesehatan anak adalah lama dan jenis penyakit yang telah atau sedang diderita oleh anak sejak lahir dan selama satu bulan terakhir. Berat badan lahir anak adalah berat badan anak prasekolah pada saat lahir yang diketahui dengan melihat KMS, dikelompokkan menjadi BBLR (<2500 gram) dan normal (≥2500 gram) (Kemenkes 2010). Panjang badan lahir anak adalah panjang badan anak prasekolah pada saat lahir yang diketahui dengan melihat KMS, dikelompokan menjadi pendek (<48 cm) dan normal (≥48 cm) (Kemenkes 2010). Prematuritas adalah usia kehamilan saat anak lahir, dikelompokan menjadi prematur (<37 minggu) dan normal (≥37 minggu) (Kemenkes 2010).
30
Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu pengelolaan keuangan keluarga, kemudian dikategorikan ke dalam keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Pendapatan perkapita keluarga adalah pendapatan keluarga dibagi dengan besar keluarga, kemudian dikategorikan miskin apabila pendapatan per kapita keluarga dibawah Rp 204.199/kapita/bulan. Pertumbuhan anak adalah keadaan anak usia prasekolah yang diakibatkan oleh konsumsi, pencernaan, penyerapan, penggunaan, dan pengeluaran zat gizi yang diukur menggunakan indikator TB/U. Perkembangan motorik fenomena perkembangan anak yang meliputi perkembangan motorik kasar dan halus. Motorik kasar melibatkan sebagian besar bagian tubuh dan otot yang lebih besar. Motorik halus melibatkan bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot kecil. Pengukuran perkembangan motorik adalah serangkaian tes yang dilakukan untuk melihat perkembangan motorik anak prasekolah dengan menggunakan instrumen perkembangan anak yang terdiri dari pertanyaan motorik halus dan motorik kasar (Puskur Diknas 2004). Perkembangan kognitif adalah fenomena perkembangan anak mengenai konsep atau pengertian, meliputi pengenalan warna, suara, rasa, tekstur, nama, dan konsep yang lebih abstrak dan majemuk (Yusuf 2006). Pengukuran perkembangan kognitif adalah serangkaian tes yang dilakukan untuk melihat perkembangan kognitif anak prasekolah dengan menggunakan instrumen perkembangan anak (Puskur Diknas 2004). Pengetahuan gizi dan kesehatan adalah penguasaan materi ibu yang berhubungan dengan pangan, gizi, dan kesehatan anak yang dinilai berdasarkan persentase total jawaban benar dari serangkaian pertanyaan yang diajukan. Pengetahuan pengasuhan anak adalah penguasaan materi ibu yang berhubungan dengan pengasuhan anak yang dinilai berdasarkan persentase total jawaban benar dari serangkaian pertanyaan yang diajukan. Praktek gizi dan kesehatan adalah kegiatan pengasuhan yang dilakukan oleh ibu terhadap anak yang meliputi penyediaan makanan anak dan pemeliharaan kesehatan anak. Praktek pengasuhan anak adalah kegiatan pengasuhan yang dilakukan oleh ibu terhadap anak yang meliputi stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan kasih sayang, stimulasi akademik, model, pengalaman, dan hukuman yang diukur dengan menggunakan instrumen HOME Inventory yang terdiri dari 55 pertanyaan dan bernilai maksimal 55 poin. Asupan gizi adalah jumlah energi, protein, dan mikronutrien (besi, kalsium, fosfor, vitamin A) yang dikonsumsi anak usia prasekolah yang diukur dengan menggunakan metode FFQ yang domodifikasi. Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan jumlah konsumsi zat gizi terhadap angka kecukupan gizi tersebut sesuai dengan kelompok umur, dikalikan dengan 100%.
31
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Keadaan Geografis Desa Cibanteng merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 162,185 Ha, terdiri dari 45 RT (Rukun Tetangga) dan 8 RW (Rukun Warga) dengan luas areal pesawahan 20,9 Ha dan tanah atau daratan seluas 141.285 Ha. Desa Cibanteng berbatasan dengan Desa benteng di sebelah utara, Desa Babakan di sebelah timur, Desa Cihideung Ilir dan Cihideung Udik di sebelah selatan, serta Desa Bojong Jengkol di sebelah barat. Apabila diukur dengan menggunakan alat transportasi yang digunakan masyarakat umum di Desa Cibanteng, maka waktu tempuh Desa Cibanteng adalah : a) jarak ke ibukota Kecamatan :2 Km b) jarak ke ibukota Kabupaten : 25 Km c) jarak ke ibukota Propinsi : 132 Km d) jarak ke ibukota negara : 56 Km e) Waktu tempuh untuk ke ibukota Kecamatan : 0,5 jam f) Waktu tempuh untuk ke ibukota Kabupaten :2 jam Pemanfaatan lahan di Desa Cibanteng bervariasi. Sebagian besar lahan di Desa Cibanteng digunakan untuk pemukiman penduduk, sedangkan luas lahan yang digunakan untuk sekolah hanya 1.8 Ha. Secara lebih lengkap, Tabel 6 memperlihatkan luas lahan Desa Cibanteng yang digunakan untuk berbagai fungsi. Tabel 6 Pemanfaatan lahan di Desa Cibanteng No 1 2 3 4 5 6 7 8
Pemanfaatan Lahan Pemukiman Sekolah Tempat ibadah Kuburan Jalan Kantor desa Irigasi Empang
Luas (Ha) 80 1.8 1 1 2.7 0.034 37 0.3
Keadaan Sosial Ekonomi Jumlah kepala keluarga yang berada di Desa Cibanteng sebanyak 4682 kepala keluarga. Jika dilihat dari usia, maka penduduk yang terdapat di Desa Cibanteng lebih banyak berada pada kelompok usia 26-35 tahun. Sedangkan jumlah balita mencapai 2087 orang. Selain itu, persentase penduduk laki-laki lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk perempuan. Secara lengkap, jumlah penduduk menurut struktur usia di Desa Cibanteng diperlihatkan pada Tabel 7.
32
Tabel 7 Jumlah penduduk menurut struktur usia Kelompok Usia 0-12 Bulan 13-4 Tahun 5-6 Tahun 7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun 19-25 Tahun 26-35 Tahun 36-45 Tahun 46-50 Tahun 51-60 Tahun 61-75 Tahun 76 Th keatas Jumlah
Jumlah Jiwa Laki-laki Perempuan 411 383 672 621 596 483 878 784 605 527 648 589 952 935 1058 1102 902 917 736 755 657 522 496 502 66 100 8677 8220
Jumlah 794 1293 1079 1662 1132 1237 1887 2260 1809 1491 1179 998 166 16.897
Sebagian besar penduduk Desa Cibanteng bermata pencaharian sebagai buruh harian lepas, sedangkan pendidikan penduduk lebih banyak berada pada tingkat SD/MI. Jika dilihat dari jumlah tenaga kesehatan yang ada di Desa Cibanteng, maka sebagian besar tenaga kesehatan yang tersedia adalah kader posyandu yang dibantu oleh seorang bidan desa (Tabel 8). Idealnya, sebuah posyandu mempunyai kader minimal lima orang. Akan tetapi, di Desa Cibanteng, cukup sulit mencari kader yang mau menjadi sukarelawan di sebuah posyandu. Sebagai contoh di Posyandu Kuntum Mekar 1, hanya terdapat dua kader yang aktif, sedangkan ketiga kader lainnya tidak aktif dikarenakan alasan kurangnya kesejahteraan bagi kader terutama dalam hal insentif. Secara keseluruhan hanya terdapat 40 kader yang terdaftar di kantor desa yang tersebar di seluruh posyandu yang ada di Desa Cibanteng. Jumlah balita di masing-masing posyandu beragam. Akan tetapi belum terdapat pendataan yang baik mengenai jumlah pasti balita yang terdaftar di masing-masing posyandu. Oleh karena itu, cukup sulit untuk mengetahui berapa jumlah pasti balita yang terdaftar di masing-masing posyandu tersebut. Hanya ada beberapa posyandu yang mempunyai pendataan cukup baik, sebagai contoh, di Posyandu Kuntum Mekar 1 terdapat sekitar 132 balita yang tersebar di tiga RT, termasuk di dalamnya terdapat 68 balita yang berusia 3-5 tahun. Pelayanan kesehatan di masing-masing posyandu dilakukan dengan berbagai cara akan tetapi tidak jauh berbeda satu sama lain. Setiap penimbangan dilakukan rutin setiap bulan dengan cara yang umum dilakukan yaitu ibu dan balita mendatangi posyandu. Akan tetapi, untuk imunisasi biasanya ibu dan balita mendatangi langsung bidan desa atau ada juga yang datang ke posyandu ketika ada jadwal posyandu. Pemberian kapsul vitamin A diberikan dua kali setahun yaitu setiap bulan februari dan agustus. Pemberian kapsul vitamin A di Desa Cibanteng relatif sulit karena masih terdapat kepercayaan yang salah yang berkembang di masyarakat. Pemberian kapsul vitamin A biasanya dilakukan oleh kader bersama tokoh masyarakat melalui kunjungan dari pintu ke pintu.
33
Tabel 8 Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Mata Pencaharian Mata pencaharian: Petani Buruh harian lepas Wiraswasta Pegawai Negeri Sipil TNI/Polri Guru Pegawai swasta Pendidikan: PAUD TK/RA/TPA SD/MI SLTP/MTS SLTA/MA Diploma DII/DIII DIV/sarjana S2/S3 Tenaga kesehatan: Dokter praktek swasta Bidan desa Bidan praktek swasta Dukun beranak Kader posyandu
Jumlah (orang) 110 902 250 137 23 140 587 104 164 1989 1237 1848 88 170 270 27 2 1 3 2 40
Sarana pendidikan yang paling banyak terdapat di Desa Cibanteng adalah Taman Kanak-kanak dan TPA, sedangkan untuk fasilitas olah raga disediakan lapangan badminton sebanyak enam lapangan. Fasilitas kesehatan yang paling banyak terdapat di Desa Cibanteng adalah posyandu yaitu sebanyak dua belas posyandu yang tersebar di seluruh Desa Cibanteng. Setiap posyandu di beri nama Posyandu Kuntum Mekar. Satu posyandu biasanya mencakup beberapa RT. Sebagai contoh, Posyandu Kuntum Mekar 1 merupakan salah satu posyandu yang ada di Desa Cibanteng yang terletak di RT 02 dan mecakup tiga RT yaitu RT 1, RT 2, dan RT 3. Tidak seluruh posyandu mempunyai tempat khusus untuk pelayanan kesehatan, sebagian posyandu masih menumpang di rumah warga atau kader dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Jadwal posyandu biasanya berubah setiap bulan tergantung jadwal bidan desa yang masih sering berubah sesuai jadwal dari pihak rumah sakit. Apabila jadwal bidan desa sudah tetap, maka jadwal posyandu dilaksanakan secara rutin. Selain itu, jadwal posyandu juga bisa berubah menyesuaikan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan di desa seperti ketika bulan puasa tiba. Selain sebagai tempat pelayanan kesehatan, posyandu juga bisa merangkap sebagai gedung PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) bagi balita, seperti yang ada di Posyandu Kuntum Mekar 5. Secara lengkap, gambaran sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Cibanteng ditampilkan pada Tabel 9.
34
Tabel 9 Sarana dan Prasarana Desa Cibanteng Sarana dan Prasarana Pemerintahan: Kantor desa Balai pertemuan Pos kamling Pendidikan: TK/TPA SD/MI MTS SLTA/MA Pondok Pesantren Majelis taklim Kesehatan: Poliklinik Posyandu Tempat ibadah Mesjid Mushala Fasilitas olah raga: Lapangan badminton Fasilitas umum: Wartel Pom bensin Bengkel Mini market Kios/toko/warung
Jumlah (unit) 1 1 30 19 9 1 2 3 18 3 12 12 25 6 2 1 7 3 88
Karakteristik Umum Balita Secara umum, jumlah balita laki-laki dan perempuan pada penelitian ini hampir sama. Jika dilihat dari keikutsertaan PAUD, hanya 11% balita yang mengikuti PAUD (Tabel 10). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi secara nasional yang menunjukan bahwa akses anak usia dini terhadap layanan pendidikan melalui pendidikan anak usia dini (PAUD) masih terbatas dan tidak merata. Menurut Renstra Departemen Pendidikan Nasional tahun 2006-2010, dari sekitar 28,2 juta anak usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan PAUD hanya 7,2 juta (25,3%). Di antara anak-anak yang memperoleh kesempatan mengikuti PAUD tersebut, pada umumnya berasal dari keluarga mampu di daerah perkotaan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin dan anakanak perdesaan belum memperoleh kesempatan mengikuti PAUD secara proporsional. Di sisi lain, program PAUD bertujuan agar semua anak usia dini (usia 0-6 tahun), baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, dan sesuai tahap-tahap perkembangan atau tingkat usia mereka.
35
Berdasarkan Tabel 10, sebagian besar balita dilahirkan dengan dibantu oleh bidan desa (74.0%). Walaupun demikian, masih ada balita yang persalinannya dibantu oleh dukun bayi atau paraji (12.3%). Hal tersebut disebabkan oleh tradisi dan adat istiadat yang masih dipegang oleh beberapa keluarga di Desa Cibanteng. Sejalan dengan penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Anggorodi (2009) yang menyatakan bahwa alasan utama yang menyebabkan seorang ibu masih menggunakan dukun bayi atau paraji dalam proses kelahiran anak adalah karena faktor kepercayaan dan adat-istiadat. Dukun bayi dianggap sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan khusus dalam menangani proses kelahiran bayi walaupun pada kenyataanya seringkali tidak sesuai dengan konsep kedokteran modern. Selain itu, hampir keseluruhan balita tidak mempunyai masalah selama kehamilan dan persalinan (90.4%), sehingga sebagian besar balita dilahirkan secara normal (Tabel 10). Tingginya angka ibu yang melahirkan secara normal di Desa Cibanteng menggambarkan status gizi dan kesehatan ibu serta pemanfaatan pelayanan kesehatan yang baik. Lebih dari separuh ibu mempunyai status gizi normal (Tabel 10) dan terbiasa mememeriksakan kehamilan secara rutin melalui bidan atau tenaga kesehatan terlatih (97.3%). Menurut hasil Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, baik di pedesaan maupun di perkotaan, terdapat kecenderungan peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih selama pemeriksaan kehamilan dan kelahiran. Secara keseluruhan, tren ibu hamil yang diperiksa oleh tenaga kesehatan meningkat dari 92 persen pada SDKI 2002-2003 menjadi 96 persen pada SDKI 2012. Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan meningkat dari 66 persen pada SDKI 20022003 menjadi 83 persen pada SDKI 2012. Berdasarkan Tabel 10, jenis penyakit yang pernah dialami oleh sebagian besar balita adalah influenza (97.3%) dan Diare (75.3%). Tidak jauh berbeda dengan status kesehatan balita selama satu bulan terakhir, jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh balita selama satu bulan terakhir adalah influenza (42.5%) dan diare (19.2%). Menurut Survei Morbiditas Diare tahun 2010 yang dilakukan kementrian kesehatan Indonesia, angka kesakitan diare balita tahun 2000-2010 tidak menunjukkan pola kenaikan maupun pola penurunan. Pada tahun 2000 angka kesakitan balita 1.278 per 1000 turun menjadi 1.100 per 1000 pada tahun 2003 dan naik lagi pada tahun 2006 kemudian turun pada tahun 2010. Selain itu, rata-rata kejadian diare di pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkotaan (Kemenkes 2011). Akan tetapi, berdasarkan Tabel 10 cukup banyak balita dalam penelitian ini yang mempunyai status kesehatan baik selama satu bulan terakhir (23.3%). Balita yang pernah mengalami influenza dan diare tidak semuanya langsung dibawa ke unit pelayanan kesehatan. Sebanyak 12.3% anak yang menderita influenza dan 10.9% anak yang menderita diare biasanya hanya diberikan obat warung atau dibiarkan sampai sembuh dengan sendirinya. Sebagian besar ibu balita yang tidak membawa anaknya ke unit pelayanan kesehatan mempunyai alasan ekonomi atau praktek kesehatan yang salah. Mereka cenderung berfikir bahwa influenza dan diare merupakan penyakit yang biasa terjadi pada anak dan akan sembuh dengan sendirinya tanpa harus meminta bantuan tenaga kesehatan.
36
Tabel 10 Sebaran balita menurut karateristiknya Variabel Jenis kelamin balita: Laki-laki Perempuan Keikutsertaan PAUD: Ya Tidak Tempat kelahiran balita: Bidan Rumah Sakit Rumah Penolong persalinan balita: Dukun bayi/paraji Bidan Dokter Riwayat penyakit selama kehamilan balita: Tidak ada Maag kronis Lainnya Masalah selama kelahiran balita: Tidak ada Letak sungsang Pinggul kecil Pendarahan Hipertensi Jenis persalinan balita: Biasa/spontan Operasi Status kesehatan balita sejak lahir: Infeksi paru-paru Diare Influenza Cacar Penyakit kulit Asma Campak Lainnya Status kesehatan balita sebulan terakhir: Tidak ada Diare Influenza Asma Penyakit kulit Cacar
Jumlah balita n (73) % (100) 37 36
50.7 49.3
8 65
11.0 89.0
51 10 12
69.9 13.7 16.4
9 54 10
12.3 74.0 13.7
66 4 3
90.4 5.5 4.1
66 1 3 2 1
90.4 1.4 4.1 2.7 1.4
69 4
94.5 5.5
3 55 71 21 6 9 15 5
4.1 75.3 97.3 28.8 8.2 12.3 20.6 6.8
17 14 31 1 5 1
23.3 19.2 42.5 1.4 6.8 1.4
Riwayat Kelahiran Balita Berdasarkan Tabel 11, rata-rata usia balita pada penelitian ini adalah 45.6 bulan. Hampir separuh dari jumlah balita berada pada kelompok usia 42-53 bulan.
37
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, balita pada penelitian ini berada pada tahap perkembangan praoperasional (usia 2-7 tahun). Pemahaman anak tentang benda-benda disekitarnya tidak hanya dilakukan melalui kegiatan sensorimotor akan tetapi juga melalui kegiatan yang bersifat simbolik. Tahap ini sangat berperan dalam perkembangan kognitif anak karena melibatkan proses berpikir yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan anak mengkaitkannya dengan kegiatan yang dilakukan sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan tidak terorganisir dengan baik (Santrock 2007). Sebagaimana perkembangan kognitif, anak prasekolah juga mengalami perkembangan motorik yang pesat tapi bervariasi dalam hal kemampuan beradaptasi, tergantung kepada potensi genetik dan peluang mereka untuk belajar dan mempraktekan kemampuan motoris (Papalia et al. 2008). Tabel 11 Sebaran balita menurut riwayat kelahiran Variabel Usia balita: 36-41 bulan 42-53 bulan 54-60 bulan Rata-rata ± SD Prematuritas: Ya (< 9 bulan) Tidak ( ≥ 9 bulan) Rata-rata ±SD Berat badan lahir balita: Rendah (< 2500 gram) Normal (≥ 2500 gram) Rata-rata ±SD Panjang badan lahir balita: Pendek (< 48 cm) Normal (≥ 48 cm) Rata-rata ±SD
Jumlah balita n (73) % (100) 26 35.6 34 46.6 13 17.8 45.58 ± 7.71 8 65
11.0 89.0 8.95 ± 0.31
1 72
1.4 98.6 3.19 ± 0.46
17 23.3 56 76.7 48.19 ± 2.87
Berdasarkan prematuritas, maka sebagian besar balita tergolong lahir dengan keadaan cukup bulan dengan rata-rata usia kelahiran 8.95 bulan (Tabel 11). Bayi yang lahir prematur belum tentu mempunyai berat badan lahir yang rendah. Terlihat dari hasil penelitian ini bahwa walaupun terdapat 11.0% balita yang lahir prematur, jumlah balita yang mempunyai berat badan lahir normal mencapai 98.6% dengan rata-rata berat lahir 3.19 gram. Secara nasional, menurut Riskesdas (2010), jumlah bayi yang lahir dengan berat badan rendah di Indonesia mencapai 11.1% dan terdapat kecenderungan bahwa di perkotaan anak balita yang ditimbang ketika baru lahir lebih tinggi daripada di perdesaan. Sementara di Kabupaten Bogor, sejalan dengan hasil penelitian, jumlah bayi dengan berat badan lahir rendah cukup sedikit yaitu hanya 5.7% jika dibandingkan dengan angka nasional pada tahun yang sama yang mencapai 11.5% (Riskesdas 2007). Selain itu, Tabel 11 juga memperlihatkan bahwa rata-rata penjang badan lahir balita adalah 48.19 cm dan sebagian besar tergolong normal menurut
38
Kementrian Kesehatan (2010). Walaupun demikian, masih terdapat 23.3% balita yang lahir dengan panjang lahir yang tergolong pendek. Data mengenai panjang badan lahir di Indonesia masih terbatas. Data panjang lahir balita penting untuk menduga gambaran umum status gizi ibu dan bayi selama masa kehamilan karena panjang badan yang jauh di bawah rata-rata pada umumnya disebabkan karena sudah terjadi retardasi pertumbuhan saat dalam kandungan yang salah satunya bisa diakibatkan oleh keadaan gizi ibu hamil (Kusharisupeni 2002).
Riwayat Pemberian ASI dan MP-ASI Balita Berdasarkan Tabel 12, sebanyak 90.4% ibu balita memberikan ASI eksklusif selama kurang dari enam bulan, dan hanya 9.6% balita yang diberikan ASI eksklusif selama enam bulan. Lebih dari separuh dari ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif mempunyai alasan bahwa ASI yang dihasilkan terlalu sedikit untuk memenuhi kebutuhan bayi mereka. Selain itu, ibu yang mempunyai alasan malas memberikan ASI eksklusif juga cukup tinggi (16.7%). Sebaliknya, hanya ada dua dari enam ibu yang memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan yang mempunyai alasan bahwa ASI eksklusif selama enam bulan penting diberikan pada bayi. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi secara nasional. Riskesdas (2010) dan SDKI (2012) menunjukan tren pemberian ASI eksklusif yang sama, keduanya memperlihatkan bahwa persentase menyusui eksklusif semakin menurun dengan meningkatnya kelompok umur bayi. Pada bayi yang berumur 5 bulan menyusui eksklusif hanya 15,3% (Riskesdas 2010), sedangkan untuk bayi yang diberikan ASI eksklusif selama enam sampai delapan bulan hanya sebesar 3.4% (SDKI 2012). Khusus di Kabupaten Bogor, persentase bayi yang diberikan ASI eksklusif menurut profil kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2007 mencapai 23.54%. Rendahnya ibu yang memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dapat disebabkan salah satunya oleh rendahnya pengetahuan ibu mengenai ASI eksklusif, terbukti dalam penelitian ini kurang dari separuh jumlah keseluruhan ibu yang mengetahui ASI eksklusif sebaiknya diberikan selama enam bulan (Gambar 2). Selain pemberian ASI eksklusif, Tabel 12 juga menunjukkan usia mulai diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Terdapat lebih banyak balita yang mulai diberikan MP-ASI ketika usia kurang dari 6 bulan. MP-ASI yang pertama kali dan paling sering diberikan pada balita sebagian besar berupa bubur bayi instan atau kemasan praktis cepat saji buatan pabrik. Menurut Kemenkes (2010), MP-ASI yang pertama diberikan (6-9 bulan) sebaiknya berupa makanan lumat, yaitu makanan yang dihancurkan atau disaring tampak kurang merata dan bentuknya lebih kasar dari makanan lumat halus, contohnya bubur susu, bubur sumsum, pisang saring yang dikerok, pepaya saring, tomat saring, nasi tim saring, dan sebagainya. Kemudian dilanjutkan dengan makanan lunak (9-12 bulan), dan makanan padat atau makanan keluarga (>12 bulan). Dengan demikian, sebagian besar ibu balita tidak mengikuti pedoman pemberian MP-ASI yang dianjurkan oleh Kementrian Kesehatan RI. Secara nasional, persentase ibu balita yang memberikan MP-ASI pada anak usia 6-23 bulan yang sesuai dengan praktekpraktek yang direkomendasikan tentang pengaturan waktu, frekuensi dan kualitas hanya mencapai 41% (SDKI 2007).
39
Tabel 12 Sebaran balita menurut riwayat pemberian ASI dan MP-ASI Variabel Lama pemberian ASI eksklusif: < 4 bulan 4-5.9 bulan 6 bulan Alasan tidak memberikan ASI eksklusif (6 bulan): ASI sedikit Balita rewel jika hanya diberi ASI Ibu malas Alasan memberikan ASI eksklusif: ASI banyak ASI Penting untuk balita Usia diberikan MP-ASI pertama kali: < 4 bulan 4-5.9 bulan 6 bulan > 6 bulan Jenis MP-ASI yang pertama kali diberikan: Biskuit bayi Bubur bayi instan Pisang Usia diberikan minuman selain ASI pertama kali: < 4 bulan 4-5.9 bulan 6 bulan > 6 bulan Jenis minuman selain ASI yang pertama diberikan: Air putih Kopi Madu Kopi+madu Susu formula Usia balita saat diperkenalkan dengan makanan keluarga: < 1 tahun 1 tahun > 1 tahun
Jumlah balita n (73) % (100) 54 12 7
74.0 16.4 9.6
34 21 11
46.6 28.8 15.1
5 2
6.8 2.7
11 22 32 8
15.1 30.1 43.8 11.0
8 58 7
11.0 79.4 9.6
53 11 8 1
72.5 15.1 11.0 1.4
26 15 12 11 9
35.6 20.6 16.4 15.1 12.3
4 32 37
5.5 43.8 50.7
Sebanyak 87.6% balita mulai diberikan minuman selain ASI sejak usia kurang dari enam bulan. Jenis minuman selain ASI yang pertama kali dan paling sering diberikan pada balita sebagian besar adalah air putih. Di sisi lain, cukup banyak ibu yang memberikan kopi, madu, atau teh pada balita ketika usia balita kurang dari enam bulan (Tabel 12). Hal tersebut dilakukan karena ibu balita masih mempercayai kepercayaan atau tradisi yang dilakukan turun temurun. Pemberian teh, kopi, atau madu pada bayi sangat tidak dianjurkan. Menurut National Health and Medical Research Council (2012), madu bisa saja mengandung spora Clostridium botulinum sehingga tidak boleh diberikan pada bayi di bawah usia 12 bulan. Lebih dari 1.500 kasus botulisme pada bayi telah dikonfirmasi di Amerika Serikat sejak tahun 1976. 551 Dari jumlah tersebut, 95% terjadi pada bayi usia antara 6 minggu dan 6 bulan. Walaupun makanan lain mungkin mengandung
40
spora Clostridium botulinum, konsumsi madu telah berulang kali dikaitkan dengan botulisme pada bayi. Selain itu, baik kopi maupun teh mengandung kafein yang tidak bisa dicerna secara sempurna oleh bayi. Bahkan seorang ibu yang menyusui tidak dianjurkan mengkonsumsi minuman berkafein secara berlebihan karena dapat mempengaruhi bayi melalui ASI. di Australia, terdapat laporan subjektif dari ibu-ibu menyusui bahwa bayi-bayi mereka menjadi lebih gelisah dan mudah rewel setelah ibu-ibu menyusui tersebut mengkonsumsi minuman berkafein seperti teh dan kopi secara berlebihan. Walaupun demikian, belum ada penelitian lebih lanjut mengenai efek kafein terhadap perilaku bayi. Pengenalan makanan keluarga yang dilakukan oleh lebih dari separuh ibu balita dimulai ketika balita berusia lebih dari satu tahun. Hal tersebut sesuai dengan anjuran Kemenkes (2010) yang menyatakan bahwa makanan padat atau makanan keluarga boleh dikenalkan ketika usia balita lebih dari satu tahun secara bertahap sesuai dengan kemampuan anak.
Preferensi Makanan dan Minuman Balita Preferensi makanan dan minuman didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap makanan dan minuman tertentu. Berdasarkan Tabel 13, pangan hewani yang sebagian besar disukai oleh balita adalah telur ayam. Untuk jenis minuman, sebanyak 76.7% balita lebih memilih air putih. Hampir separuh dari jumlah balita menyukai buah-buahan berupa jeruk. Selain itu, hampir separuh dari jumlah balita yang menyukai sayuran yang diolah menjadi sayur sop, dan terdapat sebanyak 9.6% balita yang tidak menyukai sayuran. Kebiasaan mengkonsumsi sayuran pada anak usia prasekolah dalam beberapa penelitian masih rendah, hasil ini sejlan dengan penelitian Putriana (2010) di Semarang yang menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi sayur pada anak prasekolah masih kurang dari anjuran. Sayuran, sebagaimana buah-buahan, selain mengandung mineral dan vitamin juga mengandung serat yang bermanfaat untuk mencegah konstipasi. Kecukupan total serat pangan didasarkan pada review IOM (2005) tentang penelitian manfaat total serat pangan dalam mengendalikan kolesterol terkait dengan menurunkan risiko penyakit jantung koroner, yaitu 14 g/1000 kkal. Angka tersebut juga diterapkan pada anak usia 1-8 tahun untuk mencegah konstipasi. Semakin rendah konsumsi atau kecukupan energi seseorang semakin rendah pula kecukupan serat pangannya. Anjuran kecukupan serat ini harus disertai dengan anjuran minum yang memenuhi kecukupan air. Preferensi memainkan suatu peran penting di dalam menjelaskan pola makanan anak, sebagaimana kaitannya dengan penerimaan makanan (Birch & Fischer 1998). Riset menunjukkan bahwa anak-anak mengembangkan pilihan makanan mereka seiring dengan pertumbuhan mereka dan paparan terhadap berbagai karakteristik makanan, antara lain tekstur, rasa dan bumbu (Birch 1999). Skinner et al. (1998) menambahkan anak-anak juga mempelajarinya dari model dalam keluarga dan di luar rumah bersama teman-teman mereka. Berbagai macam pilihan (preferensi) makanan merupakan hasil interaksi dari kondisi-kondisi saling mempengaruhi yang berbeda, apa yang dipilih seorang anak untuk dimakan adalah kumpulan atau hasil interaksi dari beberapa faktor, antara lain keturunan, budaya, serta status sosial dan ekonomi.
41
Anak-anak yang dibesarkan dengan ibu atau pengasuh yang biasa memperlihatkan perilaku makan sehat, seperti kebiasaan makan buah dan sayur, akan mempunyai preferensi makanan yang baik terhadap buah dan sayuran (Skinner et al. 2002). Preferensi makanan juga dipengaruhi oleh kondisi yang lain. Anak-anak cenderung menghindari makanan yang telah dikaitkan dengan perasaan yang tidak menyenangkan, seperti mual, sakit, kecemasan, dan sebagainya, ditandai dengan adanya argumen dan sikap yang negatif oleh anak. Anak-anak juga menerima atau menolak makanan berdasarkan kualitas makanan, seperti rasa, tekstur, bau, suhu atau penampilan, serta faktor lingkungan, seperti kehadiran orang lain dan konsekuensi apabila ia makan atau tidak makan. Misalnya, anak makan karena menginginkan perhatian dari ibu atau pengasuh, atau bisa juga anak tidak makan karena ingin mendapatkan makanan ringan atau jajanan. Meningkatkan keterbiasaan terhadap rasa meningkatkan kemungkinan penerimaan. Ibu atau pengasuh dapat mengatasi sulitnya preferensi pangan pada anak dengan mencampurkan makanan baru dengan makanan yang disukai anak dan mengulanginya berkali-kali sampai makanan baru tersebut tidak lagi asing bagi anak (Black & Hurley 2007). Tabel 13 Sebaran balita menurut preferensi pangan dan minuman Variabel Buah yang disukai balita: Jeruk Lengkeng Semangka Apel Melon Pisang Lainnya Sayur yang disukai balita: Tidak ada Sop Bayam Jajanan yang disukai balita: Chiki Es Biskuit Permen Coklat Lainnya Pangan hewani yang disukai balita: Daging ayam Telur ayam Ikan basah/segar Ikan asin Minuman yang disukai balita: Air putih Es Susu Lainnya
Jumlah balita n (73) % (100) 35 7 9 6 6 4 6
47.9 9.6 12.3 8.2 8.2 5.5 8.2
8 34 31
11.0 46.6 42.5
34 12 3 15 3 5
46.6 16.4 4.1 20.6 4.1 6.8
24 37 10 2
32.9 50.7 13.7 2.7
56 5 9 3
76.7 6.8 12.3 4.1
42
Kebiasaan Makan Balita Balita usia pra-sekolah merupakan konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Di sisi lain, anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering mengalami kekurangan zat gizi karena masih dalam tahap perkembangan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama 2008). Kebiasaan makan dapat terbentuk sejak usia balita yang merupakan masa penting dalam kehidupan seseorang karena pada masa inilah ditanamkan sikap, kebiasaan dan pola tingkah laku yang memegang peranan menentukan dalam perkembangan individu selanjutnya. Dalam masyarakat Indonesia, ibu dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap tugas pengasuhan, kesehatan dan pertumbuhan anak. Dari studi yang pernah dilakukan diketahui posisi orang tua khususnya ibu turut menentukan kebiasaan makan pada balita (Wati & Rahardjo 2011; Christin & Seher 2011). Lebih dari separuh jumlah balita dalam penelitian ini mempunyai frekuensi makan tiga kali dalam sehari dan tidak selalu menghabiskan makanannya. Peran ibu atau pengasuh dalam membentuk kebiasaan makan yang baik pada balita sangat penting. Kehadiran ibu dalam kegiatan makan balita tidak menjamin balita akan mempunyai kebiasaan makan yang baik. Pada penelitian ini, lebih dari separuh jumlah balita terbiasa makan disuapi oleh ibunya sambil bermain. Selain menyuapi balita, hampir seluruh ibu juga mengolah sendiri makanan untuk balita. Walaupun demikian, persentase kebiasaan jajan mendekati waktu makan utama pada balita masih tinggi, akibatnya menggangu waktu makan utama balita. Jajanan yang paling umum dikonsumsi oleh balita dalam penelitian ini adalah chiki-chikian (Tabel 13). Balita cenderung tidak menghabiskan makannya karena sebelumnya lebih memilih untuk membeli jajanan. Menurut Suhardjo (1989), makanan jajanan yang umumnya disukai anak-anak adalah kuekue yang biasanya sebagian besar dibuat dari tepung dan gula. Dengan mengkonsumsi jajanan ini anak cenderung mendapat tambahan energi, di sisi lain tambahan zat pembangun dan zat pengatur sangat sedikit. Setelah jajan, anak sering merasa kenyang sehingga selera makannya berkurang dan tidak dapat menghabiskan makanannya. Data mengenai tingkat konsumsi jajanan balita secara nasional di Indonesia masih terbatas, sementara di Amerika Serikat, penelitian Piernas dan Popkin (2010) menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja di Amerika Serikat mengkonsumsi hampir tiga snack setiap hari. Persentase kebiasaan jajan dari tahun 1989 sampai 2006 mengalami kenaikan. Penelitian Piernas dan Popkin (2010) juga menemukan adanya peningkatan konsumsi diantaranya snack asin yang padat kalori, permen, serta minuman seperti minuman buah dan terjadi penurunan konsumsi jus buah dan buah-buahan sebagai jajanan pada anak. Sebelumnya penelitian Channoonmuang dan Klunklin (2006) menyebutkan bahwa asupan natrium pada anak yang memiliki kebiasaan jajan cenderung berlebihan. Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Handayani (2011) menunjukan bahwa pemenuhan makan balita dari makanan jajanan di Kabupaten Demak merupakan hal yang diutamakan dari segi penyediaan dana dan sering menggantikan porsi makan untuk siang atau sore hari bagi balita. Makanan
43
jajanan merupakan penyumbang yang sangat dominan untuk memenuhi kebutuhan protein dan terutama untuk memenuhi kebutuhan kalori balita. Handayani (2011) mengkaitkan kebiasaan jajan tersebut dengan food ideology yang berdasarkan sudut pandang spesifik dari penentu pemilihan makanan dalam rumah tangga khususnya ibu. Food ideology tersebut berupa kepercayaan bahwa balita harus mencapai kesehatan yang maksimum dengan cara memfasilitasi semua kebutuhan balita termasuk keinginan jajan. Tabel 14 Sebaran balita menurut kebiasaan makan Variabel Frekuensi makan dalam sehari 2 kali 3 kali Kebiasaan balita menghabiskan makanan: Selalu Kadang-kadang Tidak pernah Gangguan makan balita: Nafsu makan rendah Pilih-pilih makanan Tidak suka sayur Waktu makan lama Jajan ketika waktu makan situasi balita biasa makan: Tenang (di depan tv/di dalam rumah) Ramai (sambil bermain di luar rumah) Kebiasaan makan balita: Sendiri Disuapi Yang menyiapkan makan balita: Ibu Nenek Yang menemani makan balita: Ibu Nenek Kebiasaan minum susu balita: Tidak minum susu 2 kali/minggu (tidak teratur) 3 kali/minggu (tidak teratur) 4 kali/minggu (tidak teratur) 5 kali/minggu (tidak teratur) 1 kali/hari (teratur) 2 kali/hari (teratur) Alasan balita tidak diberikan susu secara teratur: Tidak suka susu Diare Tidak mampu secara ekonomi Alasan balita diberikan susu secara teratur: Konsumsi pangan balita rendah Balita suka susu
Jumlah balita n (73) % (100) 25 48
34.2 65.8
32 40 1
43.8 54.8 1.4
20 13 11 7 23
27.4 17.8 15.1 9.6 31.5
23 50
31.5 68.5
24 49
32.9 67.1
67 6
91.8 8.2
66 7
90.4 9.6
22 19 12 8 1 8 3
30.1 26.0 16.4 11.0 1.4 11.0 4.1
44 13 5
60.3 17.8 6.8
7 4
9.6 5.5
44
Selain kebiasaan jajan yang tinggi, kebiasaan minum susu balita pada penelitian ini masih rendah. Balita yang tidak terbiasa minum susu lebih banyak ditemukan dalam penelitian ini (30.1%), hanya ada 15.1% balita yang terbiasa minum susu secara teratur setiap hari. Alasan balita tidak diberikan susu secara teratur adalah karena balita tidak suka minum susu, tetapi terdapat 6.8% balita yang tidak diberikan susu secara teratur karena alasan ekonomi. Sebanyak 9.6% ibu memberikan susu secara teratur pada balita karena konsumsi pangan balita rendah (Tabel 14). Secara umum, konsumsi susu kental manis orang indonesia masih rendah yaitu 0.064 gram/kap/minggu, sedangkan konsumsi susu bubuk bayi kaleng baru mencapai 0.023 gram/kap/minggu (Susenas 2010). Menurut Khomsan (2007), budaya minum susu yang masih sangat rendah dipahami dari beberapa segi. Pertama, susu masih dianggap barang mahal. Ditengah kondisi ekonomi yang sulit akibat krisis berkepanjangan, maka dapat dimaklumi jika mayoritas masyarakat Indonesia lebih mementingkan membeli pangan sumber karbohidrat jika dibandingkan dengan pangan sumber protein. Mahalnya harga susu dapat disebabkan oleh sistem peternakan sapi perah di Indonesia yang belum efisien. Dan hal ini terjadi karena sapi perah sebenarnya berasal dari negara-negara subtropis, sehingga ketika harus berproduksi dinegara tropis seperti Indonesia susu yang dihasilkan tidak sebanyak seperti dinegara asalnya.
Tingkat Kecukupan Gizi Balita Tingkat kecukupan gizi merupakan perbandingan antara asupan zat gizi aktual terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi balita adalah 75.15% dan sebarannya lebih banyak berada pada kategori defisit tingkat ringan menurut kriteria Departemen Kesehatan (1996), dan hanya terdapat 4.1% balita yang berada pada kategori normal. Persentase balita yang mempunyai tingkat kecukupan energi kurang dari 70% AKE cukup tinggi yaitu 32.9%. Secara nasional, gambaran situasi konsumsi energi orang indonesia yang mengkonsumsi energi di bawah 70% AKE pada tahun 2010 adalah sebanyak 40.7%, sedangkan pada kelompok usia balita terdapat 24.7%. Khusus di provinsi Jawa Barat, jumlah balita yang mengkonsumsi energi dibawah 70% AKE ada sebanyak 21.7% (Riskesdas 2010). Selanjutnya, tidak seperti tingkat kecukupan energi, rata-rata tingkat kecukupan protein balita pada penelitian ini adalah 80.64% dan sebarannya lebih banyak berada pada kategori normal menurut kriteria Departemen Kesehatan (1996). Akan tetapi, sebagaimana tingkat kecukupan energi, balita yang mempunyai tingkat kecukupan protein di bawah 70% AKP masih tinggi yaitu 32.9% (Tabel 15). Secara nasional, tingkat kecukupan protein balita yang berada di bawah 80% AKP ada sebanyak 18.4%, sedangkan untuk khusus untuk Provinsi Jawa Barat terdapat sekitar 21.5% (Riskesdas 2010). Sebagaimana hasil penelitian ini, penelitian-penelitian lain yang menghitung tingkat kecukupan gizi, termasuk energi dan protein, seringkali menunjukkan tingginya persentase responden yang mempunyai tingkat kecukupan gizi yang rendah (<70% AKG). Penelitian Riyadi et al. (2011) di tiga desa di Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa sebanyak 37.6% balita mengalami defisit energi (<70%AKE) dan sebanyak 74.5% balita mengalami defisit protein
45
(<70%AKP). Tingkat kecukupan energi dan protein balita seringkali dihubungkan dengan karakteristik sosial ekonomi keluarga, salah satunya pendapatan perkapita keluarga. Penelitian Dewi dan Hidayanti (2012) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan pendapatan perkapita keluarga dimana balita dengan keluarga yang kondisi ekonomi miskin mempunyai resiko sebesar 20,036 kali untuk mengalami kekurangan energi dibandingkan anak yang kondisi ekonomi keluarganya tidak miskin. Pada penelitian ini, sebanyak 93.2% balita berada pada keluarga yang tergolong miskin (Sukandar et al. 2008). Selain itu, pendidikan orang tua terutama ibu juga dihubungakan dengan tingkat konsumsi energi dan protein balita dimana semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin baik tingkat kecukupan energi dan protein balita (Retnaningsih et al. 2011). Pada penelitian ini persentase ibu yang mempunyai pendidikan terakhir setara Sekolah Dasar (SD) cukup tinggi (37.0%). Selain itu, sebagaimana metode survei konsumsi pangan yang bergantung pada ingatan responden, tingginya balita yang mempunyai tingkat kecukupan energi dan protein yang rendah juga dapat disebabkan oleh keterbatasan ibu dalam mengingat makanan apa saja yang sering dikonsumsi oleh balita dan berapa ukuran rumah tangga yang digunakan. Tabel 15 Sebaran balita menurut tingkat kecukupan gizi Variabel Tingkat kecukupan energi: Normal (90-119% AKE) Defisit tingkat ringan (80-89% AKE) Defisit tingkat sedang (70-79% AKE) Defisit tingkat berat (< 70% AKE) Rata-rata ±SD Tingkat kecukupan protein: Normal (90-119% AKP) Defisit tingkat ringan (80-89% AKP) Defisit tingkat sedang (70-79% AKP) Defisit tingkat berat (< 70% AKP) Rata-rata ±SD Tingkat kecukupan besi: Kurang (< 77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Rata-rata ±SD Tingkat kecukupan vitamin A: Kurang (< 77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Rata-rata ±SD Tingkat kecukupan kalsium: Kurang (< 77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Rata-rata ±SD Tingkat kecukupan fosfor: Kurang (< 77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Rata-rata ±SD
Jumlah balita n (73) % (100) 3 27 19 24
4.1 37.0 26.0 32.9 75.15 ± 11.1
27 15 7 24
37.0 20.6 9.6 32.9 80.64 ± 15.99
50 23
68.5 31.5 70.86 ± 23.52
67 6
91.8 8.2 45.24 ± 23.72
68 5
93.2 6.8 39.22 ± 23.06
17 23.3 56 76.7 104.68 ± 33.27
46
Rata-rata tingkat kecukupan besi, vitamin A, kalsium dan fosfor balita berturut-turut adalah sebesar 70.86%, 45.24%, 39.22%, dan 104.68%. Berdasarkan sebarannya, tingkat kecukupan besi, vitamin A dan kalsium balita sebagian besar berada pada kategori kurang menurut Gibson (2005) yaitu dibawah 77% AKG. Sedangkan tingkat kecukupan fosfor balita sebagian besar berada pada kategori cukup. Fosfor banyak ditemukan pada telur. Sebagai gambaran, lebih dari separuh jumlah balita dalam penelitian ini lebih menyukai telur jika dibandingkan dengan pangan hewani lainnya (Tabel 13). Rendahnya asupan besi, vitamin A, dan kalsium balita berbandingan lurus dengan asupan energi dan protein balita. Semakin rendah asupan energi dan protein balita maka semakin rendah pula asupan besi, vitamin A, dan kalsium balita. Vitamin dan mineral banyak ditemukan pada susu termasuk besi, vitamin, kalsium, dan fosfor. Pada penelitian ini, kebiasaan minum susu balita masih rendah (Tabel 14) sehingga diduga turut berperan dalam asupan besi, vitamin A, fosfor, dan kalsium balita. Pada keluarga miskin, pola konsumsi balita cenderung tidak berubah. Sehingga diasumsikan bisa menggambarkan tingkat kecukupan gizi sejak masa lalu, hal tersebut terkait dengan masalah pertumbuhan (TB/U) yang muncul sebagai efek dari kekurangan gizi jangka panjang
Pertumbuhan Balita Pertumbuhan balita dalam penelitian ini hanya dilihat dari indeks tinggi badan menurut umur. Secara global, prevalensi stunting pada balita di dunia semakin menurun dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1990 hingga tahun 2010 jumlah balita stunting di dunia turun dari 40% menjadi 24% dimana diprediksi terjadi penurunan sebesar 2.1% setiap tahunnya (UNICEF, WHO, World Bank 2012). Khusus di Indonesia, menurut Riskesdas (2010), masalah stunting masih menjadi masalah publik yang paling tinggi (35.7%) jika dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti masalah balita gizi kurang (17.9%), masalah balita kurus (13.3%), maupun masalah balita yang mengalami kegemukan (14.2%). Berdasarkan kriteria WHO/NCHS, rata-rata z-score balita pada penelitian ini adalah sebesar -1.37 dengan standar deviasi 1.01. Jika dilihat dari sebarannya, maka lebih dari separuh jumlah balita (69.9%) berada pada kategori normal menurut acuan WHO/NCHS. Balita yang tinggi badannya dibawah normal (pendek dan sangat pendek) cukup tinggi dalam penelitian ini yaitu mencapai 30.2% (Tabel 16). Angka tersebut masih berada di bawah angka balita stunting nasional yang mencapai 35.7% (Riskesdas 2010), akan tetapi masih tergolong masalah publik yang tinggi menurut acuan WHO karena masih di atas 30%. Tabel 16 Sebaran balita menurut indeks tinggi badan menurut umur TB/U Sangat pendek (z-score < -3 SD) Pendek (-3 SD ≤ z-score < -2 SD) Normal (z-score ≥ -2 SD) Rata-rata ± SD
Jumlah balita n (73) % (100) 1 1.4 21 28.8 51 69.9 -1.37 ± 1.01
47
Stunting dihubungkan dengan berbagai faktor. Cakupan pelayanan kesehatan yang rendah dapat menjadi salah satu penyebabnya. Sebagai gambaran, pada tahun 2007 cakupan balita usia 12-23 bulan yang mendapat imunisasi lengkap di Kabupaten Bogor hanya 39.2%, lebih rendah dari pencapaian nasional (46,2%) dan masih jauh dari target nasional (80%). Jumlah balita yang tidak mendapat kapsul vitamin A di Kabupaten Bogor mencapai 31.1% (Riskesdas Provinsi Jawa Barat 2007).
Tingkat Perkembangan Kognitif dan Motorik Balita Berdasarkan Tabel 17, diketahui bahwa rata-rata tingkat perkembangan kognitif, motorik halus, dan motorik kasar balita berturut-turut adalah sebesar 55.91%, 54.11%, dan 65.62%. Jika dilihat dari sebarannya, maka lebih dari separuh jumlah balita mempunyai tingkat perkembangan kognitif dan motorik halus yang rendah. Sebaliknya, hampir separuh dari jumlah balita mempunyai tingkat perkembangan motorik kasar yang sedang. Konsep perkembangan kognitif yang banyak digunakan adalah konsep perkembangan kognitif Jean Piaget, seorang teoritikus asal Swiss. Teori Piaget memandang perkembangan kognitif sebagai produk usaha anak untuk memahami dan bertindak dalam dunia mereka. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, maka balita dalam penelitian ini termasuk kedalam tahap perkembangan praoperasional, dimana anak belum siap untuk terlibat dalam operasi atau manipulasi mental yang mensyaratkan pemikiran logis. Karakteristik anak dalam tahap ini adalah perluasan penggunaan pemikiran simbolis atau kemampuan representasional. Pada tahap ini anak diharapkan mampu menggunakan simbol, memahami identitas, memahami sebab akibat, mampu mengklasifikasi, dan memahami angka (Papalia et al. 2008). Rendahnya tingkat perkembangan kognitif sebagaimana yang dialami sebagian besar balita pada penelitian ini menurut Piaget dapat disebabkan oleh kegagalan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan sehingga gagal pula dalam membuat struktur kognitif yang semakin kompleks. Stimulasi dari luar sangat berperan dalam kematangan perkembangan kognitif. Sebagai gambaran, keikutsertaan balita dalam PAUD pada penelitian ini rendah hanya mencakup 11.0% (Tabel 10). Selain perkembangan kognitif, perkembangan motorik pada anak usia prasekolah juga cukup pesat, namun tidak secepat masa sebelumnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Papalia et al. (2008), anak usia prasekolah mempunyai kemajuan yang pesat dalam hal motorik kasar seperti berlari, melompat dan aktifitas lain yang melibatkan otot besar. Sebanyak 26% balita dalam penelitian ini mempunyai tingkat perkembangan motorik kasar yang tinggi, menandakan bahwa kemampuan beradaptasi mereka terhadap lingkungan sangat baik, yang di dukung oleh potensi genetik dan peluang mereka untuk belajar dan mempraktekan keterampilan motorik. Perkembangan fisik, khususnya kemampuan motorik kasar, akan meningkat dengan sempurna dalam permainan yang aktif, bebas dan tidak terstruktur (Papalia et al. 2008). Sebagai gambaran, sebagian besar balita dalam penelitian ini terbiasa bermain di luar rumah bersama teman-temannya seperti bermain bola dan berlari tanpa dibatasi oleh orang tuanya sehingga lebih memungkinkan mereka untuk mempraktekkan kemampuan motorik kasarnya dengan bebas.
48
Tabel 17 Sebaran balita menurut tingkat perkembangan Variabel Tingkat perkembangan kognitif: Rendah (<60%) Sedang (60-79%) Tinggi (≥ 80%) Rata-rata ±SD Tingkat perkembangan motorik halus: Rendah (<60%) Sedang (60-79%) Tinggi (≥ 80%) Rata-rata ±SD Tingkat perkembangan motorik kasar: Rendah (<60%) Sedang (60-79%) Tinggi (≥ 80%) Rata-rata ±SD
Jumlah balita n (73) % (100) 40 25 8
54.8 34.2 11.0 55.91 ± 17.22
50 21 2
68.5 28.8 2.7 54.11 ± 13.57
24 30 19
32.9 41.1 26.0 65.62 ± 17.38
Sebagaimana kemampuan motorik kasar, kemampuan motorik halus juga melibatkan fungsi otot seperti mengancing baju, mewarnai gambar, dan kegiatankegiatan lain yang melibatkan koordinasi mata-tangan dan otot yang lebih kecil. Tidak seperti tingkat perkembangan motorik kasar, lebih dari separuh jumlah balita dalam penelitian ini mempunyai tingkat perkembangan motorik halus yang rendah. Sebagai gambaran, sebagian besar balita dalam penelitian ini mempunyai kegiatan bermain yang lebih mengutamakan keterampilan motorik kasar seperti berlari, melompat, dan bermain bola jika dibandingkan dengan kemampuan motorik halus seperti mewarnai gambar atau menulis. Hal tersebut yang diduga menjadi alasan kenapa sebagian besar balita dalam penelitian ini mempunyai keterampilan motorik halus yang rendah tetapi di sisi lain rata-rata kemampuan motorik kasarnya lebih tinggi.
Karakteristik Fisik dan Kondisi Fisiologis Ibu Rata-rata usia ibu berada pada usia dewasa madya (20-39 tahun) menurut Hurlock (2000). Pada usia ini menurut Hurlock, seorang ibu lebih memperhatikan kepentingannya sendiri jika dibandingkan dengan kepentingan anaknya sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas pengasuhan. Tinggi badan ibu dikelompokkan menjadi tiga yaitu kurang dari 150 cm, 150-155 cm, dan lebih dari 155 cm. Pengelompokan tersebut didasarkan pada penelitian Zottarelli et al. (2007) yang menemukan bahwa kelahiran anak dari ibu yang mempunyai tinggi 150-160 cm menurunkan risiko stunting sebesar 40% dibandingkan anak yang lahir dari ibu yang tingginya kurang dari 150 cm. Berdasarkan Tabel 18, lebih dari separuh jumlah ibu dalam penelitian ini mempunyai tinggi badan lebih dari 150 cm dengan rata-rata tinggi badan 151.72 ± 5.3. Akan tetapi, jumlah ibu yang mempunyai tinggi badan kurang dari 150 cm juga cukup tinggi yaitu 35.6%. Jika dilihat berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur, maka lebih dari separuh jumlah ibu tergolong mempunyai status gizi normal menurut acuan Depkes (1996) dengan rata-rata indeks massa tubuh sebesar 23.34 ± 3.52. Indeks berat badan
49
menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini, karena pada keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa et al. 2002). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda secara nasional, data Riskesdas (2010) menunjukan bahwa ibu-ibu yang berada diantara rentang usia 20-39 lebih banyak berada pada kategori status gizi normal. Tabel 18 Sebaran ibu balita menurut karakteristik fisik dan fisiologi Variabel Tinggi badan ibu: < 150 cm 150-155 cm >155 cm Rata-rata ±SD IMT ibu: < 17.0 (kurus berat) 17.0-18.4 (kurus ringan) 18.5-25.0 (normal) 25.1-27.0 (gemuk ringan) > 27.0 (gemuk berat) Rata-rata ±SD Usia ibu: Dewasa muda (20-39tahun) Dewasa madya (40-65 tahun) Rata-rata ±SD Usia ibu saat hamil pertama kali: < 20 tahun 20-25 tahun > 25 tahun Rata-rata ±SD Jumlah kehamilan ibu: ≤ 2 kali 3-7 kali > 7 kali Jumlah keguguran ibu: 0 kali 1 kali > 1 kali Status fisiologis ibu saat ini: Hamil Menyusui Tidak hamil dan tidak menyusui Penyakit yang diderita ibu sebulan terakhir: Tidak ada Maag kronis Influenza Hipertensi Gejala anemia Lainnya
Jumlah ibu balita n (73) % (100) 26 30 17
35.6 41.1 23.3 151.72 ± 5.3
2 2 45 13 11
2.7 2.7 61.6 17.8 15.1 23.34 ± 3.52
64 9
87.7 12.3 31.66 ± 5.79
16 52 5
21.9 71.2 6.9 21.73 ± 2.96
51 20 2
69.9 27.4 2.7
55 17 1
75.3 23.3 1.4
4 13 56
5.5 17.8 76.7
36 6 18 5 2 6
49.3 8.2 28.9 6.8 2.7 9.6
50
Jika dilihat dari usia ibu pertama kali melahirkan, maka sebagian besar ibu melahirkan pertama kali pada rentang usia 20-25 tahun dengan rata-rata usia melahirkan pertama kali 21.73 ± 2.96. Secara nasional, data SDKI 2007 menunjukkan bahwa angka kehamilan dan kelahiran pada usia muda (<20 tahun) masih sekitar 8,5%, namun angka ini turun dibandingkan kondisi pada SDKI 2002-2003 yaitu 10,2%. Menurut BKKBN (2008), usia ideal bagi seorang ibu untuk mempunyai anak pertama kali adalah ketika usia ibu mencapai 20 tahun karena kehamilan pertama kali dibawah usia 20 tahun diantaranya dapat mengakibatkan keguguran, peningkatan risiko kematian saat melahirkan, berat bayi lahir rendah, dan bayi lahir sebelum waktunya. Hal tersebut diakibatkan karena kondisi rahim dan panggul belum berkembang secara optimal. Dalam penelitian ini, masih terdapat 21.9% ibu yang melahirkan pertama kali pada usia kurang dari 20 tahun, dan terdapat sekitar 24.7% ibu yang pernah mengalami keguguran setidaknya sekali saat masa kehamilan. Jika dilihat dari jumlah kelahiran hidup, maka lebih dari sebagian ibu pernah melahirkan hidup kurang dari atau sama dengan dua kali, akan tetapi jumlah ibu yang melahirkan lebih dari dua kali ada sebanyak 30.1%. BKKBN (2008) menyarankan untuk memiliki dua anak pada periode usia 20-35 tahun dengan jarak ideal antara dua kelahiran bagi pasangan usia subur adalah sekitar 78 tahun. Pemanfaatan pelayanan kesehatan selama kehamilan menunjukan bahwa hampir keseluruhan ibu biasa memeriksa kehamilan di bidan (97.3%). Ketika kegiatan wawancara berlangsung, terdapat ibu yang sedang hamil (5.5%) dan menyusui (17.8%), akan tetapi sebagian besar ibu tidak dalam keadaan hamil atau menyusui (76.7%). Status kesehatan ibu satu bulan terakhir menunjukkan bahwa hampir separuh ibu tidak mengalami keluhan kesakitan. Penyakit yang paling banyak dialami oleh ibu selama satu bulan terakhir adalah influenza (24.7%).
Karakteristik Sosial Ekonomi Ibu Berdasarkan Tabel 19, pendidikan terakhir ibu yang lebih dominan adalah SD atau SMA (37.0%). Sebagian besar ibu tidak bekerja atau hanya menjadi ibu rumah tangga (65.8%). Tetapi, terdapat 20.6% ibu yang bekerja sebagai buruh atau jasa dan berpenghasilan kurang dari Rp 500.000,00 atau Rp 500.000,00-Rp 1000.000,00 (15.1%). Ibu yang tidak bekerja diharapkan mempunyai lebih banyak waktu untuk memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Sebagai gambaran, pada penelitian ini sebagian besar ibu mengolah dan menyiapkan sendiri makanan untuk anaknya (Tabel 14). Walaupun demikian, status pekerjaan ibu (bekerja atau tidak bekerja) tidak menjamin asupan gizi anak memadai. Hal tersebut terlihat dari asupan gizi anak (energi, besi, vitamin A, dan kalsium) yang sebagian besar masih dibawah normal (Tabel 15). Selain itu, status pekerjaan ibu juga tidak menjamin perkembangan balita menjadi optimal. Hal tersebut terlihat dari tingkat perkembangan kognitif dan motorik halus balita masih rendah (Tabel 17). Ibu yang bekerja di sektor swasta umumnya bekerja sebagai karyawan pabrik konveksi. Sementara ibu yang bekerja sebagai buruh atau jasa umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak tetap, sedangkan ibu yang bekerja sebagai wiraswasta umumnya bekerja sebagai pedagang. Hanya ada satu orang ibu dalam penelitian ini yang bekerja sebagai PNS.
51
Tabel 19 Sebaran ibu balita menurut karakteristik sosial ekonomi Variabel Pendidikan terakhir ibu: SD SMP SMA PT Pekerjaan ibu: PNS Buruh/jasa Wiraswasta Swasta Tidak bekerja/IRT Penghasilan ibu: Rp 0,00 < Rp 500.000,00 Rp 500.000-Rp 1.000.000,00 >Rp 1.000.000 Usia ibu saat menikah: < 20 tahun 20-25 tahun > 25 tahun
Jumlah ibu balita n (73) % (100) 27 13 27 6
37.0 17.8 37.0 8.2
1 15 7 2 48
1.4 20.6 9.6 2.7 65.8
48 11 11 3
65.8 15.1 15.1 4.1
18 52 3
24.7 71.2 4.1
Selain itu, Tabel 19 juga memperlihatkan bahwa usia ibu ketika menikah pertama kali pada umumnya berada pada rentang usia 20-25 tahun (71.2%). Menurut BKKBN (2008), usia yang ideal untuk seorang perempuan menikah adalah 20 tahun. Akan tetapi terdapat sekitar 24.7% ibu yang menikah pertama kali pada usia kurang dari 20 tahun. Secara nasional data SDKI tahun 2002-2003 menunjukkan bahwa median usia menikah pertama kali berada pada kisaran usia 19,2 tahun, kemudian meningkat menjadi 19.8 tahun pada tahun 2007. Angka ini mengindikasikan bahwa separuh dari pasangan usia subur di Indonesia menikah dibawah usia 20 tahun (BKKBN 2008).
Tingkat Pengetahuan Ibu Tingkat pengetahuan ibu dalam penelitian ini terbagi atas tiga yaitu tingkat pengetahuan gizi, tingkat pengetahuan kesehatan, dan tingkat pengetahuan pengasuhan anak. Berdasarkan Tabel 20, dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat pengetahuan gizi ibu adalah 66.23 ± 16.15. Jika dilihat dari sebarannya, berdasarkan Khomsan (2000) maka lebih dari separuh jumlah ibu mempunyai tingkat pengetahuan gizi yang sedang (52.1%). Begitu juga dengan tingkat pengetahuan kesehatan ibu, separuh dari jumlah ibu mempunyai tingkat pengetahuan kesehatan yang sedang (50.7%) dengan rata-rata 71.92 ± 14.83. Sedangkan untuk tingkat pengetahuan pengasuhan anak, sebagian besar ibu mempunyai tingkat pengetahuan pengasuhan anak yang tergolong tinggi (90.4%) dengan rata-rata 89.04 ± 10.82 (Tabel 20). Pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak pada ibu menurut Hendrik (2003) dapat dipandang sebagai hasil gabungan antara kemampuan, pengalaman, intuisi, gagasan, dan motivasi dari
52
sumber yang kompeten sehingga membentuk sebuah informasi dan data. Sumber yang kompeten tersebut dapat berupa koran, majalah, email, artikel, iklan dan manusia. Sebagai gambaran, kebiasaan membaca koran, majalah, atau media cetak lainnya pada ibu dalam penelitian ini tergolong rendah yaitu hanya 1.4% ibu yang berlangganan koran atau majalah dan membacanya setiap hari. Tabel 20 Sebaran ibu balita menurut tingkat pengetahuan Variabel Tingkat pengetahuan gizi Rendah (<60%) Sedang (60-79%) Tinggi (≥ 80%) Rata-rata ±SD Tingkat pengetahuan kesehatan Rendah (<60%) Sedang (60-79%) Tinggi (≥ 80%) Rata-rata ±SD Tingkat pengetahuan pengasuhan balita Rendah (<60%) Sedang (60-79%) Tinggi (≥ 80%) Rata-rata ±SD
Jumlah balita n (73) % (100) 19 38 16
26.0 52.1 21.9 66.23 ± 16.15
9 37 27
12.3 50.7 37.0 71.92 ± 14.83
1 6 66
1.4 8.2 90.4 89.04 ± 10.82
Sebuah penelitian di Mozambik menunjukkan bahwa pengetahuan kesehatan ibu berpengaruh positif terhadap tinggi badan anak usia dibawah dua tahun, terutama didaerah dengan kasus stunting yang ekstrim (Broeck 2007). Sebelumnya, Christiaensen dan Alderman (2004) menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu (dilihat dari kemampuan untuk melihat gangguan pertumbuhan) merupakan determinan penting pada anak dengan malnutrisi kronis termasuk stunting. Block (2007) juga menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu dapat menjadi pengganti pendidikan ibu dalam mengatasi masalah gizi pada anak. Oleh sebab itu, intervensi pendidikan gizi sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan dan praktek gizi ibu, sebagaimana yang ditunjukan oleh hasil review terhadap studi-studi tentang intervensi gizi yang menunjukkan bahwa pendidikan gizi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan anak usia 6-24 bulan (Imdad et al. 2011). Berdasarkan sebaran jawaban benar ibu terhadap pertanyaan mengenai pengetahuan gizi terlihat bahwa lebih dari separuh jumlah ibu tidak mengetahui berapa lama ASI eksklusif sebaiknya diberikan kepada anak. Hanya 21.9% ibu yang mengetahui bahwa berat bayi lahir yang normal adalah lebih dari atau sama dengan 2500 gram. Persentase ibu yang mengetahui usia yang tepat bagi anak untuk mulai diperkenalkan makanan keluarga hanya 32.9%. Selain itu, kurang dari separuh jumlah ibu yang mengetahui fungsi protein bagi pertumbuhan dan manfaat sinar matahari pagi bagi anak. Selama kegiatan wawancara berlangsung tidak ditemukan mitos pangan pada ibu, terlihat bahwa sebanyak 86.3% ibu percaya bahwa kolostrum bukan merupakan air susu yang basi, bahkan 94.5% ibu percaya bahwa ASI dapat meningkatkan daya tahan tubuh anak. Secara lebih lengkap disajikan pada Gambar 2.
53
protein hewani banyak terdapat pada daging-dagingan protein nabati banyak terdapat pada kacang-kacangan protein berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh jeruk banyak mengandung vitamin C yang dapat mencegah sariawan
87.7 68.5 72.6 90.4
ikan laut banyak mengandung yodium
67.1
kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia vitamin D dan kalsium dapat memperkuat tulang sinar matahari pagi bermanfaat untuk menghasilkan vitamin D mencuci beras berlebihan dapat mengakibatkan vitamin B berkurang protein bermanfaat untuk mengganti sel tubuh yang rusak ASI eksklusif berarti memberi ASI saja selama 6 bulan
76.7 76.7 35.6 64.4 24.7 74
ASI eksklusif diberikan selama 6 bulan
47.9
MP-ASI diberikan setelah balita berusia 6 bulan BBLR yaitu bayi yang beratnya kurang dari 2500 gram balita gizi buruk pada KMS akan berwarna merah DHA dan omega 3 pada susu berfungsi untuk kecerdasan balita diperkenalkan makanan keluarga setelah berusia 1 tahun Vitamin A dosis tinggi diberikan 2 kali setahun
95.9 21.9 61.6 84.9 32.9 60.3
kolostrum bukan air susu basi
86.3
ASI dapat meningkatkan daya tahan tubuh balita
94.5 0
20
40
60
80
100
Gambar 2 sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan gizi dengan benar Berdasarkan Gambar 2 juga diketahui bahwa sebanyak 84.9% ibu mengetahui manfaat susu bagi balita salah satunya yaitu berfungsi untuk kecerdasan otak karena susu banyak mengandung DHA dan omega 3 yang baik untuk perkembangan otak anak. Dalam wawancara lebih lanjut, ibu-ibu yang menjawab benar pertanyaan tersebut sebagian besar mengetahui manfaat susu
54
bagi kecerdasan anak dari televisi. Hal tersebut menandakan bahwa televisi cukup berperan sebagai sumber informasi bagi ibu termasuk informasi gizi. kehilangan cairan akibat diare dapat diberikan larutan gula garam imunisasi mulai diberikan sejak bayi baru lahir imunisasi BCG dilakukan umtuk mencegah penyakit TBC imunisasi BCG sebaiknya diberikan sebanyak 1 kali Imunisasi DPT sebaiknya diberikan sebanyak 3 kali Imunisasi polio sebaiknya diberikan sebanyak 4 kali Imunisasi campak sebaiknya diberikan sebanyak 1 kali Kapsul vitamin A diberikan 2 kali dalam setahun Makanan dan minuman yang tidak bersih dapat mengakibatkan balita diare Menimbang berat badan balita sebaiknya dilakukan sebulan sekali Warna hijau pada KMS menandakan pertumbuhan balita baik Warna merah pada KMS menandakan pertumbuhan balita buruk Jika berat badan balita maka arah garis dalam KMS akan menurun Imunisasi bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh balita Setelah mandi balita dikeringkan dengan handuk khusus balita yang dimandikan Balita sebaiknya menyikan gigi sesudah makan dan sebelum tidur Sebelum menyuapi balita ibu mencuci tangan dengan sabun Ibu tidak boleh meniup makanan balita yang masih panas Saat balita bermain di luar rumah maka sebaiknya menggunakan alas kaki Tanda-tanda balita sehat diantaranya nafsu makan baik
61.6 56.2 46.6 54.8 52.1 45.2 82.2 68.5 95.9 89 74 54.8 84.9 98.6 94.5 32.9 90.4 63 95.9 97.3 0
20
40
60
80
100
Gambar 3 sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan kesehatan dengan benar Selain pengetahuan gizi, disajikan pula sebaran ibu yang menjawab dengan benar pertanyaan mengenai pengetahuan kesehatan (Gambar 3). Sebagaimana tingkat pengetahuan gizi, rata-rata tingkat pengetahuan kesehatan
55
ibu juga tergolong sedang (Tabel 20). Pengetahuan ibu mengenai kesehatan mulut anak cukup rendah, terlihat dari sebaran ibu yang menjawab dengan benar pertanyaan mengenai kapan anak sebaiknya menggosok gigi hanya sebanyak 32.9%. Selain itu, pengetahuan ibu mengenai imunisasi pada anak juga masih rendah, Gambar 3 menunjukkan bahwa walaupun sebanyak 98.6% ibu mengetahui manfaat imunisasi terhadap kekebalan tubuh anak, akan tetapi kurang dari separuh ibu yang mengetahui fungsi imunisasi BCG bagi anak dan berapa kali sebaiknya ibu memberikan imunisasi polio pada anak. Pengetahuan ibu mengenai Kartu Menuju Sehat (KMS) anak juga masih rendah, terlihat dari hampir separuh ibu yang tidak mengetahui makna dari warna merah pada garis pertumbuhan anak pada KMS. Pengetahuan ibu mengenai kebersihan makanan bagi anak cukup baik. Akan tetapi, walaupun sebanyak 90.4% ibu mengetahui bahwa ibu harus mencuci tangan dengan menggunakan sabun sebelum menyuapi balita, masih terdapat sekitar 37% ibu yang tidak mengetahui bahwa ibu tidak boleh meniup makanan yang masih panas sebelum diberikan kepada balita. Hal tersebut karena masih ada ibu yang percaya bahwa meniup makanan panas sebelum diberikan kepada anak tidak akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan anak. Selanjutnya, Gambar 4 menunjukkan sebaran ibu yang menjawab benar pertanyaan tentang pengetahuan pengasuhan anak. Berbeda dengan tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan, rata-rata tingkat pengetahuan pengasuhan ibu tergolong tinggi (Tabel 20). Sebagian besar ibu mengetahui mainan-mainan yang bersifat edukatif bagi anak seperti balok dengan berbagai ukuran dan mainan alat musik. Sebagian besar ibu juga mengetahui bagaimana caranya memberikan stimulasi bahasa dan kognitif pada anak, diantaranya adalah dengan memberikan buku cerita bergambar pada anak ataupun mengajak anak pergi ke museum. Selain itu, sebagian besar ibu juga mengetahui bagaimana menyediakan lingkungan bermain yang baik bagi anak dan bagaimana membangun rasa percaya diri dan kasih sayang pada anak yaitu dengan cara memberikan pujian ataupun membiasakan mengenalkan anak dengan tamu yang datang ke rumah. Pengetahuan ibu mengenai hukuman fisik pada anak tergolong baik. Hampir seluruh ibu mengetahui bahwa membiasakan kedisiplinan pada anak tidak harus melalui hukuman fisik, tetapi dengan diberikan nasihat secara baik-baik apabila anak melakukan kesalahan. Akan tetapi, hampir separuh dari ibu tidak mengetahui bahwa melatih kemampuan motorik anak dapat dilakukan dengan mengajarkan anak menggambar atau menulis. Ibu merupakan tokoh penting yang berperan dalam tumbuh kembang anak karena memiliki hubungan yang istimewa. Hubungan tersebut dikatakan sebagai kedekatan antara ibu dan anak yang akan mempengaruhi model mental diri anak, yaitu pandangan terhadap diri sendiri dan orang lain. Ibu adalah lingkungan yang pertama dikenal oleh anak, yang menyiapkan dan memberi makan anak, memperhatikan kesehatan anak, serta mengajak anak bermain (Patmonodewo 2001). Oleh karena itu, seorang ibu perlu mempelajari bagaimana caranya mendidik dan meyediakan lingkungan pengasuhan yang benar bagi anak. Dengan pengetahuan yang dimiliki ibu ditambah dengan kemauan untuk menerapkannya dalam kegiatan mengasuh anak sehari-hari, diharapkan ibu dapat menjadi faktor utama yang berperan dalam membentuk mental seorang anak. Pengetahuan tentang pengasuhan anak sangat penting karena menurut (Notoatmodjo 2007)
56
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan. Secara lebih lengkap, sebaran ibu yang menjawab benar mengenai pengetahuan pengasuhan anak ditampilkan pada Gambar 4. Mainan balok dapat melatih perkembangan kognitif balita
90.4
Buku cerita dapat mendorong balita untuk mau belajar membaca
97.3
menggambar dapat melatih kemampuan motorik balita
58.9
membiasakan mengucapkan terima kasih dapat melatih kemampuan bahasa balita
91.8
ibu harus menggunakan bahasa yang baik dan benar untuk melatih kemampuan …
97.3
Membiasakan balita untuk menceritakan pengalamannya merupakan bentuk …
84.9
Lingkungan yang baik untuk bermain balita adalah lingkungan yang mempunyai …
97.3
Kondisi rumah yang baik untuk balita adalah kondisi yang aman dari bahaya
93.2
Menciptakan kasih sayang pada balita dapat dilakukan dengan mencium dan memeluk …
95.9
Menjawab pertanyaan balita dengan penuh perhatian dapat membangun kehangatan …
95.9
Membangun kebanggan pada balita dapat dilakukan dengan memberikan pujian jika …
97.3
Stimulasi motorik dapat dilakukan dengan mendorong balita untuk belajar menulis
54.8
Mengajarkan balita membaca adalah salah satu cara untuk meningkatkan motivasi …
78.2
Ketika ada keluarga yang datang ke rumah sebaiknya diperkenalkan pada balita
93.2
Membentuk perilaku yang baik pada balita dapat dilakukan dengan mengajarkan …
86.3
Membelikan balita mainan alat musik dapat mengasah keterampilan balita
75.3
Mengajak balita ke museum dapat menstimulasi perkembangan kognitif balita
97.3
Balita sebaiknya didorong untuk membereskan mainannya sendiri
98.6
Balita sebaiknya dibiasakan mempunyai jadwal kegiatan yang teratur, contohnya …
98.6
Balita yang nakal sebaiknya tidak diberikan hukuman fisik tetapi dinasihati dengan …
98.6 0
20
40
60
80
100
Gambar 4 sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan pengasuhan anak dengan benar
57
Praktek Ibu Sebagaimana tingkat pengetahuan, praktek ibu terbagi menjadi tiga yaitu praktek gizi, praktek kesehatan, dan praktek pengasuhanan anak yang dilihat dari skor lingkungan pengasuhan. Berdasarkan Tabel 21, diketahui bahwa hampir separuh dari jumlah ibu mempunyai praktek gizi yang tergolong sedang (49.3%) menurut Khomsan (2000), dengan rata-rata skor praktek gizi 72.74 ± 12.47. Ratarata skor praktek pengasuhan ibu lebih tinggi jika dibandingkan dengan skor praktek gizi ibu yaitu 32.52 ± 6.05. Jika dilihat dari sebarannya maka lebih dari separuh jumlah ibu mempunyai praktek pengasuhan anak yang tergolong sedang (72.6%). Rata-rata praktek kesehatan ibu lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata praktek gizi dan pengasuhan yaitu 80.75 ± 18.12. Dengan demikian, sebagian besar ibu mempunyai praktek kesehatan yang tergolong tinggi (74.0%). Tabel 21 Sebaran ibu balita menurut praktek Variabel Praktek gizi Rendah (<60%) Sedang (60-79%) Tinggi (≥ 80%) Rata-rata ±SD Praktek kesehatan Rendah (<60%) Sedang (60-79%) Tinggi (≥ 80%) Rata-rata ±SD Praktek pengasuhan balita Rendah (0-29 poin) Sedang (30-45 poin) Tinggi (46-55 poin) Rata-rata ±SD
Jumlah balita n (73) % (100) 8 36 29
11.0 49.3 39.7 72.74 ± 12.47
9 10 54
12.3 13.7 74.0 80.75 ± 18.12
19 53 1
26.0 72.6 1.4 32.52 ± 6.05
Menurut Kajian UNICEF Indonesia (2012), asupan gizi yang tidak cukup dan timbulnya penyakit pada balita disebabkan karena praktek pemberian makan balita yang tidak tepat, penyakit dan infeksi yang terjadi berulang-ulang, serta perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk. Gambar 5 memperlihatkan sebaran ibu yang mempunyai praktek gizi yang benar. Hanya terdapat 9.6% ibu yang memberikan ASI eksklusif selama enam bulan (Gambar 5). Lebih jauh lagi, sebagian besar balita tidak termasuk kategori ASI eksklusif karena terdapat 87.6% ibu yang telah memberikan cairan selain ASI pada bayi ketika usia kurang dari enam bulan, selain itu terdapat sekitar 1.4% ibu yang telah memberikan makanan pada bayi ketika usia kurang dari enam bulan. Secara keseluruhan terdapat 89.0% balita yang tidak diberikan ASI secara eksklusif (Tabel 12). Hal tersebut termasuk ke dalam kategori praktek gizi yang salah. Secara nasional, SDKI (2007) mencatat bahwa persentase ibu balita di Indonesia yang memberikan MP-ASI pada anak usia 6-23 bulan yang sesuai dengan praktek-praktek yang direkomendasikan tentang pengaturan waktu, frekuensi dan kualitas hanya mencapai 41%.
58
Ibu memberikan kolostrum ketika bayi baru lahir Ibu memberikan ASI saja sampai balita berusia 6 bulan Ibu memberikan MP-ASI ketika usia balita lebih dari 6 bulan Ibu membiasakan balita untuk makan secara teratur Ibu memberikan balita kesempatan untuk memilih makanan yang disukainya Ibu memperkenalkan makanan baru pada balita Ibu mendorong balita untuk menghabiskan makanannya
91.8 9.6 54.8 87.7 89 83.6 94.5
Ibu mengolah sendiri makanan untuk balita
97.4
Ketika bayi, ibu membiasakan menjemur balita ketika pagi Ibu menyediakan buah-buahan di rumah untuk balita Ibu tidak memberikan susu formula sejak usia balita kurang dari 6 bulan Ibu tidak memperbolehkan balita untuk jajan sesuai kemauan mereka Ibu memberikan porsi makan balita sesuai kebutuhannya Ibu tidak mengunyah dulu makanan yang keras sebelum diberikan pada balita bu tidak menyuruh orang lain untuk menyuapi makan balita Ibu tidak memberi kopi/teh/madu ketika usia balita kurang dari 6 bulan
79.5 79.5 72.6 63 39.7 64.4 89 68.5
Ibu tidak memaksa balita untuk minum susu
64.4
Ibu tidak membiarkan balita ketika balita tidak mau makan ibu tidak percaya mitos ikan dapat menyebabkan cacingan Ibu tidak memberikan air tajin pada balita ketika tidak ada susu
84.9 89 76.7 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Gambar 5 sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek gizi dengan benar Selain itu, hanya terdapat sekitar 39.7% ibu balita yang memberikan porsi makan sesuai dengan kebutuhan balita. Gangguan makan (eating disorders) pada balita menjadi alasan utama ibu tidak memberikan porsi makan sesuai kebutuhan balita. Sebagai gambaran, sebanyak 27.4% balita dalam penelitian ini mempunyai nafsu makan yang rendah, sementara 31.5% balita lainnya mempunyai kebiasaan
59
jajan untuk menggantikan waktu makan mereka (Tabel 14). Rendahnya persentase ibu yang memberikan porsi makan sesuai dengan kebutuhan balita diduga menjadi penyebab rendahnya asupan gizi pada balita, dimana sebagian besar balita mempunyai tingkat asupan energi yang tergolong defisit (Tabel 15). Walaupun demikian, sebanyak 94.5% ibu dalam penelitian ini berusaha mendorong balita untuk selalu menghabiskan makanannya. Persentase ibu yang memberikan teh, madu, atau kopi pada balita di bawah enam bulan masih cukup tinggi yaitu sebesar 31.5% (Gambar 5). Hal tersebut termasuk praktek gizi yang berbahaya karena madu bisa saja mengandung spora Clostridium botulinum sehingga tidak boleh diberikan pada bayi di bawah usia 12 bulan. Selain itu, baik kopi maupun teh mengandung kafein yang tidak bisa dicerna secara sempurna oleh bayi, walaupun masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efek kafein terhadap perilaku bayi (National Health and Medical Research Council 2012). Selanjutnya, terdapat sekitar 23.3% ibu yang memberikan air tajin kepada balita ketika tidak ada susu. Wawancara lebih lanjut menunjukkan bahwa ibu-ibu yang memberikan air tajin pada balita percaya bahwa secara fisik air tajin tidak berbeda jauh dengan air susu sehingga dapat digunakan untuk menggantikan susu, bahkan sebagian dari mereka ada yang menganggap bahwa kandungan gizi air tajin sama dengan air susu. Gambar 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh jumlah ibu hanya menimbang berat badan anak ketika ada kesempatan saja. Data nasional menunjukkan bahwa secara keseluruhan, selama enam bulan terakhir, anak umur 6-59 bulan yang ditimbang secara rutin (4 kali atau lebih), ditimbang 1-3 kali dan yang tidak pernah ditimbang berturut-turut adalah sebanyak 49,4%, 26,9%, dan 23,8%. Riskesdas (2010) melihat bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan dan status ekonomi, semakin rendah persentase anak umur 659 bulan yang tidak pernah ditimbang. Sebagai gambaran, dalam penelitian ini terdapat 37.0% ibu yang mempunyai pendidikan terakhir SD dan sebagian ibu tergolong keluarga miskin menurut acuan Sukandar et al. (2008). Dari aspek kesehatan mulut, diketahui bahwa lebih dari separuh ibu hanya membersihkan gigi balita ketika mandi saja. Selain itu, sebanyak 61.6% ibu juga terbiasa meniup makanan yang masih panas dengan cara ditiup sebelum diberikan pada balita. Menurut salah satu penelitian, infeksi S.mutans paling banyak terjadi pada balita melalui kontak saliva. Penularan terjadi terutama secara transmisi vertikal yaitu dari ibu atau pengasuh seperti mencicipi atau meniup makanan bayi sebelum menyuapi mereka. Apabila ibu mempunyai tingkat S.mutans yang tinggi, maka anak-anak mereka dapat terpapar lebih awal dengan infeksi tersebut dan berisiko tinggi mengalami karies gigi (Losso et al. 2009). Sebuah studi telah menemukan bahwa pada anak yang memiliki karies gigi, tingkat konsentrasi S.mutans pada plak dan saliva mereka adalah sebanyak 30-40% (Vadiakas 2008). Walaupun demikian, sebagian besar ibu mengaku telah memberikan imunisasi dengan lengkap yang mencakup imunisasi BCG, DPT, Polio, dan Campak. Selain itu sebagian besar ibu juga mengaku telah memberikan kapsul vitamin A bagi balita dua kali dalam setahun. Akan tetapi, tidak semua ibu menjawab dengan yakin. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi yang telah diberikan, catatan dalam KMS dan KIA tidak lengkap, atau ibu tidak dapat
60
menunjukkan KMS, buku KIA atau catatan kesehatan anak karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu. Secara nasional, cakupan imunisasi pada balita masih beragam. Data Riskesdas (2010) menunjukkan persentase imunisasi menurut jenisnya yang tertinggi sampai terendah adalah imunisasi BCG (77,9%), imunisasi Campak (74,4%), Imunisasi polio (66,7%), dan Imunisasi DPT (61,9%). Ibu tidak mencuci botol susu balita hanya dengan air dingin Ibu tidak mencuci baju balita hanya ketika terlihat kotor saja ibu tidak mendiamkan balita sampai sembuh sendiri ketika sakit Ibu tidak mencuci tangan hanya dengan air saja ketika akan menyuapi balita Ibu tidak mendinginkan makanan balita yang masih panas dengan cara ditiup Ibu tidak membersihkan gigi balita hanya ketika mandi saja ibu tidak mencuci rambut balita hanya ketika balita mau saja Ibu tidak mengeringkan badan balita setelah mandi dengan handuk milik siapa saja Ibu tidak memandikan balita hanya ketika balita mau mandi saja ibu tidak menimbang berat badan balita hanya jika ada kesempatan saja Ibu membawa balita ibu ke posyandu setiap bulan ibu memberikan kapsul vitamin A dua kali setahun
71.2 94.5 98.6 61.6 38.4 49.3 89 86.3 91.8 43.8 79.5 82.2
ibu memberikan imunisasi campak lengkap
95.9
ibu memberikan imunisasi polio lengkap
90.4
ibu memberikan imunisasi DPT lengkap
90.4
ibu memberikan imunisasi BCG lengkap
91.8
ibu memberikan imunisasi ketika balita baru lahir
93.2
ibu memberikan oralit ketika balita diare
78.1
ibu menyuruh balita ibu memakai alas kaki ketika bermain di luar Ibu mencuci dulu bahan makanan sebelum diolah
90.4 98.6 0
20
40
60
80
100
Gambar 6 sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek kesehatan dengan benar
61
Praktek Pengasuhan Ibu Praktek pengasuhan ibu dilihat dari kualitas lingkungan pengasuhan yang diukur dengan menggunakan instrumen HOME (Home Observation for Measurements of the Environment) yang dikembangkan oleh Cadwell dan Bradley (1984). HOME terdiri dari delapan bagian yang masing-masing mengukur tingkat stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi, dan hukuman fisik. Ketegorisasi skor total dan skor sub bagian HOME menggunakan acuan Cadwell dan Bradley (1984). Stimulasi Belajar. Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga memberikan stimulasi belajar dalam tingkat sedang (76.7%). Stimulasi belajar yang dimaksud meliputi penyediaan mainan edukatif bagi anak seperti balok berbagai ukuran, puzzle, papan warna, papan angka, dan sebagainya. Hampir separuh ibu (47.9%) tidak menyediakan mainan yang memperkenalkan angka-angka pada balita. Selain itu, keseluruhan ibu dalam penelitian ini tidak menyediakan buku bacaan atau buku cerita untuk anak, dalam hal ini ibu kurang membiasakan anak untuk gemar membaca. Hal tersebut juga terlihat dari kebiasaan membaca keluarga, hanya 1.4% keluarga yang terbiasa membeli koran atau majalah dan membacanya setiap hari. Selain itu, hanya terdapat sekitar 17.8% balita yang dibelikan album musik anak-anak untuk menstimulasi perkembangan balita. Stimulasi Bahasa. Stimulasi bahasa yang dilihat diantaranya apakah anak diajari nama-nama binatang dan huruf-huruf alphabet atau tidak, apakah anak diajari mengucapkan salam, terima kasih, dan maaf atau tidak. Selain itu dilihat pula apakah ibu berbicara dengan tata bahasa yang benar, apakah ibu mendengarkan anak ketika berbicara, dan apakah apakah suara ibu membawa perasaan positif saat berbicara dengan anak. Secara keseluruhan, sebagian besar ibu mempunyai tingkat stimulasi bahasa yang sedang, namun sekitar 15.1% tingkat stimulasi bahasa ibu tergolong rendah (Tabel 22). Hampir keseluruhan ibu membawa perasaan positif saat berbicara pada anak (95.5%). Ibu menggunakan tata bahasa yang baik dan mengajarkan anak untuk biasa mengucapkan terima kasih (93.2%). Akan tetapi, masih terdapat sekitar 38.4% ibu tidak biasa mendorong anak untuk bercerita mengenai pengalamannya sehari-hari atau ibu tidak meluangkan waktu untuk mendengarkan anak bercerita. Sekitar 37.0% ibu tidak menyediakan mainan yang memperkenalkan nama-nama binatang pada anak, dan sebanyak 28.8% ibu tidak mendorong anak untuk belajar huruf. Lingkungan Fisik. Lingkungan fisik yang diamati meliputi keamanan dan kenyamanan lingkungan balita. Berdasarkan Tabel 22, separuh balita mempunyai lingkungan fisik yang tergolong sedang (50.7%), sementara 42.5% balita lainnya mempunyai kondisi lingkungan fisik yang tergolong rendah. Hanya terdapat sebanyak 13.7% keluarga yang mempunyai interior dalam rumah yang tidak terlihat gelap dan monoton serta luas lantai per orangnya sekitar 9 m2. Hampir separuh balita mempunyai kondisi rumah yang kurang tertata dengan baik (49.3%) dan 21.9% bangunan rumah balita tidak terlihat aman secara potensial. Walaupun demikian, lebih dari separuh balita mempunyai lingkungan sekitar yang asri (terdapat pohon dan rumput) dan kondisi rumah yang tidak terlalu sesak oleh perabot (61.6%).
62
Tabel 22 Sebaran balita menurut lingkungan pengasuhan Variabel Stimulasi belajar Rendah (0-2 poin) Sedang (3-9 poin) Rata-rata ±SD Stimulasi bahasa Rendah (0-4 poin) Sedang (5-6 poin) Tinggi (7 poin) Rata-rata ±SD Lingkungan fisik Rendah (0-3 poin) Sedang (4-6 poin) Tinggi (7 poin) Rata-rata ±SD Kehangatan dan penerimaan Rendah (0-3 poin) Sedang (4-5 poin) Tinggi (6-7 poin) Rata-rata ±SD Stimulasi akademik Rendah (0-2 poin) Sedang (3-4 poin) Tinggi (5 poin) Rata-rata ±SD Modeling Rendah (0-1 poin) Sedang (2-3 poin) Tinggi (4-5 poin) Rata-rata ±SD Variasi stimulasi Rendah (0-4 poin) Sedang (5-7 poin) Tinggi (8-9 poin) Rata-rata ±SD Hukuman fisik Rendah (0-2 poin) Sedang (3 poin) Tinggi (4 poin) Rata-rata ±SD
Jumlah balita n (73) % (100) 17 56
23.3 76.7 4.04 ± 2.11
11 38 24
15.1 52.1 32.9 5.70 ± 1.35
31 37 5
42.5 50.7 6.8 3.60 ± 1.87
35 31 7
47.9 42.5 9.6 3.52 ± 1.50
19 27 27
26.0 37.0 37.0 3.52 ± 1.55
6 21 46
8.2 28.8 63.0 3.52 ± 1.04
22 50 1
30.1 68.5 1.4 5.10 ± 1.32
8 9 56
11.0 12.3 76.7 3.60 ± 0.86
Kehangatan dan Penerimaan. Pada bagian ini diamati bagaimana peran ibu sebagai pengasuh mampu menjawab pertanyaan atau permintaan anak dengan ucapan yang baik, ibu mampu memberikan pujian, sentuhan, pelukan, belaian, ataupun ciuman pada anak. Berdasarkan Tabel 22, rata-rata nilai kehangatan dan penerimaan ibu adalah 3.52 ± 1.50 dimana lebih banyak ibu yang mempunyai tingkat kehangatan dan penerimaan yang tergolong rendah (47.9%). Sebagian besar ibu tidak memeluk anak setiap hari (61.6%), tidak memuji anak secara spontan paling sedikit dua kali selama wawancara (86.3%), tidak memperhatikan,
63
mencium, atau memeluk anak sedikitnya sekali selama wawancara (87.7%), dan tidak membantu anak untuk mendemonstrasikan beberapa kemampuan anak selama wawancara (72.6%). Walaupun demikian, sebagian besar ibu berbicara pada anak paling sedikit dua kali selama wawancara (90.4%), menjawab pertanyaan anak dengan baik (86.3%), dan merespon perkataan anak secara lisan (83.6%). Stimulasi Akademik. Pada bagian ini dilihat apakah anak diajari tentang warna, perkataan yang terpola seperti nyayian, pengertian ruang atau dimensi, angka, dan membaca kata-kata yang sederhana. Rata-rata skor stimulasi akademik yang diberikan oleh ibu adalah 3.52 ± 1.55 dimana sebarannya hampir merata untuk setiap ketegori terutama kategori sedang dan tinggi (Tabel 22). Sebagian besar ibu mendorong anak untuk belajar warna (71.2%), perkataan yang terpola (91.8%), hubungan ruang atau letak (65.8%), dan angka (72.6%). Akan tetapi hampir sebagian ibu tidak mendorong anak untuk membaca kata-kata sederhana (49.3%). Model. Modeling yang dimaksud berkaitan dengan perilaku ibu dalam menerapkan kebiasaan tertentu pada anak. Lebih dari separuh jumlah ibu mempunyai tingkat modeling yang tinggi (63.0%) dimana rata-rata skor modeling ibu adalah 3.52 ± 1.04 (Tabel 22). sebagian besar anak mampu mengekspresikan perasaan negatif tanpa dendam (87.7%) dan tidak banyak menuntut makanan tertentu ketika makan (63.0%). Sebagai hiburan, sebanyak 97.3% anak menggunakan televisi sebagai hiburannya. Walaupun demikian, sebagian besar ibu tidak membiasakan memperkenalkan tamu kepada anak (80.8%) Variasi Stimulasi. Konsep variasi stimulasi adalah kombinasi antara penyediaan sarana dan peran aktif orang tua dalam merangsang perkembangan anak. Lebih dari separuh ibu mempunyai tingkat variasi stimulasi yang sedang dengan rata-rata skor variasi stimulasi sebesar 5.10 ± 1.32 (Tabel 22). Sebagian besar anak tidak dibiasakan diajak bepergian oleh keluarga minimal sekali seminggu (87.7%), dan tidak pernah diajak pergi ke tempat-tempat yang dapat menambah wawasan anak seperti museum (79.5%). Selain itu, seluruh ibu dalam penelitian ini tidak terbiasa menempel atau memajang prakarya anak di rumah sehingga variasi stimulasi yang terlihat kurang. Walaupun demikian, hampir seluruh anak sering diberi kebebasan untuk memilih beberapa makanan atau merk di toko (94.5%). Anak juga didorong untuk membereskan sendiri mainannya (84.9%), dan makan bersama orang tua paling sedikit satu kali waktu makan dalam sehari (79.5%). Hukuman Fisik. Hukuman fisik ibu terhadap anak dilihat dari perlakuan ibu yang tidak memarahi anak baik dengan kata-kata, isyarat, maupun fisik seperti mencubit, memukul dan hukuman fisik lainnya secara belebihan, serta perlakuan ibu yang tidak membatasi atau melarang anak secara fisik. Berdasarkan Tabel 22, diketahui bahwa sebagian besar hukuman fisik yang diberikan ibu tergolong baik (76.7%) dengan rata-rata skor 3.60 ± 0.86. Sebagian besar ibu tidak menunjukkan kemarahan pada anak lebih dari sekali selama wawancara berlangsung (90.4%), tidak memaksa anak dengan keras untuk tetap berada di posisi yang diinginkan ibu (89.0%), tidak menampar, memukul, mencubit, atau kekerasan fisik lainnya selama kegiatan wawancara berlangsung (97.3%), dan tidak memberikan hukuman kepada anak lebih dari sekali selama satu minggu terakhir (83.6%). Penjelasan mengenai konsep hukuman pada anak dikemukakan oleh beberapa
64
ahli, Papalia et al. (2008) merangkumnya dalam beberapa poin, diantaranya: 1) orang tua kadang menghukum anak untuk menghentikan perilaku yang tidak inginkan tanpa memberikan “imbalan” ketika anak berperilaku baik. Dengan demikian tanpa disadari orang tua telah menguatkan perilaku nakal anak; 2) hukuman pada anak akan menjadi sangat efektif apabila disertai dengan penjelasan pendek dan sederhana; 3) anak yang dihukum secara kasar dan sering akan bertindak secara agresif karena anak bisa saja mengalami masalah dalam menginterpretasikan tindakan dan perkataan orang lain; 4) anak bisa mengalami ketakutan yang berlebihan jika orang tua memarahi mereka dengan berlebihan sehingga akhirnya anak akan berusaha menghindari orang tua. Hal tersebut justru akan melemahkan fungsi orang tua sebagai sosok yang mampu mempengaruhi perilaku anak.
Karakteristik Keluarga Balita Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa lebih dari separuh balita termasuk ke dalam keluarga kecil menurut BKKBN (2003). Ukuran rumah tangga yang besar biasanya menjadi faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga. Sebuah penelitian terhadap 1000 anak usia 7-12 tahun di iran menunjukan bahwa ukuran keluarga sangat mempengaruhi jumlah penyediaan makanan dalam rumah tangga, dimana semakin besar ukuran keluarga maka semakin mudah untuk memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga tersebut (Hajian-Tilaki et al. 2011). Hampir separuh dari ayah balita mempunyai pendidikan terakhir SMA (43.8%), sedangkan 11.0% ayah balita merupakan lulusan perguruan tinggi (Tabel 23). Pendidikan orang tua tidak berhubungan secara langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, tetapi melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Akan tetapi, dibandingkan dengan tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu lebih sering dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Latar belakang pendidikan biasanya dihubungkan dengan pekerjaan. Hampir separuh dari ayah balita mempunyai pekerjaan sebagai buruh atau jasa (45.2%). Dalam kehidupan sehari-hari, pertumbuhan dan perkembangan anak biasanya dikaitkan dengan pekerjaan ibu, sedangkan pekerjaan ayah lebih dikaitkan dengan pendapatan per kapita keluarga yang pada akhirnya juga turut berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebagaimana ibu, lebih dari separuh ayah balita masuk ke dalam kelompok usia dewasa muda (68.5%) menurut Hurlock (2000). Pada usia ini, Santrock (2009) menambahkan bahwa individu akan menyesuaikan diri dengan pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Periode ini merupakan rentang yang sulit dalam kehidupan seseorang karena mereka dituntut untuk mandiri secara ekonomi dan mandiri dalam mengambil keputusan. Lebih jauh, di masa ini para dewasa awal mulai menyadari perbedaan pendapat dan berbagai perspektif yang dipegang oleh orang lain. individu akan mulai berubah dari orientasi mencari pengetahuan menjadi orientasi menerapkan apa yang diketahui untuk mengejar karir dan membentuk keluarga.
65
Tabel 23 Sebaran balita menurut karakteristik keluarga Variabel Besar keluarga: Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (> 7 orang) Pendidikan ayah: SD SMP SMA PT Pekerjaan ayah: PNS Buruh/jasa Wiraswasta Swasta Usia ayah: Dewasa muda (20-39 tahun) Dewasa madya (40-65 tahun) Status merokok anggota keluarga: Tidak merokok Ayah perokok Kakek perokok Ayah dan kakek perokok Pendapatan ayah: ≤ Rp 1.000.000,00 Rp 1.000.001-Rp 2.000.000,0 Rp 2.000.001,00-Rp 3.000.000,00 Rp 3.000.001-Rp 4.000.000,00 >Rp 4.000.000,00 Pendapatan /kap/bulan keluarga (BPS 2012): Miskin (≤ Rp 214.338,00) Tidak miskin (> Rp 214.338,00) Pendapatan keluarga (sukandar et al. 2008): Miskin (≤ Rp 1.147.290,00) Tidak miskin (> Rp 1.147.290,00) Rata-rata ±SD
Jumlah balita n (73) % (100) 44 26 3
60.3 35.6 4.1
15 18 32 8
20.6 24.7 43.8 11.0
5 33 25 10
6.8 45.2 34.2 13.7
50 23
68.5 31.5
22 45 2 4
30.1 61.6 2.7 5.5
13 41 11 3 5
17.8 56.2 15.1 4.1 6.8
5 68
6.8 93.2
68 93.2 5 6.8 565460 ± 410942
Berdasarkan status merokok keluarga, maka lebih dari separuh balita mempunyai ayah perokok (61.6%). Pengeluaran untuk tembakau dapat mengalihkan pendapatan rumah tangga dari makanan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan (Semba et al. 2007). Selain itu, rokok juga mengandung racun yang dapat mempengaruhi status gizi anak (Mishra & Retherford 2007; Kawakita et al. 2008). Secara nasional, data Riskesdas (2010) menunjukkan bahwa prevalensi penduduk umur 15 tahun ke atas yang merokok tiap hari sebesar 28,2 persen. Selain itu data Riskesdas (2010) juga menunjukkan bahwa prevalensi perokok dalam rumah lebih banyak pada laki-laki, berstatus kawin, tinggal di perdesaan, dengan pendidikan rendah. Menurut pekerjaan, prevalensi perokok dalam rumah ketika bersama anggota keluarga lebih banyak yang bekerja sebagai petani, nelayan, atau buruh. Terdapat beberapa kemiripan dengan hasil penelitian ini
66
dimana hampir separuh ayah balita pada penelitian ini bekerja sebagai buruh atau jasa (45.2%). Jika dilihat dari pendapatan ayah, lebih dari separuh ayah balita mempunyai pendapatan Rp 1000.000,00 sampai dengan Rp 2000.000,00. Pendapatan per kapita keluarga digunakan sebagai pendekatan untuk menentukan keluarga miskin dan tidak miskin. Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diaplikasikan di banyak negara termasuk Indonesia adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. BPS memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Akan tetapi, kebutuhan tersebut dihitung secara umum dan tidak mempertimbangkan kebutuhan khusus setiap kelompok usia. Sedangkan Sukandar et al. (2008) merumuskan kemiskinan dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus tiap kelompok usia. Dasar penetapannya hampir mirip dengan konsep BKKBN yaitu lebih melihat dari sisi kesejahteraannya. Kebutuhan setiap kelompok usia berbeda antara anak-anak dan dewasa, antara ibu hamil dan ibu yang tidak hamil, dan sebagainya. Pada penelitian Sukandar et al. (2008), kebutuhan yang paling tinggi adalah ibu hamil dan menyusui. Selain itu, Sukandar et al. (2008) juga memperhitungkan faktor penyusutan pada kebutuhan non pangan seperti pakaian, rumah, dan sebagainya sehingga dinilai lebih riil dalam menetapkan berapa rupiah yang dibutuhkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Penelitian Sukandar et al. (2008) berhasilkan merumuskan garis kemiskinan baru yang pada waktu itu setara dengan 2.29 gram emas murni atau setara dengan Rp 1.147.290/kap/bulan jika menggunakan harga emas saat penelitian ini berlangsung. Emas murni dinilai lebih stabil terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Berdasarkan dua konsep garis kemiskinan tersebut maka sebanyak 93.2% keluarga balita tergolong keluarga tidak miskin menurut standar BPS (2012) sedangkan jika menggunakan standar Sukandar et al. (2008) maka sebanyak 93.2% keluarga balita tergolong keluarga miskin.
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tingkat pengetahuan ibu dihubungakan dengan beberapa karakteristik keluarga (Tabel 24). Berdasarkan analisis korelasi terlihat bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan positif dengan lama pendidikan ibu secara signifikan. Semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin tinggi tingkat pendidikan gizi ibu. Menurut Rahmawati (2006) dan Supariasa et al. (2002), tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola asuh anak karena berhubungan dengan cara berpikir dan keterbukaan terhadap informasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Madanijah (2003) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi ibu. Intervensi gizi yang diberikan pada penelitian Madanijah (2003) terbukti meningkatkan pengetahuan gizi ibu secara signifikan. Hal tersebut berarti pendidikan ibu terutama yang berkaitan dengan gizi, turut berperan dalam peningkatan pengetahuan gizi ibu. Pendidikan ibu dalam penelitian ini dilihat secara umum dan tidak fokus pada pendidikan gizi yang diterima ibu. Akan tetapi semakin tinggi pendidikan formal yang dimiliki ibu maka kemungkinan atau peluang untuk menerima informasi khususnya informasi gizi juga akan semakin
67
besar. Dalam penelitian Khaliq et al. (2008) terlihat bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan secara signifikan dengan tingkat pengetahuan ibu mengenai vitamin A, dimana pengetahuan ibu yang rendah mengenai vitamin A diduga karena rendahnya level pendidikan formal ibu sehingga kesempatan ibu untuk menerima pendidikan gizi juga lebih rendah. Walaupun demikian, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama pendidikan ibu dengan tingkat pengetahuan kesehatan dan pengasuhan ibu. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal akan tetapi dapat diperoleh dari pendidikan nonformal. Sehingga diduga pengetahuan kesehatan dan pengasuhan ibu dalam penelitian ini lebih banyak dipengaruhi oleh pendidikan nonformal ibu. Pengetahuan pengasuhan jarang ditemukan pada pendidikan formal, sebaliknya pengetahuan pengasuhan lebih sering didapatkan secara turun temurun atau berdasarkan kebiasaan, sedangkan pengetahuan kesehatan bisa saja didapatkan ibu melalui tenaga kesehatan atau media informasi lainnya baik media cetak maupun media elektronik. Tabel 24 Hubungan karakteristik ibu dengan tingkat pengetahuan ibu Variabel Tingkat pengetahuan gizi ibu: Usia ibu Lama pendidikan ibu Pendapatan/kap/bulan keluarga IMT ibu Tingkat pengetahuan kesehatan ibu: Usia ibu Lama pendidikan ibu Pendapatan/kap/bulan keluarga IMT ibu Tingkat pengetahuan pengasuhan anak: Usia ibu Lama pendidikan ibu Pendapatan/kap/bulan keluarga IMT ibu * Signifikan pada α=5%
r
p-value
-0.204 0.257 0.228 -0.028
0.083 0.028* 0.052 0.814
0.054 0.120 0.152 -0.038
0.651 0.313 0.199 0.751
-0.169 0.010 0.174 0.009
0.152 0.933 0.141 0.938
Selain itu, hasil uji Chi-Square juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status pekerjaan ibu (bekerja dan tidak bekerja) dengan tingkat pengetahuan ibu baik gizi, kesehatan, maupun pengasuhan. Hal tersebut bisa terjadi karena status pekerjaan ibu (bekerja dan tidak bekerja) berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu secara langsung tetapi melalui mekanisme lain seperti pemanfaatan sumber daya (termasuk waktu) dan kesempatan untuk menerima informasi gizi, kesehatan, dan pengasuhan. Oleh sebab itu, belum tentu ibu yang bekerja menerima informasi gizi, kesehatan dan pengasuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Begitu pula dengan karakteristik kelurga yang lain seperti pendapatan keluarga per kapita per bulan dan usia ibu. Selain itu, beberapa karakteristik keluarga balita mungkin kurang heterogen (usia ibu, pendapatan per kapita keluarga, status pekerjaan ibu), sehingga diduga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat pengetahuan ibu., baik pengetahuan gizi, pengetahuan kesehatan, maupun pengetahuan pengasuhan anak.
68
Hubungan Praktek ibu Praktek ibu dihubungakan dengan beberapa karakteristik keluarga (Tabel 25). Berdasarkan analisis korelasi diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga dengan praktek gizi dan kesehatan ibu. Karakteristik keluarga yang kurang homogen diduga menjadi penyebab kenapa hubungan yang terjadi kurang signifikan terhadap praktek gizi dan kesehatan ibu. Akan tetapi, terdapat hubungan positif yang signifikan antara lama pendidikan ibu dengan praktek pengasuhan ibu dimana semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin tinggi praktek ibu mengenai pengasuhan anak. Keluarga yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi cenderung lebih memahami bagaimana cara menyediakan lingkungan pengasuhan yang baik bagi anak. Hal ini karena keluarga dengan pendidikan tinggi, didukung oleh pendapatan tinggi, mempunyai akses informasi yang lebih memungkinkan. Sehingga dengan adanya informasi, baik yang berasal dari buku, koran, media audio, media audio visual ataupun dari rekan kerja menyebabkan mereka lebih mengetahui dan memahami bagaimana cara mengasuh anak yang baik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hurlock (1980) bahwa pendidikan orangtua akan mempengaruhi pengasuhan yang diterapkan pada anak. Pendidikan tinggi yang dicapai oleh orangtua akan lebih membantu orangtua memahami kebutuhan anak, sehingga seringkali secara langsung akan berpengaruh terhadap pemilihan model pengasuhan yang akan diterapkan pada anak. Secara segnifikan, besar keluarga berhubungan negatif dengan praktek pengasuhan ibu (Tabel 25). Semakin kecil ukuran keluarga maka semakin tinggi praktek pengasuhan ibu. Lingkungan pengasuhan dipengaruhi oleh jumlah anak dalam keluarga. Keluarga yang lebih besar, terutama dengan tempat tinggal yang sempit dan tingkat ekonomi yang rendah, menyebabkan orang tua cenderung memperlakukan anak lebih bersifat autoritarian dan lebih mengutamakan penggunaan hukuman fisik, serta lebih sedikit memberikan penjelasan mengenai peraturan yang seharusnya dipatuhi oleh setiap anggota keluarga (Berns 1997). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Latifah et al. (2010), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran keluarga dengan stimulasi psikososial yang diberikan. Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit pembagian perhatian pada masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu akan mempengaruhi kualitas pengasuhan dan perawatan anak. Besar keluarga dalam penelitian lain juga berhubungan dengan kualitas pengasuhan yang diberikan pada anak. Hasil penelitian Sa‟diyyah (1998) terhadap keluarga yang memiliki anak usia 24-59 bulan menunjukkan bahwa curahan waktu ibu untuk anak di pengaruhi oleh besar keluarga. Semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk anaknya. Selain itu, pendapatan keluarga/kapita/bulan juga berhubungan positif secara signifikan dengan praktek ibu (Tabel 25). Semakin tinggi pendapatan keluarga/kapita/bulan maka semakin tinggi praktek pengasuhan. Perbedaan tingkat ekonomi keluarga menyebabkan adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola pengasuhan orang tua terhadap anaknya terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana edukasi bagi anak. Anak-anak dari golongan keluarga berstatus sosial rendah kurang memperoleh rangsangan mental, hal ini disebabkan orang tua
69
sering kali sibuk atau terlalu dibebani oleh masalah ekonomi (Beck 1998). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Latifah et al. (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara pendapatan per kapita keluarga dengan stimulasi psikososial yang diberikan. Tabel 25 Hubungan karakteristik ibu dengan praktek ibu Variabel Hubungan praktek gizi ibu: Usia ibu Lama pendidikan ibu Besar keluarga Pendapatan/kap/bulan keluarga IMT ibu Hubungan praktek kesehatan ibu: Usia ibu Lama pendidikan ibu Besar keluarga Pendapatan/kap/bulan keluarga IMT ibu Hubungan praktek pengasuhan anak: Usia ibu Lama pendidikan ibu Besar keluarga Pendapatan/kap/bulan keluarga IMT ibu * Signifikan pada α=5% **signifikan pada α=1%
r
p-value
0.031 -0.034 0.000 0.223 0.067
0.792 0.773 0.999 0.058 0.557
0.133 0.175 0.028 0.113 -0.047
0.262 0.139 0.816 0.343 0.691
-0.086 0.498 -0.273 0.3.02 0.230
0.469 0.000** 0.019* 0.009** 0.050
Pada masyarakat tradisional dan modern, ibu yang bekerja akan menitipkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain sehingga kualitas pengasuhan anak tidak terkontrol dengan baik (Sa‟diyyah 1998). Menurut Satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Akan tetapi dalam penelitian ini, hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu (bekerja dan tidak bekerja) dengan praktek pengasuhan ibu, begitu juga dengan praktek gizi dan kesehatan. Ketersediaan waktu yang lebih banyak tidak berarti ibu lebih baik dalam memperaktekkan gizi, kesehatan, dan pengasuhan. Menurut Green (1980), praktek atau perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor pemungkin (sarana dan prasarana), dan faktor penguat (tenaga kesehatan). Selain itu, diduga karena karakteristik keluarga balita kurang heterogen sehingga hubungan yang muncul tidak signifikan. Sebagai gambaran, sebagian besar ibu dalam penbelitian ini berstatus tidak bekerja (65.8%).
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Praktek Ibu Berdasarkan Tabel 26 diketahui bahwa tingkat pengetahuan ibu behubungan positif dengan praktek ibu secara signifikan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan ibu maka semakin tinggi pula
70
praktek gizi, kesehatan, dan pengasuhan ibu. Pengetahuan merupakan hasil gabungan antara kemampuan, pengalaman, intuisi, gagasan, dan motivasi dari sumber yang kompeten sehingga membentuk sebuah informasi dan data. Sumber yang kompeten tersebut dapat berupa koran, majalah, email, artikel, iklan dan manusia (Hendrik 2003). Konsep adopsi perilaku (praktek) yang diperkenalkan oleh Rogers (1962) menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi suatu praktek tertentu, ia akan melewati tahap awal yang disebut dengan awareness yaitu adanya kesadaran akan adanya suatu stimuli tertentu. Artinya, orang tersebut akan mempunyai sebuah pengetahuan baru yang disebabkan oleh adanya stimuli yang diterimanya. Praktek gizi, kesehatan atau pengasuhan yang terjadi pada seorang ibu merupakan buah dari proses panjang yang dimulai dari adanya pengetahuan yang disebabkan oleh suatu stimuli tertentu. Stimuli tersebut dapat berasal dari lingkungan sosial maupun media informasi. Pengetahuanpengetahuan tersebut kemudian akan membentuk suatu sikap baik itu positif maupun negatif. Teori mengenai pembentukan sikap yang dikembangkan oleh Ajzen dan Fishbein (1980) menekankan proses kognitif serta menganggap bahwa manusia secara sistematis memanfaatkan informasi yang tersedia di sekitarnya, kemudian menggunakan nalarnya dalam memutuskan perilaku atau praktek apa yang akan diambilnya. Artinya, sikap terhadap gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak tidak begitu saja muncul pada ibu, tetapi bisa saja didasari oleh pengetahuan yang sebelumnya didapatkan melalui hasil evaluasi ibu terhadap lingkungan sehingga membentuk sebuah pengalaman baru yang mempengaruhi perasaannya yang pada akhirnya ikut menentukan kecenderungan apakah ibu tersebut akan mengadopsi praktek gizi, kesehatan, dan pengasuhan yang baik atau tidak. Tabel 26 Hubungan tingkat pengetahuan dengan praktek ibu Variabel Tingkat pengetahuan-praktek gizi Tingkat pengetahuan-praktek kesehatan Tingkat pengetahuan-praktek pengasuhan anak * Signifikan pada α=5% **signifikan pada α=1%
r 0.283 0.550 0.286
p-value 0.015* 0.000** 0.014*
Menurut Green (1980), perilaku kesehatan pada seseorang dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Faktor predisposisi merupakan faktor yang memotivasi suatu perilaku atau mempermudah terjadinya perilaku seseorang, contohnya pengetahuan. Faktor pemungkin merupakan faktor pendukung perilaku seseorang, contohnya fasilitas, sarana dan prasarana. Sedangkan faktor penguat adalah faktor yang memperkuat perilaku seseorang, contohnya tenaga kesehatan. Dalam hal ini, pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan menjadi faktor predisposisi dalam pembentukan perilaku gizi, kesehatan dan pengasuhan ibu. Sebagai contoh, pengetahuan kesehatan yang baik lebih memungkinkan ibu untuk melakukan praktek kesehatan yang baik pula. Misalnya, sebagian besar ibu dalam penelitian ini mengetahui bahwa kolostrum bukan merupakan air susu basi (Gambar 2), dan pada prakteknya, sebagian besar ibu juga memberikan kolostrum bagi anak-anak mereka (Gambar 5). Dengan demikian, dalam penelitian ini pengetahuan ibu terbukti secara signifikan berhubungan positif dengan praktek ibu. Sebagai faktor pemungkin, Desa Cibanteng mempunyai dua belas posyandu yang tersebar di
71
seluruh desa (Tabel 9). Selain itu, keberadaan bidan desa dan kader posyandu dapat menjadi faktor penguat terjadinya perilaku gizi, kesehatan, dan pengasuhan yang baik pada ibu. Akan tetapi dalam penelitian ini, faktor pemungkin dan faktor penguat tidak dianalisis lebih lanjut. Praktek gizi dan kesehatan yang baik diharapkan dapat menjadi salah satu fator pemungkin terpenuhinya kecukupan gizi balita. Akan tetapi dalam penelitian ini tidak cukup bukti untuk menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara praktek gizi dan kesehatan ibu dengan tingkat kecukupan gizi balita (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, fosfor). Hal tersebut diduga karena praktek gizi dan kesehatan yang diukur pada ibu bersifat umum, tidak khusus pada praktek memberi makan atau feeding practices pada balita sehingga kurang bisa menggambarkan hubungan antara praktek gizi dan kesehatan dengan tingkat kecukupan gizi balita. Tetapi sebagai gambaran, sebanyak 39.7% ibu dalam penelitian ini tidak memberikan porsi makan sesuai kebutuhan balita (Gambar 5) dan sebanyak 37% balita dalam penelitian ini mempunyai tingkat kecukupan energi yang tergolong defisit tingkat ringan (Tabel 15). Hubungan Tinggi Badan Balita Menurut Umur Tinggi badan balita menurut umur dihubungkan dengan beberapa karakteristik keluarga (Tabel 27). Berdasarkan uji korelasi, tinggi badan ibu berhubungan positif dengan tinggi badan balita secara signifikan. Semakin tinggi ibu maka semakin tinggi pula balita. Hal ini menunjukkan bahwa faktor hereditas turut berperan dalam variasi tinggi badan balita. Fenotip individu ditentukan oleh genotip (alel spesifik dan kombinasi alel yang telah diwariskan oleh kedua orang tua), lingkungan tempat individu dibesarkan, dan interaksi antara gen dan lingkungan individu. Dalam hal ini, tinggi badan balita ditentukan oleh genetik (apakah orang tua relatif pendek atau tinggi), lingkungan (apakah balita mendapat asupan gizi yang cukup selama masa pertumbuhan atau tidak), dan interaksi antara gen dan lingkungan (Amigo et al. 1997). Dalam beberapa penelitian lain, terbukti bahwa tinggi badan orang tua berhubungan dengan tinggi badan anak (Rahayu 2011; Nasikhah 2012). Penelitian Astari (2006) terhadap 70 balita usia 612 bulan di Kabupaten bogor menunjukkan bahwa tinggi badan ibu berhubungan positif dengan tinggi badan balita walaupun setelah dilakukan uji regresi hubungan keduanya menjadi tidak bermakna. Menurut Van de-Waal (1993), hubungan antara faktor genetik dengan tinggi badan balita biasanya kurang terlihat pada usia balita kurang dari dua tahun, hubungan tersebut biasanya terlihat setelah balita berusia dua tahun atau lebih. Penjelasan mengenai kaitan antara genetik (tinggi badan ibu) dengan tinggi badan balita akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan mengenai uji regresi berganda tentang faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tinggi badan balita. Kejadian stunting juga banyak ditemukan pada keluarga dengan orang tua yang merokok hal tersebut berkaitan dengan alokasi pengeluaran untuk pangan. Merokok memperburuk dampak kemiskinan, seperti pengeluaran untuk tembakau dapat mengalihkan pendapatan rumah tangga dari makanan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan (Semba et al. 2007). Jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli rokok banyak terjadi dinegara dengan penghasilan rendah. Sebagai contoh, di negara Vietnam pada tahun 1996, perokok menghabiskan rata-rata
72
49.05 Dolar untuk rokok per tahun, nilai tersebut lebih besar 1.5 kali dari biaya untuk pendidikan, 5 kali dari biaya kesehatan, dan sekitar sepertiga kali untuk makanan per kapita per tahun (Jenkins et al. 1997). Di Indonesia, dalam rumah tangga di mana sang ayah adalah seorang perokok, tembakau menghabiskan 22% dari uang belanja rumah tangga mingguan per kapita, dimana lebih sedikit uang yang dibelanjakan untuk makanan dibandingkan dengan rumah tangga non perokok (Semba et al. 2007). Selain itu, merokok juga berkaitan dengan kejadian stunting melalui mekanisme klinis dari kandungan racun dalam tembakau terhadap status gizi (Mishra & Retherford 2007) dan penundaan pertumbuhan skeletal (Kawakita et al. 2008). Akan tetapi dalam penelitian ini, berdasarkan hasil uji Chi-Square terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang sihnifikan antara status merokok anggota keluarga (ada atau tidak ada anggota keluarga yang merokok) dengan tinggi badan balita menurut umur. Selain status merokok keluarga, hasil uji Chi-Square juga tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit selama kehamilan balita dan status pekerjaan ibu dengan tinggi badan balita menurut umur. Hal tersebut diduga karena datadata tersebut kurang cenderung homogen sehingga hubungan yang muncul tidak signifikan. Sebagai gambaran, sebagian besar keluarga balita mempunyai anggota keluarga perokok (70%). Selain itu, sebagian besar ibu balita tidak bekerja (66%) dan tidak ada riwayat penyakit selama kehamilan balita (90%). Tabel 27 Hubungan TB/U balita dengan karakteristik keluarga Variabel Besar keluarga Pendapatan perkapita keluarga Tinggi badan ibu Lama pendidikan ayah Lama pendidikan ibu **signifikan pada α=1%
r 0.94 0.216 0.372 0.206 0.100
p-value 0.430 0.067 0.001** 0.080 0.401
Selain karateristik keluarga, tinggi badan balita juga duhubungan dengan karakteristik balita tersebut (Tabel 28). Berdasarkan uji korelasi terlihat bahwa tingkat kecukupan gizi balita (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, dan fosfor) berhubungan positif dengan tinggi badan balita secara signifikan. Semakin tinggi tingkat kecukupan gizi balita (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, dan fosfor) maka semakin tinggi tinggi badan balita menurut umur. Zat gizi diperlukan oleh tubuh untuk mengganti dan memperbaiki sel-sel yang rusak sehingga sangat vital dalam pertumbuhan balita. Mikronutrien yang seringkali dianggap penting dalam pertumbuhan balita diantaranya vitamin A, Fe dang Zn (Fahmida et al. 2007; Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001). Sebuah penelitian terhadap 800 balita si NTT, Indonesia menunjukan bahwa zat gizi mikro (zink, besi, dan vitamin A) berperan dalam pertumbuhan linear balita stunting (Fahmida et al. 2007). Dalam kesimpulannya, Fahmida et al. (2007) menekankan pentingnya mengkoreksi status Fe balita dibandingkan dengan status Zinc. Zinc akan mempunyai efek positif terhadap pertumbuhan jika status besi atau hemoglobin yang rendah dikoreksi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pertumbuhan yang optimal, Zinc harus diberikan bersama-sama dengan besi dengan pertimbangan rasio Zn:Fe yang tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka asupan zinc
73
pada penelitian ini tidak diteliti, disamping adanya keterbatasan instrumen DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan) dalam menyediakan data kandungan zinc masing-masing bahan pangan. Peningkatan status mikronutrien saja tidak cukup untuk meningkatkan pertumbuhan yang optimal, harus diimbangi dengan asupan energi dan protein yang cukup (Fahmida et al. 2007; Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001). Energi diperlukan tubuh untuk mendukung semua mekanisme biologis dan kimiawi dalam tubuh sehingga semua unit kehidupan dapat berjalan dengan optimal, sedangkan protein berguna untuk membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2006). Selain itu, kalsium dan fosfor (bersamasama dengan vitamin D) berperan dalam proses mineralisasi tulang dan pertumbuhan pada anak-anak. Kekurangan vitamin dan mineral tersebut berakibat pada terhambatnya pertumbuhan tulang sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak prasekolah (Brown et al. 2011; Almatsier 2006). Tabel 28 Hubungan TB/U balita dengan karakteristik balita Variabel Usia balita Tingkat Kecukupan Energi Tingkat Kecukupan Protein Tingkat Kecukupan Besi Tingkat Kecukupan Vitamin A Tingkat Kecukupan Kalsium Tingkat Kecukupan Fosfor Lama pemberian ASI eksklusif Usia mulai diberikan MP-ASI Panjang badan lahir balita Berat badan lahir Status kesehatan balita sejak lahir Prematuritas balita **signifikan pada α=1%
r 0.125 0.730 0.744 0.347 0.543 0.587 0.624 -0.024 -0.116 0.357 0.034 -0.209 0.054
p-value 0.293 0.000** 0.000** 0.003** 0.000** 0.000** 0.000** 0.837 0.327 0.002** 0.777 0.077 0.649
Selain tingkat kecukupan gizi, panjang badan lahir juga berhubungan positif dengan tinggi badan balita secara signifikan. Semakin panjang badan balita ketika lahir maka semakin tinggi badan balita menurut umur. Menurut Kusharisupeni (2002), rata-rata panjang badan kelompok prematur berada di persentil ke-10, dimana panjang lahir kelompok normal baik bayi perempuan maupun laki-laki berada pada persentil ke-20 standar WHO. Artinya, panjang badan yang jauh di bawah rata-rata pada umumnya, sebagaimana yang dialami oleh kurang dari separuh balita pada penelitian ini, disebabkan karena sudah terjadi retardasi pertumbuhan saat dalam kandungan sehingga efek jangka panjangnya dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan (stunting). Lebih jauh, Santos et al. (2009) menyatakan bahwa peluang bayi late preterm (kelahiran saat usia kehamilan 34-36 minggu) menjadi stunting di usia 12 bulan adalah 2.35 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bayi yang lahir normal, peluang tersebut menjadi 2.3 kali ketika usia 24 bulan. Selain itu, ukuran tubuh pada saat lahir mampu memprediksi pertumbuhan janin, dimana pada saat usia 12 bulan kelompok bayi yang lahir dengan berat badan rendah (<2.500 gram)
74
tidak mencapai panjang badan yang dicapai oleh kelompok normal, meskipun kelompok normal sendiri tidak bertumbuh optimal (Kusharisupeni 2002). Dengan demikian catch up growth pada kelompok BBLR tidak memadai. Status kesehatan pada anak juga turut berperan dalam menimbulkan masalah stunting khususnya diare. Diare berhubungan positif dan signifikan dengan stunting dimana anakanak yang mengalami diare berisiko 2,3 kali menjadi stunting dibandingkan dengan anak-anak tanpa diare (Teshome et al. 2009). Menurut Eastwood (2003) infeksi dan diare berkontribusi terhadap kejadian stunting karena dapat mengganggu proses metabolisme dalam tubuh sehingga menyebabkan pertumbuhan anak tidak optimal. Durasi menyusui yang semakin lama dapat meningkatkan risiko stunting pada anak disebabkan ibu cenderung tidak memberikan MP-ASI dengan cukup sesuai dengan usia anak (Teshome et al. 2009). Akan tetapi pada penelitian ini, baik prematuritas, status kesehatan, lama pemberian ASI eksklusif, usia mulai diberikan MP-ASI, maupun berat badan lahir tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tinggi badan balita menurut umur. Dalam hal ini tingkat kecukupan gizi lebih besar hubungannya terhadap tinggi badan balita menurut umur jika dibandingkan dengan prematuritas, status kesehatan, lama pemberian ASI eksklusif, usia mulai diberikan MP-ASI, maupun berat badan lahir. Balita yang mempunyai berat badan lahir rendah masih bisa diupayakan mengejar pertumbuhannya apabila tingkat kecukupan gizinya dipenuhi selama dua tahun pertama kehidupan (Teshome et al. 2009). Selain itu, kurangnya signifikansi pada karakteristik lain diduga karena data-data tersebut cenderung homogen. Sebagian besar balita pada penelitian ini tergolong tidak prematur dan mempunyai berat badan lahir normal. Sebagian besar balita diberikan ASI eksklusif kurang dari enam bulan dan status kesehatan balita sejak lahir relatif tidak jauh berbeda.
Hubungan Tingkat Perkembangan Motorik dan Kognitif Balita Perkembangan motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan halus. Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh, contohnya kemampuan duduk, menendang, berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, contohnya kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret, menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya (Yusuf 2006). Sementara perkembangan kognitif adalah pola perubahan dalam kemampuan mental yang meliputi kemampuan belajar, pemusatan perhatian, berfikir, kreatifitas, dan bahasa (Papalia et al. 2008) yang terbentuk dari interaksi antara faktor internal dengan lingkungan yang termasuk di dalamnya lingkungan keluarga dan luar keluarga (Dariyo 2007). Berdasarkan uji korelasi diketahui bahwa tinggi badan balita menurut umur berhubungan positif dengan tingkat perkembangan kognitif (Tabel 31) dan motorik balita secara signifikan, baik motorik halus (Tabel 29) maupun motorik kasar (Tabel 30). Semakin tinggi balita maka semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif dan motoriknya. Menurut Santrock (2007), perkembangan kognitif dan motorik (baik halus maupun kasar) beriringan dengan
75
proses pertumbuhan secara genetis atau kematangan fisik anak. Hal tersebut karena perkembangan bersifat sistematis, yang berarti perubahan dalam perkembangan bersifat saling tergantung satu sama lain atau saling mempengaruhi dan merupakan satu kesatuan yang harmonis (Yusuf 2006). Hubungan antara tinggi badan dengan kemampuan kognitif balita dijelaskan oleh hipotesis lain yang mengemukakan bahwa anak stunting mempunyai ukuran kepala yang lebih kecil sehingga berhubungan dengan volume otak dan daya berpikir (Grantham-McGregor et al. 1997), akan tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap lingkar kepala balita. Pendapat lain dikemukakan oleh Chang et al. (2002) yang menyatakan bahwa stunting berhubungan dengan perkembangan kognitif yang tercermin dari kemampuan aritmetik, mengeja, membaca kata dan membaca komprehensif, sehingga pencapaian pendidikan anak stunting lebih rendah jika dibandingkan dengan anak-anak normal. Penelitian Kar et al. (2007) menyatakan bahwa anak kurang gizi yang tercermin dalam keadaan stunting mempunyai masalah pada pemusatan perhatian, memori, pembelajaran dan kemampuan visuospatial. Kar et al. (2007) menyimpulkan bahwa stunting tidak hanya dapat mempengaruhi perkembangan kognitif pada tahap tertentu, tetapi juga pada tahap yang lebih tinggi sehingga menghasilkan gangguan kognitif jangka panjang. Tabel 29 Hubungan tingkat perkembangan motorik halus balita dengan karakteristik balita Variabel TB/U Lama mengikuti PAUD Lingkungan pengasuhan Usia balita Status kesehatan balita sejak lahir Lama pendidikan ibu Pendapatan keluarga/kap/bulan **signifikan pada α=1%
r 0.475 0.342 0.196 0.349 0.003 0.128 0.156
p-value 0.000** 0.003** 0.096 0.002** 0.978 0.279 0.188
Selain tinggi badan, faktor lain yang juga berhubungan secara signifikan dengan tingkat perkembangan motorik balita adalah lama mengikuti PAUD. Bahkan, lama mengikuti PAUD juga berhubungan positif dengan tingkat perkembangan kognitif balita secara signifikan (Tabel 31). Hubungan yang positif menandakan bahwa semakin lama seorang balita mengikuti PAUD maka semakin tinggi tingkat perkembangan motorik dan kognitif balita. Menurut Sudjarwo (2010), PAUD dibangun dengan konsep bermain sambil belajar sehingga akan mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang beragam. PAUD dapat menjadi bekal bagi pembentukan karakter anak karena pendidikan yang diberikan sejak dini bagi anak akan membantu mengembangkan potensi anak secara optimal. Hasil akhir yang diharapkan setelah mengikuti PAUD adalah anak akan menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal. Selanjutnya, usia balita berhubungan positif secara signifikan dengan tingkat perkembangan kognitif (Tabel 31), motorik halus (Tabel 29), dan motorik kasar (Tabel 30). Semain besar usia balita maka semakin tinggi tingkat
76
perkembangan kognitif dan motoriknya. Sebagaimana prinsip perkembangan yang dikemukakan oleh Papalia et al. (2008) bahwa perkembangan merupakan perubahan-perubahan yang dialami individu menuju tingkat kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan. Sistematis berarti perubahan dalam perkembangan bersifat saling tergantung satu sama lain atau saling mempengaruhi dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Progresif berarti perubahan-perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat, dan mendalam baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Berkesinambungan berarti perubahan pada bagian atau fungsi individu berlangsung secara beraturan atau berurutan, tidak terjadi secara kebetulan dan acak. Oleh sebab itu, seiring dengan bertambahnya usia, maka perkembangan motorik balita juga akan semakin meningkat secara signifikan, baik kognitif (Tabel 31), motorik halus (Tabel 29), maupun motorik kasar (Tabel 30). Peningkatan perkembangan motorik balita dari tahun ke tahun didukung oleh perkembangan fisik yang semakin matang seiring dengan bertambahnya usia balita. Tabel 30 Hubungan tingkat perkembangan motorik kasar balita dengan karakteristik balita Variabel TB/U Lama mengikuti PAUD Lingkungan pengasuhan Usia balita Status kesehatan balita sejak lahir Lama pendidikan ibu Pendapatan keluarga/kap/bulan * Signifikan pada α=5% **signifikan pada α=1%
r 0.262 0.326 0.204 0.569 0.017 -0.032 -0.078
p-value 0.025* 0.005** 0.084 0.000** 0.887 0.786 0.514
Pada penelitian lain, lingkungan pengasuhan terbukti berhubungan signifikan dengan perkembangan kognitif dan motorik anak. Miquelote et al. (2012) meneliti hubungan antara lingkungan pengasuhan dengan perkembangan motorik dan kognitif anak balita yang diukur dengan menggunakan instrumen yang sama yaitu Home Environment for Motor Development untuk perkembangan balita. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa terdapat berhubungan kuat antara lingkungan pengasuhan dengan perkembangan kognitif dan motorik balita. Lingkungan pengasuhan mencakup stimulasi psikososial, yaitu kegiatan bermain sejak bayi baru lahir yang dilakukan dengan penuh kasih sayang, setiap hari, bervariasi dan berkelanjutan untuk merangsang otak kiri dan kanan, melalui semua sistem indra untuk merangsang kemampuan berpikir, berkomunikasi, emosi, motorik, serta berbagai kemampuan lain pada balita (Soedjatmiko 2008). Walker et al. (2005) menekankan pentingnya lingkungan pengasuhan, stunting pada anak usia dini dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif dan pendidikan di akhir masa remaja, tetapi dapat dikoreksi dengan stimulasi pada usia dini. Akan tetapi pada penelitian ini, hubungan yang signifikan hanya ditemui pada tingkat perkembangan kognitif balita (Tabel 31) dan tidak terdapat cukup bukti untuk menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara lingkungan pengasuhan dengan kemampuan motorik anak, baik motorik halus (Tabel 29) maupun motorik
77
kasar (Tabel 30). Hal tersebut diduga dapat terjadi karena jumlah sampel yang kecil atau sampel kurang heterogen dimana sebagian besar balita mempunyai lingkungan pengasuhan yang sedang (73%). Selain itu, kelemahan instrumen HOME adalah beberapa item HOME menjadi kurang relevan secara kultur dalam keluarga non-barat (Bradley et al. 2001) sehingga diduga menyebakan hubungan yang terjadi kurang signifikan untuk menilai perkembangan motorik pada balita dalam penelitian ini. Tabel 31 Hubungan tingkat perkembangan kognitif balita dengan karakteristik balita Variabel TB/U Lama mengikuti PAUD Lingkungan pengasuhan Usia balita Status kesehatan balita sejak lahir Lama pendidikan ibu Pendapatan keluarga/kap/bulan * Signifikan pada α=5% **signifikan pada α=1%
r 0.272 0.475 0.284 0.276 0.009 0.059 -0.094
p-value 0.020* 0.000** 0.015* 0.018* 0.940 0.623 0.429
Berdasarkan penelitian Hart dan Risley (1996), terlihat bahwa orang tua yang berasal dari keluarga kelas atas menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak, berbicara lebih banyak dengan anak, dan menunjukkan ketertarikan lebih tinggi terhadap apa yang anak katakan. Sedangkan orang tua yang berasal dari keluarga kelas bawah cenderung sering mengatakan kalimat bernada negatif seperti “berhenti” atau “jangan” sehingga menghambat perkembangan anak. Akan tetapi pada penelitian ini, tidak terdapat cukup bukti untuk menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga per kapita per bulan dengan perkembangan anak baik perkembangan motorik halus (Tabel 29), perkembangan motorik kasar (Tabel 30), maupun perkembangan kognitif (Tabel 31). Selain karena karakteristik balita yang relatif homogen, diduga karena ekonomi tidak berhubungan langsung dengan perkembangan anak tetapi melalui mekanisme lain yang berhubungan dengan kemampuan menyediakan sumberdaya pendidikan dan melalui kemunculan efek psikologis negatif pada orang tua terhadap praktek pengasuhan mereka (Papalia et al. 2008). Akan tetapi, menyediakan sumberdaya pendidikan bagi anak tidak harus dengan sarana dan prasarana mahal. Dalam penelitian ini, baik penyediaan sumberdaya pendidikan bagi anak maupun efek psikologis negatif pada orang tua yang disebabkan oleh ekonomi tidak diteliti lebih lanjut. Selain itu, lama pendidikan orang ibu dalam penelitian ini tidak berhubungan signifikan dengan tingkat perkembangan balita. Hal tersebut karena tingkat pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan perkembangan anak, tetapi melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi perkembangan anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Soedjatmiko (2008) menekankan pentingnya stimulasi psikososial dibandingkan dengan pendidikan orang tua karena walaupun pendidikan orang tua tinggi, apabila tidak menyediakan kebutuhan pokok untuk
78
perkembangannya, maka potensi anak tidak akan berkembang optimal. Sedangkan orang tua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi, belum tentu mereka tidak cerdas, sehingga perkembangan anak dapat tetap optimal asalkan diberikan stimulasi psikososial sejak di dalam kandungan sampai usia sekolah dan remaja. Status kesehatan balita dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan tingkat perkembangan balita baik perkembangan motorik halus (Tabel 29), perkembangan motorik kasar (Tabel 30), maupun perkembangan kognitif (Tabel 31). Hal tersebut karena pada penelitian ini, penyakit yang diderita anak bukan merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi perkembangan anak (Tabel 10). Sejak awal, anak-anak balita yang mempunyai penyakit bawaan atau cacat yang dapat mempengaruhi perkembangan balita dijadikan kriteria eksklusi penelitian. Begitu juga dengan riwayat penyakit kehamilan ibu. Hasil uji Chi-Square tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dikarenakan sebagian besar balita tidak mempunyai riwayat penyakit kehamilan yang dapat mengganggu perkembangan balita (Tabel 10).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tinggi Badan Balita Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tinggi badan anak diuji menggunakan analisis regresi linier berganda dengan variabel bebas karakteristik keluaga dan karakteristik balita (Lampiran 2). Setelah itu dilakukan uji regresi ulang terhadap variabel karakteristik keluarga dan balita yang signifikan pengaruhnya terhadap tinggi badan balita, hasilnya ditampilkan pada Tabel 32. Berdasarkan uji regresi berganda maka tinggi badan ibu, tingkat kecukupan energi balita, dan tingkat kecukupan protein balita berpengaruh signifikan terhadap tinggi badan balita secara bersama-sama. Model ini mempunyai nilai koefisien determinasi sebesar 0.613. Artinya, sebesar 61.3% keragaman dari tinggi badan balita bisa dijelaskan oleh variabel tinggi badan ibu, tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein balita. Setelah dimasukkan pertama ke dalam model regresi, tinggi badan ibu berkontribusi sebesar 55.3% terhadap tinggi badan balita menurut umur. Tingkat kecukupan protein berkontribusi sebesar 3.4% terhadap tinggi badan balita menurut umur setelah variabel tinggi badan ibu dimasukkan ke dalam model. Sementara itu, tingkat kecukupan energi berkontribusi sebesar 2.6% terhadap tinggi badan balita menurut umur setelah variabel tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan protein dimasukkan ke dalam model. Akan tetapi berdasarkan model, terlihat bahwa setiap penambahan satu cm tinggi badan ibu, akan menambah zscore TB/U balita sebesar 0.032 satuan. Selain itu, setiap penambahan satu persen tingkat kecukupan energi balita, akan menambah z-score TB/U balita sebesar 0.032 satuan. Sedangkan setiap penambahan satu persen tingkat kecukupan protein balita, akan menambah z-score TB/U balita sebesar 0.024 satuan. Berdasarkan model pada Tabel 32, terlihat bahwa tinggi badan anak dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Menurut Papalia et al. (2008), sebagaimana perkembangan, pertumbuhan juga dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Jika seorang anak mewarisi gen “tinggi” dari orang tuanya, maka
79
peluangnya untuk menjadi tinggi lebih besar dibandingkan anak lain yang tidak mempunyai gen tersebut. Akan tetapi, jika anak tersebut tidak mempunyai asupan gizi yang memadai, terutama pada masa kritis kehidupan, maka potensi genetik untuk menjadi tinggi tersebut tidak akan terekspresikan dengan baik. Itulah yang disebut oleh Papalia et al. (2008) sebagai interaksi antara genetik dan lingkungan. Aksi genetik yang memicu pertumbuhan (termasuk tinggi badan) biasanya diatur dalam level hormonal yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti gizi. Oleh karena itu, sejak awal, genetik dan lingkungan saling berhubungan satu sama lain (Brown 1999). Tabel 32 Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U Variabel Konstanta Tinggi badan ibu Tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupan energi R2 total F (Sig) * Signifikan pada α=5% **signifikan pada α=1%
B -10.698 0.032 0.024 0.032
R2 parsial 0.553 0.034 0.026 0.613 36.438 (0.000)
Sig. 0.000** 0.033* 0.010* 0.015*
Dasar dari keturunan adalah sebuah senyawa kimia yang disebut Deoxyribo-Nucleic Acid (DNA) yang memuat semua materi turunan yang diwariskan dari orang tua biologis kepada anak termasuk tinggi badan. DNA membawa instruksi biokimia yang mengarahkan formasi tiap sel dalam tubuh dan memberitahukan kepada sel bagaimana membuat protein yang memungkinkan mereka untuk melakukan fungsi tubuh tertentu. Struktur DNA terdiri dari empat senyawa basa yang saling berpasangan dalam empat kombinasi dimana sekitar tiga milyar pasang basa ini menciptakan kode genetik yang akan menentukan semua ciri bawaan termasuk tinggi badan. Pada saat pembentukan, sebuah zigot telah mempunyai semua informasi biologis yang dibutuhkan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangannya menjadi bayi manusia. Semua itu terjadi melalui pembelahan berulang atau mitosis. Ketika membelah, lingkaran DNA yang terdapat di dalamnya ikut menggandakan diri sehingga tiap sel yang baru terbentuk akan mempunyai struktur DNA yang sama dengan informasi turunan yang sama (Papalia et al. 2008). Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat defisiensi hormon pertumbuhan memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor risiko yang lain (Amigo et al. 1997). Pada penelitian Zottarelli et al. (2007), penurunan kejadian stunting yang signifikan teramati dari peningkatan tinggi ibu. Di antara ibu yang mempunyai tinggi kurang dari 150 cm, 30,89% anak-anaknya mengalami stunting. Penurunan persentase sampai 13.61% pada anak dengan ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm. Kelahiran anak dari ibu yang mempunyai tinggi 150-160 cm menurunkan risiko stunting sebesar 40% dibandingkan anak yang lahir dari ibu yang tingginya kurang dari 150 cm,
80
dan menurunkan risiko stunting sebesar 59% jika anak lahir dari ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm. Konsep pengukuran seberapa besar pengaruh genetik terhadap tinggi badan dijelaskan berdasarkan berapa banyak variasi (perbedaan antara individu) dalam hal tinggi badan yang disebabkan oleh efek genetik. Menurut Lai (2006), seorang ahli biologi molekuler dari U.S Department of Agriculture, sekitar 6080% dari perbedaan tinggi badan antar individu ditentukan oleh faktor genetik, sedangkan 20-40% dapat dikaitkan dengan dampak lingkungan, terutama gizi. Hal tersebut didasarkan pada perkiraan "heritabilitas" dari tinggi badan manusia, yaitu proporsi dari total variasi tinggi badan yang disebabkan oleh faktor genetik. Seringkali, berbagai penelitian menentukan tingkat heritabilitas dengan memperkirakan tingkat kemiripan antar kerabat dalam keluarga. Sehingga diharapkan dapat memisahkan efek genetik dari efek lingkungan dengan menghubungkan kemiripan genetik antar saudara dengan kesamaan tinggi badan mereka. Visscher et al. (2006) dari Queensland Institute of Medical Research di Australia melaporkan bahwa heritabilitas dari tinggi badan adalah sebesar 80%, berdasarkan 3.375 pasang saudara di Australia. Perkiraan ini dianggap objektif karena didasarkan pada populasi besar saudara kembar dan saudara kandung. Di Amerika utara, tingkat heritabilitas tinggi badan diperkirakan sebesar 73% untuk ras kaukasoid (Deng et al. 2002). Penelitian lain bahkan menunjukkan tingkat heritabilitas tinggi badan pada ras kaukasoid (inggris atau irlandia) lebih besar dari 80% (Wiltshire et al. 2002). Studi mengenai tingkat heritabilitas pada jenis kelamin dilakukan oleh Silventoinen et al. (2003) terhadap laki-laki dan perempuan di delapan negara. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa tingkat heritabilitas tinggi badan pada perempuan lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Dalam populasi Asia, heritabilitas tinggi badan jauh lebih rendah dari 80%. Sebagai contoh, pada tahun 2004 Miao Xin Li dan timnya dari China memperkirakan heritabilitas tinggi badan sebesar 65%, didasarkan pada 385 populasi keluarga di Cina. Populasi etnis yang berbeda memiliki latar belakang genetik yang berbeda dan hidup dalam lingkungan yang berbeda sehingga heritabilitas tinggi badan dapat bervariasi antar populasi, dan bahkan antar jenis kelamin. Keberagaman tingkat heritabilitas terutama disebabkan karena latar belakang genetik dan lingkungan yang berbeda antar kelompok seperti iklim, kebiasaan makan dan gaya hidup. Asupan gizi merupakan faktor lingkungan yang bersama-sama dengan faktor genetik, mempengaruhi tinggi badan balita. Berdasarkan bahasan sebelumnya dikemukakan bahwa kontribusi lingkungan terhadap tinggi badan seseorang berkisar antara 20-40% tergatung oleh karakteristik gen dan lingkungan pada masing-masing populasi dan etnis. Pada populasi dengan kondisi lingkungan yang baik, kontribusi genetik bisa saja lebih tinggi, sementara pada lingkungan yang buruk kontribusi genetik mungkin saja lebih rendah. Sebagai faktor lingkungan, Fahmida et al. (2007) menekankan pentingnya peran zat gizi terutama zat gizi makro (energi dan protein) dalam meningkatkan pertumbuhan balita. Gizi merupakan penentu penting dalam pertumbuhan karena pembelahan sel membutuhkan cukup gizi untuk memproduksi protein yang diperlukan dan makromolekul lainnya. Pertumbuhan pada periode bayi tampaknya paling sensitif terhadap status gizi, hal ini didukung oleh pengamatan bahwa sebagian besar
81
perbedaan kecepatan pertumbuhan dan tinggi badan antara negara berkembang dan negara maju terjadi selama periode dari 6 bulan sampai 24 bulan usia (Brush et al. 1993; Vella et al. 1994). Pada penelitian Fahmida et al. (2007) terhadap 800 balita di Indonesia menunjukan bahwa peningkatan status mikronutrien saja tidak cukup untuk meningkatkan pertumbuhan yang optimal, harus diimbangi dengan asupan energi dan protein yang cukup. Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Bhandari et al. (2001) yang meneliti pengaruh suplementasi mikronutrien terhadap pertumbuhan balita, Bhandari dan tim menemukan bahwa pengaruh mikronutrien relatif kecil terhadap pertumbuhan apabila tidak diimbangi oleh asupan energi dan protein yang cukup. Energi dan protein tampaknya menjadi “fator pembatas” dalam pertumbuhan jika dibandingkan dengan mikronutrien (Fahmida et al. 2007; Bhandari et al. 2001; Rivera et al. 2003). Energi diperlukan tubuh untuk mendukung semua mekanisme biologis dan kimiawi dalam tubuh sehingga semua unit kehidupan dapat berjalan dengan optimal. Energi bisa diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada dalam bahan makanan. Pada pertumbuhan, energi diperlukan untuk menunjang aktifitas fisik dan metobilsme yang meningkat. Energi diperlukan pada setiap reaksi biokimia yang terjadi di dalam tubuh. Kekurangan energi dapat menyebabkan marasmus. Kekurangan energi pada anak prasekolah di India dihubungakan dengan kejadian morbiditas yang tinggi dan efek jangka panjangnya dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak baik berat badan maupun tinggi badan (Ramachandran & Gopalan 2009). Kadar hormon pertumbuhan berkurang pada anak yang mengalami kekurangan energi. Bila kekurangan energi tersebut dikoreksi pada usia muda, maka sebagian besar anak akan mencapai pertumbuhan (tinggi dan berat badan) yang menyerupai saudara mereka yang normal (Van de-Waal 1993). Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein. Separuhnya terdapat didalam otot, seperlima ada di dalam tulang, sepersepuluh ada di kulit, dan selebihnya ada di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Selain itu, asam amino yang membentuk protein berperan sebagai prekursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul yang esensial untuk kehidupan. Fungsi lain protein yang khas dan tidak bisa digantikan adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh, oleh sebab itu protein sangat berperan dalam pertumbuhan balita (Almatsier 2004). Sembilan asam amino yang berbeda (leusin, isoleusin, valin, triptofan, fenilalanin, metionin, treonin, lisin, dan histidin) dipercaya sangat berperan untuk pertumbuhan dan ketiadaan atau kekurangan salah satunya akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Selain itu, peran protein lainnya yang sangat penting adalah sebagai pembangun DNA pada manusia. Variasi pada balita, termasuk tinggi badan, terletak pada susunan dan urutan asam amino yang membentuk DNA. “Petunjuk pembuatan” tiap jenis protein dalam tubuh balita terletak pada informasi genetik yang diterima oleh balita pada tahap pembuahan. Informasi ini terletak pada DNA yang berada pada setiap inti sel. Untuk membuat protein tertentu, suatu sel harus mempunyai semua jenis asam amino yang dibutuhkan pada waktu yang sama dalam jumlah yang dibutuhkan. Bila tubuh kekurangan
82
asam amino nonesensial (asam amino yang dapat disintesis dalam tubuh), maka tubuh dapat segera membuatnya asalkan tersedia cukup asam amino lain sebagai pemasok nitrogen yang dibutuhkan. Apabila tubuh kekurangan asam amino esensial (asam amino yang tidak dapat disintesis dalam tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan), maka tubuh tidak dapat melanjutkan pembuatan protein yang diperlukan, atau asam amino esensial yang dubutuhkan tersebut harus diambil dari pemecahan protein lain dalam tubuh atau dipasok dari makanan (Almatsier 2004). Oleh karena itu, ketersedian protein yang cukup dalam tubuh sangat penting untuk menjaga proses pertumbuhan balita agar dapat berjalan dengan optimal.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Halus Balita Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat perkembangan motorik halus balita diuji dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan variabel bebas karakteristik keluaga dan karakteristik balita (Lampiran 3). Setelah itu dilakukan uji regresi ulang terhadap variabel karakteristik keluarga dan balita yang signifikan pengaruhnya terhadap tingkat perkembangan motorik halus balita, hasilnya ditampilkan pada Tabel 33. Berdasarkan uji regresi berganda, maka tinggi badan balita menurut umur dan tingkat perkembangan motorik kasar balita berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik halus balita secara bersama-sama. Model ini mempunyai nilai koefisien determinasi sebesar 0.494. Artinya, sebesar 49.4% keragaman dari tingkat perkembangan motorik halus balita bisa dijelaskan oleh variabel tinggi badan balita menurut umur dan tingkat perkembangan motorik kasar balita. Setelah dimasukkan pertama ke dalam model regresi, perkembangan motorik kasar balita berkontribusi sebesar 39% terhadap perkembangan motorik halus balita. Sementara itu, tinggi badan balita menurut umur berkontribusi sebesar 10.4% terhadap perkembangan motorik halus balita setelah variabel perkembangan motorik kasar balita dimasukkan ke dalam model. Akan tetapi berdasarkan model, terlihat bahwa setiap penambahan satu satuan z-zcore TB/U balita, maka akan menambah tingkat perkembangan motorik halus balita sebesar 4.5%, sedangkan setiap penambahan satu persen tingkat perkembangan motorik kasar balita, maka akan menambah tingkat perkembangan motorik halus balita sebesar 0.42%. Tabel 33 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus Variabel Konstanta Perkembangan motorik kasar TB/U balita R2 total F (Sig) **signifikan pada α=1%
B 32.756 0.419 4.501
R2 parsial 0.390 0.104
Sig. 0.000** 0.000** 0.000**
0.494 34.213 (0.000)
Indikator Tinggi badan menurut umur mencerminkan status gizi masa lalu. Nilai TB/U yang rendah mengindikasikan adanya asupan gizi yang tidak memadai yang terakumulasi selama jangka waktu yang panjang. Sedangkan gangguan
83
perkembangan pada anak tidak serta merta terjadi namun salah satunya merupakan hasil dari gangguan pertumbuhan dalam jangka waktu yang lama karena pada prinsipnya perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan. Sejak tahun 1970an, hubungan antara stunting dengan perkembangan motorik telah temukan dalam berbagai studi (Powell & McGregor 1985; Lasky et al. 1981; Monckeberg 1972; Sigman et al. 1989). Hingga tahun 1999, hubungan antara stunting dengan perkembangan anak masih belum jelas. Hasil yang bervariasi dihubungkan dengan kemungkinan adanya mekanisme yang berbeda tergantung dari zat gizi apa yang menjadi defisien dalam tubuh anak (Grantham-McGregor et al. 1999) didukung oleh caregiver yang mungkin kurang memberikan rangsangan terhadap anak apatis, sehingga dapat memperburuk perkembangan anak (Chavez & Martinez 1982). Anak yang mengalami stunting diketahui akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah sehingga tingkat aktifitasnya rendah. Hal tersebut menyebabkan anak kehilangan rasa ingin tahu terhadap lingkungannya dan kurang mengeksplorasi lingkungan mereka sehingga gagal dalam mencapai perkembagan motorik dan keterampilan dibandingkan dengan anak normal pada umumnya (Levitsky 1979). Salah satu penelitian terbaru dilakukan oleh Paiva et al. (2012) terhadap 55 anak stunting prapubertas di Brazil. Paiva et al. meneliti hubungan antara stunting dengan perkembangan motorik anak yang dinilai dari kemampuan mekanik otot tricep surae dengan menggunakan alat ergometer. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan motorik pada anak stunting rendah sebagai akibat dari terhambatnya proses kematangan otot sehingga kemampuan mekanik otot berkurang. Pada anak, penundaan kematangan fungsi otot tersebut dapat disebabkan oleh asupan gizi yang tidak memadai dalam jangka panjang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rendahnya kemampuan motorik pada anak stunting dapat disebabkan karena kematangan fungsi otot yang terganggu ataupun karena menurunnya rasa ingin tahu dan antusiasme anak terhadap lingkungan sehingga anak cenderung bertindak pasif. Beberapa penelitian pada anak stunting menunjukkan bahwa kelompok anak yang tidak mendapat suplementasi menunjukkan perilaku lebih tenang dan pendiam (Chavez & Martinez 1979). Dalam sebuah studi, anak stunting yang berusia antara 9 dan 24 bulan memiliki perbedaan perilaku salah satunya kurang antusias dalam menjelajahi lingkungan mereka dibandingkan dengan anak normal (MeeksGardner & Grantham-McGregor 1994). Oleh karena itu, stunting kemungkinan dapat mempengaruhi fungsi motorik dan psikologis pada seseorang secara bersamaan. Selain itu, tidak hanya pertumbuhan, setiap dimensi perkembangan (termasuk motorik kasar dan motorik halus) juga saling mempengaruhi satu sama lain. Sebagaimana prinsip perkembangan yang dikemukakan oleh papalia et al. (2008) bahwa semua aspek perkembangan saling mempengaruhi satu sama lain dengan arah hubungan yang positif. Semakin baik tingkat perkembangan motorik kasar balita maka semakin baik tingkat perkembangan motorik halus balita. Menurut Papalia et al. (2008), sebagaimana kemampuan motorik kasar, kemampuan motorik halus mulai berkembang sejak hari pertama kelahiran dan keduanya berkembang secara bersamaan dalam tingkat yang bervariasi tergantung pengalaman khusus bayi dengan lingkungannya yang dipengaruhi oleh kondisi fisik dan lingkungan (Thelen 1995). Tetapi di beberapa bagian tubuh, kemampuan
84
motorik kasar berkembang lebih dulu sebelum motorik halusnya, sebagai contoh bayi akan belajar terlebih dahulu untuk menggerakan keseluruhan tangannya sebelum dia belajar menggenggam. Selain berkembang secara bersamaan, kedua kemampuan motorik tersebut juga saling mempengaruhi sata sama lain. Ketika bayi mulai dapat berjalan dengan baik maka eksplorasi terhadap lingkungan dan kontrol fisik juga semakin meningkat sehingga kesempatan mereka untuk mempraktekan kemampuan motorik halusnya semakin besar. Sebagai contoh, kematangan otot bahu dan lengan atas merupakan pondasi yang kokoh bagi balita untuk dapat mengembangkan kemampuan menulisnya. Dengan demikian, sejalan dengan berkembanganya kemampuan motorik kasar, kemampuan motorik halus balita juga meningkat. Selain itu, Papalia et al. (2008) juga menghubungkan kemampuan motorik halus balita yang semakin berkembang dengan kematangan otak dan perkembangan kognitif yang semakin kompleks. Dalam penelitian ini, walaupun uji korelasi menunjukkan bahwa perkembangan kognitif balita berhubungan positif dan signifikan dengan perkembangan motorik halusnya, tetapi belum ditemukan cukup bukti untuk menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan perkembangan kognitif terhadap perkembangan motorik halus balita (Lampiran 3). Oleh sebab itu, penelitian-penelitian serupa selanjutnya dengan jumlah sampel yang lebih besar dan lebih beragam diperlukan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Kasar Balita Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat perkembangan motorik kasar balita diuji menggunakan analisis regresi linier berganda dengan variabel bebas karakteristik keluaga dan karakteristik balita (Lampiran 4). Setelah itu dilakukan uji regresi ulang terhadap variabel karakteristik keluarga dan balita yang signifikan pengaruhnya terhadap tingkat perkembangan motorik kasar balita, hasilnya ditampilkan padaTabel 34. Berdasarkan uji regresi berganda maka usia balita, tingkat perkembangan kognitif balita, dan tingkat perkembangan motorik halus balita berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik kasar balita secara bersama-sama. Model ini mempunyai nilai koefisien determinasi sebesar 0.580. Artinya, sebesar 58.0% keragaman dari tingkat perkembangan motorik kasar balita bisa dijelaskan oleh variabel usia balita, tingkat perkembangan kognitif balita, dan tingkat perkembangan motorik halus balita. Setelah dimasukkan pertama ke dalam model regresi, perkembangan motorik halus balita berkontribusi sebesar 39% terhadap perkembangan motorik kasar balita. Usia balita berkontribusi sebesar 14.1% terhadap perkembangan motorik kasar balita setelah variabel perkembangan motorik halus balita dimasukkan ke dalam model. Sementara itu, perkembangan kognitif balita berkontribusi sebesar 4.9% terhadap perkembangan motorik kasar balita setelah variabel perkembangan motorik halus balita dan usia balita dimasukkan ke dalam model. Akan tetapi berdasarkan model, terlihat bahwa setiap penambahan satu bulan usia balita, maka akan menambah tingkat perkembangan motorik kasar balita sebesar 0.46%. selain itu, setiap penambahan satu persen tingkat perkembangan kognitif balita, maka akan menambah tingkat perkembangan
85
motorik kasar balita sebesar 0.26%. Sedangkan setiap penambahan satu persen tingkat perkembangan motorik halus balita, maka akan menambah tingkat perkembangan motorik kasar balita sebesar 0.46%. Tabel 34 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar Variabel Konstanta Perkembangan motorik halus Usia balita Perkembangan kognitif R2 total F (Sig) **signifikan pada α=1%
B -12.267 0.463 0.463 0.262
R2 parsial 0.390 0.141 0.049 0.580 31.715 (0.000)
Sig. 0.161 0.000** 0.000** 0.006**
Perkembangan motorik kasar pada balita prasekolah (3-5 tahun) berlangsung sangat pesat. Hal tersebut didukung oleh kematangan fisik yang semakin baik sejalan dengan bertambahnya usia. Pada usia tiga tahun, balita belum mempunyai kemampuan untuk berhenti secara mendadak, akan tetapi sejalan dengan bertambahnya usia maka kematangan fisik semakin baik, sehingga di usia empat tahun rata-rata balita sudah mempunyai kontrol untuk berhenti secara mendadak (Papalia et al. 2008). Pengamatan yang dilakukan oleh Thelen (1995) menunjukkan bahwa reflek berjalan muncul pada bayi yang baru lahir ketika diberdirikan dengan kaki menyentuh permukaan. Perilaku ini biasanya menghilang pada bulan ke empat dan muncul lagi pada akhir tahun pertama ketika bayi sudah siap untuk berjalan. Menurut Thelen (1995), kematangan otak saja tidak cukup untuk menjelaskan perkembangan motorik kasar pada balita tetapi juga harus mempertimbangkan peran dari kematangan fisik yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan kondisi lingkungan. Alih-alih sebagai penganggung jawab tunggal terhadap munculnya kemampuan motorik kasar balita, kematangan otak hanyalah merupakan bagian dari proses tersebut. Pengamatan terhadap kemampuan motorik anak usia 2-5 tahun menunjukkan bahwa perubahan dalam kemampuan motorik anak merefleksikan kematangan otak sekaligus otot (Papalia et al. 2008). Menurut Thelen (1995), bayi yang normal mengembangkan keterampilan yang sama dengan urutan yang sama karena mereka dibangun dengan cara yang sama dan memiliki tantangan dan kebutuhan fisik yang sama. Karena itu, kemudian mereka akan menemukan bahwa dalam sebagian besar situasi, berjalan merupakan cara yang paling efisien jika dibandingkan dengan merangkak. Pergeseran gerakan dari merangkak menjadi berjalan menandai perubahan fundamental dalam tujuan anak untuk mencapai sesuatu, hal tersebut merefleksikan perkembangan kognitif anak yang semakin baik. Selain itu, perkembangan motorik halus juga turut mempengaruhi perkembangan motorik kasar balita. Sebagai contoh, kematangan otot jari yang baik akan memantapkan kemampuan menggenggam bola sehingga balita dapat melempar bola dengan baik. Dalam skema tindakan yang kompleks, baik kemampuan motorik kasar maupun halus saling bekerja sama satu sama lain. Seiring dengan berkembangnya kedua kemampuan motorik tersebut, anak usia prasekolah terus menggabungkan berbagai kemampuan yang telah mereka miliki dengan yang baru mereka dapatkan, untuk menghasilkan kemampuan motorik
86
yang lebih kompleks, yang disebut dengan sistem tindakan. Sistem tindakan ini menghasilkan cakupan gerakan yang lebih luas atau lebih tepat dan kontrol yang lebih efektif terhadap lingkungan. Sebagai contoh, dalam hal belajar berjalan, pertama-tama seorang bayi akan dapat mengontrol beberapa gerakan tangan dan kaki yang berbeda sebelum kemudian menyatukan semua gerakan tersebut untuk melakukan langkah pertama (Papalia et al. 2008).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Balita Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat perkembangan kognitif balita diuji menggunakan analisis regresi linier berganda dengan variabel bebas karakteristik keluaga dan karakteristik balita (Lampiran 5). Setelah itu dilakukan uji regresi ulang terhadap variabel karakteristik keluarga dan balita yang signifikan pengaruhnya terhadap tingkat perkembangan kognitif balita, hasilnya ditampilkan padaTabel 35. Berdasarkan uji regresi berganda maka lama mengikuti PAUD dan tingkat perkembangan motorik kasar balita berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan kognitif balita secara bersama-sama. Model ini mempunyai nilai koefisien determinasi sebesar 0.398. Artinya, sebesar 39.8% keragaman dari tingkat perkembangan kognitif balita bisa dijelaskan oleh variabel lama mengikuti PAUD dan tingkat perkembangan motorik kasar balita. Setelah dimasukkan pertama ke dalam model regresi, perkembangan motorik kasar balita berkontribusi sebesar 23.5% terhadap perkembangan kognitif balita. Sementara itu, lama mengikuti PAUD berkontribusi sebesar 16.3% terhadap perkembangan kognitif balita setelah variabel perkembangan motorik kasar balita dimasukkan ke dalam model. Akan tetapi berdasarkan model, terlihat bahwa setiap penambahan satu bulan mengikuti PAUD, maka akan menambah tingkat perkembangan kognitif balita sebesar 1.39%. Sedangkan setiap penambahan satu persen tingkat perkembangan motorik kasar balita akan menambah tingkat perkembangan kognitif balita sebesar 0.44%. Tabel 35 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif Variabel Konstanta Perkembangan motorik kasar Lama mengikuti PAUD R2 total F (Sig) **signifikan pada α=1%
B 25.553 0.436 1.386
R2 parsial 0.235 0.163
Sig. 0.000** 0.000** 0.001**
0.398 23.182 (0.000)
Menurut UU nomor 20 tahun 2003 pasal 1 butir 14 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Berdasarkan undang-undang tersebut maka diharapkan PAUD dapat menjadi pondasi yang kokoh dalam mengembangkan berbagai keterampilan anak termasuk kemampuan kognitif anak. Papalia et al. (2008) merangkum beberapa hasil penelitian mengenai pendidikan
87
anak usia dini yang telah dilakukan, diantaranya anak-anak dengan pengalaman pendidikan usia dini yang panjang cenderung lebih mudah beradaptasi di taman kanak-kanak dibandingkan mereka yang hanya sebentar atau tidak pernah sama sekali merasakan pendidikan usia dini. Anak-anak yang memulai taman kanakkanak dengan teman yang mereka ketahui dan sukai cenderung akan lebih baik. Anak yang sebelumnya lebih matang secara kognitif memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berpartisipasi dan berprestasi, sedangkan anak yang kurang berpartisipasi cenderung merasa sendiri dan ingin terus berada di rumah. Perkembangan kognitif anak tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan. Sebagaimana prinsip perkembangan bahwa semua aspek perkembangan, baik kognitif maupun motorik saling mempengaruhi satu sama lain dengan arah hubungan yang positif. Satu hipotesis menyatakan bahwa anak yang mengalami stunting akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah sehingga tingkat aktifitasnya rendah (Levitsky 1979). Aktifitas fisik dan perkembangan motorik yang rendah dihubungkan dengan perkembangan kognitif anak. Menurut Piaget, meningkatkanya kemampuan intelektual merupakan sebuah akibat dari perilaku gerak dan konsekuensinya. Menurutnya, gerak selalu berhubungan dengan proses berpikir sehingga pengetahuan muncul sebagai akibat dari perilaku yang terjadi melalui gerak tubuh. Hal tersebut sejalan dengan teori gerak Kephart dan Delaco. Kephart menyatakan bahwa kurangnya kemampuan belajar pada anak adalah hasil dari kurangnya integrasi sensori yang merupakan langkah dalam persepsi proses gerak, sedangkan Delaco meyakini bahwa unsur-unsur dalam fungsi kognitif yang optimal merupakan pengembangan dari dominasi kontrol otak. Pada penelitian ini, walaupun uji korelasi menunjukkan bahwa TB/U balita berhubungan positif dan signifikan dengan perkembangan kognitifnya (Tabel 31), tapi belum ditemukan cukup bukti untuk menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari TB/U balita terhadap perkembangan kognitifnya (Lampiran 5). Dalam studi di Meksiko, hubungan yang signifikan antara stunting dan fungsi kognitif muncul pada anak-anak pedesaan yang sangat miskin tapi tidak muncul pada anak-anak kelas menengah, lalu disimpulkan bahwa stunting pada anak-anak kelas menengah terutama disebabkan oleh kecenderungan genetik, dengan demikian tidak dikaitkan dengan penurunan fungsi neurosensori, sedangkan stunting pada anak-anak sangat miskin di pedesaan terutama disebabkan oleh gizi buruk sehingga dikaitkan dengan defisit fungsional terutama dalam hal integrasi neurosensori (Cravioto et al. 1966). Sejalan dengan hal tersebut, pada penelitian ini, faktor genetik lebih besar kontribusinya terhadap tinggi badan balita menurut umur jika dibandingkan dengan faktor gizi (Tabel 32), sehingga diduga bahwa stunting pada balita dalam penelitian ini lebih disebabkan oleh faktor keturunan, bukan karena faktor gizi, sehingga tidak mempengaruhi perkembangan kognitifnya secara signifikan.
88
6
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Proporsi antara balita laki-laki dan perempuan yang relatif sama, dimana sebagian besar balita tidak mengikuti PAUD. Hampir seluruh balita tidak mempunyai masalah selama kelahiran atau kehamilan dan lahir normal dalam hal berat badan, panjang badan, dan prematuritas. Penyakit yang umum dialami oleh hampir semua balita adalah influenza. Ukuran keluarga balita lebih banyak berada pada kategori kecil, termasuk keluarga miskin, dan tergolong perokok aktif. Ratarata pendidikan terakhir ayah adalah SMA dan bekerja sebagai buruh sedangkan ibu adalah SD atau SMA dan tidak bekerja. Sebagian besar ibu mempunyai tinggi badan dan IMT tergolong normal. Lebih dari sebagian ibu mempunyai tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan yang tergolong sedang sedangkan hampir seluruh ibu mempunyai tingkat pengetahuan pengasuhan yang tergolong tinggi. Lebih dari sebagian ibu mempunyai praktek kesehatan yang tergolong tinggi sedangkan praktek gizi dan pengasuhan ibu tergolong sedang. Lebih dari separuh balita terbiasa makan tiga kali sehari dan tidak selalu menghabiskan makanannya. Sebagian besar balita tidak mendapat ASI eksklusif selama enam bulan dan tidak terbiasa minum susu secara teratur. Gangguan makan yang biasa dialami balita adalah kebiasaan jajan di waktu makan utama, terutama jajanan chiki-chikian. Sayuran, buah-buahan, pangan hewani dan minuman yang paling banyak disukai balita berturut-turut adalah jeruk, sop, telur ayam, dan air putih. Hampir seluruh ibu menyiapkan, menemani, dan menyuapi balita makan sambil bermain di luar rumah. Sebagian besar balita mempunyai TB/U normal, tetapi tingkat perkembangan kognitif dan motorik halusnya rendah, sedangkan tingkat perkembangan motorik kasar tergolong sedang. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara: 1) tinggi badan ibu, tingkat kecukupan gizi (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, fosfor), dan panjang lahir balita dengan TB/U balita; 2) TB/U balita, lama mengikuti PAUD, dan usia balita dengan tingkat perkembangan motorik (halus dan kasar) balita; 3) TB/U balita, lama mengikuti PAUD, usia balita, dan lingkungan pengasuhan dengan tingkat perkembangan kognitif balita; 4) lama pendidikan ibu dengan tingkat pengetahuan gizi ibu; 5) lama pendidikan ibu dan pendapatan/kap/bulan keluarga dengan praktek pengasuhan ibu. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara: 1) besar keluarga dengan tingkat pengetahuan gizi dan praktek pengasuhan ibu. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara praktek gizi ibu dengan tingkat kecukupan gizi balita. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap TB/U balita adalah tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan gizi (energi dan protein) balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik halus balita adalah TB/U balita dan tingkat perkembangan motorik kasar balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik kasar balita adalah usia balita, perkembangan kognitif dan motorik halus balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan kognitif balita adalah lama mengikuti PAUD dan perkembangan motorik kasar balita.
89
Saran Intervensi pendidikan gizi, kesehatan, dan pengasuhan diperlukan bagi ibu untuk mendukung terjadinya perilaku yang baik. Meningkatan pertumbuhan dan perkembangan balita bisa melalui pemantauan asupan gizi, baik gizi makro (energi dan protein) maupun gizi mikro (besi, vitamin A, kalsium dan fosfor). Selain itu peran lingkungan pengasuhan sangat penting bagi perkembangan balita. Pendidikan anak usia dini perlu diperkenalkan pada balita usia prasekolah agar mendukung perkembangan kognitif dan motorik balita serta siap memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bagi penelitian serupa lebih lanjut diharapkan melibatkan responden dengan jumlah yang lebih besar dan karakteristik yang lebih beragam.
90
DAFTAR PUSTAKA Ajzen I, Fishbein M. 1980. Understanding Attitude and Predicting Social Behavior. New York: Prectice Hall. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia. Anggorodi R. 2009. Dukun bayi dalam persalinan oleh masyarakat Indonesia. Makara Kesehatan 13(1): 9-14. www.journal.ui.ac.id [2 Okt 2013]. Anwar F. 2002. Model pengasuhan anak bawah dua tahun dalam meningkatkan status gizi dan perkembangan psikososial [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amigo H, Buston P, Radrigan ME. 1997. Is there a relationship between parents‟s short height and their children‟s? social interclass epidemiologic study. Rev Med Chil 125(8). www.ncbi.nlm.nih.gov [13 April 2013]. Ariawan I. 1997. Besar Sampel Pada Penelitian Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Depok: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Astari LD. 2006. Faktor-aktor yang berpengaruh terhadap kejadia stunting balita usia 6-12 bulan di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Astari LD, Nasoetion A, Dwiriani CM. 2006. Hubungan konsumsi ASI dan MPASI serta kejadian stunting anak usia 6-12 bulan di Kabupaten Bogor. Media Gizi dan Keluarga 30(1):15-23. Atmarita. 2005. Nutrition problem in Indonesia. An Integrated International Seminar and Workshop on Lifestyle-Related Diseases. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2008. Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-Hak Reproduksi bagi Remaja Indonesia. Jakarta: BKKBN. Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Barat Dalam Angka 2011. http://jabar.bps.go.id [23 April 2013]. ________. 2010. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Kementrian Kesehatan. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, Laporan Pendahuluan. Jakarta: BPS. ________. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, Kesehatan Reproduksi Remaja, Laporan Pendahuluan. Jakarta: BPS.
91
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2007. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta: BKKBN. Beck J. 1998. Meningkatkan Kecerdasaan Anak. Jakarta. Pustaka Delapratasa. Bentley ME, Caulfield LE, Ram M, Santizo MC, Hurtado E, Rivera JA, Ruel MT, Brown KH. 1997. Zinc supplementation affects the activity patterns of rural Guatemalan infants. J Nutr 127:1333–8. www.ncbi.nlm.nih.gov [9 Juni 2013]. Bhandari N, Bahl R, Taneja S. 2001. Effect of micronutrient supplementation on linear growth of children. British Journal of Nutrition 85(2):131-137. doi: 10.1049/BJN2000305. Birch LL. 1999. Development of food preferences. Annual Review of Nutrition 19:41-62. www.ncbi.nlm.nih.gov [4 Okt 2013]. Birch LL, Fisher JO. 1998. Development of eating behaviors among children and adolescents. Pediatrics 101: 539-549. www.pediatrics.aappublications.org [20 Okt 2013]. BKKBN. 2003. Kamus Istilah Kependudukan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Black MM, Hurley KM. 2007. Helping children develop healthy eating habits. Encyclopedia on Early Childhood Developmen. www.childencyclopedia.com [2 Okt 2013]. Block SA. 2007. Maternal nutrition knowledge versus schooling as determinants of child micronutrient status. Oxford Economic Papers 59: 330-353. doi: 10.1093/oep/gpm001 Bradley RH, Corwyn RF, McAdoo HP, Coll CG. 2001. The home environment of children in the united states: part 1: variation by age, ethnicity, and poverty status. Child Development 72(6): 1844-1867. www.ncbi.nlm.nih.gov [4 Okt 2013]. Broeck KV. 2007. Child height and maternal health care knowledge in Mozambique. Denmark: University of Copenhagen. www.econ.ku.dk [1 April 2013]. Brown JE, Isaacs JS, Krinke UB, Lechtenberg E, Murtaugh MA, Sharbaugh C, Splett PL, Stang J, Wooldridge NH. 2011. Nutrition Through the Life Cycle, Fourth Edition. Canada: Wadsworth Cengage Learning. Brown B. 1999. Optimizing expression of the common human genome for child development. Current Dirrections in Psychological Science 8(2): 37-41. doi: 10.1111/1467-8721.00009. http://cdp.sagepub.com [10 Okt 2013].
92
Brush G, Harrison GA, Zumrawi FY. 1993. A path analysis of some determinants of infant growth in Khartoum. Annals of human biology 20: 381-387. www.ncbi.nlm.nih.gov [4 Okt 2013]. Caldwel BM, Bradley R. 1984. Home Observation for Measurement of the Environment (HOME). University of Arcansas: Little Rock. Chamidah AN. 2009. Deteksi Dini Gangguan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jurnal pendidikan khusus 5(2). Chang SM, Walker SP, Grantham-McGregor S, Powell CA. 2002. Early childhood stunting and later behaviour and school achievement. J Child Psychol Psyc 43:775-783. www.ncbi.nlm.nih.gov [9 Juni 2013]. Channoonmuang S, Klunklin K. 2006. Snack consumption in normal and undernourished preschool children in Northeastern Thailand. J Med Assoc Thai 89(5): 706-713. www.ncbi.nlm.nih.gov [10 Okt 2013]. Chavez A, Martinez C. 1979. Consequences of insufficient nutrition on child character and behavior. In: Levitsky DA, ed. Malnutrition, environment, and behavior: new perspectives. Ithaca, NY, USA: Cornell University Press. ________. 1982. Growing up in a developing community. Guatemala City: Institute of Nutrition of Central America and Panama. Christiaensen L, Alderman H. 2004. Child malnutrition in ethiopia: can maternal knowledge augment the role of income?. Economic Development and Cultural Change 52(2): 287-312. Christin L, Seher. 2011. Parent-Child www.todaysdietitian.com [6 Okt 2013].
Interaction
During
Feeding.
Cravioto J, DeLicardie E, Birch H. 1966. Nutrition, growth, and neuro-integrative development: an experimental and ecologic study. Pediatrics 38:319–72. Dariyo A. 2007. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung : PT. Refika Adtama Deng HW, Xu FH, Liu YZ, Shen H, Deng H, Huang QY. et al. 2002. A wholegenome linkage scan suggests several genomic regions potentially containing QTLs underlying the variation of stature. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 87(11): 5151-5159. doi:10.1210/jc.2002020474 www.jcem.endojournals.org [5 Okt 2013]. Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Usia Dini (menu pembelajaran generik). Jakarta: Depdiknas.
93
_________. 2006. Rencana Strategis Dinas Pendidikan Nasional 2005-2010, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Dewi LM, Hidayanti L. 2012. Kontribusi kondisi ekonomi keluarga terhadap status gizi (BB/TB skor z) pada anak usia 3-5 tahun. www.journal.unsil.ac.id [2 Okt 2013]. Djauhari A, Friyanto S. 1993. Ciri-ciri rumah tangga defisit energi di pedesaan Jawa Tengah. Forum Agro Ekonomi 2(2):60-67. Eastwood M. 2003. Principle of Himan Nutrition Second Edition. Oxford: Blackwell Publishing Company. Ekpo UF, Omotayo AM, Dipeolu MA. 2008. Prevalence of malnutrition among settled pastoral Fulani children in Southwest Nigeria. Biomed central 1:7. doi:10.1186/1756-0500-1-7. El-Taguri A, Betilmal I, Mahmud SM, Ahmed AM, Goulet O, Galan P, Hercberg S. 2007. Risk factors for stunting among under-fives in Libya. Public Health Nutrition 12(8):1141-1149. doi: 10.1017/S1368980008003716. Fahmida U, Rumawas JSP, Utomo B, Patmonodewo S, Schultink W. 2007. Zinciron, but not zinc-alone supplementation, increased linear growth of stunted infants with low haemoglobin. Asia Pac J Clin Nutr 16 (2):301-309. Faiza R, Elnovriza D, Syafianti. 2007. Faktor risiko kejadian gizi buruk pada anak (12-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang tahun 2007. Media Gizi dan Keluarga 31:80-86. Fernald LC, Grantham-McGregor SM. 1997. Effects of early childhood undernutrition on stress response. Trans R Soc Trop Med Hyg 91:500. Fitri. 2012. Berat lahir sebagai faktor dominan terjadinya stunting pada balita (1259 bulan) di Sumatera (analisis data riskesdas 2010) [tesis]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press. Gugsa A, Makau WK, Muroki NM. 1999. Childfeeding practices as predictors of nutritional status of children in a slum area in Addis Ababa, Ethiopia. Ethiopian Journal Health Development 13(3):229-238. http://ejhd.uib.no [1 April 2013]. Grantham-McGregor SM, Fernald LC, Sethuraman K. 1999. Effect of health and nutrition on cognitive and behavioural development in children in the first three years of life. Food and Nutrition Bulletin 2(1):53-75. Grantham-McGregor SM, Walker SP, Chang SM, Powell CA. 1997. Effects of early childhood supplementation with and without stimulation on later development in stunted Jamaican children. Am J Clin Nutr 66:247–53.
94
Green LW. 1980. Health Education Planning: a diagnostic approach (1st edition). California: Mayfield Publishing Company. Hajian-Tilaki KO, Sajjadi P, Razavi A. 2011. Prevalence of overweight and obesity and associated risk factors in urband primary-school children in Badol, Islamic Republic of Iran. Eastern Mediterranean Health Journal 2:109-114. www.emro.who.int [13 April 2013]. Handayani OWK, 2011. Nilai Anak dan Jajanan dalam Konteks Sosiokultural: Studi tentang Status Gizi Balita pada Lingkungan Rentan Gizi di Desa Pecuk Kecamatan Mijen Kabupaten Demak Jawa Tengah. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press. Hanum NL. 2012. Pola asuh makan, perkembangan bahasa dan kognitif pada anak balita stunted dan normal di kelurahan sumur batu bantar gebang bekasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Hart B, Risley T. 1996. Individual differences in early intellektual experience og typical american children: beyond SES, race, and IQ. The American Psychologucal Association. Hendrik. 2003. Sekilas Tentang Knowledge Management. Jakarta: Artikel Populer Ilmu Komputer. Hurlock EB. 2000. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga. Imdad A, Yakoob MW, Bhutta ZA. 2011. Impact of maternal edication about complementary feeding and provision of complementary foods on child growth in developing countries. Biomed Central 11(3):S25. doi: 10.1186/1471-2458-11-S3-S25. Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intake for Energy, Carbohydrate, Fiber, Fat, Fatty Acids, Cholesterol, Protein, and Amino Acids. A Report of the Panel on Macronutrients, Subcommittees on Upper Reference Levels of Nutrients and Interpretation and Uses of Dietary Reference Intakes, and the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes. Washington DC: National Academies Press. Jenkins CN, Dai PX, Ngoc DH, Kinh HV, Hoang TT, Bales S, Stewart S, McPhee S. 1997. Tobacco use in Vietnam: prevalence, predictors, and the role of the transnational tobacco corporations. Journal of the American Medical Association 227:1726–1731. www.who.int [13 April 2013]. Jus‟at I. Jahari AB. Achmadi RL. Soekirman. 2000. Penyimpanagn positif masalah KEP di Jakarta Utara dan di Pedesaan Kabupaten Bogor Jawa Barat, Prosiding WNPG VII. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kar BR, Rao SL, Chandramouli BA. 2008. Cognitive development in children with chronic protein energy malnutrition. Biomed Central 4:31. doi: 10.1186/1744-9081-4-31. www.biomedcentral.com [1 April 2013].
95
Kawakita A, Sato K, Makino H, Ikegami H, Takayama S, Toyama Y, Umezawa A. 2008. Nicotine acts on growth plate chondrocytes to delay skeletal growth through the α7 neuronal nicotinic acetylcholine receptor. PLoS ONE 3(12): e3945. doi:10.1371/journal.pone.0003945 Kementrian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI. _________. 2007. Riset Kesehatan Dasar Provinsi Jawa Barat. Jakarta: Kemenkes RI. ________. 2010. Panduan Pelayanan Kesehatan Bayi Baru Lahir Berbasis Perlindungan Anak. Jakarta: Kemenkes RI. ________. 2010. Pedomam Kader Seri Kesehatan Anak. Jakarta: Kemenkes RI. ________. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI. Khaliq R, Rahman RU, Rizvi F, Afzal M. 2008. Knowledge, attitude, and practices among mothers of children under five years regarding vitamin A intake. Ann. Pak. Inst. Med. Sci 4(2): 121-124. www.apims.net [5 Okt 2013]. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Khomsan A, Anwar F, Hernawati N, Suhanda NS, Oktarina. 2013. Growth, Cognitive Development and Psychosocial Stimulation of Preschool Children in Poor Farmer and Non-Farmer Households. Bogor: IPB Press. Kshatriya GK, Ghosh A. 2008. Undernutrition among the tribal children in India: tribes of Coastal, Himalayan and Desert ecology. Anthropol. Anz 66: 355363. www.ncbi.nlm.nih.gov [11 April 2013]. Kumar D, Goel NK, Mittal PC, Misra P. 2006. Influence of infant-feeding practices on nutritional status of under-five children. Indian Journal of Pediatrics 73(5):417-421. www.ijppediatricsindia.org [1 April 2013] Kusharisupeni. 2002. Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah studi prospektif. Jurnal Kedokteran Trisakti 23:73-80. www.univmed.org [9 Juni 2013]. Lai CQ. 2006. How much of human height is genetic and how much is due to nutrition?. www.scientificamerican.com [20 Okt 2013]. Lasky RE, Klein RE, Yarbrough C, Engle PL, Lechtig A, Martorell R. 1981. The relationship between physical growth and infant behavioral development in rural Guatemala. ChildDev 52:219-26. www.ncbi.nlm.nih.gov [1 Mei 2013]. Latifah E, Hastuti D, Latifah M. 2010. Pengaruh pemberian ASI dan stimulasi psikososial terhadap perkembangan sosial-emosi anak balita pada keluarga ibu bekerja dan tidak bekerja. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 3:35-45.
96
Levitsky DA. 1979. Malnutrition and hunger to learn. Di dalam: Levitsky DA, editor. Malnutrition, environment and behavior. Ithaca, NY, USA (US): Cornell University Press. LIPI. 2000. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Losso EM, Travares MC, da Silva J, Urban C. 2009. Severe early childhood caries: an integral approach. J Pediatr 85(4): 295-300. doi:10.2223/JPED.1908. Lozoff B, Wolf AW, Urrutia JJ, Viteri FE. 1985. Abnormal behavior and low developmental test scores in iron-deficient anemic infants. J Dev Behav Pediatr 6:69–75. www.ncbi.nlm.nih.gov [9 Juni 2013]. Madanijah S. 2003. Model pendidikan “GI-PSI-SEHAT” bagi ibu serta dampaknya terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan, dan status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor McDonald CM, Manji KP, Kupka R, Bellinger DC, Spiegelman D, Kisenge R, Msamanga G, Fawzi WW, Duggan CP. 2012. Stunting and wasting are associated with poorer psychomotor and mental development in HIVexposed tanzanian infants. The journal of nutrition 143(2):204-214. doi: 10.3945/jn.112.168682 www.jn.nutrition.org [21 Mar 2013]. Manary MJ, Solomons NW. 2009. Public Health Nutrition. Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab, editor. Oxford (GB): Blackwell Publishing. Marlina PWN. 2012. Studi keterkaitan antara status gizi dan pola asuh lingkungan dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah pada keluarga miskin kecamatan jalancagak kabupaten subang [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Martianto D, Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): LIPI. Meeks-Gardner JM, Grantham-McGregor SM. 1994. Physical activity, undernutrition and child development. Proc Nutr Soc 53:241–8. www.ncbi.nlm.nih.gov [1 April 2013]. Miquelote AF, Santos DC, Caçola PM, Montebelo MI, Gabbard C. 2012. Effect of the home environment on motor and cognitive behavior of infants. Infant Behavior and Development 35:329– 334. doi: 10.1016/j.infbeh.2012.02.002. www.ncbi.nlm.nih.gov [1 April 2013]. Miller, Rodgers. 2009. Mother‟s Education and Children „s Nutritional Status: New Evidence from Cambodia. Asian Development Review 26(1):131-165. www.policy.rutgers.edu [13 April 2013].
97
Mishra V, Retherford RD. 2007. Does biofuel smoke contribute to anaemia and stunting in early childhood?. International Journal of Epidemiology 36:117– 129. www.ije.oxfordjournals.org [1 April 2013]. Mönckeberg F. 1972. Malnutrition and mental capacity. Di dalam: Nutrition, the nervous system and behaviour. Scientific Publication No. 251. Washington (US): Pan American Health Organization. Nasikhah R. 2012. Artikel Penelitian: Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. National Health and medical research council. 2012. eat for health, infant feeding guidelines, information for health workers. Canberra: NHMRC Publication. www.nhmrc.gov.au [12 Okt 2013]. Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nzala SH, Siziya S, Babaniyi O, Songolo P, Muula AS, Rudatsikira E. 2011. Demographic, cultural and environmental factors associated with frequency and severity of malnutrition among Zambian children less than five years of age. Journal of Public Health and Epidemiology 3(8): 362-370. www.academicjournals.org [1 April 2013]. Ormrod JE. 2003. Educational Psychology Developing Learners (4th ed). USA (US): Merill Prentice Hall. Paiva Md, Souza TO, Canon F, Pérot C, Xavier LC, Ferraz KM, Osório MM, Manhães-de-Castro R, Lambertz D. 2012. Stunting delays maturation of triceps surae mechanical properties and motor performance in prepubertal children. Eur J Appl Physiol 112:4053–4061. doi: 10.1007/s00421-0122387-8. www.ncbi.nlm.nih.gov [1 April 2013]. Papalia DE, Olds SW, Fieldman RD. 2008. Perkembangan Manusia. Brian M, penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Humanika. Terjemahan dari: Human Development. _________. 1979. A Child’s World Infancy Through Adolesence. (2nd ed). USA (US): McGraw-Hill. Patmonodewo S. 2001. Intervensi Dini suatu Usaha Alternatif Guna Meningkatkan Kualitas Bangsa. Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia. Jakarta: UI Press. Perangin-angin A. 2006. Hubungan pola asuh dan status gizi anak 0-24 bulan pada keluarga miskin di Kelurahan Gundalingi Kecamatan Brastagi Kabupaten Karo tahun 2006 [skripsi]. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
98
Piernas C, Popkin BM. 2010. Trends in snacking among U.S. children. Health Affairs 29(3): 398-404. doi:10.1377/hlthaff.2009.0666 www.ncbi.nlm.nih.gov [11 Okt 2013]. Plomin R, DeFries JC, McClearn GE, Rutter M. 1997. Behavior genetics 3rd edition. New York (US): Freeman. Pollit E. 2000. A development view of the undernourished child: background and purpose of the study in Pangalengan, Indonesia. European Journal of Clinical Nutrition 54:S2-10. www.ncbi.nlm.nih.gov [9 April 2013]. Powell CA, Grantham McGregor S. 1985. The ecology of nutritional status and development in young children in Kingston, Jamaica. Am J Clin Nutr 41:1322–31. www.ncbi.nlm.nih.gov [9 April 2013]. Pusat Kurikulum Pendidikan Nasional. 2004. Instrumen Penelitian Kompetensi (Perkembangan) Anak Usia 3.5-6.4 tahun. Jakarta (ID): Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional. Putriana MI. 2010. Konsumsi sayur dan buah pada anak prasekolah terkait dengan pengetahuan gizi dan sikap ibu [artikel penelitian]. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Rahayu LS. 2011. Associated of height of parents with changes of stunting status from 6-12 months to 3-4 years [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Rahayu L, Megawangi R, Martianto D. 2003. Pola pengasuhan, status gizi, dan kemampuan kognitif anak usia sekolah di lingkungan pesantren dan keluarga serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Media Gizi dan Keluarga 27(2):25-33. Rahmawati D. 2006. Status gizi dan perkembangan anak usia dini di Taman Pendidikan Karakter Sutera Alam, Desa Sukamantri. Bogor [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Ramachandran P, Gopalan HS. 2009. Undernutrition and risk of infections in preschool children. Indian J Med Res 130 (5): 579-583. www.icmr.nic.in/publications/ijmr [20 Okt 2013]. Rayhan MI, Khan MSH. 2006. Factors causing malnutrition among under five children in Bangladesh. Pakistan journal nutrition 5(6):558-562. doi: 10.3923/pjn.2006.558.562 www.bvsde.paho [13 April 2013]. Retnaningsih CH, Putra BS, Sumardi. 2011. Penilaian status gizi berdasarkan kecukupan energi (kalori) dan protein pada balita (usia 3-5 tahun) di Desa Gogik Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Seri Kajian Ilmiah 14(2). www.unika.ac.id [11 Okt 2013]. Reyes H, Cuevas RP, Sandoval A, Castillo R, Santos JI, Doubova SP, Gutierrez G. 2004. The family as a determinant of stunting in children living in
99
conditions of extreme poverty: a case-control study. Biomed Central 4:57. doi: 10.1186/1471-2458-4-57. www.biomedcentral.com [11April 2013]. Ricci JA, Becker JA. 1996. Risk factors for wasting and stunting among children in Metro Cebu, Philippines. Am J Clin Nutr 63: 966-77. www.ajcn.nutrition.org [11 April 2013]. Rivera JA, Hotz C, Cossio TG, Neufeld L, Guerra AG. 2003. The effect of micronutrient deficiencies on child growth: a review of results from community-based supplementation trial. The Journal of Nutrition 133: 4010–4020. www.jn.nutrition.org [13 April 2013]. Riyadi H, Retnaningsih, Martianto D, Kustiyah L. 1990. Pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi usia penyapihan di Kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan Ciomas. Penelitian dibiayai dari Dip Suplemen. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Riyadi H, Khomsan A, Sukandar D, Anwar F, Mudjajanto ES. 2006. Studi tentang status gizi pada rumah tangga miskin dan tidak miskin. Gizi Indonesia 29(1):33-46. www.repository.ipb.ac.id [6 April 2004]. Riyadi H, Martianto D, Hastuti D, Damayanthi E, Murtilaksono K. 2011. Faktorfaktor yang mempengaruhi status gizi anak balita di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Journal of Nutrition and Food 6(1):66–73. www.journal.ipb.ac.id [9 Juni 2013]. Rogers E. 1962. Diffusion of Innovations. New York (US): Free Press. Sa‟diyyah NY. 1998. Pengaruh karakteristik keluarga dan pola pengasuhan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (studi kasus pada etnis jawa dan Minang) [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Santos IS, Mutijasevich A, Domingues MR, Barros AJD, Victora CG, Barros FC. 2009. Late preterm birth is a risk factor for growth faltering in early childhood: a cohort study. Biomed Central 9:71. doi:10.1186/1471-2431-971. www.biomedcentral.com [11 April 2013]. Santrock JW. 2007. Perkembangan Anak Edisi Sebelas. Rachmawati M, Kuswanti A, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Child Development. ________. 2009. Life Span development (12th Ed). New York: McGraw-Hill International Satoto, 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Pengamatan Anak Umur 018 bulan di Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah [disertasi]. Semarang:Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Sazawal S, Bentley M, Black RE, Dhingra P, George S, Bhan MK. 1996. Effect of zinc supplementation on observed activity in low socioeconomic Indian
100
preschool children. Pediatrics 98:1132–7. www.pediatrics..org [1 Juni 2013]. Scarr S. 1996. How people make their own environments: Implications for parents and policy makers. Psychology, Public Policy, and Law 2(2):204-228. http://psycnet.apa.org [1 Juni 2013]. Schady N. 2011. Parents‟ Education, Mothers‟ Vocabulary, and Cognitive Development in Early Childhood: Longitudinal Evidence From Ecuador. American Journal of Public Health 101 (12): 2299-2307. doi: 10.2105/AJPH.2011.300253. www.ncbi.nlm.nih.gov [1 Juni 2013]. Schoenbaum M, Tulchinsky TH, Abed Y. 1995. Gender differences in nutritional status and feeding patterns among infants in the Gaza Strip. Am J Public Health. 85(7):965–969. www.pubmedcentral.nih.gov [11 April 2013]. Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian rakyat. Semba RD, Kalm LM, de Pee S, Ricks MO, Sari M, Bloem MW. 2007. Paternal smoking is associated with increased risk of child malnutrition among poor urban families in Indonesia. Public Health Nutrition 10(1):7–15. www.ncbi.nlm.nih.gov [13 April 2013]. Semba RD, de Pee S, Sun K, Sari M, Akhter N, Bloem MW. 2008. Effect parental formal education on risk of child stunting in Indonesia and Bangladesh: a cross-sectional study. Lancet 371:322-328. doi:10.1016/S01406736(08)60169-5. www.thelancet.com [13 April 2013]. Sigman M, Neumann C, Baksh M, Bwibo N, McDonald MA. 1989. Relationship between nutrition and development in Kenyan toddlers. J Pediatr 115:357– 64. www.ncbi.nlm.nih.gov [1 Juni 2013]. Silventoinen K, Sammalisto S, Perola M, Boomsma DI, Cornes BK, Davis C, Dunkel L, Lange MD, Harris RJ, Hjelmborg JVB, et al. 2003. Heritability of adult body height: a comparative study of twin cohorts in eight countries. Twin Research 6(5):399-408. www.ncbi.nlm.nih.gov [8 Okt 2013]. Skinner JD, Carruth BR, Bounds W, Ziegler P, Reidy K. 2002. Do food-related experiences in the first 2 years of life predict dietary variety in school-aged children? Journal of Nutrition Education and Behavior 34(6):310-315. www.jneb.org [10 Okt 2013]. Skinner JD, Carruth BR, Moran III JD, Houk K, Schmidhammer J, Reed A, Coletta F, Cotter R & Ott D. 1998. Toddlers‟ food preferences: concordance with family members‟ preferences. J. Nutr. Educ. 30(1):17-22 www.sciencedirect.com [22 Okt 2013]. Soedjatmiko. 2008. Pentingnya Nutrisi dan Stimulasi Dini Pada Bayi dan Balita Untuk Mengembangkan Kecerdasan Multipel dan Kreativitas Anak. Buletin PADU Jurnal Ilmiah Anak Usia Dini7(3): 13-25.
101
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk keluarga dan Masyarakat. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen pendidikan Nasional. Sternberg RJ, Grigorenko EL. 2001. Environmental Effects on Cognitive Abilities. New York (US): Cambridge University Press. Sudjarwo S. 2010. Evaluasi Perkembangan PAUD di 50 Kabupaten Tertinggal. Buletin PAUD Jurnal Ilmiah Anak Usia Dini 9(2): 3-12. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sukandar D, Suhanda NS, Amalia L, Khairunisa. 2008. Analisis diskriminan untuk menentukan indikator garis kemiskinan. Jurnal Gizi dan Pangan 3(2): 94-100. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Syarief H. Komala LR. Sardjuani N. 2009. Studi Kebijakan Pengembangan Anak Usia Dini yang Holistik dan Terintegrasi. Jakarta (ID): Bappenas. Teshome B, Makau WK, Getahun Z, Taye G. 2009. Magnitude and determinants of stunting in children underfive years of age in food surplus region of Ethiopia: The case of West Gojam Zone. Ethiopian Journal Health Development 23(2):98-106. http://ejhd.uib.no [1 April 2013]. Thelen E. 1995. Motor development: a new syntesis. American Psychologist 50(2): 79-95. doi: 10.1037/0003-066X.50.2.79. www.apa.org [17 Okt 2013]. Torun B, Viteri FE. 1981. Energy requirements of pre-school children and the effects of varying energy intakes on protein metabolism. Di dalam: Torun B, Young VR, Rand WM, editor. Protein-energy requirements of developing countries: evaluation of new data. Tokyo (JP): United Nations University. Umeta M, West CE, Verhoef H, Haidar J, Hautvast JGAJ. 2003. Factors associated with stunting in infants aged 5–11 Months in the Dodota-Sire District, Rural Ethiopia. Journal of Nutrition 133: 1064–1069. UNICEF, WHO, World Bank. 2012. Level and Trend in Child Malnutrition. Geneva: WHO Van de Waal HAD. 1993. Environment factors influencing growth and pubertal development. Environmental Health Perspectives Supplements 101(2): 3944. www.ncbi.nlm.nih.gov [22 Okt 2013]. Vadiakas G. 2008. Case definition, aetiology and risk assessment of early childhood caries (ECC): a revisited review. Eur Arch Paediatr Dent 9(3): 114-125. Doi: 10.1007/BF03262622 http://link.springer.com [15 Okt 2013].
102
Vella V, Tomkins A, Borghesi A, Migliori GB, Oryem VY. 1994. Determinants of stuntingand recovery from stunting in northwest Uganda. International journal of epidemiology 23: 782-786. doi:10.1093/ije/23.4.782 www.ije.oxfordjournals.org [15 Okt 2013]. Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, Sachdev HS. 2008. Maternal and child undernutrition study group: maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. Lancet 371:340-357. doi: 10.1016/S0140-6736(07)61692-4 www.thelancet.com [11 April 2013]. Visscher PM, Medland SE, Ferreira MAR, Morley KL, Zhu G, Cornes BK, Montgomerry GW, Martin NG. 2006. Assumption free estimation of heritability from genome-wide identity-by-descent sharing between full siblings. Plos Genetics 2(3). DOI: 10.1371/journal.pgen.0020041 www.plosgenetics.org [22 Okt 2013]. Viteri FE, Torun B. 1981. Nutrition, physical activity and growth. Di dalam: Ritzen M, Aperia A, Hall K, Larson A, Zetterberg A, Zetterstrom R, editor. The biology of normal human growth. New York (US): Raven Press. Walker SP, Chang SM, Powell CA, McGregor SM. 2005. Effects of early childhood psychosocial stimulation and nutritional supplementation on cognition and education in growth-retarded Jamaican children: prospective cohort study. www.thelancet.com [21 Mar 2013]. Wati EK, Rahardjo S. 2011. Peran ibu dalam pembentukan pola konsumsi makan pada balita di Puskesmas II Sumbang Kabupaten Banyumas. www.journal.unsil.ac.id [2 Okt 2013]. Whitney E, Rolfes SR. 2011. Understanding Nutrition, Twelfth Edition. Canada : Wadsworth Cengage Learning. Wiltshire S, Frayling TM, Hattersley AT, Hitman GA, Walker M, Levy JC, et al. 2002. Evidence for linkage of stature to chromosome 3p26 in a large U.K. Family data set ascertained for type 2 diabetes. American Journal of Human Genetics 70:543–546. www.ncbi.nlm.nih.gov [6 Okt 2013]. WKNPG. 2004. Angka Kecukupan Gizi dan Label Gizi. Jakarta (ID): WKNPG. World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development, A strategy for Large-Scale Action. Washington (US): World Bank. __________. 2002. Nutrient Adequacy of Exclusive Breastfeeding for The Term Infant During the First Six Months of Life. Geneva: WHO. Yimer G. 2000. Malnutrition among children in southern Ethiopia: Levels and risk factors. Ethiopian Journal Health Development 14 (3):283-292. http://ejhd.uib.no [1 April 2013]
103
Yuliana. 2007. Pengaruh penyuluhan gizi dan stimulasi psikososial terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak usia prasekolah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yuliana, Martianto D, Briawan D, Sukandar D. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan mental, psikomotor dan prilaku bayi usia 811 bulan di kota Bogor. Jurnal Media Gizi dan Keluarga 28(2): 38-45. Yusuf S. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung (ID): Rosda Karya. Zeitlin M. 2000. Gizi Balita di Negara-negara Berkembang, Peran Pola Asuh Pemanfaatan Hasil Studi Penyimpangan Positif untuk Program Gizi, dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII,: 125 – 143. Zottarelli LK, Sunil TS, Rajaram S. 2007. Influence of parental and socioeconomis factors on stunting in children under 5 years in egypt. Eastern Mediterranean Health Journal 13(6):1330-1342. www.emro.who.int [29 Mar 2013].
105
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian (Desa Cibanteng)
106
Lampiran 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U Variabel Konstanta Tinggi badan ibu Pendapatan keluarga/kap/bulan Usia mulai diberikan MP-ASI Panjang badan lahir balita Status kesehatan balita sejak lahir Prematuritas Tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan protein Status merokok keluarga R2 F (Sig)
B -12.661 0.034 -2.275E-10 0.023 0.039 -0.049 0.006 0.030 0.024 0.025
Sig. 0.001 0.045 0.999 0.616 0.203 0.617 0.983 0.044 0.027 0.826
0.794 11.977 (0.000)
Lampiran 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus Variabel Konstanta Usia balita Perkembangan kognitif Perkembangan motorik kasar Status kesehatan balita sejak lahir TB/U balita Lama pendidikan ibu HOME Lama mengikuti PAUD R2 F (Sig)
B 20.366 0.055 0.127 0.336 1.301 4.186 0.576 -0.036 0.135
Sig. 0.080 0.779 0.161 0.001 0.328 0.001 0.190 0.878 0.691 0.539 9.339 (0.000)
Lampiran 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar Variabel Konstanta Usia balita Perkembangan kognitif Status kesehatan balita sejak lahir TB/U balita Lama pendidikan ibu HOME Lama mengikuti PAUD Perkembangan motorik halus R2 F (Sig)
B -22.503 0.879 0.268 0.128 -0.213 -0.418 0.334 -0.387 0.482 0.596 11.788 (0.000)
Sig. 0.108 0.000 0.012 0.936 0.896 0.423 0.233 0.341 0.001
107
Lampiran 5 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif Variabel Konstanta Status kesehatan balita sejak lahir TB/U balita HOME Usia balita Lama mengikuti PAUD Lama pendidikan ibu Perkembangan motorik kasar Perkembangan motorik halus R2 F (Sig)
B 20.564 -0.297 0.497 0.450 -0.279 1.319 -0.312 0.353 0.240 0.457 6.734 (0.000)
Lampiran 6 Dokumentasi kegiatan pengukuran perkembangan anak
Sig. 0.202 0.872 0.790 0.161 0.303 0.004 0.608 0.012 0.161
108
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Tasikmalaya pada tanggal 16 Mei 1989. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Rahmat Solihin Sm.Hk (Alm) dan Dra. Titin Kusumawati. Institusi pendidikan pertama yang dimasuki penulis adalah Taman Kanak-kanak Mathla‟ul Anwar Malingping selama satu tahun yaitu dari tahun 1994 sampai tahun 1995. Enam tahun kemudian, yaitu pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Cilangkahan 2 dan melanjutkan ke sekolah menengah pertama di SLTPN 1 Malingping sampai tahun 2004. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti pendidikan non formal bahasa inggris selama satu tahun di yayasan Jamiyyatul Mubtadi pada tahun 2001-2002. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Malingping sampai tamat pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) angkatan 44 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Selama masa kuliah, penulis pernah mengikuti beberapa organisasi yaitu Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Banten, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Gentra Kaheman divisi Event Organizer, dan anggota klub keprofesian Himagizi untuk Kulinari. Penulis juga pernah bergabung dengan kepanitiaan seperti Pamitran (Gentra Kaheman) pada tahun 2008, Open House 45 tahun 2008, dan Masa Perkenalan Departemen (MPD) 45 tahun 2009. Selain itu, penulis juga sering mengikuti berbagai seminar seperti seminar keprofesian, seminar Fruit and Vegetable Juice for Health, seminar nasional Al-Quran dan Sains, dan sebagainya. Pada bulan Juli-Agustus tahun 2010 penulis mengikuti Kuliah Kerja Profesi di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, dan pada April 2011 penulis melaksanakan Internship Dietetik (ID) selama tiga minggu di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong, Bogor. Setelah lulus dari Departemen Gizi Masyarakat IPB pada tahun 2011, penulis langsung mengambil program magister Ilmu Gizi Masyarakat di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun ajaran 2011/2012. Saat ini, penulis terdaftar sebagai anggota pengurus ISAGI (Ikatan Sarjana Gizi Indonesia) untuk bidang kewirausahaan.