J. Sains & Teknologi, Agustus 2015, Vol.15 No.2 : 182 – 189
ISSN 1411-4674
TINDAKAN KONSERVASI LAHAN BERBASIS KEMAMPUAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MAROS SULAWESI SELATAN INDONESIA Land Conservation Action Based Land Capability in Maros Watershed South Sulawesi Indonesia Suhairin1, Sumbangan Baja2, Hernusye Husni3 1
Mahasiswa Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar 2 Dosen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar 3 Dosen Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar (Email:
[email protected])
ABSTRAK Penelitian tindakan konservasi lahan berbasis kemampuan lahan di Daerah Aliran Sungai Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia telah dilakukan pada bulan Februari-Mei 2014. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kelas kemampuan lahan, kesesuaian penggunaan lahan dengan kemampuan lahan, dan menyusun strategi konservasi sumber daya lahannya. Penelitian dilakukan dengan metode survei dan analisis laboratorium sebagai dasar dalam menglasifikasi kemampuan lahan. Analisis SIG digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan saat ini dengan menumpang-tindihkan (overlay) peta kemampuan lahan dan peta penggunaan lahan. Hasil analisis data dan SIG menunjukkan terdapat 11 kelas kemampuan lahan dan 4,94% dari total luas Daerah Aliran Sungai terdapat penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Ketidaksesuaian itu sebanyak 0,01% tanah terbuka terdapat di kelas IVes dan IVews, 4,7% pertanian lahan kering pada kelas VIews dan VIIes, dan 0,14% sawah terdapat pada kelas VIews dan VIIes. Strategi konservasi untuk kelas II dan III adalah perbaikan drainase dengan sistem perataan tanah dan pembuatan guludan drainase; sedangkan teras guludan, teras batu, dan agroforestry diterapkan untuk konservasi lahan di kelas IV, VI, dan VII. Kata Kunci: Kemampuan Lahan, DAS Maros, Konservasi Sumber Daya Lahan
ABSTRACT The research of land conservation action that based on the land capability on Maros watershed, South Sulawesi, Indonesia, conducted in February-May 2014. The purpose of this research is to determine the class of land capability, and to organizet the action of the land resources conservation. The research was conducted with survey and laboratory analysis as a basis in classifying the land capabilities. GIS analysis used to evaluate the suitability of the current land use by overlaying maps and mapsof land use. The results of this research indicate that there are 11 classes of land capability and 4.94% of the total area of the watershed there is a land use that is not have suitability or accordance with land capability. Such unsuitable class compries on 0.01% of the land contained in the class open IVes and IVews, 4.7% of dry land agriculture on VIIes and VIews class, and 0.14% of rice fields VIIes and VIews class. Conservation action for the class II and III is drainage improvements with land leveling system and the manufacture of drainage mounds; whereas terrace ridges, stone patio, and agroforestry applied for land conservation in class IV, VI, and VII. Keywords: Land Capability, Maros Watershed, Land Resources Conservation
182
Kemampuan Lahan, DAS Maros, Konservasi Sumber Daya Lahan
ISSN 1411-4674
struktur, dan lainnya. Sebaliknya, lahan yang mempunyai kemampuan rendah mengindikasikan banyaknya kendala untuk penggunaannya. Jika lahan tersebut dipaksakan digunakan tidak sesuai kemampuannya, maka lahan akan mudah rusak, dan hal ini bisa menimbulkan kerugian bahkan menjadi bencana. Kabupaten Maros termasuk daerah yang sering mengalami banjir dan longsor akibat kegiatan yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Tercatat selama tahun 2012 Kabupaten Maros mengalami bencana banjir di 26 kelurahan dan desa dengan jumlah keluarga yang tertimpa bencana tersebut adalah 4.531 keluarga dan longsor terjadi di 4 lokasi yang menimpa 124 keluarga (BPBD Maros, 2012). Alda (2013), menemukan ketidaksesuaian fungsi kawasan di wilayah DAS Maros.Terdapat pertanian lahan kering seluas 4.837,8 (14,7%) Ha dalam kawasan hutan lindung, di kawasan hutan produksi seluas 10.424,6 Ha (31,6%), di hutan produksi terbatas seluas 4.136,5 Ha (12,7%), TN Bantimurung seluas 5.694,8 (17,3%). Total luasan lahan kering yang berada dalam kawasan hutan di Maros adalah 25.093,7 Ha dari total luas kawasan hutan 32.935,6 Ha. Untuk menekan laju kerusakan dan kerugian yang lebih besar, dan merencanakan tata guna lahan yang baik di masa depan; maka perlu dilakukan suatu kajian tentang bagaimana strategi penataan dan pengembangan penggunaan lahan di wilayah Daerah Aliran Sungai Maros. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelas kemampuan lahan, kesesuaian penggunaan lahan dengan kemampuan lahan, dan menyusun strategi konservasi sumber daya lahan di Daerah Aliran Sungai Maros.
PENDAHULUAN Penggunaan suatu lahan seharusnya sesuai dengan kemampuan lahannya. Perencanaan penggunaan ruang yang baik adalah perencanaan yang berbasis kemampuan, yang berarti berbasis daya dukung. Kemampuan lahan juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk pemanfaatan atau pengendalian ruang. Berdasarkan ketentuan pasal 19, pasal 22, dan pasal 25 undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, pemerintah harus menyusun rencana tata ruang wilayah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Penentuan daya dukung lingkungan kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI No 17 tahun 2009, dengan telaah daya dukung lingkungan terbatas pada kapasitas penyediaan sumberdaya alam terutama terkait dengan kemampuan lahan, ketersediaan lahan dan kebutuhan akan lahan dalam suatu wilayah. Pertumbuhan penduduk, tuntutan ekonomi, dan pembangunan antar wilayah yang semakin pesat di wilayah DAS menyebabkan terjadinya pola penggunaan lahan yang tidak sesuai. Pembukaan lahan baru untuk tujuan tertentu dan perluasan areal pertanian tanaman pangan untuk tujuan produktif yang lebih menghasilkan dan menambah nilai ekonomi menyebabkan perubahan fungsi lahan yang diperuntukkan tidak sesuai dengan kemampuannya, hal ini dapat berpengaruh terhadap daya dukung lahan, yang apabila melampaui daya dukungnya akan menimbulkan permasalahan degradasi lahan seperti terjadinya banjir, erosi, tanah longsor dan kerusakan lahan lainnya. Kemampuan lahan akan menjelaskan bahwa lahan yang mempunyai kemampuan tinggi akan mempunyai pilihan penggunaan yang lebih banyak, baik untuk pertanian, kehutanan atau tujuan lain. Umumnya lahan yang kemampuannya tinggi juga baik untuk keperluan non pertanian seperti pemukiman, industri, sarana infra-
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai Maros yang mencakup dua wilayah administrasi yaitu 183
Suhairin
ISSN 1411-4674
Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa dengan total luas 67.546,3 Ha. Analisis data spasial dilakukan di Puslitbang Wilayah Tata Ruang dan Informasi Spasial (Witaris), Universitas Hasanuddin Makassar.
digital RBI, Landsystem). Data sekunder yang dihimpun antara lain data curah hujan dan suhu selama 10 tahun terakhir, periode tahun 2001-2011. Peta-peta ini digunakan sebagai awal pembuatan peta kerja. Peta kerja yang dimaksud adalah peta satuan lahan yang akan digunakan sebagai acuan dalam pengambilan/ penentuan lokasi pengambilan sampel tanah di wilayah penelitian. Peta ini dihasilkan dari peta landsystem skala 1:250.000 dengan empat karakteristik fisik lahan yaitu lereng, penggunaan lahan, jenis tanah, dan geologi. Peta ini terdiri dari 17 satuan lahan. Pengambilan sampel tanah dilakukan di setiap satuan lahan (Gambar 1). Pertimbangan lain dalam penentuan titik sampel adalah dari faktor kemudahan mencapai lokasi.
Pengumpulan Data Data Primer yaitu data yang langsung dikumpulkan atau diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. Pada penelitian ini jenis data primer yang digunakan adalah hasil analisis laboratorium berupa Tekstur tanah dan Corganik. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (data curah hujan dan suhu), dan BP DAS Jeneberang-Walanae (peta
Gambar 1. Peta Satuan Lahan di Daerah Aliran Sungai Maros
184
Kemampuan Lahan, DAS Maros, Konservasi Sumber Daya Lahan
ISSN 1411-4674
tidak. Jika ditemukan berbagai ketidaksesuaian, maka saran untuk revisi perubahan penggunaan lahan dan usaha konservasinya dapat dilakukan.
Analisis Data Penentuan kelas kemampuan lahan didasarkan pada delapan karakteristik lahan, yaitu : kemiringan lereng, tekstur, permeabilitas, bahan organik, drainase, batuan/kerikil di permukaan dan salinitas; mengacu pada Arsyad (2010). Peta lereng diperoleh dari analisis aster DEM resolusi 30m. Permeabilitas diketahui dari tekstur dan bahan organik. Tekstur dan COrganik diketahui dari hasil analisis laboratorium. Karakteristik setiap unit lahan dicocokkan (matching) dengan kriteria klasifikasi kelas kemampuan lahan (Arsyad, 2010). Evaluasi kesesuaian penggunaan lahan dilakukan untuk melihat kesesuaian penggunaan lahan saat ini dengan kelas kemampuan lahannya. Hasilnya dapat dipakai untuk mendapatkan gambaran kondisi pemanfaatan lahan saat ini apakah sudah sesuai kemampuan atau
HASIL Berdasarkan hasil pencocokkan “matching” antara data hasil analisis dengan kriteria kelas kemampuan lahan, maka diperoleh 11 kelas kemampuan lahan. Luasan masing-masing kemampuan lahan disajikan pada Tabel 1. Hasil evaluasi penggunaan lahan dengan kemampuan lahan disajikan pada Gambar 2. Terdapat 4,94% penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Ketidaksesuaian itu sebanyak 0,01% tanah terbuka terdapat di kelas IVes dan IVews (Tabel 2), 4,7% pertanian lahan kering pada kelas VIews dan VIIes, dan 0,14% sawah terdapat pada kelas VIews dan VIIes.
Tabel 1. Luasan Kelas Kemampuan Lahan di Daerah Aliran Sungai Maros No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kemampuan Lahan IIIw IVes IVews IVe VIIes IIIes VIews IIIe IIws IIIews IIw Total
Luas (Ha) 13873,3 13438,4 8557,5 8271,9 6610,5 4887,5 4418,1 2690,7 2092,9 1514,4 925,8 67283,8
% 20,619 19,973 12,718 12,294 9,825 7,264 6,566 3,999 3,111 2,251 1,376 100
Tabel 2. Penggunaan Lahan yang Terletak pada Kemampuan Lahan VIews Kemampuan Lahan VIews e2, k2, b2
Satuan Penggunaan Lahan Lahan Hutan Primer 5 Hutan Sekunder 5 Hutan Tanaman 5 Pertanian Lahan Kering 5 Sawah 5 Semak/Belukar 5
Total
185
Kesesuaian Sesuai Sesuai Sesuai tidak tidak Sesuai
Luas (Ha) 803,6 248,1 39,2 859,9 92,6 2.374,6 4.418,1
% Luas 1,2 0,4 0,1 1,3 0,1 3,5 6,6
Suhairin
ISSN 1411-4674
Gambar 2. Peta Status Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan di Daerah Aliran Sungai Maros
Metode perbaikan drainase yang mudah dilakukan adalah sistem drainase permukaan, dapat berupa : (a) Perataan tanah; tujuannya adalah meratakan permukaan tanah dari cekungancekungan. Pengolahan tanah dilakukan sejajar dengan arah lereng; (b) Guludan; adalah sistem drainase yang dibuat dengan menumpuk tanah pada suatu jalur permukaan yang rata dengan lereng; (c) Saluran terbuka; dari kebun pertanian lahan kering, air dikeluarkan melalui saluran terbuka menuju ke saluransaluran yang lebih besar. Penggunaan lahan di wilayah penelitian yang masuk dalam kelas III semuanya sesuai. Faktor pembatas yang menonjol, di samping lereng yang agak miring (8-15%) adalah drainase, permeabilitas, dan tekstur. Penggunaan lahan di kelas IIIes adalah sawah dan pertanian lahan kering. Permeabilitas yang sedang dan tekstur yang agak kasar membuat air tidak bertahan lama dan tanah mudah terdispersi oleh air hujan,
PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan 11 kelas kemampuan lahan dengan pembatas yang beragam; dan sebanyak 4,9% penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Strategi pengembangan penggunaana lahannya berupa penerapan metode pertanian konservasi dan agroforestri; secara mekanik berupa perbaikan drainase, teras gulud, teras kebun, dan teras saluran. Pembatas utama pada kelas II adalah genangan dan drainase, dua hal yang berdampingan sebagai hubungan sebab akibat. Drainase yang buruk karena tanah tergenang. Jika terjadi genangan pori-pori tanah terpenuhi oleh air, mengakibatkan terhambatnya pengambilan oksigen oleh tanaman hingga kebanyakan tanaman akan mati (kecuali padi sawah). Langkah konservasi yang bisa dilakukan adalah memperbaiki drainase. Tujuan utama memperbaiki drainase adalah membuang air ‘’lebih’’ di atas permukaan tanah secepatnya. 186
Kemampuan Lahan, DAS Maros, Konservasi Sumber Daya Lahan
jadi tindakan konservasi yang bisa dilakukan adalah bagaimana menambah konsistensi dan mempermantap agregat tanah. Caranya dengan menambah bahan organik. Bahan organik bisa diperoleh dari pupuk hijau, serasah tanaman, dan jerami hasil panen. Untuk memenuhi pupuk hijau bisa menanam Cajanus cajan, Gliricidae maculata, dan Leucaena glauca sebagai tanaman pagar. Bahan organik memperbaiki struktur tanah yang semula padat menjadi gembur sehingga mempermudah pengolahan tanah. Tanah berpasir menjadi lebih kompak dan tanah lempung menjadi lebih gembur. Penyebab kompak dan lebih gemburnya tanah ini adalah senyawasenyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium atau hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah. Dengan struktur yang lebih baik ini berarti difusi O2 atau aerasi akan lebih banyak sehingga proses fisiologis di akar akan lancar (Setyorini dan Hartatik, 2006). Menurt Arsyad (2010), peranan bahan organik dalam pembentukan agregat yang stabil terjadi karena mudahnya tanah membentuk kompleks dengan bahan organik. Hal ini berlangsung melalui mekanisme : penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme, di antaranya jamur dan cendawan, karena bahan organik digunakan oleh mikroorganisme sebagai penyusun tubuh dan sumber energinya. Miselia atau hifa cendawan tersebut mampu menyatukan butir tanah menjadi agregat tanah, sedangkan bakteri berfungsi seperti semen yang menyatukan agregat. Selain cara vegetatif di atas, tindakan lain yang bisa dilakukan di kelas IIIes ini adalah dengan cara membuat teras guludan. Teras guludan adalah bangunan konservasi tanah berupa guludan tanah dan selokan/saluran air yang dibuat sejajar kontur, bidang olah tidak diubah dari kelerengan permukaan asli. Di antara dua guludan besar dibuat satu atau
ISSN 1411-4674
beberapa guludan kecil. Teras ini dilengkapi dengan saluran pembuangan air sebagai pengumpul aliran permukaan dan drainase teras (Priyono dan Cahyono, 2002). Untuk strategi konservasi kelas IVes karena terdapat batuan permukaan yang cukup banyak maka pembuatan teras batu sangat dimungkinkan. Teras batu adalah penggunaan batu untuk membuat dinding dengan jarak yang sesuai di sepanjang garis kontur pada lahan miring. Tujuannya adalah: (a) memanfaatkan batu-batu yang ada di permukaan tanah agar lahan dapat dimanfaatkan sebagai bidang olah, (b) mengurangi kehilangan tanah dan air serta untuk menangkap tanah yang meluncur dari bagian atas sehingga secara bertahap dapat terbentuk teras bangku, (c) mengurangi kemiringan lahan untuk memberi bidang olah, konservasi tanah dan mekanisasi pertanian (Priyono dan Cahyono, 2002). Penerapan teras gulud akan memberikan keuntungan lebih; di samping sebagai langkah konservasi tanah dan air juga dapat menaikkan tingkat produksi komoditi yang diusahatanikan. Berdasarkan penelitian usahatani konservasi di lahan kering DAS Hulu menggunakan teras gulud yang pernah dilakukan oleh Haryati dan Nurida 1999 dalam Nurdin (2008), diperoleh hasil bahwa tanaman pangan yang ditanam cukup baik, jagung berkisar 0,8-1,5 ton/ha pipilan kering (tumpang sari) dan 3,7-4,7 ton/ha (monokultur). Kacang tanah 0,5-1,4 ton/ha polong kering (tumpangsari) dan ubi kayu 2,0-13,2 ton/ha umbi basah (tumpangsari) dan 55,6 ton/ha (monokultur). Tala’ohu dkk (2003), melaporkan bahwa kombinasi rorak dan strip lamtoro (Leucaena glauca) dengan mulsa atau pupuk kandang dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi jagung pipilan kering dibandingkan kebiasaan konvensional petani. Thamrin dkk (1990), menjelaskan penerapan teras bangku datar, teras bangku miring, teras gulud, dan teras 187
Suhairin
ISSN 1411-4674
kredit serta penambahan jumlah dan jenis tanaman di bidang olah dapat menekan erosi, dapat mematahkan daya pukul air hujan dan tenaga angkut aliran permukaan. Hasil penelitian Vadari dan Agus (2003), juga menunjukkan bahwa penggunaan lahan berbasis pohon mampu menekan erosi dibandingkan dengan penggunaan lahan berbasis tanaman pangan semusim. Sebanyak 13,8% pertanian lahan kering berada di kelas IV, menerapkan pergiliran tanaman sebagai langkah konservasi bisa saja dilakukan. Selain berfungsi sebagai pencegah erosi, pergiliran tanaman memberikan manfaat - manfaat lain, seperti (1) pemberantasan hama dan penyakit; menekan populasi dengan memutus siklus hidup, (2) pemberantasan gulma; penanaman satu jenis tanaman secara terus-menerus akan memberi ruang untuk munculnya gulma tertentu, dan; (3) memperbaiki sifat fisik dan kesuburan tanah; jika sisa potongan tanaman pergiliran dijadikan mulsa atau dibenamkan dalam tanah. Selain dapat mempertahankan kesuburan tanah dan menghindari kerusakan tanah, pergiliran tanaman yang tersusun baik juga akan meningkatkan produksi per satuan luas, per musim, dan per tahun (Arsyad, 2010). Terdapat 1,3% pertanian lahan kering dan 0,1% sawah di kelas VI, sedangkan di kelas VII ada 3,4% pertanian lahan kering dan 0,04% sawah. Lereng yang curam dan ancaman erosi yang berat menjadi kendala utama di kedua kelas ini. Strategi konservasi yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan sistem (a) talun-kebun; adalah suatu sistem agroferstry yang menanami sebidang tanah dengan berbagai macam tanaman yang diatur secara spasial dan urutan temporal; dan (b) pertanaman lorong (alley cropping). Pada talun, tanaman yang dominan adalah tanaman tahunan seperti Albizia falcataria, Gamelina arborea, aren, nangka, kopi, Parkia speciosa, jeruk nipis, mangga, atau bisa berupa bambu. Di antara tanaman tahunan, ditanam juga
berbagai jenis tanaman rendah atau tanaman semusim seperti ubi jalar, kacang tanah, keladi, terong, dan sebagainya. Setelah 5 atau 15 tahun talun dibuka dan dibersihkan dengan menebang pohon-pohonan sebagian untuk ditanami sebagai kebun. Pertanaman lorong, adalah suatu bentuk usaha tani atau penggunaan tanah yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan di lorong yang ada di antara barisan pagar tanaman pohonan atau semak. Penanaman tanaman lorong dan tanaman pagar harus mengikuti kontur agar pencegahan erosi terjadi dengan baik. Beberapa tanaman leguminosa yang dapat digunakan sebagai tanaman pagar pada pertanaman lorong adalah Flemingia congesta, Calliandra calothyrsus, dan Leucaena leucocephala. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil observasi lapangan, analisis laboratorium, dan analisis spasial maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 5 kelas kemampuan lahan di DAS Maros yaitu kelas II, III, IV, VI, dan VII. Tidak ditemukan kelas kemampuan I, V, dan VIII. Terdapat 4,9% penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan, yaitu 0,093% tanah terbuka di kelas IVes; 3,4% pertanian lahan di kelas VIIes; 1,33% pertanian lahan kering di kelas VIews; 0,04% sawah di kelas VIIes; dan 0,14% sawah di kelas VIews. Strategi konservasi yang diterapkan untuk kelas kemampuan lahan II adalah memperbaiki drainase permukaan, dengan cara perataan tanah, guludan, dan saluran terbuka. Untuk kelas III dengan penambahan bahan organik sisa hasil panen, dan pembuatan teras guludan. Kelas IV dengan membuat teras batu, teras kebun, teras saluran, pergiliran tanaman, pertanaman lorong (alley cropping) dan relay cropping; sedangkan strategi yang dilakukan untuk kelas VI dan VII adalah menerapkan agroforestry; talun-kebun dan pertanaman lorong (alley 188
Kemampuan Lahan, DAS Maros, Konservasi Sumber Daya Lahan
cropping). Disarankan perlu diadakan kegiatan pembimbingan atau peningkatan kapasitas kepada masyarakat pemilik atau pemanfaat lahan di daerah-daerah berlereng di wilayah DAS Maros agar memiliki pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya usaha konservasi lahan, sehingga timbul kesadaran untuk melakukan usaha itu.
ISSN 1411-4674
Konservasi. Dalam Prosiding Kongres Nasional VIII Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Padang, 21-23 Juli 2003. Hal 166177. Thamrin M., Sembiring, H. Kartono, dan G. Sukmana. (1990). Pengaruh Berbagai Macam Teras dalam Pengendalian Erosi Tanah Tropudalf di Srimulyo, Malang. Dalam Risalah Pembahasan Hasil Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah, Bogor 11-13 Januari 1990. Hal 9-17. Vadari T. dan Agus F. (2003). Pengelolaan Lahan dan Hubungannya dengan Hasil Sedimen dan Hasil Air pada Skala Tampung Mikro. Dalam Prosiding Kongres VIII Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Padang 21-23 Juli 2003. Hal 187-195. Priyono C.N.S dan Cahyono A. (2002). Status dan Strategi Pengembangan Pengelolaan DAS di masa depan di Indonesia. Alami 8(1):1-5. Rosmarkam A.,Yuwono NW. (2002). Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Jogjakarta. Setyorini D., dan Hartatik W. (2006). Pupuk Organik dan Anorganik. Balai Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Alda P. (2013). Analisis Penggunaan Lahan pada Status Kawasan Hutan Di Kabupaten Maros. Skripsi jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unhas. Makassar. Arsyad S. (2010). Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press: Bogor. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Maros. (2012). Kejadian Bencana Kabupaten Maros. Nurdin. (2008). Optimalisasi Produktivitas Lahan Kering melalui Pengembangan Sistem Usahatani Konservasi Tanaman Jagung di Provinsi Gorontalo. Jurnal Agropolitan Volume 1 Nomor 1 Hal 1-15. Tala’ohu S. H. Abas A., dan Kurnia U. (2003). Optimalisasi Produktivitas Lahan Kering Beriklim Kering melalui Penerapan Sistim Usahatani
189