ISSN: 0852 - 9124
VOLUME: 4 – NOMOR: 1 – JULI 2013
Jurnal EKONOMI DAN PEMBANGUNAN Fahrul Rizal The Role of Access to Electricity in Human Development Perspective in Indonesia T. Saiful Bahri dan Akhmad Baihaqi Strategi Pengembangan Budidaya Laut dan Pesisir Kabupaten Pidie Iswahyudi Tingkat Kekritisan Arah Pengembangan Ekosistem Mangrove di Kota Langsa PEMERINTAH ACEH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH 2013
Zakiah Dampak Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Aceh VOLOME: 4 – NOMOR: 1 – ISSN: 0852 – 9124: JULI 2013
Sanusi Bintang Aspek Hukum Perlindungan Varietasi Tanaman Zuraini Analisis Produk dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Aceh Utara Nurlailita Konflik Ekologis/Sumber Daya Alam dan Konsep Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah
[Bappeda Aceh] [ISSN: 0852-9124] [Vol. 4 No.1, Juli 2013] [0651-29713] | [0651-21440] | [
[email protected]]
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Fahrul Rizal The Role of Access to Electricity in Human Development Perspective in Indonesia (Peranan Akses Terhadap Ketenagalistrikan dalam Perspektif Human Development di Indonesia) T. Saiful Bahri dan Akhmad Baihaqi Strategi Pengembangan Budidaya Laut dan Pesisir Kabupaten Pidie (Development Strategy of Marine and Coastal Resource in Pidie Subdistrict) Iswahyudi Tingkat Kekritisan Arah Pengembangan Ekosistem Mangrove di Kota Langsa (Critical Level and Development Direction of Mangrove Ecosystem in Langsa) Zakiah Dampak Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Aceh (Impact of Improvement Quality of Human Resources and Economic Growth on the Reduction of Poor People in Aceh) Sanusi Bintang Aspek Hukum Perlindungan Varietas Tanaman (Legal Aspects of Plant Variety Protection) Zuriani Analisis Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Aceh Utara (Production Analysis and Productivity of paddy in Aceh Utara District) Nurlailita Konflik Ekologis/Sumberdaya Alam dan Konsep Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah (The Conflict of Ecology/Natural Resource and Management Concept of Lore Lindu National Park, Center Sulawesi Province)
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) ACEH 2013
TIM REDAKSI
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN terbit dua kali setahun pada bulan Juli dan November yang berisi tulisan hasil penelitian dan kajian analisis kritis di bidang Ekonomi Pembangunan : Pembina
: Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh
Pengarah
: Mahruzal, SE
Penanggung Jawab
: Ir. Alamsyah, MM
Dewan Redaksi
: Prof. Dr. Drh. Tongku Nizwan Siregar, MP Prof. Dr. Ir. Hasanuddin, MP Dr. Ir. Ema Alemina, MP drh. T. Armansyah,TR, M.Kes
Pimpinan Redaksi
: Ramzi, M.Si
Staf Redaksi
: Bulman Rahmad Cut Soraya Iskandar Sri Hastuti Supriatna Zaiyadi
Alamat Redaksi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Bidang Penelitian, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Subbidang Penelitian dan Pengembangan Jl. Tgk. H. M. Daud Beureueh No. 26 Banda Aceh Telepon: (0651) 21440, 29713 Website: www.bappeda.acehprov.go.id Email:
[email protected]
i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah Kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Ridha-Nya sehingga Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Volume 4 Nomor 1 Edisi Juli Tahun 2013 dapat diterbitkan. Salawat dan Salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menanamkan risalah kepada ilmuwan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Penerbitan jurnal ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan dan memajukan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan informasi bagi stakeholder yang berkaitan dengan Ekonomi dan Pembangunan di berbagai sektor. Setiap tahun tim redaksi telah berupaya meningkatkan kualitasnya dengan melakukan perbaikan-perbaikan secara signifikan dalam hal penambahan dewan pakar, format penulisan yang lebih konsisten, judul jurnal yang lebih mudah dimengerti. Setiap Volume berisi tujuh artikel, dan pada edisi ini yang dimuat adalah: 1) The Role of Access to Electricity in Human Development Perspective in Indonesia; 2) Strategi Pengembangan Budidaya Laut dan Pesisir Kabupaten Pidie; 3) Tingkat Kekritisan Arah Pengembangan Ekosistem Mangrove di Kota Langsa; 4) Dampak Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Aceh; 5) Aspek Hukum Perlindungan Varietas Tanaman; 6) Analisis Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Aceh Utara; dan 7) Konflik Ekologis/Sumberdaya Alam dan Konsep Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah. Akhirnya ucapan terima kasih kepada para penyunting ahli dan reviewer yang telah bersedia memberikan masukan demi penyempurnaan jurnal ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para penulis yang telah dimuat tulisannya. Harapan kami semoga tulisan-tulisan ilmiah yang disajikan akan memberikan tambahan pengetahuan kepada semua pembaca. Selain itu, kami juga mengundang semua pihak untuk dapat mengirimkan tulisan ilmiah untuk terbitan selanjutnya. Redaksi juga mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak dalam upaya untuk meningkatkan kualitas jurnal ini.
Redaksi
ii
DAFTAR ISI
The Role of Access to Electricity in Human Development Perspective in Indonesia Fahrul Rizal ........................................................................................................
1
Strategi Pengembangan Budidaya Laut dan Pesisir di Kabupaten Pidie T. Saiful Bahri dan Akhmad Baihaqi ..............................................................
6
Tingkat Kekritisan Arah Pengembangan Ekosistem Mangrove di Kota Langsa Iswahyudi ............................................................................................................
20
Dampak Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Aceh Zakiah .................................................................................................................
30
Aspek Hukum Perlindungan Varietas Tanaman Sanusi Bintang ....................................................................................................
43
Analisis Produksi dan Produktivitas Padi Sawah Di Kabupaten Aceh Utara Zuriani ..............................................................................................................
59
Konflik Ekologis/Sumberdaya Alam dan Konsep Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah Nurlailita .............................................................................................................
65
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 -9124
Vol. 4 No.1, Juli 2013
THE ROLE OF ACCESS TO ELECTRICITY IN HUMAN DEVELOPMENT PERSPECTIVE IN INDONESIA Peranan Akses terhadap Ketenagalistrikan dalam Perspektif Human Development di Indonesia Fahrul Rizal1 1Staf
Pada Dinas Pertambangan dan Energi Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT This study analyzes the effect of household electricity consumption (REPC) the human development index (HDI) due to it is believed to be a substantial element in the effort to increase the quality of life, while the control variables used are gross domestic income (RGRDP) and high-school attendance (APM) of the population aged 16-18. By using the techniques of traditional panel regression and GMM 2SLS Endogenous Lag, each of the best models of these two techniques suggest that REPC, RGRDP, and APM has a positive influence on the HDI in which APM has the highest marginal effect for HDI; moreover, it is followed successively by RGRDP and REPC. This shows that the electricity consumption of households have a positive impact on social welfare. Increased consumption of household electricity directly to stimulate social development, especially in developing countries like Indonesia. Where 500 kwh per capita electricity consumption is minimal amount of electricity that will be used to pump water, provide lighting, store food, and medicine for a household so that they can significantly improve their lives. Key words: household electricity consumption, panel regression
ABSTRAK Penelitian ini menganalisis pengaruh konsumsi listrik rumah tangga (REPC) terhadap indeks pembangunan manusia (HDI) karena hal tersebut diyakini merupakan elemen substansial dalam upaya peningkatkan kualitas hidup masyarakat. Variabel kontrol yang digunakan adalah pendapatan domestik regional bruto (RGRDP) dan angka partisipasi murni (APM) penduduk usia 16-18. Dengan menggunakan teknik regresi panel tradisional dan GMM 2SLS Endogenous Lag, masing-masing model terbaik dari kedua teknik tersebut menyiratkan bahwa REPC, RGRDP, dan APM memiliki pengaruh positif terhadap HDI dimana APM memiliki efek marjinal tertinggi untuk HDI, diikuti berturut-turut oleh RGRDP dan REPC. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi listrik rumah tangga memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan sosial masyarakat. Peningkatan konsumsi rumah tangga listrik secara langsung dapat merangsang pengembangan sosial, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Konsumsi listrik 500 kwh per kapita adalah jumlah minimal listrik yang akan digunakan untuk memompa air, memberikan penerangan, menyimpan makanan serta obat-obatan bagi suatu rumah tangga sehingga mereka dapat secara signifikan meningkatkan taraf kehidupannya. Kata kunci: konsumsi listrik rumah tangga, regresi panel
INTRODUCTION Human Development Index The human development index (HDI), was proposed by Mahbub ul Haq and Amartya since 1990 to measure development as enlargement of people’s choices. This is a summary indicator, which has the main advantage to shift the attention of governments 1
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Fahrul Rizal
and public opinion from the Gross National Product of a country, to the real ends of development (Burchi, 2006). The HDI is composed of three factors with the same weight: 1) Longevity, measured by life expectancy; 2) Knowledge, measured by two variables related to education: adult literacy (with a weight of two-thirds) and mean years of schooling (with a weight of onethird); 3) Standard of living, measured by per capita income adjusted with the Purchasing Power Parity. Although many economists still criticize this indicator, but here this research would like to focus on the choice of the components. The first two components are conceived as valuable human “achievements”, while the third measure of income is included just as a general proxy of people’s opportunities. In short, HDI improvement can be achieved at least from these two channels: a) Macroeconomic variable; it means economic growth to increase per capita income. b) Human “achievement” variable; it means education to raise the level of knowledge (as a key to innovation) which is also associated with healthiness level. Household’s Electricity Consumption to HDI It is important to outline that electricity is included in the indicator for their intrinsic value, according to the idea that the quality of live is development itself, and, therefore, the higher this component the higher the level of development of the country. Furthermore, the role played by household electricity consumption is also partially embodied in the other two factors because household electricity can affect the knowledge (especially electricity used by modern communication equipments such as Television and Internet can influence knowledge through spreading information) and obviously provides source for sanitation and hygiene-food in daily life (especially electricity for safe-drinking water pump and food refrigeration) in which affects the length of live. METHODS Data Data cover all provinces in Indonesia since 2005 until 2008 as reported by National Energy Department (DJLPE) and National Bureau of Statistic (BPS); moreover, the following decision rules are employed to sort out the data: 1) Excludability: it means provincial data is standalone, not having a redundant record which belongs to other province; 2) Unity: it means provincial data is not taken from divided province in each ways; 3) Availability: it means provincial data is available during the observed periods. Table 1. Total selected provinces Total Provinces 33
Not fulfill Excludability rule 3
Not fulfill Unity rule 2
Not fulfill Availability rule 2
Total Selected Provinces 26
Model Dependent variable The human development index is chosen as the dependent variable. In addition, Indonesia National Bureau of Statistic range its HDI from 0 (the lowest) to 100 (the highest) 2
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Independent variables In this research, there are three selected independent variable: REPC, RGRDP, and APM. 1) REPC is Household Electricity Consumption per Costumers as the main purpose of this research (in Watt-h per Costumer); 2) RGRDP is real Gross-Domestic Products representing an aggregate output in the province (in Trillion IDR); 3) APM is representing high-school attendance divided by 16-18 years old population (in percentage). Furthermore, all of independent variables are expected to have a positive sign (+). The model expressed as follows: Where: - HDIit is HDI for province i at time t. - REPCit stands for household electricity consumption variables, the paper main variables of interest. - Xit is a vector including macroeconomic, human “achievement” control variables as described above. is the disturbance term. RESULTS AND DISCUSSION Both Traditional Panel and GMM 2SLS analysis use Likelihood Ratio test and Hausman test in order to decide whether the model follows fixed-effects or randomeffects. If the Likelihood Ratio test obtains the Chi-sq P-values less than 0.95 the model follows fixed-effects; moreover, if the Hausman Chi-stat P-values less than 0.01 the model follows random effects, otherwise, it belongs to fixed-effects. Table 2. Traditional Panel and GMM 2SLS Endogenous Lag Results Traditional Panel Fixed Random C REPCi,t RGRDPi,t APMi,t
F-stat R-squared No. Obs. Likelihood Ratio Chi-sq Hausman Chi-stat
58.780*** (0.0000) 0.0047*** (0.0000) 0.0199*** (0.0018) 0.1088*** (0.0000)
58.701*** (0.0000) 0.0048*** (0.0000) 0.0122*** (0.0071) 0.1169*** (0.0000)
290.3*** (0.0000) 0.99 104 437.68*** (0.0000)
93.6*** (0.000000) 0.74 104
3.33 (0.344)
GMM 2SLS Endogenous Lag Fixed Random -174.137 (0.2405) 0.0043*** (0.0011) 0.0376** (0.0235) -0.1248 (0.4011) 3.4629 (0.1077) 170.87*** (0.0000) 0.99 52 254.23 (0.0000)
-197.911 (0.1744) 0.0048*** (0.0000) 0.0083 (0.1294) 0.0727 (0.1898) 3.6874* (0.0782) 8.96*** (0.0000) 0.43 52
12.85*** (0.012)
Notes: Regressions include time fixed effects that are reported in APPENDIX C. */**/*** indicate significance at the 10/5/1-% significance level. P-values are in parenthesis.
3
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Fahrul Rizal
Finally, by performing regression tests, it is found that: a) The best model for traditional panel is Fixed-effects while GMM 2SLS with endogenous lag follows the Random-effects; b) The marginal effect of REPC to HDI is around 0.0047 to 0.0048 means that if Residential Electricity Consumption is increase in 1 GWh, it will be followed by increase in HDI around 0.0047 to 0.0048 units; c) Each of the best models implies that REPC, RGRDP, and APM have positive sign where APM has the highest marginal effect to HDI respectively following by RGRDP and REPC. CONCLUSION According to this empirical analysis, it shows that household electricity consumption per costumer has a positive impact to social development indices (HDI) and so do macro-economic variable (RGDRP) and human achievement indicator (APM). Increasing household electricity consumption per costumer can directly stimulate faster social development, especially in medium human development countries like Indonesia since it is believed that 500kwh electricity per capita is the minimal amount of electricity to be used for pumping water, providing light, and refrigerating food and medicines, a community so that they can significantly improve their living conditions. Electricity has played a key role not only in economic development but also in social development, especially for household electricity. Hopefully, the related regulatory offices know how to astutely give out their human as well as financial capital and other resources to achieve these aims. REFERENCES Asteriou, D. and S.G. Hall. 2007. Applied Econometrics. Palgrave Macmillan, Revised Edition. Burchi, F. 2006. Education, Human Development, and Food Security in Rural Areas: Assessing Causalities, University of Rome III Paper for International Conference of the Human Development and Capability Approach, Groningen. Creel, M. 2006. Econometrics, Version 0.80. Dept. Of Economics and Economic History, Universitat Autònoma De Barcelona. Gaye, A. 2007. Access to Energy and Human Development, Human Development Report Office Occasional Paper, UNDP. Joyeux, R. and R.D. Ripple. 2005. The Evaluation of Standard of Living and the Role of Household Electricity Consumption: a Panel Cointegration Analysis, Macquarie Universirsity, Sidney, Australia. Leung, C.S. and P. Meisen., 2005. How Electricity Consumption Affects Social and Economic Development by Comparing Low, Medium and High Human Development Countries, Global Energi Network Institute, downloaded in 2011 Jan-12 from: http://www.geni.org/globalenergy/issues/global/qualityoflife/HDI-vsElectricity-Consumption-2005-07-18.pdf Mahajan, S.K. 2009. Attainment of Human Development a Study of North-East India Attainment of Human Development: a Study of North-East India, Delhi Business Review X Vol. 10, No. 2 (July – December) Nkomo, J.C. 2007. Energy use, poverty and development in the SADC, Journal of Energy in Southern Africa. Vol 18 No 3. August 2007 Pasternak, A.D. 2000. Global Energy Futures and Human Development: A Framework for Analysis, UCRLID-140773, Lawrence Livermore National Laboratory Technical Information Department’s Digital Library. http://www.llnl.gov/tid/Library.html Sen, M. and S. Desai, 2005. Household Electrification, Child Labor and Education in India, Indian Human Development Survey
4
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Siddiqui, R. 2009. Human Capital vs. Physical Capital: A Cross-Country Analysis of Human Development Strategies, Pakistan Institute of Development Economics WP: 51. www.pide.org.pk/pdf/Working%20Paper/WorkingPaper-51.pdf Teller, A. 2009. Correlation is not Causation, e-news Issue 25, European Nuclear Society Wooldridge, J.M. 2004. Econometric Analysis of Cross Section and Panel Data, MIT Press Data Sources REPC from http://www.djlpe.esdm.go.id/modules.php?mod=6&sub=1049 Accessed Nov-11 2010 11:42 am HDI, RGRDP, and APM from www.bps.go.id
5
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 - 9124
T. Saiful Bahri dan Ahkmad Baihaqi
STRATEGI PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT DAN PESISIR KABUPATEN PIDIE Development Strategy of Marine and Coastal Resource in Pidie Subdistrict T. Saiful Bahri1 dan Akhmad Baihaqi1 1Staff
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Email:
[email protected]
ABSTRAK Pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan, diharapkan dapat memacu investasi dan peningkatan pendapatan sumberdaya manusia yang terlibat, industri dan daerah. Langkah untuk pengelolaan terpadu pengembangan potensi daerah perlu dijembatani dengan strategi pengembangan memadukan kebutuhan seluruh pemangku kepentingan sub sektor perikanan. Penelitian ini dilakukan di tiga kecamatan dalam Kabupaten Pidie yaitu Kecamatan Muara Tiga, Batee, dan Kembang Tanjong. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik pengambilan sampel puposive sampling yaitu para pemangku kepentingan sub sektor perikanan khususnya perikanan laut, tangkap, dan pesisir. Dengan menggunakan pendekatan proses hirarki analitik (PHA), dapat dikembangkan suatu analisis penetapan prioritas terhadap faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan strategi pengembangan perikanan laut dan pesisir. Pendekatan PHA juga akan diperoleh tujuan dan alternatif strategi-strategi yang mendukung keberhasilan pengembangan perikanan laut, tangkap, dan pesisir. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa faktor yang memengaruhi strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir adalah sosial ekonomi dan budaya (0,301), lingkungan (0,239), teknologi (0,261) dan faktor kelembagaan (0,199). Keberhasilan strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir juga tidak terlepas dari peranan aktor-aktor yang terkait yaitu pemerintah (0,287), swasta (0,246), petani ikan (0,225), dan lembaga keuangan (0,169). Kata kunci: sumber daya, perikanan, pesisir
ABSTRACT Fisheries is a renewable resource although numbers are limited. Management of potential marine and coastal resource are carried out in an integrated and sustainable, and expected tobe increased the investment and improving human resource revenues involved, industries, and regions. Step for the integrated management of potential region development need to be handle using the development strategy from integrated all stakeholders, especially the marine fisheries and coastal sub-sector. The research was conducted in three subdistrict in Pidie District which has a representative on the development of ocean marine, coastal fishing those are the District of Muara Tiga, Batee, and Kembang Tanjong. This study used survey methode with purpossive sampling technique to the fisheries marine fisheries sub-sector stakeholders and coastal fishing. By using Analytical Hierarchy Process Approach (AHP), it can be developed a priority analysis of the factors that influence the success strategies of marine fisheries and coastal development (environmental, social, economic and cultural, institutional and technological). PHA can be obtained as an approach and alternative strategies to support the successful development of marine fisheries, and coastal fishing. The results showed that the factor that effect the marine and coastal fisheries development strategy were sosioeconomics and cultural development 0.301, environment 0.239, technology 0.261, and department factor 0.199. The succesful of development strategy on marine and coastal fisheries also related to goverment (0.287), non goverment (0.246), farmer (0.225), and financial department (0.16). Key words: resource, fisheries, coastal
6
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013 PENDAHULUAN
Permintaan dan kebutuhan komoditi perikanan terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumsi masyarakat pada protein hewani yang lebih sehat. Pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang yang antara lain diakibat oleh menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh, dan membesarkan anak. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat didiperbaharui (renewable) dengan pengelolaan yang memperhatikan daya dukung sumberdaya dan memperhatikan kelestarian lingkungan maka kerusakan yang telah timbulkan akan dapat dihindari pada masa yang akan datang. Pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan, juga dapat memacu peningkatan investasi sebagai upaya penigkatan pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Pengembangan perikanan merupakan suatu proses kegiatan manusia meningkatkan produksi dibidang perikanan, dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani dan nelayan yang diarahkan melali penerapan teknologi dan penangkapan yang lebih baik (Bahari dalam Hartati 2002). Keunggulan ini terwujud bila didukung oleh lingkungan bisnis meliputi kebijakan fiskal dan moneter, prasarana dan sarana, sistem hukum dan kelembagaan, serta sumberdaya manusia dan iptek bersifat kondusif bagi tumbuh suburnya usaha perikanan yang efisien, produktif dan berdaya saing tinggi (Dahuri, 2000). Produktivitas sektor perikanan diperkirakan dapat memberikan prospek yang lebih baik bila dilakukan peningkatan nilai ekspor yang ditunjang dengan pemenuhan kebutuhan produk-produk perikanan dan hasil laut lainnya di dalam negeri (Gumbira dan Galuh, 2003). Dianthani et al. (2003), mengemukakan pengembangan perikanan laut dan pesisir di Indonesia berjalan sangat lamban dikarenakan adanya berbagai permasalahan yang dihadapi. Jika disarikan faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan strategi pengembangan perikanan laut dan pesisir dapat dibagi atas empat faktor yaitu: lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, kelembagaan, dan teknologi. Menurut Dianthani et al. (2003) faktor lingkungan meliputi ketersediaan sumberdaya lahan yang bisa dikembangkan untuk pengembangan, ketersediaan jumlah lahan serta kualitas sumber daya lingkungan. Lokasi yang dapat digunakan dan dipilih sebagai lokasi perikanan laut harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu (1) perairan tenang terlindung dari arus dan gelombang yang cukup kuat, (2) kedalaman perairan, (3) bebas dari bahan pencemaran, (4) mudah dicapai dari darat dan dari tempat pemasok sarana produksi, (5) memenuhi syarat dari segi fisik-kimia kualitas, dan (6) daya dukung lahan pantai untuk pertambakan ditentukan oleh: mutu tanah, mutu air sumber (asin dan tawar), hidro oseanografi (arus dan pasang surut), topografi dan klimatologi daerah pesisir dan daerah aliran sungai di daerah hulu. Selain faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi dan budaya juga memengaruhi keberhasilan strategi pengembangan perikanan laut dan pesisir. Faktor ini meliputi: ketersediaan sarana dan prasarana produksi, fluktuasi harga produk perikanan yang dihasilkan sehingga menyulitkan perencanaan bisnis khususnya dalam membuat prediksi biaya hasil produksi (output), dan kualitas sumberdaya manusia perikanan (Yaqin et al., 2003). Faktor kelembagaan meliputi ketersediaan pelayanan penyuluhan oleh pemerintah, perkembangan organisasi nelayan, dan dukungan dari lembaga keuangan bank dan non7
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
T. Saiful Bahri dan Ahkmad Baihaqi
bank dalam hal dukungan permodalan dan pengeolaan usaha. Kinerja penyuluhan dapat diperbaiki melalui peningkatan intensitas keterkaitan dengan unit-unit percobaan di tingkat propinsi sampai dengan tingkat kabupaten. Kegiatan ini akan mendorong kinerja PPS dan PPL serta meningkatkan fungsi penyuluhan yang ada di BIPP. Umumnya saat ini peranan kelompok tani masih sangat kecil, sehingga kebijakan pengembangan perikanan masih sangat didominasi oleh pemerintah dan belum mencerminkan kebutuhan petani seutuhnya (Rudyanto, 2004). Untuk memberdayakan ekonomi petani dan nelayan telah diperkenalkan teknologi pembenihan baik dalam bentuk Hatcheri Lengkap (HL) maupun Hatcheri Skala Rumah Tangga (HSRT) yang dapat digunakan untuk membenihkan sebagian besar jenis ikan laut seperti benih udang windu, udang putih dan bandeng. Demikian juga bagi nalayan adanya dukungan informasi terhadap penggunaan teknologi alat tangkap akan membantu dalam meningkatkan produksi hasil laut. Penyediaan teknologi bagi budidaya adalah pembenihan ditentukan oleh ketersediaan transportasi benih, penyediaan pakan buatan dan penguasaan teknik pembasmian penyakit di tingkat petani. Beberapa paket teknologi maupun komponen teknologi telah dikuasai antara lain teknologi kultur pakan alami, teknologi probiotik, teknologi pembenihan kerapu tikus, kepiting bakau, teripang pasir serta teknologi penanggulangan penyakit parasiter, bakterial, jamur, dan virus (Dianthani et al., 2003). Kabupaten Pidie merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki potensi dalam mengembangkan perikanan. Tahun 2010 produksi perikanan tangkap Kabupaten Pidie menyumbangkan 5,64% dari total produksi perikanan tangkap Provinsi Aceh yaitu sebesar 142.697,4 ton. Demikian halnya dengan potensi perikanan tambak dengan luas areal 3.073 Ha atau 5,96% dari total luas tambak produktif di Provinsi Aceh (51.519,2 Ha). (BPS, 2010). Berdasarkan potensi perikanan tangkap dan tambak, Kabupaten Pidie menyimpan potensi sumberdaya hayati dan nonhayati yang melimpah. Namun, pemanfaatannya hingga saat ini belum optimal. Kegiatan perikanan laut dan pesisir berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di masa depan. Berbagai persoalan yang masih menggantung dalam pelaksanaan pengembangan perikanan laut/tangkap daerah perlu direspon dan disikapi secara arif dan bijaksana dengan menghasilkan strategi pengembangan yang merespon kepentingan masyarakat luas pada umumnya dan pelaku usaha di sub sektor ini. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa hal yang masih perlu dilakukan antara lain: (1) mendorong agregasi permintaan masyarakat (public demand) terhadap layanan publik di bidang sumberdaya kelautan dan pesisir, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, dan pengawasan dari kebijakan pembangunan ekonomi daerah (Rudyanto, 2004). Berdasarkan kondisi tersebut, maka dirumuskan beberapa permasalahan dalam menentukan prioritas dari alternatif-alternatif strategi pengembangan perikanan laut dan pesisir didasarkan oleh faktor-faktor (1) lingkungan, (2) sosial ekonomi dan budaya, (4) kelembagaan dan (4) teknologi, serta upaya-upaya yang dapat diimplementasikan untuk mendukung keberhasilan pengembangan perikanan laut dan pesisir di tiga kecamatan di Kabupaten Pidie yang memiliki potensi pengembangan perikanan laut/tangkap dan pesisir. Konsep yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan proses hirarki analitik (PHA). Proses hirarki analitik digunakan untuk menunjukkan bagaimana menghubungkan elemen-elemen dari satu bagian 8
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
masalah dengan elemen-elemen dari bagian lain untuk memperoleh hasil gabungan (Saaty, 1993). Penelitian ini bertujuan menghasilkan luaran: 1) Prioritas faktor, aktor, tujuan, dan alternatif strategi-strategi yang mendukung keberhasilan pengembangan perikanan laut dan pesisir dengan metode PHA. 2) Upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk mengimplementasikan strategi-strategi pengembangan perikanan laut dan pesisir. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei terhadap pemangku kepentingan sub sektor perikanan, diharapkan melalui sampel ini dapat diperoleh informasi yang representatif dari populasi tersebut. Pembahasan yang akan dilakukan bertujuan memperoleh faktor-faktor yang memengaruhi pengembangan perikanan laut/tangkap dan pesisir menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Populasi dan Teknik Sampling Populasi dalam penelitian ini merupakan pemangku kepentingan yang terlibat dalam bidang pengembangan sub sektor perikanan. Data primer yang dibutuhkan diperoleh dari observasi langsung dari para pemangku kepentingan sub sektor perikanan khususnya perikanan laut, tangkap dan pesisir. Tujuan observasi adalah untuk memperoleh informasi yang berhubungan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan perikanan laut/tangkap dan pesisir. Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah pelaku (unit) kegiatan yang terlibat secara langsung dalam aktifitas sub sektor perikanan terutama perikanan laut dan pesisir, dengan pertimbangan pelaku adalah pemegang kendali atau penanggung jawab dalam setiap aktifitas sub sektor perikanan yang diteliti, sehingga dapat diperoleh lebih rinci informasi terkait faktor-faktor yang memengaruhi pengembangan perikanan laut/tangkap dan pesisir. Secara lebih terperinci besarnya sampel yang diambil dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Besarnya sampel penelitian berdasarkan pemangku kepentingan di Kabupaten Pidie Sampel Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pengelola fasilitas perikanan Lembaga nelayan Kabupaten Kelompok Nelayan Pelaku usaha perikanan Lembaga keuangan Jumlah
Jumlah responden 3 3 3 9 9 3 27
Data primer 2010
Teknik purposive sampling dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa sampel adalah pemangku kepentingan dan memiliki tanggung jawab atau kendali dalam sub sektor perikanan terutama perikanan laut dan pesisir. Dengan demikian sampel merupakan repsesentatif dari populasi pemangku kepentingan sub sektor perikanan. Besarnya jumlah sampel dari setiap unit pemangku kepentingan dipilih berdasarkan tingkat tugas 9
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
T. Saiful Bahri dan Ahkmad Baihaqi
pokok dan fungsi serta peran yang dapat ditimbulkan dengan harapan dapat memberikan kontribusi informasi yang objektif dalam penelitian ini. Lokasi Penelitian dilaksanakan di tiga kecamatan di Kabupaten Pidie yang memiliki potensi pengembangan perikanan laut/tangkap dan pesisir, yaitu Kecamatan Muara Tiga, Batee, dan Kembang Tanjong. Pengukuran Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dikembangkan, peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1) Faktor lingkungan meliputi ketersediaan sumberdaya lahan yang bisa dikembangkan untuk pengembangan, ketersediaan jumlah lahan serta kualitas sumber daya lingkungan; 2) Faktor sosial ekonomi dan budaya meliputi ketersediaan sarana dan prasarana produksi, fluktuasi harga produk perikanan yang dihasilkan, dan kualitas sumberdaya manusia perikanan; 3) Faktor kelembagaan meliputi ketersediaan pelayanan penyuluhan oleh pemerintah, perkembangan organisasi nelayan, dan dukungan dari lembaga keuangan untuk akses pemodalan; 4) Faktor teknologi, meliputi ketersediaan benih unggul, sarana pembenihan, dan faslitas alat tangkap. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dan dianalisis secara deskriptif. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada pemangku kepentingan (responden) yang telah ditentukan. Responden merupakan seorang pakar (expert) dalam masalah strategi pengembangan perikanan laut dan pesisir, hal ini guna memperoleh informasi yang mendalam terkait aktifitas pengembangan perikanan laut/tangkap dan pesisir. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur. Analisis data menggunakan PHA yang diawali dengan pengumpulan data dan informasi yang digunakan untuk menyusun hirarki. Struktur hirarki disusun sesuai dengan kebutuhan dan didasarkan pada data yang diperoleh. Kuesioner diberikan kepada setiap responden untuk mengetahui pembobotan setiap elemen pada seluruh tingkat. Data yang telah terkumpul kemudian diproses dengan menggunakan program komputer analisis Expert Choice. Prinsip dasar yang terdapat dalam PHA adalah: 1) Menggambarkan dan menguraikan secara hierarkis, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisahpisah; 2) Pembedaan prioritas dan sintesis, yang disebut penetapan prioritas adalah menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya; 3) Konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Tahap-tahap berdasarkan kerangka kerja PHA yang dilakukan adalah: pertama mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan persoalan yang diinginkan; kedua pembuatan struktur hirarki dari sudut pandang secara menyeluruh, bertujuan mengetahui tingkatan-tingkatan analisis; ketiga menyusun matriks banding berpasangan, yang 10
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
digunakan untuk memperbandingkan bobot unsur dalam suatu hirarki dengan unsurunsur dalam hirarki di atasnya; keempat mengumpulkan semua pertimbangan yang dilakukan dari hasil perbandingan yang diperoleh pada langkah ketiga. Untuk mengisi matriks banding berpasangan, skala banding yang tertera dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai skala banding berpasangan Nilai Skala 1
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
3 5
7 9
2, 4, 6, 8 Kebalikan nilai-nilai di atas
Dua elemen memengaruhi sama kuat pada sifat itu Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman atau pertimbangan sedikit penting dari lainnya menyokong satu elemen atas lainnya Elemen yang satu jelas lebih Pengalaman atau pertimbangan dengan penting dibanding elemen lainnya kuat disokong dan dominasinya terlihat dalam praktek Satu elemen sangat jelas lebih Satu elemen dengan kuat disokong dan penting dibanding elemen lainnya dominasinya terlihat dalam praktek Satu elemen mutlak lebih penting Sokongan elemen yang satu atas yang dibanding elemen lainnya lainnya terbukti memiliki tingkat penegasan tertinggi Nilai-nilai diantara kedua Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan di atas pertimbangan Bila nilai-nilai di atas dianggap membandingkan antara elemen A dan B, maka nilai-nilai kebalikan (1/2, 1/3, ¼, …, 1/9) digunakan untuk membandingkan kepentingan B terhadap A
Sumber: Saaty (1993)
Kelima memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal utama. Angka 1 sampai 9 digunakan bila F1 lebih mendominasi atau memengaruhi sifat G dibandingkan dengan F2. Sedangkan F1 kurang mendominasi atau kurang memengaruhi identifikasi masalah dibandingkan F2, maka digunakan angka kebalikannya. Matriks di bawah garis diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikannya. Misalnya, bila elemen F12 memiliki nilai 8, maka nilai F21 adalah 1/8; keenam melaksanakan langkah 3, 4, dan 5, untuk semua tingkat dan gugusan dalam hirarki tersebut. Pembandingan dilanjutkan untuk semua elemen pada setiap tingkat keputusan yang terbatas pada hirarki, berkenaan dengan kriteria elemen di atasnya. Matriks pembandingan dalam model PHA dibedakan menjadi: (1) matriks pendapat individu (MPI) (disajikan pada Gambar 1), dan (2) matriks pendapat gabungan (MPG) (disajikan pada Gambar 2). G
A1
A2
A3
…
An
A2 A3 … An
a11 a21 a31 … an1
a12 a22 a32 … an2
a13 a23 a33 … an3
… … … … …
a1n a2n a3n … ann
Sumber: Saaty, 1993
Gambar 1. Matriks pendapat individu
11
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
T. Saiful Bahri dan Ahkmad Baihaqi
Sedangkan MPG adalah susunan matriks baru berasal dari rata-rata geometrik pendapat-pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 10%, dan setiap elemen pada baris dan kolom yang sama dari MPI yang satu dengan MPI yang lain tidak terjadi konflik. G G1 G2 G3 … Gn
G1 g11 g21 g31 … gn1
G2 g12 g22 g32 … gn2
G3 g13 g23 g33 … gn3
… … … … … …
Gn g1n g2n g3n … gnn
Sumber: Saaty, 1993
Gambar 2. Matriks Pendapat Gabungan
Syarat-syarat MPG yang bebas dari konflik antara lain: (1) Pendapat masing-masing individu pada baris dan kolom yang sama memiliki selisih kurang dari empat satuan antara nilai dari pendapat individu yang tertinggi dengan nilai yang terendah, dan (2) Tidak terdapat angka kebalikan (resiprokal) pada baris dan kolom yang sama. Rata-rata geometrik dapat diperoleh dengan menggunakan rumus matematika: Dimana :
m
gij m aij (k ) k 1
gij aij(k ) k
=
elemen MPG baris ke-i kolom ke-j
=
elemen baris ke-I kolom ke-j dari MPI ke-k
=
indeks MPI dari individu ke-k yang memenuhi persyaratan
m
aij (k ) = perkalian dari elemen k= 1 sampai k= m
k 1
Ketujuh mensintesis prioritas untuk melakukan pembobotan vektor-vektor prioritas. Pengolahan matriks pendapat terdiri dari dua tahap yaitu : (1) pengolahan horisontal, (2) pengolahan vertikal. Pengolahan horisontal terdiri atas tiga bagian yaitu: (1) penentuan Vektor Eigen atau Vektor Prioritas, (2) uji konsistensi, (3) revisi pendapat MPI atau MPG yang memiliki Rasio Inkonsistensi yang tinggi. Pengolahan vertikal dilakukan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Hasil akhir dari pengolahan vertikal ini merupakan bobot prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan paling bawah tehadap sasaran utama; kedelapan mengevaluasi inkonsistensi untuk seluruh hirarki, untuk memperoleh hasil yang baik, Rasio inkonsistensi hirarki harus bernilai kurang dari atau sama dengan 10%. Alasan menggunakan angka rasio inkonsistensi hanya 10 persen dikarenakan dalam menggunakan perhitungan dengan menggunakan software expert choice versi 9 tidak dapat mengkalkulasikan bila kesalahan lebih dari 10 persen. HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Hirarki Strategi Pengembangan Budidaya Laut dan Pesisir Model struktur hirarki yang digunakan dalam pembahasan ini terdiri atas 5 tingkat, tingkat pertama merupakan fokus yaitu strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir. Tingkat dua adalah faktor-faktor yang memengaruhi fokus yang terdiri atas faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi dan budaya, faktor kelembagaan, dan faktor teknologi. Tingkat tiga adalah aktor yang berperan dalam strategi pengembangan 12
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
budidaya perikanan laut dan pesisir, terdiri atas pemerintah, petani ikan, swasta, dan lembaga keuangan. Tingkat empat adalah tujuan yang ingin dicapai melalui strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir yang terdiri atas memberdayakan kelembagaan dan SDM, mengembangkan teknologi dan budidaya komoditi unggulan, dan pengembangan pasar. Tingkat lima adalah alternatif strategi berdasarkan masing masing tujuan yang ingin dicapai pada tingkat empat. Untuk tujuan memberdayakan kelembagaan dan SDM, alternatif strateginya adalah pemberdayaan kelembagaan, pengembangan SDM dan pendekatan pengembangan budidaya berbasis masyarakat. Pada tujuan mengembangkan teknologi dan budidaya komoditi unggulan, alternatif strateginya adalah pengembangan teknologi budidaya, pengembangan budidaya komoditi unggulan dan penerapan teknologi budidaya sesuai daya dukung lingkungan dan kesiapan masyarakat setempat terhadap adaptasi teknologi. Alternatif strategi yang bisa dipilih untuk mengembangkan pasar adalah penciptaan pasar bersaing, pendekatan partisipatif, kerjasama dan kemitraan, dan pembangunan prasarana. Struktur hirarki beserta data olahan dari matriks gabungan secara lengkap dap at dilihat pada Gambar 3. Strategi Pengembangan Budidaya Perikanan Laut dan Pesisir
Tingkat 1 FOKUS
Tingkat 2 FAKTOR
Tingkat 3 AKTOR
Tingkat 4 TUJUAN
Tingkat 4 ALTERNATIF
LKG 0,239
SEB 0,301
PMR 0,287
PI 0,225
MKS 0,346
KLBG 0,199
TKN 0,261
SWT 0,246
MTBKU 0,360
LK 0,169
MP 0,169
PK 0,135
PTB 0,118
PPB 0,294
PS 0,117
PBKU 0,139
PPKK 0,102
PBBM 0,094
PTBD 0,103
PP 0,094
Gambar 3. Struktur hirarki strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir beserta data olahan (Rasio Inkonsistensi Total = 0,04)
Prioritas Faktor Hasil pengolahan pada tingkat dua menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir disajikan pada Tabel 3.
13
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
T. Saiful Bahri dan Ahkmad Baihaqi
Tabel 3. Susunan prioritas faktor Tingkat 2 FAKTOR Sosial Ekonomi dan Budaya Teknologi Lingkungan Kelembagaan
Bobot PHA
Prioritas
0,301 0,261 0,239
1 2 3
0,199
4
Faktor utama yang memengaruhi strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir adalah faktor sosial ekonomi budaya. Faktor ini dianggap paling memengaruhi karena seringkali terjadi lahan yang sesuai untuk budidaya komoditas tertentu terdapat pada lokasi terpencil, yang belum memiliki sarana dan prasarana pendukung seperti penerangan, sarana telekomunikasi, air bersih dan perhubungan, sehingga investor harus berinvestasi pula untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana tersebut. Dengan demikian biaya investasi menjadi sangat tinggi. Faktor kedua yang memengaruhi strategi pengembagan budidaya perikanan laut dan pesisir adalah faktor teknologi, pengembangan usaha budidaya perikanan laut dan pesisir ditentukan oleh adanya tata ruang pengembangan budidaya, penguasaan teknologi, pasokan benih dan sarana produksi lain seperti pakan dan obat-obatan serta pengendalian masalah lingkungan dan penyakit. Faktor lingkungan menduduki faktor ketiga, pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir perlu memperhatikan daya dukung lahan. Pengembangan tambak yang melampaui daya dukung lingkungan akan menimbulkan berbagai dampak ikutan, yang mungkin semakin sulit diatasi. Faktor kelembagaan juga memengaruhi keberhasilan strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir. Dalam bidang pelayanan penyuluhan, adanya kesenjangan antara jumlah petani yang membutuhkan penyuluhan dengan jumlah tenaga penyuluh dan sarana serta prasarana penunjang penyuluhan seperti balai penyuluh dan kolam percobaan (demonstrasi) dapat memengaruhi strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir. Prioritas Aktor Hasil pengolahan data pada tingkat tiga menunjukkan susunan prioritas aktor yang berperan dalam strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Susunan prioritas aktor Tingkat 3 AKTOR Pemerintah Swasta Petani Ikan Lembaga Keuangan
Bobot PHA
Prioritas
0,287 0,246 0,225 0,169
1 2 3 4
Dari hasil pengolahan data, pemerintah menduduki prioritas pertama sebagai aktor yang paling berperan dalam strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir. Pemerintah mempunyai peranan dalam menentukan kebijakan-kebijakan serta UU yang berkaitan dengan budidaya perikanan laut dan pesisir. Dengan kebijakan dan UU 14
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
tersebut diharapkan dapat memajukan dunia perikanan Indonesia. Selain itu programprogram pemerintah dalam bidang perikanan laut dan pesisir seperti program bimbingan masyarakat (BIMAS), intensifikasi pembudidayaan (INBUD), pengembangan pembinaan balai-balai perikanan, loka budidaya laut di berbagai daerah, sertifikasi unit pembenihan, serta Penyuluhan-penyuluhan juga turut mendukung peranan pemerintah dalam keberhasilan strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir. Pihak swasta memiliki peranan yang tidak kalah besar dibandingkan pemerintah dalam pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir. Perusahaan swasta dalam hal ini mempunyai peranan yang besar baik dalam bidang pembenihan, budidaya, pengolahan, pengembangan teknologi, penyedia sarana dan prasarana penunjang, maupun sebagai distributor. Selain pemerintah dan pihak swasta, aktor yang mempunyai peranan dalam pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir adalah petani ikan itu sendiri. Pada saat ini, petani ikan sebagai sumberdaya manusia dalam bidang perikanan masih memiliki kualitas yang rendah. Hal ini disebabkan antara lain karena pengetahuan dan kemampuan teknologi yang masih rendah. Selain itu karakteristik sosial budaya yang belum kondusif untuk akselerasi kemajuan teknologi juga menjadi penghambat pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir. Peranan lembaga keuangan dalam strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir menduduki prioritas yang terendah dibandingkan aktor-aktor yang lain. Hal ini disebabkan masih rendahnya kinerja lembaga keuangan, baik bank ataupun non bank, dalam mendukung keberhasilan strategi pengembangan. Misalnya kurang sejalannya pengembangan modal usaha petani ikan dengan sistem perbankan yang berlaku. Dalam pengajuan kredit, seringkali petani ikan dihadapkan kepada kesulitan untuk menyediakan agunan dalam jumlah tertentu sebagai jaminan kepada pihak perbankan. Disamping itu prosedur untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan bank maupun non-bank, bagi kalangan petani ikan dianggap masih sangat berbelit-belit. Prioritas tujuan Berdasarkan pengolahan pada tingkat 4 didapat urutan prioritas tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir adalah mengembangkan teknologi dan budidaya komoditi unggulan (0.360), memberdayakan kelembagaan dan SDM (0.346) dan terakhir adalah mengembangkan pasar (0.294). Susunan prioritas tujuan terdapat pada Tabel 5. Tabel 5. Susunan prioritas tujuan Tingkat 4 TUJUAN Teknologi dan
Mengembangkan Budidaya Unggulan Memberdayakan Kelembagaan dan SDM Mengembangkan Pasar
Komoditi
Bobot PHA
Prioritas
0,360
1
0,346 0,294
2 3
Mengembangkan teknologi dan budidaya komoditi unggulan menempati prioritas pertama dalam tujuan strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir dengan bobot 0,360. Dalam kerangka sistem agribisnis budidaya termasuk suatu sistem produksi 15
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
T. Saiful Bahri dan Ahkmad Baihaqi
primer setelah pengadaan dan penyediaan sarana produksi, dan selanjutnya pengolahan dan pemasaran. Pemilihan komoditi unggulan memegang keberhasilan usaha produksi. Komoditi yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi prioritas utama. Pengembangan teknologi diperuntukkan sebagai upaya untuk mengurangi resiko yang timbul. Demikian juga penerapan bioteknologi dan rekayasa genetik, mengupayakan perbaikan kualitas dan karakteristik untuk peningkatan dan efisiensi produksi. Prioritas kedua ditempati oleh tujuan memberdayakan kelembagaan dan SDM (0,346). Kelembagaan dan sumberdaya manusia merupakan unsur utama pembangunan yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembanagn budidaya perikanan laut dan pesisir. Termasuk ke dalam sumberdaya manusia ini adalah sumberdaya manusia sebagai penghasil teknologi maupun sumberdaya pengguna teknologi. Sedangkan prioritas terakhir adalah mengembangkan pasar, yang memiliki bobot 0,294. Pada komoditas budidaya yang bersifat musiman, pengelolaan pasar sangat penting. Pada saat panen dilakukan produksi biasanya melimpah, sehingga harga ikan yang dihasilkan turun drastis. Jika penurunan harga terjadi hingga di bawah biaya produksi, maka dapat dipastikan bahwa petani ikan mengalami kerugian. Prioritas Alternatif Hasil pengolahan data pada tingkat lima menghasilkan urutan prioritas alternatif strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir berturut-turut seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Susunan prioritas alternatif Tingkat 5 ALTERATIF
Bobot PHA
Prioritas
Pengembangan Budidaya Komoditi Unggulan
0,139
1
Pemberdayaan Kelembagaan
0,135
2
Pengembangan Teknologi Budidaya Pengembangan SDM
0,118 0,117
3 4
Penerapan Teknologi Budidaya Sesuai Daya Dukung Lingkungan dan Kesiapan Masyarakat Setempat Terhadap Adaptasi Teknologi
0,103
5
Pendekatan Partisipatif, Kerjasama dan Kemitraan Penciptaan Pasar Bersaing
0,102 0,098
6 7
Pembangunan Prasarana
0,094
8
Pendekatan Pengembangan Budidaya Berbasis Masyarakat
0,094
9
Berdasarkan masing-masing tujuan pada tingkat empat, prioritas alternatif strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir adalah sebagai berikut: Pengembangan Teknologi dan Budidaya Komoditi Unggulan Berkaitan dengan tujuan strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir yaitu mengembangkan teknologi dan budidaya komoditi unggulan, susunan prioritas alternatifnya disajikan pada Tabel 7. 16
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Tabel 7. Susunan prioritas alternatif dari tujuan mengembangkan teknologi dan budidaya komoditi unggulan Tingkat 4 TUJUAN Mengembangkan Teknologi dan Budidaya Komoditi Unggulan
Tingkat 5 ALTERNATIF Pengembangan Budidaya Komoditi Unggulan Pengembangan Teknologi Budidaya Penerapan Teknologi Budidaya Sesuai Daya Dukung Lingkungan dan Kesiapan Masyarakat Setempat Terhadap Adaptasi Teknologi
Bobot PHA 0,139 0,118
Prioritas 1 2
0,103
3
Strategi pengembangan budidaya komoditi unggulan, dengan bobot 0,139 menempati prioritas pertama alternatif strategi untuk tujuan mengembangkan teknologi dan budidaya komoditi unggulan. Keragaman kondisi biofisik wilayah laut dan pesisir Indonesia yang begitu tinggi sehingga akan lebih tepat bila pembangunan perikanan budidaya ini berdasarkan kepada pendekatan wilayah sesuai dengan komoditas unggulan yang dapat dikembangkan di wilayah yang bersangkutan. Prioritas kedua ditempati oleh strategi pengembangan teknologi budidaya (0,118). Dengan banyaknya teluk-teluk dan daerah laut yang bersifat semi tertutup serta pulau-pulau kecil yang dikelilingi mangrove dan terumbu karang, maka teknologi sea ranching dan sea farming perlu diterapkan dengan beberapa penyesuaian. Prioritas terakhir adalah strategi penerapan teknologi budidaya sesuai daya dukung lingkungan dan kesiapan masyarakat setempat terhadap adaptasi teknologi (0,103). Salah satu faktor penyebab kegagalan budidaya di masa yang lalu adalah intensitas budidaya (luas lahan dan tingkat teknologi yang digunakan) melampaui daya dukung lingkungan. Selain itu kesiapan masyarakat petambak khususnya yang terkait dengan disiplin, keahlian dan kerjasama kelompok pada saat itu belum memadai. Oleh sebab itu penerapan teknologi budidaya pada wilayah-wilayah pengembangan harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan setempat dan kesiapan masyarakatnya di dalam mengadopsi dan menerapkan teknologi termaksud. Pemberdayaan Kelembagaan dan SDM Berkaitan dengan tujuan strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir yaitu memberdayakan kelembagaan dan SDM, susunan prioritas alternatifnya disajikan padaTabel 8. Tabel 8. Susunan prioritas alternatif dari tujuan memberdayakan kelembagaan dan SDM Tingkat 4 TUJUAN Memberdayakan Kelembagaan dan SDM
Tingkat 5 ALTERNATIF Pemberdayaan Kelembagaan, Pengembangan SDM Pendekatan Pengembangan Budidaya Berbasis Masyarakat
Bobot PHA
Prioritas
0,135 0,117
1 2
0,094
3
Untuk tujuan memberdayakan kelembagaan dan SDM, prioritas pertama alternatif strateginya adalah pemberdayaan kelembagaan, yang memiliki bobot 0,135. Penataan kelembagaan dan koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pengembangan IPTEK dan diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai perlu dilakukan. Di tingkat petani dan nelayan, pembentukan koperasi dan kelompok tani terbukti banyak membantu proses diseminasi. Adanya suatu sistem informasi perikanan nasional akan sangat membantu 17
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
T. Saiful Bahri dan Ahkmad Baihaqi
percepatan diseminasi maupun penyampaian umpan balik. Strategi pengembangan SDM (0,117) merupakan alternatif strategi berikutnya. Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, baik kuantitas maupun kualitasnya, dilakukan terhadap sumberdaya manusia penghasil teknologi maupun sumberdaya manusia pengguna teknologi melalui mewujudkan komunikasi yang akrab, terbuka dan dinamis, segenap unsur pelaku kegiatan budidaya laut dan pesisir. Prioritas strategi terakhir adalah strategi pendekatan pengembangan budidaya berbasis masyarakat dengan bobot 0,094. Strategi dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengmbangkan kegiatan budidaya laut dan pesisir dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya. Pengembangan Pasar Berkaitan dengan tujuan strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir yaitu mengembangkan pasar, susunan prioritas alternatifnya disajikan padaTabel 9. Tabel 9. Susunan prioritas alternatif dari tujuan mengembangkan pasar Tingkat 4 Tingkat 5 Bobot PHA TUJUAN ALTERNATIF Pendekatan Partisipatif, Kerjasama 0,102 dan Kemitraan Mengembangkan Pasar Penciptaan Pasar Bersaing 0,098 Pembangunan Prasarana
0,094
Prioritas 1 2 3
Prioritas pertama alternatif strategi yang bertujuan untuk mengembangkan pasar adalah strategi pendekatan partisipatif, kerjasama dan kemitraan, dengan bobot 0,102. Untuk merangsang pengembangan usaha kecil dan menengah, sekaligus sebagai upaya diseminasi, perlu dikembangkan sistem kemitraan saling menguntungkan dalam budidaya perikanan laut, yaitu dengan menyerahkan sebagian kegiatan usaha kepada pengusaha kecil dan menengah. Prioritas selanjutnya adalah strategi penciptaan pasar bersaing, yang memiliki bobot 0,098. Fluktuasi harga hasil-hasil perikanan dapat dicegah dan diperbaiki dengan melakukan pengelolaan pasar yang lebih baik dengan memperpendek rantai tata niaga dari produsen ke konsumen, sehingga petani memperoleh keuntungan yang lebih besar. Prioritas ketiga ditempati oleh strategi pembangunan prasarana dengan bobot 0,094. Potensi ekonomi yang terdapat pada usaha perikanan budidaya laut dan pantai sangat besar, tetapi realisasinya sangat kecil, disebabkan antara lain terbatasnya prasarana, seperti saluran irigasi dan drainase pertambakan, akses jalan dan sebagainya. Selama ini, saluran irigasi tambak merupakan bagian terhilir dari sistem irigasi sawah (pertanian), sehingga air yang masuk ke tambak kebanyakan mengandung sisa-sisa pestisida, herbisida, atau pupuk dari lahan pertanian. KESIMPULAN Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir terdiri atas empat faktor yaitu faktor lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, kelembagaan, dan teknologi. Keberhasilan strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir juga tidak terlepas dari peranan aktor-aktor yang terkait, diantaranya pemerintah, swasta, lembaga keuangan baik bank ataupun non bank
18
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
serta petani ikan. Aktor-aktor ini berperan sebagai aktor baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan strategi pengembangan. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pada tingkat dua faktor yang memengaruhi strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir berturut-turut adalah faktor sosial ekonomi dan budaya (0,301), faktor lingkungan (0,239), faktor teknologi (0,261) dan yang terakhir adalah faktor kelembagaan (0,199). Pada tingkat tiga, urutan aktor yang berperan adalah pemerintah (0,287), swasta (0,246), petani ikan (0,225) dan lembaga keuangan (0,169). Dan pada tingkat empat prioritas tujuan adalah mengembangkan teknologi dan budidaya komoditi unggulan (0,360), memberdayakan kelembagaan dan SDM (0,346) dan terakhir adalah mengembangkan pasar (0,294). Pada tingkat lima menghasilkan urutan prioritas alternatif strategi pengembangan budidaya perikanan laut dan pesisir berdasarkan tujuan mengembangkan Teknologi dan Budidaya Komoditi Unggulan, prioritas pertama adalah pengembangan Budidaya Komoditi Unggalan (0,139), prioritas kedua adalah Pengembangan Teknologi Budidaya (0,118) dan prioritas ketiga adalah Penerapan Teknologi Sesuai Daya Dukung Lingkungan dan Kesiapan Masyarakat Setempat Terhadap Adaptasi Teknologi (0,103). Berdasarkan tujuan Memberdayakan Kelembagaan dan SDM prioritas pertama adalah Pemberdayaan Kelembagaan (0,135), prioritas kedua adalah Pengembangan SDM (0,117) dan prioritas ketiga adalah Pendekatan Pengembangan Budidaya Berbasis Masyarakat (0,094). Berdasarkan tujuan Mengembangkan Pasar prioritas petama adalah Pendekatan Partisipatif, Kerjasama dan Kemitraan (0,102), prioritas kedua adalah Penciptaan Pasar Bersaing (0,098) dan prioritas ketiga adalah Pembangunan Prasarana (0,094). DAFTAR PUSTAKA BPS, 2010 Luar Areal Perikanan Darat dan Perikanan Umum Menurut Kabupaten/Kota. Aceh. www.bps.go.id BPS, 2010. Produksi Perikanan Tangkap dan Perikanan Menurut Kabupaten/Kota. www.bps.go.id Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LISPI). Jakarta. Dianthani, D. et al. 2003. Pemberdayaan Industri Perikanan Nasional Melalui Pengembangan Laut dan Pantai. Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hartati, S. 2002. Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap dalam Rangka Peningkatan Produksi Perikanan di Propinsi Bengkulu. Tesis. MMA IPB. Bogor Lembaga Manajemen PPM. Proceeding of The Indonesian Symposium on The Analytic hierarchy Process. www.isahp2001.ch. Ma'arif, M. Syamsul dan T. Hendri, 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif Untuk Manajemen. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Romodhon, 2008. Kajian Indeks Kepekaan Lingkungan Dalam Penyusunan Arahan Pembangunan Pulau Kecil di Kabupaten Sumenep (Studi Kasus Pulau Sapudi, Poteran dan Giliyang). Embryo vol. 5 No.1 ISSN 0216-0188 Rudyanto, A. 2004. Kerangka Kerjasama Dalam Pengelolaan Sumberadaya Pesisir dan Laut. Sosialisasi Nasional Program MFCDP. Bapennas. Jakarta. Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi para Pemimpin. PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Septa, H. 2006. Analisis Sumberdaya Pesisir Yang Berpotensi Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah Kota Bengkulu. FT Undip. Semarang. Yaqin, K. et al. 2003. Rasionalisasi Jumlah Nelayan Sebagai Langkah Revitalisasi Sumberdaya Perikanan Laut di Jawa. Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
19
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 - 9124
Iswahyudi
TINGKAT KEKRITISAN ARAH PENGEMBANGAN EKOSISTEM MANGROVE DI KOTA LANGSA Critical Level and Development Direction of Mangrove Ecosystem in Langsa Iswahyudi1 1Program
Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Samudra Langsa Provinsi Aceh Jl. Syiah Kuala Lr. Petua Husen No. 2 Langsa Email:
[email protected]
ABSTRAK Ekosistem mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kota Langsa tinggal sedikit dan kondisinya memprihatinkan. Akibat tingginya aktivitas manusia di wilayah pesisir, diperkirakan keberadaan habitat mangrove ini mengalami degradasi dan kualitasnya semakin menurun. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kekritisan ekosistem mangrove dan menentukan arah pengembangan ekosistem mangrove di Kota Langsa. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif dengan teknik survei. Secara umum tahapan pelaksanaan penelitian mencakup: persiapan, pengumpulan data, pengamatan lapangan dan analisis data, pembahasan, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di wilayah Kota Langsa, sebagian besar atau seluas 7,393 ha (62,25%) tidak rusak dan seluas 2.708 ha (22,8%) rusak. Sedangkan yang rusak berat 1.776 ha (14,95%). Wilayah kecamatan yang mempunyai tingkat kerusakan ekosistem mangrove dengan tingkat kekritisan dalam kriteria rusak berat tertinggi adalah Kecamatan Langsa Timur sebesar 1.642 ha (13,82%) dari total luas ekosistem mangrove di Kota Langsa. Arah pengembangan mangrove di Kota Langsa harus didasarkan kepada tiga poin utama yaitu: kesesuaian terhadap peraturan perundangan, kelayakan terhadap lingkungan, dan kelayakan teknis di lapangan. Kata kunci: ekosistem mangrove, degradasi, survei, tingkat kekritisan
ABSTRACT The amount of Mangrove ecosystem located in coastal areas of Langsa is reduced and the condition is very critical. Due to high levels of human activity in coastal areas, it is estimated that mangroves habitats become degrade and decline in quality. The purpose of this study was to determine the critical level of mangrove ecosystems and to determine the direction of development of the mangrove ecosystem in Langsa. This study used descriptive method with survey techniques. In general, the step of the study includes: preparation, data collection, field observations and data analysis, discussion, and conclusion. The results showed that the mangrove ecosystem in Langsa region, most or covering 7.393 ha (62.25%) were not damaged and the area of 2.708 ha (22.8%) was in damaged condition. The area that damaged heavily was 1.776 ha (14.95%). The region that found in critical and higher level of mangrove ecosystem damage was Eastern Langsa Subdistrict that was 1.642 ha (13.82%) of total area of mangrove ecosystems in Langsa. Referrals of Langsa mangrove development should be based on three main points, namely: conformance to laws and regulations, environmental feasibility, and technical feasibility in the field. Key words: mangroves ecosystems, degradation, survey, level of criticality
PENDAHULUAN Pembangunan yang merupakan proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Di dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahan-perubahan pada ekosistem dan sumberdaya alam. 20
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang akan terjadi pada lingkungan hidup (Bengen, 2001). Salah satu ekosistem pesisir yang sangat penting adalah ekosistem hutan mangrove. Disamping nilai ekonomis yang dapat diambil secara langsung (misalnya batang, akar, daun, dan buah), hutan mangrove juga berperan terhadap perekonomian pantai secara tidak langsung karena mendukung keberadaan ekosistem lain di sekitarnya seperti perikanan pantai, terumbu karang, dan padang lamun. Selain itu keberadaan hutan mangrove juga penting secara ekologis karena mendukung rantai makanan di sekitarnya (Kusmana, 2005). Ekosistem mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kota Langsa tinggal sedikit dan kondisinya memprihatinkan. Akibat tingginya aktivitas manusia di wilayah pesisir, diperkirakan keberadaan habitat mangrove ini mengalami degradasi dan kualitasnya semakin menurun. Berbagai isu penting di wilayah pesisir Kota Langsa, seperti pencemaran perairan, sampah, reklamasi pantai, konversi lahan mangrove menjadi peruntukan lain, dan sebagainya diduga menjadi penyebab utama hilangnya habitathabitat tersebut. Degradasi kawasan mangrove menjadi kawasan pemukiman, tambak, dan industri menimbulkan dampak terhadap ekosistem dan kegiatan ekonomi di wilayah pesisir Kota Langsa. Untuk memulihkan kondisi lingkungan seperti semula atau setidaknya mendekati keadaan sebelum terjadinya kerusakan membutuhkan biaya dan perencanaan yang matang serta koordinasi dengan berbagai sektor yang terkait terhadap pembangunan di wilayah tersebut. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara berbagai kepentingan pembangunan. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat kekritisan ekosistem mangrove dan menentukan arahan pengembangan ekosistem mangrove di Kota Langsa. Deskripsi Hutan Mangrove Berdasarkan surat keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.60/Kpts/DJ/I/1978, yang dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang terpengaruh oleh pasang surut air laut, yaitu tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut. Menurut Kusmana (1995) perkataan mangrove berasal dari kombinasi antara istilah dari bahasa Portugis mangau dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove dikatakan untuk komunitas tumbuhan yang hidup di laut, atau setiap tumbuhan yang berasosiasi dengannya. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk setiap individu tumbuhan yang tumbuh di laut, dan kata mangal untuk menunjukkan komunitas tumbuhan yang terdiri atas jenis-jenis mangrove. Hutan mangrove juga merupakan suatu tipe hutan tropis yang dipengaruhi pasang surut air laut. Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya tumbuh di daerah pantai, merupakan jalur hijau, yang terdapat di teluk-teluk, delta-delta, muara sungai bahkan sampai menjorok ke arah pedalaman garis pantai. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu 21
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Iswahyudi
saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin. Hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32 0 Lintang Utara dan 380 Lintang Selatan (The Nature Conservacy, 2003). Fungsi dan manfaat mangrove menurut Kusmana et al., (2005), dikategorikan dalam tiga macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis), dan fungsi ekonomis. Fungsi fisik mencakup menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil, mempercepat perluasan lahan, mengendalikan intrusi air laut, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang, dan mengolah limbah organik. Uraian fungsi biologis/ekologis adalah tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan biota laut lainnya, tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung, dan sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove adalah hasil hutan berupa kayu, hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin dan lain-lain, dan lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman, pertambangan, industri, infrasruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain. Sumberdaya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component. Penyebab Kerusakan Mangrove Menurut Santoso (2008) kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi serta konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata) tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar. Alikodra (1998) menyatakan bahwa konversi daerah mangrove terbesar dipergunakan untuk mendukung kegiatan pertambakan udang di Indonesia yang pada tahun 1977 mencakup wilayah seluas 174.605 Ha dan sampai pada tahun 1993 diperkirakan telah mencapai 268.743 Ha dengan peningkatan sebesar 47 %. Tingginya harga udang di pasar internasional dan kebutuhan akan peningkatan komoditi ekspor Indonesia memberikan tekanan yang lebih besar terhadap ekosistem mangrove. Menurut Alikodra (1998) kerusakan hutan mangrove juga disebabkan adanya penyebab tidak langsung berupa pencemaran air dari berbagai aktivitas di sekitar kawasan, misalnya pabrik-pabrik, pengeboran minyak bumi serta adanya sedimentasi yang tidak terkendali. Adanya berbagai tekanan terhadap ekosistem mangrove yang mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem tersebut menunjukkan rendahnya persepsi masyarakat terhadap arti pentingnya mangrove dan pelestariannya. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Langsa, Provinsi Aceh pada bulan Desember 2010. Bahan dan Alat Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain citra Landsat 7 ETM+, peta penutupan dan penggunaan lahan tahun 2003 wilayah Kota Langsa, dan peta rupa bumi Kota Langsa. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, 22
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
antara lain: seperangkat komputer, perangkat lunak ERDAS IMAGE 9.1, ArcView ver 3.3, dan peralatan lapangan berupa lembar pengumpulan data, kamera, dan Global Positioning System (GPS). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik survai. Secara umum tahapan pelaksanaan penelitian mencakup: persiapan, pengumpulan data, pengamatan lapangan dan analisa data, pembahasan, dan penarikan kesimpulan. Pemodelan Spasial Tingkat Kekritisan Lahan Analisis ini dilakukan mengacu pada Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove (Ditjen RLPS, Dephut, 2005). Kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan teknologi GIS dan inderaja adalah sebagai berikut: 1) Tipe penggunaan lahan, dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: hutan (kawasan berhutan), tambak tumpangsari dan perkebunan, dan areal non-vegetasi hutan (pemukiman, industri, tambak non-tumpangsari, sawah, dan tanah kosong); 2) Kerapatan tajuk, yaitu berdasarkan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dapat diklasifikasikan menjadi: kerapatan tajuk lebat, kerapatan tajuk sedang, dan kerapatan tajuk jarang; 3) Ketahanan tanah terhadap abrasi, yang dapat diperoleh dari peta land system dan peta tanah. Berdasarkan tingkat kepekaan terhadap erosi, jenis-jenis tanah dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu: jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung), jenis tanah peka erosi (tekstur pasir berlempung), dan jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir). Secara skematis, tahap kegiatan pemodelan spasial tingkat kekritisan lahan dijelaskan pada Gambar 1. Secara ringkas, kriteria, bobot, dan skor penilaian tersebut disajikan seperti pada Tabel 1. JPL
Kt
Kta
Citra Landsat
NDVI
NDVI
Overlay = JPL + Kt + KTa
Peta penutupan lahan Kriteria kerapatan tajuk Klasifikasi
Tingkat Kekritisan Lahan Mangrove Gambar 1. Pemodelan spasial tingkat kekritisan lahan 23
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Iswahyudi
Tabel 1. Kriteria, bobot, dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan bantuan teknologi GIS dan inderaja Kriteria Jenis penggunaan lahan (Jpl)
Kerapatan tajuk (Kt)
Ketahanan tanah terhadap abrasi (Kta)
Bobot 45
35
20
a. b. c.
3: 2: 1:
a.
3:
b.
2:
c.
1:
a.
3:
b.
2:
c.
1:
Skor penilaian hutan (kawasan berhutan) tambak tumpangsari, perkebunan pemukiman, industri, tambak nontumpangsari, sawah, tanah kosong kerapatan tajuk lebat (70 – 100%, atau 0,43 ≤ NDVI ≤ 1,00) kerapatan tajuk sedang (50 – 69%, atau 0,33 ≤ NDVI ≤ ,42) kerapatan tajuk jarang (< 50%, atau -1,0 ≤ NDVI ≤ 0,32) jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung) jenis tanah peka erosi (tekstur lempung berpasir) jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir)
Sumber: Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove, Dephut (2005)
Catatan: skor 1 = jelek, 2 = sedang, dan 3 = bagus.
Berdasarkan Tabel 1, Total Nilai Skoring (TNS) dihitung dengan rumus sebagai berikut: TNS = (Jp1 x 45) + (Kt x 35) + Kta x 20) Dari total nilai skoring (TNS), selanjutnya dapat ditentukan tingkat kekritisan lahan mangrove sebagai berikut: 1) Nilai 100 – 166 (rusak berat); 2) Nilai 167 – 233 (rusak); 3) Nilai 234 – 300 (tidak rusak). Hasil analisis tingkat kekritisaan lahan mangrove dengan parameter terkoreksi selanjutnya dipetakan dan dibuat Tabel Hasil Reskoring. HASIL DAN PEMBAHASAN Kekritisan Hutan Mangrove Lahan hutan mangrove di Kota Langsa dan tahun-ketahun semakin berkurang luasnya. Hal ini disebabkan berubahnya fungsi kawasan lahan hutan mangrove menjadi lahan pertanian, dan luas kawasan pertanian berubah juga fungsinya (terkonversi) menjadi areal pemukiman. Di sisi lain masalah jumlah penduduk di kawasan Kota Langsa semakin meningkat. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan lahan untuk beraktivitas maupun untuk bermukim akan semakin tinggi seiring makin tingginya pertambahan jumlah penduduk. Perubahan penggunaan lahan yang disebabkan oleh fenomena alam dan aktifitas manusia tersebut akan menyebabkan degradasi lahan. Tanpa adanya usaha perbaikan, lahan yang ada akan semakin menurun kualitasnya dan pada akhirnya akan menjadi lahan kritis di Kota Langsa. Secara umum lahan kritis merupakan salah satu indikator adanya degradasi (penurunan kualitas) lingkungan sebagai dampak dari berbagai jenis 24
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana. Tingkat kekritisan ekosistem mangrove di wilayah Kota Langsa dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kekritisan ekosistem mangrove di wilayah Kota Langsa Kecamatan
Luas (ha) Setiap Tingkat Kekritisan Rusak Rusak Berat Tidak Rusak
Langsa Barat Langsa Timur Langsa Kota Jumlah Persentase (%)
28
Total 28
1.642
2.666
7.055
11.364
134
14
338
486
1.776 14,95
2.708 22,8
7.393 62,25
11.877 100
Sumber: Hasil interpretasi citra satelit landsat tahun 2004 dan 2005
Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa ekosistem mangrove di wilayah Kota Langsa sebagian besar atau seluas 7.393 ha (62,25%) tidak rusak dan seluas 2.708 ha (22,8%) rusak. Sedangkan yang rusak berat 1.776 ha (14,95%). Wilayah kecamatan yang mempunyai tingkat kerusakan ekosistem mangrove dengan tingkat kekritisan dalam kriteria rusak berat tertinggi adalah Kecamatan Langsa Timur sebesar 1.642 ha (13,82%) dari total luas ekosistem mangrove di Kota Langsa. Langkah-langkah yang telah dilakukan untuk mengatasi kekritisan ini berupa penghijauan kawasan pesisir sebagai green belt yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kota Langsa, beberapa lembaga lokal yang bekerjasama dengan lembaga asing maupun lokal melalui penglibatan masyarakat secara aktif dan pasif. Kegiatan penghijauan pesisir yang dilakukan berupa penanaman mangrove, dan tanaman pantai lainnya. Kegiatan penghijauan pesisir diharapkan dapat menahan laju abrasi, intrusi air laut, dan sebagai pelindung kawasan pemukiman dari hembusan angin laut. Fungsi penting vegetasi pantai sangat dirasakan oleh masyarakat saat vegetasi tersebut rusak. Hembusan angin yang membawa udara panas dari arah laut sangat dirasakan oleh masyarakat terutama pada musim angin barat (Juli-November). Musim tersebut hembusan angin kencang dari Selat Malaka menerjang kawasan wilayah pesisir Kota Langsa tanpa ada penghalang. Pada musim ini gelombang laut oleh angin dapat mencapai ketinggian + 3 meter. Rehabilitasi lingkungan terutama kegiatan rehabilitasi mangrove pada umumnya dilakukan dengan penanaman mangrove jenis Rhizophora sp. jenis Rhizophora yang ditanam berasal dari jenis Rhizopora mucronata. Pemilihan jenis ini selain ketersediaan bibit yang relatif mudah juga didasarkan pada kondisi substrat pasir berlumpur dan kemampuan tumbuh jenis ini yang tinggi. Tanpa disadari kegiatan rehabilitasi mangrove telah mengarah kepada monospecies. Kondisi ini dalam jangka pendek dapat memberikan keuntungan terhadap ekosistem mengingat pertumbuhan mangrove jenis Rhizopora sp lebih cepat dan daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dibandingkan dengan mangrove jenis lainya. Dalam jangka panjang dikhawatirkan terjadi pengurangan spesies mangrove alami akibat dominansi satu jenis tanaman. Kekhawatiran lainnya adalah rentannya mangrove rehabilitasi terhadap serangan hama akibat sistem monospecies. Disarankan kepada pelaku rehabilitasi untuk menanam mangrove dari berbagai jenis sesuai dengan kesesuaian lahan untuk lokasi penanaman. 25
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Iswahyudi
Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove di Kota Langsa Penyebab kerusakan mangrove yang dijumpai di lapangan antara lain: 1) Konversi lahan mangrove menjadi pemukiman dan pengambilan kayu mangrove sebagai bahan baku pembuatan arang (kasus di wilayah Kecamatan Langsa Timur). Dalam pembukaan areal pemukiman baru, lahan yang secara alami merupakan habitat mangrove beralih fungsi menjadi areal pemukiman. Penebangan mangrove secara liar, kayu mangrove yang diambil dari hutan dijadikan sebagai bahan baku pembuatan arang bakau; 2) Konversi lahan mangrove sebagai lokasi pelabuhan kapal barang dan perikanan serta areal ekowisata (kasus Kecamatan Langsa Kota). Dalam perluasan areal pelabuhan kapal laut banyak lahan mangrove yang dikonversikan menjadi areal pelabuhan, hal ini tidak diikuti dengan kegiatan rehabilitasi sebagai pengganti hutan mangrove yang sudah beralih fungsi. Perubahan hutan mangrove menjadi pelabuhan laut mempunyai dampak kerusakan yang cukup luas pada hutan mangrove di sekitarnya sebagai dampak dari kegiatan bongkar muat di pelabuhan serta mobilitas dan aktivitas kapal-kapal pengangkut ikan dan barang. Perusakan hutan mangrove di sekitar pelabuhan laut ini antara lain berupa pencemaran perairan mangrove akibat tumpahan minyak, sampah, dan kerusakan vegetasi mangrove karena digunakan sebagai tempat sandar kapal. Konversi hutan mangrove menjadi area ekowisata, menyebabkan adanya sebagian masyarakat yang menebang pohon mangrove dan mendirikan pondok-pondok layaknya sebuah cafe yang terbuat dari papan dan kayu diantara lebatnya hutan bakau. Pondok cafe itu mereka gunakan untuk menjual makanan dan minuman bagi para pengunjung yang datang untuk menikmati kawasan hutan bakau yang dijadikan tempat wisata oleh masyarakat setempat. Arahan Pengembangan Mangrove di Kota Langsa Tujuan pengembangan pengelolaan mangrove Tujuan pengelolaan mangrove adalah agar dapat diperoleh fungsi dan manfaatnya secara maksimal dan berkelanjutan, sesuai dengan sifat dan karakteristiknya dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, social, dan ekologinya. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Karakteristik wilayah di wilayah Kota Langsa yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan mangrove adalah: (1) Kawasan pesisir Kota Langsa merupakan daerah strategis, yaitu pusat kegiatan perekonomian, pembangunan imfrastruktur, dan sebagian besar penduduk banyak terpusat di daerah pesisir, dan (2) Kebutuhan lahan di kawasan pesisir sangat tinggi terutama untuk lokasi lahan usaha, lahan yang merupakan habitat mangrove sebagian besar telah dikonversi menjadi tambak, pemukiman, kawasan ekowisata, pelabuhan laut, pembangunan infrastruktur, dan sarana prasaran umum lainnya. Kesesuaian terhadap peraturan perundangan Kerusakan lahan mangrove di Kota Langsa telah menimbulkan kekhawatiran banyak pihak serta dampak buruk yang ditimbulkannya telah banyak dirasakan oleh masyarakat. Peraturan perundangan yang terkait dengan penataan ruang, status kepemilikan dan pemanfaatan lahan mangrove belum diimplementasikan. 26
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Sejalan dengan UU No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang dan dengan memperhatikan karakteristik dan kondisi ekologi dan sosial ekonomi wilayah, maka kondisi yang diharapkan dalam pengelolaan lahan mangrove adalah tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Untuk mewujudkan kondisi yang diharapkan tersebut, hal prinsip yang harus diperhatikan adalah kebijakan penataan ruang dan pola pemanfaatan lahan mangrove dengan mengacu kepada peraturan perudangan yang berlaku, antara lain: 1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya Pasal 3, asas dan tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas, dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan; 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khususnya Pasal 9 yang menyebutkan: Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut; dan dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pemerintah mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; 3) Berkaitan dengan perambahan wilayah pesisir oleh masyarakat sekitar telah diatur dalam PP No. 8 Tahun 1953 dan perlu juga diperhatikan UU No. 51 Tahun 1960, tentang larangan untuk menggunakan tanah atau muka bumi bagi setiap orang yang tidak memiliki ijin yang sah dari penguasa tanah tersebut. UU No. 51 Tahun 1960 melarang penggunaan secara liar bagi muka bumi dalam wujud tahapan manapun baik itu masih berwujud tanah yang tergenang air secara berkala, ataupun yang sudah berwujud tanah padat. Dengan adanya UU No. 51 Tahun 1960 itu, Pemerintah Daerah berwenang mengambil tindakan yang perlu apabila ada pelanggaran-pelanggaran hukum seperti tersebut di atas yang dapat diimplementasikan dalam Perda; 4) Salah satu kebijakan strategis yang dikeluarkan Pemerintah adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Di dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa untuk daerah pantai selebar 130 kali perbedaan pasang surut tertinggi yang diukur dari garis pantai terendah ditetapkan sebagai jalur hijau (green belt). Kelayakan terhadap lingkungan Pengelolaan lahan mangrove melalui rehabilitasi lahan mangrove yang kritis dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak positif dari kegiatan rehabilitasi mangrove terutama: 1) Melindungi daratan dari pengaruh buruk hidrodinamika seperti gelombang laut yang menimbulkan abrasi, intrusi, dan pengaruh iklim laut; 2) Memperbaiki ekosistem perairan yang telah banyak mengalami kerusakan oleh pencemaran akibat kerusakan lingkungan di daerah hulu; 3) Memperbaiki habitat fauna akuatik (ikan, udang, dan reptil) terutama yang bernilai ekonomi maupun fauna 27
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Iswahyudi
terrestrial seperti jenis-jenis burung yang semakin menurun jumlah jenis maupun populasinya; 4) Berpotensi untuk perluasan daratan yang disebabkan banyaknya potensi sedimen/endapan lumpur, vegetasi mangrove yang secara floristik mempunyai sifat perakaran yang dapat berkembang secara ekstensif yang mampu berperan sebagai sediment trapp (perangkap sedimen). Kelayakan teknis Rehabilitasi lahan mangrove dari aspek teknis layak dilaksanakan hampir di seluruh wilayah pesisir Kota Langsa dengan kriteria sebagai berikut: 1) Berdasarkan identifikasi ekosistem mangrove di lapangan, hutan mangrove di wilayah Kota Langsa sesuai untuk pengembangan jenis-jenis seperti Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata; 2) Ketersedian sumber benih, terutama untuk jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata cukup tersedia. KESIMPULAN Kesimpulan Ekosistem mangrove di wilayah Kota Langsa, sebagian besar atau seluas 7.393 ha (62,25%) tidak rusak dan seluas 2.708 ha (22,8%) rusak. Sedangkan yang rusak berat 1.776 ha (14,95%). Wilayah kecamatan yang mempunyai tingkat kerusakan ekosistem mangrove dengan tingkat kekritisan dalam kriteria rusak berat tertinggi adalah Kecamatan Langsa Timur sebesar 1.642 ha (13,82%) dari total luas ekosistem mangrove di Kota Langsa; Arahan pengembangan mangrove di Kota Langsa harus didasarkan kepada tiga poin utama, yaitu: kesesuaian terhadap peraturan perundangan, kelayakan terhadap lingkungan dan kelayakan teknis di lapangan. Saran Rekomendasi yang disarankan dalam mengurangi kerusakan ekosistem mangrove di Kota Langsa adalah sebagai berikut: 1) Peningkatan penyadaran lingkungan pada masyarakat, langkah yang bisa ditempuh untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan adalah kampanye lingkungan. Kampanye ini dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain penyuluhan dan diskusi lingkungan; 2) Peningkatan koordinasi antar pemangku kepentingan harus dilakukan. Komunikasi dan sharing informasi antar pemangku kepentingan sedapat mungkin harus segera ditingkatkan; 3) Perlu adanya kebijakan (Peraturan Daerah) yang mengatur pola pemanfaatan ekosistem mangrove. DAFTAR PUSTAKA Alikodra. H.S. 1998. Kebijaksanaan Pengelolaan Hutan Mangrove Dilihat dari Lingkungan Hidup. Proseding Seminar. VI Ekosistem Mangrove: 33-34. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dephutbun RI. Jakarta. Ditjen RLPS. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove. Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
28
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Keputusan Direktur Jendral Kehutanan No.60/Kpts/DJ/I/1978. Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990. Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai Pasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah Dalam Lokakarya Hutan Mangrove Pasca Tsunami. Medan. April 2005. Kusmana, C., S. Wilarso, H. Iwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto., Yunasfi, dan Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1953. Tentang Perambahan Wilayah Pesisir oleh Masyarakat. Urip, S. 2008. Hutan Mangrove, Permasalahan dan Solusinya, uripsantoso.wordpress.com The Nature Conservancy. 2003. References on Marine Protected Areas, Fisheries and Marine Conservation in Indonesia. (CD ROM publication ver 4.1 Mei, 2003) Undang-Undang Republik Indonesia No. 51 Tahun 1960. Tentang Larangan untuk Menggunakan Tanah atau Muka Bumi Bagi Setiap Orang yang Tidak Memiliki Ijin yang Sah dari Penguasa Tanah Tersebut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990. Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 1992. Tentang Penataan Ruang.
29
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 - 9124
Zakiah
DAMPAK PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP PENURUNAN JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI PROVINSI ACEH Impact of Improvement Quality of Human Resources and Economic Growth on the Reduction of Poor People in Aceh Zakiah1 1Staf
Pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pertumbuhan ekonomi terhadap masyarakat miskin di Aceh. Studi ini menggunakan data dari tahun 1996-2011. Analisis ekonometrik digunakan uuk mengetahui hubungan antara kualitas sumber daya manusia bidang kesehatan, pertumbuhan ekonomi, dan faktor kemiskinan lain di Aceh. Jumlah masyarakat miskin meningkat selama masa konflik antara RI dan GAM, akan tetapi setelah itu angka ini cenderung menurun disebabkan kondisi keamanan yang kondusif menyebabkan meningkatnya sumberdaya manusia dan pertumbuhan ekonomi. Kualitas sumberdaya manusia bidang pendidikan dan kesehatan secara signifikan mempengaruhi jumlah masyarakat miskin di Aceh. Pertumbuhan ekonomi, daya beli, dan jumlah angka pengangguran mempengaruhi secara signifikan jumlah masyarakat miskin Aceh, walaupun sangat kecil. Berdasarkan data ini, beberapa rekomendasi diperlukan untuk menurunkan jumlah masyarakat miskin yaitu peningkatan kualitas sumberdaya manusia, akselerasi pertanian dan industri, dan kontrol tingkat inflasi untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Kata kunci: kualitas Sumber daya manusia, pertumbuhan ekonomi, penduduk miskin
ABSTRACT This paper analyze the impact of improvement quality of human resources and economic growth on the number of poor people in Aceh. This paper used yearly data 1996-2011. Econometrics analyses were used to find out the linkage between human resources quality at education and healthy sector, economic growth, and other factors on poverty in Aceh. The number of poor people increase during conflict between RI and GAM, but after that, it has tendency to decrease because the condusive condition has improve quality of human resources and economic growth. Quality of human resources on education (literacy rate) and healthy sector (life expectancy), were significant and relatively high influence on the number of poor people in Aceh. The economic growth, purchasing power parity and number of unemployment were significant affecting the number of poor people in Aceh, even though in a relative small magnitude. Based on these finding, policy recommendation were needed to reduce the number of poor people such as improved quality of human resources, quality and fairness of growth as the obligatory requirement, accelaration of agricultural and rural industrialization, and the control of inflation rate to maintain purchasing ability of community. Key words: quality of human resources, economic growth, poor people
30
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013 PENDAHULUAN
Tantangan utama yang sedang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang adalah kemiskinan. Indonesia sampai tahun 2012 masih mempunyai 29,13 juta orang penduduk miskin dari jumlah penduduk 242,33 juta jiwa. Begitu pula dengan Aceh, meskipun angka kemiskinannya semakin menurun, namun Aceh masih termasuk dalam daerah dengan jumlah penduduk miskin yang besar (20,98 %), yakni menduduki peringkat 10 besar provinsi termiskin selama periode 1996-2011. Peringkat pertama Papua dengan persentase penduduk miskin mencapai 36,80 %, Maluku 27,74 %, Gorontalo 23,19 %, NTT 23,03 %, dan NTB 21,55 % (BPS, 2012). Jika diperhatikan, kemiskinan ini malah terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber alam melimpah. Karena itu pembangunan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia benar-benar harus mempunyai sasaran utama yaitu membangun masyarakat adil dan makmur yang dapat meneruskan kelangsungan hidupnya dan bebas dari kemiskinan. Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Salah satu sebab kemiskinan adalah karena kurangnya pendapatan dan aset (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, perumahan, tingkat kesehatan, dan pendidikan, yang akhirnya mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Di samping itu kemiskinan juga berkaitan dengan keterbatasan lapangan pekerjaan dan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu untuk mengatasi masalah kemiskinan tidak dapat dilakukan secara terpisah dari masalah-masalah kualitas sumber daya manusia, pengangguran, dan masalah ekonomi lainnya yang secara eksplisit berkaitan erat dengan masalah kemiskinan. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dapat menghambat proses pembangunan dan upaya mengurangi jumlah penduduk miskin. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari indeks kualitas hidup/indeks pembangunan manusia. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) akan berakibat pada rendahnya produktivitas kerja penduduk. Produktivitas yang rendah berakibat pada rendahnya perolehan pendapatan. Sehingga dengan rendahnya pendapatan menyebabkan tingginya jumlah penduduk miskin. United Nation Development Programme (UNDP) menyusun suatu indeks komposit atau IPM untuk mengukur tingkat kemiskinan berdasarkan tiga indikator, yaitu angka harapan hidup pada waktu lahir (life expectacy at birth), angka melek huruf penduduk dewasa (adult literacy rate), dan rata-rata lama sekolah, serta pengeluaran per kapita/kemampuan daya beli (purchasing power parity). Beberapa faktor lainnya yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan diantaranya yaitu produk domestik regional bruto (PDRB) dan jumlah pengangguran. Angka harapan hidup merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. Angka harapan hidup yang rendah di suatu daerah harus diikuti dengan program pembangunan kesehatan dan program sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori termasuk program pemberantasan kemiskinan. Sedangkan di bidang pendidikan indeks pembangunan manusia diwakili oleh Angka Melek Huruf (AMH) yaitu proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis (baik huruf latin maupun huruf lainnya) dan rata-rata lama sekolah yang digunakan untuk mengidentifikasi jenjang kelulusan pendidikan penduduk suatu daerah. Angka rata-rata lama sekolah di Provinsi Aceh pada tahun 2010 sebesar 31
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zakiah
8,81 tahun, ini artinya Provinsi Aceh baru bisa menikmati pendidikan rata-rata sampai kelas 2 SMP. Angka ini masih belum sesuai dengan target Program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun yang dicanangkan pemerintah. Untuk itu adanya fasilitas pendidikan dan kesehatan murah akan sangat membantu untuk meningkatkan produktivitas, dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan. Provinsi Aceh terdiri atas 23 kabupaten/kota, memiliki jumlah penduduk yang rentan terhadap kemiskinan. Jumlah penduduk sebanyak 4.363.477 jiwa, terdiri atas 2.171.388 jiwa laki-laki dan 2.192.089 jiwa perempuan seharusnya dapat menjadi modal dasar dari pembangunan, namun sekaligus menjadi salah satu hambatan dalam pembangunan jika kualitas penduduk yang ada tidak diperhatikan. Aceh menduduki peringkat ke 20 pada angka harapan hidup (68,78 tahun), sedangkan pada angka melek huruf Aceh menduduki peringkat ke 11 (96,7 %), dan pada pengeluaran per kapita Aceh menduduki peringkat ke 29 (Rp. 609.700). IPM Aceh menduduki peringkat ke 16 (71,7 %) (BPS, 2012). Ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia di Provinsi Aceh masih belum unggul jika dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia. Jika dibandingkan dengan angka rata-rata di Indonesia, Angka Harapan Hidup Provinsi Aceh masih berada di bawah rata-rata angka harapan hidup Indonesia. Ini menyebabkan sulitnya menurunkan jumlah penduduk miskin di Aceh. Karena itu, saat ini Aceh masih menduduki peringkat 6 besar provinsi termiskin di Indonesia. Selain kualitas sumber daya manusia, pertumbuhan ekonomi merupakan kunci dari penurunan kemiskinan di suatu wilayah. Produk domestik regional bruto merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, dan untuk mengetahui sampai sejauhmana keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, serta digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan. Pertumbuhan tersebut dapat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya infrastruktur ekonomi. Semakin tinggi PDRB suatu daerah, maka semakin besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut (Kristiana, 2009). Bahkan, berhasil tidaknya program-program di negara-negara dunia ketiga sering dinilai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat output dan pendapatan nasional (Todaro, 2000). Pertumbuhan ekonomi di Aceh sempat menurun pada saat terjadi konflik antara RI dan GAM. Kondisi keamanan yang tidak menentu saat itu menyebabkan semua sektor mengalami perlambatan, bukan hanya karena sedikitnya investasi, tapi juga ketakutan para penduduk untuk melakukan aktivitas, terutama di daerah-daerah kantong konflik. Namun setelah adanya MoU antara kedua belah pihak tersebut (setelah tahun 2005), pertumbuhan ekonomi di Aceh kembali menunjukkan peningkatan. Ini tentu saja merupakan peluang dalam mengurangi jumlah kemiskinan di Aceh. Kemiskinan juga tidak terlepas dari tersedianya lapangan pekerjaan bagi semua penduduk angkatan kerja. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila kondisi tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dapat terwujud. Pengangguran akan menimbulkan efek mengurangi pendapatan masyarakat, dan itu akan mengurangi tingkat kemakmuran. Semakin turunnya tingkat kemakmuran akan menimbulkan masalah yaitu kemiskinan. (Sukirno, 2000). Bertambahnya angkatan kerja yang tidak diikuti dengan tersedianya lapangan dan kesempatan kerja akan menimbulkan pengangguran (Anonymous, 2011). 32
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Gambar 1. Jumlah Penduduk Miskin dan Pengangguran di Provinsi Aceh 1996-2010
Perkembangan jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran di Aceh mengalami peningkatan drastis pada tahun 1997-2003 (Gambar 1), disebabkan dua hal yaitu krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia bagian Timur dan Konflik antara RI dan GAM. Kemiskinan cukup besar yaitu berkisar antara 29,76 persen sampai 36,78 persen pada periode 1998 sampai dengan 2004 (Bank Indonesia, 2012). Penurunan angka kemiskinan mulai terjadi tahun 2005. Hal ini menandakan adanya perluasan lapangan pekerjaan dan meningkatnya kegiatan perekonomian. Kondisi keamanan yang kondusif dan perekonomian global sangat berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Teori Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi seseorang tidak dapat menikmati segala macam pilihan dan kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, seperti tidak dapat memenuhi kesehatan, standar hidup, kebebasan, harga diri, dan rasa dihormati seperti orang lain. Ukuran kemiskinan menurut Arsyad (1999), dapat dibedakan menjadi dua pengertian: (1) Kemiskinan absolut, apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk menentukan kebutuhan dasar hidupnya. Konsep ini dimaksudkan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik terhadap makanan, pakaian, dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup. (2) Kemiskinan relatif, seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan konsep ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah sehingga konsep kemiskinan ini bersifat dinamis atau akan selalu ada. Penyebab kemiskinan bermuara pada teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty) (Gambar 2), yaitu suatu rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi suatu keadaaan, suatu negara akan tetap miskin dan akan banyak mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih baik. Adanya keterbelakangan, dan 33
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zakiah
ketertinggalan SDM (yang tercermin oleh rendahnya IPM), ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima (yang tercermin oleh rendahnya PDRB). Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada rendahnya akumulasi modal sehingga proses penciptaan lapangan kerja rendah (tercemin oleh tingginya jumlah pengangguran). Rendahnya akumulasi modal disebabkan oleh keterbelakangan dan seterusnya seperti sebuah lingkaran yang tidak ada ujungnya (Kuncoro, 1997).
Gambar 2. Lingkaran kemiskinan
Seseorang yang berada pada garis kemiskinan memiliki tingkat konsumsi yang rendah. Hal ini dikarenakan keterbatasan yang dimiliki. Dengan rendahnya tingkat konsumsi berdampak pada rendahnya status gizi, karena kemampuan untuk membeli makanan dan minuman yang rendah. Status gizi yang rendah secara langsung berdampak pada kesehatan seseorang menjadi rendah. Kesehatan yang rendah berdampak pada rendahnya kinerja seseorang dan berdampak langsung pada tingkat produksi yang rendah. Apabila pendapatan yang dimiliki oleh seseorang rendah maka daya beli pendidikan dan informasi yang dimiliki oleh seseorang cenderung rendah. Dalam hal yang dimaksud adalah pendidikan formal. Secara umum pendidikan terbagi menjadi dua yaitu pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan informal tidak seluruhnya memerlukan biaya karena didapatkan dari pengalaman seseorang dan lainnya. Dengan rendahnya tingkat pendidikan seseorang menyebabkan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang cenderung rendah. Tingkat pengetahuan yang rendah menyebabkan kemampuan seseorang untuk memproduksi menjadi rendah. Hal ini berdampak langsung seseorang menjadi miskin. Rendahnya tingkat tabungan yang dimiliki oleh seseorang menyebabkan modal yang dimiliki untuk berusaha menjadi kecil, hal ini menyebabkan rendahnya tingkat produksi. Tingkat produksi yang rendah berdampak langsung pada pendapatan yang dimiliki oleh seseorang menjadi rendah. Pendapatan yang rendah menyebabkan seseorang menjadi miskin. Menurut Tambunan (2001), pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan mempunyai korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Pertumbuhan ekonomi merupakan 34
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
syarat keharusan bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. Pembangunan Kualitas Manusia Pembangunan manusia memiliki banyak dimensi dan menjadi indikator yang lebih komprehensif dalam menjelaskan kemiskinan selain pertumbuhan ekonomi (Rollit, 2010). Komponen dasar kualitas hidup manusia dapat dilihat nilai IPM. Indeks pembangunan manusia menggambarkan beberapa komponen kualitas hidup yaitu capaian umur panjang dan sehat yang mewakili bidang kesehatan; angka melek huruf, partisipasi sekolah dan rata-rata lamanya bersekolah mengukur kinerja pembangunan bidang pendidikan; dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita. Napitupulu (2007) mengatakan bahwa IPM mempunyai pengaruh dalam penurunan jumlah penduduk miskin. Peningkatan pada sektor kesehatan dan pendidikan serta pendapatan memberikan kontribusi bagi pembangunan manusia, sehingga semakin tinggi kualitas manusia pada suatu daerah akan mengurangi jumlah penduduk miskin di daerah. Dengan angka harapan hidup, dapat dilihat perkembangan tingkat kesehatan pada suatu wilayah serta dapat pula dilihat perbandingan tingkat kesehatan antar wilayah (Preston, 2004). Todaro dan Smith (2000) juga menyatakan bahwa pembangunan manusia merupakan tujuan pembangunan itu sendiri. Menurut Todaro dan Smith (2006), pendidikan merupakan cara untuk menyelamatkan diri dari kemiskinan. Pendidikan memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara dalam menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Semakin tinggi angka kecakapan baca tulis semakin tinggi pula mutu dan kualitas SDM. Karena itu semakin tinggi nilai melek huruf berarti makin baik mutu penduduk di wilayah tersebut (Zuhaifah, 2012). Tingkat kesejahteraan dikatakan meningkat jika terjadi peningkatan konsumsi riil perkapita. Pengeluaran per kapita (Purchasing Power Parity) adalah kemampuan daya beli penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk setiap tahun, yang diukur dengan pengeluaran perkapita penduduk (Rp). Semakin tinggi indeks daya beli maka semakin tinggi daya beli per kapita penduduk (Siegel, 2002). Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sukirno (2000), laju pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan PDRB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil. Selanjutnya pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) secara keseluruhan, tetapi harus memperhatikan sejauh mana distribusi pendapatan telah menyebar ke lapisan masyarakat serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya. Sehingga menurunnya PDRB suatu daerah berdampak pada kualitas konsumsi rumah tangga. Dan apabila tingkat pendapatan penduduk sangat terbatas, banyak rumah tangga miskin terpaksa merubah pola makanan pokoknya ke barang paling murah dengan jumlah barang yang berkurang. Siregar (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupan (sufficient condition) adalah bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap 35
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zakiah
golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin dipastikan terjadi di sektor-sektor tempat penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor padat karya). Adapun secara tidak langsung, hal itu berarti diperlukan pemerintah yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi didapatkan dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur yang padat modal. Studi Terdahulu Balisacan et al. (2002) melakukan studi mengenai pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di Indonesia. Studi tersebut menyatakan bahwa Indonesia memiliki catatan yang mengesankan mengenai pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan dan kemiskinan menunjukkan hubungan yang kuat. Disamping pertumbuhan ekonomi ada faktor lain yang juga mempengaruhi kemiskinan yaitu infrastruktur, sumber daya manusia, insentif harga pertanian, dan akses terhadap teknologi. Upaya memacu pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang peting dilakukan, namun selain itu juga diperlukan strategi pengentasan kemiskinan yang lebih lengkap terkait dengan faktor-faktor yang relevan di atas. Sukmaraga (2011) melakukan penelitian “Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia, PDRB per Kapita, dan Jumlah Pengangguran terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Jawa Tengah”. Kesimpulannya yaitu: IPM mempunyai pengaruh dalam penurunan jumlah penduduk miskin. Indeks Pembangunan Manusia memiliki indikator komposit dalam penghitungannya antara lain angka harapan hidup, angka melek huruf, dan konsumsi per kapita. Peningkatan pada sektor kesehatan dan pendidikan serta pendapatan per kapita memberikan kontribusi bagi pembangunan manusia, sehingga semakin tinggi kualitas manusia pada suatu daerah akan mengurangi jumlah penduduk miskin di daerah. METODE PENELITIAN Analisis yang dilakukan dalam studi ini adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Analisis deskriptif dilakukan dengan menyajikan data dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan analisis ekonometrika dilakukan dengan menggunakan data time series, dari tahun 1996 sampai 2010. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari berbagai institusi pemerintah terutama Badan Pusat Statistika dan Bank Indonesia. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda. Model yang digunakan adalah modifikasi model ekonometrik. Model analisis ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor pengaruh Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, dan Pengeluaran per kapita (variabel yang mewakili kualitas sumber daya manusia) dan PDRB (yang mewakili pertumbuhan ekonomi) serta pengangguran terhadap jumlah pnduduk miskin di Provinsi Aceh. Model analisis regresi linear berganda tersebut adalah sebagai berikut: JPM = a0 + a1(AHHt - AHHt-1) + a2(AMHt-1- AMHt-2) + a3( PPt-2) + a4 (PDt-1) + a5 (PG t-2) + JPMt-1 + e Keterangan: JPM JPMt-1 AHH AHHt-1 36
= = = =
jumlah penduduk miskin (jiwa) jumlah penduduk miskin satu tahun sebelumnya (jiwa) angka harapan hidup (tahun) angka harapan hidup 1 tahun sebelumnya (tahun)
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
AMH = angka melek huruf (persen) AMHt-1 = angka melek huruf 1 tahun sebelumnya (persen) AMHt-2 = angka melek huruf dua tahun sebelumnya (persen) PPt-2 = pengeluaran per kapita dua tahun sebelumnya (rupiah) PDt-1 = produk domestik regional bruto satu tahun sebelumnya (rupiah) PG t-2 = jumlah pengangguran dua tahun sebelumnya (jiwa) E = tern of error a0 = Konstanta a1…a3 = koefisien regresi Koefisien regresi yang diharapkan yaitu: a1 a2 a3 a4 < 0 dan a5 > 0
Metode pendugaan parameter yang digunakan adalah metode Ordinary Least Square (OLS) dengan memanfaatkan program komputer Shazam. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum dikategorikan sebagai penduduk miskin. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumah tangga, dan individu yang mendasar lainnya. Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Aceh tahun 1996-2010 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa) Kota Desa Kota+Desa 57.700 434.100 491.800 59.900 450.600 510.500 158.883 1.195.198 1.354.081 199.243 1.206.293 1.405.536 228.710 1.229.644 1.458.354 306.184 1.208.084 1.514.268 201.100 998.800 1.199.900 223.900 1.030.300 1.254.200 198.700 957.500 1.156.100 222.900 943.500 1.166.400 226.900 922.800 1.149.700 218.800 864.700 1.083.600 195.800 763.900 959.700 182.190 710.680 892.870 173.370 688.480 861.850
Persentase Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota+Desa 8,74 14,07 12,72 9,04 14,55 13,15 22,87 36,78 33,24 10,15 16,3 34,45 10,45 16,78 35,05 13,03 20,92 36,78 20,09 33,06 29,83 19,47 33,63 29,76 17,49 32,57 28,37 19,04 32,6 28,69 19,22 31,98 28,28 18,68 29,87 26,65 16,67 26,3 23,53 15,44 24,37 21,8 14,65 23,54 20,98
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, beberapa tahun (diolah)
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk miskin meningkat dari tahun 1998 sebesar 1.354.081 jiwa penduduk, dengan persentase sebesar 33,24%, sampai pada tahun 2001 sebesar 1.514.268 jiwa atau 36,78 persen. Penyebab meningkatnya jumlah penduduk miskin pada tahun-tahun tersebut karena pada kurun waktu tersebut masyarakat Aceh sedang mengalami krisis moneter dan konflik yang berkepanjangan. Jumlah penduduk 37
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zakiah
miskin di daerah perdesaan selalu lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah perkotaan. Hal ini disebabkan oleh ketimpangan kemajuan pembangunan yang terjadi antara daerah perkotaan dan perdesaan. Selama beberapa dekade terakhir, pembangunan yang dilakukan cenderung lebih besar ke perkotaan sehingga menyebabkan keadaan sosial ekonomi penduduk di daerah perdesaan jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah perkotaan. Perkembangan Kualitas Sumber Daya Manusia Peningkatan sumber daya manusia merupakan modal utama dan sekaligus juga menjadi output dalam pembangunan. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang tinggi menjadi salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan kualitas sumber daya manusia di suatu wilayah. Tabel 2. Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Provinsi Aceh dan Indonesia Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
AHH
AMH
RLS
Aceh
Indonesia
Aceh
Indonesia
Aceh
Indonesia
66 66,12 67,1 67,1 67 67,3 67,6 67,7 67,9 68 68,34 68,34 68,47 68,63 68,78 67,6
63 64.3 65.25 66.2 67.1 67.4 66.2 66 68.7 70 70.2 70.4 70.5 70.7 70,9 70,9
91,37 91,7 92 92,89 93 93,19 94,57 95 95,7 96 96,2 96,2 96,2 96.3 96.7 91,37
87,4 89 89,4 88 88,1 88,2 89,5 89,9 90,5 90,9 91,5 91,9 92,2 92,6 92,9 88,5
7 7 7,04 7,2 7,4 7,3 7,7 7,8 8,4 8,4 8,5 8,5 8,5 8,6 8,8 7
6,24 6,51 6,57 6,71 6,79 6,74 7,05 7,08 7,24 7,30 7,44 7,47 7,52 7,72 7,92 7
Sumber: BPS Aceh dan BPS Indonesia, 2010 (diolah)
Data yang terdapat pada Tabel 2 menunjukkan angka harapan hidup Provinsi Aceh selama kurun waktu 15 tahun masih berada di bawah rata-rata angka harapan hidup nasional yaitu sebesar 67,6 tahun. Ini merupakan salah satu indikasi masih rendahnya tingkat kesehatan masyarakat Aceh. Rendahnya tingkat kesehatan ini dapat disebabkan rendahnya konsumsi zat-zat penting yang diperlukan tubuh disebabkan keterbatasan daya beli karena kemiskinan. Rata-rata angka melek huruf Provinsi Aceh sebesar 91,37 %. Ini menunjukkan Aceh belum bebas dari buta huruf, begitu pula pada tingkat nasional. Ini tentunya merupakan hambatan mengurangi jumlah penduduk miskin di negara ini. Rata-rata lama sekolah baik di Aceh maupun pada tingkat nasional juga masih relatif rendah, rata-rata penduduknya hanya lulusan SD atau sekolah sampai di tingkat SLTP kelas 1. Ini menunjukkan terjadinya kesenjangan yang sangat besar antara penduduk, ada penduduk yang punya kesempatan melanjutkan sekolahnya sampai di 38
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
tingkat doktoral, sementara masyarakat kalangan bawah banyak yang tidak mempunyai kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Hasil analisis regresi diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9536. Ini menunjukkan variasi jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh dipengaruhi 95,36 % oleh angka harapan hidup, angka melek huruf, pengeluaran per kapita, produk domestik regional bruto (PDRB), dan jumlah pengangguran, sedangkan sisanya 4,64 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Hal ini menunjukkan hubungan yang sangat erat antara jumlah penduduk miskin dengan angka harapan hidup, angka melek huruf, pengeluaran per kapita, PDRB, dan jumlah pengangguran di Provinsi Aceh. Hasil regresi pengaruh angka harapan hidup, angka melek huruf, pengeluaran perkapita, PDRB, dan jumlah pengangguran terhadap jumlah penduduk miskin disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil regresi pengaruh angka harapan hidup, angka melek huruf, pengeluaran perkapita, PDRB, dan jumlah pengangguran terhadap jumlah penduduk miskin. Variabel Independen Constanta (a0) Perubahan Angka Harapan Hidup (AHHt - AHHt-1 ) Perubahan Angka Melek Huruf (AMHt-1- AMHt-2) Pengeluaran Perkapita dua tahun sebelumnya (PPt-2 ) Produk Domestik Regional Bruto satu tahun sebelumnya (PDt-1) Jumlah Pengangguran dua tahun sebelumnya (PG t-2) F hitung Sign F
Koefisien Regresi
t.cari
Sig
14.277.000
12,66
0,000
-14186
-7,176
0,000
-8036,9
-6,436
0,018
-0,29032
-2,368
0,000
-9,1257
-5,732
0,000
1,8636
3,505
0,000
61,601 0,000
Pengujian statistik secara serempak menunjukkan bahwa perubahan angka harapan hidup (AHHt-AHHt-1), perubahan angka melek huruf (AMHt-1 - AMHt-2), pengeluaran per kapita dua tahun sebelumnya (PPt-2), produk domestik regional bruto satu tahun sebelumnya (PDt-1), dan jumlah pengangguran dua tahun sebelumnya (PGt-2) berpengaruh nyata terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh. Angka harapan hidup berpengaruh positif terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, setiap penambahan perubahan angka harapan hidup satu tahun akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 14.186 jiwa. Secara statistik angka harapan hidup juga berpengaruh nyata terhadap jumlah penduduk miskin pada tingkat kepercayaan 99 persen. Ini disebabkan karena semakin tinggi angka harapan hidup menunjukkan bahwa seseorang semakin sehat sehingga kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama. Semakin tinggi tingkat harapan hidup, maka semakin baik pula tingkat kesehatan seseorang sehingga mampu untuk bekerja dan meningkatkan pendapatannya. Dengan demikian pemerintah sudah seharusnya terus mengupayakan peningkatan tingkat kesehatan masyarakat, bukan hanya dengan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) tapi juga dengan peningkatan pelayanan di rumah sakit-rumah sakit pemerintah, yang selama ini mendapat nilai agak negatif dari masyarakat. Selama ini masyarakat Aceh masih lebih percaya pada pelayanan kesehatan di rumah sakit-rumah sakit di Malaysia. 39
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zakiah
Untuk itu peningkatan pengetahuan dan kemampuan para dokter di Aceh perlu terus diupayakan, selain penetapan standar pelayanan yang prima dari para dokter dan tenaga medis lainnya kepada masyarakat. Tidak mustahil jika pemerintah dan pihak-pihak terkait bekerja lebih tegas dan serius untuk ini, maka Aceh juga akan menjadi negara tujuan wisata kesehatan seperti halnya Malaysia dan Singapura. Sama halnya dengan angka harapan hidup, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan angka melek huruf juga berpengaruh positif terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di Aceh. Setiap penambahan perubahan angka melek huruf sebesar 1% akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 8.036,9 jiwa. Secara statistik pengaruh variabel ini juga signifikan pada α 0,01. Ini membuktikan bahwa semakin tinggi angka melek huruf berarti makin baik mutu pendidikan penduduk di suatu daerah. Dengan tingginya angka melek huruf, memberi gambaran bahwa seseorang memiliki pendidikan yang tinggi, dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang dapat mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mendapatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu sudah seharusnya pemerintah memberikan kesempatan kepada semua penduduknya untuk mendapatkan pendidikan, terutama di daerah-daerah pedesaan. Untuk ini selain menambah fasilitisas infrastruktur untuk keperluan pendidikan, pemerintah juga perlu mengupayakan beasiswa dan bebas biaya sekolah bagi orang-orang kurang mampu yang selama ini kadang-kadang enggan melanjutkan sekolah karena terkendala masalah ekonomi. Pengeluaran perkapita juga berpengaruh positif terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Dari koefisien regresi pengeluaran perkapita sebesar - 0,29032, menunjukkan bahwa setiap penambahan pengeluaran per kapita sebesar Rp. 100.000 akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 29.032 jiwa. Secara statistik pengaruh variabel ini juga significant pada α 0,01. Ini membuktikan bahwa semakin tinggi indeks daya beli maka jumlah penduduk miskin akan semakin menurun. Konsumsi masyarakat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pendapatan masyarakat terutama di kawasan pedesaan yang masyarakatnya lebih banyak hidup di bawah garis kemiskinan. Sudah seharusnya pemerintah perlu memperhatikan pembangunan di sektor pertanian yang selama ini masih kurang berkembang dibandingkan sektor industri dan jasa di wilayah perkotaan. Rendahnya nilai tukar petani selama ini masih menyebabkan desa-desa di Aceh menjadi kantong-kantong miskin. Karena itu seharusnya pemerintah memberi perhatian yang lebih serius dan nyata untuk meningkatkan nilai tukar petani dengan meningkatkan teknologi di bidang pertanian yang selama ini masih tertinggal dibanding dengan negara-negara tetangga. Pengembangan UKM-UKM juga berpeluang besar terhadap peningkatan perkapita masyarakat golongan menengah ke bawah. Koefisien PDRB sebesar -9,1257 menunjukkan bahwa setiap penambahan PDRB sebesar Rp. 10.000 akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 91.257 jiwa. Pengaruh peningkatakan PDRB terhadap penurunan jumlah penduduk miskin juga sangat signifikan. Ini disebabkan semakin tinggi PDRB di suatu daerah menunjukkan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah tersebut juga semakin baik. Karena itu sudah seharusnya pemerintah terus mengupayakan pemasukan kas daerah dari berbagai sektor dengan lebih mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan memaksimalkan output, terutama di kantong-kantong kemiskinan. Selama ini pertumbuhan ekonomi di wilayah pedesaan yang 2/3 penduduknya berada di bawah garis kemiskinan masih relatif lambat. Ini disebabkan kinerja sektor pertanian yang masih kurang menggembirakan, padahal 40
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
sektor ini menjadi tumpuan mata pencaharian sebagian besar penduduk pedesaan. Ini menyebabkan lambannnya peningkatan kesejahteraan petani dibanding kesejahteraan pekerja di luar sektor pertanian. Sebaliknya laju pengangguran berlawanan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Jika jumlah pengangguran meningkat maka jumlah penduduk miskin juga akan meningkat. Dari hasil regresi pengaruh tersebut dapat dilihat sangat signifikan. Karena itu perlu terus diupayakan penciptaan lapangan kerja terutama di wilayah pedesaan yang selama ini memiliki pengganguran lebih banyak dari wilayah kota. Penciptaan lapangan kerja di pedesaan juga dapat mengurangi jumlah migrasi yang selama ini menimbulkan masalah baru seperti kriminalisme dan penggangguran di perkotaan. KESIMPULAN Perekonomian Aceh sempat terhambat oleh konflik yang cukup lama terjadi di Aceh. Jumlah penduduk miskin pun terus bertambah bukan hanya saat terjadi konflik tapi juga sejak terjadi krisis ekonomi 1997 yang juga melanda seluruh Indonesia dan kawasan Asia Timur lainnya. Namun setelah konflik dan krisis ekonomi berlalu, perekonomian di Aceh kembali tumbuh, begitu juga dengan jumlah penduduk miskin yang semakin menunjukkan penurunan. Namun penurunan tersebut tidak begitu signifikan dibanding dengan kenaikan jumlah penduduk miskin pada saat terjadinya konflik dan krisis ekonomi. Kemiskinan terutama terjadi di pedesaan dengan mata pencaharian utama penduduk tergantung pada sektor pertanian. Hasil analisis dampak peningkatan kualitas sumber daya manusia terhadap jumlah penduduk miskin menunjukkan bahwa peningkatan tingkat kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup berpengaruh signifikan dalam mengurangi jumlah penduduk miskin. Begitu pula dengan pendidikan, yang diukur dengan angka melek huruf, juga berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Besaran pengaruh tersebut juga relatif besar. Variabel daya beli beli mayarakat juga signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, namun besaran pengaruh tersebut relatif kecil. Pertumbuhan ekonomi dan pengangguran juga berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun besaran pengaruh tersebut juga relatif tidak besar. Permasalahan kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi semata. Selain melalui kedua hal tersebut, pengendalian laju inflasi, pengendalian populasi penduduk serta industrialisasi pertanian/pedesaan yang tepat juga harus diupayakan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Implikasi Kebijakan Perlunya perhatian dari pemerintah provinsi Aceh untuk meningkatkan kualitas pada sektor kesehatan dan pendidikan dengan menambah sarana dan prasarana penunjang, penetapan standar pelayanan yang lebih baik serta menyediakan beasiswa bagi orangorang miskin disamping beasiswa-beasiswa unggulan yang terbuka bagi masyarakat umum. Peningkatan keterampilan melalui pendidikan dan pelatihan yang ditujukan untuk orang-orang miskin juga perlu terus diupayakan. Dengan demikian masyarakat miskin yang tidak mungkin lagi menempuh pendidikan umum tetap bisa pandai dan memiliki ketrampilan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. 41
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zakiah
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan perlu terus ditingkatkan. Salah satunya adalah dengan investasi industrialisasi pertanian di pedesaan, pengembangan UKM-UKM, serta perbaikan dan pengembangan infrastruktur pedesaan. Untuk ini tentunya bukan saja membutuhkan peran pemerintah tapi juga partisipasi pihak swasta. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan Dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi Pertama, BPFEYogyakarta. Balisacan, A., E.M. Pernia, dan A. Asra. 2003. Revisiting Growth and Proverty in Indonesia: What Do Sunational Data Show? Bulltein of Indonesia Economic Studies 39(3):329-351. BPS. Beberapa Tahun. Indeks Pembangunan Manusia. Jakarta. BPS. Beberapa Tahun. Aceh Dalam Angka. Banda Aceh. Gudjarati dan N. Damodar. 2003. Basic Econometricz, Mc Graw Hill International Edition, USA. Kuncoro, M. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Jakarta. Preston, H., Samuel, et.all. 2004. Demography: Measuring and Modelling Population Processes, Blackwell, USA. Rollit. 2010. Gubernur: Indeks Pembangunan Manusia Aceh Harus Ditingkatkan. Diakses 15 Mei 2012. Siegel, J. 2002. Applied Demography, Academic Press, USA. Siregar, H. 2006. Perbaikan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi: Mendorong Investasi dan Menciptakan Lapangan Kerja. Jurnal Ekonomi Politik dan Keuangan, INDEF, Jakarta. Sukirno, S. 2000. Makro Ekonomi Modern: Pengantar ekonomi dan Bisnis Global. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sukmaraga, P. 2011. Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia, PDRB Per kapita, dan Jumlah Pengangguran Terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah, Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang. Tambunan, T.T.H. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia. Todaro, M.P. dan S.C. Smith. 2000. Pembangunan Ekonomi. (Jilid 1) Jakarta: Erlangga. Todaro, M.P. dan S.C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. (Jilid 2). Jakarta: Erlangga. Zuhaifah, S.S.T. 2012. Konsep Definisi Indeks Pembangunan Manusia, Yogyakarta.
42
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 - 9124
Vol. 4 No.1, Juli 2013
ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN Legal Aspects of Plant Variety Protection Sanusi Bintang1 1
Staf Pengajar Bagian Hukum Keperdataan dan International Class Program (ICP), Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh. Email:
[email protected]
ABSTRAK Untuk memenuhi ketentuan hukum ekonomi internasional sebagaimana diatur dalam TRIPs-GATT-WTO, dan untuk memotivasi kegiatan penelitian dan pengembangan di sektor pertanian menuju persaingan perdagangan yang semakin mengglobal, Indonesia harus memiliki prasarana hukum tentang perlindungan varietas tanaman. Namun, pada sisi yang lain kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat tani di dalam negeri perlu diakomodasikan secara maksimal. Permasalahan hukum terkait dengan kontroversi kepentingan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dimaksud telah diupayakan penampungannya secara berimbang dengan menyediakan pengecualian yang luas terhadap perlindungan dan belajar pada standar umum yang berlaku secara internasional dan pengalaman negara lain. Kata kunci: perlindungan varietas tanaman, aspek hukum, pemuliaan tanaman
ABSTRACT To fulfill the requirements of international economic law as stipulated in TRIPs-GATT-WTO, and to motivate research and development activities in agricultural sector toward globalize free trade movement, Indonesia should has legal infrastructure on plant variety protection. However, on the other side, the interest of community, particularly farmer’s group domestically needs to be accomodate maximally. The legal issues related to controversies of interests in forming legislation has been accomodated equally by providing wide exception for the protection and by learning from general international standards and experience from other countries. Key words: plant variety protection, legal aspects, plant breeding
PENDAHULUAN Trade-Related Intellectual Property Rights (TRIPs) sebagai bagian dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)-World Trade Organization (WTO) memberikan kebebasan negara-negara anggota mengatur perlindungan varietas tanaman dalam undang-undang paten atau undang-undang varietas tanaman, atau dalam kedua undangundang tersebut. Amerika Serikat misalnya, negara yang cukup maju dalam bisnis dan industri pertanian, memilih perlindungan ganda, baik melalui hukum paten/paten sederhana, maupun melalui hukum perlindungan varietas tanaman (Bay, 1997). Indonesia, sebagai negara agraris dengan potensi pertaniannya yang cukup besar dan yang memprioritaskan pembangunan industri dan bisnis di bidang pertanian, memiliki kepentingan untuk mengatur perlindungan varietas tanaman ini. Dengan demikian, 43
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Sanusi Bintang
diharapkan ke depan akan tersedianya infrastuktur yang menunjang pengembangan komoditas dan industri pertanian memasuki pasar global. Berbagai komoditas pertanian cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia, seperti pisang, mangga, rambutan, jeruk, bunga, dan padi. Sebagai anggota WTO, Indonesia memiliki kewajiban untuk itu sebagai bagian dari keikutsertaannya dalam sistem perdagangan internasional. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dengan tegas mengecualikan varietas tanaman dari perlindungan paten, kecuali untuk mikroorganisme dan proses biologi untuk menghasilkan tanaman dan hewan. Oleh karena itu, sepanjang penemuan teknologi tersebut termasuk dalam pengertian mkroorganisme dan atau proses biologi untuk menghasilkan tanaman dan hewan, dapat memperoleh perlindungan paten. Sedangkan di luar ruang lingkup pengertian tersebut tidak dapat dilindungi paten, walaupun kriteria pemberian patennya mungkin terpenuhi. Oleh karena itu, untuk memenuhi ketentuan TRIPs, Indonesia mengatur secara khusus perlindungan varietas tanaman dalam suatu undang-undang khusus, di luar undang-undang paten. Artikel ini membahas tentang aspek hukum salah satu bentuk hak kekayaan intelektual (HKI) yang baru di Indonesia, perlindungan varietas tanaman, di luar yang sudah dikenal selama ini, yaitu hak cipta, paten, dan merek. Pembahasannya diawali dengan pendahuluan, pengertian formal, kontroversi dan alasan pentingnya pengaturan, pokok-pokok pengaturan di Indonesia, pengaturan internasional, perbandingan dengan Australia, dan kesimpulan. Pengertian Formal Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) diberikan beberapa definisi sebagaimana dimuat Pasal 1, antara lain sebagai berikut: a) Perlindungan Varietas Tanaman adalah “perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman”; b) Varietas Tanaman adalah “sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan”; c) Pemuliaan tanaman adalah “rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan.” Undang-Undang PVT memberikan perlindungan varietas tanaman dengan mengakui kepemilikan berupa hak eksklusif terhadap kekayaan intelektual para pemulia tanaman. Dengan demikian, para pemulia tanaman mendapatkan jaminan berupa perlindungan hukum untuk selama jangka waktu tertentu mencegah pihak lain menerima manfaat serupa tanpa terlebih dahulu memperoleh izin darinya. Perlindungan varietas tanaman melalui sistem hukum hak kekayaan intelektual demikian merupakan hal baru bagi Indonesia yang diharapkan di samping akan mendorong kreativitas dan gairah kerja pemulia tanaman juga mendukung pembangunan pertanian dengan semakin meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan yang menghasilkan varietas tanaman.
44
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Sebagai negara agraris, Indonesia potensial untuk mengembangkan industri dan perdagangan dibidang pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor. Di samping sebagian besar jumlah penduduknya adalah petani yang bekerja di sektor pertanian di pedesaan, Indonesia juga menyimpan bermacam-macam plasma nutfah yang memungkinkan menghasilkan berbagai macam varietas unggul melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Kontroversi dan Alasan Pentingnya Pengaturan Meskipun adanya kewajiban hukum untuk memberikan perlindungan varietas tanaman, para ahli dan sebagian anggota masyarakat masih mempertanyakan, memperdebatkan bahkan menentang perlindungan HKI terhadap varietas tanaman. Kontroversi demikian memang beralasan karena adanya perbedaan pandangan dan kepentingan. Memang secara konvensional HKI diberikan kepada ciptaan manusia saja (the creation of the human mind), bukan terhadap ciptaan alamiah, yang muncul tanpa melalui kreativitas manusia. Berdasarkan pandangan demikian perlindungan HKI terhadap makhluk hidup (life form) tidak dapat diberikan. Para ahli hukum HKI modern menentang pandangan tersebut karena dapat menghambat kreativitas manusia dalam menemukan makhluk hidup tertentu dengan menggunakan pikirannya dalam rangka memperbesar jumlahnya atau mempertinggi kualitasnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bukan hanya itu saja, perdebatan bahkan sampai pada masalah-masalah etika dan moral. Mereka yang kontra mempertanyakan kebolehan secara etika dan moral manusia melakukan perubahan-perubahan tertentu terhadap makhluk hidup ciptaan Tuhan. Argumentasi etis dan moral demikian lebih berkembang dalam kaitannya dengan makhluk hidup selain tanaman dan hewan, yaitu berkenaan dengan manusia sendiri (misalnya tentang rekayasa genetika malalui cloning). Argumentasi lainnya dari segi lingkungan dan kesehatan manusia, yaitu kemungkinan dampak negatif dari perlakuan manusia terhadap makhluk hidup, misalnya menimbulkan kerusakan ekosistem atau memudahkan munculnya penyakit tertentu pada manusia yang menggunakan varietas tanaman baru tersebut. Yang pertama terkait dengan pentingnya menjaga dan memelihara keanekaragaman hayati, yang penting dari sudut pandang lingkungan hidup. Pertentangan tentang perlu tidaknya perlindungan varietas tanaman, juga timbul dalam kerangka TRIPs antara negara maju dengan negara berkembang. Dalam negosiasi TRIPs tersebut, Amerika Serikat berkepentingan agar lingkup perlindungan paten diperluas meliputi varietas tanaman dan makhluk hidup (living organism), sementara negara-negara berkembang menginginkan sebaliknya, yaitu varietas tanaman berada di luar cakupan paten. Hasil negosiasi yang dicapai hingga akhir perundingan adalah pihak-pihak boleh mengecualikan varietas tanaman dari perlindungan paten, asalkan mengaturnya secara khusus di luar hukum paten, sehingga varietas tanaman mendapatkan perlindungan hukum (Bay, 1997). Negara-negara maju berkepentingan terhadap perlindungan varietas tanaman dalam rangka melindungi investasi mereka dalam bidang perdagangan dan industri pertanian, terutama yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar multinasionalnya. Sebaliknya, negara-negara berkembang berkepentingan untuk melindungi rakyatnya yang sebagian besar adalah petani dan masih hidup miskin di pedesaan. Para petani ini apabila adanya perlindungan varietas tanaman berarti harus membayar mahal benih atau varietas 45
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Sanusi Bintang
tanaman baru yang diperlukannya. Mahalnya harga benih akan menghambat akses petani terhadap benih tersebut sehingga dapat mengurangi produktivitas pertanian. Di samping mahalnya harga benih bagi petani di negara-negara berkembang, persoalan lainnya yang dihadapi oleh para petani adalah belum tertampungnya perlindungan HKI mereka terhadap varietas tanaman yang telah mereka kembangkan berabad-abad. Varietas tanaman hasil dari penemuan dan pengembangan petani secara tradisional sejak dahulu tidak pernah mendapatkan perlindungan HKI-nya. Sedangkan penemuan dan pengembangan varietas tanaman yang dilakukan secara komersial oleh perusahaan-perusahaan besar mendapatkan perlindungannya. Masyarakat tani, bahkan di negara maju sekali pun menginginkan agar perlindungan HKI tidak hanya diberikan pada varietas tanaman baru, tetapi juga terhadap pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang telah sukses berkembang melalui pemuliaan tanaman yang dilakukan mereka sepanjang zaman tersebut (Australian Department of Foreign Affairs and Trades, 2000). Perlindungan HKI (khususnya paten) terhadap varietas tanaman, manurut Vandana Shiva (Djumhana, 1995) memang dapat menghambat pembangunan pertanian negara berkembang karena alasan berikut ini; 1) Berlawanan dengan budaya dan etika pertanian yang memperlakukan proses kehidupan yang mendasar sebagai suatu yang sakral bukan sebagai komoditas bisnis; 2) Menghilangkan hak petani untuk menyimpan benih yang dapat mematikan tradisi penyimpanan benih; 3) Membuat petani di negara berkembang tetap menjadi konsumen yang tergantung pada perusahaan benih, yang menjual benih dengan harga mahal; 4) Luasnya cakupan monopoli perlindungan paten sehingga merugikan petani, yang pada beberapa varietas tanaman meliputi makronya (bunga, buah, biji) dan mikronya (sel, gen, plasmid). Idealnya, hukum varietas tanaman mampu menampung secara seimbang pengaturan kedua kepentingan yang berbeda tersebut, yaitu kepentingan masyarakat bisnis dan industri pertanian, dan masyarakat tani secara adil dan bijaksana. Setiap upaya penciptaan dan pembaharuan hukum varietas tanaman perlu mempertimbangkan kedua hal tersebut untuk memberikan ukuran atau tingkatan perlindungan yang tepat dalam mencapai tujuan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Terlepas adanya kontroversi tentang perlu tidaknya perlindungan varietas tanaman, tampaknya argumentasi tentang pentingnya pengaturan lebih meyakinkan yaitu sebagai insentif terhadap muncul dan berkembangnya kreativitas yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian. Beberapa manfaat penting dapat diperoleh melalui penggunaan teknologi genetika varietas tanaman, yang perlu mendapatkan dorongan melalui infrastruktur hukum, misalnya sebagai berikut (the Parliament of Commonwealth of Australia, 2000): 1) Lebih cocok untuk lingkungan khusus atau berbeda; 2) Lebih efisien dalam mengubah input menjadi output makanan; 3) Lebih tahan hama dan penyakit; 4) Sanggup untuk menahan herbisida; 5) Lebih produktif, yang disebabkan oleh ke empat faktor di atas; 6) Mendapatkan kualitas penyimpanan yang lebih baik; 7) Memperoleh kualitas pengolahan yang lebih baik dan; 8) Menjadi lebih sehat. Pokok-Pokok Pengaturan Di Indonesia Kriteria perlindungan Pasal 2 Undang-Undang PVT menentukan beberapa kriteria pemberian perlindungan sebagai berikut: 46
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Baru Dikatakan baru apabila varietas tanaman tersebut “pada saat penerimaan permohonan hak PVT, bahan perbanyakan atau hasil panen dari varietas tersebut belum pernah diperdagangkan di Indonesia atau sudah diperdagangkan tetapi tidak lebih dari setahun, atau telah diperdagangkan di luar negeri tidak lebih dari empat tahun untuk tanaman semusim dan enam tahun untuk tanaman tahunan.” Ukuran kebaruan yang dipakai bersifat internasional dengan pembatasan yang berbeda antara perdagangan di dalam dan di luar negeri. Unik Dikatakan unik apabila varietas tanaman tersebut “dapat dibedakan secara jelas dengan varietas lain yang keberadaannya sudah diketahui secara umum pada saat penerimaan permohonan hak PVT”. Disamping memenuhi syarat “baru”, ditambah lagi dengan syarat “unik”. Syarat kedua ini menekankan pada adanya unsur perbedaan antara varietas tanaman baru tersebut dengan yang sudah lebih dahulu dikenal secara umum. Apabila varietas tersebut sama saja dengan yang sebelumnyatelah diketahui secara umum tidak akan memenuhi sifat keunikan tersebut. Seragam Dikatakan seragam apabila “sifat-sifat utama atau penting pada varietas tersebut terbukti seragam meskipun bervariasi sebagai akibat dari cara tanam dan lingkungan yang berbeda-beda”. Keseragaman tersebut bertujuan pada sifat-sifat utama atau pokok saja dari varietas tanaman dengan toleransi adanya variasi yang ditimbulkan dari perbedaan cara menanamnya dan atau perbedaan lingkungan dimana varietas tersebut ditanam. Stabil Dikatakan stabil apabila “sifat-sifatnya tidak mengalami perubahan setelah ditanam berulang-ulang atau untuk yang diperbanyak melalui siklus perbanyakan khusus, tidak mengalami perubahan pada setiap akhir siklus tersebut”. Penjelasan Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan siklus perbanyakan khusus adalah “siklus perbanyakan untuk varietas tanaman hibrida atau pola perbanyakan melalui kultur jaringan dan stek dari daun/batang”. Bernama Sebagai identitas yang dapat membedakannya dengan varietas tanaman lainnya, undang-undang mengharuskan pemberian nama kepada varietas tanaman yang akan memperoleh perlindungan hukum. Jangka waktu perlindungan Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman dibatasi masa perlindungan varietas tanaman yang dikelompokkan ke dalam 2 (dua) golongan tanaman dengan masa perlindungan yang berbeda sebagai berikut : 1) Tanaman tahunan yaitu jenis pohon-pohonan dan tanaman merambat dengan jangka waktu perlindungan 25 tahun dan; 2) Tanaman semusim yaitu tanaman selain pohon-pohonan dan tanaman merambat dengan jangka waktu perlindungan 20 tahun. Menurut Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang tersebut masa PVT dihitung sejak tanggal pemberian hak PVT. Pembatasan jangka waktu demikian penting dalam rangka menemukan keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu pihak pemulia 47
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Sanusi Bintang
tanaman terhadap perolehan manfaat ekonomi akibat pengorbanan atau investasi yang dilakukannya dalam menghasilkan varietas tanaman tersebut dan kepentingan masyarakat pengguna terhadap perolehan varietas tanaman tersebut dengan mudah dan murah. Kepemilikan hak Berkaitan dengan kepemilikan hak, Undang-Undang PVT mengaturnya dalam beberapa pasal. Pasal 6 Ayat (1) menegaskan bahwa “pemegang hak PVT memiliki hak untuk menggunakan dan memberikan persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakan varietas berupa benih dan hasil panen yang digunakan untuk propagasi.” Ketentuan di atas sebagaimana ditentukan Ayat (2)-nya berlaku juga terhadap: 1) Varietas turunan esensial yang berasal dari suatu varietas yang dilindungi atau varietas yang yang telah terdaftar dan diberi nama; 2) Varietas yang tidak memenuhi kriterium unik dan; 3) Varietas yang diproduksi dengan selalu menggunakan varietas yag dilindungi. Pengertian hak untuk menggunakan meliputi aktivitas sebagaimana diatur Ayat (3)nya sebagai berikut: 1) Memproduksi atau memperbanyak benih; 2) Menyiapkan untuk tujuan propagasi (perbanyakan); 3) Mengiklankan; 4) Menawarkan; 5) Menjual atau memperdagangkan; 6) Mengekspor; 7) Mengimpor; dan 8) Mencadangkan untuk keperluan kegiatan-kegiatan di atas. Hak menggunakan dalam cakupan yang luas di atas merupakan hak eksklusif yang hanya dimiliki oleh pemulia tanaman. Dengan demikian, pemuliaan tanaman dapat secara hukum mencegah pihak yang lain menggunakan haknya tersebut. Pihak lain dapat memperoleh sebagian dari hak pemulia tanaman tersebut melalui lisensi atau perjanjian lisensi yang sebagai transaksi bisnis biasanya disertai pembayaran royalti kepada pemberi lisensi (pemulia tanaman) oleh penerima lisensi yang jumlah dan cara pembayarannya tergantung pada kesepakatan pihak-pihak tersebut. Pada Ayat (4) Pasal 6 di atas ditegaskan bahwa “penggunaan hasil panen yang digunakan untuk propagasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), yang berasal dari varietas yang dilindungi, harus mendapat persetujuan dari pemegang hak PVT.” Berkaitan dengan penggunaan varietas turunan esensial juga harus mendapatkan persetujuan dari pemegang hak PVT dan/atau pemilik varietas asal dengan dengan ketentuan sebagaimana diatur Ayat (5) berikut ini: 1) Varietas turunan esensial berasal dari varietas yang telah mendapat hak PVT atau mendapat penamaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bukan merupakan varietas turunan esensial sebelumnya; 2) Varietas tersebut pada dasarnya mempertahankan ekspresi sifatsifat esensial dari varietas asal, tetapi dapat dibedakan secara jelas dengan varietas asal dari sifat-sifat yang timbul dari tindakan penurunan itu sendiri; 3) Varietas turunan esensial sebagaimana dimaksudkan pada Butir a dan Butir b dapat diperoleh dari mutasi alami atau mutasi induksi, variasi somaklonal, seleksi individu tanaman, silang balik, dan transformasi dengan rekayasa genetika dari varietas asal. Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman juga mengatur tentang kepemilikan varietas lokal yaitu “varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turuntemurunoleh petani, serta menjadi milik masyarakat” (Penjelasan Pasal 7). Menurut Pasal 7 varietas lokal milik masyarakat tersebut dikuasai oleh negara dan dilaksanakan oleh pemerintah, yang penamaan, pendaftaran, dan penggunaannya, serta instansi yang diberi tugas untuk melaksanakannya diatur lebih lanjut oleh pemerintah.
48
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Pengaturan demikian penting untuk melindungi varietas lokal dari kemungkinan penyalahgunaannya oleh pihak lain, terutama pihak luar negeri yang dapat merugikan negara khususnya masyarakat pemilik varietas lokal tersebut secara ekonomi. Di samping itu, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) sebagai bagian dari usaha pelestarian plasma nutfah di Indonesia. Dengan adanya pengaturan perlindungan hukum terhadap varietas lokal demikian akan dapat memberikan keseimbangan dalam PVT yang tidak hanya bermanfaat bagi pemulia tanaman modern, terutama perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga bagi masyarakat tani pemilik varietas lokal. Pengaturan varietas lokal tersebut menghilangkan kekhawatiran sebagian orang terhadap tidak cukup tertampungnya kepentingan petani dan kepentingan nasional sebagai negara agraris dalam sistem PVT. Undang-Undang PVT juga mengatur kewajiban pemegang hak PVT sebagaimana diatur Pasal 9 dalam rangka memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada pemakai varietas tanaman, terutama masyarakat tani. Kewajiban tersebut adalah sebagai berikut: 1) Melaksanakan hak PVT-nya di Indonesia; 2) Membayar biaya tahunan PVT; dan 3) Menyediakan dan menunjukkan contoh benih varietas yang telah mendapatkan hak PVT di Indonesia. Khusus terhadap kewajiban melaksanakan PVT-nya di Indonesia, undang-undang memberikan pengecualiannya terhadap PVT yang secara teknis dan atau ekonomis tidak layak dilaksanakan di Indonesia. Dalam hal ini pemegang hak PVT harus mengajukan permohonan tertulis dengan disertai alasan dan bukti-bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang untuk dijadikan pertimbangan dalam pemberian pengecualian tersebut. Permohonan hak Sama halnya dengan perolehan hak kekayaan intelektual lainnya, kecuali hak cipta dan rahasia dagang, perolehan PVT juga melalui prosedur permohonan hak sebagaimana diatur Undang-Undang PVT dan peraturan pelaksananya. Perolehan hak PVT diawali dengan permohonan hak yang diajukan oleh pemohon yang berhak atau kuasanya. Pasal 12 merinci pemohon yang berhak tersebut sebagai berikut: 1) Pemulia; 2) Orang atau badan hukum yang mempekerjakan pemulia atau yang memesan varietas dari pemulia; 4) Ahli waris; atau 5) Konsultan PVT. Kecuali permohonan dari pihak luar negeri yang diharuskan melalui Konsultan PVT di Indonesia selaku kuasa, undang-undang PVT tidak mengharuskan permohonan yang berada di dalam negeri untuk menggunakan Konsultan PVT. Pasal 11 Ayat (1) menentukan bahwa permohonan dilakukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan diajukan kepada Kantor PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan oleh menteri. Ayat (2) menambahkan bahwa surat permohonan hak PVT harus berisi: a) Tanggal, bulan, dan tahun surat permohonan; b) Deskripsi varietas yang mencakup asal-usul atau silsilah, ciri-ciri morfologi, dan sifat-sifat penting lainnya; dan c) Gambar dan atau foto yang disebut dalam deskripsi, yang diperlukan untuk memperjelas deskripsinya. Berkaitan dengan deskripsi varietas tanaman tersebut, pengaturan khusus terdapat dalam Ayat (4) Pasal di atas yang berlaku untuk varietas transgenik (varietas yang dihasilkan melalui teknik rekayasa genetika) bahwa perlu pula penguraian tentang molekuler varietas yang bersangkutan dan stabilitas genetik dari sifat yang usulkan sistem reproduksi tetuanya, keberadaan kerabat liarnya, kandungan senyawa yang dapat mengganggu lingkungan, dan kesehatan manusia serta cara pemusnahannya apabila
49
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Sanusi Bintang
terjadi penyimpangan dengan disertai surat pernyataan aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia dari instansi yang berwenang. Uraian tambahan bagi varietas transgenik demikian perlu dalam rangka memberikan pengamanan yang cukup berhubung kemungkinan munculnya dampak negatif varietas tanaman tersebut terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan bioteknologi seperti rekayasa genetika di samping memberikan dampak positif kepada pengguna PVT (petani dan konsumen akhir) juga dapat membawa dampak negatif yang merugikan lingkungan dan kesehatan manusia. Surat permohonan hak PVT yang telah lengkap syarat-syaratnya kemudian diterima oleh Kantor PVT dengan mencatatnya dalam Daftar Umum PVT. Apabila syarat-syaratnya belum lengkap, dikembalikan kepada pemohon untuk melengkapi kekurangannya dalam waktu tiga bulan sejak tanggal pengiriman surat permohonan pemenuhan kekurangan tersebut oleh Kantor PVT, dengan kemungkinan perpanjangan atas permintaan permohonan hak PVT tersebut untuk paling lama tiga bulan. Dan untuk yang terakhir perhitungan tanggal penerimaan (filling date) adalah tanggal diterimanya pemenuhan kelengkapan terakhir kekurangan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 17. Undang-Undang PVT juga memberikan kemungkinan kepada pemohon hak PVT untuk melakukan perubahan permohonan hak PVT dalam hal adanya penambahan atau pengurangan uraian mengenai penjelasan sifat-sifat varietas tanamannya sebagaimana diatur Pasal 20 dan kemungkinan untuk melakukan penarikan kembali permohonan sebagaimana diatur Pasal 21. Bagi pemohon setelah diterimanya secara resmi surat permohonan oleh Kantor PVT tersebut dapat menunggu pemerosesan lanjutan di Kantor PVT berupa pengumuman kepada publik yang harus dilakukan Kantor PVT selambat-lambatnya: 1) Enam (6) bulan setelah tanggal penerimaan permohonan hak PVT; atau 2)Dua belas (12) bulan setelah tanggal penerimaan permohonan hak PVT dengan hak prioritas. Menurut Penjelasan Pasal 25 Ayat (1) pengumuman tersebut memungkinkan masyarakat mengetahui adanya permohonan hak PVT tersebut dengan melihat papan pengumuman di Kantor PVT atau Berita Resmi PVT. Dan atas dasar pengumuman itu menurut Pasal 28 setiap orang atau badan hukum dapat mengajukan secara tertulis pandangan atau keberatannya terhadap permohonan hak PVT tersebut dengan memberikan alasannya. Dan terhadap pandangan dan keberatan masyarakat tersebut, pemohon hak PVT dapat mengajukan secara tertulis sanggahan dan penjelasan kepada Kantor PVT. Semua informasi dari masyarakat dan pemohon tersebut akan digunakan oleh Kantor PVT sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam memutuskan permohonan hak PVT tersebut. Pemeriksaan substantif Setelah menerima persyaratan administrasi terhadap surat permohonan hak PVT dan kelengkapan syarat-syarat permohonannya tersebut, dan melakukan pengumuman sebagaimana diuraikan di atas, Kantor PVT pada tahapan berikutnya melakukan pemeriksaan substantif. Pemeriksaan substantif ini tidak secara otomatis dilakukan Kantor PVT, tetapi melalui permohonan pemeriksaan substantif. Jadi pemohon di samping mengajukan permohonan hak PVT juga mengajukan permohonan pemeriksaan substantif yang menurut Pasal 29 harus diajukan secara tertulis selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah berakhirnya masa pengumuman dengan membayar biaya pemeriksaan yang juga ditetapkan oleh menteri. 50
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Pasal 30 menjelaskan bahwa yang menjadi sasaran pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa PVT ini meliputi sifat kebaruan, keunikan, keseragaman, dan kestabilan varietas yang dimohonkan hak PVT. Dan untuk keperluan pemeriksaan substantif ini Kantor PVT dapat meminta bantuan ahli dan/atau fasilitas yang diperlukan termasuk informasi dari instansi lain, baik di dalam maupun di luar negeri. Pasal 33 menetapkan bahwa Kantor PVT harus memutuskan untuk memberi atau menolak permohonan hak PVT dalam waktu selambat-lambatnya 24 bulan terhitung sejak tanggal permohonan pemeriksaan substantif tersebut. Apabila pemberian hak PVT kemudian ditolak, yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif, pemohon dapat menggunakan upaya banding kepada Komisi Banding PVT. Pasal 36 Ayat (2) menjelaskan bahwa permohonan banding tersebut disertai uraian secara lengkap keberatan terhadap penolakan permohonan hak PVT berikut alasannya diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal pengiriman surat penolakan permohonan hak PVT dengan tembusan kepada Kantor PVT. Putusan Komisi Banding PVT ini menurut Pasal 38 Ayat (2) bersifat final. Dalam hal permohonan haknya diterima atau permohonan bandingnya diterima, kepada pemohon yeng berhak diberikan Sertifikat PVT. Kantor PVT mencatat pemberian hak PVT tersebut dalam Daftar Umum PVT dan mengumumkan dalam Berita Resmi PVT. Pengalihan hak dan lisensi Hak eksklusif pemulia tanaman dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain melalui cara-cara yang diatur Pasal 40 Undang-Undang PVT berikut ini: 1) Pewarisan; 2) Hibah; 3) Wasiat; 4) Perjanjian dalam bentuk akta notaris; atau 5) Sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang. Setiap adanya pengalihan hak dengan salah satu cara tersebut di atas, undang-undang mewajibkan pencatatannya pada Kantor PVT dan pemuatannya dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang ditetapkan menteri. Sedangkan pengaturan lebih terinci tentang syarat dan tata cara pengalihan hak tersebut diatur lebih lanjut oleh pemerintah. Di samping melalui pengalihan hak tersebut, hak eksklusif pemulia tanaman juga dapat dialihkan kepada pihak lain (orang atau badan hukum) secara terbatas melalui pemberian lisensi yang didasarkan pada suatu perjanjian lisensi. Dalam hal ini pemulia tanaman bertindak sebagai pemberi lisensi dan pihak lain bertindak sebagai penerima lisensi. Lisensi demikian merupakan cara yang lazim dilakukan dalam dunia bisnis dengan tujuan sama-sama untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan laba. Pemberi lisensi memperoleh pembayaran royalti dari penerima lisensi berdasarkan perjanjian lisensi yang dibuat. Penerima lisensi tidak perlu lagi menggunakan instansi sendiri untuk menghasilkan varietas tanaman objek lisensi tersebut melalui kegiatan penelitian dan pengembangan. Kerja sama bisnis yang saling menguntungkan tersebut akan menambah semangat kerja pemulia tanaman dalam melakukan pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas tanaman yang layak dikomersialisasikan kepada masyarakat konsumen. Undang-Undang PVT dalam rangka memberikan perlindungan yang lebih baik kepada pemulia tanaman pada dasarnya menganut sistem lisensi non-eksklusif. Artinya pemulia tanaman tidak terikat untuk memberikan lisensi kepada satu orang atau satu badan hukum saja. Terbuka kemungkinan untuk tetap boleh melaksanakan sendiri atau 51
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Sanusi Bintang
memberi lisensi kepada penerima lisensi lainnya, walaupun sudah memberikan lisensi kepada pihak tertentu sebelumnya. Namun, undang-undang menyerahkan pada kehendak bebas dari pihak-pihak (pemberi dan penerima lisensi) untuk menetapkan sendiri di dalam perjanjian lisensi sistem apa yang dipakai. Artinya, apabila perjanjian lisensinya menetapkan suatu klausul bahwa yang berlaku adalah lisensi eksklusif, maka yang berlaku adalah sebagaimana diatur tersebut. Isi perjanjian lisensi lebih diutamakan daripada keinginan pembuat undang-undang sendiri. Dengan kata lain, asas kebebasan berkontraklah yang penting disini. Apabila pihak-pihak tidak mengaturnya sendiri pemilihan sistem lisensi eksklusif di dalam isi perjanjian lisensi, yang berlaku adalah sistem lisensi non-eksklusif. Di dalam praktek sistem mana yang dipilih sangatlah tergantung pada kekuatan tawar menawar atau hasil negosiasi antar pemberi dan penerima lisensi itu sendiri, yang tentunya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor di sekitar transaksi bisnis tersebut. Sama juga dengan pengalihan hak, lisensi juga harus dicatatkan pada Kantor PVT dan dimuat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang telah ditetapkan untuk itu. Apabila tidak, perjanjian lisensi tersebut tidak akan mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Di samping lisensi yang bersifat sukarela di atas, Undang-Undang PVT juga mengatur tentang lisensi wajib yaitu “lisensi yang diberikan oleh pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman kepada pemohon berdasarkan putusan Pengadilan Negeri. Pemberian lisensi wajib tidak didasarkan pada kehendak bebas dari pemulia tanaman sendiri, tetapi diberikan pengadilan negeri atas permintaan pihak lain (penerima lisensi wajib). Pasal 44 Undang-Undang PVT menegaskan bahwa apabila setelah jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian hak PVT, setiap orang atau badan hukum dapat mengajukan permintaan lisensi wajib dengan alasan tidak digunakan di Indonesia atau telah digunakan dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, inti dari adanya ketentuan lisensi wajib tersebut adalah untuk melindungi kepentingan umum daripada melindungi kepentingan pemulia tanaman sehingga sistem PVT dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat luas, di samping kepada pemulia tanaman sendiri. Lisensi wajib tidaklah sama dengan pengambilan hak secara paksa oleh kekuasaan negara, karena tetap mempertimbangkan nilai-nilai keadilan melalui kewajiban penerima lisensi wajib membayarkan royalti dengan cara yang ditegaskan oleh pengadilan negeri yang memberikan lisensi wajib tersebut, sebagaimana ditentukan Pasal 48 UndangUndang PVT. Untuk menentukan perlu tidaknya lisensi wajib diberikan dan apakah pemohon lisensi wajib merupakan pihak yang berkemampuan melaksanakan hak PVT tersebut di Indonesia dalam rangka memberikan keadilan dan dan kemanfaatan yang sebesarbesarnya kepada masyarakat, Pasal 46 Undang-Undang PVT menentukan bahwa pemberian lisensi wajib di samping memenuhi kebenaran alasan, juga hanya dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan di bawah ini: 1) Pemohon dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan mempunyai kemampuan dan fasilitas untuk menggunakan sendiri hak PVT tersebut serta telah berusaha mengambil langkahlangkah untuk mendapatkan lisensi dari pemegang hak PVT atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak berhasil; dan 2) Pengadila negeri menilai bahwa hak PVT tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dan bermanfaat bagi masyarakat. 52
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Pasal 46 Undang-Undang PVT menambahkan bahwa “pemeriksaan atas permohonan lisensi wajib dilakukan oleh pengadilan negeri dalam suatu pertimbangan dengan mendengarkan pendapat tenaga ahli dari Kantor PVT dan pemegang hak PVT yang bersangkutan”. Lisensi wajib tersebut berakhir dengan dua cara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 52 yaitu: 1) Jangka waktu sebagaimana ditetapkan sudah berakhir; atau 2) Adanya pembatalan oleh pengadilan negeri atau dikembalikan oleh penerima lisensi sebelum waktunya berakhir. Wewenang pembatalan lisensi wajib juga berada pada pengadilan negeri setalah mendengar pemegang lisensi wajib apabila memenuhi salah satu dari tiga sebab yang diatur Pasal 51 berikut ini: 1) Alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian lisensi wajib tidak ada lagi; 2) Penerima lisensi wajib ternyata tidak melaksanakan lisensi wajib tersebut atau tidak melakukan usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera melaksanakannya; atau 3) Penerima lisensi wajib tidak lagi menaati syarat dan ketentuan lainnya, termasuk kewajiban membayar royalti. Penegakan hukum Penegakan hukum PVT dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu (1) gugatan di pengadilan perdata (perkara perdata) berhubung adanya pelanggaran kepentingan pribadi pemulia tanaman, dan (2) tuntutan di pengadilan pidana (perkara pidana) berhubung adanya tindak pidana yang merugikan kepentingan umum. Setiap jalur tersebut memiliki aturannya sendiri. Perkara perdata Inisiatif munculnya perkara perdata datang dari pihak pemulia tanaman (orang atau badan hukum) yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Pihak lainnya yang memiliki kewenangan menggugat adalah pemegang lisensi dan pemegang lisensi wajib. Menurut Pasal 67 Undang-Undang PVT, sasaran gugatan perdata tersebut tertuju kepada “siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6”. Pasal 6 Ayat (3) merinci cakupan hak eksklusif pemegang hak PVT, meliputi memproduksi atau memperbanyak benih, menyiapkan untuk tujuan propagasi, megiklankan, menawarkan, menjual atau memperdagangkan, mengekspor, mengimpor dan mencadangkan untuk keperluan berbagai aktivitas yang disebutkan di atas. Hanya pemulia tanaman pemegang hak PVT atau pemegang lisensi/pemegang lisensi wajib saja yang dibenarkan hukum melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut, dalam batas waktu masa perlindungan. Apabila pihak lain melaksanakan kegiatan-kegiatan di atas, berarti telah melanggar hak eksklusif tersebut, yang membuka kemungkinan kepada pihak yang berhak menuntut ganti rugi ke pengadilan negeri. Cakupan hak eksklusif sebagaimana diatur Pasal 6 Ayat (3) di atas mendapatkan pengecualiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 10. Sepanjang kegiatan dalam ruang lingkup Pasal 6 tersebut dilakukan dengan tujuan tertentu, yang diatur Pasal 10 tidak dianggap sebagai pelanggaran hak PVT. Dengan demikian, pihak yang melaksanakannya (orang atau badan hukum) akan dibebaskan dari kemungkinan gugatan ganti rugi oleh pemegang hak PVT. Pengecualian tersebut meliputi: 1) Penggunaan sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi, sepanjang tidak untuk tujuan komersial. Pengertian tidak untuk tujuan komersial tersebut menurut Penjelasan Pasal 10 Ayat (1) adalah “kegiatan perorangan terutama para petani kecil untuk keperluan sendiri dan tidak termasuk kegiatan menyebarluaskan untuk keperluan kelompoknya”; 2) Penggunaan varietas yang dilindungi untuk kegiatan penelitian, pemuliaan tanaman, dan perakitan varietas baru; 53
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Sanusi Bintang
dan 3) Penggunaan oleh pemerintah atas varietas yang dilindungi dalam rangka kebijakan pengadaan pangan dan obat-obatan dengan memperhatikan hak-hak ekonomi dari pemegang hak PVT. Pengecualian dalam Pasal 10 tersebut merupakan upaya pembuat undang-undang membatasi hak eksklusif pemegang hak PVT sehingga hak eksklusif yang diberikan tidak terlalu besar yang dapat merugikan kepentingan pihak lainnya. Dengan demikian, walaupun sudah diberikan hak kekayaan yang bersifat eksklusif tersebut, masih terdapat ruangan bagi petani, terutama petani kecil menggunakan sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi untuk keperluan penggunaan sendiri (private use) yang bukan penggunaan komersial (commercial use), bagi para peneliti dan pemulia tanaman menggunakan varietas tanamanyang dilindungi untuk kegiatan yang dilakukannya di bidang penelitian dan pengembangan, dan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengamanan pangan dan obat-obatan. Dengan demikian, sampai pada batas-batas tertentu Undang-Undang PVT telah menampung kepentingan pihak-pihak yang mungkin akan dirugikan apabila hak PVT diberikan terlalu luas. Mereka yang kepentingannya tertampung tersebut adalah sebagai berikut: 1) Penggunaan varietas tanaman, terutama petani kecil; 2) Peneliti, pemulia tanaman, dan perakit varietas baru; dan 3) Pemerintah, yaitu perumus kebijakan pengadaan pangan dan obat-obatan di tingkat nasional melalui Keputusan Presider. Adanya pengecualian demikian didukung oleh kondisi objektif Indonesia yang pada saat ini masih sebagai negara berkembang dan bercirikan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Dalam kaitannya dengan perkara perdata di atas Pasal 68 Undang-Undang PVT memberikan wewenang tambahan kepada hakim yang mengadili perkara perdata untuk memerintah pelanggar hak PVT menghentikan sementara kegiatannya selama masih dalam pemeriksaan pengadilan negeri untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, dan memerintahkan penyerahan hasil pelanggaran hak PVT untuk dilaksanakan, apabila putusan pengadilan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan setelah orang atau badan hukum yang dituntut membayar ganti rugi kepada pemilik barang yang beritikad baik. Penjelasan Pasal 68 Ayat (2) menjelaskan bahwa pemilik barang yang beritikad baik adalah pemilik barang yang barangnya berasal dari transaksi dengan pemegang hak PVT yang hak PVT-nya kemudian terbukti diperoleh dari pelanggaran. Perkara pidana Inisiatif timbulnya perkara pidana berasal dari negara untuk kepentingan umum berhubung adanya dampak berupa kerugian masyarakat akibat pelanggaran hak PVT. Perkara pidana ini diawali dengan tindakan aparat penegak hukum berupa penyidikan. Sama halnya dengan penyidikan tindak pidana HKI lainnya, penyidik yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidikan pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia (penyidik umum) dan penyidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu (penyidik khusus). Penyidik khusus memiliki wewenang yang terbatas sebagaimana diatur Pasal 70 Undang-Undang PVT meliputi pemeriksaan laporan, pemeriksaan orang atau badan, permintaan keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan, pemeriksaan pembukuan, pemeriksaan lokasi dan penyitaan bahan bukti, dan permintaan bantuan ahli. Undang-undang juga mengatur sistem koordinasi antara penyidik khusus dengan penyidik umum dan penuntut umum. Penyidik khusus memberitahukan dimulainya penyidik dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik umum. Undang-Undang PVT menentukan bahwa tindak pidana pelanggaran hak PVT 54
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
merupakan kejahatan, sedangkan hukum pidana materielnya diatur dalam empat pasal, yaitu Pasal 71, 72, 73 dan 74. Saksi pidana terberat disediakan dalam Pasal 71 yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melakukan salah satu kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (3) tanpa persetujuan pemegang hak PVT, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000.00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 6 Ayat (3) yang ditunjuk Pasal 71 di atas mengatur lingkup hak eksklusif pemegang hak PVT untuk menggunakan varietas tanaman. Secara tersirat berarti apabila pihak lain yang tidak berhak melakukan kegiatan-kegiatan tersebut berarti telah melakukan pelanggaran hak PVT, yang dapat dituntut secara pidana berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pengaturan Internasional Perlindungan varietas tanaman secara internasional diatur dalam International Convention for the Protection of New Varieties of Plants (Konvensi UPOV). Konvensi UPOV pertama sekali ditandatangani di Paris tahun 1961 dan mulai berlaku tahun 1968. Beberapa kali telah diadakan perubahan masing-masing pada tahun 1972, 1978, dan 1991. UPOV sendiri merupakan suatu uni internasional untuk perlindungan varietas tanaman. Singkatan UPOV sendiri berasal dari bahasa Perancis Union Internationale Pour La Protection des Obtentions Vegetables. Konvensi UPOV menetapkan standar minimum perlindungan dan menawarkan negara-negara anggotanya untuk mempertimbangkan lingkungan nasional di dalam pengaturan hukum nasionalnya masing-masing (UPOV, 1998). Manfaat menjadi anggota UPOV adalah sebagai berikut (UPOV, 1998) . 1) Negaranegara menunjukkan keinginan untuk melindungi para pemulia tanaman berdasarkan prinsip-prinsip yang telah memperoleh dukungan dari pengaturan internasional; 2) Menawarkan pemulia tanaman di negaranya kemungkinan memperoleh perlindungan di negara-negara anggota lainnya; 3) Mendorong pemulia tanaman di luar negeri melakukan investasi dalam pemuliaan tanaman dan produksi bibit di dalam negeri; 4) Memperoleh kesempatan melalui keanggotaan UPOV untuk saling membagi pengalaman; dan 5) Memberikan sumbangan dalam pemajuan pemuliaan tanaman secara internasional. UPOV menetapkan criteria perlindungan varietas tanaman sebagai berikut (UPOV, 1998). 1) Unik (distinc) yaitu berbeda dengan produk yang telah ada atau varietas yang dikenal secara umum; 2) Seragam (uniform) secukupnya; 3) Stabil (stable); dan 4) Baru (new) dalam arti belum pernah dikomersialisasikan sebelumnya sampai tanggal tertentu yang ditetapkan dengan merujuk tanggal permohonan perlindungannya. Pasal 14 Konvensi UPOV menentukan bahwa pemegang hak memperoleh hak eksklusif terhadap keseluruhan jajaran tumbuhan tersebut (the whole plant kingdom), meliputi hasil propagasi, hasil panen, hasil yang dibuat secara langsung dari varietas yang dilindungi. Sedangkan tindakan yang dilarang, kecuali memperoleh izin pemegang hak meliputi sebagai berikut. a) Produksi atau reproduksi; b) Kondisionalisasi untuk tujuan propagasi; c) Penawaran penjualan; d) Penjualan atau pemasaran lainnya; e) Ekspor; f) Impor; dan g) Penyimpanan untuk tujuan di atas (Bay, 1997). TRIPs-GATT meminta negara anggotanya untuk memberikan perlindungan varietas tanaman dalam bentuk paten dan atau perundang-undangan khusus varietas tanaman, tetapi tidak menunjuk pada standar tertentu seperti UPOV. Oleh karenanya standar pengaturan UPOV tidak mengikat anggota WTO, kecuali bagi yang memilih sendiri 55
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Sanusi Bintang
menjadi anggota uni UPOV. Berbeda dengan pengaturan hak cipta dan paten di bawah TRIPs-GATT yang dengan tegas memberikan kaidah penunjuk bahwa standar minimum pengaturan yang berlaku sebagaimana diatur di dalam Konvensi Berne dan Konvensi Paris, kecuali terhadap hal-hal yang telah diatur sendiri secara khusus dalam perlindungan TRIPs tersebut. Perbandingan dengan Australia Memperoleh negara lain yang telah lebih dahulu mengatur perlindungan varietas tanaman dapat memperluas dan memperdalam pemahaman tentang perlindungan hukum varietas tanaman. Salah satu negara tetangga yang memiliki pengelaman tersebut adalah Australia. Berikut ini diuraikan beberapa pokok penagturan varietas tanaman di Australia. Australia mengatur perlindungan varietas tanaman melalui pemberian hak pemuliaan tanaman (plant breeder’s rights) sebagai hak eksklusif yang diatur dalam suatu undangundang khusus, yaitu Plant Breeder’s Rights Act 1994. Sebelumnya berlaku Plant Breeder’s Act 1987. Ketentuan undang-undang baru tahun 1994 ini telah sejalan dengan Konvensi UPOV perubahan terakhir 1991. Sama halnya dengan Amerika Serikat, Australia juga mengenal perlindungan paten tanaman (plant patent) sebagai alternatif perlindungannya. Dengan demikian, Australia menganut sistem perlindungan berganda, dalam arti terbuka kesempatan untuk memperoleh perlindungan baik melalui undang-undang hak pemuliaan tanaman maupun undang-undang paten. Perlindungan paten tentunya dapat diperoleh apabila telah memenuhi kriteria pemberian paten, kebaruan dan dapat diterapkan dalam industri, serta adanya campur tangan manusia untuk menghasilkan langkah inventif dan hasil yang diperoleh tidaklah bersifat alamiah (McKeough dan Stewart, 1997). Plant Breeder’s Rights Act 1999 yang mengacu pada konvensi UPOV 1991 juga mencontoh model perlindungan paten, tetapi dengan persyaratan-persyaratan yang lebih lunak. Hal tersebut terlihat dari adanya prosedur pendaftaran dan pemeriksaan substantif, walaupun dengan pengecualian-pengecualian yang luas. Salah satu pengecualian yang dalam hukum paten merupakan pelanggaran, tetapi dibenarkan dalam perlindungan varietas tanaman adalah dimungkinkannya setiap orang yang menggunakan varietas tanaman yang dilindungi untuk menggunakannya dengan maksud pembudidayaan varietas-varietas yang lain (Bay, 1997). Keuntungan perlindungan melalui hak pemuliaan tanaman adalah lebih murah dan mudah, dan meliputi materi yang tidak dapat dipatenkan, seperti pemuliaan tanaman yang terjadi secara alamiah (hasil mutasi alam) yang ditemukan seseorang atau varietas yang ditemukan dari teknik pemuliaan tanaman tetua, sementara keuntungan perlindungan melalui paten dapat menjangkau teknik atau proses daripada hanya produk akhir, yang tentunya lebih disukai oleh perusahaan yang menggunakan metode bioteknologi (McKeough dan Stewart, 1997). Di Australia terdapat pembatasan hak eksklusif pemulia tanaman sebagai berikut: a) Jangka Waktu. Pembatasan pertama hak eksklusif adalah pembatasan jangka waktu yang memungkinkan masyarakat umum menggunakannya secara bebas setelah masa tersebut berakhir. Hukum Australia membagi varietas tanaman dalam dua kategori jangka waktu, yaitu 25 tahun sejak tanggal pemberian untuk varietas pohon-pohonan, dan 20 tahun sejak tanggal pemberian untuk seluruh varietas lainnya; b) Pengecualian. Beberapa pengecualian penting untuk menampung kepentingan petani dan masyarakat pada umumnya sebagai pengecualian terhadap hak monopoli terbatas yang diberikan 56
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
kepada pemegang hak sebagai berikut (the Parlament of the Commonwealth of Australia, 2000; McKeough dan Stewart, 1997). 1) Simpanan benih untuk pertanian yang memberikan hak kepada petani untuk menyimpan benih varietas tanaman untuk pemuliaan lanjutan pada waktu-waktu berikutnya; 2) Hak untuk menggunakan varietas tanaman sebagai makanan, bahan makanan, atau bahan bakar, atau untuk setiap tujuan lainnya selain reproduksi (termasuk reproduksi kecambah); 3) Setiap tindakan yang dilaksanakan secara pribadi untuk tujuan-tujuan non-komersial, percobaan, dan pemuliaan tanaman, yang memungkinkan pemelihara kebun menggunakan bibit yang diperoleh dari varietas tanaman yang dilindungi; dan 4) Adanya kemungkinan bagi masyarakat secara wajar memperoleh varietas tanaman yang dilindungi dengan cara membuat hasil propagasi tersedia gratis atau dengan harga yang terjangkau dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Untuk mendapatakan perlindungan hak varietas tanaman di Australia diperlukan langkah-langkah sebagai berikut (PBRO, 2000). a) Memperoleh surat kuasa khusus dari pemulia tanaman untuk bertindak sebagai agen di Australia, dalam hal permohonan dari luar negeri; b) Mengisi formulir Bagian 1 dengan melengkapi sebuah foto dari varietas tanaman baru yang menunkkan daya pembeda, membayar biaya permohonan, menunjuk seorang konsultan (qualified person) yang terdaftar; c) Membuat perjanjian dengan konsultan tersebut untuk merencanakan dan mengawasi percobaan pertumbuhan untuk perbandingan; d) Melaksanakan percobaan pertumbuhan untuk perbandingan tersebut untuk menunjukkan terpenuhinya persyaratan adanya keunikan, keseragaman, dan kestabilan, mengisi formulir Bagian 2 dan membayar biaya pemeriksaan; e) Menyimpan hasil propogasi di dalam sebuah pusat sumber daya genetic; f) Pemeriksaan permohonan oleh Kantor Pemuliaan Tanaman, yang dapat mencakup pemeriksaan lapangan dari tes penanaman perbandingan; g) Publikasi dari deskripsi dan foto perbandingan antara varietas baru dengan varietas-varietas yang serupa dalam berita resmi varietas tanamana; dan h) Pemberian sertifikat hak varietas tanaman, apabila telah memenuhi semua persyaratan, resolusi dari keberatan (jika ada), dan membayar biaya sertifikatnya. Di Australia, kepada pemegang hak varietas tanaman diharuskan untuk menunjukkan kepada pembeli bahwa varietas tanaman yang dijual terdaftar di Kantor Pemuliaan Tanaman dengan menggunakan label menurut standar yang telah ditetapkan pada produk yang dipasarkan. Kantor Pemuliaan Tanaman berada di bawah Divisi Industri Pertanian pada Departemen Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. KESIMPULAN Meskipun terdapat kontroversi dan kritik tentang perlunya pengaturan perlindungan varietas tanaman, tampaknya alasan yang mendukung lebih dominan, baik keharusan Indonesia sebagai anggota WTO maupun karena kebutuhan di dalam negeri dalam memajukan pertanian, antara lain untuk motivasi kegiatan pemuliaan tanaman yang dapat menemukan varietas unggul dan melestarikan plasma nutfah yang dimiliki Indonesia. Kepentingan masyarakat, terutama masyarakat tani ditampung dalam UU PVT dengan memberikan pengecualian yang luas dan terhadap perlindungan, meliputi penggunaan tidak untuk tujuan komersial, dan penelitian dan penggunaan oleh pemerintah terkait pengadaan pangan dan obat-obatan. Di samping itu, juga terdapat perlindungan varietas lokal milik masyarakat dan lisensi wajib. Undang-undang Paten di Indonesia tidak melindungi makhluk hidup dan proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman dan hewan. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten 57
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Sanusi Bintang
hanya melindungi jasad renik dan proses non-biologis atau proses mikrobiologis. Oleh karena itu, tentang perlindungan varietas tanaman harus diatur dalam undang-undang khusus tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tersebut. DAFTAR PUSTAKA Australia. Department of Foreign Affairs and Trade. 2000. Intellectual Property a Vital Asset for Australian. Canberra: Commonwealth of Australia. ----. House of Representative. Standing Committee on Primary Industries and Regional Services. 2000. Work in Progress: Proceed with Caution Primary Producer of Gene Technology. Canberra: the Parliement of the Commonwealth of Australia. Bay, B.J. 1997. Protection Plant Variety under TRIPs and NAFTA. Taxas International Law Journal. Winter 32, 139-54. Berg, L.R. 1997. Introductory Botany: Plant, People, and the Environment. Montreal. Saunders College Publishing. Bintang, S. 1998. Hukum Hak Cipta. Bandung. Citra Aditya Bakti. Bloxam, G. 1972. Licensing Right in Technology: a Legal Guide to Managers in Negotiation. London: Gower Press. Brown, C. 1988. Protection Plant Varieties: Development in New Zealand. Victoria University of Wellington Law Review. Fall 18, 83-93. Drahos, P. 1997. Thinking Strategically about Intellectual Property Rights. Telecomunication Policy. V. 21 no 3, 201-211. Djumhana, M. 1995. Hukum dalam Perkembangan Bioteknologi. Bandung. Citra Aditya Bakti. Elias, S.R. 1985. Intellectual Property Law Dictionary. Edited by Ralph Warner. Sanfransisco: Nolo Press, 1985. Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000. McKeough, J. and A. Stewart. 1997. Intellectual Property in Australia. 2nd ed. Sydney: Butterworths. Sherwood, R.M. 1990. Intellectual Property and Economic Development. Boulder: Westview Press. UPOV. 1998. Brief Outline of the Role and Functions of the Union. UPOV Flyer: Role and Function of UPOV. http://www.upov.int/eng/brief.htm, 1-4.
58
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 - 9124
Vol. 4 No.1, Juli 2013
ANALISIS PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DI KABUPATEN ACEH UTARA Production Analysis and Field-Rice Productivity in North Aceh District Zuriani1 1
Program Studi Agribisnis Universitas Malikussaleh Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan produktivitas yang sangat tinggi diantara kecamatankecamatan penghasil padi di Kabupaten Aceh Utara. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan produksi dan produktivitas padi sawah di Kabupaten Aceh Utara. Data yang digunakan adalah data cross section yang diambil pada bulan Februari 2012 berdasarkan musim tanam tahun 2011. Metode yang digunakan adalah analisis regresi berganda dan analsis deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa produksi padi di Kecamatan Sawang dipengaruhi oleh curahan tenaga kerja. Sedangkan produksi padi di Kecamatan Tanah Pasir dipengaruhi oleh benih dan curahan tenaga kerja. Perbedaan produktivitas disebabkan oleh perbedaan penggunaan benih, tingkat serangan hama penyakit, keaktifan petani dalam mengikuti penyuluhan, dan kondisi geografis yang mempengaruhi kualitas tanah dan air. Kata kunci: faktor produksi, produksi, produktivitas
ABSTRACT The research was motivated by the very high productivity difference between the rice-producing districts in North Aceh district. The purpose of this study was to analyze the factors that affect the production and productivity of rice led to differences in the North Aceh district. The data used was the cross section collected in February 2012 based on growing season of 2011. The method used was multiple regression analysis and description analysis. The analysis showed that rice production Sawang the District affected by the amount of labor. While rice production in Tanah Pasir District was affected by seed and labor amount.. Differences in productivity caused by differences in the use of seeds, pest and disease rate, farmer participation attending the counseling, and geographical conditions that affect the quality of soil and water. Key words: factor production, production, productivity.
PENDAHULUAN Aceh merupakan salah satu provinsi sentra produksi padi di Indonesia yang ditargetkan akan mampu melakukan swasembada beras dan menjadi lumbung pangan nasional. Provinsi Aceh yang terdiri atas 23 kabupaten semuanya menghasilkan padi kecuali Kabupaten Sabang. Dari 22 kabupaten penghasil padi di Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Utara merupakan daerah penghasil terbesar dengan luas tanam mencapai 56.627 hektar dan produksi total sebanyak 285.019,80 ton (BPS Provinsi Aceh, 2010). Diantara kecamatan–kecamatan penghasil padi di Kabupaten Aceh Utara terdapat kesenjangan yang sangat besar. Hal ini terlihat dari nilai produktivitas tertinggi di Kecamatan Sawang sebesar 94.90 kwintal/hektar dan produktivitas terendah di 59
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zuriani
Kecamatan Tanah Pasir yang hanya sebesar 32,61 kwintal/hektar. Angka tersebut berada jauh di bawah nilai produktivitas usahatani padi sawah di Kabupaten Aceh Utara yaitu sebesar 53,05 kwintal/ hektar (BPS Aceh Utara, 2010). Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan produksi dan produktivitas padi sawah di Kabupaten Aceh Utara. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi dan produktivitas usahatani padi sawah di Kabupaten Aceh Utara. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan produktivitas padi sawah di Kabupaten Aceh Utara. Kegunaan yang diharapkan dari penelitian adalah dapat menjadi sebagai referensi bagi petani dan pemerintah dalam mewujudkan Provinsi Aceh sebagai lumbung pangan Nasional. Penelitian terdahulu yang menjadi pendukung penelitian ini adalah yang dilakukan oleh Syahroel (2008) dengan analisis pengaruh luas lahan, jam kerja, jumlah pekerja, pupuk, pestisida, dan bibit/benih terhadap produksi padi di Kabupaten Aceh Tenggara. Metode yang digunakan untuk menganalisis data penelitian adalah model regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial hanya variabel luas lahan, dan jumlah pekerja yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi padi. Untuk variabel waktu kerja dan pupuk walaupun positif namun tidak signifikan mempengaruhi produksi padi. Sementara variabel pestisida walaupun signifikan namun korelasinya negatif terhadap produksi padi di Kabupaten Aceh Tenggara. METODE PENELITIAN Metode Pemilihan Lokasi Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Utara sebagai sentra produksi padi di Provinsi Aceh. Lokasi penelitian ditentukan dengan cara sengaja (purposive) dengan pertimbangan tingkat produktivitas. Kecamatan Sawang dipilih karena produktivitas tertinggi dan Kecamatan Tanah Pasir sebagai daerah dengan produktivitas terendah. Penentuan lokasi tingkat desa dilakukan berdasarkan luas lahan sawah, sehingga setiap kecamatan dipilih tiga desa yang merupakan desa dengan luas lahan tertinggi, sedang, dan terkecil . Metode Penarikan Sampel Metode penarikan sampel yang digunakan yakni simple random sampling (pengambilan sampel secara acak sederhana). Semua populasi memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel. Ukuran sampel per kecamatan adalah 30 orang yang diambil dari tiga desa terpilih berdasarkan luas lahan sawah. Ukuran sampel sebesar 60 orang dari 6 desa penelitian dengan distribusi sampel seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi petani sampel berdasarkan kecamatan dan desa Kecamatan
Desa
Sawang
Tanah Pasir Total Sampel 60
1.Babah Buloh 2.Cot Keumuning 3.Lhok Meureubo 1.Me Merbo 2.Me Matang Panyang 3.Matang Janeng
Sampel (Jiwa) 10 10 10 10 10 10
Total (Jiwa) 30
30 60
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Metode Pengumpulan Data Penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data hasil produksi padi sebagai output data input yang merupakan pengeluaran petani serta data umum lainnya. Data sekunder meliputi data penunjang yang diambil secara runtun waktu (time series), yang didapatkan melalui studi kepustakaan dari berbagai sumber, jurnal-jurnal, buku-buku, hasil penelitian maupun data dari lembaga/instansi yang terkait dengan penelitian ini. Metode Analisis Data Analisis regresi faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi menggunakan analisis regresi linier berganda untuk menganalisis pengaruh dari variabel independen (luas lahan, benih, pupuk, dan curahan tenaga kerja) terhadap variabel dependen (produksi padi) baik di daerah yang produktivitas tinggi maupun rendah. Adapun rumus Regresi Linier Berganda yang digunakan adalah:
Y 1Lh 2Bb 3Pp 4Tk e , (Gujarati, 2003)
Dimana: : Produksi Padi
Lh
: Luas Lahan (Ha)
Bb
: Benih (Kg)
Pp Tk
: Pupuk (Kg) : CurahanTenaga Kerja (HOK)
Untuk mengetahui penyebab perbedaan produktivitas dilakukan analisis deskriptif dengan membandingkan kualitas faktor produksi dan karakteristik petani sampel di dua kecamatan penelitian di Kabupaten Aceh Utara. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Padi Kecamatan Sawang Rata-rata luas lahan sawah petani sampel di Kecamatan sawang adalah 0,18ha. Benih yang digunakan oleh petani di Kecamatan Sawang umumnya adalah benih unggul bersertifikat yang dijual dengan harga yang relatif murah oleh kios saprodi yang bekerjasama dengan lembaga pertanian setempat. Jumlah benih rata-rata yang digunakan petani adalah sebanyak 42,13 kg/ha. Pupuk yang digunakan oleh petani terdiri dari urea: 278 kg/ha, SP-36: 188 kg/ha, dan KCL: 259,7 kg/ha. Jika dibandingkan dengan dosis anjuran maka terjadi kelebihan urea sebanyak 28 kg, SP-36 sebanyak 138 kg, dan KCl sebanyak 159,7 kg (Distan Aceh Utara, 2011). Tenaga kerja yang digunakan untuk setiap satu hektar luas lahan membutuhkan tenaga kerja sebanyak 190,55 HOK. Untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing faktor produksi tersebut terhadap produksi padi dilakukan analisis regresi berganda dengan persamaan: Y a b1Lh b2B b3U b4S b5K b6Tk , (Gujarati, 2003) 61
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zuriani
Dimana: Lh B U
S
: Produksi Padi : Luas Lahan (Ha) : Benih (Kg) : Urea (Kg)
K Tk
: SP-36 (kg), Dummy = 1, jika memakai SP-36 = 0, jika tidak memakai SP-36 : KCl (Kg) : CurahanTenaga Kerja (HOK)
Berdasarkan hasil analisis regresi menggunakan software SPSS versi 16.0 diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi di Kecamatan Sawang Koefisien
Nilai signifikan
(Constant)
Variabel
-360.388
.027
luas lahan
62.073
.967
Urea
2.155
.433
SP-36
-187.164
.228
KCL
1.077
.776
TK
56.610
.000
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa hanya curahan tenaga kerja yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi padi di Kecamatan Sawang. Koefisien regresi diperoleh sebesar 56,610 menunjukkan bahwa peningkatan curahan tenaga kerja sebanyak 1 HOK/ ha akan meningkatkan produksi padi sebanyak 56,610 kg/ ha. Luas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Kecamatan Sawang karena lahan yang luas jika kurang pemeliharaan juga tidak akan memberikan hasil yang baik. Benih memiliki koefisien regresi yang negatif berarti bahwa petani yang menggunakan banyak benih memiliki tingkat produksi yang lebih rendah. Koefisien regresi pupuk SP-36 juga negatif menunjukkan bahwa petani yang menggunakan pupuk SP-36 memiliki produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan petani yang tidak menggunakannya. Namun demikian, pupuk SP-36 dan benih secara statistik tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi padi. Pupuk tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi padi kemungkinan disebabkan karena pemupukan yang dilakukan oleh petani berbeda dengan dosis maupun waktu yang dianjurkan. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pupuk akan berpengaruh terhadap produksi jka diberikan dengan dosis yang tepat (Anonymous, 2006) Kecamatan Tanah Pasir Rata-rata luas lahan sawah petani sampel di Kecamatan Tanah Pasir adalah 0,34 Ha. Benih yang digunakan oleh petani di Kecamatan Tanah Pasir umumnya adalah benih unggul bersertifikat yang dibeli dengan harga Rp.7.000-Rp.14.000 per kg. Jumlah benih rata-rata yang digunakan petani adalah sebanyak 110,63 kg/Ha, lebih empat kali lipat dari jumlah yang dianjurkan pemerintah. Pupuk yang digunakan oleh petani terdiri dari Urea: 150,09 kg/Ha, SP-36: 112,79 kg/Ha, dan KCL: 93,99 kg/Ha. Jika dibandingkan dengan dosis anjuran maka terjadi kekurangan urea sebanyak 49,01 Kg, kelebihan SP36 sebanyak 37,79 Kg, dan KCl sebanyak 43,99 Kg.Tenaga kerja yang digunakan untuk setiap satu hektar luas lahan sebanyak 105,65 HOK. Untuk mengetahui pengaruh dari 62
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
masing-masing faktor produksi tersebut terhadap produksi padi di Kecamatan Tanah Pasir dilakukan analisis regresi berganda dengan menggunakan soft ware SPSS versi 16.0 diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi di Kecamatan Tanah Pasir Variabel
Koefisien
Nilai signifikan
(Constant) luas lahan Benih Urea SP-36 KCL TK
-382.735 248.394 3.886 .012 81.739 92.230 32.183
.008 .623 .081 .996 .400 .396 .000
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa luas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Kecamatan Tanah Pasir. Semakin luas lahan maka semakin besar kebutuhan biaya pemeliharaan yang jika tidak dipenuhi akan menurunkan produksi. Benih berpengaruh signifikan pada taraf 10% terhadap produksi padi karena berdasarkan uji statistik diperoleh bahwa nilai signifikansi lebih besar dari alpha (0,081<0,10). Koefisien regresi benih sebesar 3,886 berarti bahwa peningkatan benih sebanyak 1 kg/Ha akan meningkatkan produksi padi sebesar 3,886 kg. Pupuk urea, SP-36 dan KCl tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi padi di Kecamatan Tanah Pasir. Hal ini terlihat dari perolehan nilai signifikansinya yang lebih besar dari alpha (0,996;0,400;0,396 > 0,05). Pengunaan pupuk urea, SP-36 dan KCl tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan sehingga tidak memberikan pengaruh yang nyata secara statistik (Anonymous, 2006). Namun demikian, petani yang menggunakan SP-36 memiliki kelebihan produksi sebanyak 81,739 kg/ ha jika dibandingkan dengan petani yang tidak menggunakan SP-36. Demikian juga dengan KCl, petani yang menggunakan KCl memiliki kelebihan produksi sebanyak 92,230 kg/ ha jika dibandingkan dengan petani yang tidak menggunakannya. Curahan tenaga kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi padi di Kecamatan Tanah Pasir. Koefisien regresi diperoleh sebesar 32,183 menunjukkan bahwa peningkatan curahan tenaga kerja sebanyak 1 HOK/ ha dalam usahatani padi sawah di Kecamatan Tanah Pasir akan meningkatkan produksi padi sebanyak 32,183 kg/ Ha. Analisis Faktor-faktor yang Menyebabkan Perbedaan Produktivitas Perbedaan produktivitas dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan kualitas faktor produksi dan karakteristik petani sampel di dua kecamatan penelitian di Kabupaten Aceh Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas yang rendah di Kecamatan Tanah Pasir umumnya di sebabkan oleh banyaknya hama seperti keong mas dan tikus yang susah dikendalikan. Penyebab yang lain adalah pengendalian gulma yang tidak teratur, bahkan ada petani yang tidak melakukan pengendalian sehingga sangat mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Diantara tiga desa penelitian di Kecamatan Tanah Pasir, Desa Matang Janeng memiliki produksi paling rendah karena selain tidak memiliki irigasi sama sekali juga terletak dekat dengan pantai sehingga struktur tanahnya agak berpasir serta airnya mengandung garam. Irigasi pada dasarnya bukan masalah dalam hal ini karena di Kecamatan Sawang juga terdapat satu desa yang tadah hujan namun memiliki produktivitas yang tidak serendah desa yang ada di Kecamatan Tanah Pasir. 63
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Zuriani
Selain berdasarkan kondisi tanah, irigasi, dan serangan hama, produktivitas yang tinggi di Kecamatan Sawang kemungkinan besar juga disebabkan oleh keaktifan petani dalam mengikuti penyuluhan, sedangkan di Kecamatan Tanah Pasir, responden sama sekali tidak pernah mendapatkan penyuluhan. Hal ini memengaruhi pola pikir dan perilaku petani dalam melakukan usahatani padi yang pada akhirnya memengaruhi produksi dan produktivitasnya. KESIMPULAN Kesimpulan Variabel yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap produksi padi Kecamatan Sawang adalah curahan tenaga kerja. Luas lahan, benih, pupuk SP-36, pupuk urea, dan pupuk KCL tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Kecamatan Sawang. Variabel yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap produksi padi di Kecamatan Tanah Pasir adalah benih dan curahan tenaga kerja. Luas lahan, pupuk urea, SP-36, dan KCl tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi padi di Kecamatan Tanah Pasir. Produktivitas yang rendah di Kecamatan Tanah Pasir umumnya disebabkan oleh banyaknya hama seperti keong mas dan tikusb serta pengendalian gulma yang tidak teratur. Di antara tiga desa penelitian di Kecamatan Tanah Pasir, Desa Matang Janeng memiliki produksi paling rendah karena terletak dekat dengan pantai sehingga struktur tanahnya agak berpasir serta airnya mengandung garam. Produktivitas yang tinggi di Kecamatan Sawang juga disebabkan oleh keaktifan petani dalam mengikuti penyuluhan. Saran Pemerintah untuk memberikan penyuluhan secara lebih intensif seperti demontrasi plot tetang pola pemupukan tanaman padi sawah yang tepat. Petani untuk lebih pro aktif dalam mencari informasi terkait dengan pengelolaan usahatani padi sawah terutama tentang penggunaan pupuk dengan memanfaatkan tenaga penyuluh yang saat ini sudah tersebar di seluruh wilayah kecamatan. Petani di Kecamatan Sawang dan Kecamatan Tanah Pasir disarankan untuk meningkatkan penggunan tenaga kerja dan lebih serius dalam mengelola usahataninya terutama dalam hal pemeliharaan/ pengendalian gulma. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2006. Pemupukan Padi Sawah. Http: // www. Jatim. Litbang. Deptan. Go.Id. 25 Maret 2007. BPS Provinsi Aceh. 2010. Provinsi Aceh Dalam Angka Tahun 2010. Biro Pusat Statistik, Provinsi Aceh. BPS Aceh Utara. 2010. Aceh Utara Dalam Angka Tahun 2010. Biro Pusat Statistik, Kabupaten Aceh Utara. Syahroel, D. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Padi Di Kabupaten Aceh Tenggara. http://repository.usu.ac.id/. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh Utara, 2011. Pemupukan Tanaman Padi Sawah. Kabupaten aceh Utara. Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometricse, Fourtd Edition, Mc Graw Hill. New York.
64
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852 - 9124
Vol. 4 No.1, Juli 2013
KONFLIK EKOLOGIS/SUMBER DAYA ALAM DAN KONSEP PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU PROVINSI SULAWESI TENGAH The Conflict of Ecology/Natural Resource and Management Concept of Lore Lindu National Park, Center Sulawesi Province Nurlailita1 1Dinas
Kehutanan Kabupaten Aceh Timur Mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Email:
[email protected]
ABSTRAK Saat ini Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) cenderung mengalami kerusakan akibat konfik kepentingan. Untuk mengatasi masalah dan mengantisipasi kerusakan TNLL, dibutuhkan suatu konsep pengelolaan yang diharapkan dapat mengakomodir aspirasi dan keinginan dari semua stakeholder. Tujuan penelitian ini mengetahui konflik ekologis/sumberdaya alam dan konsep pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu. Penelitian ini berupa penelitian studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan ada lima kepentingan utama stakeholder yang mengakibatkan terjadinya konflik di Taman Nasional Lore Lindu. Konsep Integrated Conservation and Development Program (ICDP) diperlukan dalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu karena: 1) masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka; 2) masyarakat berpendapat mereka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di daerah mereka; 3) pihak pengelola tidak atau belum mengenal sepenuhnya keadaan dan aspirasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Kata kunci: Taman Nasional Lore Lindu, konsep pengelolaan, stakeholder, konflik ekologis.
ABSTRACT Currently Lore Lindu National Park (TNLL) tends to be damage due to the interests of major conflict. To overcome the problem and anticipate TNLL damage, the concept of management is needed to accommodate the aspirations and desires of all stakeholders. Research purposes are to identify the ecological conflict/natural resource management and to find out the concept of Lore Lindu National Park. This study is a research literature. The results showed that there are five main stakeholder interests that caused the conflict in Lore Lindu National Park. The concept of Integrated Conservation and Development Program (ICDP) is needed to manage Lore Lindu National Park because: 1) people do not fully understand the purpose of the existence of conservation areas in their territory, 2) people believe that they will be harmed by the conservation areas in their regions, 3) the manager has not fully know the circumstances and aspirations of the people in the conservation surrounding area. Key words: Lore Lindu National Park, the concept of management, stakeholders, ecological conflict.
PENDAHULUAN Kawasan kehutanan dan Taman Nasional di Indonesia merupakan salah satu daerah arena pertarungan beragam kepentingan sejak zaman kolonial hingga orde reformasi. 65
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Nurlailita
Baik antara korporasi asing/kolonial dengan negara-rakyat, negara dengan swasta, negara dengan rakyat, masyarakat dengan swasta, maupun semua pihak yang berkepentingan sekaligus. Karenanya beragam masalah muncul mewarnai potret hubungan di wilayah kawasan taman nasional dan beragam jenis kawasan hutan (negara) di Indonesia dengan masyarakat yang hidup di pinggiran hutan/taman nasional. Baik berupa persoalan politik konservasi, isu pemukiman masyarakat sekitar hutan, konflik sosial dan kepentingan politik dan ekonomi, yang melahirkan beragam respon dan perlawanan, beserta skema-skema sistematis pemiskinan masyarakat. Salah satu Kawasan Taman Nasional di Indonesia yang banyak mengalami konflik adalah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang terletak di Propinsi Sulawesi Tengah. Taman Nasional Lore Lindu memiliki status hukum sebagai taman nasional sejak dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 593/Kpts-II/ 93, tertanggal 5 Oktober 1993. Sebelumnya, dari tahun 1982, TNLL masih berstatus sebagai calon taman nasional, setelah dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional sedunia di Bali, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/ 1982. Sebelum itu, dasar hukum Lore Lindu tercakup dalam status Suaka Margasatwa Lore Kalimantan, Suaka Margasatwa Sungai Sopu dan Gumbasa, serta Hutan Wisata dan Hutan Lindung Danau Lindu. Ketiga kawasan lindung ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian masing-masing; No. 522/Kpts/Um/10/1973, No. 1012/Kpts/Um/12/1981, dan No. 46/ Kpts/Um/1978. Luas TNLL adalah 229.000 hektar, sekitar 3% dari luas Propinsi Sulawesi Tengah, dan merupakan kawasan konservasi paling luas di propinsi ini. Secara administratif TNLL berada di dua kabupaten, yakni Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Di Kabupaten Poso, TNLL merupakan bagian dari Kecamatan Lore Utara dan Kecamatan Lore Selatan. Di Kabupaten Donggala, TNLL merupakan bagian dari Kecamatan Kulawi, Kecamatan Biromaru, dan Kecamatan Palolo. Terdapat 67 desa berhubungan langsung dengan TNLL. Letak TNLL diantara 1,80 sampai dengan 1,300 lintang selatan (LS) dan 119,580 sampai dengan 120,160 bujur timur (BT). Taman Nasional Lore Lindu cenderung mengalami kerusakan akibat dari konfik kepentingan. Konflik kepentingan yang terjadi di sekitar TNLL terutama diakibatkan oleh: 1) desakan kebutuhan lahan, baik untuk kegiatan pertanian sebagai sumber penghidupan maupun untuk pemukiman, 2) masyarakat merasa bahwa kawasan TNLL tidak memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup mereka, dan 3) proses penetapan batas kawasan yang dilakukan sepihak tanpa penjelasan memadai kepada masyarakat yang telah memanfaatkan sumberdaya yang terdapat pada kawasan ini jauh sebelumnnya (Khaeruddin, 2002). Terkait dengan kepentingan dari kelompok stakeholder maka dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi di kawasan TNLL terutama diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan lahan adat, pal batas taman nasional, illegal loging, pengambilan rotan dalam kawasan, dan perburuan satwa yang dilindungi (Kassa, et. al., 2008) Dalam upaya mengatasi masalah dan mengantisipasi kerusakan TNLL, dibutuhkan suatu konsep pengelolaan yang diharapkan dapat mengakomodir aspirasi dan keinginan dari semua stakeholder. Konsep yang dimaksud pada intinya dibangun atas dasar partisipasi, komitmen, dan kerjasama dari seluruh stakeholder. Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan mengetahui konflik ekologis/sumberdaya alam dan konsep pengelolaan TNLL. 66
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pelaksanaan kegiatan pembangunan memunculkan dua benturan kepentingan yakni pembangunan dari sisi ekonomi dan pelestarian lingkungan pada sisi yang lain. Kedua benturan kepentingan tersebut akan menimbulkan dampak positif maupun negatif, demikian pula halnya dalam upaya pengelolaan TNLL, di satu sisi ingin melestarikan sumberdaya alam yang ada tapi di sisi lain bagaimana masyarakat yang ada disekitarnya dapat terpenuhi kebutuhannya, terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan sumberdaya yang bernilai ekonomi dari kawasan taman nasional. Oleh sebab itu upaya pengelolaan TNLL secara berkelanjutan perlu dilaksanakan. Konsep pembangunan berkelanjutan harus mengacu pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya. Pada berbagai kajian disebutkan pula bahwa untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dibutuhkan sinergi yang baik antara fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial. Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang spesifik dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi objek rekreasi yang besar, mudah dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut. Pembentukan taman nasional di Indonesia dilakukan untuk memenuhi kepentingan pelestarian sumberdaya alam yang dalam pemanfaatannya ditujukan bagi kepentingan sains modern dan kepariwisataan. Hal ini tersirat dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan taman nasional apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: (a). Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami, (b). Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami, (c). Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, (d). Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam, dan (e). Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional Potret sejarah kehutanan negara dan kenyataan pemanfaatan hutan di Indonesia selalu terkait dengan kondisi ketegangan antara negara dan petani terutama tentang persoalan akses dan kontrol. Manakala kepentingan negara dan kepentingan petani berbenturan, sering melahirkan kerusakan lingkungan, kemiskinan dan hubungan kekuasaan yang ambivalen dan rancu. Pergulatan ini meninggalkan jejak berupa rusaknya berbagai sumberdaya alam berbasis tanah yang sangat berharga dan rentan, bahkan termasuk juga wilayah yang sudah seabad mengenal apa yang disebut dengan kaidah ilmiah pengelolaan hutan (Peluso, 2006). Ketegangan dan konflik muncul antara pengurus kehutanan dan masyarakat petani pinggiran hutan akibat dari pertentangan 67
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Nurlailita
klaim yang memunculkan klaim tandingan yang telah menjadi gambar utama kondisi kehutanan di Indonesia berabad-abad. Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang salah arah. Hal ini disebabkan karena pengelolaan kawasan konservasi yang sentralistik dengan perencanaan dan keputusan-keputusan yang bersifat topdown, akibatnya nilai kepentingan dari pengelolaan kawasan konservasi tidak searah dengan nilai dan kepentingan masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Tadjudin (2000) mengemukakan bahwa sumber konflik adalah karena adanya perbedaan pada berbagai tataran yakni: 1) perbedaan persepsi, 2) perbedaan pengetahuan, 3) perbedaan tata nilai, 4) perbedaan kepentingan, dan 5) perbedaan akuan hak kepemilikan. Kemudian Fuad dan Maskanah (2000) berpendapat bahwa konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya, masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang sama terhadap sumberdaya. Terkait dengan konflik, maka konflik antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat ditandai dengan sifat benci, saling tidak percaya, dan terjadinya hambatanhambatan psikologis dan komunikasi diantara mereka. Konflik yang tidak segera ditangani akan mencuat dan akhirnya akan menjadi konflik terbuka. Konflik ini ditandai dengan terjadinya benturan-benturan fisik, pengambilalihan otoritas kawasan yang disertai dengan pencurian dan bahkan penjarahan besar-besaran terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian studi pustaka, data yang dikumpulkan berupa data sekunder. Sumber-sumber kepustakaan diperoleh dari buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya yang sesuai (internet, koran). Tahapan penelitian ini meliputi proses: mengidentifikasikan teori secara sistematis, penemuan pustaka, dan analisis dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan topik penelitian. Alat analisis dalam penelitian ini adalah analisis historis. HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk-Bentuk Konflik Ekologis/Sumberdaya Alam di TNLL Taman Nasional Lore Lindu cenderung mengalami kerusakan akibat dari konfik kepentingan. Bentuk-bentuk konflik ekologis/sumberdaya alam yang berlangsung dan ditemukan di dalam bacaan terkait dengan kepentingan dari kelompok stakeholder. Pada intinya, kepentingan terhadap penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam di kawasan TNLL merupakan akar konflik yang kemudian menjadi dasar dari alasan-alasan berikut ini: pertama sumberdaya alam sebagai simbol: a) Masyarakat lokal/adat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan memahami penggunaan alam sekitarnya tidak saja sebagai sumber mata pencaharian tapi juga sebagai simbol dari identitas mereka. Simbol-simbol ini dalam kondisi tertentu dapat saja bernilai positif, namun tidak menutup mata bahwa ada simbolisasi yang juga bernilai negatif. Misalnya, telur burung Maleo 68
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
(Macrocephalon maleo) yang dipercaya sebagai obat, mengakibatkan perburuan besarbesaran terhadap burung ini, perburuan terhadap Anoa (Bubalus spp) dan Babi Rusa (Babyrousa babyrussa) yang merupakan hewan endemik yang dilindungi. Pengambilan rotan dan kayu oleh masyarakat untuk kepentingan pembuatan rumah dan kebutuhan sehari-hari, misalnya untuk kayu bakar dan pembuatan alat-alat rumah tangga; b) Belum lagi saat berbicara tentang hak-hak adat dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagai simbol. Amat sangat disayangkan bila satu komunitas adat harus mengalami ketidakadilan dalam mengakses sumberdaya alam dan lebih disayangkan lagi bila akses tersebut dibuka dengan mengorbankan hak konservasi yang dimiliki oleh masyarakat adat lain yang juga bermukim di lokasi tersebut. Kedua arus pendatang yang sangat tinggi di kawasan TNLL. Sebagian besar penduduk yang bermukim di dalam dan di sekitar TNLL merupakan penduduk pendatang yang berasal dari daerah lain. Arus pendatang yang sangat tinggi disertai dengan kepentingan membuka lahan di kawasan hutan yang masih subur, menjadi faktor yang mendukung laju kerusakan hutan di kawasan TNLL. Para pendatang selain membawa kepentingan terhadap pembukaan lahan dan pengelolaan lahan yang intensif juga membawa cara-cara pertanian baru sekaligus jenis-jenis tanaman introduksi. Faktor arus pendatang mempengaruhi TNLL dalam beberapa hal secara signifikan yaitu; a) Pembukaan lahan hutan yang berbanding lurus dengan kenaikan jumlah pendatang; b) Masuknya tanaman introduksi seperti kakao; c) Berubahnya model pengelolaan pertanian, misalnya dengan penggunaan pupuk dan pestisida; d) Berubahnya “peta” kepemilikan lahan secara komunal menjadi lahan-lahan milik pribadi, sebagai akibat dari praktek jual beli lahan (termasuk lahan di kawasan hutan di dalam kawasan TNLL); e) Perusahaan kayu atau operator sawmill yang mendapat izin HPH dari pemerintah, sehingga menyebabkan kehancuran terhadap sumberdaya alam di TNLL. Ketiga ketergantungan masyarakat (adat, lokal, dan pendatang) yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan secara ekonomi terhadap sumberdaya alam di kawasan TNLL: a) Mereka hidup tergantung pada hutan, tanah, air, dan sumberdaya alam lain untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarganya. Hal ini disebabkan oleh kepemilikan lahan yang hanya 0,5 ha/KK, sehingga mereka menggantungkan hidupnya pada kawasan TNLL; b) Pada saat TNLL diresmikan secara formal, maka secara formal pula, masyarakat ini kehilangan “sumber kehidupan” nya. Sebab di dalam hukum formal, pengelolaan kawasan Taman Nasional memiliki aturan yang ketat untuk aktivitas manusia di dalam kawasan. Meskipun dalam konsep pengelolaan Taman Nasional ada zona pemanfaatan, namun tetap saja memiliki keterbatasan-keterbatasan yang sangat mengikat dengan lebih mengedepankan azas-azas konservasi. Berdasarkan azas-azas konservasi tersebut sesungguhnya tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan pertanian intensif misalnya, sekalipun di zona pemanfaatan. Lalu bagaimana dengan kebun kopi atau kakao masyarakat yang berada di zona inti? Selain itu, pada proses awal penetapan TNLL, konsep pengelolaan ini belum sepenuhnya tersosialisasi. Keempat kebutuhan untuk bertahan hidup (secara materi) berhadapan dengan hukum formal dalam pengelolaan kawasan mengakibatkan meningkatnya aktivitas illegal, seperti berkebun di zona inti, penebang illegal, pemburu ilegal, dan aktivitas ilegal lain didalam kawasan. Karena aktivitas ini dilakukan secara ilegal sehingga menjadi sulit untuk mengontrol laju kerusakan dan penurunan kualitas kawasan. Dampak jangka panjang seperti erosi dan punahnya jenis-jenis satwa dan tumbuhan tertentu dapat terjadi 69
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Nurlailita
setiap hari. Hal ini terjadi sebab kearifan pengelolaan sumberdaya alam secara lokal “dilupakan” demi kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kelima para pencinta lingkungan memiliki kepentingannya masing-masing: a) Balai Taman Nasional Lore Lindu, ingin mengelola dan melestarikan kawasan sesuai fungsi dan status istimewa yang melekat pada kawasan ini, seperti sebagai cagar Biosfer UNESCO, lokasi warisan dunia, kawasan burung endemik, pusat keanekaragaman hayati, kawasan ekologi global 2000, dan salah satu pusat penelitian lingkungan di Indonesia; b) Beberapa NGO/LSM ingin melestarikan kawasan dan ingin masyarakat juga punya tanggung-jawab dan tanggung-gugat dalam mengelola kawasan. Hasil studi dari kelompok peneliti STORMA (Stability of Rainforest Margin in Indonesia), mengkaji KKM di TNLL yang difasilitasi oleh tiga LSM memperlihatkan bahwa ketiga LSM tersebut memiliki sasaran masing-masing yaitu: 1) CARE, lebih mengutamakan pada penguatan ekonomi masyarakat desa, 2) TNC, mengutamakan aspek-aspek konservasi flora dan fauna, dan 3) YTM, memfokuskan diri pada advokasi hak tradisional; c) Para peneliti ingin kawasan TNLL lestari untuk dimanfaatkan sebagai laboratorium alam dan sumber plasma nutfah. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Fisher (2000) bahwa ada lima penyebab utama terjadinya konflik diantaranya adalah kepentingan, sementara Tadjudin (2000) berpendapat pula bahwa sumber konflik karena adanya perbedaan pada berbagai tataran diantaranya adalah perbedaan kepentingan dan perbedaan akuan kepemilikan. Kemudian Fuad dan Maskanah (2000) mengemukakan bahwa konflik yang mencuat akhir-akhir ini lebih disebabkan karena tumpang tindihnya kepentingan pada suatu wilayah hutan yang sama. Terkait dengan kepentingan dari kelompok stakeholder maka dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi di kawasan TNLL terutama diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan lahan adat, pal batas taman nasional, illegal loging, pengambilan rotan dalam kawasan, dan perburuan satwa yang dilindungi. Konsep Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu Konsep pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dapat dilakukan dengan penerapan Integrated Conservation and Development Program (ICDP). Konsep ini diharapkan dapat mengakhiri kontroversi antara kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi di TNLL yang dalam pelaksanaannya selalu terjadi konflik. Konsep ini kemudian dapat dikembangkan ke arah penyusunan kesepakatan antara pengelola kawasan konservasi dan masyarakat di sekitar TNLL. Kesepakatan tersebut pada prinsipnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di dalam Kawasan TNLL. Kesepakatan konservasi pada prinsipnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat di sekitar taman nasional dalam menggunakan sumberdaya alam di dalam kawasan. Integrated Conservation and Development Program diperlukan karena: 1) masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka, 2) masyarakat menyangka mereka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di daerah mereka, dan 3) pihak pengelola tidak atau belum mengenal sepenuhnya keadaan dan aspirasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
70
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. 4 No.1, Juli 2013
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kepentingan utama stakeholder yang mengakibatkan terjadinya konflik di TNLL adalah sumberdaya alam sebagai simbol, arus pendatang yang sangat tinggi, ketergantungan masyarakat (adat, lokal, dan pendatang) yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan secara ekonomi terhadap sumberdaya alam di kawasan TNLL, kebutuhan untuk bertahan hidup, dan para pencinta lingkungan memiliki kepentingannya masing-masing. Konsep Integrated Conservation and Development Program diperlukan dalam pengelolaan TNLL karena : 1) masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka, 2) masyarakat berpendapat mereka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di daerah mereka, dan 3) pihak pengelola tidak atau belum mengenal sepenuhnya keadaan dan aspirasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Saran Agar tidak terjadi konflik dalam pengelolaan TNLL, harus adanya pelibatan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar TNLL di dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Karena pada hakekatnya masyarakat dan pemerintah merupakan mitra yang bekerja bersama-sama dalam pengelolaan sumberdaya alam.Pengembangan konsep kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan TNLL akan berhasil bila antara masing-masing pihak memiliki peran dan fungsi yang jelas. DAFTAR PUSTAKA Fisher. 2000. Manajemen Konflik Definisi dan Teori- teori Konflik/jepits world wide community.mht. http://jeptis.wordpres.com. Fuad, F.H. dan S. Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka Latin. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 593/Kpts-II/93 Tentang Perubahan Fungsi Hutan Wisata/Hutan Lindung Danau Lindu, Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, dan Suaka Margasatwa Sungai Sopu menjadi Taman Nasional Lore Lindu. Khaeruddin, I. 2002. Kesepakatan Konservasi Masyarakat di Lima Desa Sekitar Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. The Nature Conservancy-Lore Lindu Field Office. Palu. Peluso, N.L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat; Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. (terj.) Landung Simatupang, Insist Press, Yogayakarta. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kassa, S., S. Hadi, Alikodra, B. Sanim, dan S. Basuni. 2008. Co-management Untuk Menginisiasi Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Lore Lindu. J. Agroland 15(4):309-315. Tadjudin, D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor: Pustaka Latin Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang Republik Indonesia No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
71
KETENTUAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL EKONOMI DAN PEMBANGUNAN Artikel merupakan hasil penelitian atau review kajian analisis kritis bidang ekonomi dan pembangunan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dan belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dikirimkan untuk publikasi lainnya. 1. Artikel adalah hasil karya asli penulis atau tim penulis, bukan hasil plagiasi dalam bentuk apapun baik sebagian atau seluruhnya. Editor dan BAPPEDA Aceh tidak dapat dituntut secara hukum karena alasan plagiasi yang ditemukan dalam artikel yang dimuat. 2. Struktur artikel yang berupa hasil penelitian terdiri atas: Abstrak (100-150 kata) memuat tentang masalah penelitian, tujuan, metode, hasil penelitian, dan kesimpulan. Abstrak ini ditulis dalam dua bahasa yaitu: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci atau key words terdiri atas tiga sampai lima kata. PENDAHULUAN (artikel kajian analisis kritis tanpa sub judul) berisikan tentang alasan penelitian, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta didukung oleh studi kepustakaan dan penelitian sebelumnya. METODE PENELITIAN memuat tentang metode penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis. HASIL DAN PEMBAHASAN berisi tentang hasil penelitian berdasarkan metode dan analisis yang digunakan dalam penelitian. KESIMPULAN memuat (1) kesimpulan dan (2) saran/rekomendasi. DAFTAR PUSTAKA memuat semua kutipan yang digunakan dalam artikel tersebut. 3. Struktur artikel yang berupa hasil review terdiri atas: Abstrak (100-150 kata) memuat tentang masalah, tujuan, pembahasan, dan kesimpulan. Abstrak ini ditulis dalam dua bahasa yaitu: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci atau key words terdiri atas tiga sampai lima kata. PENDAHULUAN (artikel kajian analisis kritis tanpa sub judul) berisikan tentang alasan penulisan, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta didukung oleh studi kepustakaan. PEMBAHASAN berisi tentang uraian penyelesaian permasalahan. KESIMPULAN memuat (1) kesimpulan dan (2) saran/rekomendasi. DAFTAR PUSTAKA memuat semua kutipan yang digunakan dalam artikel tersebut. 4. Identitas Penulis (nama, alamat, email, asal lembaga penulis). Identitas penulis adalah nama resmi penulis dan lembaga penulis, bukan nama samaran atau nama tidak resmi lainnya. 5. Artikel diketik dengan MS word, dua spasi, huruf times New Roman, ukuran 12 pt (karakter/inchi) dengan kertas ukuran kuarto. Panjang artikel minimal 15 halaman dan maksimal 20 halaman, dan margin kiri dan atas 4 cm, margin bawah dan kanan 3 cm. Semua halaman harus diberi nomor, termasuk lampiran. 6. Apabila terdapat kata/kalimat selain Bahasa Indonesia (bahasa asing) agar penulisannya di cetak miring (italic). 7. Pengutipan bahan rujukan mengikuti aturan catatan badan (body notes) seperti: a. Penulis tanggal (Green, 1997) b. Dua penulis: (Dornbusch dan Fischer, 1994) c. Penulis lebih dari dua orang: (Hoy et.al., 2001) d. Dua sumber kutipan dengan dua penulis yang berbeda: (Chiang, 1984; Dowling, 1995) e. Dua kutipan dengan penulis yang sama tapi tahunnya berbeda: (Friesman, 1972, 1978)
f. Dua kutipan dari seorang penulis tapi tahunnya sama: (Greene, 1995a, 1995b) g. Kutipan dari instansi sebaiknya dalam singkatan lembaga tersebut: (BPS, 2001) 8. Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad dari nama akhir penulis pertama dan bukan nomor urut. Daftar pustaka dengan nama penulis (kelompok penulis) yang sama diurutkan secara kronologis. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka: Jurnal: Salim, S. 2004. Reinventing jatidiri koperasi. Jurnal Ekonomi Kewirausahaan. III (2):1-8. Buku: Todaro, M.P. and S.C. Smith, 2003. Pembangunan Ekonomi di Negara Ketiga. 8th Edition. Pearson Education Limeted, United Kingdom. Skripsi/Tesis/Disertasi/Laporan penelitian: Sugiyanto, 2007, Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Manajemen Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal. Disertasi. PPS Universitas Padjadjaran. Bandung. Prosiding: Hamdan, T. Armansyah, M. Hambal, dan Cut Nila Thasmi. 2008. Profil steroid kambing kacang lokal yang mengalami induksi superovulasi dengan antiingibin hasil isolasi dari sel granulose. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Antar Universitas “Sains dan Teknologi”. Banda Aceh: 527-533 Website: BPS, 2010 Luas Areal Perikanan Darat dan Perikanan Umum Menurut Kabupaten/Kota. Aceh. www.bps.go.id Artikel dikirim ke alamat redaksi: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bidang Penelitian, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Sub. Bidang Penelitian dan Pengembangan Jln. Tgk. H. M. Daud Beureueh No. 26 Banda Aceh Telp. (0651) 21440 – 29713 dan Facsimilie (0651) 33654 Email:
[email protected] Artikel yang sudah diterima dikategorikan menjadi (a) Diterima tanpa perbaikan, (b) Diterima dengan perbaikan editor, (c) Diterima dengan perbaikan penulis, dan (d) Ditolak karena kurang sesuai dengan persyaratan jurnal ini. Artikel yang sudah dimuat hak ciptanya adalah hak cipta bersama penulis dan BAPPEDA Aceh.