IX. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG 9.1
Pembahasan Umum Kawasan Bandung Utara dengan daya tarik yang tinggi berupa kawasan
dengan udara yang nyaman, bentang alam berbukit-bukit dengan ketinggian diatas 750 m dpl, pemandangan yang indah merupakan daya tarik bagi masyarakat untuk mendirikan rumahnya dikawasan ini. Walaupun daerah ini sudah ditetapkan menjadi kawasan lindung bagi tangkapan air bagi Kota dibawahnya. Pembangunan di Kawasan Bandung Utara saat ini berkembang sangat pesat dan semakin tidak sesuai dengan arah kebijaksanaan tata ruang berdasarkan
SK.181.1/SK.1624/Bappeda/1982.
Pesatnya
perkembangan
kawasan ini diperparah dengan tingginya konflik kepentingan dan status kepemilikan tanah yang bermasalah sehingga menyebabkan semakin tidak terkendalinya pembangunan sehingga tidak sesuai dengan peruntukkannya. Pemerintah Daerah Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2009 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara (KBU) dalam pasal 3 disebutkan bertujuan 1) mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang di KBU untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan; 2. mewujudkan peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora dan fauna. Untuk implementasi Perda tersebut dikeluarkan Pergub no 21 tahun 2009. Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara (KBU). Didalam Pasal 5 disebutkan bahwa Indeks Konservasi Potensial
(IKp) Harus dijadikan dasar penentuan pola ruang dan intensitas
pemanfaatan dalam penyusunan tata ruang di Kab dan Kota. Artinya Perda No 1 th 2008 dan Pergub No 21 th 2009 menekankan pentingnya menjaga fungsi hidrologis KBU dan merupakan dasar dalam penentuan pola ruang dan pemanfaatannya. Sedangkan dalam penelitian ini pola pengendalian juga memperhatikan nilai ekonomi kawasan Tahura (TEV) dan kondisi keindahan estetika kawasan sekitar Tahura yang merupakan bagian dari KBU. Sehingga penelitian ini menjadi pelengkap dan masukan bagi pengambil keputusan di Jawa Barat dalam pengendalian dan pemanfaatan ruang.
175
Mihalic (2003) menjeaskan dalam teori pertumbuhan, bahwa sebuah pertumbuhan penduduk akan memberikan tekanan pada sumber daya alam. Pertumbuhan penduduk menyebabkan kerusakan lingkungan akibat penggunaan ruang yang berlebihan (over-utilization) oleh penduduk, pembangunan pada daerah pedesaan, yang menyebabkan hilangnya kawasan hijau, dan bahkan menyebabkan perubahan iklim Karena kawasan ini lintas kabupaten dan kota dimana setiap daerah dapat mengeluarkan ijin pembangunan di kawasan ini sesuai dengan pertimbangan daerah itu sendiri tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih besar. Seharusnya setiap kebijakan maupun perijinan yang dikeluarkan pada kawasan konservasi harus harus mengacu kepada kepentingan fungsi konservasi kawasan tersebut.
Kondisi ini menggambarkan kondisi tidak
berjalannya sistem pengendalian ruang Dimana dalam teori sistem dijelaskan bahwa kerusakan lingkungan terjadi akibat alokasi sumber daya yang tidak efisien sebagai dampak dari: (i) kegagalan pasar dan atau (ii) kesalahan negara/pemerintah Mihalic (2003). Peraturan yang dikeluarkan berjalan sendirisendiri tidak ada koordinasi walaupun sudah ada beberapa aturan yang dikeluarkan. Seharusnya peraturan
dibuat agar mengacu pada aturan yang
menekankan pentingnya arti peran dan fungsi kawasan konservasi seperti sebagai daerah tangkapan air, terjaganya kanyamanan dan keindahan kawasan yang manfaat jasa lingkungan tersebut
sangat penting bagi
kawasan lain
dibawahnya. Banyak perijinan baru dikeluarkan oleh pemerintah daerah semata untuk mengejar tingkat pendapatan asli daerah (PAD) semata tanpa melihat keberlanjutannya dimasa depan. Padahal apabila fungsi dan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh kawasan konservasi Tahura terutama fungsi air yang terjaga dengan baik, maka debit air yang tersedia akan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, pemanfaatan untuk PLTA dan pemanfaatan untuk ketersediaan air baku untuk PDAM yang jangkauan pelayanan keduanya melingkupi Propinsi, Kabupaten dan Kota Bandung. Pemerintah daerah dapat menarik pajak dari kedua perusahaan tersebut atas manfaat yang mereka terima dari terjaga baiknya kawasan konservasi. Kawasan sekitar Tahura Djuanda merupakan wilayah yang memiliki fungsi konservasi tinggi. Perubahan lahan yang terjadi di kawasan sekitar
176 konservasi akan berdampak negatif terhadap sistem ekologis kawasan tersebut sebagai wilayah konservasi yang menyediakan jasa lingkungan khususnya jasa lingkungan air (hidrologis) bagi masyarakat Kota Bandung. Kecenderungan perubahan lahan tersebut selain disebabkan oleh faktor kebutuhan perluasan lahan kota, juga diduga disebabkan oleh posisi kawasan sekitar Tahura Djuanda yang memiliki keindahan pemandangan (scenic beauty) dan lingkungan alami yang asri sehingga sangat nyaman sebagai permukiman. Dalam hal ini scenic beauty dari kawasan yang berbatasan dengan pusat kota dapat memicu terjadinya urban sprawl. Perubahan lahan yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar kawasan Tahura Djuanda terkait pula dengan apresiasi masyarakat terhadap nilai lindung atau konservasi dari kawasan tersebut. Pengabaian terhadap nilai tersebut mendorong perubahan lahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan masyarakat tanpa mempertimbangkan nilai strategis kawasan tersebut yang menyediakan sejumlah jasa lingkungan yang sangat penting sebagai penyangga kebutuhan masyarakat khususnya dalam penyediaan jasa lingkungan hidrologis. Teori perilaku lingkungan menjelaskan keberadaan kerusakan lingkungan: 1) melalui ketidak-hadiran etika social lingkungan dan 2) sebagai sebuah produk dari ketidaktahuan manusia. Ketidakhadiran etika sosial lingkungan merupakan alasan utama atas kerusakan dan degradasi lingkungan. Istilah ini mengacu pada standar dan prinsip yang mengatur perilaku dari individu atau kelompok-kelompok individu dalam hubungannya dengan lingkungan (Rue dan Byars, 1986:71). Keberadaan Tahura Djuanda memberikan manfaat yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat sekitar baik dari segi ekologi maupun dari segi ekonomi dan sosial misalnya sebagai daerah penyangga untuk konservasi air, pelestarian plasma nutfah, peninggalan sejarah, sumber air irigasi untuk mengairi sawah dan kebun/ ladang, sumber air bersih untuk keperluan rumah tangga, sumber air bersih industri termasuk menggerakkan turbin PLTA, tempat wisata sehingga mampu menggerakkan perekonomian rakyat sekitar Tahura Djuanda dan
mampu
meningkatkan
pendapatan
asli
daerah.
Apabila
didalam
pemanfaatan tahura ini tidak terpelihara dengan baik, maka potensi yang besar tersebut akan terancam kelestariannya yang dapat mengganggu perekonomian masyarakat yang memanfaatkan kawasan sekitar tahura tersebut.
177 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di desa penyangga Kawasan Tahura Djuanda antara lain sebagai kawasan konservasi air (kesinambungan sumber air) dan ekowisata, penyedia lapangan kerja sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar Tahura Djuanda, menjamin ketersediaan udara segar, menjaga keindahan dan kelestarian sumberdaya hayati dan ekosistem yang ada di dalamnya, menyerap polusi, tempat menanam rumput, tempat mencari kayu bakar, menyerap polusi, mencegah longsor dan erosi serta menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Masyarakat desa penyangga Tahura Djuanda berharap agar pengelolaan Tahura Djuanda lebih meningkatkan keterlibatan masyarakat sekitar, sehingga masyarakat mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Untuk menjamin keberadaan dan kelestarian Tahura Djuanda Dinas Kehutan Provinsi Jawa Barat dalam hal ini Balai Pengelola Tahura Djuanda diharapkan meningkatkan kegiatan sosialisasi tentang pentingnya keberadaan Tahura Djuanda dan pemberdayaan masyarakat sekitar agar mampu memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Masyarakat sekitar Kawasan Tahura Djuanda merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap keberadaan Tahura Djuanda. Dari segi pengunjung bahwa fasilitas di dalam Tahura Djuanda perlu ditingkatkan dan dipelihara dengan baik, karena sampai saat ini pengunjung merasakan bahwa kondisi di dalam Tahura Djuanda kurang terawat, sarana tempat pembuangan sampah sangat kurang, jalur jogging track masih dilalui oleh kendaraan bermotor sehingga tujuan mencari udara segar menjadi polusi dari asap sepeda motor. Walaupun hal ini sangat sederhana tetapi berpengaruh terhadap jumlah kunjungan ke Tahura Djuanda. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan yang ada sekarang belum optimal terutama dalam hal ketersediaan sarana dan prasarana, keterlibatan masyarakat, perawatan fasilitas yang ada di dalam dan di sekitar kawasan, vegetasi tanaman yang semakin berkurang, kurangnya promosi dan keterbatasan sumberdaya manusia. Kebijakan Pengendalian Ruang Dari hasil analisis perubahan lahan disekitar Tahura selama 14 tahun dari tahun 1992 sampai tahun 2006 telah terjadi konversi penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan non hutan sebesar 793 hektar. Berdasarkan hasil analisis
178 nilai ekonomi total kawasan Tahura diperoleh nilai lahan per hektar sebesar Rp 13.754.152.101,- (Rp.13,8 milyar) per ha. Sehingga selama 14 tahun telah terjadi kehilangan senilai Rp. 10.907.042.616.093,- (Rp 10,9 triliun/ha). Kerugian pertahunnya adalah Rp. 779.074.472.578,- (779 milyar per hektar per tahun),akibat konversi pengguna lahan. Nilai ini disebut juga nilai konversi. Dimasa mendatang bilat terjadi pembangunan yang tidak dapat dielakkan harus melakukan konversi, maka nilai konversi harus dibebankan kepada pengembang dan dimasukkan kedalam perhitungan diluar nilai pasar lahan. Dari hasil analisis potensi keindahan kawasan sekitar Tahura didapatkan bahwa keindahan kawasan sekitar Tahura mempunyai tingkat keindahan rendah sebesar 13,33%, tingkat keindahan sedang sebesar 48,33% dan tingkat keindahan tinggi sebesar 38,33%. Potensi kawasan in masih baik sehingga kondisi ini dimasa mendatang akan tetap menarik minat untuk melakukan pembangunan di kawasan ini. Potensi keindahan kawasan Tahura yang masih didominasi unsur alami dengan bentang alam yang berbukit memberikan banyatk titik strategis (vantage point) yang memberikan arah pemandangan yang sangat indah.
Pada
ketinggian
didaerah
sekitar
Tahura
akan
dapat
melihat
pemandangan kota Bandung dan dengan dikelilingi suasana alami dengan udara yang segar akan membuat daerah dengan preferensi tinggi untuk ditempati. Keindahan kawasan sekitar Tahura yang mempunyai nilai rendah terutama pada kawasn terbangun yang padat dan pada tanah terlantar. Hasil penelitian Schroeder dan Connor (1987) atas peran keberadaan pohon jalan (street trees) pada suatu ruas jalan di Ohio menunjukkan menunjukkan bahwa jalan yang berpohon memiliki dampak yang kuat bagi masyarakat dalam menilai kualitas keindahan jalan-jalan perumahan bahwa keberadaaan pohon pada halaman rumah (yard trees )
dimana tidak adanya pohon di jalan akan
memberikan kontribusi yang tinggi bagi kualitas visual jalan tersebut. Sehingga dalam meningkatkan keindahan area yang masih rendah dapat dilakukan penanaman pohon di sepanjang jalan atau tanah terlantar agar dapat memberikan keindahan estetika juga memberikan keuntungan ekologis lainnya seperti menambah luasan untuk menyerap karbon dari polusi udara dan membantu infiltrasi air tanah dan mengurangi air larian. Dari hasil AHP menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian ruang di kawasan adalah zonasi, pemberian izin, insentif dan disinsentif dan pemberian sangsi.
179
1.
Kebijakan Zonasi Dari hasil penilaian keindahan kawasan sekoitar Tahura didominasi
dengan kondisi kiendahan dengan kategori sedang, yang berarti bahwa terjadi penurunan kualitas keindahan akibat tingginya perubahan lahan dari lahan hutan menjadi ladang dan perumahan. Sehingga kondisi ini dilihat oleh para pakar yang tercermin dari urutan prioritas adalah fungsi ekologi yang menunjukkan bahwa kawasan sekitar Tahura mengalami penurunan kualitas akibat perubahan penggunaan lahan sehingga perlu untuk menjaga dan mengembalikan fungsi utamanya sebagai daerah tangkapan air. Pemerintah
provinsi
sebagai
aktor
utama
pembuatan
kebijakan
pengendalaian ruang dan dalam perencanaan dan pembangunan kawasan berperan dalam sebagai wakil pemerintah dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintah di tingkat provinsi dan urusan lintas kabupaten/ kota. koordinator
dalam
pembuatan
kebijakan
pengendalian
ruang
Menjadi kawasan
konservasi. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama ini dikarenakan peraturan yang ada tidak cukup detail untuk mengatur kegiatan yang ada, sehingga setiap pemerintah kabupaten memberikan interpretasi yang berbeda mengenai aturan yang dikeluarkan. Dengan adanya pembuatan zonasi yang jelas dan detail untuk kawasan sekitar Tahura maka diharapkan pembangunan dapat diarahkan dengan baik. Peraturan zonasi tersebut harus diperkuat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), sehingga mengikat baik masyarakat maupun pemerintah daerah. Penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah daerah untuk meloloskan pemanfaatan yang menyalahi aturan zoning juga akan sangat mudah diketahui dan dikendalikan oleh masyarakat. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
180 Peraturan zonasi yang lengkap akan memuat prosedur pelaksanaan pembangunan sampai ke tata cara pengawasannya. Sebagai pedoman penyusunan rencana operasional. Ketentuan zoning dapat menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, memuat ketentuan-ketentuan tentang penjabaran rencana yang bersifat makro ke dalam rencana yang bersifat sub makro sampai pada rencana yang rinci. Sebagai panduan teknis pemanfaatan lahan. Ketentuan zoning mencakup guna lahan, intensitas pembangunan, tata bangunan, prasarana minimum, dan standar perencanaan. Peraturan zonasi terdiri atas: zoning text/ zoning statement/legal text: berisi aturan-aturan menjelaskan tentang tata guna lahan dan kawasan, permitted
and
conditional
uses,
minimum
lot
requirements,
standar
pengembangan, administrasi pengembangan zoning. Zoning map: berisi pembagian blok peruntukan (zona), dengan ketentuan aturan untuk tiap blok peruntukan tersebut menggambarkan peta tata guna lahan dan lokasi tiap fungsi lahan dan kawasan. . 2.
Kebijakan Perizinan . Perizinan
pemanfaatan
ruang
dimaksudkan
untuk
mencegah
penyimpangan pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus sesuai dengan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin pemanfaatan ruang dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara dan pidana denda. Pemerintah Propinsi dapat melakukan pengendalian pembangunan di kawasan sekitar Tahura dengan menjaga konsistensi pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, sedangkan sasarannya adalah meminimalkan penyimpangan terhadap RTRWP yang dilaksanakan melalui pengawasan dan penertiban. Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang adalah : 1. Mengendalikan pemanfaatan ruang melalui pengawasan dan penertiban yang didasarkan kepada RTRWP. 2. Menjadikan pemberian izin pemanfaatan ruang sebagai salah satu alat pengendali
pemanfaatan
ruang
yang
merupakan
kewenangan
181 Kabupaten/Kota
dalam
pelaksanannya
memperhatikan
dan
mempertimbangkan RTRWP. Dalam
menjalankan
kebijakan
tersebut,
koordinasi
pengendalian
pemanfaatan ruang dilakukan oleh Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Propinsi (TKPRD) yang ditetapkan oleh Gubernur. Proses perizinan dalam pengendalian pemanfatan ruang pada dasarnya merupakan suatu konfirmasi terhadap rencana atau usulan pemanfaatan ruang yang akan mengubah atau mempertahankan fungsi utama kawasan, guna lahan, dan intensitas kegiatan. Keputusan penertiban izin terhadap permohonan pemanfaatan ruang yang berlangsung harus mempertimbangkan lima kriteria utama, yaitu: 1.
Fungsi utama kawasan dengan kesesuaian lahannya.
2.
Penggunaan lahan yang diperkenankan.
3.
Intensitas pembangunan yang ditetapkan.
4.
Penyesuaian/pelandaian lahan yang diperbolehkan.
5.
konflik fungsional antara peruntukan dengan kecenderungan perkembangan yang terjadi.
Sesuai dengan hirarki rencana tata ruang penertiban izin dalam pemanfaatan ruang harus mengacu kepada RTRW Kabupaten/Kota dan rencana yang lebih rendah : 1.
RTRW Kabupaten/Kota (skala 1:50.000 – 1:20.000), digunakan sebagai acuan penertiban perizinan lokasi peruntukan ruang untuk suatu kegiatan.
2.
RRTRW (Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah) kawasan (Skala 1:10.000 – 1:15.000), digunakan sebagai acuan penertiban perizinan perencanaan pembangunan (planning permit) bangunan dan bukan bangunan.
3.
RRTRW
Sub
Kawasan/RTRK
(skala
1:1.000
–
1:5.000),
digunakan sebagai acuan penertiban perizinan letak dan rancangan bangunan dan bukan bangunan termasuk di sini adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pedoman penataan ruang dan bangunan, seperti Panduan Rancang
Kota
(Urban
Design
Guidlines)
dan
Panduan
182 Pembangunan Kota (Urban Development Guidlines) pada skala rencana rinci. 3. Kebijakan Pemberian Insentif dan Disinsentif Pemberian insentif dimaksudkan untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dillakukan oleh masyarakat maupun pemerintah. Insentif yang diberikan bisa berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana, pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, dan pemberian penghargaan. Keterlibatan
atas
partisipasi
masyarakat
memberikan kontribusi bagi pengendalian ruang,
sekitar
kawasan
dapat
masyarakat yang sudah
merasakan manfaat dari keberadaan Tahura akan tiibul rasa memiliki Tahura, sehingga akan menjaganya dari ancaman. Disinsentif dimaksudkan untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Disinsentif yang diberikan dapat berupa pengenaan pajak tinggi, pembatasan penyediaan sarana dan prasarana, serta pengenaan kompensasi dan penalti. Bila ada pembangunan yang akan atau sudah merubah fungsi lahan harus dikenakan nilai konversi sebesar Rp. 779.074.472.578,- (779 milyar per hektar per tahun),4. Pemberian Sanksi Dalam pengembangan kebijakan pengendalian ruang perlu ditindak lanjut dengan adanya sangsi bagi pelanggar atau ketidak sesuaian dengan peraturan. Hal ini perlu ada agar peraturan dapat lebih bergigi dan berwibawa. Perlu dibuat peraturan yang operasional seperti peraturan Gubernur atau peraturan Bupati yang mengatur pemberian sanksi. Bentuk-bentuk penertiban berupa sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran rencana pemanfaatan ruang adalah sanksi administrasi, sanksi pidana, maupun sanksi perdata. Pengenaan sanksi dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang sanksi pelanggaran yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bentuk sanksi yang dapat di kenakan adalah sebagai berikut : 1.
Pencabutan Ijin, yaitu ijin lokasi, ijin perencanaan, Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Ijin Undang-undang Gangguan (IUUG/HO), Analisis
183 Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan ijin lainnya yang berlaku. 2.
Pembongkaran bangunan
3.
Perlengkapan perijinan
4.
Denda
5.
Kurungan
Sanksi tersebut di atas dapat di kombinasikan sesuai dengan keperluannya. Sanksi administratif dapat dikenakan oleh pejabat yang berwenang, sementara sanksi pidana dan perdata dikenakan oleh pengadilan. 5. Pembayaran Manfaat Keberadaan Tahura yang terjaga akan memberikan jasa lingkungannya kepada berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat penggunaan air sudah dirasakan dalam penggerak turbin di PLTA Bengkok, dari hasil interview dengan pejabat PLTA Bengkok bahwa mereka merasakan benar manfaat yang dengan keberadaan Tahura dimana debit air dapat terjaga dengan kontinyu. Disampaikan bahwa bila pengelola Tahura dapat bekerja sama untuk menjaga sampah yang masuk ke dalan stilling pond, maka pihak PLTA mau berkontribusi untuk menjalankan program tersebut. Program yang sama dapat diperluas dengan pihak PDAM Kota Bandung yang memperoleh air baku untuk air minum kota Bandung dari Sungai Cikapundung yang kondisi debitnya terjaga dengan keberadaan Tahura. Pemerintah provinsi dapat melihat hal ini sebagai pendapatan daerah yang diperoleh dari manfaat menjaga fungsi konservasi kawasan Tahura. Sudut pandang yang hanya melihat PAD dari kawasan Tahura berasal dari retribusi akan mengecilkan atau mengabaikan nilai ekonomi Tahura secara keseluruhan. Sehingga pemerintah merasakan perlu adany kebijakan yang melindungi Tahura dari ancaman yang datang dari pembangunan di kawasan sekitarnya. 6. Daya Dukung Kawasan Studi Berdasarkan kajian Distarkim Jabar, 2005. Penataan Ruang di Wilayah Metropolitan Bandung (2005) yang digunakan untuk merumuskan arahan penataan ruang di Wilayah Metropolitan Bandung sesuai dengan kedudukannya sebagai kawasan andalan secara terpadu, khususnya tahapan analisis daya dukung dan daya tampung kawasan Metropolitan Bandung diperoleh hasil sebagai berikut :
184 1.
Prediksi jumlah penduduk yang dapat ditampung di kawasan Metropolitan bandung pada tahun 2025 adalah sebagai berikut : Daya Tampung Ruang (Jiwa) Kepadatan No
Kabupaten/Kota
Kawasan
Penduduk
Kawasan
Perdesaan
Perkotaan
Perkotaan
Total
(Jiwa/Ha) 1
Kota Bandung
2
Kota Cimahi
3
4
Kabupaten Bandung 5 Kec di Kab. Sumedang
Metropolitan Bandung
2.
7.26
200
3.010.778
3.018.038
5.135
150
520.508
525.642
2.499.500
100
4.952.253
7.451.753
249.885
100
220.824
470.709
8.704.362
11.466.141
2.761.779
Dengan menggunakan analisis beberapa parameter dari karakteristik fisik dasar anatara lain iklim, kemiringan lereng, morfologi, litologi, bahan permukaan dan sumber daya air diperoleh hasil yang dapat dilihat tabel dibawah ini dan gambar grafik daya dukung dan daya tampung.
185
Gambar 44. Grafik Daya Tampung Ruang Maksimal vs Kecenderungan Pertumbuhan Penduduk Kabupaten/Kota
Gambar 45. Pola Sebaran Daya Dukung Maksimal per Kecamatan di Kawasan Metropolitan Bandung
186 3.
Berdasarkan pola sebaran daya dukung maksimal per kecamatan dalam lingkup wilayah analisis kawasan Metropolitan Bandung diperoleh hasil bahwa tahun terlampauinya daya dukung maksimal di kawasan Bandung Utara (KBU) khususnya kecamatan Cimenyan pada tahun 2005 sedangkan kecamatan Lembang pada tahun 2020.
Dari hasi kajian tersebut tampak bahwa daya dukung perkecamatan Cimenyan sudah terlampaui artinya pembangunan harus benar-benar dikendalikan. Sedangkan untuk kecamatan Lembang daya dukung akan terlampaui pada tahun 2020. Sehingga pembangunan masih dapat dilakukan. 9.3. Strategi Implementasi Kebijakan Pengendalian Untuk mengoptimalkan pelaksanaan implementasi kebijakan pengendalian ruang diperlukan beberapa strategi agar kebijakan tersebut dapat dioperasionalkan dengan baik antara lain: 1. Aspek Legal Untuk mengendalikan pemanfaatan ruang di sekitar Kawasan Tahura Djuanda diperlukan legal aspek yang mampu mengikat dan mencegah terjadinya pelanggaran baik oleh masyarakat umum sebagai pelaku yang memanfaatkan ruang maupun pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Legal aspek yang dimaksud adalah dalam bentuk peraturan-peraturan daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat dan diawasi oleh pemerintah propinsi maupun pusat. Pembuatan legal aspek diharapkan mampu
menekan
pemanfaatan
ruang
yang
tidak
sesuai
dengan
peruntukkannya sehingga keberlanjutan ekologis dapat dipertahankan. 2. Aspek Kelembagaan Aspek kelembagaan yang diperlukan dalam operasionalisasi kebijakan pengendalian ruang adalah lembaga yang menetapkan dan merencanakan seperti Pemda, lembaga yang menilai permohonan pembangunan yang tidak sesuai dengan zonasi, lembaga yang ada saat ini TKPRD (Tim Koordinasi Perencanaan Ruang Daerah) anggotanya berasal dari pemda sehingga perlu lembaga yang independent dengan anggota yang diperluas dengan
187 perwakilan dari asosiasi profesi, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM). Adanya lembaga yang mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Karena sistem kelembagaan akan berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan mulai dari tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan kebijakan dengan kata lain bahwa kelembagaan akan menjamin koordinasi antara beberapa lembaga yang terkait sehingga memudahkan kontrol dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan. Sistem kelembagaan dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian ruang harus jelas, baik dari segi fungsi maupun manfaatnya sehingga apa yang menjadi tujuan dan sasaran dari sebuah kebijakan dapat tercapai dengan baik. 3. Penguatan SDM Sumber daya manusia yang diperlukan adalah spesialisasi di bidang penataan ruang
sehingga dia mampu menjelaskan dan menerangkan
tentang peraturan – peraturan di bidang tata ruang, terutama dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan yang sesuai atau tidak sesuai dengan rencana zonasi dalam hal ini adalah penyidik pegawai negaeri sipil dalam pelaksanaan rencana tata ruang.(PPNS penataan ruang). 4. Sosialisasi produk rencana Perencanaan zonasi yang dibuat pada suatu daerah atau kawasan perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat atau stakeholder yang terkait sehingga diharapkan mendapat umpan balik dari masyarakat dalam penyempurnaan perencanaan. 5. Membangun komitmen bersama Mengingat rencana pengendalian ruang di sekitar kawasan tahura lintas batas administrasi sehingga diperlukan komitmen bersama dalam perlindungan ruang kawasan untuk terjaganya kondisi ekologis kawasan tersebut yang sangat penting bagi kawasan di bawahnya seperti Kota Bandung.
X. KESIMPULAN DAN SARAN 10.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1. Selama periode 1992-2006 penggunaan lahan hutan mengalami pengurangan areal yang cukup besar seluas 517,75 ha, penggunaan lahan ladang mengalami penambahan luas 493 ha dan penggunaan lahan untuk pemukiman naik sebesar 300 ha dan penggunaan lahan kebun campuran mengalami penurunan sebesar 275 ha. Sehingga selama 14 tahun telah terjadi perubahan lahan hutan menjadi penggunaan non hutan sebesar 793 ha. Perkembangan kawasan terbangun di wilayah Bandung membentuk konfigurasi spasial yang menyebar ke segala arah walaupun struktur jaringan jalan utamanya pada saat ini mengarah pada pola ribbon development kecuali di bagian selatan yang berbentuk radial. Penggunaan lahan pemukiman ini lokasinya tersebar yang merupakan ciri dari adanya pembangunan perumahan yang meloncat (leap frog development). Kondisi ini merugikan dalam pengembangan daerah permukiman karena sebarannya yang tidak terpusat menyebabkan ketidakefisienan dalam penyediaan fasilitas dan infrastruktur perumahan. 2. Keindahan kawasan sekitar Tahura mempunyai tingkat keindahan Rendah sebesar 13,33%, tingkat keindahan Sedang sebesar 48,33% dan tingkat keindahan Tinggi sebesr 38,33%. Dominasi kawasan oleh kondisi alami seperti pohon yang masih baik kondisinya dan bentang alam yang berbukit, ada beberapa area dengan nilai tinggi walaupun merupakan kombinasi antara unsur alami dengan unsur buatan (artifisial). Model yang dihasilkan menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh negatif pada keindahan estetika kawasan adalah bahwa hard material (ordered, finished) ‘X1’, dan abandoned land (tanah bera) ‘X5’. Sedangkan paved land/path (path, steping stone, dll) ‘X6’ memberikan pengaruh positif pada keindahan wilayah sekitar Tahura. Potensi kawasan in masih baik sehingga kondisi ini dimasa mendatang akan tetap menarik minat untuk melakukan pembangunan di kawasan ini.
189
3. Nilai ekonomi total dari pemanfaatan kawasan Tahura Djuanda sebesar Rp. 7.248.163.074.446 per tahun. Nilai ini termasuk cukup besar jika dibandingkan dengan luas kawasan pengelolaan Tahura yaitu hanya sekitar 526,98 hektar dengan nilai Rp 13.754.152.101,- per ha. Selama 14 (empat belas) tahun telah terjadi konversi penggunan lahan hutan sebesar 793 ha, sehingga kerugian yang dialami senilai Rp. 10.907.042.616.093,- (Rp 10,9 triliun/ha). Kerugian pertahunnya adalah Rp. 779.074.472.578,- (779 milyar per hektar per tahun),-. Dimasa mendatang bila terjadi pembangunan yang tidak dapat dielakkan harus melakukan konversi, maka nilai konversi harus dibebankan kepada pengembang dan dimasukkan kedalam perhitungan diluar nilai pasar lahan Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di desa penyangga Kawasan Tahura Djuanda antara lain sebagai kawasan konservasi air dan ekowisata, penyedia lapangan kerja sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar 4. Dalam pengendalian ruang kawasan tahura Djuanda aktor utama dalam penentuan kebijakan pengendalian tata ruang untuk mempertahankan Tahura adalah pemerintah propinsi, prioritas kedua aktor yang berperan adalah pemerintah Kabupaten atau Kota. Berikutnya pemerintah Kabupaten,
peran swasta dan
masyarakat. Dalam kebijakan pengendalian Tahura aspek utama yang diperhatikan adalah fungsi ekologis sebagai dasar penetuan kebijakan pengendalian ruang, baru aspek ekonomi dan berikutnya aspek sosial. Dilihat dari aspek ekologi (lingkungan) pengelolaan diarahkan untuk mencapai tujuan terjaganya kelestarian daerah resapan
air.
Aspek
ekonomi
adalah
keberlanjutan
usaha,
peningkatan
kesejahteraan masyarakat sekitar tahura dan tersedianya infrastruktur yang memadai. Aspek sosial adalah peran masyarakat, budaya lokal dan penyediaan lapangan pekerjaan. Sedangakan
prioritas kebijakan diarahkan pada penetapan peraturan zonasi,
mekanis me perizinan yang transparan dan terpadu, pemberian insentif dan disinsentif kepada masyarakat dan pengusaha dalam pengendalian ruang, dan pemberlakuan sanksi yang jelas dan tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap tata ruang kawasan.
190
10.2. Saran 1. Perlu adanya standardisasi pemberian izin perumahan oleh pemerintah kabupaten/kota. Sehingga kawasan perumahan dapat lebih efisien dan efektif dalam pemanfaatan lahannya dan sekaligus mengurangi dampak kerusakan lingkungan 2. Perlunya dibuat program ekowisata yang menarik untuk memanfaatkan obyek wisata yang hanya ada di Tahura yaitu Patahan Lembang, patahan merupakan suatu fenomena geologis yang jarang ditemui. Sehingga dengan adanya paket ekowisata yang edukatif dapat meningkatkan fungsi ekowisata Tahura dan memberikan lapangan kerja bagi penduduk sekitar. 3. Perlu dibuat studi lanjutan pada mengenai pembayaran jasa lingkungan bagi manfaat keberadaan Tahura oleh daerah atau penerima manfaat. Dengan ada mekanisme pembayaran
jasa lingkungan yang baik maka pembangunan
daerah akan lebih berkelanjutan..