Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SAWAH DATARAN TINGGI BERIKLIM BASAH Ida Bagus Aribawa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Jl. By Pass Ngurah Rai, Denpasar E mail :
[email protected]
ABSTRAK Tanaman padi merupakan tanaman pangan utama di Indonesia, karena sebagian besar penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai sumber makanan pokok. Sementara itu, kebutuhan beras setiap tahun makin bertambah, seiring dengan laju pertambahan penduduk. Dengan laju pertambahan penduduk 1,7 % per tahun dan kebutuhan per kapita sebanyak 134 kg, maka pada tahun 2025 pemerintah harus menghasilkan padi sebanyak 78 juta ton GKG untuk mencukupi kebutuhan beras nasional. Inovasi teknologi diperlukan untuk dapat meningkatkan produktivitas padi, diantaranya dengan penggunaan varietas padi unggul (VUB), benih bermutu dan berlabel, penanaman bibit umur muda, peningkatan populasi tanaman dan lainnya yang termasuk dalam komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan dalam pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Peninglatan populasi tanaman dapat dilakukan dengan penerapan sistem tanam legowo, baik legowo 2 : 1; 4 : 1; 6 : 1 dan 12 : 1. Kajian untuk melihat pengaruh sistem tanam terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan sawah dataran tinggi beriklim basah telah dilakukan di lahan sawah petani dengan ketinggian ≥ 700 dpl, di Desa Kerta, Kecamatan Payangan Gianyar Bali pada MT. 2011. Kajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah sistem (cara) tanam yang dilakukan petani, yaitu sistem tanam legowo 2 : 1 (s1); sistem tanam legowo 4 : 1 (s2); sistem tanam legowo 6 : 1 (s3) dan sistem tanam legowo 12 : 1 (s4). Luas petak yang digunakan disesuaikan dengan luas petak alami petani, dimana petani kooperator (8 orang) digunakan sebagai ulangan. Parameter tanaman padi yang diamati : tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi dan hampa per malai, bobot 1000 biji dan hasil gabah kering panen (GKP) per hektar. Hasil kajian menunjukkan perlakuan sistem tanam tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan, jumlah gabah hampa per malai dan bobot 1000 biji, tapi berpengaruh nyata terhadap parameter tanaman lainnya. Hasil gabah kering panen tertinggi dihasilkan oleh sistem tanam legowo 2 : 1 (s1), yaitu 8,84 t GKP ha-1. Kata kunci : sistem tanam, produktivitas dan padi sawah PENDAHULUAN Tanaman padi merupakan tanaman pangan utama di Indonesia karena lebih dari setengah penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai sumber makanan pokok. Sementara itu, kebutuhan beras setiap tahun makin bertambah, seiring dengan laju pertambahan penduduk. Pada tahun 2012, penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
244,69 juta jiwa dan jumlah konsumsi beras mencapai 33,60 juta ton (Badan Litbang Pertanian, 2011). Dengan laju pertambahan penduduk rata-rata 1,7 % per tahun dan kebutuhan per kapita sebanyak 134 kg, maka pada tahun 2025 Indonesia harus mampu menghasilkan padi sebanyak 78 juta ton GKG untuk mencukupi kebutuhan beras nasional (Abdullah, 2004). Dengan produksi beras nasional yang rendah, sebanyak ± 2 juta ton beras diimpor selama tahun 2001 sehingga langsung menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia (Anonim, 2002). Oleh karenanya usaha peningkatan produksi beras melalui peningkatan produktivitas padi dan peningkatan pendapatan petani selalu dimasukkan dalam agenda kebijakan pemerintah di bidang pertanian. Sejak awal tahun 2007, pemerintah bertekad untuk meningkatkan produksi beras 2 juta ton dan selanjutnya meningkat 5 % per tahun hingga tahun 2009 melalui Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN). Untuk mencapai target tersebut, pemerintah mengimplementasikan empat strategi, yaitu : (1) peningkatan produktivitas, (2) perluasan areal, (3) pengamanan produksi, dan (4) penguatan kelembagaan dan pembiayaan serta peningkatan koordinasi (Badan Litbang Pertanian, 2007). Peningkatan produktivitas memerlukan dukungan inovasi teknologi seperti peningkatan indek panen, varietas unggul, penggunaan benih bermutu dan berlabel, pengendalian OPT, pengelolaan hara, pengaturan populasi tanam, melalui perbaikan sistem tanam dan lainnya (Anon, 2000). Perbaikan sistem tanam, melalui penerapan sistem tanam jajar legowo merupakan salah satu inovasi teknologi yang telah diperkenalkan dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas padi. Pada prinsipnya sistem tanam jajar legowo adalah meningkatkan populasi tanaman dengan cara mengatur jarak tanam. Selain itu, sistem tanam tersebut juga memanipulasi lokasi tanaman sehingga seolah-olah tanaman padi dibuat menjadi taping (tanaman pinggir) lebih banyak. Tanaman padi yang berada dipinggir umumnya akan menghasilkan produksi lebih tinggi dan kualitas gabah yang lebih baik. Ada beberapa tipe sistem tanam jajar legowo: (1) jajar legowo 2 : 1, dimana setiap dua baris diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali jarak dalam barisan. Namun jarak tanam dalam barisan yang memanjang dipersempit menjadi setengah jarak tanam dalam barisan, (2) jajar legowo 3 : 1, setiap tiga baris tanaman padi diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali jarak dalam barisan. Jarak tanam tanaman padi yang dipinggir dirapatkan dua kali dengan jarak tanam yang ditengah, (3) jajar legowo 4 : 1, setiap empat baris tanaman padi diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali jarak dalam barisan, dan (4) jajar legowo 12 :1 atau sering disebut cara tanam petani, yaitu setiap 12 baris tanaman padi diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali jarak dalam barisan. Jarak tanam yang dipinggir setengah dari jarak tanam yang di tengah (Wahyu, 2012). Hasil penelitian Abdulah (2004) mendapatkan hasil padi dengan sistem tanam legowo lebih tinggi bila dibandingkan dengan cara petani (sistem tegel). Hal yang lebih spesifik dikemukakan oleh Triny et al. (2004) yang menyatakan dengan perbaikan teknologi budidaya, penerapan sistem tanam berbeda dengan kebiasaan petani seperti penerapan sistem legowo 2 : 1, dapat meningkatkan produktivitas padi. Hasil penelitian Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
sistem tanam legowo 2 : 1 memberikan hasil gabah tertinggi sebesar 6,25 ton per hektar, meningkat sebesar 18,1% bila dibandingkan sistem tanam tegel 20 x 20 cm. Variasi peningkatan produktivitas padi ini dengan sistem tanam yang berbeda tergantung juga dengan varietas padi yang digunakan. Penerapan sistem tanam legowo, yaitu dengan pengaturan jarak tanam yang tepat dan teknik yang benar diharapkan produktivitas padi meningkat melalui peningkatan populasi tanaman, dan disamping itu, efisiensi dan efektifitas pertanaman padi di tingkat petani dapat tercapai. Kajian ini bertujuan untuk melihat pengaruh sistem tanam yang berbeda terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan sawah dataran tinggi beriklim basah METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah pupuk anorganik dan pupuk organik, seperti pupuk urea, phonska, pukan sapi dan bahan lainnya. Selain itu digunakan varietas unggul baru (VUB) Inpari 6. Sedangkan alat yang digunakan adalah alat untuk bercocok tanam, meteran, timbangan dan alat-alat yang lainnya. Rancangan Percobaan Kajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah sistem (cara) tanam yang dilakukan petani, yaitu sistem tanam legowo 2 : 1 (s1); sistem tanam legowo 4 : 1 (s2); sistem tanam legowo 6 : 1 (s3) dan sistem tanam legowo 12 : 1, atau sering disebut sistem tanam cara petani (s4). Luas petak yang digunakan disesuaikan dengan luas petak alami petani, dimana petani kooperator (8 orang) digunakan sebagai ulangan. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian untuk melihat pengaruh sistem tanam terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan sawah dataran tinggi beriklim basah telah dilakukan di lahan sawah petani dengan ketinggian ≥ 700 dpl, di Desa Kerta, Kecamatan Payangan Gianyar Bali pada MT. 2011. Pendekatan Kegiatan untuk melihat tampilan tanaman dengan penggunaan sistem tanam yang berbeda, berdasarkan jenisnya termasuk kegiatan pengembangan. Oleh karena itu, untuk mensukseskan kegiatan ini diperlukan kerjasama antar instansi terkait di daerah (dari tingkat propinsi sampai tingkat desa) serta partisipasi aktif dari kelompok tani (subak) untuk mengikuti kegiatan ini. Tahapan Kegiatan Kegiatan dimulai dengan penentuan lokasi dan petani kooperator sebagai lokasi pelaksanaan dan pelaksana kegiatan. Pada tahap persiapan juga dilakukan koordinasi ke Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
tingkat pusat (Balit dan Balai Besar Padi) guna mencari informasi inovasi teknologi untuk mendukung pelaksanaan kegiatan di tingkat lapangan. Sosialisasi dilakukan dengan instansi terkait (Distan, BPSB, BPTPH) mulai dari tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, serta desa/kelompok tani untuk mencari masukan dari tingkat lapangan guna penyempurnaan kegiatan. Sosialisasi dimaksudkan untuk menyamakan persepsi kegiatan mulai dari persiapan, pelaksanaan dan pelaporan guna penyempurnaan kegiatan di tingkat lapangan. Pelaksanaan Kegiatan Kajian untuk melihat tampilan tanaman dengan sistem tanam yang berbeda, menggunakan pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu). Model PTT adalah suatu metodologi atau strategi, bahkan filosofi untuk meningkatkan produksi melalui cara mengelola tanaman, tanah, air dan unsur hara serta organisme pengganggu tanaman secara holistik dan berkelanjutan. Keberhasilann PTT sangat ditentukan oleh pendekatan yang ditempuh dalam penerapan komponen PTT yaitu harus bersifat partisipatif, dinamis, spesifik lokasi, keterpaduan dan sinergis antar komponen. Oleh karena itu pendekatan yang ditempuh dalam menerapkan teknologi PTT di tingkat lapangan diharapkan didasarkan pada karakteristik lingkungan biofisik, kondisi sosial ekonomi dan budaya di suatu wilayah yang menjadi lokasi kegiatan. Adapun komponen PTT yang digunakan dalam kegiatan ini disajikan pada Tabel 1. Pengumpulan dan Analisis Data Parameter tanaman padi yang diamati : tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi dan hampa per malai, bobot 1000 biji dan hasil gabah kering panen (GKP) per hektar. Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh kombinasi perlakuan apabila berinteraksi dilakukan dengan uji DMRT pada taraf 5 %. Apabila hanya perlakuan tunggal yang berpengaruh, dalam hal ini perbedaan sistem tanam dilakukan dengan uji BNT pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 1984). Tabel 1. Teknologi Budidaya Padi Model PTT Yang Digunakan Di Lapangan No. 1 2 3 4 5 6 7 8. 9. 10. 11.
Perlakuan Varietas Persemaian Seleksi benih Tanam bibit Jumlah bibit/lubang Jarak tanam Dosis pupuk anjuran Pengendalian hama/penyakit Pengelolaan gulma Pengairan Penangan pascapanen
Komponen Teknologi PTT Varietas unggul baru (VUB) Pesemaian basah diaplikasi kompos, sekam dan pupuk Pemilihan benih bernas dengan air garam. 15 HSS. 1-3 bibit untuk tanam pindah Sesuai perlakuan sistem tanam Sesuai Kepmen Pertanian No.1, 2006. pukan sapi. Prinsip PHT Cara mekanis (penyiangan). Pengairan berselang Gebot sesuai dengan kondisi petani
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut, lahan sawah dataran tinggi beriklim basah, di desa Kerta, kecamatan Payangan, Gianyar berada pada ketinggian ≥ 700 m dari permukaan laut sehingga lahan sawah di desa Kerta mempunyai struktur permukaan tanah landai, bergelombang hingga berbukit. Dengan pembuatan terasering petani dapat memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian dalam arti luas, terutama padi sawah. Dilihat dari kesuburan tanah yang disajikan pada Tabel 2, maka secara umum tanah di desa Kerta yang digunakan mempunyai karakteristik sifat kimia, yaitu : pH (kemasaman tanah) normal dengan DHL sangat rendah, C-organik dan N-total rendah, P-tsd sangat tinggi dan K-tsd dengan kriteria tinggi (Hardjowigeno, 1987). Dari elaborasi data wilayah, maka rata-rata pemilikan lahan sawah petani di desa Kerta berkisar 0,30-0,50 ha dan beberapa diantaranya memiliki sapi bali dengan kisaran pemilikan rata-rata 2 ekor/KK. Menurut pendapat petani setempat, bila hendak menerapkan sistem integrasi padi-ternak maka peran ternak akan sangat membantu terutama sebagai tenaga kerja, sumber energi, sumber pupuk organik dan tabungan. Tabel 2. Sifat kimia tanah awal di lokasi pengkajian Kode contoh
pH (H2O)
DHL (mmhos cm-1) AG01 6,76 0,96 N SR Sumber : Duwijana dan IB. Aribawa (2010).
C-org. (%)
N-total (%)
P-tsd (ppm)
1,25 R
0,16 R
144,28 ST
K-tsd (ppm) 382,62 T
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Hasil analisis statistik terhadap tinggi tanaman disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3, terlihat perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman tertinggi dihasilkan oleh perlakuan s4, yaitu 106,98 cm dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tinggi tanaman terrendah dihasilkan oleh perlakuan s1, yaitu 102,40 cm. Pertumbuhan tanaman yang tinggi belum menjamin produktivitas tanaman juga tinggi. Pertumbuhan tanaman yang optimal mempunyai pengaruh yang besar terhadap hubungan antara panjang malai dengan hasil. Tanaman yang tumbuh baik mampu menyerap hara dalam jumlah banyak. Ketersediaan hara dalam tanah berpengaruh terhadap aktivitas tanaman termasuk aktivitas fotosintesis, sehingga dengan denikian tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan dan komponen hasil tanaman (Yosida, 1981). Tabel 3. Rata-Rata Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan, Jumlah Malai Dan Panjang Malai Pada Kajian Perbedaan Sistem Tanam Di Desa Kerta, Kabupaten Gianyar, MT. 2011 Perlakuan s1 s2 s3 s4 BNT 5 % KK 5 % Keterangan :
Tinggi Tanaman Jumlah anakan Jumlah malai per Panjang malai (cm) (batang/rumpun) rumpun (cm) 102,40a 24,10a 19,80a 24,98a 103,10a 24,70a 20,00a 24,50b 105,90b 25,10a 23,40b 24,24b 106,98c 25,30a 23,60b 24,12b 1,05 2,5 0,40 11,20 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 5 %.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Hasil analisis statistik terhadap jumlah anakan dan jumlah malai per rumpun disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3, terlihat perlakuan sistem tanam tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan per rumpun. Sedangkan terhadap jumlah malai berpengaruh nyata. Jumlah anakan pada perlakuan perbedaan sistem tanam bervariasi dan berkisar antara 24,10-25,30 batang per rumpun. Untuk jumlah malai, perlakuan sistem tanam s4, menghasilkan jumlah malai terbanyak, yaitu 23,60 batang per rumpun dan perlakuan ini hanya berbeda nyata dengan perlakuan s1 dan s2. Jumlah malai terrendah dihasilkan oleh perlakuan s1, yaitu 19,80 batang per rumpun. Hasil analisis terhadap panjang malai disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3, terlihat perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap panjang malai. Panjang malai terpanjang dihasilkan oleh perlakuan s1, yaitu 24,98 cm dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan sistem tanam lainnya. Panjang malai terpendek dihasilkan oleh perlakuan s4, yaitu 24,12 cm. Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, Bobot 1000 Biji Dan Hasil Gabah Kering Panen Pada Kajian Perbedaan Sistem Tanam Di Desa Kerta, Kabupaten Gianyar, MT. 2011 Perlakuan s1 s2 s3 s4 BNT 5 % KK 5 % Keterangan :
Jumlah gabah isi Jumlah gabah Bobot 1000 Hasil GKP ha-1 -1 -1 malai hampa malai Biji (g) 130,25a 62,25a 25,10a 8,84a 125,15b 66,33b 24,90a 8,27b 124,80b 66,90b 24,83a 8,08b 120,20c 67,95c 24,73a 7,57c 4,50 1,04 9,20 0,50 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 5 %.
Hasil analisis jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa per malai disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel 4, terlihat perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah isi dan hampa per malai. Jumlah gabah isi per malai terbanyak dihasilkan oleh perlakuan sistem tanam s1, yaitu 130,25 biji per malai dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan sistem tanam lainnya. Jumlah gabah isi per malai terrendah dihasilkan oleh perlakuan sistem tanam s4, yaitu 120,20 butir per malai. Hal yang sebaliknya terlihat pada jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah hampa per malai terbanyak dihasilkan oleh perlakuan sistem tanam s4, yaitu 67,95 butir per malai dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan sistem tanam lainnya. Jumlah gabah hampa per malai terrendah dihasilkan oleh perlakuan sistem tanam s 1, yaitu 62,25 butir per malai. Hasil analisis statistik terhadap bobot 1000 biji disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel 4, terlihat perlakuan sistem tanam tidak berpengaruh nyata terhadap bobot 1000 biji. Rata-rata bobot 1000 biji pada perlakuan sistem tanam yang berbeda berkisar antara 24,73-25,10 gram. Hasil analisis statistik terhadap hasil gabah kering panen disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel 4, terlihat perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap hasil gabah kering panen. Hasil gabah kering panen tertinggi dihasilkan oleh perlakuan s1, yaitu 8,84 t GKP ha -1 dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
perlakuan lainnya. Hasil gabah kering panen terrendah dihasilkan oleh perlakuan sistem tanam s4, yaitu 7,57 ton GKP ha -1. Pertumbuhan tanaman dalam arti sempit berarti pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan pembesaran sel (peningkatan ukuran) dan merupakan proses yang tidak dapat berbalik. (Gardner et al., 1991). Menurut Hakim et al. (1986) pertumbuhan merupakan suatu perkembangan yang progresif dari suatu organisme dan cara yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan menyatakannya dalam penambahan berat kering, panjang, tinggi ataupun diameter batang. Dalam kajian ini, tinggi tanaman, jumlah anakan dan jumlah malai digunakan untuk mengukur pertumbuhan tanaman padi. Secara visual pertumbuhan tanaman padi kelihatan seragam, walaupun secara statistik tinggi tanaman dan jumlah malai berbeda nyata. Tinggi tanaman tertinggi pada saat panen terlihat pada perlakuan s4 yaitu 105,98 cm. Hal ini diduga disebabkan karena dengan sistem tanam legowo 12 : 1 (cara petani), sebagian besar populasi tanaman padi berada di tengah lahan, karena setelah baris tanaman yang ke 12 baru ada lorong, tempat sinar matahari dan udara masuk. Sehingga dengan demikian, terjadi kompetisi antara individu tanaman yang tumbuh dalam suatu hamparan lahan dalam mencari sinar matahari menjadi sangat ketat. Dengan populasi tanaman yang padat dalam satu hamparan, maka akan memicu terjadinya kompetisi antar tanaman dalam hal pemanfaatan sinar matahari, sehingga memacu tanaman lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi tanaman yang lebih rendah, karena adanya perbedaan sistem tanam. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh Aribawa dan Kariada (2005) yang mendapatkan tinggi tanaman yang lebih tinggi dihasilkan pada populasi tanaman yang lebih padat dalam satu hamparan. Banyaknya batang tanaman padi yang tumbuh dalam satu hamparan tanam mempengaruhi jumlah anakan yang tumbuh. Hal ini terlihat dari jumlah anakan per rumpun pada saat panen pada perlakuan s4 yang lebih banyak bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 2). Menurut Harjadi (1979), persaingan tanaman untuk mendapatkan unsur hara akan terjadi apabila unsur hara tersebut tidak tersedia dalam jumlah yang cukup atau apabila populasinya melebihi populasi yang seharusnya. Perlakuan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah malai dan panjang malai. Jumlah malai erat kaitannya dengan jumlah anakan tanaman padi. Umumnya jumlah anakan berkorelasi positif dengan jumlah malai. Dimana, semakin banyak jumlah anakan maka jumlah malai yang terbentuk juga semakin banyak. Hal ini terlihat pada Tabel 3, dimana terlihat perlakuan s4 menghasilkan jumlah anakan dan jumlah malai terbanyak. Panjang malai terpanjang terlihat pada perlakuan s1. Hal ini diduga karena sistem tanam legowo 2 : 1 akan menjadikan semua rumpun tanaman berada pada bagian pinggir, dengan kata lain seolah-olah semua rumpun tanaman berada di pinggir galengan, sehingga semua tanaman mendapat efek samping (border effect), dimana tanaman yang mendapat efek samping panjang malainya lebih panjang dari tanaman yang tidak mendapat efek samping. Komponen hasil yang lain seperti jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 biji tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tabela legowo 2 : 1 (s1). Jumlah gabah isi per malai merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh terhadap hasil padi. Umumnya Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
jumlah gabah per malai berkorelasi positif dengan panjang malai. Semakin panjang malai yang terbentuk, semakin banyak peluang jumlah gabah yang dapat ditampung oleh malai yang bersangkutan. Sementara itu, jumlah gabah isi dan bobot 1000 biji yang terbentuk dalam satu malai sangat tergantung dari proses fotosintesis (pengisian biji) dari tanaman selama pertumbuhannya dan sifat genetis dari tanaman padi yang dibudidayakan. Hal ini terlihat dari bobot 1000 biji dari masing-masing perlakuan sistem tanam tidak berbeda nyata (Tabel 4). Demkian juga halnya dengan hasil gabah kering panen per hektar. Hasil gabah kering panen per hektar tertinggi dihasilkan oleh perlakuan sistem tanam legowo 2 : 1. Sistem tanam legowo 2 : 1 memberikan kondisi yang sama pada setiap tanaman padi untuk mendapatkan ruang dan sinar matahari secara optimal. Disamping itu, jumlah rumpun tanaman padi per hektar yang ditanam dengan sistem tanam legowo 2 : 1 lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem tanam lainnya.. Menurut Tryni et al. (2004), sistem tanam legowo 2 : 1 akan menjadikan semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir, dengan kata lain seolah-olah semua rumpun tanaman berada di pinggir galengan, sehingga semua tanaman mendapat efek samping (border effect), dimana tanaman yang mendapat efek samping produksinya lebih tinggi dari yang tidak mendapat efek samping. Tanaman yang mendapat efek samping, menjadikan tanaman mampu memanfaatkan faktor-faktor tumbuh yang tersedia seperti cahaya matahari, air dan CO2 dengan lebih baik untuk pertumbuhan dan pembentukan hasil, karena kompetisi yang terjadi relatif kecil (Harjadi, 1979). Pada tanaman padi yang ditanam secara beraturan dalam bentuk tegel, hasil tanaman bagian luar lebih tinggi 1,5–2 kali dibanding hasil tanaman yang berada di bagian dalam (Suriapermana et al., 1990). Demikian juga pemberian pupuk pada cara legowo akan lebih efektif dan efisien karena distribusi pupuk lebih merata dan langsung ke pertanaman padi. Hasil penelitian yang sama juga dikemukakan oleh Khairuddin (2005) yang mendapatkan hasil tertinggi pada varietas Ciherang didapat dengan sistem tanam legowo 2:1 yaitu 5,5 t GKG ha-1, kemudian diikuti oleh sistem tanam legowo 4:1, tandur jajar dengan jarak tanam 20 x 20 cm dan cara petani dengan hasil padi berturut-turut 5,4 t GKG ha-1 ; 5,3 t GKG ha-1 dan 5,2 t GKG ha-1. KESIMPULAN Dari hasil pengkajian dan pembahasan yang dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya : 1. Perlakuan sistem tanam berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah anakan menjelang panen dan bobot 1000 butir biji, tapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap parameter tanaman lainnya yang diamati 2. Sistem tanam legowo 2 : 1 menunjukkan keunggulan dibandingkan perlakuan sistem tanam lainnya. Hasil gagah kering panen per hektar tertinggi dihasilkan ioleh perlakuan tabela legowo 2 :1 (s1) yaitu 8,84 t GKP ha-1, meningkat sebesar 14,36 % dibanding perlakuan sistem tanam legowo cara petani 12 : 1 (s4)
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, B. 2004. Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUB lainnya. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya, 31 Maret- 3 April 2004, di Balitpa, Sukamandi. Anonimus. 2000. Petunjuk Teknis Pengkajian dan Pengembangan Intensifikasi Padi Lahan Irigasi Berdasarkan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Balitpa. Puslittan, Badan Litbang. Deptan. Jakarta. Anonimus. 2002. Pemerintah gagal mensejahterakan petani. Kompas. 3 Januari 2002. 2 hal. Aribawa, IB., dan Kariada. 2005. Pengaruh sistem tanam terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas padi sawah di subak Babakan Tabanan. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. 159-163. Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Petunjuk Teknis Lapang. Badan Penelitian dan Pengmbangan Pertanian. Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi. Badan Litbang Pertanian. BBP2TP. Kementerian Pertanian. Duwijana IN., dan IB. Aribawa. 2010. Adaptasi beberapa varietas kacang tanah di lahan kering beriklim basah di desa Kerta, Gianyar Bali. Proseding Seminar Nasional Isu Pertanian Organik dan Tantangannya. BBP2TP bekerjasama dengan Universitas Udayana Denpasar dan Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gianyar. Hlm. : 175-178. Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.K. saul. M.A. Diha, G.B. Hong dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. 488 hlm. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT. Medyatama Perkasa. Jakarta. 216 hlm Haryadi, S. S. 1979. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gardner, Franklin P., R. Brent Pearce dan Roger L. Mitchel. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan Herawati Susilo dan Subiyanto. Universitas Indonesia. 428 hlm. Gomez and Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. An International Rice Research Instute Book. A Wiley Interscience Publ. John Wiley and Sons. New York. 680 p. Khairuddin. 2005. Perbaikan teknologi budidaya padi melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di lahan sawah irigasi kabupaten Tabalong. Suriapermana S., I. Sayamsul dan A.M. Fagi. 1990. Laporan pertama penelitian kerjasama mina padi antara Balittan Sukamandi-IDRC Canada. Balittan Sukamandi. Badan Litbang. Deptan.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Triny S. Kadir, E. Suhartatik dan E. Sutisna. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya PTB cara PTT. Makalah Disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB lainnya, 31 Maret- 3 April 2004 di Balitpa, Sukamandi. Wahyu
Asep.
2012.
Tanam
Padi
Cara
Jajar
Legowo
di
Lahan
Sawah.
http://dipertanaknunukan.blogspot.com/2012/03/tanam-padi-cara-jajar-legowodi-lahan.html. Diakses, 11 Juni 2012. Yosida, S. 1981. Fundamental of rice crop science. IRRI. Manila, Philippines. p. 111176.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012