Aparat itu hatinya keramat! Sely, salah satu sobatku dikampus. Kami dekat ketika memasuki semester kelima kuliah. Kalau kalian tahu sosok Norman atau Bemby dalam film sejuta umat „Cinta Fitri‟, nah..itulah sosok Sely versi ceweknya. Lucu, dan kalo diajak ngobrol, dijamin kita sendiri yang puyeng kepala, alias gak pernah nyambung. Suatu ketika, Sely yang dandanannya selalu mengikuti trendsetter itu, bercerita banyak tentang kisah cintanya, dikantin kampus sepulang dari mata kuliah hukum pidana... “Semasa SMA, gue pernah jatuh cinta.” katanya memulai cerita. ”Jatuh cinta sama temen sekelas. Do you know ? Kami pacaran dari kelas 2, ampe tamat sekolah. Dia punya cita-cita, pengen jadi polisi. Yah, berhubung statusnya gue ini pacarnya, jadi gue selalu mendukung apa yang ia mau. Sampai akhirnya, dia diterima dan mulai menjalani diklat selama sekian bulan. Gue ke Palembang buat ngelanjutin pendidikan disini. Jadinya, pacaran jarak jauh gitu deh!. Setelah pelatihan dan ditempatkan kembali ke kota gue, LubukLinggau, inilah titik balik dari hubungan kami. Dia berubah. Dia seperti gak kenal gue. Bahkan dia bilang, dia gak mau pacaran sama gue lagi, karena banyak yang lebih baik dari gue, yang pantas mendampingi dia.” Sampai disitu, nafas Sely tertahan. Namun ia tetap melanjutkan ceritanya,”Elo tau gak, Sasuke?. Hati gue tu ancur banget. Gak nyangka kalo bakal gini jadinya. Butuh waktu sekian tahun buat lupain dia.” Ending yang menyedihkan. Sesedih raut muka Sely yang murung. Jauh dilubuk hati, aku ikut mengutuk lelaki yang tak kukenal itu. Tak punya hati. Pastilah Sely yang saat ini masih betah menjomblo, adalah akibat dari rasa traumanya yang begitu dalam. Aparat kok hatinya keramat, jahat, batinku. Namun, ”Hm..tapi Sasuke, pas gue semester 2 kemaren, gue jadian lagi sama polisi. Temennya dia juga. Hehehe..”. Aku melongo. Kok bisa? ”Pacaran jarak jauh juga, karena dia masih di Lubuk Linggau waktu itu. Yaaa..gak tau kenapa. Gue gak kapok pacaran sama polisi. Seragamnya bikin gue kepincut abis. Walopun endingnya sama. Dia juga mutusin gue karena diem-diem dia nikah tanpa sepengetahuan gue.” Aku tak mengerti apa yang ada dalam pikirannya. Aku bingung. Kalau pada akhirnya Sely sudah tahu akhir dari hubungannya dengan para polisi itu, lalu buat apa ia melakukan kesalahan yang sama?. Apa memang cinta itu benar-benar buta?. Mungkin memang benar, pangkat dan jabatan seorang laki-laki menentukan
derajatnya dimata para wanita. Tapi itu relatif, kawan. Tidak semua laki-laki yang menurutmu bisa menjamin kebahagiaan dimasa depan, itu benar-benar menjamin. Dan begitu pula sebaliknya. Memilih bukan berarti ‟pilih-pilih‟. Tentukanlah pasangan berdasarkan kata hatimu. Seperti kata pepatah, cintailah seseorang itu ‟apa adanya‟, bukan ‟ada apanya‟. ”Eh Sasuke, seminggu yang lalu, gue jadian sama polisi yang kelas A itu loh, yang ganteng itu tuh. Pangkatnya Briptu. Lumayan kan, bawa bo‟il lagi. Hehehee..maaf ya baru kasih tau sekarang, kemaren-kemaren gue belom yakin..” Aku makin melongo. ∙♥∙♥∙
Long Distance Relationship Banyak yang bilang, hubungan jarak jauh itu jarang ada yang berhasil. Banyaknya rintangan yang melanda, terkadang menjadi pemicu kandasnya hubungan tersebut. Mulai dari jarak yang terlampau jauh, perbedaan kondisi dan kegiatan, sampai komunikasi yang menurut kita ‟itu-itu saja‟ (hanya berupa sms, BBM, telfon, atau chatting), sehingga hubungan yang tadinya hangat bisa menjadi lempem. Apalagi jika ditengah kesendirian karena Long Distance itu muncul orang ketiga, yang bisa selalu dilihat setiap hari. Pastinya hubungan jarak jauh itu akan menguap begitu saja. Teman sekantorku baru-baru ini curhat mengenai pacarnya yang katanya nun jauh disana, saat ada kesempatan makan siang bareng disalah satu cafe di bilangan Sudirman. Ia bercerita banyak tentang sang pacar yang sekarang sedang bekerja di Sulawesi. Bayangkan, jarak Palembang-Sulawesi!. ”kami sudah pacaran 5 tahun, dek. Temen kuliah mbak dulu. Setelah tamat, kami langsung pisah tempat. Mbak merantau ke palembang, sedangkan dia pulang kekampung halamannya dan kerja disana, Sulawesi Barat.” Aku yang saat itu sedang ingin menyuap sebelah bakso, langsung mengurungkan niat. Mendengar cerita itu, nafsu makanku berkurang. ”Perpisahan tempat itu terjadi di tahun ketiga hubungan kami. Awalnya, mbak pikir akan baik-baik aja. Toh, mbak paham banget sifatnya yang setia. Tapi, 2 tahun bukan waktu yang sebentar, dek. Mbak butuh kepastian. 2 tahun jarak jauh kayak gini, mbak bosen. Dia gak punya inisiatif untuk ngelanjutin hubungan ini kejenjang yang lebih serius.” Kutatap temanku itu. Sekarang ia dan aku benar-benar menghentikan kegiatan makannya. ”Mbak gak bisa mastiin, dia setia atau gak. Wonk jarak jauh!. Mbak udah pernah mutusin dia, menghilang dari dia. Ganti nomer hp. Tapi, dia slalu nyariin mbak sampe nelfon ke sodara-sodara kalo mbak menghilang kayak gitu. Tapi kalo mbak udah bicarain tentang masa depan, dia cuma bisa bilang sabar lah, nanti dulu lah, umur masih muda lah. Mbak udah 24 tahun, udah siap nikah, dek.” Nah loh, kalau permasalahan seperti ini, aku yang bingung. Kepastian adalah hal terpenting dalam setiap hubungan. Lantas, untuk apa mempertahankan hubungan yang tidak bisa dipastikan masa depannya?. Apalagi hubungan jarak jauh. Jauh banget malah, antar pulau, bo. Untuk apa menyia-nyiakan umur dengan sesuatu yang kabur, tidak jelas?. Masih banyak yang lebih baik dari dia. Asalkan kita berusaha dan tidak menutup diri. Jangan pernah berfikir orang yang mengerti kita hanyalah dia seorang. Mustahil. Kecocokan antar manusia butuh proses. Cobalah untuk membina hubungan yang baru, tanpa melihat masa lalu.
Yakinlah, bahwa Tuhan memberikan kita akal untuk mencari dan menentukan masa depan kita sendiri. ”Tapi, hati mbak cuma terpaku ke dia, dek. Mbak gak berminat lagi kelaen hati. Capek kalo harus nyari pacar baru lagi, trus adaptasi lagi. Biarlah mbak nunggu dia aja. Toh, mbak tau dia orang yang komitmen.” Aku hanya menghela nafas setelah mendengar kata-katanya itu. Teman, jika kamu bimbang dalam memutuskan suatu masalah, fikirkanlah, dan turuti kata hatimu yang pertama. Itu yang selalu dinasihati oleh ayah kepadaku. Jangan hanya menuruti nafsu dan logikamu saja. Perasaan juga berperan penting dalam menentukan arah hidupmu. ∙♥∙♥∙
Cinta vs Logika ”Saya sudah siap nikah, Sasuke. Tiga tahun bukan waktu yang sempit untuk saling mengenal. Tapi dikala saya sudah ingin sekali menikah, teramat terjal jurang yang menghadang. Lalu, apakah saya salah jika harus melewati jalan pintas, walau saya tau itu dosa?” Orangtua selalu memberikan wejangan yang menurutku sudah kelebihan muatan (maap ya Ma, kali ini aku harus jujur!). Kalo aku pulang kerumah dengan diantar oleh seorang laki-laki yang kebetulan baru pertama kali ini mengantar, nah..setelah laki-laki tersebut pamit pulang, mulailah wejangan itu diputar. Aku bilang itu diputar, karena selalu diucapkan dengan intonasi dan lirik yang sama (sekali lagi maap ya Mam,hehehe..).
”Sasuke, kamu itu cewek (yang bilang cowok siapaa, Ma?), ibaratnya kamu itu barang pecah belah (cangkir donk..!). Kalo udah pecah, ancur, gak bisa dibalikin lagi ke awal sebelum pecah (kan ada lem aibon Ma, tempel lagi aja..). Kamu harus bisa jaga diri, Nak (tapi aku gak ikut karate, Ma). Jangan langsung percaya sama omongan lelaki. Kalo ada yang ngomong mau serius sama kamu, kasih tau sama Mama Papa, nanti tak langsung kawin aja (kawiinn??yang pake KUA itu??), biar gak jadi fitnah!. Nanti kalo kelamaan pacaran, takut kamu ngelakuin hal-hal yang gak diinginkan (kalo hal yang diinginkan gimana, Ma?).” Heheheee... Dan biasanya wejangan itu akan berhenti setelah 30 menit atau bahkan lebih. Yah, namanya juga orangtua. Mana ada yang mau anaknya mencoreng nama baik mereka, apalagi mempermalukan mereka dihadapan semua orang. Namun aku tetap bersyukur, mempunyai orangtua yang menerapkan sistem demokrasi didalam keluarga. Kami, anak-anaknya, boleh menentukan pilihan jodoh sendiri, asalkan bisa menjaga kepercayaan orangtua untuk menjaga diri masing-masing, jangan sampai melakukan hal-hal yang dilarang agama. ∙♥∙♥∙ Sebut saja Ayu, gadis manis tinggi semampai. Aku menuliskan kisahnya setelah aku meminta izin dengan tulus. Bukan untuk menceritakan aibnya, tetapi justru aku ingin membagi pengalaman berharga bagi semua orang, agar tidak menuding gadis sebaik Ayu sebagai anak durhaka yang hanya bisa mempermalukan orangtua. Ia hanyalah korban dari sebuah keadaan yang iapun tidak menginginkannya. Tidak..tidak..Jangan berfikir bahwa aku membelanya. Aku tidak membela Ayu, juga tidak menyalahkan orangtuanya. Aku berdiri ditengah, sebagai penonton yang terus mengikuti alur kisah cinta Ayu hingga ia menikah. ∙♥∙♥∙
Ayu, telah berpacaran dengan Khalik selama 3 tahun. 3 tahun bukan waktu yang pendek bukan?. Dan selama 3 tahun itu, ia dan sang kekasih menjalani hubungan „backstreet‟, karena orangtua Ayu tidak menyetujui hubungan mereka. Betapa tidak, menurut pandangan orangtua Dian, Khalik tidak pantas mendampingi anak mereka. Khalik hanyalah seorang lelaki yang sudah berumur dan „hanya‟ bekerja pada sebuah perusahaan swasta. Belum lagi latar belakang pendidikan yang hanya tamatan SMA. Ditambah keadaan ekonomi keluarga yang sangat sederhana. Sedangkan Ayu, sarjana tehnik yang berasal dari keluarga yang cukup berada, dengan latar belakang pendidikan keluarga yang kesemuanya sarjana. Betapa perbedaan itu begitu mencolok mata.
Pun begitu, Ayu tidak pernah sedikitpun gentar. Ia acuh saja dengan segala perbedaan yang menjadi jurang dalam hubungan mereka. “Saya mencintainya, tanpa keraguan sedikitpun. Pendidikan dan perbedaan kasta hanyalah perbedaan yang diciptakan manusia, sedangkan dimata Tuhan, semua sama, Sasuke.”itulah ungkapan cintanya terhadap laki-laki beruntung itu. Selama 3 tahun pula ia tetap bertahan dengan hubungan tersebut. Waktu demi waktu mereka lewati dengan keyakinan akan masa depan. Selama itu pula, persiapan pernikahan mereka lakukan. Mulai dari menabung, mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan dan setelah pernikahan itu sendiri. Bahkan, mereka menyiapkan semua barang-barang dari yang terkecil, seperti sendok, panci, bedcover, bahkan tempat tidur mungil. Semua itu mereka lakukan tanpa sepengetahuan keluarga besar. Pernah kutanyakan keseriusan Khalik langsung, dan dia dengan tegas menjawab,”Saya sangat mencintai Ayu. Saya bekerja keras, sampai harus kerja sambilan, agar saya bisa mencukupi biaya untuk menikah dengannya. Saya tidak mau mengambil anak orang seenaknya saja. Saya ingin Ayu senang, apapun permintaannya saya berusaha untuk mengabulkan!”. Aku tahu kata-katanya itu benar-benar ia realisasikan. Ia menyiapkan pernikahannya sendiri, bahkan permintaan mahar dari Ayu yang cukup besar, mampu ia beli dari hasil keringatnya sendiri. ∙♥∙♥∙ Setelah mereka siap, mereka mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan niat suci menuju ke pelaminan. Tapi, diluar dugaan, hanya caci-maki yang Khalik dapatkan. Tak terhitung sekian kali ia bertandang kerumah Ayu untuk menunjukkan niat baiknya melamar sang pujaan, sekian kali pula kata-kata ejekan dan makian terlontar dari mulut ayah Dian. Tak sedikitpun sang ayah menunjukkan persetujuannya. Bahkan pernah suatu hari, ia terang-terangan menolak kedatangan Khalik dengan melempar barang keruang tamu. Hari berganti hari, minggu ke minggu, usaha itu berjalan tanpa hasil.
Hingga suatu hari, Ayu datang kepadaku, dan terlontarlah kalimat sedih, dengan linangan airmatanya yang tak kuasa dibendung lagi. ”Saya sudah siap nikah, Sasuke. Tiga tahun bukan waktu yang sempit untuk saling mengenal. Tapi dikala saya sudah ingin sekali menikah, teramat terjal jurang yang menghadang. Lalu, apakah saya salah jika harus melewati jalan pintas, walau saya tau itu dosa?”