INDIKATOR EKOLOGI PADA WAKTU TANAM SEBAGAI INOVASI MASYARAKAT LOKAL DALAM MENGHADAPI DAMPAK NEGATIF PERUBAHAN IKLIM Rudi Hilmanto Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145 e-mail:
[email protected] Abstrak Masyarakat dunia saat ini dipersiapkan untuk melakukan dan mengembangkan usaha adaptasi dan mitigasi pola bertani dengan adanya perubahan iklim yang menimbulkan dampak negatif pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Pola tanam intensif mengejar produksi, tidak sesuai dengan musim tanam pada lingkungan setempat menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan agroforestri saat ini. Tujuan penelitian adalah: menganalisis indikator ekologi pada waktu tanam sebagai inovasi masyarakat lokal untuk menghadapi dampak negatif perubahan iklim. Metode penelitian ini menggunakan Knowledge Base Sistem (KBS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat lokal dalam mengelola agroforestri pada waktu penanaman menggunakan tata waktu pertanian yang dilekatkan dengan indikator ekologi memberikan hasil yang lebih baik pada pertumbuhan tanaman, produksi komoditi agroforestri, dan tingkat pendapatan. Penanaman dilakukan pada bulan kaso dan bulan kanem, bulan-bulan tersebut memiliki indikator ekologi yang menjadi petunjuk waktu tanam dalam menghadapi dampak negatif perubahan iklim. Kata Kunci: perubahan iklim, indikator ekologi, inovasi, kaso, kanem, ekonomi, ekologi I. PENDAHULUAN Perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim, yaitu: suhu udara dan curah hujan. Perubahan iklim disebabkan adanya aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan alam sehingga meningkatkan gas rumahkaca (GRK). Proses ini menyebabkan terjadi musim hujan atau musim kemarau yang tidak menentu, dan tidak sesuai dengan periode waktu seperti biasanya. Suhu udara dan curah hujan diatur oleh keseimbangan energi yang ada diantara bumi dan atmosfer. Proses radiasi matahari yang sampai ke bumi berupa cahaya tampak, sebagian diserap oleh permukaan bumi dan atmosfer di atasnya. Jumlah rata-rata radiasi yang diterima oleh permukaan bumi berupa cahaya memiliki jumlah seimbang dengan yang dipancarkan kembali ke atmosfer, salah satunya adalah: radiasi inframerah yang mempunyai sifat panas dan menyebabkan pemanasan atmosfer Bumi. Gas rumahkaca seperti karbon dioksida (CO 2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O), dan uap air (H2O) secara alami berada di atmosfer menyerap radiasi panas tersebut di atmosfer, proses inilah yang disebut dengan efek rumah kaca. Aktifitas manusia di bumi, banyak mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah gas rumahkaca yang disertai dengan peningkatan proses efek rumah kaca. Masyarakat global mengkhawatirkan kondisi tersebut, sehingga kita dituntut melakukan langkah proaktif dengan melakukan adaptasi dan pencegahan (mitigasi) untuk mengurangi proses perubahan iklim. Menurut Salim Emil (2003) masyarakat dunia dipersiapkan untuk melakukan dan mengembangkan usaha penyesuaian pola bertani dengan munculnya perubahan iklim yang berakibat pada perubahan musim hujan dan musim kemarau. Perubahan iklim saat ini sudah kita rasakan dampaknya. Berubahnya pola musim, yaitu: pada musim hujan menyebabkan banjir, pada musim kemarau banyak terjadi kekeringan hebat, dan semakin langkanya air tawar (Salim Emil 2003), hal ini dapat mengganggu kondisi ekologi dan ekonomi masyarakat lokal, nasional, dan dunia sebagai akibat dampak negatif dari perubahan iklim. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis indikator ekologi pada waktu tanam sebagai inovasi masyarakat lokal untuk memperbaiki tingkat ekonomi dan ekologi akibat dampak negatif perubahan iklim. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam meningkatkan daya
saing ekonomi lokal dan memperbaiki kondisi ekologi lokal dalam mencegah dampak negatif akibat adanya perubahan iklim global. . II. GAMBARAN UMUM Manusia dalam melakukan peradaban dan berinteraksi dengan alam, khususnya pada kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan (agroforestri) diperlukan penyesuaian yang berharmoni dengan alam. Contoh, bentuk interaksi yang tidak harmoni dengan alam, yaitu: pola tanam intensif mengejar produksi yang tidak sesuai dengan musim tanam pada lingkungan setempat. Hasil penelitian Hakim Lukman (2008) menunjukkan bahwa: waktu tanam tidak tepat yang tidak sesuai dengan kondisi iklim menyebabkan daya tumbuh tanaman semakin menurun. Hasil penelitian Wijatnika (2009), bahwa indikator ekologi merupakan salah satu bentuk inovasi masyarakat yang berharmoni dengan alam dalam pengelolaan agroforestri. Pengetahuan lokal masyarakat mengenai pengelolaan agroforestri menggunakan Pranata Mongso yang dilekatkan dengan indikator ekologi, sebagai bukti bagaimana masyarakat lokal memiliki inovasi dalam berinteraksi secara harmoni dengan alam (Prasodjo NW 2008 & Wijatnika 2009). Menurut Sherwood dan Uphoff (2000), selama satu abad terakhir ini para peneliti telah berkonsentrasi pada faktor kimia dan fisika dengan mengabaikan faktor yang bertautan dengan faktor biologi salah satunya petunjuk biologi (bioindikator) (Sarifuddin 2004). Konsekuensinya terdapat pemahaman yang relatif terbatas tentang bagaimana cara terbaik untuk pengelolaan pertanian, perkebunan, dan kehutanan (agroforestri) terutama pada waktu penanaman. Berdasarkan ulasan Mcgeoch (1998) bahwa petunjuk biologi (bioindikator) dikelompokan tiga kategori dalam penerapannya, yaitu: (1) indikator lingkungan, gambaran langsung dari komponen biotik dan abiotik di lingkungan; (2) indikator biodiversiti, sebagai indikasi keanekaragaman suatu daerah dan; (3) Indikator ekologi, mewakili dampak perubahan lingkungan pada suatu habitat, komunitas, dan ekosistem (Cristina Castracani & Alesandra Mori 2006). Indikator ekologi merupakan petunjuk dan dapat digunakan untuk mengkaji perubahan ekosistem dari tekanan yang disebabkan penggunaan lahan oleh manusia, seperti: perubahan habitat, pemecahan habitat, dan/atau perubahan iklim (Cristina Castracani & Alesandra Mori 2006). Hasil kajian penelitian Amien Istiqlal dan Runtunuwu Eleonora (2010) dampak negatif dari perubahan iklim yang sudah ada di Indonesia adalah pada musim kering yang lebih lama menyebabkan ketersediaan air pada budidaya padi menjadi sedikit, hal ini menyebabkan kegagalan panen dan penurunan produksi padi yang pada akhirnya menyebabkan krisis pangan dan mengganggu kondisi ekonomi masyarakat. Perubahan iklim saat ini juga menimbulkan temperatur yang terus meningkat sehingga menurunkan proses generatif tumbuhan dan meningkatnya pertumbuhan hama-penyakit menyebabkan panen menjadi menurun. III. METODELOGI PENELITIAN Indikator ekologi pada waktu tanam dalam pengelolaan agroforestri dilakukan berdasarkan kerangka kerja (framework) pada metode Knowledge Base Sistem (KBS). KBS dilakukan secara bertahap yang terdiri dari: cakupan indikator ekologi, pendefinisian cakupan indikator ekologi, kompilasi cakupan indikator ekologi, dan generalisasi cakupan indikator ekologi. Penelitian ini dilakukan di Dusun Lubuk Baka pengambilan sampel menggunakan metode Purposive Sampling sebanyak 32 respoden. Data indikator ekologi yang diperoleh kemudian digambarkan dan dianalisis secara deskriptif. Pengukuran dilakukan pada produksi komoditi agroforestri, tingkat pendapatan, dominansi relatif, dan Indeks Nilai Penting (INP) dari pengelolaan agroforestri sebagai hasil penggunaan indikator ekologi dan non-indikator ekologi waktu tanam yang dilakukan oleh masyarakat lokal. IV. HASIL Hasil penelitian yang diperoleh, bahwa: penanaman dilakukan setelah pengolahan tanah dan pembuatan lubang tanam. Lubang tanaman ditentukan tergantung dari jenis tanaman. Tanaman penghasil buah dan kayu (tanaman tajuk atas dan tajuk tengah) ditanam pada kedalaman 25 cm hal ini disebabkan lapisan tanah yang paling subur hanya mencapai 25 cm, Sedangkan tanaman sayuran ditanam pada kedalaman 3 cm. Jarak tanam dan kedalaman lubang pun harus diperhatikan, menurut masyarakat tiap jenis tanaman berbeda tergantung pada jenis akar dan ketinggian tanaman pada fase dewasa. Jarak tanam tiap jenis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jarak Tanam pada Jenis Tanaman Masyarakat Jenis Tanaman Jarak tanam (m) Kopi 2 x 2 atau 4 x 4 Kakao 4x4 Lada 2 x 2 atau 4 x 4 Cengkeh 5 x 5 atau 7 x 7 Kelapa 4x4 Durian 8 x 8 atau 10 x 10 Jenis Tanaman Jarak tanam (m) Melinjo 6x6 Pinang 3 x 3 atau 4 x 4 Petai 8 x 10 Kemiri 25 x 25 Jengkol 10 x 10 Sridia 2x2 Pisang 2x2 Tanaman MPTS/tanaman tajuk tinggi lainnya 5 x 5 atau 7 x 7 Deskripsi komunitas tanaman di Dusun Lubuk Baka didasarkan luas penutupan (coverage) yang menutupi lahan masyarakat dengan nilai tertinggi, yaitu: tanaman kopi dan kakao, sedangkan Indek nilai penting (INP), yang menunjukan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) tanaman di lahan masyarakat menggunakan indikator ekologi dengan nilai tertinggi, yaiu: pada tanaman kopi, kakao, sridia, petai, dan kelapa. secara lengkap deskripsi komunitas tanaman dalam pengelolaan agroforestri dapat di lihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan deskripsi komunitas dalam penggunaan indikator ekologi Dominansi relatif (%) INP (%) Jenis Indikator Non-Indikator Indikator Non-Indikator tanaman ekologi ekologi ekologi ekologi Kopi 64.7626 66.2712 191.4647 229.1950 Coklat 22.8917 9.5404 57.8804 41.4647 Sridia 0.4824 2.2502 35.6167 3.0869 Cengkeh 0.6402 2.1548 0.9533 3.3085 Melinjo 0.4169 0.7299 0.6208 1.0734 Duren 5.0582 6.9816 6.1577 8.1353 Kemiri 0.5025 0.6580 0.6117 0.7460 Pinang 0.2326 1.0966 0.3054 1.3080 Petai 2.8138 7.5007 3.4255 8.5047 Jengkol 0.3648 1.8807 0.4230 2.0656 Kelapa 1.8345 0.9359 2.3951 1.1120 Jumlah 100 100 Jenis tanaman yang ditanam di lahan masyarakat lokal terdiri dari: (1) Jenis dengan tajuk tinggi, yaitu: kelapa (Cocos nucifera), durian (Durio zibethinus), melinjo (Gnetum gnemon), pinang (Areca catchu), petai (Parkia speciosa), kemiri (Aleurites mollucana), jengkol (Archidendron pauciflorum), dan sridia (Hibiscus diliaceu), cengkeh (Eugenia aromatic); (2) Jenis dengan tajuk sedang (tanaman pokok), yaitu: kopi (Coffea canephora) dan kakao (Theobrama cacao); (3) Jenis dengan tajuk rendah, yaitu: tanaman sayuran seperti cabai, terung, tomat, dan bayam. Contoh perbedaan lahan yang dikelola/dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam penggunaan indikator ekologi dengan non-indikator ekologi dapat dilihat pada Gambar 1.
a
b
Gambar 1 Contoh lahan yang dikelola masyarakat (a) menggunakan indikator ekologi (b) tidak menggunakan indikator ekologi.
Praktek-praktek pengelolaan agroforestri lokal pada masyarakat yang menggunakan indikator ekologi disesuaikan dengan tata waktu pertanian, masyarakat menyebutnya ”pranata mongso”. Tata waktu pertanian tersebut, dilekatkan dengan indikator ekologi sebagai bentuk inovasi masyarakat lokal. Perlakuan itu tak lain sebagai penghormatan terhadap nilai-nilai luhur dan untuk memperbaiki kondisi ekonomi, ekologi, dan sosial masyarakat. Mereka percaya penggunaan pranata mongso mampu memberikan hasil yang optimal dan selaras dengan alam serta dapat mengurangi dampak buruk secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Pranata mongso merupakan tatanan perhitungan waktu yang berdasarkan tahun syaka (Hindu) yang telah mencapai 1929 tahun. Panentuan pranata mongso dibagi menjadi beberapa musim yaitu: katigo (musim kering), labuh (musim sering turun hujan), Rendheng (musim banyak turun hujan), dan Mareng (musim peralihan ke musim kemarau). Masing-masing musim tersebut dibagi lagi menjadi beberapa bulan yang berbeda. Musim katigo dibagi menjadi tiga bulan yaitu: Kaso (Kasa), Karo, dan Katigo (Katiga). Musim Labuh dibagi menjadi tiga bulan yaitu: Kapat, Kalimo (Kalima), Kanem. Musim Rendheng dibagi menjadi tiga bulan yaitu: Kapitu, Kawolu (Kawalu), Kesongo (Kasanga). Musim Mareng dibagi menjadi tiga bulan yaitu: Kesepuluh (Kadasa), Apit lemah (Hapitlemah), Apit Kayu (Hapitkayu).Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Kasepuluh
Kasongo
Apit lemah
Kawolu MARENG (peralihan)
Apit kayu
Waktu tanam tanaman pokok & tajuk tinggi
Kaso KATIGO
RENDHENG Kapitu
Kanem
LABUH (peralihan)
Kalimo
Karo Katigo
Kapat
Waktu tanam tanaman sayuran Gambar 2 Tata Waktu Petanian Pranata Mongso.
Setiap bulan tersebut memiliki indikator ekologi yang berbeda sebagai dasar untuk menentukan kegiatan dalam pengelolaan lahan mereka. Kegiatan pengelolaan agroforestri lokal pada penanaman menggunakan pranata mongso pada masyarakat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 pranata mongso dalam mengelola agroforestri pada teknik penanaman Kegiatan pengelolaan Pengetahuan Pranata Mongso
• Penanaman
Penanaman dilakukan dengan memperhatikan waktu tanam
•
Kaso: Menanam sayursayuran Kanem: Menanam Tanaman pokok dan tajuk tinggi
Pranata mongso pada kegiatan penanaman dilakukan pada bulan kaso dan kanem. Penanaman dilakukan pada bulan kaso, yaitu: musim kering, pada bulan ini masyarakat menanam berbagai jenis sayuran di lahan mereka dan bulan kanem, yaitu: musim sering turun hujan, pada bulan ini masyarakat menanam tanaman pokok seperti: kopi-kakao dan tanaman tajuk tinggi seperti: Sridia-cengkeh-melinjo-duren-kemiri-pinang-petai-jengkol. Bulan kaso dan kanem memiliki indikator ekologi khusus sebagai petunjuk waktu penanaman. Indikator ekologi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Pranata mongso yang memiliki indikator ekologi Pranata mongso Indikator ekologi Angin bertiup dari Timur Laut menuju Barat Daya. Tanda ekologi berupa daun-daun berguguran dan tanaman meranggas. Sifat alam bila terjadi hujan akan memberikan kesegaran dan kesejukan. Mata air mulai mengecil. Tumbuhan dan tanaman Bulan kaso jambu, durian, manggis, nangka, rambutan, kedongdong mulai berbunga. Kehidupan binatang di sungai bersembunyi, serangga (insect) dan belalang (Acrididae) mulai bertelur dan menetas. Angin bertiup dari Barat-Timur dan bertiup kencang. Hawa basah Saat ini musim hujan yang terkadang disertai petir dan sering terjadi bencana tanah longsor. Sifat alam menunjukkan tanaman Bulan kanem buah-buahan mulai masak. Durian dan rambutan mulai masak buahnya. Binatang menampakkan diri kumbang air (Dytiscidae) banyak berkembang dalam parit-parit. Tingkat produksi rata-rata tahunan tiap jenis tanaman dari praktek pengelolaan agroforestri pada penanaman menggunakan indikator ekologi dan non-indikator ekologi memiliki perbedaan pada setiap jenis komoditinya. Tingkat produksi rata-rata tahunan tiap jenis tanaman yang ada pada masyarakat menggunakan indikator ekologi memiliki jumlah produksi yang lebih tinggi dibandingkan pada masyarakat yang tidak menggunakan indikator ekologi (non-indikator ekologi). Jenis tanaman tersebut, yaitu: kopi, kakao, kelapa, pisang, durian, cengkeh, lada, dan tanaman sayuran (cabai, terung, tomat, dan bayam) kemudian masyarakat yang tidak menggunakan indikator ekologi dalam pengelolaan lahannya memiliki produksi komoditi rata-rata/tahun yang lebih rendah. Penggunaan indikator ekologi yang diterapkan masyarakat lokal memberikan pengaruh yang berbeda pada produksi komoditi agroforestri, hal ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan Produksi Komoditi dalam Penggunaan Indikator Ekologi Produksi komoditi rata-rata Indikator Non-Indikator Satuan tanaman/tahun ekologi ekologi Kopi (Kg) 0,5 0,4 Kakao (Kg) 3,5 2,00 Kelapa (Buah) 90,00 60,0 Pisang (Sisir) 144,00 129,00 Durian (Buah) 38 38 Melinjo (Kg) 14 10, 6 Pinang (Kg) 15,0 15,00
Produksi komoditi rata-rata tanaman/tahun Cengkeh Petai Kemiri Jengkol Lada Cabai Terung Tomat Bayam
Satuan (Kg) (Kg) (Kg) (Kg) (Kg) (Kg) (Kg) (Kg) (Kg)
Indikator ekologi 7,26 12,00 8,00 20,00 7,00 0,33 0,32 0,20 0,10
Non-Indikator ekologi 6,00 12 ,00 8,00 20,00 5,00 0,10 0,13 0,05 0,01
Tingkat pendapatan bulanan rata-rata per rumah tangga berbeda dari penggunaan indikator ekologi dan tidak menggunakan indikator ekologi pada waktu tanam dari 16 komoditas yang diperdagangkan yaitu: kopi, kakao, kelapa, pisang, melinjo, pinang, petai, kemiri, jengkol, durian, cengkeh, lada, dan tanaman sayuran (cabai, terung, tomat, dan bayam). Tingkat pendapatan masyarakat yang menggunakan indikator ekologi, yaitu: sebesar Rp. 5.793.000,-; sedangkan tingkat pendapatan masyarakat yang tidak menggunakan indikator ekologi, yaitu: sebesar Rp. 3.009.000,- Tingkat pendapatan rata-rata bulanan per rumah tangga masyarakat dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat Pendapatan Rata-Rata Per Kepala Keluarga dari Usaha Agroforestri Kelompok masyarakat Pendapatan rata-rata per kepala keluarga (Rp/bulan) Indikator ekologi 5.793.000 Non-Indikator ekologi 3.009.000 V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Menurut Prasodjo NW (2008) jika musim tanam tidak sesuai dengan kondisi lahan dan tidak memperhatikan tata waktu pertanian, hanya berorientasi pada produksi mengakibatkan dampak negatif ekologis diantaranya berupa menurunnya kesuburan tanah, ledakan populasi hama dan penyakit tanaman, erosi tanah pada lahan usaha tani, tidak terjaganya sumber air tanah, menurunnya kuantitas dan kualitas air sungai, dan bahaya longsor pada lahan-lahan dengan kemiringan tinggi. Hasil penelitian Maftu’ah Eni et al. (2005) menunjukkan serangga dapat dijadikan indikator ekologi pada beberapa penggunaan lahan. Hasil kajian Rahayu Subekti et al. (2009) menunjukan bahwa organisme air dapat digunakan sebagai indikator ekologi atas terjadinya perubahan ekosistem. Hasil penelitian dan kajian tersebut menunjukkan kemampuan organisme untuk dijadikan indikator ekologi atas terjadinya perubahan lingkungan, seperti: perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi di saat ini bukan manusia saja yang merasakan, tetapi lingkungan biotik dan lingkungan abiotik juga merasakannya. Hewan saat terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang tidak biasanya, secara instingtif dan naluri akan melakukan penyesuaian dengan lingkungan sekitar dengan merubah prilaku yang menyebabkan terjadi perubahan proses fisiologis dan siklus kehidupannya. Faktor-faktor lingkungan sangat mempengaruhi reaksi-reaksi fisiologis, anatomis, dan siklus hidup tumbuhan. Adaptasi tumbuhan dapat berupa pada bentuk fisiologis, siklus kehidupan, dan anatomis dari jenis tumbuhan. Hasil penelitian Nastiti Soertiningsih Wijarso Karliansyah (2010) menunjukkan tumbuhan bisa dijadikan indikator ekologi dalam terjadinya pencemaran udara yang mempengaruhi bentuk anatomis pada perubahan warna daun. Hukum minimum yang dikembangkan oleh Justus van Liebig (1840) bisa menjadi dasar menjelaskan penyesuaian hewan dan tumbuhan sebagai indikator ekologi pada terjadinya perubahan iklim. Suatu organisme untuk dapat bertahan hidup harus mempunyai bahan-bahan yang dibutuhkan untuk siklus hidupnya agar hidup dan lestari di bumi. Kebutuhan dasar ini bervariasi antara spesies dan keadaannya. Kondisi di bawah keadaan-keadaan bahan-bahan yang stabil jika mendekati kondisi minimum yang diperlukan oleh suatu spesies merupakan faktor pembatas (Irwan Djamal Zoer’aini 1992).
Aktvity (Growth)
Menurut Irwan Djamal Zoer’aini (1992) yang disimpulkan Hilmanto Rudi (2009) bahwa panas, sinar, air, iklim, cuaca, bahan makanan, dan curah hujan merupakan salah satu keadaan, bahanbahan, dan unsur-unsur lingkungan yang dimaksud Liebig dan Shelford sebagai faktor pembatas suatu spesies. Keadaan, bahan-bahan, dan unsur-unsur lingkungan tersebut dikatakan pembatas. Tidak hanya jika terjadi kekurangan saja, tetapi jika terjadi kelebihan juga merupakan suatu pembatas dari suatu spesies. Kurva dari tolerance range (jarak daya tahan) akan lebih memperjelas faktor pembatas dari suatu spesies dapat di lihat pada Gambar 3.
Eurythermal Optimal
Stenothermal (Oligothermal)
Max
Min
Stenothermal (Polythermal)
Min
Max
Temperatur Gambar 3 Tolerance range, pengaruh, temperature terhadap metabolisme (sumber: Irwan Zoer’aini Djamal 1992)
V.1Penyesuaian oleh Hewan dan Tumbuhan pada Perubahan Iklim sebagai Indikator Ekologi Penyesuaian dilakukan baik oleh hewan dan tumbuhan merupakan bentuk kemampuan hewan dan tumbuhan mengatasi adanya faktor pembatas yang ada di bumi. Penyesuaian yang dilakukan berbeda satu dengan yang lainnya dengan caranya masing-masing yang khas.
1. Penyesuaian oleh hewan Hewan dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungan ’berpikir’ secara naluri dan instingtif, tetapi hewan tidak mampu untuk menghindarkan diri dari pengaruh alam yang sifatnya datang secara langsung. Ada kecenderungan hewan melakukan penyesuaian terhadap alam menggunakan naluri dan instingnya. Penyesuaian terhadap lingkungan oleh hewan bersumber dari aliran-aliran informasi dari alam yang diperoleh hewan secara naluri dan instingtif. Aliran-aliran informasi tersebut bisa berupa perubahan suhu udara, perubahan kelembaban, perubahan iklim, jumlah makanan, dan lain sebagainya. Penyesuaian lingkungan oleh hewan mengarah pada perubahan prilaku yang biasanya dilakukan dan akan mempengaruhi reaksi-reaksi fisiologis dan siklus hidupnya, seperti: mencari makan, berkembang biak, dan melakukan perkawinan. Prilaku berdasarkan naluri dan instingtif tersebut tidak dipelajari oleh hewan dan cenderung mengikuti perubahan alam. Contoh: penyesuaian lingkungan oleh hewan: musim bertelur dan menetas, musim birahi dan reproduksi, warna khas kulit dan bulu. Penyesuaian lingkungan oleh hewan tersebut bisa menjadi indikator ekologi untuk mengamati perubahan-perubahan iklim yang terjadi pada ekosistem.
2. Penyesuaian oleh tumbuhan Faktor-faktor lingkungan sangat mempengaruhi fungsi fisiologis, bentuk anatomis, dan siklus hidup tumbuhan. Penyesuaian oleh tumbuhan dapat berupa pada bentuk fisiologis, anatomis dari jenis tumbuhan, dan siklus hidup tumbuhan tersebut dapat di lihat pada Gambar 4.
Penyesuaian oleh tumbuhan biasanya cenderung mengikuti perubahan alam yang terjadi. Penyesuaian oleh tumbuhan berupa gejala-gejala menahan penguapan berlebihan, toleransi terhadap tingkat garam, waktu munculnya bunga, waktu berbuah, bentuk-bentuk masing-masing spesies secara anatomis, dan/atau siklus hidup tumbuhan tersebut. Penyesuaian-penyesuaian oleh tumbuhan tersebut bisa menjadi indikator ekologi untuk mengamati perubahan-perubahan iklim. Suhu udara
Suhu tanaman
Kelembapan relatif
Kehilangan air Adaptasi
Radiasi Matahari
Respirasi
Angin
Fotosintesis
Aclimatisasi
Naturalisasi
Pertumbuhan dan Perkembangan Perubahan genetis
Domestikasi
Gambar 4 Adaptasi Tumbuhan disebabkan Perubahan Lingkungan (sumber: Irwan Djamal Zoer’aini 1992)
Penyesuaian masing-masing spesies inilah yang dijadikan indikator ekologi oleh masyarakat lokal dalam pengelolaan agroforestri pada waktu tanam yang pada akhirnya mampu memberikan dampak yang positif pada kondisi ekonomi, ekologi, dan sosial masyarakat lokal. Indikator ekologi yang di lekatkan dengan tata waktu pertanian masyarakat lokal, yaitu: Pranata Mongso merupakan bentuk inovasi masyarakat lokal dalam memperbaiki kondisi ekologi dan meningkatkan daya saing ekonomi masyarakat lokal yang berharmoni dengan alam VI. KESIMPULAN
1. Reaksi-reaksi fisiologis, bentuk anatomis, dan siklus hidup merupakan indikator ekologi yang menjadi petunjuk masyarakat lokal dalam menentukan waktu tanam. 2. Waktu penanaman yang dilakukan oleh masyarakat menggunakan pranata mongso pada bulan kaso dan kanem. 3. Bulan kaso dan kanem memiliki indikator ekologi sebagai inovasi masyarakat lokal mampu memberikan peran dalam perbaikan ekologi dan meningkatkan daya saing ekonomi masyarakat lokal. 4. Indikator ekologi mampu mengurangi dampak negatif perubahan iklim dalam perbaikan ekologi dan meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. DAFTAR PUSTAKA Amien Istiqlal, Runtunuwu Eleonora. Capturing the Benefit of Monsoonal and Tropical Climate to Enhance National Food Security, Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 29. No.1, 2010, 10-8. Eni Maftu’ah, Alwi M, Willis Mahrita, Potensi Makrofauna sebagai Bioindikator Kualitas Tanah Gambut, Bioscientiae, Vol. 2, No. 1, 2005, 1-14
Cristina Castracani, Alesandra Mori, The Role of Permanent Grassland on Ant Community Structure: Ants (Hymenoptera:Formicedae) as Ecological Indicators in-Agroecosystem of the Taro River Regional Park (Italy), Myrmecologische Nachrichten, Vol. 9, 2006, 47-54. Hakim Lukman, Variasi Pertumbuhan Empat Provenans Ulin, Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Pusat Litbang Dephut, Vol.5, No. 2, 2008, 091-097 Hilmanto Rudi, Sistem Local Ecological Knowledge dan Teknologi Masyarakat Lokal pada Agroforestri, Penerbit Universitas Lampung, Lampung, 2009, 1-105 Irwan Djamal Zoer’aini, Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, 1-209 Prasodjo NW, Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy. Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB [psp3ipb], http://www.psp3ipb.or.id/uploaded/wp14.[30 Mei 2009], 2008, 1-129 Rahayu Subekti, Widodo Harto Rudy, Noordwijk van Meine, Indra Suryadi, Verbist Bruno, Monitoring Air di Daerah Aliran Sungai, World Agroforestry Centre. ICRAF, Bogor. 2009, 1-104 Salim Emil, Jika Iklim Berubah, dalam Murdiyarso D, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Buku Kompas, Jakarta, 2003, 1-200 Wijatnika, Inisiatif Pengelolaan Hutan Lestari dan Berkelanjutan Oleh Kelompok Pendukung SHK di Lampung. WALHI. Lampung, 2009, 1-228 Sarifuddin, Mikrobia sebagai Indikator Kesehatan Tanah,Makalah Pribadi Falsafah Sain, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2004, 1-24
IDENTITAS PENULIS Nama Alamat Telp. E-mail Pekerjaan Alamat Kantor Web Site
: Rudi Hilmanto, S.Hut, M.Si : Jl. Ratu dibalau Gg. Damai No. 18 Kec. Tanjung Senang, Kelurahan Tanjung Senang, Bandar Lampung : 08127287225/0721 784863 :
[email protected] : Dosen Universitas Lampung (Unila) Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan : Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung : www.unila.ac.id