Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP BIMA Diterbitkan 2 kali setahun pada bulan Februari dan bulan Juli. Jurnal ini berisi laporan penelitian, gagasan konseptual, kajian teori, dan kajian buku pendidikan khususnya Pendidikan Matematika. ISSN: 2086-4250 Susunan Redaksi Pelindung Drs. Mustamin, M.Sc Penanggung Jawab Dr. Amran Amir Redaksi Pelaksana Moh. Zaky Aminy, ST. M.Pd Andang, M.Pd Redaksi Ahli Edi Mulyadin, M.Pd Dusalan, S.Pd. M.Pd Sudarsono, M.Pd Syaifullah, M.Pd Yaser Arafat, SH.MH Penyunting/Editor B. Erdiansyah Putra, ST., M.Eng Alamat: Kampus STKIP Bima, Jl. Piere Tendean Kelurahan Mande Kota Bima. Telp/Fax: 0374-42801. Naskah diketik dengan spasi 1,15 pada kertas A4. Panjang tulisan minimal 7-15 halaman. Naskah dikirim ke Alamat Email
[email protected] 1
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Daftar Isi
Andang, M.Pd Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Saifullah, M.Pd Pemanfaatan Tutor Sebaya Dengan Setting Kooperatif Untuk Peningkatan Hasil Belajar Matematika
3 - 02
02 - 02
Edi Mulyadin, M.Pd Penerapan Model Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray Terhadap Prestasi Belajar Siswa
02 - 40
Dusalan, S.Pd. M.Pd Pembelajaran Matematika Model Pakem Dengan Menggunakan Alat Peraga
44 - 76
B. Erdiansyah P. ST.M.Eng Analisis Kesulitan Siswa dalam Mempelajari Matematika
76 - 64
2
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK Oleh: Andang, M.Pd Abstrak : Salah satu persoalan pendidikan matematika dewasa ini adalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran anak hanya diarahkan untuk menghafal materi atau rumus-rumus yang diberikan, yang kegunaannya hanya dirasa untuk menyelesaikan soalsoal, menjejalinya dengan informasi-informasi yang kurang dapat dihubungkan dengan kehidupan seharihari. Lebih-lebih pembelajaran matematika dengan sifanya yang abstrak dan dipenuhi dengan simbolsimbol seakan-akan memberikan pengertian bahwa matematika berada diluar kemampuan nalar. Sehingga demikian matematika cenderung dianggap sebagai mata pelajaran yang membosankan sekaligus menakutkan. Tujuan tulisan ini adalah memberikan pengetahuan terutama bagi guru agar dalam proses pembelajaran mampu menggunakan strategi pembelajaran yang tepat dalam memecahkan persoalan matematika, khususnya strategi pembelajaran berbasis masalah. Kata Kunci: Pembelajaran Pendekatan matematika realistik
berbasis
masalah,
Pendahuluan Salah ciri khas matematika dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya adalah ada pada konsep abstraknya. Konsep abstrak matematika yang terkadang dirasa berada diluar kemampuan nalar siswa menjadikan matematika sendiri dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit. Keabstrakan matematika lebih 3
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
didasarkan karena matematika adalah ilmu pengetahuan yang dibangun melalui proses penalaran deduktif yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Hal tersebut diperkuat dengan konsep matematika yang lebih bersifat manipulatif dan berbentuk lambang-lambang yang kurang digunakan dalam kehidupan seharihari. Lebih dari itu, pelajaran matematika di sekolah hanya menekankan pada anak untuk menghafal rumus-rumus yang ada, yang kegunaannya hanya untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Sementara aplikasi rumus-rumus itu dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak ditemukan maknanya. Siswa memahami konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari hanya pada konsep-konsepnya yang sederhana seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, sementara pada soal-soal berkategori tinggi seperti limit, trigonometri, alogaritma, dan lainlainnya seakan-akan berada diluar kemampuan nalarnya dalam menghubungkan makna aplikasinya dengan kehidupan sehari-hari. Sejatinya, konsep matematika diperlukan dalam perannya terutama mengembangkan kemampuan bernalar dalam memecahkan masalah baik pada bidang matematika maupun dalam bidang lainnya. Oleh karena itu, tujuan umum pendidikan matematika ditekankan agar siswa memiliki: (1) kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika, pelajaran lain ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata; (2) kemampuan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi; (3) kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang 4
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
dapat dialihgunakan pada setiap keadaan seperti berpikir kritis, berpikir logis, berpikir sistematis, bersifat objektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam memandang dan menyelsaikan masalah. Untuk dapat mewujudkan tujuan pendidikan matematika tersebut, maka tulisan ini dirasa dapat memberi kontribusi bagi pemecahan masalah matematika dengan menekankan pada penggunaan strategi pembelajaran berbasis masalah, memperhadapkan siswa dalam pembelajarannya dengan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena permasalahan matematika bukanlah terletak pada konsep matematika itu sendiri yang tidak memiliki makna aplikatif, akan tetapi lebih kepada lemahnya proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan kemampuannya dalam menggunakan strategi dan pendekatan terbaik dalam membelajarkan dan memahamkan konsep matematika kepada siswa. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pengembangan implementasi kurikulum atau strategi pembelajaran yang dimulai dengan menghadapkan siswa pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan, bekerja sama sama dalam suatu kelompok untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah atau problem solving, kemudian siswa mempersentasikannya sehingga siswa diharapkan menjadi seorang self directed leaner. Self directed leaner adalah individu yang mengarahkan diri sendiri dalam proses belajar mengajar (Suparno, 2000). Sanjaya (2011) mengemukakan strategi pembelajaran berbasis masalah (SPBM) sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian 5
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat 3 ciri utama dari SPBM, yaitu: (1) SPBM merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi SPBM ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. SPBM tidak mengharapkan siswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui SPBM siswa aktif berpikir, berkomunikasi mencari dan mengolah data, serta menyimpulkannya; (2) aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. SPBM menempatkan sebagai kata kunci dari proses pembelajaran, artinya tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran; (3) pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas. SPBM mengharuskan proses pembelajaran yang dilaksanakan berlangsung karena adanya suatu pemasalahan. Hal tersebut dimaksudkan karena hakikat dari pembelajaran tersebut mengharuskan adanya masalah. Mulyasa (2012) menyebut masalah sebagai gap atau kesenjangan antara situasi nyata dengan kondisi yang diharapkan, atau antara kenyataan yang terjadi dengan apa yang diharapkan. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diperoleh baik melalui pengalaman atau pengamatan dari lingkungan sekitar, atau sumber-sumber lain yang relevan (buku teks, jurnal). Dengan demikian, implementasi pembelajaran SPBM memerlukan kemampuan dan kecakapan guru dan atau siswa dalam melaksanakan pembelajaran dengan mampu menemukan 6
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sehari-hari untuk dipecahkan. Terdapat beberapa kriteria dalam pemilihan bahan pelajaran dalam SPBM, yaitu (1) bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik (conflict issue) yang bisa bersumber dari berita, rekaman vodeo, majalah, atau buku teks; (2) bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan siswa sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik; (3) bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak sehingga terasa manfaatnya; (4) bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku; (5) bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu untuk mempelajarinya. David Johnson dan Johnson (dalam Sanjaya, 2011) mengemukakan ada 5 langkah SPMB melalui kegiatan kelompok, yaitu (1) Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, hingga siswa menjadi jelas masalah apa yang dikaji; (2) Mendiagnosis masalah yaitu,menentukan sebab-sebab terjadinya masalah, serta menganalisis sebagai faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun faktor yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah; (3) Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan malalui diskusi kelas; (4) Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu mengambil keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan; (5) Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap seluruh kegiatan pelaksana‟an kegiatan; sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi 7
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
terhadap akibat dari penerapan strategi yang diterapkan. Arends (1997) mengemukakan tahapan-tahapan yang mutlak diperlukan dalam melaksanakan pembelajaran berbasis masalah seperti yang tertera berikut: Tabel: Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah Tahap Tahap -1 Orientasi siswa pada masalah
Tahap -2 Meng organisasi siswa untuk belajar Tahap -3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Tahap -4 Mengembangkan dan menyajikan hasil kaya
Tahap -5 Menalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tingkah Laku Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,menjelaskan logistic yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Guru membantu siswa untuk mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen,untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, atau model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Sumber: Diadaptasi dari Arends (1997) Sesuai dengan tujuan SPBM adalah untuk menumbuhkan sikap ilmiah, dari beberapa bentuk SPBM yang dikemukakan para
8
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
ahli, maka secara umum SPBM bisa dilakukan dengan langkahlangkah: 1. Menyadari Masalah Implementasi SPBM harus dimulai dengan kesadaran adanya masalah yang harus dipecahkan. Pada tahapan ini guru membimbing siswa pada kesadaran adanya kesenjangan atau gap yang dirasakan oleh manusia atau lingkungan sosial. Kemampuan yang harus dicapai oleh siswa pada tahapan ini adalah siswa dapat menentukan atau menangkap kesenjangan yang terjadi dari berbagai fenomena yang ada. Mungkin pada tahap ini siswa-siswa dapat menemukan kesenjangan lebih dari satu, akan tetapi guru dapat mendorong siswa agar menentukan satu atau dua kesenjangan yang pantas untuk dikaji baik melalui kelompok besar atau kelompok kecil atau bahkan individual. 2. Merumuskan Masalah Bahan pelajaran dalam bentuk topik yang dapat dicari dari kesenjangan, selanjutnya difokuskan pada masalah apa yang pantas untuk dikaji. Rumusan masalah sangat penting, sebab selanjutnya akan berhubungan dengan kejelasan dan kesamaan persepsi tentang masalah dan berkaitan dengan data-data apa yang harus dikumpulkan untuk menyelesaikannya. Kemampuan yang diharapkan dari siswa dalam langkah ini adalah siswa dapat menentukan prioritas masalah. Siswa dapat memanfaatkan pengetahuannya untuk mengkaji, merinci, dan menganalisis masalah sehingga pada akhirnya muncul rumusan masalah yang jelas, spesifik, dan dapat dipecahkan. 3. Merumuskan Hipotesis Sebagai proses berpikir ilmiah yang merupakan perpaduan dari berpikir deduktif dan induktif, maka merumuskan hipotesis 9
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
merupakan langkah penting yang tidak boleh ditinggalkan. Kemampuan yang diharapkan dari siswa dalam tahapan ini adalah siswa dapat menentukan sebab akibat dari masalah yang ingin diselesaikan. Melalui analisis sebab akibat inilah pada akhirnya siswa diharapkan dapat menentukan berbagai kemungkinan penyelesaian masalah. Dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan selanjutnya adalah mengumpulkan data yang sesuai dengan hipotesis yang diajukan. 4. Mengumpukan Data Sebagai proses berpikir empiris, keberadaan data dalam proses berpikir ilmiah merupakan hal yang sangat penting. Sebab, menentukan cara penyelesaian masalah sesuai dengan hipotesis yang diajukan harus sesuai dengan data yang ada. Proses berpikir ilmiah bukan proses berimajinasi akan tetapi proses yang didasarkan pada pengalaman. Oleh karena itu, dalam tahapan ini siswa didorong untuk mengumpulkan data yang relevan. Kemampuan yang diharapkan pada tahap ini adalah kecakapan siswa untuk mengumpukan dan memilah data, kemudian memetakan dan menyajikannya dalam berbagai tampilan sehingga mudah dipahami. 5. Menguji Hipotesis Berdasarkan data yang dikumpulkan, akhirnya siswa menentukan hipotesis mana yang diterima dan mana yang ditolak. Kemampuann yang diharapkan dari siswa dalam tahapan ini adalahkecakapan menelaah data dan sekaligus membahasnya untuk melihat hubungannya dengan masalah yang dikaji. Di samping itu, daharapkan siswa dapat mengambil keputusan dan kesimpulan. 6. Menentukan Pilihan Penyelesaian
10
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Menentukan pilihan penyelesaian merupakan akhir dari proses SPBM. Kemampuan yang diharapkan dari tahapan ini adalah kecakapan memilih alternatif penyelesaian yang memungkinkan dapat dilakukan serta dapat memperhitungkan kemungkinan yang akan terjadi sehubungan dengan alternatif yang dipilihnya, termasuk memperhitungkan akibat yang akan terjadi pada setiap pilihan. Pendidikan Matematika Realistik Pendekatan dan metode pembelajaran merupakan faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran (Joni, 1983). Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) telah diteliti dan dikembangkan di Belanda dan telah berhasil meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Di Indonesia, istilah Realistic Mathematics Education (RME) dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendidikan matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret dan dapat diamati secara langsung sesuai dengan lingkungan tempat siswa berada (Soedjadi, 2001). Sedangkan menurut Suharta (2001), Matematika Realistik (MR) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pematematisasian pengalaman sehari-hari (mathematize everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (everydaying mathematics). Pembelajaran yang berorientasi pada RME dapat dicirikan oleh : (a) pemberian perhatian yang besar pada “reinvention”, yakni siswa diharapkan membangun konsep dan struktur matematika bermula dari intuisi mereka masing-masing; (b) pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret atau 11
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
dari sekitar siswa; (c) selama pematematikaan, siswa mengkontruksi gagasannya sendiri, tidak perlu sama antar siswa yang satu dengan lainnya, bahkan tidak perlu sama dengan gagasan gurunya; (d) hasil pemikiran siswa dikonfrontir dengan hasil pemikiran siswa lainnya (Treffers dan Panhuizen dalam Yuwono, 2001). Dengan pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret atau dari sekitar siswa akhirnya kebenaran dapat dirujukkan kepada kenyataan yang ada atau realitas, sehingga dalam keadaan ini dapat dikatakan bahwa „hakim tertinggi ilmu pengetahuan alam adalah realitas‟ (Soedjadi, 2000). Menurut Gravemeijer (dalam Zulkardi, 2002) Realistic Mathematics Education mempunyai lima karakteristik, yaitu: (1) Menggunakan masalah kontekstual (masalah kontekstual sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak darimana matematika yang diinginkan dapat muncul). (2) Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal (perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi dari pada hanya menstransfer rumus atau matematika formal secara langsung). (3) Menggunakan kontribusi murid (kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi murid sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke arah yang lebih formal atau standar). (4) Interaktivitas (negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif di mana strategi informal murid digunakan sebagai jantung untuk mencapai yang formal). (5) Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dicapai secara terpisah tetapi
12
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
keterkatian dan keterintegrasian harus di eksploitasi dalam pemecahan masalah). Dari karakteristik yang terdapat pada matematika realistik, akan membuat siswa mampu menyelesaikan suatu masalah secara logis. Didalam laporannya Shepard, 1975 (dalam Hudojo, 1979) mengatakan bahwa anak-anak pada tahap operasi konkrit mampu menyelesaikan suatu masalah secara logis bila masalah tersebut dipilih dengan menggunakan bahasa sederhana, tidak menggunakan bahasa yang kompleks. 1. Penekanan Pematematikaan pada Matematika Realistik Matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Dengan demikian ketika siswa melakukan kegiatan belajar matematika maka dalam dirinya terjadi proses matematisasi. Terdapat dua macam matematisasi, yaitu matematisasi horizontal dan matematika vertikal. Matematika horizontal berproses dari dunia nyata ke dalam simbol-simbol matematika. Proses terjadi ketika ia dihadapkan pada problematika kehidupan dan pada situasi nyata. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi di dalam sistem matematika itu sendiri, misalnya penemuan strategi menyelesaikan soal, mengkaitkan hubungan antar konsep-konsep matematis atau menerapkan rumus/temuan rumus. Pada matematisasi horizontal siswa dengan pengetahuan yang dimilikinya dapat mengorganisasikan dan menyelesaikan masalah yang ada pada situasi dunia nyata dengan kata lain matematika horizontal bergerak dari dunia nyata ke dunia simbol. Hal ini dilakukan melalui interaksi sosial antara siswa. Sedangkan pada matematisasi vertikal, proses pengorganisasian kembali dengan menggunakan matematika itu sendiri atau “dunia nyata” 13 Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
merupakan sumber dari matematisasi sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali konsep-konsep matematika. Sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran pecahan dengan pendekatan matematika realistik, kepada anak dihadapkan hal-hal yang berkaitan dengan konteks dalam kehidupan sehari-hari dan disamping itu benda-benda yang dapat diamati juga digunakan. Dengan memanfaatkan apa yang telah biasa pada siswa juga benda yang dapat diamati untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan pecahan akan terjadi suatu aktivitas atau proses pematematikaan horizontal. Sedangkan matematisasi vertikal tidak lain proses yang terjadi dalam matematika itu sendiri yang mengarah pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang berjalan dalam sistem dunia simbol. Sebelumnya telah disebutkan bahwa dalam pendidikan matematika realistik, pengalaman belajar siswa dimulai dari suatu yang realistik atau hal yang telah terbayangkan oleh siswa. Dengan demikian pembelajaran tidak diawali dengan formal, melainkan lebih banyak berawal dari intuisi siswa. Sebagai contoh dalam matematisasi vertikal adalah proses pembuktian dalam matematika atau mungkin proses mencari penyelesaian yang menggunakan strategi manipulatif simbol-simbol. Berkaitan dengan dua tipe pematematikaan diatas, Treffers (1987) dan Freudental (1991), (dalam Yuwono 2001) mengklasifikasikan pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan intensitas pematematikaan, yaitu (1) mekanistik atau pandekatan tradisional, dalam pendekatan ini pembelajaran matematika lebih difokuskan pada drill, dan panghafalan rumus saja, sedangkan proses pematimatikaan keduanya tidak tampak; (2) emperistik, lebih menekankan kepada pematematikaan horizontal dan cenderung mengabaikan 14
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
pematematikaan vertikal; (3) strukturalis, lebih menekankan kepada pematematikaan vertikal dan cenderung mengabaikan pemetematikaan horizontal, pendekatan ini sering disebut „new math‟ membangun konsep matematika berdasarkan pada teori himpunan; (4) realistik, memberikan perhatian yang seimbang antara pematematikaan yang horizontal dan vertikal dan disampaikan secara terpadu terhadap siswa. 2. Pendidikan Matematika Realistik dan Relevansinya Dengan Pembelajaran Pecahan Pendidikan matematika realistik menggunakan hal ‟nyata‟. Realistik yang diumaksud dalam tulisan ini adalah hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati atau dapat dipahami lewat membayangkan. Dengan demikian mungkin saja digunakan bendabenda konkret dalam meragakan ide matematika untuk menemukan suatu konsep (Marpaung 2001). Pecahan yang termasuk dalam cabang matematika, banyak terdapat penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga sebelum anak memperoleh pengetahuan formal di sekolah mengenai pecahan, mereka telah memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan pecahan, misalnya ketika anak membagikan sesuatu menjadi dua bagian yang sama. Pengetahuan informal yang selalu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari perlu dikembangkan melalui intuisi anak ke dalam bentuk matematika formal termasuk misalnya rumus-rumus yang dinyatakan dalam bentuk simbol-simbol atau variabel. Dengan demikian pada saat anak kembali menghadapi permasalahan dalam konteks kehidupan, mereka telah terbiasa dan lebih lanjut diharapkan dalam pemecahan masalah yang dihadapi tersebut akan lebih baik. Pernyataan tersebut di atas sesuai dengan terdapat dalam panduan pengembangan silabus mata pelajran 15
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
matamatika bahwa guru perlu mengembangakan sikap menggunakan matematika sebagai alat untuk memecahkan problematika baik di sekolah maupun dirumah. Pernyataan diatas dimaksudkan agar siswa belajar matematika di sekolah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif; mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan (Depdikbud, 1994). Untuk mancapai maksud diatas, guru perlu memperhatikan dan menumbuh kembangkan daya imajinasi dan rasa ingin tahu siswa kita, juga siswa harus dibiasakan untuk mendapat kesempatan bertanya dan berpendapat sehingga dalam proses belajar matematika tersebut anak merasa bahwa matematika lebih bermakna. Jika siswa telah memiliki kebermaknaan matematika, harapan selanjutnya akan terbentuk rasa ingin tahu dan kecintaan siswa terhadap matematika. Agar siswa merasa matematika lebih bermakna, sebaiknya diupayakan siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika itu, dan guru berperan sebagai fasilitator. Artinya bahwa murid harus didorong dan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat sesuai dengan jalan pikirannya dan mungkin juga dapat belajar dari ide-ide temannya sendiri. Aktivitas siswa pada saat menyelesaikan masalah sesuai dengan jalan pikirannya, sesuai dengan karakteristik/prinsip dari pembelajaran pendidikan matematika realistik. Karkteristik/prinsip dari pembelajaran pendidikan matematika realistik adalah suatu kegiatan atau 16
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
aktivitas konstruktif (Sutawidjaja, 2001 & Marpaung, 2001). Landasan filosofi ini dekat dengan filasafat konstrukstivisme yang menyebutkan bahwa pengetahuan itu adalah konstruksi dari seseorang yang sedang belajar (Suparno, 2000). Demikian halnya yang dikatakan oleh Nikson (dalam Hudojo, 1988) bahwa pandangan konstruktivis memandang pembelajaran sebagai usaha membantu siswa dalam mengkonstruk konsep-konsep/prinsipprisnip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep tesebut terbangun kembali. Belajar dengan kemampuannya sendiri berarti menggunakan hal-hal apa yang telah diketahuinya sebagai pengetahuan awal. Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi belajar anak adalah apa yang telah diketahuinya, yaitu berupa pengetahuan awal (Novak, 1985). Pengetahuan awal yang telah dimiliki oleh anak akan berkembang secara optimal bila diikuti dengan ketepatan pemanfaatannya dalam hal menerima konsep baru. Guru sangat berperan dalam hal ini, sehingga dituntut agar guru berusaha mengetahui dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa yang telah ada dalam pikiraannya sebelum mereka mempelajari lebih lanjut suatu konsep atau pengetahuan baru. Bila dalam belajarnya siswa menghadapi hal atau masalah yang tidak asing atau familiar terhadap dirinya harapan selanjutnya bahwa siswa akan terlibat langsung secara aktif dalam proses pembelajaran. Guru hendaknya dapat memilih dan menggunakan strategi atau metode dalam pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga lebih banyak melibatkan siswa secara aktif dalam belajar yaitu aktif secara mental, fisik, maupun sosial. Untuk mensinergikan keaktifan ini dalam pembelajaran dapat saja siswa dibimbing kearah mengamati, menebak, berbuat, mencoba sehingga pada 17
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
akhirnya mampu menjawab persoalan yang mengarah kepada pertanyaan “mengapa dan bagaimana”. Prinsip belajar aktif inilah yang mampu menumbuhkan dan mengarahkan sasaran pembelajaran sesuai dengan tujuan belajar matematika. Kesimpulan Dari uraian yang telah disampaikan, dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembelajaran berbasis masalah (SPBM) mengandung pengertian sebagai suatu strategi pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah yang dirancang dalam konteks yang relevan dengan materi yang dipelajari. Oleh karena itu, dalam pembelajaran berbasis masalah harus menggunakan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata sehingga masalah pembelajaran dapat dipecahkan dengan cara terbaik. 2. Belajar dengan pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya sekaligus dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa. Disamping itu juga dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. 3. Pendidikan Matematika Relasistik Indonesia (PMRI) adalah suatu pendekatan yang dapat membantu guru melaksanakan proses pembelajaran yang membawa siswa masuk kedalam konteks dunia nyata, sehingga siswa memiliki kesan yang ”berkualitas” karena siswa mengalami langsung dalam menemukan konsep matematika yang dihadapkan dan mereka pelajari. 18
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
4. Pendidikan matematika realistik merupakan pendidikan yang terkembangkan dengan berlandaskan pada filsafat konstruktivisme dimana pengetahuan dibangun sendiri oleh individu belajar secara aktif dengan memberikan keleluasaan dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam mengkonstruk pengetahuan itu sendiri. 5. Pendidikan matematika realistik, memberikan perhatian yang seimbang antara pematematikaan yang horizontal dan vertikal serta disampaikan secara terpadu terhadap siswa. Daftar Rujukan Johnson, 1977. Internationality in Education. New York: Centered for curriculum research and service. Marpaung 2001. Prospek RME Untuk Pembelajaran Matematika di Indonesia. Makalah disajikan dalam Mulyasa, 2012. Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Suharta, 2001. Pembelajaran Pecahan Dalam Matematika Realistik. Makalah Disajikan Pada Seminar Nasional “Realistic Mathematics Education (RME). Surabaya: Jurusan Matematika FMIPA UNESA. 24 Februari 2001. Sanjaya, 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media. Soedjadi, 2001. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Disajikan Pada Seminar Nasional “RealisticMathematics Education (RME). Surabaya: Jurusan Matematika FMIPA UNESA. 24 Februari 2001. seminar Nasional Realistic Mathematics EducationUniv Negeri Surabaya di Jurusan Matematika FMIPA UNESA, Surabaya 24 Feb 2001. 19
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Sutawidjaja, A. 2001. Pendidikan Matematika Realistik. Makalah Disajikan pada stadium general. Jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 27 Oktober 2001. Suparno P. 2000. Filsafat Konstruktifisme Dalam Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta Hudojo. 1988. Pengembangan Kurikulum Matematika & Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional. Yuwono, I, 2001. RME (Realistic Mathematics Education) dan Hasil Studi Awal Implementasinya di SLTP. Makalah disajikan dalam seminar Nasional Realistic Mathematics Education Univ Negeri Surabaya di Jurusan Matematika FMIPA UNESA, Surabaya 24 Feb 2001. Zulkardi, 2002. Pendidikan Realistik Matematika Indonesia, Perkembangan Dan Permasalahan. Dalam jurnal matamatika ataiu pembelajarannya. Tahun VIII. Edisi khusus, Juli 2002. Proseding Konfrensi Nasional Matematika XI bagian I, UM 22-25 juli 2002.
20
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
PEMANFAATAN TUTOR SEBAYA DENGAN SETTING KOOPERATIF UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA Oleh: Saifullah, M.Pd Abstrak : Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan proses dari seorang yang berusaha untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang relatif menetap. Anak yang berhasil dalam belajar akan mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional. Pengajaran yang efektif menghendaki penggunaan alat-alat atau sumber daya-sumber daya yang ada baik fisik maupun non fisik secara maksimal. Salah satu sumber daya nonfisik tersebut adalah teman sebaya. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan tutor sebaya dalam meningkatkan hasil belajar matematika dengan menggunakan setting kooperatif. Kata Kunci: Hasil Belajar, Setting Kooperatif, Tutor Sebaya.
Pendahuluan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih dewasa ini membawa dampak dalam kehidupan, khususnya dunia pendidikan yang tidak dapat dihindari, sehingga dituntut adanya peningkatan kualitas dan mutu pendidikan baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Pembelajaran matematika sebagai salah satu bentuk pengajaran yang ditemukan pada setiap jenjang pendidikan, yang selalu mendapat perhatian khusus dari pihak terkait, demi memperoleh penguasaan matematika yang lebih optimal. Salah satu usaha untuk 21
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
mengoptimalkan hasil belajar yaitu bagaimana memaksimalkan fungsi tenaga pengajar dengan sebaik mungkin. Selanjutnya Abdurrahman (2003: 13) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa selain kemampuan yang ada pada diri siswa yaitu kualitas pengajaran yang dilaksanakan oleh tenaga pendidik. Matematika sebagai ilmu dasar telah dipelajari mulai tingkat rendah sampai perguruan tinggi bahkan dalam kehidupan seharihari matematika sering digunakan. Akan tetapi sebagian orang menganggap bahwa matematika adalah pelajaran yang sangat menakutkan, ditambah lagi kondisi psikis peserta didik yang memandang tenaga pendidik sebagai seorang sosok yang menakutkan melebihi ketakutannya kepada binatang buas sekalipun. Hal ini mungkin disebabkan oleh metode pembelajaran yang digunakan tenaga pendidik yang kurang tepat dan berakibat pada kualitas pembelajaran matematika. Menurut Darhim (2006: 4) kualitas pembelajaran matematika sekolah, masih jauh dari harapan baik dalam hasil belajar siswa maupun dalam proses pembelajarannya. Sedangkan dalam pelaksanaannya di dalam kelas, pembelajaran matematika masih cenderung didominasi dengan cara konvensional yang lebih terpusat pada guru. Di sisi lain, kita harus tetap memperhatikan posisi peserta didik dalam pembelajaran. Menurut Ali (1996: 13) aktifitas yang menonjol dalam pembelajaran ada pada siswa, guru berperan tidak sebagai penyampai informasi tetapi bertindak sebagai pengarah dan pemberi fasilitas (director and facilitator) untuk terjadinya proses belajar. Sehingga kemampuan peserta didik dalam menyerap materi yang dijadikan pun perlu diperhatikan, sebab masing-masing individu memiliki daya serap materi yang berbeda22
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
beda. Menurut pengklasifikasiannya, maka kemampuan daya serap materi oleh peserta didik dibagi atas tiga yaitu (1) kemampuan cepat, (2) kemampuan rata-rata, dan (3) kemampuan lamban (Junaeda, 2005: 2). Perbedaan tersebut mengakibatkan kemungkinan terjadinya kesulitan belajar yang tidak merata keseluruh atau sebagian besar peserta didik. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dalam Kurikulum Matematika 2004, Depdiknas (2003), dikemukakan bahwa tujuan pendidikan matematika adalah a). Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsistensi; b). Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba; c). Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah; dan d). Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi/ mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Selanjutnya, dikemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah, penalaran, dan berkomunikasi merupakan kompetensi dasar yang diharapkan tercapai melalui belajar matematika. Untuk mencapai kompetensi tersebut guru harus menjabarkan kegiatan belajar mengajarnya dalam bentuk silabus dan disesuaikan dengan kekhasan bahan ajar dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan berpikir siswa. Proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah sampai sekarang ini, pada umumnya didominasi guru, siswa dijadikan 23
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
objek pembelajaran. Guru berusaha memberikan informasi sebanyak-banyaknya, sehingga siswa tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk menyelesaikan soal-soal berdasarkan contoh-contoh yang telah diberikan. Pembelajaran matematika pada umumnya masih menggunakan paradigma mengajar, sehingga pembelajaran berlangsung secara mekanistik tanpa makna. Guru menuntut perhatian yang berlebihan, keseriusan yang kaku, dan hukuman menjadi bagian dari pembelajaran. Padahal guru sebagai pengelola pendidikan harus mengetahui fungsi-fungsi mata pelajaran matematika sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Ketiga fungsi matematika tersebut hendaknya juga dijadikan acuan dalam pembelajaran matematika di sekolah. Dengan mengetahui fungsi-fungsi matematika tersebut guru diharapkan dapat memahami adanya hubungan antara matematika dengan ilmu lain. Sebagai tindak lanjut sangat diharapkan agar para siswa diberikan penjelasan untuk melihat berbagai contoh penggunaan matematika sebagai alat untuk memecahkan masalah dalam mata pelajaran lain, dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sehari-hari. Namun tentunya harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa, sehingga diharapkan dapat membantu proses pembelajaran matematika di sekolah. Tujuan perlu diajarkannya matematika adalah setiap upaya penyusunan kembali atau penyempurnaan kurikulum matematika di sekolah perlu selalu mempertimbangkan kedudukan matematika sebagai salah satu ilmu dasar. Yang telah mengalami perkembangan pesat baik materi maupun kegunaannya, sehingga dalam perkembangannya atau pembelajarannya di sekolah kita harus memperhatikan perkembangan-perkembangannya, baik di 24
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
masa lalu, masa sekarang maupun kemungkinan-kemungkinannya untuk masa depan. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Pembelajaran Siswa sebagai individu yang potensial tidak akan berkembang banyak tanpa bantuan guru dan masyarakat. Ada beberapa faktor yang sepenuhnya bergantung pada siswa dan sebagian lagi sepenuhnya bergantung pada guru. Untuk lebih jelasnya kita tinjau beberapa faktor itu. 1. Guru. Proses belajar matematika yang terjadi di sekolah, kita harapkan dapat berlangsung secara efektif. Kemampuan seorang guru dalam menyampaikan materi matematika dan sekaligus penguasaan materi matematikanya merupakan modal utama dalam kelangsungan proses belajar mengajar. Faktor penguasaan materi dan penguasaan suasana belajar disamping faktor kepribadian merupakan faktor-faktor penyebab proses belajar mengajar yang sepenuhnya tergantung pada guru. Guru yang mementingkan selesainya bahan tanpa memperhatikan kemampuan dan kesiapan anak didik akan menimbulkan kesulitan anak didik dalam memahami pengajaran matematika, kondisi ini dapat berakibat timbulnya rasa enggan belajar matematika bahkan frustasi dalam diri anak didik dan akhirnya matematika merupakan pelajaran yang disenangi dan menjadi momok yang menakutkan. 2. Siswa Faktor ini merupakan faktor penting dalam proses belajar matematika. Matematika atau ilmu pasti bagi anak-anak pada umumnya merupakan pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan pelajaran yang paling dibenci karena itu dalam interaksi belajar 25
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
mengajar matematika seorang guru perlu memperhatikan faktorfaktor yang menyangkut murid diantaranya : (1) apakah siswa cukup cerdas, (2) apakah siswa sudah siap belajar matematika, (3) apakah siswa itu mau belajar, (4) apakah siswa berminat dan tertarik. Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, guru sedikitnya banyak akan lebih tahu untuk menentukan strategi belajar mengajar yang bagaimana yang harus ditentukan supaya siswa berhasil dalam belajar. 3. Sarana dan prasarana Proses belajar mengajar akan berlangsung lebih baik lagi jika ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai, seperti adanya perpustakaan dan buku-buku matematika yang relevan dan menunjang kegiatan belajar mengajar merupakan fasilitas yang penting. Adanya laboratorium matematika yang sederhana dengan perlengkapan dan pembiayaan yang cukup dapat meningkatkan kualitas belajar matematika para siswa. Adanya sarana dan prasarana yang cukup seperti ruangan yang sejuk dan bersih, tempat duduk yang nyaman, papan tulis yang memadai, perlengkapan matematika seperti mistar, jangka, segitiga, busur derajat tersedia akan lebih memperlancar terjadinya proses belajar mengajar matematika. Masalah dan Perkembangan Pendidikan Matematika Sekolah Pendidikan senantiasa merupakan beban dan tantangan bagi setiap negara yang tidak ada henti-hentinya. Beban dan tantangan itu berasal dari berbagai sumber diantaranya: kemajuan sains dan teknologi, pertumbuhan penduduk, keterbatasan dana, dan masih banyak kendala-kendala lainnya. Semua orang khususnya kita sebagai pendidik dan guru harus menyadari adanya tantangan 26
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
tersebut dan berusaha mengambil bagian dalam menanggulangi beban dan tantangan tersebut sesuai dengan bidang dan kemampuan kita masing-masing. Kita sebagai tenaga pendidik umumnya dan bidang studi matematika khususnya perlu untuk mengetahui permasalahan yang ada disekitar kita. Selain itu perlu pula memahami perkembangan pendidikan matematika sekarang ini. 1. Permasalahan pembelajaran matematika di sekolah Ada beberapa masalah pokok yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Permasalahan yang akan dilontarkan ini adalah permasalahan yang bersifat umum yakni : a) Kualitas masukan sekolah. Pada masa sekarang ini kebutuhan akan pendidikan sudah merupakan kebutuhan pokok yang mutlak diperlukan oleh hampir semua lapisan masyarakat, sehingga tidak heran dalam suasana sekarang ini kita temukan adanya putra-putri yang mempunyai kualitas yang baik dan berprestasi namun tidak dapat juga dipungkiri kualitas atau kemampuan siswa sekolah menengah khususnya dan semua jenjang sekolah pada umumnya dirasakan adanya penurunan hal ini disebabkan karena banyak anak kurang mampu untuk mengikuti kegiatan, sehingga guru-guru tidak dapat lagi mempertahankan mutu seperti sedia kala dalam setiap tahun terpaksa sebagian anak harus naik kelas dan lulus walaupun dengan kemampuan pas-pasan karena yang akan masuk sebagai siswa baru sudah antri dengan panjang. b) Minat siswa terhadap matematika. Banyak orang telah mengetahui dan mengakui manfaat dan bantuan matematika kepada berbagai bidang ilmu dan kehidupan, namun tidak sedikit pula orang yang menganggap matematika sebagai ilmu 27
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
yang tidak menarik. Demikian pula bagi anak-anak pada umumnya banyak yang tidak menyenangi pelajaran matematika. Hal ini tentunya kita dapat rasakan dan memang demikian adanya. Tentunya kita perlu bertanya mengapa ? c) Pengajaran matematika di sekolah. Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir sehingga matematika perlu diberikan sebagai bekal kepada setiap peserta didik sejak dari SD. Namun di lain pihak, matematika pada hakekatnya adalah suatu ilmu yang penalarannya bersifat deduktif formal dan abstrak. 2. Cara belajar siswa dalam proses belajar matematika Pada prinsip belajar siswa aktif dalam proses belajar matematika, suasana belajar mengajar diarahkan/diubah dari pengalaman guru ke pengalaman murid, dari guru aktif ke siswa aktif, guru menempatkan anak pada pusat kegiatan belajar, berusaha membantu dan mendorong anak untuk belajar, bagaimana cara menyusun pertanyaan, bagaimana membicarakan dan menemukan jawaban-jawaban persoalan. Hasil Belajar Matematika Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan proses dari seorang yang berusaha untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang relative menetap. Anak yang berhasil dalam belajar akan mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional. Pengajaran yang efektif menghendaki penggunaan alat-alat untuk menentukan apakah suatu hasil belajar yang diinginkan telah tercapai. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh
28
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
berupa kemajuan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktifitas dalam belajar. Dalam pengertian sehari-hari prestasi belajar di sinonimkan dengan pengertian hasil belajar. Dalam kamus umum bahasa Indonesia (1994: 108) prestasi belajar diartikan sebagai hasil yang dicapai dari apa yang dikerjakan atau diasumsikan. Selanjutnya Nasrun dkk (Junaeda, 2005: 7) memberikan batas bahwa “prestasi” adalah pengaitan pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan siswa berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka serta nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum. Sedangkan Samsu Mappa menyatakan bahwa, prestasi belajar adalah hasil belajar yang dicapai oleh seorang siswa dalam bidang studi tertentu dengan menggunakan tes standar sebagai pengukuran keberhasilan belajar seseorang. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa hasil belajar matematika adalah hasil yang dicapai oleh seorang siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar matematika dalam waktu tertentu yang dapat diketahui dengan memberikan tes hasil belajar sebagai alat pengukuran. Tutor Sebaya Dalam arti luas sumber belajar tidak harus selalu guru, sumber belajar dapat orang lain selain guru, melainkan teman dari kelas yang lebih tinggi, teman satu kelas atau keluarga di rumah. Sumber belajar selain guru dan berasal dari orang yang lebih pandai disebut sebagai tutor. Tutor sebaya terdiri atas dua kata, yakni tutor dan sebaya. Tutor dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 1090), berarti: Orang yang memberikan pelajaran kepada seseorang atau sejumlah kecil siswa atau Dosen yang membimbing sejumlah mahasiswa. Sedangkan kata sebaya dalam kamus Besar Bahasa 29
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Indonesia (1995: 102), yang berasal dari kata baya dan mengandung pengertian: sama, umur dan hampir sama atau seimbang. Jadi, tutor sebaya adalah seorang siswa yang dipilih dalam suatu kelas untuk mengajar atau membantu guru dalam memberi pelajaran kepada sejumlah teman kelasnya yang mengalami kesulitan dalam memahami materi bahan ajar yang diberikan oleh guru, dengan tujuan agar siswa yang lain lebih mudah memahami dengan cepat materi yang diajarkan. Ischak dan Warji (Tim MKPBM, 2001; 276) mengatakan bahwa "Tutor sebaya adalah sekelompok siswa yang telah mahir terhadap bahan pelajaran, memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami bahan pelajaran yang dipelajarinya". Sedangkan Conny Setiawan, dkk. (Tim MKPBM, 2001; 233) mengemukakan bahwa "Tutor sebaya adalah siswa yang pandai dan dapat memberikan bantuan belajar kepada siswa yang kurang pandai. Bantuan tersebut dapat dilakukan pada temanteman sekelasnya di luar sekolah". Tugas sebagai tutor merupakan kegiatan yang kaya akan pengalaman yang justru sebenarnya merupakan kebutuhan anak itu sendiri. Dalam persiapan itu antara lain mereka berusaha mendapatkan hubungan dan pergaulan baru yang mantap dengan teman sebaya, mencari perannya sendiri, mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep yang penting, dan mendapatkan tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial. Conny Setiawan ( Junaeda, 2005) menyatakan bahwa pembelajaran yang melibatkan tutor sebaya dipandang sebagai suatu pendekatan dalam proses pengajaran dimana anak didik secara aktif mengembangkan kemampuan dirinya dalam hal: 30
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
1. Mempelajari konsep atau materi dengan penuh pengertian dan kesungguhan hati; 2. Bersifat terbuka, mengembangkan rasa ingin tahu, tekun, disiplin dan kreatif terhadap tugas-tugas yang diberikan; 3. Belajar kelompok dapat mengetahui sifat-sifat dan kemampuan diri dan teman belajar; 4. Memikirkan dan mencoba sendiri konsep-konsep suatu nilai tertentu. Pengajaran dengan tutor tidak menghentikan atau menghilangkan peran guru dalam suatu pengajaran, melainkan membantu guru dalam penanganan siswa yang berkesulitan dalam belajar. Selanjutnya Abu Ahmad (Jumriani, 2004: 9), mengatakan bahwa tutor sebaya melaksanakan pengajaran atas petunjuk guru, pemilihan tutor juga didasarkan atas prestasi, punya hubungan sosial yang baik dan cukup disegani oleh teman temannya, sehingga dalam pelaksanaan pengajaran, siswa berusaha mendapatkan hubungan pergaulan yang baik dengan teman sebayanya. Hubungan antara tutor dengan teman-temannya merupakan interaksi antara kawan, yang mengarah kepada pola tingkah laku mengajar. Menurut Djamarah, manfaat yang diperoleh dari anggota tutoring adalah sebagai berikut: 1. Adakalanya lebih menguntungkan bagi beberapa anak yang mempunyai masalah dengan perasaan enggan dan tak ut bertanya pada guru bidang studi. 2. Bagi tutor, pekerjaan tutoring berakibat positif karena akan memperkuat konsep yang sudah ada pada dirinya dengan memberikan pengajaran kepada temannya maka seolah-olah ia menghafalkan kembali materi pelajaran yang sudah diterima. 31
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
3. Bagi tutor, kegiatan ini merupakan wadah untuk melatih diri memegang tanggung jawab dalam mengembang suatu tugas dan melatih diri dalam kesabaran. 4. Mempererat hubungan antar siswa sehingga mempertebal perasaan sosial. 5. Namun disamping kebaikan tersebut, terdapat beberapa kesulitan dalam pelaksanaan pekerjaan tutoring menurut (Jumriah, 2004: 12) yaitu: 6. Siswa yang diberikan bantuan, sering kurang serius dalam belajar karena beranggapan bahwa mereka hanya berhadapan dengan teman sebaya sehingga hasilnya sering kurang memuaskan; 7. Terdapat beberapa anak kurang percaya diri dan malu untuk bertanya, karena takut kelemahan dan rahasianya diketahui oleh temannya; 8. Pada kelas tertentu, pekerjaan tutoring sukar dilaksanakan karena perbedaan jenis kelamin antara tutoring dengan siswa yang diberikan bantuan; 9. Tidak semua siswa pandai dan mampu menguasai materi dengan cepat untuk mengajarkan kembali kepada temannya. Setting Kooperatif Setting kooperatif adalah pembelajaran kedalam suatu kelompok kecil dimana siswa belajar guna menyelesaikan suatu masalah, yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda-beda di kelompok tersebut. Setiap anggota saling bekerja sama dan membantu memahami suatu pelajaran, model setting kooperatif menuntut kerja sama siswa dan saling ketergantungan dalam struktur tugas dan tujuan. 32
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Setting kooperatif dapat digambarkan seperti dua orang memikul balok. Balok dapat diangkat bersama-sama jika dan hanya jika kedua orang tersebut berhasil memikulnya. Kegagalan dari salah satu keduanya itu berarti kegagalan keduanya. Demikian pula halnya dengan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu kelompok siswa tertentu. Jadi, setting kooperatif dua atau lebih individu saling tergantung satu sama lain untuk menyelesaikan tugasnya sehingga tercapai tujuan pembelajaran bersama. Menurut Slavin (Hadira dkk, 2006: 10) Setting kooperatif mempunyai urutan kegiatan sebagai berikut: 1. Mengajar: mempresentasikan pelajaran 2. Belajar dalam kelompok: siswa bekerja dalam kelompok mereka dengan dipandu oleh lembar kegiatan siswa untuk menuntaskan materi pelajaran 3. Tes: siswa mengerjakan kuis atau tugas lain baik secara kelompok maupun individu 4. Penghargaan kelompok: skor tim dihitung berdasarkan skor peningkatan tiap anggota kelompok, laporan berskala kelas, atau papan pengumuman digunakan untuk memberi penghargaan kepada tim yang berhasil mencetak skor tertinggi. Unsur-unsur Setting Kooperatif 1. Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka "sehidup sepenanggungan bersama". 2. Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama. 3. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu didalam kelompoknya.
33
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
4. Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya. 5. Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompoknya. 6. Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan ketrampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya. 7. Siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani di dalam kelompoknya. Ciri-ciri Setting Kooperatif 1. Siswa bekerja kedalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya. 2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. 3. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras budaya, suku, etnis, jenis kelamin berbeda-beda. 4. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu. Manfaat setting kooperatif Linda Lundgren 1994 (Ibrahim, 2000: 18-19) antara lain : Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas, Rasa harga diri menjadi tinggi, Memperbaiki sikap terhadap materi, guru di sekolah, Memperbaiki kehadiran, Angka putus sekolah menjadi rendah, Penerimaan terhadap individu menjadi besar, Perilaku menganggu menjadi kecil, Komplik antar pribadi berkurang, Mengurangi sikap apatis, Pemahaman yang lebih mendalam, Motivasi lebih besar, Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi.
34
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Pelaksanaan Setting Kooperatif 1. Tugas-tugas perencanaan seperti memilih pendekatan, pemilihan materi yang sesuai, pembentukan kelompok siswa, pengembangan materi dan tujuan, mengenalkan siswa pada tugas dan peran, merencanakan waktu dan tempat. 2. Tugas-tugas interaktif yaitu menyampaikan tujuan pembelajaran, membangkitkan motivasi, menyajikan informasi, mengorganisasikan dan membentuk kelompok belajar, mengevaluasi dan memberikan penghargaan. Aktivitas Guru dalam Setting Kooperatif Terdapat enam sintaks atau tahapan (fase) setting kooperatif yang dibedakan menjadi: (1) Kegiatan Awal yaitu pada fase 1 dan fase 2 pembelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi seringkali dengan bahan bacaan. (2) Kegiatan Inti yaitu pada fase 3 dan fase 4 siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini di ikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk menyesuaikan tugas bersama mereka. (3) Kegiatan Akhir yaitu pada fase 5 dan fase 6 meliputi persentase hasil akhir kerja kelompok, atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Aktivitas guru pada setiap fase tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
35
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Tabel: Langkah-langkah model setting kooperatif Fase Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa.
Tingkah Laku Guru Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase 2 Menyajikan informasi.
Guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Fase 3 Mengorganisasikan siswa kedalam kelompokkelompok belajar.
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Fase 4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar.
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.
Fase 5 Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase 6 Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
Berdasarkan tabel di atas, aktivitas guru di dalam setting kooperatif yang erat kaitannya dengan aktivitas siswa di dalam kelompok kooperatif yaitu pada kegiatan inti. Sehingga aktivitas guru dalam penelitian ini akan difokuskan pada kegiatan inti. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah kegiatan guru selama siswa bekerja di dalam kelompoknya.
36
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Aktivitas Siswa dalam Setting Kooperatif Aktivitas siswa dalam kelas terbagi menjadi dua kegiatan, yaitu kegiatan di dalam tugas (on-task) dan kegiatan di luar tugas (off-task). Di dalam kaitannya dengan aktivitas siswa di dalam tugas dibedakan menjadi dua jenis aktivitas siswa di dalam kelompok kooperatif yaitu Aktifitas Aktif dan Aktifitas Pasif. Kedua jenis aktivitas tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Aktivitas Aktif. Terdapat empat kategori untuk aktifitas aktif, dalam tugas yang dapat diamati seperti berikut ini: Menyelesaikan masalah secara mandiri, Membuat catatan tertulis, Memberi penjelasan, Mengajukan pertanyaan atau menawarkan (meminta bantuan). 2. Aktivitas Pasif. Aktivitas siswa di dalam tugas yang dikategorikan aktivitas pasif adalah Mendengar penjelasan, Membaca materi pelajaran. Selanjutnya aktivitas siswa dikelompokkan ke dalam aktivitas di luar tugas apabila siswa melakukan kegiatan diluar tugas yang dihadapi seperti (1) Siswa mengobrol hal-hal yang tidak berkaitan dengan materi ajar (2) siswa membaca sumber lain yang tidak berkaitan dengan tugas yang dihadapi, atau (3) siswa bermain, tidur-tiduran atau melamun. Setting kooperatif diarahkan untuk mencapai empat kondisi untuk membangkitkan perubahan konseptual berdasarkan pada konstruktivisme yaitu: Orientasi, yaitu pengenalan langkah-langkah yang ingin dihadapi, Pemunculan gagasan yaitu siswa diberikan kesempatan untuk menyatakan secara eksplisit gagasan kepada teman atau gurunya, Penyusunan ulang yaitu perubahan dan perluasan gagasan, meliputi aktivitas yang memberikan kepada siswa untuk saling bertukar pikiran dengan teman-teman sebaya dan membentuk serta menilai 37
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
ide baru, Aplikasi yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan konsep yang baru yang telah dibentuk kedalam konteks yang baru. Secara teoritis, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dengan menerapkan setting kooperatif siswa lebih muda menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Komunikasi antar siswa dalam kelompok kecil dan heterogen akan lebih bermakna, sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dengan menggunakan keterampilan kooperatif. Kesimpulan Berdasarkan pada pembehasan di atas, maka tulisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tujuan pendidikan matematika adalah a) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsistensi; b) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba; c) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah; dan d) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi/ mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan. 2. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, proses pembelajaran harus dirancang dan dilaksanakan dengan aktif, kratif, efektif, dan
38
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
menyenangkan. Dengan demikian, akan dapat dicapai peningkatan hasil belajar matematika siswa. 3. Pembelajaran matematika yang aktif, kratif, efektif, dan menyenangkan dapat dilakukan dengan memanfaatkan tutor sebaya dan melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan setting kooperatif.
39
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Daftar Pustaka Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Ali, Muhammad. 1996. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Darhim. 2006. Peningkatan Profesionalisme Pendidikan Pasca Berlakunya Undang-undang Guru dan Dosen. Makassar : Makalah Seminar Nasional Unismuh. Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran SMP. Jakarta: Puskur, Depdiknas. Djamarah, Bahri dan Zain, Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta Rineka Cipta. Hadirah, dkk. 2006. Implementasi Pembelajaran kooperatif Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Matematika Siswa SMP Negeri I Mandai Kabupaten Maros. Usulan Penelitian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Maros Ibrahim, M., dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Unesa. Jumriani, ST. 2004. Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Tutor Sebaya Siswa Kelas I SMPN 1 Polut, Takalar. Makassar. Skripsi Universitas Muhammadiyah. Junaeda. 2005. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Operasi Hitung Bentuk Aljabar Melalui Pengajaran Remediasi dengan Tutor Sebaya. Makassar. Skripsi FKIP Unismuh. Riyanto, Y. 2001. Metodologi Penelitian. Surabaya: SIC. Suherman, E., dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: IMSTEP. Tim Pelatih Proyek PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika. 2001. Strategi Belajar Mengajar Kontemporer. Bandung: JICA-UPI. 40
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA Oleh: Edi Mulyadin, M.Pd Abstrak : Metode guru dalam mengajar menentukan kualitas hasil belajar mengajar. Metode mengajar guru yang kurang baik akan mempengaruhi hasil belajar siswa yang kurang baik pula. Pembelajaran mestinya tidak dilaksanakan secara konvensional, dimana pembelajaran hanya berpusat pada guru tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggali sendiri pengetahuan yang mereka miliki sehingga siswa menjadi pasif atau kurang aktif. Hal tersebut dapat menyebabkan kebosanan dan ketidakmengertian siswa dalam pembelajaran fisika. Oleh karena itu, guru harus melakukan usaha untuk memperbaiki proses pengajaran yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Salah satu alternatif yang dapat dipilih adalah menerapkan pembelajaran kooperatif dengan two stay two stray pada pembelajaran matematika. Dengan pembelajaran kooperatif dengan two stay two stray memungkinkan siswa belajar lebih aktif sehingga daya kreatif siswa lebih berkembang. Kata Kunci : Prestasi Belajar Siswa, Model Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray
Pendahuluan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menuntut adanya sumber daya yang berkualitas. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan berbagai cara terutama peningkatan mutu guru pada proses pembelajaran di sekolah dalam membimbing siswa menguasai materi pelajaran. Dalam pembelajaran matematika, guru masih kurang inovatif dan kreatif dalam mencari dan menemukan metode 41
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
pembelajaran yang dapat merangsang motivasi belajar siswa. Metode yang digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas hanya menerapkan strategi pembelajaran ekspositoris yaitu salah satu strategi pembelajaran di dalam kelas dimana dalam proses pembelajaran lebih didominasi oleh guru atau guru lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran, sedangkan siswa hanya mendengarkan dan mencatat. Selain itu interaksi antara siswa yang satu dengan siswa yang lain masih kurang kondusif dan tidak ada inisiatif dari siswa yang lain untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahami kepada guru. Siswa masih bersifat pasif, sering hanya mendengar penjelasan dari guru dan tidak mempersiapkan diri dengan baik sebelum pelajaran dimulai. Di samping itu kegiatan belajar mengajar di kelas belum melibatkan seluruh siswa dan bahkan hanya melibatkan siswa tertentu yang aktif belajar. Akibatnya sangat sulit untuk dapat mencapai keberhasilan pembelajaran. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu adanya suatu tindakan yang sesuai dengan kondisi tersebut dalam upaya membantu siswa secara sistematis agar prestasi belajar siswa diharapkan dapat ditingkatkan secara optimal. Salah satu model pembelajaran yang digunakan guru adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki kemampuan heterogen. Model ini selalu mengusahakan agar siswa terlibat dalam masalah-masalah yang dibahas selama pembelajaran. Siswa diprogramkan agar selalu aktif, secara mental maupun fisik. Materi yang disajikan guru, tidak diberitahukan begitu saja dan diterima oleh siswa, namun siswa diusahakan sedemikian rupa hingga mereka memperoleh 42
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
berbagai pengalaman dalam rangka memahami konsep-konsep yang direncanakan oleh guru. Dalam pembelajaran kooperatif dikondisikan siswa lebih banyak belajar dari satu teman ke teman yang lain dari pada belajar dengan guru sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator. Two stay two stray (dua tinggal dua tamu) merupakan salah satu teknik dalam pembelajaran kooperatif. Dalam Two stay two stray, siswa tidak hanya bekerja sama dengan anggota kelompoknya tetapi kelompok diberikan kesempatan untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray menempatkan siswa tidak hanya menjadi obyek semata tetapi juga menjadi subyek yang aktif dalam pembelajaran. Siswa dituntut berdiskusi dengan kelompoknya untuk menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan materi pelajaran. Kemudian siswa diberikan kesempatan untuk menyampaikan hasil diskusinya dengan kelompok lain sehingga hasil yang diperoleh bisa lebih lama dalam ingatan dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian pemahaman siswa terhadap konsep materi lebih optimal yang akhirnya memberikan pengaruh positif terhadap prestasi siswa. Konsep Belajar dan Pembelajaran Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri (Syah, 1995:89). 43
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik khususnya para guru. Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang bermutunya hasil pelajaran (proses mempelajari materi) yang dicapai oleh peserta didik (Syah, 1995:89). Menurut Skinner seperti yang dikutip Barlow (1985), dalam Syah (1995:90) dalam bukunya Educational Psycology: The Teaching Learning Process, berpendapat bahwa ”belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif”. Chaplin dalam Dictionary of Psycology membatasi belajar dengan dua rumusan. Rumusan pertama berbunyi: “… acquitision of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and experience”. Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat dari latihan dan pengalaman. Rumusan keduanya: “Process of acquiring responses as a result of special practice”, belajar ialah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus (Syah, 1995:90). Hintzman dalam bukunya The Psycology of Learning and Memory berpendapat: Learning is a change in organism due to experience which can effect the organism’s behavior. Artinya, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia dan hewan) yang disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Jadi, dalam pandangan Hinztman, perubahan yang ditimbulkan oleh
44
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme (Syah, 1995: 90). Bertolak dari definisi yang telah diutarakan di atas, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (Syah, 1995: 92). Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pengajaran di mana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerjasama untuk memahami bahan pembelajaran. Belajar belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pembelajaran. Model ini dikembangkan berdasarkan teori belajar kognitif-konstruktivis. Selain dikembangkan untuk mencapai hasil belajar akademik, model ini juga efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Tujuan lain dari pembelajaran ini adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi.”(Depdiknas dalam Nursepliana, 2007 : 12-13). Menurut Lie (2002:43 ) ciri khas pembelajaran kooperatif ialah kelompok yang dibentuk bersifat heterogen. Secara umum kelompok heterogen disukai oleh para guru yang telah menggunakan pembelajaran kooperatif karena beberapa alasan, yaitu pertama, kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar dan mendukung; kedua, kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, etnik, dan gender, dan yang terakhir, kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas 45
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru dapat mendapat satu asisten. Dalam penerapan pembelajaran kooperatif, dua atau lebih siswa akan saling tergantung satu sama lain untuk mencapai satu penghargaan/ prestasi belajar. Pada dasarnya model cooperatif learning dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran, menurut Ibrahim (dalam Isjoni, 2007:27-28) adalah 1. Hasil belajar akademik. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik dan membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit, serta meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. 2. Penerimaan terhadap perbedaan individu. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk saling bergantung satu sama lain dan melalui penggunaan struktur penghargaan belajar untuk menghargai satu sama lain. 3. Pembelajaran keterampilan sosial. Tujuan penting yang ketiga dari pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini sangat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat
Keunggulan dari strategi pembelajaran kooperatif adalah membantu siswa memahami konsep-konsep sulit dan membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerja sama. Sedangkan kelemahan dari pembelajaran kooperatif adalah Menurut Lie (2002:47) agar kelompok kerja secara efektif dalam proses pembelajaran kooperatif, masing-masing anggota kelompok (siswa) perlu memiliki semangat kerja sama gotong royong.
46
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Berdasarkan tujuan-tujuan di atas disimpulkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, siswa akan diajak belajar dari pengalaman mereka dan berpartisipasi aktif dalam kelompok kecil. Selain itu juga membantu siswa belajar keterampilan sosial sementara itu secara bersamaan mengembangkan sikap demokrasi dan keterampilan berpikir logis. Menurut Isjoni (2007:46), Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk memperlancar hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan. Keterampilan-keterampilan selama kooperatif tersebut antara lain, menurut Lungdren (dalam Isjoni, 2007 : 4648) sebagai berikut : 1. Keterampilan Kooperatif tingkat Awal, antara lain: (a) Menggunakan Kesepakatan. Yang dimaksud dengan menggunakan kesepakatan adalah menyamakan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja dalam kelompok. (b) Menghargai Kontribusi. Menghargai berarti memperhatikan atau mengenal apa yang dapat dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju dengan anggota lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan terhadap ide dan tidak individu. (c) Mengambil giliran dan berbagi tugas. Pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia mengemban tugas/tanggung jawab tertentu dalam kelompok. (d) Berada dalam kelompok. Maksudnya di sini adalah setiap anggota tetap dalam kelompok kerja selama kegiatan berlangsung. (e) Berada 47
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
dalam tugas. Yang dimaksud berada dalam tugas adalah meneruskan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, agar kegiatan dapat terselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan. (f) Mendorong partisipasi. Mendorong partisipasi berarti mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok. (g) Mengundang orang lain. Maksudnya adalah meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi terhadap tugas. (h) Menyelesaikan tugas dalam waktunya. 2. Keterampilan Tingkat Menengah. Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diteria, mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi ketegangan. 3. Keterampilan Tingkat Mahir. Keterampilan tingkat mahir meliputi mengolaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan dan berkompromi. Guru dalam proses pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting. Adapun peranan guru dalam pembelajaran kooperatif (Isjoni, 2007 :62-64) adalah 1. Sebagai Fasilitator. Sebagai fasilitator seorang guru harus memiliki sikap-sikap sebagai berikut : Mampu menciptakan suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan, Membantu dan mendorong siswa untuk mengungkapkan dan menjelaskan keinginan dan pembicaraannya baik secara individual maupun kelompok, Membantu kegiatan-kegiatan dan menyediakan sumber atau peralatan serta membantu kelancaran belajar mereka, Membina siswa agar setiap orang merupakan sumber yang bermanfaat bagi yang lainnya, Menjelaskan tujuan 48
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
kegiatan pada kelompok dan mengatur penyebaran dalam bertukar pendapat. 2. Sebagai Mediator. Sebagai mediator, guru berperan sebagai Penghubung dalam menjembatani mengaitkan materi pembelajaran yang sedang dibahas melalui cooperative learning dengan permasalahan yang nyata ditemukan di lapangan, Menyediakan sarana pembelajaran, agar suasana belajar tidak monoton dan membosankan, sehingga dengan kreativitasnya, guru dapat mengatsi keterbatasan sarana sehingga tidak menghambat suasana pembelajaran di kelas. 3. Sebagai Director-Motivator. Sebagai director-motivator, guru berperan: Membimbing serta mengarahkan jalannya diskusi, Membantu kelancaran diskusi tapi tidak memberikan jawaban, Pemberi semangat pada siswa untuk aktif berpartisipasi, Menciptakan iklim yang kondusif, agar terjalin interaksi dan dialog yang hangat, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa lainnya. 4. Sebagai Evaluator. Sebagai evaluator, guru berperan dalam menilai kegiatan belajar mengajar yang sedang berlangsung, dimana penilaian ini tidak hanya ditekankan pada hasil tapi lebih ditekankan pada proses pembelajaran. Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu) Pembelajaran dengan metode two stay two stray diawali dengan pembagian kelompok. Setelah kelompok terbentuk guru memberikan tugas berupa permasalahan-permasalahan yang harus mereka diskusikan jawabannya. Setelah diskusi intra kelompok usai, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan 49
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
kelompoknya untuk bertamu kepada kelompok yang lain. Anggota kelompok yang tidak mendapat tugas sebagai duta (tamu) mempunyai kewajiban menerima tamu dari hasil kerja kelompoknya kepada tamu tersebut. Dua orang yang bertugas sebagai tamu diwajibkan bertamu kepada semua kelompok. Jika mereka telah usai menunaikan tugasnya, mereka kembali ke kelompoknya masing-masing. Setelah kembali ke kelompok asal, baik peserta didik yang bertugas bertamu maupun mereka yang bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas hasil kerja yang telah mereka tunaikan (Suprijono,2008 :93). Menurut Lie (2002 : 62), langkah-langkah pembelajaran two stay two stray adalah sebagai berikut: 1. Siswa bekerja sama dalam kelompok seperti biasa 2. Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok akan meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu kedua kelompok yang lain. 3. Dua orang yang tinggal dalam kelompok (stayer) bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka (strayer). 4. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dengan kelompok lain. 5. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka. Berdasarkan uraian langkah-langkah pembelajaran di atas, dapat dikemukakan sintak model pembelajaran kooperatif dengan tipe two stay two stray sebagai berikut:
50
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Tabel: Sintak model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two stay two stray Fase Tingkah Laku Guru Fase 1 Guru menyampaikan semua tujuan Menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai dan dan memotivasi siswa memotivasi siswa belajar Fase 2 Guru menyajikan informasi pada siswa Menyajikan informasi dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan Fase 3 Guru menjelaskan pada siswa Mengorganisasikan bagaimana caranya membentuk siswa kedalam kelompok dan kerja sama kelompok kelompok-kelompok maupun antar kelompok serta belajar dengan tipe menjelaskan fungsi two stay two stray teknik two stya two dalam pembelajaran stray Fase 4 Guru membimbing kelompok-kelompok Membimbing baik pada saat proses belajar mengajar kelompok bekerja dan maupun pada saat stayer (orang yang belajar tinggal) mengalami kesulitan dalam membimbing strayer (orang yang pergi) Fase 5 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang Evaluasi materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase 6 Guru mencari cara-cara untuk Memberikan mengahargai baik upaya maupun hasil penghargaan belajar individu dan kelompok Prestasi Belajar Belajar adalah suatu perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu 51
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya (Usman, 1993:4). Menurut Djamarah (1994 : 23) prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar. Sedangkan Dirawat (dalam Anggraeni, 2008 : 22) menjelaskan bahwa prestasi belajar ditentukan pada apa yang telah dicapai oleh siswa setelah berakhirnya suatu tahap belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu. Prestasi belajar adalah salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam proses belajar. Proses belajar dalam diri siswa dapat dikatakan baik apabila dalam diri siswa terjadi perubahan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu yang dinyatakan dalam bentuk angka atau nilai. Selain itu, dengan mengetahui prestasi belajar siswa, guru dapat menentukan kedudukan siswa dalam kelas apakah ia pandai, sedang atau kurang. Kesimpulan Salah satu alternatif yang dapat dipilih adalah menerapkan pembelajaran kooperatif dengan two stay two stray pada pembelajaran matematika. Dengan pembelajaran kooperatif dengan two stay two stray memungkinkan siswa belajar lebih aktif sehingga daya kreatif siswa lebih berkembang. Di samping itu, dari segi sosial dapat memberikan rasa tanggung jawab yang lebih besar dan sifat kepemimpinan pada siswa sehingga dapat memenuhi kebutuhan siswa secara optimal. Pembelajaran dengan 52
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
two stay two stray memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling bekerja sama dengan siswa lain (berkelompok). Dengan bekerjasama dalam kelompok dan bekerja sama dengan kelompok lain, siswa diharapkan dapat saling membantu untuk memahami konsep-konsep yang sulit dikuasai ketika mereka hanya mendengarkan penjelasan guru. Siswa kebanyakan lebih cepat memahami suatu materi jika berdiskusi dengan temannya dibandingkan hanya mendengarkan penjelasan guru. Hal ini dapat mendorong siswa ikut berpartisipasi aktif dalam proses belajar mengajar serta membantu meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa terhadap matematika. Dengan demikian penggunaan pembelajaran kooperatif dengan two stay two stray diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
53
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Daftar Pustaka Anggraeni,Desak Made. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Dengan Teknik Mencari Pasangan (Make-A-Match) Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas VII Smp Negeri 18 Mataram Tahun Ajaran 2008/2009. Mataram: FKIP UNRAM Arikunto, Suaharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, S.B. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional Isjoni. 2007. Cooperative Learning. Pekanbaru: Alfabeta Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. Jakarta : Gramedia Nurseplina, Baiq zulfa. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS) Terhadap Motivasi Belajar Siswa Di Smp Negeri 9 MataramTahun Ajaran 2006/2007. Mataram: FKIP UNRAM Subana,M. Sudrajat. 2005. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka setia Suprijono, Agus. 2008. Cooperative Learning. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Syah,M. 1995. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya Usman,M.U. 1993. Upaya optimalisasi kegiatan belajar mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya
54
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL PAKEM DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA Oleh: Dusalan, S.Pd. M.Pd Abstrak : Pembelajaran matematika merupakan salah satu pembelajaran yang dianggap sulit bagi sebagian besar siswa. Hal tersebut terjadi karena matematika memiliki konsep yang abstrak sehingga sulit untuk dihubungkan dalam kehidupan seharihari. Berkaitan dengan persoalan tersebut, proses pembelajaran perlu didesain dengan menggunakan berbagai media pembelajaran, salah satunya adalah alat peraga. Penggunaan alat peraga yang tepat dapat menjadikan pelaksanaan proses pembelajaran secara aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Kata Kunci : Pembelajaran Matematika, Model PAKEM, Alat Peraga
Pendahuluan Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas. Salah satu kekhasannya adalah bersifat abstrak, karena kekhasannya tersebut sering sekali matematika dikeluhkan sebagai materi yang sulit. Matematika juga merupakan ilmu pengetahuan yang memberikan andil yang sangat besar dalam kemajuan bangsa. Mengingat peranan matematika yang penting itu, maka siswa dituntut untuk menguasai pelajaran matematika secara tuntas disetiap satuan dan jenjang pendidikan. Dalam rangka menghadapi perubahan paradigma pembelajaran dari metode konvensional yang meletakkan guru sebagai subyek pembelajaran dan siswa sebagai obyek 55
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
pembelajaran sehingga siswa bersikap pasif, mendengarkan, dan mencatat pelajaran, kepada metode konstruktivis yang meletakkan siswa sebagai subyek pembelajaran dan guru hanya bertindak sebagai fasilitator, yang bertugas membimbing dan mengarahkan siswa sehingga siswa sendirilah yang aktif mengkonstruksi pengetahuan dengan jalan mengamati, menelusuri, serta menemukan dan membuat generalisasi tentang konsep yang diajarkan. Maka pelaksanaan pembelajaran matematika mestinya dilaksanakan secara menyenangkan, salah satu metode yang digunakan adalah metode PAKEM. Dalam metode tersebut, guru dituntut untuk melaksanakan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pelaksanakan pembelajaran dengan memenuhi prinsip-prinsip PAKEM tersebut diantaranya dapat menggunakan alat peraga sebagai salah satu media pembelajaran. Pembelajaran Matematika Kita sadari bersama bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang kurang disukai anak. Hal ini sangat disadari oleh guru. Namun demikian masih banyak guru yang belum secara maksimal mencari upaya agar keadaan demikian dapat berkurang atau bahkan berubah. Bruner (dalam Faisal, 2011) menyatakan bahwa anak dalam belajar konsep matematika melalui tiga tahap, yaitu enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enactive yaitu tahap belajar dengan memanipulasi benda atau obyek konkret, tahap econic yaitu tahap belajar dengan menggunakan gambar, dan tahap symbolic yaitu tahap belajar matematika melalui manipulasi lambang atau simbol.
56
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Teori Bruner tentang belajar perlu kita simak untuk lebih memberikan pemahaman kita tentang belajar berikut : “Bruner tidak mengembangkan suatu teori belajar yang sistematis. Yang penting baginya ialah bagaimana cara-cara orang memilih, mempertahankan dan mentransformasikan informasi secara aktif, dan inilah menurut Bruner inti dari belajar. Pendekatan Bruner terhadap belajar dilakukan pada dua asumsi. Asumsi pertama ialah, bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan, tetapi juga dalam diri orang itu sendiri. Asumsi kedua ialah bahwa orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya. Menurut Hudoyo (dalam Faisal, 2011) menyatakan bahwa belajar matematika merupakan proses membangun/mengkonstruksi konsep-konsp dan prinsip-prinsip, tidak sekedar penggrojokan yang terkesan pasif dan statis, namun belajar itu harus aktif dan dinamis. Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivis yaitu suatu pandangan dalam mengajar dan belajar, dimana peserta didik membangun sendiri arti dari pengalamannya dan interaksi dengan orang lain. Sedangkan menurut Piaget (dalam Indrawati dan setiawan, 2009) taraf berpikir anak seusia SD adalah masih konkret operasional, artinya untuk memahami suatu konsep anak masih harus diberikan kegiatan yang berhubungan dengan benda nyata atau kejadian nyata yang dapat diterima akal mereka. Demikian pula Z.P. Dienes (dalam Faisal, 2011) berpendapat bahwa setiap konsep atau prinsip matematika dapat dimengerti secara sempurna hanya jika pertama-tama disajikan kepada peserta didik dalam 57
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
bentuk konkret. Sehingga dapatlah dimengerti bahwa Dienes menekankan betapa pentingnya memanipulasi obyek-obyek dalam pembelajaran matematika. Hakekat Model PAKEM Dalam PAKEM terdapat empat pilar utama yaitu “A”: Aktif, “K”: Kreatif, “E”: Efektif dan “M”: Menyenangkan, sedangkan huruf “P” merupakan pembelajaran yang didefinisikan sebagai pengorganisasian, penciptaan atau pengaturan suatu kondisi lingkungan yang sebaik-baiknya yang memungkinkan terjadinya belajar pada peserta didik belajar, Menurut Indrawati dan setiawan (2009) adapun maksud Pilar-pilar PAKEM sebagai berikut : 1. Aktif. Untuk menciptakan pembelajaran aktif, beberapa penelitian Uno Hamzah, menemukan salah satunya adalah anak belajar dari pengalamannya, selain anak harus belajar memecahkan masalah yang dia peroleh. pembelajaran memungkinkan siswa berinteraksi secara aktif dengan lingkungan, memanipulasi objek-objek yang ada di dalamnya serta mengamati pengaruh dari manipulasi yang sudah dilakukan. Guru terlibat secara aktif dalam merancang, melaksanakan maupun mengevaluasi proses pembelajarannya. Guru diharapkan dapat menciptakan suasana yang mendukung (kondusif) sehingga siswa aktif bertanya. 2. Kreatif Berpikir kreatif tidak akan lahir secara tiba-tiba tanpa adanya kemampuan. Keingintahuan yang tinggi dan diikuti dengan keterampilan dalam membaca. Seperti yang diungkapkan oleh Porter & Hernacki bahwa seorang yang kreatif slalu mempunyai rasa ingin tahu, ingin mencoba-coba bertualang secara intuitif. 58
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Sehingga berpikir kreatif berarti berusaha untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan melibatkan segala tampakan dan fakta pengolahan data di otak. 3. Efektif Pembelajaran efektif Maksudnya pembelajaran yang memiliki makna, berdampak, menbawa pengaruh, memiliki akibat dan membawa hasil pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. 4. Menyenangkan Pembelajaran yang Menyenangkan maksud pembelajaran dirancang untuk menciptakan suasana yang menyenangkan. Menyenangkan berarti tidak membelenggu, sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada pembelajaran, dengan demikian waktu untuk mencurahkan perhatian (time of task) siswa menjadi tinggi. Dengan demikian diharapkan siswa dapat meningkatkan hasil belajarnya. Sehubungan dengan ciri menyenangkan dalam PAKEM, Uno, (2011) mengatakan bahwa pembelajaran yang menyenangkan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a) Menciptakan lingkungan tanpa stress (relaks), lingkungan yang aman untuk melakukan kesalahan, namum harapan untuk sukses tetap tinggi. b) Menjamin bahwa bahan ajar itu relevan. Anda ingin belajar ketika Anda melihat manfaat dan pentingnya bahan ajar. c) Menjamin bahwa belajar secara emosional adalah positif, yang pada umumnya hal itu terjadi ketika belajar dilakukan bersama orang lain, ketika ada humor dan dorongan semangat, waktu rehat dan jeda teratur serta dukungan antusias. 59
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
d) Melibatkan secara sadar semua indera dan juga pikiran otak kiri dan otak kanan. e) Menantang peserta didik untuk dapat berpikir jauh ke depan dan mengekspresikan apa yang sedang dipelajari dengan sebanyak mungkin kecerdasan yang relevan untuk memahami bahan ajar. Alat Peraga Alat peraga merupakan bagian dari media, oleh karena itu istilah media perlu dipahami lebih dahulu sebelum dibahas mengenai pengertian alat peragalebih lanjut. Media pengajaran diartikan sebagai semua benda yang menjadi perantara terjadinya proses belajar, dapat terwujud sebagai perangkat lunak maupun perangkat keras, berdasarkan fungsinya media pengajaran dapat berbentuk alat peraga. Wolfolk, (2009) alat peraga matematika merupakan media pembelajaran yang mengandung atau membawakan ciri-ciri konsep yang dipelajari. Contoh : papan tulis, buku tulis, dan daun pintu yang berbentuk persegipanjang dapat berfungsi sebagai alat peraga pada saat guru menerangkan bangun datar dalam persegi panjang. Menurut Suharjana (2002) alat Peraga adalah seperangkat benda konkret yang dirancang, dibuat, dihimpun, atau disusun sengaja yang digunakan untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam matematika. Fungsi utama alat peraga adalah untuk menurunkan keabstrakan dari konsep, agar anak mampu menangkap arti sebenarnya dari konsep yang dipelajari. Dengan melihat, meraba, dan memanipulasi alat peraga maka anak mempunyai pengalaman nyata dalam kehidupan tentang arti konsep. Sedangkan sarana 60
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
merupakan media pembelajaran yang fungsi utamanya sebagai alat bantu untuk melakukan pembelajaran. Dengan menggunakan sarana tersebut diharapkan dapak memperlancar pembelajaran. Contoh : papan tulis, jangka, penggaris, lembar tugas (LT), lembar kerja (LK), dan alat-alat permainan. Secara umum fungsi alat peraga adalah : (1) sebagai media dalam menanamkan konsep-konsep matematika, (2) sebagai media dalam memantapkan pemahaman konsep, dan (3) sebagai media untuk menunjukkan hubungan antara konsep matematika dengan dunia di sekitar kita serta aplikasi konsep dalam kehidupan nyata. Bentuk Pembelajaran Matematika Model PAKEM dengan menggunakan Alat Peraga. Untuk keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan, sebelumnya siswa dilatih cara konsentrasi, ketelitian, kesabaran, ketekunan, keuletan , peningkatan daya ingat serta belajar dengan metode bayangan. Disamping itu siswa dapat melakukan ”SSN” (Senyum, Santai dan Nikmat) yang artinnya siswa dapat melakukan dengan senyum (dalam hati) berarti senang dalam proses kegiatan pembelajaran, Santai berarti siswa dapat mengikuti kegiatan pembelajaran tidak tegang/stress serta siswa dapat menikmati kegiatan pembelajaran. Dengan proses tersebut akhirnya siswa dapat menguasai materi sesuai yang diharapkan dengan benar. Latihan ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara atau dalam bentuk permainan (games), misalnya menghitung huruf ”a” pada satu (lebih) paragrap dengan beberapa kalimat, latihan membayangkan diri sendiri. Disamping itu Guru harus selalu 61
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
memberikan motivasi kepada semua siswa bahwa pelajaran tidak ada yang sulit, semua siswa akan mampu menguasai materi tersebut dengan baik. Hindarilah menakut-nakuti atau menyampaikan, bahwa pelajarannya sangat sulit, hal ini akan mengurangi motivasi siswa untuk belajar, seolah-olah kemampuan otaknya tidak mampu untuk menerimanya/seolah-olah otaknya tertutup untuk menerimanya, karena pelajaran sangat dipandang sulit. Ada Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM (Suharjana, 2002) yaitu : 1. Memahami sifat yang dimiliki anak Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia ”selama mereka normal” terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat, anugerah Tuhan, tersebut. 2. Mengenal anak secara perorangan Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAKEM perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal. 62
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
3. Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang. Penggunaan Alat Peraga sebagai Media Pembelajaran Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan alat peraga sebagai media pembelajaran (Pujiati, 2004), antara lain: a) Memberikan kemampuan berpikir matematika secara kreatif. Bagi sebagian anak, matematika tampak seperti suatu sistem yang kaku, yang hanya berisi simbol-simbol dan sekumpulan dalil-dalil untuk dipecahkan. Padahal sesungguhnya matematika memiliki banyak hubungan untuk mengembangkan kreatifitas. b) Suasana pembelajaran matematika di kelas haruslah sedemikian rupa, sehingga para peserta didik dapat menyukai pelajaran tersebut. Suasana semacam ini merupakan salah satu hal yang dapat membuat para peserta didik memperoleh kepercayaan diri akan kemampuannya dalam belajar matematika melalui pengalaman-pengalaman yang akrab dengan kehidupannya. c) Menunjang matematika di luar kelas, yang menunjukkan penerapan matematika dalam keadaan sebenarnya. Peserta didik 63
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
dapat menghubungkan pengalaman belajarnya dengan pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan keterampilan masing-masing mereka dapat menyelidiki atau mengamati benda-benda di sekitarnya, kemudian mengorganisirnya untuk memecahkan suatu masalah. d) Memberikan motivasi dan memudahkan abstraksi. Dengan alat peraga diharapkan peserta didik lebih memperoleh pengalamanpengalaman yang baru dan menyenangkan, sehingga mereka dapat menghubungkannya dengan matematika yang bersifat abstrak. Dari uraian diatas diharapkan dengan bantuan penggunaan alat peraga dalam pembelajaran dapat memberikan permasalahanpermasalahan menjadi lebih menarik bagi anak yang sedang melakukan kegiatan belajar. Karena penemuan-penemuan yang diperoleh dari aktivitas anak biasanya bermula dari munculnya halhal yang merupakan tanda tanya, maka permasalahan yang diselidiki jawabannya itu harus didasarkan pada obyek yang menarik perhatian anak. Jadi bila memungkinkan hal itu haruslah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan yang mengarah pada bahan diskusi dalam berbagai cabang penyelidikan, misalnya dari buku, dari guru atau bahkan dari anak sendiri. Hal itu dapat ditentukan melalui peragaan dari guru dan diskusi yang melibatkan seluruh kelas atau oleh kelompok kecil/seorang anak yang bekerja dengan lembar kerja. Dengan menggunakan suatu lembar kerja, mereka dapat menggunakan bahan-bahan yang dirancang untuk mengarahkan dalam menjawab pertanyaan yang akan membantu mereka menemukan suatu jawaban yang dimaksudkan pada arti pertanyaannya. Oleh karena itu sebaiknya setiap alat peraga
64
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
dilengkapi dengan kartu-kartu atau lembar kerja atau petunjuk penggunaan alat untuk menjawab permasalahan. Kesimpulan Peningkatan kualitas sumber daya manusia haruslah menjadi prioritas dalam pembangunan nasional kita. Itu berarti pembangunan dunia pendidikan harus mendapatkan perhatian yang serius, komitmen yang kuat dan tindakan nyata dari seluruh stakeholder. Pembangunan dunia pendidikan memang harus dilakukan secara sistemik, melalui pembenahan berbagai sektor yang terkait. Khusus untuk pembangunan pendidikan formal (sekolah), semua perbaikan yang dilakukan harus mengarah dan mendukung pada peningkatan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan di ”kelas”. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah ada pada proses pembelajaran. Kualitas proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi antara siswa dengan sumber belajar. Artinya kualitas pembelajaran dikatakan baik apabila para siswanya secara aktif melakukan berbagai kegiatan untuk mengembangkan dirinya secara utuh (kognitif, afektif, dan psikomotorik) melalui interaksinya dengan berbagai sumber belajar. Untuk dapat terjadi seperti itu perlu diciptakan lingkungan dan suasana belajar yang mendukung, yaitu lingkungan yang mendorong anak untuk melakukan eksplorasi pada lingkungannya; memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara divergen, kritis, kreatif, dan inovatif; dan melatih anak untuk bekerja baik secara individu, klassikal, maupun kelompok (group) untuk mendorong peserta didik belajar mengenal dirinya maupun lingkungan yang menunjang agar peserta didik aktif kreatif dan menyenangkan dalam proses pembelajaran tanpa tekanan dari 65
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
apapun, Salah satunya dengan menggunakan model PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
66
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Daftar Pustaka Faisal, dkk. 2011. Pembelajaran Aktif inovatif Kreatif Efektif dan Menyenangkan. Universitas Negeri Malang Indrawati dan setiawan, 2009. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Jakarta: PPPPTK IPA Pujiati. 2004. Penggunaan alat peraga dalam pembelajaran Matematika SMP. Yogyakarta: PPPG Matematika Suharjana, Agus. 2002. Peraga Matematika untuk Penanaman Konsep dalam Pengajaran Luas Daerah Bidang Datar. Yogyakarta: PPPG Matematika _________., 2008, Pengenalan Bangun Datar dan Sifat-Sifatnya di SD. Yogyakarta: PPPG Matematika Wolfolk, Anita, 2009. Educational psychology Bagian Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Uno, dkk. 2011. Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Jakarta: Bumi Aksara.
67
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM MEMPELAJARI MATEMATIKA Oleh: B. Erdiansyah P. ST.M.Eng Abstrak
: Salah satu kemampuan yang penting dan diharapkan dikuasai oleh siswa adalah kemampuan menyelesaikan soal-soal matematika dengan benar. Dalam hal ini banyak dijumpai kesulitan siswa dan seringnya melakukan kesalahan saat menyelesaikan soal-soal. Kesulitan yang dialami oleh siswa pada jenjang pendidikan dasar maupun jenjang perguruan tinggi merupakan hal yang menarik untuk ditelusuri. Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran terutama kepada guru-guru dalam pembelajaran matematika agar mampu menemukenali akan kesulitankesulitan yang dialami siswa sehingga dapat dipecahkan dengan cepat dan tepat.
Kata Kunci : Analisis, Kesulitan, Matematika
Pendahuluan Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional, pemerintah telah memajukan bangsa Indonesia melalui pembangunan dari berbagai sektor. Salah satu sektor pembangunan adalah bidang pendidikan (Ahmadia, 2003). Titik berat pembangunan di bidang ini terutama mengacu pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenyataan ini menunjukan pada saat sekarang, bahwa sudah banyak hal yang bersifat rahasia secara ilmiah tersingkap oleh IPTEK yang sangat modern. Dalam kehidupan sekolah, matematika memegang peranan penting karena matematika adalah salah satu mata pelajaran dasar yang diperlukan peserta didik untuk menunjang keberhasilan belajarnya dalam menempuh pendidikan 68
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
yang lebih tinggi, bahwa matematika di dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan sebagai alat bantu dalam mengembangkan disiplin ilmu lainnya. Mengingat peranan matematika yang begitu penting maka matematika diajarkan pada setiap pendidikan formal dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Dalam bidang pendidikan, peranan penguasaan matematika dalam menunjang keberhasilan pembangunan adalah sangat besar, karena pendidikan matematika tidak hanya memungkinkan seseorang dapat menggunakan matematika dalam berbagai aspek kehidupan keseharian, tetapi juga menumbuhkan kemampuan yang dapat digunakan di masa yang akan datang. Salah satu wacana pendidikan dengan memegang peranan penting dalam perkembangan sumber daya manusia, matematika sebagai ilmu dasar yang merupakan tiang penopang perkembangan IPTEK tergantung pada tingkat pengetahuan dan pengaplikasian matematika (Hamsina, 2005). Salah satu kemampuan yang penting dan diharapkan dikuasai oleh siswa adalah kemampuan menyelesaikan soal-soal matematika dengan benar (Karniati. 2005). Dalam hal ini banyak dijumpai kesulitan siswa yaitu seringnya melakukan kesalahan saat menyelesaikan soal-soal. Kesulitan yang dialami oleh siswa pada jenjang pendidikan dasar maupun jenjang perguruan tinggi merupakan hal yang menarik untuk ditelusuri, jika masa bodoh untuk tidak peduli terhadap kesulitan yang mereka alami akan sangat fatal pengaruhnya dan berakibat terjadinya anggapan bahwa matematika merupakan momok bagi mereka. Apabila kesulitan siswa pada mempelajari matematika dibiarkan berlanjut maka keinginan dan minat siswa dalam mempelajari matematika akan 69
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
hilang. Berdasarkan hal tersebut, penulis akan mengungkapkan tentang kesulitan belajar yang dialami siswa, faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta bagaimana mengatasi kesulitan belajar matematika tersebut. Konsep Belajar Belajar merupakan salah satu proses kegiatan yang ditandai dengan terjadinya perubahan dalam hal pengetahuan, pemahaman, keterampilan serta sikap dan tingkah laku. Winkel (Karniati, 2005) mengemukakan bahwa Belajar pada manusia merupakan suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif subjek dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan dalam keterampilan. Selanjutnya Slameto (Karniati, 2005) mengemukakan pengertian belajar bahwa Belajar adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku secara kesulitan, sebagai hasil pengamatan individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan dari pendapat-pendapat di atas maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang dapat membawa perubahan secara sadar pada diri seseorang ketingkat yang lebih baik terutama dari segi pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dengan kata lain belajar itu merupakan suatu aktivitas yang bertujuan, belajar juga mempunyai kaitan yang sangat kompleks dengan berbagai faktor, baik faktor yang berasal dari individu maupun dari kondisi sosial, ekonomi serta lingkungan dimana individu itu berada.
70
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Kesulitan Belajar Berbicara tentang matematika, maka pemikiran berfokus pada suatu perubahan namun pada kenyataannya bahwa belajar itu terkadang mendapat kesulitan, hambatan dan tantangan yang dengan sendirinya memerlukan suatu analisis pemecahan masalah dan bantuan orang lain. Kesulitan belajar adalah keadaan yang sulit memperoleh suatu kepandaian ilmu atau sebagai suatu kondisi dalam proses yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai prestasi belajar (Masaban, 1998). Kesulitan belajar juga dapat dianalogikan dengan “ketidakmampuan dalam belajar”. Pengertian hal ini mengacu pada gejala dimana anak tidak mampu belajar, menghindari belajar, sebagai hasil belajar yang dicapai berada di bawah potensi intelektualnya. Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik yang memuaskan (Partowisastro, 1982). Namun dari kegiatan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seseorang siswa dengan siswa lainnya. Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah pada umumnya hanya ditujukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian, siswa yang berkategori “di luar rata-rata” itu (sangat pintar dan sangat bodoh) tidak mendapatkan kemampuan yang memadai untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah apa yang disebut kesulitan belajar yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah tetapi juga berkemampuan tinggi. Selain 71
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
itu, kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata-rata (normal) disebabkan faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan. Faktor-faktor Kesulitan Belajar Fenomena kesulitan belajar seseorang siswa biasanya tampak jelas dari menurun kinerja akademik atau prestasi belajar, namun kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan menurunnya kelainan perilaku siswa seperti kesukaan berteriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah dan sering minggat dari sekolah. Secara garis besar faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri dari 2 macam (Yahya, 2001) sebagai berikut: 1. Faktor Intern Siswa Hal-hal atau kesadaran-kesadaran yang muncul dari dalam dari siswa sendiri. Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan fisik-fisik siswa yakni : a) Yang bersifat kognitif (rana cipta), antara lain seperti rendah kapasitas intelektual/intelegensi siswa. b) Yang bersifat afektif (rana rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap. c) Yang bersifat psikomotor (raba karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indra penglihatan dan pendengar (mata/telinga). 2. Faktor Ekstern Siswa Faktor ekstern siswa meliputi semua siswa situasi dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa, faktor ini dapat dibagi 3 macam (Yohanes, 2004), antara lain: 72
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
a) Lingkungan keluarga, contohnya : ketidakharmonisan hubungan orang tua dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga. b) Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya : wilayah perkampungan kumuh, teman sepermainan. c) Lingkungan sekolah, contohnya : kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru dan alat-alat belajar yang berkualitas rendah. Kesulitan Yang Dialami Siswa Dalam menyelesaikan Soal-soal Matematika Kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal matematika merupakan penyimpangan terhadap hal-hal yang benar. Kesulitan tersebut disebabkan oleh rendahnya frekuensi belajar peserta didik dan kurang dikuasainya materi persyaratan dalam memahami atau mempelajari materi/pokok bahasan selanjutnya (Sardiman, 1986). Dalam proses belajar pada semua jenjang pendidikan siswa mempunyai tingkat intelegensi dan mempunyai karakter berbeda sehingga peserta didik kurang dapat menyerap dan memahami materi yang diberikan. Keberhasilan siswa dalam belajar matematika sangat diperlukan oleh banyak sedikitnya kesulitan yang dialami oleh siswa pada saat mengerjakan soal matematika (Syah, 1995). Olehnya itu, cara belajar yang baik akan menentukan prestasi belajar siswa. Demikian pula bakat dan minat sehingga yang mempunyai bakat terhadap pelajaran matematika tidak terlalu sulit untuk mempelajarinya. Dalam mempelajari atau menjawab soalsoal matematika siswa cenderung kurang memperhatikan urutanurutan penyelesaian soal tersebut sehingga menjadikannya sebagai 73
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya siswa dalam menyelesaikan soal matematika, hal ini disebabkan batasan penguasaan dalam memahami terhadap materi tersebut yang masih rendah. Penutup Kesulitan belajar yang sering dialami oleh siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika membutuhkan keterlibatan guru sebagai fasilitator dan motivator pembelajaran. Guru sebagai fasilitator harus mampu untuk merencanakan dan mendesain proses pembelajaran dengan menggunakan bebagai strategi dan model pembelajaran yang tepat. Hal tersebut perlu dilakukan agar proses pelaksanaan pelaksanaan pembelajaran dapat dilakukan secara menyenangkan sehingga menjadikan siswa tidak lagi merasa bosan atau menganggap matematika sebagai momok yang menakutkan. Sementara guru sebagai motivator harus mampu memberikan dorongan dan semangat kepada siswa untuk bisa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran menyelesaikan soal-soal matematika. Disamping itu, keberadaan individu belajar juga tidak bisa diabaikan. Bagaimanapun proses pembelajaran matematika akan bisa terkembangkan dengan baik manakala ada motivasi individu yang dimiliki oleh siswa. Dengan demikian, dalam mengatasi kesulitan belajar matematika terutama dalam menyelesaikan soal perlu memahami akan makna konsep yang dipelajari, mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang ditemukan dan mendapatkan dorongan atau motivasi belajar yang tinggi baik secara interen maupun eksteren siswa.
74
Volume 1Nomor 2-November 2014
Jurnal Pendidikan Matematika
ISSN: 2086 - 4254
Daftar Pustaka Ahmadia, 2003. Psikologi Belajar. Solo : Rineka Cipta Hamsina. 2005. Analisis Kesulitan Menyelesaikan Soal-Soal Statistika Pada Siswa Kelas II MAN I Bulukumba. Skripsi Makassar FKIP Unismuh Makassar. Karniati. 2005. Analisis Kesulitan Menyelesaikan Soal Statistika Siwa Kelas XI IPA SMA N I Sinjai. Skripsi FKIP Unismuh Makassar. Masaban, 1998. Pengantar matematika. Jakarta : Erlangga Partowisastro, 1982. Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar. Jakarta : Erlangga. Sardiman, 1986. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT Raja Grapindo Persada. Syah, 1995. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. PT Remaja Risda. Bandung. Yohanes, 2004. Kompetensi Matematika. Jakarta : Yudistira Yahya, 2001. Matematika Dasar Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Ghalia Indonesia.
75
Volume 1Nomor 2-November 2014