Pengukuran Risiko Rantai Pasok Produk Hortikultura Organik Menggunakan Fuzzy Failure Mode Effect Analysis (Studi Kasus Di Koperasi Brenjonk, Kabupaten Mojokerto) Supply Chain Risk Measurement for Organic Horticultural Products Using Fuzzy Failure Mode Effect Analysis (A Case Study in Koperasi Brenjonk, Mojokerto) Verdy Sunahwan1), Wike Agustin Prima Dania2) , Ika Atsari Dewi 2) 1)
2)
Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran No. 1 Malang 65145 *email:
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian adalah menjelaskan kondisi rantai pasok produk hortikultura organik dan menentukan urutan prioritas risiko rantai pasok produk hortikultura organik di Koperasi Brenjonk. Pengukuran risiko yang dilakukan menggunakan metode fuzzy FMEA (Failure Mode Effect Analysis) yang kemudian didapatkan tingkat prioritas risiko pada Koperasi Brenjonk. Pada rantai pasokan komoditas hortikultura organik terdapat beberapa pihak yang terlibat baik secara langsung yaitu supplier berasal dari petani hortikultura organik dan perusahaan pengemas plastik, manufaktur yaitu Koperasi Brenjonk, distributor yaitu CV Media Inovasi Kita dan Twelve, retailer yaitu swalayan Ranch Market dan terakhir adalah konsumen. Rantai pasok produk hortikultura organik ini menggunakan tipe jaringan distribusi retail storage with customer pickup. Hasil yang didapat diketahui urutan teratas hingga terbawah prioritas risiko rantai pasok hortikultura organik pada Koperasi Brenjonk adalah risiko komoditas memiliki produk pesaing, mengalami keterlambatan atau penundaan pengolahan, mengalami pengembalian produk, peralatan mengalami gangguan kerusakan selama proses pengolahan, mengalami penurunan hasil produksi, mengalami kerusakan selama penyimpanan, mengalami perubahan jumlah permintaan, mengalami ketidaksesuaian kualitas dengan standar, mengandung cemaran bahan kimia, mengalami kehabisan persediaan, mengalami kerusakan atau penurunan kualitas, komoditas dikirim melebihi pesanan atau kebutuhan produksi dan kontaminasi produk selama proses pengolahan. Kata kunci: Anggota Primer dan Sekunder Rantai Pasok, Organik, FRPN, Retail storage with customer pickup Abstract The purpose of this study are to explain the supply chain and conditions of organic horticultural product to determine the risk prority level of the supply chain performance of organic horticultural products in Koperasi Brenjonk. Risk measurement undertaken using fuzzy FMEA (Failure Mode Effect Analysis) to determine the risk priority level. There are several parties involved which are farmers as supplier, Koperasi Brenjonk and plastic packaging company as manufacturer. CV Media Inovasi Kita and Twelve as distributor, Ranch Market as retailer and also consumer. The distributor network design for organic horticulture product is retail storage with customer pickup. From the research, it can be seen that the risk priority order from the highest risk to the lowest risk are risk of competitor existence, risk of processing delays, risk of product return, risk of damage during the process, risk of production decreased, risk of damage during storage, risk of demand changing, quality incompatibility risk, risk of chemical contaminants, risk of lack of stock, risk of damage or loss quality, risk of commodity shipped or orders exceed production requirements and risk of product contamination during process. Keywords: FRPN, Organic, Primary and secondary supply chain members, Retail storage with customer pickup
(2012), potensi komoditas hortikultura sudah cukup bagus di Indonesia, ekspor produk hortikultura pada tahun 2011 mengalami peningkatan signifikan sebesar 26% dari tahun 2010, yaitu dari US$ 390.74 juta menjadi US$ 491.3 juta. Komoditas hortikultura organik juga perlu mendapat jaminan bahwa produk yang dijual telah layak dikonsumsi dan telah mendapatkan sertifikasi salah satunya sertifikat
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Hortikultura berasal dari bahasa Latin hortus (tanaman kebun) dan cultura (budidaya), dapat diartikan sebagai budidaya tanaman kebun. Hortikultura hanya mengolah tanaman buah, bunga, sayuran, dan obat-obatan. Menurut Kementan (2012) dalam Fizzanty dan Kusnandar 1
produk organik. Komoditas hortikultura juga perlu manajemen rantai pasok yang tepat dikarenakan sifat komoditas hortikultura yang cepat rusak dalam penyimpanannya. Menurut Wuwung (2013), manajemen rantai pasokan adalah sebuah sistem yang melibatkan proses produksi, pengiriman, penyimpanan, distribusi dan penjualan produk dalam rangka memenuhi permintaan akan produk tersebut sampai ke tangan pemakai konsumen. Manajemen rantai pasok komoditas hortikultura yang tepat ikut membantu mengembangkan komoditas hortikultura organik. Program Go Organik dimulai pada tahun 2010 yaitu program yang dilakukan pemerintah untuk menunjang program ketahanan dan kemandirian di bidang pertanian. Salah satu program Go Organik berada di Koperasi Brenjonk Dusun Penanggungan Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto yang salah satu produknya adalah hortikultura organik. Koperasi Brenjonk merupakan perkumpulan yang mewadahi petani hortikultura organik untuk mengembangkan pertanian organik dan manajemen sistem informasi pasar. Produk hortikultura organik yang dihasilkan Koperasi Brenjonk sudah memiliki sertifikasi dari salah satu lembaga sertifikasi organik Indonesia. Penelitian di Koperasi Brenjonk ini difokuskan kepada komoditas hortikutura organik karena mempunyai beberapa risiko seperti perlunya jadwal pengiriman komoditas hortikultura yang tepat agar tidak terjadi keterlambatan dalam pasokannya, sehingga memerlukan pengukuran risiko pada rantai pasok komoditas hortikultura organik. Tujuan penelitian adalah menjelaskan kondisi rantai pasok produk hortikultura organik dan menentukan urutan prioritas risiko terhadap rantai pasok produk hortikultura organik di Koperasi Brenjonk. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Wardani (2014), pada identifikasi risiko rantai pasok produk hortikutura organik dapat diketahui risiko rantai pasok yang paling besar untuk setiap stakeholder anggota primer terdapat pada manufaktur yaitu Koperasi Brenjonk. Hasil identifikasi risiko rantai pasok penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa rantai pasok yang diteliti belum dilakukan pengukuran risiko rantai pasok, maka pada penelitian ini dilakukan pengukuran risiko rantai pasok pada Koperasi Brenjonk. Hasil pengukuran risiko ini akan meminimalkan atau dapat menghilangkan penyebab dan kejadian risiko rantai pasok dan mempertahankan
sertifikat organik yang telah didapat secara berkelanjutan. Pada penelitian ini logika fuzzy yang digunakan adalah Fuzzy Failure Mode and Effect Analysis (Fuzzy FMEA). Metode fuzzy FMEA ini dapat menjawab kelemahan dari metode lainnya seperti FTA, ETA maupun AHP. Menurut Kutlu dan Mehmet (2012), fuzzy FMEA memungkinkan data kuantitatif dan informasi samar-samar, serta kualitatif yang akan digunakan dan dikelola secara konsisten. Fuzzy FMEA juga memungkinkan untuk kombinasi dampak, kejadian dan pendeteksian dalam struktur yang lebih baik daripada FMEA konvensional. Penelitian skripsi ini merupakan rangkaian penelitian “Pemodelan Kinerja dan Risiko Rantai Pasok Produk Organik Menggunakan Fuzzy Failure Mode Effect Analysis (Fuzzy FMEA) Dalam Upaya Menghadapi Dinamika Usaha Serta Sertifikasi Produk Organik”. Rangkaian penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui DIPA Universitas Brawijaya. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Koperasi Brenjonk, Dusun Penanggungan, Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto Jawa Timur pada bulan Oktober 2013 sampai April 2014. Tahapan penelitian diawali dari penelitian pendahuluan dan identifikasi masalah, studi literatur dan jenis dan sumber data, penentuan metode pengumpulan data, penentuan pakar, penyusunan kuesioner, pengumpulan data, identifikasi risiko pada tiap stakeholder, pemilihan risiko rantai pasok yang paling berpengaruh, risiko rantai pasok pada manufaktur (koperasi Brenjonk), identifikasi risiko rantai pasok pada manufaktur (koperasi brenjonk), kesimpulan dan saran. Identifikasi masalah pada penelitian ini terdapat pada pengukuran risiko rantai pasok produksi hortikultura organik di Koperasi Brenjonk. Pada metode fuzzy FMEA, data yang didapatkan merupakan hasil dari wawancara mendalam dengan para pakar yang berperan sebagai responden. Penelitian ini menggunakan tujuh pakar yang terdiri dari tiga pakar dari pihak petani, satu pakar dari pihak koperasi Brenjonk, dua pakar dari pihak distributor, dan satu pakar dari pihak retailer. Pada penelitian ini ada tiga risiko rantai pasok yang akan diteliti, yaitu risiko pasokan, risiko proses, dan risiko permintaan. 2
Penelitian ini menggunakan metode fuzzy FMEA (Failure Mode Effect Analysis) dilakukan untuk mengukur risiko dari rantai pasok produk hortikultura organik yang kemudian didapatkan tingkat prioritas risiko pada masing-masing stakeholder. Pada fuzzy FMEA memakai logika fuzzy dalam mengidentifikasi permasalahan atau penyebab kegagalan yang terjadi melalui pertimbangan kriteria kejadian (S), dampak (O), dan deteksi (D). Kriteria kejadian (S) ditunjukkan pada Tabel 1, dampak (O) pada Tabel 2 dan deteksi (D) pada Tabel 3.
Tabel 3. Skala Detection
Tabel 1. Skala Severity Rating 10
9
Effect Hazardous without warning (HWOW) Hazardous with warning (HWW)
8
Very High (VH)
7
High (H)
6
Moderate (M)
5
Low (L)
4
Very Low (VL)
3
Minor (MR)
2
Very Minor (VMR) None (N)
1
Severity Effect Tingkat keparahan sangat tinggi ketika mode kegagalan potensial mempengaruhi system safety tanpa peringatan. Tingkat keparahan sangat tinggi ketika mode kegagalan potensial mempengaruhi system safety dengan peringatan. Sistem tidak dapat beroperasi dengan kegagalan menyebabkan kerusakan tanpa membahayakan keselamatan. Sistem tidak dapat beroperasi dengan kerusakan peralatan. Sistem tidak dapat beroperasi dengan kerusakan kecil. Sistem tidak dapat beroperasi tanpa kerusakan. Sistem dapat beroperasi dengan kinerja mengalami penurunan secara signifikan. Sistem dapat beroperasi dengan kinerja mengalami beberapa penurunan. Sistem dapat beroperasi dengan sedikit gangguan. Tidak ada pengaruh.
10
Very High (VH): kegagalan hampir tidak bisa dihindari
10
Absolute Uncertainty (AU)
9
Very Remote (VR)
8
Remote (R)
7
Very Low (VL)
6
Low (L)
5
Moderate (M)
4
Moderately High (MH)
3
High (H)
2
Very High (VH)
1
Almost Certain (AC)
Kemungkinan Deteksi oleh Alat Pengontrol Tidak ada alat pengontrol yang mampu mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya. Sangat kecil kemampuan alat pengontrol mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya. Kecil kemampuan alat pengontrol mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya. Sangat rendah kemampuan alat pengontrol mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya. Rendah kemampuan alat pengontrol mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya. Sedang kemampuan alat pengontrol mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya. Sangat sedang kemampuan alat pengontrol mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya. Tinggi kemampuan alat pengontrol mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya. Sangat tinggi kemampuan alat pengontrol mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya. Hampir pasti kemampuan alat pengontrol mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya.
Pada fuzzy FMEA, faktor-faktor O, S, dan D dapat dievaluasi dengan cara linguistik. Istilah linguistik dan fuzzy number yang akan digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor O, S, dan D ditunjukkan pada Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6. Kepentingan relatif dari faktor-faktor O, S, dan D juga dinilai bobotnya menggunakan istilah linguistik yang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 2. Skala Occurrence Probability of Occurrence
Detection
Sumber: Wang et al., 2009
Sumber: Wang et al., 2009
Rating
Rating
Probabilitas kegagalan >1 dalam 2
9 8 7
High (H): kegagalan berulang
1 dalam 3 1 dalam 8 1 dalam 20
6 5 4
Moderate (M): sesekali kegagalan
1 dalam 80 1 dalam 400 1 dalam 2000
Very High (VH) High (H)
3 2 1
Low (L): relatif sedikit kegagalan
1 dalam 15000 1 dalam 150000 < 1 dalam 150000
Moderate (M) Low (L) Remote (R)
Tabel 4. Fuzzy Rating untuk Occurrence Rating
Probability of Occurrence Fuzzy Number Kegagalan tidak dapat dihindari Kegagalan yang terjadi berulang Kegagalan kadang terjadi Kegagalan relatif sedikit Kegagalan tidak mungkin terjadi
Sumber: Wang et al., 2009
Sumber: Wang et al., 2009 3
(8, 9, 10, 10) (6, 7, 8, 9) (3, 4, 6, 7) (1, 2, 3, 4) (1, 1, 2)
Tabel 5 Fuzzy Rating untuk Severity Rating
Severity Effect
Hazardous without warning (HWOW) Hazardous with warning (HWW) Very High (VH)
Tingkat keparahan sangat tinggi tanpa peringatan.
High (H)
Moderate (M)
Low (L)
Very Low (VL)
Minor (MR)
Very Minor (VMR) None (N)
Tingkat keparahan sangat tinggi dengan peringatan. Sistem tidak dapat beroperasi dengan adanya kegagalan yang merusak. Sistem tidak dapat beroperasi dengan adanya kerusakan pada peralatan. Sistem tidak dapat beroperasi dengan adanya kerusakan kecil. Sistem tidak dapat beroperasi tanpa adanya kerusakan. Sistem dapat beroperasi dengan kinerja mengalami penurunan secara signifikan. Sistem dapat beroperasi dengan kinerja mengalami beberapa penurunan. Sistem dapat beroperasi dengan adanya gangguan kecil. Tidak ada pengaruh.
Pada penilaian faktor-faktor failure mode pada FMEA dalam bentuk fuzzy, maka dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menentukan nilai O, S, dan D berdasarkan Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3. b. Melakukan perhitungan agregasi penilaian peringkat fuzzy terhadap faktor O,S, dan D berdasarkan Persamaan (1) hingga Persamaan (3).
Fuzzy Number (9, 10, 10)
(8, 9, 10) (7, 8, 9)
(6, 7, 8)
.....(1)
(5, 6, 7)
.....(2) (4, 5, 6)
......(3) (3, 4, 5)
Dimana, merupakan nilai agregat dari kejadian, dampak dan deteksi yang berpotensi memiliki risiko dalam rantai pasok atau biasa disebut dengan failure mode (FM). c. Melakukan perhitungan agregasi bobot kepentingan untuk faktor O,S, dan D berdasarkan Persamaan (4) hingga Persamaan (6).
(2, 3, 4)
(1, 2, 3)
(1, 1, 2)
Sumber: Wang et al., 2009
....(4)
Tabel 6. Fuzzy Rating untuk Detection Rating Absolute Uncertainty (AU)
Kemungkinan Terjadinya Deteksi Tidak ada kesempatan
Fuzzy Number (9, 10, 10)
Kesempatan sangat kecil Kesempatan kecil Kesempatan sangat rendah Kesempatan rendah Kesempatan sedang Kesempatan cukup tinggi Kesempatan tinggi Kesempatan sangat tinggi Hampir pasti
(8, 9, 10)
Very Remote (VR) Remote (R) Very Low (VL) Low (L) Moderate (M) Moderately High (MH) High (H) Very High (VH) Almost Certain (AC)
. ....(5) ....(6) Dimana,
(7, 8, 9) (6, 7, 8)
merupakan nilai agregat dari bobot fuzzy untuk tiga risiko faktor yaitu kejadian (O), dampak (S) dan deteksi (D). d. Menentukan fuzzy risk priority number (FRPN) untuk setiap model failure (kegagalan) berdasarkan Persamaan (7).
(5, 6, 7) (4, 5, 6) (3, 4, 5) (2, 3, 4) (1, 2, 3) (1, 1, 2)
....(7) e. Perankingan berdasarkan nilai FRPN, dimana nilai FRPN terbesar merupakan ranking yang teratas.
Sumber: Wang et al., 2009 Tabel 7. Fuzzy Weight untuk Kepentingan Relatif Faktor-Faktor Risiko Istilah Linguistik Very Low (VL) Low (L) Medium (M) High (H) Very High (VH)
Fuzzy Number (0 ; 0 ; 0,25) (0 ; 0,25 ; 0,5) (0,25 ; 0,5 ; 0,75) (0,5 ; 0,75 ; 1) (0,75 ; 1 ; 1)
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Koperasi Brenjonk Lokasi penelitian skripsi ini berada di Koperasi Brenjonk, Dusun Penanggungan Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto. Koperasi Brenjonk merupakan perkumpulan
Sumber: Wang et al., 2009
4
yang mewadahi petani holtikultura organik untuk mengembangkan pertanian organik dan manajemen sistem informasi pasar. Koperasi Brenjonk berdiri sejak 13 Juli 2007, berbadan hukum dan anggota Aliansi Organik Indonesia (AOI). Koperasi Brenjonk menghasilkan beberapa produk pertanian seperti beras organik, budidaya lele organik dan produk hortikultura organik. Penelitian ini memfokuskan pada salah satu produk yang dihasilkan Koperasi Brenjonk yaitu holtikultura organik. Jumlah petani yang dibina dari mulai berdiri hingga saat ini sudah lebih dari 60 petani. Koperasi Brenjonk juga memiliki beberapa kegiatan utama yaitu kegiatan pembibitan, produksi dan pengolahan produk organik yang dilakukan dengan cara membuat gerakan pertanian organik di daerah sekitarnya.
yaitu mudah menyesuaikan dengan lingkungannya dan memiliki aliran informasi, produk, serta uang. Struktur Anggota Rantai Pasokan Struktur rantai pasokan komoditas hortikultura yang terdapat di Koperasi Brenjonk meliputi anggota rantai pasokan, aktivitas rantai pasokan dan pola aliran rantai pasokan. Pada rantai pasokan komoditas hortikultura organik terdapat beberapa pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Astuti et al. (2010), suatu rantai pasok terdiri dari berbagai pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun secara tidak langsung. Pihak yang terlibat secara langsung disebut dengan anggota primer. Pada pihak yang tidak terlibat secara langsung namun tetap mendukung lancarnya rantai pasokan ini disebut dengan anggota sekunder. a. Anggota Primer Penelitian rantai pasokan ini, para petani sebagai supplier produk hortikultura organik. Pada supplier hortikultura organik yang terdapat di Koperasi Brenjonk sebanyak 150 petani yang tersebar di 20 dusun pada Kecamatan Trawas dan Kecamatan Pacet. Komponen manufaktur dalam rantai pasok komoditas hortikultura organik yaitu Koperasi Brenjonk. Distributor yang ada, diantaranya CV Media Inovasi Kita dan Twelve. Retailer yang menangani pemasaran sayuran organik diantaranya adalah pasar tradisional yang terdapat di Kabupaten Mojokerto, hotel, restoran dan Swalayan. Pihak retailer produk hortikultura organik terdapat beberapa swalayan salah satunya Ranch Market yang terdapat di Kota Surabaya b. Anggota Sekunder Anggota sekunder yang terdapat di produk sayuran organik ini hanya terdapat pada manufaktur yaitu Koperasi Brenjonk, sedangkan pada supplier dan retailer tidak terdapat anggota sekunder.
Analisis Kondisi Rantai Pasokan Produk Hortikultura Organik Komoditas hortikultura yang terdapat di Koperasi Brenjonk didapatkan dari petani setempat, umumnya didominasi oleh dua produk yaitu buah organik dan sayuran organik. Padi juga ditanam oleh petani setempat tetapi tidak terlalu mendominasi, sedangkan untuk komoditas yang lain seperti palawija organik tidak ditanam oleh petani dikawasan tersebut. Buah organik yang dihasilkan adalah pisang lokal pisang ambon durian, salak dan alpukat, sedangkan sayuran organik yang dihasilkan yaitu lettuce, choisim, bayam, kangkung, pakchoi hijau, pakchoi putih, dan bayam inggris. Harga jual produk sayuran organik sendiri dibedakan menjadi 3 grade meliputi grade 1 dimana sayuran organik dijual kepada swalayan besar ataupun yang akan dikirim pada distributor seharga Rp. 6.000/kg. Grade 2 dimana sayuran organik ini dijual kepada pasar lokal tanpa menggunakan label dari Koperasi Brenjonk seharga Rp. 4.000/kg. Grade 3 dimana sayuran organik dijual kepada para tengkulak lokal yang terdapat disekitar Koperasi Brenjonk tanpa memakai label seharga Rp. 3.000/kg. Kondisi rantai pasok yang dianalisis meliputi struktur rantai pasok, entitas rantai pasok serta kemitraan yang telah dijalankan selama ini. Struktur rantai pasok produk hortikultura organik pada Koperasi Brenjonk hanya menganalisis mulai dari anggota rantai pasok, aktivitas rantai pasok dan pola aliran rantai pasok. Entitas bisnis pada penelitian ini hanya menjelaskan jumlah perusahaan yang diajak kerjasama oleh Koperasi Brenjonk baik dari sisi pasokan maupun pemasaran. Menurut Astuti et al. (2010), rantai pasok bersifat dinamis
Aktivitas Rantai Pasok Produk Hortikultura Organik a. Anggota Primer Supplier membeli input berupa bibit dan pupuk. Supplier melakukan penanaman serta pemanenan sayuran organik dan pengangkutan sayuran organik diambil oleh manufaktur. Supplier tidak melakukan penyimpanan hanya menjual sayuran organik terhadap pihak manufaktur dan juga 5
kurang mengetahui informasi pasar. Manufaktur membeli sayuran organik dari supplier, serta melakukan pengemasan pada sayuran organik yang dikirim oleh supplier. Manufaktur mengambil sayuran organik dari supplier dan mengirim sayuran organik kepada distributor. Manufaktur melakukan penyimpanan sayuran organik sementara di lemari pendingin. Manufaktur melakukan sortasi dan mengetahui informasi pasar. Distributor membeli sayuran organik dari manufaktur dan tidak melakukan proses pengolahan dan pengemasan. Distributor melakukan kegiatan pengangkutan dari manufaktur ke peritel dan tidak melakukan penyimpanan. Distributor menjual sayuran organik kemasan ke peritel dan mengetahui informasi pasar. Peritel membeli sayuran organik dari distributor siap jual serta tidak melakukan proses pengolahan dan pengemasan. Peritel mengangkut sayuran organik dari tempat penyimpanan sementara sayuran. Peritel mengetahui informasi pasar serta melakukan penyimpanan dan menjual ke komsumen akhir. b. Anggota Sekunder Penyedia kemasan menjual kemasan kepada manufaktur melakukan proses desain sesuai kebutuhan dan pengangkutan dikirim langsung ke manufaktur. Penyedia kemasan juga memberikan informasi mengenai desain dari kemasan dan Jumlah yang dikirim sesuai dengan permintaan manufaktur.
menggunakan mobil pick up yang disediakan Koperasi Brenjonk. Pada pihak distributor tidak melakukan proses pengemasan dan sortasi lagi. Proses selanjutnya pihak distributor akan mendistribusikan kepada retailer. Pihak distributor dan retailer banyak bertempat di kawasan Kota Surabaya. 6
1
2
3
4
5
Keterangan : 1. Supplier (Petani) 2. Manufaktur (Koperasi Brenjonk) 3. Distributor 4. Peritel 5. Konsumen Akhir 6. Anggota Sekunder ( Penyedia Bahan Pengemas) = Aliran Produk = Aliran Informasi
= A.Primer = A.Sekunder
Gambar 4.4 Pola Aliran Rantai Pasok Produk Hortikultura Organik Menurut Chopra (2003), pada jaringan distribusi rantai pasok memiliki enam dusunin jaringan distribusi dapat digunakan untuk memindahkan produk dari pabrik ke pelanggan/konsumen. Sesuai dengan dusunin jaringan distribusi yang ada, rantai pasok produk hortikultura organik ini menggunakan tipe jaringan distribusi retail storage with customer pickup. Pemilihan jaringan distribusi ini dipilih dikarenakan konsumen membeli langsung kepada pihak retailer sebagai penjual produk. Konsumen mendatangi retailer secara langsung untuk membeli produk ke retailer.
Pola Aliran Rantai Pasokan Hortikultura Organik Pola aliran rantai pasok hortikultura organik melibatkan anggota primer yaitu petani, koperasi, distributor dan retailer. Aliran komoditas sayuran organik yang pertama adalah petani sebagai supplier menjual kepada pihak koperasi. Sayuran organik yang ditanam oleh petani merupakan produk yang akan dipanen sesuai dengan jadwal dan produk yang ditentukan oleh pihak koperasi. Produk yang telah dipanen kemudian dijual kepada pihak koperasi. Produk dari petani dilakukan proses penyortiran dan pengemasan oleh pihak koperasi dengan baik agar tidak merusak produk sayuran organik yang dikemas. Proses selanjutnya adalah produk yang telah disortasi dan dikemas disimpan dalam ruang penyimpanan yang mempunyai alat pendingin. Produk selanjutnya akan di distribusikan pada pihak distributor
Identifikasi Risiko Rantai Pasok Produk Hortikultura Organik Kuesioner bagian pertama diketahui identitas responden bernama Bpk. Heri, dimana Bpk. Heri telah bekerja selama 10 tahun. Usaha yang dilakukan bernama Koperasi Brenjonk dengan jenis usaha Koperasi yang menjual produk organik. kuesioner bagian pertama merupakan tahap identifikasi risiko rantai pasok. Hasil kuesioner didapatkan usaha yang dijalankan mendapatkan pasokan komoditas 6
pertanian organik dengan kerjasama entitas bisnis lain. Usaha yang dijalankan oleh Koperasi Brenjonk melakukan kerjasama pada hal pemasaran dengan olahan pertanian organik yang dihasilkan. Menurut Prasetya et al. (2007), untuk memenangkan persaingan global, perusahaan dapat berkolaborasi dengan kompetitornya untuk memperkuat posisi pasarnya. Perusahaan yang berkolaborasi dengan kompetitornya (competitive collaboration) akan memperoleh peningkatan skill dan teknologi serta transfer competitive advantage yang diperoleh dari kompetitornya. Pada Koperasi Brenjonk didapatkan bahwa faktor yang menjadi prioritas dalam menjalin kerjasama dengan entitas bisnis lain kualitas merupakan prioritas utama, waktu prioritas kedua dan biaya merupakan prioritas terakhir. Hasil yang terakhir didapatkan bahwa usaha yang dijalankan telah mendokumentasikan setiap risiko gangguan ataupun kerugian yang diterima selama ini.
dilakukan pada pihak Koperasi Brenjonk maka didapatkan hasil identifikasi yaitu pada unsur source, make, deliver dan return Tabel 8. Pengkajian dan Pengukuran Risiko Pada Entitas Bisnis dari Sisi Manufaktur Unsur Plan
Sources
Make
Pengukuran Risiko terhadap Rantai Pasok Produk Hortikutura Organik Perhitungan fuzzy FMEA dalam perhitungan ini akan digunakan sebagai dasar dalam penentuan prioritas penanganan dan tingkat risiko untuk tiap stakeholder. Pada anggota sekunder tidak digunakan dalam perhitungan fuzzy FMEA. Pada rangkaian penelitian sebelumnya ditampilkan gambaran rinci dari proses-proses yang ada dalam rantai pasok Koperasi Brenjonk, mulai dari proses yang berkaitan dengan supplier, aktivitas produksi sampai produk diterima oleh peritel atau konsumen. Penelitian sebelumnya tentang identifikasi risiko rantai pasok produk hortikutura akan menilai sistem kerja rantai pasok produk organik dari segi perencanaan (plan), penyediaan bahan baku (source), proses (make), pengiriman (deliver), dan pengembalian (return). Semua aspek tersebut akan diidentifikasi pada semua aktor yang terlibat dalam rantai pasok produk hortikultura yang dikelola oleh Koperasi Brenjonk. Berdasarkan Tabel 8 ditampilkan aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan untuk kelima proses plan, source, make, deliver dan return. Tahapan perhitungan fuzzy FMEA proses plan tidak akan diikutkan pada perhitungan risiko. Pengidentifikasian awal dilakukan pada pihak Koperasi Brenjonk dengan melakukan wawancara mendalam berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari kuesioner. Hasil wawancara yang
Deliver
Return
Failure Mode P1 Risiko komoditas yang dikirim melebihi pesanan atau kebutuhan produksi S1 Risiko komoditas mengalami ketidaksesuaian kualitas dengan standar S2 Risiko komoditas mengandung cemaran bahan kimia S3 Risiko komoditas mengalami kerusakan ataupun penurunan kualitas S4 Risiko komoditas yang dikirim melebihi pesanan atau kebutuhan produksi M1 Risiko komoditas mengalami kerusakan selama penyimpanan M2 Risiko komoditas mengalami keterlambatan atau penundaan pengolahan M3 Risiko komoditas mengalami penurunan hasil produksi M4 Risiko peralatan mengalami gangguan kerusakan selama proses pengolahan M5 Risiko kontaminasi produk selama proses pengolahan D1 Risiko komoditas mengalami kehabisan persediaan D2 Risiko komoditas mengalami perubahan jumlah permintaan D3 Risiko komoditas memiliki produk pesaing R1 Risiko komoditas mengalami pengembalian produk
Sumber: Data Primer Diolah, 2014 Menentukan Anggota Tim Penilai FMEA Penentuan dari anggota tim penilai FMEA yang pertama adalah failure mode atau yang disebut dengan faktor-faktor risiko akan dinilai oleh pakar. Pakar harus mengetahui proses dan aliran informasi dimulai dari supplier hingga distributor dan manajemennya. Pakar disini harus memiliki pengalaman dalam menangani masalah yang terjadi serta mengetahui seluk beluk perusahaan. Koperasi Brenjonk, yang menjadi pakar dan responden untuk menilai failure mode pada kuesioner yang diberikan adalah Bpk. Heri sebagai kordinator harian Koperasi Brenjonk. Pakar yang digunakan pada Koperasi Brenjonk hanya satu orang. Pakar hanya diberikan kepada Bpk. Heri dengan bobot kepentingan 100%, karena Bpk Heri yang mengetahui semua proses dan 7
keadaan manajemen Koperasi Brenjonk. Jumlah pakar hanya satu dikarenakan pada Koperasi Brenjonk masih mengalami kekurangan tenaga kerja, sehingga tenaga kerja yang ada tidak mengikuti job desk yang ditetapkan. Pakar bisa bertambah apabila tenaga kerja Koperasi Brenjonk telah mencukupi dan tiap divisi telah mengikuti job desk masing-masing dari pekerjaannya, sehingga ada tenaga kerja lainnya yang mengerti dengan semua proses dan keadaan manajemen Koperasi Brenjonk. Menurut Astuti (2010), data kebutuhan rantai pasok diperoleh melalui pendapat pakar yang merupakan orang yang mempunyai pengalaman dalam bidangnya. Pakar pada penilaian bobot kepentingan dihitung berdasarkan pengalaman dan tingkat kepakaran yang dimiliki. Nilai keseluruhan hanya bernilai satu, apabila ada dua pakar atau lebih maka nilai dirata-rata untuk mendapatkan satu nilai. Pakar yang digunakan oleh Koperasi Brenjonk berjumlah satu orang, sehingga tidak ada perhitungan bobot kepentingan.
Hal ini, dapat diketahui paling besar di skala very minor berarti kondisi yang diakibatkan jika terjadi kegagalan termasuk rendah atau dapat dikatakan sistem dapat beroperasi dengan sedikit gangguan. Pada penilaian detection nilai terbesar adalah yang mendapatkan nilai delapan (termasuk skala kecil) sebesar 46,15% dan terendah pada nilai tujuh (termasuk skala sangat rendah) sebesar 15,38%. Pada penilaian detection tingkat deteksi yang ada terhadap mode kegagalan termasuk rendah. Pada penilaian ini dapat dikatakan tidak ada alat pengontrol yang mampu mendeteksi penyebab kegagalan dan modus kegagalan berikutnya. Tabel 9. Nilai Occurance, Severity dan Detection No 1.
2.
3.
Perhitungan Nilai Occurance, Severity, dan Detection Pada perhitungan nilai occurance, severity dan detection dimana untuk masingmasing failure mode akan dinilai oleh pakar dari Koperasi Brenjonk. Perhitungan nilai ini didapatkan dari hasil kuesioner untuk manufaktur pada kuesioner bagian kedua. Menurut Wang et al. (2009), pada nilai occurance (O) dan severity (S) adalah frekuensi dan keseriusan (efek) dari kegagalan, sedangkan detection (D) adalah kemampuan untuk mendeteksi kegagalan sebelum mencapai pelanggan. Nilai ocurance, severity dan detection didapatkan dengan memberikan kuesioner kepada penilai. Tinggi rendahnya nilai yang didapat pada setiap nilai faktor berdasarkan tingkat kejadian yang pernah terjadi pada komoditas sayuran organik. Pada Tabel 9 diketahui hasil kuesioner dari penilaian occurance (O), severity (S), dan detection (D) untuk masing-masing failure mode yang telah menjadi parameter risiko rantai pasok produk hortikultura organik. Penilaian occurance terbesar terdapat pada nilai tiga (termasuk skala rendah) sebesar 38,46% dan terkecil nilai empat (termasuk skala sedang) yaitu 7,69%. Hal ini dapat dilihat bahwa kemungkinan terjadinya kegagalan relatif rendah. Penilaian severity yang mendapat nilai terbesar adalah nilai dan terkecil yang mendapat nilai tujuh (termasuk skala high) sebesar 7,69%.
4.
5.
6.
7.
8
9. 10.
11.
12. 13.
Failure mode S1 Risiko komoditas mengalami ketidaksesuaian kualitas dengan standar S2 Risiko Komoditas mengandung cemaran bahan kimia S3 Risiko komoditas mengalami kerusakan ataupun penurunan kualitas S4 Risiko komoditas yang dikirim melebihi pesanan atau kebutuhan produksi M1 Risiko komoditas mengalami kerusakan selama penyimpanan M2 Risiko komoditas mengalami keterlambatan atau penundaan pengolahan M3 Risiko komoditas mengalami penurunan hasil produksi M4 Risiko peralatan mengalami gangguan kerusakan selama proses pengolahan M5 Risiko kontaminasi produk selama proses pengolahan D1 Risiko komoditas mengalami kehabisan persediaan D2 Risiko komoditas mengalami perubahan jumlah permintaan D3 Risiko komoditas memiliki produk pesaing R1 Risiko komoditas mengalami pengembalian produk
O 2
S 2
D 9
2
2
9
3
2
8
3
2
8
3
4
9
5
4
8
5
3
7
4
3
8
3
2
8
2
2
9
3
3
9
5
7
7
5
4
8
Sumber: Data Primer, 2014 Perhitungan Agregasi Nilai Fuzzy untuk Occurance, Severity, dan Detection Agregasi nilai fuzzy untuk faktor occurance (O), severity (S), dan detection (D) didasarkan pada Persamaan (1) hingga 8
Persamaan (3). Nilai agregat ini yang kemudian akan digunakan untuk menghitung nilai FRPN. Menurut Hidayat et al. (2012), agregasi masukan para pakar yang berbentuk fuzzy dilakukan dengan pembobotan rata-rata. Keluaran (output) langkah ini masih berupa skor fuzzy. Rata-rata dari nilai agregat untuk masing-masing faktor occurance, severity, dan detection dapat dilihat pada Tabel 10.
Nilai bobot yang diberikan pada semua failure mode sama sesuai dengan bobot kepentingan pada masing-masing faktor occurance, severity maupun detection. Nilai bobot untuk masingmasing faktor occurance, severity, dan detection dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Bobot Faktor, Bilangan Fuzzy dan Rata-Rata Nilai Agregat Bobot Kepentingan Occurance, Severity, dan Detection
Tabel 10. Rata-Rata Nilai Agregat untuk Occurance, Severity, dan Detection No
Failure mode
1.
S1 Risiko komoditas mengalami ketidaksesuaian kualitas dengan standar S2 Risiko Komoditas mengandung cemaran bahan kimia S3 Risiko komoditas mengalami kerusakan ataupun penurunan kualitas S4 Risiko komoditas yang dikirim melebihi pesanan atau kebutuhan produksi M1 Risiko komoditas mengalami kerusakan selama penyimpanan M2 Risiko komoditas mengalami keterlambatan atau penundaan pengolahan M3 Risiko komoditas mengalami penurunan hasil produksi M4 Risiko peralatan mengalami gangguan kerusakan selama proses pengolahan M5 Risiko kontaminasi produk selama proses pengolahan D1 Risiko komoditas mengalami kehabisan persediaan D2 Risiko komoditas mengalami perubahan jumlah permintaan D3 Risiko komoditas memiliki produk pesaing R1 Risiko komoditas mengalami pengembalian produk
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
O 2,5
S
D
2
9
Nama
Bpk. Heri
2,5
2
9
2,5
2
8
2,5
2
8
2,5
4
9
5
4
8
5
3
7
5
3
8
2,5
2
8
2,5
2
9
2,5
3
9
5
7
7
5
4
8
Bobot Faktor
Bilangan Fuzzy
Agregat
Penilai Occurance
Medium
(0,5; 0,25; 0,75)
0,5
Severity
High
(0,5; 0,75; 1
)
0,75
Detection
Low
(0 ; 0,25; 0,5 )
0,25
Sumber: Data Primer Diolah, 2014 Tahapan yang dilakukan selanjutnya yaitu perhitungan agregasi bobot kepentingan untuk faktor occurance, severity, dan detection. Perhitungan ini setelah didapatkan nilai dari pakar berupa linguistik adalah merubah bahasa linguistik menjadi bilangan fuzzy. Bilangan fuzzy yang didapat kemudian dihitung dan dirata-rata nilai agregat berdasarkan bobot kepentingan. Perhitungan pada nilai agregat berdasarkan pada Persamaan (4) hingga Persamaan (6). Perhitungan nilai agregat dengan cara mengalikan bilangan fuzzy dengan bobot kepentingan dari penilai (pakar). Pada perhitungan ini bilangan fuzzy hanya dikalikan satu dikarenakan penilai atau pakar hanya terdiri dari satu orang. Nilai agregat bobot kepentingan akan digunakan sebagai nilai pangkat untuk faktor pada perhitungan FRPN. Perhitungan Nilai Fuzzy Risk Priority Number (FRPN) Tahapan terakhir metode fuzzy FMEA menghitung nilai Fuzzy Risk Priority Number (FRPN) dihitung berdasarkan Persamaan (7). Nilai FRPN yang didapat dari masing-masing failure mode diurutkan dengan ketentuan nilai terbesar merupakan ranking teratas. Nilai FRPN yang terbesar merupakan nilai yang mempunyai potensi risiko utama pada Koperasi Brenjonk. Nilai FRPN pada failure mode dapat dilihat pada Tabel 12. Perangkingan pada perhitungan nilai Fuzzy Risk Priority Number (FRPN) didasarkan pada dua sumber. Menurut Dinmohammadi dan Shafiee (2013), hasil perhitungan yang didapat pada penelitian a fuzzy-fmea risk assessment approach for offshore wind turbines memiliki
Sumber: Data Primer Diolah, 2014 Pada bobot kepentingan untuk faktor O, S dan D ini dihitung dengan memperhitungkan bobot masing-masing faktor. Bobot faktor memiliki nilai yang berbeda pada masingmasing faktor berdasarkan nilai dari pakar. 9
beberapa nilai yang sama, perangkingan untuk Risk Priority Number (RPN) dilakukan dengan memberikan rangking yang sama untuk nilai yang sama. Menurut Basjir et al. (2011), hasil perhitungan yang didapat pada penelitian pengembangan model penentuan prioritas perbaikan terhadap mode kegagalan komponen dengan metodologi FMEA fuzzy dan topsis yang terintegrasi, perangkingan untuk nilai RPN pada nilai yang sama menggunakan rangking yang berbeda. Pada perhitungan ini dilakukan perangkingan dengan membedakan rangking untuk nilai yang sama, dimana rangking teratas merupakan risiko yang didahulukan agar tidak terjadi risiko yang lebih besar pada unsur selanjutnya pada failure mode.
kedua yaitu risiko komoditas mengalami keterlambatan atau penundaan pengolahan dan pada posisi ketiga risiko komoditas mengalami pengembalian produk. Pada posisi terakhir merupakan posisi yang mempunyai risiko yang paling kecil yaitu risiko kontaminasi produk selama proses pengolahan. Karena proses pengolahan pada Koperasi Brenjonk sudah disesuaikan dengan standar pengolahan produk, dibuktikan adanya sertifikat produk organik. KESIMPULAN Struktur rantai pasokan komoditas hortikultura yang terdapat di Koperasi Brenjonk meliputi anggota rantai pasokan, aktivitas rantai pasokan dan pola aliran rantai pasokan. Pada rantai pasokan komoditas hortikultura organik terdapat beberapa pihak yang terlibat baik secara langsung yaitu supplier berasal dari petani hortikultura organik, kemudian manufaktur yaitu Koperasi Brenjonk. Distributor yaitu CV Media Inovasi Kita dan Twelve, kemudian untuk retailer yaitu swalayan Ranch Market dan terakhir adalah konsumen. Pihak yang tidak terlibat secara langsung yaitu perusahaan pengemasan yang memasok pada manufaktur yaitu Koperasi Brenjonk. Rantai pasok produk hortikultura organik menggunakan tipe jaringan distribusi retail storage with customer pickup. Urutan prioritas didapatkan melalui perhitungan fuzzy FMEA. Hasil yang didapat diketahui urutan teratas hingga terbawah prioritas risiko rantai pasok hortikultura organik pada Koperasi Brenjonk adalah risiko komoditas memiliki produk pesaing, mengalami keterlambatan atau penundaan pengolahan, mengalami pengembalian produk, peralatan mengalami gangguan kerusakan selama proses pengolahan, mengalami penurunan hasil produksi, mengalami kerusakan selama penyimpanan, mengalami perubahan jumlah permintaan, mengalami ketidaksesuaian kualitas dengan standar, mengandung cemaran bahan kimia, mengalami kehabisan persediaan, mengalami kerusakan ataupun penurunan kualitas, komoditas yang dikirim melebihi pesanan atau kebutuhan produksi dan kontaminasi produk selama proses pengolahan.
Tabel 12. Nilai FRPN pada Failure Mode No 1.
2.
3.
4.
Failure mode S1 Risiko komoditas mengalami ketidaksesuaian kualitas dengan standar S2 Risiko Komoditas mengandung cemaran bahan kimia S3 Risiko komoditas mengalami kerusakan ataupun penurunan kualitas S4 Risiko komoditas yang dikirim melebihi pesanan atau kebutuhan produksi
FRPN 2,77
Ranking 8
2,77
9
2,71
11
2,71
12
5.
M1 Risiko komoditas mengalami kerusakan selama penyimpanan
3,91
6
6.
M2 Risiko komoditas mengalami keterlambatan atau penundaan pengolahan
4,84
2
7.
M3 Risiko komoditas mengalami penurunan hasil produksi M4 Risiko peralatan mengalami gangguan kerusakan selama proses pengolahan M5 Risiko kontaminasi produk selama proses pengolahan
4,10
5
4,19
4
2,71
13
10.
D1 Risiko komoditas mengalami kehabisan persediaan
2,77
10
11.
D2 Risiko komoditas mengalami perubahan jumlah permintaan
3,39
7
12.
D3 Risiko komoditas memiliki produk pesaing R1 Risiko komoditas mengalami pengembalian produk
6,26
1
4,84
3
8.
9.
13.
SARAN Disarankan untuk menyempurnakan hasil penelitian dalam penilaian faktor kegagalan yang ada dengan jumlah pakar yang lebih banyak. Penyempurnaan penelitian juga dapat dilakukan dengan menggunakan tingkat kepakaran yang
Sumber: Data Primer Diolah, 2014 Pada Tabel 12 diketahui tiga peringkat teratas yaitu tingkat pertama pada risiko komoditas memiliki produk pesaing. Posisi 10
sesuai dengan kondisi rantai pasok produk hortikultura organik. Penelitian ini juga dapat diperdalam dengan dilakukannya identifikasi tindakan pencegahan dan penentuan prioritas tindakan pencegahan.
Wardani, B.K.R. 2014. Identifikasi Risiko Rantai Pasok Produk Hortikutura Organik di Koperasi Brenjonk Kecamatan Trawas, Mojokerto. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang Wang, Y. M., Chin, K. S., Poon, G. K. K., Yang, J. B. 2009. Risk Evaluation in Failure Mode and Effects Analysis Using Fuzzy Weighted Geometric Mean. Journal Expert Systems with Application 36:1195-1207
DAFTAR PUSTAKA Astuti, R, Marimin, Poerwanto, R, Machfud, Arkeman, Y. 2010. Kebutuhan dan Struktur Kelembagaan Rantai Pasok Buah Manggis. Jurnal Manajemen Bisnis 3(1): 99-115
Wuwung, C.S. 2013. Manajemen Rantai Pasokan Produk Cengkeh Pada Dusun Wawona Minahasa Selatan. Jurnal Emba 1(3): 230-238
Basjir, M. Hari S dan Mokh. Suef. 2011. Pengembangan Model Penentuan Prioritas Perbaikan Terhadap Mode Kegagalan Komponen Dengan Metodologi FMEA, Fuzzy dan Topsis yang Terintegrasi. Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Surabaya. Hal. 12 Chopra, S. 2003. Designing The Distribution Network in a Supply Chain. Journal Transportation Research Part E 39: 123140 Dinmohammadi. F and M. Shafiee. 2013. A Fuzzy-FMEA Risk Assessment Approach for Offshore Wind Turbines. International Journal of Prognostics and Health Management 4(13): 1-10 Fizzanty, T dan Kusnandar. 2012. Pengelolaan Logistik Dalam Rantai Pasok Produk Pangan Segar di Indonesia. Jurnal Penelitian pos dan Informatika 2(1): 17-33 Hidayat, S. Marimin. Ani, S. Sukardi. dan Mohamad. Y. 2012. Model Identifikasi Risiko dan Strategi Peningkatan Nilai tambah Pada Rantai Pasok Kelapa Sawit. Jurnal Teknik Industri 14(2): 89-96 Kutlu, A.C. and Mehmet E. 2012. Fuzzy failure modes and effects analysis by using fuzzy TOPSIS-based fuzzy AHP. Expert Systems with Applications 39(1): 61–67 Prasetya. G.L.H, Edi R dan Retno H. 2007. Membangun Keunggulan Kompetitif melalui Aliansi Strategik untuk Meningkatkan Kinerja Perusahaan (Studi Kasus PT. Pos Indonesia Wilayah VI Jateng dan DIY). Jurnal Studi Manajemen dan Organisasi 4(2): 1-19
11