Artikel Penelitian
Kadar Interferon Gamma pada Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis Gamma Interferon Assay on Patients of Tuberculosis Housemate Contact
Sri Andarini Indreswari, Suharyo Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Abstrak Menurut World Health Organization sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan deteksi dini pada kontak serumah dengan penderita memungkinkan upaya pengobatan dan pencegahan dilakukan dengan efektif. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pemeriksaan tes Mantoux dengan pemeriksaan serologis kadar interferon gamma (IFN _ γ) pada kelompok kontak serumah dengan penderita tuberkulosis yang mempunyai hasil pemeriksaan basil tahan asam (BTA) positif. Penelitian ini menggunakan desain kohort pada kelompok terpajan dan tidak terpajan pada penderita tuberkulosis (umur > 15 tahun). Pemilihan subjek dilakukan secara acak sederhana dan jumlah yang digunakan adalah 34 orang pada masing-masing kelompok. Penelitian ini menggunakan tes Mantoux selain observasi kadar IFN _ γ. Analisis data menggunakan chi square dan tes Man Whitney. Penelitian tahun pertama menunjukkan hasil tes Mantoux positif pada kelompok terpajan sebesar 79,4% dan 5,9% pada kelompok tidak terpajan. Rata-rata kadar IFN _ γ pada kelompok yang terpajan penderita tuberkulosis adalah 5,32 pg/ml sedangkan pada kelompok yang tidak terpajan sebesar 1,1 pg/ml. Ada hubungan yang bermakna antara status paparan dengan hasil tes Mantoux (nilai p = 0,0001 dan x2 = 34,631). Ada perbedaan rata-rata kadar IFN _ γ secara bermakna antara kelompok terpajan dengan kelompok yang tidak terpajan (nilai p = 0,0001). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengikuti perkembangan IFN _ γ berdasarkan status paparan untuk mengetahui pola dan cut off point pada kontak serumah dengan penderita tuberkulosis. Kata kunci: Kadar interferon gamma, kontak serumah, penderita tuberkulosis Abstract World Health Organization estimated that one third people worldwide were infected with mycobacterium tuberculosis. An early diagnosis and prompt treatment of possible pulmonary tuberculosis infection should be made for close contacts (housemate contacts) of patient with tuberculosis. The pur212
pose of this research is to analyze the differences levels of IFN _ γ and Tuberculine Skin Test (TST) on the housemate contacts and non-housemate contacts with patients of tuberculosis. Cohort study performed on the housemate contacts and non-housemate contacts with patients of tuberculosis (age > 15 years old). We collected data with simple random sampling on 68 persons (34 exposed and 34 unexposed). Bivariate associations were described using chi square and Man Whitney test. During the first year of study, 76,4% of exposed persons with TST positive and 5,9% of unexposed persons. Average levels of IFN _ γ in exposed persons 5,32 pg/ml, whereas in other groups 1,1 pg/ml. There is relationship between exposure status and unexposed status of TST (p value = 0,0001 and x2 = 34,631). There are differences in mean levels of IFN _ γ between group exposed and unexposed (p value = 0,0001). Further research will be needed to keep abreast of IFN _ γ level on the basis of exposure status to know the cut off point on the housemate contacts with patients of tuberculosis. Key words: interferon gamma assay, housemate contacts, patients of tuberculosis
Pendahuluan Di seluruh dunia, Indonesia menempati urutan ketiga tertinggi prevalensi tuberkulosis setelah India dan Cina. Ketiga negara berkontribusi hampir 50% dari seluruh kasus tuberkulosis yang terjadi di dunia. Berdasarkan Global Tuberkulosis Kontrol tahun 2011, angka prevalensi semua tipe tuberkulosis adalah 289 per 100.000 penduduk atau sekitar 690.000 kasus. Insiden kasus baru tuberkulosis dengan basil tahan asam (BTA) positif adalah 189 per 100.000 penduduk atau sekitar Alamat Korespondensi: Sri Andarini Indreswari, Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Udinus, Jl. Nakula I No. 5-11 Semarang, Hp. 0818292788, e-mail:
[email protected]
Indreswari & Suharyo, Kadar Interferon Gamma pada Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis
450.000 kasus. Kematian akibat tuberkulosis di luar human immonudeficiency virus (HIV) adalah 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per hari.1 Salah satu indikator yang menunjukkan pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals, MDGs) adalah penurunan insiden dan angka kematian akibat tuberkulosis. Selama periode tahun 1990 _ 2010 terjadi penurunan prevalensi dan angka kematian, meskipun selama 10 tahun terakhir insiden memperlihatkan kecenderungan yang meningkat.1 Di Pekalongan Jawa Tengah telah dilakukan penelitian terhadap 250.000 penduduk populasi dan didapatkan hasil angka kematian tuberkulosis berdasarkan golongan umur yaitu 53/100.000 serta menduduki peringkat ke-6 penyebab kematian tertinggi.2 Di Indonesia pada tahun 2000 _ 2009, meskipun belum berhasil mencapai angka kesembuhan sesuai target global minimal 85%, tetapi terjadi peningkatan mencapai 82,8% pada tahun 2009. Penemuan kasus baru BTA positif telah mengalami peningkatan dari 68% pada tahun 2005 menjadi 73,1% pada tahun 2009. 3 Meskipun demikian, berdasarkan hasil Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI), risiko penularan tuberkulosis tahunan yang sudah diteliti dari 5.948 pelajar yang diuji dan 5.653 hasil yang dapat dibaca diperoleh perkiraan prevalensi penularan sekitar 8,0% (95% CI = 6,2% _ 9,8%) dan ARTI = 1,0% yang berarti terdapat 1.000 per 100.000 individu mengalami infeksi tuberkulosis setiap tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tuberkulosis masih merupakan masalah di Indonesia. Penemuan kasus yang merupakan kegiatan penjaringan suspect adalah jumlah suspect yang diperiksa dahak diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu. Proporsi pasien tuberkulosis BTA positif di antara suspect yang diperiksa pada tahun 2009 masih dalam rentang target yang diharapkan (5% _ 15%), sedangkan pada tahun 2010 triwulan 1 proporsi pasien sebesar 11%.2 Salah satu pilar penanggulangan penyakit tuberkulosis dengan strategi Directly Observed Treatment Short (DOTS) adalah penemuan kasus sedini mungkin. Hal tersebut bertujuan untuk mengefektifkan pengobatan penderita dan menghindari penularan dari kontak orang yang termasuk subclinical infection. Sebagai contoh di Kota Semarang, data jumlah penemuan kasus suspect terlihat masih jauh dari target. Sejak tahun 2007 sampai tahun 2009 kuartil ke-1, angka pencapaian penemuan suspect hanya berkisar 53%. Angka tersebut sangat jauh dari target sehingga diperkirakan penularan penyakit tuberkulosis akan semakin meluas. Proporsi pasien tuberkulosis BTA positif di antara seluruh pasien tuberkulosis pada tahun 2010 sekitar 61%, masih di bawah target yang diharapkan yaitu 65%. Hal ini menunjukkan masih perlu diprioritaskan penemuan BTA positif kasus
tuberkulosis.4 Pada program pemberantasan tuberkulosis, pemeriksaan BTA merupakan pemeriksaan bakteriologis yang digunakan sebagai diagnosis pasti penetapan penderita tuberkulosis aktif atau menular dan sebagai salah satu indikator pemberian pengobatan strategi DOTS.5 Program pengobatan dan pencegahan secara dini masih terkendala oleh deteksi dini pada orang yang mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis. Deteksi orang yang melakukan kontak serumah dengan penderita tuberkulosis secara lebih dini membuat upaya pengobatan dan pencegahan dapat dilakukan secara efektif sehingga penyakit tersebut tidak berkembang menjadi klinis. Sampai kini, deteksi infeksi penyakit tuberkulosis masih mengandalkan pemeriksaan BTA positif dan tes tuberkulin dengan sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah. Produksi interferon gamma (IFN _ γ) dapat digunakan sebagai indikator pengamatan perjalanan penyakit infeksi tuberkulosis.6 Program menganjurkan pemeriksaan BTA pada penderita kontak serumah meskipun belum ada data hasil evaluasi.5 Pemeriksaan individu kontak serumah dengan pemeriksaan IFN _ γ diharapkan dapat menjadi salah satu metode screening deteksi dini dan dapat ditindaklanjuti dengan pemeriksaan lanjutan untuk diagnosis pasti dengan pemeriksaan dahak dan rontgenologis. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan kadar IFN _ γ lebih tinggi pada penderita dengan diagnosis tuberkulosis dibandingkan kontrol orang sehat, pengukuran kadar IFN _ γ sangat membantu menentukan diagnosis kasus tuberkulosis paru aktif.7 Pemeriksaan IFN _ γ dengan QuantiFERON-TB Gold intub (QFT-G) atau pemeriksaan QFT-G yang dikombinasikan dengan pemeriksaan Tuberculine Skin Test (TST) dapat digunakan untuk mendiagnosis tuberkulosis paru aktif.8 QFT-G dan T_SPOT.TB lebih baik digunakan sebagai alat deteksi infeksi Mycobacterium tuberculosis dibandingkan TST. 9 Peneliti lain menyatakan ada hubungan antara kadar IFN _ γ dengan komitmen motivasi melalui metode Keterampilan Konseling Interaktif (KKI) pada penderita tuberkulosis yang mendapatkan pengobatan. Semakin sering pasien tuberkulosis memotivasi pasien lain maka semakin tinggi penurunan kadar IFN _ γ yang dihasilkan.10 Meskipun demikian, ada juga penelitian yang tidak menemukan perbedaan yang bermakna (nilai p = 0,4) antara kadar IFN _ γ pada penderita tuberkulosis paru aktif, tuberkulosis paru tidak aktif, dan kontrol sehat.11 Tes serologis berhubungan dengan paparan sedangkan TST tidak berhubungan. Sensitivitas pemeriksaan kadar interferon pada individu yang rendah dengan hasil TST > 15 mm memerlukan investigasi lanjut dengan beberapa alternatif besaran nilai cut off point.12 Ada penelitian yang menemukan pemeriksaan dengan QuantiFERON213
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 5, April 2012
TB Gold In Tube-test (QFT-GIT) dan enzyme linked immunospot assay (ELISpot) dapat digunakan sebagai sarana diagnosis latent Mycobacterium tuberculosis infection (LTBI) dan kontak serta ditemukan bahwa ELISpot lebih sensitif dibandingkan QFT, tetapi perbandingan antara pemeriksaan TST dengan pemeriksaan kedua interferon gamma release assays (IGRA) tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut.13 Penelitian di Filipina mendapatkan hubungan bermakna antara status klinis penderita tuberkulosis dengan tes Mantoux, pada penderita dengan hasil rontgen positif dan manifestasi klinis menunjukkan proporsi yang lebih tinggi pada tes Mantoux.8 Sekitar sepertiga penduduk dunia kemungkinan telah mengalami infeksi laten dengan Mycobacterium tuberculosis. TST merupakan uji tradisional yang digunakan untuk mendeteksi infeksi, tetapi dengan nilai spesifisitas yang rendah khususnya pada pasien yang telah mendapatkan vaksin bacille calmette guerin (BCG). Proporsi pasien tuberkulosis BTA positif di antara suspect yang diperiksa berada pada kisaran 5% _ 15%.14 Sementara sampai saat ini belum ditemukan baku emas untuk mendeteksi infeksi tuberkulosis laten sehingga sulit menentukan suatu uji baru lebih baik dari uji tuberkulin. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pemeriksaan tes Mantoux dengan pemeriksaan serologis kadar IFN _ γ pada kelompok kontak serumah dengan penderita tuberkulosis yang mempunyai hasil pemeriksaan BTA positif. Metode Subjek yang diteliti adalah individu kontak serumah yang menjadi pengawas minum obat (PMO) dan yang bukan PMO penderita baru tuberkulosis paru aktif (BTA positif) yang berobat jalan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang. Rancangan penelitian yang digunakan adalah diagnostik dengan pendekatan kohort selama 2 tahun.16 Kelompok terpajan adalah individu dewasa (berusia > 15 tahun) yang tinggal serumah dengan penderita baru tuberkulosis paru aktif dengan BTA positif. Lama tinggal serumah adalah minimal 6 bulan. Kelompok tidak terpajan adalah individu dewasa (berusia > 15 tahun), sehat, dan tidak tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis. Penelitian tahun pertama terdiri dari 2 tahap yaitu tahap identifikasi, meliputi identifikasi terhadap anggota keluarga dari penderita yang tinggal serumah minimal selama 6 bulan. Penelusuran kontak dengan menggunakan kuesioner dan identifikasi penderita dengan catatan medik. Penelusuran riwayat kontak dilakukan untuk mengetahui pola kontak dengan penderita. Selain itu, dilakukan juga identifikasi keadaan rumah penderita khususnya ventilasi dan kepadatan dalam satu kamar serta kebersamaan tidur dalam satu kamar. Keadaan imunisasi BCG, kebiasaan merokok, dan 214
body mass index (BMI) juga diidentifikasi. Tahap kedua dilakukan pemeriksaan kadar IFN _ γ dan tes Mantoux terhadap kelompok terpajan dan tidak terpajan. Sediaan darah subjek diambil 3 cc di BKPM, kemudian dimasukkan ke dalam vacutainer dan ice pack, lalu dikirim ke Laboratorium Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dan disentrifugasi selama 10 menit pada 3.000 rpm untuk pemisahan serum. Serum diambil 1 cc kemudian disimpan dalam deep freeze (80°C). Setelah semua subjek terkumpul dilakukan assay untuk pemeriksaan IFN _ γ dengan teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Kit yang digunakan adalah Quantikine Human IFN _ γ Immunoassay Cat. No. DIF50 96 tests. Penyiapan reagen meliputi wash buffer, apabila masih dalam bentuk konsentrat, dipanaskan sesuai suhu ruang dan dicampur hati-hati kristal tersebut sehingga mencair. Setelah itu, dicampur 20 mL wash buffer concentrate dengan deionized atau air destilasi menjadi 500 mL wash buffer. Substrate solution color reagents A dan B dicampur dengan volume yang sama selama 15 menit dan dihindari dari sinar. Tiap well berisi 200 µL campuran resultan. IFN _ γ standar rujuk label vial untuk rekonstitusi volume. Rekonstituti IFN _ γ dengan calibrator diluent RD6-21 menghasilkan stok solution 1.000 pg/mL dan dibiarkan minimal 15 menit. Lipolized standar dicampur dengan calibrator diluent RD6-21 sebanyak 5,4 mL. Standar 0 dari diluent RD6-21 kemudian dibuat 6 tube masing-masing diisi dengan diluent RD 6-21 500 uL dengan konsentrasi 500 pg/mL; 250 pg/mL; 125 pg/mL; 62,5 pg/mL; 31,2 pg/mL; dan 15,6 pg/mL. Stok solution diambil 500 uL dan dimasukkan ke tabung berisi 500 pg/mL, dicampur, kemudian diambil 500 uL, dan dimasukkan ke tabung berikutnya, demikian seterusnya. Pemakaian polypropylene tubes, pipet 500 uL dari calibrator diluent RD6-21 pada masing-masing tabung. Stok digunakan untuk memproduksi dilution series. Setiap tabung dicampur sebelum dipindah. Undiluted standar digunakan sebagai standar tinggi (1.000 pg/mL). Calibrator diluent RD6-21 disediakan untuk standar 0 (0 pg/mL). Assay dilakukan dengan menyiapkan subjek pada suhu ruang, menyiapkan semua reagen dan standar sesuai yang ditentukan kemudian ditambahkan 100 uL assay diluent RD1-51 pada setiap well. Setelah itu ditambahkan 100 uL standar subjek atau kontrol ke setiap well selama 15 menit, diinkubasi selama 2 jam, diaspirasi, dan dicuci 4 kali, lalu ditambahkan 200 uL conyugate ke masing-masing well, diinkubasi selama 2 jam, diaspirasi, dan dicuci 4 kali. Kemudian ditambahkan 200 uL substrate solution ke setiap well. Inkubasi dilakukan selama 30 menit dengan menghindari cahaya, lalu ditambahkan 50 uL stop solution ke setiap well dan dibaca pada 450 nm selama 30 menit correction 540 atau 570 nm.17 Cara melakukan uji tuberkulin tes Mantoux yaitu
Indreswari & Suharyo, Kadar Interferon Gamma pada Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis
dengan menyiapkan 0,1 ml purified protein derivative (PPD) ke dalam disposable spuit berukuran 1 ml (3/8 inch 26 _ 27 gauge). Permukaan lengan volar lengan bawah dibersihkan menggunakan alkohol pada daerah 2 _ 3 inch di bawah lipatan siku dan dibiarkan mengering. PPD kemudian disuntikkan secara intrakutan dengan lubang jarum mengarah ke atas. Suntikan yang benar akan menghasilkan benjolan pucat, pori-pori tampak jelas seperti kulit jeruk, dan berdiameter 6 _ 10 mm. Hasil tes Mantoux dibaca dalam 48 _ 72 jam, lebih diutamakan pada 72 jam. Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid. Setelah itu ditentukan indurasi (bukan eritema) dengan cara palpasi. Diameter diukur transversal terhadap sumbu panjang lengan dan dicatat sebagai pengukuran tunggal. Hasil pengukuran dalam mm (misalnya 0 mm, 10 mm, 16 mm) dengan penggaris khusus, dicatat tanggal pembacaan, serta dibubuhkan nama dan tanda tangan pembaca. Apabila timbul gatal atau rasa tidak nyaman pada bekas suntikan dapat dilakukan kompres dingin atau pemberian steroid topikal. Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm. Apabila terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkulin yang munculnya cepat (immediate hypersensitivity reactions) dapat timbul segera setelah suntikan dan biasanya menghilang dalam 24 jam. Hal ini tidak mempunyai arti dan bukan menunjukkan hasil yang positif.18 Hasil IFN _ γ dapat dibandingkan antara kelompok terpajan maupun kelompok tidak terpajan. Demikian juga hasil pemeriksaan TST, dapat ditentukan spesifisitas dan sensitivitas dari masing-masing pemeriksaan. Hasil Jumlah subjek penelitan yang dianalisis adalah 68 orang, terdiri dari 34 kelompok terpajan dan 34 kelompok tidak terpajan. Pendidikan sekolah dasar (SD)/sederajat pada kelompok terpajan (32,4%) jauh lebih besar dibandingkan kelompok tidak terpajan (0,0%), tetapi subjek yang berpendidikan sekolah menengah atas (SMA)/sederajat dan diploma 3 (D3) atau lebih pada kelompok tidak terpajan (67,6% dan 29,5%) lebih besar dibandingkan kelompok tidak terpajan (41,2% dan 17,7%). Subjek terpajan yang tidur sekamar dengan penderita sebanyak 25 orang (73,5%) lebih besar dibanding-
kan kelompok tidak terpajan (0,0%). Keadaan lantai rumah tidak berbeda antara kelompok terpajan dengan tidak terpajan, pada umumnya berlantai semen/sejenis (masing-masing 97,1%). Ventilasi rumah dapat diidentifikasi umumnya berjendela, hanya pada kelompok terpajan lebih besar (100,0%) dibandingkan kelompok tidak terpajan yang hanya 97,1%. Kepadatan rumah didapatkan satu kamar tidur dihuni > 3 lebih banyak terjadi pada kelompok terpajan (8,8%) dibandingkan kelompok tidak terpajan (2,9%). Demikian pula pada kepadatan rumah, yang tidur sekamar 3 orang masih banyak pada kelompok terpajan. Kebiasaan merokok menunjukkan proporsinya lebih besar pada kelompok tidak terpajan dibandingkan terpajan yaitu 23,5% dibandingkan 17,6%. Status imunisasi BCG terdapat 11 orang (32,4%) pada kelompok terpajan tidak didapatkan parut/tanda bekas imunisasi, sedangkan subjek pada kelompok tidak terpajan 100,0% pernah mendapatkan imunisasi BCG. Proporsi status gizi yang normal lebih banyak pada kelompok tidak terpajan sebesar 55,9%, sedangkan underweight lebih besar pada kelompok tidak terpajan (17,6%) dibandingkan kelompok terpajan (14,7%). Rata-rata umur antara kelompok terpajan dengan tidak terpajan cukup jauh berbeda yaitu 39,6 tahun dibanding 20,9 tahun, sedangkan rata-rata tinggi dan berat badannya tidak jauh berbeda. Demikian pula dengan rata-rata BMI. Pada kelompok terpajan, nilai minimum BMI mencapai 11,7 sedangkan nilai maksimum BMI antara kelompok terpajan dan tidak terpajan hampir sama. Status BCG dan status gizi subjek tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kadar IFN _ γ setelah diuji dengan chi square (nilai p = 0,299; 0,131) (Tabel 1). Kelompok subjek dengan hasil tes Mantoux yang positif pada kelompok kontak serumah (79,4%) jauh lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak kontak serumah (5,9%), sedangkan hasil tes Mantoux yang negatif proporsi pada kelompok tidak kontak serumah dengan penderita tuberkulosis 4 kali lebih besar dibandingkan kelompok yang kontak serumah. Setelah dilakukan uji chi square, diperoleh nilai p = 0,0001 dan nilai x2 = 34,631. Hal ini berarti status responden (terpajan dan tidak terpajan) berhubungan bermakna dengan
Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Tinggi Badan, Berat Badan, dan BMI Variabel Umur (tahun) Tinggi badan (cm) Berat badan (kg) BMI
Rata-rata
Minimum
Terpajan
Tidak Terpajan
39,6 158,9 57,9 22,9
20,9 164,1 59,2 21,8
Terpajan 16 140 30 11,7
Maksimum
Tidak Terpajan 19 155 40 16,6
Terpajan 85 175 83 32,4
Tidak Terpajan 24 178 92 32,9
215
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 5, April 2012
Tabel 2. Distribusi Hasil Tes Mantoux Berdasarkan Status Responden Hasil Tes Mantoux Status
Positif
Kontak serumah Tidak kontak serumah
Total
Negatif
f
%
f
27 2
9,4 5,9
7 32
%
f
%
20,6 94,1
34 34
100,0 100,0
Tabel 3. Distribusi Kategori Kadar Interferon Gamma Berdasarkan Status Responden Kategori Kadar Interferon Gamma Status Responden
Terpajan Tidak terpajan
> 15,7 f
%
f
%
f
%
2 0
5,9 0,0
32 34
94,1 100,0
34 34
100,0 100,0
hasil tes Mantoux (Tabel 2). Rata-rata kadar IFN _ γ pada kelompok yang terpajan kontak serumah dengan penderita tuberkulosis sebesar 5,32 pg/ml sedangkan pada kelompok yang tidak terpajan lebih kecil (1,1 pg/ml). Demikian pula nilai maksimum dan minimum, pada kelompok terpajan yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak terpajan dengan nilai 38,2 pg/ml dan 0,54 pg/ml dibanding 2,7 pg/ml dan 0,14 pg/ml. Setelah dilakukan uji statistik beda rata-rata dengan menggunakan tes Man Whitney U (data kadar IFN _ γ berdistribusi tidak normal) menunjukkan nilai p = 0,0001. Hal ini menunjukkan perbedaan rata-rata kadar IFN _ γ secara bermakna antara kelompok terpajan kontak serumah dengan penderita tuberkulosis dengan kelompok yang tidak terpajan. Proporsi subjek dengan kadar IFN _ γ > 15,7 pg/ml pada kelompok terpajan (5,9%) lebih besar dibandingkan kelompok tidak terpajan (0,0%) (Tabel 3). Pembahasan Kit yang digunakan adalah Human IFN _ γ Quantikine kit, tidak menggunakan QFT-G atau T-SPOT yang telah dianjurkan pemakaiannya oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) sejak tahun 2005, diperbaharui dan dipublikasikan kembali pada tanggal 25 Januari tahun 2010,1 serta dibuktikan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.19 Human IFN _ γ Quantikine kit masih digunakan karena hasil penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan kadar IFN _ γ pada proses kesembuhan penderita tuberkulosis.20 Harga kit tersebut relatif lebih murah dibandingkan kedua kit terbaru sehingga apabila dite216
Total
< 15,6
mukan hasil yang bermakna dapat digunakan untuk deteksi dini penyakit tuberkulosis secara lebih ekonomis. Hasil penelitian tahun pertama menunjukkan hubungan kadar IFN _ γ pada kelompok terpajan dan tidak terpajan (nilai p = 0,0001). Harapan peneliti dengan mengikuti perjalanan paparan selama 6 _ 8 bulan kemudian dapat ditemukan perkembangan yang bermakna dari kadar IFN _ γ tersebut. Meskipun dalam beberapa dekade tes Mantoux telah digunakan sebagai standar untuk mendeteksi tuberkulosis laten tetapi masih mempunyai keterbatasan. Vaksinasi BCG dikatakan masih dapat mempengarui hasil positif dari pemeriksaan tersebut (false positif). Selain itu, ditemukan juga bahwa IGRA dapat digunakan sebagai alternatif standar dalam penentuan tuberkulosis laten. Implementasi yang berhasil dalam pengunaaan IGRA telah dibuktikan pada penelitian terhadap pekerja kesehatan, personel laboratorium, dan klinisi yang patut diduga menderita tuberkulosis laten. Penelitian menggunakan tes TB-Gold In Tube dengan standar ≥ 0,35 IU ml/> 25% dari nilai nol.9 Karakteristik subjek kedua kelompok yang meliputi kelompok terpajan dan tidak terpajan tidak jauh berbeda, hanya nilai rata-rata umur pada kelompok terpajan jauh lebih tua dari kelompok tidak terpajan. Namun, belum ada laporan yang menyebutkan faktor umur mempengaruhi kadar IFN _ γ. Status imunisasi BCG dan status gizi tidak memperlihatkan hubungan yang bermakna dengan kadar IFN _ γ. Penelitian ini menemukan hubungan yang bermakna antara status paparan dengan hasil pemeriksaan Mantoux (nilai p = 0,001) serta perbedaan rata-rata kadar IFN _ γ secara bermakna berdasarkan status paparan. Rata-rata kadar IFN _ γ pada kelompok ter-
Indreswari & Suharyo, Kadar Interferon Gamma pada Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis
pajan 5 kali lebih besar dibandingkan kelompok tidak terpajan. Kadar IFN _ γ mulai terlihat berpeluang untuk menjadi indikator perkembangan penyakit tuberkulosis pada kelompok yang rentan khususnya yang kontak serumah. Penelitian di Yunani menemukan hubungan yang signifikan antara indurasi tes Mantoux dan parut BCG (nilai p < 0,0001), tetapi tidak terdapat hubungan bermakna pada kelompok umur yang berbeda (6, 12, 15 tahun) pada diameter dari indurasi tes Mantoux.21 Di beberapa negara telah banyak dilakukan penelitian yang membandingkan efektivitas IGRA dengan TST. Salah satunya Korea Selatan, negara dengan keadaan intermediate tuberkulosis burden telah diperbandingkan hasil tes Mantoux, QFT-G, dan T-SPOT TB assays. Dari 224 partisipan diperoleh hasil 168 pasien, 87 orang menderita tuberkulosis aktif dan 131 orang dari kelompok dengan risiko rendah untuk tuberkulosis. Dengan penetapan cut off point untuk tes Mantoux 10 mm, didapatkan sensitivitas untuk T-SPOT TB (96,6%) secara bermakna lebih tinggi dari tes Mantoux (66,7%) dan QFT-G (70,1%). Untuk spesifisitas QFT-G lebih tinggi dibandingkan tes Mantoux (91,6% versus 78,6%). Spesifisitas QFT-G lebih tinggi dibandingkan T-SPOT TB (91,6% versus 84,7%).22 Penelitian di Belanda menyebutkan bahwa hasil positif pemeriksaan serologis berhubungan dengan pajanan, tetapi pemeriksaan dengan tes Mantoux tidak berhubungan dengan pajanan. IGRA kurang sensitif digunakan untuk mendeteksi individu dengan hasil tes Mantoux > dari 15 mm atau lebih serta status imunisasi BCG.11 Peneliti lain menyebutkan bahwa QFT-G dapat digunakan sebagai pengujian penelitian yang bersifat seri. Namun, pengulangan tes harus dibaca secara hatihati karena mungkin terjadi infeksi nonspesifik baru.23 Pemeriksaan IFN _ γ dari cairan pleura pada pleuritis tuberkulosis dapat digunakan sebagai penanda diagnostik. Kadar IFN _ γ secara bermakna ditemukan lebih tinggi pada penderita tuberkulosis dibandingkan bukan penderita tuberkulosis (131,3 pg/ml versus 50,4 pg/ml dengan nilai p < 0,01). Untuk pemeriksaan dengan IGRA, penelitian di suatu rumah sakit di Bangkok,12 dengan cut off point = 60 pg/ml ditemukan sensitivitas = 79,4% dan spesifisitas = 100%.8 Dengan melihat hasil-hasil penelitian di beberapa negara tersebut, pemeriksaan dan screening penderita yang diduga menderita infeksi tuberkulosis laten masih memerlukan penelitian lebih lanjut dengan melihat prevalensi tuberkulosis pada suatu negara.
penderita tuberkulosis. Proporsi subjek dengan kadar IFN _ γ > 15,7 pg/ml pada kelompok terpajan (5,9%) lebih besar dibandingkan kelompok tidak terpajan (0,0%).
Kesimpulan Penelitian ini menemukan perbedaan bermakna ratarata kadar IFN _ γ antara kelompok terpajan dengan kelompok yang tidak terpajan kontak serumah dengan
of two commercial interferon gamma assay for diagnosis mycobacterium
Saran Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengikuti perkembangan IFN _ γ berdasarkan status paparan untuk mengetahui pola dan cut off point pada orang yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, terutama kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah mendukung pendanaan penelitian ini kemudian Kepala BKPM Semarang dan Kepala Laboratorium Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang yang telah mengizinkan penelitian dilakukan. Daftar Pustaka
1. World Health Organization. WHO report 2011-global tuberculosis control. Geneva: World Health Organization; 2011 [cited 2012 Jan 12]. Available from: http://www.who.int/TB/data.
2. Sub Direktorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, World Health Organization. Lembar fakta tuberkulosis. Hari TB Indonesia. Jakarta: Sub Direktorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, World Health Organization; 2008.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi epidemiologi tuberkulosis Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010 [diakses tanggal 12 Januari 2012]. Available from: http://www. TBindonesia.or.id.
4. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil kesehatan Kota Semarang 2009. Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang; 2010.
5. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Modul pelatihan program pemberantasan penyakit tuberkulosis tingkat puskesmas. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 1997.
6. M Garbati H, Yusuph, M Kagu, A Moses. Diagnosis of pulmonar tuber-
culosis: utility serolog an mantoux reaction in a source-limited setting. The Internet Journal of Infectious Disease. 2010.
7. Hussain S, Afsal N, Javaid K, Ullah M, Ahmad T, Saleem UZ. Level of interferon gamma in the blood of tuberculosis patients. Iranian Journal Immunology. 2010; 4: 240-6.
8. Carandang EH. Re-evaluation of test mantoux in Filipino adults: a preliminary study. Philippine Journal of Microbiology Infectious Disease. 1998; 17(1): 29-33.
9. Lee JY, Choi HJ, Park IN, Hong SB, Obr Mh, YM, Lim, et al. Comparson tuberculosis infection. Eur Re. 2006; 28 (1): 24-30.
10. Sakti H. Kadar interferon gamma penyandang tuberkulosis [disertasi]. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada; 2010.
217
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 5, April 2012 11. Koksal D, Unsal E, Poyraraz B, Kaya A, Savas H, Sipit T, et al. The val-
ue of serum interferon gamma level in the differensial diagnosis of ac-
tive and inactive pulmonary tuberculosis. Tuberk Toraks. 2006; 54 (1):
nations in cell culture supernates, serum, and plasma. Catalog Number
DIF 50. United States of America; R&D Systems Inc 614 McKinley place NE Minneapolis MN 55413.
17-21.
18. Karyorini, Suryanto E. Uji tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia.
Koster BFPJ, et al. Comparison of two interferon assays and tuberculin
19. Soysal A, Torun T, Efe S, Gencer H, Tahaoqlu K, Bakir M. Evaluation
12. Arend SM, Thijsen SFT, Leyten EMS, Bouwman JJM, Franken WPJ, skin test for tracing tuberculosis contacts. American Journal of Respiratory and Critical Medicine. 2007; 175: 618-27.
13. Adetifa IMO, Lugos MD, Hammond A, Jeffries D, Donkor S, Adegloba
2006; 3 (2): 6-19.
of cut off values of interferon gamma based assays in the diagnosis of m.
tuberculosis infection. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 2008; 12 (1): 50-6.
RA, Hill PC. Comparison of two interferon gamma release assay in the
20. Sri AI. Pola sitokin TH1 dan TH2 pada penyandang tuberkulosis paru.
Gambia. BMC Infectious Disease. 200; 7: 122.
21. Lalvani A, Pareek M. A 100 year update on diagnosis of tuberculosis in-
berculosis infection. Respiratory Researche. 2010; 11: 169.
22. Legesse M, Ameni G, Mamo G, Medhin G, Bjune G, Abebe F.
diagnosis of mycobacterium tuberculosis infection and disease in The 14. Ahmad S. New approaches in the diagnosis and treatment of latent tu15. Subagyo A, Aditama TY, Sutoyo DK, Partakusuma LG. Pemeriksaan in-
terferon gamma dalam darah untuk deteksi infeksi tuberkulosis. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 2006; 3 (2): 6-19.
Jurnal Visikes. 2009; 8 (1): 1412-3746. fection. Br Med Bull. 2010; 93: 69-84.
Community based cross setional survey of latent tuberculosis infection
in afar pastoralists Ethiopia using quantiferon TB gold in-tube and tuberculin skin test. BMC Infectious Disease. 2011; 11 (89).
16. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.
23. Wong CF, Yew WW, Leung SK, Chan CY, Hui M, Yeang CA, Cheung AF.
17. Quantikine Human IFN-Y Immunoassay. For the quantitative determi-
terferon gamma in the diagnosis and outcome correlation of tuberculous
edisi 3. Jakarta: Sagung Seto; 2008. hal. 147-65, 193-215.
218
Assay of pleural fluid interleukin-6, tumor necrosis factor alpha and in-