IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD 4.1.
Pendahuluan Kondisi iklim dan ketersediaan air yang optimal bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman sangat diperlukan dalam upaya mendukung strategi budidaya tanaman sesuai ruang dan waktu. Pola dan waktu tanam yang tidak sesuai dengan kondisi iklim dan ketersediaan air yang tepat dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang relatif tinggi. Pada umumnya petani mempunyai pengetahuan yang cukup dalam menentukan sesuai atau tidaknya kondisi iklim bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Namun demikian petani masih belum mampu mengantisipasi dampak perubahan iklim yang akan merugikan tanaman tersebut. Frekuensi dan durasi anomali iklim yang semakin tinggi akibat ENSO maupun IOD menyebabkan petani menghadapi permasalahan yang pelik dalam menentukan saat tanam. Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan analisis ketersediaan air bagi tanaman dengan memadukan aspek iklim berupa curah hujan yang dikaitkan dengan kandungan air tanah dan penggunaan air oleh tanaman itu sendiri. Penetapan potensi waktu tanam padi di wilayah yang terindikasi sering dipengaruhi oleh kondisi anomali iklim perlu dilakukan guna membantu petani dalam meminimalisasi kehilangan hasil. Awal musim tanam (onset) padi tergantung pada pola hujan pada suatu wilayah seperti halnya musim tanam pertama (MT I) dimulai pada musim hujan dan musim tanam kedua (MT II) memasuki musim kemarau dan musim tanam ketiga (MT III) pada musim kemarau. Meningkatnya intensitas dan frekuensi anomali iklim tersebut dapat mengakibatkan secara langsung gangguan terhadap sistem produksi padi. Untuk menetapkan pola tanam dan potensi waktu tanam padi salah satunya dengan melakukan analisis neraca air agar diperoleh informasi periode kritis tanaman yang pada gilirannya lebih aplikatif untuk perencanaan waktu tanam dan menekan resiko kekeringan. Penelitian tentang penentuan periode defisit air
76
berdasarkan neraca air tanaman telah dikembangkan oleh FAO sejak tahun 1973 dengan menghitung kebutuhan air tanaman dalam kaitannya dengan produksi. 4.2.
Metodologi Untuk menentukan waktu tanam optimal padi lahan tadah hujan
ditentukan dengan menggunakan Indeks Kecukupan Air Tanaman dan potensi kehilangan hasil (Lidon and Affholder 2000). Untuk menentukan waktu tanam optimal padi sawah ditentukan dengan menggunakan
model neraca air
ketersediaan-kebutuhan irigasi (Kartiwa 2009). 4.2.1. Penentuan Waktu Tanam Padi Lahan Tadah Hujan Untuk menentukan waktu tanam optimal lahan tadah hujan digunakan Indeks kecukupan air tanaman yang ditetapkan berdasarkan rasio antara Evapotranspirasi riil/aktual (ETr/Eta) dengan Evapotranspirasi maksimal/crop (ETm/ETc) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman dengan penekanan pada periode defisitnya menggunakan model neraca air yang dikembangkan oleh FAO dalam bulletin no 56 (Allen et al. 1988). Model tersebut dimodifikasi dan dikembangkan di daerah tropis khususnya di Indonesia. Kalibrasi serta validasi telah dilakukan di Jawa Tengah (Lidon and Affholder 2000) kemudian telah diaplikasikan untuk tanaman hortikultura (Apriyana 2003) dan padi (Sosiawan 2002). Saat ini model tersebut telah disempurnakan ke dalam model WARM (Water and Agroclimate Resource Management) versi 2.0 (Runtunuwu et al. 2007).
Nilai yang
menyatakan bahwa tanaman padi tumbuh dalam kondisi
kecukupan air adalah indeks dengan nilai mendekati 1, dengan batas kritis 0,8 (Lidon and Affholder 2000). Untuk menentukan waktu tanam yang tepat dibuat skenario tanggal tanam setiap sepuluh hari. Dalam
model
WARM,
evapotranspirasi
juga
ditentukan
dengan
menghitung berbagai komponen neraca air tanah. Metode ini terdiri dari penilaian fluks air masuk dan keluar ke zona akar tanaman selama beberapa periode waktu. Irigasi (I) dan curah hujan (P) menambahkan air ke zona akar. Bagian dari I dan P yang hilang oleh aliran permukaan (RO) dan perkolasi dalam (DP) yang pada akhirnya akan mengisi ulang tabel air. Air juga bisa diangkut ke atas oleh kenaikan kapiler (CR) dari tabel air dangkal terhadap zona perakaran atau bahkan ditransfer secara horisontal dengan aliran bawah permukaan dalam (SFin) atau
77
keluar dari (SFout) zona akar. Dalam kondisi landai nilai SFin dan SFout relatif kecil sehingga dapat diabaikan. Tanah penguapan dan transpirasi tanaman menguras air dari zona akar. Jika semua fluksi selain evapotranspirasi (ET) dapat dinilai, evapotranspirasi dapat disimpulkan dari perubahan konten tanah air ( SW) selama periode waktu: ETP = I + P - RO - DP + CR ± SF ± SW
(1)
Kandungan air tanah maksimum bilamana tanah mencapai kapasitas lapang sedangkan kandungan tanah minimum bila mencapai titik kritis irigasi, kondisi tersebut menggambarkan nilai kandungan air yang diabsorbsi tanah yang dapat digunakan untuk tanaman (Muller 1996). Jumlah air yang diperlukan oleh tanaman tersebut dinamakan air tersedia dalam mm yang bervariasi sepanjang masa pertumbuhan tanaman (Apriyana 2003) dan merupakan fungsi dari pertumbuhan akar (Forest 1984). 4.2.2. Pendugaan ETR (Evapotranspirasi Riil) Tanaman Kebutuhan air riil tanaman (ETR) atau Evapotranspirasi aktual (ETa) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Lidon and Affholder 2000): (2)
ETR= Ks x ETM = Ks x Kc x ETP
Ks
TAW Dr TAW RAW
TAW Dr (1 p ) TAW
(3)
Dimana: ETR ETM Ks TAW RAW Dr p
= = = = = = =
Evapotranspirasi riil tanaman Evapotranspirasi Maksimum tanaman Koefisien stress Total air tanah tersedia di daerah perakaran (mm) Air tersedia bagi tanaman (mm) Deplesi daerah perakaran (mm) Fraksi dari total air tanah tersedia
Koefisien tanaman padi setiap fase disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Nilai koefisien tanaman (kc) padi pada setiap fase pertumbuhan (FAO, 1997)
Fase pertumbuhan
Hari ke
Kc
Perkembangan vegetatif
20-50
1.05
Pembungaan
50-90
1.15
Pematangan
90-115
0.70
78
4.2.3. Pendugaan Evapotranspirasi Maksimum Tanaman. Kebutuhan air maksimum tanaman (ETM) dapat dihitung dengan menggunakan data ETP dan koefisien tanaman (Lidon and Affholder 2000):
ETM
Kc ETP
(4)
dimana: ETM = Evapotranspirasi Maksimum Kc = Koefisien tanaman ETP = Evapotranspirasi Potensial Data yang dibutuhkan untuk analisis indeks kecukupan air (ETR/ETM) adalah periode fase pertumbuhan dan fase fenologi tanaman, koefisien stress, kedalaman perakaran maksimum, tinggi tanaman maksimum, dan kadar air tanah pada kapasitas lapang dan titik layu permanen. Diagram alir analisis penentuan potensi saat tanam padi di lahan tadah hujan disajikan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Diagram alir análisis neraca air untuk penentuan potensi waktu tanam padi lahan tadah hujan.
79
4.2.4. Penentuan Waktu Tanam Padi Lahan Irigasi Analisis lahan sawah irigasi dihitung berdasarkan neraca antara ketersediaan air dari dari bendung irigasi serta curah hujan dan kebutuhan irigasinya. Kebutuhan irigasi terdiri dari kebutuhan tanaman, kebutuhan air untuk pengolahan tanah dan kehilangan air karena perkolasi. Analisis kebutuhan tanaman dilakukan berdasarkan estimasi kebutuhan air tanaman menurut Metode FAO (Doorenbos dan Kassam 1979). Kebutuhan air untuk pengolahan dan penggenangan lahan dihitung berdasarkan rekomendasi PU sedangkan perkolasi ditetapkan berdasarkan survei lapang. Untuk menghitung kebutuhan irigasi lahan sawah dihitung berdasarkan ketetapan sebagai berikut: Irigasi diberikan apabila tinggi genangan pada lahan sawah lebih rendah
dari batas ketinggian genangan terendah yang diperkenankan : G i G min G i G i 1 Perc i ETc i CH i )
(5)
dimana, : tinggi genangan air lahan sawah pada hari ke-i (mm) Gi Gmin : tinggi genangan air lahan sawah minimum (mm) Irigasi dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
Iri G max (G i 1 Perc i ETc i CH i )
(6)
dimana, Iri Gmax Gi-1 Perc ETc,i CHi
: kebutuhan irigasi pada hari ke-i (mm) : tinggi genangan air lahan sawah maksimum (mm) : tinggi genangan air lahan sawah pada hari ke-(i-1) (mm) : perkolasi (mm) : evapotranspirasi tanaman pada hari ke-i (mm), : curah hujan pada hari ke-i (mm)
Data masukan yang diperlukan dalam perhitungan analisis neraca air lahan sawah irigasi meliputi:
luas daerah irigasi (DI),
debit irigasi dari bendung irigasi (10 harian),
pola tanam tahunan,
80
data hujan dan evapotranspirasi (ETP) harian. Diagram alir analisis penentuan potensi saat tanam padi di lahan tadah
hujan disajikan pada Gambar 4.2
Lahan sawah irigasi
Gambar 4.2 Diagram alir neraca air untuk penentuan potensi waktu tanam padi lahan irigasi. 4.3.
Hasil Dan Pembahasan Waktu Tanam Optimal
4.3.1. Waktu Tanam Optimal di Wilayah Monsunal
Indramayu dan Cianjur merupakan dua kabupaten sentra produksi padi Jawa Barat yang berada di wilayah pola hujan monsun. Hampir seluruh lahan sawah di daerah Indramayu terkena dampak anomali iklim baik oleh ENSO maupun IOD sedangkan daerah Cianjur sebagian besar lahan sawah berada pada wilayah yang tidak dipengaruhi oleh kedua anomali iklim tersebut. Untuk memperoleh gambaran kalender tanam padi di kedua kabupaten tersebut dilakukan analisis potensi waktu taman dengan mengambil sampel tiga kecamatan yang mempunyai perbedaan tingkat kekuatan pengaruh ENSO maupun IOD di Indramayu dan dua kecamatan yang tidak terkena dampak anomali Iklim di Cianjur sebagai pembanding (Tabel 4.2).
81
Tabel 4.2 Pengaruh ENSO dan IOD di wilayah monsunal No. 1. 2. 3.
Wilayah Monsunal
4. 5.
Kabupaten
Kecamatan
ENSO Kuat Lemah Kuat
Pengaruh IOD Sedang Lemah Kuat
Indramayu
Anjatan Kertasemaya Krangkeng
Cianjur
Warungkondang Tidak terpengaruh Ciranjang Tidak terpengaruh
Tidak terpengaruh Tidak terpengaruh
Analisis potensi waktu tanam padi dibedakan berdasarkan tahun kejadian baik pada tahun normal, dan tahun kering akibat El Niño mapun IOD positif dari tahun 1900/1991 sampai dengan 2009/2010 (Tabel 4.3). Analisis kekeringan lebih ditekankan pada penelitian ini mengingat dampak kekeringan dalam hal luas wilayah, durasi kejadian, biaya dan waktu pemulihan lebih besar daripada banjir (Irianto 2003) Potensi waktu tanam untuk lahan sawah tadah hujan ditetapkan berdasarkan analisis indeks kecukupan air dengan nilai lebih dari 0.8 dan potensi kehilangan hasil kurang dari 20%. Untuk lahan sawah irigasi potensi waktu tanam ditetapkan berdasarkan prosentase defisit ketersediaan airnya. Kartiwa (2009) membagi kriteria defisit ketersediaan air lahan sawah irigasi menjadi 4 taraf yaitu : (1) Sangat rendah bila defisit air < 15%, (2) Rendah bila defisit air antara 15% dan 25%, (3) Sedang bila defisit air antara 25% dan 40%, serta (4) Tinggi bila defisit air > 40%. Potensi waktu tanam untuk lahan sawah irigasi ditetapkan berdasarkan prosentase defisit ketersediaan air pada taraf sangat rendah sampai dengan sedang.
82
Tabel 4.3 Tahun normal dan kejadian anomali iklim sepanjang tahun 1990-2009 TAHUN 1990-1991 1991-1992 1992-1993 1993-1994 1994-1995 1995-1996 1996-1997 1997-1998 1998-1999 1999-2000 2000-2001 2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010
NORMAL N
ENSO
IOD
EK
ES
(-) (-) (+)
N EK LS LS LL
(-) (+)
N ES N EL N EL LS
(+) (+)
N EK
Sumber: CPC.NOAA dan BOM (Diolah)
Keterangan: N = Normal
EL = El Niño lemah ES = El Niño sedang EK= El Niño kuat
LL = La Niña lemah LS = La Niña sedang LK = La Niña kuat
(+) = IOD positif ( -) = IOD negative
4.3.1.1. Potensi Waktu Tanam di Indramayu
Hasil analisis untuk lahan tadah hujan di Indramayu dengan menggunakan WARM menunjukkan bahwa pada tahun normal, El Niño, maupun IOD positif baik di Anjatan, Kertasemaya maupun di Krangkeng, pada September III nilai Indeks Kecukupan Air masih berada di bawah nilai batas kritis (< 0.8) dan nilai transpirasi defisit masih tinggi di atas 20% (Gambar 4.3 dan Tabel Lampiran 1 3). Nilai Indeks Kecukupan Air berada di atas nilai batas kritis mulai Oktober III. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi waktu tanam dimulai pada periode tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa awal musim tanam (onset) dimulai pada Oktober III. Nilai indeks kecukupan air berlangsung terus di atas batas kritisnya sampai dengan Februari III/ Maret II. Dengan demikian potensi waktu tanam
83
pada ketiga wilayah tersebut pada tahun normal terjadi sekitar 12 – 14 dasarian dari Oktober III sampai dengan Februari III/Maret II (Tabel 4.4). Pada rentang waktu tersebut ketersediaan air tercukupi sehingga tanaman tidak mengalami cekaman air pada fase kritis tanaman yaitu pada fase pembungaan. Petani yang menanam pada rentang waktu tersebut dapat meminimalisasi kehilangan hasil padi karena indeks kecukupan air pada lahan sawah tadah hujan berada pada titik aman tanam. Indeks kecukupan air turun setelah memasuki waktu tanam pada Maret III dan berfluktuasi pada periode berikutnya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa
ketersediaan air mulai April I sampai Agustus III terganggu saat memasuki periode kritis tanamannya. Dengan demikian pada bulan-bulan tersebut tidak disarankan untuk dilakukan penanaman padi. Bila petani menanam pada periode tersebut maka harus dipersiapkan pasokan irigasinya. Hasil analisis potensi waktu tanam untuk lahan sawah irigasi menggunakan neraca air sawah irigasi menunjukkan bahwa pada tahun normal, El Niño, maupun IOD positif baik di Anjatan, Kertasemaya maupun di Krangkeng, pada September III defisit kehilangan air masih tinggi di atas 40% (Gambar 4.4 dan Tabel Lampiran 13 - 15). Defisit kehilangan air mulai berada di bawah 40% memasuki Oktober I dan terus berlangsung sampai dengan Mei II – Juli II. Hal tersebut menunjukkan bahwa onset untuk lahan irigasi adalah Oktober I dengan potensi waktu tanam yang mempunyai rentang lebih panjang dibandingkan dengan lahan tadah hujan yaitu antara 22 - 28 dasarian atau lebih lama 10 - 14 dasarian dari potensi tanam lahan tadah hujan yaitu mulai dari Oktober I sampai dengan Mei II - Juli II. Memasuki waktu tanam pada Agustus I prosentase defisit ketersediaan air meningkat hingga lebih dari 40% yang berarti defisit ketersediaan air relatif tinggi dan kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan September III. Sehingga waktu tanam tidak disarankan pada periode tersebut karena tanaman akan mengalami defisit ketersediaan air. Fenomena El Niño dapat mengakibatkan penurunan nilai indeks kecukupan air hingga di bawah ambang nilai kritis pada beberapa dasarian sehingga potensi waktu tanam di lahan tadah hujan akan lebih lambat dan lebih pendek dibandingkan dengan tahun normalnya. Di wilayah yang terindikasi kuat
84
terkena El Niño seperti di Anjatan dan Krangkeng, waktu tanam lebih lambat 5 sampai 7 dasarian masing-masing pada Desember I dan Desember III. Bahkan potensi waktu tanam di Krangkeng lebih pendek 8 dasarian dibandingkan dengan waktu tanam pada tahun-tahun normal yaitu pada November III – pada Desember I – Januari III. Pada wilayah yang terindikasi lemah terkena El Niño seperti di Kertasemaya waktu tanam juga mundur 3 dasarian dan potensi tanam pada November III – Maret II. Mundurnya waktu tanam akibat terjadinya El Niño juga terjadi pada lahan irigasi namun lebih singkat dibandingkan dengan lahan tadah hujan. Waktu tanam di Anjatan dan Kertasemaya mundur 2 dasarian dari Oktober I menjadi Oktober III sedangkan di Krangkeng mundur hingga 3 dasarian menjadi November I (Gambar 4.4). Saat terjadi IOD positif indeks kecukupan air mempunyai rentang yang lebih panjang dibandingkan dengan saat terjadi El Niño sehingga potensi waktu tanam lebih lama yaitu pada November II atau lebih lambat 2 dasarian dari tahun normalnya. Sebaliknya waktu tanam lebih panjang 2 dasarian di Anjatan dan 1 dasarian di Krangkeng dibandingkan dengan saat terjadi El Niño . Pengaruh IOD positif tidak begitu terlihat pada lahan irigasi, namun penundaan waktu tanam masih terjadi sekitar 1-2 dasarian masing-masing di Anjatan dan Krangkeng.
85
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.3 Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di wilayah terkena dampak ENSO dan IOD. Di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya, Kabupaten Indramayu.
86
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.4 Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan irigasi di wilayah terkena dampak ENSO dan IOD. Di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya, Kabupaten Indramayu.
87
Tabel 4.4 Potensi waktu tanam padi di wilayah monsunal
Tahun Kejadian
Kabupaten
Potensi waktu tanam (dasarian)
Kecamatan
Tadah Hujan
Irigasi
Indramayu
Anjatan Kertasemaya Krangkeng
Oktober III – Maret II Oktober III – Maret II Oktober III – Februari III
Oktober I – Juli II Oktober I – Juni II Oktober I – Mei II
Cianjur
Warungkondang Ciranjang
September III – Maret II September III – Maret III
September III – April II September III – April II
Indramayu
Anjatan Kertasemaya Krangkeng
Desember I – Maret II November III – Maret II Desember III – Maret I
Oktober III – Juni III Oktober III – Juni II November I – Mei II
Cianjur
Warungkondang Ciranjang
September III – Maret III September III – April I
September III – April III September III – April II
Indramayu
Anjatan Kertasemaya Krangkeng
November II – Maret II November III – Maret II November III – Februari III
Oktober III – Juli I Oktober I – Juni II Oktober III – Mei II
Cianjur
Warungkondang Ciranjang
September III - Maret III September III – April II
September III – April III September III – April II
Normal
El Niño
IOD Positif
4.3.1.2. Potensi Waktu Tanam di Cianjur
Cianjur merupakan wilayah yang tidak terkena dampak ENSO dan sebagian besar wilayahnya tidak terkena dampak IOD, hanya sebagian wilayah Selatan saja yang terkena dampak IOD. Analisis waktu tanam potensial di Cianjur pada wilayah yang tidak terkena dampak ENSO dan IOD dimaksudkan untuk melihat perbedaan waktu tanam dengan wilayah yang terkena dampak kedua fenomena tersebut. Potensi waktu tanam di Cianjur lebih panjang dibandingkan dengan di Indramayu. Misalnya saja di Warungkondang dan Ciranjang, potensi tanam lebih awal yaitu mulai September III dan berakhir pada Maret II/III karena nilai Indeks Kecukupan Air sudah berada di atas 0.8 dan defisit transpirasi kurang dari 20% (Gambar 4.5 dan Tabel Lampiran 4 - 6). Waktu tanam tersebut tidak banyak berubah meskipun di wilayah lain terjadi El Niño dan atau IOD positif. Pada saat terjadi El Niño potensi tanam di Cianjur terjadi pada September III
88
bahkan pada tahun El Niño dan IOD positif potensi waktu tanam lebih panjang 1 – 2 dasarian (Gambar 4.5). Demikian pula pada lahan irigasi, potensi tanam dimulai dari September III sampai dengan April II karena nilai defisit ketersediaan air sudah berada di bawah ambang batas kritis dan defisit ketersediaan air kurang dari 40% (Gambar 4.6 dan Tabel Lampiran 16 - 18). Pada wilayah ini fluktuasi defisit ketersediaan air tidak menunjukkan perbedaan baik pada tahun normal, El Niño maupun IOD positif. 4.3.1.3. Perbedaan potensi waktu tanam di Indramayu dan Cianjur
Pada tahun normal, potensi waktu tanam pada wilayah yang terkena dampak dengan tidak terkena dampak ENSO dan IOD sangat berbeda. Di Krangkeng Indramayu yang merupakan wilayah terkena dampak kedua anomali iklim tersebut, mempunyai potensi waktu tanam sekitar 8 dasarian mulai dari Oktober I sampai dengan Desember III sedangkan di Ciranjang Cianjur potensi waktu tanam sekitar 17 dasarian dari September II sampai dengan Februari III. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi waktu tanam padi sawah tadah hujan untuk kecamatan Krangkeng hanya pada Musim Tanam I (MT I) saja. Pada MT II tidak disarankan untuk menanam padi karena kebutuhan air tanaman tidak mencukupi. Sebagai alternatif pengganti adalah dengan menanam palawija. Sedangkan pada MT III lahan sebaiknya diberakan karena pada masa tanam tersebut Nilai Indeks Kecukupan Air kurang dari 0.65. Nilai tersebut merupakan batas kritis indeks kecukupan air untuk palawija (CIRAD 1995). Pada tahun El Niño, perbedaan potensi waktu tanam sangat jelas antara wilayah yang terkena dampak dan tidak terkena dampak ENSO dan IOD. Di Krangkeng, potensi waktu tanam hanya terjadi sekitar 3 dasarian pada bulan Desember. Awal waktu tanam tersebut mundur 7 dasarian dari tahun normal. Di Ciranjang
potensi waktu tanam pada tahun
tersebut sekitar 18 dasarian
(September III – Maret III). Tidak ada perubahan awal waktu tanam antara tahun normal dengan tahun El Niño di Cianjur. Dengan demikian petani di Krangkeng harus mewaspadai bila tahun El Niño tiba karena waktu tanam pada MT I relatif sempit dan bergeser dari tahun normalnya. Di Ciranjang, wilayah tersebut relatif
89
aman meskipun terjadi El Niño, karena waktu tanam hanya bergeser satu dasarian dari tahun normalnya dan potensi tanam relatif bagus hingga MT II. Pada tahun IOD positif, potensi waktu tanam di Krangkeng sekitar 7 dasarian (November II – Januari III) dan mundur 4 dasarian. Kondisi tersebut memberikan peluang petani untuk menanam lebih baik dibandingkan dengan tahun El Niño. Di Ciranjang potensi masa tanam pada tahun tersebut 21 dasarian (September II – April II) dan wilayah tersebut relatif aman karena tidak terjadi perubahan potensi awal tanam dan potensi tanam relatif bagus hingga MT II. Dengan demikian meskipun di wilayah lain di Indonesia terjadi anomali Iklim, di wilayah Ciranjang tidak terpengaruh oleh kondisi tersebut.
(a)
(b)
Gambar 4.5 Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di wilayah tidak terkena dampak ENSO maupun IOD. Di (a) Warungkondang, dan (b) Ciranjang Kabupaten Cianjur.
90
(a)
(b)
Gambar 4.6 Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan tadah hujan di wilayah tidak terkena dampak ENSO maupun IOD. Di (a) Warungkondang, dan (b) Ciranjang Kabupaten Cianjur. Untuk tahun kejadian El Niño yang bersamaan dengan IOD positif, potensi waktu tanam di Krangkeng relatif sedikit. Hanya terjadi pada 3 dasarian (Desember I, III) dan Januari III. Jika dibandingkan dengan Ciranjang yang memiliki waktu tanam yang hampir sama dengan tahun normal. Namun karena rendahnya Indeks Kecukupan Air untuk kejadian El Niño kuat bersamaan dengan IOD positif, maka di Krangkeng tidak bisa ditanami padi. 4.3.2. Potensi Waktu Tanam di Wilayah Equatorial
Sentra padi di Sumatera Barat terdapat pada wilayah dengan pola hujan Equatorial. Di daerah tersebut hanya sebagian kecil saja wilayah yang terkena dampak ENSO dan IOD salah satunya adalah wilayah sentra produksi padi di Kabupaten Pesisir Selatan. Sementara sentra produksi padi lainnya di wilayah Sumatera Barat seperti Solok tidak terkena dampak kedua fenomena tersebut.
91
Untuk mengetahui potensi waktu tanam di kedua kabupaten tersebut masingmasing diambil 2 kecamatan yaitu Tarusan dan Batang Kapas untuk Kabupaten Pesisir Selatan dan kecamatan Saning Bakar dan Sumani untuk kabupaten Solok (Tabel 4.5) Tabel 4.5 Pengaruh ENSO dan IOD di wilayah Equatorial Wilayah Equatorial
Kabupaten Kecamatan Pesisir Selatan
Solok
Tarusan
Pengaruh ENSO IOD Sedang Lemah
Batang Kapas
Sedang
Lemah
Saning Bakar
Tidak terpengaruh
Tidak terpengaruh
Sumani
Tidak terpengaruh
Tidak terpengaruh
Potensi waktu tanam pada wilayah pola hujan Equatorial lebih panjang bila dibandingkan dengan wilayah monsun, di wilayah ini waktu tanam dapat mulai dilakukan pada Mei II sampai dengan Febuari I/Maret III. Artinya bahwa penanaman 2 kali padi di lahan sawah tadah hujan masih dimungkinkan di wilayah tersebut tanpa irigasi suplementer. 4.3.2.1. Potensi Waktu Tanam di Pesisir Selatan
Potensi waktu tanam pada tahun normal di Tarusan dan Batang Kapas masing-masing pada September III dan Oktober I yang ditandai dengan nilai indeks kecukupan air pada periode tersebut berada di atas nilai kritisnya dengan transpirsi defisit kurang dari 20% (Gambar 4.7 dan Tabel Lampiran 7). Pergeseran waktu tanam pada lahan tadah hujan terjadi saat fenomena El Niño maupun IOD positif muncul. Keterlambatan waktu tanam terjadi di Tarusan hanya 1 dasarian saat terjadi El Niño maupun saat terjadi IOD positif (Tabel 4.6). Hal tersebut ditunjukkan dengan penurunan indeks kecukupan air dan transpirasi defisit lebih dari 20% (Gambar 4.7 dan Tabel Lampiran 8, 9). Di Batang Kapas pengaruh IOD positif dan El Niño dapat mengakibatkan potensi waktu tanam mundur masing-
92
masing 1 dan 3 dasarian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh IOD positif di wilayah equatorial tidak begitu besar pengaruhnya dalam pergeseran potensi waktu tanaman padi. Potensi waktu tanam pada lahan irigasi lebih awal 3 dasarian. Pada September III tahun normal nilai defisit ketersediaan air kurang dari 40% (Gambar 4.7 dan Tabel Lampiran 19). Keterlambatan waktu tanam akibat El Niño dan IOD positif pada lahan irigasi tidak begitu terlihat jelas. Keterlambatan waktu tanam baik di Tarusan maupun di Batang Kapas hanya 1 dasarian saja saat terjadi El Niño maupun IOD positif. Tabel 4.6. Potensi waktu tanam padi di wilayah equatorial Tahun Kejadian
Kabupaten
Kecamatan
Potensi waktu tanam (dasarian) Tadah Hujan
Irigasi
Pesisir Selatan
Tarusan Batang Kapas
September III –Maret II Oktober I – Maret I
Agustus III – Mei I September II – Mei III
Solok
Saning Bakar Sumani
Mei II – Maret II Juni I – Maret III
Mei I – Maret I Mei I – Maret II
Pesisir Selatan
Tarusan Batang Kapas
Oktober I – Maret II Oktober III – Maret I
September I – Mei I Oktober I – Mei III
Solok
Saning Bakar Sumani
Mei II – Maret III Juni I – Maret II
Mei I – Maret I Mei I – Maret I
Pesisir Selatan
Tarusan Batang Kapas
Oktober I – Maret II Oktober II – Maret I
September I – Mei I September II – Mei III
Solok
Saning Bakar Sumani
Mei II – Maret II Juni I – Maret III
Mei I – Maret I Mei I – Maret II
Normal
El Niño
IOD Positif
93
(a)
(b)
Gambar 4.7 Fluktuasi indeks kecukupan air dan defisit ketersediaan air di wilayah terkena dampak ENSO (atas) dan IOD (bawah) di (a) Tarusan dan (b) Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan.
94
4.3.2.2. Potensi Waktu Tanam di Solok
Solok merupakan wilayah yang tidak terkena dampak ENSO maupun IOD. Analisis waktu tanam potensial di Solok dimaksudkan untuk melihat perbedaan waktu tanam dengan wilayah yang terkena dampak kedua fenomena tersebut. Potensi waktu tanam pada lahan tadah hujan di Solok lebih panjang dibandingkan dengan di Pesisir Selatan. Misalnya saja di Saning Bakar dan Sumani, potensi tanam lebih awal yaitu mulai Mei II/Juni I yang ditunjukkan dengan nilai Indeks Kecukupan Air lebih dari 0.8 dan defisit transpirasi di bawah 20% (Gambar 4.8 a,c dan Tabel Lampiran 22 – 24). Potensi waktu tanam berlangsung sampai dengan Maret II/III. Waktu tanam tersebut tidak banyak berubah meskipun di wilayah lain terjadi ENSO dan atau IOD (Tabel 4.6 dan Gambar 4.8). Pada lahan irigasi, potensi tanam di Solok seperti di kecamatan Saning Bakar dan Sumani lebih awal 1 dasarian dimulai dari Mei I berakhir pada Maret I/II. Pada wilayah ini fluktuasi defisit ketersediaan air tidak menunjukkan perbedaan baik pada tahun normal, El Niño maupun IOD positif (Gambar 4.8).
95
(a)
(b)
Gambar 4.8 Fluktuasi indeks kecukupan air dan defisit ketersediaan air di wilayah terkena dampak ENSO (atas) dan IOD (bawah) di (a) Saning Bakar dan (b) Sumani, Kabupaten Solok.
96
4.4.
Simpulan Waktu Tanam Optimal
Onset padi lahan tadah hujan di wilayah monsunal, seperti di Indramayu pada tahun normal terdapat pada Oktober III dengan potensi waktu tanam Februari III sampai dengan Maret II. Onset mundur 3 sampai 6 dasarian pada November III sampai dengan Desember III pada saat terjadi El Niño. Demikian pula pada saat terjadi Dipole Mode positif, onset mundur 2 sampai 3 dasarian menjadi November II/III. Pada lahan irigasi, di tahun normal onset lebih awal 2 dasarian dari lahan tadah hujan yaitu pada Oktober I dengan potensi waktu tanam sampai dengan Juni II – Juli II. Onset mundur masing-masing 1 dasarian saat terjadi Dipole Mode positif dan 2 - 3 dasarian saat terjadi El Niño dengan potensi waktu tanam pada umumnya lebih pendek 1 dasarian dari tahun normalnya. Onset di wilayah equatorial seperti di Pesisir Selatan terdapat pada OktoberI/September III dengan potensi waktu tanam sampai dengan Maret I/II. Pada lahan irigasi di tahun normal, onset lebih awal 3 dasarian dari lahan tadah hujan pada Agustus III dengan potensi waktu tanam sampai dengan Mei I. Pada saat terjadi El Niño maupun IOD positif baik di lahan tadah hujan maupun lahan irigasi onset hanya mundur 1 dasarian dengan potensi waktu tanam sama dengan pada tahun normalnya. Onset tidak bergeser pada wilayah yang tidak terkena dampak anomali iklim baik di wilayah monsunal seperti di Cianjur maupun wilayah equatorial seperti di Solok. Onset padi lahan tadah hujan maupun irigasi di Cianjur pada September III, sedangkan di Solok onset di lahan tadah hujan lebih awal dibandingkan dengan di Cianjur yaitu pada Mei II/Juni I dan untuk padi lahan irigasi pada Mei I. Di lahan tadah hujan, pola tanam yang dapat dilakukan di Indramayu pada tahun normal adalah padi – padi/palawija – bera. Bila terjadi El Niño maupun IOD positif kuat, pola tanam berubah menjadi padi – palawija/bera – bera. Di lahan irigasi, pola tanam di wilayah Barat Indramayu seperti di Anjatan pada kondisi tahun normal adalah padi – padi – padi/palawija karena suplai air irigasi terpenuhi hampir sepanjang tahun. Untuk wilayah tengah dan Timur seperti di Kertasemaya dan Krangkeng pola tanam yang tepat adalah padi – padi – palawija. Saat terjadi El Niño pola tanam di Anjatan menjadi padi – padi –
97
palawija Di Kertasemaya tidak terjadi perubahan pola tanam, tetapi untuk Krangkeng pola tanam berubah menjadi padi-padi/palawija-bera. Di Cianjur baik pada lahan irigasi maupun tadah hujan pola tanam yang tepat adalah padi – padi – palawija. Di lahan tadah hujan, pola tanam di Pesisir Selatan yang tepat adalah Padi – Padi/palawija – bera. Di Solok pola tanam padi – padi – padi. Di lahan irigasi, pola tanam di Pesisir Selatan adalah Padi – Padi –Palawija dan di Solok padi sepanjang tahun.
98