PENETAPAN KALENDER TANAM PADI BERDASARKAN FENOMENA ENSO (El Niño Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole) DI WILAYAH MONSUNAL DAN EQUATORIAL
YAYAN APRIYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul “Penetapan Kalender Tanam Padi Berdasarkan Fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) Di Wilayah Monsunal dan Equatorial” adalah hasil karya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi lain manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor,
Maret 2011
Yayan Apriyana NRP G261060051
i
ABSTRACT YAYAN APRIYANA. Determination of The Rice Cropping Calendar based on ENSO (El Niño Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) phenomena in Monsoon and Equatorial Regions. Under direction of YONNY KOESMARYONO, IRSAL LAS, and EDVIN ALDRIAN. Increasing fluctuation and more frequent climate anomaly in the last decade due to ENSO and IOD phenomena has severe implications on food crops. Therefore, a sound planting season adaptation strategy is needed in the efforts to enhance sustainable food security. Research has been conducted in West Java (Monsoon rainfall pattern) and West Sumatera (Equatorial rainfall pattern) province. Analysis of the correlation between ENSO and the IOD with rainfall has been carried out to find the relationship between ENSO and the IOD with rainfall in the period from December to February, March to May, June to August, and September to November. Water Satisfaction Index and irrigation rice-field water balance was used to obtain optimal planting time. Artificial Neural Network was used to rainfall prediction for improvement of cropping pattern planning. Interviews with farmers to study the adaptation measures of farmers against the impact of drought. The spatial distribution of partial correlations between rainfalls with ENSO and IOD over West Sumatera and West Java indicated a significant impact on rainfall anomalies along the period of September – November. The ENSO and IOD events had a wider impact in West Java, which was known as a monsoon rainfall pattern especially over northern part of West Java. On the other hand, there was only a little impact of the ENSO and IOD on rainfall anomalies in the south-western West Sumatera. In the period of June-November the impact to rice- field in West Sumatera was only about 20% while, the impact in West Java could reach up to 80%. In the region affected by strong ENSO and IOD like Indramayu, impact of ENSO and IOD has delayed the peak of early planting by more than 6 dekads. The peak of early planting occurred in November III/ December I could reach up 30% due to ENSO and 35% due to IOD. The period-stratified ENSO variability had delayed planting time by 2 to 5 dekads in monsoon rainfall pattern (West Java) and 1 dekads in equatorial pattern (West Sumatera). Meanwhile, the period-stratified IOD variability in West Sumatera and West Java had delayed planting time by 1 to 2 dekads. Result of the prediction showed that the period of September 2010 to February 2011 was above normal. Wet conditions resulted in the potential of planting time 1 dekads earlier on rain-fed land and 2 dekads earlier on irrigated land than in normal conditions. Adaptation by farmers to climate anomalies was more apparent in a monsoon rainfall pattern area with various efforts in the utilization of water resources, i.e. pumping technology, the adjustment of planting time by 2-3 dekads and changing crop rotation from paddy-paddy-palawija into paddy-palawija. Key Words: Rice Cropping Calendar - ENSO - IOD – Monsoon - Equatorial
ii
RINGKASAN YAYAN APRIYANA. Penetapan Kalender Tanam Padi Berdasarkan Fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Wilayah Monsunal dan Equatorial. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO, IRSAL LAS, dan EDVIN ALDRIAN. Variabilitas iklim dan perubahan iklim merupakan dua fenomena anomali iklim yang kini menjadi isu strategis dan perhatian serius karena diyakini mempunyai dampak besar bagi kehidupan di berbagai sektor. Anomali tersebut semakin sering terjadi dengan kondisi musim yang semakin ekstrim dan durasi yang semakin panjang sehingga menimbulkan dampak yang signifikan terhadap strategi budidaya dan produksi pertanian. Mencermati sangat signfikannya dampak variabilitas iklim tersebut terutama akibat dari fenomena ENSO dan IOD, maka diperlukan suatu upaya dalam mengantisipasi dampak variabilitas iklim khusunya terhadap kalender tanam. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dinamika kalender tanam pada daerah yang sering dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan IOD, menetapkan potensi waktu tanam yang optimal, menentukan prediksi curah hujan serta mempelajari adaptasi petani terhadap dampak kedua fenomena tersebut. Penelitian difokuskan pada daerah sentra produksi padi baik di wilayah monsunal maupun equatorial. Dalam penelitian ini dilakukan analisis korelasi anomali curah hujan dengan fluktuasi ENSO dan IOD di dua provinsi sentra produksi padi nasional yaitu di Jawa Barat mewakili wilayah monsunal dan Sumatera Barat yang mewakili wilayah equatorial. Hasil analisis disajikan dalam bentuk spasial untuk mempermudah dalam menentukan daerah yang sensitif terhadap anomali iklim. Selanjutnya hasil delineasi ditumpang-tepatkan dengan Peta Kalender Tanam Eksisting Badan Litbang Pertanian untuk mengetahui distribusi awal musim tanam (onset) pada wilayah-wilayah yang curah hujannya berkorelasi kuat dengan fluktuasi ENSO dan IOD. Sebagai pembanding diamati pula wilayah-wilayah yang curah hujannya tidak berkorelasi dengan fluktuasi kedua anomali iklim tersebut. Dinamika puncak awal tanam menunjukkan variabilitas respon waktu pergeseran tanam terhadap kondisi iklim sedangkan sensitivitas kalender tanam menunjukkan sampai berapa hari (dasarian) terjadinya pergeseran puncak tanam tersebut. Penetapan dinamika dan sensitivitas tersebut diperoleh dari tumpangtepat Kalender Tanam Eksisting dengan hasil delineasi wilayah terkena dampak ENSO dan IOD. Selanjutnya wilayah yang terkena dampak ENSO dan IOD, baik di wilayah monsunal maupun equatorial dijadikan pewakil untuk ditentukan waktu tanam optimalnya. Sebagai pembanding diambil pula pewakil untuk wilayah yang tidak terkena dampak anomali iklim tersebut. Analisis model neraca air Indeks Kecukupan Air Tanaman digunakan untuk lahan sawah tadah hujan dan model neraca air irigasi padi sawah digunakan untuk lahan sawah irigasi. Model prediksi curah hujan menggunakan jaringan syaraf tiruan/Artificial Neural Network (ANN). Langkah yang ditempuh dalam tahap ini meliputi (a) penyusunan model prediksi curah hujan dasarian, (b) validasi model prediksi curah hujan, dan (c) penentuan prediksi curah hujan. Selanjutnya model tersebut digunakan untuk memprediksi curah hujan September 2010 sampai dengan Mei
iii
2011. Hasil penentuan prediksi curah hujan kemudian dibandingkan dengan curah hujan pada tahun normal, El Niño maupun IOD positif. Hasil tersebut untuk menentukan rencana waktu tanam pada musim tanam berikutnya. Wawancara dilakukan terhadap petani di Indramayu dan Cianjur untuk wilayah monsunal dan di Solok dan Pesisir Selatan untuk wilayah equatorial. Teknik wawancara menggunaka purposive sampling dan untuk menjaring informasi lebih akurat dilakukan teknik wawancara terstruktur mendalam (indepth interview) dengan panduan kuisioner. Topik wawancara difokuskan pada dua hal, yaitu (a) daya dukung sumberdaya air spesifik lokasi berdasarkan tingkat sensitivitas daerah terkena dampak ENSO dan IOD, dan (b) adaptasi petani untuk kalender tanam padi berdasarkan tingkat sensitivitas daerah terkena dampak ENSO dan IOD. Karakterisasi dan deliniasi dampak anomali iklim akibat ENSO dan IOD dilaksanakan di seluruh propinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat. Dalam keterkaitannya dengan kalender tanam menunjukkan bahwa ternyata di Jawa Barat yang merupakan wilayah monsunal sekitar 84% luas sawah terpengaruh oleh kedua fenomena tersebut saat memasuki periode September - November. Di Sumatera Barat yang merupakan wilayah equatorial hanya sekitar 20% saja luas sawah yang terpengaruh pada saat memasuki periode yang sama. Kabupaten Indramayu merupakan wilayah monsunal yang paling signifikan terpengaruh, diikuti Subang dan Karawang. Pada wilayah equatorial, Kabupaten Pesisir Selatan yang paling terpengaruh, diikuti Kabupaten Padang dan Agam. salah satu contoh pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan pada wilayah terluas yang termasuk pada wilayah monsunal periode September - November. Hampir seluruh wilayah Indramayu terpengaruh oleh ENSO dengan tingkat korelasi kuat, sedang dan lemah masing-masing seluas 49%, 36% dan 14% dari seluruh wilayah tersebut. Sama halnya dengan ENSO, pengaruh IOD juga berpengaruh hampir di seluruh wilayah Indramayu dengan tingkat korelasi kuat, sedang dan lemah dengan luasan masing-masing 12%, 59%, dan 28% dari seluruh wilayah. Kekuatan hubungan antara ENSO dan IOD terhadap curah hujan sangat mempengaruhi awal musim tanam (onset). Sebagai contoh, awal musim tanam yang dilakukan petani di Jawa Barat pada umumnya terjadi pada September III/Oktober I. Namun karena pengaruh ENSO dan IOD pada beberapa wilayah mengalami pergeseran waktu tanam berupa pengunduran tanam beberapa dasarian. Di Indramayu pada wilayah-wilayah yang terkena dampak ENSO maupun IOD terutama saat memasuki periode September - November, puncak tanam bukan lagi pada September III/Oktober I tetapi mundur 6 dasarian pada November III/Desember I. Awal tanam tertinggi pada November III/Desember I tersebut terdapat pada wilayah yang terpengaruh kuat oleh ENSO mencapai 30% dari seluruh kecamatan di Indramayu dan terpengaruh sedang oleh IOD mencapai 35%. Potensi waktu tanam optimal di wilayah monsunal dan equatorial dilakukan berdasarkan pola sawah, baik sawah tadah hujan maupun irigasi. Ternyata bahwa memang ada perbedaan rentang waktu tanam optimal baik pada tahun normal, El Niño, maupun IOD positif. Di wilayah monsunal pada tahun normal awal tanam padi lahan tadah hujan adalah Oktober III. Awal tanam mundur 2 dasarian pada saat terjadi IOD Positif dan 5 dasarian saat terjadi El Niño. Pada lahan irigasi waktu tanam di tahun normal lebih awal 2 dasarian dan pada saat terjadi IOD
iv
positif atau El Niño, hanya mundur 1 atau 2 dasarian. Di wilayah equatorial pada tahun normal awal tanam padi lahan tadah hujan terdapat pada September III dan di lahan irigasi pada Agustus III. pada saat terjadi IOD positif atau El Niño masing-masing hanya mundur I dasarian saja. Kuatnya hubungan antara IOD, ENSO dengan curah hujan dapat mempengaruhi waktu tanam. Dengan demikian rencana waktu tanam dapat diketahui berdasarkan prediksi curah hujan. Hasil prediksi menunjukkan bahwa periode September 2010 – November 2011, Desember 2010 – Februari 2011, lebih tinggi dari rata-ratanya sedangkan periode Maret – Mei 2011 lebih rendah dari rata-ratanya. Pada kondisi basah, potensi waktu tanam lebih cepat satu dasarian di lahan tadah hujan dan dua dasarian di lahan irigasi dibandingkan pada kondisi normal. Karena pada periode Maret – Mei 2011 diperkirakan curah hujan di bawah rata-rata dan indeks kecukupan air kurang dari 0.65 maka disarankan rotasi tanam di lahan irigasi adalah Padi-Padi-Bera. Untuk lahan irigasi karena defisit ketersediaan air tidak meningkat tajam maka disarankan Padi-PadiPalawija. Meskipun kejadian IOD positif dan El Niño terjadi juga di wilayah equatorial, namun kurang mempengaruhi ketersediaan air bagi tanaman. Petani di wilayah tersebut, kebanyakan mengandalkan air hujan dan sungai sebagai pasokan irigasinya. Di wilayah monsunal, selain menggunakan air sungai dan hujan, petani harus menambah pasokan irigasi dengan teknologi pompanisasi dan sumur. Penyesuaian waktu tanam juga dilakukan petani untuk beradaptasi terhadap kekeringan di wilayah monsunal dan equatorial, walaupun dengan tingkat adaptasi yang berbeda bergantung pada kuat lemahnya pengaruh IOD positif dan El Niño. Di Indramayu, petani berupaya untuk menambah air ataupun dengan menyesuaikan waktu tanam dengan mundur sampai 3 dasarian. Di Cianjur petani tetap menanam atau kalau pun memundurkan waktu tanam hanya sampai 2 dasarian. Hal yang sama terjadi juga di wilayah tipe hujan equatorial, di Solok pada umumnya petani tidak mengalami masalah kekurangan air kecuali pada lahan tadah hujan, petani memundurkan waktu tanam sampai 2 dasarian. Di Pesisir Selatan sebagian petani memundurkan tanam 2 – 3 dasarian. Petani juga melakukan penyesuaian rotasi tanam padi sebagai salah satu tindakan adaptasi terhadap anomali iklim. Di wilayah monsunal petani lahan irigasi yang biasanya menerapkan rotasi tanam padi-padi-padi/palawija berubah menjadi padi-padi atau padi-palawija, sedangkan untuk lahan tadah hujan, petani mengubah dari padi-padi menjadi padi-palawija atau padi. Untuk wilayah equatorial, pada lahan petani yang tidak terpengaruh anomali iklim, umumnya tidak merubah rotasi tanam. Tetapi untuk lahan yang terpengaruh, perubahan terjadi dari padi-padi-padi bergeser menjadi padi-padi-palawija atau padipalawija. Strategi adaptasi waktu dan pola tanam berdasarkan analisis potensi waktu tanam, rencana tanam, daya dukung serta adaptasi petani menunjukkan pergeseran waktu tanam lebih dari 3 dasarian di wilayah monsunal terkena dampak dengan perubahan pola tanam di Musim Tanam II dari padi – padi menjadi padi – palawija.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh hasil karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor
vi
PENETAPAN KALENDER TANAM PADI BERDASARKAN FENOMENA ENSO (El Niño Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole) DI WILAYAH MONSUNAL DAN EQUATORIAL
YAYAN APRIYANA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 vii
Judul Disertasi :
Penetapan Kalender Tanam Padi Berdasarkan Fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Wilayah Monsunal dan Equatorial
Nama NRP
Yayan Apriyana G261060051
: :
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Ir.Yonny Koesmaryono, M.S. Ketua
Prof. Dr.Ir.Irsal Las, M.S. Anggota
Dr. Edvin Aldrian, B.Eng M.Sc Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Klimatologi Terapan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 28 April 2011
Tanggal Lulus :
viii
Penguji Luar Komisi :
Sidang Tertutup : Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. Dr. Dra. Eleonora Runtunuwu, MS.
Sidang Terbuka : Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.
ix
PRAKATA Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, Berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun Disertasi program Doktor pada program studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah mendukung, membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian penelitian. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada : 1. Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian dan Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, atas perkenannya kepada penulis untuk melanjutkan dan melaksanakan tugas belajar serta mendapatkan beasiswa. 2. Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M. S., atas kesediaanya menjadi ketua komisi pembimbing. Penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, nasehat, arahan, dukungan dan kerjasamanya dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan disertasi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, M.S., dan Dr. Edvin Aldrian, B. Eng. M. Sc, atas kesediaannya menjadi anggota komisi pembimbing, Penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, arahan, dan kerjasamanya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar dan menyusun disertasi ini. 4. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S., (Dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB) dan Dr. Dra. Eleonora Runtunuwu, M.S., (Peneliti Agroklimat Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi) sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup atas saran-saran dan masukannya untuk perbaikan disertasi ini. 5. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr., (Dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB) dan Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc., (Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian) sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka atas masukan dan saran-sarannya untuk penyempurnaan disertasi ini. 6. Ketua program Studi Klimatologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB, atas bimbingan, kerjasama, dan dorongan semangatnya selama penulis menjadi petugas belajar. 7. Dr. Ir. Aris Pramudia, M.Si., Dr. Ir. Budi Kartiwa, CESA, Dr. Dra. Eleonora Runtunuwu M.S., dan Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA atas dukungan moril, dorongan semangat, kerjasama, serta masukan pemikirannya selama penulis menjadi petugas belajar dan menyusun disertasi ini. 8. Rekan rekan peneliti, teknisi, dan staf di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, terutama M Wahyu Trinugroho, S.T., Kharmilasari S.Si, MSi, dan
x
Fadhlullah Ramadhani, SKom. atas dukungan, kerjasama, dan kemudahan dalam memanfaatkan fasilitas untuk pengolahan data dan penyusunan disertasi. 9. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa S3 Program Studi Klimatologi Terapan Departemen Geomet IPB, Dr. Ir. Popi Rejekiningrum, M.S., Dr. Ir. Gusti Rusmayadi M.Si, Ir. Abdul Syakur, M.Si., dan Ir. Muji Haryadi M.S., (Alm) atas kekompakan dan kerjasama yang baik selama masa perkuliahan. 10. Pak Jun, Bu Indah, Pak Toro, Pak Pono, Pak Aziz, dan Pak Udin di Departemen GEOMET atas partisipasinya dan bantuannya dalam berbagai aktifitas kepengurusan akademik. 11. Rekan-rekan bimbingan Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono M.S., yang telah bekerjasama dalam membantu menganalisis data dukung disertasi. 12. Eko Tasroni, S.Si dan Erica Purwandhini S.Si, M.Si., yang selalu memberikan bantuan sampai selesainya disertasi. 13. Ayahanda Thomas Effendi (Alm), Ibunda tercinta Hj. Titin Resmiati, adinda Yani Fahliani Amd dan Jamaluddin, atas do’a, kasih sayang, bimbingan, dukungan moril dan materil sampai selesainya tugas belajar. 14. Bapak dan Ibu Mertua, Drs. H. Maman Achdiat (Alm) dan Hj. Siti Nafisah yang selalu memberikan do’a dan bimbingan selama masa tugas belajar. 15. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dan Perguruan Tinggi (KKP3T) DIPA TA. 2008-2009, atas dukungan dana selama penelitian berlangsung. 16. Semua pihak yang tidak disebutkan namanya, yang telah turut berpartisipasi mendukung selama penulis pelaksanakan penelitian. 17. Terakhir, untuk istri tercinta Ai Salamah, S.H. dan anak-anakku tersayang Fathul Alim Al Faruqi, Fachry Syifaurrahman, Fikri Dhiyaul’ Ilmi dan Faiz Watsiqul Umam atas kesabaran dan ketabahannya dalam mendampingi dan menghadapi masa tugas belajar penulis yang sangat tidak mudah untuk ditempuh. Penulis berharap semoga do’a, bimbingan, dukungan, bantuan, dan kerjasama dari berbagai pihak menjadi amal sholeh dan mendapat ridho dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu khususnya di bidang pertanian. Bogor, Maret 2011 Yayan Apriyana
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 10 Maret 1966 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Thomas Effendi (Alm) dan Hj. Titin Resmiati. Pendidikan dasar dan menengah penulis tempuh di SD Paoman IV Indramayu, lulus tahun 1977, SMP Negeri I Indramayu lulus tahun 1981, SMA Negeri Indramayu lulus tahun 1984. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Pertanian, Jurusan Agronomi (Ilmu Tanah), Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto tahun 1990. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan studi S2 di Centre National d’Etudes Agronomiques des Régions Chaudes - Montpellier (CNEARC) Perancis beasiswa dari CIRAD-CA Perancis, diselesaikan pada tahun 2003. Selanjutnya pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 di Jurusan Agroklimatologi/Klimatologi Terapan Fakultas MIPA IPB memperoleh beasiswa dari Badan Litbang Pertanian. Sejak tahun 1993 menjadi staf peneliti pada kelti Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Pangan (Balittan) Bogor. Karena Balittan Bogor berubah mandat menjadi Balai Penelitian Bioteknologi, pada tahun 1995 penulis pindah ke Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (sekarang Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumbedaya Lahan Pertanian), pada kelti Agroklimat dan Hidrologi. Sampai sekarang penulis bekerja sebagai Peneliti Muda di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah bidang Agroklimatologi dan Hidrologi. Penulis juga adalah anggota dan pengurus Pusat Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia. Karya ilmiah yang berjudul Impacts of ENSO and IOD Phenomena to Rice Cropping Calendar on Monsoon Region of Indonesia: A view Case of West Java telah disajikan pada International Symposium on Equatorial Monsoon System di Bali pada bulan Juli 2009 dan The Dynamics of Rice Cropping Calendar and Its Relation with The ENSO (El Niño Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) in Monsoon and Equatorial of Indonesia telah disajikan pada The International Symposium on Equatorial Monsoon System di Jakarta pada bulan Juli 2010. Sebuah tulisan telah diterbitkan dengan judul Dampak Variabilitas Iklim terhadap Dinamika Awal Musim Tanam Padi di Dua Sentra Produksi Beras Jawa Barat pada Jurnal Tanah dan Iklim Nomor 31 bulan Juli 2010. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari Program S3 penulis.
xii
DAFTAR ISI Nomor
Halaman Ha
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xxii I. PENDAHULUAN ..........................................................................................1 1.1. Latar Belakang .........................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................5 1.3. Kerangka Pemikiran ................................................................................6 1.4. Tujuan Penelitian .....................................................................................9 1.5. Keluaran Penelitian..................................................................................9 II. SINTESIS PERMASALAHAN KEJADIAN ANOMALI IKLIM SERTA DAMPAKNYA TERHADAP LUAS TANAM DAN KALENDER TANAM PADI SAWAH .......................................................10 2.1. Pola dan Karakteristik Curah Hujan di Indonesia .................................10 2.2. Fenomena ENSO di Samudera Pasifik ..................................................12 2.3. Fenomena IOD di Samudera Hindia .....................................................17 2.4. Kalender Tanam ....................................................................................19 2.5. Dampak Anomali Iklim terhadap Waktu dan Pola Tanam Padi. ..........22 2.6. Fenomena ENSO dan IOD dalam Hubungannya dengan Sistem Produksi Padi di Indonesia ...................................................................23 2.7. Pengembangan Model Prediksi Curah Hujan dalam Mendukung Penyesuaian Kalender Tanam ...............................................................26 III. ANALISIS DAN DELINEASI DAMPAK ENSO DAN IOD TERHADAP CURAH HUJAN DAN DINAMIKA KALENDER TANAM........................................................................................................30 3.1. Pendahuluan...........................................................................................30 3.2. Metodologi.............................................................................................31 3.2.1. Lokasi Penelitian .......................................................................31 3.2.2. Bahan Penelitian ........................................................................31 3.2.3. Metode Penelitian ......................................................................31 3.3. Hasil dan Pembahasan Dampak ENSO dan IOD terhadap Curah Hujan dan Dinamika Kalender Tanam. .................................................36 3.3.1. Pola dan Distribusi Hujan serta Dampak ENSO dan IOD di Wilayah Monsunal. ................................................................36 3.3.1.1. Pola dan Distribusi Hujan di Jawa Barat. .......................36 3.3.1.2. Distribusi Stasiun Terkena Dampak ENSO dan IOD di Jawa Barat ..........................................................37 3.3.1.3. Dampak ENSO dan IOD terhadap Curah Hujan di Jawa Barat. ....................................................................40 3.3.1.4 Luas Sawah Terkena Dampak ENSO dan IOD ........41 3.3.1.5. Dampak ENSO dan IOD terhadap Dinamika Kalender Tanam di Jawa Barat ......................................45 3.3.2. Pola dan Distribusi Hujan serta Dampak ENSO dan IOD di Sentra Padi Jawa Barat ..........................................................50 3.3.2.1. Tingkat Korelasi ENSO dan IOD dengan Curah Hujan di Sentra Padi Jawa Barat ....................................53
xiii
3.3.2.2. Luas Sawah yang Dipengaruhi oleh ENSO dan IOD di Sentra Padi Jawa Barat........... ...........................58 3.3.2.3. Dampak Fenomena ENSO dan IOD terhadap Dinamika Kalender Tanam di Sentra Padi Jawa Barat..... ..........................................................................59 3.3.3. Pola dan Distribusi Hujan serta Dampak ENSO dan IOD di Wilayah Equatorial ................................................................62 3.3.3.1. Pola dan Distribusi Hujan di Sumatera Barat .................62 3.3.3.2. Distribusi Stasiun Terkena Dampak ENSO dan IOD di Sumatera Barat ...........................................................65 3.3.3.3. Dampak ENSO dan IOD terhadap Dinamika Curah Hujan di Sumatera Barat ................................................66 3.3.3.4. Luas Sawah terkena Dampak ENSO dan IOD di Sumatera Barat ...............................................................66 3.3.3.5. Dampak ENSO dan IOD terhadap Dinamika Kalender Tanam di Sumatera Barat ...............................69 3.3.4. Pola dan Distribusi Hujan serta Dampak ENSO dan IOD di Sentra Padi Sumatera Barat ...................................................70 3.3.4.1. Luas Sawah yang Dipengaruhi oleh ENSO dan IOD di Sentra Padi Sumatera Barat .......................................73 3.4. Simpulan Dampak ENSO dan IOD terhadap Curah Hujan dan Dinamika Kalender Tanam....................................................................73 IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD ............................................76 4.1. Pendahuluan...........................................................................................76 4.2. Metodologi.............................................................................................77 4.2.1. Penentuan Waktu Tanam Padi Lahan Tadah Hujan ..................77 4.2.2. Pendugaan ETR (Evapotranspirasi Riil) Tanaman ....................78 4.2.3. Pendugaan Evapotranspirasi Maksimum Tanaman. ..................79 4.2.4. Penentuan Waktu Tanam Padi Lahan Irigasi.............................80 4.3. Hasil Dan Pembahasan Waktu Tanam Optimal ....................................81 4.3.1. Waktu Tanam Optimal di Wilayah Monsunal ...........................81 4.3.1.1 .Potensi Waktu Tanam di Indramayu ..............................83 4.3.1.2. Potensi Waktu Tanam di Cianjur....................................88 4.3.1.3. Perbedaan potensi waktu tanam di Indramayu dan Cianjur............................................................................89 4.3.2. Potensi Waktu Tanam di Wilayah Equatorial ...........................91 4.3.2.1. Potensi Waktu Tanam di Pesisir Selatan ........................92 4.3.2.2 .Potensi Waktu Tanam di Solok ......................................95 4.4. Simpulan Waktu Tanam Optimal ..........................................................97 V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM ..............................................99 5.1. Pendahuluan...........................................................................................99 5.2. Metodologi...........................................................................................100 5.2.1. Bahan Penelitian ......................................................................101 5.2.2. Pengumpulan Data ...................................................................101 5.2.3. Persiapan Data .........................................................................102
xiv
5.2.4. Penyusunan Model Prediksi Curah Hujan ...............................102 5.2.5. Validasi model prediksi curah hujan .......................................103 5.2.6. Penentuan prediksi curah hujan ...............................................104 5.3. Hasil dan pembahasan model prediksi curah hujan.............................104 5.4. Simpulan model prediksi curah hujan. ................................................118 VI. DAYA DUKUNG SUMBERDAYA AIR DAN ADAPTASI PETANI PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD ..................120 6.1. Pendahuluan.........................................................................................120 6.2. Metodologi...........................................................................................121 6.2.1. Lokasi Penelitian .....................................................................121 6.2.2. Metode Penelitian ....................................................................121 6.3. Hasil dan Pembahasan Adaptasi Petani ...............................................123 6.3.1. Sumber Air Lahan Sawah di Wilayah Monsunal ....................124 6.3.2. Sumber Air di Lahan Sawah Wilayah Equatorial....................126 6.3.3. Adaptasi waktu tanam padi di Wilayah Monsunal ..................129 6.3.4. Adaptasi Waktu Tanam Padi di Wilayah Equatorial ...............133 6.4. Simpulan Adaptasi Petani....................................................................137 VII. STRATEGI ADAPTASI KALENDER TANAM TERHADAP VARIABILITAS IKLIM ...........................................................................138 7.1. Lahan Tadah Hujan ....................................................................................138 7.2. Lahan Irigasi ...............................................................................................141 VIII. PEMBAHASAN UMUM ...........................................................................146 8.1. Karakteristik dan Delineasi Dampak ENSO dan IOD terhadap Curah Hujan dan Dinamika Kalender Tanam di Wilayah Monsunal dan Equatorial .....................................................................146 8.2. Waktu tanam optimal pada wilayah terkena dampak ENSO dan IOD…. .................................................................................................149 8.3. Model prediksi curah hujan berdasarkan fenomena ENSO dan IOD… ..................................................................................................151 8.4. Informasi daya dukung sumberdaya iklim dan adaptasi petani pada daerah terkena dampak ENSO dan IOD .....................................153 8.5. Strategi adaptasi kalender tanam menghadapi variabilitas iklim. .......155 IX. SIMPULAN DAN SARAN........................................................................157 9.1. Simpulan ..............................................................................................157 9.2. Saran. ...................................................................................................159 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................161 LAMPIRAN .........................................................................................................167
xv
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Pranata Mangsa selama setahun (Wiriadiwangsa 2005) .................... 21 Tabel 3.1 Luas sawah di Jawa Barat yang terkena dampak ENSO dan IOD pada berbagai periode. ................................................................42 Tabel 3.2 Luas wilayah yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Indramayu ........................................................................56 Tabel 3.3 Luas wilayah yang terpengaruh oleh IOD di Kabupaten Cianjur .....56 Tabel 3.4 Luas sawah yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Indramayu ........................................................................ 58 Tabel 3.5 Luas sawah yang terpengaruh oleh IOD di Kabupaten Cianjur ......... 59 Tabel 3.6 Luas sawah di Sumatera Barat yang terkena dampak ENSO dan IOD pada berbagai periode. ............................................................... 69 Tabel 3.7 Luas sawah yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Pesisir Selatan ................................................................. 73 Tabel 4.1 Nilai koefisien tanaman (kc) padi pada setiap fase pertumbuhan (FAO, 1997) ....................................................................................... 78 Tabel 4.2 Daerah penelitian pada wilayah monsunal ......................................... 82 Tabel 4.3 Tahun normal dan kejadian anomali iklim sepanjang tahun 1990-2009 .......................................................................................... 83 Tabel 4.4 Potensi waktu tanam padi di wilayah monsunal. ............................... 88 Tabel 4.5 Daerah penelitian pada wilayah Equatorial........................................ 92 Tabel 4.6 Potensi waktu tanam padi di wilayah equatorial. ............................... 93 Tabel 5.1 Jumlah Iterasi, Nilai MSE, dan R2 di beberapa stasiun hujan wilayah pola hujan Monsun. ............................................................ 105 Tabel 5.2 Jumlah iterasi, Nilai MSE, dan R2 di beberapa stasiun hujan wilayah pola hujan Equatorial. ......................................................... 113 Tabel 6.1 Respon petani terhadap penggunaan sumber air untuk tanaman padi pada tahun normal dan tahun kering di wilayah monsunal (Kabupaten Indramayu).Musim Tanam I dan Musim Tanam II………... .........................................................................................125 Tabel 6.2 Respon petani terhadap penggunaan sumber air untuk tanaman padi pada tahun normal dan tahun kering di wilayah monsunal (Kabupaten Cianjur). Musim Tanam I dan Musim Tanam II…………... .....................................................................................125 Tabel 6.3 Respon petani terhadap penggunaan sumber air untuk tanaman padi pada tahun normal dan tahun kering di Musim Tanam I dan Musim Tanam II. Kabupaten Solok. .................................................127 Tabel 6.4 Respon petani terhadap penggunaan sumber air untuk tanaman padi pada tahun normal dan tahun kering di wilayah Equatorial (Kabupaten Pesisir Selatan) Musim Tanam I dan Musim Tanam II. .......................................................................................................129 Tabel 6.5 Respon petani terhadap penyesuaian rotasi tanam pada tahun normal dan tahun kering di wilayah monsunal. ................................131 Tabel 6.6 Respon Petani terhadap kekeringan di Indramayu dan Cianjur . . 132
xvi
Tabel 6.7 Penyesuaian rotasi tanam oleh petani pada tahun normal dan kering di Solok dan Pesisir Selatan pada pola hujan equatorial. ..........................................................................................136 Tabel 6.8 Respon petani terhadap kekeringan di Solok dan Pesisir Selatan . 137
xvii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1
Pengaruh ENSO dan Dipole Mode terhadap areal tanam padi (Amien et al. 2007). ..........................................................................4 Gambar 1.2 Kerangka umum penelitian ...............................................................8 Gambar 2.1 Pola anomali suhu muka laut pada peristiwa El Niño dan La Niña ...........................................................................................13 Gambar 2.2 Sirkulasi angin global pada kondisi La Niña dan El Niño .............14 Gambar 2.3 Anomali temperatur permukaan global sepanjang 10 kejadian El Niño utama dalam abad ini (NCDC/NOAA) .............................16 Gambar 2 4 Gambaran pola suhu muka laut pada saat IOD positif dan IOD negatif .....................................................................................18 Gambar 2.5 Kalender tanam di Kosovo (Wiliamson, 2001) ..............................19 Gambar 2.6 Kalender tanam di Iraq (Edirisinghe, 2004) ...................................20 Gambar 2.7 Pengaruh El Niño terhadap padi dan palawija (Boer and Subbiah, 2005)................................................................................25 Gambar 2.8 Konsep jaringan syaraf manusia dan model jaringan syaraf tiruan. (a) komponen- komponen syaraf (neuron), (b) gambaran mengenai synapses, dan (c) model jaringan syaraf. ......27 Gambar 2.9 Skema ANN feed forward ..............................................................27 Gambar 2.10 Jaring saraf buatan ...........................................................................28 Gambar 3.1 Diagram Alir Tahap Penelitian ...................................................... 32 Gambar 3.2 Pola Curah Hujan di Jawa Barat .................................................... 36 Gambar 3.3 Distribusi hujan periode Desember – Februari di Jawa Barat ....... 38 Gambar 3.4 Distribusi hujan periode Maret - Mei di Jawa Barat ..................... 38 Gambar 3.5 Distribusi hujan periode Juni - Agustus di Jawa Barat ................. 39 Gambar 3.6 Distribusi hujan periode September - November di Jawa Barat. ..............................................................................................39 Gambar 3.7 Distribusi stasiun yang berkorelasi dengan ENSO dan IOD di Jawa Barat periode (a) Desember – Februari, (b) Maret – Mei, (c) Juni – Agustus, dan (d) September – November..............40 Gambar 3.8 Tingkat korelasi antara ENSO pada periode Juni - Agustus terhadap curah hujan di Jawa Barat. ..............................................43 Gambar 3.9 Tingkat korelasi antara ENSO pada periode September November terhadap curah hujan di Jawa Barat..............................43 Gambar 3.10 Tingkat korelasi antara IOD pada periode Juni - Agustus terhadap curah hujan di Jawa Barat. ..............................................44 Gambar 3.11 Tingkat korelasi antara IOD pada periode (September November terhadap curah hujan di Jawa Barat..............................44 Gambar 3.12 Hubungan tingkat korelasi dengan onset pada kejadian ENSO di (a) Karawang; (b) Subang dan (c) Indramayu Jawa Barat. ..............................................................................................46 Gambar 3.13 Hubungan tingkat korelasi dengan onset pada kejadian IOD di (a) Karawang; (b) Subang (c) dan Indramayu Jawa Barat. ........47 Gambar 3.14 Hubungan tingkat korelasi dengan onset pada kejadian IOD di (a) Sukabumi; (b) Garut dan (c) Tasikmalaya Jawa Barat. ........48
xviii
Gambar 3.15 Hubungan tingkat korelasi dengan onset pada kejadian (a) ENSO dan (b) IOD di Jawa Barat. .................................................49 Gambar 3.16 Hubungan kejadian ENSO dan IOD dengan onset di Jawa Barat. ..............................................................................................49 Gambar 3.17 Fluktuasi curah hujan bulanan di (a) Indramayu dan (b) Cianjur periode 1990-2007. ...........................................................50 Gambar 3.18 Distribusi stasiun yang dipengaruhi oleh iklim global di Kabupaten Indramayu dan Cianjur pada periode (a) Juni Agustus; (b) September - November; (c) Desember Februari; dan (d) Maret - Mei. .......................................................52 Gambar 3.19 Pengaruh ENSO terhadap curah hujan periode Juni - Agustus di Kabupaten Indramayu. ...............................................................53 Gambar 3.20 Pengaruh ENSO terhadap curah hujan pada periode September - November di Kabupaten Indramayu.........................55 Gambar 3.21 Pengaruh IOD terhadap curah hujan pada periode September - November di Kabupaten Indramayu. ...........................................55 Gambar 3.22 Pengaruh IOD terhadap curah hujan pada periode Juni Agustus di Kabupaten Cianjur. ......................................................57 Gambar 3.23 Pengaruh IOD terhadap curah hujan pada periode September - November di Kabupaten Cianjur. ................................................57 Gambar 3.24 Distribusi onset pada wilayah yang dipengaruhi oleh (a) ENSO dan (b) IOD di Kabupaten Indramayu ................................60 Gambar 3.25 Distribusi onset pada wilayah yang terpengaruh dan tidak terpengaruh oleh IOD di Kabupaten Cianjur ................................ 60 Gambar 3.26 Pola curah hujan di Sumatera Barat. Tahun 1990 – 2009. ............ 62 Gambar 3.27 Distribusi curah hujan di Sumatera Barat. Periode Desember – Februari. Tahun 1990 – 2009. .....................................................63 Gambar 3.28 Distribusi curah hujan di Sumatera Barat. Periode Maret Mei. Tahun 1990 – 2009. ...............................................................63 Gambar 3.29 Distribusi curah hujan di Sumatera Barat. Periode Juni Agustus. Tahun 1990 – 2009. ........................................................64 Gambar 3.30 Distribusi curah hujan di Sumatera Barat. Periode September - November. Tahun 1990 – 2009. ..................................................64 Gambar 3.31 Distribusi stasiun di Sumatera Barat yang berkorelasi nyata dengan ENSO dan IOD pada periode: (a) Desember Februari, (b) Maret - Mei, (c) Juni - Agustus, (d) September November. ......................................................................................65 Gambar 3.32 Tingkat korelasi antara ENSO dengan curah hujan pada periode Juni - Agustus di Sumatera Barat. .....................................67 Gambar 3.33 Tingkat korelasi antara ENSO dengan curah hujan pada periode September - November di Sumatera Barat........................68 Gambar 3.34 Tingkat korelasi antara IOD dengan curah hujan pada periode Juni - Agustus di Sumatera Barat. ..................................................68 Gambar 3.35 Tingkat korelasi antara ENSO dengan curah hujan pada periode September - November di Sumatera Barat........................69 Gambar 3.36 Distribusi onset pada saat terjadi (a) ENSO dan (b) IOD di wilayah equatorial (Sumatera Barat). .............................................70
xix
Gambar 3.37 Fluktuasi curah hujan bulanan di Solok (a) dan Pesisir Selatan (b) periode 1990-2007. .....................................................71 Gambar 3.38 Pengaruh ENSO dan IOD di Kabupaten Solok dan Pesisir Selatan. ...........................................................................................72 Gambar 4.1
Diagram alir análisis neraca air untuk penentuan potensi waktu tanam padi lahan tadah hujan. .............................................79 Gambar 4.2 Diagram alir neraca air untuk penentuan potensi waktu tanam padi lahan irigasi. ................................................................81 Gambar 4.3 Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di wilayah terkena dampak ENSO dan IOD. Di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. ...........86 Gambar 4.4 Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan irigasi di wilayah terkena dampak ENSO dan IOD. Di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. ...........87 Gambar 4.5 Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di wilayah tidak terkena dampak ENSO maupun IOD. Di (a) Warungkondang, dan (b) Ciranjang Kabupaten Cianjur................90 Gambar 4.6 Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan tadah hujan di wilayah tidak terkena dampak ENSO maupun IOD. Di (a) Warungkondang, dan (b) Ciranjang Kabupaten Cianjur................91 Gambar 4.7 Fluktuasi indeks kecukupan air dan defisit ketersediaan air di wilayah terkena dampak ENSO (atas) dan IOD (bawah) di (a) Tarusan dan (b) Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan. ...........................................................................................94 Gambar 4.8 Fluktuasi indeks kecukupan air dan defisit ketersediaan air di wilayah terkena dampak ENSO (atas) dan IOD (bawah) di (a) Saning Bakar dan (b) Sumani, Kabupaten Solok. ....................96 Gambar 5.1 Skema jaringan recurrent neural network. ...................................102 Gambar 5.2 Hasil training di Stasiun (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya Kabupaten Indramayu. ...........................................106 Gambar 5.3 Hasil training di Stasiun (a) Warungkondang dan (b) Ciranjang Kabupaten Cianjur. ......................................................107 Gambar 5.4 Hasil validasi di Stasiun (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya Kabupaten Indramayu. ...........................................108 Gambar 5.5 Prediksi di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya. .....110 Gambar 5.6 Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya..............................111 Gambar 5.7 Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan irigasi di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya..............................112 Gambar 5.8 Hasil training di Stasiun (a) Tarusan, (b) Sutera di Kabupaten Pesisir Selatan dan (c) Sumani di Kabupaten Solok ....................114 Gambar 5.9 Hasil validasi di Stasiun (a) Tarusan, dan (b) Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan. ...........................................................115 Gambar 5.10 Prediksi di (a) Tarusan, dan (b) Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan. .............................................................................117
xx
Gambar 5.11 Potensi tanam berdasarkan Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di (a) Tarusan, (b) dan Batang Kapas kabupaten Pesisir Selatan .............................................................117 Gambar 5.12 Potensi tanam berdasarkan defisit ketersediaan air pada lahan tadah hujan di (a) Tarusan, (b) dan Batang Kapas kabupaten Pesisir Selatan. .............................................................................118 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 7.1 Gambar 7.2 Gambar 7.3 Gambar 7.4 Gambar 7.5 Gambar 7.6
Respon petani terhadap onset padi di wilayah monsunal terkena dampak anomali iklim (Indramayu). ...............................130 Respon petani terhadap onset padi di wilayah monsunal tidak terkena dampak anomali iklim (Cianjur). ....................................130 Respon petani terhadap onset padi di wilayah monsunal terkena dampak anomali iklim (Pesisir Selatan). .........................134 Respon petani terhadap onset padi di wilayah monsunal tidak terkena dampak anomali iklim (Solok). .......................................134 Onset dan pola tanam padi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun normal. ......................................................139 Onset dan pola tanam padi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun El Niño. .....................................................140 Onset dan pola tanam padi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun IOD positif. ...............................................142 Onset dan pola tanam padi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun normal. ......................................................143 Onset dan pola tanam padi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun El Niño. .....................................................144 Onset dan pola tanam padi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun IOD positif. ...............................................145
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Tabel Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. ...............................................................................168 Tabel Lampiran 2. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun ElNino.....................................................................................168 Tabel Lampiran 3. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun IOD Positif. .................................................................................168 Tabel Lampiran 4. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun Normal. ...............................................................................169 Tabel Lampiran 5. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun ElNino.....................................................................................169 Tabel Lampiran 6. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun IOD Positif. .................................................................................169 Tabel Lampiran 7. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun Normal. ...170 Tabel Lampiran 8. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun El-Nino....170 Tabel Lampiran 9. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun IOD Positif. .................................................................................170 Tabel Lampiran 10. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun Normal. ...............................................................................170 Tabel Lampiran 11. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun El-Nino. ...............................................................................171
xxii
Tabel Lampiran 12. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun IOD Positif. .........................................................................171 Tabel Lampiran 13. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. ..................172 Tabel Lampiran 14. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun El-Nino. .................173 Tabel Lampiran 15. Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun IOD Positif.............................................174 Tabel Lampiran 16. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun Normal. ....................175 Tabel Lampiran 17. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun El-Nino. ...................176 Tabel Lampiran 18. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun IOD positif. ..............177 Tabel Lampiran 19. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun Normal. ..........................178 Tabel Lampiran 20. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun El-Nino. ..........................179 Tabel Lampiran 21. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun IOD Positif. ....................180 Tabel Lampiran 22. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun Normal.............181 Tabel Lampiran 23. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun El-Nino. ...........182 Tabel Lampiran 24. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun IOD Positif. .....183 Tabel Lampiran 25. Kuisioner untuk pemangku kebijakan.................................184 Tabel Lampiran 26. Kuisioner untuk petani ........................................................186
xxiii
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Variabilitas iklim dan perubahan iklim merupakan dua fenomena anomali
iklim yang kini menjadi isu strategis dan perhatian serius karena diyakini mempunyai dampak besar bagi kehidupan di berbagai sektor. Variabilitas iklim merupakan fluktuasi unsur-unsur iklim yang terjadi pada rentang waktu tertentu seperti variasi musiman atau tahunan (musim hujan dan kemarau yang bergeser waktunya atau durasinya) serta kejadian iklim ekstrim sedangkan perubahan iklim merupakan fenomena perubahan komposisi atmosfer secara gradual yang akan memperbesar variabilitas iklim yang teramati pada periode cukup panjang (Trenberth et al. 1995). Variabilitas iklim Indonesia sangat berkaitan erat dengan ENSO (El Niño Southern Oscillation) di Samudera Pasifik (Kirono & Khakim 1999; Naylor et al. 2002) dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Samudera Hindia (Saji et al. 1999; Webster et al. 1999; Ashok et al. 2001; Mulyana 2001). Pada suatu saat terjadi penurunan curah hujan yang mengakibatkan terjadinya kekeringan dan pada saat yang lain mengakibatkan tingginya curah hujan sehingga dapat menimbulkan banjir (Allan, 2000). Munculnya fenomena El Niño kuat sebanyak tujuh kali sepanjang dua puluh tahun terakhir disertai dengan terjadinya fenomena IOD positif yang hampir terjadi bersamaan mengakibatkan deraan kekeringan yang cukup serius. Berdasarkan peristiwa kekeringan yang terjadi sebanyak 43 kali sejak tahun 1844 – 1998, hanya enam peristiwa kekeringan yang tidak berkaitan dengan fenomena El Niño (Boer and Subbiah 2005). Seperti halnya kekeringan yang terjadi antara tahun 1990 – 1997, dalam kurun waktu tersebut terjadi tiga kali kekeringan yang hebat yaitu tahun 1991, 1994 dan 1997. Demikian pula secara hampir bersamaan Saji et al. (1999) dan Webster et al. (1999) menyatakan bahwa pada tahun 1997 ketika terjadi El Niño kuat, secara bersamaan terjadi pula IOD positif kuat di Samudera Hindia. Pada kenyataannya indikator anomali iklim ENSO dan IOD mempunyai dampak yang kuat terhadap curah hujan daerah tropis termasuk variabilitas curah hujan di Indonesia (Naylor et al. 2007; Saji et al. 2003). Kedua fenomena tersebut 1
semakin sering terjadi dengan kondisi musim yang semakin ekstrim dan durasi yang semakin panjang sehingga secara signifikan dapat menyebabkan penurunan curah hujan terutama di musim peralihan saat memasuki musim hujan (IPCC 2007; Koesmaryono 2009). Kondisi tersebut menimbulkan dampak yang signifikan terhadap strategi budaya dan produksi pertanian (IPCC 2001; Porter and Semenov 2005; Betts 2005; Osborne 2005). Terutama di daerah tropis yang mempunyai variasi curah hujan cukup besar (Slingo et al. 2005). Dampak relatif dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan berbeda antar daerah (Gutman et al. 2005; FAO 2005) baik di daerah tropis maupun subtropis. Namun dampak di daerah tropis lebih besar karena mempunyai variasi curah hujan yang cukup besar (Slingo et al. 2005) yang pada gilirannya mengakibatkan gangguan terhadap stabilitas sistem pertanian (Koesmaryono et al. 2008). Variabilitas iklim di satu sisi dapat menjadi potensi namun di sisi lain dapat pula menjadi ancaman bagi kemandirian pangan. Peningkatan fluktuasi, frekuensi dan intensitas anomali iklim dalam dasawarsa terakhir yang disebabkan oleh fenomena ENSO dan IOD berdampak pada perubahan pola distribusi, intensitas dan periode musim hujan sehingga awal musim hujan maupun musim kering menjadi terlambat (Las 2000; Boer 2006; Naylor et al. 2007; D’Arrigo 2007). Akibatnya terjadi pergeseran musim dari kondisi normal rata-ratanya yang akhirnya dapat berimplikasi serius pada tanaman pangan (Hamada et al. 2002; Haylock and McBride 2001) karena umur tanaman pangan lebih pendek dibandingkan dengan tanaman tahunan seperti perkebunan. Stabilitas pangan khususnya ketersediaan pangan fluktuasinya sangat dipengaruhi oleh variasi iklim dan cuaca (Pendleton & Lawson 1988). Hasil kajian FAO (2005) menunjukkan bahwa variabilitas dan perubahan iklim mempengaruhi 11% lahan pertanian di negara-negara berkembang yang dapat mengurangi produksi bahan pangan dan menurunkan Produk Domesik Bruto (PDB) sampai 16%. Sementara itu dampak variabilitas dan perubahan iklim juga dapat menurunkan produksi tanaman pangan (serealia) di kawasan Asia Tenggara antara 2,5 % sampai 7,8 % (Fischer et al. 2002). Variabilitas dan perubahan iklim dengan segala dampaknya yang terjadi berpotensi menyebabkan kehilangan produksi tanaman pangan utama sebesar (20,6%) untuk padi, (13,6%) jagung dan
2
(12,4%) untuk kedelai (Handoko et al. 2008). Sementara itu kebutuhan pangan terutama beras terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk akan mencapai 262 juta jiwa dengan konsumsi beras 134 kg per kapita, dengan demikian kebutuhan beras nasional mencapai 35,1 juta ton atau 65,9 juta ton GKG (Budianto 2002). Munculnya anomali iklim El Niño dan IOD positif secara bersamaan sangat jelas implikasinya terhadap waktu tanam. Misalnya pada tahun 1997/98 akibat kedua fenomena tersebut telah menggeser waktu tanam pada musim hujan 1997/98 hingga 2-3 bulan (6-9 dasarian) yang secara runut juga berpengaruh terhadap waktu tanam pada musim tanam berikutnya (Las 2000). Sehingga produksi padi turun sebesar 6,5 % yang berdampak pada peningkatan impor beras menjadi sebesar 3 juta ton pada tahun 1998 (BPS 1998). Demikian pula terhadap masa tanam (growing season) menunjukkan bahwa terjadi pergeseran sekitar 10 hingga 20 hari dari lama masa tanam normal pada satu abad terakhir ini (Linderholm 2006). Dampak kedua fenomena tersebut juga sangat terasa pada perubahan pola tanam baik di lahan sawah irigasi maupun tadah hujan. Saat ini, sebagian besar areal tanam padi menggunakan pola tanam padi-padi dimana pada musim tanam kedua sangat tergantung pada ketersediaan air irigasi (Las et al. 2007). Kekeringan yang terjadi pada musim tanam kedua akan mengubah pola tanam dari padi-padi menjadi padi-non padi sehingga akan mengakibatkan penurunan produksi beras, yang pada gilirannya akan mengganggu kesinambungan stok pangan nasional. Kesinambungan produksi beras dalam beberapa tahun terakhir sering terganggu akibat berkurangnya area tanam padi karena dampak ENSO dan IOD (Gambar 1.1).
3
13
enso enso
12
Area (Mha)
11
enso
dm+
enso
enso&dm+
enso&dm+
10
enso&dm+
enso
9
enso
8
plant hopper outbreak 7
1968
1972
1976
1980
1984
1988
1992
1996
2000
2004
Year
Gambar 1. 1 Pengaruh ENSO dan Dipole Mode terhadap areal tanam padi (Amien et al. 2007). Penetapan awal musim tanam padi merupakan salah satu strategi penting dalam budidaya pertanian di Indonesia (Naylor et al. 2001, 2007) khususnya tanaman pangan yang sangat berkaitan dengan anomali iklim. Penetapan awal musim tanam merupakan bagian dari kalender tanam secara tradisional telah lama dikembangkan oleh petani secara turun temurun dengan berbagai istilah yang berbeda di setiap daerah. Namun demikian berbagai kearifan lokal tersebut tidak dapat sepenuhnya dijadikan acuan dalam menetapkan awal musim tanam karena perubahan iklim dan semakin sulitnya menemukan indikator penanda musim. Fluktuasi curah hujan yang sangat dinamis akibat munculnya anomali iklim menyebabkan terjadinya pergeseran awal musim hujan dan musim kemarau. Dampak perubahan pola hujan dan pergeseran awal musim mengakibatkan perubahan waktu tanam yang dapat mempengaruhi maju mundurnya waktu tanam sehingga sangat menyulitkan petani yang telah terbiasa dengan kalender tanam yang dilakukan. Penyusunan kalender tanam sangat diperlukan untuk mendukung budidaya tanaman pangan. Dengan kalender tanam dapat diketahui waktu dan pola tanam di daerah tertentu selama setahun. Disamping itu kalender tanam tersebut memberikan informasi komoditas yang biasa ditanam pada suatu wilayah dari mulai persiapan lahan sampai dengan panen selama setahun. Mencermati sangat 4
signifikannya dampak variabilitas iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia serta untuk memperkuat daya tahan sektor pertanian terhadap ancaman variabilitas iklim, maka diperlukan suatu upaya strategis dalam mengantisipasi dampak variabilitas iklim dengan melakukan adaptasi budidaya pertanian agar dampak anomali yang cenderung meningkat tersebut dapat diminimalisasi sehingga tidak menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kesinambungan ketahanan pangan. Fenomena ENSO dan IOD mempunyai dampak yang sangat luas dan dampak yang paling serius terhadap tanaman pangan terutama padi. Oleh karena itu upaya yang sangat penting dilakukan adalah dengan memahami karakteristik iklim wilayah dengan baik. Salah satu upaya adalah melalui kajian dampak kedua fenomena tersebut terhadap kalender tanam di sentra-sentra produksi padi di wilayah Indonesia, baik pada wilayah monsunal maupun equatorial. Hasil penelitian ini akan dijadikan dasar untuk pengembangan strategi adaptasi kalender tanam padi terhadap fenomena ENSO dan atau IOD. 1.2.
Perumusan Masalah Kajian tentang pengaruh fenomena ENSO di Samudera Pasifik dan IOD di
Samudera Hindia terhadap pola distribusi dan intensitas hujan, prakiraan musim, maupun terhadap peristiwa kekeringan sudah banyak dilakukan baik oleh pakar di dalam maupun luar negeri, permasalahannya sampai sejauh mana pengaruh kedua fenomena tersebut terhadap kalender tanam tanaman pangan, terutama padi, masih memerlukan pengkajian yang lebih mendalam. Hasil penelitan yang dilakukan oleh Las et al. (2007) menunjukkan masih adanya perbedaan puncak tanam pada wilayah monsunal, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal tersebut menandakan masih tingginya signifikansi awal musim hujan pada masing-masing daerah. Kondisi tersebut akan berbeda pula pada daerah dengan pola hujan equatorial, akibatnya beberapa implikasi terhadap berbagai pendistribusian sarana produksi seperti benih, pupuk maupun obat-obatan akan berpengaruh terhadap suplai dan demand beras yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) maupun program ketahanan pangan pada umumnya. Mundurnya awal tanam akibat anomali iklim sangat berdampak serius terhadap pola tanam dan waktu tanam pada musim tanam berikutnya sehingga 5
akan mengganggu stabilitas hasil padi. Untuk itu perlu dilakukan analisis waktu tanam yang tepat agar tidak terjadi defisit air selama masa pertumbuhan terutama pada fase kritis tanaman. Disamping itu informasi prediksi curah hujan sangat diperlukan guna membantu dalam memberikan informasi dini untuk perencanaan tanam ke depan mengingat ketidakpastian kondisi iklim di masa mendatang terutama di wilayah yang selalu atau sering terkena dampak anomali iklim. Sampai saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi petani mulai dari daya saing hasil pertanian dengan negara lain, subsidi pupuk dan obat-obatan yang tidak merata, serta pendidikan dan ketrampilan yang masih relatif terbatas. Kondisi tersebut diperparah dengan ancaman perubahan iklim yang akhir-akhir ini semakin tidak menentu. Akibatnya petani semakin sulit dalam melakukan praktek budidaya pertanian terutama dalam menetapkan waktu tanam dan pola tanam yang akan diusahakan yang menjadi ciri kondisi spesifik lahan usaha tani dengan luasan tertentu. Permasalahan lain yang timbul adalah ketidakpastian ketersediaan air yang berkaitan erat dengan musim yang berubah keteraturannya, pada suatu saat terjadi musim kering panjang namun pada saat lain terjadi musim hujan dengan intensitas tinggi. Namun demikian di satu sisi petani memiliki pengalaman dan cara-cara mengatasi masalah dalam menghadapi kerentanan kondisi iklim (autunomous adaptation) dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, perlu dipelajari upaya petani dalam melakukan adaptasi kalender tanam pada kondisi keterbatasan sumberdaya iklim dan air terutama pada wilayah – wilayah yang terindikasi kuat terkena dampak anomali iklim sehingga akan terbangun teknik adaptasi yang lebih terencana (planned adaptation) yang pada akhirnya dapat dipadatkan menjadi satu informasi terpadu yang dapat dilakukan pula di wilayah lain, dengan karakteristik sumberdaya iklim dan air yang hampir sama di Indonesia. 1.3.
Kerangka Pemikiran Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi dampak variabilitas iklim
adalah melalui pendekatan strategis, taktis dan operasional. Pendekatan strategis diawali dengan melakukan karakterisasi dan delineasi wilayah-wilayah yang diindikasikan terkena dampak ENSO dan IOD melalui analisis hubungan anomali curah hujan dengan anomali iklim baik di wilayah monsunal maupun di wilayah equatorial. Selanjutnya peta delineasi wilayah hasil analisis korelasi curah hujan 6
dengan anomali iklim ditumpang-tepatkan dengan peta kalender tanam eksisting dari Badan Litbang Pertanian untuk diperoleh wilayah-wilayah yang sensitif terhadap fluktuasi ENSO dan IOD beserta dengan dinamikanya. Analisis hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD dapat menentukan tingkat pengaruh kedua anomali iklim tersebut terhadap curah hujan suatu wilayah secara temporal sedangkan delineasi dapat menentukan secara spasial wilayah mana saja yang terpengaruh maupun tidak terpengaruh sesuai dengan tingkat korelasi antara curah hujan dengan anomali iklim tersebut yang selama ini belum tergambarkan secara jelas. Dengan demikian penentuan skala prioritas penanganan dalam penetapan kalender tanam akan lebih mudah terutama untuk mengetahui wilayah yang selalu dan sering terpengaruh anomali iklim dan tidak terpengaruh, sehingga penetapan kalender tanam dapat dibedakan apakah dengan mengacu kepada kondisi global atau hanya berdasarkan kondisi iklim lokal saja. Setelah diperoleh wilayah pewakil yang terkena dampak dan yang tidak terkena dampak anomali iklim, selanjutnya dilakukan penetapan onset dan potensi waktu tanam berdasarkan perhitungan neraca air baik pada lahan sawah tadah hujan maupun lahan sawah irigasi. Penetapkan waktu tanam yang tepat diharapkan dapat mengantisipasi serta menghindari kerugian akibat defisit air terutama pada periode kritis tanaman sehingga kehilangan potensi hasil dapat diminimalisasi. Dengan semakin tidak menentunya kondisi iklim terutama pola dan distribusi curah hujan, maka dilakukan pendekatan taktis dengan melakukan perencanaan waktu tanam yang tepat dengan terlebih dahulu dilakukan prediksi curah hujan pada wilayah-wilayah yang terkena dampak. Hasil prediksi curah hujan tersebut yang selanjutnya digunakan untuk analisis potensi waktu tanam ke depan. Tahap terakhir dilakukan pendekatan operasional dengan melakukan wawancara terhadap petani guna memperoleh informasi daya dukung sumberdaya air dan adaptasi waktu, rotasi serta pola tanam yang dilakukan petani dalam menghadapi kekeringan baik yang diakibatkan oleh El Niño maupun IOD positif. Sehingga pada gilirannya akan diperoleh suatu informasi alternatif kebijakan adaptasi kalender tanam terhadap kondisi anomali iklim tersebut.
Dengan
7
demikian kerentanan terhadap perubahan iklim berkurang apabila langkah adaptasi dilakukan dengan baik. Kerangka umum penelitian disajikan pada Gambar 1.2.
(Strategis)
(Taktis)
(Operasional) )
Gambar 1. 2 Kerangka umum penelitian
8
1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk melakukan analisis dampak
ENSO dan IOD yang digunakan untuk melihat sensitivitas maupun dinamika kalender tanam di sentra produksi padi pada dua pola hujan yang berbeda yaitu di wilayah monsunal dan equatorial. Tujuan penelitian ini adalah : a) Menganalisis dan mendelineasi dampak ENSO dan IOD terhadap curah hujan dan dinamika kalender tanam di wilayah monsunal dan wilayah equatorial. b) Menganalisis waktu tanam optimal pada wilayah terkena dampak ENSO dan IOD. c) Menyusun model prediksi curah hujan berdasarkan fenomena ENSO dan IOD untuk menentukan rencana tanam. d) Mempelajari daya dukung sumberdaya air dan adaptasi petani pada wilayah terkena dampak ENSO dan IOD. e) Menyusun strategi adaptasi kalender tanam terhadap variabilitas iklim. 1.5.
Keluaran Penelitian
a) Karakteristik dan delineasi dampak ENSO dan IOD terhadap curah hujan dan dinamika kalender tanam di wilayah monsunal dan wilayah equatorial. b) Waktu tanam optimal pada wilayah terkena dampak ENSO dan IOD. c) Model prediksi curah hujan berdasarkan fenomena ENSO dan IOD dan rencana tanam. d) Informasi daya dukung sumberdaya iklim dan adaptasi petani pada daerah terkena dampak ENSO dan IOD. e) Strategi adaptasi kalender tanam terhadap variabilitas iklim.
9
II.
2.1.
SINTESIS PERMASALAHAN KEJADIAN ANOMALI IKLIM SERTA DAMPAKNYA TERHADAP LUAS TANAM DAN KALENDER TANAM PADI SAWAH
Pola dan Karakteristik Curah Hujan di Indonesia Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki variabilitas tinggi.
Hujan berasal dari air yang terdapat di atmosfer dan sebagai hasil akhir dari proses yang berlangsung di atmosfer tersebut. Menurut BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) suatu hari dikatakan hujan apabila menerima curah hujan 0,5 mm atau lebih. Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain monsun, Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ), IOD, ENSO, dan sirkulasi lokal lainnya. Pola hujan bervariasi menurut skala ruang dan waktu sehingga curah hujan mempunyai karakteristik tertentu pada suatu wilayah apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Intensitas, frekuensi, distribusi dan wilayah hujan dipengaruhi oleh faktor iklim lainnya seperti angin, suhu, kelembaban udara dan tekanan atmosfer. Letak Indonesia diantara benua Asia dan Australia serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, secara geografis berada di equator dengan ribuan kepulauan bisa dikatakan berada di posisi yang unik secara alamiah. Dua samudera tersebut dapat dikatakan sebagai pengendali iklim dunia sehingga dengan kondisi tersebut menjadikan wilayah Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh karakteristik monsun (Ramage 1971; Murakami and Matsumoto 1994; Wu and Kirtman 2007) berupa kondisi dinamika atmosfer seperti sirkulasi angin dan perubahan suhu muka laut di sekitar wilayah Indonesia. Indonesia dipengaruhi oleh angin monsun berupa angin yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam setahun disebabkan oleh perbedaan sifat thermal antara benua dan perairan. Pada bulan Oktober – April, saat matahari berada di belahan Selatan dari Equator, benua Australia lebih banyak memperoleh pemanasan dibandingkan dengan benua Asia sehingga di Australia terdapat pusat tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di Asia terdapat pusat-pusat tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus angin dari benua Asia ke benua Australia.
10
Di Indonesia angin ini merupakan angin musim Timur Laut di belahan bumi Utara dan angin musim Barat di belahan bumi Selatan. Oleh karena angin ini melewati Samudera Pasifik dan Samudra Hindia maka banyak membawa uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia terjadi musim penghujan. Sebaliknya Pada bulan April – Oktober, matahari berada di belahan bumi Utara, sehingga benua Asia lebih panas dari benua Australia. Akibatnya, di Asia terdapat pusatpusat tekanan udara rendah, sedangkan di Australia terdapat pusat-pusat tekanan udara tinggi yang menyebabkan terjadinya angin dari Australia menuju Asia. Di Indonesia, terjadi angin musim Timur di belahan bumi Selatan dan angin musim Barat Daya di belahan bumi Utara. Oleh karena tidak melewati lautan yang luas maka angin tidak banyak mengandung uap air oleh karena itu pada umumnya di Indonesia terjadi musim kemarau. Berdasarkan faktor-faktor pengendali cuaca dan iklim, Indonesia dibagi menjadi 153 daerah pola hujan yang selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga daerah utama (Aldrian and Susanto 2003), yaitu : 1. Daerah A merupakan pola yang dominan di Indonesia karena meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut memiliki satu puncak pada bulan November-Maret dipengaruhi oleh monsun Barat Laut dan satu palung pada bulan Mei-September
dipengaruhi oleh monsun Tenggara yang kering,
sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Selain itu daerah A berkorelasi kuat terhadap perubahan suhu permukaan laut. 2. Daerah B mempunyai dua puncak pada bulan Oktober-November dan pada bulan Maret - Mei. Pola ini dipengaruhi oleh pergeseran ke Utara dan Selatan dari ITCZ 3. Daerah C mempunyai satu puncak pada bulan Juni-Juli (JJ) dan satu palung pada bulan November-Februari. Pola ini merupakan kebalikan dari pola A. Karakteristik curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena monsun yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan tekanan di benua Asia dan Australia secara bergantian yang terjadi pada skala waktu tahunan (Ramage, 1971). Musim hujan di Sebagian besar wilayah Indonesia pada umumnya bertepatan dengan monsun Barat yang terjadi pada Desember-Januari-Februari (DJF) dan musim
11
kemarau bertepatan dengan monsun Timur yang terjadi pada Juni-Juli-Agustus (JJA). Antara monsun Barat dengan monsun Timur terdapat musim pancaroba pertama yaitu bulan Maret-April-Mei dan musim pancaroba kedua yaitu bulan September-Oktober-November (SON). Variasi pola umum ini dapat berubah akibat proses pemanasan global atau karena fluktuasi gejala ENSO (Philander 1989; Ropelewski and Halpert 1989; Halpert and Ropelewski 1992; Lau and Nath 2000). 2.2.
Fenomena ENSO di Samudera Pasifik Variabilitas iklim Samudera Pasifik tropik memiliki fenomena yang khas
dan hingga saat ini mendapat perhatian yang mendalam dari para peneliti di bidang Oseanografi dan Iklim. Fenomena internal dari variabilitas iklim tersebut merupakan sirkulasi zonal (sejajar lintang) arah Timur Barat yang terjadi di pasifik Timur menuju pasifik Barat (dekat kepulauan Indonesia) yang dinamakan sirkulasi Walker. Gangguan yang terjadi pada sirkulasi Walker dikenal sebagai fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation). El Niño (La Niña) merepresentasikan fase panas (dingin) dari siklus ENSO. Istilah El Niño (La Niña) mengacu pada pemanasan (pendinginan) pada suhu muka laut pada sentral dan sentral-timur Pasifik Equator (Gambar 2.1.). Kondisi suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator sangat berpengaruh pada sirkulasi angin zonal yang terjadi di kawasan mulai dari Indonesia hingga Amerika Selatan. Pada suatu ketika suhu permukaan laut Pasifik Ekuator Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rataratanya, kondisi tersebut dinamakan sebagai El Niño.
Sebaliknya, bila suhu
permukaan laut Pasifik Ekuator Tengah dan Timur terjadi lebih rendah daripada rata-ratanya, kondisi tersebut dinamakan sebagai La Niña sehingga kemudian dikenal dengan nama ENSO, berasal dari El Niño (fenomena laut) dan Southern Oscillation (fenomena atmosfer) (Wiratmo, 1998). Gejala ENSO yang membawa implikasi laut Indonesia lebih dingin pada kejadian El Niño dan lebih hangat pada kejadian La Niña. Mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah hujan pada tahun La Niña dan penurunannya pada tahun El Niño (Gutman et al. 2000). Sebagai indikator untuk memantau kejadian ENSO, biasanya digunakan data pengukuran Suhu Permukaan Laut (SPL). Dupe dan Tjasyono (1998) telah melakukan analisis terhadap grafik data SPL dan anomali SPL untuk seluruh
12
daerah pengamatan El Niño. Hasil visual menunjukkan bahwa daerah Nino 3.4 (170oBB - 120oBB, 5oLS - 5oLU) memperlihatkan distribusi yang lebih berpola, sehingga dapat dikategorikan bahwa daerah Nino 3.4 adalah daerah yang lebih representatif untuk mendefinisikan El Niño. Kenaikan anomali SPL Nino3.4 diikuti dengan melemahnya angin passat (trade winds) yang mengakibatkan pergeseran daerah konveksi pembentukan awan-awan hujan. Pada kondisi normal, daerah konveksi berada di daerah Barat Samudera Pasifik. Namun, pada kondisi El Niño, zona konveksi bergeser ke tengah-tengah Samudera Pasifik. Kondisi ini biasanya terjadi menjelang akhir tahun, akibatnya musim penghujan di Indonesia yang biasanya terjadi pada akhir tahun akan diganti dengan kemarau karena pengaruh El Niño.
Sumber : http://www.whoi.edu/oceanus/viewImage.do?id=83611&aid=53506
Gambar 2.1 Pola anomali suhu muka laut pada peristiwa El Niño dan La Niña Indikator ENSO lainnya adalah dengan menggunakan SOI (Southern Oscillation Index) atau Indeks Osilasi Selatan yang mengacu pada perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti (di Timur pasifik bagian ekuator) dan Darwin (di pantai utara Australia). Nilai SOI semakin negatif berarti semakin kuat kejadian panas (El Niño), sebaliknya nilai SOI semakin positif kejadian dingin (La Niña) semakin kuat (Boer 1999). Pada kondisi normal, rata-rata tekanan di permukaan laut relatif tinggi di Pasifik Tengah bagian selatan (menggunakan stasiun rujukan 13
di Tahiti) dan relatif rendah di Pasifik Barat atau Australia Utara (stasiun rujukan di Darwin). Sehingga pemindahan neto udara di lintang rendah adalah dari Timur ke Barat – disebut sebagai angin Pasat Timuran. Setiap beberapa tahun perbedaan tekanan antara Barat dan Timur ini melemah, sehingga angin Pasat Timuran berhenti dan biasanya diiringi dengan kekeringan di Indonesia dan Australia. Gejala El Niño dimulai dengan menurunnya tekanan udara di Tahiti di bawah tekanan udara di Darwin sehingga massa air panas di kawasan pasifik bagian Barat mengalir ke arah Timur dengan bantuan arus equatorial. Akibatnya terjadi akumulasi massa air panas di Pasifik bagian Timur dan permukaan air lautnya naik lebih besar dibanding dengan yang di kawasan Barat. Kondisi ini mengakibatkan konveksi terjadi di pasifik bagian Timur dan subsidensi di atas kontinen maritim Indonesia. Subsidensi ini akan menghambat pertumbuhan awan konveksi sehingga pada beberapa daerah di Indonesia terjadi penurunan jumlah hujan yang jauh dari normal.
Kondisi sebaliknya terjadi pada saat La Niña
berlangsung (Gambar 2.2).
Sumber: http://www.longpaddock.qld.gov.au/seasonalclimateoutlook/elninosouthernoscillation.html
Gambar 2.2 Sirkulasi angin global pada kondisi La Niña dan El Niño
14
Berdasar intensitasnya El Niño dikategorikan sebagai : a.
El Niño Lemah (Weak El Niño), yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik equator positif antara +0.5º C s/d +1,0º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.
b.
El Niño sedang (Moderate El Niño), yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik equator positif antara +1,1º C s/d 1,5º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.
c.
El Niño kuat (Strong El Niño), yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik ekuator positif > 1,5º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut. Boer (2002) menyatakan bahwa berdasarkan pengamatan terhadap data
hujan musim kemarau selama seratus tahun, rata-rata penurunan curah hujan akibat terjadinya El Niño bila dibadingkan dengan normalnya dapat mencapai 80 mm/bulan sedangkan peningkatan curah hujan akibat terjadinya La Niña tidak lebih dari 40 mm. Sehingga secara umum bencana yang ditimbulkan oleh kejadian El Niño lebih serius dibandingkan dengan la Niña. Dampak El Niño terhadap kondisi cuaca global dicirikan dengan angin pasat timuran dan sirkulasi munson semakin lemah dan akumulasi curah hujan berkurang di Indonesia (Pustekkom 2007). Berkurangnya akumulasi curah hujan tersebut sangat tergantung dari intensitas El Niño tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia yang terdiri kepulauan maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh El Niño. Sir Gilbert Walker pada tahun 1924 menyatakan bahwa El Niño berkaitan langsung dengan perbedaan tekanan udara di wilayah Indonesia (bagian Barat Lautan Pasifik) dan bagian Timur Lautan Pasifik. Variasi perbedaan tekanan Timur-Barat dihubungkan dengan sirkulasi Walker merupakan sebuah variasi antar tahun yang tidak teratur (Hastenrath 1988). Untuk wilayah Indonesia, akibat pola monsunal yang mengatur pola sirkulasi arus laut permukaan, pengaruh El Niño dan La Niña ternyata dibatasi hanya pada musim kemarau. Karena pada musim inilah arus laut dari Pasifik mengalir masuk ke wilayah Indonesia dengan implikasi perubahan akibat kedua
15
fenomena global tersebut. Pada musim hujan pengaruh dari kedua fenomena global tersebut dihambat oleh tidak mendukungnya pola arus laut, dimana pola arus permukaan menuju keluar wilayah Indonesia. Berdasarkan kriteria diatas, maka pengaruh El Niño akan lebih memperburuk iklim Indonesia karena pengurangan jumlah hujan terjadi pada puncak musim kemarau, sedangkan La Niña lebih bukan merupakan bencana karena terjadi juga di musim kemarau yang tidak terlalu kering. Pengaruh dari El Niño akan lebih terasa untuk wilayah Indonesia bagian timur, tetapi apabila terjadi gejala El Niño sangat kuat seperti kasus tahun 1997, pengaruh akan terasa hingga Indonesia bagian barat kecuali wilayah Jambi hingga Aceh karena El Niño kuat akan membuat bayangannya di Samudera Hindia (Aldrian and Susanto 2003) Pada beberapa tahun terakhir, terlihat jelas bahwa peristiwa kekeringan di Indonesia akibat El Niño kerap kali terjadi akibat peningkatan fluktuasi anomali suhu muka laut Samudera Pasifik. Hal tersebut menunjukkan bahwa cuaca ekstrim regional dan anomali iklim yang direpresentasikan dengan kejadian El Niño akan mendorong peningkatan resiko iklim di wilayah Indonesia. Disamping itu anomali iklim dan cuaca regional berkaitan dengan El Niño diperburuk pula oleh peningkatan temperatur yang berkaitan dengan semakin tingginya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir (Gambar 2.3).
Sumber : http://www.ncdc.noaa.gov/img/climate/research/1998/enso/ensotr2.gif
Gambar 2.3 Anomali temperatur permukaan global sepanjang 10 kejadian El Niño utama dalam abad ini (NCDC/NOAA) 16
Dalam dasawarsa terakhir ini frekuensi kejadian El Niño semakin sering terjadi. Selain tahun 1991, El Niño juga terjadi tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2006. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam tempo 12 tahun sudah terjadi enam kali El Niño. 2.3.
Fenomena IOD di Samudera Hindia Selain El Niño di Samudera Pasifik, terdapat pula fenomena interaksi
lautan-atmosfer lainnya yang diduga menyebabkan peristiwa kekeringan di Indonesia yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole /IOD (Saji et al. 1999; Webster et al. 1999; Hendon 2003), fenomena tersebut merupakan kejadian dipole yang terjadi di Samudera Hindia berupa mode dari variabilitas iklim antar tahun yang melibatkan peristiwa pembalikan gradien suhu muka laut dan angin yang melintas di atas Samudera Hindia Equatorial (Abram et al. 2007). IOD ditandai dengan penurunan suhu permukaan laut (SPL) di bagian Timur (pantai Barat Sumatera dan Selatan Jawa) disertai dengan meningkatnya SPL di Samudera Hindia bagian barat (Gambar 2.4). Kondisi tersebut dipicu oleh peningkatan intensitas angin Tenggara (southeasterly winds) di sepanjang pesisir Selatan Jawa dan Barat Sumatera. Peningkatan itu diikuti dengan perubahan angin baratan (westerly winds) menjadi angin timuran (easterly winds) di sepanjang ekuator Samudera Hindia. Evolusi anomali ini mulai terjadi di akhir Juni, kemudian menguat pada bulan-bulan berikutnya, dan mencapai puncaknya pada Oktober. Fenomena IOD akan menyebabkan musim kemarau yang parah di sebagian besar wilayah Indonesia dan akan mencapai puncaknya pada bulan September-Oktober (Saji 2000). Sebaliknya, di Benua Afrika khususnya daerah tropis, dan di daratan India akan terjadi peningkatan curah hujan di atas normal. IOD diyakini dapat menyebabkan musim panas dengan temperatur yang sangat tinggi di kawasan Eropa, Jepang, Korea dan Cina bagian Timur. Sementara itu, di belahan bumi bagian Selatan, IOD memicu musim dingin yang kering di Australia (Saji et al. 1999).
17
Sumber: http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/
Gambar 2.4 Gambaran pola suhu muka laut pada saat IOD positif dan IOD negatif Ciri dari terjadinya peristiwa IOD yang menyebabkan kekeringan di sebagian wilayah Indonesia ialah dengan mendinginnya SPL dekat Sumatera serta menghangatnya SPL di bagian barat Samudera Hindia. Intensitas IOD direpresentasikan oleh gradien ASPL antara bagian barat Samudera Hindia Ekuator (50°-70°BT, 10°LU-10°LS) dan bagian tenggara Samudera Hindia Ekuator (90°-110°BT, 0°-10°LS). Apabila DMI bernilai positif, maka fenomena yang terjadi dikenal dengan IOD positif. Pada kondisi ini suhu permukaan laut di pantai barat Sumatera lebih dingin yang menyebabkan massa udara bergerak ke Teluk Bengal yang menyebabkan rendahnya curah hujan di wilayah bagian barat Indonesia. Kejadian sebaliknya terjadi apabila DMI bernilai negatif, massa udara bergerak ke arah pantai barat Sumatera yang menyebabkan tinggi curah hujan di kawasan Indonesia bagian Barat. Kajian mengenai dampak El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan dipole mode samudera Hindia (Indian Ocean Dipole atau IOD) merupakan tema kajian yang sangat penting dan menarik (Webster et al. 1999; Ashok et al. 2001; Saji et al. 2003) karena kompleksitas dan dampaknya yang luas pada berbagai bidang kehidupan. Sampai saat ini hubungan kejadian antara ENSO dan IOD di dua Samudera tersebut masih belum jelas diketahui keterkaitannya. Beberapa kejadian terlepas satu sama lain namun beberapa kejadian lainnya memiliki keterkaitan yang cukup kuat (Saji and Yamagata 2003). Independensi IOD terhadap ENSO disampaikan oleh Saji et al. (1999) dan pendapat tersebut diperkuat oleh Rao et al. (2002) yang menyatakan bahwa 18
selama 127 tahun terakhir terjadi 14 kejadian IOD positif dan 19 kejadian IOD negatif yang kuat dan 5 kejadian IOD positif dan 7 kejadian IOD negatif yang terjadi bersamaan dengan ENSO. Dengan kata lain, 65% yang kuat berlangsung ketika tidak ada kejadian ENSO. Kejadian IOD positif yang terjadi bersamaan dengan ENSO seperti pada tahun 1997 ditengarai memperkuat pengaruh ENSO di wilayah Indonesia, sebaliknya apabila IOD negatif yang bersamaan dengan ENSO akan mengurangi dampak ENSO. Secara hampir bersamaan Saji et al., (1999) dan Webster et al. (1999) menyatakan bahwa pada tahun 1997 ketika terjadi El Niño kuat, secara bersamaan terjadi pula IOD positif kuat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan pengaruh ENSO dipengaruhi pula oleh fenomena IOD. 2.4.
Kalender Tanam FAO (1997) mendefinisikan kalender tanam (cropping calendar) sebagai
salah satu aspek pertanian yang sering dipetakan orang untuk mengetahui waktu dan pola tanam di daerah tertentu selama setahun. Wiliamson (2001) melaporkan kalender tanam di Kosovo (Gambar 2.5) yang dikembangkan oleh FAO. Kalender tersebut memberikan informasi mengenai jenis tanaman yang tumbuh, saat tanah diberakan, persiapan lahan, masa vegetatif, masa generatif, serta panen selama setahun di Kosovo.
Gambar 2.5 Kalender tanam di Kosovo (Wiliamson, 2001) Selain di Kosovo, FAO juga telah mengembangkan kalender tanam di Iraq, Gambar 2.6 (Edirisinghe, 2004), dengan komoditas yang biasa tumbuh di daerah tersebut, seperti padi, jagung, kapas, buah-buahan dan sayuran. Dengan kalender tanam tersebut terlihat bahwa tanaman yang tergantung air hujan (rained 19
crops) akan tumbuh terutama selama bulan basah dari November sampai April tahun berikutnya.
Gambar 2.6 Kalender tanam di Iraq (Edirisinghe, 2004) Di Indonesia kalender tanam secara tradisional diperoleh petani secara turun temurun. Selama ribuan tahun mereka menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya, akhirnya nenek moyang kita membuat kalender tahunan bukan berdasarkan kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut. Pranata Mangsa dibutuhkan sebagai penentuan atau patokan untuk bercocok tanam (Tabel 2.1.). Hal tersebut tentunya tidak keliru selama dunia tidak mengalami perubahan baik iklim, penutupan ataupun penggunaan lahan. Namun perubahan global bukan merupakan isu lagi tetapi suatu yang telah terjadi baik secara global, regional ataupun lokal (Syahbuddin et al. 2007). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian ulang bagaimana kalender tanam yang ada berdasarkan kondisi iklim setelah terjadi perubahan. Seperti yang dikemukakan oleh Viet et al. (2001) bahwa untuk keberlanjutan pertanian akibat adanya perubahan iklim perlu dilakukan perubahan baik kalender tanam, pola tanam, maupun rotasi penanaman untuk setiap zone agroekologi.
20
Tabel 2.1 Pranata Mangsa selama setahun (Wiriadiwangsa 2005) No
Nama
Mulai
Akhir
Kegiatan
1. Kasa (Kahiji)
22/23 Jun
2/3 Ags
Musim tanam palawija.
2. Karo (Kadua)
2/3 Ags
25/26 Ags
Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.
3. Katiga (Katilu)
25/26 Ags
18/19 Sep
Musim ubi-ubian bertunas, panen palawija.
4. Kapat (Kaopat)
18/19 Sep
13/14 Okt
5. Kalima (Kalima)
13/14 Okt
9/10 Nov
6. Kanem (Kagenep)
9/10 Nov
22/23 Des
7. Kapitu (Katujuh)
22/23 Des
3/4 Feb
8. Kawolu (Kadalapan)
2/3 Feb
28/29 Feb
9. Kasonga (Kasalapan)
1/2 Mar
26/27 Mar
10. Kadasa (Kasapuluh)
26/27 Mar
19/20 Apr
11. Desta (Kasabelas)
19/20 Apr
12/13 Mei
12. Sada (Kaduabelas)
121/13 April-
22/23 Juni.
Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda. Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah. Musim banjir, badai, longsor, mulai tandur. Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit. Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi. Musim padi berisi tapi masih hijau, burung-burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering. Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya. Musim menumpuk jerami, tanda-tanda udara dingin di pagi hari.
Adanya informasi mengenai pola tanam dan sistem usaha tani berdasarkan tingkat sensitifnya pada berbagai kondisi iklim diharapkan dapat membantu para pengambil kebijakan dalam hal perencanaan pertanian. Selain itu juga diharapkan dapat berdampak ke tingkat petani di dalam menerapkan pola tanam dan sistem usaha tani yang mempertimbangkan aspek variabilitas iklim.
21
2.5.
Dampak Anomali Iklim terhadap Waktu dan Pola Tanam Padi. Anomali dan perubahan iklim sering berdampak terhadap pertumbuhan
dan produktivitas tanaman. Adanya perubahan jumlah dan pola hujan serta frekuensi pergeseran musim berupa maju mundurnya musim hujan dan kemarau berpengaruh terhadap waktu dan pola tanam khususnya padi. Di Jawa, pergeseran musim akibat kejadian El Niño menyebabkan perubahan realisasi luas areal tanam secara nyata dan pengunduran waktu tanam berakibat terhadap musim tanam berikutnya (Naylor et al. 2002). Walaupun tidak selalu disebabkan oleh El Niño, penyimpangan iklim yang menyebabkan hari-hari kering pada awal musim hujan 2002/2003 (NopemberDesember 2002) telah menggeser pola tanam di beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa. Dalam kondisi normal, realisasi tanam MH pada bulan Desember di Jalur pantura Jabar mencapai 80%, namun hingga minggu ke II Januari 2003 realisasi tanam MH 2002/2003 baru mencapai 45-55%. Anomali iklim menyebabkan penanaman padi awal musim hujan (Nopember - Desember) hanya bisa dilakukan pada daerah yang dekat dengan saluran air irigasi. Hal yang mirip juga berlanjut pada MT 2003 (MK-I 2003). Luas kerusakan pertanaman padi mencapai lebih dari 450.000 ha akibat kekeringan, dan lebih dari 91.000 ha mengalami puso. Kerusakan tersebut sebagian besar berada wilayah bagian selatan Indonesia, terutama Jawa, Sulsel dan Lampung sedangkan tanaman palawija yang mengalami kerusakan mencapai 42.000 ha lebih dan mengalami puso lebih dari 2.700 ha. Kerusakan tanaman padi dan palawija pada tahun 2003 tersebut jauh lebih tinggi dibanding 10 tahun sebelumnya pada periode yang lama (Boer 2006). Secara teknis, tanaman padi sawah membutuhkan air 800-1200 mm/musim sedangkan jagung, kedelai dan kacang tanah 350-400, 300-350, dan 400-500 mm/musim. Dengan demikian, tanaman padi dan palawija tumbuh dan berproduksi baik jika memperoleh pasokan air antara 6-10 mm/hari dan 3,5-6 mm/hari atau 60-100 dan 35-60 m3/ha/hari. Oleh sebab itu, pola tanam (jenis tanaman dan waktu tanam) sangat ditentukan oleh lama dan pola ketersediaan air yang terakit dengan durasi anomali iklim. Berdasarkan kejadian anomali iklim sejak lebih 100 tahun yang lalu menunjukkan bahwa rata-rata durasi kejadian El
22
Niño sekitar 8,5 bulan dengan kisaran 4-12 bulan, sedangkan kejadian La Niña bulan dengan kisaran 5-15 bulan (Harger 1995). 2.6.
Fenomena ENSO dan IOD dalam Hubungannya dengan Sistem Produksi Padi di Indonesia Fenomena anomali iklim merupakan gejala alam yang bersifat global dan
besar pengaruhnya terhadap pola iklim global dan regional, bahkan lokal. Kedatangannya
tidak
mudah
diduga,
sehingga
langkah
antisipasi
dan
penanggulangan cukup sulit, terutama El Niño. Anomali iklim telah berulang kali terjadi dan umumnya merusak sistem produksi padi. Sistem produksi padi nasional merupakan salah satu sistem yang dinilai rentan terhadap fenomena ENSO dan IOD. Misalnya, pada kondisi iklim ekstrim, luas dan intensitas lahan pertanian yang terkena bencana meningkat tajam. Pengamatan tahun 1994 dan 1997 yang disinyalir sangat dipengaruhi oleh fenomena El Niño dan IOD positif menunjukkan bahwa kumulatif luas sawah yang mengalami kekeringan dari bulan Mei sampai Agustus melebihi 400 ribu ha sementara pada tahun-tahun normal dan La Niña kurang dari 75 ribu ha. Demikian pula pada tahun La Niña 1995, kumulatif luas banjir dari bulan Oktober sampai Desember mencapai 250 ribu ha sementara pada tahun-tahun normal dan tahun El Niño umumnya kurang dari 100 ribu ha (Boer dan Alimoeso 2002). Kehilangan produksi padi akibat kejadian kekeringan dan banjir khususnya pada tahun-tahun iklim ekstrim dapat mencapai 2 juta ton. Di beberapa wilayah seperti di Jawa, Lampung dan Bali, pengaruh kejadian ENSO terhadap curah hujan sangat nyata, terutama pada musim kering. Pada tahun El Niño, curah hujan pada Musim Kemarau II (Juli sampai Oktober) dapat turun sampai 57% curah hujan tahun normal Sebaliknya pada tahun La Niña, curah hujan MK II dapat meningkat sampai 152% curah hujan normal (Las, 2000). Selain dapat mempengaruhi tingginya curah hujan, kejadian El Niño juga berpengaruh terhadap masuknya musim kemarau. Pada tahun El Niño 1982, awal musim kemarau di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur terjadi lebih awal 20 hari dari normal sedangkan akhir musim kemarau mundur 30-40 hari dari normal (Soerjadi 1984). Perubahan iklim akan mengakibatkan perubahan pola
23
iklim tahunan seperti terlambatnya awal musim hujan maupun musim kering. Disamping itu periode musim hujan juga diperkirakan akan lebih pendek. Di Indonesia, kondisi kekeringan sepanjang musim kemarau (Juni – November) terjadi bersamaan dengan perkembangan El Niño di Pasifik. Tipe tersebut direpresentasikan dengan anomali SST dingin di sekitar Indonesia, sedangkan anomali panas berkembang di sebelah Timur Pasifik dan sebelah Barat Samudera Hindia. Sebaliknya peningkatan curah hujan di Indonesia sepanjang musim kemarau. Bila terjadi anomali iklim maka yang paling merasakan dampaknya adalah petani padi yang umumnya miskin, tidak mampu menabung dan tidak mempunyai pekerjaan alternatif. Anomali iklim, terutama El Niño, tidak hanya menyebabkan turunnya produksi padi, tetapi juga berdampak terhadap mundurnya waktu tanam pada musim berikutnya. Penurunan curah hujan secara nyata pada musim kemarau akibat El Niño berdampak pada kekeringan pada hampir seluruh wilayah di Indonesia. Seperti halnya kekeringan yang terjadi antara tahun 1990-1997, dalam kurun waktu tersebut terjadi tiga kali kekeringan hebat yaitu tahun 1991, 1994, dan 1997 yang ditandai dengan tingginya lahan yang terkena dampak dan yang mengalami puso (Gambar 2.7).
24
Maize
Rice
800
90
Completely damage Lightly-heavily affected
700 600 500 400 300 200 100
Completely damage Lightly-heavily affected
80 Drought Area (thousand ha)
Drought Area (thousand ha)
900
0
70 60 50 40 30 20 10 0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
1990 1991
25
Completely damage Lightly-heavily affected
Drought Area (thousand ha)
Drought Area (thousand ha)
30 25 20 15 10 5 0
1990 1991 1992 1993 1994
1995 1996 1997
Peanut
Soybean 35
1992 1993 1994
1995 1996 1997
20
Completely damage Lightly-heavily affected
15 10 5 0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Gambar 2.7 Pengaruh El Niño terhadap padi dan palawija (Boer and Subbiah, 2005). Berdasarkan data historis pengaruh peristiwa El Niño terhadap produksi beras nasional, mengindikasikan bahwa sistem produksi beras nasional sangat rentan terhadap peristiwa iklim ekstrim. Saat El Niño terjadi, kehilangan produksi padi meningkat secara nyata dan total kehilangan hasil juga cenderung meningkat. Rata-rata kehilangan hasil disebabkan kekeringan pada periode 1980-1990 tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi pada periode 1991-2000, dari seratus ribu ton per hektar per tahun sampai dengan 300 ribu ton per hektar per tahun (Boer dan Las 2003). Penurunan produksi ini berpengaruh langsung pada tingkat kesejahteraan petani. Sebagai contoh, dari hasil penelitian di sentra produksi beras Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ketika terjadi El Niño tahun 2002- 2003, jumlah keluarga prasejahtera langsung naik sekitar 14 persen. Kemarau panjang yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir ini sangat erat kaitannya dengan fenomena anomali iklim El Niño. Sebaliknya, bila fenomena La Niña yang muncul, curah hujan cenderung akan tinggi. Menurut Fagi dan Manwan (1991) pada musim kering 1991 diperkirakan produksi padi nasional turun 2,2 persen. Menurut Panggabean (1995) kekeringan 1994 menyebabkan produksi padi nasional turun 3,7 persen. Musim kemarau disusul dengan banjir
25
tahun 1994 telah mengurangi luas panen sebesar 3,1 persen atau 341.000 ha, demikian juga hasil per hektar menurun sebesar 0,6 persen atau 0,27 ku/ha. Pada tahun 2003, akibat curah hujan yang rendah terjadi kekeringan di areal sawah di sentra padi (Jawa) seluas 430.295 ha disamping 82.696 ha yang mengalami puso (BAPENAS 2004), bila terjadi kekeringan berlanjut maka akan mengganggu stabilitas pangan karena 50% pasokan padi nasional berasal dari Pulau Jawa. 2.7.
Pengembangan Model Prediksi Curah Hujan dalam Mendukung Penyesuaian Kalender Tanam Prediksi curah hujan diperlukan untuk merencanakan waktu dan pola
tanam beberapa bulan ke depan bahkan satu tahun ke depan. Berbagai teknik analisis dan pemilihan model sudah banyak digunakan dalam penyusunan model prediksi curah hujan. Dengan mengembangkan model yang tervalidasi dengan baik diharapkan dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat dalam waktu yang cepat sehingga penyesuaian kalender tanam dapat direncanakan sedini mungkin dalam mengantisipasi anomali iklim yang terjadi. Wigena (2006) menyatakan bahwa penyusunan model prediksi curah hujan tergantung pada keberadaan autokorelasi dan kolinieritas data pada peubah tak bebas yang akan diduga. Variasi keberadaan antara autokorelasi dengan kolinieritas dapat diterapkan dengan menggunakan analisis jaringan syaraf tiruan. Jaringan saraf tiruan (JST) dalam Bahasa Inggris dinamakan artificial neural network (ANN), atau juga disebut simulated neural network (SNN), atau pada umumnya disebut neural network (NN). JST pertama kali ditemukan Warren McCulloch, seorang neurophysiologist, dan rekannya seorang matematikawan Walter Pitts pada tahun 1943. ANN merupakan sebuah alat pemodelan data statistik non linier berupa jaringan dari sekelompok unit pemrosesan yang dimodelkan berdasarkan interkoneksi syaraf buatan yang menggunakan suatu model komputasi untuk memproses informasi yang terdistribusi dan bekerja secara pararel (Hecht-Nielsen 1988). Fungsinya ditentukan oleh struktur jaringan dan kekuatan hubungan, kemudian pengolahan dilakukan pada komputasi elemen simpul atau nodes (DARPA 1998).
26
ANN adalah sistem pengolah informasi yang mempunyai karakteristik mirip dengan jaringan syaraf biologis, yaitu jaringan syaraf pada otak manusia (Gambar 2.8).
Gambar 2.8 Konsep jaringan syaraf manusia dan model jaringan syaraf tiruan. (a) komponen- komponen syaraf (neuron), (b) gambaran mengenai synapses, dan (c) model jaringan syaraf. Biasanya terdapat paling tidak tiga lapisan pada suatu jaringan langkah maju, terdiri dari satu lapisan input (input layer), lapisan tersembunyi (hidden layer), dan suatu lapisan output (output layer). Lapisan input memberi umpan kepada lapisan tersembunyi, kemudian lapisan tersembunyi memberi umpan kepada lapisan output. Pengolahan aktual dalam suatu jaringan terjadi di dalam simpul pada lapisan tersembunyi dan lapisan output (Gambar 2.9).
Gambar 2.9 Skema ANN feed forward Pemrosesan informasi dalam ANN dapat disingkat sebagai berikut, sinyal (baik berupa aksi atau potensial) muncul sebagai masukan unit (sinapsis); efek dari tiap sinyal dinyatakan sebagai bentuk perkalian dengan sebuah nilai bobot
27
untuk mengindikasikan kekuatan dari sinapsis. Semua sinyal yang diberi pengali bobot ini kemudian dijumlahkan satu sama lain untuk menghasilkan unit aktivasi. Jika aktivasi ini melampaui sebuah batas ambang tertentu maka unit tersebut akan memberikan keluaran dalam bentuk respon terhadap masukan. Model satu neuron ini, kemudian dibuat dalam bentuk jaring-jaring neuron sehingga kita memiliki sebuah jaring saraf buatan (Gambar 2.10). Aktivasi dari unit masukan diatur dan diteruskan melalui jaring hingga nilai dari keluaran dapat ditentukan. Jaring berperan sebagai fungsi vektor yang mengambil satu vektor pada masukan dan mengeluarkan satu vektor lain dikeluarkan.
Gambar 2.10 Jaring saraf buatan Model jaringan syaraf buatan dapat memiliki sebuah lapisan bobot, dimana masukan dihubungkan langsung dengan keluaran, atau beberapa lapisan yang di dalamnya terdapat lapisan tersembunyi. Tiap-tiap lapisan terdiri dari banyak simpul, interkoneksi hanya terjadi antara simpul-simpul yang terletak pada satu lapisan dengan simpul-simpul yang terletak pada lapisan tetangganya. Simpul-simpul yang berhubungan langsung dengan masukan dan terletak dalam satu lapisan yang sama, lapisan tersebut disebut "lapisan masukan" simpul-simpul yang memberikan keluaran dan terletak dalam satu lapisan disebut "lapisan keluaran". Simpul-simpul yang terletak dalam satu atau beberapa lapisan dan tidak berhubungan langsung dengan keadaan di luar jaringan disebut "lapisan dalam" atau lapisan tersembunyi. Banyaknya simpul pada lapisan masukan dan lapisan keluaran tergantung pada jenis pemakaian tertentu (Subiyanto 1998).
28
Dengan merekayasa lapisan tersembunyi, memungkinkan mendekati semua fungsi arsitektur jaringan saraf buatan tipe maju. ANN untuk prediksi data deret waktu (misalkan curah hujan) digunakan sebagai perseptron (perceptron) yang mempelajari sebuah curah hujan sedemikian sehingga mampu melakukan identifikasi dan aproksimasi dari data deret waktu tersebut. Kemudian model ini digunakan untuk memprediksi data curah hujan. Galat Propagasi Balik (error back propagation) merupakan model training yang sering digunakan untuk model ANN arus maju (multi layer feed forward neural network). Model training galat propagasi balik merupakan aturan koreksi kesalahan dimana kesalahan keluaran jaring saraf dipropagasikan kembali ke dalam lapisan tersembunyi untuk diproses kembali.
29
III. ANALISIS DAN DELINEASI DAMPAK ENSO DAN IOD TERHADAP CURAH HUJAN DAN DINAMIKA KALENDER TANAM 3.1.
Pendahuluan Kondisi iklim dan cuaca di Indonesia sering dipengaruhi oleh fenomena
yang terjadi di Samudera Pasifik Tropik. Model internal dari variabilitas iklim yang telah banyak diketahui yang terjadi di Samudera Pasifik adalah sirkulasi Walker. Pada kondisi tertentu sering terjadi gangguan pada sirkulasi tersebut yang dikenal sebagai fenomena ENSO (El-Nino Southern Oscillation). Indikator yang biasa digunakan untuk menunjukkan terjadinya fenomena El Niño adalah meningkatnya anomali suhu muka laut di kawasan Pasifik atau perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin melebihi kondisi normalnya (Boer, 1999). Hubungan yang sangat erat antara curah hujan di Indonesia dengan suhu muka laut di Samudera Pasifik terdapat pada Nino-3.4 (Allan 2000). Selain El Niño di Samudera Pasifik, terdapat pula fenomena interaksi lautan-atmosfer lainnya yang diduga menyebabkan peristiwa kekeringan di Indonesia. Fenomena tersebut merupakan kejadian dipole yang terjadi di Samudera Hindia berupa mode dari variabilitas iklim antar tahun yang menghasilkan anomali angin, suhu permukaan laut dan curah hujan di seluruh wilayah Samudera Hindia dikenal dengan IOD (Indian Ocean Dipole) (Saji et al. 1999). Adanya indikator anomali iklim seperti ENSO di Samudera Pasifik dan IOD di Samudera Hindia tersebut, pada kenyataannya mempengaruhi fluktuasi hujan di wilayah tertentu sehingga pada gilirannya mempengaruhi aktifitas budidaya pertanian, termasuk kalender tanam khususnya padi. Kalender Tanam Padi Badan Litbang Pertanian disusun berdasarkan pola curah hujan dengan asumsi bahwa fluktuasi curah hujan sepenuhnya mempengaruhi pola dan waktu tanam, dan karakteristik curah hujan itu sendiri mencerminkan karakteristik lokal. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan analisis kalender tanam dan luas tanam pada wilayah yang memiliki korelasi kuat dengan anomali iklim ENSO dan IOD. Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan kalender tanam pada daerahdaerah yang dipengaruhi oleh ENSO dan IOD, baik di wilayah monsunal maupun equatorial.
30
3.2.
Metodologi
3.2.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil kasus di dua provinsi sentra produksi padi nasional yaitu di Jawa Barat mewakili wilayah monsunal dan Sumatera Barat yang mewakili wilayah equatorial. Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Juni 2008 sampai dengan Desember 2009. 3.2.2. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data dan peta yang terdiri dari : (1)
Data curah hujan bulanan pengamatan yang tersebar di Jawa Barat dan Sumatera Barat diperoleh dari instansi terkait seperti Balitklimat, BMG, PSDA/PU serta Dinas Pertanian untuk mengetahui kondisi curah hujan periode 1990-2007.
(2)
Data Nino 3.4 Sea Surface Temperature (SST) periode 1990-2007.
(3)
Data Dipole Mode Index (DMI) series periode 1990 – 2007.
(4)
Data series penggunaan lahan selama 17 tahun.
(5)
Data waktu tanam eksisting diperoleh dari Laporan Kalender Tanam Badan Litbang Pertanian (Las et al. 2007).
(6)
Peta-peta pendukung meliputi peta administrasi, peta rupa bumi, peta topografi dan peta luas baku sawah di wilayah penelitian.
3.2.3. Metode Penelitian Pelaksanaan penelitian berupa kegiatan meliputi analisis data curah hujan, data ENSO, DMI, dan Onset, serta analisis sensitivitas dan dinamika pola tanam. Penelusuran informasi melalui internet dilakukan untuk memperoleh informasi tentang ENSO dan IOD dengan menggunakan parameter SST di Nino 3.4 dan DMI. Data sekunder dikumpulkan melalui survei lapang. Tahap penelitian disajikan dalam diagram alir sebagai berikut (Gambar 3.1) :
31
Gambar 3.1 Diagram Alir Tahap Penelitian Analisis Curah Hujan dalam Kaitannya dengan ENSO dan IOD. A.
Analisis Distribusi Curah Hujan. Stasiun hujan yang menyebar di provinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat
cukup banyak, namun stasiun yang memiliki periode hujan dibawah 10 tahun tidak digunakan sehingga dalam penelitian ini stasiun yang digunakan adalah masing-masing 346 stasiun untuk Jawa Barat dan 113 stasiun untuk Sumatera Barat. Meskipun demikian dari data yang diperoleh masih ditemukan pula datadata yang kosong (missing data). Untuk mengisi kekosongan data tersebut digunakan data curah hujan interpolasi grid. Interpolasi grid merupakan analisis dari ArcView yang digunakan untuk interpolasi data hujan pada masing-masing stasiun untuk memperoleh grid kontinyu data hujan yang selanjutnya dapat dibuat peta isohyet. Dari seluruh jumlah titik stasiun yang memiliki nilai curah hujan tertentu, ArcView akan menghitung jarak dan nilai dari stasiun terdekat atau disekitarnya. Pada dasarnya proses dari metode ini dilakukan dengan menggabungkan database sinoptik
32
dengan database stasiun hujan dan membangkitkan data yang kosong dengan ekstrak data grid dari interpolasinya yang berkesinambungan. B.
Analisis Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD Analisis anomali curah hujan bulanan dihitung tiap stasiun kemudian di
cari anomalinya terhadap nilai rata-rata curah hujan. AnoCH ij CH ij CH ij
CH ij
i n CH j n j 1
dimana: AnoCHij = anomali curah hujan di stasiun ke-i bulan ke-j
CHij
= curah hujan di stasiun ke-i bulan ke-j
CH ij n
= curah hujan rata-rata di stasiun ke-i bulan ke-j = jumlah data
Analisis korelasi dilakukan secara temporal untuk mengetahui hubungan antara anomali curah hujan yang terjadi di setiap stasiun hujan dengan nilai anomali SST sebagai indikator penyimpangan iklim untuk setiap bulannya. Nilai korelasi diamati pada periode Desember - Februari, Maret - Mei, Juni - Agustus, September - November. Pada analisis ini digunakan program Minitab 14 dengan cara menghitung nilai korelasi (r) yaitu korelasi antara dua variable. Rumus perhitungan nilai korelasi adalah:
r
n n n n xi y i xi y i i 1 i 1 i 1 2 2 n n n n n xi2 xi n y i2 y i i 1 i 1
dimana: r = nilai korelasi n = jumlah data x = anomali SST nino 3.4 atau anomali IOD y = anomali curah hujan Nilai korelasi (r) berkisar antara -1 dan 1 atau ditulis -1 ≥ r ≤ 1. Tanda positif atau negatif menunjukkan arah korelasinya. Bila korelasi antara x dan y
33
negatif maka kenaikan variable x akan menyebabkan penurunan y atau sebaliknya. Bila korelasi antara x dan y positif, maka kenaikan variabel x akan diikuti dengan kenaikan variabel y atau sebaliknya Korelasi ditentukan berdasarkan tingkat kepercayaan kuat (99%), sedang (95%) dan lemah (90%). Karena jumlah pengamatan sebanyak 18 tahun maka berdasarkan
analisis
”Significance
of
a
Correlation
Coefficient”
http://faculty.vassar.edu/lowry/ch4apx.html diperoleh: -
nyata kuat | ± 0.54 | ≤ r < | ± 1.00 |
-
nyata sedang | ± 0.39 | ≤ r < | ± 0.54 |
-
nyata lemah | ± 0.33 | ≤ r < | ± 0.39 |
-
tidak nyata r < | ± 0.33 |
Untuk mengetahui besarnya pengaruh ENSO pada kejadian curah hujan adalah dengan menggunakan indeks suhu muka laut di Nino 3.4. (50N – 50S, 1200 – 1700W). Indeks tersebut dihitung dari fluktuasi musiman atau bulanan berdasarkan analisis dengan menggunakan metode Kaplan et al. (1998). Data suhu muka laut di Nino 3.4 bulanan diperoleh dari situs internet Sama halnya dengan ENSO, Dipole Mode (DM) atau Indian Ocean Dipole (IOD) dinyatakan dalam bentuk indeks yaitu Dipole Mode Indeks (DMI). DMI dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara suhu muka laut di kawasan barat Samudera Hindia (50°-70°BT, 10°LU-10°LS) dengan suhu muka laut di kawasan tenggara Samudera Hindia (90°-110°BT, 0°-10°LS). Data DMI diperoleh dari http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod. Untuk melihat maju mundurnya hubungan antara prediktor dan prediktan dilakukan analisis yang mempertimbangkan faktor lag, sehingga diperoleh informasi korelasi anomali iklim pada waktu tertentu. Hubungan curah hujan dan suhu permukaan laut Nino 3.4 dan DMI dinyatakan melalui skenario tenggang waktu (time lag) 0, 1 dan 2 bulan. lag 0 : curah hujan bulan ini dipengaruhi oleh SST pada bulan yang sama lag 1 : curah hujan bulan ini dipengaruhi oleh SST 1 bulan sebelumnya lag 2 : curah hujan bulan ini dipengaruhi oleh SST 2 bulan sebelumnya
34
Dari keseluruhan hasil analisis, ditentukan lag yang dominan di setiap stasiun hujan berdasarkan besarnya nilai koefisien korelasi (r) validasi tertinggi pada setiap stasiun tersebut. C.
Delineasi Wilayah Terkena Dampak ENSO dan IOD Untuk mempermudah dalam menentukan daerah yang sensitif terhadap
anomali iklim hasil analisis disajikan dalam bentuk spasial. Bentuk spasial dari nilai korelasi antara ENSO dan IOD dengan curah hujan dapat lebih menjelaskan daerah mana saja yang dipengaruhi oleh fenomena anomali iklim tersebut. Metode Interpolasi grid yang dijalankan dengan menggunakan program ArcView Version 3.3. digunakan dalam menampilkan bentuk spasial dari nilai korelasi antara ENSO dan IOD dengan curah hujan. D.
Analisis Sensitivitas dan Dinamika Kalender Tanam serta Delineasi Wilayah Dampak ENSO dan IOD pada Peta Kalender Tanam Eksisting. Sensitivitas kalender tanam menunjukkan variabilitas respon kalender
tanam
terhadap
kondisi
klimatis
sedangkan
dinamika
kalender
tanam
menunjukkan pergeseran waktu tanam akibat anomali iklim. Untuk mengetahui sensitivitas dan dinamika kalender tanam dilakukan dengan manganalisis hubungan antara ENSO dan IOD dengan waktu tanam pada wilayah onset dalam kalender tanam eksisting yang telah dibuat oleh Badan Litbang Pertanian. Analisis
sensitivitas
pola
tanam
terhadap
anomali
iklim
akan
menghasilkan delineasi dan peta wilayah dampak anomali iklim yang disusun berdasarkan hasil analisis indikator anomali iklim (ENSO dan IOD) dan potensi awal musim tanam (onset) dari kalender tanam eksisting yang telah dibuat oleh Badan Litbang Pertanian (Las et al. 2007). Selanjutnya dengan menggunakan metode Interpolasi grid dari ArcView dilakukan deliniasi stasiun-stasiun hujan yang mempunyai korelasi dengan anomali ENSO dan IOD. Tampilan dalam bentuk spasial dari nilai korelasi antara curah hujan dengan ENSO dan IOD dapat lebih menjelaskan daerah mana saja yang dipengaruhi oleh iklim global tersebut. Dari masing-masing hasil analisis tersebut dibuat delineasi zonasi digital, berupa indikator anomali iklim dan isohyet yang menghasilkan layer zonasi
35
anomali iklim dan layer onset Kalender Tanam Eksisting. Kedua layer digital selanjutnya ditumpang-tepatkan untuk mendapatkan kombinasi data yang memiliki luas tanam dari onset yang terkena dampak ENSO dan atau IOD. Selanjutnya pada masing-masing poligon hasil tumpang-tepat dihitung luasannya untuk menentukan prosentase wilayah yang terkena dampak anomali iklim tersebut. Hasil analisis uji sensitivitas disajikan secara spasial dan temporal untuk mempermudah dalam menentukan daerah yang peka terhadap anomali iklim global pada kondisi musim tertentu. 3.3.
Hasil dan Pembahasan Dampak ENSO dan IOD terhadap Curah Hujan dan Dinamika Kalender Tanam.
3.3.1. Pola dan Distribusi Hujan serta Dampak ENSO dan IOD di Wilayah Monsunal. 3.3.1.1.
Pola dan Distribusi Hujan di Jawa Barat.
Pola hujan di Jawa Barat termasuk dalam pola hujan Monsun dengan perbedaan periode musim hujan dan periode musim kemarau yang tegas bersifat unimodial (satu puncak musim hujan). Puncak musim hujan di Jawa Barat pada kondisi normal umumnya terjadi pada bulan Desember - Februari. Dan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Juni - Agustus. Musim pancaroba/ transisi terjadi pada bulan Maret - Mei dan September - November. Hasil analisis dari 346 stasiun di Jawa Barat yang terdisrtibusi di wilayah Utara, Tengah dan Selatan Jawa Barat menunjukkan pola monsun (Gambar 3.2).
Gambar 3.2
Pola curah hujan di Jawa Barat 36
Distribusi curah hujan di Jawa Barat saat memasuki periode Desember – Februari tidak begitu tampak variabilitasnya (Gambar 3.3). Namun saat memasuki masa transisi pada periode Maret – Mei sebagian wilayah Utara sudah menunjukkan perbedaan dengan wilayah lainnya yang ditunjukkan dengan curah hujan yang lebih rendah (Gambar 3.4). Penurunan curah hujan lebih mendominasi hampir seluruh wilayah Jawa Barat saat memasuki periode Juni - Agustus yang ditandai dengan jumlah curah hujan rata-rata antara 100 – 200 mm/ bulan (Gambar 3.5). Distribusi curah hujan relatif beragam terutama saat memasuki periode September - November yang ditunjukkan oleh perbedaan curah hujan yang mencolok antara wilayah Utara dengan wilayah lainnya (Gambar 3.6). Di wilayah Utara Jawa Barat seperti di Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon curah hujan relatif lebih rendah, hal tersebut terjadi karena (1) penurunan curah hujan lebih tinggi saat memasuki periode Juni – Agustus dan (2) peningkatan curah hujan lebih lambat pada periode September – November. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Naylor et al. (2007) yang menyatakan bahwa berdasarkan analisis statistik dari catatan pengamatan menunjukkan korelasi antara terjadinya penundaan dan total curah hujan pada bulan SeptemberDesember sebesar -0,94 untuk Jawa Barat/Tengah. Hal tersebut menunjukkan penundaan awal musim hujan yang sangat berhubungan erat dengan penurunan jumlah curah hujan dalam periode tersebut. 3.3.1.2. Distribusi Stasiun Terkena Dampak ENSO dan IOD di Jawa Barat Baik pada periode Desember - Februari maupun Maret - Mei, pengaruh ENSO dan IOD terjadi hanya pada beberapa stasiun saja dan kurang dari 10% dari jumlah stasiun pengamatan (Gambar 3.7). Pengaruh kedua fenomena iklim tersebut baru terlihat jelas pada periode Juni - Agustus dan September November. Pada periode Juni - Agustus, penurunan curah hujan berkorelasi nyata dengan ENSO dan IOD, ENSO saja dan IOD saja berturut-turut 10%, 13% dan 30% dari jumlah stasiun pengamatan. Berbeda dengan periode Juni - Agustus, pada September - November pengaruh ENSO dan IOD semakin meningkat tajam hingga mencapai 75% dari jumlah stasiun pengamatan. Gejala tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh
37
Jawa Barat rentan terhadap variabilitas iklim global yang terjadi, baik terhadap IOD maupun ENSO.
Gambar 3.3
Distribusi hujan periode Desember – Februari di Jawa Barat
Gambar 3.4
Distribusi hujan periode Maret - Mei di Jawa Barat
38
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Distribusi hujan periode Juni - Agustus di Jawa Barat
Distribusi hujan periode September - November di Jawa Barat.
39
(a)
IOD+ENSO ENSO+IOD
Distribusi Stasiun (%)
Distribusi Stasiun (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
IOD
ENSO
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Non Tidak terpengaruh ENSO+IOD
(c)
ENSO+IOD IOD +EN SO
IOD
EN SO
Anomali Iklim
Gambar 3.7
Tidak N on terpengaruh ENSO+IOD
(b)
IOD+ENSO ENSO+IOD
IOD
ENSO
Anomali Iklim
Distribusi Statiun (%)
D is tr ibus i S ta tiun (% )
Anomali Iklim
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Non Tidak terpengaruh ENSO+IOD
(d)
ENSO+IOD ENSO+IOD IOD +EN S O
IO D
EN S O
Anomali Iklim
No n Tidak terpengaruh ENSO+IOD
Distribusi stasiun yang berkorelasi dengan ENSO dan IOD di Jawa Barat periode (a) Desember – Februari, (b) Maret – Mei, (c) Juni – Agustus, dan (d) September – November.
3.3.1.3. Dampak ENSO dan IOD terhadap Curah Hujan di Jawa Barat. Pada periode Juni – Agustus, ENSO berpengaruh sedang terhadap curah hujan di sebagian kecil wilayah Timur Laut meliputi Indramayu dan Cirebon serta di wilayah Selatan Jawa Barat meliputi Garut dan sekitarnya (Gambar 3.8). Pengaruh ENSO semakin meluas pada periode September - November. Hampir seluruh Jawa Barat dipengaruhi oleh anomali iklim tersebut kecuali wilayah Barat (Gambar 3.9). ENSO berpengaruh kuat terhadap curah hujan di sebagian wilayah seperti di Subang, Indramayu, Kuningan, Cirebon, Garut dan Ciamis. Pengaruh ENSO hilang saat memasuki periode banyak hujan yaitu pada periode Desember - Februari, bahkan pada periode transisi Maret - Mei di sebagian wilayah Barat Laut, terjadi pengaruh positif yang menunjukkan peningkatan ENSO diikuti dengan peningkatan curah hujannya.
40
Pengaruh IOD pada periode Juni – Agustus terjadi di sepanjang wilayah Selatan Jawa Barat meliputi Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan sebagian wilayah di Majalengka, Kuningan dan Bandung
(Gambar 3.10).
Pengaruh IOD semakin luas saat memasuki periode September - November kecuali sebagian wilayah Barat (Gambar 3.11). IOD berpengaruh kuat terhadap curah hujan di wilayah-wilayah seperti Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Kuningan. Pengaruh IOD terhadap anomali curah hujan menurun drastis saat memasuki Desember - Februari dan hanya sedikit muncul di Selatan Jawa Barat pada periode Maret - Mei. Hanya beberapa wilayah saja seperti sebagian besar Bogor, Cianjur dan Bandung yang tidak terpengaruh oleh keduan fenomena tersebut. Pada wilayahwilayah tersebut, pengaruh iklim regional seperti monsun Asia-Australia dan atau lokal lebih dominan dibandingkan dengan iklim globalnya. 3.3.1.4. Luas Sawah Terkena Dampak ENSO dan IOD
Pengaruh ENSO dan IOD di Jawa Barat terhadap luas sawah tidak begitu besar, hanya kurang dari 5% saat memasuki periode Desember – Februari dan Maret – Mei. Luas sawah yang terpengaruh ENSO dan IOD meningkat saat memasuki periode Juni – Agustus, pada periode tersebut pengaruh IOD sekitar 26% lebih besar bila dibandingkan dengan pengaruh ENSO pada sekitar 15% dari seluruh luas sawah di Jawa Barat. Luas sawah yang dipengaruhi oleh kedua fenomena tersebut hanya sekitar 4%, sisanya sekitar 54% tidak terpengaruh. Pada periode September – November sebagian besar luas sawah di Jawa Barat atau sekitar 84% dipengaruhi oleh ENSO dan IOD secara bersamaan sedangkan luas sawah yang tidak terpengaruh turun menjadi sekitar 14% (Tabel 3.1). Berdasarkan hasil analisis ini semakin terlihat jelas bahwa provinsi Jawa Barat cukup rentan dipengaruhi oleh dinamika ENSO dan IOD. Artinya kesiapan sarana dan prasarana bagi penyediaan air irigasi perlu terus disiagakan ketika memasuki periode Juni - November, dan kepada petani tidak dianjurkan untuk menanam pada perioe Juni – Agustus, karena IOD semakin kuat pengaruhnya dan luasan yang semakin bertambah secara nyata dibandingkan dengan periode sebelumnya. Fakta di atas juga menunjukkan bahwa dampak ENSO dan IOD
41
kuat pada daerah-daerah dengan pola curah hujan monsun atau daerah yang memiliki satu puncak hujan. Tabel 3.1
Luas sawah di Jawa Barat yang terkena dampak ENSO dan IOD pada berbagai periode.
Pengaruh Anomali Iklim
Periode September November ……………………….luas (%)……………………………. 0.0 0.0 4.2 83.6
DesemberFebruari
Maret - Mei
JuniAgustus
ENSO
1.6
0.6
15.7
0.0
IOD
3.4
3.7
26.3
2.8
95.0
95.7
53.8
13.6
ENSO dan IOD
Tidak terpengaruh ENSO dan IOD
42
Kuat Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.8
Tingkat korelasi antara ENSO pada periode Juni - Agustus terhadap curah hujan di Jawa Barat.
Kuat Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.9
Tingkat korelasi antara ENSO pada periode September November terhadap curah hujan di Jawa Barat.
43
Kuat Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.10
Tingkat korelasi antara IOD pada periode Juni - Agustus terhadap curah hujan di Jawa Barat.
Kuat Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.11
Tingkat korelasi antara IOD pada periode (September - November terhadap curah hujan di Jawa Barat.
44
3.3.1.5.
Dampak ENSO dan IOD terhadap Dinamika Kalender Tanam di Jawa Barat
Puncak tanam atau awal musim tanam (onset) di Jawa Barat pada umumnya terjadi pada September dasarian III/ Oktober dasarian I (Las et al. 2007). Puncak tanam semakin mundur dari Barat ke Timur. Pada wilayah yang terpengaruh lemah oleh ENSO seperti di Karawang, sekitar 25% kecamatan mengalami keterlambatan tanam 1-3 dasarian pada Oktober II/III. Pada wilayah yang terpengaruh kuat oleh ENSO seperti di Subang Utara, puncak tanam mundur pada November I/II dengan pergeseran 3-5 dasarian dari puncak tanam pada umumnya. Pengaruh ENSO lebih kuat di Indramayu yang terjadi pada November III/Desember I atau mundur 6 dasarian dari puncak tanam pada umumnya (Gambar 3.12). Di Selatan Jawa Barat seperti halnya di kabupaten Garut, Ciamis dan Tasik, meskipun sebagian besar wilayahnya terpengaruh ENSO hanya mundur 1 – 2 dasarian saja. Karawang dan Subang yang terpengaruh rendah sampai sedang oleh IOD puncak tanam di wilayah tersebut pada umumnya mundur 1-2 dasarian sedangkan di Indramayu mundur 6 dasarian (Gambar 3.13). Di wilayah yang tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD seperti di sebagian besar kabupaten Bogor, Cianjur dan Bandung, puncak tanam tidak mengalami pergeseran, seluruh puncak tanam terjadi pada September III/Oktober I. Di wilayah Selatan Jawa Barat seperti di Garut dan Tasikmalaya kejadian IOD tidak pula menggeser puncak tanam kecuali di Sukabumi puncak tanam mundur 1 dasarian (Gambar 3.14). Secara keseluruhan mundurnya puncak tanam di Jawa Barat terjadi pada wilayah-wilayah yang dipengaruhi ENSO terutama di Bagian Utara Jawa Barat. Pada wilayah yang terpengaruh rendah oleh ENSO puncak tanam begeser sampai 1-3 dasarian yaitu pada Oktober II/III, pada wilayah terpengaruh sedang bergeser 3-5 dasarian pada November I/II dan pada wilayah terpengaruh kuat dapat mencapai hingga sampai 5-6 dasarian pada November III/Desember I. Sebaliknya di wilayah Selatan Jawa Barat pergeseran puncak tanam yang didominasi IOD hanya bergeser 1 dasarian saja (Gambar 3.15). Dan secara keseluruhan pada pola
45
wilayah monsunal, pergeseran puncak tanam terjadi bila kejadian ENSO mendominasi wilayah tersebut (Gambar 3.16). (a)
(b)
(c)
Gambar 3.12
Hubungan tingkat korelasi dengan onset pada kejadian ENSO di (a) Karawang; (b) Subang dan (c) Indramayu Jawa Barat.
46
(a)
(b)
(c)
Gambar 3.13
Hubungan tingkat korelasi dengan onset pada kejadian IOD di (a) Karawang; (b) Subang (c) dan Indramayu Jawa Barat.
47
(a)
(b)
(c)
Gambar 3.14
Hubungan tingkat korelasi dengan onset pada kejadian IOD di (a) Sukabumi; (b) Garut dan (c) Tasikmalaya Jawa Barat.
48
(a)
(b)
Gambar 3.15
Hubungan tingkat korelasi dengan onset pada kejadian (a) ENSO dan (b) IOD di Jawa Barat.
(c)
Gambar 3.16
Hubungan kejadian ENSO dan IOD dengan onset di Jawa Barat.
49
3.3.2. Pola dan Distribusi Hujan serta Dampak ENSO dan IOD di Sentra Padi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, Indramayu merupakan wilayah yang paling kuat dipengaruhi baik oleh ENSO maupun IOD. Sentra padi yang tidak terpengaruh oleh ENSO dan IOD adalah sebagian besar wilayah Cianjur. Kedua kabupaten tersebut masing - masing memberikan kontribusi sebesar 11 dan 8.5% dari total produksi padi di provinsi Jawa Barat. Secara spesifik perbedaan distribusi curah hujan antara kabupaten Indramayu dengan Cianjur terlihat jelas pada periode transisi Maret - Mei dan September - November. Penurunan curah hujan di Indramayu lebih cepat
saat memasuki periode Maret - Mei dan
peningkatan curah hujan lebih lambat saat memasuki September - November. Curah hujan rata-rata bulanan lebih tinggi di Cianjur sedangkan perbedaan musim lebih tegas di Indramayu (Gambar 3.17)
(a)
(b)
Gambar 3.17
Fluktuasi curah hujan bulanan di (a) Indramayu dan (b) Cianjur periode 1990-2007.
50
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara anomali suhu permukaan laut (SPL) di Equator Pasifik dan Samudera Hindia dengan curah hujan di Indramayu dan Cianjur menunjukkan bahwa curah hujan mempunyai nilai yang beragam (positif dan negatif) serta tidak semua curah hujan di kedua wilayah tersebut mempunyai korelasi yang nyata baik dengan ENSO maupun IOD. Hal ini berarti tidak semua wilayah kajian dipengaruhi oleh penyimpangan iklim global tersebut. Hasil analisis yang menggambarkan hubungan antara ENSO dan IOD dengan curah hujan pada stasiun-stasiun hujan yang memiliki nilai korelasi negatif menunjukkan bahwa ketika terjadi ENSO atau IOD, curah hujan pada setiap stasiun tersebut berkurang. Pengaruh ENSO dan IOD terlihat jelas saat memasuki periode Juni Agustus dan September - November bersamaan dengan peningkatan anomali suhu muka laut wilayah Barat dan Timur Indonesia yang pada umumnya terjadi sekitar bulan Mei dan Juni. Pengaruh ENSO memasuki periode Juni - Agustus mulai mendominasi wilayah Indramayu yang ditandai dengan korelasi nyata negatif antara fluktuasi suhu permukaan laut di Nino 3.4 (ENSO) dengan fluktuasi anomali curah hujan pada 72% stasiun hujan di wilayah tersebut. Pada periode September - November pengaruh fenomena ENSO dan IOD semakin kuat dimana seluruh stasiun terpengaruh oleh fenomena ENSO maupun IOD. Periode ini merupakan masa peralihan musim kemarau ke musim hujan pada saat pengaruh kedua fenomena mencapai puncaknya. Pengaruh ENSO tidak terjadi di Cianjur, kondisi curah hujan lebih banyak dipengaruhi oleh pola monsun dan atau pola lokal karena pegunungan yang melintang dari Barat ke Timur wilayah Cianjur. Namun demikian wilayah Selatan Cianjur terindikasi terpengaruh oleh IOD baik pada periode Juni - Agustus maupun September - November (Gambar 3.18). Pengaruh ENSO dan IOD mulai melemah saat memasuki periode Desember - Februari kondisi tersebut terus berlanjut sampai dengan periode Maret - Mei. Beberapa stasiun yang diindikasikan berpengaruh nyata tidak lebih dari 10% saja (Gambar 3.18 c dan 3.18 d). Mulai berkurangnya pengaruh iklim global saat memasuki periode Desember - Februari tersebut menunjukkan adanya pelemahan pengaruh kedua fenomena tersebut.
51
Penyebabnya ada dua hal yaitu (a) kedua fenomena telah mengalami puncaknya pada akhir tahun dan (b) pengaruh monsun lebih dominan saat
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
(a)
ENSO+IOD IOD+ENSO
Indramayu Cianjur
IOD
Distribusi Stasiun (%)
Distribusi Stasiun (%)
memasuki musim hujan.
ENSO
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
(c)
ENSO+IOD IOD+ENSO
IOD
Anomali Iklim
Gambar 3.18
ENSO
Indramayu Cianjur
IOD
ENSO
Anomali Iklim
Indramayu Cianjur
(b)
ENSO+IOD IOD+ENSO
Non Tidak terpengaruh ENSO+IOD
Distribusi Stasiun (%)
Distribusi Stasiun (%)
Anomali Iklim
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Non Tidak terpengaruh ENSO+IOD
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Non Tidak terpengaruh ENSO+IOD
Indramayu
(d)
ENSO+IOD IOD+ENSO
Cianjur
IOD
Anomali Iklim
ENSO
Non Tidak terpengaruh ENSO+IOD
Distribusi stasiun yang dipengaruhi oleh iklim global di Kabupaten Indramayu dan Cianjur pada periode (a) Juni Agustus; (b) September - November; (c) Desember - Februari; dan (d) Maret - Mei.
Lebih jauh Hendon (2003) berpendapat bahwa terjadinya korelasi yang lemah antara ENSO dan IOD dengan curah hujan pada saat musim hujan diduga terkait dengan SPL perairan Indonesia yang berubah tanda (terjadi anomali positif) selama peralihan dari musim kemarau ke musim hujan (dari periode September - November ke Desember - Februari). Anomali SPL di perairan Indonesia berlawanan tanda dengan anomali SPL di Samudera Pasifik (Tengah atau Timur) dan Samudera Hindia bagian Barat selama Juni - Agustus dan September - November, tetapi memiliki tanda yang sama pada saat Desember -
52
Februari dan Maret - Mei. Perubahan yang cepat pada SPL perairan Indonesia yang terjadi dari musim kemarau ke musim hujan merupakan refleksi dari interaksi atmosfer-laut di wilayah Indonesia. Anomali SPL Samudera Pasifik dan Hindia akan berperan dalam menggerakkan angin permukaan yang dapat mempengaruhi SPL di perairan Indonesia. 3.3.2.1.
Tingkat Korelasi ENSO dan IOD dengan Curah Hujan di Sentra Padi Jawa Barat
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hasil analisis korelasi antara ENSO dan IOD dengan curah hujan pada periode Desember - Februari dan Maret - Mei sangat lemah sehingga pembahasan hanya ditekankan periode Juni - Agustus dan September - November. Di wilayah Indramayu, meskipun pengaruh ENSO masih lemah tetapi sudah mulai terjadi saat memasuki periode Juni - Agustus, sedangkan pengaruh IOD masih belum muncul. Fenomena ENSO mempengaruhi sebagian besar areal seluas 63% (Tabel 3.2)
meliputi wilayah tengah sampai Timur Indramayu
(Gambar 3.19).
Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.19
Pengaruh ENSO terhadap curah hujan periode Juni - Agustus di Kabupaten Indramayu.
53
Pengaruh ENSO semakin jelas memasuki periode September - November. Hampir seluruh wilayah Indramayu terpengaruh oleh ENSO dengan tingkat korelasi kuat, sedang dan lemah masing-masing seluas 49%, 36% dan 14% dari seluruh wilayah tersebut (Gambar 3.20 dan Tabel 3.2). Sama halnya dengan ENSO, pengaruh IOD juga berpengaruh hampir di seluruh wilayah Indramayu dengan tingkat korelasi kuat, sedang dan lemah dengan luasan masing-masing 12%, 59%, dan 28% dari seluruh wilayah (Gambar 3.21 dan Tabel 3.2). Dengan demikian bila dilihat dari tingkat kekuatannya pengaruh ENSO lebih kuat dalam mempengaruhi intensitas curah hujan dibandingkan dengan IOD. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Tjasyono (1977) yang menyatakan bahwa pengaruh El Niño kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistim monsun, lemah pada daerah dengan sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistim lokal. Selain itu, pengaruh El Niño lebih kuat terhadap hujan pada musim kemarau daripada hujan pada musim hujan. Pada wilayah dengan tingkat korelasi kuat memerlukan antisipasi lebih dini baik berupa sarana dan prasarana terutama saat memasuki periode September - November agar dampak yang ditimbulkan oleh kedua fenomena tersebut dapat diminimalisasi. Bila terjadi El Niño dan IOD positif secara bersamaan pada periode transisi di wilayah tersebut maka musim kemarau menjadi lebih panjang dan kering sehingga memperlambat awal tanam. Di Cianjur, wilayah yang tepengaruh oleh IOD terdapat di sepanjang wilayah Selatan dengan luasan sekitar 56% pada periode Juni - Agustus dan meningkat pada periode September - November menjadi 58% (Tabel 3.3). Pengaruh IOD kuat terdapat di wilayah Selatan Cianjur (Gambar 3.22 dan 3.23). Kuatnya pengaruh IOD tersebut sejalan dengan pendapat Saji et al. (1999) bahwa pada bulan September - November saat terjadi IOD, curah hujan di Sumatera bagian Selatan, Jawa dan Nusa Tenggara berkurang karena pada periode tersebut merupakan puncak aktivitas Dipole Mode, dimana anomali angin Tenggara di daerah Jawa dan Sumatera bagian Selatan sangat tinggi. Dengan semakin menguatnya angin Tenggara yang sifatnya kering menyebabkan berkurangnya curah hujan di daerah tersebut.
54
Kuat Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.20
Pengaruh ENSO terhadap curah hujan pada periode September November di Kabupaten Indramayu.
Kuat Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.21
Pengaruh IOD terhadap curah hujan pada periode September November di Kabupaten Indramayu.
55
Tabel 3.2
Luas wilayah yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Indramayu ENSO JuniSeptember Agustus November
Korelasi
JuniAgustus
Luas
Kuat
Ha
%
-
-
IOD September November Luas
Ha
%
Ha
%
Ha
%
99.960 49
-
-
24.480
12
73.440 36
-
-
120.360
59
Sedang
6.120
3
Lemah
124.441
61
28.560
14
-
-
57.120
28
73.440
36
2.040
1
-
-
2.326
1
Tidak terpengaruh
Tabel 3.3
Luas wilayah yang terpengaruh oleh IOD di Kabupaten Cianjur Pengaruh
Kuat
Juni - Agustus Luas Ha %
September - November Luas Ha %
21.008
6
101.542
29
Sedang
119.050
34
70.029
20
Lemah
56.023
16
31.513
9
154.065
44
147.062
42
Tidak terpengaruh
56
Kuat Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.22
Pengaruh IOD terhadap curah hujan pada periode Juni - Agustus di Kabupaten Cianjur.
Kuat Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.23
Pengaruh IOD terhadap curah hujan pada periode September November di Kabupaten Cianjur.
57
3.3.2.2.
Luas Sawah yang Dipengaruhi oleh ENSO dan IOD di Sentra Padi Jawa Barat
Indramayu merupakan wilayah di Jawa Barat yang hampir seluruh wilayahnya dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan IOD. Pada periode Juni Agustus, fenomena ENSO berkorelasi lemah sampai sedang terhadap curah hujan di wilayah tersebut. ENSO berpengaruh lemah pada luas sawah sekitar 69,01%, dan berpengaruh sedang sekitar 3,84% saja dan sisanya sekitar 27,15% luas sawah tidak terpengaruh oleh ENSO. Pada periode September - November pengaruh ENSO semakin menguat, ditambah dengan pengaruh IOD yang baru muncul pada periode ini. ENSO berpengaruh kuat pada sebagian besar luas sawah (55.16%), kemudian berpengaruh sedang pada sekitar 30,65% dan berpengaruh lemah sekitar 14,19%. Luas sawah yang terdapat pada wilayah yang terpengaruh kuat, sedang dan lemah oleh IOD, berturut-turut sekitar 13,26%, 65,17% dan 21,57% (Tabel 3.4). Sebagian besar sawah di wilayah Indramayu berupa irigasi semi teknis pada umumnya pola penanaman padi dilakukan dua kali dalam setahun. Terjadinya kedua fenomena tersebut dapat berpengaruh pada penurunan produksi bahkan sampai gagal panen apabila ketersediaan air irigasi pada periode September - November tidak mencukupi. Kerugian petani akibat gagal panen atau menurunnya produksi sangat dirasakan pada sawah yang jauh dari irigasi, oleh karena itu pasokan air irigasi perlu lebih dioptimalkan lagi. Tabel 3.4
Pengaruh
Luas sawah yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Indramayu
Ha Kuat
ENSO September November Luas % Ha %
JuniAgustus
IOD September November Luas % Ha %
JuniAgustus Ha
-
-
61.160
55
-
-
14.702
13
Sedang
4.258
4
33.984
31
-
-
72.259
65
Lemah
76.516
69
15.733
14
-
-
23.916
22
Tidak terpengaruh 30.103
27
-
-
-
-
-
-
58
Luas sawah yang terpengaruh oleh IOD di Cianjur pada periode Juni Agustus sekitar 17,28% dan pada periode September - November sekitar 17,93% dari luas sawah secara keseluruhan di kabupaten tersebut (Tabel 3.5). Sebagian besar sawah terdapat di bagian Utara Cianjur (lebih dari 82% luas sawah tidak terpengaruh oleh IOD) dengan irigasi teknis dan penanaman padi dilakukan dua kali dalam setahun. Tabel 3.5
Luas sawah yang terpengaruh oleh IOD di Kabupaten Cianjur
Kuat
Ha 5.637
% 8
September – November Luas Ha % 6.523 10
Sedang
3.842
6
4.517
7
Lemah
1.849
3
715
1
Tidak terpengaruh
54.228
83
53.802
82
Juni - Agustus
Pengaruh
Luas
3.3.2.3.
Dampak Fenomena ENSO dan IOD terhadap Dinamika Kalender Tanam di Sentra Padi Jawa Barat
Berdasarkan Peta Kalender Tanam Eksisting (Las et al. 2007), awal musim hujan (onset) sekaligus awal musim tanam di Jawa Barat pada umumnya terjadi pada September dasarian ke tiga dan atau Oktober dasarian ke satu (September III/Oktober I). Namun karena pengaruh ENSO dan IOD pada beberapa wilayah mengalami pergeseran puncak tanam berupa pengunduran awal tanam beberapa dasarian. Di Indramayu pada wilayah-wilayah yang terkena dampak ENSO maupun IOD terutama saat memasuki periode September - November, puncak tanam bukan lagi pada September III/Oktober I tetapi lebih lambat 6 dasarian pada November III/Desember I. Puncak tanam tertinggi pada November III/Desember I tersebut terdapat pada wilayah yang terpengaruh kuat oleh ENSO mencapai 30% dari seluruh kecamatan di Indramayu dan terpengaruh sedang oleh IOD mencapai 35% (Gambar 3.24).
59
30
Dist ribusi Onset (%)
Lemah
(a)
25
Sedang
Kuat
20 15 10 5 0 SepIII/OktI
OktII/III
NovI/II
NovIII/DesI
DesII/III
JanI/III
Onset
40
Distribusi Onset (%)
35
Lemah Kuat
(b)
30
Sedang
25 20 15 10 5 0 SepIII/OktI
OktII/III
NovI/II
NovIII/DesI
DesII/III
JanI/III
Onset
Gambar 3.24
Distribusi onset pada wilayah yang dipengaruhi oleh (a) ENSO dan (b) IOD di Kabupaten Indramayu
Berdasarkan kalender tanam, wilayah Cianjur memiliki 2 puncak tanam yaitu September III/Oktober I dan Oktober II/III. Sebagian besar onset di Cianjur (52% dari kecamatan) terjadi pada September III/Oktober I, namun kecamatankecamatan di wilayah Selatan Cianjur yang terpengaruh IOD sebagian besar onset (20% dari seluruh kecamatan) terjadi pada Oktober II/III (Gambar 3.25). Dengan demikian wilayah yang terkena dampak IOD
mengalami pergeseran puncak
tanam hanya 1-2 dasarian. 60 Terpengaruh
Dist ribusi Onset (%)
50
Tidak Terpengaruh
40 30 20 10 0 SepIII/OktI
Gambar 3.25
OktII/III
NovI/II
NovIII/DesI
DesII/III
JanI/III
Onset
Distribusi onset pada wilayah yang terpengaruh dan tidak terpengaruh oleh IOD di Kabupaten Cianjur
60
Puncak tanam yang terjadi pada wilayah-wilayah yang selalu dipengaruhi baik oleh ENSO maupun IOD pada umumnya lebih lambat bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang tidak terpengaruh oleh fenomena iklim tersebut. Keterlambatan pada umumnya sering diakibatkan oleh pasokan air yang semakin terbatas terutama bila terjadi El Niño kuat dan IOD positif. Petani umumnya menunggu curah hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi selama tiga hari berturut-turut. Dengan demikian akibat pergeseran waktu tersebut dapat berpotensi memundurkan musim tanam berikutnya. Mundurnya waktu tanam selama tahun kering juga teramati pada saat melakukan verifikasi lapang. Lahan sawah yang lebih jauh dari saluran irigasi atau sumber air mengalami resiko kegagalan tanam atau kehilangan musim tanam yang lebih tinggi. Selain itu pergeseran musim dan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan, juga menjadi pemicu penyempitan luas tanam serta memperluas areal pertanaman yang akan gagal panen, terutama tanaman pangan dan tanaman semusim lainnya. Oleh sebab itu perubahan iklim dan kejadian iklim ekstrim seperti ENSO dan IOD akan mengancam ketahanan pangan nasional, dan keberlanjutan pertanian pada umumnya. Sebagai gambaran, satu kali kejadian El Niño (lemah-sedang) dapat menurunkan produktivitas padi nasional sebesar 23%. Jika iklim ekstrim diikuti oleh peningkatan suhu udara maka penurunan produksi padi akan lebih tinggi. Hal yang perlu dicermati kedepan adalah pada wilayah yang terindikasi kuat baik oleh ENSO maupun IOD seperti yang terjadi di wilayah Timur Laut Jawa Barat perlu penanganan yang lebih awal dengan menyiapkan secara komprehensif kebijakan dan strategi operasional untuk melakukan adaptasi terhadap variabilitas iklim. Tindakan ini sangat mendesak agar ketahanan pangan berkesinambungan. Beberapa upaya adaptasi strategis antara lain: menanam varitas yang memiliki daya adaptasi tinggi, mengubah masa tanam menyesuaikan cuaca serta mempraktekkan pertanian dengan masa tanam yang lebih singkat.
61
3.3.3. Pola dan Distribusi Hujan serta Dampak ENSO dan IOD di Wilayah Equatorial 3.3.3.1. Pola dan Distribusi Hujan di Sumatera Barat Seluruh wilayah Sumatera Barat berpola hujan equatorial, baik di bagian Utara, Tengah maupun di Selatan wilayah tersebut (Gambar 3.26). Pola hujan equatorial dicirikan dengan wilayah yang memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Puncak musim hujan terjadi sekitar bulan April dan November atau pada saat terjadi ekinoks.
Gambar 3.26
Pola curah hujan di Sumatera Barat. Tahun 1990 – 2009.
Berdasarkan hasil analisis, penurunan curah hujan di Sumatera Barat terjadi dari periode Desember - Februari memasuki Maret - Mei dari kisaran 300400 mm/bulan menjadi 200-300 mm/bulan (Gambar 3.27 dan 3.28). Seperti terlihat pada beberapa wilayah di sebagian Kabupaten Lima Puluh Koto, Padang Pariaman dan Pesisir Selatan. Kemudian periode terkering yaitu Juni - Agustus kisaran menurun menjadi 100-200 mm/bulan terdistribusi luas mendominasi Sumatera Barat bagian Tengah ke arah Barat dari Kota Bukit Tinggi, Padang Pariaman sampai ke Tanah Datar dan Solok hingga ke arah Selatan sampai Kabupaten Pesisir Selatan (Gambar 3.29). Setelah memasuki September -
62
November curah hujan meningkat kembali sampai berkisar antara 200 – 500 mm/bulan (Gambar 3.30).
Gambar 3.27
Gambar 3.28
Distribusi curah hujan di Sumatera Barat. Periode Desember – Februari. Tahun 1990 – 2009.
Distribusi curah hujan di Sumatera Barat. Periode Maret - Mei. Tahun 1990 – 2009.
63
Gambar 3.29
Distribusi curah hujan di Sumatera Barat. Periode Juni - Agustus. Tahun 1990 – 2009.
Gambar 3.30
Distribusi curah hujan di Sumatera Barat. Periode September November. Tahun 1990 – 2009.
64
3.3.3.2. Distribusi Stasiun Terkena Dampak ENSO dan IOD di Sumatera Barat Berdasarkan
analisis temporal terhadap 113 stasiun yang tersebar di
seluruh Sumatera pada periode Desember - Februari dan Maret - Mei, korelasi anomali iklim hampir tidak terjadi pada dua periode tersebut. Lebih dari 90% atau hampir seluruh stasiun pengamatan tidak berkorelasi nyata baik saat terjadi ENSO maupun IOD. Korelasi nyata dengan ENSO baru terlihat saat memasuki periode Juni - Agustus dengan jumlah stasiun sekitar 20%. Korelasi nyata dengan IOD baru terjadi pada periode September - November. Korelasi nyata secara bersamaan antara ENSO dan IOD terjadi pada stasiun sekitar 15%, korelasi nyata dengan IOD saja sekitar 17% dan yang berkorelasi nyata dengan ENSO
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Distribusi Stasiun (%)
Distribusi Stasiun (%)
saja turun menjadi 6% (Gambar 3.31.).
(a)
IOD+ENSO ENSO+IOD
IOD
ENSO
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Non Tidak terpengaruh ENSO+IOD
(c)
IOD +E N S O ENSO+IOD
IO D
EN SO
Anomali Iklim
Gambar 3.31
N on Tidak Tidak terpengaruh terpengaruh ENSO+IOD ENSO+IOD
(b)
IOD+ENSO ENSO+IOD
IOD
ENSO
Anomali Iklim
( )
Anomali Iklim
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Non Tidak terpengaruh ENSO+IOD
(d)
IOD +EN SO ENSO+IOD
IOD
EN SO
Anomali Iklim
NTidak on terpengaruh ENSO+IOD
Distribusi stasiun di Sumatera Barat yang berkorelasi nyata dengan ENSO dan IOD pada periode: (a) Desember - Februari, (b) Maret - Mei, (c) Juni - Agustus, (d) September - November.
65
3.3.3.3. Dampak ENSO dan IOD terhadap Dinamika Curah Hujan di Sumatera Barat Dampak munculnya ENSO dan IOD di wilayah Equatorial tidak terjadi baik pada periode Desember - Februari maupun Maret - Mei. Kejadian ENSO berpengaruh nyata di Limapuluh Koto dan Sawahlunto pada periode Juni Agustus (Gambar 3.32). Selanjutnya pada September - November, pengaruh ENSO di Sawahlunto mulai berkurang tetapi meningkat di daerah Pesisir Selatan dan sebagian Padang (Gambar 3.33). Pengaruh IOD baru terlihat berpengaruh lemah di Pesisir Selatan (3.34) dan meningkat saat memasuki periode September – November di Padang dan Pesisir Selatan (Gambar 3.35). Dengan demikian pengaruh dominan baik IOD maupun ENSO bergantian sejak Juni - Agustus dan September - November serta keduanya mulai berkurang setelah memasuki Desember - Februari. Melemahnya pengaruh dipole mode pada periode tersebut karena kejadian IOD sudah berada dalam kondisi normal selain itu pada periode tersebut merupakan puncak musim hujan di wilayah Indonesia. Secara keseluruhan pada di Sumatera Barat, pengaruh ENSO dominan pada Juni Agustus sedangkan memasuki September - November pengaruh IOD lebih kuat dibandingkan dengan ENSO. 3.3.3.4. Luas Sawah terkena Dampak ENSO dan IOD di Sumatera Barat Hasil analisis dampak ENSO dan IOD terhadap luas sawah di Sumatera Barat dan Jawa Barat menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan. Bahkan perbedaan tersebut menunjukkan sesuatu yang berbeda dari yang selama ini diperkirkan banyak penelitian. Untuk kasus di Sumatera Barat misalnya, banyak penelitian menyakini, karena letak provinsi ini dekat dengan laut Hindia, dimana fenomena IOD timbul dan ditemukan, maka disimpulkan bahwa provinsi ini sebagian besar dipengaruhi oleh IOD. Akan tetapi analisis yang ditunjukkan Tabel 3.6, menunjukkan bahwa sebagian besar luas sawah berada pada wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh anomali iklim tetapi berada pada wilayah yang dipengaruhi oleh kondisi iklim lokal yang sangat kuat. Bahkan pada periode Desember, Januari dan Februari, tidak ada peristiwa anomali iklim mempengaruhi wilayah luas sawah padi di Sumatera Barat. Pengaruh IOD baru terlihat pada
66
periode Juni - Agustus, dan akan semakin menguat melebihi ENSO pada periode September - November, tetapi tidak lebih dari 20%. Tidak kuatnya pengaruh ENSO dan IOD di Sumatera Barat disebabkan oleh bentuk fisiografis wilayah Sumatera Barat dengan bukit barisannya, dan menjadi lintasan pergerakan sekumpulan awan raksasa (Giant Cloud Cluster) yang membawa uap air yang sangat besar. Pergerakan awan ini selanjutnya terpisah di atas bukit barisan, dengan sebagiannya menuju arah Timur atau provinsi Jambi. Kandungan uap air yang juga berpotensi menimbulkan hujan di sore hari menyebabkan dampak ENSO dan IOD tidak nyata terhadap penurunan curah hujan. Berdasarkan fakta tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pengaruh ENSO dan IOD lemah pada daerah dengan pola hujan equatorial atau daerah yang memiliki dua puncak curah hujan.
Kuat Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.32
Tingkat korelasi antara ENSO dengan curah hujan pada periode Juni - Agustus di Sumatera Barat.
67
Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.33
Tingkat korelasi antara ENSO dengan curah hujan pada periode September - November di Sumatera Barat.
Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.34
Tingkat korelasi antara IOD dengan curah hujan pada periode Juni - Agustus di Sumatera Barat. 68
Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.35 Tabel 3.6
Tingkat korelasi antara IOD dengan curah hujan pada periode September - November di Sumatera Barat. Luas sawah di Sumatera Barat yang terkena dampak ENSO dan IOD pada berbagai periode.
Pengaruh Anomali Iklim ENSO dan IOD
Periode DesemberMaret JuniSeptember Februari Mei Agustus November ……………………………….Luas (%)…………………………….. 0.0 0.0 0.0 20.1
ENSO
3.6
2.0
17.5
3.7
IOD
3.4
1.7
0.0
3.3
93.0
96.3
82.5
72.9
Tidak terpengaruh ENSO dan IOD
3.3.3.5. Dampak ENSO dan IOD terhadap Dinamika Kalender Tanam di Sumatera Barat Di wilayah dengan pola hujan equatorial seperti di Sumatera Barat, pada umumnya hampir sepanjang tahun lahan terus ditanami karena distribusi curah hujan relatif merata sepanjang tahun. Pada wilayah yang tidak terpengaruh puncak tanam pada umumnya terjadi pada Mei III/Juni I. Namun pada daerah-daerah yang diindikasikan terkena pengaruh iklim ENSO dan IOD terdapat sedikit pola 69
yang berbeda. Wilayah yang terkena dampak ENSO seperti di sebelah Timur Sawahlunto dan sebagian Pesisir Selatan onset pada ummnya terjadi pada Juni II/III.
Demikian pula pada sebagian wilayah-wilayah yang terkena dampak
seperti Agam, Padang, Pariaman dan Pesisir Selatan onset juga terjadi pada Juni II/III. Dengan demikian pada wilayah-wilayah yang terpengaruh lemah maupun sedang baik oleh ENSO maupun IOD hanya bergeser 1-2 dasarian dari puncak tanam pada umumnya (Gambar 3.36).
(a)
Gambar 3.36
(b)
Distribusi onset pada saat terjadi (a) ENSO dan (b) IOD di wilayah equatorial (Sumatera Barat).
3.3.4. Pola dan Distribusi Hujan serta Dampak ENSO dan IOD di Sentra Padi Sumatera Barat Berdasarkan hasil analisis, Pesisir Selatan merupakan wilayah yang paling kuat dipengaruhi oleh ENSO dan IOD dibandingkan dengan wilayah lainnya. Solok merupakan wilayah yang tidak terkena dampak kedua fenomena tersebut. Perbedaan antara musim hujan dan kemarau baik di Solok maupun di Pesisir Selatan tidak begitu tegas karena pola curah hujan di Solok dan Pesisir Selatan terdiri dari dua puncak musim hujan masing-masing terjadi pada bulan April dan Februari. Secara spesifik perbedaan distribusi curah hujan antara kabupaten Solok dengan Pesisir Selatan relatif sama hanya saja puncak musim hujan lebih tegas di Kabupaten Solok (Gambar 3.37).
70
(a)
(b)
Gambar 3.37
Fluktuasi curah hujan bulanan di Solok (a) dan Pesisir Selatan (b) periode 1990-2007.
Solok merupakan wilayah yang tidak dipengaruhi oleh ENSO dan IOD, sedangkan Pesisir Selatan sebagian wilayahnya dipengaruhi oleh kedua fenomena tersebut.
Wilayah sepanjang Pesisir Selatan dipengaruhi oleh IOD, namun
bersifat lemah. Wilayah yang dominan terpengaruh oleh IOD meliputi kecamatan Tarusan, Bayang, Sutera, Batang Kapas, Lengayang, Linggosari Baganti, Lunang Silaut, Pancung Soal hingga ke Ranah Pesisir. ENSO lebih banyak bepengaruh dengan tingkat rendah sampai sedang. Wilayah yang dipengaruhi oleh ENSO sedang meliputi Tapan, Sutera, Batang kapas, Jurai, sedangkan ENSO lemah mempengaruhi wilayah Tapan, Sutera, Batang Kapas, Bayang, Jurai, Lunang Silaut, dan Ranah Pesisir (Gambar 3.38).
71
Sedang Lemah Tidak Terpengaruh
Lemah Tidak Terpengaruh
Gambar 3.38 Pengaruh ENSO dan IOD di Kabupaten Solok dan Pesisir Selatan.
72
3.3.4.1. Luas Sawah yang Dipengaruhi oleh ENSO dan IOD di Sentra Padi Sumatera Barat Pada saat memasuki periode Juni - Agustus meskipun sebagian besar wilayah Indonesia mulai terpengaruh oleh ENSO maupun IOD, namun di Pesisir Selatan pengaruh tersebut belum terlihat. Pengaruh kedua fenomena tersebut baru terlihat saat memasuki periode September - November. Pada periode tersebut tidak ada wilayah
yang terpengaruh
kuat baik oleh
ENSO maupun IOD.
Pengaruh ENSO di wilayah tersebut hanya terjadi pada tingkat lemah sampai sedang dengan luas sawah masing-masing 8,08 dan 49,26 %. Luas sawah yang tidak terkena dampak sekitar 42,66%. Pengaruh IOD lemah di wilayah ini namun dapat mempengaruhi luas sawah sekitar 58,02% dari seluruh wilayah tanam di Pesisir Selatan (Tabel 3.7). Tabel 3.7
Korelasi
Kuat
Luas sawah yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Pesisir Selatan ENSO September November Luas % Ha % -
JuniAgustus Ha -
IOD September November Luas % Ha % -
JuniAgustus Ha -
Sedang
-
-
3.660
8
-
-
-
-
Lemah
-
-
22.326
49
-
-
26.295
58
Tidak nyata
-
-
19.333
43
-
-
19.024
42
3.4.
Simpulan Dampak ENSO dan IOD terhadap Curah Hujan dan Dinamika Kalender Tanam Di wilayah monsunal seperti propinsi Jawa Barat, pengaruh ENSO dan
IOD terhadap curah hujan baru terlihat setelah memasuki periode Juni – Agustus dan meningkat pada periode September – November. Pada periode Juni – Agustus hanya 10% stasiun hujan yang terpengaruh kedua anomali iklim tersebut sedangkan pada periode September – November meningkat tajam menjadi 75% dari seluruh stasiun di Jawa Barat.
73
Wilayah yang terpengaruh kuat oleh ENSO pada periode September – November meliputi Subang, Indramayu, Kuningan, Cirebon, Garut dan Ciamis. Dan wilayah yang terpengaruh kuat oleh IOD meliputi Cianjur Selatan, Garut, Tasikmalaya dan Kuningan. Wilayah yang tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD meliputi Bogor, Cianjur dan wilayah Barat Bandung. Pada periode September – November hampir seluruh luas sawah di Jawa Barat atau sekitar 84% terpengaruh oleh ENSO dan IOD secara bersamaan dan hanya sekitar 14% luas sawah terdapat pada wilayah yang tidak terpengaruh oleh kedua fenomena tersebut. Di wilayah yang terpengaruh oleh ENSO, puncak tanam mundur 1 sampai 6 dasarian. Dan pergeseran puncak tanam tertinggi terjadi di Indramayu yaitu sekitar 5 sampai 6 dasarian. Pada wilayah yang terpengaruh oleh IOD pada umumnya puncak tanam mundur 1 – 2 dasarian kecuali di Indramayu mundur 6 dasarian. Pada wilayah yang tidak terpengaruh kedua fenomena tersebut seperti Bogor, Cianjur dan wilayah Barat Bandung, puncak tanam terjadi pada September III/Oktober I. Wilayah sentra padi paling kuat dipengaruhi ENSO dan IOD adalah Indramayu. Hampir seluruh wilayahnya terpengaruh oleh ENSO dan IOD, sekitar 55% luas sawah di wilayah tersebut terpengaruh kuat oleh ENSO dan 13% oleh IOD. Puncak tanam terdapat pada November III/Desember I. Sentra padi yang sebagian besar sawahnya terdapat pada wilayah yang tidak terpengaruh oleh ENSO dan IOD adalah Cianjur dengan puncak tanam terdapat pada September III/Oktober I. Pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan baru terlihat setelah memasuki periode Juni – Agustus dan meningkat pada periode September – November. Pada periode Juni – Agustus hanya 20% stasiun hujan yang terpengaruh ENSO sedangkan pada periode September – November pengaruh IOD baru terjadi. Sekitar 15% stasiun berkorelasi nyata dengan ENSO dan IOD secara bersamaan. Wilayah equatorial yang terpengaruh kuat oleh ENSO pada periode September – November meliputi Padang dan Pesisir Selatan. Dan wilayah yang terpengaruh kuat oleh IOD meliputi Padang Panjang, Padang dan Pesisir Selatan.
74
Pada periode September – November hampir seluruh luas sawah di Sumatera Barat atau sekitar 73% tidak terpengaruh oleh ENSO dan IOD secara bersamaan dan hanya sekitar 20% luas sawah terdapat pada wilayah yang terpengaruh oleh kedua fenomena tersebut. Puncak tanam pada umumnya terjadi pada Mei III/Juni I. Namun pada daerah-daerah yang diindikasikan terkena pengaruh iklim ENSO dan IOD puncak tanam bergeser 1 sampai 2 dasarian Wilayah sentra padi yang dipengaruhi ENSO dan IOD adalah Pesisir Selatan. Tetapi tidak ada wilayah yang terpengaruh kuat baik oleh ENSO maupun IOD. Pengaruh ENSO di wilayah tersebut lemah sampai sedang yang mempengaruhi luas sawah masing-masing 8 dan 49 %. Luas sawah yang tidak terkena dampak sekitar 43%. Demikian pula dengan IOD yang berpengaruh lemah pada luas sawah sekitar 58%.
75
IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD 4.1.
Pendahuluan Kondisi iklim dan ketersediaan air yang optimal bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman sangat diperlukan dalam upaya mendukung strategi budidaya tanaman sesuai ruang dan waktu. Pola dan waktu tanam yang tidak sesuai dengan kondisi iklim dan ketersediaan air yang tepat dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang relatif tinggi. Pada umumnya petani mempunyai pengetahuan yang cukup dalam menentukan sesuai atau tidaknya kondisi iklim bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Namun demikian petani masih belum mampu mengantisipasi dampak perubahan iklim yang akan merugikan tanaman tersebut. Frekuensi dan durasi anomali iklim yang semakin tinggi akibat ENSO maupun IOD menyebabkan petani menghadapi permasalahan yang pelik dalam menentukan saat tanam. Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan analisis ketersediaan air bagi tanaman dengan memadukan aspek iklim berupa curah hujan yang dikaitkan dengan kandungan air tanah dan penggunaan air oleh tanaman itu sendiri. Penetapan potensi waktu tanam padi di wilayah yang terindikasi sering dipengaruhi oleh kondisi anomali iklim perlu dilakukan guna membantu petani dalam meminimalisasi kehilangan hasil. Awal musim tanam (onset) padi tergantung pada pola hujan pada suatu wilayah seperti halnya musim tanam pertama (MT I) dimulai pada musim hujan dan musim tanam kedua (MT II) memasuki musim kemarau dan musim tanam ketiga (MT III) pada musim kemarau. Meningkatnya intensitas dan frekuensi anomali iklim tersebut dapat mengakibatkan secara langsung gangguan terhadap sistem produksi padi. Untuk menetapkan pola tanam dan potensi waktu tanam padi salah satunya dengan melakukan analisis neraca air agar diperoleh informasi periode kritis tanaman yang pada gilirannya lebih aplikatif untuk perencanaan waktu tanam dan menekan resiko kekeringan. Penelitian tentang penentuan periode defisit air
76
berdasarkan neraca air tanaman telah dikembangkan oleh FAO sejak tahun 1973 dengan menghitung kebutuhan air tanaman dalam kaitannya dengan produksi. 4.2.
Metodologi Untuk menentukan waktu tanam optimal padi lahan tadah hujan
ditentukan dengan menggunakan Indeks Kecukupan Air Tanaman dan potensi kehilangan hasil (Lidon and Affholder 2000). Untuk menentukan waktu tanam optimal padi sawah ditentukan dengan menggunakan
model neraca air
ketersediaan-kebutuhan irigasi (Kartiwa 2009). 4.2.1. Penentuan Waktu Tanam Padi Lahan Tadah Hujan Untuk menentukan waktu tanam optimal lahan tadah hujan digunakan Indeks kecukupan air tanaman yang ditetapkan berdasarkan rasio antara Evapotranspirasi riil/aktual (ETr/Eta) dengan Evapotranspirasi maksimal/crop (ETm/ETc) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman dengan penekanan pada periode defisitnya menggunakan model neraca air yang dikembangkan oleh FAO dalam bulletin no 56 (Allen et al. 1988). Model tersebut dimodifikasi dan dikembangkan di daerah tropis khususnya di Indonesia. Kalibrasi serta validasi telah dilakukan di Jawa Tengah (Lidon and Affholder 2000) kemudian telah diaplikasikan untuk tanaman hortikultura (Apriyana 2003) dan padi (Sosiawan 2002). Saat ini model tersebut telah disempurnakan ke dalam model WARM (Water and Agroclimate Resource Management) versi 2.0 (Runtunuwu et al. 2007).
Nilai yang
menyatakan bahwa tanaman padi tumbuh dalam kondisi
kecukupan air adalah indeks dengan nilai mendekati 1, dengan batas kritis 0,8 (Lidon and Affholder 2000). Untuk menentukan waktu tanam yang tepat dibuat skenario tanggal tanam setiap sepuluh hari. Dalam
model
WARM,
evapotranspirasi
juga
ditentukan
dengan
menghitung berbagai komponen neraca air tanah. Metode ini terdiri dari penilaian fluks air masuk dan keluar ke zona akar tanaman selama beberapa periode waktu. Irigasi (I) dan curah hujan (P) menambahkan air ke zona akar. Bagian dari I dan P yang hilang oleh aliran permukaan (RO) dan perkolasi dalam (DP) yang pada akhirnya akan mengisi ulang tabel air. Air juga bisa diangkut ke atas oleh kenaikan kapiler (CR) dari tabel air dangkal terhadap zona perakaran atau bahkan ditransfer secara horisontal dengan aliran bawah permukaan dalam (SFin) atau
77
keluar dari (SFout) zona akar. Dalam kondisi landai nilai SFin dan SFout relatif kecil sehingga dapat diabaikan. Tanah penguapan dan transpirasi tanaman menguras air dari zona akar. Jika semua fluksi selain evapotranspirasi (ET) dapat dinilai, evapotranspirasi dapat disimpulkan dari perubahan konten tanah air ( SW) selama periode waktu: ETP = I + P - RO - DP + CR ± SF ± SW
(1)
Kandungan air tanah maksimum bilamana tanah mencapai kapasitas lapang sedangkan kandungan tanah minimum bila mencapai titik kritis irigasi, kondisi tersebut menggambarkan nilai kandungan air yang diabsorbsi tanah yang dapat digunakan untuk tanaman (Muller 1996). Jumlah air yang diperlukan oleh tanaman tersebut dinamakan air tersedia dalam mm yang bervariasi sepanjang masa pertumbuhan tanaman (Apriyana 2003) dan merupakan fungsi dari pertumbuhan akar (Forest 1984). 4.2.2. Pendugaan ETR (Evapotranspirasi Riil) Tanaman Kebutuhan air riil tanaman (ETR) atau Evapotranspirasi aktual (ETa) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Lidon and Affholder 2000): (2)
ETR= Ks x ETM = Ks x Kc x ETP
Ks
TAW Dr TAW RAW
TAW Dr (1 p ) TAW
(3)
Dimana: ETR ETM Ks TAW RAW Dr p
= = = = = = =
Evapotranspirasi riil tanaman Evapotranspirasi Maksimum tanaman Koefisien stress Total air tanah tersedia di daerah perakaran (mm) Air tersedia bagi tanaman (mm) Deplesi daerah perakaran (mm) Fraksi dari total air tanah tersedia
Koefisien tanaman padi setiap fase disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Nilai koefisien tanaman (kc) padi pada setiap fase pertumbuhan (FAO, 1997)
Fase pertumbuhan
Hari ke
Kc
Perkembangan vegetatif
20-50
1.05
Pembungaan
50-90
1.15
Pematangan
90-115
0.70
78
4.2.3. Pendugaan Evapotranspirasi Maksimum Tanaman. Kebutuhan air maksimum tanaman (ETM) dapat dihitung dengan menggunakan data ETP dan koefisien tanaman (Lidon and Affholder 2000):
ETM
Kc ETP
(4)
dimana: ETM = Evapotranspirasi Maksimum Kc = Koefisien tanaman ETP = Evapotranspirasi Potensial Data yang dibutuhkan untuk analisis indeks kecukupan air (ETR/ETM) adalah periode fase pertumbuhan dan fase fenologi tanaman, koefisien stress, kedalaman perakaran maksimum, tinggi tanaman maksimum, dan kadar air tanah pada kapasitas lapang dan titik layu permanen. Diagram alir analisis penentuan potensi saat tanam padi di lahan tadah hujan disajikan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Diagram alir análisis neraca air untuk penentuan potensi waktu tanam padi lahan tadah hujan.
79
4.2.4. Penentuan Waktu Tanam Padi Lahan Irigasi Analisis lahan sawah irigasi dihitung berdasarkan neraca antara ketersediaan air dari dari bendung irigasi serta curah hujan dan kebutuhan irigasinya. Kebutuhan irigasi terdiri dari kebutuhan tanaman, kebutuhan air untuk pengolahan tanah dan kehilangan air karena perkolasi. Analisis kebutuhan tanaman dilakukan berdasarkan estimasi kebutuhan air tanaman menurut Metode FAO (Doorenbos dan Kassam 1979). Kebutuhan air untuk pengolahan dan penggenangan lahan dihitung berdasarkan rekomendasi PU sedangkan perkolasi ditetapkan berdasarkan survei lapang. Untuk menghitung kebutuhan irigasi lahan sawah dihitung berdasarkan ketetapan sebagai berikut: Irigasi diberikan apabila tinggi genangan pada lahan sawah lebih rendah
dari batas ketinggian genangan terendah yang diperkenankan : G i G min G i G i 1 Perc i ETc i CH i )
(5)
dimana, : tinggi genangan air lahan sawah pada hari ke-i (mm) Gi Gmin : tinggi genangan air lahan sawah minimum (mm) Irigasi dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
Iri G max (G i 1 Perc i ETc i CH i )
(6)
dimana, Iri Gmax Gi-1 Perc ETc,i CHi
: kebutuhan irigasi pada hari ke-i (mm) : tinggi genangan air lahan sawah maksimum (mm) : tinggi genangan air lahan sawah pada hari ke-(i-1) (mm) : perkolasi (mm) : evapotranspirasi tanaman pada hari ke-i (mm), : curah hujan pada hari ke-i (mm)
Data masukan yang diperlukan dalam perhitungan analisis neraca air lahan sawah irigasi meliputi:
luas daerah irigasi (DI),
debit irigasi dari bendung irigasi (10 harian),
pola tanam tahunan,
80
data hujan dan evapotranspirasi (ETP) harian. Diagram alir analisis penentuan potensi saat tanam padi di lahan tadah
hujan disajikan pada Gambar 4.2
Lahan sawah irigasi
Gambar 4.2 Diagram alir neraca air untuk penentuan potensi waktu tanam padi lahan irigasi. 4.3.
Hasil Dan Pembahasan Waktu Tanam Optimal
4.3.1. Waktu Tanam Optimal di Wilayah Monsunal
Indramayu dan Cianjur merupakan dua kabupaten sentra produksi padi Jawa Barat yang berada di wilayah pola hujan monsun. Hampir seluruh lahan sawah di daerah Indramayu terkena dampak anomali iklim baik oleh ENSO maupun IOD sedangkan daerah Cianjur sebagian besar lahan sawah berada pada wilayah yang tidak dipengaruhi oleh kedua anomali iklim tersebut. Untuk memperoleh gambaran kalender tanam padi di kedua kabupaten tersebut dilakukan analisis potensi waktu taman dengan mengambil sampel tiga kecamatan yang mempunyai perbedaan tingkat kekuatan pengaruh ENSO maupun IOD di Indramayu dan dua kecamatan yang tidak terkena dampak anomali Iklim di Cianjur sebagai pembanding (Tabel 4.2).
81
Tabel 4.2 Pengaruh ENSO dan IOD di wilayah monsunal No. 1. 2. 3.
Wilayah Monsunal
4. 5.
Kabupaten
Kecamatan
ENSO Kuat Lemah Kuat
Pengaruh IOD Sedang Lemah Kuat
Indramayu
Anjatan Kertasemaya Krangkeng
Cianjur
Warungkondang Tidak terpengaruh Ciranjang Tidak terpengaruh
Tidak terpengaruh Tidak terpengaruh
Analisis potensi waktu tanam padi dibedakan berdasarkan tahun kejadian baik pada tahun normal, dan tahun kering akibat El Niño mapun IOD positif dari tahun 1900/1991 sampai dengan 2009/2010 (Tabel 4.3). Analisis kekeringan lebih ditekankan pada penelitian ini mengingat dampak kekeringan dalam hal luas wilayah, durasi kejadian, biaya dan waktu pemulihan lebih besar daripada banjir (Irianto 2003) Potensi waktu tanam untuk lahan sawah tadah hujan ditetapkan berdasarkan analisis indeks kecukupan air dengan nilai lebih dari 0.8 dan potensi kehilangan hasil kurang dari 20%. Untuk lahan sawah irigasi potensi waktu tanam ditetapkan berdasarkan prosentase defisit ketersediaan airnya. Kartiwa (2009) membagi kriteria defisit ketersediaan air lahan sawah irigasi menjadi 4 taraf yaitu : (1) Sangat rendah bila defisit air < 15%, (2) Rendah bila defisit air antara 15% dan 25%, (3) Sedang bila defisit air antara 25% dan 40%, serta (4) Tinggi bila defisit air > 40%. Potensi waktu tanam untuk lahan sawah irigasi ditetapkan berdasarkan prosentase defisit ketersediaan air pada taraf sangat rendah sampai dengan sedang.
82
Tabel 4.3 Tahun normal dan kejadian anomali iklim sepanjang tahun 1990-2009 TAHUN 1990-1991 1991-1992 1992-1993 1993-1994 1994-1995 1995-1996 1996-1997 1997-1998 1998-1999 1999-2000 2000-2001 2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010
NORMAL N
ENSO
IOD
EK
ES
(-) (-) (+)
N EK LS LS LL
(-) (+)
N ES N EL N EL LS
(+) (+)
N EK
Sumber: CPC.NOAA dan BOM (Diolah)
Keterangan: N = Normal
EL = El Niño lemah ES = El Niño sedang EK= El Niño kuat
LL = La Niña lemah LS = La Niña sedang LK = La Niña kuat
(+) = IOD positif ( -) = IOD negative
4.3.1.1. Potensi Waktu Tanam di Indramayu
Hasil analisis untuk lahan tadah hujan di Indramayu dengan menggunakan WARM menunjukkan bahwa pada tahun normal, El Niño, maupun IOD positif baik di Anjatan, Kertasemaya maupun di Krangkeng, pada September III nilai Indeks Kecukupan Air masih berada di bawah nilai batas kritis (< 0.8) dan nilai transpirasi defisit masih tinggi di atas 20% (Gambar 4.3 dan Tabel Lampiran 1 3). Nilai Indeks Kecukupan Air berada di atas nilai batas kritis mulai Oktober III. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi waktu tanam dimulai pada periode tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa awal musim tanam (onset) dimulai pada Oktober III. Nilai indeks kecukupan air berlangsung terus di atas batas kritisnya sampai dengan Februari III/ Maret II. Dengan demikian potensi waktu tanam
83
pada ketiga wilayah tersebut pada tahun normal terjadi sekitar 12 – 14 dasarian dari Oktober III sampai dengan Februari III/Maret II (Tabel 4.4). Pada rentang waktu tersebut ketersediaan air tercukupi sehingga tanaman tidak mengalami cekaman air pada fase kritis tanaman yaitu pada fase pembungaan. Petani yang menanam pada rentang waktu tersebut dapat meminimalisasi kehilangan hasil padi karena indeks kecukupan air pada lahan sawah tadah hujan berada pada titik aman tanam. Indeks kecukupan air turun setelah memasuki waktu tanam pada Maret III dan berfluktuasi pada periode berikutnya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa
ketersediaan air mulai April I sampai Agustus III terganggu saat memasuki periode kritis tanamannya. Dengan demikian pada bulan-bulan tersebut tidak disarankan untuk dilakukan penanaman padi. Bila petani menanam pada periode tersebut maka harus dipersiapkan pasokan irigasinya. Hasil analisis potensi waktu tanam untuk lahan sawah irigasi menggunakan neraca air sawah irigasi menunjukkan bahwa pada tahun normal, El Niño, maupun IOD positif baik di Anjatan, Kertasemaya maupun di Krangkeng, pada September III defisit kehilangan air masih tinggi di atas 40% (Gambar 4.4 dan Tabel Lampiran 13 - 15). Defisit kehilangan air mulai berada di bawah 40% memasuki Oktober I dan terus berlangsung sampai dengan Mei II – Juli II. Hal tersebut menunjukkan bahwa onset untuk lahan irigasi adalah Oktober I dengan potensi waktu tanam yang mempunyai rentang lebih panjang dibandingkan dengan lahan tadah hujan yaitu antara 22 - 28 dasarian atau lebih lama 10 - 14 dasarian dari potensi tanam lahan tadah hujan yaitu mulai dari Oktober I sampai dengan Mei II - Juli II. Memasuki waktu tanam pada Agustus I prosentase defisit ketersediaan air meningkat hingga lebih dari 40% yang berarti defisit ketersediaan air relatif tinggi dan kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan September III. Sehingga waktu tanam tidak disarankan pada periode tersebut karena tanaman akan mengalami defisit ketersediaan air. Fenomena El Niño dapat mengakibatkan penurunan nilai indeks kecukupan air hingga di bawah ambang nilai kritis pada beberapa dasarian sehingga potensi waktu tanam di lahan tadah hujan akan lebih lambat dan lebih pendek dibandingkan dengan tahun normalnya. Di wilayah yang terindikasi kuat
84
terkena El Niño seperti di Anjatan dan Krangkeng, waktu tanam lebih lambat 5 sampai 7 dasarian masing-masing pada Desember I dan Desember III. Bahkan potensi waktu tanam di Krangkeng lebih pendek 8 dasarian dibandingkan dengan waktu tanam pada tahun-tahun normal yaitu pada November III – pada Desember I – Januari III. Pada wilayah yang terindikasi lemah terkena El Niño seperti di Kertasemaya waktu tanam juga mundur 3 dasarian dan potensi tanam pada November III – Maret II. Mundurnya waktu tanam akibat terjadinya El Niño juga terjadi pada lahan irigasi namun lebih singkat dibandingkan dengan lahan tadah hujan. Waktu tanam di Anjatan dan Kertasemaya mundur 2 dasarian dari Oktober I menjadi Oktober III sedangkan di Krangkeng mundur hingga 3 dasarian menjadi November I (Gambar 4.4). Saat terjadi IOD positif indeks kecukupan air mempunyai rentang yang lebih panjang dibandingkan dengan saat terjadi El Niño sehingga potensi waktu tanam lebih lama yaitu pada November II atau lebih lambat 2 dasarian dari tahun normalnya. Sebaliknya waktu tanam lebih panjang 2 dasarian di Anjatan dan 1 dasarian di Krangkeng dibandingkan dengan saat terjadi El Niño . Pengaruh IOD positif tidak begitu terlihat pada lahan irigasi, namun penundaan waktu tanam masih terjadi sekitar 1-2 dasarian masing-masing di Anjatan dan Krangkeng.
85
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.3 Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di wilayah terkena dampak ENSO dan IOD. Di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya, Kabupaten Indramayu.
86
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.4 Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan irigasi di wilayah terkena dampak ENSO dan IOD. Di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya, Kabupaten Indramayu.
87
Tabel 4.4 Potensi waktu tanam padi di wilayah monsunal
Tahun Kejadian
Kabupaten
Potensi waktu tanam (dasarian)
Kecamatan
Tadah Hujan
Irigasi
Indramayu
Anjatan Kertasemaya Krangkeng
Oktober III – Maret II Oktober III – Maret II Oktober III – Februari III
Oktober I – Juli II Oktober I – Juni II Oktober I – Mei II
Cianjur
Warungkondang Ciranjang
September III – Maret II September III – Maret III
September III – April II September III – April II
Indramayu
Anjatan Kertasemaya Krangkeng
Desember I – Maret II November III – Maret II Desember III – Maret I
Oktober III – Juni III Oktober III – Juni II November I – Mei II
Cianjur
Warungkondang Ciranjang
September III – Maret III September III – April I
September III – April III September III – April II
Indramayu
Anjatan Kertasemaya Krangkeng
November II – Maret II November III – Maret II November III – Februari III
Oktober III – Juli I Oktober I – Juni II Oktober III – Mei II
Cianjur
Warungkondang Ciranjang
September III - Maret III September III – April II
September III – April III September III – April II
Normal
El Niño
IOD Positif
4.3.1.2. Potensi Waktu Tanam di Cianjur
Cianjur merupakan wilayah yang tidak terkena dampak ENSO dan sebagian besar wilayahnya tidak terkena dampak IOD, hanya sebagian wilayah Selatan saja yang terkena dampak IOD. Analisis waktu tanam potensial di Cianjur pada wilayah yang tidak terkena dampak ENSO dan IOD dimaksudkan untuk melihat perbedaan waktu tanam dengan wilayah yang terkena dampak kedua fenomena tersebut. Potensi waktu tanam di Cianjur lebih panjang dibandingkan dengan di Indramayu. Misalnya saja di Warungkondang dan Ciranjang, potensi tanam lebih awal yaitu mulai September III dan berakhir pada Maret II/III karena nilai Indeks Kecukupan Air sudah berada di atas 0.8 dan defisit transpirasi kurang dari 20% (Gambar 4.5 dan Tabel Lampiran 4 - 6). Waktu tanam tersebut tidak banyak berubah meskipun di wilayah lain terjadi El Niño dan atau IOD positif. Pada saat terjadi El Niño potensi tanam di Cianjur terjadi pada September III
88
bahkan pada tahun El Niño dan IOD positif potensi waktu tanam lebih panjang 1 – 2 dasarian (Gambar 4.5). Demikian pula pada lahan irigasi, potensi tanam dimulai dari September III sampai dengan April II karena nilai defisit ketersediaan air sudah berada di bawah ambang batas kritis dan defisit ketersediaan air kurang dari 40% (Gambar 4.6 dan Tabel Lampiran 16 - 18). Pada wilayah ini fluktuasi defisit ketersediaan air tidak menunjukkan perbedaan baik pada tahun normal, El Niño maupun IOD positif. 4.3.1.3. Perbedaan potensi waktu tanam di Indramayu dan Cianjur
Pada tahun normal, potensi waktu tanam pada wilayah yang terkena dampak dengan tidak terkena dampak ENSO dan IOD sangat berbeda. Di Krangkeng Indramayu yang merupakan wilayah terkena dampak kedua anomali iklim tersebut, mempunyai potensi waktu tanam sekitar 8 dasarian mulai dari Oktober I sampai dengan Desember III sedangkan di Ciranjang Cianjur potensi waktu tanam sekitar 17 dasarian dari September II sampai dengan Februari III. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi waktu tanam padi sawah tadah hujan untuk kecamatan Krangkeng hanya pada Musim Tanam I (MT I) saja. Pada MT II tidak disarankan untuk menanam padi karena kebutuhan air tanaman tidak mencukupi. Sebagai alternatif pengganti adalah dengan menanam palawija. Sedangkan pada MT III lahan sebaiknya diberakan karena pada masa tanam tersebut Nilai Indeks Kecukupan Air kurang dari 0.65. Nilai tersebut merupakan batas kritis indeks kecukupan air untuk palawija (CIRAD 1995). Pada tahun El Niño, perbedaan potensi waktu tanam sangat jelas antara wilayah yang terkena dampak dan tidak terkena dampak ENSO dan IOD. Di Krangkeng, potensi waktu tanam hanya terjadi sekitar 3 dasarian pada bulan Desember. Awal waktu tanam tersebut mundur 7 dasarian dari tahun normal. Di Ciranjang
potensi waktu tanam pada tahun
tersebut sekitar 18 dasarian
(September III – Maret III). Tidak ada perubahan awal waktu tanam antara tahun normal dengan tahun El Niño di Cianjur. Dengan demikian petani di Krangkeng harus mewaspadai bila tahun El Niño tiba karena waktu tanam pada MT I relatif sempit dan bergeser dari tahun normalnya. Di Ciranjang, wilayah tersebut relatif
89
aman meskipun terjadi El Niño, karena waktu tanam hanya bergeser satu dasarian dari tahun normalnya dan potensi tanam relatif bagus hingga MT II. Pada tahun IOD positif, potensi waktu tanam di Krangkeng sekitar 7 dasarian (November II – Januari III) dan mundur 4 dasarian. Kondisi tersebut memberikan peluang petani untuk menanam lebih baik dibandingkan dengan tahun El Niño. Di Ciranjang potensi masa tanam pada tahun tersebut 21 dasarian (September II – April II) dan wilayah tersebut relatif aman karena tidak terjadi perubahan potensi awal tanam dan potensi tanam relatif bagus hingga MT II. Dengan demikian meskipun di wilayah lain di Indonesia terjadi anomali Iklim, di wilayah Ciranjang tidak terpengaruh oleh kondisi tersebut.
(a)
(b)
Gambar 4.5 Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di wilayah tidak terkena dampak ENSO maupun IOD. Di (a) Warungkondang, dan (b) Ciranjang Kabupaten Cianjur.
90
(a)
(b)
Gambar 4.6 Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan tadah hujan di wilayah tidak terkena dampak ENSO maupun IOD. Di (a) Warungkondang, dan (b) Ciranjang Kabupaten Cianjur. Untuk tahun kejadian El Niño yang bersamaan dengan IOD positif, potensi waktu tanam di Krangkeng relatif sedikit. Hanya terjadi pada 3 dasarian (Desember I, III) dan Januari III. Jika dibandingkan dengan Ciranjang yang memiliki waktu tanam yang hampir sama dengan tahun normal. Namun karena rendahnya Indeks Kecukupan Air untuk kejadian El Niño kuat bersamaan dengan IOD positif, maka di Krangkeng tidak bisa ditanami padi. 4.3.2. Potensi Waktu Tanam di Wilayah Equatorial
Sentra padi di Sumatera Barat terdapat pada wilayah dengan pola hujan Equatorial. Di daerah tersebut hanya sebagian kecil saja wilayah yang terkena dampak ENSO dan IOD salah satunya adalah wilayah sentra produksi padi di Kabupaten Pesisir Selatan. Sementara sentra produksi padi lainnya di wilayah Sumatera Barat seperti Solok tidak terkena dampak kedua fenomena tersebut.
91
Untuk mengetahui potensi waktu tanam di kedua kabupaten tersebut masingmasing diambil 2 kecamatan yaitu Tarusan dan Batang Kapas untuk Kabupaten Pesisir Selatan dan kecamatan Saning Bakar dan Sumani untuk kabupaten Solok (Tabel 4.5) Tabel 4.5 Pengaruh ENSO dan IOD di wilayah Equatorial Wilayah Equatorial
Kabupaten Kecamatan Pesisir Selatan
Solok
Tarusan
Pengaruh ENSO IOD Sedang Lemah
Batang Kapas
Sedang
Lemah
Saning Bakar
Tidak terpengaruh
Tidak terpengaruh
Sumani
Tidak terpengaruh
Tidak terpengaruh
Potensi waktu tanam pada wilayah pola hujan Equatorial lebih panjang bila dibandingkan dengan wilayah monsun, di wilayah ini waktu tanam dapat mulai dilakukan pada Mei II sampai dengan Febuari I/Maret III. Artinya bahwa penanaman 2 kali padi di lahan sawah tadah hujan masih dimungkinkan di wilayah tersebut tanpa irigasi suplementer. 4.3.2.1. Potensi Waktu Tanam di Pesisir Selatan
Potensi waktu tanam pada tahun normal di Tarusan dan Batang Kapas masing-masing pada September III dan Oktober I yang ditandai dengan nilai indeks kecukupan air pada periode tersebut berada di atas nilai kritisnya dengan transpirsi defisit kurang dari 20% (Gambar 4.7 dan Tabel Lampiran 7). Pergeseran waktu tanam pada lahan tadah hujan terjadi saat fenomena El Niño maupun IOD positif muncul. Keterlambatan waktu tanam terjadi di Tarusan hanya 1 dasarian saat terjadi El Niño maupun saat terjadi IOD positif (Tabel 4.6). Hal tersebut ditunjukkan dengan penurunan indeks kecukupan air dan transpirasi defisit lebih dari 20% (Gambar 4.7 dan Tabel Lampiran 8, 9). Di Batang Kapas pengaruh IOD positif dan El Niño dapat mengakibatkan potensi waktu tanam mundur masing-
92
masing 1 dan 3 dasarian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh IOD positif di wilayah equatorial tidak begitu besar pengaruhnya dalam pergeseran potensi waktu tanaman padi. Potensi waktu tanam pada lahan irigasi lebih awal 3 dasarian. Pada September III tahun normal nilai defisit ketersediaan air kurang dari 40% (Gambar 4.7 dan Tabel Lampiran 19). Keterlambatan waktu tanam akibat El Niño dan IOD positif pada lahan irigasi tidak begitu terlihat jelas. Keterlambatan waktu tanam baik di Tarusan maupun di Batang Kapas hanya 1 dasarian saja saat terjadi El Niño maupun IOD positif. Tabel 4.6. Potensi waktu tanam padi di wilayah equatorial Tahun Kejadian
Kabupaten
Kecamatan
Potensi waktu tanam (dasarian) Tadah Hujan
Irigasi
Pesisir Selatan
Tarusan Batang Kapas
September III –Maret II Oktober I – Maret I
Agustus III – Mei I September II – Mei III
Solok
Saning Bakar Sumani
Mei II – Maret II Juni I – Maret III
Mei I – Maret I Mei I – Maret II
Pesisir Selatan
Tarusan Batang Kapas
Oktober I – Maret II Oktober III – Maret I
September I – Mei I Oktober I – Mei III
Solok
Saning Bakar Sumani
Mei II – Maret III Juni I – Maret II
Mei I – Maret I Mei I – Maret I
Pesisir Selatan
Tarusan Batang Kapas
Oktober I – Maret II Oktober II – Maret I
September I – Mei I September II – Mei III
Solok
Saning Bakar Sumani
Mei II – Maret II Juni I – Maret III
Mei I – Maret I Mei I – Maret II
Normal
El Niño
IOD Positif
93
(a)
(b)
Gambar 4.7 Fluktuasi indeks kecukupan air dan defisit ketersediaan air di wilayah terkena dampak ENSO (atas) dan IOD (bawah) di (a) Tarusan dan (b) Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan.
94
4.3.2.2. Potensi Waktu Tanam di Solok
Solok merupakan wilayah yang tidak terkena dampak ENSO maupun IOD. Analisis waktu tanam potensial di Solok dimaksudkan untuk melihat perbedaan waktu tanam dengan wilayah yang terkena dampak kedua fenomena tersebut. Potensi waktu tanam pada lahan tadah hujan di Solok lebih panjang dibandingkan dengan di Pesisir Selatan. Misalnya saja di Saning Bakar dan Sumani, potensi tanam lebih awal yaitu mulai Mei II/Juni I yang ditunjukkan dengan nilai Indeks Kecukupan Air lebih dari 0.8 dan defisit transpirasi di bawah 20% (Gambar 4.8 a,c dan Tabel Lampiran 22 – 24). Potensi waktu tanam berlangsung sampai dengan Maret II/III. Waktu tanam tersebut tidak banyak berubah meskipun di wilayah lain terjadi ENSO dan atau IOD (Tabel 4.6 dan Gambar 4.8). Pada lahan irigasi, potensi tanam di Solok seperti di kecamatan Saning Bakar dan Sumani lebih awal 1 dasarian dimulai dari Mei I berakhir pada Maret I/II. Pada wilayah ini fluktuasi defisit ketersediaan air tidak menunjukkan perbedaan baik pada tahun normal, El Niño maupun IOD positif (Gambar 4.8).
95
(a)
(b)
Gambar 4.8 Fluktuasi indeks kecukupan air dan defisit ketersediaan air di wilayah terkena dampak ENSO (atas) dan IOD (bawah) di (a) Saning Bakar dan (b) Sumani, Kabupaten Solok.
96
4.4.
Simpulan Waktu Tanam Optimal
Onset padi lahan tadah hujan di wilayah monsunal, seperti di Indramayu pada tahun normal terdapat pada Oktober III dengan potensi waktu tanam Februari III sampai dengan Maret II. Onset mundur 3 sampai 6 dasarian pada November III sampai dengan Desember III pada saat terjadi El Niño. Demikian pula pada saat terjadi Dipole Mode positif, onset mundur 2 sampai 3 dasarian menjadi November II/III. Pada lahan irigasi, di tahun normal onset lebih awal 2 dasarian dari lahan tadah hujan yaitu pada Oktober I dengan potensi waktu tanam sampai dengan Juni II – Juli II. Onset mundur masing-masing 1 dasarian saat terjadi Dipole Mode positif dan 2 - 3 dasarian saat terjadi El Niño dengan potensi waktu tanam pada umumnya lebih pendek 1 dasarian dari tahun normalnya. Onset di wilayah equatorial seperti di Pesisir Selatan terdapat pada OktoberI/September III dengan potensi waktu tanam sampai dengan Maret I/II. Pada lahan irigasi di tahun normal, onset lebih awal 3 dasarian dari lahan tadah hujan pada Agustus III dengan potensi waktu tanam sampai dengan Mei I. Pada saat terjadi El Niño maupun IOD positif baik di lahan tadah hujan maupun lahan irigasi onset hanya mundur 1 dasarian dengan potensi waktu tanam sama dengan pada tahun normalnya. Onset tidak bergeser pada wilayah yang tidak terkena dampak anomali iklim baik di wilayah monsunal seperti di Cianjur maupun wilayah equatorial seperti di Solok. Onset padi lahan tadah hujan maupun irigasi di Cianjur pada September III, sedangkan di Solok onset di lahan tadah hujan lebih awal dibandingkan dengan di Cianjur yaitu pada Mei II/Juni I dan untuk padi lahan irigasi pada Mei I. Di lahan tadah hujan, pola tanam yang dapat dilakukan di Indramayu pada tahun normal adalah padi – padi/palawija – bera. Bila terjadi El Niño maupun IOD positif kuat, pola tanam berubah menjadi padi – palawija/bera – bera. Di lahan irigasi, pola tanam di wilayah Barat Indramayu seperti di Anjatan pada kondisi tahun normal adalah padi – padi – padi/palawija karena suplai air irigasi terpenuhi hampir sepanjang tahun. Untuk wilayah tengah dan Timur seperti di Kertasemaya dan Krangkeng pola tanam yang tepat adalah padi – padi – palawija. Saat terjadi El Niño pola tanam di Anjatan menjadi padi – padi –
97
palawija Di Kertasemaya tidak terjadi perubahan pola tanam, tetapi untuk Krangkeng pola tanam berubah menjadi padi-padi/palawija-bera. Di Cianjur baik pada lahan irigasi maupun tadah hujan pola tanam yang tepat adalah padi – padi – palawija. Di lahan tadah hujan, pola tanam di Pesisir Selatan yang tepat adalah Padi – Padi/palawija – bera. Di Solok pola tanam padi – padi – padi. Di lahan irigasi, pola tanam di Pesisir Selatan adalah Padi – Padi –Palawija dan di Solok padi sepanjang tahun.
98
V.
5.1.
PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM
Pendahuluan
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang mempunyai variabilitas dan fluktuasi yang paling tinggi diantara unsur iklim lainnya di daerah tropis khususnya di Indonesia. Distribusi dan pola curah hujan yang teratur sangat besar peranannya dalam menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman baik menurut skala ruang dan waktu sehingga dapat memberikan jaminan kesinambungan budidaya pertanian. Namun kondisi tersebut akan mengalami gangguan jika terjadi anomali iklim ekstrim. Penyimpangan cuaca/iklim yang terjadi di Indonesia dapat diakibatkan oleh perubahan suhu muka laut baik di wilayah pasifik Equatorial maupun di wilayah Samudera Hindia seperti kejadian ENSO dan IOD. Identifikasi sistem pertanaman dalam skala ruang dan waktu khususnya tanaman padi telah dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) dengan telah tersusunnya Kalender Tanam baik secara potensial maupun eksisting. Namun demikian belum ada informasi peluang terjadinya penyimpangan curah hujan baik diakibatkan oleh perubahan suhu muka laut di Samudera pasifik Equatorial maupun Samudera Hindia terutama pada wilayah-wilayah yang terindikasi kuat dipengaruhi oleh kedua fenomena iklim global tersebut. Berbagai teknik analisis dan pemilihan model dalam menyusun prediksi sudah banyak dilakukan dengan pendekatan analisis keterkaitan waktu seperti regresi fourier, analisis fractal, atau pendekatan analisis hubungan curah hujan dengan anomali suhu muka laut Nino 3,4 (Dupe dan Tjasyono 1998; Boer 1999). Namun demikian penggunaan jaringan syaraf tiruan (neural network, NN) merupakan alternatif pilihan sebagai salah satu model untuk menentukan peluang penyimpanan curah hujan karena mempunyai keunggulan utama yaitu terletak pada kemampuannya merepresentasikan hubungan-hubungan liniear maupun nonlinear, terutama hubungan-hubungan nonlinear yang rumit. NN meniru kerja
99
otak manusia dalam proses penyelesaian dan penyimpanan memori sehingga dapat memprediksi curah hujan dengan pola acak kejadian hujan yang lebih baik. Dalam dua tahun terakhir metoda NN diaplikasikan dalam memprediksi curah hujan. Koesmaryono et al. (2007) menggunakan jaringan syaraf untuk memprediksi curah hujan 3 bulanan di Wilayah Subang-Karawang dan memperoleh hasil yang sangat baik dengan nilai cakupan untuk Subang dan Karawang masing-masing 0.88 dan 0.91. Model tersebut memiliki sensitivitas 0.010-0.348 dengan tingkat kesalahan maksimum 5.1 mm untuk Karawang dan sensitivitas 0.000-0.835 dengan tingkat kesalahan maksimum 7.9 mm untuk wilayah Subang. Namun demikian model tersebut masih belum mampu memprediksi nilai-nilai ekstrim curah hujan
yang terjadi sewaktu-waktu.
Pramudia (2008) memprediksi curah hujan di sentra produksi padi Pantura Banten, Pantura Jawa Barat, dan Kabupaten Garut
yang dilakukan dengan
menggunakan analisis jaringan syaraf propagasi terbalik memperoleh hasil ketepatan model antara 80-91 % dan tingkat kesalahan prediksi berkisar 4,1 hingga 7,2 mm/bulan. Model menggunakan data masukan nilai anomali ENSO dan SOI tiga bulan sebelumnya dan menghasilkan nilai prediksi yang dibatasi oleh nilai minimum dan nilai maksimum tertentu, sehingga hasil prediksinya terlihat tidak lentur karena terbatas pada kisaran tertentu. Selanjutnya Eksawati (2009) menggunakan analisis jaringan syaraf propagasi terbalik dengan input nilai anomali ENSO dan SOI empat bulan sebelumnya, menghasilkan model 2
terbaik dengan R sebesar 84% dan 77% pada dua stasiun yang berbeda. Pada penelitian ini dikembangkan alternatif model prediksi curah hujan dengan menggunakan metode analisis jaringan syaraf propagasi balik dengan memasukkan fenomena iklim ENSO dan IOD pada berbagai perbedaan (lag) dasarian untuk memprediksi curah hujan pada kalender tanam padi di wilayahwilayah yang terindikasi kuat dipengaruhi oleh kedua fenomena iklim global tersebut pada periode sepuluh harian (dasarian). 5.2.
Metodologi
Model prediksi curah hujan menggunakan Artificial Neural Network (ANN) dan potensi waktu tanam optimal untuk perencanaan tanam untuk lahan tadah hujan menggunakan WARM Ver 2 (Runtunuwu et al. 2007), dan lahan
100
irigasi menggunakan neraca air lahan sawah irigasi (Kartiwa 2009). Penelitian mengambil studi di wilayah yang dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan IOD yaitu di Indramayu pada wilayah monsunal serta di Pesisir Selatan pada wilayah Equatorial. Untuk pembanding dilakukan pula analisis di wilayah yang tidak terkena dampak baik di wilayah monsunal maupun di equatorial masing-masing di Cianjur dan Solok. 5.2.1. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Data curah hujan harian dari tiga stasiun di Indramayu masing-masing Anjatan, Krangkeng dan Kertasemaya, di Cianjur masing-masing di Warungkondang dan Ciranjang, dua stasiun Pesisir Selatan masing-masing Tarusan dan batang Kapas serta satu stasiun di Solok yaitu Sumani. Periode tahun 1990-2010. 2. Data nilai SST (Sea Surface Temperature) di wilayah Nino 3.4 periode tahun 1990-2010 dan prediksi ENSO tahun 2010/2011. 3. Data nilai SST (Sea Surface Temperature) dan DMI (Dipole Mode Index) Samudera Hindia periode tahun 1990-2010 dan prediksi IOD tahun 2010/2011. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat PC (personal computer) dengan
piranti lunak untuk pengolah kata dan pengolah data
(Microsoft Word, Microsoft Excel, dan Arc View). 5.2.2. Pengumpulan Data
Tahap awal penelitian adalah pengumpulan data yang dibutuhkan sebagai bahan penelitian di Indramayu, Cianjur, Solok dan Pesisir Selatan. Data yang dikumpulkan adalah data curah hujan harian dari semua stasiun curah hujan, peta informasi stasiun curah hujan dan klimatologi di wilayah penelitian. Pengumpulan data dilakukan secara langsung, yaitu dengan mendatangi beberapa lembaga/ instansi yang menyediakan data-data tersebut.
101
5.2.3. Persiapan Data
Data yang terkumpul kemudian dientri dalam bentuk data digital dengan format yang siap untuk dianalisis. Data kosong diduga dengan menggunakan interpolasi spasial menggunakan Arc View. 5.2.4. Penyusunan Model Prediksi Curah Hujan
Model prediksi dibangun untuk memprediksi curah hujan ke depan dari rata-rata normalnya yang disajikan curah hujan dasarian. Keluaran model (Y) merupakan nilai curah hujan pada waktu tiga dasarian ke depan (Y=CHt+3), sedangkan data masukan yang digunakan adalah nilai kode dasarian (X1=t), nilai curah hujan pada dasarian ini (X2=CHt), nilai curah hujan dasarian depan (X3=CHt+1) dan nilai curah hujan dua dasarian berikutnya (X4=CHt+2), nilai DMI pada dasaian ini (X5=DMIt) dan nilai Anomali Nino-3.4 pada dasarian ini (X6=AnoNino-3.4t) Untuk mendapatkan model terbaik dalam penyusunan model dilakukam coba-coba (trial and error) yang mengkombinasikan peubah-peubah X1, X2, X3, X4, X5,dan X6 dengan melakukan langkah-langkah training analisis jaringan syaraf untuk
menetapkan koefisien persamaan sebagai berikut: (1)
Inisialisasi:
Langkah ini meliputi (a) Normalisasi data input Xi dan nilai target tk kedalam kisaran [0 ... 1], dan (b) Penetapan nilai awal untuk semua pembobot wij untuk matriks X dan
vjk untuk matriks H, yaitu suatu matrik antara yang
disembunyikan.
Gambar 5.1
Skema jaringan recurrent neural network.
102
Simpul (neuron atau node) dalam model jaringan saraf adalah unsur-unsur atau satuan pengolahan yang terhubungkan satu sama lain dan membentuk suatu jaringan. Dimana hubungan antar simpul tersebut memiliki sebuah nilai tertentu yang disebut dengan bobot. (2)
Langkah Maju
Tahap untuk pendugaan t dan y ; mencakup (a) menentukan training set untuk data input Xi dan nilai target tk, (b) menghitung hj dan yk melalui persamaan berikut:
yk hj dimana:
1 1 e
v jk h j
1 e
1 wij xi
Σwijxi = w0j + w1j * X1 + w2j * X2 + w3j * X3 + w4j * X4 + w5j * X5 + w6j * X6 Yk = Xt+3
subskrip j akan merujuk pada urutan dalam matrik H. (3)
Penentuan nilai galat
Nlilai galat (e) ditentukan per tahun dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
E = p 0.5 ( tkp – ykp)2 dimana tkp = nilai target data ke-p dari training set node k, dan ykp = nilai dugaan data ke-p dari training set node k. (4)
Proses learning atau training set
Proses ini untuk menentukan nilai bobot vjk dan wij melalui iterasi. Target dari proses iterasi adalah menentukan nilai y sedekat mungkin dengan nilai t sehingga menghasilkan galat yang mendekati nilai nol. Proses dihentikan jika galat pada iterasi ke-(m) dengan iterasi ke-(m-1) berselisih 0,00001. 5.2.5. Validasi model prediksi curah hujan
Validasi model dilakukan untuk menggunakan model yang sudah tersusun pada tahap penyusunan model untuk memprediksi data hujan yang berbeda
103
dengan tahap penyusunan model kemudian dibandingkan dengan data aktualnya. Validasi model menggunakan data tahun 2005-2009. 5.2.6. Penentuan prediksi curah hujan
Setelah dilakukan validasi model, dan model yang tersusun dianggap memenuhi syarat untuk digunakan, selanjutnya model tersebut digunakan untuk memprediksi curah hujan Musim Tanam (MT)
2010/2011. Hasil penentuan
prediksi kemudian dibandingkan dengan curah hujan pada tahun normal, El Niño maupun IOD positif. Hasil tersebut untuk menentukan rencana waktu tanam pada musim tanam berikutnya. 5.3.
Hasil dan pembahasan model prediksi curah hujan.
Model prediksi curah hujan disusun berdasarkan pengembangan dari model prediksi yang telah disusun oleh Koesmaryono et al. (2007) dari prediksi bulanan menjadi dasarian dengan maksud untuk melihat prediksi curah hujan dari rata-rata normalnya selama tiga dasarian ke depan. Model menggunakan data series curah hujan, nilai Anomali SPL zona Nino3.4 dan nilai DMI. Model disusun dengan melakukan uji coba (trial and error) dengan menggunakan jumlah simpul dalam lapisan tersembunyi (H) mulai 8 sampai dengan 15 yang dikombinasikan dengan nilai bobot awal (W) antara 0,1-1,0. Penambahan simpul dilakukan sampai diperoleh nilai R2 yang terbesar atau nilai MSE yang terkecil dan perubahan nilai R2 relatif konstan. Satu kali iterasi menunjukkan satu kali proses penghitungan nilai prediksi. Penyusunan model dilakukan dengan mengulang proses iterasi tersebut. Nilai bobot awal ditetapkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pramudia (2008), sehingga diperoleh kisaran nilai bobot awal yang diharapkan mampu memberikan hasil terbaik yaitu dalam 4 taraf berbeda yaitu 0.25, 0.5, 0.75 dan 1.0. 5.3. 1 A.
Model prediksi di wilayah Monsunal. Training model
Hasil training di wilayah monsunal baik di Indramayu maupun Cianjur menggunakan model dengan jumlah simpul 15. Penambahan simpul cenderung
104
akan meningkatkan kualitas dan ketelitian model. Akan tetapi penambahan lapisan tersebut juga meningkatkan jumlah iterasi, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama. Jumlah tersebut menghasilkan model lebih baik dibandingkan dengan hasil iterasi menggunakan jumlah simpul yang lebih kecil. Hasil training menunjukkan perbedaan nilai MSE dan R2 pada wilayah yang terkena dampak (Indramayu) dan tidak terkena dampak (Cianjur). Nilai R2 di Indramayu yang yang diwakili Stasiun Anjatan, Krangkeng dan Kertasemaya berkisar antara 0.83 – 0.86 relatif lebih baik dibandingkan dengan di Cianjur yang diwakili Stasiun Warungkondang dan Ciranjang hanya mempunyai nilai R2 antara 0.51 – 0.52 (Tabel 5.1). Hal tersebut menunjukkan bahwa model dengan menggunakan input data ENSO maupun IOD di Indramayu semakin baik dan mampu menerangkan total variabilitas dengan proporsi tinggi. Hasil tersebut diperkuat dengan pola yang ditunjukkan pada Gambar 5.2 yang menunjukkan model yang lentur. Kelenturan model terlihat dengan jelas dibuktikan oleh nilai prediksi mampu mengikuti pola nilai aktual. Hampir semua nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Model yang disusun dengan memasukkan parameter curah hujan, nilai anomali SPL Nino3.4 dan DMI ternyata cukup mampu menggambarkan variabilitas curah hujan di Kabupaten Indramayu. Hal ini diperkuat dengan hasil pengamatan sebelumnya yang menunjukkan bahwa ENSO dan IOD berpengaruh kuat di sebagian besar Kabupaten Indramayu. Tabel 5.1 Jumlah Iterasi, Nilai MSE, dan R2 di beberapa stasiun hujan wilayah pola hujan Monsun. Jumlah Simpul
Nilai Bobot Awal
Jumlah Iterasi
MSE
R2 (%)
INDRAMAYU Anjatan Krangkeng
15 15
0.5 0.5
30.552 16.378
0.028 0.020
0.83 0.83
Kertasemaya
15
0.5
24.882
0.095
0.86
CIANJUR Warungkondang Ciranjang
15 15
0.25 0.75
11.950 10.520
0.303 0.227
0.52 0.51
Stasiun Hujan
Hasil yang berbeda diperoleh di Cianjur. Kelenturan model sebagian besar tidak mampu mengikuti nilai aktualnya (Gambar 5.3). Nilai tinggi dan rendah
105
tidak mampu digambarkan seluruhnya oleh model sehingga model tidak disarankan untuk digunakan dalam memprediksi curah hujan di wilayah tersebut.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.2
Hasil training di Stasiun (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya Kabupaten Indramayu.
106
(a)
(b) Gambar 5.3
B.
Hasil training di Stasiun (a) Warungkondang dan (b) Ciranjang Kabupaten Cianjur.
Validasi model
Validasi hanya dilakukan terhadap model terbaik hasil proses training dengan cara menggunakan data aktual yang dibandingkan dengan hasil prediksinya pada periode 2004-2009. Hasil validasi untuk Kabupaten Indramayu ditampilkan dalam Gambar 5.4. Dari gambar terlihat bahwa model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya.
107
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.4. Hasil validasi di Stasiun (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya Kabupaten Indramayu.
108
C.
Prediksi model
Analisis model prediksi pada wilayah curah hujan monsun hanya dilakukan di Indramayu karena berdasarkan hasil training pengembangan model prediksi tersebut tidak menunjukkan hasil yang baik bila dilakukan di Cianjur. Hal tersebut dapat difahami mengingat Kabupaten Cianjur tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD. Hasil analisis untuk kabupaten Indramayu yang diwakili oleh Stasiun Anjatan, Krangkeng dan Kertasemaya menunjukkan bahwa di wilayah tersebut saat memasuki periode September - November tahun 2010 diperkirakan curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya (Gambar 5.5). Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember 2010 – Februari 2011. Namun pada saat memasuki periode Maret 2011 – Mei 2011, curah hujan di Anjatan dan Krangkeng diperkirakan berada di bawah normalnya, tepatnya setelah memasuki Maret III. Dengan kondisi curah hujan tersebut di atas baik di Anjatan, Krangkeng maupun Kertasemaya diperkirakan indeks kecukupan air akan berada di atas batas kritis indeks saat memasuki Oktober II sehingga awal tanam padi lahan tadah hujan dapat dilakukan pada periode tersebut. Potensi masa tanam di Anjatan dan Kertasemaya relatif lebih panjang 3 sampai 4 dasarian dibandingkan dengan di Krangkeng (Gambar 5.6). Untuk lahan sawah irigasi memasuki September III/ Oktober I diperkirakan defisit ketersediaan air relatif rendah sampai dengan sedang sehingga awal tanam padi dapat dilakukan pada awal Oktober, lebih awal dibandingkan dengan lahan tadah hujan. Potensi waktu tanam pada lahan irigasi lebih panjang 3 sampai 5 dasarian dibandingkan dengan lahan tadah hujan (Gambar 5.7). Pada kondisi basah, potensi waktu tanam lebih cepat satu dasarian di lahan tadah hujan dan dua dasarian di lahan irigasi dibandingkan pada kondisi normal. Karena pada periode Maret – Mei 2011 diperkirakan curah hujan di bawah ratarata dan indeks kecukupan air untuk palawija maka disarankan rotasi tanam di lahan tadah hujan adalah Padi-Padi-Bera. Untuk lahan irigasi karena fluktuasi defisit ketersediaan air relatif rendah maka disarankan Padi-Padi-Palawija.
109
(a)
(b) )
(c) )
Gambar 5.5
Prediksi di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya.
110
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.6. Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya.
111
(a)
(b) )
(c) )
(c) )
Gambar 5.7. Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan irigasi di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya.
112
5.3.2
Model Prediksidi Wilayah Equatorial.
A.
Training model
Seperti halnya pada pola hujan monsun, hasil training di wilayah pola hujan Equatorial baik di Pesisisir Selatan maupun Solok menggunakan model dengan jumlah simpul 15. Hasil training menunjukkan perbedaan nilai MSE dan R2 pada wilayah yang terkena dampak (Pesisir Selatan) dan tidak terkena dampak (Solok). Nilai R2 di Pesisir Selatan yang yang diwakili Stasiun Tarusan dan Batang Kapas berkisar antara 0.71 – 0.76. Nilai tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan di Solok diwakili Stasiun Sumani yang hanya mempunyai nilai R2 antara 0.52 (Tabel 5.2). Model dengan menggunakan input data ENSO maupun IOD di Pesisir Selatan lebih mampu menerangkan total keragaman dengan proporsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Solok. Pola yang ditunjukkan Gambar 5.8 memperkuat presisi model yang dibuktikan dengan kelenturan pola prediksi yang mampu mengikuti pola nilai aktualnya. Sebagian besar nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Variabilitas curah hujan di Pesisir Selatan dapat digambarkan dengan baik dengan menggunakan model yang disusun dengan memasukkan parameter curah hujan, nilai anomali SPL Nino3.4 dan DMI. Berbeda dengan Pesisir Selatan, hasil analisis di Solok menunjukkan kelenturan model sebagian besar tidak mampu mengikuti nilai aktualnya (Gambar 5.8). Sebagian besar nilai tinggi dan rendah tidak mampu digambarkan oleh model sehingga model tidak disarankan untuk digunakan dalam memprediksi curah hujan di wilayah tersebut. Tabel 5.2.
Jumlah iterasi, Nilai MSE, dan R2 di beberapa stasiun hujan wilayah pola hujan Equatorial.
Stasiun Jumlah Hujan Simpul PESISIR SELATAN Tarusan 15 Batang Kapas 15 SOLOK Sumani
15
Nilai Bobot Awal
Jumlah Iterasi
MSE
R2 (%)
0.5 0.5
34.391 23.077
0.100 0.048
0.76 0.71
0.25
11.950
0.303
0.52
113
(a)
(b)
(c)
Gambar 5.8. Hasil training di Stasiun (a) Tarusan, (b) Sutera di Kabupaten Pesisir Selatan dan (c) Sumani di Kabupaten Solok
114
B.
Validasi model
Sama halnya dengan di wilayah pola hujan monsun, validasi hanya dilakukan terhadap model terbaik hasil proses training. Hasil validasi untuk Kabupaten Pesisir Selatan ditampilkan dalam Gambar 5.9. Dari gambar terlihat bahwa model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya. (a) )
(b) )
Gambar 5.9. Hasil validasi di Stasiun (a) Tarusan, dan (b) Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan.
115
C.
Prediksi model
Analisis model prediksi pada wilayah curah hujan Equatorial hanya dilakukan di Pesisir Selatan karena berdasarkan hasil training pengembangan model prediksi tersebut tidak menunjukkan hasil yang baik bila dilakukan di Solok. Hal tersebut didukung dengan hasil karakterisasi wilayah yang menunjukkan bahwa Kabupaten Solok tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD. Hasil analisis untuk kabupaten Pesisir Selatan yang diwakili oleh Stasiun Tarusan menunjukkan bahwa di wilayah tersebut saat memasuki
periode
September - November tahun 2010 diperkirakan curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Maret 2011 – Mei 2011. Curah hujan di Batang Kapas untuk periode September – November berada di bawah rata-rata normalnya saat memasuki September II/III, namun tidak berlangsung lama karena memasuki Oktober I kembali berada di atas rata-rata normalnya hingga Akhir November. Pada periode Desember – Februari, kondisi di bawah normal rata-ratanya terjadi saat memasuki Februari I/II. Pada periode Maret- Mei, curah hujan pada umumnya berada dalam kondisi normal kecuali pada Maret II dan April III, curah hujan di bawah normal rata-ratanya (Gambar 5.10) Dengan kondisi curah hujan tersebut di atas baik di Tarusan maupun di Batang Kapas, diperkirakan indeks kecukupan air akan berada di atas batas kritis indeks saat memasuki September III. Kondisi tersebut tidak menunjukan pergeseran potensi tanam pada umumnya sehingga awal tanam padi lahan tadah hujan dapat dilakukan pada Akhir September sampai awal Oktober dan berlangsung hingga Maret I/II (Gambar 5.11). Untuk lahan sawah irigasi memasuki Agustus III/ September I diperkirakan defisit ketersediaan air relatif rendah sampai dengan sedang sehingga awal tanam padi dapat dilakukan pada awal September, lebih awal 1-2 dasarian dibandingkan dengan lahan tadah hujan. (Gambar 5.12). Karena pada periode Maret – Mei 2011 diperkirakan curah hujan di aratarata dan indeks kecukupan air lebih dari 0.65 maka disarankan rotasi tanam di lahan tadah hujan maupun irigasi adalah Padi-Padi-Palawija.
116
(a) )
(b) )
Gambar 5.10.
Prediksi di (a) Tarusan, dan (b) Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan.
(a)
Gambar 5.11.
(b)
Potensi tanam berdasarkan Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di (a) Tarusan, (b) dan Batang Kapas kabupaten Pesisir Selatan
117
(a)
(b)
Gambar 5.12.
5.4.
Potensi tanam berdasarkan defisit ketersediaan air pada lahan tadah hujan di (a) Tarusan, (b) dan Batang Kapas kabupaten Pesisir Selatan.
Simpulan model prediksi curah hujan.
Hasil training di Indramayu mempunyai nilai R2 berkisar antara 0.83 0.86 dan di Cianjur berkisar antara 0.51 – 0.52. Karena nilai di Cianjur rendah maka analisis prediksi curah hujan hanya dilakukan di Indramayu. Hasil validasi di Indramayu menunjukkan model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya. Periode September - November tahun 2010 curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember 2010 – Februari 2011. Saat memasuki periode Maret 2011 – Mei 2011, curah hujan berada di bawah normalnya setelah memasuki Maret III.
118
Onset di Indramayu pada Oktober II 2010 untuk lahan sawah tadah hujan dan September III/ Oktober I 2010 untuk lahan sawah irigasi. Hasil training di Pesisir Selatan mempunyai nilai R2 berkisar antara 0.71 0.76 dan di Solok 0.52. Karena nilai di Solok rendah maka analisis prediksi curah hujan hanya dilakukan di Pesisir Selatan. Hasil validasi di Pesisir Selatan menunjukkan kelenturan pola prediksi yang mampu mengikuti pola nilai aktualnya. Sebagian besar nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Periode September - November tahun 2010 curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember 2010 – Mei 2011 di Tarusan. Di Batang Kapas relatif berfluktuasi saat memasuki Februari I sampai dengan Maret II. Onset di Pesisir Selatan pada September III/ Oktober I 2010 untuk lahan sawah tadah hujan dan September I/ September II 2010 untuk lahan sawah irigasi.
119
VI. DAYA DUKUNG SUMBERDAYA AIR DAN ADAPTASI PETANI PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD 6.1.
Pendahuluan
Perilaku iklim di Indonesia tidak selalu berada dalam kondisi normalnya. Pada suatu saat terjadi penurunan curah hujan yang mengakibatkan terjadinya kekeringan dan pada saat yang lain mengakibatkan tingginya curah hujan sehingga dapat menimbulkan banjir (Allan 2000). Kondisi tersebut sering dipengaruhi oleh fenomena yang terjadi di Samudera Pasifik Tropik, berupa gangguan yang terjadi pada sirkulasi Walker, dikenal sebagai fenomena ENSO (El-Nino-Southern Oscillation) (Naylor et al. 2001). Selain El Niño di Samudera Pasifik, terdapat pula fenomena interaksi lautan-atmosfer lainnya yang diduga menyebabkan peristiwa kekeringan di Indonesia yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole Mode (IOD) (Saji et al. 1999). Fluktuasi, frekuensi dan intensitas anomali iklim yang semakin meningkat, sangat nyata pengaruhnya terhadap produksi padi, sebagai akibat dari penurunan luas sawah, luas panen, dan hasil pada saat terjadi anomali iklim. Anomali iklim berdampak juga terhadap perubahan pola tanam, baik di lahan sawah irigasi maupun lahan tadah hujan (Las et al. 2007). Pada tataran praktis, petani telah lama memiliki kemampuan adaptasi tersendiri yang dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim dan keterbatasan sumberdaya air sebagai pendukung utama dalam menetapkan waktu dan pola tanam yang akan diusahakan. Akan tetapi pada kasus tertentu masih terjadi kesenjangan antara kondisi iklim, sumberdaya air dan praktek budidaya pertanian yang menjadi ciri kondisi spesifik lahan usaha tani dengan luasan tertentu. Pada satu daerah, petani mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim dan keterbatasan sumberdaya air secara optimal tetapi belum tentu berhasil untuk daerah dan waktu yang lain. Oleh karena itu perlu kajian sumberdaya air dan adaptasi petani terutama pada wilayah – wilayah yang terindikasi kuat terkena dampak anomali iklim sehingga akan terbangun informasi yang terpadu pada akhirnya dapat dijadikan masukan dalam upaya strategi adaptasi menghadapi variabilitas iklim yang akhir-akhir ini sering mengalami ketidakpastian.
120
6.2.
Metodologi
6.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil kasus di kabupaten yang terkena dampak dan yang tidak terkena dampak anomali ENSO dan IOD baik di wilayah monsunal (Jawa Barat) maupun di wilayah equatorial (Sumatera Barat). 6.2.2. Metode Penelitian A.
Pengumpulan Data
Jenis dan Sumber Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis data yaitu data sekunder dan primer. Data sekunder dapat diperoleh dari beberapa literatur penting seperti statistik, laporan hasil penelitian, jurnal dan sebagainya yang menunjang kelengkapan data penelitian. Data primer diperoleh dari fenomena yang terjadi di lapang, baik yang dikumpulkan dari panduan kuesioner yang tersedia dan pengamatan langsung yang mencerminkan kondisi spesifik lokasi penelitian. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode literatur survey terhadap beberapa data statistik yang relevan dengan studi dan sumber informasi lain yang berkaitan dengan penelitian. Teknik wawancara yang digunakan adalah dengan pengambilan sample (sampling). Teknik ini diperlukan agar sample dapat merepresentasikan atau mewakili populasi, sehingga memperkecil bias (perbedaan) yang diperoleh sample yang diambil dari populasi. Responden dalam penelitian ini adalah petani/ketua kelompok tani sebanyak 5 orang pada setiap tipe lahan irigasi. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara purposive sampling. Responden dipilih dengan ketentuan petani/petani penggarap sawah minimal 10 tahun terdiri dari 2 lokasi kecamatan terpilih di Jawa Barat yaitu Indramayu dan Cianjur dan 2 lokasi di Sumatera Barat yaitu Solok dan Pesisir Selatan. Selain itu untuk menjaring informasi lebih akurat dilakukan teknik wawancara terstruktur yang mendalam (in-depth interview) dengan panduan kuisioner.
121
Beberapa tahap dalam pengumpulan data: Tahap 1. Identifikasi karakteristik target kelompok petani Tahap 2. Mendesain kuesioner Tahap 3. Tabulasi data deskriptif hasil survey Tahap 4. Menganalisis data hasil survey Tahap 5. Pelaporan hasil survey. B.
Pengamatan lapang
Daya Dukung Sumberdaya Iklim dan Air Spesifik Lokasi Berdasarkan Tingkat Sensitivitas Daerah Terkena Dampak ENSO dan IOD
Daya dukung sumberdaya iklim dan air dinilai berdasarkan nilai intrinsik (intrinsic value) yaitu nilai yang tidak diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Daya dukung tersebut dianalisis berdasarkan peta sensitivitas terhadap anomali iklim (terpengaruh dan tidak terpengaruh) dengan melakukan inventarisasi sumberdaya iklim dan air yang dominan mempengaruhi kalender tanam dan menjadi ciri khusus setiap wilayah. Daya dukung sumberdaya iklim dan air didasarkan pada dua pendekatan, yaitu kondisi sumberdaya iklim dan air serta pengaruhnya terhadap kalender tanam. Sumberdaya iklim yang dimaksud adalah jumlah, pola, dan distribusi curah hujan dasarian, sedangkan sumberdaya air adalah (a) aksesibilitas terhadap sumber air dan (b) tingkat ketersediaan air. Aksesibilitas terhadap sumberdaya air dibagi berdasarkan : (1) Jarak dari lahan ke sumber air (2) Sarana yang tersedia untuk memperoleh air Tingkat ketersediaan air dibagi berdasarkan: (1) Jenis sumber air (sungai, air tanah dan irigasi) (2) Kuantitas sumber air Adaptasi Petani untuk Kalender Tanam Padi Berdasarkan Tingkat Sensitivitas Daerah Terkena Dampak ENSO dan IOD
Para petani kita secara turun temurun melakukan berbagai macam cara untuk beradaptasi dengan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya. Secara tradisional dengan teknologi sederhana ataupun dengan menggunakan teknologi
122
modern. Semua tindakan adaptasi yang dilakukan petani akan diinventarisir untuk melengkapi informasi kalender tanam pada masing-masing wilayah. Inventarisasi data adaptasi petani dibatasi pada tindakan petani dalam mengelola sumberdaya iklim dan air. Inventarisasi ini dilakukan pada setiap tingkat sensitivitas dampak ENSO-IOD di Sumatera Barat dan Jawa Barat, melalui hasil wawancara dengan petani ataupun dengan pengamatan langsung di lapangan. Sampai saat ini tindakan petani di dalam mengatasi kekurangan air misalnya, adalah dengan membuat sumur pompa, melakukan tindakan irigasi, atau memompa air dari sungai. Penentuan lokasi disesuaikan dengan lokasi tahap sebelumnya, agar diperoleh kombinasi yang tepat antara faktor sumberdaya iklim, air dan teknologi. Selain masalah teknologi pengelolaan sumberdaya air, juga dikaji bagaimana petani menentukan kalender tanam setiap musim tanam. C.
Desk work
Penyusunan Kalender Tanam Adaptif
Data hasil sumberdaya iklim dan air di atas selanjutnya akan diemplementasikan untuk membuat kalender tanam aplikatif terhadap 4 lokasi terpilih (2 di Jawa Barat dan 2 di Sumatera Barat). Peningkatan utama terhadap kalender tanam yang dibuat Badan Litbang Pertanian adalah terutama dalam hal analisis yang semakin detail, sawah telah dibedakan antara sawah tadah hujan dan sawah irigasi, teknologi yang diterapkan petani di dalam mengelola masalah air dan iklim, serta tingkat analisis dan informasi sampai pada tingkat pola lahan irigasi. 6.3.
Hasil dan Pembahasan Adaptasi Petani
Maju mundurnya waktu tanam dan panjang pendeknya rentang waktu serta penetapan pola tanam sangat berkaitan erat dengan ketersediaan air baik berasal dari hujan maupun irigasi suplementer serta sistem pengairan yang diterapkan petani. Untuk mengetahui karakteristik daya dukung sumberdaya air yang ada di wilayah penelitian dilakukan analisis dan wawancara dengan petani.
123
6.3.1. Sumber Air Lahan Sawah di Wilayah Monsunal
Berdasarkan hasil wawancara, ketersediaan air di Indramayu pada saat tahun-tahun normal relatif aman baik pada lahan irigasi maupun tadah hujan. Seluruh responden baik petani yang menggunakan irigasi teknis maupun tadah hujan masih memperoleh pasokan irigasi suplementer meskipun pada lahan tadah hujan di Musim Tanam (MT) II, sekitar 75% responden melakukan antisipasi dengan menggunakan mesin pompa untuk menaikkan air sungai ke lahan sawah (Tabel 6.1). Keragaman sumber irigasi terjadi saat tahun-tahun kering. Pada umumnya kekeringan tidak berpengaruh pada lahan irigasi teknis golongan 1 dan 2. Kekeringan mulai berpengaruh pada lahan petani irigasi teknis golongan 3, sekitar 83% responden masih menggunakan sarana irigasi sebagai pasokan airnya sisanya sudah mengalami kekeringan. Sekitar 33% responden membuat sumur pompa untuk mengairi lahannya dan 17% responden menggunakan pompa untuk mengambil air di sungai. Di lahan tadah hujan pada Musim Tanam Pertama (MT I), sebagian responden (43%) menggunakan pompa sungai untuk irigasinya dan pada MT II seluruh responden menggunakan pompa sungai untuk pasokan irigasinya. Pada tahun kering secara umum petani di Cianjur yang berada di lahan irigasi teknis 1 dan 2 tidak mengalami masalah terutama pada MT I, tetapi pada MT II petani yang berada baik pada lahan irigasi teknis 3, maupun tadah hujan mulai menggunakan air sungai sebagai pasokan irigasinya. Perubahan tersebut dapat dilihat dari sekitar 17% responden petani lahan irigasi teknis 3 mulai menggunakan sungai sebagai pasokan irigasinya, bahkan pada lahan tadah hujan seperti halnya di Indramayu, seluruh petani menggunakan air sungai (Tabel 6.2). Perbedaan penggunaan sumber air di setiap musim tanam antara Cianjur dan Indramayu yang terlihat jelas adalah pada lahan tadah hujan. Pada tahun normal MT II petani yang berada pada lahan tadah hujan di Indramayu menggunakan pompa sungai sebagai alternatif irigasinya sedangkan petani di Cianjur hanya mengandalkan hujan sebagai pasokan irigasinya. Perbedaan lebih terlihat jelas pada tahun kering, kekeringan yang terjadi lebih dirasakan oleh petani di daerah Indramayu dibandingkan daerah Cianjur. Untuk mengatasi
124
kekeringan, petani di Indramayu lebih beragam menggunakan alternatif irigasinya yaitu sekitar 17% petani pada MT I menggunakan pompa sungai dan 33% petani pada MT II membuat sumur pompa. Dengan demikian petani di Indramayu harus mengeluarkan biaya tambahan penggunaan pompa untuk mengatasi kekeringan yang terjadi. Tabel 6.1
Respon petani terhadap penggunaan sumber air untuk tanaman padi pada tahun normal dan tahun kering di Kabupaten Indramayu Musim Tanam I dan Musim Tanam II Tahun Normal Tahun Kering Musim Musim Musim Musim Tanam I Tanam II Tanam I Tanam II …………………%..............................
Tipe Irigasi
Sumber Air
Teknis 1 dan 2
Irigasi Sungai Sumur Pompa
100 0 0
100 0 0
100 0 0
58 9 33
Teknis 3
Irigasi Sungai Sumur Pompa
100 0 0
100 0 0
83 17 0
50 17 33
Tadah Hujan
Hujan Pompa Sungai
100 0
25 75
57 43
0 100
Tabel 6.2
Respon petani terhadap penggunaan sumber air untuk tanaman padi pada tahun normal dan tahun kering di Kabupaten Cianjur Musim Tanam I dan Musim Tanam II
Tipe Irigasi
Sumber Air
Tahun Normal Tahun Kering Musim Musim Musim Musim Tanam I Tanam II Tanam I Tanam II …………………….%.....................................
Teknis 1 & 2
Irigasi Sungai Sumur Pompa
100 0 0
100 0 0
100 0 0
100 0 0
Teknis 3
Irigasi Sungai Sumur Pompa
100 0 0
100 0 0
100 0 0
83 17 0
Tadah Hujan
Hujan Sungai
100 0
100 0
60 40
0 100
125
Sumber air yang digunakan oleh petani untuk mengairi lahannya tidak selalu sama, baik pada setiap musim tanam maupun pada tahun normal dan tahun kering. Ketersedian air pada saat tahun kering sangat berbeda apabila dibandingkan pada saat tahun normal. Tahun kering sendiri sering disebabkan oleh adanya anomali iklim yang terjadi pada daerah tersebut, dalam hal ini di Indramayu tahun kering disebabkan adanya fenomena El Niño dan IOD positif. Petani melakukan perubahan penggunaan sumber air pada tahun kering sebagai bentuk adaptasi untuk memenuhi kebutuhan air lahan pertaniannya dan sekaligus menghindari terjadinya kerusakan akibat kekeringan. 6.3.2. Sumber Air di Lahan Sawah Wilayah Equatorial
Di wilayah equatorial, dipilih Solok dan Pesisir Selatan masing-masing untuk wilayah yang tidak terpengaruh dan terpengaruh oleh ENSO dan IOD. Pada lahan irigasi teknis, di kedua wilayah tersebut perbedaan tahun kering dan tahun normal tidak tergambar dengan jelas sehingga sumberdaya air yang tersedia hampir merata baik pada tahun normal maupun kering. Pada tahun normal perbedaan terjadi pada saat MT II di lahan irigasi non teknis. Sekitar 33% responden di Pesisir Selatan sudah mulai mengandalkan hujan sebagai pasokan irigasinya karena sebagian besar saluran irigasi mulai mengering saat memasuki MT II. Pada tahun kering MT I di Solok, petani pada lahan irigasi teknis masih dapat menggunakan irigasinya sebagai sumber air utama, pasokan irigasi berkurang baik pada lahan irigasi semi teknis maupun non teknis sehingga banyak yang menggunakan sumber air alternatif. Hal tersebut ditandai dengan respon petani yang menggunakan mata air, sungai, dan menunggu hujan masing-masing 40%, 10% dan 20% sebagai pengganti air dari saluran irigasi dan penggunaan sungai dan mata air semakin meningkat pada MT II di lahan tadah hujan (Tabel 6.3). Memasuki MT II pada tahun normal, 33% petani dengan tipe lahan tadah hujan mulai mengalami kesulitan dalam memperoleh air. Sehingga petani memanfaatkan sungai sebagai sumber air alternatif. Tahun kering pada MT II tidak terlalu terlihat perbedaan penggunaan sumber air pada petani yang memiliki lahan irigasi dengan MT I di tahun kering. Sumber air alternatif lain yang banyak
126
digunakan oleh para petani tadah hujan adalah sungai dengan bantuan pompa yaitu 45% dan mata air 22% petani. Pada MT II ini, tidak semua petani tadah hujan yang melakukan penanaman. Ada sekitar 10% petani tadah hujan yang hanya melakukan sekali tanam setiap tahunnya. MT I di Pesisir Selatan pada tahun kering sudah terlihat jelas perbedaan penggunaan sumber airnya terutama untuk petani irigasi semi teknis, non teknis dan tadah hujan. Seluruh petani dengan tipe lahan tersebut seluruhnya tidak menggunakan irigasinya sebagai sumber pengairan lahan pada MT I di tahun kering. 75% petani irigasi semi teknis mengandalkan hujan dan 25% petani mengandalkan sungai sebagai sumber air lahannya. Petani pada tipe lahan irigasi non teknis, seluruh petani mengandalakn hujan sebagai sumber air utamanya pada tahun kering (Tabel 6.4). Pada MT II di tahun nomal tidak terlalu terlihat perubahan penggunaan sumber air untuk pengairan lahan. Namun 33% petani dengan tipe lahan irigasi non teknis mengandalkan hujan sebagai sumber air lahannya. Tahun kering di MT II tidak begitu berbeda dengan MT I. Banyaknya petani yang mengandalkan hujan mengindikasikan bahwa kurangnya sumber air alternatif yang dapat digunakan oleh para petani di Pesisir Selatan. Tabel 6.3
Respon petani terhadap penggunaan sumber air untuk tanaman padi pada tahun normal dan tahun kering di Kabupaten Solok Musim Tanam I dan Musim Tanam II
Tipe Irigasi
Sumber Air
Tahun Normal Tahun Kering Musim Musim Musim Musim Tanam I Tanam II Tanam I Tanam II ……………………%....................................
Teknis
Irigasi
100
100
100
100
Semi Teknis
Irigasi Sungai Hujan
100 0 0
100 0 0
80 10 10
80 10 10
Non Teknis
Irigasi Hujan Mata Air
100 0 0
100 0 0
40 20 40
40 20 40
Tadah Hujan
Hujan Sungai Mata Air
100 0 0
100 0 0
60 40 0
33 45 22
127
Perbedaan penggunaan sumber air untuk pengairan lahan yang paling terlihat di kedua kabupaten adalah petani pada tipe lahan irigasi semi teknis dan tadah hujan. Pada tahun kering di MT I untuk daerah Solok, 80% petani masih menggunakan irigasi sebagai sumber air lahannya sedangkan petani di daerah Pesisir Selatan dengan tipe lahan yang sama seluruhnya sudah tidak mengandalkan irigasi lagi sebagai sumber air lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan air pada musim kering tidak dapat dipenuhi melalui irigasi di Pesisir Selatan sedangkan di Solok irigasinya masih mampu untuk memenuhi kebutuhan air lahan petani pada musim kering. Perbedaan penggunaan sumber air pada petani tadah hujan juga terjadi di kedua kabupaten tersebut. Pada tahun kering petani di Pesisir Selatan sepenuhnya mengandalkan hujan sedangkan petani Solok, 40% petani mengandalkan sungai sebagai sumber air alternatif. Hal ini dapat diartikan bahwa petani di Solok memiliki sumber air lainnya yang dapat digunakan untuk mengairi lahan sedangkan petani di Pesisir Selatan hanya mengandalkan hujan. Pada lahan irigasi teknis petani di Pesisir Selatan tidak mengalami kendala dalam memperoleh pasokan irigasi meskipun pada tahun kering. Pasokan berkurang saat terjadi kekeringan pada lahan dengan tipe lahan irigasi semi teknis. Sebanyak 25% responden melakukan antisipasi kekeringan dengan menggunakan pompa dari sungai sedangkan petani yang letak lahannya relatif jauh dari sungai hanya mengandalkan hujan. Untuk lahan dengan irigasi non teknis dan tadah hujan, petani hanya mengandalkan hujan sehingga saat terjadi kekeringan lahan ditanami palawija atau sayuran bahkan diberakan (Tabel 6.4).
128
Tabel 6.4
Respon petani terhadap penggunaan sumber air untuk tanaman padi pada tahun normal dan tahun kering di Kabupaten Pesisir Selatan Musim Tanam I dan Musim Tanam II
Tipe Irigasi
Sumber Air
Tahun Normal Tahun Kering Musim Musim Musim Musim Tanam I Tanam II Tanam I Tanam II …………………………..%......................................
Teknis
Irigasi
100
100
100
100
Semi Teknis
Irigasi Sungai Hujan
100 0 0
100 0 0
0 25 75
0 25 75
Non Teknis
Irigasi Hujan
100 0
67 33
0 100
0 100
Tadah Hujan
Hujan
100
100
100
100
6.3.3. Adaptasi waktu tanam padi di Wilayah Monsunal
Untuk memperoleh gambaran onset di wilayah monsunal terkena dampak seperti di Indramayu dilakukan wawancara di lima kecamatan antara lain di Anjatan, Bongas, Kertasemaya, Sukagumiwang, dan Krangkeng. Onset dimulai antara Oktober I/II sampai dengan Desember II/III. Sebanyak 50% responden di lahan irigasi teknis menanam pada Oktober I/II sisanya menanam pada November I sampai dengan Desember II. Namun pada lahan irigasi teknis golongan 3 sebagian besar responden (50%) melakukan penanaman pada Oktober III/November I dan sebagian petani lainnya menanam sampai dengan Desember II.
Pada lahan tadah hujan 57% responden melakukan penanaman pada
November II/III dan sisanya sebanyak 43% menanam pada Oktober III/November I (Gambar 6.1). Untuk mengetahui gambaran waktu dan masa tanam di wilayah monsunal yang tidak terkena dampak anomali iklim yaitu di Kabupaten Cianjur dilakukan wawancara di empat kecamatan antara lain di Ciranjang, Warungkondang, Campaka dan Karangtengah. Waktu tanam di kabupaten Cianjur pada lahan irigasi teknis 1 dan 2 pada September III/Oktober I sebanyak 50% petani menanam pada periode tersebut dan 50% lainnya menanam pada November I/II. Petani pada lahan irigasi teknis 3 serempak menanam pada Oktober II/III
129
sedangkan petani pada lahan tadah hujan sekitar 60% melakukan penanaman pada November I/II selebihnya menanam pada Oktober II/III. Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa baik petani di Indramayu maupun di Cianjur masih belum menanam dengan waktu tanam yang serempak. (Gambar 6.2).
Gambar 6.1 Respon petani terhadap onset padi di wilayah monsunal terkena dampak anomali iklim (Indramayu).
Gambar 6.2 Respon petani terhadap onset padi di wilayah monsunal tidak terkena dampak anomali iklim (Cianjur) Perbedaan rotasi tanam yang dilakukan oleh petani di Indramayu sangat tergantung pada tipe lahan irigasi, terutama irigasi teknis dan non irigasi (tadah hujan). Pada lahan dengan tipe lahan irigasi, sekitar 33% dari seluruh responden dengan tipe lahan rigasi teknis 1 dan 2 melakukan tiga kali tanam yaitu padi-padipadi demikian pula pada irigasi teknis 3, sebanyak 58% responden menanam dengan pola yang sama. Pada lahan dengan tipe lahan tadah hujan kebanyakan
130
hanya melakukan dua kali tanam setiap tahunnya yaitu padi-padi-bera sebanyak 64%. Perbedaan ketersediaan air di kedua daerah ini terlihat melalui rotasi tanam yang jauh berbeda antara kedua daerah tersebut. Perbedaan ini terlihat jelas pada lahan tadah hujan, pola tanam di daerah Indramayu didominasi oleh dua kali tanam yaitu padi-padi, sedangkan di daerah Cianjur didominasi oleh tiga kali tanam yaitu padi-padi-palawija (Tabel 6.5). Daerah Cianjur lebih dipengaruhi oleh iklim lokal karena letak wilayah yang dekat dengan pegunungan sehingga tidak terlalu terlihat jelas perbedaan pola tanama antara tipe lahan irigasi teknis dan tadah hujan dengan curah hujan terjadi hampir terjadi setiap tahun dan sumber air yang cukup banyak melalui aliran sungai maupun mata air. Tabel 6.5 Respon petani terhadap penyesuaian rotasi tanam pada tahun normal dan tahun kering di wilayah monsunal Tahun Normal Tipe Irigasi
padipadipadi
INDRAMAYU
Tahun Kering
padipadipadipadipadipadipadipadipadipadipadi palawija padi palawija palawija padi palawija ……………………………………%............................................................
padi
Teknis 1 dan 2
33
58
9
0
13
27
30
30
0
Teknis 3
17
50
33
0
7
12
22
42
17
Tadah Hujan
0
0
64
36
0
0
0
13
87
0
100
0
0
20
80
0
0
0
Teknis 3
0
100
0
0
20
80
0
0
0
Tadah Hujan
0
60
20
20
0
60
0
40
0
CIANJUR Teknis 1 dan 2
Perilaku petani di daerah Indramayu dan Cianjur dalam beradaptasi disaat tahun kering disajikan pada tabel 6.6. Sebagian besar petani berusaha memenuhi kebutuhan air lahan pertaniannya dengan cara mencari sumber air yang lain atau memundurkan waktu tanam. Sebagian besar petani di Indramayu atau sekitar 75 – 83% responden pada lahan irigasi teknis baik pada irigasi golongan 1, 2 dan 3 melakukan antisipasi kekeringan dengan memundurkan waktu tanam rata-rata sekitar 2 minggu, hanya sekitar 25% petani tidak melakukan perubahan waktu tanam karena air relatif tersedia. Petani dengan lahan irigasi teknis golongan 1 dan 2 tidak berusaha
131
mencari air dalam mengantisipasi waktu tanam, mereka lebih memilih memundurkan waktu tanamnya rata-rata sekitar 2 minggu menunggu suplai irigasi.
Sebagian besar (64%) petani pada lahan tadah hujan lebih memilih
mencari air sedangkan sisanya (36%) lebih memilih untuk memundurkan waktu tanam menunggu hujan meskipun lebih dari 4 minggu. Lebih dari 80% Petani di Cianjur baik pada lahan irigasi maupun pada lahan tadah hujan saat menghadapi kekeringan mencari air dengan memompa air dari sungai. Hanya sebagian kecil (17 – 20%) petani tetap menanam pada lahan irigasi teknis dan hanya 20% petani lahan tadah hujan yang memundurkan waktu tanamnya. Tabel 6.6 Tipe Irigasi
Respon Petani terhadap kekeringan di Indramayu dan Cianjur Indramayu Cianjur Mundur Mundur Mundur Tetap Mencari Tetap Mencari 2 >4 2 menanam air menanam air minggu minggu minggu .......................................................................% ..........................................................
Mundur >4 minggu
Teknis 1 dan 2
25
0
75
0
17
83
0
0
Teknis 3
0
17
83
0
20
80
0
0
Tadah Hujan
0
64
0
36
0
80
20
0
Akibat terjadinya kekeringan yang tidak dapat dihindari, petani sendiri melakukan tindakan pencegahan baik dengan memundurkan jadual tanam atau tindakan lain yang dapat mengurangi kerusakan akibat kekeringan. Perbedaan respon petani di Indramayu dan Cianjur disebabkan kondisi iklim dan ketersediaan air yang cukup berbeda. Responden yang berada di Cianjur lebih memilih untuk mencari sumber air lain dibanding memundurkan jadual tanam di saat terjadi kekeringan. Hal ini dilakukan oleh seluruh responden di Cianjur baik pada lahan irigasi maupun lahan tadah hujan. Namun ada juga beberapa responden yang memundurkan jadual tanam sekitar 2 minggu dari yang sudah ditentukan karena letak lahan yang cukup jauh dari sumber air. Berbeda dengan Cianjur, responden dengan tipe lahan lahan irigasi di Indramayu lebih memilih untuk memundurkan jadual tanam dibanding mencari air. Responden dengan lahan irigasi teknis 1 di Indramayu lebih memilih untuk memundurkan jadual tanam sekitar 2 minggu. Responden dengan lahan irigasi teknis 3 juga melakukan hal yang serupa dengan yang dilakukan oleh para petani
132
dengan tipe lahan lahan irigasi teknis 1. Pemunduran jadual tanam ini disebabkan petani takut mengalami kerugian akibat kerusakan lahan dan petani juga tidak mau mengeluarkan biaya tambahan untuk menyewa pompa dan menggunakan air sungai. Tindakan petani ini terlihat jelas pada MT II tahun kering, sangat sedikit petani yang menggunakan pompa sungai sebagai alternatif sumber air lainnya. Untuk wilayah tadah hujan, respon petani sangat terlihat perbedaannya dibandingkan dengan respon petani pada lahan irigasi. Petani tadah hujan lebih memilih untuk mencari air dimana responden kebanyakan yang melakukan 2 kali tanam. Hal ini terlihat juga melalui sumber air yang sering mereka gunakan di musim kering yaitu pompa sungai, petani mau untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk menggunakan pompa. Petani tadah hujan yang memundurkan jadual tanam hingga satu bulan adalah petani yang melakukan hanya sekali tanam, sehingga para petani menunggu hujan untuk mulai menanam lagi. 6.3.4. Adaptasi Waktu Tanam Padi di Wilayah Equatorial
Jadual tanam di Solok dan Pesisir Selatan yang dilakukan oleh petani cukup bervariasi (Gambar 6.3 dan 6.4). Sebaran awal tanam yang cukup bervariasi tersebut dapat dilihat pada petani tadah hujan, ada petani yang menanam pada awal Juni namun ada juga yang menanam pada awal Januari. Petani daerah Solok melakukan penanaman lebih cepat bila dibandingkan dengan petani di daerah Pesisir Selatan. Petani pada lahan irigasi teknis memulai tanam pada bulan Agustus hingga September, sedangkan petani di Pesisir Selatan baru mulai tanam pada bulan Desember dasarian ketiga. Begitu juga dengan petani dengan sistem irigasi yang lain di daerah Solok lebih dulu melakukan penanaman dibanding daerah Pesisir Selatan. Perbedaan waktu tanam di kedua daerah tersebut sekitar dua hingga tiga dasarian pada setiap tipe lahan irigasi lahan.
133
Gambar 6.3 Respon petani terhadap onset padi di wilayah monsunal terkena dampak anomali iklim (Pesisir Selatan)
Gambar 6.4 Respon petani terhadap onset padi di wilayah monsunal tidak terkena dampak anomali iklim (Solok)
134
Hasil analisis secara global menunjukkan bahwa di Solok perbedaan pola tanam yang dilakukan oleh para petani sangat tergantung pada tipe lahan irigasi, terutama irigasi teknis dan non irigasi (tadah hujan). Pada lahan dengan tipe lahan irigasi, sekitar 50% dari seluruh responden dengan tipe lahan irigasi teknis dan semi teknis melakukan tiga kali tanam yaitu padi-padi-padi demikian pula pada irigasi non teknis sebanyak 40% responden menanam dengan pola yang sama. Pada lahan dengan tipe lahan tadah hujan kebanyakan hanya melakukan dua kali tanam
setiap
tahunnya
yaitu
padi-padi-bera
sebesar
60%
dan
padi-
palawija/sayuran-bera sebanyak 40%. Seluruh responden di Solok menyatakan bahwa lahan sawah mereka tidak mengalami kekeringan sehingga tidak terjadi perubahan rotasi tanam yang dilakukan oleh petani. Tidak seperti di Solok, petani di Pesisir Selatan lebih memilih menanam padi-padi-palawija dan padi-padi-bera. Hanya 22% petani yang berada pada lahan irigasi teknis yang menanam padi sepanjang tahun. Petani yang berada pada irigasi semi teknis sebagian besar (80%) menggunakan rotasi tanam padi-padipalawija, petani yang berada pada irigasi non teknis sebagian besar (80%) menggunakan rotasi padi-padi-bera. Untuk petani di lahan tadah hujan sebagian besar (60%) menggunakan rotasi tanam padi-palawija-bera sedangkan petani lainnya (30%) hanya sekali tanam padi saja. Rotasi tanam pada tahun kering di Pesisir Selatan juga tidak banyak berubah, hanya saja tdak terdapat petani yang menanam padi sepanjang tahunnya ( Tabel 6.7). Secara umum respon perbedaan petani di Solok dengan Pesisir Selatan terdapat pada dominasi panjang rotasi tanan padi dimana rotasi tanam di daerah Pesisir Selatan didominasi oleh dua kali tanam yaitu padi-padi, sedangkan pada daerah Solok didominasi oleh tiga kali tanam yatiu padi-padi-padi. Daerah Solok lebih dipengaruhi oleh iklim lokal karena letak wilayah yang dekat dengan pegunungan bukit barisan sehingga curah hujan hampir merata sepanjang tahun. dan sumber air yang cukup banyak melalui aliran sungai maupun mata air.
135
Tabel 6.7
Penyesuaian rotasi tanam oleh petani pada tahun normal dan kering di Solok dan Pesisir Selatan pada pola hujan equatorial Tahun Normal
Tipe Irigasi
padipadipadi
Tahun Kering
padipadipadipadipadipadipadipadipalawija/ padi padipadipalawija/ padi padi palawija sayuran padi palawija sayuran …………………..…….…………..…….%............................................................
padi
PESISIR SELATAN Teknis
22
28
20
30
0
0
50
50
0
0
Semi Teknis
0
80
20
0
0
0
50
50
0
0
Non Teknis
0
20
80
0
0
0
0
50
50
0
Tadah Hujan
0
0
10
60
30
0
0
60
20
20
Teknis
50
25
25
0
0
50
25
25
0
0
Semi Teknis
60
10
30
0
0
60
10
30
0
0
Non Teknis
40
30
30
0
0
40
30
30
0
0
Tadah Hujan
0
0
60
40
0
0
0
60
40
0
SOLOK
Respon Petani akibat terjadinya kekeringan di kedua daerah sangat berbeda (Tabel 6.8).
Hal tersebut disebabkan oleh kondisi iklim maupun
ketersediaan air yang tidak sama. Petani dengan sistem irigasi di Solok masih banyak yang tetap menanam walaupun terjadi kekeringan. Namun ada 20% petani dengan irigasi semi teknis yang memundurkan jadual tanam sekitar dua minggu dan 40% petani dengan irigasi non-teknis yang mencari sumber air alternatif. Tindakan yang dilakukan oleh petani tadah hujan juga tidak seragam, sekitar 50% petani tadah hujan memilih untuk mencari sumber air lain dan 50% petani memilih untuk memundurkan jadual tanam sekitar dua minggu. Petani di daerah Pesisir Selatan hampir seluruhnya memundurkan jadual tanam baik pada lahan irigasi maupun lahan tadah hujan. Seluruh petani responden irigasi teknis memilih untuk memudurkan jadual tanam sekitar dua minggu. Hal ini dilakukan juga oleh petani dengan irigasi semi teknis. Petani tadah hujan di daerah Pesisir Selatan sangat jauh berbeda tindakan yang dilakukan bila dibandingkan petani di Solok. Petani memundurkan jadual tanamnya lebih dari empat minggu karena petani lebih memilih untuk menunggu hujan turun.
136
Tabel 6.8 Respon petani terhadap kekeringan di Solok dan Pesisir Selatan
Tipe Irigasi
Tetap Menanam
Solok Mundur Mencari 2 Air Minggu
Mundur 4 Minggu
Tetap Menanam
Pesisir Selatan Mundur Mencari 2 Air Minggu
Mundur 4 Minggu
…………………………………………….%.…………………………………………… Teknis
100
Semi Teknis Non Teknis Tadah Hujan
6.4.
0
0
0
0
0
100
0
80
0
20
0
60
40
0
0
0
0
100
0
0
33
67
0
0
50
50
0
0
0
0
100
Simpulan Adaptasi Petani
Di wilayah monsunal yang terkena dampak anomali iklim seperti di Indramayu, selain menggunakan air sungai dan hujan, petani harus menambah pasokan irigasi dengan pompanisasi dan sumur. Di wilayah equatorial, seperti di Pesisir Selatan, petani kebanyakan mengandalkan air hujan dan sungai sebagai pasokan irigasinya. Petani di Indramayu berupaya untuk menambah air ataupun dengan menyesuaikan waktu tanam dengan mundur sampai lebih dari 3 dasarian. Petani di lahan yang tidak terpengaruh (Cianjur) tetap menanam atau kalau pun memundurkan waktu tanam hanya sampai 2 dasarian. Di wilayah equatorial yang tidak terpengaruh (Solok) pada umumnya tidak mengalami masalah kekurangan air kecuali pada lahan tadah hujan memundurkan waktu tanam sampai 2 dasarian sedangkan yang terkena pengaruh (Pesisir Selatan) sebagian petani memundurkan tanam 2 – 3 dasarian. Di wilayah monsunal petani lahan irigasi yang biasanya menerapkan rotasi tanam padi-padi-padi berubah menjadi padi-padi atau padi-palawija, sedangkan untuk lahan tadah hujan, petani mengubah dari padi-padi menjadi padi-palawija atau padi. Di wilayah equatorial, pada lahan petani yang tidak terpengaruh anomali iklim, umumnya tidak merubah rotasi tanam. Tetapi untuk lahan yang terpengaruh, perubahan terjadi dari padi-padi-padi bergeser menjadi padi-padipalawija atau padi-palawija.
137
VII. STRATEGI ADAPTASI KALENDER TANAM TERHADAP VARIABILITAS IKLIM Strategi adaptasi kalender tanam dibangun berdasarkan hasil karakterisasi dan delineasi wilayah yang terindikasi terkena dampak ENSO dan IOD maupun yang tidak terkena dampak kedua anomali tersebut. Selanjutnya diperkuat dengan hasil analisis neraca air baik pada lahan sawah tadah hujan maupun lahan irigasi ditambah dengan hasil analisis prediksi curah hujan sebagai bahan masukan untuk rencana tanam serta informasi daya dukung sumberdaya air dan kemampuan adaptasi petani dalam menyiasati variabilitas iklim. Adaptasi kalender tanam disusun melalui penentuan awal waktu tanam (onset), potensi waktu tanam serta pola tanam di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun normal, kejadian El Niño dan IOD positif. 7.1.
Lahan Tadah Hujan
Pada tahun normal, onset dan pola tanam lahan sawah tadah hujan di wilayah monsunal seperti di Indramayu dan Cianjur terdapat perbedaan. Onset di Indramayu pada Oktober III/November I dengan pola tanam Padi – Padi/palawija – Palawija/bera sedangkan di Cianjur lebih awal 3 dasarian yaitu pada September III/Oktober I dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija. Di wilayah equatorial seperti di Pesisir Selatan, onset terdapat pada September III/Oktober I dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija sedangkan di Solok onset dimulai pada Mei II/III dengan pola tanam Padi – Padi – Padi (Gambar 7.1) Pada tahun El Niño, onset di Indramayu terdapat pada November I Desember III mundur 3 - 6 dasarian dari tahun normal dengan pola tanam Padi – Palawija – bera sedangkan di Cianjur tidak berbeda dengan tahun normalnya yaitu pada September III/Oktober I dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija. Di wilayah equatorial seperti di Pesisir Selatan, onset mundur 1 dasarian terdapat pada Oktober I/II dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija sedangkan di Solok onset sama dengan tahun normalnya dimulai pada Mei II - Juni I dengan pola tanam Padi – Padi – Padi (Gambar 7.2).
138
Gambar 7.1
Onset dan pola tanam padi lahan tadah hujan di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun normal.
139
Gambar 7.2
Onset dan pola tanam padi lahan tadah hujan di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun El Niño.
140
Pada tahun IOD positif, onset di Indramayu terdapat pada Desember I/II mundur 3 dasarian dari tahun normal dengan pola tanam Padi – Padi/palawija – bera sedangkan di Cianjur tidak berbeda dengan tahun normalnya yaitu pada September III/Oktober I dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija. Di wilayah equatorial seperti di Pesisir Selatan, onset mundur 1 dasarian terdapat pada Oktober I/II dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija sedangkan di Solok onset sama dengan tahun normalnya dimulai pada Mei II - Juni I dengan pola tanam Padi – Padi – Padi (Gambar 7.3) 7.2.
Lahan Irigasi
Pada tahun normal, onset dan pola tanam lahan irigasi di wilayah Indramayu dan Cianjur juga terdapat perbedaan. Onset di Indramayu pada Oktober I/II dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija sedangkan di Cianjur lebih awal 1 dasarian yaitu pada September III/Oktober I dengan pola tanam yang sama yaitu Padi – Padi – Palawija. Di Pesisir Selatan, onset terdapat pada Agustus III/September I dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija sedangkan di Solok onset dimulai pada Mei I/II dengan pola tanam Padi – Padi – Padi (Gambar 7.4). Pada tahun El Niño, onset di Indramayu terdapat pada Oktober III – November II mundur 1 - 3 dasarian dari tahun normal dengan pola tanam Padi – Padi/palawija – Palawija/bera sedangkan di Cianjur tidak berbeda dengan tahun normalnya yaitu pada September III/Oktober I dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija. Di Pesisir Selatan, onset mundur 1 dasarian terdapat pada September I/II dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija sedangkan di Solok, onset sama dengan tahun normalnya dimulai pada Mei I/II dengan pola tanam Padi – Padi – Padi (Gambar 7.5). Pada tahun IOD positif, onset di Indramayu terdapat pada Oktober III/November I mundur 2 dasarian dari tahun normal dengan pola tanam Padi – Padi/palawija – bera sedangkan di Cianjur tidak berbeda dengan tahun normalnya yaitu pada September III/Oktober I dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija. Di Pesisir Selatan, onset mundur 1 dasarian terdapat pada September I/II dengan pola tanam Padi – Padi – Palawija sedangkan di Solok onset sama dengan tahun normalnya dimulai pada Mei I/II dengan pola tanam Padi – Padi – Padi (Gambar 7.6)
141
Gambar 7.3
Onset dan pola tanam padi lahan tadah hujan di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun IOD positif.
142
Gambar 7.4
Onset dan pola tanam padi lahan irigasi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun normal.
143
Gambar 7.5
Onset dan pola tanam padi lahan irigasi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun El Niño.
144
Gambar 7.6
Onset dan pola tanam padi lahan irigasi di wilayah monsunal dan equatorial pada tahun IOD positif.
145
VIII. PEMBAHASAN UMUM 8.1.
Karakteristik dan Delineasi Dampak ENSO dan IOD terhadap Curah Hujan dan Dinamika Kalender Tanam di Wilayah Monsunal dan Equatorial
Penelitian diawali dengan melakukan pemilihan wilayah sentra produksi padi yang dibedakan berdasarkan pola hujan baik di wilayah monsunal maupun equatorial. Untuk wilayah monsunal diwakili oleh provinsi Jawa Barat dan pola hujan equatorial diwakili Sumatera Barat sebagai sentra produksi padi nasional. Karakterisasi dan delineasi anomali iklim yang disajikan dalam bentuk spasial dari nilai korelasi antara curah hujan dengan flukutuasi ENSO dan IOD dengan maksud untuk mempermudah dalam menentukan daerah yang sensitif terhadap anomali iklim. Secara umum dampak ENSO dan IOD terhadap curah hujan di Jawa Barat lebih jelas bila dibandingkan dengan di wilayah Equatorial. Aldrian and Susanto (2003) juga menyimpulkan bahwa pengaruh El Niño/La Niña berbeda pada setiap daerah dengan pola hujan yang berbeda. Di daerah dengan pola hujan monsun pengaruh anomali iklim tersebut kuat, pada daerah berpola hujan equatorial pengaruhnya lemah, sedangkan pada daerah berpola hujan lokal tidak jelas. Dampak paling merugikan bagi tanaman pangan apabila kedua fenomana tersebut mengakibatkan kekeringan. Menurut Bang and Sitango (2003), kekeringan terjadi bila curah hujan berada di bawah kondisi normal dan berlangsung cukup lama sehingga menghasilkan ketidakseimbangan hidrologi yang berakibat buruk terhadap produksi pertanian. Tingkat keparahan dapat diamati melalui tingkat cekaman air, durasi dan luas terkena dampak. Di Indonesia pada umumnya kekeringan terjadi bila musim kemarau semakin panjang dan terjadinya penurunan curah hujan pada musim hujan. Dalam 20 tahun terakhir peristiwa ENSO menyebabkan kekeringan yang parah dan dapat menyebabkan mundurnya waktu panen padi (Fox 2000; Harger 1995; Holmes 1998; Falcon et al. 2004). Dampak kedua anomali iklim tersebut akan mulai tampak saat memasuki musim kemarau periode Juni - Agustus, meskipun masih belum besar. Dampak terhadap penurunan curah hujan mulai terlihat jelas saat
146
memasuki periode pancaroba/transisi yaitu pada periode September - November. Pada kondisi tersebut curah hujan mulai meningkat, namun karena perkembangan ENSO dan IOD juga mulai meningkat, maka peningkatan curah hujan pun akan terganggu akibat kedua anomali iklim tersebut. Pengaruh kedua anomali tersebut mulai berkurang saat memasuki periode Desember – Februari karena terjadi musim hujan serta perkembangan ENSO dan IOD mulai menurun kecuali saat terjadi El Niño kuat dan IOD positif secara bersamaan, penurunan curah hujan terus berlangsung hingga Januari – Februari. Penurunan curah hujan yang tercatat pada 75% stasiun hujan di Jawa Barat bersamaan dengan terjadinya El Niño dan IOD positif yang terjadi pada periode September - November, menjadi indikator kuat dampak ENSO dan IOD. Dampak penurunan curah hujan tersebut menjadi sangat berarti mengingat lebih dari 80% luas sawah padi di Jawa Barat terpengaruh oleh anomali tersebut. Penurunan curah hujan pada periode September - November sangat mengganggu jadual tanam, karena sebagian besar waktu tanam pada Musim Tanam I di Jawa Barat berada pada periode tersebut. Akibat munculnya El Niño dan IOD positif, beberapa kabupaten di wilayah Pantai Utara Jawa Barat seperti Bekasi, Subang, Karawang, Indramayu dan Cirebon dan sebagian Kuningan dan Majalengka mengalami kondisi yang tidak menguntungkan karena terjadi penurunan curah hujan dibandingkan dengan tahun normalnya. Namun kabupaten yang paling serius terkena dampak adalah Indramayu. Pada wilayah-wilayah yang diindikasikan terkena dampak, akibat berkurangnya curah hujan waktu tanam mundur sekitar 2 – 5 dasarian dari jadual pada umumnya di wilayah tersebut. Pengunduran waktu tanam pada awal musim tanam berakibat pada mundurnya jadual tanam pada musim tanam berikutnya sehingga potensi hasil jadi menurun. Di Indramayu sendiri sekitar 55% sawah berada pada wilayah yang mempunyai korelasi penurunan curah hujan yang kuat saat bersamaan dengan munculnya ENSO, sedangkan sekitar 13% sawah berada pada wilayah yang terpengaruh kuat oleh IOD. Wilayah-wilayah tersebut perlu lebih diwaspadai mengingat fluktuasi dan durasi baik ENSO maupun IOD yang semakin meningkat. Meskipun tidak sekuat pengaruh di wilayah pola hujan monsun ENSO dan IOD juga berpengaruh pada beberapa wilayah di pola hujan Equatorial. Kondisi
147
tersebut dapat dilihat berdasarkan korelasi ENSO dan IOD dengan penurunan curah hujan yang hanya terdapat pada sekitar 20% stasiun hujan saja. ENSO berpengaruh di Sawahlunto dan Pesisir Selatan sedangkan IOD berpengaruh di wilayah Barat dari Sumatera Barat, seperti di Agam, Padang, Padang Panjang dan Pesisir Selatan. Di Sumatera Barat, IOD lebih dominan pengaruhnya dibandingkan dengan ENSO. Namun sebagian besar luasan tanam padi berada pada wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh kedua anomali iklim tersebut tetapi berada pada wilayah yang dipengaruhi oleh kondisi iklim lokal yang sangat kuat. Pengaruh ENSO dan IOD terlihat kuat saat memasuki periode September November, sama seperti halnya di wilayah monsunal. Namun tidak ada wilayah yang mempunyai curah hujan berkorelasi kuat baik dengan ENSO maupun IOD. Sebenarnya 58% luas sawah padi di Sumatera Barat berada di wilayah yang dipengaruhi oleh fluktuasi IOD. Tetapi karena pengaruhnya lemah, tidak mempengaruhi penundaan waktu tanam padi. Hal tersebut sejalan pernyataan Webster et al. (1999) bahwa dampak ENSO untuk beberapa wilayah Indonesia, misalnya Sumatera, tidak berkorelasi baik dengan perubahan dalam produksi sereal. Perbedaan daerah di Sumatera tersebut merupakan dampak yang yang terkait dengan fenomena yang tejadi di Samudera Hindia. Dampak variabilitas iklim terhadap produksi pertanian, semata-mata karena pengaruhnya terhadap perubahan areal panen dan bukan pada hasil padi per hektarnya. Menurut Falcon et al. (2004) produksi beras akan tidak menentu akibat terjadi kompleksitas pada sistem pertanaman termasuk di dalamnya saat terjadi pergeseran kalender tanam. Selanjutnya dikatakan bahwa memperkirakan dampak ENSO untuk Indonesia akan lebih mudah jika episode iklim beekaitan erat dengan kalender tanam. Dengan demikian maka potensi tanam di kedua wilayah masing-masing yaitu di kabupaten Indramayu yang berada pada pola hujan monsun dan kabupaten Pesisir Selatan pada pola hujan equatorial perlu dikaji lebih mendalam agar dapat membantu dalam upaya adaptasi penetapan kalender tanam yang tepat pada kedua wilayah tersebut. Konsep pendekatan strategis berupa karakterisasi dan delineasi wilayah lebih mempertegas deskripsi wilayah terkena dampak anomali iklim sekaligus
148
sebagai komparasi dengan wilayah yang tidak terkena dampak. Dengan demikian diperoleh informasi dinamika dan sensitivitas onset dan pola tanam eksisting yang pada gilirannya dapat membantu dalam menetapkan potensi dan rencana tanam berdasarkan karakteristik wilayah. Disamping itu dengan diperoleh informasi wilayah yang terkena dampak sesuai dengan tingkatan sensitivitas masing-masing akan membantu dalam strategi penanganan budidaya tanaman secara dini sehingga dapat mengoptimalkan produktivitas dan menekan kehilangan hasil. 8.2.
Waktu tanam optimal pada wilayah terkena dampak ENSO dan IOD
Naylor et al. (2006) menyatakan bahwa penundaan tanam pada musim tanam pertama terutama pada musim hujan tidak dapat dikompensasikan dengan peningkatan pertanaman berikutnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa penetapan waktu tanam pada saat memasuki musim tanam pertama atau memasuki musim penghujan sangat penting agar tidak terjadi penurunan produksi padi. Konsep pendekatan strategis selanjutnya adalah lebih di fokuskan pada penetapan onset dan waktu tanam pada wilayah yang terindikasi sering terkena dampak baik oleh ENSO maupun IOD. Berdasarkan karakterisasi dan delineasi sebelumnya, Indramayu yang berada di wilayah monsunal dan Pesisir Selatan di wilayah equatorial merupakan dua kabupaten yang sering terkena dampak anomali iklim tersebut. Selanjutnya pemilihan Cianjur dan Solok masing-masing untuk wilayah hujan monsunal dan equatorial yang tidak terkena dampak dimaksudkan untuk lebih mempertegas pengaruh ENSO dan IOD di kedua wilayah yang rentan anomali iklim tersebut, sehingga dapat dibandingkan perbedaan waktu dan pola tanam antara daerah yang terkena dan yang tidak terkena dampak. Munculnya El Niño berdampak besar terhadap dinamika tanam. Akibat munculnya fenomena tersebut waktu tanam padi di Indramayu lebih lambat 3 sampai 6 dasarian pada lahan tadah hujan dan 2 sampai 3 dasarian pada lahan irigasi. Akibat terjadinya IOD positif waktu tanam padi lebih lambat 2 dasarian pada lahan tadah hujan dan 1 sampai 2 dasarian pada lahan irigasi. Dari tiga kecamatan di Indramayu masing-masing Anjatan untuk wilayah Barat Indramayu, Kertasemaya untuk wilayah tengah dan Krangkeng untuk wilayah Timur yang diambil sebagai titik pengamatan, stasiun di Krangkeng merupakan stasiun yang
149
paling kuat penurunan hujannya akibat El Niño maupun IOD positif diantara dua stasiun lainnya. Dengan demikian untuk wilayah Timur Indramayu seperti di Krangkeng harus lebih diwaspadai berkaitan dengan variabilitas iklim yang akhirakhir ini sering terjadi dan tidak menentu. Potensi waktu tanam lahan tadah hujan pada tahun normal di Indramayu relatif sama berkisar dari akhir Oktober sampai dengan pertengahan Maret, kecuali di Krangkeng potensi tanam lebih pendek karena wilayahnya relatif lebih kering. Baik saat terjadi El Niño maupun IOD positif mengakibatkan terjadi pergeseran potensi waktu tanam hingga akhir November sampai dengan awal Desember dan pengaruh paling besar terjadi di Krangkeng dengan potensi waktu tanam paling pendek antara 8 sampai 10 dasarian. Rotasi tanam pada lahan tadah hujan di tahun normal yang dapat dilakukan di Indramayu adalah padi – padi/palawija – bera. Potensi Tanam pada Musim Tanam I terdapat pada Oktober III dan persiapan tanam bisa dilakukan sekitar 2 dasarian maka pada musim taman II hanya dapat dilakukan pada Maret II, karena bila penanaman dilakukan setelah Maret II, fase kritis tanaman akan terganggu sehingga dapat menurunkan potensi hasil. Potensi tanam bergeser bila terjadi El Niño maupu IOD positif kuat sehingga dapat mempersempit rentang potensi waktu tanam. Pola tanam berubah menjadi padi – bera – bera. Di lahan irigasi, pada kondisi tahun normal rentang potensi waktu tanam lebih lebar. Untuk wilayah Indramayu seperti di Anjatan, Krangkeng maupun Kertasemaya dapat dilakukan pola tanam Padi – Padi – Bera karena suplai air irigasi masih terpenuhi sampai dengan Musim Tanam II. Pada Musim Tanam III tidak dimungkinkan untuk dilakukan penanaman padi karena defisit ketersediaan air relatif tinggi pada saat memasuki fase reproduktif. Fenomena El Niño dan IOD positif dapat merubah rotasi tanam akibat terjadi keterlambatan
waktu tanam.
Saat terjadi El Niño rotasi tanam di
Indramayu menjadi Padi – Palawija – Bera karena pada saat Musum Tanam III fase kritis tanaman sudah memasuki dasarian-dasarian kering sehingga tidak dimungkinkan untuk tanaman padi meskipun air tersedia tetapi tidak mencukupi untuk kebutuhan tanaman padi. Di Kertasemaya meskipun terjadi fenomena IOD positif namun karena tidak begitu kuat pengaruhnya maka hampir tidak terjadi
150
perubahan pola tanam pada saat terjadi fenomena tersebut. Tetapi untuk Krangkeng pengaruh IOD positif relatif kuat sehingga pada musim tanam III terjadi defisit ketersediaan air sangat tinggi, akibatnya rotasi tanam berubah menjadi Padi – Palawija - Bera. Bila dibandingkan dengan wilayah yang tidak terkena dampak fenomena iklim seperti di Cianjur yang diwakili oleh Warungkondang dan Ciranjang, maka potensi waktu tanam akan lebih jauh bergeser. Pernundaan tanam akibat El Niño di Indramayu akan berbeda dengan watu tanam di Cianjur 7 – 9 dasarian untuk lahan tadah hujan dan 3 – 4 dasarian untuk lahan irigasi. Potensi tanam pada sawah tadah hujan di Pesisir Selatan yang merupakan wilayah berpola equatorial pada tahun normal mempunyai potensi tanam relatif sama dengan di Cianjur. Tetapi baik saat terjadi El Niño maupun IOD positif, waktu tanam haya bergeser masing-masing 1 dasarian di wilayah Utara Pesisir Selatan seperti di Tarusan dan 3 dasarian terjadi di Batang Kapas yang merupakan wilayah tengah Pesisir Selatan. Namun pergeseran waktu tanam tersebut tidak merubah rotasi tanam di wilayah tersebut. Rotasi tanam Padi – Padi – Palawija. Potensi tanam hampir sepanjang tahun terdapat di Solok dan di kabupaten tersebut tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD sehingga rotasi tanam padi – padi – padi. Awal tanam untuk musim tanam di Solok seperti di Saning Bakar dan Sumani masing – masing pada Mei I dan Mei III. Pada lahan irigasi, meskipun terjadinya fenomena El Niño maupun IOD positif dapat menurunkan curah hujan pada periode September – November, namun tidak menyebabkan penundaan waktu tanam di Tarusan. Penundaan waktu tanam hanya terjadi di Batang Kapas 1 dasarian saja. Artinya bahwa pengaruh El Niño dan IOD positif di pola hujan equatorial tidak banyak berpengaruh pada lahan sawah irigasi. 8.3.
Model prediksi curah hujan berdasarkan fenomena ENSO dan IOD.
Pendekatan taktis dalam penelitian ini adalah dengan melakukan prediksi curah hujan. Informasi prediksi curah hujan sangat diperlukan guna membantu dalam sistem peringatan dini. Pengembangan model dilakukan dengan memasukkan parameter perubahan suhu muka laut di Pasifik Equatorial dan Samudera Hindia.
151
Penentuan hasil prediksi yang baik diperoleh berdasarkan hasil training model dan validasinya. Hasil análisis model yang di wilayah monsunal yang dilakukan di Cianjur pada stasiun Warungkondang dan Ciranjang serta di wilayah pola hujan equatorial di Solok stasiun Sumani menunjukkan nilai r2 yang kecil berkisar antara 0.51 dan 0.52 sehingga dapat dikatakan bahwa fluktuasi curah hujan kurang dapat digambarkan dengan baik oleh model. Hal tersebut terjadi karena fluktuasi curah hujan di kedua wilayah tersebut tidak berkorelasi dengan baik dengan fluktuasi ENSO maupun IOD. Berdasarkan kondisi
tersebut
pembahasan hasil prediksi selanjutnya hanya dilakukan di Indramayu dan Pesisir Selatan saja. Akurasi hasil training maupun validasi akan terlihat dengan baik bila dilakukan pada wilayah yang memang sudah terindikasi nyata pengaruh ENSO maupun IOD. Sebagai contoh análisis yang dilakukan di wilayah monsunal yang menunjukkan nilai r2 yang relatif tinggi di Anjatan, Krangkeng, maupun Kertasemaya di kabupaten Indramayu. Hal tersebut menandakan hubungan curah hujan berkaitan erat dengan fluktuasi ENSO maupun IOD sehingga análisis prediksi curah hujan dapat dilakukan di wilayah tersebut. Selanjutnya hasil prediksi curah hujan di Indramayu menunjukkan curah hujan hampir selalu di atas normal pada periode September – November tahun 2010 dan kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember – Februari tahun 2010/2011. Memasuki periode Maret – Mei 2011 curah hujan berada di bawah normal rataratanya. Kondisi tersebut
memberikan
indikasi bahwa baik pada periode
pancaroba/ transisi memasuki musim hujan maupun pada musim hujan di Indramayu berada pada kondisi basah. Analisis berikutnya adalah penetapan potensi waktu tanam berdasarkan hasil prediksi curah hujan. Potensi tanam untuk Musim Tanam I 2010/2011 untuk wilayah monsunal baik di Anjatan, Kertasemaya dan Krangkeng di Kabupaten Indramayu lebih awal satu dasarian dari potensi tanam tahun normal yaitu pada Oktober II. Dengan majunya potensi waktu tanam tersebut maka rentang waktu tanam di Anjatan dan Kertasemaya bertambah masing-masing 1 – 2 dasarian dari 15 dasarian menjadi 16 dan 17 dasarian. Di Krangkeng yang sifat hujannya lebih kering mempunyai rentang waktu tanam sama dengan tahun normalnya yaitu 13
152
dasarian. Dengan demikian rotasi tanam pada lahan tadah hujan di pada musim tanam 2010/2011 yang dapat dilakukan di Indramayu adalah padi – padi/palawija – bera. Untuk lahan irigasi tidak terjadi perubahan waktu tanam, sama dengan waktu tanam tahun normal yaitu pada Oktober I, lebih awal 1 dasarian dari waktu tanam di lahan tadah hujan. Potensi waktu tanam pada musim tanam 2010/2011 di lahan tadah hujan di wilayah equatorial seperti di Tarusan dan Batang Kapas Pesisir Selatan relatif sama dengan tahun normal bahkan di Batang Kapas maju 1 dasarian dari Oktober 1 menjadi September III. Untuk lahan irigasi tidak terjadi perbedaan waktu tanam dengan tahun normal yaitu pada September I lebih awal 2 dasarian dari lahan tadah hujan. 8.4.
Informasi daya dukung sumberdaya iklim dan adaptasi petani pada daerah terkena dampak ENSO dan IOD
Pendekatan
operasional
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
menganalisis respon petani dalam menghadapi variabilitas iklim yang terjadi pada lahan yang dibudidayakannya. Dengan kata lain gejala variabilitas iklim perlu diikuti dengan kemampuan adapatasi masyarakat setempat (the society adaptation ability) khususnya petani agar mengurangi resiko bencana yang terjadi. Adaptasi dapat menggambarkan sebuah proses yang dilakukan petani mencakup cara-cara menghadapi anomali iklim yang terjadi dengan melakukan penyesuaian untuk mengurangi berbagai pengaruh negatif dan memanfaatkan dampak positifnya. Kemampuan adaptasi petani dalam menghadapi perubahan iklim tidak terlepas dari daya dukung sumberdaya air. Sumber air lahan di Indramayu pada saat tahun-tahun normal relatif aman baik pada lahan irigasi maupun tadah hujan. Artinya bahwa ketersediaan air bagi tanaman baik yang berasal dari hujan, irigasi maupun sumber air lainnya masih tercukupi. Meskipun pada Musim Tanam II, petani yang mempunyai lahan dekat dengan sungai melakukan antisipasi dengan menggunakan pompa untuk mengambil air. Keragaman adaptasi petani dalam memanfaatkan sumberdaya air terjadi saat kekeringan. Seiring dengan berkurangnya intensitas hujan petani mulai memanfaatkan sungai untuk mengairi lahan sawahnya. Sebagian sawah yang posisi lahannya lebih tinggi atau jauh dari saluran yang kekurangan air
153
memanfaatkan pompa meskipun memerlukan modal tambahan untuk bahan bakar. Pada umumnya petani dalam satu hamparan bergotong-royong mengupayakan air dengan memompa air dari sungai. Air dipompa kemudian dialirkan ke saluran irigasi tersier untuk menjangkau lahan sawahnya. Selain menggunakan pompa air dari sungai, petani yang letaknya relatif jauh dari sungai menggunakan sumur pompa untuk mengairi sawahnya dengan menggunakan cara gilir giring dan pengairan macak-macak. Ketersediaan air di Cianjur relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Indramayu, hanya pada musim tanam II saja petani melakukan irigasi menggunakan pompa sungai sama halnya seperti yang dilakukan petani di Indramayu itupun hanya dilakukan oleh petani pada lahan tadah hujan. Perbedaan ketersediaan air di kedua daerah ini terlihat melalui rotasi tanam yang jauh berbeda antara kedua daerah tersebut. Perbedaan ini terlihat jelas pada lahan tadah hujan, pola tanam di daerah Indramayu didominasi oleh dua kali tanam yaitu padipadi, sedangkan pada daerah Cianjur didominasi oleh tiga kali tanam yaitu padipadi-palawija. Perbedaan rotasi tanam yang dilakukan petani pada lahan irigasi dan non irigasi antara Indramayu dengan Cianjur semakin jelas menunjukkan dominasi pengaruh iklim di kedua wilayah tersebut sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan air dalam kegiatan usaha taninya. Di wilayah pola hujan equatorial, terjadinya perbedaan kekurangan pasokan air irigasi pada musim tanam II antara Solok dengan Pesisir Selatan di wilayah tipe hujan equatorial mengindikasikan adanya variabilitas iklim di kedua wilayah tersebut. Perbedaan ketersediaan air di kedua daerah ini terlihat melalui pola tanam yang jauh berbeda antara kedua daerah tersebut. Perbedaan ini terlihat jelas pada lahan tadah hujan, pola tanam di daerah Pesisir Selatan didominasi oleh dua kali tanam yaitu padi-padi, sedangkan pada daerah Solok didominasi oleh tiga kali tanam yaitu padi-padi-padi. Berbagai alternatif yang dilakukan petani untuk melakukan adaptasi akibat terjadinya kekeringan, baik dengan memundurkan jadual tanam maupun upaya lainnya dengan mencari pasokan air untuk irigasinya. Perbedaan adaptasi yang dilakukan petani di Indramayu dan Cianjur lebih disebabkan perbedaan deraan kekeringan yang terjadi pada kedua wilayah tersebut. Sebagian besar petani di
154
Indramayu lebih memilih memundurkan jadual tanam menunggu hujan karena ketersediaan air relatif lebih terbatas sedangkan di Cianjur sebagian besar responden memilih untuk mencari sumber air lain untuk pasokan irigasinya. Namun ada juga beberapa responden yang memundurkan jadual tanam sekitar 2 minggu dari yang sudah ditentukan disebabkan letak wilayah yang cukup jauh dari sumber air lain. Perbedaan adaptasi petani dalam menghadapi kekeringan juga terjadi di wilayah equatorial. Kekeringan yang terjadi di Solok tidak dirasakan oleh petani irigasi teknis, namun pada lahan irigasi non teknis dan tadah hujan, petani melakukan adaptasi dengan memundurkan jadual tanam dan mencari alternatif pasokan irigasi. Kekeringan masih dirasakan oleh petani di Pesisir Selatan baik pada lahan irigasi teknis maupun tadah hujan. Kekeringan berdampak cukup serius pada lahan tadah hujan di wilayah ini karena petani lebih memilih memundurkan jadual tanamnya meskipun lebih dari empat minggu. 8.5.
Strategi adaptasi kalender tanam menghadapi variabilitas iklim.
Beras masih merupakan komponen utama ketahanan pangan dengan peningkatan sekitar 1,5% setiap tahunnya oleh karena itu perlu strategi adaptasi kalender tanam untuk antisipasi terhadap fenomena ENSO dan IOD agar resiko kegagalan panen dapat dikurangi dan diminimalisasi.. Beberapa point penting yang dihasilkan dalam penelitian ini berkaitan dengan upaya pelaksanaan strategi adaptasi kalender tanam dalam mendukung komponen utama ketahanan pangan adalah dengan penetapan kalender tanam berdasarkan pengaruh kondisi iklim global akibat anomali ENSO dan IOD. Terdapat wilayah sentra padi yang terpengaruh dan yang tidak terpengaruh oleh kedua anomali tersebut baik di wilayah monsunal maupun equatorial. Pada wilayah yang terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD di wilayah monsunal seperti di Indramayu maka penetapan kalender tanam harus lebih ditekankan perhatiannya terhadap variabilitas iklimnya. Kekuatan pengaruh ENSO dan IOD pun harus lebih dicermati seperti halnya yang terjadi di Indramayu, pada saat terjadi El Niño, kecamatan Anjatan dan Krangkeng yang kuat dipengaruhi oleh ENSO, onset mundur 1 - 3 dasarian lebih lama dibandingkan dengan di
155
Kertasemaya, wilayah yang terkena pengaruh sedang oleh ENSO. Pada saat terjadi IOD positif, wilayah yang terkena pengaruh kuat oleh IOD potensi waktu tanam lebih pendek dibandingkan dengan wilayah lainnya yang terkena dampak sedang dan lemah oleh IOD positif. Namun di wilayah equatorial, di wilayah yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD seperti di Pesisir Selatan, onset mundur hanya 1 – 2 dasarian baik pada saat terjadi El Niño maupun IOD positif, hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh kedua fenomena tersebut lemah di wilayah equatorial. Pada wilayah yang tidak terpengaruh oleh kedua fenomena iklim tersebut maka penetapan kalender tanam cenderung berdasarkan kondisi iklim lokal dan atau tergantung sifat hujan yang dipengaruhi oleh kondisi iklim lokal dan atau perubahan sifat hujan monsun di wilayah tersebut. Perencanaan waktu tanam berdasarkan konsep neraca air yang dihubungkan dengan ENSO dan IOD pada tingkat kecamatan dengan mempertimbangkan hasil prediksi curah hujan dalam skala waktu dasarian dapat lebih membantu dalam penetapan tanam kedepan. Dengan melihat respon petani terhadap adaptasi kalender tanam menunjukkan bahwa petani masih perlu melakukan adaptasi lagi seperti di lahan irigasi teknis, setengah teknis dan tadah hujan yang mempunyai karakteristik masing-masing dalam upaya adaptasinya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemangku kebijakan sekaligus memberikan informasi yang bersifat edukatif bagi petani dalam menetapkan dan merencanakan waktu dan pola tanam yang tepat. Kebaruan dari hasil penelitian ini adalah: (1) Penetapan kalender tanam melalui pendekatan strategis, taktis dan operasional berdasarkan konsep klimatis, hidrologis dan agronomis dengan menggunakan parameter ENSO dan IOD dalam menetapkan waktu, pola dan rencana tanam pada periode dasarian di tingkat kecamatan. (2) Mengintegrasikan empat metode untuk strategi penetapan kalender tanam berupa analisis korelasi ENSO, IOD dengan curah hujan, analisis neraca air menggunakan WARM Ver 2 dan Irigasi padi sawah, analisis prediksi menggunakan ANN dan wawancara dengan petani menggunakan metode purposive sampling.
156
IX. SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan
1.
Pengaruh ENSO dan IOD lebih kuat di wilayah pola hujan monsun dibandingkan dengan equatorial. Kedua fenomena tersebut berpengaruh kuat pada periode September – November. Di wilayah monsunal, ENSO berpengaruh kuat di sebagian besar wilayah Utara Jawa Barat sedangkan IOD berpengaruh kuat pada sebagian besar wilayah Selatan Jawa Barat. Di wilayah equatorial ENSO dan IOD berpengaruh di sebagian wilayah Barat dan Selatan Sumatera Barat. Sekitar 84% luas sawah di Jawa Barat terdapat pada wilayah yang dipengaruhi ENSO dan IOD secara bersamaan sedangkan di Sumatera Barat hanya sekitar 20%.
2.
Sekitar 14% luas sawah di Jawa Barat dan 73% luas sawah di Sumatera Barat tidak terpengaruh oleh kedua fenomena tersebut. Wilayah yang paling kuat terpengaruh ENSO dan IOD di Jawa Barat adalah kabupaten Indramayu sedangkan di Sumatera Barat kabupeten Pesisir Selatan. Sekitar 55% luas sawah di Indramayu terdapat pada wilayah yang terpengaruh kuat oleh ENSO dan 13% oleh IOD. Pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan sangat mempengaruh awal musim tanam (onset).
3.
Di wilayah monsunal yang tidak terpengaruh seperti di Cianjur, puncak onset terdapat pada September III/Oktober I tetapi di wilayah yang terpengaruh kuat seperti di Indramayu, onset lebih lambat 6 dasarian pada November III/Desember I. Di wilayah equatorial yang tidak terpengaruh kedua fenomena tersebut seperti di Solok, puncak onset terdapat pada Mei III/Juni I, sedangkan pada wilayah yang terpengaruh seperti di Pesisir Selatan puncak onset mundur 2 sampai 3 dasarian.
4.
Di lahan tadah hujan dengan pola monsun, periode waktu tanam optimal lebih pendek 3 sampai 4 dasarian dibandingkan dengan periode waktu tanam di lahan irigasi. Periode waktu tanam optimal lahan tadah hujan dan irigasi di wilayah pola hujan equatorial lebih panjang dengan awal waktu tanam lebih cepat dua sampai tiga dasarian.
157
5.
Di wilayah monsunal seperti di Cianjur puncak onset terjadi pada September III/Oktober I, pada saat terjadi El Niño maupun IOD positif, puncak onset tidak bergeser. Di Indramayu pada tahun normal, puncak onset terdapat pada Oktober III, saat terjadi El Niño di wilayah tersebut, onset mundur 3 sampai 6 dasarian untuk lahan tadah hujan yaitu pada November III sampai dengan Desember III, dan untuk lahan irigasi onset mundur 2 sampai 3 dasarian yaitu pada Oktober III/November I.
6.
Saat terjadi IOD positif, onset mundur 2 sampai 3 dasarian untuk lahan tadah hujan yaitu pada November II/III dan 1 dasarian untuk lahan irigasi yaitu pada Oktober II. Di wilayah equatorial seperti di Solok, Onset di Solok pada Mei II/Juni I untuk lahan tadah hujan dan Mei I untuk lahan irigasi. Saat terjadi El Niño maupun IOD positif, puncak onset tidak bergeser. Sedangkan di Pesisir Selatan, onset pada tahun normal terdapat pada Oktober I/September III. Pada saat terjadi El Niño maupun IOD positif, onset hanya mundur 1 dasarian baik pada lahan tadah hujan maupun irigasi yaitu masing-masing pada September III/Oktober I dan September I.
7.
Prediksi curah hujan hanya dilakukan di Indramayu dan Pesisir Selatan. Hasil prediksi curah hujan untuk MT I/II tahun 2010/2011 menunjukkan bahwa periode Sep 2010-Mei 2011 curah hujan diprediksi di atas rata-rata normalnya. Pada kondisi basah tersebut, potensi waktu tanam lebih cepat 1 dasarian di lahan tadah hujan dan 2 dasarian di lahan irigasi dibandingkan pada kondisi normal. Onset di Indramayu terdapat pada Oktober II 2010 untuk lahan sawah tadah hujan dan September III/ Oktober I 2010 untuk lahan sawah irigasi. Onset di Pesisir Selatan terdapat pada September III/ Oktober I 2010 untuk lahan sawah tadah hujan dan September I/ September II 2010 untuk lahan sawah irigasi.
8.
Dampak ENSO dan IOD terutama IOD positif dan El Niño terkait dengan kekeringan akibat keterbatasan ketersediaan sumberdaya air. dalam hal pemanfaatan sumberdaya air petani di Indramayu harus menambahkan pasokan irigasinya dengan pompanisasi dan sumur dengan penyesuaian waktu tanam lebih dari 3 dasarian. Di Pesisir Selatan, petani kebanyakan mengandalkan air hujan dan sungai sebagai pasokan
irigasinya dan
158
sebagian petani memundurkan tanam 2 – 3 dasarian. Pada saat kekeringan rotasi tanam di wilayah monsunal lebih bervariatif terutama pada lahan tadah hujan dari padi - padi menjadi padi – palawija dan padi saja. 9.
Strategi penetapan kalender tanam harus lebih ditekankan perhatiannya terhadap variabilitas iklimnya dengan mencermati kekuatan pengaruh ENSO dan IOD.
Di wilayah monsunal terkena dampak, wilayah yang
terpengaruh kuat oleh ENSO dan IOD mengakibatkan onset mundur 1 – 3 dasarian dan potensi waktu tanam lebih pendek bila dibandingkan dengan wilayah terkena dampak lainnya, sedangkan di wilayah equatorial pengaruh ENSO dan IOD tidak menunjukkan perbedaan pergeseran waktu tanam. 10.
Adaptasi pola tanam berdasarkan hasil dari karakterisasi dinamika kalender tanam, dan analisis potensi waktu tanam tidak terlepas dari daya dukung ketersediaan air serta kemampuan adaptasi petani. Petani yang berada di wilayah terkena dampak kuat oleh ENSO terutama pada lahan tadah hujan, pola tanam yang dilakukan adalah padi – padi – bera menjadi padi – palawija – bera.
9.2. Saran
1.
Kabupaten Indramayu dan Pesisir Selatan merupakan wilayah yang dipengaruhi ENSO dan IOD sehingga dua wilayah tersebut disarankan menjadi prioritas utama dalam aksi adaptasi perubahan iklim di sektor pertanian khususnya di Jawa Barat dan Sumatera Barat.
2.
Strategi penetapan kalender tanam di sentra padi terkena dampak ENSO dan IOD harus didasarkan kepada pendekatan strategis berupa penetapan potensi waktu dan pola tanam, ;endekatan taktis berupa prediksi curah hujan dan pendekatan operasional berupa kajian berdasarkan adaptasi petani dan daya dukung sumberdaya air.
3.
Lokasi penelitian masih terbatas pada wilayah Jawa Barat dan Sumatera Barat sebagai pewakil wilayah monsunal dan equatorial, dengan demikian penelitian ini perlu dilakukan pula di wilayah sentra produksi padi lainnya di Indonesia.
159
4.
Karena sumberdaya iklim bersifat dinamis, maka hasil penelitian ini perlu dikemas dalam bentuk sistem informasi spasial yang dapat memberikan informasi secara cepat, dan near real time.
5.
Pengembangan kalender tanam dinamik perlu dilakukan agar diperoleh informasi yang lebih interaktif antara variabilitas iklim dengan dinamika sifat hujan dalam setiap periode musim tanam.
160
DAFTAR PUSTAKA Abram NJ, Gagan MK, Liu Z, Hantoro WS, McCulloch MT and Suwargadi BW. 2007. Seasonal characteristics of the Indian Ocean Dipole during the Holocene epoch. Nature 445, doi: 10.1038/nature05477. Aldrian E, and Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their Relationship to sea surface temperature, Intl. J. Climatol., 23, 1435-1452. Allan R. 2000. ENSO and climatic variability in the past 150 years, in ENSO: Multiscale Variability and Global and Regional Impacts, Diaz, H. & Markgraf, V. (Eds.), pp. 3-55. Cambridge Univ. Press. Cambridge. Allen RG, Pereira LS, Raes D and Smith M. 1998. Crop evapotranspiration. Guidelines for Computing Crop Water Requirement. FAO Irrigation and Drainage Paper 56. Rome. 301p. Apriyana Y. 2003. Contribution de l’analyse agro climatique a l’évaluation des possibilités de développer les cultures maraîchers de Java, Indonésie (Cas de Pagerejo, Java Central et de Selpoamioro, Yogyakarta). Thèse de Master of Science. Centre National d’études agronomiques des régions chaudes.115p. Ashok K, Guan Z, and Yamagata T. 2001: Impact of the Indian Ocean Dipole on the relationship between the Indian monsoon rainfall and ENSO. Geophys. Res. Lett., 28, 4499–4502. Bang SK, and Sitango K. 2003. Indigenous Drought Coping Strategies and Risk Management Againts El Niño in Papua New Guinea. CGPRT Center Working Paper No. 74. Betts R. 2005. Integrated approaches to climate–crop modelling: needs and challenges. Phil. Trans. R. Soc. B 360, 2049–2065. (doi:10.1098/rstb.2005.1739.) Boer R. 1999. Perubahan Iklim, El Niño dan La Niña. Makalah dalam Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agroklimatologi. Bogor : Biotrop. Boer R dan Alimoeso S. 2002. Strategi antisipasi kejadian iklim ekstrim. Paper disajikan dalam Seminar ‘Upaya Peningkatan Ketahanan Sistem Produksi Tanaman Pangan Terhadap Iklim Ekstrim’, Departmen Pertanian, Pasar Minggu, 24 Juni 2002. Boer R. and Las I. 2003. Sistem Produksi Padi Nasional Dalam Perspektif Kebijakan Iklim Global. In B. Suprihatno, A.K. Makarim et al (eds). Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. p:215234. Boer R, and Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia. In V.J. Boken, A.P. Cracknell and R.L. Heathcote (eds). Monitoring and predicting agriculture drought: A global study. Oxford University Press, New York. p:330-344
161
Boer R. 2006. Aplikasi Informasi Prakiraan Iklim di Sektor Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Dalam Modul Pelatihan Dosen Bidang Pemodelan dan Simulasi Komputer untuk Pertanian. Bagpro PKSDM Dikti dan Dep. Geofisika dan Meteorologi IPB. Bogor. Cisarua, Bogor, 7 – 20 September 2006 BPS [Biro Pusat Statistik]. 1998. Kondisi Produksi Beras Tahun 1998 Statistik Pertanian. Jakarta. Budianto J. 2002. Tantangan dan peluang penelitian padi dalam perspektif agribisnis. Dalam: B. Suprihatno et al. (Eds.). Kebijakan perberasan dan inovasi teknologi. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. p. 1-17. [CIRAD] Coopération Internationale en Recherche Agronomique pour le Dévelppement. 1995. La validation du ETR/ETM sur le rendemen du manioc au Cote d’ivoire. Bulletin CIRAD no 2. 75p
[DARPA] Defense Advanced Research Project Agency. 1988. Neural Network Study Alexandria, VA: AFCEA International Press, p. 60. D'Arrigo R and Wilson R. 2008. El Niño and Indian Ocean Influences on Indonesian Drought: Implications for Forecasting Rainfall and Crop Productivity. International Journal of Climatology. 28: 611–616 Doorenbos J, and Kassam AH. 1987. Réponse des cultures a l’eau. FAO. Irrigation et drainage paper 33. Rome. Dupe ZL, dan Tjasyono B. 1998. El Niño Dampaknya terhadap Cuaca dan Musim di Indonesia. Makalah disampaikan pada Semiloka El Niño , Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Bandung. ITB. Edirisinghe N. 2004. A Study of Food Grain Market in Iraq. Document of the World Bank & United Nations World Food Program. Reconstructing Iraq. Working Paper No. 3. June 2004. 72p. Eksawati R. 2009. Penggunaan Analisis Jaringan Syaraf (Neural Network Analysis) Untuk Menyusun Model Prediksi Curah Hujan Di Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteorologi. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Fagi AM, dan Manwan I. 1991. Teknologi pertanian dan alternatif penanggulangan dampak negatif kemarau panjang. Prosiding Seminar Nasional Antisipasi Iklim 1992 dan Dampaknya terhadap Pertanian Tanaman Pangan. Bogor, 27-28 Desember 1991. Falcon WP, Naylor RL, Smith WL, Burke MB, and McCullough EB. 2004. Using Climate Models to Improve Indonesian Food Security. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 40, No. 3, 2004: 355–77. FAO. 1997. Irrigation potential in Africa: A basin approach. FAO Land And Water Bulletin 4. FAO Land and Water Development Division. FAO. 2005. ”Impact of Climate Change and Diseases on Food Security and Proverty Reduction”. Special event background document for the 31st session of the committee on world food security. Rome, 23-26 May 2005.
162
Fischer G, Shah M, Velthuizen HV. 2002. Climate Change and Agricultural Vulnerability. IIASA. Luxemburg, Austria. Forest F. 1984. Simulation du bilan hydrique des cultures pluviales. Présentation et utilisation du logiciel BIP. Rapp. IRAT/CIRAD, Montpellier (FRA), 63p. Fox JJ. 2000. ‘The Impact of the 1997–98 El Niño on Indonesia’, in R.H. Groveand J. Chappell (eds), El Niño—History and Crisis: Studies from the Asia–Pacific Region, The White Horse Press, Cambridge:171–90. Gutman GI, Csiszar, and Romanov P. 2000. Using NOAA/AVHRR products to monitor El Ni˜no impacts: focus on Indonesia in 1997-98., Bull. Amer. Meteor. Soc., 81, 1189–1205. Halpert MS, and Ropelewski CF. 1992: Temperature patterns associated with the Southern Oscillation., J. Climate, 5, 577–593. Hamada J, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati, T. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. J Meteorol Soc Jpn 80:285–310. Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis. Telaah kebijakan independen bidang perdagangan dan pembangunan oleh Kemitraan/Partnership Indonesia. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Harger JRE. 1995. Air-Temperature Variations and ENSO Effects in Indonesia, the Phillipines, and El Salvador: ENSO Patterns and Changes from 1866– 1993’, Atmos. Environ. 29, 1919–1942. Hastenrath S. 1988. On tropical climate prediction: A progress report 1985-88. Annual Climate Diagnostics Workshop, 13th, Cambridge, MA, 31 October4 November 1988. US Department of Commerce, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), National Weather Service, Washington, DC, 1989, pp.443-447. Haylock M, and McBride J. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall, J. Climate, 14, 3882-3887. Hecht-Nielsen R. 1988. Applications on Counterpropagation Networks. Neural Networks. vol. 1, pp. 131-139. Hendon HH. 2003. Indonesian rainfall variability: impacts of ENSO and local air-sea `interaction, J. Climate, 16, 1775-1790. Holmes DA. 1998. Rainfall and Droughts in Indonesia: A Study for the World Bank (Volume 3B: Java and Bali), The World Bank, Jakarta: 110. http://sedac.ciesin.org/openmeeting/downloads/1001755129_presentation_b aocao_brazin.doc. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis, eds Houghton JT, Ding Y, Griggs DJ, Noguer M, van der Linden PJ, Dai X, Maskell K, Johnson CA (Cambridge Univ Press, Cambridge, UK).
163
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Irianto G. 2003. Kekeringan lebih berbahaya daripada banjir. Harian Kompas. 21 Agustus 2003. Kartiwa B. 2009. Identifikasi dan analisis neraca ketersediaan – kebutuhan air pertanian mendukung peningkatan IP di P. Jawa. Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. (Tidak dipublikasikan). Kirono DGC, and Khakim N. 1999. ENSO Rainfall Variability and Inpacts on Crop Production in Indonesia.Physical Geography, Vol 20. 6, pp. 508-519. Koesmaryono Y, Las I, Runtunuwu E, June T, Pramudia A. 2007. Analisis dan Prediksi Curah Hujan Untuk Pendugaan Produksi Padi Dalam Rangka Antisipasi Kerawanan Pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Bogor. Koesmaryono Y, Las I, Aldrian E, Runtunuwu E, Pramudia A, Apriyana Y, Trinugroho W. 2009. Laporan Hasil Kegiatan. Pengembangan Stándar Operasional Prosedur Adaptasi Kalender Tanaman Padi terhadap ENSOIOD Berbasis Sumberdaya Iklim dan Air. Laporan KKP3T. Litbang DeptanIPB. (Tidak dipublikasikan). Koesmaryono Y, Las I, Aldrian E, Runtunuwu E, Syahbuddin H, Apriyana Y, Ramadhani F, Trinugroho W. 2008. Laporan Hasil Kegiatan. Sensitivitas dan Dinamika Kalender Tanam Padi Terhadap Parameter ENSO (El-Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Daerah Monsunal dan Equatorial. Laporan KKP3T. Litbang Deptan-IPB. (Tidak dipublikasi). Las I. 2000. Peluang Kejadian El Niño dan La Niña Tahun 1900-2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Las I, Unadi A, Subagyono K, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2007. Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 96 hal. Lau NG, and Nath MJ. 2000. Impact of ENSO on the variability of the AsianAustralian monsoons as simulated in GCM experiments., J. Climate, 13, 4287 – 4308. Lidon B and Affholder F. 2000. Agroclimate Bulletin. Project Agribussiness. Center for Soil and Agroclimate Research. Linderholm HW. 2006. Growing season changes in the last century. Agric. For. Meteor., 137(1-2), 1-14. Muller B. 1996. Analyse du comportement hydrique de cultures : diagnostic et modélisation en vue de la gestion des irrigations. Cas de cultures de maïs et tomate sur sols alluviaux et sols andiques au Guatemala. Thèse. L’Institut National Agronomique Paris-Grignon.213p.
164
Mulyana E. 2001. Interannual Variation of Rainfall over Indonesia and Its Relation to the Atmospheric Circulation, ENSO and Indian Ocean Dipole Mode. Hokaido University. Japan. Murakami T, and Matsumoto J. 1994: Summer monsoon over the Asian continent and western North Pacific. J. Meteor. Soc. Japan, 62, 69-87. Naylor RL, Falcon WP, Rochberg D and Nikolaswada. 2001. Using El Niño/Southern Oscillation Climate Data to Predict Rice Production in Indonesia. Center for Environmental Science and Policy, Encina hall 405e, Stanford University, Stanford, Ca 94305-6055, U.S.A. Climatic Change 50: 255–265,. Naylor RL, Battisti DS, Vimont DJ, Falcon WP, and Burke MB. 2007. Assessing the risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture, Proc. Nat. Acad. Sci., 104, 7752-7757. Naylor RL, Falcon W, Wada N, and Rochberg D. 2002. Using El-Niño Southern Oscillation climate data to improve food policy planning in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38, 75-91. Osborne TM. 2005 Towards an integrated approach to simulating crop–climate inter-actions. Ph.D. thesis, University of Reading. Panggabean G. 1995. Dari Tahun Perubahan ke Tahun Pemantapan. Warta Pertanian No. 140/tahun.XI/Januari 1995. Pendleton JW, and Lawson TL. 1989. Climatic Variability and Sustainability of Crop yields in the humid tropics. International Symposium on Climatic Varability and Food Security in Developing Countries 5 – 9 Februari 1987. New Delhi. IRRI: 54 – 58. Philander SGH. 1989. El Ni˜no, La Ni˜na, and the Southern Oscillation., vol. 46 of International Geophysical Series, Academic Press, 289 pp. Porter JR, and Semenov MA. 2005. Crop responses to climatic variation. Phil. Trans. R. Soc. B 360, 2021-2035. (doi:10.1098/rstb.2005.1752) Pramudia A. 2008. Pewilayahan Hujan dan Model Prediksi Curah Hujan Untuk Mendukung Analisis Ketersediaan san Kerentanan Pangan di Sentra Produksi Padi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Pustekkom. 2007. Pengetahuan Populer El Niño. http://www.e-dukasi. Net/index. [14 November 2008] Ramage CS. 1971: Monsoon Meteorology. International Geophysics Series, Vol. 15, Academic Press, 296pp. Rao SA, Behera SK, Masumoto Y, Yamagata, T. 2002. Subsurface interannual variability assosiated with the Indian Ocean Dipole. CLIVAR Exchange 23:1-4 Ropelewski C, and Halpert MS. 1989: Rainfall patterns associated with the high index phase of the Southern Oscillation., J. Climate, 2, 268–284.
165
Runtunuwu E, Ramadhani F, Kharmilasari. 2007. Petunjuk Teknis Penggunaan Perangkat Lunak Neraca Air Tanaman WARM-2.0 (Water Agroclimate Resources Manajemen Ver 2.0) Balitklimat Litbang.Deptan. Saji NH. 2000. The ocean at work during the Indian Ocean Dipole Mode. Frontier Newsletter 10. Saji NH, and Yamagata T. 2003 : Structure of SST and Surface Wind Variability during Indian Ocean Dipole Mode Events : COADS Observations. Journal of Climate, 16, pp. 2735-2751. Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran P N, Yamagata T. 1999 : A Dipole in the Tropical Indian Ocean. Nature, 401, 360-363. Slingo JM, Challinor AJ, Hoskins, BJ, and Wheeler TR. 2005. Introduction: food crops in a changing climate. Phil. Trans. R. Soc. B 360, 1983-1989. (doi:10.1098/rstb.2005.1755) Sosiawan H. 2002. Sensibilité du système rizicole irrigue a la diminution de la ressource en eau dans la région de Karawang (Ouest Java – Indonésie). Mémoire de CESA en Agronomie. Ecole Nationale Supérieure Agronomique de Montpellier. Montpellier. 102 p. Syahbuddin H, Runtunuwu E, Pramudia A, Surmaini E, Shofiati R, Subagyono K, I Amien, dan I Las. 2007. Identifikasi dan Delineasi Kalender dan Pola Tanam Pada Lahan Sawah Terhadap Anomali Iklim di Pulau Jawa. Laporan Tengah Tahun. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Trenberth KE. 1997. The Definition of El Niño. Bulletin of the American Meteorological Society, Vol. 78, No. 12, pp. 2771-2777. Viet NV, Liem NV, and Giang NT.2001. Climate Change and Strategies to be Adapted In Agriculture For Sustainable Development In Vietnam. Webster PJ, Moore AM, Loschnigg JP, and Leben RR. 1999. Coupled oceanAtmosphere Dynamics in the Indian Ocean during 1997-98, Nature, 401, 356-359. Wigena A. 2006. Modeling Iklim. Pengantar Bahan Kuliah Metode Klimatologi. Bogor. Program Studi Agroklimatologi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wiliamson D. 2001. Using remotely sensed data for humanitarian Relief. Geography Bulletin, Summer 2001, pp. 15-18. Wiratmo J. 1998. Sudah benarkah pemahaman Anda tentang La Niña dan El Niño? Penerbit ITB. Bandung. 30hal. Wiriadiwangsa D. 2005. Pranata Mangsa masih penting untuk pertanian. Tabloid Sinar Tani. 9-15 Maret. Wu R and Kirtman BP. 2007. Roles of the Indian Ocean in the Australian Summer Monsoon-ENSO Relationship.Center for Ocean-Land-Atmosphere Studies1 and George Mason University. 4041 Powder Mill Road, Suite 302 Calverton, Maryland 20705.
166
LAMPIRAN
167
Tabel Lampiran 1.
Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal.
Tabel Lampiran 2.
Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun El Niño.
Tabel Lampiran 3.
Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun IOD Positif.
168
Tabel Lampiran 4.
Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun Normal.
Tabel Lampiran 5.
Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun El Niño.
Tabel Lampiran 6.
Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun IOD Positif.
169
Tabel Lampiran 7.
Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun Normal
Tabel Lampiran 8.
Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun El Niño
Tabel Lampiran 9.
Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun IOD Positif
170
Tabel Lampiran 10. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun Normal
Tabel Lampiran 11. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun El Niño
Tabel Lampiran 12. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan menggunakan WARM pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun IOD Positif
171
Tabel Lampiran 13. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal.
172
Tabel Lampiran 14. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun El Niño.
173
Tabel Lampiran 15. Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun IOD Positif.
174
Tabel Lampiran 16. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun Normal.
175
Tabel Lampiran 17. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun El-Nino.
176
Tabel Lampiran 18. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Tahun IOD positif.
177
Tabel Lampiran 19. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun Normal.
178
Tabel Lampiran 20. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun El-Nino.
179
Tabel Lampiran 21. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun IOD Positif.
180
Tabel Lampiran 22. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun Normal.
181
Tabel Lampiran 23. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun El-Nino.
182
Tabel Lampiran 24. Hasil Perhitungan Defisit Ketersediaan Air lahan Sawah Irigasi pada Waktu Tanam September III di Kecamatan Sumani Kabupaten Solok Tahun IOD Positif.
183
Tabel Lampiran 25. Kuisioner untuk pemangku kebijakan Instansi Kabupaten Kecamatan No A 1
2
: : :
Daftar Pertanyaan SUMBERDAYA LAHAN DAN KALENDER TANAM Tataguna Lahan Lahan Sawah irigasi teknis irigasi non teknis tadah hujan Lahan Kering Lahan Perkebunan Hutan Badan air (danau, rawa, kolam dsb) Lahan lainnya JUMLAH PENENTUAN KALENDER TANAM PADI EKSISTING POLA TANAM Jadwal Tanam dari Provinsi Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Minggu I II III IV Jadwal Tanam dari Kabupaten Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Minggu I II III IV Realisasi Jadwal Tanam di Lapangan Jan Feb Mar Minggu Sept Okt Nov Des I II III IV
Jawaban Ha
(%)
100
Apr
Mei
Jun
Jul
Agus
Apr
Mei
Jun
Jul
Agus
Mei
Jun
Jul
Agus
Apr
184
II 1
ANOMALI IKLIM DAN DAMPAKNYA Bencana iklim tiap tahun Kekeringan Kebanjiran
2
Dampak bencana iklim terparah Banjir Kekeringan
3
Bencana iklim Kekeringan Kebanjiran
4
III
Periode musim hujan dan kemarau
Frekuensi /tahun
Fase tanaman
Umur tanaman
…… kali …… kali
…………. MST …………. MST
Kecamatan
Desa
Prosentase Sektor yang dipengaruhi Sawah Lahan Kering
Lainnya
Sawah
Lainnya
Lahan Kering
Awal Bulan
Akhir Minggu ke-
Minggu ke-
Bulan
*Musim Hujan *Musim Kemarau ANOMALI IKLIM PADA FASE TANAMAN PADI Kekeringan
Bulan, Minggu ke-
Fase Tanaman
Tingkat Kerusakan (%)
Kebanjiran
Bulan, Minggu ke-
Fase Tanaman
Tingkat Kerusakan (%)
Bencana iklim selama 20 tahun terakhir
Tahun
Tahun paling parah
Tingkat Kerusakan (%)
1 *Awal *Akhir *Puncak 2 *Awal * Akhir * Puncak
3
Kekeringan Kebanjiran
185
Tabel Lampiran 26. Kuisioner untuk petani Nama Petani Nama Kelompok Tani Tipe Lahan Desa Kecamatan Kabupaten Tanggal Wawancara Provinsi No. I 1
: : : : : : : :
Daftar Pertanyaan SUMBERDAYA PERTANIAN Status Petani
Jawaban
* Petani pemilik lahan
>5Ha
* Buruh tani 2
Luasan Lahan 1-5Ha
>5Ha
Jadwal Pergiliran Tanam/Tahun 2.1 Padi Nov Des Minggu Sept Okt I II III IV
Jan
Feb
1-5Ha
Mar
2.2 Palawija (…………………………………..) Nov Des Jan Feb Minggu Sept Okt I II III IV 2.3 Hortikultura (………………………………….) Okt Nov Des Jan Feb Minggu Sept I II III IV 3
ASPEK SUMBERDAYA AIR 3.1 Tahun Normal Musim Tanam 1 Hujan Sungai Musim Tanam 2 Hujan Sungai Musim Tanam 3 Hujan Sungai
<1Ha <1Ha
Apr
Mei
Jun
Jul
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sumur pompa
Sumur
Lainnya………
Sumur pompa
Sumur
Lainnya...........
Sumur pompa
Sumur
Lainnya...........
Kapan mengambil air ? Pertumbuhan Vegetatif Fase Pembungaan Pengisian Gabah
Berapa kali? ……………………………. ……………………………. …………………………….
186
Agt
3.2 Tahun Kering Musim Tanam 1 Hujan Sungai Sumur pompa Sumur Lainnya……… Musim Tanam 2 Hujan Sungai Sumur pompa Sumur Lainnya……… Musim Tanam 3 Hujan Sungai Sumur pompa Sumur Lainnya……… Kapan mengambil air ? Berapa kali? Pertumbuhan Vegetatif ……………………………. Fase Pembungaan ……………………………. Pengisian Gabah ……………………………. Sumberdaya Air Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt ket Mudah Sulit Banjir Kekeri ngan Jelaskan alasan kesulitan air : Tidak Mencukupi Jarak Jauh Harus membeli: harga/unit…………. AlasanLainnya____________________________________________________________________ Mencari Air Adaptasi waktu tanam saat kekeringan
Menyesuaikan pola tanam
Alasan lainnya :
Kendala apa yang dihadapi ? Jawab :
II
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KERUSAKAN Tingkat Kerusakan KLIMATIK Non-KLIMATIK Berat Sedang Puso (> 50%) (25% –50%) Hama Kekeringan Penyakit Banjir Lainnya Pernahkah merubah waktu tanam saat terkena hama dan penyakit ? Jawab : Faktor apa lagi yang menyebabkan maju atau mundurnya waktu tanam? Jawab : Apabila terjadi pergeseran waktu tanam, berapa minggu pergeseran tersebut ? Jawab :
187
Ringan (< 25%)