JURNAL MEDIKA MOEWARDI ISSN: 2301-6736
VOL.2, NO.1, Juni 2013
PENGANTAR REDAKSI JURNAL MEDIKA MOEWARDI PELINDUNG Direktur RSUD Dr. Moewardi Dekan FK UNS Surakarta PENASEHAT Wakil Direktur Pelayanan RSUD Dr. Moewardi Wakil Direktur Umum RSUD Dr. Moewardi Wakil Direktur Keuangan RSUD Dr. Moewardi PENANGGUNG JAWAB Ka. Bag Pendidikan & Penelitian WAKIL PENANGGUNG JAWAB Ka. Sub Bag. Penelitian & Perpustakaan DEWAN REDAKSI Ketua : Prof. Dr. YB Suparyatmo, dr. SpPK(K) Anggota: Prof. Dr. Y Priyambodo, dr. SpMK(K) Dr. Sugiarto, dr.,SpPD-FINASIM Dr. Adi Prayitno, drg. M.Kes Dr. Sri Sulistyowati, dr.SpOG(K) Dr. Suharto Widjanarko, dr. SpU Endang Dewi Lestari, dr. SpA(K).MPH Prasetyadi Mawardi, dr.,SpKK PENYUNTING Prof.Dr.HM.Guntur Hermawan, dr.SpPD-KPTI FINASIM. Prof.Dr.Suradi, dr.SpP(K).MARS Prof.Dr. Dalono, dr.SpOG(K) Prof.Dr. Haryono Karyosentono, dr.SpKK(K)
Tuntutan akan pelayanan yang berkualitas dan paripurna tanpa mengesampingkan aspekaspek keselamatan pasien (Patient Safety) adalah substansi dari akreditasi internasional Menjawab
tantangan
tersebut
beberapa
bagian di RSUD Dr. Moewardi mengadakan penelitian guna meningkatkan kesempurnaan dari pelayanan, khususnya tentang pelayanan kesehatan kepada pasien yang menyertakan aspek
keselamatan
pasien
di
RSUD
Dr.
Moewardi, Berikut kami muat artikel-artikel tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh Civitas Hospitalia RSUD Dr. Moewardi. Demikian sekilas pengantar redaksi semoga bermanfaat.
HUMAS Ellysa, dr Gini Ratmanti, SKM. M.Kes Dra. Anggita Pratami Langsa, MM SEKRETARIAT Moch Ari Sutejo Leo Haryo Satyani, S.Sos Wahyu Dwi Astuti Alamat Redaksi Bagian Pendidikan & Penelitian RSUD Dr. Moewardi Jl. Kol. Soetarto 132 Telp. (0271) 634634 Ext 153 Fax (0271) 666954 Surakarta Web E-mail
[email protected]
RSDM,Cepat,Tepat,Nyaman dan Mudah
Jurnal Medika Moewardi
JURNAL MEDIKA MOEWARDI ISSN: 2301-6736
VOL.2, NO.1, Juni 2013
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi ................................................................................................................ Daftar Isi ................................................................................................................................ Kerusakan Genetik Akibat Paparan Gas Anesthesi Terhadap Personel Pengelola Anesthesi ..........................................................................................................................
1
Tinjauan Retrospektif Kasus Infeksi Kulit Di Poloklinik Kulit Kelamin Rumah Sasik Dr Moewardi (RSDM) Surakarta .........................................................................................
9
Prevalensi Kasus Gangguan Psikologis Di Klinik Tumbuh Kembang Anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta .........................................................................................................
18
Hubungan Gangguan Fungsi Jantung Dengan Manifestasi Residu Lambung Pada Sepsis Neonatus ...........................................................................................................................
23
Penambahan Dexmedetomidine Memperpanjang Lama Kerja Pada Anestesi Blok Aksilaris ............................................................................................................................
30
Perbedaan Kejadian Postpartum Blues Pada Persalinan Seksio Sesaria Dan Persalinan Spontan .............................................................................................................................
36
Abortus Pranikah ...................................................................................................................
40
RSDM,Cepat,Tepat,Nyaman dan Mudah
Jurnal Medika Moewardi
Kusuma Dewi Sugiharto, Sugeng Budi Santoso,Ari Natalia Probandari Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta
ISSN: 2301-6736
KERUSAKAN GENETIK AKIBAT PAPARAN GAS ANESTHESI TERHADAP PERSONEL PENGELOLA ANESTHESI GENETIC DAMAGES DUE TO EXPOSURE THE ANESTHESIA GAS TOWARD BUSINESS PERSONNEL Kusuma Dewi Sugiharto, Sugeng Budi Santosa, Ari Natalia Probandari. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Pasca Sarjana, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Abstrak Latar Belakang: Paparan gas anestesi pada personel pengelola anestesi dapat menimbulkan efek genotoksik berupa kerusakan genetik. Pemantauan terhadap kadar gas anestesi di ruang operasi dan ruang pemulihan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta belum dilaksanakan sampai sekarang. Tujuan: Meneliti kemungkinan terjadinya kerusakan genetik akibat paparan gas anestesi pada personel pengelola anestesi. Metode: Penelitian korelasional menggunakan pendekatan Cross Sectional dengan Simple Random Sampling dilakukan pada personel pengelola anestesi. Populasi dibagi menjadi 2 grup sampel. Sampel Paparan (n=50) dan sampel Kontrol (n=50), masing-masing sampel diambil apusan buccal dan diperiksa tes Micronucleus. Hasil: Didapatkan T hitung dengan p=0.000 / α <0.05 yang berarti ada perbedaan yang bermakna jumlah pembentukan Micronucleus antara kelompok paparan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kesimpulan: Terjadi kerusakan genetik akibat paparan gas anestesi pada personel pengelola anestesi. Kata Kunci: kerusakan genetik, gas anestesi, personel pengelola anestesi Abstract Introduction: Exposure to anesthetic gases in the personnel management of anesthesia can cause genotoxic effects in the form of genetic damage . Monitoring the levels of anesthetic gases in the operating room and recovery room in hospitals Dr.Moewardi Surakarta yet implemented until now. Objective: Researching the possibility of genetic damage caused by exposure to anesthetic gases in anesthesia management personnel . Methods: Cross -sectional correlational approach with Simple Random Sampling is done on the personnel manager of anesthesia . Population sample was divided into 2 groups . Exposure of the sample ( n = 50 ) and control samples ( n = 50 ) , respectively buccal swab samples were taken and examined the micronucleus test . Result: T count with p = 0.000 > 0.05 ( α ) which means no significant difference between the number of micronucleus formation exposure group compared with the control group. Conclusion: There was genetic damage caused by exposure to anesthetic gases in anesthesia management personnel . Keywords: genetic damage , gas anesthesia , anesthesia management personnel
1
Kusuma Dewi Sugiharto, Sugeng Budi Santoso,Ari Natalia Probandari Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta
PENDAHULUAN Menurut National Institute Occupational Safety and Enviromental Health /NIOSH (2001), gas anestesi dan uapnya yang bocor ke dalam dan ke luar ruangan sekitar selama prosedur medis dianggap sebagai buangan gas anestesi. Paparan konsentrasi tinggi buangan gas anestesi walaupun hanya dalam jangka waktu singkat dapat menimbulkan nyeri kepala, iritabilitas, kelelahan, mual, mengantuk, gangguan penilaian dan koordinasi. Paparan kronis gas anestesi menimbulkan efek genotoksik, termasuk kanker dan penyakit genetik lainnya (Kassie, 2000). Beberapa penelitian telah dilakukan di luar negeri untuk menentukan apakah gas anestesi menyebabkan berbagai gejala dan tanda penyakit yang diderita personel pengelola anestesi setelah bekerja beberapa waktu di ruang operasi. Gejalagejalanya meliputi nyeri kepala, pusing, mual, kecemasan, penyakit ginjal dan hepar, peningkatan terjadinya kanker, gangguan fertilitas, abortus spontan dan kelainan congenital (NIOSH, 2001; Rowland et al., 1995). Perubahan-perubahan sitogenetik juga telah diobservasi pada sel hewan percobaan dan manusia dalam beberapa penelitian in vivo dan in vitro (Robbiano et al., 1998). Kerusakan genetik yang dialami personel pengelola anestesi dipresentasikan oleh peningkatan berbagai biomarker exposure (cytogenetic endpoint : Micronucleus, sister chromatid exchange, chromosome aberration) (Rozgaj, 2007; Ruzica, 2001). Efek genotoksik dari gas anestesi (nitrous oxide, halothane, enflurane, isoflurane, desflurane dan sevoflurane) telah dikenali dalam berbagai studi penelitian. Secara umum, efek kesehatan dapat bervariasi dalam kasus paparan singkat (pasien) dan paparan kronis (personel pengelola anestesi dan personel lainnya dari ruang operasi ). Beberapa penelitian di luar negeri menunjukkan berbagai bukti kerusakan genetik akibat efek genotoksik gas anestesi pada personel pengelola anestesi dan ruang operasi yang mengalami paparan okupasional gas anestesi, sebagai berikut: 1. Peningkatan level DNA strand breaks (Reitz et al., 1994, Rozgaj et al., 2007, Sardas, et al., 2006); 2. Peningkatan fragmentasi DNA (ElAal et al.,2008, Karpinski et al., 2005); 3. Peningkatan DNA mean tail length (Chandrasekhar et al., 2006, Szyfter et al., 2004); 4. Induksi apoptosis pada limfosit perifer normal in vitro (Matsuoka et al., 2001); 5. Peningkatan chromosomal aberrations (CA) (Bonassi et al., 1997, Chandrasekhar et al., 2006, Naradjan, 1990); 6. Peningkatan sister chromatid exchange (SCE) (Bilban et al., 2005, Karelova et al., 1992, Natarajan, 1990); 7. Peningkatan micronucleus (MN) ((Bilban et al., 2005, Bonassi , 1995, Chang, 1997, Robbiano, 1998, Rozgaj, 2007, Ruzica, 2001)); 8. Peningkatan insiden
ISSN: 2301-6736
abortus spontan dan abnormalitas kongenital (Rowland et al., 1995). Tes Micronucleus adalah tes genotoksisitas untuk mendeteksi Micronucleus (MN) dalam sitoplasma interphase sel yang terpapar senyawa potensial genotoksik. Dalam penelitian epidemiologi molekuler, Micronucleus termasuk kategori biomarker exposure. Uji ini sekarang diakui sebagai salah satu tes yang paling sukses dan dapat diandalkan untuk genotoksik karsinogen, yaitu karsinogen yang menyebabkan kerusakan genetik dan merupakan bagian pedoman OECD (2012). Tes ini mendeteksi aktivitas kimia clastogenic dan aneugenic dalam sel yang telah mengalami pembelahan sel selama atau setelah terpapar ke substansi genotoksik. Tes Micronucleus tersebut merepresentasikan kerusakan yang telah ditransmisikan ke sel anakan. Micronucleus adalah inti erratic (ketiga) yang terbentuk selama anafase dari mitosis atau meiosis. Micronucleus (yang berarti 'inti kecil' ) adalah badan sitoplasmik memiliki sebagian kromosom acentric atau kromosom keseluruhan yang tidak dibawa ke kutub yang berlawanan selama anafase tersebut. Hasil pembentukan di sel anak kurang sebagian atau seluruh kromosom. Fragmen kromosom ini atau seluruh kromosom biasanya mengembangkan membran nuklear dan berbentuk sebagai micronucleus sebagai inti ketiga. Setelah sitokinesis, satu sel anakan berakhir dengan satu inti dan anakan lainnya dengan satu inti besar dan satu inti kecil, yaitu, Micronucleus. Ada kemungkinan lebih dari satu Micronucleus.terbentuk ketika kerusakan genetik lanjut telah terjadi (Kashyap, 2012, OECD, 2012). Penatalaksanaan anestesi tanpa paparan terhadap faktor lingkungan yang potensial berbahaya adalah hal yang tidak mungkin. Paparan uap anestesi ke atmosfer ruang operasi tidak akan bisa dihindari. Sejumlah kecil buangan gas memasuki ruang operasi setiap kali dilakukan penatalaksanaan anestesi inhalasi. Konsentrasi buangan gas dihitung berdasarkan volume-per-volume basis dalam parts per million (ppm). Sebagai contoh, 100% halothane, sebagaimana bentuk uap tersaturasi diatas liquid dalam botol atau vaporizer, mengandung konsentrasi 1 juta ppm. Jadi 1% halothane mewakili 10,000 ppm. National Institute for Occupational Safety and Health (2001) merekomendasikan batas paparan 25 ppm untuk nitrous oxide (diukur sebagai rata-rata sewaktu durasi paparan) dan pengurangan 2 ppm untuk halogenated agent dalam ambien udara ruang operasi. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan nitrous oxide maka pengurangan untuk halogenated agent dikurangi 0.5 ppm. Dalam perspektif asumsi 1 mL volatile liquid anesthetik memproduksi 200 mL uap, volume liquid tertumpah dalam ruang tertutup berukuran 20 x
2
Kusuma Dewi Sugiharto, Sugeng Budi Santoso,Ari Natalia Probandari Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta
20 x 9 kaki menghasilkan konsentrasi uap sekitar 2 ppm. Konsentrasi maksimal halothane yang direcomendasikan oleh NIOSH beberapa kali lebih rendah daripada konsentrasi terendah yang dapat dikenali manusia. Hanya 50% sukarelawan yang bias mendeteksi halothane pada konsentrasi 33 ppm. Jangkauan ambang batas persepsi < 3 sampai >100 ppm. Jika gas anestesi dapat dikenali baunya, maka konsentrasinya diatas level rekomendasi. Buangan nitrous oxide dan halogenated gas anestesi dengan absensi scavenging system dapat mencapai konsentrasi setinggi 50-3000 ppm (Morgan, 2006). Sekedar mentransfer pasien ruang operasi ke PACU tidak mengeliminasi resiko paparan buangan gas anestesi, sebagaimana pasien terus menghembuskan sejumlah kecil N2O selama 5 - 8 jam sejak di PACU. Sebuah studi mengukur konsentrasi gas di bahu dan dari perawat ruang pemulihan yang merawat pasien yang menjalani anestesia inhalasi selama jam pertama di PACU, konsentrasi anestesi zona respirasi melampaui rekomendasi NIOSH pada 37% pasien yang mendapat isoflurane, 87% pasien yang mendapat desflurane dan 53% pasien yang mendapat N2O. Sebuah studi serupa melaporkan konsentrasi rata-rata yang lebih rendah (3.1 ppm) N2O dalam zona respirasi pasien PACU Kanada (Morgan, 2006). RSUD Dr. Moewardi sekarang memiliki kapasitas pelayanan 12 Ruang Operasi, 1 Ruang Pemulihan di Instalasi Bedah Sentral (IBS), serta 3 Ruang Operasi dan 1 Ruang Pemulihan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Masing – masing ruang operasi terdapat 1 mesin anestesi dan 1 exhaust system tapi belum anti bocor (leak proof system), serta tidak memiliki scavenging system dan alat pengukur kadar gas anestesi. Ruang operasi tersebut bersifat semi terbuka sehingga buangan gas anestesi menjadi bocor ke ruang sekitarnya. Personel pengelola anestesi terdiri dari dokter anestesi dan perawat anestesi. Kegiatan pengelolaan anestesi dimulai dari persiapan pasien pra operasi, pemeliharaan anestesi selama berlangsungnya prosedur diagnostik dan atau pembedahan, kemudian manajemen anestesi pasca operasi sampai dengan pulih sadar pasien. Personel pengelola anestesi bekerja rata – rata selama ≥ 6 jam per hari dalam 6 hari per minggu, dan masing – masing personel masa kerja dinasnya bervariasi. Sejauh ini publikasi penelitian di Indonesia mengenai kerusakan genetik akibat paparan gas anestesi serta penyakit yang menyertainya masih sangat terbatas. Pemantauan terhadap kadar gas anestesi di ruang operasi dan ruang pemulihan di RSUD Dr.Moewardi Surakarta juga belum dilaksanakan sampai sekarang. Padahal paparan gas anestesi terhadap personel pengelola anestesi di ruang operasi maupun ruang pemulihan dapat berpotensi menimbulkan resiko gangguan kesehatan yang serius.
ISSN: 2301-6736
Oleh karena itu penelitian ini diselenggarakan untuk mencoba mendeteksi adanya kerusakan genetik akibat paparan gas anestesi pada personel pengelola anestesi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. METODE Penelitian ini merupakan penelitian korelasional menggunakan pendekatan Comparative Cross Sectional (Arief, 2008, Murti, 2006). Kerusakan bahan genetik akibat paparan gas anestesi pada personel pengelola anestesi diteliti menggunakan metode berbasis deteksi tes Micronucleus. Peserta penelitian juga diberikan kuesioner mengenai gejala simptomatis akibat kerja yang dialami, riwayat penyakit dahulu, kebiasaan merokok, diet, lama paparan gas anestesi, dan masa kerja di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Populasi penelitian ini adalah personel pengelola anestesi yang meliputi dokter anestesi dan perawat anestesi yang bekerja di Ruang Operasi IBS dan Ruang Operasi IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta saat penelitian berlangsung. Sampel penelitian ini adalah personel pengelola anestesi yang meliputi dokter anestesi dan perawat anestesi yang bekerja di Ruang Operasi IBS dan Ruang Operasi IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi (consecutive sample). Besar sampel dihitung menggunakan software Open Source Epidemiologic Statistics for Public Health, Version 2.3.1, dengan α = , perbedaan proporsi = 17,5 %, d = (Dean, 2011, Genetic Alliance, 2012, Health Care Inc., 2011, Natarajan, 1990). Total besar sampel penelitian : 100 orang, dibagi menjadi 2 grup yang terdiri dari Grup Paparan (n = 50) dan Grup Kontrol (n = 50). Kriteria Inklusi : 1. Personel pengelola anestesi yang meliputi dokter anestesi dan perawat anestesi yang bekerja di Ruang Operasi IBS dan Ruang Operasi IGD RSUD Dr.Moewardi Surakarta yang dinas aktif dan berada di tempat saat penelitian berlangsung; 2. Bersedia menjadi peserta penelitian dan menandatangani pernyataan persetujuan partisipasi dalam penelitian. Kriteria Eksklusi. Personel pengelola anestesi yang meliputi dokter anestesi dan perawat anestesi yang bekerja di Ruang Operasi IBS dan Ruang Operasi IGD RSUD Dr.Moewardi Surakarta :1. Tidak dinas aktif dan atau sedang dinas luar dan atau tidak berada di tempat saat penelitian berlangsung; 2. Memiliki riwayat paparan dan atau menjalani pengobatan sitostatik / sitotoksik (misalnya kemoterapi, radiasi); 3. Memiliki riwayat penyakit keganasan sejak sebelum bekerja di Ruang Operasi IBS dan Ruang Operasi IGD RSUD Dr.Moewardi Surakarta; 4 Menolak menjadi peserta penelitian dan tidak menandatangani pernyataan persetujuan partisipasi dalam penelitian.
3
Kusuma Dewi Sugiharto, Sugeng Budi Santoso,Ari Natalia Probandari Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta
Sampel sel berasal dari apusan buccal manusia (personel pengelola anestesi) yang terpapar zat uji (gas anestesi). Apusan buccal adalah eksfoliasi sel epitel mukosa buccal yang diambil dengan menggunakan brush buccal dan dibuat apusan di gelas objek. Cara pengambilan sampel yaitu peserta penelitian dipuasakan 1-2 jam dan diminta berkumur dengan air putih sebelum pengambilan sampel. Kekuatan penyikatan vigorous / seperti saat sedang menggosok gigi, lalu dibuat apusan dengan setetes NaCl 0,9% di gelas objek dan dikeringkan dengan dianginkan. Setelah apusan kering, sampel ditetesi larutan Methanol dan Glacial Acetat Acid (3:1), lalu dianginkan. Preparat yang sudah kering kemudian dicat dengan pewarnaan Fast Green dan diamati di bawah mikroskop untuk dianalisis kehadiran Micronucleus / 1000 sel (Lister Hill National Center, 2012) Pengolahan Data, Data yang didapatkan dianalisis dengan program SPSS versi 17 dalam sistem operasi Windows Vista. Untuk data kontinu dianalisis menggunakan Independent sample t test untuk mendapatkan nilai mean dan standar deviasi serta nilai t dan nilai p. HASIL Penelitian ini dilakukan pada 50 personel pengelola anestesi yang terpapar secara okupasional gas anestesi dan 50 kontrol personel rumah sakit yang tidak terpapar gas anestesi untuk mengevaluasi efek genotoksik berupa kerusakan genetik akibat paparan gas anestesi. Personel profesional medis di rumah sakit juga beresiko terpapar bahan sitotoksik / sitostatik serta radiasi. Hal ini sering sulit untuk membedakan mana agen ini yang menyebabkan kerusakan pada bahan genetik. Menurut jawaban dalam kuesioner, kami memilih hanya mereka subyek yang tidak bekerja dengan jenis bahan sitotoksik/sitostatik ataupun radiasi.
Gambar 1. Micronucleus dengan Fast Green staining
ISSN: 2301-6736
Gambar 2. Struktur dan diferensiasi epitel oral. (A) Photomicrograph mukosa mulut yang sehat menunjukkan berbagai lapisan sel di epitel oral. Epitel mulut adalah epitel skuamosa berlapis. Ini terdiri dari lima lapisan: (i) lapisan keratin di permukaan, (ii) lapisan sel prickle (atau stratum spinosum), (iii) lapisan basal (stratum basal), (iv) rete pegs, (v) lamina propria (jaringan ikat). (B) Skema lapisan sel mukosa buccal dan turnover (Holland et al., 2008).
Kedua kelompok dicocokkan mengenai jenis kelamin, usia, kebiasaan merokok dan masa kerja. Dalam hasil kuesioner penelitian ini, ternyata personel pengelola anestesi menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi berbagai gejala simptomatis akibat kerja seperti nyeri kepala, mengantuk, iritabilitas, kelelahan, gangguan konsentrasi, dan gangguan penilaian. Gejala simptomatis akibat kerja dialami oleh 38 orang (76%) grup paparan (personel pengelola anestesi), sedangkan grup kontrol yang mengalami gejala simptomatis akibat kerja hanya sejumlah 13 orang (26%). Tabel 1. Karakteristik Demografi Grup Sampel Penelitian No.
Karakteristik Grup
1.
Jenis Kelamin a. Laki-laki
Paparan
44 (88%)
43 (86%)
6 (12%)
7 (14%)
32,7±9,07
38,24±7,15
a. Perokok
14 (38%)
14 (38%)
b. Non perokok
36 (62%)
36 (62%)
8,20±7,81
9,09±6,49
b. Perempuan 2.
Usia (tahun)
3.
Kebiasaan merokok
4.
Kontrol
Masa kerja (tahun)
Didapatkan T hitung dengan p = 0.000 < 0.05 (α) yang berarti ada perbedaan yang bermakna terbentuknya Micronucleus antara grup paparan dibandingkan dengan grup kontrol. Rata-rata jumlah Micronucleus pada grup kontrol sebesar 0.40 MN/1000 sel sedangkan grup paparan sebesar 12.94 MN/1000 sel. Tabel 2. Grup Statistik
4
Kusuma Dewi Sugiharto, Sugeng Budi Santoso,Ari Natalia Probandari Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta
Kelompok N Jumlah MN Kontrol Personil
50 50
Mean
Std. Deviation
.40 12.94
1.539 8.440
Std. Error Mean .218 1.194
PEMBAHASAN Meskipun tereliminasi dengan cepat dari tubuh karena kelarutannya rendah dalam darah dan jaringan, gas anestesi telah dilaporkan neurotoksik, hepatotoksik dan karsinogenik. Efek pada kesuburan, peningkatan insiden aborsi spontan dan kelainan bawaan telah ditemukan pada penelitian lain. Efek kesehatan yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh gas anestesi pada manusia menjadi perhatian khusus. Alat tes Micronucleus telah muncul sebagai salah satu metode yang disukai untuk menilai kerusakan kromosom karena mereka memungkinkan penilaian hilangnya kromosom dan kerusakan kromosom. Pengamatan bahwa kerusakan kromosom dapat disebabkan oleh paparan radiasi pengion atau karsinogenik bahan kimia merupakan salah satu bukti pertama yang dapat diandalkan bahwa agen fisik dan kimia dapat menyebabkan perubahan besar dengan materi genetik sel eukariotik. Meskipun pemahaman kita tentang struktur kromosom tidak lengkap, bukti menunjukkan bahwa kelainan kromosom merupakan konsekuensi langsung dan manifestasi kerusakan pada tingkat DNA. Misalnya, patahan kromosom mungkin akibat dari diperbaikinya patahan untai ganda dalam DNA dan kromosom penyusunan ulang mungkin hasil dari misrepair patahan untai DNA. Selain itu juga disadari bahwa kehilangan kromosom dan malsegregation kromosom (non-disjungsi) adalah peristiwa penting dalam kanker dan penuaan (Fenech, 2000). MN disajikan dalam sel yang membagi mengandung patahan kromosom kurang sentromer (fragmen acentric) dan / atau seluruh kromosom yang tidak dapat melakukan perjalanan ke kutub spindel selama mitosis. Pada telofase, amplop inti terbentuk sekitar kromosom dan fragmen tertinggal, yang kemudian mengurai dan secara bertahap mengasumsikan morfologi dari inti interfase dengan pengecualian bahwa mereka lebih kecil dari inti
ISSN: 2301-6736
utama dalam sel, maka disebut "micronucleus". Oleh karena itu, MN memberikan indeks yang nyaman dan dapat diandalkan untuk kerusakan kromosom dan kehilangan kromosom. Micronucleus adalah biomarker yang paling tepat genotoksisitas anestesi ke manusia. Jumlah sel yang mengandung satu atau lebih MN meningkat pada semua kelompok terpapar, yang mana sesuai dengan peneliti lain (Bilban, 2005, Bonassi,1995, Chang, 1997, Robbiano, 1998, Rozgaj, 2007, Ruzica, 2001). Penelitian Chang (1997) melaporkan meningkatkan pembentukan MN pada perawat yang pekerjaannya terekspos N2O. Robbiano (1998) menguji enam halogenasi anestesi karena kemampuan mereka untuk menginduksi pembentukan MN di ginjal tikus. Semua kecuali enflurane signifikan meningkatkan frekuensi MN, sedangkan halotan dan trichloroethylene juga mengurangi sel binucleated, mungkin karena toksisitas (Bonassi, 1995). Biomonitoring genetik pada populasi terpapar karsinogen potensial adalah sistem peringatan dini untuk penyakit genetik atau kanker. Hal ini juga memungkinkan identifikasi faktor risiko pada saat tindakan pengendalian masih bisa dilaksanakan (Kassie, et al., 2000). Bahan genetik telah terbukti menjadi sasaran sensitif berbagai agen berbahaya (Ruzica, et al., 2001). Studi tentang kerusakan DNA pada tingkat kromosom merupakan bagian penting dari toksikologi genetik karena mutasi kromosom merupakan peristiwa penting dalam karsinogenesis. Salah satu efek samping dari anestesi umum adalah sumber eksogen radikal oksigen reaktif yang bertanggung jawab untuk beberapa penyakit. Personel pengelola anestesi adalah anggota tim kesehatan yang terbanyak terpapar gas anestesi karena mereka menghabiskan waktu yang lama untuk merawat pasien yang menjalani prosedur operasi atau diagnostik dari menit pertama masuk ke ruang operasi sampai ia meninggalkannya. Sebaiknya dilaksanakan aplikasi yang lebih ketat langkahlangkah kesehatan dan keselamatan kerja, seperti menyediakan lingkungan kerja yang aman, menggunakan langkah - langkah keselamatan, penilaian kesehatan pra kerja dan secara berkala, serta pemantauan efek kesehatan akibat paparan agen anestesi volatil.
5
Kusuma Dewi Sugiharto, Sugeng Budi Santoso,Ari Natalia Probandari Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta
ISSN: 2301-6736
Tabel 3. Standar Paparan Okupasional dalam ppm di Berbagai Negara dan Tahun Publikasi : (NIOSH, 2001) No. Negara
Nitrous Oxide
Halothane
Enflurane
Isoflurane
1
UK (COSHH, 1996)
100
10
50
50
2
US (NIOSH, 2000)
25
2
2
2
3
Denmark (1988)
100
5
2
-
4
Germany (1995)
100
5
-
-
5
France (1985)
-
2
-
-
6
Italy (1989)
100
-
-
-
7
Netherlands (1989)
25
5
-
-
8
Norway (1991)
100
5
2
2
9
Sweden (1993)
100
5
10
10
Lingkungan kerja yang aman bagi personel pengelola anestesi dan anggota staf lain yang bekerja di lingkungan ruang operasi dan pulih sadar seyogyanya menjadi perhatian khusus dari anggota staf dari tim kesehatan dan keselamatan kerja. Tim kesehatan kerja termasuk perawat dan dokter memiliki peran penting dalam menilai dan mengurangi paparan agen anestesi volatil dan efek berbahaya terhadap tenaga kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, sebaiknya dilaksanakan rekomendasi sebagai berikut: 1. Scavenging system yang dirancang dengan baik dan efektif serta menggunakan sistem tekanan / sistem ventilasi pembuangan harus dipakai di semua kamar operasi dan pulih sadar untuk mengeliminasi semua buangan gas anestesi; 2. Gunakan masker wajah berukuran pas untuk mencegah kebocoran selama pemberian gas anestesi; 3. Pemantauan kadar buangan gas anestesi di ruang operasi dan pulih sadar diperlukan untuk mengurangi paparan okupasional gas anestesi; 4. Mendidik semua personel pengelola anestesi tentang efek kesehatan, pencegahan, dan pengendalian paparan buangan gas anestesi; 5. Edukasi tentang diet makanan kaya antioksidan dan suplemen antioksidan; 6. Penelitian lingkungan dan genetik lebih lanjut diperlukan untuk menilai efekefek dari paparan kronis gas anestesi. Penelitian ini menarik kesimpulan bahwa terjadi kerusakan genetik akibat paparan gas anestesi pada personel pengelola anestesi, sebagaimana hasil tes Micronucleus menunjukkan perbedaan yang bermakna jumlah pembentukan Micronucleus pada personel pengelola anestesi dibandingkan kontrol. Paparan gas anestesi pada personel di sektor kesehatan, baik di kamar operasi atau kamar pemulihan, dapat menyebabkan resiko kesehatan (Bilban et al., 2005).
KESIMPULAN Paparan agen anestesi volatil dapat mengakibatkan berbagai efek kesehatan yang merugikan. DAFTAR PUSTAKA Arief, M.T.Q. 2008. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta ;UNS Press. Benites, et al. 2006. Micronucleus test on gas station attendant. Genetics and Molecular Research, 5(2), pp.45-54 Best,B.P. 2009. Nuclear DNA damage as a direct cause of aging. Rejuvenation Research, 12(3), pp. 199–208. Bilban M., Jakopin C.B. dan Orginc D. 2005. Cytogenetic tests performed on operating room personnel (the use of anesthetic gases). Int Arch Occup Environ Health,78(1),pp.604. Bonassi,S., Ceppi,M., Fontana,V. dan Merlo,F. 1997. Multiple regression analysis of cytogenetic human data. Mutat. Res., 313, pp.69–80. Chandrasekhar M., Rekhadevi PV, Sailaja N, Rahman MF, Reddy JP, Mahboob M, and Grover P. 2006. Evaluation of genetic damage in operating room personnel exposed to anaesthetic gases. Mutagenesis, 21(4), pp. 249-54. Chang,W.P., Lee,S.-R., Tu,J. and Hseu,S. 1997. Increased micronucleus formation in nurses with occupational nitrous oxide exposure in operating theaters. Environ. Mol. Mutagen., 27, pp. 93–97. Dean AG, Sullivan KM, Soe MM. 2011. OpenEpi: Open Source Epidemiologic Statistics for Public Health, Version 2.3.1. [ File Image] Available at : www.OpenEpi.com El-Aal BGA., Al-Batanony, MA., El-Shafiy, MK. 2008. Genotoxic and Oxidative Stress
6
Kusuma Dewi Sugiharto, Sugeng Budi Santoso,Ari Natalia Probandari Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta
Effects Due To Occupacional Exposure To Anesthetic Gases Among Operating Room Personnel. Menoufiya Medical Journal, Vol.21 No.1, pp.317-327 Fenech, M. 2000. The in vitro micronucleus technique. Mutation Research 455, PP. 81– 95 Genetic Alliance. 2012. Incidence of Genetic Disorders. UK : Genetic Alliance. Available at : www.geneticalliance.org.uk Hartono et al. 2006. Genetika Kedokteran. Yogyakarta : Rasmedia Medika. Health Care Inc. 2011. Statistics By Country for Genetic Disease. USA : Health Care Inc. Available at : www.rightdiagnosis.com Holland, N., et al. 2008. The micronucleus assay in human buccal cells as a tool for biomonitoring DNA damage: The HUMN project perspective on current status and knowledge gaps. Mutation Research, 659(1– 2), pp. 93–108 Igcar. 2012. Binucleated cells blocked at cytokinetic stage with and without Micronucleus. [File image]. Available at : www.igcar.ernet.in Jaloszynski, P., et al. 1999. Genotoxicity of inhalation anesthetics halothane and isoflurane in human lymphocytes studied in vitro using the comet assay. Mutation Research/Genetic Toxicology and Environmental Mutagenesis, 439(2), pp. 199–206 Karpinski, TM., et al. 2005. Toxicity and other side effects of volatile anesthetics, a review. Nowiny Lekarskie, 74( 3), pp.342–349 Karelova,J. et al. 1992. Chromosome and sisterchromatid exchange analysis in peripheral lymphocytes and mutagenicity of urine in anestesiology pesonnel. Int. Arch. Occup. Environ. Health, 64, pp303–306. Kassie, F., Parzefall, W., Knasmuller, S. 2000. Single cell electrophoresis assay new technique for human monitoring studies. Mutat. Res, 463, pp. 13-31 Kashyap, B., Reddy, PS. 2012. Micronucleus assay of exfoliated oral buccal cells means to asses the nuclear abnormalities in different diseases. Journal of Cancer Research and Therapeutics, 8(2), pp.184-191 Lister Hill National Institute. 2012. Photomicrograph Micronucleus detected with Fast Green Staining. [File Image] Available at : http://openi.nlm.ni.gov Matsuoka H et al., 2001. Inhalation anesthetics induce apoptosis in normal peripheral lymphocytes in vitro. Anestesiology, Dec 95(6), pp.1467-72.
ISSN: 2301-6736
Morgan, GE., Mikhail, MS., Murray, MJ.,2006. Clinical Anestesiology. 4th Edition. New York : McGraw Hill Companies. Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Natarajan,D., Santhiya,S.T. 1990. Cytogenetic damage in operation theatre personnel. Anaesthesia, 45, pp. 574–577. National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH), 2001. Waste Anesthetic Gases Occupational Hazards in Hospitals. NIOSH Publication; No. 2007-151. Washington, DC : Directorate for Technical support. Office of Science and Technical Assessment. Government Printing Office. Organisation for Economic Co-operation and Development ( OECD). 2012. OECD Guideline For The Testing of Chemicals. Paris : OECD. Available at : http://www.oecd.org/document Raffaella, C. et al. 2008. ECVAM retrospective validation of in vitro micronucleus test (MNT). Mutagenesis, 23 (4), pp. 271–283, 2008 Reitz,M., Coen,R., Lanz,E. 1994. DNA single-strand breaks in peripheral lymphocytes of clinical personnel with occupational exposure to volatile inhalational anesthetics. Environ. Res., 65, pp. 12–21. Robbiano, L., Mereto, E., Migliazzi, MA., Pastore, E., Brambilla, G. 1998. Increased Frequency of micronucleated kidney cells in rats exposed to halogenated anesthetics. Mutat. Res, 413, pp.1-6 Rowland A.S. et al. 1995. Nitrous oxide and spontaneous abortion in female dental assistants. Am. J. Epidemiol., 141, pp. 531– 538. Rozgaj,R. Kašuba,V., Brozović,G., Jazbec,A. 2007. Genotoxic effects of anesthetics in operating theatre personnel evaluated by the comet assay and micronucleus test. Int J Hyg Environ Health, 16. Ruzica,R., Vilena,K., Anamarija,J. 2001. Preliminary study of cytogenetic damage in personnel exposed to anesthetic gases. Mutagenesis, 16(2), pp. 139-143. Sardas, S,. Izdes, S., Ozcagli, E., Kanbak, O., Kadioglu, E. 2006. The role of antioxidant supplementation in occupational exposure to waste anesthetic gases. Int Arch Occup Environ Health, 80(2), pp. 154-9. Stoelting, RK., Hillier, SC., 2006. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
7
Kusuma Dewi Sugiharto, Sugeng Budi Santoso,Ari Natalia Probandari Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta
ISSN: 2301-6736
Springer. 2008. Formation of Micronucleus during cell division. [File image]. Available at : www.springerimages.com Szyfter, K., et al. 2004. Genotoxicity of inhalation anaesthetics: DNA lesions generated by sevoflurane in vitro and in vivo. J. Appl. Genet., 45(3), pp. 369–374
8
Maria Vianney Samsan,Bimo Aryo Tejo,Nurrachmat M,Nugrohoaji, Prasetyadi M, Indah Julianto Bagian /SMF Ilmu Kulit & Kelamin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
ISSN: 2301-6736
TINJAUAN RETROSPEKTIF KASUS INFEKSI KULIT DI POLOKLINIK KULIT KELAMIN RUMAH SAKIK Dr. MOEWARDI (RSDM) SURAKARTA RETROSPECTIVE STUDY OF SKIN INFECTION CASES AT DERMATOVENEROLOGY CLINIK OF MOEWARDI DISTRIC HOSPITAL (MDH) SURAKARTA Maria Vianney Sansan, Bimo Aryo Tejo, Nurrachmat M, Nugrohoaji D, Prasetyadi M, Indah Julianto Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta / RSUD Dr Moewardi SurakartaIndonesia.
Abstrak Pendahuluan: Infeksi adalah invasi mikroorganisme patogenik ke dalam tubuh yang bereproduksi dan bermultiplikasi, menyebabkan penyakit melalui kerusakan sellular lokal, sekresi toksin, atau reaksi antigen – antibodi pada pejamu. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mempelajari karakteristik infeksi kulit di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Moewardi, Surakarta. Metode: Penelitian retrospektif berdasarkan catatan medis pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Oktober 2010 – September 2011. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang: pewarnaan Gram, Ziehl-Nielsen, kultur bakteri, KOH, lampu Wood, kultur jamur, Tzanck test, pemeriksaan mikroskopis untuk parasit dan histopatologi. Evaluasi meliputi usia, jenis kelamin, jumlah kunjungan serta wilayah tempat tinggal. Hasil: Kasus infeksi jamur 533 (55%), bakteri 177 (18%), virus 139 (14%), dan parasit 131 (13%). Distribusi kasus terbanyak di Solo, diikuti Karanganyar dan Sukoharjo. Infeksi jamur, bakteri, virus didominasi wanita, sedangkan parasit didominasi pria. Insidensi tertinggi infeksi jamur pada usia >60 tahun 67 orang (12.57%), bakteri usia 21-25 tahun dan 26-30 tahun sejumlah 19 orang (10.73%), virus usia 16-20 tahun 24 orang (17.27%) dan parasit usia 11-15 tahun 24 orang (18.32%). Penyakit jamur terbanyak: tinea kruris 116 (21.76%), diikuti pitiriasis versikolor 115 (21.57%) dan tinea korporis 84 (15.76%). Penyakit bakteri terbanyak: MH multibasilar 45 (25.42%), diikuti impetigo 33 (18.64%) dan furunkel/karbunkel 27 (15.25%). Penyakit virus terbanyak: veruka 69 (49,64%) diikuti herpes zoster 30 (21,58%) dan moluskum kontagiosum 21 (15,11%). Penyakit parasit terbanyak: skabies 121 (92,37%) diikuti creeping eruption 6 (4,58%) dan demodiciasis 3 (2,29%). Kesimpulan: Kasus infeksi kulit terbanyak adalah infeksi jamur dengan insidensi tertinggi tinea kruris. Kata Kunci: infeksi kulit, jamur, bakteri, virus, parasit
Abstract Introduction: Infection is invasion of pathogenic microorganisms that reproduce and multiply, causing disease by local cellular injury, secretion of toxins, or antigen-antibody reaction in the host. Objective: To learn the characteristic of skin infection at Dermato-Venereology Clinic, Dr.Moewardi General Hospital, Surakarta. Method: Retrospective study based on patient`s medical records at Dermato-Venereology Clinic, Dr.Moewardi General Hospital, Surakarta from October 2010 - September 2011. The diagnosis based on anamnesis, clinical findings, laboratory examinations: Gram staining, Ziehl Nielsen, bacterial culture, potassium hydroxide, Wood lamp, fungal culture, Tzanck test, microscopic examinations for parasite and histopathology. Evaluation including age, sex, visits and the living area. Result: Fungal infection cases 533 (55%), bacterial 177 (18%), viral 139 (14%), dan parasite 131 (13%). The largest distribution found in Solo, then Karanganyar and Sukoharjo. Fungal, bacterial and viral infection are female predominant otherwise parasite`s male dominant. The highest incidence of fungal infection in >60 years group 67 persons (12.57%), bacterial 21 – 25 years and 26 – 30 years group each 19 persons (10.73%), viral 16 – 20 years 24 persons (17.27%) and parasite 11 – 15 years 24 persons (18.32%). The most frequent fungal diseases: tinea cruris 116 (21.76%), pityriasis versicolor 115 (21.57%) and tinea corporis 84 (15.76%). The most frequent bacterial diseases: multibasillary MH 45 (25.42%), impetigo 33 (18.64%) and furuncle/carbuncle 27 (15.25%). The most frequent viral diseases: verucca 69 (49.64%), herpes zoster 30 (21.58%) and moluscum contagiosum 21 (15.11%). The most frequent parasite infections: scabies 121 (92.37%), creeping eruption 6 (4.58%) and demodiciasis 3 (2.29%). Conclusion: The most frequent skin infection`s fungal infection and the highest incidence`s tinea cruris. Keywords: skin infection, fungal, bacterial, viral, parasite
9
Maria Vianney Samsan,Bimo Aryo Tejo,Nurrachmat M,Nugrohoaji, Prasetyadi M, Indah Julianto Bagian /SMF Ilmu Kulit & Kelamin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
PENDAHULUAN Infeksi berasal dari kata inficere didefinisikan sebagai invasi mikroorganisme patogenik ke dalam tubuh yang bereproduksi dan bermultiplikasi, menyebabkan penyakit melalui kerusakan sellular lokal, sekresi toksin, atau reaksi antigen – antibodi pada pejamu/host.1 Infeksi kulit dapat dibagi menjadi infeksi bakteri, virus, atau jamur dimana infestasi dengan serangga atau cacing juga termasuk di dalamnya.2 Banyak infeksi dan infestasi bersifat universal.3 Sebagai contoh adalah herpes simpleks, varicella dan herpes zoster, infeksi virus papilloma, infeksi bakteri stafilokokus dan streptokokus, infeksi dermatofita serta skabies.3 Penyakit lain yang dimasukkan ke dalam infeksi tropis seperti morbus hansen, infeksi jamur subkutis dan protozoa.3 Berbagai penyakit ini biasanya dipengaruhi oleh iklim tropis dan adanya serangga tertentu di area tersebut.3 Iklim yang panas dan lembab merupakan predisposisi penyakit jamur, bakteri dan parasit.4 Tentunya sangat penting bagi suatu negara menemukan kasus penyakit dengan prevalensi paling tinggi di negaranya.3 Di Indonesia, angka yang tepat untuk insidensi kasus infeksi kulit belum ada. Di Denpasar, golongan penyakit dermatofitosis menempati urutan kedua setelah dermatitis. Angka insidensi tersebut diperkirakan kurang lebih sama dengan di kota – kota besar Indonesia lainnya. Berdasarkan data yang diambil dari berbagai Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia tahun 1997 – 1998, angka insidensi tertinggi infeksi jamur adalah dermatofitosis diikuti pitiriasis versikolor, sedangkan kandidosis kutis menempati urutan ke tiga. Di beberapa rumah sakit, insidensi kandidosis kutis dapat melampaui insidensi pitiriasis versikolor (Ujung Pandang, Medan, dan Denpasar). Berbeda dengan laporan
ISSN: 2301-6736
Budimulja dari Jakarta tahun 1989 dan Dhiana Ernawati dkk. tahun 1994 di Semarang, yakni pitiriasis versikolor menempati urutan pertama disusul dengan dermatofitosis dan kandidosis kutis.5 Sampai saat ini belum ada laporan penelitian mengenai pola kasus infeksi kulit di daerah Jawa Tengah, khususnya Surakarta. METODE Penelitian dilakukan secara retrospektif berdasarkan catatan medis seluruh kasus infeksi kulit pasien rawat jalan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama periode Oktober 2010 – September 2011. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, serta pemeriksaan penunjang untuk infeksi bakteri, jamur, virus dan parasit antara lain; pewarnaan Gram, pewarnaan Ziehl-Nielsen, kultur bakteri; pemeriksaan KOH, lampu Wood, kultur jamur; pemeriksaan tzanck test, pemeriksaan langsung dengan KOH untuk parasit dan pada keadaan–keadaan tertentu dilakukan pemeriksaan histopatologi. Data yang dievaluasi meliputi usia, jenis kelamin, jumlah kunjungan serta wilayah tempat tinggal. HASIL Seluruh kasus baru infeksi kulit di instalasi rawat jalan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Oktober 2010– September 2011 berjumlah 980 kasus. Jumlah kasus infeksi kulit selama setahun periode Oktober 2010– September 2011 yang terdiri dari 533 kasus infeksi jamur (55%), 177 kasus infeksi bakteri (18%), 139 kasus infeksi virus (14%) dan 131 kasus infeksi parasit (13%) (Tabel 1).
Table 1. Kasus Baru Infeksi Kulit
No
Kasus Baru Infeksi Kulit
Persentase (%)
1 2 3 4
Jamur Bakteri Virus Parasit Total
55 18 14 13 100
Infeksi jamur merupakan insidensi kasus infeksi tertinggi di seluruh wilayah Surakarta dan sekitarnya. Pada ke-empat jenis kasus infeksi tersebut
paling banyak terdistribusi di wilayah Solo, diikuti Karanganyar dan Sukoharjo (Table 2).
10
Maria Vianney Samsan,Bimo Aryo Tejo,Nurrachmat M,Nugrohoaji, Prasetyadi M, Indah Julianto Bagian /SMF Ilmu Kulit & Kelamin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
ISSN: 2301-6736
Tabel 2. Distribusi infeksi berdasarkan lokasi
No.
Jenis Infeksi
Persentase (%)
1 2 3 4
Infeksi Jamur Infeksi Bakteri Infeksi Virus Infeksi Parasit Jumlah
55 18 14 13 100
Distribusi berdasarkan jenis kelamin, didapatkan pada kasus infeksi jamur jumlah penderita laki-laki 259 orang (48.59%) dan perempuan 274 orang (51.41%), pada kasus infeksi bakteri jumlah penderita laki-laki 85 orang (48.02%) dan perempuan 92 orang
(51.98%), pada kasus infeksi virus jumlah penderita laki-laki 64 orang (46.04%) dan perempuan 75 orang (53.96%), pada kasus infeksi parasit jumlah penderita laki-laki 80 orang (61.07%) dan perempuan 51 orang (38.93%) (Tabel 3).
Tabel 3. Distribusi Kasus Infeksi Kulit Berdasarkan Jenis Kelamin
No.
Jenis Infeksi
Laki-laki - %
Perempuan - %
Jumlah - %
1
Jamur
259 (48.59 %)
274 (51.41 %)
533 (100 %)
2
Bakteri
85 (48.02 %)
92 (51.98 %)
177 (100 %)
3
Virus
64 (46.04 %)
75 (53.96 %)
139 (100 %)
4
Parasit
80 (61.07 %)
51 (38.93 %)
131 (100 %)
Jumlah
488 (49.79%)
492 (50.21%)
980 (100 %)
Ket: 3Penderita perempuan lebih banyak daripada laki-laki pada kasus infeksi jamur, bakteri dan virus, sedangkan untuk infeksi parasit lebih banyak diderita laki-laki.
Distribusi penderita baru infeksi kulit berdasarkan usia, didapatkan insidensi tertinggi kasus infeksi jamur yaitu pada kelompok usia diatas 60 tahun 67 orang (12.57 %) dan insidensi terendah pada kelompok usia 6-10 tahun 10 orang (1.87 %), insidensi tertinggi kasus infeksi bakteri yaitu kelompok usia 21-25 tahun dan 26-30 tahun masing – masing 19 orang (10.73 %) dan insidensi terendah
pada kelompok usia 6-10 tahun dan 11-15 tahun masing – masing 5 orang (2.82 %), insidensi tertinggi kasus infeksi virus terdapat pada kelompok usia 1620 tahun 24 orang (17.27 %) dan terendah pada usia dibawah 1 tahun 2 orang (1.44 %), insidensi tertinggi kasus infeksi parasit terdapat pada kelompok usia 1115 tahun 24 orang (18.32 %) dan terendah pada usia dibawah 1 tahun 1orang (0.76 %) (Tabel 4).
Tabel 4. Distribusi Penderita Baru Infeksi Kulit Berdasarkan Usia
No.
Usia
Jamur
Bakteri
Virus
Parasit
Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
<1 1– 5 6 – 10 11 – 15 16 – 20 21 – 25 26 – 30 31 – 35 36 – 40 41 – 45 46 – 50 51 – 55 55 – 60 >60 Jumlah
18 12 10 30 54 42 30 27 44 41 46 57 55 67 533
12 15 5 5 12 19 19 16 10 11 15 9 11 18 177
2 8 17 13 24 17 7 12 7 4 8 4 5 11 139
1 17 15 24 22 10 4 2 7 9 5 2 2 11 131
33 52 47 72 112 88 60 57 68 65 74 72 73 107 980
Pada kasus infeksi jamur, didapatkan bahwa laki-laki paling banyak menderita pitiriasis versikolor
80 orang (30.89 %), sedangkan perempuan paling banyak menderita kandidosis kutis 55 orang (20.07
11
Maria Vianney Samsan,Bimo Aryo Tejo,Nurrachmat M,Nugrohoaji, Prasetyadi M, Indah Julianto Bagian /SMF Ilmu Kulit & Kelamin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
%). Penderita laki-laki lebih banyak mengalami tinea kruris dan pitiriasis versikolor dibandingkan perempuan. Sedangkan penderita perempuan lebih banyak mengalami tinea korporis, kandidosis kutis, tinea kruris et korporis, tinea pedis et manuum, tinea facialis, tinea incognito, tinea kapitis dan kromoblastomikosis dibandingkan laki-laki (Tabel 4). Insidensi terbanyak kasus infeksi jamur adalah tinea kruris berjumlah 116 orang (21.76 %)
ISSN: 2301-6736
diikuti oleh pitiriasis versikolor 115 orang (21.57 %), tinea korporis 84 orang (15.76 %), kandidosis kutis 83 orang (15.57 %), tinea kruris et korporis 60 orang (11.26 %), tinea pedis et manuum 35 orang (6.57 %), tinea facialis 30 orang (5.63 %), tinea incognito 5 orang (0.94 %), tinea kapitis 3 orang (0.56 %) dan yang terendah kromoblastomikosis 2 orang (0.37 %) (Tabel 5).
Tabel 5. Distribusi Penderita Baru Infeksi Jamur
No.
Diagnosis
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Persentase (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tinea kruris 66 50 116 21.76 Pityriasis versikolor 80 35 115 21.57 Tinea korporis 33 51 84 15.76 Kandidosis kutis 28 55 83 15.57 Tinea kruris et korporis 26 34 60 11.26 Tinea pedis et manuum 9 26 35 6.57 Tinea facialis 13 17 30 5.63 Tinea incognito 2 3 5 0.94 Tinea kapitis 1 2 3 0.56 Kromoblastomikosis 1 1 2 0.37 Jumlah 259 274 533 100% Ket: Insidensi tertinggi adalah tinea kruris diikuti oleh pitiriasis versikolor, tinea korporis, kandidosis kutis, tinea kruris et korporis, tinea pedis et manuum, tinea facialis, tinea incognito, tinea kapitis dan yang terendah kromoblastomikosis.
Pada diagram 4 tampak bahwa distribusi penderita baru kandidosis kutis paling banyak pada kelompok usia 51-55 tahun sejumlah 16 orang (19.28 %) diikuti kelompok usia diatas 60 tahun dan usia dibawah 1 tahun masing – masing sejumlah 14 orang (16.87 %).
Pada kasus infeksi bakteri, didapatkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita MH multibasilar dan pausibasilar, selulitis, tuberkulosis kutis serta Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S4) dibandingkan perempuan, sedangkan perempuan lebih banyak menderita impetigo, furunkel/karbunkel, folikulitis, erisipelas dan ektima daripada laki-laki (Tabel 6). Insidensi terbanyak kasus infeksi bakteri adalah MH multibasilar 45 orang (25.42 %), diikuti impetigo 33 orang (18.64 %), furunkel/karbunkel 27 orang (15.25 %), folikulitis 22 orang (12.43 %), MH pausibasilar 15 orang (8.47 %), erisipelas 9 orang (5.08 %), selulitis 9 orang (5.08 %), ektima 7 orang (3.95 %), TB kutis 6 orang (3.39 %), hidradenitis supurativa 2 orang (1.13 %), ulkus piogenikum 1 orang (0.56 %) dan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S4) 1 orang (0.56 %) (Tabel 4). Berdasarkan tabel 6, insidensi MH multibasilar dan pausibasilar secara keseluruhan adalah 60 orang (33.90 %), dimana distribusinya pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
12
Maria Vianney Samsan,Bimo Aryo Tejo,Nurrachmat M,Nugrohoaji, Prasetyadi M, Indah Julianto Bagian /SMF Ilmu Kulit & Kelamin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
ISSN: 2301-6736
Tabel 6. Distribusi Penderita Baru Infeksi Bakteri
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Diagnosis
Jumlah
Persentase (%)
MH Multibasilar 24 21 45 25.42 Impetigo 14 19 33 18.64 Furunkel/Karbunkel 11 16 27 15.25 Folikulitis 9 13 22 12.43 MH Pausibasilar 9 6 15 8.47 Erisipelas 3 6 9 5.08 Selulitis 5 4 9 5.08 Ektima 2 5 7 3.95 Tuberkulosis kutis 5 1 6 3.39 Hidradenitis supurativa 1 1 2 1.13 Ulkus piogenikum 1 0 1 0.56 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S4) 1 0 1 0.56 Jumlah 85 92 177 100% Ket: Insiden tertinggi adalah MH multibasilar, diikuti impetigo, furunkel/karbunkel, folikulitis, MH pausibasilar, erisipelas, selulitis, ektima, TB kutis, hidradenitis supurativa, ulkus piogenikum dan terendah Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S4).
Berdasarkan distribusi usia, penderita baru MH paling banyak berada pada kelompok usia 25-30 tahun dan 21-25 tahun yaitu 20 orang (33.33 %). Sedangkan pada kelompok usia diatas 30 tahun hingga diatas 60 tahun, distribusi kasus MH tampak cukup merata.
Insidensi MH terbanyak di wilayah Karanganyar yaitu 20 orang (33.33 %), diikuti wilayah Sragen 16 orang (26.67 %), Sukoharjo 11 orang (18.33 %), Solo 8 orang (13.33 %), Boyolali 3 orang (5.00 %), Klaten dan wilayah luar Surakarta masing – masing 1 orang (1.67%).
Insidensi terbanyak kasus infeksi virus adalah veruka dengan jumlah 69 orang (49,64%) diikuti dengan herpes zoster 30 orang (21,58%), moluskum kontagiosum 21 orang (15,11%), varicella 16 orang (11,51%) dan variola 3 orang (2,16%) (Tabel 5). Kasus veruka paling banyak mengenai kelompok usia 16-20 tahun sejumlah 19 orang (30.16 %), diikuti usia 11-15 tahun 11 orang (15.94 %), lalu usia 6-10 tahun dan 21-25 tahun masing – masing sejumlah 7 orang (10.14 %) (Diagram 7). Tampak bahwa distribusi kasus veruka terbanyak pada usia anak-anak hingga dewasa muda.
Tabel 7. Distribusi Penderita Baru Infeksi Virus
Diagnosis
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Jumlah
Persentase (%)
Veruka 31 38 69 49.64 Herpes zoster 15 15 30 21.58 Moluskum kontagiosum 10 11 21 15.11 Varicella 7 9 16 11.51 Variola 1 2 3 2.16 Jumlah 64 75 139 100% Ket: Insidensi tertinggi adalah veruka, diikuti oleh herpes zoster, moluskum kontagiosum, varicella, dan terendah variola.
13
Maria Vianney Samsan,Bimo Aryo Tejo,Nurrachmat M,Nugrohoaji, Prasetyadi M, Indah Julianto Bagian /SMF Ilmu Kulit & Kelamin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
ISSN: 2301-6736
Insidensi terbanyak kasus infeksi parasit adalah skabies sejumlah 121 orang (92,37%) diikuti dengan cutaneous larva migran 6 orang (4,58%), demodiciasis 3 orang (2,29%) dan pedikulosis kapitis 1 orang (0,76%) (Tabel 6). Kasus skabies paling banyak terdapat pada kelompok usia 11-15 tahun yaitu 24 orang (19.83 %), diikuti usia 16-20 tahun sejumlah 20 orang (16.53 %), usia 1-5 tahun 17 orang (14.05 %), usia 6-10 tahun 14 orang (11.57 %) dan usia 21-25 tahun 10 orang (8.26 %) (Diagram 8).
Tabel 8. Distribusi Penderita Baru Infeksi Parasit Jenis Kelamin Diagnosis Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase (%) Skabies 74 47 121 92.37 Cutaneous Larva Migran 5 1 6 4.58 Demodiciasis 1 2 3 2.29 Pedikulosis kapitis 0 1 1 0.76 Jumlah 80 51 131 100% Ket: Insiden tertinggi adalah skabies, diikuti oleh cutaneous larva migran, demodiciasis dan terendah pedikulosis kapitis.
PEMBAHASAN Dari hasil tinjauan retrospektif distribusi kasus infeksi kulit di instalasi rawat jalan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Moewardi Surakarta, jumlah kasus infeksi kulit selama setahun periode Oktober 2010 – September 2011 tertinggi adalah 533 kasus infeksi jamur (55%), diikuti 177 kasus infeksi bakteri (18%), 139 kasus infeksi virus (14%) dan 131 kasus infeksi parasit (13%). Hal ini terjadi karena mikosis superfisialis merupakan penyakit infeksi yang umum terjadi di seluruh dunia.7 Kasus tersebut mempengaruhi 20 – 25% populasi dunia dan insidensinya terus mengalami peningkatan.7 Mikosis superfisialis predominan disebabkan oleh dermatofita dan spesies penyebabnya bervariasi menurut wilayah geografis.7 Terdapat kurang lebih 40 spesies dermatofita yang berbeda, dibedakan berdasarkan kemampuannya mencerna keratin dan terbagi menjadi tiga kelompok: Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton.8 Beberapa spesies terdistribusi di seluruh dunia, seperti Trichophyton rubrum, T.
Mentagrophytes var. Interdigitale, Microsporum canis, dan Epidermophyton floccosum.7 Spesies lainnya terbatas pada sebagian wilayah geografis, seperti T. schoenleinii (Eurasia, Afrika), T. soudanense (Afrika), T. violaceum (Afrika, Asia, dan Eropa) dan T. concentricum (benua Pasifik, Wilayah Timur Jauh dan India).7 Di Asia, seperti juga di Eropa, T. rubrum dan T. mentagrophytes merupakan dermatofita terbanyak yang ditemukan.7 Hal ini sesuai dengan hasil gambaran distribusi kasus infeksi jamur di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr.Moewardi Surakarta dengan insidensi tertinggi adalah tinea kruris sejumlah 116 orang (21.76 %), dimana dermatofita yang sering ditemukan pada kasus tinea kruris adalah T. rubrum, T. mentagrophytes dan E. Floccosum.9 Spesies dermatofita yang menjadi predominan bervariasi menurut lokasi klinisnya, seperti digambarkan pada tabel 7 “Manifestasi Klinis dan Pola Umum Infeksi Jamur Superfisialis”.8 Dermatofita berkembang pada suhu 25 – 28 °C dan infeksi kulit manusia didukung oleh kondisi
14
Maria Vianney Samsan,Bimo Aryo Tejo,Nurrachmat M,Nugrohoaji, Prasetyadi M, Indah Julianto Bagian /SMF Ilmu Kulit & Kelamin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
yang hangat dan lembab. Oleh sebab inilah, infeksi jamur superfisial relatif sering terjadi di negara – negara tropis dan makin berkembang lagi dengan penggunaan pakaian tertutup. Sebagai tambahan, frekuensi dermatomikosis lebih banyak terjadi pada komunitas dengan status sosial ekonomi rendah: kondisi tempat tinggal yang padat memberikan kesempatan untuk kontak kulit dengan kulit dan lebih dekat dengan hewan, dimana kebersihan menjadi kurang optimal. Terlebih lagi dengan tidak adanya atau kurangnya perawatan medis selanjutnya akan meningkatkan penyebaran epidemik mikosis kulit.8 Tabel 9. Spesies Lokalisasi Klinis8
Dermatofita yang
Dominan Menurut
Insidensi kasus infeksi jamur tertinggi kedua adalah pitiriasis versikolor sejumlah 115 orang (21.57 %). Malassezia sp. merupakan bagian dari flora normal kulit manusia.10 Prevalensi kolonisasinya pada kulit tergantung dari usia, anatomi tubuh, dan sedikit pengaruh ras.10 Insidensi kolonisasi pada kulit meningkat sekitar 25% pada anak – anak hingga hampir 100% pada remaja dan dewasa.10 Kepadatan kolonisasi pada individu setelah pubertas lebih banyak pada bagian tubuh yang mengandung kelenjar pilosebasea; Malassezia sp. terisolasi dari 100% sampel yang diambil pada punggung orang dewasa, namun hanya 75% yang dapat ditemukan pada wajah dan kepala.10 Diperkirakan bahwa kolonisasi Malassezia sp. terutama terjadi pada saat pubertas dimana kelenjar sebasea menjadi aktif dan konsentrasi lipid pada kulit meningkat.10 Dalam makalah ini didapatkan bahwa penderita laki-laki lebih banyak mengalami tinea kruris dan pitiriasis versikolor dibandingkan perempuan. Hal ini sesuai dengan beberapa kepustakaan yang menyatakan bahwa tinea kruris paling sering muncul pada pria.9,11 Tinea kruris
ISSN: 2301-6736
biasanya timbul akibat penyebaran dari bagian tubuh lain yang terinfeksi, seperti kaki, pada individu yang sama.9,11 Penularannya juga dapat melalui kontak langsung dari satu orang ke orang lain atau melalui kontak tidak langsung lewat benda yang terkontaminasi seperti handuk, pakaian, dan sprei tempat tidur.11 Tinea kruris merupakan kondisi yang sangat menular dan kejadian luar biasa infeksi ini kadang kala terjadi di sekolah dan kelompok / perkumpulan lainnya seperti tim olahraga.11 Kandidosis kutis merupakan kasus infeksi jamur dengan insidensi tertinggi ke-empat yang terdapat pada instalasi rawat jalan poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr.Moewardi Surakarta periode Oktober 2010 – September 2011. Candida adalah patogen oportunistik yang hanya menjadi patogen terhadap manusia pada kondisi lokal dan sistemik tertentu.8 Pada kebanyakan kasus, kandidiasis merupakan infeksi endogen yang berasal dari flora pasien sendiri dan secara umum mengikuti perubahan hubungan host/yeast yang telah ada.8 Insidensi infeksi jamur superfisialis dan sistemik telah meningkat karena terjadi peningkatan insidensi penyakit – penyakit yang berat (contohnya keganasan atau infeksi HIV) atau terapi immunosupresi (steroid sistemik atau kemoterapi).8 Infeksi Candida juga diaktivasi dengan terapi steroid atau antibiotik.8 Obesitas dan diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi utama kandidiasis kutis.8,12 Hasil penelitian menunjukkan distribusi penderita kandidosis kutis di instalasi rawat jalan poliklinik kulit dan kelamin RSUD.Dr.Moewardi Surakarta periode Oktober 2010 – September 2011 terbanyak pada populasi usia 51-55 tahun sejumlah 16 orang (19.28 %) diikuti kelompok usia diatas 60 tahun dan usia dibawah 1 tahun masing – masing sejumlah 14 orang (16.87 %) (Diagram 4), sesuai dengan teori yang ada bahwa kandidiasis secara predominan merupakan penyakit dari “the very old, the very young and the very sick”.8 Insiden terbanyak kasus infeksi bakteri adalah MH multibasilar 45 orang (25.42 %), sementara MH pausibasilar memiliki insidensi yang cukup tinggi 15 orang (8.47 %), sehingga insidensi kasus MH secara keseluruhan adalah 60 orang (33.90 %). Tentunya data ini menunjukkan bahwa MH merupakan masalah utama kasus infeksi bakteri di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Berdasarkan data epidemiologi kusta di Indonesia, sejak tahun 2000 hingga 2005 tidak terdapat penurunan insidensi yang bermakna.13 Jumlah penderita baru kusta di Indonesia pada tahun 2000 adalah 21.964 orang, tahun 2001 sejumlah 14.722 orang, tahun 2002 sejumlah 16.253 orang, tahun 2003 sejumlah 15.913 orang, tahun 2004 sejumlah 16.572 orang dan tahun 2005 sejumlah 19.695 orang.13 Berdasarkan tabel 4, distribusi MH pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal
15
Maria Vianney Samsan,Bimo Aryo Tejo,Nurrachmat M,Nugrohoaji, Prasetyadi M, Indah Julianto Bagian /SMF Ilmu Kulit & Kelamin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
ini dimungkinkan oleh faktor lingkungan dan faktor biologi.13 Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.13 Berdasarkan distribusi usia, penderita baru MH paling banyak berada pada kelompok usia 25-30 tahun dan 21-25 tahun yaitu 20 orang (33.33 %). Hal ini sesuai dengan distribusi kusta menurut umur yang terjadi di Indonesia yaitu yang terbanyak adalah usia muda dan produktif.13 Dari diagram 6, insidensi MH terbanyak di wilayah Karanganyar yaitu 20 orang (33.33 %), diikuti wilayah Sragen 16 orang (26.67 %) dan Sukoharjo di peringkat ke-tiga sejumlah 11 orang (18.33 %), Solo 8 orang (13.33 %), Boyolali 3 orang (5.00 %), Klaten dan wilayah luar Surakarta masing – masing 1 orang (1.67 %). Data kasus MH yang diambil dari bankdata Depkes untuk wilayah Jawa Tengah tahun 2008, terdapat jumlah penderita MH pausibasilar sebanyak 247 orang dan MH multibasilar sebanyak 1486 orang, sehingga total penderita MH berjumlah 1733 orang.13 Jumlah penderita MH tertinggi terdapat di wilayah Brebes yaitu 285 orang (16.44 %), diikuti wilayah Tegal sejumlah 243 orang (14.02 %), Pekalongan 151 orang (8.71 %), Pemalang 120 orang (6.92 %) dan Kudus 102 orang (5.88 %).14 Insidensi terbanyak kasus infeksi virus adalah veruka dengan jumlah 69 orang (49,64%) diikuti dengan herpes zoster 30 orang (21,58%), moluskum kontagiosum 21 orang (15,11%), varicella 16 orang (11,51%) dan variola 3 orang (2,16%) (Tabel 5). Kutil pada kulit terjadi pada semua usia, namun jarang muncul ketika bayi dan masa awal balita.15 Veruka terjadi paling sering pada anak-anak dan dewasa muda dimana insidensinya dapat melebihi 10%.16 Insidensinya meningkat saat usia sekolah hingga puncaknya pada usia remaja dan dewasa muda, kemudian menurun dengan cepat di usia lebih dari 20 tahun dan menurun secara bertahap setelahnya.15 Pada beberapa penelitian, diperkirakan anak-anak usia sekolah 2 – 20% mengalami veruka.15 Insidensi terbanyak kasus infeksi parasit adalah skabies sejumlah 121 orang (92,37%). Skabies cukup endemik pada wilayah tropis, insidensinya sering terjadi pada masyarakat miskin dimana wilayahnya padat penduduk.4 Prevalensi skabies di dunia diperkirakan lebih dari 300 juta kasus.4 Skabies dan pedikulosis cukup sering terjadi di kalangan lembaga institusional atau mereka yang tinggal dalam kondisi yang padat penduduk.4 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang ditunjukkan pada diagram 8 bahwa distribusi penderita baru skabies paling banyak terdapat pada usia sekolah. Skabies disebabkan oleh kutu Sarcoptes scabiei var hominis dan didapatkan melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dan kadangkala melalui benda yang digunakan.4,17 Penatalaksanaan skabies yang paling penting adalah edukasi penderita dan pengobatan secara
ISSN: 2301-6736
berkelanjutan pada kontak penderita.4 Pengobatan ditujukan langsung untuk mencegah penularan skabies karena seseorang dapat menularkan kutu skabies pada saat masa inkubasi dimana tidak terdapat gejala (asimptomatik).18 Individu yang merupakan kontak erat dengan penderita skabies harus diobati dengan scabicide topikal.18 Sebagai tambahan, untuk mencegah re-infeksi dengan kutu skabies, sprei tempat tidur, sarung bantal, handuk, dan pakaian yang digunakan lima hari terakhir harus dicuci dan dikeringkan pada suhu panas, atau drycleaned.18 Karena kutu ini dapat meninggalkan kulit dalam waktu 3 hari, maka sebaiknya karpet dan kain pelapis/pembungkus dibersihkan dengan vacuum.18 Jika penderita dan kontak sekitarnya telah mendapat edukasi yang baik dan penatalaksanaan yang tepat, maka diharapkan angka insidensi skabies dapat menurun. KESIMPULAN Didapatkan kasus infeksi jamur tinea kruris sebagai yang tertinggi dengan perempuan lebih beresiko dari pada laki-laki, tersering pada umur 1620th dan distribusi terbanyak ada di wilayah Solo. DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Mosby. Medical Dictionary, 8th ed. USA: Elsevier, 2009. English, John SC. An Atlas of Dermatology and Management General Dermatology. Clinical Publishing Oxford. UK; 2007: 113. Tyring SK. Syndromal tropical dermatology. Tropical dermatology. USA: Elsevier, Churchill Livingstone, 2006. Naafs B, Padovese V. Rural dermatology in the tropics. Clinics in Dermatology 2009; 27 : 25270. Adiguna MS. Epidemiologi dermatomikosis di Indonesia. Dalam: Budimulja U, dkk. Dermatomikosis Superfisialis. 2003: 1-4. Irawanto ME, dkk. Tinjauan Retrospektif Dermatofitosis di RSUP Dr. Kariadi Semarang selama 6 tahun (1 Juli 1998 - 30 Juni 2004). Ameen M. Epidemiology of superficial fungal infections. Clinics in Dermatology 2010; 28: 197-201. Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. Epidemiological trends in skin mycoses worldwide 2008: 51: 2-15. Goedadi M, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam: Dermatomikosis Superfisialis. 2003: 33. Richardson MD, Warnock DW. Other cutaneous fungal infection. Fungal Infection Diagnosis and Management, 3rd ed. USA: Blackwell Publishing, 2003.
16
Maria Vianney Samsan,Bimo Aryo Tejo,Nurrachmat M,Nugrohoaji, Prasetyadi M, Indah Julianto Bagian /SMF Ilmu Kulit & Kelamin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17. 18.
ISSN: 2301-6736
Richardson MD, Warnock DW. Dermatophytosis. Fungal Infection Diagnosis and Management, 3rd ed. USA: Blackwell Publishing, 2003. Richardson MD, Warnock DW. Superficial Candidosis. Fungal Infection Diagnosis and Management, 3rd ed. USA: Blackwell Publishing, 2003. Hernani, dkk. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVIII. Departemen Kesehatan RI, Indonesia, 2006. Departemen Kesehatan RI. Database Kesehatan Per Kabupaten, 2008 [cited 2011 october 26]; Available from: http://bankdata.depkes.go.id/propinsi/public/re port/createtablepit Sterling JC. Virus Infection. In: Burns T, Breathnach S, Cox N. Griffith C, editor. Rook`s Textbook of Dermatology, 8th ed. USA: Blackwell Publishing, 2010(1): 33.39. Androphy EJ, Lowy DR. Warts. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick`s dermatology in general medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill Company, 2008: 1917. Connolly M. Current recommended treatments for headlice and scabies. 2011: 26-38. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, Other Mites and Pediculosis. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick`s dermatology in general medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill Company, 2008: 2031.
17
Suci Murti Karini & Agustina Wulandari Staf Pengajar/Psikolog Bag. Ilmu Kesehatan Anak FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK- UNS / RSUD Dr. Moewardi
ISSN: 2301-6736
PREVALENSI KASUS GANGGUAN PSIKOLOGIS DI KLINIK TUMBUH KEMBANG ANAK RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PREVALENCE OF PSYCHOLOGICAL DISORDERS CASE IN GROWTH CHILDREN CLINIC DR MUWARDI HOSPITAL SURAKARTA Suci Murti Karini * dan Agustina Wulandari** *) Staf Pengajar/Psikolog Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/RSUD Dr. Moewardi. **)Mahasiswa PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Abstrak Pendahuluan: Perkembangan psikologis atau kejiwaan merupakan salah satu aspek tumbuh kembang anak yang sangat penting. Gangguan psikologis pada anak berbeda dengan dewasa, sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Tujuan: Penelitian di klinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi terhadap kasus-kasus gangguan psikologis bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan jenis gangguan-gangguan tersebut. Metode: Desain penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Data diambil dari catatan medik kasus-kasus psikologi anak di poliklinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2011. Hasil: Subyek dalam penelitian ini sebanyak 334 anak, dengan jenis kelamin laki-laki (62.0%) dan perempuan (38.0%). Jumlah ini meningkat dibandingkan penelitian sebelumnya. Pasien kebanyakan datang sendiri (diperiksakan oleh orangtua) yaitu sebesar 70.4% dan sebagian besar berasal dari dalam kota Surakarta (61.8%). Jenis gangguan psikologis yang terbanyak adalah gangguan intelektual (44.9%), diikuti oleh gangguan perkembangan (35.1%), dan selanjutnya berturut-turut diikuti oleh gangguan perilaku 14.4%, gangguan tingkah laku dan emosi 9.3%, serta gangguan emosi 6.0%. Faktor risiko seperti cara persalinan, usia kehamilan, riwayat kejang, dan riwayat trauma kepala pada anak tidak berhubungan dengan terjadinya gangguan kejiwaan (p < 0.05). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa jumlah pasien dengan gangguan psikologis pada anak yang datang di klinik Tumbuh Kembang RSUD Dr. Moewardi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jenis gangguan psikologis yang dialami anak juga semakin beragam. Kata kunci : Gangguan psikologis anak Abstract Introduction: The development of psychological or psychiatric is one aspect of child development is very important . Psychological disorders in children are different from adults , and should receive greater attention . Objective: Research on child development clinic Hospital Dr . Moewardi to cases of psychological disorders aims to determine the prevalence and types of these disorders . Methods: The study design was a retrospective descriptive . Data retrieved from the medical records of cases of child psychology child development clinic Hospital Dr . Moewardi from January 2007 to December 2011 . Results: The subjects in this study were 334 children , with male gender (62.0%) and women (38.0%). This amount is higher than previous studies. Patients were mostly alone (checked by parents) that is equal to 70.4 % and the majority come from the town of Surakarta (61.8 %). Kind of psychological disorder which is most intellectual impairment (44.9%) , followed by developmental disorders (35.1%), and subsequently in a row followed by 14.4% behavioral disorders , behavioral and emotional disorders 9.3% , 6.0% , and emotional distress. Risk factors such as mode of delivery, gestational age, history of seizures , and a history of head trauma in children is not associated with the occurrence of psychiatric disorders (P <0.05) . Conclusion: It is concluded that the number of patients with psychological disorders in children who come in Developmental Clinic Hospital Dr . Moewardi increasing from year to year. Types of psychological disorders experienced by children is also increasingly diverse. Keywords: psychological; disorders
18
Suci Murti Karini & Agustina Wulandari Staf Pengajar/Psikolog Bag. Ilmu Kesehatan Anak FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK- UNS / RSUD Dr. Moewardi
PENDAHULUAN Anak bukan orang dewasa ukuran mini. Seorang anak memiliki kepribadian yang masih sedang tumbuh dan berkembang, sehingga tingkah lakunya akan berubah-ubah sesuai dengan tahap perkembangannya. Kelainan yang dialami oleh anak biasanya lebih cepat dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya, sedangkan anak sendiri mungkin tidak merasa terganggu. Para ahli berpendapat bahwa setiap anak dalam perkembangannya ke arah dewasa melalui tahap-tahap perkembangan tertentu.1 Tiap tahap mempunyai ciri-ciri khas yang akan berubah bila ia telah melampaui fase itu dan masuk ke tahap perkembangan berikutnya. Suatu bentuk tingkah laku tertentu dapat dianggap normal pada batas usia tertentu, akan tetapi sudah dianggap patologis bila terjadi pada batasan usia yang lain. Contohnya ialah temper tantrum, kelainan ini dianggap masih normal bila terjadi pada anak usia 2-3 tahun, akan tetapi dianggap patologis bila terjadi pada anak usia 16 tahun. Kelainan ini apabila tidak segera dikenali dapat memberikan dampak ke masa selanjutnya.1 Menurut PPDGJ-III dan DSM-IV, gangguan-gangguan kejiwaan pada anak dapat digolongkan menjadi gangguan intelektual, gangguan perilaku, gangguan emosional, gangguan tingkah laku dan emosi, serta gangguan perkembangan.2,3,4 Dari data hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan oleh Badan Litbang Departemen Kesehatan pada tahun 1995 menunjukkan bahwa gangguan mental remaja dan dewasa terjadi sekitar 140 per 1000 anggota rumah tangga, sedangkan gangguan mental anak usia sekolah terjadi sekitar 104 per 1000 anggota rumah tangga. Dalam kurun beberapa tahun terakhir ini, data tersebut dapat dipastikan meningkat karena krisis ekonomi dan gejolak-gejolak lainnya di seluruh daerah, bahkan masalah dunia internasional akan ikut memicu terjadinya peningkatan.5,6 Penelitian mengenai gambaran gangguan psikologis anak yang datang ke klinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi juga telah dilakukan sejak klinik ini dibuka dan masih dilakukan sampai sekarang secara berkala. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran gangguan psikologis pada anak yang datang ke klinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi sejak bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2011. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk menambah pengetahuan mengenai gangguan psikologis anak sehingga dapat meningkatkan tumbuh kembang anak yang optimal. METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif. Data didapatkan dari catatan
ISSN: 2301-6736
medik berupa kasus-kasus gangguan psikologis anak yang datang di klinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi dari Januari 2007 sampai dengan Desember 2011. Karakteristik subyek menurut jenis kelamin, usia, tempat tinggal, asal rujukan, jenis persalinan, riwayat trauma dan kejang sebelumnya, dan jenis gangguan psikologis yang dialami dicatat dan dianalisis secara statistic HASIL Subyek yang diteliti sebanyak 334 anak dengan karakteristik sebagai berikut: Tabel 1. Karakteristik subyek Karakteristik 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
Jenis kelamin a. Perempuan b. Laki-laki Usia a. 0-2 tahun b. 2-5 tahun c. > 5 tahun Tempat tinggal a. Kota Surakarta b. Luar kota Surakarta Asal rujukan a. Datang sendiri b. Dirujuk dokter umum c. Dirujuk dokter anak d. Dirujuk spesialis lain Usia kehamilan ibu a. Kurang bulan b. Cukup bulan c. Lebih bulan Cara persalinan a. Spontan b. Sectio cesarean c. Vakum/forsep Riwayat kejang Riwayat trauma kepala
Jumlah (orang)
%
127 207
38.0 62.0
32 78 224
9.6 23.4 61.7
207 127
61.8 38.2
235 18 69 12
70.4 5.4 20.7 3.6
17 317 0
5.1 94.9 0
301 4 29 28 0
90.1 1.2 8.7 8.4 0
Subyek pada penelitian ini lebih banyak dari subyek penelitian di tempat yang sama 5 tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2002-2006.7 Pada penelitian sebelumnya didapatkan 212 anak,7 sedangkan pada penelitian ini didapatkan peningkatan pasien gangguan psikologis sebanyak 334 anak, dengan jenis kelamin laki-laki (62.0%) lebih banyak daripada perempuan (38.0%). Telah disebutkan dalam penelitian sebelumnya bahwa tidak ada alasan khusus mengenai lebih banyaknya pasien gangguan psikologis anak yang berjenis kelamin lakilaki daripada perempuan.7 Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa gangguan psikologis tertentu lebih banyak diderita oleh pasien dengan jenis kelamin laki-laki daripada perempuan seperti retardasi mental, gangguan pervasif, dan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas.3
19
Suci Murti Karini & Agustina Wulandari Staf Pengajar/Psikolog Bag. Ilmu Kesehatan Anak FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK- UNS / RSUD Dr. Moewardi
Kasus gangguan psikologis pada penelitian ini 61.7% dialami oleh anak yang berusia > 5 tahun atau usia sekolah. Hasil ini serupa dengan penelitian Karini (2007) sebelumnya yang menyatakan bahwa sebagian besar (56.6%) kasus psikologi anak berusia > 5 tahun. Kemungkinan besar penyebabnya adalah para orangtua baru menyadari adanya kelainan kejiwaan pada anaknya saat mereka mulai disekolahkan.7 Hasil penelitian ini didukung oleh data dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan oleh Badan Litbang Departemen Kesehatan pada tahun 1995 yaitu gangguan mental remaja dan dewasa terjadi sekitar 140 per 1000 anggota rumah tangga, sedangkan gangguan mental anak usia sekolah terjadi sekitar 104 per 1000 anggota rumah tangga.5 Pasien dengan kasus gangguan psikologis di klinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi kebanyakan berasal dari kota Surakarta, yaitu sebanyak 207 anak (61.8%). Sedangkan dari daerah lain di luar kota Surakarta didapatkan sebanyak 127 anak (38.2%) meliputi daerah-daerah eks karesidenan Surakarta yaitu Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Wonogiri dan Klaten, bahkan datang dari beberapa daerah di luar Propinsi Jawa Tengah seperti Ngawi, Madiun, dan Magetan, Propinsi Jawa Timur. Pasien yang datang baik dari dalam maupun luar kota Surakarta kebanyakan datang sendiri/dibawa orangtua tanpa rujukan ke poliklinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi (70.4%), jumlah ini lebih banyak dibandingkan data dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sekitar 46.7% pasien yang datang sendiri tanpa rujukan dari dokter.7 Hal ini kemungkinan disebabkan oleh semakin tingginya tingkat pengetahuan dan kesadaran orangtua terhadap tumbuh kembang anaknya, selain itu didukung oleh semakin dikenalnya keberadaan poliklinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi tidak hanya dikalangan dokter namun juga masyarakat secara umum.7 Penelitian ini juga mencoba menganalisa faktor risiko terjadinya gangguan kejiwaan pada anak meliputi: proses kelahiran, usia kehamilan ibu, riwayat kejang dan riwayat trauma kepala pada anak. Sebagian besar pasien dilahirkan secara spontan yaitu sebanyak 301 anak (90.1%) dan cara persalinan ini tidak berhubungan dengan timbulnya gangguan kejiwaan pada anak (p = 0.634). Usia kehamilan sebagian besar adalah cukup bulan yaitu 317 anak (94.4%) dan usia kehamilan ini tidak berhubungan bermakna dengan terjadinya gangguan kejiwaan anak (p =0.071). Dua puluh delapan anak (8.4%) memiliki riwayat kejang sebelum muncul gangguan kejiwaan, namun secara statistik hubungan ini juga tidak bermakna (p = 0.510). Pada penelitian ini tidak didapatkan satupun anak yang memiliki riwayat mengalami trauma kepala sebelumnya.
ISSN: 2301-6736
Tabel 2. Jenis gangguan-gangguan kejiwaan anak di poliklinik RSUD Dr. Moewardi Jenis gangguan 1.
2.
3. 4.
5.
Gangguan intelektual a. Retardasi mental b. Gangguan belajar c. Sindrom Down Gangguan perkembangan a. Gangguan motorik b. Gangguan bicara c. Gangguan belajar khas d. Gangguan pervasif Gangguan tingkah laku dan emosi Gangguan perilaku a. Hiperkinetik b. Enuresis c. Enkopresis d. Konstipasi e. Gangguan makan Gangguan emosi
Jumlah (orang)
%
92 54 4
27.5 16.2 2.4
38 54 14 11 31
11.4 16.2 4.2 3.3 9.3
33 8 1 3 3 20
9.9 2.4 0.3 0.9 0,9 6.0
Kasus terbanyak yang dijumpai pada penelitian ini adalah gangguan intelektual yaitu sebanyak 150 anak (44.9%), diikuti oleh gangguan perkembangan sebanyak 117 anak (35.1%), gangguan perilaku sebanyak 48 anak (14.4%), gangguan tingkah laku dan emosi sebanyak 31 anak (9.3%), serta gangguan emosi sebanyak 20 anak (6.0%). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Karini (2007) yang mendapatkan bahwa kasus terbanyak adalah gangguan perkembangan yaitu sebesar 47.2% meliputi gangguan perkembangan motorik, bicara, dan sosial.7 Sedangkan gangguan intelektual menempati urutan kedua yaitu sebesar 24.5%.7 Kasus berupa gangguan tingkah laku dan emosi pada penelitian ini mengalami peningkatan sebesar 9.3% dibandingkan dengan penelitian sebelumnya di tempat yang sama yaitu 6.1%. Sebaliknya, gangguan perilaku mengalami penurunan yaitu dari 22.2% menjadi 14.4%.7 Gangguan intelektual menurut PPDGJ-III dan DSM-IV meliputi antara lain kelainan retardasi mental, gangguan belajar, dan sindrom Down.2,3 Retardasi mental merupakan gangguan intelektual terbanyak di klinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi sejak tahun 2007-2011 yaitu 92 anak (27.5%), diikuti dengan gangguan belajar yaitu 54 anak (16.2%) dan sindrom Down sebanyak 8 anak (1.2%). PEMBAHASAN Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap. Retardasi mental terutama ditandai oleh adanya hendaya keterampilan selama masa
20
Suci Murti Karini & Agustina Wulandari Staf Pengajar/Psikolog Bag. Ilmu Kesehatan Anak FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK- UNS / RSUD Dr. Moewardi
perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat inteligensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental dapat terjadi bersamaan atau menjadi bagian dari kelainan lainnya, sebagai contoh dalam penelitian ini didapatkan 8 anak (2.4%) yang menderita sindrom Down (secara klinis) dan semuanya mengalami retardasi mental. Hasil ini sesuai dengan penelitan Brown, dkk yang menyatakan bahwa anak dengan sindrom Down semuanya memiliki IQ dibawah rata-rata dan keterampilan sosial/adaptif yang kurang dibandingkan anak normal.8 Gangguan perkembangan anak dibagi menjadi gangguan motorik, gangguan bicara, gangguan belajar khas, dan gangguan pervasif/autistik.2,3,4 Gangguan bicara meliputi speech delayed (lambat bicara) dan speech disorder (gangguan bicara). Menurut Direktorat Jendral Pelayanan Medik Depkes RI (2006) gangguan ini meliputi gangguan bicara dan berbahasa, namun bukan karena retardasi mental, autisme, keterlambatan bicara akibat tuli, atau afasia yang didapat akibat epilepsi. Dalam penelitian ini didapatkan 54 anak (16.2%) mengalami gangguan bicara. Sedangkan, gangguan motorik hanya didapatkan pada 38 anak (11.4%).5 Prevalensi keterlambatan berbicara dan berbahasa di Indonesia belum pernah diteliti secara luas. Data di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM tahun 2006, dari 1125 pasien anak didapatkan 10.13% didiagnosis sebagai keterlambatan bicara dan bahasa.9 Tingginya prevalensi gangguan ini menjadikan prioritas bagi dokter untuk dapat mendeteksi secara dini, sehingga penyebabnya dapat segera dicari dan dilakukan penatalaksanaan segera agar tidak mempengaruhi perkembangan anak di masa selanjutnya. Salah satu gangguan perkembangan lain yang mulai banyak mendapat sorotan adalah ganggaun pervasif atau autistik karena jumlahnya yang semakin meningkat tajam. Sebelumnya di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi gangguan ini sebesar 0.05%, namun laporan terakhir menyebutkan gangguan ini terjadi pada 1 diantara 150 kelahiran.3 Pada penelitian ini didapatkan 11 anak terdiagnosis menderita gangguan pervasif atau dengan kata lain sebesar 3.3% dari seluruh pasien yang datang dengan kasus gangguan kejiwaan di poliklinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi menderita gangguan autistik. Gangguan autistik 5 kali lipat lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan. Penyebab kelainan ini belum diketahui secara pasti namun diduga terdapat faktor risiko untuk terjadinya gangguan ini, yaitu faktor biologik, genetik, komplikasi dan infeksi perinatal dan faktor lingkungan.5 Berdasarkan PPDGJ-III dan DSM-IV, gangguan perilaku meliputi hiperkinetik, eneuresis,
ISSN: 2301-6736
enkopresis, konstipasi, gangguan makan, dan TIC.2,3 Kelainan perilaku terbanyak yang diamati dalam penelitian ini adalah hiperkinetik yang diderita oleh 33 anak (9.9%). Gangguan hiperkinetik disebut juga gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas/ADHD (Attention deficit hyperactivity disorder). Anak dengan ADHD selalu bergerak dan ‘usil’ sehingga sering dikeluhkan karena mengganggu lingkungan dan anak lain disekitarnya. ADHD didefinisikan sebagai gangguan yang ditandai adanya pola yang persisten dari ketidakmampuan untuk memperhatikan dan/atau adanya hiperaktivitasimpulsivitas.5 Di Amerika Serikat diperkirakan ADHD terjadi 3-5% dari seluruh anak usia sekolah. Sedangkan di Indonesia belum didapatkan data yang akurat. ADHD sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan rasio 4-9 : 1.3,5 Data ini mendukung hasil penelitian bahwa gangguan kejiwaan tertentu lebih banyak terjadi pada anak lakilaki daripada perempuan. Gangguan makan pada bayi dan masa kanak-kanak biasanya meliputi penolakan makanan dan rewel padahal makanannya memadai dan diberikan oleh pengasuh yang baik, serta anak tidak menderita penyakit organik.5 Dalam penelitian ini hanya didapatkan 3 anak (0.9%) yang didiagnosis menderita gangguan makan. Jumlahnya yang sedikit menunjukkan bahwa sebagian orangtua kemungkinan menganggap bahwa masalah makan merupakan masalah yang biasa dan sering dialami anak-anak, sehingga jarang yang memeriksakan ke dokter apalagi ke poliklinik tumbuh kembang anak. Enuresis atau mengompol, gangguan berupa tidak mampu menahan buang air besar atau disebut juga enkopresis, atau sebaliknya konstipasi yaitu kesulitan buang air besar pada penelitian ini ditegakkan apabila perilaku tersebut bukan merupakan kondisi medis dan tidak ada faktor organik yang menyebabkan terjadinya kelainan itu.5 Seperti halnya gangguan makan, gangguan-gangguan ini kurang mendapatkan perhatian dari orangtua sehingga masih sedikit yang datang untuk memeriksakan dan berkonsultasi ke dokter atau psikolog anak. Gangguan tingkah laku dan emosi meliputi gangguan tingkah laku depresif. Gangguan depresi adalah suatu keadaan yang secara khas ditandai oleh rasa sedih, murung, hilangnya semangat dan minat dalam semua atau hampir seluruh aktivitas yang biasa dilakukan. Gangguan depresi biasanya disertai dengan pikiran-pikiran tentang kematian, ketidakgunaan diri, pesimis, tiada harapan, dan keputusasaan.5 Gangguan depresi pada anak-anak kadang-kadang sulit diidentifikasi karena anak sukar mengutarakan perasaannya. Pernyataan perasaan sering berupa penyimpangan tingkah laku dalam bentuk cepat marah, temper tantrum, menolak makan
21
Suci Murti Karini & Agustina Wulandari Staf Pengajar/Psikolog Bag. Ilmu Kesehatan Anak FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK- UNS / RSUD Dr. Moewardi
dan keluhan fisik seperti keluhan sakit perut, muntahmuntah, sakit kepala, dan lain sebagainya. Pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun memperlihatkan gejala depresi yang terselubung seperti agresif, hiperatif, dan lain-lain.5 Pada penelitian ini didapatkan 31 anak (9.3%) yang mengalami gangguan tingkah laku depresi. Jumlah ini dua kali lebih banyak dari jumlah pasien yang menderita gangguan tingkah laku depresi pada tahun 2002-2006, yaitu 13 anak (6.1%).7 Biasanya depresi pada anak didasari oleh suatu kehilangan ‘obyek cinta’ yang bermakna bagi anak. Pada bayi atau anak paling banyak disebabkan oleh perpisahan dengan ibu atau pengasuh utamanya. Seperti halnya pada pasien-pasien dalam penelitian ini, rata-rata menderita depresi karena ditinggal atau berpisah dengan salah satu orangtuanya. Gangguan emosi atau cemas pada anak adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya kecemasan yang berlebihan, tidak realistik (tidak ada alasan yang jelas), dan menetap untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga mengganggu/menghambat fungsi anak sehari-hari. Gangguan emosi pada anak antara lain terdiri dari gangguan cemas perpisahan, gangguan kecemasan fobik, gangguan kecemasan sosial, dan gangguan kecemasan persaingan antar saudara.5 Dua puluh anak (6.0%) dari keseluruhan pasien anak dengan kasus gangguan psikologis yang datang ke polikilinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi mengalami gangguan emosi berupa kecemasan. Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan klasifikasi penyebab dari gangguan cemas yang terjadi.
ISSN: 2301-6736
DAFTAR PUSTAKA 1. Tanuwidjaya S. Konsep umum tumbuh kembang. Dalam: Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno, Ranuh I Gde, Wiradisuria S. Buku ajar tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi I. Jakarta. Ikatan Dokter Indonesia. 2002. 2. Muslim RR. Diagnosis gangguan jiwa. PPDGJIII. Jakarta. Fakultas Kedokteran UI. 2002. 3. American Psychiatric Association. Diagnosis and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-4. Washington DC. American Psychiatric Association. 2000. Hal 39-134. 4. Soetjiningsih. Perkembangan anak dan permasalahannya. Dalam: Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno, Ranuh I Gde, Wiradisuria S. Buku ajar tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi I. Jakarta. Ikatan Dokter Indonesia. 2002. 5. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Depkes RI. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan gangguan mental emosional anak usia dibawah 6 tahun kebawah. Jakarta. Depkes RI. 2006. 6. Budhiman Melly. Anak dengan Kesulitan Psikiatrik. Cermin Dunia Kedokteran.1982: 27. 7. Karini Suci M, Herlinawati SW, Moelyo GM. Gambaran kasus psikologi anak di klinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Majalah Psikologi. 2007. 8. Brown Frank R, Greer Margaret K, Aylward Elizabeth H, Hunt Hurshell. Intellectual and adaptive functioning in individuals with Down Syndrome in relation to age and environmental placement. Pediatrics. 1990: 85; 450. 9. Departemen Rehabilitasi Medik RSCM. Data primer. Jakarta. 2006.
KESIMPULAN Jumlah kunjungan ke klinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Meowardi, khususnya kasus gangguan psikologis anak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kasus-kasus yang ditangani juga semakin beragam, jumlah kasus terbanyak yang ditangani adalah gangguan intelektual. Kasus-kasus lain prevalensinya juga lebih banyak apabila dibandingkan dengan kasus-kasus gangguan psikologis anak pada tahun-tahun sebelumnya. Pasien juga datang dari berbagai kota, tidak hanya dari dalam kota Surakarta saja tetapi juga berasal dari luar kota Surakarta, termasuk dari luar Propinsi Jawa Tengah. Kebanyakan pasien dibawa periksa oleh orangtua tanpa rujukan dari dokter, hal ini menandakan bahwa kesadaran orangtua akan tumbuh kembang anak semakin tinggi dan semakin membuktikan bahwa klinik tumbuh kembang anak RSUD Dr. Moewardi telah dikenal secara luas oleh masyarakat umum.
22
Sri Lilijanti Widjaja & Galuh Kamenyangan Sari Devisi Pediatri Kardiologi, Ilmu Kesehatan Anak, FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
ISSN: 2301-6736
HUBUNGAN GANGGUAN FUNGSI JANTUNG DENGAN MANIFESTASI RESIDU LAMBUNG PADA SEPSIS NEONATUS THE RELATIONSHIP BETWEEN HEART DYSFUNCTION AND MANIFESTATION OF GASTRIC RESIDUAL OF NEONATUS SEPSIS Sri Lilijanti Widjaja* dan Maria Galuh Kamenyangan Sari Divisi Pediatri Kardiologi, Ilmu Kesehatan Anak, FK UNS-RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Abstrak Pendahuluan: sepsis neonatal dengan disfungsi hati mengenai prosedur dianggap sebagai utama patologi sepsis. Angka kematian dua kali lipat pada sepsis neonatal disfungsi kardiovaskular disertai. Disfungsi miokard didefinisikan sebagai kriteria diagnostik untuk sepsis berat pada orang dewasa. Terjadinya sphlancnic dan mesenterika hipo - perfusi dampak gangguan sistem pencernaan yang bermanifestasi sebagai residu lambung . Tujuan: untuk menganalisis hubungan antara residu lambung dan disfungsi jantung di antara neonatus beresiko sepsis. Metode: Penelitian cross - sectional ini dilakukan pada Januari 2011 - Oktober 2011 hingga neonatus yang dicurigai sepsis yang dirawat di Neonatal - HCU Moewardi Surakarta Rumah Sakit Umum . Sampel dipilih oleh quota sampling . Sepsis dinilai dengan kriteria mayor-minor klinis. Residu lambung didefinisikan ketika volume aspirasi lambung 4 jam setelah pemberian pakan mencapai ≥ 20 % selama 2 hari. Disfungsi jantung diukur dengan menggunakan dua dimensi Doppler echocardiography . Uji chi square dilakukan untuk menganalisis data ini menggunakan SPSS 17.0. Hasil: Diantara 48 neonatus risiko septik , kami menemukan 27 (56,3%) dinyatakan sebagai residu lambung , 25 (64,1%) mengalami disfungsi jantung yang 17 (70,8%) adalah gangguan fungsi sistolik . Gangguan fungsi jantung , terutama gangguan fungsi sistolik , beresiko mengalami residu lambung signifikan (OR=6,25; IK.95%: 1,14-34,29 dan OR=3,40 ; IK.95% : 1,03-11,26, masing-masing) . Neonatus yang lambung residu susu beresiko disfungsi jantung dibandingkan dengan tidak ada residu lambung tidak signifikan (OR = 8,00; IK95 % : 0,87-73,27) . Kesimpulan : Ada hubungan antara residu lambung dan disfungsi jantung di antara neonatus beresiko sepsis . Kehadiran residu lambung bisa menjadi penanda disfungsi jantung di antara neonatus risiko septik . Kew kata: residu lambung , disfungsi jantung, neonatus , sepsis Abstract Introduction: Neonatal sepsis with heart dysfunction lacking regarded as main pathology of sepsis. The death rate doubly in sepsis neonatal accompanied cardiovascular dysfunction. The myocardial dysfunction defined as diagnostic criteria for severe sepsis in adult. The occurrence of sphlancnic and mesenteric hypo-perfusion impact disorder of digestive system which manifest as gastric residue. Objective: to analyze the relationship between gastric residue and heart dysfunction among neonates at risk of sepsis. Method: This cross-sectional study was conducted in January 2011 – October 2011 to neonates suspected sepsis who were hospitalized at Neonatal-HCU Moewardi General Hospital Surakarta. Sample was selected by quota sampling. Sepsis was assessed by clinical major-minor criteria. Gastric residue was defined when the volume of gastric aspiration 4 hours after feeding reached ≥ 20% for 2 days. Heart dysfunction was measured using two-dimensional Doppler echocardiography. Chi square test was performed to analyze this data using SPSS 17.0. Results: Among 48 septic risk neonates, we found 27(56.3%) manifested as gastric residue, 25(64.1%) having heart dysfunction which 17 (70.8%) is the systolic function disorders. Impaired heart function, especially disorders of systolic function, are at risk of undergoing gastric residue significantly (OR=6.25; CI95%:1.14 to 34.29 and OR=3.40; CI95%: 1.03 to 11.26, respectively). Neonates whose gastric residue as milk are at risk of heart dysfunction compared with no gastric residue insignificantly (OR=8.00; CI95%:0.87 to 73.27). Conclusion: There was a relationship between gastric residue and heart dysfunction among neonates at risk of sepsis. The presence of gastric residue can become a marker of heart dysfunction among septic risk neonates. Kew words: gastric residue, heart dysfunction, neonate, sepsis
23
Sri Lilijanti Widjaja & Galuh Kamenyangan Sari Devisi Pediatri Kardiologi, Ilmu Kesehatan Anak, FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
PENDAHULUAN Adanya mekanisme gangguan fungsi jantung pada sepsis neonatus kurang dianggap sebagai patologi utama mengingat besarnya angka kematian dua kali lipat pada sepsis neonatus yang disertai disfungsi kardiovaskular. Telah dilaporkan angka kematian sebesar dua kali lipat pada pasien neonatus dengan sepsis yang disertai disfungsi kardiovaskular dan syok septik (Luce, 2007). Sepsis secara klinis ditandai oleh inflamasi sistemik, disfungsi jantung, terjadinya ketidakmampuan pengiriman oksigen untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan kegagalan multiorgan serta kematian (Rosentiel, 2001; Luce, 2007). Definisi sepsis telah ditinjau oleh sekelompok pakar, namun belum ada perubahan yang secara relevan ditetapkan berkaitan dengan fungsi jantung, terutama pada neonatus (Levy, 2003). Adanya gangguan fungsi jantung pada sepsis akan mempengaruhi peredaran darah sistemik, terjadi hipoperfusi sistem splanknikus dan mesenterika yang
ISSN: 2301-6736
berdampak gangguan sistem pencernaan, termasuk hipoperistaltik, keterlambatan waktu pengosongan lambung dan bermanifestasi sebagai adanya residu lambung (Neu, 2007; Burns, 2009). Pentingnya infark miokard serta rendahnya indeks jantung (CI) ataupun bukti ekokardiografi adanya disfungsi jantung telah digunakan sebagai kriteria diagnostik sepsis berat pada dewasa. (Hunter, 2010). Tidak banyak diketahui mengenai efek kardiovaskular pada sepsis neonatus, namun perkembangan kardiomiosit pada neonatus yang berbeda dari orang dewasa dapat menyebabkan perbedaan pula dalam efek sepsis terhadap jantung (Rudiger, 2007). Paparan lipopolisakarida (LPS) yang menginduksi produksi TNFα telah dikaitkan dengan peningkatan apoptosis pada kardiomiosit orang dewasa (CV, 2005; Lancel, 2005)., namun pada kardiomiosit neonatus tidak ada peningkatan apoptosis walaupun terjadi peningkatan produksi TNFα setelah terpapar lipopolisakarida (Hickson, 2006).
Gambar 1. Mekanisme peningkatan cardiac troponin (cTn) dan B-type natriuretic peptide (BNP) pada pasien dengan sepsis berat dan syok septic. ALI = acute lung injury; IL = interleukin; LV = left ventricular; RV = right ventricular; RVEDP = right ventricular end-diastolic pressure; RVSWI = right ventricular stroke work index; TNF = tumor necrosis factor (Maeder, 2006).
Penurunan curah jantung (cardiac output) merupakan asumsi umum dalam gangguan fungsi otot jantung ventrikel kiri. Kardiomiopati septik ditandai dengan gangguan kontraktilitas otot jantung intrinsik biventrikuler, dengan pengurangan fraksi ejeksi dan indeks kerja ventrikel kiri (Timothy, 2008; Hunter, 2010). Sepsis berkaitan dengan hipodinamik serta vasokonstriktor, sehingga lebih responsif terhadap terapi vasodilator dan inotropik (Rosentiel, 2001; Rivers, 2001). METODE Penelitian ini merupakan penelitian potonglintang (cross-sectional study) untuk menelaah
hubungan antara residu lambung dengan adanya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis. Pengambilan sampel dilakukan secara pencuplikan kuota di ruang perawatan neonats berisiko tinggi (high care unit/HCU-neonatus) RSUD Dr. Moewardi antara bulan Januari 2011 -Oktober 2011. Kriteria inklusi meliputi semua neonatus berisiko sepsis, sesuai kriteria sepsis mayor-minor, mendapatkan nutrisi enteral dan bermanifestasi klinis residu lambung pada selang nasogastrik, sedangkan subjek dengan kelainan kongenital saluran pencernaan, tidak bermanifestasi residu sama sekali, serta menolak mengikuti penelitian akan dieksklusi. Interpretasi residu lambung pada neonatus dianggap tidak normal apabila volume residu
24
Sri Lilijanti Widjaja & Galuh Kamenyangan Sari Devisi Pediatri Kardiologi, Ilmu Kesehatan Anak, FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
lambung mencapai lebih dari 30 % dari total formula yang diberikan 3 sampai 4 jam sebelum dilakukan aspirasi lambung (Dollberg, 2000). Aspirasi lambung yang normal pada neonatus adalah jika didapatkan kurang dari 20% dari volume formula yang diberikan 3-4 jam sebelum pengukuran, berupa formula tak tercerna berwarna susu, terutama banyak didapatkan pada neonatus kurang bulan (Gomella, 2004). Cara untuk mengevaluasi pemberian minum setiap 4 jam adalah dengan aspirasi lambung melalui selang orogastrik atau nasogastrik menggunakan spuit. Dilakukan oleh perawat dan dokter serta dicatat dalam formulir pemantauan mengenai jenis dan volumenya dan diambil rata-ratanya selama pengamatan 2 x 24 jam. Jika jumlah volume lebih dari 20% dari total formula yang diberikan maka dinyatakan positif. Gangguan fungsi jantung yang dinilai adalah fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri yang mencerminkan aliran darah sistemik. Fungsi sistolik
ISSN: 2301-6736
ventrikel kiri dapat dinilai dengan persentase pemendekan diameter ventrikel kiri selama sistolik (FS) dan fraksi ejeksi (EF). Nilai normal FS berkisar antara 28% - 44% dengan rata-rata 36%. Sedangkan nilai normal EF yakni antara 56% - 78% dengan rata-rata 66%. Fungsi sistolik dinyatakan terganggu bila diperoleh FS sebesar ≤ 30% dan peningkatan EF sebesar ≥ 80%. Fungsi diastolik ventrikel dinyatakan terganggu apabila didapatkan hasil rasio E/A ≤ 1 (Myung, 2008). Sedangkan gangguan fungsi jantung dinyatakan positif, apabila didapatkan salah satu atau kedua fungsi, baik diastolik maupun sistolik terganggu. Pengukuran menggunakan alat ekokardiografi Doppler dua dimensi yang dilakukan oleh dokter spesialis anak konsultan kardiologi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Neonatus dengan risiko sepsis awitan dini ataupun lambat dinilai berdasarkan adanya 2 faktor risiko minor dan 1 faktor risiko mayor berdasarkan tabel dibawah ini :
Tabel 1. Dasar penentuan resiko sepsis awitan dini maupun lambat Risiko mayor 1. 2. 3. 4.
Ketuban pecah > 24 jam Ibu demam; saat intrapartum > 38.0 ºC Korioamnionitis Denyut jantung janin yang menetap>160x/menit 5. Ketuban berbau
Risiko minor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Ketuban pecah > 12jam Ibu demam; saat intrapartum suhu >37.5 ºC Nilai APGAR rendah (menit ke1<5, menit ke 5<7) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR),<1500 gram Usia kehamilan < 37 minggu Kehamilan ganda Keputihan pada ibu Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK)/ tersngka ISK yang tidak diobati.
Sumber: Aminullah, 2009
Klinis sepsis yang dipakai pada penelitian ini adalah bila didapatkan tanda-tanda sebagai berikut : FIRS (Fetal Inflammatory Respons Syndrome) / SIRS (Systemic Inflammatory Respons Syndrome) ditegakkan apabila terdapat 2 atau lebih keadaan sebagai berikut : laju nafas > 60x/m dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi oksigen, suhu tubuh tidak stabil (<36 °C atau >37.5 °C), capillary refill time > 3 detik, laju nadi > 180 kali/menit atau < 100 kali/menit , letargi, intoleransi minum, muntah coklat, diare, oligouri, kejang, pucat, kuning, sianosis, apnea, tanda dehidrasi, tanda pertumbuhan janin terhambat (PJT/IUGR), sklerema, omfalitis, hepatosplenomegali dan distensi abdomen. Klinis sepsis ditegakkan apabila didapatkan satu atau lebih kriteria FIRS disertai dengan gambaran klinis infeksi tersebut (Hague, 2006). Karakteristik dasar sampel berskal kategorikal, yaitu jenis kelamin, prematur (<37 minggu, berat badan lahir rendah (<2500g), volume residu lambung (≥20%), jenis residu lambung, gangguan fungsi jantung dan penyakit jantung bawaan (PJB). Data diolah dengan SPSS 17.0, adanya kekuatan hubungan dianalisis dengan metode uji silang (chi square) dan disajikan dalam Odds Ratio (OR) dengan confidence interval 95%.
HASIL Penelitian dilakukan sejak bulan Januari 2011 hingga Oktober 2011 terhadap semua pasien neonatus berisiko sepsis yang dirawat di ruang HCUneonatus RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan diperoleh sebanyak 48 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta setuju untuk ikut dalam penelitian. Karakteristik dasar subjek penelitian disajikan pada tabel 4. Dari distribusi didapatkan usia gestasi subyek penelitian < 37 minggu (prematur) adalah 18 subyek (37.50%), berat badan lahir rendah (< 2500 gram) sebanyak 16 (33.30%) dan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan, sebesar 26 subyek (54.20%). Dari hasil pemeriksaan residu lambung didapatkan 27 subyek (56.30%) yang mengalami residu positif ≥20%, dengan jenis residu terbanyak adalah susu (68.80%), kemudian billious (14.60%) dan bloody residu sebanyak 16.70%. Dari seluruh subyek penelitian sebagian besar (81.30%) mengalami gangguan fungsi jantung, di mana terdiri dari 8 subyek (16.67%) dengan gangguan fungsi sistolik saja, 15 subyek (31.25%) mengalami gangguan fungsi diastolik saja dan 16
25
Sri Lilijanti Widjaja & Galuh Kamenyangan Sari Devisi Pediatri Kardiologi, Ilmu Kesehatan Anak, FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
subyek (33.3%) mengalami gangguan fungsi keduanya, baik sistolik maupun diastolik. Sedangkan dari semua subyek, didapatkan 15 subyek (31.3%) menderita penyakit jantung bawaan (PJB). Adanya kejadian residu lambung pada subyek penelitian berdasarkan usia gestasi, jenis kelamin, berat badan lahir, ada tidaknya gangguan fungsi jantung serta PJB ditunjukkan pada tabel 2. Dari tabel tersebut, dinyatakan bahwa adanya residu lambung memiliki kemungkinan sebesar 6.25 kali
ISSN: 2301-6736
untuk terjadinya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis secara signifikan (OR=6.25;CI95%:1.14 sd 34.29), demikian juga kemungkinan terhadap gangguan fungsi sistolik sebesar 3.4 kali (OR=3.40; CI95%:1.03 sd 11.26). Sedangkan untuk prematuritas, BBLR dan penyakit jantung bawaan merupakan faktor risiko untuk terjadinya residu lambung, namun tidak signifikan secara statistik.
Tabel 2. Kejadian residu lambung menurut berbagai kategori variabel pada neonatus berisiko sepsis Residu lambung N (%)
Total (48) n (%)
OR
p
6 (33.3)
18 (100.0)
2.00
0.260
0.59 sd 6.73
15 (50)
30 (100.0)
2.27
0.165
0.71 sd 7.27
2.20
0.217
0.62 sd 7.79
6.25
0.022
1.14 sd 34.29
3.40
0.042
1.03 sd 11.26
2.60
0.119
0.77 sd 8.75
1.88
0.327
0.53 sd 6.72
Variabel positif ≥ 20%
negatif < 20%
< 37 minggu
12 (66.7)
≥ 37 minggu
15 (50)
CI 95%
Usia gestasi
Jenis kelamin laki-laki
17 (65.4)
9 (34.6)
26 (100.0)
perempuan
10 (45.5)
12 (54.5)
22 (100.0)
< 2500 gram
11 (68.8)
5 (31.3)
16 (100.0)
≥ 2500 gram
16 (50)
16 (50)
32 (100.0)
Gangguan fungsi jantung Ada
25 (64.1)
14 (35.9)
39 (100.0)
Tidak
2 (22.2)
7 (77.8)
9 (100.0)
Ada
17 (70.8)
7 (29.2)
24 (100.0)
Tidak
10 (41.7)
14 (58.3)
24 (100.0)
Gangguan fungsi diastolik Ada
20 (64.5)
11 (35.5)
31 (100.0)
Tidak
7 (41.2)
10 (58.8)
17 (100.0)
Penyakit jantung bawaan (PJB) Ada
10 (66.7)
5 (33.3)
15 (100.0)
Tidak
17 (51.5)
16 (48.5)
33 (100.0)
Berat badan lahir (BBL)
Gangguan fungsi sistolik
Tabel 3. Hubungan antara jenis residu lambung terhadap risiko terjadinyagangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis Residu lambung Variabel Susu Gangguan fungsi jantung Ada Tidak Total OR p CI 95%
16 (94.12) 1 (5.88) 17 (100.0) 8.00 0.066 0.87 sd 73.27
Positif (≥ 20%) Jenis residu lambung N (%) billous 3 (75.0) 1 (25.0) 4 (100.0) 1.50 0.744 0.13 sd 17.18
Negatif (< 20%) bloody 6 (100.0) 0 (0.00) 6 (100.0) 6.72 0.165 0.33 sd 136.20
14 (66.67) 7 (33.33) 21 (100.0)
26
Sri Lilijanti Widjaja & Galuh Kamenyangan Sari Devisi Pediatri Kardiologi, Ilmu Kesehatan Anak, FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
Tabel 3 menunjukkan hubungan antara kejadian residu lambung, baik volume maupun jenisnya, terhadap risiko adanya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis, yaitu bahwa kelompok neonatus dengan residu lambung jenis susu memiliki risiko untuk mengalami gangguan fungsi jantung delapan kali lebih besar daripada tanpa residu
ISSN: 2301-6736
lambung (OR=8.00; CI95% :0.87 sd 73.27). Sedangkan untuk residu jenis bilious maupun bloody memiliki kemungkinan untuk mengalami gangguan fungsi jantung sebesar 1.5 kalinya dan 6.72 kalinya (OR=1.50; CI95%:0.13 sd 17.18 dan OR=6.72; CI95%:0.33 sd 136.20).
Tabel 4. Karakteristik dasar subyek penelitian (n = 48) Karakteristik dasar Usia gestasi < 37 minggu ≥ 37 minggu Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Berat badan lahir (BBL) < 2500 gram ≥ 2500 gram Volume residu lambung ≥ 20 % < 20 % Jenis residu lambung Susu Billious Bloody Gangguan fungsi jantung Ada Gangguan fungsi sistolik saja Gangguan fungsi diastolic saja Gabungan gangguan fungsi sistolik dan diastolik Tidak ada Penyakit jantung bawaan (PJB) Ada Tidak
PEMBAHASAN Data pada penelitian ini berasal dari data primer berdasarkan anamnesis untuk mengetahui faktor risiko sepsis dari ibu selama kehamilan maupun persalinan, adanya penyulit maupun kelainan kongenital. Selain itu, sumber data primer lain adalah hasil pemeriksaan residu lambung dengan aspirasi lambung serta hasil ekokardiografi. Dari seluruh subyek penelitian yang meliputi semua neonatus berisiko sepsis, tampak bahwa lebih dari setengah kasus memberikan manifestasi adanya residu lambung. Sebagian besar subyek yang bermanifestasi residu lambung tersebut ternyata mengalami gangguan fungsi jantung (64.10%) karena sepsis. Dari penelitian ini didapatkan kejadian residu lambung sebesar 56.30% di mana terdiri dari jenis residu susu sebanyak 33 subyek (68.80%), kemudian billious sebesar 7 subyek (14.60%) dan bloody residu sebanyak 8 subyek (16.70%), dan sebagian besar mengalami gangguan fungsi jantung 81.30% dibanding kelompok tanpa residu lambung, hal ini menunjukkan kejadian residu lambung dengan
Subyek n (48)
%
18 30
37.50 62.50
26 22
54.20 45.80
16 32
33.30 66.70
27 21
56.30 43.80
33 7 8
68.80 14.60 16.70
39 8 15 16 9
81.30 16.67 31.25 33.33 18.80
15 33
31.30 68.80
gangguan fungsi jantung secara bersamaan. Hasil analisis dengan uji x2 menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara kejadian residu lambung positif dengan gangguan fungsi jantung (OR=6.25; p=0.022). Selain itu kelompok dengan residu lambung positif dan mengalami gangguan fungsi sistolik sebanyak 17 subyek (70.8%) dengan hasil analisis statistik dengan uji x2 menunjukkan hubungan yang signifikan (OR=3.4; p=0.042). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Hunter pada tahun 2009 dimana pada kejadian sepsis berat dapat memicu sitokin inflamasi yang menyebabkan adanya gangguan fungsi miokardium yang dapat dilihat dengan pemeriksaan ekokardiografi dengan mengukur fungsi sistolik dan diastolic, namun penelitian tersebut dilakukan pada penderita sepsis dewasa (Anane, 2005; Maeder et al., 2006; Hunter, 2010). Selain itu, hasil penelitian ini mendukung pernyataan bahwa sepsis yang terjadi pada neonatus menyebabkan gangguan fungsi sistolik dan diastolik jantung melalui mekanisme kerusakan DNA, nekrosis, apoptosis serta peningkatan
27
Sri Lilijanti Widjaja & Galuh Kamenyangan Sari Devisi Pediatri Kardiologi, Ilmu Kesehatan Anak, FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
permeabilitas membran miosit yang mengakibatkan gangguan kinerja ventrikel kiri (Rudiger, 2007). Prematuritas merupakan salah satu faktor risiko sepsis pada neonatus, selain itu imaturitas dari organ saluran cerna termasuk lambung serta sistem kardiovaskuler juga dapat menyebabkan timbulnya manifestasi residu lambung. Maka pada penelitian ini prematuritas, berdasarkan usia gestasi < 37 minggu, diperhitungkan sebagai faktor perancu terhadap kejadian residu lambung dan dianalisis tersendiri. Dari tabel 3 dapat diketahui jumlah subyek prematur yang mengalami residu lambung positif sebanyak 12 subyek (66.7%) dan hasil analisis uji chi square menunjukkkan prematuritas memiliki risiko 2 kali untuk terjadinya residu lambung namun tidak signifikan (OR=2.00; p=0.260). Adanya berat badan lahir yang rendah (< 2500 gram) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya residu lambung, maka BBLR juga diperhitungkan sebagai faktor perancu. Subyek yang mengalami residu lambung positif dan memiliki berat badan lahir kurang dari 2500 gram relatif cukup banyak yakni sebesar 11 subyek (68.8%), dan memiliki kemungkinan 2.2 kali untuk terjadinya residu lambung meskipun tidak terdapat kemaknaan secara statistik (OR=2.20; p=0.217). Residu lambung dalam definisi operasional telah disebutkan hanya mencakup sisa volume minum neonatus yang diberikan sebelumnya, tanpa memperhatikan bagaimanakan jenis residu tersebut. Namun, dalam penelitian ini, sebagai outcome sekunder kami mencoba menganalisis mengenai hubungan jenis residu terhadap kemungkinan adanya gangguan fungsi jantung. Dari tabel 4, analisis dengan uji chi square menunjukkan bahwa seorang neonatus berisiko sepsis yang mengalami jenis residu susu memiliki kemungkinan untuk mengalami gangguan fungsi jantung secara umum sebesar 8 kali lebih besar, dibandingkan dengan neonatus tanpa residu lambung (OR:8,00 ;CI95% 0,87 sd 73.27). Sedangkan untuk jenis bilious dan bloody memiliki kemungkinan lebih kecil, hal ini dimungkinkan oleh karena residu berwarna billious lebih mencerminkan adanya kelainan saluran cerna lokal pada saluran empedu dan duodenum, dapat berupa malformasi, malfungsi ataupun proses inflamasi. Gejala klinis sepsis, seperti adanya demam, akan menyebabkan takikardi dan hipertrofi otot ventrikel kiri yang berakibat gangguan fungsi sistolik. Kesemuanya berdampak menjadi sindroma penurunan curah jantung yang akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke sistemik, termasuk aorta abdominalis beserta percabangannya, secara khusus terjadi penurunan aliran darah pada sistem splanknikus dan mesenterika yang berakibat iskemia organ saluran pencernaan dan berdampak terjadinya gangguan motilitas usus, penurunan fungsi peristaltik, gangguan metabolisme enzim pencernaan
ISSN: 2301-6736
serta keterlambatan waktu pengosongan lambung yang bermanifestasi sebagai adanya peningkatan residu lambung (Corpeleijn, 2008). Traktus gastrointestinal merupakan organ yang rentan terkena efek sistemik. Pemenuhan aliran darah dan tekanan perfusi yang adekuat merupakan langkah penting untuk memperbaiki kekurangan ini. Obat-obatan inotropik dengan efek dilatasi telah diketahui dapat meningkatkan perfusi splanknik dan oksigenasi. (Setiati, 2009). Selain itu, pada studi yang dilakukan oleh Shimada dkk menyatakan bahwa pada Patent Ductus Arteriosus (PDA) meskipun terjadi peningkatan output dari ventrikel kiri namun berdampak penurunan aliran darah yang menuju ke aorta abdominalis, arteri coeliaca, mesenterika dan renalis (Shimada, 1994; Myung, 2008). Analisis terhadap prematuritas dan berat badan lahir rendah sebagai perancu terjadinya manifestasi residu lambung pada neonatus berisiko sepsis menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan sebagai faktor risiko dengan terjadinya residu lambung, meskipun tidak bermakna secara statistik, namun tetap sangat penting untuk dijadikan pertimbangan. Pada sebagian besar subyek yang mengalami residu lambung didapatkan PJB, yang diketahui juga dapat menyebabkan manifestasi residu lambung, namun hubungan keduanya tidak bermakna secara statistik. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain jumlah sampel yang sedikit menyebabkan cakupan interval kepercayaan (confidence interval) terlalu lebar sehingga menurunkan presisi. Adanya penyakit jantung bawaan (PJB) pada subyek penelitian pada awalnya hendak kami eksklusikan untuk memperoleh sampel yang representatif untuk sepsis, namun karena sulitnya perolehan sampel, maka PJB tetap kami sertakan sebagai subyek penelitian, namun dianalisis tersendiri, tanpa memandang apakah jenis PJB tersebut, sianotik ataukah asianotik. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak bisa memastikan hubungan sebab akibat / causal antara kejadian residu lambung dengan gangguan fungsi jantung oleh karena penelitian ini dilakukan secara potong lintang/crosss sectional. Maka dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kejadian residu lanbung dengan gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis. Residu lambung dapat digunakan sebagai penanda awal untuk kemungkinan adanya gangguan fungsi jantung pada neonatus berisiko sepsis, maka disarankan untuk melakukan pemeriksaan residu lambung pada neonatus berisiko sepsis yang dirawat di ruang intensif khusus untuk menilai toleransi minum dan kapasitas lambung neonatus dalam keadaan sepsis serta pelacakan gangguan fungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi dalam
28
Sri Lilijanti Widjaja & Galuh Kamenyangan Sari Devisi Pediatri Kardiologi, Ilmu Kesehatan Anak, FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
upaya diagnosis dan penatalaksanaan dini sepsis neonatus secara cermat dan tepat. KESIMPULAN Ada hubungan antara residu lambung dan disfungsi jantung di antara neonatus beresiko sepsis . Kehadiran residu lambung bisa menjadi penanda disfungsi jantung di antara neonatus risiko septik . DAFTAR PUSTAKA Aminullah A (2009). Sepsis pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim S, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta : IDAI. h: 178-87. Annane D, Bellissant E, Cavaillon JM (2005). Septic shock. Lancet, 365: 63–78 Burns A, Roberts R, Bornstein J, dkk.( 2009). Development of the enteric nervous system and its role in intestinal motility during fetal and early postnatal stages. Seminars in Pediatric Surgery, 18 (4): 196-205. Corpeleijn WE, van Vliet I, de Gast-Bakker DA, van der Schoor SR, Alles MS, Hoijer M, Tibboel D, dkk. (2008). Effect of enteral IGF-1 supplementation on feeding tolerance, growth, and gut permeability in enterally fed premature neonates. J Pediatr Gastroenterol Nutr, 46 (2): 184-90. CV, Xu X, Parrillo JE (2005). Human serum from patients with septic shock activates transcription factors STAT1, IRF1, and NFkappaB and induces apoptosis in human cardiac myocytes. J Biol Chem, 280: 4261926. Dollberg S, Kuint J, Mazkereth R, dkk. (2000). Feeding tolerance in preterm infants: randomized trial of bolus and continuous feeding. J Am Coll Nutr, 19: 797–800. Gomella TL (2004). Gastric aspirate (residuals). Dalam Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE, editor. Neonatology; management, procedures, on call problem, diseases, and progres. Edisi 15. Lange medical books.h. 237-40. Haque K (2006). Management of bacterial infection in newborn. J Arab Neonatal Forum, 3: 415. Hunter JD, Doddi M (2010). Sepsis and the heart. British Journal of Anaesthesia; 104: 3–11.
ISSN: 2301-6736
Hickson-Bick DL, Jones C, Buja LM, dkk. (2006). The response of neonatal rat ventricular myocytes to lipopolysaccharide-induced stress. Shock, 25: 546-52. Lancel S, Petillot P, Favory R, dkk. (2005). Expression of apoptosis regulatory factors during myocardial dysfunction in endotoxemic rats. Crit Care Med, 33: 492-6. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, dkk. (2003). International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med, 31: 1250–6. Luce WA, Hoffman TM, Bauer JA (2007). Bench-tobedside review: Developmental influences on the mechanisms, treatment and outcomes of cardiovascular dysfunction in neonatal versus adult sepsis. Maeder M, Fehr T, Rickli H, dkk. (2006). SepsisAssociated MyocardialDysfunction : Diagnostic and Prognostic Impact of Cardiac Troponins and Natriuretic Peptides. Chest, 129: 1349-66. Myung K (2008). Noninvasive techniques. Dalam: Myung K, penyunting. Pediatric Cardiology for Practitioner. Edisi ke-5. Texas: Mosby Elsevier. h. 81-107. Neu J (2007). Gastrointestinal development and meeting the nutritional needs of premature infants. Am J Clin Nutr, 85 (2): 629-34. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, dkk. (2001). Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med, 345: 1368-77. Rosenstiel N, von Rosenstiel I, Adam D (2001). Management of sepsis and septic shock in infants and children. Paediatr Drugs, 3: 927. Rudiger A, Singer M (2007). Mechanisms of sepsisinduced cardiac dysfunction. Crit Care Med, 35 (6): 1599-1608. Setiati TE, Soemantri A (2009). Sepsis dan disfungsi organ multiple pada anak. Patofisiologi dan Pentalaksanaan. h. 103-19, 185-7. Shimada S, Kasai T, Konishi M, dkk. (1994). Effect of patent ductus arteriosus on left ventricular output and organ blood flows in preterm infants with respiratory distress syndrome treated surfactant. J Pediatr, 125: 270-7. Timothy M, Hoffman, Welty SE (2008). Physiology of the preterm and term infant. h. 440-44.
29
Osi, dr, Prof. Bhisma Murti, dr.,MPH,MSc,PhD., MH Sudjito, dr, SpAn, KNA Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta PPDS Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr.Moewardi
ISSN: 2301-6736
PENAMBAHAN DEXMEDETOMIDINE MEMPERPANJANG LAMA KERJA PADA ANESTESI BLOK AKSILARIS ADDITIONAL WORK LONGER EXTEND DEXMEDETOMIDINE ON ANESTHESIA AXILARIS BLOCK Osi, dr.1,2, Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, MSc, PhD.3, MH Sudjito, dr, SpAn, KNA.4 1 PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK. UNS/RSUD Dr. Moewardi, 2 Mahasiswa Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta 3 Staff Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta 4 Staff Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK. UNS/RSUD Dr. Moewardi
Abstrak Pendahuluan: Dexmedetomidine merupakan agonis reseptor α2 adrenergik yang dapat bekerja di perifer menghasilkan analgetik dengan mengurangi sekresi norepinefrin dan menyebabkan hambatan efek reseptor α2 pada potensial aksi serabut saraf. Metode: Penelitian ini merupakan ujiklinis tahap III, double blind randomized controlled trial. Sejumlah 22 pasien dewasa ASA I dan II yang akan menjalani bedah lengan bawah dengan anestesi blok aksilaris. Pasien dibagi secara acak kedalam dua kelompok. Pasien kelompok B (n = 11) diberikan 30 mL bupivakain 0,25 % dan normal salin. Kelompok D (n = 11) diberikan 30 mL bupivakain 0,25 % dan dexmedetomidine 25 µg. Hasil: Mula kerja blok sensorik (p=0,765) dan motorik (p=0,748) tidak berbeda signifikan. Namun durasi blok sensorik (p<0,001) dan motorik (p<0,001) secara signifikan berbeda antara kedua kelompok, lebih memanjang pada kelompok D dibandingkan grup B. Efek samping dari penggunaan dexmedetomidine adalah bradikardia. Kesimpulan: Penambahan dexmedetomidine 25 µg pada 30 mL bupivakain 0,25 % tidak mempercepat mula kerja blok motorik dan sensorik, namun memperpanjang durasi blok motorik dan sensorik pada anestesi blok aksilaris. Kata Kunci: Dexmedetomidine, Bupivakain, Anestesi blok aksilaris, Mula kerja blok sensorik dan motorik, Lama kerja blok sensorik dan motorik. Abstract Introduction: Dexmedetomidine is alpha 2 adrenergic receptor agonist that occupied in peripher, producing analgesia by suppresing norepinephrin secretion and blocking nerve action potensial in alpha 2 receptor. Method: This research is phase III clinical study, double blind randomized controlled trial. 22 adult patients of ASA I and II were scheduled for lower arm surgery with axillary block. Patients were randomized into 2 groups. Patients in group B ( n = 11) were given 30 mL bupivacaine 0.25% and normal saline. Patients in group D (n = 11) were given 30 mL bupivacaine 0.25% and dexmedetomidine 25 µg. Result: The onset of sensory (p=0.765) and motor (p=0.748) blockade was not significantly different. But, the duration of sensory (p<0.001) and motor (p< 0.001) blockade was significantly different between groups. The duration was longer in group D than in group B. The side effect of dexmedetomidine administration is bradycardia. Conclusion: The addition of 25 µg dexmedetomidine into 30 mL bupivacaine 0.25% does not shorten the onset of sensory and motor blockade, but it prolongs the duration of sensory and motor blockade in axillary block. Keywords: Dexmedetomidine, bupivacaine, axillary block, onset of sensory and motor blockade, duration of sensory and motor blockade.
30
Osi, dr, Prof. Bhisma Murti, dr.,MPH,MSc,PhD., MH Sudjito, dr, SpAn, KNA Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta PPDS Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr.Moewardi
ISSN: 2301-6736
31
Osi, dr, Prof. Bhisma Murti, dr.,MPH,MSc,PhD., MH Sudjito, dr, SpAn, KNA Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta PPDS Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr.Moewardi
PENDAHULUAN Blok saraf perifer memberikan banyak manfaat bagi pasien, termasuk pengendalian nyeri dan pada umumnya mengurangi efek samping yang terkait anestesi. Dalam rangka mengoptimalkan nyeri sekaligus mengurangi total dosis anestesi lokal akan digunakan untuk menambahkan obat yang baik kecepatan onset dan memperpanjang blok sensorik atau efek analgesik. Beberapa obat tambahan yang telah diteliti antara lain opioid (Bazin 1997), klonidin (Culebras 2001), neostigmin (Bone 1999), hialuronidase (Keller 1992), bikarbonat (Bedder 1998), dan midazolam (Jarbo 2005, Pratama 2012). Penelitian dan literatur lainnya menunjukkan efek anestesia dan analgesia dexmedetomidine melalui pemberian secara perifer, dexmedetomidine added to ropivacaine prolongs the duration of supraclavicular brachial plexus block (Yoo et al 2012), Manfaat penambahan dexmedetomidine pada levobupivakain memperpanjang blok pleksus brakialis pendekatan aksilaris (Esmaoglu 2010), Use of dexmedetomidine along with bupivacaine for brachial plexus block (Gandhi et al 2012), Penambahan dexmedetomidine pada lidokain pada intravena anestesi regional (Memis et al 2004). Bupivakain adalah obat anestesi lokal golongan amida dan sering digunakan anestesi regional karena memiliki lama kerja yang panjang serta memberikan blok sensorik yang lebih baik dibandingkan blok motorik. Pada blok aksilaris dengan menggunakan bupivakain (amida) bekerja dengan memblok kanal natrium, sehingga tidak terjadi depolarisasi, sedangkan dexmedetomidine di perifer agonis reseptor α2 menghasilkan analgetik dengan mengurangi sekresi norepinefrin dan menyebabkan hambatan efek reseptor α2 pada potensial aksi serabut saraf sehingga terjadi hiperpolarisasi pada mebran sel, hal ini akan menghambat atau mencegah konduksi implus dan reaksi organ yang dipengaruhi. METODE Setelah mendapat persetujuan dari komite etik RSUD Muwardi dan informed consent pasien, 22 pasien dengan status fisik ASA I dan II berumur 20 – 59 tahun yang direncanakan operasi elektif lengan bawah, dengan anestesi perifer blok aksilaris diikutsertakan dalam penelitian ini. Pasien – pasien dengan penyakit hati, hamil, gangguan faktor
ISSN: 2301-6736
pembekuan darah, kelainan saraf pada ekstremitas yang akan diblok ataupun kontralateralnya, infeksi lokal disekitar daerah injeksi dan riwayat hipersensitifitas terhadap pemakaian obat anestesi lokal golongan amida dan dexmedetomidine. Pasien dibagi menjadi dua kelompok dalam suatu rancangan buta ganda terrandomisasi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Randomisasi dilakukan dengan program komputer OpenEpi, Version 2, open source calculator–Random number. Kelompok perlakuan diberikan 30 mL bupivakain 0,25 % dan dexmedetomidine 25 µg 1 mL (kelompok D, n = 11) sedangkan kelompok kontrol diberikan 30 mL bupivakain 0,25 % dan normal salin 1 mL (grup B, n = 11). Campuran anestesi lokal dan ajuvannya dibuat oleh residen anestesi yang tidak terlibat dalam melakukan blok pleksus brakhialis, perawatan pasien ataupun pengumpulan data. Tata cara penelitian dilakukan sbb : Dilakukan kunjungan perioperatif satu hari sebelum pembedahan dan dilakukan informed consent kepada pasien mengenai pembedahan, penelitian yang akan dilaksanakan, dan teknik anestesi yang akan dilakukan, serta dijelaskan pula cara penilaian sensorik dan motorik. Semua penderita dipuasakan selama 6 jam sebelum pembedahan. Diruang persiapan pasien dibaringkan terlentang, kemudian dipasang alat pemantau dan dicatat data mengenai kesadaran, tekanan darah, laju nadi, laju napas, dan saturasi oksigen. Selanjutnya dipasang kateter intravena dengan jarum 18 G pada tangan yang berlawanan dengan tangan yang akan dilakukan blomaksilaris dan pembedahan. Blok akisilaris dilakukan setidaknya 30 menit sebelum pembedahan diruang persiapan. Nerve stimulator dan jarum insulated dipergunakan untuk melokalisasikan secara tepat pleksus brakhialis. Posisi jarum dinyatakan tepat untuk dilakukan penyutikkan anestesi lokal dan ajuvannya bila ada respons motorik berupa kontraksi dari pergelangan tangan ataupun jari – jari pada output current < 0,5 mA. Setelah sebelumnya dilakukan aspirasi untuk memastikan tidak adanya kesalahan penyuntikan kedalam pembuluh darah, obat anestesi diberikan secara bertahap dan dilakukan aspirasi secara berkala. Waktu mulai dihitung segera setelah obat anestesi diberikan dan dievaluasi setiap 5 menit oleh seorang pengamat yang tidak mengetahui pencampuran obat. Mula kerja blokade sensoris pada daerah yang dipersarafi oleh saraf muskulokutaneus, radialis, medialis dan ulnaris dinilai dengan es atau 32
Osi, dr, Prof. Bhisma Murti, dr.,MPH,MSc,PhD., MH Sudjito, dr, SpAn, KNA Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta PPDS Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr.Moewardi
kapas alkohol dan dibandingkan dengan tangan yang tidak mengalami perlakuan. Mula kerja blok motorik dimulai bila modified bromege skor 3. Blok sensoris dan motorik dicatat mula kerja dan lama kerjanya. Besar sampel didapatkan dengan rumus penghitungan besar sampel untuk membandingkan beda mean antara dua kelompok yang tidak berhubungan menurut Lemeshow (Murti 2010), yang dikonfirmasi dengan penentuan besar sampel beda mean dengan kalkulator OpenEpi. Lama kerja blok sensorik kelompok kontrol 146 ± 36,4 dibandingkan
ISSN: 2301-6736
kelompok perlakuan 732,4 ± 48,9 (Gandhi et al 2012), dengan confidence interval 95% dan power 80% didapatkan jumlah masing – masing pasien dalam kedua kelompok adalah 11 pasien. Analisa statistik dilakukan dengan komputer, data berskala numerik dianalisa normalitas distribusinya dengan analisa Shapiro-Wilk, untuk data parametrik dilakukan uji independent -samples t test, data nonparametrik diuji dengan uji Mann-Whitney. Sedangkan data berskala nominal diuji dengan Chisquare (Dahlan 2009).
HASIL Tabel 1. Karakteristik sampel (data numerik) Variabel Umur (tahun)* Berat Badan (kg)* Lama operasi (menit)*
Bupivakain (n = 11) 35,64 ± 12,60 48,82 ± 6,11 81,36 ± 7,45
Dexmedetomidine (n = 11) 36,09± 14,05 50,91 ± 7,97 95,00 ± 5,00
p 0,937 0,498 <0,001
* Data dinyatakan sebagai nilai mean ± SD Tabel 2. Karakteristik demografi sampel penelitian (data nominal) Variabel Jenis Kelamin (L/P)
Bupivakain (n = 11) 7/4
Dari data karakteristik demografi para pasien tidak didapatkan berbedaan yang bermakna diatara kedua kelompok, sehingga data hasil penelitian layak dilakukan uji satatistik. Tidak terdapat perbedaan median mula kerja blok sensorik antara kelompok Bupivakain (20,00) dibandingkan kelompok Dexmedetomidine (20,00) dan tidak terdapat perbedaan median mula kerja blok motorik antara kelompok Bupivakain (15,00) dibandingakan kelompok Dexmedetomidine (15,00). Namun uji Mann-Whitney pada perbedaan median kedua kelompok memberikan hasil tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik p > 0,05 (p = 0,765 untuk mula kerja blok sensorik dan p = 0,655 untuk mula kerja blok motorik). Uji Mann-Whitney dilakukan karena analisa Shapiro-Wilk pada data hasil penelitian untuk mula kerja blok sensorik dan mula kerja blok motorik berdistribusi tidak normal.
Dexmedetomidine (n = 11) 8/3
p 0,088
Tabel 3. Uji Mann-Whitney terhadap median perbedaan mula kerja blok sensorik
Kelompok
Median
Dexmedetomidine
20,00
Bupivakain
20,00
p
0,765
Terdapat perbedaan mean lama kerja blok sensorik antara kelompok Dexmedetomidine (565,00 ± 26,08 menit) dibandingkan kelompok Bupivakain (140,91 ± 8,01 menit) dan perbedaan mean lama kerja blok motorik antara kelompok Dexmedetomidine (510,91 ± 20,59 menit) dibandingkan kelompok Bupivakain (102,27 ± 5,18 menit).
33
Osi, dr, Prof. Bhisma Murti, dr.,MPH,MSc,PhD., MH Sudjito, dr, SpAn, KNA Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta PPDS Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr.Moewardi
ISSN: 2301-6736
Tabel 4. Uji Mann-Whitney terhadap median perbedaan mula kerja blok motorik
Kelompok
Median
Dexmedetomidine
15,00
Bupivakain
15,00
p
0,655
Gambar 2. Grafik lama kerja blok sensorik dan motorik antara kelompok dexmedetomidine dan kelompok bupivakain
PEMBAHASAN
Gambar 1. Grafik mula kerja blok sensorik dan blok motorik antara kelompok Dexmedetomidine dan kelompok Bupivakain
Dan uji independent-samples t test pada perbedaan mean kedua grup memberikan hasil adanya perbedaan yang bermakna p signifikan < 0,05 (p < 0,001 untuk lama kerja blok sensorik dan p < 0,001 untuk lama kerja blok motorik). Uji independent-samples t test dilakukan karena analisa Shapiro-Wilk pada data hasil penelitian untuk lama kerja blok sensorik dan lama kerja blok motorik berdistribusi normal. Tabel 5. Uji t independen terhadap rerata perbedaan blok sensorik Kelompok
Mean
Dexmedetomidine (n=11)
565,00 ±26,08
Bupivakain (n=11)
140,91 ±08,01
Tabel 6. Uji t independen terhadap rerata perbedaan blok motorik
Kelompok Dexmedetomidine (n=11) Bupivakain (n=11)
Mean 510,91 ± 20,59 102,27 ± 5,18
lama kerja
p
<0,0 01
lama kerja
P
<0,00 1
Operasi pada extermitas atas adalah prosedur yang sering di gunakan, baik dengan anestesi umum maupun dengan blok pleksus brakialis. Blok pleksus brakhialis memiliki beberapa keuntungan diantaranya; mobilisasi lebih awal, resiko rendah terjadinya mual dan muntah, mengurangi nyeri dan pemulangan lebih awal. Tehnik blokade pleksus brakialis dapat dilakukan dengan pendekatan aksilaris merupakan pilihan yang baik dalam menghasilkan anestesi untuk extermitas atas. Faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas dari tehnik ini salah satunya adalah obat anestesi lokal yang digunakan. Bupivakain adalah obat yang digunakan untuk anestesi regional, yang menimbulkan hambatan konduksi impuls (otonom, sensorik, somato-motorik) sepanjang jalur saraf otonom,sensorik-somatik, dan motorik-somatik. impuls akan diputus sehingga menghasilkan hambatan sistem saraf otonom, anestesi sensorik, dan paralisis otot skelet pada daerah yang diinervasi oleh saraf yang dihambatnya. Hilangnya efek bupivakain oleh pulihnya konduksi saraf yang tidak disertai dengan kerusakan struktur serabut saraf (Stoelting et al, 2006). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dexmedetomidine (golongan reseptor α2 adrenergik) sebagai obat tambahan bupivakain pada anestesi blok aksilaris di mana mekanisme kerja dexmedetomidine secara perifer mengurangi sekresi norepinefrin dan menyebabkan hambatan efek reseptor α2 pada potensial aksi serabut saraf sehingga terjadi hiperpolarisasi pada mebran sel, hal ini akan menghambat atau mencegah konduksi implus dan reaksi organ yang dipengaruhi (Gandhi et al, 2012) sehingga terjadi pemanjangan lama kerja blok terutama blok sensorik. Pemanjangan lama kerja blok bupivakain oleh dexmedetomidine dapat juga disebabkan oleh efek efek seperti vasokonstriksi dan vasodilatasi, glikogenolisis dan glukoneogenesis, penurunan sekresi insulin, sedasi dan analgesia (Ozkose et al, 2006). 34
Osi, dr, Prof. Bhisma Murti, dr.,MPH,MSc,PhD., MH Sudjito, dr, SpAn, KNA Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta PPDS Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr.Moewardi
Penelitian Esmaoglu (2010) yang meneliti efek penambahan 100 µg dexmedetomidine terhadap levobupivakain 0,5% pada blok pleksus brakialis terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan rata-rata mula kerja serta lama kerja blok sensorik dan motorik antara kelompok levobupivakain dan kelompok dexmedetomidine. Penelitian lain mengenai efek penambahan dexmedetomidine 1 µg/kg terhadap 20 ml ropivakain 0,7% untuk memblok pleksus brakialis, pendekatan supraklavikula didapatkan lama kerja blok sensorik dan motorik yang memanjang (p<0,01) namun tidak mempercepat mula kerja blok sensorik dan blok motorik (Yoo,2012). Terdapat penelitian mengenai penambahan dexmedetomidine 30 µg terhadap bupivakain 0,25% untukmemblok pleksus brakialis terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan rata-rata mula kerja serta lama kerja blok sensorik dan motorik antara kelompok dexmedetomidine dan kelompok bupivakain tetapi tidak mempercepat mula kerja blok sensorik dan motorik (Gandhi et al, 2010). Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan pada mula kerja blok sensorik dan motorik antara kelompok bupivakain dan kelompok dexmedetomidine. Tetapi terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan pada pada lama kerja blok sensorik dan motorik antara kelompok dexmedetomidine dan kelompok bupivakain. KESIMPULAN Penambahan dexmedetomidine pada bupivakain dapat menjadi pilihan untuk operasi – operasi lengan bawah karena memperpanjang lama kerja blok motorik dan sensorik. DAFTAR PUSTAKA Bazin JE, 1997. The addition of opioids to local anaesthetic in brachial plexus block: the comparative effects of morphine,buprenorphhine and sufentanil. Anesthesia Analg,Austria 52: 858-62. Bedder MD, 1988. Comparison of bupivacain and alkalinized bupivacain in brachial plexus anesthesia. Anesth Analg, California 67:48-52. Bogra J, Arora N, Srivastava P, 2005. Synergistic effect of intrathecal fentanyl and bupivacain in spinal anesthesia for cesarean section. BMC Anesthesiology,Belgium 5:5. Bone H, 1999. Enhancement of axillary brachial plexsus block anesthesia by coadministration of neostigmine. Reg Anesth Pain Med, USA. 24:405-10. Charles B, Berde, Gary R, 2010. Lokal anesthetic. Miller’s Anesthesia. Churchill Livingstone, Inc. USA. 7:913-39.
ISSN: 2301-6736
Chirstopher M, Bernards, 2008. Lokal Anesthesia, A practical Approach to Regional Anesthesia, Lippincott Williams & Willking, Philadelphia. 2(4):1-23. Covino BG, Scott DB, 1997. Hand Book of Epidural Anesthesia and Analgesia. Grune & Stratton, Inc. New York, 58-76. Culebras X, 2001. Clonidine combined with a long acting lokal anesthetic does not prolong postoperative analgeia after brachial plexus block but does induce haemodinamic changes. Anesth Analg.Turkey 92:199 – 204. deJong RH, 2008. Axillary block of the brachial plexus. Anatomy & Physiologi. Churchill Livingstone, Inc. USA. 22:215-18. Eriksson E, 1965. Axillary brachial plexus anaesthesia in children with Cita-nest. Acta Anaesthesiol Scand Suppl, philadelphia. 16:291306. Esmaoglu A, Yegenoglu F MD, Akin A, Turk CY, 2010. Dexmedetomidine Added to Levobupivacaine Prolongs Axillary Brachial Plexus Block. Int Anest Res Soc. Turkey. 111(6):1548-51. Gandhi R, Shah A, Patel I, 2012. Use of Dexmedetomidine Along with Bupivacaine for Brachial Plexus Block. Nat. J. Med. India.1(2):67-9. Hodgson PS, dan Liu S, 2001. Local Anesthetics. In: Clinical Anesthesia. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins Co, 3(4):449-65. Katzung BG, 2002. Local Anesthesia. Basic & Clinical Pharmacology. Terjemahan: Sjabana D, Isbandiati E, Basori A. Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 6(8):170-8. Kaymak C, Basar H, Doganci N, Sert O, Apan A, 2008. The effects of perioperative low–moderate doses of dexmedetomidine infusion on hemodynamics and neuroendocrine parameters. Turk. J. Med. Sci.Turkey 38(1): 65–71. Keller JF, 1992. Effect of addition of hyaluronidase to bupivacain during axilary brachial plexus block. Br J Anesth. 8:68-71. Mansjoer A, Suprohaita, Wardahani WI, Setiowulan W, 2000. Anestesi spinal. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 6(3):261. McDonald JS, Mandalfino DA, 1995. Subarachnoid block. In: Bonica JJ, McDonald JS. Principles and Practice Analgesia and Anaesthesia. Baltimore: Williams & Wilkins. Philadelphia (2)471. Menda F, Koner O, Sayin M, Ture H, Imer P, Aykac B, 2010. Dexmedetomidine as an adjunct to anesthetic induction to attenuate hemodynamic response to endotracheal intubation in patients undergoing fast–track
35
Osi, dr, Prof. Bhisma Murti, dr.,MPH,MSc,PhD., MH Sudjito, dr, SpAn, KNA Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Prodi Magister Kedokteran Keluarga Paska Sarjana UNS Surakarta PPDS Anestesiologi & Terapi Intensif FK-UNS/RSUD Dr.Moewardi
CABG. Annals of Cardiac Anaesthesia, Turkey 13(1): 16–21. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, 2006. Patient monitors. Clinical Anesthesiology. Lange Medical Books-McGraw-Hill. USA. 4;117-54. Murti B, 2010. Ukuran sampel untuk proporsi. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 2;96– 103. Ozkose Z, Demir FS, Pampal K, Yardim S, 2006. Hemodynamic and anesthetic advantages of dexmedetomidine, an α2 agonists for surgery in prone position. Tohoku J. Exp. Med. USA 210: 153–60. Schroeder LE, Horlocker TT, Schroeder DR, 1996. The efficacy of axillary block for surgical procedures about the elbow. Anesth Analg, USA 83:747. Serlo W, Haapanemi L, 1985. Regional anesthesia in paediatric surgery. Acta Anaesthesiology Scand, USA 29:283.
ISSN: 2301-6736
Stanley F, 1997. Lokal anesthetic. Handbook Lokal Aneathesia, Mosby. Churchill Livingstone, Inc, USA. 4;2-23. Stoelting RK, 2006. Local Anesthetics, Pharmacologi and Physiologi Anestetic Practice, Lippincott Raven, Philadelphia. 4;179207 . Taufiqurohman MA, 2008. Rancangan eksperimental klinik (uji klinik) : tahapan uji klinik, model – model rancangan uji klinik, keuntungan dan kerugian uji klinik. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. LPP UNS dan UNS Press. Surakarta. 111-22. Veering B, 1996. Local Anesthetics, Regional Anesthesia and Analgesia. WB Saunders Company, Philadelphia. 188-97. Yazbek–Karam VG, Aouad MM, 2006. Perioperative uses of dexmedetomidine. MEJ. Anaesth. Lebanon 18(6);1043–55. Yoo JY, Lee AR, Shin TH, Choi SJ and Choi DH, 2012. Dexmedetomidine Added to Ropivacaine Prolongs the Durations of Supraclavicular Brachial Plexus Block. Seoul.BJA.Abstr.125:405.
36
Fifiana Dewi Permatasari, Supriyadi Hari Respati, Makmuroch Bagian /SMF Obgin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Bagian /SMF Kedokteran Jiwa FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
ISSN: 2301-6736
PERBEDAAN KEJADIAN POSTPARTUM BLUES PADA PERSALINAN SEKSIO SESARIA DAN PERSALINAN SPONTAN THE DIFFERENCE INCIDENCE OF POST PARTUM BLUES SECTIO CESAREAN AND SPONTANEUS DELIVERY Fifiana Dewi Permatasari1), Supriyadi Hari Respati2), Makmuroch3) 1) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret 2) Bagian/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr Moewardi Surakarta 3) Bagian/SMF Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr Moewardi Surakarta
Abstrak Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan kejadian postpartum blues yang perbedaan antara sectio caesar dan spontan . Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional dan lakukan di Moewardi dan RS Banjarsari Surakarta. Sampel menggunakan metode purposive sampling dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah usia 20-35 tahun prymipara yang telah melakukan pengiriman caesar sectio atau spontan, punya bayi hidup dengan skor Apgar ≥ 7 , dan tidak memiliki pengalaman depresi sebelumnya. Kriteria eksklusi memiliki L - MMPI skor > 10 , Obstetri komplikasi , dan bayi kembar anomali atau congenytal. Subyek diisi -out CC pendek dan lembar concent informasi, kuesioner L - MMPI kejujuran, depresi qustionnaire divalidasi, Kuesioner Blues derajat depresi , masing-masing. 66 primipara sampel dan data dianalisis menggunakan (1) Chi - Square (2) SPSS 17.0 for Windows. Hasil: Dari hasil analisis data menggunakan teknik chi square , diperoleh nilai statistik X2 6203 , p - value 0,01 , sedangkan df 1 ² tabel 3,8 . Dan kemudian , H0 ditolak dan H1 diakses. Kesimpulan: Penelitian ini menemukan perbedaan yang signifikan dari post partum blues yang kejadian antara primipara dengan pengiriman caesar spontan dan sectio. Disarankan untuk memberikan intervensi tertentu bagi perempuan post partum, pertama, untuk primipara dengan sectio caesar. Kata kunci : metode pengiriman, postpartum blues
ABSTRACT Objectives: This research aim is to find the difference incidence of postpartum blues between sectio caesarean and spontaneous delivery. Methods: This research was an analytical observational study using cross-sectional approach and had done in Moewardi Hospital and Banjarsari Hospital Surakarta. Sampled using purposive sampling method with inclusion and exclusion criteria. The inclusion criteria were 20-35 years old prymipara who has done a spontaneous or sectio caesarean delivery, had a live baby with Apgar score ≥7, and had no depression experience before. The exclusion criteria were had L-MMPI score > 10, obstetry complication, and a congenytal anomali or twin baby. Subject filled-out a short CC and informed concent sheet, the L-MMPI questionnaire to honesty, a validated depression qustionnaire, the Blues Questionnaire to degree of depression, respectively. 66 primipara sampled and data were analyzed using the (1) Chi-Square (2) SPSS 17.0 for Windows. Results: From the result of data analysis using chi square technique, it is obtained the value of X2 statistic of 6,203, p-value 0,01, while df 1 ² table of 3,8. And then, H0 denied and H1 accessed. Conclusion: This study found a significant difference of post partum blues incident between primipara with spontaneous and sectio caesarean delivery. It is recommended to give a certain intervention for post partum women, firstly, for primipara with sectio caesarean delivery. Keywords: delivery methode, postpartum blues
36
Fifiana Dewi Permatasari, Supriyadi Hari Respati, Makmuroch Bagian /SMF Obgin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Bagian /SMF Kedokteran Jiwa FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
PENDAHULUAN Melahirkan seorang anak dapat menyebabkan suatu perubahan besar yang melibatkan gejolak fisik dan emosional yang cukup berarti. Perubahan fisiologis dan rasa sakit yang dialami mengakibatkan perasaan tegang. Perasaan bahagia yang dialami juga seringkali diiringi dengan perasaan was-was, takut, dan panik karena menjadi seorang ibu berarti melepas masa anak dan remaja dan merubahnya menjadi masa yang penuh tanggung jawab (Marshall,2004). Perempuan setelah melahirkan dapat mengalami simptom yang mirip dengan simptom depresi pasca melahirkan, yang dikenal dengan postpartum blues. Hal ini berbeda dengan depresi pasca melahirkan karena postpartum blues adalah gangguan psikologis yang dialami perempuan pasca melahirkan paling lama enam minggu dengan intensitas lebih ringan. Perempuan yang mengalami postpartum blues masih bisa menikmati tidur nyenyak apabila dijauhkan dari kewajiban mengurus bayi selain itu hiburan tertentu dapat mengembalikan kegembiraannya. Pada depresi pasca melahirkan terjadi secara konstan dan terus menerus (Handi,2004). Postpartum blues dan depresi pasca melahirkan dapat terjadi pada perempuan manapun tanpa mempertimbangkan ras, usia, agama, tingkat pendidikan, maupun latar belakang sosial ekonimi, dan dapat dialami lagi pada kehamilan selanjutnya (Barsky,2006). Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa penting mengadakan suatu penelitian untuk mengetahui perbedaan postpartum blues antara persalinan seksio sesaria dan persalinan spontan karenagangguan postpartum blues masih dianggap hal yang wajar sehingga seringkali terabaikan dan tidak tertangani dengan baik (Iskandar,2004). Meskipun pihak pelayanan kesehatan mamiliki program yang berkesinambungan pada ibu dan bayi pasca melahirkan, namun tidak semua memberikan perhatian pada kesehatan psikologis ibu. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan pandangan yang representatif tentang status kesehatan mental perempuan pasca melahirkan sehingga dapat digunakan sebagai dasar perlunya intervensi khusus pada perempuan pasca persalinan baik persalinan spontan maupun persalinan seksio sesaria. METODE
ISSN: 2301-6736 RSUD Moewardi dan RS Daerah Banjarsari Surakarta. Populasi pada penelitian ini adalah pasien pasca persalinan yang menjalani rawat inap di Bangsal Perawatan Kebidanan dan Kandungan di RSUD Moewardi dan RS Daerah Banjarsari Surakarta. Pengambilan sampel dengan teknik non random purposive quota sampling. Jumlah minimal sampel yang dapat dipertanggungjawabkan secara statistik adalah 30 orang. Untuk mengantisipasi berkurangnya sampel digunakan rumus n’=n/1-L. Dimana n’= ukuran sampel setelah revisi, n= ukuran sampel asli, L= non response rate/subjek yang hilang. Bila diantisipasi ada 10% subjek yang hilang maka didapatkan nilai 33,33, dan dibulatkan menjadi 33 subjek (Murti,2006). Sehingga dalam penelitian ini digunakan 66 pasien, dimana 33 pasien dengan persalinan normal dan 33 lainnya persalinan seksio sesarea. Adapun sampel yang digunakan harus memiliki persyaratan krtiteria inklusi: umur 20-35 tahun, jenis persalinan spontan atau seksio sesaria, umur kehamilan aterm (37-42 minggu), tidak ada riwayat pengobatan depresi sebelumnya, primipara, dan apgar score ≥ 7 ; dan kriteria eksklusi: skor LMMPI > 10, komplikasi obstetri (preeklampsia, plasenta previa), dan kelainan konginetal mayor. Instrumen penelitian antara lain Instrumen lembar persetujuan dan identitas pribadi, skala Inventori Lie Scale Minnesota Multiphasic Personality Inventory (L-MMPI), dan Blues Questionnaire yang merupakan alat ukur sistematis dan telah diuji validitasnya. HASIL Dari penelitian yang dilakukan dengan pengambilan data dan pengisian kuesioner pada pasien persalinan spontan dan persalinan seksio sesaria diperoleh hasil sebagai berikut: Dari tabel 1. diketahui bahwa berdasarkan usia responden pada kelompok usia 20-29 tahun pada persalinan seksio sesaria sebanyak 84,85 % sedangkan persalinan spontan sebanyak 90,91 %. Kelompok usia 30-35 tahun sebanyak pada persalinan seksio sesaria sebanyak 15,15 % sedangkan persalinan spontan sebanyak 9,09 %. Rerata usia persalinan pada seksio sesaria adalah 25,57 tahun sedangkan pada persalinan spontan adalah 23,45 tahun
Penelitian yang dilakukan pada bulan AprilJuli 2011 merupakan observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Dalam penelitian ini, variabel bebas dan terikat dinilai secara simultan pada saat yang sama. Tidak ada follow up dalam penelitian ini (Arief, 2008). Penelitian dilakukan di
37
Fifiana Dewi Permatasari, Supriyadi Hari Respati, Makmuroch Bagian /SMF Obgin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Bagian /SMF Kedokteran Jiwa FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
ISSN: 2301-6736
Tabel 1 Distribusi Data Responden Berdasarkan Usia Usia 20-29 tahun 30-35 tahun Jumlah
Seksio Sesaria 28 5 33
Prosentase 84,85 % 15,15 % 100 %
Spontan 30 3 33
Prosentase 90,91 % 9,09 % 100 %
%. Responden yang mempunyai penghasilan ≥ Rp 1.000.000 pada persalinan seksio sesaria sebanyak 72,73 % sedangkan pada persalinan spontan sebanyak 21,21
Dari tabel 2 diketahui jumlah responden yang mempunyai penghasilan < Rp 1.000.000 pada persalinan seksio sesaria sebanyak 27,27 % sedangkan pada persalinan spontan sebanyak 78,79
Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan Penghasilan
Seksio Sesaria
Prosentase 9
27,27 %
26
78,79 %
≥Rp 1.000.000
24
72,73 %
7
21,21 %
Jumlah
33
100 %
33
100 %
Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Persalinan. Jumlah
Prosentase
Spontan Seksio sesario
33 33
50,00 % 50,00 %
Jumlah
66
100,00 %
Dari tabel 4 diketahui jumlah responden yang ada (mengalami) postpartum blues sebanyak 28 orang (42,40 %) dan responden tidak postpartum blues sebanyak 38 orang (57,60 %). Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Postpartum Blues. Postpartum Blues
Jumlah
Prosentase
Ada Tidak
28 38
42,40 % 57,60 %
Jumlah
66
100,00 %
Tabel 5. Tabulasi Silang Hasil Penelitian
Persalinan SC Persalinan Spontan Total
Count (% of Total) Count (% of Total) Count (% of Total)
Prosentase
Dari tabel 3 diketahui jumlah responden dengan persalinan spontan sebanyak 33 orang (50,00 %) dan responden dengan persalinan seksio sesaria sebanyak 33 orang (50,00 %).
Persalinan
Spontan
Tidak Postpartum Blues 14 (21.2 %)
Postpartum Blues
Total
19(28.8 %)
33(50.0 %)
24 (36.4 %)
9(13.6 %)
33(50.0 %)
38 (57.6 %)
28(41.4 %)
66(100 %)
PEMBAHASAN Postpartum blues terdiri dari 28 gejala yang dibagi menjadi 7 kelas antara lain Primary blue ( meneteskan air mata, semangat yang berkurang, mudah lupa, cemas, emosi yang berlebihan semangat yang berubah-ubah, kelelahan), Reservasi ( kesulitan menunjukkan perasaan, ingin sendiri, hampa), Hipersensitifitas ( mudah gugup, terlalu sensitive, emosi naik turun, gelisah), Depresi (membayangkan sesuatu, menyesal pada diri sendiri, merasa sangat sedih, cepat marah, menangis terus-menerus), Kemurungan ( tidak merasa bahagia, tidak mempunyai harapan, tidak merasa gembira), Retardasi ( penurunan konsentrasi, penurunan keceriaan, waspada), dan Kepercayaan diri (
Untuk mengetahui perbedaan kejadian postpartum blues pada persalinan seksio sesario dan persalinan spontan uji statistik Chi Kuadrat. Dari penelitian diperoleh hasil pada tabulasi silang responden dengan persalinan seksio sesaria yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 14 orang (21,2%) dan ada (mengalami) postpartum blues sebanyak 19 orang (28,8%). Sedangkan responden dengan persalinan spontan yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 24 orang (36,40%) dan ada (mengalami) postpartum blues sebanyak 9 orang (13,6%). Dari hasil perhitungan dengan SPSS diperoleh nilai ² hitung sebesar 6,203 dengan p-value sebesar 0,01, dengan df 1 ² tabel sebesar 3,8. Oleh karena ²hitung (6,203) > ²tabel (3,8) atau p value (0.01) < 0,05 () maka Ho ditolak, sehingga dapat dinyatakan ada perbedaan yang bermakna kejadian postpartum blues pada persalinan seksio sesaria dan persalinan spontan. Risiko prevalensi pada persalinan seksio sesaria sebesar 2,11 yang berarti risiko postpartum blues dua kali lebih besar pada persalinan seksio sesaria. ketidaknyamanan, tidak percaya diri, tidak merasa tenang). Dimana masing-masing kelas jumlah dan gejalanya tidak sama. Seorang perempuan dikatakan mengalami postpartum blues jika terdapat 12 gejala dari 28 gejala yang ada. Dari table IV. 5 tabulasi silang hasil penelitian sebagian besar kejadian postpartum blues dialami perempuan pasca persalinan seksio sesaria sebesar 28,80% sedangka persalinan spontan sebesar 13,60%. Perempuan yang menjalani persalinan secara seksio sesaria lebih berisiko mengalami postpartum blues setelah melahirkan di awal masa postpartum dibandingkan perempuan yang menjalani persalinan spontan (Iles,1989). Hal tersebut dimungkinkan karena stress akibat pembedahan yang dilakukan, yang mengakibatkan perubahan fisik, system endokrin, dan psikologis sehingga berakibat berkembangnya postpartum blues yang lebih nyata terlihat (Stig, 2001). Dukungan sosial sangat diperlukan pada perempuan pasca melahirkan untuk mengurangi stress dan memberikan keamanan, kontak social, penerimaan, rasa memiliki serta kasih sayang. (Rutgers, 2003). Dukungan dari suami, orang tua, saudara, keluarga besar, serta teman sangat penting dalam masa penyesuaian diri seorang perempuan menjadi seorang ibu. Dukungan sosial yang diberikan tenaga kesehatan dan seorang yang ,membantu proses persalinan akan sangan berpengaruh terhadap keadaan psikologis perempuan pasca melahirkan (Hopkins,2008).
38
Fifiana Dewi Permatasari, Supriyadi Hari Respati, Makmuroch Bagian /SMF Obgin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Bagian /SMF Kedokteran Jiwa FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
ISSN: 2301-6736
Peneliti menyadari bahwa masih terapat hal yang menjadi keterbatasan dan kelemahan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Waktu pengambilan sampel relatif singkat dan hari postpartum yang tidak seragam; 2. Beberapa variabel luar belum dapat dikendalikan dalam penelitian ini, yaitu kepribadian, hormon, pendidikan, agama, dan sosial ekonomi. KESIMPULAN Risiko prevalensi pada persalinan seksio sesaria sebesar 2,11 yang berarti risiko postpartum blues dua kali lebih besar pada persalinan seksio sesaria. DAFTAR PUSTAKA -Arief TM, 2008. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta: LLP UNS dan UNS Press. -Barsky, I. 2006. The Center for Postpartum Adjustment. http://www.geocities.com/ ppdflirida/ resources.htm. dowloaded at 12 Januari 2011. -Handi, P. 2004. Depresi dan Solusinya. Yogyakarta: Tugu Press. -Hopkins, J. Campbell, S.B. 2008. Development and Validation of a Scale to Asses Social Support in The Postpartum Period. Arch Women Ment Health, 11: 57-65 . http://www.interscience.wiley.com/journal/1191 24688/socialsupport. downloaded at 29 Oktober 2008. -Iles, S., Gath, D, Kennerly H. 1989. Maternity Blues ( A Comparison Between Post-Operative And Posy-Natal Woman). British Journal of Psychiatry, 155:363-366. http://bjp.rcpsych.org/cgi/reprint/155/3/363.pdf. downloaded at 5 Mei 2011. -Iskandar, S.S. 2004. Depresi Pasca Kehamilan ( Postpartum Blues). http://www.mitrakeluarga.net/depresi kehamilan.html. -Marshall, Fiona. 2004. Mengatasi Depresi Pasca Melahirkan. Jakarta: Arcan, pp: 24-28. -Stig, Ragna. 2001. Emergency Caesarean SectionTwenty-Five-Women’s Experiences. Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica, Vol 74: 826-831. http://www.informaworld.com/smpp/content=a7 13683082. Downloaded at 19 Juli 2011. -Rutgers, E.G. 2003. Adaptation of The Postpartum Support Questionnaire for Mother with Multiole Sclerosis. Research in Nursing & Health, 26: 3039. http://www.fmshk.org/article/338.pdf. down oaded at 29 Oktober 2009
39
Fifiana Dewi Permatasari, Supriyadi Hari Respati, Makmuroch Bagian /SMF Obgin FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Bagian /SMF Kedokteran Jiwa FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi
ISSN: 2301-6736
40
Soetrisno Department of Obstetrics and Gynecology Dr. Moewardi General Hospital Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta
ISSN: 2301-6736
ABORTUS PRANIKAH PREMARITAL ABORTION Soetrisno Department of Obstetrics and Gynecology , Dr. Moewardi General Hospital / Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta. E-mail :
[email protected]
RINGKASAN Pendahuluan: Setiap tahun di dunia, berjuta-juta wanita mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, khususnya wanita yang hamil premarital, dan sebagian besar dari wanita tersebut memilih untuk mengakhiri kehamilannya (aborsi) sebelum beranjak menjadi kehamilan cukup bulan. Pembahasan: Di banyak negara secara umum aborsi tidak dapat diterima. Di negara-negara terutama negara berkembang khususnya Indonesia, terdapat stigma dan pembatasan yang ketat terhadap aborsi, sehingga wanita sering kali memilih mencari bantuan untuk aborsi melalui tenaga-tenaga non-profesional, menggunakan cara-cara tidak aman antara lain meminum ramuan-ramuan yang berbahaya, melakukan pemijatan kandungan, memakai peralatan yang tidak steril dan lain sebagainya. Hal ini sangat membahayakan karena akan berdampak timbulnya komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Diperkirakan bahwa setengah dari kematian maternal di Indonesia berhubungan dengan hasil komplikasi dari aborsi yang tidak aman. Ringkasan: Studi terbaru memperkirakan sekitar dua juta kasus aborsi per tahun di Indonesia, sekitar tiga puluh persennya adalah oleh remaja dengan cara tidak aman. Kata Kunci: Kehamilan premarital, Aborsi, Tenaga tidak profesional, Komplikasi, morbiditas dan Mortalitas SUMMARY Introduction: Every year in the world, millions of women experiencing an unplanned pregnancy, especially premarital pregnant women, and most of these women chose to terminate her pregnancy (abortion) before moving to pregnancies. Discussion: In many countries abortion is generally not acceptable. In these countries, especially developing countries, especially Indonesia, there is a stigma and strict restrictions on abortion, so women often choose to seek help for an abortion by coming to non-professional, using methods such as unsafe drinking harmful ingredients, to massage the content, use of unsterilized equipment and so forth. This is very dangerous because it will affect the onset of complications that can increase morbidity and mortality. It is estimated that half of maternal deaths in Indonesia related to the complications of unsafe abortion. Summary: Recent studies have estimated that about two million abortions per year in Indonesia, about thirty percent are by young people is unsafe manner. Keyword: Premarital pregnancy, Abortion, Power unprofessional, Complications, Morbidity and mortality
40
Soetrisno Department of Obstetrics and Gynecology Dr. Moewardi General Hospital Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta
PENDAHULUAN Masalah Kebidanan komunitas yang akhirakhir ini mencuat dan menjadi bahan perbincangan, adalah tentang aborsi. Dari data yang diperoleh, remaja berusia 15-19 tahun hamil, sebagian besar melakukan aborsi (www.jevuska.com). Abortus atau gugur kandungan (Bhs Jawa: keluron) adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu. Aborsi adalah pengakhiran kehamilan/pengguguran, pengenyahan janin/embrio dari rahim (uterus) sebelum janin mencapai berat 500 gram atau usia kehamilan 20 minggu (WHO/FIGO 1998 :22). Aborsi pranikah adalah aborsi yang dilakukan pada kehamilan yang terjadi sebelum dilaksanakannya suatu ikatan pernikahan. Dalam ilmu kedokteran, istilah-istilah berikut ini digunakan untuk membedakan abortus : 1. Spontaneous abortion: Abortus spontan yang disebabkan oleh trauma kecelakaan atau sebab-sebab alami; 2. Induced abortion atau procured abortion: Abortus yang disengaja. Termasuk di dalam induced abortion adalah: a. Therapeutic abortion: abortus yang dilakukan karena jika kehamilan tersebut diteruskan mengancam kesehatan fisik dan atau psikis sang ibu (oleh tenaga profesional); b. Eugenic abortion: Abortus yang dilakukan terhadap janin yang cacat major (oleh tenaga profesional); c. Elective abortion: Abortus yang dilakukan untuk alasan-alasan yang tidak wajar sehingga sering disebut dengan criminalis abortion (oleh tenaga non profesional). Dalam bahasa sehari-hari, istilah “keguguran/abortus/keluron” biasanya digunakan untuk spontaneous abortion, sedangkan istilah “aborsi” digunakan untuk induced abortion. Abortus Premarital adalah abortus yang terjadi pada kehamilan sebelum adanya ikatan pernikahan. Data kejadian abortus premarital tidak didapatkan. Hal ini karena hamil/aborsi premarital dianggapnya merupakan hal yang tabu (aib). Aborsi premarital sering dilakukan dengan alasan (Sarlito, 2000): 1. Faktor sosial, jika kehamilan diteruskan : a. Malu pada keluarga dan tetangga; b. Putus sekolah atau kuliah; c. Terputus atau terganggu karier masa depan; d. Siapa yang akan mengasuh bayi? 2. Faktor ekonomi, jika kehamilan diteruskan : a. Anak terlalu banyak, penghasilan terbatas, dsb (khusus wanita peserta KB yang mengalami kegagalan); b. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), misalnya, buruh, pegawai yang terikat kontrak; c. Belum bekerja, misalnya masih sekolah atau kuliah. Menurut Fatmawati, 2008 (dalam http://eone87.wordpress.com), perilaku-perilaku yang muncul pada wanita yang melakukan/mengalami
ISSN: 2301-6736
aborsi/hamil pranikah antara lain: lebih menutup diri dari lingkungan keluarga dan masyarakat, mencari klinik aborsi, mencari obat penggugur kandungan, memakai pakaian yang lebih longgar, loncat-loncat, minum jamu peluntur atau jamu telat bulan, makan nanas muda, minum jamu, pergi ke dukun, minum obat ginekosid/cytotex. PEMBAHASAN Pada tahun 2000 di Indonesia diperkirakan bahwa sekitar dua juta aborsi terjadi. Angka ini dihasilkan dari penelitian yang dilakukan berdasarkan sampel yang diambil dari fasilitas-fasilitas kesehatan di 6 wilayah, dan angka ini juga termasuk jumlah abortus spontan yang tidak diketahui jumlahnya walaupun dalam hal ini diperkirakan jumlahnya kecil (Utomo, 2001). Estimasi aborsi dari penelitian tersebut adalah estimasi yang paling komprehensif yang terdapat di Indonesia sampai saat ini. Estimasi aborsi berdasarkan penelitian ini adalah sebesar 37 aborsi setiap 1.000 wanita usia reproduksi (15-49 tahun) setiap tahunnya. Perkiraan ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, dalam skala regional sekitar 29 aborsi setiap 1.000 wanita usia reproduksi (Sedgh G, 2007). Sementara tingkat aborsi yang diinduksi tidak begitu jelas, namun terdapat bukti bahwa dari 4.5 juta kelahiran yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia pada waktu sekitar waktu penelitian tersebut dilakukan, 760.000 (17%) dari kelahiran yang terjadi adalah kelahiran yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan (UN DESA, 2007 dan BPS, 2003). Banyak aborsi yang dilakukan di Indonesia adalah tidak aman. Tidak seperti aborsi yang aman, aborsi yang tidak aman dapat membahayakan kesehatan dan nyawa wanita yang melakukannya, dan derajat keamanannya tergantung dari prosedur dan metode yang digunakan oleh pemberi layanan aborsi (Grimes, 2006 dan WHO, 2004). Secara keseluruhan, hampir setengah dari semua wanita yang mencari pelayanan aborsi di Indonesia lari pada dukun bersalin, dukun tradisional atau ahli pijat yang menggunakan cara pemijatan untuk menggugurkan kandungan. Sementara jumlah dari upaya penguguran kandungan yang dilakukan sendiri tidak diketahui. Dalam penelitian tentang klien yang mencari upaya induksi haid di salah satu klinik di daerah perkotaan ditemukan bahwa, langkah pertama yang diambil oleh para wanita tersebut adalah memakai obatobatan yang dapat dibeli tanpa resep atau minum jamu-jamuan untuk melancarkan menstruasi (Sucahya, 2005). Sebanyak 25% dari klien menggunakan pengobatan oral dan dipijat agar terjadi penguguran; 13% menerima suntikan untuk
40
Soetrisno Department of Obstetrics and Gynecology Dr. Moewardi General Hospital Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta
penguguran kandungan (uterotonika); 13% memasukan benda asing ke dalam vagina atau rahim dan sisanya melakukan aborsi dengan cara lainnya. Di Indonesia estimasi terbaru untuk kematian yang berkaitan dengan aborsi tidak tersedia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasikan bahwa aborsi yang tidak aman bertanggung jawab terhadap 14% dari kematian ibu, tetapi untuk negara-negara di Asia Tenggara dengan hukum aborsi yang sangat ketat, maka angka kematian ibu karena aborsi meningkat menjadi 16% (termasuk Indonesia) (WHO, 2007). Diduga bahwa terjadinya komplikasikomplikasi dari aborsi yang tidak aman adalah meningkatkan kemungkinan terjadinya kematian. Dalam hal ini jumlah untuk Indonesia tidak tersedia, tetapi untuk Asia Tenggara diestimasikan bahwa 3 (tiga) dari setiap 1.000 wanita yang berusia 15-44 tahun dirawat di rumah sakit karena komplikasi yang berhubungan dengan aborsi khususnya aborsi yang tidak aman (Singh, 2006). Angka komplikasi yang sebenarnya tidak diketahui karena wanita yang mengalami komplikasi tetapi tidak berobat ke rumah sakit, dipercaya lebih tinggi dari angka perawatan di rumah sakit. Komplikasi aborsi yang paling sering terjadi adalah pendarahan yang berat, infeksi dan keracunan dari bahan yang digunakan untuk penguguran kandungan, banyak wanita juga mengalami kerusakan pada alat kemaluannya, rahim, dan perforasi rahim (Grimes, 2006). Karena kebanyakan aborsi di Indonesia dilakukan oleh tenaga yang tidak profesional, banyak juga (yang jumlahnya tidak diketahui) yang mengupayakan penguguran kandungan sendiri, sehingga banyak timbul komplikasi dengan resiko meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Di Indonesia, wanita lebih memilih dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih dengan biaya yang murah dan terjangkau serta bisa dirahasiakan. Wanita yang berasal dari golongan ekonomi rendah mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk melaksanakan tindakan aborsi oleh tenaga tidak profesional sehingga lebih sering terjadi penderitaan yang cukup berat karena terjadinya komplikasi-komplikasi yang disebabkan oleh aborsi tidak aman. Menurut Edmosond (dalam http://eone87.wordpress.com), pasca aborsi sering timbul kondisi psikologis yang tidak wajar, diantaranya adalah munculnya penyangkalan, wanita tak mau memikirkan atau membicarakan hal itu lagi, menjadikan rahasia pribadi, menjadi tertutup, takut didekati, munculnya perasan tertekan. Hal ini akan menambah resiko negatif wanita yang mengalami aborsi tidak aman. Menurut Harja (2005, dalam http://eone87.wordpress.com) wanita yang melakukan aborsi diam-diam, setelah proses aborsi biasanya akan mengalami Post Abortion Syndrome
ISSN: 2301-6736
(PAS) atau sering juga disebut Post Traumatic Stress Syndrome. Gejala yang sering muncul adalah depresi, kehilangan kepercayaan diri, merusak diri sendiri, mengalami gangguan fungsi seksual, bermasalah dalam berhubungan dengan kawan, perubahan kepribadian yang mencolok, serangan kecemasan, perasaan bersalah dan penyesalan yang teramat dalam. Mereka juga sering menangis berkepanjangan, sulit tidur, sering bermimpi buruk, sulit konsentrasi, selalu teringat masa lalu, kehilangan ketertarikan untuk beraktivitas, dan sulit merasa dekat dengan anak-anak yang lahir kemudian. Para pengambil kebijakan harus mengambil langkah untuk mengakhiri aborsi yang tidak aman. Hal ini bertujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia memenuhi tujuan Millenium Development Goal (MDG) untuk dapat menurunkan rasio kematian maternal sampai tiga perempat antara tahun 1990 dan 2015, yaitu : 1. Menghindari terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan terutama pada remaja premarital adalah langkah pertama yang perlu diambil untuk dapat menurunkan angka aborsi yang tidak aman. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan konseling khususnya tentang risiko aborsi yang tidak aman; 2. Tersedianya sarana, prasarana, informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas untuk para remaja, dapat membantu memberi pengertian pada mereka tentang risiko yang berkaitan dengan hubungan seksual yang tidak aman, dapat mengurangi terjadinya aborsi. Diberikannya pendidikan seksual adalah sesuatu yang masih kontroversial, tetapi perlu dicatat bahwa sudah ada program-program pendidikan yang dilakukan melalui bidan di daerah pedesaan dan juga melalui sekolah dan organisasi Islam; 3. Wanita yang memerlukan aborsi karena kehamilannya membahayakan jiwanya (abortus therapueaticus/atas indikasi medis) dan hal ini sejalan dengan hukum yang berlaku di Indonesia seharusnya dapat mendapatkan prosedur aborsi yang aman. Badan Kesehatan Dunia merekomendasikan tersedianya aborsi yang aman yang terjamin ketersediannya dan diperbolehkan oleh hukum yang berlaku, dalam hal ini termasuk untuk melakukan training bagi pemberi layanan tentang praktek aborsi yang aman dan aborsi yang dilakukan dalam keadaan steril, menjamin tersedianya alat-alat dan bahanbahan yang dibutuhkan, dan mempromosikan digunakannya metodemetode yang aman untuk aborsi pada trimester pertama (WHO, 2003); 4. Perawatan pasca aborsi terutama yang dilakukan oleh tenaga yang tidak profesional seharusnya dapat dengan mudah tersedia, sehingga wanita yang mengalami komplikasi karena aborsi yang tidak aman dapat mendapatkan perawatan yang adekuat. Jenis perawatan tersebut seharusnya komprehensif dan
41
Soetrisno Department of Obstetrics and Gynecology Dr. Moewardi General Hospital Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta
termasuk konseling. Untuk menjamin agar setiap tempat pelayanan kesehatan yang melayani perawatan pasca aborsi memakai teknik yang aman, maka disarankan bantuan teknis dan penambahan alat yang dibutuhkan untuk dapat melakukan teknik merawat aborsi (Departement Kesehatan Masyarakat UI, 2008). Berdasarkan suatu hasil penelitian (dalam http://eone87.wordpress.com), disarankan bahwa: 1. Untuk wanita premarital diharapkan agar dapat berhati-hati dan waspada, lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dengan cara sholat 5 waktu dengan teratur, mengaji setelah sholat magrib dan menghadiri pengajian secara rutin sehingga mampu mengendalikan diri untuk tidak berperilaku free seks yang akan mengakibatkan kehamilan dan aborsi pranikah. Memperluas khasanah pengetahuan mengenai seksualitas dan aborsi dari berbagai informasi yang jelas sumbernya serta memberanikan diri untuk memulai komunikasi dengan orang tua secara terbuka; 2. Bagi Orang Tua wanita premarital diharapkan orang tua dapat menanamkan pendidikan moral dan agama sejak dini serta memberikan kontrol pengawasan terhadap anaknya. Meningkatkan komunikasi yang efektif dengan anak sehingga orang tua berkesempatan untuk membina dan mengembangkan kepribadian dan akhlak anak. Lebih aktif dan tidak perlu menunggu reaksi anak, bersikap demokratis sehingga anak dapat bertukar pikiran dan terbuka. Selalu meluangkan waktu guna menjalin komunikasi yang sehat, memberikan pengawasan, pendidikan dan kasih sayang; 3. Bagi masyarakat di lingkungan wanita premarital diharapkan agar dapat meningkatkan kontrol sosial yang tinggi terhadap perilaku remaja dan mahasiswa yang rentan dengan pelanggaran norma sosial dan norma agama, khususnya hamil/aborsi pranikah sehingga para remaja dan mahasiswa tidak terjerumus dalam tindakan aborsi yang melanggar norma hukum dan norma agama; 4. Bagi Pemerintah dan LSM diharapkan agar memberikan kesempatan kepada mereka untuk melanjutkan pendidikan, pemulihan rasa percaya diri dan pelayanan konseling bagi para remaja dan mahasiswa. Umat Islam percaya bahwa Al-Quran adalah Undang-Undang paling utama bagi kehidupan manusia. Allah berfirman: “Kami menurunkan AlQuran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS 16:89) Jadi, jelaslah bahwa ayat-ayat yang terkandung didalam Al-Quran mengajarkan semua umat tentang hukum yang mengendalikan perbuatan manusia. Tidak ada satupun ayat didalam Al-Quran yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan oleh umat Islam. Sebaliknya, banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan bahwa janin dalam kandungan sangat mulia. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan
ISSN: 2301-6736
bahwa hukuman bagi orang-orang yang membunuh sesama manusia adalah sangat mengerikan, yaitu : 1. Manusia, berapapun kecilnya adalah ciptaan Allah yang mulia. Agama Islam sangat menjunjung tinggi kesucian kehidupan. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia.”(QS 17:70) Membunuh satu nyawa sama artinya dengan membunuh semua orang. Menyelamatkan satu nyawa sama artinya dengan menyelamatkan semua orang; 2. Firman Allah dalam (QS 5:32) : “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena sebab-sebab yang mewajibkan hukum qishash, atau bukan karena kerusuhan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya; 3. ” Firman Allah dalam (QS 17:31): “Dan janganlah kamu membunuh anakanakmu karena takut miskin. Kami-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.” ; 4. Al-Quran Surat 5:36 menyatakan bahwa: “Adapun hukuman terhadap orang-orang yang berbuat keonaran terhadap Allah dan RasulNya dan membuat bencana kerusuhan di muka bumi ialah: dihukum mati, atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, atau diasingkan dari masyarakatnya. Hukuman yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang pedih.” Dalam hal ini yang melakukan aborsi artinya membunuh, yang berarti melawan kehendak Allah SWT; 5. Sejak kita masih berupa janin, Allah sudah mengenal kita. Al-Quran QS: 53:32 menyatakan bahwa :”Dia lebih mengetahui keadaanmu, sejak mulai diciptakaNya unsur tanah dan sejak kamu masih dalam kandungan ibumu.” Jadi, setiap janin telah dikenal Allah, dan janin yang dikenal Allah itulah yang dibunuh dalam proses aborsi; 6. Tidak ada kehamilan yang merupakan “kecelakaan atau kebetulan”. Setiap janin yang terbentuk adalah merupakan rencana Allah. AlQuran QS 22:5: “Selanjutnya Kami dudukan janin itu dalam rahim menurut kehendak Kami selama umur kandungan. Kemudian kami keluarkan kamu dari rahim ibumu sebagai bayi.” Dalam ayat ini malah ditekankan akan pentingnya janin dibiarkan hidup “selama umur kandungan”. Tidak ada ayat yang mengatakan untuk mengeluarkan janin sebelum umur kandungan apalagi membunuh janin secara paksa; 7. Nabi Muhammad SAW tidak pernah menganjurkan aborsi. Bahkan dalam kasus hamil diluar nikah sekalipun, Nabi sangat menjunjung tinggi kehidupan. Hamil diluar nikah berarti hasil perbuatan zinah. Hukum Islam sangat tegas terhadap para pelaku
42
Soetrisno Department of Obstetrics and Gynecology Dr. Moewardi General Hospital Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta
zinah. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW, seperti dikisahkan dalam Kitab Al-Hudud (Abu Dawud dan Imam At-Tarmizi), tidak memerintahkan seorang wanita yang hamil diluar nikah untuk menggugurkan kandungannya: Datanglah kepadanya (Nabi yang suci) seorang wanita dari Ghamid dan berkata,”Utusan Allah, aku telah berzina, sucikanlah aku.”. Dia (Nabi yang suci) menampiknya. Esok harinya dia berkata,”Utusan Allah, mengapa engkau menampikku? Mungkin engkau menampikku seperti engkau menampik Ma’is. Demi Allah, aku telah hamil.” Nabi berkata,”Baiklah jika kamu bersikeras, maka pergilah sampai anak itu lahir.” Ketika wanita itu melahirkan datang bersama anaknya (terbungkus) kain buruk dan berkata,”Inilah anak yang kulahirkan.” Jadi, hadis ini menceritakan bahwa walaupun kehamilan itu terjadi karena zina (diluar nikah) tetap janin itu harus dipertahankan sampai waktunya tiba. Bukan dibunuh secara keji. Mengenai aspek hokum dan medikolegal abortus povocatus crimibalis akan kami bahas berikut ini. Aborsi telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama itu belum ada undangundang yang mengatur mengenai tindakan aborsi. Peraturan mengenai hal ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4 M di mana telah ada larangan untuk melakukan aborsi. Sejak itu maka undang-undang mengenai aborsi terus mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini di mana mulai timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di berbagai negara di dunia terhadap tindakan aborsi. Hukum aborsi di berbagai negara dapat digolongkan dalam beberapa kategori sebagai berikut: 1. Hukum yang tanpa pengecualian melarang aborsi, seperti di Belanda; 2. Hukum yang memperbolehkan aborsi demi keselamatan kehidupan penderita (ibu), seperti di Perancis dan Pakistan; 3. Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi medik, seperti di Kanada, Muangthai dan Swiss; 4. Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi sosio-medik, seperti di Eslandia, Swedia, Inggris, Scandinavia, dan India; 5. Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi sosial, seperti di Jepang, Polandia, dan Yugoslavia; 6. Hukum yang memperbolehkan aborsi atas permintaan tanpa memperhatikan indikasi-indikasi lainnya (Abortion on request atau Abortion on demand), seperti di Bulgaria, Hongaria, USSR, Singapura; 7. Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi eugenistis (aborsi boleh dilakukan bila fetus yang akan lahir menderita cacat yang serius/major) misalnya di India; 8. Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi humanitarian (misalnya bila hamil akibat perkosaan) seperti di Jepang; 9. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atatu pengguguran janin termasuk
ISSN: 2301-6736
kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Aborsi Provocatus Criminalis”. Yang menerima hukuman adalah : 1. Ibu yang melakukan aborsi; 2. Dokter, bidan, dukun atau tenaga lagin yang melakukan aborsi; 3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi. Beberapa pasal dalam KUHP yang terkait adalah : 1. Pasal 229, a. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu, hamilnya dapat digugurkan , diancam dengan pidana penjara paling banyak 4 tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah; b. Jika yang bersalah membuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan, atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga; 3. Jika yang bersalah melakukan hal tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu. 2. Pasal 341, Seorang ibu karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana paling lama 7 tahun. 3. Pasal 342, Seorang ibu, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa melahirkan anak. pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 4. Pasal 343, Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana. 5. Pasal 346, Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 6. Pasal 347, a. Barang siapa menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. B. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 7. Pasal 348, a. Barang siapa menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan; b. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 8. Pasal 349, Jika seorang tabib, bidan, atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam
43
Soetrisno Department of Obstetrics and Gynecology Dr. Moewardi General Hospital Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta
pasal itu dapat ditambah dengan spertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. RINGKASAN Abortus Pranikah sebaiknya dicegah karena tidak sesuai dengan Budaya, Etika, Agama dan Hukum di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Badan Kesehatan Dunia (WHO) (2003). Aborsi yang aman: Tutunan Teknis dan Kebijakan untuk Sistem Kesehatan (Safe Abortion: Technical and Policy Guidance for Health Systems), Geneva: WHO. Badan Pusat Statistik (BPS) dan ORC Macro. (2003). Survei Demographi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003 (Indonesia Demographic and Health Survey 20022003), Calverton, MD.USA: BPS dan ORC Macro. Badan Kesehatan Dunia (WHO). (2004). Aborsi yang Tidak Aman: Estimasi Global dan Regional Insiden dari Aborsi yang Tidak Aman dan Kematian yang Berhubungan pada Tahun 2000 (Unsafe Abortion: Global and Regional Estimates of Incidence of Unsafe Abortion and Associated Mortality in 2000), edisi keempat, Geneva: WHO. Badan Kesehatan Dunia (WHO). (2007). Aborsi Tidak Aman: Estimasi Global dan Regional dari Insiden Aborsi Tidak Aman dan Kematian yang Berkaitan pada tahun 2003. (Unsafe Abortion: Global and Regional Estimates of the Incidence of Unsafe Abortion and Associated Mortality in 2003), edisi kelima, Geneva:WHO. Departmen Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. (2008). Laporan Hasil Penelitian: Assessmen Perawatan Pasca Aborsi (Study Report: Post Abortion Care Assessment), Jakarta, Indonesia: Universitas Indonesia. Grimes DA dkk. (2006). Aborsi yang tidak aman: pandemik yang dapat dihindari (Unsafe abortion: the preventable pandemic), Lancet, 368(9550):1908-1919.
ISSN: 2301-6736
Guttmacher Institute. (2008). Aborsi di Indonesia: Seri 2008, No 2. Rahayu NT (2010). Perilaku aborsi pada remaja pranikah. Makalah. Universitas Sebelas Maret. Diambil dari http://fisip.uns.ac.id/blog/rahayu/2011/01/0 7/perilaku-aborsi-pada-remaja-pranikah/ diakses tanggal 13 Agustus 2012. Sedgh G dkk. ( 2007). Aborsi induksi: estimasi rates dan kecendurungannya untuk seluruh dunia (Induced abortion: estimated rates and trends world wide), Lancet, 370(9595):1338-1345. Singh S. (2006). Perawatan di rumah sakit karena aborsi yang tidak aman: estimasi dari 13 negara berkembang (Hospital admissions resulting from unsafe abortion: estimate from 13 developing countries), Lancet, 368(9550):1887-1892. Sucahya PK. (2005). Biaya pelayanan penghentian kehamilan menurut perspektif klien dan institusi penyedia pelayanan penghentian kehamilan, dalam: Yayasan Mitra Inti, Temuan Terkini Upaya Penatalaksaan Kehamilan tak Direncanakan: Hasil dari Seminar Sehari, Jakarta, Indonesia: Yayasan Mitra Inti, pp.65-84. United Nations Department of Economic and Social Affairs. (2007). Population Division, Prospek Kependudukan Dunia: Revisi 2006 (World Population Prospects: the 2006 Revision), New York: United Nations. Utomo B dkk. (2001). Insiden dan Aspek SosialPsikologis dari Aborsi di Indonesia: Survei Komunitas di 10 Kota dan 6 Kabupaten, Tahun 2000 (Insidence and SocialPsychological Aspects of Abortion in Indonesia: A Community-Base Survey in 10 Major Cities and 6 Districts, Year 2000), Jakarta Indonesia: Pusat Penelitian Kesehataan, Universitas Indonesia. (http://www.jevuska.com/2010/07/09/aborsipengertian-jenis-dan-tinjauan-hukum). Diakses 13 Agustus 2012. (http://eone87.wordpress.com/2010/04/05/dinamikapsikologis-perempuan-yang-melakukanaborsi/). Diakses 13 Agustus 2012.
44
JURNAL MEDIKA MOEWARDI VOL.2, NO.1, Juni 2013
ISSN: 2301-6736
PEDOMAN PENULISAN NASKAH Persyaratan Umum 1. Naskah yang diterima merupakan karya original, yang hanya diperuntukan buat jurnal medika moewardi dan belum pernah dipublikasikan pada media lain. (Kecuali Abstrak atau dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah). 2. Naskah yang masuk jurnal ini dikaji secara ilmiah oleh para mitra bestari (peer reviewer) yang ditunjuk. Dewan redaksi dan berhak melakukan editing tanpa mengurangi substansi atau isi makalah. 3. Naskah yang masuk tidak dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. Untuk penulis kelompok/team, urutan nama penulis sudah mendapat persetujuan seluruh penulis. 4. Naskah dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam bentuk CD atau disket dengan program MS Word dan disertai 2 (dua) hardcopy. 5. Pencantuman nama penulis berdasarkan kontribusi yang bermakna dalam hal peran sertanya pada grand design, konsep, analisis, penulisan atau suntingan yang dipublikasikan. Apabila ada perubahan dalam pencantuman nama penulis diberikan secara tertulis dengan disertai persetujuan seluruh penulis. 6. Seluruh pernyataan dalam makalah ini merupakan tanggung jawab penulis. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jumlah maksimal 200 kata tidak terstruktur dan maksimal 250 kata untuk abstrak yang terstruktur. Untuk naskah penelitian abstrak berisi tentang latar belakang, tujuan, metode, hasil yang utama dan kesimpulan inti. Abstrak harus dibuat secara ringkas dan jelas sehingga memungkinkan dipahami tentang berbagai aspek yang baru dan penting tanpa harus membaca keseluruhan makalah atau naskah. Kata Kunci dicantumkan di bawah abstrak terdiri dari 3-10 kata. Gambar/Foto Gambar atau foto dicetak dalam kertas mengkilat, hitam putih, dengan format ukuran 3 R atau 4 R. Keterangan gambar atau foto diletakkan di bagian belakang dengan tulisan pinsil. Referensi Daftar rujukan mengacu pada aturan penulisan Vancouver yang telah diperbaruhi sesuai dengan aturan yang baku. Dilakukan urutan kepustakaan sesuai urutan kemunculan dalam keseluruhan teks, tidak menurut abjad. Nama penulis dicantumkan semua apabila kurang dari 6 orang, apabila lebih dari 6 orang tulis keenam nama penulis pertama kemudian disertai oleh et al.,. Jumlah rujukan dibatasi maksimal 30 buah dengan mempertimbangkan : Usia referensi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Bila rujukan berupa jurnal, singkatan harus memenuhi Index Medicus. Kriteria Naskah 1. Naskah Asli merupakan hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran maupun ilmu kesehatan lain pada umumnya. Format naskah meliputi : Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan cara : berisis disan penelitisan, tempat
RSDM,Cepat,Tepat,Nyaman dan Mudah
Jurnal Medika Moewardi
JURNAL MEDIKA MOEWARDI VOL.2, NO.1, Juni 2013
ISSN: 2301-6736
dan waktu, populasi dan sampel, pengukuran dan analisis data. Hasil : dapat dikemukakan dalam bentuk tabel, grafik maupun tekstural. Diskusi berisi tentang pembahasan mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Kesimpulan : berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitian, ditulis secara lugas dan relevan dengan hasil penelitian. 2. Tinjauan Pustaka merupakan naskah review dari jurnal maupun buku teks mengenai berbagai hal mutahir dalam ilmu kesehatan atau ilmu kedokteran. 3. Laporan Kasus: berisi paparan kasus yang ditemukan di klinik atau di lapangan yang merupakan kasus yang jarang atau menarik. Format penulisan Laporan Kasus meliputi : Pendahuluan, Laporan Kasus dan Diskusi. Alamat Pengiriman Naskah : Jurnal Medika Moewardi : Bagian Diklit RSUD Dr. Moewardi Jalan Kol.Soetarto 132 Telp. (0217)634634 Ext 153 Fax. (0217) 666954 E-mail :
[email protected] Kepastian naskah dimuat atau ditolak akan diberitahukan secara tertulis. Penulis yang naskahnya dimuat akan mendapat bukti pemuatan sebanyak satu eksemplar.
RSDM,Cepat,Tepat,Nyaman dan Mudah
Jurnal Medika Moewardi