Jurnal
Penelitian \s\
V ol.2, No. 1, 2 0 0 5
ru
u
i • •
• • • • • •
Kritik atas D e te rm inism e dalam Model Transisi Dem okrasi C o m p a riso n o f Th e Po litic a l Pe rc e p tio n s Betw een R a d ic a l Isla m a n d M o d e ra te Isla m in In d o n e sia in Th e R e fo rm Era P e m e rin ta h a n Su silo B a m b a n g Y u d h o yo n o d a n Po litik Lu a r N e g e ri In d o n e sia Po litik Lu a r N e g e ri P e m e rin ta h a n Su silo B a m b a n g Yud ho yo no te rh a d a p Ero p a D ip lo m a si B e la n d a d a n In d o n e sia d a la m Se n g k e ta Irian Ba ra t, 1 9 4 9 -1 9 5 0 : Se b u a h Ka jia n H istoris K o nflik Elite Po litik di Pe d e sa a n : R e la si a n ta ra B a d a n Pe rw a kila n D e sa d a n P e m e rin ta h D e sa Sika p In d o n e sia d a la m M e n g h a d a p i K e ja h a ta n Lin ta s N e g a ra : llle g a l Lo g g in g di K a lb a r d a n Ka ltim D in a m ik a M in o rita s M u slim di A m erika Se rika t
REVIEW BUKU M e m b o n g k a r K e te rlib a ta n P e ja b a t-p e ja b a t AS d a la m Se ra n g a n 9/11
Jurnal Penelitian
Vol. 2 No. 1, 2005
DAFTAR ISI 1
Catatan Redaksi Artikel •
Kritik atas Determinisme dalam Model Transisi Demokrasi Nanto Sriyanto
•
Comparison of The Political Perceptions Between Radical Islam and Moderate Islam in Indonesia in The Reform Era Firman N oor
•
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia
•
Politik Luar Negeri Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Eropa
Ratna Shofi Inayati
Agus R. Rahman
•
3-11
13-33
35-49
51-64
Diplomasi Belanda dan Indonesia dalam Sengketa Irian Barat, 1949-1950: Sebuah Kajian Historis Siswanto
65-72
Penelitian •
Konflik Elite Politik di Pedesaan: Relasi antara Badan Perwakilan Desa dan Pemerintah Desa
•
Sikap Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara: Illegal Logging di Kalbar dan Kaltim
Heru Cahyono
Awani Irewati
•
73-84
85-96
Dinamika Minoritas Muslim di Amerika Serikat Indriana Kartini
97-107
Review Buku •
Membongkar Keterlibatan Pejabat-Pejabat AS dalam Serangan 9/11 Rosita D ew i
Tentang Penulis
109-116 117
Catatan redaksi Dalam sejarah kehidupan berbangsa, rakyat Indonesia untuk pertama kali memiliki seorang pemimpin (baca: presiden) hasil pilihannya sendiri. Terlepas apapun kelemahan telah mengiringi prosesi pemilu presiden 2004 lalu, yang pasti dari kalkulasi berdemokrasi hal itu tetap merupakan peristiwa fenomenal yang patut dihargai. Pilpres berlangsung lancar dan aman. Gewaltpolitik (kekerasan politik) berhasil diminimalisir, kendati sulit “dinihilkan” . Setidaknya, prosesi pilpres berlangsung jauh dari karakter politik berdarah seperti biasa dialami India, yang selama ini disebut-sebut sebagai contoh negara paling demokratis di antara negara-negara berkembang. Fakta positif tadi menandakan betapa m assa akar rum put (grass root) kehidupan politik Indonesia sebenarnya telah mampu berdemokrasi. Justru, para elit politik yang tam paknya masih harus banyak belajar untuk bukan sekedar m em aham i, tetapi yang lebih penting adalah mengamalkan, ajaran-ajaran berdemokrasi. M asyarakat kini tinggal menanti bukti implementasi janji-janji presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY ) yang selam a kam panye seolah akan m am pu m engurai benang kusut problem atika bangsa. Setum puk persoalan harus segera m endapat penanganan serius dari pemerintahan SBY, mulai dari korupsi yang sudah sangat membudaya, illegal logging yang sangat akut, sampai pada persoalan penegakan kembali harkat bangsa dalam konstelasi politik internasional yang sempat m engalam i “keterpurukan” . M emang, tidak fair untuk menilai profil politik pem erintahan SBY dalam waktu kurang dari 1 tahun apatah 100 hari kerja. Apalagi berbagai bencana alam silih berganti, “m engganggu” konsentrasi kerja pem erintahan baru ini. Namun, realitas ini tak lantas dapat dijadikan alasan pengabsah ( raison d ’etre) untuk mentolerir pem erintahan SBY untuk tampil “sekedarnya” . M asyarakat punya harapan besar pada pem erintahan SBY, karena : (1). SBY telah sedemikian mempesona dalam menebarkan janji selama kampanye seolah ia adalah satrio piningit yang sengaja hadir di gelanggang politik Indonesia yang carut marut, untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan akut yang dialami negara, (2). SBY telah diberi legitimasi kuat oleh rakyat untuk melakukan gebrakan politik dalam m embangun negara. Dengan modal legitimasi tadi, maka tak ada alasan bagi SBY untuk ragu dalam menggelontorkan political will nya guna mengayunkan langkah-langkah reformasi di berbagai sektor negara, terutam a pada sektor yang selama ini mengalami kemandegan atau bahkan mengalami pembusukan politik (political decay). “Apa dan bagaim ana” tampilan politik pemerintahan SBY menjadi sorotan utama Jurnal Penelitian Politik - LIPI edisi ini, terutama tentang perspektif kebijakan luar negeri pemerintahan SBY. Kendati them a luar negeri sengaja ditonjolkan, namun isu-isu strategis dalam negeri tetap pula diberi bobot signifikan. Eksistensi Badan Perw akilan D esa (BPD) yang justru sangat problematik bagi pengembangan kehidupan demokrasi pada level desa misalnya, dikupas dalam edisi ini. Isu illegal logging yang sangat akut di wilayah perbatasan, dan saat ini sedang ditangani secara serius oleh negara, ju g a dibahas. Kedua them a tulisan tersebut bahkan diangkat dari penelitian em piris di lapangan oleh para peneliti P2P LIPI. Politik Islam , sebagai isu yang senantiasa m enarik untuk diwacanakan, dijadikan pula sebagai obyek diskursus kali ini. Isu Islam radikal dan Islam moderat dalam tataran nasional didiskusikan, bahkan merambah pula isu problematika Islam dalam konstelasi politik internasional, khususnya dengan Amerika Serikat. Redaksi berharap hadirnya tem a-tem a menarik dalam edisi ini, memberi kontribusi signifikan bagi pengem bangan wacana ilmiah dalam perpolitikan kita. Semoga. R E D A K S I
1
K ritik atas D eterm inism e dalam M odel Transisi D em okrasi Oleh: Nanto Sriyanto Abstract Democratization has spilled over to many new transitional countries. Democratization is a model firstly stated by Rustow in 1970’s to distinguish it from democracy. The Model assumes that genesis andfunction o f democracy is different. The model emphasizes dynamic role o f strategic actors or elite topromote democratization through bargaining process. Since then, the model has been modified with some ad hoc argument takenfrom new evidences. Since the model only give emphasize to dynamic role of strategic actors, it has produce deterministic conclusion. The determinism ofthe model is caused by disregard o f structural and non-political factor. Ifthe model is deterministic, can the liberal democracy that taken as ideal purpose ofdemocratic transition unboundedfrom determinism ofthe model? Is there another model of democracy that contains local aspect ofmany transition States?
Perubahan rejim di Eropa Tim ur telah banyak disebut sebagai sebuah kemenangan bagi demokrasi dan kebebasan. Antusiasme akan “demokrasi dan kebebasan” sedemikian besar hingga Fukuyama menyebutnya akhir dari sebuah sejarah dengan demokrasi liberal sebagai model tanpa tanding bagi peijalanan demokrasi Namun fakta hanya sedikitnya negara yang “berhasil” dalam transisi hakikatnya memberi jawaban bahwa perubahan itu bukanlah bukti kem enangan. Sejum lah negara yang telah meninggalkan bentuk otoritarianisme ternyata masih jauh dari sebuah dem okrasi, bahkan tanda-tanda surutnya demokrasi kembali ke bentuk otorititer masih terbuka. Perkembangan tersebut menimbulkan kesangsian dari para pengamat akan muara dari kondisi yang masih jauh dari cerah ini. Jumlah negara yang memulai demokratisasi memang mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut masih dibarengi dengan kemandegan di beberapa kasus. Dasawarsa 90-an ditandai dengan gelombang perubahan rejim di Eropa
1 Francis Fukyama, “The End o f History” , The National Interest no. 16 (1989), 3-18
Timur ditangkap secara positif sebagai bagian d a ri g e lo m b a n g d e m o k ra si y an g te la h b e rla n g s u n g s e ja k d a s a w a rs a 7 0 -a n . G elom bang tersebut kini berada pada titik susut ketika kemandegan, bahkan kemunduran, ke arah rejim otoriter kembali terjadi. Fenomena transisi menuju demokrasi ini dianggap sebagai sebuah rangkaian panjang yang telah terjadi dengan diawali perubahan sistem otoritarianisme di Eropa Selatan (Spanyol dan Portugal), Amerika Selatan, Amerika Tengah, hingga AsiaTimur. Bila pada gelombang terdahulu fa k to r d o m estik b eg itu b erp eran , m aka perubahan yang terjadi di Eropa Tim ur dan k em u d ian ju g a b e rim b a s ke In d o n e s ia merupakan sebuah bentuk baru dengan melihat besarnya pengaruh ekonomi politik internasional dalam perubahan rejim. Gelombang gerakan demokrasi yang mengubah rejim otoriter di berbagai belahan bumi berlangsung dalam rentang waktu yang panjang seiring dengan kem unculan sebuah model analisa transisi menuju demokrasi. Perbedaan rentang waktu dengan segala kondisi aktual yang berbeda membuat sebuah kacamata analisa yang dikandung paradigma
3
transisi demokrasi perlu untuk dikaji sesuai dengan perkem bangan terkini. Kehancuran sistem ekonomi politik komunis yang membuat negara-negara Barat “mengekspor” demokrasi mendorong semakin meluasnya demokratisasi di berbagai belahan dunia. Upaya negara-negara Barat untuk m enyebarluaskan demokratisasi tersebut diiringi dengan mengedepankan model demokrasi liberal sebagai model politik dan dibarengi dengan pengaitan bantuan ekonomi. Kapitalism e yang dikem bangkan di neg aranegara transisi diasumsikan akan menjadi faktor penekan bagi kembalinya sistem otoriterianisme dengan adanya tingkat kompetisi dan distribusi kem akmuran yang diatur oleh pasar. Pada kondisi demikian keterkaitan antara demokrasi dan ekonomi (kapitalisme) menjadi sebuah bagian dari rekayasa yang diterapkan di negaranegara yang tergolong dalam kelompok negara
merupakan kritik eksternal bagi determinisme model dem okrasi liberal yang diajukan oleh negara Barat. Di samping faktor-faktor di atas yang tergolong sebagai kondisi mutakhir dan model lain dari demokrasi yang layak dikembangkan di n e g a ra tra n s isi yang b e rg u n a d alam m em p ertan y ak an m odel tran sisi m enuju demokrasi, perlu diajukan kritik internal atas model tersebut. Kompatibilitas konsep model transisi m enuju dem okrasi perlu dikritisi fu n g sio n a lita sn y a d alam m em o tret arah perubahan rejim. Apakah kecenderungan pola yang diajukan telah sedemikian tepat atau perlu dilihat kem ungkinan perubahan arah dan kecenderungan lain yang mungkin berlaku. Termasuk di dalamnya konsekwensi kesimpulan dari model transisi menuju demokrasi yang menekankan pada dinam ika politik dengan
transisi. F aktor eksternal yang pada awal kemunculannya masih belum diperhatikan perlu ditempatkan lebih jelas sebagai faktor pendorong demokratisasi di era sekarang. Selain faktor ekonomi, faktor kultural turut diperhatikan dalam pengembangan demokrasi pada era pergantian milenium. Kondisi kultural yang khas di masing-m asing negara menjadi sebuah pertanyaan apakah kebudayaan dapat
mengabaikan faktor struktural dan non-politik. Ketiga hal di atas - kondisi mutakhir, kritik eksternal dan kritik internal- akan menjadi kajian yang mendasari uraian dalam tulisan ini. Dengan m enim bang ketiga hal tersebut dapat dilihat aktualitas model transisi demokrasi terhadap p e rk e m b a n g a n z a m a n , k e ta ja m a n dan kelemahan dari konsep utam a model transisi demokrasi serta kecenderungan dari arah proses
menjadi sebuah pendorong atau pengham bat berkembangnya demokrasi. Meski relativisme budaya pernah menjadi sebuah sanggahan bagi u n iv e rsa lita s d em o k ra si lib e ra l d en g an mencuatnya model demokrasi dengan latar nilai A sia (Asian Values) seperti yang pernah dikemukakan oleh negara di Asia Tim ur (dan juga Indonesia), pertanyaan tentang sejauh mana p erim b an g an lo k a lita s d em o k ra si p erlu dikembangkan menjadi sebuah titik penting bagi perkembangan demokrasi di berbagai negara yang sedang mengalami transisi. Lokalitas yang berlaku khas di suatu negara mendorong sebuah pertanyaan atas model demokrasi yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan negara
y an g te rja d i d an m o d e l y an g d a p a t dikembangkan. Pembabakan tulisan ini diawali dengan menguraikan sejarah kemunculan model transisi menuju demokrasi; bagian ini akan menguraikan bagaimana latar waktu kemunculan model ini berhubungan dengan konsep yang diajukan. Berlanjut pada bagian tentang perkembangan
yang sedang m engalam i transisi. H al ini
4
kondisi dunia dan penerapan model transisi m enuju dem okrasi pada kisaran pergantian milenium serta kom patibilitas konsep yang d ik a n d u n g o leh m o d el tra n s isi m en u ju demokrasi. Pada bagian akhir mencari bentuk dem okrasi yang m enjadi sandaran dengan melihat pada kemungkinan yang terpetakan dari kritik atas model transisi menuju demokrasi.
Transisi Menuju Demokrasi: Dari Rustow hingga O ’Donnell Wacana “Transisi menuju Demokrasi” dimulai pada awal dekade 1970-an dengan kemunculan artikel Dankwart A. Rustow yang beijudul, “Transitions to Democracy: Toward a Dynamic M odel,” dalam jurnal Comparative Politics edisi A pril 1970. P erm asalah an demokrasi dan demokratisasi mencuat dengan adanya perkem bangan marksism e di Afrika, k e te rlib a ta n m ilite r d alam p o litik , dan kemunculan kelompok kepentingan di Uni Soviet. Artikel tersebut mencoba menjawab pemecahan perm asalahan tersebut dengan pendekatan analitik dan teoritis sebagai alternatif kegamangan kebijakan dan literatur yang ada.2 Asumsi yang berkembang dalam literatur saat itu adalah kesamaan antara faktor pendorong demokrasi dengan faktor yang mendukung kelangsungan demokrasi. Koreksi Rustow adalah dengan mengajukan asumsi bahwa faktor yang m enciptakan stabilitas dem okrasi berbeda dengan faktor yang mendorong terciptanya demokrasi. Rustow m erasum si,: “the f actors
that keep a democracy stable may not be the ones that brought it into existence; explanations o f democracy must distinguish between function and genesis. ” H al ini memberikan sebuah bidang kajian yang berbeda antara demokrasi dengan transisi demokrasi. Analisa transisi demokrasi yang diajukan Rustow menekankan pada tawar-menawar aktor strategis dalam dinamika proses perubahan bukan pada stabilitas dan pelaksanaan fungsi lem baga dem okrasi. D alam skem a dem ikian pusat pengamatan adalah terbukanya ruang konflik kekerasan dan persaingan sekaligur perebutan kekuasaan, dan pilihan yang dimiliki oleh aktor politik yang mempunyai kekuatan menentukan arah dem okratisasi di sebuah negara yang mengalami transisi.3 2 Lisa Anderson, “Introduction”, dalam Lisa Anderson (ed.), Transitions to Democracy, (Columbia University Press, 1999, http://www.ciaonet.org/book/anderson/ anderson01.html, 10 May 2004)
3ibid
Kondisi yang berkem bang di negara kajian pada tahun 1970-an masih jauh dari pra kondisi bagi dem okratisasi yang mencakup adanya sistem ekonom i dan sosial yang kondusif. Masih rendahnya taraf kemakmuran dengan indikasi pendapatan perkapita dan tingkat pendidikan sebagai bentuk kesadaran po litik m endorong R ustow m engabaikan prakondisi dan lebih menekankan pada satu latar belakang yang dinilai olehnya terdapat di banyak negara pra-dem okrasi: kesatuan nasional (national unity). F a k to r te rs e b u t yang merupakan dukungan warga negara pada satu bentuk komunitas politik, yang menurut Rustow, dapat menghasilkan perseteruan yang berujung kompromi atas lem baga politik. Perseteruan tersebut akan berbeda dengan perang saudara. Bentuk perseteruan tersebut yang diajukan sebagai model demokrasi di negara pra-modem, pra-nasionalism e dan tingkat ekonomi yang rendah. Pada tahap pertama, yang disebut dengan tahap persiapan (prepatory phase) perseteruan akan mendahului terbentuknya kompromi dalam w ad ah lem b ag a d em o k ra tis. K elo m p o k pendukung demokrasi harus menjadi pelindung bagi kekuatan sosial yang berseteru (battle) dalam medan yang luas dan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Perseteruan tersebut mencakup medan budaya, kelas sosial, etnis dan agama. Tahap persiapan dapat berlangsung meski dengan adanya keragam an kondisi stru k tu r sosial di n egara pra-dem okrasi. Keragaman kondisi sosial menurut Rustow tidak signifikan sebagai faktor terjadinya tahap persiapan. Kelanjutan tahap persiapan adalah sebuah kondisi kebuntuan (stalemate) yang terjadi karena elit yang berkuasa kelelahan oleh perseteruan yang berlangsung. Pihak elit tidak memiliki pilihan lain bahwa kepentingan mereka sebaiknya dikompromikan melalui perwujudan lembaga demokrasi dibandingkan melanjutkan perseteruan. K em unculan dem okrasi tidak terjadi serta-merta dengan usainya tahap latar belakang dan persiapan, kemunculan baru teijadi
5
pada tahap penentuan. Pada tahap penentuan yang menjadi faktor utam a bukanlah faktor struktural dan kultural, Rustow lebih menlai faktor pilihan, persepsi, kecederungan, dan keterampilan tawar-menawar indvidual di antara elit politik sebagai faktor penting bagi lahirnya demokrasi. Penilaian Rustow tersebut diikuti oleh banyak pihak dari kalangan akademisi dan praktisi dengan menitikberatkan analisa pada pilihan, kecenderungan dan tawar-m enaw ar dibandingkan ham batan, kepentingan, dan perjuangan kelas. Tahap selanjutnya adalah konsolidasi demokrasi yang disebut oleh Rustow dengan habituation phase. K o n so lid asi berlangsung dengan adanya komitmen dan kepercayaan pada prosedur demokrasi namun juga berkat adanya dukungan luas dari warga negara yang telah m enyatu dengan struktur demokrasi yang sedang terbentuk. Pada tahap ini pula berlaku fak to r stru k tu ral dalam mendukung proses integrasi seluruh komponen bangsa dalam demokrasi baru. Pada tahap ini konsolidasi tidak hanya melibatkan peranan elit namun mencakup seluruh komponen bangsa hingga lapisan massa. M o d el R u sto w in i k e m u d ia n dikembangkan oleh Gulermo O ’Donnell dkk. dengan titik b erat yang sam a pad a p o la perkem bangan transisional.4 Perbedaan dari model yang dikembangkan oleh O ’Donnell adalah upaya menjadikan dem okrasi bukan sebuah determinan dari sebuah perubahan dari rejim otoritarian. O ’D onnell m elihat sebuah peluang surutnya dem okratisasi ke bentuk otori teri ani sm e b aru dalam b en tu k yang d is e b u tn y a se b a g a i dem ocraduras dan dictablandas. P a d a b e n tu k re jim democraduras terjadi sebuah pem erintahan yang buruk dengan m asih m engandalkan p e m ilih an um um seb ag ai sa ra n a u n tu k memperoleh legitimasi namun terdapat alienasi
“Guillermo O’Donnell, Philippe Schimiter, and Laurence Whitehead (eds.), Transition from Authoritarian Rule (Baltimore: John Hopkins University Press, 1986)
6
massa yang dibentuk oleh penguasa. Pada rejim dem ocraduras O ’D o n n e ll m a sih m e n g a n g g a p n y a s e b a g a i b e n tu k re jim demokratis, sedangkan rejim dictablandas, dengan ciri sebuah legitimasi dari pemilihan umum yang cacat dan pembatasan kebebasan politik, O ’Donnel menyebutnya sebagai sebuah rejim yang tid ak d em o k ratis. O ’D o n n ell dkk. menekankan pentingnya legimasi rejim melalui pemilihan umum. P e m ilih a n u m u m y an g m e n jam in kebebasan politik meski dilakukan dalam sebuah rejim abu-abu akan dapat menjadi sebuah langkah lepas dari kungkungan rejim otoriter.5 Pemilihan umum yang tetap menjamin kebebasan politik merupakan sebuah langkah pragmatis dalam mencegah rejim otoriter untuk kembali b e rk u a s a d an m e n ja g a k e la n g su n g a n p e rk e m b a n g a n re jim a b u -a b u ke arah demokratisasi. M odel yang diajukan O ’Donnell masih m e la n ju tk a n m o d e l R u sto w d en g an mengabaikan faktor struktural. Dengan alasan bahw a perkem bangan literatur yang menjadi landasan modelnya tidak mencakup faktor non politik sehingga m odelnya terkesan hanya m e n ek an k an asp e k p o litik dari sebuah perubahan rejim. Sementara mengenai faktor ekonomi dalam perubahan rejim O ’Donnel mengutip penelitian Adam Przeworski yang menyatakan rendahnya korelasi antara faktor ekonomi dalam proses demokratisasi. Faktor ek o n o m i te rlih a t sig n ifik an p ad a u p ay a mempertahankan kelangsungan demokrasi.6 M eski O ’Donnell m engacu pada arah perubahan rejim pasca runtuhnya rejim otoriter yang dianggapnya berbeda dengan model transisi yang dikem ukakan oleh Rustow. Kesam aan yang jelas nam pak pada upaya memetakan tahapan perubahan rejim dengan
5 G uillerm o O ’D o n n ell, “In Partial D efen se o f an Evanescent ‘Paradigm’”, (Journal of Democracy, Vol. 12 No. 3, Juli 2002), hal. 9 6 Przeworski dalam O’Donnell, ibid, hal. 10
sedikit perbedaan pada upaya O ’Donnell untuk lepas dari determinisme demokrasi. O ’Donnell dkk. yang melakukan penelitian pada waktu se su d a h R u sto w m e n e m u k a n a d a n y a kemungkinan tahapan rejim abu-abu yang bisa menjadi titik balik ke otoritarianime atau titik tolak menuju demokratisasi.
“Transisi Demokrasi” di Ambang Milenium Baru Perkembangan wacana mengenai transisi demokrasi kembali diulas pada tahun 1999 dengan maksud mengenang jejak yang telah d ile w a ti se ja k R u sto w p e rta m a k a li mengeluarkan artikel di Journal o f Democracy. D alam kompilasi yang dieditori oleh Lisa Anderson dalam buku yang beijudul ‘Transitions to Democracy” diulas kembali aktualitas dari teori tentang perubahan rejim.7 Ulasan yang diberikan masih mengacu p a d a d in a m ik a p e ru b a h a n re jim y an g menekankan pada pilihan, kecenderungan dan tindakan elit dengan juga membuka hubungan elit dengan massa. Titik tolak yang menekankan dinamika seperti yang dilakukan oleh Rustow ini masih juga melanjutkan tradisi yang menafikan faktor struktural dalam proses perubahan rejim. Analisa yang menekankan pada tawarm enaw ar antar elit dalam sebuah bingkai kelembagaan transisional menjadi salah satu faktor yang disoroti. Peran hubungan antara elit dengan massa dalam bentuk dukungan populis ju g a d ilih a t seb ag ai fa k to r y an g d ap at menurunkan peluang pembentukan demokrasi. Meski di sisi lain, dukungan luas dari massa akan dapat meningkatkan posisi tawar bagi elit dalam menghadapi kelompok status quo. Faktor struktural yang dimunculkan oleh R u sto w p a d a ta h a p k o n s o lid a s i ju g a dikemukakan kembali sebagai faktor yang berperan * F aktor struktural dapat m ejadi penghambat bagi perluasan demokrasi liberal
7 Lisa Anderson (ed.), Transitions to Democracy, (Columbia University Press, 1999, http://www.ciaonet.org/book/ anderson/andersonOl.html, 10 May 2004)
kepada bentuk pelembagan demokrasi sosial atau yang lebih bersifat partisipatoris. Faktor ekonomi kapitalis disimpulkan sebagai faktor yang mendukung demokratisasi dengan melihat pengaruh konfigurasi kekuatan internasional. Globalisasi dan kapitalisme internasional menjadi salah satu pendorong penyebarluasan demokrasi liberal dan menurunkan kecenderungan negara untuk m engadopsi model demokrasi sosial. B erhubungan dengan g lo b alisasi, terk ait p e n g a ru h e lit y an g b e rk u a s a te rh a d a p keberhasilan demokratisasi. Kelompok elit yang berkuasa dapat m enjadi faktor yang lebih determ inan dibandingkan perubahan yang berlangsung dari bawah. Hal tersebut terkait dengan keberadaan faktor eksternal sebagai pengontrol dan pendorong elit yang berkuasa. Faktor eksternal tersebut antara lain dukungan in te rn a s io n a l d an e fe k b e ra n ta i dari perkembangan demokrasi di kawasan tertentu. Pencetusan kembali model transisi di pergantian milenium inijuga menyoroti tahap abuabu. Bentuk demokrasi virtual yang mengacu pada dem okratisasi di daerah sub-sahara merupakan temuan bagi kondisi abu-abu. Proses demokratisasi di wilayah tersebut terkait dengan perubahan konfigurasi kekuatan internasional dan perubahan sikap elit yang berkuasa di wilayah itu untuk m endapatkan patron baru. G una m encapai tujuan tersebut elit yang b erk u asa dengan serta m erta m elakukan peru b ah an yang terk esan sesuai dengan demokratisasi yang diharapkan negara donor. Pada kenyataan yang terjadi, sebuah proses penghisapan kemakmuran baik dari sumber domestik maupun internasional yang dilakukan oleh e lit yang b e rk u a sa yang ja u h d an akuntabilitas. Faktor yang kemunculannya baru dalam tradisi model transisi adalah faktor negara. Peranan negara dalam transisi demokrasi teijalin dalam hubungan kom pleks dalam sebuah penentuan bentuk peranan negara yang perlu direposisi dalam konteks perubahan rejim. D alam kasus yang terjadi di Eropa Timur, peranan negara yang sedemikian besar pada era
7
rejim komunis perlu direposisi sedemikian rupa sehingga menempati posisi yang jauh lebih minimal dalam mengantisipasi pembahan rejim ke arah yang lebih demokratis. Kondisi ini menimbulkan sebuah biaya pembahan yang tidak sedikit yang terkait dengan dukungan m assa kepada elit. Pada titik ini reposisi peran negara ju g a m em unculkan kem ungkinan transisi demokrasi di antara varian negara lemah dan negara kuat.
Determinisme dalam Dinamika & Pengabaian Faktor Struktural: Kritik Internal M o d el tra n s is i d e m o k ra si s e ja k dicetuskan oleh R ustow (1970), dengan kelanjutan pada O ’Donnell dkk. (eds.) (1986) hingga A nderson (eds.) (1999) m em iliki kecendem ngan konsentrasi dinam ika politik pada tarik-ulur kepentingan diantara elit dengan massa sebagai alat legitimasi. Tarik-ulur yang dalam istilah Rustow disebutkan dengan battle yang berujung bila telah dicapai kelelahan di antara elit yang pro status quo dengan elit yang mewakili dukungan massa. Upaya model untuk memetakan tahapan demokrasi berlangsung dari sebuah langkah deterministik pada model transisi Rustow dengan menegaskan demokrasi adalah sebuah solusi yang mungkin dari proses chaotic yang “w ajar” terjadi dalam transisi rejim. Koreksi atas determinisme berlanjut pada upaya O ’Donnell untuk membuka peluang bagi adanya kecenderungan proses dem okratisasi untuk mengalami stagnansi atau berbalik arah ke bentuk o to rite ria n is m e . A n d e rs o n k e m u d ia n menegaskan peran negara yang selam a ini diabaikan dalam model transisi, yang bahkan O ’Donnell luput memperhitungkan kemungkinan variasi negara kuat-lemah dalam proses transisi rejim. Pada model transisi rejim O ’Donnell, transisi rejim diasum sikan terjadi ditengah berfungsinya tugas negara, bukan pada negara yang gagal (failedStates). Namun, dari beberapa kasus seperti yang terjadi di Indonesia, transisi diawali dengan
8
melemahnya fungsi negara (elit yang berkuasa) yang kemudian dilanjutkan dengan upaya oposisi untuk menggoyahkan posisi elit yang berkuasa ditengah semakin lemahnya fungsi negara. Bila di Indonesia penurunan peran negara kemudian di pilih untuk melakukan perubahan dari rejim otoriter, yang sebaliknya teijadi di negara Eropa Tengah dan Timur. Di negara-negara yang sebelum nya kekuasaan negara begitu besar hingga merambah hingga ke berbagai sendi kehidupan pribadi warga negara, upaya untuk mereposisi peran negara dengan menurunkan peran birokrat menjadi dilematis. Penurunan peran birokratis akan meningkatkan social cost yang ditanggung oleh massa. Pada kondisi seperti ini terdapat kesempatan elit konservatif untuk menuai perhatian massa dengan mengritik upaya penurunan peran birokrat. A nderson dkk. ju g a m elihat konstelasi kekuatan internasional sebagai sebuah faktor yang tidak bisa diabaikan. Tidak lepas dari perk em b an g an d u n ia p asca ban g k ru tn y a komunisme, negara Blok Barat mengedepankan demokrasi liberal sebagai model ideal dalam proses transisi rejim. Semangat m engekspor demokrasi liberal yang dilekatkan pada model transisi memberi peluang model yang seharusnya “ilm ia h ” k em b ali te rje b a k p ad a sebuah determinisme dengan menempatkan demokrasi liberal sebagai satu-satunya model. Hal ini bisa dikaitkan dengan keberadaan “democratic peace thesis” dalam kajian hubungan internasional yang menjadi program penelitian banyak ilmuwan di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Asumsi dari “democratic peace thesis ” yakni peluang pecahnya perang di antara sesama negara demokratis lebih kecil dibandingkan peluang teijadinya perang diantara negara demokrasi dengan negara non-demokrasi atau p u n n e g a ra n o n -d e m o k ra si d en g an sesamanya. Thesis yang berakar dari pemikiran Imanuel Kant ini mendapat tempat luas sesudah bencana dua perang dunia dalam rentang waktu singkat di awal abad 20. Traum a atas perang mendorong sejumlah kelompok ilmuwan untuk
mendorong penyebarluasan demokrasi dan pertambahan jum lah negara demokrasi demi m encegah perang dunia yang lebih parah akibatnya. Berdasarkan thesis tersebut kecil peluang bersandingnya negara dem okrasi dengan negara non-demokrasi secara damai. Di sisi lain, model demokrasi yang dikembangkan masih terbatas pada pengalaman barat dalam berpolitik sehingga idealisasi demokrasi liberal menjadi kabur. S ejum lah d eterm in asi yang terjadi sesungguhnya kontradiktif dengan penekanan pada dinamika elit sejak model Rustow yang berlanjut hingga Anderson. Sebuah analisa yang berpegang pada proses dinam ika dan aktor seharusnya memberi peluang bagi terbukanya probabilitas yang jauh lebih variatif dibandingkan sebuah analisa strutural yang mengasumsikan berlakunya sebuah “aturan perm ainan” bagi aktor. K ontradiksi tersebut adalah sebuah determinisme yang terjadi pada sebuah analisa yang berpusat pada agen, sedangkan yang lazim dikritik dengan kecenderungan determinisme adalah analisa yang bersandar pada model struktural. Pengabaian faktor struktural seperti yang disinggung di beberapa poin diatas jutsru m enim bulkan kelem ah an m odel dengan munculnya faktor-faktor ad-hoc yang cenderung terabaikan. Peranan faktor negara yang baru dikemukakan pada model Anderson merupakan salah satunya. Penekanan peranan elit dan p en g a b a ia n k e m u n g k in a n te rb u k a n n y a preferensi elit dengan mengandaikan adanya demokrasi sebagai tujuan- pada model rustow terutama- menjadi salah satu sebab terabaikan peluang terciptanya kondisi abu-abu. Tak bisa diabaikan model transisi memiliki kegunaan praktis dengan melihat dinamika elit sebagai penentu arah perkembangan rejim dalam sebuah negara. N am un m enem patkannya sebagai sandaran saran kebijakan dengan hanya menekankan aspek perebutan kekuasan dalam w ilayah yang luas dan w aktu yang tidak terkirakan hanya akan m enimbulkan sebuah
anarki dalam ranah politik dom estik yang semestinya berlangsung untuk mengacu pada pembentukan legitimasi dan akuntabilitas.
M odel D em ok rasi d en gan B erb agai Kemungkinan Model Ideal: Sebuah Pertanyaan Demokrasi memiliki banyak wajah seiring dengan berkem bangnya ide akan sebuah hubungan antara kebebasan dan ketertiban dalam sebuah komunitas bersama. Tarik ulur antara kebebasan invidu dengan kekuatan negara telah lama menjadi sorotan. Pada zaman Yunani Kuno ketika kekuatan massa begitu besar hingga menyebabkan negara tersudutkan dengan kew enangan yang semakin terbatas. K ondisi tersebut terjadi karena lem ahnya moralitas dan kepemimpinan yang menggusarkan Plato untuk mengajukan model lain.8Jika pada zaman yang menurut para sejarawan dianggap sebagai zaman tempat demokrasi pertama kali diidealisasikan sebagai model pemerintahan telah mendapat kritik maka di zaman ini pun perlu upaya kritis dalam m entukan titik tem u kebebasan dan ketertiban dalam sebuah negara. K ondisi Indonesia pada tahun 2004 m en u ru t p en elitian yang dilakukan oleh lembaga Demos bisa menjadi sebuah potret dari belum d icap ain y a titik tem u antara keb eb asan dan ketertib an dalam sebuah negara. Kondisi kebebasan sipil dan politik relatif lebih tinggi dan terjamin dibandingkan era terdahulu. Peningkatan pencapaian aspek esensial dem okrasi tersebut tidak dibarengi dengan keberhasilan dalam pem bentukan aspek instrumental demokrasi. Masalah hakhak sosial-ekonom i w arga negara, kontrol p e m e rin ta h a n s ip il te rh a d a p m ilite r, perlindungan hak anak, pem erintahan yang bersih, pem berantasan korupsi dan partai politik yang bersuara demi konstituen masih menjadi “hutang” dalam sebuah kerja besar demokrastisasi di Indonesia. Sehingga bila d e m o k ra si d ik a itk a n d e n g a n m a sa la h
Georg Sorensen, Democracy and Democratization, (Colorado: Westview Press, 1993), hal. 2
9
harmonisasi kebebasan dan ketertiban maka hal tersebut, m enurut hasil penelitian Demos, m e n e g a sk a n b a h w a d e m o k ra si dan d em okratisasi bukan m erupakan sem ata persoalan liberalisasi politik.9 Demokrasi telah berkembang sedemikian mpa sehingga tidak lagi bisa berdiri tanpa sebuah ajektifa menemaninya untuk dapat menegaskan sosok dirinya. Namun, menyandangkan sebuah liberalisme sebagai satu-satunya ajektifa yang layak tentu sebuah penafian bagi keluasan demokrasi dan keragaman yang seharusnya dikandung dalam sebuah model demokrasi. T e rm a su k d a la m k e ra g a m a n a d a la h kemungkinan pengem bangan sebuah model dengan variasi antara kebebasan individu dan kewenangan negara dengan menekankan pada budaya setempat. Eksperimen instrumentalisasi nilai esensial dari demokrasi yang dikandung oleh budaya lokal dapat menjadi sebuah awal dari penemuan demokrasi dengan wajah lokal di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokrasi juga tidak bisa diabaikan dari faktor ekonomi dan budaya. K ondisi k etertin g g a lan ekonom i n eg ara berkembang yang berujung pada lem ahnya kotrol massa terhadap elit dikarenakan masih jauh dari mencukupi kebutuhan dasar. Kondisi ini membuat negara-negara berkembang lebih m em enting kan kebutuhan d asar di atas kepentingan perubahan rejim politik.10Kritik atas model transisi yang disam paikan oleh Thomas Carothers dalam artikel “The End o f the Transition Paradigm” antara lain adalah pengabaian model transisi terhadap kondisi khas yang terjadi di masing-masing negara transisi tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada pembentukan dan proses demokratisasi. D e m o k ra tis a s i n e g a ra d e n g a n ketertinggalan ekonomi telah menjadi perhatian
d e n g a n m u la in y a u p a y a p e n g e n ta s a n ketertinggalan ekonomi sebagai prasyaratbagi demokratisasi. Model Rustow dan O ’Donnell lahir dari sebuah sebuah terobosan dari asumsi prasyarat demokrasi yang terkait dengan faktor sosial dan ekonomi. Dengan mengabaikan untuk sementara, faktor sosial ekonomi tersebut, Rustow m engupayakan pencapaian model politik transisi rejim yang lebih sederhana (parsimony). Namun perkembangan globalisasi dan ekonomi dunia tak dapat lagi mengabaikan peran fak to r sosial ekonom i. Sedangkan demokratisasi dengan beragam nilai dasar yang dikandung sehingga berbagai negara dengan beragam bentuk demokrasi dapat bersanding dalam sebuah masyarakat internasional. Hal tersebut hanya sebuah pertanyaan, sesudah kilas b alik betap a transisi yang diandaikan dalam model transisi Rustow dan O ’Donnell terantuk determinisme sempit.
Daftar Pustaka A nderson (ed.)„ Lisa, 1999, Transitions to Democracy, Columbia University Press, http://w w w.ci aonet.org/book/anderson/ anderson01.html, 10 M ay 2004 C a ro th e rs , T h o m a s, 1996, “ W h ich Dem ocracy?”, http://www.iranian.com/ S e p 9 6 /o p in io n /W h ic h D e m o c ra c y / WhichDemocracy.html, 21 Januari 2005 F u k y am a , F ra n c is , 1989, “ T he E n d o f H istory” , The National Interest no. 16 1989. G u illerm o O ’D o n n ell, 2002, “In P artial Defense of an Evanescent ‘Paradigm ’”, Journal o f Democracy, Vol. 12 No. 3, Juli 2002 G uillerm o O ’D onnell, Philippe Schimiter, and Laurence W hitehead ( e d s .), 1986,
Transition from Authoritarian Rule, 9 Majalah Tempo, Lembar Sisipan Demos, 10 Oktober 2004, hal. 60 10 ibid, hal. 11
10
Baltimore, John Hopkins University Press
Haris, Syamsuddin, “ Potret Partai dan M asa Depan D em okrasi”, Kompas, Senin, 08 September 2003
S orensen, G eorg, 1993, Democracy and Democratization, Colorado, Westview Press
M ajalah Tempo, Lembar Sisipan Demos, 10 Oktober 2004.
Wibowo, I, “MemaafkanDemokrasi? * Sebuah Tanggapan Balik” , Kompas, Kamis, 13 November 2003
11
Comparison of The Political Perceptions Between Radical Islam and M oderate Islam in Indonesia in The Reform Era Oleh: Firman Noor Abstrak Era reformasi telah menjadi saksi bagi munculnya beragam bentuk pemikiran dan aksi politik yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Secara umum aksi dan pemikiran itu diwakili oleh dua model pandangan, yakni pandangan radikal dan moderat. Kalangan radikal, yang dalam tulisan ini diwakili oleh beberapa ormas Islam kontemporer berpandangan bahwa agama Islam memiliki sebuah alternatif yang kongkrit bagi bangsa Indonesia untuk menuju sebuah perubahan, sehingga sudah sepantasnya jika ajaran Islam diaplikasikan secara kaffah (menyeluruh). Sementara kalangan moderat, yang diwakili oleh partai politik Islam, meski secara umum menyetujui bahwa Islam memiliki konsep didalam kehidupan politik, berpandangan bahwa aplikasi yang hendaknya dilakukan harus bersifat kontekstual dengan melihat kenyataan sejarah dan keragaman sosial dan budaya bangsa. Tulisan ini berupaya untuk membedah pemikiran politik kedua kelompok ini dengan mengetengahkan persepsi keduanya seputar masalah peran Islam dalam politik, hubungan syari’ah dan negara, keberadaan Pancasila dan demokrasi. T he co llap se o f the N ew O rd er in Indonesia has provided extensive freedom for Muslims to express their political interests. The resurgence of Islam in the R eform era, at a philosophical level, has revived some old discussions about the relations between Islam and politics, including the issues related to Syari’ah Islam (Islamic Law) and an Islamic State. M eanw hile, in the practical context, such resurgence has also highlighted some interesting facts, one of them being the phenomenon of the revival of the Islamic political parties and the presence of radical Islamic mass organizations which to some extent have some opposite aims.1 Thus, the reform era has been a witness of two models of Islamic political expression which to some extent dominate the political face of Islam in Indonesia. On the one hand, through their political parties, Islamic communities have*
Khamami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ortnas Islam Garis Keras di Indonesia, (Bandung: Teraju, 2002), pp.77-78.
demonstrated their capability to run a democracy by com peting peacefully in the elections and parliament, within the framework of the Republic of Indonesia and the spirit of nationalism. On the other hand, some Islamic groups, represented in particular by some new Islamic organizations, c o n d u c t d e m o n stra tio n s an d a c tiv itie s , sometimes using violence, while encouraging the idea of the establishm ent of Syari’ah Islam (.Islamic Law ) and an Islam ic State. These expressions basically indicate two faces of Islam in the reform era, which not only demonstrates two different m ethods but also importantly reflects the existence of two kinds of Islamic perceptions. With regard to such phenom ena, this paper will com pare political perceptions of political parties and some radical Islamic social organizations. These perceptions mainly are assumed as an important basis for their political statements and actions.
13
There are two main issues that will be discussed: the State and democracy. The reason for observing these issues is simply because these are elements which have become the basis for political thinking on the part of some people or groups. Moreover this paper will observe some Islamic political parties namely Partai Persatuan Pembangunan (United Developm ent Party/ PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (National A w akening P arty/PK B ), P artai K eadilan Sejahtera, (Prosperous Justice Party/PKS) and Partai Amanat Nasional (National M andate Party/PAN)2; and some Islamic organizations such as Front Pembela Islam (Islamic Defender Front/FPI), Forum Komunikasi Ahlusunah Wal Jamaah/Lasykar Jihad (Communication Forum ofthe Followers of the Sunnah and the Community of theProphet/FKAWJ and JihadilslamistMilitia/ U ) and Majelis Mujahidin Indonesia (Indonesian Mujahidin Council/MMI). It is important to note that obviously each political party and Islamic society organization conducts and believes in various visions and specific objectives. However, while there are some differences perspectives and approaches and actually no sorts of media that formally bind all parties or organizations into the specific groups, each new Islamic organization in the n atio n al p o litic al realty to som e ex ten t demonstrates similar actions and opinions, and
2 Some people might reject the existence o f PAN and PKB as Islamic Parties but some observers still believe that PKB and PAN can be regarded as Islamic Parties. They use some label for those parties such as “Islamic Pluralist Parties”, “Islamic Spatial Parties”, “Islamic Moderate Parties” or “Islamic Inclusive Parties”. See for example in Greg Fealy, “Islamic Politics: A Rising or Declining Force”, in Damien Kingsbury and A rief Budiman, Indonesia the Uncertain Transition, (Adelaide: Crawford House Publishing). See also Kuntowijoyo, “Peta Politik bagi Umat”, in Deliar Noer, et.al, Mengapa Partai Islam Kalah?, (Jakarta: Alvabet, 1999). M. Arsekal Salim, “Fragmentasi Partai Islam”, Kompas, 26 Juni 1999. Zainal Abidin Amu,op.cit,. Kamarudin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi, (Jakarta: Visi Publishing, 2003), Lili Romli, dissertation, Partai Politik Islam Era
Reformasi dan Piagam Jakarta Dalam Sidang Tahunan MPR 2000, (Faculty o f Social and Political Science, Universitas Indonesia, 2001).
14
this also occurs in the case of political parties. Thus it is possible to categorize them in to two different groups. It is also important to understand that these new Islamic organizations are actually not representing all Islamic organizations in Indonesia. Their existence actually merely represents some similar organizations and even though they are minority, the existence of these groups proves the presence of radical Islam in Indonesia. Moreover, before observing each group, I will first examine some defmitions about radical Islam and moderate Islam.
Radical Islam In an academic context, the term “Radical Islam ” sometimes is expressed in other ways. Some scholars use different terms, for example, “ fu n d a m e n ta lism ” , “re v iv a lis m ” , “neorevivalism”, “neo-fundamentalism”, “Islamist”, “conservative Islam”3. Meanwhile in Indonesia this group sometime is labeled as “IslamMilitan” (M ilitant Islam ), “Islam formalistik” (Islam F orm alistic), “Islam T o talistik ” (Islam ic Totalistic), “ Islam kanan” (R ight Islam ), “ F u n d a m e n ta lis m e I s la m ” (Is la m ic Fundam entalism ), “Islam Skriptualisme ” , (Islamic Scriptualism ), or “Islam Radikal” (Islamic Radical)4*. In general these terms are
3See for example John L. Esposito, The Islamic Threath: Myth or Realityl, (New York: Oxfod University Press, 1992.), Lawrence D avidson, Islamic Fundamentalism, (Connecticut: Greenwood Press, 1998), Robert W Hefner, “Islam in an Era of Nation-States, Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia”, in Robert W. Hefner (ed.), Islam in an Era of Nation-States, (Hawaii: University of Hawaii Press, 1997), pp.3-40. Mansoor Moaddell and Kamran Talattof, eds., Moderate and Fundamentalist Debates in Islam, (New York: Palgrave 2002), see also Oliver Roy, The Failure of Islamic Politics, and Basam Tibbi, The Challenge of Fundamentalism, Jamhari and Jajang Jahroni, (eds.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), Anthony Bubalo and Greg Fealy, Joining the Caravan? The Middle East, Islamism and Indonesia, (Alexandria: Lowy Institute for International Politcy, 2005). 4 Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, in Ulumul Qur’an, No.2 Vol. IV, 1993. M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam
Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), pp.143184. Bachtiar Effendy, Islam dan Negara Transformsi
applied to designate new Islamic groups in the contemporary era, from 1960s up to now, which to some extent have different activities and thoughts from the previous Islamic mainstream groups. The meaning of Islamic radical might show a discrepancy, but even though there is no single definition, principally the tendency to implement uncompromising, literal andextreme approach, in understanding Islam andconducting their ideal, sometimes committed to use violence ways are viewed as common attitudes for the radical. M o re o v e r th e se g ro u p s h av e a ty p ic a l characteristic and basically attempts to seek a new synthesis of thinking which is basedon Islamic sources and try to find similarity from Islamic history and offer it as an altemative paradigm (dilferent from the West) to be the basis for Islamic communities in creating Islamic institutions (such as govemment, education, social andeconomic institutions)5. In the political context, Fazlur Rahman indicates that radical groups, similar with the moderates, acknowledge the role of Islam in politics. Nevertheless, different to the moderates, these groups are essentially eager to revitalize the existence of the Islamic communities of the past. The radicals regard the historical experience of the Islamic community, mainly at the start of Islam, as the only authoritative condition for Muslims6.
Pemikiran Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1999). Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundam entalism e dalam P olitik Islam, Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat-i-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999). Martin Van B ruinessen, “G en ea lo g ies o f Islam ic Radicalism in Post-Soeharto Indonesia”, South EastAsia Research, 10,2, pp. 117-154. Greg Fealy, “Islamic Radicalims in Indonesia: The Faltering Revival?”, in Southeast AsianAffairs 2004, (Singapore: ISEAS, 2004). R William Liddle, “Skriptualisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, in Mark R. Woodward (ed.), Jalan
Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: M izan 1999), Barton, Greg, Indonesia ’s Struggle Jemaah Islamiyah and The Soul of Islam, (Sydney: UNSW, 2004). 5 John L. Esposito, Ancaman Islam, Mitos atau Realitas? (Bandung: Mizan,1994), pp.134-135.
6 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Ganesha, 1984), p. 338.
Meanwhile According to some observers there are at least seven characteristics of this group7*. (1) Believing Islam to be a totalistic, comprehensive and holistic doctrine. This means all dimensions of human life have been arranged in Islam. (2) Their tendency to believe in the integral relations between Islam and the State. (3) Im p lem en tin g literal ap p ro ac h es to understanding Islam and believing in Islamic teachings literally. (4) Considering that the precedent of the era of the Prophet is the best and ideal reference for human kind for all time. (5) Having a strong tendency to promote Islam as an altemative ideology for Western Ideologies (which are regarded by them as destructive theories for the world). In the same context, they also refuse to use Western terms. (6) Regarding the concept of pluralism in a narrow perspective, by considering the Islamic faith as the only key factor that distinguishes Muslims groups from other groups. (7) Fighting for their interests by using Islamic symbols and radicalization. Based on these characteristics, this group tends to have a pessimistic tendency conceming the political concepts from a Western viewpoint such as nation State and democracy. Meanwhile
7 See for example in Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?”, in Southeast Asian Affairs 2004, (Singapore: ISEAS, 2004), pp. 4-5. R William Liddle, “Skriptualisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, in Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan 1999). Johannes J.G Jansen, The Dual Nature o f Islamic Fundamentalism, (New York: Cornell U niversity Press, 1997). Muhammad Mumtaz A li, “Nature and C h aracteristics o f M odern Islam ic Movements”, in Muhammad Mumtaz Ali, (ed.), Modern
Islamic Movements, Models, Problems and Prospects, (Kuala Lumpur: A.S Noordeen, 2000). Zada, op.cit, pp. 87-100. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundam entalism e, M odernism e hingga PostModernisme (Jakarta: Paramdina, 1996), pp. 109-110. Yusril Ihza M ahendra, M odernism e dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat-i-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina,‘ 1999), pp.31-33. Jamhari and Jajang Jahroni, (eds.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), pp.30-31.
15
due to their literal approach in understanding Islam and their tendency to emphasize Islamic symbols (in line with their ideal to make Islam as an altemative ideology), radicals tend use Islam ic idiom s in their ideas and actions, including the idea of creating an Islamic State. Meanwhile in an Indonesian context the emergence of these groups actually are based on two reasons8. Firstly there is an internal reason (from inside the Muslim communities). The em ergence o f radicals is actually an expression of disappointment toward the current Muslim communities’ way of life, which in the radicals’ opinion, has deviated from Islamic teachings. Secondly is an extem al factor. The presence of the Islamic radical groups is also a response to the existence of the secular regime and “the Western occupation”, which in their opinion has created injustice for M uslims and harmed their interests. In the reform era some of the new Islamic organizations in Indonesia today can be categorized in this group, including FPI, Laskar Jihad, JI and MM39.
Moderate Islam In general, Islam ic m oderate can be regarded as Muslims who conduct an attitude and a p ersp ectiv e th at eag erly striv e to implement every aspect of Islamic teachings in Al-Q ur’an and Sunnah adjusting to new developments of human civilization10. In the political context, Rahman indicates that moderate Islam can be regarded as the way of thinking which basically supports the idea of Islam as a social neligion. This means the moderates believe that Islam is more than just a “private religion”
8 Fealy, op.cit.,p3. Zada, op.cit, p.95-97 . 9 About the explanations for each organizations see S Yunanto, Yunanto, S, et.al, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, (Jakarta: The Ridep Institute-Friedrich-Ebert-Stiftung, 2002). See also Fealy, op.cit. pp.8-13 10 Anwar Harjono, dkk, “M. Natsir, Sumbangan dan Pemikirannya untuk Indonesia”, dalam Media Dakwah, 1416H/1995, pp.110-111.
16
which has no relation with social problems. Accordingly, in the m oderates’ point of view, Islam is a doctrine that provides political and social guidance for its followers.11 However, in implementing this idea, the moderates have at least two tendencies. Firstly, they tend to emphasize the spirit of Islam rather than symbols. Thus for them the essence of politics or the State is more important than its form or name. This is because in their opinion, in terms of politics, Islam actually guides its followers to establish the spirit of Islam and not Islamic institutions. Secondly, they tend to be tolerant with other perspecti ves outside Islam, in order to create a proper system for Muslims. This is because, for the moderate, every Muslim has a fundamental right that allows them to think without restraint in order to create political ideas and even political structure1112. Based on this perspective the moderate, according to Esposito “willing to participate within the system and see change from below”13. There are some factors which actually push a group to take moderate way in their statements and activities. Firstly, the political situation which is generally still dominated by other popular political ideals or interests. Study conducted by Steve Bruce shows that in the situation where religious movement or movement is still minority and have to struggle to be accepted by the majority, the rational choices th a t th e y s h o u ld ta k e h av e to in v o lv e com partm entalisation, accommodation and conflicting expectations. This means principally they have to take moderate w ay14*.
11 Rahman, op.cit, pp. 332-337. 13 A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1988). 13 John L. Esposito, “Claiming the Center, Political Islam in Transition”, in Harvard International Review; Spring 1997; 19. 2. 14 Steve Bruce, “The Moral Majority: the Politics of Fundamentalism in Secular Society, in Lionel Caplan, Studies in Religious Fundamentalism, (London: The Macmillan Press Ltd, 1987)
Secondly is ideology factor. In terms of ideology, the moderates tend to apply some main characteristics15, that is, they believe that Islamic teachings for m u’ammalah (social matters), basically provide universal and broad outlines only and consider that Islam ic traditions in politics w hich w ere ap p lied by P ro p h et Muhammad and thabiin (his close friends who lived during the same period as the Prophet) in particular in the era of the Khulafa-Rasyidin (the first four successors o f the Prophet) era bind Muslims in terms of principals. Moreover, the moderates regard as positive the existence of difference and honour pluralism, mainly as a part of God’s will. They tend to refuse the “black and white view” of people and society and believe in the right of Muslims to acquire wisdom from various sources, including from the West. By having these characteristics, it can be seen that the moderates tend to be tolerant with westem ideas in politics, and this which is reflected by their agreement toward the concept of democracy and a nation State16. Moreover, still in the context of the State, moderates consider that the transformation of Islamic values to the govemmental system is more important rather than the establishment of an Islamic State17. In the reform era some Islam ic Parties, even though they derive from m any political
mainstream, in the practical context, tend to practice a moderate point of view. The characteristics of the moderates in general, according to Bahtiar Effendy, cause most of the Islamic political parties in Indonesia to use “substantial approach” political in their thinking and actio n s18. These Islamic parties include PPP19, PKB20, PKS21 and PAN22. It is also important to note that research conducted by Research Centre of the Institut Agama Islam Negeri, Syarief Hidayatulah, (Universitas Islam Negeri Jakarta), indicates that from the main aims and programs of the Islamic political parties in Indonesia today most of them have the quality of functional-substansialistic rather than formal legalistic. This means, theoretically the main purpose and program of the majority of Islamic parties are not dedicated to establishing an Islamic State, instead striving to include Islamic values and spirit into the national political system23.
18 Bachtiar Effendy, Islam dan Negara Transformsi Pemikiran Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1999). 19 See for example, Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1991). 20 See for examples, Munib H Muhammad, (ed.), Pro Kontra Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: Fatma Press, 1998). A. Effendy Choirie, PKB Politik Jalan
Tengah Nahdhatul Ulama Pemikiran Islam dan Gerakan Kebangsaan Pasca Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: 15 Regardless the main core o f their ideology, at the surface level or political activities most Islamic parties tends to becom e m odernist - rather than traditionalist or fundamentalist - which adhere most o f modernist’s political attitude characteristics. About the discussion of the com parison tra d itio n a lism , m odernism and fundamentalism see for example. See such characteristic in A hm ed S. M o ssa lli, in “M odern Islam ic Fundamentalism Discourse on Civil Society, Pluralism and Democracy”, in August Richard Norton, ed., Civil Society in TheMiddle East, Volume I, (Leiden: E.J. Brill, 1995), pp.99-119. See also Mahendra, op.cit, pp.28-31. 16 See this kind of conclusion for example in Anders Uhlin,
Pustaka Ciganjur, 2002). 21 See for examples, Ali Satd Damanik, Fenomen Partai
Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1998), p. 74. Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka
& Litbang PAN, 2003). 23 See in Kamarudin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi, (Jakarta: Visi Publishing, 2003), p.86. Please also see the similar conclusion in Litbang Kompas,
Pelajar, 1999), pp.53-54. 17 Mahendra, op .cit, p. 308.
Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, (Bandung: Teraju, 2002). Aay Muhammad Furkon, Partai Keadilan Sejahtera, Ideologi dan Praktis Politik Kaum Muda Kontemporer, (Bandung: Teraju, 2004). Nandang Burhanuddin, Penegakan Syariat Islam Menurut Partai Keadilan, (Jakarta: Al-Jannah, 2004). 22 About PAN see for example, Maschab, Mashuri, Anda Bertanya PAN Menjawab, (Yogyakarta: DPW PAN DIY, 1998). Wirman Syafri and Imron Nasri, (eds.), Merangkai Sejarah Menatap Masa Depan Refleksi Kelahiran Partai Amanat Nasional, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi, Strategi dan Proram, (Jakarta: Kompas, 1999).
17
A. Islamic Radicals’ Political Perspectives The relations between Islam and the State For radicals, Islam is unique and such uniqueness actually is caused by its function in societal life and activities. According to the MMI, Islam teaches people from the m atters of self purification (as individuals) and as a part of the ummah (community)24. Based on these basic perceptions and also the fait that Islam has a set of laws that in the practical context can be clearly used as a direction and groundwork in managing the State, in terms of the role of Islam in the State, the radical groups clearly believe that Islam has to be used as a formal foundation of the State.25 Irfan S. Awwas, the chairman of M M I States that: “Islam regulates all dimensions of humankind, including society, economics and politics. From this point, we as Muslim believe that Islam has a conception about the religion and State relations”. Moreover, consider to the radicals, the life of the Prophet Muhammad as a leader in Medina demonstrated to Muslims how Islamic teachings can be implemented totally in a State. Such Islamic teachings and the Prophet’s role have deeply inspired Muslims to believe that indeed Islam has close relations with the State and its problems. Such principle is clearly represented by Abu Bakar Baasyir’s statement which says: “.. .According to the example of the prophet Muhammad, Islam must be wedded to the government, to the nation, it must take in the law of the State - this was the example of the prophet. It must not be purely a personal matter. Don’t follow the police, don’t follow the nation, don’t separate Islam from nation, that is wrong.”26
24 Ika Rochjatun Sastrahidayat, “Syari’ah Islam Menuju Indonesia Sejahtera”, in Bulletin Risalah Mujahidin, 06/March 2001, p.5 25 Khamami Zada, Islam Radikal Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Bandung: Teraju, 2002), p.102. 26See such Baasyir’s statement in Batley, Breck, The Complexities
ofDealing With Radical Islam in Southeast Asia, A Case Study of Jemaah Islamiyah, (Canberra: Strategic and Defense Studies Centre, 2003), p. 87.
18
As a consequence of this perception, for the radicals, the separation between State and religion is intolerable and absurd, in fact they believe that Islam for all intents and purposes is a religion and also a State (al-Islam din wa daulah). As stated by the U A S W J, “politics is a main part of Islamic teachings and Al-Qur ’an and Sunnah have to be the Judge”27. Based on such opinions the radical groups really believe in the integral relation between Islam and State.
Syari’ah Islam and an Islamic State For the radicals, because of the exact role of Islam in the State, it is natural for Muslims to dem and Syari’ah Islam (as an inextricable element in Islam) as foundation of their State. In addition they consider only Syari’ah Islam as a divine law which is decreed by God to be used in every aspect of life, and thus, has become a must for every Muslim to implement it and also reject any kind o f “m an-m ade laws”. In an Indonesian context the im plem entation of Syari’ah Islam has become very likely, because by its nature Syari ’ah Islam can be implemented universally especially for a country in which Muslims are in majority, like Indonesia. Moreover, by their textual and literal characteristics in understanding Islam, the radicals refuse to com prehend and interpret Syari’ah Islam in a substantial way. In other words they reject any compromise in the context of Islamic teachings. This is because for them, every dimension of human kind has been clearly explainedin Al-Q ur’an and Sunnah, while the words of God stated in Al-Qur’an and Sunnah are also obvious. W hat all Muslims need is just to ensure their willingness to follow every single word of God’s teachings. Laskar Jihad believes that the duty of every Muslim is just follow and implement God’s law28*. By establishing S y ari’ah Islam as a foundation of the State automatically, according
27 Ibid, p. 103. 2S Ibid, p. 122.
to Habib Rizieq the chairman of the FPI, society has established an Islamic State29. In line with this opinion MMI States that “Islamic State is a State that implements Islamic Law formally. On the other hand, a State that not using Islamic Law is not an Islamic State, even though its institutions use Islamic names”. For Islamic Radical groups, an Islamic State is an entity that every Muslim has an obligation to create. This is because it is merely an Islamic State that in line with the God’s will. For Muslims who reject this idea, essentially their commitment to Islam is questionable, or even for Baasyir they can be regarded as infidels30. Moreover, in the context of what kind of system Muslims should conduct, radicals indicate the Khilafah system (kind o f an Islam ic govemmental system) that were practiced since the era of the Prophet M uhammad and Khulafa Rasyidin (the prophet’s best friends) era up to Khilafah Usmaniyah (Ottoman Emperor) as the best examples for M uslims. Furtherm ore, in terms of govemmental system, they indicate that Islam, based on the experience of the Prophet and Khulafa Rasyidin clearly provides some arrangements, for instance the mechanism of Bai ’at (electing by oath) to choose the Amir (the lead er o f the State)31. Such m echanism s essentially demonstrate that Islam has a set of laws to manage a State in detail.
The Nation State and Pancasila By believing such perspectives, Islamic Radical groups in essence wish for the existence of the State based on universal values (in Islam), which basically is freed from “the nation-states’ partition”. According to them, the existence of the nation State actually is not acceptable in Islam. This is because such a concept not only has inflicted a loss for Islam by dividing Muslims around the w orld into nations, but also is
Westem-made (secular) and importantly does not exist in the era of Glorious Islam 32. By accepting these ideas, therefore, this can be understood if in general the radicals feel reluctant in responding the existence of the nation State33. Moreover, their disinclination toward the nation State is also caused by their common obsession about the reestablishm ent of the Khilafah34 or supra-state institution, which happened in Islamic history. In such conception actually, they believe that Islamic community will have merely one authority that serves and protects all M uslims in the world. Such an institution is believed to be the as a best medium for Muslims and their communities, for not only ensuring the implementation of Islamic teachings and ideals, but also reestablishing the real Islamic com munities which are based on the spirit of universal brotherhood. In line with this stand, thus they believe that the existence of the nation State is not “final” or, according to Hegel, an “ultimate goal” for Muslims. According to Awwas all Muslims have to strive for establishing an Islamic State in their countries, which eventually will be a step stone to attain a specific and global aim that is Khilafah Islamiyah35. Moreover Fealy indicates that even though these groups up to now still seem to acknowledge the existence of The Republic of Indonesia and tend to not bother about the existence of the nation State, at the bottom of their hearts they still keep the obsession of the supra-state institutions36.
32 Ibid, 132. 33 Ahmad S. Moussalli, Radical Islamic Fundamentalism:
The Ideological and Political Discourse of Sayyid Qutb, (Lebanon: the American University o f Beirut, 1992), p.218. 34 The last Khilafah is Ottoman Empire or Khilafah Usmaniyah, before was abolished by Kemal Attarturk, the Father of the modem Turkey in the beginning o f 20"' century. 35 Irfan S. Awwas, “Megapa Harus Negara Islam?”, http://
members.tripod.com/darul_islam/mengapa. M Ibid, p. 114 30 Interview with Baasyir in S. Yunanto, op.cit, p.46 31 Zada, op .cit, p. 113
36 Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?”, in Southeast Asian AJfairs 2004, (Singapore: ISEAS, 2004), p.5.
19
Another consequence of this logic, in an Indonesian context, is that they tend to avoid the existence of the Pancasila (Five Pillars), as the nation’s uniting ideology. For the radicals, Pancasila is meaningless, because in fact such ideology has never been an “inspiring guidance” for Indonesians and M uslims in particular. Com pared to Islam , radicals believe that Pancasila is less inspiring than Islam. According to Rizieq, Islam is the real ideology that inspired many young Muslims to liberate and also unite Indonesia. He mentions that Indonesia in 1945 was actually liberated by nothing but the yells of “Allah Akbar” (God Almighty) ffom the Muslims freedom fighters37. Moreover, for the radicals, M uslim s in Indonesia should not accept Pancasila, by remembering that such ideology in essence was made by human. By accepting Pancasila M uslims will potentially become infidels because essentially they recognize teachings other than those of God. Ja’far Umar Thalibsays: " We don ’t like Pancasila because it means
that Islam is the same as other religions. This is not so. We believe that Islam is the highest religion and the best”38. Based on their opinions, the concept of a nation State (or anything related to nationalism) is not acceptable. However, the obsessions for establishing an Islamic State, as a step toward Khilafah Islamiyah, still exist. This actually also dem onstrates that the radicals always have com m itm ent tow ard M uslim s everyw here (Indonesia, S outheast A sia, A fghanistan, Palestine, etc.) the global sense, rather than merely in the one particular State. In order to establish Syari’ah Islam, at a society or local level, the radicals tend to use ex tra p a rlia m e n ta ry m o v em en ts, w hich
37 See in Erros Jafar, “Indonesia Merdeka Diawali Pekik A lla h Akbar B ukannya H a le lu y a ” , in h ttp ://
swaramuslim.net 38Zachry Abuza, Militant Islam in Southeast Asia, Crucible ofTerror, (London: Lynne Rienner, 2003), p. 69.
20
sometimes disobey the formal rules and even use some violence, which in some cases is a response to the violence from some groups tow ard them. This can be seen, for example, from some “sweeping” actions conducted by the Islam ic Radical groups in Jakarta. H efner indicates this also includes raiding bars and hotels39. While at a national level, with the purpose of proposing their idea about the implementation of Syari’ah Islam and the establishment of an Islamic State, the radicals not only conduct some demonstrations individually, but also together with some other Islamic society organizations and Islamic factions in the parliament propose the retum to the constitution ofthe seven words in the Piagam Jakarta (the Jakarta Charter), that is “ .. .kewajiban menjalankan Syari’ah Islam bagi para pem eluknya (the obligation for adherents of Islam to implement Islamic law)”40. Moreover, in relation to their literal perspective toward the verses of Al-Qur’an and Sunnah and also as a part of maintaining Islamic Law, the radicals refuse to accept the existence of a woman as President41. In addition, with regard to the idea of Khilafah (trans-national State), today some ra d ic a l g ro u p s h a v e d e v e lo p e d so m e intemational and regional networks; this includes Hizbut Tahrir (at an intem ational level) and Jamaah Islamiyah (at a regional level). Some of this networking i s suspected by authorities as being related to some terrorist groups conducting their missions in the Southeast Asian region42.
Democracy and Islam According to Islam ic Radical groups’ perception, the main problem of democracy i s
39 Hefner, op. cit , p. 146 40 Zada, op. cit, p. 123. 4' Ibid , p. 141 47 See for example, 1CG Indonesia, Al-Qaeda in Southeast
Asia: The Case of the “Ngruki NetWork" in Indonesia, (Jakarta: ICG Indonesia Briefing. 8 August 2002).
its main principal that basically believes in the concept of people’s sovereignty43. By using this system, essentially the political system and activities will really depend on the voice of the
system, which is not only inspired by secular and Western teachings, but also in the context of Indonesia has caused the failure of Muslims to establish an Islamic State46. For them, what
people (which is represented by the phrase “Vox Populi Vox Dei” or according to Abraham Lincoln, govem m ent by, from and for the people). This concept is actually the fundamental idea of democracy, as distinguished from other types of govemment. In Islamic teachings, one of the main
happened during the 1950s and at the beginning o f the reform period has show n that the dem ocratic system (w hich i s prom inently represented by the existence of parliament) cannot be trusted for Muslims to reach their goals, especially in dealing with the establishment of an Islamic State. Moreover, democracy is also recognized as a system that has the potential to threaten the implementation of Islamic teachings. Logically, by accepting the opinion of the majority as the foundation of its policy, the govemment has to implement any interests of the majority. This means, the govemment will potentially put into Service many opinions, including those which basically contradict God’s law. This situation, in the opinion of Islamic Radical groups’ will endanger all people and Muslims in particular. Because, for example, if the majority agree to legalize prostitution or alcoholic drinks (that are strongly prohibited by Islam) the govemment has to implement these laws and all society has to
principals is belief in God’s sovereignty. According to Islam, God is the beginning and the end and only on him can all human kind depend. In this conception actually there i s no room for other elements beside God that have the right to be sovereign. In other words, the concept of people’s sovereignty is contradictory to Islam. Moreover, the militant groups believe that Al-Qur’an and Sunnah are the ultimate source of law that has arranged every aspect of human kind. Thus, all Muslims do not have to be worried about looking for other sources as their guidance for life44. Rizieq indicates them only some minor aspects of life are not arranged in detail in A l-Q ur’an and Sunnah, and Muslims are still permitted to conduct Musywarah (discussion) with regard to these details, accordingly, Muslims in general have to be subject to God’s law and His sovereignty45. In this standpoint, the concept of democracy which allows (the majority of) people to have their own opinions and run their activities based on their thoughts and interests (which to some extent demonstrates the people sovereignty) is not acceptable. Based on their conception about G od’s sovereignty and the role of Al-Qur’an and Sunnah as a comprehensi ve source of law, the radicals tend to reject the concept o f dem ocracy. According to Awwas, democracy is an infidel 43 This is the basic idea for all radicals to reject the idea of democracy. See for example in Fauzan Al-Anshari, “Demokrasi Syirik”, in www.majelis.mujahidin.or.id 44 Zada, op. cit, p. 134 45 Ibid, p. 135
accept them without any exceptions. M oreover for the radicals the majority is not everything in Islam. In fact for them the model of govemment which basically glorifies the majority is unidentified in Islamic history. For radicals, in Islam the most important thing is the truth and this is actually nothing to do with popularity. In fact, Islamic history demonstrates that the Prophets and their followers were al ways m inorities, who fought against the infidel majorities47.
About Pluralism As re g a rd s th e d em o cracy , th e acknow ledgem ent o f p luralism becom es important. The radicals’ viewpoints on the 46 S Yunanto, op. cit, p.53 47 Zada, op .cit, p 131
21
existence of non-Muslims and other group and their opinions about what Muslims should do in treating these groups can be used as indicators for their thinking about pluralism. In responding to the existence of non-Muslim groups, the Islamic Radical groups base their opinion on Al-Qur ’an and the experiences of the Prophet during his govemment in Medina and Khulafa Rasyidin. Islamic Radical groups believe that an Islamic State will be tolerant with minorities and non-Muslim groups. This is because, Al-Qur’an and Sunnah, teach the obligation to protect the rights of the non-Muslim groups. The Prophet, for example, during his rule prohibited Muslims fortroublingnon-Muslims who livedtogetherwith them or had no intention to bother Muslim. Moreover according to Awwas in an Islamic State in th e e ra o f th e P ro p h e t s o c ie ty w as heterogeneous, including Jews and Christians. Thus for him the existence of non-Muslim groups is not a problem at all48. However, it is important to note that principally these groups concede two main groups in society, that is the M uslim group and non-Muslim group. Radicals consider that for n o n -M u slim g ro u p s th e re are tw o categorizations: firstly the group which has the intention to fight against Muslims and secondly the group willing to make peace and disposed to live together in harmony with M uslims. According to Baasyir, every M uslim has to be ready to fight against the first group and must protect the second group. For the second group, which is called as Dzimni (the non-Muslims who live in Muslim communities peacefully), every Muslims have to build a goodrelationship and be willing to w ork together in the spirit of affection, peace, tolerance and harmony. Even, M uslims have to provide and protect proper rights for them, including the right to conduct their faith and religions49. 48 Ibid , p. 113 49 For more detail see for example in Sermon by Abu Bakar Baasyir in Solo, Indonesia, 18 October 2002, in Batley, op. cit, pp.84-88.
22
However, it is interesting to note that in the political context, the rights of the non-Muslim in radicals’ sense are basically limited. In their logic and of course in relation to the Prophet’s history, it is difficult to accept a non-Muslim as their leader in any case. Thus in the radicals’ point of view it is hard to find an opinion that implicitly or explicitly agrees to provide rights for non-M uslims to attain position at a higher level, for example as their President or members ofparliament. From their opinions about the non-Muslims groups, it can be concluded that in general their acceptance tow ard pluralism is not total. Moreover, this attitude is essentially in line with their rejection of democracy, because democracy requires not only an admission of minority or other groups but also a willingness to gi ve equal political opportunities and access to every single group. As m aterialization o f their opinions about democracy which has a strong tendency to reject it, most Islamic Radical groups promote the idea of refusing democracy. Research conducted by Ridep indicates that “this promotion” uses some media both electronic or prints including websites (for example www.laskarjihad.or.id for Laskar Jihad ASWJ or www.maielismujahidin.or.id for MMI), publisher (Jihad Press), cassettes and CD (consist of the speech from some organization’s leader)50*.
PostScript: RadicaVs situation post 2004 Election In the era o f the govem m ent o f the President Susilo Bam bang Yudhoyono, the radicals still put their forem ost attention to religious matters. However/Nevertheless, their political activities at the national level appear to be confined compared to the role that has been played by the political parties. This because not only related to the political theme of the subject raised, which is to some extent seem to be
50 S. Yunanto, op .cit, p. 125
exclusive and particular, but also due to their political articulation mechanism, which tends to be run from outside the system, that in the end causes their sound and the effects of their demand were covered by other issues. M e a n w h ile , th e p o litic a l lo b b ie s established by the radicals and some Islamic political parties as well as social organization still will be mainly focused on attempts to the Islamic Law establishment and the Jakarta Charter issue. In the first topic, the radicals at heart still have an opportunity to create this ideal at the local govem m ental level, particularly in som e provinces or districts which are the main characters o f their population or society potentially support the establishm ent of the Is la m ic Law , su ch as N a n g ro e A ceh Darussalam, South Sulawesi or some areas in West Java (Garut, Cianjur, Tasikmalaya). Their role will potentially cover some degrees, from supporting “the formal political contract” that will legitimize Islamic Law as a main foundation for any laws and regulations; to at the small scale continually fight against social wickedness by making alliance with other Islamic organizations ormovingalone. In relation to the Jakarta C harter issue, although these groups will keep on playing as a part of its main supporters, it seems clear that their movements will find a serious impediment by the fact only a small number of the Islamic political parties that will still hold up this issue. This situation is by no means overlooked by the radicals. In fact given such situation the symptom o f w h at O liv e r R oy s a id as “ n eo fundamentalism”51, that is attempts to leave formal political practice activities and retum to join a cultural movement at the grass root level, in particular mending religion understanding for individual and society, will be a realistic pace for radicals in the next future. The symptoms of
51 R o y , O liv er, The F a ilu re o f P o litic a l Islam , (London: President and F ello w s o f Harvard C ollege, 1994).
this become clearer for example, by the fact that the political activities of these groups at a national level tend to considerably decrease post 2004 president election compare to the previous years. Up to mid of 2005, at surface level radicals’ movements relatively focus on cultural issues as their participation in Kongres Umat Islam or cultural activities related to attempts in defending Islamic symbols in cultural field.52. It seems clear that in the situation where stable political situation exist - which is indicated by the solidity of political party, the unity of the national elite and where the tension among society caused by econom ic and political disparity relatively decrease - the role of the radicals seem to reduce. In the next couple years, however, the future of these groups cannot be ignored. W hile these groups actually only represent minority, their existence is still appealing53 and will have a chance to keep on moving at the civil society ground. The role of the govemment of course by no means obstructs the growth and movement of the group by implementing force endeavors, which academically proved in fact harden militancy attitude of these groups54. On the contrary, the govemment has to keep on giving a democratic chance and opening dialog with these groups, while constantly encourage the
52 It can be seen for example from the cases o f Dewa (one o f the famous musical groups today) which accused by FPI has despised Muslim by using sacred Symbol in Islam (one o f the God’s names) in their show and in the label o f their cassette. See this case in “Dewa Vs FPI Menyoal Logo Laskar Cinta” www.sctv.co.id 53 Research conducted by Freedom Institute about “The attitude and perception o f society toward phenomenon of Islam Radical movements and actions” shows that “radicals’ point o f view ” has attracted some people, particularly the youth and indicates that the radical’s idea is popular enough at the grass root level, even though its just still minority compare to the moderate Muslim. See this conclusion in ”Pro-Demokrasi tak Sebesar ProToleransi”, www.islamlib.com 54See Arjomand, SaidAmir, “Unity and Diversity in Islamic Fundamentalism”, in Marty, E Martin and Scott Appleby, Fundamentalism Comprehended, (Chicago: The UCP, 1991).
23
Islamic mainstream groups to be in contact with any M uslim groups which have a potent to support these groups and estab lish in g a productive relation with them.
B. Moderates Islam’s Political Perspectives The relations between Islam and a State In general, the moderates believe that Islam is relevant to the political life. This is basically related to one obligation for Muslims, in particular, to create a high-quality system for humanity in God’s favor. Attempts to make such a system in Islam are actually regarded as a part of the religious Service (ibadah), particularly in the “horizontal” context or in terms of social re la tio n s am o n g hum an k in d s (habluminannas)55. According to M. Amien Rais, the chairman of PAN, Islam cannot be separated from politics because this is a part of human activities that in essence has been clearly guided in Islam56. In line with this opinion, PKS believes that Islam is not a religion that merely arranges the relationships between God and His creations, but also provides guidance for its followers to manage their activities and every dimension of life57. However, even though they believe in such inextricable relations between Islam and a State, they actually emphasize that this relations are actually not have to be always obligatory in the formal context. This is because basically Islam does not provide detail regulations for such
55 Fazlur Rahman, says that if the obligation to conduct fasting for every Muslims is explained merely in one verse in Al-Qur’an, while a third of the Al-Qur’an contains the explanation and obligation for Muslim with regard to create good Systems for human kind. 56 M. A m ien R ais, “W aw asan Islam tentang Ketatanegaraan”, dalam Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1994), pp.51-52 57 Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan, Jati Diri Partai Keadilan, (Jakarta : Pustaka Tarbiyatuna, 2002). See Abu Ridha, Untung Wahono, Syamsul Balda, Politik Dakwah Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 2000).
24
relations. A ccording to them , w hat Islam provides for M uslim in politics principally an obligatory recommendation to create a system that is based on the spirits of Islam such as justice, equality and consensus58. Moreover, most of the moderates do not see any kind of fixed and formal shapes of political system that is mentionedin Al-Qur’an and also Sunnah. Due to this situation, the moderates then consider that Islam only offers some general rules in politics and provides freedoms for its followers to be Creative in their political life. By using this point of view, the moderates believe that to bring about the spirit of Islam is the true obligation for Muslim. In other words, in the political context, for them if such a thing has existed, essentially Muslims have done their obligation. This kind of perspective, according to B ahtiar Effendy, today becomes the general characteristics of Indonesian Islamic political parties59*. There are at least two implications from these points of view. Firstly, because in essence they tend to strive for establishing the spirit of Islam in the State (rather than creating a formal Islam) they tend to take moderates attitude in dealing with the role of the Syari’ah Islam. Secondly, in connection with this attitude, even though they believe in M uslim ’s obligation to create an ideal social entity in line with G od’s favor, the idea of establishing an Islamic State and using Islam as an Ideology of the State, in their opinion, are not urgent.
58 Rais, op. cit, p. 55 59 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), pp. 58-59. See also the similar conclusions in Kamarudin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi, (Jakarta: Visi Publishing, 2003), p.86. Please also see the similar conclusion in Litbang Kompas, Partai-Partai
Politik Indonesia, Ideologi, Strategi dan Proram, (Jakarta: Kompas, 1999).
Syari’ah Islam and an Islamic State With regard to the role of Syari’ah Islam, the moderate groups believe that essentially Syari’ah Islam is nothing but a true guidance for every Muslims60. However, in relation to the connections between Syari’ah Islam and Muslims activities, it has generally understood that not all of human kind activities are arranged in details in Syari’ah Islam. Some of human’s activities are indeed arranged in details, but for others Islam guides them in the general context, this including political and state activities. In relation to such a situation, particularly for the last matter, in Islam God actually provides Muslims a fteedom to develop a method of thought which has to be not only in proportion to Islamic teachings but also rational and objective. In this process, actually Muslims are permitted to use the common ideas in their time. In other words, essentially for most moderates it is actually possible for Muslims to implement ‘‘a synthesis system’’from many political thinking mainstneams, including from the Western viewpoints. Thus in the political context, in essence, the meanings of Syari’ah Islam can be multi-interpretative and contextual. By believing this essence of Syari ’ah Islam, the moderates actually want to demonstrate that in the political context the terminology of Syari ’ah Islam is basically beyond the fixed Laws. It contains many opinions and perceptions, which ensure that Syari ’ah Islam is not a strict mechanism for all Muslims around the world. In fact, for the moderates, in terms of politics, Syari’ah Islam offers many universal values, rather than a set of arrangem ents in details. B ecause o f these perceptions the moderates conclude that the maintenance of Syari ’ah Islam is an obligation in the context of implementing Islamic universal values. 60 For the parties’ perceptions about Syari’ah Islam, see for exam ple, A bdul A sri Harahap, PPP: Sintesa Nasionalisme dan Religiusitas, (Jakarta: Integritas D inam ika Press: 2 0 0 4 ), pp. 1 3 7 -1 7 0 . N andang Burhanudin, Penegakan Syari 'ah Islam menurut Partai Keadilan, (Jakarta: Al Jannah, 2004), pp. 91-142
Based on their perspectives above, with regard to the idea of establishing an Islamic State, the moderates fundamentally believe that the attempts to establish such a State m ust be understood as an effort to create an institution filled with the spirit of Islam. In this standpoint the m oderates actu ally w ant to say that the fundamental of the State is more significant, for Islam, rather than name. In other words, for them no matter about the form of the state is, so far as such a state is conducting these spirits, this State can be regarded as an “Islamic State”. By this viewpoint the moderates actually seems to be consistent in emphasizing substance rather than symbol. Rais says:
“For me without Islamic label but in essence we can demonstrate that we are able to build a f air econotnics system, honest law system, a non-feudal education system, that’s what Islam want. So it is easy. I will not emphasize the label, but the vision. Because it is possible to create a state without Islamic label but in fa c t it is more Islamic”.61 Moreover, besides their tendency to the substance of Islam, their understanding about Islam reveals that the establishment of an Islamic state formally is actually not an obligation for Muslims. This is because such an order is not clearly m entioned in both A l-Q u r’an and Sunnah; in fact the words of “Islamic State” actually do not exist in these Islamic sources. While what was demonstrated and developed by th e P ro p h et M u h am m ad in M ed in a, according to the moderates, was merely an “Islamic society” which was guided by the Islamic universal values, which is in fact even not called as “an Islam ic S tate” by The Prophet62*. Due to such circumstances, for the moderates, an Islamic state is not urgent to follow 61 Lihat dalam Idy S. Ibrahim, Amien Rais Membangun Politik Adiluhung, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), p. 90 62Anis Matta says that The Prophet Muhammad never used the term “Islamic State”. In fact he just calls his state as “Al-Madinah Al-Munawarrah” and not “Al-Madina AlIslamiyah Al-Munawwarah". Furkon, op.cit., p.234.
25
because in essence it just a Creative idea from some Muslim scholars which is based on their interpretation of Islam. Furthermore, with the circumstance where the shape of state is not clearly mentioned, Islam actually facilitates easily its follower. This is so because if the permanent form of the state for Muslims had been decreed in the 7* century, it will cause a difficult situation for Muslim to implement in the modem era. In addition, in an Indonesian context, the establishment of an Islamic State will gain obstacles mainly from the realities of the plural Indonesia and “intemally” many interpretations tow ard this concept among Muslims. For these reasons, the implementation of an Islamic State today to some extent will potentially trigger unproductive and sensitive protracted debates am ong people in this developing country63. In addition, according to them with or without the support of the state, Syari’ah Islam actually still can be compiehensively implemented by Muslims. Thus, in M. Hidayat Nurwahid’s (the President of PKS now the chairperson of the MPR) opinion, any perceptions which believe that S y ari’ah Islam needs a kind o f national constitution’s back up to be implemented is not proportional. Because this indicates that without such a support Muslims can not implement Syari ’ah Islam in their life64. Accordingly, because Syari’ah Islam in substance allows M uslims to create States in various forms and names (so far as such States are along the lines of the spirit of Islam), and the creation of an Islamic state is not mentioned in A l-Q ur’an and Sunnah, it is clear for the moderates that establishing an Islamic state in Islam is a trivial jargon.
moderates believe that the existence of a nation state is a sunnatullah (historical reality based on God’s will) that is impossible to be avoided by Muslims today. Besides, for them, a nation State like Indonesia in reality is still conducive for Muslims to implement their religion. This includes conducting Islamic missionary endeavors and attaining many political interests. Because of that, Indonesia as a nation state cannot be regarded as futile oreven infidel entity for Muslims. As a consequence for this attitude, the moderates then regard Pancasila as a national ideology in the positive view. By giving priority to the essence rather than using distinctive symbols of Islam, this group believes that Pancasila is acceptable for Muslims. This is so because for the moderates the relationship between Pancasila and Islam for all intents and purposes does not contradict each other. Even though the moderates acknowledge that both teachings are not at a same level (because Islam is teachings from God, while Pancasila is a manmade ideology)65, they believe that there is no a single article of the Pancasila that is contradictory to Islam, which makes necessarily urgent for Indonesian Muslim to replace it with Syari’ah Islam. Thus, for Amien, if all pillars of Pancasila were consistently implemented, it would be good for M uslim communities, because it means Islamic teachings were implemented66. Furthermore Pancasila is also regarded conducive for Indonesia as a plural country. PKB States that by regarding Indonesia as a pluralistic country which consists of many ethnic groups, religions, races; the fundamental of this country must be enacted by the five values of Pancasila that is Belief in the one and only God, just and civilized humanity, the unity of Indonesia, democracy guided by the inner wisdom in the
The Nation State and Pancasila Based on their perception about the human history which is basically dynamic, the 63 Furqon, op.cit, pp. 234-235 64 Republika, 18 February 2002
26
65 M. Amien Rais, “Kata Pengantar” dalam M. Amien Rais, ed., Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), p. XIV. 66 Rais, “Tidak ada Negara Islam”, dalam op. cit, p. XXIII, see also his statement as the chairman o f MPR in Media Indonesia, 23 February, 2002.
unanimity arising out of deliberations amongst representatives and social justice for the whole of the people of Indonesia67. As manifestations for these opinions toward the state, the moderates commit to keep maintaining Indonesia as a nation State which is based on Pancasila. This com mitment can be seen from their official documents68, in fact some of them (PAN and PKB) use Pancasila as their basis69. Moreover, also none of them clearly mentions the idea of the establishm ent of the Sy ari ’ah Islam and an Islamic state in their official documents. In fact most of them reject the idea of retuming seven words ofthe Piagam Jakarta (Jakarta Charter) to the constitution, which will potentially legalize State to conduct Syari’ah Islam formally70. Meanwhile, for some Islamic parties, PPP and PBB, that proposes the idea that the main aim of such an effort is to straighten the Indonesia history71 and actually nothing to do with and Islam ic state72. In fact the MPR Annual Meeting, PPP, for example stated that:
67 Musa Kazhim and Alfian Hamzah, 5 Partai dalam Timbangan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), p.246. 68 About the o fficia l docum ents such as platform s, ideologies and programs of these parties can be explored fro examples in Tim Litbang Kompas, Partai-Partai
Politik Indonesia: Ideologi, Strategi dan Program, (Jakarta: Kompas, 1999), Tim Litbang Kompas, PartaiPartai Politik Indonesia: Ideologi, dan Program, (Jakarta: Kompas, 2004) or Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Orde Baru, (Jakarta: LP3ES, 2003) 69 See in Dewan Pimpinan Pusat PAN, Partai Amanat Nasional, (Jakarta: DPP PAN, 1999) and Platform PKB in Amir, ibid. 70 See in Umar Basalim, Pro Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002), pp. 174-254. 71 This is in particular regarded to the Soek arn o’s testim onial that stated UUD 1945 (the Indonesian Constitution) was actually imbued by the Jakarta Charter. To some extent these groups see the restoration of the Charter as correcting an historical betrayal o f Indonesia’s Islamic struggle, Fealy, op. cit, p.4. 72 Romli, Lili, Partai Politik Islam Era Reformasi dan
Piagam Jakarta dalam Sidang Tahunan MPR 2000, Thesis, (Depok: FISIP UI, 2001).
“...the proposal for the return o f the seven words is not intended to create an Islamic state, instead for strengthening Indonesian nationality in the framework o f united stated based on Pancasila”73 . Democracy and Islam The Moderate Islam groups believe that A l-Q ur’an and Sunnah basically order every Muslims to build justice, affection and equality for human kind. In terms of power relation and govemmental problems, these values become “a divine guide” for Muslim to establish proper institutions. M eanw hile, the govem m ent conducted by The Prophet M uham m ad in Medina actually taught Muslims about the spirit of performing tolerance, honouring difference and maintenance righteousness for all people. Accordingly, moderates believe that any kind of govemments establishedby Muslims should implement those values. W ith regard to this perception, the moderates by using the ijtihad process then indicate that the type of govemmental system that is close to the Islamic spirits in the modem era is nothing but democracy. This is because, in th e ir opinion, like Islam ic teachings, democracy also teaches the spirit of equality, justice and honor plurality, mainly in dealing with the election and decision making process. Moreover, the acceptance of democracy is also based on the two other reasons. Firstly is the philosophical reason. In the philosophical context, the moderates are not bothered about the origin of democracy and do not see it as so m eth in g th a t b elo n g s to th e W estern exclusively. According to Abdul Asri Harahap, member of Dewan Pakar (the expert council) of PPP, democracy in essence is a universal teaching that contains universal values. Thus it is p o ssib le fo r ev ery gro u p to im p lem en t democracy, including Indonesian society. In fact
73 See in Basalim, op. cit, p. 184.
27
he points out the spirit of democracy mainly in line with the Islamic spirit74. Meanwhile, with regard to the concept of people’s sovereignty, according to PAN this actually is not a big problem for Islam. Because in moderates’ points of view the basic purpose of this concept actually is not dedicated to fight the sovereignty of God, in fact this idea occurred as a reflection of opposing the existence o f the dictatorship govemment, which is also essentially rejected by Islam75.
Secondly is the practical reason. They argue that the backward of Indonesian society today is caused by uncontrolled, exclusive and oligarchy govemment as conducted by the New Order. Thus, by implementing democracy, the new govemment system will have the potential to improve people’s life in many aspects76. In addition, they basically also believe in the mass participation concept which is totally conducted in democratic system will provide the society empowerment77. Moreover, in line with this idea PKS believes that democracy, which is mainly ded icated to p ro tec t freed o m , w ill give advantages for M uslims in Indonesia. This is caused by the existence of govemment’s guaranty for freedom, M uslim com munities will have sufficient freedom rights to develop their thinking and activities, particularly in order to improve people’s quality of life andprosperity. In other words, by accepting democracy, in the end Muslims have the opportunity to prove that their existence is the mercy for the uni verse (rahmatan lil alamin)78. Thus based on these kinds of perceptions, for the moderates, this is acceptable for M uslims to leam dem ocracy from the Western and apply such a system79.
74 Anis Matta, Menikmati Demokrasi, Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, (Jakarta: Pustaka Saksi, 2002), pp.22. See also Harahap, op .cit, pp. 109-110. 75 Harahap, op.cit., pp. 114-115 76 See for example in “Naskah Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)”, in Kazhim & Hamzah, op. cit, p.243. 77 Matta, op. cit, pp. 21 78 Ibid, pp. 19-23 79 Asri, op .cit, p. 113
28
About Pluralism With regard to the existence of pluralism, the moderates respond it as an important matter. This is not only because Islamic teachings are concemed, but also in the practical context has becom e an interest for Indonesia as a plural nation. In the first reason, moderates indicate that pluralism is a part of God’s will80. In relation to this Islamic teachings encourage every Muslim to v alue th e d iffere n ces am ong people. According to PKS, A l-Q ur’an Sunnah teaches every Muslims, for example, to respect the rights of non-Muslim, to spread out tolerance and to do justice for all the people81. Furthermore, M uhamm ad SAW taught during his life that Muslim had to have a willingness to sacrifice for the community, in a patriotic sense82. Therefore, it is clear that honouring pluralism is a part of Islamic teachings. Furthermore the moderates consider that honouring pluralism is a proper attitude that has to be developed in order to m aintain the existence of Indonesia as a plural nation, which consists of more than one religion (five official relig io n s th at is B uddhism , C hristianity, Catholicism, Hinduism and Islam) and hundred o f ethnic groups. Thus, basically for the moderates, Muslims cannot avoid the historical situation. According to PKS, national unity is a fundamental principal for developing a nation that is naturally heterogonous. Toward such a principal various communities inside the nation can be united, in the spirit of fratem ity and togethemess.83
80 In general all Moderates argue for this idea by quoting one o f the verses o f Al-Qur’an which says that if God wants to make all human races to be a one nation ( Ummat) he could, but only because of His mercy, He then creates many nations diversity. (Al-Qur’an: Huud 118-119). Such an argument can be found in their official documents. 81 See Burhanudin, op. cit, pp. 69-78 82 “Jawaban Soal Penegakan Syariah Islam”, Saksi, No. 5 Tahun VI, 2003 83 Justice Party Basic Principles, Jakarta: DPP PK 1999
By acknowledging the plural condition of Indonesia, moderates then try to develop a responsive and moderate environment for all. As a reflection of this attitude they are not interested in dividing Indonesia society in only two groups between Islam and non-Muslim. In fact they tend to gi ve opportunity for non-Muslim to improve and exist, by providing access for them to join their parties, and even to attain some position at a top level in bureaucracy and govemment, such as ministers or members of parliament84. Accordingly in terms of pluralism, moderate groups are not only merely recognizing the equality between Muslim and non-Muslim groups but also providing the equal opportunity for non-Muslim groups. Abdurrahman Wahid, the founding father of PKB, for example during his presidential period discarded Instruksi Presiden (Presidential Instruction) No. 14/1967 which formally restricts Chinese to peiform their tradition. As a reflection of their opinions about democracy, all of parties use and promote the words and idea of dem ocracy in their official documents. Also in their documents the sentences that honouring pluralism is also easy to find85. M oreover, these groups dem onstrate their commitment to democracy by joining election properly, and show their eagemess to build good relations with nationalists and non-M uslim groups for examples in their parties, in parliament or in the president election86. In addition, these groups also have demonstrated their respects toward the democratic mechanism and any
84 See for example, Hajriyanto Y. Thohari, “Bangsa Pluralis, Partai Pluralis”, Republika 19 September 1998. 85 See in Dewan Pimpinan Pusat PPP. Ketetapan-Ketetapan Muktamar IV PPP, (Jakarta: DPP PPP, 1999). Dewan Pimpinan Pusat PAN, Partai Amanat Nasional, (Jakarta: DPP PAN, 1998), Dewan Pimpinan Pusat PK, Sekilas Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PAN, 1999), Platform PKB in these official documents can be traced in their website see in www.kebangkitanhangsa.org (for PKB), www.ppp.org.id (for PPP), or pk-seiahtera.org (for PKS). 86 See also “Visi Program Harmonisasi ada di PKB”, Muhammad, op.cit, pp.73-81.
policies produced, even some of the policies to some extent contradict with their ideals and interests87.
Conclusion From the explanations above, it can be concluded that, in the political matters, both radical Islam and moderate groups in Indonesia to some extent have some similarities and also differences. The main similarities between them are related to the idea that Islam as a religion has social functions which essentially guide its follower in all dimensions of their life including politics. Moreover, in the political context both radicals and moderates believe in the inextricable relations between Islam and politics. Thus, for them the attempts to separate Islam and politics are absurd and to some extent also contradict to Islam. Even so, some differences also appear between them, particularly in relation to the perceptions about how deep Islamic teachings should play in the real politics and how Islamic texts should be interpreted to be a basis for Muslim’s political activities. The basic perceptions of the Islamic Radical groups such as em phasizing literal approaches for understanding Islam, conceming text more than context and giving a priority to the era of the Prophet in the 7® Century; has influenced their perceptions about Islam as a total and integrated religion and formal relations between Islam and politics. These opinions eventually becom e a basis for their other opinions such as the urgency of implementing Syari’ah Islam formally, the establishment of an Is la m ic State an d th e te n d e n c y to be unenthusiastic to the existence of the nation state. Moreover, in line with their exclusive characteristics such as tend to be literal and
87 For example, the positive attitudes to parliament after this institution toppled down Abdurrahman Wahid (the chairman o f PKB).
29
textual in understanding Islam, acknowledging pluralism in the narrow perspectives, regarding Western ideas in pessimist way and tend to glorify Islamic history; the radicals tend to have
for Muslims in Indonesia, but it also indicates that Islam will never be a monolithic group in this country.
negative opinions of democracy. In general, even though they agree to the concept of Syura (the consensus), which was taught by the Prophet, the radicals generally believe that Islam principally is incompatible with democracy. This kind of perception is actually reflected in their narrow opinion about pluralism, which basically though they honor the existence of non-Muslim groups, the radicals have no intentions to give an equal political access for non-Muslim groups. M eanw hile, fo r the m o d erates, by im plem enting their p erspectives such as regarding Islam as a “substantive guidance” in dealing with the state, believing that Islamic histories as a lesson that do not bind Muslims principally, implementing “contextualization approaches” for understanding Islam and having willingness to be tolerant; they tend to create a moderate perceptions, particularly with regarded to the relations between Islam and state, an Islamic State, Syari’ah Islam and the existence of Indonesia as a nation state with Pancasila as the basis. In addition, with regard to their viewpoints that honoring pluralism, believing in substance than the name, giving priority to open-minded attitudes and think inclusively; the moderates tend to have a positive reaction to democracy, which is mainly regarded as the systems that in line with the spirits of Islam such as justice, equality and consensus. As a reflection to this attitude, the moderates tend
References
to com prehensively accept and honor the existence of non-M uslim groups by not only acknowledging their existence but also providing trust and an equal access to them. The phenomenon of the existence of the radical Islamic groups and the moderate Islamic groups (with all their similarities and differences) in th e re fo rm e ra in g e n e ra l n o t o n ly demonstrates that politics i s an inseparable issue
30
A li, M u h am m ad M u m taz, “N atu re and C h a ra c te ris tic s o f M o d ern Islam ic M ovem ents” , in M uham m ad M umtaz Ali, (ed.), Modem Islamic Movements, Models, Problems and Prospects, (Kuala Lumpur: A.S Noordeen, 2000). A li, M ukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1988). A l-A nshari, Fauzan, “D em okrasi Syirik” , www.majelis.mujahidin.or.id Amir, Z ainal A bidin, Peta Islam Politik Pasca Orde Baru , (Jakarta: LP3ES, 2003). Anwar, Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam
Indonesia: Sebuah Kajian P olitik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995). Arjomand, Said Amir, “Unity and Diversity in Islam ic Fundam entalism ” , in Marty, E M a rtin an d S c o tt A p p leb y ,
Fundam entalism
Comprehended,
(Chicago: The UCP, 1991). Awwas, Irfan S., “M engapa Harus N egara Islam ?” , www.tripod.com Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam:
Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-M odernisme (Jak arta : Paramdina, 1996). Barton, Greg, Indonesia’s Struggle Jemaah
Islam iyah and The Soul o f Islam, (Sydney: UNSW, 2004). Basalim, Umar, Pro Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: P ustaka Indonesia Satu, 2002). Batley, Breck, The Complexities o f Dealing
With Radical Islam in Southeast Asia, A Cas e Study o f Jemaah Islam iyah,
(Canberra: Strategic andDefense Studies Centre, 2003). Bruinessen, Martin Van, “Genealogis of Islamic Radicalism in Post-Soeharto Indonesia”, South East Asia Research, 10,2, pp. 117154. Bruce, Steve, “The Moral Majority: the Politics of Fundamentalism in Secular Society, in L ionel C aplan, Studies in Religious F undam entalism , (L o n d o n : T h e Macmillan Press Ltd, 1987). Burhanuddin, Nandang, Penegakan Syariat
Islam M enurut Partai K eadilan, (Jakarta: Al-Jannah, 2004). Bubalo, Anthony and Greg Fealy, Joining the
Caravan? The Middle East, Islamism and Indonesia, (A lex an d ria: L ow y Institute for Intemational Politcy, 2005). C hoirie, A. E ffendy, PKB Politik Jalan
Tengah Nahdhatul Ulama Pemikiran Islam dan Gerakan Kebangsaan Pasca Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002).
------------------------------------ , Teologi Baru
P olitik Islam, Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001). Erros Jafar, “Indonesia Merdeka Diawali Pekik Allah AkbarBukannyaHaleluya”, in http:/
/swaramuslim.net. Esposito, John L., The Islamic Threath: Myth or R e a lity ?, (N ew Y ork: O x fo d University Press, 1992). ---------------------------------------- ,“Claiming the Center, Political Islam in Transition”, in Harvard International Review, Spring 1997; 19, 2. Fealy, Greg, “Islam ic Politics: A Rising or Declining Force?” in Damien Kingsbury an d A rie f B u d im an , Indonesia the U ncertain Transition, (A d e la id e : Crawford House Publishing). ------------------------ , “Islam ic R adicalim s in Indonesia: The Faltering Revival?” , in
Southeast
Asian
A ffairs
2004,
(Singapore: ISEAS, 2004).
D a m a n ik , A li S a id , Fenomen Partai
Furkon, Aay M uhammad, Partai Keadilan
Keadilan: Transform asi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia,
Sejahtera, Ideologi dan Praktis Politik Kaum Muda Kontemporer, (Bandung:
(Bandung: Teraju, 2002).
Teraju, 2004).
Davidson, Lawrence, Islamic Fundamentalism, (Connecticut: Greenwood Press, 1998). Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional, Partai Amanat Nasional, (Jakarta: DPP PAN, 1999). Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan, Jati Diri Partai Keadilan, (Jakarta : Pustaka Tarbiyatuna, 2002). D ew an P im pinan P usat P artai P ersatuan P em bangunan, Ketetapan-Ketetapan Muktamar IV PPP, (Jakarta: DPP PPP, 1999). E ffe n d y , B a h tia r, Islam dan Negara
Transformsi Pemikiran Praktik Politik Islam di Indonesia, (J a k a rta ,
H a ra h a p , A b d u l A sri, PPP: Sintesa Nasionalisme dan Religiusitas, (Jakarta: Integritas D inam ika Press: 2004). Haris, Syamsuddin, PPP dan Politik Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1991). Harjono, Anwar dkk, “M. Natsir, Sumbangan dan Pem ikirannya untuk Indonesia” , dalam Media Dakwah, 1416H/1995. H efner, R obert W , “Islam in an E ra o f N ation-States, Politics and R eligious Renewal in M uslim Southeast A sia”, in Robert W. Hefner (ed.), Islam in an Era o f Nation-States, (Hawaii: University of Hawaii Press, 1997).
Paramadina, 1999).
31
Ibrahim , Idy S, Amien Rais Membangun Politik Adiluhung, (Bandung: Zam an Wacana Mulia, 1998).
Matta, Anis, Menikmati Demokrasi, Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, (Jakarta: Pustaka Saksi, 2002).
ICG Indonesia, Al-Qaeda in Southeast Asia:
M oaddell, M ansoor and Kamran Talattof, eds., Moderate and Fundamentalist Debates in Islam, (New York: Palgrave 2002),
The Case o f the “Ngruki NetWork” in Indonesia, (Jak arta: IC G In d o n esia Briefing, 8 August 2002). Jamhari and Jajang Jahroni, (eds.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004).
M o u ssa lli, A h m ad S ., Radical Islamic
Jansen, Johannes J.G The Dual Nature o f Islamic Fundamentalism, (New York: Com ell University Press, 1997).
(Lebanon: the American University of Beirut, 1992).
Kamarudin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi, (Jakarta: Visi Publishing, 2003). Kazhim, M usa and Alfian Hamzah, 5 Partai dalam Timbangan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999). Kuntowijoyo, “Peta Politik bagi U m at”, in Deliar Noer, et.al, Mengapa Partai Islam Kalah?, (Jakarta: Alvabet, 1999). Liddle, R W illiam , “Skriptualism e M edia Dakwah: Suatu Bentuk Pem ikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia M asa Orde Baru”, dalam M ark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan
Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: M izan 1999). L itb an g K om pas, Partai-Partai Politik
Indonesia, Ideologi, Strategi dan Proram, (Jakarta: Kompas, 1999). M ahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan
Fundamentalisme dalam Politik Islam, Perbandingan P artai M asyum i (Indonesia) dan Partai Jamaat-i-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999). M aschab, M ashuri, Anda Bertanya PAN Menjawab, (Y ogyakarta: D PW PAN DIY, 1998). Masdar, U m aruddin, Membaca Pemikiran
Gus D ur dan Am ien Rais Tentang D em okrasi, (Y o g y a k a rta : P u s ta k a Pelajar, 1999).
32
Fundamentalism: The Ideological and Political Discourse o f Sayyid Qutb,
--------------------------------—------------ ,“M odern Islam ic Fundam entalism Discourse on C iv il S o c ie ty , P lu ra lis m and Democracy”, in August Richard Norton, ed, Civil Society in The Middle East, Volume I, (Leiden: E.J. Brill, 1995). M uham m ad, M unib H (ed.), Pro Kontra Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: Fatm a Press, 1998). P u rn o m o , A lip , FPI D isalahpaham i, (Jakarta: M ediatam a Indonesia, 2003) Rahman, Fazlur, Islam, (Bandung: Ganesha, 1984). Rais, M. Amien, “Kata Pengantar” dalam M. Amien Rais, ed., Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989). ---------------------------------- , “Wawasan Islam te n ta n g K e ta ta n e g a r a a n ” , d a la m Cakrawala Islam, (Bandung: M izan, 1994). Ridha, Abu, Untung Wahono, Syamsul Balda,
P olitik Dakwah Partai Keadilan, (Jakarta: D PP PK, 2000).
Republika, 18 Februari 2002. R o m li, L ili, P artai P olitik Islam Era
Reformasi dan Piagam Jakarta dalam Sidang Tahunan MPR 2000, T hesis, (Depok: FISIP UI, 2001).
Roy, Oliver, The Failure o f Political Islam, (London: President andFellows of Harvard College, 1994).
------------------------------------------------ , Partai-
Saksi, No. 5 Tahun VI, 2003.
Uhlin, Anders, Oposisi Berserak, Arus Deras
Salim, M. Arsekal, “Fragmentasi Partai Islam”, Kompas, 26 Juni 1999. Sastrahidayat, Ika Rochjatun, “Syari’ah Islam Menuju Indonesia Sejahtera”, in Bulletin Risalah Mujahidin, 06/M arch 2001. S y a fri, W irm an & Im ro n N a s ri, e d s.,
Merangkai Sejarah M enatap Masa Depan R efleksi K elahiran Partai Amanat Nasional, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah & Litbang PAN, 2003). Syamsudin, Din, “U saha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam ”, in Ulumul Qur’an, No.2 Vol. IV, 1993. Thohari, Hajriyanto Y.,“Bangsa Pluralis, Partai Pluralis”, Republika 19 September 1998.
Partai Politik Indonesia: Ideologi, dan Program, (Jakarta: Kompas, 2004) Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (Jakarta: M izan, 1998). Yusuf, Buchori and Im am Santoso, (eds.),
Penerapan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Global M edia, 2004). Yunanto, S, et.al, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, (Jakarta: T he R idep Institu te-F ried rich -E b ertStiftung, 2002). Zachry Abuza, Militant Islam in Southeast Asia, Crucible ofTerror, (London: Lynne Rienner, 2003). Zada, Khamami, Islam Radikal, Pergulatan
Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Bandung: Teraju, 2002). pk-sejahtera.org
The C hallenge o f Fundamentalism Political Islam and the New World Disorder, (California: The
www.islamlib.com
Regent of University of California, 1998).
www.majelismujahidin.or.id
T ib b i,
B a ssa m ,
Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik
Indonesia: Ideologi, Strategi dan Program, (Jakarta: Kompas, 1999).
www.kebangkitanbangsa.org
www.ppp.or.id
www.sctv.co.id
33
Pem erintahan Susilo Bam bang Yudhoyono dan P olitik L uar N egeri Indonesia Oleh: Ratna Shofi lnayati Abstract In his early presidential time President SBY took a series of visits to Australia, New Zealand and East Timor following his visit to Malaysia and Singapore a month before as his first step to start the Indonesian Diplomacy. In the next step, he also prepare to visit US and EU during May 2005. It indicates that President SBY still continues the basic strategy in the implementation of Indonesian Foreign Policy by President Megawati. Since the New Order govemment, Indonesia has adopt the Concentric Circle Formula as the base theory in the implementation of Indonesian Foreign Policy, putting emphasis on relation with countries within a series of concentric circles. The first concentric circle is ASEAN which is regarded as the comer stone of Indonesian foreign policy.The second circle, Indonesia puts a special emphasis on promoting relations with it’s Eastern and Southern neighbour, bringing Indonesian engagement with the Pacific Islands Forum, The South West Pacific Dialogue and the Tripartite Consultation between Indonesia, Australia and East Timor. Within the second concentric circle also includes Japan, China and South Korea in the ASEAN +3 forum.Beyond that, Indonesia puts in important attention to the relation with its major economic partners as US and EC, as regarded as the third concentric circle.
Politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk m elindungi k epentingan nasional, khususnya rencana pem bangunan nasional. Ditengah perkembangan dunia yang ditandai oleh saratnya kepentingan nasional masingmasing negara dalam proses negosiasi di tingkat bilateral, regional maupun multilateral maka sem akin p en tin g bagi In d o n e s ia u n tu k menentukan sikap dan menempatkan posisi yang tepat dan jelas. Jika tidak, kita akan terombangambing di antara pergumulan kepentingan yang saling bertolak belakang. Target jangka pendek dan jangka panjang yang hendak dicapai perlu ditetapkan terlebih dahulu secara jelas sehingga biaya dan m anfaatnya bisa lebih terukur dan transparan. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengkaitkan startegi dan kebijakan pem bangunan ekonom i nasional dengan langkah-langkah yang ditempuh di tingkat internasional. Sejak pemerintahan Orde Baru, politik luar negeri Indonesia menganut teori lingkaran
konsentris ( Concentric Circles Formula). Lingkaran Konsentris pertama adalah ASEAN yang dianggap sebagai “ comer stone" dari politik luar negeri Indonesia. Di luar lingkaran tersebut, Indonesia perlu memperkuat keija sama dengan negara-negara yang tergabung dalam Pacific Island Forum, the South West Pacific Dialouge dan K onsultasi T ripartite d iantara Indonesia, Australia dan Timor Tim ur yang mencakup w ilayah dalam L ingkaran K onsentris II. Termasuk di dalam lingkaran konsentris II adalah negara-negara yang tercakup dalam kerja sama ASEAN+3 (Jepang, China dan Korea Selatan). D ilu a r lin g k a ra n te rs e b u t, In d o n e s ia mengkonsentrasikan keija sama dengan negaranegara yang ekonominya maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.11
1 Dewi Fortuna Anwar,"Indonesian Foreign Policy and Domestic Politics”, ISEAS, Singapore, 2003,h.7
35
Dukungan sepenuhnya akan peran sentral PBB dan prinsip-prinsip multilateralisme di dalam upaya mengatasi perdamaian dan keamanan dunia merupakan aspek penting lainnya dari politik luar negeri Indonesia. Hal ini sangat jelas ditunjukkan dengan penolakan langkah-langkah unilateral AS dan Inggris di dalam mengatasi krisis di Irak. Seperti halnya Suharto, Megawati dalam menata pelaksanaan politik luar negeri tidak berusaha mencitrakan dirinya tetapi memberikan peran utama kepada Menteri Luar Negeri Hal ini berbeda dengan ketiga presiden sebelumnya yaitu Soekarno, B J Habibie dan Gus Dur dimana pelaksanaan politik LN lebih menonjolkan peran presiden. Langkah yang diambil mantan Presiden Megawati masih dipertahankan oleh Presiden SBY, tetapi sebagaim ana kem unculannya sebagai kandidat Presiden yang sukses, SBY berusaha menggunakan karism a pribadinya dengan mengambil sebagian peran M enlu di dalam melakukan pendekatan dengan setiap mitra dialog guna memperoleh kepercayaan m ereka akan k eseriu san S B Y di d alam memenuhi setiap komitmennya. P o litik lu a r n e g e ri p a d a m a sa pemerintahan SBY 2004-2009 menghadapi beberapa kondisi, antara la in : 1) Terbatasnya kem am puan nasional dalam m engatasi krisis ekonom i, yang telah m e n y u lu t dan m e m p erta jam k o n flik sosial dan politik di berbagai wilayah di tanah air, sehingga mobilitas dukungan ekonom i internasional m erupakan hal yang mutlak perlu diupayakan/dilakukan p em erin ta h an SBY. In d o n e sia harus secepatnya m engupayakan iklim yang kondusif guna menarik kembali investasi asing yang enggan m asuk a.l. karena ketidakpastian hukum di Indonesia. 2) Indonesia harus m encegah m ispersepsi internasional tentang gerakan terorism e internasional yang belakangan marak di n eg eri ini dan te ru s m e n g u p ay ak an
36
dukungan dari dunia luar demi keutuhan negara dan bangsa dari berbagai ancaman separatisme dan masalah otonomi daerah. Politik luar negeri memainkan peran penting guna mencegah internasionalisasi isu-isu separatisme dan menegaskan dukungan internasional terhadap integritas wilayah Indonesia serta m em elihara kepercayaan kepada aktor utama politik dan keamanan di kawasan. 3) Posisi kuat Indonesia di kaw asan dalam m e m a in k a n p e ra n di A S E A N dipertahankan demi tetap mempertahankan posisi taw ar dan m eningkatkan kerja sam a s e rta d u k u n g an in te rn a sio n a l. Indonesia harus berperan m endukung pem bentukan suatu komunitas regional u n tu k k a w a sa n A sia P a s ifik y an g diperkuat A SEA N m elalui pengakuan m ereka terhadap suatu tertib kaw asan (sebagaimana yang tertuang dalam TAC). D i b id an g p o litik k eam an an dengan ASEAN Regional Forum (ARF) dan dari seg i e k o n o m i m e la lu i A P E C y an g m erupakan mekanisme institusi-institusi p em b e n tu k a n k o m u n itas. K ed u an y a didukung second track masing-masing, yaitu CSCA P dan PECC. 4) K ep iaw aian b erd ip lo m asi d alam era g lo b a lis a s i tid a k ak an m am p u m eningkatkancitra suatu negara apabila kondisi dalam negeri tid ak kondusif. K arena itu, penyusunan skala prioritas untuk mengoptimalkan sumber daya yang te rb a ta s, te ru ta m a u p ay a p em u lih an ekonom i dan pem eliharaan lingkungan nasional dan regional yang am an dan s ta b il sangat d ip e rlu k a n pada pem erintahan ini.
Kondisi Dalam Negeri Krisis ekonomi 1997 yang ditandai oleh pelarian arus modal asing dari Indonesia telah membawa negeri ini ke arah keterpurukan dan kita akan sulit untuk bangkit kembali apabila tidak tanggap terhadap perkem bangan yang
teijadi baik di luar maupun di dalam negeri. Kita h arus m e m ak sim alk an p e lu a n g d en g an memanfaatkan hal-hal yang positif, sekaligus mengatasi kendala baik yang berasal dari luar ata u p u n d a la m n e g e ri. U n tu k d a p a t memanfaatkan peluang yang ada diperlukan penanganan yang serius dengan strategi yang tepat serta koordinasi yang efektif dengan melibatkan berbagai kom ponen pemerintah, swasta, LSM dan akademisi. Pasca krisis ekonomi 1997, arus modal masuk diharapkan akan terjadi kembali setelah restrukturisasi utang baik di sektor pemerintah m aupun swasta, dan kepercayaan kreditor kepada debitornya pulih kembali. M eskipun sampai sekarang current account masih positif yang berarti masih ada net Capital inflow akan tetapi hal ini sulit untuk diketahui secara pasti karena bisa tersem bunyi pad a kesalahan p en ca tatan di n e ra c a p em b ay aran yang angkanya besar. Meskipun surplus modal di dunia masih cukup besar namun yang bisa tertarik ke Asia Tenggara hanya sebagian kecil saja. K orea Selatan sudah mulai menarik pemasukan modal dan modal portfolionya kembali ke Thailand, akan tetapi modal investasi langsung (direct foreign investments) nya masih lebih tertarik ke China ketimbang Asia Tenggara. Laju pertumbuhan ekonomi nasional juga sangat tergantung dari integrasinya terhadap ekonomi global dan regional. Faktor dinamis yang m endorong ekonom i tersebut adalah teknologi informasi dan arus globalisasi (integrasi ekonomi dunia yang mengikuti tata tertib WTO). Indonesia sudah menjadi bagian dari proses globalisasi ekonomi dunia tersebut walaupun di dalam negeri masih cukup banyak sektor dan golongan usaha yang merasa cemas dan minta proteksi. Secara internal target reformasi dalam negeri dalam bentuk deregulasi dan good govemance terus diupayakan perwujudannya. Dalam prakteknya, faktor eksternal dan internal tersebut akan berinteraksi dalam suatu dinamika yang saling mempengaruhi sehingga perlu dilihat
dalam konteks yang terintegrasi. Satu hal yang perlu dicermati bahwa saling ketergantungan dan interaksi ini akan semakin meningkat pada tahuntahun m en d atan g , dan m asa d ep an k ita tergantung kepada b agaim ana kita dapat bersikap positif nam un w aspada terhadap perkembangan di luar. Dalam alam demokrasi dan desentralisasi pada masa pemerintahan presiden SBY saat ini akan timbul lebih banyak sentra kekuasaan, yang walaupun lebih kecil namun dapat menjadi sumber KKN baru. Visi dan misi pemerintahan presiden SBY adalah pemberantasan korupsi se c a ra tu n ta s y an g m e m b e lit di sem u a departemen. Hal ini harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh pihak aparat hukum baik di pusat maupun di daerah. Saat ini pemerintah sedang mengusut tuntas dugaan korupsi di KPU dan beberapa Bank BUMN. Mantan gubernur A ceh A bdulah P uteh ju g a sedang dalam peradilan sebagai tersangka korupsi. K eb ija k a n o to n o m i d aerah secara nom inal harus dapat ikut m enaikkan laju pertumbuhan ekonomi nasional, karena pusat pertum buhan ekonomi demikian tidak akan berkonsentrasi di Jakarta lagi. A da em pat provinsi yang mempunyai potensi antara lain Riau, K alim antan Timur, Aceh dan Papua serta daerah-daerah yang infrastruktur dan SDM nya relatif baik seperti Jaw a Barat, Jakarta; Jawa Timur; Sumatra Utara; Sulawesi Selatan dll. N am u n m a sa la h ille g a l lo g g in g d an penyelundupan TK I di daerah perbatasan Indonesia - Malaysia sampai saat ini sulit untuk diberantas. Aparat di daerah perbatasan dan Pem da harus membenahi masalah ini sampai tuntas meskipun sulit karena sebagian dari mereka sendiri diduga ikut terlibat. Pemerintah harus terus mengupayakan penyelesaian masalah yang rumit ini. Kunjungan kerja Presiden ke M alaysia dan Singapura pada bulan Februari yang lalu merupakan perwujudan komitmen pemerintah tentang langkah konkret yang harus diambil, jadi bukan sekedar janji belaka. Dengan pemerintah
37
Malaysia dibicarakan masalah perjanjian tentang TKI, yakni perlunya pemerintah Indonesia dan Malaysia mempunyai komitmen bersama untuk m e m p erb aik i s iste m k e te n a g a k e rja a n .2 Sem entara m engenai perjanjian ekstradisi dengan Singapura, Presiden SBY menjelaskan bahw a pem erintah Singapura m em punyai kepentingan untuk m em b ersih k an nam a negaranya agar tidak lagi disebut sebagai safe heaven bagi pelaku tindak pidana korupsi. Presiden mengharapkan tidak ada lagi koruptor yang sembunyi dan enjoy life di Singapura. PM Singapura menyampaikan komitmennya untuk m em p ercap at p ro ses p en y u su n an M O U ekstradisi dengan Indonesia yang tertunda selama 31 tahun.3 Selanjutnya kunjungan Presiden SBY ditindak lanjuti oleh kunjungan Wapres Yusuf Kalla ke Malaysia dan Singapura beberapa w aktu lalu. K unjungan tersebut diharapkan akan m em bawa angin segar bagi hubungan kedua negara serta penyelesaian secara tuntas masalah-masalah tersebut. Kebijakan apapun yang bakal diambil Indonesia, nampaknya masalah inti yang dihadapi adalah bagaimana m em perkuat home front sehingga seluruh potensi yang dimiliki bisa dieksploitasi secara optim al. K unci dari penguatan home front ini adalah bagaim ana membentuk dunia usaha yang tangguh sehingga mampu m enghadapi berbagai gejolak dan pembahan di lingkungan internasional. Kondisi demikian dapat terbentuk jika tercipta iklim dan lingkungan yang kondusif bagi industri nasional, dan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkannya. Pengusaha yang tangguh akan muncul jik a lingkungan industrinya mampu mengeliminasikan praktekpraktek yang antikompetisi, diskriminatif dan tidak transparan. Sangat sulit membayangkan
2 Indonesia diharapkan dapat m em perbaiki system rekrutmen dan pengiriman tenaga kerjanya ke Malaysia, sementara Malaysia berkepentingan untuk menegakkan hokum agar tidak ada perusahaan M alaysia yang memperkejakan tenaga kerja illegal, karena merugikan pemerintah Malaysia dan pelanggaran hukum. 3 Detikcom, 9 April 2005
38
m unculnya p roduk-produk industri yang berdaya saing tinggi kalau bentuk pasarnya penuh monopoli dan oligopoli tanpa didukung oleh lingkungan yang kondusif di bidang keamanan, kepastian hukum, hubungan yang adil diantara produsen dan pekerja serta birokrasi yang bebas KKN. Di tengah keadaan seperti saat ini, maka wajar apabila para pengusaha menghadapi situasi yang riskan untuk menerapkan visi jangka panjang di dalam melakukan investasinya, di samping karena kondisi perekonom ian yang masih sangat rentan terhadap berbagai gejolak internal dan eksternal. Pada akhirnya kita tidak tahu bagaimana bersikap dan menentukan posisi di tengah arus globalisasi. Dalam kondisi seperi itu m ak a k ira n y a san g at p en tin g untuk merumuskan kembali peranan pemerintah agar meningkatnya peran swasta tidak menjadikan posisi pemerintah menjadi semakin tenggelam, melainkan justru semakin strategis dengan kebijakan yang tepat bagi semua pihak.
Lingkungan Internasional S eb ag ai n e g a ra A S E A N te rb e sa r, Indonesia mempunyai peranan kunci di dalam upaya pengembangan ASEAN. Suatu negara In d o n esia yang stabil dan m akm ur akan memberikan manfaat bagi negara tetangganya. Demikian pula sebaliknya Indonesia yang miskin dan tidak aman akan mempengaruhi stabilitas kawasan. K eija sama regional ASEAN yang kuat m em erlu k an p eran a k tif k ep em im p in an Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir ini, Indonesia telah tersandera secara internal oleh permasalahan domestiknya. Sebelum tahun 1997, s e la m a tig a d e k a d e In d o n e s ia m em fo k u sk an d iri d alam p em b an g u n an ekonomi, mempererat hubungan persahabatan d e n g a n n e g a r a -n e g a r a te ta n g g a s e rta membangun iklim saling percaya dan keija sama di lingkungan ASEAN. Akan tetapi sejak tahun 1997, Indonesia mengalami suatu pembahan yang drastis dimana perekonomian yang kolaps secara mendadak
telah memicu suatu pergolakan sosial dan ketidakpastian politik. Namun demikian, sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia berhasil memulihkan stabilitas politik dan kembali ke jalur pemulihan perekonomiannya. Dengan keberhasilannya m enyeleng garakan Pemilihan langsung Presiden pada akhir Oktober 2004 yang lalu, Indonesia telah berhasil mencapai tonggak utam a ( major milestone) dalam proses transisi di bidang politik. Pemerintahan Indonesia yang baru, di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Yusuf Kalla memiliki mandat untuk melakukan perubahan yang sulit guna mengembalikan pemerintahan ke jalur yang benar. Indonesia telah m elakukan langkah perubahan yang signifikan di bidang finansial. Indikator makroekonomi yang menunjukkan kestabilan beberapa tahun terakhir ini akhirnya dapat melepaskan ketergantungan kita terhadap IM F pada bulan D esem b er 2003. B adan pemeringkat utang internasional telah menaikkan rating utang internasional Indonesia sehingga pemerintahan yang baru dapat memfokuskan diri pada upaya guna menarik investasi asing (LN) dan menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Dalam upaya memulihkan perekonomian nasional di tengah gelombang globalisasi ini, politik luar negeri Indonesia perlu difokuskan pada keija sama bilateral dengan negara-negara Asia Timur, ASEAN+3 (Jepang, Korea Selatan, dan China), East Asia Community dan APEC pada tin g k at re g io n a l, se rta k elo m p o k kelompok tertentu pada tingkat global. H ubungan b ilateral dengan Jepang semakin meningkat dan momentum itu diperkuat dengan kunjungan Presiden SBY ke Jepang. Investasi, perdagangan dan keija sama ekonomi bilateral maupun regional semakin diperluas dan d ip e rd a la m . S u d a h s a a tn y a In d o n e s ia m enandatangan K esep ak atan K em itraan E k o n o m i ( Econom ic P artnerships Agreement) dengan Jepang di saat negara-
negara lain seperti M alaysia, Singapura dan Thailand sudah lebih dulu melakukannya. Sementara hubungan bilateral dengan K orea Selatan penting bagi penataan ulang industri nasional yang setengah hancur melalui kerja sama teknologi m adya dan tinggi yang dimiliki negara ini.4 Sebagai negara yang sedang bangkit, China merupakan mitra dagang dan pasar utama produk Indonesia melalui penyediaan berbagai bidang bahan baku yang diperlukan ,serta m enjadi sum ber penting bagi penyediaan teknologi kecil dan menengah yang dimilikinya. M antan P residen W ahid pad a w aktu itu menegaskan pentingnya hubungan Rl-China di m asa m endatang, seperti tercerm in dalam gagasannya tentang aliansi Indonesia, China, India, Singapura dan Jepang. Akan tetapi gagasan tersebut tidak ditunjukkan secara konkret akan pentingnya China dalam politik luar negeri yang ingin diciptakannya5. Dengan hanya menetapkan seorang Konsul Kehormatan RI di Shanghai sebagai resiprokal Konsul Jenderal RRC penuh di Surabaya merupakan keputusan yang kurang bernilai strategis dalam pelaksanaan p o litik luar negeri In d o n esia pada m asa globalisasi sekarang ini. Pimpinan baru China berhasil membagi China dalam “dua ekonomi”. Di daerah pantai dan terutam a di special economic zones, berlaku kapitalisme pasar yang sangat bebas. A k an te ta p i se k to r B U M N dan d aerah pedalaman masih dikuasai dan dikendalikan kuat oleh negara. Di lain pihak, petani pada umumnya sudah diberi kebebasan bertanam. Dengan kom binasi dua ideologi yang sebetulnya bertentangan, C hina dew asa ini m enjadi superpow er yang ekspor im pornya sangat mempengaruhi ekonomi dunia, dan selama tiga dasawarsa ini PDB-nya sempat tumbuh sekitar
4 “Reinventing ASEAN”ibid.h. 134; http:// www.vnagency.com.vn/Public/Readnews.asp7file 5 A nthony L. S m ith ,”Gus Dur and the Indonesian Economy,”ISEAS, Singapore, 2001,h.59
39
9 persen setahun. Sikap pemerintah China ini terus diamati oleh seluruh dunia karena China m eru p ak an ancam an ( threat ) sek alig u s kesem patan ( opportunity ) bagi m ereka. Pemerintah China sadar akan tanggung jawab internasionalnya dan tidak akan m erusak ekonomi negara-negara berkem bang dengan ekspor tekstil, elektronik dan produk industri lainnya yang sangat murah.6 T erhadap A S, C h in a b erjan ji akan mengurangi ekspor barang yang sama. Tekstil dari China memang sudah m enguasai pasar Amerika. AS menuduh China sengaja menekan n ila i m a ta u a n g n y a d e n g a n m e m a to k (undervalued) nilai tukarnya dengan US-dollar untuk mendorong ekspornya. China sampai sekarang menolak untuk mengapresiasi yuannya, tetapi berjanji untuk menerapkan pajak ekspor terhadap ekspor tektilnya.7 Pada pem erintahan Presiden SBY ini, keija sama kita dengan China diharapkan akan m eningkat secara riil dengan dihasilkannya Deklarasi Kemitraan Strategis antara Indonesia dan China. Indonesia mengharapkan China sebagai pasar yang potensial bagi berbagai produk kita sekaligus sum ber penting bagi kebutuhan kita akan produk teknologi kecil dan m en en g ah , te rm a su k p ro d u k te k n o lo g i persenjataan yang kita perlukan.
Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia Politik luar negeri merupakan kebijakan negara untuk m em perjuangkan kepentingan nasional terhadap dunia luar. Sasaran politik luar negeri sifatnya fleksibel, bukan memaksakan k em au an s e n d iri u n tu k m e n g a m a n k a n kepentingan nasional dengan merugikan pihak lain. M eto d a p o litik lu a r n eg eri b u k an menghindari kendala-kendala yang terdapat di dalam nya, m elainkan m encari solusi dari
6M.Sadli, “Ekonomi Asia dan Posisi Indonesia”, Kompas, 25 Mei 2005 7 ibid.
40
kendala-kendala itu m elalui persuasi dan negosiasi. Menghadapi konstelasi internasional yang berubah serta transformasi sosial politik di dalam negeri, perumusan dari pelaksanaan politik luar n eg eri In d o n e s ia m au tid a k m au p erlu diperbaharui. D alam era reformasi dan krisis m ulti-dim ensional ini, politik luar negeri In d o n esia d ih arap k an d ap at m em ainkan setidaknya lima fungsi, yaitu membantu pemulihan ek o n o m i, m em b an tu m en jag a keu tu h an temtorial, memelihara lingkungan regional yang am an dan s ta b il, m e n u m b u h k a n ra sa kebersamaan dalam masyarakat yang ter-pecahpecah serta membangkitkan rasa kebanggaan pada m asy arak at yang m ulai kehilangan kepercayaan diri.8 Secara tidak langsung kerja sama luar n e g e ri d a p a t d im a n fa a tk a n u n tu k mengidentifikasi siapa pesaing-pesaing, dan menganalisa persepsi berbagai pihak luar negeri (pemasok, pelanggan) mengenai produk dalam negeri dan berbagai keadaan dalam negeri yang segala sesuatunya dibutuhkan bagi penyusunan taktik-taktik persaingan dengan pihak luar. Tujuan menyiasati ini adalah memaksimalkan s itu a s i s a lin g m e n g u n tu n g k a n s e rta m enghindarkan situasi untung rugi dalam hubungan ekonomi. Identifikasi mengenai hal ini bertambah penting dengan semakin banyaknya kegiatan intra-regional yang bersifat jangka panjang seperti keija sama antar bangsa dalam pembangunan kawasan bersama. Sebagaimana ekonomi, maka sebagian besar keuntungan keija sama akan jatuh ke negara-negara industri. Secara alamiah ini memang tidak terhindarkan oleh karena keadaan negara industri yang sudah lebih maju. Namun apabila hal ini tidak dikoreksi maka akan ada kecenderungan jurang ekonomi antara negara industri dan negara berkembang
8 Ali Alatas,"Tatanan Politik Dunia Abad XXI” Kompas Juni 2000.
semakin lebar. Oleh karena itu dibutuhkan aturan permainan bukan hanya menyangkut hubungan ekonomi tetapi juga hubungan sosial, politik, kebudayaan dsb.nya. Berdasarkan penjelasan di atas, di dalam pelaksanaan politik luar negerinya pemerintahan Presiden SBY mempunyai sasaran utama yang difokuskan pada Lingkaran Konsentris II yaitu kem itraan strategis dengan negara-negara tetangga di Selatan (Australia, Timor Timur dan Selandia Baru) dan negara-negara dunia ketiga lainnya melalui pertemuannya dengan kepalakepala negara A sia-A frik a dalam forum Peringatan 50 tahun KAA, serta memperbaiki hubungan lebih erat dengan AS dan UE. Kunjungan kenegaraan pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Australia pada awal April 2005, menandai kian pudarnya kekhawatiran historis Australia tentang ancaman dari Utara. Dari bantuan Australia di Nias, dan sebelumnya di Aceh, kita semakin yakin bahwa Australia telah memperlihatkan niat yang tulus terhadap Indonesia.9 Dalam perspektif hubungan RI-Australia sejak 1980-an terjadi hubungan pasang-surut antar kedua negara. Sekarang setelah hubungan ini dalam kondisi baik, bagaimanakah kita mengisinya secara produktif demi kemajuan dan kemanfaatan kedua pihak? Presiden SBYke Australia membicarakan peningkatan kerja sam a dalam menangani terorisme dan kejahatan transnasional, serta ditandatanganinya latihan militer gabungan antar
perang Irak. D alam isu ini, Australia berada dalam posisi the coalition o f willing yang m enginvasi Irak di luar persetujuan PBB. Sebaliknya Indonesia menolak tindakan seperti itu terutam a karena adanya kesan perang m elaw an tero rism e m erupakan serangan terhadap umat Islam. Peningkatan profil Australia ini berdampak pada m eningkatnya ancaman keamanan dari kelompok radikal, termasuk kelompok jemaah Islam iyah yang dipercayai beroperasi di Indonesia.10 Oleh karena itu, diperolehnya jam inan dalam bentuk kerja sama keamanan dengan Indonesia merupakan prestasi tersendiri yang mampu diraih PM Howard. B ag i I n d o n e s ia , k u n ju n g a n ini dim anfaatkan untuk menjelaskan keberatankeberatan, seperti halnya travel waming yang dikeluarkan Deplu Australia sering didasarkan informasi yang sumir dan tidak menguntungkan citra Indonesia sehingga memukul industri pariwisata kita. A p ab ila salin g p erca y a an tara R IAustralia dapat ditingkatkan, m aka banyak bid an g yang b isa dik em b an g k an seperti keam anan penerbangan sipil dan program perlindungan sosial. Bahkan kalau tahap yang ada sekarang ini masih dianggap sebagai bagian dari konsolidasi, maka ada program lainnya yang pasti berm anfaat tanpa menimbulkan kerumitan politik seperti program pertukaran ilmiah dan pengembangan teknologi. Pengalaman kita dalam menghadapi serentetan bencana alam
ke d ua n eg ara. K esep ak atan p erja n jia n pertahanan keamanan yang akan dicapai kedua negara berada dalam fram e work perang internasional melawan terorisme. K e k h a w a tira n A u s tra lia te rh a d a p kelompok radikal terutam a yang berada di Indonesia beralasan dengan meningkatnya profil negara itu dalam pentas internasional sebagai salah satu sekutu AS yang terlibat langsung dalam
bisa didiskusikan secara ekstensif dengan A ustralia. Sebagai negara yang sains dan teknologinya lebih maju, Australia punya banyak kapasitas untuk bekeijasama dengan Indonesia dalam penanggulangannya. Selain upaya peningkatan hubungan b ila te r a l, la w a ta n P re s id e n S B Y ju g a
9 Kompas, 9 April 2005
10 Kompas, 12 April 2005
m engangkat isu regional, khususnya yang b erk aitan dengan m asalah keik u tsertaan
41
Australia dalam Komunitas Asia Timur (.East Asia C om m unity/EAC ) y an g ak an menyelenggarakan KTT pertamanya pada akhir tahun ini di Kuala Lumpur. Indonesia mendukung diikutsertakannya Australia dan negara-negara sekawasan lainnya dalam K TT A sia Tim ur yang m erupakan kelanjutan KTT ASEAN +3 (Jepang, Korea Selatan dan China). Keikutsertaan Australia dalam K TT terseb u t dinilai p o sitif bagi perkembangan kawasan Asia Timur sekaligus memperkuat keberadaan ASEAN, meskipun ada k e n d a la d ari sik ap M a la y sia y an g berpandangan bahwa Australia, Selandia Baru dan India tidak perlu diikutsertakan dalam KTT Asia Timur.11Hal inilah yang melatarbelakangi penolakan Deplu RI pada saat pertama kali ide pembentukan East Asia Community diusulkan oleh PM M ahath ir. In d o n e sia k h a w a tir kepentingan A SEA N akan terdesak oleh kepentingan negara-negara m itra yang lebih maju industrinya. Pernyataan Presiden RI ini dapat memicu wacana segar menyangkut upaya menggerakkan k aw asan ini d alam k e ra n g k a d in a m ik a perkembangan global yang antara lain ditandai dengan terbentuknya blok-blok komunitas, seperti blok perdagangan bebas di Amerika U tara dan Eropa. U ntuk kaw asan A sia , pembentukan blok semacam itu masih banyak kendalanya karena begitu banyak perbedaan di wilayah Asia seperti bahasa, ras, kultur dsb.12 Kehadiran anggota baru seperti Australia dan Selandia Baru akan bisa m eningkatkan greget d an tid a k m e m b u a t p e rte m u a n merupakan pengulangan pertemuan sebelumnya. Keikutsertaan m ereka m erupakan langkah
11 Pertem uan Puncak ini in gin d ifok u sk an untuk mem bangun hubungan kerjasam a A S E A N + 3 dan merupakan bagian dari upaya pembentukan Komunitas Asia Timur yang menjadi impian mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad. 12 Sifat keanggotaan forum kerjasama perdagangan dan ekonomi tidak hanya berdasarkan ras, tetapi juga dari segi geografis.
42
strategis untuk menegaskan posisi Indonesia yang ingin memperkuat ASEAN dan kerja sama ASEAN +3.13 Hubungan Indonesia dan Timor Leste dipererat dengan kunjungan Presiden SBY ke Timor Timur selama dua hari yang pada intinya adalah penegasan kem bali penghorm atan Indonesia atas kemerdekaan Timor Leste serta mengekspresikan sikap persahabatan untuk membangun kerja sama. Presiden SBY secara khusus m engatakan kein g in an n y a untuk membuka jalu r darat diantara kedua negara, kh u su sn y a di daratan P ulau T im or guna m en in g k atk an k erja sam a ekonom i dan m e m p ererat ik atan k eb u d ay aan . D alam pertemuannya dengan Presiden Xanana Gusmao telah diadakan penandatanganan kerja sama dalam upaya penyelesaian garis perbatasan kedua negara yang bertetangga dan beberapa masalah-masalah lain. Seperti kita ketahui negara baru berpenduduk 800.000jiw a itu kini mengalami berbagai kesulitan, terutama di bidang e k o n o m i. B ia y a o p e ra s io n a l b iro k ra s i pemerintahan masih bergantung pada bantuan asing. Disinilah Indonesia harus menangkap peluang yang ada untuk mem bantu Timor Leste.14 H u b u n g a n In d o n e s ia - AS p a d a pem erintahan presiden SBY ini mengalami peningkatan dengan kunjungan beliau ke Amerika Serikat pada akhir Mei 2005 ini. Presiden mempersiapkan secara serius guna mewujudkan apa yang merupakan rencana dan p ro g ram p em erin tah an n y a. D ian taran y a kesungguhan bebenah dalam penegakan hukum yang menjamin kepastian dan keadilan, termasuk penegakan martabat dan hak asasi manusia. D em ikian pula penegasan tindakan beliau terhadap pelaku tindak pidana korupsi di
13 Kompas, 9 April 2005 14 Indonesia tidak dapat begitu saja melupakan Timtim karena bagaimanapun sempat berada dalam pangkuan NKRI selama 24 tahun. Kepedulian sangat diperlukan saat ini.
berbagai instansi dan lingkungan. Presiden SBY pernah dipandang sebelah mata oleh Presiden Bush mengenai kemampuannya memberantas korupsi ketika bertemu di pertem uan APEC. Kini dengan langkah mantap dan kredibilitas cukup tinggi akan mendukung keberhasilan Presiden dalam kunjungannya ke AS guna meningkatkan hubungan bilateral berdasarkan saling menghormati dan saling percaya. Salah satu program konkret di bidang keamanan melalui peningkatan program tukar menukar pendidikan, pelatihan yang sifatnya militer ke m iliter. P rogram p elatih a n m ilite r akan direvitalisasi meskipun AS belum mencabut em b arg o p e m b elia n p e rs e n ja ta a n yang diterapkan ke Indonesia. Secara substansial m em ang tidak ada perubahan signifikan terhadap usaha pencabutan embargo. Embargo senjata memang masuk dalam legislasi AS sejak senat AS mengesahkan peraturan apropriasi bulan N opem ber 2004, yang m engatur ju g a bantuan luar negeri untuk tahun fiskal 2005. Dalam legislasi tersebut ada lima kondisionalitas yang berkaitan dengan Foreign Military
Financing Program atas bantuan yang bisa diberikan kepada Indonesia dan lisensi ekspor peralatan pertahanan (lethal defense articles) untuk TN I.15* S e ja u h ini P re s id e n B u sh te la h mengeluarkan satu sertifikasi atas kondisionalitas bahw a pem erintah Indonesia dinilai telah kooperatif terhadap kasus penem bakan dua warga AS yang semula diduga dilakukan oknum TNI, tetapi dari hasil penyelidikan TNI dan lembaga penyidik FBI ternyata dilakukan oleh anggota Organisasi Papua M erdeka bernam a A n th o n iu s W am an g . M e sk ip u n B u sh mendukung upaya normalisasi hubungan militer, 15 Dalam legislasi AS secara tegas, meminta Menteri Pertahanan melakukan tindakan terhadap anggota TNI pelaku pelanggaran HAM berat dan ada proses peradilan terhadap mereka, serta TNI bekerjasam a dengan kejaksaan dan peradilan serta UnitedNations East Timor Serious Crime Unit. Menteri Pertahanan juga diminta melakukan transparansi public atas audit penerimaan dan pembelanjaan TNI.
sebagian ganjalan masih ada di Kongres AS yang punya penilaian berbeda tentang Indonesia. Oleh karena itu pemerintahan Bush dan SBY sepakat membentuk Indonesian-US Security Dialogue serta Bilateral Defense Dialogue sebagai sarana normalisasi hubungan m iliter kedua negara. Pembicaraan tingkat tinggi antara SBY dan Bush tersebut masih menyisakan tanda tanya besar apakah akan m enghasilkan terobosan n y a ta atau tid a k ? F a k to r - f a k to r y an g menentukan apakah embargo militer akan jalan terus atau tidak antara lain seperti sudah dijelaskan diatas adalah penyelesaian mengenai pelanggaran HAM di Timor Leste. F a k to r k ed u a ad alah k ep e n tin g a n strategis-keam anan AS pasca 11 September. Hal ini bisa menjadi pendukung bagi Indonesia guna dibukanya kembali bantuan m iliter AS, dengan adanya penilaian bahwa embargo militer secara startegis tidak akan menguntungkan AS dalam menghadapi terorism e internasional. Dengan adanya embargo militer itu berakibat lemahnya postur TN I dan akan menciptakan instabilitas baru di Asia Tenggara. Gagasan ini salah satunya didukung oleh mantan Menteri Pertahan AS dan Dubes AS di Jakarta Paul Wolfowitz yang meyakini bahwa embargo tidak akan menghasilkan peningkatan situasi HAM secara langsung di Indonesia. Yang perlu d ila k u k a n a d a la h m e la n ju tk a n p ro s e s demokratisasi yang terus berjalan berdasarkan inspirasi yang dapat diperoleh dari sistem politik di AS. Faktor ketiga adalah penghentian bantuan persenjataan oleh AS tidak hanya merugikan Indonesia tetapi juga merugikan perusahaanperusahaan AS. Para pemasok persenjataan AS ke Indonesia sangat dirugikan dengan adanya embargo ini karena harus kehilangan milyaran rupiah, dan menguntungkan pemasok dari luar AS. Oleh karena itu supaya kita tidak terlalu tergantung dengan AS perlu dirancang industri pertahanan kita sehingga menjadi bagian integral
43
kebijakan pertahanan Indonesia. Paling tidak industri pertahanan menjadi pendukung utama bagi terpenuhinya persyaratan minimal dari suatu pertahanan.16
Makna 50 Tahun Konferensi Asia Afrika Bagi Indonesia Keputusan Konperensi Asia Afrika di Bandung 50 tahun lalu dirum uskan dalam D asasila Bandung. Dari 10 butir keputusan Dasasila Bandung17kalau kita kaji, tujuan pokok konperensi itu telah berhasil. H anya bangsa P ale stin a -la h yan g b elu m m e rd e k a dan berdaulat. Maka pada KAA kali ini negeri Palestina m e n jad i fo k u s p e rh a tia n p o litik u n tu k membangkitan momentum yang berdaya efektif bagi kem erdekaan dan kedaulatan bangsa Palestina. Peringatan 50 tahun KAA yang diadakan di Bandung dan didahului KAA Summit pada tanggal 22-23 A pril 2005 di Jakarta telah menguak perspektif baru. Kita memperingati peristiwa heroik bangsa-bangsa Asia A frik a, kita menangkap makna sejarah dan apinya, hal ini berarti dengan bekal KAA 50 tahun lalu, kita menatap masa kini dan masa depan. Ketertinggalan dalam bidang pendidikan, ilm u pengetahuan, pengem bangan sosial e k o n o m i, b u d a y a s e rta p e m b a n g u n a n masyarakat madani m erupakan sasaran yang tid a k b is a d itu n d a . Itu la h ta n ta n g a n sejarah,bidang-bidang inilah arena pergulatan dan perjuangan setiap negara, terutama negaranegara A sia A frika. K ita o p tim is, sebab
16 Kompas, 28 Mei 2005 17 Butir-butir dalam Dasasila Bandung diantaranya adalah: Kemerdekaan, kedaulatan, keutuhan teritorial bagi setiap bangsa dan negara; Pemecahan konflik secara damai sesuai dengan Piagam PBB; Hak asasi serta asas perlindungan hukum yang tidak kenal perbedaan warna kulit; Penghindaran dan pengecaman terhadap kerjasama blok-blok negara atas dasar ideologi dalam persaingan dan k o n flik perang d in gin ; Pem bangunan dan penyelenggaraan kesejahteraan warga bangsa dan bangsa yang merdeka; Masalah keadilan social harus merupakan jembatan bagi jurang perbedaan negara kaya dan miskin.
44
kenyatannya di antara negara Asia Afrika semakin bertambah jumlah negara yang mau dan mampu membuat langkah maju. Langkah itu bahkan mulai menjadi pusat perhatian dunia seperti kemajuan yang dicapai China dan India. Bagi kita Indonesia, peringatan 50 tahun KAA harus kita sikapi sebagai tonggak penting bagi bangsa ini untuk maju melangkah. Harus kita akui, sebelum nya ada keraguan dan pesimisme untuk mampu menyelenggarakan dengan aman dan sukses. Hal ini karena kita sedang menghadapi berbagai persoalan ruwet di dalam negeri, di samping kita sepertinya selalu salah langkah dalam setiap upaya mencari jalan ke luar. Peringatan yang diikuti lebih dari 100 pem impin negara A sia-A frika itu tidak saja berlangsung aman, tetapi telah berhasil pula merajut kemitraan baru diantara bangsa-bangsa di kedua benua. Kemitraan baru itu akan benarbenar terw ujud atau sebaliknya, seperti kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejarah jualah yang akan membuktikannya. A genda utam a KAA m em bahas dan meluncurkan Deklarasi Kemitraan Strategis Baru di Asia Afrika (NAASP)18,yang antara lain berisi tentang reformasi sistem PBB dan lembaga multilateral lainnya untuk memberi kesempatan n e g a ra b e rk e m b a n g m e m p e rju a n g k a n kepentingan mereka dengan cara yang lebih adil dan partisipatif. M isalnya, dalam pertemuanpertemuan G-7 seyogyanya negara berkembang terwakili sebab dalam dunia yang saling tergantung keputusan-keputusan G-7 akan selalu memberi pengaruh bagi negara-negara b e rk e m b a n g .19 T etapi y an g p asti, K A A merupakan jawaban yang tidak saja mengubur
18 Program-progran konkret dalam unsur NAASP antara lain peningkatan sumber daya manusia dan kapasitasnya, m em perkuat siste m perdagangan m u ltilateral, meningkatkan kerjasama perdagangan, industri, investasi dan keuangan. Kemitraan baru Asia-Afrika akan terdiri dari tiga pilar, yaitu antarpemerintah, antar subregional dan antarmasyarakat. 19 Media Indonesia, 25 April 2005
keraguan terhadap diri sendiri, tetapi ju g a membangkitan kembali spirit untuk meraih kembali sesuatu yang telah hilang. KAA juga menjadi amat penting dan akan selalu dikenang karena bertem unya berbagai pemimpin dari negara-negara yang tengah dilanda ketegangan, seperti antara Jepang dan China, India dan Nepal, Korea Utara dan Korea Selatan dan antara M alaysia dan Indonesia dengan berbagai perm asalahan antara kedua negara. Hal ini berarti ditengah berbagai persoalan dalam negeri yang sangat banyak, bangsa kita masih mempunyai manfaat bagi bangsa-bangsa lain. Dari sini kita harus teguh berkeyakinan bahwa kita pasti akan bisa melangkah ke depan dengan mantap. KAA m em buktikan bahw a rakyat Indonesia m am pu membuktikan pada dunia bahwa kita bisa bersam a dan bersatu menciptakan keamanan dan kesuksesan melalui perhelatan ini. Usai KAA, Indonesia memanfaatkan momentum ini dengan menjalin kem itraan strategis dengan China. Pertemuan Presiden RI dengan Presiden China Hu Jintao menghasilkan suatu D eklarasi K em itraan Strategis yang ditandatangani pada tanggal 25 April 2 0 0 5 .20 Kemitraan Strategis ini akan berupa hubungan yang tidak m em ihak dan tidak tertutup yang ditujukan untuk mempromosikan perdamaian, stabilitas dan kemakmuran kedua negara beserta rakyatnya. Kemitraan Strategis ini akan menjadi sendi penting dalam m em perkuat kemitraan s tra te g is A S E A N -C h in a s e rta m e n jad i komponen penting dalam m em perkuat kerja sama Selatan-Selatan antar negara berkembang.
20 Sembilan kerjasama itu antara lain, bidang industri strategis yang berhubungan dengan sistem persenjataan darat, laut dan udara; pen egak an hukum dalam menghadapi kejahatan transnasional dan terorisme. Juga disepakati kerjasama pembebasan visa untuk paspor dinas dan diplomatic; infrastruktur dan sumber dan sumber daya alam; hibah yang berhubungan dengan ekonomi dan teknologi ; pengaturan badan geofisika, gempa bumi dan tsunami serta palang merah kedua negara.
Kemitraan ini difokuskan untuk memperkuat keija sama politik dan keamanan, memperdalam k erja sam a ekonom i dan pem b an g u n an , meningkatkan kerja sama social budaya dan memperluas hubungan non-pemerintah. Penandatanganan deklarasi tersebut m eru p ak an p erk em b an g an lan ju tan atas kesepakatan yang dicapai kedua negara di selasela pertemuan puncak APEC di Santiago, Cile pada N ovem ber 2004.21 Kita harus menangkap peluang ini dengan sebaik-baiknya dan dapat merealisasikannya. China yang pernah terseok-seok dengan sistem ideologi komunisme, kini bangkit percaya diri membangun perekonomian negerinya. Hal ini harus kita contoh sebagai negara yang punya konsep pembangunan yang sudah on the right
track. Bukan hanya ide dan proses pembentukan kemitraan strategis itu menarik, tetapi situasi yang melingkupinya juga tepat. Secara regional, kesepakatan kem itraan strategis Indonesia muncul pada m om entum tepat, lebih-lebih setelah India-China membentuk persahabatan dan kerja sama ekonom i.22 M omentum KAA juga digunakan oleh Jepang-China untuk bertemu menjalin kembali hubungan kedua n eg ara yang m enegang beberapa waktu ini yang dipicu oleh pengesahan buku pelajaran yang isinya dianggap menutupi kekejaman Jepang selama masa pendudukan di wilayah Asia khususnya China dan Korea.
Masa Depan Diplomasi Indonesia Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memenangkan pemilihan umum secara langsung dan pertama di Indonesia tahun 2004 berupaya menghilangkan citra Indonesia yang kurang baik di luar negeri akibat berbagai
21 Kompas, 28 April 2005 22 Kedua negara China dan India bertekad menyelesaikan persengketaan perbatasan sejauh 3.500 kilometer untuk melapangkan jalan bagi peningkatan kerjasama bidang ekonomi dan diplomatik.
45
fa k to r in te rn a l s e p e rti s ta b ilita s keamanan,transparansi, konsistensi kebijakan (termasuk penegakan hubum dan peraturan perundang-undangan yang kondusif). Diperlukan suatu upaya diplomasi yang ko m p reh en sif dan terp ad u dengan lebih menonjolkan transformasi politik yang telah dialami Indonesia sebagai identitas baru yang membedakannya dengan era sebelumnya yang otoriter dan militeristik. Pada masa Orde Baru perimbangan kekuatan politik dan kekuasaan adalah masa “executive heavy”, akan tetapi pada masa pemerintahan saat ini keseimbangan lebih kepada “partikroasi”, di mana legislatif lebih dominan dari pada eksekutif, sehingga perencanaan pembangunan nasional disesuaikan dengan perkembangan baru in i.23 Identitas In d o n esia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan terbesar di kalangan dunia Islam, dengan masyarakat plural dan Islam moderat serta sistem ekonomi terbuka perlu dipromosikan secara lebih luas untuk menetralisir citra buruk yang cenderung mendominasi pemberitaan tentang Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan pelaksanaan Pemilu legislatif dan Presiden langsung yang paling d em o k ra tis selam a In d o n e sia m erd ek a. Disamping itu, dalam hubungan internasional yang diw arnai complex interdependence diperlukan pula kemitraan yang lebih luas antara pemerintah dan unsur-unsur di luar pemerintah dengan melibatkan banyak aktor di luar negara. F ak to r lain yang m enyangkut citra In d o n e s ia d im a ta in te rn a s io n a l ad alah penghargaan terhadap H A M yang mencatat rekor terburuk selama pemerintahan Orde Baru. Untuk itu diperlukan suatu tekad dan langkah nyata dari pemerintah saat ini untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap HAM. Terkait dengan ini adalah upaya penegakan hukum dan penyelesaian yang adil terhadap
23Ali Alatas, “Tatanan Politik Luar Negeri Indonesia Abad XXI”, Kompas, Juni, 2000
46
pelanggaran HAM dimasa lalu yang merupakan tantangan berat bagi kredibilitas pemerintah saat ini. Pelaksanaan diplom asi m em erlukan pengetahuan yang mantap tentang masalah yang dihadapi dan kem am puan berkom unikasi d en g an p e n g u a sa a n b a h a sa y an g b aik . Berdasarkan penguasaan tersebut akan terbuka kemungkinan-kemungkinan dengan spektrum yang lebih luas bagi politik luar negeri kita di masa depan untuk mempeijuangkan kepentingan kita dalam era globalisasi saat ini. Multilateralisasi hubungan antar negara menuntut suatu organisasi Departemen Luar Negeri yang menyesuaikan diri secara struktural dengan kemajemukan hubungan yang semakin m eningkat dan terintegrasi. Proses politik, ekonomi, sosial dan keamanan berubah dengan cepat, demikian pula dengan teknologi sebagai instrumen sehingga mempengaruhi manusia dan sikapnya yang berubah dengan cepat pula. Perubahan itu terasa di dunia bisnis dan diplomasi internasional. Tantangan yang kita hadapi adalah m em aham i perubahan-perubahan tersebut sehingga kita dapat mem anfaatkannya bagi k eu n tu n g an k ita sen d iri dan yang akan mempengaruhi masa depan kita. K ita hidup dalam suatu dunia yang berlandaskan teknologi dan bisnis. Di samping itu kita juga hidup dalam suatu lingkungan yang berlandaskan demokrasi, civil society, hak asasi manusia dan good govemance dalam suatu proses pembangunan yang berkelanjutan. Ilmu p e n g e ta h u a n , te k n o lo g i dan d em o k rasi merupakan kunci masa depan. Dengan asumsi diatas, politik luar negeri kita tidak dapat lagi dihadapi dengan pendekatan politik, ekonom i, sosial-budaya, keamanan secara terpisah-pisah. Ia harus didekati secara terintegrasi dan hal ini memerlukan suatu sikap y an g b aru p u la , y ak n i d en g an m e lih a t p e rk em b an g an -p erk em b an g an n asio n al, regional dan in tern asio n al sebagai suatu rangkaian kejadian dan perkem bangan yang terintegrasi. Diplom asi yang baru ini perlu
ditunjang secara organisatoris berdasarkan pembagian yang lebih fungsional sebagaimana struktur Deplu saat ini. Diharapkan implementasi p e n e ra p a n n y a le b ih d a p a t m e n am p u n g pendekatan permasalahan multilateral atas dasar pendekatan lintas bidang sebagai pedoman bagi pengem bangan langkah-langkah diplomasi antara Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah terintegrasi secara regional dan multilateral maupun yang belum. Di samping itu, Deplu juga menerapkan m e la lu i fo ru m “total diplomacy, ”24<\\ m a n a fo ru m te rs e b u t m e lib a tk a n b e rb a g a i la p is a n , m e lip u ti d e p a rte m e n -d e p a rte m e n te rk a it, D P R , m asyarakat, kelom pok N G O dll, dengan harapan masukan-masukan dari forum ini dapat melengkapi kebijakan yang diambil Deplu/ pem erintah sehingga diperoleh hasil yang k e b ija k a n n y a
m aksim al. Sebagai contoh, dalam rangka pemulihan perekonom ian kita maka Deplu dengan M enko Perekonomian, D epartem an Perdagangan dan departemen terkait lainnya duduk bersama-sama untuk mencapai kebijakan yang semaksimal mungkin di bidang penanaman modal asing. D alam hal ini, peningkatan kemampuan public relation secara keseluruhan serta profesionalisme kalangan diplomat sangat diperlukan. A g a r p o litik lu a r n e g e ri d a p a t mencerminkan identitas dan prioritas nasional, maka nilai-nilai dem okrasi dan H AM yang sekarang menjadi tem a utam a politik dalam negeri sebaiknya ikut dijadikan sebagai nilai-nilai yang mendasari politik luar negeri Indonesia di masa datang.
Penutup Di dalam menghadapi dinamika politik yang berkem bang, Indonesia sudah cukup tanggap terhadap kendala-kendala baik yang
berasal dari dalam m aupun dari luar negeri. Secara umum pemerintah Indonesia memahami trend yang teijadi serta kemungkinannya di masa depan. Hal ini dapat dibuktikan melalui telaahan yang b e rs ifa t stra te g is, in tro sp e k si dan reaktualisasi terhadap kegiatan politik serta langkah-langkah yang telah diambil dalam m enghadapi setiap p erm asalahan politik berskala nasional maupun internasional. N am u n b ila d ih a d a p k a n k e p a d a kepentingan nasional yang lebih luas yang b erk aitan den g an b erb ag ai k ep en tin g an in te rn a sio n a l, resp o n In d o n e sia k u ran g optimal dan masih perlu adanya perbaikan atau perubahan sikap politik. Indikator yang terlihat dalam implementasinya antara lain: 1) Indonesia lebih bersifat reaktif terhadap kasus yang teijadi dan cara-cara penanganan y an g k u ra n g m e m p e rh a tik a n trend internasional, yang mau tidak mau harus kita ikuti sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi. 2) Intervensi politik dari luar negeri yang mempunyai kepentingan tertentu terhadap Indonesia kurang bisa diantisipasi secara dini. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan menyerap dan menganalisa informasi serta lemahnya diplomasi luar negeri kita. 3) Indonesia harus menangkap peluang yang ada dalam kemitraan strategis yang merupakan kebijakan luar negeri saat ini. Bagaimana kesiapan kita merealisasikan kemitraan pada tingkat operasional secara optimal? K ebijakan P em erin tah m enghadapi dinam ika politik yang berkem bang di dalam negeri d irasak an m asih k urang, dim ana pem erintah sering dianggap terlalu cam pur tangan dan melakukan rekayasa politik sehingga te rk e s a n m e m b o d o h i d an m e n g e k a n g masyarakat. Demokratisasi akibat globalisasi juga perlu diwaspadai karena hal tersebut sangat rawan terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen, dan bila dipaksakan hal itu dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.
24 Marty Natalegawa,” Polugri dalam Pemulihan Ekonomi Nasional” Seminar P2P-LIPI, September 2002
47
M enghadapi dinamika politik dari luar negeri, yang dirasakan masih perlu dibenahi antara lain adalah kualitas aktor politik (diplomat) dan masih kurangnya aktor non pemerintah yang terlibat dalam hubungan luar negeri. Disamping itu, kegiatan diplomasi dirasakan masih kurang intensif dan kurang terpadu dengan kepentingan aspek lain (ideologi, politik, ekonomi, sosialbudaya dan keam anan) sehingga kurang maksimal mendukung keberhasilan politik luar negeri kita. Oleh karena itu kebijakan “ total diplo m a cy” y an g te la h d im u la i p a d a pem erintahan terdahulu perlu ditingkatkan, antara lain melalui penggalangan terhadap organisasi-organisasi penting di dunia, termasuk N G O ’S tertentu yang selalu m em ojokkan Indonesia. Demikian juga keija sama di bidang sosial dan budaya dengan negara-negara yang tidak/kurang senang terhadap Indonesia dengan melibatkan kalangan swasta maupun masyarakat umum (people to people diplomacy). Peran dan dukungan pemerintah dalam keija sama ini sangat diperlukan untuk menunjang kepentingan politik luar negeri. Potensi masyarakat Indonesia di luar negeri baik b ersifat pero ran g an m aupun organisasi walaupun kecil perlu dilibatkan secara terpadu dan optimal untuk m engantisipasi, mengakomodasikan, menangkal dan menangkis terhadap setiap kemungkinan intervensi politik serta mampu mendukung keberhasilan kebijakan politik luar negeri. Di samping itu, dalam era globalisasi In d o n e sia p e rlu le b ih m e n g in te n sifk a n keterlibatannya dalam forum-forum internasional seperti A SE A N , A SE A N +3, A PE C , dan organisasi keuangan internasional agarmemiliki bargaining power terhadap negara-negara besar terutama AS yang selama ini menguasai PBB dan IMF. P re s id e n S B Y s e b a g a im a n a k e munculannya sebagai kandidat presiden yang sukses, berusaha m enggunakan karism a
48
pribadinya dengan mengambil peran lebih menonjol di dalam melaksanakan politik luar negerinya. Dengan melakukan pendekatan kepada negara m itra dialog guna m eraih kepercayaan luar negeri akan keseriusannya di dalam setiap komitmennya. Serangkaian kunjungan Presiden Susilo B am b a n g Y udhoyono m e n g a w a li pem erintahannya m erupakan perw ujudan upayanya m em perkuat kerja sam a dengan negara-negara yang berada dalam Lingkaran Konsentris II meliputi Australia, Selandia Baru dan Timor Timur. Sementara pendekatan dengan ASEAN yang merupakan Lingkaran Konsentris I telah dilakukan beberapa waktu yang lalu dengan kun ju n g an n y a ke S ingapura dan Malaysia yang ditindaklanjuti dengan kunjungan Wapres Yusuf Kalla, mengingat cukup seriusnya permasalahan yang ada diantara kedua negara seperti: illegal logging, TKI dan permasalahan perbatasan kasus Am balat dengan M alaysia serta peningkatan perdagangan/investasi dan kelanjutan pem bahasan mengenai perjanjian ekstradisi dengan pihak Singapura. N am un kesuksesan dari kunjungan tersebut harus dibarengi dengan kerja keras untuk memanfaatkan secara optimal peluang dari setiap kerja sam a karena secara regional dan global situ asin y a sangat k o n d u sif untuk mendorong kemitraan strategis. Tantangan terbesar bagi Indonesia adalah bagaim ana kita bebenah diri agar mampu mengambil m anfaat dari setiap bentuk kerja sama dan kemitraan dengan negara lain. Penyelenggaraan peringatan 50 tahun KAA merupakan tonggak penting bagi Indonesia sebagai tuan rum ah untuk memulihkan citra Indonesia ditengah masyarakat bangsa-bangsa di dunia. D engan m enggelorakan kembali semangat KAA ditengah konstelasi politik dunia yang telah berubah ternyata masih relevan untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadap oleh negara-negara Asia dan Afrika saat ini.
Daftar Pustaka
Nasional, P2E-LIPI, Agustus 2002
A latas,A liT atanan Politik Dunia Abad XXI,” Kompas, Juni 2000
Pangestu, Mari,"Indonesia in a Changing World E n v iro n m e n t, M u ltila te rim vs R egionalism ” , Indonesian Quarterly, vol XXIII, no.2, CSIS, Jakarta, 1995.
Anwar, Dewi Fortuna,"Indonesia: foreign Policy and Domestic Politics”, ISEAS, Singapore 2003 L.Smith,Anthony,”Gus Dur and the Indonesian Econom y,"ISEAS,Singapore,2001. Natalegawa, Marty,”Polugri dalam Pemulihan Ekonomi N asional” , W orkshop, P2PLIPI,2002
“Reinventing ASEAN”, ISEAS, Singapore, 2001 .
h ttp ://b u sin e ss-tim e s.a sia .c o m .sg /v ie w s/ story/html h t t p ; / / w w w .v n a g e n c y .c o m .v n /P u b lic / Readnews.asp?file Detikcom, 9 M ei 2005 Kompas, 9, 12, 25 April, 2005 Kompas, M ei, 2005 M edia Indonesia, 25 April, 2005
S a d li, M ," M e m b a n g u n K e m a n d iria n E k o n o m i In d o n e s ia d a la m E ra G lobalisasi,"Sem inar
49
P olitik L uar N egeri Pem erintahan Susilo Bam bang Yudhoyono terhadap Eropa Oleh: Agus R. Rahman Abstract The airns ofthis paper is to explain the important ofEurope in President Susilo Bambang Yudhoyono foreign policy. The approach ofthis research is based on individual factor as determinant factor that effect Indonesian foreign policy which is conseptualized infour components. The result ofthis research is Europe is not the main priority in Indonesian foreign policy under President SBY because Europe does not have clear position due to their several domestic problems and because the main priority in Indonesian foreign policy is based on two pillars of regionalism, such as ASEAN and APEC. Teka-teki tentang pem erintahan siapa yang berkuasa setelah pemilu presiden secara langsung tahun 2004 itu, terjawab sudah ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinyatakan sebagai pemenang dalam dua tahap proses pemilunya dengan menyisihkan empat pasangan kontestan yang lain.1Pelantikannya pada tanggal 20 Oktober 2004 sebagai presiden Indonesia yang keenam dalam lima puluh sembilan tahun usia republik ini dilakukan oleh M PR hasil pemilu legeslatif 5 April 2004. Selanjutnya, SBY menyusun kabinetnya sebagai perwujudan kekuasaan eksekutif untuk mengelola arah dan perilaku pemerintahannya selama lima tahun ke depan tanpa disertai gejolak atau kem elut politik yang signifikan. Susunan k abinet p em erin tah an SB Y ini
1Pada tahap pertama, pemilu presiden Indonesia diikuti oleh lima pasangan kontestan yaitu pasangan nomor urut pertama adalah Wiranto-Salahuddin Wahid; pasangan nomor urut kedua adalah M egawati SoekarnoputriHasyim Muzadi; pasangan nomor urut ketiga adalah Amien Rais-Siswono Yudo Husodo; pasangan nomor urut keempat adalah SBY-M. Yusuf Kalla; dan pasangan nomor urut kelima adalah Hamzah Haz-Agum Gumelar. Pada tahap kedua, pemilu presiden Indonesia hanya diikuti oleh dua pasangan kontestan yaitu nomor urut kedua Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan nomor urut keempat SBY-M. Yusuf Kalla.
diumumkan setelah sempat tertunda kurang dari dua jam dengan sebutan K abinet Indonesia Bersatu.2 D alam form at sistem politik apa pun, pemerintahan SBY sebagai pengelola kekuasan eksekutif akan berwenang merumuskan dan m enjalankan kebijakan nasional baik dalam dalam negeri m aupun luar negeri. D alam perumusan kebijakan nasional itu, sejumlah faktor obyektif seperti baik faktor struktural dan institusional maupun faktor sosietal dan spasial serta faktor subyektif individu seperti karakter individual, akan sangat m enentukan elemen kebijakan nasionalnya. Hal yang menarik pada setiap pemerintahan di Indonesia adalah posisi presiden sebagai individu yang selalu menempati posisi khusus dalam mesin perumusan kebijakan nasional. Sebagai individu, faktor karakter individual ini sebagai faktor ideosinkratik atau faktor kepribadian merupakan satu diantara serangkaian faktor yang menentukan politik luar negeri Indonesia.3
2Pemerintah SBY ini meliputi tiga menteri koordinator dan seorang menteri sekretaris negara, delapan belas menteri yang memimpin departemen, dua belas menteri negara non-departemen; serta dua pejabat setingkat menteri. 3Lihat dan baca Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri di Bawah Soeharto (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 3.
51
Oleh karena itu, faktor obyektif yang dihadapi oleh Presiden SBY dan faktor subyektif yang melekatnya secara inheren akan mewarnai pola-pola kebijakan nasional baik di bidang dalam negeri maupun luar negeri. Tulisan ini dengan sengaja memilih kebijakan luar negeri Presiden SBY, yang mencoba memfokuskannya secara khusus terhadap Eropa sebagai sebuah kawasan kawasan yang memang serba jauh dari lingkaran konsentrik trandisional Indonesia. Pemerintahan SBY jelas mewarisi pola politik luar negeri Indonesia dari serangkaian p em erin tah an seb elu m n y a, w alau p u n ia sesungguhnya memiliki hak otonom untuk menentukan gaya dan polanya sendiri dalam politik luar negeri selam a lima tahun masa pemerintahannya. Presiden SBY, pada satu sisi, dibebani oleh hiruk pikuk suasana, situasi dan kondisi reformasi dalam negeri yang dihadapinya dan sekaligus, pada sisi yang lain, ia dituntut untuk bersikap layak dan proporsional terhadap lin g k u n g a n e k s te rn a l In d o n e s ia d alam memperjuangkan kepentingan nasional. D alam memperjuangkan kepentingan nasional pada tataran internasional, Presiden SBY m em iliki serangkaian pilihan untuk menentukan perilaku Indonesia dalam konteks regional dan global baik yang berskala bilateral maupun multilateral. Secara fungsional, Presiden SBY memang meneruskan posisi Indonesia untuk berperang terhadap terorisme, serta sejumlah isu hubungan internasional yang kontemporer. Akan tetapi, secara struktural, penguatan ikatan regionalis di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik tetap m enjadi dua titik tolak bagi percaturan politik luar negeri Indonesia. Hal ini diperlihatkan dengan penguatan ASEAN dan APEC sebagai dua pilarregionalis dalam politik luar negeri Indonesia. Tekanan pada kedua kawasan ini dianggap sebagai suatu kebutuhan yang mutlak, tetapi sayangnya, kedua kawasan itu tid ak m em berik an k ep ad a In d o n esia kesetaraan dan saling ketergantungan. Selain itu, peng em b an g an p o la h u b u n g an b ilatera l kemudian menjadi mata rantai politik luar negeri
52
Indonesia baik secara khusus terhadap negaranegara yang berbatasan langsung dan negaranegara tertentu di kedua pilar regionalis tersebut, maupun terhadap negara-negara lainnya di luar A SEA N dan A PEC seperti Eropa, Tim ur Tengah, Afrika dan A m erika Selatan, atau kawasan Samudra Hinda. Berdasarkan pendekatan regionalisme yang melingkungi Indonesia, ASEAN dan APEC sebagai dua pilar dalam politik luar negeri Indonesia dijadikan syarat perlu dan cukup bagi orientasi dan peranan nasional politik luar negeri Indonesia, karena kedua lingkungan eksternal ini mengikat Indonesia secara geografis yang terlahir seperti itu apa adanya. Akibatnya, kawasan Eropa adalah suatu kawasan yang samar-samar dalam politik luar negeri Indonesia. Namun, instrumen ASEM (Asia Europe Meeting) sebagai suatu jembatan penghubung antara kaw asan Asia dan Eropa4*merupakan pola hubungan antar kawasan yang belum tertandingi oleh kawasan mana pun di dunia ini. Suatu hal yang m enarik tentunya adalah penentuan posisi kawasan Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY. Dimanakah posisi Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bwah Presiden SBY? Pentingkah atau prioritas apa posisi Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY? Tulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri jejak posisi kawasan Eropa dalam politik luar negeri Presiden SBY sehingga kedua pertanyaan itu dapat dijawab. U ntuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini m engandalkan pada kepustakaan tentang politik luar negeri Indonesia pada pem erintahan sebelum nya untuk kemudian diram u sedem ikian rupa sehingga mampu menelusuri jejak posisi Eropa dalam politik luar n e g e ri P re s id e n SBY. K e p u s ta k a a n -
4 Lihat dan baca Edison M uchlis M., ed., ASEM dan Revitalisasi Hubungan Uni Eropa dan Asia (Jakarta: PPW LIPI, 2001).
kepustakaan ini mungkin tersedia banyak sekali dan tersebar di mana-mana, tetapi tulisan ini hanya mengandalkan pada kepustakaan yang teijangkau. Selain itu, tulisan ini tidak didasarkan
negara dalam konteks lingkungan eksternalnya yang terangkum sebagai politik luar negeri tidak hanya bersangkutan dengan hal-hal yang konkrit, tetapi ju g a berkenaan dengan hal-hal yang
pada data-data yang terjaring melalui metode wawancara dengan orang-orang yang memiliki kaitan secara langsung baik dalam perumusan maupun pelaksanaan politik luar negeri di bawah Presiden SBY. N am un, bahan-bahan yang tersedia dari m edia cetak baik dalam bentuk berita maupun opini merupakan data yang utama. Tulisan ini pun pada akhirnya belumlah menggambarkan politik luar negeri Indonesia yang sesungguhnya karena usia pemerintahan Presiden SBY belum mencapai satu tahun. Analisis datanya mengandalkan pada teknis analisis korelasionis maupun induksionis karena m enggunakan karakter individual dan perilaku aktor negara dalam menjelaskan politik luar negeri Indonesia
bersifat abstrak. Tiga komponen politik luar negeri itu diasum sikan sebagai komponen abstrak dan komponen yang keem pat adalah komponen yang bersifat konkrit. F en o m en a p o litik luar negeri yang dikelompokkan ke dalam sifat konkrit dan abstrak itu tidak lain tidak bukan semata-mata ditujukan kepada pemilihan topik dalam studi p o litik lu ar negeri sebagai obyek studi. Bahwasanya topik yang konkrit itu bersumber dari kategori orang, entitas, peristiw a dan kebijakan. Sedangkan topik yang abstrak
dan posisi Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY. Analisisnya pun masih bersifat sangat terbatas, karena data yang dapat dijaring pun memang terbatas. Oleh karena itu, studi ini merupakan studi awal bagi kajian politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY karena jangkauan waktunya yang sangat singkat yakni sekitar enam bulan periode pemerintah Presiden SBY, sejak pelantikannya menjadi presiden pada bulan Oktober 2004 hingga minggu keempat bulan Mei 2005, ketika tulisan ini dikoreksi. Selain itu, studi ini pun merupakan studi yang bersifat parsial, karena studi ini sangat mengandalkan pada penelusuran jejak aspek regional Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY.
Politik Luar Negeri: Koseptual Politik luar negeri dikonsepsikan sebagai tin d ak an dan ak tiv ita s n e g a ra te rh a d ap lingkungan eksternalnya yang meliputi empat komponen yaitu orientasi, peranan, tujuan dan tindakan.5Tampaknya, tindakan dan aktivitas
5 K.J. Hosti, Intemational Politics: FrameworkforAnalysis (New Delhi: Prentice-Hall, 1987), hlm. 108.
bersumber pada nilai, masalah dan proses.6 Secara konseptual, orientasi politik luar negeri didefinisikan sebagai suatu sikap dan kom itm en yang b ersifat um um terhadap lin g k u n g an e k ste rn a ln y a , strateg i yang fundamental bagi pencapaian tujuan domestik dan eksternal, serta aspirasi untuk mengatasi ancaman yang ada. Orientasi politik luar negeri suatu negara lalu diekspresikan oleh tingkat keterlibatan negara itu dalam berbagai isu internasional, yang selalu dinyatakan dalam seran g k aian k e p u tu sa n .7 P e n g e rtia n ini memperlihatkan kompleksitas studi politik luar negeri karena m enginteraksikan struktur domestik dan eksternal, serta pemaknaannya oleh pembuat keputusan atau elit politik yang sedang berkuasa yang dirumuskan dalam suatu strategi.8* Konsep peranan diasosiasikan dengan keterlibatan aktor negara dalam pergaulan internasional baik dalam skala global maupun
6 Cari Kalvelage dan Morley Segal, Research Guide in Political Science (Dallas: Scott, Foresman and Co., 1976), hlm. 3-13. 7K.J. Holsti, op.cit., hlm. 109. 8Lihat dan baca Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan M ocham ad Yani, P engantar Ilmu Hubungan Internasional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 47-50.
53
skala regional. K eterlibatan negara dalam berbagai forum internasional itu dikonsepsikan sebagai pendefinisian aktor pembuat keputusan yang berbekaan dengan komitmen dan aturan yang cocok dengan negaranya serta yang akan dilaksanakannya dalam konteks geografis dan isunya. Konsep peranan nasional ini jelas berkaitan dengan orientasi dalam politik luar negeri.9 Sebagai suatu unit politik, negara memiliki kebutuhan dan tujuan yang dapat dicapai dengan mempengaruhi perilaku negara lain. Secara konseptual, konsep tujuan dalam politik luar n e g e ri d ip a h a m i s e b a g a i s e ra n g k a ia n kepentingan dan nilai-nilai kolek tif yang berkaitan dengan perilaku negara lain. Seringkah, tujuan dalam politik luar negeri dirumuskan secara sederhana dengan konsep kepentingan nasional.10Dengan kata lain, tujuan politik luar negeri itu merupakan fungsi dari proses-proses tujuan negara baik dalam jangka panjang, menengah, dan pendek yang dirumuskan secara konkrit dengan mem pertim bangkan situasi internasional dan kababilitas yang dimilikinya.11 Bersam a dengan konsep orientasi dan peranan nasional yang disebutkan sebelumnya, ketiga komponen ini berbeda dengan komponen tindakan dalam politik luar negeri. Orientasi, peranan nasional, dan tujuan tersusu dalam bentuk citra dalam pikiran para aktor pembuat keputusan politik luar negeri. Sedangkan tindakan dalam politik luar negeri adalah segala sesuatu yang dilakukan pem erintah yang berkuasa kepada aktor hubungan internasional lainnya untuk mempengaruhi orientasi tertentu, memenuhi peranan nasional, dan atau mencapai serta m em pertahankan tujuan politik luar negerinya.Tindakan dalam politik luar negeri juga dapat berupa sinyal yang dikirim oleh suatu aktor
pem buat keputusan politik luar negeri untuk mempengaruhi citra aktor penerima.12 Berdasarkan dua kasus yang terjadi di Eropa Timur melalui reformasi politik,13aktor negara tidaklah bersifat mutlak dan langgeng. Kedua kasus itu adalah kasus terurainya Uni Soviet14ke dalam entitas Rusia dan sejumlah negara pecahannya yang tergabung dalam CIS (Commonwealth of Independence States) yang lebih bersifat damai, dan kasus terpecahnya Yugoslavia ke dalam entitas Yugoslavia yang bersendikan Serbia, Croasia, Slovenia dan Bosnia-Herzegovina secara dramatik dan brutal. Eksistensi aktor negara dalam hubungan internasional dapat saja hilang dari peredaran p e rg a u la n a n ta r n e g a ra . S e d a n g k a n keberlanjutan aktor negara secara langsung tidaklah menjamin kem utlakan politik luar negerinya menjadi statis. Karena pemerintah yang berkuasa itu datang dan pergi pada setiap saat, tindakan dan aktivitas pem erintah yang b erk u asa d alam h u b ungan in tern asio n al berbeda-beda antara satu pem erintah yang berkuasa kepada pem erintah yang berkuasa lainnya. Hal ini sungguh memberikan jejak bahw a p erilak u n eg ara dalam hubungan internasional itu mengalami perubahan, baik perubahan pasang m aupun perubahan surut, sehingga politik luar negerinya mendorong dinamika politik luar negeri suatu negara. Perilaku Indonesia sebagai satu aktor negara diantara beberapa jenis aktor hubungan internasional dapat dijelaskan melalui komponen politik luar negerinya yang menunjukkan segala tindakan dan serangkaian aktivitas Indonesia terhadap lingkungan eksternalnya. Kesemuanya itu dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang berkuasa atas nama negara. Meskipun Indonesia
l2K.J. Holsti, op.cit., hlm. 164. 13Lihat dan baca Dwi Susanto dan Zainuddin Djafar, ed., 9K.J. Hostri, op.cit., hlm. 130. '°Ibid„ hlm. 138-139. "Lihat dan baca Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, op.cit., hlm. 51-52.
54
Perubahan Politik di Negara-Negara Eropa Timur (Jakarta: Gramedia, 1990). 14Lihat dan baca Stephen White, Russia’s New Politics: the Management ofa Postcommunist Society (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hlm. 1-33.
sebagai suatu aktor negara itu bersifat given dan tetap, pemerintah yang berkuasa di Indonesia itu selalu berganti dalam suatu kurun waktu dan berbeda satu sama lain. Akibatnya, politik luar negeri Indonesia dan pelaksanaannya menjadi tidak statis, melainkan dem ikian dinamis. Walaupun begitu, politik luar negeri Indonesia yang dinam is itu secara sp esifik m asih mengandung sesuatu yang bersifat kontinum. Selain itu, politik luar negeri Indonesia sepanjang suatu pemerintah yang dipimpin seorang presiden dikonsepsikan sebagai politik luar negeri sang presidennya, atau politik luar negeri di bawah sang presidennya. Hal ini dapat dipahami karena satu diantara sumber dari topik yang konkrit dalam studi politik luar negeri adalah orang sebagai individu, dalam arti bahwa orang itu memegang kekuasaan eksekutif atau presiden. Dalam hal penamaan politik luar negeri yang disesuaikan dengan nam a presidennya, konsep ini didasarkan pada dua tulisan. Pertama, dengan meminjam istilah yang dikemukan oleh J. Soedjati Djiwandono, politik luar negeri Indonesia merujuk kepada politik luar negeri Indonesia di baw ah Soekarno, w alaupun Indonesia sejak kem erdekaan tahun 1945 hampir memiliki selusin menteri luar negeri dan setengah lusin perdana menteri.15Hingga tahun 1970, para menlu Indonesia itu berjumlah dua belas.16Bahkan, sebagai rujukan yang kedua, politik luar negeri Indonesia memberikan versi yang lain dengan merujuk pada politik luar negeri di bawah Soeharto, yang ditulis oleh Leo S u ry a d in a ta .17 D ari sin i, k ita d a p a t mengonsepsikan lebih lanjut politik luar negeri
l5J. Soedjati D jiw an d od o, K onfrontasi R evisited: Indonesia's Foreign Policy Under Soekarno (Jakarta: CSIS, 1996), hlm. viii. 16Kedua belas menlu Indonesia adalah Ahmad Soebardjo, Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, A.A. Maramis, Mohammad Hatta, Moh. Roem, Mukarto Notowidagdo, Sunarjo, Ide Anak Agung Gde Agung, Roeslan Abdulgani, Subandrio dan Adam Malik, lihat dan baca Panitia Penulisan Sejarah Deplu, Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri, 1945-1970 (Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Karyawan Deplu, 1971). 17Leo Suryadinata, op.cit., hlm. 2-3.
Indonesia di bawah Presiden B.J. Habibie, P residen A bdurrahm an W ahid, P residen Megawati Soekamoputri, dan tentunya dengan presiden RI yang sekarang. Dengan demikian, tulisan ini berkenaan dengan politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY.
Politik Luar Negeri: Empirik Indonesia Politik luar negeri Indonesia secara em pirik dapat dipahami dalam serangkaian periode atau kepemimpinan politik di Indonesia. Setiap periode ini m em perlihatkan variasi komponen politik luar negeri Indonesia yang dikendalikan oleh para presiden Indonesia. Sejak kemerdekaan tahun 1945 hingga tahun 1965, politik luar negeri Indonesia selama dua puluh tahun ini18dapat dibedakan ke dalam tiga periode yaitu periode 1945-1949, periode 1950-1958, dan periode 1959-1966 di bawah Presiden Soekarno.19Setelah tahun 1966, politik luar negeri Indonesia dapat dibedakan ke dalam tiga periode lanjutan yang pembagiannya lebih ditekankan pada periodesasi kepresidenannya. Ketiga periode itu adalah periode 1967-1998 di bawah Presiden Soeharto, periode 19981999 di bawah B .J. Habibie, periode 19992001 di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, p e rio d e 2 0 0 1 -2 0 0 4 di b aw ah P resid en M egawati Soekam oputri, dan periode 20042009 di bawah Presiden SBY. Sejak periode Presiden B.J. H abibie, politik luar negeri Indonesia dikonsepsikan sebagai politik luar negeri Indonesia pasca Soeharto.20 Pada periode pertam a adalah 19451949, perhatian kepada Eropa adalah sangat dominan. Eropa dalam hal ini adalah Belanda,
'“Ide Anak Agung Gde Agung, Twenty Years Indonesian Foreign Policy, 1945-1965 (The Hague: Mouton, Co., 1973). ‘5Leo Suryadinata, op.cit.. hlm. 28. “ Lihat dan baca Ratna Shofi Inayati, ed., Politik Luar
Negeri Indonesia Pasca Soeharto: Diplomasi Pemulihan Ekonomi Nasional (Jakarta: P2P LIPI, 2002); dan Tim Peneliti HI DPR-RI, Analisis Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Abdurrahman Wahid: 1999-2000 (Jakarta: DPR-RI, 2001).
55
kemudian Inggris. Belanda lebih ditekankan k a re n a p ro s e s p e rju a n g a n p e n g a k u a n kemerdekaan dari Belanda tampaknya menjadi tujuan pokok politik luar negeri baik melalui tindakan diplomasi maupun perang-perang gerilya yang berlangsung. Namun, Inggris kemudian menjadi pusat perhatian karena peran Inggris dalam menamcapkan kembali kekuasaan kolonialisme Belanda di bumi Indonesia. Karakter politik luar negeri pada periode pertama ini adalah diplomasi dan jalan perang g e rily a u n tu k m e n c a p a i p e n g a k u a n kemerdekaan. Perjuangan ini pada akhirnya m encapai hasilnya yang gem ilang dengan penandatanganan Perjanjian KMB (Konferensi M eja Bundar) yang memberikan pengakuan kemerdekaan dalam bentuk negara federasi.21 Pada periode kedua adalah 1949-1958, politik luar negeri Indonesia menekankan pada kelanjutan dari hasil perjuangan diplomasi pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Sebagai kelanjutan perjuangan kemerdekaan ini, Indonesia berambisi untuk membantu negara-negara yang masih dalam cengkeraman kolonialisme negara-negara Eropa. Sasaran tembak politik luar negeri Indonesia pada periode kedua ini adalah Eropa Dalam hal ini, Eropa lebih ditujukan kepada perannya sebagai negara kolonialisme yang belum berniat memerdekaan daerah-daerahjajahannya KAA (Konperensi AsiaAfrika) adalah model politik luar negeri Indonesia selepas dari pengakuan kemerdekaan dari Belanda Hal ini dianggap sebagai perolehan politik luar negeri Indonesia yang terbesar kedua setelah pengakuan kem erdekaan dari Belanda, ketika bentuk pemerintah di Indonesia adalah pemerintahan parlementer. Pada periode kedua ini, pemerintahan sesungguhnya tidaklah stabil. Partai politik yang terkemuka masing-masing menaruh kecurigaan yang mendalam terhadap blue-print politik luar negeri setiap kabinet yang berkuasa. Justru, pada periode kedua ini, separatisme muncul sebagai 2lLeo Suryadinata, op.cit., hlm. 28-34.
56
ancaman terhadap negara yang baru ini dengan diproklamasikannya RMS (Republik Maluku Selatan) pada tahun 1950. Berkat keberhasilan menumpas pemberontakan kelompok militer di Sumatera, sentimen anti-Barat dan anti-Amerika semakin tumbuh di dalam negeri, sejalan dengan orientasi politik di dalam negeri yang bergerak ke arah kiri.22 Periode ketiga adalah periode 1959-1965 yang dikendalikan secara penuh dan otoriter di bawah kekuasaan Presiden Soekarno. Pada periode ini, Indonesia semakin mempersempit ruang lingkup politik luar negerinya. Artinya, Indonesia berusaha bermain pada tingkat politik global, tetapi Presiden Soekarno tampaknya sulit untuk berdiri ke luar dari pola politik pembentukan blok kekuatan ideologis dan militer. Pada akhirnya, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Soekarno diform ulasikan dengan pembentukan poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Format politik luar negeri Indonesia ini, pada akhirnya, lebih cenderung dilihat sebagai upaya untuk memperkuat blok Timur atau menambah front penentangan terhadap dunia kapitalisme di AsiaTenggara. D engan kata lain, politik luar negeri Indonesia pada periode ketiga bercirikan antikolonial dan anti-Barat. Bahkan, secara tidak resmi, Indonesia di bawah Presiden Soekarno bersekutu dengan negara-negara komunis dan sosialis yang menjadikan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sangat agresif.23Hal ini berarti bahwa politik luar negeri Indonesia dalam kurun waktu ketiga telah mencitrakan diri sebagai satu diantara orbit negara-negara blok kiri yang diusung oleh kom ponen d om estik yakni presiden dan kekuatan kiri. Berdasarkan studi persepsi para elite politik di Indonesia, Franklin B. Weinstein memetakan bahwa politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Soekarno dihadapkan pada d ilem a k e te rg a n tu n g a n .24 D alam situasi v-lbid„ hlm. 34-38. *Ibid., hlm. 38-42. 24Franklin B. Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma ofDependence (London: Cornell University Press).
ketergantungan ini, Indonesia di bawah Presiden Soekarno justru melancarkan politik konfrontasi te rh a d a p n e o -k o lo n ia lis m e k h u s u sn y a k o n fro n tasi te rh a d ap M alay sia. H al ini menyebabkan bagaimana hubungan bilataral Indonesia dengan Uni Soviet (US) mencapai titik p u n c a k h u b u n g an b ila te ra l k e d u a pemerintahan itu.25 L ep as dari k e te rlib a ta n n y a d alam penguatan blok kiri tersebut, periode keempat adalah kurun waktu 1966-1998 yang dikenal sebagai periode Orde Baru. Politik luar negeri Indonesia selama Orde Baru dirancang secara s is te m a tik o le h O rd e B a ru di b aw ah kepemimpinan nasional yang bersifat tunggal atan nama Presiden Soeharto. Politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Soeharto ini lebih menekankan pada penguatan Indonesia kepada blok Barat. Pemilihan ini lebih disebabkan karena proses-proses politik dalam negeri yang menuntut peninjauan kembali politik luar negeri Indonesia sebelumnya.26 Pada masa ini, Presiden Soeharto pun ternyata tidak dapat ke luar dari pola politik persaingan blok dunia. Pada akhirnya, Presiden Soeharto mengulang kembali pola politik luar negeri Indonesia periode sebelumnya. Hanya saja, perbedaannya adalah perubahan sang master. Politik luar negeri di bawah Presiden Soeharto menentukan m asternya yang lebih te rtu ju k e p a d a k e lo m p o k b lo k B a ra t. Kelompok negara-negara Barat diyakini mampu memberikan bantuan ekonomi yang diperlukan bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Dari sini, Indonesia memasuki jajaran orbit dari negaranegara blok Barat. Dari sisi ini, Franklin B. Weinstein pun mempersamakan politik luar negeri Indonesia di baw ah P resid en S o ek arn o dan P resid en Soeharto bahwa politik luar negeri Indonesia itu tidak terlepas dari dilema ketergantungannya.27
A kan tetapi, penataan p olitik luar negeri Indonesia dianggap lebih sukses. Pertama, setelah berhasil membawa Indonesia menjadi satu diantara orbitnya negara-negara blok Barat, Presiden Soeharto kemudian membalik citra konfrontasi Indonesia dengan Malaysia dahulu kepada penataan politik regional yang kondusif bagi upaya pem bangunan ekonomi melalui pembentukan ASEAN (Association of South East Asian Nations). Pembentukan ASEAN diyakini sebagai titik balik dari politik konfrontasi kepada politik kerjasam a regional sesam a bangsa-bangsa di Asia Tenggara.28 ASEAN kemudian menjadi pilar utama yang pertama dari aspek lingkungan eksternal Indonesia dalam perumusan politik luar negeri di bawah Presiden Soeharto.29 Kedua, di samping pengelolaan tatanan regional tingkat pertama yang dianggap sukses itu, Indonesia di bawah Presiden Soeharto pun cukup aktif berperan dalam kelanjutan pilar regional tingkat kedua dalam politik luar negeri Indonesia. H al ini d ilakukannya m elalui partisipasi Indonesia dalam kerangka APEC (Asia Pacific Cooperation (APEC).30 Pilar regional APEC diyakini menjadi pilar utama yang kedua dari aspek lingkungan eksternal dalam politik luar negeri semasa Presiden Soeharto. Baik ASEAN maupun APEC kedua-duanya merupakan tatanan regional yang paling penting untuk menentukan perilaku Indonesia dalam pergaulan internasional dewasa ini.31* Yang m enarik dari periode keem pat adalah konfrontasi Indonesia dengan Eropa. Dalam hal ini, Eropa yang dimaksud adalah Uni
28Lihat dan baca D ew i Fortuna Anwar, Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism (Singapore: Institute o f Southeast Asian Studies, 1994). 29Lihat dan baca Mochtar Kusumaatmadja, Politik Luar
Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 151-194. 30Lihat dan baca Ganewati Wuryandari, ed., Indonesia & APEC (Jakarta: PPW LIPI, 1996); dan Indonesia dan 25J. Soedjati Djiwandono, op.cit., hlm. 63-121. 26Lihat dan baca Michael Leifer, Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 161-203. 27Lihat dan baca Franklin B. Weinstein, loc.cit,
APEC: dalam Perkem bangan Ekonomi P olitik Internasional (Jakarta: PPW LIPI, 1997). 31Lihat dan baca Hasjim Djalal, Politik Luar Negeri Indonesia dalam Dasawarsa 1990 (Jakarta: CSIS, 1997).
57
Eropa (UE), khususnya dua negara anggotanya yaitu Belanda dan Portugal. Konfrontasi kali ini lebih ditekankan pada pola yang berbeda. Pola pertama adalah penghentian seluruh bantuan luar negeri dari Belanda dan penghentian status Belanda sebagai koordinator mekanisme bantuan luar negeri kepada Indonesia yang dikenal sebagai IG G I (Inter-govem m ental Group fo r Indonesia). Pola kedua adalah pola pemutusan hubungan diplomatik oleh Portugal sebagai akibat masalah Timur Timur. Selanjutnya, Indonesia dan Portugal terlibat pada mediasi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dalam mengangani masalah krusial Timor Timur.32 Satu hal lagi yang ju g a dominan, yang bersifat serupa dengan periode sebelumnya, Indonesia di bawah Presiden Soeharto beijuang untuk menjadi nom or satu dalam kelompok negara-negara berkembang. Bahkan, Indonesia telah lama beijuang untuk menjadi tuan rumah GNB (Gerakan Non-Blok), tetapi baru berhasil pada tahun 1992 ketika Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan terbesar KTT (Konperensi Tingkat Tinggi) GNB. Prestasi politik luar negeri di baw ah Presiden Soeharto ini m ungkin disamakan dengan prestasi Presiden Soekarno yang berhasil m enyelenggarakan KAA di Bandung pada tahun 1955. W alau p u n b e g itu , o rie n ta s i y an g terkandung pada kedua konferensi itu sangatlah berbeda. Pada satu sisi, pada KAA, Indonesia dipersepsikan sebagai penggalang kekuatan b a n g s a -b a n g s a A sia d an A frik a u n tu k mendapatkan kemerdekaan mereka dari negaranegara penjajah yang kebanyakan adalah negara-negara Eropa. Sedangkan, pada sisi yang lain, sebagai pemimpin GNB, Indonesia lebih c e n d e ru n g m e n e k a n k a n k e p a d a visi p e m b a n g u n a n b a h w a n e g a ra -n e g a ra berkembang selayaknya mulai menggelorakan
32Lihat dan baca Japanlon S itoh an g, ed ., Prospek
Hubungan Indonesia-UE: Penyelesaian Masalah TimorTimur (Jakarta: PPW LIPI, 2000).
58
upaya pembangunan ekonomi yang dananya hanya tersedia di negara-negara industri maju. Periode keem pat adalah kurun waktu 1998-1999 yang dikelola oleh Presiden B J Habibie. Pada masa ini, kondisi domestik baik politik, ekonomi dan hukum memperlihatkan kecenderungan konflik yang meluas.33Dengan konflik yang cenderung meluas ini, ancaman disintegrasi rasialisme dan fanatisme keagamaan dirasakan sem akin m enguat.34 Sedangkan kemampuan ekonomi nasional semakin melemah dalam arti produksi yang macet, tingkat suku bunga yang bergerak naik, dan cadangan devisa yang semakin menipis.35Dalam hal lingkungan eksternal yang dihadapi Indonesia ketika itu, AS semakin hegemonik khususnya melalui instrumen pinjaman luar negeri baik yang dikelola oleh IMF maupun Bank Dunia.36Akibatnya, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden B. J. Habibie diformulasikan sebagai politik luar negeri yang tetap m endekatkan Indonesia kepada AS (A m erik a S e rik a t) dan k e lo m p o k n y a , melepaskan status Timtim sebagai propinsi, dan mulai memanaskan hubungan bilateral Indonesia dengan negara tetangga.37 Periode kelima adalah kurun waktu 19992001. Periode ini merupakan masa kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan segala karakter dom estik yang khusus dan faktor in d iv id u a l y a n g k h a s p u la , P re s id e n Abdurrahman Wahid dihadapkan kepada situasi y an g b erb ed a sam a sek ali d en g an p ara pendahulunya. Profil politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Abdurrahman Wahid yang paling terkem uka adalah kunjungan resmi
33Ratna Shofi Inayati, ed., op.cit., hlm. 87. 34Lihat dan baca juga Awani Irewati, “Faktor Internal yang Mempengaruhi Kepercayaan Luar Negeri,” dalam Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 15-33. 35Lihat dan baca juga Asvi W. Adam, “Faktor Eksternal: Diplom asi Penyelesaian Utang Luar N egeri,” dalam Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 35-51. 36Lihat dan baca juga Zatni Arbi, “Faktor Eksternal: Pengaruh Amerika Serikat atas Kebijakan Luar Negeri Indonesia,” dalam Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 53-65. 37Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 87.
kenegaraan dan pemerintahan yang lebih sering dilakukannya sepanjang masa kekuasaannya.38 Politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Abdurrahman Wahid dikonsepsikan
biru atau grand design politik luar negeri selama pemerintahannya.41 Periode keenam adalah kurun waktu 2001-2004. S epanjang kurun w aktu ini,
sebagai politik luar negeri yang lebih assertif sifatnya. Pelaksanaan politik semacam ini dilakukan melalui pendekatan kepada negaranegara Asia dan Tim ur Tengah. Yang lebih menarik adalah proposal bagi pem bentukan poros Jakarta-New Delhi-Beijing.39 Dalam hal ini, politik luar negeri Indonesia di baw ah P residen A b d u rrah m an W ahid dirasakan kurang memberikan perhatian yang proporsional terhadap ASEAN dibandingkan dengan para pendahulunya. Hal ini dianggap bahwa Indonesia seolah-olah meninggalkan pola keij asama regional ASEAN yang sej alan dengan semakin m engendurnya peran Indonesia.40 Persepsi bahwa Indonesia di bawah Presiden A bdurrahm an W ahid telah m eninggalkan ASEAN, memerlukan suatu penjelasan teoritik dan praktik yang lebih rinci untuk mencegah mispersepsi tentang Indonesia. Pemahaman situasi domestik baik aspek politik dan ekonomi yang dihadapkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid adalah hal yang utama, sehingga Presiden Abdurrahman Wahid melancarkan diplomasi ofensif ke luar negeri di luar kerangka ASEAN. Diplomasi ofensif ini tampaknya memiliki relevansi dengan kepentingan nasional, terutama dalam menjawab tuntutan demokratisasi secara lebih meluas, pemulihan ekonomi nasional untuk ke laur dari krisis, dan ancaman separatisme yang semakin meluas dan nyata serta serius. Prosesnya lebih bersifat instan dan reaktif sehingga pengelolaan politik luar negeri Indonesia cenderung tidak didasarkan pada suatu cetak
Indonesia dipimpin oleh Presiden M egawati Soekamoputri yang merupakan presiden wanita pertama. Politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden M egaw ati Soekam oputri kali ini menampilkan politik luar negeri bersifat feminis. Karakter feminis ini ternyata belum mampu memberi form at yang lain dalam politik luar
38Humphrey Wangke, “Kunjungan Luar Negeri Presiden Abdurrahman W ahid dan Pem ulihan E konom i Indonesia,” dalam Tim Peneliti HI DPR-RI, op.cit., hlm. 97-163. 39Ratna Shohi Inayati, ed., loc.cit. 40Ratna Shofi Inayati, “Arah Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia,” dalam Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 70.
negeri Indonesia, sebagaimana yang selalu diharapkan oleh para pem ikir gender dalam hubungan internasional42 Dalam hal ini, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden M egawati Soekamoputri mulai bergeser kembali ke negara-negara Barat serta memperkuat kembali hubungannya dengan ASEAN.43 Pola ini sesungguhnya merupakan pola politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Dengan demikian, Presiden M egaw ati Soekam oputri yang diharapkan memberikan sentuhan feminis dalam politik luar negeri ternyata gagal secara teoritik karena ia hanya mengikuti pola politik luar negeri yang diformat oleh Presiden Soeharto. P e n g u a ta n k e p a d a A S E A N le b ih ditonjolkan dengan kunjungan resminya begitu ia diangkat sebagai presiden ke negara-negara anggota ASEAN, disamping tentunya keharusan hadirnya presiden dalam KTT ASEAN tahun 2001 dan 2002.44*W alaupun begitu, Presiden M eg aw ati S o ek a m o p u tri m am pu un tu k m em buka celah dalam m engem bangkan
41Lihat dan baca Partogi P. Nainggolan, “Diplomasi Ofensif Pemerintah Wahid: Analisis dari Perspektif Politik,” dalam Tim Peneliti HI DPR-RI, op.cit., hlm. 1-95. 42Tokoh gender dalam hubungan internasional diantaranya meliputi Jean Bethke Elshtain, Cynthia Enloe dan J. Ann Tickner, Martin Griffiths, Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 295-312. 43Ratna Shofi Inayati, ed., op.cit., hlm. 87. 44Lihat dan baca Ratna Shofi Inayati, “Arah Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia,” dalam Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 71.
59
hubungan bilateral Indonesia dengan Rusia di tengah karakter hegemonik AS dalam hubungan internasional. Hal ini dilakukannya dengan kunjungan resmi ke sejumlah negara Eropa Timur termasuk Rusia. Dengan Rusia, Indonesia di bawah Presiden M egawati Soekam oputri berhasil menandatangani sejumlah kerjasama bilateral. Tindakan ini dianggap sebagai suatu tindakan terobosan yang berani dan sekaligus memberikan sedikit warna yang lain bagi politik luar negeri Indonesia.45
Politik Luar Negeri Presiden SBY K etik a m asa k am p an y e p em ilih an le g eslatif m aupun p resid en tahun 2004, perkembangan internasional jarang menjadi pusat perhatian baik pada kontestan peserta pemilu maupun para pemilih dibandingkan dengan perkembangan nasional. Partai politik di Indonesia selama masa O rde Baru ham pir tidak memiliki blue-print tentang politik luar negeri. Hal ini dapat dipahami karena karekater sistem politik Indonesia diformat sedemikian ringkat dan sederhana di bawah kepemimpinan Orde Baru.46 Dalam hal ini, faktor individual presiden lebih menonjol dibandingkan dengan faktor lainnya seperti partai politik. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pem erintah di Indonesia tidaklah menonjolkan peran partai politik yang akan m enentukan p em erin tah an . H al ini disebabkan bahwa pemerintah yang berkuasa itu dilahirkan oleh siapa yang dipilih dan dilantik sebagai presiden oleh MPR. Oleh karena itu, partai politik tidak terbiasa memiliki blue-print politik luar negeri jik a ia menjadi partai yang dipercaya untuk membentuk pemerintah yang berkuasa. Seperti telah dikemukan sebelumnya, komponen pertama adalah orientasi politik luar
45A gus R. Rahman, Kunjungan Presiden M egawati
Soekamoputri ke Rusia dan Peningkatan Hubugnan Bilateral Indonesia-Rusia, Laporan Penelitian yang tidak diterbitkan (Jakarta: FISIP UPDM (B), 2004). 46Lihat dan baca Alfian, Pemikian dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980).
60
negeri Indonesia di bawah Presiden SBY yang m em perlihatkan upaya serius untuk tetap mempertahankan keterikatan Indonesia dengan pihak AS pada skala global maupun skala regional. Dalam skala global, Indonesia tetap m e n c a n te l k e p a d a p u s a ra n s e n trip e ta l kekuasaan hegemonik AS dan sekutunya seperti Jepang. Dalam skala regional, Indonesia tetap mempertahankan dua orientasi regionalisnya kepada ASEAN dan APEC. M em ang karena kondisional, kunjungan ke luar negeri yang pertam a Presiden SBY adalah KTT APEC di Santiago, Cile.47 Kedua macam orientasi politik luar negeri ini mampu m em bentuk kredibilitasnya yang tin g g i. H al ini leb ih d iseb ab k an bahw a pemerintah Presiden SBY adalah produk yang dem okratis karena ia dipilih berdasarkan pemilihan langsung. Pada gilirannya, kondisi ini mampu m enciptakan kredibilitas Indonesia dalam hubungan internasional yang tidak perlu diragukan. K o m p o n en k e d u a ad alah p eran an nasional. Peran nasional Indonesia dalam politik luar n eg erin y a b erk aitan dengan tingkat keterlibatan Indonesia dalam berbagai hubungan internasional. Tingkat keterlibatan Indonesia dalam hubungan internasional mulai melemah setelah tahun 1998 sejalan dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berubah wujudnya menjadi krisis yang bersifat multi-dimensional,48 sehingga Indonesia lebih mudah disingkirkan dari percaturan politik tingkat regional maupun global. Peran politik luar negeri Indonesia di baw ah P resid en SB Y m engarah kepada p em u lih an m a rtab at b an g sa dan n eg ara Indonesia sebagai satu diantara negara penentu
47Akbar Faizal, Partai Demokrat & SBY: Mencari Jawab Sebuah Masa Depan (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 267. 48Lihat dan baca Agus R. Rahman, “Krisis Ekonomi 1997 yang Berkepanjangan: Strategi Penyelesaiann Ekonomi dan Politik,” dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim, ed., Amandemen Konstitusi & Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia (Jakarta: AIPI-PGRI, 2002), hlm. 51-68.
arah dan warna politik regional di Asia Tenggara. Hal ini dilakukan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan negara lain sekawasan. Komponen ketiga adalah tujuan. Tujuan
kasus lain, kecepatan bertindak memang lebih dituntut. Hal ini adalah karakter individual.49
politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden S B Y m e n e k a n k a n p a d a p e rju a n g a n pembenahan kondisi politik dan ekonomi di dalam negeri. S ecara p o litik , In d o n esia dihadapkan kepada persoalan separatisme yang digerakkan oleh individu yang tinggal di luar negeri. Pertam a, pihak m ana pun di dunia internasional tidak mendukung separatisme di Indonesia, khususnya adalah GAM dan OPM. Tak satu pun negara yang memiliki hubungan diplom atik dengan Indonesia m enyatakan mendukung GAM dan OPM. Kedua, dari sisi tujuan ini, sejumlah negara ternyata menjadi tempat perjuangan GAM di luar negeri seperti GAM Malaysia, GAM Australia dan mungkin
Berdasarkan keempat komponen politik luar negeri di bawah Presiden SBY, jejak Eropa dalam politik luar negeri Indonesia itu adalah sangat tersamar. Artinya, perhatian terhadap Eropa dalam politik luar negeri Indonesia sama sekali tidak memperlihatkan penampakan yang
di Timor Leste dan tempat lainnya. Bahkan, para p etin g g i G A M yan g b eru n d in g d en g an pemerintah Indonesia berkedudukan di Swedia, dan hal sama pula dengan RMS di Belanda. Secara ekonom i, Indonesia m asih sangat memerlukan bantuan luar negeri dari negaranegara AS dan kelompoknya Bahkan, Indonesia semakin terperangkap ke dalam jerat bantuan luar negeri setelah bencana Tsunami meneijang Aceh, meskipun Indonesia mendapat simpati internasional karena berhasil menyelenggarakan konferensi internasional tentang bencana Tsunami. CGI pun pada tahun 2005 pun masih m e m p e rlih a tk a n k o m itm e n n y a u n tu k m em berikan bantuan luar negeri kepada Indonesia. Komponen keempat adalah tindakan. Dari sisi tindakan, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY cenderung mementingkan tindakan m ultilateral dan b ilateral untuk menyuarakan jalan damai dalam menghadapi isu-isu politik luar negeri Indonesia. Selain itu, tindakan politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY tampak cenderung berhati-hati. Kehati-hatian dalam bertindak ini memang pada satu kasus sungguh diperlukan, tetapi, dalam
Eropa Bukan Prioritas Utama
konkrit, sehingga Eropa bukanlah prioritas utama dalam politik luar negeri Indonesia. Ketidaktampakan perhatian terhadap Eropa ini disebabkan dua hal yang dominan. Pertama adalah perhatian terhadap Eropa adalah tidak secara langsung. Artinya, perhatian Eropa disebabkan karena pemerintah SBY m e m ilih E ro p a d an le m b a g a s w a d a y a masyarakat Eropa sebagai m ediator dalam penyelesaian Aceh, setelah kegagalannya pada masa pemerintahan sebelumnya. Memang, hal ini menjadi lebih baik daripada Presiden SBY menentukan AS dan lem baga swadaya di AS sebagai mediatornya. Namun, pilihan Eropa pun menjadi pilihan yang disetujui oleh pihak GAM yang b erk ed u d u k an di S w edia. D engan demikian, perundingan dan lembaga swadaya yang akan b ertindak sebagai tem pat dan mediator selalu di Eropa karena memang lokasi petinggi GAM di luar negeri berpusat di Eropa, khususnya di kawasan Skandinavia. P ad a aw aln y a adalah u p ay a u n tuk m en y elesaik an A ceh seb ag ai k elo m p o k pekeijaan pertama yang dihadapi oleh Presiden SBY. Dalam hal ini, Presiden SBY masih harus melanjutkan dan menuntaskan masalah yang belum diselesaikan oleh pemerintah sebelumnya. M emang, sebagian pekerjaan kelom pok ini sudah tercapai, tetapi sebagian lagi masih perlu diintensifkan penyelesaiannya.
49Lihat dan baca HCB Dharmawan, Sang Kandidat:
Analisis Psikologis Politik Lima Kandidat Presiden dan Wakil Presiden RI Pemilu 2004 (Jakarta: Kompas, 2004), hlm. 246.
61
Dalam penyelesaian Aceh, Presiden SBY pun menyiapkan strategi khusus melalui Wapres Yusuf Kalla (YK) untuk membuka celah bagi “jalur belakang” dalam segala tingkatan. Hasil dari strategi khusus ini adalah jalan perundingan antara pemerintah Presiden SBY dengan pihak GAM . Perundingan dilakukan oleh pihak mediator seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Dalam perundingan antara kedua belah pihak itu, perhatian ditujukan kepada Eropa. D alam hal ini, Eropa dim aksudkan adalah sebagai pilihan yang disepakati bersama baik oleh pemerintah Presiden SBY maupun pihak GAM untuk melakukan perundingan kembali. Perundingan kali ini tidak lagi dilakukan di kota Jenewa, Swiss, tetapi diselenggarakan di kota Helsinki, Finlandia. Dengan berubahnya lokasi kota sebagai tem pat perundingan, m e d ia to r p e ru n d in g a n pun m e n g alam i pembahan. Posisi Henry Dunant Centre (HDC) yang dipercaya selam a pem erintah Presiden Megawati Soekamoputri digantikan oleh Crisis M anagement Initiative (CMI) yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Maarti Ahtisaari yang bertindak sebagai juru penengah. Penggantian HDC kepada CM I lebih disebabkan kegagalan mediasi yang dilakukan oleh HDC. Dengan kegagalan ini, pemerintah Presiden SBY mungkin m elihat bahw a HDC tidaklah kredibel. Akan tetapi, CMI pun masih harus diuji kredibilitasnya dalam menengahi konflik kepentingan antara pemerintah Presiden SBY yang berusaha keras pada landasan tugas konstitusionalnya untuk m em pertahankan
tetap m em perjuangkan kem erdekaan bagi Aceh. Kelom pok tua GAM yang tinggal di Swedia m erasa yakin bahw a m ereka akan mudah m endapatkan para penerusnya dari
wilayah Aceh sebagai bagian nari NKRI dan pihak GAM yang menuntut kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Pada akhirnya, perundingan antara pem erintah Indonesia dengan pihak GAM yang dikelola oleh CMI pun mengalami k e g a g a la n yang seru p a. K eg ag alan ini m em buktikan b ah w a k ed u a b elah p ihak sesungguhnya m ustahil untuk berdam ai. Separatisme yang diusung GAM akan selamanya
N am u n , E ro p a s e k a ra n g ini ju s tr u memperlihatkan kecenderungan kemandirian nya terhadap pusaran sentripetal hegemonik AS. Ya, memang Eropa belum berhasil bertindak sebagai penyeimbang AS dalam hubungan internasional. Akan tetapi, Eropa dalam beberapa hal telah mampu menentang AS, seperti dalam kasus uang dan nuklir Iran. Namun, tiga hal yang perlu diingat dalam memberikan posisi kepada Eropa dalam politik
62
k e lo m p o k m u d a A ceh y a n g akan memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Dengan berkaca pada kasus RMS di Belanda, kasus GAM akan menambah front penentang NKRI di Eropa dengan GAM yang bermukim di Swedia. Di Eropa sendiri, konflik separatisme sulit diselesaikan secara damai dan n eg ara-n eg ara E ro p a seperti Inggris dan Spanyol masih menghadapi persoalan yang pelik dengan separatisme IRA dan Basque. Bahkan, Indonesia pun harus berhati-hati menghadi tekanan-tekanan baik domistik dan internasional untuk menciptakan pola yang sama bagi OPM. Tam paknya, strategi pem bentukan pusat gerakan kemerdekaan di Eropa akan dicontoh oleh OPM. Hal ini berarti Indonesia akan menghadapi tiga front penentang NKRI di Eropa. Kedua, Presiden SBY hingga kini belum m elakukan kun ju n g an ke Eropa. D alam kunjungan pada bulan Mei 2005 ini, Presiden SBY hanya mengagendakan kunjungannya ke AS, Vietnam dan Jepang. Apakah kunjungannya ke Eropa ini menunggu A SEM tahun 2006 nanti? Jika memang demikian faktanya, hal ini membuktikan bahwa politik luar negeri Presiden SBY tidak m em iliki jejak yang jelas bagi perhatiannya kepada Eropa. Eropa sekarang sudah berubah. Eropa se k a ra n g tid a k lagi te rp e c a h ke dalam pembagian blok seperti jamannya Perang Dingin.
luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY yaitu, pertam a, bahw a Indonesia sekarang selamanya menghadapi dua front penentang NKRI di Eropa yakni yakni kelompok separatis RMS dan GAM. K edua adalah Indonesia berpartisapasi dalam ASEM yang merupakan mekanisme hubungan antar-kawasan Asia dan Eropa. Dalam hal ini pun, Indonesia dirasakan belum memanfaatkan secara maksimal segala kemungkinan manfaat politik dan ekonominya. Ketiga adalah pembelajaran yang dihasilkan dari hubungan bilateral dengan negara-negara Eropa. Sebagai contoh, untuk menyebutkan sejumlah negara Eropa yang ada, Indonesia mungkin dapat belajar tentang pengelolaan hutan dari Finlandia dan serta sistem kesejahteraan dari neg ara-n eg ara di kaw asan S k an d in av ia, seandainya Indonesia mau belajar dari pola hubungan bilateralnya dengan Eropa. Dengan ketiadaan perhatian kepada ketiga hal ini, politik luar negeri Indonesia tidak memperlihat posisi Eropa yang dominan. Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY tidak termasuk dalam prioritas utama. Eropa masih jauh dari daratan politik luar negeri Indonesia. Eropa sepertinya berada di lingkungan bawah sadar politik luar negeri Indonesia.
Penutup Politik luar negeri Indonesia tampaknya meletakkan harapan yang terlalu besar kepada Presiden SBY karena proses politik yang m elahirkannya sebagai pem im pin bersifat demokratis. Akan tetapi, politik luar negeri In d o n esia di baw ah P resid en SB Y pun tampaknya menghadapi warisan permasalahan yang kom pleksitasnya sangat luar biasa. Akibatnya, politik luar negeri Presiden SBY pun terkendala oleh karakterisitk domestiknya. Berdasarkan kendala domestiknya itu, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY memperlihatkan orientasi, peran, tujuan dan tindakan yang serba terbatas. Pada akhirnya, jejak perhatiannya terhadap Eropa sebagai satu
d ia n ta ra k a w a sa n y a n g p o te n s ia l dan berpengaruh dalam hubungan internasional tidak optimal. Artinya, Eropa bukan menjadi prioritas utama dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY. . D ua hal pokok tetap akan m enjadi kendala untuk m enjadikan Eropa sebagai prioritas dalam politik luar negeri Indonesia. Pertama, letak geografis Eropa yang sangat jauh dari kawasan Asia Tenggara menyebabkan kendala terbesar bagi pengem bangan pola hubungan bilateral dengan negara-negara Eropa. Kedua, tingkat keija sama negara-negara Eropa memperlihatkan kemajuan ekonomi dan politik yang lebih maju dan lebih dalam dibandingkan dengan tingkat kerjasam a negara-negara di kawasan Asi a Tenggara sehingga mempersulit pola hubungan antara Indonesia dan Eropa. A kan tetap i, k en d ala geo g rafis itu sesungguhnya tidaklah mutlak kalau ingin mengembangkan pola hubungan Indonesia dengan Eropa menjadi prioritas dalam politik luar negeri Indonesia. Pilihannya terletak pada pengembangan pola hubungan fungsional yang bersifat bilateral, multilateral dan antar-kawasan yang bersemangatkan pada dorongan ke arah integrasi daripada pola hubungan tradisional yang sangat mengandalkan pada kedaulatan nasional masing-masing negara.
Daftar Pustaka Agung, Ide Anak Agung Gde. 1973. Twenty
Years Indonesia ’s Foreign Policy, 19451965. The Hague: M outon, Co. A lfian. 1980. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia. Anwar, Dewi Fortuna. 1994. Indonesia in
ASEAN: Foreign Policy and Regionalism. Singapore: Institute o f Southeast Asian Studies. D harm awan, HCB. 2004. Sang Kandidat:
A nalisis P sikologis P olitik Lima Kandidat Presiden dan Wakil Presiden RI Pemilu 2004. Jakarta: Kompas. 63
Djalal, Hasjim. 1997. Politik L uar Negeri In d o n esia d alam D a sa w a rsa 1990. Jakarta: CSIS. Djiwandono, J. Soedjati. 1996. Konfrontasi
Revisited: Indonesia’s Foreign Policy Under Soekarno. Jakarta: CSIS. Faizal, Akbar. 2005. Partai Demokrat & SBY:
Mencari Jawab Sebuah Masa Depan. Jakarta: Gramedia. Griffiths, Martin. 2001. Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional. Jakarta. RajaGrafindo Persada. Holsti, K.J. 1981. Intemational Politics: a Framework fo r Analysis. New Delhi: Prentice-Hall of India. Inayati, Ratna Shofi. Ed. 2002. Politik Luar N eg eri In d o n e sia P a sc a S o eh arto : D ip lo m a s i P e m u lih a n E k o n o m i Nasional. Jakarta: P2P LIPI. Kalvelage, Cari., dan M orley Segal. 1976.
Rahman, Agus R. 2002. “Krisis Ekonomi 1997 y a n g B e rk e p a n ja n g a n : S tra te g i Penyelesaian Ekonomi dan Politiknya,” dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim. Ed. Amandemen Konstitusi & Strategi
Penyelesaian Krisis Politik Indonesia. Jakarta: AIPI-PGRI. Rahman, Agus R. 2004. Kunjungan Presiden
M egaw ati Soeka m o p u tri dan P eningkatan H ubungan B ilateral Indonesia-Rusia. Laporan Penelitian yang tidak diterbitkan. Jakarta: FISIP UPDM (B). S itohang, Jap an to n S itohang. 2000. Ed.
Prospek Hubungan Indonesia-UE: Penyelesaian Masalah Timor-Timur. Jakarta: PPW LIPI. Suryadinata, Leo. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES.
Dallas: Scott, Foresman and Co.
Susanto, Dwi., dan Zainuddin Djafar. 1990. Ed. Perubahan Politik di NegaraNegara Eropa Timur. Jakarta: AIPI.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1983. Politik Luar
Tim Peneliti H I D PR -R I. 2001. Analisis
Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini. Bandung: Alumni.
Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Abdurrahm an Wahid: 1999-2000.
Research Guide in Political Science.
Leifer, Michael. 1989. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Gramedia. Mochtar, Edison M uchlis. 2001. Ed. ASEM
dan Revitalisasi Hubungan Uni Eropa dan Asia. Jakarta: PPW LIPI. Panitia Penulisan Sejarah Deplu. 1971. Dua
Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri, 1945-1970. Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Karyawan Deplu. Perwita, Anak Agung Banyu., dan Yanyan M ochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. B andung: Rem aja Rosdakarya.
64
Jakarta: DPR-RI. W einstein, B. Franklin. 1976. Indonesian
Foreign Policy and the Dilemma o f D ependence: from Soekarno to Soeharto. Ithaca: C ornell U niversity Press. W hite, Stephen. 2000. Russia’s New Politics:
the Management o f a Postcommunist Society. C a m b rid g e . C a m b rid g e University Press. W uryandari, G anew ati W uryandari. 1997. Ed. Indonesia & APEC (Jakarta: PPW LIPI, 1996); dan Indonesia dan APEC: dalam Perkem bangan Ekonomi Politik Internasional. Jakarta: PPW LIPI.
D iplom asi B elanda dan Indonesia dalam Sengketa Irian B arat, 1949-1950: Sebuah K ajian H istoris Oleh: Siswanto
Abstract This article would like to understand the history of diplomacy ofDutch and Indonesia in West Papua dispute in 1949 to 1950. According to historical documents, West Papua dispute has begun since Round Table Conference in 1949. In that Conference, the delegation ofDutch and Indonesian agreed to renegotiate West Papua problem one year after the Conference. In April 1950, Dutch and Indonesia negotiated the problem in Jakarta, but both countries could not produce a significant commitment. In December 1950 Dutch and Indonesia held a Special Conference in Hague in order to solve the problem, but once again they arefailed. The peace proposal which is introduced by both countries is so contradicted one another. At last, West Papua dispute could not be negotiated successfully because Dutch did not have serious intention to transfer West Papua to Indonesia. Sengketa Irian Barat tidak terlepas dari Konperensi Meja Bundar tahun (KMB) 1949. Bahkan, KMB dipandang sebagai sum ber munculnya sengketa Irian Barat. Delegasi B elanda tid ak m en u n task an pelim pahan kedaulatan kepada RIS, sebaliknya menunda persoalan eksistensi Irian Barat. Kesepakatan penundaan soal Irian Barat ini juga tidak berhasil m e n g a n ta r B e la n d a dan In d o n e s ia menyelesaikan persoalan tersebut. Setahun setelah KMB kedua belah pihak m em ang merundingkan masalah tersebut. W alaupun sudah merundingkannya, mereka tetap gagal mencapai kata sepakat. Dengan demikian, KMB te lah m e w a risk a n “ bom w a k tu ” y an g menyusahkan Indonesia dikemudian hari. D alam sidang k om ite P erserik atan Bangsa-Bangsa 23 N ovem ber 1954 Belanda dan Indonesia sama-sama ingin mengontrol Irian Barat. Oleh karena itu, sengketa Irian Barat adalah konflik kedaulatan antara Belanda dan Indonesia. Di satu sisi Belanda menyatakan peduli kepada penduduk Irian Barat dan akan memberikan hak m enentukan nasib sendiri
dikemudian hari, sedangkan di sisi lain Indonesia memandang bahwa Irian Barat sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia.1Belanda dan Indonesia sama-sam a memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Dengan demikian, sengketa Irian Barat yang berkepanjangan disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa di satu pihak Belanda ingin mempertahankan kekuasaanya di Irian Barat, sedangkan pada w aktu yang b ersam aan Indonesia menghendaki Belanda meninggalkan wilayah tersebut.
KMB dan Irian Barat Salah satu peristiwa penting dalam sejarah d ip lo m asi In d o n esia adalah KM B yang diselenggarakan pada 23 Agustus sampai dengan 2 N ovem ber 1949 di Den Haag. Delegasi In d o n e s ia d a la m K M B d ip im p in o leh
1 Robert C. Bone, Jr. The Dynamic of the Western New Guinea (Irian Barat) Problem, Modern Indonesian Project, (New York: Department o f Far Eastem Studies, Comell University, 1958), 128
65
Dr.M ohammad Hatta, delegasi Bijenkoomst Voor Federal Overleg (BFO) atau negaranegara “boneka” bikinan Belanda di Indonesia Tengah dan Timur dipimpin oleh Sultan Hamid, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Van M aarseveen. A nggota Kom isi PBB untuk Indonesia yang jug a turut serta dalam KMB adalah Herremans, Merle, Cohran, Crictchley, dan Ramos.2Susunan lengkap delegasi Republik Indonesia pada KMB m eliputi: K etua Dr. M ohammad Hatta, Wakil M ohammad Roem, dan an g g o ta te rd iri atas: D r. S u k im an W irjo san d jo jo , Dr. J. L eim en a, Mr. A li Sastroamidjojo, Mr. Sujono Hadinoto, Kolonel T.B. Simatupang, Ir. Juanda, Prof. Dr. Mr. Supomo, dan R. Margono Djojohadikusumo. KMB di sam ping m enetapkan soal penyerahan kedaulatan dari B elanda kepada RIS juga m engatur soal Irian Barat. Sejarah menunjukan KMB tidak bisa menjadi rujukan yang baik bagi penyelesaian soal Irian Barat. Hal ini asumsinya disebabkan dokumen KMB tidak mengatur secara rinci status politik Irian Barat. Landasan yuridis penundaan penyerahan Irian Barat oleh Belanda kepada Indonesia te rtu an g p ad a pasal 2, dok u m en K M B . Dokumen ini menyatakan karena belum ada kesepakatan, keterbatasan waktu, dan demi hubungan baik, m aka Irian B arat ditetapkan dalam keadaan status quo selama satu tahun.3 Ini artinya Belanda tetap berkuasa di wilayah tesebut setidaknya selama setahun sejak KMB, sedangkan Indonesia harus bersabar menunggu saat perundingan sesuai dengan kesepakatan KMB. Dokumen selengkapnya sebagai berikut: a. d is e b a b k a n k e n ja ta a n b a h w a persesuaian antara pendirian masing2 pihak tentang Irian barat belum dapat d itjap ai, seh in g g a soal itu m asih mendjadi pokok pertikaian;
2 Panitian 75 Tahun Kasman, Hidup Adalah Perjuangan : Kasaman Singodimedjo 75 tahun, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982). Hlm. 169 3Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 19451970, (Jakarta: Deparlu, 1970) hlm. 87
66
b. disebabkan keharusan K onperensi M e d ja B u n d a r d ia c h iri d en g an berhasil pada tanggal 2 N ovem ber 1949. c. mengingat faktor2 pentingjang harus diperhatika pada pemetjahan masalah Irian itu; d. m engingat singkatnja penjelidikan ja n g te la h d a p a t d ia d a k a n dan d is e le s a ik a n p e rih a l so a l2 ja n g bersangkutan dengan masalah Irian itu; e. mengingat sukamja tugas kewadjiban jan g akan dihadapi dengan segera oleh pesereta Uni, dan f. m e n g in g at k eb u latan hati p ihak2 jang bersangkutan hendak memper ta h a n k a n aza s s u p a ja sem u a perselisihan jang m ungkin tem jata k e la k akan tim b u l, d is e le sa ik a n dengan jalan patut dan rukun, maka status quo keresidenan Irian (New G u in e a ) te ta p b e rla k u s e rta d ite m u k a n , b ah w a d alam w aktu setahun sesudah tanggal penjerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia S e rik a t m a sa la h kedudukankenegaraan Irian akan diselesaikan dengan djalan perundingan antara R e p u b lik In d o n e s ia S e rik a t dan Keradjaan N etherland.4 Kendala waktu menjadi alasan formal penundaan penyelesaian sengketa Irian Barat. KMB berlangsung selama 96 hari, tetapi tidak menuntas posisi Irian Barat. Hal ini sebagai indikasi bahw a KMB diwarnai oleh diskusi, p erd eb a tan , dan u p ay a kom p ro m i yang m em akan w aktu. A rtinya kedua delegasi m e m ilik i p e rb e d a a n -p e rb e d a a n p rin sip khususnya yang terkait dengan soal status Irian Barat. Kedua delegasi sama-sama membawa aspirasi negaranya sehingga setiap persoalan dibicarakan dengan seksama dan didasarkan p erh itu n g an rin ci dari segi k ep en tin g an
4 Deparlu. Ibid.
nasionalnya masing-masing. Oleh karenanya, perundingan berlangsung relatif lama. Sehingga pemikiran yang berkembang pada masa itu ialah pembahasan masalah Irian Barat memerlukan waktu yang khusus. Namun demikian alasan politik dibalik penundaan soal Irian Barat ini ju g a perlu dipahami. Keputusan penundaan ini tidak terlepas dari strategi Belanda yang ingin bertahan di Irian Barat. Belanda mengharapkan Indonesia kacau dan berpeluang kembali (ke Indonesia) melalui Irian Barat.5 Ini terbukti Belanda kurang berminat merundingkan soal kedaulatan Irian Barat, tetapi Belanda bersedia berunding soal perburuhan dan transportasi antara Irian Barat dan Indonesia.6 Jadi, Belanda lebih bersedia mendiskusikan halhal yang bersifat teknis. Pelimpahan kedaulatan melalui KMB adalah sesuatu yang tidak sungguhsungguh diinginkan oleh Belanda, tetapi lebih d iseb ab k an B ela n d a m e n d a p a t te k an an internasional. M isalnya saja resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949, yang menyatakan; 1). Penghentian operasi militer Belanda, 2). Pemimpin-pemimpin Republik Indonesia harus dikembalikan ke Yogyakarta, 3). Pengakuan kedaulatan atas Negara Indonesia Serikat.7 B utir terakhir ini m enjadi faktor pendorong Belanda ke m eja perundingan (KMB). Pada waktu yang bersamaan, Indonesia bersikap moderat dalam perundingan KMB. Sikap politik Indonesia dipengaruhi oleh haluan politik pimpinan delegasinya. Delegasi Indonesia pada KMB dipimpin oleh oleh M ohamm ad Hatta. Hatta berhaluan politik lebih moderat terhadap Belanda dibandingkan M oham ad Natsir atau Sukamo. Bahkan H atta meyakini supaya penyelesaian sengketa Irian B arat berhasil, Indonesia sebaiknya memberi konsesi
5Pewarta Djakarta, Arti Irian Barat djika perang petjah, 16 Mei 1954 6 Ide Anak Agung Gde Agung, Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965, (Yogyakarta: Dutawacana University Press, 1990) 7 Singodimedjo op.cit. hlm. 170
kepada Belanda. Di samping itu, delegasi Indonesia bersikap realistis terhadap posisi p o litik n y a pada w aktu itu. P osisi taw ar (bargaining position ) Indonsia tidak cukup kuat menghadapi Belanda. Indonesia adalah negara yang belum lama lepas dari belengu penjajah dan Belanda adalah negara bekas penjajahnya. Sikap kompromi dipandang oleh delegasi Indonesia sebagai sikap terbaik saat masa itu. Di samping itu, sikap moderat juga d ip en g aru h i oleh k eg em b iraan deleg asi Indonesia karena m endapat pengakuan dari Belanda. Indonesia memang sudah merdeka sejak tahun 1945, tetapi pihak Belanda tidak mengakuinya. Jadi, defacto Indonesia memang sudah merdeka, namun de jure kemerdekaan Indonesia masih bermasalah. Penundaan penyelesaian sengketa Irian Barat menguntungkan posisi politik Belanda. Seperti disebutkan di bagian terdahulu dokumen KMB memberi hak kepada Belanda untuk tetap mengontrol Irian Barat selama setahun. Artinya defacto Belanda masih berkuasa di Irian Barat. Belanda m emiliki waktu satu tahun untuk mengatur strategi agar bertahan di Irian Barat. Belanda menunda persoalan Irian Barat. Dalam m asyarakat Belanda ada keyakinan bahwa menunda berarti membatalkan. Dengan demikian, penundaan soal Irian Barat dalam perspektif Belanda bisa diartikan sebagai pembatalan tuntutan Indonesia atas Irian Barat atau peluang mempertahankan eksistensinya di Irian Barat. Sebaliknya penundaan masalah Irian Barat dipandang merugikan posisi politik Indonesia. Penundaan ini berdam pak kepada hilangnya m om entum Indonesia untuk m enuntaskan persoalan kolonialisme. Padahal situasi pada waktu itu merupakan m om entum yang tepat melaksanakan dekolonialisasi di Indonesia sampai tuntas. Banyak negara yang mendukung perjuangan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari hasil Konperensi 19 negara Asia di New Delhi tanggal 23 Januari 1949. Konperensi ini antara lain memutuskan : 1). P em im pin-pem im pin Republik Indonesia yang ditawan Belanda
67
supaya dibebaskan, 2). Tentara Belanda harus ditarik mundur dari Yogyakarta.8Opini politik negara-negara Asia berpihak kepada Indonesia. Konsekuensi penundaan ini Indonesia masih harus memikul beban sisa-sisa kolonialisme begitu lama. Sengketa Irian Barat berlarut-larut dari tahun 1949 sampai dengan 1969 dan menyedot energi bangsa Indonesia. Energi tersebut seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan nasional karena Indonesia sebagai negara baru merdeka memerlukan pembenahan dan pengembangan diri. Namun kenyataannya setiap kabinet di era Demokrasi Parlementer tahun 1950-1957 sibuk mengatur strategi dan menempatkan sengketa Irian Barat sebagai masalah prioritas. Setelah bekeija keras dan mendapat dukungan internasional, Indonesia dim asa Demokrasi Terpimpin tahun 1962 berhasil menyepakati Perjaanjian New York. Perjanjian ini mengatur peralihan kekuasaan Belanda kepada Indonesia atas Irian Barat. Selanjutnya penyelesaian damai ini dituntaskan melalui Pepera di era Demokrasi Pancasila tahun 1969. Dengan demikian sengketa Irian Barat telah membebani tiga generasi politik di Indonesia yakni: Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila. M aka berdasarkan fakta-fakta diatas dipahami, KMB menjadi sumber masalah Irian Barat. KMB tidak m engatur secara rinci sengketa Irian Barat. Hal tesebut menyebabkan masalah ini sulit diselesaikan. KMB mendorong sengketa ini jadi berlarut-larut. Situasi ini lebih menguntungkan posisi Belanda dibandingkan posisi Indonesia. M elalui KMB Belanda-dan Indonesia mencoba bersikap kompromi. Delegasi Belanda mempertahankan status quo di Irian Barat, sedangkan delegasi Indonesia mencoba bersabar untuk menunggu setahun baru merundingkan soal Irian Barat. Ketika itu delegasi Indonesia dihadapkan situasi sulit, di satu sisi Indonesia
s Singodimedjo.,
68
ibid, hlm
170
ingin memperoleh hasil maksimal dalam KMB, namun di sisi lain Indonesia harus mengakhiri KMB dengan sukses karena m enyangkut pelimpahan kedaulatan nasional.
Kegagalan Perundingan Belanda-Indonesia Ayat e, pasal 2, Perjanjian KMB 1949 m enyatakan kedudukan Irian B arat akan dirundingkan antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat setahun setelah perundingan. Bagian Perjanjian KMB yang terkait dengan soal status Irian Barat dirancang oleh kedua delegasi bersifat umum agar tercapai kompromi. Jika pada waktu itu isi dokumen diatur dengan rinci, salah satu pihak yang merasa dirugikan dipastikan tidak mau menandatangani perundingan tersebut. Dokumen perjanjian yang bersifat um um ini bukannya menyelesaikan p erso alan , tetapi ju s tru m enjadi sum ber ketegangan antara Belanda dan Indonesia. Isi dokumen yang bersifat umum ini mengundang perbedaan interpretasi. D a la m ra n g k a m e la k s a n a k a n kesepakatan KMB, di Jakarta awal tahun 1950 dan di Hague akhir tahun 1950 Belanda dan Indonesia melakukan perundingan, tetapi tidak menghasil sesuatu yang sungguh-sungguh berarti (significan) bagi penyelesaian sengketa Irian Barat. M aka asum si yang m ungkin dapat m en jelask an n y a, B elan d a dan In d o n esia memiliki perbedaan pandangan yang sangat mendasar dalam sengketa Irian Barat. Pada bulan M aret tahun 1950 delegasi Belanda m engunjungi Indonesia. Ini sebagai realisasi perjanjian KMB. Isi perjanjian tersebut mengikat kedua negara untuk melaksanakan perundingan. Memang tujuan utama kehadiran d e le g a s i B e la n d a ke In d o n e s ia u n tu k berpartisipasi dalam K onperensi M enterimenteri Uni Indonesia-Belanda, tetapi masalah sengketa Irian Barat ju g a menjadi isu yang penting dalam konperensi ini.9 Bagi Indonesia
9 Anak Agung Gde Agung,. Op.cit hlm. 80
justru isu status Irian Barat paling penting ketimbang isu lainnya. Namun sikap Belanda dalam perundingan ini tidak mengarah kepada penyerahan Irian Barat. Belanda berpijak pada prinsip bahwa peralihan kedaulatan dari K erajaan Belanda kepada RIS melalui KMB tidak term asuk wilayah Irian Barat. Dengan kata lain Belanda masih menguasai Irian Barat. Belanda sebagai negara bekas penjajah tidak mudah begitu saja menyerahkan wilayah yang dikuasainya kepada pihak lain. Apalagi seperti dikatakan diatas jika mengacu pada isi dokumen KM B, Belanda memang tidak wajib menyerahkan Irian Barat, tetapi hanya wajib merundingkannya dengan Indonesia. Artinya secara yuridis posisi Belanda lebih kuat dibandingkan Indonesia. Isi dokumen KMB menyatakan Irian Barat dalam keadaan
status quo dan akan dirundingkan antara Belanda dan Indonesia setahun kemudian. Dokumen KMB tidak m enjanjikan bahw a Belanda akan m engem balikan Irian Barat kepada Indonesia. Jadi status Irian B arat tergantung pada sikap Belanda dan Indonesia dalam m eja peru n d in g an . D alam p roses perundingan bisa terjadi beberapa skenario, pertama Irian Barat tetap dibawah kontrol Belanda, kedua Irian Barat dibagi dua antara Belanda dan Indonesia, ketiga Irian Barat bergabung dengan Indonesia. Dengan demikian perundingan Belanda dan Indonesia di Jakarta pada Maret tahun 1950 tersebut disim pulkan tidak kondusif untuk penyelesaian sengketa Irian Barat. Belanda dalam perundingan ini bersikap konservatif, sedangkan In d o n esia b erisik ap o p tim is. Indonesia bertiarap perundingan ini sebagai awal penyerahan Irian Barat oleh Belanda kepada Indonesia. H asil perundingan ini ternyata m engecew akan delegasi dan m asyarakat Indonesia. Dalam rangka menyelamatkan situasi, kedua negara mem bentuk komisi bersama. Komisi ini terdiri para pakar yang mewakili pemerintahnya dan bertugas membuat laporan bersama atas masalah tersebut. Namun komisi
ini ju g a tidak berhasil merumuskan laporan bersama dan akhirnya membuat laporan masingm asing kepada pem erinahnya. W alaupun demikian, M oham m ad H atta m erasa optimis pada hasil perundingan bahwa Irian Barat akan diserahkan oleh Belanda kepada Indonesia pada ak h ir tah u n 1950. S ik ap o p tim is H atta d id a sark a n p e m b ic a ra a n y a d engan Van M a a rse v e e n , seo ran g M en teri W ilay ah Seberang Lautan Belanda.10 Dalam rangka melanjutkan perundingan di Jakarta, pada bulan D esem ber tahun 1950 B elanda dan Indonesia m enyelenggarkan konperensi khusus di Hague, Belanda. Pada konperensi khusus ini delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mohammad Rum, sedangkan delegasi dipimpin oleh Van Maarseveen. Kedua negara tetap menampakan perbedaan yang mendasar, Delegasi Indonesia m e n g a ju k a n p ro p o s a l y an g is in y a menggambarkan: pengakuan terhadap hak-hak ekonomi Belanda di Irian Barat, pemberian ijin kepada orang Belanda untuk menjadi pegawai adminstrasi, pemberian jaminan pensiun kepada pejabat Belanda, pemberian ijin imigrasi kepada orang Belanda ke Irian Barat, penggabungan sistem komunikasi di Irian Barat ke Indonesia dengan memperhatikan hak-hak kepemilikan pengusaha Belanda, pemberian jaminan kepada kebebasan beragam a dan misionaris ke Irian Barat, pengupayaan tatanan demokrasi di Irian Barat. Dengan dem ikian, delegasi Indonesia mencoba menawarkan sejumlah konsesi kepada Belanda. Gambaran isi proposal lengkapnya, sebagai berikut:
1) Recognition o f existing Dutch economic and financial rights and concessions plus special consideration in connection with new investments and concessions in the development and exploitation o f soil and forest
10 Ide Anak Agung
Op.c'n hlm. 81.
69
2)
3)
4)
5)
6)
resources; preferential treatmentfor Dutch interests in such areas as trade, shipping, and industry; Dutchm en to be eligible fo r administrative employment; Pensions fo r Dutch official to guaranteed by the Indonesian Govemment, as in the case o f Round Table Conference Agreement Immigration o f Dutch nationals to Irian to be p erm itted and due attention p a id to supplying the manpower needs ofWest Irian; Incorporation o f West Irian into Indonesian communication system but with due attention to the concessions granted earlier to Dutch or mixed enterprises; Guarantees fo r freedom o f religion and assistance to the humanitarian work o f religious mission by the Indonesian Government.; Efforts to be made to operate afully democratic govemment in West Irian with a representative body to established as soon as possible with the population possessing fu ll autonom y and a voice in the govemment
P ihak B elan d a m eresp o n p roposal delegasi Indonesia dengan proposal tandingan. Isi proposal delegasi Belanda dipandang cukup sinis. Isi proposal tersebut tidak mencerminkan respon p o sitif terhadap taw aran konsesi In d o n e s ia . B a h k a n te rk e s a n B e la n d a memprovokasi sikap Indonesia. Isi ringkasan p ro p o sal d eleg asi B ela n d a a n ta ra lain : kedaulatan Irian Barat dialihkan kepada RIS, tatapi defacto dan secara adminstrasi Irian Barat dibaw ah k o n tro l B elan d a, p eru n d in g a n dilanjutkan dengan dibantu PBB, sesuai dengan KMB Irian Barat sebelum ada keputusan melalui perundingan statusnya masih status quo. Isi p ro p o s a l d e le g a s i B e la n d a selengkapnya sebagai berikut:1
1) the sovereignty o f West Irian should be transferred to the NetherlandsIndonesia Union, with the stipulation that the de fa c to control and administration over that territory would remain in Dutch hands; 2) the negotiations should be continued under the auspices o fth e still extant U nited N ations C om m ission fo r Indonesia or any other organ which could render any Service to make that negotiation possible 3) Since the future ofthe area had not been decided by negotiation within the year ’s period stipulated inArticle 2 o f the Charter o f the Transfer o f Sovereignty, the N eth erla n d s’ sovereignty and the status quo should be maintained. 11 K e d u a p ro p o s a l d ia ta s m e m ilik i perbedaan yang mendasar. Proposal yang diajukan delegasi Indonesia sifatnya terlalu maju atau sangat progresif karena hanya bermuatan hal-hal yang bersifat teknis. Proposal ini tidak menyinggung sengketa kedaulatan atas Irian Barat, padahal masalah ini merupakan substansi dari perundingan Belanda dan Indonesia. Jadi, delegasi Indonesia m emandang seolah-olah pelimpahan kekuasaan dari Belanda kepada Indonesia atas wilayah Irian Barat sudah selesai d ila k u k a n . D en g an d e m ik ia n , d eleg asi In d o n esia ju g a terkesan tidak m engakui keberadaan B elanda di Irian Barat. Padahal kenyataannya Belanda secara de facto masih berkuasa di Irian Barat, sedangkan Indonesia baru pada tahap beijuang untuk mengambil alih Irian Barat. Jika orientasi muatan proposal tersebut merupakan strategi, strategi diplomasi yang d em ik ian adalah ja u h dari tu ju an perundingan yang ingin membahas pelimpahan kekuasaan di Irian Barat. Jadi kesan yang diam bil dari proposalnya bahw a delegasi
11Anak Agung Gede Agung. Loc.cit hlm. 88
70
Indonsia tidak bersikap realistis dengan kenyataan politik di Irian B arat yang masih diduduki oleh Belanda. Sebaliknya proposal delegasi Belanda mencerminkan sikap negaranya yang tidak serius dalam merundingkan status Irian Barat. Bahkan sikap Belanda dipandang melecehkan bangsa Indonesia karena menawarkan suatu formula yang tidak masuk akal. Belanda menawarkan suatu formula pelimpahan kedaulatan Irian Barat dari Belanda kepada RIS, tetapi Irian barat secara de facto dan secara administrasi masih dikuasai oleh Belanda. Pertanyaannya lalu dim ana letak pelim pahan kedaulatannya? Delegasi Belanda memang langsung menyentuh substansi persoalan perundingan, namun negara ini menampakan sikap yang sangat konservatif. Indikasi penyerah an Irian B arat k ep ad a Indonesia sama sekali tidak nam pak dalam proposal delegasi Belanda. Namun kedua proposal kontorversi ini tetap dihargai keberadaanya. Isi kedua proposal tidak menuju kepada titik yang sama, tetapi seb alik n y a m eng arah k ep ad a titik yang berlawanan. Dengan demikian, keduanya tidak bisa diharapkan segera memberi solusi kepada persoalan Irian Barat. Upaya perundingan yang dilakukan menjadi sia-sia. Proposal delegasi Indonesia dihargai karena cukup percaya diri m enyam paikan sesuatu yang tidak lazim. Proposal ini tidak menyentuh substasi masalah yang dirundingkan. Sedangkan proposal delegasi Belanda juga patut hormati keberadaannya karen a isin y a m asih m em b u k a p elu an g perundingan dengan In d o n esia— dengan melibatkan PBB. Walaupun sebagaian orang berpandangan, tawaran Belanda tersebut hanya pernyataan form alitas atau dalam bahasa diplomasi sering disebut lipservice. Ini biasanya disampaikan untuk memperoleh simpati dari masyarakat. Kegagalan Konperensi Khusus tersebut memiliki dampak kepada Belanda. Kegagalan ini membuat Belanda tetap m engontrol Irian Barat. Perundingan kedua Belanda -Indonesia
tidak membuahkan apa-apa atau perundingan ini tetap menempatkan Irian Barat dalam posisi status quo. S e m e n ta ra itu , k e g a g a la n p e ru n d in g a n in i m e m p e rte g u h sik a p koservatism e di Belanda atas sengketa Irian Barat. Pemerintahan Belanda waktu itu adalah pemerintahan koalisi yang terdiri d a ri: Partai Katholik, Partai Koservatif, Partai Liberal, Partai Sosialis, dan Partai Buruh. Dalam peta politik ini, Partai Buruh dan Partai Katholik merupakan unsur terkuat. Partai Katholik menentang upaya pengem balian Irian Barat kepada Indonesia karena m engkhawatirkan keberadaan misi Katholik di wilayah ini,12sedangkan Partai Buruh hanya sekedar m endukung kebijakan Partai Katholik tersebut. K e g a g a la n p e ru n d in g a n ini ju g a m en im b u lk an p en g aru h bagi Ind o n esia. Kegagalan ini memenangkan opini politik yang bersikap non-kooperatif terhadap B elanda dalam penyelesaian sengketa Irian Barat. Sejak perundingan Belanda dan Indonesia di awal tahun 1950 kekuatan politik yang berhaluan kiri (sosialis) bersikap pesimis terhadap kelanjutan perundingan. M ereka tidak percaya pada pandangan Mohmammad Hatta bahwa Belanda akan mengembalikan Irian Barat melalui suatu perundingan di akhir tahun 1950. Hal ini ternyata terbukti dalam kenyataan sejarah diplomasi Belanda dan Indonesia dalam sengketa Irian Barat. Presiden Sukam o dalam pidato hari kem erdekaan 17 Agusutus 1952 meyatakan b ah w a B elan d a sejak tahun 1950 telah menduduki wilayah Barat. Ini dipandang oleh Sukamo sebagai tantangan terhadap semangat proklamasi. Belanda hanya ditolerir menduduki Irian sampai tahun 1950 karena hal ini didasarkan kesepakatan KMB. Jika setelah sampai 1950 Belanda masih di sana, Indonesia berkewajiban memprotesnya. Kegagalan perundingan khusus soal Irian Barat telah menimbulkan kegelisahan di dalam negeri Indonesia.
12 Anak Agung Ibid. hlm. 93
71
Maka berdasarkan fakta-fakta diatas bisa dikatakan, kegagalan perundingan - perundingan soal Irian Barat tidak terlepas dari perbedaan yang sangat mendasar antara delegasi Belanda dan Indonesia dalam memandang keberadaan Irian Barat.
Penutup Belanda berusaha melaksanakan politik status quo atas Irian Barat. Belanda memang memperoleh hak status quo atas Irian Barat selama setahun sejak KMB tahun 1949. Dalam hal ini, Belanda memanfaatkan sebaik mungkin waktu yang ada untuk kepentingannya dan setelah setahun Belanda masih mengulur-ngulur waktu pengem balian Irian Barat. Belanda merasa diuntungkan KMB karena Belanda memiliki waktu untuk mengatur strategi guna memperpanjang pendudukannya di Irian Barat. Belanda malah berusaha untuk tetap bertahan di Irian Barat dengan segala cara. Jadi, Belanda tidak terpanggil untuk melepaskan Irian Barat kepada Indoensia secara sukarela. Indonesia berusaha mempeijuangkan Irian Barat melalui jalur perundingan. Perundingan pertama Belanda dan Indonesia soal Irian Barat dilakukan di Jakarta Maret 1950. Perundingan ini gagal merumuskan kesepakatan soal Irian Barat. Selanjutnya perundingan kedua dilakukan melalui Konferensi Khusus di Hague, Belanda, bulan Desember 1950. Perundingan kali ini juga gagal m encapai kesepakatan. D ua kasus perundingan ini menjadi bukti ketidakseriusan Belanda untuk mengembali-kan Irian Barat kepada In d o n esia dan k etid ak b erd ay aan In d o n e s ia m e n g h a d a p i B e la n d a d alam perjuangan mengembalikan Irian Barat. K ekuasaan atau power bagi negara adalah sesuatu yang paling berharga. Kekuasaan politik yang sudah dicapai oleh suatu negara atas wilayah tertentu sulit dilepaskan begitu saja.
Apalagi negara tersebut sudah diuntungkan oleh kekuasaan tersebut. Jadi, pelepasan kekuasaan p o litik b erarti m elep ask an keu n tu n g an keuntungan yang selama ini dinikmati. Jika kekuasaan politik ini bersinggungan dengan negara lain, negara yang jyga merasa berhak atas k e k u a s a a n ini ak an b e ru s a h a k eras m em p erju an g k an n y a. P erju an g an n y a ini biasanya dimulai melalui jalur diplomasi atau perundingan, namun tidak tertutup kemungkinan melalui cara m iliter jik a cara-cara diplomasi gagal. D engan dem ikian, fenom ena politik d ip a n d a n g s e b a g a i p e rju a n g a n u n tu k memperoleh kekuasaan baik di lingkup nasional maupun internasional. Dalam hal ini, konflik antara pihak yang ingin m em pertahankan kekuasaannya melawan pihak yang ingin meraih k e k u a s a a n te rs e b u t. D alam u p ay a memenangkan konflik ini, faksi atau negara tersebut bisa bersikap curang atau menyimpang dari kaedah-kaedah yang ada.
Daftar Pustaka
Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 1945-1970, (Jakarta: Deparlu, 1970) Ide Anak Agung Gde Agung, Twenty Years
Indonesia Foreign Policy 1945-1965, (Yogyakarta, D utaw acana University Press), 1990 M odern Indonesian P roject, (N ew York: D epartm ent o f F ar Eastern Studies, Com ell University, 1958) Panitian 75 Tahun Kasman, Hidup Adalah
Perjuangan : Kasman Singodimedjo 75 tahun, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982) Pew arta D jakarta, “Arti Irian B arat djika perang petjah,” 16 M ei 1954 R obert C. B one, Jr. The Dynamic o f the
Western New Guinea (Irian Barat) Problem , (N ew Y ork: C o rn e ll U niversity, 1962)
72
K onflik E lite P olitik di Pedesaan: Relasi antara Badan Perwakilan Desa dan Pemerintah Desa1 Oleh: Heru Cahyono Abstract Rurai Representative Body (Badan Perwakilan Desa) claims their institutions bring the people aspirations, but in reality BPD shows themselves as an elitist and failed to express people’s voice. Large authority that is possessed by BPD, such as suggesting the regent to dismiss the head of the village from his job, has been endorsed the grow o f politicization ofBPD by its members. This new uniformity policy has caused a dilemma, because not all village in Indonesia are ready to take representative democracy model. The rule o f law assumes village as an administrative units and extremely formal. It also simplificate the heterogenity or plurality of villages in Indonesia, such as ignoring the variety oflocal milieu and local condition, cultural differences, and social structure differences in society. U ndang-undang N o.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberi warna baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yang dianggap dapat mem bawa k o n trib u si p o s itif b ag i p e n g e m b a n g a n dem okratisasi di desa, bahkan m ungkin mengarah pada suatu pembahan paradigma yang diharapkan berpengaruh tidak kecil bagi penyelenggaraan pem erintahan desa. Secara khusus ini terkait dengan kehadiran lembagalembaga lokal di tingkat desa, di mana salah satunya ialah Badan Perwakilan D esa (BPD) yang seyogyanya bisa menjadi wadah penyalur aspirasi masyarakat dan sebagai kekuatan pengimbang bagi pemerintah desa. Lahirnya lembaga BPD sebagai parlemen desa sekaligus diharapkan merupakan wahana bagi ra k y a t u n tu k te rlib a t d a la m penyelenggaraan urusan publik dan proses pengambilan kebijakan-kebijakan desa. Di sini sebenarnya terb u k a peluang bagi w arga
1Penelitian dengan tema diatas dilakukan oleh Tim Peneliti yang beranggotakan: Heru C ahyono, Dhurorudin Mashad, Irine Hiraswari Gayatri, M och. Nurhasim, Syafuan Rozi, dan Tri Ratnawati
masyarakat untuk dapat menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara lebih otonom dan mandiri. Namun demikian dalam kenyataan gagasan ini belum sepenuhnya beijalan, karena terdapatnya sejumlah potensi konflik akibat kehadiran lem baga-lem baga baru di tingkat d e s a , di m a n a se b u a h k o n flik y an g berkepanjangan akan membuat pembangunan di desa terbengkalai. Dalam konstelasi politik di pedesaan, adanya BPD sebagai lembaga yang mengawasi eksekutif sering dipandang sebagai gangguan atas kem apanan yang ada. Secara kultural kepala desa (kades) boleh jadi belum siap karena sekian lama semasa Orde Baru tidak pernah diawasi, mengingat Ketua LMD/LKMD dirangkap oleh kades. Dengan kelahiran BPD, maka struktur desa tidak lagi menempatkan kepala desa sebagai kekuasaan sentral tanpa adanya pengontrol. Dalam menyikapinya, kepala desa bisa memainkan beberapa strategi dengan maksud “m enjinakkan” BPD, sehingga BPD tidak menjadi penghalang gerak bagi eksekutif, yang pada gilirannya menuju sebuah pola kolusi atau kolaborasi yang melahirkan konsentrasi kekuasaan politik. Ini merupakan pola pertama
yang terbangun dalam relasi BPD dengan p e m e rin ta h d esa. H al in i s e k a lig u s m engisyaratkan bahw a BPD akan efektif m emainkan fungsinya bila didukung oleh kekuatan-kekuatan riil di masyarakat. Tanpa itu, bukan tidak m ungkin BPD akan m enjadi lembaga baru tanpa makna atau justru menjadi beban baru bagi rakyat. Dukungan rakyat ini akan terwujud bila segenap unsur yang ada di m asyarakat m em aham i m engenai sebuah kebutuhan akan demokratisasi desa. Penelitian ini mendapati terjalinnya pola kolusi pada kasus Desa Gelap, Lamongan. Sedari semula pemilihan anggota BPD d ilak san ak an secara tid ak transparan, sehingga memungkinkan kelompok tertentu menguasai komposisi keanggotaan BPD. Ketegangan m engem uka antara kades terpilih yang didukung oleh sebagian anggota BPD versus sekelompok masyarakat. Lantas m uncul proyek penggusuran tanah untuk bangunan sudetan Bengawan Solo di mana Pelaksana Kepala Desa bersekongkol dengan pihak BPD untuk memanipulasi harta kekayaan desa. P roses ini m em icu la h irn y a “Tim Reformasi” yang mempertanyakan masalah ganti rugi tanah desa. Setelah Kades melarikan diri maka kendali pemerintahan dan segala aspek keuangan dipegang dan dikendalikan oleh Ketua BPD, sehingga konflik akhirnya berlangsung antara “Tim R eform asi” berhadapan dengan pihak BPD karena BPD lebih condong ke penguasa, yakni pejabat sementara kepala desa. Pada kutub yang lain, sebagai pola relasi kedua, kades dan BPD dapat berada pada posisi yang saling berhadapan secara antagonis dan nyaris tak terdamaikan, sebagai gejala dominan yang ditemui pada desa-desa yang diteliti yakni dijumpai di Desa Rejosari-Bantul, Desa Bero-Klaten, Desa Sitanggal-Brebes, dan D esa M ajasetra-B andung. Di sini sum ber kekuasaan politik terpola secara menyebar. Di antara dua kutub relasi tadi, masih dimungkinkan terwujudnya pola ketiga yakni kompromi di antara sumber-sumber kekuasaan, sehingga melahirkan perdamaian sebagaimana teijadi di
74
Sungai Puar-Agam dan DesaTulikup-Gianyar. Lam bat-laun konflik bisa mencair, berkat kearifan anggota dan Ketua BPD untuk tidak melakukan kritik secara keras maupun tindakan frontal terhadap perbekel. Kecuali terbentuknya tiga pola relasi di a ta s, te m u a n la in s e h u b u n g a n d en g an keberadaan BPD sebagai institusi baru yang diperkenalkan pasca UU No.22 Tahun 1999 dalam konteks ini ialah: telah berfungsinya BPD sebagai sebuah institusi yang sangat instrumental, yakni sebagai alat dari pertarungan politik antarelite. Di sini telah teijadi rivalitas kekuasaan antar e lite p o litik la m a d en g an m en em u k an , menggunakan, dan memanfaatkan arena-arena pertarungan dan institusi yang baru. Konflik antara kelom pok BPD-Kepala D esa versus “K elom pok R eform asi” yang terjadi di D esa G elap (Lam ongan) adalah kelanjutan konflik antara keluarga Abdullah dengan kubu Amin Tohari, merupakan buah dari pertentangan dan konflik kekuasaan yang berakar jauh sebelumnya, yang merupakan refleksi dari pertarungan afiliasi politik tahun 1950-an. Gelanggang konfliknya ialah pemilihan kepala desa (pilkades) 1990, pilkades 1999, serta akhirnya BPD berkolusi dengan Kades untuk berhadapan dengan para penentangnya. Di D esa Sitanggal, Brebes, lem baga BPD digunakan sebagai instrum en baru dalam meneruskan pertarungan politik melawan Kades terpilih. Tipisnya perbedaan hasil akhir perolehan suara pilkades 1998, banyaknya surat suara rusak, serta merebaknya isu politik uang oleh Kades terpilih telah melahirkan kekecewaan yang cukup m embekas di antara calon kades yang gagal. M aka, tatkala beberapa di antara pesaing kuat dalam pilkades kemudian terpilih menjadi anggota BPD maka kekecewaan yang boleh jadi masih menggumpal memperoleh salurannya. Di M ajasetra, Bandung, kendati proses pilkades berjalan relatif demokratis, namun tiga anggota BPD yang merupakan calon kepala desa yang kalah dalam pem ilihan rupanya
bersikap tidak rela terhadap kekalahan saat pilkades, sehingga kemudian menggunakan le m b a g a B P D se b a g a i a la t u n tu k memperkarakan kepala desa ke pengadilan. Hal senada dijum pai di D esa B ero , K laten , ketidakpuasan salah satu calon kepala desa yang kalah telah m elahirkan p engkubuan dan perseteruan panjang di BPD. Lem baga BPD secara konspiratif dirancang oleh kubu calkades k alah seb ag ai w ah an a a lte r n a tif u n tu k “mengganjal” Kades terpilih di luar jalur hukum, dengan memasukkan “orang-orangnya” ke dalam konstelasi pemilihan BPD. Soeminto menggugat B upati ak ib at m e lan tik K ad es M asijo , Perseteruan juga dilangsungkan lewat jalur hukum, yang di mana kemudian PTUN Semarang memenangkan gugatan calkades kalah terhadap Bupati, sehingga atas Kades terpilih dinonaktifkan sementara. Namun, kemudian upaya hukum berlanjut hingga tingkat banding ke tingkat kasasi M ah k am ah A g u n g , di m a n a k e d u a n y a dimenangkan oleh Bupati. Ketika putusan MA amarnya berisi kemenangan Bupati, BPD mulai nyata memperlihatkan sosoknya hanya sebagai kepanjangan konflik pilkades 1998.
Penyeragaman dan Masalah Penafsiran Perundangan Negara pasca Soeharto telah membuat sebuah kebijakan yang pada intinya berupa penyeragaman baru, yakni adanya keharusan bagi setiap desa untuk membentuk BPD, sebagai suatu d e se n tra lisa si/o to n o m i d esa yang dipaksakan. Hal ini menimbulkan dilemma karena tidak semua desa telah siap dengan model demokrasi perw akilan yang diperkenalkan pemerintah itu, karena boleh jadi justru terdapat desa-desa lain yang sebenarnya lebih nyaman dengan sistem pengawasan langsung yang tidak melibatkan para wakil rakyat, atau boleh jadi lembaga-lembaga musyawarah adat lebih efektif dalam membangun partisipasi aktif masyarakat secara otonom.
Sejumlah kabupaten memaksakan diri untuk secepat m ungkin m em bentuk BPD. Beberapa kabupaten bahkan m ematok target waktu tertentu, agar seluruh desa di wilayah pemerintahan yang dibawahinya dapat terbentuk BPD. Ini semacam upaya secara sadar untuk menyenangkan hati atau mendapat “kredit poin” dari atasan (dalam hal ini gubernur), sebab bila sebaliknya yakni pembentukan BPD di suatu wilayah berlarut-larut atau tertunda-tunda maka ada semacam kekahawatiran dari pihak bupati bahwa ia bisa saja dinilai gagal oleh atasan. Ketergesa-gesaan ini juga merembet pada level perundangan, yakni menyangkut penyiapan segala aturan yang mengatur mengenai lembaga b aru y an g b e rn a m a B PD te rs e b u t. Ini menjelaskan mengapa antara satu kabupaten dengan kabupaten lain kadang berlangsung saling adopsi (baca: mencontek/menjiplak) dalam hal materi perda, sekaligus berarti menafikan adanya perbedaan kondisi obyektif antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kecenderungan demikian pada gilirannya juga menyebabkan rendahnya tingkat pem ahaman terhadap aturan-aturan perundangan yang telah dikeluarkan. Peneliti menjumpai bahwa para pelaksana di lapangan belum sepenuhnya memahami pasal-pasal BPD sebagaimana termaktub di dalam perda maupun keputusan bupati. Akibat gejala saling mencontek perda, tidak tertutup kemungkinan di antara para pembuat perda terjadi perbedaan penafsiran mengenai sesuatu klausul. Di tingkat desa sendiri, terdapat kadar pemahaman yang tidak setara antara satu aktor politik dengan aktor politik lain. Terdapat sejumlah kasus perbedaan penafsiran pemndangan, yang disebabkan oleh lemahnya pemahaman terhadap materi perundangan itu sendiri, maupun tidak lepas kemungkinan aktor politik melakukan penafsiran secara sepihak demi kepentingan kelompok atau kepentingan tertentu. Bahwa penyeragaman berpotensi konflik manakala aturan perundangan yang cenderung melakukan simplifikasi terhadap kenyataan adanya heterogenitas/pluralitas desa-desa di Tanah Air, yakni dengan mengabaikan suasana dan kondisi lokal yang berbeda-beda antara satu
75
desa dengan desa lainnya, perbedaan budaya, maupun perbedaan struktur sosial masyarakat. Dengan demikian di sini terjadi kesenjangan antara situasi pedesaan yang umumnya masih hidup suasana harmoni, hubungan yang bersifat informal dan personal, kekerabatan di satu sisi yang berhadapan dengan di sisi lain UU No.22 Tahun 1999 yang mengasumsikan desa semata-mata sebuah unit-unit administratif dan sangat formal sifatnya Kajian ini memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi di tingkat desa berpangkal dari kegagalan para aktor untuk bertindak sesuai dengan logika demokrasi perwakilan. P em d a m e stin y a m e m b u at atu ra n mengenai petunjuk pelaksanaan yang secara jelas dan serinci mungkin agar di lapangan tidak menimbulkan perbedaan-perbedaan penafsiran di kalangan aktor-aktor politik, term asuk mencegah agar BPD tidak melew ati batas kewenangan yang dimilikinya. Akibat semangat legislative heavy yang m enggebu-gebu yang dim otivasi oleh eu fo ria refo rm asi, BPD mempertontonkan arogansinya dengan kerap kali bukan hanya cenderung mengintervensi k a d e s n am u n b a h k a n b e rk e in g in a n m elaksanakan tugas-tugas yang semestinya merupakan kewenangan kepala desa (Desa Sitanggal, Desa Bero, dan Desa Rejosari). D i D esa R ejo sari, B an tu l, p en eliti menemukan teijadinya kontroversi perundangan ini menyangkut terbitnya SK No. 01/Kep/BPD/ S M Y /V I/2 0 0 4 . S K B P D in i d ia n g g a p kontroversial karena penerbitannya dinilai tanpa melalui pertimbangan matang, justru SK tersebut semata-mata bertuj uan mencopot Kepala Desa (yang sedang sakit) dari jabatannya tanpa mengikuti prosedur yang berlaku. Kontroversi dan perlawanan bahkan meluas, baik dari kepala desa/lurah yang sedang sakit, maupun ditentang oleh 21 dari 22 kepala-kepala dukuh, sebagian pamong desa2, pemerintah kecamatan, maupun pemerintah kabupaten.
Penafsiran yang cenderung berlebihan juga memicu konflik BPD dengan Kepala Desa di Sitanggal, Brebes. Perda No. 13/2000 Pasal 9 Point c (yang dikuatkan oleh Pasal 4 Ayat e keputusan Bupati Brebes N o.l44/24/Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan tata Tertib Badan Perwakilan Desa) menyatakan bahwa BPD memiliki tugas, wewenang dan kewajiban m elaksanakan pengaw asan terhadap: (1) pelaksanaan peraturan desa dan keputusan kepala desa, (2) terhadap pelaksanaan APB Desa, (3) kebijakan pem erintahan desa, serta (4) pelaksanaan kerja sama antar desa atau dengan pihak lain. Di sini secara umum berarti bahwa BPD berwenang mengawasi jalannya pemerintahan desa. Akan tetapi, dalam banyak hal penerapan wewenang ini telah melebar, dan bukan hanya m engaw asi m elainkan telah menjurus turut cam pur dalam jalannya roda pemerintahan desa. Contoh paling m engem uka ialah pada kasus pengisian jab atan perangkat desa.3 M enurut aturan, Perda No. 13/2000 Pasal 9 Ayat lb menyatakan bahwa BPD memiliki tugas d an w e w e n a n g u n tu k “m e n g u su lk a n pengangkatan, pemberhentian sementara, dan pem berhentian kepala desa, perangkat desa, s ta f ’. Berdasarkan ketentuan tersebut maka m enyangkut pengangkatan perangkat desa, p ih a k B PD m e m ilik i w ew en an g u n tu k mengusulkan pengangkatan perangkat desa. Di sini terjadi perbedaan penafsiran. Kepala Desa b e rp e n d a p a t b ah w a so al p e n g a n g k a ta n p e ra n g k a t d e s a y an g lo w o n g ad a la h w ew enangnya, nam un di lain pihak BPD berpendirian bahw a merekalah yang berhak m elaksanakan pem ilihan pam ong desa. Di sam ping m asalah perbedaan tadi, K ades beralasan bahwa SK pemberhentian perangkat yang mundur belum ada, mengingat belum ada juklak dan j uknisnya dari pemda. Di lain pihak, BPD m enganggap bahw a D esa tidak perlu
2 Sikap pamong desa terbelah antara pihak yang mendukung Lurah, dan yang menentang. Kelompok terakhir di antaranya m eliputi .Kaur Pem erintahan dan Carik memihak BPD.
3 Perangkat desa adalah pembantu kepala desa yang terdiri atas sekretaris desa unsur staf, kepala-kepala urusan sebagai unsur pelaksana lapangan, dan kepala dusun dan pembantu kadus sebagai unsur wilayah.
76
menunggu SK dari pemda, sebab yang penting harus segera mengisi kekosongan perangkat. Di tengah perdebatan yang belum menemukan titik temu, BPD langsung mengambil inisiatif dengan secara sepihak membentuk sebuah panitia yang anggotanya dikuasai oleh unsur BPD. Panitia inilah yang kemudian melakukan penjaringan calon, membuat soal ujian, melaksanakan ujian dan wawancara, dan akhirnya menentukan siapa-siapa saja yang berhak duduk sebagai pam ong desa. D alam hal ini, kepala desa disodori nama-nama yang tinggal ditandatangani untuk disahkan pengangkatannya.4 Dalam hal ini BPD jelas melanggar aturan karena m elaksanakan tugas yang bukan wewenangnya, karena di dalam Keputusan Bupati Brebes No. 14/243/Tahun 2001 Pasal 3 disebutkan bahwa, “Perangkat desa diangkat dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa atas persetujuan dan usul Badan Perwakilan Desa.” Ini dengan tegas menggariskan bahwa proses pemilihan dan penetapan perangkat desa merupakan kewenangan kepala desa, sementara wewenang BPD adalah sebatas mengusulkan dan memberi persetujuan atas personel-personel yang diangkat oleh Kades.5
Kebablasan Peran dan Elitis Permasalahan yang tak kalah pentingnya ialah menyangkut upaya konsolidasi internal BPD agar lembaga itu dapat memaksimalisasi perannya. Pangkal persoalannya terletak pula pada begitu besarnya kekuasaan yang dimiliki BPD, yakni adanya wewenang lembaga ini untuk bisa m engusulkan kepada bupati tindakan
4 BPD beralasan bahwa jabatan perangkat desa banyak yang lowong, karena selama tiga tahun sejak 1998 banyak perangkat desa lengser. 5 Pasal 14 Ayat 1 Keputusan Bupati Brebes No. 14/243/ Tahun 2001 tentang Tata Cara P en calon an atau P engangkatan, P em berhentian Sem entara dan Pemberhentian Perangkat D esa juga menyebutkan perangkat desa diberhentikan o leh kepala desa. Sedangkan mengenai peranan BPD, sebagaimana tertera di Ayat 2 bahwa pemberhentian perangkat desa tersebut adalah atas usul BPD. Di sini juga jelas bahwa wewenang BPD adalah sebatas memberikan usulan pemberhentian, dan bukan pihak yang berwenang memberhentikan.
pemberhentian kades. Pada beberapa desa yang diteliti hal tersebut telah mendorong tumbuhnya politisasi lembaga BPD oleh para anggotanya, di lain pihak itu secara psikologis serta-merta menimbulkan ketidaksenangan dan mungkin ju g a m emancing penolakan dari kepala desa (kasus D esa T ulikup, G ianyar). K onflik kemudian menjadi berlarut-larut lantaran adanya p erb ed a an in te rp re ta si m en g en ai peran “ p e n g aw asan ” yang d im ilik i o leh B PD (Sitanggal, Rejosari, dan Majasetra), di mana Perda menggariskan BPD berfungsi mengawasi kades dalam jalannya pemerintahan desa. Dalam prakteknya, BPD cenderung bukan hanya mengawasi, melainkan berkembang menjadi lembaga yang bekerja untuk memata-matai kades. Konflik yang sempat teijadi antara BPD dengan perbekel di DesaTulikup, Gianyar, ialah akibat adanya resistensi (penolakan) dari pihak perbekel sehubungan perbekel khawatir ihwal wewenangnya akan berkurang dan ia merasa te ra n c a m /b e rk e b e ra ta n d en g an a d an y a w e w e n a n g B P D u n tu k m e n g u su lk a n p em b erh en tian perbekel k ep ad a bupati. Perbekel mempertanyakan keberadaan dan pemahaman anggota BPD soal Perda yang mengaturnya. Di Desa Sitanggal, Brebes, sedari awal terbentuk, nuansa politisasi lembaga BPD telah kental, khususnya karena BPD merasa memiki kewenangan yang besar dapat mengusulkan pemberhentian kades. Posisi BPD yang mestinya menjadi mitra kades bergeser menjadi “mitra tanding” . Kesan over capacity (kebablasan peran, kelebihan wewenang) terlihat jelas pada kasus proses pengisian jabatan perangkat desa yang didominasi oleh BPD. Kecenderungan pengambilan peran yang berlebihan oleh Ketua BPD ju g a dijumpai di Desa Rejosari, Bantul. Seharusnya menyangkut masalah operasional sehari-hari, seperti kekurang disiplinan salah satu K ab ag P e m e rin ta h D e sa , m e ru p a k a n wewenang Lurah Desa atau Badan Pengawas Daerah untuk menindaknya; dalam hal ini, BPD
77
cukup memberikan masukan atau mengusulkan tindakan yang diperlukan kepada kepala desa. Pengawasan yang boleh dilakukan BPD ialah m enyangkut pengawasan kebijakan seperti mengenai pelaksanaan peraturan desa dan anggaran desa. Penelitian ini membenarkan dua asumsi awal yang digunakan dalam desain awal penelitian. Pertama, proses pembentukan BPD yang tidak dem okratis akan meningkatkan kecenderungan teijadinya konflik elite di tingkat
masih dikenal cukup kental dengan prinsip hidup yang menjunjung harmoni dan keselarasan. Di satu sisi, UU telah memberikan kekuasaan yang d e m ik ia n b e s a r k e p a d a B PD s e h in g g a menimbulkan BPD/legislative heavy, namun ironisnya di bidang keuangan BPD diperlakukan secara kurang adil akibat honor anggota dan pendanaan kegiatan operasional terbilang amat kecil, walaupun pada beberapa desa lain soal
desa. Sertakedua, politisasi elite politik BPD telah mengurangi efektivitas lembaga tersebut dalam melaksanakan kontrol obyektif terhadap kepala desa. Dengan demikian, bertolak belakang dengan klaim yang senantiasa disuarakan oleh BPD bahw a m ereka adalah lem baga yang membawa aspirasi rakyat, pada kenyataannya BPD memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang elitis dan gagal menyuarakan suara rakyat. Para elite yang duduk di BPD cenderung sewenangwenang dalam mengartikan dirinya sebagai wakil rakyat desa, ketika sebenarnya hanya sebuah oligarki baru yang mewakili kepentingan dirinya sendiri dengan m engatasnam akan
dana ini tidak menjadi keluhan. BPD senantiasa membayangkan bahw a ia merupakan DPR dalam lingkup terkecil di tingkat desa, yang dilengkapi dengan “keistimewaan” di bidang politik. BPD biasa membuat semacam klaim bahwa mereka adalah pembawa aspirasi rakyat. Di samping itu, BPD mempunyai anggapan secara prak tis bahw a, kekuasaan po litik mestinya dibarengi dengan ketersediaan akses ekonomi yang luas pula sebagaimana halnya dicitrakan oleh lembaga DPRD dan DPR. BPD dalam permasalahan ini menghadapi kenyataan yang sangat bertolak belakang, dan boleh jadi m e m b u a t p a ra a n g g o ta B P D k e c e w a m enyaksikan sedikitnya nilai ekonomis dari
kepentingan rakyat. Bahwa fungsi kontrol yang disuarakan BPD cenderung bertendensi power struggle, dalam rangka m enjatuhkan lawanlawan politiknya. K econdongan dem ikian semakin menguat, ketika konflik dilatarbelakangi oleh persoalan pribadi, kekerabatan dan harga diri (Rejosari, Bantul) atau “dendam lanjutan” akibat keanggotaan BPD diisi oleh kelompok pesaing kepala desa pada saat pemilihan kepala desa, yang mana telah membuat suasana rivalitas sem akin kental, berlaru t-laru t, dan tidak produktif bagi perkem bangan desa. Kedua belah pihak saling bersaing guna memperkuat posisi masing-masing dengan mengabaikan kepentingan rakyat (kasus Desa Sitanggal dan Desa Majasetra). UU No.22/Tahun 1999 dalam hal ini dapat dianggap telah m elan g g ar p rinsip
jab atan m ereka. P erda-perda yang ada di daerah-daerah yang diteliti tidak mengatur mengenai masalah keuangan ini secara memadai. Di dalam perda kabupaten-kabupaten yang diteliti umumnya dikatakan bahwa, “Anggotadan pimpinan BPD berhak menerima uang sidang dan atau tunjangan serta penghasilan lainnya, sesuai dengan kemampuan keuangan desa.” Hal inilah yang menyulut kekecewaan anggota BPD m engingat ketergantungan keuangan BPD terhadap “kemampuan keuangan desa”, di mana desa umumnya memiliki kemampuan keuangan yang amat terbatas.
78
keseim bangan, pelanggaran mana boleh jadi telah mengusik kepekaan masyarakat desa yang
Pola dan Intensitas Konflik Konflik yang bersifat elitis menandai pola konflik secara um um pada desa-desa yang
terlibat konflik. Konflik yang berciri elitis ini ditandai oleh tiga gejala. Pertama, konflik mengusung kepentingan-kepentingan para elite politik desa, khususnya kepentingan pihak-pihak elite yang bertikai. Kedua , persepsi mengenai siapa yang termasuk dalam pihak kawan dan sebaliknya mana pihak seteru secara intensif hanya muncul di seputar elite politik. Dalam konteks ini, masyarakat mengetahui bahwa telah terjadi pertikaian politik di desanya, namun sebagian besar masyarakat tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari kelompok b erk o n flik atau m en g an g g ap k elo m p o k masyarakat lain sebagai pihak pesaing atau kubu lawan. Pengkubuan atau perasaan bermusuhan praktis hanya menghinggapi kalangan elite politik. K alaupun ada elem en tertentu di m asyarakat yang m endukung pihak-pihak berseteru, maka yang bersedia terlibat dalam konflik semacam ini hanyalah sekelompok kecil dan tidak signifikan jumlahnya. Ketiga, isu-isu yang bermunculan di seputar konflik dirumuskan atau digodok oleh kalangan elite politik dan tanpa menyertakan keterlibatan masyarakat. Hal ini menjelaskan mengapa kerap kali isu-isu yang diketengahkan rela tif kurang m enyentuh persoalan-persoalan yang tengah hidup di masyarakat; kalaupun ada pengangkatan isu terkait m asyarakat m aka hal itu disadari sepenuhnya oleh masyarakat sebagai bagian isu yang dimanipulasi dan bukanlah isu politik yang secara jujur diperjuangkan secara alamiah. Di M ajasetra, Bandung, Kades justru membentuk sebuah forum bernama “Forum C in ta D a m a i” y an g b e rtu ju a n u n tu k membubarkan BPD. Hal ini sebagai respon atas pertemuan sebelum nya antara pihak BPDKades-Camat yang menghasilkan keputusan bahwa Kades M ajasetra harus membuat surat pertnyaan tidak akan mengulangi kesalahan dalam hal pengelolaan dana bantuan JPS dan d an a B P P D y an g d in ila i tid a k d a p a t dipertanggungjawabkan oleh Kades. Sementara
di Desa Bero, Klaten, keluarnya SK Bupati yang mengangkat Kepala Desa Bero menuai protes bahkan gerakan sekelompok kecil massa dari kubu calkades kalah. Terlihat bahw a pada beberapa kasus konflik di sejumlah desa yang diteliti, para elite yang berkonflik berupaya menggalang massa sebagai basis dukungan yang efektif bagi kepentingan elite atau kelompok tertentu, namun upaya-upaya semacam itu tidak sepenuhnya membuahkan hasil. Ini karena sebagian besar warga masyarakat menunjukkan keengganannya untuk bersikap fanatik terhadap elite tertentu, sehingga di tingkat akar rum put tidak terjadi benturan. M asyarakat dapat dikatakan pula kurang menanggapi secara serius atau tidak peduli dengan konflik yang berlangsung antara kedua belah pihak, kades dan BPD. Masyarakat lebih memilih sibuk dengan umsan sehari-hari. M asyarakat juga merasa cukup mampu untuk jalan sendiri saja tanpa lembaga desa yang efektif, yang penting roda perekonomian tetap berjalan dan masyarakat bisa mencari makan. A g a k n y a s e ja la n d e n g a n b e lu m melembaganya mekanisme penyelesaian konflik, beberapa kasus konflik menjadi berlarut-larut. Konflik yang umumnya mulai muncul semenjak aw al m a sa re fo rm a si b a g a ik a n tid a k terselesaikan, sehingga perseteruan baik itu yang m uncul secara terbuka m aupun sisa-sisa ketegangan tetap terasa hingga penelitian ini dilaksanakan, yakni sekitar 5 tahun semenjak konflik awal meletus. Konflik yang terjadi dan berkepanjangan di sini telah mendatangkan perpecahan, yang selanjutnya dapat menganggu keutuhan sistem politik di pedesaan. Di sini masyarakat pedesaan -k h u su sn y a kalangan elite politik desa— agaknya perlu belajar bagaimana menjalankan sebuah transformasi konflik, yakni suatu upaya mengatasi sumber-sumber konflik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari konflik terbuka (konflik fisik) menjadi kekuatan
79
sosial dan p o litik yang p o sitif.6 K onflik sesungguhnya dapat dikelola secara efektif m elalui kom binasi beberapa in isiatif dan tindakan, yang meliputi serangkaian usaha-usaha penyelesaian m asalah bersam a, negosiasi, mediasi, atau arbitrasi yang dilaksanakan secara seim b an g , a d il, p ro s e s y an g ju ju r dan mengedepankan kepentingan pihak-pihak yang berkonflik; sebab proses sebaliknya biasanya akan gagal mengatasi perselisihan dan sebaliknya justru menghasilkan kecurigaan-kecurigaan dan prasangka-prasangka baru dari pihak-pihak yang berkonflik. Kecuali kecenderungan elite politik di pedesaan untuk melanggengkan konflik, mereka tergoda pula untuk m enggunakan metodem e to d e violence (k e k e ra s a n ) d a la m keberlangsungan konflik, baik itu melalui ancaman, intimidasi, bahkan teror dan tindakan kekerasan. Pada beberapa kasus konflik yang memakai cara violence, biasanya konfliknya cenderung m enjadi lebih m endalam dan meninggalkan benih-benih luka yang relatif lebih sukar untuk disembuhkan. Ini karena tindakan kekerasan fisik, intim idasi, teror terhadap golongan tertentu akan menimbukan dampak yang m erusak dan berakibat jangka panjang. Luka-luka ini dapat terus berlanjut. Efek paling sederhana yang kita alami akibat cara-cara demikian ialah terhalangnya kreativitas untuk berfikir, untuk menjaling hubungan dan bertindak. M ungkin belum m erasa puas dengan m em bentuk sebuah forum yang bertujuan m embubarkan BPD, kelom pok pendukung K ades di D esa M ajasetra, B andung, ju g a 6 Transformasi konflik meliputi berbagai macam tindakan, mulai dari pencegahan konflik, penyelesaian konflik (mengakhiri perilaku kekerasan/teror/ancaman melalui suatu persetujuan damai), pengelolaan konflik (bertujuan untuk m em batasi dan m enghindari ancaman atau kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak bertikai), serta resolusi konflik (yang mengarah pada segala bentuk upaya penanganan sebab-sebab konflik seraya berusaha mem bangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di atara kelompok-kelompok yang bermusuhan). Simon Fisher, dkk, Mengelola Konflik, (Jakarta: The British Council, 2000), h.6-8.
80
m encoba melakukan intimidasi secara fisik, dengan m enculik anggota BPD. Peristiw a penculikan m em buat BPD menduga bahwa pihak Polsek berpihak pada Kades, sebab p e ristiw a “p e n je m p u ta n ” an g g o ta B PD dilakukan oleh aparat dari Binmas Polri atas perintah Kapolsek Majalaya. Alasan Kapolsek, penjem putan dilakukan setelah m asuknya laporan dari masyarakat bahw a rumah enam orang anggota BPD mau dibakar oleh massa. Laporan kepada K apolsek ini belakangan diketahui dibuat oleh kelom pok pendukung Kades yang datang ke kantor Polsek dengan m enggunakan ikat kepala hitam bertuliskan “Forum Cinta Damai”. Begitu pula halnya, akibat tidak puas dengan pelantikan Kepala Desa Bero (Klaten) dan pelantikan istri K ades sebagai ketua penggerak PKK teijadi demonstrasi, termasuk pemblokiran beberapa mas jalan di Bero. Pihakpihak yang m erasa tidak puas lantaran kalah d a la m p ilk a d e s a k h irn y a m e n e ru sk a n kekecewaan dan perseteruan di sebuah lembaga baru bernam a BPD. Calkades kalah segera “mem-PTUN-kan” Bupati. Demonstrasi para pen d u k u n g n y a kem udian tak lagi hanya diarahkan pada Bupati, tetapi diarahkan pula pada Kades Bero (Klaten). Berbagai tuduhan mulai digelorakan khususnya seputar penentuan aparat desa era kepem im pinan Kades 19901998. Penyerangan pada rumab (dan mobil) Kades dan juga terjadi. Pohon-pohon bahkan dijadikan sasaran kem arahan, ditebang lalu ditaruh untuk menghalangi jalan. Penyerangan secara fisik sempat teijadi, seperti dialami ta’mir m a sjid , H . T h o y ib y an g ja d i k o rb a n pengeroyokan.
Dilema Demokrasi Perwakilan di Tingkat Desa Penelitian ini menemukan bahwa model demokrasi perwakilan yang hendak diterapkan di desa melalui pem bentukan lembaga BPD masih mengandung sejumlah dilemma. Dilemma pertama ialah, kecenderungan BPD yang
bukannya tampil sebagai wakil rakyat, melainkan justru sebagai oligarki baru. Di sini kehadiran BPD telah meleset dari harapan sebagai lembaga yang mampu m enerjem ahkan aspirasi dan kepentingan rakyat. BPD hanya merupakan representasi dari elite-elite desa yang memegang kekuasaan. Warga Desa Sitanggal, Brebes, m enghendaki agar BPD m em perjuangkan masalah semakin m eningkatnya harga alat produksi dan obat-obatan pertanian, sementara di sisi lain harga baw ang semakin merosot, namun BPD lebih tertarik untuk sibuk dengan isu-isu “strategis” yang bertendensi dapat m enjatuhkan kepala desa. Di D esa Bero, Klaten, oligarki itu mengental sedemikian rupa dalam bentuk pengelompokan antara dua kubu yang saling bertentangan di internal BPD, yang m erupakan k elan ju ta n dari p ertaru n g an pilkades, sehingga BPD terbelah menjadi k e lo m p o k p e n d u k u n g c a lk a d e s k a la h berhadapan dengan kelompok yang netral/anti. Hal demikian ditemui pula di Desa Majasetra, ketika kasus bantuan beras operasi pasar khusus (OPK) digunakan semata-mata sebagai “peluru” untuk “menembak” kades. Di sini otonomi desa telah berubah arti menjadi otonomi elite. Bahwa BPD secara sepihak m erum uskan apa yang dim aksud dengan aspirasi rakyat, sementara yang sesungguhnya d ip erju an g k an ialah kepentingan dari segelintir elite desa. Di sini berarti pula bahwa BPD telah gagal menyerap aspirasi m asyarakat, di lain p ih ak tidak terdapatnya partisipasi masyarakat dari berbagai ele m e n m a sy a ra k a t s e c a ra lu a s d a la m penyelenggaraan urusan publik, telah membuat tujuan otonomisasi desa menjadi tidak tercapai. D ilem a kedua terkait dengan usaha penerapan prinsip demokrasi perwakilan pada suatu wilayah yang luas dan jumlah penduduknya masih amat terbatas seperti pedesaan. Hal ini mungkin akan bermanfaat sejauh rakyat desa dalam suatu kondisi yang sama-sekali belum terperdayakan, pasif, berpendidikan rendah, serta kemampuan masyarakat secara umum amat lemah dalam mengartikulasikan aspirasinya.
Namun ketika itu diberlakukan pada sebuah desa di mana persentase warga berpendidikan semakin meningkat, berkarakter relatif dinamis dan kritis, maka hal itu akan menyulut munculnya pengkotak-kotakan dan kecenderungan anarki yang justru m em perum it arena konflik di pedesaan. Penerapan sistem distrik (perwakilan suatu dusun) pada pemilihan anggota BPD telah membuat w arga terkotak-kotak antara satu dusun dengan dusun lainnya. Di beberapa desa yang diteliti, seperti Desa Gelap (Lamongan) dan D esa Sitanggal (Brebes) terlihat bagaimana mekanisme pem ilihan yang didasarkan pada sistem distrik, di mana calon anggota BPD adalah w akil dari d u su n -d u su n yang ada, pada gilirannya telah turut m emperuncing ketika m uncul konflik. A nggota BPD cenderung memanipulasi dukungan dari dusun di mana mereka berasal, sehingga membuat masyarakat desa semakin terkotak-kotak dalam konflik. Di sini logika demokrasi perwakilan tidak beijalan, dan justru melahirkan adegan-adegan yang kontra-produktif bagi pengembangan demokrasi di pedesaan. Kegagalan penerapan prinsip demokrasi perwakilan di pedesaan m em aksa kita untuk memikirkan mekanisme-mekanisme tambahan yang mungkin dapat digunakan sebagai wahana untuk lebih mengefektifkan peranan BPD. Hal ini dilatarbelakangi kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa BPD mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat, namun di lain pihak tidak tersedia mekanisme apapun yang memungkinkan B PD h a ru s m e m b e rik a n p e rta n g g u n g ja w a b a n n y a k ep ad a rak y at pem ilihnya (konstituen), serta di lain pihak menyediakan ruang bagi publik untuk dapat m e m b e rik a n m a su k a n k e p a d a B P D . Akuntabilitas BPD penting dikemukakan guna meminimalisir kecenderungan lembaga ini justru m e n ja d i le m b a g a e litis d an tid a k lagi mempeijuangkan aspirasi rakyatnya. Terlebih lagi sukar mendeteksi sedari awal bahwa BPD bukan hanya dijadikan sebagai kendaraan politik para anggotanya.
81
Yang dibutuhkan oleh sebuah desa ialah suatu lembaga lain yang dapat mengontrol BPD. Lem baga mana memiliki wewenang untuk meminta pertangungjawaban atas kinerja BPD. M ekanism e tam bahan itu ju g a m em buat kesibukan BPD bukan hanya terpaku pada rapat-rapat yang diselenggarakan di Balai Desa, namun juga BPD aktif bertemu dan bertatap muka dengan rakyatnya. Perluasan mang publik ini dapat dilaksanakan dengan mengaktifkan berbagai kelompok sosial, forum dialog, atau jaringan warga, LSM, organisasi-organisasi lokal yang tumbuh dalam masyarakat baik yang berbasiskan budaya, pekerjaan, maupun agama seperti forum pertemuan masjid. Sebagai salah satu organisasi sosial korporatis yang ada di desa, BPD tetap harus diawasi oleh masyarakat guna mewujudkan otonomi masyarakat secara utuh yang menjamin keterlibatan warga secara aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Pada akhirnya, cita-cita dem okratisasi pedesaan berpulang pada kem auan dan kem ampuan warga desa sendiri dalam mengorganisasi diri menjadi kekuatan sipil yang otonom. Ini karena keberhasilan otonomi desa sangat ditentukan oleh sejauhm ana m asyarakat desa dapat m e n g e k p re s ik a n k e b u tu h a n n y a dan berpartisipasi dalam proses pembangunan yang berlangsung di desanya. B ahw a semestinya implikasi nyata dari otonomi desa nampak dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat desa.
Penutup dan Rekomendasi Konflik yang melibatkan lembaga BPD dengan pem erintahan desa telah m em buat gagasan ideal tentang pengembangan otonomi dan dem okrasi di pedesaan m enjadi tidak tercapai. Di satu sisi otonomi daerah mungkin bisa bergerak tak terarah, tanpa pelembagaan politik dan kepastian hukum atau membuat otonomi desa sebatas otonomi elite saja, di sisi lain BPD jusru menjadi institusi yang sulit dikontrol dan mengabaikan aspirasi masyarakat, sem entara pem erintahan desa ju g a tidak
82
beijalan optimal akibat sebagian perhatian para aparat desa tersita pada isu-isu konflik yang melelahkan. Di semua desa penelitian, konflik B P D d e n g a n p e m e rin ta h a n d e sa te la h m engakibatkan public Service (pelayanan masyarakat) menjadi terganggu, pembangunan te rb e n g k a la i d an b a h k a n m e n g a la m i kemunduran. Sekalipun konflik yang cenderung elitis belum m elibatkan m assa secara masif, nam un k o n flik yang b erla ru t-laru t telah menimbulkan bukan saja ketegangan antar-elite melainkan juga dikhawatirkan dapat menganggu hubungan sosial warga. UU No.22 Tahun 1999 maupun perdap erd a b elu m m em u at k lau su l m engenai bagaim ana mekanism e penyelesaian konflik tatkala muncul ketegangan atau perselisihan di antara lembaga-lembaga yang ada di pedesaan. Pada desa-desa di mana institusi adat masih berfungsi dan cukup dihormati seperti di Bali, m a k a k o n flik d a p a t d ita n g a n i dan dimusyawarahkan melalui lembaga-lembaga adat. Namun, pada desa-desa di mana institusi lokal dan adat telah nyaris runtuh dan tidak lagi cukup berwibawa -bersam aan dengan itu para pem uka masyarakat, pem uka adat maupun p e m u k a ag a m a ju g a se m a k in k u ra n g dihormati— maka konflik antar elite di desa akan cenderung menjadi berlarut-larut. D a la m p e m b e n tu k a n B P D dan keberlangsungan perannya perlu diperhatikan b eb erap a hal m endasar. Pertama, m esti dihindari bentuk penyeragaman yang terlalu kaku dalam aturan perundangan sehingga m engabaikan heteronitas antara satu desa dengan desa lain. Kedua, perlu dirumuskan ketentuan yang lebih jelas mengenai fungsi dan wewenang yang dapat dijalankan oleh BPD supaya lem baga ini dalam praktek tidak cenderung menjadi over capacity (kelebihan w ew en an g , k e b a b la sa n p eran ). Ketiga, m enyediakan m ekanism e tam bahan yang memungkinkan BPD dapat menyampaikan pertanggungjawabnnya kepada konstituennya, sekaligus sebagai bentuk upaya perluasan mang
publik di mana rakyat pada um um nya dapat memberikan masukan kepada BPD. M engingat, salah satu penyebab over capacity BPD ialah akibat adanya aturan yang m em b eri w ew e n a n g B PD u n tu k d a p a t mengusulkan (kepada bupati) pemberhentian kepala desa. Kami mengusulkan peninjauan kem bali atas aturan terseb u t, m engingat kew enangan dem ikian telah m em otivasi tumbuhnya: politisasi lembaga BPD maupun kecenderungan BPD untuk bersikap arogan; serta di lain pihak membuat sebagian kepala desa mempersepsikan BPD sebagai “lembaga yang mengancam”, sehingga secara psikologis kepala desa bersikap “pasang kuda-kuda” . Dengan dem ikian, perundangan telah sejak aw al mengkondisikan sebuah hubungan yang tidak nyaman antara Kades-BPD. B ah w a B P D a c a p k a li b e ru b a h karakternya dari lem baga perw akilan desa menjadi sebuah oligarki baru di desa, di samping pemerintah desa. BPD cenderung mewakili k e p e n tin g a n d irin y a s e n d iri d e n g a n mengatasnamakan kepentingan rakyat. Untuk itu, perlunya dilakukan revisi atas ketentuan mengenai BPD, sehingga lembaga ini bisa lebih dikontrol oleh publik. Revisi perlu dilakukan dari semua level peraturan perundangan baik di tingkat nasional, propinsi, hingga kabupaten. Hal penting lainnya ialah, pemerintah perlu m em ikirkan duku n g an d an a, p em b erian renumerasi yang lebih baik kepada anggota BPD, sarana maupun prasarana operasional bagi BPD agar lembaga ini dapat berfungsi secara baik. Persoalan amat minimnya dana operasional maupun honor anggota BPD merupakan salah satu sum ber kekecewaan anggota-anggota BPD.
Daftar Pustaka
_______________ “Village Govemance: Past, Present, and Future” . M akalah dalam seminar internasional Dinamika Politik
Lokal di Indonesia: Perubahan, Tantangan, dan Harapan, oleh Yayasan P ercik S a la tig a , 3-7 Ju li 20 0 0 , di Yogyakarta. B em ard Mayer. The Dinamics o f Conflict Resolution a Practitioner’s Guide. San F ra n s ic o , J o s e y -B a s s A W illey Company. Bidang Advokasi Forum Pemuda Piyungan. “Antara Democracy dan D em ocrazy”, d a la m Beberapa Catatan Proses
Pilurah (Pilkades) Desa Sitimulyo, Piyungan, Bantul. C handra, E ka, dkk. Membangun Forum
warga, Implementasi Partisipasi dan Penguatan Masyarakat Sipil. Bandung, Akatiga, 2003. D w ip a y a n a , A ri d an S u ro to E k o , Ed.
Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta, IRE Press, 2003. Fealy, Greg andEdw ardA spinall, eds. Local
Power and Politics in Indonesia. Singapore, ISEAS, 2003. Fischer, Sim on, dkk. Mengelola Konflik. Jakarta, The British Council, 2000. H o rto n , P au l B d an C h e s te r L. H u n t. Sosiologi. Jakarta, Erlangga, 1992. H S , A b d u lla h . “ H ila n g n y a A k se s dan K ontrol M asyarakat terhadap Sumber D a y a E k o n o m i P e d e s a a n : K ritik te rh a d a p U U N o .3 2 /2 0 0 4 te n tan g P em erintah D aerah ”, dalam Http://
www. ireyogya. org/ Keller, Suzane. Penguasa dan Kelompok
Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modem. Jakarta, Yayasan Ilm u-ilm u Sosial, 1984.
H an s. Exem plary Centre, Adm inistrative Periphery. N o rd ic
A n tlo v ,
Institute, Curzon Press, 1989.
L. K an a, N ico . Politik Pemberdayaan:
Dinamika Politik Lokal di Indonesia. Salatiga, Percik, 2002.
83
P itan a, I G de. “D esa A d at d alam A rus M o d e rn is a s i” , d a la m D inam ika
Masyarakat dan Kebudayaan Bal. Denpasar, Bali Post, 1994.
Renai, Tahun I No.3, Juli-September 2001 dan Tahun I No.4, O ktober 2001. Rozaki, Abdur, et.al. Promosi Otonomi Desa. Yogyakarta, IRE Press, 2004. Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta, Gadjah M ada University Press, 2002. Selly Tohan, “Pengalam an Yasmara dalam Pendam pingan Penguatan K apasitas B ad an P e rw a k ila n D e s a se c a ra P a rtisip a tif di W ilayah K ab u p aten Kupang, N TT” . Suwondo, Kutut. Civil Society di Aras Lokal. Salatiga, Pustaka Percik, 2003.
84
Swara Otonomi, Tahun I/No.9, Juli 2002. Tata Pemerintahan menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan. Dokumen Kebijakan UNDP. Jakarta, Januari, 1997. W arren, Carol. Adat and Dinas: Balinese
Communities in the Indonesian State. K u ala L um pur, O x fo rd U n iv ersity Press, 1993. Zakaria, R. Yando. Pemulihan kehidupan Desa dan UU No. 22/1999 dalam
fppm. org/Makalah/PF-6. Http://www.damar.or.id/library.makalah Http://www.forumdesa.org/
Http://www.Republika. co. id. 25 April 2005.
Sikap Indonesia dalam M enghadapi K ejahatan L intas N egara: I lle g a l L o g g in g di K albar dan K altim 1 Olelt: Awani Irewati
Abstract In Indonesia, illegal logging is a massive problem that never ending. It is the problem that has resulted in demoralizing the rule of law and substantial revenues to the state. It is the cause of forest crimes, and has serious economic and social implications to the poor societies in the border. Therefore, the activites of illegal logging and illegal border trade in the Indonesia-Malaysia border have to be eradicated as soon as possible. In responding the problem, the two actors (govemment and non govemment) have to build cooperation in coping with this problem. Beside that, the govemment has to be able to take personal approach to the Malaysian govemment in dealing with this problem. This paper presents the mapping of illegal logging in the Kalbar, Kaltim - Sarawak, Sabah border lines, and answer the question of what responses the govemment and non govemment take in that problem.
Penelitian ini awalnya beijudul Kebijakan Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara: Kasus Illegal Logging di Kalbar dan Kaltim. Dalam diskusi intensif, tim kemudian memutuskan untuk merubah judul sebagaimana tertera pada judul di atas. Pembatasan pada lingkup ”kebijakan“ dirasakan sangat membatasi eksplorasi penulisan pada kebijakan pemerintah atas kasus perdagangan kayu gelap beserta kendala implementasinya saja. Ini tidak memberi kebebasan analisis bagaim ana sikap ataupun response dari pihak-pihak pelaku ataupun pendukungnya yang non pemerintah. Dengan pencantuman judul “Sikap Indonesia11, hal itu b isa te rc a k u p . P e n e litia n in i b e ru p a y a mengungkap bagaim ana sesungguhnya peta maupun mekanisme perdagangan lintas batas kayu-kayu ilegal; bagaimana merekam sikap pihak-pihak berwenang maupun non pemerintah atas masalah ini; serta sejauhmana implementasi
1 Penelitian Politik Luar Negeri Indonesia dengan tema di atas ditulis oleh tiga personal penelitian yang terdiri dari: Ratna Shofi Inayati, Tri Nuke Pudjiastuti, Awani Irewati.
program “perbatasan dan penyelundupan11pada Sosek Malindo (Malaysia-Indonesia). Kasus di K alim antan B arat dan K alim antan Tim ur memiliki satu perbedaan operasional atas jalurjalur perdagangan kayu ilegal lintas batas. Kalbar lebih banyak menggunakan perbatasan darat untuk lintas ilegalnya, sementara Kaltim lebih mengandalkan pada jalur-jalur lautnya. Penelitian dengan melihat langsung lokasi p erb atasan h in g g a ke w ilayah M alaysia (Sarawak dan Sabah) ini menangkap nuansa perdagangan lintas batas serta melihat bagaimana kayu-kayu ilegal itu masuk ke Malaysia secara bebas dan dalam frekuensi yang tinggi. Ada em pat bagian yang akan disajikan dalam penulisan ini. Pertama adalah definisi kejahatan Illegal logging dan perdagangan lintas batasnya yang diktegorikan sebagai TOC (transnational Organized Crime). K edua, tem uan kasus perdagangan lintas batas kayu-kayu ilegal di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Ketiga, menyajikan sikap dari pemerintah maupun non pemerintah terhadap masalah ini dan mencari refleksi di mana sebenarnya titik kesulitan
85
pencegahannya. Yang terakhir m enyangkut kesimpulan dan rekomendasi.
Illegal Logging dalam Kejahatan Lintas Batas P e rs o a la n k e ja h a ta n lin ta s b a ta s (,transnational crime) sesungguhnya masih m enyisakan satu tanda tanya, apakah itu bergerak dalam kapasitas pribadi atau jaringan kelompok yang lazim disebut dengan organisasi. Transnational Organized Crime (TO C ) menjadi fenomena terkini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di tingkat regional maupun internasional. Berawal dari peristiwa 9/11 (11 September 2001) di W TC A m erika Serikat, TOC kemudian menjadi satu bentuk ancaman baru bagi keamanan manusia. Secara definitif, aksi TOC dipahami sebagai bentuk kejahatan lintas negara, yang dipicu adanya kemudahan m obilitas lew at akses internasional (yang menembus batas-batas satu negara) di mana law enforcement belum berfungsi secara memadai. Kegiatan perdagangan barang maupun jasa semacam ini mendapat keuntungan besar dengan para pelakunya yang relatif tersamar. K egiatan ilegal dalam cakupan TOC bisa menjadi sangat luas, antara lain term asuk penyelundupan dan perdagangan senjata, narkoba, manusia, kayu, minyak dan pencurian di d u n ia m a y a d ll. M e n y itir p e n d a p a t Bunbongkam (1994)2kejahatan transnational adalah bentuk kejahatan yang m encakup beberapa unsur. Pertama, adanya unsur lintas batas negara yang dilakukan oleh orang, sekelom pok orang, benda atau oleh niatan k rim in a l. K edua, a d a n y a p e n g a k u a n internasional terhadap sebuah bentuk kejahatan. Sehingga secara nasional dapat dikatakan bahwa segala sesuatu dapat disebut suatu kejahatan atau kriminal bila ada aturan hukum tertulis yang
2 Lihat dalam Philips jusario Vermonte,"Transnational Organized Crime: Isu dan Permasalahannya”, Analisis, CSIS, Tahun XXXI (1), 2002: 45.
86
m e n g a tu rn y a . S e d a n g k a n , di tin g k a t internasional, persoalan tersebut harus ada pengakuan tentang kejahatan minimal oleh dua negara atau suatu konvensi atau deklarasi tingkat internasional atau regional. K ayu m erupakan salah satu barang penyelundupan atau perdagangan gelap yang tengah marak terjadi antara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Penyelundupan atau perdagangan gelap kayu asal Indonesia ke luar negeri m erupakan bagian dari rangkaian pembalakan ilegal kayu-kayu yang ada di hutanhutan seperti di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. A kibatnya, taraf kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan menjadi terkikis. Keseimbangan atas ekosistem dan keanekaragam an hayati yang menjadi penopang kehidupan mereka menjadi terancam. M asih ren d ah n y a law enforcement, ketidakpastian politik dan krisis ekonomi merupakan media subur bagi luasnya jaringan sindikat kriminal internasional dalam hal illegal logging ini. Jaringan tersebut tentu bekerja dengan motif uang dan kekuasaan, yang dengan mudah mampu merekrut para profesional seperti ak u n ta n , p e n g a c a ra , h ak im , p e n a se h a t keuangan, bankir, politisi korup, pebisnis, bahkan polisi dan tentara guna melancarkan dan melindungi operasi ilegalnya. Sejauh ini pemerintah Indonesia tidaklah tinggal diam. Berdasar penyelidikan selama dua tahun oleh agen internasional penyelidik lin g k u n g a n h id u p ( the Environm ental Investigation Agency - EIA) dan dibantu LSM Indonesia‘Telapak” mulai Agustus 1999, pada bulan April 2001 pemerintah Indonesia akhirnya menunjukan sikap politik terhadap persoalan ini dengan melakukan moratorium atas pembalakan kayu. Bentuk moratorium itu adalah dilarangnya pengiriman kayu-kayu balok ke luar negeri, sehingga hitungan kuotanya menjadi nol.
Y ang d ila k u k a n b u k a n s e k a d a r penyetopan pengiriman kayu-kayu balok ke luarnegeri tetapi juga tengah disusun satu regulasi yang berisi pemberian sanksi bagi kegiatan dan pelaku illegal logging. Pemerintah Indonesia juga melakukan protes kepada negara yang dituju. Demikian pula seruan kepada pihak internasional, yang dalam hal ini pembeli atau pengguna kayu-kayu balok dari Indonesia. M eskipun hal itu belum cukup efektif, tetapi sudah mulai dirasakan dampaknya. Namun demikian, kejahatan macam ini akan terasa sulit diatasi oleh sebuah negara yang sedang “lem ah” dan penuh intrik politik. Di bawah kondisi begitu, Indonesia bisa menjadi sasaran empuk bagi pelaku TOC untuk money laundring atau bagian penting dari aktivitas ilegalnya, yang dalam hal ini pembalakan kayu ilegal. Melihat ketentuan-ketentuan persyaratan TOC dan fenomena illegal logging semacam itu, sebenarnya persoalan penyelundupan kayu dari Indonesia ke Malaysia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari persoalan TOC. Ironisnya, illegal logging ternyata belum menjadi salah satu bagian dari TOC yang disepakati dan diperhatikan di tingkat ASEAN. Apalagi kejahatan perdagangan kayu-kayu ilegal antara Indonesia dengan Malaysia (dua n e g a ra a n g g o ta A S E A N y an g sa n g a t berpengaruh) terasa sulit diatasi sejak dulu. Untuk itu dengan memperhatikan persoalan yang berkembang secara kompleks dan lintas negara, maka ke depan penting kasus illegal logging masuk menjadi salah satu agenda krusial TOC di tingkat ASEAN. Apabila penanganan kasus ini telah menjadi kesepakatan ASEAN, akan ada sem acam fak to r p en d o ro n g bagi n eg ara anggotanya untuk m enuntaskan di tingkat nasional ataupun bilateral. Oleh karena itu, dirasakan perlu memasukan persoalan illegal logging ke dalam cakupan-cakupan TOC yang disepakati di tingkat ASEAN.
Perdagangan Lintas Batas Kayu Ilegal di Kalbar dan Kaltim W ilayah K alim antan B arat (K albar) terbagi dalam 8 Kabupaten dan 2 K ota3 yang sebagian wilayahnya langsung berbatasan dengan Saraw ak-N egara B agian M alaysia Timur, dengan garis sempadan sepanjang 857 km dan lebar 3400 km2. Dari 8 Kabupaten tersebut, 5 diantaranya berbatasan langsung dengan Negeri Sarawak. Perbatasan ini diklasifikasikan dalam 2 tingkatan yaitu wilayah Lini I mencakup kecamatan yang berbatasan langsung dengan Saraw ak, dan W ilayah Lini II m encakup kecamatan yang tidak berbatasan langsung namun relatif dekat perbatasan. Perbatasan di Kalimantan Barat yang b erad a di lim a K ab u p aten den g an luas 2.035,164 km2 dengan penduduk 152.720 orang atau kepadatan penduduk 8 orang/km2. T e rd a p a t 50 ja lu r ja la n s e ta p a k y an g menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 k a m p u n g di S araw ak , s e m e n ta ra yang disepakati kedua negara hanya meliputi 16 desa di K albar dan 10 kam pung di Saraw ak. Sedangkan yang ditetapkan sebagai Pos Pemeriksaan Lintas Batas, baru dua buah yaitu Entikong (K albar)-Tebedu (Saraw ak) dan Nanga Badau (Kalbar)-Lubok Antu (Sarawak), sedang dalam tahap pem bangunan.4 Namun dalam kenyataannya, proses pembangunan p erb atasan B adau terk esan lam bat. Pun dem ikian dengan pembangunan sarana dan prasarana di Kabupaten Badau belum memadai. G una m e n g atu r lalu lin tas b aran g (p e rd a g a n g a n tr a d is io n a l) m a sy a ra k a t perbatasan, kedua pemerintah Indonesia dan M alay sia m em b u at k esep ak atan b eru p a
3 Kalimantan Barat ditata ke dalam 8 kabupaten dan 2 kota, masing-masing adalah: Kabupaten Ketapang (24,39%), Kapuas Hulu (20,33% ), Sintang (21,99% ), Sanggau (12,47%), Pontianak (5,63%), Sambas (4%), Bengkayang (4,38% ) dan Landak (6,75% ). Serta Kotam adya Pontianak (0.07%) dan Singkawang (15,0%). 4 http://www.liputan 6.com/fullnews/74017
87
“Peijanjian Tentang Perdagangan Lintas Batas antara Pemerintah Republik Indonesia dengan K e ra ja a n M a la y s ia ” . P e rja n jia n ini ditandatangani pada 24 Agustus 1970 di Jakarta. Salah satu kesepakatan yang ada berupa keijasama Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia atau disingkat Sosek Malindo. Visi dari kerja sama Sosek M alindo ini ad a la h : “ M eningkatkan kesejahteraan
masyarakat kedua daerah melalui kerjasama Sosek Malindo menuju tahun 2020”. Agar Visi kerja sama ini dapat direalisasikan maka Misi yang dilaksanakan adalah: pertama, menciptakan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang kondusif bagi kesejahteraan masyarakat masing-masing daerah; kedua, meningkatkan keija sama ekonomi yang berkeadilan dan saling menguntungkan serta berorientasi kelestarian lingkungan; ketiga, meningkatkan kerja sama sosial budaya lewat peningkatan kualitas dan p e m b e rd a y a a n S D M di k e d u a d a e ra h perbatasan.5 K e g ia ta n illegal logging p ra k tis m encapai tin g k at m em b ah ay ak an sejak d ite rb itk a n n y a U U P K N o .5 /1 9 6 7 yang kemudian melahirkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Departemen Kehutanan. Di samping m enurunkan kualitas sum berdaya hutan, aktivitas ini menimbulkan masalah sosial ekonomi dan penurunan kualitas keanekaragam an lingkungan. Sistem penebangan liar dan gangguan lainnya mengakibatkan degradasi hutan dan hilangnya keanekaragaman jenis hayati. Di sepanjang jalur perbatasan di mana kondisi pengawasan dan keamanan, prasarana/ sarana transportasi serta kondisi sosial masyarakat begitu minim telah mendorong teijadinya aktivitas ilegal ini. Eksploitasi sumber daya alam Kalbar maupun Kaltim serta upaya penyelundupan ke luar, karenanya, dilakukan untuk mengatasi segala keterbatasan yang dihadapi. Sehingga illegal logging begitu marak terjadi di sepanjang perbatasan Kalbar-Sarawak maupun Kaltim-
5 Ibid, hal.21-24
88
Sabah. P ada tahun 2001-2002 terungkap pengangkutan kayu olahan ilegal via laut ke pelabuhan Sematan di Sarawak rata-rata 150 kapal perbulan dengan variasi muatan rata-rata 60 truk/hari. Sem entara kegiatan serupa di Entikong, Kabupaten Sanggau, menuju Tebedu Sarawak mencapai rata-rata 75 truk /hari. Pun demikian di perbatasan Badau-Lubok Antu mencapai rata-rata 120-150 tru k /h ari dengan ukuran truk rata-rata 8 Meter kubik (12 ban untuk ukuran Malaysia). Demikian pula pengangkutan kayu dari Lubok Antu ke kota-kota di wilayah Sarawak Malaysia, seperti Sarikei, Sibu, Miri, Kuching. Kegiatan ilegal ini tidak terlepas dari perm intaan M alaysia yang begitu gencar. Malaysia terkesan menghindar ketika dilakukan pembicaraan teknis atas pemberantasan kegiatan ilegal ini. Meski telah ada lampu hijau dari Duta Besar M alaysia di Indonesia, Datuk Hamidon Ali, yang mengijinkan aparat Indonesia untuk menangkap warganya yang mencuri kayu di wilayah Indonesia, secara teknis sangat sulit dilaksanakan. U ntuk m endapat legalisasi, truk-truk pengangkut kayu tersebut di Km 2 Lubok Antu melewati proses administrasi terlebih dulu di Hardwood TvmberSdn Bhd. Setelah membayar pajak sebelum masuk atau dijual ke berbagai daerah di Sarawak, dengan pungutan sekitar RM 16 perT A N (1 TAN =1,154 m3), kayukayu tersebut telah dianggap sah dan aman. Di Hardwood Timber Sdn.Bhd. semua kayu yang semula ilegal bisa menjadi legal. Penempatan perusahaannyapun memang sengaja diletakkan di dekat perbatasan kedua negara. Perusahaan ini mendapat kepercayaan pemerintah Sarawak dalam pengenaan cukai atas kayu-kayu asal Indonesia. Dengan begitu, kayu-kayu ini aman dan sah untuk di ekspor ke negara-negara lain dengan label produk M alaysia. U ntuk di perbatasan Malaysia ini saja terdapat sekitar 8
sawmill. S em entara sawmill yang ada di perbatasan Indonesia (Badau) banyak yang menggunakan nama koperasi setempat (seolah
demi kepentingan masyarakat setempat) meski sejatinya ini milik warga Malaysia. Selain cukong Malaysia, kayu-kayu itu ju g a ditebang oleh pengusaha lokal dari
Secara topografis, bagian utara kawasan p erb atasan sarat dengan p erb u k itan dan pegunungan yang terjal. Demikian pula dengan kondisi medan yang cukup berat. Di sebelah
Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, M elawi, Sekadau dan Ketapang di Propinsi Kalbar. Di perbatasan Entikong, truk-truk berukuran besar dengan nomor polisi M alaysia mengangkut k ay u -k ay u ileg al dari b e b e ra p a te m p at penampungan kayu di luar Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong dan Kecamatan
barat (Kecamatan Kutai Barat) adalah daerah yang pen u h d en g an p eg u n u n g an yang bergelom bang dan berbukit, dengan kondisi lipatan-lipatan dan patahan yang sulit ditembus. Jumlah penduduk Kawasan perbatasan tahun 2001 s e b e s a r 1 0 1 .266 jiw a . A n g k a ini meningkat rata-rata 2,08 persen pertahun dari jum lah jiw a sebesar 85.578 pada tahun 1990. Maraknya perdagangan kayu ilegal lintas batas tentu tak lepas dari mata rantai demand dan supply. Kedua faktor ini sangat menentukan kelangsungan perdagangan kayu ilegal secara lintas negara. Permintaan impor kayu dari Sabah cukup tinggi, terutama dari negara-negara seperti RRC, Jepang, Korea Selatan dan Hongkong.7
Balai Karangan. Kegiatan bongkar muat pun d ila k u k a n di p e rb a ta s a n resm i in i. Ini membuktikan segala aktivitas gelap di tempat resmi yang semestinya dilakukan pemeriksaan ketat nyatanya juga terlewati. Kegiatan penyelundupan kayu ilegal dari Kalbar ke Sarawak banyak menggunakan akses daratan daripada perairan. Ini dikarenakan kondisi medan ataupun topografi Kalbar menuju utara perbatasan relatif lebih mudah dilalui daripada kondisi di Kaltim menuju perbatasan dengan Sabah. Sementara Propinsi Kalimantan Timur (Kalimantan Timur) memiliki spesifikasi wilayah y an g b e rb e d a d ari K a lim a n ta n B a ra t. Karakteristik topografinya yang terdiri dari pegunungan dan bukit-bukit terutama di Kaltim sebelah Utara sangatlah berat. Berdasarkan karakteristik tersebut, konteks perwilayahan Kaltim terbagi dalam tiga wilayah/kawasan, yakni pantai, pedalaman dan perbatasan. Untuk wilayah perbatasan, Kaltim sebelah utara berbatasan langsung dengan N egara M alaysia bagian Timur, yaitu Negeri Sabah. Kawasan perbatasan ini memiliki luas areal kurang lebih 57.731 km2 yang membentang antara timur ke barat sepanjang 1.038 km. Letak geografisnya yang terpencil dan relatif terisolir membuat daerah perbatasan ini sulit dijangkau.6
6 Di kawasan ini terdiri dari 10 (sepuluh) Kecamatan, di mana 4 (empat) Kecamatan yakni Kayan Hulu, Kayan Hilir, Pujungan dan Mentarang berada di Kabupaten Malinau, empat (empat) Kecamatan lain yaitu Kecamatan
Sabah -y an g luasnya 73.997 km2 dengan penduduknya 24.66 juta jiw a (tahun 2002)— meski penghasil kayu (balak dan gergaji), padi dan gas natural, nam un produk kayunya cenderung semakin menurun. Penurunan ini tidak hanya hasil produksinya, tetapi juga ekspornya. Produk dan perkilangan kayu menjadi salah satu andalan ekspor Sabah. Namun ekspor inipun cenderung menipis. Karena, penyediaan kayu dalam negeri menurun. Malaysia menutupinya lewat pembelian kayu-kayu ilegal dari Indonesia. Untuk mengetahui jalur dan mekanisme perdagangan kayu ilegal sebenarnya tidaklah sulit (selain hanya faktor resiko yang tinggi). Karena a k tiv ita s (p e n e b a n g a n , p e n g a n g k u ta n , pengilangan, transaksi) perdagangan ilegal ini dilakukan secara terang-terangan. Di lapangan, sering kali kita sulit membedakan aktivitas legal
Lum bis, Krayan, Nunukan dan Sebatik berada di Kabupaten Nunukan, dan 2 (dua) Kecamatan lainnya, Long Pahangai, dan Long Apari berlokasi di Kabupaten Kutai Barat. Dari 8 Kecamatan itu, hanya 2 (dua) Kecamatan yang memiliki lokasi tidak terpencil yakni Kecamatan Sebatik dan Kecamatan Nunukan. 7 Diambil dari Buku Tahunan Perangkaan: Yearbook Statistics Sabah 2002, Jabatan Perangkaan Malaysia Negeri Sabah, Department o f Statistic Malaysia, 2003, hlm. 165.
89
dari yang ilegal. K arena kegiatan yang ilegal seringkali dilakukan secara terang-terangan. Kayu-kayu tebangan liar di Kaltim utara (Kabupaten Nunukan) dialirkan melalui sungai-
maupun kapal-kapal pengangkut kayu-kayu ilegal yang berhenti di pintu perbatasan (seperti Entikong di K albar dan Sebatik di Kaltim) ataupun berlabuh di pelabuhan maupun yang
sungai, seperti sungai Sebakis, sungai Sebuku, dan akhirnya bermuara di Teluk Sebuku. Dari sini lalu masuk ke lautan lepas, untuk akhirnya ditarik ke perairan internasional hingga langsung masuk ke perairan Malaysia. Karenanya, pihak berwenang Indonesia seringkali menghadapi kesulitan ketika hendak menangkap mereka.
masih berada di lepas pantai tidak diketahui kehadirannya oleh aparat keamanan Malaysia. Pada kenyataannya, mekanisme tersebut tidak diikuti sebagaimana seharusnya. Pihak M alaysia melakukan proses legalisasi pada masuknya kayu-kayu ilegal dari Indonesia lewat pihak-pihak sebagai berikut:
M ereka ini sulit ditangkap karena bergerak cepat ke arah perairan internasional untuk kem udian m asuk ke p erairan M alay sia. Kemudahan bergerak cepat di perairan, yang ditunjang dengan komunikasi dan transportasi yang modem dari Malaysia, menjadi salah satu “keuntungan" mereka mudah menghindar dari penangkapan. Karena itu, penyelundupan kayu ilegal Kalimantan Tim ur ke Sabah banyak menggunakan akses perairan daripada akses daratan. Di samping kondisi topografi darat menuju perbatasan yang masih sangat sulit dijangkau, Propinsi Kaltim relatif memiliki medan perairan yang cukup terbuka menuju daerah perbatasan Sabah, Malaysia. Dari kedua kasus yang terjadi di Kalbar dan K altim (dan tem pat lainnya), proses p en g am b ilan kayu secara ileg al h in g g a perdagangan lintas batasnya tak terlepas dari k e te rlib a ta n b erb ag a i p ih a k (y an g b isa dikelompokkan sebagai mafia kayu ilegal), yaitu:
a.
Custom
b. c. d. e.
Kehutanan (Forestry) Polisi Laut (Marine Police) Imigrasi (Immigration) (Imigrasi) Polisi dan Kesatuan Khusus (Police,
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Masyarakat lokal, Pengangkut', Broker di tempat-tempat penam pungan; Oknum aparat k eam anan dan atau aparat pem buat dokumen formal; Pengawas Pelabuhan di perbatasan;
Perusahaan Kayu; Cukong pemodal.
P engaw asan yang lo n g g ar sen g aja diciptakan demi kelangsungan aktivitas transaksi penyelundupan kayu-kayu ilegal secara terangterangan. Sangatlah tidak mungkin jika truk-truk
90
f.
special branch) LIPM (Lembaga Industri Perkayuan M alaysia) atau MTIB (Malaysian Timber Industry Board) dan Hardwood Timber Sdn Bhd.8
Apakah “terkooptasinya" masyarakat lokal dalam jaringan mafia illegal logging ini demikian mudah terjadi? Tidakkah mereka m en y ad ari p en tin g n y a u p ay a p enjagaan harmonisasi diri dengan lingkungannya. Memang tidak semua masyarakat lokal ikut bermain dalam jaringan m afia illegal logging. Dan banyak pula masyarakat lokal yang melakukan p erla w a n an te rh a d a p p ih a k -p ih a k yang mengeksploitasi hutan. Namun tidak sedikit pula perlawanan ini berakhir dengan kekalahan tanpa hasil. Di bawah himpitan ekonomi yang semakin berat, tak jarang m ereka menerima tawaran menjadi penebang liar dengan kompensasi sejumlah uang yang cukup menarik. Bahkan keterlibatan mereka sebagai pemain lapangan semakin memperkuat eksistensi mereka sebagai
8 Dikutip langsung dari Dokumen Laporan Illegal Logging dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Sekretariat NCB-INTERPOL, Liaison Officer Tawao.
illegal loggers. Mereka menjadi terjerat dalam satu sistem ketergantungan ekonom i yang sengaja dicipta oleh para cukong atau mafia illegal logging. Para cukong tidak hanya menawarkan sejumlah uang kepada mereka, tapi juga mencukupi semua kebutuhan dasar sehari-hari. Untuk membayar semua itu, mereka tentu harus menuruti keinginan dan perintah dari para mafia untuk menebang hutan. Bentuk dari o p erasio n a ln y a b erm a cam -m acam . A da masyarakat lokal yang menjual lahannya; ada pula yang hanya mencari dan masuk hutan lin d u n g untu k d iteb an g ; ada p u la yang menyewakan hutannya untuk “dimanfaatkan” k ek ay aan n y a. S em u a itu d ik o n d isik an sedemikian rupa sehingga posisi masyarakat lokal terjepit lemah. Realisasi Sosek Malindo, yang di ketuai B a p p e d a (B a d a n P e re n c a n a a n dan Pembangunan Daerah) di tingkat Propinsi Kalimantan Timur maupun Propinsi Kalimantan Barat begitu antusias m embangun benteng pengam anan lintas batas. P em bangunan perbatasan K abupaten N unukan (K altim ) dengan Tawao (Sabah) yang rentan aksi-aksi p e n y e lu n d u p a n , sed an g d alam p ro s e s .9 Demikian pula pembangunan perbatasan Badau (Kalbar) dengan Lubok Antu (Sarawak) sedang d alam p e n g e rja a n . S a la h sa tu tu ju a n pem bangunan adalah m enekan ak tivitas p e n y e lu n d u p a n . N am u n p e m b a n g u n a n infrastruktur tersebut akan sia-sia jika tidak diikuti dengan ketegasan dan keserentakan seluruh segmen masyarakat dalam menekan k e g ia ta n ile g a l. A d a b a n y a k p ih a k berkepentingan yang “bermain” dalam lingkar mafia illegal logging dan perdagangan lintas
9 Pembangunan Pos Lintas Batas antara Kabupaten Nunukan dengan Tawao telah disetujui oleh kedua belah pihak, Indonesia maupun M a la y sia . Fokus pembangunannya ditempatkan pada Sg. Nyamuk di Nunukan dan Sg Imam Pasir Putih, Tawao. Diambil dari Dokumen Rahasia “Draft Kertas Kerja 1” untuk persiapan Sidang Sosek Malindo berikutnya.
batasnya. Begitu besar dan banyaknya pihak yang terlibat didalamnya. Oleh karena itu, niat menghentikan kegiatan ilegal membutuhkan pengorbanan besar dari semua pihak. K ip ra h L S M m au p u n k e b era d aan organisasi profesi di Kaltim ini belum dapat menjadi pressure group bagi para pembuat kebijakan. Citra atas LSM baru bersuara ketika ada suatu masalah, tampaknya menipiskan kepercayaan masyarakat ataupun pemerintah pada peran mereka. Hal ini sangat disayangkan karena peran LSM sebenarnya sangat penting di dalam mendorong pemerintah menuntaskan satu masalah sosial. Ketergantungan warga setempat terhadap para cukong Malaysia sangat besar. Mereka ini m am pu berperan sebagai social Services provider dalam himpitan ekonomi yang dihadapi. Tak jarang m ereka membangun sarana dan p ra s a ra n a s e p e rti ja la n ra y a y an g m e n g h u b u n g k a n titik - titik di k aw asan perbatasan. Masayarakat lokal dipenuhi segala kebutuhan transportasinya, seperti mampu memiliki mobil mewah dan bermerek dengan harg a m urah dari M alaysia. M asyarakat perbatasan tidak sadar bahwa dibalik itu, para cukong telah meminta imbalan yang jauh lebih besar berupa eksploitasi sumber daya hutan y an g secara p erla h an b isa m en g an cam peradaban masyarakat perbatasan. Di balik pemenuhan materi, nyatanya masyarakat tetap saja miskin dan semakin terbelit dalam hutang yang semakin besar. Posisi yang paling lemah dalam jaring perdagangan kayu ilegal lintas batas ini memang m asy arak at lo k al/p erb atasan itu sendiri. M asyarakat perbatasan di Kalbar dan Kaltim sejatinya tidak menikmati peningkatan taraf hidup sebagaimana mestinya. Mereka tidak juga menikmati secara langsung keuntungan/selisih harga dari perdagangan lintas batas, selain menjadi sasaran penyebab hilangnya hutan. M erek a m erasak an lan g su n g k eru sak an ekosistem , m enghadapi hilangnya sum ber kehidupan dan sebagainya. K arena itu untuk
91
membangun dan memberdayakan masyarakat lokal tidak hanya sebatas penyadaran akan posisi mereka, tetapi yang penting membantu m engem bangkan kem am puan m anajem en mereka secara sederhana. Para akademisi di Kaltim mengambil sikap dan tindakan dengan mengajak masyarakat ini untuk menyadari posisi serta m em bantu m engatur lingkungan dan h a b ita tn y a (s e s u a i d e n g a n k e le s ta ria n lingkungannya dan adat di H ulu Sungai M ahakam ). Setelah siap, akan dicarikan pemodal untuk mengelola hasil hutan, sehingga yang berproduksi di lingkungan mereka adalah mereka sendiri, bukan para cukong atau pihak luar. S ik ap dari m a sy a ra k a t p e rb a ta sa n terhadap kasus perdagangan ilegal ini sepertinya tidak berharap memperoleh keuntungan lebih. Sebagai contoh, salah satu narasum ber kami yang tinggal di sekitar Sungai Nyamuk (Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan), yang dahulu bekerja dikilang Kayu di Tawao, M alaysia, m erasa tidak m endapat jam inan keuntungan besar di samping rasa ketakutan tertangkap aparat. Yang bersangkutan hanya m am pu bertahan selama 1 (satu) tahun. Kini diabekeija sebagai penyew a speedboat dari Sebatik ke Tawao yang ternyata m am pu m em berikan penghasilan yang cukup. Kenyam anan dan k e s e la m a ta n d iri ta m p a k n y a m e n ja d i pertimbangan dasar mengapa dia menetapkan p e k e rja a n se b a g a i p e n y e w a speedboat daripada sebagai pedagang ilegal. Kebijakan Malaysia disusun sedemikian rupa sehingga amat kondusif bagi pengusaha p en y elu n d u p kayu. P e n g u sa h a te rse b u t memanfaatkan aturan hukum M alaysia yang tidak membatasi pembelian kayu dengan standar apapun. Kebijakan umum tak tertulis seolaholah menyatakan “setiap batang kayu yang masuk ke perbatasan M alaysia adalah sah” . Demikian mudah kayu-kayu yang memasuki perbatasan M alaysia m endapat cukai dan selanjutnya kayu-kayu tersebut menjadi “sah” menurut hukum Malaysia.
92
Di Indonesia penegakan hukum yang lumpuh, korupsi yang eksesif dan tidak jelasnya h ak -h ak p e n g u a sa a n lah an h u tan telah mengakibatkan tingkat penebangan destruktif (legal maupun ilegal) tidak terkontrol. Sementara di M alaysia, kebijakan yang korup telah m em ungkinkan p en g u sah a m endapatkan keuntungan dari perdagangan kayu ilegal. Dengan kata lain, M alaysia dan Indonesia m enghadapi m asalah korupsi yang sama. Kecenderungan keduanya saling menuding dan menyalahkan. Kedua negara seharusnya melihat hal ini sebagai masalah yang harus disikapi secara bersama pula. Indonesia sebagai negara penjual seharusnya m elakukan perbaikan internal sebelum menyalahkan pihak luar.
Sikap Pemerintah dan Non-Pemerintah S e c a ra u m u m , d alam k o n te k s transnasional (lintas batas), masalah keamanan term asuk pertahanan w ilayah perbatasan Kalbar-Saraw ak dan Kaltim -Sabah menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Pembicaraan di tingkat bilateral menjadi tanggungjawab pihak D epartem en luar Negeri RI sebagai ujung tombak dalam melakukan pendekatan dengan pihak Malaysia. Sejauhmana pendekatan tingkat bilateral atas masalah perdagangan lintas batas ini m encapai hasil, secara sederhana bisa dipantau dari masih maraknya praktek-praktek illegal logging dan p e rd a g a n g a n n y a di perbatasan. Meski telah ada peijanjian bilateral antara Indonesia-M alaysia tentang pengaturan perdagangan dan ekonomi lintas batas (sejak 1967), nyatanya kegiatan perdagangan gelap lintas batas ini kian marak dan sulit dikendalikan. Sangat sulit m engendalikan pem ainpemainnya selama masih ada permintaan pasar gelap yang tinggi atas kayu. Dari segi pasar segalanya mengalir begitu saja, tidak melihat apakah kayu itu legal atau tidak legal. Faktor pendukungnya adalah keuntungan besar yang ditawarkan. Pem ilik modal ataupun cukong berperan sangat menentukan dalam perputaran
pasar gelap ini. Sementara, m asyarakat lokal sebagai mata rantai terbawah dan terlemah memainkan peran sebagai penebang liar. Mereka terjerat dalam gurita ilegal lewat aksi-aksi cu k o n g /p em o d al seb ag ai social Service provider, yang tak dapat dipenuhi pemerintah lokal maupun pemerintah pusat sekalipun. Pihak-pihak berwenang dan terkait di pusat seharusnya memperkuat sisi manajemen informasi dan data-data tentang pelaku ilegal yang telah banyak diberikan. Data yang dihimpun Departemen Kehutanan, misalnya, seringkali tidak ditindaklanjuti secara koordinatif dengan data-data dari instansi terkait lainnya bahkan dari LSM sekalipun. Belum ada satu gebrakan bersama di bawah kendali Pusat yang bergerak secara bilateral (dengan M alaysia), nasional, tingkat propinsi dan tingkat daerah dalam melibas kegiatan ilegal ini. Sikap pusat yang cenderung menyalahkan d a e ra h se b a g a i tid a k s e riu s di d a la m menuntaskan masalah ini sebenarnya tidak seluruhnya benar. Di daerahpun ada banyak kepentingan yang berm ain dalam upaya pencegahan ilegal diperbatasan. Apa yang s e h a ru s n y a d iu p a y a k a n p u s a t ad a la h pendekatan bilateral ke M alaysia secara terusm enerus. P em e rin tah P u sa t seh aru sn y a memainkan perannya lewat keterlibatan secara langsung dalam program Sosek Malindo (Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia) khususnya dalam hal pencegahan penyelundupan dan pengamanan wilayah perbatasan. Meski ketua tim Indonesia di Kalbar dan Kaltim berada di bawah Ketua Bappeda masing-masing, perwakilan solid pusat seharusnya juga mengikuti perkembangan dan kemajuan Sosek Malindo dengan menghadiri pertemuan sidang setiap tahunnya. Sikap pemerintah yang alergi terhadap peran penting LSM -LSM sekaliber W W F Indonesia ataupun Telapak seharusnya sudah tidak ada lagi. Artinya, memang benar telah ada proyek kerjasam a antara LSM dengan pihak pemerintah, namun hasil dari kerjasam a itu seringkali tidak direalisasikan atau dijadikan
guidance bagi pemerintah untuk menindak tegas k e ja h a ta n in i. M en tal project oriented seharusnya diakhiri dan hasil-hasil semacam pemetaan, identifikasi masalah seharusnya mulai dijadikan payung untuk memberantas mata rantai perdagangan ilegal ini. LSM semacam W W F Indonesia sangat menyambut positif ketika lembaga penelitian pem erintah seperti LIPI melakukan diskusi masalah ini dengan harapan temuan-temuan mereka bisa terakomodir oleh LIPI. Lalu peran media m assa seharusnya ju g a mendukung lewat disorotnya secara terus-menerus masalah illegal logging dan perdagangan lintas batasnya. Ini dim aksudkan sebagai tekanan terhadap pihak-pihak berwenang untuk segera menindak dan menuntaskan masalah ini secara serius. Citra yang selalu menyalahkan pihak luar, apalagi negara lain seperti Malaysia hendaknya dihentikan. Karena negara M alaysia memiliki aturan dan kebijakan sendiri terhadap masuknya kayu-kayu dari m anapun ke w ilayahnya. S e m e n ta ra In d o n e s ia tid a k se h a ru sn y a “b e rte ria k 14 dan m en y alah k an M alaysia. Perusahaan bernam a Hardwood Sdn Bhd di L ubok A ntu (S araw ak) yang b erbatasan langsung dengan Badau (Kalbar) dan Malaysian Timber Industry Board (M TIB) berlokasi di Taw ao yang b erbatasan dengan S ebatikK abupaten N unukan (K altim ) adalah dua perusahaan kayu yang memperoleh otoritas dari Kerajaan N egara Bagian Sarawak maupun Sabah untuk m elegalisasi kayu-kayu yang masuk. Karena itu sudah menjadi aturan main di pihak Malaysia, maka Indonesia tidak bisa mencampuri aturan main Malaysia. Yang bisa dilakukan adalah pem benahan diri sebagai prasyarat m utlak dalam m engatasi sem ua masalah.
Penutup dan Rekomendasi Perdagangan gelap kayu asal Indonesia ke M alaysia m erupakan bagian dari suatu rangkaian illegal logging yang teijadi di hutan-
93
hutan di Indonesia, khususnya di hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Hal ini menjadi bagian dari kejahatan yang berdampak berat atas kehidupan ekonomi dan so sia l m a s y a ra k a t s e k ita r h u ta n dan m e m p e rp a ra h k e m is k in a n dan ketidakberdayaan mereka, serta atas perusakan lanjut ekosistem dan keanekaragaman hayati di pulau-pulau itu. Kesemuanya merupakan bagian dari persoalan jangka panjang kehidupan bangsa yang sudah sangat sulit diurai dan tidak mudah lagi diselesaikan. Rendahnya law enforcement, ketidakpastian politik dan krisis ekonomi yang berkepanjangan merupakan faktor-faktor utama yang memperparah efek dari illegal logging ini Terbatasnya prasarana/sarana transportasi dan pengawasan hutan serta kondisi sosialekonom i m a sy ara k at p erb atasan san g at m endorong kegiatan illegal logging yang menguras sumber daya alam Kalbar dan Kaltim. Penegakan hukum yang lumpuh, korupsi yang eksesif dan tidak jelasnya hak-hak penguasaan lahan hutan telah m engakibatkan tingkat penebangan destruktif yang tidak terkendalikan. Banyaknya garis perbatasan Indonesia dengan M alaysia yang belum seluruhnya didem arkasi dengan je la s dan perm anen merupakan perm asalahan pertam a yang kita hadapi. Banyak patok-patok perbatasan yang dibuat telah b erg eser m asuk ke w ilayah Indonesia, atau bahkan hilang sama sekali. Perbatasan darat dengan M alaysia seringkali mengalami pergeseran atau bahkan patok-patok pembatas ini menghilang Pemerintah Indonesia harus berupaya terus m enyelesaikan penetapan lintas batas Indonesia-Malaysia ini. Sampai kini Indonesia belum memiliki undang-undang batas wilayah negara dan lem baga negara yang khusus mengatur masalah-masalah ini. Ini penting guna menekan semua aktivitas ilegal di perbatasan. Di tingkat global dan regional telah dibangun berbagai payung kebijakan untuk memungkinkan kedua negara melakukan perjanjian bilateral. Perjanjian yang bersifat sukarela ini biasanya
94
dilakukan antara negara penghasil dan pembeli kayu. Tapi sayangnya pihak Malaysia tampak masih enggan m engikuti arah ini. Bahkan M alay sia dan S ingapura belum b ersedia m e n a n d a ta n g a n i d e k la ra s i A sia u n tu k memberantas penebangan dan perdagangan liar di kawasan tersebut. K erjasam a Sosek M alindo harus juga dim anfaatkan Indonesia untuk m endekati Malaysia, dan meminta bantuan negara tetangga itu untuk bersama-sam a memberantas illegal logging. Tetapi kita harus sadar dan mengakui bahwa masalah perdagangan kayu ilegal lintas batas adalah masalah dalam negeri Indonesia, bukan masalah M alaysia; yang mencuri kayu adalah orang Indonesia sendiri, sementara pengusaha Malaysia hanya membeli kayu-kayu itu H al p en tin g yang harus m en d ap at p e n e k a n a n ia la h b a h w a p e m b a n g u n a n m en y elu ru h di daerah p erb atasan harus m en d ap at p rio ritas utam a. Ini bertujuan m en g u ran g i in se n tif pad a daerah untuk melakukan kejahatan lintas batas— termasuk p e m b a la k a n k a y u — s e k a lig u s u n tu k m enghilangkan anggapan bahwa Kalbar dan Kaltim merupakan Hinterland Malaysia. 1)
P ele m b ag aa n p erw ak ilan di daerah seberang perbatasan (Saraw ak) harus disetarakan dengan perwakilan di Sabah. Selam a ini status Konjen RI di Sarawak bersifat sebagai K antor Penghubung. D an ini seringkali menyulitkan dalam m engam bil langkah-langkah strategis atas m asalah-m asalah yang dihadapi karena tak adanya otoritas. H al ini berkaitan pula dengan alokasi anggaran yang seringkali tidak m em adai bagi K o n je n S a ra w a k . K o n je n R I ini d ih a ra p k a n m e m ilik i sta tu s p en u h sebagai perwakilan Indonesia.
2)
R u m u sa n p e m b a la k a n k ay u h a ru s diperlebar dan dim asukkan ke dalam Kejahatan Lintas Batas dan dibuatkan u n d a n g -u n d a n g n y a y an g se tin g k a t
dengan UU Pemutihan Uang, UU AntiNarkoba, UU Cybercrime, sehingga dapat d itan g an i seb a g a im a n a k e jah ata n kejahatan lintas batas lainnya. 3) Dalam sidang tahunan Sosek Malindo, pihak m asyarakat lokal m aupun LSM yang credible harus dilibatkan sebagai peserta aktif sidang dan bukan hanya sekedar sebagai pemerhati. 4)
5)
P e m e rin ta h D a e ra h b e rk e w a jib a n m engurangi p eran p em o d al/cu k o n g sebagai social Services provider yang s e la m a ini m e re k a se d ia k a n b ag i masyarakat perbatasan. Jasa-jasa sosial adalah tan g g u n g ja w a b p em erin ta h daerah dan pusat, bukan tanggungjaw ab p a s a r (c u k o n g d an p e m o d a l). P e m b a n g u n a n d a e ra h p e rb a ta s a n sebagaim ana disepakati dalam Sosek M alindo harus dilaksanakan. Di tingkat nasional, perlu dibentuk suatu badan nasional untuk pengem bangan daerah perbatasan yang berada langsung di b aw ah p re s id e n d en g an M en k o PO L K A M sebagai pelak san a harian (p e n a n g g u n g ja w a b ) dan D E P L U sebagai negosiator.
Daftar Pustaka Arlaacchi, Pino, Nations B uild Alliences to Stop Organized Crime, Global Issues, August 2001. Buku Agreement on Information Axchange
and Establishment o f Communication Procedures, K erjasam a Ind o n esia, M alaysia, Filipina pada tanggal 7 Mei 2002, di Putrajaya, Malaysia.
Buku ASEAN Declaration on Transmational Crime, tanggal 20 Desember 1997 di Manila, Filipina. Buku Program Pembangunan Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur 20032008, yang disusun oleh Pemerintahan
Propinsi Kalimantan Timur dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2002. Buku Strategi dan Konsepsi Pengembangan
Kawasan Perbatasan Negara, D epartem en Perm ukim an dan prasarana Wilayah, D irektorat Jenderal Penataan Ruang, Juli 2002. Buku Tahunan Perangkaan: Yearbook Statistics Sabah 2002, Jabatan Perangkaan Malaysia Negeri Sabah, Department o f Statistic Malaysia, 2003. Buzan, Barry, (1991), People, States and
Fear: An Agenda fo r International Security Studies in the Post Cold War era, 2ndE diton, L ondon: H arv ester W heatheaf. Doherty, Faith, (2002) “Illegal Logging in Indonesia” dan M arc A. Hiller et.al, “
Illegal Logging: A Case Study from Gunung Palung N ational Park, Indonesia : http: //www.abc.net.au/ 4comers/content/2002/timber mafia/ viewpoints/viewpoints dohertv.htm/ Dokumen Laporan Illegal Logging dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Sekretariat NCBINTERPOL, Liaison Officer Tawao. Dokumen Laporan Illegal Logging dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Sekretariat NCB1NTERPOL, Liaison Officer Tawao. Lowenheim, Oded, Transnational Criminal Organizations and Security: The Case A g a in ts in f la tin g th e T re a t, Intemational Journal, Vol. LVII, No.4/ Autumn 2002. Philips jusario Vermonte, ” Transnational
O rganized
Crime:
Isu
dan
95
Permasalahannya ”, A nalisis, CSIS, Tahun XXXI (1), 2002:45. Vermonte, Philips Jusario. ”Transnational
O rganized Crime: Isu dan Permasalahannya”, A nalisis, CSIS, Tahun XXXI (1), 2002: 45.
96
h ttp ://w w w .ek o n .g o .id /b erita/2 0 0 3 0 7 1 4 / 20030714_2.shtml http://www.liputan 6.com/fullnews/74017
Dinamika Minoritas Muslim di Amerika Serikat1 Oleh: Indriana Kartini
Abstract
The September 11, 2001 attacks against the United States has become the tragedy for American society, including muslim minority in America. In the days following September 11, many people in America points afinger at a Muslim terror suspect. Muslims and peoplefrom various ethnic who appeared to be of Middle Eastern decent become the victims of discrimination and harrasment. The tragedy of September ll'h, has become the turning pointfor Bush administration to conduct atough policy in order tofight terrorism. President George W. Bush has dramatically overreacted to the September 11 attacks. It is bitterly ironic that it was Bush ’s statements condemning “secret evidence ”policy and profiling that earned him the endorsement ofthe Muslim-American block vote in the last elections in the year 2000. However, today Bush administration expand these practices by conducting the USA PATRIOT Act with reckless abandon. The purpose ofthis research was to explore the problems faced by Muslim related to their position as minority in America and how they response to their problems.
M inoritas M uslim di Amerika Serikat merupakan sebuah fenom ena yang menarik untuk dikaji. M uslim di A m erika Serikat m erupakan sebuah kom unitas yang masih berproses menuju sebuah komunitas minoritas yang kohesif. Oleh karena itu penelitian ini berusaha menelusuri kehidupan minoritas Muslim di AS beserta problem atika yang dihadapi berkaitan dengan status kem inoritasannya. Sebelum membahas mengenai minoritas Muslim di AS, penting kiranya untuk memahami terlebih dahulu kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini. Pada hakikatnya, minoritas merupakan sekumpulan individu yang diasingkan oleh kelompok mayoritas dalam masyarakat karena memiliki karakteristik fisik dan kultural yang berbeda. Mereka memperoleh perlakuan yang tidak sama atau sederajat yang pada akhirnya
1 Tulisan ini merupakan ringkasan laporan penelitian kelompok Dunia Islam 2004, berjudul Minoritas Muslim dan Isu Terorisme di Amerika Serikat. Tim peneliti Dunia Islam beranggotakan Afadlal, Dhurorudin Mashad, Hamdan Basyar, Indriana Kartini, Riza Sihbudi, dan Sri Nuryanti.
m em baw a m e re k a pada p ro s e s pengidentifikasian diri sebagai obyek dari diskrim inasi kolektif. Salah satu sifat dari diskrim inasi adalah kecenderungan untuk m emperlakukan orang-orang yang berbeda secara sama rata (to treat unequally people equally) yakni memperlakukan setiap anggota dari kelompok minoritas seolah-olah mereka sama dengan menafikan sifat individu masingmasing.2 Minoritas juga dapat didefinisikan dalam istilah keterikatan ideologis. Oleh karena itu, m inoritas adalah orang-orang yang sistem pemikiran atau sistem nilainya berbeda - pada tingkatan yang lebih tinggi atau lebih rendah dengan mayoritas di sekeliling mereka.3* U n tu k d ap at m em aham i hubungan mayoritas-minoritas maka penting kiranya untuk memahami tujuan jangka panjang (long-run goals) dari kelompok minoritas. Louis Wirth
2J. Milton Yinger, A Minority Group in American Society, (New York: McGraw Hill, Inc., 1965), hlm. 22, 25. 3John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modem Islamic World. (Terj.) (Jakarta: Mizan, 2000), hlm. 65.
97
membedakannya dalam em pat tujuan utama, yakni asimilasi, pluralisme, secessionis, dan dominasi. Berbagai kelompok minoritas memiliki kebijakan yang berbeda-beda, namun tema utamanya adalah : m enghilangkan identitas kelompok, hanya individu yang dipertimbangkan - asim ila si; m e m p erta h an k an id e n tita s kelompok berdasarkan bahasa, agama, atau kultur dengan memegang teguh kesetiaan kepada masyarakat - pluralism; memperoleh kebebasan dengan membangun masyarakat tersendiri agar dapat mempraktekkan cara hidup sendiri tanpa adanya gangguan - secession; menghentikan dom inasi kelom pok lain dan m elakukan berbagai cara untuk m erebut status tersebut dengan cara militan jika diperlukan - dominasi. Oleh karena itu berdasarkan klasifikasi tersebut, maka kelompok minoritas di Amerika bersifat asimilasionis atau pluralistis, namun hanya gerakan Muslim kulit hitam (Nations o f Islam) yang memperlihatkan militansi dan dominasi.4 D alam rangka m ewujudkan integrasi nasional, para elit pem egang otoritas politik nasional acapkali menerapkan kebijakan untuk mengasimilasi berbagai minoritas etnis agama, atas n am a k e s a m a a a n d an k e s a tu a n . Konsekuensinya, minoritas etnis dan/atau agama yang melakukan praktek-praktek religius sosial yang dianggap tidak dapat menyesuaikan diri dengan kelompok mayoritas dipaksa untuk m engorbankan identitas etnis atau agam a mereka. Jika tidak, m ereka akan mengalami pengasingan dan diskriminasi. Sejalan dengan hal tersebut, sistem hukum dan moral/etika yang beragam dapat mengkompromikan kesamaan antar individual atau bisa saja mengarah pada penganiayaan yang dilakukan kelom pok mayoritas terhadap minoritas. Penolakan yang terjadi di negara-negara dem okrasi liberal termasuk Amerika Serikat - terhadap struktur hukum dan etika yang beragam, beranjak dari
4 Ibid., hlm. 31.
98
ketakutan akan hilangnya kekuatan monopolistik dan kontrol atas kelompok minoritas agama.5 D i seb u ah n e g a ra y an g m e m ilik i karakteristik multikultural, kebijakan asimilasi dilakukan untuk mewujudkan integrasi nasional, termasuk Amerika Serikat. Sistem asimilasi yang terjadi dalam m asyarakat A m erika dapat diklasifikasi dalam tiga teori utama, yaitu “Angloconformity”, “the melting pot”, dan “pluralisme kultural”. Teori “Anglo-conformity” pada intinya menuntut para imigran yang datang ke Amerika untuk membuang secara keseluruhan budaya leluhur mereka dan menerima perilaku dan nilainilai Anglo-saxon sebagai kelom pok utama dalam mayarakat Amerika. Sementara itu “the melting pot” didasarkan pada penggabungan biologis antara orang-orang Anglo-Saxon dengan kelompok imigran disertai peleburan masing-masing kultur menjadi sebuah kultur A m erika yang baru. S edangkan inti dari “pluralism e kultural” adalah pemeliharaan kehidupan komunal dan kultur yang signifikan d ari k e lo m p o k im ig ra n d alam k o n tek s k ew arganegaraan A m erik a dan integrasi ekonomi dan politik ke dalam masyarakat Amerika.6 Pluralism e kultural sebagai salah satu s iste m a s im ila s i b e rk e m b a n g m e n ja d i perdebatan dalam diskusi demokratik di tahun 1 9 9 0 -an d an 2 0 0 0 -a n s e irin g d en g an meningkatnya arus imigrasi ke negara-negara Barat. Di A m erika Serikat sendiri, imigrasi merupakan fenomena utama semenjak “Imigrasi B esar” tahun 1890. A m erika Serikat (juga K anada dan Australia) m erupakan negaranegara yang membuka pintu bagi para imigran dengan syarat para pendatang tersebut memiliki keinginan dan kemampuan untuk berasimilasi
5Ahmad Yousif, “Minorities and Religious Freedom : A C hallenge to Modern Theory o f Pluralism”, dalam Journal of Muslim Minority Ajfairs, Vol. 2 0 , No. 1,2000, hlm. 31. 6 Milton M. Gordon, Assimilation in American Life, the Role ofRace, Religion, and National Origin, (New York: Oxford University Press, 1964), hlm. 85.
dengan m ainstream bahasa, kultural, dan prototipe rasial di negara tersebut. Akibatnya, skala imigrasi yang meningkat di tahun 1980-an dan 1990-an kemudian m engubah kontrak Anglo-Amerika yang disepakati masyarakat mainstream selama-lamanya. Dengan adanya arus imigrasi memudahkan bagi kaum minoritas (lama maupun baru) untuk melakukan resistensi terhadap asimilasi yang diinginkan masyarakat mainstream serta menunjukkan identitas mereka secara tegas.7 Penelitian ini didasarkan pada studi kebijakan dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Beranjak dari kedua pedoman tersebut dikaji prinsip dan kebijakan pemerintah AS beserta realitas politik yang ditemukan dalam konteks minoritas Muslim. Di samping itu, untuk memperoleh pemahaman utuh dikaji pula hubungan horisontal antarelemen masyarakat, dalam hal ini minoritas Muslim dengan mayoritas masyarakat m ainstream A m erika yang juga menjadi faktor penting dalam proses pembuatan kebijakan pem erintah AS dalam konteks minoritas Muslim. U ntuk m em peroleh gam baran yang komprehensif, penelitian ini diawali dengan penelusuran data-data prim er dan sekunder melalui studi literatur. D iantaranya melalui berbagai jurnal, media massa serta media internet yang memberikan informasi penting yang dapat membantu mengidentifikasi sekaligus memetakan permasalahan yang dikaji. M inoritas M uslim di Am erika Serikat merupakan sebuah komunitas yang dinamis seiring dengan perkembangan agama Islam yang cukup pesat di negara tersebut. Hal ini terjadi karena adanya proses konversi, imigrasi, dan reproduksi dengan angka kelahiran 3,5% per tahun di atas rata-rata nasional, sehingga jumlah Muslim diperkirakan berkisar antara 5 hingga
7Robert W. Hefner (Ed.), “The Politics o f Multiculturalism : Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia”, 2001, USA : University o f Hawai’i Press, hlm. 2-3.
10 ju ta jiw a. Sem entara itu, jum lah masjid di AS berjumlah sekitar 1.209 buah. Oleh karena itu, Islam menjadi agama terbesar kedua yang dianut oleh warga AS setelah Protestan. Peluang pengembangan Islam yang cukup besar di AS didukung oleh Declaration oflndependence d an K o n s titu s i A S , k h u s u s n y a d a la m Amandemen pertama dan ke empat belas, yang kondusif bagi pengembangan agama manapun, te rm a su k Islam . D alam Declaration o f Independence A S, bangsa Amerika bersepakat bahw a : ‘‘all people are equal in the eyes o f
God and endowed by God with inalienable rights... ” S em e n tara itu d alam A m an d em en Pertama Konstitusi AS ditegaskan bahwa:
“Congress shall make no law respecting an establishm ent o f religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom ofspeech, or ofthe press; or the right ofthe people peaceably to assem ble, and to petition the Govemmentfo r a redress ofgrievances .” Kem udian dalam Amandem en k e -14 Konstitusi AS menekankan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak warga negaranya, y a k n i: “forbids States to deprive any person o f life, liberty, or property, without due process oflaw. ” Seperti halnya komunitas Muslim global, komunitas M uslim di A m erika Serikat juga bersifat heterogen. Yakni, terdiri dari beragam komunitas etnis, antara lain Afrika Amerika, Asia Selatan, Arab, Afrika, Iran, Turki, AsiaTenggara, kulit putih Amerika, Eropa Timur, dan etnis lainnya. Dalam hal ini, Muslim Afrika Amerika merupakan mayoritas dengan jum lah populasi sebesar 2.100.000 jiw a atau sekitar 42 % dari total populasi Muslim di AS.8 Berbeda dengan minoritas M uslim di Eropa, khususnya Inggris, yang tinggal di area
8Fareed H. Numan, The Muslim Population in The United States, “A Brief Statement”, December 1992.
99
ghetto (pem ukim an khusus bagi im igran M uslim), minoritas M uslim di AS tinggal di berbagai area metropolitan seperti New York, Chicago, Los Angeles. Lebih luas lagi, populasi minoritas M uslim tersebar di em pat wilayah utama, yakni dari New York hingga Washington; California, khususnya Los Angeles dan San Fransisco; wilayah segitiga dari Chicago ke Cleveland hingga Detroit; dan Texas khususnya Houston dan Dallas-Fort Worth. Daerah selatan dan utara AS hanya ditinggali oleh sedikit imigran Muslim, dengan pengecualian daerah selatan Florida dan Seattle. Kebanyakan wilayah utama ini memiliki konsentrasi Muslim dengan spesifikasi etnis tertentu. Di California dan Los Angeles terdapat banyak Muslim Iran. Sedangkan Texas didiami oleh banyak Muslim dari Asia Selatan. Sementara itu, wilayah segitiga didiami oleh M uslim Arab dan Afrika Amerika, kecuali Chicago yang banyak didiami Muslim dari Eropa Timur dari berbagai etnis, seperti Albania, Bosnia, dan Turki. KotaDetroitdidiami oleh Muslim Arab, khususnya Libanon, Iraq, Palestina, dan Yaman. Eksistensi Muslim Amerika dimulai pada abad ke-16 (1530), tatkala jutaan orang kulit hitam dari Afrika Barat yang beragama Islam didatangkan ke AS sebagai budak. Meski pada akhirnya kebanyakan Muslim Afrika tersebut meninggalkan identitas keislam annya akibat tekanan politis. Kemudian im igran M uslim pertama datang ke AS pada kurun abad k e-19 (1875), khususnya dari Timur Tengah, yakni dari Suriah, Yordania, Lebanon, dan Palestina. Gelombang kedua, berlangsung pada abad ke20 dan berhenti karena pecahnya perang Dunia H. Gelombang ketiga, teijadi pada pertengahan 1940-an dan 1960-an. Sementara gelombang keempat dimulai sekitar 1967.9 9 Jumlah imigran terbesar pada gelombang ketiga ialah orang-orang Palestina yang terusir dari negerinya akibat terbentuknya negara Israel, orang M esir di masa pemerintahan Gamal Abdel Nasser, orang Irak dan Muslim dari Eropa Timur yang bermigrasi akibat tekanan penguasa komunis. Sedangkan imigran pada gelombang keempat mayoritas adalah orang terdidik dan banyak dipengaruhi oleh budaya Barat.
100
S ekitar abad ke-20 (1913), banyak waiga Afrika Amerika berpindah agama menjadi Muslim. Kebanyakan dari mereka berpindah agam a karena terpesona oleh ajaran yang dibawa oleh Noble Drew Ali (Moorish Science Temple o f America), serta Elijah M uhammad {Nation o f Islam) yang menggelorakan gerakan pembebasan bagi warga Afrika Amerika yang selam a em pat abad m engalam i perlakuan diskriminatif dari mayoritas masyarakat kulit putih dan pem erintah Am erika Serikat. Organisasi M uslim Afrika A m erika yang pertam a kali berhasil menarik perhatian publik Amerika adalah N ation o f Islam (N O I). M e sk ip u n menggunakan istilah Islam, namun pada intinya gerakan ini bersifat nasionalisme kulit hitam yang militan dan separatis, yakni anti kulit putih dan menginginkan negara tersendiri, terpisah dari Amerika Serikat. Organisasi NOI didirikan oleh Elijah Muhammad yang mengklaim bahwa ajarannya diperoleh dari seorang misterius Imam Mahdi Farad M uhammad dan kemudian mengangkat dirinya sebagai nabi. Ia memiliki 50.000 sampai 100.000 pengikut dan didampingi orang-orang karism atik seperti M alcolm X dan Louis F arrak h an . E lija h w afat p ad a 1975 dan d ig a n tik a n o leh p u tra n y a W arith D een M uhammad. Berbeda dengan ayahnya yang b a n y a k m e n y im p an g d ari ajaran Islam sesungguhnya, W arith D een M uham m ad berusaha mentransformasikan NOI ke dalam mainstream Islam global (Sunni). Pada 1976, ia mendeklarasikan bahwa ayahnya bukanlah seorang nabi. Nama organisasi NOI kemudian diganti m enjadi “The American Bilalian Community" , la lu m en jad i “The World Community o f Islam in the West” dan pada tahun 1980 diganti lagi menjadi “The American Muslim Mission”. Namun, pada tahun 1977 Louis Farrakhan menghidupkan kembali NOI y an g te ta p s e tia k e p a d a a ja ra n E lija h Muhammad.
Hubungan Minoritas-Mayoritas Meskipun eksistensi Muslim di AS telah ada selama berabad-abad lamanya, bahkan disinyalir bahwa Islam hadir sebelum kedatangan Colombus, namun hingga kini masyarakat Muslim masih belum diakui sebagai sebuah entitas minoritas yang membentuk komponen bangsa Amerika. Prinsip melting pot yang dianut dalam tataran pemerintah sebagai wadah pembentukan bangsa Amerika pada akhirnya menghasilkan hegemoni Anglo-Saxon sebagai etinisitas asli yang memonopoli ikatan primordial dalam pembentukan negara Amerika Serikat. M eskipun dalam perkem bangannya muncul pula wacana pluralisme kultural atau salad bowl dalam tataran masyarakat yang memberi ruang bagi eksistensi etnisitas non Anglo-Saxon (m in o rita s ), n am u n p ad a ken y ataan n y a kaum m in o ritas itu harus mengorbankan etnisitas aslinya dan melebur ke d alam k u ltu r h e g e m o n A nglo-Saxon. Amerikanisasi menjadi sebuah pilihan yang wajib diikuti bagi kaum minoritas jika ingin tetap eksis. H al tersebut tentu berlaku p u la terhadap masyarakat M uslim sebagai salah satu entitas m inoritas di A m erika. M esk ip u n dalam kenyataannya, pem erintah A m erika nam pak enggan m em berikan label m inoritas bagi masyarakat Muslim (juga minoritas lain), karena hal ini akan berakibat pada pengakuan atas hak-hak kaum minoritas yang dikhawatirkan akan m eredusir h ak-hak istim ew a kaum mayoritas Anglo-Scvcon. Dengan ungkapan lain, pemerintah AS memberikan kesempatan bagi M uslim untuk eksis dan berkem bang dengan pengakuan hak-hak minoritas yang dibatasi. Sementaraitu, MuslimAfrika Amerika di AS m eru p ak an elem en sig n ifik a n b ag i pembentukan komunitas M uslim di Amerika. Berbeda dengan komunitas m uslim lainnya, eksistensi m uslim Afrika Am erika tidak bisa dilepaskan dari sejarah perbudakan di Amerika. Oleh karena itu m unculnya gerakan-gerakan atau organisasi-organisasi M uslim A frika
Amerika dipahami sebagai reaksi atas inferioritas yang dipaksakan oleh masyarakat kulit putih Anglo-Saxon. Ide separasi pada akhirnya muncul dan menjadi impian bagi sebagian Muslim Afrika Amerika untuk dapat hidup independen terpisah dari masyarakat hegemon kulit putih yang rasis. Namun, dalam kenyataannya ide separasi kulit hitam hanyalah sebuah utopia. Meski demikian, pemerintah dan masyarakat Amerika tidak memandang masyarakat Muslim kulit hitam sebagai sebuah entitas tersendiri, melainkan tetap menjadi bagian dari kaum m in o ritas k u lit hitam . B ah k an , terd ap at kecenderungan bahwa mereka tidak dipandang sebagai bagian dari entitas minoritas Muslim.
Problematika Minoritas Muslim Peluang pengem bangan Islam di AS memang cukup besar, namun, tantangan yang dihadapi umat Islam di AS jauh lebih besar. Tantangan yang datang dari luar ialah falsafah negara AS itu sendiri yang menganut paham sekuler yang memisahkan antara agama dengan urusan negara. Agama kemudian diredusir ke dalam lingkup ‘privat’ atau hanya merupakan urusan pribadi. Filosofi individualistis ini bertentangan dengan filosofi yang dianut oleh masyarakat Muslim Amerika, dan juga Muslim di seluruh dunia yang lebih berorientasi kolektif, bahwa agama bukan hanya menyangkut urusan pribadi tapi juga publik secara keseluruhan. Inilah realita yang menghimpit umat Muslim di Amerika. Mereka harus menanggung beban sebagai kelompok masyarakat yang terus ditatap dengan penuh kecurigaan. Sehingga begitu ada pemicu, langsung berubah menjadi aksi teror yang nyata. Hal ini tentu saja teijadi karena ketidakpahaman mayoritas masyarakat non Muslim AS mengenai Islam. Dan itu teijadi karena mereka amat minim menerima informasi tentang Islam. Kalaupun ada, informasi yang diterima banyak tidak benarnya. Misalnya saja, sisw a-sisw a SM A di A m erika diharuskan membaca buku wajib yang di dalamnya terdapat
101
penjelasan tentang Islam yang ngaw ur dan berbahaya, seperti di bawah ini: “Islam didirikan oleh seorang pedagang kaya berkebangsaan Arab bernama Muhammad. Dia mengaku dirinya seorang nabi, dan diikuti oleh orang-orang Arab lainnya. Kepada para pengikutnya, Muhammad menjelaskan bahwa mereka telah dipilih (oleh Tuhan) untuk memimpin dunia.”10*1 Selain itu, mereka cenderung memandang Islam secara m onolitik dan m engabaikan perbedaan aliran yang ada dalam Islam. Bagi mereka, Islam yang dianut oleh raja-raja di negar Arab dan Ayatollah di Iran itu tidak ada bedanya, karena sama-sama menghadap Mekah ketika shalat dan keduanya menganut paham teokrasi dan negara-negara kaya minyak. Dan bagi mereka, Islam merupakan ancaman global yang potensial, sama halnya dengan komunis di era Perang Dingin.
American political organizations: CAIR, the American Muslim Alliance (AMA), theAmerican Muslim Council (A M C), dan the Muslim Political Action Committee (MPAC). Pada Februari 1996 - atas upaya lobi organisasi Islam - untuk pertama kalinya dalam sejarah AS, Ibu N egara A m erika H illary Rodham Clinton m engadakan jam uan makan malam untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri di White House. Bagi masyarakat Muslim AS, peristiwa tersebut merupakan sebuah kemenangan publik yang signifikan. Masyarakat Muslim AS juga berupaya memberikan kontribusi dalam pemilihan umum di AS. Misalnya saja, ketika warga Muslim/Arab Amerika memberikan bantuan dana kampanye bagi kandidat-kandidat politik seperti Wilson Grade (pemilihan walikota, 1983), Robert Neall (pemilihan anggota Kongres, 1986), Joseph
Bagi warga Muslim Amerika yang telah berulang kali mengalami pengalaman pahit, peristiwa 11 September 2001 kemudian menjadi media klarifikasi diri bahwa Amerika adalah rumah m ereka dan tem pat bernaung kepentingan mereka. Peristiwa tersebut juga menyadarkan kembali rasa tanggung jaw ab kaum M uslim m oderat untuk m elaw an secara aktif para ekstrimis walau hanya dalam bentuk retorika. U paya lain yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman yang lebih baik kepada warganon Muslim AS mengenai Islam yang tidak mereka pahami. Selain itu, beberapa pemimpin M u slim ju g a b e ru p a y a u n tu k m em b eri pemahaman kepada komunitas M uslim yang selama ini terisolasi, mengenai hak dan kewajiban masyarakat sipil di AS dan untuk bersentuhan dengan kehidupan sosial di AS. S e b e n a rn y a , u p a y a u n tu k d a p a t bersentuhan dengan kehidupan bernegara di AS, terutama dalam kehidupan politik telah dilakukan oleh beberapa organisasi Islam diantaranya the
Kennedy (pemilihan anggota Kongres, 1986), Walter Mondale (pemilihan presiden, 1984), dan Hillary Clinton (pemilihan anggota Kongres, 1998). Pada pemilihan presiden tahun 2000, sekitar 70% hingga 90% masyarakat Muslim memberikan hak votingnya kepada George W. Bush. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu AS, masyarakat Muslim menggunakan hak votingnya dalam jumlah besar, yakni sekitar 34% dari total voting di AS. Masyarakat Muslim berhasil menciptakan blok suara bagi kemenangan Bush. Walaupun terdapat pengakuan simbolik dari Presiden Bush dan pejabat pemerintahan lainnya kepada komunitas Muslim, tetapi bukan berarti masyarakat Muslim AS telah diakui secara utuh. Tantangan terbesar yang masih dan akan terus dihadapi masyarakat Muslim AS adalah menjadi bagian dari institusi mainstream Amerika. Mayoritas masyarakat Muslim Amerika masih berada di luarmainstreampolitikAS. Seperti yang diungkapkan oleh tokoh Muslim AS, Salam AlM aray ati: “We’re not at the table yet. We still
Coordinating Council o f the four Muslirn-
have to eam our right to sit at the table.
10 Steven Barboza, Jihad Gaya Amerika, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 39.
11 E lise Aym er, ”The A m erican M uslim P o litica l Renaissance”, dalam http://www.yale.edu.com
102
M u slim d a n Isu T ero rism e
Stereotip mengenai Islam yang radikal, ekstrim, dan teroris memang telah lama melekat dalam benak sebagian b esar m asyarakat Amerika. Hal ini diperkuat oleh peran media massa di AS yang seringkali menampilkan citra Islam yang negatif. Dari berbagai peristiwa kekerasan nasional di AS, M uslim senantiasa menjadi tertuduh utama. M isalnya, dalam p e ristiw a p ele d a k a n g ed u n g fe d e ra l di Oklahoma City, pada tahun 1995, media-media di AS menggiring opini publik bahwa peledakan tersebut dilakukan oleh teroris Islam, meski akhirnya pelaku peristiw a tersebut adalah seorang kulit putih, Timothy McVeigh. Tatkala tragedi 9/11 terjadi, M uslim kembali harus menelan pil pahit, yakni menjadi sasaran kem arahan w arga A S, m engingat pelaku penyerangan gedung WTC dan Pentagon pada 11 September 2001 disinyalir dilakukan oleh kelompok Al Qaida pimpinan Osama bin Laden yang beragam a Islam. Sebagai respon atas tra g e d i te rs e b u t, p e m e rin ta h AS m engeluarkan k eb ijak an d o m estik yang dirasakan merugikan warga minoritas Muslim. Pada 26 Oktober 2001, Presiden Bush mengeluarkan kebijakan “the USA PATRIOT
Act” (the Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act) yang memberi wewenang kepada lembaga eksekutif untuk menahan imigran (yang dicurigai terlibat aksi teroris) dalam jangka waktu lama bahkan ta k te rb a ta s . P a d a 4 D e s e m b e r 2 0 0 1 , pemerintah AS juga menutup lembaga-lembaga amal Muslim seperti the Holy LandFoundation for Relief and Development (HLF), Global Relief Foundation (GRF) dan Benevolence International Foundation (B IF ) dengan tuduhan menyalurkan dana kepada kelompok HAMAS Palestina. Pemberlakuan PATRIOT Act dengan dalih dem i keam anan d om estik AS pada akhirnya membawa ekses yang membahayakan
kem erdekaan dan kebebasan sipil rakyat A m erika. Sikap curiga yang ditunjukkan pemerintah AS juga berkorelasi dengan sikap sebagian masyarakat AS. M isalnya, seorang warga AS menelepon polisi untuk mengintai seorang warga berwajah Timur Tengah, yang tengah membaca artikel di surat kabar mengenai Osam a bin Laden di perpustakaan umum di Florida. Laila al-Arian, staf majalah Washington
R eport
on
M iddle
East
A ffairs,
m engungkapkan dalam sebuah pertem uan tahunan organisasi American Muslim Alliance pada 25 Septem ber 2004, bahw a M uslim AS merupakan target utama kebijakan PATRIOT Act. Apalagi ayahnya Prof. Sami Al-Arian juga menjadi korban dari kebijakan tersebut, di mana ayahnya ditangkap di hadapan anak-anaknya di tengah malam. Dan pemandangan ini teijadi di seluruh AS, bahkan sudah m enjadi trend. Apalagi, Jaksa Agung AS, John Ashcroft dalam sebuah konferensi pers juga menuding Muslim sebagai pelaku utama setiap teror. K e b ija k a n p e m e rin ta h AS u n tu k membatasi hak-hak sipil warga Muslim ternyata didukung pula oleh m ayoritas w arga AS. Berdasarkan hasil polling di AS menunjukkan bahw a 44 persen responden menginginkan adanya pembatasan dalam sejumlah hak-hak sipil w arga M uslim A m erika, 48 persen responden malah menginginkan pembatasan itu dilakukan dalam semua aspek. Selain itu, 27 persen responden menyatakan setuju apabila warga Muslim diharuskan melaporkan di mana ia tinggal pada pemerintah federal. Sekitar 22 persen mendukung adanya penyelidikan tentang asal-asul warga Muslim untuk mengindentifikasi potensi ancaman serangan teroris, dan 29 persen responden berpendapat perlu adanya agen-agen yang menyamar yang masuk ke dalam komunitas M uslim , serta p em b en tu k an o rg an isasiorganisasi yang secara sukarela memantau aktivitas dan penggalangan dana oleh warga Muslim.12 12 Lihat, http://www.eramuslim.com, 30 Desember 2004.
103
Selain itu, pemerintah AS juga mencegah beberapa tokoh aktivis perdamaian, akademisi, bahkan penyanyi Muslim asing untuk memasuki w ila y a h A m e rik a . P a d a 28 Ju li 2 0 0 4 , Departemen Keamanan D alam Negeri AS, melarang intelektual Islam terkemuka, Tariq Ramadan untuk memberi kuliah di Universitas Notre Dame. Ramadan, seorang tokoh reformis Islam Eropa, dilarang masuk ke Amerika dengan dalih dem i kem anan n asional tan p a ada penjelasan lebih lanjut. Tokoh Muslim lainnya yang dilarang masuk ke AS adalah seorang aktivis perdamaian asal Inggris, YusufIslam, yang sebelumnya terkenal sebagai penyanyi dengan nama Cat Stevens di era 70-an. Yusuf Islam dan putrinya terbang dengan menggunakan pesawat United Airlines dari London menuju Washington, D C , pada 21 S ep te m b er 2004. N am un, sebelum pesawat mendarat, petugas keamanan transportasi AS mencegah pendaratan pesawat tersebut dan meminta pesawat tersebut untuk mengubah arah dari Washington menuju Bangor, M aine. Yusuf Islam kemudian ditahan dan dikembalikan ke London keesokan harinya. T in d ak an p em e rin ta h AS te rse b u t mengundang kecaman keras dari organisasiorganisasi Muslim di AS. Mereka beranggapan bahwa perlakuan pemerintah AS terhadap tokoh Muslim moderat seperti Yusuf Islam layaknya seorang pelaku kriminal atau teroris, tanpa adanya surat perintah penangkapan, justru membawa pesan yang salah dan mengganggu dunia Islam. Karena hal ini dapat diartikan bahwa tokoh-tokoh M uslim yang mem bawa pesan damai sekalipun juga dianggap membahayakan keamanan domestik AS. Direktur Eksekutif the
Council on Am erican-lslamic Relations
M u slim d a n P e m ilih a n P re sid en A S
Sebagai sebuah kom unitas, M uslim memiliki potensi besar untuk menjadi sebuah kekuatan sosial di AS. A ktivism e politik komunitas M uslim perlahan mulai bangkit. Berbagai organisasi Muslim yang bertujuan untuk m em ajukan p o sisi ta w ar M uslim dalam k e h id u p a n p o litik di AS b e ru s a h a membangkitkan kesadaran politik Muslim untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum di AS. Seperti yang dilakukan oleh The Political
Action Committee ofthe American Moslem Political Coordination Council (AMPCCPAC) yang m enyerukan kepada komunitas Muslim Amerika untuk memilih George W. Bush dalam pem ilu presiden tahun 2000. Dalam kesempatan tersebut M uslim AS memberikan blok suara yang memuluskan jalan bagi George W. Bush menaiki kursi presiden AS. L an g k a h te rs e b u t d ia m b il setelah AM PCC bertemu dengan George W. Bush di Detroit. Dalam pertemuan tersebut Bush beijanji akan m em perhatikan kepentingan M uslim berkaitan dengan isu domestik dan luar negeri. Sementara saingan Bush dari Partai Demokrat, Al Gore justru membatalkan pertemuannya dengan pem impin AMPCC. Meski selama kam panye pem ilu presiden, peran M uslim diabaikan oleh Al Gore dan hanya memperoleh sedikit atensi dari Bush, namun pada akhirnya M uslim AS m enjatuhkan pilihannya kepada Bush. Hal ini terjadi karena pernyataan Bush dalam debat capres yang menentang kebijakan “secret evidence” di m ana M uslim menjadi target utama dari kebijakan tersebut.14Hasilnya mengejutkan, sekitar 2,3 juta atau 72% dari total
(CA IR) N ihad Awad, pada 22 Septem ber 2002, menegaskan : “It doesn ’t help our war
on terror, It makes it harder. This is not the way to win the hearts and minds o f Muslims worldwide. ”13
13 Lihat, Delinda Curtiss Hanley, “Muslim Promises a Whirlwind o f Activity to Get Out the B loc Vote on
104
Election Day”, the Washington Report on Middle East Affairs, November 2004, hlm. 32. 14Bagi Muslim AS, kebijakan secret evidence merupakan isu utama, sehingga pernyataan Bush tersebut dianggap sebagai janji untuk melakukan tindakan korektif jika Bush terpilih menjadi presiden AS. Dan, pernyataan Bush tersebut cukup memotivasi warga Muslim untuk datang ke tempat-tempat pemungutan suara dan memberikan suara mereka bagi Gubernur Texas tersebut.
suara M uslim A m erika diberikan kepada G eorge W. Bush. O leh karena itu, dapat diungkapkan bah w a b lo k su ara M uslim merupakan kunci bagi kemenangan Bush. Namun, ironisnya, pasca peristiw a 11 September 2001, kebijakan secret evidence yang sebelumnya dikecam oleh Bush justru d ip ra k te k k a n s e c a ra in te n s if di m a sa pemerintahan Bush. Bush kemudian memperluas p e n g g u n a a n secret evidence d en g an mengeluarkan kebijakan PATRIOT Act, karena m enurut Bush, kebijakan secret evidence kurang efektif dalam hal perang melawan terorisme. Oleh karena itulah, pada saat menjelang pemilihan presiden AS tahun 2004, perdebatan di kalangan M uslim b erk isar pada siapa kandidat presiden yang akan dipilih oleh Muslim Amerika. Dan, apakah akan ada blok suara Muslim seperti halnya teijadi dalam pemilihan presiden tahun 2000, di m ana suara M uslim diberikan kepada George W. Bush. Pertanyaanpertanyaan tersebut menjadi bahan diskusi dalam konvensi ke-41 Islamic Society ofNorth America (ISNA) yang diselenggarakan pada Hari Buruh di Chicago, Illinois. Permasalahan tersebut menjadi perdebatan hangat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh the American
Muslim Taskforce on Civil Rights and Elections (AMT). AMT merupakan organisasi yang memayungi beberapa organisasi Muslim seperti the Am erican Alliance (A M A ),
Council on American-Islamic Relations (CAIR), Islamic Society o f North America (ISNA), Muslim Alliance ofNorth America (MANA), Muslim American Society (MAS), Muslim Public Affairs Council (M PAC), Muslim Student Association-National (MSAN), Project Islamic Hope (PIH), dan United Muslims o f America (UMA). T u ju an d ari A M T a n ta ra lain : 1) mengupayakan hak-hak sipil dan hak asasi manusia menjadi agenda utama setiap presiden AS; 2) membangun koalisi hak-hak sipil nasional yang bertahan untuk jangka waktu yang lama;
3) memberi tekanan kepada kandidat presiden, k h u su sn y a dari p a rta i D e m o k ra t u n tu k mendukung pengakuan hak-hak sipil bagi seluruh warga AS; 4) memobilisasi blok suara yang lebih luas, terdiri dari Muslim, Kristen Arab, serta para p e n d u k u n g P a rta i H ija u , L ib e rta ria n , In d ep en d e n , dan la in n y a d alam ran g k a memberikan dukungan kepada kandidat yang pro hak-hak sipil.15 J ik a d a la m p e m ilih a n p re s id e n sebelumnya, partai Republik dan Dem okrat hanya memberi sedikit atensi terhadap komunitas Muslim yang kuat di AS, maka dalam pemilihan presiden tahun 2004, kedua partai tersebut berupaya untuk merebut suara M uslim bagi kemenangan kandidat masing-masing. Apalagi, komunitas M uslim dan Arab banyak yang bermukim di wilayah-wilayah perebutan suara seperti di negara bagian Florida, Ohio, Michigan, dan Pennsylvania. D itam bah lagi dengan munculnya inisiatif dari AMT untuk membentuk koalisi hak-hak sipil nasional yang dapat menghasilkan blok suara pendukung hak-hak sipil dari sekitar 10 juta pemilih Muslim. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan tersebut, partai-partai besar di Amerika seperti Republik dan Demokrat berupaya menarik simpati para pemilih Muslim. Misalnya saja, dalam konvensi ke-41 ISNA, masing-masing partai membangun stand yang diberi nama “Muslims for Bush” dan “M uslim s for K erry” . Selain itu, ada pula sejumlah M uslim yang menjadi pendukung kandidat Independen, Ralph Nader. Berdasarkan hasil polling dari Zogby Intemational, diperoleh angka sekitar 76 atau 77 persen M uslim A m erika m em berikan dukungannya kepada kandidat Demokrat, John Kerry.16Namun demikian, di dalam komunitas
'5Lihat, Lisette Poole, "American Muslims Strategize Presidential Endorsement”, the Washington Report on Middle East Affairs, November 2004. '6Lihat, Delinda Curtiss Hanley, “Muslim Promises
the Washington R eport on
M iddle East Affairs,
November 2004, hlm. 32.
105
Muslim sendiri masih timbul perdebatan internal mengenai kandidat mana yang layak didukung oleh M uslim. Hal ini disebabkan kandidat Demokrat John Kerry kurang memiliki ketegasan sikap dalam hal pengakuan hak-hak sipil yang m erupakan agenda perjuangan kom unitas M u slim A m erik a . M en g en ai k e b ija k a n PATRIOT Act yang ditentang oleh komunitas M u slim , Jo h n K e rry te ta p m e n d u k u n g pem berlakuan k eb ijak an te rseb u t m eski menjanjikan akan melakukan modifikasi atas beberapa ketetapan. Hal ini menunjukkan bahwa alternatif yang diajukan Kerry tidakjauh berbeda dari kandidat partai Republik. Namun demikian, tampaknya komunitas Muslim pada akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada kandidat Demokrat, John Kerry. Hasil survei lain yang dilakukan organisasi muslim Amerika yang besar, Council on AmericanIslamic Relations (CAIR), juga menunjukkan mayoritas komunitas Muslim mendukung John Kerry dalam pemilihan Presiden tahun 2004. Survei tersebut dilakukan dengan mengirim daftar pertanyaan kepada pelanggan e-mail mereka. Dari semua responden, 54 persen mengatakan mereka akan memilih Kerry dalam p e m ilih a n p re sid e n . S e k ita r 26 p e rse n m engatakan m ereka akan m em ilih calon independen Ralph Nader, seorang keturunan Libanon. Hanya 2 persen yang menyatakan akan memberi suara kepada Presiden Bush. Hampir separuh responden mengatakan bahwa mereka telah mengalami suatu bentuk diskriminasi sejak terjadinya tragedi 9/11.17
Penutup Minoritas Muslim di Amerika merupakan sebuah komunitas yang dinamis. Sebagai sebuah komunitas, Muslim Amerika merupakan sebuah m osaik yang terd iri dari berag am etnis.
17 http://www.voanews.com /indonesian/Archive/a-200407-01-3-1.cfm, IJuli 2004.
106
Perkembangan Islam yang pesat di Amerika menjadi m enjadikan komunitas M uslim di Amerika sebagai sebuah kekuatan sosial yang p o te n sial. N am un d em ik ian , k u ran g n y a pem ahaman antar komunitas muslim, masih menjadi kendala internal yang menghambat kesatuan umat Islam di Amerika. Oleh karena itu, langkah m enuju bersatunya komunitas Muslim tersebut sangat penting dilakukan demi memperkuat kohesivitas minoritas M uslim sebagai sebuah kek u atan sosial m aupun kekuatan politik di Amerika. Sementara itu, hubungan antara minoritas Muslim dengan mayoritas masih diwarnai oleh k u ran g p ah am n y a m a sy ara k at A m erik a mengenai Islam. Stereotip mengenai Islam yang seringkali dikaitkan dengan terorism e masih diyakini oleh sebagian masyarakat Amerika. Hal ini tercermin dengan dukungan sebagian besar m asyarakat A m erika terhadap kebijakan pemerintah AS yang membatasi hak-hak sipil minoritas M uslim. Oleh karena itu, agenda u ta m a m in o rita s M u slim ad alah memperjuangkan pengakuan hak-hak sipil dan hak asasi m anusia bagi seluruh masyarakat Amerika tanpa kecuali. Hal ini penting mengingat kom unitas M uslim telah lam a mengalam i perlakuan diskrim inatif, khususnya pasca terjadinya tragedi 9/11. B e rd a sa rk a n p ertim b an g a n itu lah , mayoritas Muslim mendukung kandidat pesiden dari Partai D em okrat, John K erry dalam pemilihan Presiden yang dilaksanakan pada 2 N o v e m b e r 2 0 0 4 . K e b ija k a n d o m e stik pemerintahan Bush, khususnya pemberlakuan PATRIOT Act, dirasakan merugikan komunitas Muslim, sehingga dukungan Muslim bagi Bush dalam pem ilihan presiden tahun 2000 kini dialihkan kepada Kerry. Namun, hasil pemilihan p resid en A m erik a S erik at m enunjukkan kem enangan di pihak Geroge W. Bush. Oleh karena itu, tampaknya peijuangan Muslim untuk m e m p e ro le h k e s e ta ra a n h a k -h a k sip il, tampaknya masih panjang dan berliku.
Daftar Pustaka A ym er, E lis e , 'T h e A m e ric a n M u slim Political Renaissance” , dalam http:// www.yale.edu.com. B arb o za, S tev en . Jih a d G ay a A m erika. Bandung: M izan, 1996. Esposito, John L. The Oxford Encyclopedia o f the Modem Islamic World, (terj.) Jakarta: M izan, 2000. Gordon, Milton M. Assimilation in American
Life, the Role o f Race, Religion, and National Origin. New York : Oxford University Press, 1964. H efner, R obert W. (Ed.), T he P olitics of M u ltic u ltu ra lis m : P lu ra lis m and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, U S A : University of H aw ai’i Press, 2001. Hanley, Delinda Curtiss “M uslim Promises a Whirlwind of Activity to Get Out the Bloc
Vote on E lectio n D a y ” , dalam the
Washington Report on Middle East Affairs, N ovem ber 2004. Numan, Fareed H. The M uslim Population in The United States, A Brief Statement, Decem ber 1992. Y inger, J. M ilton. A M inority Group in American Society. New York: McGraw Hill, Inc., 1965. Yousif, Ahmad. “M inorities and Religious F reedom : A C hallenge to M odern Theory of Pluralism ” , dalam Journal o f Muslim Minority Affairs, Vol. 20, No. 1,2000. http://w w w .eram uslim .com , 30 D esem ber 2004.
http://w w w .voanew s.com /in d o n esia n / Archive/a-2004-07-01-3-1.cfm, 1 Juli 2004.
107
M em bongkar K eterlibatan Pejabat-Pejabat AS dalam Serangan 9/11 Oleh : Rosita Dewi
Review Buku Judul
: The New Pearl Harbor : Disturbing Question about the Bush Administration
and 9/11 Penulis Penerbit Tebal Buku
: D avid Ray Griffin : Olive Branch Press, 2004 : XXV + 214 halaman
Abstract
The attacks of September ll'h, 2001 (9/11) have often compared with the attacks of Pearl Harbor because the American response to 9/11 attacks is similar with American response to Pearl Harbor. But actually these comparison is unjustified, because both events are in different conditions, and the attacks of 9/11 seems to be deliberated event. Because so many evidence pointed out to complicity ofthe US official in 9/11 attacks. There are at least eight possibilities ofthe US official complicity. These possibilities can be understood in many ways, several of them did not involved and several of them are involved in active planning. Banyak spekulasi bermunculan dengan adanya tragedi 11 septem ber 2001 (9/11), di mana peristiwa tersebut mencengangkan dan m em buka m ata dunia. B anyak kalangan mengklaim bahwa peristiw a ini merupakan kejahatan mumi yang dilakukan oleh para teroris yang tidak menyukai keberadaan Am erika Serikat (AS) sebagai negara super power dan karena neg ara terseb u t m en g u su n g asas kebebasan. O sam a bin L aden bersam a kelom pok al-Q aeda sebagai satu-satunya tersangka utama, melakukan serangan tersebut karena kebenciannya terhadap AS seperti dalam pidato Bush yang menyatakan bahw a AS menjadi sasaran serangan bagi para teroris karena terlanjur menjadi lambang kebebasan dunia. Namun tidak kalah banyak juga, kalangan yang tidak sependapat bahw a tragedi 9/11 mutlak tindakan dari jaringan teroris yang dikaitkan dengan al-Qaeda.
Pasca tragedi 11 september ini muncul 3 p en d ek atan terh ad ap p eristiw a terseb u t. Pertama, orang atau negara yang percaya bahwa peristiwa di New York tersebut dilakukan oleh kelompok Islam radikal atau dalam bahasa Barat disebut dengan Islam fundamentalis. Kedua orang atau negara yang m elihat peristiw a tersebut sebagai sebuah fakta yang lebih percaya pada teori konspirasi. Bagi kalangan ini peristiwa 9/11 dilakukan sendiri oleh antek-antek AS. Ketiga, orang atau negara yang mengambil posisi ambivalen, yaitu mengutuk peristiwa tersebut, tetapi kebijakan atau pendapat m ereka tetap tidak jelas.1 Terdapat kem ungkinan bahw a teori konspirasi berlaku untuk mengkaji peristiwa 91 11. Hal ini terlihat dari beberapa fakta dan bukti
1 Lihat www.Islamlib.com/id/index.php?page=article&id=414
109
fisik yang ditem u k an di lap an g an yang melemahkan kebenaran hasil investigasi yang telah dilakukan oleh investigator AS. Bahkan hasil tersebut menunjukkan adanya keterlibatan
saja nam un seluruh negara dan AS sebagai pemimpin utamanya. Dalam beberapa hal, analog ini tidaklah memadai karena kedua peristiwa tersebut teijadi
dari pejabat-pejabat tinggi AS baik itu pejabat Gedung Putih, Pentagon atau agen intelijen AS (FBI dan CIA) dalam serangan 9/11. Untuk semakin memperjelas uraian diatas tentang bagaimana bentuk keterlibatan pejabatpejabat AS, dapat kita lihat dengan mencermati kejanggalan-kejanggalan yang m uncul pada peristiwa 9/11. Dari buku yang berjudul “ The New Pearl Harbor” yang ditulis oleh Day Griffin terbitan Olive Branch Press tahun 2004 b an y ak m e n g u ak te n ta n g k e ja n g g a la n kejanggalan dalam serangan 9/11. Dan dari buku setebal 214 halaman itu dapat dicermati beberapa kem ungkinan bentuk keterlibatan pejabat-pejabat tinggi AS.
dalam kondisi yang jelas berbeda, sehingga analogi ini terlalu berlebihan. Sementara itu, dilihat dari pelaku kedua peristiwa tersebut juga sangat berbeda, pelaku Pearl Harbor adalah negara besar dengan kemampuan ekonomi dan militer yang sangat kuat dan berambisi untuk menguasai Asia Tenggara. Hal ini jelas berbeda dengan pelaku 9/11 yang hanya 19 orang dari beberapa ribu anggota militan dengan dana terbatas. Dari uraian diatas, dapat kita lihat bahwa analogi tersebut memang sengaja diciptakan u n tu k m e m b a n g k itk a n em o si d en g an menekankan bahwa peristiwa 9/11 adalah suatu kejahatan sangat keji terhadap suatu negara yang tidak berdosa (AS) dan akan menjadi ancaman bagi negara lain jika dibiarkan. Pemerintah AS menganggap bahwa perlu adanya pembalasan terhadap pelaku kejahatan tersebut, meskipun sasaran serangan tidakjelas. Hal ini jugalah yang akhirnya menjadi tumingpoint bagi serangan AS terhadap Afganistan dan Irak sebagai bagian dari kebijakan war against terrorism.
The New Pearl Harbor Perbandingan yang digunakan untuk mengkaji serangan 9/11 yang terjadi di AS adalah serangan Jepang terhadap Pearl Harbor, bahkan serangan 9/11 sering disebut dengan the new Pearl Harbor. P erb an d in g an kedua peristiw a ini m enim bulkankan pertanyaan mengapa serangan 9/11 dianalogikan dengan Pearl Harbor? Bahkan muncul pernyataan di majalah Times (14 September 2001), “tidak ada hari tanpa kekejian. Mari kita memandang Pearl H arbor sebagai sebuah kejahatan yang utuh terhadap bangsa Amerika.”2Analogi tersebut sebenarnya digunakan karena melihat respon dari orang-orang Amerika. Respon tersebut sama dengan respon ketika peristiw a Pearl Harbor terjadi. Hal ini juga dilihat dari respon pemerintah A m erika Serikat yang langsung m engerahkan kekuatan m iliternya hingga mengeluarkan doktrin “war against terrorism. ” Kebijakan tersebut tidak hanya menyangkut AS
2 Lihat Rahul Mahajan, Perang Salib Baru : Amerika Melawan Terorisme atau Islam? (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm.13-15.
110
Di Balik Serangan 9/11 Peristiwa 9/11, yang sering disebut-sebut s e b a g a i New P earl H arbor, m em an g m erupakan peristiw a yang menggemparkan seluruh dunia dan tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. N am un apakah benar tindakan tersebut mumi hasil tindakan dari teroris? Dalam sistem keamanan AS yang cukup kuat dan ketat, sepertinya hal tersebut tidak mungkin dapat sukses tanpa adanya campur tangan dari pejabat AS, baik itu pejabat Gedung Putih, Pentagon maupun agen rahasia AS. Keterlibatan tersebut tidak harus ikut serta dalam perencanaan serangan 9/11, namun dapat juga hanya dengan m e m a s tik a n s e ra n g a n te rs e b u t su k se s dilaksanakan oleh kelompok lain - dalam kasus
ini adalah al-Q aeda - tanpa adanya upaya pencegahan terhadap serangan tersebut. D alam buku ini d ap at k ita lih at 8 kem ungkinan ben tu k-bentuk keterlibatan pejabat-pejabat tinggi AS dalam mensukseskan serangan 9/11. Pejabat tersebut kita bedakan menjadi 3 yaitu pejabat Gedung Putih, pejabat Pentagon dan pejabat dalam agen rahasia (CIA dan FBI). Kemungkinan pertama adalah bahwa pejabat AS memang tidak terlibat dan tidak mengetahui serangan tersebut. Kedua, serangan tersebut memang sesuatu yang diharapkan oleh agen rahasia AS. Mungkin agen ini tidak terlibat secara ak tif dalam p eren can aan , nam un mengijinkan dan m em astikan tidak akan ada pencegahan terhadap serangan tersebut. Ketiga, agen AS (bukan pejabat Gedung Putih) memang mengharapkan peristiw a tersebut terjadi dan mereka telah mengetahui dengan pasti waktu dan tem p at seran g an akan d ilan cark an . Keempat, agen AS terlibat secara aktif dalam perencanaan serangan. Kelima, Pentagon terlibat dalam perencanaan serangan. Keenam, pejabat Gedung Putih yang menginginkan serangan 9/ 11 terjadi dan m engharapkan bahw a suatu kelompok akan memfasilitasinya, meskipun Gedung Putih tidak mengetahui dengan pasti waktu dan tem pat dilancarkannya serangan tersebut. Ada kemungkinan bahw a mereka terkejut dengan b an y ak n y a korban yang meninggal akibat serangan tersebut. Ketujuh, pejabat Gedung Putih telah mengetahui dengan pasti tentang serangan 9/11. Dan kedelapan, G edung Putih terlibat secara ak tif dalam perencanaan serangan 9/11. K em ungkinan-kem ungkinan tersebut muncul karena melihat beberapa kejanggalan dalam peristiw a 11 Septem ber ini. Dengan menghubungkan beberapa fakta yang ditemukan, menunjukkan adanya kem ungkinan bahw a terdapat keterlibatan pejabat AS dalam serangan tersebut. Adanya pernyataan dari beberapa agen rahasia negara lain, seperti Maroko, Mesir, Rusia dan Filipina, yang m enyatakan bahw a mereka telah memberikan peringatan terhadap
agen rahasia AS tentang serangan 9/11. Namun peringatan ini diabaikan, bahkan pejabat agen rahasia AS membatasi proses investigasi yang d ila k u k a n o le h F B I d an m e la ra n g m e m p u b lik a s ik a n p e rin g a ta n te rs e b u t. Seharusnya peristiwa 9/11 dapat dicegah, jika berita-berita tersebut di tindaklanjuti oleh agen rahasia AS. D ari sini dapat dilihat bahw a peristiw a 9/11 m erupakan peristiw a yang diharapkan oleh agen rahasia AS. Kemungkinan adanya keterlibatan pejabat AS, dapat juga dilihat dari hubungan antara agen rahasia AS (b aca: CIA) dengan agen Pakistan (b aca: ISI). CIA - ISI merupakan rekan kerja sejak tahun 1990 untuk m em bentuk Taliban. Dengan kata lain, tanpa adanya bantuan agen rahasia AS, m aka Taliban tidak akan dapat m e n d u d u k i p e m e rin ta h a n ta h u n 1996. K erjasam a te rse b u t d im ak su d k an un tu k merekrut muslim radikal, termasuk Osama bin Laden yang dibawa ke Pakistan dengan tujuan untuk melawan Uni Soviet. D an setelah Uni Soviet meninggalkan Afganistan, sehingga hubungan AS - ISI masih erat, karena ISI dengan dorongan CIA mulai memproduksi heroin. Dan keduanya merupakan penyokong dana utama bagi Taliban dan al-Qaeda, yang terbukti dari adanya transfer sejum lah uang dari rekening seorang agen ISI, yang mendapat dana dari CIA, ke rekening beberapa tokoh al-Qaeda. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa CIA terlibat secara aktif dalam perencanaan serangan 9/11. In d ik a to r la in y an g m e n u n ju k k an keterlibatan pejabat AS, yakni dengan melihat perhitungan waktu ketika tabrakan terjadi. Tabrakan I terhadap gedung W orld Trade C entre (W TC ) terjadi pad a pukul 8 .46. Padahal, pada pukul 8.21 telah diketahui teijadi pembajakan selisih 25 menit dengan teijadinya tabrakan. Jika menggunakan prosedur normal, pesawat yang akan menabrak WTC seharusnya telah tertangkap oleh pesawat tempur AS pada pukul 8.24, tidak lebih dari 8.30.Padahal tabrakan teijadi pukul 8.46,16 menit selisihnya
111
dari tabrakan. Seharusnya NORAD (North American Aerospace Defense Command) dan NMCC (National Military Command Center) segera mengirimkan pesawat tempurnya setelah mengetahui terjadinya pem bajakan terhadap pesaw at AS dan dengan prosedur norm al pengiriman tersebut hanya membutuhkan waktu 2,5 menit. K ecurigaan ini sem akin bertam bah dengan terjadinya tabrakan II pada pukul 9.03. Tabrakan ini, seharusnya dapat dicegah karena setelah gagal m en g an tisip asi tab rak an I seharusnya pesawat tempur AS masih disekitar lokasi tabrakan. Inilah yang kemudian menjadi in dikator adanya cam pur tangan p ejabat P entagon dalam su k sesn y a seran g an 11 S ep tem b er, k aren a jik a P en ta g o n tetap menggunakan standar baku maka tabrakan II tidak mungkin teijadi. Namun di lokasi tabrakan tidak telihat keberadaan pesawat tempur AS. A palagi untuk tabrakan III, sangat disanksikan yang menabrak gedung Pentagon adalah Boeing 757. Dari foto yang diambil oleh Tom H o ran s e te la h ta b ra k a n te rja d i, menunjukkan tidak terdapat bekas pesawat terbakar. D an d alam fo to te rse b u t ju g a memperlihatkan bahw a api yang berkobar berwarna merah yang diduga berasal dari sebuah misil tipe AGM. Hal ini diperkuat dengan penuturan seorang saksi mata yang mengatakan bahwa peasawat terlihat dan terdengar seperti sebuah misil. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Pentagon tidak ditabrak oleh pesawat Boeing 757, tetapi ditembak dengan misil tipe AGM. Peristiwa ini mengindikasikan bahwa Pentagon terlibat secara aktif suksesnya serangan 9/11. Indikator cam pur tangan pejabat AS dalam serangan 9/11, dapat ju g a dilihat dari hubungan antara pemerintah AS, keluarga bin Laden dan keluarga kerajaan A rab Saudi. Terdapat beberapa dugaan yang menunjukkan bahw a seb en arn y a h u b u n g an k e tig an y a sangatlah dekat. Indikator ini mengarahkan kecurigaan akan keterlibatan pejabat Gedung Putih. Pertama, keluarga bin Laden merupakan
112
keluarga yang kaya dan sangat berpengaruh di Arab Saudi dan keluarga Bush telah mempunyai hubungan bisnis dengan keluarga tersebut selama 20 tahun. Kedua, Osam a memutuskan untuk menerima bantuan rahasia dari sekutu dekat AS, Arab Saudi, terbukti dengan adanya beberapa transfer dari pem erintah Arab Saudi. Ketiga, laporan setelah 9/11 bahw a pemerintah AS bersama dengan Arab Saudi membantu anggota keluarga bin Laden berangkat dari AS dan mengijinkan pesawatnya untuk terbang sebelum dicabutnya larangan terbang nasional. K ecurigaan adanya hubungan dekat antara ketiga keluarga ini, didukung oleh laporan dari orang-orang yang dapat dipercaya tentang kelanjutan hubungan antara pemerintah Arab Saudi dengan al-Qaeda. Bahkan sebelum Uni Soviet runtuh, Amerika Serikat mendanai semua kegiatan yang dilakukan oleh Osama bin Laden untuk menghadapi Soviet melalui latihan militer di Pakistan. Pada saat yang sama Times juga melaporkan pada tanggal 24 Agustus 1998 bahwa : “bin Laden etal were CIA employees,
given the best training, arms, facilities and lots o f cash fo r many years. ” Jadi sangat wajar, jik a O sam a bin Laden tidak diketahui keberadaannya. Dan tidak mengherankan pula, jika tragedi 11 September telah diketahui oleh pemerintah AS.3 Dugaan lain tentang keterlibatan pejabat tinggi AS adalah dari serangan yang dilancarkan pemerintah AS terhadap Afganistan dan Irak. Dengan adanya serangan 9/11 memberikan justifikasi bagi pemerintah AS untuk melakukan serangan terhadap kedua negara dengan dalih bahw a kedua negara tersebut m em punyai hubungan dengan jaringan al-Qaeda. Padahal, serangan tersebut telah direncanakan jauh sebelum teijadi 9/11.
B ustam am -A hm ad, Satu Dasawarsa The Clash o f Civilizations : Membongkar Politik Amerika di Pentas Dunia, (Yogyakarta : Ar-Ruzz,
3 Lihat K am aruzzam an
2003), hlm. 178-179.
Serangan terhadap Afganistan dan Irak S e b e n a rn y a ,
s e ra n g a n
te rh a d a p
Afganistan telah direncanakan jauh sebelum terjadinya tragedi WTC. Dengan adanya tragedi ini, mengakibatkan AS mempunyai alasan untuk melakukan penyerangan kepada Afganistan. Pasalnya, pemerintah Taliban telah memberikan suaka kepada tersangka utama pelaku serangan 11 September, Osama bin Laden. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan, yakni satu identitas teroris telah diketahui, haruskah AS melancarkan serangan militer negara teroris bersarang atau haruskah AS mencari jalan untuk mengirim teroris ke pengadilan?4Sebenarnya opini dunia tetap memilih jalan diplomatik, namun karena AS ingin m enjaga kepentingan vitalnya di A fganistan, m aka serangan secara m iliter terhadap Afganistan tetap dilancarkan. Tujuan AS sebenarnya adalah proyek besar jaringan pipa minyak dan gas Asia Tengah.5Konsorsium ini m elibatkan D elta Oil dan U N O C A L, perusahaan minyak besar di A S. Jaringan pipa m inyak dan gas ini, akan m endatangkan keuntungan miliaran dolar dari ekspor minyak dan gas melalui Afganistan dan Pakistan ini.6 Untuk itu, pemerintah AS menginginkan pem erintahan yang berkuasa di Afganistan
4 Lihat Noam Chomsky, Hegemony or Survival: America 's Quest for Global Dominance (New York : Metropolitan Book, 2003), hlm. 199. ’ Sebenarnya terdapat 3 alternatif untuk menyalurkan minyak dan gas Asia. Pertama, jaringan pipa melalui Iran, namun diharamkan bagi perusahaan minyak AS karena sanksi perdagangan dan investasi AS. Kedua, jaringan pipa ke China, namun terlalu panjang dan jelas akan menaikan harga minyak sehingga alternatif ketiga adalah afganistan dan Pakistan ke laut Arab dan untuk pembangunan jaringan tersebut pemerintah taliban meminta pengakuan politik dan ekonomi. Sebenarnya AS, UNOCAL dan Delta Oil, mau melakukan apapun agar proyek ini sukses, bahkan mau membantu terciptanya Pax-Ttaliban karena akan mendatangkan milyaran dolar dan diyakini akan dapat mengisolasi Iran, Lihat Rahul Mahajan, op.cit., hlm.46-49; Tim Redaksi Hot Copy, Di Balik Perseteruan AS VS Taliban : Perang Afganistan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 71-75. 6sumber: energy informations fact sheets, yang diterbitkan oleh pemerintah AS.
adalah pemerintah yang dapat dipercaya dan mematuhi kebijakan-kebijakan pemerintah AS. K einginan tersebut, akhirnya m endorong pem erintah AS untuk mengganti pemerintah Taliban -rezim yang berkuasa di Afganistan saat itu - dengan pem erintahan baru. Padahal sebelum Uni Soviet runtuh, hubungan keduanya - AS dan pem erintah Taliban - sangat dekat, nam un saat ini AS m erasa Taliban mulai mengancam kepentingan AS di Afganistan karena tidak lagi tunduk pada kebijakankebijakan pemerintah AS. Dengan peristiwa 11 Septem ber, pem erintah AS m enggunakan momen tersebut dengan sebaik-baiknya untuk menggeser Taliban, dengan alasan pemerintah Taliban telah melindungi teroris dan tidak mau menyerahkan kepada pemerintah AS. Padahal, b e lu m te n tu ad a ja m in a n jik a T alib an menyerahkan Osama bin Laden, maka perang tid a k akan m e letu s. D en g an su k se sn y a mengganti pem erintahan di Afganistan dan mengganti dengan pemerintahan yang baru di bawah perdana menteri H am id Karzai, yang sangat terkenal sebagai duta AS di Afganistan, maka jaringan pipa m inyak Asia Tengah siap untuk direalisasikan. U kuran kesuksesan yang digunakan pemerintah AS dalam war agaist terrorismnya di Afganistan bukanlah berhasil tidaknya menangkap O sam a bin Laden, namun dapat terealisasi tidaknya proyek jaringan pipa minyak dan gas sepanjang 5.500 km ini. K arena jika p ro y e k in i g a g a l, m a k a k e ru g ia n bagi perusahaan-perusahaan minyak AS, berarti juga kerugian bagi Bush, Dick Cheney, Donalds Evan dan b eb erap a p ejab at AS lainnya, yang mempunyai ikatan bisnis dengan perusahaanperusahaan minyak, seperti Haliburton, Exxon Mobil, Enron dan lain-lain.7 Seperti halnya serangan ke Afganistan, serangan terhadap Irak juga telah direncanakan
7 Lihat Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, op.cit., hlm. 147-157.
113
sejak tahun 1998. Pada waktu itu Rumsfeld, Paul W olfow itz dan R ichard P erle telah mendesak Bill Clinton untuk mengambil tindakan terhadap Irak termasuk tindakan militer untuk menjaga kepentingan vitalnya di teluk.8Hal ini dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Bush sangat m enginginkan New Pearl Harbor, walaupun tidak secara aktif terlibat dalam terealisasinya 9/11, namun hanya memastikan 9/ 11 terjadi.
Strategi Keamanan Nasional AS Pasca 11 September 2001 pemerintah AS mempublikasikan strategi keamanan baru yang sering disebut National Security Strategy. Sebenarnya proyek ini telah dikembangkan sejak tahun 1995 dim ana proyek ini dikenal d engan nam a “The Changing Security
Environm ent and A m erican N ational Security. ” Namun pasca runtuhnya Uni Soviet proyek ini sulit terwujud karena anggaran untuk Pentagon tidak akan sebesar ketika masih ada Uni Soviet. Untuk itu terpaksa mencari musuh lain untuk menjalankan proyek dalam bidang keamanan ini. Dengan adanya peristiw a 11 September maka Pentagon dapat menjalankan m isinya dalam bidang keam anan. Dan tepat setahun, bulan September 2002, Presiden Bush membukukan 9 pidatonya yang dipublikasikan oleh gedung putih yang kem udian dikenal dengan The National Security Strategy ofthe
United States o f America.9
8 Faktor minyak tetap menjadi kepentingan vital bagi pemerintah AS. Bahkan presiden Bush di depan kongres tanggal 17 Mei menyampaikan strategis pengadaan energi AS dengan slogan “tingkatkan mengalirnya minyak.” Tujuan strategis sudah jelas yaitu terjaminnya persediaan m inyak seh in gga pada tingkat tidak m engancam keamanan nasional dan ekonomi, karena pada saat ini AS m engim por 53% kebutuhan m in yak n ya dan dikhawatirkan akan terus meningkat, lihat Mustafa Abd. Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, (Jakarta : Kompas, 2003), hlm. 57-64. 9Lihat Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, op.cit, hlm. 7475
114
Sebenarnya, sebelum Rumsfeld menjabat s e b a g a i m e n te ri p e rta h a n a n AS te la h m erencanakan revolusi m iliter di AS. Hal tersebut tertuang dalam dokumen yang bernama Vision of2020 yang diawali dengan statement
\”US Space Command - dominating the space dimension o f military operations to protect US interest and investment. ” Dengan kata lain, revolusi m iliter tersebut tidak untuk melindungi Amerika, tetapi untuk melindungi kepentingan dan investasi elit AS di luar negeri. Dengan adanya rencana ini, maka sangatlah penting adanya peningkatan anggaran militer untuk mensukseskan proyek tersebut. Berkaitan dengan peningkatan anggaran militer ini, sebuah poling dilakukan di AS pada bulan Juli 2001, untuk m elihat berapa persen orang Amerika yang menyetujui peningkatan anggaran militer AS. Dan ternyata hasilnya hanya 53 % yang menyetujui adanya peningkatan anggaran. Setelah peristiw a 9/11, poling dilakukan kem bali untuk m elihat apakah peristiwa ini m em pengaruhi pendapat orang Amerika tentang kenaikan budget militer AS. Dan ternyata, hal ini sangat berpengaruh, karena hasil poling yang dilakukan O ktober 2001 menunjukkan peningkatan menjadi 70% orang Am erika yang menyetujui adanya kenaikan anggaran militer AS. Hal ini tentunya membawa angin baik bagi Pentagon dan ternyata memang terbukti bahwa dengan adanya tragedi WTC, K o n g re s k e m u d ia n m e n y e tu ju i te rja d i penam bahan budget untuk Pentagon, yang dim inta oleh pem erintah Bush tahun 2002 sebesar 48 m iliar dolar AS, lebih besar dari anggaran militer negara lain. Peningkatan anggaran militer ini sangat penting dalam m iliter AS untuk program p e rs e n ja ta a n d e n g a n m a k su d u n tu k mendominasi dunia. Tujuan utama adanya penambahan anggaran di bidang keamanan ini, untuk melindungi kepentingan dan investasi AS yang ada di luar negeri. Dan otomatis yang memiliki kepentingan tersebut adalah kalangan elit AS, termasuk di dalamnya adalah pejabat-
pejabat tinggi AS yang mempunyai kepentingan dan investasi di luar negeri. Tujuan ini sangat jauh berbeda dengan apa yang d iajukan oleh pemerintah Bush agar penam bahan budget militer diterima oleh anggota Kongres. Ketika itu, B ush m en y eb u tk an b ah w a p ro g ram p ersen ja taan ini akan d ig u n a k an u n tu k melindungi American Homeland, namun pada k e n y a ta a n n y a h an y a u n tu k m e lin d u n g i kepentingan bisnis para elit AS yang ada di luar negeri.
Penutup D engan m e lih at ta n d a -ta n d a yang menunjukkan adanya keterlibatan dari pejabatpejabat AS dalam serangan 11 September, maka serangan 9/11 ini merupakan tanggung jaw ab dari pejabat-pejabat tinggi AS baik itu pejabat Gedung Putih, Pentagon, maupun agen rahasia AS. Meskipun pejabat-pejabat tersebut tidak berperan secara aktif dalam merencanakan serangan tersebut, tetapi paling tidak pemerintah AS telah memastikan bahwa serangan tersebut sukses. Karena dengan suksesnya serangan tersebut, maka pemerintah AS mempunyai alasan untuk melakukan beberapa hal yang telah direncanakan jauh sebelum 9/11 dan tampaknya tidak akan terwujud tanpa adanya peristiwa 9/ 11 ini. Kalau melihat dari uraian diatas, maka jelaslah pihak elit AS-lah yang diuntungkan dengan adanya peristiw a 9/11. Yang akan diuntungkan pertama, Pentagon dan industri senjata dengan ditingkatkannya anggaran militer hingga 48 m iliar dolar AS untuk program persenjataan. Kedua, pejabat Gedung Putih, termasuk Bush dan Cheney, yang memiliki kepentingan untuk menyelamatkan bisnis mereka sehingga dengan adanya 9/11, memberi alasan bagi pemerintah AS untuk melakukan serangan terhadap negara-negara yang kaya m inyak (Afganistan dan Irak). Ketiga, pejabat CIA dan FBI, seperti direktur CIA George Tenet. George
Tenet menginginkan otoritas dan pendanaan untuk rencana pengembangan operasi rahasia ke seluruh dunia (Worldwide Attack Matrix). Dan 4 hari setelah 9/11, Tenet langsung diberi otoritas untuk melakukan proyek tersebut. Sebenarnya, buku ini merupakan buku y an g tid a k b ia s a d an d ia n g g a p cu k u p mengganggu karena menggambarkan suatu krisis legitimasi politik di suatu negara yang sangat kuat (baca : AS) dalam sejarah dunia. Suatu negara yang m em ulai perang tanpa m engindahkan hukum dan hanya karena m engejar kepentingan semata. Buku ini juga sangat k o n tro v ersial dan sen sitif karena menggambarkan perilaku pejabat tinggi AS d a la m k a ita n n y a d e n g a n p e ris tiw a 11 September. Buku ini menunjukkan kemungkinankemungkinan keterlibatan tiap pejabat AS, baik itu pejabat Pentagon, Gedung Putih maupun agen rahasia AS, yang didukung dengan argumen dan fakta yang memperkuat kecurigaan akan adanya keterlibatan dari pejabat-pejabat AS tersebut. Buku ini juga disajikan dengan objektif, tanpa memihak salah satu aktor, baik itu pejabat AS maupun pelaku serangan 9/11, yang terkait dalam peristiwa 9/11 ini. Karena dari beberapa buku terdapat kecenderungan memihak salah satu aktor (b aca: Osama bin Laden). Namun buku ini juga memiliki beberapa kelemahan sehingga dibutuhkan buku-buku lain sebagai pendam ping yang akan melengkapi informasi dalam buku ini. Di dalam buku ini tidak disimpulkan siapa yang sebenarnya memiliki peluang keterlibatan paling besar dari beberapa pejabat AS tersebut dalam peristiwa 9/11. Dan sebenarnya sampai sejauh mana keterlibatan pejabat tersebut, karena di dalam buku tersebut hanya memuat kesimpulan secara umum saja, dan akan lebih komprehensif lagi jika dilengkapi dengan tabel dari bentuk-bentuk keterlibatan pejabat AS, sehingga m em udahkan untuk membaca sejauhmana keterlibatan pejabat AS dalam peristiwa 9/11.
115
Daftar Pustaka Abd. Rahman, M ustafa, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, Jakarta : Kompas, O ktober 2003. B ustam am -A hm ad, K am aruzzam an, Satu
Dasawarsa The Clash o f Civilizations : Membongkar Politik Amerika di Pentas Dunia, Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, M ei 2003. Chomsky, Noam, Hegemony or Survival:
A m e ric a ’s Q uest fo r G lobal Dominance, New York : M etropolitan Books, 2003.
116
Mahajan, Rahul, Perang Salib Baru: Amerika
M elawan Terorisme atau Islam?, J a k a rta : S e ra m b i Ilm u S e m e sta , November 2002. Tim Redaksi Hot Copy, Di Balik Perseteruan
AS VS Taliban : Perang Afganistan, Jak arta: G ram ed ia P u stak a U tam a, 2002. http://www.Islamlib.com/id/ index.php?page=article&id=414.
TENTANG PENULIS Agus R. Rahman adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI. Penulis yang berhasil menyelesaikan dua program Master (Ekonomi Pembangunan dan Magister Manajemen) ini merupakan pemerhati serius dan konsisten tentang masalah-masalah sosial politik negara-negara Eropa. Selain aktif terlibat banyak penelitian, alumnus Universitas Gajah Mada (bidang Ilmu Hubungan Internasional) ini juga menjadi pengajar di beberapa Universitas di Jakarta. Awani Irewati adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI. Alumnus Universitas Erlangga, Surabaya ini telah lama mengkaji masalah-masalah Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu-Isu sekitar ASEAN. Penulis yang menyelesaikan Program Master dari Australia ini selain aktif terlibat berbagai macam penelitian juga menjadi Kepala Subbag Kerjasama pada P2P-LIPI. Firman Noor adalah Peneliti pada pusat penelitian politik LIPI dengan fokus penelitian pada masalah politik nasional terutama partai politik, pemilihan umum dan badan legislatif serta pemikiran politik Islam di Indonesia. Lulusan Jurusan Ilmu Politik FISIP UI ini juga aktif di Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI dan menjadi staf pengajar tidak tetap di almamaternya. Pernah bekerja sebagai peneliti di Center for Electoral Reform (CETRO). Saat ini tengah mengambil master pada Faculty of Asian Studies, Australian National University (ANU). Heru Cahyono adalah peneliti pada Puslit Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1991-sekarang). Lulusan FISIP Universitas Indonesia ini (1990) pernah menjadi wartawan (1991-1999). Karya yang telah dipublikasikan antara lain, Peranan Ulama dalam Golkar: (1992), Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari’74 (1998). Kontributor pada buku Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (1998), Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru (1998), Menata Negara: Usulan LIPI Tentang RUU Politik (1998), Kecurangan dan Perlawanan Rakyat dalam Pemilu 1997(1999), Tentara Mendamba Mitra (1999), Tentara yang Gelisah (1999), Soemitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000), serta Kerusuhan Sosial di Indonesia (2001). Indriana Kartini, (lahir di Jakarta, 21 April 1980) adalah sarjana Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2002. Sekarang ia bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) serta aktif di ISMES (the Indonesian Society for Middle East Studies). Selain itu, menjadi kontributor buku Saddam Melawan Amerika (2003). Nanto Sriyanto adalah Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Bandung. Sejak tahun 2004 penulis bekerja pada Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta. Ratna Shofi Inayati adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI. Peneliti asal Kudus yang menyelesaikan program MBA dari AS ini aktif mengkaji masalah-masalah Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu-Isu sekitar ASEAN. Rosita Dewi adalah alumnus Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY). Penulis yang asli Yogyakarta ini merupakan kandidat Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI. Siswanto adalah pemerhati masalah sosial politik Amerika Serikat. Penulis yang saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Program Doktoral di Universitas Indonesia ini sehari-hari bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI dengan program kajian Eropa dan AS. 117
BEBERAPA KARYA PENELITI P2P-LIPI
Relasi TNI dan Polri
I*W |a te a te rtu a » i« a r Negeri to^ralla. Kabari». Indnmsfa.
FflWttCi DSWf MHW a # « t t
Selain karya tersebut masih terdapat karya-karya lain. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Pusat Dokumentasi dan Informasi P2P-LIPI, Gd. Widya Graha Lt. III. Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta.
Naskah
Langganan
Alamat
Redaksi Jurnal Penelitian Politik menerima kiriman naskah dengan ketentuan berikut: 1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk dan bahasa apapun. 3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinil. 4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan. 5. Persyaratan teknis: a. Panjang naskah untuk artikel, 20-25 halaman kuarto, spasi ganda; book review, 10-15 halaman kuarto, spasi ganda. b. Naskah dilengkapi dengan daftar pustaka dan abstraksi (100-200 kata). c. Naskah ditulis dengan format tulisan ilmiah (dilengkapi dengan catatan kaki dan daftar pustaka). d. Naskah dikirim dalam bentuk print out beserta file yang disimpan dalam floppy disk dengan menggunakan program Microsoft Word (Windows) ke alamat redaksi. 6. Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat. 7. Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi berikutnya. Bagi pembaca yang ingin berlangganan dapat menghubungi langsung bagian sirkulasi redaksi Jurnal Penelitian Politik.
P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai XI Jl. Jend. Gatot Subroto 10 Jakarta 12710 Telp. (021) 5251542, ext. 757, 763 ; Fax. (021) 5207118
Informasi Hasil Penelitian Terpilih