KETIKA MOTOR KERAMAT MEMINTA KORBAN Karya Eka Fitriani Aku punya teman, namanya Yoga Adi Wibowo. Dia adalah temanku waktu TK dulu. Tapi entah mengapa kami dipertemukan lagi di SMP. Kami sama‐sama masuk ke SMP N 1 Wangon. Dua tahun berlalu, aku hanya mengenal dia tanpa tau akan karakternya. Baru setelah kelas IX, aku sekelas dengan Yoga dan aku juga tau akan karakternya. Yoga adalah anak yang lucu dan sangat humoris. Dia selalu saja bergurau saat di kelas. Teman setianya adalah Yayan, mereka akan selalu kompak dalam kegiatan apapun. Aku selalu tertawa ketika mereka berulah, dengan gaya ngomong Yoga yang tidak biasa tapi lucu. Namanya sih Yoga Adi Wibowo, nama yang keren dan bermakna. Tapi Yoga lebih akrab dipanggil Gembul, mungkin karena badannya yang besar. Dia punya hobi bermain sepak bola, setiap waktu istirahat dia pasti bermain sepak bola entah di lapangan maupun di kelas. Tak dapat dihindarkan tiap bel masuk “Beeehhhhhhh” bau parfum yang luar biasa menyengat. Sebenarnya Yoga bukan kategori anak yang nakal, hanya saja dia kurang diperhatikan oleh orang tuanya sehingga mencari pelampiasan di sekolah dengan membuat ulah. Tapi aku tau, dia sadar bahwa di waktunya yang terakhir di SMP dia pasti ingin lulus bersama temannya yang lain. Semasa itupun Yoga banyak bercerita kepadaku dan meminta untuk belajar bersama. Tentu saja aku menerimanya, kami juga belajar bersama dengan beberapa teman sekelas yang lain sepulang sekolah. Dia pernah bercerita kepadaku tentang kejadian yang membuatnya tak pernah lupa. Dulu waktu masih kelas VII Yoga sering dikecengi sama teman‐temannya. Katanya dia itu cupu banget karena ngga bisa naik motor. Dia merasa sangat sebal dan merasa berbeda dengan temannya yang lain. Ketika itu Yoga sedang berkumpul dengan teman‐temannya di kantin sehabis bermain sepak bola. “Mbul, lo bisa naik motor ga?” Tanya Bawen. “Ngga, kenapa sih?” Tanya Yoga pada Bawen. “Hah, ga bisa naik motor Mbul? Ya ampun, sekarang tuh ye anak kecil aja udah bisa naik motor masa lo belum sih.” Jawab Delli. “Ya kenapa. Tuh anak kecil aja yang songong, masih kecil aja udah belajar naik motor.” Jawab Yoga dengan santainya. “Lo yang ketinggalan jaman tau. Gengsi dong, jaman sekarang cowo itu wajib bisa naik motor biar bisa ngecengin cewe dong.” Jawab Bawen. “Masa sih. Ga lah, gue ga percaya.” Jawab Yoga. http://preindo.com
1
“Ya udah terserah lo aja ye.” Jawab Bawen. Yoga tak mengiraukan omongan Bawen dan Dellian di kantin tadi. Tapi nyatanya dia terkadang ingat akan kata‐kata itu dan sesekali bergumam dalam hati. “Apa iya sih, cowo itu harus bisa naik motor?” Tapi segera ia menghilangkan pikiran itu dari otaknya. Dia pulang dengan naik bus bersama Adit yang biasa dipanggil Lutung, mungkin karena kulitnya yang hitam sehingga ia diberi kehormatan oleh taman‐ temannya diberi nama Lutung. “Tung, pulang yuk. Ke terminal kan?” Tanya Yoga. “Iya Mbul, ntar dulu yah. Aku mau belie es.” Jawab Adit. Merekapun pulang bersama jalan kaki dari SMP ke Terminal. Di perjalanan, tak lupa mereka memperhatikan orang‐orang yang berlalu lalang di jalan dengan motor mereka masing‐masing. “Mbul, liat tuh. Kenapa yah, dari tadi kayaknya kita cuma liat pasangan cowo yang jemput cewenya.” Kata Adit. “Iya yah, bikin iri aja. Eh Tung, lo udah bisa naik motor belum?” Tanya Yoga. “Udah dong. Kenapa sih?” Tanya Adit lagi. “Ga kok, cuma nanya emang ga boleh.” Jawab Yoga. “Oh, kirain.” Jawab Adit. “Emangnya kirain kenapa sih?” Tanya Yoga penasaran. “Ya kirain lo belum bisa naik motor.” Jawab Adit. “Emangnya kalau belum bisa naik motor itu gimana?” Tanya Yoga makin penasaran. “Ya gengsi lah, hari gini ada cowo yang belum bisa naik motor. Itu sih cowo cupu alias ketinggalan jaman.” Jawab Adit. “Oh gitu yah.” Jawab Yoga dengan singkat. Dia tak mau ada lagi yang tau kalau dia belum bisa naik motor. Dia ingat lagi dengan kata‐kata Bawen dan Dellian. Tapi untuk sekarang dia masih yakin kalau cowo yang ga bisa naik motor itu wajar. Hari‐hari berlalu seperti biasanya. Bawen dan Delli sudah tak menyinggung lagi masalah Yoga yang belum bisa naik motor. Seperti biasa, setelah bermain sepak bola Yoga dan kawan‐kawannya pergi ke kantin. Tapi kali ini berbeda, Bawen tak ikut bermain sepak bola, dia hanya melihat dari kantin. “Lo kenapa Wen, kok tadi ga ikut bareng kita main bola sih?” Tanya Yoga. “Kalian belum tau yah, kemaren tuh aku baru jadian sama Chika. Anak Mts Wangon yang terkenal cantik itu, tau kan?” Jawab Bawen sumringah. “Serius lo, masa sih. Kok bisa dia nerima lo.” Tanya Delli menyerobot karena sangat penasaran. “Bisa lah, kemarin tuh ya. Aku nganterin dia pake motornya si Dayat yang Vixion itu loh. Terus aku ajak Chika ke Banteran dulu sekedar cari angin. Tempatnya kan enak tuh, silir‐silir gimana gitu. Terus aku http://preindo.com
2
tembak aja dia, eh malah diterima. Gue seneng banget, makannya nanti gue mau jalan lagi sama dia. Gengsi dong kalau sampe bau keringat.” Jawab Bawen menjelaskan panjang lebar, “Widiihhhh, hebat juga lo. Mesti berguru nih, terus ntar lo mau jemput pake apaan? Pake motor Dayat lagi apa gimana?” Tanya Yoga. “Ga lah, ntar gue mau pake motor kakak gue aja. Dia kan punya motor satria.” Jawab Bawen. “Kalo gitu, boleh dong hari ini ditraktir?” Tanya Yoga mengharap kucuran gratisan dari Bawen. “Enak aja lo, ni duit tuh buat jajan gue sama cewe gue nanti. Kapan‐kapan aja deh.” Jawab Bawen. “Pelit…………..” Jawab Yoga kesal. Pupuslah sudah harapannya untuk mendapat gratisan. “Makannya Mbul, lo pengen dapet cewe kan. Gue kasih tau yah, kalau sore‐sore tuh main ke Banteran naik motor. Beeehhhhh, banyak banget cewenya tau. Tapi motor yang oke.” Nasihat Dellian pada Yoga. “Diem deh lo pada. Terserah gue kan.” Jawab Yoga. Yoga kesal mendengar sindiran dari teman‐temannya. Diapun segera berlalu pergi. Saat bel pulang berbunyi, kali ini dia pulang sendiri karena Adit masih ada tugas sehingga tidak pulang bersamanya. Ketika ia sampai di terminal, ia hanya sendiri. Yang dilihat hanya gerombolah cewe‐cewe dari Mts. Karena jarak mereka tidak terlalu jauh, Yoga mendengar percakapan cewe‐cewe itu. “Tau ga, gue tuh suka banget sama cowo yang cool, berwibawa. Apalagi kalau dia pake motor satria. Pasti keliatan keren banget deh,” Kata seorang cewe. “Siapa bilang, lebih keren juga cowo yang lembut, maskulin dan pake motornya yang matik aja. Bakalan keliatan lebih oke.” Jawab yang lainnya. “Yeee,,, ngomogin cowo mulu. Ada bus tuh, ikut nggak? Ntar malah ketinggalan.” Kata seorang lagi. Gerombolan cewe itupun segera hilang dibatas pandangan Yoga. Yoga hanya bergumam di dalam hati dan sedikit sebal dengan anggapan cewe‐cewe tadi. “Kenapa sih, mesti cowo yang pake motor yang lebih diagungkan. Apa bedanya coba.” Gumam Yoga di dalam hatinya. Sialnya, kelemahan Yoga yang tak bisa naik motor semakin dia rasakan. Dia sadar dan dia menganggap kalau cowo yang ga bisa naik motor selalu mendapat pandangan hina penuh kenajisan dari para cewe. Berbanding terbalik dengan cowo yang punya dan bisa naik motor, akan lebih terlihat berwibawa di hadapan kaum hawa. Dari kenyataan pahit yang dia rasakan sendiri. Akhirnya dia meminta Bawen untuk mengajarinya naik motor. Yoga memang sering ke rumah Bawen buat ngerjain tugas atau sekedar bicara “ngalor‐ngidul” tak ada tujuannya. Yoga dan Bawen adalah teman dekat sejak mereka masuk ke SMP N 1 Wangon. http://preindo.com
3
“Mbul gimana, lo masih kekeh kalau cowo yang ga bisa naik motor itu wajar aja?” Tanya Bawen. “Ga lah, gue udah tau. Makannya gue ke sini minta diajarin motor sama lo. Mau kan ngajarin gue?” Tanya Yoga. “Kapan Mbul, gue sih oke oke aja.” Jawab Bawen sangat antusias. “Sekarang yuk Wen. Mumpung gue udah di sini.” Jawab Yoga. “Sekarang? Mau pake motor siapa?” Tanya Bawen penasaran. “Motor lo dong. Boleh kan?” Tanya Yoga. “Waduuuhh. Mbul, motor gue lagi dibawa bokap gimana dong.” Jawab Bawen. “Ya elah. Ya ga ada motor lagi dong, terus kapan nih?” Tanya Yoga. “Lo punya motor di rumah ga?” Tanya Bawen. “Punya sih, tapi punya bokap gue.” Jawab Yoga. “Nahh, gitu aja. Lo pinjem aja tuh motor, motornya kopling atau matic?” Tanya Bawen. “Motor kopling. Tapi ga tau boleh atau ga, soalnya bokap gue juga kan tau kalau gue belum bisa naik motor.” Jawab Yoga sedih. “Itu sih masalah gampang. Besok pulang sekolah gue ke rumah lo deh. Terus kita berangkat pake motor bokap lo, gue yang nyetir.” Jawab Bawen. “Ya ya ya. Jangan lupa yah, ngomong‐ngomong gue laper nih, mana makanannya dari tadi kok ga dikasih sih, gue kan tamu.?” Tanya Yoga. “Ya elah Mbul, giliran makan aja inget. Nyokap gue ga masak, beli makan aja yuk. Ke Banteran sambil ngecengin cewe‐cewe.” Jawab Bawen semangat. “Bener juga tuh. Oke deh, cabbuuttt.” Jawab Yoga tak kalah semangat. Yoga dan Bawenpun segera meluncur ke Banteran dengan memakai motor satria milik kakak Bawen. Mereka mampir ke Pondok Batagor. Ketika sampai, ternyata benar, ada banyak cewe yang nongkrong di sana juga. Tapi sayang seribu sayang mereka semua sudah membawa kecengan masing‐masing. Pupuslah sudah harapan Yoga dan Bawen untuk tebar pesona dihadapan cewe‐cewe tadi. “Yaaahhh, apes deh kita Wen. Udah dandan super kece gini malah dikacangin.” Ungkap Yoga pada Bawen. “Iya nih, cabut aja yuk. Malu kan cuma kita yang ga bawa cewe.” Jawab Bawen.
http://preindo.com
4
Merekapun pergi dari tempat itu. Mereka pergi ke Pecikalan, berharap bisa mendapat hal lain yang lebih menarik. Sepanjang jalan mereka hanya diam, karena bingung merekapun memutuskan untuk ke Byond comp sekedar browsing atau update status. Setelah kurang lebih satu jam mereka keluar dari warnet dan seperti biasa, mereka pergi mencari makan. Mereka membeli es di perempatan terminal Wangon. Mereka melihat banyak orang yang berlalu lalang, terutama kaum muda mudi, setelah beberapa lama mereka merasa bosan. “Mbul, ngapain sih kita di sini. Bosen tau, liatnya itu itu aja. Cabut aja yuk.” Ajak Bawen. “Iya nih, gue juga bosen. Anterin gue pulang aja yuk, udah sore nih.” Jawab Yoga. Bawen mengantarkan Yoga hingga ke depan istana milik ayahnya. Di depan rumah Yoga sudah terlihat ramai, mungkin warga yang sedang berkumpul atau apalah Yoga tak perduli. Dia langsung saja menyelonong masuk ke kamar lewat pintu belakang rumahya. Esok segera datang menyongsong muka Yoga yang masih mengantuk. Ia malas‐malasan untuk bangun karena tadi malam ia begadang nonton bola big match antara Chelsea dan Manchester united. Sungguh pertandingan yang sangat sengit dan seru. “Yoooggaaaaaa, bangun. Udah siang nih, udah jam setengah tujuh. Apa kamu ga sekolah.” Omel Ibu Yoga. “Hmmmmmm.” Jawab Yoga tak bersemangat, ia masih ingin tidur. “Ayo cepat bangun. Mau jadi apa kamu ini kalau jam segini aja belum bangun. Bapak kamu udah nunggu tuh, mau diantar pake motor. Cepetan bangun.” Jawab Ibunya lagi. “Hah, motor. Mana‐mana motor apa sih, beli kapan. Aku kan ga ulang tahun Mah.” Jawab Yoga setengah sadar karena nyawanya belum kumpul semuanya. “Siapa yang beliin motor, cuma mau diantar pake motor. Bangun makannya cepetan.” Jawab Ibu Yoga. “Ooohh, kirain. Ya udah deh.” Jawab Yoga seraya kembai merapikan selimutnya. “Bangun, jangan tidur lagi. Apa mau nih Ibu siram.” Jawab Ibu Yoga. “Iya Mah, udah bangun nih.” Jawab Yoga seraya berdiri dengan sedikit sempoyongan menuju kamar mandi. Setelah mandi Yoga merasa sangat segar dan hidup kembali. Segera saja ia ke dapur untuk mencari hal yang bisa digunakan untuk mengisi perutnya yang kosong. Hanya ada selembar roti dengan selai nanas di atasnya dan segelas susu. Tanpa berfikir panjang Yoga langsung menyantap kedua sarapan itu. Ia berangkat sekolah dengan diantar ayahnya memakai motor. “Pak, tumben mau nganterin pake motor?” Tanya Yoga. “Ya, sekalian aja. Soalnya Bapak ada dinas di Purwokerto.” Jawab Ayahnya. http://preindo.com
5
“Pulangnya kapan Pak?” Tanya Yoga. “Paling kalau ga sore ya malem.” Jawab Ayahnya. Ia ingat, hari ini ia akan diajari naik motor oleh Bawen. Tapi ternyata motor ayahnya itu akan dibawa pergi, otomatis dia tak bisa belajar motor hari ini. Setelah sampai di pintu gerbang sekolah ia bertemu dengan Bawen. “Duh Wen, sial sial.” Ungkap Yoga. “Sial kenapa Mbul? Belum ngerjain tugas apa?” Tanya Bawen. “Tugas sih gampang. Ini masalah belajar motornya, hari ini motor bokap gue dibawa sampe sore bahkan mungkin sampe malem. Gimana yah?” Tanya Yoga meminta saran. “Gimana yah? Tapi kayaknya motor gue nganggur tuh.” Jawab Bawen. “Waahhh, bagus bagus. Pake motor lo aja yah.” Pinta Yoga. “Tenang aja Mbul, yang penting bensinnya oke.” Jawab Bawen. “Tenang aja sama gue ini. Masalah bensin dijamin beres.” Jawab Yoga sumringah. “Siiippp deh kalo gitu.” Jawab Bawen. Mereka berdua masuk ke kelas karena bel sudah berbunyi. Yoga sudah tak sabar untuk diajari Bawen naik motor. Hingga dia tidak berkonsentrasi selama pelajaran berlangsung. Dia menanti‐nanti jam segera berputar dan bel pulang segera berbunyi. Setelah beberapa lama menanti, bagaikan menanti antara hidup dan mati, akhirnya bel pulangpun berbunyi. Hati Yoga serasa bersorak kegirangan, segera saja ia menyeret Bawen untuk pergi ke rumah Bawen dan segera belajar motor. “Sabar Mbul, sabar sabar. Aku masih di sini kok, ga pergi.” Kata Bawen. “Ayo Wen, cepetan. Kalau tiba‐tiba motor lo dipake lagi gimana. Makannya ayo cepetan.” Jawab Yoga tergesa‐gesa. Segera Yoga dan Bawen pergi ke rumah Bawen untuk mengambil motor. Tapi ada sedikit hambatan, kemana mereka harus pergi mencari tempat yang cocok untuk belajar motor. “Mbul, mau di mana nih, belajarnya?” Tanya Bawen. “Terserah aja lah Wen, aku sih ikut‐ikut aja.” Jawab Yoga. “Pecikalan aja yuk, di jalan yang deket sawah itu.” Saran Bawen. Yoga dan Bawen akhirnya memutuskan untuk berlatih di Pecikalan. Setelah sampai di sana, mereka masih mencari tempat yang sekiranya agak sepi untuk mengurangi resiko tabrakan. http://preindo.com
6
“Lo bisa naik sepeda kan Mbul?” Tanya Bawen. “Bisa, kalau sepeda sih aku bisa Wen.” Jawab Yoga penuh semangat empat lima. “Bagus, logikanya kalau bisa naik sepeda pasti juga bisa naik motor.” Jawab Bawen menyemangati Yoga sambil menepuk bahunya. Bawen sudah siap mengajari Yoga cara naik motor yang baik dan benar. Secara sehat jasmani dan rohani dia menyerahkan motor kesayangannya untuk Yoga pake dan menempuh resiko ringsek karena nabrak kendaraan lain yang sewaktu‐waktu lewat di tengah jalan. Sebelumnya Bawen menjelaskan sedikit tentang bagaimana menghidupkan motor, mengatur gas, dan mengatur gigi motor. “Siapp Mbul, gue hitung yah. Satu… Dua…. Tiga…. Gas sekarang Mbul.” Perintah Bawen. Yoga menggas motor itu, tapi karena masih takut‐takut jalannya jadi tak beraturan. Masih geal geol dan kajrut kajrutan. “Waduuhh Wen, bahaya nih. Gue kan belum terampil, kalau ada kendaraan lain gimana. Pindah aja yuk?” Ajak Yoga pada Bawen. “Pindah ke mana Mbul?” Tanya Bawen. “Ke lapangan deket SMP 2 aja yuk.” Jawab Yoga. “Ya udah deh.” Jawab Bawen. Tanpa membuang waktu Yoga dan Bawen segera meluncur ke lapangan di dekat SMP 2 Wangon. Sesampainya di sana, Bawen langsung menyerahkan kemudi motornya pada Yoga. Tanpa disadari keringat sudah mulai membasahi wajah Yoga. “Mbul, lo gerogi apa? Kok udah kayak habis mandi aja. Biasa aja kaleee.” Kata Bawen. “Iya nih, ga tau gerogi apa ga. Yang jelas parasku yang tampan ini bakal ketutup sama keringet nih, gimana yah.” Jawab Yoga membuat lelucon. “Ya elah. Ya ganteng, tapi dilihat dari ujung monas pake sedotan aqua, udah gitu sedotannya disumbat sama nasi. Ya kan, hahahahahahahaha.” Jawab Bawen. “Enak aja, gue tuh lagi sakit tau. Hati‐hati ketularan.” Jawab Yoga. “Sakit apa lo Mbul, perasaan sehat‐sehat aja?” Tanya Bawen. “Iya, gue sakit karena kena virus ganteng yang ga tertandingi. Hahahahaha” Jawab Yoga puas. Yoga merasa jantunnya berdebar‐debar sangat kencang. Dia benar‐benar merasa gerogi. Sedangkan di belakang, Bawen siap memberikan instruksi.
http://preindo.com
7
“Ntar, kalau pas hitungan ketiga, puter gasnya pelan‐pela aja dulu. Catet tuh!! Inget pelan‐pelan, jangan langsung digeber ntar malah nyeruduk. Siap Mbul?” Tanya Bawen “Oke,” Jawab Yoga. Setelah ia mengangguk, Bawen menghitung mundur. “Tiga…Dua….Satu…..” Teriak Bawen. BRUUUUUUUUUUUUUMMMMMMM Yoga dan Bawen berteriak……………….. Aaarggghhhhhh. Sesaat kemudian terdenngar sunyi… GUBRAG…Ugh.. Yess… Yoga dengan suksesnya menabrak tiang gawang. “Sory Wen, sory.” Ucap Yoga sambil membersihkan celananya yang kotor. “Ya udah, ga apa‐apa Mbul, namanya juga belum bisa. Kalau jatuh ya wajar aja kan belum pinter.” Ucap Bawen. Yoga merasa Bawen adalah sahabatnya yang paling baik. Beberapa hari setelah kejadian itu, Yoga belum kapok untuk bisa naik motor. Ia kembali belajar motor dengan Bawen, namun kali ini dia memakai motor milik ayahnya. “Mbul, lo belum kapok juga nih?” Tanya Bawen. “Pantang dong, cuma lecet gitu doang aja kapok. Bukan gue namanya.” Jawab Yoga penuh percaya diri. “Inget loh, kali ini harus, wajib, dan kudu, pelan‐pelan dulu. Ntar kalo ga gitu malah kaya waktu itu lagi.” Perintah Bawen. “Tenang Wen, tenang. Kali ini gue udah paham kok.” Jawab Yoga. “Siap yah. Satu.. Dua… Tiga…” Kata Bawen menginstruksikan pada Yoga. Akhirnya Yoga mulai bisa menyesuaikan diri dengan motor itu. Dia sudah mulai lancar dalam mengatur gasnya. Dia juga mencoba sedikit‐sedikit untuk belok. Akhirnya, Yoga berhasil menyelesaikan satu putaran lapangan itu dengan sukses berat. “Yessss. Gue bisa kan Wen, gue kan berbakat. Hahahaha” Ungkap Yoga menyombongkan dirinya.. “Oke lah. Bagus, bagus. Nyoba lagi ga?” Tanya Bawen. “Iya dong. Kalau gue udah bener‐bener mahir baru deh kita pulang.” Jawab Yoga dengan penuh semangat dan percaya diri karena ia bisa menyelesaikan satu putaran lapangan itu. “Aduuhh Mbul, tapi kayaknya ada yang perlu diisi nih. Gue laper, bagi duit dong?” Pinta Bawen.
http://preindo.com
8
“Tenang aja, kali ini gue traktir lo. Itung‐itung ucapan terima kasih, tapi gue juga beliin satu yah. Katanya ada tukang es cendol tuh di sana.” Jawab Yoga sambil menunjuk kerumunan orang yang sedang duduk‐ duduk di warung pojok lapangan. Yoga meneruskan latihan motornya, sedangkan Bawen membeli es cendol di warung. Setelah es cendol datang, segera mereka meminumnya hingga tetes terakhir. “Mbul, emangnya lo ga cape apa. Latihan terus?” Tanya Bawen. “Cape sih. Ya udah deh, balik aja yuk.” Jawab Yoga. Merekapun kembali ke rumah masing‐masing, Yoga mengantarkan Bawen ke rumahnya dengan Bawen yang nyetir. Sedangkan pulangnya, terpaksa Yoga harus menyetir sendiri. “Aduuhh Wen, gue takut nih.” Kata Yoga. “Ngga usah taku kali, biasa aja. Lo kan udah bisa tadi, yang penting jangan ngebut dulu.” Jawab Bawen menenangkan Yoga. Akhirnya Yoga pulang dengan membawa motor sendiri. Ia benar‐benar mendengarkan nasihat Bawen, motornya ia setir sangat pelan mungkin hanya sekitar 10 km/jam. “Horrreeeee” Yoga bersorak dalam hati karena ia bisa pulang ke rumah dengan selamat menggunakan motor ayahnya itu. Dengan bangganya ia mengatakan pada ayahandanya. “Pak, aku udah bisa naik motor loh.” Kata Yoga bersemangat. “Oh, ya yang hati‐hati aja kalau bawa motor.” Jawab Ayah Yoga. “Kalau gitu, udah bisa minta beli motor dong?” Tanya Yoga lagi. “Enak aja, masih belum bisa. Bapak baru akan membelikan kalau kamu sudah SMA.” Jawab ayahnya. Dengan perasaan yang galau, Yoga masuk ke dalam kamarnya dan tertidur pulas. Hari demi hari berlalu, karena sudah lumayan bisa naik motor. Setiap sore Yoga mencoba kemahirannya dengan menaiki sepeda motor ayahnya di gang‐gang desanya. Hingga pada suatu sore yang tenang dan temaram, bagai tersorot lampu di restoran dengan suasana yang romantic. Tak terlalu banyak hiruk‐pikuk menambah ketenangan dan kesunyian sore itu. Semuanya tampak biasa‐biasa saja, tak ada awan hitam. Sore itu dengan santainya Yoga mengendarai motor merah milik ayahnya. Karena ia merasa sudah mulai mahir naik motor. Dia mulai mencoba untuk berjalan di jalan‐jalan dan di gang yang cukup besar. Sambil bersiul‐siul, Yoga tetap mengendarai sepeda motor dengan kecepatan standar. Sampai di suatu gang, Yoga melihat dari jarak yang cukup dekat seorang pengendara sepeda motor yang nampak linglung. Dia ingin menyebrang tapi tampak masih ragu. Fellingnya “Wah, pasti nabrak nih, nabrak.!!!!”
http://preindo.com
9
Memang yang namanya calon dukun itu tak bisa salah. Nggak lama kemudian, motornya menabrak Honda Legenda itu, “PRRAAaaakkKK”. Padahal saat sebelum kejadian, Yoga sempet nginjek rem dan berteriak “Alloooohu Akbarrrr” Seraya berkata, “Pak, awas Pak..!!! Awas nabrak…!!!”. Namun malang tak bisa ditolak, rem Yoga ternyata nggak bisa pakem. Terjadilah kecelakaan yang sangat dramatis dan susah untuk dia lupakan dan terhapus di otaknya. Apeessss...... “Hik, hik, hik, aduuhhhh.” Dalam hatinya bersuara. Untung saja kami segera ditolong oleh warga sekitar. Yoga hanya dibantu untuk berdiri karena lukanya tidak terlalu parah. Yoga pulang dengan motor yang didorong. Setelah sampai di rumah, ayahnya hanya diam. Entah mungkin karena tak memperdulikan atau tak melihat keadaan Yoga. “Pak, aku tabrakan.” Kata Yoga. “Hah, gimana?” Tanya Ayahnya. “Aku ngga kenapa‐kenapa, cuma lecet sedikit.” Jawab Yoga. “Bukan itu, maksudnya motor kesayangan bapak gimana, ga lecet kan?” Tanya Bapaknya lagi. “Tau ah, anaknya tabrakan ditanya keadaannya apa gimana, eh malah Tanya soal motornya. Gimana sih.” Jawab Yoga kesal, dalam hatinya ia sakit hati atas perkataan Bapaknya itu. Akhirnya Yoga segera berlalu pergi menuju ke kamarnya untuk mengobati lukanya sendiri. Sungguh malang nasibnya…….. TAMAT
http://preindo.com
10