Agus Mahmud & Ahyar
DAKWAH TRANSFORMATIF (PENGUATAN KAPASITAS MASYARAKAT NELAYAN MELALUI USAHA PRODUK OLAHAN BERBAHAN IKAN) DI DESA BATU NAMPAR SELATAN KECAMATAN JEROWARU KABUPATEN LOMBOK TIMUR Agus Mahmud & Ahyar1
Abstrak: Salah satu persoalan yang melanda masyarakat kelas bawah di NTB pada umumnya adalah ketidakberdayaan mereka pada sektor ekonomi. Permasalahan ini tentu berimbas pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Beberapa factor penyebab ketidakberdayaan ekonomi (miskin) masyarakat ini diantaranya adalah karena keterbatasan lapangan pekerjaan, tidak memiliki modal usaha, serta tidak memiliki keterampilan hidup yang dapat diandalkan untuk membuka usaha sendiri. Untuk itu, sebagai mitra masyarakat, khususnya perguruan tinggi perlu meningkatkan kegiatan pengabdian masyarakatnya melalui penugasan kelompok-kelompok dosennya, terutama melalui kegiatan-kegiatan yang dapat menciptakan life skill masyarakat dalam sektor ekonomi ini sebagai wujud pengamalan tri dharma perguruan tinggi. Secara umum, kegiatan pelatihan pembuatan Abon dan Bakso ikan laut ini berjalan sesuai rencana dan mendapatkan respon baik oleh masyarakat setempat, baik yang terdaftar sebagai peserta maupun yang tidak. Terlihat dari kemampuan peserta, life skill ini tidak terlalu sulit untuk dipraktekkan. Cuma yang menjadi permasalahan para peserta sekarang, mereka menginginkan pembentukan sebuah unit usaha yang akan menaungi keterampilan mereka, namun masih bingung dengan sistem manajemen dan modal, sehingga mereka masih mengharapkan bantuan. Oleh karena itu perlu ada lembaga-lembaga tertentu, baik dari pemerintah, perguruan tinggi, atau swasta untuk lebih memperhatikan kebutuhan dan kepentingan komunitas binaan ini. Kata Kunci : Life Skill
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Syariah dan Fak.Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram 1
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
21
Transformasi, Volume 10, Nomor 2, Juli-Desember 2014
PENDAHULUAN ISU DAN FOKUS :POTRET KOMUNITAS NELAYAN BATU NAMPAR SELATAN Meskipun Batu Nampar Selatan bukan kawasan pandat penduduk, tetapi penduduk yang berprofesi sebagai nelayan cenderung menginginkan untuk bisa tinggal di sekitar pantai. Dengan bermukim dekat pantai, nelayan tidak membutuhkan waktu yang lama atau tenaga yang banyak menuju perahu yang akan berangkat kerja atau kalau pulang dari melaut mereka akan segera sampai ke rumah. Jadi, dengan bermukim dekat pantai akan mempermudah akses nelayan ke dunia pekerjaan mereka. Berdasarkan kondisi fisiknya, rumah- rumah di Batu Nampar Selatan dapat dibagi dalam tiga kategori ; 1) rumah permanen (memenuhi syarat kesehatan), 2) semi permanen (cukup memenuhi syarat kesehatan), dan 3) non-permanen (kurang atau tidak memenuhi syarat kesehatan). Jenis rumah ini dapat dipakai untuk mengidentifikasi status sosialekonomi pemiliknya. Rumah permanen dimiliki oleh penduduk yang mampu secara sosial-ekonomi, seperti pemilik perahu, dan pedagang ikan berskala besar. Rumah-rumah semi-permanen dan nonpermanen sebagian besar dimiliki oleh para nelayan tradisional atau buruh nelayan. Pada umumnya, ukuran rata-rata rumah buruh nelayan atau nelayan tradisional ini 4x5 m dan hanya memiliki satu ruang tidur, satu ruang tamu, dapur dan atap rumahnya dari genteng biasa. Bentuk arsitektur rumah bergantung pada kategori rumahnya. Rumah-rumah permanen dibangun dengan gaya arsitektur modern, sedangkan rumah semipermanen dan nonpermanen bersifat tradisional. Kampung-kampung nelayan yang padat ini tentu akan membatasi keleluasaan gerak penduduknya, namun kepedulian atau kesadaran mereka terhadap situasi yang kondusif tetap mereka pelihara. Di Batu Nampar Selatan, tindak kriminalitas pencurian atau penjarahan harta benda penduduk hampir tidak pernah terjadi. Siapa pun orang-orang luar yang masuk ke kampung-kampung nelayan, baik pada siang maupun malam hari, akan mudah dikenali, dan jika gerak-gerik mencurigakan akan mudah diawasi. Kondisi demikian ditunjang oleh hubungan kekerabatan antar penduduk kampung yang sangat kental. Secara umum, aktivitas kehidupan komunitas nelayan Batu Nampar Selatan dimulai pada pagi hari setelah selesai shalat Subuh hingga malam hari sekitar jam 22.00. Pinggir pantai merupakan tempat yang paling terbuka untuk berbagai kepentingan, tidak hanya sebagai tempat persinggahan atau pangkalan perahu, sampan, dan tempat orangorang bercengkrama, tetapi juga sebagai tempat untuk pembuangan sampah dan kotoran lainnya, seperti sampah rumah tangga, air dan kayu bekas pemindangan ikan. Selain itu para istri nelayan juga menjadikan 22
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Agus Mahmud & Ahyar
pinggiran pantai sebagai tempat menanti kedatangan suami mereka pulang melaut sembari bercerita tentang berbagai hal, mulai dari permasalahan rumah tangga mereka sendiri hingga persoalan politik terkait kebijakan pemerintah. Pada siang hari komunitas nelayan Batu Nampar Selatan biasanya beristirahat di pinggir pantai atau balai-balai yang ada dihalaman rumah. Suhu udara yang panas membuat para nelayan lebih suka mencari angin di luar rumah. Demikian pula pada malam hari, penduduk mengobrol di beranda depan rumah yang terbuka atau tidur-tiduran di teras rumah atau di balai-balai yang ada di halaman rumah. Sekitar pukul 22.00 mereka sudah beristirahat malam dan besok dini hari kembali berangkat kerja, demikian seterusnya. Dengan memperhatikan sistem penguasaan aset produksi, seperti kepemilikan modal, peralatan tangkap, dan pasar, orang akan mudah mengidentifikasi adanya pelapisan sosial dalam kehidupan nelayan. Perbedaan-perbedaan kemampuan ekonomi di antara lapisan-lapisan sosial itu diwujudkan atau diperlihatkan dalam ketimpanganketimpangan kepemilkan barang-barang kekayaan. Dalam komunitas nelayan Batu Nampar Selatan, pelapisan sosial mereka dapat di kelompokkan menjadi tiga, yaitu; Pertama, pemilik modal dan perahu. Jenis kelompok sosial ini dapat diidentifikasi sebagai kelompok orang berada (orang sugih). Mereka memiliki rumah yang cukup megah dengan isi perabotan rumah tangga yang lengkap. Kedua, penyakap, yaitu kelompok nelayan yang bekerjasama dengan pemilik peralatan dengan sistem bagi hasil. Lapisan sosial kedua ini diidentifikasi sebagai kelompok nelayan yang kehidupannya kembang-kempis. Terkadang kondisinya lumayan berada (pendapatannya bisa melebihi kebutuhan hidup sehari-hari), namun terkadang juga tidak ada pendapatannya sama sekali (terutama pada musim peceklik atau kondisi cuaca yang kurang bersahabat). Kondisi bangunan perumahan mereka seadanya, sekedar ada tempat mereka untuk tidur dan menaruh perabotan rumah tangga. Ketiga, buruh nelayan. Kelompok ini merupakan lapisan sosial paling bawah. Kehidupan mereka sangat memperihatinkan, pendapatannya tergantung dari pemilik perahu yang sudah turun melaut. Jika ada nelayan yang melaut berarti mereka punya harapan untuk bertahan hidup. Karena pekerjaan mereka adalah membantu membuang dan membersihkan air bekas pemindangan ikan dari tempat penjulan ikan ke laut. Untuk pekerjaan ini mereka dibayar 10.000 sampai 15.000 perhari, dan membantu mengangkat perahu nelayan yang pulang melaut ke pinggiran pantai dengan upah satu ekor ikan untuk setiap perahu. Komunitas nelayan tradisional Batu Nampar Selatan menganut sistem kekarabatan berdasarkan garis kerabat laki-laki dan perempuan Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
23
Transformasi, Volume 10, Nomor 2, Juli-Desember 2014
(bilateral). Menurut masyarakat setempat, yang dimaksud dengan saudara adalah seluruh kerabat yang ditarik dari garis keturunan orang tua (ibu dan bapak). Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batu Nampar Selatan ditentukan oleh faktor keturunan dan perkawinan. Di dalam sistem keluarga rumah tangga masyarakat Batu Nampar Selatan, suami dianggap sebagai kepala keluarga. Ia adalah penanggung jawab utama pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari keluarga. Dalam segala aktivitas sosial kemasyarakatan, keterlibatan laki-laki dianggap mewakili keluarganya. Sementara itu, tugas pokok istri adalah mengelola urusan rumah tangga (domestik). Namun, meskipun sudah ada batasan tugas dan tanggung jawab masing-masing antara suami dan istri, tidak sedikit di antara para istri yang terlibat dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawab para suami, yaitu membantu mencari nafkah keluarga karena tingkat penghasilan suami sebagai nelayan tradional kurang mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Tidak hanya istri, mengingat keterbatasan penghasilan para nelayan tradisonal Batu Nampar Selatan, anaknya pun dilibatkan untuk membantu mengatasi tugas dan tanggung jawab orang tua. Bagi anakanak yang sudah berusia angkatan kerja, baik laki-laki maupun perempuan, mereka biasanya disuruh untuk menjadi tenaga kerja ke luar negeri. Sedangkan beberapa negara yang menjadi tujuan mereka antara lain Arab Saudi, Korea, dan Malaysia. Sementara, dalam proses pembentukan sistem kekerabatan berdasarkan perkawinan, para orang tua di Batun Nampar Selatantidak terlalu berperan dalam perjodohan anak-anaknya. Umumnya, para orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada anak-anaknya untuk menentukan pasangan hidup masing-masing sesuai dengan pilihan meraka. Orang tua tidak terlalu memperhatikan tentang siapa (asal usul keturunan atau pekerjaan) yang akan menjadi pasangan hidup anaknya. Begitu juga dalam proses penetapan jodoh, orang tua juga jarang terlibat, seperti dalam proses pertunangan, lamaran, atau minta restu. Orang tua hanya menerima apa yang sudah menjadi pilihan anak-anaknya. Aktivitas menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama nelayan tradisional Batu Nampar Selatan pada umumnya dilakukan setiap hari jika memang tidak ada kendala cuaca. Jadwal mereka turun ke laut terbagi menjadi dua, yaitu sebagian ada yang mulai turun sekitar jam 12 malam dan pulang sekitar jam 7 pagi. Biasanya jadwal ini dilakukan ketika tanggal 11 sampai 25 bulan Hijriyah. Sedangkan sebagian yang lain ada yang turun pada sore hari dan pulang sekitar jam 9 malam. Jadwal ini diberlakukan ketika tanggal 25 sampai tanggal 14 bulan Hijriyah. Penjadwalan ini dilakukan untuk menghindari terang bulan. Karena menurut mereka jika terang bulan, biasanya ikan-ikan tidak berani keluar ke permukaan laut, sehingga sulit dijangkau oleh jaring. 24
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Agus Mahmud & Ahyar
Para nelayan tradisional Batu Nampar Selatan termasuk nelayan perikanan pantai, karena wilayah-wilayah yang menjadi area penangkapan ikan sekitar kawasan laut pantai bukan laut lepas. Sedangkan bulan-bulan yang biasanya dijadikan musim panen ikan bagi nelayan Batu Nampar Selatan berkisar antara Nopember sampai April setiap tahunnya, atau ketika musim hujan sedang berlangsung. Ketika memasuki musim kemarau, tingkat penghasilan nelayan mulai berkurang, karena terjadi proses surutnya air laut, dan menurut mereka biasanya ikan-ikan enggan keluar mencari makan ke permukaan atau pinggiran laut. Situasi ini terjadi antara bulan Mei sampai Oktober setiap tahunnya. Proses penangkapan ikan dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan melempar jaring ke laut. Dalam setiap malamnya mereka hanya melakukan proses penangkapan dengan cara ini satu kali. Jaring yang sudah dilempar ini kemudian dibiarkan sambil ditunggu selama kurang lebih 7 jam. Sembari menunggu waktu mengangkat jaring, para nelayan tradional Batu Nampar Selatan ini memanfaatkan waktunya dengan memancing. Jaring yang sudah dilempar tadi kemudian ditarik kembali menjelang mereka mau pulang, meskipun hasil yang mereka dapatkan kadang ada atau tidak ada. Musim hujan bagi nelayan merupakan tantangan sekaligus peluang. Jika musim hujan tanpa dibarengi dengan angin dan gelombang besar, tentu menurut mereka sangat menguntungkan, karena biasanya penghasilan mereka cukup banyak, tetapi jika pasang air laut cukup tinggi dan ombak yang ditimbulkannya sangat besar, ini acap kali menimbulkan malapetaka bagi kehidupan nelayan tradisional Batu Nampar Selatan, karena mereka tidak berani untuk turun melaut. Komunitas nelayan tradisional Batu Nampar Selatan ini juga termasuk nelayan penuh, yaitu nelayan yang menggantungkan seluruh kebutuhan hidupnya hanya dari hasil aktivitas mereka sebagai nelayan. Sedangkan berdasarkan pemetaan terhadap peralatan penangkapan yang mereka gunakan, para nelayan Batu Nampar Selatan merupakan nelayan tradisional, karena peralatan yang mereka gunakan untuk menangkap ikan hanya terdiri dari perahu kecil (sampan), lampu petromak, jaring, dan mesin tempel penggerak perahu. Proses pembuatan sampan atau perahu bagi para nelayan di Batu Nampar Selatan membutuhkan waktu yang cukup lama dan memakan biaya yang tidak sedikit. Rata-rata waktu untuk membuat satu perahu berkisar antara dua sampai tiga bulan. Sedangkan biaya untuk satu unit perahu cukup mahal dan bervariatif, yaitu sekitar Rp. 25.000.000 sampai 50.000.000 sudah termasuk mesin tempelnya. Jika kita lihat dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan peralatan tangkapan ikan ini memang cukup mahal. Itulah sebabnya Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
25
Transformasi, Volume 10, Nomor 2, Juli-Desember 2014
banyak diantara para nelayan tradisional Batu Nampar Selatan ini yang tidak mampu untuk membelinya sendiri. Sehingga alternatif lain yang ditempuh supaya mereka tidak menganggur adalah mengadakan kerjasama dengan pemilik modal dengan sistem bagi hasil (nyakap). Daerah-daerah yang dijadikan kawasan tempat para nelayan tradisonal Batu Nampar Selatan ini menangkap ikan meliputi sebelah barat mencapai Teluk Awang hingga Laut Lepas Selatan. Untuk pengeluaran biaya operasional setiap malamnya, khususnya untuk pembelian bahan bakar mesin perahu tempel (bensin/solar dan oli) menghabiskan sekitar Rp. 100.000 sampai Rp. 150.000, karena setiap malam (rata-rata 7 jam di laut) mereka menghabiskan bahan bakar ratarata sekitar 25 sampai 30 liter. Kebutuhan biaya hidup sehari-hari (untuk pembelian beras, laukpauk, dan minyak tanah) rumah tangga (suami, istri, dan 3 anak) nelayan tradisional Batu Nampar Selatan mencapai Rp. 50.000. Sementara penghasilan yang mereka dapatkan sehari-hari sebagai nelayan tradisonal sangat pluktuatif. Di saat mereka sedang bernasib mujur, pengeluaran rumah tangga sebesar tersebut tidak menjadi permasalahan. Namun ketika nasib mereka lagi kurang baik bahkan tidak bisa melakukan aktivitasnya sebagai nelayan akibat cuaca buruk tentu membuat mereka pusing. Sementara andalan penghasilan mereka untuk bertahan hidup satu-satunya adalah sebagai nelayan. Menghadapi kondisi rumah tangga seperti ini, seperti yang dikatakan oleh seorang ibu nelayan (Ibu Fikri) mau tidak mau harus mencari pinjaman atau utang, entah kepada tetangga, kerabat, teman, atau koperasi simpan pinjam. Inilah irama kehidupan nelayan Batu Nampar Selatan, pendapatan selalu tidak menentu dan untuk menutup biaya hidupnya harus gali lubang tutup lubang, akibat berbagai keterbatasan yang mereka miliki, entah keyerbatasan kualitas sumberdaya alam maupun manusianya. KAJIAN TEORI It begins with a paradox! Kalimat tersebut pernah diucapkan oleh Peter Pearse, seorang ekonom dari Kanada ketika melihat kenyataan pahit bahwa nelayan di pantai timur Kanada terbelenggu oleh kemiskinan di tengah melimpahnya sumberdaya perikanan wilayah tersebut. Kondisi yang sama juga dialami oleh nelayan Indonesia. Hampir sebagaian besar nelayan kita hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari USS 10 per kapita per bulan. Jika dilihat dalam konteks Millenium Development Goal, pendapatan sebesar itu sudah termasuk dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari USS 1 per hari.2 Kondisi ini umumnya dialami oleh masyarakat pesisir yang tergolong nelayan tradisional. 2
26
Fauzi, (2005), 17.
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Agus Mahmud & Ahyar
Yang dimaksud dengan nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumberdaya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif rendah. Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Dalam arti hasil alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya pangan, dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha.3 Berbeda dengan nelayan modern yang acapkali mampu merespon perubahan, lebih kenyal dalam mensiasati tekanan perubahan dan kondisi over fishing, nelayan tradisional seringkali justru mengalami marjinalisasi, dan menjadi korban dari pembangunan / modernisasi perikanan yang sifatnya a-historis. Akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan tradisional umumnya sangat terbatas; mereka hanya mampu beroperasi di perairan pantai (in-shore). Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dalam satu hari sekali melaut (one day a fishing trip). Beberapa contoh nelayan yang termasuk nelayan tradisional adalah nelayan jukung/sampan, nelayan pancingan, nelayan udang, dan nelayan teri nasi.4 Pemerintah sendiri sebetulnya bukan tidak memahami penderitaan dan tekanan kemiskinan yang dialami masyarakat pesisir, khususnya para nelayan tradisional. Salah satu bentuk program pembangunan yang dirancang khusus untuk membantu upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir adalah Program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pantai). Seperti yang pernah dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, bahwa sasaran Program PEMP adalah nelayan tradisional, nelayan buruh, pedagang, dan pengolah ikan berskala kecil, pembudidaya ikan berskala kecil, dan pengelola sarana penunjang usaha perikanan berskala kecil, yang mana mereka semua termasuk kelompok sosial dalam masyarakat pesisir yang memiliki kerentanan ekonomi.5 Perhatian terhadap kondisi nelayan tradisional ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi juga hampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Khusus untuk pemerintah Kota Mataram yang memiliki masyarakat nelayan yang keseluruhannya adalah nelayan tradisional, salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan meraka adalah melalui Program Perumahan Nelayan.6 Banyak kajian telah membuktikan bahwa tekanan kemiskinan struktural yang melanda kehidupan nelayan tradisional sesungguhnya Suhartini, (2005), 31. Ibid, 32. 5 Suhartini, (2005), 34 6 Berita Koran Harian Lombok Post, Sasaran APBD Kota Mataram 2009. 3 4
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
27
Transformasi, Volume 10, Nomor 2, Juli-Desember 2014
disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumberdaya manusia, modal, akses, dan jaringan perdagangan ikan yang ekplotatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi dari modernisasi perikanan. Dampaknya bagi nelayan tradisional adalah menurunnya pendapatan mereka dan sulitnya untuk mendapatkan hasil tangkapan. Sementara untuk mencari pekerjaan lain mereka masih kesulitan. Kesultan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, berkaitan dengan persoalan tingkat pendidikan mereka yang rendah. Bagi warga masyarakat desa pantai yang memiliki keahlian khusus dan berpendidikan tinggi, jika pada satu titik hasil dari sektor perikanan ini tidak lagi dapat diharapkan, kemungkinan untuk beralih profesi paling tidak di atas kertas masih terbuka. Kedua, penguasaan keterampilan alternatif yang dimiliki. Keterbatasan keterampilan yang dimiliki seringkali membuat para nelayan tradisional selalu mengahdapi jalan buntu untuk memecahkan problema kehidupan ekonomi sehari-hari yang dihadapi. Ketiga, berkaitan dengan dukungan aset produksi. Ketika mereka menginginkan usaha lain untuk mengganti pekerjaan sebagai nelayan, mereka seringkali terbentur masalah dukungan modal. Akibatnya sulit rasanya bagi mereka keluar dari perangkap kemiskinan ini. Salah satu kasus nelayan dengan kondisi memperihatinkan tersebut di atas adalah nelayan yang tinggal di kawasan pesisir pantai Batu Nampar Selatan Kecamatan Jeruwaru. Dari penduduknya yang usia produktif, 60 % bekerja sebagai nelayan, 30 % nya tidak memiliki pekerjaan (mereka ini umumnya kaum ibu dan remaja putri), dan selebihnya (10 %) bekerja disektor swasta dan wiraswasta.7 Namun mereka yang bekerja sebagai nelayan ini pendapatannya tidak menentu karena sangat tergantung pada cuaca, terkadang bisa banyak dan terkadang tidak ada sama sekali karena mereka memang tidak pergi melaut akibat cuaca buruk. Namun, di saat mereka memperoleh hasil tangkapan ikan yang banyak tidak secara otomatis para nelayan Batun Nampar Selatan ini akan mendapatkan hasil penjualan yang banyak pula, karena harga jualnya sangat tergantung dari patokan harga yang ditentukan para tengkulak yang datang membeli tangkapan mereka setiap hari. Tapi apa boleh dikata, para nelayan Batun Nampar Selatan harus menerima patokan harga tersebut, karena kalau tidak dijual pada hari itu juga maka ikanikan tersebut akan membusuk (karena ikan itu akan bertahan selama 1 hari jika tidak diawetkan). Dan sebagai bahan perbandingan, harga ikan 7Kantor
Angka 2014.
28
Desa Batu Nampar Selatan, Dokumentasi, Batu Nampar Selatan Dalam
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Agus Mahmud & Ahyar
tongkol yang dijual di pasar tradisional dengan harga Rp. 1500 sampai Rp. 2000, harga yang ditetapkan tengkulak kepada para nelayan hanya Rp. 500 sampai Rp. 750. Setiap kali pergi melaut hasil penjualan yang didapat para nelayan Batun Nampar Selatanpada umumnya sekitar Rp. 15.000 sampai Rp. 25.000 jika cuacanya dalam keadaan baik atau normal. Terkadang saja mereka mendapatkan hasil penjualan sampai di atas Rp. 50.000 atau lebih, sementara kebutuhan hidup rumah tangga mereka sehari-hari lebih dari itu.8 Akan tetapi persoalannya, apa yang bisa diperbuat oleh masyarakat nelayan tradisional Batu Nampar Selatan, sementara tingkat pendidikan yang mereka miliki umumnya rendah, tidak memiliki modal untuk dikembangkan, serta keterampilan hidup yang bisa diandalkan selain keahlian menangkap ikan juga tidak ada, apalagi untuk para ibu dan remaja putrinya? Berangkat dari permasalahan-permasalahan ini, penting rasanya untuk berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan hidup mereka dengan melakukan upaya peningkatan keterampilan hidupnya (life skill) yang dapat melahirkan alternatif pekerjaan lain guna mendapatkan sumber penghasilan hidup sehari-hari. Dengan mempertimbangkan pada potensi ikan dan sumberdaya manusia yang ada di Batun Nampar Selatan ini yang banyak tidak terpakai -terutama para ibu dan remaja putri yang tidak mungkin ikut pergi menangkap ikan- serta didukung oleh keberadaan warung atau rumah yang semakin hari terus mengalami peningkatan, baik yang ada di sekitar Batun Nampar Selatan itu sendiri maupun di luarnya, maka kegiatan ”Dakwah Transformatif (Penguatan Kapasitas Masyarakat Nelayan melalui Produk Olahan Berbahan Ikan) ini menjadi sangat potensial untuk dilakukan sebagai alternatif pekerjaan guna menambah sumber penghasilan hidup bagi masyarakat Batu Nampar Selatan, apalagi melihat peluang untuk memasarkan hasil produksinya juga sangat menjanjikan. PELAKSANAAN KEGIATAN PROSES DAN HASIL KEGIATAN 1. Mapping (Pemetaan Permasalahan Yang Ingin Diselesaikan) Menurut penuturan salah seorang nelayan, kisaran pendapatan mereka setiap hari atau setiap pergi melaut jika diuangkan, berkisar antara Rp.25.000-Rp.150.000. Pendapatan ini merupakan pendapatan kotor dalam artian belum dibagi hasil dengan pemilik modal. Namun terkadang jika cuaca sangat buruk mereka tidak berani turun melaut, dan pemilik modal sudah memaklumi kondisi tersebut. Masyarakat nelayan tradisional tersebut, khususnya nelayan tradisional yang berada di kawasan pesisir pantai Batu Nampar 8
Ibu Fitri (salah seorang nelayan), Hasil wawancara tanggal 27 Septmber 2014.
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
29
Transformasi, Volume 10, Nomor 2, Juli-Desember 2014
Selatan, ada beberapa permasalahan yang selama ini membelenggu mereka, di antaranya adalah: Biaya hidup yang dibutuhkan seharihari jauh lebih tinggi daripada pendapatan mereka sehari-sehari sebagai nelayan tradisional, Pekerjaan sebagai nelayan ini merupakan kegiatan tunggal, dalam arti mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan untuk mengganti kegiatan menangkap ikan pada saat-saat cuaca buruk, Banyak di antara mereka, khusus kaum ibu dan remaja putri yang tidak memiliki kegiatan apapun selain melakukan pekerjaan rumah tangga, akibat tidak adanya keterampilan yang mereka miliki dan ada sumberdaya perikanan yang baik, tapi sayang harga jualnya tidak terlalu menjamin untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, akibat keterbatasan kemampuan mereka untuk melakukan pengolahan lebih lanjut yang dapat meningkatkan harga jual ikan tersebut. Berangkat dari hasil identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalahnya “Bagaimana dengan melalui dakwah transformatif ini dapat meningkatkan kapasitas atau life skill ibu-ibu nelayan tradisional desa Batu Nampar Selatan agar memiliki keahlian dan keterampilan dalam mengolah ikan yang berhasil mereka tangkap sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan menjual ikannya langsung”. 2.
30
Rumusan, Tujuan, Manfaat dan Sasaran Secara khusus kegiatan ini bertujuan untuk menciptakan life skill bagi para ibu dan remaja putri nelayan tradisional pesisir pantai Batun Nampar Selatanyang memang tidak ikut terlibat sebagai penangkap ikan, sehingga dengan adanya pola pembinaan ini mereka memiliki keterampilan hidup yang dapat diandalkan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada di lingkungannya guna membantu menambah sumber penghasilan hidup bagi rumah tangganya yang selama ini sangat tergantung pada hasil penjualan ikan. Adapun manfaat yang diharapkan dari kegiatan penciptaan life skill ini bagi masyarakat miskin yang tergolong sebagai komunitas nelayan tradisional yang tinggal di pesisir pantai Batun Nampar Selatan adalah: pertama; Masyarakat memiliki kemampuan atau kapasitas dalam mengolah potensi ikan laut hasil tangkapannya, sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan menjual ikannya langsung ke pasar/tengkulak. Kedua; Masyarakat memiliki alternatif pekerjaan lain untuk mendapatkan sumber penghasilan hidup rumah tangganya di samping sebagai nelayan tradisional, dan ketiga; Kondisi hidup masyarakat menjadi lebih baik, karena penghasilan Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Agus Mahmud & Ahyar
hidupnya tidak terlalu tergantung pada musim atau kondisi cuaca alam sebagai resiko dalam pekerjaan sebagai nelayan. 3.
Pendampingan a. Obyek dan Sasaran Kegiatan Berangkat dari pemaparan kondisi obyektif masyarakat Batun Nampar Selatanyang dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa kegiatan desa binaan ini dirancang untuk memberikan solusi alternatif pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat dengan bentuk kegiatannya adalah penciptaan life skill. Akan tetapi karena keterbatasan berbagai sarana maupun prasarana termasuk pendanaan yang disediakan, maka untuk obyek dan sasarannya adalah terbatas untuk para ibu dan remaja putri nelayan yang tidak memiliki pekerjaan tetap selain mengurus rumah. Akan tetapi juga tidak semua dari para ibu dan remaja putri nelayan ini dilibatkan secara langsung sebagai peserta. Mereka dipilih berdasarkan hasil kesepakatan antara tim dengan tokoh masyarakat setempat (kepala lingkungan) yang jumlahnya sebanyak 20 orang. Sasarannya adalah meningkatkan keterampilan hidup mereka dalam dalam mengolah ikan laut hasil tangkapannya menjadi kerupuk ikan laut. b. Output dan Outcome Kegiatan Output dari kegiatan desa binaan ini adalah para ibu dan remaja putri nelayan Batun Nampar Selatan yang berjumlah 20 orang ini memiliki keterampilan hidup dalam memanfaatkan sumberdaya yang mereka miliki, yaitu dapat membuat atau melakukan proses produksi bakso dan abon ikan laut di tempat mereka sendiri, sehingga outcomenya adalah mereka punya pekerjaan tetap untuk mendapatkan penghasilan hidup sehari-hari (tidak menganggur) dan dapat meningkatkan nilai jual dari sumberdaya ikan yang mereka miliki. c. Tahapan dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Rancangan kegiatan pelatihan pembuatan bakso dan abon ikan laut ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan proses atau prosedur kegiatan, yaitu: 1) Survey Survey dilakukan oleh organisasi pelaksana dengan terjun langsung ke masyarakat untuk melakukan identifikasi terhadap permasalahan dan ketersediaan potensi yang dimiliki masyarakat nelayan tradisional di pesisir pantai Batun Nampar Selatan yang dapat dimanfaatkan atau Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
31
Transformasi, Volume 10, Nomor 2, Juli-Desember 2014
2)
3)
4)
5)
32
dikembangkan untuk memberi peluang alternative pekerjaan bagi masyarakat yang tidak terlibat secara langsung untuk menangkap ikan, terutama dari para ibu dan remaja putri. Pengorganisasian Peserta Karena jumlah masyarakat di lokasi pelatihan ini cukup banyak, sementara jumlah peserta yang diinginkan sebagai target sasaran terbatas, yaitu 20 orang, maka akan dilakukan pengorganisasian dengan pembentukan tim atau kelompok perwakilan yang akan dibina terlebih dahulu sebagai percontohan. Setiap kelompok terdiri dari 5 orang dan akan dikoordinir oleh satu orang sebagai ketuanya. Jika suatu saat kegiatan ini dirasakan berhasil, maka tim ini nanti diharapkan dapat membentuk kelompok lagi untuk dibina lagi secara mandiri. Penyuluhan Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi usaha mandiri kepada para peserta. Artinya dengan mereka memiliki keterampilan seperti membuat kerupuk tersebut, para peserta mau menindaklanjutinya untuk terus berusaha membuat kerupuk sebagai usaha rumah tangganya. Training Kegiatan ini berbentuk pemberian keterampilan pembuatan kerupuk ikan laut yang diikuti oleh para ibu dan remaja putri nelayan tradisional Batu Nampar Selatan. Beberapa tahapan dari metode kegiatan ini yaitu diawali dengan pemberian materi tentang bahan-bahan pembuatan kerupuk ikan, proses pembuatannya, sistem pembungkusannya oleh narasumber yang telah diundang oleh tim pelaksana. Metodenya adalah ceramah interaktif antara narasumber dengan peserta. Kemudian tahap selanjutnya adalah praktik langsung pembuatan dan penge-pack-an kerupuk ikan laut oleh para peserta dengan di dampingi atau bimbingan langsung narasumber. Setelah para peserta ini dianggap sudah bisa oleh narasumber, praktik selanjutnya dilakukan secara mandiri oleh peserta, tetapi pengontrolannya akan tetap dilakukan oleh organisasi pelaksana. Pendampingan Kegiatan ini bertujuan untuk mengadakan pendampingan langsung kepada para peserta pelatihan sekaligus sebagai upaya pengontrolan terhadap persoalan-persoalan yang ditemui setelah mereka menerima pelatihan, sehingga Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Agus Mahmud & Ahyar
kendala-kendala tersebut segera dicarikan penyelesaiannya, terutama pada masa-masa pembinaan yang terjadwal selama enam bulan.
solusi proses
HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN Program Desa Binaan IAIN Mataram tahun 2014, tim pelaksana kegiatan telah melakukan seluruh rangkaian kegiatan yang telah ditetapkan, yaitu meliputi: 1. Pendataan Peserta Proses kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari, yaitu hari Sabtu dan Minggu, tanggal 2 dan 3 Agustus 2014. Sebelum melakukan pendataan peserta, tim pelaksana terlebih dahulu mengirim surat pemberitahuan dan melakukan dialog seputar rencana kegiatan dengan Kepala Desa yakni diwakili Sekdes Batu Nampar Selatan yang difasilitasi mahasiswa KKP selaku penanggungjawab wilayah untuk mendapatkan persetujuan. Setelah mendapatkan persetujuan/izin, tim pelaksana kemudian bersama-sama dengan Sekdes setempat dan dibantu mahasiswa KKP melakukan pendataan terhadap 20 peserta pelatihan dengan kriteria yaitu: wanita, usia 20-45 tahun, dan tidak memiliki pekerjaan. 2. Pertemuan/Penyuluhan Setelah selesai melakukan pendataan terhadap 20 orang peserta, tim pelaksana melalui Sekdes setempat meminta seluruh peserta untuk hadir pada pertemuan awal untuk penjelasan tentang rencana kegiatan sekaligus penyuluhan terhadap pentingnya peran ibu dalam mendukung kesejahteraan keluarga. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari minggu tanggal 14 September 2014. Narasumber kegiatan ini adalah Suardi, S.Pd. (Guru SMKN 4 Mataram) ahli tata Boga dan dihadiri oleh seluruh peserta, Sekdes dan Mahasiswa KKP, dan tim desa binaan. 3. Praktik Pembuatan Abon dan Bakso Ikan Tiga kali pertemuan setelah pemberian teori, yaitu pada tanggal 21 September 2014, para peserta diminta untuk hadir kembali untuk melakukan praktik langsung secara bersama-sama tentang cara pembuatannya. Kegiatan ini dimulai dari jam 08.00 sampai jam 12.00. Dalam kegiatan praktik ini, tim tetap meminta pemateri (Suardi, S.Pd) untuk mendampingi langsung sambil memberikan arahan dan petunjuk kepada para peserta. Dalam kegiatan praktik ini, para peserta berperan aktif secara penuh dalam melakukan pembuatan kerupuk Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
33
Transformasi, Volume 10, Nomor 2, Juli-Desember 2014
ikan ini, mulai dari proses penentuan takaran tiap-tiap bahan, kemudian melakukan pencampuran, membuat adonan, perebusan, pengirisan, serta penggorengan. Khusus untuk penggorengan pemateri menyediakan langsung kerupuk mentahnya, karena hasil pembuatan para peserta tidak mungkin digoreng hari itu juga, karena butuh penjemuran selama 2 - 3 hari, sedangkan dalam tahapan praktek ini, sebagaimana dipandu oleh narasumber para peserta tidak terlihat kesulitan, karena para peserta hanya butuh sekali peragaan dalam setiap proses tersebut dari narasumber. Begitu narasumber selesai mencontohkan, para peserta langsung bisa mempraktekkannya, baik mulai dari proses penentuan bahan, mengukur perbanding, hingga proses pengirisan. PENUTUP Kesimpulan Secara umum, kegiatan pelatihan pembuatan Abon dan Bakso ikan laut ini berjalan sesuai rencana dan mendapatkan respon baik oleh masyarakat setempat, baik yang terdaftar sebagai peserta maupun yang tidak. Terlihat dari kemampuan peserta, life skill ini tidak terlalu sulit untuk dipraktekkan. Cuma yang menjadi permasalahan para peserta sekarang, meraka menginginkan pembentukan sebuah unit usaha yang akan menaungi keterampilan mereka, namun masih bingung dengan sistem manajemen dan modal, sehingga mereka masih mengharapkan bantuan. Oleh karena itu perlu ada lembaga-lembaga tertentu, baik dari pemerintah, perguruan tinggi, atau swasta untuk lebih memperhatikan kebutuhan dan kepentingan komunitas binaan ini. Saran Salah satu persoalan yang melanda masyarakat kelas bawah di NTB pada umumnya adalah ketidakberdayaan mereka pada sektor ekonomi. Permasalahan ini tentu berimbas pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Beberapa factor penyebab ketidakberdayaan ekonomi (miskin) masyarakat ini di antaranya adalah karena keterbatasan lapangan pekerjaan, tidak memiliki modal usaha, serta tidak memiliki keterampilan hidup yang dapat diandalkan untuk membuka usaha sendiri. Untuk itu, sebagai mitra masyarakat, khususnya perguruan tinggi perlu meningkatkan kegiatan pengabdian masyarakatnya melalui penugasan kelompok-kelompok dosennya, terutama melalui kegiatan-kegiatan yang dapat menciptakan life skill masyarakat dalam sektor ekonomi ini sebagai wujud pengamalan tri dharma perguruan tinggi.
34
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
35