J. Pijar MIPA, Vol. III, No.1, Maret 2008 : 1 5. ISSN 19071744
FILOSOFI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN SAINS DALAM PROSES TRANFORMASI SAINS, TEKNOLOGI DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
A. Wahab Jufri Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram
Abstrak: Pendidikan sebagai proses memerlukan adanya filsafat sebagai acuan dalam mengarahkan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Beberapa aliran yang berpengaruh terhadap filsafat pendidikan di Indonesia antara lain aliran idealisme, aliran rasionalisme, humanisme dan pragmatisme. Dalam kondisi budaya Indonesia yang khas perlu dikembangkan filsafat pendidikan yang bersifat progresif dan terpadu dengan nilainilai budaya lokal sehingga menjadi perpaduan yang serasi dan relevan dengan nilainilai pancasila sebagai dasar dan filosofi umum bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, filsafat pendidikan khususnya dalam bidang pembelajaran sains berperan sebagai acuan untuk membantu generasi muda bangsa menghadapi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi budaya dan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini setiap pendidik bidang sains perlu mengembangkan filosofi yang mantap dalam upaya mengembangkan pembelajaran sains yang berpusat pada peserta didik, memaksimalkan peran pendidikan sains dalam proses rekonstruksi paradigma pembelajaran, serta dalam pengembangan keterampilan berpikir peserta didik di setiap jenjang sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut, adalah menjadi tanggungjawab pendidik dan sekolah untuk berusaha 1) mengidentifikasi implikasi nilai nilai etika dalam setiap proses perubahan yang terjadi, 2) membantu untuk berkembangnya nilainilai positif dalam diri peserta didik, dan 3) membantu peserta didik untuk dapat mengambil sikap dan keputusan yang tepat dalam merencanakan kehidupannya secara berarti. Kata-kata kunci: filsafat, filosofi sains, idealisme, rasionalisme, humanisme,
THE PHILOSOPHY IN DEVELOPMENT OF SCIENCE EDUCATION IN THE PROCESS OF TRANSFORMATION OF SCIENCE, TECHNOLOGY, AND HUMAN NORMS Abstract: As a continual process, the term of education needs a philosophy for its reference to drive the planned goals. There are some philosophy stream which affects the Indonesian educational philosophy such as idealism, rationalism, humanism, and pragmatism. Concomitant to the unique characteristics of Indonesian cultures, therefore educational practitioners should be able to develop the progressive science philosophy and could be integrated to the local norms in forming harmony with the Pancasila as a basic and the general philosophy of Indonesian community. In this context, the educational philosophy especially in the field of science can be used to help the young generations to involve competitively in this scientific and technological era which brought about strong competition in form of cultural and economical globalization. In these conditions, all science education practitioners need to develop teaching skills on the basic of well philosophy, in order to facilitate the student oriented learning climates, to maximize the role of science to reconstructs the learning paradigm, and to help develop thinking skill of the students in any school levels. There is important to state that every teacher and educational institutions should be able to 1) identify the implications of ethical norms during the change processes, 2) to help develop student positive norms, 3) help students to improve their ability in planning their own future thoroughly. Key words: philosophy, science philosophy, idealism, rationalism, humanism,
I. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang bersifat universal, artinya diperlukan oleh segenap manusia sehingga di mana ada manusia maka di situ mesti ada proses pendidikan atau pembelajaran. Hal ini terjadi karena eksistensi manusia sebagai mahluk berbudi yang memiliki kemampuan berpikir dan selalu berusaha untuk memberikan
atau menciptakan kesejahteraan bagi golongan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, pendidikan merupakan usaha untuk memanusiakan atau membudayakan manusia. Proses perkembagan peradaban manusia secara keseluruhan tidak terlepas dari kajian ilmu pendidikan yang didukung oleh psikologi, sosiologi, sejarah, dan filsafat serta ilmuilmu
J. Pijar MIPA Vol. III No. 1, Maret 2008 : 1 5. lainnya yang dikenal sebagai “ilmu bantu pendidikan” [1]. Hal tersebut memicu munculnya bidangbidang ilmu lain seperti psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, sejarah pendidikan, dan filsafat pendidikan. Uraian berikut ini berisi pokokpokok pikiran mengenai aliran filsafat, filsafat pendidikan yang dikembangkan di Indonesia, dan peranan filsafat pendidikan dalam transformasi sains dan teknologi serta nilainilai kemanusiaan pada peserta didik di sekolah. II. PEMBAHASAN Hendrowibowo (2002) menyatakan bahwa ada empat aliran filsafat yang berpengaruh pada filsafat pendidikan di Indonesia yaitu: idealisme, realisme, humanisme, dan pragmatisme [1]. Aliran Idealisme. Aliran filsafat ini sudah ada sejak zaman Yunani kuno dengan tokohnya yaitu Plato. Filsafat idealisme mengajarkan bahwa hakikat kenyataan adalah ide atau gagasan yang bersifat intrinsik dan tidak berubah. Golongan idealisme tidak mengingkari adanya materi, tetapi untuk dapat berpikir tentang materi, manusia tidak dapat melepaskan diri dari pemikirannya tentang akal dan jiwa. Untuk dapat mengerti dengan sesungguhnya tentang suatu materi, maka materi itu harus diteliti terlebih dahulu apakah sesungguhnya pikiran itu sehingga tidak langsung mengatakan tentang materi [1]. Dalam kaitannya dengan upaya mencari pengetahuan yang benar, penganut aliran idealisme meletakkan fokus pemikirannya pada rasio atau nalar sehingga disebut juga paham rasionalisme. Kaum rasionalis menggunakan penalaran deduktif dalam mengembangkan pengetahuan. Menurut kaum rasionalis, ide bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan oleh peserta didik melalui penalaran rasional [2]. Penganut paham idealisme menyatakan bahwa kurikulum pendidikan dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam kehidupannya. Oleh karena itu, menurut faham ini, kurikulum sekolah harus dirancang dengan mengacu pada pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan rasional dan pendidikan yang bersifat praktis diarahkan pada pemerolehan penghasilan. Para pendidik yang idealis merasa yakin bahwa nilai dari suatu pendidikan tergantung pada pengetahuan dengan mengembangkan suatu metode tertentu. Seorang pendidik yang idealis memberi perhatian yang lebih pada pembentukan kepribadian peserta didik. Oleh karenanya, dalam praktek pembelajaran, para pendidik yang idealis cenderung memilih metode pembelajaran yang bersifat dialogis dengan harapan agar peserta didik dapat aktif berdiskusi dengan jalan membangkitkan wawasan intelektual peserta didik [1]. Aliran realisme. Dalam arti yang sempit, aliran realisme menganggap bahwa objek indera adalah suatu yang riil (nyata). Menurut paham ini, orang tidak dapat melepaskan diri dari fakta bahwa terdapat perbedaan antara benda dengan ide. Ide adalah ide tentang benda, suatu pikiran dalam akal yang menunjuk pada suatu benda. Dalam hal ini benda adalah realitas dan ide adalah bagaimana benda itu menampak. Penganut aliran realisme ini atau disebut juga kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia bukan didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak
2
melainkan diperoleh melalui pengalaman kongkrit [2]. Menurut Hendrowibowo (2002), kaum realis atau empiris cenderung menganggap akal sebagai salah satu dari banyak benda yang merupakan bagian dari alam. Berbeda dengan kaum idealis yang mengatakan bahwa akal (jiwa) merupakan realitas pertama, kaum empiris memberikan perhatian bukan pada akal yang memahami akan tetapi kepada realitas yang dialami. Dengan demikian realisme mencerminkan objektivitas yang mendasari dan menyokong sains modern [1]. Terkait dengan pendidikan, penganut paham empirisme menyatakan bahwa kurikulum sekolah harus mengacu pada pengajaran bahasa, unsurunsur logika, sains, dan matematika. Para pendidik yang menganut paham ini selalu mementingkan proses pemerolehan ilmu dan keterampilan dari pada sekedar mengembangkan rasio. Oleh karena itu menurut kaum empiris, pengalaman belajar adalah hal yang terpenting karena merupakan sumber kebenaran. Aliran pragmatisme. Aliran pragmatisme berusaha menengahi kaum empiris dan idealis dengan menggabungkan cara pandang kedua aliran tersebut. Menurut kaum pragmatis, pendidikan harus berhubungan dengan fungsifungsi sosial yang berkontribusi langsung pada keefektifan sosial. Oleh karena itu rancangan kurikulum diarahkan untuk merangsang peserta didik menumbuhkan kemampuan intelektual, moral, dan sosialnya. Sehubungan dengan kurikulum dan pembelajaran, penganut faham pragmatism berasumsi bahwa setiap kelompok sosial memiliki hak untuk tumbuh pada setiap jenjang pendidikan yang dimungkinkan oleh penggunaan pengalaman formatifnya. Aliran ini diinspirasi oleh teori pragmatis yang dikemukakan oleh C.S. Pierce pada tahun 1878. Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan atau teori diukur dengan kriteria apakah pernyataan itu bersifat fungsional dalam praktik kehidupan nyata seharihari [2]. Dalam pendidikan di sekolah, aliran ini mendorong pembelajaran dengan metode “learning by doing” di mana peserta didik difasilitasi untuk belajar dengan kemampuan dirinya berhubungan dengan masalah atau pekerjaan yang dihadapinya. Aliran humanisme. Penganut paham humanisme menyatakan ada hubungan antara tumbuhan, hewan, dan manusia. Kesemuanya samasama mahluk Tuhan dan memerlukan makanan. Hanya saja manusia sebagai mahluk yang berpikir (Homo sapiens) mampu melakukan penalaran, pertimbangan, dan perbandingan. Oleh karena itu, maka kebijakan dan praktek kependidikan harus berdasarkan rasio manusia. Pekerjaan menalar bertujuan untuk menyaring kebenaran dari sesuatu yang dipelajari dengan membedakan yang esensial dan yang aksidental. Kaum humanis menekankan kurikulum pada perkembangan kemampuan manusia baik pikiran maupun pengalaman. Untuk itu aliran ini menyatakan bahwa kurikulum harus membuat ketentuan bagi perkembangan pikiran dan pengalaman dengan memperhitungkan faktafakta perbedaan individu dari segi kapasitas dan motif belajarnya. Kurikulum harus meliputi ilmuilmu kealaman (natural sains), ilmu kemanusian (huma-niora), ilmu seni, dan sastra. Terlepas dari aliran filsafat mana yang menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan Sains di Indonesia,
Distribusi Burung Di Danau Meno Lombok Barat (Gito Hadiprayitno) maka pada hakekatnya setiap pendidik dalam bidang sains tidak bisa melepaskan diri dari cara hidup dan cara pandang bangsa Indonesia yang memiliki adatistiadat dan kebudayaan yang khas. Oleh karena itu, meskipun pendidik tetap mengacu kepada aliranaliran tersebut di atas, sebagai bangsa yang memiliki jati diri sendiri, maka pendidik bidang sains di Indonesia harus pula berusaha menggali nilainilai filsafat bangsa Indonesia. Dalam hal ini filsafat pendidikan di Indonesia bisa saja mengadopsi pola pikir aliranaliran filsafat seperti di atas, akan tetapi harus pula mendasari pengembangan model pembelajaran sains pada karakteristik bangsa Indonesia yang demokratis, berbudaya, dan agamais. Dalam konteks demokrasi dan reformasi yang akhir akhir ini menjadi akrab terdengar karena disuarakan oleh banyak orang, dapat diajukan suatu dalil bahwa untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia menuju ke arah kehidupan yang lebih demokratis, lebih sejahtera dan lebih siap menerima arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pendidikan sains sebagai saluran utama proses transformasi bagi suatu komunitas bangsa menempati posisi yang sangat strategis. Melalui fungsi fungsi transformatifnya, pendidik dan lembaga pendidikan memikul tugas berat untuk meningkatkan peran nilainilai lama yang sesuai dan mengembangkan nilainilai baru dalam suatu masyarakat Indonesia yang lebih modern. Berkenaan dengan tugas berat tersebut, maka filsafat pendidikan sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas hakekat, tujuan, arah dan metode pendidikan perlu dipahami dan dikembangkan oleh pendidik bidang sains sehingga dapat memberikan peranan yang lebih signifikan [3] dalam proses tarnformasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal bagi peserta didik. 2.1. Filsafat pendidikan sains yang relevan. Seperti telah dikemukakan terdahulu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakteristik sendiri dengan adatistiadat dan kebudayaannya yang khas. Sebenarnya kebudayaan Indonesia dibangun dari kemajemukan budaya yang didasari oleh sejarah nasional melawan penjajahan, ideologi nasional, dan bahasa nasional. Perkembangan yang terjadi terakhir menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sedang menuju pada usahausaha untuk menjadi negara demokrasi baru. Mengacu kepada deskripsi masyarakat Indonesia masa kini dan masa akan datang, dapat diajukan argumentasi bahwa untuk mencapai keadaan masyarakat Indonesia yang setara dengan masyarakat di negara sudah lebih maju, maka sistem pendidikan khususnya dalam bidang sains di Indonesia ini harus diarahkan untuk menuju kepada paradigma pendidikan yang lebih modern namun tetap berakar pada filsafat Pancasila dan filsafat pendidikan demokratis. Filsafat Pancasila sebagai dasar pengembangan filsafat pendidikan di Indonesia mengandung nilainilai yang merupakan kesatuan yang seimbang, harmonis dinamis dan menempatkan manusia martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu pengembangan filsafat pendidikan di Indonesia harus diarahkan kepada pemanfaatan sebesar besarnya bagi harkat dan martabat manusia sebagai bangsa untuk menuju kualitas hidup manusia Indonesia seutuhnya[1].
Berdasarkan asumsi bahwa bangsa Indonesia sedang mengarah pada upaya mengembangkan suatu model filsafat pendidikan yang bersifat demokratis dan pancasilais, maka tentu saja kita harus mengadakan perbandingan dengan pola pikir filsafat yang berkembang di negaranegara maju yang menjadi acuan peradaban modern dengan tidak mengesampingkan kondisi lokal bangsa Indonesia. Hanurawan menyatakan bahwa praktek kependidikan di Indonesia cenderung mengembangkan filosofi yang bersifat esensialisme. Esensialisme sendiri merupakan gambaran sistem pendidikan tradisional yang cenderung memandang peserta didik sebagai objek yang pasif dan kurang independen atau sangat tergantung pada pendidik. Masih mengakarnya pola kependidikan seperti tersebut di negara kita tidak terlepas dari adanya kendalakendala seperti tuntutan kurikulum yang terlalu banyak, lemahnya kemampuan pendidik dalam mengembangkan strategi dan metode pembelajaran, serta kurangnya fasilitas pendukung sistem pembelajaran. Dalam usaha untuk mengatasi permasalahan kependidikan yang masih cenderung esensialis ini, maka filosofi pengembangan pembelajaran sains harus bersifat progresif dan menekankan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, meningkatkan peran pendidikan sains dalam rekonstruksi dan pembaharuan sosial, serta pengembangan konsep eksperimentalisme dalam pembelajaran sains. 2.2. Pembelajaran berpusat pada peserta didik Berkenaan dengan konsep pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, filsafat pendidikan progresivisme, maka fungsi utama pendidikan adalah untuk mengembangkan secara maksimal potensipotensi individual peserta didik sebagai individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, seharusnya pendidik tidak lagi bertindak otoriter dan menganggap peserta didik sebagai botol kosong yang perlu diisi dengan sebanyak mungkin materi pelajaran dan berbagai macam doktrin. Pendidik harus berani untuk memulai pembelajaran dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dengan kata lain, pendidik harus dapat menjadi fasilitator untuk menetapkan arah bagi kesadaran peserta didik tentang kebutuhan dan minat yang sesuai bagi diri dan masyarakatnya. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam mengembangkan pembelajaran sains yang efektif antara lain ialah 1) mengembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan dapat belajar lebih bermakna dengan bekerja dan membangun sendiri pengetahuan/keterampilannya, 2) memaksimalkan kegiatan yang bersifat menemukan, 3) membangkitkan rasa ingin tahu pada diri peserta didik, 4) membelajarkan peserta didik dalam kelompok kooperatif, 5) mengembangkan pikiran bahwa pendidik adalah model yang bagi peserta didik, dan 6) melakukan refleksi dan penilaian yang sebenarnya (autentik) dengan cara yang bervariasi [4]. 2.3. Pendidikan sains dalam proses rekonstruksi nilai Paham progresivisme menekankan bahwa dalam proses kebudayaan, pendidikan tidak hanya melakukan fungsi inkulturatif statis tetapi lebih jauh lagi memiliki fungsi transformatif bagi terjadinya pembaharuan sosial budaya
3
J. Pijar MIPA Vol. III No. 1, Maret 2008 : 1 5. suatu kelompok masyarakat. Dalam konteks transformasi sosial, transformasi sains dan teknologi, serta transformasi nilainilai yang bersifat umum, maka pendidik dan lembaga pendidikan harus mampu membentuk iklim atau lingkungan belajar yang kondusif. Paham progresivisme memberikan penekanan pada pentingnya konsep eksperimentalisme untuk menumbuhkan pemikiran ilmiah dalam proses pembelajaran. Melalui konsep ini pembelajaran diarahkan untuk membantu peserta didik mekembangkan kemampuan rasional, kemampuan berpikir kritis, menarik kesimpulan berdasarkan eksperimen, sikap keterbukaan dan akuntabilitas yang diperlukan individu untuk hidup dalam dunia masa depan yang lebih demokratis namun penuh tantangan. Salah satu bentuk penerapan konsep eksperimentalisme adalah tuntutan pentingnya pembelajaran inkuiri yang dikembangkan atas dasar prosedur berpikir ilmiah dan reflektif. 2.4. Tranformasi nilai, sains, dan teknologi Upayaupaya yang diberikan pada pengembangan pola pendidikan yang berpusat pada peserta didik, peran pendidikan dalam rekonstruksi dan pembaharuan sosial, serta pengembangan konsep eksperimentalisme dalampembelajaran sains sudah menjadi tuntutan mendesak dewasa ini. Sehubungan dengan terjadinya perubahan yang terus menerus di lingkungan sosial dan di lingkungan pendidikan, maka tuntutan perubahan juga terjadi pada proses belajar mengajar di sekolah. Peran pendidik di kelas sudah seharusnya bergeser dari yang tadinya menjadi satu satunya narasumber sekaligus penceramah dan pengarah, menjadi pendidik yang berfungsi sebagai perencana, manajer, dan fasilitator dalam kegiatan belajar peserta didik. Untuk dapat menjadi perencana, manajer dan fasilitator yang baik, maka pendidik dituntut untuk selalu belajar mengenai halhal baru seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, berlatih untuk menguasai modelmodel pembelajaran yang baru dan mencoba menerapkannya di kelas. Pendidikan dewasa ini tidak lagi cukup hanya membekali peserta didik dengan keterampilan dasar 3R (reading, writing and arithmatic) tetapi peserta didik harus dilatih untuk terampil berkomunikasi, memiliki keterampilan yang tinggi dalam penyelesaian masalah, dan memiliki kemampuan untuk terus melek sains (science literacy) dan teknologi [5]. Sehubungan dengan hal itu, maka pendidik harus mampu merancang kondisi pembelajaran yang dapat menciptakan kesempatan bagi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan lain seperti disebut oleh Galbreath (1999) dengan 3T (technology, teaming and transference), yakni penguasaan teknologi, keterampilan bekerjasama, dan kemampuan mentransfer pengetahuan/keterampilan [6]. Dewasa ini, teknologi sudah merupakan bahasa baku, kerjasama dan kolaborasi merupakan kebutuhan penting bagi setiap orang, dan kemampuan mentransfer pengetahuan untuk menghasilkan sesuatu produk baru menjadi kebutuhan yang esensial. Ini berarti bahwa sekalipun abad ini adalah abad teknologi, bukan berarti kita harus meniggalkan semua hal yang lama, tetapi yang kita harapkan dari peserta didik adalah meningkatnya
4
kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru dari yang lama [7]. Oleh karena itu, lingkungan belajar dan proses pembelajaran perlu direkonstruksi dari yang cenderung esensialis ke arah kelembagaan pendidikan yang progresif di mana peserta didik dapat dibekali keterampilan dan teknik mencapai sukses dalam lingkungan yang serba baru, selalu berubah, dan sulit diprediksi. Peserta didik harus diberikan kesempatan untuk berlatih keterampilan berinovasi dalam menyelesaikan masalahmasalah kontekstual dan kompleks yang dihadapinya. Agar peserta didik dapat lebih banyak belajar bekerjasama atau berdemokrasi, maka strategi belajar kooperatif harusnya menjadi pola umum yang diterapkan oleh peserta didik dalam kelas. Dryden & Vos selanjutnya menyatakan ada dua hal penting yang harus diadopsi dan dimasukkan ke dalam kurikulum sains dalam kerangka rekonstruksi sistem dan kelembagaan pendidikan di Indonesia yaitu belajar tentang cara belajar (learn how to learn) dan belajar cara berpikir (learn how to think). Berkaitan dengan hal yang pertama berarti pendidik harus mampu melatih peserta didik belajar tentang cara otak dan memori manusia bekerja, cara menyimpan, mengambil dan menghubungkan informasi, serta cara mencari dan mentransfer pengetahuan baru dengan cepat dan tepat. Teknik belajar seperti ini dapat dilatih dengan teknik accelerated learning (belajar cepat). Belajar mengenai cara berpikir menjadi penting sekali karena jika peserta didik tidak memiliki keterampilan berpikir maka akan sulit menerima dan mengolah informasi dengan baik dan benar. Dalam hal ini Dryden & Vos menyebutkan beberapa metode yang efektif dalam melatih berpikir dan telah teruji adalah lateral thinking (Edward de Bono), brainstorming (Alex Osborn), creative problem solving (Donald Treffinger) dan higher order thinking skills dari Stanley Pogrow. Berkaitan dengan pergeseran peran pendidik ini maka ada beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang ideal dan siap membimbing peserta didik menuju kesuksesan hidup masa depan yakni a) harus siap belajar sepanjang hayat, b) melek sains, teknologi dan informasi, c) menguasai bahasa Inggris dan komputer, d) mampu membelajarkan peserta didik dengan pendekatan kontekstual, e) mampu dan mau melakukan PTK, dan f) rajin menulis karya ilmiah. Kesiapan belajar sepanjang hayat adalah karakter yang penting agar tidak terpaku pada apa yang sudah dimiliki tetapi mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kepedulian terhadap sains teknologi dan informasi diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan pesat dalam bidang tersebut sehingga pendidik tidak tertinggal dari peserta didiknya. Penguasaan bahasa (paling tidak bahasa Inggris) dan komputer sangat diperlukan untuk dapat mengikuti arus perkembangan teknologi dan informasi. Bahasa Inggris hampir identik dengan bahasa komputer dan internet, oleh karena itu tanpa kemampuan berbahasa Inggris pendidik akan sedikit terhambat dalam memanfaatkan komputer sebagai media pembelajaran. Teknologi berbasis komputer dalam abad ke 21 harus dapat diberdayakan sebagai sumber belajar yang efektif. Inilah salah satu tujuan yang dimaksud oleh Buchen dengan konsep 3R dan 3T yang telah
Distribusi Burung Di Danau Meno Lombok Barat (Gito Hadiprayitno) disebutkan di atas. Pendekatan pembelajaran kontekstual perlu dikuasai dan diterapkan oleh pendidik agar dapat membantu peserta didik untuk tidak terisolir dari lingkungannya dalam arti luas. Sedangkan kemampuan untuk melakukan penelitian tindakan kelas serta menulis karya ilmiah diperlukan dalam rangka mengembangkan profesionalisme kependidikannya. Agar dapat memenuhi persyaratan kebutuhan peserta didik sebagai calon anggota masyarakat masa depan, mungkin ada baiknya kita menengok kembali pada empat pilar pendidikan yang telah diajukan oleh PBB sebagaimana ditulis oleh Geremek yakni [8]: a. Learning to know (belajar untuk tahu). Belajar tipe ini tentu bersifat mendasar dan penting, tetapi sistem pendidikan seringkali terlalu memberi prioritas dibandingkan pilar yang lain. b. Learning to do (belajar untuk bekerja). Hal ini penting bagi setiap orang untuk dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Tentu saja karena untuk belajar dan memiliki keterampilan kerja seseorang membutuhkan kemampuan untuk menghadapi beberapa situasi yang kadangkadang tidak diduga sebelumnya. c. Learning to be (belajar untuk menjadi). Pada abad ini setiap orang akan membutuhkan kapasitas untuk dapat hidup otonom (mandiri) dan memiliki kekuatan personal sebagai tanggung jawabnya dalam upaya mencapai tujuan bersama dengan masyarakatnya. d. Learning to live together (belajar untuk hidup bermasyarakat). Agar dapat berpartisipasi dan bekerjasama dengan orang lain dalam setiap aspek kehidupan, maka seseorang harus diberi kesempatan untuk belajar menghargai orang lain, memahami ideologi, budaya dan adat istiadat kelompok, suku dan bangsa lain. Sebagai wujud implementasi dari keempat pilar pendidikan seperti di atas selanjutnya Thrilling & Hood [9] membedahnya menjadi sembilan set keterampilan dan kemampuan yang akan dibutuhkan oleh dunia kerja dan harus dibekali kepada peserta didik yakni: 1) keterampilan berkomunikasi, 2) kemampuan berinovasi dan mengembangkan kreativitas, 3) kemampuan bekerjasama, 4) kemampuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan informasi dan teknologi, 5) kemampuan mengembangkan visi, 6) kemampuan menyelesaikan masalah, 7) keterampilan membuat keputusan yang tepat, 8) kemampuan mengembangkan dan mengelola pengetahuannya , serta 9) kemampuan mengasah naluri bisnis. Dalam rangka mengembangkan potensi masyarakat Indonesia sesuai dengan harapan dan tuntutan global, tentu diperlukan upaya pengembangan pembelajaran sains berlandaskan filsafat pendidikan yang berorientasi pada budaya bangsa. Arus globalisasi dalam segala aspek kehidupan tentu akan membawa serta nilainilai atau budayabudaya asing. Oleh karena itu peranan filosofi pengembangan pembelajaran menjadi penting dalam arti sebagai alat bantu untuk menyeleksi nilainilai asing yang perlu diasimilasi dan diintegrasikan dengan budaya lokal. Perubahan kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang dipacu oleh perkembangan sains dan teknologi akan membawa serta perubahan dalam cara berpikir, cara menilai, dan cara orang
menghargai diri dan masyarakatnya. Sastrapratedja menyatakan bahwa semua itu akan membawa kekaburan nilai yang ada dan kekaburan dimensi nilai yang sebenarnya selalu ada dalam proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta dalam pribadi anggota masyarakat [10]. Oleh karena itu dikatakannya bahwa menjadi tanggung jawab pendidik dan sekolah untuk 1) melihat implikasi nilai etik dalam setiap proses perubahan yang terjadi, 2) membantu peserta didik untuk mengembangkan nilainilai budaya yang arif dan relevan dengan kebutuhannya, dan 3) membantu peserta didik untuk dapat mengambil sikap dan keputusan dalam merencanakan kehidupan masa depannya. III. KESIMPULAN Beberapa aliran filsafat yang berpengaruh terhadap Filsafat Pendidikan di Indonesia antara lain aliran idealisme, realisme atau rasionalisme, humanisme dan pragmatisme. Filsafat pendidikan di Indonesia harus memiliki karakteristik khas sesuai dengan adat istiadat dan budaya bangsa Indonesia. Dalam hal ini, maka aliran progresivisme yang bersifat demokratis lebih tepat untuk diadopsi dan diasimilasikan dengan filsafat Pancasila yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia untuk menuju ke masa depan Indonesia yang lebih demokratis. Filsafat pendidikan khususnya pendidikan sains yang mewakili karakter bangsa Indonesia sangat penting peranannya di dalam proses transformasi sains, teknologi, dan nilainilai sebagai akibat perkembangan sains dan teknologi yang pesat dewasa ini. Filsafat pendidikan dengan sendirinya akan membantu mengarahkan peserta didik dan lembaga pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan peran dan fungsinya dalam menghadapi arus globalisasi yang sangat pesat dewasa ini. DAFTAR PUSTAKA [1]Hendrowibowo, L. 2002. Beberapa Aliran Filsafat dan Kaitannya Dengan Pendidikan di Indonesia. Jurnal Ilmu Pendidikan. No.1, Januari 2002. hal: 19. [2] Suriasumantri, J.S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Penerbit Sinar Harapan, Jakarta. [3] Hanurawan, F. 2000. Filsafat Pendidikan Demokrasi Sebagai Landasan Pendidikan Masyarakat Indonesia Baru. Jurnal Ilmu Pendidikan, No. 2. Januari, 2000. hal: 117126. [4] Jufri, A. W. 2007. Pengaruh Implementasi Perangkat Pembelajaran Berbasis Inkuiri Melalui Straegi Kooperatif terhadap Hasil Belajar Kognitif, Sikap, dan Motivasi Siswa SMA di Kota Mataram. Disertasi. Universitas Negeri Malang. [5] Richard K. C., C. L Mark., and N. Taylor. 2008. Scientists and Scientific Thinking: Understanding Scientific Thinking Through an Investigation of Scientists Views About Superstitions and Religious Beliefs. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. Vol. 4 (3), p: 197214.
5
J. Pijar MIPA, Vol. III No.1, Maret 2008 : 6 10. ISSN 19071744 [6] Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between ComputerBased Technology and Future Skill Sets. Educational Technology. Ed. NovemberDecember 1999. [7] Dryden, G. & Vos Jeannette, 2000, Revolusi Cara Belajar,edisi Indonesia, Penerbit Kaifa, Bandung Indonesia. [8] Geremeck, B. 1996. Education For The Twenty-First Century.Interparliamentary Conference on Education, Science, Culture and Communication on the Eve of The 21st Century. Paris: UNESCO. [9] Trilling, B & P. Hood. 1999. Learning Technology and Education Reform in the Knowledge Age or We’re Wired, Webbed, and Windowed, Now What? Journal of Educational Technology. MayJune, p: 518. [10] Sastrapratedja, M. 1993. Pendidikan Nilai, dalam Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000 (penyunting: Kaswardi). Gramedia. Jakarta.