Jurnal Medika Veterinaria ISSN : 0853-1943
Vol. 8 No. 2, Agustus 2014
ANALISIS PERAN KEEPER SEBAGAI FAKTOR RISIKO INFEKSI PARASIT NEMATODA GASTROINTESTINAL PADA ORANGUTAN SUMATERA YANG DIKANDANGKAN DI STASIUN RE-INTRODUKSI JANTHO Analysis of the Role of Keeper as a Risk Factor for Infection of Gastrointestinal Nematodes in Sumatran Orangutan in the Re-introduction Station of Jantho Ali Murtala1, T. Reza Ferasyi2, dan Erdiansyah Rahmi3 1
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2 Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, BandaAceh 3 Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, BandaAceh E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui peran keeper sebagai faktor risiko yang menyebabkan orangutan di Stasiun Re-introduksi Jantho, terinfeksi parasit nematoda gastrointestinal. Penelitian ini menggunakan metode sensus. Sejumlah 8 orang keeper yang ada diambil sebagai responden. Pengumpulan data dilakukan melalui survei menggunakan teknik wawancara dengan bantuan kuesioner terstruktur. Selain itu, diambil sampel berupa feses dari 6 orangutan Sumatera yang berada di Stasiun Re-introduksi Jantho. Selanjutnya sampel feses diperiksa di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Pemeriksaan infestasi parasit nematoda gastrointestinal menggunakan metode natif dan metode sentrifugasi. Analisis data yang diperoleh dilakukan secara deskriptif. Dari data kuesioner menunjukkan bahwa salah satu faktor risiko yang diduga sebagai penyebab infeksi nematoda pada orangutan adalah semua keeper tidak memakai sarung tangan pada saat memberi makan. Selanjutnya dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa prevalensi parasit nematoda gastrointestinal sebesar 16,5% terinfeksi Strongiloides sp. Disimpulkan bahwa orangutan yang terinfeksi parasit nematoda gastrointestinal di Stasiun Re-introduksi Jantho tergolong sangat rendah yaitu hanya terinfeksi Strongiloides sp., serta perilaku keeper sudah sangat baik dalam hal mencegah terinfeksi cacing pada orangutan. _____________________________________________________________________________________________________________________ Kata kunci: keeper, orangutan Sumatera, Pongo abelii, Strongyloides sp.
ABSTRACT This study was aimed to identify the role of keeper as a risk factor for the infection of gastrointestinal nematodes on orangutans in Jantho Re-introduction Station. This study was conducted using a census method. A number of 8 orangutan’s keepers were involved as respondent. The data was collected by interview using a structural questionnaire. In addition, feces of 6 orangutans caged in this location were taken as sample. The feces sample was then examined for gastrointestinal nematodes using native and centrifugation methods in Parasitology Laboratory, Veterinary Medicine Faculty, Syiah Kuala University. The data obtained from this study were analyzed descriptively. The results of study by questionnaire showed that a possible potential risk factor for the infection of gastrointestinal nematode to orangutans in Jantho Re-introduction Station is the keeper avoids using gloves when supplying food to the animals. Then, the result of laboratory examination showed that it was confirmed that the feces of orangutans infected with gastrointestinal nematodes, which the prevalence of 16.5% for infection by Strongiloides sp. In conclusion, orangutans caged in Jantho Re-introduction Station are in a low infection of gastrointestinal nematodes of Strongiloides sp., and the keeper shows a good behavior to prevent gastrointestinal nematodes infection to orangutan. _____________________________________________________________________________________________________________________ Key words: keeper, Sumateran orangutan, Pongo abelii, Strongyloides sp.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman jenis primata yang tinggi, salah satunya adalah orangutan (Pongo sp.). Orangutan merupakan salah satu primata yang kini paling terancam di dunia. International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan status orangutan sebagai endangered spesies atau jenis hewan dalam keadaan genting (IUCN, 2007). Populasi orangutan di habitatnya saat ini mengalami penurunan drastis. Diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir populasi tersebut telah menyusut 30-50% (Primack et al., 1998). Tingkat penurunan jumlah orangutan yang tinggi ini disebabkan salah satunya oleh penularan penyakit antar satwa. Selain itu juga karena interaksi satwa dengan manusia yang berisiko penularan penyakit antar spesies (Yeager yang disitasi oleh Primack et al., 1998). 156
Salah satu upaya untuk mencegah kepunahan orangutan dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi. Namun demikian pada saat ini program rehabilitasi menghadapi berbagai kendala, termasuk di dalamnya juga risiko penularan penyakit (Sugardjito dan Hendras yang disitasi oleh Primack et al., 1998). Saat ini hampir semua orangutan Sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Populasi orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Populasi lain yang diperkirakan potensial untuk bertahan dalam jangka panjang terdapat di Batang Toru,Sumatera Utara, dengan ukuran sekitar 400 individu (Wich et al., 2008). Salah satu lokasi rehabilitasi orangutan di Indonesia terdapat di provinsi Aceh yaitu Stasiun Re-introduksi
Jurnal Medika Veterinaria
Jantho. Beberapa waktu lalu dilaporkan bahwa orangutan Sumatera di Stasiun Re-introduksi Jantho juga terancam infeksi cacing yaitu dari jenis Ascaris sp., Hookworm, dan Balantidium coli (Selian, 2012). Hanya saat ini belum diketahui penyebab terjadinya infeksi tersebut. Infeksi tersebut diduga dikarenakan beberapa faktor yang tidak dialami primata saat di habitat asal, tetapi dialami saat berada di penangkaran. Schuster dan Avila (2008) menyatakan bahwa kontak dengan manusia atau hewan dari spesies berbeda yang telah terinfeksi endoparasit sebelumnya dan sumber air yang telah terkontaminasi feses dapat berisiko infeksi penyakit pada hewan. Khusus untuk endoparasit dapat muncul karena sanitasi dan pemeliharaan yang buruk serta dapat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi (Wilson dan Carpenter, 1996). Di Stasiun Re-introduksi Jantho, setiap orangutan yang dikandangkan dirawat oleh para keeper. Namun sejauh ini belum ada penelitian tentang faktor risiko dari perilaku keeper sebagai penyebab terjadinya infeksi nematoda gastrointestinal pada orangutan di Stasiun Re-introduksi Jantho. MATERI DAN METODE Dalam penelitian ini digunakan 8 orang keeper dan sampel feses dari 6 orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang ada di Stasiun Re-introduksi Jantho. Penelitian ini menggunakan metode sensus. Sejumlah 8 orang keeper yang ada diambil sebagai responden. Pengumpulan data dilakukan melalui survei menggunakan teknik wawancara dengan bantuan kuesioner terstruktur. Pemeriksaan sampel feses dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Pemeriksaan infestasi parasit nematoda gastrointestinal menggunakan metode natif dan metode sentrifugasi. Metode Natif Akuades diteteskan di atas gelas obyek sebanyak dua tetes. Sampel feses diambil dengan menggunakan tusuk gigi dan dioleskan di atas gelas obyek yang telah ditetesi akuades. Sampel dan akuades dihomogenkan menggunakan tusuk gigi. Setelah feses dan akuades homogen, campuran homogen tersebut ditutup dengan cover gelas. Preparat diperiksa di bawah mikroskop (Traylor et al., 2007). Metode Sentrifugasi Dua gram sampel dicampurkan dengan aquades dan diaduk sampai homogen (Traylor, 2007). Setelah homogen, larutan disaring menggunakan kain kasa berukuran 10x10 cm dan dituang ke dalam tabung sentrifugasi sampai setinggi ¾ tabung. Tabung disentrifugasi selama 5 menit dengan putaran 100x permenit. Setelah disentrifugasi, dibuang cairan jernih di atas endapan, kemudian ditambah larutan natrium klorida (NaCl) jenuh pada endapan tadi setinggi ¾ tabung dan dihomogen kan sampai merata kemudian disentrifus lagi selama 5 menit. Setelah disentrifus tabung diletakkan di atas rak dengan posisi tegak lurus,
Ali Murtala, dkk
dan diteteskan NaCl jenuh dengan pipet tetes sampai permukaan cairan di dalam tabung menjadi cembung dan dibiarkan selama 3 menit, ditempelkan gelas obyek di atas permukaan yang cembung tadi dengan hati-hati lalu cepat-cepat dibalik. Selanjutnya, permukaan gelas obyek ditutup dengan menggunakan cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop (Soulsby, 1982). HASIL DAN PEMBAHASAN Semua responden (keeper) yang terlibat dalam penelitian ini adalah laki-laki. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa rata-rata usia keeper adalah sekitar 31 tahun. Umur keeper termuda adalah 19 tahun dan tertua adalah 41 tahun (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi keeper di Stasiun Re-introduksi Jantho berdasarkan umur Umur/Tahun
Jumlah/Orang
Persentase (%)
12- 20 21- 25 26-30 31-35 36-40 41-45 Total
1 3 2 1 0 1 8
12,5 37,5 25 12,5 0 12,5 100
Sumber: Hasil rekapitulasi data primer diolah tahun 2013
Dari hasil penelitian didapati bahwa sebagian besar keeper hanya tamat SLTP, sisanya tidak sekolah atau, tamat SD atau, tamat SLTA (Tabel 2). Tabel 2. Distribusi keeper di Stasiun Re-introduksi Jantho berdasarkan pendidikan Pendidikan Tidak sekolah Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Total
Jumlah/Orang
Persentase
1 1 5 1 8
12,5 12,5 62,5 12,5 100
Sumber: Hasil rekapitulasi data primer diolah tahun 2013
Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa masa kerja semua keeper yang ada di Stasiun Re-introduksi sudah lebih dari setahun (Tabel 3). Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa sebagian besar responden bertugas sebagai keeper tanpa tugas lainnya. Selain itu, di antara mereka juga terdapat 1 orang keeper yang sudah berpengalaman bekerja di Stasiun Re-introduksi orangutan lain. Pada saat bekerja di Stasiun Reintroduksi Jantho semua keeper diberi Standar Operational Prosedur (SOP), dan menyatakan memahami isi dari SOP tersebut. Pada Tabel 4, terlihat bahwa para keeper menyatakan pernah melihat kesehatan orangutan terganggu. Sebagian besar dari mereka pernah mengamati gangguan kesehatan yang seperti diare dan tubuh orangutan yang lemah. Selain itu, ada juga yang menyatakan melihat orangutan dengan gejala demam dan kecacingan. Hanya sebagian kecil yang pernah melihat orangutan mengalami luka di bagian tubuh. Diketahui bahwa 157
Jurnal Medika Veterinaria
Vol. 8 No. 2, Agustus 2014
tindakan pertama yang mereka lakukan pada saat melihat kondisi orangutan terganggu adalah memisahkan orangutan dari kawanan, memanggil petugas kesehatan hewan, dan segera mengobatinya. Tabel 5 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menjawab tindakan pemberian obat cacing adalah tindakan utama untuk mengobati kecacingan. Dari
tabel dibawah ini juga diketahui bahwa menurut sebagian besar keeper masa karantina pada orangutan kecacingan adalah dibawah 3 bulan. Selain itu, jika orangutan berasal dari Stasiun Re-introduksi lain maka tindakan yang dilakukan responden pada saat orangutan tersebut tiba di Stasiun Re-introduksi adalah dikandangkan selama beberapa hari dan diberi obat cacing.
Tabel 3. Distribusi keeper di Stasiun Re-introduksi Jantho berdasarkan pengalaman kerja No
Pertanyaan
A.1 Sudah berapa lama berkerja di Pusat Reintroduksi Jantho?
A.2 Apa tugas saudara di Pusat Reintroduksi Jantho?
A.3 Apakah saudara pernah bekerja ditempat reintroduksi orangutan lainnya ? A.4 Apakah saudara diberikan SOP waktu melaksanakan tugas? A.5
Jika jawaban “Ya” pada pertanyaan nomor A. 6 apakah saudara paham isi SOP?
Jawaban < 1 Tahun > 1 Tahun Petugas Kesehatan Hewan Pemberi pakan Petugas kebersihan Lain-lain, sebutkan Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Tanggapan Responden 0 8 0 1 0 7 1 7 8 0 8 0
Sumber: Hasil rekapitulasi data primer diolah tahun 2013
Tabel 4. Distribusi hasil pengamatan tentang penyakit yang pernah dialami orangutan di Stasiun Re-introduksi Jantho Tanggapan No Pertanyaan Jawaban Responden Apakah saudara selalu memperhatikan kondisi orang utan di Pusat Ya 8 B.1 Reintroduksi Jantho? Tidak 0 Jika menjawab “Ya” pada pertanyaan B.1, apakah anda pernah melihat Ya 8 B.2 kondisi kesehatannya terganggu? Tidak 0 Luka di bagian tubuh 6 Diare/mencret 8 Jika menjawab “Ya” pada pertanyaan B.2, kondisi gangguan kesehatan Lemah 8 B.3 seperti apa yang saudara lihat? Demam 7 Kecacingan 7 Lain-lain, sebutkan… 0 Segera mengobati 6 Memisahkan dari kawanan 5 Jika saudara melihat gangguan seperti jawaban pada pertanyaan B.3, B.4 Memanggil petugas langkah apa yang akan saudara lakukan terhadap orang utan tersebut? 8 kesehatan hewan Membiarkan saja 0 Sumber: Hasil rekapitulasi data primer diolah tahun 2013
Tabel 5. Distribusi pengetahuan tentang tindakan terhadap orangutan yang sakit kecacingan di Stasiun Re-introduksi Jantho No
B.5
Pertanyaan
Jika gangguan kesehatannya adalah kecacingan, tindakan apa yang dilakukan untuk mengobati orangutan tersebut?
B.6
Jika dipisahkan dari kawanannya, berapa lama orangutan tersebut dikarantinakan?
B.7
Jika orangutan yang sakit kecacingan tersebut berasal dari luar Pusat Reintroduksi Jantho, tindakan apa yang dilakukan pada saat baru tiba di Pusat Reintroduksi Jantho?
Sumber: Hasil rekapitulasi data primer diolah tahun 2013
158
Jawaban Diisolasi/karantina Pemberian antibiotik Pemberian obat cacing Jenis pengobatan/tindakan lain, sebutkan… < 3 bulan 3 bulan > 3 bulan Diberi obat cacing Dipisahkan dari kawanan Tidak diberi obat apapun Langsung dilepasliarkan Dikandangkan selama beberapa hari
Tanggapan Responden 5 1 7 0 7 0 0 2 0 0 0 7
Jurnal Medika Veterinaria
Ali Murtala, dkk
Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa semua keeper menyatakan selalu mencuci tangan dan mendesinfeksi semua peralatan sebelum memberi makan orangutan, namun mereka tidak menggunakan sarung tangan. Makanan yang diberikan dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir sebelum diberikan ke orangutan. Selain itu, semua responden menyebutkan bahwa selalu membersihkan sisa-sisa makanan dan sisanya dibuang ke tempat pembuangan sampah setelah memberi makan orangutan. Dari data yang diperoleh menunjukan bahwa semua keeper menyatakan selalu membersihkan kotoran orangutan yang ada di sekitar kandang (Tabel 7). Hal
tersebut selalu dilakukan keeper apabila setiap saat ada kotoran. Pada Tabel 8 terlihat bahwa semua keeper membebas-kumankan semua peralatan kandang. Sebagian besar menyatakan melakukannya segera sesudah digunakan dan sebagian kecil melakukannya setiap sehari sekali. Hasil pemeriksaan laboratorium dengan metode natif dan metode sentrifus terhadap 6 sampel feses orangutan Sumatera yang diperoleh dari Stasiun Reintroduksi Jantho menunjukkan bahwa ditemukan parasit nematoda gastrointestinal pada mereka seperti yang disajikan pada Tabel 9.
Tabel 6. Distribusi sikap keeper dalam menjaga kebersihan di Stasiun Re-introduksi Jantho No B.8 B.9 B.10 B.11 B.12
B.13
Pertanyaan Apakah pada saat saudara memberikan makanan pada orangutan saudara terlebih dahulu mencuci tangan? Apakah pada saat saudara memberikan makanan pada orangutan saudara menggunakan sarung tangan? Apakah pada saat saudara memberikan makanan pada orangutan saudara mendesinfeksi semua peralatan yang akan digunakan? Apakah pada saat saudara memberikan makanan pada orangutan saudara mencuci semua makanan yang akan diberikan? Apakah setelah saudara memberikan makanan pada orangutan, sisanya dibersihkan?
Jika menjawab “Ya” pada pertanyaan nomor B. 12, kemana saudara membawa sisa makanan tersebut?
Jawaban Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Memberikan ke orangutan lain Membakarnya Mengubur Mengolah kembali Membuang ketempat pembuangan sampah Dan lain-lain, sebutkan
Tanggapan Responden 8 0 0 8 8 0 8 0 8 0 0 0 0 0 8 0
Sumber: Hasil rekapitulasi data primer diolah tahun 2013
Tabel 7. Distribusi keeper di Stasiun Re-introduksi Jantho dalam menjaga kebersihan dari kotoran orangutan No B.14
B.15
Pertanyaan Apakah kotoran orangutan dibersihkan?
Jika Ya pada pertanyaan nomor B. 14, kapan saja dibersihkan?
Jawaban
Tanggapan Responden
Ya Tidak
8 0
Pagi Sore Pagi dan Sore Setiap saat ada kotoran Lainnya, sebutkan…
0 0 0 8 0
Sumber: Hasil rekapitulasi data primer, diolah tahun 2013
Tabel 8. Distribusi keeper di Stasiun Re-introduksi Orangutan Jantho dalam mendesinfeksi peralatan No
Pertanyaan
B.16
Setelah saudara bekerja dikandang/lapangan, apakah semua peralatan yang saudara gunakan didesinfeksi kembali?
B.17
Jika menjawab “ya” pada pertanyaan nomor B. 16, berapa hari sekali saudara membersihkannya?
B.18
Mengapa saudara melakukan desinfeksi / pencucian terhadap peralatan?
Jawaban
Tanggapan Responden
Ya Tidak Sehari sekali Dua hari sekali > 3 hari Langsung sesudah digunakan Sesuai SOP Inisiatif pribadi Meniru keeper lainnya
8 0 3 0 0 5 8 0 0
Sumber: Hasil rekapitulasi data primer diolah tahun 2013
159
Jurnal Medika Veterinaria
Vol. 8 No. 2, Agustus 2014
Tabel 9. Hasil pemeriksaan sampel feses dari orangutan Sumatera di Stasiun Re-introduksi Jantho No
Nama orangutan Sumatera
Metode pemeriksaan Natif Sentrifus -
Jenis parasit
1
Manohara
2
Yusniar
-
-
-
3
Fren
+
-
Strongiloides sp
4
Coty
-
-
-
5
Seumanyam
-
-
-
6
Ruben
-
-
Dari tabel 9 terlihat bahwa ditemukan 1 dari 6 (16,7%) orangutan Sumatera positif terdapat nematoda gastrointestinal dari jenis Strongiloides sp. Secara khusus menunjukan bahwa prevalensi parasit nematoda gastrointestinal tersebut yang menginfeksi orangutan Sumatera di Stasiun Re-introduksi Jantho adalah 16,5% untuk Strongiloides sp. Pengetahuan Keeper dalam Mewaspadai Infeksi Cacing pada Orangutan Dari data yang dikumpulkan diperoleh hasil bahwa rata-rata usia responden adalah sekitar 31 tahun. Umur responden termuda adalah 19 tahun, dan tertua adalah 41 tahun. Sementara dalam hal pendidikan, dari hasil penelitian didapati bahwa sebagian besar keeper hanya tamat SLTP, sisanya tidak sekolah, tamat SD, dan tamat SLTA. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan keeper dalam memahami intruksi akan bervariasi sebagaimana dikatakan oleh Notoatmodjo (2010), bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik pula pengetahuannya, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin cepat pula penyerapan informasi yang didapatkan. Namun kekurangan dalam hal pendidikan tersebut bisa ditingkatkan dengan peningkatan sumber daya keeper yaitu melalui berbagai penyuluhan dan pelatihan mampu menangani satwa secara benar sesuai standar yang berlaku terutama dalam hal personal hygiene, penggunaan alat-alat, pemberian makanan, cara pencegahan, dan penanggulangan penyakit. Semua keeper yang ada di Stasiun Re-introduksi Jantho sudah bekerja lebih dari 1 tahun. Menurut Manulang (1984) dan Foster (2001) lama waktu atau masa kerja yang telah dijalani oleh seseorang dapat meningkatkan pemahaman tugas-tugas suatu pekerjaan untuk dilaksanakan dengan baik. Hal di atas tercermin dari pemahaman para keeper terhadap tindakan bila kesehatan orangutan terganggu. Menurut Anonimus (2005a), pengetahuan akan pencegahan penyakit dan pelaporan dini sangat menentukan pencegahan penyakit pada hewan. Di Stasiun Re-introduksi Jantho tindakan untuk menekan dan menurunkan jumlah kontaminasi maupun mengontrol kesehatan hewan dan penyebaran penyakit telah dilakukan oleh para keeper. Salah satu contohnya adalah jika ada orangutan yang sakit dengan segera dilaporkan 160
-
kepada dokter hewan yang bertugas untuk dilakukan penanganan lanjut. Tindakan Keeper dalam Mewaspadai Infeksi Cacing pada Orangutan Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar keeper memahami tindakan pengendalian bila orangutan terinfeksi cacing. Mereka menyatakan bahwa pemberian obat cacing dan karantina adalah pilihan utama untuk mengobati kecacingan. Hal tersebut sesuai dengan anjuran Sajuthi (1984) dan Goldsmid (2005), yang menyatakan bahwa jika satwa terkena penyakit maka secepatnya harus dikarantina agar tidak menyebar dan selanjutnya dilakukan perawatan. Keeper di Stasiun Re-introduksi juga menunjukkan tingkat pemahaman yang baik terhadap masa karantina hewan, yaitu di bawah 3 bulan. Hal ini merujuk pada pernyataan Fowler (1986), bahwa periode karantina untuk primata paling sedikit 33 hari dan paling lama 90 hari tergantung dari hasil pemeriksaan. Jika orangutan sehat setelah diperiksa maka segera dilepasliarkan, sedangkan jika orangutan sakit setelah diperiksa akan tetap dikarantin dan dirawat sampai orangutan tersebut sembuh. Sikap Keeper dalam Mewaspadai Infeksi Cacing pada Orangutan Semua responden selalu menyatakan bahwa selalu mencuci tangan dan mendesinfeksi semua peralatan sebelum memberi makan orangutan. Hal tersebut merupakan salah satu langkah yang standar, sesuai dengan pernyataan Kenari (2002), bahwa kebersihan semua peralatan kandang harus rutin dibersihkan seperti keranjang buah dan semua peralatan kandang hal ini untuk mengurangi peluang masuknya endoparasit kedalam tubuh orangutan. Namun demikian, para keeper tidak menggunakan sarung tangan pada saat memberikan makanan pada orangutan. Hal ini akan memberi peluang kontaminasi pakan yang diberikan ke orangutan karena tangan seringkali menjadi agen pembawa kuman. Tindakan seperti ini dapat menjadi faktor risiko infeksi cacing pada orangutan di Stasiun Re-introduksi Jantho. Pembersihan Kotoran Dari data yang diperoleh menunjukan bahwa semua keeper selalu membersihkan kotoran orangutan yang ada di sekitar kandang. Hal tersebut
Jurnal Medika Veterinaria
selalu dilakukan keeper apabila setiap saat ada kotoran. Tindakan ini akan memperkecil kemungkinan adanya infeksi penyakit atau cacing pada orangutan. Menurut Sajuthi (1984), bahwa sanitasi kandang dapat terganggu dari sisa makanan orangutan yang tidak termakan dan kotoran orangutan itu sendiri. Oleh karena itu sangat diperlukan pembersihan kandang dari sisa-sisa makanan dan kotoran untuk menjaga kesehatan orangutan. Dengan demikian tindakan yang dilakukan oleh para keeper sudah tepat. Desinfeksi Peralatan Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa semua keeper membebaskumankan semua peralatan kandang. Sebagian besar melakukannya sesudah digunakan dan sebagian kecil melakukannya setiap sehari sekali. Hal tersebut dilakukan merujuk pada SOP. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martin (1986) yang menyatakan bahwa seluruh area kandang harus dibersihkan paling sedikit satu atau dua kali sehari. Begitu juga pernyataan Sajuthi (1984), bahwa kandang beserta fasilitasnya seperti wadah tempat makan dan minum harus dibersihkan secara rutin setiap hari satu atau dua kali sehari dengan menggunakan air bersih. Menurut Anonimus (2005b), risiko penyakit dapat dihindari salah satunya adalah dengan menjaga kebersihan peralatan dan lokasi kandang, karena bisa menjadi perantara penularan penyakit pada hewan. Kebersihan peralatan dan lokasi kandang sangat menentukan kesehatan hewan, karena peralatan yang digunakan oleh dokter hewan maupun keeper harus dibersihkan dengan desinfektan sebelum dan sesudah digunakan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme penyebab penyakit. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan sampel feses orangutan didapatkan bahwa, 1 dari 6 (16,7%) feses orangutan Sumatera di Stasiun Re-introduksi Jantho positif terinfeksi parasit nematoda gastrointestinal jenis Strongiloides sp. Hasil ini secara khusus menunjukkan bahwa tindakan atau perilaku yang telah diterapkan oleh para keeper belum bisa menghambat infeksi oleh cacing pada orangutan. Secara khusus prevalensi parasit nematoda gastrointestinal yang menginfeksi orangutan Sumatera di Stasiun Re-introduksi Jantho adalah 16,7% untuk Strongiloides sp. Strongiloides sp., yaitu cacing nematoda yang umumnya ditemui hampir di semua satwa primata dan memiliki daya infeksi yang tinggi. Menurut Amaliah (2007), kehadiran cacing Strongiloides sp., dapat ditularkan dari manusia kepada hewan yang berada dekat dengannya, salah satunya melalui perawat hewan (keeper). Adapun penularannya dengan cara menembus melalui kulit atau melalui tanah, air, makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi telur infektif cacing tersebut (Rahayu, 2008) dan (Harjopranjoto et al. 1995 yang disitasi Nasution et al., 2013). Hal ini
Ali Murtala, dkk
sesuai dengan pernyataan Palgunadi (2010) dan Widyaningsih (2014), bahwa faktor risiko yang berperan dalam meningkatkan infeksi endoparasit melalui beberapa cara, yaitu melalui tangan yang kotor, melalui makanan dan minuman yang tercemar yang mengandung telur infektif cacing Strongiloides sp. tersebut. KESIMPULAN Perilaku keeper di Stasiun Re-introduksi Jantho sudah sangat asepsis dalam mencegah kemungkinan terinfeksi cacing pada orangutan. Prevalensi infeksi nematoda gastrointestinal pada orangutan Sumatera yang ada di Stasiun Re-introduksi Jantho, Aceh Besar sangat rendah yaitu sebesar 16,7%, yang terdiri atas Strongiloides sp. DAFTAR PUSTAKA Amaliah, P.R. 2007. Identifikasi Endoparasit pada Sampel Feses Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina di Kebun Binatang Taman Safari Bandung. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Biologi. Depok. Anonimus, 2005a. Kesehatan. http://kampoengternak.150m.com/ Kesehatan.htm. Anonimus. 2005b. 8 tips to keep Birds Healthy. http://www.biosecurity.govt.nz/pests-diseases/animal/avianinfluenza. Biosecurity New Zealand. Foster, B. 2001. Pembinaan untuk Peningkatan Kinerja Karyawan. PPM, Jakarta. Fowler, M.E. 1986. Zoo and Wild Animal Medicine. 2nd . W.B. Saunders Company, Philadelphia. Goldsmid, J.M. 2005. Zoonotic Infections: An Overview. The Australasian College of Tropical Medicine. Primer of Tropical Medicine. IUCN. 2007. IUCN Red List of Thtreatened Species. IUCN, Gland, Switzerland. http://www.iucnredlist.org. Kenari. 2002. Cacingan: http://kenariku.tripod.com/html/penyakit-2. html. Manulang. 1984. Manajemen Personalia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Martin, D.P. 1986. Husbandry. In Zoo and Wild Animal Medicine. M.E. Fowler (Ed.). 2nd ed. W. B. Saunders Company. Philadelphia. Nasution, I.T., Y. Fahrimal, dan M. Hasan. 2013. Identifikasi Parasit Nematoda Gastrointestinal Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Karantina Batu Mbelin, Sibolangit Provinsi Sumatera Utara. J. Medika Veterinaria. 7(2):67-70. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rhineka Cipta, Jakarta. Palgunadi, B.U. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kecacingan yang Disebabkan Oleh Soil-Transmitted Helminth di Indonesia. http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/ Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Rahayu, N.R.T. 2008. Identifikasi Endoparasit Saluran Pencernaan Simakobu (Simias concolor siberru) dan JOJA (Presbytis potenziani siberu) di Siberut Utara. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar. Sajuthi, D. 1984. Satwa Primata sebagai Hewan Laboratorium. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sajuthi, D., T.L. Yusuf., I. Mansjoer., R.P.A. Lelana, dan I.H. Suparto, 1997. Kursus Singkat Penanganan Satwa Primata sebagai Hewan Laboratorium. Penerbit Ersa Pustaka Pribadi, Bali. Schuster, F.L. dan L.R. Avila. 2008. Current world status of Balantidium coli. Clin. Microbiol. 21(4):626-638. Selian, R.M. 2012. Identifikasi Parasit Gastrointestinal pada Feses Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Semi Liar di Kawasan Cagar
161
Jurnal Medika Veterinaria
Alam Pinus Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. Bailliere Tindall, London. Traylor, M.A., R.L. Coop, and R. L. Wall. 2007. Veterinary Parasitology. 3rd ed. Blackwell Publishing Ltd, Oxford. Wich, S.A., E. Meijaard, A.J. Marshall, S. Husson, M. Ancrenaz, R.C. Lacy, C.P. Van Schaik, J. Sugardjito, T. Simorangkir, K.
162
Vol. 8 No. 2, Agustus 2014
Traylor-Holzer, B.M.F. Galdikas, M. Doughty, J. Supriatna, R. Dennis, M. Gumal, and I. Singleton. 2008. The Status of The Orangutan: An Overview of This Current Distribution. Oryx. 80: 158-162. Widyaningsih, I. 2014. Strongiloides. http://elib.fk.uwks.ac.id/ asset/archieve/jurnal/ Wilson, S.C. and J.W. Carpenter. 1996. Endoparasitic disease of reptil. J. Exotix Pet Medicine 5(2): 64-74.