21
HASIL DAN PEM MBAHAS SAN Kondisi Umum U Taanaman pisaang tanduk pada p lokasi percobaan tumbuh seccara baik, namun terdapat beberapa b tannaman yangg mengalam mi roboh dan daun yanng sobek. Hal H ini diduga kaarena perakkaran tanam man pisang tanduk yanng dangkall serta tingginya kecepatann angin yanng menerpaa tanaman. Kecepatann angin ratta-rata di lokasi l penelitian sebesar 2.44 km/jam selama s prosses produksi berlangsuung, namun pada saat tanam man berumuur 11 bulann setelah tan nam (BST),, kecepatan angin men ncapai 6.0 km/jam m yang mennyebabkan beberapa b tan naman menngalami robooh.
a
b
c
d
ng Tanduk di d Lapang Setelah Ap plikasi Gaambar 6. Kondisi Tanaaman Pisan Baahan Pembberongsong.. (a) Tanppa Bahan Pemberong gsong, (bb) Plastik Poolyethilen Biru, B (c) Plaastik Polyetthilen Putih h, dan (dd) Kantong Sak. S
22
Kecepatan angin yang tinggi juga diduga sebagai penyebab banyaknya daun tanaman yang robek dan patah. Pengamatan secara berkala dilakukan pada pertanaman setelah aplikasi pemberongsongan (Gambar 6). Hal ini dilakukan agar apabila terpaan angin mulai membahayakan tanaman contoh, dapat segera dilakukan penyanggahan terhadap tanaman tersebut. Kebun lokasi penanaman pisang terletak pada ketinggian 920 m di atas permukaan laut dengan rata-rata curah hujan 269.1 mm/bulan dan jumlah hari hujan rata-rata 22.4 hari/bulan. Suhu rata-rata berkisar 21.3oC, sedangkan kelembaban rata-rata berkisar 85% (Stasiun Meteorologi Citeko, BMKG Bogor). Suhu optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan pisang pada daerah tropis adalah 27 oC. Selain itu, tanaman pisang juga membutuhkan ketersediaan air yang cukup selama pertumbuhannya (Robinson, 1996). Selama proses produksi, pengairan tanaman hanya diperoleh dari air hujan. Daerah dengan tingkat curah hujan yang sangat tinggi mungkin terlalu berawan bagi tanaman untuk dapat berfotosintesis secara optimum, memiliki lebih banyak masalah serangan hama penyakit, dan membutuhkan drainase yang lebih intensif (Nakasone and Paull, 1998). Lahan yang digunakan sebagai lokasi penanaman merupakan lahan bekas pertanaman ubi dan sayuran. Kriteria kelas kesesuaian lahan untuk komoditas pisang yang sangat sesuai untuk penanaman yaitu pH tanah berkisar 5.6-7.5 dengan kandungan C-organik lebih besar dari 1.5% (Harti et al., 2007). Berdasarkan kriteria iklim dan tanah menunjukkan bahwa lokasi yang digunakan cukup sesuai untuk pertanaman Pisang Tanduk (Lampiran 2). Sanitasi kebun yang tidak dilakukan secara rutin karena tidak adanya pekerja, namun hal ini tidak sampai menurunkan atau mengganggu hasil pertanaman. Pemotongan jantung pisang tidak dilakukan pada pertanaman pisang karena varietas pisang tanduk tidak memiliki sisa jantung pisang selama proses pembungaan (Munasque et al., 1990). Proses pembuangan seludang bunga pisang tetap dilakukan agar tidak membusuk di dalam bahan pemberongsong.
23
Hasil Kekerasan Kulit Buah Tekstur buah merupakan faktor yang penting dalam kualitas makan pada buah pisang. Salah satu faktor yang mempengaruhi tekstur suatu buah adalah kekerasan atau kelunakan kulit buah. Melunaknya buah disebabkan oleh perombakan protopektin yang tidak larut menjadi asam pektat dan pektin yang larut sehingga menyebabkan turunnya ketegaran buah (Mattoo et al., 1993; Pantastico et al., 1993). Tabel 3. Pengaruh Bahan Pemberongsong terhadap Kekerasan Kulit Buah Pisang Tanduk. Perlakuan Tanpa Pemberongsongan (P0) Polyethilen Biru (P1) Polyethilen Putih (P2) Kantong Sak (P3) Hasil uji F
Kekerasan Buah ( mm/kg/5detik) 22.95 (4.84) 27.97 (5.27) 26.96 (5.23) 22.59 (4.75) tn
Keterangan : Angka dalam (...) merupakan hasil transformasi √
0.5
Berdasarkan hasil analisis statistika (Tabel 3), didapatkan hasil bahwa perlakuan perbedaan bahan pemberongsong buah tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekerasan buah pisang tanduk. Perlakuan pemberongsongan dengan bahan kantong sak menghasilkan kekerasan buah sebesar 22.59 mm/kg/5detik. Nilai tersebut memiliki arti bahwa dengan tekanan 1 kg yang diberikan terhadap permukaan buah pisang, tusukan jarum dapat mencapai kedalaman 22.59 mm selama 5 detik. Padatan Telarut Total Berdasarkan data pada Tabel 4, bahwa perlakuan pembungkusan tandan pisang tidak memberikan pengaruh nyata terhadap Padatan Terlarut Total (PTT) buah pisang. Hal ini diduga karena konversi pati menjadi gula atau gula menjadi pati sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu lingkungan, sedangkan suhu yang tercatat tidak berbeda nyata antar perlakuan berdasarkan hasil sidik ragam
24
(Lampiran 4). Gula didalam tanaman akan dirubah menjadi pati dan air pada kondisi suhu yang tinggi, sedangkan pada suhu yang lebih rendah, pati dan air akan dirubah menjadi gula (Preece et al., 2005). Tabel 4. Pengaruh Bahan Pemberongsong terhadap Padatan Terlarut Total Buah Pisang Tanduk. Perlakuan Tanpa Pemberongsongan (P0) Polyethilen Biru (P1) Polyethilen Putih (P2) Kantong Sak (P3) Hasil uji F
Padatan Terlarut Total (oBrix) 31.53 27.71 25.14 25.92 tn
Pengamatan padatan terlarut total dilakukan pada buah yang memiliki tingkat kematangan yang sama tanpa proses pemeraman. Seluruh perlakuan yang diberikan menghasilkan tingkat kemanisan yang sama menurut hasil analisis statistika. Pisang tanduk yang matang memiliki daging buah berwarna oranye dengan tekstur halus dan derajat kemanisan sebesar 31-33obrix (Ismail and Khasim, 2005; PKBT, 2009). Total Asam Tertitrasi Perubahan dalam kandungan asam selama penyimpanan dapat berbedabeda sesuai dengan tingkat kemasakan dan tingginya suhu penyimpanan (Pantastico et al., 1993). Berdasarkan data hasil analisis statistika pada Tabel 5, aplikasi pemberongsongan pada tandan buah pisang menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai Total Asam Tertitrasi pada seluruh perlakuan. Tabel 5. Pengaruh Bahan Pemberongsong terhadap Total Asam Tertitrasi pada Buah Pisang Tanduk. Perlakuan Tanpa Pemberongsongan (P0) Polyethilen Biru (P1) Polyethilen Putih (P2) Kantong Sak (P3) Hasil uji F
Total Asam Tertitrasi ( ml/100 g) 18.22 14.62 17.51 14.09 tn
25
Berdasarkan pengujian, diperoleh hasil total asam tertitrasi berkisar antara 14.09 sampai 18.22 ml/100 g bahan. Perlakuan seluruh bahan pemberongsong tidak menunjukkan perbedaan dalam menghasilkan nilai total asam tertitrasi yang diperoleh. Total asam tertitrasi cenderung meningkat saat perkembangan buah yang disebabkan oleh proses biosintesis asam malat yang dominan dengan berlanjutnya proses pematangan berikutnya (Mattoo et al., 1993). Bobot Tandan, Bobot per Sisir, dan Bobot Buah Pisang tanduk merupakan varietas yang memiliki ukuran terbesar dalam komoditi pisang. Pisang tanduk memilki bobot buah 300-320 g per buah, dan memiliki potensi hasil mencapai 15 kg per tandan (Ismail and Khasim, 2005; PKBT, 2009). Berat tandan, jumlah sisir per tandan, berat buah, jumlah buah per sisir, persentase buah dan kulit, dipengaruhi oleh varietas pisang yang ditanam dan letak buah dalam satu tandan. Ukuran buah pisang yang beragam dalam satu tandan dipengaruhi oleh letak sisir, umumnya semakin ke ujung, ukuran buah pisang akan semakin kecil dan jumlah buah per sisir juga semakin sedikit (Artalina et al., 2005) Tabel 6. Pengaruh Bahan Pemberongsong terhadap Bobot Tandan, Bobot Per Sisir dan Bobot Per Buah Pisang Tanduk. Bobot Tandan Bobot Per Sisir …………. (kg) …………. Tanpa Pemberongsongan (P0) 08.30 (2.92) 3.91 Polyethilen Biru (P1) 14.55 (3.86) 6.68 Polyethilen Putih (P2) 14.50 (3.87) 5.46 Kantong Sak (P3) 12.10 (3.47) 4.56 Hasil Uji F tn tn Perlakuan
Keterangan : Angka dalam (...) merupakan hasil transformasi √
Bobot Per Buah (g) 277.89 454.33 399.78 341.33 tn
0.5
Berdasarkan hasil analisis statistik (Tabel 6), aplikasi pemberongsongan pada tandan buah pisang tanduk menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap bobot tandan, bobot sisir dan bobot buah pisang. Hal ini diduga karena bobot tandan, bobot sisir dan bobot buah pisang lebih dipengaruhi oleh aplikasi pemupukan saat produksi dan letak sisir atau buah pada tandan pisang tersebut.
26
Hal ini seesuai dengaan hasil penelitian Weeerasinghe et al. (20002) dan Mo ostafa (2005) yanng menunjuukkan bahw wa pemberiaan pupuk K dapat menningkatkan bobot b buah dan bobot b tandaan. Rasio Dagging/Kulit Buah dan Edible E Porttion Selama prosees pertumbuuhan atau penyimpanan rasio daaging/kulit buah akan menngalami peeningkatan. Simmond (1959) menyatakan m bahwa haal ini disebabkaan karena kandungan k gula pada daging meengalami peeningkatan lebih besar dibandingkan pada kulitt buah. Perrbedaan kaandungan ggula pada kedua k jaringan menyebabkkan perubaahan difereensial yangg menyebabbkan timbu ulnya gerakan tekanan osm mosis dan menyebabk kan air akaan berpindaah dari kullit ke daging buuah. Nakasoone and Paaull (1998)) menyatakkan bahwa berat kulit naik secara ceppat pada 400 hari pertaama setelah h bunga muuncul, semeentara padaa saat yang samaa daging buuah belum berkembang.
a
b
c
Gaambar 7. Penimbangan Bobot Buaah Pisang Taanduk. (a) B Buah Pisang g Uttuh, (b) Kullit Buah Pissang, (c) Daaging Buah P Pisang. Beerdasarkan data d pada Tabel T 7, perrlakuan pem mberongsongan tandan buah pisang tannduk tidakk memberikkan pengaru uh yang nyata n terhaddap nilai edible e portion dan d rasio daging/kuliit buah. Persentase P edible porrtion dan rasio daging/kuulit buah diidapatkan dengan d terleebih dahuluu melakukaan penimbaangan terhadap bobot b utuhh buah, bobbot kulit daan bobot daging d buahh pisang taanduk (Gambar 7). 7
27
Tabel 7. Pengaruh Bahan Pemberongsong terhadap Rasio Daging/Buah dan Edible Portion Buah pisang Tanduk. Perlakuan Rasio Daging/Kulit Buah Edible Portion ( %) Tanpa Pemberongsongan (P0) 2.41 70.70 Polyethilen Biru (P1) 2.47 70.89 Polyethilen Putih (P2) 2.04 66.72 Kantong Sak (P3) 1.92 65.94 Hasil uji F tn tn Buah pisang tanduk yang diamati berada dalam stadia masak sempurna. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Palmer (1971), yang menyatakan bahwa rasio daging/kulit buah berkisar antara 1.21-1.66 dikategorikan sebagai buah yang belum masak sempurna, sedangkan kisaran nisbah antara 2.20-2.70 digolongkan buah telah mencapai masak sempurna. Panjang dan Diameter Buah Aplikasi pemberongsongan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap ukuran panjang dan diameter buah pisang tanduk berdasarkan hasil analisis statistika (Tabel 8). Panjang buah yang dihasilkan memiliki kisaran antara 31.8 sampai 38.32 mm, dan diameter buah 3.72 sampai 4.74 mm. Panjang buah dan diameter buah ini akan berbanding positif terhadap berat buah pada pisang (Gambar 8). Semakin besar panjang dan diameter buah, maka bobot buah akan semakin bertambah besar pula. Tabel 8. Pengaruh Bahan Pemberongsong terhadap Panjang dan Diameter Buah Pisang Tanduk. Perlakuan Tanpa Pemberongsongan (P0) Polyethilen Biru (P1) Polyethilen Putih (P2) Kantong Sak (P3) Hasil uji F
Panjang Buah (mm) 31.80 38.32 37.94 36.71 tn
Diameter Buah (mm) 3.72 4.74 4.22 3.94 tn
28
Gaambar 8. Pengukuran Panjang P dan Diameter Buah B Pisangg Tanduk. Haasil tersebutt masih mennunjukkan ukuran u buahh pisang tannduk yang belum b maksimum m apabila diibandingkann dengan peenelitian sebbelumnya. R Robinson (1 1996) menyatakaan bahwa bentuk b dan ukuran akh hir dari buaah pisang ddipengaruhii oleh kultivar, meskipun m m mungkin saaja lingkung gan atau innteraksi gennetik yang pada akhirnya menentukaan pertambaahan ukuraan saat pissang mulai masak. Pisang P tanduk daapat mencappai ukuran maksimum m dengan pannjang lebihh dari 40 cm m dan berat lebihh dari 0.5 kgg. Tingkat Keparahan K Gejala Serrangan Hama Perlakuan pem mberongsonngan pada tandan pissang memberikan peng garuh sangat nyata terhadaap tingkat keparahan k gejala g seranngan hama pada kulit buah pisang
taanduk
(Taabel
9).
Perlakuan
perbedaann
berbagaai
jenis
bahan b
pemberonngsong tanddan pisang tidak t memb berikan penngaruh yangg nyata terh hadap keparahann gejala serrangan ham ma yang ditimbulkan pada p permuukaan kulit buah pisang tannduk. Tabeel 9. Penggaruh Bahan Pembero ongsong terrhadap Tinngkat Keparrahan Gejalla Serangann Hama Buaah Pisang Taanduk. Perlakuan Tanpa Pem mberongsonngan (P0) Polyethileen Biru (P1)) Polyethileen Putih (P22) Kantong Sak S (P3) Hasil ujii F
Kep parahan Geejala serangan hama ( %) 84.81a 20.00b 20.00b 20.00b **
Keterangan : Angka-angkka yang diikuuti oleh huruf yang sama pada kolom yaang sama dan n aspek yang sama adalah tidak berbeda b nyata pada uji BNJJ taraf 5%
29
Haal ini sesuuai dengan hasil peneelitian sebeelumnya bahwa perlaakuan pemberonngsongan daapat menekkan intensittas serangaan hama thhrips (Rusdiianto, 1995; Seetyowati et al, 19995; Soemarrgono et al, 1995 ). Selain n itu, pemberonngsongan juuga dapat mengcegah h serangan hama Naacolea octa asema penyebab burik padda buah pisang p yang g diprodukksi (Badan Penelitian n dan Pengembaangan Pertannian, 2008). Geejala seranggan hama menyebar ham mpir diselurruh permukkaan buah pisang p dengan peerlakuan tannpa pemberrongsongan (Gambar 9.P0). 9 Berdaasarkan Tab bel 9, perlakuan tanpa pem mberongsonggan mengalami tingkatt keparahann gejala seraangan 8 jikaa dibandingg dengan seeluruh perlaakuan hama terbbesar, yaknii sebesar 84,81% bahan pem mberongsonngan yang hanya h meng galami keparrahan gejalaa serangan hama yang rendah, yakni seebesar 20%.
P0
P1
P2
P3
Gaambar 9. Peerbandingann Tingkat Keparahan K G Gejala Seranngan Hamaa Tiap Peerlakuan. (P P0) Tanpa Pemberonngsongan, ((P1) Polyetthilen Biiru, (P2) Poolyethilen Pu utih, (P3) Kantong K Sakk.
30
a
b
c
Bekas Seranngan Hamaa Yang Mennyebabkan Gejala Seraangan Gaambar 10. B H Hama Burikk Dan Kudiis. (a) Gejalla Burik Saaat Pisang Masih M M Muda, (b) Kudis K Saatt Pisang Masih Muda,, (c) Kudiss Saat P Pisang Sudaah Matang. Baadan Penelittian dan Penngembangaan Pertaniann (2008) meenyatakan bahwa b tingginya serangan hama paada perlaku uan tanpa pemberonngsongan dapat menyebabbkan rendahhnya tingkatt produksi dan d kualitass buah pisaang. Hal ini akan berdampakk negatif teerhadap dayya saing dan n harga juaal produk dii pasaran. Selain S akan mengghambat peerkembangaan buah, burrik atau kuddis dapat meenyebabkan n kulit buah menjjadi kotor, pucat p dan akkhirnya men ngeras (Gam mbar 10).
31
Pembahasan Perlakuan pemberongsongan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekerasan buah. Hasil tersebut dimungkinkan karena tekstur daging atau kelunakan buah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti varietas, praktek budidaya, dan proses pematangan buah (Charles and Tung, 1973). Proses pemecahan pati menjadi gula selama tahap pemasakan yang menyebabkan buah pisang menjadi lunak dipicu oleh sintesis etilen yang selanjutnya mengaktifkan sintesis enzim-enzim perusak dinding sel, seperti misalnya poligalakturonase (Picton et al.,1995). Selain itu, kekerasan kulit buah juga dipengaruhi oleh sifat genetik varietas pisang yang ditanam (Setyowati et al., 2009). Gula merupakan padatan terlarut utama yang terkandung dalam fruit juices, oleh karena itu padatan terlaut total dapat menjadi tolok ukur untuk menduga tingkat kemanisan pada buah (Kitinoja L. And A.A. Kader, 2002) dan kematangan buah. Buah yang memiliki tingkat kemasakan lebih tinggi akan memiliki tingkat padatan terlarut total yang lebih tinggi dibanding buah yang belum masak. Hasil ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa buah yang lebih masak telah tumbuh lebih cepat dan memiliki waktu yang lebih lama untuk melakukan akumulasi pati yang akan disintesis menjadi gula selama proses pematangan sehingga menghasilkan padatan terlarut total yang lebih besar (Ahmad et al., 2001 ; Winarno, 2002). Keasaman tertitrasi cenderung meningkat saat perkembangan buah pisang, hal ini disebabkan oleh proses biosintesis asam malat yang dominan seiring dengan berlanjutnya proses pematangan berikutnya (Mattoo et al., 1993). Perlakuan pemberongsongan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap padatan terlarut total dan total asam tertitrasi pada buah pisang tanduk. Hal ini diduga karena pemberongsongan dapat mengganggu proses fisiologi pada tandan pisang, karena suhu didalam bahan pemberongsong yang terlalu panas, pembusukan dan pematangan dini (Robinson, 1996). Selain itu, konversi pati menjadi gula atau gula menjadi pati sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu lingkungan, sedangkan suhu yang tercatat di dalam bahan pemberongsong tidak berbeda nyata antar perlakuan berdasarkan hasil analisis statistik (Lampiran 4).
32
Gula didalam tanaman akan dirubah menjadi pati dan air pada kondisi suhu yang tinggi, sedangkan pada suhu yang lebih rendah, pati dan air akan dirubah menjadi gula (Preece et al., 2005). Berat tandan, jumlah sisir per tandan, berat buah, jumlah buah per sisir, persentase buah dan kulit, dipengaruhi oleh varietas pisang dan letak buah pisang dalam satu tandan. Hal ini diduga sebagai penyebab perlakuan pemberongsongan tidak berpengaruh nyata terhadap panjang dan diameter buah, bobot tandan, bobot per sisir, dan bobot buah pisang tanduk. Hasil panen dan kualitas sangat buah pisang sangat dipengaruhi oleh pemupukan NPK (Harthi, 2009), terutama unsur K (Ganeshamurthy, 2011). Perbedaan lingkungan tumbuh pada masing-masing tanaman pisang dapat menyebabkan bervariasinya ukuran tandan pada varietas yang sama. Tanaman pisang akan tumbuh subur dan dapat menghasilkan tandan yang besar pada lingkungan yang baik (cukup nutrisi dan air). Disamping aspek lingkungan, beragamnya ukuran buah pisang dalam satu tandan juga dipengaruhi oleh letak sisir, umumnya semakin ke ujung, ukuran buah pisang akan semakin kecil dan jumlah buah per sisir juga semakin sedikit (Artalina et al., 2005; Mostafa, 2005; Weerasinghe et al., 2002). Pemberongsongan tandan buah pisang juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai rasio daging dengan kulit buah dan edible portion. Hal ini diduga karena berat buah dan ukuran buah pisang tanduk yang juga tidak berbeda antara buah yang diberongsong dengan buah yang tidak diberongsong. Thomas et al.,(1983) menyatakan bahwa rasio daging/kulit buah dapat digunakan untuk menentukan tingkat kemasakan buah. Prabawati et al., (2008) menyebutkan bahwa persentase daging buah pisang tanduk sekitar 73% karena bagian kulitnya cukup tebal. Pemberongsongan tandan buah pisang memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap keparahan gejala serangan hama pada pisang tanduk. Rendahnya tingkat gejala serangan hama pada perlakuan berbagai jenis bahan pemberongsong ini dapat diperoleh karena perlakuan pemberongsongan dapat mencegah terjadinya kontak secara langsung antara hama penyebab gejala dengan buah yang akan diserang. Selain itu, pemberongsongan juga menyebabkan hama akan kehilangan sumber makanan utamanya yang dapat menyebabkan kematian dan
33
berkurangnya jumlah hama dilapang (Hofman et al.,1997). Penyemprotan insektisida terhadap bagian dalam bahan pemberongsong sebelum aplikasi pemberongsongan juga dapat memiliki pengaruh yang sama apabila hama berhasil masuk ke dalam bahan pemberongsong. Perlakuan berbagai jenis bahan pemberongsong tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap intensitas gejala serangan pada buah pisang. Setiap jenis bahan pemberongsong memiliki intensitas gejala serangan yang sama, yakni sebesar 20%. Hal ini diduga karena hama dan cendawan jamur sudah menempel pada seludang bunga pisang sebelum dilakukan aplikasi pemberongsongan. Selain itu, diduga hama masuk saat dilakukan pembukaan bahan pemberongsong untuk membuang seludang bunga pisang, serta karena besarnya lubang pada bahan pemberongsong yang berukuran ± 3 mm masih memungkinkan sebagai jalan masuknya hama. Pisang yang layak untuk ekspor harus memiliki kualitas yang tinggi (Ploetz, 1994). Kualitas yang kurang sesuai dengan permintaan dapat menjadi penyebab rendahnya kuantitas ekspor (Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan, 1994). Salah satu kualitas yang perlu diperhatikan adalah besarnya intensitas gejala serangan hama yang dapat menimbulkan noda pada permukaan kulit pisang. Permukaan kulit pisang tanpa noda (mulus) merupakan salah satu standar kualitas yang ditetapkan oleh BSN (Badan Standardisasi Nasional). Pendapat masyarakat yang menyebutkan bahwa kulit pisang yang bernoda saat matang memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan kulit pisang yang tidak bernoda tidaklah benar. Berdasarkan hasil analisis statistika, Pisang yang memiliki kulit bernoda mempunyai tingkat kemanisan yang tidak berbeda dengan pisang yang tidak memiliki noda pada kulitnya (Tabel 4).