izzassi
Topi Keramat Pak Rahmat
RIYAN
2
04 MEI 2015, 05.50 WIB
P
HIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!
Gawat! Aku lantas berlari kecil ke dapur dan mematikan kompor. Butuh kehebohan kecil pagi ini karena dari jam 3 pagi hujan terus mengguyur Ibu Kota dan baru reda jam 5 tadi. Tentu membuat malas orang bangun pagi apalagi mandi buat berangkat sekolah. Suhu udara begitu nyaman untuk tetap menempel dengan kasur. Tapi, mau sedingin apapun udara, aku tetap mandi air dingin karena aku pernah baca di sebuah artikel kalau mandi air dingin itu bagus untuk tubuh. Air panas ini bukan buat aku tapi buat Sarah, adik kecilku yang berumur tujuh tahun. 3
“Bu, airnya sudah mendidih!” Teriakku. “Iya! Makasih ka.” Jawab Ibu dari balik satu-satunya kamar di rumah ini. Setiap pagi memang begini. Ibu akan menyiapkan Sarah sebelum mengantarnya ke rumah gurunya. Kenapa tidak langsung ke SD? Karena SD baru masuk jam 7.30 WIB sedangkan Ibu harus berangkat kerja pagi-pagi. Aku pun harus menempuh waktu empat puluh lima menit untuk bisa sampai di sekolahku. Maka dari itu, lima menit lagi aku harus berangkat. Aku harus mampir di rumah Bu Jeje, Ibu pedagang kue. Segera aku pakai kaus kaki dan menjinjing tas ranselku. Aku pamit pada Ibu dan juga Sarah, tak lupa kukecup pipi Ibu dan Sarah. Dua wanita yang paling berharga di hidupku. “Berangkat dulu ya, Bu. Assalamualaikum.” Ucapku kemudian. Aku pakai sepatu hitamku yang sudah robek pinggirnya. Segera kukayuh sepedaku membelah jalanan kecil gang rumahku yang mulai ramai. Beberapa tetangga sudah duduk-duduk di depan rumahnya. Ada pula yang mulai siap-siap berangkat kerja. Kuhirup udara yang masih bersih dari polusi ini dan membuangnya pelan-pelan. Kupejamkan mata beberapa detik untuk menikmati angin pagi yang menerpa wajahku. Sungguh menyenangkan. Hari ini tak boleh kalah mengagumkannya dari kemarin! Setelah berhasil mengambil dua kotak kue pesananku, aku kembali mengayuh sepedaku. Diperjalanan ke sekolah seperti ini, biasanya aku mulai 4
memikirkan berbagai hal. Seringkali tentang apa yang akan kulakukan setelah lulus dari SMA. Apakah aku harus bekerja atau melanjutkan kuliah. Tapi akhirakhir ini pikiranku mulai terganggu dengan biaya SPP yang sudah menumpuk belum dibayar selama lima bulan. Kenapa aku harus bayar SPP? Karena aku bersekolah di sekolah swasta yang cukup terkenal. Banyak orang yang heran kenapa anak miskin sepertiku bisa sekolah di sekolah swasta yang cukup bagus dan terkenal. Hal itu karena dua tahun yang lalu, melalui sebuah ajang kompetisi yang ku ikuti, ada seorang bapak-bapak mendatangiku seusai kompetisi dan menawarkan beasiswa padaku. Bagiku saat itu adalah kesempatan langka karena harapan untuk melanjutkan SMA sudah kubuang jauh-jauh. Tapi setelah satu tahun aku sekolah tanpa ada masalah, Bapak dermawan itu meninggal dunia karena serangan jantung. Kondisi rumah Bapak dermawan itu kurang baik, anak-anaknya sudah heboh memperebutkan warisan bahkan sebelum jenazah Bapak itu masuk ke liang lahat. Sungguh menyayat hati. Dengan kondisi keluarga Bapak dermawan yang seperti itu, aku sudah paham. Tak mungkin mereka peduli dengan beasiswaku. Ketika aku menjelaskan situasi yang terjadi, sekolah tetap tak ingin mengeluarkanku karena mereka merasa kehilangan salah satu murid yang sedang aktif mengharumkan nama sekolah di berbagai kompetisi. Mereka hanya bisa memberikan potongan dari 100% menjadi 25%. Aku sangat bersyukur sekolah memahami kondisi ekonomi keluargaku walau sekarang aku sudah menunggak 5
SPP selama lima bulan. Sangat tidak mudah untuk Ibu membiayai dua orang anak hanya sebagai buruh pabrik. Sementara ayahku meninggal sejak Sarah masih di dalam kandungan. “Selamat pagi Mas Heri. Gimana kabarnya pagi ini, Mas?” Sapaku pada penjaga sekolah yang masih sangat muda itu. “Pagi dek Riyan. Baik, Alhamdulillah. Wah jajanan apa yang dibawa hari ini, dek?” Sapa Mas Heri ramah dengan senyumnya yang khas. “Ini mas, kue sus yang dikasih cokelat atasnya. Namanya éclair. Sama risoles keju.” Jelasku kemudian segera ke kantin untuk menitipkannya pada Bu Tika, penjaga kantin sekolah. Sekilas aku melihat mobil sedan Pak Rahmat, Kepala Sekolah, sudah terparkir di dekat kantornya. Ku lirik jam digital di lorong menuju kelasku yang menunjukkan jam 06.55 WIB. Tumben sekali Pak Rahmat pagi-pagi sudah di sekolah.
6
GERALD
7
04 MEI 2015, 06.30 WIB
“Bang Gerald! Bangun!!” Gue tahu itu suara Juki, Asisten Rumah Tangga yang biasa nganter ke sekolah. Gue masih pengen merem. Badan masih pegel-pegel karena kemarin baru selesai sparing basket sama SMA tetangga. Gue pura-pura ngga denger Juki dari tadi manggil-manggil dan menggoyangkan badan gue. “Bang! Ini udah jam 8! Kagak masuk sekolah apa?!” Suara si Juki mulai kesal sedangkan gue mulai seneng ngejailin Juki. Eh, apa? Jam 8? “Serius lo udah jam 8?!” Gue jelas ngga percaya tapi tetap aja kaget.
8
“Emang belom jam 8 sih. Tapi kalau ngga kayak gini lo ngga akan bangun, Bang! Udah jam setengah 7. Buruan siap-siap, Bang.” Jelas Juki, habis itu dia ngacir keluar kamar. Mungkin udah tahu biasanya habis itu gue lemparin bantal. Gue mengerang pelan karena otot-otot badan masih kaku. Ngga usah mandi deh, toh semalem gue udah mandi. Cukup cuci muka, gosok gigi dan pakai parfum. Ngga akan mengurangi cewek-cewek yang jadi fans gue kok. Setelah siap-siap sepuluh menit, gue keluar kamar dan langsung masuk ke mobil. Gue tahu bokap nyokap udah berangkat kerja. “Mas Gerald, ini sarapannya ngga dimakan?” Tanya Bi Titin sambil ketokketok jendela mobil. “Ngga usah Bi, nanti beli di kantin. Buat Bibi aja sarapannya.” Jawab gue singkat kemudian menutup lagi jendela mobil. Gue pilih saluran radio favorit gue di layar audio mobil dan siap-siap tidur lagi. “Bangunin gue ya kalau udah sampe gerbang sekolah.” Walaupun merem tapi sepanjang jalan gue ngga bisa tidur. Di kepala gue mulai muter-muter kata-kata guru BK minggu lalu. Nilai kamu itu ngga ada yang warna hitam di rapot! Ada sih, satu. Ya itu sih udah ngga heran karena cuma pelajaran Penjaskes. Sisanya merah semua! Bisabisa kamu ngga naik kelas, Gerald! Ini surat buat orang tua kamu. Minggu depan ajak orang tua kamu ke sekolah ya.
9
Duh, jangan harap mereka bisa dateng ke sekolah. Tinggal di rumah lebih dari 3 jam aja jarang banget. Bisa di hitung pakai jari. Kayaknya juga mereka udah ngga peduli sama gue. Yang jadi beban pikiran gue sekarang adalah kemarin banget Bang Anto, pelatih basket tim gue, ngasih saran gue ambil jalur profesional setelah lulus. Bang Anto ngeliat gue punya bakat dan potensi besar biar bisa jadi pemain basket profesional. Masalahnya, gue harus lulus dulu dari SMA baru dia mau bimbing gue secara serius. Menurut dia, olahraga sama prestasi itu ngga harus berseberangan. Paling ngga studi kita selain profesi sebagai atlet itu bisa nyelametin kita kalau ada hal buruk terjadi selagi mengejar cita-cita jadi atlet profesional. Filosofi yang aneh tapi entah kenapa kata-katanya membekas banget di kepala. “Bang, udah sampai nih.” Ujar Juki sambil menggoyangkan badan gue. Gue pura-pura meregangkan otot. “Thanks, Juk. Nanti gue langsung latihan di tempat biasa. Jemputnya juga jam biasa ya.” Gue langsung pergi tanpa denger jawaban si Juki. Kepala gue masih mumet mikirin dua hal tadi. Si Heri, penjaga sekolah yang masih muda itu, nyapa gue dengan senyuman khas dia alias nyengir dua jari. “Bang Gerald, ayo cepetan! Langsung ke lapangan di belakang ya, Bang. Ada Upacara.” Jelas si Heri. Entah gue yang salah denger atau ngga tapi upacara di
10
sekolah gue itu jarang banget. Gue ngelirik jam tangan gue, masih jam 07.05 WIB. “Oke. Thanks, Her.” Jawab gue singkat dan langsung jalan menuju lapangan basket.
11
RIYAN
12
04 MEI 2015, 07.00 WIB
‘SELURUH SISWA HARAP SEGERA KE LAPANGAN BASKET UNTUK MENGADAKAN UPACARA PAGI.’
Pengumuman untuk menghadiri upacara di lapangan basket disiarkan di seluruh layar TV yang ada di setiap kelas. Sepanjang jalan menuju lapangan, aku menimbang-nimbang beberapa hal yang kira-kira menjadi alasan utama kenapa diadakan upacara pagi ini. Sepertinya belum ada kabar baru tentang prestasi yang diraih siswa sekolah ini karena kemarin baru saja kalah dari kompetisi robotik se-Asia Tenggara, atau mungkin mengenalkan guru baru? “Yan, udah belajar fisika?” Tanya temanku Rendi saat sudah berbaris di lapangan. “Baru latihan sedikit, Ren.” Jelasku. Semalam aku harus membenarkan antena TV hingga larut malam. “Yah, elo sih mau belajar dikit juga bakal dapet nilai tinggi lagi.” Aku dan Rendi memang sering berlomba-lomba di mata pelajaran Pak Gilang itu, bahkan hampir di semua mata pelajaran. Aku jadi punya motivasi untuk belajar lebih giat lagi gara-gara Rendi.
13
“Udah jangan memujiku gitu, Ren. Kamu sendiri juga sering dapet nilai paling tinggi di kelas.” Ujarku. “Yan, udah kelas XI SMA masih aja aku-kamu. Gue kan bukan pacar lo.” Ejek Rendi. Lama-lama aku sebal juga diusilin terus sama anak ini. “Ya ngga apa-apa, Ren. Itu tandanya aku pakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar.” Balasku dengan nada sedikit terganggu. Apa salahnya pakai akukamu? Pembicaraan kami terhenti ketika guru-guru sudah mulai berbaris di depan para murid. Kali ini Pak Rahmat muncul di depan mic. Tapi ada yang aneh. Pagi ini Pak Rahmat tidak mengenakan topinya. Murid-murid di sekolah ini selalu mencirikan kehadiran Pak Rahmat dengan topi tersebut. Siswa yang nakal seringkali segera kabur ketika topi itu mendekat. Bahkan beberapa siswa memilih memutar arah ketika sudah melihat topi itu dari kejauhan. Ya, memang Pak Rahmat dikenal tegas dan disiplin. Tapi tak sedikit juga siswa yang sengaja berlari menghampiri ketika topi itu terlihat, biasanya yang seperti itu ya dari OSIS. Aku pribadi jarang sekali melihat Pak Rahmat tanpa topi itu. Sampai-sampai tak hanya siswa tapi guru-guru pun ikut menyebut topi itu sebagai ‘topi keramat’. “Selamat Pagi anak-anak yang sangat saya sayangi. Ada beberapa hal yang akan saya beritahukan pagi ini. Pertama, saya akan mengenalkan guru kimia baru yang menggantikan Bu Tiara yang sedang cuti hamil. Kita doakan sama14
sama semoga Bu Tiara dapat menjalankan persalinan dengan lancar dan selamat. Amin. Guru kimia baru kita bernama Pak Leo, walau masih muda namun beliau sangat pintar dan saya yakin dapat mengajar dengan baik.” Ucap Pak Rahmat sambil menunjuk guru kimia baru tersebut. Pak Leo maju dan memberi salam kepada seluruh siswa di yang ada di lapangan. Pak Leo bertubuh tinggi dengan rambut sedikit cepak dan mengenakan kemeja berwarna mint. Raut wajahnya pun sedikit konyol, sepertinya ia tipe guru yang humoris. Sedikit berbeda dari guru-guru mata pelajaran science lainnya yang notabene berkacamata, rambut klimis dan berpakaian rapih berwarna gelap. Aku jadi penasaran bagaimana diajar oleh Pak Leo. “Selanjutnya adalah pengumuman terakhir.” Jelas Pak Rahmat dengan nada suara sedikit berat. Kali ini beliau menyentuh kepalanya dan beberapa kali berdeham. Pak Rahmat terlihat sedikit gugup dan ragu untuk memberikan pengumuman tersebut. “Anak-anak yang sangat saya sayangi, pagi ini saya kehilangan topi saya. Topi saya itu sangat berharga, tidak ada duanya di dunia. Saya tidak mau berprasangka buruk apakah ada yang sedang menjahili saya atau memang mengambilnya tanpa ijin. Jika memang ada yang jahil, saya minta untuk segera mengembalikannya. Tidak akan saya hukum. Tetapi kalau memang ada yang sengaja mengambil…… saya bersedia untuk memberikan hadiah yang cukup menggiurkan bagi yang bisa menemukan dan memberikannya kepada saya. 15
Saya akan menunggu sampai hari jum’at ini.” Pak Rahmat kali ini mengeluarkan sapu tangan dan mengusap dahinya yang berkeringat. Sepertinya memang topi itu sangat berharga. Tidak tahu apakah harganya memang sangat mahal atau ada hal lain yang membuat topi itu begitu berharga. Sementara
itu,
anak-anak
lainnya
di
sekitarku mulai
berbisik-bisik
membicarakan siapa pelaku yang berani mengambil topi Pak Rahmat dan bertanya-tanya tentang hadiah apa yang membuat Pak Rahmat sampai bilang hadiah yang begitu menggiurkan. “Saya akan memberikan apapun jika kalian menemukan topi saya.” Ujar Pak Rahmat pelan di akhir upacara.
16
GERALD
17
04 MEI 2015, 07.10 WIB
“Saya akan memberikan apapun jika kalian menemukan topi saya.” Gue langsung menajamkan telinga pas denger kalimat Pak Rahmat barusan. Gue yang ada di barisan paling belakang dan dari tadi ngga peduli Pak Rahmat ngoceh apaan didepan langsung ngeliat wajah Pak Rahmat yang kayak habis kena bencana besar. Gue tungguin Pak Rahmat mau ngoceh apa lagi sehabis ini, tapi beliau malah balik badan dan mengajak guru-guru lain masuk ke ruang guru. Seketika gue mengumpat kecil dalam hati. Gue ngerasa ketinggalan informasi penting pagi ini. Sedangkan anak-anak lainnya udah mulai heboh mengobrol tentang yang diocehin Pak Rahmat barusan. “Eh Pot, tadi Pak Rahmat ngoceh apa di depan?” Gue sikut Cepot, teman sekelas gue yang pakai pakaian paling rapih dan selalu bawa buku kecil di sakunya. Ngga tahu juga sih itu buku isinya apa dan ngga tahu juga kenapa dia di panggil Cepot padahal nama aslinya Kevin. Si Cepot ngeliat gue dengan tatapan kesal, tapi ujung-ujungnya dia jawab pertanyaan gue. “Itu tadi Pak Rahmat ngasih sayembara buat nyari topi beliau yang hilang. Hadiahnya menggiurkan katanya. Beliau mau kasih apapun buat yang bisa nemuin topi keramat beliau.” Jelas Cepot singkat dengan muka jutek kemudian dia pergi gitu aja.
18
Gue mulai nguping anak-anak lainnya yang heboh ngobrol. “Gila! Topi keramatnya Pak Rahmat siapa yang ngambil ya? Berani banget tuh orang. Ngga tahu apa harganya berapa.” Ujar salah seorang cewek berambut panjang, tapi pas gue perhatiin mukanya haduh ampun menor banget. “Emang lo tahu harganya berapa?” Tanya teman didepan cewek menor itu. Temannya berambut pendek dan berkulit putih. Lumayanlah cakepan dikit. “Ngga sih, gue ngga tahu. Hehe. Tapi kalau sampai di umumin di depan kayak gitu berarti kan harganya mahal.” Jawab si cewek menor membela dirinya. “Yee! Sotoy banget lo! Eh, tapi katanya Pak Rahmat mau ngasih apapun demi topi keramatnya ketemu. Kalau gue sampai nemu itu topi, gue mau minta Pak Rahmat nyuruh Bu Dian ngasih nilai bagus buat pelajaran Sejarah gue. gGue paling benci itu pelajaran.” Keluh cewek berambut pendek. Pas gue mau pergi dari tempat itu, tiba-tiba si cewek menor bilang, “Kalau gue sih bakal minta Pak Rahmat bagusin semua nilai gue biar gue ngga harus remedial terus. Capek gue! Banyak banget yang harus di remedial!” Gue langsung kepikiran kata-kata guru BK dan Bang Anto yang mutermuter terus di kepala dari tadi pagi. Sesaat gue udah lupa dua cewek heboh tadi ngoceh centil apa, tapi kata-kata barusan entah kenapa ngebuat gue jadi kepikiran. Bisa ngga ya gue minta Pak Rahmat naikin gue ke kelas XII kalau gue bisa nemuin topi beliau? 19
RIYAN
20
05 MEI 2015, 09.50 WIB
“Okay, pelajaran hari ini cukup sekian. Bonus buat kalian, istirahat 10 menit lebih awal karena sudah berhasil bikin saya kewalahan harus cari stok soal lagi!” Ujar Pak Leo yang pagi ini mengajar di kelasku. Beliau cukup pandai menjelaskan teori asam basa dan memberikan contoh yang mudah dimengerti. Dengan diselingi lelucon dan celetukan asal, beliau berhasil mengambil hati teman-teman sekelas untuk bertanya ke beliau mengenai materi-materi lainnya yang belum dimengerti. Saat aku membereskan buku dan kemudian mengeluarkan botol minum dari tasku, aku teringat kembali kejadian kemarin pagi. Sosok Pak Rahmat yang gelisah topinya hilang. Hal itu kutemui lagi pagi ini. Beliau memasuki kantor dengan muka gelisah dan satu tangan memegangi kepala. Aku agak kasihan melihat Pak Rahmat seperti itu. Tak bisa kutepis godaan untuk ikut sayembara itu karena Pak Rahmat akan memberikan apapun bagi siapapun yang menemukan topi beliau. Bisa saja aku ikut mencari topi Pak Rahmat dan bila menemukannya aku akan minta uang SPP ku yang sudah menunggak selama 5 bulan dianggap lunas. Tapi setelah dipikirpikir, tindakanku itu seperti memeras beliau.
21
“Hei, Yan! Kenapa ngelamun gitu?” Rendi menepuk bahuku. Benar saja, posisiku saat itu adalah memegang tutup botol di tangan kanan dan memegang botol minum dengan tangan kiriku erat-erat. “Oh ngga, Ren. Ngga apa-apa.” Jawabku. “Yan, mau denger berita terbaru tentang topi keramat Pak Rahmat ngga?” Tanya Rendi dengan nada misterius. Aku pun menoleh ke arah Rendi dan sudah siap memasang kuping untuk mendengar informasi itu. Ternyata memang hilangnya topi Pak Rahmat begitu fenomenal. “Kemarin ada yang dateng ke Pak Rahmat, bilang kalau dia tahu siapa yang ambil topi beliau. Anak itu bilang kalau yang ambil OB yang sering nganter teh setiap pagi ke kantor beliau. Tapi setelah dipanggil tuh OB dan ditanya-tanya, ternyata si OB ngaku dia yang ambil. Tapi anehnya, dia ngaku tapi ngga bisa ngasih jawaban pas ditanya topinya sekarang ada dimana. Si OB akhirnya di berhentiin sementara.” Jelas Rendi begitu menggebu-gebu. “Ah payah lo Ren baru tahu itu informasi. Lo ngga tahu informasi terbaru ya?” Sahut salah seorang anak perempuan di kelas kami yang dipanggil Bubun. Nama aslinya Bunga, tapi ia minta dipanggil Bubun karena tak mau dipanggil Bung atau Nga. “Emang ada info apa lagi?” Tanya Rendi penasaran. Aku pun ikut penasaran walau dari tadi hanya memerhatikan.
22
“Tadi pagi Mas OB nya dateng ke kantor Pak Rahmat dan bilang kalau sebenarnya bukan dia yang ambil topi keramat itu. Si Mas OB ternyata disuruh sama anak yang ngaku berhasil nemuin pelakunya. Si Mas OB ditawarin uang yang cukup banyak supaya ngaku kayak gitu. Sementara anak itu ngelakuin hal itu demi dapet nilai bagus. Denger-denger sih mau minta Pak Rahmat bujuk guru-guru bagusin nilai dia. Gila ngga tuh. Demi nilai!” Jelas Bubun penuh emosi sementara Rendi menimpali kata-kata Bubun tadi dengan kalimat yang samasama tidak setuju dengan kelakuan anak itu. Ternyata orang-orang bisa sampai berbuat begitu demi dapat nilai bagus di rapot. Di detik selanjutnya aku langsung menyesal berpikir seperti itu. Aku pun tak jauh berbeda dari mereka, aku juga ingin mencari topi Pak Rahmat demi uang SPP yang menunggak 5 bulan dianggap lunas.
23
GERALD
24
05 MEI 2015, 09.00 WIB
Jantung gue rasanya kayak mau terjun bebas dari tempatnya berada. Pagi itu gue tiba-tiba denger kalau ada anak yang coba-coba ngaku menemukan siapa orang yang ambil topi keramat itu. Dan yang lebih bikin gue ngenes adalah alasan yang dipakai demi dapet nilai bagus di rapot. Gue refleks ngusap muka pake tangan serasa barusan dapet berita keluarga kecelakaan. Emang agak sedikit lebai sih tapi gue paham banget apa yang dirasain sama anak itu sampai berlaku kayak gitu. Tapi bedanya sama gue, gue ngga akan mau sampai bohong dan nyuap orang. Setelah gue cari tahu lebih lanjut lagi siapa si anak yang bohong itu, ternyata itu si anak cewek berambut pendek yang gue cap cakep kemarin pas upacara. Oh my god! Dunia udah semakin gila. Di tengah pelajaran geografi yang lagi ngomongin tipe-tipe batuan ini, gue akhirnya memutuskan buat cabut ditengah pelajaran. Sori-sori aja gue belajar bukan buat jadi tukang jual batu nantinya, gue pengen jadi atlet basket profesional. Mending gue latihan aja di lapangan basket. Setelah gue berhasil cabut dari kelas, gue diem-diem jalan ke arah lapangan. Yang bikin gue agak degdegan adalah gue harus lewat koridor depan ruang guru baru bisa ke lapangan
25
basket. Pas gue lagi nempel-nempel di tembok bawah kaca kayak gini, tiba-tiba gue denger sesuatu yang bikin gue ngga mau beranjak dari posisi gue sekarang. “Jadi Bapak sebelum upacara ketemu Pak Kepala Sekolah dulu?” Tanya seseorang yang cukup familiar di kuping gue. Kayaknya siswa di sekolah ini. “Iya, saya ketemu Kepala Sekolah dulu. Mau memastikan apakah upacara jadi dilaksanakan atau tidak, lalu apa yang perlu saya siapkan. Ada apa memangnya?” Jawab seseorang dengan suara agak berat dan terdengar ramah, tapi ada sedikit nada gugup. “Oh, ngga Pak. Saya cuma cari data aja untuk cari topi Pak Rahmat.” Jawab si siswa. “O..Oh. Sudah terkumpul apa saja?” Tanya orang itu lagi. Tapi, ada jeda sejenak sebelum si siswa menjawab. Kayaknya dia ragu buat membeberkan informasi yang didapatnya. “Cuma nama-nama orang yang ketemu Pak Rahmat sebelum upacara kok, Pak.” Jawab si siswa menghindar. “Siapa aja? ….. Kalau boleh tahu. Saya juga penasaran.” Tanya orang itu. Kali ini gue yakin ada yang aneh. Kenapa pula dia sampai penasaran gitu. “Pak, saya harus kembali ke kelas. Tadi saya cuma ijin sebentar ke toilet. Terima kasih infonya ya, Pak.” Jelas si siswa, tak lama kemudian ia keluar. Pas si siswa udah keluar pintu, gue akhirnya tahu itu si Cepot yang lagi nanya-nanya
26
tadi. Gue sebenernya penasaran siapa yang diajak ngobrol tadi sama Cepot. Tapi, kalau gue ngintip ke jendela udah pasti langsung ketahuan gue cabut kelas. Ya udah, lanjut cabut.
***
“Pot, bagi gue infonya.” Tagih gue langsung saat Cepot lewat depan tempat gue nongkrong bareng anak-anak basket lainnya di kantin. Si Cepot yang langsung di todong kayak gitu jadi gugup dan salah tingkah. Gue jalan deketin Cepot berdiri. Udah kayak patung aja ini anak, gugup banget. “Gue udah tahu lo ngapain tadi pas ijin ke toilet di jam geografi.” Jelas gue sambil ngeliatin Cepot. Dia sempet ngelap keringet di pelipis kanannya terus ngelirik ke arah gue. “Kapan gue jauh dari lo, Ge. Biar gue bisa hidup tenang.” Ujarnya dengan nada sedih. Gue ngelingkarin lengan kiri gue ke pundak Cepot. “Kayaknya susah deh, Pot. Mungkin Tuhan udah nulis di buku takdir gue bakal bareng-bareng lo terus. Nanti gue sering-sering do’a deh jangan sampe nanti gue nikah bareng lo juga.” Gue nyengir. Emang gue dari SD selalu satu sekolah sama Cepot. Kenapa kok bisa gitu? Karena kondisi rumah Cepot kurang lebih sama kayak kondisi rumah gue.
27
“Amit-amit deh jangan sampe!” Ujar Cepot dengan penuh makna. Dia tepis lengan gue. Ya, memang gue udah ngga deket sama Cepot. Ngga kayak dulu. “Jadi… Siapa aja yang ketemu Pak Rahmat sebelum upacara?” Tanya gue akhirnya karena udah ngga sabar. “Ssst!” Cepot langsung menyuruh gue diam. Dia celingukan melihat sekitar untuk memastikan situasi aman. Tidak ada orang lain yang mencuri dengar. Cepot langsung mengambil buku kecil dari saku bajunya dan menunjukkan padaku nama-namanya. Di buku itu tertulis nama OB, Pak Romli sang Wakil Kepala Sekolah, Bu Narta guru BK, dan Pak Leo guru kimia baru. Gue lantas manggut-manggut setelah baca nama-nama itu. Gue menepuk pundak Cepot sebagai tanda terima kasih. Gue mulai jalan ke arah toilet untuk menyelesaikan urusan sebelum masuk kelas sejarah yang sangat mencekam setelah ini. Oh iya, ada lagi. “Pot, tadi lo ngobrol sama siapa di ruang guru?”
28
RIYAN
29
05 MEI 2015, 14.00 WIB
“Ugh!” Aku berlari kecil menuju toilet. Entah kenapa perutku kurang enak dari sejak makan siang. Apa karena makanan sisa semalam lupa dipanaskan dan langsung dimasukkan ke tempat makan oleh Ibu? Aku cuma bisa mengelus-elus perutku karena tak ada yang keluar. Mungkin sebaiknya aku ke klinik sekolah untuk minta obat. Saat aku mau keluar WC, tiba-tiba ada suara orang mengerang dari balik ruang WC duduk sebelahku. Di detik berikutnya, ada benda jatuh di ruang WC duduk itu. Ketika aku melirik benda itu, aku tak percaya apa yang ku lihat. Itu topi Pak Rahmat!
30
GERALD
31
05 MEI 2015, 14.00 WIB
Gila! Sebenernya gue pengen banget teriak kayak gitu tapi akhirnya gue teriak aja dalam hati. Kenapa gue pengen teriak kayak gitu karena yang barusan gue lihat itu bener-bener ngga terduga. Topi keramat itu tiba-tiba ada di lantai salah satu ruang WC duduk. Pas gue berniat buat ngintip, tiba-tiba ada tangan yang ngambil. Di tangan itu ada jam tangan dan orang itu mengenakan kemeja berwarna kuning muda. Orang itu juga pakai sepatu hitam yang mengkilat. Tentu ia bukan siswa sekolah ini. Gue langsung buru-buru kencengin resleting celana ketika orang itu mau keluar dari WC duduk. Gue panik banget sampai akhirnya gue sembunyi dibalik pintu toilet, percaya atau ngga gue sambil jinjit-jinjit biar ngga keliatan sepatu gue. Setelah memastikan orang tadi keluar toilet, gue ngintip dari balik pintu. Sempet nyesel juga ngapain gue sembunyi. Kalau gue ngga sembunyi, gue bisa tahu siapa pelakunya yang ambil topi keramat. Gue udah berniat mau ngejar pelaku tadi tapi tiba-tiba ada suara orang buka pintu WC duduk di sebelah tempat pelaku tadi. Pas gue liat siapa orangnya, ternyata si dewa.
32
RIYAN
33
05 MEI 2015, 14.10 WIB
Aku tahu jam tangan itu. Dengan pikiran berkecamuk, aku keluar dari ruang WC duduk. Aku sudah mulai mengabaikan perutku yang sakit. Saat aku melangkah ke keluar toilet, di balik pintu ada siswa lain yang dengan raut muka kaget melihat ke arahku. Aku tahu dia Gerald, sang kapten basket sekolahku. “Lo… dari tadi di dalem WC?” Tanya Gerald sambil menunjuk ke arah WC tempatku keluar. “Iya.” Jawabku singkat. Matanya kemudian terarah ke ruang WC disebelahnya. Di detik itu aku paham, dia juga melihat kejadian barusan. Apakah dia melihat siapa orangnya? Apakah tebakanku tepat? “Lo tahu siapa pelakunya?” Pertanyaannya terlontar cepat sekali dari mulutnya. Aku sampai mengernyitkan alis. Aku cuma mengangguk. Kondisiku memang sedang kurang baik jadi aku tidak banyak bicara. Lagipula dengan seperti itu sudah cukup menjawab pertanyaannya. Dia langsung pergi begitu saja setelah aku selesai mengangguk. Aku sempat tak percaya apa yang ku lihat tadi. Tapi, aku tak boleh diam saja. Besok, kalau tidak Gerald duluan, aku akan bilang ke Pak Rahmat.
34
GERALD
35
06 MEI 2015, 06.30 WIB
Jarang-jarang gue ke sekolah sepagi ini. Jangan dibayangin gue bangun jam berapa. Gue minta si Juki nepok kepala gue biar langsung bangun. Gue langsung naik mobil dan ganti baju di mobil juga. Tenang, ngga mandi ngga akan mengurangi jumlah cewek-cewek yang jadi fans gue kok. Gue udah standby di depan kantor Pak Rahmat. Nunggu beliau buat kasih tahu kabar terbaru dan sekaligus siapa pelaku yang ngambil topi keramat. Gue udah excited banget nunggu sampe gue peregangan otot biar ngga nervous. Tibatiba sepeda si dewa lewat. Dia bawa tiga kotak kue hari ini. Cukup banyak dibandingkan dulu, waktu sekelas di kelas X. Gue pura-pura ngga lihat dia lewat ke arah kantin. Kira-kira sepuluh menit gue nunggu Pak Rahmat, akhirnya beliau dateng juga dan dari kejauhan si dewa udah jalan ke arah tempat gue berada.
36
RIYAN
37
06 MEI 2015, 06.40 WIB
Cukup mengagetkan melihat Gerald pagi-pagi sudah di sekolah. Apakah kemarin dia ngga langsung bilang ke Pak Rahmat apa yang dia lihat di toilet? Atau dia sudah bilang dan pagi ini langsung menerima hadiahnya? Pada akhirnya aku tetap melangkahkan kaki ke kantor Pak Rahmat. Aku ingin memberitahukan informasi yang kudapatkan. Di depan kantor Pak Rahmat itu akhirnya ada aku, Gerald dan Pak Rahmat yang baru saja datang. Pak Rahmat, yang sempat bingung dengan situasi ditunggu oleh dua orang muridnya, akhirnya tahu tujuanku dan Gerald bertemu dengan beliau. Ternyata Gerald baru mau memberitahu Pak Rahmat. Beliau paham hubunganku dengan Gerald kurang baik. Tak mungkin beliau lupa kejadian tahun lalu yang membuat heboh satu sekolah. Agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan, akhirnya beliau meminta aku dan Gerald gantian bercerita. Pak Rahmat mempersilahkan aku masuk duluan. Ketika itu aku melirik ke arah Gerald, dia terlihat tidak suka. Tentu saja, dia sudah menunggu dari tadi. Saat aku mau minta Pak Rahmat menukar urutan bercerita, Gerald sudah memalingkan wajah dan duduk membelakangiku. Pada akhirnya, aku masuk ke kantor Pak Rahmat untuk menceritakan semuanya.
38
GERALD
39
06 MEI 2015, 07.10 WIB
Gue duluan kali yang nyampe, kenapa dia duluan yang dapet kesempatan ngomong? Emang hukum rimba anak berprestasi di bidang akademik selalu menjadi anak emas dibandingkan anak yang berprestasi di bidang olah raga kayak gue ini. Dan, itu selalu terjadi. Akhirnya si dewa keluar juga. Sekarang giliran gue yang cerita versi gue. “Baik, Gerald. Ada keperluan apa?” Tanya Pak Rahmat setelah gue duduk di depan beliau. “Begini, Pak. Saya sudah tahu siapa pelaku yang mengambil topi Bapak.” Gue menjelaskan dengan nada yang jelas dan kata-kata yang udah gue pikirin di luar tadi. “Okay, coba saya dengar cerita kamu.” Ujar Pak Rahmat. Gue berusaha menceritakan secara detail apa yang gue dapat selama beberapa hari terakhir. Setelah gue menyebutkan nama pelakunya, Pak Rahmat tersenyum. Gue jadi curiga jangan-jangan ini cuma mainannya Pak Rahmat lagi. Beliau cuma mau ngetes muridnya lewat game detektif.
40
“Terima kasih Gerald. Yang kamu sampaikan tadi memang tidak ada yang salah. Begitu pula dengan apa yang disampaikan Riyan. Atau jangan-jangan kalian kerja bersama untuk cari tahu pelakunya?” Tanya Pak Rahmat menyelidik. “Pak, dari cerita saya tadi rasanya sudah cukup jelas hubungan saya sama Riyan masih belum berubah.” Gue jadi sedikit sewot. Ngapain juga Pak Rahmat buka cerita lama. Jelas-jelas sekarang pusat perhatiannya itu Pak Leo. Si guru kimia baru itu yang jadi pelakunya. “Pak Leo pelakunya, Pak.” Gue kembali menegaskan. “Iya, saya tahu. Beliau kemarin menemui saya sebelum pulang dan sudah minta maaf karena ternyata dia penasaran dengan topi saya. Tapi beliau panik ketika saya masuk ruangan. Saat mengetahui topi saya hilang, saya segera mencari-cari keliling sekolah. Terlebih setelah itu saya umumkan saat upacara. Maklum, topi itu pemberian almarhum istri saya. Topi yang sangat berharga untuk saya.” Jelas Pak Rahmat. Gue agak ngga bisa menerima kenyataan kalau si pelaku sendiri udah ngaku sebelum gue beberin kejahatannya. Dan tujuan gue, supaya bisa dapat keringanan bisa naik kelas, pupus sudah. “Memangnya kamu mau mendapat apa kalau tetap saya beri hadiah sudah memberikan nama pelaku yang benar?” Tanya Pak Rahmat yang langsung membuat gue mendongak melihat wajah beliau. 41
Walau agak heran tapi akhirnya gue kasih tahu juga keinginan gue untuk jadi atlet basket profesional tapi terhambat karena terancam ngga naik kelas. Pak Rahmat lantas bersedia membantu untuk meringankan beban gue itu, tapi beliau tidak menjamin saya akan terhambat lagi di kelas tiga atau tidak. Karena menurut beliau, tindakan gue sekarang ini bukan menyelesaikan masalah tapi hanya menunda masalah. Beliau pun ternyata memberi saran serupa ke Riyan. Setelah keluar dari kantor Pak Rahmat, seharian ini gue kepikiran terus kata-kata beliau. Beliau menyarankan supaya gue berdamai sama Riyan. Tepat ketika pikiran gue melayang ke kenangan setahun yang lalu. Riyan muncul di kelas gue.
42
RIYAN
43
06 MEI 2015, 15.50 WIB
“Ge, aku mau ngomong suatu hal penting.” Aku berusaha memulai percakapan. Sudah lama aku tidak bicara lebih dari dua kata dengan Gerald. Padahal dulu, dia satu-satunya orang yang sering aku ajak bicara. Bahkan lebih tahu dibandingkan Rendi. Gerald acuh tak acuh, tapi aku tahu dia masih menunggu aku melanjutkan kata-kataku. “Aku ngga tahu salah apa, yang jelas aku tahu aku ngga salah. Tapi mungkin aku kurang peduli. Aku terlalu tenggelam sama apa yang aku kerjakan.” Kali ini Gerald mulai melirik ke arahku. “Akhirnya lo tahu juga masalah utama diri lo.” Benar saja. Sudah kuduga kata-kata itu yang keluar. Selama sepuluh bulan ini aku dan Gerald perang dingin. Memang tak mudah memperbaiki hubungan persahabatan. Butuh waktu cukup lama. Tapi yang penting, es dalam diri masing-masing sudah mencair. Mungkin kedepannya aku bisa sama-sama bahu membahu untuk menyelesaikan masalah yang masing-masing hadapi. Seperti di masa kami bagaikan kakak adik, sepuluh bulan yang lalu.
44
END
45
TENTANG PENULIS
izzassi izzassi merupakan nama pena dari Izza Firdausi. Perempuan yang lahir tanggal 8 Desember 1993 di Surabaya ini mulai memberanikan diri untuk menuangkan imajinasinya ke dalam cerpen dan puisi. Karya tulisannya satu ini menceritakan tentang kisah persahabatan yang terinspirasi dari masa-masa ketika masih duduk di bangku SMA. Saat ini ia sering menempuh perjalanan Jakarta-Sumedang untuk menyelesaikan studi di Universitas Padjadjaran. Habiburrahman El-Shirazy adalah salah satu penulis buku favoritnya.