JARINGAN KERJA PENGINJILAN DAN DAMPAK PEMAHAMAN MISI KEKRISTENAN TERHADAP OIKUMENIS DAN KEMAJEMUKAN DI INDONESIA Editor: Wakhid Sugiyarto KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN TAHUN 2014
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) jaringan kerja penginjilan dan dampak pemahaman misi kekristenan terhadap oikumenis dan kemajemukan di indonesia/ Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta: 2014
ISBN 978‐602‐8739‐32‐0 Hak Cipta pada Penerbit ..................................................................................................................................... Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit ..................................................................................................................................... Cetakan Pertama, Oktober 2014 ..................................................................................................................................... JARINGAN KERJA PENGINJILAN DAN DAMPAK PEMAHAMAN MISI KEKRISTENAN TERHADAP OIKUMENIS DAN KEMAJEMUKAN DI INDONESIA ..................................................................................................................................... Editor : Wakhid Sugiyarto ........................................................................................................................................ Desian Cover dan Layout : Suka, SE ..................................................................................................................................... Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No.6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 ‐ 3920421 http://puslitbang1.kemenag.go.id
ii | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia‐Nya terwujud penerbitan, Buku Hasil Penelitian Kehidupan Keagamaan pada tahun 2014. Penerbitan buku ini merupakan hasil‐hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI pada tahun 2013. Pada tahun 2014 ini ditetapkan sebanyak 10 (sepuluh) naskah buku yang diterbitkan. Buku‐buku tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia. Jaringan Kerja Penginjilan dan Dampak Pemahaman Misi Kekristenan Terhadap Oikumenis dan Kemajemukan di Indonesia. 3. Kasus‐Kasus Aktual Kehidupan Keagamaan di Indonesia. 4. Penistaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam. 5. Efektivitas Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dalam Memberikan Pelayanan dan Bimbingan Terhadap Jamaah Haji. 6. Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA). 7. Mencari Format Ideal Pemberdayaan Penyuluh Agama dalam Peningkatan Pelayanan Keagamaan. 8. Resolusi Konflik Keagamaan di Berbagai Daerah. 9. Penyiaran Agama dalam Mengawal Kerukunan di Indonesia. 10. Memelihara Harmoni dari Bawah: Peran Kelompok Keagamaan dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang banyak menyampaikan informasi dan fakta ini dapat Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | iii
memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah keagamaan dalam dinamika sosial keagamaan yang sangat dinamis di Indonesia. Buku hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi berbagai lembaga atau institusi, terkait informasi kehidupan keagamaan di Indonesia. Untuk itu, dengan selesainya penerbitan naskah buku ini, kami mengucapkan terima kasih yang setinggi‐tingginya kepada: 1.
2.
3.
4.
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan arahan dan sekaligus memberi‐kan kata sambutan pada masing‐masing buku yang diterbitkan. Para pakar dan akademisi yang dengan serius telah mencermati dan memberikan prolog dan epilog pada masing‐masing buku yang diterbitkan. Para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, baik sebagai penulis maupun editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi naskah buku, yang menjadi enak dibaca. Kepada tim pelaksana kegiatan dan semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya penerbitan naskah buku ini.
Apabila dalam penerbitan buku ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, baik substansi maupun teknis kami mohon maaf yang sebesar‐besarnya. Kami berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan perbaikan buku‐buku yang kami terbitkan dan semoga bermanfaat. Jakarta, Oktober 2014 Kepala Muharam Marzuki, Ph.D NIP.19630204 199403 1 002
iv | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENETERIAN AGAMA RI Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas kuasa‐Nya dapat diterbitkan buku hasil penelitian dengan judul Jaringan Kerja Penginjilan dan Dampak Pemahaman Misi Kekristenan Terhadap Oikumenis dan Kemajemukan Indonesia Dalam sepuluh tahun terakhir, bangsa Indonesia disibukkan oleh dinamika gerakan keagamaan transnasional. Gerakan keagamaan transnasional merujuk pada fakta bahwa beberapa kelompok gerakan keagamaan di Indonesia tidak lagi bersifat lokalitas yang diinspirasi dari dalam negeri saja, tetapi lebih dari itu, melibatkan beberapa aspek dengan gerakan keagamaan di luar negeri, seperti; Salafi, Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Syi’ah dan Jama’ah Tabligh (JT) untuk Islam maupun Eropa dan Amerika untuk Katolik dan Kristen, seperti gereja Katolik Roma dan gereja‐gereja rumpun teologi pentakosta dan kharismatik. Oleh beberapa pihak, munculnya gerakan keagamaan transnasional itu perlu diwaspadai, karena rawan mengganggu keharmonisan hidup beragama, meskipun sebagian menyatakan bahwa kondisi itu adalah wajar dan logis. Gerakan keagamaan transnasional di kalangan Katolik dan Kristen bukanlah gejala kontemporer, tetapi sudah berjalan sejak berakhirnya perang salib dan jatuhnya Konstantinopel ke tangan khalifah Turki Usmani, kemudian dimulailah penaklukan dan penjarahan berbagai negara di Asia, Afrika, dan Amerika, dengan semangat reconquesta dan semboyan gold, glory dan gospel. Gerakan penginjilan bukanlah pekerjaan perorangan, tetapi melibatkan jaringan sumber‐sumber otoritas di Eropa dan Amerika.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | v
Kemudian persoalan kontemporer yang menimbulkan berbagai masalah keagamaan baik intern maupun ekstern kekristenan adalah perbedaan memahami misi kekristenan oleh para pemimpin gereja. Perbedaan itu mengakibatkan gangguan terhadap gerakan oikumenis dan keharmonisan beragama dalam konteks kemajemukan dan keindonesiaan. Ada sebagian yang memahaminya sebagai tugas suci untuk segera dan sebanyak mungkin membebaskan domba‐domba yang tersesat apapun caranya, agar kerajaan Allah segera tiba yang disebut dengan church planting. Tetapi sebagian yang lain, sangat menyadari kemajemukan bangsa Indonesia, tercerahkan teologi kerukunan, sehingga dalam memahami misi sebagai pemberian pelayanan yang terbaik bagi umat manusia, siapapun dia, bukan hanya kalangan yang sudah Kristen. Sebagaimana telah dilakukan pada masa lalu, para misionaris melayani yang terbaik kepada umat, tanpa memaksanya masuk menjadi Kristen. Tetapi dalam hitungan abad mereka mendapat bonus iman, sehingga banyak wilayah yang tiba‐tiba menjadi mayoritas Kristen seperti di dataran tinggi Toba, Papua, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur, atau setidaknya mendapat pengikut yang besar, seperti; di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Tana Toraja. Pemahaman misi yang secara intern dan ekstern tidak sinkron dengan kondisi kemajemukan dipastikan akan mengganggu keharmonisan hidup beragama. Secara intern misalnya, church planting yang tidak menggunakan sopan santun dalam bermisi, seperti memberi iming‐iming finansial, dan mengambil anggota gereja lainya jelas akan mengganggu kerukunan intern beragama atau yang sering disebut dengan gerakan oikumenis (kesatuan gereja). Berkaitan dengan ekstern kekristenan, harus diketahui bahwa umat non kristiani umumnya tidak paham seluk beluk kekristenan, sehingga mudah melahirkan salah paham. Pertumbuhan anggota model multi level marketing yang diikuti pendirian gedung gereja membuat umat non kristiani curiga, dan menghadang pembangunan gereja
vi | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
di mana‐mana. Oleh karena itu, pemahaman misi church planting harus segera tinggalkan agar kerukunan beragama tidak terganggu, kembalilah kepada misi sebagaimana pesan Yesus, yaitu membebaskan umat dari kemiskinan, ketidak berdayaan, kebodohan, Advokasi masyarakat berwajah sosial dan sebagainya. Sebagai hasil penelitian yang telah dilakukan dengan tahapan‐tahapan cukup panjang sesuai prosedur penelitian dan penganggaran lembaga pemerintah, kami sangat setuju jika hasil penelitian ini diterbitkan dan kemudian disebarluaskan ke berbagai pihak, agar substansi penelitian dapat tersosialisasi dan diketahui dengan baik oleh pihak pembaca serta diknitesi. Secara khusus kami berharap hasil penelitian ini dapat menjadi bahan dan masukan bagi unit kerja teknis di lingkungan Kementerian Agama RI, dan dengan menjadi tambahan pengetahuan bagi para pembaca berkaitan kehidupan keagamaan berbagai agama di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang berinisiatif untuk menerbitkan, sehingga memiliki nilai manfaat, baik bagi unit kerja teknis terkait Direktorat Jenderal Bimas Kristen Kementerian Agama. Terima kasih kami sampaikan kepada Wakhid Sugiyarto yang telah melakukan editing, sehingga secara keseluruhan siap untuk disosialisasikan. Jakarta, Oktober 2014 Kepala Badan, Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | vii
viii | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
PROLOG Pada Mei 2015, Christian Conference of Asia (CCA) akan mengadakan sidang raya tahunan di Jakarta, dengan tema “Living Together in The Household of God.” 1 Tema ini menunjukkan sebuah harapan akan kebersamaan semua umat (dalam kepelbagaian agama, ras, suku, warna kulit, bahkan spesies) dalam sebuah tempat yang disediakan Allah. Household tidak menunjuk kepada sebuah bangunan rumah, melainkan merujuk ke ruang yang Allah sediakan untuk makhluk yang diciptakannya.Tema ini adalah sebuah tonggak penting dalam paham gereja‐gereja di Asia mengenai kehidupan bersama seluruh umat di tengah keberagaman. Keberagaman adalah suatu hal yang disadari dan dirangkul dengan sengaja karena kita semua tinggal dalam ruang yang sama.Tema Sidang Raya CCA ini menunjukkan arah berteologi gereja‐gereja di Asia, yang ingin hidup lebih dari sekedar toleran, atau hidup berdampingan, melainkan betul‐betul masuk ke dalam interaksi yang sesungguhnya sebagai makhluk ciptaan Allah. Gereja‐gereja di Asia memahami misi sebagai panggilannya untuk merespons permasalahan bersama dalam ruang tinggal tersebut, yaitu kemiskinan, perdagangan manusia, keadilan, kedamaian, dan hidup dengan penganut kepercayaan lain. Alih‐alih melihat dunia sebagai kami (gereja) dan mereka (dunia), perkembangan paham ini memandang dunia sebagai tempat di mana kita (gereja dan yang lain) berada dan berusaha untuk hidup bersama di dalamnya.Ini adalah sebuah pandangan yang memperlihatkan arah pandangan teologi misi yang baru di Asia.
Judul ini juga telah menjadi tema dari sidang gereja‐gereja di Filipina pada 24‐29 Mei 2006. Lihat Hope S. Antone, 1
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | ix
Sementara itu, pandangan teologi misi ini sepertinya belum sepenuhnya diadopsi oleh gereja‐gereja di Asia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya.Ketegangan‐ ketegangan yang terjadi di antara umat beragama di Indonesia banyak dimulai dari isu kristenisasi.Beberapa gereja memahami bahwa misi Kristen adalah usaha untuk memenangkan jiwa, dan pandangan ini tentu akan bergesekan dengan kenyataan keragaman hidup umat beragama di Indonesia. Pertanyaannya sekarang, apa sebenarnya pandangan gereja, dan lembaga parachurchdi Indonesia mengenai misi? Apakah pemahaman misi lebih kepada apa yang gereja‐gereja di Asia akan bahas dalam Sidang Raya mereka pada tahun 2015, atau apakah misi adalah masalah penginjilan yang berujung kepada conversion? Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI menerbitkan hasil penelitian dengan fokus “Jaringan Kerja Penginjilan dan Dampak Pemahaman Misi Kekristenan Terhadap Oikumenis dan Kemajemukan di Indonesia” yang dilaksanakan pada tahun 2010‐ 2012. Penelitian ini dilakukan untuk memahami paham misi apa yang sekarang sedang berkembang di gereja‐gereja di Indonesia? Dengan pertanyaan ini, Puslitbang memilih beberapa gereja untuk diteliti secara empiris dan kepustakaan.Pada akhirnya, hasil penelitian ini diharap bisa memperjelas pemahaman misi yang dimiliki oleh gereja‐gereja di Indonesia, dan rekomendasi‐ rekomendasi untuk kebijakan pemerintah bisa diambil berdasarkan penelitian tersebut. Namun, sebelum kita masuk ke dalam hasil penelitian, kita perlu melihat apa itu misi. Ketika pekerjaan misi tiba di Indonesia, dia dipandang sebagai penginjilan kepada bangsa‐ bangsa yang belum percaya kepada Tuhan. Misi dipahami dalam arti klasik yaitu penyebaran Injil. Gereja Katolik Roma masuk ke
x | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Indonesia sejak tahun 1511 2 dan dia berkembang secara pesat di daerah pesisir dan pelabuhan (Aritonang 1996, 11). Namun, misi Gereja Gereformeerd Belanda yang kemudian masuk melalui kekuatan dagang VOC sejak awal abad ke‐17, justru mengkristenkan (baca: memprotestankan) orang‐orang pribumi, termasuk orang‐orang yang sudah menjadi penganut Katolik. Penginjilan ini dilakukan atas semangat pietisme gereja beraliran Calvinis, yaitu untuk membawa berita Injil ke seluruh dunia. Pada awal masuknya agama Kristen Protestan di Indonesia, mereka diterima karena berbagai alasan. The van den End menuliskan bahwa kekristenan masuk bukan hanya sebagai fenomena religius, namun bagian dari negosiasi politis dan perdagangan, dan sebagian besar diterima di Indonesia timur, lalu mereka juga menerima gabungan budaya baru dengan budaya asal mereka sebagai identitas yang baru (van den End 1987). Dengan demikian, pada awalnya misi dilihat sebagai cara untuk menyebarkan kabar baik dan memulai gereja di tempat‐ tempat baru. Dalam perkembangannya kemudian, yang tidak akan saya gambarkan di sini, pemahaman misi secara teologis mengalami perubahan makna. David J. Bosch, dalam pendahuluan buku wajib misi Kristen Transformasi Misi Kristen menuliskan bahwa pengertian misi sampai tahun 1950 memiliki beragam makna yang terbatas kepada hal‐hal berikut ini: (1) penyebaran iman; (b) perluasan pemerintahan Allah; (c) pertobatan orang‐orang kafir; dan (d) pendirian jemaat‐jemaat
Aritonang menjelaskan bahwa ada yang menengarai kalau Gereja Katolik Roma sudah masuk ke Indonesia melalui pedagang Nestorian pada abad ke‐& di pantai barat Sumatera Utara.Namun hal ini masih perlu dibuktikan lagi lebih lanjut. 2
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | xi
baru (Bosch 2000, 1). 3 Pengertian tradisional ini telah menerima tantangan dari luar dan dalam gereja.Beberapa dari tantangan atas pengertian misi itu adalah kemajuan teknologi, fakta bahwa kekuatan kekristenan juga mulai berpindah ke dunia‐dunia selatan, filosofi dunia post modern, lahirnya teologi yang berasal dari dunia‐dunia non‐Utara, dsb. Dari tiga belas poin yang diajukan Bosch sebagai pemahaman misi yang baru akibat dari perubahan‐perubahan di atas (Bosch 2001, 13‐17), kita bisa merumuskan bahwa misi adalah pekerjaan Allah sendiri. Misi adalah penyataan diri Allah dan respons‐Nya kepada dunia (missio Dei).Misi adalah soal Allah yang hendak menjawab dunia.Gereja ikut dalam pergerakan ini untuk membawa Injil ke seluruh dunia.Gagasan missio Dei mendapatkan ruakhnya dalam Konferensi IMC di Wilingen pada tahun 1952 berdasarkan pemikiran Karl Barth yang menempatkan misi dalam konteks Tritunggal dan bukan eklesiologi (gereja) atau soteriologi (keselamatan). Intinya, inisiatif misi berasal dari Allah dan bukan dari gereja. Pengejawantahan misi Allah ini adalah panggilan kepada gereja‐gereja untuk ikut berperan dalam berbagai langkah. Bosch mencatat beberapa unsur‐unsur paradigm misi oikumenis yang muncul, yaitu: misi sebagai perantara keselamatan; misi sebagai perjuangan demi keadilan; misi sebagai penginjilan; misi sebagai kontekstualisasi; misi sebagai pembebasan; misi sebagai inkulturasi; misi sebagai kesaksian bersama; misi sebagai 3Keempat pemahaman ini adalah rangkuman dari aksi‐aksi berikut ini: pengiriman misionaris ke daerah tertentu, kegiatan‐kegiatan yang dilaksanakan oleh misionaris‐misionaris tersebut, wilayah geografis di mana misionaris itu bekerja, lembaga yang mengutus para misionaris, dunia non‐ Kristen atau “lapangan misi,” atau pusat yang mengirim para misionaris itu, sebuah jemaat setempat tanpa pendeta yang menetap dan masih menerima dukungan dari jemaat induknya, atau serangkaian pelayanan khusus untuk memperdalam atau menyebarkan iman Kristen.
xii | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
pelayanan oleh seluruh umat Allah; misi sebagai kesaksian kepada orang‐orang berkepercayaan lain; misi sebagai teologi; dan misi sebagai aksi dalam pengharapan. Dengan melihat pemahaman misi di atas, kita bisa memahami bahwa misi telah memasuki babak baru yang melampaui pemahaman tentang penginjilan itu sendiri. Penginjilan adalah bagian dari misi, namun dia bukan keseluruhan dari misi. Sumartana, dalam bukunya Mission at the Crossroads (1991), menggambarkan dilema yang dihadapi oleh teologi misi Kristen di Indonesia dalam hubungannya dengan agama‐agama lain. Dilema teologis dalam pergerakan misi Kristen terletak dalam dua isu: kristenisasi dan Negara Islam (Sumartana 1991, 333). Salah satu cara untuk melihat dilema ini adalah dengan kembali ke Pancasila sebagai model positif dari sinkretisme agama, sehingga ketakutan akan pengerasan identitas yang ingin mengalahkan identitas yang lain bisa diminimalisir. Sumartana menulis, Dalam perspektif ini, agama diarahkan menuju komitmennya bagi kesejahteraan manusia yang hidupnya selalu berhadapan dengan masalah sehari‐hari. Dalam konteks hubungan lintas agama di Indoneisa, sebuah harapan harus ditunjukkan kepada agama‐agama: harapan akan kemampuan untuk saling memahami, saling memaafkan, dan saling bekerja sama (Sumartana 1991, 343). Cara Sumartana untuk melihat misi inilah yang diterjemahkan oleh buku yang Anda baca ini sebagai misi presensia. Presensia dipahami sebagai cara gereja untuk menjalankan misi dengan menjadi garam dan terang di manapun mereka berada. Menurut paham ini, kehadiran kekristenan harus ditandai dengan perbaikan kualitas kemanusiaan, baik rohani maupun jasmani. Gereja tidak melulu bicara soal menarik Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | xiii
seseorang menjadi pengikut Kristus, namun bagaimana seorang pengikut Kristus bisa memberi arti bagi dunia di sekitarnya. Dalam paparan singkat di atas, kita bisa melihat bahwa pemahaman teologis mengenai misi juga berubah dari masa ke masa.Pada masa ini, gereja‐gereja dunia sepakat untuk memahami misi juga sebagai hospitalitas, kesanggrahan terhadap sang liyan. Penyambutan terhadap yang lain adalah sebuah cara melakukan misi di dunia yang penuh dengan keragaman dan perbedaan. Hershberger (2009) menuliskan bahwa hospitalitas adalah kehidupan yang penuh dengan panggilan untuk berjumpa dan melayani orang yang membutuhkan demi mewartakan Injil. Misi yang dilakukan di sini juga bukan untuk mengkristenkan seseorang, melainkan untuk mengenalkan dan menjadi perpanjangan tangan Allah yang memiliki misi untuk menjawab dunia.Paham misi yang baru ini juga telah diadopsi oleh para teolog pentakostal seperti Amos Yong (2008) dan Vondey Wolfgang (2010). 4 Dari titik berangkat pemahaman misi tersebut, kita sekarang akan membaca hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti di Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa gereja dan badan pendidikan teologi milik gereja di berbagai tempat di Indonesia. Beragam paham mengenai misi disederhanakan menjadi dua pilihan, yaitu: (1) presentia atau misi gereja dalam hal siginifikansi kehadiran gereja dalam masyarakat dan menjadi garam dan terang dunia (kualitas kehadiran); dan (2) church planting yaitu misi dilihat sebagai penyebaran Injil yang sering dinilai dari pendirian gereja yang baru (kuantitas kehadiran). Kedua posisi Lihat pemaparan mengenai kemunculan gereja‐gereja dan organisasi gereja aras nasional di Indonesia dalam Binsar J. Pakpahan, “Ekaristi dan Rekonsiliasi: Sebuah Upaya Mencari Eklesiologi Gereja‐gereja Pasca Konflik” dalam Gema Teologi Vol. 37, No. 1, April 2013, h. 47‐60. 4
xiv | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
ini tentu tidak cukup untuk menggambarkan perkembangan pemikiran teologis mengenai misi, namun dirasa dapat digunakan sebagai kacamata untuk melihat pemahaman misi organisasi‐organisasi gereja yang diteliti. Di sini, kita mengapresiasi pekerjaan yang telah dilakukan Puslitbang Kementerian Agama untuk mengetahui apa yang sebenarnya dipahami oleh gereja‐gereja mengenai misi, baik itu dalam dokumen teologi tertulis mereka maupun praktik misi yang mereka lakukan. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh gereja‐gereja untuk melihat kembali pemahaman teologis mereka mengenai misi dalam konteks kebangsaan Indonesia. Selamat membaca! Jakarta, Oktober 2014 Pdt. Binsar J. Pakpahan, Ph.D Pengajar STT Jakarta Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | xv
Daftar Acuan Antone, Hope S. 2006. “Living Together in the household of God: Becoming a household of faith, love, and hope” dalam CTC Bulletin Vol. XXII, No. 2, August. 52‐61. Aritonang, Jan S.1996. Berbagai aliran di dalam dan di sekitar gereja.Jakarta: BPK Gunung Mulia. Bosch, David J. 2000. Transformasi misi Kristen: Sejarah teologi misi yang mengubah dan berubah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Herschberger, Michele. 2009. Hospitalitas: Orang asing atau ancaman? Jakarta: BPK Gunung Mulia. Pakpahan, Binsar J. 2013. “Ekaristi dan Rekonsiliasi: Sebuah Upaya Mencari Eklesiologi Gereja‐gereja Pasca Konflik” dalam Gema Teologi Vol. 37, No. 1, April.47‐60. Sumartana, Th. 1993. Mission at the crossroads: Indigenous churches, European missionaries, Islamic association and socio‐religious change in Java 1812‐1936. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Van den End, Th. 1987. Ragi Carita 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Vondey, Wolfgang. 2010. “Pentecostal ecclesiology and eucharistie hospitality: Toward a systematic and ecumenical account of the church.” Pneuma 32.41‐55. Yong, Amos. 2008. Hospitality and the other: Pentecost, Christian practices, and the neighbor. Maryknoll, NY: Orbis.
xvi | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
PRAKATA EDITOR Jaringan Kerja Penginjilan, dan Dampak Pemahaman Misi Kekristenan terhadap Oikumenis dan Kemajemukan Indonesia Setelah Yesus tiada, misi kekristenan diteruskan oleh Petrus dan para misionaris berikutnya. Pekabaran Injil modern dilakukan dengan membentuk jaringan yang terorganisir dan dilakukan melalui berbagai saluran seperti; sosial, ekonomi, politik, kolonial, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Perjalanan misi kekristenan di seluruh dunia tidak dapat dilepaskan dari adanya jaringan misionaris, orientalis dan kolonialisme bangsa Barat, dari era pasca perang Salib hingga hari ini. Kolonial Eropa yang dipelopori Spanyol dan Portugal dengan semangat reconquesta, melakukan penjelajahan samudra untuk menemukan jalur rempah‐rempah, sebagai akibat Konstatinopel jatuh ke tangan Turki tahun 1453. Jatuhnya Konstantinopel, kisah perjalanan Marcopolo dari dunia timur, penemuan kompas dan penemuan Copernicus bahwa bumi ini bulat telah mendorong keberanian para pelaut untuk menjelajahi samudra. Apalagi pasca perjanjian Thordesillas (1492) dengan mediator Paus, di mana isi perjanjian adalah membagi dunia yang tersisa untuk Spanyol dan Portugal. Para pelaut Portugal dan Spanyol kemudian keliling dunia dengan modal kapal dan logistik dari Ratu Isabella dari Kastila, Ferdinand II dari Aragon, Paus dan kaum borjuasi Eropa berlayar untuk menemukan jalur lain sumber rempah‐rempah. Setelah ditemukan, mereka memonopoli perdagangan komoditas rempah‐rampah tersebut, melakukan penjarahan, dan penjajahan lengkap dengan membentuk pemerintahanya di negeri‐negeri jajahan. Dalam mengelilingi dunia itu, semangatnya adalah reqonquesta, yaitu penaklukan bangsa Mur yang muslim, Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | xvii
sehingga ketika sampai di Filipina karena menemukan bangsa muslim, mereka menyebutnya bangsa Moro yang akhirnya dipergunakan hingga sampai hari ini. Di samping itu, semboyanya adalah Gold, Glolry dan Gospel. Gold maksudnya adalah emas atau kekayaan, Glory maksudnya adalah kejayaan dan kebanggaan, karena sudah menjadi bangsa penakluk, Gospel maksudnya adalah melakukan kritenisasi dan pekabaran Injil. Semangat Reconcuesta dan semboyan Gold, Glory dan Gospel mendorong berbagai negara Eropa lainya berlomba dan bersaing dengan sesamanya untuk mendapatkan harta kekayaan, kebanggan dan melakukan kristenisasi. Kesemuanya adalah akibat kekalahan perang Salib, dan jatuhnya Konstantinipel ke tangan Turki membuat bangsa Eropa mawas diri akan citra diri yang harus segera dibangun. Kegagalan perang salib dan jatuhnya konstantinopel dianggap sangat memalukan, dan menimbulkan dendam tiada tara. Semangat Reconcuesta dan semboyan Gold, Glory dan Gospel telah membuat nama‐nama pelaut Spanyol dan Portugal menjadi terkenal di Eropa, seperti; Christopher Columbus, tahun 1492 sampai ke Bahama di Laut Karibia (Amerika) yang diyakini sebagai India, sehingga penduduk aslinya disebut Indian; Cortez, tahun 1519 berhasil menduduki Mexico setelah menaklukan kerajaan Aztec dan suku Maya; Pizzaro, tahun 1530 berhasil menguasai Peru setelah menaklukan kerajaan Inca; Ferdinand Magelhaens, tahun 1520 sampai di Filipina; Sebastian d’Elcano, tahun 1521 sampai di Maluku yang ternyata telah dikuasai Portugal; Bartholomeus Diaz, tahun 1496 sampai di Tanjung Harapan (cape of good hope ); Vasco da Gama, tahun 1498 sampai ke Kalkuta, India; Alfonso d’Albuquerque, tahun 1511 berhasil sampai ke Malaka, tahun 1512 sampai ke Maluku. Belandapun menyusul berangkat berdasarkan cerita dari Marcopolo dan petanya, sehinga lebih efisien yang pada tahun 1559 telah tiba di Batavia, dari pada yang dilakukan Portugis dan Spanyol. Ketika
xviii | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
pulang ke Eropa Belanda telah memenuhi kapalnya dengan harta yang melimpah. Belandapun menjaga rute ke Nusantara mati‐matian berapapun harganya, kemudian membentuk perkumpulan dagang yang terkenal yaitu VOC yang dilengkapi dengan serdadu. Misi reqonquesta dengan semangat gold, glory dan gospel berhasil mengelabui bangsa‐bangsa dari tujuan itu dengan menggunakan kedok perdagangan. Padahal tidak lama kemudian, mereka segera membentuk pemerintahan di negeri bangsa lain, menebar misionaris dan dilengkapi dengan serdadu dan persenjataan militer. Pada gelombang berikutnya, konspirasi dengan semangat reqonquesta dan semboyan Gold, Glory dan Gospel itu, mengikutsertakan antropolog, arkeolog/purbakala, geolog/agronom, ahli infrastruktur, ahli pertanian, ahli irigasi, ahli tanaman pangan dan menyusul kemudian ahli keuangan dan perpajakan untuk memepeljari semua aspek di negeri jajahan (manusia dan alamnya). Kedua eksponen yang sama‐sama dibawa oleh para penjajah itu bekerja sungguh‐sungguh untuk kepentingan agama dan negaranya, yaitu Raja/Ratu dan Paus, karena ada hak untuk raja dan ada hak untuk Tuhan (agama). Bangsa Indonesia tentu masih sangat ingat keberadaan jaringan penginjilan yang berupa zending‐zending Protestan; kebijakan kristenisasi kolonial; Snock Horgronye mempelajari tradisi masyarakat Aceh; penyusunan hukum negara, adat dan hukum Islam; program tanam paksa ala Van den Bosch; pembangunan jalan Dandels (jalur pantura) 1000 km dari Anyer sampai Panarukan; jalan‐jalan utama di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Bali; pembangunan jaringan rel kereta api dari Merak ke Banyuwangi dan berbagai kota di Jawa dan dari Kota Banda Aceh sampai Bandar Lampung; serta ribuan bangunan irigasi, pabrik‐pabrik gula di Jawa dan sebagainya. Semua hal itu jelas tidak dapat dijadikan argumen bahwa Belanda ke Indonesia Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | xix
hanya berdagang, tetapi melakukan kolonial dan kristenisasi. Adanya jaringan kerja missionaris dengan kolonial itu benar‐benar nyata dan faktual, satu mata uang yang sama. Kerja‐ kerja pengijilan atau kristenisasi tidak berjalan sendiri, tetapi terorganisir sejak dari Eropa dan belakangan juga dari Amerika. Misalnya Gereja Katolik adalah misi yang diemban para pelaut Spanyol dan Portugal atas perintah Paus di Roma, dan pendanaan dari Ratu Isabella, Raja Ferdinad dan kaum borjuasi Eropa. Kristen Protestan dikembangkan oleh missionaris Eropa Skandinavia, dan Pentakosta dari missionaris Amerika dan seterusnya. Model jaringan penginjilan baik oleh misionaris Kristen Katolik maupun Kristen Protestan dengan pemerintah kolonial seperti itu sama di seluruh benua jajahan. Ketika Spanyol sampai di Filipina, menyebut kaum muslim di Filipina sebagai bangsa Moro, untuk mengingatkan penaklukanya terhadap bangsa Moor di Afrika Utara. Ketika Colombus sampai di Amerika, ia menyebut penghuni benua itu dengan sebutan Indian, karena dianggapnya sebagai simbol telah sampai di tanah Hindia (Nusantara) dst. Gambaran seperti ini cukup jelas dideskripsikan oleh penulisnya, sehingga para pembaca dapat memahami betapa jaringan penginjilan, kolonialisme dan dengan semangat reqonquesta dan sembooyan gold, glory dan gospel begitu kuatnya. Deskripsi jaringa penginjilan ini adalah laporan penelitian di Malang yang mengambil kasus GPdI dan di Makassar yang mengambil GBI Horif dan GBI Philadelphia. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010, yang mungkin data kuantitatif terkininya sudah mengalami perubahan dan mungkin signifikan, mengingat bahwa GPdI dan GBI adalah denominasi gereja yang pertumbuhanya sangat pesat, meskipun secara substansial pola‐pola aktifitasnya belum berubah. Penelitian jaringan kerja penginjilan GPI dan GBI ini merupakan bagian dari penelitian judul besar, ”Penelitian tentang Gerakan Keagamaan Transnasional”. Bagian lain dari penelitian ini
xx | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
adalah ”Jaringan Kerja Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jaringan Kerja Dakwah Salafi di Indonesia (Salafi Wahabi), Jaringan Kerja Dakwah Madzhab Syi’ah di Indonesia (Ijabi), Jaringan Kerja Dakwah Ikhwanul Muslimin (IM) di Indonesia; dan Jaringan Kerja Dakwah Jama’ah Tabligh di Indonesia (JTI). Dalam dua penelitian yang berfokus pada GPdI dan GBI, Wakhid Sugiyarto menjelaskan jaringan kerja penginjilan, baik jaringan intelektual dan kelembagaan GPdI dan GBI, jaringan kegiatan gerejanya, dan jaringan pendanaanya. Seperti diketahui, GPdI dan GBI teologinya adalah rumpun pentakosta, sehingga penjelasan jaringan kerja penginjilan GPdI sekaligus dapat untuk memahami begitu pulalah jaringan penginjilan GBI. Di samping itu secara genealogis, GBI adalah pecahan dari Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS), sementara GBIS adalah pecahan dari GPdI. Bahkan pendiri GBIS dan GBI adalah sama, yaitu Pendeta HL Senduk. GBIS muncul dari GPdI tahun 1952 dan GBI muncul dari GBIS tahun 1970‐an. Laporan penelitian ini cukup jelas menjelaskan jawaban terhadap pertanyan penelitian, sehingga pembaca dapat memiliki landscup mengenai jaringan pekabaran Injil di Indonesia yang ternyata dilakukan dengan rapi, penuh perecanaan dan strategi jangka panjang, pendanaan dari berbagai sumber, dan mendirikan berbagai lembaga pendidikan teologi yang memang didirikan khusus untuk memenuhi penginjilan. Model penulisan laporan penelitian dalam buku ini karena berangkat dari judul besar yang sama, maka berkaitan dengan pendahuluan cukup ditampilkan sekali saja di awal penulisan laporan penelitian. Sehingga penulisan dua laporan penelitian, pendahuluanya hanya satu, karena berangkat dari judul besar penelitian yang sama yaitu ”GerakanKeagamaan Transnasional”. Begitu pula berkaitan dengan laporan 9 hasil penelitian lainya berkaitan dengan “Dampak Pemahaman Misi Kekristenan dan Implementasinya terhadap Oikumenis dan Masyarakat Indonesia Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | xxi
yang Majemuk” juga hanya ditampilkan satu pendahuluan saja. Barulah kemudian menampilkan sembilan (9) hasil penelitian yaitu; kasus di Malang (Kasus Sinode Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK) oleh Pdt. Satia Lan Syamsuddin serta Kasus Institut Pendidikan Theologia Balewiyata (IPTB) oleh Syaiful Arif; di Surakarta dengan fokus Gereja Bethel Indonesia (GBI) “Keluarga Allah” oleh Wakhid Sugiyarto dan STT El‐Sadday oleh Asnawati; di Yogyakarta adalah Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman dan Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung (GPIBIA) oleh Ubaidillah dan Sekolah Teologi Agama Kristen Marturia (STAKM) oleh Suhanah; di Banjarmasin fokusnya adalah Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) & STT GKE oleh Pdt. Herman Nainggolan; dan di Palangkaraya dengan fokus Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Resort Palangkaraya oleh Nuhrison M. Nuh dan Sarmidi. Laporan masing‐masing dimulai dari kondisi umum wilayah penelitian, karena pendahuluanya cukup dimuat hanya satu. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan, bahwa di kalangan pemimpin gereja terjadi perbedaan pendapat dalam memahami makna dan pelaksanaan misi Kekristenan, yaitu church planting dan presensia. Praktek misi beberapa denominasi lebih menekankan peningkatan/penambahan jumlah kuantitatif orang‐orang percaya yang disebut dengan church planting. Di internal gereja, misi church planting dirasakan sebagai perebutan warga gereja di antara denominasi gereja. Alhasil church planting telah menimbulkan dan mempengaruhi kebersamaan gereja dalam gerakan oikumene. Model misi yang menekankan multiplikasi jumlah dalam konteks kemajemukan Indonesia menimbulkan keresahan kalangan masyarakat karena dilakukan dengan cara melampaui batas‐batas kesantunan, toleransi dan kesopanan. Beberapa hasil penelitian menjelaskan bahwa agresifitas misi church planting mendorog menguatnya situasi
xxii | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
intoleransi, artinya ekspansi yang tidak pandang bulu telah melahirkan sikap intoleransi beragama. Sementara itu presensia sebagai metode misi, cenderung dianut gereja‐gereja tradisional (meanstreim) yang dipengaruhi teologi kerukunan, sehingga fokusnya adalah mengembalikan misi aslinya Yesus. Gereja yang benar‐benar memahami makna pesan Yesus, tentu sangat setuju bahwa Kristen harus hadir kembali dengan pelayanan terbaiknya yang pernah berjaya di masa lalu, yaitu pendidikan, kesehatan dan rumah sakit, perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, yayasan sosial dan budaya. Dalam pelayanan itu tidak pernah menuntut adanya keharusan menjadi Kristen dan semua terserah pada masyarakat. Misi Kristen di Papua misalnya, ketika 2 pendeta Jerman yaitu Otto dan Geissler yang memulai penginjilannya di pulau Mansinan 5 Februari 1855 diantar oleh bangsawan Tidore, (diperingati sebagai hari masuknya Kristen di Papua) tidak menyuruh masyarakat Papua masuk Kristen. Kedua pendeta itu melakukan pemberdayaan masyarakat, mengenalkan pertanian modern, kesehatan, pendidikan, pemberdayaan lingkungan (membuat rumah) dan bahkan memberi makan dan memelihara anak‐anak mereka untuk dididik dan dibudayakan serta mewacanakan bahwa berpakaian penting bagi kesehatan. Keduanya kemudian digantikan silih berganti oleh para pendeta dari zending‐zending Protestan. Satu abad kemudian, yaitu sekitar tahun 1953 umat Kristen baru memiliki gedung gereja yang pertama di Mensinan, justru setelah ada tanda‐tanda akan bersatu dengan NKRI. Perjuangan selama satu abad para misi Zending Protestan itu tidak sia‐sia dan tiba‐tiba panen raya ketika Papua bergabung dengan NKRI, dan Kristen telah menjadi mayoritas mutlak di Papua (Wakhid Sugiyarto dan Reslawati, 2010). Begitu pula setelah misionaris bekerja di Kalimantan sejak tahun 1835, yang kemudian membentuk organisasi gereja GKE setelah satu abad, yaitu pada tahun 1935 baru mendirikan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | xxiii
gedung gereja Dayak (Nuhrison M. Nuh dan Sarmidi Husna, 2011), dan di dataran tinggi Toba, juga panen raya justru ketika para Zending mementingkan presensia dari pada church planting (Wakhid Sugiyarto, 2011). Sementara di Jawa yang cenderung church planting malah kurang berhasil, hanya sekitar 5% dari etnis Jawa, Madura dan Sunda yang menjadi Kristen, seperti di Salatiga, Surakarta, Malang dan DIY selama berabad‐abad, sementara di luar itu mutlak muslim. Jadi church planting dan presensia memiliki nuansa berbeda dalam implementasinya, meski ada sebagian dampaknya sama. Penjelasanya tentang berbagai hal yang dijawab dalam penelitian cukup baik, karena adanya dua peneliti beragama Kristen dengan monitoring dari seorang Sekretaris Jenderal organisasi persekutuan gereja. Meskipun ada hal‐hal yag kurang pas, masih dapat dimaklumi mengingat para peneliti adalah muslim, tetapi penelitianya cukup berhasil menjawab masalah penelitian yang dibutuhkan sebagai bahan penyusunan kebijakan pimpinan Kementerian Agama. Jika ingin mendalami substansi penelitian itu secara mendalam, sangat dianjurkan jika dilakukan dengan deskreptif kualitatif yang semestinya, karena penelitian dalam rangka menyiapkan bahan kebijakan bagi pimpinan tidak mungkin dapat dilakukan secara mendetail seperti penelitian murni oleh para ilmuwan yang melakukan penelitian berbulan‐ bulan untuk sampai pada menjawab masalah penelitian secara memuaskan.
Jakarta, Oktober 2014 Editor
Wakhid Sugiyarto, NIP. 19640209 199403 1 003
xxiv | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Daftar Pustaka Agus, Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,, 2006. Bernard Raho SVD, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Penerbit Obor, Jakarta, Januari 2013, hal. 44 Bdk. Daru Marhendy dan Favor A. Bancin, Memahami Tradisi dan Sistem Pemerintahan Gereja‐gereja di Indonesia, (Jakarta: Word Visi Indonesia, 2008). Bdk. Jan Sihar Aritonang, Aliran‐Aliran di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995) Christian de Jonge, Gereja Mencari Jawab: Kap. Selekta Sej.Gereja, BPK Gunung Mulia, 2009, hal. 32 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta,1997, hal. 13. Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia, Direktori Gereja‐gereja, Yayasan, Pendidikan Agama dan Keagamaan Kristen di Indonesia, Jakarta, 2011:247 ; 248 ‐ 250 HL . Senduk, Sejarah G.B.I: Suatu Gereja Nasional yang termuda, (Jakarta, GBI, 1993) Konsep Gereja Misioner menurut GKJ dan GKI Jateng diuraikan Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal. 30 – 40. Paulus Lie, Mereformasi Gereja, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2010, hal. ix‐2 Pdt. Yacob Nahuway, Pandanglah ladang telah menguning, tuailah, Sambutan dalam laporan BPH Sinode GBI dalam Sidang Raya Sinode GBI di Senayan 2008. Solarso Sopater, Memacu Laju Gerakan Keesaan Gereja di Indonesia Suatu Upaya Berteologi Secara Kontekstual” dalam,
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | xxv
Gerakan Oikumene Tegar Mekar di Bumi Pancasila. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993). Wakhid Sugiyarto dan Reslawati, Laporan Penelitian Dalam Rangka Mempersiapkan Dialog Multikultural di Papua Barat (Manokwari), Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2011
Laporan Penelitian Achmad Ubaidillah, Penelitian Tentang Dampak Implementasi Pemahamanmisi Kristen Bagi Kemajemukan Indonesia Dan Gerakan Oikumene:Kasus Gereja Kristen Jawa Gondokusuman dan Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung di DI Yogyakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2012; Penelitian Tentang Dampak Implementasi Asnawati, Pemahamanmisi Kristen Bagi Kemajemukan Indonesia Dan Gerakan Oikumene: Kasus STT El‐Shadday di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2012; Nuhrison M. Nuh, Penelitian Tentang Dampak Implementasi Pemahamanmisi Kristen Bagi Kemajemukan Indonesia Dan Gerakan Oikumene: Kasus Gereja Kalimantan Evangelis Resort Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2012; Pdt. Herman Ninggolan, Penelitian Tentang Dampak Implementasi Pemahamanmisi Kristen Bagi Kemajemukan Indonesia Dan Gerakan Oikumene: Kasus Gereja Kalimantan Evangelis & STT GKE di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2012; Pdt. Satia Lan Syamsuddin, Penelitian Tentang Dampak Implementasi Pemahamanmisi Kristen Bagi Kemajemukan Indonesia Dan Gerakan Oikumene: Kasus Sinode Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK)
xxvi | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
di Malang, Jawa Timur, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2012; Syaiful Arif, Penelitian Tentang Dampak Implementasi Pemahamanmisi Kristen Bagi Kemajemukan Indonesia Dan Gerakan Oikumene: Kasus Institut Pendidikan Theologia Balewiyata di Kota Malang, Jawa Timur, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2012; Suhanah, Penelitian Tentang Dampak Implementasi Pemahamanmisi Kristen Bagi Kemajemukan Indonesia Dan Gerakan Oikumene: Kasus Sekolah Teologi Agama Kristen Marturia, di Provinsi DI. Yogyakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2012; Wakhid Sugiyarto, Penelitian Tentang Dampak Implementasi Pemahamanmisi Kristen Bagi Kemajemukan Indonesia Dan Gerakan Oikumene: Kasus Gereja Bethel Indonesia (GBI) “Keluarga Allah” di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2012; Wakhid Sugiyarto, Penelitian tentang Gerakan Keagamaan Transnasional: Kasus Jaringan Kerja Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Makasar, Sulawesi Selatan, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2010. Wakhid Sugiyarto, Penelitian tentang Gerakan Keagamaan Transnasional: Kasus Jaringan Kerja Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) di Malang, Jawa Timur, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2010. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | xxvii
xxviii | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN .......................................
iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI ........................
v
PROLOG ............................................................................
ix
PRAKATA EDITOR ......................................................... xvii DAFTAR ISI ...................................................................... xxix JARINGAN KERJA PENGINJILAN 1. 2.
3.
Pendahuluan .............................................................. Jaringan Penginjilan Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Lembah Dieng Malang Jawa Timur. Wakhid Sugiyarto .....................................
1
11
Jaringan Kerja Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Makassar Sulawesi Selatan Wakhid Sugiyarto .....................................
65
DAMPAK PEMAHAMAN MISI KEKRISTENAN TERHADAP OIKUMENIS DAN KEMAJEMUKAN INDONESIA 1. 2.
Pendahuluan .............................................................. 103 Kasus Gereja Bethel Indonesia (GBI) “Keluarga Allah” di Kota Surakarta, Jawa Tengah Wakhid Sugiyarto ...................................... 123
3.
Kasus STT El‐Shadday di Kota Surakarta, Jawa Tengah Asnawati ................................................... 161 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan | xxix
4.
Kasus Gereja Kristen Jawa Gondokusuman dan Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung di DI Yogyakarta Achmad Ubaidillah ................................... 177
5.
Kasus Gereja Kalimantan Evangelis Resort Palangka Raya, Kalimantan Tengah Nuhrison M. Nuh ..................................... 217
6.
Kasus Institut Pendidikan Theologia Balewiyata di Kota Malang, Jawa Timur Syaiful Arif ............................................... 255
7.
Kasus Gereja Kalimantan Evangelis & STT GKE di Banjarmasin, Kalimantan Selatan Herman Nainggolan ................................. 291
8.
Studi Kasus Sekolah Teologi Agama Kristen Marturia di Provinsi DI Yogyakarta Suhanah .................................................... 319
9.
Studi Kasus Misi Sinode Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK) di Malang, Jawa Timur Satia Lan Syamsudin ................................ 365
EPILOG .............................................................................. 385 INDEKS .............................................................................. 389 BIODATA EDITOR .......................................................... 393
xxx | Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
JARINGAN KERJA PENGINJILAN Pendahuluan Latar Belakang ada tahun 1921, Rev. Cornelius Groesbeek dan Rev. Richard Van Klaveren datang di Indonesia melakukan pelayanan di Bali, namun selama 1,5 tahun tidak berhasil, diapun menangis dan akhirnya pindah ke Surabaya tahun 1922, dan ke Cepu pada tahun 1923. Pelayanannya di Cepu mendorong F. G Van Gessel pegawai BPM bertobat dan dipenuhkan Roh Kudus yang disusul banyak putera – puteri Indonesia lainnya, seperti: H. N. Runkat, J. Repi, A. Tambuwun, J. Lumenta, E. Lesnusa, G. A Yokom, R. Mangindaan, W. Mamahit, S.I.P Lumoindong dan A. E. Siwi. Mereka ini kemudian menjadi pelopor gerakan Pantekosta, yang membuatnya maju pesat di Indonesia. Dengan semangatnya yang tinggi dalam pelayanan, maka jemaat‐ jemaat baru mulai bermunculan. Pada 4 Juni 1937, pemerintah memberi pengakuan pergerakan Pantekostanya sebagai persekutuan gereja (“Kerkgenootschap”) berdasarkan Staatblad 1927 nomor 156 dan 523, dengan Beslit Pemerintah No.33 tanggal 4 Juni 1937 Staadblad nomor 768 nama “pinkster Gemente” diubah menjadi “Pinksterkerk in Nederlansch Indie”. Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1942, nama itu diubah menjadi “Gereja Pentakosta di Indonesia”, dan Ketua Badan Pengoeroes Oemoem (MP) GPdI pertamanya adalah putra Indonesia yaitu Pdt. H.N Runkat. Paska perubahan nama ini diikuti dengan pendirian Sekolah al Kitab dan Sekolah Tinggi Theologi di berbagai tempat di Indonesia, yang salah satunya di Beji, Batu yaitu Sekolah al Kitab dan Sekolah Tinggi Teologi Beji. GPdI adalah induk dari
P
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
1
semua gereja kharismatik rumpun teologi Pentakosta, karena dari gereja inilah lahir banyak gereja independen rumpun Pentakosta di Indonesia, seperti Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) dan Gereja Bethel Indonesia (GBI). Perkembangan teologi gereja Pantekosta memang sangat menjanjikan, tetapi mengakibatkan perpecahan berlarut‐larut dan berlanjut. GPdI sebagai generasi pertama gerakan teologi pantekosta di Indonesia telah mulai perpecahanya setelah beberapa perpecahan sebelumnya, lahir Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) tahun 1952 oleh HL. Senduk. Ajaibnya, perpecahan itu malah memiliki sisi positif daripada negatifnya bagi perkembangan gereja rumpun teologi Pentakosta, karena jaringan penginjilan dan gereja semakin luas dan kuat, menjadi berkah bagi sinode yang dilahirkanya dan pertumbuhan jemaat yang semakin masif. Kedua organisasi gereja (GPdI dan GBIS) sama‐sama berkembang pesat di seluruh Indonesia. Belakangan, dari GpdI lahir sinode‐sinode atau organisasi gereja baru yang umumnya maju pesat dan dari GBIS juga lahir organisasi gereja baru, yaitu Gereja Bethel Indonesia (GBI), yang anggotanya justru jauh lebi besar dari pada GBIS. GPdI, GBIS, dan GBI terus melahirkan sinode‐sinode baru sebagaimana nanti akan terlihat. Sinode gereja rumpun teologi pentakosta yang semakin banyak telah memperluas jaringan kerja sama dari umat Kristen tersebut, misalnya dalam bentuk oikumene (kesatuan gereja). Mereka bersatu dalam pemahaman misi untuk apa ia hadir di hadapan publik Indonesia, tetapi berangkat dari sinode masing‐masing, sehingga kerja misi menjadi lebih rapi dan strategik, beriaspora dan menyebar seperti kotak pandora, dan lebih baik untuk menuai dan panen raya menyelamatkan domba‐domba yang tersesat. Kerjasama oikumene ini juga
2
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
sangat penting dalam pekabaran Injil (tugas misi) untuk lebih menghargai nilai‐nilai bersama dalam kemajemukan Indonesia, agar tidak terjadi disharmoni dalam masyarakat. Jaringan pekabaran Injil yang sekaligus penguatan eksistensi Kristen, dilakukan dalam bentuk pertukaran informasi, tenaga pendeta, dan peningkatan sumber daya ekonomi anggota gereja‐gereja dan jema’at, sarana prasarana, peningkatan sumber daya manusia dan sebagainya. Hal ini mudah karena teologinya sama yaitu pentakosta. Informasi berkaitan dengan jaringan kerja oekumenis ini, secara sosiologis tidak dimiliki Kementerian Agama sehingga perlu dilakukan penelitian agar diketuahi apa sebenarnya jaringan oikumeneis kekristenan yang menimbulkan persoalan kehidupan sosial keagamaan, yaitu persoalan ”Kristenisasi” menjadi isu yang tidak pernah hilang sampai hari ini. Bahkan dicurigai sebagai bagian dari jaringan gerakan keagamaan trans nasional. Dengan penelitian ini diharapkan dapat disajikan data dan informasi yang penting untuk penyusunan kebijakan keagamaan dalam upaya menjaga harmonisasi dan kerukunan umat beraama. Pada kali ini penelitian difokuskan GPdI di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu) dan Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Makassar. Masalah Penelitian Dari latar belakang masalah di atas, maka penelitian berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan sejumlah masalah jaringan kerja GPdI di Malang dan GBI di Makassar, yaitu; jaringan intelektual dan ilmu pengetahuan; jaringan penginjilan; jaringan kelembagaan atau keorganisasian yang mereka bangun; dan jaringan keuangan atau ekonomi. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
3
Tujuan Penelitian dan Ruang Lingkup Dari masalah yang diteliti, maka tujuan dari penelitian ini secara khusus adalah mengumpulkan bahan untuk kepentingan penyusunan kebijakan bagi pimpinan Kementerian Agama. Secara umum, menjelaskan atau mendeskripsikan jaringan intelektual dan ilmu pengetahuan; jaringan kelembagaan dan keorganisasian; jaringan penginjilan dan keuanganya; serta melengkapi informasi mengenai kehidupan keagamaan di Direktorat Bimas Kristen Kementerian Agama. Untuk mencapai tujuan penelitian itu agar menjadi lebih fokus pada masalah penelitian, maka ruang lingkupnya dibatasi pada GPdI Malang dan GBI Makassar. Pembatasan ruang lingkup hanya pada GPdI dan GBI ini karena; 1) mengalami perkembangan relatif pesat di seluruh Indonesia; 2) mendapat perhatian atau dukungan masyarakat luas; 3) kehadiranya telah memperkaya dinamika kehidupan keagamaan di Indonesia; 4) cukup menarik dijadikan bahan kajian, karena banyak hal yang belum diketahui dari jati dirinya; 5) perlu ada kebijakan yang tepat dalam upaya memelihara kerukunan umat beragama. Konsep dan Kerangka Teori Gereja Pentakosta di Indonesia dan Gereja Bethel Indonesia adalah sinode gereja atau organisasi gereja yang sama‐sama berteologi pentakosta dan kharismatik yang akarnya di Amerika. Dengan teologi itu ia tampil beda, mengejutkan dihadapan publik dan kontroversial sekaligus fenomenal dengan teologinya itu. Jani‐janji spiritualitas yang sensasional sangat menarik orang‐orang yang percaya, sehingga menarik banyak orang untuk mengikutinya. Merekapun terlihat aktif, memiliki solidaritas kuat antar anggota, ketaatan pada pemimpinnya luar biasa, terutama
4
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
dalam persepuluhan, persembahan dan sumbangan sukarela, serta melaksanakan amalan keagamaan yang terlihat lebih ketat atau Al‐Kitabiah. Jema’at GPdI dan GBI telah membuktikan dirinya berbeda dengan gereja meanstreim, seperti Gereja Katolik dan Gereja Protestan lainya. Gerakan keagamaan yang yang dilakukan oleh Jema’at GPdI dan GBI dengan berbagai strategi dan disertai program yang terencana ditujukan untuk suatu perubahan kehidupan keagamaan masyarakat. Maksudnya adalah gerakan institusi atau organisasi keagamaan yang telah melembaga seperti GPdI dan GBI, memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan agama masyarakat. GPdI maupun GBI sebagai gereja dan sinode rumpun teologi Pentakosta memperlihatkan dirinya sebagai gerakan keagamaan yang massif, merembes seperti air, dan tumbuh tak terbatas seperti multi level marketing (MLM), sehingga menyebar ke seluruh Indonesia. Karena itu gerakan keagamaan transnasional diartikan sebagai gerakan keagamaan yang memiliki program dan rencana jangka panjang dalam upaya merubah kehidupan keagamaan yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki jaringan regional maupun internasional dalam segala aspek yang mungkin. Ada bebarapa hal yang secara teoritis dapat mempengaruhi hidup matinya sebuah gerakan, yaitu ketersediaan sumber daya intelektual dan ilmu pengetahuan; sumber daya penginjilan (pendeta/missionaris); kelengkapan struktur kelembagaan atau keorganisasian; sumber daya keuangan dan keteladanan para pemimpin gereja. Ketersediaan sumber daya intelektual dan ilmu pengetahuan tentu saja mengacu pada proses menyediakan tenaga‐tenaga berpengetahuan di segala bidang kehidupan sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah misi besar yaitu Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
5
penginjilan. Oleh karena itu, pada awal‐awal kolonialisasi Barat ke negara‐negara dunia ketiga, pastilah akan diikutsertakan para antropolog, sosiolog, ahli geologi, agronomi, irigasi, pendeta dan sebagainya. Ketersediaan pendeta dan misionaris sangat penting karena merekalah yang secara khusus menerjunkan diri dalam aktifitas penginjilan dengan landasan al Kitab yang didukung berbagi ilmu pengetahuan yang telah melalui kajian mendalam oleh ahlinya, sebagaimana dilakukan oleh kolonial. Kelengkapan penting lainya adalah struktur kelambagaan atau organisasi, seperti organisasi gereja yang dikelola secara baik dengan segala program baik yang presensia maupun church planting. Presensia dimaknai sebagai berteologi dan bermisi yang memperhatikan konteks masyarakat di mana ia hadir, secara kontekstual, harus berangkat ‘dari bawah’, dan sumber utamanya (selain kitab suci dan tradisi) adalah ilmu‐ilmu sosial, antropologi, psikologi sosial, bahasa, tradisi‐tradisi yang berlaku atau realitas yang ada di masyarakat, bahkan tradisi bertransaksi berbagai kepentingan yang ada. Karena, dengan konsep yang demikian, khususnya misi sebagai kontekstualisasi, adalah suatu penegasan bahwa Allah hadir di tengah‐tengah budaya masyarakat tersebut, sehingga orang, dalam budayanya sendiri, dapat menyadari bahwa Allah juga berpaling kepada dunia dan dalam kehidupan mereka yang beraneka dan kontekstual.Yesus, dalam menjalankan misi‐Nya di dunia pada masa itu, juga hadir dalam konteks budaya di Timur Tengah, yaitu masyarakat Yahudi. Yesus berkenan menyatakan kehendak‐Nya yang kekal dan universal melalui tindakan‐tindakan‐Nya pada suatu konteks ruang dan waktu tertentu pada masyarakat sekitar‐Nya (Eka darmaputra, 1997). Tujuan akhir dari misi adalah penyelamatan domba‐domba yang tersesat, baik sesat
6
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
spiritualitasnya, maupun hidup duniawinya, sebagaimana pesan Yesus, agar kita semua menolong mereka yang tersesat. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, dan masyarakatnya masih banyak yang tersesat secara spiritualitas dan duniawinya, maka pemahaman misi presensia dan church planting sama pentingnya dan tidak dapat dipisahkan. Sementara itu church planting (penanaman gereja) dimaknai sebagai sebuah proses yang menghasilkan sebuah gereja Kristen baru secara mandiri dan menanam lagi, begitu seterusnya. Church planting berbeda dengan pembangunan gereja, di mana ibadah baru yang berpusat pada ekspresi yang segar diciptakan dan terintegrasi dengan gereja yang sudah mapan. Gereja “ditanam” akan memiliki kehidupan yang terpisah dan berfungsi tanpa gereja induknya, walaupun hubungan dengan induk terus berjalan dalam hubungan denominasi atau bagian dari jaringan (wikipedia.org/wiki/ Church_planting diunduh Maret 2013). Kelengkapan berikutnya yang sangat penting adalah sumber dana keuangan untuk membiayai operasional konsep misi yang presensia maupun church planting. Sumber dana utama dari sebuah organisasi haruslah dari dalam sendiri dalam bentuk persepuluhan dan persembahan. Di jaman kolonial, peran kebijakan kolonial sangat penting dalam mendorong suksesnya misi penginjilan di berbagai negara. Jaringan para penginjil dengan penguasa sangat kental sebagaimana terlihat tercatat dalam berbagai buku sejarah. Penginjilan di jaman kolonial, tidak jalan jika tidak ada jaringan pendanaan, karena jemaat gereja belum terbentuk. Mereka melakukan pemberdayaan masyarakat, mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya yang sukses, meskipun belakangan berbau komersial. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
7
Jaringan intelektual dikalangan organsiasi gereja yang memiliki rumpun teologi yang sama, seperti pentakosta, evangeliscal, kharismatik dan sebagainya juga sangat penting. Sinode GPdI dan GBI atau unit paling kecil karena teologinya sama‐sama sebagai pentakostal, maka dalam kegiatan misinya bisa diperkuat dengan adanya jaringan intelektual dalam bentuk adanya sekolah al Kitab dab sekolah tinggi teologi (STT) yang alumninya dapat saling dimanfaatkan. Dengan kata lain, dalam kontek organisasi gereja seperti GPdI dan GBI adalah hubungan atau komunikasi ilmu pengetahuan dari pusat‐pusat keilmuan GPdI dan GBI sampai ke Jemaat GPdI dan GBI sampai unit keilmuan terendah di daerah di seluruh Indonesia. Komunikasi ilmu pengetahuan dimaksudkan sebagai transmisi ilmu pengetahuan melalui lembaga pendidikan teologi yang dimiliki GPdI dan GBI atau serumpun, dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan kekristenan melalui berbagai pertemuan para pendeta, pengurus wilayah, pengurus daerah dan seterusnya sehingga transmisi ilmu pengetahuan akan terus berulang dan berlanjut. Dengan demikian pengikut GPdI dan GBI dapat memahami substansi keilmuan dari kekristenan secara serempak dan setara di seluruh tingkat sinode dan jemaat. Jaringan kerja antar gereja menjadi sangat penting untuk memperkuat sikap kekristenan para jemaat, baik itu hanya kegiatan intern gereja ataupun dengan antar gereja yang serumpun dalam bentuk oikumene, dan bahkan juga dengan sinode gereja yang tidak serumpun sekalipun. Di tingkat dunia ada World Church Conference (WCC) sebagai wadah Protestan di seluruh dunia, yang disebut gerakan oikumene. (Christian de Jonge, 2009). Sementara di tingkat nasional ada Persekutuan Gereja‐gereja di Indonesia (PGI), Persekutuan Gereja‐gereja Penthakosta Indonesia (PGPI), Persekutuan
8
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Bala Keselamatan (BK), Gabungan Gereja Advent Hari Ketujuh (GMAHK), Gereja Ortodox Indonesia (GOI), Persekutuan‐ persekutuan Gereja Indonesia (PPGI), dan Gereja‐gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI) (Dirjen Bimas Kristen, 2011). Dengan berbagai persekutuan gereja yang ada di Indonesia itu, GPdI dan GBI dapat melakukan diplomasi misi dan saling mengisi di antara dmba‐domba yang tersesat, sehingga kerja‐ kerja misi dapat dilakukan. Metodologi Penelitian Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan teks dan fenomenologis, dimana peneliti melihat dan mempertanyakan berbagai hal dengan para anggota, tokoh GPdI dan GBI atau pendeta dan Pembimas Kristen. Gejala‐gejala yang ada di GPdI dan GBI diamati dan di crosceck sehingga didapatkan seperang‐kat pengetahuan tentang GPdI dan GBI yang kemudian dianalisis secara teoritis. Penelitian ini dilakukan di Malang, Jawa Timur dan di Makassar Sulawesi Selatan. Dengan pertimbangan bahwa dilokasi tersebut tumbuh dan berkembang GPdI dan GBI secara pesat, bahkan merupakan sasaran kristenisasi cukup tua di tanah Jawa dan Sulawesi. Sejarah sosial keagamaan kota Malang dan Makassar yang menunjukkan sebagai daerah awal kristenisasi di Indonesia Timur, menjadi penting untuk dikaji. Data yang Dihimpun Data yang dihimpun adalah 1) Data geografi dan demografi yang menyangkut lokasi wilayah penelitian; 2) Kehidupan Keagamaan Kristen Malang dan di Makasar; 3) Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
9
Sejarah singkat dan perkembangan GpdI dan GBI; 4) Aktifitas keagamaan GpdI dan GBI; 5) Faktor kendala dan pendukung perkembangan GPdI; dan 6) Model jaringan GPdI di Malang dan GBI di Makassar. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan wawancara yang dengan informan (“key informant”), observasi. Observasi dalam penelitian ini dilakukan secara tidak terlibat. Tehnik ini dipilih karena; 1) Tehnik ini memungkinkan melihat dan mengamati sendiri dan men catat perilaku atau kejadian seperti yang terjadi pada keadaan yang sebenar‐nya; 2) Hasil wawancara yang meragukan, dikontrol dan dicek dengan pengamatan; 3) Tehnik ini memungkinkan peneliti mampu memahami situasi yang sulit; 4) Jika tehnik‐ tehnik lain tidak memungkinkan, maka dapat terbantu dengan pengamatan mendalam. Analisis Data Semua dokumen berupa tulisan, dokumen resmi dan hasil wawancara yang berkaitan dengan aspek penelitian dihimpun sebagai sumber data primer. Data yang terkumpul diolah disajikan secara deskriptif analitis dan komparatif. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan menganalisis hasil wawancara, dokumen, observasi mendalam dan terkait dengan fokus penelitian.
10
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
JARINGAN PENGINJILAN GEREJA PENTAKOSTA DI INDONESIA (GPDI) LEMBAH DIENG MALANG JAWA TIMUR Oleh: Wakhid Sugiyarto Kondisi Umum Wilayah Penelitian Kondisi Geografis, dan Kondisi Demografi Kondisi Geografis
S
ecara umum Kota Malang merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa Timur karena potensi alamnya dan iklim yang dimilikinya. Batas wilayahnya adalah; utara berbatasan dengan Kecamatan Singasari dan Kecamatan Karang Ploso Kabupaten Malang; sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pakis dan Kec. Tumpang Kabupaten Malang; sebelah selatan berbatasan dengan Kec. Tajinan dan Kec. Pakis Kab. Malang; dan sebelah barat berbatasan dengan Kec. Wagir dan Kecamatan Dau Kabupaten Malang (Kota Malang Dalam Angka, 2009). Kota Malang memiliki luas wilayah 110.06 km persegi yang terbagi dalam lima kecamatan. Kota Malang posisinya cukup tinggi, yaitu antara 440 – 667 meter di atas permukaan laut dan yang paling tinggi adalah pegunungan Buring di sebelah timur Kota Malang. Sedangkan sungai yang mengalir di wilayah Kota Malang adalah sungai Brantas, Amrong dan sungai Bango. Kalau di Jawa Barat kita mengenal Bogor sebagai Kota dingin, maka di Jawa Timur, Kota Malang lah yang disebut kota hujan. Rata‐rata suhu Kota Malang adalah 25 derajat celcius. Suhu maksimum 23 derajat celcius, dan suhu minimum sampai 18 derajat celcius (Kota Malang Dalam Angka, 2009). Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
11
Kondisi Demografi Menurut hasil proyeksi estimasi penduduk, pada tahun 1909 jumlah penduduk Kota Malang sebanyak 816.637 jiwa yang terdiri dari penduduk laki‐laki sebanyak 404.664 dan penduduk perempuan sebanyak 411.973 jiwa. Dengan demi‐ kian rasio jenis kelamin penduduk Kota Malang adalah 98,23, artinya bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98 penduduk laki‐laki (Kota Malang Dalam Angka, 2009). Persebaran penduduk Kota Malang di antara 5 kecamatan yang ada, Kecamatan Lowokwaru memiliki jumlah penduduk paling banyak yaitu 181.854 jiwa dan jecamatan paling rendah penduduknya adalah Kecamat an Klojen yang memiliki jumlah penduduk 126.760 jiwa. Tetapi kepadatan penduduk tertinggi justru di Kecamatan Klojen yang mencapai 34.356 jiwa per km2. Sedangkan kecamatan dengankepadatan penduduk paling rendah adalah Kecamatan Kedungkandang yang hanya 4.064 jiwa per km2 (Kota Malang Dalam Angka, 2009). Sejarah Perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Sekilas Sejarah Gereja dan Gerakan Penginjilan Agama Kristen adalah salah satu agama Abrahamik yang berdasarkan hidup, ajaran, kematian penyaliban, kebangkitan, dan kenaikan Yesus dari Nazaret ke surga, sebagaimana dijelaskan dalam Perjanjian Baru. Umat Kristen meyakini bahwa Yesus adalah Mesias yang dinubuatkan dalam dari Perjanjian Lama. Teologinya adalah monoteisme, yang percaya akan tiga pribadi Tuhan atau Tritunggal. Teologi Tritunggal dipertegas pada Konsili Nicea Pertama (325) yang dipimpin oleh Kaisar Romawi Konstantin I. Dalam konsili Nicea ini, diperkenalkan bahwa Tuhan itu adalah Tritunggal,
12
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
yang merupakan perpaduan antara Kekristenan dengan keyakinan Tuhan Yang Esa dan kepercayaan lama Eropa yang sering disebut Paganisme. Oleh karena itu, masih ada kelompok Kristen yang tidak mengakui Tritunggal ini sebagai Tuhan atau unitarian, seperti; Gereja Orotodok Timur, Arianisme, Saksi‐saksi Yehova dan sebagainya. Setelah itu, Gereja Kristen mengalami dua kali perpecahan besar, karena perbedaan yang tidak dapat diselesaikan antar para pemimpin gereja waktu itu. Perpecahan besar pertama terjadi pada tahun 1054, yaitu antara Gereja Katolik Roma (GKR) berpusat di Roma dan Gereja Katolik Timur (GKT) yang kemudian dikenal dengan Gereja Ortodok berpusat di Konstantinopel. Perpecahan kedua terjadi di Gereja Katolik Roma (GKR) akibat protes dari Martin Luther yang menjadi Gereja Kristen Protestan yang terjadi pada tahun 1517. Martin Luther memprotes ajaran Gereja yang dianggapnya telah menyimpang dari kebenaran. Pada saat Martin Luther mulai gerakannya, suara Paus lebih diikuti dari pada kebenaran al Kitab, sehingga penyimpangan ajaran Kristen semakin jauh dari al‐Kitab (Bybel). Sementara itu di kalangan Protestan tidak lama kemudian pecah lagi menjadi banyak aliran gereja, seperti Calvinisme di Perancis, Anglikan di Inggris, Penthakosta di Amerika dan Eropa Skandinavia, dan belakangan muncul pula Bala Keselamatan, Saksi‐Saksi Yehova, Gereja Methodist, Gereja Orang‐Orang Suci Akhir Jaman (Mormon), Gereja Jema’at Allah dan sebagainya. Banyak aliran dan denominasi Gereja kini akhirnya menyadari bahwa perpecahan itu justru menyimpang dari pesan Yesus yang mendoakan kesatuan di antara para pengikutnya (Yohanes 17:20‐21), ʺDan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang‐ orang, yang percaya kepada‐Ku oleh pemberitaan mereka; Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
13
supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.ʺ. Doa ini kemudian menjadi dasar dari gerakan ekumenis yang dimulai pada awal abad ke‐20. Kesadaran itu telah mendorong perkumpulan gereja untuk bersatu sebagaimana kehendak Yesus di berbagai belahan dunia. Pada tingkat dunia ada World Church Conference (WCC) sebagai wadah gerakan Protestan di seluruh dunia, yang disebut degan gerakan oikumene. (Christian de Jonge, 2009). Sementara di tingkat nasional ada Persekutuan Gereja‐gereja di Indonesia (PGI), Persekutuan Gereja‐gereja Penthakosta Indonesia (PGPI), Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Bala Keselamatan (BK), Gabungan Gereja Advent Hari Ketujuh (GMAHK), Gereja Ortodox Indonesia (GOI), Persekutuan‐persekutuan Gereja Indonesia (PPGI), dan Gereja‐gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI) (Dirjen Bimas Kristen, 2011). Penginjilan di Indonesia dan negara‐negara lain di dunia luar Eropa, tidak lepas dari peran para misionaris, orientalis dan kolonialisme bangsa Barat terhadap bangsa‐bangsa di Amerika 1, Asia, Afrika dan Australia dari pasca perang salib 1 Amerika, Asia dan Afrika dikapling‐kapling menjadi negara‐negara kecil sesuai dengan kesepakatan para penjajah. Negera‐negara kaplingan itu penduduknya dibikin kasta‐kasta yang membedakan manusia satu dengan lainnya. Di Indonesia misalnya, penduduknya dibedakan menjadi beberapa tingkat. Manusia Eropa adalah manusia klas satu, manusia Arab dan Timur Asing adalah manusia klas dua, para bangsawan dari kerajaan di Indonesia dan manusia didikan/pegawai Belanda (inlander) adalah manusia klas tiga. Dan rakyat pada umumnya adalah manusia klas empat. Dampak psikologisnya luar biasa. Misalnya etnis Cina di Indonesia masih banyak yang menganggap pribumi itu memiliki klas lebih rendah dari dirinya,
14
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
hingga hari ini. Kolonial Eropa yang dipelopori oleh Spanyol dan Portugal berusaha melakukan perjalanan baru untuk mendapatkan sumber rempah‐rempah sendiri, tidak melalui Konstatinopel yang telah jatuh ke tanganTurki. Merekapun keliling dunia dimodali oleh Ratu Isabela, Paus dan kaum borjuasi Eropa. Dalam perakteknya mereka melakukan penjarahan (misi dagang palsu), perbudakan, dan kristenisasi dengan semboyan God, Gold dan Gospel. Misi perdagangan palsu itu, diperkuat dengan pemerintah di negeri jajahan, para misionaris titipkan Ratu Issabela, Paus di Roma atau lembaga‐ lembaga Kristen yang telah ada. Kalaupun tidak ada pemerintahan jajahan, maka yang terjadi adalah perkumpulan dagang, yang dalam perakteknya dilengkaapi dengan tentara, penginjil dan orientalis. Pemerintah jajahan melengkapi dengan orientalis melakukan penyelidikan, pemahaman seluk beluk negeri jajahan, dan menyusun kebijakan untuk pemerintah jajahan di seluruh dunia, seperti; ahli tradisi, agama, sosiologi, kebudayaan, politik, perdagangan, psikologi, dan sebagainya dari penduduk bangsa‐bangsa yang dijajah. Mereka juga membawa arkeolog/purbakala, geolog/ agronom, pertanian, ahli irigasi, ahli tanaman pangan dan menyusul kemudian ahli keuangan dan perpajakan. Kedua eksponen yang sama‐sama dibawa oleh para penjajah itu bekerja sungguh‐sungguh untuk kepentingan agama dan negaranya, yaitu Raja/ Ratu dan Paus, karena ada hak untuk raja dan sebagian hak untuk Tuhan (agama) Memahami Gerakan Pentakosta dan Teologinya Ada beberapa keterangan sejarah berbeda yang
begitu juga di Malaysia orang Indonesia malah dikatakan sebagai Indon (indon di Malaysia dipahami setara dengan budak).
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
15
menjelaskan gerakan Panteksota, terutama berkaitan dengan asal‐usulnya, yaitu: 1. Charles W. Conn berpendapat bahwa asal mula gerakan ini terjadi pada tahun 1896 di Shearer School House di Cherokee County, North Carolina, yang mana ini merupakan cikal bakal dari lahirnya Church of God. 2. Klaude Kendrick berpendapat bahwa gerakan ini berasal dari Sekolah Alkitab Bethel di Topeka, Kansas yang dipimpin oleh Charles H. F. Parham. 3. Donald Gee mengemukakan bahwa asal mula gerakan Pentakosta terjadi pada pertemuan di “Gereja Tua” di Los Angeles pada 6 April 1906, di mana William Seymour (murid Charles Parham) yang berkhotbah tentang ‘bahasa lidah’. Pada umumnya para ahli Pentakosta menyebutkan bahwa ajaran Pentakosta terdiri dari empat pilar, yaitu: Keselamatan. Gerakan Pantekosta tidak merasa bahwa mereka telah menciptakan suatu doktrin atau standar baru dalam Kristen. Dengan khotbah ʹInjil Sepenuhʹ, mereka merasa hanya menekankan kembali ajaran lama yang sudah ada, dan cenderung al Kitabiah (Guy Duty, 19960; Jan S Aritonang, 1995; Steven H.Talumewo, 1988). Tetapi pada umumnya sepakat bahwa sejarah Gereja Pantekosta, dimulai dari kebangkitan rokhani bangsa Amerika awal abad 20, tepatnya tahun 1900‐an oleh Ch. F. Parham. Pendeta Ch. F. Parham mulanya anggota Gereja Methodis, karena ketidakpuasan rokhan ia keluar, kemudian mengalami pencurahan roh khudus lengkap dengan tanda‐tanda bahasa lidah. Padahal telah berabad‐abad tidak terdengar adanya orang‐orang Kristen yang berdoa untuk menerima kehadiran Roh Kudus dalam hidupnya, terlebih adanya bukti berkata‐ kata dengan bahasa Roh dan menerima karunia Roh Kudus. Tetapi pada tahun 1906 terjadi kembali pencurahan Roh Kudus itu kepada orang‐orang yang percaya Tuhan secara signifikan dan fenomenal lengkap dengan bahasa lidah (ada
16
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
mu’jizat) seperti pengalaman gereja awal abad ke‐1 adalah luar biasa (Kisah 2:1‐4, 10:44‐46, 19:5‐6). Kemu’jizatan yang diperoleh jika percaya itu, masuk ke Azusa Street di Los Angeles dan menjalar cepat ke berbagai kota di Amerika Serikat, salah satunya ke kota Seattle, Washington (MP‐ GPdI, 2008 dan Kesimpulan rekaman ceramah tentang Aliran‐aliran gereja di Indonesia dalam Radio Berita Klasik Jakarta, 26 Mei 2010 jam 19.00 – 21.00 wib. Keluarnya Ch. Parham dari Gereja Metodist dan kemudian menyebarkan pentakosta ini secara sosiologis disebut dengan deprivasi, yaitu suatu kejumudan ajaran yang mengakibatkan ketidakpusan rohani, sehingga ia keluar dan merasa perlu menampilkan paham atau ajaran baru yang dinamis dihadapn publik Amerika dengan landasan teologis yang kuat. Ajaran – ajaran teologis dimaksud adalah Pertama, Al‐kitab harus dipahami sebagai Firman Allah yang diilhamkan kepada manusia, untuk menjadi tata‐tertib bagi iman dan perilaku; Kedua, Allah yang benar dan hidup diyakini oleh komunitas teologi Pentakostal sebagai Allah Yang Esa, pencipta langit, bumi dan segala isinya; Ketiga, Keselamatan adalah pembebasan di luar kemampuan seseorang membebaskan diri karena merupakan karya Allah dalam pengupayaan umat bebas dari perbudakan dosa dan membawa ke situasi kemuliaan melalui Yesus Kristus. Keempat, Baptisan adalah tindakan iman untuk melaksanakan percaya kepada Injil, bahwa Kristus telah mati karena dosa‐ dosa manusia, Ia dikuburkan dan telah bangkit pada hari ketiga (1 Kor 15:3‐4; Rom 6:3‐5). Baptisan terdiri dua jenis, yaitu: 1). baptisan air, yakni lambang kematian dan penguburan kemanusian yang lama, dengan cara menyelam seluruh tubuh ke dalam air (Mat 16:15‐16; 28:19); 2), Baptisan Roh adalah baptisan orang percaya dengan Roh kudus Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
17
dibuktikan oleh tanda fisik awal, yaitu berbicara dengan bahasa‐bahasa lain seperti yang diberikan Roh Kudus kepada mereka untuk mengatakannya (Kisah 2:4). Roh Kudus inilah yang menjadi pusat teologi dari aliran Pentakosta. Kelima, Bahasa Lidah, yaitu baptisan atas orang percaya di dalam Roh Kudus yang diawali dan disaksikan oleh tanda lahiriah berupa berbicara dalam lidah (bahasa) lain, sebagaimana kemampuan yang di berikan Allah kepada para Rasul (Kisah 2:4). Keenam, Perjamuan Kudus, terdiri dari unsur roti dan air anggur, lambang yang mengungkapkan keikutsertaan kodrat Illahi Tuhan Yesus, pengenangan atas penderitaan dan kematian‐Nya dan nubuat atas kedatanganya kedua kali, persekutuan orang percaya dengan Allah dan sesama. Kesembuhan bisa terjadi sewaktu orang percaya mengambil bagian dalam perjamuan kudus dimana Allah yang menyembuhkannya, dan sakramen Perjamuan Kudus sebagai salah satu alat anugerah Allah bagi orang percaya (Johanes Setiawan, 2003; Dep. Teologia BP Sinode GBI: 2003). Ketujuh, Kesucian hidup dan perilaku secara menyeluruh. Kaum Pentakostal telah mempertahankan kesucian sebagi pokok ajaran terpenting. Kedelapan, Kesembuhan Illahi. Pada permulaan gerakan Pantekosta, doktrin kesembuhan Illahi adalah suatu kebenaran yang sangat penting dalam berita ʺInjil Sepenuhʺ. Kesembuhan Illahi dikhotbahkan dan dipraktekkan, sebab umat Pentakosta percaya kesembuhan disediakan bersamaan penebusan dan merupakan hak istimewa bagi orang‐orang yang percaya. Kesembilan, Eskatologis, yakni bahwa kaum Pentakosta percaya jika Yesus Kristus akan datang lagi untuk memerintah kerajaan seribu tahun di dunia. Kesepuluh, Gereja bukanlah sekedar perkumpulan melainkan persekutuan yang lahir dari Allah. Alkitab menyatakan bahwa yang mendirikan gereja adalah
18
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Tuhan Yesus (Mat 16:18) (Daniel Lukas Lukito, 1996; W. Menzies William, dan M. Stanley Horton, 1996). Dalam peraktiknya Gereja Pentakosta memiliki ciri‐ciri umum yaitu pertama, sangat menekankan keyakinan peranan Roh Kudus dan karunia‐karunia Roh Kudus di dalam kehidupan sehari‐hari para pengikutnya; kedua, Pembaharuan infrastruktur ibadah, seperti lagu‐lagu rohani yang digunakan lebih modern dibandingkan dengan lagu‐lagu lama yang bernuansa Gregorian; ketiga, Gereja mengizinkan peran kaum perempuan dalam pelayanan; keempat, Desakralisasi hubungan imam dan jemaat yang lebih ditekankan pada nilai kekeluargaan, sehingga jauh dari kesenjangan tingkat kerohanian (feodalisme kegamaan/kharisma keagamaan) (MP‐ GPdI, 2010; Th. Van den End dan J. Weitjens, SJ. Ragi Cerita, 1996; Diolah dari Wikipedia Bahasa Indonesia, diunduh Juli 2010). Untuk memahami jaringan kerja Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), tidak bisa langsung mengambil pada GPdI yang sudah ada saat ini. Sebab GPdI adalah sebuah gereja anak jaman yang lahir akibat kebangkitan kehidupan rokhani bangsa Amerika dan tidak muncul secara tiba‐tiba. Kemunculannya berproses melalui serangkaian perjalanan kekacauan keimanan umat Kristen di Eropa dan Amerika yang sedang mengalami kegersangan rokhani dalam kehidupan ke‐Kristenanya. Ketika telah berabad‐abad tidak terdengar orang‐orang Kristen berdoa dan dapat mu’jizat, apalagi menerima kehadiran Roh Kudus dalam hidupnya dengan bukti berkata‐kata dalam bahasa Roh dan menerima karunia‐karunia Roh Kudus. Pada tahun 1906 mu’jizat itu kembali terjadi dalam bentuk pencurahan Roh Kudus kepada orang‐orang yang percaya secara signifikan dan fenomenal lengkap dengan tanda‐tanda bahasa lidahnya seperti Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
19
pengalaman gereja mula‐mula di abad ke‐1 (Kisah 2:1‐4, 10:44‐ 46, 19:5‐6). Kebangkitan atau kebangunan Rohani masuk ke Azusa Street di Los Angeles dan kemudian menjalar cepat ke berbagai kota di Amerika Serikat, antara lain ke kota Seattle, Washington. Dari sanalah muncul Gereja Pentekosta yang dipelopori oleh seorang pendeta yang sebelumnya sebagai anggota Gereja Methodist, yaitu pada tahun 1900 oleh Ch. F. Parham. Secara teologis, kebanyakan denominasi yang berasal dari rumpun teologi Pentakosta (selanjutnya di tulis pentakosta atau pantekosta) tergabung dalam rumpun pemahaman Evangelical, artinya mereka menekankan bahwa Alkitab itu sepenuhnya dan dapat dipercaya, hingga pada tingkat ineransi (tidak mengandung kesalahan) dan orang harus bertobat dan percaya kepada Yesus. Biasanya, orang Pentakosta berbeda dengan orang Fundamentalis karena mereka lebih menekankan pengalaman rohani pribadi. Orang Pentakosta memiliki pandangan dunia yang transrasional. Meskipun mereka sangat memperhatikan ortodoksi (keyakinan yang benar), mereka juga menekankan ortopati (perasaan yang benar) dan ortopraksis (refleksi atau tindakan yang benar). Penalaran dihargai sebagai bukti kebenaran yang sahih, tetapi orang‐orang Pentakosta tidak membatasi kebenaran hanya pada ranah nalar. Al‐kitab memiliki tempat yang khusus dalam pandangan dunia pentakostal karena Roh Kudus selalu aktif di dalam Al‐kitab, sehingga pertemuan dengan Alkitab adalah pertemuan dengan Allah. Bagi orang Pentakosta, Al‐kitab adalah referensi utama bagi persekutuan dengan Allah dan pedoman untuk memahami dunia seutuhnya. Beberapa gereja Pentakosta juga meyakini bahwa mereka yang tidak berbahasa Roh belum menerima berkat yang mereka namakan baptisan Roh Kudus. Klaim ini
20
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
memang sangat unik bagi kaum Pentakosta dan merupakan salah satu dari sedikit perbedaannya dengan teologi karismatik. Beberapa pendeta dan anggota gereja mengakui bahwa seorang percaya mungkin mampu berbahasa Roh, tetapi karena berbagai alasan pribadi (misalnya, karena kurangnya pengertian), mereka tidak melakukannya. Hal ini terjadi apabila seorang percaya yang dipenuhi oleh Roh Kudus, tetapi tidak memperlihatkan apa yang disebut ʺbukti fisik awalʺ dalam bentuk bahasa Roh. Gerakan ini menyatakan bahwa doktrin ini tidak cocok dengan kritik Paulus terhadap gereja perdana di Korintus yang sangat menekankan bahasa Roh (lih. 1 Korintus, ps. 12‐14 dalam Perjanjian Baru). Para pendukungnya mengatakan bahwa posisi Pentakostal sangat erat dengan penekanan Lukas dalam Kisah Para Rasul dan mencerminkan suatu hermeneutika yang lebih tajam (Jan S. Aritonang, 996; Th. Muller Kruger, 1966; Pavor A. Bancin, 2009). Dalam keyakinan karismatik, Gereja menolak pendapat bahwa karunia karismatik menghilang tak lama setelah masa para rasul. Bapa gereja mula‐mula, Ireneus, menulis sbb. ʺ... kami mendengar banyak saudara di gereja yang memiliki karunia‐karunia bernubuat, dan yang berbahasa Roh, dan yang juga menyingkapkan berbagai rahasia manusia demi kebaikan mereka sendiri [pengetahuan]...ʺ. ʺKetika Allah menganggap perlu, dan ketika gereja banyak berdoa dan berpuasa, mereka melakukan banyak perbuatan yang ajaib, bahkan menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal.ʺ (Th. Muller Kruger, 1966). Tetpi anehnya, keyakinan bahwa orang tidak diselamatkan apabila ia tidak berbahasa roh ditolak oleh kebanyakan aliran utama Pentakosta. Alasan yang mendasar terhadap penolakan itu adalah, bahwa jemaat adalah tubuh Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
21
yang memiliki peran dan karunia masing‐masing. Sebagian gereja Pentakosta berpegang pada teologi keesaan yang menolak doktrin Tritunggal (Trinitas) tradisional dan menganggap tidak al‐kitabiah. Kaum Pentakostal Keesaan ini kadang‐kadang juga dikenal dengan ʺNama Yesusʺ, ʺKerasulanʺ atau yang oleh para pengecamnya disebut sebagai orang‐orang Pentakosta ʺYesus ʺ saja. Hal ini disebabkan oleh keyakinan mereka bahwa para Rasul yang mula‐mula itu membaptiskan orang‐orang Kristen baru di dalam nama Yesus. Mereka juga percaya bahwa Allah menyatakan diri‐ Nya dalam berbagai peran, dan bukan dalam tiga pribadi yang berbeda. Namun demikian organisasi‐organisasi pentakostal trinitarian yang utama, termasuk Pentecostal World Conference dan Fellship of Pentecostal and charismatic Churches of Nort America menentang teologi Ke‐Esaan dan menganggap‐ nya sebagai ajaran sesat. Mereka tidak menerima kelompok ini sebagai anggota mereka. Kelompok Keesaan (Unitarian) inipun memperlakukan hal yang sama terhadap kelompok Tritunggal (trinitarian). Pentakosta yang kemudian menjadi nama denominasi ini secara harfiah, berarti ʺhari ke‐50ʺ. Hari pentakosta sangatlah penting dan merupakan sebuah keharusan untuk dirayakan kalangan pentakosta. Datangnya hari Pentakosta ini berarti berakhirnya tradisi perayaan selama tujuh minggu, di mana umat Israel merayakan paskah. Dalam Keluaran 34:22 dinyatakan ʺHari Raya Tujuh Minggu, yakni hari raya buah bungaran dari penuaian gandum, haruslah kau rayakan, juga hari raya pengumpulan hasil pada pergantian tahun”. Perlu diperhatikan bahwa dari sekian banyak perayaan yang dilakukan oleh orang Yahudi, hari raya Pentakosta adalah perayaan terbesar yang merupakah hari penuh sukacita dan mereka bersyukur kepada Allah atas segala kasih dan
22
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
pemeliharaan‐Nya, termasuk akan hasil panen gandum dan jelai yang melimpah. Mereka datang kepada Allah (gereja) dengan membawa korban syukur yang merupakan persembahan kepada Allah, sekaligus menyatakan pengakuan mereka bahwa segala yang baik yang mereka terima, berasal dari Allah sebagaimana dijelaskan dalam Ulangan.16:11 dan Imanuel.23:17‐20 ((Diolah dari hasil wawancara dengan Drs. Setiaji dan Pdt. Dr. Simon Kostoro 3 Mei 2010 dan diolah dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas 3 Mei 2010). Hari Pentakosta menjadi sangat penting bagi orang‐ orang Yahudi, demikian juga bagi orang Kristen. Dalam Perjanjian Baru terdapat narasi dari Kisah Para Rasul bahwa hari Pentakosta merupakan hari turunnya Roh Kudus, di mana sejak hari Raya Pentakosta tersebut, Alkitab menunjukkan Roh Kudus bekerja secara penuh di dalam GerejaNya. Ini tidak berarti bahwa Roh Kudus belum bekerja sebelum hari raya Pentakosta, sebagaimana dengan jelas terdapat dalam Injil Sinoptik dan Yohanes bahwa Roh Kudus sudah bekerja sebelumnya, baik waktu pembaptisan Yesus maupun pencobaan di padang gurun. Penjelasan ini didasarkan pada Matius. 3:16; Markus. 1:10; Lukas.3:21‐22; Yohanes.1:32‐33; Matius. 4:1; Lukas. 4:1 (Diolah dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas dan hasil wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro 3 Mei 2010). Dalam Perjanjian Lama, dikisahkan tentang bagaimana Roh memimpin para nabi pada saat tertentu dan ketika mengerjakan tugas tertentu. Namun demikian, Alkitab menjelaskan bahwa kehadiran dan peran Roh Kudus tidak pernah dialami oleh umat Allah secara penuh sebagaimana terjadi pada hari Pentakosta, yaitu hari setelah Yesus menyelesaikan karya penyelamatan melalui kematian dan kebangkitannya. Dalam hal ini dipahami pernyataan Injil Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
23
Yohanes bahwa: ʺ... sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum Dimuliakanʺ. Kata ʺdimuliakanʺ sangat menonjol di dalam Injil Yohanes, di mana istilah itu mengacu kepada kematian Yesus yang hal ini dapat dilihat misalnya dalam Yoh.12:23‐24. Dengan perkataan lain, Yohanes menegaskan relasi yang erat tidak terpisahkan antara karya Yesus yang telah diselesaikan melalui kematian‐Nya dengan turunnya Roh Kudus di hari Pentakosta (Diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro 3 Mei 2010). Sejarah Pentakosta dan Perpecahanya di Indonesia Pusat gerakan Pantekosta adalah Gereja Temple di Seatle, Washingtong, kemudian mengirimkan dua orang pendetanya ke Indonesia yaitu Richard Dick, C. Van Klaverans dan Cornelis Groesback serta isteri dan anak‐ anaknya. Pada Maret 1921. Richard Dick dan Cornelius tiba di Batavia (Jakarta), langsung menuju Bali melalui Mojokerto, Surabaya, Banyuwangi dengan kapal Varkenboot. Di Pulau Dewata ini mereka memberitakan Injil selama 21 bulan, karena takut merusak kebudayaan Bali sehingga dilarang Belanda. Keduanya telah gagal mendapatkan sambutan masyarakat Bali, tidak satupun dapat jemaat, dan iapun menangis meninggalkan Bali Desember 1922. Di perjalanan berkenalan dengan Mrs. Wijnen, yang bercerita bahwa ia memiliki seorang keponakan di Cepu, Jawa Tengah, bernama F.G Van Gessel. Pada Januari 1923. Richard & Cornelius menuju Cepu dan di sini untuk pertama kali kebaktian bernama Gereja Pantekosta dimulai, tepatnya di Deterdink Boulevard Cepu (DBC). Pada 19 Maret 1923, mendirikan organisasi gereja, yaitu Vereninging De Pinkstergemeente In Nederlandsch Oost Indie (Jemaat Pentakosta di Hindia Timur Belanda) pada tahun 1923. Pada tanggal 30 Maret 1923,
24
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
sebanyak 13 orang dibaptis selam di Pasar Sore, yang menjadi tonggak sejarah Gereja Pantekosta di Indonesia. Baptisan dilakukan oleh Pdt. Cornelius dan Pdt. J. Thiessen. F.G Van Gessel dan isterinya adalah dua dari 13 orang yang dibaptis. Lainnya adalah S.I.P Lumoindong, isteri dan Agust Kops dan lain‐lain. Pada hari itu, Maret 1923, kebaktian diikuti 50 orang. Pada 30 Juni 1923, perkumpulan ini mendapat SK Gubernur Hindia Belanda dengan Badan Hukum No. 2924, 4 Juni 1924 di Cipanas, Jawa Barat, sekaligus pengakuan Pemerintah Hindia Belanda terhadap “De Pinkster Gemeente in Nederlansch Indie” sebagai sebuah “Vereeniging” (perkumpul‐ an) yang sah pada 4 Juni 1924. Atas kuasa Roh Kudus serta semangat pelayanan tinggi, maka jemaat‐jemaat baru mulai bertumbuh dimana‐mana. Ketika F.G Van Gessel pegawai Badan Perusahaan Minyak (BPM) bertobat dan dipenuhkan Roh Kudus, ternyata diikuti oleh putera‐puteri pribumi Indonesia, seperti; H.N. Runkat, J. Repi, A. Tambuwun, J. Lumenta, E. Lesnusa, G.A Yokom, R.Mangindaan, W. Mamahit, S.I.P Lumoindong dan A.E. Siwi yang kemudian menjadi pionir‐pionir gerakan pantekosta di Indonesia. (Lintasan Sejarah 82 Tahun Gerakan GPdI, Diolah dari Wikipedia Bahasa Indonesia, diunduh Juli 2010; dan diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro 26 Mei 2010). Pada tanggal 4 Juni 1927, Badan ini ditingkatkan menjadi persekutuan gereja (“Kerkgenootschap”) berdasarkan Staatblad 1927 nomor 156 dan 523, dengan Beslit Pemerintah No.33. Pada tanggal 4 Juni 1937 Staadblad nomor 768 nama “Pinkster Gemente” diubah menjadi “Pinksterkerk in Nederlansch Indie”, dan saat itu juga 4 Juni 1937, De Pinkster Gemeente diakui sebagai Kerkgenootscap (Badan Gereja) Beslit No.33, Staatblad No.368. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
25
Vereninging De Pinkstergemeente In Nederlandsch Oost Indie (Jemaat Pentakosta di Hindia Timur Belanda), akhirnya menjadi fenomena baru dalam kehidupan sosial keagamaan di Indonesia, khususnya di Jawa. Sejak tahun 1930‐an, perkembangan gereja ini cukup pesat sehingga memerlukan banyak pelayan gereja dan akhirnya mendorong berdirinya Sekolah al Kitab pertama di Surabaya tahun 1930 oleh Pdt. Richard Dick dan Papa Thiessen yang belum datang dari Liverpool untuk berpartisipasi dalam membesarkan api pantekosta di Indonesia. Setelah itu keduanya bertugas di Sumatra dan dibantu Pdt. Siburian, sehingga gerakan pantekosta semakin menghebat. Di Jawa gerakan pentakosta dipelopori Richard Dick, Christine Van Klaverans dan Cornelis Groesback, di Sumatra dilakukan oleh pendeta Pdt. Richard Dick, Papa Thiessen dibantu Pdt. Siburian. Pdt. Siburian dikemudian hari mendirikan Gereja Pantekosta Sumatra Utara (GPSU) yang tidak terkait dengan GPdI, tetapi missi dan ajarannya sama. Pada zaman Jepang (1942), nama “Pinksterkerk in Nederlansch Indie” diubah menjadi “Gereja Pentakosta di Indonesia”. Ketua Badan Pengoeroes Oemoem (MP) GPdI sudah putra Indonesia asli yaitu Pdt. H.N Runkat. (MP‐ GPdI, 2008; http://www.alkitab.or.id/wsh/0kt00/Gereja Pentakosta.htm, diunduh Juli 2009 dan Dep. Teologia BP Sinode GBI, 2003). Perkembangan Sinode Gereja Pentakosta yang pesat itu, mulailah peperpecahanya yang pertama. Pada tahun 1931 Zs. M.A Alt, keluar dari GPdI dan mendirikan Pinkster Zending. Pada tahun 1932, Pdt. Thiessen, keluar dari GPdI dan mendirikan Pinkster Beweging, kini dikenal Gereja Gerakan Pantekosta. Pada tahun 1936 Missionaris R.M. Devin dan R. Busby keluar dari GPdI dan membentuk Assemblies of God. Pada tahun 1941, Pdt. D. Sinaga, keluar dari GPdI dan
26
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
mendirikan Gereja Pantekosta Sumatera (GPS). Pada tahun 1946, Pdt. Tan Hok Tjwan, keluar dari GPdI dan mendirikan Sing Ling Kau Hwee, yang kini dikenal dengan nama Gereja Isa Almasih (GIA). Pada tahun 1949. Pdt. Renatusa Siburian (si obor pentakosta di Sumatra), keluar dari GPdI dan mendirikan Gereja Pentakosta Sumatera Utara (GPSU). Pada tanggal 9‐12 Januari 1952, dilaksanakan Rapat Majelis Agung (RMA) di Makassar membahas perpecahan organisasi yang semakin parah, karena beberapa pendeta keluar dari GPdI kemudian mendirikan organisasi serupa. Baru selesai melaksanakan Rapat Majelis Agung, pada tahun 1952 itu juga, Pdt. T.G Van Gessel dan HL. Senduk, keluar dari GPdI dan mendirikan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS). Kemudian pada tahun 1959, Pdt.Ishak Lew, keluar dari GPdI dan mendirikan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS). Pada tahun 1966, Pdt. Karel Sianturi & Pdt. Sianipar, keluar dari GPdI dan mendirikan Gereja Pantekosta Indonesia Sumatera Utara (GPISU) dan pada tahun 1966, Pdt. Korompis, juga keluar dari GPdI mendirikan Gereja Pantekosta Indonesia (GPI). Meskipun mereka pada keluar dari GPdI, tetapi perananya bagi gereja teologi pentakosta tetap sebagai pioner yang selalu dikenang oleh jema’at GPdI, sebab karena perjuangan merekalah pohon GPdI atau gereja yang teologinya serumpun telah tumbuh dengan lebat seperti dewasa ini. Pada tahun 1970‐1976, terjadi 3x Munas GPdI, dengan Ketua adalah Pdt. L.A. Pandelaki, disusul Pdt. W.H. Bolang, memimpin selama dua periode. Munas XXIV GPdI di Malang Sistem kepemimpinan disesuaikan dengan AD/ART yang telah disempurnakan. Dalam Munas tersebut terpilih sebagai Ketua Umum adalah Pdt. A.H.Mandey. Perpecahan di dalam Gereja termasuk di Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
27
terus terjadi seiring semakin majunya semua organisasi gereja. Faktor ketidakcocokan, perebutan jabatan pimpinan, salah pengertian, berbeda interpreatasi ayat firman Tuhan serta dogma lainnya merupakan pangkal terciptanya perpecahan itu. Semua organisasi gereja pecahan dari GPdI, ternyata berkembang dengan baik, seperti; GBIS, GIA, GPSU, GPS, GPPS, GBI, Gereja Bethany serta GTI dan GPI. Mengingat bahwa meskipun perpecahan telah terjadi di antara gembala dan pendeta Gereja Pantekosta, tetapi mereka dengan mudah sepakat bersama mendirikan Dewan Pantekosta Indonesia (DPI) dalam usaha mensukseskan pewartaan Injil di Indonesia. Perpecahan demi perpecahan terus terjadi, namun mereka tetap berafiliasi pada satu nama yaitu Pantekosta, sehingga timbul inisiatif untuk kembali menyatukan sikap dan pandangan gereja‐gereja beraliran Pantekosta yang oikumenis. Akhirnya berdirilah Dewan Kerjasama Gereja‐gereja Kristen Pantekosta Seluruh Indonesia (DKGKPSI) dan Persekutuan Pantekosta Indonesia (PPI). Tetapi pada tanggal 10 September 1979, dua organisasi gabungan gereja‐gereja Pantekosta (DKGKPSI dan PPI) tersebut membubarkan diri, kemudian bergabung menjadi satu wadah dengan nama Dewan Pantekosta Indonesia (DPI). Musyawarah Besar I (Mubes I) DPI diadakan tahun 1984, terpilih sebagai Ketua Umum adalah Pdt. W.H Bolang. Mubes II Dewan Pantekosta Indonesia tanggal 15‐17‐1984 di Bandung, terpilih sebagai Ketua Umum Pdt. A.H Mandey. Mubes III di Caringin, Bogor, terpilih Ketua Umum DPI adalah Pdt. M.D Wakkary. Hamba Tuhan dari Medan ini memimpin DPI sampai tahun 1998. Sinode gereja yang tergabung dalam DPI ini berjumlah 58 sinode/organisasi gereja beraliran Pantekosta, diantaranya adalah gereja‐gereja yang keluar dari GPdI tersebut.
28
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Struktur Organisasi GPdI Semua organisasi apapun namanya, selalu memiliki struktur keorganisasian yang dimungkinkan untuk dapat menjalankan roda organisasi secara efektif. Forum tertinggi dalam GPdI adalah Musyawarah Besar (Mubes) GPdI yang diadakan 5 tahun sekali. Selain menetapkan Garis Besar Program Kerja (GBPK), Mubes GPdI juga berfungsi untuk memilih pimpinan tingkat nasional GPdI yang disebut Majelis Pusat (MP) GPdI. Majelis Pusat GPdI sekarang beranggotakan sebanyak 24 orang yaitu seorang Ketua Umum, beberapa orang Ketua, seorang Sekretaris Umum, beberapa Sekretaris, Bendahara Umum, beberapa orang Bendahara, dan yang memimpin departemen: Departemen Penginjilan, Penggembalaan, Pendidik‐an & Pengajaran, Organisasi, Pertumbuhan Gereja, Diakonia, dan Pembangunan. Majelis Pusat (MP) GPdI mengangkat pengurus‐ pengurus wadah tingkat nasional yang disebut Komisi Pusat GPdI yang berjumlah 9 buah yaitu: Pelayanan Anak Pantekosta (PELNAP), Pelayanan Remaja Pantekosta (PELRAP), Pelayanan Pemuda Pantekosta (PELPAP), Pelayanan Wanita Pantekosta (PELWAP), Pela‐yanan Pria Pantekosta (PELPRIP), Pelayanan Profesi & Usahawan Pantekosta (PELPRUP), Pelayanan Anak Anak Hamba Tuhan (PELAHT), Pelayanan Mahasiswa Pantekosta (PELMAP) dan Komisi Penginjilan Pantekosta Pusat (Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) GPdI,, 2007). Setelah Mubes GPdI diadakan, maka setiap daerah mengadakan Musyawarah Daerah (Musda/tingkat propinsi) GPdI yang tujuannya antara lain mensosialisasikan hasil Mubes dan memilih pimpinan tingkat daerah yang disebut Majelis Daerah. GPdI kini memiliki 32 Majelis Daerah, dalam dan luar negeri, sebagai berikut : MD Sumut‐NAD, MD Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
29
Sumbar, MD Riau, MD Kepri, MD Jambi, MD Sumsel, MD Bengkulu, MD Bangka‐Belitung, MD Lampung, MD Banten, MD Jakarta, MD Jawa Barat, MD Jawa Tengah, MD Yogyakarta, MD Jawa Timur, MD Bali/NTB, MD NTT, MD Kalbar, MD Kalteng, MD Kaltim, MD Kalsel, MD Sulselbar, MD Sultra, MD Sulteng, MD Sulut, MD Gorontalo, MD Maluku Utara, MD Maluku, MD Papua, MD Australia, MD West Coast USA, MD East Coast USA. Setelah terpilih maka setiap MD GPdI juga menetapkan pengurus wadah‐wadah tingkat daerah kota/kabupaten sesuai kebutuhan yang disebut Komisi Daerah atau Majelis Wilayah GPdI. Selain itu MD juga menetapkan Majelis‐Majelis Wilayah (kabupaten/kota) GPdI sesuai kebutuhan. Majelis Daerah GPdI Jawa Timur memiliki 16 Majelis Wilayah GPdI dan salah satunya adalah Majelis Wilayah GPdI 8 yang meliputi Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang. Majelis Wilayah 8 GPdI saat ini memiliki 3 Majelis Cabang GPdI yang meliputi Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang. Pengurus Anak Cabang GPdI Wilayah 8 sebanyak 62 buah yang tersebar di Kota Batu, Kota Malang dan Kabupaten Malang. GPdI Wilayah 8 ini dari 62 pengurus anak cabang itu, memiliki sebanyak 165 Sidang jema’at. Terbanyak adalah Kabupaten Malang dengan 125 sidang Jema’at, dan Kota Batu 25 Sidang jema’at. Setiap Majelis Wilayah GPdI membawahi gembala‐gembala yang menjadi basis utama pelayanan GPdI, dan setiap gembala yang mungkin juga dibantu beberapa pendeta mengangkat pengurus wadah tingkat sidang jemaat. Mekanisme Kependetaan Waktu yang ideal bagi seseorang untuk mencapai gelar Pendeta penuh di GPdI, rata‐rata berkisar antara 10 tahun
30
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
(dihitung sejak mulai fulltime dalam pelayanan). Perjalanan yang harus ditempuh menjadi pendeta penuh adalah sebagai berikut: diawali dengan TC (Training Center) di sebuah pastori minimal 1 tahun, lalu masuk Sekolah Alkitab kelas.1 selama 1 tahun. Setelah itu ditempatkan praktek pelayanan sebagai ‘pengerja’ minimal 1 tahun, dan kemudian masuk Sekolah Alkitab kelas 2 selama 1 tahun, dan mulai merintis sidang baru dengan waktu yang relatif minimal 1 tahun lagi. Bila sudah memiliki pelayanan yang stabil dan rutin, akan ditetapkan oleh Majelis Daerah (MD) GPdI menjadi gembala jemaat dengan gelar Pdp (Pendeta Pembantu), dan bila pelayanannya berkembang 2 tahun kemudian akan memperoleh gelar Pdm (Pendeta Muda). Jika Majelis Daerah GPdI merekomendasikan lagi, maka 2 tahun kemudian yang bersang kutan dapat dilantik sebagai Pendeta Penuh (Pdt). Statistik Gereja Pentakosta di Indonesia Berdasarkan data Mubes 2007 jumlah Sidang Jemaat GPdI sampai dengan saat ini (2007) adalah :12.000 jemaat GPdI di seluruh Indonesia dan luar negeri. Sementara itu khusus di Indonesia GPdI memiliki 11.800 jema’at, 11.800 gembala sidang, 16.000 pendeta penuh, 11.000 pembantu pendeta dan 18.000 pengerja. Dari 11.000 jemaat di Indonesia itu GPdI memiliki 8.498 gedung gereja. Dalam memenuhi kebutuhan pelayanan jema’at (semacam calon pendeta), GPdI telah memiliki 38 Sekolah al Kitab dan Sekolah Tinggi Theologi (STT) di seluruh Indonesia. Di antaranya 2 ada Sekolah al Kitab dan Sekolah Tinggi Theologi (STT) di wilayah 8, yaitu di Beji, Kota Batu Jawa Timur (Data Statistik GPdI Wilayah 8). Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
31
Denominasi Gereja di Kota Malang Sebagaimana diketahui bahwa denominasi Kristen di Indonesia mencapai antara 323 ‐338 buah. Sementara itu di Kota Malang terdapat pula banyak denominasi Kristen meskipun tidak sebanyak di pusat‐Jakarta (seluruh Indonesia). Jadi tidak semua denominasi gereja di Indonesia terdapat di Kota Malang, tetapi hanya sebagian saja. Jumlah denominasi di Kota Malang sebanyak 39 buah dengan jumlah sidang jema’at sebanyak 152 buah jema’at gereja. Denominasi itu adalah sebagai berikut; 1. Gereja Allah Baik (GAB) memiliki satu buah, GAB Bukit Sion; 2. Gereja Bethel Indonesia (GBI) 15 buah jema’at; 3. Gereja Bala Keselamatan (GBK) 3 buah jema’at; 4. Gereja Bethani Indonesia (GBI) 4 buah jema’at; 5. Gereja Bethel Tabernakel (GBT) 3 buah jema’at; 6. Gereja bethel Injil Sepenuh (GBIS) 3 buah jema’at; 7. Gereja Eleos Malang (GEM) memiliki 3 buah jema’at; 8. Gereja Eklesia Full Gospel (GEFG) 3 buah jema’at; 9. Gereja Isa Al Masih (GIA) memiliki 3 buah jema’at; 10. Gereja Kristen Abdiel Immanuel (GKAM) 2 buah jema’at; 11. Gereja Kristen Baitani (GKB) memiliki 3 buah jema’at; 12. Gereja Kristen Indonesia (GKI) 6 buah jema’at; 13. Gereja Kristen Injili Nusantara (GKIN) 16 buah jema’at; 14. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) 9 buah jema’at; 15. Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK) 3 buah jema’at; 16. Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) 1 buah jema’at; 17. Gereja kristus Tuhan (GKT) memilki 7 buah jema’at; 18. Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) sebuah jema’at 19. Gereja Kristen Oikumene (GKO) sebuah jema’at; 20. Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAH 7) 4 jema’at; 21. Gereja Missi Injili Indonesia (GMII) sebuah jema’at;
32
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
22. 23. 24. 25. 26. 27.
Gereja Kristen Indonesia Bagian Barat (GBIB) 6 jema’at; Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) 3 buah jema’at; Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) 17 Sidang Jema’at; Gereja Pantekosta Indonesia (GPI) 3 buah jema’at; Gereja Persekutuan Kristen (GPK) 2 buah jema’at; Gereja Pantekosta Tabernakel (GPT) memiliki 5 buah jema’at; 28. Gereja Kristen Reformed Injili Indonesia (GKRII) sebuah jema’at; 29. Gereja Sidang Jema’at Allah (GSJA) 11 jema’at; 30. Gereja Sidang Pantekosta di Indonesia (GSPdI) 2 jema’at; 31. Gereja Sidang Jema’at Kristus (GSJK) sebuah jema’at; 32. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebuah jema’at; 33. Gereja Gen B (GGB) sebuah jema’at; 34. Gereja Kristen Maranatha Indonesia (GKMI) sebuah jema’at; 35. Gereja Mawar Syaron (GMS) memiliki sebuah jema’at; 36. Gereja Jema’at Kristen Indonesia (GJKI) 2 buah jema’at; 37. Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB) sebuah jema’at; 38. Gereja Pemberitaan Injil Jalan Suci (GPIJS) 2 buah jema’at; 39. Gereja Orang‐orang Suci Akhir Jaman (GOSAJ/Mormon) memiliki sebuah jema’at. (Data Keagamaan, Seksi Agama Kristen Kementerian Agama Kota Malang, Jawa Timur, 2008). Dari 39 denominasi Kristen di atas, jika seluruh jema’at memiliki gedung gereja, maka jumlah gereja di Malang adalah 152 gedung gereja. Sementara GPdI saat ini memiliki 17 jema’at, tetapi hanya memiliki 14 gedung gereja, sisanya masih mengontrak di rumah toko atau rumah gembala sidang jema’at. Dari denominasi gereja di Kota Malang diatas, terlihat bahwa GPdI adalah merupakan gereja terbesar, disusul kemudian GKIN dan GBI. Meskipun GPdI secara Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
33
korganisasian memiliki jumlah sidang jemaat terbesar, namun dari sisi anggota yang terbesar adalah GBI. GPdI Kota Malang memiliki anggota sidang jema’at sebanyak 12.500 orang, sementara GBI memiliki anggota sebanyak 18.087 orang dan GKIN memiliki anggota jema’at sebanyak 13.579 orang. Potensi GPdI Wilayah 8 GPdI Kota Malang masuk organisasi GPdI Daerah Jawa Timur yang mengendalikan wilayah 8 yang terdiri dari GPdI Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang. GPdI Wilayah 8 ini merupakan salah satu dari 16 Majelis Wilayah yang ada di Majelis Daerah GPdI Jawa Timur. GPdI wilayah 8 ini memiliki 3 Pengurus Cabang yaitu, GPdI Cabang Kota Malang, GPdI Cabang Kota Batu dan GPdI Cabang Kabupaten Malang. Ke‐mudian jumlah Pengurus Anak Cabang GPdI Wilayah 8 adalah 62 buah yang tersebar di Kota Batu, Kota Malang dan Kabu‐paten Malang. GPdI Wilayah 8 ini memiliki sebanyak 165 Sidang jema’at, terbanyak adalah Kabupaten Malang dengan 125 sidang Jema’at, dan Kota Batu 25 Sidang jema’at. GPdI Kota Malang dewasa ini memiliki 15 Sidang Jema’at yang terletak secara merata di Kota Malang. Sementara itu Sidang Jema’at GPdI tertua di wilayah 8 ini adalah GPdI Lembah Dieng yang sebelumnya terletak di Jl. Zainul Arifin, bahkan tertua di Majelis Wilayah 8. Jumlah anggota Sidang Jema’at GPdI Wilayah 8 yang meliputi Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang adalah 38.000 jiwa, Pos Pemberitaan Injil sebanyak 48 buah, gembala 125 orang, pendeta 68 orang, Pendeta Muda 80 orang, Pendeta Pembantu 58 orang, dan pengerja sebanyak 99 orang. Untuk memenuhi kebutuhan pendeta pelayan jema’at, maka GPdI Wilayah 8 memiliki sebuah Sekolah al Kitab di Kota Batu, 1 buah STT di
34
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Batu dan 1 STT di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Sekolah al Kitab di Kota Batu, sampai hari ini sudah mewisuda 56 angkatan. Sementara itu STT satunya lagi adalah STT Yestoya yang berlokasi di Lawang dan didirikan oleh Pdt. Samuel Siyanto telah memwisuda 48 angkatan. Oleh karena‐ nya secara kasar dapat dihitung bahwa kebutuhan tenaga intelektual yang mumpuni secara akademis atau intelektual tidak akan terjadi. Bahkan lulusan dari ketiga lembaga pendidikan gereja itu dapat dimanfaatkan oleh semua gereja yang beraliran Pantekosta, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan, GPdI Wilayah 8 telah memiliki banyak pelayan jemaat dalam berbagai jenjang seprti Pendeta Penuh, Pendeta Muda, Pendeta Pembantu dan Pengerja, lulusan S1 sebanyak 70 orang, lulusan S2 sebanyak 60 orang dan S3 26 orang dan sisanya adalah Diploma atau setara dengan Diploma (Data Statistik GPdI Wilayah 8, 2009). Pengurus GPdI Majelis Wilayah 8 yang berkedu dukan di GPdI Lembah Dieng ini memiliki 3 Pengurus Harian dan anggota Pengurus 40 orang yang rata‐rata adalah lulusan S1, S2 dan yang lulus S3 sebanyak 14 orang. Kegiatan Konferensi Wilayah 8 ini sesuai dengan Ad/ART GPdI dilaksanakan 4 tahun sekali, yang rata‐rata pergantian atau penyegaran pengurus sampai 50 %, secara bergantian. Di samping itu Majelis Wilayah 8 GPdI memiliki 3 lembaga pendidikan SD – SLA, 3 LSM, 3 Panti Asuhan dan 2 Panti Jompo. Pengurus Majelis Wilayah 8 GPdI Cabang Kota Malang memiliki 15 Sidang Jema’at yang secara lengkap (Data Statistik GPdI Lembah Dieng , 2009) adalah sebagai berikut; Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
35
No
Nama Sidang Jema’at
1. GPdI Ade Irma Suryani 2. GPdI Lembah Dieng 3. GPdI Mundu 4. GPdI Hebron 5. GPdI Aries Munandar 6. GPdI Maranatha 7. GPdI Gloria 8. GPdI Alfa Omega 9. GPdI Bukti Cemara 10. GPdI Janti 11. GPdI Raya Badut 12. GPdI Shekinah
Alamat
Gembala
Jl. Ade Irma Suryani 28 Kompleks Lembah Dieng Jl. Mundu 24 Jl. Sihabu‐habu 1
Pdt. Jusack Chong Pdt. Simon Kostoro Pdt. Hadi Prayitno Pdt. Beny Suryanto Pdt. Soemaryanto
Jl. Aries Munandar 64 Jl. WR Supratman 5 Pdt. Soemaryanto Jl. MT Haryono 198 Pdt. Adi sujaka Jl. Tebo Selatan 41 Pdt. Petrus Manila Jl. Perum. Bukit Cemara Tidar Jl. Simpang Janti Barat Jl. Raya Badut 1 Jl. S. Parman I / 42
13. GPdI Shekinah
Jl. Halmahera 15
14. GPdI Sumber Berantas 15. GPdI Besi
Jl. Raya Sumber Berantas Rt 1/04 Jl. Besi No. 2
Pdt. Fati Arosega Pdt. Obaja Suhianto Pdt. Lukas Sukono Pdt. Markus Rumampuk Pdt. Markus rumampuk Pdt. Kaslan Agus Purwanto Pdt. Fence K.
GPdI Lembah Dieng Salah satu Sidang Jema’at GPdI yang dijadikan sasaran wawancara dan observasi mendalam adalah GPdI Lembah Dieng. GPdI Lembah Dieng adalah sidang jema’at GPdI tertua
36
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
di Kota Malang, bahkan termasuk Kabupaten Malang dan Kota Batu. Gereja yang tadi berlokasi di Jl. Zainul Arifin ini digembalakan pertama oleh Pdt. R. Suprapto. Pdt. R. Suprapto adalah salah seorang senior dan perintris GPdI tahun 1950‐an di Jawa Timur umumnya dan wilayah 8 khususnya, dan ia memang kelahiran Malang. Pdt. R. Suprapto ini adalah salah seorang yang benar‐benar ikut dalam nafasnya GPdI sejak tahun 1940‐an hingga meninggalnya pada tahun 1980‐an. R. Suparto termasuk pendeta pribumi didikan pertama sekolah al Kitab Surabaya yang didirikan pada tahun 1932. R. Suprapto juga telah menjadi pengurus Majelis Pusat GPdI sampai beberapa pereode hingga akhirnya dia mengundurkan diri dan khusus berkonsentrasi untuk menggembalakan Sidang Jema’at GPdI Jl. Arifin. Tetapi Pdt. R. Supraptopun juga termasuk orang yang mempersiapkan lahan untuk gereja Sinode GPdI di Lembah Dieng ini. R. Suprapto juga yang mendirikan Sekolah al Kitab dan STT di Beji Kota Batu. Beliau juga yang mengembangkan GPdI menjadi banyak sidang Jema’at di Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu. Bahkan beliau juga yang mengusahakan berdirinya Sekolah al Kitab di Bojonegoro, Pasuruan, Madiun, Jember dan Banyuwangi. Jadi Pdt. R. Suprapto merupakan pionir penting dari gerakan Pantekosta di GPdI berbagai daerah di Jawa Timur, bukan hanya wilayah 8 yang meliputi Kota/Kabupaten Malang dan Kota Batu saja (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Simon Kostoros, 2010). GPdI lembah Dieng terletak di Desa Pisang Candi Kecamatan Sukun Kota Malang. GPdI ini semula berada di Jln. Zainul Arifin sampai tahun 2000 dan kemudian memiliki lahan 9000 meter di Lembah Dieng. Di atas tanah 9000 meter itulah GPdI Lembah Dieng dibangun dengan luas bangunan sekitar 2400 meter persegi. Bangunan itu terdiri dari 3 lantai Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
37
yang masing‐masing memiliki luas bangunan 2.400 meter persegi dan berbeda penggunaanya. Lantai satu untuk ibadah orang dewasa dan sebagai aula serbaguna (pesta natal, paskah dan hajatan temanten anggota sidang jema’at), lantai dua untuk para muda mudi GPdI dan lantai tiga untuk anak‐anak GPdI. Ketiga lantai itu mampu menampung jema’at sebanyak 3.500 orang sekaligus (Diolah dari wawancara dengan Pdt. Simon Kostoro; Pdt. Sumaryanto, Pdt. Adi Sujaka, Pdt. Fati Arosega 27 Mei 2010; Data Inventaris Kekayaan GPdI Lembah Dieng dan GPdI Wilayah 8). Di luar gedung utama (tempat ibadat) terdapat kantor GPdI Majelis Wilayah 8, ruang makan kapasitas 500 orang, ruang tamu, ruang dapur, ruang makan kapasitas 10 orang, ruang pendeta kapasitas 15 orang, ruang pengerja kapasitas 20 orang, ruang keluarga gembala sidang jema’at, ruang perpustakaan di setiap lantainya, dan beberapa kamar mandi dan toilet di setiap lantainya. Di gedung utama gereja ini ada mimbar dan panggung dengan tempat 1 meter lebih tinggi dari lantai ruang jema’at. Di atas panggung permanen yang luasnya sekitar 50 meter persegi itu terdapat seperangkat alat musik untuk kepentingan ibadat minggu dan acara lainnya. Gedung ini dilengkapi pula dengan garasi mobil kapasitas 20 buah, lahan parkir yang luas dengan kapasitas sekitar 200 mobil dan dikelilingi taman dan pepohonan yang menyejukkan. Tidak ketinggalan juga terdapat kantor Satpam dan rumah khusus untuk para Satpam. Jadi gedung ini memang dipersiapkan untuk dapat menampung sebanyak mungkin anggota sidang jema’at GPdI. Sinode Sidang Jema’at GPdI Lembah Dieng digembalakan Pdt. Dr. Simon Kostoros, MA adalah seorang WNI keturunan Tionghoa dan alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang kemudian terpanggil untuk
38
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
menjadi pelayan jema’at. Semasa kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu, Kostoro sudah memimpin persekutuan do’a bagi teman‐temanya, sehingga rasa ingin melayani jemaat ikhlas dan sepenuh jiwa, sepenuh hati, sepenuh tenaga dan sepenuh waktupun sudah tertanam. Pdt. Dr. Simon Kostoros lahir di Kota Malang, setelah lulus dari Fak. Kedokteran UNAIR tahun 1987 dan sempat mengabdi sebagai dokter di sebuah rumah sakit besar di Surabaya sambil terus membina diri dalam persekutuan doa yang ia pimpin. Kostoroun berhenti jadi dokter dan keluar dari rumah sakit, karena panggilan jiwanya bukan sebagai dokter. Bermodalkan kemampuan dan keteladananya dalam perskekutuan doa, Pdt Simon Kostoros kemudian menempuh pendidikan al Kitab di Sekolah al Kitab Beji, Kota Batu dan lulus tahun 1992. Pdt. Simon Kostoros menempuh pendidikan S2 dan S3 di STT Jakarta dan lulus tahun 1997. Setelah lulus S3 itulah Pdt Simon dipanggil untuk menjadi Wakil Gembala Sidang Jema’at GPdI Lembah Dieng, yang sebelumnya berlokasi di Jl. Zainul Arifin Malang. Beberapa tahun kemudian di menggantikan gembala sebelumnya, karena meninggal dunia, sehingga sekarang menjadi gembala sidang. Selain sebagai Gembala Sidang Jema’at GPdI, Pdt. Dr. Simon Kostoros MA, juga menduduki jabatan Wakil Seketaris GPdI Majelis Wilayah 8 dan berkedudukan di GPdI Lembah Dieng. Wakil Sekretaris GPdI Wilayah 8 ini dipegangnya dari tahun 2002 hingga hari ini. Dalam melaksanakan tugas sebagai gembala dan pelayan sidang jema’at di GPdI Lembah Dieng, Pdt Dr. Simon Kostoros, MA dibantu oleh 10 orang pendeta, yang terdiri dari 7 pendeta laki‐laki dan 3 perempuan. Kemudian dia juga dibantu oleh pegawai di GPdI sebanyak 20 orang dan 4
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
39
diantaranya di kantor, sisanya adalah Satpam, tukang kebon, juru masak dan belanja, sopir dan pembantu umum. GPdI selain GPdI Lembah Dieng meskipun diteliti secara mendalam, dalam kenyataannya hanya beda nama, tempat, harta inventaris gereja, nama gembala dan pendeta, jumlah anggota belaka, selain itu sama saja sehingga tidak perlu dilaporkan secara mendetail dalam laporan ini. Hal ini mengingat bahwa GPdI di manapun berada di seluruh Indonesia hakekatnya sama saja dengan visi dan missi yang sama pula. Jaringan Gereja Pantekosta di Indonesia Jaringan Intelektual dan Ilmu Pengetahuan Jaringan intelektual dan ilmu pengetahuan gereja Pentakosta di Indonesia dimulai sejak kemunculan gerakan Pentakosta di Amerika, yang memiliki gereja Bethel Pentakostal Temple Inc. Seatle, Washington, Amerika Serikat. Gereja Bethel Inc., Seattle, inilah yang mengirim pendetanya ke Indonesia yang bersama pendetalainya yang datang lebih dulu, mendirikan De Pinkstergemeente in Nederlandsch indie tahun 1921 di Surabaya. Awalnya pelayanan missi dimulai oleh Weenink Van Loon bersama J. Thiessen (papa Thiessen), dan John Bernard dari Liverpool, Inggris pada tahun 1918. Weenink Van Loon Hoofd On‐Derwyzer (Kepala Sekolah), berasal dari sebuah persekutuan Evangelis yaitu ’’De Bond Voor Evangelistie’’. Kemudian yang berangkutan di Indonesia mendirikan sebuah yayasan yang bernama ”De Zendings Vereeniging”. Yayasan ini kemudian mengelola dan mengasuh sebuah sekolah Kristen yakni Hollands Chineesche School met de Bijbel, dan pimpinan sekolahnya Wenink Van Loon itu (Lintasan Sejarah 82 Gerakan Gereja Pentakosta di Indonesia
40
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
dan Sejarah Gerakan ʺPentakosta dan Karismatik di Indonesia, Dari Wikipedia Indonesia, diunduh Agustus 2009). Dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu bulan Maret 1921, Pendeta W.H. Offiler dari Bethel Pentecostal Temple Inc., Seattle, Washington, Amerika Serikat, mengutus dua orang misionarisnya ke Indonesia, yaitu Pdt. Van Klaveren dan Groesbeek, orang Amerika keturunan Belanda. Mereka langsung menuju ke Denpasar Bali, tapi waktu itu pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa Pulau Bali tertutup untuk penginjilan sebab Pulau Bali telah dijadikan sebagai pulau wisata untuk menarik para pelancong dari luar negeri. Penetapan pulau Bali sebagai daerah wisata adalah untuk meningkatkan pendapatan keuangan pemerintah Belanda. Oleh karena itu kedua penginjil tadi tidak dapat berbuat banyak sekalipun sempat memberitakan injil di pulau dewata ini selama 1,5 tahun, tapi hasilnya tidak menggembirakan. Akhirnya pada bulan Desember 1922 keduanya berangkat menuju ke Surabaya dan melakukan penginjilannya (Dari Wikipedia Indonesia, diunduh Agustus 2010). Kedua pendeta bisa dikatakan gagal total dalam memberitakan Injil di Bali, kemudian ke Surabaya dan akhirnya pindah ke Cepu, Jawa Tengah. Di sini mereka bertemu dengan F.G. Van Gessel, seorang Kristen Injili yang bekerja pada Perusahaan Minyak Belanda Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Van Gessel pada tahun sebelumnya telah bertobat dan menerima hidup baru dalam kebaktian Vrije Evangelisatie Bond yang dipimpin oleh Pdt. C.H. Hoekendijk (ayah dari Karel Hoekendjik). Groosbeek kemudian menetap di Cepu dan mengadakan kebaktian bersama‐sama dengan Van Gessel. Sementara itu, Van Klaveren pindah ke Lawang, Jawa Timur untuk melakukan penginjilan pula pada Januari 1923. Isteri Van Gessel, yaitu Ny. Van Gessel menjadi wanita Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
41
pertama di Indonesia yang menerima Batisan Roh Kudus, demikian pula dengan suaminya beberapa bulan setelahnya. Pada tanggal 30 Maret 1923, bertepatan dengan hari raya Jumat Agung, Groesbeek mengundang Pdt. J. Thiessen dan Weenink Van Loon dari Bandung dalam rangka pelayanan baptisan air pertama kalinya di Jemaat Cepu ini. Pada hari itu, lima belas orang baru dibaptiskan dan dalam kebaktian‐kebaktian berikutnya, bertambah pula jemaat yang menerima Baptisan Roh Kudus. Di Kudus banyak orang sakit mengalami kesembuhan secara mujizat. Karunia‐karunia Roh Kudus dinyatakan dengan ajaib di tengah para jemaat itu. Inilah permulaan dari gerakan Pentakosta di Indonesia yang dipelopori oleh Van Klaveren, Groesbeek, Van Gessel, dan Pdt. J. Thiessen. Keempat pelopor ini merupakan pionir ʺgerakan Pentakostaʺ di Indonesia. Kemudian Groesbeek pindah ke Surabaya, dan Van Gessel menjadi Evangelis yang meneruskan kepemimpinan Jemaat Pentakosta di Cepu. Pada bulan April 1926, Groesbeek dan Van Klaveren berpindah ke Batavia (Jakarta), sementara Van Gessel meletakkan jabatannya sebagai Pegawai Tinggi di Badan Perusa haan Minyak (BPM) dan pindah ke Surabaya untuk memimpin Jemaat Pentakosta. Jemaat yang dipimpin oleh Van Gessel ini kemudian tumbuh dan berkembang pesat dengan membuka cabang di mana‐mana, sehingga mendapat pengakuan Pemerintah Hindia Belanda dengan nama “De Pinksterkerk in Indonesia” (sekarang Gereja Pantekosta di Indonesia), termasuk di Lawang, Kabupaten Malang. Van Gessel menyambut hangat Rev.Groesbeck karena memang telah lama ingin lebih mengerti dan mendalami Injil yang selama ini dibacanya. Berita Pantekosta disambutnya dengan penuh sukacita, lalu pada bulan Januari 1923 dimulailah kebaktian Pantekosta yang pertama di Deterdink
42
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Boulevard, Cepu. F.G.Van Gessel dengan istri, pegawai tinggi BPM bergaji F.800 (800 Gulden), bertobat dan menerima Injil Sepenuh. Kebaktian berlangsung dengan baik dan jumlah pengunjung bertambah hingga mencapai 50 orang. Kebaktian di Cepu ini mengalami tantangan keras. Mereka diejek, diolok‐olok, dan dituduh sebagai aliran sesat. Ds. Hoekendijk menegaskan bahwa kebaktian Pantekosta yang di Cepu dan mujizat yang terjadi didalamnya berasal dari Setan. Namun tiga bulan kemudian pada 30 Maret 1923 terjadi suatu peristiwa penting yang menjadi salah satu tonggak sejarah Gereja Pantekosta di Indonesia. Benih Injil Sepenuh yang ditabur dengan linangan air mata sejak Maret 1921 di Bali, mengeluarkan buah pertama dengan diadakannya baptisan air di Pasar Sore Cepu bagi 13 orang. Baptisan ini dilakukan oleh Rev.Cornelius E.Groesbeck dan dibantu oleh Rev.J.Thiessen, seorang missionary dari Belanda. Di antara 13 orang itu terdapat suami istri F.G.Van Gessel, suami istri S.I.P.Lumoindong dan Sdr.Agust Kops. Antara tahun 1923‐1928 jemaat di Cepu menghasilkan tidak kurang dari 16 hamba Tuhan (bisa gembala atau pendeta, penginjil, missionaris) yang kemudian menjadi pioner‐pioner Gereja Pantekosta di Indonesia dan menyebar ke Sumatra, Jawa, Sulawesi dan Maluku. Diantara meraka adalah: F.G Van Gessel, S.I.P Lumoindong, W.Mamahit, Hessel Nogi Runkat, Effraim Lesnussa, Frans Silooy, R.O.Mangindaan, Arie Elnadus Siwi, Julianus Repi, Alexius Tambuwun, G.A.Yokom dan J.Lumenta. Pada tanggal 19 Maret 1923 berdirilah Vereeniging De Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost Indie yang berkedudukan di Bandung dengan susunan pengurus sebagai Ketua adalah Pdt. D.H. W.Weenink Van Loon, Sekretaris: Pdt.Paulus dan Bendahara: Pdt.G.Droop. Pada tanggal 30 Maret 1923, badan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
43
tersebut mendapat SK Gubernur Hindia Belanda dengan Badan Hukum No. 2924, tertanggal 4 Juni 1924 di Cipanas, Jawa Barat, serta diakui sebagai Kerkgenootscap (Badan Gereja) dengan Beslit No. 33, Staatblad No. 368. Perkembangan selanjutnya, gerakan ini dengan cepat menyebar dari Surabaya ke seluruh Jawa Timur, Sumatera Utara, Minahasa, Maluku dan Irian. Pada tahun 1932, Jemaat Pentakosta di Surabaya membangun gedung Gereja dengan kapasitas 1.000 tempat duduk (gereja yang terbesar di Indonesia pada waktu itu). Pada tahun 1935, Van Gessel mulai meluaskan pelajaran Alkitab yang disebutnya “Studi Tabernakel”. Gereja Bethel Pentecostal Temple, Seattle, kemudian mengutus beberapa misionaris lagi. Satu di antaranya yaitu, W.W. Patterson yang keudian membuka Sekolah Akitab di Surabaya (NIBI: Netherlands Indies Bible Institute) untuk memenuhi kebutuhan pelayanan jema’at yang terus berkembang. Sesudah Perang Dunia II, para misionaris itu kemudian membuka Sekolah Alkitab di berbagai tempat, termasuk di Batu Malang (waktu itu masih bagian dari Kabupaten Malang). Sesudah perang kemerdekaan, pimpinan gereja diserahkan kepada orang Indonesia. H.N. Rungkat terpilih sebagai ketua GPdI untuk menggantikan Van Gessel saat itu. Pada masa itu, roh nasionalisme sedang meliputi suasana kebaktian dalam gereja‐gereja Pentakosta. Akhirnya Van Gessel menyadari benar bahwa ia tidak bisa lagi bertindak sebagai pemimpin gereja yang akan dituruti oleh anggota jema’at yang sedang kerasukan nasionalisme membara itu. Di luar dugaan, ketika dipegang orang Indonesia sendiri, kondisi rohani Gereja Pentakosta pada jema’at saat itu malah melahirkan ketidakpuasan di sebagian kalangan pendeta ‐ pendeta GPdI tersebut. Ketidakpuasan ini ditambah dengan
44
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
kekuasaan otoriter dari Pengurus Pusat Gereja yang kurang memperhatikan aspirasi pendeta yang tergabung dalam organisasi gereja Pantekosta. Akibatnya, sekelompok pendeta yang terdiri dari 22 orang, memisahkan diri dari Organisasi Gereja Pentakosta itu, di antaranya adalah Pdt. H.L. Senduk yang kemudian mendirikan Gereja Bethel (GBIS) (Data statistik Keagamaan GPdI Wilayah 8; Diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro, Pdt. Sumaryanto, Pdt. Adi Sujaka, Pdt. Fati Arosega, Mei 2009). Perkembangan gerakan Gereja Pentakosta Indonesia di atas sangat terlihat jelas dimulai dari transmisi gagasan dan ilmu pengetahuan dari pusat‐pusat keilmuan Kristen rumpun teologi Pentakosta yaitu dari Gereja Bethel Pentecostal Temple, Seattle, Washington Amerika Serikat maupun dari Liverpool Ingrris Raya, yang kemudian mendirikan NIBI: Netherlands Indies Bible Institute di Surabaya. Dari sini kemudian berkembang ke seluruh Indonesia, yang sekarang telah terdapat 38 Sekolah al Kitab dan Sekolah Tinggi Theologi (STT), bahkan 4 di antaranya di Asia dan Australia yang tetap berafiliasi ke GPdI (Filipina, Vietnam, Korea Selatan dan Australia). Transmisi gagasan dan ilmu pengetahuan para pionir itu telah mampu mendorong seluruh pengurus Gereja Pentakosta untuk memperkuat pelayanan jema’at dan melahirkan banyak pionir gerakan Pentakosta pribumi di Indonesia. Ketokohan keempat orang pendeta di awal pertumbuhanya di Indonesia itu sangat mempengaruhi tinggi dan rendahnya semangat para pembantu pendeta untuk mencari dan mendapatkan pengikut‐pengikut baru gereja. Produk‐produk gagasan dan pemikiran para pendeta itu jalin menjalin menjadi satu muara gagasan yang melahirkan semangat ekspansi gereja. Produk gagasan dan pemikiran dimaksud dilakukan secara lisan dan juga melalui tulisan di Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
45
buku‐buku, tabloid, dan artikel yang memiliki gagasan pembaharuan yang inovatif dan motivatif, sehingga mampu menggerakkan orang‐orang yang terlibat dalam pergulatan intelektual tersebut. Pendirian berbagai Sekolah Tinggi Teologi atau Sekolah al Kitab adalah buah berikutnya dari produk‐produk gagasan intelektual yang terus muncul sejak kedatangannya di Indonesia. Transmisi pemikiran Kristen di Sekolah Tinggi Teologi akhirnya benar‐benar berhasil mencetak para gembala sidang jema’at dari kalangan pribumi, pendeta penuh, pendeta muda, pembantu pendeta maupun Pengerja/ Penatua yang cukup besar di Malang dan Batu. Di Wilayah 8 GPdI yang meliputi Kabupaten/Kota Malang dan Kota Batu telah terdapat gembala Sidang Jema’at sebanyak 95 orang (sesuai dengan jumlah Sidang Jema’at), pendeta muda 98 orang, pendeta penuh sebanyak 129 orang, pembantu pendeta 59 orang dan pengerja sebanyak 109 orang (Diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro, Pdt. Sumaryanto, Pdt. Adi Sujaka, Pdt. Fati Arosega, Mei 2009; Data Statistik GPdI Wilayah 8). Jaringan intelektual Gereja Pentakosta yang tadinya berpusat di Surabaya itu, dewasa ini telah mampu melahirkan 38 Sekolah Alkitab (termasuk beberapa STT) yang ada di seluruh Indonesia dan 4 lagi di luar negeri. Dari sekolah‐ sekolah ini, setiap tahun ribuan pekerja baru diterjunkan dalam ladang Tuhan. Lulusan sekolah al Kitab dan STT itu adalah untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Sidang Jemaa’t GPdI di seluruh Indonesia, tergantung dimana mereka kemudian ditugaskan setelah wisuda. Berikut ini adalah daftar nama dan alamat Sekolah Alkitab GPdI di Indonesia: 1. Sekolah Alkitab Batu (Jawa Timur), Pimpinan: Pdt. J.M.P Batubara Sr.& Pdt. A.H. Mandey. Alamat: P.0. Box 1 Batu, Malang 65301 TeIp. (0341) 591525.
46
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
2. Sekolah Tinggi Teologi (STT) Bedji. Pimpinan: Pdt.DR.L.Lapian. Alamat: Bedji, Batu, Malang. 3. Sekolah Alkitab Lawang, Malang, Pimpinan Pdt. Bade 4. Jember Bible Collage (JBC), Alamat: P0 Box 129, Jember / JI. Panglima Sudirman 42 5. Sekolah Tinggi Alkitab / Seminari Jember (Jawa Timur) Pimpinan: Pdt.Y. Lumempow. D.Min, Alamat: P0 Box 129, Jember / JI. Panglima Sudirman 42, Jember 68118. TeIp. (0331) 21943, 82842, 86943. 6. Sekolah Alkitab Salatiga (Jawa Tengah) Pimpinan: Pdt. Th. Karunia Djaya, Alamat P.0. Box 17 Salatiga / Jl. Siranda I, Salatiga 50712, Telp. (0298) 81928. 7. Akademi Theologia Salatiga (ATHAS). Pimpinan: Pdt.JMP Batubara S.th. Alamat: Po Box 17 Salatiga. 8. Sekolah Alkitab Cianjur & STA Cianjur (Jawa Barat) Pimpinan: Pdt. J.E. Awondatu, Alamat: P.O. 143 Cianjur 43201 / Jl. Pasir Gede Raya 17, Cianjur 43216. Telpon: (0263)261727 9. Sekolah Alkitab Purbasari (Sumatra Utara) Pimpinan: Pdt. M.D. Wakkary, Alamat: P.0. Box 61 Pematang Siantar. Telp.(0622)29321. 10. Sekolah Alkitab Palembang (Sumatera Selatan) Pimpinan: Pdt. J.K. Siwi, Alamat: Desa Lorok, km 43 Palembang (arah Prabumulih) / P.O. Box 133, Palembang 30001. Telp. 362168. 11. Sekolah Alkitab Bandar Lampung (Lampung) Pimpinan: Pdt. D.A. Supit Alamat: JI. Tenggiri 19c, Bandar Lampung 35222. TeIp. (0721) 483720. 12. Akademi Theologia Lampung (ATL). 13. Sekolah Alkitab Tanjung Pinang (Riau Daratan) Pimpinan: Pdt. G. Palit, Alamat JI. Ir. Juanda 49, Tanjung Pinang 29101, Riau. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
47
14. Sekolah Alkitab Balikpapan (Kalimantan Timur) Pim‐ pinan: Pdt.H.Pelealu. Alamat: P.0. Box 214 Balikpapan /JI. Arjuna IV /322, Balikpapan 76123. Telpon (0542)418039 15. Sekolah Alkitab Anjungan (Kalimantan Barat) Pimpinan: Pdt. E.F. Sumilat, Alamat: P0 Box 1 Anjungan, Pontianak 78154. 16. Sekolah Alkitab Ambon (Maluku) Pimpinan: Pdt. Hendry Y. Lolaen, Alamat : JI. Dr. J. Leimena, Ambon (Tawiri Ambon 97253). Telp.(0911)442290. 17. Sekolah Alkitab Biak (Irian Jaya) Pimpinan: Pdt. Drs.Budi Tutu, Alamat: P.0.Box 98 Biak / JI. Jend. A.Yani 13, Biak 98101, TeIp. (0961) 21498 Fax. 21695. 18. Sekolah Alkitab Kupang (Nusa Tenggara Timur) Pimpinan: Pdt. J.A. Karundeng, Alamat: JI. Jend. Suharto 85 Kupang. 19. Sekolah Alkitab Tentena (Sulawesi Tengah) Pimpinan: Pdt. F.H. Saerang STh, MA, Alamat: P.0.Box 1, Tentena 94663. Telp.(0458)21336, 21119. 20. Akademi Theologia Tentena (ATT). 21. Sekolah Al‐Kitab Malino (Sulawesi Selatan) Pimpinan: Pdt. M.F. da Costa, Alamat: JI. A. Mangerangi 2 Malino, Kec. Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa 92174. Telp.(0417) 21304, 21048. 22. Sekolah Alkitab Riau. Pimpinan: Pdt.Robby Mandey, S.th. Alamat: Jl.Ir.Juanda 49, Tanjung Pinang. Telpon: (0771)24461. 23. Sekolah Alkitab Magelang. Pimpinan: Pdt.Yahya Lesmana S.th. Alamat: Komplek GPdI Ngablak. Telp: (0293)87285. 24. Sekolah Alkitab Anjungan (SAA) Pontianak. Pimpinan: Pdt.Drs.Steidy Suwuh. Alamat: Po Box 01, Anjungan, Pontianak, 78354.
48
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
25. Sekolah Alkitab Palangkaraya (SAP). Pimpinan: Pdt.Drs.Max Turangan. Alamat: Palangkaraya. 26. Sekolah Alkitab Tana Toraja. Pimpinan: Pdt.G.Rewah M.th. Alamat: Jl.Ratulangi 42, Rante Pao, Tator. telp.(0423)21087. 27. Sekolah Alkitab Merauke. Pimpinan: Pdt.Jefry Rengkung S.th. Alamat: Jl. Trans Irian Km 17, Wasur. Po Box. 228 Merauke. 28. Sekolah Alkitab Manokwari. Pimpinan: Pdt.Marwerie S.Th. Alamat: Manokwari, Irian Jaya. 29. Sekolah Alkitab Genyem (Masih dalam pengaturan). Alamat: Genyem, Irian Jaya. 30. Sekolah Alkitab Langowan (Sulawesi Utara) Pimpinan: Pdt. A.S. Kaawoan S.Th. Alamat: Po Box 1, Raranon Koyawas, Langowan. Telp.(0431)371580. 31. Sekolah Tinggi Teologia (STT) El Shaddai Manado. 32. Seminary Tinggi Theologia Indonesia (ISTTI) di Manado 33. September 2004. Pembukaan Sekolah Tinggi Alkitab Cianjur. 34. Pada bulan April 2005 berdiri Seoul Pentecostal School of Divinity (SPSD). Seminari ini bekerjasama dengan Asia Life University (A.L.U). (Data Statistik Keagamaan Sidang Jema’at GPdI Lembah Dieng, 2009). Jaringan intelektual di GPdI wilayah 8 ini, terlihat dengan semakin banyaknya alumni Sekolah al Kitab dan Sekolah Tinggi Teologi. Sekolah Al Kitab di Beji Kota Batu misalnya, sudah melahirkan pendeta sebanyak 56 angkatan dengan jumlah wisudawan sebanyak 2.700 orang sejak berdirinya. Kemudian STT di Beji Kota Batu, juga sudah melahirkan 3.000 orang pendeta sejak berdirinya (44 tahun). Dari lembaga pendidikan pendeta STT dan Sekolah Al Kitab Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
49
ini, para alumni di sebar ke seluruh Indonesia. Gerakan gereja rumpun teologi Pentakosta di Indonesia benar‐benar berusaha untuk mengembangkan jumlah anggota dan sekaligus melayani anggota sidang jemaa’at di Malang dan Batu dan di seluruh wilayah Indonesia. Tidak itu saja, mereka juga telah mendirikan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Panti Asuhan di berbagai kota di Jawa Timur. Di GPdI Wilayah 8 terdapat 3 buah LSM dan 1 Panti Asuhan serta 1 panti jompo dalam upaya melayani orang‐orang tak mampu. GPdI secara organisasi menyadari pentingnya sumber pengadaan penginjil, sehingga berdirilah Sekolah Tinggi Alkitab Batu, Malang, Jember Bible College, Sekolah Tinggi Alkitab Bandar Lampung, Sekolah Tinggi Alkitab Airmadidi dan menyusul di Kiawa Minahasa, sulut sebagai salah satu Fakultas Teologi Misi dari Universitas Pantekosta Josua. Ladang sangat luas, padi sudah menguning, siap dituai (dipanen) dan membutuhkan lebih banyak penuai yang penuh Roh dan berpengetahuan. Lulusan berbagai lembaga pendidikan yang dimiliki GPdI itu telah tersebar diseluruh pelosok Nusantara bahkan sampai ke luar negeri dan bukan dimanfaatkan oleh GPdi saja tetapi juga sinode‐sinode yang teologinya rumpun pentakosta. Jaringan Kelembagaan Jemaat Pentakosta di Indonesia, disingkat JPI, dalam bahasa Belanda disebut Vereninging De Pinkstergemeente In Nederlandsch Oost Indie. Gereja Pantekosta di Indonesia adalah salah satu persekutuan sinode gereja di Indonesia yang bernaung di bawah Inter Cooperation Fellowship of Churches in Indonesia, Persekutuan Kerjasama ANtar Gereja‐gereja di Indonesia (PEKAGI). Selain Pekagi, JPI juga meru pakan anggota dari Jaringan Global Kristen Indonesia (JGKI).
50
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Association of Christian Institutions and Agency Mission Prayer Meeting atau Asosiasi Lembaga Kristen dan Badan Misi Persekutuan Doa (Al Kitab). Melalui sekitar 30 lembaga pendidikan Alkitab dan STT GPdI di seluruh Nusantara, mulai dari Sekolah Alkitab Purbasari di P. Siantar, Sumatera Utara, sampai ke Sekolah Alkitab di Biak dan Merauke di Papua, ditempa dan digodok sekitar 3000 calon hamba Tuhan dan pekerja gerejawi GPdI pada setiap tahunnya. Di Pulau Jawa, GPdI menghimpun sekitar 3.500 sidang jemaat. Di provinsi Sulawesi Utara, yang menjadi salah satu basis utama GPdI, tersebar 1.400 gereja lokal. Dari Banda Aceh sampai Bandar Lampung, GPdI memiliki lebih dari 12.000 sidang jemaat. Belum lagi Kalimantan, Kepulauan Maluku, Bali, NTB, NTT, Irjabar, Papua, Pulau Sulawesi selebihnya. Di Amerika Serikat dan Kanada GPdI memiliki 30 gereja. Di Belanda, Korea, Malaysia, Singapore dan Australia sudah hadir jemaat‐jemaat GPdI. Gedung‐gedung gereja GPdI menjulang tinggi megah di berbagai kota dan desa. Majelis Pusat GPdI berkantor di gedung Wisma Pantekosta yang representatif di Jakarta, ibukota RI. GPdI merupakan salah satu denominasi yang ikut membidani berdirinya Persekutuan Gereja‐gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) yang menghimpun 70 sinode gereja‐gereja aliran Pantekosta se‐ Indonesia. Tiga orang hamba Tuhan GPdI pernah dipercayakan menjadi Ketua Umumnya yaitu : Alm. Pdt. W.H. Bolang, Pdt. A.H. Mandey dan Pdt. M.D. Wakkary. Dalam kapasitas tersebut, Pdt. W.H. Bolang dan Pdt. M.D. Wakkary pernah terpilih sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
51
Pada konferensi besarnya akhir Mei tahun 2005, di Chicago, Amerika Serikat, yang dihadiri 8.000 hamba Tuhan dari seluruh dunia, Pdt. A.H. Mandey dan anggota MP GPdI lainnya disambut dengan tepuk tangan riuh meriah sekitar 15 menit lamanya, setelah Pdt. A.H. Mandey dan DR. Jack Hayford (President Foursquare) menyampaikan pidato singkatnya dan bertukar cinderamata. Dalam pidato sambutannya itu Pdt. A.H. Mandey dan DR. Jack Hayford menyampaikan syukurnya kepada Tuhan untuk para perintis GPdI dari Pdt. Groesbeek, Pdt. van Klaveren, Pdt. W. van Loon (Bandung), Pdt. H.N. Runkat (Ketua Umum GPdI), Pdt. E. Lesnussa (Ketua Umum GPdI), Pdt. Lumenta (Sulut), Pdt. J. Repi (Sulut), Pdt. A.E. Siwi (Sumatera), Pdt. S.I.P. Lumoindong (Semarang), Pdt. R.M. Soeprapto (Malang), Pdt. L.A. Pandelaki (Sulut), Pdt. Nanlohy (Maluku), Pdt. D. Simanjuntak (Sumut), Pdt. J. Itaar (Irian), Pdt. A. Tambuwun, Pdt. Jokom (Minahasa), Pdt. Tobing (Kupang), Pdt. Ong Biauw Sing dan Pdt. Mangindaan (Jawa Timur), Pdt. Horstman dan Pdt. Hornung (Jawa Tengah), Pdt. F.G. van Gessel (Ketua GPdI, kemudian menjadi pendiri GBIS), Pdt. Zuster MA, Alt (pendiri Gereja Utusan Pantekosta), Pdt. The Kiem Koei, Pdt. W.W. Kastanya, Pdt. Kwee Hok To, Pdt. W.H. Bolang (Ketua Umum GPdI), Pdt. L.A. Pandelaki (Ketua GPdI) dan banyak lagi, semuanya sudah berpulang. Keduanya juga menyampaikan syukurnya untuk tokoh‐tokoh GPdI yang sudah sepuh tetapi masih melayani seperti; Pdt. J.M.P. Batubara, Pdt. B. Manoach (Surabaya), dll. Kemudian kedua‐ nya juga mengingatkan perkembangan GPdI ini adalah karena ketokohan yang pernah di GPdI yaitu Pdt. H.L. Senduk (Pendiri GBI), Pdt. Siburian (Pendiri Gereja Pentakosta), Pdt. Ishak Lew (Pendiri GPPS), Pdt. Tan Hok Tjwan (Pendiri Gereja Isa Almasih) dan banyak lagi. Keduanyanya juga
52
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
mengingatkan tentang peran mantan GPdI yang kemudian menjadi pimpinan gereja lain seperti : Pdt. M. Akib, Pdt. Po Gwan Sin (GBT), Pdt. Jap SI (GBIS), Pdt. Injuwono (Gereja Pantekosta Tabernakel), Pdt. E. Faraknimela (GPPS), Pdt. Sinaga (Gereja Pentakosta Sumatera Utara), dll (Sejarah GPdI Wilayah 8, yang meliputi Kota Batu, Kota Malang dan Kabupaten Malang, Malang, 2009). Pendirian sekolah tinggi theologi dan lembaga al‐kitab maupun sekolah‐sekolah umum itu akhirnya melahirkan banyak alumni yang kemudian mampu meningkatkan kinerja GPdI di seluruh Indonesia, Asia umumnya serta di Malang dan Batu serta tempat lainnya yang memanfaatkannya. Bukti bahwa alumni lembaga‐lembaga pendidikan itu berhasil meningkat kan kinerja adalah terdapatnya Sidang Jema’at GPdI sebanyak 95 buah yang tersebar di Malang dan Batu. Sementara itu khusus di Kota Malang, terdapat 25 Sidang Jema’at dengan jumlah anggota sebanyak 24.000 orang. Sidang Jema’at sebanyak 95 buah itu, 80 buah sudah memiliki gedung sendiri, sementara itu yang 5 buah masih menumpang di gedung gereja Sidang Jema’at lainnya dan 10 buah lainnya mengontrak di ruko‐ruko, hotel‐hotel atau di rumah Gembala Sidangnya (Diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro, Pdt. Sumaryanto, Pdt. Adi Sujaka, Pdt. Fati Arosega, Mei 2009; Data statistik Keagamaan GPdI Wilayah 8). Sidang Jema’at sebanyak 95 buah itu kemudian melakukan pertemuan rutin bulanan untuk membahas masalah‐masalah yang dihadapi Sidang Jema’at GPdI. Salah satu yang pernah dibahas dengan cukup serius adalah PBM yang berkaitan dengan pengaturan pendirian rumah ibadah. Pengaturan pendirian rumah ibadah itu pada awalnya ditanggapi sangat berat oleh para peserta pertemuan rutin tersebut, karena begitu berat dan susahnya mendirikan rumah Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
53
ibadah. Semen tara ibadah minggu adalah ibadah rutin yang harus terus dilakukan dalam upaya mendekat pada Tuhan. Paskah lahirnya PBM yang khusus mengatur pendirian rumah ibadah itu, GDdI telah mengalami kesulitan dalam mendirikan 2 buah gereja di Malang. Tetapi setelah melalui pendekatan pribadi kepada para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda serta mendapat rekomendasi dari FKUB akhirnya pembangunan gereja dapat dilanjutkan dan sekarang sudah dapat dipergunakan untuk melaksanakan ibadah (Diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro, Pdt. Sumaryanto, Pdt. Adi Sujaka, Pdt. Fati Arosega Mei 2009 ). Dalam pertemuan berkala antar gereja, masalah‐masalah yang dibahas tidak selalu masalah yang lagi hangat, tetapi terkadang juga sekedar silaturahmi saja untuk mempererat dan meningkatkan kerjasama antar Sidang Jema’at GPdI di Malang dan Batu. Dari Sidang Jema’at yang ada, misalnya Sidang Jema’at GPdI Lembah Dieng yang memiliki anggota terbesar dan merupakan Sidang Jema’at tertua di Wilayah 8, telah membantu Sidang Jema’at yang lain dalam upaya meningkatkan wibawa Sidang Jemaat yang dibantunya ((Diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro, Pdt. Sumaryanto, Pdt. Adi Sujaka, Pdt. Fati Arosega Mei 2009). Dalam wawancara dengan Gembala Sidang Jema’at GPdI Lembah Dieng yaitu Pendeta Dr. Simon Kostaro diperoleh penjelasan bahwa di Jawa Timur terdapat 15 wilayah Sinode GPdI yang selalu ada keterkaitan kelembagaan. Wilayah pertama adalah Wilayah 1 yang meliputi Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Wilayah Sinode yang meliputi seluruh Kabupaten di Madura ada 2 wilayah. Wilayah Sinode 4 meliputi Kab. Bojonegoro, Kab. Tuban dan Kab. Lamongan, Wilayah Sinode 5 meliputi Kab/Kota
54
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Mojokerto dan Kab. Jombang. Wilayah Sinode 6 meliputi Kota/Kab. Kediri dan Tulung Agung, Wilayah Sinode 7 meliputi Nganjuk dan Kab. Trenggalek. Wilayah Sinode 8 meliputi Kabupaten/Kota Malang dan Kota Batu. Wilayah 9 Sinode meliputi Kab/Kota Madiun, Ngawi dan Magetan. Wilayah Sinode 10 meliputi Kab. Ponorogo dan Kab. Pacitan. Wilayah 11 meliputi Kabupaten/Kota Blitar dan Kab. Lumajang. Wilayah Sinode 12 meliputi Kab/Kota Pasuruan. Wilayah Sinode 13 meliputi dan Kab/Kota Probolinggo. Wilayah Sinode 14 meliputi Kab. Bondowoso dan Kab. Situbondo dan Wilayah Sinode 15 adalah meliputi Kab. Jember dan Kab. Banyuwangi (Diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostaro dan data Statistik Keagamaan GPdI Wilayah 8). Secara kelembagaan, semua wilayah tersebut dibawah kepengurusan Wilayah GPdI Jawa Timur yang berpusat di Surabaya. Semua Pengurus Wilayah itu kemudian melakukan pertemuan 6 bulanan dengan tempat acara secara bergilir yang disebut dengan fillosif. Dalam pertemuan itu mereka membahas masalah‐masalah yang dihadapi oleh wilayah‐ wilayah GPdI di Jawa Timur. Lebih penting dari keseluruhan permasalahan yang dibahas itu, kerjasama kelembagaan juga diperkuat dalam bentuk permintaan‐permintaan pendeta, pembantu pendeta dan pengerja yang memungkinkan dari semua STT dan sekolah Al kitab yang dimiliki oleh GPdI Jawa Timur (Diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro, Pdt. Sumaryanto, Pdt. Adi Sujaka, Pdt. Fati Arosega, Mei 2009 ). Jaringan Kegiatan Sebagai lembaga gereja yang ada keterkaitan paham maupun kelembagaan, GPdI juga memiliki keterkaitan kegiatan di antara para gembala sidang, terutama yang Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
55
berkaitan dengan kegiatan gereja yang dapat dilaksanakan secara bersama‐sama. Kegiatan bersama terbesar yang mereka laksanakan secara rutin adalah Natal bersama atau Paskah bersama. Pelaksanaan kegiatan itu dilaksanakan di gedung‐ gedung gereja yang memiliki kapasitas tempat duduk cukup besar dan dilaksanakan secara bergiliran tiap tahunnya. Di luar dua kegiatan besar itu, mereka juga terbiasa melakukan tukar pendeta dan pembantu pendeta dalam pelayanan sidang jema’at. Hal ini dilakukan adalah untuk penyegaran pemahaman saja agar anggota sidang jema’at tidak jenuh dengan materi, bahasa dan pendeta yang sama. Di samping itu mereka juga melakukan perkaderan pendeta melalui cara memberi kesempatan magang para calon pendeta di berbagai sidang jema’at yang ada (Diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro, Pdt. Sumaryanto, Pdt. Adi Sujaka, Pdt. Fati Arosega). Sementara itu kegiatan yang dilakukan dengan denominasi lain yang serumpun di lingkungan Pentakosta yang mungkin hanyalah pada kegiatan Natal bersama dan Paskah bersama, sementara kegiatan lain yang sifatnya rutin tidak dilakukan. Kerjasama dengan Gereja Bethel, Bethany, Mawar Saron dan denominasi yang sepaham dengan gereja Pentakosta juga sering dilakukan, meskipun ini terkadang tidak lengkap. Maksudnya tidak semua denominasi rumpun Pentakosta dapat mengikuti kegiatan bersama itu. Kegiatan yang biasa mereka lakukan bersama juga banyak diantaranya berkaitan dengan kegiatan sosial kemasyarakatan. Misalnya, khitanan massal, bakti sosial dan penggalangan dana ketika terjadi bencana di berbagai daerah dan sebagainya. Ketika terjadi bencana tsunami di Aceh dan gempa besar di Yogyakarta misalnya, mereka mengumpulkan bantuan untuk kemudian menyalurkannya ke daerah
56
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
bencana, begitu pula ke daerah‐daerah bencana alam lainnya di Indonesia. Jaringan Pendanaan atau Keuangan Semua organisasi, asosiasi, firma atau apapun namanya tidak dapat memiliki kinerja organisasi yang baik jika tidak dibantu oleh sistem pendanaan yang baik pula, begitu pula di lingkungan GPdI. Dalam denominasi GPdI, sistem pendanaan diambil dari persepuluhan, persembahan, sumbangan sukarela dari anggota sidang jema’at dan sumber‐sumber lain yang tidak mengikat. Sumber utama pendanaan GPdI adalah persepuluhan dan persembahan. Para anggota sidang jema’at secara rutin menyetorkan persepuluhannya kepada bendahara gereja, sementara itu persembahan yang terdiri dari persembahan 1 dan 2 dilaksanakan dengan cara memasukkan sejumlah uang pada kotak‐kotak persembahan (kotak amal) yang telah tersedia. Namun pada saat‐saat tertentu, seperti salah satu gembala sidang merencanakan renovasi gedung atau bongkar total greja untuk diperluas, maka akan dibicarakan dengan anggota sidang jema’at, pengurus wilayah dan pengurus pusat GPdI. Perencanaan yang sudah didiskusikan itu ketika sudah final di tingkat pusat, kemudian disosialisasikan ke tingkat paling bawah yaitu sidang jema’at, bahwa gereja mendapat bantuan dari wilayah sekian rupiah, dari pusat sekian dan dari para donator luar negeri sekian dollar. Pada saat seperti itu, iman dan kepasrahan anggota sidang jema’at seperti diuji oleh gembala dan pendeta. Oleh karena itu pada saat seperti ini, biasanya dana mengalir deras dari anggota sidang jema’at atau donator yang tidak mengikat. GPdI Lembah Dieng, ketika merencanakan pembangunan gereja dengan biaya 9 milyar, maka secara beramai‐ramai anggota sidang jema’at GPdI di wilayah 8 merogoh koceknya dalam‐ Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
57
dalam agar pembangunan gereja dapat segera diselesaikan (Diolah dari wawancara dengan Pdt. Dr. Simon Kostoro, Pdt. Sumaryanto, Pdt. Adi Sujaka, Pdt. Fati Arosega, Mei 2009). Para anggota sidang jema’at GPdI Wilayah 8 berfikir bahwa jika gedung dengan kapasitas 3.500 orang itu segera selesai, maka akan dapat digunakan untuk kegiatan bersama yang mungkin. GPdI Lembah Dieng ini yang terletak di Desa Pisang Candi Kecamatan Sukun ini yang sekaligus menjadi Kantor Pusat GPdI Wilayah 8 yang membawahi GPdI Kota Batu dan Kabupaten/ Kota Malang dengan jumlah sidang jemaat sebanyak 96 buah. Adapun jumlah anggota sidang jema’at GPdI sebanyak 2.859 orang. Gedung gereja ini memiliki luas bangunan 2.000 m2 yang dibangun 3 lantai (tingkat) serta di atas lahan milik GPdI seluas 9.000 m2. Khusus di Kota Malang jumlah sidang jema’at GPdI sebanyak 17 buah. Sidang jema’at GPdI terbanyak adalah Kabupaten Malang yang mencapai 53 buah sidang jema’at, kemudian Kota Batu sebanyak 26 buah sidang jema’at. Dari 96 buah sidang jema’at itu, jumlah anggota sidang jema’at sebanyak 31.000 orang, sementara untuk di Kota Malang 7.000 orang. Di kalangan anggota GPdI, umumnya sangat taat menyetorkan persepuluhan dan persembahan untuk pengembangan gereja dan penginjilan di wilayah‐wilayah lain yang memerlukan. Oleh karena itu semua gedung gereja GPdI terlihat bagus dan dengan kontruksi kuat yang jelas dipersiapkan untuk tahan beberapa generasi. Penutup Kesimpulan GPdI muncul di Indonesia diawali di Amerika awal abad 20 dari gereja Temple, Seatle Washngton, kemudian
58
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
masuk ke Indonesia melalui Surabaya dan Cepu. Di Cepulah tonggak sejarah GPdI sebenarnya, karena disini dibabtis pertama di Indonesia bersma orang‐orang pribumi di peruahaan minyak di Cepu. Di sini pula didirikan De Pinkster Gemeente in Nederlansch Indie” sebagai “Vereeniging” (perkumpulan) pada 1923 dan berubah menjadi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) tahun 1942. Disini pula kebaktian pertama jemaat GPdI dimulai dengan 15 orang dan kemudian 50 orang dan seterusnya berkembang seperti kotak Pandora. Pada masamasa berikutnya perpecahan terus terus menimpa GPdI, tetapi berkaibat semakin menguatnya semangat penginjilan dan gereja rumpun teologi pentakosta dapat tumbuh dimana‐mana, merembes seperti air dan tumbuh seperti multi level marketing (MLM). GPdI memiliki jaringan intelektual yang ditunjukkan dengan adanya ikatan emosional atau kerjasama antar Sekolah Al Kitab dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) yang ada di Indonesia dengan yang ada di luar negeri. Diawali dari Amerika, Inggris dan Eropa Skandinavia ke Indonesia dimulai dari Surabaya dengan berdirinya sekolah Al Kitab di Surabaya yakni Hollands Chineesche School met de Bijbel dan kemudian disusul dengan berdirinya sekolah Al Kitab dan STT di berbagai kota besar di Indonesia yang sekarang sudah mencapai 38 buah di seluruh Indonesia, Korea, Australia dan sebagainya. Pemanfaatan dosen dan lulusan berbagai sekolah al Kitab dan STT itu fleksibel untuk kepentingan GPdI atau rumpun pantekosta, baik dalam maupun luar negeri. GPdI juga memiliki jaringan kelembagaan yang ditunjukkan dengan adanya realitas bahwa GPdI saat ini merupakan anggota Inter Cooperation Fellowship of Churches in Indonesia, Persekutuan Kerja‐sama Antar Gereja (PEKAGI). Selain PEKAGI, JPI juga merupakan anggota Jaringan (JGKI). Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
59
Association of Christian Institutions and Agency Mission Prayer Meeting atau Asosiasi Lembaga Kristen dan Badan Misi Persekutuan Doa (ALKITAB‐PD), anggota DPI, GPI, PGLII, BKAG dan sebagainya. Di samping itu di antara 30 lembaga Sekolah Al Kitab dan STT ada pertukaran dosen maupun pemanfaatan alumni Sekolah Al Kitab dan STT untuk kepentingan kependetaan dan penggembalaan di seluruh gereja GPdI, tergantung permintaan dan penugasan oleh majelis pengurus pusat, majelis pengurus daerah dan majelis pengurus wilayah maupun ekolah Al Kitab dan STT di seliuruh Indonesia. GPdI juga memiliki jaringan kegiatan strategic bersama yang ditunjukkan oleh adanya pertemuan bulanan di tingkat wilayah (kabupaten/Kota), 4 bulanan di tingkat daerah (propinsi) dan 6 bulanan di tingkat pusat. Kemudian dengan denominasi lain sesama aliran atau rumpun pantekosta mereka bergabung dalam pertemuan berkala, membahas masalah‐masalah yang berkaitan dengan missi dan kegiatan untuk kepentingan jema’at, misalnya musyawarah besar dengan PGLII dan PPI. Kemudian dengan gereja lain yang beda denominasi dan tidak serumpun jaringan kegiatan, misalnya dalam bentuk sidang raya di PGI dan BKAG. Bahkan untuk para pengurus wilayah, pendeta atau gembala bisa sebulan sekali bertemu di Jakarta untuk menyamakan persepsi missi. GPdI memiliki jaringan sumber keuangan yang ditunjukkan oleh adanya kerjasama berbagai kegiatan pengembangan gereja, baik di dalam maupun luar negeri. Dana GPdI didapatkan dari persepuluhan, persembahan dan sumbangan tidak mengikat. Negara‐negera Eropa saat ini banyak yang menyisihkan 10% APBN‐nya untuk kepentingan gereja dan membantu missionaris di negera‐negara dunia
60
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
ketiga. Semua dana yang masuk itu adalah untuk kepentingan gaji gembala, pendeta, pegawai di GPdI, pembelian inventaris dan sarana prasarana lainnya. Tidak lupa pula yang utama adalah untuk pengembangan GPdI sendiri baik penambahan keanggotaan maupun pengadaan sarana kepentingan GPdI di masa kini dan masa depan. Rekomendasi Pemerintah dapat membantu penguatan jaringan GPdI ini dalam bentuk memfasilitasi pertemuan yang sifatnya intelektual, kelembagaan, kegiatan dan keuangan, sehingga mereka juga ikut merasakan sebagai umat beragama yang memerlukan pelayanan keagamaan dari Kementarian Agama.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
61
DAFTAR PUSTAKA Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran Di dalam dan Di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. 1, 1995 Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Gereja Pantekosta di Indonesia, 2007 Duty, Guy, Keselamatan Bersyarat atau Tanpa Syarat? Keselamatan Bersyarat atau Tanpa Syarat?, Diter jemahkan: Peter Suwadi, Ibrahim Karuniamulia, Lily Tanudjaja, Surabaya: Bukit Zaitun, cet. 7, 1996 Departemen Teologia Badan Pekerja Sinode Gereja Bethel Indonesia Pengajaran Dasar Gereja Bethel Indonesia, , cet. 1, Jakarta: 2003, hlm. 100. Daniel Lukas Lukito, Pengantar Teologia Kristen 1, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, cet. 3, 1996, Data Statistik Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Wilayah 8 Data Gereja Kota Malang, Kantor Kementerian Agama Kota Malang, Jawa Timur, 2008 Data Statistik GPdI Cabang Kota Malang, 2009 Departemen Teologia Badan Pekerja Sinode Gereja Bethel Indonesia Pengajaran Dasar Gereja Bethel Indonesia, , cet. 1, Jakarta: 2003, hlm. 100. Kota Malang Dalam Angka, 2009 Lintasan Sejarah 82 Gerakan Gereja Pentaosta di Indonesia, Majelis Pusat Gereja Pantekosta di Indonesia, Sejarah Gerakan Pentakosta di Indonesia, 2010
62
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Menzies, William W., Horton, Stanley M., Doktrin Alkitab: Menurut Pandangan Pentakosta, Malang: Gandum Mas, cet. 2, Setiawan, Johanes, Teologi Gerak: Ajaran Roh Kudus Menurut DR. H. L. Senduk, Jakarta: Lembaga Pendidikan Theologia Bethel, cet. 1; Sejarah Gerakan Pentakosta di Indonesia, Majelis Pusat Gereja Pantekosta di Indonesia, 2010 Talumewo, Steven H., Sejarah Gerakan Pantekosta, Yogyakarta: Yayasan Andi Offset, cet. 1, 1988 Th. Muller Kruger. Sejarah Gereja. 1998, Cet. Ke 8, Badan Penerbitan Kristen‐Djakarta. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas, diunduh Mei 2009 William W. Menzies, Horton, Stanley M., Doktrin Alkitab: Menurut Pandangan Pentakosta, Malang: Gandum Mas, cet. 2, Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas, Lintasan Sejarah 82 Gerakan Gereja Pentakosta di Indonesia, diunduh Mei 2009 Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas,Sejarah Gerakan ʺPentakosta dan Karismatik di Indonesia. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
63
Informan Utama dalam wawancara 1. 2. 3. 4. 5.
Pdt. Dr. Simon Kostoro, GPdI Lembah Dieng Pdt. Sumaryanto dari GPdI Maranatha, Pdt. Adi Sujaka dari GPdI Gloria, Pdt. Fati Arosega dari GPdI Bukit Cemara Tidar Mechel Alfius, Komandan Satpam Gedung Gereja GPdI Lembah Dieng, Malang 6. Drs. Setiaji, Pengawas Pendidikan Agama Kristen Kantor Kementerian Agama Kota Malang
64
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
PENELITIAN JARINGAN KERJA GEREJA BETHEL INDONESIA (GBI) DI MAKASAR, SULAWESI SELATAN Oleh: Wakhid Sugiyarto Kondisi Umum Wilayah Penelitian Sekilas Sejarah Makassar ejak abad 15, Makassar sudah menjadi pusat perdagangan dominan di Indonesia Timur, dan kemudian menjadi salah satu kota terbesar di Nusantara. Pada masa itu, raja‐raja Makassar menerapkan kebijakan perdagangan bebas, di mana seluruh pengunjung ke Makassar berhak melakukan perniagaan disana, dan menolak upaya VOC Belanda untuk memperoleh hak monopoli di kota tersebut. Selain itu, sikap yang toleran terhadap agama sangat baik, meskipun Islam semakin menjadi agama utama di wilayah tersebut, sehingga pemeluk agama Kristen dan kepercayaan lainnya tetap dapat berdagang di Makassar dengan tenang. Hal ini menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangan yang kosmopolitan dan sangat penting bagi orang‐orang Melayu di Indonesia Timur. Semua ini karena kebijaksanaan Raja Gowa‐Tallo saat itu (Sultan Alauddin, Raja Gowa & Sultan Awalul Islam Raja Tallo). Awal mulanya kota dan bandar Makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan kecil di wilayah itu pada akhir abad 15 (C.R. Boxer, Jan, 1985; H.M. Vlekke Bernard, 2008; Sartono Kartodirjo, Marwati Djuned Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto, 1976). Kerajaan Tallo adalah negara yang bercorak agraris sehingga pertanian sudah maju pada saat itu. Bahkan sebagai akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, telah menyebabkan pendangkalan sungai Tallo. Akibat
S
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
65
dangkalnya muara sungai itu, para saudagar dengan seijin raja memindahkan bandarnya ke muara sungai Jene‐Berang yang masih lebih dalam. Disinilah kemudian terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para bangsawan Gowa‐Tallo. Di sini pula kemudian membangun benteng pertahanan Somba Opu yang masih terlihat sisa‐ sisanya hingga sekarang. Pada seratus tahun kemudian wilayah inilah yang menjadi wilayah inti Kota Makassar (C.R. Boxer, Jan, 1985; H.M. Vlekke Bernard, 2008; Sartono Kartodirjo, Marwati Djuned Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto, 1976, dan Observasi 2009). Pada masa pemerintahan Raja Gowa ini didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian utara. Pada masa pemerintahan kerajaan masih dibawah kekuasaan Gowa, terjadi peningkatan aktifitas perdagangan lokal, regional dan internasional, sektor politik serta pembangunan fisik. Masa ini merupakan masa puncak kejayaan Kerajaan Gowa dan akibat penolakan terhadap keinginan monopoli Belanda atas perdagangan di Sulawesi Selatan mengakibatkan ketidaksukaan Belanda. Akhirnya terjadilah perang antara Kerajaan Gowa Tallo dengan kompeni Belanda. Peperangan ini mengakibatkan Kerajaan Gowa Tallo kocar kacir dan Sultan Hasanuddinpun menyerah dan menandatangani perjanjian Bongaya, sekaligus menjadi awal keruntuhan Gowa Talo. Bangsawan Gowa Tallo akhirnya merantau dan menyebar ke berbagai wilayah dunia bersama para saudagar Melayu ke Jawa, Sumatra, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara, Papua, Semnanjung Malaka, Filipina, India dan bahkan ke Madagaskar dan Afrika Selatan. Di daerah‐daerah itu membekas hingga hari ini dengan berbagai sebutan yang menunjukkan adanya eksistensi komunitas Bugis Makasar dan Melayu. Di Jakarta, Surabaya, Bali, Nusa Tenggara, Papua, Kalimantan sebagainya selalu ada kampung
66
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Makasar, kampung Bugis atau kampung Melayu (Sartono Kartodirjo, Marwati Djuned Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto, 1976; C.R. Boxer, Jan, 1985; H.M. Vlekke Bernard, 2008). Komoditi ekspor utama Makassar pada masa kejayaan itu adalah beras dan buah‐buahan yang ditukar dengan rempah‐ rempah di Maluku maupun barang‐barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan‐catatan lontara setempat, diketahui bahwa peranan penting pedagang Bugis Makasar dan Saudagar Melayu dalam perdagangan yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang‐barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan‐kerajaan kecil sekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu dengan sangat berarti. Ketika menyerang kerajaan‐kerajaan kecil lainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan pertanian lawan‐lawannya, tetapi berusaha membujuk dan memaksa para saudagar setempat pindah ke Makassar agar kegiatan perdagangan terkonsentrasi di bandar niaga baru itu (Sartono Kartodirjo, Marwati Djuned Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto, 1976; C.R. Boxer, Jan, 1985; H.M. Vlekke Bernard, 2008). Kepentingan Makassar menurun seiring semakin kuatnya Belanda di wilayah tersebut, dan semakin mampunya mereka menerapkan monopoli perdagangan rempah‐rempah seperti keinginan mereka, pada tahun 1669, masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Belanda bersama dengan La Tenri Tatta Arung Palakka dan beberapa kerajaan sekutu Belanda melakukan penyerangan terhadap kerajaan Islam kembar Gowa‐Tallo. Kerajaan ini merupakan sebagai batu penghalang terbesar untuk menguasai rempah‐rempah Indonesia Timur. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
67
Setelah berperang habis‐habisan melawan koalisi kerajaan pimpinan Belanda, akhirnya Gowa‐Tallo (Makassar) terdesak dan terpaksa menanda tangani perjanjian Bungaya (Sartono Kartodirjo, Marwati Djuned Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto, 1976; C.R. Boxer, Jan, 1985; H.M. Vlekke Bernard, 2008). Setelah masa itu, Makassar, bahkan Sulawesi Selatan, kurang menjadi perhatian penting para sejarawan dan baru paska Indonesia merdeka Makasar menjadi penting dalam catatan sejarah. Makasar selama itu sedang dalam genggaman Raja‐raja Bugis yang menjadi sekutu kompeni sejak perjanjian Bongaya sampai Belanda pergi dari Indonesia tahun 1942 karena dikuasai Jepang. Catatan penting itu antara lain, pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan sekitar 40.000 orang oleh Kapten Raymond Westerling dan anak buahnya. Berikutnya adalah peristiwa pemberontakan Abdul Kahar Muzzakkar yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia bersama Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Daud Beureh di Aceh karena kekecewaannya pada Soekarno (Sartono Kartodirjo, Marwati Djuned Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto, 1976). Daerah‐daerah lokasi pemberontakan yang ingin mendirikan Negara Islam itu, saat ini menjadi daerah yang dikenal dengan perda‐perda Syari’ah seperti juga di Priangan (Bandung dan sekitarnya) dan Daerah Istimewa Aceh. Daerah Istimewa Aceh memiliki otonomi hukum sendiri yang disebut qonun dan berubah menjadi Nanggroe Aceh Darrussalam (NAD), yang secara emplisit mengakui Aceh sebagai negara dalam negara, karena merupakan sebuah negara meskipun masih dalam kerangka NKRI. Sebab kata Nanggroe dalam bahasa Aceh artinya negara, berarti NAD adalah Negara Aceh Darussalam yang posisinya dalam kerangka NKRI sangatlah
68
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
istimewa, karena secara keseluruhan propinsi NAD sudah diotonomikan pada tingkat propinsi, hanya beberapa hal saja yang tidak diotonomikan, sebagaimana kementerian dalam kabinet yang tidak diotonomikan. Sejak tahun 2004 Kota Makassar sudah mulai melakukan pembangunan sarana‐sarana publik yang baru dan berkualitas. Hal ini dilakukan berdasarkan pada slogan Kota Makassar yaitu Great Expectation City. Sejak saat itu dimulailah pembangunan mulai dari Menara Balaikota sekarang sudah difungsikan, Graha Pena Fajar, Pelataran Losari, Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Pelebaran Jalan tol yang menghubungkan kota Makassar ke Bandara, GOR Sudiang dan sebagainya (Kota Makassar Dalam Angka, 2008). Kondisi Geografis dan Demografis Kota Makassar (dari 1971 hingga 1999 secara resmi dikenal sebagai Ujungpandang atau Ujung Pandang) adalah sebuah kotamadya dan sekaligus ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Kotamadya ini adalah kota terbesar keempat di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya dan Medan. Makassar yang menghadap ke selat Makassar ini berbatasan wilayah dengan Selat Makassar di sebelah barat, Kabupaten Kepulauan Pangkajene di sebelah utara, Kabupaten Maros di sebelah timur dan Kabupaten Gowa di sebelah selatan (Kota Makassar Dalam Angka, 2008). Kota Makasar ini termasuk kota kosmopolitan, karena gaya kehidupannya sebagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan. Makassar dihuni oleh berbagai suku bangsa, seperti; Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Maluku, Jawa, Papua, Nusa Tenggara dan sebagainya. Di kota Makasar ini terdapat komunitas Tionghoa yang cukup besar, terutama di daerah pelabuhan. Mereka merupakan para saudagar yang Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
69
menguasai komuditas ekspor dan pergudangan sekitar pelabuhan sejak sebelum Indonesia merdeka (Kota Makassar Dalam Angka, 2008). Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 45.519,24 km2 yang secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 20 kabupaten dan 3 kota, dengan 296 kecamatan dan 2.946 desa/ kelurahan. Kabupaten Luwu Utara merupakan kabupaten ter‐ luas dengan luas 7.502,68 km2 atau luas kabupaten tersebut merupakan 16,48% dari seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Se‐ dangkan Sulawesi Selatan, 42% dari luas seluruh pulau Sulawesi atau 4,1% dari luas seluruh Indonesia (Provinsi Sulawesi Selatan Dalam Angka, 2008). Penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan data dari Biro Dekonsentrasi Bagian Kependudukan Pemprov. Sulawesi Selatan pada tahun 2008 berjumlah 7. 874.439 jiwa tersebar di 23 kabupaten/kota. Sementara itu Kota Makasar memiliki jumlah penduduk terbesar yakni 1.565.521 jiwa. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kota Makassar karena terjadinya arus urbanisasi dari daerah lainnya di Sulawesi, Indonesia timur lainya dan Jawa, untuk melanjutkan pendidikan, dan bekerja (Kota Makassar Dalam Angka, 2008). Kepadatan penduduk per km2 di Sulawesi Selatan rata‐ rata 173 jiwa/km. Kota Makassar merupakan kabupaten/kota ter‐padat (7.200 jiwa/km2), menyusul Kota Parepare (1.201 jiwa/km2) kemudian Kota Palopo (842 jiwa/km2). Sedangkan kab/kota dengan tingkat kepadatan penduduk terendah yaitu kab. Luwu Timur (34 jiwa/km2), Luwu Utara (39 jiwa/km2) dan Enrekang (94 jiwa/km2). Tujuh belas (17) kabupaten lainnya rata‐rata mempunyak tingkat kepadatan penduduk antara 100‐500 jiwa/km2 yaitu Selayar, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Tator dan Luwu
70
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
(Provinsi Sulawesi Selatan Dalam Angka, 2008). Memahami Jaringan Kerja Penginjilan dari Masa ke Masa Sekilas Perpecahan Gereja dan Bangkitnya Penginjilan Agama Kristen adalah salah satu agama Abrahamik yang mendasarkan pada hidup, ajaran, kematian dalam penyaliban, kebangkitan, dan kenaikan Yesus dari Nazaret ke surga, sebagaimana dijelaskan dalam Perjanjian Baru. Umat Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Mesias Sang Juru Selamat manusia yang menebus dosa‐dosanya melalui penyaliban sebagaimana dinubuatkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Teologinya adalah monothisme, percaya tiga pribadi Tuhan atau Tritunggal yang dipengaruhi kepercayaan lokal Eropa. Tujuan istilah Tritunggal adalah agar masyarakat Kristen Eropa mudah memahaminya karena sudah terbiasa dengan paganisme. Mereka beribadah di gereja dan kitab sucinya adalah Alkitab. Murid‐murid Yesus Kristus pertama kali dipanggil Kristen di Antiokia (Kisah Para Rasul 11:26) (Daniel Lukas Lukito, 1996; Guy Duty, 1996, H. Berkhof, 1952) Gereja disebut dalam sejarah gereja telah mengalami dua kali perpecahan besar, yang sebenarnya telah diawali perpecahan‐perpecahan kecil sebelumnya karena perbedaan‐ perbedaan yang tidak dapat diselesaikan antar para pemimpin gereja waktu itu. Mungkin terlalu rumit dan panjang untuk dijelaskan dalam laporan ini. Laporan ini cukup menjelaskan kerangka besarnya saja, yang penting pembaca dapat memahaminya. Perpecahan besar pertama terjadi pada tahun 1054, yaitu antara Gereja Barat disebut Gereja Katolik Roma (GKR) berpusat di Roma dengan Gereja Timur atau disebut Gereja Katolik Orotodok (GKO) berpusat di Konstantinopel (Th. Van den End, 2005; H. Berkhof, 1952; Daniel Lukas Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
71
Lukito, 1996; Guy Duty, 1996). Dampak yang segera terlihat setelah perpecahanya yang pertama adalah kebangkitan semangat keagamaan bangsa Eropa dan kehausan spiritualitas seperti orang dahaga di siang terik matahari. Sementara itu, kemiskinan masih mendera bangsa Eropa masa itu, dan disisi lain dunia Islam serta umat Gereja Katolik Orotodok di Timur sedang makmur dan maju dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam kondisi seperti inilah, beberapa dekade kemudian yaitu tahun 1095 M, masyarakat Kristen Eropa dengan mudah disulut menuju perang yang sangat dahsyat yaitu Perang Salib. Perang Salib itu, dimaklumatkan oleh Paus Urbanus II, dan kemudian diikuti melepas para penjahat di selruh daratan Eropa oleh para raja, untuk diberangkatkan menuju perang suci di Yerusalem, dengan harapan mendapat harta rampasan dan masuk surga. Bahkan para raja Eropapun juga berangkat atas perintah Paus Urbanus yang haus darah itu (Adian Husaini, 2005; H. Berkhof, 1952). Sembari berangkat ke tanah suci, mereka diperjalanan menghancurkan apa saja, memperkosa dan membunuh siapa saja yang dilewati apalagi menjadi penghalang mereka. Sementara yang dari Jerman dan Polandia, melalui Konstantinopel, membunuh beribu‐ribu umat Gereja Katolik Ortodok (Gereja Katolik Timur), kemudian masuk ke Suriah dan membunuh beribu‐ribu kaum muslim, Kristen Koptik dan sebagainya tanpa perlawanan yang berarti. Jadi perang Salib pada awalnya lebih bercorak perampokan dan pembumihangusan daripada disebut perang suci, karena korbannya tidak pandang bulu, artinya semua yang dilewati dihancurkan, rakyat dibunuh, perempuan diperkosa, rumah‐ rumah dibakar dan sebagainya. Maklumat Paus untuk pembebasan telah berubah menjadi malapetaka bagi siapa saja
72
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
yang wilayahnya dilewati oleh tentara Salib. Oleh karena itu dampak gelombang perang Salib pertama memang sangat mengerikan bagi kemanusiaan, dan tentara Salib‐pun sukses menduduki Kota Yerusalem dan mendirikan kerajaan di sana (Adian Hussaini, 2005; Alwi Sihab, 1988; Aqip Suminto, 1996). Perang Salib yang dikomando oleh Paus Urbanus itu adalah hasil kebijakan para pemimpin gereja, pemerintah Eropa, serta misionaris yang menentang Islam. Sikap tamak dan kemiskinan yang melanda Eropa masa itu membuat mereka kalap dan berambisi merebut kekayaan umat Islam dan menjadi salah satu alasan dimulainya Perang Salib. Alasan‐alasan lainnya tentu saja karena alasan agama, keinginan menaklukkan Baitul Maqdis, untuk membebaskan pemakaman suci di sana dan menghukum para penggangu umat Kristen yang ziarah di Palestina (Yerusalem). Perang Salib menjadi salah satu periode amat penting dalam sejarah hubungan dunia Islam dan Kristen. Di sepanjang Perang Salib, yang dimulai dengan serangan orang‐ orang Kristen ekstrim untuk menaklukkan Baitul Maqdis, ratusan ribu umat Islam dan Gereka Kristen Timur/Orotodok serta Kristen Koptik mati dibantai. Namun, kemudian umat Islam berhasil mengusir tentara Salib dari Baitul Maqdis dan tentara Salibpun meninggalkan Suriah, Mesir, dan kawasan muslim lainnya. Banyak pendapat yang dikemukakan mengenai penyebab dan motivasi terjadinya Perang Salib ini dengan berbagai versinya. Tetapi pasti bahwa sebagian besar masyarakat Kristen Barat tidak mengetahui bahwa Perang Salib yang mengakibatkan korban amat besar dan sia‐sia ini adalah atas perintah Paus (Paus Urbanus II). Bagi umat Islam, kenangan atas Perang Salib merupakan satu contoh nyata dari militerisasi Kristen ekstrim, sebuah kenangan yang membawa pesan bagi serangan dan imperialisme Kristen Barat. (Adian Hussaini, 2005; Perang Salib, Wikipedia Bahasa Indonesia, diunduh Mei 2009). Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
73
Perang Salib dan hasil rampokannya telah membawa kemajuan sosial masyarakat Eropa, dan semakin mendorong semangat ekspansi imperialisme ke dunia baru. Rakyat Eropa yang saat itu berperadaban rendah, mengenal kecemerlangan peradaban umat Islam dan mereka mulai mempelajari ilmu dan peradabanya. Tetapi orang‐orang Kristen mengambil manfaat dari kemajuan peradaban Islam itu ternyata untuk penindasan sehingga rasa permusuhan bersejarah dan kebencian Kristen Barat dengan Islam tidak pernah berkurang, dan tetap meletup‐letup sampai hari ini meskipun sifatnya mulai sporadis. Para misionarispun bangkit dengan didanai oleh Paus, dititipkan kepada para penjajah untuk menyebar ke seluruh dunia. Pesan‐pesan Paus di Roma adalah Gereja siap membantu menaklukkan dunia dengan syarat membawa misionaris dalam misi perdagangan atau mencari jalan baru menuju pusat rempah‐rempah. Dalam misi perdagangan yang lebih tepat disebut misi perampokan itu, mereka membentuk pemerintahan di negeri orang, argumen yang sangat lemah jika disebut dengan perdagangan, karena sangat aneh, misi perdagangan dilengkapi dengan missionaris, birokrasi pemerintahan dan kelengkapannya, termasuk juga serdadu‐ mereka melakukan kerja‐kerja missi Kristen di seluruh dunia termasuk Indonesia. Dan akhirnya segera terlihat bahwa kebijakan pemerintah kolonial sangat penting perananya dalam penginjilan dan kristenisasi di Indonesia (Adian Hussaini, 2005; Perang Salib, Wikipedia Bahasa Indonesia, diunduh Mei 2009). Perang salib telah gagal mempertahankan Yerusalem dan Timur Tengah, bahkan disisi lain, Konstantinopel jatuh ke tangan Khalifah Turki Ustmani sekitar tahun 1400‐an. Konstantinopel adalah kota metropolitan masa itu dan pusat
74
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
perdagangan antara bangsa Asia dengan Eropa dalam berbagai komoditas perdagangan, sekaligus sebagai lambang supremasi Eropa terakhir pada masa itu. Jatuhnya Kota Konstantinopel merupakan pukulan telak bagi Eropa secara menyeluruh setelah perang salib gagal mempertahankan Yerusalem (Perang Salib, Wikipedia Bahasa Indonesia, diunduh Mei 2009). Perpecahan gereja kedua terjadi antara Gereja Katolik Roma (GKR) dengan Gereja Protestan yang terjadi pada tahun 1517, ketika Martin Luther memprotes ajaran Gereja yang dianggapnya telah menyimpang dari kebenaran. Pada saat Martin Luther mulai gerakannya ini, suara Paus lebih diikuti dari pada kebenaran al Kitab, sehingga penyimpangan ajaran Kristen semakin jauh dari al‐Kitab (Bybel). Dari kalangan kalangan Protestan inilah semangat penginjilan semakin menguat, karena adu kuat dengan pengaruh Gereja Katolik Roma (GKR). Mungkin sudah menjadi takdir Illahi, bahwa bangitnya semangat keagamaan di kalangan umat Kristen, utamanya dari Gereja Protestan, kemudian tidak lama kemudian pecah menjadi banyak denominasi gereja, seperti Calvinisme di Perancis, Anglikan di Inggris, Penthakosta di Amerika dan Eropa Skandinavia. Gereja Protestan segera menjadi yang paling kuat di negara‐negara yang bercorak liberal seperti Jerman, Perancis, Belgia, Belanda, Amerika Utara dan sebagainya. Sementara itu Gereja Katolik Roma tetap dianut sebagian besar rakyat Portugal, Spanyol, Italia, Amerika Latin dan di Asia Tenggara yaitu di Nusa Tenggara plus Timor Leste dan Filipina. Gereja Katolik Ortodok Timur tetap dominan di Balkan, Yunani dan Eropa Timur, (Encyclopedie Van Nederlandsch Indie, 2005; Th. Van den End, 2005; H. Berkhof, 1952; Daniel Lukas Lukito, 1996; Guy Duty, 1996). Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
75
Di Asia Tenggara, missionaris bersama kolonial Belanda dan Portugis maupun Spanyol, seperti membagi wilayah penginjilan, yaitu sebagian Maluku, Nusa Tenggara plus Timor Leste dan pesisir pantai selatan Papua menjadi wilayah garapan Portugis dengan ajaran Gereja Katolik. Oleh karena itu wilayah ini sekarang menjadi wilayah umat Katolik yang kuat, meskipun pelan‐pelan semakin terdesak oleh Gereja Protestan, sehingga tidak ada lagi provinsi di Indonesia yang mayoritas Katolik. Nusa Tenggara Timur dewasa ini telah menjadi mayoritas Protestan dengan segala denominasinya. Sementara itu Belanda sebagai penguasa kolonial, memberi kelonggaran kepada missionaris untuk menyelenggarakan pelayanan Gereja Protestan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan pantai utara Papua sampai Papua Tengah. Sedangkan Spanyol sebagai penguasa di Filipina melakukan Katolikisasi, sehingga sampai hari ini mayoritas rakyat Filipina beragama Katolik. Kedatangan para misionaris di Indonesia bukan tanpa masalah, tetapi banyak hambatan dari umat Islam yang sebenarnya juga baru saja memulai Islamisasi. Umat islam juga mulai mewaspadai keberadaan Zending‐Zending misi Protestan, terutama di Jawa, karena para misionaris umumnya langsung berpropaganda tentang Gereja Protestan (church planting), tidak diwali dengan pendrian rumah sakit, lembaga pendidikan untuk semua kalangan dan sebagainya. Bahkan sampai tahun 1965, dapat dikatakan Kristenisasi di Jawa gagal total, karena Islam masih dipeluk lebih dari 97 persen dari pendudu Jawa. Gereja Protestan hanya tumbuh di wilayah‐ wilayah yang tadinya menjadi basis PKI dan Islam Abangan yaitu wilayah segitiga Kristenisasi Semarang, Surakarta dan Yogyakarta saja. Sementara wilayah bekas basis PKI dan Abangan di eks Karesidenan Madiun dan Kediri Islam tetap
76
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
dalam posisi di atas 96 persen (Alwi Shihab, 1988; Encyclopedie Van Nederlandsch Indie, 1998; H.M. Vlekke Bernard, 2008). Sementara di Sumatra, Nomensen berhasil membuat etnis Batak di Tapanuli Utara menjadi Kristen dengan mengawali pendirian rumah sakit, lembaga pendidikan untuk semua, penyuluhan pertanian dan bekerja sama dengan Belanda membangun irigasi dan infrastruktur dan sebagainya. Pada hari ini Tapanuli Utara yang sekarang telah mekar menjadi beberapa kabupaten 90 persen etnis Batak telah memeluk agama Kristen. Begitupun di Kalimantan, Maluku dan Papua, Kristenisasi cukup berhasil karena metode misi yang digunakan adalah presensia, yaitu pelayanan sesuai konteks masyarakat yang sedang digarap. Sekilas Lahirnya Gereja Pentakosta Gereja Pantekosta mulai hadir saat kebangkitan rohani bangsa Amerika awal abad 20. Pada masa itu bangsa Amerika sedang kekeringan spiritualitas, karena semua denominasi gereja sudah dipandang tidak lagi dapat membahagiakan, dan menjadi standard moral secara benar. Kegelisahan jiwa meledak di mana‐mana di tahun 1900‐an. Dalam kondisi seperti itu hadirlah Pendeta Ch. F. Parham yang mulanya merupakan anggota Gereja Methodis (Talumewo, Steven H., 1988; MP‐ GPdI, 2010; Th. Van den End, 2007). Pendeta F. Parham sebagai pendeta saja mengalami kekeringan spiritualitas dan ketidakpuasan rokhani, apalagi para jama’atnya. Pendeta Ch. F. Parham karena ketidak puasan rokhan ia keluar, kemudian mengalami pencurahan roh khudus lengkap dengan tanda‐tanda bahasa lidah. Padahal telah berabad‐abad tidak terdengar adanya orang‐orang Kristen yang berdoa untuk menerima kehadiran Roh Kudus Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
77
dalam hidupnya, terlebih adanya bukti berkata‐kata dengan bahasa Roh dan menerima karunia Roh Kudus. Tetapi pada tahun 1906 terjadi kembali pencurahan Roh Kudus itu kepada orang‐orang yang percaya Tuhan secara signifikan dan fenomenal lengkap dengan bahasa lidah (ada mu’jizat) seperti pengalaman gereja awal abad ke‐1 adalah luar biasa (Kisah 2:1‐4, 10:44‐46, 19:5‐6). Kemu’jizatan yang diperoleh jika percaya itu, masuk ke Azusa Street di Los Angeles dan menjalar cepat ke berbagai kota di Amerika Serikat, salah satunya ke kota Seattle, Washington. Dalam berbagai televisi Indonesia yang menayangkan aktiftas gereja rumpun/aliran teologi pentkosta, selalu dinyatakan oleh para pendeta “jangan putus harapan karena mu’jizat masih ada, berdoalah agar disembuhkan” (Menzies, William W., Horton, Stanley M, 2004; MP‐ GPdI, 2008 dan Kesimpulan ceramah tentang Aliran‐aliran gereja di Indonesia dalam Radio Berita Klasik Jakarta, 26 Mei 2010 jam 19.00 – 21.00 wib). Keluarnya Ch. Parham dari Gereja Metodist dan kemudian menyebarkan pentakosta ini secara sosiologis sebenarnya disebabkan oleh kondisi apa yang disebut dengan deprivasi, yaitu suatu kejumudan ajaran yang mengakibatkan ketidakpuasan rohani, keputusa‐asaan hidup, kemagulan dan kesulitan hidup, sehingga iapun keluar dan merasa perlu menampilkan paham atau ajaran baru yang lebih dinamis dan menggugah semangat hidup Illahiah dihadapn publik Amerika dengan landasan teologis yang kuat. Oleh karena itu, Ch. Parham menetapkan ajaran – ajaran teologisnya, yaitu; Pertama, Al‐kitab harus dipahami sebagai Firman Allah yang diilhamkan kepada manusia, untuk menjadi tata‐tertib bagi iman dan perilaku; Kedua, Allah yang benar dan hidup diyakini oleh komunitas teologi Pentakostal sebagai Allah Yang Esa, pencipta langit, bumi dan segala isinya; Ketiga,
78
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Keselamatan adalah pembebasan di luar kemampuan seseorang membebaskan diri karena merupakan karya Allah dalam pengupayaan umat bebas dari perbudakan dosa dan membawa ke situasi kemuliaan melalui Yesus Kristus. Keempat, Baptisan adalah tindakan iman untuk melaksanakan percaya kepada Injil, bahwa Kristus telah mati karena dosa‐ dosa manusia, Ia dikuburkan dan telah bangkit pada hari ketiga (1 Kor 15:3‐4; Rom 6:3‐5). Baptisan terdiri dua jenis, yaitu: 1). baptisan air, yakni lambang kematian dan penguburan kemanusian yang lama, dengan cara menyelam seluruh tubuh ke dalam air (Mat 16:15‐16; 28:19); 2), Baptisan Roh adalah baptisan orang percaya dengan Roh kudus dibuktikan oleh tanda fisik awal, yaitu berbicara dengan bahasa‐bahasa lain seperti yang diberikan Roh Kudus kepada mereka untuk mengatakannya (Kisah 2:4). Roh Kudus inilah yang menjadi pusat teologi dari aliran Pentakosta (Menzies, William W., Horton, Stanley M., 1998; Setiawan, Johanes, 1999; Kelima, Bahasa Lidah, yaitu baptisan atas orang percaya di dalam Roh Kudus yang diawali dan disaksikan oleh tanda lahiriah berupa berbicara dalam lidah (bahasa) lain, sebagaimana kemampuan yang di berikan Allah kepada para Rasul (Kisah 2:4). Keenam, Perjamuan Kudus, terdiri dari unsur roti dan air anggur, lambang yang mengungkapkan keikutsertaan kodrat Illahi Tuhan Yesus, pengenangan atas penderitaan dan kematian‐Nya dan nubuat atas kedatanganya kedua kali, persekutuan orang percaya dengan Allah dan sesama. Kesembuhan bisa terjadi sewaktu orang percaya mengambil bagian dalam perjamuan kudus dimana Allah yang menyembuhkannya, dan sakramen Perjamuan Kudus sebagai salah satu alat anugerah Allah bagi orang percaya (Johanes Setiawan, 2003; Dep. Teologia BP Sinode GBI: 2003).
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
79
Ketujuh, Kesucian hidup dan perilaku yang secara menyeluruh, sehingga kaum Pentakostal mempertahankan kesucian sebagi pokok ajaran terpenting yang harus pegang kuat. Kedelapan, Kesembuhan Illahi. Pada permulaan gerakan Pantekosta, doktrin kesembuhan Illahi adalah suatu kebenaran yang sangat penting dalam berita ʺInjil Sepenuhʺ. Kesembuhan Illahi dikhotbahkan dan dipraktekkan, sebab umat Pentakosta percaya kesembuhan disediakan bersamaan penebusan dan merupakan hak istimewa bagi orang‐orang yang percaya (mu’jizat masih ada). Kesembilan, Eskatologis, yakni bahwa kaum Pentakosta percaya jika Yesus Kristus akan datang lagi untuk memerintah kerajaan seribu tahun di dunia. Kesepuluh, Gereja bukanlah sekedar perkumpulan melainkan persekutuan yang lahir dari Allah. Alkitab menyatakan bahwa yang mendirikan gereja adalah Tuhan Yesus (Mat 16:18) (Daniel Lukas Lukito, 1996; W. Menzies William, dan M. Stanley Horton, 1996). Dalam peraktiknya Gereja Pentakosta memiliki ciri‐ciri umum yaitu pertama, sangat menekankan keyakinan peranan Roh Kudus dan karunia‐karunia Roh Kudus dalam kehidupan sehari‐hari pengikutnya; kedua, Pembaharuan infrastruktur ibadah, seperti lagu‐lagu rohani yang digunakan lebih modern dibandingkan dengan lagu‐lagu lama yang bernuansa Gregorian; ketiga, Gereja mengizinkan peran kaum perempuan dalam pelayanan; keempat, Desakralisasi hubungan imam dan jemaat ditekankan pada nilai kekeluarga, agar tidak terjadi kesenjangan tingkat kerohanian (feodalisme kegamaan/ kharisma keagamaan). Kebangkitan rohani Ch. Parham itu kemudian masuk ke Azusa Street di Los Angeles dan menjalar cepat ke berbagai kota di Amerika Serikat, antara lain ke kota Seattle, Washington. Dari sanalah muncul Gereja Pentekosta yang dipelopori oleh oleh Ch. F. Parham pada tahun 1906
80
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
(Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) GPdI , 2007; MP‐ GPdI, 2010; Th. Van den End dan J. Weitjens, SJ. Ragi Cerita, 1996; Diolah dari Wikipedia Bahasa Indonesia, diunduh Juli 2010). Secara teologis, kebanyakan denominasi yang berasal dari rumpun teologi Pentakosta tergabung dalam rumpun pemahaman Evangelical, artinya mereka menekankan bahwa Alkitab itu sepenuhnya dan dapat dipercaya, hingga pada tingkat ineransi (tidak mengandung kesalahan) dan orang harus bertobat dan percaya kepada Yesus. Orang Pentakosta memeliki pandangan duania yang transrasional. Meskipun mereka sangat memperhatikan ortodoksi (keyakinan yang benar), mereka juga menekankan ortopati (perasaan yang benar) dan ortopraksis (refleksi atau tindakan yang benar). Penalaran dihargai sebagai bukti kebenaran yang sahih, tetapi orang‐orang Pentakosta tidak membatasi kebenaran hanya pada ranah nalar. Al‐kitab memiliki tempat yang khusus dalam pandangan dunia pentakostal karena Roh Kudus selalu aktif di dalam Al‐kitab, sehingga pertemuan dengan Alkitab adalah pertemuan dengan Allah. Bagi orang Pentakosta, Alkitab adalah referensi utama bagi persekutuan dengan Allah dan pedoman untuk memahami dunia seutuhnya. Beberapa gereja Pentakosta juga meyakini bahwa mereka yang tidak berbahasa Roh belum menerima berkat yang mereka namakan baptisan Roh Kudus. Klaim ini memang sangat unik bagi kaum Pentakosta dan merupakan salah satu dari sedikit perbedaannya dengan teologi karismatik. Beberapa pendeta dan anggota gereja mengakui bahwa seorang percaya mungkin mampu berbahasa Roh, tetapi karena berbagai alasan pribadi (misalnya, karena kurangnya pengertian), mereka tidak melakukannya. Hal ini terjadi apabila seorang percaya yang dipenuhi oleh Roh Kudus, Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
81
tetapi tidak memperlihatkan apa yang disebut ʺbukti fisik awalʺ dalam bentuk bahasa Roh. (Jan S. Aritonang, 996; Th. Muller Kruger, 1966; Pavor A. Bancin, 2009). Dalam keyakinan karismatik, Gereja menolak pendapat bahwa karunia karismatik menghilang tak lama setelah masa para rasul. Bapa gereja mula‐mula, Ireneus, menulis sbb. ʺ... kami mendengar banyak saudara di gereja yang memiliki karunia‐karunia bernubuat, dan yang berbahasa Roh, dan yang juga menyingkapkan berbagai rahasia manusia demi kebaikan mereka sendiri [pengetahuan]...ʺ. ʺKetika Allah menganggap perlu, dan ketika gereja banyak berdoa dan berpuasa, mereka melakukan banyak perbuatan yang ajaib, bahkan menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal.ʺ (Th. Muller Kruger, 1966). Sejarah Lahirnya Gereja Bethel Indonesia (GBI) Ketika gerakan sekte Pantekosta muncul di Amerika yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, pusatnya adalah Gereja Bethel Pentacostal Temple Inc. di Seatle, Washingtong, Amerika Serikat. Gereja Bethel Pentacostal Temple Inc.di Seatle inilah yang kemudian mengirimkan tiga orang pendetanya ke Indonesia yaitu Richard Dick, Christine Van Klaverans dan Cornelis Groesback beserta isteri dan anak-anaknya pada tahun 1922. Dalam waktu yang hampir bersamaan datang pula pendeta dari Liverpool, Inggris, Papa Thiessen yang bergabung ikut mengembangkan api Pantekosta di Indonesia. Beberapa tahun kemudian orang-orang ini (Pdt. Richard Dick dan Papa Thiessen) mendirikan organisasi gereja, yaitu Vereninging De Pinkstergemeente In Nederlandsch Oost Indie (Jemaat Pentakosta di Hindia Timur Belanda) pada tahun 1923. Vereninging De Pinkstergemeente In Nederlandsch Oost Indie ini kemudian berkembang pesat sehingga memerlukan banyak pelayan gereja yang kemudian mendorong berdirinya
82
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Sekolah al Kitab yang pertama yaitu di Surabaya tahun 1930 oleh Pdt. Richard Dick dan Papa Thiessen. Vereninging De Pinkstergemeente In Nederlandsch Oost Indie (Jemaat Pentakosta di Hindia Timur Belanda) ini di masa Jepang (tahun 942) berubah dalam bahasa Indonesia menjadi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), dan semakin mendapat banyak anggota jemaat di berbagai kota di Indonesia, dari Cepu, menjalar ke Semarang, Surabaya, Malang, Bandung, Jakarta, Medan, Manado dan sebagainya. Tetapi pada tahun 1952, Pdt. Papa Thiesen dan Pdt. HL. Senduk keluar dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) dan kemudian membentuk Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) dengan pusatnya di Surabaya. Roda sejarah terus berputar, dan GBIS di bawah pimpinan H.L. Senduk berkembang dengan pesat. Bermacam‐macam kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi organisasi ini dalam perjalanannya. Namun semakin besarnya organisasi itu, begitu semakin banyak pula kepentingan yang harus diakomodasi. Pada 1968‐1969, kepemimpinan Senduk di GBIS tiba‐tiba diambil alihdikudeta di Prapat oleh pihak lain yang disokong Menteri Agama. Pada 6 Oktober 1970, H.L. Senduk dan rekan‐rekannya serta pendukungnya memisahkan diri dari organisasi GBIS dan membentuk sebuah organisasi gereja baru bernama Gereja Bethel Indonesia (GBI) pada tahun 1972 disahkan Menteri Agama. Gereja Bethel Indonesia (GBI) yang didirikan oleh HL. Senduk segera mendapat banyak dukungan dari para jema’at sinode GBI Sepenuh dan eksosodus jemaat GBIS ke GBI tidak dapat dielakan. Segera setelah itu, GBI berkembang pesat di seluruh Indonesia hingga hari ini melebihi GBIS asal di mana HL Senduk pernah menjadi pimpinan dan kemudian didepak dari kursi pimpinanya. Dari GBI yang berkembang pesat itu, akhirnya melahirkan sinode‐sinode baru pula di berbagai wilayah Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
83
Indonesia. GBI ini kemudian diakui pemerintah secara sah pada tahun 1972 sebagai suatu Kerkgenootschap yang berhak hidup dan berkembang di bumi Indonesia. Pdt H.L. Senduk melayani GBI Jemaat Petamburan dibantu oleh istrinya Pdt Helen Theska Senduk, Pdt Thio Tjong Koan, dan Pdt Harun Sutanto. Pada tahun 1972, Pdt H.L. Senduk memanggil anak rohaninya, Pdt S.J. Mesach dan Pdt Olly Mesach untuk membantu pelayanan di GBI Jemaat Petamburan. Saat itu, Pdt S.J. Mesach telah menjadi Gembala Sidang GBI Jemaat Sukabumi, yang telah dilayaninya sejak tahun 1963. Pdt HL Senduk berpulang ke sisi Illai pada tanggal 26 Februari 2008, setelah lebih dahulu ditinggal istrinya tercinta. Ia meninggalkan visi 10.000 gereja GBI bagi generasi berikutnya. Jadi jika ditelusuri, maka GBI adalah cicit GPdI, sehingga rumpun teologinyapun sama yaitu Pentakosta. Pada tahap berikutnya GBI ini kemudian menjadi salah satu sinode anggota Persekutuan Gereja‐gereja Indonesia (PGI), Dewan Pantekosta Indonesia (DPI) dan Persekutuan Injili Indonesia (PII). Oleh karena itu Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) adalah Sinode yang lahir dari Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). Dari Sinode GBI‐pun akhirnya juga lahir beberapa sinode‐sinode baru yang memisahkan diri dan independen, di antaranya: Gereja Bethany Indonesia (GBI); Gereja Mawar Saron (GMS); Gereja Tiberias Indonesia (GTI); dan Gereja Berita Injil (GBI). Pemisahan diri menjadi Sinode baru apapun penyebabnya adalah hal yang sangat biasa dalam lingkungan Kristen yang justru memperluas jaringan Kristen, sehingga di seluruh dunia terdapat banyak denominasi dan beribu‐ribu sinode atau jema’at. Jadi penginjilan adalah mata rantai tugas misi yang tidak terputus, sejak paska perang salib, masa penjajahan bangsa‐bangsa Barat, paska perang dunia kedua hingga masa
84
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
depan. Apalagi para misionaris dari komunitas kekristenan rumpun pentakosta ini di berbagai daerah Indonesia sangat optimis, melihat kondisi sosial masyarakat Indonesia yang pada umumnya siap untuk dituai, yang disebut dengan ”kita harus menyambut tuaian besar dan pertaubatan domba‐ domba yang tersesat besar‐besaran”. Gereja Bethel Indonesia (GBI) Horif Makasar Cikal bakal seluruh Gereja Bethel Indonesia di Sulawesi Selatan diawali dari Gereja Bethel Indonesia (GBI) Horif, di jalan Gunung Merapi 45 Makasar pada tahun 1975. Gereja inilah cikal bakal dari GBI Sulawesi Selatan yang sekarang digembalakan oleh Pdt. Marson Malaha yang menjadi pendeta sejak tahun 1997. Beliau adalah veteran TNI Angkatan Laut yang sejak masih aktif sebagai tentara sudah aktif membantu Pdt melayani anggota Jema’at. Dalam melayani anggota jema’at di GBI Horif sejak berdirinya GBI banyak peristiwa terjadi yang sebenarnya justru dipandang sebagai proses pembelajaran menuju kearifan. Jadi beliau masih sangat muda, baik dalam kedinasan tentara maupun ketika mulai membantu pelayanan jema’at di GBI Horif. Beliau dilahirkan di Luwuk Timur tahun 1952 dan isterinya adalah dari Toraja juga seorang pendeta. Putrinya ada tiga dan sekarang sudah memiliki 4 cucuk yang gagah dan manis‐manis. Anaknya semua sarjana, ada yang sarjana akuntansi, Fisip dan kebidanan. Areal di mana gedung Gereja GBI Horif dibangun sudah bersertifikat atas nama Pendeta Marson Malaha dengan luas tanah 6 x 40 meter. Tanah itu 7 meter di depan untuk halaman parkir yang pinggirnya ditanami bunga‐bungaan dan berpagar besi dan kebersihannya terjaga dengan baik. Kemudian 8 m berikutnya adalah ruang jema’at yang Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
85
dipenuhi bangku‐bangku kokoh tempat duduk anggota jemaat, di tambah dengan sekitar 6 meter berikutnya dibangun lebih tinggi 1 meter dari sebelumnya seperti panggung. Di atas bangunan panggung permanen itu terdapat mimbar pendeta, kotak perpuluhan, persembahan 1 dan persembahan 2. Di belakang mimbar pendeta tersebut, separuhnya merupakan tempat kru musik gereja lengkap dengan alat musiknya, seperti piano, 4 gitar dan 1 drum. Kemudian di belakangnya yang mepet dengan tembok, ter‐ dapat meja tempat bulletin dan bufet perpustakaan. Di belakang tembok panggung itu lantainya turun lagi 1 meter adalah ruang keluarga, kamar tidur dua, ruang makan, ruang dapur dan kamar kecil. Pdt. Marson Malaha adalah orang yang ramah, rendah hati dan dermawan. Hubungan Pdt Marson dengan tetangganya sangat baik, bahkan dengan para tukang becak yang mangkal di depan gereja. Jalan Gunung Merapi adalah jalan pemukiman penduduk dalam kota tetapi tidak terlalu padat. Masih banyak tanah kosong yang penuh dengan pohon‐pohon besar, sehingga suasana lingkungannya menjadi sejuk. Di samping itu juga terdapat beberapa pohon besar di sepanjang jalan Gunung Semeru itu. Sebelah kanan gereja berjejer rumah makan ikan bakar suku Bugis (Banyak Uang Ganti Isteri) yang katanya sangat mengenal Pdt. Marson Malaha karena sangat baiknya pada lingkungan. Pandangan Kristianinya sangat ketat terhadap al‐Kitab, sehingga tidak begitu menyukai adat. Baginya Kristen adalah untuk membenahi kehidupan masyarakat Kristen agar dalam kehidupan kekristenan yang benar sesuai dengan al‐kitab. Menurutnya hampir semua adat dan tradisi melakukan pemborosan rezki yang diberikan Tuhan, meskipun mungkin tidak selalu bertentangan al‐Kitab. Menurutnya hidup paling
86
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
mudah dan paling murah adalah jika berdasarkan al‐Kitab. Pandangannya sebagai pendeta mengenai keselamatan manusia, ternyata sangat pluralistik. Menurutnya hidup selamat tidak mesti melalui Kristen atau atau Katolik, Islampun bisa masuk surga asal menjalankan ajarannya sesuai dengan al‐Kitab. Pandangan bahwa manusia hanya selamat melalui Kristus sang juru selamat adalah pandangan meanstreim yang masih dipertahankan oleh hampir seluruh gereja karismatik, evangelis dan pantekosta. Menurutnya asal, seseorang menempatkan al‐Kitab (kitab suci agama yang diyakininya) sebagai tempat bersandar semua amal ibadah dan cara hidupnya pasti akan selama dunia dan akhirat. Gereja Bethel Indonesia (GBI) Philadhelpia Gereja Bethel Indonesia (GBI) Philadhelpia digembala‐ kan oleh Pendeta Dr. Yusac Handoyo MA, adalah salah satu pendeta gembala yang membawahi sekitar 20 pendeta di jema’at GBI Philadelfia. Beliau adalah lulusan STT Petamburan Jakarta dan dibantu para pendeta pembantu yang merupakan lulusan dari Sekolah al Kitab Jakarta dan Makasar. Beliau adalah lususan S3 STT Jakarta tahun 2002. Di samping sebagai pendeta, beliau adalah pengusaha real estate yang sukses, dan memiliki banyak rumah toko (ruko) sewaan di Makasar dan kota‐kota penting di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu penggembalaan di gereja Philadhelpia sering dibantu oleh beberapa pendeta pembantu (penatua) agar tugas‐tugas kerokhanian atau penggembalaan bisa tetap terus berjalan dengan baik. Gereja GBI Jema’at Philadhelpia yang digembalakan oleh Pdt. Yusac Handoyo ini, memiliki anggota sebanyak 7.700 orang yang dilayani oleh 14 orang pendeta. Suatu jumlah yang cukup besar, jika dilihat dari jumlah jema’at GBI Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
87
sebanyak 70 jema’at. Terlihat betapa bersemangatnya GBI Philadelfia membina anggota jema’atnya, sehingga anggota jema’atnya dari hari ke hari terus meningkat. Diantara jema’at yang ada, Jema’at GBI Philadelfia merupakan jema’at terkaya karena memiliki banyak anggota jema’at yang menjadi pengusaha. Bahkan menurut cerita beberapa pendeta dari jema’at yang lain, ada beberapa (9 orang) yang dalam sebulan menyetor perpuluhan antara 15 ‐ 40 juta dan persembahan antara 5 – 25 juta, dan spontanitas terkumpul 30 juta. Sebuah keberhasilan luar biasa bagi para pendeta dalam menjalankan tugas penyadaran kepada anggota jema’at akan pentingnya arti perpuluhan, persembahan dan spontanitas ketika jema’at membutuhkan dana besar untuk pengembangan. Pada saat penelitian ini dilakukan, gedung gereja GBI Philadelfia sedang direnovasi total dengan biaya renovasi sekitar 3,5 milyar. Gedung ini menempati areal sebidang tanah seluas 4.000 meter persegi di Jl. G. Salahutu Makasar. Adapun luas bangunan diperkirakan sekitar 2.000 meter persegi yang terdiri dari dua lantai dengan kapasitas 1.500 orang satu lantainya. Gereja ini dilengkapi dengan kantor gereja, areal parkir, taman dan pagar pengaman setinggi 1,5 meter. Di salam gedung bagian dalam sekitar 5 x 8 meter dibuat lebih tinggi 1 meter dari lantai tempat kursi duduk anggota jema’at sebagai panggung permanen. Di panggung itu terdapat mimbar dan peralatan music lengkap yang dimanfaatkan pada setiap acara peribadatan. Sementara itu di seberang jalan di mana gereja Philadelfia dibangun terdapat bangunan dengan ruang kelas yang khusus untuk seklolah minggu anak‐anak dan remaja. Di sebelah bangunan itu terdapat 4 rumah took (ruko) yang kelihatannya juga milik jema’at GBI Philadelfia.
88
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Potensi GBI di Makasar Di Makasar dan Sulawesi Selatan umumnya perkembang‐ an Kristen cukup baik dan menjanjikan, termasuk di dalamnya adalah Gereja Bethel Indonesia. Menurut data Kanwil Depag Sulawesi Selatan, gereja terbesar adalah Gereja Kristen Toraja (GKT) dengan 23 jema’at dengan jumlah anggota 14.000; Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS) memiliki 6 jema’at tetapi anggo‐tanya sebanyak 9.000 jiwa yang anggotanya kebanyakan adalah suku Bugis dan Makasar; Gereja Kristen Protestan Indonesia Bagian Barat (GKPIB) memiliki 6 jema’at dengan anggota jema’at 6.000 jiwa; Gereka Toraja Mamasa (GTM) memiliki 8 jema’at; Gereja Gema Injil Bangsa Indonesia (GIBAID) dengan 9 jema’at, Gereja Gema Injil Indonesia (GGII) dengan 6 jema’at, baru kemudian Gereja Bethel Indonesia (GBI) memiliki sebanyak 27 jema’at dengan anggota juga hampir 12.000 orang. Hal ini juga dibuktikan oleh adanya fakta bahwa di Makasar terdapat sekitar 80 denominasi Kristen. Sementara itu khusus denominasi GBI terdapat 27 gedung gereja tetapi memiliki 70 jema’at GBI. Setiap jema’at gereja memiliki sekitar antara 70 – 1.600 anggota jemaat. Gereja‐ gereja denominasi di Sulawesi Selatan bernaung dalam 6 gereja Induk yaitu Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Persekutuan Gereja Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Persekutuan Gereja Pantekosta Indonesia (PGPI), Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK), Bala Keselamatan, dan Gereja Metodist. Masyarakat Kristen dari 6 induk lembaga induk gereja itu terdapat 80 denominasi dengan jumlah Jema’at 268. Gedung gereja yang dimiliki mencapai 170 buah tersebar diberbagai pelosok kota Makasar dan memiliki 298 Pdt dan 48 pembantu pendeta. GBI meskipun jumlah gedung gerejanya hanya 27 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
89
buah, tetapi memiliki 70 jema’at. Dengan demikian terlihat bahwa meskipun jema’at berjumlah 70, namun gedung gerejanya hanya 27 buah, ini berarti ada sekitar 43 jema’at tidak memiliki gedung gereja. Di Kota Makassar, secara keseluruhan memiliki 288 jema’at, tetapi hanya memiliki 170 gedung gereja, berarti sisanyanya belum memiliki gedung rumah ibadat. Jalan yang mereka tempuh akhirnya bermacam‐macam, seperti numpang di gedung gereja lain yang serumpun, di rumah pendetanya sendiri, ruko, menyewa salah satu ruangan di mall atau di hotel dan sebagainya. Pembangunan gedung gereja sangat tidak mudah di Kota Makassar, mengingat bahwa kota Makassar sendiri sudah memiliki 170 gereja. Kemudian untuk pengembangan, banyak diantara anggota jemaat karena lokasi tempat tinggal dengan gerejanya terlalu jauh, maka mereka melakukan peribadatan di rumah‐rumah secara bergantian atau menyewa ruko, gudang kosong, bekas pabrik dsb. Cara‐cara yang ditempuh ini adalah merupakan keterpaksaan karena terbatasnya kapasitas gedung gereja yang mereka miliki, meskipun sering menimbulkan masalah bagi lingkungannya. Kondisi yang sangat menyedihkan memang, ketika di negeri berdasar Pancasila yang mewajibkan warganya beragama secara baik, tetapi umat beragama yang ingin melaksanakan ibadah sulitnya luar biasa, rumit, ribet, ribut dan terkesan menghalangi ketaatan untuk menjalankan ibadah. Akan kemana dan untuk apa semua kesulitan semua umat beragama itu bermuara. Masyarakat Sulawesi Selatan yang terdiri dari berbagai suku itu, ternyata bukanlah suku‐suku yang sangat kuat memegang keyakinan agama, sehingga dengan mudah agama Kristen berkembang dengan suburnya. Tidak ada satu sukupun di Sulawesi Selatan yang tidak memiliki gereja.
90
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Bahkan Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS) sebagai gerejanya suku Bugis, Makasar dan Wajo merupakan gereja terbesar kedua setelah Gereja Kristen Toraja (GKT). Tidak ada pandangan atau semacam hukuman adat terhadap mereka yang melakukan konversi agama sebagaimana orang Aceh, Minang, Madura atau Banjar mengalami. Suku‐suku tersebut jika sudah tidak memeluk agama Islam dianggap sebagai bukan suku yang bersangkutan. Sementara yang berlaku di kalangan masyarakat Bugis dan Makasar tidaklah demikian. Hukuman paling tinggi yang diterima mereka yang melakukan konversi agama hanyalah kurang disukai oleh anggota keluarganya saja. Oleh karenanya, perkembangan Kristen di Sulawesi Selatan cukup menjanjikan di masa depan. Gereja Bethel Indonesia (GBI)‐pun di Sulawesi Selatan juga cukup berkembang dengan baik dan memiliki anggota sekitar 186.000 jiwa di Sulawesi Selatan dan 12.000 jiwa di Kota Makasar. GBI di Makasar sama dengan GBI yang lain di Indonesia, yaitu merupakan pecahan dari Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) yang berpusat di Petamburan Jakarta. Di masa mendatang jemaat dan angota jema’at GBI di Kota Makasar jelas menemukan peluangnya untuk berkembang dengan baik seiring dengan kesadaran bangsa Indonesia akan hak azasi manusia (HAM). Salah satu HAM penting adalah menganut suatu agama dan menjalankan peribadatannya sesuai dengan agama dan keyakinan yang diyakini pemeluknya. Secara keseluruhan Gereja Bethel Indonesia di Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut; No 1 2.
Nama Jema’at GBI Anggrek Raya GBI Philadelfia
Nama Gembala Pdt. David Tanonggi Pdt. Ir. Yusak Handoyo, MA
Alamat Jl. Anggrek Raya Mksr Jl. G. Salahutu Mksr
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
91
3.
GBI Timor
4.
GBI Horif
5.
GBI Menara
6.
GBI Maccini Baru GBI JL. Sudirman GBI Jl. Mappanyuki GBI Pangayoman
7. 8. 9.
10. 11.
GBI Ratulangi (KAO) GBI Panaikang
12.
GBI Tamalanrea
13.
GBI Goa Ria
14.
16.
GBI Pondok Asri GBI Gatot Subroto GBI Baakaraeng
17.
GBI Latimojong
18.
GBI Kassi‐Kassi
19.
GBI AP. Petarrani
15.
92
Pdt. Yohanes Jl. Timor Makasar Tumbelaka Pdt. Marson Malaha Jl. G. Merapi Makasar Pdt. Yosef S. Kawu Jl. Nusantara 68 Makasar Pdt. John FN. Jl. Maccini Baru 45 Tandidatu Makasar Pdt. Benyamin El Jl. G. Latimojong Rohi Pdm. Peter Irwan Jl. Tanjung Dangkal 4 Mkasar Jl. Pangayoman Pd, Fredy Jansen E1/3 Makasar Pdm. Yuliana Hermawan Pdt. Suryanto Jl Tamalae VII Thomas, S.Th. Perumnas Pdp. Antonius Komp. PAM Payung Panaikang Mksr Pdt. Yustinus Jl. Tamalanrea 6 M Waluyo, S.Th Makasar Pdm.Belman Jl. Goa Ria Perm. Tamu’u Stella Maris Pdp. Erik Jl. Pnd. Sudiang Ransulangi Makasar Pdt. Izack Mozes Jl S. Hassanudin Dangeubun htl.Santika Pdt Robert A. Jl. BTN Pepabri, Karundeng Sudiang Mksr Pdt. Anton R. Jl. G. Latimojong Yoseph, MA Mksr Pdt. Lewi Happe S. Jl.S.Alaudin, Griya Th Marga Mas Pdt. Eluzai Frengki Jl. AP.Petarani, Utana Ruko Jade
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
20.
GBIAzelia
Pdm. Yaun Inggit
21.
GBI Sungguminas GBI Latimojong Indah GBI Diponegoro
Pdm. Frans Yosef
25.
GBI Sadang Baru GBI Banua
26.
GBI Glow
27.
GBI Citra Sudiang I
Pdm. Nicodemus Yuliastomo Pdt. Drs. Basuki Tri Nugroho Pdt. Deany E. Gosal, MA Pdm. Yunus Palakian
22. 23. 24.
Pdt. Silvana Kaliduan Pdt. Lukman Lai
Komp. Asalea Panakukang Jl. Usman Salengke, Mksr Ruko Latimojong Indah Mksr Jl. Diponegoro, Mksr Jl. Sadang Baru Mksr Jl. Boulevard, Ruko Jasper Jl. TMPahlawan Mksr Jl. Per. Taman Bunga Sudiang
Data Badan Pekerja Daerah Gereja Bethel Indonesia (BPD GBI) 2010. Jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Sulawesi Selatan itu bergabung dalam persekutuan yang disebut dengan Badan Pekerja Daerah Gereja Bethel Indonesia (BPD GBI) Sulawesi Selatan semacam oikumenenya GBI. BPD GBI Sulawesi Selatan ini sekarang diketuai oleh Pendeta Dr. Yusack Handoyo, MA dari Gereja Philadelfia Jln Salahutu, seorang warga Indonesia keturunan Tionghoa. Para anggota Badan Pekerja Daerah (BPD) yang terdiri dari para gembala dan pendeta itu berkumpul sekali dalam sebulan dalam pertemuan yang disebut dengan fillosif, yaitu pertemuan tidak resmi sambil membicarakan hal‐hal ringan yang dihadapi para gembala dan pendeta. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
93
Jaringan Intelektual GBI Dalam kenyataannya, komunikasi langsung antara pusat kekristenan GBI di Jakarta memiliki hubungan intelektual atau transmisi ilmu pengetahuan yang cukup intens. Pendeta penggembala jema’at GBI di Makassar memiliki komunikasi yang teratur dengan pusat kekristenan GBI di Jakarta melalui para ketua Badan Perwakilan Daerah (BPD)nya. Biasanya Ketua BPD atau yang mewakilinya seluruh Indonesia, sekali dalam satu bulan datang di Jakarta untuk kepentingan yang berkaitan dengan keberadaan GBI daerah masing‐masing. Kedatangan para Ketua BPD atau yang mewakilinya itu seringkali membicarakan perkembangan‐perkembangan baru tafsir agama, strategi misi dan materi‐materi khotbah sebulan kemudian. Jadi secara substansial, materi yang disampaikan kepada para anggota jema’at itu sama di seluruh Indonesia, namun bahasa penyampaian diserahkan kepada para gembala, pendeta atau pembantu pendeta masing‐masing. Jadi jaringan intelektual di kalangan GBI terwujud dalam bentuk hubungan substansi materi khotbah dengan pusat GBI Jakarta melalui gembala, pendeta dan pembantu pendeta di seluruh Indonesia. Transmisi gagasan dan ilmu pengetahuan itu dimulai dari eksistensi para tokoh gereja seperti Pdt. HL. Senduk mampu mendorong seluruh pengurus GBI memperkuat eksistensinya. Pdt. HL. Senduk sangat menguasai Beibel dan rendah hati di mata anggota jema’atnya, bahkan di kalangan para pendeta dan gembala GBI. Ketokohan pendeta HL. Senduk ini sangat mempengaruhi tinggi dan rendahnya semangat para pembantu pendeta untuk mencari dan mendapatkan pengikut‐pengikut baru. Peranan Pendeta HL. Senduk adalah etnis Eropa‐Amerika dan merupakan pendeta lulusan Seatle
94
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Amerika Serikat. Dari Seatle, HL Senduk datang ke Indonesia menyebar‐kan injil. Di samping itu, produk‐produk gagasan dan pemikiran para pendeta itu kemudian jalin menjalin menjadi satu muara gagasan yang melahirkan semangat ekspansi gereja. Produk gagasan dan pemikiran dimaksud bisa secara lisan dan bisa juga melalui tulisan di buku‐buku, tabloid, artikel yang memiliki gagasan pembaharu‐an yang motivatif, sehingga mampu menggerakkan orang‐orang yang terlibat dalam pergulatan intelektual tersebut. Bagi para pemudanya, transmisi gagasan dan pemikiran melalui tokoh dan pendetanya di Sekolah Tinggi Teologi. Di sinilah kemudian mereka mengem‐bangkan pemikiran intelektualnya berkaitan dengan apa dan bagaimana Kristen yang selanjutnya mengapa harus ada Gereja Bethel Indonesia. Gagasan‐gagasan itu yang paling efektif dapat tersalurkan ke seluruh anggota jema’at adalah dengan pendirian lembaga Al‐Kitab. Dari sinilah semua gagasan para pendahulu GBI terus mengalir melakukan daur ulang pemahaman sinode Gereja Bethel Indonesia. Lembaga Al Kitab inipun untuk berdiri dicarikan landasan theologisnya yaitu sebagai melengkapi pemaha‐man akan Firman Tuhan. Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI mempunyai Lembaga Pendidikan Theologi yang berada di Jakarta dengan nama Seminari Bethel. Seminari Bethel Jakarta terletak di Jl. Petamburan IV/5 Tanah Abang, Jakarta Pusat 10260, Indonesia. Sebelumnya, juga merupakan Sekolah Al Kitab bagi Sinode GPdI yang didirikan oleh HL. Senduk. Seminari Bethel Jakarta menaungi beberapa unit pendidikan, yaitu: 1. Sekolah Penginjil (SP). Program Sertifikat, dengan lama studi 1 tahun) 2. Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK). Pendidikan yang setara dengan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
95
Sekolah Menengah Atas (SMA). SMTK telah mendapatkan status akreditasi dengan predikat A‐Unggul dari Departemen Agama. 3. Institut Teologi dan Keguruan Indonesia (ITKI). ITKI menyelenggarakan program pendidikan dari Strata 1 (S1) sampai Strata 3 (S3). Program S1 menyelenggarakan program studi: Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Misi. Program S2 menyelenggarakan program: Master of Arts in Church Ministry (MACM) dan Magister Theologi (M.Th) dengan program studi: Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Pastoral Konseling. Program S3 menyelenggarakan program studi: Doctor of Ministry (D.Min) dengan program studi: Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Konseling Pastoral. Jaringan Kelembagaan GBI Jaringan kelembagaan yang dimaksud adalah keter‐kaitan lembaga Gereja Bethel Indonesia dengan lembaga geraja serumpun lainnya di Indonesia, seperti: anggota PGI, Dewan Pantekosta Indonesia (DPI) dan Persekutuan Injili Indonesia (PII). Sebagai anggota PGI, DPI, dan PII, GBI memiliki hubungan kelembagaan sekaligus yang mempersatukan kera‐ batnya GBI baik di dalam maupun di luar negeri, se‐macam oikumene. Oikumene merupakan manifestasi (penam‐pakan) persekutuan orang Kristen dalam satu tubuh antara sesama denominasi gereja yang memiliki latar belakang dogma dan theologia yang berbeda, baik di wilayah lokal, regional, nasional maupun internasional. Sebagaimana diketahui bahwa Gereja Bethel Indonesia (GBI) adalah Sinode yang lahir dari Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI). Dari Sinode GBI juga lahir beberapa sinode‐sinode baru yang memisahkan diri, di antaranya: Gereja Bethany Indonesia; Gereja Mawar Saron; Gereja Tiberias Indonesia; dan Gereja
96
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Berita Injil Indonesia. Diaantara gereja serumpun itu ada semacam perte‐muan kelambagaan secara berkala. Ketika pertemuan itulah, jaringan kelembagaannya berjalan, yang kemudian membahas agenda yang salah satunya adalah bagaimana mengembangkan pekabaran Injil di Indonesia dan masalah‐masalah yang dihadapi oleh gereja. Di antara mereka masalah penting yang pernah dibahas adalah Peraturan Bersama Menteri (PBM) yang mengatur pendirian rumah ibadah. Dalam pertemuan itu pula terdapat kesepakatan saling membantu dalam menguatkan eksistensinya sebagai lembaga gereja di Indonesia. Jaringan Kegiatan GBI Jaringan gereja berikutnya adalah jaringan kegiatan gereja, baik itu hanya intern gereja ataupun dengan antar gereja yang serumpun. Di Kota Makassar terdapat 17 jemaat GBI dengan anggota sekitar 12.000. Diantara para gembala jemaat itu selalu ada kegiatan bersama yang diebut dengan fillosif. Kegiatan gereja baik secara mandiri maupun dalam oikumene adalah bukti otentik adanya kehidupan gereja di suatu wilayah, tanpa ada kegiatan kegerejaan berarti gereja itu sudah mati. Gereja Bethel Indonesia yang telah melahirkan beberapa sinode mandiri, membuktikan bahwa penafsiran pendeta Gereja Bethel Indonesia telah mampu memperbanyak pengikut, sampai akhirnya harus memisahkan diri dengan Gereja Bethel Indonesia. Kegiatan‐kegiatan gereja sesama gereja yang serumpun, jika ada semacam kegiatan bersama akan membuat mereka lebih percaya diri dalam kehidupan keagamannya sebagai minoritas di Indonesia. Banyak agenda yang dibahas secara santai dalam pertemuan ini karena pertemuan ini bukanlah pertemuan khusus yang membahas masalah yang dihadapi secara serius, tetapi lebih banyak Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
97
sebagai wahana silaturahmi. Pembahasan serius dilakukan pada acara Musyawarah Daerah (Musda) yang dilaksanakan 4 tahun sekali, sekaligus memilih ketua BPD yang baru. Jaringan Keuangan Jaringan terakhir adalah jaringan keuangan. Sebagaimana diketahui, bahwa GBI mempunyai sinode‐sinode gereja yang serumpun. Pendanaan gereja tidak hanya didapatkan dari persepuluhan, persembahan, tetapi ada dana lainnya dari anggota ataukah ada kaitan saling membantu antar gereja yang serumpun itu. Sebagai gerakan gereja evangelis yang pusatnya di luar negeri, maka mereka juga membantu keuangan Gereja Bethel di Indonesia, utamanya yang serumpun dengannya. Bila demikian halnya, maka menjadi wajar saja jika perkembangan gereja rumpun Gereja Bethel Indonesia semakin menguat dan jumlah jema’atnya juga semakin banyak. Sangat wajar saja pula jika mereka dapat melakukan ekspansi ke berbagai pelosok dunia karena adanya jaringan intelektual, jaringan kelembagaan, jaringan kegiatan dan jaringan keuangan internasional. Penutup Kesimpulan GBI muncul di Indonesia diawali dari keluarnya HL Senduk dari GBIS yang didirikannya pula karena berbagai sebab. GBIS sendiri didirikan oleh HL. Senduk setelah HL Senduk cs, keluar dari GPdI yang memebsarkan namanya menjadi ikon Pantekosta di Indonesia. Jaringan kerja Kristenisasi di Indonesia dan di seluruh dunia sesungguhnya merupakan persekongkolan antara gereja dengan para penjajah. Oleh karenanya terjadi
98
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
paradoksal dalam kehidupan masyarakat, yaitu bahwa mereka bicara kasih dan sayang dalam gereja, tetapi di luar mereka merampok, menindas, dan menguras sumber daya alam dan memaksa kaum pribumi menjadi budak‐budaknya. Jaringan intelektual ditunjukkan dengan adanya ikatan emosional atau kerjasama antar Sekolah Al Kitab dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) yang ada di Indonesia dengan yang ada di luar negeri. Diawali dari Amerika, Inggris dan Eropa Skandinavia ke Indonesia dimulai dari Surabaya dengan berdirinya sekolah Al Kitab di Surabaya yakni Hollands Chineesche School met de Bijbel dan kemudian disusul dengan berdirinya sekolah Al Kitab dan STT di berbagai kota besar di Indonesia. Jaringan kelembagaan ditunjukkan adanya realitas bahwa GBI saat ini merupakan anggota Inter Cooperation Fellowship of Churches in Indonesia, Persekutuan Kerjasama Antar Gereja‐gereja di Indonesia (PEKAGI). Selain PEKAGI, JPI juga merupakan anggota Jaringan Global Kristen Indonesia (JGKI). Association of Christian Institutions and Agency Mission Prayer Meeting atau Asosiasi Lembaga Kristen dan Badan Misi Persekutuan Doa (ALKITAB‐PD), anggota DPI, GPI, PGLII, BKAG dan sebagainya. Di samping itu di antara 30 lembaga Sekolah Al Kitab dan STT ada pertukaran dosen maupun pemanfaatan alumni Sekolah Al Kitab dan STT untuk kepentingan kependetaan dan penggembalaan di seluruh gereja GPdI, tergantung permintaan dan penugasan oleh majelis pengurus pusat, majelis pengurus daerah dan majelis pengurus wilayah maupun ekolah Al Kitab dan STT di seliuruh Indonesia. Jaringan kegiatan ditunjukkan oleh adanya pertemuan bulanan di tingkat wilayah (kabupaten/Kota) yang disebut dengan fillosif. Dalam pertemuan itu dibicarakan masalah‐ Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
99
masalah ringan yang diperkirakan dapat diselesaikan hari itu serta obrolan ringan lainnya diiringi makan ringan. Jaringan keuangan ditunjukkan oleh adanya kerjasama berbagai kegiatan pengembangan gereja, baik di dalam maupun luar negeri. Dana GBI didapatkan dari perse‐ puluhan, persembahan dan sumbangan tidak mengikat. Negara‐negera Eropa saat ini banyak yang menyisihkan APBN‐nya untuk kepentingan gereja dan membantu missionaris di negera‐negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Rekomendasi Dari kesimpulan di atas, maka dapat direkomendasikan, Pemerintah dapat membantu penguatan jaringan GBI ini dalam bentuk memfasilitasi pertemuan yang sifatnya intelektual, kelembagaan, kegiatan dan keuangan, sehingga mereka juga ikut merasakan sebagai umat beragama yang memerlukan pelayanan keagamaan dari Kementarian Agama. DAFTAR PUSTAKA Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Gereja Pantekosta di Indonesia, 2007 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1996, hal. 26 – 38. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler‐Liberal, Gema Insani Press, Jakarta, 2005, hal. 375. Alwi Shihab, Membendung Arus; Respon Gerekan Muhammadiyah terhadap Panetrasi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1988, hal. 33.
100 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Encyclopedie Van Nederlandsch Indie, Kolonialisme Barat, Portugis maupun Belanda sama‐sama Datang, Jakarta, 1998 C.R. Boxer, Jan Kompeni Dalam Perang dan Damai 1602 – 1799, Sinar Harapan, Jakarta, 1985, hal. 5 C. Guillot, Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa, Grafitti, Jakarta, 1985, hal. 4 – 5. Duty, Guy, Keselamatan Bersyarat atau Tanpa Syarat? Keselamatan Bersyarat atau Tanpa Syarat?, Diter jemahkan: Peter Suwadi, Ibrahim Karuniamulia, Lily Tanudjaja, Surabaya: Bukit Zaitun, cet. 7, 1996 Departemen Teologia Badan Pekerja Sinode Gereja Bethel Indonesia Pengajaran Dasar Gereja Bethel Indonesia, , cet. 1, Jakarta: 2003, hlm. 100. Daniel Lukas Lukito, Pengantar Teologia Kristen 1, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, cet. 3, 1996, Data Statistik Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Wilayah 8 Departemen Teologia Badan Pekerja Sinode Gereja Bethel Indonesia Pengajaran Dasar Gereja Bethel Indonesia, , cet. 1, Jakarta: 2003, hlm. 100. H.M. Vlekke Bernard, Nusantara; Sejarah Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 97 . H. Berkhof, Sejarah Gereja, Jilid II, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1952 hal 86. Jan S Aritonang,, Berbagai Aliran Di dalam dan Di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. 1, 1995 Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, BPK Gunug Mulia, Jakarta, 2006, Karel Steenbrink, Orang‐orang Katolik di Indonesia 1808 – 1942; Suatu Pemulihan Bersahaja 1808 – 1993, Jilid I, Ledalero Maumere, 2006, hal. 43. Karel Steenbrink, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat; Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
101
Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1988, hal. 244. Lintasan Sejarah 82 Gerakan Gereja Pentakosta di Indonesia dan lihat pula Sejarah Gerakan ʺPentakosta dan Karismatik di Indonesia. Majelis Pusat Gereja Pantekosta di Indonesia, Sejarah Gerakan Pentakosta di Indonesia, 2010 Menzies, William W., Horton, Stanley M., Doktrin Alkitab: Menurut Pandangan Pentakosta, Malang: Gandum Mas, cet. 2, Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Baru, Sejarah Pergerakan Nasional; Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid II, Gramedia, 1999, hal. 34. Setiawan, Johanes, Teologi Gerak: Ajaran Roh Kudus Menurut DR. H. L. Senduk, Jakarta: Lembaga Pendidikan Theologia Bethel, cet. 1; Sejarah Gerakan Pentakosta di Indonesia, Majelis Pusat Gereja Pantekosta di Indonesia, 2010 Talumewo, Steven H., Sejarah Gerakan Pantekosta, Yogyakarta: Yayasan Andi Offset, cet. 1, 1988 Th. Muller Kruger. Sejarah Gereja di Indonesia. 1998, Cet. Ke 8, Badan Penerbitan Kristen‐Djakarta. Th. Van den End, Ragi Carita 1, Sejarah Gereja Indonesia 1500 – 1860, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2007, hal 19 – 20 Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas dan Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 2006;
102 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
DAMPAK PEMAHAMAN MISI KEKRISTENAN TERHADAP OIKUMENIS DAN KEMAJEMUKAN INDONESIA
Pendahuluan Latar Belakang Munculnya berbagai aliran keagamaan selain disebabkan deprivasi, juga karena ada peluang perberbedaan persepsi, interpretasi dan ekspresi dari kitab suci. Peluang perbedaan, selain memperkaya wawasan beragama, juga menyebabkan keresahan, ketegangan, dan konflik sosial keagamaan, baik internal dan eksternal keagamaan, serta dapat menggerogoti stabilitas sosial, merusak solidaritas, kebersamaan, persatuan bangsa, menghambat pembangunan bidang agama. Dalam perspektif Weber, agama dipahami sebagai jalan menuju kehidupan sejati, yang diyakini dan sebagai pedoman bagi pengikutnya yang bertujuan memproses kehidupan yang ada (das sein) menuju kehidupan seharusnya ada (das sollen). Proses sosiologis seperti ini menjadi pendorong munculnya sifat missioner setiap agama seperti juga agama Kristen (Bernard Raho SVD, 2013; David J. Bosch, 1997). Tujuan misi Kekristenan, yaitu menghadirkan Kerajaan Allah, maksudnya bahwa pada suatu saat kehidupan akan berada langsung di bawah pemerintahan Illahi, sehingga tercipta sebuah realitas yang berbeda dengan dunia saat ini, yaitu realitas yang damai, penuh keadilan, dan penuh sukacita sejati, seperti kehidupan di surga. Para penganut Kristen memahaminya sebagai panggilan menghadirkan Kerajaan Allah di bumi yang kemudian melahirkan misi pekabaran Injil atau penginjilan dan kerja missionari. Kekristenan harus Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
103
diberitakan ke seluruh dunia, dan Allah menjanjikan sebagai umat yang dimenangkan. (Bernard Raho SVD, 2013) Untuk sampai pada kondisi beragama seperti sekarang, umat Kristen telah mengalami berbagai peristiwa luar biasa di sepanjang sejarahnya, yaitu konflik, perpecahan (skisma), dan perang agama sangat hebat. Semua peristiwa itu menjadikannya sebagai entitas yang semakin bijaksana dalam menyikapi perbedaan apapun di dalamnya, tidak ada perang fisik berdarah‐darah antar aliran, denominasi dan sekte. Krisis teologi dan ajaran seperti masa Martin Luther telah usai, dan berakhir dengan saling mengakui. Dengan kondisi seperti itulah, Kristen Protestan tumbuh pesat dan melahirkan ribuan denominasi Kristen, termasuk di Indonesia. Sebelum muncul Martin Luther, hasil dari pergumulan teologis adalah munculnya aliran‐aliran dalam tubuh gereja seperti Gereja Katolik dan Gereja Ortodok. Kemudian dari gereja Katolik muncul Gereja Katolik Roma (GKR) dan Gereja Katolik Timur (GKT). Dari Gereja Ortodok muncul Gereja Ortodok Timur (seperti: Konstantinopel Patriark, Antiokia Partriark, Jerusalem Patriark, Alexandria Patriark dan Rusia Partriark) dan Gereja Ortodok Orang‐Orang Timur (Armenia, Koptik, Ethiopia, Suriah). Dalam perspektif Gereja Katolik Roma (GKR) muncul Gereja Protestan yang digerakan Martin Luther yang mengecam Paus di Roma karena penyimpangan yang kelewat batas dibantu para imam‐imam dan teolog‐ teolog yang kritis terhadap gereja. Setelah gerakan Martin Luther muncul gerakan Zwingli, Johanes Calvin, Martin Bucer dan Heinrich Bullinger (Christian de Jonge, 2009). Dari gerakan Martin Luther muncul aliran‐aliran baru Protestan yaitu kelompok reformasi radikal (Hutterite, Anababtis, dan Menonit), Lutheran (Monrovian, Pietist dan Evangical Injili), Anglikan (Methodist: Advent,
104 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Penthakosta, Nazarene, Metodist, Allience, Bala Keselamatan, Quaker, Baptis dan Kongregasional), dan Calvin (Nesthorian, Reform dan Kristen Reform) (Bdk. Jan Sihar Aritonang, 1995). Gerakan reformasi Luther yang dikenal Protestantisme, telah memiliki beragam denominasi, seperti Calvinisme, Lutheran, Injili, Kharismatik, Anglikan, Bala Keselamatan, Quaker, dan lain‐lain (Bdk. Daru Marhendy dan Favor A. Bancin, 2008). Kesadaran keragaman denominasi mendorongnya untuk menghadirkan payung bersama (kesatuan gereja atau oikuminis) untuk ajang rembug berbagai denominasi dalam membangun gereja sebagai tubuh Kristus. Gerakan oikuminis dimulai sejak konsili 325 M di Kota Necaea. Prakarsanya Kaisar Constantinnus Agung untuk menyelesaikan pertikaian yang mengancam keesaan gereja. Dalam konsili itu masalah yang dibahas secara serius adalah masalah keillahian Kristus, apakah Kristus itu Illahi penuh atau tidak, dikemudian diperdebatkan pula bagaimana hubungan Allah, Kristus dengan Roh Kudus. Yesus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia (berkinosis), walau derajatnya lebih rendah, tetapi ke‐Illahian‐Nya terjamin karena Logos berasal dari Allah, dan membenarkan bahwa ke‐Ilahian‐Nya sebagai Allah monoteisme Kristen (Christian de Jonge, 2009). Salah satu payung dari gerakan oikuminis itu adalah World Church Conference (WCC) yang fungsinya sebagai wadah bersama Kristen Protestan seluruh dunia, dan dikenal dengan gerakan oikumene. Di Indonesia, wadah oikumenis dikenal dengan Persekutuan Gereja‐gereja di Indonesia (PGI), Persekutuan Gereja‐gereja Penthakosta Indonesia (PGPI), Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Bala Keselamatan (BK), Gabungan Gereja Advent Hari Ketujuh (GMAHK), Gereja Ortodox Indonesia (GOI), Persekutuan‐ persekutuan Gereja Indonesia (PPGI), dan Persekutuan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
105
Gereja‐gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI). Gereja anggota PGI hanya 89 sinode, sementara sinode gereja telah mencapai 338 buah sinode (Dirjen Bimas Kristen Kemenag, 2014). Jumlah denominasi gereja dalam Protestan yang terus bertambah yang menghantui kondisi umat beragama, baik di kalangan Kristen, maupun non Kristen. Keberagaman denominasi dalam Kekristenan merupakan hasil ragam pemaknaan dan tafsir teologis atas misi gereja. Pemaknaan teologis ada dua, yaitu pertama, pemahaman yang menekankan misi sebagai peningkatan/ penambahan secara kuantitatif jumlah orang percaya, yang disebut church planting. Pemahaman ini menjadikan Matius 28: 18‐20 sebagai landasan teologisnya (Widi Artanto, 1997). Kedua, pemahaman yang menekankan misi kepedulian sosial sebagai bagian utuh dari amanat Yesus Kristus, yang populer disebut dengan presensia, dengan dasar teologisnya Lukas 4:18. Dalam kekristenan sendiri, kedua konsep misi ini sering menimbulkan gesekan, bahkan konflik intern agama Kristen yang berkepanjangan. Pekabaran Injil abad ke 19 di Indonesia oleh penginjil dari Eropa dan Amerika cenderung bersemangatkan kepedulian sosial (presensia). Dalam banyak literatur disebutkan bagaimana misi Kekristenan (penginjilan oleh misi Zending) dilakukan, dan turut serta berperan dalam membangun dan membentuk karakter bangsa lewat misi yang dilakukan, seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, yayasan sosial dan juga budaya. Kita melihat betapa pengabdian kekristenan kepada kemanusiaan pada saat itu luar biasa, meskipun sekarang semua telah mulai berubah dan serba mahal (Jan Sihar Aritonang, 1995). Saran penting Pdt. Paulus Lie, adalah semua gereja harus mereformasi diri dengan mengembalikan tujuan kekristenan sendiri, yakni pelayanan
106 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
kemanusiaan harus ditingkatkan sebagai cerminan iman, bukan semata‐mata beragresif menambah pengikut (Paulus Lie, 2010). Dalam konteks ini, penambahan jumlah orang masuk Kristen harus dipahami bukan tujuan tetapi sebagai “bonus iman” atas misi yang telah dilakukan. Gerakan misi yang menekankan peningkatan kuantitatif orang percaya dirumuskan dengan konsep “penginjilan” atau kristenisasi dalam bahasa politik keagamaan, sebagaimana muncul istilah islamisasi (Widi Artanto, 2010). Gerakan ini identik dengan kelompok kekristenan fundamentalis, yang umumnya dari Amerika (Jan A. Aritonang, 2012). Konsep penginjilan kaum fundamentalis umumnya, keberhasilan misi diukur dari bertambahnya jumlah komunitas Kristen, sehingga melahirkan konflik, intern Kristen dan non kekristenan. Sementara itu, kekristenan tumbuh dan berkembang di Indonesia sebagai entitas yang plural, termasuk dalam hal agama. Pemahaman misi kristen, menekankan peningkatan jumlah orang percaya, seringkali bergesekan dengan misi agama‐agama lain, terutama yang memiliki nuansa yang sama, sehingga menjadi potensi konflik intern agama dan antar agama, utamanya dengan Gereja yang telah lebih dahulu eksis, Katolik, dan Islam. Dari gesekan ini, muncul idiom “Kristenisasi” terkandung sindiran tentang adanya praktek misionaris yang dianggap sudah melampaui batas toleransi dan kesopanan. Banyak gereja diduga melakukan misi curch planting, beberapa diantaranya adalah peneitian yang dilaporkan ini di beberapa daerah. Itulah sebabnya, Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian agar ditemukan cara strategi pembinaan kehidupan beragama, mendukung
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
107
masyarakat yang harmonis, sekaligus mendorong keberhasilan pembangunan bidang agama. Masalah Penelitian Di kalangan gereja terjadi perbedaan pendapat dalam memahami makna dan pelaksanaan misi Kekristenan. Ada kecenderungan praktek misi beberapa denominasi lebih menekankan pada peningkatan/ penambahan jumlah kuantitatif orang‐orang percaya (church planting). Dalam Pandangan Paulus Lie, penekanan church planting dirasakan sebagai pendangkalan makna misi itu sendiri. Misi yang pada mulanya bertujuan menghadirkan kebaikan, kasih, sukacita dan pelayanan terbaik bagi orang bukan lembaga, ternyata dirasakan justru menimbulkan keresahan, ketidaksukaan, dan resistensi dari berbagai pihak. Bahkan di internal gereja sendiri, misi church planting juga dirasakan sebagai perebutan warga gereja atau domba di antara denominasi gereja. Alhasil church planting telah menimbulkan dan mempengaruhi kebersamaan gereja dalam gerakan oikumene. Pokok persoalan ini sampai hari ini belum pernah tuntas dibahas, karena belum ada kajian yang mendalam. Selain itu, model misi yang menekankan multiplikasi jumlah warga ini (ekspansi tidak pandang bulu, artinya siapapun dijadikan sasaran missi), dalam konteks kemajemukan Indonesia menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat karena dilakukan dengan cara melampaui batas‐batas kesantunan, toleransi dan kesopanan. Telah ditemukan hasil penelitian yang menjelaskan keterkaitan agresifitas misi church planting pada menguatnya intoleransi, artinya ekspansi tidak pandang bulu itu telah melahirkan sikap intoleransi beragama (Crisis Group, 2010).
108 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Sementara itu presensia sebagai metode misi, cenderung dianut gereja‐gereja tradisional (meanstreim) yang dipengaruhi teologi kerukunan, sehingga fakusnya adalah mengembalikan misi aslinya Yesus. Gereja yang benar‐benar memahami makna pesan Yesus, tentu sangat setuju bahwa Kristen harus hadir kembali dengan pelayanan terbaiknya yang pernah berjaya di masa lalu, yaitu pendidikan, kesehatan dan rumah sakit, perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, yayasan sosial dan budaya. Dalam pelayanan itu tidak pernah menuntut adanya keharusan menjadi Kristen dan semua terserah pada masyarakat. Misi Kristen di Papua misalnya, ketika 2 pendeta Jerman yaitu Otto dan Geissler yang memulai penginjilannya di Mansinan 5 Februari 1855, (diperingati sebagai hari masuknya Kristen di Papua) tidak pernah menyuruh masyarakat Papua masuk Kristen. Kedua pendeta itu melakukan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk mengenalkan pertanian modern, kesehatan, pendidikan, pemberdayaan lingkungan (membuat rumah) dan bahkan memberi makan dan memelihara anak‐anak mereka yang dididik dan dibudayakan serta pentingnya berpakaian bagi kesehatan. Keduanya kemudian digantikan silih berganti oleh para zending sampai tahun 1953 baru memiliki gedung gereja yang pertama di Mensinan, justru setelah ada tanda‐tanda akan bersatu dengan NKRI. Perjuangan selama satu abad para misi Zending Protestan itu tidak sia‐sia dan akhirnya panen raya dan Kristen menjadi mayoritas mutlak di Papua, justru ketika mereka melakukan pelayanan terbaiknya, sebagaimana pesan Yesus (Wakhid Sugiyarto dan Reslawati, 2010). Begitu pula GKE setelah satu abad baru di tahun 1935 mendirikan gedung gereja Dayak di Banjarmasin (Nuhrison M. Nuh dan Sarmidi Husna, 2011), dan di dataran tinggi Toba, juga panen raya justru ketika para Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
109
Zending mementingkan presensia dari pada church planting (Wakhid Sugiyarto, 2009) Sementara di Jawa yang cenderung church planting malah kurang berhasil, hanya sekitar 5% dari etnis Jawa, Madura dan Sunda yang menjadi Kristen, seperti di Salatiga, Surakarta, Malang dan DIY selama berabad‐abad, sementara di luar itu mutlak muslim. Jadi church planting dan presensia memiliki nuansa berbeda dalam implementasinya, meski ada sebagian dampak yang sama dan sebagian lagi berbeda (Wakhid Sugiyarto, 2009). Berdasarkan latar belakang dan dua pandangan di atas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman misi penginjilan dan implementasinya dikalangan para pendeta; apa dampak pemahaman misi dan implementasinya bagi intern kekristenan diberbagai wilayah penelitian; apa dampak pemahaman misi dan implementasinya bagi ekstern Gereja yang diteliti dan masyarakat luas? Tujuan Penelitian dan Obyek Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah menyediakan bahan bagi kepentingan pengambilan kebijakan pimpinan kementerian Agama. Secara khusus, adalah mengetahui dan mendeskripsikan dampak pemahaman misi dan implementasinya terhadap kemajemukan dan gerakan oikumene; menyediakan hasil penelitian tentang dampak pemahaman misi dan implementasinya bagi gereja‐gereja dan stake holders‐nya; mengetahui dampak pemahaman misi dan implementasinya terhadap intern kekristenan; dan mengetahui dampak pemahaman misi dan implementasinya terhadap non Kristen dan masyarakat luas di wilayah penelitian.
110 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Kerangka Teori Suatu paham, aliran pemikiran, gerakan keagamaan, organisasi gereja, denominasi atau apapun namanya, tidak mungkin muncul secara tiba‐tiba, tetapi pasti ada sejumlah masalah yang melatarbelakanginya (deprivasi) (Abdul Azis, Imam Tolkhah dan Soetarman, 1993), begitu pula eksistensi sebuah Gereja apapun di Indonesia. Sejumlah masalah itu dapat ditemukan dalam analisis setelah penelitian atau diketahui pimpinan gereja, yang merasa sudah saatnya menghadirkan gerakan keagamaan berbeda dengan pendahulunya di hadapan publik, karena dianggap sudah tidak mampu beradaftasi dengan perubahan kehidupan sosial modern. Akhirnya kehadiranya menimbulkan tanda tanya bagi kelompok pendahulunya, menimbulkan keresahan dan bahkan menimbulkan konflik intern kelompok keagamaan. Munculnya berbagai aliran gereja yang besar maupun kecil, gereja dan jemaat di seluruh dunia diawali dari Eropa, ketika Kristen atau Nasrani berkembang secara massif setelah berhasil melakukan adaftasi dan modifikasi dengan keyakinan lokal Eropa. Dari agama Nasrani lahir Katolik Roma dan Katolik Timur meskipun ada yang terus bertahan sebagai gereja lama (gereja ortodok), Arianisme (Arab Timur Tengah), Kristen Katolik (Roma), Kristen Orotodok (Katolik Yunani), Kristen Protestan (Jerman dan Perancis), Penthakosta (Amerika Serikiat), Anglikan (Inggris dan Irlandia) dan belakangan menyebar ke seluruh dunia. Sebagian aliran besar itu berkembang pesat ke seluruh dunia dimulai dari Amerika Serikat, Belanda, Jerman dan Inggris. Sebagaimana dijelaskan di atas, GKE, GBI, GKI, dan GMIM akarnya dari Amerika, Belanda dan Jerman. Untuk lebih mempermudah memahami makna yang dimaksud dalam penelitian ini, maka sangat penting adanya Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
111
penjelasan dari istilah‐istilah dan kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini. Penjelasan itu adalah sebagai berikut; Misi dan Pekabaran Injil Pekabaran Injil pada dasarnya merupakan tanggung jawab seluruh umat Kristen sebagai ekspresi dari “panggilan” menjadi murid Kristus dan untuk menghadirkan kerajaan Allah, sehingga ada usaha untuk memberitakan Injil kepada umat manusia di seluruh dunia, sebagaimana yang tertulis di dalam Markus 1: 38. “Aku memberitakan injil karena itu aku datang..”. Tetapi apa yang dimaksud Kristus dengan kata Injil? Dalam pandangan Kristus, Injil diartikan sebagai kabar baik tentang kerajaan Allah, seperti tersirat dalam perkataan‐ Nya yang tertulis dalam Lukas 4: 18‐19; “Roh Tuhan ada pada‐Ku, sebab ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik bagi orang‐orang miskin, dan mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang‐orang tertindas, dan untuk memberitakan “tahun rahmat” Tuhan telah datang. Jadi menurut Yesus, pekabaran Injil adalah upaya untuk memberitakan kabar baik tentang kedatangan Kerajaan Allah dengan segala tanda‐tandanya kepada dunia. Pekabaran injil Yesus Kristus dinubuatkan sebagai “keharusan” sejarah untuk diberitakan sebelum akhir zaman tiba, seperti ditulis dalam Markus 13: 10, “Tetapi injil harus diberitakan dahulu kepada semua bangsa”, sebagai cara mengisi masa antara kedatangan Yesus Kristus sampai akhir zaman, Dia memberikan perintah pemberitaan Injil dalam Matius 28: 19‐20“. Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid‐ Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah agar melakukan yang Kuperintahkan kepadaMu”. Perintah ini merupakan perintah “memuridkan” (melakukan perintah Yesus Kristus) dan membaptiskan
112 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
(sebagaimana dilakukan Yesus Kristus sejak awal kegiatan pelayanan‐Nya) hingga orang dapat mengenal dan merasakan tanda‐tanda kedatangan “Kerajaan Allah” dalam hidupnya. Dengan demikian konsep dan pemahaman Kristus tentang Pekabaran Injil adalah bagian dari misi Allah (Missio Dei) untuk memperluas Kerajaann‐Nya, yang tidak indentik dengan gereja. Kerajaan Allah adalah kondisi kehidupan dimana Allah menjadi Raja di atas segala raja. Gereja sebagai umat Allah dipanggil untuk berperan dalam mewujudkan tanda‐tanda Kerajaan Allah dengan melakukan pekabaran injil sesuai dengan talenta yang dikaruniakan‐Nya. Oikumene Lahirnya gerakan Oikumene (keesaan gereja) berasal dari kesadaran gereja‐gereja untuk menjawab ajakan yang terungkap dalam doa Tuhan Yesus di dalam Yohanes 17: 21: “…supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang mengutus Aku.” Dalam sejarah gerakan oikumene, ayat ini dipahami sebagai petunjuk bahwa keesaan gereja itu mempunyai kaitan langsung dengan kesaksian (Sularso Sopater, 1993). Keesaan gereja merupakan perwujudan dari kasih antar gereja, tatkala gereja‐gereja yang satu mau menganggap gereja yang lain sebagai saudara, dan bukan musuh. Jikalau sebaliknya yang terjadi, maka kendala pekabaran injil lebih hebat, sebab masyarakat disuguhi pertunjukan permusuhan antar gereja sendiri dan itulah kenyataannnya di lapangan sekarang ini. Pola pekabaran injil dengan metode church planting oleh beberapa gereja sekarang telah meresahkan beberapa gereja (khususnya gereja mainstraim), sebab pola itu Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
113
juga dipakai untuk mengambil domba‐domba atau anggota jemaat dari gereja lainya. Church Planting Church planting (penanaman gereja) adalah sebuah proses yang menghasilkan sebuah gereja Kristen baru secara mandiri dan kemudian menanm lagi, begitu seterusnya. Church planting berbeda dengan pembangunan gereja, di mana sebuah ibadah baru yang berpusat pada ekspresi yang segar diciptakan dan terintegrasi dengan gereja yang sudah mapan. Gereja lokal yang “ditanam” (planted) pada akhirnya akan memiliki kehidupan yang terpisah dan dapat berfungsi tanpa tubuh gereja induknya, walaupun hubungan dengan induknya dapat terus berjalan dalam hubungan denominasi atau menjadi bagian dari jaringan (wikipedia.org/ wiki/Church_planting diunduh Maret 2013). Di kalangan Protestan, pandangan Gisbertus Voetius (abad ke‐ 16) yang diikuti H.A. Van Andel dalam de Missionibus ecclesiasticis (1912), seorang misionaris yang merintis misi di Jawa Tengah menegaskan tiga tujuan utama misi, yaitu: (1) pertobatan dari kekafiran sebagai tujuan pertama; (2) penanaman Gereja (gereja‐gereja) sebagai tujuan selanjutnya; (3) kemuliaan dan perwujudan anugerah ilahi sebagai tujuan akhir yang tertinggi. Dalam pemahaman misi ini, tujuan praktis isi adalah bagaimana orang yang tidak percaya menjadi anggota gereja. Kemudia J. H. Bavinck, dalam Introduction to the Science of Mission (1962), mempunyai pandangan yang sama dengan sedikit menambahkan bahwa ketiga tujuan itu tidak terpisahkan. Ketiganya merupakan aspek‐aspek tujuan Allah sendiri untuk memperluas Kerajaan Allah. Jadi pemahaman misi sebagai usaha penanaman gereja (church planting)
114 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
berlanjut menjadi usaha menumbuhkan gereja (church growth) dengan tekanan terhadap pertambahan jumlah anggota. Sampai sekarang, pemahaman ini dikembangkan oleh School of World Mission and Istitute of Church Growth dengan tokoh utamanya Donald McGavran. Tetapi secara umum, implementasi pemahaman misi church planting ini gagal di Jawa, sehingga sampai hari ini setelah ratusan tahun bermisi hanya sekitar 5% saja masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura yang menjadi Kristen dan Katolik (Widi Artanto, 2010). Ada tiga karakteristik utama dari Gerakan Church Planting yang bereproduksi dengan cepat, melipatgandakan gereja, dan gereja‐gereja pribumi (indigenous): 1) Dalam waktu sangat singkat, gereja‐gereja baru ditanam sudah memulai gereja baru yang mengikuti pola reproduksi cepat yang sama. Meskipun tingkatnya bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, Gerakan Church Planting telah melebihi laju pertumbuhan penduduk saat mereka berlomba menjangkau kelompok seluruh masyarakat. Jika dengan metode church planting lain mungkin diperlukan lima tahun untuk menanam gereja, dengan beberapa generasi church planting dapat ditanam dalam waktu lima bulan. 2) Gerakan church planting tidak haya menambah gereja baru, tapi berkembang biak. Kebanyakan gereja di tengah‐tengah gerakannya akan memulai gereja baru sebanyak yang mereka bisa, dengan tujuan mengisi daerah dengan gereja‐gereja baru. 3) Gerakan church planting adalah pribumi (indigenous), yang dimulai dengan pelatihan dari misionaris non‐pribumi atau anggota gereja, tetapi dengan cepat membentuk jemaat baru yang semua anggotanya beretnis tunggal dan lokal. Pemimpin yang mengidentifikasi diri dengan kesediaan mereka untuk melakukan apa yang pelatih minta, dan kemudian diberi instruksi tambahan tentang bagaimana untuk mereproduksi gereja‐gereja baru. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
115
Gerakan church planting mentraining para pemimpin gereja, pendeta dan penatua. (wikipedia. org/wiki/ Church_planting, diunduh tahun Maret 2013). Sebenarnya tidak ada metode khusus yang digunakan untuk memicu gerakan church planting. Salah satu metode yang terkenal adalah metode training for trainers (T4T) yang diklaim telah berhasil di Cina. Metode ini berbeda dari gerakan insider dimana para pemimpin tidak berusaha bertindak seperti masyarakat adat, tetapi pelatihan sederhana terhadap penduduk setempat yang melatih orang lain dalam (atau terkait erat) suatu kelompok masyarakat mereka (wikipedia.org/ wiki/Church _planting, diunduh Maret 2013). Tidak dipungkiri bahwa di wilayah kantong‐kantong muslim telah muncul kecurigaan yang melihat pembangunan gedung gereja sebagai gerakan kristenisasi. Hal ini kemudian berdampak pada penutupan beberapa gedung gereja baik yang dilakukan kelompok tertentu maupun oleh pejabat setempat, termasuk gedung gereja suku, misalnya gedung gereja HKBP. Apakah HKBP melakukan kristenisasi pada suku lain, sehingga pendirian gedung gereja HKBP menimbulkan masalah di berbagai tempat di Indonesia. Kalangan muslim hanya tahu bahwa pembangunan gereja menjadi pusat kristenisasi terhadap masyarakat sekitar, sehingga kehadiranya ditolak. Permasalahan‐permasalahan itu mengarah pada satu kesimpulan atau gebyah uyah podo asine, bahwa HKBP‐pun dituduh melakukan church planting. Missi diterjemahkan sebagai church planting, apalagi dilakukan dengan cara apapun, telah menjadi salah satu faktor/potensi penyebab munculnya intoleransi di Indonesia. Menurut A.A.Yewangoe, kekristenan perlu menekankan kembali pada konsep presensia daripada planting, untuk membuktikan bahwa pemberitaan injil (kabar baik) tidak identik dengan
116 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
“kristenisasi” (Yewangoe, 2009). Dalam perkembangan rumpun teologi misi, sebenarnya telah dikenal perspektif misi yang kontekstual, yaitu bahwa misi dipandang bukan lagi sebagai church planting, tetapi presensia Presensia Kontekstual adalah istilah dalam upaya menghadirkan sesuatu yang memperhatikan konteks. Konteks merupakan penilaian yang harus diperhatikan, tanpa mengabaikan teori yang ada dalam alkitab. Keduanya tidak dapat dilepaskan dan tidak dapat berdiri sendiri, harus ada suatu hubungan dialektis antara teori dan konteks, yang dilaksanakan dalam suatu praksis, sehingga hubungan antara teori dan praksis tersebut bukanlah seperti hubungan antara subyek dengan obyek, melainkan hubungan inter‐subyektivitas (David J. Bosch, 2009). Dalam berteologi dan bermisi, haruslah memperhatikan konteks masyarakat di mana ia hadir. Dalam upayanya hadir itu, secara kontekstual, ia harus berangkat ‘dari bawah’, dan sumber utamanya (selain kitab suci dan tradisi) adalah ilmu‐ ilmu sosial, antropologi, psikologi sosial, bahasa, tradisi‐ tradisi yang berlaku atau realitas yang ada di masyarakat, bahkan tradisi bertransaksi berbagai kepentingan yang ada. Karena, dengan konsep yang demikian, khususnya misi sebagai kontekstualisasi, adalah suatu penegasan bahwa Allah hadir di tengah‐tengah budaya masyarakat tersebut, sehingga orang, dalam budayanya sendiri, dapat menyadari bahwa Allah juga berpaling kepada dunia dan dalam kehidupan mereka yang beraneka dan kontekstual. Yesus, dalam menjalankan misi‐Nya di dunia pada masa itu, juga hadir dalam konteks budaya di Timur Tengah, yaitu masyarakat Yahudi. Yesus berkenan menyatakan kehendak‐ Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
117
Nya yang kekal dan universal melalui tindakan‐tindakan‐Nya pada suatu konteks ruang dan waktu tertentu pada masyarakat sekitar‐Nya (Eka darmaputra, 1997). Ia, dalam melaksanakan misi, datang dengan kenosis (mengosongkan diri‐Nya yang Illahi, turun ke dalam dunia menjadi sama seperti manusia) dan hadir dalam konteks masyarakat zaman‐ Nya, yaitu masyarakat Yahudi. Ia hadir ke‐tengah‐tengah dan bersama‐sama dengan orang miskin, yang menderita, yang menjadi budak, mereka yang tertawan, yang buta, dan tertindas. Ia hadir bersama‐sama dengan orang yang lapar dan sakit, yang dihisap dan disisihkan, dalam rangka menghadirkan Kerajaan Allah. Sama seperti Yesus, memperhatikan konteks dalam menjalankan Missio Dei, demikian juga hendaknya gereja dalam menjalankan misi. Gereja harus memperhatikan konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, tanpa abai terhadap teori dalam Alkitab, tetap bersikap kritis, memperhatikan konteks realitas kemajemukan, dan berbagai problem kemanusiaan. Dalam konteks ini, gereja berupaya melaksanakan tugasnya, menjalankan misi, yaitu Missio Dei. Misi kontekstual adalah misi yang sangat memperhatikan konteks keanekaragaman dan kemajemukan serta berbagai problematika kemanusiaan yang menimpa saudara‐saudaranya yang lain, dengan misi yang mengena dan menjawab atas realitas dalam masyarakat. Misi Kristen harus memperhatikan dua aspek kemajemukan dan problem kemanusiaan dalam menghadirkan syalom (keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan) di muka bumi. Misi harus dilakukan demi memperjuangkan, mengangkat harkat dan martabat manusia serta membebaskan manusia dari segala penindasan, penghisapan ekonomi, penindasan manusia atas manusia, ketidakadilan, keterasingan, dan keputusasaan
118 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
dalam hidup sehari‐hari (alienasi). Jadi kerangka ini menjelaskan pemahaman missi yang melahirkan metode misi church planting dan presensia. Church Planting melahirkan keresahan karena menabrak rambu‐rambu penyiaran agama, sementara presensia cenderung hadir dengan damai dan melakukan pelayanan terbaiknya bagi masyarakat seperti pesan Yesus yang kontekstual di Timur Tengah. Church Planting cenderung meresahkan dan menggangu hubungan antar gereja dalam oikumene, sementara presensia cenderung memperkuat oikumene yang sekaligus memperkuat integrasi dalam kemajemukan. Banyak Gereja yang tidak memisahkan antara pemahaman misi presensia dan church planting, karena ia hadir di wilayah yang secara konstekstual masyarakatnya banyak terbelakang dan miskin, yang harus diselamatkan berapapun harganya. Secara kontekstual juga, masyarakat yang sebagian besar terbelit kemiskinan dan keterbelakangan itu merupakan sebuah ladang gandum yang menguning dan siap dipanen. Melayani domba‐domba yang tersesat dari masyarakat yang secara konstekstual terbelit kemiskinan adalah peluang penyelamatan besar‐besaran atau tuaian besar yang harus segera dilakukan untuk segera menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi. Oleh karena itu, banyak Gereja yang siap menjadi pelayan yang terbaik bagi masyarakat dalam konteks wilayah tertentu dan sekitarnya, sepenuh waktu, sepenuh tenaga dan sepenuh jiwa. Prosedur Penelitian Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena data yang akan digali adalah pendapat para pendeta, anggota jema’at, akademisi, pemuka agama dan masyarakat Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
119
yang bersifat kualitatif dan mendalam, yang tidak mungkin diperoleh dengan pendekatan kuantitatif. Metode Penelitian dan Penggalian Data Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dalam bentuk studi kasus untuk mendalami, menjelaskan dan mendeskripsikan pemahaman missi kekristenan dan dampak implementasinya bagi gerakan oikumene (integrasi gereja) dan terhadap masyarakat luas dalam konteks masyarakat di wilayah penelitian. Sebagai studi kasus, data diperoleh secara fenomenologis, dimana peneliti melihat, kontemplasi, dan mempertanyakan banyak hal kepada obyek penelitian. Hasil penggalian data kemudian di‐crosceck sehingga didapatkan seperangkat pengetahuan tentang pemahaman misi Gereja dan dampak implementasinya sesuai dengan masalah yang dijawab dalam penelitian ini, dan dianalisis secara teoritis. Data‐data yang diperoleh itu diklasifikasi dan diinterpretasi (bukan ditranskripsi) agar didapatkan dekskripsi yang cukup dan memudahkan penyusunan laporan. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan wawancara, observasi non partisipan, kajian pustaka dan forum gorup discussion (FGD). Wawancara dilakukan dengan informan yang dianggap memahami pokok persoalan. Observasi non partisipan yaitu menghimpun data tentang kegiatan obyek penelitian secara tidak terlibat. Dalam observasi misalnya, peneliti mengamati ibadah minggu, mengamati lingkungan gereja termasuk masyarakat sekitarnya sebagai penopang keberadaan Gereja, tata ruang dalam gereja, ruang sidang jema’at, ruang keluarga gembala, bahkan kontruksi bangunan sebagai upaya melihat bagaimana
120 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
kira‐kira perjuangan para gembala dan pendeta dalam pengembangan Gereja. Forum group discussion (FGD) yaitu pengumpulan data dengan cara mengumpulkan tokoh‐tokoh gereja dan tokoh agama lain untuk dapat menjaring data yang banyak dalam waktu singkat berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini. Semua dokumen berupa tulisan, baik dokumen resmi dan pribadi, hasil wawancara, observasi, kajian pustaka dan FGD berkaitan dengan aspek‐aspek penelitian itu dihimpun sebagai sumber data primer. Data yang terkumpul kemudian diolah, dan diinterpretasi sehingga dapat disajikan secara deskriptif analitis dan komparatif. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan menginterpretasi dan menganalisis hasil wawancara, dokumen, observasi mendalam, dan hasil forum group discussion (FGD) yang terkait dengan fokus penelitian. Data Yang Dihimpun dan Lokasi Penelitian Adapun data yang harus dihimpun dalam penelitian ini adalah 1) Data geografi dan demografi; 2) Kehidupan sosial ekonomi dan kehidupan keagamaan; 3) Sejarah singkat dan perkembangan Gereja; 4) Organisasi, sistem kepemimpinan dan keanggotaan Gereja; 5) Aktifitas keagamaan Gereja; 6) Pemahaman pendeta tentang missi; 7) Landasan teologis yang mendasari pemahaman missi; 8) Konsep operasional misi yang dipahami dalam implementasi operasional missi; 9) kelompok atau individu yang terlibat dalam kegiatan missi; 10) Pihak yang menjadi obyek missi; 11) Dampak kegiatan misi terhadap masyarakat yang majemuk; dan 13) Respon Pemerintah Daerah terhadap eksistensi dan sepakterjang gereja yang diteliti. Pilihan obyek penelitian pada beberapa di wilayah Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
121
penelitian karena diduga; 1) mengalami perkembangan relatif pesat di Surakarta; 2) cukup mendapat perhatian atau dukungan masyarakat luas; 3) Model missinya ada yang dipandang cenderung church planting dan kurang memperhatikan sopan santun dalam upaya menjaga kerukunan umat beragama, baik di lingkungan intern Kristen maupun non Kristen 4) kehadirannya telah memperkaya dinamika kehidupan keagamaan; dan 5) perlu ada kebijakan yang tepat dari pemerintah dalam upaya memelihara kerukunan umat beragama. Adapun lokasi penelitian yang dipilih adalah Kota Surakarta, Semarang, Bandung, Yogyakarta, Palangkaraya, Banjarmasin dan Kota Malang
122 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
KASUS GEREJA BETHEL INDONEIA (GBI) “KELUARGA ALLAH” DI KOTA SURAKARTA, JAWA TENGAH Oleh Wakhid Sugiyarto
Kondisi Umum Wilayah Penelitian Kondisi Geografis dan Demografis
K
ota Surakarta dibagi menjadi 5 kecamatan dan 51 kelurahan dan dikelilingi gunung Merbabu, gunung Merapi (3.115m), dan Gunung Lawu (2.806m) serta dikelilingi Bengawan Solo,dan dilewati Kali Anyar, Kali Pepe dan Kali Jenes. Mata airnya bersumber dari lereng Merapi dan lereng gunung Lawu. Tanahnya bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik Merapi dan Lawu. Ketersediaan airnya melimpah, sehingga sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri, seperti; padi, tembakau dan tebu. Namun, sejak 20 tahun terakhir terjadi perubahan peruntukan lahan perumahan dan industri, sehingga tanah pertanian menjadi semakin sempit dan tidak mencukupi untuk nafkah warganya (Kota Surakarta Dalam Angka 2012). Kota Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar‐Boyolali sebelah utara, Kabupaten Karanganyar‐ Sukoharjo sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo sebelah selatan. Di setiap batas kota, terdapat gapura yang bangun tahun 1931 – 1932 masa Pakubwono X. Gapura Kraton itu berfungsi sebagai pembatas dan pintu gerbang masuk Kota Kasunanan dengan wilayah sekitar. Gapura juga didirikan di pinggir sungai Bengawan Solo yang waktu itu menjadi dermaga dan tempat penyeberangan (di Mojo/Silir) masyakat Surakarta. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
123
Sensus yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Balanda tahun 1885, di Karesidenan Surakarta terdapat 1.053.985 penduduk, termasuk 12.694 orang Eropa dan 77.543 orang Tionghoa. Ibukota Karesidenan sendiri (Solo) tahun 1880 sudah berpenduduk 124.041 jiwa. Pada tahun 2010 adalah 503.421 jiwa, terdiri dari 270.721 laki‐laki dan 281.821 wanita. Tingkat kepadatan penduduk Solo 11.370 jiwa/km2, dan Jawa Tengah hanya 992 jiwa/km2. Solo merupakan kota terpadat di Jawa Tengah dan ke 8 di Indonesia, luas wilayah ke 13 terkecil, dan populasi terbanyak ke 22 dari 93 kota dan 5 kota administratif di Indonesia (Surakarta Dalam Angka 2012). Kehidupan Sosial Pedidikan dan Keagamaan Sejak jaman dulu, masyarakat Karesidenan Surakarta (Sragen, Surakarta, Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali) sangat dinamis dan cair dalam kehidupan keagamaan, ideologi dan politik. Dahulu, ketika agama Hindu dan Buddha berkembang, menjadi basisnya yang dibuktikan berbagai candi Buddha dan Hindu. Ketika Islam berkembang, masyarakatnya berbondong‐bondong masuk Islam, dan menjadi pusat Kesultanan Pajang dan Mataram. Ketika Kristen dengan dukungan kolonial, Kristenpun menguat. Pada masa pergerakan, masyarakatnya menjadi tulang punggung pergerakan paling menonjol di Indonesia. Di Surakarta berdiri SI/SDI dan paling mengindonesia di jamannya. Indice partij (IP) dan PKI juga sangat kuat di Surakarta. SI, IP dan PKI sangat terkenal karena militansinya, sehingga sering berusan dengan Belanda. Pada masa Orde Lama, Surakarta menjadi basis PKI. Ketika meletus affair Madiun 1948 (PKI) pemanasan situasi sosial menuju pemberontakan di mulai dari Surakarta dengan berbagai konflik antar kesatuan tentara, perampokan,
124 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
pembunuhan dan penculikan‐penculikan. Madiun sekedar tempat Republik Sovyet Indonesia di proklamirkan oleh Muso. Ketika G.30 S. PKI di Jakarta merasa berhasil, PKI Surakarta melakukan pembantaian kaum santri, PKI ternyata kalah, sehingga pembantaianpun berbalik ke simpatisan PKI. Pada masa ini pimpinan daerah se Karesidenan Surakarta dan Madiun adalah PKI atau simpatisannya (Sugiarso Soeroyo, 1988). Paska G. 30 S//PKI ini kristenisasi terjadi di Surakarta dan bekas PKI berbondong‐bondong masuk Kristen atau Katolik. Penduduk Surkarta yang beragama Kristen dan Katolik merupakan yang terbesar di luar ibukota provinsi di Jawa (sekitar 25%). Umat Islam 68%. Sisanya (7%) Hindu, Buddha dan Khonguchu. Di Surakarta terdapat 185 buah gereja, 165 buah diantaranya dibangun paska G.30 S. PKI/1965. Jadi kristenisasi di Surakarta paska G.30 S. PKI, bukan omong kosong, karena yang digarap secara intensif masa ini adalah mantan aktifis atau simpatisan PKI. Sementara bagi gerakan Islam puritan, wilayah Surakarta bukanlah lingkungan yang subur (Diolah dari wawancara dengan Ridlwan Syafawi, Mei 2013). Di Kelurahan Kepatihan Kulon, keunikan masyarakat Surakarta sangat nyata, di sini banyak sekolah Kristen dan gereja. Jumlah lembaga pendidikan tingkat PAUD dan TK adalah 308 buah, milik Kristen 33 buah, 18 buah di Kepatihan Kulon. Jumlah SD/MI berjumlah 292, milik Kristen 16 buah, 9 buah di Kepatihan Kulon. Jumlah SMP/MTs 97, milik Kristen 16 buah, 10 buah di Kepatihan kulon. Jumlah SLA di Surakarta 56 buah, milik Kristen 22 buah, 12 buah di Kepatihan Kulon. Sekolah Menengah Theologi Kristen 4 buah, 3 buah di Kepatihan Kulon. Jumlah STT ada 6, 4 buah di Kepatihan Kulon. Dari 6 STT itu, hanya 1 yang bukan rumpun Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
125
pentakosta dan terdapat beberapa universitas Kristen. Di luar itu terdapat TK Aisyah Budi Mulia Solo, SMP Negeri 4, SMP Negeri 3, SMK N 2, SMK N 1, SMP N 27, dan SMA N 2 (Diolah dari Kota Surakarta Dalam Angka, 2012). Umat Kristen memiliki pendeta 260 orang. Di Jebres, Banjarsari dan Pasar Kliwon terdapat tokoh 234 orang. Jumlah guru PAK 139 orang, diangkat Kemenag 5 orang, 134 orang diangkat Pemkot Surakarta, dan 96 orang honorer. Guru PAK bersertifikasi 126 PNS dan non PNS 29 orang. Dari jumlah guru PAK 139 itu, 80 orang berpendidikan S1, 32 orang S2, 5 orang S3, sisanya D3 dan D1. Keberadaan lembaga pendidikan didukung yayasan dan ormas Kristen, yaitu; Y. Injil Sepenuh, Y. Pekabaran Injil Pedesaan, Y. Gamaliel, Yakkum, Y. Beth Shan, Y. Wiyata Kasih, Y. Babtis Indonesia, Y. Setia Budi, Y. Ortodhox, YLPel. Mahasiswa Indonesia, YST Berita Hidup, Y. Sejahtera Abadi Indonesia, Y. Pelangi Nusantara, Yayasan Millenium Damai dan YPK Pelita Nusantara Kasih. Yayasan terrhimpun dalam YPPK berkantor di Kepatihan (Data Kemenag Surakarta, 2013). Sementaa itu di Kepatihan Kulon terdapat 26 gereja yaitu; GBI Keluarga Allah, GKJ Margoyudan, GBIS Kepumbon, Gereja Mormon Cabang Kepatihan, GBI Bethany, Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia (GUPdI), gedung Pondok Daud, GBIM. Saron Kepumbon, GKI Sorogenem, GKI Sangkrah, Gereja Katolik St Yusuf, GPIB Penabur, Gereja Bukit Zaitun, GPdI Kepatihan, GKJ Banjaran, GKJ Kebalen dan sebagainya. Sebelum tahun 2000, di Kepatihan hanya ada 2 masjid yaitu masjid SMPN 3, masjid At Taqwa (Muhammadiyah) serta 3 mushala. Setelah tahun 2000 bertambahlah masjid SMAN 2, masjid Troenodipan, masjid Abdurosyad dan masjid Al Fatih (Kejaksaan). Sebabnya sejak tahun 1990‐an, banyak warga masyarakat Kepatihan menjual
126 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
rumahnya untuk minggir ke lokasi yang dekat dengan pekerjaan. Pembeli kebanyakan muslim santri, dan mampu secara ekonomi, sehingga terjadi perubahan sosial keagamaan di Kepatihan. Di Kepatihan terdapat kantor aliran kepercayaan Warih Pangestu sejak tahun 1950‐an dan Vihara Maetreya Muni milik komunitas Buddha (Diolah dari wawancara dengan Sudasono, Dayat Warkunto, Sukardi, dan Panji, Juni 2013). Pluralitasnya masyarakt Surakarta ditunjukkan pula oleh keberadaan rumah ibadah. Jumlah rumah ibadah muslim 234, terdiri dari masjid 170 dan Mushala 64 buah. Sementara umat Kristen memiliki 185 gereja. Dari 185 gereja itu 124 diantaranya milik umat Kristen rumpun teologi GBI (penthakosta). Umat Kristen terdiri di Surakarta memiliki 58 denominasi. Komunitas Katolik memiliki 8 buah gereja, Hindu 2 buah, Buddha 2 buah, dan Khonghuchu 6 buah. (Kota Surakarta Dalam Angka, 2012 dan Data Keagamaan Kemenag Kota Surakarta, 2013). Sejarah Singkat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Cikal bakal Gereja Bethel Indonesia (GBI) adalah Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) dan cikal bakal Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS adalah Gereja Penthakosta di Indonesia (GPdI). GBIS dan GBI atau keduanya didirikan oleh Pdt. HL. Senduk. Senduk mendirikan Gereja Bethel Injili (GBIS) setelah ia mengundurkan diri dari GPdI di Surabaya tahun 1952 dan mengangkat Van Gessel menjadi “Pemimpin Rohaninya” dan Senduk “Pemimpin Organisasi” (Bdn Penghubung). Senduk menjadi gembala jemaat di Petamburan, sedang Van Gessel menjadi gembala jemaat di
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
127
Surabaya. Pada tahun 1954, Gessel pindah ke Papua dan jemaat diserahkan kepada, Pdt. C. Totays. Di Papua membentuk sinode Bethel Pinkesterkerk. Van Gessel meninggal 1957 dan digantikan Pdt. C. Totays sampai 1962 (Wikipedia, diunduh 29 Feburari 2013). Tetapi di GBIS ia disingkirkan oleh teman‐temanya dalam kudeta di Prapat yang didukung oleh Kementerian Agama waktu itu. Setelah Pdt. HL. Senduk disingkirkan dari GBIS dalam kudeta di Prapat tahun 1968, ia mendirikan GBI tahun 1969. GBI diakui dengan SK Menteri Agama RI, No. 41, 9 Desember 1972. GBI kemudian bergabung menjadi anggota PGI, DPI dan PII. GBI segera segera berkembang pesat. Pada tahun 1972, Senduk memanggil, Pdt S.J. Mesach dan Pdt Olly Mesach membantu pelayananya yang telah menjadi Gembala GBI Jemaat Sukabumi. HL Senduk memimpin GBI hingga akhir hayatnya dan menyusul istrinya berpulang 26 Februari 2008. Ia meninggalkan visi 10.000 gereja GBI bagi generasi berikutnya (Wikipedia,11‐7‐ 2013), sekarang sudah lewat, karena jema’at GBI sudah mencapai 13.878. Pada tahun 2008, jumlah jema’at GBI di Indonesia mencapai 13.121 jema’at. Perkembangan GBI yang pesat tidak lepas dari arus besar perkembangan gereja rumpun pentakosta Indonesia dan tersedianya tenaga penginjil handal dari 59 STT). Wajar kalangan elit GBI optimis bahwa masa tuaian besar sudah dekat “Ladang Sudah Menguning Tuailah Bersama (Yohanes 4:35) dan Kerajaan Allah sudah dekat. (BPH GBI Pusat, 2008) Di banyak buku tentang gerakan pentakosta, disebutkan Bethel Pentecostal Temple Inc., berdiri karena Pdt. CH. F. Parham tahun 1906 yang mengalami mu’jizat dalam bentuk pencurahan Roh Kudus kepada orang‐orang percaya secara signifikan dan fenomenal lengkap dengan tanda‐tanda bahasa lidah seperti pengalaman gereja mula‐mula. Kebangunan
128 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
rohani Parham menyebar ke Azusa Street dan berbagai kota. Ia anggota Gereja Methodist, karena ketidakpuasan rokhani, ia keluar, dan mengalami mu’jizat dan mengubah keyakinan banyak orang dan menjadi awal gerakan Pentakosta (HL. Senduk, 1988). Pada tahun 2004 – 2008, GBI meresmikan 108 jema’at di Jakarta, Banten 19 jema’at, Jawa Barat 56 jema’at, Jawa Tengah 60 jema’at, Jawa Timur 40 jema’at, DI Yogyakarta 9 jema’at, Bali – NTB 10 jema’at, NTT 9 jema’at, Sumatra Utara 82 jema’at, Riau 9 jema’at, Kepulauan Riau10 jema’at, Jambi 2 jema’at, Kaltim 14 jema’at, Kalsel 3 jama’at, Sulseltra 64 jema’at, Sulut 90 jema’at, Sulbar 3 jema’at, Sulteng 7 jema’at, Maluku 6 jema’at, Timor Leste 3 jema’at, Papua barat 4 jema’at, Papua 9 jema’at dan Australia 1 jema’at. Total jumlah jema’at yang diresmikan tahun 2004 – 2008 adalah 618 jema’at, artinya GBI meresmikan 154 jema’at pertahun. Jika ditambah dengan 13.260 jema’at, maka jema’at GBI di seluruh dunia adalah 13.878 jema’at. Jika GBI berdiri tahun 1969 hingga 2014, maka pertumbuhan GBI rata‐rata 308,4 jema’at pertahun (BPH GBI Pusat, 2008). GBI memiliki struktur pengurus rapi dari pusat hingga daerah. Di Pusat disebut Badan Pekerja Harian Sinode GBI yang berisi pendeta dari berbagai gereja rumpun GBI. Di provinsi disebut Badan Pekerja Perwakilan Wilayah GBI dan di daerah kabupaten/kota disebut Badan Pekerja Perwakilan Daerah GBI. Sinode GBI ber‐ Sidang Raya setiap 4 tahun untuk evaluasi, pergantian pengurus dan menyusun program baru. Jema’at GBI tingkat wilayah atau daerah bertemu rutin bulanan (fillosif), menentukan tema khotbah bulan berikutnya, sehingga materi khotbah sama di suatu wilayah (Diolah dari wawancara dengan Toni Suhartono dan Tri Maryono jema’at GBI ber KTP Islam). Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
129
Sistem keorgnisasian GBI seperti ini memungkinkan dapat tumbuh secara spektakuler, karena gereja GBI kecil dibantu BPH Sinode GBI pusat sesuai kesepakatan setiap tahun. Dalam laporan BPH Sinode GBI tahun 2008, terdapat 190 gereja GBI yang dibantu di seluruh Indonesia. Kepiawaian dan kepribadian pendeta GBI telah mendorong banyak jema’at non GBI terkooptasi GBI. Sepanjang tahun 2004 – 2008 persekutuan do’a, gereja, pejabat gereja dari berbagai sinode gereja lain eksodus ke sinode GBI sebanyak 55 orang beserta anggota jema’atnya. Disamping itu terdapat 14 pendeta di skorsing atau diturunkan statusnya, 15 pendeta dipecat, yang direhabilitir posisinya sebanyak 12 orang. (Pdt. Yacob Nahuway, BPH GBI Pusat, 2008). Gereja Bethel Indonesia Keluarga Allah Surakarta Gereja Bethel Indonesia (GBI) Keluarga Allah ini berlokasi di Jl. Sutan Syahrir, Widuran Kepatihan Kulon Kota Solo (hanya 2 m di depan rumah Amien Rais). Di Kota Solo terdapat 185 gereja dan 85 diantaranya adalah gereja jema’at rumpun GBI. Gereja rumpun GBI terbesar adalah GBI “Keluarga Allah” (Data Keagamaan Bimas Kristen Kemenag Surakarta, 2013). GBI Keluarga Allah didirikan tahun 1990 oleh Pdt Obaja Tanto Setiawan (OTS) diawali dengan persekutuan do’a berjumlah 9 orang, telah menjadi 35.000 orang dalam waktu 24 tahun. Secara analitis dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan GBI Keluarga Allah yang spektakuler ini setidaknya ditopang oleh; Pertama, Masyarakat Surakarta sangat cair terhadap semua keyakinan agama. Pergantian keyakinan bukanlah persoalan serius yang perlu ditangisi, sehingga biasa dan lazim jika sebuah keluarga, anggota keluarganya menganut beberapa agama (Diolah dari wawancara dengan Ridlwan
130 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Syafawi); Kedua, Pribadi Pdt. OTS sangat menarik, cerdas, visioner, inspiratif, peka terhadap kondisi jema’atnya dan siap melayani sepenuh waktu, sepenuh tenaga dan sepenuh jiwa. (Diolah dari wawancara dengan Obaja Tanto Setiawan, Juni 2013); Ketiga, GBI Keluarga Allah melayani maksimal terhadap anggota jema’atnya bahkan berlebihan. Misalnya, menjemput anggota di sekitar Surakarta dengan armada bus, yang saat ini memiliki 5 armada. Dalam FGD terungkap, ada kasus di Sragen, dimana ada sebuah gereja dengan 40 orang sedang ibadah minggu di gerejanya belum selesai, tetapi bus GBI sudah menunggu di pelataran parkir untuk diangkut ke GBI Keluarga Allah (Ringkasan keluhan Pdt Nahum dalam FGD di Kantor Kemenag Surakarta, Juni 2013). dan Keempat, lingkungan GBI Keluarga Allah adalah basis lembaga pendidikan Kristen dan gereja, sehingga para misionaris leluasa bergerak aman dan masyarakat sekitar sangat toleran. Dalam lingkungan seperti inilah GBI “Keluarga Allah” berkembang pesat di Surakarta (Diolah dari wawancara dengan Dayat Warkunto, Juni 2013). Sarana dan Prasarana Pendukung Pelayanan Jemaat Gedung GBI “Keluarga Allah” dibangun di atas tanah bekas gedung film, kemudian disulap menjadi rumah ibadah dan secara bertahap dibangun ulang hingga menjadi bangunan megah seperti sekarang ini. Gedung GBI, gedung gereja dan lahan parkir atas nama Obaja Tanto Setiawan. Luas lahan 8.000 m2, luas bangunan 6.000m2 yang 2.000m2 diantaranya berlantai enam (6), 2.000 m2 berlantai empat (4) yang dilengkapi CCTV di berbagai sudut ruangan, pintu masuk dan keluar gereja, lahan parkir, maupun depan gedung gereja. Luas ruang sidang kira‐kira 2.500 m2, mirip gedung film lengkap dengan layar lebar, peralatan musik, panggung Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
131
permanen dengan 6.000 tempat duduk. Kantor GBI Keluarga Allah berada di lt 2 dan sangat representatif (mewah) dengan karyawan 120 orang, ruang‐ruang lobi untuk tamu, ruangan untuk para pendeta, ruang foto kopy digital, dan kesemuanya ber‐ AC. Di areal gedung megah ini terdapat toko souvenir, buku Kekristenan dalam perspektif GBI, buku‐buku khotbah, buku pengembangan Pemimpin Kelompok Sel (PKS) dan kaset‐kaset rohani. Untuk membuat tamu lebih nyaman GBI menyiapkan ruang caffe shof, arena bermain anak‐anak (play group), ruang pendidikan muda mudi dan ruang serbaguna. Saat ini GBI juga memiliki 7 armada bus, 4 mobil ambulan serta beberapa wisma dan villa di Tawangmangu. GBI Keluarga Allah ini memiliki gedung baru 4 lantai dengan luas bangunan 2.000 m2. Sebagai gereja yang terus tumbuh, ia memiliki sarana parkir 2000 m2 di sebelah kanan gedung, 2000 m2 seberang jalan, 2.500 m2 di belakang, 3000 m2 dijalan sisi kanan gedung, dan lahan parkir di lantai satu sampai halaman depan. Lahan parkir itupun belum cukup, maka sepanjang jalan kiri kanan Sutan Sahrir (sekitar 500 m) berubah menjadi lahan parker di hari minggu. Di sebagian dinding GBI terdapat papan pengumuman yang berisi tentang berita seperti; lowongan kerja, pekerjaan yang dibutuhkan, foto‐foto kegiatan muda mudi dan tempat pemasangan spanduk jadwal ibadah raya dengan nama pendetanya yang akan memimpin ibadah. GBI ini juga memiliki bangunan 2.000m2 dengan luas tanah 4.000 m2 di jl. Slamet Riyadi yang rencananya untuk kebhaktian, tetapi ditolak Pemerintah Kota, karena ijin pendirianya bukan untuk rumah ibadah. Tidak jauh dari GBI ini (ke arah pasar legi) terdapat bangunan sedang penyelesaian (finishing) milik GBI yang diprsiapkan untuk Pondok Daud. Luas gedung sekitar 1.300 m2 di atas lahan 2.500 m2.
132 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Pendeta Obaja Tanto Setiawan dan Pemahaman Misinya Sinode GBI hari ini sudah merambah ke seluruh dunia, kecuali beberapa wilayah negara (Laporan BPH Sidang Raya Sinode GBI 2008). Di Surakarta, GBI Keluarga Allah berkembang pesat dan telah memiliki beberapa cabang di luar Surakarta. Pendiri GBI Keluarga Allah adalah Pdt. Obaja Tanto Setiawan (OTS) memiliki 8 saudara. Ia hanya lulus SMP dan sampai umur 20 tahun jarang keluar rumah tanpa topi, karena kepalanya gundul hanya ditumbuhi rambut seperti bulu tikus, halus dan tidak bisa panjang. Berobat kemana‐ mana tetapi tidak sembuh. Ia kecewa, marah dan mengingkari Tuhan. Kemudian ia sadar, dan mengadu pada Tuhan serta bernazar, jika kepalanya tumbuh rambut akan melayani Tuhan sepenuh hati. Mukjizatpun datang dan rambutnya tumbuh subur seperti terlihat sekarang (cakep). Perawakan sedang, kuning bersih, rapi dan matanya berbinar‐binar jika diajak bicara tentang pelayanan. Pdt. OTS memulai pelayanan dalam persekutuan do’a yang ia bentuk bersama teman‐temanya sambil melanjutkan bisnis textil orang tuanya. Bisnis textilnya berhasil dan mulai ekspansi keluar kota, yang justru membuatnya bimbang dan sering tidak bisa tidur, karena hatinya terus terpanggil menjadi pelayan Tuhan. Kemudian ia putuskan memilih melayani Tuhan sepenuh waktu, sepenuh tenaga dan sepenuh jiwa, dan secara perlahan bisnis ditinggalkan. Pengalamanya dalam bisnis textil menjadi guru sangat baik dalam melayani dan mengembangkan jema’atnya. Beberapa tahun melayani persekutuan do’a, tahun 1990 mendirikan GBI Keluarga Allah. Pdt. OTS‐pun segera terlihat kepiawaianya memimpin GBI dan mampu menarik banyak orang untuk eksodus ke GBI. Baginya, seorang pendeta harus memahami bahwa misi Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
133
pelayanan umat harus dilakukan secara maksimal, bukan hanya dilayani dan meminta upeti (persepuluhan, persembahan). Agar pelayanan sukses, gereja harus memiliki tim kuat yang sehati, agar pengembangan jema’at dalam berbagai aspek kehidupan tidak dimonopli sendiri. Pdt. OTS tidak memiliki pendidikan kependetaan khusus, sarjana teologi atau lulus SMAK, tetapi ia memahami misi kekristenan dari pengalaman melayani jema’at selama beberapa tahun dalam persekutuan do’a dan dalam melayani pelanggan bisnisnya. Ia sangat paham kehendak Yesus, yaitu memberikan pelayanan yang terbaik atau dalam istilah misi kekristenan disebut dengan presensia (Diolah dari wawancara dengan Obaja Tanto Setiawan, Juni 2013). Kerja kerasnya tidak sia‐sia, jema’atnya tumbuh spektakuler dan danapun mengalir deras ke GBI Keluarga Allah, melalui persepuluhan dan persembahan, hingga sekitar 1 milyar per bulan. Bahkan Pdt. Sutikno mengatakan ada diantara jema’at yang memberikan persepuluhan dan persembahan sampai 100 juta per bulan dan kebanyakan orang kaya di Surakata beragama Kristen adalah anggota GBI Keluarga Allah ini. Hal seperti ini tentu saja tidak akan pernah terjadi jika Pdt OTS tidak amanah. Jadi setelah melayani Tuhan dan meninggalkan bisnis textilnya yang sedang menanjak, telah terganti oleh campur tangan Tuhan yang menggerakan hati jema’at taat pada kewajibannya. GBI juga menerima hibah beberapa wisma dan villa di Tawangmangu, yang menjadi pemacu dalam melakukan pelipatgandaan anggota dan semangat penginjilan (Diolah dari wawancara dengan Sumarsono dan Samadikun/ber KTP Islam, Dayat Warkunto. Ibu Lilik, Ibu Suciati dan Maryoto Ramlan (anggota jema’at GBIS) dan Pdt Matius Sutikno, Juni 2013).
134 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Keluarga besar GBI Keluarga Allah di bawah pimpinan Pdt OTS, terus bekerja keras tanpa mendengarkan kritik berbagai pihak, dan langkah church planting‐pun terus dilakukan. Menurutnya, Allah telah menjanjikan sebagai umat yang dimenangkan seperti tema Sidang Raya Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) tahun 2008 di Istora Senayan, “Ladang sudah menguning, Tuailah Bersama” (Yoh, 4:35). “Meningkatkan kualitas penuai untuk menjangkau yang belum terjangkau”. Semboyanya adalah “Selamatkan jiwa berapapun harganya”; “1 juta jiwa segera diselamatkan”; “Saat ini adalah saat Tuaian besar, Mari kita bangkit untuk selamatkan jiwa‐jiwa dalam tuaian besar ini” (leaflet GBI Keluarga Allah Surakarta). Dalam konteks masyarakat Surakarta yang sebagian besar miskin dipahami sebagai gandum sedang menguning dan menunggu untuk dipanen. Ini berarti sangat banyak domba‐domba yang tersesat di kalangan masyarakat Surakarta yang harus segera diselamatkan atau dipanen, sehingga GBI Keluarga Allah melakukan presensia dan church planting sekaligus, karena peluang itu sangat terbuka. Dalam Islampun disebut, bahwa kefakiran menyebabkan kekafiran, berarti kemiskinan mudah membuat orang murtad atau kafir. Oleh karena itu, muslim abangan paska G.30 S. PKI yang miskin dengan mudah eksodus ke Kristen atau Katolik, karena dua agama ini dipandang memanusiakanya. (Sugiarso Soeroyo, 1988:58 ‐64) Implementasi Pemahaman Misi Pdt. OTS dan timnya sehati dan sejiwa bahwa misinya adalah memberi khabar gembira, tentang jalan keselamatan dan membantu yang miskin, yang susah, yang sakit dan menderita, yang terpinggirkan, dan yang hidupnya kapiran. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
135
Kinerja GBI Keluarga Allah yang telah tersistem dengan baik ini mendorong pertumbuhan GBI secara spektakuler dan dapat menjadi cermin bagi sinode lain atau kelompok keagamaan lain, dan dapat mendorong berlomba dalam kebaikan dan dalam amal usaha dan pemberdayaan masyarakat, sebagaimana semangat yang dibangun Yesus. Pemahaman misi yang sangat presensia dan sekligus church planting ini kemudian diimplementasikan dalam program dan kegiatan sesuai pesan Yesus Kristus, yaitu; 1. Diakonia, yaitu memberikan bantuan kepada yang benar‐ benar membutuhkan pertolongan. Misal orang yang sakit dan tidak mampu, serta bantuan yang sifatnya insidentil; 2. Pembagian beras dan jual murah tiap bulan kepada para janda miskin dan telah dicheck team diakonia; 3. Gerakan Orang Tua Asuh melibatkan para jema’at yang memberikan persembahan atau terbeban membantu orang tua tidak mampu menyekolahkan anak‐anaknya; 4. Program anak asuh, yaitu membantu anak‐anak sekolah dari keluarga tidak mampu agar mereka tidak putus sekolah. Dalam hal ini yang diutamakan adalah anak‐ anak GBI Keluarga Allah; 5. Program nasi murah setiap minggu agar menjadi berkah. Pada saat penelitian dilakukan, menu makanan yang terlihat layak gizi dan sehat, harganya Rp 5.000 yang mestinya sekitar Rp 11.000 s/d Rp 18.000; 6. Program Pasar Murah setahun sekali, bulan Juli atau awal Agustus, ketika anak‐anak kembali ke sekolah; 7. Balai pengobatan setiap hari minggu yang didukung tenaga‐tenaga medis handal yang akan menjadi berkat bagi orang‐orang yang memerlukan pelayanan kesehatan; 8. Donor darah kerjasama dengan PMI secara berkala untuk membantu orang‐orang yang membutuhkannya;
136 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
9.
10.
11.
12. 13.
14. 15. 16.
Mobil jenazah dan ambulan untuk masyarakat sekitar yang membutuhkan, telah tersedia 4 unit (Leaflet Dep. Sosial GBI Keluarga Allah dan diolah dari wawancara dengan Pdt Obaja Tanto Setiawan dan Pdt Matius Sutikno, 3 Satpam GBI Keluarga Allah, Ibu Tanti dan suaminya (pedagang nasi 100 m dari gedung GBI Keluarga Allah) Juni 2013). Mengadakan stand bursa kerja di halaman parkir depan gedung gereja (saling mencari dan memberi peluang kerja pada siapa saja tanpa melihat latar belakang agamanya); Bursa usaha (saling mencari dan memberi peluang usaha yang dapat dilakukan oleh mereka yang datang dalam acara bursa tersebut). Misalnya, ada produksi ikan yang dibutuhkan oleh rumah makan, sementara rumah makan tersebut kehabisan stok, maka ia dapat kerjasama untuk pengadaan ikan dengan rumah makan tersebut dengan pasokan secara teratur. Dapat pula produk berbagai macam komuditas kebutuhan hidup lainnya; Pemberian bantuan permodalan bagi mereka yang sudah siap mandiri, tetapi tak bermodal; Pemberian pelatihan/bengkel kerja, seperti; las, salon, keterampilan border pakaian, sablon, las dan sebagainya. Pada saat ini 60% salon dan tukang las dan salon kecantikan yang bonafit di Surakarta adalah hasil didikan GBI, bahkan GBI juga membantu pengadaan bahan produksi dan pemasarannya setelah menjadi barang jadi; Memberikan pelatihan manajemen usaha dan cara membuka usaha yang pertama kalinya; Bursa jodoh dan kursus pembinaan keluarga yang harmonis; Pelayanan bimbingan do’a di pondok Daud, bagi siapa saja yang membutuhkan; Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
137
17. Penyediaan armada bus jemputan untuk jema’at sekitar Surakarta (5 unit). Pada hari minggu, secara bergiliran akan menjemput anggota jema’at di Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Klaten dan Boyolali sebagai bentuk pelayanan yang terbaik bagi jema’at dan domba‐domba yang tak terurus (Diolah dari wawancara dengan Pdt Obaja Tanto Setiawan (OTS) dan Pdt Matius Sutikno, Juni 2013). 18. Menyediakan papan pengumuman untuk wahana informasi berbagai lowongan kerja, pekerjaan yang dibutuhkan, guru privat dan murid butuh les privat, berbagai kesempatan pelatihan, dan sebagainya. 19. Menyediakan Play Group/TK, SD, SMP, SMU, SMK Pelita Nusantara dan beasiswa siswa berprestasi (Brosur yayasan Pendidikan Pelita Nusantara (milik GBI). 20. Menyediakan Sekolah Tinggi Theologi (STT) El Shadai bagi yang berminat. Mulai tahun ajaran baru 2013 semua mahasiswa digratiskan (Brosur STT El Shadai) Pengembangan Jema’at GBI Keluarga Allah Pemimpin Kelompok Sel (PKS) Implementasi pemahaman misi dalam bentuk program dan kegiatan sebagai bentuk pelayanan yang terbaik (presensia) dirasa masih belum cukup untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan jema’at. Program dan kegiatan itu hanyalah ibarat mencari ikan dengan memancing dan tidak berharap banyak mendapatkan ikan, syukur‐syukur kalau ada yang bergabung akan diterima dengan senang hati dan disyukuri, artinya dapat menyelamatkan jiwa‐jiwa yang tadinya tidak terjangkau misi. Oleh karena itu pemahaman misi sebagai church planting, harus dilaksanakan juga, karena semakin banyak anggota jema’at, d samping semakin banyak dan konkrit jemaat yang dilayani juga akan bertambah pula
138 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
dana dari persepuluhan, persembahan dan saweran untuk pengembangan kerja‐kerja misionaris GBI. Konsep pengembangan jema’at yang dipandang mempercepat melipatgandakan anggota jema’at adalah membentuk sel yang dipimpin oleh seorang pemimpin sel. Metodenya disebut metode 12, karena setiap pemimpin kelompok sel (PKS) akan menghasilkan 12 orang anggota baru dan segera berpencar jika sudah matang, kemudian mencari 12 murid baru, dan setiap sel berkali 12 murid dan seterusnya, sehingga pertumbuhanya tanpa batas. Implementasi misi church planting yang dipahami dalam bentuk multi level marketing (MLM) ini mengacu pada metode Yesus yang memiliki 12 orang murid. Prinsipnya, siapa yang dimuridkan harus siap memuridkan atau mencari anggota baru untuk diselamatkan. Semboyan untuk para PKS ini adalah “Aku pasti Berbuah”, dan “Pertumbuhan tanpa batas” (Leaflet GBI Keluarga Allah dan Diolah dari wawancara dengan Pdt OTS, Pdt Matius Sutikno dan buku pedoman PKS terbitan GBI Keluarga Allah, Juni 2013). Dari 12 orang calon murid itu dicatat data pribadinya oleh calon pemimpin selnya (yang memuridkan), seperti; nama, alamat, tamatan sekolah, pekerjaan, kondisi ekonomi, jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawabnya, no hp, telp. rumah, perkiraan tingkat pemahaman keagamaan dan sebagainya. Setelah itu mereka dido’akan setiap saat peribadatan, di SMS, di telpon, dan sesekali didatangi (dalam MLM disebut di prospek). Bimbingan rokhani sudah siap di Pondok Daud, pemberdayaan dalam berbagai bentuk pelatihan, bimbingan usaha, permodalan pemasaran produk bisa dibantu, biaya sekolah bisa gratis dan seterusnya (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt Obaja Tanto Setiawan (OTS) dan Pdt Matius Sutikno, Juni 2013). Metode PKS ini ibarat Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
139
mencari ikan, adalah pukat harimau yang sekali tarik bisa memperoleh setengah kapal, sehingga tidak perlu lama bagi kapal untuk penuh muatan segala jenis ikan. Jadi semua kepentingan anggota jema’at, maupun lainya telah tersedia di sini. Bagaimana sinode lain dan ormas keagamaan lainya? Penuh Perhatian dan Simpatik Kepada Jema’at Salah satu bentuk pelayanan yang sangat baik dan positif adalah mengorangkan anggota jema’at yang melakukan ibadah minggu dan ibadah raya. Para jema’at yang datang masuk gereja pada jam‐jam akan dimulai ibadah, disambut hangat beberapa pendeta berpenampilan necis dan rapi (jas dan berdasi gak pakai kopyah/peci) di depan pintu masuk, persis seperti menyambut tamu dalam hajatan atau pesta perkawinan. Mereka menyalami satu persatu, dan terkadang juga berbasa‐basi menanyakan khabar dirinya, keluarga, sekolah anak‐anaknya dan seterusnya. Gaya, mengorangkan para anggota jema’at seperti layaknya orang penting ini hampir tidak terjadi di rumah ibadah lainya, yang akhirnya membuat citra luar biasa baiknya bagi GBI Keluarga Allah. Sangat mungkin mereka pulang membawa berita baik bagi keluarga atau orang‐orang terdekatnya dan menjadi iklan gratis bagi GBI Keluarga Allah. Ibadah minggu dilakukan dalam enam gelombang sampai malam hari, sekali gelombang sekitar 6.3000 jema’at. Anggota jema’at atau hadirin akan datang pada waktu yang telah ditentukan gelombang ke berapa, yang berarti jam berapa ia harus masuk ruangan. Setelah dirasa cukup yang hadir, acara ibadah segera dimulai diiringi alunan musik do’a yang menyentuh kalbu, pendeta naik mimbar dan berkhotbah sesuai tema yang telah ditentukan setiap bulan dalam filosif.
140 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Layanan Do’a di Pondok Daud Salah satu pengembangan jema’at yang memiliki pengaruh cukup besar adalah layanan do’a bagi siapa saja yang berminat. Layanan do’a dilaksanakan selama 24 jam dengan para pendeta yang handal dalam bidang bimbingan spiritual. Sebelum layanan do’a dimulai, biasanya pasien akan curhat tentang kehidupan yang sedang dihadapi. Pendetapun akan mendengarkan dengan penuh empati sambil mereka‐ reka layanan counseling atau bimbingan seperti apa yang tepat kepada pasien tersebut. Setelah itu si pasien akan diajak bertobat dan berdoa bersama agar masalah‐masalah yang mendera hidupnya pasien dapat segera diangkat oleh Tuhan (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt Obaja Tanto Setiawan (OTS) dan Pdt Matius Sutikno, Juni 2013). Mendirikan Sekolah Tinggi Theologi El Shadai Dalam upaya memenuhi kebutuhan dan permintaan jema’at, baik untuk penyediaan tenaga kependetaan maupun membekali pengetahuan kekristenan secara baik bagi anggota jema’at dan lainya, maka GBI Keluarga Allah mendirikan Sekolah Tinggi Theologi (STT) El Shadai. Di banyak daerah terdapat STT El Shadai, tetapi apakah mereka merupakan jaringan dari STT El Shadai GBI Keluarga Allah, kiranya perlu kajian lebih mendalam, karena penulis baru tahu setelah penelitian selesai dilakukan. Lulusan STT tidak mesti menjadi pendeta di GBI, tetapi bisa menjadi pendeta sinode lain yang teologinya serumpun atau sekedar menjadi pendalaman pengetahuan kekristenan saja. Mulai tahun ajaran 2013 – 2014 mahasiswa dibebaskan dari biaya kuliah. Di GBI Keluarga Allah, pendeta tidak harus lulusan STT atau SMAK, tetapi didasarkan pada pengetahuan, keseriusan dan wibawa seseorang di mata jema’at. Artinya Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
141
lulusan STT saja belum cukup untuk menjadi pendeta jika tidak memiliki prototipe pendeta GBI. Kualifikasi pendidikan strata satu, strata dua dan strata 3 atau doktor memang penting, tetapi di GBI kualifikasi pendidikan bukan yang terpenting dan belum cukup. Proses menjadi pendeta sangat panjang dan memerlukan kesabaran luar biasa dan tentu saja ada fit and propertestnya khas GBI dan ada diklat di setiap jenjang kependetaanya. Pada saat ini GBI Keluarga Allah memiliki sekitar 38 pendeta dalam berbagai jenjang (Diolah dari wawancara dengan Pdt Obaja Tanto Setiawan (OTS) dan Pdt Matius Sutikno, Juni 2013). Mendirikan Stasiun Televisi dan Stasiun Radio Al Shadai Sebagai gereja dengan pemahaman misi church planting dan presensia sekaligus, Pdt OTS sangat inovatif dan inspirtif sebagaimana diimplementasikan di atas, sehingga seluruh potensi yang ada tidak ada yang disia‐siakan. Untuk memacu pertumbuhan anggota jemaat gereja dengan pemahaman yang baik tentang kekristenan dan sekaligus membangun image positif, maka GBI Keluarga Allah‐pun membangun stasiun televisi lokal TA TV yang dapat disaksikan oleh masyarakat se‐eks Karesidenan Surakarta. Di tingkat nasional TA TV ini sering bergabung dengan B. Chenel TV, sehingga dapat disaksikan di seluruh Indonesia. TA TV‐pun mengudara dengan berbagai acara, mulai hiburan, ceramah pendeta dan musik‐musik rokhani maupun siaran langsung ibadah minggu atau ibadah raya. Di samping mendirikan stasiun televisi TA TV, GBI Keluarga Allah juga mendirikan stasiun radio Al Shadai yang daya jangkau pendengarnya dapat didengar di sebagian besar wilayah Indonesia. GBI Keluarga Allah juga membangun jaringan penyiaran kekristenan dengan Radio BAKS
142 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Surakarta. Jadi semua lini dicoba untuk dijadikan sarana dalam membangun image dan menyampaikan pesan Yesus secara intensif, agar semakin banyak domba‐domba tersesat yang dapat diselamatkan. Dampak Implementasi Pemahaman Misi Terhadap Gerakan Oikumenis dan Masyarakat Surakarta Dampak Implementasi Misi terhadap Oikumenis Sebagaimana dijelaskan, bahwa ada dua tafsir teologis atas misi yang saling melengkapi dan menumbuhkan, yaitu presensia dan church planting. GBI Keluarga Allah tidak memisahkan keduanya dalam praktek. Semua sinode gereja atau ormas keagamaan ingin lembaganya tumbuh dan berkembang, jika perlu bisa menjadi yang terbaik dan terbesar. Hanya sinode atau ormas keagamaan malas membiarkan jema’at dan anggotanya stagnan dan tidak dinamis. Persoalan yang menghalangi dan mengganjal pertumbuhanya adalah pengurusnya tidak visioner, miskin inovasi, tidak inspiratif, tidak kompak, tidak jujur, kurang peka pada kondisi pendukung dan lingkunganya (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt Obaja Tanto Setiawan (OTS) dan Pdt Matius Sutikno, Juni 2013). Sementara GBI Keluarga Allah sangat visioner, inovatif, inspiratif, kompak, amanah, peka pada anggota jema’at dan lingkungan, hingga ia mendapatkan berkah dari jati diri yang luar biasa itu, yaitu pertumbuhan yang spektakuler dan tanpa batas. Secara kontekstual, para pendetanya sangat memahami benar bagaimana kondisi masyarakat Surakarta, sehingga paham layanan terbaik seperti apa yang harus dilakukan. Baginya, menyelamatkan domba‐domba yang tersesat tidaklah cukup hanya menghimbau, mengajak bertobat, menjejali pengetahuan kekristenan serta memahami untuk apa Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
143
manusia dilahirkan dan akan kemana setelah mati. Dengan demikian interpretasinya adalah bahwa kebenaran paham, aliran keagamaan, atau apapun tidak cukup untuk dapat menyelamatkan domba‐domba yang tersesat, karena orang lapar harus diberi makan (programkan nasi murah dan beras murah), orang bodoh harus disekolahkan (program beasiswa dan kuliah murah atau gratis), orang miskin dan pengangguran harus diberdayakan (diprogramkan pelatihan, seperti; las, salon, montir, jahit, manajemen usaha, cara membuka usaha, cara memasarkan produk dsb), orang sakit harus diobati (program donor darah, pengobatan gratis setiap minggu, layanan bimbingan rohani dan doa, serta penyediaan mobil ambulan dan mobil jenazah), orang pintar dan kaya harus disadarkan tanggungjawabnya (membangun karakter jema’at, persepuluhan, persembahan dan saweran), anak orang miskin atau tidak bisa jalan harus diajari jalan (program anak asuh, penerimaan balita untuk dipelihara gereja), yang putus harapan hidup harus dimotivasi dan dinspirasi (program layanan do’a dan konsling di pondok Daud 24 jam), yang usahanya tersendat dibuat lancar (program bursa usaha, bantuan modal kerja dan finansial), yang menganggur harus dapat bekerja dan yang sulit mencari tenaga kerja harus difasilitasi (program bursa kerja) (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt Obaja Tanto Setiawan (OTS) dan Pdt Matius Sutikno, Juni 2013). Keperluan lain yang belum terakomodasi dalam program rutin difasilitasi dinding pengumuman yang bisa diisi oleh jema’at, misalnya butuh guru privat, butuh baby sitter dan sebagainya, dan seterusnya, sehingga terlihatlah bahwa GBI Keluarga Allah berusaha sekuat tenaga, sepenuh hati dan sepnuh jiwa agar pesan Yesus terimplementasikan dalam kehidupan. Dalam realitas kehidupan, kebenaran
144 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
sering diabaikan oleh orang‐orang tertindas, yang dalam Islam dinyatakan, “semua yang haram menjadi halal ketika kondisinya dharurat, kecuali perjinahan dan bunuh diri”. Yesus yang turun dalam konteks Timur Tengah, sementara GBI Keluarga Allah hadir dalam konteks masyarakat Surakarta dengan segala dinamika kehidupanya yang berwarna‐warni, secara substansal sama dengan kondisi Timur Tengah saat Yesus berkenosis dan menjelma menjadi manusia kemudian hidup bersama dengan orang‐orang tertindas, yang miskin, yang menjadi budak dan seterusnya. GBI merasa memiliki tanggungjawab besar untuk mengimplementasikan pesan Yesus Kristus itu dalam konteks masyarakat Sjurakarta. Sementara, dengan kondisi yang sudah nyaris sempurna itu, Pdt OBJ dan lainya masih merasa ada yang kurang dalam pelayananya kepada jema’at (Diolah dari wawancara dengan Pdt Obaja Tanto Setiawan (OTS) dan Pdt Matius Sutikno, Juni 2013). Dampaknya, banyak kalangan Kristen non GBI Keluarga Allah merasa tidak suka dengan kiprah GBI Keluarga Allah yang menjangkau semua lini pelayanan terbaiknya bagi jema’at. Dalam FGD terungkap beberapa hal yang memperlihatkan bagaimana gerakan oikumenis itu terganggu oleh kiprah misi GBI. Hal‐hal itu antara lain; Tuduhan bahwa GBI Keluarga Allah terlalu mudah membabtis orang menjadi Kristen, padahal dalam Katolik untuk dapat babtisan memerlukan proses belajar beberapa bulan dan setelah dipandang sudah siap untuk dibabtis barulah dilakukan babtis (Diringkas dari pernyataan Romo Alexius Hariadi dari Gereja Katolik St. Antonius dalam FGD, Juni 2013); GBI Keluarga Allah membabtis orang‐orang Kristen dari sinode lain yang datang kepadanya dengan mudah dan tanpa memberitahukan kepada gembala gereja Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
145
sebelumnya. Dalam perakteknya, orang‐orang Kristen sinode lain yang di babtis di GBI Keluarga Allah ternyata datang sendiri di layanan do’a pondok Daud, kemudian berkeluh kesah tentang kehidupanya yang buntu, dan bukan ditarik‐ tarik supaya datang. Dalam kondisi seperti ini yang dilakukan adalah motivasi bahwa tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya dalam hidup ini. Dalam beberapa kali pertemuan berikut, akhirnya minta dibabtis, dibabtislah orang itu (Diringkas dari pernyataan Pdt. Bambang dari Gereja Babtis dalam FGD, Juni 2013). GBI Keluarga Allah sangat besar memberi harapan kepada semua orang, meskipun mampu merealisasikan harapan itu, sehingga tertarik untuk eksodus ke GBI yang hal ini tidak dapat dilakukan oleh gereja lain. Pemahaman misi secara utuh telah mendorongnya untuk memberi pelayanan terbaiknya bagi jema’at, bahkan untuk siapa saja. GBI di Surakarta memang sangat fenomenal dan dikelola secara professional layaknya usaha bisnis dengan dukungan dana tak terbatas dari orang‐orang yang telah diselamatkan GBI dan mampu memanfaatkan kelemahan gereja yang lain. Pengurus GBI sangat jeli melihat masyarakat Surakarta, sehingga memberikan kemudahan‐kemudahan anggota jema’at, seperti antar jemput jema’at yang tidak bisa dilakukan oleh gereja kecil. Persoalanya adalah apa yang dilakukan GBI ini dapat berefek pada kematian gereja yang lain di lingkungan Kristen. Bagaimana nantinya nasib gereja kecil, yang sudah dikepung GBI ini. Dalam GBI, semua fasilitas dipenuhi seperti beras murah, sekolah/ kuliah gratis dan sebagainya. Sementara itu gereja kecil yang hasil persepuluhan dan persembahannya sedikit tidak dapat banyak berbuat (Diringkas dari pernyataan Helmi (NU),
146 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Romo Alexius Hariadi, dan Pdt. Edward Pardusif pada FGD, Juni 2013). Dengan pelayanan sebagaimana dilakukan oleh GBI Keluarga Allah itu, seolah‐olah gereja yang diberkati hanyalah gereja‐gereja besar. Kejadian di Sragen, di mana sebuah gereja dengan 40 anggota jema’at sedang ibadah minggu belum selesai, tetapi bus armada GBI sudah menunggu di pelataran parkir untuk mengangkutnya ke GBI Keluarga Allah dipandang sebagai kelakuan yang tidak memiliki kesantunan dan asal anggota bertambah. Kemudian juga menyebabkan banyak gereja kecil mati akibat etos kerja GBI Keluarga Allah yang kelewat bersemangat (Diolah dari keluhan Pdt. Nahum dalam FGD, Juni 2013). Pdt. Edward Pardusif mengatakan bahwa pelayanan GBI luar biasa, dapat menjadi contoh bagi gereja yang lain atau ormas keagamaan yang ada di Surakarta. Tetapi GBI Keluarga Allah harus tertib administratif, yaitu melaporkan nama anggota jema’at kepada pengurus sinode sebelumnya, supaya tidak terjadi kekacauan, terutama ketika yang bersangkutan meninggal dunia, gereja mana yang akan mengurusnya. Oleh karena itu, sebagaimana dokomen PGI, GBI Keuarga Allah harus santun dalam bermisi (Diolah dari pernyataan Pdt Edward Pardusif pada FGD, Juni 2013). Pernyataan para informan dalam wawancara mendalam dan FGD itu, sebenarnya ungkapan kekhawatiran karena gereja non GBI seolah hanya menunggu waktu saja untuk terkooptasi. Jumlah penganut Kristen di Surakarta adalah sekitar 135.000, tetapi ternyata yang 35.000 adalah anggota GBI. Jadi GBI Keluarga Allah adalah sinode terbesar di Surakarta. Kondisi ini sangat jelas diketahui dan dirasakan oleh para pengurus sinode gereja lain di Surakarta, sementara mereka belum mampu berbuat maksimal seperti yang dilakukan oleh GBI. Bahkan kondisi GBI yang seperti ini ada Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
147
di hampir seluruh Indonesia, sebagaimana kekhawatiran berbagai pihak selama ini yang akhirnya juga menemukan argumen pembenaranya di Kota Surakarta. Tetapi GBI tidak dapat dipersalahkan, karena ia memahami pesan Yesus Kristus secara baik dan utuh antara presensia dan church planting dan tahu apa yang harus dilakukan di sebuah masyarakat seperti gandum yang sudah menguning dan siap dipanen. Ole karena itu Paulus Lie menyarankan agar semua gereja terus tumbuh, maka gereja harus mereformasi diri agar tidak ditinggalkan oleh jema’atnya. Tidak perlu berbicara church planting, asalkan presensia‐nya benar‐benar sesuai kebutuhan (konteksnya) masyarakat, maka dengan sendirinya akan panen raya, atau setidaknya mendapat citra yang baik di mata masyarakat, dan tentu saja tidak diganggu, kecuali oleh orang sinting, hatinya sakit dan irihati. Paulus Lie mencontohkan kasus GKI Gejayan Yogyakarta, ketika gereja mereformasi diri, kembali kepada pesan Yesus secara sempurna (meningkatkan kualitas pelayanan secara semaksimal) jumlah anggota jema’atnya meningkat 600% hanya dalam dalam waktu 9 tahun. Paulus Lie mendorong Gereja mereformasi dirinya diungkapkan dengan sebuah prosa seperti dialog yang sangat menggugah, seperti berikut ini; “Tuhan, Engkau menangisi gereja di Indonesia? Tidakkah Engkau bangga melihat gereja‐Mu bertumbuh subur di sini, megah, gagah, beribu aktifitas, serta gebyar KKR dan kesembuhan Illahi? Apa yang kurang Tuhan? Aku menangisi domba‐domba‐Ku yang kurus tak terurus. Aku menangisi para gembala yang sibuk berdandan diri. Aku pedih karena gereja‐Ku berjalan bagai tanpa kemudi..
148 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Tuhan, apa yang mesti kami lakukan? Bukankah kami sudah berjuang demi nama‐Mu, bukankah kami sudah mengorbankan apa saja demi cinta kami kepada‐Mu? Kemegahan gereja kami bukankah menunjukan apa yang kami kerjakan bagi‐Mu? Benar, Aku paham cintamu kepada‐Ku. Namun, Aku sedih karena tidak juga kamu mengerti; Apa itu gereja? Gerejaku seperti Martha, sibuk dan lelah tanpa pegertian! Lihatlah betapa kecil dampak kemegahan gereja‐Ku bagi Indonesia! Lihat betapa kecilnya dampak segala kemajuanmu bagi moralitas bangsa ini! Mestinya sudah menjadi jelas, ada yang salah dalam gereja‐Ku yang telah Ku‐percayakan kepadamu, Anak‐Ku, maukah engkau mereformasi gereja‐Ku? Tuhan, aku ini kecil dan lemah. Namun, jika Engkau berkenan pakailah aku. Di tangan‐Mu, aku yang kecil ini akan menjadi berkat. Berkatilah gereja‐Mu semakin berdampak dan menjadi berkat bagi Indonesia! Amin (Paulus Lie, 2010: ix ‐2). Pelayanan terbaik dari GBI seolah mendapat pembenaran dari Paulus Lie ini. Dalam puisi ini Paulus Lie megkritik tajam, sekaligus memberi harapan kejayaan jika gereja bersedia mereformasi diri. Sementara itu GBI telah melakukan reformasi radikal untuk menumbuh kembangkan jema’atnya. Ia tidak hanya memberikan pelayanan terbaiknya (mancing) tetapi juga berusaha melakukan pelipat gandaan anggota jema’at dengan dukungan pemimpin kelompok sel (PKS) dan bekerja secara strategik terus menerus (seperti kapal pukat harimau) agar membuahkan sebanyak mungkin domba‐domba terselamatkan yang pertumbuhanya mengikuti deret angka dan bukan deret ukur (pelipatgandaan anggota jema’at secara massif). Jadi para elit GBI apapun namanya Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
149
sangat optimis terhadap masa depanya untuk dapat menghadirkan Kerajaan Allah (GBI Keluarga Allah, 2013). Prosa Paulus Lie di atas sesungguhnya juga berlaku terhadap semua ormas keagamaan di Indonesia bukan hanya non GBI Keluraga Allah, agar bekerja sebaik mungkin untuk menjangkau masyarakat yang selama ini tidak terjangkau program dan kegiatan yang dampaknya menyelamatkan iman dan ikhsanya, dunia dan akhiratnya. Dampak Implementasi Misi terhadap Masyarakat Dari pemahaman misi sebagaimana diimplementasikan oleh GBI Keluarga Allah, yaitu pelayanan yang prima bagi jema’at telah melahirkan efek domino luar biasa secara sosial dan ekonomi bagi masyaraat sekitarnya. Ibu Yanti (muslim) misalnya, seorang pedagang nasi sekitar 100 m dari gedung GBI merasa mendapat berkahnya. Daganganya laris, sehingga dapat menyekolahkan anak‐anaknya. Dia membayangkan jika anggota jema’at GBI kecil, tentu daganganya hanya sedikit laku, begitupun puluhan warung dan rumah makan, dan berbagai usaha sepanjang jalan St. Sahrir, dan sekitar gereja GBI Keluarga Allah semua mendapat berkahnya. Bahkan kiri kanan sepanjang jalan ST Sahrir yang tiba‐tiba menjadi lahan parkir itu, GBI tidak memungut uang parkir, tetapi pemuda‐ pemuda setempatlah yang memungut uang parkirnya, yang berarti GBI telah membuka lapangan kerja. Sementara bagi pemain bisnis, program bursa usaha yang dibuka GBI setiap 6 bulan sekali telah membuat roda bisnis banyak orang berputar dengan normal, sehingga perekonomian masyarakat Surakarta juga berputar. Ketika dibuka stand bursa kerja dan bursa usaha enam bulan sekali, selalu banjiri ribuan orang yang berminat, ingin tahu, mencari kemungkinan‐ kemungkinan kerja atau usaha baru, ingin mencari pekerjaan
150 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
dengan segala jenis pekerjaan dan yang pengusaha butuhkan, mencari tenaga kerja yang sesuai dengan yang dibutuhkanya, ingin mengembangkan usahanya, mencari produsen komuditi yang dibutuhkan dalam usaha, dan sebagainya. Begitupun ketika dibukan pasar murah setahun sekali yang biasanya dilaksanakan akhir Juli atau awal agustus, telah menyedot perhatian masyarakat Surakarta dan jalan St Sahrir mendadak ramai seperti pasar tumpah, karena pengunjung yang membeludak untuk membeli kebuthan pokok dengan harga 60% lebih murah dari harga pasaran (Diolah dari hasil wawancara dengan Ibu Yanti (pedagang nasi masakan Jawa) dan Jumantoro (pedagang mie ayam), Juni 2013. Dampak sosial keagamaan, sebagaimana terungkap dari wawancara mendalam dan FGD, pada umumnya kalangan muslim tidak tahu adanya gerakan keagamaan GBI Keluarga Allah yang begitu dahsyat. Hanya ustadz Medi yang merasa betapa gerakan GBI sudah menjangkau ke pelosok Surakarta dan sekitarnya dengan berbagai pelayanan yang rutin dan sulit dilakukan oleh kelompok keagamaan manapun, termasuk di kalangan Kristen sendiri. Kelompok keagamaan seperti; Al Islam, MTA, NU, LDII dan sebagainya, kalaupun melakukan sifatnya sangat terbatas. MTA dan LDII, semata‐ mata gerakan keagamaan (gerakan dakwah saja) dalam bentuk pengajian dan tanya jawab melalui radio, yang tidak menjangkau pemberdayaan masyarakat tak terbatas seperti yang dilakukan oleh GBI Keluarga Allah. Hanya Muhammadiyah yang sebenarnya mampu mengimbangi kemampuan GBI Keluarga Allah dalam melakukan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, tetapi Muhammadiyah sudah mulai stagnan sebagai gerakan keagamaan, dan terjebak pada rutinitas program tahunan. Muhammadiyah sudah tidak lagi memiliki daftar anggota secara disiplin maupun iuran atau Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
151
kolekte bulanan, karena Muhammadiyah sudah kaya dan mampu membiayai program rutinya. Muhammadiyah mungkin sudah merasa puas menebar raksasa amal usaha, seperti panti asuhan, rumah sakit, sekolah dan perguruan tinggi. Padahal jika Muhammadiyah yang besar itu dikelola secara lebih inovatif seperti yang dilakukan GBI Keluarga Allah, pasti mampu menjadi ikon pemberdayaan dalam konteks masyarakat Surakarta yang sebagian masih terbelakang. Sementara NU, hampir tidak dapat diharapkan melakukan terobosan besar dalam mengelola umat yang sebenarnya merupakan ormas keagamaan Islam terbesar simpatisanya itu. Malah sebagian masyarakat muslim kerjanya hanya sibuk menghantam MTA sebagai kelompok yang dipandang meresahkan daripada melakukan kerja kreatif bagi umat seperti yang dilakukan GBI Keluarga Allah. (Diolah dari hasil wawancara dengan ustadz Medi, Sekretaris MTA Surakarta, Juni 2013) Sebagian masyarakat juga sibuk dengan jama’ah muji Rasul (Jamura) yang secara sosial ekonomi dan keagamaan tidak memiliki dampak apapun, kecuali pamer kekuatan bahwa pendukungnya besar (setiap acara dihadiri 7.000 orang), itu saja. Dalam berbagai event, Jamura mengadakan arak‐arakan yang diikuti puluhan ribu orang dari Surakarta dan sekitarnya. Ustadz Hilmi yang diwancarai beberapa hari sebelum FGD dan dalam FGD juga menyampaikan yang substansinya kurang lebih sama, merasa tidak terganggu dengan gerakan sosial dan keagamaan dari GBI Keluarga Allah itu, karena menurutnya tidak ada umat Islam yang terseret masuk Kristen gara‐gara sepak terjang GBI Keluarga Allah. Ustadz Hilmipun malah menyatakan bahwa dirinya sangat dekat dengan banyak pendeta dan romo Katolik, yang dampaknya terhadap kondisi umat Islam juga tidak ada. (Diolah dari hasil
152 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
wawancara dengan Hilmi (pimpinan NU Cabang Suakarta) dan FGD Juni 2013) Sementara itu M. Solekhan dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan anggota FKUB mengetahui bahwa GBI Keluarga Allah memang salah satu sinode gereja yang sangat aktif di Solo. M. Solekhan juga mengatakan bahwa GBI Keluarga Allah itu teologinya rumpun pentakosta yang meresahkan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Menurutnya semua gereja rumpun teologi pentakosta misi Kristenya lebih berat ke church planting. Informasi ini ia peroleh dari seminar di UGM Januari 2013 yang salah satunya adalah peneliti dan seorang doktor dari Amerika Serikat (penulis namanya lupa) tentang gerakan pentakosta di Asia Afrika. M. Solekhan juga tidak dapat memberi jalan keluar bagaimana supaya tidak meresahkan, dan malah mengatakan biarkan saja, karena yang resah adalah kalangan Kristen sendiri. Tokoh‐tokoh muslim ini tidak tahu bahwa banyak di antara jema’at GBI Keluarga Allah masih ber KTP Islam, sebagaimana dikatakan oleh beberapa informan GBI sebelumnya (Diolah dari hasil wawancara dengan M. Solekhan (pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Surakarta. Juni 2013). Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surakarta dan beberapa anggota ta’mir masjid Agung Surakarta setali tiga uang, artinya sama saja juga tidak paham adanya gerakan keagamaan GBI Keluarga Allah yang begitu dahsyat. Kalangan ormas muslim di Surakarta tidak mau mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam dinamika kehidupan sosial kemasyarakat di Surakarta dan sekitarnya, sehingga tidak ada terobosan program yang dapat menjangkau semua lini kehidupan seperti yang dilakukan oleh GBI Keluarga Allah. Padahal jika kalangan ormas muslim Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
153
mau memahami dinamika keagamaan di Surakarta, misalnya bagaimana kondisi umat beragama sebelum G 30 S PKI dan sesudahnya, mestinya tergugah untuk melakukan terobosan program besar yang benar‐benar mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. Tetapi mungkin, tokoh‐tokoh ormas Islam terlalu yakin dengan kebenaran ajaran, sehingga menganggap jika kebenaran sudah disampaikan, sudah dengan sendirinya orang akan memilihnya. Mereka tidak mau memahami bahwa instrumen membangun umat yang kuat dan besar bukan hanya dengan ceramah kebenaran ajaran, tetapi juga harus melengkapi dengan instrumen dakwah bil hal secara intensif. Dinamika keagamaan masyarakat Surakarta sebenarnya luar biasa paska G 30 PKI, di mana telah dibangun sekitar 140 gereja di Kota Surakarta hanya dalam waktu 40‐an tahun. Saat ini gereja di Solo sudah mencapat 184 buah dengan jumlah umat mencapai 25 % dari jumlah penduduk Kota Surakarta. GBI Keluarga Allah juga hanya membutuhkan 20‐an tahun untuk mendapatkan anggota jema’at sebanyak 35.000 orang di Surakarta dan sekitarnya dan 8 Cabang lainya, seperti di Wonogiri, Yogyakarta, Ngawi, Madiun, Magetan, Nganjuk, Magelang dan Puwokerto. Anehnya, tokoh‐tokoh Islam juga merasa tidak pernah ada simpatisanya yang eksodus ke GBI Keluarga Allah atau Kristen. Bisa jadi bukan tidak ada, tetapi karena semua ormas keagamaan Islam memang tidak pernah tahu seperti apa kondisi anggota dan simpatisanya, serta harus melakukan apa. Kasus beberapa orang informan yang menjadi jema’at GBI Keluarga Allah yang masih ber‐KTP Islam, adalah sebuah fenomena gunung es, bahwa pasti banyak umat Islam yang sudah terseret misi GBI Keluarga Allah, karena oleh ormas keagamaanya dibiarkan menjadi domba‐domba yang tersesat dan kelaparan.
154 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Sementara itu, Pdt OTS sendiri berpendapat bahwa seorang pendeta tidak boleh hanya ceramah tentang keselamatan, dari mana, untuk apa dan akan kemana manusia setelah mati. Pendeta harus memiliki tim kecil yang peka terhadap realitas sosial atau konteks masyarakatnya, sebagaimana Yesus dalam konteks masyarakat Yahudi di Timur Tengah ketika itu. Berarti para tokoh Islampun harus demikian pula memahami misi atau dakwah, sebagaimana Rasul Muhammad dalam konteks masyarakat Arab Jahiliyah yang dicerahkan spiritualitasnya, yang miskin dibantu, yang janda dirawat, yang pintar dan kaya harus tahu kewajibanya dan seterusnya. Jadi secara konteks, substansi pesan Yesus dan Rasul Muhammad tentang kemanusiaan apa bedanya? Penutup Kesimpulan Dari deskrepsi di atas, maka dapat disimpulkan; Pertama, pertumbuhan GBI Keluarga Allah sangat baik, bahkan spektakuler, karena berbagai daya dukung yang ada, seluruh keluarga besar penginjil sepakat, sehati dan sejiwa atas misi yang harus diimplementasikan dalam penginjilan, program dan kegiatan GBI Keluarga Allah sangat cocok dan kontekstual, GBI Keluarga Allah memiliki pemimpin kelompok sel (PKS) yang bekerja efektif dengan seluruh jajaran keluarga besar penginjil GBI Keluarga Allah yang disebut metode 12 dan bergerak seperti multi level marketing (MLM). Pemimpin Kelompok Sel‐nya (PKS) tidak hanya laksana MLM dalam teori pemasaran produk, tetapi juga telah menjadi pukat harimau yang sekali tarik telah membuat kapal nelayan penuh, artinya pertumbuhan GBI Keluarga Allah
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
155
dengan cara berlipa ganda, sebagaimana semboyan para PKS “Pertumbuhan tak terbatas”. Kedua, pemahaman misi keluarga besar GBI Keluarga Allah tidaklah memisahkan teori presensia dan church planting, karena Yesus melakukan presensia dengan hidup bersama yang miskin, yang sakit dan menderita, budak dan seterusnya, sekaligus juga church planting dengan memiliki 12 murid yang diperintahkan untuk memuridkan domba‐domba yang tersesat di seluruh dunia. Presensia diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan yang dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, baik intern GBI maupun non GBI, termasuk masyarakat non Kristiani. Church Planting dimplementasikan dalam bentuk Pemimpin Kelompok Sel (PKS) dengan metode 12. Ketiga, ketidakmampuan berbagai sinode melakukan presensia secara maksimal (inovatif dan strategik) berdampak pada semakin merosotnya jumlah anggota jema’at dan eksodus ke GBI Keluarga Allah. Sinode non GBI‐pun memandang kelakuan misi GBI Keluarga Allah terhadap intern kekristenan (Oikumenis) cukup menganggu, karena menyedot anggota jema’at dari gereja lain (non GBI) dengan mempermudah babtis tanpa pemberitahuan kepada gereja di mana ia berasal. Di samping itu dengan pelayanan yang berlebihan kepada anggota jema’at dan simpatisan, telah mengakibatkan banyak orang eksodus dan terkooptasi ke GBI Keluarga Allah. Keempat, dampak implementasi misi GBI terhadap masyarakat luas atau masyarakat non Kristen (Islam) tidak dirasakan. Sebagian besar tokoh dari ormas Islam misalnya, yang menjadi informan mengatakan tidak tahu kalau GBI Keluarga Allah merupakan gerakan keagamaan Kristen yang sangat dahsyat dan menjangkau semua lini kehidupan di Kota
156 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Surakarta dan sekitarnya. Ormas‐ormas Islam dan tokoh‐ tokohnya telah terjebak dalam rutinitas dakwah kuno (bil lisan) dan kurang memiliki inovasi dakwah yang memberdayakan (bil hal). Para tokoh ormas dan elit keagamaan sibuk dengan ceramah dan seminar, sementara masyarakat pinggiran tidak mendapat perhatian, sehingga menjadi gandum yang telah menguning dan siap dipanen oleh GBI Keluarga Allah. Muhammadiyah yang sebenarnya mampu melakukan presensia sebagaimana dilakukan GBI Keluarga Allah, sendiri sudah berubah menjadi pasar untuk mencari penghidupan bagi siapa saja, sementara masyarakat pingiran hanya sebagian kecil saja yang diperhatikan. Padahal semboyan KH. Ahmad Dahlan, “sang pencerah” adalah “Hidup‐hidupkanlah Muhammadiyah dan jangan mencari penghidupan dari Muhmmadiyah”. Semboyan ini sudah cukup lama ditinggalkan oleh aktifis Muhammadiyah. Saran Dari hasil peneitian ini, rekomendasinya adalah; Pertama, pemahaman misi dan operasionalisasinya GBI Keluarga Allah hendaknya dapat menjadi contoh bagi gereja lain atau ormas keagamaan lain dan menjadi pemacu dalam berlomba‐lomba menuju kebaikan. Artinya apa yang dilakukan oleh GBI menjadi bahan introspeksi bagi perbaikan kelembagaan para pimpinan semua ormas keagamaan. Kedua, Semua sinode gereja yang ada di Surakarta dapat bermusyawarah dalam BMKAG yang dibentuk, sehingga masalah etika misionari dapat dibahas dan diselesaikan. Ketiga, perlu adanya rujukan yang pasti mengena etika misi yang disepakati semua sinode, dan kelompok keagamaan yang difasilitasi dan dimediatori Kementerian Agama, agar tidak terjadi konflik sosial keagamaan. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
157
Keempat, manusia hidup, apalagi dalam konteks masyarakat Surakarta yang sangat cair dalam kehidupan sosial, politik dan ideologi, jelas tidak cukup hanya diceramahi kebenaran ajaran agama, ditakut‐takuti adanya siksaan neraka, dan seterusnya, tetapi semua aspek kehidupan harus menjadi perhatian semua kelompok keagamaan apapun namanya. Gerakan keagamaan GBI Keluarga Allah Surakarta haruslah menjadi pelajaran berharga dan membangun kesadaran untuk melakukan presensia yang sama secara sportif. Jangan sampai seperti pepatah Melayu yang mengatakan “muka buruk cermin dibelah”. Tidak mampu berbuat yang terbaik bagi umat manusia, akhirnya yang mampu berbuat dihancurkan, yang menjadi cerminan bahwa banyak diantara tokoh agama kita tidak dewasa menyikapi perubahan sosial keagamaan. Padahal presensia dan church planting sekaliguslah sebenarnya pesan Yesus (Kristen dan Katolik), pesan Rasul Muhammad (Islam), pesan Musa (Yahudi), dan semua agama di dunia adalah membangun kemanusiaan yang adil dan beradab, kesejahteraan dan kedamaian atas semua umat manusia di muka bumi. DAFTAR PUSTAKA Bdk. Daru Marhendy dan Favor A. Bancin, Memahami Tradisi dan Sistem Pemerintahan Gereja‐gereja di Indonesia, (Jakarta: Word Visi Indonesia, 2008). Bdk. Jan Sihar Aritonang, Aliran‐Aliran di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995) Bernard Raho SVD, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Obor, Jakarta, 2013, hal. 56‐58; Brosur Sekolah Tinggi Teologi (STT) El Shadai Brosur Yayasan Pendidikan Pelita Nusantara (milik GBI)
158 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Christian de Jonge, Gereja Mencari Jawab: Kap. Selekta Sej.Gereja, BPK Gunung Mulia, 2009, hal. 32 Data Keagamaan Bimas Kristen Kantor Kementerian Agama Kota Surakarta, 2013 Data Keagamaan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Keluarga Allah Kota Surakarta, Juni 2013. Data Keagamaan Kantor Kementerian Agama Surakarta 2013 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta,1997, hal. 13. Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia, Direktori Gereja‐gereja, Yayasan, Pendidikan Agama dan Keagamaan Kristen di Indonesia, Jakarta, 2011:247 ; 248 ‐ 250 Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual” Eka Darmaputera (peny.) Konteks Berteologi di Indonesia, buku penghormatan untuk HUT ke‐70 Prof. Dr. P.D. Latuihamallo, cet. ke‐3, BPK Gunung Mulia, Jakarta,1997, hal.10‐11. HL . Senduk, Sejarah G.B.I: Suatu Gereja Nasional yang termuda, (Jakarta, GBI, 1993) Jan A. Aritonang, Berbagai Aliran Dalam dan di Sekitar Gereja, BPK GM cet. Ke 12, Jakarta, 2012, hal. 2‐3. Konsep Gereja Misioner menurut GKJ dan GKI Jateng diuraikan Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal. 30 – 40. Kota Surakarta Dalam Angka 2012 Laporan BPH Sidang Raya Sinode XIV GBI Istora Senayan, Jakarta, 21 ‐24 Oktober 2008 Leaflet Departemen Sosial Gereja Bethel Indonesia (GBI) Keluarga Allah Leaflet GBI Keluarga Allah Surakarta Paulus Lie, Mereformasi Gereja, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2010, hal. ix‐2 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
159
Pdt. Yacob Nahuway, Pandanglah ladang telah menguning, tuailah, Sambutan dalam laporan BPH Sinode GBI dalam Sidang Raya Sinode GBI di Senayan 2008. Pusat Sejarah Militer ‐ ʺSerangan Oemoemʺ di Surakarta/Solo (7 Agustus 1949) Situs Web Resmi Kota Surakarta, Lihat pula Profil Kota Surakarta di Situs Kemendagri; Solarso Sopater, Memacu Laju Gerakan Keesaan Gereja di Indonesia Suatu Upaya Berteologi Secara Kontekstual” dalam, Gerakan Oikumene Tegar Mekar di Bumi Pancasila. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993). Sugiarso Soeroyo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, PT Intermasa, Cet. Ke iv, Jakarta, 1988, h. 58 – 67 Wakhid Sugiyarto, Laporan Penelitian tentang Gerakan Keagamaan Transnasional: Kasus Jaringan Kerja Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Makasar, Sulawesi Selatan, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2010. Wakhid Sugiyarto, Laporan Penelitian tentang Gerakan Keagamaan Transnasional: Kasus Jaringan Kerja Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) di Malang Raya, Jawa Timur, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2010. wikipedia.org/wiki/Church_planting diunduh Maret 2013
160 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
KASUS STT El‐SHADDAY DI KOTA SURAKARTA JAWA TENGAH Oleh: Asnawati
Temuan Penelitian dan Analisisnya Sejarah Singkat STT El‐Shadday
S
ekolah Tinggi Teologi El‐Shadday Surakarta atau disingkat STT El‐Shadday adalah sebuah perguruan tinggi teologi yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Kristen Pelita Nusantara Kasih. Yayasan Pendidikan Kristen Pelita Nusantara Kasih didirikan oleh kerluarga besar GBI Keluarga Allah Surakarta, sebagai jawaban terhadap realitas pelayanan jemaat yang semakin mendesak. GBI Keluarga Allah adalah sinode gereja yang berkembang sangat pesat di Kota Surakarta. Berdiri tahun 1990 dari sebuah persekutuan doa yang dipimpin oleh Pdt. Obaja Tanto Setiawan dan beranggotakan 9 orang, tetapi berkembang pesat dan spektakuler, dalam waktu 23 tahun anggota jemaat GBI telah mencapai 36.000 orang. Itulah sebabnya, keluarga besar GBI Keluarga Allah, memerlukan pelayan‐pelayan jemaat yang banyak dan berkualitas. Beberapa tahun setelah GBI berdiri, antusiasme jemaat untuk belajar Alkitab semakin kuat dalam bentuk keinginan meningkatkan memahami alkitab. Kebangkitan jemaat ini mendorong pengelola gereja untuk melakukan peningkatan pelayanan jemaat yang lebih baik. Akhirnya pengelola GBI mendirikan Sekolah Orientasi Minggu (SOM) pada tahun 1993. Sekolah orientasi minggu ini diwujudkan dengan sederhana, karena yang terpenting adalah terpenuhinya tenaga pelayanan yang berkualitas dan berkarakter hingga tahun 1999. Tetapi kebutuhan pelatihan dan pembekalan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
161
internal penggembalaan tetap semakin mendesak seiring dengan semakin besarnya tumbuhan GBI, karena semakin banyak domba‐domba tersesat yang diselamatkan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Sekolah Orientasi Minggu (SOM) ditingkatkan menjadi Sekolah Alkitab Keluarga Allah (SAKA) di tahun 1999. Setelah 7 tahun berlalu, animo masyarakat untuk belajar alkitab di SAKA semakin meningkat, bahkan banyak permintaan dari luar kota dan gereja lain. Dengan berbagai pertimbangan dan desakan dari jemaat serta permintaan gereja‐gereja lain, maka GBI tergerak untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan dari tingkat SAKA ke jenjang pendidikan tinggi teologi. Itulah sebabnya Yayasan Pendidikan Kristen Pelita Nusantara Kasih akhirnya didirikan untuk mengelola sekolah tinggi teologi yang segera didirikan juga yaitu STT El Shadday. Yayasan ini selain mengelola STT, juga mengelola PAUD dan SD Pelita Kasih, SMP dan SMU Pelita Kasih. Gedung STT El Shadday berlokasi di Jalan Surya Kasih, di tengah Kota Surakarta yang sangat strategis dan mudah dijangkau dari segala penjuru dengan berbagai kendaran umum maupun pribadi. STT El‐Shadday didirikan pada tahun 2007 sebagai jawaban atas kebutuhan pelayanan jemaat GBI Keluarga Allah yang terus tumbuh dan berkembang. Dengan STT ini, diharapkan kebutuhan pendeta yang berkualitas dapat terpenuhi, sebagaimana harapan dari para jemaat sinode GBI. Alumni STT El Sadday juga diharapkan memiliki kecakapan pengetahuan Alkitab, terampil melayani jemaat, dan memiliki karakter khusus seperti kehendak keluarga besar GBI Keluarga Allah. GBI Keluarga Allah‐pun menjadi laboratorium praktek pelayanan para mahasiswa STT El‐ Shadday yang akan segera menyelesaikan studinya.
162 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Mahasiswa STT El‐Shadday bersifat interdenominasi, artinya mahasiswanya terbuka tidak hanya mereka yang menjadi jemaat GBI Keluarga Allah, tetapi juga siapapun yang merasa ingin memperdalam teologi kekristenan. Sejak berdirinya STT tahun 2007, baru satu kali angkatan mengeluarkan sarjana S1 yang berjumlah 8 orang. Bagi alumnus STT ternyata tidak ada keharusan untuk menjadi pendeta dalam GBI Keluarga Allah, tetapi boleh saja menjadi pendeta di gereja lain, membentuk persekutuan doa sendiri atau sekedar untuk memperkaya pengetahuan al kitab bagi peserta didiknya (untuk memperkuat kulaitas iman diri). Di dalam GBI sendiri, kependetaan tidak didasarkan pada kualifikasi pendidikan teologi, tetapi kepada kesungguhan, karakter relegiusitas dan kharismanya dihadapan anggota jemaat. Tidak ada keharusan untuk menjadi pendeta apabila telah lulus dari STT El‐Shadday. Yang ada adalah sebagai anjuran, setelah lulus buka kelompok sel maximum 12 jiwa baru sampai di baptis di GBI Keluarga Allah. Tetapi untuk menjadi pendeta diusulkan dari GBI setempat, lalu diikutkan ujian. Di Gereja Bethel Indonesia untuk menjadi pendeta tidak ada keharusan lulusan sekolah teologi, tetapi siapa saja bisa diangkat sebagai pendeta sepanjang dalam pandangan jemaat memberikan pelayanan cukup bagus. Bagi mahasiswa kelas malam (bukan beasiswa), kalau berasal dari gereja lain, maka setelah lulus dari STT El‐ Shadday, tidak harus melayani di GBI. Sementara bagi mahasiswa kelas pagi (mendapat bea siswa), apabila ditengah jalan kuliahnya terputus, ia harus mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan gereja. STT El‐Shadday berdiri tahun 2007, dosen‐dosen sebagai tenaga pengajar alumninya ada yang dari STII Jogya, STBI Semarang, dan ada yang dari Inteos.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
163
Riwayat Pendiri STT El‐Shadday Memasuki gedung gereja GBI Keluarga Allah tampak kokoh bagunan gereja GBI “Keluarga Allah”. Gereja ini didirikan oleh Pdt Obaja tanto Setiawan (OBJ) dari bekas gedung bioskup. Di bagian belakang gedung gereja terdapat sarana untuk sekolah minggu anak‐anak yang dilengkapi dengan permainan, kantor gereja GBI Keluarga Allah, kantin, Sekolah TK, toko buku, STT El‐Shadday dan Pondok Daud yang dibuka selama 24 jam. Berkat usaha dan kegigihan para anggota jemaat gereja yang dipimpin oleh Pdt. Obaja Tanto Setiawan, sehingga terwujudlah gereja GBI Keluarga Allah yang berada di Jl. Sutan Syahrir, yang sebelumnya merupakan gedung bioskop. Luas area gereja itu adalah 8000 M² dengan luas bangunan gereja 6000 M² dan lahan parker 2000 M². GBI keluarga Allah juga memiliki beberapa areal parker lagi yang luasnya rata‐ rata antara 2.000 m2 – 4.000m2. Areal gedung gereja dilengkapi dengan beberapa lokal untuk Play Group, SD, SMP, SMU, dan STT. Pdt. Obaja Tanto Setiawan adalah keturunan etnis Cina kelahiran tahun 1953 dan anak seorag pengusaha textile terbesar di Surakarta masa itu. Usaha textile ini sempat dilanjutkan oleh OBJ dan berkembang pesat, bahkan ekspansi keluar Kota Surakarta. Tetapi bisnis yang semakin menanjak itu ditinggalkan dan malah memilih menjadi pelayan Tuhan di GBI yang ia dirikan. Dengan anggota GBI sekitar 36.000 orang itu, berarti Pdt. Obaja Tanto Setiawan adalah pendeta yang sukses, disamping juga pernah menjadi pengusaha tekstil yang sukses. Ia hanya lulusan SMP dan tidak pernah sekolah teologi.
164 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Ketika masih remaja Pdt. Obaja Tanto Setiawan mengalami sakit panas yang cukup parah, membuat rontok rambut kepala sehingga mengalami kebotakan dan pada akhirnya malu bertemu dengan orang dan membuatnya drop out sekolah, ketika itu usianya masih remaja (16 thn). Upaya orang tua untuk mencari pengobatan apapun telah dilakukan bahkan sampai pada hal‐hal yang sifatnya mistik. Suatu hari bertemu dengan teman dan mengajak untuk beribadah dan berdo’a di gereja. Dalam do’a ia mengharap adanya mukjizat Tuhan untuk menumbuhkan rambut yang sudah mengalami kebotakan dan berjanji apabila kembali seperti semula, maka akan menjadi pelayan Tuhan sepenuh jiwa, sepenuh tenaga dan sepenuh jiwa. Beberapa tahun kemudian, datanglah mukjizat Tuhan itu pada dirinya, rambutnya tumbuh dengan sempurna, dan sudah bisa bertemu dengan orang, menikah dan sekarang sudah memiliki lima orang anak. Pada tahun 1988, ia dipanggil Tuhan untuk melayani‐ Nya sepenuh waktu. Menjawab panggilan Tuhan ini, ia merintis sebuah persekutuan doa, yang diawali hanya dengan 7 orang yang kemudian menjadi cikal bakal GBI Keluarga Allah, Solo. Gereja ini berkembang pesat hingga mencapai 2.000 jemaat pada tahun 1994, dan sekarang telah tumbuh menjadi 36.000 jemaat. Untuk memperluas jangkauan pelayanannya, ia membangun pelayanan radio dan televisi. Pimpinan STT El‐Shadday dipercayakan kepada Dr. Dolf Tiyono, MA, seorang alumni STBI Semarang (S2 dan S3) dan S1 Fakultas Sasatra Inggris Universitas Negeri Jember (UNEJ). Ia adalah anak kampung kelahiran Ambulu Jember, keturunan etnis Tionghoa, bersekolah SMP, SMA negeri dan kuliah di Universitas Negeri Jember. Mahasiswa yang kuliah di STT setelah lulus tidak harus menjadi pendeta, karena menjadi pendeta merupakan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
165
panggilan hati nurani, ada yang menjadi guru agama atau hanya untuk memperdalam iman Kristus dalam hidupnya. Mativasi, seorang mahasisiwi semester IV jurusan teologi, mengatakan bukan karena ingin menjadi pendeta ketika kuliah di STT, tetapi lebih ingin mengetahui dan mendalami alkitab. Memang terkadang untuk menjadi pendeta karena suatu panggilan, namun ada juga yang hanya membantu pelayanan di gereja atau sebagai missionaris. Intinya masuk STT, tidak selalu untuk menjadi pendeta. Menurut OBJ Tanto Setiawan, pendanaan untuk STT otomatis dari gereja, namun diharapkan oleh gereja agar STT dapat mandiri. Misalnya SPP, iuran mahasiswa dan lain sebagainya. Karena itu STT berupaya untuk tidak sepenuhnya bergantung pada gereja GBI dan untuk memudahkan mahasiswanya memperoleh mata kuliah dengan melalui foto copy diktat bagi mahasiswa persemester Rp. 175.000,‐ dan retribusi persemester Rp. 175.000,‐. (wawancara dengan dua mahasiswi STT El‐Shadday Anggi dan Linda jurusan teologi, semester IV, tanggal 24 Mei 2013). Menurut Dr. Dolf Tiyono, Misi STT El‐Shadday adalah untuk menyampaikan amanat kebenaran firman Tuhan dengan memberikan pengertian untuk lebih dekat dengan Tuhan, disamping melayani dengan benar sesuai dengan kaidah‐kaidah dan ajaran. Sebab pelayanan yang tidak benar, tentunya gesekan‐gesekan yang akan terjadi. Agama apapun tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan hal‐hal yang tidak baik. STT El‐Shadday tidak memberi pelatihan untuk menarik orang sebanyak‐banyaknya, karena misi STT bersifat dakwah (sebagaimana dakwahnya agama Islam), yaitu menceritakan kepada orang lain apabila mendapat pertolongan dari seseorang. Tidak ada pemaksaan kepada orang lain untuk
166 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
merubah agamanya, tetapi hanya menceritakan dengan menyampaikan amanat dalam kebenaran firman Tuhan. Jadi bukan masalah harus menjabat (sebagai jabatan gerejawi), tetapi harus mempersiapkan diri dengan dasar teologi yang cukup, sehingga bila suatu ketika terpanggil untuk menjadi seorang gembala atau pendeta, maka sudah cukup dasar teologinya. Jadi tidak ada pemahaman para mahasiswa di STT untuk menjadi pendeta, karena menjadi pendeta itu adalah panggilan dan melalui proses yang panjang untuk dapat menjadi pendeta yang berhasil. Program STT El‐Shadday STT El‐Shadday saat ini menyelenggarakan program pendidikan gelar dan profesional dalam pendidikan teologi, kepemimpinan Kristen, dan Pendidikan Agama Kristen. Macam program Prodi S1, S2 Teologi, Prodi S1, S2 Kepemimpinan Kristen dan Prodi S1, S2 Pendidikan Agama Kristen. Wisuda perdana STT El‐Shadday dilaksanakan pada tahun 2011 (artinya baru satu kali angkatan), hanya 8 orang. Kalau pemerintah menerapkan minimal 30 orang, tetapi wisuda boleh hanya 8 orang mahasiswa, artinya pemerintah memahami bahwa kuliah di STT itu adalah panggilan. Lulusan pertama memang hanya 8 orang yang lulus dari mahasiswa angkatan pertama sebanyak 40 orang. Sisanya akan lulus pada tahap‐tahap berikutnya, yang diperkirakan antara 20‐30 orang. Dari yang 8 orang Sarjana STT, itu tidak semuanya menjadi pendeta, karena memang tidak ada keharusan menjadi pendeta, sebagaimana denominasi prepebesterian, termasuk seperti GKI, GKJ atau STT HKBP, semua alumninya harus menjadi pendeta di sinode gerejanya. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
167
Implementasi Pemahaman Misi STT El‐Shadday Visi, Misi dan Motto STT El‐Shadday Visi STT El‐Shadday adalah mencetak pekerja Kristus yang berbuah banyak bagi Kerajaan Allah. Misi STT El‐Shadday adalah: Melengkapi mahasiswa dengan pengetahuan firman Tuhan yang kuat; Melatih keterampilan dalam menyelamatkan jiwa, mengembalakan dan memuridkan; dan Membentuk mentalitas dan karakter seperti Kristus; Motto STT El‐Shadday adalah “Beriman, Berkarakter dan Berdampak” Pengakuan Iman STT El‐Shadday Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah yang diilhamkan oleh Roh Kudus. Allah Yang Maha Esa itulah Allah Tri Tunggal, yaitu Bapa, Anak dan Roh Kudus, tiga Oknum di dalam satu; Yesus Kristus adalah Anak Allah yang tunggal, dilahirkan oleh perawan Maria. Bahwa ia telah di salibkan, mati, dikuburkan dan dibangkitkan pada hari ketiga, naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Bapa sebagai Tuhan, Juru Selamat; Tiap orang yang bertobat harus dibaptis secara selam, dalam nama Bapa, anak dan Roh Kudus, dalam nama Tuhan Yesus Kristus; dan Untuk memenuhi panggilan surgawi dan memenuhi tuntutan perkembangan zaman, akhirnya GBI Keluarga Allah Solo merasa perlu untuk mendirikan Sekolah Tinggi Teologi yang berkurikulum progresif, berbasis Alkitab yang diperkaya dengan penguasaan teknologi.
168 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Syarat Menjadi Mahasiswa dan Keunggulan STT Syarat menjadi mahasiswa STT adalah Memiliki panggilan pelayanan yang jelas; dan Lulus SLTA atau sederajat. Adapun keunggulan dari STT El Sadday adalah, bahwa kurikulumnya fleksibel dan tepat sasaran; Para dosen pengajar yang berkualitas di bidangnya; Sistem perkuliahan yang dinamis dan seimbang antara teori dan praktek; Mahasiswa STT El‐Shadday bisa mempraktekkan pengetahuannya melalui pelayanan di GBI Keluarga Allah; Program pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan yang semakin modern; Keterkaitan STT El‐Shadday dengan GBI Keluarga Allah sebagai gereja yang menjadikan STT El‐ Shadday tetap berada dalam kegerakan Allah; Sistem perkuliahan block teaching memungkinkan penerimaan mahasiswa baru setiap saat Fasilitas STT El‐Shadday Kampus STT El‐Shadday berada di tengah kota sehingga mudah dijangkau dari berbagai tempat; Ruang kuliah yang modern, nyaman dan ber‐AC, dilengkapi dengan LCD projector; Perpustakaan yang memadai dan ber‐AC; Laboratorium komputer, musik, tari; dan fasilitas‐fasilitas penunjang lainnya. Mata Kuliah Khas STT El‐Shadday STT‐El‐Shadday memberikan beberapa mata kuliah khas yang bertujuan untuk memperlengkapi setiap mahasiswa dengan pelayanan yang kreatif dan dengan jangkauan yang lebih luas. Mata kuliah tersebut meliputi: Perintisan Kelompok Sel, Inner Healing, Power Ministry, Pengembangan Kreativitas, Audio Visual Aid, Program Radio dan TV, Praise & Worship, Choir, Tambourine, Dance, Theater, Muppet, dsb. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
169
Kompetensi Lulusan STT El‐Shadday STT El‐Shadday mencetak pekerja Kristus yang dapat melayani Tuhan di berbagai jenis ladang pelayanan, tidak terbatas pada lingkup pelayanan gerejawi saja; Selama berkuliah, mahasiswa STT El‐Shadday terlibat pelayanan di GBI Keluarga Allah, dan setelah lulus bisa tetap melayani di GBI Keluarga Allah atau melayani di gereja pengutus; Mahasiswa STT El‐Shadday dari kaum profesi atau pengusaha setelah lulus dapat mengembangkan pelayananya melalui pekerjaannya sehingga memberi dampak pada pekerjaannya; Mahasiswa STT yang baru lulus SLTA dan belum bekerja, dapat mengembangkan potensinya melalui beberapa mata kuliah seperti Music Development, Creative Development, Audio Visual Aid, Program TV, Program Radio, dll., sehingga setelah lulus dapat bekerja dan melayani Tuhan sesuai dengan potensi yang dikembangkannya. STT El‐Shadday terdapat 2 jurusan, yaitu jurusan Teologi dan PAK (Pendidikan Agama Kristen). Dosen yang mengajar adalah alumnus dari teologi juga, dan disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk S1 harus ada dosen yang S2 dan seterusnya. Jumlah dosen STT El‐Shadday berkisar antara 15‐ 16 orang, diantaranya ada dosen tetap dan dosen luar. Dosen STT El‐Shadday, ada yang dari GBI, dan di luar GBI. Misalnya dosen yang dari STT Tawangmangu (dari pentakosta, yang masih serumpun). Pendanaannya Pendanaan STT selain dari Gereja GBI Keluarga Allah dan dari mahasiswa. Untuk Satu semester hampir 2 juta (tepatnya sekitar Rp. 1.800.000). Selain SPP ada iuran lain seperti buku‐buku foto copi. Dan uang gedung Rp. 300.000 persemester. Sesuai dengan ketetapan pemerintah ada muatan
170 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
lokal dan ada yang dari Bimas Kristen, jumlahnya 80 SKS (MKTU/MKTK), seperti Mulok (Muatan Lokal) itu 50%‐50%. Kalau dari pemerintah itu 80 SKS, di STT kira‐kira 70%. Dampak Implementasi Pemahaman Missi Teologi kekristenan sebagaimana diketahui adalah teologi yang mengedepankan kasih, karena Yesus mengajarkan kasih atas semua bangsa di seluruh dunia. Yesus dating untuk orang‐orang yang membutuhkan, orang yang tersingkir, menjadi budak dan sebagainya, agar meiliki harapan. Itulah sebabnya pemahaman ini diimplementasikan dalam berbagai cara untuk kebaikan kemanusiaan. Untuk membantu orang‐orang miskin, maka GBI memprogramkan beras murah. Beras dengan harga perkilo Rp. 10.000,‐, kemudian di jual perkilo Rp. 5.000,‐. Kemudian ada juga program nasi bungkus murah dengan menu standard sehat dengan harga murah, yaitu harga Rp 12.000 dijual Rp 5.000. danseterusnya (Diolah dari wawancara dengan Dolf Tiono, Mei 2013). Bagi STT Misi kekristenan adalah menciptakan pekerja gereja, dimana tugasnya adalah menciptakan orang‐orang yang dapat tekun dalam menjalankan pelayanan pada gerejanya masing‐masing. Pada STT memang harus ada pembekalan, supaya para pekerja‐pekerja ini tidak hanya sekedar melakukan satu kegiatan yang tidak terkonsep, yang tidak ada dasar teologisnya, tetapi pemahamannya itu harus benar. Benar menurut al‐kitabiyah, tetapi juga benar secara etika kekeristenan, maupun di dalam etika kemasyarakatan. Ini yang perlu di pahami sebagai seorang pekerja Tuhan. Didalam firman Tuhan dikatakan memang kita harus menyebarkan missi ini sampai keujung bumi (satu perintah dalam amanat agung). Dalam perintah ini bukan berarti harus Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
171
ada paksaan, karena sifat dari firman Tuhan sendiri tidak bisa orang itu memaksa, tetapi pemahaman disini sejauh mana memberitakan injil dan orang itu sendiri yang harus mengambil keputusan untuk bergabung atau tidak. Jadi tidak ada satu pemahaman untuk memaksa untuk menjadi pengikut Kristen. Misi sosial kita, karena Yesus sendiri memiliki sifat kasih, sehingga kita memberikan apresiasi kepada orang lain karena didasarkan atas kasih. Mungkin saudara kita muslim, menganggap sebagai usaha kristenisasi dan ini sangat berbahaya. Kita bisa memahami dan karenanya banyak hambatan disitu. Makanya kita yang dari Nasrani telah menyadari dengan hambatan‐hambatan itu akan terjadi, mulai dari perizinan, orang dilarang datang dan sebagainya, termasuk ketika akan melakukan kesembuhan (pengobatan). Sebenarnya essensinya bagaimana kita memberikan kasih kepada mereka. Karena Yesus sendiri adalah Kasih. Sehingga seseorang yang memutuskan untuk menjadi iman kristen atau tidak, itu bukan pekerjaan manusia, ketika kita bisa mengkristenkan, tetapi itu pekerjaan roh kudus (pekerjaan Allah sendiri). Jadi seorang pekerja lulusan dari STT (bicara Misi) hanya memberitakan bagaimana berita ini harus disampaikan, karena itu amanat. Perintah dari Tuhan. Tidak ada satu keputusan harus dipaksa, dipaksa ke gereja. Kalaupun masuk ke gereja, maka suatu ketika bisa keluar, karena melihat satu kekecewaan. Jadi di dalam etika itu masih dikedepankan untuk memberitakan, kemudian keputusan ada di dalam manusia itu sendiri. Jadi menghargai itu dibutuhkan satu etika, menjadi bekal dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai salah satu kunci keberhasilan yang pernah kita pelajari adalah memiliki sikap hormat, yang artinya bisa menghormati atau menghargai orang lain. Sebab kalau tidak, perbuatan atau
172 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
perkataan kita akan banyak menyinggung orang lain sehingga banyak menimbulkan masalah dan akhirnya kita tidak bisa berhasil. Dengan bersikap fleksibel, kita lebih mudah menyesuaikan dengan orang lain, dengan lingkungan, lebih mudah melakukan terobosan, lebih mudah mendapatkan pekerjaan dan lebih mudah memajukan pelayanan. STT menerapkan dan mengajarkan kepada para mahasiswa, bahwa yang menjadi misinya adalah kalau mendapat kebaikan dari Tuhan supaya diceritakan kepada orang, bukan karena memeluk agama tetapi pengalaman bersama Tuhan itu seperti apa. Seperti saat ada serangan fajar, pagi‐pagi sudah membagi‐bagikan uang. Mereka yang melakukan hal demikian adalah orang yang tidak punya hati sendiri, tetapi kalau punya hati sendiri, maka tidak akan tergoyahkan oleh apapun. Kita tidak bisa lepas dari latarbelakang hidup, kultur, adat istiadat. Kalau hidupnya banyak masalah, maka akan terbentuk menjadi orang sebagaimana saat menerimanya. Tetapi kalau hidup penuh dengan kasih, pasti dewasanya akan penuh dengan kasih. Kalau mau merubah itu semua, berdasarkan kasih Yesus, meskipun dari latarbelakang yang berbeda dengan memberikan pemahaman yang sama tentang ristus supaya mereka ada perubahan. Sehingga bila ada perubahan, maka pasti baik. Pokoknya kalau orang mengerti kebenaran, pasti baik. Sebagaimana tertera dalam al‐Kitab: kalau engkau mengerti kebenaran, kebenaran itu akan membebaskan kamu (Markus 16). “Yang menarik jamaah sebanyak‐banyaknya adalah oknum. Dengan sikap begitu tidak menciptakan kerukunan. Dampak Pemahaman Misi terhadap Masyarakat. Pelayanan sebagai gembala adalah pekerjaan yang paling indah. Dimana dalam menjalankan kegiatan pelayanan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
173
adalah karena Tuhan menolong dan menyertai dalam segala gerak dalam memberikan pelayanan. Dalam memberikan pelajaran kepada mahasiswa, senantiasa ditekankan kemuliaan dalam pelayanan sebagai pendeta/ gembala sidang, walapun banyak suka cita menyertainya. Faktor panggilan Tuhan kepada seseorang yang dikehendakinya akan menjadikan seseorang hidup untuk melayani, bukan melayani untuk hidup. Karena panggilan itu pula, seseorang yang memunyai pengalaman nyata akan kasih karunia Allah dalam hidupnya, menjadikan kasih kepada Allah dan sesama sebagai dasar kehidupan dan dalam memberikan pelayanannya. Misi STT El‐Shadday adalah untuk menyampaikan amanat kebenaran firman Tuhan dengan memberikan pengertian untuk lebih dekat dengan Tuhan, disamping melayani dengan benar sesuai dengan kaidah‐kaidah dan ajaran. Sebab pelayanan yang tidak benar, tentunya gesekan‐ gesekan yang akan terjadi. Agama apapun tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan hal‐hal yang tidak baik, demikian menurut Dr. Dolf Tiyono. Dampak Pemahaman Misi terhadap Kemajemukan Ketika akan membangun sekolah STT, tidak ada reaksi/protes dari warga setempat, karena bangunan gedungnya masih didalam area gereja GBI Keluarga Allah. Orang bisa salah dalam memahami sesuatu adalah manusiawi. Jika dalam pemahamannya dipandang menyimpang, maka dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat atau akan muncul skap saling curiga. Oleh karena itu, tinggal bagaimana menyampaikan kebenaran pada orang itu tanpa membuat orang tersebut merasa dimafaatkan.
174 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
STT El‐Shadday tidak memberi pelatihan untuk menarik orang sebanyak‐banyaknya, karena misi STT bersifat dakwah, yaitu menceritakan kebenaran kepada orang lain apabila mendapat pertolongan dari seseorang. Dan tidak ada pemaksaan kepada orang untuk merubah agamanya, hanya menceritakan dengan menyampaikan amanat dalam kebenaran firman Tuhan. Yang diajarkan kalau seseorang merasa tercurah rohul kudus, maka itulah yang akan menjadi bekal bersaksi kepada orang lain. Tetapi tidak memaksa, karena pengalaman relegiusitas setiap orang itu berbeda‐beda. Jika kemudian ada orang lain itu simpati, itu soal lain, tetapi itu adalah bonus iman terhadap orang tersebut. Sedangkan dengan terjadinya gesekan itu karena oknum, dikarenakan tidak dibekali dengan cara‐cara yang benar, dan akhirnya jadi gesekan dengan sikap begitu tidak menciptakan kerukunan.
Penutup Kesimpulan STT El‐Shadday memahami konsep misi kekristenan dengan saling menghormati, saling menghargai untuk melaksanakan amanat berdasarkan teologi kekristenan dengan mengedepankan kasih. Misi kekristenan STT dengan GBI Keluarga Allah, adalah mengabarkan kebenaran Injil dan jalan Keselamatan kepada dunia melalui pendidikan teologi di STT. Tidak semua alumnus STT El Shadday menjadi pendeta, karena menjadi pendeta adalah panggilan, maka jika belum ada panggilan untuk menjadi penginjil, otomatis tidak akan melakukan penginjilan. Dampak implementasi pemahaman misi terhadap kemajemukan masyarakat, dapat hidup berdampingan dan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
175
tidak mempermasalahkan dengan keberadaan kampus STT di lingkungan gereja GBI Keluarga Allah. Rekomendasi Sukses dan keberhasilan belajar mengajar di kampus STT El Shadday yang keberadaannya di lingkungan masyarakat mayoritas pemeluk agama Islam, kepada pengurus STT dapat menjaga keharmonisan yang telah tercipta, jangan sampai tercoreng karena nila setitik. Kementerian Agama terutama Bimas Kristen harus selalu berkoordinasi dengan pihak STT El Sadday dan gereja GBI Keluarga Allah agar tetap menjaga keharmonisan hubungan antar umat beragama. DAFTAR KEPUSTAKAAN Berkhof, H. Enklaar, I. H. Sejarah Gereja,bpk Gunung Mulia, Cet III, 2013. Barth, Karl, Pengantar Ke dalam Teologi Berdasarkan Injil, BPK Gunung Mulia, 2012. Bernard Raho SVD, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Obor, Jakarta, 2013, hal. 56‐58; Lihat pula David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997). Setiawan Tanto Obaja Pdt, Dahsyatnya Visi (Mewujudkan Visi Illahi dalam Kehidupan Sehari‐hari), Penerbit Andi, januari 2009. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Faedah Begabung Dalam Gereja Lokal, Cet II, Devisi Media Cetak, 2009. Salean, jan Frankie, SE, MP, mencintai Perbedaan (Renungan Lintas Iman Pluralisme dan Kerukunan, Yayasan Bonet Penggupir, Maret 2013.
176 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
KASUS GEREJA KRISTEN JAWA GONDOKUSUMAN DAN GEREJA PERHIMPUNAN INJILI BAPTIS INDONESIA AMANAT AGUNG DI DI YOGYAKARTA Oleh: Achmad Ubaidillah
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Sekilas Kota Yogyakarta Kondisi Geografis dan Demografis Kota Yogyakarta
K
ota Yogyakarta adalah ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan satu‐satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta terbagai dalam 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT. Penggunaan lahan paling banyak diperuntukkan bagi perumahan, yaitu sebesar 2.104,308 hektar dan bagian terkecil berupa lahan kosong seluas 20,113 hektar. Jumlah penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2011 sebanyak 390.554 orang dengan rincian sebanyak 190.075 orang laki‐laki dan 200.479 orang perempuan. Penduduk Kota Yogyakarta mayoritas memeluk agama Islam. Jumlah pemeluk agama Islam tahun 2011 379.154 orang atau 81,22 %. Pemeluk agama, 11,51 % Katholik, 6,66 % Kristen, 0,17 % Hindu, 0,42 % Budha dan 0,01 lainnya. Adapun jumlah rumah peribadatan adalah 429 Masjid, 460 Mushola, 7 Katedral, 39 Gereja Protestan, 1 Pura, 5 Wihara dan 1 Klenteng (Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2012). Kondisi Sosial Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta dikenal sebagai miniatur Indonesia yang bersifat mulitikultural, yang ditunjukkan beragamnya kultur yang berkembang baik berbasis etnisitas, golongan, Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
177
aliran kepercayaan maupun agama. Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar yang menjadi daya tarik para pelajar berbagai daerah, suku dan agama. Pada tahun 2011/2012 tercatat 66 perguruan tinggi swasta yang terdiri dari 8 universitas, 24 institut dan 34 akademi/politeknik. Jumlah dosen sebanyak 2.700 orang terdiri dari 2.371 orang dosen yayasan dan 239 orang dosen DPK. Jumlah mahasiswa sebanyak 46.215 orang. Di samping banyaknya jumlah perguruan tinggi, data lain yang menunjukan jumlah sekolah sejak jenjang taman kanak kanak hingga sekolah menengah atas adalah 210 Taman Kanak Kanak, 167 Sekolah Dasar, 2 Madrasah Ibtidaiyah, 59 Sekolah Menengah Pertama, 7 Madrasah Tsnawiyah, 47 Sekolah Menengah Umum, 6 Madrasah Aliyah dan 31 Sekolah Menengah Kejuruan. (Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2012). Kehidupan Sosial Keagamaan di Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta yang berdiri sejak tahun 1756, telah mengalami perjumpaan dengan agama‐agama besar di dunia, seperti Hinduisme dan Budhisme, Islam dan Kristen. Juga dengan budaya‐budaya besar dari luar, seperti Eropa, Cina, Arab, dan India, kemudian disusul budaya‐budaya dari berbagai wilayah Nusantara. Dalam waktu dua setengah abad itu Kota Yogyakarta tumbuh pelan‐pelan menjadi kota dengan basis budaya Jawa dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang terbuka dan inklusif bagi kultur yang lain, dan oleh karena itu kemudian menjadi pusat kekaguman dunia sebagai kota budaya. Selain itu juga memiliki predikat sebagai Kota Pendidikan dan City of Tolerance. Kedua predikat ini saling berhubungan dalam membentuk multikulturalisme. Sebagai kota pendidikan, Yogyakarta memiliki pengalaman
178 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
multikultural panjang dan teruji, terutama dalam kontak dengan budaya lain yang datang bersama pelajar dan mahasiswa dari berbagai pelosok Nusantara untuk belajar di Yogyakarta (M. Nurul Ikhsan, 2013). Warga Yogyakarta memandang predikat City of Tolerance yang disandang mempunyai kontribusi terhadap berbagai prestasi yang diraih kota ini. Toleransi yang berarti ada harmoni, saling pengertian, dan kesediaan untuk saling menerima, saling mengikuti dan mau bekerja sama. Karena itu toleransi dalam kontek ini mengandung makna yang lebih luas melampaui pengertian toleransi antar suku/etnis, agama dan kebudayaan ((M. Nurul Ikhsan, 2013). Kehidupan keseharian masyarakat Kota Yogyakarta yang multi kultur terbentuk secara alami. Kota Yogyakarta senang menjaga harmoni yang sudah lama terbentuk yang kemudian menjadi warisan kearifan lokal. Misalnya saja, banyak mesjid terletak berhadapan dengan Gereja dan hal ini tidak menjadi masalah. Jika saja ada usulan masyarakat agar Kota Yogyakarta menjadi serambi Madinah, sebab masyarakat madani sudah hampir terbentuk. Begitu juga peran dari pimpinan Kota Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X, berdiri digaris terdepan. Jika ada konflik, ada musyawarah, ada dialog untuk tidak memantik api persoalan semakin membesar lagi. Disamping itu, di Kota Yogyakarta terdapat 2 forum kerukunan antar umat beragama yang keduanya sangat aktif dalam membangun beragam inisiatif kerukunan di Kota Yogyakarta. Masyarakat Kota Yogyakarta yang rata‐rata memiliki pendidikan cukup tinggi minimal sarjana srata satu, dengan sendirinya memberikan suatu pandangan dan cara berpikir lebih rasional dan mampu menelaah setiap ajakan dan isu ‐ isu yang tidak produktif/ kontraproduktif. Kota Yogyakarta cenderung hidup dalam harmoni, sebab Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
179
masyarakat Kota Yogyakarta sudah dewasa dalam hidup beriman ((M. Nurul Ikhsan, 2013). Sudah sejak lama keharmonisan ini berlangsung di perkotaan bahkan di daerah yang tergolong pedesaan pun hampir tidak pernah terjadi peristiwa konflik bernuansa agama khususnya menyangkut relasi muslim dan Kristen (M. Nurul Ikhsan, 2013) baik Katolik maupun Kristen (Wawancara dengan Dr.Muhammad Wildan, Dosen UIN Sunan Kalijaga, 8 Juni 2013). Penjelasan ini seiring dengan keterangan Ahmad Fauzi, Pegawai Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi DIY bidang Kerukunan Umat Beragama. Dalam memelihara kerukunan antar umat beragama, Forum Kerukunan Umat Beragama secara rutin melaksanakan pertemuan dengan para tokoh agama untuk mendiskusikan berbagai hal dan memecahkan masalah bersama. Pertemuan antara FKUB dan Walikota pun dilakukan sebanyak satu kali dalam satu minggu (Wawancara dengan Suparto, Ketua FKUB Kota Yogyakarta, 12 Juni 2013). Keterangan ini diakui oleh banyak pihak termasuk oleh kalangan Kristen di Kota Yogyakarta, bahwa FKUB Kota Yogyakarta sangat membantu berbagai upaya memelihara kerukunan dan ketentraman masyarakat di Yogyakarta (Wawancara dengan Petrus Marija, Pembimas Kristen Kanwil Kemenag DIY, 12 Juni 2013). Sekilas Kabupaten Sleman Kondisi Geografis dan Demografis Kabupaten Sleman Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110° 33′ 00″ dan 110° 13′ 00″ Bujur Timur, 7° 34′ 51″ dan 7° 47′ 30″ Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Sleman sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, sebelah barat berbatasan dengan
180 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DIY dan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah dan sebelah selatan berbatasan dengan Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul. Luas Wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 Km2 atau sekitar 18% dari luas Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta 3.185,80 Km2,dengan jarak terjauh Utara – Selatan 32 Km,Timur – Barat 35 Km. Secara administratif terdiri 17 wilayah Kecamatan, 86 Desa, dan 1.212 Dusun. Jumlah penduduk Kabupaten Sleman pada tahun 2011 sebesar 1.107.304 jiwa, terdiri dari 554.636 laki‐laki dan 552.668 perempuan. Adapun komposisi penduduk menurut agama yang dipeluk pada tahun 2011 tercatat sekitar 866.703 orang beragama Islam, Katholik sebanyak 64.638 orang, Kristen sebanyak 26.957 orang, Hindu dan Budha masing‐masing tercatat sebanyak 1.580 orang dan 998 orang. Jumlah rjmah ibadah keenam agama adalah sebagai berikut: 1904 Masjid, 1087 Langgar, 501 Mushola, 69 Gereja Protestan 58 Gereja Katolik, 4 Pura, 2 Wihara (BPS Kabupaten Sleman, 2012) Kondisi Sosial Kabupaten Sleman Pendidikan adalah aspek penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Beberapa faktor utama yang mendukung penyelenggaraan pendidikan adalah ketersediaan sekolah yang memadai dengan sarana prasarananya, pengajar dan keterlibatan anak didik, maupun Komite Sekolah. Pada jenjang SD, Kabupaten Sleman pada tahun 2011/2012 memiliki sebanyak 501 unit sekolah yang terdiri dari 379 SD Negeri dan 122 SD swasta. Banyaknya guru SD mencapai 4.432 orang di SD negeri dan 1.632 orang di SD swasta. Adapun peserta didik yang sedang mengenyam pendidikan tercatat sebanyak 87.465
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
181
anak yang terbagi menjadi 65.307 anak bersekolah di SD negeri dan 22.158 anak di SD swasta. Pada jenjang SMP, jumlah sekolah tercatat sebanyak 106 sekolah, yang terdiri 54 SMP negeri dan 52 SMP swasta. Banyaknya guru yang mengajar di SMP tercatat sebanyak 2.718 orang. Sebagian besar dari mereka 1.690 orang mengajar di SMP negeri, sedangkan selebihnya di SMP swasta. Adapun murid yang bersekolah di SMP pada tahun 2011/2012 mencapai 33.098 orang yang terdiri dari 23.460 orang di SMP negeri dan SMP swasta sebanyak 9.638 orang. Untuk jenjang yang lebih tinggi yakni SMU, tersedia sebanyak 45 sekolah dengan 17 SMA negeri dan 28 SMA swasta. Banyaknya guru di SMU negeri 687 orang dan banyaknya guru di SMU swasta 596 orang, dengan murid di SMU negeri sebanyak 7.736 orang dan di SMU swasta sebanyak 3.451 orang. Untuk jenjang pendidikan menengah lainya yakni SMK, terdapat sebanyak 53 sekolah yang didominasi oleh SMK swasta yakni sebanyak 45 sekolah. Banyaknya guru swasta yang terlibat juga lebih besar, yaitu 1.323 orang dibandingkan dengan sebanyak 602 orang guru yang mengajar di SMK negeri. Murid yang memilih sekolah di SMK tercatat sebanyak 12.568 orang di SMK swasta dan 6.893 di SMK negeri. Penyelenggaraan SMK, peran swasta lebih besar dibandingkan dengan Pemerintah. Selain jenjang pendidikan dasar menengah pertama dan lanjutan, di Sleman terdapat 33 perguruan tinggi yang terdiri dari 28 perguruan tinggi swasta dan 5 perguruan tinggi negeri dengan jumlah mahasiswa sebanyak 78.354 mahasiswa dan 74.677 mahasiswi. (BPS Kabupaten Sleman, 2012)
182 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Kehidupan Sosial Keagamaan Kabupaten Sleman Dalam konteks kehidupan antar umat beragama, di Kabupaten Sleman, masyarakat menjalin hubungan yang baik antar sesama pemeluk agama. Berbagai kegiatan sering diselenggarakan dalam memelihara keakraban satu sama lain. Pada bulan Ramadhan misalnya, di Gereja Katolik Somohitan diselenggarakan kegiatan buka puasa bersama yang dihadiri oleh perwakilan berbagai umat beragama dan juga aliran kepercayaan. Kegiatan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan rasa persaudaraan sekalipun dalam perbedaan. Acara buka bersama lintas agama di paroki ini menurut warga sekitar sudah sering dilakukan bahkan diumumkan melalui corong pengeras suara masjid. Lurah Girikerto, Suharto yang bersyukur atas terbangunnya persaudaraan sekalipun berbeda kepercayaan mengharapkan agar hal ini dapat terus terjalin. Selain itu Forum Persaudaraan Umat Beragama dinilai sangat berkontribusi dalam membangun wilayah Somohitan, seperti pembagian bibit tanaman dan penghijauan serta berbagai kegiatan kemasyarakatan lainnya. Selain FPUB, di Sleman, Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Sleman juga aktif dalam melaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama. Bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Ketua I FKUB Sleman, Pendeta Agus, Sleman menjadi model FKUB di Propinsi DIY Yogyakarta (Wawancara dengan Pendeta Agus, Ketua I FKUB Kabupaten Sleman, 12 Juni 2013). Namun demikian, keharmonisan kehidupan antar umat beragama yang terjalin dengan baik di Kabupaten Sleman tetap saja mendapat ujian salah satunya dengan adanya kejadian penolakan keberadaan gereja yaitu GKI Pos
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
183
Adisucipto yang terletak Femonema konflik yang terjadi di Dusun Jagalan Kecamatan Berbah, Sleman. Profil Gereja Kristen Jawa dan Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung DI Yogyakarta Sejarah Perkembangan Gereja Kristen Jawa Gereja Kristen Jawa atau Sinode Gereja‐gereja Kristen Jawa (disingkat GKJ) didirikan pada tanggal 17 Februari 1931 adalah sebuah ikatan kebersamaan jemaat gereja Kristen Jawa yang berjumlah 307 jemaat terhimpun dalam 32 klasis dan tersebar di 6 provinsi di Jawa yaitu Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten (http://id. wikipedia.org/ wiki/ Gereja Kristen Jawa, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013). Cikal bakal pertama berdirinya Gereja Kristen Jawa bermula ketika siang dan malam, sembilan orang dari kalangan terbawah masyarakat Jawa dengan profesi buruh miskin tukang mbatik yang menjadi pembantu Ny. Van Oostrom Phillips di Banyumas, nekad jalan kaki dalam rombongan kecil menerabas desa‐desa dan pegunungan menuju ke Semarang (sejauh sekitar 300 Km) untuk sekedar mendapatkan tanda baptis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada 10 Oktober 1858 karena pemberian tanda babtis di karesidenan Banyumas oleh zendeling tersebut dilarang oleh pemerintah kolonial setempat. Mereka inilah cikal bakal pertama gereja GKJ; GKJ tumbuh pertama kali di kawasan Banyumas. Cikal bakal kedua adalah dua orang lelaki dan tiga orang perempuan pekerja miskin batur (pembantu rumah tangga) Ny. Christina Petronella Phillips Stevens di Ambal, Purworejo yang menerima tanda baptis mereka di Gereja
184 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Indische Kerk Purworejo pada 27 Desember 1860. Tumbuhnya kelompok Kristen awal ini segera disusul tumbuhnya kelompok lain hasil pekabaran injil Nederlandche Gereformeerde Zendingvereniging (NGZV) yang mulai bekerja di Jawa Tengah sejak 1865 di Tegal (Muaratuwa) dan Purbalingga (plus Bobotsari dan Bojong), yang nantinya diambil‐alih oleh Zending Gereformeerd Kerken (ZGK) sejak tahun 1896 dan dikembangkan dengan pusat‐pusat penginjilan dari kota‐kota Purworejo – Temon, Kebumen, Yogyakarta, Surakarta, Banyumas‐Purbalingga serta Magelang Temanggung, semuanya di kawasan Jawa Tengah Selatan (Jawa Tengah Utara menjadi ladang pekabaran Injil Salatiga Zending). Sejak ini munculah puluhan pepanthan di sekeliling tiap‐tiap pusat penginjilan di luar kelompok yang lama maupun kelompok ʺWong Kristen Merdhikoʺ. Namun yang jelas, hampir semua warga gereja Jawa ini berlatar belakang petani miskin dan buta aksara. Hanya berkat jasa pelayanan sekolah dan rumah sakit yang diselenggarakan zending, secara lambat namun pasti generasi kedua warga Gereja Jawa bergeser, mereka mulai melek huruf, sebagai akibat pendidikan di sekolah maupun di rumah sakit zending sebagian generasi kedua ini beralih profesi menjadi guru dan perawat serta pegawai berbagai bidang pelayanan masyarakat termasuk di pemerintahan desa. Dari generasi kedua inilah kemudian lahir generasi ketiga warga gereja Jawa pra dan pasca kemerdekaan yang educated minded, yang dizaman kolonial didorong dan difasilitasi untuk belajar tidak hanya di ʺVolkschoolʺ dan ʺVervolgschoolʺ namun juga di ʺSchakelschoolʺ, HIS, MULO, bahkan ʺKweekschoolʺ dan HIK. Selanjutnya pendewasaan pepanthan Gereja‐gereja Jawa pertama kali terjadi atas gereja Purworejo (4 Februari 1900) tak lama kemudian disusul pepanthan Temon. Namun Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
185
pendewasaan ini ternyata lebih bersifat pamer kebisaan kepada Golongane Wong Kristen “Jowo” kang Merdhiko pimpinan Kyai Sadrach untuk membuktikan bahwa zending tidak bermaksud lain kecuali mendirikan gereja Jawa dengan pendeta‐pendeta Jawa. Mungkin baru pada pendewasaan kelompok Glonggong ‐ Kebumen (3 November 1911) dan kelompok Gondokusuman (23 November 1913) pendewasaan gereja ini agak cukup pantas disebut lebih dapat dipertanggungjawabkan. Sesudah berjalan 26 tahun Gereja Gondokusuman yang pertama kali siap memanggil pendeta atas diri Ds. Ponidi Sopater pada tahun 1926 dari antara 17 gereja Jawa yang sudah didewasakan oleh zending yaitu Purworejo, Temon, Glonggong, Gondokusuman, Solo, Klaten, Tungkak, Patalan, Candisewu, Magelang, Kesingi, Palihan, Kebumen, Grujugan, Purbalingga, Grendeng dan Adireja. Gereja‐gereja ini menggeliat dibawah pimpinan Guru‐ guru Injil didikan ʺOpleiding School van de Helper bij de Dienst Woordsʺ (Sekolah bagi Pembantu‐pembantu Pada pelayanan Firman Tuhan/ Sekolah Guru Injil) Yogyakarta dibantu serta oleh guru‐guru sekolah zending dan mantri jururawat rumah sakit dan poliklinik zending. Merekalah para penumbuh dan pemimpin gereja Jawa sesungguhnya, namun di bidang dana dan ajaran ketergantungan gereja‐gereja ini pada zending ZGK masih merupakan keniscayaan. Pada tanggal 17‐18 Februari 1931 gereja‐gereja Jawa yang saat itu menamakan diri ʺPesamoewan Kristen “Gereformeerd” ing Tanah Djawi Tengah sisih Kidoelʺ, mengelompok dalam 5 klasis bersinode pertama di Kebumen, menjadi tonggak pertama persidangan sinode Gereja‐gereja Jawa Tengah Selatan untuk disusul dengan sinode‐sinode berikutnya. Walaupun peran serta para Pendeta Missioner ZGK masih cukup besar untuk menuntun para pemimpin
186 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
gereja Jawa berjalan menapaki kedewasaannya yang masih rapuh ini. Kedewasaan Geredja‐geredja Kristen Djawa Tengah Selatan menemukan kesempatan ketika gereja‐gereja Jawa harus berjuang menegakkan kehidupannya sendiri saat para Pendeta Misi ditawan oleh pemerintah pendudukan Jepang sejak 1943 dan hubungan dengan gereja Eropa terputus. Saat ini era kemandirian gereja terlihat betul‐betul mulai dijalani. Namun ternyata gereja Jawa masih harus bersabar. Walaupun Gereja‐gereja Kristen Jawa Tengah Selatan berhasil menggandeng saudara‐saudaranya seperti Gereja Kristen Jawi Wetan, Gereja Kristen Jawa Tengah Utara ‐ Parepatan Agung, Gereja Kristen Jawa – Sekitar Muria, Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee Jawa Tengah serta Gereja Kristen Pasundan Jawa Barat dalam lembaga Dewan Permoesjawaratan Geredja‐geredja Protestant di Indonesia (DPG di Indonesia) yang dibentuk tahun 1946 di Yogyakarta; dan lewat organisasi ini mereka mencanangkan euforia kemerdekaan dengan tidak mau lagi menerima bekas zending‐zendingnya, namun keinginan ini harus mengalami sedikit perubahan. Gereformeerde Kerken in Nederland (GKN) dan Nederlandsch Hervormde Kerk (NHK) yang mewakili gereja pengutus masih menghendaki paling tidak adanya kerjasama dalam pekabaran Injil di Indonesia. Basoeki Probowinoto selaku utusan Geredja‐geredja Kristen Djawa Tengah Selatan yang menjadi motor DPG ketika hadir sebagai utusan Gereja Jawa dalam Sinode GKN di Eindhoven tahun 1948 harus bersedia melangkah surut karena dia diingatkan oleh seniornya (S.U.Zuidema) bahwa jika gereja‐ gereja Gereformeerd Belanda tidak lagi diberi peran dalam pekabaran Injil sama saja dengan mematikan mereka karena dalam pengertian mereka tidak ada gereja tanpa pekabaran Injil, yang berarti mereka berhenti sebagai gereja missioner. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
187
Terpaksa Gereja Jawa harus menerima konsep bekerjasama dengan bekas zendingnya lewat Regionaal Acccord dan Algemene Accord yang ditandatangi di Belanda tahun 1948. Kerjasama ini berlangsung mulai tahun 1950‐an saat Geredja‐ geredja Kristen Djawa Tengah Selatan disatukan dengan Geredja Kristen Djawa Tengah Utara dalam Sinode Persatuan di Salatiga 5 – 6 Juli 1949, dan sejak itu bernama Geredja‐ geredja Kristen Djawa Tengah (GKDT). Akibatnya sampai tahun 1970 kedewasaan gereja Jawa kembali terbelenggu dan dikerdilkan dibawah supremasi kucuran dana dan tenaga dari partner gereja Eropa. Basoeki Probowinoto sadar akan bahaya ini dan untuk itu pada tahun 1955 dia mengusulkan terobosan baru yang terkenal sebagai Nota Probowinoto, namun kenyamanan yang terlanjur dibentuk lewat kucuran dana yang berlimpah itu sulit untuk diubah. Baru sesudah secara tiba‐tiba gereja partner ini menyatakan tidak lagi melanjutkan bekerjasama dalam Pekabaran Injil, justru inilah saat gereja Jawa (sejak tahun 1956 berubah nama menjadi Geredja‐geredja Kristen Djawa/GKD) mendapat kesempatan menjalani kedewasaannya dalam segala hal. Selanjutnya seiring waktu, sesudah memproses gereja‐ gereja Jawa yang tumbuh dan dikembangkan di antara para transmigran di Sumatra (sejak 1936) menjadi Sinode tersendiri dengan nama Gereja‐gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan – GKSBS, Gereja‐gereja Kristen Jawa yang tersebar di enam propinsi di pulau Jawa (Banten, DKI‐Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur) kini berkembang pesat, pada tahun 2011 menjadi 307 gereja jemaat, berhimpun dalam 32 Klasis, dengan jumlah warga sekitar +218.998 orang, dari segala lapisan masyarakat, baik dari kalangan lapisan rendah seperti petani kecil, buruh pabrik, pedagang candak‐ kulak, lapisan menengah seperti pegawai, pengusaha maupun
188 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
wiraswasta sampai dengan lapisan tinggi pengusaha sukses dan pejabat tinggi negara, tersebar di berbagai tempat, di kota dan di desa, dengan dilayani 307 pendeta jemaat dan 16 pendeta pelayanan khusus (Sigit Heru Sukoco, M.Th, Sejarah GKJ dalam http:// gkjwkm.org/sejarah‐gkj/, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013). Gereja Kristen Jawa menganut asas Presbiteral, yang berarti masing‐masing gereja memiliki rumah tangganya sendiri. Itulah sebabnya nama sinodenya Gereja‐gereja Kristen Jawa (bentuk jamak). Tentu kemandirian ini dihayati dalam kebersamaan. Pertama‐tama di Klasis, karena banyak hal yang harus disikapi dalam lingkup Klasis seperti halnya penahbisan dan emeritasi Pendeta serta pendewasaan gereja. Setelah itu juga kebersamaan dalam lingkup Sinode yang dari akar katanya berarti berjalan bersama. Secara sinodal, GKJ merupakan anggota Persekutuan Gereja‐gereja di Indonesia (PGI), Christian Conference of Asia (CCA), World Council of Churches (WCC) dan World Communion of Reformed Churches (GKJ Gondokusuman, 2012). Sedangkan dalam hal rumpun maupun aliran, Gereja Kristen Jawa tergolong kedalam aliran Calvinis yang masuk ke Indonesia pertama kali bersamaan dengan datangnya orang orang Belanda ke Indonesia pada permulaan abad 17. Sebagian besar pegawai VOC adalah orang orang Kristen Protestan‐Calvinis dan mereka inilah yang pertama kali mendirikan gereja beraliran Calvinis di Indonesia. Di kemudian hari, mulai abad 18 aliran gereja ini masuk lebih deras lagi ke Indonesia dengan datangnya zending‐zending Protestan dari Belanda. Hasil dari pekerjaan zending‐zending inilah kemudian berdiri sejumlah gereja besar di Indonesia (khususnya di Indonesia Bagian Timur) beraliran Calvinis,
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
189
termasuk Gereja Kristen Jawa (Favor A Bancin dan Daru Marhaendy) 2008). Profil Gereja Kristen Jawa Gondokusuman Yogyakarta Gereja Kristen Jawa Gondokusuman lebih dikenal dengan sebutan GKJ Sawokembar. Nama Sawokembar karena ditanamnya dua pohon sawo kecik di halaman depan gedung gereja, Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo 40 (Kampung Klitren Lor). Gedung Gereja ini merupakan gedung gereja kedua yang mulai ditempati beribadah pada tanggal 11 Desember 1930. Sebelumnya gedung gereja pertama berada di Jl. Gondokusuman (sekarang Jl. Jend Sudirman) dan dikenal karena gambar ayam jantan di menaranya. Gedung gereja ini mewadahi jemaat Kristen di sekitar Gondokusuman sebagai buah pelayanan Zending dari gereja Gereformeerd Amsterdam. Jemaat yang bertumbuh pesat seiring dengan berkembangnya Rumah Sakit Petronella (sekarang RS Bethesda) dan sekolah sekolah (sekarang BOPKRI dan Duta Wacana) dinyatakan menjadi gereja dewasa pada Minggu, 23 November 1913 bersamaan diteguhkannya empat orang tua dan dua orang diaken. Dalam sejarahnya, jemaat Gondokusuman menahbiskan pendeta pertamanya pada 29 Juli 1926 dalam diri Bapak Ponidi Sopater. Pada masa masa selanjutnya, terus memanggil pelayan berjabatan Pendeta sesuai kebutuhan sehingga sampai sekarang telah menahbiskan/meneguhkan 18 orang Pendeta Jemaat dan tiga orang Pendeta Pelayanan Khusus pada Rumah Sakit Bethesda (saat ini menahbiskan 1 orang Pendeta jemaat). Ketika didewasakan tercatat warga gereja sejumlah 569 orang. Kini jumlah warga jemaat sebanyak 7334 orang. GKJ Gondokusuman juga telah mendewasakan delapan pepanthannya yaitu GKJ Wirobrajan, GKJ
190 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Ambarukma, GKJ Jatimulyo, GKJ Dayu, GKJ Samironobaru, GKJ Sarimulyo, GKJ Brayat Kinasih dan GKJ Bambu Tegalrejo. Saat ini wilayah pelayanannya meliputi 18 wilayah tanpa pepanthan yang dibagi kedalam beberapa sektor sesuai jumlah Pendeta Jemaat Aktif yang melayani. Ibadah yang dahulu diawali dengan sekali setiap hari minggunya, kini dilaksanakan enam kali yaitu sekali pada hari Sabtu dan lima kali pada hari Minggu (Favor A Bancin dan Daru Marhaendy, 2008). Mengenai jumlah majelis dan jemaat GKJ Gondokusuman sendiri ada lima 5 pendeta aktif, 2 pendeta emeritus, 100 penatua dan diaken, dan 7.000 lebih jemaat dewasa dan anak‐anak. Pembagian tugas dilakukan oleh majelis jemaat ke dalam 18 wilayah dari GKJ Gondokusuman; 1 orang pendeta menangani 3 wilayah bahkan ada yang 4 wilayah dengan masing‐masing memegang 1.000 lebih anggota jemaat. Ini bukanlah angka yang ideal untuk seorang pendeta. Idealnya 1 orang pendeta menangani 500 anggota jemaat. Untuk GKJ Gondokusuman sendiri pasti menginginkan untuk angka yang ideal bagi setiap pendeta dengan menambah jumlah pendeta aktif, akan tetapi karena prosedur dalam GKJ Gondokusuman bahwa dengan merekrut pendeta maka otomatis gereja yang akan membiayai pendeta tersebut, maka gereja masih memikirkan ulang untuk penambahan pendeta baru terkait dengan kemampuan finansial gereja sendiri. Lanjut, begitu juga dengan 100 orang penatua dan diaken, ke‐100‐nya dibagi juga ke dalam 18 wilayah GKJ Gondokusuman. Jemaat GKJ Gondokusuman sendiri dikatakan bahwa setiap tahun selalu mengalami penambahan atau atestasi, walaupun di tahun yang sama ada juga jemaat yang menyatakan atestasi keluar. (Kawar
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
191
Siterbaruna, Agama, Kelas dan Kekuasaan, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013). Sejarah Perkembangan Gereja Baptis di Indonesia Di Indonesia, gereja Baptis telah masuk pada awal abad 19, yaitu pada masa kekuasaan Inggris. Tercatat nama Jabez Carey di Ambon (1814‐1818), Richard Burton dan Nathaniel Ward di Bengkulu kemudian ke tanah Batak disusul Lyman dan Munson yang meninggal disana (1813‐1857). Ward meninggalkan karyanya berupa terjemahan beberapa bagian Alkitab dalam bahasa Batak yang di kemudian hari sangat menolong dalam pekabaran Injil di Indonesia. Tokoh Baptis lain yang juga berhasil menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa daerah adalah Gottlob Bruckner di Semarang (1816). Ia menerjemahkan kitab‐kitab perjanjian baru ke dalam bahasa Jawa (selesai pada tahun 1831) dan karyanya merupakan terjemahan pertama Alkitab ke bahasa daerah di Indonesia. Masa itu terdapat 20 Penginjil Baptis yang datang ke Indonesia sebagai gelombang pertama yang hasilnya kurang nampak. Kurang lebih satu abad kemudian sesudah kemerdekaan RI, utusan Injil Baptis berdatangan lagi ke Indonesia dan mereka tidak memiliki hubungan organisatoris dengan utusan Injil gelombang pertama. Kelompok kelompok Baptis yang datang ini berasal dari Amerika, Canada, Australia dan Hongkong. Di Indonesia terdapat 6 kelompok Baptis yaitu, 1. GGBI – Gabungan Gereja Baptis Indonesia 2. GPIBI – Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia 3. KGBI – Kerapatan Gereja Baptis Indonesia 4. GBII – Gereja Baptis Independent di Indonesia 5. Persekutuan gereja Baptis Papua 6. Sinode Gereja Kristen Baptis Jakarta
192 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung Sejarah berdirinya Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari riwayat pendirinya yaitu Pendeta Noor Anggraito, sosok sederhana dan santun. Pendeta Noor Anggraito lahir di Kudus, 18 Maret 1960 dalam keluarga yang belum mengenal Kristus. Pengenalannya terhadap Kristus dimulai ketika ia menginjak bangku studi SLTA di Semarang. Setelah menamatkan SLTA, ia melanjutkan studi di Akademi Teknik Semarang. Di bangku kuliah inilah, ayah Sekar Ayuningtyas, Gandrung Wahyujati, dan Galih Ludiroaji bertobat. Semangatnya untuk lebih dalam mengenal Kristus dan memberitakan‐Nya kepada orang lain telah membuatnya meninggalkan bangku kuliah dan memulai pelayanannya di LPMI Salatiga selama 1 tahun. Keinginannya yang kuat dalam melayani akhirnya mengantarkannya ke STII Yogyakarta. Kuliahnya berhasil diselesaikan pada tahun 1985, dengan meraih gelar sarjana theologi. Gelar M.Div berhasil diraihnya pada tahun 1994. Oleh kemurahan Tuhan, suami Raih Suhapsari ini dipercaya sebagai dosen di STII Yogyakarta (1985‐2001). Di samping mengajar di STII Yogyakarta, ia juga mengajar di STII Medan, Jakarta, Surabaya, dan Denpasar dalam program M.A Misiologi, khususnya mata kuliah Ekspositori Preaching. Selain itu, ia juga mengajar di Sekolah Teologi Harvest Semarang dengan mata kuliah yang sama. Pembantu Ketua III di STII Yogyakarta yang juga Ketua Sinode GPIBI (Jasumba) tahun 1995‐1999 ini menggembalakan satu jemaat di GPIBI Amanat Agung di Kalasan (1995‐2001) dan juga pengkhotbah di beberapa gereja. Sebelumnya ‐ tahun 1984‐1995 ‐ ia menggembalakan jemaat di GPIBI Sikuwung, Magelang
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
193
Perintisan Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung yang terletak di Jl. dahlia no 16b Cupuwatu II 07/02 Purwomartani Kalasan, Kabupaten Sleman ini berawal dari keprihatinannya menyaksikan banyak mahasiswa belajar di Universitas Kristen Maranatha Yogyakarta harus pergi ke gereja yang terletak jauh di pusat Kota dikarenakan belum adanya gereja di sekitar area universitas. Berawal dari kondisi inilah, pada tahun 1996 proses perintisan kemudian dimulai oleh Pendeta Noor Anggraito bersama sahabat‐sahabatnya dengan langkah memfasilitasi mahasiswa yang jauh dari gereja untuk beribadah di area kampus dengan meminjam rumah makan yang berada di kampus Universitas Kristen Maranatha (UKRIM). Hingga saat ini berbagai kegiatan dilaksanakan oleh Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung. Disamping kegiatan ibadah minggu, kegiatan doa pagi dan malam secara rutin dilaksanakan pada hari Senin, Kamis dan Sabtu. Pada hari itu pula, dilakukan kegiatan pendalaman keagamaan melalui kelompok diskusi yang dibentuk oleh Pendeta Noor Anggraito dengan nama Kelompok Pecinta Kristus, yaitu kelompok kecil yang dibentuk untuk memberi ruang sharing, diskusi dan pendalaman ajaran (Wawancara dengan Pendeta Noor Anggraito (Ketua Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung Yogyakarta, 8 Juni 2013). Dampak Pemahaman Misi dan Implementasinya bagi Kemajemukan dan Gerakan Oikumene Misi dalam Perspektif Pimpinan GKJ dan GPIBI Berbagai perbedaan dalam memahami pengertian maupun praktek misi telah menimbulkan kebingungan karena menempatkan gereja di persimpangan jalan bahkan bisa
194 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
menempatkan gereja dalam keadaan krisis. Bercermin dari krisis ITU, maka gereja selalu dituntut untuk mengaktualisasikan diri dalam tugas dan panggilan misionernya. Berkaitan dengan hal ini, istilah “menjala manusia” misalnya, dalam pemahaman dan praktik misi sudah tidak asing lagi. Istilah ini seringkali digunakan dalam hubungannya dengan penginjilan untuk memenangkan jiwa jiwa baru sehingga anggota gereja akan mengalami pertumbuhan. Pemahaman terhadap istilah “menjala manusia” yang seperti ini akan berujung pada usaha Kristenisasi terhadap umat agama lain. Dengan pemahaman seperti ini, telah menimbulkan persoalan berkaitan dengan jati diri gereja itu sendiri maupun dalam hubungannya dengan umat agama lain (Dyah Eka Siwi, 2012). Disamping istilah “menjala manusia” juga dikenal dengan istilah Planting Church yang sering berujung pada upaya Kristenisasi sebagaimana dikaji dalam penelitian ini. Pada kenyataannya memang isu Kristenisasi tidak dapat dihindarkan sebagaimana pernyataan Pendeta Yusri, pemuka agama Gereja Kristen Jawa yang aktif sebagai Pengurus Yayasan Badan Oesaha Pendidikan Kristen Indonesia (BOPKRI) Yogya. Menurutnya, omong kosong kalau misi Kekristenan tidak dilakukan untuk mencari umat. Ini sesungguhnya adalah soal cara bagaimana misi kekristenan dilakukan dengan tidak melanggar kaidah kaidah agama lain apalagi menjelek jelekan agama lain. Misi menyebarkan Injil merupakan kegiatan menjalankan sebuah amanat bahwa kemudian seseorang menjadi Kristen atau tidak sama sekali tidak dipikirkan sebab seseorang menjadi Kristen adalah kuasa vertikal yaitu Tuhan bukan karena hal hal duniawi sebagaimana seringkali diperbincangkan bahwa ada motif duniawi dalam usaha pengkristenan seperti lewat pembagian Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
195
beras, pakaian bekas dan Indomie (Wawancara dengan Pendeta Yusri, Pengurus Yayasan Badan Oesaha Pendidikan Kristen Indonesia Yogyakarta, 12 Juni 2013). Dalam kekristenan, sering dikenal kata penginjilan namun – meminjam Joko Prasetyo – penggunaan penginjilan seringkali diasosiasikan sebagai propaganda sehingga pemaknaannya menjadi sempit yaitu pengkristenan dan hanya sebatas pengakuan verbal saja padahal penginjilan maknanya amatlah luas. Meskipun realitasnya, pemahaman penginjilan sering diartikan sebagai pengkristenan masih ada dalam pemahaman jemaat pada umumnya (Wawancara dengan Wibowo, 2012). Penjelasan senada disampaikan oleh Petrus Marija, Pembimas Kristen Kanwil Agama Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga merupakan jemaat Gereja Kristen Jawa. Menurutnya, misi adalah membawa dan memberitakan kabar baik kepada semua orang tentang karya penyelamatan Allah kepada manusia kemudian diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang baik. Misi tidak bermakna orang lain harus menjadi Kristen (Wawancara dengan Petrus Marija, Pembimas Kristen Kanwil Agama Daerah Istimewa Yogyakarta, 12 Juni 2013). Jelas bahwa misi kekristenan adalah bagaimana gereja gereja mewartakan kasih Yesus Kristus, persoalan mau menjadi kristen atau tidak itu bukan persoalan (Wawancara dengan Pendeta Agus, Pengurus Badan Kerjasama Gereja Kristen Sleman, Ketua I FKUB Sleman, 12 Juni 2013). Meskipun diakui oleh Pendeta Kristi, Pendeta di Gereja Kristen Jawa Gondokusuman Yogyakarta, kita pasti senang kalau ada orang yang menjadi Kristen. Namun tetap saja yang dilakukan oleh orang Kristen adalah mewartakan saja (bersaksi) melalui sikap, gaya hidup sehingga semua bisa
196 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
melihat karya keselamatan itu (Wawancara dengan Pendeta Kristi, Pendeta Gereja Kristen Jawa Gondokusuman Yogyakarta, 12 Juni 2013). Panggilan tugas untuk melakukan aktifitas menjadi saksi mengabarkan Injil (kabar gembira) merupakan merupakan komitmen moral bahwa ketika mendapat kabar gembira maka harus menyampaikan kembali kabar gembira tersebut kepada orang lain, bukan untuk diri sendiri. Mengabarkan Injil (kabar gembira) dalam konteks ini bermakna manusia harus melakukan tindakan secara totalitas dalam berbagai aspek perbuatan. Semua perbuatan haruslah bermuara pada Allah sehingga kesaksian yang dimaksud bukan untuk menguntungkan gereja sebab gereja hanyalah alat Tuhan. Dalam konteks perbuatan baik, Tuhan tidak berhutang budi kepada manusia, manusialah yang berhutang budi pada Tuhan. Dengan demikian, ukuran keberhasilan misi adalah ketika orang lain bergembira sama seperti kegembiraan kita. Allah telah mengasihi manusia, Yesus mengajarkan manusia untuk mengasihi diri dan sesama manusia (Wawancara dengan Pendeta Joko Prasetyo, Cendekiawan Kristen GKJ dan Dosen di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, 7 Juni 2013). Artinya tidak ada unsur pemaksaan dalam misi sebagaimana seringkali difahami bahwa ada upaya‐upaya kristenisasi dan pemaksaan kepada seseorang untuk menjadi Kristen. Padahal upaya pemaksaan dan istilah Kristenisasi sesungguhnya tidak ada dalam ajaran Kristen melainkan syiar keteladananlah yang seharusnya dipraktikan oleh umat Kristen. Dengan prinsip keteladanan ini maka misi bukan bermakna Kristenisasi sebab seseorang menjadi Kristen bukan usaha manusia melainkan kuasa Allah. Misi juga harus bermakna bahwa seorang Kristen harus menjadi saksi yang Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
197
baik, mengajarkan perilaku dan berkarya yang baik dan dalam konteks kemajemukan maka misi bermakna menyelamatkan manusia dalam kerangka berbangsa dan bernegara serta menyadari adanya pluralitas sehingga tidak hantam kromo semua orang di injili (Wawancara dengan Pendeta Noor Anggraito (Ketua Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia AmanatAgung Yogyakarta, 12 Juni 2013). Misi kekristenan seperti yang selalu dikembangkan dalam pelayanan masyarakat disini adalah menghadirkan kerajaan Allah yaitu bermakna terwujudnya damai sejahtera secara universal bukan esklusifisme pemberitaan injil untuk memasukan orang lain menjadi kristen, melainkan mengabarkan tentang damai sejahtera, kasih Tuhan. Soal percaya atau tidak itu urusan mereka. Jadi misi kekristenan bukanlah ekspansi meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa realitas itu ada. Hal ini disebabkan bahwa kita di Indonesia tidak sedang menghadapi orang kafir melainkan orang Islam, Budhha, Hindu dll. Justeru akan sangat berbahaya jika cara cara yang dilakukan menggunakan model pendekatan ekspansif (Wawancara dengan Pendeta Budi, Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen Marturia Yogyakarta, 9 Juni 2013). Jika menyimak penjelasan‐penjelasan di atas mengenai konsep dan praktik misi, nyata bahwa pemahaman model inilah yang memperlihatkan dengan jelas bahwa misi telah difahami secara holistik bukan sekadar mengajak orang untuk menjadi orang Kristen sebab misi bukanlah propaganda melainkan transformasi mengubah kualitas hidup seseorang dan momen hidup untuk terus saling menginspirasi (Wawancara dengan Pendeta Joko Prasetyo, Cendekiawan Kristen GKJ dan Dosen di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, 7 Juni 2013).
198 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Dari penjelasan‐penjelasan ini pula menarik untuk dikemukakan mengenai dasar biblikal yang melandasi pemahaman mereka dalam memaknai misi beserta praktiknya dalam kehidupan sehari. 1. Dasar biblikal misi, secara umum terdapat dalam Surat Yohanes 3 ayat 16: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini , sehingga Ia telah mengaruniakan Anak‐Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada‐ Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3 ayat 16) (Wawancara dengan Pendeta Kristi, Pendeta Gereja Kristen Jawa Gondokusuman Yogyakarta, 12 Juni 2013). 2. Mengenai konsep misi juga terdapat dalam Surat Matius Pasal 28 Ayat 19‐20 yaitu: “Sebab itu pergilah kepada segala bangsa di seluruh dunia, jadikanlah mereka pengikut‐pengikut‐Ku. Baptiskan mereka dengan menyebut nama Bapa, dan Anak, dan Roh Allah. Dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”( Wawancara dengan Pendeta Joko Prasetyo, Cendekiawan Kristen GKJ dan Dosen di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, 7 Juni 2013). 3. Dalam Ayat lain yaitu Surat Matius Ayat 14 disebutkan “Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya”( Wawancara dengan Pendeta Pramoka Firmanto, 12 Juni 2013) 4. Dalam Surat Matius 22 Ayat 37‐40 disebutkan: “Jawab Yesus kepadanya: ʺKasihilah Tuhan, Allahmu , dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
199
yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. ada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”( Wawancara dengan Petrus Marija, Pembimas Kristen Kanwil Agama Daerah Istimewa Yogyakarta, 12 Juni 2013). 5. Dalam Kisah Para Rasul Pasal 8 pun dijelaskan sebagai berikut: “Mereka yang tersebar itu menjelajah seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil. Dan Filipus pergi ke suatu kota di Samaria dan memberitakan Mesias kepada orang‐orang di situ. Ketika orang banyak itu mendengar pemberitaan Filipus dan melihat tanda‐tanda yang diadakannya, mereka semua dengan bulat hati menerima apa yang diberitakannya itu.”( Wawancara dengan Pendeta Noor Anggraito (Ketua Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung Yogyakarta, 8 Juni 2013). Dari beberapa ayat yang dijadikan dasar biblikal di kalangan GKJ Gondokusuman dan GPIBI Amanat Agung, ada hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan pergulatan teologis mengenai dua varian pemikiran keagamaan di tubuh Kekristenan khususnya mengenai Presensia dan Church Planting. Dua hal tersebut adalah menyangkut istilah pemuridan. Dalam Yohanes dan Matius Pasal 28 ayat 19‐20, khususnya terkait pengutusan yang kemudian dimaknai pemuridan, seringkali kata pemuridan ini menjadi sangat problematik dan sering disalahtafsirkan. Padahal menjadi murid bukan sekadar mengaku secara lisan namun lebih dari itu, pemuridan secara esensial merupakan upaya bagaimana seorang Kristen akan melakukan apa yang telah Yesus lakukan. Itulah inti ajaran Yesus Kristus bahwa apa yang
200 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
dilakukan harus menunjukan kerendahan hati, rekonsiliasi, pengampunan, pertobatan, ajaran kebaikan bukan penghakiman sebab dalam misi tidak boleh dilakukan dengan cara penghakiman dan penghakiman sesungguhnya adalah hak dan otoritas Allah. Dalam Yohanes dijelaskan “kalau kamu berbuat baik, saling mengasihi maka orang akan mengetahui bahwa kamu adalah muridku. Memang ada beberapa gereja yang menafsirkan pemuridan sebagai pengkristenan dan selanjutnya adalah pembangunan gereja. Injil tidak pernah mengajarkan untuk membangun gereja dalam artian fisik karena yang esensi adalah perbuatan bukan aspek lisan verbal. Jadi kekeristenan ukurannya bukan gereja dalam arti fisik untuk menyembah Tuhan sebab tidak ada gereja pun tidak masalah dan seluruh dunia sesungguhnya adalah altar jadi gereja bukanlah ukuran kekristenan. Termasuk perihal pembaptisan. Seseorang tidak perlu pembaptisan untuk mengenal Tuhan dan mendapat keselamatan. Pembaptisan bukanlah prasyarat pertobatan dan pertobatan sepenuhnya merupakan urusan Tuhan bukan otoritas gereja.( Wawancara dengan Pendeta Joko Prasetyo, Cendekiawan Kristen GKJ dan Dosen di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, 7 Juni 2013) Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh Pendeta Kristi dari GKJ Gondokusuman Yogyakarta bahwa pemuridan yang difahami di Gereja Kristen Jawa Gondokusuman, adalah menyangkut bagaimana umat Kristen harus benar benar menjadi murid yang meneladani Yesus sehingga keteladanan itulah yang sangat penting. Dengan demikian, misi memuridkan – meminjam Petrus Marija – dilakukan supaya sikap manusia yang buruk dan menyimpang dapat diluruskan. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
201
Mengenai beberapa ayat di atas, sesungguhnya pada saat yang sama, oleh sebab tafsir yang beragam, ayat ayat diatas oleh umat Kristen yang cenderung berpandangan fundamentalistik ditafsirkan sebagai pesan impertif untuk melaksanakan misi pengkristenan. Namun, di kalangan Gereja Kristen Jawa tetap konsisten pada perspektif semula bahwa keteladanan harus dikedepankan dibanding cara cara pemaksaan terhadap seseorang untuk masuk menjadi umat Kristen. Selanjutnya dalam merespon aliran fundamentalisme di tubuh Kristen yang ekspansif melakukan misi Kekristenan berorientasi pada multiplikasi jemaat dan gereja, Petrus Marija dalam kapasitasnya sebagai Pembimas Kristen di pemerintahan selalu memberikan penerangan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang telah memberikan sejumlah norma bagi pemeluk agama. Umat Kristen harus menghormati pemerintah yang sah dan pemerintah dipakai Allah untuk mengatur dunia. Pandangan ini sejalan dengan ajaran Kristen dalam Alkitab Roma 13 Ayat 7 yang berbunyi: ”Jadi bayarlah kepada pemerintah apa yang Saudara harus bayar kepadanya. Bayarlah pajak, kalau Saudara harus membayar pajak; dan bayarlah cukai kalau Saudara harus membayar cukai. Hargailah mereka yang harus dihargai dan hormatilah mereka yang harus dihormati.( Wawancara dengan Petrus Marija, Pembimas Kristen Kanwil Agama Daerah Istimewa Yogyakarta, 12 Juni 2013). Implementasi Misi Kekristenan di GKJ dan GPIBI Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, konsep misi yang difahami dan diajarkan di kalangan kedua gereja tersebut semakin menegaskan begitu luasnya makna misi yang seringkali dipersempit baik oleh umat Kristen maupun di kalangan luar Kristen sebagai upaya pengkristenan dan
202 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
pembangunan gereja secara ekspansif. Lalu bagaimana operasionalisasi konsep tersebut diwujudkan dalam kehidupan jemaat di kedua gereja tersebut dalam bingkai keindonesiaan yang plural termasuk di daerah Yogyakarta yang juga dikenal sebagai miniatur Indonesia. Kehidupan jemaat Kristen di GKJ Gondokusuman dan GPIBI Amanat Agung diwarnai dengan keberagaman latar belakangnya baik budaya, suku, agama dan status sosial ekonomi. Berdampingan dengan keberagaman tersebut, maka kehadiran gereja tentu memiliki tujuan ketika hadir di tengah tengah masyarakat bukan hadir untuk dirinya sendiri melainkan untuk pemenuhan dari tugasnya yang penting dan utama yaitu penegakan, pelayanan dan mewartakan kabar gembira melalui pelayanan dan pengabdian kepada umat manusia. Sehingga operasionalisasi konsep misi semacam ini dalam kesehariannya terus diupayakan untuk diwujudkan dalam visi teologi yang bersifat oikumenis yaitu bentuk misi mengarah pada kehidupan bersama mewujudkan kebaikan bersama tidak seperti paradigma sebelumnya yaitu mengenalkan Allah untuk diiukuti oleh umat lain. Dalam konteks Indonesia misi yang harus dilakukan di Indonesia yang plural adalah menjaga cinta kasih Allah kepada umat manusia dan alam.(Wawancara dengan Pendeta Seno Adi, GKJ Gondokusuman, Yogyakarta, 10 Juni 2013). Prinsip Oikumene sebagai hubungan antar gereja dan antar manusia tanpa sekat apapun memang sangat ditekankan di GKJ Gondokusuman dan GKJ pada umumnya.( Wawancara dengan Pendeta Kristi, Pendeta Gereja Kristen Jawa Gondokusuman Yogyakarta, 12 Juni 2013) Sama halnya dengan pandangan Pendeta Petrus Maryono, Dosen STII Yogyakarta, bahwa misi kekristenan yang dia fahami dalam Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
203
konteks Indonesia penekanannya adalah pembinaan mentalitas bangsa di kalangan masyarakat Kristen agar mereka menjadi patriotik, menghormati aspek kehidupan dan bersama sama mewujudkan masyarakat yang rukun.( Wawancara dengan Pendeta Petrus Maryono, Dosen STII Yogyakarta, 10 Juni 2013) Di GKJ, operasionalisasi konsep misi berkenaan dengan upaya penumbuhkembangkan visi oikumenis ini disebarkan melalui metode khutbah yang bermuatan pesan kebersamaan, sikap saling menghargai dan membangun kerjasama di Indonesia dan Yogyakarta sebagai ruang yang plural. Hal tersebut selain merupakan tantangan juga sebagai keharusan untuk menjadi hidup bersama, menghayati Indonesia dan Yogyakarta sebagai rumah milik bersama sekaligus merawat dan memeliharanya bersama sama pula (Wawancara dengan Pendeta Kristi, Pendeta Gereja Kristen Jawa Gondokusuman Yogyakarta, 12 Juni 2013) Secara lebih komperehensif, pandangan‐pandangan semacam ini tertuang dalam Pokok‐Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa dijadikan sebagai panduan jemaat GKJ Gondokusuman Yogyakarta. Pokok‐Pokok Ajaran GKJ tidak hanya mengajarkan hal hal yang berkaitan dengan iman terkait relasi manusia dengan Tuhan dan tentang gereja saja melainkan juga tentang sikap hidup di dunia termasuk diantaranya penghormatan terhadap agama agama lain (Lihat, Buku Pokok‐Pokok Ajaran GKJ, Salatiga: Sinode GKJ, 2005) Selain visi teologi oikumenis, GKJ Gondokusuman juga dikenal dan diperkenalkan terus suatu visi teologi sosial yang dikenal dengan sebutan Teologi Interkultural. Visi teologi ini seringkali didengungkan dan terus dikembangkan dalam kehidupan Kristen termasuk oleh cendekiawan Kristen di lingkungan Gereja Kristen Jawa yaitu Pendeta Joko Prasetyo.
204 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Teologi ini berangkat dari pemahaman bahwa misi harus dijadikan alasan utama untuk bekerjasama dengan teman teman yang mempunyai perbuatan baik yang sama dan sama sama diperjuangkan. Untuk itu dalam konteks tersebut harus dipikirkan bersama bagaimana kemungkinan adanya ruang misi bersama sama bukan rivalitas dan berorientasi pada jumlah semata. Disinilah titik temunya dan jika rivalitas yang mengedepan maka niscaya benturan akan terjadi. Teologi Interkultural mengajarkan umat Kristen untuk melakukan perjumpaan dan misi harus selalu bervisi interkultural sehingga terjadi kontak komunikasi satu sama lain. Dengan teologi ini orang Kristen punya pengalaman menghayati Tuhan tetapi juga harus menghargai pengalaman lain diluar sana dan tidak boleh menganggap pengalaman orang lain itu sepi. Prinsipnya adalah bagaimana mungkin manusia bisa mengasihi Tuhan yang tidak kelihatan sementara tidak melakukan kepada manusia yang kelihatan fisiknya. Oleh karena itu, perlu terus dilakukan perjumpaan dan interkasi dengan umat lain tidak hanya sebatas relasi. Teologi Interkultural dilandingkan agar mendarat di masyarakat umum tanpa melihat sekat dan batas apapun. Kristen tidak boleh hanya hidup pada level teori dan praktik melainkan pada tataran praksis. Dengan adanya teologi interkultural, umat Kristen bisa saling belajar. Umat Kristen tidak boleh mengukur pengalaman orang lain dengan pengalaman dirinya sebab sesungguhnya pengalaman iman tidak bisa diperbandingkan. Oleh karena itu dialog menjadi penting namun dialog dengan umat muslim tidak boleh dilakukan hanya karena merasa diri minoritas melainkan memang merupakan kebutuhan sebagai manusia melakukan perjumpaan dan kerjasama. Khutbah menjadi media dalam menyampaikan model teologi semacam Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
205
ini dan mengajak jemaat untuk senantiasa melakukan perjumpaan seperti halnya berkunjung ke pesantren dan selama ini pesantren selalu menyambut baik kunjungan kami. Dengan demikian umat Kristen bisa melihat dari dekat keterbukaan masyarakat pesantren khususnya keterbukaan para kyai sebagai kurikulum hidup yang memberikan keteladanan dalam membangun sikap keterbukaan. Dampak teologi semacam ini melahitkan optimisme yang terbuka.( Wawancara dengan Pendeta Joko Prasetyo, Cendekiawan Kristen GKJ dan Dosen di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, 7 Juni 2013.) Implementasi Pemahaman Misi dalam Kegiatan Gereja Jelaslah bahwa dalam lingkup masyarakat dan budaya Indonesia, misi gereja mengabarkan kabar gembira kepada segala mahluk serta menjalankan pelayanan dalam kasih serta berupaya menegakan keadilan sesuai dengan semangat Surat Markus 10: 45 “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa‐Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” dan Surat Yohanes 15: 16 “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama‐Ku, diberikan‐Nya kepadamu.” dalam kehidupan keaagamaannya dipraktikan gereja GKJ Gondokusuman maupun Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung. Disamping rutinitas kegiatan Ibadah Sabtu dan Minggu, di tengah pergumulan hidup bersamanya, GKJ berusaha menjawab kebutuhan zaman dengan berbagai badan pelayanan diantaranya Panti Asuhan Rekso Putro di bawah
206 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
kordinasi Badan Sosial Kristen dan Panti Wreda dibawah kordinasi Diakonia. Selain itu Yayasan Sawokembar, pelayanan melalui sekolah musik dan pelayanan advokasi masih berjalan demikian pula Diakonia sebagai tangan gereja untuk mewujudkan aksi melayani baik warga gereja maupun masyarakat sekitar. Aktifitas latihan gamelan untuk warga gereja dengan melibatkan pengajar dari muslim juga masih dilaksanakan di lingkungan GKJ selain beberapa kegiatan lain diantaranya: Kegiatan kerjasama dengan warga sekitar dalam hal penertiban parkir kendaraan jemaat pada saat ibadah, pengobatan gratis untuk warga sekitar dengan melibatkan tokoh setempat, serta aktifitas tanggap bencana yang dilakukan oleh warga gereja melalui Sawokembar Emergency, sebuah unit tanggap bencana di GKJ (Wawancara dengan Pendeta Kristi, Pendeta Gereja Kristen Jawa Gondokusuman Yogyakarta, 12 Juni 2013) Model kegiatan yang sama juga dilakukan oleh Pendeta Noor Anggraito di Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia diantaranya kegiatan pelayanan pendidikan dan kesehatan untuk anak anak tidak mampu di lingkungan sekitar gereja. Pelaksanaan kegiatan tersebut mendapat dukungan dari warga masyarakat sebab terjadi proses komunikasi yang berjalan baik antara gereja dengan warga masyarakat. Dalam hal tanggap bencana, gereja juga aktif dalam upaya penanganan dan pemberian bantuan, bahkan pada saat gempa dan gunung meletus beberapa waktu lalu, gereja dijadikan sebagai tempat berlindung sementara para pengungsi (Wawancara dengan Pendeta Noor Anggraito (Ketua Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung Yogyakarta, 8 Juni 2013). Dengan mengacu pada pandangan pandangan yang berkembang di kalangan pemuka agama kedua gereja dan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
207
berdasarkan observasi selama penelitian berlangsung, terlihat bahwa model atau metode misi dalam kegiatan pelayanan gereja untuk warga masyarakat lebih berorientasi pada model misi presensia dan masyarakat sejauh ini memberikan respon yang positif terhadap aksi aksi pelayanan yang dilakukan oleh GKJ Gondokusuman dan GPIBI Amanat Agung. Dampak Pemahaman Misi GKJ dan GPIBI terhadap Oikumene Sebagaimana dikemukakan oleh Pendeta Joko Prasetyo, pandangan misi Kekristenan yang diajarkan dan dikembangkan di GKJ pada umumnya memang bukan tanpa resistensi sebab pandangan misi yang lebih bercorak presensia terkadang saling berhadapan dan belum tentu pandangan model seperti ini sependapat dengan pandangan yang dianut oleh umat Kristen yang lebih bercorak church planting dalam menafsirkan misi Kekristenan. Akan tetapi meskipun demikian, ajaran Kristen telah memberikan panduan soal beda pendapat dan pandangan “kamu boleh berbeda pendapat tapi tidak boleh saling menghancurkan. Kita semua sama satu tubuh kristus satu kesatuan menuju pada kebaikan TUHAN. Bahkan terkadang resistensi semacam ini lebih disebabkan soal relasi kuasa. Pandangan yag mengatasnamakan umat jemaat belum tentu representasi pandangan umat jemaat pada umumnya sebab bisa jadi itu hanyalah merupakan pandangannya pribadi. Karena beragamnya aliran di tubuh kristen maka pernah diselenggarakan kegiatan seminar celebration of unity. Kata unity dimunculkan sebab menganggap bahwa tidak ada kesatuan dalam realitas kekristenan yang beragam. Penjelasan ini diperkuat oleh penjelasan Pendeta Seno Adi, Pendeta di GKJ Gondokusuman, bahwa resistensi terhadap cara pandang dan model misi yang
208 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
dikembangkan oleh GKJ memang mendapat resistensi dari kalangan umat Kristen sendiri meskipun resistensi lebih bersifat perorangan bukan atas nama institusi sebuah gereja atau lembaga keagamaan lain di tubuh Kristen. Dampak Implementasi Pemahaman Misi terhadap Masyarakat Ditengah maraknya peristiwa kekerasan yang seringkali mengatasnamakan agama dan menguatnya kekhawatiran bahkan tuduhan adanya program Kristenisasi yang dilakukan umat Kristen melalui berbagai cara termasuk cara cara pelayanan sosial di masyarakat, hingga saat ini, hubungan warga jemaat GKJ Gondokusuman dan GPIBI Amanat Agung secara umum tetap berlangsung rukun dan harmonis. Salah satu faktor pendukung keharmonisan tersebut adalah terbangun dan terpeliharanya komunikasi dan kerjasama yang baik antar warga gereja dengan warga masyarakat di sekitar gereja. Bahkan lebih luas lagi hubungan baik pun dijalin secara terus menerus dengan berbagai elemen masyarakat di luar lingkungan gereja. Hal ini diamini oleh kalangan luar gereja yaitu Suparto, Ketua FKUB Kota Yogyakarta; Pendeta Agus, Ketua I FKUB Sleman; dan Ahmad Fauzi, Pegawai Kanwil Kementerian Agama RI Propinsi DIY Bidang Kerukunan Umat Beragama bahwa tidak ada gesekan dan konflik yang disebabkan oleh adanya aktifitas gereja di masyarakat. Hubungan sosial komunikatif, pola hidup bermasyarakat dan berbagai aspek sosial lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Muhammad Wildan, justeru memiliki signifikansi yang cukup besar dalam terjaganya jalinan sosial antar warga jemaat Kristen dengan Muslim dan hal tersebut penting dilakukan terus menerus oleh warga jemaat Kristen
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
209
agar kecurigaan kecurigaan adanya upaya Kristenisasi dapat tereduksi. Penutup Kesimpulan Penelitian ini telah memperlihatkan beberapa hal yang saling terkait satu sama lain yaitu: Pertama, dalam hal lanskap teologi, misi kekristenan yang difahami dan dipraktikan di Gereja Kristen Jawa Gondokusuman Yogyakarta dan Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung Yogyakarta bercorak presensia. Kedua, berkembangnya visi oikumenes yang bersifat interkultural di kalangan Gereja Kristen Jawa Gondokusuman dan Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung secara umum merujuk pada sumber utama mereka yaitu Alkitab. Alkitab diposisikan sebagai teks yang hidup sehingga Alkitab terus dikaji dan dicoba dikontekstualisasikan dengan fenomena yang terjadi di sekitar lingkungan di sekitar gereja maupun masyarakat pada umumnya. Ketiga, Gereja Kristen Jawa Gondokusuman, sebagai organisme, telah mampu menerjemahkan dengan baik visinya sebagai gereja yang berupaya tumbuh dalam Kristus untuk mewartakan dan mewujudkan damai sejahtera bagi warga gereja dan masyarakat melalui semua aspek kehidupan. Melalui misi oikumenis, GKJ terlihat komitmennya untuk senantiasa membangun kebersamaan dan menumbuh‐ kembangkan solidaritas dalam masyarakat majemuk dengan diwarnai semangat kasih, kebersamaan, keadilan dan integritas, seperti juga Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia Amanat Agung. Tentu penerjemahan dan
210 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
pembumian visi tersebut bukan tanpa halangan dan tantangan ditengah menguatnya kecenderungan fundamentalisme agama baik di internal Kristen sendiri maupun di luar Kekristenan serta ditengah hidup dan berkembangnya praduga praduga ihwal praktik Kristenisasi berlabel aksi sosial dan sebagainya. Keempat, integrasi antar umat beragama di kalangan kedua gereja tersebut khususnya menyangkut hubungan sosial kemasyarakatan mereka dengan warga masyarakat diluar warga jemaat gereja telah menjadi modal besar yang berkontribusi terhadap keberlangsungan hubungan harmonis antar warga gereja dengan masyarakat. Kelima, masih berfungsinya institusi‐institusi lokal di Yogyakarta menjadi modal kultural yang mempertemukan berbagai aktifitas sosial dari berbagai pemeluk agama seperti gotong royong, kegiatan ronda dan kegiatan lain yang menjadi warna khas masyarakat Yogyakarta. Berbagai aktivitas sosial ini merupakan faktor yang sangat penting dalam mewujudkan integrasi sosial antar pemeluk agama dan mengurangi potensi konflik yang ada sehingga tidak berkembang menjadi konflik terbuka. Disamping itu, tentunya, akar budaya Jawa dalam pergaulan bertetangga dan bermasyarakat seperti rukun dan rembugan (musyawarah) merupakan faktor pendukung terciptanya integrasi sosial antar pemeluk agama dan sekaligus mempunyai kemampuan menghambat dan meredam potensi konflik yang ada. Rekomendasi Bercermin dari hasil penelitian ini, dirumuskan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
211
Pertama, melihat besarnya dampak positif praktik misi kekristenan yang bercorak presencia dalam mewujudkan keharmonisan hubungan antar agama, maka seyogyanya pemerintah bersama pemuka agama Kristen merumuskan lebih komprehensif mengenai model gerakan bersama dalam rangka mengembangkan visi teologi tersebut di kalangan Kristen. Kedua, kalangan gereja harus merumuskan lebih komprehensif program‐program gereja yang bersifat oikumenes dan interkultural yang akan dirasakan manfaatnya bagi masyarakat luas tanpa harus mempertengtangkan antara model presencia dan church planting. Ketiga, dalam membangun kerukunan hidup antar umat beragama khususnya penganut Islam dan Kristen, harus memperhatikan dua hal yaitu bagaimana menciptakan terjadinya hubungan langsung antar individu‐individu dan antar kelompok dari kelompok yang berbeda. Keempat, untuk membangun komunikasi dan kebersamaan diantara kedua pemeluk agama, perlu terus diinisiasi berbagai kegiatan yang mempertemukan kalangan muslim dan Kristen terutama di kalangan pemuka agama dan tokoh muda di kedua agama. Kelima, perlu adanya sosialisasi peraturan pemerintah terkait dengan pendirian tempat ibadah sehubungan dengan masih terjadinya peristiwa penolakan pembangunan tempat ibadah kristen di Yogyakarta.
212 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
DAFTAR PUSTAKA Buku Artanto, Widi. 1997. Menjadi Gereja Misioner. Yogyakarta: Kanisius Favor A Bancin dan Daru Marhaendy. 2008. Memahami Tradisi dan Sistem Pemerintahan Gereja‐gereja di Indonesia. Jakarta: World Vision Indonesia Kabupaten Sleman dalam Angka Tahun 2012. 2012. Sleman: BPS Kabupaten Sleman Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2012. 2012. Yogyakarta: BPS Kota Yogyakarta Magnis Suseno, Franz. 1998. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Siwi, Dyah Eka. 2012. Makna “Menjala Manusia” Bagi Misi Gereja dalam Injil Lukas 5: 1‐11. Thesis. Yogyakarta: UKDW Sopater, Solarso. 1993. Memacu Lajunya Gerakan Keesaan Gereja di Indonesia Suatu Upaya Berteologi Secara Kontekstual” dalam, Gerakan Oikumene Tegar Mekar di Bumi Pancasila. Jakarta : BPK Gunung Mulia Wibowo. 2012. Pekabaran Injil Di Banyumas Dan Bagelen 1830‐ 1877 (tinjauan Teologis Atas Sejarah Misi Jemaat Awal Gereja‐gereja Kristen Jawa). Yogyakarta: Duta Wacana Christian University Dokumen Dokumen Panduan Penahbisan Vikaris Yudo Aster Daniel, S.Si dan Emeritasi Pendeta David Rubingan, M.Th. 2012. Yogyakarta: GKJ Gondokusuman Dokumen Pokok‐Pokok Ajaran GKJ. 2005. Sleman: Sinode GKJ. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
213
Lampiran I Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun 2010 – 2014 RPJMN 2010‐2014, Peraturan Presiden No. 5 th 2010 bab II tentang Pembangunan Sosial dan Kehidupan Beragama. Website Henry Kuncoroyekti, SH, Membangun Kota Yogyakarta Sebagai Kota Multikultural, dalam http://dprd‐ jogjakota.go.id/index.php/berita‐dan‐ artikel/artikel/membangun‐yogyakarta‐sebagai‐kota‐ multikultural, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 Heru Sukoco, M.Th, Sejarah GKJ dalam http://gkjwkm.org/sejarah‐gkj/, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 http://keuskupanbandung.org/main/Post/2826, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 http://www.minihub.org/siarlist/msg04376.html, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013. http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa‐tengah‐diy‐ nasional/13/04/11/ml3ndq‐cegah‐anarkisme‐pemkot‐ yogya‐kumpulkan‐ormas‐dan‐lsm, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/91/news/1 00825102118/limit/0/Masih‐Ada‐Buka‐Bersama‐Antar‐ Umat‐di‐Gereja, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 http://gkjwkm.org/tata‐gereja/ , Diakses pada tanggal 18 Juni 2013
214 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
http://katalis.glorianet.org/penulisdanbuku.php?idpenulis=73 &kodepenulis=P000072, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 Kawar Siterbaruna, Agama, Kelas dan Kekuasaan dalam http://kawarsiterbaruna.blogspot.com/2011/04/agamakel as‐dan‐kekuasaan.html, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 M Nurul Ikhsan, Pertaruhan Multikultural Jogja dalam http://mnurulikhsansaleh.blogspot.com/2009/04/pertaru han‐multikultural‐jogja.html, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
215
216 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
KASUS GERAJA KALIMANTAN EVANGELIS RESORT PALANGKA RAYA, KALIMANTAN TENGAH, Oleh: Nuhrison M. Nuh
Gambaran Umum Wilayah Palangka Raya Data Geografis alangka Raya merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Tengah yang terletak di tengah wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Secara historis, Palangka Raya dibentuk berdasarkan Undang‐undang Darurat No.10 Tahun 1957 Jo Undang‐undang No.21 Tahun 1958, yang menyatakan berdirinya Provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukota Palangka Raya, diresmikan oleh Presiden RI Ir. Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957, ditandai dengan pemancangan tiang pertama pembangunan Kota Palangka Raya (Pemerintah Kota Palangkaraya, 2003,). Kota Palangka Raya mempunyai luas wilayah 2.678,51 Km2 (267.851 Ha) dibagi 5 (lima) kecamatan, yaitu kecamatan Pahandut dengan luas 117,25 Km2, Sabangau dengan luas 583,50 Km2, Jekan Raya dengan luas 352,62 Km2, Bukit Batu dengan luas 572 Km2, dan Rakupit dengan luas 1.053,14 Km2. (Kota Palangka Raya Dalam Angka,2012. Lokasi Kota Palangka Raya sangat strategis karena berada di bantaran Sungai Kahayan, daerah titik temu dari berbagai jalur yang memasuki Palangka Raya baik dari arah Utara, Timur, Selatan dan Barat, juga dilintasi jalan raya utama lintas Kalimantan. Ada beberapa jalur untuk bisa memasuki wilayah Palangka Raya, di antaranya melalui pintu masuk yang ada di bagian Selatan dari jalan lintas Kalimantan, dari arah Timur dari jalan lintas Kabupaten, sedangkan dari arah Barat melalui jalan Tjilik Riwut. Tersedianya berbagai jalur penghubung sebagaimana
P
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
217
disebutkan di atas mengakibatkan wilayah Palangka Raya menjadi ramai dilalui oleh berbagai jenis kendaraan umum sekaligus sebagai jalur perhubungan sungai. Wilayah Palangka Raya tergolong daerah dataran dan memiliki ketinggian sekitar 20‐25 meter dari permukaan laut, dengan hamparan daratan yang kondisi permukaan tanah agak berbeda. Peta wilayah Palangka Raya memperlihatkan gambaran wilayah yang membentang agak memanjang dari arah utara ke bagian selatan. Bagian utara merupakan daerah berbukit dengan titik tertinggi di kawasan bukit Tangkiling mempunyai ketinggian mencapai 40‐60 meter di atas permukaan laut, daerah ini termasuk dalam wilayah kecamatan Bukit Batu. Sementara di bagian Selatan merupakan daerah dataran rendah dan berawa dengan ketinggian kurang dari 16‐19 meter dari permukaan laut, daerah ini termasuk dalam wilayah kecamatan Sabangau. Wilayah Palangka Raya termasuk beriklim tropis dengan tipe iklim B1, yaitu terdiri dari bulan basah dan bulan kering: enam bulan kering dan enam bulan basah, dengan curah hujan rata‐rata 266 mm pertahun, mendapat penyinaran matahari di atas 50%, serta memiliki suhu rata‐rata 22‐34 derajad Celcius dan kelembaban udara relatif tinggi dengan rata‐rata di atas 80%.( Pemda Palangka Raya, 2007) Daerah Palangka Raya dialiri oleh tiga buah sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil yang mengalir dari arah utara ke selatan yang sekaligus juga merupakan sarana perhubungan yang utama bagi penduduk. Sungai‐sungai tersebut antara lain adalah Sungai Kahayan, Sungai Rungan dan Sungai Sabangau. Keadaan tanah di kawasan pusat kota Palangka Raya adalah berpasir dan bergambut serta memiliki keasaman tanah yang cukup tinggi maka kegiatan bercocok tanam dan pertanian kurang cocok dengan kondisi tanah yang
218 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
demikian kecuali jenis tanaman nenas, jambu mente dan sawit sangat cocok. Sebagian tanah‐tanah yang lainnya ditumbuhi semak belukar dan berbagai kayu hutan kemudian banyak sekali tanah terlantar apabila dimusim kemarau sering terjadi kebakaran hutan. Akan tetapi sejak dasawarsa belakangan ini areal‐areal tanah tersebut di atas telah mengalami perubahan fungsi yang demikian cepat, dimana areal‐areal tanah yang kuarang produktif itu telah dimanfaatkan oleh para pengembang (developer) untuk membangun perumahan modern, rumah barak, ruko dan bangunan lainnya. Pada wilayah‐wilayah inilah sekarang dapat disaksikan bertebaran bangunan‐bangunan baru, terutama yang dibangun oleh para pengembang sebagai kawasan perumahan moderen. Kenyataannya ketika memasuki wilayah Palangkaraya akan nampak berjejer kawasan rumah toko dan rumah‐rumah modern, sulit mengenal bentuk perkampungan tradisional karena rata‐rata berwajah modern. Jadi dalam konteks ini penduduk asli Palangkaraya menghadapi lingkungan masyarakat dengan berbagai latar belakang perbedaannya yang sangat sarat diwarnai perkembangan multikultur. Data Demografis Penduduk yang ada di Palangka Raya terdiri dari penduduk asli dan penduduk pendatang. Penduduk asli di daerah ini adalah suku Dayak Ngaju, kemudian juga dihuni oleh suku Dayak lainnya, seperti Dayak Maanyan, Dayak Lawangan, Dayak Siang Murung, Dayak Dusun, Dayak Bawo, Dayak Taboyan, Dayak Bakumpai, Dayak Sampit, Dayak Katingan, Dayak Kotawaringin, Dayak Ot Danum, Dayak Lamandau, Dayak Bulik, Dayak Menthobi dan Dayak Seruyan, yang sebenarnya masih termasuk dalam rumpun suku Dayak Ngaju (James Danandjaja,1975). Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
219
Selain penduduk asli suku Dayak juga terdapat penduduk pendatang, mereka ini terutama sekali adalah orang Melayu Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan jumlah mereka cukup banyak dan kebanyakan mereka menjadi pedagang. Selain itu masih ada golongan pendatang lainnya seperti orang Jawa, Madura, Bali, dan lain‐lain. Dapat dipastikan hampir semua suku bangsa di Tanah Air turut mewarnai hetrogenitas penduduk Palangka Raya. Diperkirakan saat ini antara penduduk asli dengan penduduk pendatang sudah mulai berimbang. Jumlah penduduk Palangka Raya tahun 2011 ada 260.136 jiwa, 51,14% laki‐laki dan 48.86% perempuan dengan perincian terdiri 132.277 jiwa penduduk yang berjenis klamin laki‐laki, dan 127.859 jiwa penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan luas wilayah dibanding dengan jumlah penduduk yang ada, kepadatan penduduk Palangka Raya tergolong jarang, dimana terdapat sekitar 84 orang per km perseginya dengan penyebaran penduduk yang tidak merata (Kota Palangka Raya Dalam Angka, 2012). Sebagian besar penduduk terkosentrasi pada dua wilayah kecamatan yaitu kecamatan Pahandut dan kecamatan Jekan Raya. Hal ini dapat dipahami karena posisi kedua kecamatan tersebut termasuk pusat perkotaan erat kaitannya dengan pembangunan Palangka Raya sebagai pusat pemerintahan dan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. (Amu Lanu A Lingu, 2001). Kehidupan Keagamaan Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan bahwa agama yang dianut penduduk Palangkaraya sangat kental bercirikan pluralisme agama, bahwa semua agama yang ada seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
220 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Khonghucu juga dianut oleh masyarakatnya. Secara historis pula bahwa desa Pahandut, Palangka Raya merupakan salah satu titik awal dari penyebaran agama Kristen di Kalimantan Tengah. Bersamaan dengan dibangunnya berbagai komplek perumahan di berbagai wilayah Palangka Raya, maka diikuti pula masuknya pendatang yang berasal dari berbagai daerah, yang sekaligus membawa ciri khas budayanya. Kenyataan itu menyebabkan karakteristik penduduk Palangka Raya menjadi semakin heterogen serta mempengaruhi perkembangan multikultur penduduk Palangkaraya. Berdasarkan data yang dihmpun Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Palangka Raya/SIAK Database pada tahun 2011, jumlah penduduk Palangka Raya adalah 260.136 jiwa, sekitar 174.638 orang beragama Islam, 73.968 orang beragama Kristen, 4.609 orang beragama Katolik, 4.104 orang beragama Hindu, 447 orang beragama Budha, 20 orang Konghucu, dan 2.350 menganut Aliran Kepercayaan (Kota Palangka Raya dalam Angka, 2012). Dari data di atas dapat diketahui bahwa penganut agama Islam dan Kristen merupakan bagian terbesar dari penduduk di Palangka Raya. Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan bahwa hampir sebagaian besar dari penduduk Palangka Raya beragama Islam, yang merupakan sebagai penduduk pendatang seperti Melayu Banjar dan Jawa. Sementara pemeluk Kristen dan Katolik sebagaian besar merupakan ketururnan dari warga setempat, pada umumnya mereka bermukim dilingkungan kelompok‐kelompok organisasi komunal setempat dan hidup bersama dengan warga yang beragama kaharingan lainnya. Warga Kristen Dayak tersebut secara kultural pada umumnya masih memperlihatkan hubungan keterikatan sosial yang erat Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
221
dengan pranata‐pranata lokal setempat. Sedangkan mereka yang berasal dari kelompok pendatang tidak ada keterikatan langsung dengan pranata adat lokal, umumnya melaksanakan praktik keagamaan melalui cara yang lebih bersifat universal. Mereka menempati perumahan baru atau rumah kontrakan milik warga masyarakat Palangka Raya. Jumlah rumah ibadah di Kota Palangka Raya masjid sebanyak 146 buah dan musholla sebanyak 276 buah, jumlah Gereja Protestan sebanyak 109 buah, jumlah Gereja Katolik sebanyak 7 buah, jumlah Pura terdapat 3 buah, Vihara terdapat 3 buah, dan terdapat 5 buah Balai (Kantor Kementerian Agama Kota Palangka Raya tahun 2012, Dan Kota Palangka Raya Dalam Angka, 2012. Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Palangka Raya Sekilas Sejarah GKE Palangka Raya Pelaksanaan penginjilanpertama kali di Palangka Raya terjadi di desa Pahandut pada tahun 1889 oleh seorang pendeta Zending Missionaris Alt. Ia memulai tugasnya memberitakan Injil sebagai Berita Keselamatan untuk masyarakat Dayak di wilayah jalur Sei Kahayan Tengah dengan mengambil lokasi di Tumbang Ruang. Namun karena menurut Pendeta Alt prospek Tumbang Ruang kurang cocok/baik untuk perkembangan masa depan Jemaat sehingga memindahkan tempat (stasi) pelayanan ke desa Pahandut. Sebagai persiapan kepindahan, maka pada tahun 1890‐ 1891 dibangun rumah pendeta (pastori) di Pahandut (saat ini terletak di jalan Kalimantan). Kemudian disusul dengan pendirian sebuah sekolah Zending (Volkschool Zending 3 tahun) pada tahun 1892‐1993. Maka pada tahun 1896 (5 tahun kemudian) pusat pelayanan jemaat di pindahkan ke desa
222 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Pahandut. Selanjutnya untuk melaksanakan kebaktian‐ kebaktian dimana keadaan jemaat Kristen pada waktu itu masih kecil, cukup menggunakan gedung sekolah Zending (Volkschool Zending). Setahun kemudian masyarakat Pahandut yang telah beragama Kristen Protestan bergotong royong mendirikan sebuah bangunan gereja dengan nama Gereja Emanuel pada tahun 1897‐1898 yang lokasinya berdekatan dengan Pastori/Rumah Pendeta semula, yaitu yang terletak di jalan Kalimantan sekarang ini (T.T. Suling dkk, 2008). Setelah itu, ada missioner yang melanjutkan Missionaris G.A Alt (1890‐1912) di desa Pahandut dan sekitarnya, karena desa Pahandut sebagai pusat pelayanan /pangkala/stasi bagi Sie Kahayan Tengah. Mereka antara lain: Missionar G. Schwart (1924‐1926) dan J. Klaiber (1926‐1931). Namun sejak tahun 1931 kosong dan ditinggalkan, dan hanya dilayani dari Kuala Kurun. Baru tahun 1934 ada tenaga missionaris ke sini, yaitu Missionaris J. Jeschawitz (1934‐1938). Jemaat lainnya bertumbuh, seperti di Tumbang Bunut, Tumbang Malahoi, dan di Rawi dengan jumlah umat Kristen semuanya 923 orang. Jadi jelas bahwa desa Pahandut pada waktu Missionar H. Jeschawitz bertugas disana cukup berhasil sebagai pangkalan Sei Kahayan Tengah untuk desa Pahandut dan desa sekitarnya. Hal ini terjadi karena desa Pahandut sudah ada sekolah Zending Volkschool sejak tahun 1892 sehingga anak‐anak di desa sekitar desa Pahandut disekolahkan di sini. Hal ini juga membuat Pengkabaran Injil/ Berita Keselamatan/agama baru dapat diterima oleh orang‐orang Dayak pada waktu itu. Dari anak‐anak mereka yang sudah bisa membaca, menulis dan berhitung, serta memiliki keterampilan tertentu, bercocok tanam dan juga kesehatan/pengobatan secara medis, terbukalah mata mereka Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
223
akan budaya dan agama baru ini dan mau dibaptiskan menjadi orang kristen (T.T. Suling dkk, 2008). Pada waktu Sinode Umu ke 2 tanggal 2‐6 April 1935 di Gereja Barimba Kuala Kapuas, dihadiri oleh seluruh jemaat di Kalimantan yaitu 30 orang dari suku Dayak dan 8 orang dari Zending Basel, maka pada tanggal 4 April 1935 pukul 12.00 siang telah menerima peraturan gereja dan semua mengaku dengan berdiri mengikrarkan kalimat sebagai berikut: “Guru kami hanya satu saja yaitu Kristus dan kita sekalian bersaudara”. Dan sejak saat itu berdirilah Gereja Dayak Evangelis (GDE) dan pada tanggal 24 April 1935 diakui badan hukum dengan Keputusan No 33 Stbl. No. 217 berkedudukan di Banjarmasin (Werhan Asmin, 2005). Adapun susunan Majelis Sinode (Synodale Commissie) pertama sebagai berikut: 1. Ketua : Pdt. K. Epple (Zending BM) 2. Wakil Ketua : August Narang 3. Anggota : ‐ Pdt.C. Weiler (Zending) ‐ M. Lampe ‐ E.Tahanan ‐ A Kiting dan ‐ A. Blantan. 4. Anggota Kehormatan : F. Dingang Pada tanggal 5 April 1935, bersama dengan perayaan genap 100 tahun/seabad PI di Kalimantan, maka ke‐5 lulusan sekolah teologia di Banjarmasin telah ditahbiskan 5 (lima) “Pendeta Dayak” pertama yang dilakukan Zending Basel oleh Inspektur Sir H. Witschi sebagai berikut: 1. Pdt. RUDOLF KITING, ditempatkan di Rungan dengan kedudukan di Tumbang Bunut. 2. Pdt. EDUARD DOHONG, ditempatkan di Miri dengan kedudukan di Tumbang Sian.
224 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
3. Pdt. GERSON AKAR, ditempatkan di Hulu Kapuas dengan kedudukan di Sungai Hanyu. 4. Pdt. HERNALD DINGANG PATIANOM, ditempatkan di Sungai Tiwei dengan kedudukan di Benangin. 5. Pdt. MARDONIUS BLANTAN, ditempatkan di Dusun Timur dengan kedudukan di Tewah Pupuh. Dengan ditempatkannya Pendeta Rudolf Kiting di Rungan bertempat di Tumbang Bunut, berarti salah satu daerah PI dari pusat pelayanan pangkalan/stasi, sudah diserahkan kepada pendeta pribumi lulusan pertama, sedangkan daerah PI lainnya sekitar desa Pahandut masih berada dipusat pelayanan Pahandut yang dipimpin oleh Missionar H. Jeschawitz yang sejak tahun 1935 telah ditinggalkannya, sedangkan pelayanan di desa Pahandut dibantu oleh Pendeta Rudolf Kiting dari Tumbang Bunut (T.T. Suling dkk, 2008). Pada tanggal 23 Juni 1957, propinsi Kalimantan Tengah berdiri dan diresmikan. Dengan itu, desa Pahandut yang semula sebagai ibu kota kecamatan, menjadi Ibokota Propinsi Kalimantan Tengah. Jemaat GKE Pahandut pada waktu itu sudah menjadi Resort GKE Pahandut. Pada waktu itu peraturan GKE menyatakan bahwa jemaat dimana kedudukan resort dirangkap oleh ketua jemaatnya. Maka Pendeta TWI Antang, diangkat menjadi Ketua Resort/Jemaat Pahandut sampai dengan 1960 ((T.T. Suling dkk, 2008). Kemudian pada Sidang Sinode GKE di Palangka Raya tanggal 5 Maret 2005, melakukan pemekaran dan mengesahkan Rresort GKE Palangka Raya menjadi 4 (empat) resort, yaitu; Resort Palangka Raya, Palangka Raya Hulu, Palangka Raya Tengah, dan Palangka Raya Hilir ((T.T. Suling dkk, 2008).
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
225
Data mengenai keempat resort tersebut sebagai berikut: 1. GKE Resort Palangka Raya: Ketua Resort : Pdt. Satria, S.Th, MAP Alamat : Jln. Diponegoro No. 3 Palangka Raya 73112 Kalteng Telp/Fax : 0536‐3221328 Jumlah Gereja : 16 buah Jumlah Jemaat : 16 jemaat Jumlah anggota : 8.619 terdiri dari 2.078 KK dan 4.531 Sidi Jumlah Pendeta : 24 orang Jumlah Vikar : 1 orang Jumlah Karyawan: 5 orang Jumlah Penatua : 346 orang Jumlah Diakon : 242 orang 2. Resort Palangka Raya Hulu Ketua Resort : Pdt. Melkira, S.Th Alamat : Jln. Garuda IV No. 62 Palangka Raya 73112 Kalteng Telp/Fax : 0536‐3242739 Jumlah Gereja : 13 buah Jumlah Jemaat : 13 jemaat dan 1 calon jemaat Jumlah anggota : 14.025 terdiri dari 3.692 KK dan 8.630 Sidi Jumlah Pendeta : 24 orang Jumlah Vikar : 1 orang Jumlah Karywn : 3 orang Jumlah Penatua : 425 orang Jumlah Diakon : 351 orang 3. Resort Palangka Raya Tengah Ketua Resort : Pdt. Arlid Idjar, S.Th
226 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Alamat : Jln. Tjilik Riwut Km 1,5 No. 28 Palangka Raya 73112 Telp/Fax : 0536‐3308993 Jumlah Gereja : 16 buah Jumlah Jemaat : 16 jemaat dan 2 calon jemaat Jumlah anggota : 9.656 jiwa terdiri dari 2.051 KK dan 5.921 Sidi Jumlah Pendeta : 16 orang Jumlah Vikar : 1 orang Jumlah Karywn : 1 orang Jumlah Penatua : 398 orang Jumlah Diakon : 343 orang 4. Resort Palangka Raya Hilir Ketua Resort : Pdt. Sardias Ayak, S.Th Alamat : Jln. Bangka No. 8 Palangka Raya 73112 Kalteng Telp/Fax : 0536‐3225616 Jumlah Gereja : 13 buah Jumlah Jemaat : 13 jemaat dan 3 calon jemaat Jumlah anggota : 9.398 jiwa terdiri dari 2.215 KK dan 5.681 Sidi Jumlah Pendeta : 19 orang Jumlah Vikar : 3 orang Jumlah Karywn : 2 orang Jumlah Penatua : 308 orang Jumlah Diakon : 249 orang (BPH MS GKE, 2013). Lembaga atau Yayasan GKE Palangka Raya Yayasan pendidikan Kristen dibawah naungan Gereja (GKE) yang berada di Palangka Raya, antara lain : SMA Kristen Palangka Raya yang beralamatkan di Jl. Diponegoro No. 01 Palangka Raya adalah milik Sinode GKE, bukan milik Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
227
Resort, hanya tempatnya saja yang ada di Resort Palangka Raya. Selain lembaga pendidikan, di Resort GKE Palangka Raya juga terdapat Klinik “Eka Karigas” yang berlokasi di Jl. Diponegoro No. 3 Palangka Raya. Klinik yang beroperasi mulai tahun 2012 ini juga milik GKE, namun yang mengelola adalah Majelis Sinode Wilayah GKE Kalimantan Tengah. Di Resort Palangka Raya, GKE juga memiliki gedung pertemuan yang sering disewakan untuk umum dan juga terdapat asrama putri yang dikelola oleh resort. Gedung pertemuan tersebut dibangun oleh pemerintah, karena untuk keperluan acara sidang Sinode GKE di Palangka Raya 20 tahun yang lalu. Sedangkan asrama putri ini biasanya ditempati oleh mahasiswi/siswi yang berasal dari wilayah Kalimantan Tengah (Wawancara dengan Pdt. Satria pada tanggal 8 Juni 2013). Selain itu, GKE Palangka Raya membidani berdirinya Sekolah Tinggi Kristen di Palangka Raya. Tepatnya pada tahun 1985 mendirikan Akademi Teologi jurusan Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Palangka Raya sebagai bagian dari Akademi Teologi Banjarmasin. Pada tahun 1986, GKE meningkatkan Akademi Teologi, Pendidikan Agama Kristen menjadi Institut Agama Kristen “Eka Sinta” GKE Palangka Raya dan berdiri sendiri terlepas dari Akademi Teologi GKE Banjarmasin dan mendapat status terdaftar pada Departemen Agama RI, sesuai Surat Keputusan Dirjen Bimas Kristen Nomor 64 tahun 1986. Dalam Sinode Umum GKE ke XVIII di Buntok dan SK Majelis Sinode GKE tanggal 24 Agustus 1993 nomor 167/BPH‐ MJ/GKE/Kep/8/93, Institut Agama Kristen Eka Sinta GKE dibubarkan dan selanjutnya diganti menjadi Fakultas Teologi yang diintegrasikan ke dalam Universitas Kristen Palangka Raya (UNKRIP) menjadi Fakultas Teologi jurusan Pendidikan
228 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Agama Kriten dan memperoleh status terdaftar dengan Surat Keputusan Dirjen Bimas Kristen nomor 23 tahun 1995 tanggal 27 Juli 1995. Dalam kurun waktu 20 tahun, pelaksanaan pendidikan Teologi baik pada waktu Akademi, Institut, maupun Fakultas Teologi Universitas Kristen Palangka Raya telah menghasilkan lebih kurang 600 orang lulusannya baik dari tingkat Diploma Dua (D.2), Diploma Tiga (D.3), dan Sarjana (S.1). Berdasarkan data penerimaan mahasiswa dari tahun ke tahun, ternyata 97% mahasiswa berasal dari GKE, sehingga terkesan Fakultas Teologi UNKRIP jurusan Pendidikan Agama Kristen hanya untuk jemaat GKE. Untuk merubah pandangan itu maka ada keinginan dari beberapa pihak di antaranya masyarakat dan Gereja‐gereja di Palangka Raya dengan kesediaan dan kesepakatan dari pimpinan Universitas Kristen Palangka Raya untuk melepaskan dan merubah Fakultas Teologi UNKRIP menjadi Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Palangka Raya. Hal tersebut tertuang dalam Surat Pernyataan Rektor UNKRIP dalam surat nomor 06/UKP.H/E/II/2002 tanggal 1 Februari 2002 dan pernyataan Yayasan Perguruan Tinggi “Eka Sinta” Gereja Kalimantan Evangelis (sebagai pengelola UNKRIP) untuk menghibahkan tanah milik yayasan kepada STAKN Palangka Raya seluas 2 Ha dan sekaligus persetujuan pemanfaatan bangunan yang selama ini digunakan oleh Fakultas Teologi untuk terus dipakai STAKN Palangka Raya sebelum memiliki kampus baru yang tertuang dalam Surat Pernyataan Nomor 004/Um‐1/YPTKES/I/2002, tanggal 17 Januari 2002 (http:// id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_ Tinggi_Agama_Kristen_Negeri_Palangka_Raya). Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
229
Visi, Misi GKE, dan Implementasinya Visi Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) adalah ʺTERWUJUDNYA LANGIT YANG BARU DAN BUMI YANG BARU” (Wahyu 21 : 1‐3).
1.
2.
3. 4.
5. 6. 7. 8. 9.
1.
2.
Untuk periode kepengurusan Sinode tahun 2010 ‐ 2015 ini, penjabaran visi menekankan: GKE sudah mampu bersaksi, memantapkan persekutuan dan melayani bukan hanya di kalangan sendiri, melainkan juga bersama‐sama dengan warga bangsa. GKE mampu bersama‐sama dengan sesama warga bangsa dari berbagai latar belakang suku, agama dan budaya menunjukkan kasih untuk mewujudkan perdamaian dan penegakan keadilan dalam bidang HAM, supremasi hukum, lingkungan hidup, sosial ekonomi, demokrasi dan gender. GKE mampu memberdayakan dan membangun ekonomi rakyat, terutama di pedesaan Kalimantan. Dalam kebersamaan memberdayaan kehidupan politik melalui lembaga perwakilan rakyat untuk mendorong proses demokratisasi. Terwujudnya ajaran GKE yang menjawab tantangan zaman. Terwujudnya Yayasan yang mandiri di lingkungan GKE. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di GKE. Terwujudnya sumberdaya manusia GKE berkualitas dan profesional. Terwujudnya kemandirian dana rutin GKE. Untuk mewujudkan visi GKE, maka misi GKE adalah: Segenap jajaran GKE siap menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk mendirikan tanda‐tanda Kerajaan Allah di Kalimantan khususnya dan Indonesia umumnya. Memantapkan struktur organisasi dengan memberdaya‐ kan wilayah seirama dengan kebutuhan.
230 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
3. Bersama‐sama dengan sesama warga bangsa dari berbagai latar belakang suku, agama, dan budaya menunjukkan kasih untuk mewujudkan perdamaian dan penegakan keadlian. 4. Dalam kebersamaan menumbuhkan kesadaran dan membangun jaringan kerjasama pelestarian lingkungan hidup. 5. Menumbuhkan kesadaran dan membangun jaringan pembelaan HAM. 6. Dalam kebersamaan menumbuhkan kesadaran dan membangun keadilan dan supremasi hukum. 7. Dalam kebersamaan memberdayakan dan membangun ekonomi rakyat, terutama di pedalaman Kalimantan. 8. Mengedepankan pendidikan politik bagi warga gereja untuk mendorong proses demoktratisasi. 9. Dalam kebersamaan menumbuhkan kesadaran, kesetaraan, dan keadilan gender dan membangun lembaga pembelaan hak‐hak perempuan dan anak‐anak. 10. Segenap jajaran GKE Majelis Sinode, Resort, Calon Resort dan Jemaat GKE meningkatkan terhadap pembinaan warga GKE. 11. Melakukan usaha‐usaha pembaharuan teologi yang kontekstual. 12. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia GKE. 13. Meningkatkan upaya‐upaya penggalangan dana dari sumber‐sumber non tradisional. 14. Meneruskan dan meningkatkan program topang menopang dalam berbagai bidang. 15. Memberikan dorongan dan ajakan kepada seluruh resort, calon resort dan jemaat yang mampu untuk program bea siswa. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
231
16. Memberikan jaminan kesejateraan kepada pekerja GKE. 17. Melaksanakan Pekabaran Injil. 18. Meningkatkan kualitas pelayanan lembaga‐lembaga pendidikan agar mampu bersaing). Dalam mengimplementasikan visi dan misi di atas, GKE lebih mengutamakan usaha‐usaha pembinaan ke dalam, yaitu dengan memantapkan keimanan warga GKE supaya mereka tidak bimbang dan mudah dihasut untuk pindah menjadi jemaat gereja lain. Artinya, GKE memilih presensia sebagai metode misinya. Sehingga fokus utamanya adalah mengembalikan misi sesungguhnya dari Yesus. Dengan ini, GKE mengajarkan bahwa Kristen harus hadir kembali dengan pelayanan yang terbaik bagi umat manusia, yaitu melalui pendidikan, kesehatan, perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan sosial budaya. Ini berarti, GKE tidak menuntut adanya keharusan semua orang yang mendapatkan pelayanan dari GKE menjadi Kristen, namun semua itu diserahkan kepada mereka masing‐masing. Meski demikian, metode planting church yang menekankan pada peningkatan/pertambahan jumlah kuantitatif orang percaya/ masuk Kristen juga diperlukan. Namun, biasanya GKE menggunakannya untuk orang‐orang Dayak yang masih menganut kepercayaan untuk masuk Kristen, bukan untuk orang‐orang yang sudah beragama. (Wawancara dengan Pdt. Satria pada tanggal 8 Juni 2013). Oleh sebab itu, meskipun GKE akhir‐akhir ini sedang gencar mengadakan pelatihan EE (Eavangelism Explotion), namun metode EE ini lebih fokus digunakan untuk membimbing para jemaat yang imannya belum mantab. Upaya ini dilakukan karena, GKE merasa jemaatnya masih banyak yang imannya belum mantab, sehingga mudah untuk pindah menjadi jemaat gereja lain. Dengan program EE
232 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
diharapkan, semua jemaat GKE paham dengan Injil dan imannya mantab. Artinya, metode EE ini digunakan GKE lebih untuk melakukan penginjilan ke dalam (pembinaan). Dan keberhasilannya saat ini belum nampak, ledakannya itu masih menunggu 3 tahun lagi, tahun 2015, yaitu setelah berlangsung selama 3 tahun (Wawancara dengan Pdt. Tawar Soewardji pada tanggal 9 Juni 2013). Struktur Organisasi GKE Struktur kepemimpinan organisasi Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) adalah sebagai berikut: 1. Sinode Umum ‐ Majelis Pertimbangan ‐ Majelis Sinode ‐ Badan Pengawas Keuangan ‐ Perwakilan Majelis Sinode 2. Sinode Resort ‐ Majelis Pertimbangan Resort ‐ Majelis Resort ‐ Badan Pengawas Keuangan Resort 3. Persidangan Jemaat 4. Warga Jemaat.( BPH MS GKE, Almanak Nas GKE 2013, Banjarmasin: BPH MS GKE, 2013) Struktur di atas menggambarkan penjenjangan pelayanan Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) yang tersebar di 4 Provinsi di Pulau Kalimantan. Gambaran penyebaran pelayanan GKE dikoordinir melalui penjenjangan organisasi terdiri: a. Sinode adalah bentuk kehadiran GKE secara menyeluruh, yang dinampakkan dalam seluruh gerak kebersamaan resort‐resort dan calon resort dalam melaksanakan hidup
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
233
persekutuan, kesaksian dan pelayanan bersama selaku gereja, dan dipimpin oleh Majelis Sinode. b. Resort adalah bentuk kehadiran GKE yang merupakan persekutuan jemaat‐jemaat dalam suatu daerah tertentu, yang ditampakkan dalam gerak kebersamaan dan kerjasama jemaat‐jemaat dalam melaksanakan hidup persekutuan, kesaksian dan pelayanan selaku gereja di daerah itu. Dalam rangka pengembangan kerjasama antar jemaat yang berdekatan dilaksanakan dalam wadah Calon Resort dan dipimpin oleh Majelis Resort. c. Jemaat adalah bentuk kehadiran GKE di suatu tempat atau wilayah yang ditampakkan dalam hidup persekutuan, kesaksian dan pelayanan anggota‐anggota GKE di tempat atau wilayah itu secara tertib dan teratur. Dalam rangka pengembangan pelaksanaan tugas‐panggilan anggota jemaat di suatu wilayah pelayanan jemaat, maka dilaksanakan pelayanan khusus dalam wadah Pos Pelayanan, Pos Kebaktian dan Calon Jemaat dan dipimpin oleh Majelis Jemaat. Beberapa Ajaran Pokok GKE Sebagai rintisan lembaga zending RMG, ajaran‐ajaran pokok GKE secara umum dibangun atas pengajaran gereja‐ gereja mainstream. Kata ‘evangelical’ sama sekali tidak ada hubungannya dengan gereja‐gereja yang menamakan diri sebagai kelompok injili, seperti GPdI. GKE selayaknya gereja‐ gereja mainstream menegaskan bahwa Yesus Kristus telah memanggil Gereja untuk mengajarkan sekalian bangsa ini menjadi murid‐Nya. Oleh karena itu GKE memandang pengajaran suci ini sebagai hal yang asasi dalam kehidupan manusia. Pengajaran suci ini, bagi GKE, merupakan tugas
234 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
yang tidak akan pernah selesai, sehingga tetap merupakan bagian hakiki dalam kehidupan gereja. Kuatnya pengaruh nilai‐nilai lokal terhadap masyarakat juga menuntut GKE untuk memperjelas ajarannya dalam beberapa bidang kehidupan yang sangat praktis, misalnya: Kehamilan (terkait banyaknya pantangan atau pamali dalam masyarakat Dayak), pemeliharaan anak (terkait persoalan ganti nama karena anak yang sering sakit‐sakitan. Dalam masyarakat Dayak, anak yang sakit‐sakitan dihubungkan dengan kuasa lain), pernikahan (terkait praktik ritual‐ritual adat sebelum pernikahan, termasuk jujuran), dan kematian (menghindari pemujuaan arwah dan barang‐barang peninggalan orang yang sudah mati). GKE juga terus bergumul dengan ‘jimat‐jimat’ yang masih sering dijadikan sebagai sumber kekuatan dalam masyarakat lokal. Dengan demikian, GKE secara umum mengikuti ajaran‐ ajran gereja mainstream, namun menjadi unik dalam perjumpaan dengan tradisi lokal Kalimantan, semisal budaya Kaharingan. Terhadap konteks lokal inilah, para teolog‐teolog GKE mulai meninggalkan pendekatan lama (pendekatan zendeling) yang anti kebudayaan lokal dan membangun pengajaran yang lebih terbuka. Berdasarkan keputusan Sinode Umum VIII, pada tahun 1959, GKE menegaskan bahwa: 1. Gereja terpanggil untuk mempunyai pengertian yang cukup dan luas tentang agama Kaharingan serta pemisahannya dengan adat kesenian dayak; 2. Memberikan petunjuk‐petunjuk bagi seluruh anggota gereja sekitar adat dan kesenian Dayak yang patut dan tidak patut diikuti oleh orang Kristen; 3. Berusaha memberikan sumbangan yang hidup bagi perkembangan bangsa yang sehat.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
235
Keterbukaan yang kritis terhadap budaya Dayak membuat GKE mampu mengakomodasi warisan lokal secara patut. Mereka misalnya mulai menggunakan nada‐nada asli dalam kesenian Dayak untuk lagu‐lagu gereja (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama). Hal ini merupakan hasil dari penerapan beberapa prinsip yang dianut GKE dalam hal penggunan bahasa ibu/lokal dalam pelayanan dan tugas misinya, yatu prinsip Sola Gratia, Sola Fide, dan Sola Scriptura. Keselamatan adalah anugerah Allah berdasar iman, dan tidak berdasar sesuatu yang kita laksanakan (Ef. 2:8,9) (Gunedi, 202). Mengenai ajaran GKE telah dirumuskan terdapat 7 ajaran GKE sebagai berikut: 1. Sakramen Baptisan Kudus Sekramen adalah tanda dan materi yang ditentukan dan diperintahkan Tuhan Allah untuk menandakan dan memeteraikan janji‐janji‐Nya. Sebagaimana disaksikan di dalam Alkitab, janji‐janji Allah tersebut adalah atas dasar kasih karunia Allah oleh pengorbanan Yesus Kristus di salib setiap orang yang percaya dan bertobat memperoleh pengampunan dosa, karunia Ruh Kudus dan hidup yang kekal. Sebagai tanda dan materai, sekramen menjadi peristiwa untuk menandakan‐mengungkapkan kesetiaan orang percaya terhadap imannya dan mematerai‐ memastikan bahwa orang percaya adalah orang‐orang yang memiliki janji‐janji Allah yang merupakan misteri ilahi dan tidak terselami oleh akal budi manusia. Atas dasar makna sekramen tersebut, GKE melayankan sakramen Babtisan Kudus. Sakramen ini menjadi pintu masuk ke dalam Gereja sebagai Tubuh Kristus. 2. Sakramen Perjamuan Kudus
236 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Kalau sakramen Babtisan Kudus menjadi pintu masuk ke dalam Gereja sebagai Tubuh Kristus, maka sakramen Perjamuan Kudus menjadi perayaan iman bagi setiap orang yang sudah menjadi warga gereja tersebut. Dalam hal ini, Babtisan Kudus menjadi pintu masuk atas persyaratan bagi seseorang untuk bisa ikut dalam Perjamuan Kudus. 3. Hubungan Injil Dengan Adat dan Tempat Hukum Adat Dalam Perkawinan Warga GKE Kebudayaan (di dalamnya terkandung adat) ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dalam proses belajar untuk menghasilkan kebudayaan, manusia memerlukan hikmat. Alkitab menegaskan bahwa hikmat yang menjadi dasar manusia untuk bisa belajar dikaruniai oleh Allah (Ams. 2:6‐9). Atas dasar hikmat dari Allah, manusia berupaya menyusun kebudayaan dalam upaya menata kehidupan yang beradab. Dengan demikian, kebudayaan adalah pemberian Allah kepada manusia, karena kebudayaan merupakan tindakan dan hasil karya manusia yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar atas hikmat yang datang dari Allah. Lembaga perkawinan adalah akta sosial yang dibentuk oleh Allah sehingga perlu dibentuk dengan memperhatikan kaidah‐kaidah sosial masyarakat dan kehendak Tuahn. Sebagai akta sosial, eksistensi lembaga perkawinan berkaitan dengan hukum adat dan hukum negara. Sebagai akta sosial yang dibentuk menurut kehendak Tuhan, eksistensi lembaga perkawinan berkaitan dengan peraturan Gereja. Karena itu, hubungan dialogis perlu dibangun antara lembaga adat, negara, dan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
237
Gereja. Dengan demikian sebuah lembaga perkawinan dibentuk atas dasar pengesahan yang dilakukan oleh Gereja dengan peneguhan dan pemberkatan nikah, oleh masyarakat adat dengan pemenuhan hukum adat, dan oleh negara dengan pencatatan sipil. Dan bagi Gereja, sebuah perkawinan yang terjadi harus menjadi perkawinan yang tidak boleh diceraikan (Mat. 19:1‐11), namun Gereja tidak memiliki perangkat khusus yang memiliki kekuatan memaksa agar warganya tidak bercerai. 4. Missi Gereja Gereja adalah persekutuan orang‐orang percaya di dalam Roh Kudus, yang diutus ke dalam dunia (Yoh 17;18) oleh Allah dalam Putera‐Nya Yessus Kristus untuk melakukan misi Allah. Misi Allah adalah misi penciptaan, pemeliharaan, dan penyelamatan manusia seutuhnya baik menyangkut totalitas kehidupan baik jasmani maupun rohani (spiritual) dari kebinasaan akibat dosa supaya manusia memiliki kepenuhan hidup dan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16). Misi Allah juga adalah menyampaikan Injil atau Kabar Baik, memanggil semua orang untuk bertaubat dan percaya kepada Injil serta berita tentang pengampunan dosa dalam Yesus Kristus. Misi Allah juga dalam bentuk pembebasan (Luk 4:18‐19). Bertolak dari pemahaman di atas, maka misi gereja adalah misi yang ditujukan kepada segala makhluk, segala bangsa, dan seluruh dunia. Gereja adalah pelaksana Misi Allah. Ia harus menampakkan ketaatan seutuhnya kepada firman Tuhan untuk mewujudkan Syalom (damai sejahtera) dalam seluruh aspek kehidupan (secara holistik), yaitu aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya, termasuk juga
238 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
lingkungan hidup dan kesetaraan gender. Untuk bisa menjadi pelaksana misi Allah, gereja melakukan pembinaan warga jemaatnya menuju kedewasaan iman hingga menjadi jemaat yang missioner. 5. Hubungan Gereja dan politik Gereja mengakui bahwa Tuhan Yesus Kristus memgang kuasa, baik di sorga maupun di bumi (yoh 17:18). Atas dasar pengakuan tersebut, maka Gereja adalah alat Allah yang diutus ke dunia untuk membawa dan mewujudkan syalom ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Kita percaya tidak satupun wilayah kehidupan manusia yang terbebas dari kuasa penyelematan Allah dalam Yesus Kristus, termasuk di bidang politik. Bidang politik tidak dapat dilepaskan dari karya perdamaiaan dan pembaharuan Kristus. Oleh karena itu, Gereja harus berjuang agar kuasa Kristus menjadi nyata juga di dunia politik. Di dalam dunia politik “tuan” yang berkuasa bukan ideologi dan kekuasaan, melainkan Kristus sebagai Tuhan (Mat 28:18). 6. Lingkungan Hidup Allah adalah pencipta langit, bumi dan seisinya dari yang tidak ada menjadi ada. Oleh hikmat‐Nya, Allah menciptakan seluruh ciptaan sehingga berada dalam keadaan “sungguh amat baik” (Kej 1:1,31). Sungguh amat baik berarti seluruh ciptaan berada dalam keharmonisan yang saling mendukung, melengkapi dan memperkaya sesuai dengan peran dan fungsi masing‐masing sekaligus membuat cipataan itu indah. Dalam proses penciptaan, oleh firman‐Nya, Allah hadir sebagai Allah yang kreatif dan dinamis sehingga Ia sekaligus adalah Pemilik, Pemelihara, Hakim, dan Penyelamat ciptaan‐Nya (Kej 1‐3; UI 10:10‐21; lm 25:22‐23; Yes 44:24). Sebagai pencipta, Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
239
Allah menjadikan satu‐satunya Pemimpin dan Pemberi hidup, sumber kuasa dan hidup bagi semua ciptaan‐Nya. Allah merencanakan, mepersiapkan dan memiliki seluruh ciptaan, langit, bumi dan segala isinya adalah ciptaan terbatas dan hanya bergantung kepada ketetapan, kasih dan pemeliharaan Allah. Dalam pemeliharaan‐Nya, Allah memberi hidup kepada semua ciptaan, dan kedalam pemeliharaan Allah juga semua ciptaan mengembalikan hidupnya. Dalam kasih dan penyelematan‐Nya, Allah memperbaharuai dan menyelamatkan semua ciptaan, dan kedalam pengasihan dan penyelamatan Allah semua ciptaan menggantungkan hidup dan masa depannya. 7. Persembahan Persepuluhan Allah adalah pencipta seluruh alam semesta dengan segala isinya mendasari bentuk hubungan antara Allah dengan manusia sebagai salah satu ciptaan Allah (Kej 1:1‐ 31). Sebagai Pencipta, Allah adalah Pemilik mutlak sebagala sesuatu dan Pemelihara hidup seluruh makhluk ciptaan‐Nya. Allah yang menciptakan, memiliki dan memelihara seluruh ciptaan‐Nya adalah Allah yang Kudus, bahkan Allah yang Maha Kudus. Dengan demikian maka alam semesta dengan segala isinya berada di bawah penguasaan dan pemeliharaan dari Allah yang Maha Kudus (Kej. 14:17‐24). Dalam menjalankan penguasaan dan pemeliharaan Allah atas alam semesta, manusia adalah mandataris Allah (Kej. 1‐2). Manusia bukuan pemilik unsur‐unsur ciptaan Allah lainnya, tetapi sebagai pengelola yang bertanggungjawab kepada Allah. Pengelola yang benar itulah yang menjadi tanggung jawab setiap umat Allah termasuk dalam hal memberikannya kepada Allah. Tanggung jawab ini meliputi seluruh ciptaan Allah, termasuk pengelolaan
240 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
hasil‐hasil dari pekerjaan yang manusia lakukan, yang meliputu hasil‐hasil alam dan uang. Di dalam pengelolaan tersebut manusia menampakkan wujud hubungannya yang bertangguang jawab, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama. Hubungan yang manusia bangun dengan Allah diwujudkan dalam peribadahan, baik secara ritual seremonial maupun secara etis melalui pola hidup kudus sebagai umat Allah yang kudus dari Allah yang Maha Kudus. Persembahan sejati dari umat Allah adalah mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenaan kepada Allah (Rom. 12:1). Pada saat yang sama, dalam rangka kegiatan peribadahan kepada Tuhan, umat Allah tidak datang dengan tangan yang hampa, melainkan dengan membawa persembahan (Kel. 23:15, 24:20; UI 16:16‐17). Karena itu, memberikan persembahan merupakan hal yang tak terpisahkan dari kehidupan umat Allah dengan berbagai tujuan, sesuai dengan jenis persembahan yang diberikan. Di dalam pemberian persembahan, umat Allah menyatakan pengakuan imannya bahwa Allah adalah Pencipta, Pemilik dan Pemelihara hidupnya. Pada saat yang sama, dengan menyerahkan persembahan, umat menyatakan pengucapan syukur atas berkat dan pemeliharaan Tuan serta pernyatan sikap iman untuk “datang mendekat” kepada Tuhan sebagai sumber kekuatan untuk hidup kudus. Salah satu jenis persembahan yang perlu anggota jemaat serahkan kepada Tuhan adalah persembahan persepuluhan (BPH MS GKE, 2010).
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
241
Selain 7 ajaran di atas, terdapat pula pandangan teologis GKE yang menunjukan sifat inklusif (keterbukaan) dalam mensikapi berbagai hal, seperti; 1. Tata Gereja GKE pasal 7 tentang Pengutusan, dirumuskan: “Gereja Kalimantan Evangelis diutus oleh Yesus Kristus masuk ke dalam dunia untuk bersama‐sama dengan semua orang mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan nilai‐nilai Alkitab seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, kepedulian pada orang miskin, orang tertindas dan kasih persaudaraan dengan semua orang”. 2. GBTB GKE 2000‐2005, merumuskan visi GKE salah satunya berbunyi: “GKE mampu bersaksi, memantapkan persekutuan dan melayani, bukan hanya di kalangan sendiri, melainkan juga bersama‐sama warga bangsa” (Tawar Soewardji, 2005). Pendanaan dan Pendapatan GKE Pada awalnya, biaya operasional GKE ini sepenuhnya ditanggung oleh pihak Zending dari Eropa. Namun dalam perkembangannya, sekitar tahun 1970‐an, diputuskan oleh suatu Sinode Umum (dalam kesepakatan dengan pihak Zending), agar Zending mengurangi bantuan keuangannya dan tenaga yang predikat pendeta, dengan pengertian bahwa GKE berusaha menaikkan pemasukkan keuangannya bagi program‐program kerja (E. Palis EM, 2005). Dan usaha tersebut tidak lain adalah dengan cara menaikkan penghasilan dana GKE dari persembahan jemaat yang menjadi sumber dana GKE. Keputusan GKE untuk mengurangi bantuan dana dari Zending juga dibarengi dengan keputusan untuk menerapkan sistem keuangan GKE yang sentralistik, yaitu dengan menetapkan penyetoran uang secara prosentase dari
242 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Majelis Jemaat ke Resort, dan dari Resort ke Pusat (Sinode) (E. Palis EM, 2005). Menurut Pdt. Tawar Soewardji, tahun 2013 ini merupakan face pertama program kemandirian GKE. Jika dulu pendanaan GKE mendapatkan bantuan dari Eropa, maka sekarang GKE secara pendanaan sudah mulai mandiri dari hasil persembahan jemaat. Jika dulu pendeta‐pendeta GKE dan juga dosen‐dosen STT GKE Banjarmasin masih dari Eropa, tetapi sekarang pendeta dan dosen tersebut sudah dari orang Indonesia sendiri. Saat ini yang masih belum mandiri adalah kemandirian teologi, karena masih banyak warga GKE yang belum memahami injil dan imannya belum kuat (Wawancara dengan Pdt. Tawar Soewardji pada tanggal 9 Juni 2013). Dalam menentukan penghasilan pekerja GKE diberlakukan Sistem penggajian yang dianut atau dipergunakan oleh Pemerintah yaitu Peraturan Gaji Pegawai Tahun 2003. Hal ini diberlakukan secara merata untuk seluruh pekerja GKE, sedangkan pembayarannya dibebankan kepada masing–masing Resort/Calon Resort dimana pendeta ataupun vikar tersebut bertugas. Jumlah yang dibayarkan kepada pekerja oleh Resort/Calon Resort berdasarkan jenjang Pendidikan dan golongan sebagaima pengaturan pemerintah. Walaupun pengaturan jumlah (standar) gaji sudah ada, tetapi pembayarannya karena dibebankan kepada Resort/Calon Resort tempat bertugas, maka sering Resort/Calon Resort tidak mampu untuk membayar gaji tersebut secara penuh. Hal ini disebabkan karena tingkat perekonomian di Jemaat tersebut relatif rendah. Majelis Sinode sendiri tidak mempunyai dana untuk menutupi kekurangan pembayaran tersebut, sehingga masih banyak pekerja GKE dari segi penggajian belum terpenuhi. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
243
Dengan sistem di atas, nampak perbedaan antara GKE dengan gereja‐gereja lain, yaitu jika gereja‐gereja lain mendapatkan dana dari hasil persembahan jemaat bisa menjadi hak milik pendeta, maka di GKE dana hasil dari persembahan jemaat akan dikelola GKE dan pendeta GKE hanya mendepatkan gaji setiap bulan. Selain itu, Majelis Sinode GKE juga dapat melakukan rotasi atau perpindahan pendeta di suatu gereja ke gereja lain. Berbeda dengan gereja‐ gereja lain, dimana gereja itu sudah menjadi hak milik pendetanya. Dampak Pemahaman Misi Gereja Kristen Evangelis (GKE) Jemaat GKE dan Misi GKE ke Luar Berdasarkan data dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Kalimantan Tengah, di Kalimantan Tengah terdapat 38 Denominasi Gereja. Dari 38 denominasi tersebut, sekitar 30 denominasi terdapat di kota Palangka Raya, dan GKE Palangka Raya adalah salah satu dari 30 denominasi tersebut yang memiliki jemaat paling banyak. Di atas telah disebutkan bahwa jumlah jemaat GKE di Palangka Raya yang tersebar di 4 (empat) resort itu sekitar 41.698 jiwa dari 73.968 penduduk Palangka Raya yang menganut agama Kristen, yaitu sekitar 60%. Oleh sebab jemaatnya sudah banyak, GKE memilih presensia sebagai metode misinya. Artinya, GKE tidak menginginkan semua orang menjadi kristen atau ingin menambah jumlah warga secara kuantitas, akan tetapi GKE lebih mengutamakan kualitas jemaatnya. Bagi GKE, penginjilan tidak harus merekrut jemaah baru, tapi lebih pada pembinaan ke dalam. Namun, pembinaan ke dalam GKE yang kurang didukung dengan SDM yang cukup, maka jemaat GKE justru sering menjadi obyek untuk direkrut menjadi
244 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
jemaat gereja lain (kharismatik). Ini dapat dilihat dalam dasawarsa terakhir, pertumbuhan gereja‐gereja baru (Kharismatik) di Palangka Raya sangat tinggi. Namun, kemunculan gereja‐gereja baru ini dirasa lebih banyak mengambil “domba” GKE ketimbang merekrut orang non GKE. Hal ini dapat memicu konflik dan menyisihkan GKE, karena gereja‐gereja baru tidak menunjukan pengakuan dan kerja sama dengan GKE. Kenyataan ini mempertanyakan “idealisme oikoumene” dan menunjukkan bahwa realitas oikoumene dari gereja‐gereja lain juga tidak positif dalam membangun keesaaan gereja di Kalimantan. Selain itu, gerakan kharismatik memiliki beberapa daya tarik yang dapat memikat warga jemaat GKE. Di antara daya tarik tersebut adalah: a. Liturgi dan tata ibadah yang diterapkan dalam persekutuan kharismatik menarik, bebas sesuai situasi dan kondisi. Pemberitaan firman Tuhan sangat menyentuh segi‐segi kehidupan praktis dan anggota jemaat diberi kesempatan untuk menyampaikan kesaksian pribadi. Anggota jemaat merasa bertumbuh dalam iman, dahulu ia malas mengikuti kebaktian dan berdoa. Setelah mengikuti kebaktian kharismatik, menjadi rajin ikut kebaktian dan berdoa. b. Kebaktian kebangunan rohani, persekutuan doa dan lagu‐ lagu pujian bernada riang, sebagian pula bernada romantis penuh perasaan yang diiringi dengan band. c. Tata ibadah yang dinamis, pemberitaan firman Tuhan yang berapi‐api menyentuh segi‐segi kehidupan praktis, keterlibatan anggota jemaat dalam kebaktian untuk menyampaikan kesaksia pribadi (Bungawati, 2011). Dengan model tata ibadah tersebut, cukup banyak jemaat GKE yang pindah/ikut ibadah ke gereja lain, karena Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
245
mereka tertarik dengan tata ibadahnya tersebut. Warga GKE banyak direkrut oleh gereja lain, terutama Gereja Bethani. Lebih dari 80% jemaat Bethani itu warga GKE yang pindah ke gereja Bethani. Kebanyakan mereka tidak menyatakan keluar dari GKE, tetapi mereka beribadah di Bethani, sebab kalau mereka menyatakan keluar dari GKE kemudian kalau mereka meninggal masih membutuhkan pelayanan GKE untuk prosesi penguburan. Karena jemaat Bethany sebagian besar tinggalnya saling berjauhan dan belum tentu saling kenal, sehingga sulit untuk menyampaikan berita duka. Akhirnya, dengan sedikit terpaksa, GKE lah yang melayani prosesi pemakamannya. Hal ini menimbulkan kesan di kalangan GKE bahwa GKE kebagian melayani yang mati, sedangkan saat hidup dilayani gereja lain. Dalam hal rekrutmen jemaah, GKE yang banyak menjadi korban, karena jemaat gereja‐gereja baru mengambil jemaat dari GKE. Oleh karena itu, GKE, seperti GKE Sakatik dan Yerusalem, mulai mencoba memodofikasi ibadah dengan menggunakan musik juga (Wawancara dengan Pdt. Satria pada tanggal 8 Juni 2013). Dampak Misi Terhadap Kerukunan Dalam Tata Gereja pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa GKE berada di pulau Kalimantan. Hal ini berarti GKE tidak diperkenankan mendirikan jemaat di luar pulau Kalimantan. Ini merupakan komitmen GKE dalam gerakan oikumene di Indonesia. Jika ada warga GKE yang pindah ke luar pulau Kalimantan, ia harus bergabung dengan gereja seazas anggota PGI. GKE menghargai dan mematuhi keputusan Sidang Raya PGI tentang keesaan gereja. GKE juga menjalin hubungan kerja sama eukuminis dengan gereja dan lembaga‐lembaga Kristen, baik di dalam maupun di luar negeri, seperti Yakoma PGI, Pelkesi, Bina Darma, Tanggul Bencana, Palma, LAI, GKI
246 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Jateng, GKI Jabar, Mision 21 Basel, Simavi Belanda, Resort Hanauland dan Jemaat Beutelsbach Jerman (Tawar Soewardji, 2005). Dalam hal kerukunan, pandangan GKE sangat inklusif, sebagaimana tertuang dalam Tata Gereja GKE psl 7 tentang Pengutusan: “Gereja Kalimantan Evangelis diutus oleh Yesus Kristus masuk ke dalam dunia untuk bersama‐sama dengan semua orang mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan nilai‐nilai Alkitab seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, kepedulian pada orang miskin, orang tertindas dan kasih persaudaraan dengan semua orang”.(Majelis Sinode GKE, 2011). Dengan pandangan di atas, GKE Palangka Raya bisa dengan mudah berinteraksi, kerjasama, dan hidup rukun dengan umat lain, seperti Islam, Katolik, Hindu, Budha, dan lainnya. Namun, pandangan tersebut sulit diterapkan dengan antar sesama Kristen. Karena, banyak Gereja Kristen yang melanggar piagam PSMSM (Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima) dalam hal baptisan ulang. Sering terjadi perbedaan pendapat mengenai pembaptisan dengan cara percikan dan dengan cara diselam. Hal ini yang memicu ketidak‐akuran antar sesama Kristen, karena beberapa gereja kristen menganggap bahwa baptis dengan cara dipercik tidak sah, sehingga jika ada warga gereja yang telah dibaptis dengan percik akan menikah dengan warga gereja atau pindah gereja yang meyakini harus baptis selam, maka orang tersebut harus dibaptis ulang. Padahal, baptisan ulang sebenarnya sudah tidak diakui dalam PGI, terutama baptisan ulang yang ditujukan kepada jemaat yang baru pindah dari gereja lain, seperti dari gereja Protestan ke gereja Pentakosta. Dalam buku “Kamus Sejarah Gereja”, dikatakan bahwa “dalam
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
247
Alkitab ada contoh pembaptisan kembali dan orang yang sudah disunat tidak disunat kembali”. Pada zaman reformasi, golongan Anabaptis membaptis mereka yang dibaptis sejak kecil. Hal itu terus berlangsung dalam gereja baptis dan gereja‐gereja yang beraliran Pentakosta. Baptisan itu dilakukan jika terdapat keragu‐ raguan tentang keabsahan baptisan yang digunakan adalah dengan rumusan baptisannya: “jika engkau belum dibaptis, maka saya akan membaptis engakau...”. hal ini menunjukkan bahwa baptisan ulang itu memang ada dulu pada zaman reformasi dan hal itu tidak dapat dipungkiri karena memang ada di dalam sejarah gereja. Tetapi hal itu bukan berarti bahwa dalam suatu gereja harus mengikuti cara tersebut. Sehingga dalam PGI pun dikatakan bahwa tidak diakui adanya baptisan ulang meskipun jemaat harus pindah gereja dan hal itu sudah disahkan dalam PSMSM yang dimuat dalam buku “Lima Dokumen Keesaan Gereja” yang ditanda‐tangani oleh semua aliran gereja (Susi Marliani, 2011). Suatu misal, Gereja GBI, Pentakosta, dan Geberias sulit bersatu atau mengakui baptisan dengan cara dipercik, seperti yang dilakukan GKE, sehingga jika ada warga jemaat GKE yang mau menikah dengan warga jemaat tersebut atau pindah ke gereja tersebut harus dibaptis ulang. Hal ini sering terjadi adanya liturgi pernikahan, kalau pernikahan warga GKE dengan warga Katolik itu bisa, dan tidak masalah. Tetapi kalau pernikahan warga GKE dengan warga kristen denominasi lain itu susah, biasanya dengan syarat dibaptis ulang lebih dulu. Kenyataan ini mempertanyakan “idealisme oikoumene” dan menunjukkan bahwa realitas oikoumene dari gereja‐gereja lain juga tidak positif dalam membangun keesaaan gereja di Kalimantan.
248 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Selain hal di atas, banyak sekali orang mendirikan gereja bukan untuk melayani, tetapi motifnya ekonomi, uang persembahan persepuluhan. Gereja baru ini kebanykan merekrut jemaat gereja yang sudah ada. Selain itu, konflik antar gereja sering terjadi karena ada beberapa gereja yang melaksanakan ibadah secara ilegal di aula, ruko, atau hotel. Hubungan GKE dengan gereja sinode lain sebenarnya tidak ada masalah, namun gereja seperti GBI, Saksi Yahwe, Balai Kerajaan Allah, Bethani dan lainnya yang biasanya meresahkan masyarakat, karena mereka “manjala di kolam orang lain”. Sekarang ini sudah terjadi konflik antara GKE dan gereja lain, namun masih silen konflik, belum dan mudah‐ mudahan tidak terjadi konflik terbuka. Kalau mereka menjala di kolam orang lain itu bukan konsep misi Kristen, tapi ini semata‐mata bisnis untuk mencari keuntungan dari persembahan dari jemaat. Inilah yang membuat hubungan kurang solid. Untuk itu gerakan eukomene harus berjalan. Memang pembatasan gereja sulit, mungkin Kementerian Agama kalau mau memberikan izin pendirian gereja baru harus ada rekomendasi dari PGI (Wawancara dengan Pdt. Tawar Soewardji pada tanggal 9 Juni 2013). Penutup Kesimpulan Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) di Palangka Raya, secara organisatoris, adalah gereja besar, memiliki jumlah jemaat sebanyak 41.698 jiwa, yang tersebar dalam 4 Resort.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
249
Kedua, konsep misi Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) adalah presensia. Dengan metode ini, GKE tidak terlalu menginginkan menambah jumlah warga jemaat secara kuantitas, akan tetapi GKE lebih mengutamakan kualitas jemaatnya. Ketiga, dengan konsep misi yang bersifat presensia, maka GKE dapat mendorong terciptanya oikumene dalam intern agama Kristen. Justru karena GKE mempunyai jumlah jemaat yang terbanyak di Palangka Raya maka mereka sering menjadi “obyek/korban” dari gereja‐gereja baru yang mempunyai misi palnting church, sehingga banyak warga jemaat GKE yang direkrut dan berpindah menjadi jemaat gereja‐gereja baru tersebut. Keempat, hubungan GKE Palangka Raya dengan umat beragama lain, seperti Islam, Katolik, Hindu, Budha berjalan cukup harmonis, karena tidak ada kecurigaan dari pihak agama lain, bahwa GKE Palangka raya ingin mengkristenkan umat mereka. Rekomendasi Melihat realitas yang dialami Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), khususnya terkait dengan posisinya yang lebih sering menjadi “korban” misi planting church gereja‐ gereja lain, maka direkomendasikan: Pertama, PGIW Kalimantan Tengah harus mengambil inisiatip untuk mempertemukan para pimpinan aliran‐aliran keagamaan Kristen agar dalam menjalankan misinya tidak menjadikan jemaat gereja lain sebagai sasaran misinya. Untuk itu perlu dibuat etika penginjilan yang bertujuan untuk menciptakan kerukunan dikalangan intern umat Kristen. Kedua, pemerintah harus selektif dan memperketat izin pendirian gereja baru. Ini dilakukan karena banyak gereja
250 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
yang mengajukan permohonan izin pendirian gereja dengan mencantumkan nama jemaat gereja lain sebagai syarat permohonan izin pendirian gereja. Ketiga, pemerintah dan FKUB harus memonitoring izin pelaksanaan kebaktian gereja‐gereja yang dilakukan di ruko, hotel, atau bahkan ruang pertemuan milik pemerintah, hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan ketidak‐harmonisan dan konflik antar umat beragama.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
251
DAFTAR PUSTAKA Aritonang, Jan Sihar, Aliran‐Aliran di Sekitar Gereja, (Jakarta, BPK Gunung Agung, 1995) Artanto, Widi, Menjadi Gereja Missioner, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), Asmin, Werhan, Sejarah Pembentukan Gereja Dayak Evangelis, dalam Marko Mahin (ed), 70 Tahun GKE: Pegumulan dan Upaya GKE Menuju Kemandirian, Banjarmasin: MS GKE, 2005. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Direktori Aliran, Faham, dan Gerakan Kegamaan, Jakarta: Balitbang dan Diklat Kemenag RI, 2012, BPH MS GKE, 7 Ajaran Gereja Kalimantan Evanggelis, Banjarmasin: BPH MS GKE, 2010, BPH MS GKE, Almanak Nas GKE 2013, Banjarmasin: BPH MS GKE, 2013, Danandjaja, James, 1975, Kebudayaan Kalimantan Tengah, Dalam Koentjaraningrat (ed) “Kebudayaan Indonesia”, PT. Pembangunan, Jakarta, Gunedi, Paradigma Misi yang Perlu Dikembangkan di Jemaat GKE, dalam Padatu (ed), Aku, Kita dan Gereja, Palangka Raya: Liverda Publising, 2012, http://gke‐ gerejakalimantanevangelis.blogspot.com/2013/01/visi ‐dan‐misi‐gke‐2010‐2015_27.html diunduh pada tanggal 12 Juni 2013. Jong, Cristian de, Gereja Mencari Jawab : Kapita Selekta Sejarah Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009 Lingu, Amu Lanu A, 2001, Menjawab Tantangan Terjadinya Kerusuhan di Kalimantan Tengah, Pusat Penelitian Kebudayaan Dayak Lembaga Penelitian Universitas
252 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Palangkaraya dengan Majelis Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, Palangka Raya. Majelis Sinode GKE, Tata Gereja Kalimantan Evanggelis, Banjarmasin, 2011 Marhendy, Daru dan Favor A. Bancin, Memahami Tradisi dan Sistem Pemerintahan Gereja‐Gereja di Indonesia, (Jakarta: Word Visi Indonesia, 2008). Marliani, Susi, Pandangan Warga Jemaat Terhadap Baptisan Ulang di GKE Imanuel Mandomai, Skripsi (tidak diterbitkan), Palangka Raya: Sekolah Tianggi Agama Kristen Negeri Palangka Raya, 2010. Pemda Kota Palangka Raya, 2012, Kota Palangka Raya Dalam Angka. Pemerintah Kota Palangkaraya, 2007, “Membangun Kota Palangkaraya, Evaluasi 50 Tahun Pembangunan Kota Palangkaraya”, Pemerintah Kota Palangkaraya,2003, Buku Sejarah Kota Palangkaraya, Edisi pertama, cetakanpertama. Raho, Bernad SVD, Agama Dalam Perspektif Sosiologi, Obor, Jakarta, 2013, hal. 56‐58. RPJMN 2010‐2014, Peraturan Presiden No. 5 Th 2010 Bab II tentang Pembangunan Sosial dan Kehidupan Beragama. Soewardji, Tawar, Langkah‐Langkah GKE mewujudkan Kemandirian, dalam Marko Mahin (ed), 70 Tahun GKE, Banjarmasin: MS GKE 2005. T.T. Suling dkk, Sekilas Sejarah Pekabaran Injil di Pahandut, 2008. Badan Pekerja Harian Majelis Sinode Gereja Kalimantan Evangelis, Garis‐Garis Besar Tugas Panggilan IV Gereja Kalaimantan Evangelis 2005‐2010 dan Penjabarannya, Banjarmasin, 2006.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
253
Majelsi Sinode GKE, Tata Gereja, Gereja Kalimantan Evangelis, Banjarmasin, 2011 Badan Pekerja harian Majelis Sinode GKE, Almanak Nasional GKE 2013, Banjarmasin, 2013. Lukas b. Tandajaya, dkk, Penuai di Ladang‐Nya, Evanglism Explotion International Indonesia, cet 1, 2010.
254 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
KASUS INSTITUT PENDIDIKAN THEOLOGIA BALEWIYATA DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR Oleh: Syaiful Arif Sejarah IPTh. Balewiyata
S
ebagai pusat pendidikan teologi di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Institut Pendidikan Theologia (IPTh.) Balewiyata, Malang, memiliki kesejarahan. Kesejarahan ini sekaligus menjadi bagian dari kesejarahan Kristen di Jawa Timur dan pada titik ini, pembentukan Balewiyata menjadi bagian integral dari proses pribumisasi Kristen di Jawa. Hal ini yang menarik, karena unsur kejawaan dominan di dalam Kristen Jawi Wetan. Hal ini juga terdapat dalam kesejarahan Balewiyata. Pada masa yang paling awal, yakni pra‐embrio, “pendidikan teologi” sudah ada dalam bentuknya yang paling primordial. Bentuk primordial ini terdapat dalam tradisi peguron (belajar kepada seorang guru) untuk mendapatkan ngelmu (ilmu). Ngelmu di sini tidak hanya dimaknai sebagai pengetahuan empirik layaknya ilmu pengetahuan, melainkan terlebih ilmu batin yang terkait dengan misteri kehidupan dan rahasia ketuhanan dalam perspektif panteisme. Di Jawi Wetan, tradisi peguron ini ada di Desa Wiyung, di langgar peguruan Ki Dasimah. Kelompok peguron ini berangkat dari tradisi kejawen, tetapi telah dipengaruhi oleh Islam. Karena tradisi pembelajarannya lintas batas, kelompok ini juga mempelajari selebaran Injil Markus yang diwartakan oleh seorang Zendeling, Johanes Emde. Johanes sendiri tidak tahu kalau selebaran Injil tersebut sampai ke
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
255
tangan Ki Dasimah. Bertahun‐tahun mereka mengadakan Pemahaman Alkitab (PA), pengajian Ki Dasimah ini baru benar‐benar memahami kandungan nash Alkitab, setelah bertemu dengan misionaris di Ngoro, yakni Coenrad Laurens Coolen. Maka terbentuklah “pendidikan teologia” dalam arti paling primordial di dalam pengajian Ki Dasimah tersebut. Kalangan pendeta GKJW memaknai peristiwa ini sebagai kuasa Roh Kudus. Perjalanan selanjutnya, adalah fase embrio. Hal ini tidak lepas dari peran Zendeling Nederlandse Zendeling Genootschap (NZG), Jelle Eeltjes Jellesma yang diterima di Jemaat Mojowarno. Menariknya, sejak awal Jellesma empatik dengan tradisi Jawa, sehingga ia berpandangan: Pekabaran Injil di Jawa sebaiknya dilakukan oleh orang‐orang Jawa sendiri. Dalam rangka ini, Jellesma kemudian mendidik orang‐orang Kristen Jawa dalam suatu “sekolah teologi” tradisional yang bertempat di rumahnya sendiri. Mereka yang dididik ini kemudian ditugaskan untuk memelihara persekutuan‐persekutuan Kristen baru, serta mengadakan kunjungan pastoral di mana‐mana. Dari sini terlihat bahwa kekristenan di Jawi Wetan (Jawa Timur) mengembangkan dua pendekatan yang saling menyatu. Yakni pengembangan gereja dan pendidikan teologi. Dua kesatuan ini memiliki dua arah; (1) pemeliharaan ke dalam gereja sendiri; (2) pembekalan tugas ke luar atau kesaksian. Prinsip ini yang sampai sekarang digarap oleh Balewiyata dan GKJW secara umum. Dalam kaitan ini, sikap empatik Jellesma terhadap kultur local juga dipraktikkan di dalam model pembinaannya yang tidak ngguroni, melainkan kemitraan. Maka, Jellesma membentuk kerjasama dengan pimpinan Kristen di Mojowarno, seperti dengan pendeta Paulus Tosari. Pada saat bersamaan, Jellesma juga berperan
256 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
sebagai penengah atas perbedaan pandangan antara kelompok Coolen yang kejawen dengan kelompok Emde yang kebarat‐baratan. Pendekatan yang adatif dengan kultur local ini tidak berlangsung lama karena pada tanggal 16 April 1858, Jellesma wafat dan dimakamkan di Mojowarno. Untuk sementara ia digantikan oleh Ds. Harthoom selama setahun, yang sayangnya memiliki pandangan berbeda dengan pendahulunya tersebut. Artinya, Harthoom melihat kekristenan di Mojowarno masih diliputi oleh kepercayaan lama (gugon tuhon, dsb). Hal ini diperparah dengan surutnya kehadiran orang di gereja, dan kecenderungan umat kembali ke kepercayaan lama. Sampai pada akhirnya, Harthoom menutup “sekolah teologia” yang dibentuk Jallesma, karena ia menganggap tidak membutuhkan tenaga pembantu penginjilan terlalu banyak. Namun, Harthoom hanya memimpin setahun saja, dan ia digantikan oleh Hoezoo. Di bawah pelayanan Hoezoo inilah, pola pendekatan Jallesma dihidupkan kembali, termasuk “sekolah teologia”. Ia memandang bahwa kemerosotan Kristen di masyarakat harus dilihat sebagai pra‐kondisi bagi tegarnya firman Tuhan. Bukan penghalang yang harus dimusuhi. Dalam era Hoezoo tersebut, kemerosotan memang menghinggapi masyarakat. Seperti dicatat Hoezoo, keikutsertaan orang‐orang Jawa ke dalam Kristen masih dilatari oleh motif material, seperti lahan (tanah), ngelmu kesaktian, kedatangan Ratu Adil dan perkawinan. Ketika masyarakat Jawa mengalami penyusutan kepercayaan kepada Roh, mereka tetap berada di dalam kepercayaan terhadap takhayul, disamping semakin merebaknya pemakain candu, pencurian dan perzinahan. Hanya saja dengan bijak Hoezoo melihatnya sebagai “persiapan kekristenan untuk dibimbing Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
257
kepada iman dan pertobatan di bawah pengaruh pemberitaan firman”. Selanjutnya adalah kedatangan J. Kruyt Sr. dan anaknya, A. Kruyt yang membawa suasana baru di Mojowarno. Sauna baru itu terkait dengan tingkat hubungan antara jemaat‐jemaat Jawa yang telah tumbuh sebelum Zending NHK dengan Zending NHK sendiri. Jika Jellesma tidak menggunakan pendekatan “ngguroni” melainkan mitra, maka Kruyt menggunakan pendekatan sebaliknya. Ia melakukan bimbingan dan pembinaan intensif melalui pemeliharaan jemaat. Berbagai kemajuan yang bersifat organisatoris berhasil dicapai. Hanya saja di dalam proses ini, terbentuk hubungan pyramidal antara orang‐orang Jawa dengan misionaris Eropa. Hal ini terlihat dalam beberapa hal; (1) Zendeling adalah satu‐ satunya yang dapat menyelenggarakan sakramen. Dalam hal ini, ia tidak dipanggil jemaat, tetapi diutus oleh NZG; (2) Zendeling adalah “orang atas”, sedang orang Jawa merupakan “orang bawah”; (3) Zendeling adalah pendidik yang harus diikuti, bukan hanya sekadar pengkhotbah atau penggembala; (4) Pendeta adalah orang Belanda yang memimpin semua orang Jawa. Ia disapa dengan sebutan “Ndoro Tuwan Pandita”. Dalam situasi ini, warga Kristen Jawa mengalami konflik psikis baik dengan para zending Belanda, maupun di dalam diri mereka sendiri. Konflik psikis ini terjadi di dalam pergulatan antara zending, jemaat Kristen Jawa dan kebangkitan nasional. Pendirian Balewiyata Bersama dengan angin nasionalisme, zending menyadari perlunya perluasan misi, yang akhirnya menempatkan Malang sebagai pusat Zendeling di Jawa
258 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Timur. Sebelumnya, telah dilakukan upaya untuk mendirikan sekolah teologia, namun selalu gagal. Upaya ini pernah dilakukan oleh Ds. Crommelin di Mojowarno pada tahun 1905. Hal sama dilakukan oleh Ds. Baljon yang dikirim tahun 1918. Kedua upaya mereka gagal. Pada tahun 1925, berhasil didirikan pendidikan teologi, bukan di Mojowarno melainkan di Kediri. Pendidikan ini ditangani oleh Ds. C.W. Nortier dan Ds. B.M. Schuurman. Nama lembaga pendidikan ini bukan Balewiyata melainkan Teologische Opleiding School Voor Voorgangers. Yakni sekolah teologia yang bertujuan mencetak pala pelayan Firman (Voorganger). Sekolah inipun sebenrnya merupakan kursus singkat sekama satu setengah tahun. Kursus ini diikuti oleh 18 orang siswa yang sudah cukup umur dan memiliki pengalaman di jemaat. Sekolah menamatkan 18 orang tersebut, kursus ini ditutup sementara karena sttatusnya memang bersifat eksperimental. Dari eksperimen di Kediri ini, Konferensi Zendeling Jawa Timur kemudian menyampaikan usulan ke Pusat Zendeling di Belanda untuk memperluas misi ke Malang, selain di Mojowarno (E.G. van Kekem, 2011). Malang dipilih karena ia merupakan kota besar yang strategis bagi modernisasi pekabaran Kristen di Jawa Timur. Maka pada Januari 1927, Sekolah Teologia Balewiyata didirikan di Malang, dengan 20 siswa sebagai angkatan pertama. Secara etimologi, Balewiyata berarti: Bale (omah, pendopo) Wiyata (piwulang). Sehingga Balewiyata adalah panggonane nampa piwulang: tempat menerima pengajaran. Nama Balewiyata sengaja dipilih karena nama ini memiliki “kandungan rasa Jawa”. Hal ini terkait dengan pendekatan misi di Jawa Timur yang memang membumi ke dalam kultur dan kebajikan Jawa.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
259
Hal ini terlihat di dalam pandangan konferensi atas model pendidikan di Balewiyata, sebagai berikut: “Sekolah ini tidak boleh kita jadikan tempat pembinaan dan pendidikan pemimpin kerohanian muda semata‐mata. Sebaliknya harus menjadi Sekolah Pekabar Injil Jawa dalam arti kata yang sesungguhnya. Dengan mengambil pesantren‐pesantren Jawa sebagai teladan, sekolah itu harus pula merupakan tempat setiap orang Kristen atau orang yang berminat, dapat belajar atau melakukan retreat untuk memperkaya ataupun memperdalam kehidupan kerohaniannya atau pengetahuannya tentang agama”. Model pembinaan kekristenan yang membumi dengan kebijaksanaan local ini terkait dengan tujuan mendasar kekristenan yang oleh Ds. Nortier dijadikan sebagai tujuan utama pendidikan di Balewiyata. Menurutnya, tujuan pendidikan Balewiyata adalah: “Penyerahan hidup sepenuhya untuk belajar dan mengusahakan diri hidup bersama Yesus Kristus dan penyerahan ke dalam persekutuan hidup untuk mengabdi kepada Sang Firman kepada dunia. Dengan itu para siswa dipimpin memperdalam kerohaniannya menuju ke jiwa apostelschap yang dengan Balewiyata inipun para siswa diusahakan mampu memberikan keselamatan” (C.W. Nortier, 2011). Dari pendirian Sekolah Teologia Balewiyata ini, terbentuk beberapa angkatan, meliputi: Tahun 1927‐1930 Angkatan I = 20 orang + 2 pendengar Tahun 1933‐1936 Angkatan II= 4 orang + 1 pendengar Tahun 1936‐1939 Angkatan III= 12 orang + yang 4 orang dari Bali
260 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Tahun 1937‐1940 Angkatan IV= 20 orang + 2 pendengar wanita Tahun 1939‐1942 Angkatan V= 8 orang + yang 1 orang GITJ Tahun 1942 Angkatan VI= 12 orang 6 bulan gugur karena ditutup Jepang Tahun 1947‐1950 Angkatan VII= 5 orang = pendidikan G.I. 2 tahun Tahun 1948‐1951 Angkatan VIII= 5 orang Tahun 1950‐1954 Angkatan IX= 23 orang (dari GKST, GKPB dan GKI Jatim) Tahun 1952‐1956 Angkatan X= 10 orang (dari GKJW, GKSS, GKPB dan GKST) Tahun 1954‐1958 Angkatan XI= 13 orang + 3 orang angkatan khusus Tahun 1955‐1960 Angkatan XII= 15 orang (dari GKJW, GKI Jabar, GMIT, GMIH) Tahun 1957‐1963 Angkatan XIII= 26 orang (dari GKJW, GPIB, GIJT, GKPB) Tahun 1959‐1965 Angkatan XIV= 19 orang (dari GKJW, GKJTU, GMIST) Pada tahun 1963 melalui Sidang MA GKJW ke‐44 tanggal 30 Oktober s.d. 1 Nopember 1963 di Mojowarno, diputuskan penggabungan antara Balewiyata dengan Akademi Teologia Yogyakarta (ATJ). Pada tahun akademik 1962/1963 dilaksanakan penggabungan satu kelas, yakni 16 orang siswa Balewiyata tingkat IV diboyong dan digabungkan dengan siswa tingkat IV ATJ. Ds. Tasdik dan Dr. A.C. Thomson disamping mengajar di Balewiyata juga secara bergiliran mengajar di ATJ. Akan tetapi karena sesuatu hal, penggabungan tersebut hanya berlangsung setahun. Akhirnya siswa Balewiyata yang tinggal 14 orang diboyong kembali ke Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
261
Malang meneruskan pendidikan tingkat V sampai tingkat VI tamat. Pada tahun 1964, para pendukung Balewiyata yakni GKJW, GKI Jabar, GKI Jatim dan Gereja Sekitar Muria memutuskan pendirian Sekolah Tinggi Duta Wacana, sehingga fungsi Balewiyata sebagai lembaga pendidikan teologia formal ditutup. Pusat pendidikan teologia berpindah di Duta Wacana, Yogyakarta. Hanya saja, karena Balewiyata telah memiliki kesejarahan di dalam GKJW, maka ia tidak dihapuskan, hanya diberi fungsi baru, yakni pengembangan kesiapan pejabat dan pekerja Gereja GKJW. Pada Sidang MA ke‐58 tanggal 13‐16 Nopember 1972, disahkan Pedoman Kerja Baru dari Balewiyata yang telah berganti nama, Institut Pendidikan Theologia (IPTh.) Balewiyata, yang merujuk pada program pengembangan kesiapan pejabat dan pekerja Gereja GKJW, antara lain: a. Yang dimaksud dengan pengembangan kesiapan adalah usaha‐usaha pemberian kesempatan kepada para pejabat dan pekerja gereja untuk dapat mengembangkan diri, sehingga secara teknis dan mental menjadi lebih siap untukk melaksanakan tugas masing‐masing. b. Pemberian kesempatan tersebut diwujudkan dalam bentuk kursus‐kursus secara kelompok, kursus ekstensi, kursus tertulis, konperensi studi dan seminar‐seminar. c. Materi kursus atau seminar untuk 3‐5 tahun ditetapkan sebagai berikut: • Untuk pendeta: Hermeneutika, homiletika, pneumatologi, etika social dan pembinaan orang dewasa. • Untuk penatu dan diaken: Garis besar sejarah suci, tata dan pranata gereja, penggembalaan, diakonis dan penatalayanan.
262 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
•
Untuk pekerja gereja lainnya: Garis besar sejarah suci, tata dan pranata gereja, kepemimpinan, dan beberapa mata pelajaran menurut kategori peserta (Pdt. Sardjonan, 2002).
Program Pembinaan Saat ini, IPTh. Balewiyata dipimpin oleh Pdt. Suwignyo, MSi. Sebagai lembaga pendidikan teologia informal, Balewiyata merupakan titik temu antara ruang akademis dengan praktik pelayanan di masyarakat. Artinya, Balewiyata merupakan tempat merefleksikan misi yang telah dilakukan para pendeta GKJW di masyarakat. Sebagai ruang refleksif, program di Balewiyata bertujuan untuk menciptakan evaluasi, baik dari segi teknis pembinaan maupun pendasaran ulang norma‐norma dasar misi. Untuk memenuhi tujuan tersebut, Balewiyata memiliki program: 1. Diskusi Mingguan (Kemisan) Acuan: Menjalankan peraturan MA GKJW, Badan Pembantu Bab III, ps3, Ay. 1a, 1b, dan 1c. Tujuan: Merumuskan pokok‐pokok pikiran tentang topik tertentu; Merumuskan strategi pembinaan yang utuh; Membuat bahan pembinaan yang lengkap dan mendasar; Memahami diskusi dalam proses pembuatan kebijakan jangka menengah dan jangka panjang. Sasaran kuantitas: 3 orang staf Balewiyata, diskusi awal (pradaya) sampai membuat bahan setengah jadi; 20 orang dari pihak yang terkait dengan topik bersama staf Balewiyata; 3 Judul Buku Serial Diskusi Kemisan. Bentuk kegiatan: Diskusi internal Staf Balewiyata; Diskusi yang diperluas dengan pihak‐pihak terkait; Editing naskah; Pencetakan buku. Waktu: Diskusi Staf Balewiyata setiap hari kamis pukul 09.00‐13.00, diskusi Staf balewiyata diperluas, pada hari
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
263
2.
3.
4.
5.
kamis Minggu ke 4. Tempat: Ruang Rapat dan ruang kuliah Balewiyata. Pembinaan Vikar se GKJW. Tujuan: Membekali dan memantapkan wawasan GKJW Evaluasi Pelayanan; memantapkan motivasi, refleksi dan membekali kepemimpinan kontekstual GKJW. Sasaran kuantitas: 10 orang Vikar dan lulusan Sekolah Teologi yang akan menjalani masa Vicariat (bergantian). Bentuk kegiatan: Tahap pertama: pembinaan wawasan GKJW, Tata Pranata, Teologi, ibadah‐ibadah/ritual, kekhasan GKJW. Tahap kedua: Evaluasi Pelayanan, Refleksi motivasi dan dedikasi, Kepemimpinan, Keterlibatan. Waktu: Tahap Kedua Vikar, tahap pertama Vikar. Tempat: IPTh. Balewiyata. Pra Sekolah Teologi. Tujuan: Menumbuhkan rasa dan kemantapan keterpanggilan pemuda‐pemudi untuk menjadi pendeta. Sasaran kuantitas: 40 orang (Kelas 2‐3 SMU sederajat). Bentuk kegiatan: pradaya, diskusi, talkshow, sharing, game, dan kebaktian. Waktu: 2 hari efektif. Tempat: IPTh balewiyata. Pembinaan Guru Injil. Tujuan: Ajang pertemuan saling asih asuh; Menambah wawasan dan mempertajam refleksi teologis. Sasaran kuantitas: 12 guru injil se GKJW. Bentuk kegiatan; Pradaya, sharing, evaluasi, ceramah, refleksi dan diskusi. Waktu: 2 hari jumat – minggu. Tempat: IPTh Balewiyata. Sabatical Year Pendeta GKJW. Acuan: PKP V Program Utama bidang Teologi. Tujuan: Mempertajam refleksi teologi pendeta; Menemukan talenta istimewa setiap pendeta untuk dikembangkan menjadi spesialis bidang tersebut. Sasaran kuantitas: pendeta‐pendeta GKJW. Bentuk kegiatan: Identifikasi dan refleksi diri; studi banding dan studi literatur; Penulisan, presentasi, dan
264 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
publikasi tulisan. Waktu: 3 bulan penuh. Tempat: IPTh Balewiyata dan tempat rekanan IPTh. Balewiyata. 6. Pembinaan Guru Katekisasi (Guru Anak, Remaja, Calon Sidi, Warga Calon, Pra Nikah). Acuan: 1. Keputusan Sidang MA tentang Katekisasi. 2. Rapat kerja dengan Komisi pembinaan teologi jemaat‐jemaat, akan mendesaknya peningkatan katekisasi. Tujuan: Memperlengkapi guru‐guru katekisasi dalam pelayanannya; Menggali permasalahan perkataksasian di GKJW. Sasaran kuantitas: 5 orang dari MD yang dipersiapkan menjadi trainer. Bentuk kegiatan: Pradaya antara Balewiyata dan DPT; Sharing bahan‐bahan apa saja yang dipakai (bersama); Diskusi dalam kelompok kategorial (5 kelompok); Merencanakan pengajaran Katekisasi di GKJW yang lebih tepat dan kontekstual. Waktu: Kamis‐minggu (waktu liburan sekolah). Tempat: IPTh Balewiyata. 7. Pembuatan dan Apresiasi Lakon Wayang sebagai ekspresi berteologi kontekstual. Acuan: 1. PKP V Program Utama A.10. Pengembangan Seni Budaya sebagai Ekspresi Iman Kristiani dalam Hubungan dengan Kesaksian (khususnya A.10.4.). Tujuan: Mengembangkan seni budaya Indonesia dalam kegiatan gerejawi untuk mengekspresikan iman Kristen baik di lingkungan gereja maupun masyarakat. Sasaran kuantitas: 3 lakon wayang (carangan) yang mengekspresikan gagasan tentang ‘Pengampunan’, Pengharapan’, ‘Kasih yang memberi diri’. Bentuk kegiatan: Pradaya (terpadu dengan DPK); Pelaksanaan mengarang lakon; Pelaksanaan apresiasi atas ketiga lakon tersebut. Waktu: Kamis‐minggu (waktu liburan sekolah). Tempat: IPTh Balewiyata.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
265
8. Kerjasama Lintas Agama sebagai ekspresi ekumene baru. Acuan: PKP V Bidang Teologi program utama A.6. (ekumene baru = keharmonisan persaudaraan lintas gereja dan lintas agama). Tujuan: Mengembangkan sensitivitas ekumenis baru. Sasaran kuantitas: 1 (satu) kelompok/kelas (20 orang) yang sadar pentingnya mewujudkan keharmonisan persaudaraan lintas agama). Bentuk kegiatan: Pradaya (terpadu dengan Kaum‐MA); Pelaksanaan; Evaluasi. Waktu: Sepekan (6 hari). Tempat: IPTh Balewiyata (Program Kerja Tahun 2013 Institut Pendidikan Theologia Balewiyata Malang, 2012). Misi Menurut IPTh. Balewiyata Sebagai bagian dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), IPTh. Balewiyata memiliki pandangan tentang misi yang selaras dengan pandangan serta kinerja GKJW dalam misi kekristenan. Pandangan ini bersifat substantif yang menekankan pemaknaan esoteris atas ajaran Kristus sehingga melahirkan misi yang kontekstual dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Dalam kaitan ini, terjadi perubahan paradigma dari pemahaman misi sebagai pekabaran Injil (PI), kepada misi sebagai kesaksian. Misi sebagai PI merupakan pemahaman GKJW sejak tahun 1931 hingga 1990‐an. Dalam pemahaman ini, PI dimaknai sebagai upaya mengabarkan Injil, yakni kabar baik dari Tuhan. Yang menarik, kabar baik dari Tuhan ini tidak hanya tertuju pada umat Kristen tetapi seluruh umat manusia. Hal ini terjadi karena yang dimaksud sebagai kabar baik adalah “tidak ada lagi tangisan, ratapan dan duka”. Inilah yang disebut sebagai kasih. Dalam kerangka ini, agen PI masih bersifat formal yang dilakukan oleh para pendeta, yang terkoordinasi di dalam Badan Pekabaran Injil.
266 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Pasca 1990‐an, terjadi perubahan paradigma menuju misi sebagai kesaksian. Paradigm ini berangkat dari proses keberimanan umat Kristen akan Yesus. Keberimanan ini tidak hanya terhenti pada keyakinan yang bersifat doctrinal, melainkan sebuah proses “mengalami iman”. Oleh karenanya, kata yang dipakai adalah kesaksian. Yakni sejauh mana orang Kristen berjumpa dengan Kristus di dalam kehidupannya, sehingga ia bisa bersaksi akan kebenaran dan kehadiran Kristus di dalam kehidupan. Pada titik ini, kesaksian merupakan proses penghayatan iman yang berjumpa dengan pengalaman kehidupan. Ia merupakan proses internalisasi ajaran Kristus sehingga menjadi bagian dari kehidupan. Dalam fase ini, seorang Kristen tidak cukup hanya menghafalkan ayat suci, tetapi sejauhmana ayat suci tersebut telah menjadi bagian dari kesadaran hidup. Dengan adanya perubahan paradigma ini, maka struktur pembinaan di GKJW berubah. Dari Dewan Pekabaran Injil, menjadi Dewan Pembinaan Kesaksian (DPK). Dewan ini berada pada level sinode, yang mengkoordinasikan Komisi Pembinaan Kesaksian (KPK) di tingkat Majelis Daerah, sedang KPK mengkoordinasikan KPK pada level jemaat‐ jemaat. Dengan adanya perubahan tersebut, agen misi tidak hanya pendeta yang tergabung dalam Dewan PI, melainkan semua orang Kristen. Dalam kaitan ini, Dewan dan Komisi Pembinaan Kesaksian hanya melakukan pembinaan agar semua orang mengalami kesaksian dan bisa menjadi saksi atas kebenaran Kristus. Perubahan ini terjadi karena kesaksian bukanlah tugas elitis, melainkan populis. Artinya, semua populasi umat Kristen wajib mengalami dan mewartakan kesaksian. Dari proses kesaksian ini, maka misi kemudian menjadi upaya untuk mewartakan kesaksian. Hanya saja Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
267
berbeda dengan metode Pekabaran Injil yang cenderung formal‐doktrinal, yang dilakukan oleh pendeta di dalam gereja. Pekabaran kesaksian dilakukan secara informal dan tidak langsung. Tentu, pekabaran dalam arti formal gerejawi dan doctrinal tetap ada di lingkup internal umat Kristen. Namun cakupan misi dalam kerangka kesaksian, melampaui keumatan Kristen. Hal ini bisa terjadi, karena pewartaan kesaksian dilakukan secara tidak langsung, sebagai dampak dari kesaksian. Misalnya, moralitas seorang Kristen yang bagus yang lahir dari kesaksian akan moralitas Kristus, akan membuat orang lain tertarik. Ketertarikan ini tidak kemudian menjadi jalan bagi peng‐kristenan orang tersebut. Sebab nilai‐ nilai yang diwartakan di dalam kesaksian bersifat substantif, seperti kejujuran, kedamaian, solidaritas, dan ketuhanan itu sendiri. Pada titik inilah, pewartaan misi akhirnya bisa bertemu dengan agama‐agama lain, serta konteks masyarakat yang melingkungi kekristenan tersebut (Wawancara dengan Pendeta Suwignyo, Ketua IPTh. Balewiyata, 5 Juni 2013). Dari pemahaman akan misi yang merujuk pada pergeseran makna dari misi sebagai pekabaran Injil, menjadi misi sebagai kesaksian, IPTh. Balewiyata mengembangkan suatu “teologi kontekstual”. Teologi ini berangkat dari pengandaian bahwa iman Kristus bukanlah keimanan yang mengawang dan terpisah dari realitas. Sebaliknya, keimanan akan Kristus berangkat dari realitas untuk mengemansipasi realitas. Dalam kerangka pemahaman akan “teologi kontekstual” ini, kita perlu memahami terlebih dahulu landasan umum teologi di Balewiyata yang menjadi dasar bagi teologi di GKJW. Yang dimaksud dengan teologi di sini adalah wawasan atau motivasi hidup orang yang beriman kepada Allah. Wawasan itu mendasari dan mewarnai cara
268 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
hidupnya, baik yang bersifat pribadi maupun dengan pihak lain, dalam persekutuan internal orang‐orang beriman, maupun dalam persekutuan eksternal dengan orang lain. Pendeknya, teologi adalah warna khas hidup seseorang tentang Allah, diri dan dunia. Pedoman hidup ini membentuk jalinan erat dan mapan antara pengalaman, pergumulan dan harapan hidup seseorang atau sekelompok orang. Dalam kaitan ini, teologi Balewiyata memusat di dalam “sahadat rasuli” yang terdiri atas tiga pengakuan pokok: Aku percaya kepada Allah, Bapa yang mahakuasa dan pencipta langit‐ bumi serta isinya; Aku percaya kepada Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat dunia; dan Aku percaya kepada Roh Kudus. Pada titik ini perlu dijelaskan tiga pengakuan pokok tersebut. Pertama, Allah Bapa. Balewiyata memaknai sebutan Allah, Bapa, Sang Rama adalah sebagai Allah yang menciptakan dunia seisinya dan memeliharanya dengan penuh kasih tanpa kecuali, serta Allah yang sangat dekat dengan manusia. Dalam pemahaman ini terdapat tiga pemaknaan; (1) Allah adalah Bapa Yesus Kristus, Anak Tunggal yang dikasihi‐Nya; (2) Allah dikenal dan disembah sebagai Bapa oleh umat‐Nya, gereja Kristen. Kita diterima‐ Nya sebagai anak‐anak hilang tetapi kembali lagi kepada‐Nya; (3) Sesungguhnya, Allah Pencipta adalah Bapa seluruh umat manusia, ciptaan‐Nya dikasihi dan dipelihara dengan penuh setia. Ia juga Bapa dari manusia yang tidak mengenal Allah sebagai Bapa. Kedua, Anak Allah. Pemahaman akan Anak Allah mengungkapkan iman berkaitan dengan gagasan tentang keselamatan. Yesus Kristus adalah Anak allah yang membawa keselamatan bagi dunia, baik keselamatan di dunia maupun keselamatan kekal, lahir maupun batin. Disebut penyelamatan, karena manusia yang semula jauh dari Allah Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
269
karena dipisahkan oleh dosa, didamaikan, didekatkan lagi oleh karya penyelamatan Kristus. Sedangkan karya penyelamatan itu dilakukan melalui penderitaan; kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Ketiga, Roh Kudus. Menurut tradisi mistik, Roh Kudus dianggap sebagai spirit saja, bukan pribadi. Roh Kudus kemudian dipahami sebagai roh penghibur, penolong dan penggerak. Sebuah roh yang memungkinkan orang Kristen melaksanakan kehendak Allah, menjadi pengikut Kristus. Namun dalam perkembangan di Balewiyata, Roh Kudus dipahami sebagai Roh Allah sendiri. Roh Kudus mengerjakan hal‐hal yang tidak bertentangan dengan maksud Allah, yakni menggerakkan sejarah dan mewujudkan keselamatan bagi umat manusia yang tertindas, sengsara dan remuk hati. Roh Kudus dipercayai sebagai kekuatan pendiri gereja Kristen di berbagai tempat, termasuk GKJW. Tiga pengakuan pokok teologis ini kemudian melahirkan empat kesadaran turunan yang sekaligus menjadi praksis dari dasar teologis di atas. Yakni meliputi; kesadaran akan sentralitas Alkitab, kesadaran akan panggilan Gerejawi, kesadaran akan konteks dan kesadaran akan jabatan Imamat Am bagi orang beriman. Pertama, sentralitas Alkitab. IPTh Balewiyata memahami Alkitab sebagai kesaksian akan “karya keselamatan” yang dilakukan oleh Allah. Dalam Perjanjian Lama, karya keselamatan ini terwujud di dalam sejarah bangsa Israel, sedangkan dalam Perjanjian Baru, karya keselamatan terwujud dalam Yesus Kristus. Alkitab memberi kesaksian tentang peristiwa‐peristiwa penyelamatan Allah yang berlangsung dalam sejarah manusia, umat Allah dalam era Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Peristiwa‐peristiwa penyelamatan itu disaksikan oleh umat Allah secara lisan, kemudian ditulis. Dan pada gilirannya, Alkitab merupakan
270 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
sarana untuk mendengar dan memahami Sang Firman Hidup. Dengan demikian, istilah Firman Allah dalam penghayatan Balewiyata, berarti Yesus Kristus sendiri. Ia adalah Sang Firman Hidup yang menjadi daging. Menempatkan Alkitab sebagai sentral, berarti menempatkan “karya keselamatan” Allah sebagai panduan normatif bagi hidup dan misi Kristen. Kedua, panggilan Gerejawi. Sebagai bagian dari GKJW, IPTh. Balewiyata mengembangkan kesadaran akan panggilan Gerejawi. Panggilan ini berangkat dari pemahaman bahwa “karya keselamatan” Allah tidak hanya dimiliki sendiri, melainkan diwartakan juga kepada semua orang. Tugas pewartaan atau pemberitaan keselamatan tersebut secara teknis disebut sebagai tugas pelayanan. Meliputi lima bidang pelayanan; bidang teologi, persekutuan, kesaksian, pelayanan kasih dan penatalayanan. (1) Pelayanan di bidang teologi adalah kegiatan bergumul dengan firman dan karya Allah di alam kehidupan, untuk mendapatkan wawasan, motivasi, kekuatan dan petunjuk‐ Nya. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan pada waktu dan tempat tertentu, melainkan juga di dalam setiap kesempatan, baik secara sendiri maupun bersama‐sama. (2) Pelayanan di bidang persekutuan adalah kegiatan mewujudkan dan mengembangkan persekutuan Gerejawi. Dalam kaitan ini, istilah yang kental di GKJW adalah patunggilan kang nyawiji: menjadi satu keutuhan yang menggabungkan semua, vormen een aaneengesloten. Yakni berhimpunnya persekutuan‐persekutuan jemaat daerah dan se‐Jawa Timur sebagai satu patunggilan. Pemahaman ini yang mendasari pembentukan organisasi GKJW, yang menempatkan dirinya tidak sebagai gereja presbyteral atau sinodal atau konggregasional atau episkopal. Berbagai istilah ini merupakan istilah di dalam gereja dan hukum gereja Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
271
konvensional, dan tidak dipakai oleh GKJW. Format persekutuan dalam GKJW adalah patunggilan kang nyawiji.( Pdt. S. Wismoady W). (3) Pelayanan di bidang kesaksian adalah kegiatan menjadi saksi Yesus Kristus dan mewartakan berlakunya rencana dan kuasa Allah serta penggenapannya atas dunia dengan segala isinya. Kesaksian sengaja dipilih oleh Balewiyata dan GKJW, dan bukan istilah “pekabaran Injil”. Hal ini dimaksudkan supaya dimensi ke‐saksi‐an atau menjadi saksi lebih lengkap, yakni: orang yang mengalami sendiri, orang yang menampakkan hidup baru oleh kuasa Yesus Kristus, orang yang sanggup menegaskan kebenaran/keyakinannya dan orang yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kebenaran keyakinannya. Kesaksian ini sejak awal diarahkan pada memitran dengan sesame, tidak hanya dalam kalangan Kristen saja. Sebab kesaksian yang dikembangkan di Balewiyata dan GKJW merujuk pada prinsip “mencaraken pitajengipun / pawartos wilujeng dhateng bangsanipun piyambak: mewarta‐wartakan kepercayaannya / berita keselamatan kepada bangsanya sendiri”. (4) Pelayanan di bidang cinta kasih atau diakonia adalah kegiatan yang menyatakan cinta kasih Allah kepada dunia dengan segala isinya, untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin. Dalam kaitan ini, pelayanan cinta kasih meliputi tiga hal; pertama, karikatif atau kuratif melalui pemberian pertolongan untuk mengatasi kebutuhan mendesak, berupa pangan, sandang, dan pengobatan; kedua, reformatif atau preventif berupa upaya menghindari terjadinya kekurangan, misalnya melalui pemberian modal kerja, dan ketiga; transformatif menuju perubahan struktural masyarakat secara menyeluruh.
272 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Ketiga, kesadaran akan konteks. Kaum Kristen GKJW dan Balewiyata menyadari dirinya sebagai orang Kristen Jawa, bukan Belanda. Kendati pada zaman kolonial, menjadi Kristen disebut sebagai menjadi Belanda. Mereka tidak mau disebut dengan sebutan itu, dan tak mau meninggalkan adat Jawa di dalam kekristenan. Kesadaran akan konteks Jawa Timur ini tercermin dalam nama Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) itu sendiri. Selain konteks kultural, Balewiyata dan GKJW juga mengembangkan misi yang kontekstual dengan kebutuhan masyarakat, termasuk masyarakat non‐Kristen. Hal ini dikembangkan melalui pelayanan riil, seperti mendirikan yayasan pendidikan (YBPK), yayasan kesehatan (YK), yayasan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat (YPPM), badan hubungan antar umat beragama (KAUM), serta lembaga pelayanan dan pemeliharaan kesehatan warga gereja dan warga masyarakat (UPKW). Keempat, kesadaran akan jabatan Imamat Am. Kesadaran ini dirumuskan dengan “gereja gerakan warga”, yang menempatkan warga jemaat satu demi satu orang sebagai subjek GKJW. Setiap warga jemaat dipanggil dan diberi jabatan oleh Tuhan sebagai imam, nabi, dan raja. Dengan kesadaran ini, setiap warga gereja memiliki tugas sebagai Imamat Am, yakni imam yang berperan mewartakan dan melaksanakan misi Kristen (Pdt. Suwignyo, 2002). Implementasi dan Dampak Misi Dalam kerangka misi sebagai kesaksian dan teologi kontekstual ini, warga Kristen Jawi Wetan baik yang terepresentasi dalam IPTh. Balewiyata maupun GKJW telah mengalami pergulatan agama dan budaya. Hal ini dilatari oleh misi awal kekristenan yang disebarkan oleh kalangan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
273
pietisme, sebuah aliran teologi yang menekankan kesalehan batin, kelahiran baru, keselamatan jiwa dan penginjilan. Dalam kerangka pietisme inilah, misi dipahami sebagai pekabaran Injil. Aliran pietisme ini memiliki pandangan negatif terhadap adat local serta agama lain, sehingga melahirkan pendekatan misi yang konfrontatif. Oleh karena itu tidak menghenrakan jika kekristenan sering dipandang sebagai anti‐sosial, anti‐budaya dan anti‐agama‐agama lain. Dari sini warga Kristen Jawi Wetan mengalami keterbelahan kepribadian. Di satu sisi mereka merupakan orang Kristen yang memiliki dua “identitas luar”: doktrin Kristen yang puritan dan budaya Belanda yang modern. Dua identitas yang datang dari luar Jawa ini bertemu dengan identitas kejawaan yang memiliki nilai, adat dan budaya sendiri. Maka, Kristen Jawi Wetan akhirnya berusaha menempatkan ajaran Kristen di antara dua ekstrim. Di satu sisi menjaga diri agar tidak terjebak dalam “akulturasi total” dengan budaya Jawa, sehingga menghilangkan otentisitas Kristen. Namun di sisi lain juga tidak menjadi kaum puritan dan Westernis yang anti dengan budaya lokalnya sendiri. Hal serupa terjadi pada hubungan antar‐agama. Di satu sisi, warga Kristen Jawi Wetan menjaga diri dari pandangan keagamaan yang ekslusif‐trimpalistik (terturup dan superiority complex) sehingga meniadakan agama lain. Di sisi lain tidak meleburkan Kristen ke dalam kemajemukan agama sehingga menghilangkan orisinalitas Kristen. Titik tengah antara kedua ekstrim di atas terdapat dalam kontekstualisasi teologi, di mana ajaran‐ajaran Kristus yang universal berusaha dibumikan ke dalam konteks masyarakat, tanpa kehilangan otentisitas dari ajaran tersebut. Dalam kaitan ini, terdapat tiga implementasi misi yang dilakukan warga Kristen Jawi Wetan, baik yang dilakukan di
274 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
dalam IPTh. Balewiyata, GKJW, maupun praktik misi para pendeta GKJW. Ketiga implementasi tersebut meliputi; (1) Kontekstualisasi ajaran Kristen ke dalam budaya Jawa; (2) Perawatan atas kemajemukan agama; (3) Pelayanan gereja untuk mengentaskan kemiskinan; (4) Hubungan Oikumene di internal gereja lain. Pertama, kontekstualisasi ajaran Kristen ke dalam budaya Jawa. Ke‐Jawaan warga Kristen Jawi Wetan sangat kental, terlihat dalam nama GKJW itu sendiri. Dengan demikian, warga Kristen ini memahami dirinya sebagai orang Jawa yang beragama Kristen, bukan orang Kristen yang kebetulan di Jawa. Dari sini mereka melakukan pribumisasi agama ke dalam budaya Jawa. Dalam kaitan ini yang disebut pribumisasi agama bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme. Jawanisasi merujuk pada dominasi nilai dan budaya Jawa atas Kristen. Sementara sinkretisme merujuk pada pencampur‐ adukan teologi sehingga masing teologi hilang otentisitasnya. Pribumisasi agama kemudian menapaki titik tengah di antara kedua ekstrim itu melalui kontekstualisasi ajaran‐ajaran agama dengan mengambil bentuk budaya lokal. Artinya, agama yang datang dari luar negeri dan universal itu memanifestasikan dirinya ke dalam bentuk budaya lokal, dalam hal ini Jawa. Pada titik ini, yang diambil dari Jawa dua hal. Pertama, nilai‐nilai etis yang sama dengan etika Kristen. Sementara etika Jawa bersifat spiritual, maka kesamaan etis antara Jawa dan Kristen tentu bersifat spiritual. Kedua, bentuk budaya Jawa yang netral dan bisa disusupi oleh nilai‐nilai Kristen. Dalam pola ini, bentuk budaya Jawa dipinjam dan dijaga, bukan dihilangkan demi Kristen (Wawancara dengan Pdt. Chrysta Budi Prasetyo, pendeta GKJW dan alumni Balewiyata, 6 Juni 2013). Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
275
Pribumisasi Kristen ke dalam budaya Jawa ini bisa terlihat di dalam beberapa hal. Pertama, penggunaan bahasa Jawa Timuran sebagai bahasa kekristenan di GKJW. Penggunaan ini dilakukan baik dalam khotbah, proses pendidikan di IPTh. Balewiyata maupun di dalam situs resmi GKJW: www.gkjw.web.id. Kedua, penggunaan wayang sebagai media dakwah. Sama dengan Islam, khususnya para Walisongo yang menggunakan wayang sebagai media dakwah. Para pendeta GKJW juga menggunakan wayang sebagai media misi. Proses penggunaan wayang ini berangkat dari paradigm pribumisasi agama, yakni internalisasi nilai‐ nilai Kristen ke dalam cerita wayang tanpa menggubah originalitas wayang itu sendiri. Artinya, epos yang ditayangkan tetap epos Mahabarata dan Ramayana. Internalisasi Kristen ke dalam epos tersebut bersifat substantive, sehingga sosialisasi ajaran Kristen melalui wayang tidak bersifat formal. Artinya, nilai‐nilai Kristen diwartakan dalam bahasa, kata dan istilah dari pewayangan. Bukan istilah dan terminologi Kristen (Wawancara dengan Pdt. Suko T. Daneswara, pendeta dan pengajar di Balewiyata, 10 Juni 2013). Ketiga, tradisi wisuda crash program di IPTh. Balewiyata yang menggunakan pakaian Jawa (blangkon dan asesoris pakaian Jawa), liturgi, bahasa pengantar dan musik pengiring Jawa (Pdt. Suwignyo, 2012). Keempat, musik gereja Jawa. Musik merupakan media bagi pribumisasi agama. Dalam hal ini, GKJW tidak hanya menciptakan tembang‐tembang Jawa untuk ibadah gereja, seperti Kidung Hossiana karangan Dirman Sasmokoadi, tetapi juga menerjemahkan lagu‐lagu Eropa menjadi lagu Jawa seperti Kidung Pasamuwan Kristen. Pribumisasi agama melalui musik ini mengiringi proses dakwah Kristen itu sendiri di Jawa Timur. Pada
276 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
awalnya, Kekristenan diperkenalkan di wilayah ini melalui media musik yang hidup di zamannya. Kekristenan diajarkan melalui tembang Jawa dan bahkan dzikir (doa dan pujian yang diucapkan selepas sembahyang), serta cerita‐cerita Alkitab yang disampaikan melalui media wayang. Pendekatan budaya ini dilakukan oleh pendeta C. L. Coolen di daerah Ngoro, Jombang. Menariknya, misi seperti ini tidak diniatkan untuk mencari pengikut. Sebab dakwah model budaya ini dilakukan demi pendalaman keyakinan warga Krisren secara internal. Di tempat lain, yakni Wiyung Surabaya, orang Jawa yang menganut Kristen harus menanggalkan adat Jawanya. Kelompok Dasimah, Midah dan Sadimah dari Wiyung yang belajar Kristen kepada pendeta Johanes Emde (Jerman) di Surabaya, mendapatkan “Sepuluh Hukum” yang antaranya: Janganlah kamu mendengarkan gamelan, janganlah kamu membaca tembang. Hal ini membuahkan penolakan bagi warga Jawa, sehingga orang‐orang Ngoro dibaptis di Surabaya dengan model anti‐Jawa tersebut, diusir dari Ngoro. Kedua model misi yang berseberangan ini kemudian bertemu di dalam pembentukan masyarakat Kristen di Mojowarno yang berusaha menetapkan kembali kekristenan yang ramah budaya Jawa (Pdt. Suko T. Daneswara, 2011). Implementasi kedua yang dilakukan oleh warga Kristen Jawi Wetan khususnya dilakukan di IPTh. Balewiyata adalah perawatan kemajemukan agama. Sebagai bagian dari kontekstualisasi, IPTh. Balewiyata mengembangkan teologi pluralisme, yang meninggalkan ekslusifisme‐triumphalistik atas agama dan membuka diri bagi pengenalan serta penghargaan terhadap agama‐agama lain. Pendekatan inklusif dalam kerangka pluralism agama ini dikembangkan secara pedagogis, baik melalui Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
277
pembelajaran di di IPTh. Balewiyata maupun pelaksanaan dialog antar‐agama. Beberapa pembelajaran pluralism agama di IPTh. Balewiyata meliputi; (1) Pendidikan Teologi Warga Gereja (PTWG) yang memuat mata kuliah pengenalan agama‐ agama di Indonesia sejak agama primitif, Islam, Hindu, Budha dan kebatinan Jawa; (2) Program pembinaan “teologia religionum” atau teologi tentang agama‐agama. Program ini bertujuan mempersiapkan warga Gereja dalam menghadapi kemajemukan agama di masyarakat agar dapat menghindarkan diri dari sikap ekslusif dan mampu hidup berdampingan dengan umat agama lain secara saling mensejahterakan (pro‐existen). (3) Program Studi Intensif Islam (SITI) yang kemudian dikembangkan menjadi Studi Intensif tentang Islam dan Kristen (SITIK). Program ini diadakan melalui live in secara silang, baik di kalangan muslim maupun Kristen. Waktu live in sebulan, di mana para warga Kristen live in di pesantren, sementara para santri muslim live in di jemaat Kristen. Di dalam live in tersebut, masing warga saling mendialogkan Islam dan Kristen secara mendalam dan saling menghargai. Program live in ini tidak hanya mengenalkan pluralism agama secara konseptual, tetapi juga praktik interaksi sosial antar muslim dan warga Kristen; (4) Program Christian‐Muslim Dialogue (CMD) yang diadakan berkat kerjasama antara IPTh. Balewiyata, GKJW dan United Evangelical Mission (UEM). Produk dari dialog tersebut adalah terbentuknya lembaga toleransi yang menerbitkan Journal Toleransi dan mengembangkan dialog‐dialog di tengah masyarakat (Pdt. Bambang R. Utomo, 2011). Implementasi ketiga yang dilakukan warga Kristen Jawi Wetan adalah pengembangan teologi yang berempati kepada kaum miskin. Pengembangan ini berangkat dari dua
278 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
premis. (1) Setiap orang dalam terang jabatannya sebagai Imamat Am, harus memerankan dirinya baik sebagai imam, raja maupun nabi. Selain kepada warga gereja secara umum, peran ini diberikan khususnya kepada para pendeta. Sayangnya, dalam kerangka budaya Jawa, jabatan imam dan raja cenderung terpengaruhi oleh tradisi keratuan Jawa yang bersifat konservatif kalau bukan feodalistik. Hal ini yang bertentangan dengan tradisi kenabian Kristen yang menempatkan para nabi sebagai pengusik kemapanan. Peran anti kemapanan ini ditunaikan oleh Nabi Natan ketika mengritik Raja Daud yang telah berzinah dengan Bethseba. Atau diperankan oleh Yesus sendiri yang menentang kekuasaan Romawi yang membuatnya harus digusur ke Golgota. Peran kenabian yang anti kemapanan ini lahir dari posisi Tuhan sendiri yang berperan baik sebagai “Pengusik Utama”, sekaligus sebagai “Penata Utama”. Praktik “pengusikan” dan “penataan” merupakan karya Tuhan demi pemulihan sejati antara masyarakat, kosmos dan batin. Sejarah bangsa Israel merupakan rentangan sejarah Usikan Tuhan dan Penataan Tuhan yang berlangsung secara dinamis dan sinambung. Karya puncak‐Nya terdapat dalam diri Yesus Kristus (Pdt. B.A. Abednego, 2011). (2) Pemuliaan “kondisi kemiskinan” dalam pandangan ketuhanan. Kondisi kemiskinan yang dimaksud adalah “kemiskinan batin” yang sangat membutuhkan “kekayaan Tuhan”. Dasar teologis ini berangkat dari firman dalam Injil Matius 5‐7 tentang Kotbah di Bukit. Firman ini berisi ucapan selamat kepada setiap orang yang diperkenan oleh Tuhan. Artinya, Matius 5‐7 merupakan pemenuhan janji Allah dalam Perjanjian Lama, melalui kehadiran Yesus Kristus, sebagai Allah yang mewujud dalam Perjanjian Baru, yaitu kehadiran Kerajaan Allah di dalam diri Yesus Kristus yang membawa Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
279
berita damai dan sejahtera bagi setiap orang yang mengalami penindasan. Melalui berita ini hendak digambarkan, Allah sungguh‐sungguh masuk ke dalam sejarah keselamatan manusia. Dalam berita yang disampaikan Matius, digambarkan bahwa Yesus Kristus, yang merupakan Kerajaan Allah yang mewujud, telah memberikan perintah baru agar manusia hidup dalam “God’s style”, yakni hidup di dalam pendamaian dan penyatuan diri dengan Allah dan kehidupan. Dengan demikian, kehidupan manusia harus menampakkan kebersatuannya dengan sesama sebagai wujud nyata dari kebersatuannya dengan Allah, Sang Pemilik Kehidupan. Gambaran yang dipakai oleh Yesus untuk menunjukkan penyatuan diri manusia dengan Allah, melalui ungkapan, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah (Roh)”. Kata miskin dalam ungkapan ini tidak berarti menjadikan kemiskinan sebagai sesuatu yang mulia dan oleh karenanya harus dicapai oleh orang‐orang beriman. Melainkan sebuah gambaran yang menunjukkan bahwa setiap orang yang hidup dalam kebersatuan bersama Allah, adalah orang yang memiliki sikap ketundukan, kepasrahan dan kepercayaan yang utuh kepada tuannya, yang dipandang sebagai pemilik kehidupan. Seperti halnya sikap orang‐orang miskin yang tak memiliki apapun, kecuali ketundukan dan kepasrahan terhadap tuan yang memiliki mereka. Hal ini terkait dengan konteks Injil Matius yang ditulis dalam situasi penjajahan Romawi kepada Israel dan sikap sekelompok bangsa di Israel yang berkuasa terhadap kelompok miskin (Oshlos). Sabda bahagia (ucapan selamat) ini kemudian berpuncak pada Matius 7‐12 yang menggambarkan bahwa setiap orang yang telah menjalani hidup di dalam kebersatuannya dengan Allah adalah orang yang pro‐aktif
280 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
yang ditujukan kepada dirinya sendiri dan sesamanya. Bukan demi pencarian nama melainkan sebagai tanggung jawab kepada Allah, yang telah menyatu dengan dirinya. Dengan demikian, orang yang telah bersatu dengan Allah, mampu menjadi garam dan terang dunia (Matius 5:13‐16). Sebagai orang yang selalu berdamai dengan orang lain tanpa ingin menghakimi yang lain (Matius 7:1‐5) dan selalu menghargai kehidupannya sendiri (Matius 7:6), sehingga setiap doa yang diucapkan dikabulkan Allah (Matius 7:7‐11). Prinsip kebersatuan dengan Allah ini kemudian dipraksiskan ke dalam pelayanan kasih kepada sesame, khususnya kepada kaum miskin. Pelayanan ini ditetapkan oleh Matius 22:37‐40 (Kotbah tentang Kasih). Firman ini merupakan penegasan bahwa kebersatuan dengan Allah melahirkan ungkapan kasih kepada Allah yang diwujudkan melalui kasih kepada sesame manusia. Kasih kepada Allah bukan kasih irrasional, sebab kasih ini menggunakan pengetahuan dan akal budi. Hal ini terjadi karena Allah memanifestasikan diri ke dalam setiap unsure kehidupan, sehingga ketika ingin mengasihi Allah, maka tentunya melalui kasih kepada kehidupan dan semua makhluk di dalamnya. Pada titik ini Nampak sekali nuansa Ilahi yang manusiawi dan manusia yang Ilahi, yang termanifestasi dalam diri Yesus, melalui pemberian hokum‐Nya. Yesus menekankan bahwa kehidupan yang dijalani manusia hendaklah menunjukkan kebersatuan dalam kehidupan manusia, sebagai manifestasi langsung dari kebersatuan dengan Allah. Melalui hokum ini tampak “teologi Salib Yesus”, yaitu hokum yang vertical (mengasihi Allah) bertemu dengan hokum horizontal (mengasihi sesame manusia) dalam satu kesatuan:
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
281
(Jiwa “Teologi Salib”) (Kasih kepada sesama manusia) (Kasih kepada Allah) Gambar: Teologi Salib Dari “Teologi Salib” di atas terlihat bahwa cinta kasih kepada Allah yang bersifat vertical, bertemu di “jiwa Teologi Salib” dengan kasih kepada sesame (horizontal). Dengan demikian, “jiwa Teologi Salib” menjadikan kasih kepada manusia sebagai ejawantah dari kasih kepada Tuhan. Hal ini terkait dengan Matius 25:31‐46 yang menggambarkan Yesus/Allah yang hidup di dalam diri orang yang menderita, miskin, papa, terbuang. Penggambaran ini bertujuan untuk mengajak manusia agar memiliki kepedulian terhadap kaum tertindas. Untuk itu Yesus mengidentifikasikan diri‐Nya selaku orang yang tidak memiliki peluang dalam kehidupan. Inilah yang dimaksud oleh prinsip Kristus sebagai Allah memiliki hati yang remuk! Pemahaman ajaran Allah sebagai wahyu transformative bagi pengentasan kaum tertindas ini berdampak pada pemahaman atas misi. Hal ini melahirkan kebutuhan akan perubahan atas penafsiran terhadap Kotbah Pengutusan yang termaktub dalam Matius 28:16‐20.
282 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Umumnya, Kotbah Pengutusan dipahami misalnya oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) sebagai Amanat Agung yang dimaknai sebagai pengutusan memenangkan jiwa. Frame yang digunakan menjadi sebagai berikut: Amanat : Pergilah Isi Amanat : Memuridkan Isi berita: Membaptiskan Non‐holistik Mengajar Rohani Tampak dalam pemikiran umum ini bahwa Matius 28:16‐20 dipahami sebagai upaya memenangkan jiwa (aspek trumphalistisme Kristiani) sehingga secara implicit menafikan orang non‐Kristen. Hal ini tentu bertentangan dengan “jiwa Teologi Salib Kristus”. Dengan demikian, pemahaman akan pengutusan atau misi harus dikaitkan dengan pemahaman atas Matius 5‐7, Matius 22:37‐40 dan Matius 25:31‐46 yang berisi kepedulian Allah terhadap manusia, khususnya kaum miskin. Pemahaman seperti ini akan membawa berita yang lebih holistic. Dengan memahami pengutusan atau misi melalui pemahaman di atas, kita akan menjumpai pesan: bahwa keselamatan yang diberikan oleh Tuhan adalah keselamatan yang universal, yang mencakup seluruh manusia ciptaan Tuhan. Dengan pemahaman ini hendak ditegaskan bahwa nuansa yang dibangun oleh Yesus dalam kehidupan adalah nuansa kebersamaan antara setiap individu tanpa membatasi berbagai perbedaan. Dengan demikian, proses misi yang harus dilakukan sebagai berikut: Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
283
Amanat: Pergi! Memuridkan! Membaptiskan! Mengajar! Isi Amanat: Beritanya Kotbah Kotbah Penghakiman Holistik di bukit tentang Kasih terakhir Pelakunya Holistik Mat. 5‐7 Mat. 22:37‐40 Mat. 25:31‐46 Bagan di atas menegaskan bahwa kepedulian Tuhan kepada manusia adalah kepedulian yang tidak membedakan dan adil. Demikian pula ketika berbicara tentang keselamatan, maka yang diberikan oleh Tuhan bukanlah keselamatan parsial (keselamatan dalam bidang rohani saja dan ditujukan hanya untuk orang Kristen), melainkan holistic (mencakup roh, jiwa dan raga) sekaligus universal. Keselamatan adalah hak miliki semua orang, tanpa membedakan ras, golongan ataupun kondisi social (Pdt. Firman Panjaitan, 2006). Impelemtasi keempat, gerakan Oikumene. Dengan pemahaman misi yang substantif di atas, IPTh. Balewiyata dan GKJW mengembangkan hubungan Oikumenis dengan gereja lain. Hal ini mudah dilakukan karena tradisi inklusif yang telah dikembangkan di intern Balewiyata dan GKJW sendiri. Beberapa bentuk hubungan harmonis dalam kerangka Oikumenis meliputi; (1) GKJW terlibat dalam pendirian Dewan Gereja Sedunia di Amsterdam pada 1948; (2) Menerima peleburan IPTh. Balewiyata ke dalam Sekolah Teologia Duta Wacana di mana di dalamnya terdapat GKI Jateng dan GKJ Jateng; (3) Dosen Balewiyata yang lintas
284 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Gereja; Gereja Tionghoa Indonesia, Gereja Presbyterian Amerika, dsb; dan (4) Siswa Balewiyata yang berasal dari lintas gereja dan sinode. Penutup Kesimpulan GKJW dan IPTh. Balewiyata mengembangkan pemahaman misi yang dekat dengan paradigma presentia, daripada planting church. Hal ini terlihat pada konsep misi yang tidak dimaknai sebagai pekabaran Injil, melainkan kesaksian. Sementara, di era misi sebagai pekabaran Injil (1931‐1990), Injil dimaknai secara substantif, yakni kabar baik. Kabar baik dalam hal ini merujuk pada tiadanya tangisan, ratapan dan duka yang menggambarkan situasi syalom (kedamaian) yang menjadi ciri utama dari tegaknya Kerajaan Allah. Dengan demikian, ketika Injil dimaknai sebagai kabar baik, dan kabar baik tersebut merupakan berita gembira yang merujuk pada kedamaian universal. Maka pekabaran Injil ala Balewiyata dan GKJW sejak awal juga bersifat presentia, bukan planting church. Hanya saja pemaknaan misi sebagai kesaksian telah melakukan deformalisasi misi. Hal ini terjadi karena di era Pekabaran Injil, pelaku misi (misionaris) adalah para pendeta yang tergabung dalam Dewan Pekabaran Injil. Melalui perubahan makna misi menjadi kesaksian, maka pelaku misi adalah semua orang Kristen. Keberadaan Dewan dan Komisi Pembinaan Kesaksian, sejak di tingkat sinode, majelis daerah hingga jemaat‐jemaat, hanya bersifat pembinaan dan koordinatif. Hal ini terkait dengan pemahaman akan kesaksian, yang merujuk pada proses internalisasi Kristus dan penyatuannya dengan pengalaman hidup. Jika dalam Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
285
Pekabaran Injil, misi menekankan pewartaan secara formal. Maka dalam kesaksian, para pelaku misi harus terlebih dahulu mampu “menyaksikan Kristus” di dalam diri dan kehidupannya. Dalam kerangka ini, misi adalah pewartaan atas pengalaman kesaksian. Misi sebagai kesaksian ini akhirnya bersifat presentia, karena ia menghadirkan nilai‐nilai substantif Kristen di dalam kehidupan yang majemuk. Dikatakan substantif, karena ia meniscayakan desimbolisasi dan deformalisasi Kristen di dalam misi. Artinya, penyebaran berita baik berupa kedamaian bagi sesama, tidak membutuhkan klaim kekristenan, karena jika hal itu terjadi maka misi substantif tersebut telah terciderai oleh dirinya sendiri. Dari pendekatan substantif ini, lahirlah “teologi kontekstual”. Yakni teologi yang berangkat dari konteks, baik konteks budaya, keagamaan, dan sosial‐politik. Teologi kontekstual merupakan aplikasi yang dibutuhkan untuk menghadirkan nilai‐nilai substantif Kristen tersebut. Dalam hal ini, terdapat tiga kontekstualisasi teologis yang telah dilakukan oleh warga Kristen Jawi Wetan, baik yang dilakukan melalui Balewiyata maupun GKJW. Pertama, kontekstualisasi budaya Jawa. Warga Kristen Jawi Wetan sejak awal mengalami pergulatan identitas, antara menjadi Kristen puritan yang kebarat‐baratan, atau menjadi Kristen Jawa yang menghilangkan otentisitas Kristen. Berkat warisan dua zending awal, yakni Coolen dan Jallesma yang akomodatif dengan tradisi Jawa, maka warga Kristen Jawi Wetan akhirnya memahami dirinya sebagai orang Jawa yang Kristen, tinimbang menjadi orang Kristen yang Jawa. Dampaknya sangat mendasar sekali, dan akhirnya melahirkan corak khas kekristenan Jawi Wetan yang sangat Jawa. Hal ini terlihat dari pola pendidikan Balewiyata sendiri yang mengambil model
286 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
pesantren, penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa keagamaan (khotbah, sakramen, wisuda siswa Balewiyata), penggunaan pakaian adat Jawa dalam acara keagamaan, penggunaan tembang Jawa sebagai nyanyian Gereja, hingga penggunaan wayang sebagai media dakwah. Kejawaan Kristen juga terbaca sejak dalam “pendasaran teologis”, di mana para pendeta GKJW berangkat dari “kesadaran harmonis” mistisisme Jawa yang melahirkan paradigm pluralis di dalam pandangan keagamaan. Kedua, kontekstualisasi dalam kemajemukan agama. Menyadari kemajemukan agama di Jawi Wetan, Balewiyata kemudian mengembangkan pluralisme agama. Pluralisme ini berangkat dari dasar teologis yang memandang semua manusia sebagai “anak Allah”, sehingga umat di luar kekristenan dianggap sebagai sedulur (saudara). Pandangan pluralis ini kemudian dikembangkan ke dalam kurikulum Balewiyata yang mempelajari agama‐agama lain, program Studi Intensif Islam‐Kristen (SITIK) yang mengadakan live in di pesantren‐pesantren, hingga dialog muslim‐Kristen secara regular. Pandangan pluralis ini bisa terbentuk akibat pemahaman akan agama yang substantif di atas. Misalnya, karena yang terpenting adalah membatinkan makna Alkitab sebagai kebijaksanaan hidup, maka perbedaan agama dan tentunya perbedaan kitab suci, tidak akan melahirkan pertentangan. Sebab yang terpenting bukanlah kitab suci Injil berbeda dengan Al‐Qur’an, tetapi sejauhmana nilai‐nilai Injil menyatu di dalam diri dan kehidupan seorang Kristen. Ketiga, kontekstualisasi dalam kerangka transformasi sosial. Dalam kaitan ini, Balewiyata telah mengembangkan “teologi kemiskinan” yang melihat kemiskinan bukan sebagai takdir individual, melainkan akibat ketimpangan struktural. Maka, yang diutamakan adalah perumusan teologia yang Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
287
mengutamakan orang‐orang miskin. Melalui perumusan inilah terlihat perbedaan antara Amanat Agung sebagai planting church dengan misi sebagai presensia. Dalam kerangka pertama, Amanat Agung dimaknai sebagai penginjilan dengan ruang yang sangat terbatas, yakni religiusasi. Dalam kerangka presensia, Amanat Agung diterangi oleh perintah Kristus untuk melawan kesewenangan dan mengupayakan struktur masyarakat yang lebih adil. Rekomendasi Dibutuhkan perumusan lebih sistematis, misi sebagai kesaksian dalam kerangka presentia. Hal ini terjadi karena GKJW dan Balewiyata secara khusus belum merumuskan paradigma teologinya melalui perspektif ini. Artinya, Balewiyata telah mengembangkan model misi yang presentia, tetapi belum merumuskannya secara tersendiri sebagai diskursus ilmiah. Program dialog lintas iman yang diselenggarakan Balewiyata cukup bagus. Program ini perlu dijadikan model bagi pluralisme agama di pendidikan teologia lain, maupun dalam sinode gereja lain. Program pluralis ini juga perlu diperkenalkan kepada umat Islam di wilayah Jawi Wetan sebagai katalisator bagi kerukunan umat beragama. Kementerian Agama perlu mengapresiasi “pribumisasi agama” yang dilakukan oleh GKJW ke dalam budaya Jawa. Ia bisa menjadi model bagi hubungan antara Kristen dan budaya lokal. Di kalangan Islam tradisionalis, pribumisasi agama ini telah diketahui secara umum. Di wilayah kekristenan, GKJW telah memelopori keharmonisan agama dan budaya Indonesia tersebut. Umat Islam, khususnya organisasi dan tokoh‐tokoh Islam perlu mencontoh pluralisme Kristen GKJW. Apalagi jika
288 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
kalangan Islam bisa lebih pro‐aktif di dalam program dialog lintas‐iman tersebut. Hal ini akan menghilangkan stigma kristenisasi yang selama ini menghantui umat Islam. Pemahaman misi sebagai kesaksian yang substantif, telah menghilangkan agenda kristenisasi yang selama ini dicurigai oleh sebagian umat muslim. IPTh. Balewiyata perlu lebih memaksimalkan tata administratifnya, sebab sebagai lembaga pendidikan yang telah berdiri sejak tahun 1926, pasti ia memiliki banyak pengalaman dan produk keilmuan. Jika tata administratif dalam kerangka dokumentasi historis, teologis dan saintifik ini tidak dimaksimalkan, maka keunggulan pandangan dan program‐program Balewiyata akan hilang tertelan waktu.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
289
DAFTAR PUSTAKA Suwignyo (ed.), 75 Tahun Balewiyata, Berteologi di Tengah Masyarakat Majemuk, Malang: IPTh. Balewiyata, 2002 Tim Pendeta GKJW, 75 Tahun GKJW Di Tengah Proses Transformasi Sosial dan Alih Generasi, Malang: PHMA GKJW, 2006 S. Wismoady W (penyelaras), Pergumulan Eklesiologi dan Misiologi Gereja Kristen Jawi Wetan, Malang: Majelis Agung GKJW, 2001 Program Kerja Tahun 2013 Institut Pendidikan Theologia Balewiyata Malang Wawancara dengan Pendeta Suwignyo, Ketua IPTh. Balewiyata, 5 Juni 2013 Wawancara dengan Pdt. Suko T. Daneswara, pengajar di Balewiyata, 10 Juni 2013
290 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
KASUS GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS & STT GKE DI BANJARMASIN, KALIMANTAN SELATAN Oleh: Herman Nainggolan
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kondisi Geografis dan Administratif ota Banjarmasin mempunyai luas wilayah 98,46 km persegi atau 0,26% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Selatan dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 penduduk berjumlah 634.990 jiwa, terdiri dari penduduk laki‐laki 317.449 jiwa dan 317.541 jiwa perempuan (data Kota Banjarmasin Dalam Angka 2012, BPS). secara administratif Kota Banjarmasin terdiri atas 5 Kecamatan dan 52 kelurahan, 5 kecamatan yaitu Banjarmasin Selatan, Banjarmasin Timur, Banjarmasin Barat, Banjarmasin Tengah dan Banjarmasin Utara. Kecamatan Banjarmasin Utara dengan Luas Wilayah ± 15,25 Km2 / 21,18 % yang terbagi dalam 9 (sembilan) Kelurahan dengan Pusat Kecamatan di Kelurahan Surgi Mufti, Kecamatan Banjarmasin Selatan dengan luas wilayah ± 20,18 Km2 / 28,03 % dengan Pusat Kecamatan di Kelurahan Kelayan Barat, Kecamatan Banjarmasin Barat dengan luas wilayah ± 11,66 Km2 / 18,57 % dengan Pusat Kecamatan di Kelurahan Pelambuan, Kecamatan Banjarmasin Tengah dengan luas wilayah ± 13,37 Km2 / 16,19 % dengan pusat Kecamatan di Kelurahan Teluk Dalam, dan Kecamatan Banjarmasin Timur dengan luas wilayah ± 11,54 Km2 / 16,03 % dengan pusat Kecamatan di Kelurahan Kuripan (www.banjarmasinkota. go.id, diunduh Juni 2013). Kota Banjarmasin berada di sebelah selatan Provinsi Kalimantan Selatan, berbatasan dengan di sebelah utara
K
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
291
dengan Kabupaten Barito Kuala, di sebelah timur dengan Kabupaten Banjar, di sebelah barat dengan Kabupaten Barito Kuala, di sebelah selatan dengan Kabupaten Banjar. Masyarakat Kota Banjarmasin secara garis besar terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu Masyarakat Pribumi dan Pendatang. Kaum pribumi adalah suku Banjar yang merupakan mayoritas dari total penduduk provinsi Kalimantan Selatan. Suku Banjar terdiri dari Suku Banjar Pahuluan dan Suku Banjar Batang Banyu. Kaum Pendatang terdiri dari suku Jawa, Madura, Bajau, Bugis, Cina dan Arab. Kondisi Sosial Keagamaan Data jumlah penduduk berdasarkan penganut agama di kota ini (Data Keagamaan Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Selatan, tahun 2012) antara lain; 1). Jumlah penganut agama Islam sebanyak 685,044 jiwa, 2). Penganut agama Kristen sebanyak 12,194 jiwa, 3). Penganut agama Kristen Katholik sebanyak 7,467 jiwa, 4). Penganut agama Budha sebanyak 4,651 jiwa, dan 5). Penganut agama Hindu sebanyak 2,326 jiwa. Sedangkan untuk penganut agama Khonghucu dan Kaharingan belum tercatat walaupun menurut laporan terdapat beberapa penganutnya. Untuk tempat peribadatan agama‐agama yang ada di kota Banjaramasin terdapat 177 bangunan Masjid, 838 Mushalla, 25 bangunan Gereja Kristen, 3 bangunan Gereja Katolik, 4 bangunan Vihara, 1 bangunan Pura dan 2 bangunan Klenteng. Masyarakat di kota ini dikenal taat pada ajaran agama. Sebagaimana agama yang diakui di Indonesia, semua agama ada di Banjarmasin seperti Islam, Budha, Hindu, Katolik, Protestan, dan Khonghucu. Agama yang pemeluknya terbesar di sini adalah agama Islam, pengaruh agama Islam di Kota Banjarmasin sangat kuat terhadap segala aspek kehidupan
292 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
sosial dan budaya masyarakat. Oleh karena itu, sikap dan persepsi masyarakat terhadap berbagai masalah sangat ditentukan oleh pendekatan‐pendekatan Islami yang menjadi pedoman peri kehidupan pemeluknya. Hal ini ditandai dengan banyaknya langgar (mushalla) serta Mesjid yang sangat mudah dijumpai seluruh pelosok kota. Dalam menjaga aspek kerukunan antar umat beragama, sesuai dengan amanat PBM tahun 2006 maka pada tahun 2007 telah terbentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tingkat provinsi dan hingga sekarang hampir pada keseluruhan wilayah kota dan kabupaten di Kalimantan Selatan telah terbentuk FKUB. Khusus untuk kalangan nasrani di Banjarmasin, dalam rangka membina kerukunan intern umat, maka dibentuk Badan Musyawarah Antar Gereja pada tanggal 11 Juni 2013 yang dikukuhkan melalui SK Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan Nomor Kw.17.1/BA.01.1/21/2013. Badan ini diberikan kewenangan untuk melaksanakan kegiatan‐kegiatan Oikumenis diantara gereja‐gereja se‐Kalimantan Selatan. Organisasi BAMAG ini diharapkan bisa menjadi sayap Kementerian Agama untuk membangun kerukunan umat beragama di Kalimantan Selatan utamanya dikalangan umat nasrani. Organisasi ini dibentuk sebagai langkah baik dan kesadaran bagi toleransi umat beragama yang dilayani oleh negara. Ketua BAMAG Kalsel terpilih Pendeta Kornalius yang menjelaskan bahwa anggota pengurus organisasi BAMAG merupakan gabungan perserikatan umat nasrani dalam PGIW, PGPI, dan PGLII. Menurutnya, organisasi ini sebenarnya sudah lama digagas, yakni, sekitar 4 tahun silam. Seluruh tokoh umat nasrani, baik kristen maupun protestan, diklaimnya mendukung berdirinya oraganisasi ini, BAMAG Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
293
diharapkan bisa turut memperkokoh toleransi umat beragama di tanah banua, ini sebagai tujuan utama organisasi yang menganut rasa ketoleransian, musyawarah menuai mufakat, dan kebersamaan (http://kalsel.kemenag.go.id/index.php? a=berita&id=135721, diunduh Juni 2013). Profil Singkat Sinode GKE dan STT GKE Sejarah Sinode Gereja Kalimantan Evangelis dan STT GKE Pada tahun 1830‐an tersiar kabar mengenai pulau Kalimantan di tanah Jerman. Dalam cerita‐cerita itu digambarkan mengenai ratusan ribu orang Dayak masih tertinggal dalam peradaban yang masih sering terjadi perang antar suku, praktek pengolahan kayu tradisonal, masyarakatnya tidak mengenal pendidikan dan pelayanan kesehatan. Orang‐orang Dayak tersebut tinggal dalam “kegelapan”, karena belum menerima Injil. Karena itu muncul kerinduan, kesadaran dan semangat yang menggebu‐gebu di kalangan umat Kristen di Jerman untuk memberitakan Injil ke Kalimantan. Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) dimulai pada abad ke‐19 ketika di Eropa terjadi kebangkitan kesadaran untuk mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Abad ini dikenal sebagai “The Great Century” (Abad Agung) untuk Pekabaran Injil. Pada tanggal 4 April 1935 dalam persidangan di Kuala Kapuas, Jemaat‐jemaat yang didirikan oleh Rheinische Missionsgesellschaft Zu Barmen yang kemudian dilanjutkan oleh Basler Missionsgesellschaft mempersatukan diri ke dalam suatu persekutuan yang dinamakan “Geredja Dajak Evangelis”, disingkat GDE. Pada Sinode Umum V GDE tanggal 5 – 9 Nopember tahun 1950 di Banjarmasin. GDE diubah menjadi “Geredja Kalimantan Evangelis” disingkat
294 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
GKE. Gereja Kalimantan Evangelis didirikan pada tanggal 4 April 1935, yang disyahkan dengan Staatblad No. 217 tanggal 24 April 1937. Gereja Kalimantan Evangelis berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. J.A.5/104/9 tanggal 17 Nopember 1954. Gereja Kalimantan Evangelis adalah bagian yang integral dari masyarakat dan bangsa Indonesia yang terus berupaya menciptakan masyarakat adil dan sejahtera berdasarkan kasih, kedamaian, kebenaran, kejujuran, keutuhan ciptaan dan penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia (HAM), sesuai dengan cita‐cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan Pancasila, dengan tata Gereja bersumber pada Firman Allah yang terdapat dalam Alkitab dengan menganut Sistem Sinodal Presbyterial (http://www.blogger.com/profile/1612678611899 1446 096. diunduh Juni 2013). Sekarang ini GKE telah menjadi gereja yang dapat diterima keberadaan (eksistensi) nya oleh seluruh masyarakat yang ada di Kalimantan. GKE telah berkembang menjadi 1.172 jemaat yang terbagi dalam 71 resort dan 9 calon resort, yang tersebar di seluruh kawasan Kalimantan (4 Provinsi). Jumlah keanggotaan yang tercatat menurut data awal tahun 2008 adalah 71.574 KK, 287.140 jiwa. Jumlah Pendeta 509 orang terdiri dari 231 orang pendeta laki‐laki dan 278 pendeta perempuan (http://gke‐gerejakalimantanevangelis.blogspot. com, diunduh Juni 2013). Keberadaan STT GKE tidak dapat dipisahkan dari Sekolah Pendeta yang didirikan tahun 1932. Sebanyak lima orang kandidat dididik di sekolah ini selama kurang lebih dua setengah tahun. Sekolah Pendeta ini pernah terhenti selama satu dasawarsa dan baru dibuka kembali pada tahun 1948 dengan nama Sekolah Theologia. Pada tanggal 3 Februari 1963 status Sekolah Theologia ditingkatkan menjadi Akademi Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
295
Theologia GKE dan pada tanggal 8 Juni 1981 memperoleh status terdaftar dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kemudian berdasarkan Surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0359/U/1986 pada tanggal 25 Mei 1986 tentang penetapan kembali penyesuaian jalur, jenjang, dan program pendidikan serta Unit/Fakultas/Jurusan/ program studi status terdaftar pada perguruan tinggi swasta, maka Akademi Theologia GKE menyesuaikan diri dan berganti nama menjadi Akademi Filsafat GKE sehingga status terdaftar diperbarui lagi dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 398/DIKTI/Kep/1992 tertanggal 19 Agustus 1992. Sehubungan dengan tuntutan pelayanan yang semakin meningkat, baik kuantitas maupun kualitas, dan dalam rangka mempersiapkan tenaga pelayan yang terampil ditengah‐tengah jemaat, gereja, dan masyarakat, maka Sidang Majelis Sinode GKE tanggal 24‐25 Juli 1986 menugaskan kepada pengurus Yayasan Pendidikan Teologi (YPT) GKE untuk meningkatkan status Akademi Filsafat GKE menjadi Sekolah Tinggi Teologi GKE. Berdasarkan penugasan tersebut maka dikeluarkanlah SK YPT GKE No. 27 tanggal 1 Juni 1987 tentang peningkatan Akademi Filsafat GKE menjadi Sekolah Tinggi Teologi GKE. Upaya untuk mendapat status terdaftar dari Kopertis bagi program Strata 1 sudah dilakukan tetapi masih banyak kendala. Dengan diakuinya teologi dalam Ensiklopedi Ilmu yang dikembangkan di Indonesia, sesuai SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 0539/U/1996, dan ujian penyetaraan dosen bulan November 1997, maka syarat‐syarat terdaftar untuk program S1 sudah dapat diusahakan. Tetapi sampai sekarang proses status STT GKE dari Kopertis masih
296 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
belum dapat terwujud dan kandas dikarenakan bermacam hambatan. Pada tahun 2003 STT GKE mengalihkan perjuangan untuk memperoleh statusnya dari Departemen Agama RI, dan dalam kurun waktu relative singkat terbitlah Keputusan Menteri Agama cq. Dirjen Bimas Kristen, No. DJ III/Kep/IIK.00.5/14/ 160/2004 tanggal 19 Januari 2004 dengan status DIAKUI. Sejak 2003‐2005, STT GKE telah melaksanakan Ujian Negara S1 Departemen Agama RI yang diikuti oleh 88 orang alumnus dan semua telah lulus. Pada tahun yang sama (2003) STT GKE mengarahkan semua mahasiswa untuk mengambil program S1, hal ini sesuai dengan pengembangan STT GKE dan tuntutan jemaat agar lulusan STT memiliki kualitas yang lebih baik. Tahun 2002, STT GKE membuka program Magister Divinitas yang menerima mahasiswa dari S1 Umum dan dari D3 Teologi. Pada tanggal 23 januari 2003 program M.Div dan Program S1 telah mendapat Akreditasi dari ATESEA (The Association for Theological Education in South East Asia). Tahun 2004 progran Magister Divinitas telah meluluskan angkatan pertama sebanyak 6 orang dengan gelar M.Div. Mulai tahun Akademik 2005/2006 program M.Div menggunakan system perkuliahan baik regular maupun off campus bagi lulusan D3 Teologi. Sedangkan yang berasal dari S1 Umum dikhususkan untuk mengikuti kuliah regular. Visi STT GKE menjadi pusat pendidikan teologi yang berkualitas dan Kristiani, proaktif terhadap perubahan zaman, berwawasan lokal, nasional dan internasional. Misi, Melaksanakan pendidikan teologi yang berkualitas dan yang menumbuhkembangkan nilai‐nilai kristiani dalam nuansa kemajemukan serta berwawasan oikumenis. Menyelenggara‐ kan pendidikan dan pembinaan sumber daya manusia yang Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
297
terampil melakukan penelitian ilmiah dan profesional dalam pelayanan gereja. Berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat, baik bagi pengembangan spiritual maupun peningkatan kesejahteraan. Menggalang jejaring dengan lembaga‐lembaga lokal, nasional, dan internasional dalam mengembangkan teologi dan aplikasinya bagi kesejahteraan dan keutuhan ciptaan. Tujuan yang akan diraih yakni menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki spiritualitas berkualitas dan berwawasan oikumenis. Menghasilkan sumber daya manusia yang intelektual, terampil melakukan penelitian ilmiah dan profesional dalam pelayanan gereja. Menghasilkan sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, inovatif, dan transformatif dalam menjawab perubahan jaman. Memiliki jejaring kerja dalam rangka mengembangkan teologi kontekstual dengan motto; Tinggi iman, tinggi ilmu, tinggi pengabdian. Sasaran lembaga yaitu untuk menghasilkan lulusan yang berkarakter kristiani dan bervisi pelayanan yang jelas bagi kemanusiaan dan keutuhan ciptaan serta peka terhadap perubahan jaman dalam rangka hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (http://stt‐ gke.ac.id/tentang‐stt‐gke, diunduh Juni 2013). Organisasi, Struktur Gereja dan Jema’at Secara organisasi GKE menganut sistem pemerintahan gereja sinodal presbiterial dimana keputusan tertinggi adalah keputusan Sinode Umum. Sinode umum diselenggarakan untuk menampakkan kesatuan seluruh jemat GKE dan menetapkan kebijakan umum pelakasanaan tugas panggilan gereja secara menyeluruh. Sinode umum dipimpin oleh Majelis Ketua dibantu oleh Sekretaris Umum Majelis Sinode sebagai sekretaris persidangan. Di dalam sinode umumlah dipilih and ditetapkan Anggota Majelis Sinode, Anggota
298 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Majelis Pertimbangan, dan Anggota Badan pengawas perbendaharan untuk masa bakti 5 tahun (Majelis Sinode GKE, 2011). Susunan organisasi GKE terdiri dari jemaat, ressort, dan sinode. Alat kelengkapan kepemimpinan GKE adalah : 1) Majelis Jemaat untuk tingkat jemaat, 2) Majelis Ressort untuk tingkat ressort dan 3) Majelis Sinode untuk seluruh GKE. Majelis jemaat terdiri dari penatua, diakon, pendeta dan penginjil. Majelsi jemaat dipilih dan ditetapkan pada persidangan jemaat, sedangkan Ketua Majelis Jemaat ditetapkan oleh Badan Pekerja Harian Majelis Ressort. Majelis jemaat melaksanakan keputusan persidangan dan keputusan persidangan yang lebih tinggi (Ressort dan sinode) dan bertanggung jawab kepada persidangan jemaat. Unutk melaksanakan pekerjaan sehari‐hari dibentuk Badan Pekerja Harian Majelis Jemaat (Majelis Sinode GKE, 2011). Majelis ressort adalah orang‐orang yang dipilih oleh Sinode Ressort menjadi pemimpin dan dari antara Penatua dan diakon yang berasal dari jemaat‐jemaat di lingkungan ressort untuk periode 5 tahun. Ketua Majelis Ressort ditunjuk dan ditetapkan oleh Badan Pekerja Harian Majelis Sinode (Selanjurnya disebut BPHMS). Majelis Ressort melaksanakan keputusan sinode ressort dan keputusan persidangan yang lebih tinggi serta bertanggung jawab kepada Sinode Resort (Majelis Sinode GKE, 2011). Majelis Sinode adalah kelengkapan organisasi yang bertindak untuk dan atas nama GKE serta bertanggung jawab kepada Sinode Umum. Anggota Majelis Sinode terdiri dari : a) orang‐orang yang dipilih oleh Sinode Umum menjadi pemimpin dari antara pendeta, penginjil, penatua dan diakon. , b) utusan ressort dan mantan anggota Majelis Sinode, Majelis Pertimbangan, Badang pengawas keuangan yang dipilih pada Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
299
saat pemilihan dalam sinode umum. c) ketua atau koordinator Perwakilan Majelis Sinode dari beberapa perwilayahan yang diwakili sesuai dengan kebutuhan dan ditunjuk serta ditetapkan oleh BPHMS. Keanggotaan BPHMS terdiri dari 7 orang: ketua umum, wakil ketua umum, ketua 1, ketua 2, sekretaris umum, wakil sekretris umum dan bendahara (Majelis Sinode GKE, 2011). Majelis Pertimbangan (Selanjutana MP) adalah lembaga yang dibentuk untuk memberi pertimbangan berkaitan dengan kehidupan GKE. MP dibentuk di setiap jenjang organisasi (Jemaat, Ressort dan Sinode) dengan susunan keanggotan ketua, wakil ketua, sekretaris dan 2 orang anggota. MP menyampaikan pertimbagan kepada persidangan masing‐masing jenjang organisasi (Majelis Sinode GKE, 2011). Badan Pengawas Keuangan (BPK) adalah lembaga yang dibentuk untuk melakukan fungsi pengawasan ketertibang pengelolaan dan pendayagunaan harta kekayaan GKE. BPK dibentuk pada setiap jenjang organisasi dengan susunan keanggotan ketua, wakil ketua, sekretaris dan 2 orang anggota untuk periode 5 tahun. BPK menyampaikan laporan kepada persidangan (Majelis Sinode GKE, 2011).
300 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Struktur Badan Pekerja Harian Majelis Pekerja Sinode GKE periode 2010 – 2015 yaitu : Badan Pekerja Harian Majelis Sinode GKE Penuh waktu: 1. Pdt. Dominic Petrus Jarob S. Th (Ketua Umum) 2. Pdt. Simpun F. Lion M. Th (Wakil Ketua Umum) 3. Pdt. Wardinan S. Lidim M. Th. (Sekretaris Umum) 4. Pdt. John Asihua S.Th (Wakil Sekretaris Umum) 5. Alpina Kinjat S. Sos (Bendahara) Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
301
Sekretariat Umum 1. Bidang Administrasi Umum dan Personalia Pdt. Yokebeth S. Th (Sekretaris Bidang) 2. Bidang Pembinaan/Pekabaran Injil/Pelayanan Katego‐rial Pdt. Drs. John Watimena (Sekretaris Bidang) 3. Bidang Partisipasi Gereja dalam Pembangunan Yan Sudialman Saragih SE, MM (Sekretaris Bidang) Keuangan 1. Bidang Perbendaharaan Lawina SE (Sekretaris Bidang) 2. Bidang Pensiun Wensiana Sureu (Sekretaris Bidang) (BPHMS GKE, 2012) Dampak Implementasi Pemahaman Misi Sebagai gereja GKE telah memiliki visi yang cukup jelas. Visi GKE adalah ʺTerwujudnya langit yang baru dan bumi yang baru (Wahyu 21 : 1‐3)” . Untuk tahun 2010 – 2015 GKE menekankan : 1. GKE sudah mampu bersaksi, memantapkan persekutuan dan melayani bukan hanya di kalangan sendiri, melainkan juga bersama‐sama dengan warga bangsa. 2. GKE mampu bersama‐sama dengan sesama warga Bangsa dari berbagai latar belakang suku, agama dan budaya menunjukkan kasih untuk mewujudkan perdamaian dan penegakan keadilan dalam bidang HAM, supremasi hukum, lingkungan hidup, sosial ekonomi, demokrasi dan gender.
302 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
3. GKE mampu memberdayakan dan membangun ekonomi rakyat, terutama di pedesaan Kalimantan. 4. Dalam kebersamaan memberdayaan kehidupan politik melalui lembaga‐lembaga perwakilan rakyat untuk mendorong proses demokratisasi. 5. Terwujudnya ajaran GKE yang mampu menjawab tantangan zaman. 6. Terwujudnya Yayasan, Badan/lembaga yang mandiri di lingkungan GKE. 7. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di GKE. 8. Terwujudnya sumberdaya manusia GKE yang berkualitas dan profesional. 9. Terwujudnya kemandirian dana rutin GKE. (BPH MS GKE, 2010) Dari penekanan visinya dapat dijelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan “langit dan bumi yang baru” adalah sebuah keadaan ideal dimana masyarakat (bukan hanya warga jemaat GKE) sejahtera, berkeadilan, demokratis dan mandiri. Namun point‐point penekanan visi tersebut terlihat sangat luas dan umum sehingga yang menjadi catatan apakah GKE dapat mewujudkan visinya ini dalam waktu 5 tahun. Namun di sisi lain, visi dan penekanannya jelas menunjukkan bahwa GKE memiliki kesadaran yang cukup tinggi terhadap masalah‐masalah sosial yang ada di sekitarnya. Penekanan visi ini juga menunjukkan bahwa GKE sebagai gereja memahami dirinya sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang memiliki tanggung jawab sosial bukan hanya untuk pemberdayaan warga jemaatnya tetapi juga bagi masyarakat sekitar terlebih khusus yang ada di Kalimantan. Visi ini membuktikan bahwa GKE bukanlah gereja yang eksklusif yang hanya memikirkan dirinya melainkan Ia menyadari dirinya sebagai gereja yang terpangggil untuk Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
303
menjawab persoalan‐persoalan sosial kontemporer. Sebab gereja yang tidak menyadari dan menjawab kebutuhan – kebutuhan kontemporer umat dengan sendirinya akan punah. Untuk mewujudkan visinya GKE menetapkan misinya antara lain: 1. Segenap jajaran GKE siap menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk mendirikan tanda‐tanda Kerajaan Allah di Kalimantan khususnya dan Indonesia umumnya. 2. Memantapkan struktur organisasi GKE dengan lebih memberdayakan wilayah seirama dengan kebutuhan. 3. Bersama‐sama dengan sesama warga bangsa dari berbagai latar belakang suku, agama, dan budaya menunjukkan kasih untuk mewujudkan perdamaian dan penegakan keadilan. 4. Dalam kebersamaan menumbuhkan kesadaran dan membangun jaringan kerjasama dalam pelestarian lingkungan hidup. 5. Dalam kebersamaan menumbuhkan kesadaran dan membangun jaringan pembelaan HAM. 6. Dalam kebersamaan menumbuhkan kesadaran dan membangun keadilan dan supremasi hukum. 7. Dalam kebersamaan memberdayakan dan membangun ekonomi rakyat, terutama di pedalaman Kalimantan. 8. Mengedepankan pendidikan politik bagi warga gereja untuk mendorong proses demoktratisasi. 9. Dalam kebersamaan menumbuhkan kesadaran, kesetaraan, dan keadilan gender dan membangun lembaga pembelaan hak‐hak perempuan dan anak‐anak. 10. Segenap jajaran GKE Majelis Sinode, Resort, Calon Resort dan Jemaat GKE meningktatkan perhatian terhadap pembinaan warga GKE.
304 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
11. Melakukan usaha‐usaha pembaharuan teologi yang kontekstual. 12. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia GKE. 13. Meningkatkan upaya‐upaya penggalangan dana dari sumber‐sumber non tradisional. 14. Meneruskan dan meningkatkan program topang menopang dalam berbagai bidang. 15. Memberikan dorongan dan ajakan kepada seluruh resort, calon resort dan jemaat yang mampu untuk program bea siswa. 16. Memberikan jaminan kesejateraan kepada pekerja GKE. 17. Melaksanakan Pekabaran Injil. 18. Meningkatkan kualitas pelayanan lembaga‐ lembaga pendidikan agar mampu bersaing. Dari uraian misi di atas jelas bahwa dapat dikatakan bahwa GKE memahami misinya sebagai presensia. Hal itu ditandai secara konkret misalnya dalam misi point 3 dan 9 yang memberikan perhatian kepada masalah –masalah sosial yang ada di masyarakat yaitu ketidakadilan, kesetaraan, dan perdamaian dunia. Di samping itu pada point 17, “melaksanakan pekabaran injil (selanjutnya PI)”, GKE juga menjadikan pekabaran injil sebagai misinya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang dimaksud GKE tentang pekabaran injil itu sendiri? (BPHMS GKE, 2012) Penjelasan yang rinci tentang apa yang dimaksud dengan pekabaran injil dijelaskan dalam Tata Gereja GKE BAB V Tugas Panggilan Kesaksian, bagian kesatu Pekabaran Injil, pasal 17. Secara garis besar di dalamnya disebutkan bahwa GKE memiliki tugas untuk memberitakan injil sampai akhir zaman dan kepada seluruh mahluk. Dan dalam pelaksanaan PI GKE menempuh cara yang bijaksana (Mat. 10: 16) dan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
305
sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab (Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis, 2012). Point ini menegaskan bahwa GKE bukanlah termasuk ke dalam kelompok aliran gereja yang secara agresif melakukan pekabaran injil atau yang memasifkan metode planting church. Secara tegas Wakil Ketua Umum BPH MS GKE Pdt. Simpun F. Lion M. Th mengatakan bahwa GKE adalah gereja yang inklusif. GKE telah memiliki perspektif misi yang inklusif hal ini dibuktikan dengan banyaknya pelayan (pendeta) yang bukan orang Dayak. Bahkan GKE sendiri pernah dipimpin oleh Ketua BPH MS dan sekretaris umum yang bukan orang dayak. Kemudian STT GKE juga pernah dipimin oleh orang Batak. Ini menjadi salah satu bukti bahwa GKE sudah menjadi gereja yang terbuka bagi siapa saja. Selain itu secara ekternal (misi ke luar gereja) dalam menjalankan misinya GKE juga telah bekerja sama dengan lintas agama lewat joint program dengan LK3 (lembaga kajian keislaman). program‐program yang pernah dilakukan antara lain : seminar bersama, pelatihan bersama, dll. Selain itu, GKE juga menjalin kerjasama dengan Suku dayak Kaharingan , dan masyarakat adat lainnya (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Simpun F. Lion M. Th di Kantor Pusat GKE Mei 2013). Secara sinodal, di dalam struktur organsisasi GKE untuk operasionalisasi misi ditangani langsung oleh bidang pembinaan/ pekabaran injil/dan pelayanan kategorial yang dipimpin oleh sekretaris bidang Pdt. John Watimena. Bidang ini berada langsung di bawah BPH Majelis sinode GKE. Dilihat dari luasnya cakupan kerja bidang ini, sangatlah tidak logis bidang ini dapat mengerjakan semua bidang pelayanan yang dilekatkan kepadanya. Program‐ program yang telah dilaksanakan oleh bidang ini antara lain adalah pelatihan‐
306 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
pelatihan kepada para pelayan dan jemaat. Kerjasama‐ kerasama lintas iman dalam menghadapi isu‐isu sosial (lingkungan hidup, bencana alam dll.) (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Drs. John Watimena) Dalam mengoperasionalisasi kegiatan misinya, GKE telah memutuskan untuk membentuk kelompok‐kelompok pekabaran injil di setiap jemaat. Hal ini tertuang di dalam Peraturan GKE Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Peraturan Pembentukan Kelompok Pekabaran Injil Jemaat GKE. Dalam point pertama, peraturan tersebut dijelaskan bahwa Kelompok Pekabaran Injil (PI) merupakan persekutuan yang terdiri dari sekurang‐kurangnya 5 orang yang ditetapkan oleh Majelis Ressort jemaat setempat sebagai badan pembantu. Dan pada point ke 4 disebutkan bahwa ” Kelompok PI inti ini dapat menggandakan dirinya dengan membentuk kelompok‐ kelompok PI binaan di lingkungan/wilayah pelayanan masing‐masing ...”. Tujuan dari pembentukan kelompok ini adalah untuk meningkatkan aktivitas Pekabaran Injil baik secara pribadi atau kelompok baik para anggota maupun pelayan GKE. Kegiatan dari kelompok ini antara lain: 1) membudayakan kegiatan PA (pemahaman Alkitab) di kalangan jemaat, 2) menyelenggarakan kebaktian penyegaran iman dan, 3) membantu pendanaan untuk kegiatan‐kegiatan kelompok atau daerah yang dilayani Majelis ressort dan majelis Sinode. (Sinode GKE, 2011) Dengan adanya peraturan ini tampaknya GKE telah memiliki konsep dan program yang menjemaat di dalam melakukan pekabaran injil. Pekabaran injil dipahami sebagai aktivitas peningkatan pemahaman (pembinaan) yang perlu disebarkan di kalangan jemaat. Program Pekabaran injil tidak lagi datang dari atas (top down) melainkan di telah lembagakan di tingkat jemaat‐jemaat lokal. Menariknya Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
307
pembentukan kelompok pekabaran injil ini juga dikaitkan dengan usaha pengumpulan dana untuk menopang usaha‐ usaha pekabaran injil di tingkat jemaat, ressort maupun Sinode GKE. Sebagai kritik, peraturan pembentukan kelompok PI ini tidak sinergis dengan point‐point misi GKE yang telah ditetapkan dalam dokumen gerejawinya. Konsep misi GKE yang berwarna presensia kemudian dioperasionalisasi sebagai kegiatan kelompok PI yang indentik dengan kegiatan pelayanan kategorial (pemahaman Alkitab dan kebaktian penyegaran). Padahal pada point‐point misinya (point 3, 4,5, 6, 7) GKE menekankan tentang ”semangat kebersamaan” yang dapat ditafsirkan sebagai kerjasama dengan semua elemen bangsa (penganut agama lain, pemerintah) dalam mewujudkan tanda‐tanda Kerajaan Allah. Artinya peraturan ini tidak menjabarkan point‐point yang ada di dalam misi GKE, atau dapat dikatakan bertolak belakang dengan misinya. Hal yang menarik kemudian, pada periode kepemimpinan saat ini (2010 – 2015) konsep misi GKE telah memunculkan banyak perdebatan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pemahaman di sebagian kalangan pendeta tentang konsep misi GKE. Beberapa kalangan pendeta menilai bahwa GKE adalah gereja evangelis sehingga konsep misinya sama dengan gerakan evangelisasi lainnya (planting chuch). Namun beberapa pendeta memahami nama evangelis adalah untuk menggolongkan GKE masuk ke dalam rumpun gereja protestan. Dengan demikian dapat dikatakan bajwa di dalam tubuh GKE sendiri (kalangan teolog dan pendeta) konsep misi dan metode misi yang dianut oleh GKE belum jelas dipahami dan dioperasionalisasikan dalam kehidupan berjemaat. (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Dr. Keloso (Ketua STT GKE) Di STT GKE, Mei 2013)
308 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Dalam mengoperasionalisai misinya, GKE juga telah secara sinodal menjadi mitra Evanggelism Explotion (selanjutnya EE) Internasional dan EE Indonesia (di malang). Kerjasama ini telah dilakukan sejak tahun 2010. 2 Awalnya EE adalah gerakan kaum awam yang kemudian meluas dan menyebar di sebagian besar jemaat‐jemaat GKE. Program EE sendiri secara sah telah diterima dalam sidang sinode kerja GKE tahun 2011. Bahkan dalam pembinaan vikaris GKE tahun 2013 EE telah menjadi salah satu materi khusus. (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Dr. Darius Dubud (Mantan Dosen Islam di STT GKE) di Rumah, Mei 2013) Mengapa GKE bermitra dengan EE? (1) Di kalangan para pendeta GKE ada yang masih melihat bahwa GKE termasuk ke dalam denominasi evanggelical sehingga sealiran dengan program EE. (2) GKE sendiri belum memiliki metode yang siap pakai dalam menjalankan program Pekabaran Injilnya, (3) adanya keadaan kekeringan kehidupan spiritual jemaat (terutama yang menyangkut pembinaan dan pastoral konseling), sehingga program EE dirasa sangat menjawab kebutuhan jemaat. (4) Sebagai upaya resistensi terhadap denominasi lain yang telah lebih dulu mengadopsi konsep EE dan menjadi anggota jemaat GKE sebagai target penginjilan Oleh karena itulah BPH MS telah menugaskan secara resmi (lewat SK penugasan) beberapa orang yang menjadi tim EE GKE. Adapun struktur kepengurusannya antara lain: A. Penasehat: 1) BPH MS GKE, 2) Dr. Siun Jarias SH, MH, 3) Pdt. Drs. P.H. Oedoy M. Th, 4) Pdt. Tawar Soewardji M. Th, 5) Linda Nisida N. Taway. B. Pengurus harian : 1) Drs. Nicolas Uda (Ketua), 2) Garinda Jamin BE (Wakil Ketua), 3) Pdt. Melkira S. Th (Sekretaris), 4) Vik. Sri Wahuni S. Th ( wakil Sekretaris 1), 5) Yudika B. Sinang (Wakil Sekretaris 2), 6) Ir. Berty Rasad (Bendahara), Pdt. Badriansyah (koordinator bidang doa), 7) Tom Chandra S. Th (Kor. Bid Pelatihan), 8) Martin Ludjen (Kor Bid Usaha dana), 9) Danthe Theodore SE M.Si. (lihat Almana Nas 2013 h. 88) 2
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
309
(PI). Di kalangan para teolog dan pendeta GKE terjadi pro dan kontra terhadap kerjasama dengan EE. Masih ada perdebatan tentang dogma dan ajaran yang diajarkan oleh program EE. Ada beberapa kalangan pendeta yang tidak setuju dengan kebijakan ini, karena dianggap tidak pengambilan keputusan kerjasama tersebut tanpa melalui mekanisme persidangan Majelis Sinode dan tidak sesuai dengan konteks Indonesia yang plural serta bertentangan dengan misi GKE (presensia) dalam tata gereja. Namun pro dan kontra ini tidak terlalu mengemuka ke permukaan karena secara struktural program ini telah direstui oleh para pimpinan tertinggi GKE. (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Dr. Keloso (Ketua STT GKE) Di STT GKE, Mei 2013) EE dapat diartikan secara sederhana peledakan ajaran penginjilan. Program ini sangat berkembang di Amerika Serikat, Korea, Hongkong, dan juga di Indonesia. Secara sederhana EE ingin menjadikan pekabaran injil sebagai gaya hidup. Ada beberapa ajaran kristen yang menjadi pokok inti dari EE. (1) bahwa keselamatan itu adalah anugerah dan bukan karena perbuatan baik, (2) Manusia bedosa dan tidak dapat menyelamatkan diri sendiri, (3) Allah adalah kasih dan sekaligus adil, (4) Kristus Yesus adalah Allah yang menjadi Manusia, mati dan bangkit, naik ke surga dan menawarkan hidup kekal kepada manusia. (5) iman yang menyelamatkan adalah mengenal dan mengandalkan Yesus saja. Jika dilihat dari dogma ajarannya sebenarnya tidak ada ajaran yang bertentangan dengan ajaran‐ajaran denominasi lainnya. Namun yang membedakannya adalah metode pekabaran injil yang menggunakan model planting church Dalam program EE ada beberapa tahapan implementasi. Tahapan itu diawali dengan pembinaan para pekabar injil untuk memahami apa itu konsep EE dan bagaimana
310 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
implementasinya. Ada 6 level di dalam proses pembinaan itu. (1) clinic, (2) Trainer (pelatih) (T), (3) Trainer Training (TT), (4) Teacher Train of Trainer (TTT), (5) Implementer Trainer (IT), (6) Senior Implementer (IT).( Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt Susana Friskilla, Pnt. Totok Riyanto, Pnt. Sumaryanto, Pnt. Waldemar, Pnt. Heriyanto di GKE Eben Ezer, Mei 2013). Pada level clinic peserta diminta melakukan percakapan kepada 10 orang untuk melatih keterampilan yang telah diajarkan. Jika seorang kader dianggap berhasil dan mampu untuk mengembangkan EE, maka akan ada pelatihan lanjutan yang berlangsung di Malang. Target dari program EE ini sebenarnya adalah orang‐orang non Kristen, khususnya orang yang belum memeluk agama. Para pekabar injil juga sangat berhati‐hati di dalam melakukan misinya kepada non kristen, untuk menjaga agar tidak terjadi konflik sara. Juga mengingat mayoritas pemeluk agama Islam di Kalimantan Selatan. Sejauh ini belum ada ada seorangpun penganut agama lain yang berhasil dikonversi lewat kader‐kader binaan EE. Program ini lebih banyak dilakukan oleh GKE yang ada di pontianak mengingat mayoritas penduduk di Kalimatan Tengah adalah anggota jemaat GKE (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Tahan M. Th (DosenMisiologi STT GKE) Di GKE Efrata, Mei 2013). Dalam perjalanannya program EE ternnyata kurang berhasil untuk merekrut anggota‐anggota baru masuk menjadi pemeluk agama Kristen. Namun program itu kemudian bergeser menjadi program pembinaan bagi para kader‐kader pekabar injil. Para alumni pembinaan EE menjadi semakin banyak dan semakin aktif beribadah di gereja. Hal ini disebabkan oleh metode yang ditawarkan dalam program EE, yaitu menghafal ayat‐ayat Alkitab, berani berbicara, berani Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
311
tampil di hadapan public, dan membangun kepercayaan diri. Namum yang harus dikritisi bahwa metode tersebut memilki maksud untuk mengatakan “sesuatu” yaitu membuat orang percaya (pemuridan). Itu artinya, jika metode ini kemudian diadopsi oleh GKE tanpa difilter/ dimodifikasi maka akan memiliki ekses yang buruk bagi kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Dengan demikian ada kesan bahwa program EE telah bergeser dari yang tadinya berorientasi ke luar menjadi ke dalam. Jadi, yang terjadi bukan ledakan pemenangan jiwa‐ jiwa, tetapi ledakan alumni / kader‐kader EE. Dapat dikatakan GKE bermaksud untuk memiliki pemahaman dan metode yang berbeda dalam memahami EE. EE ala GKE dipahami sebagai wadah pembinaan dan bukan pemenangan jiwa‐jiwa. (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Dr. Keloso (Ketua STT GKE) Di STT GKE, Mei 2013). Dalam menjalankan aktivitas misinya GKE menjalankan kedua jenis model ber‐misi. Keduanya tidak secara jelas dipertentangkan sehingga sikap GKE menjadi ambigu, dan sangat terbuka. Kegiatan misi GKE yang berwarna presensia diimplementasi oleh bidang pembinaan dan pekabaran injil, sedangkan yang berwarna planting church diimplementasi oleh tokoh‐tokoh GKE (sebagian besar adalah awam) yang telah menjadi kader EE di gereja‐gereja di luar GKE. Keadaan yang ambigu ini kemudian berdampak kepada sikap pro dan kontra terhadap program EE di kalangan para pelayan dan anggota jemaat. Hal itu berarti misi yang berwarna planting church justru telah berdampak buruk bagi internal GKE. Bagi kelompok yang kontra terhadap program ini, GKE dianggap telah inkosisten, ambigu dan mengkhianati sejarahnya sendiri. Dalam melaksanakan misi yang berwarna presensia beberapa kegiatan yang dapat disebutkan antara lain:
312 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
(1) adanya kerjasama‐kerjasama antara STT GKE dan IAIN Antasari, (2) adanya ruangan Forum dialog antar iman di STT GKE, (3) adanya kerjasama yang intens antara GKE dan LK3, (4) adanya kursus menjahit di kantor sinode yang dibuka untuk umum, (5) adanya pembinaan‐pembinaan, seminar yang dilakukan secara bersama‐sama dengan agama‐agama lain. Kegiatan ini sangat berdampak positif bagi kehidupan umat beragama dan beroikumene. (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Dr. Darius Dubud (Mantan Dosesn Islam di STT GKE) di Rumah, Mei 2013). Dampak implementasi misi (baik yang berwarna presensia maupun planting church) secara umum bagi kehidupan oikemene di Banjarmasin 3 dapat dikatakan “masih” berdampak posistif. tidak ada kecurigaan “curi domba” antar denominasi. Lewat implementasi misi yang berwarna presensia dan planting church (implementasi program EE) telah terjalin hubungan yang harmonis antar denominasi di Kalimantan Selatan. Walaupun begitu banyaknya jumlah gereja dan denominasi, kerjasama dan komunikasi aliran‐aliran tersebut tetap berjalan dengan baik. Bahkan lewat program EE para anggota lintas gereja dapat saling mengenal dan bekerjasama, sebab EE bersifat lintas denominasi dan masih mengarah ke dalam (anggota gereja). Kemajuan lain yang layak menjadi catatan dalam kaitannya 3 Gereja‐gereja yang ada di Banjarmasih antara lain: GKE (Gereja Kalimantan Evangelis), HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), GPIB (Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat), GBI (Gereja Betel Indonesia), GPDI (Gereja Pantekosta di Indonesia), Gereja Betani, GKKA (Gereja Kebangunan Kalam Allah), GKD (Gereja Kemah Dad), Gereja Yesus Sejati, Gereja Terang Kristus, Gereja Mawar Saron, GBI Tabernakel, Gereja Advent. GKPB (Gereja Krinten Perjanjian Baru). Di Kalimantan sendiri ada 3 organisasi aras gereja yaitu PGI diketuai oleh Pdt. Kornelius, PGPI diketuai oleh Pdt. Martin Balung, PGLII diketuai oleh Pak Ohal.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
313
dengan kehidupan oikumen adalah telah terbentuknya BAMAG (Badan Musyawarah antar Gereja) yang berfungsi menjadi wadah persatuan pada aras‐arasa gereja di Kalimantan Selatan (anggotanya antara lain PGI, PGPI, dan PGLII). (Diolah dari hasil wawancara dengan Pdt. Kornelius (Ketua PGIW Kalimantan Selatan) di Rumah, Mei 2013). Dampak negatif dari implementasi program EE bagi masyarakat di Kalimantan Selatan tampaknya belum muncul ke permukaan selain karena waktu yang masih terlalu singkat (kurang lebiih 3 tahun berjlan) juga karena para kader‐kader pekabar injil sangat memperhitungkan kondisi sosial masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Mungkin akan berbeda eksesnya jika program EE tersebut dilaksanakan di daerah yang mayoritas penduduknya Kristen (seperti Kalimantan Tengah). Bagi masyarakat luar (non kristen) dampak dari misi GKE tidak ada yang meresahkan. Jika ada kecurigaan akan Kristenisasi dari kalangan non Kristen, maka hal itu sudah berlangsung lama sebelum ada misi pekabaran injil GKE (atau program EE) di Kalimantan Selatan. Kegiatan PI yang meresahkan pernah terjadi di Pegunugan Meratus, namun pelakunya bukan GKE. Lewat FKUB kerjasama antar agama terjalin sangat akrab. Dan telah banyak program yang dilakukan secara bersama‐sama. Diantaranya dengan mendirikan desa binaan Kerukunan umat beragama di kabupaten Balangan, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Kota Baru, kabupaten Tabalong. Selain itu juga telah dilakukan dialog‐dialog pengembangan wawasan kerukunan umat beragama. Kemudian ada juga “Aksi Bersama antar iman.”( Diolah dari hasil wawancara dengan Drs Fadli Mansyur (Ketua FKUB Kaliantan Selatan) di Kantor FKUB, Mei 2013).
314 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Penutup Kesimpulan Dari hasil penelitian dokumen gerejawi, wawancara dan pengamatan langsung ada beberapa fakta yang dapat disimpulkan. GKE telah memiliki konsep pemahaman misi yang inklusif secara de jure (dokumen gerejawi) namun belum menemukan metode yang tepat dalam menjalankan misinya. Alasan inilah yang kemudian mendasari adanya kerjasama dengan EE Internasional dan EE Indonesia. Terjadi inkosistensi metode ber‐misi di dalam tubuh GKE. Jika ditelusuri lewat dokumen gerejawinya maka GKE tampaknya memang memahami dan mengimplementasi‐kan model misi yang berwarna presensia, namun pada fakta implementasi baik di tingkat sinode, ressort maupun di jemaat‐jemaat lokal Ia juga melaksanakan model misi planting church. Sikap inkonsistensi ini dapat berdampak buruk bagi kelangsungan dan keberlanjutan GKE yang jelas berada di dalam konteks masyarakat yang majemuk. Model misi yang berwarna planting church (implementasi program EE) adalah bom waktu (bahaya laten) yang sewaktu‐waktu dapat meledak dan menciptakan konflik sosial yang bernuansa agama. Utuk itu GKE perlu mengkaji ulang konsep misinya agara kontekstual dan relevan bagi umat. Sebab menjalankan program EE adalah bertentangan dengan tata gereja GKE sendiri. Rekomendasi Dari hasil penelitian ini ada beberapa hal yang dapat peneliti sarankan antara lain:
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
315
Hendaknya kementerian agama dapat meningkatkan kerjasama‐kerjasama lintas iman di level jemaat dan bukan hanya di level pemimpin umat. Hal ini perlu untuk menghilangkan kecurigaan‐kecurigaan antar umat terhadap isu Kristenisasi ataupun islamisai. Bahkan mendorong kerjasama‐kerjasama di level akademisi misalnya STT GKE dan IAIN Banjarmasin; Kementerian Agama perlu mengidentifikasi dan mengkaji/ meneliti program Evanggelism Explosion (EE) yang saat ini sangat marak diikuti oleh gereja‐gereja. Hal ini dianggap penting agar Kemenag memiliki data yang akurat dan dapat turut memelihara keharmonisan umat beragama; GKE dan STT GKE perlu mengkaji ulang pemahaman tentang Misi yang dianut dan pengoperasionalisasiannya. Sebab dengan melakukan MOU dengan EE Internasional maka terjadi ketidakkonsistenan sikap ber‐misi. Sebab dialog yang sejati adalah dialog yang dibaliknya tidaka memiliki motifasi apa‐apa; FKUB perlu meningkatkan kerjasama yang intens dengan semua pemeluk agama dan semua level.
316 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
DAFTAR PUSTAKA Almanak Nas GKE 2013, Banjarmasin: BPHMS GKE, 2012 Bernard Raho SVD, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Obor, Jakarta, 2013 Christian de Jonge, Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta Sej.Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009. Daftar Keputusan Sinode Umum XXII Gereja Kalimantan Evangelis, Banjarmasin: BPH MS GKE, 2010 Daru Marhendy dan Favor A. Bancin, Memahami Tradisi dan Sistem Pemerintahan Gereja‐gereja di Indonesia, (Jakarta: Word Visi Indonesia, 2008). Data Keagamaan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan, tahun 2012. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta,1997. Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia, Direktori Gereja‐gereja, Yayasan, Pendidikan Agama dan Keagamaan Kristen di Indonesia, Jakarta, 2011. Eka
Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual” Eka Darmaputera (peny.) Konteks Berteologi di Indonesia, buku penghormatan untuk HUT ke‐70 Prof. Dr. P.D. Latuihamallo, cet. ke‐3, BPK Gunung Mulia, Jakarta,1997
Himpunan Peraturan GKE Tahun 2011, Banjarmasin: Majelis Sinode GKE, 2011 Jan A. Aritonang, Berbagai Aliran Dalam dan di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia cet. Ke 12, Jakarta, 2012. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
317
Jan Sihar Aritonang, Aliran‐Aliran di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995) MEEDEMU, Menghafal EE Dengan Mudah (Buku yang diberikan kepada semua peserta di tahap clinic) Solarso Sopater, Memacu Lajunya Gerakan Keesaan Gereja di Indonesia Suatu Upaya Berteologi Secara Kontekstual” dalam, Gerakan Oikumene Tegar Mekar di Bumi Pancasila. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993). Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis, Banjarmasin: Majelis Sinode GKE, 2011. Widi Artanto, Konsep Gereja Misioner menurut Gereja Kristen Jawa (GKJ) dan Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah (GKI Jateng) yang diuraikan, Menjadi Gereja Misioner, (Yogyakarta: Kanisius, 1997). Wikipedia.org/wiki/Church_planting diunduh Maret 2013. http://evangelismexplosion.org/about‐us/what‐is‐ee, diunduh Juni 2013 http://www.blogger.com/profile/16126786118991446096. diunduh Juni 2013 http://kalsel.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=135721, diunduh Juni 2013 http.www.banjarmasinkota.go.id, diunduh Juni 2013 http://gke‐gerejakalimantanevangelis.blogspot.com, diunduh Juni 2013 http://stt‐gke.ac.id/tentang‐stt‐gke, diunduh Juni 2013.
318 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
STUDI KASUS SEKOLAH TEOLOGI AGAMA KRISTEN MARTURIA DI PROVINSI DI YOGYAKARTA Oleh: Suhanah
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Sekilas Kota Yogyakarta Kondisi Geografis dan Demografis Kota Yogyakarta ota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan satu‐satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta terletak di tengah‐tengah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan batas‐batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara: berbatasan dengan Kabupaten Sleman. Sebelah Timur: berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kabupaten Bantul. Sebelah Barat: berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman. Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110o 24I 19II sampai 110o 28I 53II Bujur Timur dan 7o 15I 24II sampai 7o 49I 26II Lintang Selatan dengan ketinggian rata‐rata 114 m di atas permukaan laut. Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu: Sebelah Timur adalah Sungai Gajah Wong. Bagian Tengah adalah Sungai Code. Sebelah Barat adalah Sungai Winongo. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi Daerah
K
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
319
Istimewa Yogyakarta. Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT. Penggunaan lahan paling banyak diperuntukkan bagi perumahan, yaitu sebesar 2.104,308 hektar dan bagian terkecil berupa lahan kosong seluas 20,113 hektar. Penggunaan lahan dibedakan menjadi lahan sawah dan lahan bukan sawah. Lahan bukan sawah meliputi lahan untuk bangunan dan sekitarnya, tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, tambak, kolam/tebat/empang, lahan yang sementara tidak diusahakan, lahan untuk tanaman kayu‐kayuan dan perkebunan negara/swasta.Pada tahun 2011 luas penggunaan lahan di Kota Yogyakarta tercatat 3.250 hektar, terdiri dari 83 hektar lahan sawah dan 3.167 hektar lahan bukan sawah. Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Adapun curah hujan rata‐rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata‐rata 27,2°C dan kelembaban rata‐rata 24,7%. Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° ‐ 140° dengan rata‐rata kecepatan 5‐16 knot/jam. Selanjutnya terkait dengan jumlah penduduk, diperoleh keterangan bahwa jumlah penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2011 sebanyak 390.554 orang dengan rincian sebanyak 190.075 orang penduduk laki‐laki dan
320 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
200.479 orang penduduk perempuan.Rasio jenis kelamin adalah perbandingan antara banyaknya penduduk laki‐laki dengan penduduk perempuan pada suatu daerah dan waktu tertentu.Biasanya dinyatakan dengan banyaknya penduduk laki‐laki untuk 100 penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 32,50 km2, kepadatan penduduk Kota Yogyakarta 12.017 jiwa per km2. Penduduk Kota Yogyakarta mayoritas memeluk agama Islam. Jumlah pemeluk agama Islam pada tahun 2011 sebanyak 379.154 orang atau 81,22 persen dari total penduduk Kota Yogyakarta. Pemeluk agama yang lain adalah 11,51 persen Katholik, 6,66 persen Kristen, 0,17persen Hindu, 0,42 persen Budha dan 0,01 lainnya. Adapun jumlah tempat peribadatan keenam agama tersebut di Kota Yogyakarta sebagai berikut : 429 Masjid, 460 Mushola, 7 Katedral, 39 Gereja Protestan, 1 Pura, 5 Wihara dan 1 Klenteng (BPS Kota Yogyakarta, 2012). Kondisi Sosial Ekonomi Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta telah lama dikenal sebagai miniatur Indonesia yang bersifat mulitikultural. Hal ini ditunjukkan dengan beragamnya kultur maupun subkultur yang dapat berkembang di Yogyakarta baik yang berbasis etnisitas, golongan, aliran kepercayaan maupun agama. Selain itu Kota Yogyakarta dikenal juga sebagai kota pelajar yang menjadi daya tarik para pelajar dari berbagai latar belakang daerah, suku maupun agama untuk belajar di perguruan tinggi di Kota Yogyakarta yang pada tahun ajaran 2011/2012 tercatat sebanyak 66 perguruan tinggi swasta. Perguruan tinggi tersebut terdiri dari 8 universitas, 24 institut/sekolah tinggi dan 34 akademi/ politeknik.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
321
Jumlah dosen sebanyak 2.700 orang yang terdiri dari 2.371 orang dosen yayasan dan 239 orang dosen DPK. Jumlah mahasiswa yang terdaftar sebanyak 46.215 orang. Di samping banyaknya jumlah perguruan tinggi sebagaimana dijelaskan diatas, data lain yang menunjukan jumlah sekolah yang berada di Kota Yogyakarta sejak jenjang taman kanak kanak hingga sekolah menengah umum diperoleh keterangan sebagai berikut: 210 Taman Kanak Kanak, 167 Sekolah Dasar, 2 Madrasah Ibtidaiyah, 59 Sekolah Menengah Pertama, 7 Madrasah Tsnawiyah, 47 Sekolah Menengah Umum, 6 Madrasah Aliyah dan 31 Sekolah Menengah Kejuruan. Selanjutnya perihal ketersediaan sarana kesehatan dan tenaga kesehatan sebagai elemen penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat tercatat bahwa pada tahun 2011 jumlah dokter praktek di Kota Yogyakarta mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 1.458 orang pada tahun 2010 menjadi 1.581orang. Jumlah apotek adalah 125.Untuk menekan pertumbuhan penduduk pemerintah mencanangkan program Keluarga Berencana (KB). Respon masyarakat terhadap program tersebut cukup positif. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah penduduk yang aktif menjadi akseptor. Pada tahun 2011 jumlah akseptor tercatat 33.697orang atau 72,07 persen dari pasangan usia subur (PUS) yang terdapat di Kota Yogyakarta. Alat kontrasepsi yang banyak digunakan adalah STK (32,25 persen). Terkait dengan aktifitas perekonomian masyarakat Kota Yogyakarta, sebagai kota yang dikenal sebagai kota wisata, perekonomian masyarakat Kota Yogyakarta tidak hanya bertumpu pada industri pariwisata, melainkan sektor lain yaitu pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan.
322 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Koperasi Koperasi yang merupakan soko guru dari perekonomian, menjadi tumpuan kehidupan sebagian besar masyakat Kota Yogyakarta. Jumlah koperasi yang terdapat di Kota Yogyakarta pada tahun 2011 sebanyak 550 koperasi dengan 50.280 anggota.Pada tahun 2011 volume usaha koperasi mencapai 307.311 juta, naik 43,08 persen dari tahun sebelumnya dengan sisa hasil usaha mencapai 18.196,9 juta rupiah. Dalam hal ekspor komoditas bukan migas Kota Yogyakarta pada tahun 2011 mengalami peningkatan dibanding ekspor tahun sebelumnya, yaitu dari 21.060.982,16 US$ di tahun 2010 menjadi 117.685.291,26 US$ di tahun 2011. Sebagian besar ekspor Kota Yogyakarta berasal dari industri kerajinan tangan yang pada umumnya memiliki ciri khas dari suatu daerah sehingga sulit untuk ditiru dan menjadikan komoditas tersebut dapat bersaing di pasar Amerika maupun Eropa. Komoditas mebel kayu memiliki kontribusi terbesar dengan nilai total ekspor mencapai 93.719.046,80 US$ atau 79,64 persen dari total ekspor Kota Yogyakarta. Kontribusi terbesar kedua dimiliki oleh komoditas minyak atsiri dengan nilai 10.532.218,70 US$ atau mencapai 8,95 persen, dan komoditas sarung tangan polyrutan menempati urutan ketiga dengan nilai ekspor mencapai 1.959.788,91 US$ atau 1,67 persen. Kehidupan Sosial Keagamaan Kota Yogyakarta yang berdiri sejak tahun 1756, telah mengalami perjumpaan dengan agama‐agama besar di dunia, seperti Hinduisme dan Budhisme, Islam dan Kristen. Juga dengan budaya‐budaya besar dari luar, seperti Eropa, Cina, Arab, dan India, kemudian disusul budaya‐budaya dari berbagai wilayah nusantara. Dalam kurun waktu dua Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
323
setengah abad itu Kota Yogyakarta bertumbuh pelan‐pelan menjadi sebuah kota dengan basis budaya Jawa dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang terbuka dan inklusif bagi kultur yang lain, dan oleh karena itu kemudian menjadi pusat kekaguman dunia sebagai kota budaya. Selain itu dalam perjalanannya Kota Yogyakarta juga memiliki predikat sebagai Kota Pendidikan dan City of Tolerance. Kedua predikat ini saling berhubungan satu sama lain dalam membentuk multikulturalisme Yogyakarta. Sebagai kota pendidikan, Yogyakarta memiliki pengalaman multikultural yang panjang dan teruji, terutama dalam kontak dengan budaya lain yang datang bersama dengan para pelajar dan mahasiswa dari berbagai pelosok nusantara untuk belajar di Yogyakarta. (M Nurul Ikhsan, 2013) Warga Yogyakarta memandang predikat City of Tolerance yang disandang mempunyai kontribusi terhadap berbagai prestasi yang diraih kota ini. Toleransi yang berarti ada harmoni, saling pengertian, dan kesediaan untuk saling menerima, saling mengikuti dan mau bekerja sama. Karena itu toleransi dalam kontek ini mengandung makna yang lebih luas melampaui pengertian toleransi antar suku/etnis, agama dan kebudayaan. (M Nurul Ikhsan, 2013) Dalam kehidupan keseharian masyarakat Kota Yogyakarta yang multi kultur sudah terbentuk dengan alaminya, Kota Yogyakarta lebih sering dan senang menjaga harmoni yang sudah lama terbentuk, ini menjadi warisan kearifan lokal dari sejak nenek moyang dulu. Misalnya saja, banyak mesjid terletak berhadapan dengan Gereja dan hal ini tidak menjadi masalah. Jika saja ada usulan masyarakat agar Kota Yogyakarta menjadi serambi Madinah, sebab masyarakat madani sudah hampir terbentuk. Begitu juga peran dari pimpinan masyarakat Kota Yogyakarta, Sultan
324 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Hamengkubuwono X, berdiri digaris terdepan Jika ada konflik, ada musyawarah, ada dialog untuk tidak memantik api persoalan semakin membesar lagi. Disamping itu, di Kota Yogyakarta terdapat 2 forum kerukunan antar umat beragama yang keduanya sangat aktif dalam membangun beragam inisiatif kerukunan di Kota Yogyakarta. Masyarakat Kota Yogyakarta yang rata‐rata memiliki pendidikan cukup tinggi minimal sarjana srata satu, dengan sendirinya memberikan suatu pandangan dan cara berpikir lebih rasional dan mampu menelaah setiap ajakan dan isu ‐ isu yang tidak produktif/kontraproduktif. Kota Yogyakarta cenderung hidup dalam harmoni, sebab masyarakat Kota Yogyakarta sudah dewasa dalam hidup beriman. (http://keuskupanbandung. org/main /Post/2826, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013) Sudah sejak lama keharmonisan ini berlangsung di perkotaan bahkan di daerah yang tergolong pedesaan pun hampir tidak pernah terjadi peristiwa konflik yang bernuansa agama khususnya menyangkut relasi muslim dan kristen baik katolik maupun protestan. (Wawancara dengan Dr.Muhammad Wildan, Dosen UIN Sunan Kalijaga, 8 Juni 2013) Penjelasan ini seiring dengan keterangan Ahmad Fauzi, Pegawai Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi DIY bidang Kerukunan Umat Beragama. Dalam memelihara kerukunan antar umat beragama, di Kota Yogyakarta, Forum Kerukunan Umat Beragama secara rutin melaksanakan pertemuan dengan para tokoh agama untuk mendiskusikan berbagai hal dan memecahkan masalah bersama. Pertemuan antara FKUB dan Walikota pun dilakukan sebanyak satu kali dalam satu minggu. (Wawancara dengan Suparto, Ketua FKUB Kota Yogyakarta, 12 Juni 2013). Keterangan ini diakui oleh banyak pihak termasuk oleh kalangan Kristen di Kota Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
325
Yogyakarta, bahwa keberadaan FKUB Kota Yogyakarta sangat membantu berbagai upaya memelihara kerukunan dan ketentraman masyarakat di Kota Yogyakarta.( Wawancara dengan Petrus Marija, Pembimas Kristen Kanwil Kemenag DIY Yogyakarta, 12 Juni 2013) Namun sayangnya, beberapa waktu lalu hubungan yang harmonis antar kultur dan sub kultur tersebut terkoyak dengan muncul berbagai konflik sosial dalam bentuk kekerasan di Kota Yogyakarta, yang ditengarai berlatar belakang isu SARA. Hal ini jelas mencederai bangunan sosial yang selama ini telah terbangun dengan baik dan harmonis, apalagi saat ini Kota Yogyakarta telah mendeklarsikan diri sebagai City of Tolerance atau kota yang penuh dengan toleransi. 4 Munculnya aksi‐aksi kekerasan yang mengatasnama‐ kan kelompok, agama atau etnis tertentu di Kota Yogyakarta beberapa waktu lalu sudah mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan khususnya pihak eksekutif dan aparat penegak hukum, termasuk mengumpulkan sedikitnya ada 84 ormas dan LSM di Balai Kota Yogyakarta dan meminta mereka untuk menyusun program penguatan budaya di wilayah Kota Yogyakarta. Program ini menjadi pondasi untuk Pada tahun 2000 pernah terjadi aksi perusakan delapan gereja di DIY Yogyakarta dan diantaranya adalah gereja yang berada di Kota Yogyakarta, antara lain, GerejaKristen Jawa (GKJ) Mergangsan, Gereja Katolik Kidul Loji, Gereja KatolikPugeran, Gereja Katolik Jetis, Gereja Sidang Jemaʹat Allah Jl. Ngampilan dan Gereja Baptis Ngadinegaran. Selain itu massa juga merusak Susteran KatolikCaritas, Jl. Taman Siswa. Aksi pelemparan juga menimpa Universitas Kristen Immanuel (UKRIM) dan SMPN 2 Yogya yang bersebelahan dengan Gereja Kidul Loji. Lihat, http://www.minihub.org/siarlist/msg04376.html, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013. 4
326 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
mengembalikan rasa (http://www.republika.co.id/
aman
bagi
masyarakat.
berita/nasional /jawa‐tengah‐diy‐ nasional/13/04/11/ml3ndq‐cegah‐anarkisme‐pemkot‐yogya‐kumpulkan‐ ormas‐dan‐lsm, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013)
Karena jika hal ini dibiarkan tanpa penanganan yang serius akan menjadi preseden buruk di kemudian hari dan dapat merusak kerukunan dan tatanan budaya masyarakat Yogyakarta yang anti terhadap kekerasan dan penuh dengan toleransi. Meskipun sesungguhnya struktur masyarakat majemuk yang ada di Kota Yogyakarta adalah sebuah keniscayaan dan tidak dapat dinafikan berpotensi menimbulkan konflik dan gesekan sosial. (Henry Kuncoroyekti, SH, Membangun Kota Yogyakarta Sebagai Kota Multikultural, dalam (http://dprd‐jogjakota.go.id/index.php/berita‐dan‐artikel/ artikel/membangun‐yogyakarta‐sebagai‐kota‐multikultural, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013)
Sekilas Kabupaten Sleman Kondisi Geografis dan Demografis Kabupaten Sleman Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110° 33′ 00″ dan 110° 13′ 00″ Bujur Timur, 7° 34′ 51″ dan 7° 47′ 30″ Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Sleman sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DIY dan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah dan sebelah selatan berbatasan dengan Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi D.I.Yogyakarta. Luas Wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 Km2 atau sekitar 18% dari luas Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta 3.185,80 Km2,dengan jarak terjauh Utara –
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
327
Selatan 32 Km,Timur – Barat 35 Km. Secara administratif terdiri 17 wilayah Kecamatan, 86 Desa, dan 1.212 Dusun. Kabupaten Sleman keadaan tanahnya dibagian selatan relatif datar kecuali daerah perbukitan dibagian tenggara Kecamatan Prambanan dan sebagian di Kecamatan Gamping. Makin ke utara relatif miring dan dibagian utara sekitar Lereng Merapi relatif terjal serta terdapat sekitar 100 sumber mata air. Hampir setengah dari luas wilayah merupakan tanah pertanian yang subur dengan didukung irigasi teknis di bagian barat dan selatan. Topografi dapat dibedakan atas dasar ketinggian tempat dan kemiringan lahan (lereng). Kabupaten Sleman hampir setengah dari luas wilayah merupakan tanah pertanian yang subur dengan didukung irigasi teknis dibagian barat dan selatan. Keadaan jenis tanahnya dibedakan atas sawah, tegal, pekarangan, hutan, dan lain‐lain. Perkembangan penggunaan tanah selama 5 tahun terakhir menunjukkan jenis tanah Sawah turun rata‐rata per tahun sebesar 0,96 %, Tegalan naik 0,82 %, Pekarangan naik 0,31 %, dan lain‐lain turun 1,57 %. Selanjutnya mengenai jumlah penduduk di Kabupaten Sleman, Berdasarkan hasil proyeksi sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah penduduk Sleman pada tahun 2011 sebesar 1.107.304 jiwa, terdiri dari 554.636 laki‐laki dan 552.668 perempuan. Dengan luas wilayah 574,82 km2, maka kepadatan penduduk Kabupaten Sleman adalah 1.926 jiwa per km2. Beberapa kecamatan yang relatif padat penduduknya adalah Depok dengan 5.172 jiwa per km2, Mlati dengan 3.588 jiwa per km2 serta Gamping dan Ngaglik dengan masing‐ masing 3.353 jiwa dan 2.679 jiwa per km2. Adapun komposisi penduduk menurut agama yang dipeluk di Kabupaten Sleman pada tahun 2011 tercatat sekitar 866.703 orang beragama Islam, Katholik sebanyak 64.638
328 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
orang, disusul oleh agama Kristen sebanyak 26.957 orang. Adapun penduduk beragama Hindu dan Budha masing‐ masing tercatat sebanyak 1.580 orang dan 998 orang. Penduduk beragama Islam yang menunaikan Ibadah Haji pada tahun 2011 sebanyak 1.197 orang. Dari jumlah tersebut, jemaah terbanyak berasal dari Kecamatan Depok yaitu 184 orang (15,37 %), sedangkan paling sedikit berasal dari kecamatan Turi yaitu 14 orang. Sedangkan jumlah tempat peribadatan keenam agama tersebut di Kabupaten Sleman sebagai berikut : 1904 Masjid, 1087 Langgar, 501 Mushola, 69 Gereja Protestan 58 Gereja Katolik, 4 Pura, 2 Wihara. 5 Selain itu Jumlah penduduk yang ada di Kabupate/Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1 Kota Yogyakarta jumlah penduduknya 542.961 orang dengan perincian 270.845 orang laki‐laki dan 272.116 orang perempuan; dengan persentase 14.96 % 2 Kabupaten Bantul jumlah penduduknya 890.434 orang dengan perincian 419.094 orang laki‐laki dan 471.340 orang perempuan; dengan persentase 24.53 % 3 Kabupaten Kulonprogo jumlah penduduknya 476.576 orang dengan perincian 234.723 orang laki‐laki dan 241.853 orang perempuan; dengan persentase 13.13 % 4 Kabupaten Gunungkidul jumlah penduduknya 758.879 orang dengan perincian 364.263 orang laki‐laki dan 394.616 orang perempuan; dengan persentase 20.91 % 5 Kabupaten Sleman jumlah penduduknya 960.876 orang dengan perincian 460.737 orang laki‐laki dan 500.139 orang
Kabupaten Sleman dalam Angka Tahun 2012 (Sleman: BPS Kabupaten Sleman, 2012)
5
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
329
perempuan; dengan persentase 26.47 % . (Sumber: Data Keagamaan Kantor Wilayah Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka, 2012). Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan agama tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1 Kota Yogyakarta, Islam 457.701 orang; Kristen 31.267 orang; Katolik 49.644 orang; Hindu 2.470 orang; Buddha 1.833 orang; Kong Hucu 46 orang; Jumlahnya 542.961 orang. 2 Kabupaten Bantul, Islam 847.495 orang; Kristen 16.458 orang; Katolik 24.252 orang; Hindu 1.809 orang; Buddha 420 orang; Konghucu kosong. Jumlahnya 890.434 orang. 3 Kabupaten Kulonprogo, Islam 446.799 orang; Kristen 6.770 orang; Katolik 22.272 orang; Hindu 34 orang; Buddha 700 orang; Konghucu 1 orang. Jumlahnya 476.576 orang. 4 Gunung Kidul, Islam 730.863 orang; Kristen 13.022 orang; Katolik 10.934 orang; Buddha 998 orang; Hindu 1.580 orang; Konghucu kosong; Jumlahnya 758.879 orang. 5 Kabupaten Sleman, Islam 866.703 orang; Kristen 26.957 orang; Katolik 64.638 orang; Hindu 1.580 orang; Buddha 998 orang; Konghucu kosong. Jumlahnya 960.876 orang. Jumlah rumah ibadat yang ada di Kabupaten/kota Yogyakarta adalah sebagai berikut: Kota Yogyakarta, Islam: Masjid 486 ; Langgar 42; Musholla 374 Kota Yogyakarta, Kristen : Gereja 42; Rumah Kebaktian 2. Kota Yogyakarta, Katolik : Gereja Paroki 7 ; Gereja Kapel/STASI : Stasi 2; Kapel 39. Kota Yogyakarta, Hindu : Pura 1; Sanggar kosong. Kota Yogyakarta, Buddha : Wihara 5; Cetya 1. Kota Yogyakarta, Konghucu : Kelenteng 2 .
330 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Sleman Pendidikan merupakan aspek terpenting dalam pengembangan sumber daya manusia. Kemajuan suatu bangsa banyak ditentukan oleh kualitas pendidikan penduduknya. Beberapa faktor utama yang mendukung penyelenggaraan pendidikan adalah ketersediaan sekolah yang memadai dengan sarana prasarananya, pengajar dan keterlibatan anak didik, maupun Komite Sekolah. Pada jenjang SD, Kabupaten Sleman pada tahun 2011/2012 memiliki sebanyak 501 unit sekolah yang terdiri dari 379 SD Negeri dan 122 SD swasta. Banyaknya guru SD mencapai 4.432 orang di SD negeri dan 1.632 orang di SD swasta. Adapun peserta didik yang sedang mengenyam pendidikan tercatat sebanyak 87.465 anak yang terbagi menjadi 65.307 anak bersekolah di SD negeri dan 22.158 anak di SD swasta. Pada jenjang SMP, jumlah sekolah tercatat sebanyak 106 sekolah, yang terdiri 54 SMP negeri dan 52 SMP swasta. Banyaknya guru yang mengajar di SMP tercatat sebanyak 2.718 orang. Sebagian besar dari mereka 1.690 orang mengajar di SMP negeri, sedangkan selebihnya di SMP swasta. Adapun murid yang bersekolah di SMP pada tahun 2011/2012 mencapai 33.098 orang yang terdiri dari 23.460 orang di SMP negeri dan SMP swasta sebanyak 9.638 orang. Untuk jenjang yang lebih tinggi yakni SMU, tersedia sebanyak 45 sekolah dengan 17 SMA negeri dan 28 SMA swasta. Banyaknya guru di SMU negeri 687 orang dan banyaknya guru di SMU swasta 596 orang, dengan murid di SMU negeri sebanyak 7.736 orang dan di SMU swasta sebanyak 3.451 orang. Untuk jenjang pendidikan menengah lainya yakni SMK, terdapat sebanyak 53 sekolah yang didominasi oleh SMK swasta yakni sebanyak 45 sekolah. Banyaknya guru Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
331
swasta yang terlibat juga lebih besar, yaitu 1.323 orang dibandingkan dengan sebanyak 602 orang guru yang mengajar di SMK negeri. Murid yang memilih sekolah di SMK tercatat sebanyak 12.568 orang di SMK swasta dan 6.893 di SMK negeri. Untuk penyelenggaraan SMK, peran swasta jauh lebih besar dibandingkan dengan Pemerintah. Selain jenjang pendidikan dasar menengah pertama dan lanjutan, di Kabupaten Sleman juga terdapat 33 perguruan tinggi yang terdiri dari 28 perguruan tinggi swasta dan 5 perguruan tinggi negeri dengan jumlah mahasiswa masing masing sebanyak 78.354 mahasiswa dan 74.677 mahasiswa. Selanjutnya, mengenai kehidupan perekonomiannya, masyarakat Kabupaten Sleman bergantung pada sektor pertanian, perkebunan dan peternakan. Untuk produksi tanaman Pangan meliputi padi dan palawija. Tanaman palawija mencakup komoditas jagung, ubi jalar,ubi kayu, kacang tanah, kedelai serta kacang hijau. Adapun hortikultura terdiri dari sayur‐sayuran, buah‐buahan, tanaman hias dan tanaman obat‐obatan. Produksi tanaman buah‐buahan di Kabupaten Sleman didominasi oleh salak pondoh, sesuai dengan predikat yang disandang selama ini sebagai produsen salak pondoh terbesar. Produksi salak pondoh pada tahun 2008 mencapai 581.768 kuintal, naik sekitar 1,2 persen dibanding tahun sebelumnya sebanyak 574.343 kuintal. Komoditas ini sebagian besar dibudidayakan di Kecamatan Turi, Tempel dan Pakem yang produksinya mencapai 90,21 persen dari total produksi Kabupaten Sleman. Selain salak pondoh, Kabupaten Sleman juga memiliki produksi yang cukup besar untuk komoditi rambutan dan pisang serta nangka. Untuk produksi tanaman sayuran, produksi yang relatif besar adalah melinjo, cabe merah.Tanaman hias yang
332 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
mendominasi adalah produksi tanaman anggrek, tanaman mawar, krisan dan anthurium. Sedangkan tanaman obat‐ obatan yang memiliki produksi yang cukup besar yaitu temuireng dan temulawak disusul produksi lempuyang, lengkuas, jahe, dan kunyit. Produksi tanaman perkebunan yang dominan di Kabupaten Sleman adalah tebu dan kelapa kemudian diikuti oleh mendong (untuk bahan baku tikar) serta tembakau rakyat. Adapun produksi komoditas lainnya seperti kapok dan lada. Sedangkan pembangunan peternakan diprioritaskan pada pengembangan peternakan rakyat guna mendorong diversifikasi pangan dalam rangka mencukupi kebutuhan protein hewani yaitu daging, telur dan susu melalui kegiatan pemuliaan ternak dan inseminasi buatan. (BPS Kabupaten Sleman, 2012) Kehidupan Sosial Keagamaan Kabupaten Sleman Masyarakat Kabupaten Sleman sebagaimana halnya masyarakat Jawa pada umumnya, relatif masih memegang tradisi Jawa yaitu prinsip rukun dalam pergaulan masyarakat. Menurut Magnis Suseno. Prinsip ini merupakan faktor penting dalam pergaulan masyarakat Jawa. Prinsip yang lain adalah sikap hati‐hati. Kedua prinsip kehidupan ini banyak dielaborasi dalam kehidupan sehari‐hari, sehingga turut mendorong integrasi dalam kehidupan masyarakat Jawa. (Frans Magnis Suseno, 1988). Dalam konteks kehidupan antar umat beragama, di Kabupaten Sleman, masyarakat menjalin hubungan yang baik antar sesama pemeluk agama. Berbagai kegiatan sering diselenggarakan dalam memelihara keakraban satu sama lain. Pada bulan Ramadhan misalnya, di Gereja Katolik Somohitan diselenggarakan kegiatan buka puasa bersama yang dihadiri oleh perwakilan berbagai umat beragama dan juga aliran Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
333
kepercayaan. Kegiatan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan rasa persaudaraan sekalipun dalam perbedaan. Acara buka bersama lintas agama di paroki ini menurut warga sekitar sudah sering dilakukan bahkan diumumkan melalui corong pengeras suara masjid. Lurah Girikerto, Suharto yang bersyukur atas terbangunnya persaudaraan sekalipun berbeda kepercayaan mengharapkan agar hal ini dapat terus terjalin. Selain itu Forum Persaudaraan Umat Beragama dinilai sangat berkontribusi dalam membangun wilayah Somohitan, seperti pembagian bibit tanaman dan penghijauan serta berbagai kegiatan kemasyarakatan lainnya. Selain FPUB, di Sleman, Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Sleman juga aktif dalam melaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama. Bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Ketua I FKUB Sleman, Pendeta Agus, Sleman menjadi model FKUB di Propinsi DIY Yogyakarta. (Wawancara dengan Pendeta Agus, Ketua I FKUB Kabupaten Sleman, 12 Juni 2013) Namun demikian, keharmonisan kehidupan antar umat beragama yang terjalin dengan baik di Kabupaten Sleman tetap saja mendapat ujian salah satunya dengan adanya kejadian penolakan keberadaan gereja yaitu GKI Pos Adisucipto yang terletak Femonema konflik yang terjadi di Dusun Jagalan Kecamatan Berbah, Sleman. (Dafcoriza). Temuan Hasil Penelitian dan Analisisnya Sejarah STAK Marturia Yogyakarta Gereja‐gereja Kristen Jawa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam perjalanan pelayanannya untuk pemberitaan Injil dan pemeliharaan warganya,
334 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
mempertimbangkan tentang perlunya Guru‐ guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) di sekolah‐sekolah. Untuk itu maka didirikanlah sebuah Yayasan yang menyelenggarakan sekolah untuk Pendidikan Guru Agama Kristen pada tanggal 11 Oktober 1963. Nama Yayasan tersebut adalah YAYASAN PENDIDIKAN GURU AGAMA ATAS KRISTEN di Yogyakarta. Tujuan didirikannya yayasana tersebut adalah untuk menyelenggarkan pendidikan Guru Agama Kristen. Lulusan dari sekolah tersebut diharapkan dapat mengajar PAK di Sekolah‐sekolah Dasar (SD) yang waktu itu dan masa‐ masa selanjutnya sangat dibutuhkan. Perjalanan Sekolah PGAAK telah dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat berkembang dengan baik sampai mendapat status disamakan pada tahun 1970 oleh Departemen Agama RI. Tetapi pada tahun 1991 PGAAK Yogyakarta harus ditutup. Penutupan itu disebabkan adanya kebijakan pemerintah yang meniadakan/ menutup Sekolah‐ sekolah Pendidikan Guru (Menengah) di seluruh Indonesia. Rencana penutupan Sekolah Pendidikan Guru tersebut telah diantisipasi oleh Gereja‐gereja Kristen Jawa di DIY dalam bentuk komitmen untuk tetap berkeinginan menyelenggarakan pendidikan guru dibidang PAK kemudian membuat Program Diploma 2 PAK. Untuk menyelenggarakan pendidikan Program Diploma Dua (D2) Pendidikan Agama Kristen(PAK) harus mendirikn perguruan tinggi, maka ada beberapa hal yang harus diupayakan penyesuaiannya yaitu: 1. Yayasan PGAAK Yogyakarta diubah menjadi YAYASAN PENDIDIKAN KRISTEN MARTURIA pada tahun 1983. Dengan pengertian bahwa Yayasan tersebut menjadi lebih luas kemungkinan jangkauan pelayanannya.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
335
2. Pada tahun 1983 juga mendirikan Perguruan Tinggi, yang menyelenggarakan pendidikan Program Diploma Dua (D2) PAK. Nama Perguruan Tinggi tersebut adalah Institut Agama Kristen Marturia (IAKM) YOGYAKARTA). Terkait dengan keinginan yang terus mengembangkan Perguruan Tinggi tersebut maka juga diselenggarakan Program Stratum Satu (S1) PAK. 3. Segala sesuatu yang harus dipenuhi sebagai syarat berdirinya suatu Perguruan Tinggi, Pimpinan IAKM beserta Pengurus YPK Marturia mendapat pengarahan dan bimbingan dari Direktur Jendral Bimas Kristen Departemen Agama RI. Mengingat bahwa ketentuan yang ditetapkan pemerintah untuk suatu Institut yang didirikan cukup berat yaitu harus memiliki tiga fakultas, maka IAKM Yogyakarta diubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Marturia Yogyakarta. Perubahan tersebut mengingat bahwa pendidikan akademik yng diselenggarakan hanya satu disiplin ilmu yaitu Teologi/ Agama Kristen dengan beberapa Program Studi/ Jurusan. Segala sesuatu yang terkait dengan ketentuan mengenai persyaratan berdirinya suatu Perguruan Tinggi Agama/ Teologi, STAK Marturia Yogyakarta mendapat petunjuk dan bimbingan dari Direktur Jendral Bimas Kristen Departemen Agama RI. Secara konkrit dapat disebutkan bahwa STAK Marturia Yogyakarta telah mendapat status dari Direktur Jendral Bimas Kristen Departemen Agama RI, sebagai berikut: 1. Tahun 1988 untuk jurusan (PAK) memperoleh Status terdaftar dengan Surat Dirjen Bimas Kristen Protestan No. 196/1988. 2. Tahun 1991 untuk Jurusan Teologi memperoleh Status IjinOperasional dengan Surat Dirjen No. 23/1991.
336 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
3. Tahun 1997 Jurusan Teologi mendapat Status Terdaftar berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 644 Tahun 1997. 4. Tahun 2010 untuk program studi PAK Memperoleh Ijin Penyelenggaraan dari Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen dengan nomor Surat DJ.III/Kep/HK.00.5/322/2010. 5. Tahun 2010 untuk program StudiTeologimemperoleh Ijin Penyelenggaraan dari Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen dengan nomor Surat: DJ.III/Kep/HK.00.5/322/2010. 6. Tahun 2011untuk program studi PAK memperoleh Ijin Penyelenggaraan dari Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen dengannomor Surat: DJ.III/Kep/HK.00.5/723/2011. 7. Tahun 2011untuk program studi Teologi memperoleh Ijin Penyelenggaraan dari Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen dengan nomor Surat: DJ.III/Kep/HK.00.5/724/2011. Dalam rangka pengembang‐an STAK Marturia Yogyakarta, demi makin memenuhi ketentuan yang disyaratkan selaku Perguruan Tinggi Teologi, acuan‐acuan yang diberlakukan adalah Keputusan‐keputusan Menteri Agama RI, serta Keputusan‐keputusan Dirjen Bimas Kristen Departemen Agama RI, yaitu: 1. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 102 A Tahun 1988 tentang Pedoman Pendirian dan Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/ Teologi. 2. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 163 Tahun 1999 Tentang Gelar dan Sebutan Gelar Lulusan Pendidikan Tinggi Teologi.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
337
3. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 385 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Isi Ijazah Program Stratum 1 (S1) Pendidikan Tinggi Teologi. 4. Surat Dirjen Bimas Kristen Departemen Agama RI Nomor PT.III/PP.02.3/263/5725/2002 Tentang Pembinaan Perguruan Tinggi Teologi. Secara realita STAK Marturia Yogyakarta telah mampu mewujudkan keinginan Gereja‐gereja, artinya dengan buah‐ buah pelayanannya STAK Marturia Yogyakarta telah memberikan andil dalam pembentukan Sumber Daya Manusia. Banyak lulusan STAK Marturia Yogyakarta yang diterima masyarakat, diangkat menjadi PNS untuk mengajar PAK di Sekolah‐sekolah dan dipanggil oleh Gereja untuk ditahbiskan sebagai Pendeta. Pada mulanya STAK Marturia Yogyakarta memang lebih dikenal sebagai Perguruan Tinggi yang menghasilkan Guru PAK di sekolah, tetapi dalam pendidikan yang diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang dapat dipanggil menjadi Pendeta. Penyelenggaraan Program Studi/Jurusan Teologi/ Kependetaan tersebut dilandasi oleh beberapa hal, yaitu: 1. Adanya minat pemuda Gereja yang ingin belajar Teologi, sedangkan Perguruan Tinggi Teologi yang ada tidak dapat menampung mereka semua. 2. Masih tersediannya lapangan pelayanan yaitu Gereja‐ gereja yang belum memiliki Pendeta. Jadi pada saat ini STAK Marturia Yogyakarta menyelenggarakan Pendidikan Tinggi Teologi/Kependetaan, yaitu: 1. Program Studi Stratum Satu (S1) Pendidikan Agama Kristen 2. Program Studi Stratum Satu (S1) Teologi/ Kependetaan
338 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Pada tahun 2012 ini STAK Marturia telah membuka program Pascasarjana S2 Program Studi Pendikan Agama Kristen dengan gelar M.Pd.K dan telah mendapat Ijin Penyelenggaraan dari Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor DJ.III/Kep/HK/00.5/624/ 2012. Sebagai bagian dari lembaga pendidikan Tinggi Teologi, STAK Marturia telah resmi menjadi anggota Perhimpunan Sekolah‐sekolah Tinggi Teologi di Indonesia (PERSETIA) dengan nomor : 09/PERSETIA/I/12/Kpts.Sesuatu yang membanggakan, bahwa pada tanggal 9‐11 Desember 2012 STAK Marturia telah difasilitasi oleh Asesor lapangan dalam rangka akreditasi BAN PT untuk Program Studi Pendidikan Agama Kristen /PAK. Memperhatikan perkembangan dan eksistensi yang demikian ke depan tentu saja STAK Marturia Yogyakarta berkeinginan memperluas jangkuan pelayanannya sehingga warga Gereja dari wilayah manapun di Indonesia dapat mengikuti proses pembelajaran Teologi di STAK Marturia Yogyakarta. Visi dan Misi STAK Marturia Menjadi Perguruan Tinggi Teologi Kristen yang berkualitas dan mampu menghasilkan lulusan yang profesional, memiliki integritas, spiritualitas yang tangguh, dan mampu berteologi secara kontekstual.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
339
MISI nya adalah Menyelenggarakan Pendidikan di Bidang Pendidikan Agama Kristen dan Teologi/ Kependetaan berdasarkan ketentuan pemerintah dan gereja. 1. Menyelenggarakan Penelitian dalam Bidang Pendidikan Agama Kristen dan Teologi/ Kependetaan yang inovatif dan Kontekstual. 2. Melaksanakan Pengabdian Masyarakat secara Holistik Makna Lambang 1. Kerangka berbentuk segilima melambangkan Pancasila, mengandung makna bahwa STAK Marturia berdasarkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Komponen lambang mempunyai makna: a. Salib melambangkan karya penyelamatan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus Juru Selamat. Mengandung makna bahwa Tuhan Yesus Juru Selamat yang diimani oleh jajaran keluarga STAK Marturia. b. Burung Merpati melambangkan Roh Kudus. Mengandung makna bahwa hanya oleh Roh Kuduslah STAK Marturia dapat melaksanakan fungsi dan panggilannya. c. Alkitab melambangkan Firman Tuhan. Mengandung makna bahwa STAK Marturia berdasar atas Firman Tuhan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam melaksanakan fungsi dan panggilannya. d. Bulatan yang di luarnya dikelilingi tulisan “Sekolah Tinggi Agama Kristen Marturia” melambangkan dunia tempat STAK Marturia terpanggil untuk melaksanakan tugas dan panggilannya. Mengandung makna bahwa STAK Marturia terpanggil untuk
340 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
melaksanakan tugas dan panggilannya bukan hanya di tengah‐tengah masyarakat Kristen dan Gereja, tetapi juga di tengah‐tengah dunia, bagi masyarakat umum dan kepada semua orang. STRUKTUR ORGANISASI STAK MARTURIA YOGYAKARTA PERIODE 2012‐2016
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
341
Keterangan: Pimpinan STAK Marturia Yogyakarta Ketua : Pdt. Budi Raharjo, M.Th. Puket I : Yudhi Kawangung, M.Th. Puket II : Arjita, S.Th., MM Puket III : Norhayati, M.Th. Senat STAK Marturia Yogyakarta (SESTI) Ketua : Pdt. Budi Raharjo, M.Th. (Ketua STAKM) Sekretaris : Yudhi Kawangung, M.Th. (Puket I) Anggota : Arjita, S.Th., MM (Puket II) Norhayati, M.Th. (Puket III) Pdt. David Rubingan, M.Th.(Ka.Prodi Teologi) Sulis Setyaningsih, M.Pd.K (Ka. Prodi PAK) Pdt. Edi Krisbudiarto,M.Th.(Wk.Dosen Teologi) Sri Sulastri, M.Pd. (Wakil Dosen PAK) Tim Penjamin Mutu Internal Ketua : Eko Martono, S.PAK., M.Th. Anggota : Drs. Karim Theresih, M.Si. Yudhi Kawangung, M.Th. Program Pascasarjana Direktur Pascasarjana : Yudhi Kawangung, M.Th Sekretaris Pascasarjana : Norhayati, M.Th Adm. Pascasarjana : Erni Kristanti Ketua Program Studi Ka. Prodi Pendidikan Agama Kristen : Sulis Setyaningsih, M.Pd.K Ka. Prodi Teologi/ Kependetaan : Pdt. David Rubingan, M.Th
342 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Bagian Administrasi Adm. Umum : Trisno Budhi Handoyo Adm. Keuangan : Winantuningsih, SE Adm. Akademik & Kemahasiswaan : Herjunanta Pangaribawa Unsur Penunjang Pepustakaan : Supoyo Operator Teknologi Dan Informasi : Surono, S.Th Senat Mahasiswa Ketua I : Eri Rustianto Ketua II : Daniel Subyakto Sekretaris I : Sukaningtyas Sekretaris II : Jeren Tri Sutrisno : Age Sutrisno Bendahara I Bendahara II : Sapti Yuli Narti PROFIL MARTURIA STRUKTUR YAYASAN PENDIDIKAN KRISTEN MARTURIA YOGYAKARTA PERIODE 2009‐ 2014 1. Pembina Ketua : Pdt. Drs. Petrus Eko Budi Setyono Sekretaris : Pdt. Sat Herry Sucahyo, S.Si. Anggota : Pdt. Djuniarso Kartikahadi, S.Th., M.Min. : Pdt. Sutomo, S.Th. : Sukadi, S.Pd. : Petrus Sutoto, S.Pd. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
343
2. Pengawas Ketua : Pdt. Apy Heny H., S.Th., M.Min. Sekretaris : Ir. Yunianto Anggota : Tulus Marwito 3. Pengurus Ketua I : Drs. Atmadi, MM Ketua II : Pdt. Djoko Prasetyo A.W. D.Th. Sekretaris I : Widiyanto Mateus, BE Sekretaris II : Pdt. Christiana Riyadi, S.Sos., S.Th. Anggota : S. Sunu Nugroho, S.Pd., SH., M.Hum. Pimpinan Sekolah Tinggi Agama Kristen Marturia Yogyakarta Periode 2012‐ 2016 Susunan pimpinan STAK Marturia Yogyakarta terdiri atas: Ketua : Pdt. Budi Raharjo, M.Th Puket I Bidang Akademik : Yudhi Kawangung, M.Th Puket II Bidang Keungan : Arjita, S.Th., MM Puket III Bidang Kemahasiswaan : Norhayati, M.Th Perguruan Tinggi Agama Kristen yang ada di Yogyakarta meliputi: 1. UKDW (Universitas Kristen Duta Wacana), dengan alamat Jl. Dr. Wahidin Yogyakarta; 2. UKRIM (universitas milik Yayasan Iman), dengan alamat Jl. Solo KM . 11 Yogyakarta PO. BOX 4/ YKAP;; 3. STTII ( Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia); Jl. Solo KM. 11 Yogyakarta
344 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
4. STAK Marturia, Nogolaten, Caturtunggal, Depok, Sleman, Tlp. 0274. 496256; 5. STTBKWI, Jl. HOS Cokroaminoto No. 164 Yogyakarta; 6. STT Lutheran, Jl. Kemendungan UH VII/1 Rt.31 Rw. 1 Yogyakarta 55244; 7. STT Kadesi, Ds. Weron, Balong, Umbulharjo Cangkringan, Sleman; 8. STAK Teruna Bhakti, Jl. Tumohon Balerejo Utara Muja‐ Muju Umbulharjo YK (Kom. SMU St. Tomas); 9. STT Biwara Wacana, Jagalan , Rt.06 Rw. 02 Tegaltirto, Berbah Sleman; 10. STT Nazarene, dengan alamat Kadisoko, Purwomartani, RT 1 Rw 1 Kalasan Sleman. Dari sekian banyak Perguruan Tinggi Agama Kristen yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah STAK Marturia yag ada di Nogolaten, Caturtunggal, Depok, Sleman, Tlp. 0274. 496256. Pemilihan tersebut berdasarkan Gereja Kristen Jawa Gondokusuman yang merupakan Gereja tertua yang berafiliasi dengan sekolah tersebut. Gereja Kristen Jawa yang ada di Kota Yogyakarta secara kebersamaan membangun Sekolah Tinggi tersebut. Orang‐orang yang ada di GKJ‐GKJ mengadakan hubungan dan sangat mendukung dengan keberadaan Sekolah tersebut. Sebagian besar tenaga pengajarnya (dosen) itu berasal dari orang‐orang yang ada di Gereja‐gereja Kristen Jawa (GKJ. Sekolah Tinggi Agama Kristen Marturia Yogyakarta adalah milik Jemaat Gereja‐Gereja Kristen Jawa se Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari 5 Klasis yaitu: 1. Klasis Yogyakarta Selatan; 2. Klasis Yogyakarta Barat; 3. Klasis Yogyakarta Utara; Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
345
4. Klasis Kulonprogo; 5. Klasis Gunungkidul. Luas bangunan sekolah tersebut sebanyak 2.500 meter dan luas lahannya sebanyak 3.200 meter. Tokoh‐tokoh pendiri STAK Marturia adalah: 1. Pendeta Dominus Soeradji Wandhy Adiwidjaya; 2. Pendeta Dominus Soegiarso Hadi Prasetyo, BA; 3. Yamin Kartaharjana (guru) Sekolah STAK Marturia ini memiliki jurusan: !) Pendidikan Agama Kristen ((PAK); 2) Teologia/Kependetaan; Jumlah tenaga akademisi yang ada di STAKM meliputi: 1) Dosen tetap jurusan Teologi sebanyak 6 orang dan 2) dosen tetap jurusan Pendidikan Agama Kristen sebanyak 6 orang. Sedangkan dosen tidak tetap sebanyak 13 orang dan dosen tetap Pasca Sarjana sebanyak 2 orang. Dosen tamu luar biasa untuk Pasca Sarjana sebanyak 7 orang. Masalah pendanaannya bersumber dari sumbangan tetap dan tidak tetap: 1. Dari Gereja‐gereja Kristen Jawa; 2. Dari Koperasi; 3. Dari Sinode GKJ; 4. Dari pemerintah; 5. Dari perseorangan yang bersimpati 6. Dari biaya kuliah mahasiswa. Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) meliputi: 1. Pendidikan kewarganegaraan; 2. Kebudayaan Indonesia; 3. Komunikasi; 4. Bahasa Indonesia; 5. Logika; 6. Bahasa Inggris; 7. Psikologi Umum.
346 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Mata Kuliah Dasar Khusus (MKDK) meliputi: Pengembangan diri; Filsafat; Spritualitas; Pembimbingan Pengetahuan Perjanjian lama I Pembimbingan Pengetahuan Perjanjian lama II Pembimbingan Pengetahuan Perjanjian baru I Pembimbingan Pengetahuan Perjanjian baru II Bahasa Ibrani I Bahasa Ibrani II Bahasa Yunani I Bahasa Yunani II Hermeneutika Pembimbing Teologi Sistematika Psikologi Pendidikan Sosiologi Agama Metodologi Penelitian Sosial dan Tindakan Statistika.
Jumlah judul buku‐buku yang ada di perpustakaan STAK Marturia 4.102 buah yang paling dominan adalah judul‐ judul yang berkaitan dengan Program Studi Pendidikan Agama Kristen. Selainnya berkaitan dengan masalah‐ masalah Teologi Agama Kristen. Dukungan masyarakat terhadap keberadaan STAK Marturia sangat bagus, namun dukungan dari pemerintah dikatakan kurang, terutama dalam hal dana. Jumlah lulusan dari STAKM jurusan Teologi tiap tahun mencapai 10‐15 orang. Menurut pembantu ketua STAKM bahwa obyek dari misi Kristen adalah warga dari jemaat Kristen. Misi STAKM mendorong putra putrinya supaya tertarik dan berminat untuk belajar teologi Kristen dan belajar pendidikan agama Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
347
Kristen di STAKM. Target misi dari STAKM adalah meluluskan mahasiswa‐mahasiswanya agar semakin berkualitas. Pelayanan intern Kristen di luar sinode dilaksanakan dengan bekerjasama dalam bidang pelayanan di Sinode Gereja yang lain dan gereja‐gereja GKJ, LSM dan lembaga kemasyarakatan. Lembaga yang terlibat dalam Misi yaitu Kementerian agama (Dirjen Bimas Kristen), Sinode, Klasis‐klasis, Gereja‐ gereja, Sekolah‐sekolah Kristen (SD, SMP, SMA). Implementasi konsep operasional misi dalam intern Kristen yaitu lebih pada khotbah, pemahaman al‐kitab, pengajaran iman Kristen di sekolah‐sekolah minggu untuk anak‐anak. Respon intern Kristen terhadap misi cukup bagus dan sangat mendukung adanya STAK Marturia. Dampak dari konsep dan pelaksanaan misi Kristen terhadap masyarakat adalah: a) pihak yang menjadi obyek misi yaitu warga lingkungan Kristen itu sendiri, maka pelaksanaan misi tidak berdampak negative bahkan sebaliknya; 2) Target dari misi Kristen lebih ditujukan ke dalam (intern), maka target dari misi untuk masyarakat lebih kepada mewujudkan damai sejahtera di dalam masyarakat. Metode misi lebih dilakukan dalam perilaku. ( Pembantu ketua STAK Marturia). Denah Kampu STAK Marturia, Yogyakarta Keterangan : 1 Ruang Pimpinan 11 Ruang Multimedia 2 Gereja/ Kapel 12 Ruang Senat Mahasiswa 3 Ruang Kuliah 13 Ruang Sidang 4 Ruang Kuliah Pascasarjana 14 Ruang Kantor Pascasarjana 5 Ruang Loby 15 Koperasi 6 Ruang Dosen Tetap 16 Pantry
348 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
7 Ruang Ka. Prodi 17 Toilet 8 Ruang Arsip/ Inventaris 18 Tempat Parkir 9 Ruang Kantor Administrasi 19 Taman 10 Perpustakaan 20 Arena Olahraga Program Studi Pendidikan Agama Kristen memiliki Visi dan Misi yaitu: VISI “Menjadi Program Studi Pendidikan Agama Kristen yang berkualitas, untuk menghasilkan tenaga pendidik yang memiliki integritas, profesional, serta berwawasan kontekstual.” MISI 1. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di bidang Pendidikan Agama Kristen sesuai peraturan perundang‐ undangan dan standar yang berlaku. 2. Menyelenggarakan dan mengembangkan penelitian di bidang Pendidikan Agama Kristen secara kontekstual. 3. Melaksanakan pengabdian masyarakat, baik dalam gereja dan atau sekolah pada khususnya maupun masyarakat pada umumnya, yang dilandasi nilai‐ nilai kasih, kemanusian, dan kebersamaan. Program Studi Teologi / Kependetaan: VISI “Menjadi program studi teologi/kependetaan yang berkualitas, untuk menghasilkan tenaga kependetaan yang memiliki integritas, profesional, dan mampu berteologi secara kontekstual.” MISI
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
349
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran dibidang teologi sesuai peraturan perundang‐undangan dan standar yang berlaku. 2. Menyelenggarakan dan mengembangkan penelitian di bidang teologi secara kontekstual. 3. Melaksanakan pengabdian masyarakat,baik dalam gereja pada khususnya maupun masyarakat pada umumnya, yang dilandasi nilai‐nilai kasih, kemanusian, dan kebersamaan. Program Pascasarjana Magister Pendidikan Agama Kristen memiliki Visi dan Misi yaitu: VISI ”menjadi program magister pendidikan agama kristen berkualitas untuk meningkatkan kompetensi tenaga pendidik yang memiliki integritas, profesionalitas serta berwawasan kontekstual.” MISI 1. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran pascasarjana dibidang Pendidikan Agama Kristen sesuai peraturan perundang‐undangan dan standar yang berlaku. 2. Menyelenggarakan dan mengembangkan penelitian terapan dibidang Pendidikan Agama Kristen secara kontekstual. 3. Melaksanakan pengabdian masyarakat pada umumnya maupun dalam Gereja, Sekolah dan atau Perguruan Tinggi pada khususnya yang dilandasi nilai‐nilai kasih, kemanusiaan dan kebersamaan. Pandangan Tokoh Agama Kristen tentang Misi Kekristenan 1. Pandangan Pendeta Joko Prasetyo
350 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Dalam hal misi kekristenan terdapat banyak tafsiran di setiap gereja. Di mana misi itu merupakan panggilan tugas untuk melakukan aktifitas menjadi saksi. Bersaksi mengabarkan Injil (kabar gembira). Ketika saya dapat kabar gembira maka saya harus menyampaikan kembali kabar gembira tersebut kepada orang lain bukan untuk diri sendiri. Oleh karena itu ukuran keberhasilan misi adalah ketika orang lain bergembira sama seperti kegembiraan yang kita rasakan. Allah telah mengasihi manusia, Yesus mengajarkan manusia untuk mengasihi diri dan diri semua manusia. Mengabarkan Injil (kabar gembira) juga bermakna bahwa kita harus melakukan tindakan secara totalitas dalam banyak aspek perbuatan. Dalam pemahaman saya, misi itu adalah Misio Dei artinya misi itu milik Tuhan dan dilakukan sendiri oleh Tuhan. Manusia tidak menjadi yang utama melainkan Tuhanlah yang utama. Manusia hanyalah menyaksikan berarti manusia hanya menunjuk apa yang telah Allah lakukan. Semua perbuatan manusia haruslah bermuara pada Allah sehingga kesaksian itu bukan untuk menguntungkan gereja sebab gereja hanyalah alat Tuhan. Dalam konteks perbuatan baik, Tuhan tidak berhutang budi kepada manusia justeru sebaliknya, manusia lah yang berhutang budi pada Tuhan. Misi sama halnya seperti dalam Islam yang kami kenal dengan istilah dakwah. Dalam kekristenan, sering dikenal kata penginjilan namun saya tidak sepakat dengan penggunaan penginjilan sebab seringkali diasosiasikan sebagai propaganda sehingga pemaknaannya menjadi sempit yaitu pengkristenan dan pengakuan verbal saja padahal penginjilan maknanya amatlah luas. Misi terdapat juga dalam Yohanes dan Matius Pasal 28 ayat 19‐20 khususnya terkait pengutusan yang kemudian dimaknai pemuridan. Namun kata pemuridan sering Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
351
disalahtafsirkan. Dalam penafsiran saya, pemuridan itu menjadi murid bukan sekadar mengaku secara lisan. Lebih dari itu, pemuridan secara esensial merupakan upaya bagaimana seorang Kristen akan melakukan apa yang telah Yesus lakukan. Itulah inti ajaran Yesus Kristus. Apa yang dilakukan? Menunjuka kerendahan hati, rekonsiliasi, pengampunan, pertobatan, ajaran kebaikan bukan penghakiman. Misi tidak boleh dilakukan dengan cara penghakiman sebab penghakiman adalah hak dan otoritas Allah. Dalam Yohanes dijelaskan “kalau kamu berbuat baik, saling mengasihi maka orang akan mengetahui bahwa kamu adalah muridku. Memang ada beberapa gereja yang menafsirkan pemuridan sebagai pengkristenan dan selanjutnya adalah pembangunan gereja. Satu kata kunci soal kristenisasi sebetulnya istilah kristenisasi tidak terdapat dalam Injil. Injil tidak pernah mengajarkan untuk membangun gereja dalam artian fisik karena yang esensi adalah perbuatan bukan aspek lisan verbal. Misi harus dijadikan alasan utama untuk bekerjasama dengan teman‐teman yang baik mempunyai perbuatan baik yang sama dan sama‐sama diperjuangkan. Untuk itu dalam konteks tersebut harus dipikirkan bersama, bagaimana kemungkinan adanya ruang misi bersama sama bukan rivalitas dan berorientasi pada jumlah semata. Disinilah titik temunya dan jika rivalitas yang mengedepan maka niscaya benturan akan terjadi. Dalam perbincangan soal misi kekeristenan, ada pandangan teologi interkultural yang terus dikembangkan dalam kehidupan Kristen. Teologi ini mengajarkan umat kristen untuk melakukan perjumpaan dan misi harus selalu bervisi interkultural sehingga terjadi kontak komunikasi satu
352 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
sama lain. Kami meyakini bahwa tidak pernah ada tempat yang tidak ada kehadiran Allah. Allah telah lampau melampaui dari gereja dan para misionaris. Teologi interkultural : dengan teologi ini orang kristen punya pengalaman menghayati Tuhan tetapi juga harus menghargai pengalaman lain diluar sana dan tidak boleh menganggap pengalaman orang lain itu sepi Misi harus difahami secara holistik bukan mengajak orang untuk menjadi orang kristen. Misi itu bukan propaganda tetapi transformasi mengubah kualitas hidup seseorang dan momen hidup untuk terus saling menginspirasi. Dalam Injil jelas disebutkan bahwa manusia tidak boleh menghakimi. Dalam surat Yakobus disebutkan pula bahwa jika manusia tahu berbuat baik tetapi tidak melakukan perbuatan baik tersebut maka berdosa. Seperti dalam hal menyelamatkan orang yang berzina bukan dengan cara membunuh melainkan membimbing memberi kesempatan kepada orang itu untuk berbuat baik dan menebus dosa sebab jika dibunuh maka dua‐duanya sama sama berdosa. Jadi sekali lagi Misi kekeristenan itu bukan propaganda mengajak orang lain masuk kristen. Melainkan ini masalah kemanusiaan yang merupakan bagian integral dari misi kekristenan. Bagaimana mungkin manusia bisa mengasihi Tuhan yang tidak kelihatan sementara tidak melakukan kepada manusia yang kelihatan. Dalam Matius juga sama dijelaskan bahwa Ketika manusia berbuat baik kepada manusia maka manusia telah melawat aku. Oleh karena itu kekeristenan ukurannya bukan gereja dalam arti fisik untuk menyembah Tuhan sebab tidak ada gereja pun tidak masalah dan seluruh dunia sesungguhnya adalah altar jadi gereja bukanlah ukuran kekristenan. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
353
Terkait church planting, perlu dilihat dalam konteksnya yang kontekstual. Church planting di asia, konsep ini berbeda dengan Church planting yang sangat amerika sebab disana kristen merupakan mayoritas. Di asia cara pandang religiusnya berbeda misalnya lebih mengenai soal kemiskinan, pluralitas agama dan budaya. Allah tidak hanya akan bicara pada kristen tetapi juga pada orang lain yang lebih beragam. Di kristen, antara presensia dan church planting terkadang saling berhadapan sebab belum tentu pandangan saya seperti ini sependapat dengan penganut church planting.Kristen mengajarkan “kamu boleh berbeda pendapat namun tidak boleh saling menghancurkan. Kita semua sama satu tubuh kristus satu kesatuan menuju pada kebaikan Tuhan. Misi menurut saya juga terkait dengan soal relasi kuasa. Pandangan yag mengatasnamakan umat jemaat belum tentu memang pandangan mereka karena bisa jadi itu adalah pandangannya sendiri sebagai pribadi. Saking beragamnya di tubuh kristen maka pernah diselenggarakan kegiatan seminar celebration of unity. Kata unity dimunculkan sebab menganggap bahwa tidak ada kesatuan dalam realitas kekristenan yang beragam.Kita juga perlu melakukan dialog dengan umat agama lain tetapi juga harus berdialog di internal kristen sendiri Soal pembaptisan, pandangan saya adalah seseorang tidak perlu pembaptisan untuk mengenal Tuhan dan mendapat keselamatan, sehingga tidak dibaptis maka tidak akan masuk surga bukanlah pandanga kami.Pembaptisan bukanlah prasyarat pertobatan tetapi itu urusan Tuhan bukan otoritas gereja. Maka dengan adanya teologi interkultural, kita semua bisa jadi saling belajar.Kita tidak boleh mengukur pengalaman orang lain dengan pengalaman diri kita.
354 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Pengalaman iman tidak bisa diperbandingkan. Oleh karena itu dialog itu menjadi penting. Tetapi jangan melakukan dialog dengan umat muslim hanya karena merasa diri minoritas. Istilah dan perasaan semacam ini mestilah dihilangkan. Khutbah menjadi media dalam menyampaikan model teologi semacam ini dan mengajak jemaat untuk senantiasa melakukan perjumpaan seperti halnya berkunjung ke pesantren dan selama ini pesantren selalu menyambut baik kunjungan kami. Selain itu pada saat kunjungan juga perlu disampaikan sehingga terjadi kesefahaman Dalam pandangan kami, di pesantren terlihat keterbukaan meskipun tidak ada kurikulum khusus tetapi para kyai lah yang menjadi kurikulum hidup atau dengan kata lain keteladanan dalam membangun sikap keterbukaan ini penting sekali. Dampak teologi semcam ini: pandangan selalu beragam namun saya selalu optimis lebih banyak yang positifnya. Oleh karena itu saya lebih berpandangan dan berorientasi pada aksi dibandingkan larut dalam pergulatan soal isu konflik, soal fakta toleransi dan intoleransi. Sehingga umat harus melihat tidak secara generalisir seperti misalnya label militan yang terdapat di Islam dan Kristen. Pemahaman Misi Pendeta Budi (Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Marturia Yogyakarta) Misi kekristenan seperti yang selalu dikembangkan dalam pelayanan masyarakat disini adalah menghadirkan kerajaan Allah. Terwujudnya damai sejahtera secara universal bukan esklusifisme pemberitaan injil untuk memasukan orang lain menjadi kristen tetapi mengabarkan tentang damai sejahtera, kasih tuhan. Soal percaya atau tidak itu urusan mereka. Jadi misi kekristenan bukanlah ekspansi meskipun Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
355
tidak dapat dipungkiri bahwa realitas itu ada. Hal ini disebabkan bahwa kita di Indonesia tidak sedang menghadapi orang kafir melainkan orang Islam, Budhha, Hindu dan lain‐ lain. Justeru bahaya jika ekspansi sehingga akan ada gejolak dan itu pasti hadir jika ekspansif. Pengertian kafir bagi kami adalah orang‐orang yang tidak mengenal Tuhan jadi bagi kami bukan Islam Hindu Buddha dan lain‐lain. Dasar biblikal. Yohanes Pasal 4. Sabda Yesus: tidak ada orag ibrani, dan lain‐lain. Semua berhak dikasihi bahkan yesus mau berkomunikasi dengan bangsa yang atheis sekalipun.Gereja hadir di Indonesia yang plural maka kita tidak setuju dengan teologi kekeristenan yang bersifat barat sentries, justeru teologi kekristenan harus sesuai dengan konteks keindonesiaan. Kemudian ada ayat yang menjelaskan : hiduplah damai dengan semua orang. Itu sangatlah penting dan sering kami sampaikan. Kekristenan itu mengarah pada pluralitas bukan terjebak pada pluralisme, juga mesti berdampingan dengan adat dan kebudayaan. Saya juga prihatin adanya kelompok yang mengatakan misi sebagai upaya kristenisasi. Penginjilan akan menjadi persoalan seperti evangelical dan saksi yehova. Kami terjun ke masyarakat ada pengabdian di masyarakat bahkan mahasiswa kami yang mempelajari islamologi kami terjunkan ke pesantren untuk melakukan dialog, kami juga menyelenggarakan kegiatan Studi Intensif tentang Islam atau SITI. Respon di internal terhadap model teologi yang dipraktikan oleh STAK Marturia. Respon ini perlu dikembangkan dan pengajar Islamologi dari kalangan Islam bukan dari kalangan Kristen. Adapun terkait resistensi terhadap teologi ini resistensi memang tidak nampak meskipun ada dan kalaupun ada lebih banyak kepada tanggapan pribadi bukan lembaga.
356 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Salah satu problem ketika nilai‐nilai kekristenan belum menyentuh misalnya ketika muncul pertanyaan apakah diluar Agama Kristen ada keselamatan dan jika menjawab tidak maka ujian pendeta gagal. Karena alkitab mengajarkan bahwa keselamatan itu ada diluar sana. Sebetulnya ini soal beda tafsir terhadap alkitab. Kami ini tergolong moderat. Dalam menyampaikan teologi semacam ini kami dibantu oleh gereja dan sinode dalam menyampaikan misi teologi ini. Kami belum memiliki lembaga pengkajian. Alumni STAK Marturia banyak yag menjadi pendeta, PNS dan guru‐ guru agama Kristen serta di rumah sakit kristen. Dalam pandangan kami STT yang fahamnya injili tentu mengarah kepada ekspansi penginjilan. Maka dalam konteks ini metode pengajaran juga menentukan. Dalam hal pemuridan juga tidak boleh ada paksaan terhadap orang lain. Sebetulnya sekarang ini Injili sudah berubah corak pentakostalik sudah berubah juga. Di STAK Marturia selain mata kuliah yang telah ada, maka kedepan akan diselenggarakan pendidikan karakter yang akan kami design sesuai dengan kebutuhan dari visi misi STAK MARTURIA. Pendidikan karakter, ada dua hal yaitu pendidikan humanis dan pendidikan multikultural. Inilah character building yang kami lakukan dan akan kami design dalam mata kuliah khusus. Tujuannya adalah mengajarkan mereka untuk memahami dan menyelami kehidupan yang berbeda dengan latar belakang mereka. Gubernur DIY melarang mahasiswa daerah untuk menamakan asrama mahasiswa mereka dengan nama‐nama daerah asal mereka. Mahasiswa STAK Marturia ada yang berasal dari NTT, Papua, Jawa, Sumatera lampung dan berbagai daerah lain. Jumlah alumni hingga saat ini sekitar 2000 alumni. Dalam konteks Jawa, sosok yesus digambarkan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
357
seperti sosok dalam pewayangan. Kita tidak ingin terjebak pada gambar, misalnya di sekolah minggu saya sering sampaikan kepada murid bahwa rambut yesus itu pendek. Ini saya lakukan agar anak anak berambut pendek sebab itulah aturan di negara kita. Church planting menurut saya adalah pembangunan jemaat dengan pemberdayaan umat artinya warga gereja memiliki peranan harus mementingkan kepentingan umat, tidak sebatas mementingkan kepentingan gereja dan gereja harus menyiapkan kader bangsa yag handal. Jika church planting hanya dalam arti fisik pembangunan gereja maka kita mesti antisipasi sebab sesungguhnya gereja juga bermakna kualitas hidup. Pemahaman Misi Pendeta Arjita (Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Marturia Yogyakarta Misi itu bukanlah mengajak orang untuk menjadi Kristen, melainkan mengajak orang untuk berbuat baik. Karena misi itu adalah milik Tuhan. Manusia hanya menyampaikan pekabaran injil. Kita hanya membawa kabar gembira. Yang dimaksud dengan Pendidikan adalah untuk membentuk anak menjadi intelektual dan menjadi orang yang bertaggungjawab. Karakter itu dibangun untuk mereka yang sesugguhnya adalah calon pemimpin mereka dilatih kedisplinan dan berbaur dengan masyarakat. Selain kunjungan ke pesantren, ada program lain di STAK Marturia untuk kepentingan kebersamaan yaitu kunjungan ke masyarakat melakukan kerja bakti lingkungan dan melakukan pelayanan kesehatan. Bahkan terdapat juga ada program kerja sosial kemasyarakatan bagi kalangan pemuda di STAK
358 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
marturia yaitu membangun sarana masyarakat bersama para pemuda lintas iman. Gereja itu ada dua arti yaitu ada artian fisik dan organik seperti yang dijelaska pendeta budi. Church planting menurut saya adalah upaya memberdayakan potensi masyarakat. Pertanyaan besarnya adalah apakah orang kristen puas 1 tahun mendapat 1 jemaat sementara tidak menyentuh persoalan keumatan. Menurut pembimas Kristen bahwa misi itu dasarnya ada dua yaitu: 1) Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu; 2) Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri.Oleh karena itu seseorang tidak boleh melakukan misi dengan paksa/door to door, hal ini membawa efek negatif khususnya bagi umat Kristen dan umumnya umat lain. Jadi kalau ada umat Kristen yang ingin menjadikan umat lain supaya masuk Kristen adalah hal yang keliru. Lembaga yang terlibat dalam Misi yaitu Kementerian agama (Dirjen Bimas Kristen), Sinode, Klasis‐klasis, Gereja‐ gereja, Sekolah‐sekolah Kristen (SD, SMP, SMA). Implementasi konsep operasional misi dalam intern Kristen yaitu lebih pada khotbah, pemahaman al‐kitab, pengajaran iman Kristen di sekolah‐sekolah minggu untuk anak‐anak. Respon intern Kristen terhadap misi cukup bagus dan sangat mendukung adanya STAK Marturia. Dampak dari konsep dan pelaksanaan misi Kristen terhadap masyarakat adalah: a) pihak yang menjadi obyek misi yaitu warga lingkungan Kristen itu sendiri, maka pelaksanaan misi tidak berdampak negative bahkan sebaliknya; 2) Target dari misi Kristen lebih ditujukan ke dalam (intern), maka target dari misi untuk masyarakat lebih kepada mewujudkan damai sejahtera di dalam masyarakat. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
359
Metode misi lebih dilakukan dalam perilaku. (Pembantu ketua STAK Marturia). Penutup Kesimpulan Dari uraian‐uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Misi itu bukanlah mengajak orang untuk menjadi Kristen, melainkan mengajak orang untuk berbuat baik. Karena misi itu adalah milik Tuhan, sedangkan manusia hanya menyampaikan pekabaran injil; 2. Misi itu pada dasarnya ada dua yaitu: a) Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu; b) Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri, oleh karena itu seseorang tidak boleh melakukan misi dengan paksa/door to door, hal ini membawa efek negatif khususnya bagi umat Kristen dan umumnya umat lain. Jadi kalau ada umat Kristen yang ingin menjadikan umat lain supaya masuk Kristen adalah hal yang keliru; Dampak dari pelaksanaan misi Kristen: Pada dasarnya misi dari Sekolah Tinggi Agama Kristen Marturia adalah mendorong putra putrinya supaya tertarik dan berminat untuk belajar teologi Kristen dan belajar pendidikan agama Kristen di STAKM, supaya lulusan STAK Marturia Yogyakarta yang dapat diterima masyarakat, diangkat menjadi PNS untuk mengajar PAK di Sekolah‐sekolah dan dipanggil oleh Gereja untuk ditahbiskan sebagai Pendeta.
360 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
•
Namun demikian misi terhadap masyarakat non Kristen lebih kepada mewujudkan damai sejahtera di dalam masyarakat. A. Sedangkan misi terhadap warga lingkungan Kristen itu sendiri, dalam pelaksanaannya berdampak positif.Rekomendasi 1. Misi dari Sekolah Tinggi Agama Kriten Marturia yang diharapkan dapat mencetak guru‐guru Kristen dan pendeta, perlu dilestarikan, karena benar‐benar untuk kepentingan peningkatan kualitas teologi dan pendidikan internalnya. 2. Dampak misi Kristen di STAK Marturia terhadap internalnya memang cukup fositif, dan perlu dipertahankan namun misi kristen di STAK Marturia terhadap masyarakat di luar Kristen harus dijauhkan agar suasana Kerukunan Umat Beragama dapat terpelihara dengan baik.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
361
DAFTAR PUSTAKA Artanto, Widi. 1997. Menjadi Gereja Misioner. Yogyakarta: Kanisius Favor A Bancin dan Daru Marhaendy. 2008. Memahami Tradisi dan Sistem Pemerintahan Gereja‐gereja di Indonesia. Jakarta: World Vision Indonesia Kabupaten Sleman dalam Angka Tahun 2012. 2012. Sleman: BPS Kabupaten Sleman Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2012. 2012. Yogyakarta: BPS Kota Yogyakarta Magnis Suseno, Franz. 1998. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Siwi, Dyah Eka. 2012. Makna “Menjala Manusia” Bagi Misi Gereja dalam Injil Lukas 5: 1‐11. Thesis. Yogyakarta: UKDW Sopater, Solarso. 1993. Memacu Lajunya Gerakan Keesaan Gereja di Indonesia Suatu Upaya Berteologi Secara Kontekstual” dalam, Gerakan Oikumene Tegar Mekar di Bumi Pancasila. Jakarta : BPK Gunung Mulia Wibowo. 2012. Pekabaran Injil Di Banyumas Dan Bagelen 1830‐ 1877 (tinjauan Teologis Atas Sejarah Misi Jemaat Awal Gereja‐gereja Kristen Jawa). Yogyakarta: Duta Wacana Christian University
362 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Dokumen Dokumen Panduan Penahbisan Vikaris Yudo Aster Daniel, S.Si dan Emeritasi Pendeta David Rubingan, M.Th. 2012. Yogyakarta: GKJ Gondokusuman Dokumen Pokok‐Pokok Ajaran GKJ. 2005. Sleman: Sinode GKJ. Lampiran I Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun 2010 – 2014 RPJMN 2010‐2014, Peraturan Presiden No. 5 th 2010 bab II tentang Pembangunan Sosial dan Kehidupan Beragama. Website Henry Kuncoroyekti, SH, Membangun Kota Yogyakarta Sebagai Kota Multikultural, dalam http://dprd‐ jogjakota.go.id/index.php/berita‐dan‐ artikel/artikel/membangun‐yogyakarta‐sebagai‐kota‐ multikultural, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 Heru Sukoco, M.Th, Sejarah GKJ dalam http://gkjwkm.org/ sejarah‐gkj/, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 http://keuskupanbandung.org/main/Post/2826, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 http://www.minihub.org/siarlist/msg04376.html, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
363
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa‐tengah‐diy‐ nasional/13/04/11/ml3ndq‐cegah‐anarkisme‐pemkot‐ yogya‐kumpulkan‐ormas‐dan‐lsm, Diakses pada tanggal 18 Juni 2013 http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/91/news/1 00825102118/limit/0/Masih
364 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
STUDI KASUS MISI SINODE GEREJA KRISTEN JAWI WETAN (GKJW) DAN GEREJA KRISTEN KUDUS (GKKK) DI MALANG, JAWA TIMUR, Oleh: Satia Lan Syamsudin
Kondisi Umum Wilayah Penelitian Kondisi Umum Kota Malang ota Malang adalah salah satu kota yang terletak di Jawa Timur yang berada di tengah‐tengah Kabupaten Malang. Luas wilayahnya adalah 110.06 km2 dan terbagi ke dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan Kedungkandang, Sukun, Klojen, Blimbing dan Lowokwaru. Hasil Sensus Penduduk 2010 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk Kota Malang sebanyak 820.243 jiwa, dengan demikian dapat dikatakan Kota Malang adalah kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Kota Malang juga dikenal sebagai kota pendidikan, dikarenakan banyaknya fasilitas pendidikan di Kota ini. Sebagai kota pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa Kota Malang memiliki penduduk yang bersifat heterogen, selain itu kehidupan ekonominya banyak dipengaruhi oleh keberadaannya sebagai kota pendidikan tersebut. Terkait dengan kehidupan keagamaannya, Kota Malang juga dikenal sebagai kota yang cukup heterogen.Statistik memperlihatkan bahwa Kota Malang di dominasi oleh umat Islam dengan jumlah 700 ribu penduduk, sedangkan Protestan berjumlah 50 ribu, Katholik 40 ribu, Hindu 7000 penduduk, Budha 7000 penduduk dan lain‐lain berjumlah 700 penduduk. Terkait dengan kehidupan keberagamaan, Kota Malang sendiri dikenal sebagai kota percontohan terkait dengan kerukunan antar umat beragamanya. Di Kota Malang kita
K
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
365
akan melihat bagaimana rumah‐rumah ibadah agama yang berbeda bisa saling berdampingan dan saling tolong menolong ketika dibutuhkan, misalnya ketika perayaan hari keagamaan. Profil Singkat GKJW dan GKKK Greja Kristen Jawi Wetan Cikal bakal GKJW adalah sebuah komunitas Kejawen di Wiyung yang berjumpa dengan Kitab Injil Markus yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Perjumpaan dengan Kitab Injil Markus berbahasa Jawa ini, terutama terkait dengan ayat pertama dari pasal pertama Kitab ini yang berbunyi: “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah”, menghadirkan pergumulan filosofis‐teologis dalam komunitas tersebut.Dalam proses pergumulan filosofis‐ teologis tersebut, mereka mendengar tentang seorang tuan tanah di Ngoro, Jombang, yang kaya dan juga mendalam wawasan rohani dan kebijaksanaan. Kelompok ini kemudian memutuskan untuk bertemu dengan orang tersebut dan berguru kepadanya. Lewat proses pembelajaran ini, maka kemudian komunitas Wiyung ini memutuskan untuk menjadi Kristen. Tuan tanah di Ngoro ini bernama C. L. Coolen. Coolen sendiri seorang peranakan, yakni memiliki ayah yang berdarah Rusia dan ibu yang berasal dari kalangan priyayi Solo. Ia memahami jiwa dan budaya Jawa, terutama terkait dengan kebathinan. Karena itu, maka ia dapat mengerti dan memahami persoalan Komunitasdi Wiyung yang berlatar belakang Kejawen. Dari proses pembelajaran Komunitas Wiyung kepada Coolen inilah, maka terbentuklah komunitas Kristen pertama, atau cikal bakal GKJW, di Mojowarno. Phillip van Akkeren mencatat, bahwa pada masa itu,
366 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
sesungguhnya belum ada kegiatan missioner sesungguhnya antara komunitas Kristen di Surabaya dengan jemaat Kristen di Ngoro. Barulah pada tahun 1842, Emde dan Pdt. A.W. Meijer, tercengang menyaksikan munculnya sebuah jemaat Kristen di Ngoro yang merupakan wilayah pedalaman. 6 GKJW sendiri secara garis besar dibentuk oleh dua tokoh utama, yang pertama adalah C.L. Coolen dan tokoh kedua adalah J. Emde. Coolen dan Emde sesungguhny berasal dari satu komunitas yang sama, yakni komunitas orang saleh di Surabaya. Mereka adalah orang‐orang awam yang punya kerinduan untuk mengabarkan Injil. AKan tetapi, kedua tokoh ini justru memiliki cara pendekatan yang berbeda, bahkan bertentangan. Coolen sangat menekankan unsur inkulturasi, sisi esoteris Kekristenan dan penghayatan iman dengan cara budaya Jawa. Salah satu contoh yang ia lakukan adalah bagaimana ia mengajarkan kepada para petani mantera‐ mantera Kristen yang harus dibacakan ketika mereka membajak tanah. Ia juga tidak memusingkan soal baptisan. Bagi Coolen, ketika seseorang percaya dan mengamalkan ajaran Kristus, maka ia sudah menjadi Kristen. Hal ini sangat bertentangan dengan sikap Emde. Emde menolak sama sekali unsur‐unsur budaya dan sangat menekankan sisi formal dan dogmatis kekristenan. Ia bahkan sampai membuat Dekalog Baru bagi komunitas Kristen Surabaya, di mana beberapa larangannya adalah tidak boleh ziarah, tidak boleh menonton wayang, tidak boleh menggunakan kain bagi pria dan larangan‐larangan lain. Ia juga sangat menekankan pentingnya baptisan sebagai tanda universal orang Kristen di segala tempat.
Phillip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), h. 71.
6
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
367
Kedua cara pandang ini kemudian disatukan oleh seorang tokoh lain bernama Paulus Tosari yang berasal dari Magelang. Ia bersama dengan Pendeta Jellesma kemudian mempersatukan dua pemahaman yang bertolak belakang ini. Contoh cara yang dipakai Paulus Tosari dalam mempersatukan dua cara pandang ini adalah ketika ia tetap menggunakan media‐media tembang, seperti kinanthi,mijil dan asmaradhana, (dalam hal ini mewakili Coolen) tetapi isi tembang tersebut adalah pemahaman iman Kristen yang orthodox (dalam hal ini mewakili Emde). Dengan kata lain, Paulus Tosari kemudian berteologi dengan mengajarkan iman Kristen yang ketat dengan menggunakan media‐media yang mewakili budaya Jawa, sehingga para pendengar kemudian dapat memahami ajaran‐jaran tersebut dengan lebih cepat. Selain itu, Paulus Tosari dan Pendeta Jellesma juga memperlengkapi apa yang diperdebatkan oleh Coolen dan Emde. Kedua orang tersebut lebih terfokus pada sejarah Kristen, sedangkan Paulus Tosari dan Pendeta Jellesma melangkah lebih maju kepada seperti apa kemudian komunitas Kristen menampilkan identitasnya. Paulus Tosari kemudian sangat menekankan sikap hidup etis umat Kristiani. Apa yang dirumuskan Paulus Tosari berdasarkan ajaran‐ajaran Coolen dan Emde ini kemudian yang menjadi warna, nafas dan darah dari teologi GKJW. Sebagai sebuah organisasi, GKJW secara resmi berdiri pada tanggal 11 Desember 1931 di Mojowarno. 7 GKJW sendiri merupakan sebuah sinode yang mempersatukan gereja‐gereja di wilayah Jawa Timur hasil binaan badan penginjilan atau disebut zending yang bernama Nederlandsch Zendeling 7 Pdt. Prof. S. Wismoady Wahono, Ph. D., (ed.), Pergumulan Ekklesiogi dan Misiologi Greja Kristen Jawi Wetan, Jil. 1, (Malang: Majelis Agung GKJW, 2001), h. 5.
368 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Genootschap (NZG), yakni badan zending yang berasal dari Belanda. 8 Dengan demikian, maka GKJW adalah organisasi gereja yang tumbuh, berkembang dan berkarya di wilayah Jawa Timur. Hingga saat ini, GKJW memiliki 158 gereja induk dan umumnya tersebar di wilayah pedesaan dengan kantor pusat, atau disebut sebagai Kantor Majelis Agung, berkedudukan di Malang, Jawa Timur. GKJW sebagai Gereja GKJW memahami diri sebagai gereja gerakan warga. Ini pertama‐tama merujuk kepada cikal bakal gereja GKJW yang bukan merupakan hasil misionari, tetapi justru sebagai komunitas yang rindu mencari jawaban persoalan‐persoalan filosofis‐teologis mengenai kehidupan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Komunitas Wiyung. Dengan demikian gereja gerakan warga juga berarti bahwa gereja bertumbuh berdasarkan kesadaran dan aktivitas warga dalam mengembangkan panggilan gereja. Maka dalam GKJW, ibadah‐ibadah rumah tangga memiliki peranan penting dalam kehidupan bergereja. Selain itu, pemahaman bahwa gereja sebagai gerakan warga memperlihatkan bagaimana prinsip relasi yang dibangun adalah relasi yang egaliter. Sikap egaliter sangat ditekankan dalam GKJW. Mungkin secara organisasi akan terlihat unsur hierarkis dengan adanya Majelis Agung dan Dewan‐Dewan, namun tidak menghapus unsur egaliter dalam hubungan antar personalnya. Adapun susunan birokrasi GKJW adalah yang pertama adalah Majelis Jemaat Setempat, yakni gereja induk local yang dipimpin seorang pendeta. Lalu kemudian ada Sidang Klasis yang merupakan Badan zending NZG inilah, diwakili oleh Joseph Kam, yang membentuk Komunitas Orang Saleh di Surabaya, di mana Coolen dan Emde adalah anggota dari komunitas tersebut.
8
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
369
persekutuan yang memayungi beberapa gereja induk lokal dalam satu wilayah tertentu di mana Sidang Klasis merupakan ajang musyawarah guna membangun gereja‐ gereja dalam wilayah terntu tersebut. Setelah Sidang Klasis, maka ada Majelis Agung yang memayungi seluruh gereja‐ gereja local anggota GKJW. Tugasnya adalah memajukan dan memimpin kepentingan‐kepentingan rohaniah dan organisatoris yang bersifat umum dari persekutuan Kristen Jawa Timur, dan memakili persekutuan ini terhadap dunia luar dan terhadap pemerintah. 9 Secara teologis, maka GKJW adalah gereja yang system organisasinya berprinsip presbiterial‐sinodal, di mana, presbiterial berarti para pemimpin umat, sedangkan sinodal berarti bekerja bersama‐ sama. Dengan demikian, GKJW menekankan peran tiap‐tiap anggota‐anggota gereja local yang bekerja sama dan bermusyawarah dalam menentukan garis kebijakkan gereja. GKJW juga memahami diri bukan sebagai gereja suku, melainkan gereja territorial. GKJW hanya ada di Jawa Timur. Jikalau ada jemaat‐jemaat GKJW yang kemudian pindah ke wilayah lain, lewat proses transmigrasi misalnya, dengan tegas GKJW menganjurkan kepada umat untuk mencari gereja setempat yang sesuai dengan pemahaman imannya, sehingga GKJW pun sangat commit dengan kesadaran oikumenisnya. Dikarenakan GKJW adalah gereja territorial dan bukan gereja suku, maka anggota jemaat GKJW bersifat heterogen, walaupun memang dominan adalah orang Jawa. Lih. C. W. Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggung Jawab: Suatu Studi Mengenai Pertumbuhan Greja Kristen Jawi Wetan menuju ke Kedewasaan dan Kemerdekaan 1835 – 1935, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), h. 197‐202.
9
370 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Visi dan Misi GKJW GKJW memahami visi dan misi GKJW harus dilihat dalam konsep panggilan Allah. GKJW memahami bahwa misi itu sesungguhnya milik Allah. Allah yang punya misi dan tujuan terhadap dunia ini, sedangkan gereja hanya dipanggil untuk terlibat bekerja untuk mencapai misi Allah. Lalu apa yang menjadi misi Allah itu? Dalam penghayatan GKJW, misi Allah adalah karena begitu besar kasih Allah bagi dunia ini, maka Kristus diutus, maka Kristus berkarya, dalam rangka itu, gereja dilibatkan dalam rangka mewujudkan Syalom (damai sejahtera), yakni kasih, kebenaran, keadilan dan sejahtera, sehingga tidak ada lagi tangis derita dan perkabungan. Itulah yang kemudian menjadi panggilan gereja, yakni menghadirkan Syalom Allah di dunia. Misi gereja kemudian adalah menghadirkan tanda‐tanda kerajaan Allah, khususnya, di wilayah Jawa Timur. Pelaksanaan operasional panggilan memberlakukan misi Allah ini diwujudkan dengan menggunakan kategorisasi, seperti kategorisasi klasik, marturia, diakonia, dan koinonia, tetapi juga ditambahakan dengan penatalayanan (stewardship) dan teologi. Maka GKJW mengenal pancalogi. Pelaksanaan misi ini diwujudkan lewat sikap hidup warga gereja yang mencerminkan tanda‐tanda kerajaan Allah atau syalom tersebut (presentia). Dalam hal ini misi dilaksanakan lewat cara menjadi teladan bagi orang lain , sehingga orang lain kemudian dapat melihat karya Allah bagi dunia ini lewat sikap hidup umat. Jikalau kemudian teladan ini mendorong orang lain kemudian menjadi percaya kepada Yesus Kristus dan meminta dibaptis, maka itu juga merupakan bagian dari misi Allah. GKJW memahami karena misi adalah misi Allah, maka tidak mungkin seorang Kristen bisa mengkristenkan orang lain, hanya Allah yang bisa Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
371
melakukan itu. Orang Kristen hanya berperan dalam mewujudkan sikap hidup keseharian yang sesuai dengan ajaran Kristen sehingga bisa menjadi teladan bagi orang lain. Adapun tugas gereja adalah memperlengkapi tiap‐tiap warga gereja agar bisa menjadi warga gereja yang terbaik dan juga warga jemaat yang terbaik. Misi dipahami oleh GKJW sebagai panggilan untuk mewujudnyatakan tanda‐tanda syalom dalam dunia ini, di mana salah satu dasar alkitabiah yang dipakai adalah Matius 25:34‐36. Oleh karena itu, bagi GKJW tugas panggilan kesaksian (marturia) justru menjadi nyata ketika gereja terlibat dalam upaya‐upaya konkret dalam mengatasi problema‐ problema kehidupan, seperti kemiskinan, kekerasan, ketidakadilan dan lain‐lain. Langkah‐langkah gereja dalam melakukan panggilan ini diwujudkan lewat pembinaan terhadap tiap‐tiap anggota umatnya untuk memperlengkapi mereka agar mereka dapat memiliki sikap hidup yang mencerminkan panggilan misi tersebut. Pembinaan ini dijalankan melalui ibadah‐ibadah mingguan, ibadah‐ibadah keluarga, pelatihan dan lain‐lain. Selain itu, GKJW sebagai komunitas orang percaya juga mendorong munculnya lembaga‐lembaga swadaya yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, seperti adanya Lembaga Anti Human Trafficking di Surabaya sebagai wujud kepedulian kepada para TKI dan TKW yang sering mendapat ketidakadilan. GKJW juga menghadirkan panggilan misinya lewat sekolah dan rumah sakit. GKJW tampaknya memahami bahwa tujuan misi adalah hadirnya tanda‐tanda Syalom dalam kehidupan manusia. Misi Kristiani diterjemahkan kemudian sebagai misi memanusiakan manusia. Dalam mengekspresikan jati diri dan panggilan misinya, GKJW sangat menekankan kontekstualisasi, di mana
372 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
GKJW mengembangkan teologi yang secara cultural memiliki kedekatan dengan pola hidup dan budaya yang ada di Jawa Timur. Salah satu contoh konkretnya, GKJW tidak bersifat anti terhadap pagelaran wayang, bahkan turut melestarikan wayang. Dalam hubungannya dengan agama‐agama lain, GKJW juga memiliki sikap yang unik. Salah satu pendeta dan pemikir GKJW di masa lalu, B. M. Schuurman, merumuskan apa yang kemudian menjadi cara pandang GKJW, yakni memahami bahwa Tuhan Allah itu adalah Bapak, dan kita adalah orang – orang yang diajak Yesus untuk menjadi anak‐ anak‐Nya. Undangan yang diberikan itu berlaku untuk semua orang dan universal,maka hubungan yang berlaku antar masyarakat haruslah hubungan yang memiliki semangat keluarga. Terkait dengan agama lain, mereka adalah saudara. Misi kemudian dipahami sebagai mencari saudaraku yang sudah lama tidak bertemu, “golek sedulur”, di mana dalam tentu saja dalam kerangka mengabarkan kabar baik. Wujud kabar baik ini dipahami oleh GKJW adalah tindakan‐tindakan konkret yang mengarah kepada perbaikan taraf hidup manusia baik secara material maupun rohani. Beberapa contoh bentuk konkret implementasi pamahaman misi GKJW sebagai menghadirkan Syalom (damai sejahtera) adalah membentuk lembaga swadaya masyarakat anti human trafficking di Surabaya, balai‐balai pengobatan, koperasi, bahkan terkait dengan hubungan dengan agama lain, ada salah satu gereja local GKJW yang secara regular menyumbangkan hewan korban pada Idul Adha ke Pondok Pesantren, atau apa yang dilakukan di Balewiyata lewat program dialog Islam‐Kristen lewat kegiatan Studi Intensif Kristen‐Islam (SIKI) di mana diundang pembicara‐pembicara dari agama Islam. Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
373
Gereja Kristen Kalam Kudus Secara historis, Gereja Kristen Kalam Kudus merupakan komunitas Kristen yang bertumbuh dari hasil penginjilan seorang penginjil bernama Pdt. Andrew Gih. Ia lahir pada tahun 1901 di China. Pada tahun 1926, ia menjadi pendeta dan bergabung dalam organisasi Evangelize China Fellowship (ECF), yakni Yayasan Penyiaran Injil Tiongkok yang berkedudukan di Shanghai, China. Pada tahun 1950, Pdt. Andrew Gih melakukan pelayanan di Indonesia. Dalam masa pelayanannya di Indonesia, Pdt. Andrew Gih melihat bahwa pelayanan bagi orang‐orang Kristen China perantauan sangat diperlukan. Perjumpaannya dengan Dr. Peter Wongso, mendorong keduanya kemudian merintis berdirinya Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK) dan juga Sekolah Alkitabiah Asia Tenggara (SAAT). Perintisan itu dimulai pada tanggal 10 Mei 1952, dengan berdirinya dua buah yayasan, yakni Yayasan Penyiaran Injil Indonesia, yang menjadi cikal bakal sinode GKKK dan Yayasan Madrasah Alkitab Asia Tenggara, yang merupakan cikal bakal SAAT. Pada saat ini pusat Sinode GKKK berkedudukan di Jakarta, dan memiliki 50 anggota gereja di 40 kota. GKKK Malang Sebagai Gereja GKKK Malang adalah salah satu gereja local yang merupakan bagian dari Sinode GKKK yang berkedudukan di Malang dan wilayah pelayanannya seluruh wilayah Malang. Secara organisatoris, GKKK Malang, sebagaimana seluruh gereja‐gereja anggota Sinode GKKK, bersifat presbiterial sinodal. Adapun warga jemaat GKKK Malang memiliki 700 KK anggota jemaat yang berasal dari beragam latar belakang
374 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
budaya, di mana hal ini terkait dengan situasi masyarakat Malang, khususnya Kota Malang, yang bersifat heterogen. Pemahaman Misi GKKK Malang Berdasarkan wawancara dengan Pdt. Tikyo H., Gembala GKKK Malang, GKKK, diwakili oleh GKKK Malang, memahami bahwa misi adalah pemberitaan Injil, baik lewat verbal dan aksi, yakni pemuridan dan aksi sosial. Landasan teologis yang dipakai yakni panggilan untuk menjadi garam dan terang dunia dan tugas Amanat Agung yang dinyatakan dalam Matius 28:19‐20, yakni panggilan untuk memberitakan Injil. Panggilan untuk menjadi garam dan terang dunia dipahami terkait dengan pemahaman bahwa gereja adalah komunitas orang percaya yang sudah ditebus dan diselamatkan. Sebagai komunitas yang sudah diselamatkan, maka seharusnya persekutuan ini memperlihatkan pola hidup yang berbeda dari dunia yang masih diliputi dosa, di mana pola hidup ini mengacu kepada ajaran dan teladan Yesus Kristus. Lewat cara hidup yang mengacu kepada ajaran dan teladan Yesus Kristus, persekutuan orang percaya dipanggil untuk menjadi teladan bagi orang‐orang lain yang masih hidup dalam kungkungan dosa agar meninggalkan pola hidup yang masih dikuasai dosa dan melakukan pola hidup yang baru sebagaimana yang dipahami sebagai pola hidup yang benar oleh persekutuan orang percaya. Dalam konsep ini, maka misi mengarah kepada ke dalam gereja, yakni pendidikan kepada warga gereja untuk memiliki pola hidup yang diyakini sebagai pola hidup yang benar dan kemudian lewat sikap hidup yang benar tersebut bisa menjadi teladan bagi orang lain. Implementasi dari pemahaman ini diwujudkan dengan kegiatan‐kegiatan gereja dalam hal
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
375
ibadah, pengajaran dan juga aksi‐aksi sosial sebagai wujud sikap hidup yang benar. Namun GKKK memahami bahwa sikap hidup yang benar hanya dimungkinkan jika setiap orang bukan saja melakukan sikap hidup yang benar, namun juga mengambil sikap iman bahwa Yesus Kristus adalah Juru Selamat. Dalam pemahaman GKKK, manusia tidak mungkin dapat selamat dengan kemampuannya sendiri. Keselamatan hadir ketika manusia menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamat. Pola sikap hidup yang benar hanya dimungkinkan jika Yesus Kristus dijadikan pegangan dan keyakinan sebagai Juru Selamat. Oleh karena itu, maka misi juga adalah panggilan untuk mewartakan Injil bagi orang‐orang yang belum percaya. Karena itu, GKKK memahami bahwa panggilan tiap‐tiap orang percaya adalah juga mengajak orang‐orang yang belum percaya kepada Yesus Kristus untuk mau menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamat. Maka GKKK melihat bahwa pertambahan jumlah orang percaya (planting church) adalah tugas misi gereja. Misi, Operasional Misi dan Dampaknya Identitas dan Tugas Dalam konsep Kekristenan, pemahaman misi gereja tidak dapat dipisahkan dari bagaimana gereja memahami jatidirinya. Identitas gereja menentukan misi gereja dan sebaliknya, misi gereja memperlihatkan bagaimana gereja memahami jatidirinya. Dengan demikian, keberadaan yang satu (identitas) tentu akan menghadirkan yang lainnya (misi), begitupun sebaliknya. Maka dapat dikatakan keberadaan sebuah gereja mau tidak mau menghadirkan juga misi gereja sebagai wujud nyata dari identitas gereja itu sendiri. Karena
376 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
itu, dapat dikatakan sebuah gereja baru bisa dikatakan sebagai gereja ketika ia melakukan misi. Untuk memahami identitas gereja, maka perlu memahami apa itu yang dimaksud gereja. Kata gereja merupakan terjemahan Bahasa Indonesia untuk kata Ekklesia, yang merupakan Bahasa Yunani. Ekklesia berarti, orang‐orang yang dipanggil keluar dari kungkungan dosa dan dimasukkan ke dalam persekutuan dengan Allah. Ini berarti, gereja memahami dirinya sebagai komunitas yang berbeda dan terpisah dari dunia. Ini berangkat dari pemahaman Kekristenan, bahwa dunia sudah dicemari dosa termasuk manusia di dalamnya. Gereja kemudian adalah komunitas yang diselamatkan dari dunia yang penuh dosa dan dijadikan komunitas yang baru yang berbeda dari dunia yang berdosa itu dan terpisah dari pengaruh dosa itu. Dengan demikian gereja memahami bahwa ada dikotomi antar gereja dan dunia. Memahami bahwa gereja adalah orang‐orang yang diselamatkan, maka adalah panggilan gereja sebagai komunitas yang diselamatkan untuk kemudian bekerja bagi dunia agar dunia itu, termasuk orang‐orang lain yang belum diselamatkan, terbebas dari dosa. Inilah yang kemudian menjadi dasar pemahama misi Kristen. Persoalan muncul ketika komunitas‐komunitas non‐ Kristen mendengar kata misi Kristen, maka hal pertama yang dipahami adalah upaya melakukan kristenisasi, yakni menjadikan orang‐orang yang non‐kristen menjadi Kristen. Maka pertanyaan yang muncul adalah, apakah misi Kristen memang berarti kristenisasi? Dari hasil wawancara dalam penelitian, maka perlu pemahaman lebih mendalam tentang misi Kekristenan. Kekristenan sendiri memahami bahwa misi itu bersifat internal maupun eksternal. Misi dipahami sebagai kegiatan internal dalam hal adalah panggilan gereja untuk Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
377
mendidik dan mengembangkan pemahaman dan spritualitas anggotanya. Tujuan dari misi internal adalah membentuk umat yang memiliki spiritualitas yang baik. Misi ini diwujudkan lewat ibadah, khotbah, pendidikan rohani anak‐ anak dan dewasa, dan kegiatan yang bersifat internal lainnya. Sementara misi eksternal adalah misi yang dinyatakan kepada pihak‐pihak di luar gereja dalam rangka memperlihatkan identitas gereja dan tugas iman gereja bagi dunia di sekitarnya. Ketika muncul paham misi sebagai kristenisasi, maka tentu yang dibicarakan adalah misi gereja yang bersifat eksternal. Akan tetapi, apakah misi gereja memang Kristenisasi? Beragam Konsep Misi Gereja Hasil penelitian tentang konsep misi yang dipahami oleh Sinode GKJW dan GKKK memperlihatkan bahwa pemahaman misi ternyata tidak bersifat satu, melainkan beragam. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap Sinode GKJW dan juga GKKK Malang, ada dua hal mendasar yang tampaknya memperlihatkan ada dua pola dasar pemahaman yang berbeda antara GKJW dan GKKK. GKJW menekan misi sebagai menghadirkan damai sejahtera (syalom) bagi dunia ini, sementara GKKK menekankan percaya kepada Yesus Kristus. Kedua pola pemahaman misi ini berangkat dari dua pola misi yang berlaku secara umum, yakni misi sebagai menghadirkan tanda‐tanda Kerajaan Allah (presentia Church) dan pemahaman misi sebagai menjadikan seluruh dunia menjadi Kristen (planting Church). Perbedaan ini tampaknya terkait dengan bagaimana masing‐masing pihak memahami identitas dan panggilannya. Baik GKJW maupun GKKK memahami bahwa gereja adalah komunitas orang‐orang yang diselamatkan dari dosa. Gereja
378 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
dipahami vis‐à‐vis dengan dunia. Akan tetapi tentang apa yang dipahami sebagai tugas panggilan gereja terhadap dunia, GKJW dan GKKK memiliki sudut pandang yang berbeda. Perbedaan itu tampak dalam dua hal, GKJW melihat dosa yang menggerogoti dunia bersifat menyeluruh, atau dengan kata lain bersifat sosial. Pemahaman tentang misi sebagai menghadirkan damai sejahtera (syalom) memberi gambaran bagaimana dosa justru mewujud secara konkret dalam ketiadaan damai sejahtera. Karena itu GKJW melihat bahwa tanggung jawab gereja kemudian bekerja menghadirkan damai sejahtera lewat hal‐hal yang memberi dampak damai sejahtera bagi semua manusia. Hal ini kemudian diperkuat dengan pemahaman bahwa sebagai komunitas yang dipilih dan diselamatkan, maka gereja sesungguhnya kemudian hanyalah pengemban amanat dari Tuhan. Misi kemudian dipahami sebagai misi Tuhan (Missio Dei) dan gereja adalah persekutuan yang ditugaskan melakukannya. Ketika misi adalah Misi Tuhan, maka gereja memahami bahwa konsep misi kemudian tidak boleh dibatasi oleh pemahaman gereja, sebab gereja sendiri memiliki pemahaman yang terbatas. Selain itu, GKJW juga memahami bahwa teologi yang sejati adalah terlibat konkrit dengan ruang hidup di mana ia berada, dalam hal ini Indonesia. GKJW memahami bahwa mereka adalah orang Indonesia yang beragama Kristen. Teologi dan pemahaman misi yang dibangun kemudian adalah yang bergelut dan berangkat dari pengalaman dan budaya yang berlaku di Indonesia. Mengindonesiakan Kekristenan. GKKK memiliki pemahaman misi yang berbeda. Dalam pemahaman teologi GKKK misi gereja haruslah merujuk pada Amanat Agung dalam Injil Matius 28:19‐20, yakni melakukan pekabaran Injil dan menjadikan seluruh Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
379
dunia percaya Yesus Kristus. Konsepsi ini menekankan hanya ada satu kebenaran dan kebenaran itu hanya ada dalam gereja. Di luar gereja tiada keselamatan. Oleh karena itu, tugas gereja kemudian adalah mengajak sebanyak orang menjadi Kristen, agar mereka juga selamat. Dalam hal ini, maka sesungguhnya apa yang menjadi tujuan mereka adalah baik, jika ditinjau dari sudut pandang mereka. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pemahaman misi Allah yang dianut oleh GKJW, maka akan tampak kelalaian gereja‐gereja yang beraliran fundamentalis di mana mereka menyamakan begitu saja misi Allah dengan misi gereja, sehingga memungkinkan terjadinya kesombongan rohani. Hal ini tampak dalam munculnya keresahan di antara kelompok‐kelompok Prostestan yang jemaatnya “diculik” oleh gereja‐gereja yang berteologi fundamentalis karena kelompol Protestan dianggap gereja yang sudah kehilangan jati dirinya. Misi Gereja dan Agama Lain GKJW memiliki hubungan yang harmonis dengan agama‐agama lain di kota Malang. Tampaknya hal ini terkait dengan dua hal. Pertama, dengan menekankan pengindonesiaan Kekristenan, maka GKJW bisa membangun hubungan yang baik dengan agama‐agama lain lewat pendekatan cultural dan kebangsaan. Budaya Jawa dipakai sebagai jembatan berkomunikasi dan begitu juga dengan isu‐ isu kebangsaan menjadi jembatan membangun kerjasama dengan agama‐agama lain dalam mencari solusi pemecahan masalah bersama. Ini tampak dalam bentuk‐bentuk aktivitas antar agama yang dilakukan GKJW. Dikatakan bahwa pelopor hadirnya forum kerukunan antar umat beragama di Kota Malang adalah GKJW, termasuk juga pelopor adanya Studi Intensif Kristen Islam (SIKI) di Kota Malang, atau berdirinya
380 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang berfokus kepada nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang diprakarsai GKJW. Selain itu, dasar utama dari dimungkinkannya GKJW bekerja sama dengan agama‐agama lain adalah pemahaman bahwa misi adalah misi Tuhan. Pemahaman ini membuka cakrawala gereja untuk melihat bahwa Tuhan bisa bekerja di mana saja. Kriteria yang dipakai dalam menentukan suatu hal adalah misi Allah kemudian adalah konsep damai sejahtera. Kriteria damai sejahtera membuka wawasan bahwa agama‐agama lain yang mengusung pesan damai sejahtera juga merupakan bagian dari misi Tuhan. Dengan sikap yang menekankan menghadirkan damai sejahtera, maka respons yang hadir terkait GKJW dari pihak‐pihak agama lain bernada positif. Bahkan salah satu gereja local GKJW, yakni GKJW Tulang Bawang, telah menjalin hubungan erat dengan pesantren‐ pesantren di Malang, di mana dalam perayaan Idul Adha, GKJW Tulang Bawang turut memberikan hewan kurban.Hal sebaliknya terjadi dengan GKKK dan gereja‐gereja yang memiliki teologi sealiran dengan mereka, sering kali mendapat nada negative terkait dengan konsepsi misi mereka. Penutup Kesimpulan Hasil penelitian atas pemahaman misi GKJW dan GKKK Malang serta implementasinya, meperlihatkan bahwa pemahaman misi dalam komunitas Kekristenan tidaklah tunggal. Keberagaman pemahaman misi ini berangkat dari keberagaman gereja‐gereja atau denominasi‐denominasi dalam Kekristenan memahami identitas gereja itu sendiri. Pemahaman misi GKJW memperlihatkan bahwa pemahaman misi kekristenan tidak harus serta merta Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
381
dianggap sebagai kristenisasi. GKJW memperlihatkan bahwa gereja‐gereja di Indonesia adalah gereja‐gereja yang menghargai pluralitas keberagamaan di Indonesia dan juga punya concern terhadap persoalan‐persoalan kebangsaan di Indonesia. Dalam UUD 1945 pasal 29, ditegaskan soal negara menjamin kebebasan setiap warga negara menjalankan agamanya. Identitas keagamaan seseorang tidak dapat dilepaskan dari panggilan misinya, dengan demikian pelaksanaan misi keagamaan seharusnya juga menjadi hak setiap warga negara. Selain itu, mengacu kepada konsep pemahaman misi yang dilakukan GKJW, maka gereja‐gereja lain perlu juga mengkaji pemahaman dan implementasi misi mereka apakah sudah memperhitungkan wawasan kebangsaan dan pluralitas keagamaan di Indonesia. Saran dan Rekomendasi Pihak Departemen Agama perlu melakukan sosialisasi tentang pemahaman misi, bukan saja terkait dengan Kekristenan, melainkan juga pemahaman misi agama‐agama lain, sehingga warga negara Indonesia tidak mudah terjebak kepada stigmasisasi dan labelisasi. Selain itu, Pihak Departemen Agama perlu juga mengembangkan metode yang bersifat cultural terkait dengan persoalan‐persoalan antar agama guna melengkapi sisi hukum yang berlaku. Terkait dengan misi sebagai gerakan internal, yakni pendidikan warga jemaat atau umat, maka perlu dilakukan kajian yang lebih komprehensif oleh Departemen Agama dan juga Instansi Hukum terkait penghentian fungsi‐fungsi rumah ibadah atau penolakan pembangunan rumah ibadah dikarenakan dianggap sebagai bentuk “penambahan jiwa‐
382 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
jiwa”, karena sangat mungkin itu dilakukan terkait dengan kebutuhan tempat untuk pendidikan kerohanian umat. Terlebih dalam konteks perkotaan yang menjadi magnet bagi warga pedesaan untuk mengadu nasib, maka yang penambahan jumlah anggota jemaat belum tentu akibat kristenisasi, melainkan perpindahan penduduk saja. Forum Kerukunan Antar Umat Beragama perlu melakukan sosialisasi yang lebih intensif mengenai apa itu misi agama, sehingga misi agama tidak dilihat sebagai ancaman.
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
383
384 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Epilog: Masa Depan Teologi Misi Data penelitian yang disajikan buku ini menunjukkan bahwa gereja‐gereja di Indonesia masih memiliki perbedaan paham mengenai apa itu misi. Saya tidak menemukan pemisahan tajam antara misi dalam pengertian presentia atau misi sebagai church planting. Aliran gereja mainstream yang memiliki paham misi lebih baru sebagai missio Dei juga diadopsi oleh gereja‐gereja pentakostal. Sebaliknya, paham bahwa misi church planting juga merupakan bagian dari misi juga disadari oleh gereja‐gereja yang sudah mapan. Namun, pemahaman ekstrem satu sisi dari kedua pilihan pemahaman misi di atas tidak begitu jelas terlihat. Beberapa objek penelitian yang merupakan gereja‐ gereja pentakostal memperlihatkan pemahaman misi ini. Di beberapa tempat, seperti di GPdI di Lembah Dieng, Malang, mereka melihat bahwa misi hampir vis a vis dengan penginjilan. Pertumbuhan jemaat menjadi hal yang krusial bagi mereka. Sementara itu, seorang pendeta dari kelompok GBI yang ada di Makassar justru beranggapan bahwa orang beragama lain juga bisa selamat (h. 87). Dia berpendapat bahwa orang harus merujuk kepada Alkitab untuk bisa memeroleh keselamatan. Pernyataan ini justru menjadi lebih agak sedikit berbeda dengan kenyataan bahwa gereja GBI di Makassar berkembang dengan pesat, yaitu 70 jemaat dengan klaim jumlah anggota sebanyak 12.000 jiwa sejak tiba tahun 1975. GBI Keluarga Allah di Surakarta memiliki kedua pandangan misi ini. Di satu sisi mereka ingin “meningkatkan kualitas penuai untuk menjangkau yang belum terjangkau” (h. 135), namun di sisi lain mereka juga ingin memberi “kabar gembira, membantu yang miskin, yang susah, yang sakit dan Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
385
menderita, yang terpinggirkan dan yang hidupnya kapiran” (h. 135). Paham ini berimplikasi pada pola pelayanan yang diberikan gereja tersebut kepada masyarakat sekitarnya. Mereka memberi banyak perhatian dengan bantuan diakonianya. Gereja Perhimpunan Baptis Injili Indonesia Amanat Agung di Sleman, yang berdiri sejak 1996, juga memahami bahwa misi sebagai kehadiran Kristus bagi orang‐orang yang ada di situ. Lalu, Gereja Kristen Kalam Kudus di Malang yang dirintis sejak 1952, memahami bahwa misi adalah “pemberitaan Injil, baik lewat verbal dan aksi, yakni pemuridan dan aksi sosial” (h. 375). Sementara itu, beberapa gereja mainstream yang menjadi objek penelitian sepertinya lebih tegas untuk menyatakan bahwa misi adalah tentang membawa damai sejahtera Allah bagi dunia. Namun, pada akhirnya ada juga beberapa gereja yang tetap memberikan program gerejanya bagi kegiatan yang lahir dari pemahaman misi sebagai church planting. Penelitian terhadap GKJ Gondokusuman, Yogyakarta menunjukkan bahwa mereka memiliki pandangan yang serupa dengan tema Sidang Raya CCA 2015 (lihat prolog), yaitu menjadikan Indonesia dan Yogyakarta sebagai rumah bersama. Dengan pandangan ini, GKJ menghormati perbedaan dan konteks lokal di mana mereka mereka. Misi harus juga berkenaan dengan teologi sosial gereja, sehingga kehadirannya dirasakan untuk membawa pengalaman perjumpaan yang otentik tanpa memaksa orang untuk menerima perjumpaannya itu. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) memahami pemahaman misi juga dalam arti kehadiran yang membawa arti bagi masyarakat sekitar. Buat mereka, penginjilan adalah bagian dari misi, namun misi sendiri memiliki arti yang luas. Misi adalah milik Allah, dan gereja dipanggil untuk ikut
386 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
terlibat dalam misi ini. Karena itu, panggilan gereja adalah untuk menghadirkan damai sejahtera Allah di bumi, atau presentia. Tugas orang Kristen adalah menjalani hidup secara kristiani. GKE Resort Palangkaraya memilih metode misi dengan mengajarkan bahwa gereja harus hadir dan memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan sosial budaya (h. 232). Meskipun demikian, penerimaan mereka akan metode pelatihan Evangelical Explotion (EE) menunjukkan bahwa mereka juga memberi perhatian pada pertambahan anggota secara kuantitatif. Dalam penelitian di GKE Banjarmasin, peneliti menemukan bahwa kedua pemahaman misi ini sebenarnya kontradiktif dan GKE perlu merumuskan ulang paham misi mereka yang sesungguhnya (308‐309). Pemahaman misi juga harus kita telaah dari apa yang sekolah‐sekolah teologi ajarkan kepada para calon pendetanya. Tiap‐tiap sekolah juga memiliki paham yang sedikit berbeda dari yang lain. STT El‐Shadday yang didirikan GBI Keluarga Allah Solo menyebut bahwa misi adalah “menciptakan pekerja gereja di mana tugasnya adalah menciptakan orang‐orang yang dapat tekun dalam menjalankan pelayanan pada gerejanya masing‐masing” (h. 171). Menurut mereka, Injil tetap harus diberitakan dengan kebebasan memilih, bahwa etika dalam hidup bermasyarakat harus diperhatikan dalam mengabarkan Injil. Institut Pendidikan Theologia Balewiyata Malang telah memiliki perubahan paradigm misi dari penginjilan menjadi kesaksian. Orang Kristen harus mampu menunjukkan kehidupan kristianinya kepada orang‐orang di sekitarnya. Misi dipahami sebagai pekerjaan Allah. Sekolah Tinggi
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
387
Agama Kristen Marturia Yogyakarta juga memiliki paham yang sama dengan IPTh Balewiyata. STT GKE memahami panggilan gereja sebagai mewujudkan sebuah keadaan yang sejahtera, berkeadilan, demokratis, dan mandiri (h. 303). Hal ini diajarkan dalam pemahaman visi dan misi gereja di STT milik Gereja Kalimantan Evangelis ini. Meski demikian, mereka tetap melihat adanya ambiguitas kebijakan pimpinan gereja ketika mereka mulai bekerjasama dengan badan misi Evangelism Explotion. GKE melihat pelatihan EE sebagai pelengkapan diri dan bukan penginjilan. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa meski secara garis besar semua gereja lebih condong kepada paham misi sebagai kehadiran damai sejahtera Allah di masyarakat, beberapa gereja dan institusi teologi masih memandang kesaksian sebagai sebuah hal yang penting. Beberapa gereja dan institusi teologi telah memiliki perubahan pandangan mengenai misi sebagai penginjilan menjadi misi sebagai kesaksian di dunia. Beberapa poin rekomendasi yang penting untuk dilihat lebih lanjut adalah: 1) Bentuk riil dari kesaksian seperti apa yang dipahami oleh gereja dan institusi teologi? 2) Apakah mereka memiliki paham yang sama mengenai subjek dan objek misi? 3) Bagaimana hal ini memengaruhi kerukunan antar umat beragama? Penelitian ini telah membantu kita untuk lebih memahami pemahaman misi di berbagai gereja dan institusi di Indonesia. Semoga penelitian‐penelitian selanjutnya bisa memperhatikan 3 poin rekomendasi di atas. Jakarta, 30 Oktober 2014 Pdt. Binsar J. Pakpahan, Ph.D. Pengajar STT Jakarta
388 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
INDEKS Al Islam, 151 Al Kitab, 49, 51, 59, 60, 95, 99 Aliran gereja, 385 Allah, 6, 13, 17, 20, 21, 22, 23, 32, 33, 78, 79, 80, 81, 82, 103, 105, 112, 113, 114, 117, 118, 119, 123, 126, 127, 128, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159,뜜161, 162, 163, 164, 165, 168, 169, 170, 172, 174, 175, 176, 196, 197, 198, 199, 201, 202, 203, 230, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 249, 268, 269, 270, 271, 272, 279, 280, 281, 282, 283, 285, 287, 295, 304, 308, 310, 313, 326, 351, 352, 353, 354, 355, 366, 371, 373, 377, 378, 380, 381, 385, 386, 387, 388 Bala Keselamatan, 9, 13, 14, 32, 89, 105 Bimas Kristen, 4, 9, 14, 106, 130, 159, 171, 176, 228, 229, 297, 317, 336, 337, 338, 339, 348, 359 Calvin, 104 Church planting, 7, 114, 354, 358, 359 DDII, 153 Diskusi, 263, 265 Gembala Sidang, 39, 53, 54, 84 Gereja, 1, 2, 3, 4, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 37, 40, 42, 43,
44, 45, 46, 50, 51, 52, 56, 59, 62, 63, 65, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78, 80, 82, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 91, 93, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 104, 105, 107, 109, 110, 111, 113, 114, 118, 119, 120, 121, 123, 126, 127, 129, 130, 135, 145, 148, 158, 159, 160, 163, 164, 165, 170, 176, 177, 179, 181, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 192, 193, 194, 195, 196, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 206, 207, 210, 213, 214, 217, 222, 223, 224, 226, 227, 229, 230, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 242, 244, 246, 247, 248, 249, 250, 252, 253, 254, 255, 262, 266, 273, 278, 284, 287, 290, 291, 292, 293, 294, 298, 302, 305, 313, 314, 317, 318, 321, 324, 326, 329, 330, 333, 334, 335, 338, 339, 341, 345, 346, 348, 350, 356, 359, 360, 362, 365, 367, 369, 374, 377, 378, 380, 386, 388 Gereja Advent, 9, 14, 105, 313 Gereja Berita Injil, 84, 97 Gereja Bethany Indonesia, 84, 96 Gereja Bethel, 2, 3, 4, 27, 32, 40, 44, 45, 56, 62, 65, 82, 83, 84, 85, 87, 89, 91, 93, 95, 96, 97, 98, 101, 123, 127, 130, 135, 159, 160, 163 Gereja Jawa, 185, 187 Gereja Mawar Saron, 84, 96, 313
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
389
Gereja Mormon, 126 Gereja Ortodok, 13, 104 Gereja Pentakosta, 1, 4, 11, 19, 26, 31, 41, 44, 45, 46, 52, 63, 77, 80, 102, 160 Gereja Tiberias Indonesia, 84, 96 Gereja Yesus Sejati, 313 God, 15, 16, 26, 280 Gold, 15 HKBP, 33, 116, 167, 313 Informan, 63 Injil, 3, 16, 17, 23, 24, 27, 28, 32, 33, 34, 41, 42, 43, 45, 79, 80, 84, 89, 91, 96, 103, 112, 126, 175, 176, 185, 186, 187, 192, 195, 197, 199, 200, 201, 213, 222, 223, 233, 237, 238, 255, 260, 264, 266, 268, 272, 274, 279, 280, 285, 287, 294, 307, 334, 351, 352, 353, 362, 366, 367, 374, 375, 376, 379, 386, 387 Injili, 9, 14, 32, 33, 41, 84, 89, 96, 104, 105, 127, 177, 184, 192, 193, 194, 198, 200, 206, 207, 210, 344, 357, 386 Italia, 75 Jaringan, 3, 7, 8, 11, 40, 46, 49, 50, 51, 55, 57, 60, 65, 71, 94, 96, 97, 98, 99, 100, 160 Kasus, 123, 154, 160, 161, 177, 217, 255, 291, 319, 365 Katolik, 5, 13, 71, 72, 75, 76, 87, 101, 104, 107, 111, 115, 125, 126, 127, 135, 145, 152, 158, 180, 181, 183, 220, 221, 222, 247, 248, 250, 292, 326, 329, 330, 333 Kepatihan, 125, 126, 130 Kerkgenootschap, 1, 25, 84
kitab suci, 6, 71, 87, 103, 117, 287 Kristen, 2, 7, 9, 10, 12, 13, 15, 16, 19, 22, 23, 28, 32, 33, 40, 41, 45, 46, 51, 60, 62, 63, 65, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 84, 86, 87, 89, 90, 95, 96, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 112, 114, 115, 118, 122, 124, 125, 126, 127, 131, 134,뜜135, 145, 146, 147, 151, 152, 153, 154, 156, 158, 159, 161, 162, 167, 170, 172, 176, 177, 178, 180, 181, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 192, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 207, 208, 209, 210, 212, 213, 214, 220, 221, 223, 227, 228, 229, 232, 235, 244, 246, 247, 249, 250, 253, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 265, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 290, 292, 294, 311, 313, 314, 317, 318, 319, 321, 323, 325, 326, 329, 330, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 342, 344, 345, 346, 347, 348, 349, 350, 352, 354, 355, 356, 357, 358, 359, 360, 361, 362, 365, 366, 367, 368, 370, 371, 373, 374, 377, 378, 379, 380, 386, 387 Kristus, 17, 33, 71, 79, 80, 87, 105, 106, 112, 136, 145, 148, 166, 168, 170, 193, 194, 196, 200, 210, 224, 234, 236, 237, 238, 239, 242, 247, 260, 266, 267, 268, 269, 270, 272, 274, 279,
390 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
280, 282, 283, 285, 288, 310, 313, 352, 366, 367, 371, 375, 376, 378, 380, 386 Martin Luther, 13, 75, 104 Missi, 32, 116, 171, 238 MTA, 151 Muhammadiyah, 100, 126, 151, 157 Nasrani, 111, 172 NU, 146, 151, 153 Observasi, 10, 66, 120 Oikumene, 32, 96, 113, 160, 194, 203, 208, 213, 275, 284, 318, 362 Organisasi Gereja, 45 Paus, 13, 15, 72, 73, 74, 75, 104 Pdt. Groesbeek, 52 Pdt. J. Thiessen, 25, 42 Pdt. Van Klaveren, 41 Pekabaran Injil, 106, 112, 113, 126, 188, 213, 232, 253, 256, 266, 267, 268, 285, 294, 302, 305, 307, 309, 362 Pendeta, 16, 30, 34, 41, 54, 77, 85, 87, 93, 94, 133, 155, 183, 186, 187, 189, 190, 191, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 203, 204, 206, 207, 208, 209, 213, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 258, 264, 268, 290, 293, 295, 334, 338, 346, 350, 355, 358, 360,뜜363, 368 Pendeta Pembantu, 31, 34 Penelitian, 3, 4, 9, 11, 65, 108, 110, 119, 120, 121, 123, 160, 161, 177, 210, 252, 291, 319, 334, 340, 347, 365, 386, 388 Perang Salib, 72, 73, 74, 75
Perjanjian baru, 347 Perjanjian lama, 347 Presensia, 6, 117, 156, 200 Protestan, 5, 9, 13, 14, 33, 75, 76, 89, 104, 105, 109, 111, 114, 177, 181, 189, 222, 223, 247, 292, 313, 321, 329, 336, 365, 380 Roh Kudus, 1, 16, 18, 19, 20, 23, 25, 42, 62, 77, 79, 80, 81, 102, 105, 112, 128, 168, 238, 256, 269, 270, 340 Rohani, 20 Sekolah al Kitab Beji, 39 Sinode, 2, 8, 18, 26, 28, 37, 38, 54, 62, 79, 84, 95, 96, 101, 129, 130, 133, 135, 156, 159, 160, 184, 187, 188, 189, 192, 193, 204, 213, 224, 225, 227, 228, 230, 231, 233, 234, 235, 242, 243, 244, 247, 253, 254, 294, 296, 298, 299, 300, 301, 304, 307, 308, 310,뜜317, 318, 346, 348, 359, 363, 365, 374, 378 Spanyol, 15, 75, 76 STT, 8, 31, 34, 37, 39, 45, 46, 47, 49, 51, 55, 59, 60, 87, 99, 125, 128, 138, 141, 158, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 243, 291, 294, 295, 296, 297, 306, 308, 309, 310, 311, 312, 313, 316, 345, 357, 387, 388 STT El Shadai, 138, 141 VOC, 65, 189 Weenink Van Loon, 40, 42, 43 Yunani, 75, 111, 347, 377
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
391
BIODATA EDITOR Wakhid Sugiyarto, lahir di Magetan 9 Februari 1964. Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya. Telah melakukan penelitian; Profil Pelaku Tindak Terorisme di Indonesia; Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kota Ambon, Maluku, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2006; Profil Pelaku Tindak Terorisme di Indonesia; Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Batu Nusakambangan (Imam Samodra cs), Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2006; Kasus Keagamaan Surga And di Kabupaten Cirebon, Puslitabng Kehidupan Keagamaan, 2010; Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia: Jaringan Gereja Bethel Indonesia Makasar, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011; Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia: Jaringan Gereja Pantakosta Di Indonesia (GPdI) Cabang Kota Malang Wilayah 8 Jawa Timur, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011; Bentrokan Jema’at Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012; Penelitian Amuk Massa Terhadap Komunitas Syi’ah di Nangkernang Karanggayam Omben Kabupaten Sampang Jawa Timur, Puslitbang Kehidupan Keagamaan,2013; Dampak Pemahaman dan Implementasi Misi Kristen Bagi Kemajemukan Indonesia dan Gerakan Oikumene: Studi Kasus Gereja Bethel Keluarga Allah di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013; Penelitian Pandangan Pemimpin Gereja tentang Pengaturan Organisasi Gereja Studi Kasus di Medan, Sumatra Utara, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014.
392 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan
393
394 Jaringan Kerja Penginjilan dan Pemahaman Misi Kekristenan