JURNAL PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Tahun 25, Nomor
rssN 02ts-9902
I Pebruari2012
Terbit dua kali setahun, bulan Pebruari dan Agustus, ISSN 0215-9902 berisi tulisan ilmiah tentang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berupa artikel hasil penelitian, kajian teori, dan penerapanya. Artikel-artikel dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing.
Ketua Penyuting Siti Awaliyah Anggota Penyunting Sri Untari A. Rosyid Al Atok Nuruddin Hady Pelaksana Tata Usaha Arbaiyah Prantiasih Irwan Subiantara
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan diterbitkan oleh jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, IJniversitas Negeri Malang bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewargane garaan Indonesia (AP3 KNI).
Alamat Penyuting danTata Usaha: Laboraturium HKn, FIS, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang gedung I-2Tlp.(Ba1) 551-3 72 (4 salwan), Pesawat 277,282 Fax.(0341) 566-962. Langganan 2 nomor setahun Rp. 60.000,- Uang langganan dapat dikirim melalui wesel pos ke alamat tata usaha.
Jumal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan diterbitkan dalam Laboratorium Jurusan HKn FIS Universitas Negeri Malang. Dekan: Hariyono, Pembantu Dekan Sumarmi, Ketua Jurusan: Suparlan Al Hakim. Sekretaris Jurusan: Siti Awaliyah. Kepala Laboraturium HKn ArbaiyahPrantiasih. Terbitperlamakalipadatahun 1988 denganjudul CIVICUS.
Penluting menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah diketik dengan spasi rangkap pada kertas kwarto, panjang 10-20 halaman sebanyak 2 eksemplar (selanjutnya silahkan membaca petunjuk bagi penulis pada sampul dalam belakang). Naskah yang masuk dievaluasi oleh Penyunting ahli/peninjau ahli. Penyuting dapat melakukan perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isinya.
Berkala
ini diterbitkan di bawah tim
pengembangan Jurnal dan berkala Universitas Negeri
JTJRNAL
ISSN 021s-9902
I\DIDIKAI\ PAIYCASILA DAII PE
KEWARGAI\EGARAAIY Tahun 25, Nomor
l, Pebru ai20l2
DAFTARISI Ketetapan MPR dalam Flirarki Peraturan Penrndang-Undangan
l-9
A. RosyidAl Atok ( Universitas Negeri Malang)
l0-15
Hak Asasi Manusia bagi Perempuan Arb aiyah Pran t ias
ih (Univ
er s itas Ne ge ri
Mal ang)
Problematika Pendidikan Budi Pekerti di embaga Pema,syarakatan Desinta Dwi Rapita, Suwarno Winarno (Universitas Negeri Malang)
l6-23
Eksistensi Undang-Undang Nomor 32 Tiahun 20M tentang Pernerintah Daerah Mohomad YuMi Batubara (Universitas Negeri Malang)
24-30
Peranan DPD dan GagasanAmandemen Kelima
UUD 1945
3t-42
Nuruddin Hady (Universitas Negeri Malang) Pola Pengambilan Keputusan Moral Kelompok Mahasiswa dalam Lingkup Moralitas Sosiokultural pada Era Globalisasi
LPTK
43-s2
Sri Untari, SuparlanAl Hakim (Universitas Negeri Malang)
Sistem Pemerintahan Wilayah Malang pada Masa Kolonial
Yuliati (Univers itas Negeri Mal ang)
53-61
KETETAPAN MPR DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG.UNDANGAN
A. Rosyid AI Atok Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No.5 Malang
MPR Decree was in hierarchical manner betweenl945 and theAct which in theory in the group of legal norms Staats grund gesetz (Rules of the State/State Basic Rules). MPR Decree under the 1945 Constitutionis a consequence of the position of the MPR as executor of full sovereignty of the people and the country's top institutions. However, 1945 Constitution amendment no longer determine the MPR as executor of full sovereignty of the people. Moreover, MPR are no longer the highest state institution. Therefore, it has implications for the existence of the Legislative Actin the hierarchy of legislation. MPRS Decree No. XXA4PRS/1966 and MPR Decree No.IIL&IPR/2000 put MPR Decree in the second place after 1945 Constitution. LawNo. l0 of 2004 does not recognize the MPR decree as one type of legislation. Law No.12 of 20 i 1 put back MPR decree as one type of legislation. This paper attempts to discuss the rationale of the dynamic development of MPR Decree position in the hierarchy of legislation before the Amendment of 1945 Constitution to the promulgation of Law No. l2 of 20 I I , after the Amendment of I 945 Constitution. Ketetapan MPR adalah salah satu bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan khas Indonesia. Secara hirarkis berada di antara UUD 1945 dan Undang-Undang yang secara teoretik masuk dalam kelompok norma hukum Staatsgrundgesetz (Aturat Dasar Negara/Aturan Pokok Negara). Keberadaan Ketetepan MPR sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang berada.di bawah UUD 1945 merupakan konsekuensi dari kedudukan MPR sebagai pelaksana penuh kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga negara tertinggi di antara lembaga-lembaga negara laimya, sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Namun Perubahan ULID 1 945 yang menentukan tidak lagi menempatkan MPR sebagai pelaksana penuh kedaulatan rakyat dan bukan pula sebagai lembaga tertinggi negara telah berimplikasi pada keberadaan Ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Jika Ketetapan MPRS No. XX/\4PRS/l966 dan Ketetapan MPR No. IIIA4PR/2000 keberadaan Ketetapan MPR masih tetap ditempatkan dalam urutan kedua (setelah UUD 1945) dalam hirarki peraturan perundang-undangan, maka setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 Ketetapan MPR tidak lagi diakui sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangandalam UU No. l0 Tahun 2004. Namun dalam UU No . l2Tahun2011 keberadaan Ketetapan MPR kembali diakui sebagai salah satu
jenisperaturanperundang-undangansebagaimanasebelumlahirnyaUUNo.l0Tahun2004.Tulisan ini mencoba membahas dasar pemikiran daridinamika perkembangan kedudukan Ketatapan MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan dari sebelum Perubahan UUD 1945 sampai dengan penetapan UU No. 12 Tahun 201 I setelah Perubahan UUD 1945.
Kata Kunci: Ketetapan MPR, Peraturan Perundang-undangan
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terjadi sebanyak empat kali pada kurun waktu tahun 1999 -2002 merupakan c o ns titut i onal reform (The Habiebie Center, 2001:15). yang menjadi acuan bagi dilakukannya reformasi hukum dan
ketatangeraan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari proses reformasi di segala bidang yang terjadi di negeri ini. Perubahan UUD 1945
tersebut telah banyak membawa intplikasi yang
cukup mendasar bagi tatanan kenegaraan zu, terutama implikasi terhadap pola hubungan antar lembaga-lembaga negara. Salah satu di antaranya adalah implikasi terhadap reposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari pelaksana seeara penuh kedaulatan rakyat menjadi hanya sebuah lembaga negara dengan kekuasaan yang terbatas sebagai majelis, dan tidak lagi mernpunyai
2
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor l, pebruari 2012
hubungan hirarkis dengan lembaga-lembaga negara lainnya, melainkan terbatas pada hubungan fungsional berdasarkan konstitusi (Atok, 2002:19 l)
sehingga MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, Reposisi MPR yang demikian itu membawa selanjutnya berimplikasi
pula pada kedudukan Ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundan g-undangan. Ada 3 (tiga) peraturan perundang-undangan
yang mengatur jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan setelah Perubahan UUD 1945, y aituKetetapan MPR RI No. IIVMPR/2000
tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menggantikan UU No. 10 Tahun 2004.
Menurut Ketetapan MPR RI No. III/MPR/
No. III/MPR/2000, sebagaimana Ketatapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Ketatapan MPR termasuk salah satu jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan di bawahUUD 1945, sedang dalam UU No. l0 Tahun 2004, Ketetapan MpR tidak termasuk dalam jenis dan hirarki peraturan perundangan-undangan, namun dalam
UUNo.
12
Tahun 2011, Ketetapan MPR dimasukkan lagi sebagai salah satu jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945. Hal ini menimbulkan pertanyaan : ( 1 ) Apa yang menj adi dasar adanya perbedaan kedudukan Ketetapan MPR dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut? (2) Bagaimana seharusnya kedudukan Ketatapan MPR setelah penetapan UU No. 12 Tahun 2012?
KETETAPAN MPR DALAM TATA URUTAN NORMA HUKUM
2000 (yang merupakan pengganti dari Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/I966) tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah: Undang-UndangDasar 1945;(2)
(l)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; (3) Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Menurut Hans Kelsen (Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007:155) bahwa hukum mengatur pembentukannya sendiri karena nonna hukum yang safu menenfukan carauntuk membuatnorma hukum lainnya, dan sampai derajat tertentu juga
menentukan
isi
norma lainnya tersebut.
(PERPU); (5) Peraturan Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (7) Peraturan Daerah.
Pembentukan norrra hukum yang satu, yaitu normahukum yang lebih rendah, ditentukan oleh
Menurut UU No. I 0 Tahun 2004 jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Undang-
pembentukannya ditentukan oleh norrna lain yang
norma hukum lain yang lebih tinggi, yang lebih tinggi lagi, dan rangkaian pembentukan hukum (regressus) ini diakhiri oleh suatu nonna
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
dasar terlinggi. Pandangan Kelsen tersebut disebut
Undang-Undang; (3) Peraturan Pemerintah; (4)
dengan Stufentheorie.
Peraturan Presiden; (5) Peraturan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53 Tambahan Lembaran Negara RI No. 4389). Sedang menurut UU No. 12 Tahun 2011, jenis hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: (l) Undang-Undang Dasar Negara Republik In-
donesia Tahun 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyaw aratan Rakyat; (3) Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti; (4) UndangUndang; (5) Peraturan Pemerintah; (6) Peraturan Presiden; (7) Peraturan Daerah Provinsi; dan (8) Peraturan Daerah KabupatenA(ota. Salah satu pelbedaan pokok yang menarik tentang jenis dan hirarki peraturan peundangundangan antarayangada dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004, dan UU No. 12 Tahun 2011 adalah berkaitan dengan keberadaan Ketetapan MPR. Ketetapan MPR RI
Berkaitan dengan hirarki norma hukum, Hans Nawiasky mengelompokkannya ke dalam empat kelompok besar, yaitu: (1) Kelompok I:
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara); (2) Kelompok II: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara); (3) Kelompok III: Formell Gesetz (UndangUndang "formal"); (4) Kelompok'N: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana & Aturan otonom (Einsiedeln/ 7 uricVKoln: Benziger, I 984:3 I ). Pengelompokkan hirarki norma hukum ini lazim disebut dengan die Theorie vom Stufenordnung der Re c htsnormen. Staatsfundam e ntalnonil atat yang disebut dengan Norma Fundamental Negara, Pokok Kaidah Fundamental Negara, atau Norma Pertama, adalah norrna tertinggi dalam suatu negara. Ia merupakan norrna dasar (Grundnorm)
Atolg Ketetapan MPR dalam Hirarki Peraturan Perundang-(Jndangan 3
yang bersifat pre-supposed' atau'ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dan karena itu tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi. Ia juga merupakan nonna yang menjadi tempat bergantungrya nonna-norma hukum di bawahnya,
besar dan merupakan normahukum tunggal yang
belum dilekati oleh sanksi. Sifat ketatapan MPR yang demikian ini berkaitan dengan kedudukan MPR sebagai pelaksanapenuh kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga tertinggi negara sebagaimana
termasuk menjadi dasar bagi pembentukan
ketentuan UUD 1945 sebelum dilakukan
konstifusi atau undang-undang dasar suatu negara. Ia juga merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut. Staatsfundamentalnorm ata:u
perubahan. Dengan demikian Ketetapan MPR dapat dikategorikan sebagai Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara) meskipun kedudukannya berada di bawah IJUD 1945. Meskipun kedudukannya di bawah UUD 1945, Ketetapan MPR tidak dapat dikategorikan
Norma Fundamental Negara
adalah
Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara yang merupakan norma hukum tunggal yang berisi aturan-aturan pokok, yang bersifat umum dan garis besar. Ia dapat
dituangkan dalam suatu dokumen negara (Staatsverfassung) atau dalam beberapa
dokumen negara yang tersebar-sebar (Staots grundge
se
tz). Dokumen negara dimaksud
dapat berupa Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang di dalamnya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan negarq hubungan antar lembaga negara, dan hubungan antara negara dengan warga negara. Ia merupakan sumber dan
dasar bagi terbentuknya suatu Undang-Undang
(formell Gesetz) yang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengikat secara langsung semua orang. Formell Gesetz atau Undang-Undang (wet informele zin) merupakan normahukum yang lebih konkrit dan terinci serta sudah langsung berlaku di dalam masyarakatyang pembentukannya dilakukan oleh lembaga legislatif.
sebagai Formell Gesetz (Undang-Undang). Kedudukan Ketetapan MPR yang demikian ini memang unik, khas, dan tidak ditemui dalam
norma-norma hukum pada umumnya di kebanyakan negara.
KETETAPAN MPR DAI,AM HIRARKI PERATURAN PERI]NDANG-UNDANGAN SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945 Ketatapan MPR sebagai salah satu produk hukum dalam ketatanegaraan RI pertama kali sejak tahun 1960, yaitu benrpa Ketetapan MPRS No. IiIVIPRS/ 1 960 menyusul dibentuknya MPRS pertama kali sebagai pelaksanaan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun pada waktu itu Ketatapan MPRS tersebut tidak dikategorikan sebagai salah satu tata urutan perundangundangan, sebagaimana UUD 1945 yang juga tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-
sama dengan kepala negara. Sedang Verordnung
undangan, sebab memang UUD 1945 dan Ketetapan MPR secara teoretik masuk dalam kelompok Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara). Sementara yang dikategorikan dalam peraturan perundang-
& Autonome Satzung (Aturan Pelaksana &
undangan pada waktu itu adalah Undang-Undang,
Aturan Otonom) merupakan norma hukum yang bertrrngsi menyelenggarakan ketenfuan-ketentuan
PERPU, Peraturan Pemerintah, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terdiri dari:
dalam Undang-Undang. Peraturan Pelaksana dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi, sedang Peraturan Otonom dibentuk berdasarkan kewenangan atribusi. Dilihat dari segi tata urutan norrna hukum sebagaimana dikemukakan oleh Hans Nawiasky tersebut, termasuk dalam kelompok manakan Ketatapan MPR itu? Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa Ketetapan MPR yang pernah dikeluarkan oleh MPR selalu berisi garisgaris besar atau pokok-pokok kebijakan negara
Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, dan
Lembaga legislatif ini, dalam perkembangannya, dipercayakan kepada organ yang disebut dengan
(dewan) perwakilan rakyat atau segolongan rakyat, baik dilakukan sendiri maupun bersama-
yang mengandung normayang masih bersifat garis
Keputusan Menteri.
Baru sejaka tahun 1966 Ketetapan MPR dimasukkan dalam tata urutan perundangundangan berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/ MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dari Tata Urutan Perahrtan Perundangan Republik Indonesia. Ketetapan MPRS ini merupakan pengukuhan dari Memorandum DPR-GRtanggal9 Juni 1966
4
Jurnal Pendidlkan Pancasila dan Kewarganegaraan,Th.25, Nomor l, pebruari 2012
yang merupakan hasil peninjauan kembali dan penyempurnaan dari Memorandum MPRS tanggal
12Mei 196i No. ll68ruA4PRS/61
mengenai
Penentuan Tata Urutan Perundang-undangan Republik Indonesia. Menurut Memorandum DPRGR yang telah dikukuhkan dengan Ketatapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut bentukbentuk peraturan perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah: (l) UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945: (2) Ketetapan MPR; (3) Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Keputusan Presiden; (6) Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lainJainnya. Kelahiran Ketetapan MPRS No. XXAvIPRS/ 1966 tersebut dimaksudkan untuk menertibkan kerancuan paraturan perundang-undangan yang ada saat itu. Namur, sebagaimana diukemukakan
oleh Maria Farida Indriati S., dimasukkannya UUD 1945 dan Ketatapn MPR sebagai bagian
kelemahan-kelamahan lainnya" di antaranya adalah dimasukkannya Keputusan Presiden yang bersifat
einmahlig dan tidak dimasukkennya Peraturan Daerah dalam tata urutan perundang-undangan. Karena itu pada Sidang Umum MPR Tahun 1973 dietapkan bahwa meskipun tetap dinyatakan berlaku agar Ketetapan MPRS No. XX/NIpRS/ I
966 tersebut disempurnakan, bahkan penetapan
perlunya penyempurnaan tersebut ditetapkan kembali pada Sidang Umum MPR pada Tahun 1978. Namun sampai dengan berakhirnya Pemerintahan Orde Baru penyempumaan yang ditetapkan oleh MPR tersebut tidak pernah dilakukan. Penyem purn aan, atau I ebih tepatnya perbaikan, baru dilakukan oleh MPR pada Sidang Umum MPRThhun 2000 mengiringi dilakukannya
perubahan terhadap
UUD 1945. Namun hasil
Sidang Umum MPR Tahun 2000, sebagaimana
terdapat dalam Ketetapan MPR No. IIyMpR/ 2000 keberadaan Ketetapan MPR sebagai salah
satu
jenis dan hirarki peraturan perundang-
undangan di bawah UUD 1945 tidak berubah.
dari bentuk peraturan perundang-undangan adalah
tidak tepat. Karena LIIJD 1945 terdiri dari dua
kelompok norma hukum,
yaitu
Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, dan Staatsgrundgesetz atau Norma Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara yang tertuang dalam Batang Tubuh UUD 1945. Sedang Ketetapan MPR yang meskipun kedudukannya di bawah UUD 1945 juga berisi garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan negarajuga sebagai Staatsgrundgesetz yang mengandung norma yang masih bersifat garis besar dan merupakan noffna hukum tunggal yang belum dilekati oleh sanksi. Hal tersebut berbeda dengan materi muatan perafuran perundang-undangan yang lazim
disebut dengan Formell Gesetz yang berisi peraturan-peraturan untuk mengatur warga negara dan penduduk secara langsung yang di dalamnya dilekati oleh sanksi pidana dan sanksi pemaksa bagi pelanggamya. Dengan demikian UUD 1945 dan Ketatapan MPR tidak termasuk dalamjenis peraturan perundang-undangan, tetapi
masuk dalam kategori Staotsgrundgesetz, sehingga menempatkan UUD 1945 dan Ketatapan MPR ke dalam jenis peraturan-perundangundangan adalah tertalu rendah (Indri ati,2007:7 577).
Di samping itu Ketetapan MPRS No. X)V MPRS/1966 tersebut j ugu mengandung
KETETAPAN MPR DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SETELAH PERUB,{HAN UUD 1945 Dalam perkembangan selanjutnya, berbeda dengan Ketatapan MPR RI No. IIIAvIPR/20O0 dalam UU No. l0 Tahun 2004 Ketetapan MpR tidak lagi mencantumkan dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. Dihapuskannya Ketetapan MPR dari jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tersebut adalah sebagai implikasi dari adanya
perubahan Pasal 1 Ayat (2) da; Pasal 3 dalam Perubahan Ketiga ULID 1945. Pasal 1 Ayat(2) I_ruD 1945 sebelum diubah menenfukan: "Kedaulatan adalah di tangan ral
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat." Ketentuan ini merupakan perwujudan dari gagasan untuk mendudukkan MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Yamin pada S idang BPIIPKI tanggal
1l Juli 1945 (Bahar, 1998:202). Berdasarkan ketentuan dan gagasan tersebut, A. Harnid S. Attamimi menyatakan bahwa MPR merupakan penjelmaan seluruh rakyat dan organ yang "menggantikan" kedudukan rakyat dalam menyatakan kehendakny
a
(Vertre tun gs o r gan d e s
Wllens des Staatsvolkes). Kala. "vertretung"
Atoh Ketetapan MPR dalam Hirarki Peraturan Perundang-(Jndangan 5
di sini berarti "penggantian" bukan "perwakilan". Dengan demikian MPR merupakan penjelmaan
rakyat yang berkedaulatan, citoyen, citizen, burger (Attamimi, 1991:3), sehingga MPR mempunyai kewenangan untuk menetapkan garisgaris besar kebijakan politik negara dalam bentuk Ketetapan MPR di samping menetapkan dan mengubah UUD 1945. Dalam hal ini Ketetapan MPR tersebut menjadi acuan atau dasar dalam
penyelenggaraan negara, termasuk dalam pembentukan Undang-Undang. Pemikiran inilah yang mendasari ditempatkannya Ketatapan MPR
dalam jenis dan hirarki peraturan perundangundangan di bawah ULID 1945 di atas UndangUndang. Namun dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 o'Kedaulatan berada Pasal I Ayat (2) menentukan:
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Perubahan tersebut membawa implikasi tidak adanya institusionalisasi kedaulatan rakyat dalam suatu lembaga, sehingga
MPR tidak lagi dapat menyandang predikat sebagai penjelmaan rakyat. Perubahan ketentuan pada Pasal I Ayat (2) tersebut juga berimplikasi pada hilangnya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang merupakan konsekuensi dari
predikatnya sebagai penjelmaan rakyat yang melaksanakan secara penuh kedaulatan rakyat. Dengan hilangnya predikat penjelmaan rakyat dan
tidak lagi sebagai pelaksana secara penuh kedaulatan rakyat, maka hilang pula kedudukan
MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, dan tentunya tidak lagi dapat disebut sebagai lembaga tertinggi negara yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan negara lainnya (Atok,
kekuasaan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Kekuasaan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden diubah menjadi melantik Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Namun MPR masih mempunyai kekuasaan untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan oleh Presiden jika terjadi kekosongan Wakil Presiden. Sedang kekuasaan MPR untuk menetapkan dan mengubah UUD 1945 tidak mengalami perubahan. Di samping itu juga ada penambahan penegasan kekuasaan untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden atas usul DPR setelah mendapat putusan dari Mahkamah Konstitusi. Beberapakekuasaan dari MPR setelah Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat Undang-Undang
Dasar 1945 adalah sebagai berikut:
(l)
Menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar; (2) Melantik Presiden danlatau Wakil Presiden; (3 ) Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masajabatannya atas usul Dewan Perwakilan Rakyat setelah ada putusan
dari Mahkamah Konstitusi; (4) Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan Presiden jika terjadi kekosongan Wakil Presiden; (5) Memilih Presiden dan Wakil Presidenjika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau fidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Perubahan kewenangan MPR sebagaimana tersebut selanjutnya berimplikasi pada tidak dipunyainya oleh MPR kekuasaan kekuasaan untuk menetapkan putusan-putusan yang bersifat pengaturan dalam bentuk Ketetapan MPR, seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Dengan demikian, keberadaan Ketetapan
20 12:23 5). Meskipun dalarn sistem presidensial
MPR sebagai salah satu bentuk peraturan
biasanya Majelis mempunyai kedudukan yang lebih
perundang-undangan yang ditctapkan oleh MPR selain UUD sebelum adanya Perubahan Ketiga
tingggi dibanding dengan lembaga negara lainnya (Ibrahim R, 1995:35-50), tetapi masing-masing lembaga negarayangada sama-sama independen.
Dengan demikian, meskipun MPR mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibanding lembagalembaga negara lainnya, tetapi sebutan lembaga tertinggi tidak lagi tepat sebab hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada tidak bersifat shuktural dan hirarkis melainkan adalah hubungan fungsional yang independen.
UUD 1945 masih dapat dipahami
sebagai
konsekuensi logis dari kedudukan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara yang dapat
saja bertindak sebagai lembaga "supra parlementer" (Pusat Studi Flukum dan Kebijakan Indonesia, 2000:31). Namun setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 tidak ada lagi Ketetapan MPR
yang bersifat pengaturan, sehingga untuk
Perubahan kedudukan MPR tersebut
selanjutnya Ketetapan MPR tidak lagi dimasukkan sebagai j enis dan hirarki dari peraturan perundang-
ternyatajuga disertai dengan perubahan kekuasaan yang dimilikinya. Ada dua kekuasaan MPR yang dihilangkan, yaitu kekuasaan untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara dan
undangan. Karena itu dalam Aturan Tambahan Pasal I Perubahan Keempat UUD 1945, MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan
6
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaman,Th.2s,Nomor l, pebruari 2012
Ketetapan MPR untuk diambil putusan pada Sidang MPR tahun 2003. Hasil peninjauan tersebut
kemudian dituangkan dalam Ketatapan MPR RI No. VMPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketatapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Dalam Ketatapan MPR RI No. I/ MPR/2003 tersebut keberadaan Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 dapat diklasifrkasikan seb"gai berikut: (l) Ketetapan MPRS dan MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku ada I (satu) Ketetapan
MPRS dan 7 (tujuh) Ketetapan MPR, (2) Ketetapan MPRS dan MPR yang dinyatakan masih berlaku dengan ketentuan tertentu ada I (satu) Ketetapan MPRS dan 2 (dua) Ketetapan
MP& (3) Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004
ada 8 (delapan) Ketetapan MPR. Berarti saat sekarang Ketetapan MPR dimaksud sudah tidak berlaku, (4) Ketetapan MPRS dan dan MPRyang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-
undang yang mengatur materi muatan yang terdapat dalam Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang bersangkutan, ada I (satu) Ketetapan MPRS dan l0 (sepuluh) Ketetapan MPR, (5) Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib MPRyang baru oleh MPR hasil pemilihan umum tahun2004, ada5 (lima) Ketetapan MPR (Ketetapan MPR tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI), (7) Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPRyangtidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut baik karena bersifat einmahlig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan , ada 4l (empat puluh satu) Ketetapan
Ketatapan MPS dan MPR tersebut tidak mempunyai dasar hukum. Jika beberapa Ketetapan MPRS dan MPR yang substansinya masih harus berlaku tidak diberlakukan karena tidak mempunyai dasar hukum maka hal ini justru akan menimbullkan berbagai permasalahan yang cukup besar dalam penyelenggaraan negara. Berdasarkan pemikiran di atas, maka dalam
UU No.
l2
Tahun
2All, Ketetapan MpR
dimasukkan kembali sebagai jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan di bawah UUD
1945.
Ini bukan berarti MPR akan dapat
mengeluarkan lagi Ketetapan MPR baru yang bersifat pengaturan, sebab kewenangan untuk itu berdasarkan Perubahan Ketiga UUD I 945 sudah tidak ada. Dalam Penjelasan UU No. 12 Tahun 201I dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ketetapan MPR adalah Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 dan Pasal 4 Ketetapan
MPR RI No. VMPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR dan Ketetapan MPRS Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Dengan demikian dimasukkannya Ketetapan MPR sebagai jenis dan hirarki peraturan perundang-undangz.l dalam UU No. 12 Tahun 2011, bukan berarti MPR dapat mengeluarkan Ketetapan MPR lagi sebagaimana sebelum Perubahan Keempat UUD 1945. Ketetapan MPRyang dimaksudkan dalam UUNo. 12 Tahun 2011 adalah Ketetapan MPR yang dahulu dan masih dinayatakan berlaku.
Menurut Pasal 2 Ketatapan MPR No. Ii MPR/2003 beberapa Ketetapan MPRS dan MPR yang dinyatakan masih berlaku dengan ketentuan tersebut adalah: (l) Ketetapan MPRS No. XXV/
MPRS dan 63 (enam puluh tiga) Ketetapan MPR
MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI,
(Atok, 20t2:238-239).
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/
Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut ternyata masih terdapat beberapa Ketetapan MPRS dan MPRyangmasih harus berlaku, baik berlaku dengan ketentuan maupun berlaku sampai dengan dibentuknya UU yang mengatur materi
muatannya. Hal
ini berarti masih
terdapat
beberapa Ketetapan MPRS dan MPR yang secara
substansial masih harus diberlakukan dan pemberlakuannya pun harus mempunyai dasar hukum. Padahal menurut UU No. l0 Tahun 2004 Ketetapan MPR tidak lagi diakui sebagai jenis dan hirarki peraturan perundang-undan gan, seh ingga
pemberlakuan substansi yang terdapat dalam
Marxisme-Leninisme, masih berlaku dengan ketentuan ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusiUQ) Ketetapan MPRNo. XWMPR/I 998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, masih berlaku dengan ketentuan Pemerintah berkewajiban mendorong keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan
Atoh Ketetapan MPR dalam Hirarki Peraturan Perundarrg-(Jndangan 7
dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai dengan hakikat Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, (3) Ketetapan MPR No. V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timuq tetap
berlaku sampai terlaksananya ketentuan yang dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999, karena masih adanya
XXDVMPRS/I966 yang materi muatannya sudah dimuat dalam UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Ketetapan MPR MPR No. III/MPR/2000 yang substansinya sudah diatur dalam LIU No. 12 Tahun 2011, Ketetapan MPRNo. VIIA4PR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan yang substansinya sudah diatur dalam UU No. I 7 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang, dan beberapa UU lainnya. Namun masih terdapatjuga beberapa Ketetapan MPR yang materi muatannya
masalah-masalah kewarganegaraan, pengungsian,
belum dituangkan dalam Undang-Undang baik
pengembalian asset negara, dan hak perdata
sebagian maupun keseluruhan.
perseorangan. Sedang beberapa ketetapan MPRS dan dan
SIMPULAN
MPR yang tetap berlaku sampai dengan
i
terbentuknya undang-undang yang mengatur materi muatannya, menurut Pasal 4 Ketatapan MPR No. VMPR/2003 adaiah: (l) Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera, (2) Ketetapan MPR No. XVMPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (3) Ketetapan MPR No. XV/ MPR/I998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, (3) Ketetapan MPRNo. IIV MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, (4) Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan Dan Kesatuan Nasional, (5) Ketetapan No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, (6) Ketetapan MPR zu No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, (7) Ketetapan MPRNo. VIA4PR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, (8) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, (9) Ketetapan MPR No. VIII/I\IPR/20O1
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN, ( l0) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dari sebelas Ketetapan MPRS dan MPR di atas sebagian adayang sudah dituangkan dalam Undang-Undang, seperti Ketetapan MPRS No,
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa keberadaan dan kedudukan Ketatapan
MPR dalam Hirarki Peraturan Perundangundangan merupakan implikasi dari kedudukan MPR dalam pola hubungan kelembagaan negara
yang diatur dalam UUD 1945. Sebelum Perubahan Ketiga UUD 1945 MPR sebagai lembaga tertinggi negara mempunyai kewenangan
untuk menetapkan garis-garis besar kebijakan politik negara yang dituangkan dalam Ketetapan MPR yang menjadi acuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya, sehingga berimplikasi pada kedudukan Ketetapan MPR sebagai jenis peraturan perundangundanganyang mempunyai hirarki di bawahUUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Namur setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menentukan bahwa MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menetapkan garis-garis kebijakan politik negara dan hanya mempunyai kewenangan yang terbatas, telah mereposisi kedudukan MPR tidak
lagi sebagai penjlemanaan rakyat dan lembaga tertinggi negara sehingga tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menetapkan Ketetapan MPR yang bersifat pengaturan, kecuali UUD sehingga Ketatapan MPR tidak lagi tercantum dalam Flirarki
peraturan perundang-undangan kecuali ketatapan MPRS dan MPR lama yang masih harus berlaku. Itu pun terbatas pada Ketetapan MPR yang tnateri muatannya belum diatur dalam Undang-Undang. Sebagai upaya untuk lebih menciptakan kepastian hukurn perlu kiranya DPR dan Pemerintah untuk sesegera mungkin membentuk Undang-Undang yang dapat menampung beberapa substansi dari muatan materi Ketetapan MPR yang masih harus
berlaku.
8
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraen, Th. 25, Nomor l, Pebruari 20 I 2
DAFTAR RUJUKAN Attamimi, A. Hamid S. "Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara". Disertasi. Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta: 1990.
Attamimi, A. Hamid S. 1991. "Hubungan Pemerintahan Dcngan Dewan Perwakilan
Rakyat Menurut UUD 1945: Beberapa Permasalahan Yang Memerlukan Penjernihan", Makalah, Disampaikan dalam Seminar Hukum Kenegaraan RI (Depok, 5-6 Desember 1991). Bivitri Susanti et. al., 2000. Semua Harus krwakili Studi Mengenai Reposisi MPR, DP& dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan lndonesia. Jimly Asshiddiqie, 2002. Telaah Akademis atas Perubahan UUD 1945. Jurnal Demolcrasi dan HAM. Yol.l No.4 SepternberNopember 2001. "Iakarta: The Habiebie Center.
Jurriarto. 1982. Sejorah KetatqneEarean Republik Indonesia. Cetakan ke l. Jakarta: Bina Aksara. Kelsen, Hans. 2007. Teori Hukurn dan Negara
Dasar-dasar llmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum DeskriptifEmpiirik. Alih Bahasa Drs. I{. Somardi. Jakarta: BEE Media Indonesia, Maria Farida Indrati S., 2007. IImu Perundangundangan (1), Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Cetakan ke 13, Yogyakarta: Narviasky, Hans. 1984. Allgemeine Rechtslehre
als System der e
Republik Indonesia. Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002. Republik Indonesia, Ketetapan MPRS No. X)V MPRS/I 966 tentang "Memorandum DPR-
GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urusan Peraturan Perundangan Republik Indone-
sia", Republik Indonesia, Ketatapan MPR No. VA{PR/ 1973 tentan g Peninjauan Produk-produk
yqng Berupa Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia. Republik Indonesia, Ketetapan MPR No. IX/ MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Terntaktub dalam Pasal 3 Ketetapan MPR No. V/MPN 197 3.
Republik Indonesia, Ketetapan MPR No. III/ MPN2000 tentang tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53 Tambahan Lembaran Negara RI No. 4389.
Kanisius.
Grun db
Republik Indonesia. Perubahan Ketiga UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2001.
rechtlichen griffe . Einsiedeln I Zurich/Koln:
Benziger.
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1915. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959Nomor75. Republik Indonesia. Perubahan Pertanta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1999. Republik Indonesia. Perubahan Kedua UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. 2000.
Republik Indonesia, Utdang-Undang No. l2 Taltun 20I I tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234. Rosyid Al Atok, A,2002.Implikasi Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun I 945 terhadap Pembagian
Kekuasaan Antar Lembaga-lembaga Negara, Tesis, Jakarta: Program Pascasarj ana Fakultas Hukum Universitas
lndonesia,2002. Rosyid Al Atok, A., 20 1 2. Saling Kontrol dan Sal ing
Mengimbangi Antara Dewan Perwakilan
Atok Ketetapan MPR dalam Hirarki Peraturan Perundahg-Ondangan 9
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden dalam Pembentukan Undang-
Kemerdekaan Inedonesia (PPKI) 28 Mei
Undang, Disertosi, Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Uni-
Pertama: Edisi ke IV. Jakarta: Sekretariat Negara RI, , 1998.
versitas Brawijaya. Safroedin Bahar, et. al., 1998. Risalah Sidang
Lijphart, Arend. 1995. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial
Badan Penyelidik
Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI)-Panitia
Persiopan
1945
-
22 Agustus 1945. Cetakan
(Parliementary versus Presidential Governmenil. Disadur oleh Ibrahim R. Dkk. Cetakan
1.
Jakarta: Raia Grafindo Persada.
HAK ASASI MANUSIA BAGI PEREMPUAN
Arbaiyah Prantiasih Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. SemarangNo.5 Malang
Equality and elimination of discrimination against women is often the center of attention and acommitmentto carry it out. However,the achievement of equality in the social life ofthe dignity of women will still not show significant progress. Human rights and women's issues have not responded seriously by the state. Systematic gender-based violence issues, political rights and the right to work of women are of ten violated. Combating trafficking of women and children is still not a major agenda of the country. If this is not addressed seriously, it is feared that Indonesia will bethreatened as a country which is not committed to any transaction in violation of human rights
of
women. Many wornen's rights on work still face many problems. It is due to conflicts of law simplementation in consistency and the different perceptions of the role of women in the public sector.
Ilak-hak asasi perempuan masih belum terlindungi. Kesetaraan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan sering menjadi pusat perhatian dan menjadi komitmen bersama untuk melaksanakannya. Akan tetapi dalam kehidupan sosial pencapaian kesetaraan akan harkat dan martabat perempuan masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Isu ILAM dan perempum belum direspon secara serius oleh negara. Isu kekerasan sistematis berbasis gender, hak-hak politik dan hak atas pekerjaan bagi perempuan kerap dilanggar. Pemberantasan trfficking perempuan dan anak masih belum menjadi agenda utama negara. Jika hal ini tidak disikapi secara serius, dikhawatirkan
Indonesia terancam sebagai negara tidak berkomitrnen terhadap adanya hansaksi manusia dalam pelanggaran HAM perempuan. Banyak hak-hak perempuan atas pekerjaan niasih banyak menghadapi
berbagai benturan baik itu karena persoalan implementasi hukum yang tidak konsisten maupun persepsi yang berbeda mengenaiperan perempuan di sektor publik.
Kata kunci: hak asasi manusia, perempuan
Deklarasi universal mengenai hak asasi rnanusia (DUHAM) atau universal declaration of human right pada tahun 1948 mengandung prinsipprinsip dasar kemanusiaan, yakni menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Karena itu semua umat bangsa dan negara di muka bumi ini harusnya berkomitmen untuk mengimplementasikannya. Namun dalam praktiknya isu ras, kelas,
kebebasan yang tercantum dalam pemyatarn ir-ri
dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
hakikat IIAM itu sendiri. Deklarasi Hak Asasi
agama, politik, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lainnya". Ketidakadilan yang dialami kaum perempuan masih merupakan fenomena yang tidak kelihatan. Hal ini mendorong mereka untuk memproklamasikan serangkaian hak-hak
Mamrsia Pasal I menyatakan: "Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
perempuan sebagai pelindturg dari berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan degradasi yang tidak
martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat
kelihatan tersebut. Dengan
gender dan I ain-lain telah memporak-porandakan
m
enyuarakan aspirasi
mereka tentang HAM pada dasarnya kaum perempuan membawa ke garis terdepan nilai-nilai dan tuntutan akan keadilanyangbukan ekslusif perempuan, tetapi demi kelangsungan hidup manusia keseluruhan. Hak asasi perempuan
persaudaraan". Sedangkan pada Pasal 2 dinyatakan:
"Setiap orang berhak atas semua hak dan l0
Prantiasih, HakAsasi Manusia bagt Perempuan
1l
sebagai HAM tampaknya masih menjadi pertanyaan dan perdebatan sampai sekarang.
masyarakat terhadap peran gender kaum
Mengapa perempuan sebagai bagian dari manusia harus membedakan diri dengan memintahak-hak
terj adinya diskriminasi dan kekerasan. Kendatipun
khusus? Ada beberapa argumen yang muncul
dalam menjelaskan hal tersebut. Argumen terpenting adalah karena inherennya struktur hubungan "gender" yang bersifat asimetris di dalam diri perempuan, sebagai hasil bekerjanya sistem nilai yang pahiarhki, yaitu sistem struktural dari dominasi laki-laki baik terhadap reproduksi biologi s, kontrol terhadap kerj a, idiologi maupun pola hubungan sosial dari gender (Safa'at, 2000: 109).
Pembagian kerja sangat dikotomis, yaitu menempatkan perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik sehingga laki-laki memiliki akses kearah ekonomi, politik dan informasi yang lebih besar dibandingkan perempuan. Hubungan asimetris ini dapat memantul ke segala arah aspek kehidupan perempuan y ang dapat menyebabkan perempuan tersubordinat sekaligus terlemahkan. Apakah pegaruhnya hal tersebut sampai kepada konsep HAM sendiri? Sebagaimana tertulis dalam Deklarasi HAM yang dikeluarkan PBB, dimana
dalam deklarasi itu posisi perempuan terkonsepsikan dalam dikotomi antara lingkup kehidupan privat, dimana pelanggaran terhadap
HAM hanya diakui
dan terjadi yang diakui hanyaiah
yang dilakukan negara atas individu saja. Padahal, hak atas kebebasan pribadi adalah hak dasar untuk semua orang, oleh karena itu, tidak boleh dilanggar oleh negar4 kelompok maupun individu. Akibatnya
perempuan ternyata menjadikan penyebab bagi
tidaklah semua peran gender perempuan selalu berakibat diskriminasi, akan tetapi banyak peran gender yang secara langsung mengakibatkan subordinasi dan peminggiran atau marj inalisasi kaum perempuan.
HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN Pengertian HAM menurut Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hal
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang waj ib dihormati, dijunjungtinggi dan dilindungi oleh negar4 hukum,
pemerintah dan setiap harkat dan martabat manusia. Pasal 3 Undang-Undang tersebut secara tegas menyatakankan sebagai berikut: ( I ) Setiap manusia dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan. (2)Setiap orang berl,ak atas pengakuan dan jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. (3)Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.
kekerasan terhadap perempuan seperti bentuk-
bentuk kekerasan seksual,
perkosaan,
perdagangan perempuan dan sebagainya tidak diakui sebagai pelanggaran FIAM, sebab masih dipersepsikan sebagai isu domestik dan sebuah
Lahirnya berbagai instrumen nasional maupun internasional mengenai HAM, menunjukkan adanya kemajuan dan upaya-upaya pencapaian penegakan dan perlindungan HAM,
ruang pubiik dan ruang privat (domestik)
baik di tingkat dunia, maupun di negeri ini. Undang-undang HAM menganut prinsip-prins ip DUHAM yang pada dasarnya menjamin
memberikan sumbangan besar bagi munculnya sumber kesulitan mendasar mengapa kaum perempuan tidak terjangkau oleh standar HAM. Selama ini salah satu asumsi yang mendasari
kehidupan harkat dan maftabat seseorang baik perempuan maupun laki-laki mengenai hak atas kebebasan pribadi, hak berkeluarga, hak atas pekerj aan, kesej ahteraan, h ak-hak politik, h ak-hak
standar I{AM adalah bahwa HAM semata urusan negara atau pemerintah, karenanya perlu dibatasi
perempuan berkenaan dengan hak reproduksi, hak berpartisipasi di bidang eksekutif, yudikatif dan
yuridiksinya hanya pada domain publik saja
legislatif, hak-hak atas pendidikan.
(Zuhriah, 2008: 59). Adanya dikotomi urusan publik dan privat
dimiliki manusia bukan karena diberikan
tanpa disadari turut serta melanggengkan
kepadanya oleh masyarakat. Dengan demikian
masalah pribadi. Wacana pembagian secara dikotomis antara
pelanggaran hak asasi perempuan. Keyakinan
Hak asasi manusia merupakan hak-hakyang
12
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor
hak asasi manusia bukan berdasarkan hukum positip yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia. Hak asasi itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara (Magnis Suseno, 1998:121). Sejak memasuki era reformasi isu mengenai
HAM semakin kencang disuarakan ditandai dengan tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lampau dengan memberi sanksi hukum yang tegas. Untuk
memaksimalkan penegakan HAM, langkah strategis telah diambil dengan dibentuknya
KOMNAS HAM dan KOMNAS HAM Perempuan serta KOMNAS HAM Anak bagi
penegakan HAM serta melindungi warga masyarakat dari kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Adakah hak manusia yang berperspektif gender? Secara ideal hak asasi manusia tidak memiliki gender, tetapi nyatanya, secara univer-
sal,
perempuan
tidak menikmati
dan
mempraktikkan hak asasi kebebasan dasar sepenuhnya atas dasar yang sama seperti lakilaki. Bukti keterbatasan hak asasi perempuan adalah obyektif dan dapat dihitung. Hal ini yang menjadi stimulus lahirnya Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (konvensi mengenai eliminasi semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan) yang diangkat oleh Sidang Umum PBB pada tahun
1,
Pebruari 2012
mereka dieksploitasi di pasar kerja. Peran negara
dalam hal ini seringkali dapat memperparah keadaan secara pasif dengan mengabaikan kenyataan ini, tetapi seringkalijuga secara aktif yang dengan sengaja menjual tenaga kerja perempuan dengan murah seperti terjadi di Indonesia.
Dalam keluarga dan kebanyakan masyarakat, perempuan tidak mempunyai identitas yang independen karena dimasukkan dalam identitas yang legal dari suami. Dengan demikian perkawinan tidak merupakan kemitraan yang sejajar. Penggunaan unit keluarga oleh ahli politik dan ekonomi serta sosial adalah salah satu sebab dari hambatan implisit bagi perempuan untuk berparsitisipasi dalam politik. Seringkali keluarga dianggap sebagai tempat pelembagaan "inferioritas perempuan" serta "superioritas laki-laki" karena secara tradisional yang dianggap pantas menjadi kepala keluarga adalah laki-laki. Struktur keluarga
yang tradisional menciptakan pembagian hak, kewajiban, waktu dan nilai yang berbeda kepada setiap anggota keluarga (Ashwonth, 1998: 47) dimana kepala keluarga (laki-laki) menduduki posisi puncak.
Ada ketidakcocokan yang nyata antara kerangka hukum dar, kenyataan sehari-hari yang menjadi kekerasan terhadap perempuan sering dianggap sebagai suatu masalah domestik, bersifat pribadi, sehingga boleh diabaikan secara hukum. Padahal dari dahulu kala sampai sekarang
t970.
deskriminasi dan penghinaan terhadap perempuan
Memang ada persepsi umum bahwa hak asasi terbatas pada penahanan dan atau penyiksaan yang berkaitan dengan kegiatan politik publik, kebebasan berpendapat atau berasosiasi. Tetapi penting untuk diingat bahwa Universal Declaration of Human Rights (1948) jauh lebih luas dan ideal. Penyempitan interpretasi yang terj adi adal ah indikasi adanya suatu "man ipulasi", sengaja atau tidak (oleh laki-laki) sehingga hak asasi perempuan yang banyak menyangkut hak
masih mengambil bentuk yang sama, seperti berbagai bentuk penganiayaan, pelecehan, perko saan, pemukulan istri, penj ualan perempu an oleh keluarga-keluarga miskin, perlakuan tidak adil
ekonomi dan sosial terabaikan. Secara historis ada kecenderungan untuk memberikan penekanan
pada hak-hak civic dan politik daripada hak ekonomi dan sosial. Hal ini mungkin bias Barat, tapi yang jelas bias laki-laki. Subordinasi perempuan dianggap alami memberikan justifikasi untuk memberlakukan
subordinasi ekonomi. Akan tetapi dinamika kultural yang memungkinkan perempuan diganggu atau dikasari secara fisik, juga memungkinkan
dan sebagainya. Berbagai model akumulasi modal, orientasi ekspor dan pertumbuhan terjadi berdasarkan hakhak ekonomi perempuan, malalui implementasi yang lemah dari hak-hak civic dan politik merek4 serta status kultural dan sosial yang rendah. Belum
lagi peran ganda perempuan: perempuan yang tidak dibayar untuk melakukan pekerjaan domestih
padahal pekerj aan ini esensial demi keberlangsungan industri dan hidup. Bagi perempuan miskin yang bekerja untuk upah yang begitu rendah dan harus mengerjakan pekerjaan rumah pula, hal ini jelas merupakan beban yang bertumpang tindih. Status kawin j uga problematis, karena sering dipakai dasar untuk diskriminasi.
Status kawin memungkinkan akumulasi tetapi
Prantiasih, HakAsasi Manusia bagi Perempuan 13
diselubungi kebijakan sosial tanpa harus
Sepanjang peradaban manusia perbedaan
mempertahankan hubungan gender yang tidak
gender dan ketimpangan kekuasaan dan budaya
seimbang.
patriarchi merupakan salah satu bentuk deskriminasi dan praktik kekuasaan yang
Dalam sektor ekonomi, kerentanan
ekonomi Indonesia yang bergantung pada
menjadikan hak-hak perempuan yang paling fondamental sebagai manusia tercerabut dari akarnya (Sihite, 2007: 175). Isu hak asasi perempuan semakin menguat dikumandangkan mengingat pelanggaran HAM terhadap
industrialisasi tengah berlangsung diatas pundak
perempuan terjadi diranah publik maupun domestik
buruh perempuan yang hak-haknya paling
di berbagai penjuru dunia. Menyikapi berbagai isu perempuan sebenarnya sudah lama dikedepankan
perempuan terhadap eksploitasi berlaku universal. Secara individu maupun secara massa, perempuan dieksploitasi oleh perusahaan yang biasanya ditunjang oleh negara. Lepas landas
dasarpun tidak terpenuhi Syafaat, 200 0 : 7 I2). (
Pemiskinan perempuan secara besarbesaranjelas mempunyai implikasi sosial-ekonomi
yang serius dan juga terhadap hak-hak asasi lainnya seperti hak pendidikan, hak memiliki properly, kebebasan mengikuti kegiatan politik atau
melalui berbagai konferensi PBB tentang pentingnya kesetaraan dan keadilan gender. Deklarasi Juli 1975 telah disepakati melalui Konferensi Dunia Tahun Perempuan Internasional
(World Conference
of
The International
budaya. Hal ini menciptakan suatu lingkaran setan
Womenb Year) sebagai pertanda dimulainya
dimana perempuan tidak mempunyai peluang
babak baru bagi perempuan. Selanjutnya Majelis Umum dalam resolusi 3010 tanggal 18 Desember 1972 menetapkan tahun 1975 sebagai tahun perempuan internasional . Tahun tersebut diperuntukkan bagi peningkatan aksi dengan tujuan: ( I ) meningkatkan kesetaraan antar a perempuan den gan lak i- laki, (2) menj amin
untuk memperbaiki nasib sehingga pelembagaan perempuan sebagai koloni terseluburg berlangsung terus. Eksistensi pelanggaran hak asasi perempuan tentunya menuntut kita untuk mengkaji dan mengidentifikasi hukum-hukum kit4 hukum mana yang sesuai dengan rasa keadilan dan hak asasi perempuan dan hukum mana yang tidak sesuai. Hal ini penting sekali dalam rangka mengetahui
sejauh mana kita telah mengantisispasi perkembangan hukum yang menjamin dan memberikan penghormatan serta penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi perempuan.
HAK-HAK
PEREMPUAN
DAN
KE SEPAKATAN INTERI\ASIONAL
pengintegrasian total kaum perempuan dalam upaya-upaya pembanr;unan, (3) meningkatkan sumbangan kaum perempuan pada penguatan perdamaian dunia.
Dalam semangat mengangkat isu perempuan, sejatinya dalam konferensi perempuan intemasional yang diselenggarakan antara tahun 1975 - 1985 bahwa isu politik seringkali muncul sebagai pusat pembahasan sementara apa yang disebut sebagai isu perempuan
dipinggirkan. Pada konferensi di Mexico City
IIAM
semakin terangkat ke permukaan karena dinilai hak-hak asasi mausia yang telah Isu
disepakati tanpa pembedaan gender iernyata
dinstruksikan oleh pemerintahnya masing-masing negara hanya terlibat dengan pembahasan politik dan menghindari isu yang berhubungan dengan hak
belum din ikmati oleh banyak perempuan dan dini lai hak-hak asasi perempuan masih belum terlindungi. Kej ahatan terhadap kemanusi aan (cr ime again s t
asasi perempuan (Rosemarie Tong, 1998: 335). Hal ini merupakan suatu bukti betapa pembahasan isu perempuan masih sulit diterima dan masih
humanity) yang berbasis gender masih
mendapat tekanan dan tarik menarik antara
merupakan bagian dari kehidupan sosial. Contoh
berbagai kepentingan.
kasus Bosnia misalnya belum lenyap dalam
telah jadi tindakan
Tahun perempuan internasional merupakan tonggak baru bagi perempuan di dunia, karena pada konferensi ters.-but prinsip-prinsip mend asar
korban yang paling teraniaya adalah perempuan
dari kehidupan perempuan terakomodasi dan permasalahan perempuan mulai tertampung. Pencapaian egaliter antara perempuan dan lakilaki adaiah awal dari penegakan HAM ( Sihite, 2401: 177). Konferensi HAN{ di Wina (1993)
ingatan kita dimana dehumanisasi seperti cleansing ethnic yang korban-korbannya diperlakukan sangat tidak manusiawi, tanpa pandang bulu. Akan tetapi karena mereka diperkosa dan mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual.
14
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegsraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari 2012
secara tegas dideklarasikan bahlva hak asasi perempuan adalah HakAsasi Manusia (Women's Right is Human Rights/, Konferensi Beij ing ( I 995 )
dengan landasan aksi Beijing juga menegaskan bahwa kesehatan reploduksi adalah bagian dari hak asasi manusia semuanya menuju satu titik pencapaian kesetaraan dan keadilan gender serta apresiasi terhadap HAM bagi masyarakat secara
keseluruhan tanpa kecuali. Dengan melalui gagasan-gagasan konferensi internasional maupun
batas wilayah. Untuk memerangi dibutuhkan kesepakatan-kesepakatan keamanan bilateral, regional antar negara. Bila tidak disikapi secara serius dikhawatirkan Indonesia terancam sebagai negara tidak berkomitmen terhadap transaksi manusia dan pelanggaran HAM.
Persoalan lama yang sampai
kini belum
mendapat solusi yang memadai adalah perlakuan terhadap pekerja migran perempuan. Secara kasat
melalui ratifikasi konvensi internasional lainnya,
mata, hak asasi mereka diinjak-injak, apalagi melalui jalur diplomasi pemerintah Indonesia
kesetaraan dan penghapusan deskriminasi
menyelesaikan kasus buruh migran yang
terhadap perempuan sudah kencang disuarakan
dan menjadi komitmen bersama untuk
bermasalah seolah menemui jalan buntu. Berhasil atau tidak melalui jalur diplomasi sangat tergantung
melaksanakannya.
pada kemauan
Akan tetapi di tengah kehidupan sosial pencapaian kesetaraan akan harkat dan martabat perempuan masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Isu HAM dan perempuan belum
direspons secara serius oleh negara, dan isu kekerasan sistematik berbasis gender, hak-hak politik dan hak-hak atas pekedaan kerap dilanggar. Trafficking perempuan dan anak masih menyisakan banyak persoalan dan wujud pelanggaran IIAM masih belum menjadi agenda utama negara. Di lndonesia selama berlangsungnya operasi
militer di Aceh berbagai laporan menunjukkan bahwa telah terjadi perkosaan dan pelecehan
politik pemerintah Indonesia.
Fenomena buruh migran perempuan tidak sebatas
masalah ekonomi, pengangguran
atau
ketenagakerjaan, akan tetapi persoalan mendasar
yang sering luput dari perhatian adalah menyangkut persoalan kemanusiaan.
Permasalahan perempuan telah berpartisipasi di sektor ketenagakerjaan dan ekonomi kontribusi perempuan dalam upaya menigkatkan pedapatan rumah tangga cukup berarti. Tetapi keterlibatan perempuan di sektor ketenagakerjaan ternyata belum menunjukkan perubahan yang sig:rifikan dalam hal perbaikan status, kedudukan dan kesejahteraan sebagai pekerja. Isu ini perlu menjadi fokus perhatian
secara seksual, teror dan intimidasi demi sebuah pengakuan, menyerah pada pihak lawan dan
mengingat CEDAW (Convention Against
i dilakukan secara sistematis sebagai bentuk pelanggaran HAM. Terjadi pembiaran oleh negara (by ommision)danoknum aparat yang melakukan pelanggaran HAM dan kekerasan berbasis gender seperti terjadi di Aceh tidak dikenai sanksi hukum yang tegas. Kasus kekerasan di wilayah konflik masih menyimpan banyak persoalan menyangkut pelaku-pelakunya
melalui UU RI No 7 tahun 1984, pada pasal
demoralisas
y ang
yang sering menjastifiksi tindakan demi keamanan
atau perintah atasan. Sementara itu, bukti-buldi semakin sulit didapat atau tidak cukup bukti karena saksi-saksi tidak bersedia bersaksi karena alasan intimidasi. Kasus perdagangan perempuan dan anak
serta pelacuran juga merupakan cerminan pelanggaran HAM. Kondisi ini benar-benar mengkhawatirkan karena praktik perdagangan perempuan dan anak menjurus pada eksploitasi seksual terjadi ditingkat lokal, nasional bahkan
inetrnasional yang disinyalir sebagai bentuk kejahatan transnasional tidak mengenal batas-
Women) tahun 197 9 dan Indonesia meratifikasinya 11
menyatakan bahwa hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia.
Hak-hak perempuan atas pekerjaan masih banyak menghadapi berbagai benturan baik itu karena persoalan implementasi hukum yang tidak konsekuen maupun persepsi yang keliru mengenai peran perempuan di sektorpublik seperli anggapan
pekerja perempuan bukan pencari nafkah utama. Hal ini membawa imp likasi di tingkat implem entas i, perempuan selalu termarginalisasi dan dihadapkan pada berbagai tindakan diskriminatif kendatipun
secara deyure hak-hak pekerja perempuan sebagian telah terlindungi oleh peraturan dan Undang-undang. Hukum belum mampu menolong
perempuan terbebas dari berbagai tindak pelanggaran. Demikian j uga perlakuan diskriminatif dal am hal upah masih terj adi meskipun konvensi ILO No. 100 persamaan upah antar perempuan dan lakilaki telah diratifikasi, mengklaim posisi dan jenis
Prantiasih, HakAsasi Manusia bagi Perempuan 15
pekerjaan tertentu hanya pantas untuk laki-laki, di PHK dengan cara semena-mena dengan alasan-
Perlindungan Anak termasuk j uga undang-undang
alasan berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan. Banyak pekerja perempuan
tersebut mampu menjawab berbagai persoalan berkenaan dengan pelanggaran dan perlindungan HAM di Indonesia. Melalui gagasan-gagasan dan
dimarginalisasikan dan tersingkir pada feminisasi pekerjaan yang umumnya berupah rendah tanpa
memiliki akses terhadap pengembangan keterampilan dan peningkatan karir. Dengan dikeluarkannya berbagai konvensi atau undang-undang berperspektif gender untuk melindungi perempuan dari pelanggaran HAM belum dapat sepenuhnya menjamin perempuan terbebas dari pelanggaran HAM. Oleh sebab itu,
negara berperan sebagai penjaga HAM bagi warganya harus menjamin perolehan hak-hak secara dejure tetapi terpenting secara defacto.
SIMPULAI{
peraciilan HAM diharapkan perangkat dan institusi
komitmen bersama di berbagai konferensi intemasional di Wina, di Beij ing maupun konferensi internasional yang telah diratifikasi, serta berbagai
instrumen HAM nasional, kesetaraan dan penghapusan diskriminasi serta peningkatan harkat
dan rnartabat perempuan secara dejtu.e telah dijamin. Akan tetapi sayang di tataran empiris pencapaian akan hal tersebut belum menunjukkan
kemajuan yang signifikan. Dalam rangka menghapus hambatan kultural
pandangan andosentrisme dan hegomoni kelompok-kelompok tertentu dalam kehidupan sosial merupakan suatu tantangan berat yang harus
HAM. Contohnya terbentuknya KOMNAS
diupayakan. Meniadakan suatu kebijakan dan insrumen hukum yang bias gender baik itu pada bidang ketenagakerjaan, ekonomi, dalam adat istiadat merupakan salah satu solusi yang tepat mengangkat dan menghormati harkat dan
HAM, KOMNAS HAM Perempuan, KOMNAS
martabat perempuan.
Beberapa instrumen hukum tentang HAM dan berbagai perangkat yang telah dibentuk dalam
rangka kepentingan penegakandan perlindungan
DAFTAR RUJUKAN Asworth, Georgina, 1999, Women and Human Rights, Brazil: Institut of Cultural Action (rDAC) El ias, Robert, l 99 8, The P ol itic s of Vic t imiz ation. New York: Oxford University Press Sihite, Romany, 2007, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Syafaat, Rahmad, 200A, Buruh Perempuan,
Perlindungan Hukum dan Hak-Hak Azasi Manusia. Penerbit UM.Press Malans
Suseno, Franz Magnis, 1998, Etika Politik, PT. Gramedia, Jakarta
Soetrisno, Loekman, 1997, Kemiskinctn, P ere
mpuan dan
P
e
mb
erdayaar, Kan isius,
Yogyakarta
Zuhriah, Erfaniah, 2008, Gender dalam Perspektif Hukum dan HAM di Indonesia (Seri Bunga Rampai), Penerbit UIN Mlang Press
Wibawa, Dhevy Setya, 2005, Dampak Pembakuan Peran Gender, LBH-APIK, Jakarta Undang-UndangNo 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Desinta Dwi Rapita SuwarnoWinarno Jurusan Hukum dan Kewarganegaraflr, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang
The manners education is a strategic education and it is very urgentto be givenbccause it is a form of conscious effort to give the learners to behave as people who have religious faith, having good manner, having good characteristics and good qualities as well as being responsible to his society and his country. More specifically, the manner education conducted in the Class II a Children Jail Blitar (LPA Blitar) is one of the guiding efforts in order to restore children's mental and behavior to the better direction. It is expected that through this education, those children can be complete human beings, put away their dark past, knowing what they have done wrong and never do those mistakes again so that the society can accept them back. This study also aims to describe the problems faced when conducting the Manner Education in LPA Blitar, which covers the purpose of the Manner Education in LPA Blitar, the contents of the Manner Education materials in LPA Blitar, the methods and media being used in the teaching of Manner Education in LPA Blitar, the application of the evaluation of the Manner teaching and learning, the challenges faced during the teaching and learning process as well as the techniques used for overcoming the challenges in teaching Manner Education in LPA Blitar.
Abstrak Pendidikan Budi Pekerti cukup strategis dan urgen karena digunakan untuk membekali para peserta didik agar menjadi manusia yangber-imtaq, berbudi pekerti luhu4 dan bertanggung jawab terhadap masyarakatdan bangsanya. Tujuan dari penulisan adalah rnendeskripsikantujuan, materi, metode pelaksanaan pendidikan, evaluasi, hambatan dan upaya mengatasinya hambatan dalam pendidikan budi pekerti di LPA (Lembaga PemasyarakatanAnak). Metode menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Data diperoleh dari pegawai dan anak binaan LPA. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti di LPA adalah untuk mengubah perilaku anak binaan yang semula tidak baik menjadi berperilaku baik. Materi meliputi saling menghormati antar sesama, bertanggungjawab dan disiplin, menjalankan ibadah sesuai agamanya, diajarkan mengenai perilaku yang sesuai dnegan norma dan perilaku yang tidak sesuai dengan norna, sopan santun, patriotis, empati, adil, dan kebersamaan. Mengenai metode yang dilaksanakan dalam pembelajaranPendidikanBudi Pekerti di LPABlitar ialahmetode ceramah, permainan, diskusi dan pembiasaan. Evaluasi dengan cara memberikan test dan evaluasi diri. Hambatan yang dihadapi antara lain: motivasi belajar rendah, kurangnyakoordinasi dan pengertian dari masing-masingsub bidang di Lapas, jumlah tenaga pengajar yangterbatas, gwu pengajar kurang kompeten, motivasi guru dalam mengajar kurang, dan minimnyajam pelajaran. Kata Kunci: pendidikan, budi pekerti, lembaga pemasyarakatan anak
Kondisi masyarakat lndonesia saat ini sedang mengalami patologi sosial yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat
matang. Akibatnya m uncul efek-efek sos ial yang
buruk. Bermacam-macaln masalah sosial dan masalah moral bermunculan. Tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak dan pemudajumlahnya meningkat. Pencurian, penganiayaan, sampai pembunuhan adalah sedikit dari tindak kriminalitas
kita telah tercabut dari peradaban ketimuran yang terkenal sangat santun, beradab dan sopan. Pada saat ini banyak dari mereka yang bersikap hedonis dan menelan peradaban barat tanpa seleksi yang
yang dilakukan oleh mereka. Hasilnya banyak t6
Rapita & Winarno, Problematika Pendidilean Budi Pekerti di Lembaga Pemasyarakatan 17
generasi muda kita yang akhirnya menghabiskan
RI tentang Organisasai dan Tata Kerja LPA, fungsi
masa anak-anak dan masa mudanya di Lembaga
LPA adalah untuk melakukan pembinaan anak didi( memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan
Pemasyarakat.
Hal ini menjadi keprihatinan kita bersama. Segala bentuk usaha telah dilakukan untuk mengembalikan generasi muda kita kepada jalurnya, yaitu generasi muda yang penuh semangat, mempunyai adab yang baik, berbudi pekerti, sopan santun dan saling menghormati. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan pendidikarl terutama pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti ini diberikan melaluijalur pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampi lan, p ikiran, perasaan, kemauan, sos ial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan bermoral (Indrayanto, 2009:1).
mengelola hasil kerja melaksanakan bimbingan sosial
kerohanian, dan melaksanakan pemeliharaan keamanan dan tata tertib lembaga pernasyarakatan
(Muspita2006.'22).
Lembaga Pemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi antara lain: (1) sebagai salah satu
alat pembentuk manusia Indonesia seutuhnya dalam kerangka besar negara dan bangs4 yaitu "nqtion and character building", (2) tempat untuk menyadarkan kepada pelanggar hukum agar menyadari perbuatannya.yang lalu dan menjadi warga yang taat hukum kembali, (3) sebagai
sarana untuk mencegah terulangnya tindak kejahatan, (4) tempat untuk membina dan mendidik
narapidana anak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang berintikan kegotong royongan (Zainab, 2 000 : I 1 ). Diantara empat fungsi Lembaga Pemasyarakatan Anak yang telah disebutkan di atas salah satunya yaitu untuk memberikan pembinaan dan pendidikan
ayat I
kepada narapidana agar memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Mereka yang berstatus sebagai
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa "Pendidikan
mendapatkan pendidikan seperti anak-anak pada
Disebutkan juga dalam Pasal
I
merupakan usaha sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak muli4 serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara". Rochmadi (2002:28) menjelaskan bahwa dalam suatu proses kependidikan yang diinginkan terdapat suatu poses yang terarah dan bertujuan pada seluruh proses psikologi manusia, yakni penalaran, nilai dan sikap, keterampilan dan kepribadian serta kreativitas. Dengan demikian jelas bahwa pendidikan harus mampu mengeksplorasi potensi diri dan mengarahkan kemampuan yang dim il iki m enj adi suatu ke giatan
narapidan ataupun anak negara tetap berhak
umumnya. Termasuk dalam hal
ini
adalah
pendidikan budi pekerti.
Istilah budi pekerti secara sederhana dapat diartikan sebagai seperangkat nilai-nilai yang menentukan ukuran kebaikan dan keburukan perilaku manusia melalui nonna agama, norna hukum, tata krama, sopan-santun, dan norrna budaya atau adat istiadat masyarakat. Budi pekerti terlihat dalam bentuk perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik. Sementara itu pendidikan sering kali diartikan sebagai usaha sadar yang terencana untuk membantu anak dalam menyiapkan kehidupannya di masa depan (Sutja, 2007.2).
Pendidikan Budi Pekerti diartikan juga sebagai salah satu dimensi substansi pendidikan nasional sangat penting dan belum sepenuhnya
hidup yang saling berhubungan. Pasal 3l ayat (l) ULID 1945 menjelaskan
memberikan dampak pembelajaran yang
bahwa "tiaptiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Sesuai dengan isi pasal tersebut maka
pendidikan formal sebagai wadah resmi
menggembirakan. Oleh karena itulah, lembaga
mendapatkan pendidikan, begitujuga dengan anakanak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan.
pembinaan generasi muda diharapakan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian siswa melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan budi pekerti (Prantiasih,
Dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kehakiman
2010:2).
semua warga negara tanpa terkecuali berhak
18
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegailtan,Th.25,Nomor
Zvriah (20 07 :20) men gemukakan pengerti an
pendidikan budi pekerti dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional. Secara konsepsional pengertian pendidikan budi pekerti mencakup halhal sebagai berikul (a) usaha sadar dan terencana untuk menyiapkan peserta didik rnenjadi manusia
seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan yang akan dating, (b) upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perilaku peserta didik agarmerekamau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi dan seimbang (lahia batin, material, spiritual, dan
1,
Pebruari 2012
tanggung jawab peserta didik sebagai penerus bangsa, (c) memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap situasi dan kondisi lingkungan yang negatif, sehingga tidak terj erumus ke dalam perilakuyang menyimpang baik secara
individual maupun sosial, (d) meningkatkan kemampuan untuk menjauhi atau menolak sifatsifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Sutj4 2007:3). Sedangkan Zuriah (2007: 176) mengernukakan bahwa tujuan pendidikan budi pekerti dari perspektif historis adalah untuk mengembangkan pengetahuan,
wawasan, keterampilan, sikap hidup, dan perilaku
individu sosial), (c) upaya pendidik untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi
yang baik sesuai dengan nilai-nilai dan nonna-norrna yang berlaku dalam suatu masyarakag sedang dalam
seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui
perspektif kekinian, tujuan pendidikan budi pekerli
kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengakaran, dan latihan serta keteladanan.
diberikan disekolah-sekolah tidak lain untuk membekali para peserta didik agar mampu
Sedangkan seciua operasional pendidikan
budi pekerti diartikan sebagai upaya untuk membekali peserta didik melalui bimbingan,
berperilaku sebagai manusia-manusia yang berimtaq, berbudi pekerti luhur, berkepribadian dan berkualitas, serta bertanggung jawab terhadap
pen gaj aran, dan latihan se I am a pertumbuhan dan
masyarakat dan bangsanya.
perkembangan dirinya sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih,
dilaksanakan
berperangai baik, serta menj aga kesusil aan dalam
melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan sesama makhluk. Setelah beberapa dekade tidak tercantum dalam kurikulum pendidikan, akhirnya pendidikan budi pekerti dirasakan kembali urgensinya untuk diaj arkan di sekolah-sekolah. Usaha memasukkan
pendidikan budi pekerti dalam kurikulum
Apabila pendidikan budi pekerti ini di Lembaga Pemasyarakat Anak
yang notabene merupakan tempat anak-anak yang mengalami penurunan moral, maka akan menjadi sesuatu yang urgen. rJntuk mengembalikan moral
baik mereka maka Pendidikan Budi Pekerti penting untuk dilaksanakan. Dalam rangka meningkatkan keberhasilan pendidikan budi pekerti untuk membenfuk mental, moral, spritual, personal,
pendidikan diawali dengan rintisan pengintegrasian nilai-nilai budi pekerti dalam seluruh mata pelajaran,
dan sosial peserta didik, maka dalam penerapan pendidikan budi pekerti dapat digunakan berbagai pendekatan dengan memilih pendekatan terbaik
terutama dalam mata pelajaran Agam4 PPKn, Bahasa Indonesia sefta dilaksanakan melalui
menimbul kan hasil yang optimal (Sutj a, 2007 :4).
kegiatan Bimbingan Konseling (Dirjen DIKDASMEN, Depdiknas 2004). Mengikuti perkembangan, maka pendidikan budi pekerti yang dilaksanakan di LPA Blitar terintegrasi ke dalam mata pelajaran PKn dan Agama. Selain terintegrasi dalam kedua mata pelejaran tersebut, materi pendidikan budi pekerti
di LPA Blitar terdapat juga dalam penerapan kehidupan sehari-hari warga LPA atau diterapkan dengan menggunakan pendekatan penanaman nilai
melalui pembiasaan.
Pendidikan Budi Pekerli memiliki tujuan, antara lain: (a) rnendorongkebiasan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilainilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius, (b) menanamkan j iwa kepemimpinan dan
dan saling mengaitkan satu sama lain agar Selain pendekatan yang disebutkan di atas, pendekatan ada yang juga digunakan dalam Pendidikan Budi Pekerti, yaitu pendekatan inculcation. Arbaiyah Prantiasih (2010:1 1) mengemukakan bahwa pendekatan inculcation adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan padapenanaman nilai-nilai sosial daiarn diri siswa.
Pendekatan inculcotion atau penanaman nilai melaui pembiasaan disadari atau tidak disadari pendekatan ini telah digunakan secal'a meluas dalam berbagai masyarakat, terutama dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya.
Pendekatan Inculcation merupakau pendekatan yang paling tepat digunakan dalarn
pelaksanaan budi pekerti karena: (1) tujuan pendidikan budi pekerti adalah penanaman nilai-
Rapita & Wnarno, Problematika Pendidilan Budi Fekerti di Lembaga Pemasyarakatan 19
nilai dari siswa. Pembelajaran bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dari nilainilai luhur budaya bangsa Indonesi4 yang tumbuh berkembang dalam masyarakat Indonesi4 (2) menumt nilai-nilai luhur budaya bangsa dan pandangan hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Dalam mengembangkan Budi Pekerti, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajibannya tersebut sebaik-baiknya, (3) menurut konsep Pancasila, hakekat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakekat itu, manusia memiliki hak dan kewajiban
menggunakan pendekatan fenomenologis. Peneliti
menggambarkan situasi yang sebenarnya di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar. Lokasi penelitian dipilih di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Blitar sendiri, sebab sesuai dengan fokus penelitian ini, yaitu untukmengetahui gambaran secara umum problematika pendidikan
budi pekerti di LPA Blitar. Lokasi penelitian ini dipilih dengan alasan karena di dalam LPAtersebut peneliti akan mendapat infonnasi yang cukup untuk mendeskripsikan problematika pendidikan budi pekefti yang menjadi obyek penelitian ini. Selain
itu secara jelas peneliti akan mengetahui situasi dan kondisi anak-anak binaan atau narapidana di LPA. Dengan b"gttt, penelitian ini diharapkan bisa
dasar yang melekat eksistensi kemanusiaannya itu.
berjalan dengan baik sesuai dengan yang
Hak dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka Pendidikan Budi Pekerti, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia. (4) dalam pembelajaran budi pekerti di sekolah, faktor isi atau nilai merupakan hal yang amat penting. Oleh sebab itu nilai-nilai harus diajarkan kepada siswa sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dalam pembelajaran budi pekerti faktor isi dan nilai dan
diinginkan.
proses sangat penting (Prantiasih, 2010:
ll-12).
Pendidikan budi pekerti sangat penting diterapkan khususnya pada anak-anak yang mengalam i permasalahan moralitas seperti anak-
anak yang berada di Lembaga Pemayarakatan Anak. Namun, masih banyak hal yang menjadi problematika dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti tersebut. Oleh sebab itu, penulis dalam hal
ini akan membahas lebih lanjut
mengenai
problematika pendidikan budi pekerti di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Blitar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tujuan
Kehadiran peneliti dalam penelitian pr
oblematika pendidikan budi pekerti di LPA Blitar
ini sebagai instrument kunci (key instrument). Peneliti membuat sendiri seperangkat alat observasi seperti pedoman wawancara dan pedoman penilaian dokumentasi. Sebab, dalam hal
ini peneliti
menggunakan teknik wawancara,
observasi, dan dokumentasi untuk mengumpulkan
data. Wawancara dilakukan kepada beberapa informan kunci seperti Kepala LPA B litar, Kepala bidang pembinaan, guru pengajar, siswa atau anak binaan LPA Blitar, dan beberapa staf LPA Blitar. Sedangkan observasi dilakukan pada lingkungan LPA Blitar, khususnya kondisi sekolah Istimewa di LPA dan juga suasana pada saat pembelajaran
Pendidikan Budi Pekerti. Selanjutnya untuk dokumentasi ini dibagi menjadi dua, yaitu dokumentasi yang berarti data yang berupa foto dan juga data yang diperoleh dari dokumentasi berkas-berkas atau sumber buku yang di dapat.
etode pelaksanaan
Selanjutnya untuk mengecek keabsahan data yang digunakan, penel iti menggunakan beberapa cara, yaitu dengan perpanjanngan waktu di lokasi yaitu LPABlitar dan keajegan pengamatan untuk
pendidikan budi pekerti, untuk menjelaskan
menghimpun data yang lebih banyak. Selain itu
pelaksanaan evaluasi pengaj aran pendidikan budi
peneliti juga melakukan triangulasi dan pengecekan
pekerti, untuk mendeskripsikan hambatan-
anggota. Triangulasi dilakukan kepada beberapa
hambatan pelaksanaan pendidikan budi pekerti dan juga untuk mendeskripsikan beberapa cara untuk men gatasi hambatan pelaks anaan pendid i kan bu di
orangtua anak binaan yang sudah keluar dari LPA. Hal ini dilakukan untuk pengecekan atau sebagai
pendidikan budi pekerti di LPA Blitar, untuk mengetahui isi materi pendidikan budi pekerti di LPA B litar, unfu k mengetahui
m
informan di luar yang ditentukan, mislanya
METODE Penelitian ini menggunakan rancangan
pembanding terhadap data itu. Sedangkan pengecekan anggota dilakukan dengan cara mengumpulkan semua informan seperti Kepala LPA, Kepala bidang pembinaan, para guru
penelitian deskriptif kualitatif
pengajar, dan siswa atau anak binaan LPA untuk
pekertidi LPABlitar.
dengan
20
Jurnal Pendidikan Paneasila dan Kewarganegaraan,Th.2s,Nomor
selanjutnya dikumpulkan untuk mengecek
l, Pebruari
2012
Berdasarkan temuan peneliti mengenai tujuan
kebenaran data dan interprestasinya.
pendidikan budi pekerti di LPA Blitar jika
HASIL DAN PEMBAHASAN
dihubungkan dengan beberapa konsep tentang pendidikan budi pekerti, maka tujuan utama dari pelaksanaan pendidikan budi pekerti di LPA Blitar
Beberapa tujuan pendidikan budi pekerti di
LPA Blitar antara lain: pertama, unttk memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai pendidikan budi pekerti agar anak binaan dapat berperilaku sesuai dengan norrna yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini bisa terlihat dari proses belajar mengajar di kelas mereka diajarkan mengenai konsep-konsep dan contoh budi pekerti yang harus mereka ketahui dan diterapkan dalam kehidupan. Kedua, agar
adalah terjadinya perubahan perilaku anak yang semula berperilaku tidak baik menjadi berperilaku baik. Perubahan perilaku yang baik menjadi hal yang penting dan menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan budi pekerti. Sehingga dalam hal ini setelah mereka nantinya keluar dari LPA, mereka bisa diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari masyarakat dan dapat hidup secarawajar seperti anak-anak pada umumnya.
mampu berperilaku sebagai manusia yang beriman
Mengenai materi Pendidikan Kewarganegaraan yang diajarkan di LPA Blitar antara lain
ini dapat dilihat dari jadwal
yaitu mengenai norma yang berlaku dalam
kegiatan anak binaan LPA. Mereka dengan disiplin
masyarakag sikap disiplin, patriotis, tenggang ras4 empati, adil dan kebersamaan. Semua materi itu disampaikan melal u i kegiatan belaj ar-men gaj ar di
dan bertaqwa. Hal
diajarkan bagaimana cara wudhu, sholat, dan diberikan ceramah-ceramah keagamaan. Selain itu untuk non muslim, mereka disediakan tempat ibadah dan disediak4n pembimbing keagamaan di hari-hari tertentu. Keempat, untuk meningkatkan kepekaan mental dan moral terhadap situasi dan kondisi lingkungan yang negatif. Setelah rnengetahui konsep dan contoh sikap-sikap yang
baik atau budi pekerti yang luhur, maka tujuan selanjutnya adalah mereka bisa peka terhadap situasi dan kondisi yang sifabrya negatif misalnya disaat mereka bertemu dengan beberapa orang yang ingin berperilaku jahat kepadanya, maka mereka bisa dengan segera mengindar. Kelima, untuk mengen, balikan anak binaan kepada perilaku yang baik dan tidak mengulangi perbuatan tercela yang sebelumnya pernah dilakukan.
kelas dan juga melalui kegiatan pembiasaan. Melalui kegiatan belajar-mengajar di kelas, mereka diajarkan norrna-norna apa saja yang berlaku dalam masyarakat, konsep disiplin, patriotis, tenggang rasa, empati, adil dan kebersamaan. Merekajuga diberikan contoh-contoh dari sikapsikap yang dimaksud.
Materi Pendidikan Budi Pekerti yang diintegrasikan dalam Pendidikan Kewarganegarinn
bukan tanpa alasan. Sebab, Pendidikan Kewarganegaran memiliki konsep yang hampir sama dengan Pendidikan Budi Pekerti. Pendidikan Kewarganegaraan memberi pengetahuan dan latihan yang membimbing kita dalam memahami hak dan kewaj iban, belaj ar memahami hukum, dan kebenaran
Tujuan pendidikan budi pekerti di LPABlitar
dalam hidup berdasarkan aturan dan perundang-
yang disebutkan di atas tentunya sudah sesuai dengan beberapa konsep pendidikan budi pekerti
undangan yang berlaku. Sehingga peserta didik akan
memiliki tatakrama dan budi pekerti yang baik
yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli. Secara
(Kusumah,2002).
operasional pendidikan budi pekerti diartikan sebagai upaya untuk membekali peserta didik
Pendidikan Agama mengaj arkan nilai-nilai moral pada anak, yaitu mendidik akhlak yang baik. Di LPA Blitar, anak-anak diajarkan mengenai perbuatan yang baik dan buruk yang berhubungan dengan dosa dan pahala. Mereka diajarkan cara
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan selama peftumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal bagi masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta
menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk sehingga terbentuk pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa; ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa (Suda, 2007:2).
wudhu dan sholat, cara menjalankan ibadah, menghormati sesama, dibiasakan untuk berdoa dahulu sebelum memulai kegiatan, dan berjabat tangan pada saat bertemu dengan guru pengajar. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk karakter manusia yang beriman dan berakhlak.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa isi materi Pendidikan Budi
Rapita & Wnarno, Problematila Pendidilcon Budi Pekerti di Lembaga Pemusyarakntan 27
Pekerti yang diajarkan di LPA Blitar adalah mengenai saling menghormati, bertanggungj awab dan disiplin, menjalankan ibadah, perilaku yang
sesuai dengan nonna dan perilaku yang tidak sesuai dengan norrna, sopan santun, patriotis, empati, adil, dan kebersamaan. Semua isi materi tersebut dimaksudkan untuk membentuk karakter anak yang berakhlak dan dapat mengubah perilaku menjadi baik sesuai dengan norrna yang berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai budi pekerli dan tatakrama dapat dibentuk melalui nilai-nilai yang ditanamkan dalam
kegiatan pembelajaran, baik melalui uraian konsep dan prinsip dalam materi yang dikandung, maupun dalam metode atau pendekatan pembelajaran yang
digunakan (Kusumah, 2002). Begitu juga pendidikan budi pekerti yang d ilaksanakan
d
i
LPA
Blitar juga ditanamkan melalui metode atau pendekatan yang berhubungan dengan nilai-nilai budi pekerti. Metode yang digunakan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi anak-anak
di LPA. Misalnya untuk menerapkan atau mengajarkan bagaimana berdisiplin, maka guru
tidak hanya menjelaskannya di kelas melalui kegiatan belajar-mengajar. Namun, guru atau petugas LPA juga mengajarkannya melalui pembiasaan. Misalnya mereka harus mentaati peraturan yang ada dan tepat waktu sesuai dengan
jadwal yang ditentukan. Jika tidak, maka mereka akan mendapatkan sanksi. Sanksinya pun juga masih dalam batas wajar dan tetap memperhatik'an
diminta untuk menjawab soal-soal yang diberikan. Soal-soal tersebut lebih banyak diberikan dalam
bentuk contoh perilaku yang baik dan perilaku yang buruk. Selanjutnya anak binaan diminta untuk mengisi jawaban sesuai dengan pemahaman mereka. Pelaksanaan ujian dilakukan di LPA dengan diawasi oleh tim pengawas dari sekolah lain.
Evaluasi
diri dilakukan
dengan cara menuliskan laporan mengenai perilaku siswa. Laporan perilaku siswa ini digunakan untuk menilai sejauh mana keberhasilan pelaksanaan pendidikan budi pekerti di LPA Blitar. Selain itu laporan perilaku inijuga dijadikan sebagai acuan untuk pengambilan keputusan dalam hal menentukan keringanan masa tahanan narapidana ataujuga bisa dijadikan untuk mempertimbangkan
pemberian bebas bersyarat kepada para narapidana. Pelaksanaan pendidikan budi pekerti di LPA Blitar masih mengalami hambatan. Hambatan ini berasal dari anak binaan danjuga dari guru atau lingkungan LPA Blitar. Beberapa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti di LPABlitar sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan antara lain: 1) motivasi belajar siswa rendah, 2) kurangnya koordinasi dan pengertian dari masing-masing sub bidang di Lapas, 3) jumlah tenaga pengajar yang terbatas, 4) guru pengajar kurang berkompeten, 5) kesadaran guru
dalam mengajar kurang, dan 6) minimnya jam
nilai-nilai budi pekerti. Biasanya jika tidak
pelajaran.
melakukan kegiatan tepat pada waktunya mereka akan diberikan sanksi untuk membersihkan kamar mandi umum atau membersihkan taman. Agar pendidikan budi pekerti berdampak positif terhadap ranah afektif dan psikomotorik yaituberupa sikap dan perilaku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, maka dalam pendidikan budi pekerti menuntut guru melaksanakan evaluasi yang
Pertama, motivasi belajar siswa yang masih rendah tersebut disebabkan karena beberapa faktor yang sebenarnya saling berhubungan. Siswa atau anak binaan belum terbiasa dengan kegiatan yang terjadwal seperti yang ada di LPA Blitar sebab memang mereka terbiasa hidup bebas tanpa aturan. Selain itu, lingkungan sekolahyang kurang mendukung juga menjadi salah satu penyebabnya. Lebih sering guru pengajar meninggalkan kelas karena ada instruksi lain dari kepala LPA yang mengharuskan guru meninggalkan kelas. Ini berhubungan dengan
kognitif, afektif dan psikomotorik (Sutja, 2004). Guna memenuhi hal memadukan antara
tersebut, maka guru pendidikan budi pekerti dituntut untuk melakukan evaluasi secara terus menerus mengenai proses dan hasil belajar. Selain test tertulis, unfi.rk mengetahui kompetensi siswa
atau peserta didik mengenai pendidikan budi pekerti, makajuga dilaksanakan evaluasi diri. Seperti pada pelajaran yang lainnya, test tulis dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Untuk materi yang diujikan disesuaikan dengan kompetensi dasar yang telah ditentukan. Mereka
hambatan yang kedua" yaitu kurarurgrya koordinasi
antar sub bidang pendidikan dengan sub bidang lairurya. Sehingga siswajuga menjadi enggan untuk pergi ke sekolah.
Ketiga, jumlah pengajar di LPA Blitar terbatas , yaitu mayoritas guru adalah bukan berasal dari tenaga kependidikan dan hanya beberapa guru yang benar-benar bersal dari tenaga
22
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari 2012
kependidikan yang ditugaskan oleh Dinas Pendidikan. Hal ini menjadi hambatan selanjutny4
dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut antara lain: a) menyediakan tambahan
yaitu dengan jumlah guru yang ada, maka masih
tenaga guru, b) gunr-guru yang masih mempunyai
banyak yang kurang mempunyai kompetensi yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Kelimq kesadaran
SK dari dephukham diberikan insentif berupa tambahan gaji agarmerekatidak lagi mempunyai
guru dalam mengajar kurang. Dari wawancara yang telah dilakukan, terdapat informasi bahwa karena guru pengajar sebagian besar bukan berasal dari tenaga kependidikan dan mereka
umurnnya, c) memberikan perhatian lebih kepada anak-anakbinaan atau siswa, d) menambahjam pelajaran atau jam sekolah, e) inovasi metode-
mempunyai tanggungjawab pokok sebagai petugas pemasyarakatan atau lapas, maka mereka sendiri juga tidak terbiasa dengan tanggungjawab sebagai pengajar. Jadi mereka juga sering meninggalkan tanggungjawab dengan tidak mengajar waktu ada
kecemburuan sosial dengan guru-guru pada
metode baru yang lebih menarik dalam pembelajaran pendidikan budi pekerti, dan f) menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman dan penuh dengan nilai budi pekerti.
Dengan adanya beberapa cara yang
jam pelajaran. Sehingga anak-anak biasanya belajar sendiri dengan tetap berada dalam
dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan pelaksanaan pendidikan budi pekerti di LPA
pengawasan petugas keamanan. Guru yang tidak
tersebut, diharapkan proses pendidikan budi pekerti
konsisten dalam mengajar tersebut disebabkan
di LPA Blitar bisa berjalan dengan baik. Selain
karena adanya kesenjangan sosial. Sebab, dibanding teman-teman guru di sekolah lainnya, gaji yang diperoleh guru LPABlitar lebih rendah. Hal ini disebabkan SK mereka hanya satu, yaitu
itu, diharapkan juga bahwa setelah keluar dari LPA Blitar nantinya anak-anak tersebut bisa menjadi anak yang berakhlak baih berbudi pekerti dan yang paling penting tidak akan mengulangi atau melakukan perbuatan tercela yang sudah pernah
sebagai Petugas Lapas, walaupun tugas mereka merangkap sebagai pengajar atau guru. Keenam, masalah jam pelajaran atau lebih tepanya jarn sekolah yang masih minim. IVlereka hanya mendapatkan jam sekolah selama kurang lebih yaitu 2 jam dalam sehari dengan masing-
masing mata pelajaran hanya diberikan waktu selama satu jam. Sehingga hal ini masih dirasa sangat kurang untuk memberikan pendidikan budi pekerti kepada anak didik atau anakbinaan di LPA Blitar.
Dari penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di LPA Blitar masih mengalami beberapa hambatan, diantaranya adalah mengenai motivasi belajar siswa rendah, kurangnya koordinasi dan pengertian dari masing-masing sub bidangdi Lapas,
dilakukan.
SIMPULAN Tujuan Pendidikan Budi Pekerti di LPABlitar adalah untuk mengubah perilaku anak binaanyang
semula tidak baik menjadi berperilaku baik sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga jika keluar dari LPA Blitar mereka dapat diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari masyarakat dan dapat hidup secara wajar seperti anak-anak pada umumnya. Isi materi Pendidikan Budi Pekerti yang diajarkan di LPABlitar adalah saling menghormati antar sesam4
jumlah tenaga pengajar yang terbatas, guru
bertanggungjawab dan disiplin, menjalankan ibadah sesuai agamany4 diajarkan mengenai perilaku yang sesuai dnegan norna dan perilaku yang tidak sesuai
pengajar kurang berkompeten, kesadaran guru
dengan
dalam mengajar kurang, dan minimnya jam pelajaran.
norn4 sopan santun, patriotis, empati, adil, dan kebersamaan. Mengenai metode yang dilaksanakan dalam pembelaj ara.r Pendidikan Budi
Melihat dari hambata-hambatan yang ada
Pekerti di LPA Blitar ialah metode ceramah.
sudah seharusnya diupayakan beberapa hal yang
permainan, disktsi dan pembiasaan. Pernbiasaan yang
bisa untuk mengatasi hambatan tersebut agar
dilakukan antara lain; berdoa sebeh-rm memuiai
pendidikan budi pekerli
kegiatan, berjabat tangan saat beftemu dengan gunr pengajar, saling menghormati, berperilaku sopan dan selalu menjaga kebersihan lingkungan. sedangkan evaluasi pengajaran Pendidikan Budi Pekerti di LPA Blitar dilaksanakan dengan cam memberikan test atau uj ian tulis dan melalui evaluasi diri.
b i sa
dilaksanakan dengan
baik di LPA Blitar, mengingat pendidikan budi pekerti ini bersifat urgen dan sangat penting untuk
diterapkan khususnya kepada anak-anak yang mengalami permasalahan moral seperti anak-anak
binaan LPA Blitar. Beberapa cara yang bisa
Rapita & Llinarno, Problematika Pendidikan Budi Pekerti di Lembaga Pemasyarakatan 23
Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di
LPABlitar
antara lain: motivasi belajar siswa rendah, kurangnya
koordinasi dan pengertian dari masing-masing sub bidang di Lapas, jumlah tenaga pengajar yang terbatas, guru pengajar kurang kompeten, motivasi guru dalam mengajar kurang, dan minimnya jam pelajaran. untuk itu diterapkan beberapa caarayang dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di LPA Blitar antara lain: menyediakan tambahan tenaga guru, bisa dari LPA dan dari luar yang memang mempunyai kompetensi mengajar, guru-guru yang masih mempunyai SK dari dephukham diberikan tambahan gaji agar mereka tidak lagi mempunyai
kecemburuan sosial dengan guru-guru pada umumny4 memberikan perhatian lebih kepada anakanak binaan atau sisw4 menambah jam pelajaran ataujam sekolah, inovasi metode pembelajaran agar lebih menarik dalam penrbelajaran pendidikan budi pekerli, dan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusifdan penuh dengan nilai budi pekerti.
Berdasarkan situasi dan kondisi yang ada, maka perlu peningkatkan motivasi guru pengajar
dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di B litar, misalnya dengan memberikan fasilitas pendukung proses pembelajaran dan tambahan LPA
insentifagar tidak terjadi kesenjangan sosial antara
guru di LPA dengan guru
pada umumnya.
Menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif untuk pembudayaan budi pekerti juga sangat diperlukan, misalnya mengembangkan sikap sopan santun kepada anak binaan LPA Blitar.
Sosialisasi oleh LPA Blitar kepada masyarakat m engenai penerapan Pendidikan Budi
Pekerti di LPA Blitar sekiranya juga perlu dilakukan. Sehingga warga masyarakat bisa mengetahui bahwa selain keamanan dan kedisiplinan, anak-anak binaan lapasjuga diberikan pendidikan, baik formal maupun non formal, seperti Pendidikan Budi Pekerti. Sehingga ketika keluar
dari LPA, maka nantinya anak-anak ini bisa diterima kembali oleh masyarakat,
DAFTAR RUJUKAN Depdiknas, 2002. It[anajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Pedoman Tatakram a dan Tatat ertib, J akarta. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (DEKDISMEN). 2004. Pendidikan Budi P ekerti. Jakarta: Depdiknas Kusumah, Yaya. 2007. Telaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah
(Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalqm Kehidupan Berbasis Akademis), (Online), (www.Kusumah. org.id), diakses tanggal l0 Februari 201 I
Muspita, Novi Catur. 2005. Profil Penyelenggarsan Keterampilan Untuk Pernbinaan Anak Didik di LPA Blitar. Universitas Negeri Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FIP UM Prantiasilq Arbaiyah. 2010. Pengembangan Model Pembelajaran Melalui Pendekotan Inculcation dalam \ulelaksanakan P embelaj aron Budi Pekerti di Sekolah Menengah Pertama Se Malang Rqta. Malang: LemlitUM Rochmadi, NurWahyu, 2002. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral. Malans: Wineka Media.
Satori, Djam'an & Aau I(omariah. 2010. Metode Penel itian Kuatitatif. Bandung: Alfabeta
Sutja, Akmal. 2007. Panduan Penerapan Strategi Bedah Nilai Bagi Guru Pendidikan Budi Pekerli. Jarnbi: Jambi Media
Sutja, Akmal. 2007. Panduan Penerapan Strategi Bedah Nilai Bagi Guru Pendidikan Budi Pekerfi. Jambi: Jambi Media Undang-Undang Dasar 1945. Surabaya: Pustaka Agung Harapan Undang-UndangNomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Jakarta: Sinar Grafika Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika
Zainab, Siti. 2001 . Pelaksanaan Penftinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar. Universitas Negeri Malang, Skripsi tidak diterbitkan
Zviah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarla: PT Bumi Aksara
EKSISTENSI UNDANG.UNDANG NOMOR. 32 TAHUN TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
2OO4
Mohamad Yuhdi Batubara Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang
LawNo.32Year2004 onRegionalGovernment istheelaborationandimplementationoftheprovisions ofArticle I 8 paragraph (2) of the Constitution of 1945 which determined that the area set up and manage their own affairs in accordance with the principle of autonomy and assistance. This law does not need to be revised. On the other hand, this law has to be maintained in practice because this actual law has been set up all aspects oflocal governance/decentralization.
Abstrak
Undang-undang Nomor 32 Tiahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan penjabaran dan pelaksanaan terhadap ketentuan Pasal I 8 ayat (2) Undang-Undang Dasar I 945 yang menentukan
bahwa daerah mengatur dan rirengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembanhran. Undang-undarg Nom or 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak perlu dilakukan revisi atau perubahan dan tetap dipertahankan karena sebenarnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut telah mengatur seluruh aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah/otonomi daerah.
Kata Kunci: eksistensi, Undang-UndangNo. 32 Tahun2004, pemerintahan daerah.
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang intinya membagi daerah lndonesia atas daerah yang lebih
menganut asas desentalisasi clalam penyelenggaraan
kecil. Daerah itu bersifat otonom (streek en locale recht gemeenschapen) dengan dibentuk Badan Perwakilan Rakyat atau hanya berupa daerah administrasi saja. Daerah besar dan kecil yang diberikan kewenangan otonomi bukan
pemerintahan, yaitu memberikan kesempatan dan keleluasaaan kepada daerah untuk menyelenggarakan
otonomi daerah. Berdasarkan ketetapan MPR zu Nomor XVA4PW1 998, penyeleng garaan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kervenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah
merupakan negara bagian, melainkan daerah yang
secara proporsional yang diwujudkan dengan
tidak terpisahkan dari dan dibentuk dalam
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu" penyelenggaman
kerangka Negara Kestatuan Republik Indonesia. Inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluas aan pem erintah daer ah (d i s -
otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsipprinsip demokasi, peran serta masyarakt pemerataan dana keadilan serta memperhatikan potensi dan
cretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri atas dasar prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daelahnya. Memberikan otonomi
keanekaragaaman daerah.
Kewenangan otonomidaerah di dalam suatu negara kesatuan tidak boleh diartikan adanya
daerah tidak hanya berarti melaksanakan
kebebasan penuh dari suatu daerah untuk
demokrasi di lapisan bawah, tetapi jugamendorong
menj alankan hak dan fungs i otonominya. Dalam hal
aktivitas bagi lingkungannya sendiri, Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrsi dari bawah, makarakyattidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat, melainkan yang utama adalah
tersebut daerah harus tetap memperlimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan, walaupun
tidak tertutup kemungkinan untuk memberikan kervenangan yang lebih luas kepada daerah.
Pemberian otonomi daerah dalam negara kesatuan essensinya telah terakornodir dalam
berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Hal
itu dapat diwujudkan dengan memberikan .A L+
Yuhdi, El<sistensi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah 25
kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah
tersebut antara lain adalah mengenai kewenangan
daerah guna mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya, sesuai dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
kepentingan dan potensi daerahnya.
khususnya dalam pemilihan Kepala Daerah. Secara umum Undang-Undang Nomor 32
Dalam otonomi, daerah leluasa untuk
Tahun 2004 merupakan Undang-Undang
menggunakan dana yang berasal dari daerahnya
Pemerintah Daerah yang sudah cukup lengkap karena telah mengatur berbagai aspek dalam pelaksanaan pemerinlahan daerah yang diawali dengan prinsip otonomi daerah yang dianut oleh undang-undang ini, mengenai pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan berbagai aspek lainnya
tanpa campur tangan pemerintah pusal keleluasaan
untuk berprakars4 memilih altematif, menentukan prioritas dan mengambil keputusan untuk daerahnya" keleluasaan untuk memperoleh dana perimbangan pusat dan daerah yang memadai,yangdidasarkan
kriteria obyektifdan adil. Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 197 9 tenlang Pemerintahan Desa dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2A04 Entang Pemerintahan Daerah, yang didalamnya antara atas
lain mengatur mengenai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang ketiganya berstatus daerah otonom. Pada dasarnya daerah otonomi tidak bertingkatyang satu dengan yang lain tidak
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dewasa ini telah muncul beberapa wacana
yang mengarah pada upaya untuk melakukan perubahan atau revisi terhadap Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut karcna dirasakan belum dapat atau tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan penyelenggaraan pemerintah daerah pada masa sekarang ini.
EKSISTENSI NOMOR 32 TAHUN
UNDANG-UNDANG 2OO4
mempunyai hubungan sub-ordinasi. Daerah Provinsi bukan merupakan pemerintah atasan dari daerah Kabupaten dan Kota. Dengan demikian, daerah Provinsi, daerah Kabupaten/Kota adalah sub-ordinasi dari Provinsi atau dengan kata lain Gubernur adalah atasan dari Bupati/Walikota dan
Sej arah perkernban gan manusia menunjukkan bahwa akibat perl"edaaan geografis maupun
Gubernur (sebagai kepala Daerah) adalah
kehidupan tersendiri sesuai dengan tantangan alam
bawahan dari Presiden.
yang ada, yang kemudian rnelahirkan bentukbentuk budaya masyarakat sebagai identitas mereka. Persekufuan diantara mereka dengan ciriciri budaya dan perilaku yang sama kemudian menjadi suatu sukuyang secara otomatis berbeda dengan suku lainnya di seluruh dunia. Dalam perkemb angan selanj utny4 sebagai akibat hukum alam, maka manusia yang satu akan saling
Dalam pembagian daerah otonom, yaitu menjadikan daerah Kabupaten dan daerah Kota
sebagai daerah otonom murni, dan tidak merangkap sebagai wilayah administrasi. Di daerah Kabupaten dan daerah Kota dianut asas desentralisasi murni, asas desentralisasi tidak dipergunakan lagi di daerah Kabupaten dan daerah Kota, kecuali di daerah Provinsi. Asas tugas pembantuan dari pemerintah pusat, baik kepada daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota
dan Desa masih dirnungkinkan
dengan konsekuensi pembiayaan sarana dan prasarana dan SDM dari pemerintah yang menugaskannya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
merupakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini terdapat beberapa perubahan dibandin gkan dengan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999. Perbahan-perubahan
geologis, manusia di berbagai belahan bumi mengalami proses evolusi yang berbeda-beda. Orang Eskimo di kutub es, memiliki perilaku
tergantung dengan manusia yang lain. Perbedaan kebutuhan dan kepentingan di antara mereka, menyebabkan terj adinya proses interaksi sosial yang kemudian menjadi pangkal berbagai konflik antarawarga atau suku yang saling berbed satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang berkaitan latar belakang etnis, bahasa, budaya dan agama, di samping institusi sosial dan pertimbangan politik maupun adm inistratif, pad a umurnnya m erupakan indikator penting bagi perlunya mempertahankan keberadaan sebuah daerah. Dalam aspek potensi yang dimiliki daerah, pertimbangan perlunya pemerintahan daerah
26
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor
memiliki alasannya sendiri. Potensi daerah yang merupakan kekayaan alam baik yang sifatnya dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui seperti minyakbumi, batu bara, timah, tembaga, nikel serta potensi pariwisata lainnya, melahirkan pertimbangan khusus bagi pemerintah pusat untuk mengatur pemerataan daerah. Hasrat ini kemudian mewajibkan pemerintah membentuk pemerintahan daerah sekaligus pemberian otonomi tertentu untuk menyelenggarakan rumah tangga daerahnya. Dalam konteks ini malah ada kecenderungan pemerintah pusat untuk mengatur pemerintahan sampai-sampai daerah kehilangan kreativitas dan inovasi. Dengan demikian sering muncul berbagai persoalan yang menenpatkan
pemerintah sebagai sasaran kedongkolan masyarakat daerah yang merasa telah dijadikan
"sapi perahan" oleh pemerintah. "IJjung" otonominya telah diberikan kepada pemerintah daerah, tapi "ekornya" masih dipegang oleh
pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak memiliki keleluasaan dalam menyelenggarakan rumah tangganya, sekaligus menggali potensipotensi yang ada sebagai penunjang pendapatan asli daerah.
Kebutuhan untuk memanfaatkan institusi daerah disebabkan oleh adanya variasi dalam hal
kepadatan penduduk, itentitas kebutuhan dan
minimnya sumber daya yang tersedia pada masyarakat. Dalam dua dekade terakhir ini, misalny4 kepentingan potensial pemerintali daerah telah meningkat sejalan dengan tuntutan yang semakin besar terhadap pembangunan daerah dan peningkatan pelayanan. Di samping itu, walaupun fenomena di atas mempengaruhi semua lembaga
pemerintah daerah, tuntutan bagi yang ada di wilayah perkotaan main serius. Semakin besar hambatannya, semakin tidak dapat dihindarkan
masalah kriminalitas, permukiman kumun, persediaan air yang tidak mencukupi, fasilitas kebersihan yang terbatas, persekolahan yang tidak memuaskan dan pengangguran. Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang serius dengan melibatkn unsur lembaga yang mampu menciptakan keteraturan. Pemerintah daerah dengan berbagai produk peraturannya dipandang urgen untuk menstabilkan suasanayang rumit ini, sebab jangkauan serta kemampuan pemerintah
1,
Pebruari 2012
Perbedaan kondisi daerah, kebutuhan daerah,
sumber daya daerah, aspirasi daerah dan bahkan
prioritas daerah menuntut perlunya diciptakan transportasi kebijaksanaan nasional yang efektif ke dalam program daerah secara responsif dan bertan ggun gj awab. Kesul itan untuk menj alankan
serangkaian pelayanan kepada masyarakat daerah
oleh departeman yang ada di pusat seringkali dijumpai di negara m&napun di dunia ini. Bahkan banyak pejabat birokrasi nasional memiliki pemahamanyang minim dalam hal keberagaman kondisi daerah. Hal ini banyak berdampak pada kesulitan pemerintah merealisasikan program-pro-
gram yang ada di daerah. Masyarakat yang merasa bahwa program pemerintah tidak sesuai dengan aspirasinya dengan spontan akan pesimis menolak bahkan antipati terhadap program tersebut. Dengan demikian, sulit diharapkan teracapainya partisipasi masyarakat secara maksimal. Pemerintah pertama-tama diartikan s ebagai keseluruhan lingkungan jabatan salam suatu organ isas i. Dalam organ i sasi ne gar4 pemerintahan
sebagai lingkungan jabatan adalah alat-alat kelengkapan negara sgperti jabatan eksekutif, jabatan legislatif, jabatan yudikatif dan jabatan supra struktur lai;rnya. Jabatan-jabatan ini menunjukkan suatu lingkungan keda tetap yang berisi wervenang tertentu. Kumpulan wewenang memberikan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Karena itu jabatan eksekutifjabtan legislatif, j abatan yudikatif dan lain-
lain sering juga disebut kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislative, kekuasaan yudikatif dn lainlain. Pemerintahanyang dikemukakan di atas dapat
disebut sebagai pemerintahan dalam arti umum atau dalam arti luas (government in the broad sense).
Untuk menjalankan wewenang atau kekuasaan yang melekat pada lingkunganlingkungan jabatan, harus ada pemangku jabatan yaitu pejabat (ambtsdragey'. Pemangku jabatan menjalankan pemerintahan, karena itu disebut pemerintah. Berdasarkan aneka ragam lingkungan jabatan, maka ada pemerintah di bidang legislatil; pemerintah di bidang yudikatif dan lain sebagainya.
inilah yang diartikan pemerintah (bukan
pusat terlalu jauh untuk menangani masalah ini.
pemerintahan) dalam arti luas. Pemerintah juga dapat diartikan dalam arti sempit yaitr pernangku
Dengan demikian, masalah keterbatasan kemampuan pemerintah pusat juga merupakan
jabatan sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif atau secara lebih sempit, pemerintah sebagai
salah satu alasan urgennya pemerintahan daerah.
p
enyelenggara administrasi negara.
Yuhdi, Elrsistensi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Pemerintahan dikaitkan dengan pengertian "pemerintahan daerah" adalah penyelengggaraan
pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dean DPRD menurut atau berdasarkan asas desentraslisasi. Pemerintah dalam ketentuan
ini sekaligus mengandung makna sebagai kegiatan atau aktivitas menyelenggarakan pemerintahan dan lingkungan jabatan yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Satu hal yang perlu ditambahkan, bahwa "pemerintah daerah", memiliki arti khusus
yaitu pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan menurut atau berdasarkan asas desentralisasi. Penyebutan "asas desentralisasi" bagi pemerintahna yang otonom adalah berlebihan. Tidak ada otonomi tanpa desentralisasi.
Undang-Undang ini hanya memberi pengertian pemerintahan daerah. Tidak ada kejelasan mengenai pemerintahan pusat. Berdasarkan pengertian pemerintahan daerah di atas, maka pemerintahan pusat dapat diartikan sebagai seluruh penyelenggaraan pemerintahan
Daerah 27
Setelah Pemerintah Orde Baru mengakhiri Mei 1 998 karena gerakan reformasi, kemudian disusul dengan percepatan Pemilu di tahun 1 999, UUD 1945 yang selamapemerintahan Orde Baru disakralkan dan tidak dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada l9 oktober 1999 untuk pertama kali UUD 1945 di amandemen. Melalui Sidang Umum MPR tahun 1999, ada sembilan (9) pasal yang diubah : Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal I 7 Ayat(2) dan (3), Pasal 20 dan Pasal 21. masa pemerintahannya p ada 20
Kemudian pada 18 Agustus 2000, MPR melalui Sidang Tahunan mempunyai untuk melakukan perubahan kedua terhadap UUD 1945 dengan mengubah dan atau menambah Pasal 18,
Pasal l8A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22R, Ba(3), Bab IXA, Pasal 25E, Bab C, Pasal26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (30, Bab XA, Pasal 28A, Psal28B, Pasal 28C, Psal 28D, Pasal 28E,
urusan dan fungsi pemerintahan yang menyangkut
Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal30, Bab XV, Pasal364, Pasal 368 dan Pasal 36C. Perubahan Pasal l8 (baru) ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi
baik mengenai isi substansi maupun tata cara
daerah Provinsi dan dalrm daerah provinsi terdapat
penyelenggaraannya. Urusan ini dalam ungkapan sehari-hari disebut oton oml Kedua. otonomi tidak
daerah kabupaten dan kota. Ketentuan Pasal 18 ayat (l) ini mempunyai keterkatian erat dengan ketentuan Pasal 25A mengenai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia istilah "dibagi atas" (bukan "terdiri atas") dalam ketentuan Pasal 18
yang tidak diselenggarakan daerah otonom. Ditinjau dari isi wewenang, pemerintahan daerah otonom menyelenggarakan sekaligus dua aspek otonomi. Pertama, otonomi penuh yaitu semua
penuh. Daerah hanya menguasai tata cara penyelenggaraan, tetapi tidak menguasai isi pemerintahannya. Urusan ini lazim disebut tugas pembantuan (medebewind, atau dalam
ayat (1) bukanlah istilah yang digunkan secara
uangkapan lama disebut zelJbestuur). Ditinjau dari lingkungan j abatan, pemerintahan pusat rnewakili cakupan wewenang atau kekuasaan
kebetulan. Istilah itu langusng menjelaskan bahwa negara kita adalah negara kesatuan di mana kedaulatan negara berada di tangan pusat. Hal ini
yang lebih luas. Pemerintahan daerah otonom hanya menyelenggarakan fungsi pernerintahan di bidang eksekutif atau secara lebih tetap administrasi negara
kon'isten dengan kesepakatan untuk tetap
dan fungsi pemerintahan di bidang legislatif. Sebaliknya, pemerintahan pusat selain di bidang eksekutif dan legislatif, juga menyelenggarahan
men unj ukkan substansi federalisme karena isti lah
fungsi pemerintahan lain yang tidak dibagi dengan pemerintahan otonom seperti pemerintahan yang
dijalankan MPR, DPA, BPK dan kekuasaan
mempertaahankan bentuk negara kesatuan. Berbeda dengan istilah "terdiri atas" yang lebih itu menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara-negara bagian.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 digunakan asas otonomi
kehakiman. Kekuasaan pemerintahan prsat yang lebih luas itu sebenarnya dapat dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan dan kekuasaan penyelenggaroan negara yaitu yang
dan tugas pembantuan, sedangkan dalam
dilakukan atas nama negara. Kekuasaan yang terakhir ini tidak dimiliki pemerintah daerah otonom,
peraturan perundang-undangan.
misal nya kekuasaan menyelenggarakan peradilan.
menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunaakan asas desentralisasi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi sesuai dengan
Setiap negara kesatuan (unitary stale, e
enlrcidsstaat) dapatdisusun dan diselenggarakan
28
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th.
25,
Nomor 1, Pebruari
20 I 2
menurut asas dan system sentralisasi, dapat sepenuhnya dilaksanakan oleh dan dari pusat pemerintahan (single centralized government) atau oleh pusat bersama-sama organnya yang dipencarkan d i daerah-d aerahny a. Sentral isasi yang disertai pemencaran organ-organ yang
efisien, (3) satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif, dan (4) satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih
menjalankan sebagian wewenang Pemerintahan Pusat di daerah dikenal sebagai dekonsentrasi (centrlistie men decons entratie).
menunjukkan bahwa desentralisasi bukan
Desentralisasi akan didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintah tidak semata-mata dilakukan oleh Pemerintah Pusat (Central government), melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan
pemerintah yang lebih rendah yang mandiri (zelftanding), bersifat otonomi (tenitorial ataupun fungsional) (Sarundajan g: 2002:85).
Menurut Manan (1994: 16l-167), dasardasar hubungan antara Pusat dan Daerah dalam kerangka desentralisasi ada empat macam: l) Dasar-dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan negarc; UUD 1945 menghendaki kerakyatan dilaksanakan pada pemerintahan tingkat daerah, berarti UUD 1945 menghendaki keikutsertaan raky at dalam penyelenggaraan
produktif (M anan, 199 4), Pengalaman diberbagai negara berkembang merupakan langkah yang cepat untuk mengatasi berbagai masalah pemerintahan, politik dan ekonomi. Penerapannya tidak secara otomatis mengatasi kekurangan tenaga kerja atau personil
yang terampil. Desentralisasi tidak menjamin bahwa j umlah sumber yang besar dapat dihas i lkan
di tingkat daerah. Desentralisasi mungkin berhasil di sebuah negara, tetapi di negara lain bentuk yang
sama gagal. Namun demikian, kekurangankekurangan yang dibuktikan oleh pengalaman sejumlah negara berkembang tidak berarti bahwa usaha-usaha itu harus dihentikan. Desentralisasi
telah menciptakan hasil-hasil positif. Pertanta, akses m asyarakat yang tinggal di daerah pedesaan
(yang sebelumnyaterbagikan) ke dalam sumber-
sumber Pemerintah Pusat telah rneningkat. Kedua, desentralisasi telh meningkatkan partisipsi
dalam sejumlah bidang. Dalam hal ini,
pemerintahan tingkat daerah, keikutsertaan rakyat
desentralisasi memberikan tekanan pada lembaga-
pada pemerintahan tingkat daerah hanya dimungkinkan oleh desentralisasi. 2) Dasar
lembaga Pemerintali Pusat. Akhirnya, berbagai sumbernasional pun tersedia bagi pembangunan daerah. Ketiga, di sejumlah negara peningkatan terjadi dalam kapasitas administrasi dan teknik pemerintah/ organisasi daerah, meski peningkatan
pem el iharaan dan pengembangan prinsip-prinsip
pemerintahan asli: Pada tingkat Daerah, susunan pemerintahan asli yang ingin dipertahankan adalah yang sesuai dengan dasar permusyawaratan dalarn
system pemerintahan negara. 3) Dasar Kebhinekaan: "Bhinek Tunggal Ika", melambangkan keragaman Indonesia, otonomi, atau desentralisasi merupakan salah satu cara untuk mengendorkan "spanning" yang timbul dari
keragaman. 4) Dasar Negara Hukum: Dalam perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan. Sebab negara hokum tidak dapat dipisahkan dari pahm kerakyatan. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hokum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau keadulatan rakyat
Dilihat dari pelaksanaan fungsi pemerintahan, rnenurut Ibid, desentralisasi atau otonomi itu menunjukkan: (l) satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam
memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat, (2) satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas den gan efekif dan ebih I
ini berjalan lambat. Keempat, Organisasiorganisasi baru telah dibentuk ditingkat regional dan lokal untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan. Semu badan atau organissi ini telh memberikan dampak yang cukup positif. Kelima, perencanaan di tingkat regional dan lokal semakin ditekankan sebagai satu unsur penting dari strategi
pembangunan nasional dengan memsukkan perspektif-perspektif dan kepentingan baru ke dalam proses pembuatan keputusan.
Oleh karena itu, desentralisasi harus dipandang secara lebih realistis, bukan sebagai sebuah pemecahan umum bagi masalah-masalah keterbelakangan, tetapi sebagai salah satu cara yang dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
kepercayaan dari berbagai tingkat pemerintahan dalam kondisi baik. Dalam mengembangkan ciri desentralisasi dan otonomi daerah, setidak-tidaknya ada dua prasyarat yang harus dipertimban gkan: Pertama, diberikan wewenang untuk mengambil keputusan
Yuhdi, Elrsistensi (Indang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
terhadap urusan yang menyangkut daerahnya. Kedua, diberikan kebebasan untuk penguasaan dan pengalihan atas berbagai sumber potensi daerah yang bersangkutan. Dari dua tolok ukur
Daerah 29
ditujukan kepada berbagai aspek pemerintahan yang menjadi kewenangan dari pemerintah daerah.
Hal ini perlu segera dilaksanakan karena pembagian kewenangan antara pemerintah pusat
tersebut, yang pertama lebih banyak dianut, sedangkan yang kedua mulai ditinggalkan. Bagi Indones ia, untuk menganut sepenuhnya tolok ukur yang kedua juga tidak mungkin, karena asas pemerataan, kondisi, potensi dan sumber daya
dan pemerintah daerah perlu mendapatkan kepastian hukum, sehingga pemerintah daerah segera dapat melaksanakan kewenangankewenangan yang dimilikinya dalam rangka
yang berbeda-beda di masing-masingdaerah dan prinsip penc apaianlaju pertumbuhan antar daerah
dengan Devvan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Salah satu aspek kewenangan pemerintah daerah yang masih perlu dilakukan sinkronisasi atau penyelarasan terhadap UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah masalah kewenangan di bidang pertanahan. Hal ini perlu segera dilakukan karena selama ini masih
yang seimbang serta wawasan Nusantara merupakan hal yang asasi dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, sesuai dengan prinsip Negara Republik Indonesia sebagai Negara
Kesatuan. Oleh karena itu, sebagaian besar sumber keuangan yang berasal dari daerah dipungut secara sentral oleh pusat, kemudian sebagian dibagikan kembali kepada daerah.
PBRLU TIDAKNYA UNDANG.UNDANG NOMOR 32 TAIITJN 2OO4 DIREVISI ATAU DIRUBAH Berbagai argumen banyak dikemukakan oleh
para pakar atau politisi yang menghendaki dilaksanakannya perubahan atau revisi terhadap
UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.. Namun menurut penulis Undang-Undang tersebut tidak perlu direvisi dan tetap dipertahankan karena sebenarnya isinya telah mengatur seluruh
penyelenggaraan pemerintahan daerah bersama
terjadi dualisme dalam pelaksanaan pengaturan di bidang pertahanan, yaitu di satu sisi pemerintah pusat tetap berwenang mengurusi pertahanan di daerah melalui Kantor Wilayah (KANWIL) Badan PertanahanNasional di tingkatProvinsi dn di sisi
lain pemerintah daerah juga mempunyai kewenangan mengurusi masalah pertanahan melalui pembentukan Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota Berdasarkan uraian di atas maka penulis berpendapat bahwa UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Derah tidak perlu direvisi atau dirubah akan tetapi untuk peraturan pelaksanaannya perlu dilakukan sinkronisasi atau
aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan
penyelarasan terhadap Undang-Undang
daerah/otonomi daerah.
Pemerintah Daerah tersebut.
Pada masa sekarang
ini
yang perlu
dilaksanakan adalah diterbitkannya berbagai peraturan pemerintah dan peraturan perundangundangan lainnya untuk melaksanakan ketentuanketentuan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut, karena saat ini masih terdapat peraturan pemerintah yang tidak sinkron dengan UU No.32 Tahun2004. Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah penerbitan peraturan pemerintah
atau peraturan perundang-undangan lainnya sebagai pelaksana dari Undang-Undang tersebut dan perubahan terhadap peraturan pemerintah yang telah ada namun tidak sinkron dengan
SIMPULAN Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan penjabaran dan pelaksanaan terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonorni dan tugas pembantuan. Ketentuan ini menegaskan bahwa pemerintahan daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai
Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut.
pemerintahan mandiri di daerha yang demokratis.
Upaya sinkronisasi atau penyelarasan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pernerintahan Daerah tidak perlu dilakukan revisi atau perubahan dan tetap dipertahankan karena sebenarnya Undang-
berbagai peraturan perundang-rmd angan y ang ada
dengan UU No.32 Tahun 2004 membutuhkan waktu yang tidak sedikit. IIal ini dapat dipahami karena upaya sinkronisasi tersebut terutama
Undang Pemerintahan Daerah tersebut telah
30
furnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th.,25, Nomor l, Pebruari
mengatur seluruh aspek dalam pemerintahan daerah/otonomi
penyelenggaraan
2012
penyelarasan peraturan pemerintah dan peraturan
perundang-undangan lainnya sebagai peraturan daerah. Adapun yang perlu segera dilaksankaan pelaksanaan dari Undang-Undang Pemerintah pada masa sekarang ini adalah sinkronisasi atau Daerah
DAF'TAR RUJUKAN Bagir Manan. 1994. Hubungan Antara Pusat Ryaas, Rasyid. 2002. Perspektif Otonomi Luas dan Daerah Menurut WD 194. Jakarta: dalam Buku Otonomi atau Federalisme. Sinar
Harapan
2004. Menyongsong Fajar Daerah, Pusat Studi Hukum
Otonomi FII UII.
Yogyakarta
Ni'matul Huda. 2005. Otonomi Daerah, Filosofi Sejarah Perkembangan dan Problematika. YogSakarta: Pustaka Pelajar.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Sarundajang.2002. Arus BalikKehtasaan Pusat keDaerah HarapanJakarta:PustakaSinar
PERAN DPD DAN GAGASAN AMANDEMEN KELIMA UUD 1945
NuruddinHady Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No. 5 Malang
Regional Representatives Council(DPD) is astate agency subject to the provisions ofArticle22 and Article 22DC 1945 Amendment. This institute is a substitute of regional representatives and group representatives as we have ever known before. Various parties think that DPD authority by are still the weak and as if only as a subordinate staff of experts with the }Iouse. This lead to the idea necessity of returning to the 1945 Constitution amendments, particularly with respect to the authority to strengthen the authority of the Council. DFD has a huge role to accommodate the aspirations of the region associated with the implementation of regional autonomy, both in terms of financial management sourced from the General Allocation Fund, as weil as the poteirtial of natural resources in the region, spatial, poverty, natural disasters, health, environmentand others. While the Council has not and is not even sensitive to the issues that come into direct contact with development interests and welfare of local communities. The idea of the Fifth Amendment must be seriously the need considered and studied, since amendments to the constitutionis a necessity. The idea for further amendments to the 1945 Constitution should be appreciated by first preparing a clear grand design ofthe material constitutionneeds tn be amended. Therefore, the amendmentis not just a patch work. And the most urgent one is that pecple candirectly take benefit from the amendment.
of
of
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan lembaga negara baru berdasarkan amandemen ketigaUndang-UndangDasar 1945,tepatnya diaturdalam ketentuanPasal22 C danpasal22 D UUD 1945. Lembaga ini merupakan pengganti utusan-utusan daerah dan utusan golongan-golongan seperti yang pernah kita kenal sebelumnya. Namun, kewenanganyang dimiliki oleh DPD tersebut terasa oleh sebagai pihak masih cukup lemah, sehingga memunculkanbanyak kritikan bahwa DPD tidak lebih dari staf ahli yang sub ordinat terhadap DPR, sehingga memunculkan gagasan perlunya amandemen kembali terhadap UUD 1945, khususnya terkait dengan kewenangan untuk memperkuat kewenangan DPD. Tetapi berdasarkan realitas empirik, sebetulnya banyak persoalan yang muncul dalam penyelenggaman Otonomi Daerah yang seharusnya menjadi fokus perhatian dari DPD menjadi terabaikan, baik dari sisi pengelolaan keuangan daerah yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU), maupun potensi-potensi sumber daya alam yang ada di daerah. Belum lagi persoalan kesejahteraan masyarakat di daerah yang akhir-akhir ini cukup memprihatinkan, dengan adanya kasus gizi buruk, kelaparan, dan terjadinya banjiryang terjadi di beberapa daerah akibat buruknya pengelolaan lingkungan dan penataan Tata ruang wilayah, belum mendapatkan perhatian dan menjadi isu-isu yang sangat serius dari DPD untuk ditarik pada ditingkat nasional, sehingga kita menganggap DPD belum dan bahkan tidak sensitif terbadap isu-isu yang bersentuhan langsung dengan kepentingan penrbangunan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Untuk itu, gagasan amandemen kelima harus dipikirkan dan dikaji secara serius, karena perubahan konstitusi merupakan suatu keniscayaan dan gagasan perlunya amandemen lanjutan terhadap UUD 1945 patut diapresiasi dengan terlebih dahulu rnenyiaplan grand desrgn yangjelas atas materi konstitusi yangperlu diamandemen, sehingga amandemen tidak hanya sekedar tambal sulam, dan yang paling urgen lagi adalah rakyat dapat secara langsung menerima manfat dari amandemen tersebut.
Kata Kunci: DPD, Gagasan A,rnandentenKelima. UL-lD 1945
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh l\{PR sebanyak empat kali berturut-turut, sejak Sidang
Umum MPR pada tahun 1999 hingga tahun 2002,
berimplikasi pada pembahan a1
_lt
sistem
32
lurnnl Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th.
ketatanegaraan indonesia yang mengalami perkembangan signifikan. Mengingat perubahan yang dilakukan meliputi hampir keseluruhan materi
muatan UUD 1945, kecuali Pembukaan dan Prinsip-prinsip bernegara tertentu yang disepakati untuk tidak diubah. Meskipun hasil perubahan tersebut telah m engubah secara mendasar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan berarti gagasan perlunya untuk melanjutkan proses amandemen UUD 1945 tidak ada. Karena tidak
bisa dipungkiri bahwa UUD 1945 hasil ini telah membawa kemajuan dalam kehidupan amandernen yang sudah ada sekarang ketatanegaraan
di indonesia,
bahkan mungkin
amandemen sekarang ini terlalu radikal dan terlalu cepat untuk diterapkan terutama berkaitan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Namun demikian, hal itu sudah menjadi
kesepakatan politik yang dilakukan oleh MPR,
25, Nomor
l, Pebruari
2012
sebelumnya, dimana keduanya merupakan unsur
keanggotaan MPR. Sedangkan DPD, sesuai dengan ketentuan Pasal 222 Undang-undang Nomor: 77 tahun 2009, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, menyebutkan, bahwa DPD merupakan lembaga Perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), berdasarkan ketentuan Pasal22 C ayat (1) UUD 1 94 5, maka terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum, hal ini berbeda dengan utusan daerah dan utusan golongan yang pada saat itu pengisian keanggotaannya melalui pengangkatan. Keanggotaan DPD dari setiap provinsi jurnlahnya sama untuk masing-masing provinsi
yaitu 4 (empat) orang atau kursi tidak mempertimbangkan luas daerah dan pendudukny4
artinya penentuan jumlah anggota DPD
meskipun seiring dengan berjalannya waktu masih
ditentukan berdasarkan administratif kewilayahan.
mengalami kekurangan-kekurangan.
Hal ini berbeda dengan penentuan alokasi kursi untuk DPR RI dari masing-masing Daerah Pemilihan yang mempertimbangkan luas wilayah dan kepadatan penduduknya. Di Amerika Serikat, keberadaan DPD ini mirip dengan Senator yang merupakan wakil-wakil dari negara bagian, dan jumlah senator samayaitu 2 oranguntuk masingmasing negara bagian. Kemudian, jumlah seluruh anggota DPD tersebut tidak lebih dari sepertiga dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Apabila dilihat dari kewenangan yang dimiliki
Daiam kaitannya dengan hal ini, Moh. Mahfud MD, mengemukakan bahwa isi konstitusi
itu merupakan pilihan politik, maka
upaya
mengubah konstitusi tidak harus selalu diarlikan bahrvayang sudah ada itu salah ataujelek, karena yang pokok dari upaya pe.rubahan konstitusi itu adalah membuat kesepakatan politik (re sultante) baru karena ada perkcmbangan, ada pemikiran banr yang relevan, dan ada hal-hal penting yang terlewatkan, atau karena ditemukan masalah (kekurangan) pada konstitusi yang sudah ada atau sedangberlaku. (MahfudMD;2008, l7). Oleh karena itu, perubahan konstitusi merupakan suatu keniscayaan dan gagasan perlunya amandemen lanjutan terhadap truD 1945 patut diapresiasi dengan terlebih dahulu menyiapkan grand design
yang jelas atas materi konstitusi yang perlu diamandemen, sehingga amandemen tidak hanya sekedar tambal sulam.
POSISI DAN PERAN
DEIVAN (DPD) DAI-AM PBRWAKILAN DAERAH
KOI\STITUSI
Dewan Perwal
oleh DPD dan dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR, maka kewenangan DPD tersebut sangat kecil dan lemah. Secara teoritis,
konstruksi parlemen dua kamar (bicanrcral) memang bervariasi, dari yang kuat (strong bicam-
eralism) seperti di Amerika Serikat hingga yang lunak atau lpmah (soft. bicameralism) seperti di Austria. Oleh karena itu, lemahnya kewenangan yang dimiliki oleh DPD tersebut memunculkan banyak kritikan bahwa DPD tidak lebih dari staf ahli yang sub ordinat terhadap DPR, sehingga memunculkan gagasan perlunya amandemen kembali terhadap UUD 1945, khususnya terkait
dengan kewenangan untuk memperkuat kervenangan DPD. (Jim ly Asshiddiqie ; 2007,
77
).
Terkait dengan hal ini, saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie (2007 ,77), dimanaseharusnya DPD tidak perlu rnempersoalkan dulu kewenangan atau kekuasaannya yang dianggap sangat terbatas itu,
UUD Hady, Peran DPD dan Gagasan Amandemen Kelima
1945 33
keberadaan DPD menjadi tidak ada artinya bagi
daerah hanya menjadi simbol dan formalitas kelembagaan atas nama daerah, tanpa diimbangi dengan daerah.
visi, dan komitmen untuk membangun
SISTEM
PEMILIIIAN
DEWAN
PERWAKILAN DAERAII (DPD) Berbeda dengan sistem Pemilihan umum untuk anggotaDewan Perwakilan Rakyat (DPR)'
maka sistem pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilaksanakan dengan menggunakan s istem distrik berwakil banyak. Untuk menjelasankan apayang dimaksud dengan s is tent distrik b erw akil banyak ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 84 ayat(2) or: 12 tahun 2003 tentang DPD' DPRD Provinsi dan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan Kota' yang menjelaspembangunan dan kese.lahteraan masyarakat daerah.
p
b
k
noAalzatqtr pa*::tr,
iakandalamsurat berada di dalam nomoq foto' dan
kotak segi nama calon' Apabila hasil pencoblosan yang
berada diluar kotak segi empat yang telah disediakan dalam surat suara, maka suaranya dinyatakan tidak sah' Selain itu pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan dan I ataucatatan lain pada
surat suara, karena surat suara yang terdapat tulisan dan atau catatan lainnya, maka dinyatakan tidak sah.
Dalam konteks ini, sebetulnya sistim pemilihan anggota DPD yang menggunakan
perlu mendapatkan perhatian yang sangat serrus sistem distrik ini juga belum tentu dapat menj amin dari DpD, dimana infrastruktur, sarana pendidikan, kita mendapatkan calon-calon anggota DPD yang berkualitas sesuai harapan dan keinginan dari
dipraktekkan di era orde baru, dimana mereka betul-betul tokoh yang cukup dikenal dan dekat dengan masyarakat di daerah, cuman bedanya di era sebelumnya mereka diangkat, sedangkan DPD yang sekarang dipilih secara langsung oleh rakyat
34
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,Th.2s,Nomor
di daerah. Nah, kedepan bagaimana kombinasi ketokohan anggota DPD, memiliki rekam jejak yangjelas, dan visi yangjelas untuk membangun daerahnya ini disatukan dengan model pemilihan secara langsung dengan sistem distrik ini dalam Pemilu 2014, sehinggadiharapkan mampu betul-
betul mendapatkan anggota DPD yang berkualitas, dan saya kira ini tidak perlu mengamandemen UUD 1945, tetapi cukup merubah UU pemilihan umum saja.
DAERAH PEMILIHAN & PENENTUAN CALON TERPILIH DPD Pada Pemilihan Umum tahun 2004, berdasarkan dalam ketentuan Pasal
5l
Undang-
undang No. I 2 tahun 2003, tentang Pemilu anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, maka daerah Pemilihan anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) adalah Provinsi, dan jumlah anggota DPD untuk setiap Provinsi ditetapkan 4 (empat) orang. Begitu juga dengan pelaksanaan Pernilu tahun 2009, berdasarkan ketentuan Pasal3l Undang-undangNo. l0 tahun 2008, tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, maka daerah Pemilihan untuk anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) adalah Provinsi, dan Pasal 31 Undang-undang No. l0 tahun 2008, menentukan jumlah kursi anggota Dewan Perwakilan daerah untuk setiap Provinsi ditetapkan 4 (empat) orang. Dalam hal penentuan atau penetapan calon terpilih untuk aggota DPD, menginat sistem pem ilihannya dengan menggunakan sistem distrik berwakil banyak, maka Pasal 109 Undang-undang No. 12 tahun 2008, menentukan; Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon
yang memperoleh suara terbanyak pertanra, kedua, ketiga, dan keempat di Provinsi yang bersangkutan. Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara yang sama,
l, Pebruari
2012
bersangkutan. Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat j umlah suara yang sama, maka calon yang memperoleh dukungan pemilih
yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih. KPU rnenetapkan calon pengganti antar waktu anggota DPD dari nama calon yang memperoleh suara terbanyak kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan di Provinsi yang bersangkutan.
KEWENAI\GAII DEWAN PERWAKILAN DAERAH(DPD).
Adapun kewenangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini adalah sebagai berikut; (i). Mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam, dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta ikut membahas RUU tersebut, (iy'. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-UndangAPBN dan Rancangan UndangUndang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
(iii). Dryat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang mengenai otonomi daerah, Undang-undang pembentukan, dan agama,
pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumberdaya alam,
dan sumberdaya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pend idikan dan agama, serta menyampaikan has i I pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan untuk ditindaklanjuti, (iv). Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam
pemilihan anggota BPK, (v). Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK. Untuk menunjang pelaksanaan tugas, maka Dewan Perwakilan Daerah dilengkapi dengan alat kelengkapan DPD, yaitu; (i). Pimpinan, (ii). Panitia
maka calon yang memperoleh dukungan pemilih
Ad Hoc, (iii). Badan Kehormatan, dan (iv).
yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih. Hal ini juga sama daam pelaksanaan Pemilu tahun 2009, berdasarkan ketentuan dalam pasal215 Undang-undang No.
Panitia-Panitia lain yang d iperlukan.
10
Kewenangan-kewenangan tersebut diatas sebetulnya cukup strategis bagi DPD, terutama untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang mengenai otonomi daerah, Undang-undang pembentukan, pemekaran, dan
yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di Provinsi yang
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan sumberdaya ekonomi lainnya. Tetapi DPD tidak
tahun 2008, yangmenentukan; Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon
Hady, Peran DPD dan GagasanAmandemen Kelima
jelas arah kerja yang sudah dilakukan, perhatian terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi daerah mulai dari pemekaran daerah, terkait dengan Otonomi khusus di beberapa daerah,
evaluasi pilkada yang sering terjadi konflik dibeberapa daerah, dan kasus-kasus gizi buruk, kelaparan, serta kasus-kasus yang terkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat di daerah masih
terabaikan.
dewasa untuk membukadiri dan siap mengusung
calon yang bukan berasal dari kadernya sendiri, asalkan memiliki kemampuan untuk mengelola negara secara profesional dan komitmen terhadap persoalan rakyat, bukan calon yang merninjam istilah Cak Nur (almarhum) banyak memlliki' gizi',
tetapi tidak meliki visi untuk mensejahterakan rakyat.
Untuk memperkuat sistem presidensial yang
GAGASAN AMANDEMEN KELIMA
USULAN DEWAN
UUD 1945 35
PERWAKILAN
DAERAH (DPD) Dalam kaitan dengan hal ini, setidaknya Deu'an Perwakilan Daerah (DPD) yang telah menggulirkan gagasan perlunya melanjutkan proses arnandemen UUD 1945 dengan menyiapkan naskah akadernik usulan amandemen
komprehensif. Menurut A. Mukthie Fadjar (2011,1), paling tidak ada l0 pokok usulan dari DPD, yaitu; (i). Memperkuat sistem presidensial,
(ii). Memperkuat lembaga perwakilan, (iii). Memperkuat otonomi daerah, (iv). Calon presiden perseorangan, (v). Pemilahan pemilu nasional dan
pemilu lokal, (vi). Forum previlegiatum, (vii). Optimalisasi pera4 Mahkamah Konstitusi, (viii).penambahan pasal HakAsasi Manusi4 (ix). Penambahan bab Komisi Negara, dan (x). Penajaman bab tentang pendidikan fan perekonomian. Dalam usulan amandemen versi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini, beberapa substansi penting yang diusulkan untuk dirubah, diantaranya adalah;
Peftama, di bidang eksekutif, pemilihan presiden secara langsung sebaiknya membuka peluang adanya calon independen, hal ini untuk merubah dominasi partai politik yang saat ini memonopoli pencalonan presiden. Sedangkan untuk menguatkan sistem presidensial yang efektif perlu desain konstitusi yang merangsang hadirnya sistem kepartaian sederhana. Dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan usulan calon presiden yang dapat diikuti oleh calon independen, karena hal tersebut akan menafikan keberadaan partai politik sebagai simbol perpolitikan modern. Selain itu, sangat sulit dibayangkan apabila presiden terpilih tidak didukung oleh kekuatan partai politik di parlemen, maka akan terjadi instabilitas politik karena kebijakannya tidak didukung oleh kekuatan di parlemen. Tetapi yang perlu didorong adalah bagaimana partai politik kita mampu secara
efektif maka penulis sependapat perlunya desain konstitusi yang merangsang hadirnya sistem kepartaian sederhana, karena dalam realitas empirik pemilu multi partai pada Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan pemilu 2009,yang sudah kita terapkan telah terjadi ketidakstabilan pemerintahan, meskipun masih dalam batas-batas
yang wajar. Hal ini bukan saja karena presiden yang terpilih hanya mendapatkan dukungan minoritas di parlemen, tetapi karena koalisi paryol pengusung seringkali dibangun berdasarkan kepentingan pragmatis jangka pendek, yaitu untuk memperolehjabatan di pemerintahan, menteri, dll. Koalisi tidak dibangun berdasarkan visi bersama untuk mensejahterakan rakyat.
Namun demikian, bukan berarti kita membatasi hadirnya partai politik baru, kita tetap membuka peluang mun;ulnya partai-partai politik baru, akan tetapi secara alamiah biar rakyat yang akan menyeleksi partai -partai politik tersebut melalui Pemilu. Cara yang paling efektif untuk
melakukan seleksi alam atas eksistensi partai politik salah satunya adalah dengan cara menerapkan aturan Electoral Threshold maupun Parliamentary Threshold. Olek karena itu, era multi partai yang kita terapkan sekarang ini secara perlahan-lahan akan terseleksi secara alamiah, partai-partai politik apa saja yang akan tetap menjadi kontestan Pemilu, yaitu tentunya Parpol yang tetap dipilih oleh rakyat dan memperoleh suara yang signifikan, sehingga lolos dari aturan Electoral Threshold maupun Parliamentary Threshold. MenurutArend Lijphart ( 199 5),sebagaimana dikutip kembali oleh Arobowo (2003, 33) Electoral Threshold adalah the minirnunx support that a party needs to obtain in order to be represented, yaitu jumlah minimum dukungan yang harus diperoleh oleh seseorang atau sebuah parlai untuk memperoleh kursi di lembaga perwakilan. Dalam praktek, ketentuan Electoral Threshold ini dapat kitaj ump
ai pada pelaksanaan
berdasarkan UU
pemilu 2 004,
No. l2 tahun 2003 tentans
36
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari 2012
Pemilihan Umum, akan tetapi ketentuan ini bukan mengatur tentangjumlah minimum dukungan bagi
(duapersen)jumlah kursi DPRpada Pemilu 2004 berdasarkan UU No. 12 tahun 2003, menjadi
partai untuk memperoleh kursi di lembaga
sekurang-kur angny a 3o/o (ti ga p er s er atas) jumlah
perwakilan, tetapi ketentuan ini berkaitan dengan keikutsertaan kembali partai politik peserta pemilu 1 999 untuk mengikuti pemilu berikutnya yaitu
kursi DPR pada pemilu 2009 berdasarkan UU No. l0 tahun 2008. Harapannya kedepan,
pemilu2004.
-
Sedangkan pada pelaksanaan Pemilu 2009,
penerapan Electoral Threshold sebagaimana yang dikemukakan oleh Arend Lijphart (1995) ini dapat kita temui dalam ketentuan Pasal202 UU No. 10 tahun 2008, tentang Pemilihan umum, yaitu jumlah minimum dukungan yang harus diperoleh oleh sebuah partai untuk memperoleh kursi di DPR. Pasal 202 (l) UU No. 10 tahun 2008, menyebutkan; Partai politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang- kurangnya 2,5Yo (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan inilah yang kita kenal juga dengan istilah Parliamentary Thresh-
old. Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal'202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan
kursi DPR di masing-masing daerah pcmilihan.
Namun demikian, ketentuan sebagaimana dimaksud tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Selain itu, UU No. l0 tahun 2008, juga mengatur keikutsertaan kembali partai politik peserta pemilu 2004 untuk mengikuti pemilu 2009.
Dalam ketentuan Pasal 315 UU No. l0 tahun 2008, menyebutkan; Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya
3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4Yo (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ll2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4o/o (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 112 (s e t en gah) jum lah kab upaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun2004. Jadi dalam penerapan Electoral Threshold bagi partai politik untuk dapat ikut kembali sebagai partai politik peserta pemilu pada pemilu b erikutnya, terj ad i pen in gkatan dari minimal 2Yo
penerapan Electoral Threshold maupun Parliamentary Thresholdbagi partai politik dari pemilu ke pemilu terus tingkatkan untuk menuju proses
penyederhanaan Parpol. Apalagi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: l6lPWV /2007,yang diajukan oleh 13 (tiga belas) partai politik terkait dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12 tahun 2003, tentang Pemilu yang berkaitan dengan penerapan Electoral Threshold maupun Parliamentary Thresh-
old, menurut Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, dalam bidang legislatif, kewenangan DPD sebaiknya dikuatkan agar fungsinya sebagai penyeimbang DPR dapat dilaksanakan dengan lebih efektif, mengingat posisi MFR yang ditegaskan sebagaijoint session, forum gabungan saat DPR dan DPD melakukan sidang bersama. Pemilihan anggotaDPD yang secara langsung melalui sistem perwakilan provinsi harus disinkronkan dengan kewenangannya yang lebih kuat.
Ketiga,
di l.idang yudikatif,
Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan Mahkamah Konstitusi sebaiknya diberikan kewenangan untuk
menguji semua peraturan perundang-undangan, dan perlu ditambah untuk memeriksa permohonan c ons t i tut i onal c ompl ainf, Sedangkan Mahkamah
Agung sebagai Court of justice yang diberikan kewenangan forum prev il e gi atum untuk m emutus kasus kejahatan pada tingkat pertama dan terakhir bagi pejabat negara. Keempat terkait dengan reformasi hubungan
pusat dan daerah harus diagendakan dalam perubahan konstitusi. Desain konstitusi harus menemukan formula yang tepat untuk terus
mendorong desenttalisasi
yang
tidak
menumbuhkan potensi disintegrasi, oleh karena itu
konstitusi juga mesti mempunyai norma yang berpihak kepada keberagaman dan kekhususan daerah, ataupun masyarakat adat setempat. Dalam kaitan dengan gagasan amandemen yang berkaitan dengan Reformasi hubungan pusat dan daerah yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan
Daerah
ini, belum begitu nampak seperti apa
desain Otonomi Daerah yang diharapkan, karena masih bersifat teoritis dan belum mencerminkan realitas empirik.
Hady, Peran DPD dan Gagasan Amandemen Kelima UUD
1945 37
Persoalan otonomi daerah yang kita hadapi,
Kesatuan Republik Indonesia. Hal itulah
menurut penulis begitu kompleks, bukan hanya sekedar perubahan paradigma dari sentralisasi
sebenarnya yang menjadi substansi dari otonomi daerah yang hendak diterapkan sesuai yang
kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Karena ketika kewenangan yang begitu besar sudah diberikan kepada daerah, tetapi dampaknya bagi masyarakat luas belum dirasakan, terutama
diamanatkan oleh IIUD 1945. Selain beberapa poin penting diatas, dalam
harapan untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah. Terdapat gejalayang sulit dibantah bahwa otonomi daerah lebih dimaknai sebagai semata-mata kekuasaan
usulan amandemen versi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), juga menyinggung tentang; (i). wilayah negara, (il). posisi Hak Asasi Manusia dalam konstitusi, kebebasan pers, hak perempuan,
dan hak pekerja,
(iii). Masalah perekonomian
pemerintah daerah untuk mengatur pemerintahan sendiri tanpa diikuti dengan visi pemerintahan yang menyejahterakan seluruh raky at. Otonorni daerah telah didis torsi menj adi otonomi pemerintahan daerah somata, karena partisipasi rakyat masih
nasional dan kesejahteraan sosial, (iv). pertahanan dan keamanan negara yang didalamnya mengafur tentang susunan dan kedudukan TNI dan POLRI, (v).Tentang Keuangan negara, dan (vi). Tentang Kekuasaan Pemerintahan negara. Selain itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
belum dapat mengakses titik-titik strategis
juga mengusulkan perlunya restrukturisasi
pengambilan keputusan di daerah. Pasca reformasi
terhadap keberadaan komisi-komisi negara di dalam konstitusi dan perlu ditegaskan bahwa komisi negara yang sebaiknya dipertahankan hanyalah komisi-komisi yang mempertegas dan memperkokoh bangunan negara hukum, yaitu komisi yang mendorong dan menjaga: (1 ). Sistem
disadari atau tidak telah terjadi paradoks demokasi. Terdapat pemahaman demokrasi yang lebih bersifat prosedural semata dan
menghilangkan makna demokrasi yang lebih substantif. Padahal dalam konteks pembangunan
demokrasi, segenap aktor demokrasi mesti memiliki persepsi dan pemahaman yang sama, bahwa locus demokrasi bukan lagi hanya di gedung dewan perwakilan rakyat (DPRD), namun
juga terdapat di basis massa rakyat. Selain itu, hubungan pusat dan daerah harus
peradilan yang independen dan berintegritas, bersih dari praktik mafia peradilan; (2). Perlindungan hak asasi manusia; (3). Kebebasan pers; (4). Pemilihan
umum yang jujur da,r adil; (5). Terciptanya pemerintahan yang baik. Maka komisi negara yang perlu diatur di dalam konstitusi berdasarkan
diarahkan bagaimana pemerintah pusat harus
usulan dari Dewan Perwakilan Daerah adalah:
mampu melakukan fungsi pengawasan dan kendali atas j alannya pemerintahan daerah yangsekiranya
Komisi Yudisial, (2). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (3). Konrisi Nasional HAM, (4).
dapat membahayakan keutuhan NKRI, dan keberadaan DPD seharusnya juga dapat melakukan fungsi pengawasan ini. Hal ini dapat
Komisi Pers Indonesia, dan (5). Komisi Pemilihan Umum (KPU). Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa UUD 1945 hasil mandemen masih memiliki beberapa kelemahan-kelemahan mendasar seiring dengan berjalannya waktu, dan menjadi suatu keharusan kelemahan-kelemahan tersebut perlu untuk disempurnakan. Beberapa persoalan mendasar yang perlu cermati dan perlu mendapat kajian bersama, yaitu;
dilihat dengan adanya pulau-pulau yang disewakan bahkan ada yang dijual belikan kepada investor
asing dengan alasan untuk meningkatkan Pendapatan Asli daerah (PAD), selain itu wilyah perbatasan yang tidak terurus, pencaplokan batas
wilayah oleh Negara tetangga juga menjadi persoalan serius yang luput dari pengamatan kita dan belum ada langkah kongkrit dari pemerintah pusat untuk mencegah terjadinya penyerobotan
(
1
).
pemerataan, keadilan, keistimer,vaan dan
Pertama, keberadaan lembaga negara yang seharusnya tidak perlu, hal ini berujung pada terjadinya'benturan kewenangan antar lembaga negara. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, sebenarnya merupakan perkembangan yang sangat maju. Akan tetapi dengan adanyaKomisi Yudisial (KY) yang tidak jelas desain dan posisinya dalam konstitusi sebagai
kekhususan suatu daerah dalam sistem Nesara
organ pembantu dalarn pelaksana kekuasaan
tersebut. Mengingat Otonomi daerah pada dasarnya diarahkan untuk mempercepat terwuj udnya kesej ahteraan masyarakat mel alui peningkatan pelayanan, pemberdayaaan dan peran
serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
38
Jumal Penditlikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor I, Pebruari 2012
kehakiman yang berujung pada munculnya konflik
arfiara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) menunjukkan betapa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) belum memiliki . grand desain yang jelas bagaimana posisi, dan kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial. Pasal 24 B ayat (l) UUD 1945, menyebutkan; Kom isi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Berdasarkan ketentuan diatas, maka Komisi Yudisial setidaknya memiliki 2 (dua) kewenangan utama, yaitu; (y'. mengusulkan pengangkatanhakim agung dan, (ii). mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran maftabat, serta prilaku hakim. Dalam kaitannya dengan mengusulkan pengangkatan hakim agung, sebenarnya hal ini tidak perlu membentuk lembaga negara yang khusus untuk itu, tetapi seharusnya cukup dibentuk
tim seleksi yang bersifat Ad hoc (sementara),komisiatau tim seleksi ini bisa sebuah komisi atau
dibentuk oleh Presiden, karena sifatnya semetttara, sehingga tidak mengakibatkan pemborosan dengan membentuk lembaga negara baru. Apalagi usulan
tersebut untuk diajukan kepada DPR agar mendapatkan persetujuan, dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden.
terhadap para hakim, dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim, maka seharusnya konstitusi harus secara tegas mengatur para hakim pada tingkat mana yang menjadi obyek pengawasan Kl dan menurut penulis obyek pengawasan
Komisi Yudisial, lebih difokuskan pada pengawasan hakim di lingkungan Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya dan tidak berwenang mengawasi hakim konstitusi. Hal ini, dikarenakan banyak para hakim di semua tingkatan yang putusannya menimbulkan kontroversi dan
belum menjamin rasa keadilan di masyarakat. Adapun argumentasi, kenapa Komisi Yudisial hanya benvenang mengawasi hakim di lingkungan MahkamahAgung dan peradilan dibawahnya dan tidak berwenang mengawasi hakim konstitusi ?. Menurut Harjono, karena hal ini senafas dengan
kewenangan utamanya untuk mengusulkkan pengangkatan hakim agung, Selain itu, hal ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa pengisian jabatan hakim agung ditempuh lewat mekanisme yang berbeda. Pengi sian j abatan hakim agung telah diatur dalam pasal24 Aayat (3), yang melibatkan Komisi Yudisial. Sementara itu, pengisian j abatan hakim konstitusi diatur dalam pasal24C ayat(3),
yang masing-masing diajukan oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan oleh Presiden (Harjono; 2008, 122 -124). Persoalan lain yang menyangkut mekanisme pengawasan yan g d ilakukan Komisi Yudi sial, yang
Sehingga keberadaan sebuah lembaga negara
sejatinya untuk menjaga dan menegakkan
yang hanya difungsikan untuk menyeleksi jabatan
publik tertentu seharusnya tidak perlu karena
kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim, seharusnya model pengawasannya tidak
menjadi pemborosan anggaran dan kurang efektif.
seperti model lembaga swadayamasyarakat yang
Menurut Harjono, sebenarnya pada saat UUD 1945 berlangsung, sempat terpikir bahwa lembaga yang sekarang bernama proses perubahan
Komisi Yudisial agar bersifatAd Hoc semata. Hal ini karena ia berangkat dari konteks bahwa
', dan begitu mudah menyatakan bahwa seorang hakim telah kesannya kerap 'negatif
melakukan penyimpangan tanpa ada kepastian secara hukum. Selain itu, mekanisme pengawasan
kewenangan lain sebagaimanayang diatur dalam Pasal24 B ayat (l) WD 1945. (HarJono; 2008, I22) Dalam konteks ini, nampak jelas proses amandemen masih terkesan tambal sulam, sering kali dibentuk lembaga negara baru terlebih dahulu, baru kemudian dicarikan kewenangannya.
yang dilakukan Komisi Yudisial masih terlalu konvensional, karena seharusnya Komisi Yudisial juga melakukan pengawasan terhadap adartya Contempt of Cours yangmungkin dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengawasan tetap perlu dilakukan terutama dapat dilihat dari putusan-putusan hakim yang sumir dan penuh kontroversi, termasuk putusan hakim yang banyak membebaskan para koruptor 'kelas kakap '. Setiap prilaku m.enyimpan gyangdilakukan para hakim harus di
Kedua, dalam hal pelaksanaan fungsi
proses, namun pada akhirnya upaya menegakkan
kebutuhan akan komisi ini adalah dalam rangka menyeleksi calon hakim agung semata. Namun,
ternyata pemikiran berkembang yang pada akhirnya komisi ini ternyata diberikan tambahan
pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
kehormatan hakim, jangan sampai justru
Hady, Peran DPD dan Gagasan Amandemen Kelima UUD
1945 39
'menjelek-jelekkan' yang berujung pada di mata masyarakat,
945, maka t erdapat 2 (dua) lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian
mita bagi
terhadap peraturan perundang-undangan di indonesia" yaittt; (I ). Mahkamah Agung (MA), dan (2). Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 24 A ayat (l) UUD 7945,
menurunnya citra hakim
karena sejatinya Komisi Yudisial menjadi
Mahkamah Agung dan masyarakat agar menjaga seorang hakim tetap berjalan padajalan yang lurus dan berkomitmen pada keadilan serta kebenaran yang setiap putusannya didasarkan pada kejemihan hati nurani.
Sebagai sebuah gagasan, bisa saja kewenangan Komisi Yudisial apabila masih dipertahankan keberadaannya, perlu diperluas lagi kewenangannya untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap semua aparat penegak hukum, mulai dari Polisi, Jaks4 dan hakim. Selain
itu, Komisi Yudisial juga dapat diberikan kewenangan untuk melakukan pengkajian terhadap persoalan hukum nasional. Sehingga, dengan memperluas kewenangan Komisi Yudisial
ini, maka diharapkan keberadaan Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dan bahkan Komisi Hukum Nasional dan SATGAS mafia hukum tidak diperlukan lagi, karena peran-peran pengawasan itu diharapkan melekatdan menjadi kewenangan
komisiyudisial.
Kemudian, sebagai gagasan amandemen lanjutan dalam bidang kekuasaan kehakiman, maka hendaknya kewenangan Mahkamah Konstitusi diperluas lagi untuk melakukan z7i materiil terhadap semua peraturan perundangundangan, dan memeriksa permohonan Constitutional complaint. Bahkan dalam beberapa kesempatan, ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, mengemukakan perlunya menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu memenerima dan memeriksa permohonan Constitutioncl complaint, karena hampir setiap hari banyak surat yang masuk ke MK yang sebenarnya
berkaitan dengan Constitutional complaint ini. Salah satu Rekomendasi hasil Seminar dan refleksi akhir tahun 2009 yang dilakukan oleh Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Se-Jawa Timur, juga mengusulkan perlunya MK diberikan kewenangan untuk menerima, memeriksa dan memutus Coir-
stitutional question tnaupun Constitutional complaint. Hal ini juga dapat dilihat dan dibandingkan dengan usulan amandmen lanjutan
versi DPD yang juga rnengusulkan tambahan kewenangan MK untuk memeriksa Constitutional complaint. Selama ini, kervenangan untuk melakukan hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan ini, berdasarkan ketentuan Pasal24 Aayat (1) jo Pasal 24 C ayat (1) IIUD
1
menyebutkan;
"Mahksmah Agung berwenang ntengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang, ...". Menurut M.Laiza Marzuki, kita menganut si
stem penguj ian materil terbatas bagi Mahkamah
Agung, yakni terbatas pada pengujian materil (materieele toetsing) terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Selain itu, MahkamahAgung hanya boleh menguji formal (formele toetsing) terhadap undangundang namun tidak boleh menguji substansi (materi) undang-undang. Mahkamah Agung tidak memiliki hak menguji materi (materieele t o et s in gsre c ht) terhadap und ang-undang. Namun demikian, lebih lanjut menurut M. Laiza Marzuki, pengujian materil terhadap peraturan perundangundangan di bawah undang-undang dipandang kurang efektifkarena kaidah hukum yang paling efektif mengikat rakyrt banyak adalah undangundang beserta kaidah-kaidah hukum di atas undang-undang.
Kemudian, Pasal24 C ayat
(l) truD
1945,
dikatakan; "
Mahkamah Konstitus
i
berw enang ntengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji und an g- un d an g t e r haclap Und ang- Undan g Dasari...". Berdasarkan dua ketentuan
di
atas, maka
secara prinsip sistem pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan di indonesia dapat dibedakan
antara konsep pengujian perafuran perundangundangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang merupakan kewenangan MahkamahAgung dan konsep pengujian unda:rgundang terhadap Undang-Undang Dasar yang merupakan kewenangan Malrkamah Konstitusi. Dengan pembedaan ini, maka menurut Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Agung merupakan pengawal undang-undang (the guardian of the law), sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai pengawal Undang-Undang Dasar. (the guardian of the Constitution).
40
Jurnal Pendidikan Pancusila dan Kewargattegaraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari 2012
Dalam konteks ini, sebagai sebuah gagasan amandemen lanjutan, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat diperluas untuk melakukan pengujian terhadap semua peraturan perundang-undangan di indonesia" Hal ini untuk menghindari tumpang tindih putusan dan untuk mensingkronkan setiap putusan penguj ian terhadap
peraturan perundang-undangan, karena bisa jadi
undang-undangan yang dijadikan dasar untuk
menguji peraturan perundang-undangan dibawahnya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung justru melanggaran UUD 1945. Apabila kewenangan pengujian terhadap semua peraturan perundang-undangan di indonesia disatukan berada
di Mahkamah Konstitusi, maka diharapkan Mahkamah Konstitusi dapat melakukan uj i materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang langsung kepada UUD 1945.
Adapun yang berkaitan dengan Constitutional complaint yaitu gugatan yang diajukan seorang warganegara atas pelanggaran negara dan/atau aparatus negara terhadap hak-hak konstitusionalnya yang dijamin oleh konstitusi. Menurut Robert Alexy, sebagaimana dikutip kembali oleh Harjon o, C onstitutional c omplaint memiliki 'fungsi ganda'. Pertama, bagi warga negara, ia menjadi semacam obat penawar ekstraordiner, yang memberi warganegara hak untuk mempertahankan hak konstitusionalnya. Kedua, bagi Mahkamah konstitusi atau yang
dipersoalkan adalah pihak yang menafsirkan undang-undang tersebut yang menyebabkan pemohon dirugikan. Jika demikian halnya, maka dia bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian, jika dikabulkan, Mahkamah Konstitusi bisa menyatakan bahwa kasus untuk orang itu, putusan Mahkamah Agung tersebut bertentangan dengan hak-hak konstitusionalnya. Hal ini berlaku secara individual, tanpa perlu mengubah undang-undang. Di sejurnlah negara seperti Jerman dan Korea Selatan, penanganan Constitutional complaint semacam itu telah menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi. (Harjono, 2008, i 80-l 81). Selain itu, jika terdapat tindakan, perbuatan atau aturan yang dikeluarkan olehpublik authority y angmelanggar hak-hak dasar warga negara, baik yang bersifat substantifatau proseduril yang dilindungi oleh konstitusi, maka perbuatan atau
tindakan dimaksud dapat dibawakan ke depan Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa dan diputus apakah benar melanggar konstitusi. Keputusan atau perbuatan public authority tersebut meliputi
putusan pejabat pemerintah, putusan hakim, putusan pejabat tata usaha negara dan peraturan
ketika seseorang menggunakan upaya di peradilan biasa hingga pada putusan terakhir di Mahkamah
perundang-undangan yang dibuat legislatif. Kewenangan untrrli memeriksa dan memutus Constitutional complainl semacam ini, belum merupakan wenangan MKzu (Maruar, 2008,32). Selanjutnya, kelemahan berikutnya adalah kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan representasi dari daerah, tetapi sayangnya tidak memiliki kewenangan yang signifikan dalam menyuarakan kepentingankepentingan daerah. Dalam hal proses legislasi misalnya, seharusnya peran DPD tidak hanya
Agung, namun dia masih merasakan bahwa putusan tersebut belum adil, maka dia
RUU yang berkaitan dengan Otonomi Derah,
dimungkinkan mengajukan gugatan ke Mahkamah
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
menjalankan kompetensinya, ia berfungsi sebagai upaya penegakan hukum konstitusi yang obyeklif,
memberikan interpretasi, dan mengawal perkembangannya. Dalam ilustrasi sederhana,
i.
sebatas dapat mengajukan dan ikut membahas atas
Konstitusi akan melihat apakah yang diputuskan olel.r Mahkamah Agung tersebut merugikan hak-hak konstitusionalnya. Jika Mahkamah Konstitusi
pemekaran serta penggabungan daerah,
menyatakan bahwa putusan tersebut merugikan,
tetapi seharusnya sebuah RUU tersebut juga harus mensyaratkan perlunya mendapatkan persetujuan bersama antara DPR, DPD, dan
Kon stitus
Selanj utnya, Mahkamah
maka yang diberlakukan hanya sebatas yang berlaku pada individu yang bersangkutan, tidak seluruh undang-undang (Harjono; 2008, 180). Dalam kasus lain, ketika seseorang
dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung berdasarkan undang-undang. Si pemohon tidak menyoal undang-undang yang menjadi dasar putusan Mahkamah agung tersebut, yang
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, akan
Presiden. Sehingga dengan hanya memposisikan DPD seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 22 D UUD 1 9 4 5, aday ang menganggap eksisteni
Dewan Perwakilan Daerah menjadi mubazir karena kebeladaannya tidak diimbangi dengan kewenangan yang cukup kuat dan terlihat belum
Hady, Peran DPD dan Gagasan Amandemen Kelima UUD l
ada design yang jelas sistetn bikameral seperti apayang hendak diterapkan, apakah strong bicameralism ata:u soft bicameralisn. Menurut M. Laiza Marzuki, mencermati kewenangan yang dimiliki DPD, maka sistem parlemen bicameral yang diadopsi masih terbatas pada sistem bicameral lunak,lazim disebut soft bicameral, karena DPD belum diberi peran selaku madewetgeving,
wilayah. Begitu juga dengan kasus-kasus pemekaran daerah dan kondisi daerah-daerah di perbatasan dengan negara lain yang belum mendapatkan perhatian dan menjadi isu-isu yang sangat serius dari DPD untuk ditarik pada ditingkat nasional. Sehingga kita masih menganggap DpD belum dan bahkan tidak sensitifterhadap isu-isu yang bersentuhan langsung dengan kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat
disamping DPR (M. LaizaMarzuki; 2008, 7 8). Namun demikian, bisajadi anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena bisajadi peran dan fungsi DPD tidak di design seperti Senator di Amerika Serikat yang menganut s/ro ng bicameralism, tetapi sengaj a di design seperti sekarang ini sebagai kelanjutan dari Utusan Daerah seperti dimasa lalu yang bahkan keberadaannya hampir
tidak berfungsi dan memiliki arti apa-apa bagi daerah. Apabila realitasnya memang demikian, maka pengaturan dalam ketentuan pasal22 D UUD 1945 sudah cukup maju, tergantung bagaimana fungsi yang sudah ada sekarang ini lebih dioptimalkan lagi. Mengingal selama ini DpD belum optimal melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang mengenai Otonomi
Daerah, pembentukan, pemekaran
dan
penggabungan daerah, serta hubungan pusat dan
daerah. Apabila DPD sudah optimal dalam melakukan fungsi penga\ ,asan atas jalannya Otonomi Daerah, maka keberadaan Dewan Pertimbangan Otononi Daerah sebaeai amanah dari UU No. 32 tahun 2004, bisalaja tidak diperlukan lagi keberad aanny a.
SIMPULAN Gagasan dari berbagai pihat terkait dengan
perlunya perubahan (amandemen) lanjutan memang patut dan perlu kita apresiasi, tetapi tentu sajaperlu mendapatkan scbuah kajian lebih lanjut
dengan mempertimbangkan banyak aspek, sehingga kita tidak terkesan terlalu emosional. Sementara itu, DPD diharapkan terlebih dahulu mengoptimalkan kewenangan yang sudah ada, lebih responsif dan fokus terhadap persoalanpersoalan yang munclll dalam penyelenggaraan
Otonomi Daerah, terutama persoalan yang nrenyangkut akselerasi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah yang akhirakhir ini cukup memprihatinkan, dengan adanya kasus gizi buruk, kelaparan, dan terjadinyabanjir yang terjadi di beberapa daerah akibat buruknya pengelolaan lingkungan dan penataan Tata ruang
g45 4l
daerah. Hal itulah barangkali persoalan-persoalan
yang mendesak untuk segera ditangani secara serius oleh DPD, dibandingkan dengan gagasan amandemen kelima UUD 1945 yang mereka usulkan.
Namun demikian, apabila proses amandemen
lanjutan tetap dipaksakan denga dalih untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan yang lebih baik, maka kita berharap agar konteks historis dapat dilestarikan sehingga masih tetap dapat terus
dipelajari oleh generasi mendatang, maka setiap Pasal baru hasil amandemen harus selalu disertai dengan Pasal aslinya. Selain itu, kesepakatan mendasaryangtelah dilakukan oleh MpR ketika melakukan perubahan pertama hingga keempat, juga harus tetap dipertahankan, yaitu; (l). Tidak mengubah bagian Pembukaan IIUD 1945; (2).
Tetap mempertahaukan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3). perubahan dilakukan dengan cara 'adendum'; (4). Mempertegas densial; (5/. penj elasan IIUD 1945 ditiadakan, hal-hal nonnative dalam bagian penj elasan diangkat ke dalam pasal-pasal. Kesepakatan mendasar diatas tetap perlu menjadi landasan dan sekaligus menjadi koridor bagi MpR s
istem Pemerintahan Pre
si
dalam mengamandemen UUD 1945, supaya ad i' ke b ab I as an' dan tidak menghilangkan nilai-nilai filosofi dasar dari IIID 1945 seperti yang sudah termaktub dalam basian Pembukaan Undang-Undang Dasar GfUD) 1 ;45. Pada akhirnya, gagasan amandemen kelima harus dipikirkan dan dikaji ulang secara serius, karena perubahan konstitusi merupakan suatu keniscayaan dan gagasan perlunya arnandemen lanjutan terhadap UUD 1945 patut cliapresiasi dengan terlebih dahulu menyiapkan gz and design yang jelas atas materi konstitusi yang perlu diamandemen, sehingga amandemen tidak hanya sekedartambal sulam, dan yang paling urgen lagi adalah rakyat dapat secara langsung menerima amandemen tidak menj
manfat dari amandemen tersebu! karena tidak bisa
dipungkiri bahwa UUD 1945 hasil amandemen yang sudah ada sekarang ini telah membawa
42
Jarnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,Th.25,Nomor
kemajuan dalam kehidupan ketatanegaraan di indonesia, bahkan mungkin amandemen sekarzlng ini terlalu radikal danterlalu cepat untuk diterapkan terutama berkaitan dengan pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung.
Tetapi
l, Pebruari
2012
belum merasakan secara langsung urgensi dan manfaat secara langsung dari amandemen tersebut, yaitu menjadi konstitusi yang hidup dan mampu menjamin kemakmuran dan kesejahteraan
bagi rakyat.
masyarakat, terutama masyarakat kecil yang
DAFTAR RUJUKAN Aribowo, dkk, Model-model Sistem Pemilihan di Indonesia, Penerbit PuSDeHAM dan Partnership For Governance Reform In Indonesia, Surabaya, 2003. Fadjar, A. Mukthie, Beberapa catatqn atas usul Perubahan Kelima UUD 1945, Belajar dari pengalaman Perubahan WD 1945 Tahrm I 999-2002, Makalah tanpa tanggal.
H.A.S. Natabaya, A[enqta Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Sekretaris Jenderal dan
Maruar Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi Yang Hidup, Sekretaris Jenderal MKR[, Jakarta, 2008.
M. Laiza Marzuki, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Sekretaris Jenderal MKzu, Jakarta,2008. Judicial Review di Mahkamah Ag,tng, Artikel online, Dirjen Perundang-undangan Depkumham, tanpa tanggal. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undangNo. l0 tahun 2008, tentang Partai Politik
Kepaniteraan MK, Jakart& 2008, hlm, 189193. Harjono, Konstilusi sebagai Rumah Bangsa, Pemikiran Hukurn Dr. Harjono, Sekretaris Jenderal MKRI, Jakarta.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah sebagaimana yang sudah dirubah dengan Undang-Undang No.
Jimly Asshiddiqie, Ilukum Acara Pengujian Und an g-ttn d an g, Penerbit S ekretaris Jenderal MKRI, J akarta, 2005 .
Risalah Rapat PAH III BP MPR tahun 1999. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: l6IPUUv12007.
Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, The Biographi Institute, Jakarta,2007. Mahfud MD, Menilai Kembali dan menjajaki
Naskah Akademik usulan Amandemen
kemungkinsn Amandemen lanjutan UUD 1945, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 5 Nomor 1, Juni 2008, hlm 17.
32 tahun 2008, tentang Pemerintahan
Komprehensif UUD 1945, DPD RI, Jakarta Februari 2011.
I Sosialisasi Putusan MPR RI, Dalam Panduan
Sambutan Pimpinan Sub Tim Kerja
Permasyarakatan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, Sekjen MPR RI, Jakarta, 2006.
POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN MORAL KELOMPOK MAHASISWA LPTK DALAM LINGKUP MORALITAS SOSIOKULTURAL PADA ERA GLOBALISASI
SuparlanAl Hakim Jurusan Hukum dan Kewargan egaraan,Universitas Negeri Malang Jl. Semarang5 Malang
Problems dealing with concepts and application about values, moral, attitudes, consideration, and decision makingby college students are interesting subjects. It is especially for educators, scholars, community leaders, and parents. Nowadays, teenagers do not have enough staying power and precise moral consideration in decision making. It includes decision making not only private decision, but also group decision. The goals of this writing are to describe types of sociocultural moralities evolving in college studenls' lives; describe moral problematics or moral dilemma faced by college students; describe pattems of decision making by college students using the sociocultural morality reference; describe types of sociocultural morality evolving in college students lives based on moral development theory by Kohlberg.
Abstrak: Masalah konsep dan aplikasi tentang nilai, moral, sikap, pertimbangan dan keputusan mahasiswa merupakan masaiah yang cukup menarik perhatian, terutama bagi para pendidik, ulama, pemuka masyardkat dan para orang tua. Saat ini remaja tidak cukup memiliki daya tahan, pertimbangan moral yang tepat dalam setiap pengambilan keputusannya, baik keputusan pribadi juga kelompok. Tujuan penulisan adalah menjelaskan ragam moralitas sosiokultural yang berkembang dalam kehidupan mahasiswa, problematika moral atau dilema moral yang dihadapi oleh mahasiswa dalam kehidupanny4 pola proses pengambilan keputusan moral mahasiswa dengan menggwrakan referensi moralitas sosiokultural, dan ragam moralitas sosiokultural yang berkembang dalam kehidupan mahasiswa sesuai dengar teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg.
Kata kunci: pola, keputusan moral, kelompok, sosiokultural
Maraknya kasus perkelahian antar kelompok mahasiswa akhir-akhir ini, seperti kasus
WIloge" menjadikan para remajajuga mahasiswa mudah terbujuk oleh gemerlapnya dunia hedonis,
perkelahian antar mahasisrva di propinsi Sulawesi Selatan dan Gorontalo, dengan alasan apapun menimbulkan sejumlah pertanyaan, apa yang
konsumeris dan dugem serta segala extasi gaya hidup yang semakin menj auhkan mereka dari nilai, moral, sikap dan perilaliu keagamaan. Tidak hentihentinya kita mendengar berita tentang tindakan
menyebabkan tindakan tidak pantas tersebut
terjadi. Bagaimana keputusan kclompok mahasiswa untuk menyerang kelompok
kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak, remaja dan mahasiswa. FIal ini menandakan mereka tidak cukup memiliki daya tahan, pertimbangan moral yang tepat dalam setiap
mahasiswa lainnya diambil, pertimbangan moral apakah yang mereka pergunakan? Pengambilan keputusan moral biasanya menggunakan referensi pola tindakan moral tertentu antara lain berupa karakter moral.
pengambilan keptusannya, baik keputusan pribadi
jugakelompok. Perlimbangan moral dan keputusan tidak bisa
Banyak persoalan mengenai konsep dan
terlepas dari pemahaman mereka akan konsep
aplikasi tentang nilai, moral, sikap dan pertimbangan serta keputusan mahasis\ /a, [lerupakan masalah
moral itu sendiri. Adapun moral sama dengan etika, atau kesusilaan yang diciptakan oleh akal, adat dan agama, yang memberikan norma tentang bagaimana kita harus hidup (Panuju, 1995). Moral
yang sekarang ini sangat banyak meminta perhatian, terutama bagi para pendidik, ulama, pemuka masyarakat dan para orang tua. Terlebih tantangan zaman globalisasi dan slogan "Global
dapat diukur secara subyektifdan obyektif. Kata
hati atau hati nurani memberikan ukuran yang 43
44
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari 2012
subyektif, adapun norma memberikan ukuran yang obyektif (Hardiwardoyo, I 990). Apabila hati nurani ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma
pun sernakin cenderung individualis, dengan kontrol
akan membantu mencari kebaikan moral. Mahasiswa yang berusaha hidup baik secara tekun
position) adalah sikap moral atau kebiasaan berpikir dan bertindak yang kondusif bagi
dalam waktu lama dapat mencapai keunggulan
berfungsinya dan kelangsungan sistem sosial.
moral yaitu bersikap batin dan berbuat lahir secara
benar.
Hal ini akan berimplikasi
sosial yang relatif longgar.
Secara teoritis karakter moral (moral dis-
Karakter moral terbentuk dan berkembang setelah
pada pertimbangan moralnya, sehingga keputusan
melalui tiga tahap atau jenjang perkernbangan moral yakni tingkat pre-moral atau pre-
moral yang diambilnya pun tepat dan sesuai
konvensional Qt re m or al I ev e I), tingkat tingkah laku konvension al (conv entional rule conformity)
dengan moralitas.
Kita sering dikejutkan dengan berbagai
dan tingkat outonomi (morality of self-accepted
peristiwa dimana mahasiswa melakukan tindakan yang jauh dari tuntunan moral. Mungkin pula mahasiswa yang tadinya baik-baik saja tiba-tiba mencuri uang dalam jumlah besar, menipu teman
principle) (Kohlberg,
kostry4 membohongi orang tuanya, menggelapkan
mereka untuk bertindak. Masalah perbedaan keputusan moral di atas perlu diteliti polanya,
uang kas organisasi kemahasiswaan yang dipimpinnya, menyontek, mencuri peralatan laboratorium, memfitnah tem aq dan sebagainya. Apakah hal demikian normal? Meskipun saat ini semakin banyak mahasiswa terlibat kasus yang menyangkut moral, kita tidak boleh beranggapan bahwa hal ini wajar. Pelanggaran moral bukanlah hal yang dapat dianggap remeh. Seyogyanya pelanggaran moral oleh mahasiswa dikoreksi dan tidak dibiarkan begitu saja. Semakin seriusnya perilaku tak bermoral yang dilakukan mahasiswa yang menjadi harapan bangsa memberi petunjuk akan semakin beratnya tantangan bagi orangtua
197
6). Pengambilan
keputusan moral mahasiswa dipandang telah melewati jenjang tersebut dan dianggap mampu mandiri dalam pengambilan keputusan moral
sehingga diperoleh gambaran proses pengambilan
keputusan moral oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa di lingkungan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Institusi ini memiliki tugas . utama membina dan mengembangkan matakuliah yang berkaitan dengan moral Pancasila, moral hukum, moral kenegaraan dan matakuliah lainnya yang sangat
memerlukan informasi mengenai cata pengambilan keputusan moral yang dilakukan m ahas
i
swa berdasarkan
p
engalam an
b el aj
arnya.
atau di tempat tingg alnya, ataukarena kurangnya
Norma moral yang berlaku secara umum dan merupakan kewajiban untuk diikuti ini oleh Durkheim (1990) dinyatakn sebagai nornayang terdapat pada semua perilaku yang biasa disebut perilaku moral, bahkan telah ada sebelum seseorang bertindak. Pada umumnya seseorang miliki pengetahuan tentang hal baik dan buruk itu
bimbingan moral dari para dosen karena
yang oleh Poedjawijatna (1996) disebut kesadaran
menganggap mereka merupakan sosok mandiri,
moral atau kesalahan etis. Kesadaran moral
yang sudah dianggap cakap menggambil hidupnya. Padahal merekatetap masih perlu tetap berinteraksi dengan orang tuanya secara langsung
seseorang diperoleh melalui bantuan orang lain, yang dapat berupa pergaulan, keteladana dan pendidikan. Kesadaran moral merupakan landasan bagi seseorang untuk bertindak secara
untuk memperoleh contoh nyata hidup yang
moral.
bermoral.
Hadiwardoyo (1991) menyatakan ada dua segi yang berbeda pada moral yakni: (1) segi batiniah, (2) segi lahiriah. Hal ini berarti moral seseorang dapat diukur secara utuh manakala sikap batin dan perbuatan atau tindakannya baik.
dalam mendidik anak. Mengapa mahasiswa berperilaku buruk? Salah satu kemungkinannya adalah karena semakin jarangnya interaksi antara
mahasiswa dengan orangtua di rumah, tindak kondusifnya suasana lingkungan baik di kampus
keputusan termasuk keputusan moral dalam
Kenyatannya, mahasiswa tidak dapat lari dari hati nuraninya, tapi hati nurani pun tidak berdaya menemukan kebenaran, apabila norrnanorTna yang biasanya dipakai sebagai landasan
pertimbangan moral menjadi serba tidak pasti. Mahasiswa berhadapan dengan berbagai tipe manusia, tutur kata, gayahidup, dan tingkah laku moral yang bervariasi. Pola kehidupan masyarakat
Solomon (1987) dalarn. mengukur moral menyatakan bahwa moralitas, yaitu aturan masyarakat yang menentukan dan membatasi tingkah laku seseorang, merupakan tata aturan
Untari & Hakim, Pola Pengambilan Keputusan Moral Kelompok A4ahasiswa
yang fundamental dalam
kehidupan
bermasyarakat. Sementara itu, Kant (dalamAl Hakim,2004) menyatakan bahwa moral mempunyai sikap otonom. Otonom moral beratti bahwa manusia mentaati kewajibanya karena ia sadar, moral menjadi kewajiban lnanusia, yang muncul berdasarkan kesadaran pribadi. Itulah sebabnya, agar setiap perbuatan manusia dapat dikatakan sebagai perbuatan bermoral harus memerlukan referensi moral. Referensi itu bisa belasal dari agama, adat dan ikatan suku bangsa.
LPTK 45
Menarik dikemukakan tahap perkernbangan moml Nouman J. Bull yang menyimpulkan empat tahap perkembangan moral yakni: (1) Anomi (without I aw), p ada tahap ini seoran g anak b elum memi I iki perasaan moral dan belum ada perasaan untuk mentaati peraturan yang ada (2) Heteronomi(low imposed by others), pada tahap ini moralitas terbentuk karena pengaruh luar (external moralily). Peraturan dipaksanakan oleh orang lain, dengan pengawasan, kekuatan atau paksaan, (3) Sosionomi (law driving frorn society), adanya kerjasama antar individu, menjadikan individu
Daiam Kamus Besar Bahasa lndonesia, kata "moral" berarti ajaran tentang baik buruk yang
sadar bahwa dirinya merupakan anggota kelompok. Terdapat kemajuan moral, sebab
diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
individu menyadari adanyatanggung jawab dan kewajibannya sebagai anggota kelompok. (4) Autonomi (law driving _from selfl, merupakan tingkat perkembangan moral paling tinggi. Pembentukan moral bersumber dari diri individu
kewaj i ban dan sebagainy a (l 99 5 : 6 6 5 ). Driyarkara (1966) menyatakan moral atau kesusilaan adalah
nilai yang sebenarnya bagi manusia, dengan demikian moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia.
Al
sendiri (Daroeso, 1 989).
Dengan demikian dalam mengamati dan
Ghazali (dalam Muchson, 2002) moral
menelaah perkembangan moral yang terjadi pada
dipadankan dengan akhlak adalah perangai, watak, atau tabiat yang menetap kuat dalam j iwa manusia
seseorang ada tiga sudut tinjauan yang perlu diperhatikan. Pertama, perkembangan moral dilihat dari sudut tingkah laku moral (moral behavior). Kedtn, perkembar-rgan moral dilihat dari sudut pemyataan mc.al Qnoral statement) dan
dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tefteutu secara mudah dan ringan, tanpa dipikirkan
atau clirencanakan sebelumnya. Huky (dalam Daroesa, 1986) untuk memahami moral dapat dilakukan dengan cara: ( I ) moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya, (2) moral sebagai perangkat idde-idee tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegafrg oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu, (3) moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup
atau agama tertentu. Teori sosialisasi atau pembelajaran sosial l'ang dirintis Whiting & Child
(dalam Cahyoto, 1999) menjelaskan bahwa perkembangan moral seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya yang memiliki bermacam-macam
kewenangan untuk ganjatan (rewarQ, hukuman (ltunis hntenl), anj uran (s u gge s t i on), larangan (forbidden) dan keteladanan bertingkah laku oleh
orrlngtua dan anggota masyarakat lainnya. Sedangkan pengembangan moral yang dikernbangkan Frugel yang selanjutnya
ketiga, perkembangan moral dilihat dari sudut peftimbangan moral (moral Judgmenf). Moralitas sosiokultural ini rnenunjuk pada konteks wawasan berfrkir warga bangsa Indonesia, dengan demikian referensi utamanya adalah masyarakat Indonesia sebagai suatu realita. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, memeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda-beda pula. Keberagaman tersebut, memunculkan moral-moral, baik yang bersumber dari nilai ajaran agama, nilai adat maupun nilai
kesatuan manusia dalam suku bangsa, dari pribadiny4 keluarga, yan g masing-masi ng terd apat perbedaan. Moralitas sosiokultural bangsa Indonesia mencakup moral yang berasal dari agama, pribadi, keluarga, adat, dan ikatan suku bangsa. Agama mempunyai hubungan )/ang erat dengan moral. Setiap agama mengandung ajaran moral. Bahkan bisa dikatakan agama adalah referensi moral yang paling pertama. Ajaran moral
yang terkandung dalam suatu agama dapat
dikembangkan lebih lanjut dalarn teori psikoanalitik
dipelajari secara kritis dan sistematis dengan tetap
Freud menekanlcan aspek internalisasi atau penghayatan norma kultural atau orangtua.
tinggal dalam konteks agama itu. Upaya itu sering dinamakan "Theologi Moral" (Bertens, 1993).
46
Jurnul Pendidikan Pancasila danKewarganegaraan,Th.2s,Nomor l, pebruari 2012
Konsep agama bukan garapan manusia, karena dalam agama mengandung aj aran nilai-nilai
yang langsung bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, agamajustru diadakan untuk manusia. Jangkauan agama menyangkut semua manusia. Itulah sebabnya agama memberi
aturan pada manusia bersifat universal yang berlaku bagi semuamanusia di dunia ini. Bahkan lingkup agama-agama yang ada mempunyai jangkauan universal, berlaku bagi seluruh umat manusia (Gus Dur, 1992). Secara demikian dapat dikatakan agama adalahfenomena hidup manusia
(Wayo,l983).
Sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna manusia adalah makhluk beragama. Bolehjadi ini dikatakan sebagai fitrohnya sebagai makhluk beragama, manusia-manusia mulai
memikirkan cara yang ditempuh dalam mengadakan hubungan dengan Tuhannya. Melalui
ajaran agama yang dipeluknya, manusia beraktualisasi menyel esaikan se gala persoalan hidup dan kehidupannya (baik-buruk) berdasarkan dasar-dasar keimannya.
Dalam khasanah budaya adat adalah wujud idea dari kebudayaan (Kuntjaraningrat, lggl). Secara lengkap wujud itu disebut adat kelakuan,
karena fungsi adat sebagai pengatur kelakuan. Lebih lanjut Kuntjaraningrat membagi adat dalam empattingkatan, yakni (1) tingkatnilai budaya, (2) tingkat norrna-norma, (3) tingkat hukum dan (4)
tingkat aturan khusus. Empat tingkatan itu berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur,
mengendalikan dan memberi arah kepada perbuatan manusia dalam masyarakat. Dengan
demikian adat mengatur baik-buruk perilaku manusia yang di dalamnya mengandung ajaranajaran moral. Perilaku manusia dikatakan baik apabila sesuai dengan anjuran dan dianggap buruk
manakala melanggar larangan adat. Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang beradat, dalam arti membuat, mengembangkan dan
melestarikan adat. Apabila
kita
sedang
"melanglang buana/ kel il ing nusantara,', maka kita
akan temukan kekayaan
nilai-nilai adat yang
mengakar dalam masyarakat dan bersama dengan
berpendapat agama mengatur dua dimensi
itu, dapat dibuktikan kebenaran ungkapan ,,lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya", ungkapan Jawa "desa mawa cara, kutha mawa
kehidupan manusia (Kansil, I 986). Dua dimensi itu
tata (desa dengan aturan, kota dengan tatanan),'.
Sejak kehadiran abad pertengahan orang
meliputi: transcendental (ukhrowi) yang menyangkut hubungan antara manusia dengan
Tuhannya; dan mondial (duniawi) yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk Tuhan lainnya.
Dimensi kedua, sering disebut dengan hubungan "muamalat". Dalam realita jalinan
Cara dan tatanan Lidup yang telah disepakati
bersama tersebut dinamakan adat. Dalam prakteknya selalu dijunjung tinggi dan dipergunakan sebagai wawasan berpikir mereka.
Beberapa identifikasi moral adat, kiranya patut dikemukakan sebagai contoh. Adat gotong royong yang sering dikenal sistem pengerahan
hubungan antaramanusia dengan manusia yang
tenaga yang dilandasi rasa solidaritas, pada
yang diharapkan, itu pun bukan berarti hubungan manusia dengan Tuhannya berjalan mulus. Ketika manusia mengadakan interaksi dengan manusia lain, kerap kali terjadi benturan nilainilai kehidupan, yang kadang-kadang terasa sulit untuk diambil sebuah keputusan dan pemecahannya. Dalam kaitan ini agama berperan sebagai alat "penyatuan" anggota masyarakat. Disamping itu dalam proses sosial, agamajuga dipergunakan sebagaisarana kontrol sosial dan sumber penggerak serta motivasi bagi individu anggota masyarakat. Ajaran agama sangat penting dalanr mengangkat derajat manusia. Pancaran nilai-nilai ajaran agama sebagai penuntun tingkah laku manusia secara universal, mengantarkan kedudukannya sebagai sumber moral.
beberapa daerah dan bidang tertentu, dimunculkan
lain tidak selalu berjalan seperti
dengan sambutan yang berbeda. Misalnya "sambarang" (tolong menolong untuk bidang pertanian), "guyuban" (antar tetangga dekat), "njurung, soyo, sinomam" (dalam acara pesta), "tetulung layat" (kematian atau bencana); dan masih ada istilah yang lain, "kerigan, gugur gunung, keq'a bakti dan sebagainya". Istilah terakhir hampir dikenal pada seluruh daerah di Indonesia, karena
istilahnya nampak lebih dominan kearah bahasa Indonesia (Al Hakim, 2000).
Situasi moral seperti itu, merupakan pencerminan dari cara hidup yang timbul dalam satu daerah dan kemudian disetujui oleh anggota
masyarakat, (Untari, 2006). Jadi sumber pertirnbangan moral seseorang adalah lingkungan
adat yang menjadi tempat dimana orang itu dibesarkan. Durkheim ( 1 990), menegaskan bahwa
Untari & Hakim, Pola Pengambilan Keputusan Moral Kelompok Mahasiswa
LPTK 47
sumber ukuran baik dan buruk adalah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Nampak jelas disini, bahwa moral adat
pendukungnya, maka kesatuan kebudayaan yang dimiliki oleh suku bangsa secara otomatis mampu memberikan kontribusi moral kepada manusia-
bukanlah moral individu; tetapi moral yang disepakati oleh masyarakat yang diperuntungan pada individu-individu. Kepentingan moral adat,
manusia yang ada di dalamnya. Nilai-nilai kebudayaan masyarakat (baca: suku bangsa) menjadi sumber dan pedoman suku bangsa,
bukan j uga kepentingan individu. Moral adat (baca:
sekaligus ukuran baik-buruk perilakunya. Dengan demikian suku bangsa memiliki standar rnoral bagi anggotanya. Moral yang dijunjungtinggi oleh suku bangsa yang satu dengan moral suku bangsa yang lain bisa jadi berbeda. Kapasitas Pancasila sebagai moral, mampu
di Indonesia), tidak benar membenarkan perbuatan
seseorang hanya "kedereng nafsu (terbawa
emosi)" memburu kepentingan (kekayaan) pribadi. Jikalau itu ad4 maka sulit ditemukan dalam peta dan kamus moral adat kita. Dalam wacara sehari-hari, orang dengan mudah menyatakan diri sebagai anggota dari suku bangsa tertentu, misalnya suku Batak, suku Jawa, suku Bali, suku Sunda, Suku bugis, Suku Dani dan sebagainya. Kenyataannya tidak semudah yang
menjangkau seluruh manusia Indonesia. Dalam Pancasila terkandung himpunan nilai-nilai dasar dan sekaligus ada nilai-nilai moral. Nilai moral Pancasila terpancar melalui kelima "sila" nya yang pergunakan sebagai pedoman tingkah laku bangsa
dibayangkan. Hal ini baru terasa, apabila berhadapan dengan pernyataan, mengapa
Indonesia. Menurut Said, Pancasila disebut sebagai etika nasional dan juga etika rasional
seseorang termasuk dalam suku bangsa tertentu?
(dalam Untari, 2006). Nilai-nilai Pancasila secara etik pada dasarnya dapat diterima secara obyektif
Jawabnya, sering tidak memuaskan. Konsep suku bangsa mengandung ciri-ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan dengan
asal usul dan tempat asal serta kebudayaan golongan manusia. Kund araningrat ( I 9 8 1 ) lebih
dan dapat dibenarkan menurut pertimbangan rasional.
Penelitian moral yang menyangkut pengembangan moral mahasiswa sampai saat ini
menekankan pada kesatuan kebudayaan golongan
belum sampai tahap pembuktian
manusia dan dikualkan oleh bahasanya. Sedangkan Raroll (dalam Sunatra, 1987)
perkembangan teori-tecri tersebut, khususnya teori
mengemukakan empat kategori dalam mengenali ciri-ciri suku bangsa, yaitu: (1) tertutup dan
berkembang biak dalam kelompoknya, (2) berkomunikasi, (3) punya nilai-nilai yangtercennin dalam kebudayaannya, dan (4) mengenali diri dan dikenali oleh orang lain. Dalam hal ini tidak perlu dituntut adanya kategori yang tegas apakah berdasarkan geneologis, territorial ataupun kulturalnya, melainkan harus dipandang sebagai gejala umum dalam melihat kesatuan kehidupan
atau
sosialisasi atau pembelajaran sosial. IIal ini sebagaimana dikemukakan Setiono (dalam Cahyoto, 1999) bahwa penelitian mengenai cara baru dalam pengajaran PMP cukup menantang dilakukan.. Penting kiranya proses pengambilan keputusan moral ini dalam diri mahasiswa yang akan tampak padatingkah lakunyayang mestinya penuh dengan pesan moral atau moralitas sosiokulturalnya.
1}IETODE
manusia dan golongannya.
Bagaimana dengan moral suku bangsa? Kajiannyatidak jauh berbeda dengan moral adat. Dengan beranalog, bahwa di dalam suku bangsa ada masyarakat dan adat merupakan bagian dari wujud kebudayaan, yang antara keduanya berhubungan secara erat, maka antara suku bangsa dengan adat memiliki hubungan yang erat pula. Dalam kaitan ini kategori Kundaraningrat cenderung dominan, dalarn memberikan kriteria suku bangsa yang dilihat dari sisi kesatuan kebudayaannya.
Apabila adat di suatu daerah mampu memberikan pancaran moral bagi manusia
Sesuai dengan tujuan, penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap selama waktu 2 tahun dengan menggunakan desain penelitian pengembangan (research and development) sebagairnana disarankan oleh Borg & Gall (I9BZ). Keseluruhan tahapan pene li tian ditamp ilkan skematis seperti pada Gambar berikut.
sec
ara
Masalah yang akan dicari jawabanya dalam
penelitian pada tahun pertama adalah
(l)
Bagaimana ragam moralitas sosiokultural yang berkembang dalam kehidupan mahasiswa? (2) Bagaimanakah problematik moral atau dilema
48
Jarnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari
20 I 2
o Identifikasi latar moralitas sosiokultural mahasiswa
TAHAPI
o Identifikasi
PENELITIAN
ragam pertimbangan moral mahasiswa Realitas oroblematika moral mahasiswa Makna kelompok mahasiswa dalam mengambil keputusan moral
o o
EKSPLORASI
Malina perilaku moral mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari
t-t^"*,rl I pgNeltfleN
IN l_.1 )
l'".-H;*'r l,/-\ . [il,-"''b^* Lowrence |
I
I l,/
I
pENcevrsnNcnN
| 2.perkembangan moraJl
: p"itot'u
'o't
Frl( \\
/ \
\r-y' |
moral
|
x"rtu*g
| I
I
Teori perkembangar
t \__.__
berterima secara te,
Gambar 1. Keseluruhan Tahapan Penelitian
moral yang dihadapi oleh mahasiswa
dalam
kehidupannya? (3) Bagairnanakah pola proses pengambilan keputusan moral mahasiswa dengan menggunakan referensi moralitas sosiokultural?
Untuk menjawab masalah tersebut, penelitian menggunakan rancangan penelitian sebagai berikut.
Penelitian tahap pertama ini menggunakan
rancangan penelitian deskriptif-kuantitatif. Rancangan kuantitatif dipergunakan untuk mendeskripsikan: idcntifikasi latar moralitas sosiokultural mahasiswa, identifikasi ragam pertimbangan moral mahasiswa, realitas problematika moral mahasiswa di Jawa Tirnur. Para mahasiswa akan diberikan daftar pertanyaan untuk mengetahui latar belakang, pengalaman mahasisrva" skala sikap tentang kasus dilema moral. Kemudian
dilanjutkan dengan diskusi kelompok dengan menggunakan kasus dilema moral yang dipergunakan L. I(ohlberg yakni dilema moral Heinz. Untuk menjawab permasalahan makna kelompok mahasisrva dalam mengambil keputusan moral dipergunakan rancangan kualitatif. Subjek penelitian tahap pertama adalah mahasiswa di Jawa Timur, yang terdaftar pada tahun ajaran 200712008, 1'ang disampel secara
random berdasarkan penetapan area kultur (Maduran, Surabayan, Mataraman) dari LPTK di PTN dan PTS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, daerah penelitian ini ditentukan pada 3
Kabupaten/ kota, yaitu: Blitar (mataraman), Lamongan (surabayan), probolinggo (maduran). Cara penetapan subyek penelitian dilakukan dengan acak sebanyak 6 orang tiap angkatan dari angkatan 200 41 2005 sampai angkatan 2007 I 2008.
Dengan demikian jumlah responden setiap perguruan tinggi sekitar 36 orang mahasiswa, dengan rincian sebagai berikut: Angkatan 20041 2005: Pria 6 orang, wanita 6 orang jumlah l2 orang; angkatan2005l2006: pria 6 orang, wanita 6 orang jumlah 1 2 orang; Angkatan 2007 /2008:pria
6 orang, wanita 6 orang, jumlah 12 orang. Selanj utnya secara heterogen dibentuk kelompok sebanyak 6 kelompok dengan anggota masingmasing kelompok enam orang. Variabel penelitian yang akan diukur dalam tahap pertama penelitian ini adalah, (1) variabel latar moral itas sosiokultural mahas isw 4 (2) r agam
pertimbangan moral mahasiswa, (3) realitas problematika moral mahasiswa. Sedangkan instrumen yang digunakan dalam penelitian tahap pertama ini adalah kuesioner, lembar observasi, dokumentasi, pedoman wawancara, dan tes skala
sikap. Kuesioner dan tes dipergunakan untuk
mengetahui latar moralitas sosiokulturan mahasiswa. Wawancara dan observasi serta dokumentasi dipergunakan untuk mengetahui realita problematika moral yang dihadapi oleh mahasiswa. Data dianalisis dengan teknik analisis statistik deskriptif. Teknik analisis statistik
Untari & Hakim, Pola Pengambilan Keputusan Moral Kelompok Mahasiswa
deskriptif (rerat4 mode, dan persentase) untuk data-data yang diambil dengan pertanyaan. Analisis domain untuk datayang diambil dengan analisis dokumen, observasi, dan wawancara. Penelitian tahap kedua pada tahun kedua
dilakukan dengan rancangan penelitian pengembangan. Yakni mengembangkan temuan penelitian dengan membedah teori perkembangan
LpTK
49
Variabel penelitian pada tahap dua tahun kedua ini adalah prinsip-prinsip yang mendasari teori yang dikembangkan. Data dianalisis dengan teknik analisis domain. Produk penelitian yaitu teori perkembangan moral hasil uj i teori perkembangan moral L. Kohlberg dianalisis dengan menggunakan komponen atau domain yang diakui oleh para ahli psikologi sosial, pendidikan sosial, pendidikan nilai
moral teori perkembangan moral Kohlberg. Masalah yang akan dicari jawabannya pada tahap
kedua adalah bagaimana mengembangkan hasil penelitian tahun pertama desain berupa penalaran/
pemikiran moral, pertimbangan moral dan keputusan mahasiswa untuk dianalisis berdasarkan
teori perkembangan moral Lowrence Kolhberg apakah berterima secara teoritis artinya sesuai dengan teori atau tidak sesuai, sehingga menghasilkan kritik terhadap teori yang ada, sehingga menghasilkan konsep dan proposisi bahkan teori baru dalam perkembangan moral. Bertolak dari masalah tersebut metode penelitian dirancang sebagai berikut. Penelitian dimulai dengan memadukan hasil penelitian tahap pertama dengan kajian teori untuk menghasilkan konsep proposisi atau teori perkembangan moral. Selanjutnya hasil temuan ini diuji oleh para ahli yang relevan, yaitu ahli psiko perkembangan, pendidikan sosial, pendidikan nilai peneliti melalui kegiatan FGD (Focus Group Discussion). Langkah berikutnya adalah peneliti menyempurnal
berterima secara teoritis.
Subjek penelitian dalam tahap kedua ini adalah subjek ahli. Subjek ahli terdiri dari ahli psikologi perkembangaq alrli pendidikan sosial, ahli pendidikan nilai dan peneliti. Subjek ahli ditetapkan berdasarkan pertimbangan tingkat kepakarannya yang tercermin pada tingkat pendidikan paling rendah strata 2, dengan pengalaman penelitian di
bidang pendidikan nilai, pendidikan sosial dan psikologi sosial. Uji ahli dilakukan dengan
instrumen kuesioner. Data yang dikumpulkan dengan kuesioner ini meuyangkut keberterimaan temuan penelitian yakni teori perkembangan moral mahasiswa dari segi teoritis, khususnya pada aspek
HASIL DAN PEMBAIIASAII Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini maka keseluruhan kesimpulan hasil analisis dapat dikemukakan sebagai berikut: Ragam moralitas sosiokultural yang berkembang
dalam kehidupan mahasiswa. Jenis ajaran moral yang cenderung digunakan oleh mahasiswa dalam menghadapi masalah moral adalah modal dasar (norma moral, agama, sosial, dan hukum), dan moral khusus (norma individu, keluarga dan adat).
Ragam problematik moral yang dihadapi oleh mahasiswa dalam kehidupannya. Ragam problematik moral yang dihadapi mahasiswa. Sikap moral atau kecenderungan bertindak para mahasiswa dalam
menghadapi
masalah moral sangat ditentukan
oleh sasaran masalahnya yang menekan rasa kemanusiaan dengan pernyataan analogis tentang
harga
diri manusia, minat yang tinggi terhadap
masalah dilematis dan mengacu nilai-nilai hidup
yang sesllai dengan masalahnya. Ragam cara penalaran moral yang dilakukan mahasisrva ialah
bentuk penggunaan pemahaman moral dengan mengemukakan alasan perasaan yang bersifat pos itif dengan tanggungj awab bagi kese imbangan hidup dalam masyarakat. Berdasarkan hasil analisis mengenai pemahaman, pertimbangan dan pengambilan keputusan moral diantara para anggota kelompok menunjukkan adanya pendapat atau keputusan pribadi yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul oleh adanya perbedaan alasan, tata cara bernalar dan akibat yang timbul dari tindakan yang dilakukan.
Setiap orang mempunyai alasan masing-masing untuk rnembuat pernyataan melalui cara bernalar yang diikutinya dan rnemikul tanggungjawab atas alasan dan cara bernalarnya. IVlasalah dilematis tentang suami mencuri atau tindak mencuri obat bagi kepentingan isterinya yang akan meninggal
kebenaran prinsip yang dijadikan asumsi,
ditanggapi berbeda-beda oleh tiap anggota
konsistensi temuan dengan prinsip-prinsip yang mendasarinya.
kelompok. Salah satu ukuran yang digunakan untuk rnenilai pengambilan keputusan moral adalah
50
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari 2012
seluruh tanggapan atau tindakan itu didasarkan kepada alasan yang diyakini oleh seseorang sebagai
mengandung dilemma. Pada satu pihak masalah dilematisdapat menarik perhatian mahasiswa,
hal benar. Cara bernalar untuk membuat
sementara dari segi isinya merupakan upaya
pertimbangan adalah langkah yang direncanakan untuk mencapai maksud yang dikehendaki, yaitu kesejahteraan manusia. Hasil yang timbul dari alasan dan cara bernalar itu melahirkan tindakan tertentu,
pengembangan noffna moral dalam diri mahasiswa
dalam hal ini keputusan moral. Perbedaan keputusan
moral yang timbul di antara anggota kelompok dalam penelitian ini dapat dinilai dari ukuran tersebut.
Pilihan antara ancaman hukuman
dengan
untuk mengatasi masalah moral. Masalah ini dengan sengaja dimunculkan dari kehidupan sehari-hari dengan melihat prinsip utama ajaran moral dengan perilaku moral yang dapat diamati. Perbedaan antara prinsip dengan perilaku inilah yang perlu mendapat perhatian dari cara pandang moral.
menyelamatkanjiwa isteri adalah keadaan yang sulit
untuk diputuskan, llamun seseorang harus
SIMPULAN
mengambil satu kepuhsan dengan akibat yang harus
ditanggungnya. Dapat digambarkan misalnya, seorang dosen tergesa-gesa akan memberi kuliah, namun di tengahjalan ada kecelakaan dan dosen tersebut diminta bantuan mengantar salah seorang korban ke rumah sakit. Dalam suasana ketergestran, mobil dosen itu sendiri mengalami kecelakaan di jalan menuju rumah sakit. Masalah moral dapat terjadi tanpa diduga lebih dulu, sehingga akibatyang
Ragam ajaran moral yang dipahami mahasiswa umumnyaberupa moral dasar (moral agama, moral sosial, hukum) dan moral khusus (diri sendiri, keluarga dan adat). Pemahaman moral kelompok mahasiswa baik yang menyangkut moral dasarmaupun moral khusus cukup memadai unfuk menghadapi problema moral di dalam masyarakat.
timbul pun sulit diperkirakan terjadinya. Dalam keadaan seperti inilah benarjuga pernyataan Titus & Keeton (1973:98) bahwa anataraalasan dengan akibat bisa bertentangan, demikian juga cara
Ragam moralitas/ajaran moral tersebut telah dipergunakan oleh mahasiswa, secara individu maupun kelompok untuk menghadapi masalah dilematis yang menuntut diambilnya suatu sikap moral yang jelas.
bernalar moral dengan maksud tujuannya. Namun
Ragam problemetik moral yang dihadapi oleh
ditambahkan oleh Titus
& Keeton, bahwa dalam
proses pengambilan kepututsan moral terjadi kecenderungan pada setiap orang untuk memilih dan menetapkan norma yang baik dan terbaik. Terj adinya pelanggarau norma moral yang dilakukart
seseorang tidak terlepas dari arah ke kehidupan yang lebih baih dalam hal ini kesejahteraan. Namun
dalam kenyataannya, istilah kesejahteraaan telah diberi pengertian yang berbeda-bed4 antara lain kesejahteraan diri sendiri, keluarga atau masyarakat. Sementara itu dalam kaitannya dengan pelanggaran norma moral ini Gable ( I 9 8 6 3 ) menyatakan bahwa pelanggaran itu disebabkan oleh situasi padawaktu :
peristiwa berlangsung yang cenderung menggunakan arah perasaan yang dimiliki oleh sqseorang untuk bertindak posistif netral atau negatif,
Manfaat pemahaman tentang raganl proses pengambilan keputusan moral sangat besar
sumbangannya bagi bidang pendidikan moral. Jenis pendidikan ini kurang lengkap jika hanya
mengandalkan keteladanan dan nasihat moral yang verbalistis. Pendidikan moral memerlukan kejelasan pengertian, langkah pertimbangan dan keputusan moral dengan mengambil bahanyang
ntahasiswa dalam penelitian
ini dengan dilema
perbuatan s uami unfl rk m encuri atau tidak mencuri
untuk menyelamatkan isterinya, dapat diketahui dari penampilan sikap moralnya atau kecenderungan bertindak pada diri mahasiswa.
Dimana sikap moral yang ditampilkan sangat ditentukan oleh obyek problema atau permasalahan moral yang menyangkut problem a dilematis kemanusiaan. Problema dilematis moral tersebut disikapi dengan berpegang teguh pada konsep harga diri, minat, pengetahuan yang cukup terhadap rasa kemanusiaan 5,ang dilematis dan
tetap berpegang atau mengacu terhadapnorma moral sebagai upaya mengatasinya. Pola proses pengambilan keputusan moral
mahasiswa dengan menggunakan referensi moralitas sosiokultural. Pengambilan keputusan moral yang telah dilakukan mahasiswa didasarkan pada proses atau prosedur penalaran moral yang menyangkut berbagai aspek, antara lain aspek perasaan yang ditentukan oleh derajat dan ikatan rasa kemanusiaan setiap manusia atau orang, Aspek arah pembahasan yang cenderung rnemilih tindakan positil negatif atau juga netral. Aspek
tanggung jawab, dimana hasil tindakan yang
Untari & Hakim, Pola Pengambilan Keputusan Moral Kelompok Mahasiswa
LPTK 51
diambilnya senantiasa dilakukan dengan mempertimbangkan tanggung jawab. Dengan demikian ragam proses pengambilan keptusan
Partisipasi kesempatan yang luas perlu diberikan
moral mahasiswa dengan dasar penalaran
dilematis dalam kegiatan pembelajaran, karena hal
moranya, melibatkan perasaan kemanusiaan, tindakan yang cenderung ke arah pisitif; negatif ataupun netral dan rasa tanggungjawab yang tinggi
sangat membantu mahasiswa untuk
dalam setiap tindakannya.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan beberapa saran terutama yang menyangkut strategi pembelajaran proses pengambilan keputusan moral untuk kelompok terutama rnata kuliah-mata kuliah yang beraspek moral, seperti filsafat moral, dasar dan konsep pendidikan moral, budi pekerti, etika komunikasi dan sebagainy4 disaran sebagai berikut: l) Strategi
inkuiri, problem based learning, deep dialogue/ critical thinking tampaknya sangat tepat untuk membahas problematika moral yang dilematis, sehingga mahasiswa memperoleh kesempatan
pada mahasiswa dalam bentuk kesempatan mendiskusikan, mendialogkan problematika
ini
mengembangkan bentuk penalaran moralnya.
Problema moral dalam masyarakat demikian banyakny4 seperti masalah korupsi, masalah ekses PILKADA, masalah sertifikasi guru, masalah globalisasi, masalah kemiskinan dan sebagainya.
Oleh karena itu, dalam perkuliahan bukan ditekankan pada substansi moralnya, tetapi lebih bermanfaat bagi mahasiswa manakala ditekankan
pada bentuk penalaran moral dalam diri mahasiswa. Berbagai keuntungan yang diperoleh
dalam kegiatan
ini, seperti struktur kognitif
mahasiswa dapat berkembang, sehingga hasil belajamya gampang diingat, memiliki kemampuan
untuk menampilkan partisipasinya dalam
penalaran moral dalam menghadapi problem dilematis yang ada dalam kehidupannya dan mampu membuat pertimbangan moral untuk
pembelajarn.
tlal ini sangat berbeda dengan strategi yang teoclrer-centered dengan
sampai pada suafu keputusan moral dengan segala akibat dan tang gungj awabnya. (3 ) Strategi bel aj ar
behavioristik dan strategi ekspositori yang lebih menekankan apek keteladanan dan nasehat atau "pitutur, pituah" moral oleh dosen, sedangkan mahasiswa secara pasif mentrasfer pengetahuan moral yang diberikan dosennya. Untuk itu pihak
mengajar moral sangat penting memperhatikan teori-teori pengembangan moral yang memberi ketegasan kepada dosen dan mahasiswa
jurusan sudah waktunya untuk memfasilitasi
yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini sangat perlu melihat realita saat ini dimana norma moral
dosennya untuk menyusun model pembelajaran
mengenai proses dan pr.-,sedur yang harus dan perlu ditempuh untuk sampai kepada keputusan moral
inovatif yan g mengasah keterampi lan m ahasiswa dalam memecahkan problematik moral dalam
yang mengandung norma agama, hukum dan sosial
kehiduparurya baik sebagai lvarga kampus ataupun sebagai masyarakat berbangsa dan bernegara. (2)
individu, keluarga dan adat.
seringkali rancu dengan pemahaman norma
DAF"TAR RUJUKAN
Al Hakim. Suparlan.
2004, Kedudukan Moral Agama, Adat tlcin Moral Suku Bangsa Dalam Wswasan Berpikir Warga Negara Yang BerPancasila. Jurnal Jurusan PPKn, Februari
Bertens. K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Bryman. A, 1988. Quantity and Quality in Social Researcft. London: Unwin Hyman
Cahyoto. 1999. Pendidikan Budi Pekerti, Makalah disampaikan dalam diskusi interaktif Kunjungan guru-guru se Jabotabek di Universitas Negeri Malang
Daroeso. Bambang. 1989. Dasar dan Konsep P endidikan Aforal P ancas ila. Semarang: Aneka Ilmu
E. 1990. Moral Education (terjemahan Lukas Ginting). Jakarta:
Durkheirn.
Erlangga
Gus Dur. 1992. Pancasila sebagai ldeologi negarq dalam Kaitan Dengan kehidupan Beraganta dan Kepercayaon Tbrhadap Tuhan Yang Maha Esa (dalam Pancasila Sebagai Ideologi). Jakarta: BP7 Pusat Hadiwardoyo. 1991. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius Kansil, CST. 1986. Pengantar Ilmu Huktun Dan Pengantar Tata llukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
52
Jurnal Pendidlkan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari 2012
Kuntjaraningrat. 1981. Kebudayaan Mentalitas dan P embangunan. Jakarta: Gramedia Kohlberg. 1976. Moral Stages and Moralization.: The Cognitive-development Approach. Dalam T. Lockona. Moral development and Behavior: Theory, Research and Social Issues. New York. Holt, Rinehart& Winston Poedjawijatna. 1996. Etika: Filsafat Tingkah Lqku. Jakarta:Bina Aksara Untari, Sri. 2006. Etika Pemerintah panduan
menuju Kepemerintahan yang baik (Good Governance). Malang: Makalah disampaikan pada Forum Ilmiah HMJ PPKn FIP UM
Solomon. 1987. Ethics: A Brier Innoduction. Mcgraw-Hill,Inc Sunatra, R.S. dan Dasyim Budimansyah. 1987. Sosiologi dan Antropologi. Bandung: EpsilonGrup Turiel. 1973.'Stage Transition in Moral Development. Chicago: Rand Mcnally Colege Publishing Company Wahid, Abdunahm an. 1992.
P ancasila
s
ebagai
Ideologi Negara Dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Malta Esa. Jakarta: BP-7 Pusat Wayo. 1983. Pancasila Dalam Pemikiran dan P emasyarakatnya. Malang: LAPASILA Hakam, Kama Abdul. 2006. Pendidikan Nilai. Bandung: Rosda Karya
SISTEN{ PEMERINTAHAN WILAYAH MALANG PADA MASA KOLONIAL
Yuliati Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang JL Semarangno.5 Malang
Malang has
a long history, From geopolitic point of view, Malang was under sovereignty of HinduBuddha, Islam. And the last, Malang was coloniaiizedby imperialists. In VOC colonialism period, Malang was under Pasuruhan residency. Finally, European settlements emerged. Malang as insulated region started to open after coffee cultivation. Agrarian Law and SugarAct in 1870 had made Malang grown rapidly. Agrarian Law had great impact on farm tenants who lived in rural area. It also brought out new farms. On the other hand, Sugar Act brought out large scale sugar industry which needed transportation by trains. Therefore, the relationship among Malang-Pasuruhan-surabaya
could be enhanced. Wilayah Malang mempunyai sejarah yang panjang. Dari segi geopolitik, kekuasaan silih berganti jaman Hindu-Budha, Islam, hinggajaman penjajahan. Pada Jaman penjajahan, diawali dengan berkuasanya VOC (Kompeni) menjadikan Malang sebagai daerah di bawah Karesidenan Pasuruhan, dan pemukiman Eropa mulai muncul. Isolasi wilayah Malang mulai terbuka setelah ditanami kopi, dan berkembang pesat saat diundangkan UUAgraria dan UU Gula tahrur 1 870. UUAgraria berdampak banyak penyewa perkeb.unan tinggal di pedalaman dan munculnya perkebunan-perkebunan baru, sedang UU Gula memunculkanindustri gula berskala besar yang memerlukantranportasi kereta api sehingga hubungarr Malang-Pasuruhan-Surabaya ditingkatkan fasilitasnya, dan sepanjang jalur kereta api berdiri pabrik-pabrik gula. sejak
Kata Kunci: Malang, masakolonial.
Runtuhnya M ajapahitseperti tertera dalam candra
pada tahun 1450 dapat ditaklukkanpenguasa Is-
sengkala di dalam Serat Kanda yang berbunyi Sirna
lam Jawa, sedang rajaiya melarikan diri ke Gunung Buring dan mangkat di tempat itu (Domis,l896: l5), Bekas-bekas reruntuhan benteng yang banyak terdapat di hutan-hutan sekitar Malang menjadi bukti bahwa kerajaan ini pernah jaya. Tembok besar yang mengelilingi kerajaan ini diawali dari pantai selatan membujur ke utara melewati puncak Gunung Kawi ke Desa Porong,
Hilang Kertaning Bhumi atau 1400 ClI478 M, membawa perubahan pada j alannya sej arah yang ditandai peralihan penguasa Islam di Nusantara. Menurut Tome Pires, pada saat itu di Jawa Timur masih ada beberapa kerajaan kecil yang belum masuk Islam, seperti Pasuruhan dan Blambangan. Pasuruhab baru tunduk tahun 1546 kepada Demak sewaktu serangan dilancarkan di bawah Trenggana,
sedangkan Blambangan dapat bertahan sampai masa Sultan Agung karena mendapat bantuan dari Portugis (Kartodirdjo,
197
5
selanjutnya berbelok ke arah timur melalui Gunung
Tengger, puncak Gunung Semeru, kembali ke pantai selatan. 'l-embok raksasa yang demikian
; 92).
Sementara itu di wilayah Malang, kondisi perpolitikan pasca kemntuhan Majapahit, seorang
panjang hanya dapat dibangun oleh sebuah kerajaan yang memiliki banyak penduduk. Pusat krajaan ini letaknya di Kutobedah, kota Malang. Di tempat ini masih dapat dijumpai bekas-bekas Kerajaan Hindu tersebut, selain tempat-tempat
bekas patihnya bernama Ronggo Permono Senggoro mendirikan sebuah kerajaan merdeka bernama Supit Urang (Flageman, 1883: 75). Kerajaan ini dapat bertahan beberapa waktu, karena letaknya yang terpencil, hingga akhirnya
untuk bertapa yang terletak di tepi Sungai Brantas
(Liberty, 1939:3). 53
54
Jarnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegataan, Th. 25, Nomor
WILAYAH MALANG MASA MATARAM ISLAM Pada masa kekuasaan Mataram Islam corak sejarah berganti dengan usaha penaklukkan terus menerus yang dilakukan oleh Mataram, termasuk
pula wilayah Malang. Bentrokan sering terjadi antara pasukan Mataram (Bang Kulon) dengan pasukan para penguasa lokal di Bang Wetan seperti Tuban, Sedayu, Wirasaba, Blitar, Pringgabaya, Pragunan, Lasem, Sumenep, dan Pancangan (Moertono, 1985: I 3-2 1). Untuk mengkonsolidasi kemutlakan kekuasaan Mataram, Senapati harus
1,
Pebruari 2012
tempat pertahanan alamiah mereka di pegunungan
sekitar Malang. Daerah Malang dapat dikuasai Kompeni setelah perlawanan keturunan Surapati dan Amangkurat III menyerah.
Jika dianalisis, sejak ditemukan bukti kekuasaan pertama di Jawa Timur hingga jaman Surapati, aktivitas terlihat di sekitar aliran Sungai Brantas, misalnya dinasti Simha di hulu sungai,
dinasti Icana di hilir, dinasti Kediri di lambung sungai, dinasti Singasari di hulu dan Majapahit serta
Surapati di wilayah hillir. Wilayah yang ditempati pun ada di sekitar Surabaya- Pasuruhan- Malang, yang dari segi geografis ketiganya dilalui Sungai
menundukkan dan menguasai Bang Wetan, namun pertempuran tidak pernah terjadi setelah campur
Brantas yang bermuara di tepi pantai yang
tangan dari Sunan Giri yang menengahi perselisihan politik ini dengan solusi bahwapara penguasa lokal dari Bang Wetan tidak tunduk
wilayah Malang terletak di hulu Sungai Brantas yang subur dengan topografi berbLrkit. Dari sudut historis, banyak peristiwa yang
kepada Mataram, namun
menunjukkan bahwa daaerah
mengakui
shategis bagi perhubungan antar pulau, sedangkan
hilir
sungai
kekuasaannya. Akan tetapi dengan mencari kelemahan dan perpecalran persekutuan para buoati Bang Wetan, akhirnya Senapati dapat menaklukkan daerah ini, misalnya Ponorogo ditaklukkan tahun 1586, menyusul Pasuruhan, Panarukan dan Blambangan tahun 1801. Terhadap penguasa yang sulit ditaklukkan,
(Surabaya- Pasuruhan) sering digunakan seagai tempat pertahanan, sedangkan daerah hulu sungai digunakan sebagai tempat pengunduran diri, atau
seperti Surabay4 SultanAgung lebih dahulu harus
Pada tahun 17 43, di ibukots Mataram diadakan perjanjian antara Kompeni dan Pakubuwono II sebagai upah Kompeni
menaklukkan kekuasaan penguasa sekitarnya lebih dahulu yang mendukung Surabaya. Usaha ini berhasil dilaksanakan dengan menyerahnya Lumajang serta Malang tahun 1614, Wirasaba ( 1 6 1 5), Lasem (l 61 6), dan Tuban ( I 6 I 9). Pada masa Trunojoyo, sekali lagi daerah Malang memiliki peran penting. Setelah Kompeni mengadakan perjanjian dengan Amangkurat II, maka Kompeni mengadakan serangan ke pertahanan Trunojoyo yang terletak di Kediri dan
dari geopolitis daerah hilir sebagai pusat kekuasaan, dan daerah hulu sungai Brantas (Malang dan sekitamya) adalah pangkalan tempat mengundurkan diri.
mengembalikan tahta ke tangannya. Perjanjian ini isinya memberi hadiah kepada Kompeni daerahdaerah sebelah timur Pasuruhan, Madura, dan Surabaya. Keadaan ini diperparah lagi saat Sunan Pakubuwono waktu akan meninggal menitipkan
Kerajaan Mataram kepada Kompeni, dan oleh
Kompeni dianggap sebagai penyerahan kedaulatan Mataram seluruhnya kepada Kompeni,
jatuhpada25 November I678. Trunojoyo akhirnya mengundurkan diri ke Bangil yangjuga tidak dapat
sehingga Kompeni lnerasa sebagai penguasa seluruh daerah Mataram (Sagimun, I9B5:27).
dipertahankan, dan memaksa Trunojoyo melanjutkan perlawanan di dataran tinggi
Perlawanan fihak yang anti kepada Kompeni, seperti Mas Garendi berakhir tah un I7 43,s etel ah
Ngantang sebelum menyerah kepada Kompeni tanggal25 Desember1679 ( Stapel, 1939: 408). Pada masa Surapati, sekali lagi wilayah
menyerah kepada I(ompeni di Surabaya. Akan tetapi tidak seluruh pengikutnya mengikuti
Malang membuktikan sebagai sebuah wilayah yang strategis untuk perlawanan melawan Kompeni. Persenjataan Kompeni yang lengkap membuat pertahanan Surapati satu persatu direbut. Pada bulan September 1709, Surapati gugur dalam sebuah pertempuran di Bangil, namun perjuangannya tetap diteruskan oleh putra-putrinya
dan Amangkurat
III yang
megundurkan diri ke
lngkahnya, karena Raden Arya Malayakrlsuma,
seorang Wedana
Siti ageng Mataram yang
memihat kepada Mas Garendi tidaktundukkepada
Kompeni (Ricklefs, 1991: 153). Tindakannya adalah mengangkat dirinya sebagai Adipati B ang Wetan yang berkedudukan di Malang. Kekuatan
Adipati Malayakusuina ini diperkuat dengan bergabungnya Pangeran Singasari yang telah meninggalkan Jarva Tengah, dan bergabung
Yuliati, Sistem Pemerintahan Wilayah Malang pada Masa
dengan sisa paskan Surapati yang dipimpin oleh cucunya di Pe gunun gan Tengger, sehingga daerah ini menjadi benteng pertahanan terakhir pejuangpejuang anti Kompeni selain Lumajang.
Setelah Kompeni dapat meyelesaikan berbagai masalah di JawaTengah dengan berbagai perjanjian, seperti perjanjian Gianti tahun 1755,
perjanjian Salatiga l7 57, dan mengikat Pakubuwana III untuk kerjasama, maka tentara Kompeni bersama pasukan Sunan bergerak ke Malang. Mula-mula Kompeni mengadakan penyerbuan ke Pasuruhan kemudian dilanjutkan ke Lumajang, dari Lumajang kemudian bergerak ke Malang melalui selatan Gunung Semeru,
Kolonial 55
kepada Belanda tahun 1816 dengan bentuk pemerintahan baru yang disebut Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda ( I 8 1 6- 1942). Penguasa di Hindia Belanda mula-mula dipegang oleh Komisaris di bawah pimpinan Jendral Van der Capellen (1811-1819), yang menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda tahun 1819. Pada masa Van der Capellen ini, Pulau Jawa dan Madura dibagi menj adi 2 0 karesidenan berdsar keputusan komisaris Jendral tanggal 9 Jamuari 1819, dimuat di Staatblad no. 16 tahun 1819, meliputi daerah Banten, Batavi4 Buitenzorg, Preanger, Krawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Yogya, Surakarta, Jepara dan Juana, Rembang,
sedang dari utar4 pasukan Kompeni masuk melalui
Gresik, Surabaya, Pasuruhan, Besuki,
Pasuruhan menuju Lawang. Adapun pasukan Sunan bergerak dari Kediri menuju Ngantang untuk menutup jalan Kediri- Malang. Akibat dari ini pasukan Adipati Malayakusuma terkepung dan tertutup jalannya di antaradataran tinggi Malang. Pada tahun 1767, Pangeran Singasari dapat ditawan, dan Adipati Malayakusuma gugur bersama dengan keturunan Surapati. Perlawanan dari fihak anti Kompeni dapat
Banyuwangi, IV1adura dan Sumenep.
ditundukkan tahun l7 67, dantilayahMalang diarnbil
alih oleh fihak Kompeni dijadikan rechtstreeksbestuurd gebeid ( daerah yang langsung diperintah oleh Belanda), dengr status kabupaten di dalam wilayah Karesidenan Pasuruhan pada tahun 1771. Untuk menjaga keamanan Kota N{alang, pada tahun 17 67 didiikan sebuah benteng di Claket, sekarang digunakan sebagai RSU Sjaiful Anwar. Pada awalnyahanya berjunrlah 14 orang
personil keamanan, namun semakin bertambah disesuaikan dengan perkembangan Kota Malang. Pemilihan lokasi benteng di Claket ini merupakan lokasi yang tepat karena letaknya yang strategis dan tinggi, sehingga daerah seberang Sungai Brantas
yang merupakan tempat tinggal penduduk dapat diawasi. Daerah Claket j uga merupakan j alan yang menghubungkan Malang-Pasuruhan, sehingga bila
servaktu-waktu pasukan Kompeni memerlukan bantuan atau mundur dari Malang, mereka tidak kesulitan dirintangi oleh Sungai Brantas. Daerah Claket menj adi daerah pertarna yang orang Belanda di Malang.
ad a
komu
n
itas
MALANG DI BAWAII KEKUASAN HINDIA BELANDA Sebagai dampak dari Konvensi London tahun 1814, maka Hindia Belanda dikembalikan Inggris
Pembagian Pulau Jawa dan Madura ke dalam karesidenan ini tidak diikuti dengan pernbagian jumlah kabupaten di setiap karesidenan, kecual penetapan mengenai kewajiban, gelar dan pangkat bupati (regent) di Pulau Jawa yang termaktub dalam Resolusi Gubernur Jendral tanggal9 Mei 1820 nomer 6. Pada Staatsblad no. T 2 tahun
1 8 74 baru disebutkan bahwa mulai I april 1874 diputuskan Karesidenan
Pasuruhan tersiri dari 3 kabupaten, yakni Kabupaten Pasuruhan, Bangil dan Malang.
Berdasarkan pada sumber sejarah yang berupa tulisan tangan peninggalan jaman Inggris yang memuat tentang Malang tahun 1812 (Detailed Settlement, 1812) disebutkan, bahwa daerah
ini terdiri dari 6 kawedanan (distrik), yaitu: Kawedanan Kotta, Karanglo, Pakis, Gondanglegi,
Penanggungan dan Antang. Di samping menjelaskan jumlah kawedanan dalam wilayah Malang, juga dijelaskan mengenai kampungkampung tiap ka'rvedanan tersebut yang berhubungan dengan pajak sawah, ladang dan bunga uang. Misalnya kampung yang termasuk dalam Kawedanan Kotta seperti: Pasar Kidul (Kidol Pasar), Talun (Taloon), Kauman (Kahooman), Ledok (Leddok), Gadang (Geddong), Temenggungan (Temmengoonhan), Poleyan (Palleyan), Jodipan (Jodeepan), Kabalen
( Kaballen), dan Kotalarna (Cooto Lawas). Jumlah kawedanan ini berubah jumlahnya menjadi 7 ptda tahun 1866 setelah dirnasukkan Karvedanan Senggoro. Jumlah ini berlangsung hingga tahun 1887, dengan berubahnya Turen
menjadi kawedanan menjadikan Kabupaten Malang memiliki 8 kar.vedanan. Suatu perubahan penting bagi Kabupaten Malang terjadi tahun
56
Jurnal Pendidikan Pancasila dtn Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari 2012
9l 4, dengan diubahnya status Kawedanan Kotta menjadi kotamadya (gemeente) yang dikukuhkan dalam Staatsblad no297 tahun 1914 tanggal25
melintasijalan yangjelek kondisinya hingga dekat Malang, sehingga tidak salah jika pemerintah Hindia Belanda mengutamakan perbaikan jalan
Maret 1914, dan keputusan ini mulai berlaku sejak
yang menghubungkan antara Malang-Pasuruhan
1 April 1914. Dengan diubahnya status Kawedanan Kotta menjadi kotamadya (gemeente), maka jumlah kawedanan di
agar wilayah Malang tidak terisolir dan
Kabupaten Malang mulaitahun 1914 menjadi 7
Operasional pemerintahan Hindia Belanda di Malang hingga tahun 1 821 masih berada di sebelah
1
buah. Sebuah perkembangan lain yang dialami oleh
Kabupaten Malang adalah pemberian kekuasaan
desentralisasi untuk kawedanan-kawedanan di Kabupaten Malang, yang tercantum dalam
mempermudah jalan perhubungan internasional lewat Surabaya (Ibid.)
kiri
Sungai Brantas. Penduduk bangsa Eropa
sekitar 30 orang, sebagian besar adalah keturunan Belanda yang menjadi pegawai pemerintah, dan
tempat tinggal mereka sekitar Celaket,
1928. Besarnya jumlah setiap kawedanan
Kayutangan, Klojen Kidul dan Temenggungan. Keadaan seperti ini berlangsung sampai tahun
yangmendapat kekuasaan desentralisasi tidak sama, misalnya Kawedanan Karanglo sebanyak
mulai berani tinggal di sebelah barat Sungai
Staatsblad no. 316 tahun 1928 tanggal9 Agustus
2 desa, Pakis 3 desa, Gondanglegi 3 desa, Penanggungan 1 desa, Ngantang 1 desa, Sengguruh 5 desa, dan Turen sebanyak 3 desa. Pemberian kekuasaan desentralisasi ini meliputi: sa luran air minum, got (r i o o I), pemel iharaan j alan,
pemeliharaan tempat-tempat umum, tempat penyembelihan hewan, tempat pemakaman, dan pekerjaan umum.
1882 karena setelah tahun tersebut, orang-orang Brantas, dan sebuah alun-alun pun mulai dibangun. Penduduk Eropa mengelompok di utara alun-alun, orang Tionghoa di sebelah timur, dan orangArab
di sebelah selatan.Adapun tempat tinggal orang pribumi sekitar alun-alun, pasar dan di Kebalen. Pusat kota Malang yang asli terbentuk dari Desa Jodipan dan Kottalama yang kemudian diperluas
dengan menambah desa Klojen
dan
Temenggungan (Malang.Stad van Oost Java, Pembengunan Wilayah
1927:
l0).
Inti kota Malang, seperti kota-kota tradisional Setelah Malang di bawah pemerintah llindia Belanda, wilayah ini mulai menata diri. Wilayah ini harus dioptimalkan potensi kewilayahannya oleh
pemerintah Hindia Belanda, sehingga disusun
berbagai rencana. Rencana awal adalah mendirikan sebuah benteng di tepi kiri Sungai Brantas, tepatnl,a di Celaket, di tempat itu juga terdapat loge atau loji dari Kompeni. Setelah mendirikan koloni militer, kemudian penduduk bangsa Belanda mulai berdatangan untuk menetap di sekitar loj i. Siapa bangsa Belanda pertama yang tinggal di Malang, ticlak diketahui dengan pasti, namun diperkirakan adalah Martinus Hoffman,
seorang opperkoopman (Liberty, I 939:6). Bagaimana sulitnya medan yang menghubungkan Malang- Pasuruhan saat itu, sebuah catatan dari Kompeni dapat menggambarkankeadaannya : Jika akan mengadakan perjalanan dari Pasuruhan ke
Indonesia lainnya berpusat di alun-alun yang dikelilingi oleh bangunan-bangun an penting pada keempat arah mata angin (Wertheim, 1959: 171) yaitu rumah asisten residen, sebuah rnasjid, dan pasar. Penguasa Malang adalah regent Raden Tumenggung Kartane gara yang mendapat perintah dari residen di Pasuruhan, yang datang ke Malang hanya 2hingga 3 kali dalam setahun karena sulitnya perhubungan Pasuruhan-Malang.
Wilayah Malang semakin ramai setelah adanya penanaman kopi di daerah ini bagus hasilnya. Menurut Residen Domis yang menjabat residen antara tahun 1827-1830, Malang pada tahun 1830 telah menghasilkan 57.000 pikul kopi (Domis, 1886: 85). Pada pertengahan abad ke- l9
hasil perkebunan kopi agak merosot karena serangan hama daun kopi, namun hasilnya kembali baik setelah jenis kopiArabica diganti dengan jenis
Malang, orang akan melalui sebuah lembah yang luas dan jauh perjalanan sekitar 7 jam. Lembahlembah ini sebagian teftutup alang-alang, pohon rotan, jati, gemuti, dan sono. Perjalanan dilanjutkan
Robusta di akhir abad ke-19.
lelalui lereng Gunung Arjuno dan Tengger yang
a gangan yan g I aku gula, lada, kapas pasaran kopo, di dunia, seperti
ditanami padi, jagung, kacang danjarak, dilanjutkan
Lalu lintas hasil bumi di Malang semakin ramai saat Tanam Paksa dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1830. Sistem ini berorientasi pada perd
Yuliati, Sistem Pemerintahan Wilayah Malang pada Masa
dan sebagainya. Sepanjang abad ke-18, permintaan kopi meningkat dibanding dengan waktu sebelumnya, misalnya permintaan pada tahun 1799 sebanyak 6000 ton dan permintaan terus meningkat menjelang abad 19. Situasi ini membuat Gubemur Jendral Daendels yang baru
tiba di Hindia Belanda memerintahkan agar penanaman kopi disebar sampai Jawa Timug termasuk di Malang yang ternyata cocok untuk ditanami kopi (Vlekke, 1965: 369).Dalam beberapa tahun, perkebunan kopi yang subur bermunculan
di
Malang, Dinaya, Batu dan Ngantang (d'Almcid4 1864:226). Pada tahun 1830, wilayah Malang sudah dapat menghasilkan 57.000 pikul kopi, dengan harga per pikul (62,5 kg) sekitar 5 ringgit (12,5 gulden), artinya daerah Malang telah memasok ke kas Negeri Belanda sekitar 712.000 gulden, dan berkat tanarnan kopi ini isolasi daerah Malang berangsur-angsur terkiki s (Malang. Stad van Oost Java,1927: l0).
seluruh Jawa yang luasnya sebesar 175.000 bau berada di daerah ini. Oleh karena itu, pada tahun 1900 didfuikan proefstation tebu untuk penyelidikan
dan percobaan tanaman tebu di Pasuruhan. Proefstation tebu di Pasuruhan ini terkenal dengan penemuan sebuah vrietas tebu unggul, yaitujenis tebu POJ 2878 (Proefstation Oost- Java, 2878), yaitu varietas baru yang dapat menghasilkan tebu
lebih banyak per hektarnya, semula 11,5 ton4ra menjadi 17 tonlha. Wilayah Malang sebagai daerah pedalaman dari daerah tebu Pasuruhan baru mendirikan
pabrik gula setelah tahun 1900, seperti dibangunnya Pabrik Gula Krebet Baru dan Pabrik Gula Kebon Agung yang didirikan tahun 1 90 5 mitik swasta perorangan. Pada tahun 1937, pabrik ini
diambil alih oleh De Javansche Bank dan jajarannya diserahkan kepada
F-a.
Tiedeman & van
Kerchem. Pembangunan berbagai fasilitas di Malang,
ini cepat berkembang. Menurut van Kol dalam laporan tahun 1903, populasi penduduk Malang berjumlah 615.000 orang, membuat kota
Pertumbuhan yang pesat dari wilayah Malang dialami setelah diundangkan UndngUndang Agr aria danUndang-Undang Gula tahun
1870. Pelaksanaan U.U. Agraria
Kotonial 57
ini
membuka
kemungkinan para penyewa tanah tinggal di pedalaman dan tumbuhnya perkebunan besar lainnya. Dampak lain adalah naiknya populasi penduduk Kabupaten Malang dari 40.000 ribu padatahun 1830 menjadi 1 jutajiwa ditahun 1870 (Domis,1886: 93). Populasi orang Eropa yang tinggal di Malang pada tahun 1830 sebagian besar merupakan pegawai pemerintah, di samping keluarga Wilderhold dan Hofland yang tinggal dekat alun-alun (Malang, Stad van Oo st 27).
J
av
a,l 927
:
Dampak diundangkannya U.U. Agraria dan U.U Gula tahun I 870 bagi wilayah Malang adalah munculnya industri gula. Sebelum itu, industri gula merupakan industry rumahan yang beromset kecil. Gula yang mula-mula dibuat hanya gula kelapa,
kemudian gula tebu. Gula tebu ini dikerjakan dengan tenaga hewan (lembu), terutama oleh penduduk Cina. Faktor iain adalah peningkatan hubungan transportasi Malang-Pasuruhan dan
Surabaya, seperli misalnya pembukaan jalur kereta api Malang- Surabaya tahun I 874(Koloniale Roeping, 1930: 10). Di sepanjang jalan kereta api ini muncul pabrik-pabrik gula. Keemasan industri gula terjadidi awal abad 20. Sekitar tahun 1900. daerah tebu terbesar di Jawa adalah Pasuruhan. karena 115 arealtebu di
sebuah populasi yangjauh meninggalkan kota lain,
misalnya Bangil 266.000 orang, dan Mojokerto 352.000 orang.
Berdirinya Gemeente (Kotamadya) Malang Kotamadya (Gemeente) Malang berdiri tangal 14 April 1914, pendirian yang ditetapkan dalam Staatsblas 19141297 sebagai dampak dari U.U. Desentralisasi tahun 1905. Kotamadya baru ini memiliki luas 1.503 ha dengan batas-batas wilayah : utara berbatasan dengan Distrik Malang dan Karanglo, sebelah Barat Desa Kledok, Klojen, Kauman, Kasin, dan Sukun. Sebelah Selatan Desa Sukun, Kidul Pasar, Jodipan dan Kotalama, dan
Timur aliran sebelah barat Kalisari. Kantor Kota terletak di rumah sewaan di Klojen Kidul, yang pegawainya bekerja dalam dua buah ruang yang terdiri dari seorang pegawai sekretariat dan teknik, seorang administratur setiap pemakaman, seorang kuasa dari rumah potong hewan, dan seorang keurmeester bagi hewan dan daging, di sambah beberapa mandor dan pekerja lepas. Batas yang ditetapkan tahun 1905 ini diubalr dengan SK Pernerintah IJindia tselanda tanggal 16 Agustus 1919 yangtermuat dalam Staatsblad I9l9/514 dengan menambah desa-desa yang sebelah
berada di sekitamya, seperti Penanggungan, Kasri,
58
Jurnal Pendidikan Fancasila dan Kewarganegeraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari 2012
Bareng, Tanjung, dan Mergan menjadi wilayah gemeente, sehingga luas wilayahnya menjadi L820 ha. Luas kota ini diusulkan lagi untuk diubah agar pertumbuhannya dapat diatur secara lebih rasional dan memenuhi persyaratan pembangunan, dan pada 1 Januari 1940 luasnyamejadi54,T6kmdan j aman Jepang tahun 1942 luasnya menj adi 7 8,42 km karena seluruh Kecamatan Blimbing dan Kedung Kandang dimasukkanke dalam wilayah Kotamadya.
Pemerintah Kotamadya pada awalnya berada di tangan Dewan Kotamadya (Gemeenteraad) yang anggotanya ditunjuk oleh Asisten Residen Malang, lewat ordonansi tanggal
l9l4 dan tercantum dalam Staatsblad nomer 297 dengan anggaran keuangan sebesar f. 44.861,86 ( 40 Tahun Kota Malang, 1954: l8). Kewajiban yang dibebankan kepada Kotamadya adalah: perawatan fasilitas umum, mengatur pengangkutan sampah, penerangan jalan, menyediakan pompa kebakaran, dan mengatur pemakaman umum ( Stadsgemeente Malang 1914-i939:vi). 25 Maret
l9l4
penyusunan anggarun belanj a. Pada akhirtahun 1914, Dewan menetapkan 3 buah peraturan tentang penarikan 40 persen
pajak pribadi, peraturan pajak perkuburan, dan tarip paj ak keramaian (Ibid., : I 9). Pada tahun I 9 I 5 dikeluarkan pula peraturan pasar dan peraturan pajak anjing. Pada tahun 1916-1917 secara berturut-turut diperjuangkan peraturan bidang kesehatan dan ketertiban umum setelah tahun 19 14
dikeluarkan peraturan penginapan dan peraturan
untuk bangsa Eropa mengenai kewajiban memasang papan nama dan nomer rumah. Selanjutnya pada tahun 1916 dan 1917 berturutturut dikeluarkan peraturan tentang susu,
pemotongan hewan, peraturan pemilikan kendaraan dokar, peraturan lalu lintas, dan peraturan bangunan yang pertama. Pembuatan peraturan ini terus berlanjut hingga tahun 1918. Dari hal ini terlihat bahwa peraturan untuk rumah
tangga Kota (Gemeente) terus diselesaikan karena sebagai wilayah yang baru mandiri, berbagai peraturan baru diperlukan untuk memperlancar keberadaannya sebagai sebuah kota.
Mengeluarkan Berbagai Peraturan
Pada akhir tahun
Anggota Dewan Kota mayoritas diduduki bangsa Belanda yang terdiri dari
orang diketuai oleh Asisten Residen F.L. Broekveldt, komposisi kebangsaan adalah 8 orang orang Eropa, I orang 1
1
Timur Asing, dan 2 orang Pribumi, yang mengadakan rapat pertama pada Senin 6 April 1914 (Ibid., : viii). Melihat komposisi anggota Dewan Kota dapat ditebak Dewan Kot merupakan lembaga untuk membela kepentingan orang Belanda. Dalam rapat pertarna ini dibentuk sebuah komisi keuangan dan teknik, sedangkan pada rapat kedua dibentuk sebuah komisi baru, yaitu koisi perundanga-undangan. Komisi-komisi yang dibentuk dapat menjalankan tugasnya dengan lancar. Hampir semua usul-usul penting yang terj adi antar a tahun I 9 I 4- 19 19 dapat diusahakan dan dikerjakan.
Kota Malang yang berstatus gemeente sebagai hasil dari U.U. Desentralisasi tahun 1903 dan diperbaharui tahun 1905masih memiliki tingkat otonomi yang terbatas, Pada waktu itu pemerintah
pusat belum sepenuhnya menyerahkan kewaj
ibannya kepada Dewan
Kota
(Geme ente r aad), karena sebagian kepentingan
kota masih dikerjakan oleh Gewestelijkraad (Dewan Wilayah) di Pasuruhan, misalnyatentang
i9l8
dibentuk untuk
pertama kalinya Dewan (raad) yang dipilih oleh penduduk. Jumlah anggota dari 9 orang diperluas menjadi 15 orang, terdiri dari 9 orang eropa, 4 orang pribumi, dan2 orang timur asing. Komposisi
anggota dewan
di
atas masih tampak bahwa
Pemerintah Hindia Belanda waktu itu masih tetap
akan memakai Dervan sebagai badan yang membela kepentingan golongan Eropa.
Dalam rapat terakhir tahun 1917, ketua Dewan mengusulkan kepada pemerintah untuk mengangkat seorang walikota (burgermeester) untuk Kota Malan g. Usul in i baru terlaksana dalam tahun 19 l9 dengan dilantiknya walikota pertama H.L Bussemakerpada I Juli 1919 ( Liberty, 1939: 8). Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Walikota Bussemaker dapat menaikkan anggaran
kota, di samping memiliki berbagai rencana fisik
kota untuk pembangunan jalan-jalan baru, perbaikan saiuran air (got), dan perawatan taman kota. Di bidang perundangan, dibuat berbagai peraturan yang menyangkut keuangan dengan
diselesaikan tentang pajak keramaian, aturan daerah yang mengafur tentang minuman keras, pajak kendaraan, peraturan pajak penghasilan, pajak reklame, pajak petasan dan peraturan tambahan tentang pajak penghasilan ( 40 tahun
Yuliati, Sistem Pemerintahan Llilayah Malang pada Masa
Kota Malan g, 19 5 4 : 2 0). Ilasil dari masa wal ikota pertama lainnya adalah peraturan bagi organisasi pasukan kebakaran, sensus penduduk eropa,
Kolonial 59
peraturan tentang kecepatan kendaraan, dan
Mangkunegaran (1923), Pasar Gedhe (1929); di Yoryakarta: Museum sonobudaya (1935); Medan dengan Kantor DSM 91923) dan pasar; di Comal : pabrik gula dan perumahan karyawannya serta
tentang pasar swasta. Selama 10 tahun mengurus
emplasemen Stasiun Comal (Hadinoto dan
kota Malang, Walikota Bussemaker telah
Soehargo: 1996: 135.
berusaha menjadikan Malang sebagai kota yang maju, sebelum diganti oleh E.A. Voorneman pada
lMei1929. Masa pemerintahan Walikota Voorneman, prestasinya tidak kalah moncer dengan pendahulunya. Apabila pada masa pemerintahan walikota pertama pembangunan kota ditekankan bidang fisik, maka rvalikota kedua pada bidang
sosial, antara lain diusahakan
untuk
emperhatikan lapan gan kesehatan, perumahan, pengajaran dan olah raga, termasuk menetapkan lambang kota. Pada tahun 1927 dimulai dibangun gedng Balaikota yang menelan biaya f. 287 .337 ,29 bary dapat diternpatipada September 1929 pada lantai bawahnya karena pada bagian atas baru m
selesaitahun 1930. Di undangkan U.U. tahun 1922, maka tahun
1926 wilayah Malang yang berstatus Gemeente berubah menjadi Stadsgemeente yang memiliki otonom penuh dan perubahan penting terjadi sejak 1 Januari 1929 (Milone, 1966: 10). Peristiwa
Herman Thomas Karsten (1884-1945) menjadi akrab dengan masalah perumahan sejak mendalami arsitektur di Universitas Teknologi di
Delf (1904-1905). Di Delf ini, Karsten akrab dengan perkumpulan-perkumpulan yang progresif
terutama dalam organisasi mahasiswa yang berhaluan sosialis demokratis. Awal November 1904, menjadi anggota STY (Sociaal Techniche
Veeeniging van Democratische Ingenieur en Architecten). Melalui S IV ini mungkin Karsten rnengetahui kondisi keh i dupan klas-klas pekerj a dan ide-ide mutakhir mengenai lingkungan, karena beberapa pendiri dan ahggota STV aktifdi dalam
permasalahan perumahan dan perencanaan kota di Belanda ( Nas, 1979: 73). Pada tahun I 9 14, Karsten diundang ke Hindia Belanda oleh teman kuliahnya yang telah mebuka biro arsitek di Semarang. Minatnya yang besar
dalam organisasi progresif ketika menjadi mahasiswa di Delf diteruskan oleh Karsten di Hindia Belanda. Di bidang buday4 aktifdalam tulis menulis
penting terjadi tahun 1930 dengan terjadinya
yang diterbitkan majalah Djawa, serta mendirikan
beberapa peristiwa di bidang pemerintahan, seperti
Java Institute, mendirikan perkumpulan Sobokarti
perubahan desa menjadi bagian dari urusan kota, pemilihan anggota Dewan Kota dengan status sebagai Staatsgemeente yang baru, dan diajukan
Kesenian dan anggota komisi Purbakala.
sebuah usul dibentuknya wethouderr yang disetujui pada I 5 April 1920 dengan diangkatnya R. Sukardjo Wirjopranoto dan Mr, G.L. Kelder sebagai anggota pertama (Kotamadya Malang Lima Puluh Tahun, 1969: l7). Tunjangan yang diberikan we thouders adalah f. I 00,- /bulan namun diturunkan menjadi f . 7 5,- pada tahun I 934. Perencanaan Kota OIeh Thomas Karsten Setiap studi mengenai perencanaan dan arsitektur kota di llindia Belanda wal abad ke-20 tidak dapat dilepaskan dar jasa Thomas Karsten, seorang arsitek dan perencana kota, sehingga ia diangkat sebagai Bapak Perencana Kota Indone.sia (Pratiwo, 199 | : 3). Karya-karya arsitekturnya tersebar di berbagai tempat rnisal di Semarang karyanya diCandi Baru, R. S. St Elizabeth (1926), pembanguna Pasar Johar (1931); di Surakarta
seperti Pendopo Kecil di Komplek
di Semarang, di samping sebagai pengurus Dewan Pengalaman berorganisasi ini mempengaruhi karyanya di bidang arsitektur dan tata kota yang tidak meninggalkan budaya lokal, terutama Jawa (Ibid.,hal. 75). Di bidang politilq Karsten termasuk kelompok kecil orang Belanda yang menyokong bagi kemerdekaan lndonesia dengan masuk kelompok de Sttrw. Kelompok de Stuw adalah kelompok kaum intelektual Belanda yang menyokong orang Indo-
nesia yang memiliki cita-cita untuk membantu negara persemakmuran, dan mendirikan majalah Kritiek en Opbonu (Kritik dan Pembangunan) terbit antara 1938-1942 memiliki motto: mensikis sistenr kolonial dan masyarakat kolonial. Pandangan politik dan sosialyang dipegang oleh Karsten diterapkan dalam perencanaan kota yang ditangani, yaitu kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi. Bagi Karsten, untuk membangun sebuah kota, di dalamnya harus terj adi integrasi antara latar belakang ekonomi, sosial, dan
kultural yang dapat hidup serasi. Untuk memudahkan integrasi tersebut, terutama bagi
60
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 25, Nomor l, Pebruari 2012
golongan pribunri, maka taraf hidup mereka harus ditingkatkan dan mereka harus dididikuntuk dapat memasuki kebiasaan hidup kota. Menurut Karsten, tempat tinggal tidak mungkin didirikan berdasar
tus kotamadya (gemeente) tahw 1914. Pada waktu itu kemajuan banyak dicapai oleh Kota Malang, karena dengan status sebagai sebuah
pengelompokan ras seperli kebijakan yang diambil
rumah t^ngganya sendiri. Kota Malang menjadi berkembang karena dibukanya isolasi kota tersebut dengn dibangunnya berbagai sarana kot4 seperti jalan, penerangan, kesehatan dan fasilitas
oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu, tempat tinggal tersebut harus berdasar pada kelas sosial.
Profesionalisme yang dimiliki Karsten di bidang tata kota, dan keahlian dalarn bidang arsitektur sangat membantu mewujudkan ideidenya. Usahanya ini selain karena pengalamannya yang luas, disertai cara pendekatan yang tepatjuga karena pandangan sosialnya yangjauh ke depan,
hal ini dbuktikan dengan menjadi penasehat di berbagai kota di Jawa, Sumatra dan Kalirnantan.
kotamadya, kota ini memiliki otonomi untukmenata
lainnya. Berbagai kemajuan dapat dicapai, namun
semuanya tidak lebih untuk memperlancar kepentingan Bangsa Eropa. Pada dasarnya inti Kota Malang masih seperli pola kota tradisional Jawa yang terbangun dari alun-alun, dan sekitamya berdiri bangunan masjid, tempat penguasa (kabupaten) dan pasar. Kota
Malang, seperti kota kolonial lainnya memiliki tipikal khas kotakolonial, yaitu dijumpai dualisme antara golongan Eropa dan Pribumi. Dijumpai
SIMPULAN Wilayah Malang dari sudut geopolitik pada masaKompeni Relanda pernah dijadikan wilayah pertempuran penguasa pribumi yang pro dan kontra dengan fihak kompeni. Setelah penguasa terakhir wiiayah Maiang gugur tahun 1767, sejak saat itu wilayah ini menjadi kekuasaan Kompenr di bawah Karesidenan Pasuruhan. Kemajuan yang pesat dicapai Kota Malang ketika pemerintah Kolonial Belanda memberi sta-
segregasi pemukiman untuk bangsa Eropa, Timur Asing, dan Pribumi yang masing-masing dibangun dan dikelola berdasar sistem nilai mereka. Perencanaan Kota lvlalang tidak lepas dari jasa seorang arsitek Belanda yang bernama Tho-
mas Karsten" Konsep pembangunannya yang menyertakan unsur asli lokal dalam setiap karyanya dan sebuah pemukiman tidak dapat dipisahkan berdasar atas perbedaan ras.
DAFTAR ITUJUKAN d'Almeida, William Barrington .1864. Life in Java, With Sketches of the Javanesse. London: Hurst & Blackett.
Detailed Settlcment of the Residency of Malang.l812 Domis, I{.J. 1896. De Reiisidentie Passaroeang. Op het Einland Java. S'Gnvenhage : De Groot.
40 Thhun Kota lv[alang. 1954. Malang: Kota Besar Malang. -
nia.
1883. Tijdschrift voor Indische
Moeftono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha
Land en tr'olkenkunde. Batavia'.
Bina Negara di Jawa Masa Lampau.
lJageman, Jcz,
Taal
I.
Libefty. I 93 9. "Malang Number". No. I 3 3.Th.XII. Malang: Paragon Press. Malang. Stad van Oost Jaya. 1927. \4alang: Gemeente van Malang. Sagimun, M.D. 1965. Pahlawan Dilonegoro Berjuang. Jakarta: Gunung Agung. Milone, Pauline Dublin. 1966. Urban Areas in Indonesia Administrative and Cencus Concepts. Berkeley: University of Califor-
& Ca. Kartodirdjo, Sartono (cel.). 1975. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Lange
Departemen Pcndidikan dan Kebudayaan.
Kotamadya Malang 50 Tahun.1969. IUalang: Paragon Press" De Koloniale Rneping van Nederland.193G. De Spoor en Trannl,egen in Nederlondsch Indie. Denh aa g: l)rukkerij J.M. Lindenhaum & Cc
Jakarta: Yayasan Obor.
Nas, Feter J.lv1. (ed,)" 1979. Kota di Dunia Ketiga.f. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Pratiwo"199 LKata Dalam Berlsagoi Dintensi. Semarung: Soegijopranoto Press.
R.icklefs, M.C. 1991. Sejarah Indanesia lvfodern. Yogy akarta: Gadjah Mada Unive rsiq, Press.
Yuliati, Sistem Pemerintahan Wilayah Malang pada Mas'a
Stapel, W.F. (eds.). 1938. Geschiedenis uan Nederland Indie I. Amsterdam: N.V. Uitgeversmaatschappij . Stadsgemeente Malang. I 9 I 4- 193 9.
i I
I I
I
I
i l
I
l I
I
t I
I
r i I
I
ll
I
I I I
Kolonial
6l
Vlekke, H.M. 1965. Nusantara. A History of Indonesia. The Hague: Wvan Hoeve Ltd. Wertheim, W.F. (eds.). 1959. Indonesian Society in Transition. A Study of Social Change. The Hague: W. Van Hoeve Ltd.
Petunjuk Bagi Penulis 1.
Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto. Panjang 10-20 halaman dan diserahkan paling lambat 3 bulan sebelum penerbitan dalam bentuk ketikan diatas kertas kuarto sebanyak 2 eks, dan disket. Berkas naskah disimpan pada disket yang ditulis/diketik dengan menggunakan pengolah kata WordPerfect, MS Word.
2.
Artikel yang dimuat dalamjurnal ini meliputi tulisan tentang hasil penelitian, gagasan konseptual, kaj ian dan aplikasi teori, tinj auan kepustakaan dan resensi buku baru.
3.
Semua karangan ditulis dalam bentuk esai, disertai judul sub-bab (heading) masingmasing bagian sajian tanpajudul sub-bab. Peringkat judul sub-bab dinyatakan dengan huruf yang berbeda (semua huruf dicetak tebal/bold). Cetak miring dan letaknya pada halaman, bukan denganangka, sebagai berikut:
PERINGKAT 1 (hurufbesar semua tebal rata tepi kiri) Peringkat 2 (hurufbesar-kecil tebal rata tepi kiri) P e rin g k at 3 (huruf
be
s
ar-ke
c
il dengan cetak mirin gl teb ak atatep i kiri)
4.
Setiap karangan harus disertai (a) abstrak (50-75 kata), (b) kata-kata kunci, (c) identitas pengarang (tanpa gelar akademik), (d) pendahuluan (tanpa judul sub-bab) yang berisi latar belakang dan tujuan mang lingkup tulisan, dan daftar rujukan. Hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai berikut: (a) judul, (b) nama peneliti, (c) abstrak (50-7 5 kata), (d) kata-kata kunci, (e) pendahuluan (tanpa judul sub-bab) yang berisi pembahasan kepustakaan dan tujuan penelitian, (f) metode penelitian, (g) hasil, (h) pembahasan, (i) kesimpulan dan saran, fi ) daftar rujukan.
5.
Daftar rujukan disajikan mengikuti tata cara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alpabetis dan kronologis. Comel, L. dan Weeks, K. I 985. Planning Career Leaders : Lesson from the States, Atlanta. GA: Career leader Clearing House. Kanafi, A. 1989. Partisipasi dalam Siaran Pedesaan danAdopsi Inovasi. Forum Penelitian.
(r)33-47
6.
Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Artikel, dan Makalah (Universitas Negeri Malang, 2010). Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.